produksi gula reduksi dari bagasse tebu melalui...

5
PRODUKSI GULA REDUKSI DARI BAGASSE TEBU MELALUI DEGRADASI ENZIMATIK Devy Dwi Lestari 1 , Emy Juniyati 2 , Setiyo Gunawan, Arief Widjaja* Jurusan Teknik Kimia, Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya - Indonesia *corresponding author; e-mail: [email protected]* [email protected] 1 , [email protected] 2 Abstrak Tujuan penelitian ini adalah untuk melakukan pretreatment dengan NaOH pada bagasse tebu serta mendapatkan kondisi operasi yang optimal pada konversi selulosa menjadi gula D-glukosa oleh enzim selulase. Enzim yang digunakan merupakan enzim murni dari strain T.reesei dan A.niger. Kondisi hidrolisa yang digunakan adalah pada suhu 60 o C dan pH 3 pada semua sampel agar didapatkan kondisi hidrolisa yang paling baik. Kondisi optimal hidrolisa terbaik dari strain Trichoderma reesei dibandingkan dengan hidrolisa menggunakan strain campuran dari Trichoderma reesei dan Aspergillus niger dengan rasio 2:1. Hasil yang didapatkan dari penelitian adalah sebagai berikut : hasil hidrolisa terbaik adalah pada pretreatment dengan konsentrasi NaOH 4% suhu 80 o C selama 8 jam dengan suhu hidrolisa 60 o C dan pH 3 yaitu didapatkan gula reduksi sebesar 4,75 g/L. Dari hasil perbandingan hidrolisa antara enzim murni Trichoderma reesei, Aspergillus niger, dan campuran antara Trichoderma reesei dan Aspergillus niger dengan perbandingan 2:1 didapatkan gula reduksi tertinggi pada hidrolisa menggunakan enzim dari strain Trichoderma reesei yaitu sebesar 4,75 g/L. Yield gula reduksi tertinggi yang dihasilkan pada konsentrasi gula reduksi sebesar 4,75 g/L adalah 143 mg gula/g bagasse tebu. Kata kunci : enzim selulase, hidrolisa enzimatik, bagasse tebu, glukosa, Trichoderma reesei, Aspergillus niger I. PENDAHULUAN Dunia sedang menghadapi problem penggunaan energi berbasis fosil seperti minyak bumi dan gas alam, dimana penggunaan energi ini akan semakin meningkatkan kadar CO 2 di alam selain juga gas-gas lain yang memberikan efek rumah kaca yang disinyalir sebagai sumber pemanasan global. Disamping itu, bahan bakar berbasis fosil merupakan jenis yang tidak bisa diperbarui karena berasal dari sisa-sisa makhluk hidup pada jaman purba. Bila sumber energi ini dipergunakan terus menerus tanpa ada inovasi mengenai sumber energi yang dapat diperbarui, maka jumlahnya akan semakin menipis dan habis pada akhirnya. Oleh karena itu penemuan sumber energi dari bahan yang dapat diperbarui sangat dibutuhkan untuk memenuhi kebutuhan energi dunia yang semakin lama semakin meningkat. Disisi lain Indonesia merupakan penghasil gula besar di dunia yang memberikan limbah padat bagasse tebu yang sangat besar pula. Luas areal tanaman tebu di Indonesia pada tahun 2010 sekitar 430.000 hektar dengan produksi tebu lebih dari 20 juta ton, dan menghasilkan gula lebih dari 2,5 juta ton. Pada proses pembuatan gula, sekitar 30% dari jumlah ini tersisa sebagai limbah padat yaitu bagasse tebu, yang terdiri dari 45,5 % selulosa, 27 % hemiselulosa dan 21,1 % lignin (Rocha dkk.,2011). Proses konversi selulosa menjadi gula D-glukosa yang merupakan bahan baku fermentasi menghasilkan etanol sudah banyak dilakukan oleh para peneliti dengan menggunakan katalis enzim selulase (Gomez dkk., 2008; Rabelo dkk.,2011) Dibandingkan degradasi secara fisik maupun kimiawi, degradasi menggunakan enzim memiliki banyak keuntungan karena sifatnya yang sangat selektif, hemat energi dan tidak mencemari lingkungan. II. DASAR TEORI Selulase adalah enzim yang dapat mendegradasi selulosa (polisakarida dari bentukan glukosa). Selulase dapat menjadi katalisator reaksi pendegradasian selulosa. Umumnya selulase mendegradasi selulosa yang memiliki rantai yang lebih pendek dari komponen kayu (selulosa, hemiselulosa, lignin, ekstraktif dan mineral). Rantai selulosa yang lebih pendek tersebut terdapat pada hemiselulosa (glukosa, galaktosa, manosa, xylosa, arabinosa). Karena komponen hemiselulosa yang memiliki sifat seperti selulosa adalah glukosa maka hemiselulosa lebih dahulu terdegradasi dibandingkan dengan selulosa. Selulosa adalah bagian utama tanaman, berupa polimer glukosa linier hidrofilik yang dihubungkan oleh ikatan glikosida. Derajat polimerisasi untuk selulosa tumbuhan berada pada kisaran 305 sampai 15300 (Fengel dan Wegener,1984). Polimer selulosa terdiri dari bagian kristalin dan amorf. Bagian amorf mudah dihidrolisis sedangkan bagian kristalin tidak mudah dihidrolisis baik secara kimiawi maupun enzimatik (Dahot dan Noomrio, 1996). Hidrolisis selulosa terdiri dari dua tahap, yaitu degradasi selulosa menjadi selobiosa oleh endo-β-1,4- glukanase dan ekso-β-1,4 glukanase kemudian dilanjutkan dengan pemecahan selobiosa oleh β-1,4 glukosidase. Kebanyakan sistem selulase yang dihasilkan oleh jamur selulotik, jumlah β-glukosidasenya kurang dari yang dibutuhkan untuk hidrolisis selulosa menjadi glukosa secara efisien, sehingga produk utama hidrolisisnya bukan glukosa melainkan selobiosa (Juhasz dkk., 2003; Martins dkk., 2008; Ahamed dan Vermette, 2008). Selobiosa merupakan inhibitor kuat terhadap endo-β-1,4-glukanase dan ekso-β-1,4-glukanase mendegradasi selulosa. T. reesei mampu menghasilkan endo-β-1,4-glukanase dan ekso-β- 1,4-glukanase sampai 80% (Muthuvelayudham dan Viruthagiri, 2006), tetapi β-glukosidasenya rendah

