praktik sewa lahan pertanian di masyarakat perspektif

13
El-Faqih : Jurnal Pemikiran dan Hukum Islam Volume 6, Nomor 1, April 2020 e-ISSN : 2503-314X; p-ISSN: 2443-3950 https://ejournal.iaifa.ac.id/index.php/faqih 36 Accepted: Januari 2019 Revised: Februari 2020 Published: Maret 2020 Praktik Sewa Lahan Pertanian di Masyarakat Perspektif Hukum Ekonomi Islam Muhamad Wildan Fawa’id Institut Agama Islam Negeri Kediri, Indonesia email: wildanfawa’[email protected] Nur Huda Institut Agama Islam Faqih Asy’ari Kediri, Indonesia email: [email protected] Abstract Indonesia is an agrarian country. About 13% of the total land area in Indonesia is used for agriculture. Then, about 5% of them are located on Java Island, approximately 7.1 million hectares the area of this agricultural land in its management is more managed by the community, with a variety of akad done. Starting from rent for a season, a year even buy. For people who are farmed but do not have farmland, to buy will feel heavy, because the price of land will continue to crawl up from year to year. The solution is the lease. Like a rental in general, tenants only have the right to make use of not selling. But according to some Ahaadeeth rented farmland was not allowed by the prophet. But using the analytical descriptive method of the study replied that the lease of farmland forbidden by the prophet was rent by paying using the harvest. But no one can guarantee this land can be harvested or not. From here comes speculation, whereas in Islam we are forbidden for speculation. So the rental of land is allowed because as long as paying rent using money, not agricultural products. So the element of speculation and harm can be eliminated Keywords: Land lease, agriculture, Islamic economic law

Upload: others

Post on 16-Oct-2021

36 views

Category:

Documents


2 download

TRANSCRIPT

Page 1: Praktik Sewa Lahan Pertanian di Masyarakat Perspektif

El-Faqih : Jurnal Pemikiran dan Hukum Islam Volume 6, Nomor 1, April 2020

e-ISSN : 2503-314X; p-ISSN: 2443-3950

https://ejournal.iaifa.ac.id/index.php/faqih

36

Accepted:

Januari 2019

Revised:

Februari 2020

Published:

Maret 2020

Praktik Sewa Lahan Pertanian di Masyarakat Perspektif Hukum Ekonomi Islam

Muhamad Wildan Fawa’id Institut Agama Islam Negeri Kediri, Indonesia

email: wildanfawa’[email protected]

Nur Huda Institut Agama Islam Faqih Asy’ari Kediri, Indonesia

email: [email protected]

Abstract

Indonesia is an agrarian country. About 13% of the total land area in Indonesia

is used for agriculture. Then, about 5% of them are located on Java Island,

approximately 7.1 million hectares the area of this agricultural land in its

management is more managed by the community, with a variety of akad done.

Starting from rent for a season, a year even buy. For people who are farmed but

do not have farmland, to buy will feel heavy, because the price of land will

continue to crawl up from year to year. The solution is the lease. Like a rental in

general, tenants only have the right to make use of not selling. But according to

some Ahaadeeth rented farmland was not allowed by the prophet. But using the

analytical descriptive method of the study replied that the lease of farmland

forbidden by the prophet was rent by paying using the harvest. But no one can

guarantee this land can be harvested or not. From here comes speculation,

whereas in Islam we are forbidden for speculation. So the rental of land is

allowed because as long as paying rent using money, not agricultural products.

