pre test anemia

17
BAB I PENDAHULUAN Rata- rata orang dewasa memiliki jumlah sel darah merat (eritrosit) kira-kira 5 juta per milimeter kubik, masing- masing eritrosit memiliki siklus hidup sekitar 120 hari. Keseimbangan tetap dipertahankan antara kehilangan dan penggantian normal sel darah sehari-hari. Seiring dengan eritrosit yang semakin tua, sel tersebut menjadi kaku dan fragil, akhirnya pecah. Perubahan massa eritrosit menimbulkan dua keadaan yang berbeda. Jika jumlah eritrosit kurang, maka timbul anemia, sebaliknya keadaan yang jumlah eritrosit terlalu banyak disebut polisitemia. Anemia merupakan masalah medik yang paling sering dijumpai di klinik di seluruh dunia, di samping sebagai masalah kesehatan utama masyarakat, terutama di negara berkembang. Kelainan ini merupakan penyebab debilitas kronik (chronic debility) yang mempunyai dampak besar terhadap kesejahteraan sosial dan ekonomi serta kesehatan fisik. Oleh karena frekuensinya yang demikian sering, anemia terutama anemia ringan seringkali tidak mendapat perhatian dan dilewati oleh para dokter di praktek klinik. 1

Upload: risti-amalia

Post on 04-Oct-2015

314 views

Category:

Documents


7 download

DESCRIPTION

cdsd

TRANSCRIPT

BAB IPENDAHULUAN

Rata- rata orang dewasa memiliki jumlah sel darah merat (eritrosit) kira-kira 5 juta per milimeter kubik, masing-masing eritrosit memiliki siklus hidup sekitar 120 hari. Keseimbangan tetap dipertahankan antara kehilangan dan penggantian normal sel darah sehari-hari. Seiring dengan eritrosit yang semakin tua, sel tersebut menjadi kaku dan fragil, akhirnya pecah. Perubahan massa eritrosit menimbulkan dua keadaan yang berbeda. Jika jumlah eritrosit kurang, maka timbul anemia, sebaliknya keadaan yang jumlah eritrosit terlalu banyak disebut polisitemia. Anemia merupakan masalah medik yang paling sering dijumpai di klinik di seluruh dunia, di samping sebagai masalah kesehatan utama masyarakat, terutama di negara berkembang. Kelainan ini merupakan penyebab debilitas kronik (chronic debility) yang mempunyai dampak besar terhadap kesejahteraan sosial dan ekonomi serta kesehatan fisik. Oleh karena frekuensinya yang demikian sering, anemia terutama anemia ringan seringkali tidak mendapat perhatian dan dilewati oleh para dokter di praktek klinik.

BAB IITINJAUAN PUSTAKA1.1. Sistem EritroidSistem Eritroid terdiri atas sel darah merah (eritrosit), dan precursor eritroid (eritroid precursor). Eritron merupakan unit fungsional yang mempunyai fungsi sebagai pembawa oksigen (oxygen carrier). Prekursor eritroid dalam sumsum tulang berasal dari sel induk hemopoetik, melalui jalur sel induk myeloid, kemudian menjadi sel induk eritroid, yaitu BFU-E selanjutnya CFU-E. Prekursor eritroid yang dapat dikenal secara morfologik konvensional dalam sumsum tulang dikenal sebagai pronormoblast, kemudian berkembang menjadi basophilic, selanjutnya poluchromatophilic normoblast, dan acidophilic normoblast. Sel ini kemudian kehilangan intinya, masih tertinggal sisa RNA, sehingga disebut retikulosit. Retikulosit dilepas ke darah tepi kehilangan sisa RNA sehingga menjadi eritrosit dewasa. Proses ini dikenal sebagai eritropoesis. Apabila sumsum tulang mengalami kelainan, eritropoesis dapat terjadi di luar sumsum tulang seperti lien dan hati, maka proses ini disebut eritropoesis ekstramedular.Proses pembentukan eritrosit memerlukan:a. Sel induk: BFU-E, CFU-E, normoblastb. Bahan pembentuk eritrosit: besi, vitamin B12, asam folat, protein, dan lain-lainc. Mekanisme regulasi: faktor pembentukan hemopoetik dan hormone eritropoetin.Eritrosit hidup dan beredar di darah tepi rata-rata selama 120 hari. Apabila destruksi terjadi sebelum waktunya, maka proses ini disebut hemolysis. (Bakta, 2006)