Upload: tranliem

Post on 04-Apr-2019

220 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

PRODUKSI GULA REDUKSI DARI BAGASSE TEBU MELALUI DEGRADASI ENZIMATIK

Devy Dwi Lestari1, Emy Juniyati2, Setiyo Gunawan, Arief Widjaja*

Jurusan Teknik Kimia, Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya - Indonesia

*corresponding author; e-mail: [email protected]* [email protected], [email protected] 2

Abstrak

Tujuan penelitian ini adalah untuk melakukan pretreatment dengan NaOH pada bagasse tebu serta mendapatkan kondisi operasi yang optimal pada konversi selulosa menjadi gula D-glukosa oleh enzim selulase. Enzim yang digunakan merupakan enzim murni dari strain T.reesei dan A.niger. Kondisi hidrolisa yang digunakan adalah pada suhu 60 oC dan pH 3 pada semua sampel agar didapatkan kondisi hidrolisa yang paling baik. Kondisi optimal hidrolisa terbaik dari strain Trichoderma reesei dibandingkan dengan hidrolisa menggunakan strain campuran dari Trichoderma reesei dan Aspergillus niger dengan rasio 2:1. Hasil yang didapatkan dari penelitian adalah sebagai berikut : hasil hidrolisa terbaik adalah pada pretreatment dengan konsentrasi NaOH 4% suhu 80oC selama 8 jam dengan suhu hidrolisa 60oC dan pH 3 yaitu didapatkan gula reduksi sebesar 4,75 g/L. Dari hasil perbandingan hidrolisa antara enzim murni Trichoderma reesei, Aspergillus niger, dan campuran antara Trichoderma reesei dan Aspergillus niger dengan perbandingan 2:1 didapatkan gula reduksi tertinggi pada hidrolisa menggunakan enzim dari strain Trichoderma reesei yaitu sebesar 4,75 g/L. Yield gula reduksi tertinggi yang dihasilkan pada konsentrasi gula reduksi sebesar 4,75 g/L adalah 143 mg gula/g bagasse tebu. Kata kunci : enzim selulase, hidrolisa enzimatik, bagasse tebu, glukosa, Trichoderma reesei, Aspergillus niger