So the element of speculation and harm can be eliminated

Keywords: Land lease, agriculture, Islamic economic law

Page 2: Praktik Sewa Lahan Pertanian di Masyarakat Perspektif

Praktik Sewa Lahan Pertanian di Masyarakat Perspektif Hukum Ekonomi Islam

37

El Faqih, Vol. 6, No. 1, April 2020

Abstaksi

Indonesia merupakan negara agraris. Sekitar 13% dari total luas lahan di

Indonesia digunakan untuk pertanian. Lalu, sekitar 5% di antaranya berada di

Pulau Jawa, luasnya sekitar 7,1 juta hektare1 Luas lahan pertanian ini dalam

pengelolaannya lebih banyak di kelola oleh masyarakat, dengan berbagai

macam akad yang dilakukan.Mulai dari sewa untuk semusim, setahun bahkan

beli. Bagi masyarakat yang berjiwa tani namun tidak memiliki lahan pertanian,

untuk membeli akan terasa berat, karena harga tanah akan terus merangkak naik

dari tahun ke tahun. Solusinya adalah sewa. Layaknya sewa pada umumnya,

penyewa hanya berhak memanfaatkan tidak berhak menjual. Namun menurut

beberapa hadits menyewa lahan pertanian tidak diperbolehkan oleh Nabi. Tapi

dengan menggunakan metode deskriptif analitik penelitian ini menjawab bahwa

sewa lahan pertanian yang dilarang oleh Nabi adalah sewa dengan membayar

menggunakan hasil panen. Padahal tidak ada seorangpun yang bisa menjamin

lahan ini bisa dipanen atau tidak. Dari sini munculah spekulasi, padahal dalam

Islam kita dilarang untuk spekulasi. Sehingga sewa tanah diperbolehkan karena

asalkan membayar sewanya menggunakan uang, bukan hasil pertanian.

Sehingga unsur spekulasi dan merugikan bisa dihilangkan

Kata Kunci: sewa lahan, pertanian, hukum ekonomi islam

Pendahuluan

Manusia merupakan makhluk sosial yang diciptakan untuk berinteraksi

antara satu dengan yang lain. Dari interaksi soaial ini timbul hubungan timbal

balik yang akan tercapai sebuah tatanan hidup yang kompleks dan memerlukan

aturan hukum yang mengatur hubungan antara sesama manusia dikenal dengan

istilah muamalat.2

Sebagai makhluk sosial, manusia tidak bisa lepas untuk berhubungan

dengan orang lain dalam kerangka memenuhi kebutuhan hidupnya. Kebutuhan

manusia sangat beragam, sehingga terkadang secara pribadi ia tidak mampu

untuk memenuhinya, dan harus berhubungan dengan orang lain. Hubungan

antara satu manusia dengan manusia lain dalam memenuhi kebutuhan, terdapat

aturan yang menjelaskan hak dan kewajiban keduanya berdasarkan kesepakatan.

Proses untuk membuat kesepakatan dalam kerangka memenuhi kebutuhan

1 Rizky Alika, Akademisi dan DPR Sebut Infrastruktur Gerus Lahan Pertanian, Katadata.co.id,

diakses 08 Januari 2020 2 Ahmad Azhar Basyir, Asas-asas Hukum Muamalat (Hukum Perdata Islam) (Yogyakarta : UUI

Press, 2004), 11-12.

Page 3: Praktik Sewa Lahan Pertanian di Masyarakat Perspektif

38 Muhamad Wildan Fawa’id dan Nur Huda

El Faqih, Vol. 6, No. 1, April 2020

keduanya, lazim disebut dengan proses untuk berakad atau melakukan kontrak.3

Sebagai makhluk sosial manusia saling membutuhkan satu dengan yan lain,

sebagaimana yang diperintahkan-Nya, Allah menyuruh umat manusia untuk

saling tolong-menolong antar sesama, sesuai dengan firman Allah SWT, yakni:

Salah satu bentuk konkrit tolong menolong adalah dengan melakukan transaksi

perniagaan, karena manusia juga tidak dapat terlepas dari kegiatan ekonomi

untuk mempertahankan kelangsungan hidupnya.

Indonesia merupakan negara Agraris yang luasnya 7,1 juta hectare.

Sehingga salah satu mata pencaharian rakyat Indonesia adalah bertani. Pertanian

adalah kegiatan pemanfaatan sumber daya hayati yang dilakukan manusia untuk

menghasilkan bahan pangan, bahan baku industri, atau sumber energi, serta untuk

mengelola lingkungan hidupnya. Kegiatan pemanfaatan sumber daya hayati yang

termasuk dalam pertanian biasa dipahami orang sebagai budidaya tanaman atau

bercocok tanam (bahasa Inggris: crop cultivation) serta pembesaran hewan

ternak (raising), meskipun cakupannya dapat pula berupa pemanfaatan

mikroorganisme dan bioenzim dalam pengolahan produk lanjutan, seperti

pembuatan keju dan tempe, atau sekadar ekstraksi semata, seperti penangkapan

ikan atau eksploitasi hutan. 4 Sejarah Indonesia sejak masa kolonial sampai

sekarang tidak dapat dipisahkan dari sektor pertanian dan perkebunan, karena

sektor - sektor ini memiliki arti yang sangat penting dalam menentukan

pembentukan berbagai realitas ekonomi dan sosial masyarakat di berbagai

wilayah Indonesia. Data dari Badan Pusat Statistik (BPS), pekerja di sektor

pertanian tercatat 35,7 juta orang atau 28,79 persen dari jumlah penduduk bekerja

124,01 juta jiwa pada tahun 2018.5

Memiliki lahan pertanian merupakan idaman setiap petani. Namun

keterbatasan dana membuat masyarakat memilih pekerjaan lain yang lebih

menjanjikan. Bisa menjadi kuli, tukang bangunan, peternak dan buruh tani.

