privatisasi di indonesia

30
INOVASI PELAYANAN PUBLIK DAN PRIVATISASI DI INDONESIA Makalah Oleh : Atik Anggraini N. (0910310178) Kelas B JURUSAN ADMINISTRASI PUBLIK FAKULTAS ILMU ADMINISTRASI 1

Upload: atikasillas-fernandez

Post on 24-Jul-2015

370 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: Privatisasi di Indonesia

INOVASI PELAYANAN PUBLIK DAN PRIVATISASI DI INDONESIA

Makalah

Oleh :

Atik Anggraini N. (0910310178)

Kelas B

JURUSAN ADMINISTRASI PUBLIK

FAKULTAS ILMU ADMINISTRASI

UNIVERSITAS BRAWIJAYA

MALANG

2012

1

Page 2: Privatisasi di Indonesia

DAFTAR ISI

DAFTAR ISI.......................................................................................................................................... i

BAB I....................................................................................................................................................1

PENDAHULUAN.................................................................................................................................1

1.1 Latar Belakang.......................................................................................................................1

1.2 Rumusan Masalah..................................................................................................................2

BAB II...................................................................................................................................................3

LANDASAN TEORI............................................................................................................................3

2.1 Teori Pelayanan Publik..........................................................................................................3

2.2 Inovasi Pelayanan Publik.......................................................................................................4

2.3 Teori Swastanisasi.................................................................................................................6

BAB III..................................................................................................................................................9

PEMBAHASAN...................................................................................................................................9

3.1 Kondisi Pelayanan Publik di Indonesia..................................................................................9

3.2 Inovasi Pelayanan Publik dan Privatisasi di Indonesia.........................................................10

BAB IV...............................................................................................................................................16

PENUTUP...........................................................................................................................................16

4.1 Kesimpulan..........................................................................................................................16

4.2 Saran....................................................................................................................................16

DAFTAR PUSTAKA..........................................................................................................................18

i

Page 3: Privatisasi di Indonesia

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Era globalisasi yang didukung oleh teknologi modern terutama di bidang transportasi,

telekomunikasi, membuat mobilitas, dan aktivitas masyarakat semakin meningkat dengan

cepat, menuntut pelayanan yang semakin cepat dan tepat. Namun kenyataannya masih

banyak keluhan masyarakat yang berkaitan dengan kegiatan tersebut, semua ini merupakan

indikator bahwa pelayanan yang telah diberikan oleh pemerintah dianggap masih lamban,

kurang responsif terhadap keluhan, kebutuhan masyarakat, kurang terbuka, efisien dan

sebagainya.

Hal ini berarti masyarakat semakin sadar akan apa yang menjadi hak dan

kewajibannya sebagai warga negara dalam hidup bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.

Masyarakat semakin berani untuk mengajukan tuntutan, keinginan dan aspirasinya kepada

pemerintah. Masyarakat semakin kritis dan semakin berani untuk melakukan kontrol terhadap

apa yang dilakukan oleh pemerintahnya.

Kesadaran akan hak-hak sipil yang terjadi di masyarakat tidak lepas dari pendidikan

politik yang terjadi selama ini. Selama ini masyarakat cenderung pasrah dan menerima

terhadap apa yang mereka dapatkan dari pelayanan aparatur pemerinta. Hal ini lebih

diakibatkkan karena sikap dari aparatur pelayanan publik yang tidak berorientasi pada

kepuasan masyarakat, pelayanan hanya bersifat sekedar melayani tanpa disertai rasa peduli

dan empati terhadap pengguna layanan. Namum kondisi yang terbuka seperti sekarang ini

mengharuskan aparatur sebagai pelayan publik lebih peduli lagi terhadap hak-hak sipil

khususnya dalam pelayanan publik.

Pemerintah di dalam menyelenggarakan pelayanan publik masih banyak dijumpai

kekurangan sehingga jika dilihat dari segi kualitas masih jauh dari yang diharapkan

masyarakat. Hal ini ditunjukkan dengan masih munculnya berbagai keluhan masyarakat

melalui media massa. Jika kondisi ini tidak direspon oleh pemerintah maka akan dapat

menimbulkan citra yang kurang baik terhadap pemerintah sendiri. Mengingat fungsi utama

pemerintah adalah melayani masyarakat maka pemerintah perlu terus berupaya meningkatkan

kualitas pelayanan publik (Men PAN, 2004:5).

1

Page 4: Privatisasi di Indonesia

Selain itu, dalam kondisi masyarakat yang semakin kritis di atas, birokrasi publik

dituntut harus dapat mengubah posisi dan peran (revitalisasi) dalam memberikan pelayanan

publik. Dengan revitalitas birokrasi publik (terutama aparatur pemerintah daerah) ini,

pelayanan publik yang lebih baik dan profesional dalam menjalankan apa yang menjadi tugas

dan kewenangan yang diberikan kepadanya dapat terwujud. Pemberian pelayanan publik oleh

aparatur pemerintah kepada masyarakat sebenarnya merupakan implikasi dari fungsi aparat

negara sebagai pelayan masyarakat.