I . PENDAHULUAN Dunia sedang menghadapi problem penggunaan

energi berbasis fosil seperti minyak bumi dan gas alam, dimana penggunaan energi ini akan semakin meningkatkan kadar CO2 di alam selain juga gas-gas lain yang memberikan efek rumah kaca yang disinyalir sebagai sumber pemanasan global. Disamping itu, bahan bakar berbasis fosil merupakan jenis yang tidak bisa diperbarui karena berasal dari sisa-sisa makhluk hidup pada jaman purba. Bila sumber energi ini dipergunakan terus menerus tanpa ada inovasi mengenai sumber energi yang dapat diperbarui, maka jumlahnya akan semakin menipis dan habis pada akhirnya. Oleh karena itu penemuan sumber energi dari bahan yang dapat diperbarui sangat dibutuhkan untuk memenuhi kebutuhan energi dunia yang semakin lama semakin meningkat.

Disisi lain Indonesia merupakan penghasil gula besar di dunia yang memberikan limbah padat bagasse tebu yang sangat besar pula. Luas areal tanaman tebu di Indonesia pada tahun 2010 sekitar 430.000 hektar dengan produksi tebu lebih dari 20 juta ton, dan menghasilkan gula lebih dari 2,5 juta ton. Pada proses pembuatan gula, sekitar 30% dari jumlah ini tersisa sebagai limbah padat

yaitu bagasse tebu, yang terdiri dari 45,5 % selulosa, 27 % hemiselulosa dan 21,1 % lignin (Rocha dkk.,2011). Proses konversi selulosa menjadi gula D-glukosa yang merupakan bahan baku fermentasi menghasilkan etanol sudah banyak dilakukan oleh para peneliti dengan menggunakan katalis enzim selulase (Gomez dkk., 2008; Rabelo dkk.,2011) Dibandingkan degradasi secara fisik maupun kimiawi, degradasi menggunakan enzim memiliki banyak keuntungan karena sifatnya yang sangat selektif, hemat energi dan tidak mencemari lingkungan.

II. DASAR TEORI

Selulase adalah enzim yang dapat mendegradasi selulosa (polisakarida dari bentukan glukosa). Selulase dapat menjadi katalisator reaksi pendegradasian selulosa. Umumnya selulase mendegradasi selulosa yang memiliki rantai yang lebih pendek dari komponen kayu (selulosa, hemiselulosa, lignin, ekstraktif dan mineral). Rantai selulosa yang lebih pendek tersebut terdapat pada hemiselulosa (glukosa, galaktosa, manosa, xylosa, arabinosa). Karena komponen hemiselulosa yang memiliki sifat seperti selulosa adalah glukosa maka hemiselulosa lebih dahulu terdegradasi dibandingkan dengan selulosa.

Selulosa adalah bagian utama tanaman, berupa polimer glukosa linier hidrofilik yang dihubungkan oleh ikatan glikosida. Derajat polimerisasi untuk selulosa tumbuhan berada pada kisaran 305 sampai 15300 (Fengel dan Wegener,1984). Polimer selulosa terdiri dari bagian kristalin dan amorf. Bagian amorf mudah dihidrolisis sedangkan bagian kristalin tidak mudah dihidrolisis baik secara kimiawi maupun enzimatik (Dahot dan Noomrio, 1996).