Namun bagi masyarakat yang memiliki uang yang lebih mereka lebih memilih

menyewa lahan pertanian untuk digarap dan dijadikan mata pencaharian utama.

Sewa menyewa sebenarnya sudah bukan hal yang aneh di masyarakat, karena

sudah dilakukan ratusan tahun lamanya. Namun yang menjadi pertanyaan adalah

3 Dimyauddin Djuwaini, Pengantar Fiqh Muamalat (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008), 47. 4 Safety and health in agriculture. International Labour Organization. 1999. ISBN 978-92-2-

111517-5. Diakses tanggal 08 Januari 2019. 5 Hasil Survei Pertanian Antar Sensus (Sutas) 2018, www.bps.go.id, diakses tanggal 08 Januari

2019

Page 4: Praktik Sewa Lahan Pertanian di Masyarakat Perspektif

Praktik Sewa Lahan Pertanian di Masyarakat Perspektif Hukum Ekonomi Islam

39

El Faqih, Vol. 6, No. 1, April 2020

apakah sewa menyewa lahan yang selama ini dipraktekkan di masyarakat ini

sudah sesuai dengan hukum Islam, yang merupakan agama mayoritas masyarakat

Indonesia.

Metode Penelitian

Metode penelitian merupakan suatu cara yang di tempuh untuk

melaksanakan penelitian. Metode yang di gunakan peneliti adalah metode

kualitatif, Metode kualitatif berusaha memahami persoalan secara keseluruhan

(holistik) dan dapat mengungkapkan rahasia dan makna tertentu. Pendekatan

kualitatif memusatkan perhatiannya pada prinsip-prinsip umum yang mendasari

perwujudan satuan-satuan gejala yang ada dalam kehidupan manusia.

Dalam penelitian ini peneliti menggunakan pendekatan penelitian

deskriptif-analitik, yaitu penelitian yang digunakan untuk mengungkapkan,

menggambarkan dan menguraikan suatu masalah secara obyektif dari obyek

yang diselidiki tersebut. Penelitian deskriptif ini bertujuan untuk membuat

deskripsi, gambaran atau lukisan secara sistematis, faktual dan akurat mengenai

fakta-fakta, sifat-sifat serta hubungan antar fenomena yang diselidiki6.

Dalam kaitannya dengan tinjauan hukum Islam, maka dalam penelitian ini

mengunakan pendekatan normative, yaitu suatu pendekatan terhadap suatu

masalah yang ada yang bertolak ukur pada hukum Islam untuk memperoleh

kesimpulan bahwa sesuatu yang diteliti tersebut sesuai atau tidak dengan

ketentuan syari’at atau kaidah-kaidah fikih yang berkaitan dengan masalah yang

diteliti.

Pembahasan

Sewa Menyewa dalam Islam

Sewa-menyewa dalam bahasa Arab disebut “al-ijārah”, Menurut

pengertian hukum Islam sewa-menyewa itu diartikan sebagai suatu jenis akad

untuk mengambil manfaat dengan jalan penggantian.7 Kata “menyewa” berasal

dari kata “sewa” yang mendapat awalan “me” sehingga menjadi sebuah kata

6 S. Nasution, Metodologi Penelitian Naturalistik Kualitatif (Bandung : Trasito.1998 ), 73 7 Chairuman Pasaribu dan Surawardi K.Lubis, Hukum Perjanjian Dalam Islam (Jakarta : Sinar

Grafika,1996), 53

Page 5: Praktik Sewa Lahan Pertanian di Masyarakat Perspektif

40 Muhamad Wildan Fawa’id dan Nur Huda

El Faqih, Vol. 6, No. 1, April 2020

“menyewa” yang memiliki arti “memakai (meminjam, menampung) dengan

membayar uang sewa”.8

Sedangkan menurut istilah, para ulama berbeda-beda

mendefenisikanijarah, antara lainadalah sebagai berikut:

1. Menurut Hanafiyah bahwa ijarah adalah “ Akad untuk membolehkan

pemilikan manfaatyang diketahui dan disengaja dari suatu zat yang

disewakan dengan imbalan.”

