presentasi kasus tb kel8
DESCRIPTION
TBTRANSCRIPT
PRESENTASI KASUS
Tuberkulosis Paru
Disusun oleh :
Larasjati Tartiko 1410221030Hasyati Dwi Kinasih 1410221013Desi Megafini 1410221055Annisaa Islam 1410221062
Pembimbing :
dr. Indah Rahmawati, Sp.P
SMF ILMU PENYAKIT DALAMRSUD PROF. DR. MARGONO SOEKARDJO
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL ”VETERAN” JAKARTA
PURWOKERTO
2015
LEMBAR PENGESAHAN
Telah dipresentasikan dan disetujui presentasi kasus dengan judul :
Tuberkulosis Paru
Pada tanggal,
Diajukan untuk memenuhi salah satu syarat mengikuti
program profesi dokter di Bagian Ilmu Penyakit Dalam
RSUD Prof. Dr. Margono Soekardjo Purwokerto
Disusun oleh :
Larasjati Tartiko 1410221030Hasyati Dwi Kinasih 1410221013Desi Megafini 1410221055Annisaa Islam 1410221062
Mengetahui, Pembimbing
dr. Indah Rahmawati, Sp.P
BAB I
PENDAHULUAN
Tuberkulosis (TB) adalah penyakit yang disebabkan oleh infeksi
Mycobacterium tuberculosis complex. TB merupakan masalah utama kesehatan
global. Setiap tahun, ada sekitar 9 juta kasus baru tuberkulosis, dan 2 juta orang
meninggal karena penyakit tersebut dan diperkirakan 1/3 penduduk dunia telah
terinfeksi oleh kuman Mycobacterium tuberculosis dan 75% pasien TB adalah
mereka yang masih berusia produktif secara ekonomis (15-50 tahun). Kasus
terbanyak terjadi di Afrika (30%) dan Asia (55%), dengan India dan Cina sendiri
35% dari semua kasus. Ada 22 yang disebut negara beban tinggi (HBCs) yang
mencapai sekitar 80% kasus TB di dunia, dan yang telah diberikan perhatian khusus
dalam penanggulangan TB sejak sekitar tahun 2000.
Indonesia masih menempati urutan ke 3 di dunia untuk jumlah kasus TB
setelah India dan Cina. Setiap tahun terdapat 250.000 kasus baru TB dan sekitar
140.000 kematian akibat TB. Di Indonesia tuberkulosis adalah pembunuh nomor satu
diantara penyakit menular dan merupakan penyebab kematian nomor tiga setelah
penyakit jantung dan penyakit pernapasan akut pada seluruh kalangan usia.
BAB II
LAPORAN KASUS
I. IDENTITAS PENDERITA
Nama : Tn. GA
Usia : 26 tahun
Jenis kelamin : Laki-laki
Status : Belum menikah
Agama : Islam
Pekerjaan : Penjaga warnet
Alamat : Sumpiuh RT/RW 2/1, Kecamatan Sumpiuh
Tanggal masuk : 17 Januari 2015
Tanggal periksa : 20 Januari 2015
No. CM : 925751
II. SUBJEKTIF
1. Keluhan Utama : Sesak nafas
2. Keluhan Tambahan : Batuk dahak, lemas, berat badan menurun, mual
3. Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang ke IGD RSMS dengan keluhan sesak nafas. Keluhan
tersebut pasien rasakan 5 hari sebelum masuk RSMS. Sesak nafas muncul
dirasakan memberat 2 hari SMRS hingga mengganggu aktivitas pasien saat
bekerja. Sesak dirasakan terus menerus dan dirasa memburuk jika pasien
berjalan maupun beraktivitas. Keluhan sesak tanpa disertai keluhan nyeri
dada, nyeri perut, dan pasien tidak memiliki riwayat penyakit jantung
sebelumnya. Keluhan dirasa membaik jika pasien beristirahat dan
menggunakan oksigen.
Pasien juga mengeluhkan batuk berdahak yang tidak sembuh-sembuh.
Batuk berdahak berwarna putih kental, sudah sejak satu bulan terakhir.
Sebelumnya pasien pernah mengeluhkan batuk berdahak yang tidak
sembuh-sembuh pada tahun 2007, 2010, 2011, dan 2014. Selain itu pasien
juga mengaku lemas sejak satu minggu terakhir. Pasien juga mengeluhkan
penurunan berat badan sebanyak 10 kilogram dalam waktu dua bulan serta
rasa mual yang muncul setelah meminum obat dari puskesmas.
Pasien mengaku pernah menderita TBC dan diperiksa dahaknya
sebanyak 3 kali dan positif TBC dengan gejala serupa seperti keluhan
pasien saat ini pada tahun 2007, berobat di puskesmas II Sumpiuh dan
mendapat pengobatan TB kategori I selama 6 bulan dan pengobatan tuntas.
Dua tahun kemudian yakni pada tahun 2010, pasien mengalami gejala
serupa dan kembali berobat di RS Pius dan dari pemeriksaan dahak serta
rontgen dikatakan kambuh lalu mendapat pengobatan TB kategori II
dengan obat suntik dan 3 jenis obat lainnya, namun hanya berobat selama 1
bulan dan tidak melanjutkan pengobatan karena merasa tidak cocok. Tahun
2011 pasien kembali berobat karena TBC kembali dan ada keluhan batuk
darah. Pasien berobat ke Puskesmas II Sumpiuh dan diperiksa dahak
ternyata positif sehingga pasien kembali mendapat pengobatan TB kategori
II selama 8 bulan, tetapi saat 2 bulan pertama pasien mendapat obat suntik
pasien telat berobat selama satu minggu dan kembali tidak melanjutkan
pengobatan. Selanjutnya pada bulan April tahun 2014 pasien berobat ke
BP4 dan mendapat obat TBC kategori II dan melanjutkan pengobatan ke
Puskesmas II sumpiuh pada bulan Juni 2014 untuk pemeriksaan dahak dan
rontgen, namun pasien telat berobat dan baru datang ke Puskemas pada
Tanggal 12 Agustus 2014 dan mendapat obat TB kategori II selama 8 bulan
dan saat ini sedang pengobatan TB paru bulan ke-enam.
Pasien mengaku memiliki kebiasaan merokok, tidak memiliki riwayat
alergi, dan belum pernah dirawat di RSMS dengan keluhan yang sama.
4. Riwayat Penyakit Dahulu
a. Riwayat keluhan serupa : diakui pada tahun 2007, 2010, 2011,
dan 2014
b. Riwayat mondok : disangkal
c. Riwayat jantung : disangkal
d. Riwayat hipertensi : disangkal
e. Riwayat kencing manis : disangkal
f. Riwayat asma : disangkal
g. Riwayat alergi : disangkal
h. Riwayat obat-obatan : diakui minum OAT kategori II 4 jenis
obat minum dan satu jenis obat suntik
yakni streptomisin dan disuntik 60 kali,
saat ini sudah pengobatan bulan ke-enam
5. Riwayat Penyakit Keluarga
a. Riwayat keluhan serupa : diakui (ibu kandung)
b. Riwayat mondok : disangkal
c. Riwayat jantung : disangkal
d. Riwayat hipertensi : disangkal
e. Riwayat kencing manis : disangkal
f. Riwayat asma : disangkal
g. Riwayat alergi : disangkal
6. Riwayat Sosial Ekonomi
a. Community
Pasien tinggal di pedesaan jauh dari pusat kota. Rumahnya berdekatan
dengan rumah tetangga sekitar. Pasien memiliki 1 orang adik dan
tinggal dirumah seorang diri karena kedua orangtua pasien sudah
meninggal dan adik pasien pisah rumah. Ibu pasien meninggal karena
TBC. Hubungan pasien dengan tetangga di sekitar rumahnya baik.
b. Home
Pasien tinggal seorang diri dirumahnya. Pasien belum menikah. Rumah
pasien tidak cukup luas. Hanya terdapat 2 buah jendela dan beberapa
ventilasi yang ukurannya sangat kecil dan jarang dibuka lantai
rumahnya terbuat dari semen. Bangunan dirumah pasien terdiri dari 2
kamar tidur dan 1 kamar mandi. Sumber air berasal dari sumur. Pasien
mengatakan rumahnya jarang dibersihkan.
c. Occupational
Pasien adalah seorang penjaga warung internet dan sering bekerja
malam hari.
d. Personal habit
Pasien mengaku jarang melakukan olah raga dan beraktivitas diluar
rumah pada siang hari. Pasien lebih sering beraktivitas di dalam
ruangan dan pada saat malam hari. Pasien mengaku perokok dan sudah
merokok selama 14 tahun sebanyak 2 bungkus sehari dan sudah
berhenti merokok sejak 6 bulan yang lalu.
III. OBJEKTIF
1. Keadaan Umum : tampak sakit sedang
2. Kesadaran : compos mentis, GCS = 15 E4M6V5
3. Vital sign
a. Tekanan Darah : 110/60mmHg
b. Nadi : 80x/menit
c. RR : 24x/menit
d. Suhu : 36oC
4. Status Generalis
a. Kepala
1) Bentuk : normochepal, simetris
2) Rambut : warna hitam, tidak mudah
dicabut, distribusi merata, tidak rontok
b. Mata
1) Palpebra : edema (-/-) ptosis (-/-)
2) Konjungtiva : anemis (-/-)
3) Sclera : ikterik (-/-)
4) Pupil : reflek cahaya (+/+), isokor
5) Eksofthalmus : (-/-)
6) Lapang pandang : tidak dilakukan pemeriksaan
7) Lensa : keruh (-/-)
8) Gerak mata : normal
9) Tekanan bola mata : tidak dilakukan pemeriksaan
10) Nistagmus : (-/-)
c. Telinga
1) otore (-/-)
2) deformitas (-/-)
3) nyeri tekan (-/-)
d. Hidung
1) nafas cuping hidung (-/-)
2) deformitas (-/-)
3) discharge (-/-)
e. Mulut
1) bibir sianosis (-)
2) bibir kering (-)
3) lidah kotor (-)
f. Leher
1) Trakhea : deviasi trakhea (-)
2) Kelenjar lymphoid : tidak membesar, nyeri (-)
3) Kelenjar thyroid : tidak membesar
4) JVP : Tidak meningkat (5+2 cmH2O)
g. Dada
1) Paru
a) Inspeksi : bentuk dada simetris, ketinggalan gerak (-),
retraksi (-), jejas (-)
b) Palpasi : vocal fremitus kanan=kiri
ketinggalan gerak (-)
c) Perkusi : sonor pada kedua lapang paru
d) Auskultasi : Suara dasar vesikuler(+/+)
Wheezing(-), ronkhi basah halus(+) di basal kedua
lapang paru, ronkhi basah kasar (-)
2) Jantung
a) Inspeksi : ictus cordis nampak pada SIC V LMC sinistra
b) Palpasi : ictus cordis teraba di SIC V LMC sinistra,
kuat angkat
c) Perkusi : Batas jantung kanan atas : SIC II LPSD
Batas jantung kiri atas : SIC II LPSS
Batas jantung kanan bawah : SIC IV LPSD
Batas jantung kiri bawah : SIC V LMCS
d) Auskultasi : S1>S2, reguler, murmur (-), gallop (-)
h. Abdomen
1) Inspeksi : datar
2) Auskultasi : bising usus (+) normal
3) Perkusi : timpani, pekak sisi (-), pekak beralih (-)
4) Palpasi : supel, hepar tidak teraba besar, dan lien tidak teraba
besar, nyeri tekan (-)
i. Ekstremitas
Tabel 1. Pemeriksaan ekstremitasPemeriksaan Ekstremitas
superior
Ekstremitas
inferior
Dextra Sinistra Dextra Sinistra
Edema - - - -
Sianosis - - - -
Ikterik - - - -
Akral dingin - - - -
Reflek fisiologis
Bicep/tricep
Patela
+
+
+
+
+
+
+
+
Reflek patologis - - - -
Sensoris D=S D=S D=S D=S
IV. Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan darah lengkap
(dilakukan di RSMS Purwokerto) 17 Januari 2015
Darah lengkap
Hemoglobin : 15,2 g/dl
Leukosit : 6030 uL
Hematokrit : 42%
Eritrosit : 5,3 x 10^6/uL
Trombosit : 267.000/uL
MCV : 79,1 fL
MCH : 28,6 pg
MCHC : 36,1 %
RDW : 15,1 %
MPV : 8,7
Hitung Jenis
Basofil : 1,0 %
Eosinofil : 6,1 %
Batang : 0,3 %
Segmen : 67,9 %
Limfosit : 13,8 %
Monosit : 10,9 %
Kimia Klinik
SGOT : 19
SGPT : 6
Ureum : 19,1
Kreatinin : 0,55
GDS : 80
Natrium : 137
Kalium : 4,6
Klorida : 98
Mikrobiologi
Pewarnaan ZN 1X
BTA I : Negatif
Epitel : Positif
Leukosit : Positif
Pewarnaan ZN 2X
BTA II : Scanty (1-9 BTA)
Epitel : Positif
Leukosit : Positif
Rontgen Thorax
Kesan: - Cor tidak membesar
- Gambaran TB paru
- Penebalan pleura pada apeks hemithoraks kanan kiri
V. PROGNOSIS
Ad vitam : dubia ad bonam
Ad fungsionam : dubia ad malam
Ad sanationam : dubia ad bonam
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
III. 1. DEFINISI
Tuberkulosis adalah penyakit yang disebabkan oleh infeksi Mycobacterium
tuberculosis complex.