1.2. Struktur EritrositEritrosit merupakan sel dengan struktur yang tidak lengkap. Sel ini hanya terdiri atas membrane dan sitoplasma tanpa inti sel. Komponen eritrosit terdiri dari:1. Membran eritrosit2. Sistem enzim: Embden Meyerhoff pathway, pyruvate kinase, dalam pentose pathway: G6PD (glucose 6 phosphate dehydrogenase).3. Hemoglobin yang berfungsi sebagai alat angkut oksigen (Bakta, 2006)

2.1. Definisi AnemiaAnemia adalah berkurangnya hingga di bawah nilai normal jumlah sel darah merah (SDM), kuantitas hemoglobin, dan volume packed red blood cells (hematokrit) per 100 ml darah. Dengan demikian, anemia bukan suatu diagnosis melainkan suatu cerminan perubahan patofisiologik yang mendasar yang diuraikan melalui anamnesis yang seksama, pemeriksaan fisik dan konfirmasi laboratorium. (Price, 2006).

KRITERIA ANEMIA

Parameter yang paling umum dipakai untuk menunjukkan penurunan massa eritrosit adalah kadar hemoglobin, disusul oleh hematokrit dan hitung eritrosit. Pada umumnya ketiga parameter tersebut saling bersesuaian. Yang menjadi masalah adalah berapakah kadar hemoglobin yang dianggap abnormal. Harga normal hemoglobin sangat bervariasi secara fisiologik tergantung pada umur, jenis kelamin, adanya kehamilan dan ketinggian tempat tinggal. Di Negara Barat kadar hemoglobin paling rendah untuk laki-laki adalah 14 g/dl dan 12 gr/dl pada perempuan dewasa pada permukaan laut. Peneliti lain memberi angka berbeda yaitu 12 gr/dl (hematokrit 38%) untuk perempuan dewasa, 11g/dl (hematokrit 36%) untuk perempuan hamil, dan 13 g/dl untuk laki dewasa. WHO menetapkan cut off point anemia untuk keperluarn penelitian lapangan yaitu (Bakta, 2009): Tabel 1.1. Kriteria anemia (Means, 2009)KelompokKriteria Anemia (Hb)

Neonatus< 14 g/dl

Bayi 1 bulan< 12 g/dl

Bayi 2 bulan< 10,5 g/dl

Bayi 3 6 bulan< 10,5 g/dl

Anak umur 6 bulan 1 tahun< 11 g/dl

Anak umur 1 - 4 tahun< 11 g/dl

Anak umur 4 remaja pubertas< 11,5 g/dl

Laki-laki Dewasa< 14 g/dl

Wanita Dewasa tidak hamil< 12 g/dl

Wanita Hamil< 11 g/dl

Untuk keperluan klinik (rumah sakit atau praktek dokter) di Indonesia dan negara berkembang lainnya, kriteria WHO sulit dilaksanakan karena tidak praktis. Apabila kriteria WHO dipergunakan secara ketat maka sebagian besar pasien yang mengunjungi poliklinik atau dirawat di Rmuah Sakit akan memerlukan pemeriksaan work up anemia lebih lanjut. Oleh karena itu bebrapa peneliti di Indonesia mengambil jalan tengah dengan memakai kriteria hemoglobin kurang dari 10 g/dl sebagai awal dari work up anemia, atau di India dipakai angka 10-11 g/dl. (Bakta, 2009)2.2. Etiologi dan Klasifikasi AnemiaPada dasarnya anemia disebabkan oleh: 1) Gangguan pembentukan eritrosit oleh sumsum tulang; 2) Kehilangan darah keluar tubuh (perdarahan); 3) Proses penghancuran eritrosit dalam tubuh sebelum waktunya (hemolisis). Gambaran lebih rinci tentang etiologi anemia dapat dilihat pada tabel di bawah : (Bakta, 2006)Tabel. Klasifikasi Anemia menurut Etiopatogenesis1. Anemia karena gangguan pembentukan eritrosit dalam sumsum tulang1. Kekurangan bahan esensial pembentuk eritrosit 1. Anemia defisiensi besi1. Anemia defisiensi asam folat1. Anemia defisiensi vitamin B121. Gangguan penggunaan (utilisasi) besi1. Anemia akibat penyakit kronik1. Anemia sideroblastik1. Kerusakan sumsum tulang1. Anemia aplastik1. Anemia mieloptisik1. Anemia pada keganasan hematologi1. Anemia diseritropoietik1. Anemia pada sindrom mielodisplastik1. Anemia akibat kekurangan eritropoietin : anemia pada gagal ginjal kronik1. Anemia akibat hemoragi1. Anemia pasca perdarahan akut1. Anemia akibat perdarahan kronik1. Anemia hemolitik1. Anemia Hemolitik intrakorpuskular1. Gangguan membran eritrosit (membranopati)1. Gangguan enzim eritrosit (enzimopati): anemia akibat defisiensi G6PD1. Gangguan Hemoglobin (hemoglobinopati) Thalassemia Hemoglobinopati struktural : HbS,HbE,dll1. Anemia Hemolitik ekstrakorpuskular1. Anemia Hemolitik autoimun1. Anemia Hemolitik mikroangiopatik1. Lain-lain1. Anemia dengan penyebab tidak diketahui atau dengan patogenesis yang kompleks