2. Menurut Malikiyah bahwa ijarah adalah “ Nama bagi akad-akad untuk

kemanfaatan yangbersifat manusiawi dan untuk sebagian yang dapat

dipindahkan.”

3. Menurut Syaikh Syihab Al-Din dan Syaikh Umairah bahwa yang dimaksud

denganijarahadalah “Akad atas manfaat yang diketahui dan disengaja untuk

memberi danmembolehkan dengan imbalan yang diketahui ketika itu.”.

4. Menurut Muhammad Al-Syarbini al-Khatib bahwa yang dimaksud dengan

ijaraha dalah“ Pemilikan manfaat dengan adanya imbalan dan syarat-syarat.”

Orang yang menyewakan disebut dengan mu'ajir. Sedangkan orang yang

menyewa disebut dengan musta'jir. Benda yang disewakan diistilahkan dengan

ma'jur dan uang sewa atau imbalan atas pemakaian manfaat barang tersebut

disebut ujrah. Dari beberapa pengertian ijarah (sewa) tersebut diatas dapat

dikemukakan bahwa pada dasarnya tidak ada perbedaan yang prinsip diantara

para ulama dalam mengartikan ijarah (sewa), dari definisi tersebut dapat diambil

intisari bahwa ijarah atau sewa menyewa adalah akad atas manfaat dengan

imbalan. Dengan demikian, objek sewa menyewa adalah manfaat atas suatu

barang (bukan barangnya). Dari segi imbalannya ijarah ini mirip dengan jual beli,

tetapi keduanya berbeda karena dalam jual beli objeknya benda, sedangkan

dalam ijarah objeknya adalah manfaat dari benda.9

Dasar kebolehan sewa -menyewa adalah firman Allah SWT. Sebagai

berikut disebutkan :

8 Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka,

2002), 1057. 9 Wahbah Zuhaili, Fiqh Imam Syafi’i, Penerjemah Muhammad Afifi dan Abdul Hafiz, Judul Asli:

Al-Fiqhu Asy-Syafi’i Al-Muyassar, Cet. I (Jakarta: Al-Mahira, 2010), 37.

Page 6: Praktik Sewa Lahan Pertanian di Masyarakat Perspektif

Praktik Sewa Lahan Pertanian di Masyarakat Perspektif Hukum Ekonomi Islam

41

El Faqih, Vol. 6, No. 1, April 2020

Artinya: Salah seorang dari kedua wanita itu berkata: "Ya bapakku ambillah ia

sebagai orang yang bekerja (pada kita), Karena Sesungguhnya orang

yang paling baik yang kamu ambil untuk bekerja (pada kita) ialah orang

yang Kuat lagi dapat dipercaya", Berkatalah dia (Syu'aib):

"Sesungguhnya Aku bermaksud menikahkan kamu dengan salah

seorang dari kedua anakku ini, atas dasar bahwa kamu bekerja

denganku delapan tahun dan jika kamu cukupkan sepuluh tahun Maka

itu adalah (suatu kebaikan) dari kamu, Maka Aku tidak hendak

memberati kamu. dan kamu insya Allah akan mendapatiku termasuk

orang- orang yang baik"11.

Ayat di atas menerangkan bahwa sewa-menyewa telah disyariatkan dan

dijadikan landasan dalam mempekerjakan seseorang bahwa orang yang baik di

sewa atau di jadikan pekerja yaitu orang yang kuat fisik maupun akal. Lebih

lanjut bahwa prinsip dalam sewa menyewa atau mempekerjakan seseorang

adalah orang yang pandai menjaga amanah dan berpengetahuan baik menyangkut

tugas atau pekerjaan yang akan di embannya.

Dan juga diperkuat dengan hadits

(

Artinya : Dari Ibnu Umar RA, berkata bahwa Rasulullah saw telah bersabda:

berikanlah upah pekerjaan sebelum keringatnya kering. (riwayat Ibnu

Majah).12

Hadis di atas menjelaskan bahwa, dalam persoalan sewa-menyewa

terutama yang memakai jasa manusia untuk mengerjakan suatu pekerjaan, upah

atau pembayaran harus segera diberikan sebelum keringatnya kering,

10 QS. al Qashash (28) : 26 – 27 11 Departemen Agama RI, Al Qur’an dan Terjemah (Bandung: PT Penerbit J-ART, 2005), 559. 12 Sohari Sahrani, Fikih Muamalah Untuk Mahasiswa dan Umum (Bogor: Ghalia Indonesia,

2011), 167

Page 7: Praktik Sewa Lahan Pertanian di Masyarakat Perspektif

42 Muhamad Wildan Fawa’id dan Nur Huda

El Faqih, Vol. 6, No. 1, April 2020

maksudnya, dalam hal pembayaran upah harus disegerakan dan langsung, tidak

boleh ditunda-tunda pembayarannya.