Hidrolisis selulosa terdiri dari dua tahap, yaitu degradasi selulosa menjadi selobiosa oleh endo-β-1,4-glukanase dan ekso-β-1,4 glukanase kemudian dilanjutkan dengan pemecahan selobiosa oleh β-1,4 glukosidase. Kebanyakan sistem selulase yang dihasilkan oleh jamur selulotik, jumlah β-glukosidasenya kurang dari yang dibutuhkan untuk hidrolisis selulosa menjadi glukosa secara efisien, sehingga produk utama hidrolisisnya bukan glukosa melainkan selobiosa (Juhasz dkk., 2003; Martins dkk., 2008; Ahamed dan Vermette, 2008). Selobiosa merupakan inhibitor kuat terhadap endo-β-1,4-glukanase dan ekso-β-1,4-glukanase mendegradasi selulosa. T. reesei mampu menghasilkan endo-β-1,4-glukanase dan ekso-β-1,4-glukanase sampai 80% (Muthuvelayudham dan Viruthagiri, 2006), tetapi β-glukosidasenya rendah

(Martins dkk., 2008) sedangkan A. niger dapat menghasilkan β-glukosidase tinggi tetapi endo-β-1,4-glukanase dan ekso-β-1,4-glukanasenya rendah.

Enzim selulase merupakan suatu campuran kompleks yang terdiri dari tiga enzim yaitu :

1. Endo- β -1,4-glukanase Endo-β-1,4-glukanase adalah glycoprotein dengan berat molekul 5300-145000. Enzim ini menyerang rantai bagian dalam dari selulosa amorphous menghasilkan selodextrin, sellobiosa, atau glukosa. Enzim ini tidak dapat menghidrolisa selulosa kristal secara sendirian, tetapi ketika bersamaan dengan Exo-β-1,4-glukanase enzim ini dapat mendegradasi selulosa kristal secara intensif. 2. Exo-β-1,4-glukanase Exo-β-1,4-glukanase adalah glycoprotein dengan berat molekul 42000-65000. Ada dua jenis yaitu Exo-β-1,4-cellobiohidrolase dan Exo-β-1,4-glucan glukohidrolase. Enzim ini menyerang Crystalline Cellulose. Kerja enzim ini dihambat dengan adanya produk yaitu selobiosa atau glukosa. 3. β-1,4-glukosidase β-1,4-glukosidase atau selobiosa adalah glycoprotein dengan berat molekul 50000-410000. Enzim ini dapat menghidrolisa selobiosa menjadi glukosa dan juga dapat mendegradasi seloligosakarida. Kerja enzim ini dihambat oleh produk reaksi yaitu glukosa.

III. METODE PENELITIAN Persiapan Bagasse Tebu

Bagasse tebu didapatkan dari limbah Pabrik Gula Candi Sidoarjo. Pada tahap pretreatment secara mekanik, bagasse tebu digiling dan diayak untuk mendapatkan ukuran 100-120 mesh, untuk pretreatment secara kimia, digunakan NaOH dengan konsentrasi 0; 1 ;2 ; dan 4%, dengan suhu 60oC dan 80oC, dan waktu pretreatment selama 8 jam dan 16 jam. Kandungan kimia dari bagasse tebu dianalisa dengan menggunakan metode Chesson. Penyiapan Larutan Enzim Selulase Enzim yang digunakan adalah enzim selulase komersial dari strain Trichoderma reesei dan Asperrgillus niger yang telah diencerkan. Untuk mengetahui aktivitas enzim, dilakukan uji aktivitas enzim selulase dengan menggunakan metode asam dinitrosalicylic (Miller, 1959). Degradasi Enzimatik Kondisi hidrolisa yang digunakan adalah pada suhu 60 oC dan pH 3 pada semua sampel agar didapatkan kondisi hidrolisa yang paling baik. 5 gram bagasse tebu yang sudah dilakukan pretreatment secara kimiawi dimasukkan ke dalam erlenmeyer 250 ml. Kemudian mencampurkan enzim selulase dari T.reesei dan A.niger yang sudah diketahui aktivitasnya ke dalam bagasse tebu. menambahkan buffer sitrat pH 3 sampai volume 150 ml. Menganalisa konsentrasi glukosa dalam hidrolisat dengan menggunakan metoe DNS pada setiap selang waktu tertentu. Kondisi optimal hidrolisa terbaik dari strain T.

reesei dibandingkan dengan hidrolisa menggunakan strain campuran dari T. reesei dan A. niger dengan rasio 2:1.