Karena itu, kedudukan aparatur pemerintah dalam pelayanan umum (public services)

sangat strategis karena akan sangat menentukan sejauhmana pemerintah mampu memberikan

pelayanan yang sebaik-baiknya bagi masyarakat, yang dengan demikian akan menentukan

sejauhmana negara telah menjalankan perannya dengan baik sesuai dengan tujuan

pendiriannya. Dalam kondisi masyarakat seperti digambarkan di atas, birokrasi publik harus

dapat memberikan layanan publik yang lebih profesional, efektif, sederhana, transparan,

terbuka, tepat waktu, responsif dan adaptif serta sekaligus dapat membangun kualitas

manusia dalam arti meningkatkan kapasitas individu dan masyarakat untuk secara aktif

menentukan masa depannya sendiri. Oleh karena itu penulis

1.2 Rumusan Masalah

1. Bagaimana kondisi pelayanan publik yang ada di Indonesia?

2. Inovasi apa saja yang dapat diterapkan dalam pelayanan publik di Indonesia?

2

Page 5: Privatisasi di Indonesia

BAB II

LANDASAN TEORI

2.1 Teori Pelayanan Publik

Hadirnya UU No. 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik semakin menegaskan

pentingnya menghadirkan pelayanan publik yang berkualitas. Dalam UU tersebut

dinyatakan bahwa pelayanan publik haruslah berasaskan kepentingan umum, kepastian

hukum, kesamaan hak, keseimbangan hak dan kewajiban, profesional, partisipatif, tidak

diskriminatif, terbuka, akuntabel, tepat waktu, cepat, mudah, dan terjangkau

Keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara No. 63 Tahun 2003

mendefinisikan pelayanan publik sebagai:

“Segala bentuk pelayanan yang dilaksanakan oleh Instansi Pemerintah di Pusat, di Daerah dan di lingkungan Badan Usaha Milik Negara atau Badan Usaha Milik Daerah dalam bentuk barang dan atau jasa, baik dalam rangka upaya pemenuhan kebutuhan masyarakat maupun dalam rangka pelaksanaan ketentuan peraturan perundang-undangan” (Kepmen MENPAN Nomor 63/2003).

Secara teoritis tujuan pelayanan publik pada dasarnya adalah memuaskan

masyarakat. Untuk mencapai kepuasan itu dituntut kualitas pelayanan prima yang

tercermin dari:

1. Transparan

Pelayanan yang bersifat terbuka, mudah dan dapat diakses oleh semua pihak yang

membutuhkan dan disediakan secara memadai serta mudah dimengerti.

2. Akuntabilitas

Pelayanan yang dapat dipertanggungjawabkan sesuai dengan ketentuan peraturan

perundang-undangan.

3. Kondisional

Pelayanan yang sesuai dengan kondisi dan kemampuan pemberi dan penerima

pelayanan dengan tetap berpegang pada prinsip efisiensi dan efektivitas.

4. Partisipatif

3

Page 6: Privatisasi di Indonesia

Pelayanan yang dapat mendorong peran serta masyarakat dalam penyelenggaraan

pelayanan publik dengan memperhatikan aspirasi, kebutuhan dan harapan masyarakat.

5. Kesamaan Hak

Pelayanan yang tidak melakukan diskriminasi dilihat dari aspek apapun khususnya

suku, ras, agama, golongan, status sosial dan lain-lain.

6. Keseimbangan Hak Dan Kewajiban

Pelayanan yang mempertimbangkan aspek keadilan antara pemberi dan penerima

pelayanan publik.

2.2 Inovasi Pelayanan Publik

Menurut David Osborne dan Ted Gaebler dalam bukunya Mewirausahakan

Birokrasi, ada beberapa indikator yang bisa diterapkan dalam rangka inovasi pelayanan

publik.

pemerintahan katalis (catalytic government),

pemerintahan milik rakyat (community owned government),

pemerintahan yang kompetitif (competitive government),

pemerintahan yang digerakkan oleh misi (mission driven government),

pemerintahan berorientasi hasil (result oriented government),

pemerintahan yang berorientasi pelanggan (customer driven government),

pemerintahan wirausaha (enterprise government),

pemerintahan antisipatif (anticipatory government),

pemerintahan desentralisasi (decentralized government), dan

pemerintahan yang berorientasi pasar (market oriented government)

Selain itu, untuk mengatasi masalah pelayanan publik, Osborne dan Plastrik

menyatakan bahwa setidaknya terdapat lima strategi yang dapat digunakan untuk

melakukan perubahan yang mendasar dalam rangka mendorong peningkatan kemampuan

birokrasi yang efektif dan efisien, ataupun kemampuan menyesuaikan atau adaptability,

dan kapasitas untuk memperbarui sistem dan organisasi publik.

Pertama, strategi inti (the core strategy). Strategi ini menentukan tujuan (the

purpose) sebuah sistem dan organisasi publik. Jika sebuah organisasi tidak mempunyai

tujuan yang jelas atau mempunyai tujuan yang banyak atau saling bertentangan, maka

organisasi itu tidak dapat mencapai kinerja yang tinggi. Dengan kata lain, sebuah

4

Page 7: Privatisasi di Indonesia

organisasi publik akan mampu bekerja secara efektif jika ia mempunyai tujuan yang

spesifik. Oleh karena itu, adalah penting bagi para pemimpin organisasi-organisasi publik

untuk menetapkan terlebih dahulu tujuan organisasinya secara spesifik. Barangkali,

penetapan visi dan misi organisasi juga mempunyai peran yang sama pentingnya dalam

melengkapi tujuan organisasi publik. Hal ini penting sebagai usaha agar karyawan atau

pegawai mempunyai arah dan pegangan yang jelas. Di luar itu, strategi ini terutama

berkaitan dengan usaha-usaha memperbaiki pengarahan (steering).