Klasifikasi lain untuk anemia dapat dibuat berdasarkan gambaran morfologik dengan melihat indeks eritrosit atau hapusan darah tepi. Dalam klasifikasi ini anemia dibagi menjadi tiga golongan :1. Anemia hipokromik mikrositer, bila MCV1 g/dl per minggu. Anemia Hemolitik intravaskular juga sering terjadi dengan cepat, seperti misalnya akibat salah transfusi, atau episode hemolisis pada anemia akibat defisiensi G6PD 3) Anemia yang timbul akibat leukemia akut, 4) krisis Aplastik pada anemia hemolitik kronik.Anemia yang timbul pelan pelan biasanya disebabkan oleh : anemia defisiensi besi, anemia defisiensi folat dan vitamin B12, anemia akibat penyakit kronik, anemia hemolitik kronik yang bersifat kongenital. (Bakta, 2009)Pendekatan berdasarkan Beratnya AnemiaDerajat anemia dapat dipakai sebagai petunjuk ke arah etiologi. Anemia berat biasanya disebabkan oleh: anemia defisiensi besi, anemia aplastik, anemia pada leukimia akut, aneia hemolitik didapat atau kongenital seperti misalnya pada thalasemia major, anemia pasca perdarahan akut, anemia pada GGK stadium terminal.Jenis anemia yang lebih sering bersifat ringan sampai sedang, jarang sampai derajat berat ialah anemia akibat penyakit kronik, anemia pada penyakit sistemik, thalasemia thrait.Jika pada keriga anemia tersebut di atas dijumpai anemia berat,maka harus dipikirkan diagnosa lain. Atau adanya penyebab lain yang dapat memperberat derajat anemia tersebut. (Bakta, 2009)Pendekatan Berdasarkan Sifat Gejala anemiaSifat-sifat gejala anemia dapat dipakai untuk membantu diagnosis.Gejala anemia dapat dipakai untuk membantu diagnosis. Gejala anemia lebih menonjol dibandingkan gejala penyakit dasar dijumpai pada: anemia defisiensi besi, anemia aplastik, anemia hemolitik. Sedangkan pada anemia akibat penyakit kronik dan anemia sekunder lainnya (anemia akibat penyakit sistemik, penyakit hati, atau ginjal), gejala-gejala penyakit dasar sering lebih menonjol. (Bakta, 2009)

Pendekatan Diagnosis Berdasarkan Tuntunan Hasil laboratoriumPendekatan diagnosis dengan cara gabungan hasil penilaian klinis dan laboratorik merupakan cara yang ideal tetapi memerlukan fasilitas dan ketrampilan klinis yang cukup. Di bawah ini diajukan algoritma pendekatan diagnostik anemia berdasarkan hasil pemeriksaan laboratorium. (Bakta, 2009)Algoritme pendekatan diagnosis anemia (Bakta, 2009)Hapusan darah tepi dan indeks eritrosit (MCV,MCH,MCHC)Anemia hipokromik mikrositerAnemia normokromik normositerAnemia makrositerANEMIA