III. 2. FAKTOR RESIKO
Umumnya, orang yang beresiko tinggi untuk mengembangkan penyakit TB
terbagi dalam dua kategori:
I. 3. 1. Orang yang baru terinfeksi bakteri TB
Orang yang baru terinfeksi Bakteri TB Ini termasuk:
Kontak dekat seseorang dengan penyakit TB menular, orang yang telah
berimigrasi dari wilayah di dunia dengan tingkat insiden TB yang tinggi, anak-anak
kurang dari 5 tahun yang memiliki tes TB positif, kelompok dengan tingginya tingkat
penularan TB, seperti orang tunawisma, pengguna narkoba suntikan, dan orang
dengan infeksi HIV, orang yang bekerja atau tinggal dengan orang-orang yang
berisiko tinggi TB dalam sarana atau lembaga seperti rumah sakit, tempat
penampungan tunawisma, lembaga pemasyarakatan, panti jompo, dan rumah tinggal
dengan mereka yang terkena HIV.
I. 3. 2. Orang dengan kondisi medis yang sistem kekebalan tubuhnya lemah.
Orang dengan kondisi tubuh yang sistem sekebalan tubuh nya melemah
seperti bayi dan anak-anak seringkali memiliki sistem kekebalan tubuh lemah. Orang
lain dapat memiliki sistem kekebalan tubuh yang melemah juga, terutama orang-
orang dengan kondisi seperti berikut ini: Infeksi HIV (virus yang menyebabkan
AIDS), penyalahgunaan zat silikosis, diabetes mellitus, Penyakit ginjal berat, Berat
badan rendah, transplantasi organ, pengobatan medis seperti kortikosteroid atau
transplantasi organ, perawatan khusus untuk rheumatoid arthritis atau Crohn disease.
III. 4. BIOMOLEKULER
Mycobacterium tuberculosis berbentuk panjang lurus atau sedikit
melengkung, tidak berspora dan tidak berkapsul. Bakteri ini berukuran lebar 0,3 – 0,6
μm dan panjang 1 – 4 μm. Dinding Mycobacterium tuberculosis sangat kompleks,
terdiri dari lapisan lemak cukup tinggi (60%). Penyusun utama dinding
Mycobacterium tuberculosis ialah asam mikolat, lilin kompleks, trehalosa dimikolat
yang disebut cord factor, dan mycobacterial sulfolipids yang berperan dalam
virulensi. Unsur lain yang ada pada dinging sel bakteri tersebut adalah polisakarida
seperti arabinogalaktan dan arabinomanan. Struktur dinding yang kompleks tersebut
menyebabkan bakteri Mycobacterium tuberculosis bersifat tahan asam, yaitu apabila
diwarnai akan tetap tahan terhadap upaya penghilangan zat warna tersebut dengan
larutan asam – alkohol.
Komponen antigen ditemukan di dinding sel dan sitoplasma yaitu komponen
lipid, polisakarida dan protein. Karakteristik antigen Mycobacterium tuberculosis
dapat diidentifikasi dengan menggunakan antibodi monoklonal.
Genom M. tuberculosis mengandung guanin dan sitosin. Terdapat 3 penanda
genetik. Kelompok 1 gen yang merupakan sikuen DNA mikobakteria yang selalu ada
sebagai DNA target, kelompok 2 merupakan sikuen DNA yang menyandi antigen
protein, sedangkan kelompok 3 adalah sikuen DNA ulangan seperti elemen sisipan.7
Termasuk dalam kuman Mycobacterium tuberculosae complex adalah
1) Mycobacterium tuberculosae 2) Varian Asian 3) Varian African I 4) Varian
African II
5) Mycobacterium bovis.
III. 5. CARA PENULARAN
Lingkungan hidup yang sangat padat dan pemukiman di wilayah perkotaan
kemungkinan besar telah mempermudah proses penularan dan berperan sekali atas
peningkatan jumlah kasus TB. Proses terjadinya infeksi oleh M. tuberculosis biasanya
terjadi secara inhalasi, sehingga TB paru merupakan manifestasi klinis yang paling
sering dibanding organ lainnya.
TB menular melalui udara dari satu orang ke orang lain. Bakteri TB
dimasukkan ke udara ketika seseorang dengan penyakit TB paru-paru batuk, bersin,
berbicara, atau bernyanyi. Orang terdekat dapat menghirup bakteri ini dan menjadi
terinfeksi5. Penularan ini sebagian besar melalui inhalasi basil yang mengandung
droplet nuclei, khususnya yang di dapat dari pasien TB paru dengan batuk berdarah
atau berdahak yang mengandung basil tahan asam.
Pada TB kulit atau jaringan lunak penularan bisa melalui inokulasi langsung.
Infeksi yang disebabkan oleh Mycobacterium bovis dapat disebabkan oleh susu yang
kurang disterilkan dengan baik atau terkontaminasi.
TB tidak tersebar melalui menjabat tangan, berbagi makanan atau minuman,
menyentuh seprai atau kursi toilet, berbagi sikat gigi dan berciuman.
Gambar 2. Cara penularan TB.
III.6 PATOGENESIS
III.6.1 Tuberkulosis Primer
Kuman tuberkulosis yang masuk melalui saluran napas akan bersarang di
jaringan paru sehingga akan terbentuk suatu sarang pneumoni, yang disebut
sarang primer atau afek primer. Sarang primer ini mungkin timbul di bagian
mana saja dalam paru, berbeda dengan sarang reaktivasi. Dari sarang primer
akan kelihatan peradangan saluran getah bening menuju hilus (limfangitis
lokal). Peradangan tersebut diikuti oleh pembesaran kelenjar getah bening di
hilus (limfadenitis regional). Afek primer bersama-sama dengan limfangitis
regional dikenal sebagai kompleks primer. Kompleks primer ini akan
mengalami salah satu nasib sebagai berikut :
1. Sembuh dengan tidak meninggalkan cacat sama sekali (restitution ad
integrum)
2. Sembuh dengan meninggalkan sedikit bekas (antara lain sarang Ghon, garis
fibrotik, sarang perkapuran di hilus)
3. Menyebar dengan cara :
a) Perkontinuitatum, menyebar ke sekitarnya Salah satu contoh adalah
epituberkulosis, yaitu suatu kejadian penekanan bronkus, biasanya
bronkus lobus medius oleh kelenjar hilus yang membesar sehingga
menimbulkan obstruksi pada saluran napas bersangkutan, dengan
akibat atelektasis. Kuman tuberkulosis akan menjalar sepanjang
bronkus yang tersumbat ini ke lobus yang atelektasis dan
menimbulkan peradangan pada lobus yang atelektasis tersebut, yang
dikenal sebagai epituberkulosis.
b) Penyebaran secara bronkogen, baik di paru bersangkutan maupun ke
paru sebelahnya atau tertelan
c) Penyebaran secara hematogen dan limfogen. Penyebaran ini berkaitan
dengan daya tahan tubuh, jumlah dan virulensi kuman. Sarang yang
ditimbulkan dapat sembuh secara spontan, akan tetetapi bila tidak
terdapat imuniti yang adekuat, penyebaran ini akan menimbulkan
keadaan cukup gawat seperti tuberkulosis milier, meningitis
tuberkulosis, typhobacillosis Landouzy. Penyebaran ini juga dapat
menimbulkan tuberkulosis pada alat tubuh lainnya, misalnya tulang,
ginjal, anak ginjal, genitalia dan sebagainya. Komplikasi dan
penyebaran ini mungkin berakhir dengan :
i. Sembuh dengan meninggalkan sekuele (misalnya
pertumbuhan terbelakang pada anak setelah mendapat
ensefalomeningitis, tuberkuloma ) atau
ii. Meninggal. Semua kejadian diatas adalah perjalanan
tuberkulosis primer.
III.6.2 Tuberkulosis Postprimer
Tuberkulosis postprimer akan muncul bertahun-tahun kemudian setelah
tuberkulosis primer, biasanya terjadi pada usia 15-40 tahun. Tuberkulosis
postprimer mempunyai nama yang bermacam-macam yaitu tuberkulosis bentuk
dewasa, localized tuberculosis, tuberkulosis menahun, dan sebagainya. Bentuk
tuberkulosis inilah yang terutama menjadi masalah kesehatan masyarakat,
karena dapat menjadi sumber penularan. Tuberkulosis postprimer dimulai
dengan sarang dini, yang umumnya terletak di segmen apikal lobus superior
maupun lobus inferior. Sarang dini ini awalnya berbentuk suatu sarang
pneumoni kecil. Sarang pneumoni ini akan mengikuti salah satu jalan sebagai
berikut :
1. Diresopsi kembali dan sembuh tanpa meninggalkan cacat
2. Sarang tersebut akan meluas dan segera terjadi proses penyembuhan dengan
penyebukan jaringan fibrosis. Selanjutnya akan terjadi pengapuran dan akan
sembuh dalam bentuk perkapuran. Sarang tersebut dapat menjadi aktif
kembali dengan membentuk jaringan keju dan menimbulkan kaviti bila
jaringan keju dibatukkan keluar.
3. Sarang pneumoni meluas, membentuk jaringan keju (jaringan kaseosa).
Kaviti akan muncul dengan dibatukkannya jaringan keju keluar. Kaviti
awalnya berdinding tipis, kemudian dindingnya akan menjadi tebal (kaviti
sklerotik). Kaviti tersebut akan menjadi:
a) meluas kembali dan menimbulkan sarang pneumoni baru. Sarang
pneumoni ini akan mengikuti pola perjalanan seperti yang disebutkan
di atas
b) memadat dan membungkus diri (enkapsulasi), dan disebut
tuberkuloma. Tuberkuloma dapat mengapur dan menyembuh, tetapi
mungkin pula aktif kembali, mencair lagi dan menjadi kaviti lagi
c) bersih dan menyembuh yang disebut open healed cavity, atau kaviti
menyembuh dengan membungkus diri dan akhirnya mengecil.