Kedua, strategi konsekuensi (the consequences strategy). Strategi ini menentukan

insentif-insentif yang dibangun ke dalam sistem publik. Birokrasi memberikan para

pegawainya insentif yang kuat untuk mengikuti peraturan-peraturan, dan sekaligus,

mematuhinya. Pada model birokrasi lama, para pegawai atau karyawan memperoleh gaji

yang sama terlepas dari yang mereka hasilkan. Namun, dalam rangka reinventing

government, seperti diungkapkan oleh Osborne dan Plastrik, mengubah insentif adalah

penting dengan cara menciptakan konsekuensi-konsekuensi bagi kinerja. Jika perlu,

organisasi-organisasi publik perlu ditempatkan dalam dunia usaha (market place), dan

membuat organisasi tergantung pada konsumennya untuk memperoleh penghasilan.

Namun, jika hal ini tidak layak untuk dilakukan, maka perlu dibuat kontrak atau

perjanjian guna menciptakan persaingan antara organisasi-organisasi publik dan swasta

(atau persaingan antarorganisasi publik). Hal ini karena pasar dan persaingan menciptakan

insentif-insentif yang jauh lebih kuat sehingga organisasi publik terdorong untuk

memberikan perbaikan-perbaikan kinerja yang lebih besar. Insentif dan persaingan ini

dapat mempunyai bentuk yang beragam, seperti tunjangan kesehatan, kenaikan gaji, atau

memberikan penghargaan bagi organisasi-organisasi publik yang mempunyai kinerja yang

lebih tinggi.

Ketiga, strategi pelanggan (the customers strategy). Strategi ini terutama

memfokuskan pada pertanggungjawaban (accountability). Berbeda dengan birokrasi lama,

dalam birokrasi model baru, tanggung jawab para pelaksana birokrasi publik hendaknya

ditempatkan pada masyarakat, atau dalam konteks ini dianggap sebagai pelanggan.

Dengan demikian, tanggung jawab tidak lagi semata-mata ditempatkan pada pejabat

birokratis di atasnya, tetapi lebih didiversifikan kepada publik yang lebih luas.

Model pertanggungan jawab seperti ini diharapkan dapat meningkatkan tekanan

terhadap organisasiorganisasi publik untuk memperbaiki kinerja ataupun pengelolaan

5

Page 8: Privatisasi di Indonesia

sumber-sumber organisasi. Selanjutnya, dengan memberikan pertanggungan jawab kepada

masyarakat/ konsumen, akan dapat menciptakan informasi, yaitu tentang kepuasan para

konsumen terhadap hasil-hasil dan pelayanan pemerintahan tertentu. Dengan kata lain,

penyerahan pertanggungan jawab kepada para konsumen berarti bahwa organisasi-

organisasi publik harus mempunyai sasaran yang harus dicapai, yaitu meningkatkan

kepuasan konsumen (customers satisfaction).

Keempat, the control strategy. Strategi ini menentukan di mana letak kekuasaan

membuat keputusan itu diberikan. Dalam sistem birokrasi lama, sebagian besar kekuasaan

tetap berada di dekat puncak hierarkhi. Dengan kata lain, wewenang tertinggi untuk

membuat keputusan berada pada puncak hierarkhi. Perkembangan birokrasi modern yang

semakin kompleks telah membuat organisasi menjadi tidak efektif. Hal ini karena proses

pengambilan keputusan harus melalui jenjang hierakhi yang panjang sehingga membuat

proses pengambilan keputusan cenderung lamban, dan jika hal ini dipaksakan, maka jika

dilewati akan membawa dampak terjadinya bureaucracy barierrs17. Pada akhirnya, secara

keseluruhan, sistem kinerja birokrasi dalam menangani masalah dan memberikan

pelayanan kepada masyarakat akan berlangsung lamban karena bawahan tidak diberi ruang

yang cukup untuk mengambil inisiatif dalam memecahkan masalah.

Kelima, the culture strategy. Strategi ini menentukan budaya organisasi publik

yang menyangkut nilai, norma, tingkah laku, dan harapan-harapan para karyawan. Budaya

ini akan dibentuk secara kuat oleh tujuan organisasi, insentif, sistem pertanggungan jawab,

dan struktur kekuasaan organisasi. Dengan kata lain, mengubah tujuan, insentif, sistem

pertanggungan jawab, dan struktur kekuasaan organisasi akan mengubah budaya.

2.3 Teori Swastanisasi

Pada tahun 1989 keluar sebuah deregulasi kebijakan yang dikenal dengan Paket

Kebijakan Juni 1989 yang berisi penataan kembali perusahaan milik negara dengan

menetapkan empat kategori sangat sehat, sehat, kurang sehat dan tidak sehat. Dengan

kategori ini perusahan milik negara yang sangat sehat dan sehat kurang dari separoh

jumlah Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang ada. Akibatnya tuntutan reorganisasi,

swastanisasi dan transparansi keuangan publik, mengalir deras dari masyarakat.

Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang dianggap kurang sehat dan tidak sehat

akan dilakukan privatisasi. Pivatisasi perusahaan diartikan sebagai tindakan untuk

meningkatkan efisiensi dan produktivitas perusahaan, melalui perubahan status hukum,

6

Page 9: Privatisasi di Indonesia

organisasi dan pemilikan saham. Privatisasi perusahaan dapat berbentuk kerjasama operasi

atau kontrak manajemen dengan pihak ketiga, konsolidasi, merger, pemecahan badan

usaha, penjaualan saham serta pembentukan perusahaan patungan (join Venture).

Privatisasi pada dasarnya membangun keterhubungan yang kuat antara domain

sektor publik dengan sumberdaya yang dimiliki pihak – pihak swasta. Bahwa manfaat

utama dari privatisasi adalah untuk peningkatan efisiensi. Pengalaman menunjukkan

bahwa banyak barang kebutuhan dasar dan pelayanan publik yang mana masyarakat mesti

membayar tinggi untuk mendapatkannya – termasuk dalam hal ini pelayanan air minum,

sebetulnya sistemnya bisa lebih efisien dengan melibatkan sektor swasta (Roth 1987 dalam

Rondinelli 2002). Privatisasi ini juga dipandang bermanfaat dalam mendorong ‘mobilisasi

investasi swasta’ (Cointreau- Levine, 1994 dalam Lee 1997).

Menurut Riant Nugroho (Riant Nugroho, dalam Soenarjo 2005: 14), ada tiga

langkah yang bisa diambil oleh birokrasi untuk melakukan inovasi dalam menyikapi

perubahan zaman, dalam menghadapi Indonesia hari ini dan masa depan.

Pertama, birokrasi harus mamu melakukan redefinisi tentang visi, misi, peran,

implementas dan evaluasi. Kedua, birokrasi harus menjalani restrukturisasi sesuai dengan

redefinisi dan reorientasi tersebut. Restrukturisasi pada hakekatnya akan membentuk

struktur yang lebih ramping mulai dari Pusat sampai Kabupaten/Kota. Ketiga, aliansi yaitu

bekerjasama dengan swasta atau pihak lain dalam memberikan pelayanan kepada

masyarakat. Dalam melakukan tugas dan fungsinya melayani masyarakat, birokrasi justru

bisa semakin adaptif-proaktif-efisien jika bermitra dengan masyarakat yang dilayaninya.

Kebutuhan kerjasama dengan swasta atau pihak lain dalam pelayanan publik

disebabkan antara lain terbatasnya danan yang dimiliki Pemerintah, disamping itu juga

untuk menciptakan iklim kompetensi agar kualitas pelayanan publik dapat dijamin. Ketika

negara memonopoli pelayanan publik, biasanya mempunyai kecenderungan dalam

melakukan pelayanan publik juga cenderung rendah. Hal ini dinilai sangat wajar karena

tanpa persaingan maka pemegang monopoli pelayanan publik menjadi hilang.

Swastanisasi yang dimaksud di sini adalah adanya penyerahan pemerintahan dalam

penyelenggaraan pelayanan publik dan pembangunan kepada swasta, profit atau

nonprofit. Sedangkan mekanisme penyerahan penyelenggaraan pelayanan publik tersebut

menurut Gerald Caiden (Joko Widodo, dalam Soenarjo 2005:18) antara lain melalui:

7

Page 10: Privatisasi di Indonesia

1. Kerja Kontrak (contract work), dimana pemerintah memilih satu kontraktor swasta

baik yang mencari laba atau yang nirlaba untuk menyediakan layanan dan pemerintah

membayar kepada kontraktor.

2. Hak (franchises) yang diberikan pemerintah kepada organisasi swasta untuk

memproduksi barang atau jasa dan menarik tarif barang layanan atau jasa langsung

kepada pelanggan.

3. Sistem kupon (voucher system), dimana pemerintah mengeluarkan kupon kepada

yang memenuhi syarat, yang kemudian menggunakannya untuk memperoleh barang

atau jasa yang dibutuhkan pasar.

4. Subsidi (procedure subsidy) diberikan langsung kepada produsen untuk

memperoduksi barang atau menyediakan layanannpada harga yang lebih murah

kepada konsumen.

5. Pasar (market) dimana wiraswastawan melihat kebutuhan masyarakat atas barang dan

jasa, lalu memperoduksi dengan harga pasar.

6. Sumbangan Sukarela (voluntary) dimana organisasi mengenali kebutuhan masyarakat

lalu memenuhinya dengan menarik sumbangan secara sukarela atau memperkerjakan

relawan.

7. Melayani sendiri (self-service), dimana keluarga atau individu memenuhi sendiri

kebutuhan-kebutuhannya.

