praktik nganyare kabin nikĀḤrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41789/1/muhammad...
TRANSCRIPT
-
PRAKTIK NGANYARE KABIN (TAJDD AN-NIK)
(Studi Masyarakat Desa Gapura Tengah Kecamatan Gapura
Kabupaten Sumenep)
Skripsi
Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat
Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (SH)
Oleh:
MUHAMMAD NUR SUBHAN FISABILILLAH MISWIN
NIM. 1113044000045
PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
J A K A R T A
2017 M/1439 H
-
ABSTRAK
Muhammad Nur Subhan Fisabilillah Miswin. NIM 1113044000045.
Praktik Nganyare Kabin (Tajdd An-nik) (Studi Masyarakat Desa Gapura
Tengah Kecamatan Gapura Kabupaten Sumenep). Konsentrasi Peradilan Agama,
Program Studi Hukum Keluarga, Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam
Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2017M/ 1439H. viii+61 halaman +20 halaman
lampiran
Tajdd an-nik atau nganyare kabin adalah memperbaharui akad nikah
yang sebelumnya sudah pernah dilakukan secara sah, baik sah menurut agama
maupun sah menurut negara. Masyarakat Madura biasanya melakukan nganyare
kabin atas anjuran seorang kyai atau tokoh agama setempat. Mereka
melakukannya karena sedang mengalami permasalahan rumahtangga dengan
beberapa alasan. Meski nganyare kabin bersifat anjuran, namun masyarakat
sangat mempercayai dampak jika melakukannya. Namun, hal demikian tidak ada
aturannya dalam hukum Islam, baik dalam Al-quran maupun hadis. Oleh karena
itu, skripsi ini bertujuan mengetahui pengertian dan hukum melaksanakan
nganyare kabin, praktik di tengah masyarakat dalam menerapkan kebiasaan ini
dan mengetahui interaksi antara hukum Islam dan nganyare kabin.
Penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian lapangan
(field research). Penelitian ini bersifat analitik yang merupakan kelanjutan dari
penelitian deskriptif, sehingga tidak hanya memaparkan ciri tertentu tetapi juga
menggali dan menganalisa bagaimana hal itu terjadi. Teknik pengumpulan data
dalam penelitian ini adalah observasi, wawancara, studi dokumentasi dan studi
pustaka.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa nganyare kabin dilakukan ketika
seorang kyai menyarankannya kepada pasangan suami istri yang datang dan
meminta nasehat agara rumahtangga mereka kembali harmonis. Ada tiga
permasalahan dominan yang menjadi alasan pelaksanaan nganyare kabin, yaitu
pertengkaran yang terjadi terus menerus, permasalahan ekonomi, dan
permasalahan perubahan nama. Terkait pelaku nganyare kabin di Desa Gapura
Tengah dapat kita bagi menjadi dua golongan. Pertama, pasutri yang sudah pernah
melakukan nganyare kabin. Kedua, pasangan muda mudi yang usia pernikahannya
belum terlalu lama sehingga tidak memiliki masalah yang memerlukan ngnyare
kabin. Adapun praktik nganyare kabin di Desa Gapura Tengah mengikuti pendapat ulama bahwa nganyare kabin boleh dilakukan dan tidak mengurangi hak talak suami.
Selain itu, praktik nganyare kabin merupakan kebiasaan/ urf bagi masyarakat Desa
Gapura Tengah.
Kata Kunci : Nganyare Kabin, Tajdd An-nik.
Pembimbing : Dr. H. Abdul Halim, MA.
Daftar pustaka : Tahun 1969 s.d. Tahun 2017
-
i
KATA PENGANTAR
Segala puja dan puji syukur hanya untuk Allah SWT, karena berkat rahmat
nikmat serta anugerah-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul
PRAKTIK NGANYARE KABIN (TAJDD AN-NIK) (Studi Masyarakat Desa
Gapura Tengah Kecamatan Gapura Kabupaten Sumenep). Shalawat serta salam
penulis curahkan kepada junjungan Nabi Agung Muhammad SAW yang selalu
memberi syafaat kepada umatnya dari setiap lafal shalawat yang terucap.
Penulis sadar bahwa dalam menyelesaikan skripsi ini tidak luput dari
dukungan, arahan dan bantuan banyak pihak, dengan segala kerendahan hati dan
rasa syukur penulis ingin menyampaikan terimakasih kepada:
1. Dr. Asep Saepudin Jahar, MA selaku Dekan Fakultas Syariah dan Hukum
beserta jajaran dan staff Fakultas Syariah dan Hukum.
2. Ketua Progam Studi Hukum Keluarga Dr. H. Abdul Halim, MA. juga
sekaligus dosen pembimbing skripsi penulis dan Sekretaris Prodi Hukum
Keluarga, Indra Rahmatullah, SHI.,MH yang senantiasa memberikan
bimbingan, saran dan banyak ilmu kepada penulis dalam mengerjakan
skripsi ini.