Kemungkinan berakhir sebagai kaviti yang terbungkus dan menciut
sehingga kelihatan seperti bintang (stellate shaped)
Gambar 3. Skema perkembangan sarang tuberkulosis postprimer dan perjalanan
penyembuhannya
III.7 KLASIFIKASI TUBERKULOSIS
III.7.1 Tuberkulosis Paru
Tuberkulosis paru adalah tuberkulosis yang menyerang jaringan paru, tidak
termasuk pleura
A. Berdasar hasil pemeriksaan dahak (BTA)
TB paru dibagi atas:
1) Tuberkulosis paru BTA (+) adalah: Sekurang-kurangnya 2 dari 3
spesimen dahak menunjukkan hasil BTA positif. Hasil pemeriksaan satu
spesimen dahak menunjukkan BTA positif dan kelainan radiologi
menunjukkan gambaran tuberkulosis aktif. Hasil pemeriksaan satu
spesimen dahak menunjukkan BTA positif dan biakan positif
2) Tuberkulosis paru BTA (-) adalah: Hasil pemeriksaan dahak 3 kali
menunjukkan BTA negatif, gambaran klinis dan kelainan radiologi
menunjukkan tuberkulosis aktif. Hasil pemeriksaan dahak 3 kali
menunjukkan BTA negatif dan biakan M. tuberculosis
B. Berdasarkan tipe pasien
Tipe pasien ditentukan berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya.
Ada beberapa tipe pasien yaitu :
1) Kasus baru : Adalah pasien yang belum pernah mendapat pengobatan
dengan OAT atau sudah pernah menelan OAT kurang dari satu bulan.
2) Kasus kambuh (relaps) : Adalah pasien tuberkulosis yang sebelumnya
pernah mendapat pengobatan tuberkulosis dan telah dinyatakan sembuh
atau pengobatan lengkap, kemudian kembali lagi berobat dengan hasil
pemeriksaan dahak BTA positif atau biakan positif. Bila BTA negatif atau
biakan negatif tetapi gambaran radiologi dicurigai lesi aktif / perburukan
dan terdapat gejala klinis maka harus dipikirkan beberapa kemungkinan :
(1) Lesi nontuberkulosis (pneumonia, bronkiektasis, jamur, keganasan dll.
(2) TB paru kambuh yang ditentukan oleh dokter spesialis yang
berkompeten menangani kasus tuberkulosis
3) Kasus defaulted atau drop out Adalah pasien yang telah menjalani
pengobatan > 1 bulan dan tidak mengambil obat 2 bulan berturut-turut
atau lebih sebelum masa pengobatannya selesai.
4) Kasus gagal Adalah pasien BTA positif yang masih tetap positif atau
kembali menjadi positif pada akhir bulan ke-5 (satu bulan sebelum akhir
pengobatan) atau akhir pengobatan
5) Kasus kronik Adalah pasien dengan hasil pemeriksaan BTA masih positif
setelah selesai pengobatan ulang dengan pengobatan kategori 2 dengan
pengawasan yang baik
6) Kasus Bekas TB
6.2 Hasil pemeriksaan BTA negatif (biakan juga negatif bila ada) dan
gambaran radiologi paru menunjukkan lesi TB yang tidak aktif, atau
foto serial menunjukkan gambaran yang menetap. Riwayat
pengobatan OAT adekuat akan lebih mendukung
6.3 Pada kasus dengan gambaran radiologi meragukan dan telah
mendapat pengobatan OAT 2 bulan serta pada foto toraks ulang tidak
ada perubahan gambaran radiologi
III.7.2 Tuberkulosis Ekstra Paru
Tuberkulosis ekstraparu adalah tuberkulosis yang menyerang organ tubuh
lain selain paru, misalnya kelenjar getah bening, selaput otak, tulang, ginjal,
saluran kencing dan lain-lain. Diagnosis sebaiknya didasarkan atas kultur positif
atau patologi anatomi dari tempat lesi. Untuk kasus-kasus yang tidak dapat
dilakukan pengambilan spesimen maka diperlukan bukti klinis yang kuat dan
konsisten dengan TB ekstraparu aktif.
Gambar 4. Skema klasifikasi tuberculosis
III.8 DIAGNOSIS
III.8.1 Manifestasi Klinik
Diagnosis tuberkulosis dapat ditegakkan berdasarkan gejala klinis,
pemeriksaan fisis/jasmani, pemeriksaan bakteriologi, radiologi dan pemeriksaan
penunjang lainnya Gejala klinis tuberkulosis dapat dibagi menjadi 2 golongan, yaitu
gejala lokal dan gejala sistemik, bila organ yang terkena adalah paru maka gejala
lokal ialah gejala respiratori (gejala lokal sesuai organ yang terlibat)
1. Gejala respiratorik :
batuk > 2 minggu
batuk darah
sesak napas
nyeri dada
Gejala respiratori ini sangat bervariasi, dari mulai tidak ada gejala
sampai gejala yang cukup berat tergantung dari luas lesi. Kadang pasien
terdiagnosis pada saat medical check up. Bila bronkus belum terlibat dalam
proses penyakit, maka pasien mungkin tidak ada gejala batuk. Batuk yang
pertama terjadi karena iritasi bronkus, dan selanjutnya batuk diperlukan untuk
membuang dahak ke luar.
2. Gejala sistemik
Demam
gejala sistemik lain adalah malaise, keringat malam, anoreksia dan
berat badan menurun
3. Gejala tuberkulosis ekstraparu
Gejala tuberkulosis ekstraparu tergantung dari organ yang terlibat,
misalnya pada limfadenitis tuberkulosis akan terjadi pembesaran yang lambat
dan tidak nyeri dari kelenjar getah bening, pada meningitis tuberkulosis akan
terlihat gejala meningitis, sementara pada pleuritis tuberkulosis terdapat gejala
sesak napas dan kadang nyeri dada pada sisi yang rongga pleuranya terdapat
cairan.
III.8.2 Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan jasmani kelainan yang akan dijumpai tergantung dari organ
yang terlibat. Pada tuberkulosis paru, kelainan yang didapat tergantung luas kelainan
struktur paru. Pada permulaan (awal) perkembangan penyakit umumnya tidak (atau
sulit sekali) menemukan kelainan. Kelainan paru pada umumnya terletak di daerah
lobus superior terutama daerah apeks dan segmen posterior (S1 dan S2) , serta daerah
apeks lobus inferior (S6). Pada pemeriksaan jasmani dapat ditemukan antara lain
suara napas bronkial, amforik, suara napas melemah, ronki basah, tanda-tanda
penarikan paru, diafragma dan mediastinum.
Pada pleuritis tuberkulosis, kelainan pemeriksaan fisis tergantung dari
banyaknya cairan di rongga pleura. Pada perkusi ditemukan pekak, pada auskultasi
suara napas yang melemah sampai tidak terdengar pada sisi yang terdapat cairan.
Pada limfadenitis tuberkulosis, terlihat pembesaran kelenjar getah bening,
tersering di daerah leher (pikirkan kemungkinan metastasis tumor), kadang-kadang di
daerah ketiak. Pembesaran kelenjar tersebut dapat menjadi “cold abscess”
III.8.3 Pemeriksaan Bakteriologik
1) Bahan pemeriksasan
Pemeriksaan bakteriologi untuk menemukan kuman tuberkulosis
mempunyai arti yang sangat penting dalam menegakkan diagnosis. Bahan
untuk pemeriksaan bakteriologi ini dapat berasal dari dahak, cairan pleura,
liquor cerebrospinal, bilasan bronkus, bilasan lambung, kurasan
bronkoalveolar (bronchoalveolar lavage/BAL), urin, faeces dan jaringan
biopsi (termasuk biopsi jarum halus/BJH)
2) Cara pengumpulan dan pengiriman bahan
Cara pengambilan dahak 3 kali (SPS):
Sewaktu / spot (dahak sewaktu saat kunjungan)
Pagi ( keesokan harinya )
Sewaktu / spot ( pada saat mengantarkan dahak pagi) atau setiap pagi 3
hari berturut-turut
Bahan pemeriksaan/spesimen yang berbentuk cairan
dikumpulkan/ditampung dalam pot yang bermulut lebar, berpenampang 6
cm atau lebih dengan tutup berulir, tidak mudah pecah dan tidak bocor.
Apabila ada fasiliti, spesimen tersebut dapat dibuat sediaan apus pada gelas
objek (difiksasi) sebelum dikirim ke laboratorium. Bahan pemeriksaan hasil
BJH, dapat dibuat sediaan apus kering di gelas objek, atau untuk
kepentingan biakan dan uji resistensi dapat ditambahkan NaCl 0,9% 3-5 ml
sebelum dikirim ke laboratorium. Spesimen dahak yang ada dalam pot (jika
pada gelas objek dimasukkan ke dalam kotak sediaan) yang akan dikirim ke
laboratorium, harus dipastikan telah tertulis identiti pasien yang sesuai
dengan formulir permohonan pemeriksaan laboratorium. Bila lokasi fasiliti
laboratorium berada jauh dari klinik/tempat pelayanan pasien, spesimen
dahak dapat dikirim dengan kertas saring melalui jasa pos. Cara pembuatan
dan pengiriman dahak dengan kertas saring:
- Kertas saring dengan ukuran 10 x 10 cm, dilipat empat agar terlihat
bagian tengahnya
- Dahak yang representatif diambil dengan lidi, diletakkan di bagian
tengah dari kertas saring sebanyak + 1 ml
- Kertas saring dilipat kembali dan digantung dengan melubangi pada satu
ujung yang tidak mengandung bahan dahak
- Dibiarkan tergantung selama 24 jam dalam suhu kamar di tempat yang
aman, misal di dalam dus
- Bahan dahak dalam kertas saring yang kering dimasukkan dalam
kantong plastik kecil
- Kantong plastik kemudian ditutup rapat (kedap udara) dengan
melidahapikan sisi kantong yang terbuka dengan menggunakan lidi
- Di atas kantong plastik dituliskan nama pasien dan tanggal pengambilan
dahak
- Dimasukkan ke dalam amplop dan dikirim melalui jasa pos ke alamat
laboratorium.
3) Cara pemeriksaan dahak dan bahan lain.
Pemeriksaan bakteriologi dari spesimen dahak dan bahan lain (cairan
pleura, liquor cerebrospinal, bilasan bronkus, bilasan lambung, kurasan
bronkoalveolar /BAL, urin, faeces dan jaringan biopsi, termasuk BJH) dapat
dilakukan dengan cara
Mikroskopik
Biakan
Pemeriksaan mikroskopik:
Mikroskopik biasa : pewarnaan Ziehl-Nielsen
Mikroskopik fluoresens : pewarnaan auramin-rhodamin (khususnya
untuk screening)
Interpretasi hasil pemeriksaan dahak dari 3 kali pemeriksaan ialah bila :
- 3 kali positif atau 2 kali positif, 1 kali negatif ® BTA positif
- 1 kali positif, 2 kali negatif ® ulang BTA 3 kali, kemudian bila 1 kali
positif, 2 kali negatif ® BTA positif
- bila 3 kali negatif ® BTA negatif
Interpretasi pemeriksaan mikroskopis dibaca dengan skala IUATLD
(rekomendasi WHO).