8

Page 11: Privatisasi di Indonesia

BAB III

PEMBAHASAN

3.1 Kondisi Pelayanan Publik di Indonesia

Setiap orang selalu memerlukan beragam barang dan jasa baik yang disediakan

oleh pemerintah maupun swasta. Produk barang atau jasa yang disediakan pemerintah

(public goods) diantaranya adalah pelayanan atas keamanan, pelayanan identitas diri

seperti KTP, SIM maupun akta tanah, pelayanan listrik, pelayanan pendidikan maupun

kesehatan. Meskipun untuk yang dua hal terakhir (pelayanan pendidikan dan kesehatan),

pihak swasta juga menyediakannya. Masyarakat berhak memilihnya, sebab penyediaan

layanan pendidikan maupun kesehatan tergolong pada substitute public goods (penyediaan

pelayanan atas barang dan/atau jasa yang dilakukan lembaga pemerintah dan juga lembaga

swasta).

Salah satu ukuran keberhasilan pelayanan publik adalah dilihat dari kepuasan

masyarakat. Sekilas tampak subjektif namun yang kita lihat adalah realitas betapa

masyarakat sangat berharap adanya pelaksanaan yang maksimal bagi segala kebutuhan

mereka. Tidak jarang kita dengar keluhan masyarakat terhadap pelayanan yang

diterimanya dan akhirnya menimbulkan kesan bahwa pelayanan publik cenderung

dijalankan dengan setengah hati.

Masyarakat berhak mendapatkan pelayanan yang maksimal, sebab government

terbentuk oleh masyarakat dan untuk masyarakat. Masyarakatlah yang menjadi sponsor

utama pemerintahan. Sehingga tidak ada alasan lagi untuk tidak memberikan pelayanan

maksimal bagi masyarakat.

Secara umum, kenapa masyarakat masih belum puas terhadap pelayanan publik?

Menurut Peni Suparto pertama, proses pelayanan yang lambat. Masyarakat menginginkan

penyelesaian masalahnya dengan secepat mungkin. Urusan yang semestinya bisa tuntas

satu jam tidaklah pantas diundur sampai berhari-hari. Kalau bisa diselesaikan dalam waktu

satu hari kenapa harus menunggu satu bulan? Barangkali inilah yang sering dikeluhkan

oleh masyarakat dan oleh karena itu kita semua harus evaluasi dan mulai memikirkan

9

Page 12: Privatisasi di Indonesia

bagaimana memikirkan bagaimana memangkas waktu pelayanan masyarakat agar lebih

singkat dan tidak memakan waktu yang panjang.

Kedua, prosedur pelayanan yang tidak praktis. Bukan lagi rahasia umum, bahwa di

Indonesia ini secara umum masih banyak prosedur pelayanan publik yang terbelit-belit dan

sangat tidak praktis. Hal ini kadang-kadang dilematis. Pada satu sisi, pemerintah dituntut

untuk memudahkan masyarakat dengan proses pelayanan yang praktis dan mudah. Tetapi

pada sisi yang lain sistem birokrasi yang berlaku banyak yang tidak praktis dan terbelit-

belit.

Ketiga, komunikasi pelayanan yang tidak harmonis. Komunikasi dan interaksi

antara birokrasi (pemerintahan) dengan masyarakat cenderung kaku, pasif, dan tidak akrab.

Kesan yang timbul adalah, masyarakat dilayani hanya karena desakan tugas dan kewajiban

semata, pada saat yang sama masyarakat juga seakan-akan datang berurusan dengan pihak

yang asing. Seharusnya antara pelayan dengan pihak yang dilayani ada proses komunikasi

dan interaksi yang harmonis. Tampaknya budaya feodalisme dalam pikiran yang

merupakan bagian dari kelemahan masa lalu masih lekat dalam keperibadian birokrat kita.

Keempat, masih adanya unsur KKN dalam proses pelayanan publik. Masyarakat

semakin sadar bahwa praktek KKN akan merusak mutu pelayanan bagi masyarakat.

Karena KKN memungkinkan lahirnya praktek pelayanan yang tidak adil, seperti perlakuan

khusus bagi kalangan tertentu dan uang dijadikan sebagai alat untuk menempuh jalan

pintas. Memangkas jalur pelayanan dengan praktek seperti suap jelas tidak dibenarkan.

Kepentingan masyarakat yang kurang mampu semakin tersingkir jikalau praktek KKN

masih hidup dalam pelayanan publik.

3.2 Inovasi Pelayanan Publik dan Privatisasi di Indonesia

Dari penjelasan di atas, dapat diketahui bahwa pelayanan publik yang diberikan

oleh birokrat masih jauh dari kata puas. Oleh karena itu perlu adanya suatu inovasi di

bidang pelayanan publik yang diharapkan mampu mengatasi masalah tersebut. Dari

penjelasan-penjelasan yang sudah dijabarkan banyak sekali inovasi yang diberikan dalam

pelayanan publik. Namun, hal ini tidak berarti bahwa kita harus menerima begitu saja

konsep reinventing government yang ditawarkan Osborne dan Gaebler ini dalam konteks

Indonesia. Hal ini karena penerapan suatu konsep tidak bisa dilepaskan dari konteks sosial,

ekonomi, politik, dan budaya yang melingkupinya.

10

Page 13: Privatisasi di Indonesia

Menurut David Osborne dan Ted Gaebler, mewirausahakan birokrasi berarti

mentransformasikan semangat wirausaha ke dalam sektor publik. Di era otonomi daerah,

dimana pemerintah di daerah dituntut untuk bisa mandiri, usaha tersebut dapat diterapkan

agar produktivitas dan efisiensi kerja Pemda bisa dioptimalkan. Oleh karena itu,

pemahaman atas cara-cara mewirausahakan birokrasi Pemerintahan Daerah harus dikuasai

oleh aparat birokrasi, terlebih-lebih oleh Bupati/ Walikota termasuk pimpinan pada tiap-

tiap instansi atau dinas.