Algoritma Anemia Hipokromik Mikrositer (Bakta, 2009)

Algoritma Anemia Normokromik Normositer (Bakta, 2009)

Algoritma Anemia Makrositer (Bakta, 2009)

2.6. Pemeriksaan PenunjangPemeriksaan LaboratoriumPendekatan laboratorium merupakan penunjang diagnostik pokok dalam diagnosis anemia. Pemeriksaan ini terdiri dari: 1) Pemeriksaan penyaring (screening test); 2) Pemeriksaan darah seri anemia; 3) Pemeriksaan sumsum tulang; 4) Pemeriksaan khusus. (Bakta, 2009)

Pemeriksaan PenyaringPemeriksaan penyaring untuk kasus anemia terdiri dari pegukuran kadar hemoglobin, indeks eritrosit, dan hapusan darah tepi. Dari sini dapat dipastikan adanya anemia serta jenis morfologik anemia tersebut, yang sangat berguna untuk pengarahan diagnosis lebih lanjut. (Bakta, 2009)

Pemeriksaan Darah Seri AnemiaPemeriksaan darah seri anemia meliputi hitung leukosit, trombosit, hitung retikulosit dan laju endap darah. Sekarang sudah banyak dipakai automatic hematology analyzer yang dapat memberikan presisi hasil yang lebih baik. (Bakta, 2009)

Pemeriksaan Sumsum TulangPemeriksaan sumsum tulang memberikan informasi yang sangat berharga mengenai keadaan sistem hemapoesis. Pemeriksaan ini dibutuhkan untuk diagnosis definitif pada beberapa jenis anemia. Pemeriksaan sumsum tulang mutlak diperlukan untuk diagnosis anemia aplastik, anemia megaloblastik serta pada kelainan hematologik yang dapat mensupresi sistem eritroid. (Bakta, 2009)

Pemeriksaan KhususPemeriksaan ini hanya dikerjakan atas indikasi khusus, misalnya pada :1. Anemia Defisiensi Besi: serum iron, TIBC (total iron biding capacity), saturasi transferin, protoporfirin eritrosit, feritin serum, reseptor transferin dan pengecatan besi pada sumsum tulang ( Perls stain).1. Anemia Megaloblastik: folat serum, vitamin B12 serum, tes supresi deoksirudin, dan tes Schiling.1. Anemia Hemolitik: bilirubin serum, tes Coomb, elektroforesis hemoglobin dan lain lain.1. Anemia Aplastik: biopsi Sumsum tulang.

Juga diperlukan pemeriksaan non-hematologik tertentu seperti misalnya pemeriksaan faal hati, faal ginjal atau faal tiroid. (Bakta, 2009)

2.7. Tatalaksana AnemiaBeberapa hal yang perlu diperhatikan dalam pemberian terapi pada pasien anemia ialah :1. Pengobatan hendaknya diberikan berdasarkan diagnosis definitif yang telah ditegakkan terlebih dahulu 1. Pemberian hematinik tanpa indikasi yang jelas tidak dianjurkan1. Pengobatan anemia dapat berupa :1. Terapi untuk keadaan darurat seperti misanya pada perdarahan akut akibat anemia aplastik yang mengancam jiwa pasien, atau pada anemia pasca perdarahan akut yang disertai gangguan hemodinamik1. Terapi suportif1. Terapi yang khas untuk masing-masing anemia1. Terapi kausal untuk mengobati penyakit dasar yang menyebabkan anemi tersebut.1. Dalam keadaan di mana diagnosis definitif tidak dapat ditegakkan, kita terpaksa memberikan terapi percobaan (terapi ex juvantivus), disini harus dilakukan pemantauan yang ketat terhadap respon terapi dan perubahan perjalanan penyakit pasien dan dilakukan evaluasi terus menerus tentang kemungkinan perubahan diagnosis. (Bakta, 2006)