IV. HASIL DAN DISKUSI

Komposisi Kimia Bagasse Tebu Pada pretreatment mekanik, bagasse tebu

dikeringkan terlebih dahulu menggunakan sinar matahari selama 12 jam. Setelah itu diayak dengan ukuran 100-120 mesh, dimana bertujuan untuk mempermudah proses enzimatik oleh enzim selulase dan ukuran yang kecil akan memperluas permukaan kontak antara enzim dengan bagasse tebu sehingga mempermudah enzim dalam mendegradasi selulosa dalam bagasse tebu menjadi glukosa. Dari penelitian sebelumnya, ukuran optimum untuk proses degradasi diperoleh pada ukuran 100-120 mesh. (Anwar, N., dkk, 2011)

Pretreatment bagasse tebu secara kimiawi perlu dilakukan karena struktur lignin pada bagasse tebu yang bersifat kokoh sehingga menghalangi kinerja enzim dalam mendegradasi selulosa. Pada pretreatment ini menggunakan NaOH, dimana NaOH dapat menurunkan derajat polimerisasi, kristalinitas dan memutus ikatan antara lignin dan karbohidrat. Oleh karena itu, diperlukan treatment kimiawi untuk merusak komponen lignin. (Sun, Ye., Cheng, Jiayang, 2002).

Efek utama dari pretreatment ini adalah menghilangkan lignin dalam bagasse tebu, kemudian akan meningkatkan kereaktifan dari polisakarida yang tersisa. Dalam metode pretreatment ini, menggunakan variabel konsentrasi NaOH (1%, 2%, 4%), suhu pretreatment (60oC, 80oC), dan waktu pretreatment (8 jam, 16 jam).

Setelah proses pretreatment secara kimiawi selesai, bagasse tebu dipisahkan dari larutan dan dicuci dengan air panas sampai pH larutan menjadi 7. Kemudian bagasse tebu dikeringkan dalam oven dan didinginkan hingga suhu ruangan. Selanjutnya melakukan analisa dengan metode chesson untuk mengetahui komponen-komponen dalam bagasse tebu setelah pretreatment, hasil dari analisa chesson ditunjukkan pada tabel 1.

Berdasarkan tabel di atas, dapat dilihat bahwa massa total setelah pretreatment lebih kecil dari pada massa awal sebelum pretreatment. Hal ini menunjukkan adanya zat-zat organik dalam bagasse tebu yang menguap ketika proses pretreatment dan larut ketika proses pencucian. Selain itu, pretreatment yang dilakukan berhasil menurunkan massa lignin dalam bagasse tebu serta meningkatkan massa selulosanya.

Gambar 1. Pengaruh pretreatment pada 60 oC terhadap konsentrasi hemiselulosa, selulosa dan lignin setelah 8 dan 16 jam pada berbagai konsentrasi NaOH.

Tabel 1. Komposisi bagasse tebu sebelum dan sesudah pretreatment

Gambar 2. Pengaruh pretreatment pada 80 oC terhadap konsentrasi hemiselulosa, selulosa dan lignin setelah 8 dan 16 jam pada berbagai konsentrasi NaOH.

Dari Gambar 1, tampak bahwa jika

pretreatment dilakukan pada 60oC penggunaan 4% NaOH tidak menyebabkan kenaikan kadar selulosa secara signifikan. Dan sebaliknya, dari Gambar 2, tampak bahwa jika pretreatment dilakukan pada 80oC penggunaan 4% NaOH menyebabkan kenaikan kadar selulosa sampai mencapai kadar tertingginya. Untuk itu, disimpulkan bahwa penggunaan 4% NaOH adalah yang terbaik. Pada konsentrasi ini, konsentrasi lignin sudah turun secara signifikan dengan kandungan selulosa yang tertinggi.

Gambar 3. Pengaruh pretreatment dengan konsentrasi 4% NaOH terhadap konsentrasi hemiselulosa, selulosa dan lignin pada temperatur 60 dan 80 oC dan waktu 8 dan 16 jam.