Berkaitan dengan hal tersebut, Osborne dan Gaebler mengemukakan sepuluh cara

untuk membentuk birokrasi-wirausaha, yaitu:

1. Pemerintah sebagai pembuat kebijakan harus lebih menjadi pengarah daripada

menjadi pelaksana. Misalnya adalah bekerjasama dengan pihak swasta dalam

melakukan pemungutan pajak, akan tetapi penentuan Wajib Pajak dan besarnya

pungutan pajak tetap dilakukan oleh pemerintah.

2. Pemerintah sebagai milik masyarakat harus lebih memberdayakan masyarakat

ketimbang terus-menerus melayani masyarakat. Salah satu upayanya adalah dengan

menghimbau masyarakat agar mampu mengurus keamanan lingkungannya sendiri.

3. Pemerintah sebagai institusi yang berada di alam kompetisi haruslah menyuntikkan

semangat persaingan ke dalam tubuh aparat dan organisasi pelayanannya. Misalnya

dengan memberikan peluang bagi swasta dalam menangani urusan-urusan yang

dimonopoli pemerintah, seperti air minum, listrik, dan telepon.

4. Unit-unit pemerintahan sebagai lembaga yang bertugas mewujudkan misi harus lebih

diberi kebebasan dalam berkreasi dan berinovasi. Untuk itu, petunjuk pelaksanaan

yang kaku dan mengikat harus dihindarkan, baik mengenai keuangan, kepegawaian,

maupun pelayanan kepada masyarakat.

5. Pemerintah harus lebih mementingkan hasil yang akan dicapai daripada terlalu

memfokuskan pada faktor masukan (input). Misalnya, pemberian bantuan untuk suatu

sekolah haruslah lebih didasarkan kepada kinerja dan produktivitasnya daripada

jumlah muridnya.

6. Pemerintah sebagai pelayan masyarakat harus lebih mementingkan terpenuhinya

kepuasan pelanggan, bukannya memenuhi apa yang menjadi kemauan birokrasi itu

sendiri. Untuk itu, cara-cara baru dalam memikat pelanggan harus dilakukan.

11

Page 14: Privatisasi di Indonesia

7. Pemerintah sebagai suatu badan usaha harus pandai mencari uang dan tidak hanya

bisa membelanjakannya. Oleh karena itu, cara-cara mencari sumber penghasilan yang

baru dan menggalakkan investasi harus selalu menjadi pemikiran para manajer

pemerintahan.

8. Pemerintah sebagai lembaga yang memiliki daya antisipatif harus mampu mencegah

daripada hanya menanggulangi masalah. Misalnya soal kebakaran, dengan memakai

prinsip ini, bukan mobil pemadam kebakaran yang dibeli terus tetapi supervisi/

pengawasan terhadap bangunan yang harus ditingkatkan.

9. Pemerintah harus menggeser pola kerja hierarki yang dianut ke model kerja partisipasi

dan kerja sama. Misalnya, rantai organisasi yang panjang dan ‘gemuk’ harus

dikurangi, struktur organisasi yang tebal harus ditipiskan, dan gugus kendali mutu

harus dikembangkan.

10. Pemerintah sebagai pihak yang berorientasi pada pasar harus berusaha mengatrol

perubahan lewat penguasaannya terhadap mekanisme pasar. Misalnya, dalam

menangani sampah yang berasal dari botol minuman, daripada membiayai usaha daur

ulang yang mahal, lebih baik pemerintah mensyaratkan pengusaha minuman untuk

membayar setiap pembeli yang mengembalikan botolnya.

Melalui 10 prinsip tersebut, Osborne dan Gaebler yakin bahwa suatu negara akan

mampu membangkitkan kembali semangat dan energi baru bagi birokrasinya. Secara

singkat, inti ajaran yang tertuang dalam 10 prinsip tersebut adalah bagaimana

menginjeksikan jiwa kewirausahaan (entrepreneurship) ke tubuh birokrasi.

Meskipun secara konsepsional para pakar diatas telah memberikan garis-garis besar

mengenai program reformasi sektor publik, namun perlu dipahami juga bahwa aparatur

pemerintah dimasing-masing negara memiliki nuansa-nuansa yang secara kontekstual

berbeda. Oleh karena itu, implementasi prinsip-prinsip kewirausahaan birokrasi perlu kita

sikapi secara bijaksana, dalam pengertian bahwa tujuan hakiki program reformasi

sesungguhnya adalah meningkatkan kualitas pelayanan kepada masyarakat, bukan untuk

mewirausahakan birokrasi semata-mata.

Hal ini sesuai pula dengan kekhawatiran Osborne dan Plastrik dalam bukunya

Memangkas Birokrasi (2004) yang mengemukakan adanya mitos dalam program reformasi

sektor publik. Maksudnya, jangan sampai terjadi bahwa program reformasi yang sedang

diselenggarakan ternyata tidak atau kurang membawa hasil sebagaimana yang diinginkan.