3. Seluruh Dosen Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
yang telah mendidik dan membimbing penulis selama masa perkuliahan.
yang tidak bisa penulis sebut semuanya tanpa mengurangi rasa hormat
penulis.
4. Staff Perpustakaan Utama UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, dan Staff
Perpustakaan Fakultas Syariah dan Hukum, Staff Perpustakaan Daerah
Sumenep yang telah memberikan pelayanan kepada penulis serta memberikan
fasilitas untuk mengadakan studi kepustakaan guna menyelesaikan skripsi ini.
5. Orang tua Penulis ayahanda Ahmad Misbah dan Ibunda Fitria Misbah, Adik
penulis, Nur Ilhamillaili FM dan Muhammad Habiburrahman FM yang telah
memberikan kasih sayang, dukungan dan doanya untuk kesuksesan penulis.
-
ii
6. Sahabat seperjuangan penulis Kholis Bidayati, Mohammad Shofwan
Nidhami, Anisaul Khoiriyyah, Izatus Syafaat, Irfan Fatir Hamili dan Fuad
Utsmani Hasibuan yang senantiasa meluangkan waktu berdiskusi dengan
penulis perihal skripsi ini, semoga kita bisa bersahabat sampai tua nanti dan
kelak semua menjadi orang-orang sukses.
7. Peserta KKN Asmara 2016 di Desa Mekar Jaya yang telah memberikan
pengalaman dan ilmu luar biasa kepada penulis yang tidak pernah penulis
dapatkan dari bangku perkuliahan.
8. Teman-teman Hukum Keluarga UIN Jakarta khususnya angkatan 2013, yang
telah berbagi ilmu dan bertukar pikiran dengan penulis. Semoga ilmu yang
kita dapatkan menjadi ilmu yang bermanfaat.
9. Semua pihak yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini
semoga Allah membalasnya. Amin
Semoga skripsi ini bermanfaat bagi yang membacanya khususnya untuk
mahasiswa/i Fakultas Syariah dan Hukum.
Jakarta, Desember 2017
Penulis
-
iii
PEDOMAN TRANSLITERASI
Keputusan Bersama Menteri Agama dan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan
Nomor: 158 Tahun 1987 Nomor: 0543 b/u/1987
1. Konsonan
Huruf Arab Nama Huruf Latin Nama
Alif - Tidak dilambangkan
Ba B Be
Ta T Te
( s (dengan titik di atas
Jim J Je
(Ha Ha (dengan titik di bawah
Kha Khu ka dan ha
Dal D De
(al Zet (dengan titik di atas
Ra R Er
Zai Z Zet
Sin S Es
Syin Sy es dan ye
(ad es (dengan titik di bawah
(Dad de (dengan titik di bawah
(a te (dengan titik di bawah
-
iv
(Za zet (dengan titik di bawah
(ain koma terbalik (di atas
Gain G Ge
fa F Ef
Qaf Q Ki
Kaf K Ka
Lam L El
Mim M Em
Nun N En
Wawu W We
Ha H Ha
Hamzah ... Apostrof
Ya Y Ye
2. Konsonan
Vokal Bahasa Arab, seperti vokal bahasa Indonesia, terdiri dari vokal
tunggal atau monoftong dan vokal rangkap atau diftong.
a. Vokal Tunggal
Vokal tunggal bahasa Arab yang lambangnya berupa tanda atau harkat,
transliterasinya sebagai berikut:
Tanda Nama Huruf Latin
Fatah A
Kasrah I
Dammah U
-
v
b. Vokal Rangkap
Vokal rangkap bahasa Arab yang lambangnya berupa gabungan antara
harkat dan huruf, transliterasinya gabungan huruf, yaitu:
Tanda dan
Huruf
Nama Gabungan Huruf
Fatah dan ya Ai
Fatah dan wau Au
Contoh:
kaifa :
haula :
3. Maddah
Maddah atau vokal panjang yang lambangnya berupa harkat dan huruf ,
transliterasinya berupa huruf dan tanda, yaitu:
Harkat dan Huruf Nama Huruf dan tanda
Fatah dan /
alif atau ya
Kasrah dan ya
Dammah dan
wau
Contoh:
qla:
ram:
qla:
yaqlu:
4. Ta Marbutah ()
Transliterasi untuk ta marbutah ada dua.
a. Ta marbutah () hidup
-
vi
Ta marbutah () yang hidup atau mendapat harkat fatah, kasrah dan dammah,
transliterasinya adalah t.
b. Ta marbutah () mati
Ta marbutah () yang mati atau mendapat harkat sukun, transliterasinya adalah h.
c. Kalau pada suatu kata yang akhir katanya ta marbutah () diikuti oleh kata yang
menggunakan kata sandang al, serta bacaan kedua kata itu terpisah maka ta
marbutah () itu ditransliterasikan dengan h.