- Tidak ditemukan BTA dalam 100 lapang pandang, disebut negative
Skala IUATLD (International Union Against Tuberculosis and Lung
Disease) :
- Ditemukan 1-9 BTA dalam 100 lapang pandang, ditulis jumlah kuman
yang ditemukan
- Ditemukan 10-99 BTA dalam 100 lapang pandang disebut + (1+)
- Ditemukan 1-10 BTA dalam 1 lapang pandang, disebut ++ (2+)
- Ditemukan >10 BTA dalam 1 lapang pandang, disebut +++ (3+)
Pemeriksaan biakan kuman:
Pemeriksaan biakan M.tuberculosis dengan metode konvensional ialah
dengan cara :
- Egg base media: Lowenstein-Jensen (dianjurkan), Ogawa, Kudoh
- Agar base media : Middle brook
Melakukan biakan dimaksudkan untuk mendapatkan diagnosis pasti,
dan dapat mendeteksi Mycobacterium tuberculosis dan juga Mycobacterium
other than tuberculosis (MOTT). Untuk mendeteksi MOTT dapat digunakan
beberapa cara, baik dengan melihat cepatnya pertumbuhan, menggunakan uji
nikotinamid, uji niasin maupun pencampuran dengan cyanogen bromide
serta melihat pigmen yang timbul
III.8.3 Pemeriksaan Radiologik
Pemeriksaan standar ialah foto toraks PA. Pemeriksaan lain atas indikasi: foto
lateral, top-lordotik, oblik, CT-Scan. Pada pemeriksaan foto toraks, tuberkulosis
dapat memberi gambaran bermacam-macam bentuk (multiform). Gambaran
radiologi yang dicurigai sebagai lesi TB aktif :
4) Bayangan berawan / nodular di segmen apikal dan posterior lobus atas paru
dan segmen superior lobus bawah
5) Kaviti, terutama lebih dari satu, dikelilingi oleh bayangan opak berawan atau
nodular
6) Bayangan bercak milier
7) Efusi pleura unilateral (umumnya) atau bilateral (jarang)
Gambaran radiologik yang dicurigai lesi TB inaktif
Fibrotik
Kalsifikasi
Schwarte atau penebalan pleura
Luluh paru (destroyed Lung ) :
Gambaran radiologi yang menunjukkan kerusakan jaringan paru yang berat,
biasanya secara klinis disebut luluh paru . Gambaran radiologi luluh paru
terdiri dari atelektasis, ektasis/ multikaviti dan fibrosis parenkim paru. Sulit
untuk menilai aktiviti lesi atau penyakit hanya berdasarkan gambaran
radiologi tersebut
Perlu dilakukan pemeriksaan bakteriologi untuk memastikan aktiviti proses
penyakit
Luas lesi yang tampak pada foto toraks untuk kepentingan pengobatan dapat
dinyatakan sebagai berikut (terutama pada kasus BTA negatif) :
Lesi minimal , bila proses mengenai sebagian dari satu atau dua paru
dengan luas tidak lebih dari sela iga 2 depan (volume paru yang terletak di
atas chondrostemal junction dari iga kedua depan dan prosesus spinosus
dari vertebra torakalis 4 atau korpus vertebra torakalis 5), serta tidak
dijumpai kaviti
Lesi luas,
Bila proses lebih luas dari lesi minimal
III.8.4 Pemeriksaan khusus
Salah satu masalah dalam mendiagnosis pasti tuberkulosis adalah lamanya
waktu yang dibutuhkan untuk pembiakan kuman tuberkulosis secara konvensional.
Dalam perkembangan kini ada beberapa teknik yang lebih baru yang dapat
mengidentifikasi kuman tuberkulosis secara lebih cepat.
1. Pemeriksaan BACTEC
Dasar teknik pemeriksaan biakan dengan BACTEC ini adalah metode
radiometrik. M tuberculosis memetabolisme asam lemak yang kemudian
menghasilkan CO2 yang akan dideteksi growth indexnya oleh mesin ini.
Sistem ini dapat menjadi salah satu alternatif pemeriksaan biakan secara cepat
untuk membantu menegakkan diagnosis dan melakukan uji kepekaan (dikutip
dari 13)Bentuk lain teknik ini adalah dengan menggunakan Mycobacteria
Growth Indicator Tube (MGIT).
2. Polymerase chain reaction (PCR):
Pemeriksaan PCR adalah teknologi canggih yang dapat mendeteksi
DNA, termasuk DNA M.tuberculosis. Salah satu masalah dalam pelaksanaan
teknik ini adalah kemungkinan kontaminasi. Cara pemeriksaan ini telah cukup
banyak dipakai, kendati masih memerlukan ketelitian dalam pelaksanaannya.
Hasil pemeriksaan PCR dapat membantu untuk menegakkan diagnosis
sepanjang pemeriksaan tersebut dikerjakan dengan cara yang benar dan sesuai
standar internasional. Apabila hasil pemeriksaan PCR positif sedangkan data
lain tidak ada yang menunjang ke arah diagnosis TB, maka hasil tersebut tidak
dapat dipakai sebagai pegangan untuk diagnosis TB Pada pemeriksaan deteksi
M.tb tersebut diatas, bahan / spesimen pemeriksaan dapat berasal dari paru
maupun ekstraparu sesuai dengan organ yang terlibat.
3. Pemeriksaan serologi, dengan berbagai metoda a.1:
a. Enzym linked immunosorbent assay (ELISA)
Teknik ini merupakan salah satu uji serologi yang dapat
mendeteksi respons humoral berupa proses antigen-antibodi yang
terjadi. Beberapa masalah dalam teknik ini antara lain adalah
kemungkinan antibodi menetap dalam waktu yang cukup lama.
b. ICT
Uji Immunochromatographic tuberculosis (ICT tuberculosis)
adalah uji serologi untuk mendeteksi antibodi M.tuberculosis dalam
serum. Uji ICT merupakan uji diagnostik TB yang menggunakan 5
antigen spesifik yang berasal dari membran sitoplasma M.tuberculosis,
diantaranya antigen M.tb 38 kDa. Ke 5 antigen tersebut diendapkan
dalam bentuk 4 garis melintang pada membran immunokromatografik
(2 antigen diantaranya digabung dalam 1 garis) disamping garis
kontrol. Serum yang akan diperiksa sebanyak 30 ml diteteskan ke
bantalan warna biru, kemudian serum akan berdifusi melewati garis
antigen. Apabila serum mengandung antibodi IgG terhadap
M.tuberculosis, maka antibodi akan berikatan dengan antigen dan
membentuk garis warna merah muda. Uji dinyatakan positif bila
setelah 15 menit terbentuk garis kontrol dan minimal satu dari empat
garis antigen pada membran.
c. Mycodot
Uji ini mendeteksi antibodi antimikobakterial di dalam tubuh
manusia. Uji ini menggunakan antigen lipoarabinomannan (LAM)
yang direkatkan pada suatu alat yang berbentuk sisir plastik. Sisir
plastik ini kemudian dicelupkan ke dalam serum pasien, dan bila di
dalam serum tersebut terdapat antibodi spesifik anti LAM dalam
jumlah yang memadai sesuai dengan aktiviti penyakit, maka akan
timbul perubahan warna pada sisir dan dapat dideteksi dengan mudah
d. Uji peroksidase anti peroksidase (PAP)
Uji ini merupakan salah satu jenis uji yang mendeteksi reaksi serologi
yang terjadi. Dalam menginterpretasi hasil pemeriksaan serologi yang
diperoleh, para klinisi harus hati hati karena banyak variabel yang
mempengaruhi kadar antibodi yang terdeteksi.
e. Uji serologi yang baru / IgG TB
Uji IgG adalah salah satu pemeriksaan serologi dengan cara
mendeteksi antibodi IgG dengan antigen spesifik untuk
Mycobacterium tuberculosis. Uji IgG berdasarkan antigen
mikobakterial rekombinan seperti 38 kDa dan 16 kDa dan kombinasi
lainnya akan menberikan tingkat sensitiviti dan spesifisiti yang dapat
diterima untuk diagnosis. Di luar negeri, metode imunodiagnosis ini
lebih sering digunakan untuk mendiagnosis TB ekstraparu, tetapi tidak
cukup baik untuk diagnosis TB pada anak. Saat ini pemeriksaan
serologi belum dapat dipakai sebagai pegangan untuk diagnosis.
III.8.5 Pemeriksaan Penunjang lain
1. Analisis Cairan Pleura
Pemeriksaan analisis cairan pleura dan uji Rivalta cairan pleura perlu
dilakukan pada pasien efusi pleura untuk membantu menegakkan diagnosis.
Interpretasi hasil analisis yang mendukung diagnosis tuberkulosis adalah uji
Rivalta positif dan kesan cairan eksudat, serta pada analisis cairan pleura
terdapat sel limfosit dominan dan glukosa rendah
2. Pemeriksaan histopatologi jaringan
Pemeriksaan histopatologi dilakukan untuk membantu menegakkan
diagnosis TB. Pemeriksaan yang dilakukan ialah pemeriksaan histopatologi.
Bahan jaringan dapat diperoleh melalui biopsi atau otopsi, yaitu :
- Biopsi aspirasi dengan jarum halus (BJH) kelenjar getah bening
(KGB)
- Biopsi pleura (melalui torakoskopi atau dengan jarum abram, Cope
dan Veen Silverman)
- Biopsi jaringan paru (trans bronchial lung biopsy/TBLB) dengan
bronkoskopi, trans thoracal needle aspiration/TTNA, biopsi paru
terbuka).·
- Otopsi
Pada pemeriksaan biopsi sebaiknya diambil 2 sediaan, satu sediaan
dimasukkan ke dalam larutan salin dan dikirim ke laboratorium mikrobiologi
untuk dikultur serta sediaan yang kedua difiksasi untuk pemeriksaan histologi.
3. Pemeriksaan darah
Hasil pemeriksaan darah rutin kurang menunjukkan indikator yang
spesifik untuk tuberkulosis. Laju endap darah ( LED) jam pertama dan kedua
dapat digunakan sebagai indikator penyembuhan pasien. LED sering
meningkat pada proses aktif, tetapi laju endap darah yang normal tidak
menyingkirkan tuberkulosis. Limfositpun kurang spesifik.
4. Uji tuberkulin
Uji tuberkulin yang positif menunjukkan ada infeksi tuberkulosis. Di
Indonesia dengan prevalens tuberkulosis yang tinggi, uji tuberkulin sebagai
alat bantu diagnostik penyakit kurang berarti pada orang dewasa. Uji ini akan
mempunyai makna bila didapatkan konversi, bula atau apabila kepositivan
dari uji yang didapat besar sekali. Pada malnutrisi dan infeksi HIV uji
tuberkulin dapat memberikan hasil negatif.
Gambar 5. Skema alur diagnosis TB paru pada orang dewasa
III. 9 PENGOBATAN TUBERKULOSIS
Pengobatan tuberkulosis terbagi menjadi 2 fase yaitu fase intensif (2-3 bulan)
dan fase lanjutan 4 atau 7 bulan. Paduan obat yang digunakan terdiri dari paduan
obat utama dan tambahan
III.9.1 Obat Anti Tuberkulosis
Obat yang dipakai,:
A. Jenis obat utama (lini 1) yang digunakan adalah: INH, Rifampisin,
Pirazinamid, Streptomisin , Etambutol
B. Jenis obat tambahan lainnya (lini 2): Kanamisin, Amikasin, Kuinolon
Obat lain masih dalam penelitian yaitu makrolid dan amoksilin + asam
klavulanat Beberapa obat berikut ini belum tersedia di Indonesia antara lain :
Kapreomisin , Sikloserino, PAS (dulu tersedia), Derivat rifampisin dan INH,
Thioamides (ethionamide dan prothionamide)
Kemasan
Obat tunggal, Obat disajikan secara terpisah, masing-masing INH,
rifampisin, pirazinamid dan etambutol.