12

Page 15: Privatisasi di Indonesia

Untuk itu, maka improvisasi sumber daya manusia sektor publik perlu diupayakan

secara terus menerus dan sistematis, sehingga akan mampu melaksanakan program

reformasi secara tepat guna dan berhasil guna. Terlebih lagi jika diingat bahwa kondisi

lingkungan strategis organisasi pemerintah telah demikian berkembang, maka eksistensi

dari aparatur yang bersih dan berwibawa, handal, bermental baik, serta efektif dan efisien,

jelas merupakan keniscayaan.

Salah satu inovasi yang masih diterapkan sampai saat ini yaitu terkait dengan

masalah privatisasi atau swasatanisasi. Di Indonesia swastanisasi dilakukan oleh Badan

Usaha Milik Negara atau Badan Usaha Milik Daerah yang kurang sehat atau tidak sehat.

Kemudian badan usaha tersebut diberikan kepada pihak swasta dengan harapan agar

mendapat modal dari pihak swasta dan mampu bersaiang dengan badan usaha lain.

Privatisasi di bidang pendidikan dirasa cukup baik bagi beberapa kalangan yang

mempunyai ekonomi berkecukupan, karena dengan privatisasi maka sekolah-sekolah akan

bersaing satu sama lain untuk mendapatkan murid dan memberikan yang terbaik untuk

murid-muridnya sehingga akan menghasilkan siswa yang kompeten dan tidak kalah

dengan murid-murid yang berasal dari sekolah-sekolah negeri.

Ada beberapa alasan yang mendasari terjadinya privatisasi di bidang pendidikan.

Pertama, privatisasi didorong oleh motivasi untuk meningkatkan kualitas pendidikan.

Pemerintah sering dianggap kurang mampu mengelola pendidikan. Akibatnya, lembaga

pendidikan menjadi tidak efisien, tidak kompetitif, dan tidak berkembang. Kedua,

privatisasi pendidikan merupakan konsekuensi logis dari adanya prinsip teknologisasi,

kuantifikasi, dan efisiensi dalam kehidupan manusia. Dalam hal ini, pendidikan dalam

masyarakat sudah dipandang sebagai private goods, sehingga pemerintah tidak harus

menyediakan pendidikan secara massal.

Ketiga, pemerintah merasa tidak memiliki dana yang cukup untuk membiayai

pendidikan. Dalam hal ini privatisasi dianggap dapat meringankan beban pemerintah

dalam membiayai pendidikan, sehingga anggaran yang sebelumnya dialokasikan untuk

pendidikan bisa dialihkan pada sektor lainnya yang dirasa lebih mendesak. Namun,

privatisasi pendidikan yang kemudian mengarah pada komersialisasi pendidikan kini

seakan menjadi sesuatu yang sah-sah saja. Ketidaktegasan pemerintah dalam mengelola

regulasi pendidikan menyebabkan PTN-PTN leluasa untuk mengeruk keuntungan dari

13

Page 16: Privatisasi di Indonesia

mahasiswa baru. Imbasnya, rakyat miskin berada dalam posisi tawar yang lemah untuk

mengenyam pendidikan.

Privatisasi di bidang kesehatan juga dirasa kurang baik. Secara logika, kalau rumah

sakit diprivatisasi maka keuntungan menjadi tujuan utama agar rumah sakit tetap dapat

beroperasi. Akibatnya rumah sakit akan mengejar target untuk menutup investasi dengan

mengambil keuntungan dari pasien. Dorongan seperti itu akan menyebabkan dokter

akhirnya cenderung untuk melakukan tindakan tidak rasional dengan mengesampingkan

aspek etika. Dampak privatisasi akan lebih dirasakan oleh masyarakat golongan menengah

ketimbang masyarakat miskin. Karena untuk masyarakat miskin, sudah dicakup/dicover

oleh pemerintah melalui asuransi kesehatan nasional. Jadi yang terkena dampaknya apabila

rumah sakit pemerintah diprivatisasi adalah rakyat menengah, karena mereka tidak ada

lagi pilihan. Saya berkeinginan masyarakat itu mendapat pelayanan kesehatan sewajarnya

seperti yang dia harus bayar, mendapat obat juga seperti yang ia harus bayar, jangan

sampai masyarakat membayar itu diluar yang seharusnya.

Namun tidak semua privatisasi berjalan sesuai kenyataan. Dalam Undang-Undang

Dasar 1945 pasal 33 ayat 1, 2, dan 3 disebutkan bahwa:

(1) Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan.

(2) Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup

orang banyak dikuasai oleh negara.

(3) Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara

dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.

Dalam kenyataannya air, yang merupakan sumber utama kehidupan juga ada yang

di privatisasikan. Contohnya Mata Air Sumber Waras di Gunung Arjuno diprivatisasikan

pada Perusahaan Jepang dan di olah menjadi infuse oleh PT Otsuka Indonesia (PT. OI)

didirikan secara resmi pada tahun 1975 sebagai perusahaan patungan di bidang industri

farmasi dengan Otsuka Pharmaceutical Co., Ltd., Jepang. Selain itu, mata air tersebut juga

diolah oleh Jepang menjadi minuman pengganti ion tubuh, yaitu Pocari Sweat.

