preambule
DESCRIPTION
okeTRANSCRIPT
Sustainable Development Goals (SDGs) adalah sebuah paradigma
pembangunan global. SDGs mempunyai delapan tujuan yang diupayakan untuk
dicapai pada tahun 2015. Salah satu tujuan utamanya adalah pembangunan di
bidang kesehatan. Tujuan utama SDGs sejalan dengan kebijakan nasional yang
telah digariskan dalam Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN) dan telah
disusun sebagai Rencana Pembangunan Kesehatan (RPK) menuju Indonesia
Sehat, yaitu pembangunan di bidang kesehatan dan hendaknya dilakukan secara
terarah, menyeluruh, terpadu, berkesinambungan, dimana keberhasilan program
pembagunan kesehatan ini menyebabkan meningkatnya angka harapan hidup
masyarakat Indonesia. Dengan tercapai tujuan RPK di Indonesia, masalah
kesehatan beralih dari penyakit infeksi ke penyakit degeneratif, salah satunya
adalah penyakit jantung koroner (PJK).
Penyakit Jantung Koroner merupakan gangguan pada pembuluh darah
koroner berupa penyempitan atau penyumbatan yang dapat mengganggu proses
transportasi bahan-bahan energi tubuh, sehingga dapat mengakibatkan terjadi
ketidakseimbangan antara suplai oksigen dan kebutuhan oksigen.
Ketidakseimbangan ini menimbulkan gangguan pompa jantung dan berakhir pada
kelemahan dan kematian sel-sel jantung (Yahya, 2010). Hal itu terjadi karena
adanya atheroma atau atherosclerosis (pengerasan pembuluh darah), sehingga
suplai darah ke otot jantung menjadi berkurang (Maulana, 2008). Penyebab PJK
secara pasti belum diketahui, meskipun demikian secara umum dikenal berbagai
faktor yang berperan penting terhadap timbulnya PJK yang disebut sebagai faktor
risiko PJK. Menurut American Heart Association’s faktor risiko dibagi menjadi
faktor risiko utama, faktor risiko tidak langsung (contributing risk factor) dan
faktor risiko alami. Sedangkan dalam kaitannya dengan upaya pencegahan
kejadian penyakit jantung koroner, faktor-faktor risiko tersebut terbagi atas dua
golongan besar yaitu faktor risiko yang dapat dimodifikasi dan faktor risiko yang
tidak dapat dimodifikasi. Umur, jenis kelamin, dan keturunan (termasuk ras)
merupakan faktor risiko yang tidak dapat dimodifikasi. Sedangkan faktor risiko
yang dapat dimodifikasi yaitu tingginya kolesterol dalam darah, merokok,
hipertensi, kurangnya aktifitas fisik, berat badan lebih dan obesitas, serta diabetes
( Soeharto, 2004). Gambaran klinis PJK dapat berupa angina pectoris, infark
miokard, payah jantung, atupun mati mendadak. Namun, angina pectoris menjadi
gejala utama PJK yang ditandai dengan keluhan nyeri dada (chest pain) atau rasa
tidak enak di dada (chest discomfort) yang spesifik. Ciri khas dari rasa tidak
nyaman ini diawali oleh peningkatan aktifitas fisik dan segera hilang jika sudah
beristirahat. Kondisi lainnya dikenal dengan acute myocard infarct (AMI) yaitu
rusaknya otot jantung akibat penyumbatan arteri secara total sehingga
menimbulkan gejala sakit dada yang hebat, nafas pendek, dan seringkali penderita
akan kehilangan kesadaran sesaat.
Berdasarkan data dari Riset Kesehatan Dasar ([RISKESDAS], 2013)
didapatkan data prevalensi penyakit jantung koroner di Indonesia tahun 2013
sebesar 0,5% atau diperkirakan sekitar 883.447 orang, sedangkan berdasarkan
diagnosis dokter/gejala sebesar 1,5% atau diperkirakan sekitar 2.650.340 orang.
Berdasarkan diagnosis dokter, estimasi jumlah penderita penyakit jantung koroner
terbanyak terdapat di Provinsi Jawa Barat sebanyak 160.812 orang (0,5%),
sedangkan Provinsi Maluku Utara memiliki jumlah penderita paling sedikit, yaitu
sebanyak 1.436 orang (0,2%). Berdasarkan diagnosis/gejala, estimasi jumlah
penderita penyakit jantung koroner terbanyak terdapat di Provinsi Jawa Timur
sebanyak 375.127 orang (1,3%), sedangkan jumlah penderita paling sedikit
ditemukan di Provinsi Papua Barat, yaitu sebanyak 6.690 orang (1,2%). Kematian
yang disebabkan oleh penyakit kardiovaskuler, terutama penyakit jantung koroner
dan stroke diperkirakan akan terus meningkat mencapai 23,3 juta kematian pada
tahun 2030 (Kemenkes, 2014).