Obat kombinasi dosis tetap (Fixed Dose Combination – FDC)
Kombinasi dosis tetap ini terdiri dari 3 atau 4 obat dalam satu tablet
Dosis OAT Tabel 2. Jenis dan dosis OAT
Obat Dosis
(Mg/
Kg
BB/
Hari)
Dosis yg dianjurkan DosisMa
ks (mg)
Dosis (mg) / berat
badan (kg)
Haria
n
(mg/
kgBB
/ hari)
Intermitten
(mg/Kg/BB/ka
li)
< 40 40-
60
>60
R 8-12 10 10 600 300 450 600
H 4-6 5 10 300 150 300 450
Z 20-30 25 35 750 100 150
0 0
E 15-20 15 30 750100
0
150
0
S 15-18 15 15 1000Sesua
i BB750
100
0
Pengembangan pengobatan TB paru yang efektif merupakan hal yang
penting untuk menyembuhkan pasien dan menghindari MDR TB (multidrug
resistant tuberculosis). Pengembangan strategi DOTS untuk mengontrol
epidemi TB merupakan prioriti utama WHO. International Union Against
Tuberculosis and Lung Disease (IUALTD) dan WHO menyarakan untuk
menggantikan paduan obat tunggal dengan kombinasi dosis tetap dalam
pengobatan TB primer pada tahun 1998. Dosis obat tuberkulosis kombinasi
dosis tetap berdasarkan WHO seperti terlihat pada tabel 3. Keuntungan
kombinasi dosis tetap antara lain:
Penatalaksanaan sederhana dengan kesalahan pembuatan resep minimal
Peningkatan kepatuhan dan penerimaan pasien dengan penurunan
kesalahan pengobatan yang tidak disengaja
Peningkatan kepatuhan tenaga kesehatan terhadap penatalaksanaan yang
benar dan standar
Perbaikan manajemen obat karena jenis obat lebih sedikit
Menurunkan risiko penyalahgunaan obat tunggal dan MDR akibat
penurunan penggunaan monoterapi
Tabel 3. Dosis obat antituberkulosis kombinasi dosis tetap
Fase intensif Fase lanjutan
2 bulan 4 bulan
BB Harian Harian 3x/minggu Harian 3x/minggu
RHZE
150/75/400/27
RHZ
150/75/40
RHZ
150/150/50
RH
150/7
RH
150/150
5 0 0 5
30-
37
38-
54
55-
70
>71
2
3
4
5
2
3
4
5
2
3
4
5
2
3
4
5
2
3
4
5
Penentuan dosis terapi kombinasi dosis tetap 4 obat berdasarkan
rentang dosis yang telah ditentukan oleh WHO merupakan dosis yang efektif
atau masih termasuk dalam batas dosis terapi dan non toksik. Pada kasus yang
mendapat obat kombinasi dosis tetap tersebut, bila mengalami efek samping
serius harus dirujuk ke rumah sakit /dokter spesialis paru / fasiliti yang
mampu menanganinya.
III.9.2 Panduan Obat Anti Tuberkulosis
Pengobatan tuberkulosis dibagi menjadi
TB paru (kasus baru), BTA positif atau pada foto toraks: lesi luas
Paduan obat yang dianjurkan :
- 2 RHZE / 4 RH atau
- 2 RHZE/ 6HE atau
- 2RHZE/4R3H3
Paduan ini dianjurkan untuk
- TB paru BTA (+), kasus baru
- TB paru BTA (-), dengan gambaran radiologi lesi luas (termasuk
luluh paru)
Bila ada fasiliti biakan dan uji resistensi, pengobatan disesuaikan dengan
hasil uji resistensi
- TB Paru (kasus baru), BTA negatif, pada foto toraks: lesi minimal
Paduan obat yang dianjurkan : 2 RHZE / 4 RH atau
: 6 RHE atau 2 RHZE/ 4R3H3
- TB paru kasus kambuh Sebelum ada hasil uji resistensi dapat diberikan
2 RHZES / 1 RHZE. Fase lanjutan sesuai dengan hasil uji resistensi. Bila
tidak terdapat hasil uji resistensi dapat diberikan obat RHE selama 5
bulan
- TB Paru kasus gagal pengobatan Sebelum ada hasil uji resistensi
seharusnya diberikan obat lini 2 (contoh paduan: 3-6 bulan kanamisin,
ofloksasin, etionamid, sikloserin dilanjutkan 15-18 bulan ofloksasin,
etionamid, sikloserin). Dalam keadaan tidak memungkinkan pada fase
awal dapat diberikan 2 RHZES / 1 RHZE. Fase lanjutan sesuai dengan
hasil uji resistensi. Bila tidak terdapat hasil uji resistensi dapat diberikan
obat RHE selama 5 bulan.
i. Dapat pula dipertimbangkan tindakan bedah untuk
mendapatkan hasil yang optimal
ii. Sebaiknya kasus gagal pengobatan dirujuk ke dokter
spesialis paru
- TB Paru kasus putus berobat Pasien TB paru kasus lalai berobat, akan
dimulai pengobatan kembali sesuai dengan kriteria sebagai berikut :
a. Berobat > 4 bulan
1) BTA saat ini negatif Klinis dan radiologi tidak aktif atau ada
perbaikan maka pengobatan OAT dihentikan. Bila gambaran
radiologi aktif, lakukan analisis lebih lanjut untuk memastikan
diagnosis TB dengan mempertimbangkan juga kemungkinan
penyakit paru lain. Bila terbukti TB maka pengobatan dimulai
dari awal dengan paduan obat yang lebih kuat dan jangka
waktu pengobatan yang lebih lama
2) BTA saat ini positif Pengobatan dimulai dari awal dengan
paduan obat yang lebih kuat dan jangka waktu pengobatan
yang lebih lama
b. Berobat < 4 bulan
1) Bila BTA positif, pengobatan dimulai dari awal dengan
paduan obat yang lebih kuat dan jangka waktu pengobatan
yang lebih lama
2) Bila BTA negatif, gambaran foto toraks positif TB aktif
pengobatan diteruskan Jika memungkinkan seharusnya
diperiksa uji resistensi terhadap OAT
- TB Paru kasus kronik
i. Pengobatan TB paru kasus kronik, jika belum ada hasil uji resistensi,
berikan RHZES. Jika telah ada hasil uji resistensi, sesuaikan dengan
hasil uji resistensi (minimal terdapat 4 macam OAT yang masih
sensitif) ditambah dengan obat lini 2 seperti kuinolon, betalaktam,
makrolid dll. Pengobatan minimal 18 bulan.
ii. Jika tidak mampu dapat diberikan INH seumur hidup
iii. Pertimbangkan pembedahan untuk meningkatkan kemungkinan
penyembuhan
iv. Kasus TB paru kronik perlu dirujuk ke dokter spesialis paru
Tabel 4. Ringkasan paduan obat
Katego
ri
Kasus Paduan obat yang
diajurkan
Keterangan
I - TB paru BTA
+,
BTA - , lesi
luas
2 RHZE / 4 RH atau
2 RHZE / 6 HE
*2RHZE / 4R3H3
II - Kambuh
- Gagal
pengobatan
-RHZES / 1RHZE / sesuai
hasil uji resistensi atau
2RHZES / 1RHZE / 5 RHE
-3-6 kanamisin, ofloksasin,
etionamid, sikloserin / 15-
Bila
streptomisin
alergi, dapat
diganti
kanamisin
18 ofloksasin, etionamid,
sikloserin atau 2RHZES /
1RHZE / 5RHE
II - TB paru putus
berobat
Sesuai lama pengobatan
sebelumnya, lama berhenti
minum obat dan keadaan
klinis, bakteriologi dan
radiologi saat ini (lihat
uraiannya) atau
*2RHZES / 1RHZE /
5R3H3E3
III -TB paru BTA
neg. lesi
minimal
2 RHZE / 4 RH atau
6 RHE atau
*2RHZE /4 R3H3
IV - Kronik RHZES / sesuai hasil uji
resistensi (minimal OAT
yang sensitif) + obat lini 2
(pengobatan minimal 18
bulan)
IV - MDR TB
Sesuai uji resistensi + OAT
lini 2 atau H seumur hidup
Catatan : * Obat yang disediakan oleh Program Nasional TB5
III.9.3 Efek Samping Obat
Sebagian besar pasien TB dapat menyelesaikan pengobatan tanpa efek
samping. Namun sebagian kecil dapat mengalami efek samping, oleh karena itu
pemantauan kemungkinan terjadinya efek samping sangat penting dilakukan selama
pengobatan. Efek samping yang terjadi dapat ringan atau berat (terlihat pada tabel 4),
bila efek samping ringan dan dapat diatasi dengan obat simptomatis maka pemberian
OAT dapat dilanjutkan.
1. Isoniazid (INH)
Sebagian besar pasien TB dapat menyelesaikan pengobatan tanpa efek
samping. Namun sebagian kecil dapat mengalami efek samping, oleh
karena itu pemantauan kemungkinan terjadinya efek samping sangat
penting dilakukan selama pengobatan.
Efek samping yang terjadi dapat ringan atau berat (terlihat pada tabel 4),
bila efek samping ringan dan dapat diatasi dengan obat simptomatis maka
pemberian OAT dapat dilanjutkan.
2. Rifampisin
Efek samping ringan yang dapat terjadi dan hanya memerlukan
pengobatan simptomatis ialah
- Sindrom flu berupa demam, menggigil dan nyeri tulang
- Sindrom perut berupa sakit perut, mual, tidak nafsu makan,
muntah kadang-kadang diare
- Sindrom kulit seperti gatal-gatal kemerahan
Efek samping yang berat tetapi jarang terjadi ialah :
- Hepatitis imbas obat atau ikterik, bila terjadi hal tersebut OAT
harus distop dulu dan penatalaksanaan sesuai pedoman TB pada
keadaan khusus
- Purpura, anemia hemolitik yang akut, syok dan gagal ginjal. Bila
salah satu dari gejala ini terjadi, rifampisin harus segera dihentikan
dan jangan diberikan lagi walaupun gejalanya telah menghilang
- Sindrom respirasi yang ditandai dengan sesak napas Rifampisin
dapat menyebabkan warna merah pada air seni, keringat, air mata
dan air liur. Warna merah tersebut terjadi karena proses
metabolisme obat dan tidak berbahaya. Hal ini harus diberitahukan
kepada pasien agar mereka mengerti dan tidak perlu khawatir.
3. Pirazinamid
Efek samping utama ialah hepatitis imbas obat (penatalaksanaan sesuai
pedoman TB pada keadaan khusus). Nyeri sendi juga dapat terjadi (beri
aspirin) dan kadang-kadang dapat menyebabkan serangan arthritis Gout,
hal ini kemungkinan disebabkan berkurangnya ekskresi dan penimbunan
asam urat. Kadang-kadang terjadi reaksi demam, mual, kemerahan dan
reaksi kulit yang lain
4. Etambutol
Etambutol dapat menyebabkan gangguan penglihatan berupa
berkurangnya ketajaman, buta warna untuk warna merah dan hijau.