Selain itu, mata air gunung Pandaan juga telah diprivatisasi ke Produsen air mineral

terbesar di Indonesia, yaitu Aqua. Jika semua mata air di privatisasi, maka kebutuhan akan

kebutuhan air akan semakin berkurang, akibatnya rakyat harus melakukan pengeluaran

yang lebih besar untuk mendapatkan air. Tingginya pendapatan yang dapat diraih dalam

bisnis air ini akhirnya juga ‘menggoda’ perusahaan swasta internasional untuk mencari

14

Page 17: Privatisasi di Indonesia

keuntungan di Indonesia. Dan peluang untuk makin dikomersilasasi dan di privatisasinya

sektor air di Indonesia makin terbuka sejak disahkannya UU No.7 tahun 2004, tentang

Sumber Daya Air oleh DPR RI.

Dalam masalah privatisasi seperti ini, Pemerintah harus cermat dan pandai

memilih-milah apa saja yang bisa di privatisasi dan mana yang tidak boleh diprivatisasi

sehingga privatisasi tersebut nantinya tidak akan merugikan masyarakat. Pemerintah juga

harus mengikutsertakan masyarakat dalam proses pengambilan keputusan sehingga

kebijakan-kebijakan bersifat transparan.

15

Page 18: Privatisasi di Indonesia

BAB IV

PENUTUP

4.1 Kesimpulan

Era globalisasi yang didukung oleh teknologi modern terutama di bidang transportasi,

telekomunikasi, membuat mobilitas, dan aktivitas masyarakat semakin meningkat dengan

cepat, menuntut pelayanan yang semakin cepat dan tepat. Salah satu ukuran keberhasilan

pelayanan publik adalah dilihat dari kepuasan masyarakat. Secara umum, masyarakat masih

belum puas terhadap pelayanan publik karena, pertama, proses pelayanan yang lambat.

Kedua, prosedur pelayanan yang tidak praktis. Ketiga, komunikasi pelayanan yang tidak

harmonis. Keempat, masih adanya unsur KKN dalam proses pelayanan publik.

Dari penjelasan di atas, dapat diketahui bahwa pelayanan publik yang diberikan oleh

birokrat masih jauh dari kata puas. Oleh karena itu perlu adanya suatu inovasi di bidang

pelayanan publik yang diharapkan mampu mengatasi masalah tersebut. Dari penjelasan-

penjelasan yang sudah dijabarkan banyak sekali inovasi yang diberikan dalam pelayanan

publik. Namun, hal ini tidak berarti bahwa kita harus menerima begitu saja konsep

reinventing government yang ditawarkan Osborne dan Gaebler ini dalam konteks Indonesia.

Hal ini karena penerapan suatu konsep tidak bisa dilepaskan dari konteks sosial, ekonomi,

politik, dan budaya yang melingkupinya.

Salah satu inovasi yang masih diterapkan sampai saat ini yaitu terkait dengan masalah

privatisasi atau swasatanisasi. Di Indonesia swastanisasi dilakukan oleh Badan Usaha Milik

Negara atau Badan Usaha Milik Daerah yang kurang sehat atau tidak sehat. Kemudian badan

usaha tersebut diberikan kepada pihak swasta dengan harapan agar mendapat modal dari

pihak swasta dan mampu bersaiang dengan badan usaha lain. Namun tidak semua privatisasi

berjalan dengan baik dan membawa dampak positif. Banyak privatisasi yang dinilai

merugikan masyarakat karena dirasa biayanya terlalu membebani masyarakat.

4.2 Saran

1. Pemerintah harus melakukan perbaikan dalam pelayanan publik agar kualitas

pelayanan menjadi lebih baik.

16

Page 19: Privatisasi di Indonesia

2. Pemerintah harus lebih responsive, akuntabel, dan transparan dalam

menyelenggarakan pelayanan publik.

3. Pemerintah melakukan inovasi-inovasi untuk memperbaiki keadaan birokrasi di

Indonesia.

4. Pemerintah harus cermat dalam melakukan privatisasi. Tidak semua badan usaha bisa

diprivatisasi sehingga pemerintah harus melakukan kajian terlebih dahulu dan

tentunya privatisasi harus bisa meningkatkan kesejahteraan rakyat.

5. Masyarakat bisa berperan dalam mengontrol kinerja birokrasi publik, seperti

pembentukan LSM.

17

Page 20: Privatisasi di Indonesia

DAFTAR PUSTAKA

Keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara No. 63 Tahun 2003 tentang Pedoman

Umum Pelenggaraan Pelayanan Publik.

Keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara No. 25 Tahun 2004 tentang Pedoman

Umum Penyusunan Indeks Kepuasan Masyarakat Unit Pelayanan Instansi

Pemerintah.

Soenarjo. 2005. Swastanisasi: Alternatif Reformasi Birokrasi Pelayanan Publik.

___________: CV Adipura

Soeparto, Peni. 2008. Paradigma dan Implementasi Pelayanan Publik. Yogyakarta:

KANISIUS

Osborne, David dan Peter Plastrik. 2004. Memangkas Birokrasi: Lima Strategi Menuju

Pemerintahan Wirausaha. Jakarta: PPM.

Osborne, David dan Ted Gaebler. 2003. Mewirausahakan Birokrasi (Reinventing

Government): Mentransformasi Semangat Wirausaha ke dalam Sektor Publik. Jakarta:

PPM

18