Transfusi diberikan pada anemia pasca perdarahan akut dengan tanda-tanda gangguan hemodinamik. Pada anemia kronik transfusi hanya diberikan jika anemia bersifat simtomatik atau adanya ancaman payah jantung. Di sini diberikan packed red cell, jangan whole blood. Pada anemia kronik sering dijumpai peningkatan volume darah, oleh karena itu transfusi diberikan dengan tetesan pelan. Dapat juga diberikan diuretik kerja cepat seperti furosemid sebelum transfusi. (Bakta, 2006)3.1. Transfusi Tranfusi darah adalah suatu rangkain proses pemindahan darah donor ke dalam sirkulasi dari resipien sebagai upaya pengobatan. Bahkan sebagai upaya untuk menyelamatkan kehidupan. Berdasarkan asal darah yang diberikan tranfusi dikenal: 1) Homologous tranfusi (berasal dari darah orang lain); 2) Autologous tranfusi (berasal dari diri sendiri). Indikasi Tranfusi darah secara garis besar Indikasi Tranfusi darah adalah :a. Untuk mengembalikan dan mempertahankan suatu volume peredaran darah yang normal, misalnya pada anemia karena perdarahan, trauma bedah, atau luka bakar luas.b. Untuk mengganti kekurangan komponen seluler atau kimia darah, misalnya pada anemia, trombositopenia, hipotrombinemia, dan lain-lain. (PMI, 2002; Latief, 2002)

Keadaan yang memerlukan Tranfusi darah :a. Anemia karena perdarahan, biasanya digunakan batas Hb 7-8 g/dL. Bila telah turun hingga 4,5 g/dL, maka penderita tersebut telah sampai kepada fase yang membahayakan dan tranfusi harus dilakukan secara hati-hati.b. Anemia haemolitik, biasanya kadar Hb dipertahankan hingga penderita dapat mengatasinya sendiri. Umumnya digunakan patokan 5g/dL. Hal ini dipertimbangkan untuk menghindari terlalu seringnya tranfusi darah dilakukan.c. Anemia aplastikd. Leukimia dan anemia refrektere. Anemia karena sepsis (PMI, 2002; Latief, 2002)

PROSEDUR PELAKSANAAN TRANFUSI DARAH

Banyak laporan mengenai kesalahan tatalaksana tranfusi, misalnya kesalahan pemberian darahmilik pasien lain. Untuk menghindari berbagai kesalahan, maka perlu diperhatikan :a. Identitas pasien harus dicocokan secara lisan maupun tulisan. b. Identitas dan jumlah darah dalam kemasan dicocokkan dengan formulir permintaan darahc. Tekanan darah, frekuensi denyut jantung dan suhu harus diperiksa sebelumnya, serta diulang secra rutin.d. Observasi ketat, terutama pada 15menit pertama setelah tranfusi darah dimulai. Sebaiknya 1 unit darah diberikan dalam waktu 1-2 jam tergantung status kardiovaskuler dan dianjurkan tidak lebih dari 4 jam mengingat kemungkinan proliferasi bakteri pada suhu kamar. (Sudarmanto, 2005; Hoffbrand, 1996)

Kebutuhan darah:Hb (Hb Target Hb Aktual) x 3 x BB

DAFTAR PUSTAKA

Bakta IM. Hematologi Klinik Ringkas. Jakarta: EGC. 2006. h: 9-25Bakta IM. Pendekatan Terhadap Pasien Anemia dalam Buku Ajar Penyakit Dalam Jilid II Edisi V. Jakarta: EGC. 2009. h: 1109-1115Hoffbrand, A.V. Kapita selekta Hematologi; oleh A.V Hoffbrand dan J.E. Pettit; alih bahasa, Iyan Darmawan. Ed.2.-Jakarta: EGC. 1996.Latief SA, Suryadi KA, Cachlan MR. Petunjuk Praktis Anestesiologi Edisi Kedua, Jakarta : Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif FKUI. 2002.Means RT and Glader B. Anemia: General Consideration in Wintrobes Clinical Haematology. 12th Edition. 2009. p: 780-807Price S, Wilson AM, Lorraine. Patofisiologi. Edisi 6. Jakarta: EGC. 2006Palang Merah Indonesia. 2002. Pelayanan Transfusi Darah, [Internet] http://www.palangmerah.org/pelayanan transfusi.asp. Update: 12 Maret 2015Sudarmanto B, Mudrik T, AG Sumantri. Transfusi Darah dan Transplantasi dalam Buku Ajar Hematologi- Onkologi Anak. Jakarta. Balai Penerbit IDAI. 2005.h: 217-225.

12