Meskipun demikian keracunan okuler tersebut tergantung pada dosis yang
dipakai, jarang sekali terjadi bila dosisnya 15-25 mg/kg BB perhari atau
30 mg/kg BB yang diberikan 3 kali seminggu. Gangguan penglihatan akan
kembali normal dalam beberapa minggu setelah obat dihentikan.
Sebaiknya etambutol tidak diberikan pada anak karena risiko kerusakan
okuler sulit untuk dideteksi
5. Streptomisin
Efek samping utama adalah kerusakan syaraf kedelapan yang berkaitan
dengan keseimbangan dan pendengaran. Risiko efek samping tersebut
akan meningkat seiring dengan peningkatan dosis yang digunakan dan
umur pasien. Risiko tersebut akan meningkat pada pasien dengan
gangguan fungsi ekskresi ginjal. Gejala efek samping yang terlihat ialah
telinga mendenging (tinitus), pusing dan kehilangan keseimbangan.
Keadaan ini dapat dipulihkan bila obat segera dihentikan atau dosisnya
dikurangi 0,25gr. Jika pengobatan diteruskan maka kerusakan alat
keseimbangan makin parah dan menetap (kehilangan keseimbangan dan
tuli).
Reaksi hipersensitiviti kadang terjadi berupa demam yang timbul tiba-tiba
disertai sakit kepala, muntah dan eritema pada kulit. Efek samping
sementara dan ringan (jarang terjadi) seperti kesemutan sekitar mulut dan
telinga yang mendenging dapat terjadi segera setelah suntikan. Bila reaksi
ini mengganggu maka dosis dapat dikurangi 0,25gr
Streptomisin dapat menembus sawar plasenta sehingga tidak boleh
diberikan pada perempuan hamil sebab dapat merusak syaraf pendengaran
janin.
Tabel 5. Efek samping OAT dan Penatalaksanaannya
Efek samping Kemungkinan
Penyebab
Tatalaksana
Minor
OAT diteruskan
Tidak nafsu makan, mual, sakit perut Rifampisin Obat diminum
malam sebelum
tidur
Nyeri sendi Pyrazinamid Beri aspirin
/allopurinol
Kesemutan s/d rasa terbakar di kaki INH Beri vitamin B6
(piridoksin) 1 x
100 mg perhari
Warna kemerahan pada air seni Rifampisin Beri penjelasan,
tidak perlu diberi
apa-apa
Mayor
Hentikan obat
Gatal dan kemerahan pada
kulit
Semua jenis OAT Beri antihistamin
dan dievaluasi
ketat
Tuli Streptomisin Streptomisin
dihentikan
Gangguan keseimbangan Streptomisin Streptomisin
(vertigo dan nistagmus) dihentikan
Ikterik / Hepatitis Imbas
Obat (penyebab lain
disingkirkan)
Sebagian besar OAT Hentikan semua
OAT sampai
ikterik
menghilang dan
boleh diberikan
hepatoprotektor
Muntah dan confusion
(suspected drug-induced
pre-icteric hepatitis)
Sebagian besar OAT Hentikan semua
OAT dan lakukan
uji fungsi hati
Gangguan penglihatan Etambutol Hentikan
etambutol
Kelainan sistemik,
termasuk syok dan
purpura
RimpafisinHentikan
Rimpafisin
III.9.4 Pengobatan suportif dan simtomatik
Pada pengobatan pasien TB perlu diperhatikan keadaan klinisnya. Bila keadaan klinis
baik dan tidak ada indikasi rawat, pasien dapat dibeikan rawat jalan. Selain OAT
kadang perlu pengobatan tambahan atau suportif/simptomatis untuk meningkatkan
daya tahan tubuh atau mengatasi gejala/keluhan.
A. Pasien rawat jalan
a. Makan makanan yang bergizi, bila dianggap perlu dapat diberikan vitamin
tambahan (pada prinsipnya tidak ada larangan makanan untuk pasien
tuberkulosis, kecuali untuk penyakit komorbidnya)
b. Bila demam dapat diberikan obat penurun panas/demam
c. Bila perlu dapat diberikan obat untuk mengatasi gejala batuk, sesak napas atau
keluhan lain
B. Pasien rawat inap
Indikasi rawat inap :
- TB paru disertai keadaan/komplikasi sbb :
- Batuk darah masif
- Keadaan umum buruk
- Pneumotoraks
- Empiema
- Efusi pleura masif / bilateral
- Sesak napas berat (bukan karena efusi pleura)
TB di luar paru yang mengancam jiwa :
- TB paru milier
- Meningitis TB
Pengobatan suportif / simptomatis yang diberikan sesuai dengan keadaan klinis
dan indikasi rawat
III.9.5 Terapi Pembedahan
lndikasi operasi
1. Indikasi mutlak
a. Semua pasien yang telah mendapat OAT adekuat tetetapi dahak
tetap positif
b. Pasien batuk darah yang masif tidak dapat diatasi dengan cara
konservatif
c. Pasien dengan fistula bronkopleura dan empiema yang tidak dapat
diatasi secara konservatif
2. lndikasi relatif
a. Pasien dengan dahak negatif dengan batuk darah berulang
b. Kerusakan satu paru atau lobus dengan keluhan
c. Sisa kaviti yang menetap.
Tindakan Invasif (Selain Pembedahan)
· Bronkoskopi
· Punksi pleura
· Pemasangan WSD (Water Sealed Drainage)
III.9.6 Evaluasi pengobatan
Evaluasi pasien meliputi evaluasi klinis, bakteriologi, radiologi dan efek samping
obat, serta evaluasi keteraturan obat.
Evaluasi klinis
Pasien dievaluasi setiap 2 minggu pada 1 bulan pertama pengobatan
selanjutnya setiap 1 bulan
Evaluasi: respons pengobatan dan ada tidaknya efek samping obat serta ada
tidaknya komplikasipenyakit
Evaluasi klinis meliputi keluha, berat badan, pemeriksaan fisis.
Evaluasi bakteriologi (0-2-6/9 bulan pengobatan)
Tujuan untuk mendeteksi ada tidaknya konversi dahak
Pemeriksaan dan evaluasi pemeriksaan mikroskopis. Sebelum pengobatan
dimulai, setelah 2 bulan pengobatan (setelah fase intensif), pada akhir
pengobatan.
Bila ada fasiliti biakan, dilakukan pemeriksaan biakan dan uji resistensi
Evaluasi radiologi (0-2-6/9 bulan pengobatan)
Pemeriksaan dan evaluasi foto toraks dilakukan pada:
Sebelum pengobatan
Setelah 2 bulan pengobatan (kecuali pada kasus yang juga dipikirkan
kemungkinan keganansan dapat dilakukan 1 bulan pengobatan)
Pada akhir pengobatan
Evaluasi efek samping secara klinis
Bila mungkin sebaiknya dari awal diperiksa fungsi hati, fungsi ginjal dan
darah lengkap
Fungsi hati: SGOT, SGPT, bilirubin, fungsi ginjal: ureum, kreatinin dan gula
darah, serta asam urat untu data dasar penyakit penyerta atau efek samping
pengobatan
Asam urat diperiksa bila menggunakan pirazinamid
Pemeriksaan visus dan uji buta warna bila menggunakan etambutol (bila ada
keluhan)
Pasien yang mendapat streptomisin harus diperiksa uji keseimbangan dan
audiometric (bila ada keluhan)
Pada anak dan dewasa muda umunya tidak diperlukan pemeriksaan awal
tersebut. Yang paling penting adalah evaluasi klinis kemungkinan terjadi efek
samping obat. Bila pada evaluasi klinis dicurigai terdapat efek samping,maka
dilakukan pemeriksaan laboratorium untuk memastikannya dan penanganan
efek samping obat sesuai pedoman
Evaluasi keteraturan obat
Yang tidak kalah pentingnya adalah evaluasi keteraturan berobat dan
diminum/ tidaknya obat tersebut. Dalam hal ini maka sangat penting
penyuluhan atau pendidikan mengenai penyakit dan keteraturan berobat.
Penyuluhan atau pendidikan dapat diberikan kepada pasien, keluarga dan
lingkungannya.
Ketidakteraturan berobat akan menyebabkan timbulnya masalah resistensi.
Kriteria sembuh
BTA mikroskopis negative dua kali (pada akhir fase intensif dan akhir
pengobatan) dan telah mendapatkan pengobatan yang adekuat
Pada foto toraks, gambaran radiologi serial tetap sama/perbaikan
Bila ada fasiliti,maka criteria ditambah biakan negative
Evaluasi pasien yang telah sembuh
Pasien TB yang telah dinyatakan sembuh sebaiknya tetap dievaluasi minimal
dalam 2 tahun pertama setelah sembuh, hal ini dimaksudkan untuk mengetahui
kekambuhan. Hal yang dievaluasi adalah mikroskopis BTA dahak dan foto toraks.
Mikroskopis BTA dahak 3,6,12 dan 24 bulan (sesuai indikasi/bila ada gejala) setelah
dinyatakan sembuh. Evaluasi foto toraks 6, 12, 24 bulan setelah dinyatakan sembuh
(bila ada kecurigaan TB kambuh).
III.10 RESISTENSI GANDA (Multi Drug Resistance/MDR)
III.10.1 Definisi
Resistensi ganda menunjukan M. tuberculosis resitensi terhadap rifampisin
dan INH dengan atau tanpa OAT lainnya.
Secara umum resistensi terhadap obat tuberculosis dibagi menjadi:
Resistensi primer ialah apabila pasien sebelumnya tidak pernah mendapat
pengobatan TB
Resistensi inisial ialah apabilakita tidak tahu pasti apakah pasiennya sudah
pernah ada riwayat pengobatan sebelumnya atau tidak
Resistensi sekuder ialah apabila pasien telah punya riwayat pengobatan
sebelumnya
Ada beberapa penyebab terjadinya resistensi terhadap obat tuberculosis, yaitu:
Pemakaian obat tunggal dalam pengobatan tuberculosis
Penggunaan paduan obat yang tidak adekuat, yaitu jenis obatnya yang kurang
ataub di lingkungan tersebut telah terdapat resistensi yang tinggi terhadap obat
yang digunakan,misalnya memberikan rifampisin dan INH saja pada daerah
dengan resistensi terhadap kedua obat tersebut sudah cukup tinggi.
Pemberian obat yang tidak teratur,misalnya hanya dimakan dua atau tiga
minggu lalu stop, setelah dua bulan berhenti kemudian berpindah dokter dan
mendapat obat kembali selama dua atau tiga bulan lalu stop lagi, demikian
seterusnya.
Fenomena “addition syndrome”, yaitu suatu obat ditambahkan dalam suatu
paduan pengobatan yang tidak berhasil. Bila kegagalan itu terjadi karena
kuman TB telah resisten pada paduan pertama, maka “penambahan” satu
macam obat hanya akan menambah panjang daftar obat yang resisten.
Penggunaan obat kombinasi yang penampurannya tidak dilakukan secara
baik, sehingga mengganggu bioavailabilitas obat
Penyediaan obat yang tidak regular, kadang obat datang ke suatu daerah
kadang terhenti pengirimannya sampai berbulan-bulan
Pemakaian obat antitubrkulosis cukup lama, sehingga menimbulkan
kejemuan.