Berdasarkan analisa di atas, dapat disimpulkan bahwa suhu optimal untuk pretreatment adalah 80oC, sedangkan waktu pretreatment optimal adalah selama 16 jam. Apabila dibandingkan berdasarkan konsentrasi NaOH yang digunakan, dapat dilihat bahwa konsentrasi NaOH 4% untuk pretreatment menujukkan hasil yang lebih baik dari pada pretreatment dengan konsentrasi NaOH 1% dan 2%. Kadar selulosa yang dihasilkan dari pretreatment menggunakan konsentrasi NaOH 4% mencapai 74,51%, angka ini jauh lebih tinggi dari pada kadar selulosa yang dihasilkan dengan pretreatment menggunakan konsentrasi NaOH 1% dan konsentrasi NaOH 2%. Berdasarkan hal tersebut, dapat disimpulkan bahwa konsentrasi optimal untuk pretreatment bagasse tebu adalah 4% NaOH.

Hal tersebut sesuai dengan hasil yang didapatkan dari pretreatment dengan kondisi optimal yaitu dengan konsentrasi NaOH 4%, pada suhu 80oC, dan selama 16 jam yang menunjukkan hasil kadar selulosa paling tinggi. Kadar selulosa yang dihasilkan dari kondisi optimal pretreatment ini mencapai 74,51%, lebih tinggi dibandingkan dengan kadar selulosa yang dihasilkan kondisi pretreatment yang lain.

Selain analisa chesson, juga dilakukan analisa Scanning Electron Microscope (SEM) untuk mengetahui struktur dari bagasse tebu setelah dilakukan pretreatment. Untuk analisa SEM, mengambil beberapa sampel hasil dari pretretment dimana menunjukkan kadar lignin yang tertinggi dan juga terendah sehingga dapat dibandingkan dengan bagasse tebu tanpa pretretment. Sampel yang dianalisa dengan SEM adalah bagasse tebu yang telah dipretreatment dengan konsentrasi NaOH 1% pada suhu 60oC selama 8 jam dimana menghasilkan kadar lignin tertinggi dan konsentrasi

Komposisi (%)

Tanpa pretre atment

Variabel NaOH 1% NaOH 2% NaOH 4%

60 °C 80 °C 60 °C 80 °C 60 °C 80 °C

8 jam

16 jam

8 jam

16 jam

8 jam

16 jam

8 jam

16 jam

8 jam

16 jam

8 jam

16 jam

Selulosa 44,99 54,42 67,20 66,63 72,29 68,14 72,64 69,89 72,74 65,62 71,03 69,80 74,51

Hemiselulosa 30,59 28,20 17,38 21,83 19,26 22,52 17,59 21,77 17,33 18,89 19,27 17,53 15,20

Lignin 22,28 16,36 14,21 9,30 4,86 8,68 8,94 7,79 8,60 13,14 6,60 10,24 8,13

Abu 2,15 1,02 1,21 2,24 3,59 0,66 0,83 0,55 1,33 2,35 3,11 2,43 2,15

Total 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100

NaOH 1% pada suhu 80oC selama 16 jam dimana menghasilkan kadar lignin terendah, serta bagasse tebu tanpa pretreatment. Hasil dari analisa SEM dapat dilihat pada gambar berikut ini :

(a) (b) (c)

Gambar 4. Foto SEM bagasse tebu : (a) tanpa pretreatment; (b) hasil pretreatment dengan konsentrasi NaOH 1% pada suhu 60oC selama 8 jam; (c) hasil pretreatment dengan konsentrasi NaOH 1% pada suhu 80oC selama 16 jam

Pada gambar 4. (a) yaitu kondisi dimana tidak dilakukan pretreatment menunjukkan selulosa masih terbungkus oleh lignin dan hemiselulosa. Sedangkan pada gambar 4. (b) merupakan bagasse tebu yang telah di pretreatment dengan menggunakan NaOH 1% pada suhu 60oC selama 8 jam menunjukkan lignin dan hemiselulosa yang membungkus selulosa sudah berkurang karena larut dalam larutan NaOH pada saat pretreatment, begitu juga pada gambar 4. (c) merupakan bagasse tebu yang telah di pretreatment menggunakan NaOH 1% pada suhu 80oC selama 16 jam menunjukkan semakin berkurangnya lapisan lignin dan hemiselulosa yang membungkus selulosa. Semakin berkurangnya lapisan lignin akan menyebabkan semakin mudah mencapai ikatan glikosida.