Islam memberikan aturan tentang kejelasan dalam suatu perniagaan,

kejelasan mengenai akad jual-beli itu yaitu batal atau sahnya suatu akad. Selain

rukun dan syarat-syarat akad yang harus terpenuhi dalam suatu perjanjian, juga

harus dipenuhi beberapa kualifikasi yang sesuai ketentuan syariah, salah satunya

yaitu bebas dari garar, maysir dan riba. Sesuatu yang mengandung unsur garar,

maysir dan riba dikhawatirkan menimbulkan berbagai masalah. Makanya dalam

kegiatan muamalat yang terpenting adalah akad. Tujuan akad adalah maksud

bersama yang dituju dan hendak diwujudkan oleh para pihak melalui pembuatan

akad tercapai. Berbeda akad maka berbeda pula akibat hukumnya. Akibat hukum

akad dalam hukum Islam disebut “hukum akad” (hukm al-‘aqd).13 Mengapa

Islam begitu getol menegaskan perihal akad, karena berhubungan dengan apa

yang akan kita makan atau konsumsi. Makanan yang kita konsumsi adalah

makanan yang halalan dan thoyyiban, tidak hanya sekedar baik barangnya,

namun juga halal cara memperolehnya, bukan dari mengambil harta orang lain

secara batil.14

Praktek Sewa Menyewa Lahan Pertanian di Masyarakat

Praktek sewa menyewa yang dilaksanakan di masyarakat hari ini adalah,

antar penyewa dan pemilik lahan bertemu lalu membuat kesepakatan untuk

menyewakan lahan pertaniannya. Kemudian disepakati harga sewanya berapa

untuk berapa lama periode sewanya. Selama disewakan, pemilik tidak berhak

untuk melakukan intervensi kepada penyewa lahan, begitu pula saat gagal panen

tidak ada hubungannya dengan pemilik lahan, mau rugi ataupun untung, harga

sewa tidak berubah. Sewa menyewa ini dibayarkan dengan uang di depan,

kadang juga di angsur sampai beberapa kali. Selama masa sewa penyewa tidak

boleh membatalkan perjanjian di tengah jalan, begitu pula pemilik lahan tidak

boleh menyewakan lahan selama lahan masih disewa oleh orang lain. Sewa

menyewa berbeda dengan akad-akad mukhabarah, muzaroah dan masaqoh.

Berikut table perbedaannya.

13 Ruslan Abd. Ghofur, Akibat Hukum Dan Terminasi Akad Dalam Fiqh Muamalah, ASAS, Vol.

2, No. 2, Juli 2010. 14 QS. An-Nisaa (4) : 29.

Page 8: Praktik Sewa Lahan Pertanian di Masyarakat Perspektif

Praktik Sewa Lahan Pertanian di Masyarakat Perspektif Hukum Ekonomi Islam

43

El Faqih, Vol. 6, No. 1, April 2020

Tabel 1. Perbedaan akad-akad pertanian yang dikenal dalam Fiqh Muamalah

Nama Akad Pengertian Benih Hasil

Mukhabarah Kerja sama antara pemilik sawah atau

ladang dan penggarap dengan bagi hasil

menurut perjanjian.

Pemilik

lahan

Sesuai

perjanjian

Muzaroah Kerja sama antara pemilik sawah atau

ladang dengan penggarap, dengan

pembagian hasil menurut perjanjian.

Pengelola Sesuai

perjanjian

Musaqoh Paroan kebun, tanaman atau buah-buahan,

dimana pemilik kebun menyerahkan

kepada orang lain untuk memeliharanya.

Pengelola Sesuai

perjanjian

Sewa Lahan pertanian disewa oleh pengelola

lahan.