Pengetahuan pasien kurang tentang penyakit TB
Kasus MDR-TB rujuk ke dokter spesialis paru
III.10.3 Pengobatan Tuberkulosis Resisten Ganda (MDR)
A. Klasifikasi OAT untuk MDR
Kriteria utama berdasarkan data bioloi dibagi menjadi 3 kelompok OAT:
A. Obat dengan aktiviti bakterisid: aminoglikosid, tionamid dan pirazinamid
yang bekerja pada Ph asam
B. Obat dengan aktiviti bakterisid rendah: fluorokuinolon
C. Obat dengan aktiviti bekteriostatik, etambutol, cycloserin dan PAS
Fluorokuinolon
Fluorokuinolon (miosifloksasin, levofloksasin, oflofoksasin dan siprofloksasin) dapat
digunakan untuk kuman TB yang resisten terhadap lini-1
Resistensi silang
Pada pengobatan MDR TB harus dipertimbsangkan resistensi silang dalam memilih
jenis OAT. Tidak efektif memberikan OAT dari golongan yang sama atau paduan
OAT yang berpotensi terjadi resistensi silang.
Tionamid dan tiosetason
Etionamid adalah golongan tionamid yang dapat menginduksi terjadinya
resistensi silang dengan proteonamid karena satu golongan. Sering ditemukan
resistensi silang antara tionamid dengan tioasetason, galur yang biasanya
resisten dengan tiosetason biasanya masih sensitive terhadap etionamid dan
proteonamid. Galur yang resisten terhadap etiinamid dan proteonamid
biasanya juga resisten terhadap tioasetason pada lebih dari 70% kasus.
Aminoglikosid
Galur yang resisten terhadap streptomisin biasanya sensitive terhadap
kanamisin dan amikasin. Galur yang resisten terhadap kanamisin
menyebabkan resistensi silang terhadap amikasin. Galur yang resisten
terhadap kanamisin dan amikasin juga menimbulkan resisten terhadap
streptomisin,kanamisin, amikasin biasanya masih sensitive terhadap
kapreomisin.
Kesimpulan: Resistensi terhadap streptomisin gunakan kanamisin atau
amikasin, resistesni terhadapkanamisin atau amikasin gunakan kapreomisin
Fluorokuinolon
Oflofoksasin dan siprofloksasin dapat menginduksi terjadinya resistensi silang
untuk semua fluorokuinolon. Itulah sebabnya penggunaan oflofoksasin harus
hati-hati karena beberapa kuinolon yanglebih aktif (levofloksasin dan
moksifloksasin) dapat menggantikan oflofoksasin di masa datang
Sikloserin dan terizidion
Terdapat resistensi silang antara dua macam obat ini. Tidak terdapat resistensi
silang dengan obat golongan lain.
Hingga saat ini belum ada paduan pengobatan yang distandarisasi untuk
pasien MDR-TB. Pemberian pengobatan pada dasarnya “tailor made”,
bergantung dari hasiluji resistensi dengan menggunakan minimal 4 OAT
masih sensitive
Obat lini 2 yang dapat digunakan yaitu gologan fluorokuinolon,
aminoglikosida, etionamid, sikloserin, klofazimin, amoksilin+ as. Klavulanat.
Saat ini paduan yang dianjurkan ialah OAT yang masih sensitive minimal 2-3
OAT lini I ditambah dengan obat lini 2, yaitu siprofloksasin dengan dosis
1000-1500 mg atau ofloksasin 600-800 mg (obat dapat diberikan single dose
atau 2 kali sehari).
Pengobatan terhadap tuberculosis resisten ganda sangat sulit dan memerlukan
waktu yang lama yaitu minimal 18 bulan
Hasil pengobatan terhadap TB resisten ganda ini kurang menggembirakan.
Pada pasien non-HIV, konversi hanya didapat pada sekitar 50% kasus,
sedangkan response date didapat pada 65% kasus dan kesembuhan pada 56%
kasus.
Pemberian obat antituberkulosis yang benar dan pengawasan yang baik,
merupakan salah satu kunci penting mencegah resisten ganda. Konsep
Directly Observed Treatment Short Course (DOTS) merupakan salah satu
upaya penting dalam menjamin keteraturan berobat.
Prioriti yang dianjurkan bukan pengobatan MDR, tetapi pencegahan MDR-
TB
Tingkatan Obat Dosis harian Aktiviti
antibakteri
Rasio kadar
puncak serum
terhadap MIC
1 Aminoglikosid
a. Streptomisin
b. Kanamisin atau
kanamisin
c. Kapreomisin
a.
15 mg/kg Bakterisid
menghambat
organism yang
multiplikasi aktif
20-30
5-7.5
10-15
2 Thiomides (Etionamid
protionamid)
10-20 mg/kg Bakterisid 4-8
3 Pirazinamid 20-30 mg/kg Bakterisid pd Ph
asam
7.5-10
4 Ofloksasin 7,5-15 mg/kg Bakterisid
mingguan
2.5-5
5 Etambutol 15-20 mg/kg Bakteriostatik 2-3
6 Sikloserin 10-20 mg/kg Bakteristatik 2-4
7 PAS asam 10-12 g Bakteriostatik 100
III.11 PENGOBATAN TUBERKULOSIS PADA KEADAAN KHUSUS
1. Kehamilan
Pada prinsipnya pengobatan TB pada kehamilan tidak
berbeda dengan pengobatan TB pada umumnya. Menurut
WHO, hampir semua OAT aman untuk kehamilan, kecuali
streptomisin. Streptomisin tidak dapat dipakai pada
kehamilan karena bersifat permanent ototoxic dan dapat
menembus barier placenta. Keadaan ini dapat
mengakibatkan terjadinya gangguan pendengaran dan
keseimbangan yang menetap pada bayi yang akan dilahirkan.
Perlu dijelaskan kepada ibu hamil bahwa keberhasilan
pengobatannya sangat penting artinya supaya proses
kelahiran dapat berjalan lancar dan bayi yang akan dilahirkan
terhindar dari kemungkinan tertular TB.
2. Ibu menyusui dan bayinya
Pada prinsipnya pengobatan TB pada ibu menyusui tidak
berbeda dengan pengobatan pada umumnya. Semua jenis
OAT aman untuk ibu menyusui. Seorang ibu menyusui yang
menderita TB harus mendapat paduan OAT secara adekuat.
Pemberian OAT yang tepat merupakan cara terbaik untuk
mencegah penularan kuman TB kepada bayinya. Ibu dan
bayi tidak perlu dipisahkan dan bayi tersebut dapat terus
disusui. Pengobatan pencegahan dengan INH diberikan
kepada bayi tersebut sesuai dengan berat badannya.
3. Pasien TB pengguna kontrasepsi
Rifampisin berinteraksi dengan kontrasepsi hormonal (pil KB,
suntikan KB, susuk KB), sehingga dapat menurunkan
efektifitas kontrasepsi tersebut. Seorang pasien TB sebaiknya
mengggunakan kontrasepsi non-hormonal, atau kontrasepsi
yang mengandung estrogen dosis tinggi (50 mcg).
4. Pasien TB dengan infeksi HIV/AIDS
Tatalaksanan pengobatan TB pada pasien dengan infeksi
HIV/AIDS adalah sama seperti pasien TB lainnya. Obat TB
pada pasien HIV/AIDS sama efektifnya dengan pasien TB yang
tidak disertai HIV/AIDS. Prinsip pengobatan pasien TB-HIV
adalah dengan mendahulukan pengobatan TB. Pengobatan
ARV(antiretroviral) dimulai berdasarkan stadium klinis HIV
sesuai dengan standar WHO. Penggunaan suntikan
Streptomisin harus memperhatikan Prinsip- prinsip Universal
Precaution (Kewaspadaan Keamanan Universal) Pengobatan
pasien TB-HIV sebaiknya diberikan secara terintegrasi dalam
satu sarana pelayanan kesehatan untuk menjaga kepatuhan
pengobatan secara teratur. Pasien TB yang berisiko tinggi
terhadap infeksi HIV perlu dirujuk ke pelayanan VCT
(Voluntary Counceling and Testing = Konsul sukarela dengan
test HIV).
5. Pasien TB dengan hepatitis akut
Pemberian OAT pada pasien TB dengan hepatitis akut dan
atau klinis ikterik, ditunda sampai hepatitis akutnya
mengalami penyembuhan. Pada keadaan dimana pengobatan
Tb sangat diperlukan dapat diberikan streptomisin (S) dan
Etambutol (E) maksimal 3 bulan sampai hepatitisnya
menyembuh dan dilanjutkan dengan Rifampisin (R) dan
Isoniasid (H) selama 6 bulan.
6. Pasien TB dengan kelainan hati kronik
Bila ada kecurigaan gangguan faal hati, dianjurkan
pemeriksaan faal hati sebelum pengobatan Tb. Kalau SGOT
dan SGPT meningkat lebih dari 3 kali OAT tidak diberikan dan
bila telah dalam pengobatan, harus dihentikan. Kalau
peningkatannya kurang dari 3 kali, pengobatan dapat
dilaksanakan atau diteruskan dengan pengawasan ketat.
Pasien dengan kelainan hati, Pirasinamid (Z) tidak boleh
digunakan. Paduan OAT yang dapat dianjurkan adalah
2RHES/6RH atau 2HES/10HE.
7. Pasien TB dengan gagal ginjal
Isoniasid (H), Rifampisin (R) dan Pirasinamid (Z) dapat di
ekskresi melalui empedu dan dapat dicerna menjadi senyawa-
senyawa yang tidak toksik. OAT jenis ini dapat diberikan
dengan dosis standar pada pasien-pasien dengan gangguan
ginjal. Streptomisin dan Etambutol diekskresi melalui ginjal,
oleh karena itu hindari penggunaannya pada pasien dengan
gangguan ginjal. Apabila fasilitas pemantauan faal ginjal
tersedia, Etambutol dan Streptomisin tetap dapat diberikan
dengan dosis yang sesuai faal ginjal. Paduan OAT yang paling
aman untuk pasien dengan gagal ginjal adalah 2HRZ/4HR.
8. Pasien TB dengan Diabetes Melitus
Diabetes harus dikontrol. Penggunaan Rifampisin dapat
mengurangi efektifitas obat oral anti diabetes (sulfonil urea)
sehingga dosis obat anti diabetes perlu ditingkatkan. Insulin
dapat digunakan untuk mengontrol gula darah, setelah
selesai pengobatan TB, dilanjutkan dengan anti diabetes oral.
Pada pasien Diabetes Mellitus sering terjadi komplikasi
retinopathy diabetika, oleh karena itu hati-hati dengan
pemberian etambutol, karena dapat memperberat kelainan
tersebut.
9. Pasien TB yang perlu mendapat tambahan kortikosteroid
Kortikosteroid hanya digunakan pada keadaan khusus yang
membahayakan jiwa pasien seperti:
• Meningitis TB
• TB milier dengan atau tanpa meningitis
• TB dengan Pleuritis eksudativa
• TB dengan Perikarditis konstriktiva.
Selama fase akut prednison diberikan dengan dosis 30-40 mg
per hari, kemudian diturunkan secara bertahap. Lama
pemberian disesuaikan dengan jenis penyakit dan kemajuan
pengobatan.
III.11 KOMPLIKASI
Pada pasien tuberkulosis dapat terjadi beberapa komplikasi, baik
sebelum pengobatan atau dalam masa pengobatan maupun setelah
selesai pengobatan. Beberapa komplikasi yang mungikin timbul
adalah :
- Batuk darah
- Pneumotoraks
- Luluh paru
- Gagal napas
- Gagal jantung
- Efusi pleura
III.12 PROGNOSIS
Jika berobat teratur sembuh total (95%)
Jika dalam 2 tahun penyakit tidak aktif, hanya sekitar 1 %
yang mungkin relaps
Terapi yang cepat dan legeartis akan sembuh baik
Bila daya tahan baik dapat sembuh sendiri.4
III.13 DIRECTLY OBSERVED TREATMENT SHORT COURSE
(DOTS)
Organisasi kesehatan dunia (WHO) menyatakan bahwa kunci
keberhasilan program penanggulangan tuberculosis adalah dengan
menerapkan strategi DOTS, yang juga telah dianut oleh Negara
kita. Oleh karena itu pemahaman tentang DOTS merupakan hal
yang sangat penting agar TB dapat ditanggulangi dengan baik.