Hidrolisis bagasse tebu

Dalam penelitian ini, hidrolisis dilakukan untuk semua sampel hasil pretreatment. Sampel yang dihidrolisis yaitu bagasse tebu hasil pretreatment dengan konsentrasi NaOH 1%, 2%, dan 4% pada suhu 60oC dan 80oC selama 8 dan 16 jam.

Variabel yang digunakan untuk kondisi hidrolisis adalah menggunakan suhu hidrolisis 60oC dengan pH 3. Variabel kondisi hidrolisis tersebut ditetapkan berdasarkan penelitian yang telah dilakukan sebelumnya bahwa aktivitas enzim akan optimum pada suhu tinggi dengan pH rendah (anwar dkk., 2011), sehingga ditetapkan suhu 60oC dan pH 3 untuk variabel hidrolisis. Berdasarkan analisa yang telah dilakukan, diperoleh hasil seperti gambar 5.

Data hasil hidrolisa menunjukan kecenderungan peningkatan konsentrasi gula yang dihasilkan sampai jam ke 36 dan jam ke 42 setelah itu menunjukan penurunan sedikit demi sedikit. Hal ini berarti bahwa enzim yang dihasilkan mampu menghidrolisis sampai jam ke 42 dan setelah itu enzim mulai terdenaturasi sehingga tidak mampu menghidrolisis substrat yang ada.

Gambar 5. Hasil hidrolisis pada bagasse tebu hasil pretreatment dengan suhu hidrolisis 60oC dan pH 3

Sedangkan penurunan gula yang dihasilkan kemungkinan disebabkan terabsorbnya gula yang dihasilkan kedalam partikel sellulosa dan hemisellulosa yang tidak terhidrolisis. Pengaruh pretreatment kimiawi menunjukan perbedaan hasil yang signifikan.

Dari gambar grafik 5 di atas menunjukkan hasil yang terbaik untuk hidrolisis pada bagasse tebu hasil pretreatment adalah dengan konsentrasi NaOH 4% pada suhu 80oC selama 8 jam dengan suhu hidrolisis 60oC dan pH 3 yaitu didapatkan sebesar 4,75 g/L. Dari hasil analisa, gula reduksi yang dihasilkan semakin lama semakin meningkat dengan kondisi yang stabil. Hal ini menunjukkan bahwa suhu 60oC dan pH 3 adalah kondisi yang optimal digunakan dalam hidrolisis, diperkirakan pada suhu ini aktifitas enzim menjadi semakin meningkat.

Berdasarkan hal tersebut, dapat diambil kesimpulan bahwa bagasse tebu dengan kadar selulosa terbaik hasil pretreatment dengan kondisi optimal belum tentu memberikan hasil terbaik pada proses hidrolisis. Pretreatment akan mempermudah akses enzim menuju selulosa, tetapi belum tentu akan mengoptimalkan gula reduksi yang dihasilkan dalam proses hidrolisis.

Aktivitas enzim bisa berkurang selama berlangsungnya proses hidrolisis, sehingga akan menghambat produksi gula reduksi. Salah satu penyebabnya adalah adanya adsorpsi enzim selulase oleh partikel selulosa yang tidak reversible. Penambahan surfaktan selama proses hidrolisis dapat memperbaiki sifat permukaan selulosa dan meminimalkan adsorpsi selulase yang irreversible (Errikson dkk., 2002).

Hasil hidrolisa yang tebaik dengan menggunakan enzim murni yang berasal dari jamur T. Reesei dibandingakan dengan enzim murni yang berasal dari jamur A. Niger dan campuran enzim murni yang berasal dari jamur T. Reesei dan A. Niger dengan perbandingan 2 : 1. Maka hasil

perbandingannya dapat dilihat dalam grafik di bawah ini :

Gambar 6. Hasil perbandingan hidrolisis pada bagasse tebu hasil pretreatment untuk konsentrasi NaOH 4% pada suhu 80oC selama 8 jam dengan suhu hidrolisis 60oC dan pH 3 dan menggunakan enzim murni yang berbeda-beda

Hidrolisis menggunakan enzim murni yang berasal dari jamur T. Reesei menghasilkan konsentrasi gula reduksi yang lebih tinggi dibandingkan dengan hidrolisis menggunakan campuran enzim murni yang berasal dari jamur T. Reesei dan A. Niger dengan perbandingan 2 : 1 dan diikuti dengan menggunakan enzim murni yang berasal dari jamur A. Niger, hal tersebut membuktikan bahwa enzim murni yang berasal dari jamur T. Reesei lebih mampu mengkonversi selulosa menjadi gula reduksi dibanding dengan lainnya.