Penyewa Penyewa

Ketiga bentuk akad menjelaskan bahwa model sewa menyewa lahan tidak

dikenal dalam dunia Islam. Mukhabarah dan Muzaraah lebih seperti kerja sama

(musyrakatah) antara pemilik lahan dan pengelola lahan dengan imbal jasa

berupa keuntungan hasil panen, sedangkan Musaqoh lebih pada upah. Sedangkan

sewa menyewa benih dari penyewa dan hasil hanya dinikmati penyewa, pemilik

lahan hanya menikmati uang sewa semata.

Praktek Sewa Menyewa Lahan Pertanian di Masyarakat Menurut Hukum

Islam

1. Larangan menyewakan lahan pertanian

Artinya: “Barang siapa memiliki sebidang tanah, maka hendaknya ia

menggarap dan menanaminya. Dan bila ia tidak bisa

menanaminya atau telah kerepotan untuk menanaminya, maka

hendaknya ia memberikannya kepada saudaranya sesama

muslim. Dan tidak pantas baginya untuk menyewakan tanah

tersebut kepada saudaranya.” [Riwayat Bukhari hadits no. 2215

dan Muslim hadits nomor 1536]

2. Mensyari’atkan Kerja Sama Yang Saling Menguntungkan:

Page 9: Praktik Sewa Lahan Pertanian di Masyarakat Perspektif

44 Muhamad Wildan Fawa’id dan Nur Huda

El Faqih, Vol. 6, No. 1, April 2020

Hubungan kerja sama yang saling menguntungkan ini diwujudkan

dalam bentuk musaqaah atau muzaraah. Melalui dua skema kerja sama ini,

kaum Anshar mempekerjakan Muhajirin di ladang mereka, dan kemudian di

saat musim panen tiba, mereka membagi hasilnya sesuai perjanjian. Adanya

kerja sama ini nampak dengan jelas pada penuturan sahabat Abu Hurairah

Radhiyallahu anhu berikut ini:

:

Artinya: Orang-orang Anshar berkata kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa

sallam “Bagilah ladang kurma kami menjadi dua bagian, satu

bagian untuk kami dan yang lain untuk saudara-saudara kami

Muhajirin.” Namun Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam

menjawab usulan ini dengan bersabda: Tidak. Lalu beliau

menawarkan solusi lain melalui sabdanya:”Bila demikian, kalian

mempercayakan kepada kami urusan ladang kalian, dan

selanjutnya kami turut serta bersama kalian dalam menikmati

hasilnya.” Spontan kaum Anshar menyambut tawaran beliau ini

dan berkata: “Ya, kami mendengar dan patuh kepada petunjuk

ini.” [Bukhari hadits no. 2200]

Dalam kedua hadits di atas menunjukkan bahwa kita lebih baik untuk

bekerjasama menggunakan akad mukhabarah, muzaraah daripada dengan akad

sewa bila kita tidak mampu mengurus lahan itu sendiri. Namun kita perlu pahami

asbabul wurud kenapa Rasulullah SAW melarang untuk menyewakan lahan

pertanian, yaitu :

1. Jasa dan peran para petani beserta hasil kerjanya begitu penting karena

menyangkut hajat hidup orang banyak termasuk Anda. Karena itu,

terwujudnya ketahanan pangan bagi seluruh lapisan masyarakat menjadi

bagian penting bagi terwujudnya kejayaan mereka. Oleh karena itu, sebagian

ulama berpendapat bahwa pada awal Islam Nabi Shallallahu ‘alaihi wa

sallam melarang sahabatnya dari menyewakan ladang atau tanah pertanian.

Mungkin salah satu hikmah yang dapat kita petik dari larangan itu ialah guna

memeratakan ketahanan pangan.15

15 Al-Muhalla oleh Ibnu Hazm 8/211, Bidayatul Mujtahid oleh Ibnu Rusyd 2/179, dan Fat-hul

Bari oleh Ibnu Hajar al-Asqalani 5/24

Page 10: Praktik Sewa Lahan Pertanian di Masyarakat Perspektif

Praktik Sewa Lahan Pertanian di Masyarakat Perspektif Hukum Ekonomi Islam

45

El Faqih, Vol. 6, No. 1, April 2020

2. Kondisi para sahabat, terlebih kaum Muhajirin pada awal hijrah ke kota

Madinah, sangat memprihatinkan. Mereka berhijrah ke kota Madinah tanpa

membawa serta harta kekayaannya. Kondisi ini tentu perlu disiasati dengan

bijak dan hikmah, sehingga tidak berkepanjangan dan menimbulkan dampak

sosial yang berat.