DOTS mengandung lima komponen,yaitu:
1. Komitmen pemerintah untuk mejalankan program TB nasional
2. Penemuan kasus TB dengan pemeriksaan BTA mikroskopis
3. Pemberian obat jangka pendek yang diawasi secara langsung,
dikenal dengan istilah DOT (Directly Observed Therapy)
4. Pengadaan OAT secara berkesinambungan
5. Monitoring serta pencatatan dan pelaporan yang
baku/standar
BAB IV
PEMBAHASAN
IV.1. Anamnesa
Keluhan Utama : Sesak nafas
Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang ke IGD RSMS tanggal 17 Januari 2015 dengan keluhan sesak
nafas. Keluhan tersebut pasien rasakan 5 hari sebelum masuk RSMS. Sesak nafas
muncul dirasakan memberat 2 hari SMRS hingga mengganggu aktivitas pasien saat
bekerja. Sesak dirasakan terus menerus dan dirasa memburuk jika pasien berjalan
maupun beraktivitas. Keluhan sesak tanpa disertai keluhan nyeri dada, nyeri perut,
dan pasien tidak memiliki riwayat penyakit jantung sebelumnya. Keluhan dirasa
membaik jika pasien beristirahat dan menggunakan oksigen.
Pasien juga mengeluhkan batuk berdahak yang tidak sembuh-sembuh. Batuk
berdahak berwarna putih kental, sudah sejak satu bulan terakhir. Sebelumnya pasien
pernah mengeluhkan batuk berdahak yang tidak sembuh-sembuh pada tahun 2007,
2010, 2011, dan 2014. Selain itu pasien juga mengaku lemas sejak satu minggu
terakhir. Pasien juga mengeluhkan adanya penurunan berat badan sebanyak 10
kilogram dalam waktu dua bulan serta adanya mual setelah meminum obat paru dari
puskesmas.
Pasien mengaku pernah menderita TBC dan diperiksa dahaknya sebanyak 3
kali dan positif TBC dengan gejala serupa seperti keluhan pasien saat ini pada tahun
2007, berobat di puskesmas II Sumpiuh dan mendapat pengobatan TB kategori I
selama 6 bulan dan pengobatan tuntas. Dua tahun kemudian yakni pada tahun 2010,
pasien mengalami gejala serupa dan kembali berobat di RS Pius dan dari pemeriksaan
dahak serta rontgen dikatakan kambuh lalu mendapat pengobatan TB kategori II
dengan obat suntik dan 3 jenis obat lainnya, namun hanya berobat selama 1 bulan dan
tidak melanjutkan pengobatan karena merasa tidak cocok. Tahun 2011 pasien
kembali berobat karena TBC kembali dan ada keluhan batuk darah. Pasien berobat ke
Puskesmas II Sumpiuh dan diperiksa dahak ternyata positif sehingga pasien kembali
mendapat pengobatan TB kategori II selama 8 bulan, tetapi saat 2 bulan pertama
pasien mendapat obat suntik pasien telat berobat selama satu minggu dan kembali
tidak melanjutkan pengobatan. Selanjutnya pada bulan April tahun 2014 pasien
berobat ke BP4 dan mendapat obat TBC kategori II dan melanjutkan pengobatan ke
Puskesmas II sumpiuh pada bulan Juni 2014 untuk pemeriksaan dahak dan rontgen,
namun pasien telat berobat dan baru datang ke Puskemas pada Tanggal 12 Agustus
2014 dan mendapat obat TB kategori II selama 8 bulan dan saat ini sedang
pengobatan TB paru bulan ke-enam.
Pasien mengaku memiliki kebiasaan merokok, tidak memiliki riwayat alergi,
dan belum pernah dirawat di RSMS dengan keluhan yang sama.
Riwayat penyakit dahulu
a. Riwayat keluhan serupa : diakui pada tahun 2007, 2010, 2011, dan 2014
b. Riwayat mondok : disangkal
c. Riwayat asma : disangkal
d. Riwayat alergi : disangkal
e. Riwayat obat-obatan : diakui minum OAT kategori II 4 jenis obat minum
dan satu jenis obat suntik yakni streptomisin yang
disuntik sebanyak 60 kali dalam 2 bulan, saat ini sudah
pengobatan bulan ke-enam
Riwayat Penyakit Keluarga
a. Riwayat keluhan serupa : diakui (ibu kandung)
b. Riwayat asma : disangkal
c. Riwayat alergi : disangkal
Riwayat Sosial Ekonomi
Pasien tinggal seorang diri dirumahnya, sebelumnya pasien tinggal bersama
ibunya namun setahun yang lalu ibu pasien meninggal karena TBC. Rumah pasien
tidak cukup luas, dengan 2 buah jendela dan beberapa ventilasi yang ukurannya
sangat kecil dan jarang dibuka, serta lantai rumah yang terbuat dari semen. Bangunan
dirumah pasien terdiri dari 2 kamar tidur dan 1 kamar mandi. Sumber air berasal dari
sumur. Pasien mengatakan rumahnya jarang dibersihkan. Pasien bekerja sebagai
penjaga warung internet dan sering bekerja malam hari dan jarang beraktivitas diluar
rumah pada siang hari. Pasien mengaku perokok dan sudah merokok selama 14 tahun
sebanyak 2 bungkus sehari dan sudah berhenti merokok sejak 6 bulan yang lalu.
Hasil anamnesa yang sudah dilakukan, pasien sudah memiliki riwayat TB paru dan
pernah kambuh (relaps) dan dari riwayat pengobatan terakhir pasien mengarahkan
ke TB paru putus obat. Dari anamnesa riwayat penyakit pasien, pasien pernah
mendapat pengobatan TBC kategori II tetapi tidak tuntas dan hasil BTA serta
rontgen masih menunjukkan tanda TB aktif ditakutkan terjadi resistensi maka di DD
dengan MDR. Lalu dari anamnesa diperkuat dengan riwayat pasien tinggal di rumah
dengan ventilasi udara yang kurang menjadi faktor resiko tertular TB paru, ditambah
dengan keterangan bahwa ibu kandung pasien meninggal karena TBC.
IV.2. Pemeriksaan Fisik
Paru Inspeksi : bentuk dada simetris, ketinggalan gerak (-),
retraksi (-), jejas (-)
Palpasi : vocal fremitus kanan=kiri
ketinggalan gerak (-)
Perkusi : sonor pada kedua lapang paru
Auskultasi : Suara dasar vesikuler(+/+)
Wheezing(-), ronkhi basah halus(+) di basal kedua
lapang paru, ronkhi basah kasar (-)
Hasil pemeriksaan fisik dalam status lokalis pulmo abnormal. Pada pemeriksaan
auskultasi paru didapatkan suara ronkhi basah halus di basal paru, menandakan
kemungkinan adanya cairan di paru kemungkinan infeksi sehingga terjadi respon
inflamasi dan kuman produktif menghasilkan cairan di paru.
Pemeriksaan penunjang
Mikrobiologi
Pewarnaan ZN 1X
BTA I : Negatif
Epitel : Positif
Leukosit : Positif
Pewarnaan ZN 2X
BTA II: Scanty (1-9 BTA)
Epitel : Positif
Leukosit : Positif
Rontgen Thorax
Kesan: - Cor tidak membesar
- Gambaran TB paru
- Penebalan pleura pada apeks hemithoraks kanan kiri
Hasil pemeriksaan penunjang menunjukkan bahwa dugaan TB paru terbukti dan
masih aktif karena hasil pemeriksaan BTA II masih positif dan dari gambaran
rontgen menunjukkan adanya gambaran berawan/infiltrate khas pada TB paru.
IV.3. ASSESSMENT
Diagnosis Klinis : TB paru BTA (+), LKPO, dalam terapi OAT bulan ke-6 dd/ MDR
IV.4. PLANNING
Pada pasien ini terapi yang dapat diberikan adalah terapi farmakologi dan non
farmakologi.
Farmakologi:
a. O2 5 lpm NK
Diberikan karena ada indikasi pasien mengalami sesak napas dan sesak
napas membaik setelah menggunakan oksigen
b. IVFD RL + tutofusin 10 tpm
Diberikan sebagai nutrisi dan pengganti cairan tubuh, dehidrasi isotonic, dan
mengganti atau menambah kebutuhan karbohidrat/glukosa.
c. Inj. Ceftriaxone 1x2 gr IV
Diberikan sebagai pengobatan infeksi terutama yang disebabkan oleh bakteri
jika belum diketahui penyebabnya karena bersifat sebagai antibiotik spektrum
luas dan minim efek samping
d. Inj. Ranitidin 2x1 amp
Diberikan karena pasien mengeluh mual kemungkinan disebabkan oleh
salahsatu OAT karena pasien mengatakan mual setelah minum obat paru dai
puskesmas.
e. Inj. MP 3x62,5 mg IV
Diberikan sebagai anti inflamasi dan indikasi pada TB milier/lesi luas
f. PO. Terasma syr 3x1 Cth
Diberikan karena pasien mengeluh sesak dan ada batuk berdahak. Terasma
mempunyai mekanisme kerja sebagai bronkodilator dan ekspektoran sehingga
memiliki efek mengeluarkan dahak dan melegakan saluran nafas.
g. PO. Ambroxol 3x1 tab
Ambroxol diberikan sebagai mukolitik atau pengencer dahak karena pada
pasien ini mengeluh batuk berdahak.
h. OAT lanjut
Pada pasien ini karen sudah memasuki fase lanjutan dari pengobatan TB
maka untuk OAT yang diberikan berupa Rifampisin, INH, dan Etambutol
Non Farmakologi
a. Edukasi tentang penyakit, faktor risiko, pengobatan dan komplikasi penyakit.
Diberikan edukasi terutama mengenai TB dan komplikasinya terutama yang
mengarah ke MDR karena pasien telah beberapa kali mendapat pengobatan
TB dan kembali kambuh. Selain itu diberikan edukasi mengenai faktor resiko
seperti ventilasi udara yang kurang, kebersihan lingkungan rumah yang
kurang serta pola hidup sehat.
b. Mengindari pajanan asap rokok dan berhenti merokok.
Sebagai edukasi ke pasien mengenai faktor yang dapat memperburuk
masalah yang terdapat di paru-paru pasien.
c. Keseimbangan nutrisi antara protein, lemak, karbohidrat yang diberikan
dalam porsi kecil tapi sering.
Karena pasien mengalami penurunan berat badan yang drastic dalam waktu
dua bulan sebanyak 10 kilogram, maka keseimbangan nutrisi maupun intake
nutrisi yang masuk harus disesuaikan.
DAFTAR PUSTAKA
1. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. Tuberkulosis: Pedoman Diagnosis dan
Penatalaksanaannya di Indonesia. 2011
2. Amin Z, Bahar A. Tuberkulosis Paru. Dalam: Sudoyo et.al. Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam Jilid II. 4th ed. Jakarta: Interna Publishing; 2009. p. 2230-2231.
3. Menteri Kesehatan Republik Indonesia. Pedoman Penanggulangan Tuberkulosis
(TB) ; Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor
364/MENKES/SK/V/2009.
4. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Pedoman Nasional Penanggulangan
Tuberkulosis. 2011.