Hal ini dibuktikan dengan kandungan gula reduksi yang didapatkan pada saat hidrolisis menggunakan enzim murni yang berasal dari jamur T. Reesei paling besar daripada lainnya yaitu 4,75 gram/L. Maka enzim murni yang berasal dari jamur T. Reesei lebih cocok digunakan untuk hidrolisis pada bagasse tebu hasil pretreatment dengan suhu hidrolisis 60oC dan pH 3.

V. KESIMPULAN

1. Bahan baku yang digunakan memilki konsentrasi lignin, hemiselulosa, dan selulosa berturut turut sebesar 22,28%; 30,59%; 44,99%.

2. Kondisi pretreatment yang menunjukkan hasil kadar selulosa paling tinggi sebesar 74,51% adalah konsentrasi NaOH 4%, pada suhu 80oC, dan selama 16 jam.

3. Hasil yang terbaik untuk hidrolisis pada bagasse tebu hasil pretreatment adalah dengan konsentrasi NaOH 4% pada suhu 80oC selama 8 jam dengan suhu hidrolisis 60oC dan pH 3 yaitu didapatkan gula reduksi sebesar 4,75 g/L.

4. Kandungan gula reduksi yang didapatkan pada saat hidrolisis menggunakan enzym murni yang berasal dari T. Reesei paling besar yaitu 4,75 gram/L daripada campuran enzym murni yang berasal dari T. Reesei dan A. Niger

dengan perbandingan 2 : 1 dan enzim murni yang berasal dari A. Niger.

DAFTAR PUSTAKA

1. Anwar, N., Widjaja, A., Winardi, S. 2011. “Study of The Enzymatic Hydrolysis of Alkaline Pretrieted Rice Straw Using Cellulase of Various Sources and Compositions”.International Review of Chemical Engineering Vol. 3.N.2. March 2011.

2. Dahot, M.U., dan M.H. Noomrio. 1996. “Microbial Production ofCellulases by Aspergillus Fumigatus Using Wheat Straw as A CarbonSource”.Journal of Islamic Academy of Sciences 9:4, 119-124.

3. Fengel D. & Wegener G. 1984. Wood: Chemistry, Ultrastructure and Reactions. De Gruvter. Berlin, pp.217-20.

4. Gómez S.M R, Rafael A. R, Carlos S.G, Aline C. C, Filho M. R. 2008. “Pretreatment of sugar cane bagasse with phosphoric and sulfuric diluted acid for fermentable sugars production by enzymatic hydrolysis”,School of Chemical Engineering, University of Campinas, UNICAMP: Campinas - SP – Brazil.

5. Juhasz, T., K. Kozma, Z. Szengyel, K. Reczey. 2003. “Production of β-Glucosidase in Mixed Culture of Aspergillus niger BKMF 1305 and Trichoderma reesei RUT C30”, Food Technol. Biotechnol. 41 (1) 49–53.

6. Martins, L.F., D. Kolling, M. Camassola, A.J.P. Dillon, L.P. Ramos. 2008. “Comparison of Penicillium echinulatum and Trichoderma reesei Cellulases in Relation to Their Activity Against Various Cellulosic Substrates”, Bioresource Technology, 99, 1417–1424.

7. Muthuvelayudham, R. and T. Viruthagiri. 2006. “Fermentative Production and Kinetics of Cellulase Protein on Trichoderma reesei Using Sugarcane Bagasse and Rice Straw”, African Journal of Biotechnology Vol. 5 (20), 16 October, pp. 1873-1881.

8. Rocha J.G., Martin C., Soares I.B.,Maior A. M. S., Baudel H. M., Abreu A.C.. 2010. “Dilute mixed-acid pretreatment of sugarcane bagasse for ethanol production”. Biomass and Bioenergy 35; 663-670.

9. Yee S.danJiayang C. 2002.“ Hydrolysis of lignosellulosic material forethanol production: a review” , Biosource Technology 83: 1-11.