3. Membayar sewa menggunakan hasil panen rawan spekulasi karena bisa saja

petani panen bisa saja tidak. Untuk itu membayar dengan uang lebih

disarankan karena tidak ada pihak yang dirugikan.

Dari sini jelas sudah bahwa pelarangan Rasulullah SAW sesuai dengan

kondisi masyarakat pada waktu itu. Dan tidak bisa hadits ini dimaknai secara

langsung tanpa memahami asbabul wurud hadits tersebut. Bila hadits pelarangan

ini digunakan maka hal ini juga akan berlaku pada sewa kios dan ruko untuk

usaha, karena sewa lahan pertanian dan ruko atau kios tidak ada bedanya, yang

diambil adalah manfaatnya bukan bendanya.16

Kepastian Dan Kejelasan Masa Sewa Dan Nilai Sewa.

Sewa-menyewa termasuk ladang pertanian, sejatinya adalah bentuk pertukaran

harta kekayaan. Karena itu kejelasan merupakan satu hal penting yang harus

Anda wujudkan padanya. Semua itu demi menghindari perselisihan dan silang

pemahaman antara kedua belah pihak. Dan dengan cara ini, masing-masing pihak

mendapatkan haknya secara utuh tanpa ada yang terkurangi. Nilai sewa atau

masa sewa yang tidak jelas, menjadikan akad tersebut terlarang dalam Islam.

Karena itu beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang menyewakan ladang

dengan upah berupa bagian dari hasil ladang itu, yang nominal atau jumlahnya

tidak dapat ditentukan. Ketentuan ini merupakan aplikasi nyata dari hadits

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berikut:

16 Cindi Kondo, Tanggung Jawab Hukum Dalam Perjanjian Sewa Menyewa Rumah Toko

(Ruko), Lex Privatum, Vol.I/No.3/Juli/2013.

Page 11: Praktik Sewa Lahan Pertanian di Masyarakat Perspektif

46 Muhamad Wildan Fawa’id dan Nur Huda

El Faqih, Vol. 6, No. 1, April 2020

Artinya: Pada suatu hari, Hanzhalah bin Qais al-Anshari bertanya kepada Rafi’

bin Khadij perihal hukum menyewakan ladang dengan uang sewa

berupa emas dan perak. Maka Rafi’ bin Khadij menjawab, “tidak

mengapa. Dahulu semasa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam

masyarakat menyewakan ladang dengan uang sewa berupa hasil dari

bagian ladang tersebut yang berdekatan dengan parit atau sungai, dan

beberapa bagian hasil tanaman. Dan kemudian di saat panen tiba,

ladang bagian ini rusak, sedang bagian yang lain selamat, atau bagian

yang ini selamat, namun bagian yang lain rusak. Kala itu tidak ada

penyewaan ladang selain dengan cara ini, maka penyewaan semacam

ini dilarang. Adapun menyewakan ladang dengan nialai sewa yang

pasti, maka tidak mengapa.17

Hadits ini menjelaskan ketentuan uang sewa:

1. Bila sewa ladang dengan uang baik dinar atau dirham atau uang lain yang

serupa, maka insya Allah tidak mengapa.

2. Namun, bila uang sewa berupa hasil tanaman yang ditanam di ladang

tersebut maka ada dua kemungkinan:

Kemungkinan Pertama: Uang sewa ditentukan dengan hasil ladang

tertentu. Misalnya penyewa atau pemilik ladang atau keduanya menyepakati

bahwa hasil ladang bagian atas, atau yang dekat dengan parit adalah sebagai uang

sewa. Kesepakatan semacam inilah yang dilarang dalam hadits Rafi’ bin Khadij

di atas. Alasannya, bisa jadi tanaman di ladang tidak semuanya menghasilkan.

Ada kemungkinan yang mengahasilkan hanya sebagian saja, sehingga sangat

dimungkinkan terjadi perselisihan, karena salah satu pihak merasa dirugikan.

Wajar bila Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarangnya, demi menjaga

keutuhan persatuan dan persaudaraan antara umat Islam.

Kemungkinan Kedua: Uang sewa ditentukan bentuk nisbah (persentase).

Bila uang sewa adalah bagian dari hasil ladang, dan nominalnya ditentukan

dalam bentuk nisbah persentase tertentu dari hasil ladang maka akad semacam

ini insya Allah tidak mengapa. Walau pun banyak dari ulama yang melarangnya,

pendapat Imam Ahmad dan lainnya yang membolehkan akad ini lebih kuat,

dengan pertimbangan sebagai berikut:

17 [Muslim hadits no. 1547]

Page 12: Praktik Sewa Lahan Pertanian di Masyarakat Perspektif

Praktik Sewa Lahan Pertanian di Masyarakat Perspektif Hukum Ekonomi Islam

47

El Faqih, Vol. 6, No. 1, April 2020

1. Hukum asal setiap akad adalah halal.

2. Tidak ada dalil yang melarang

Akad ini, walaupun secara lahir adalah akad sewa-menyewa, sejatinya akad

ini adalah akad musaqah atau muzaraah. Alasan ini berdasarkan satu kaidah

dalam ilmu fiqih yang menjelaskan bahwa standar hukum suatu akad adalah

substansi atau hakikatnya dan bukan sekedar teks dan ucapannya.

Penutup

Hukum asal dari muamalah adalah boleh kecuali ada dalil yang melarang.

Pelarangan menyewakan lahan pertanian oleh Nabi SAW, lebih karena kondisi

masyarakat Madinah pada saat itu yang dalam keadaan kesusahan untuk

bertahan hidup dan ketidak jelasan bagi hasil yang didapatkan dalam pengelolaan

lahan tersebut. Bila dua hal itu bisa dihilangkan maka bentuk pelarangan ini tidak

berlaku lagi. Karena sewa lahan pertanian juga sama dengan sewa ruko untuk

usaha, yang diambil adalah manfaatnya bukan bendanya. Bila hadits pelarangan

ini dimaknai langsung tanpa melalui telaah-telaah pustaka maka yang terjadi

adalah semua sewa menyewa lahan pertanian dan ruko yang terjadi pada

masyarakat hari ini adalah haram karena dilarang oleh Rasulullah SAW.

Daftar Pustaka

Ahmad Azhar Basyir, Asas-asas Hukum Muamalat (Hukum Perdata Islam).

Yogyakarta : UUI Press, 2004.

Chairuman Pasaribu dan Surawardi K.Lubis, Hukum Perjanjian Dalam Islam

(Jakarta : Sinar Grafika,1996.

Cindi Kondo, Tanggung Jawab Hukum Dalam Perjanjian Sewa Menyewa

Rumah Toko (Ruko), Lex Privatum, Vol.I/No.3/Juli/2013.

Departemen Agama RI, Al Qur’an dan Terjemah (Bandung: PT Penerbit J-

ART, 2005)

Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta:

Balai Pustaka, 2002.

Dimyauddin Djuwaini, Pengantar Fiqh Muamalat. Yogyakarta: Pustaka

Pelajar, 2008.

Page 13: Praktik Sewa Lahan Pertanian di Masyarakat Perspektif

48 Muhamad Wildan Fawa’id dan Nur Huda

El Faqih, Vol. 6, No. 1, April 2020

Hasil Survei Pertanian Antar Sensus (Sutas) 2018, www.bps.go.id, diakses

tanggal 08 Januari 2019

Rizky Alika, Akademisi dan DPR Sebut Infrastruktur Gerus Lahan Pertanian,

Katadata.co.id, diakses 08 Januari 2020

Ruslan Abd. Ghofur, Akibat Hukum Dan Terminasi Akad Dalam Fiqh

Muamalah, ASAS, Vol. 2, No. 2, Juli 2010.

S. Nasution, Metodologi Penelitian Naturalistik Kualitatif. Bandung :

Trasito.1998.

Safety and health in agriculture. International Labour Organization. 1999. ISBN

978-92-2-111517-5. Diakses tanggal 08 Januari 2019.

Sohari Sahrani, Fikih Muamalah Untuk Mahasiswa dan Umum. Bogor: Ghalia

Indonesia, 2011.

Wahbah Zuhaili, Fiqh Imam Syafi’i, Penerjemah Muhammad Afifi dan Abdul

Hafiz, Judul Asli: Al-Fiqhu Asy-Syafi’i Al-Muyassar, Cet. I (Jakarta: Al-

Mahira, 2010).

Copyright © 2020 Journal El Faqih: Vol. 6, No. 1, April 2020, e-ISSN: 2503-314X; p-ISSN:

2443-3950

Copyright rests with the authors

Copyright of Journal El Faqih is the property of Journal El Faqih and its content may not be

copied or emailed to multiple sites or posted to a listserv without the copyright holder's express

written permission. However, users may print, download, or email articles for individual use.

https://ejournal.iaifa.ac.id/index.php/faqih