Contoh:
rauah al-afl/ rauatul afl :
: al-Madnah al-Munawwarah/
al-Madnatul Munawwarah
alah :
Catatan:
Modifikasi
1. Nama orang berkebangsaan Indonesia ditulis seperti biasa tanpa transliterasi,
seperti M. Syuhudi Ismail. Sedangkan nama-nama lainnya ditulis sesuai kaidah
penerjemahan. Contoh: amad Ibn Sulaiman.
2. Nama negara dan kota ditulis menurut ejaan Bahasa Indonesia, seperti Mesir,
bukan Misr ; Beirut, bukan Bayrut ; dan sebagainya.
3. Kata-kata yang sudah dipakai (serapan) dalam kamus Bahasa Indonesia tidak
ditransliterasi. Contoh: Tasauf, bukan Tasawuf.
-
vii
DAFTAR ISI
PERSETUJUAN PEMBIMBING
LEMBAR PENGESAHAN PENGUJI
LEMBAR PERNYATAAN
ABSTRAK
KATA PENGANTAR ......................................................................................i
PEDOMAN TRANSLITERASI ......................................................................iii
DAFTAR ISI .....................................................................................................vii
BAB 1 PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ......................................................... 1
B. Identifikasi Masalah ............................................................... 3
C. Pembatasan dan Rumusan Masalah ....................................... 3
D. Tujuan dan Manfaat Penulisam .............................................. 4
E. Tinjauan (Review) Kajian Terdahulu ..................................... 4
F. Kerangka Teori ...................................................................... 6
G. Metode Penelitian ................................................................... 9
H. Sistematika Penulisan ............................................................. 11
BAB II KONSEP TAJDD AN-NIK DALAM HUKUM ISLAM
A. Pengertian Tajdd An-nik ................................................... 13
B. Hukum Tajdd An-nik ......................................................... 14
1. Pandangan Ulama Terhadap Tajdd An-nik ................. 17
2. Bahtsul Masail Tentang Tajdd An-nik ........................ 20
C. Putus dan Batalnya Pernikahan .............................................. 21
1. Talak ................................................................................. 21
2. Macam-Macam Talak ....................................................... 24
3. Perceraian ......................................................................... 26
4. Batalnya Pernikahan ......................................................... 28
-
viii
BAB III PRAKTIK TAJDD AN-NIK (NGANYARE KABIN) DI
MASYARAKAT DESA GAPURA TENGAH
A. Desa Gapura Tengah dan Masyarakatnya .............................. 30
1. Sistem Kekerabatan dan Pemukiman Di Madura ............... 32
2. Adat Pernikahan Masyarakat Madura ................................ 35
B. Praktik Tajdd An-nik Di Desa Gapura Tengah .................. 37
BAB IV INTERAKSI PRAKTIK TAJDD AN-NIK DENGAN
HUKUM ISLAM
A. Meninjau Praktik Nganyare Kabin (Tajdd An-nik) Berdasar
Pandangan Ulama .................................................................. 44
B. Meninjau Praktik Nganyare Kabin (Tajdd An-nik) Sebagai
Urf ......................................................................................... 50
BAB V PENUTUP
A. Simpulan ................................................................................. 56
B. Saran ....................................................................................... 57
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN-LAMPIRAN
-
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Tajdd an-nik atau nganyare kabin, dalam bahasa Madura, dikenal
masyarakat sebagai cara memperbaharui kembali akad nikah yang telah dilakukan
dengan tatacara yang sama seperti pernikahan pada umumnya. Untuk menentukan
pelaksanaan nganyare kabin, biasanya masyarakat mempercayakan kepada kyai
atau tetua desa setempat untuk memilih hari baik. Adapun alasan pelaksanaan
nganyare kabin pada masyarakat Madura sangat beragam. Hampir setiap terjadi
permasalahan atau kesulitan dalam rumah tangga, mereka menganggap nganyare
kabin adalah solusinya. Seperti permasalahan ekonomi, pertengkaran suami istri,
hingga masalah keturunan.
Nganyare kabin atau tajdd an-nik merupakan salah satu persoalan yang
tidak ditemukan secara pasti hukumnya baik di dalam Al-quran maupun hadist
nabi. Meski demikian, mengenai praktik ini beberapa ulama telah mengeluarkan
pendapatnya tentang tajdd an-nik yang akan dibahas dalam bab selanjutnya.
Seperti contoh pendapat dari Ibnu Munir beliau memberikan hukum bahwa tajdd
an-nik adalah boleh. Karena mengulang lafad akad nikah maupun akad lainnya
yang kedua tidak merusak pada akad yang pertama.1
Setelah Islam menyebar luas di dunia dan pemeluknya tidak hanya
masyarakat Arab sedangkan Nabi Muhammad sebagai pembawa syariat juga telah
wafat, banyak persoalan keagamaan yang muncul dan belum ada ketentuan dalil
yang mengaturnya dan tidak bisa ditanyakan secara langsung kepada Nabi. Maka,
sejalan dengan itu para ulama berpendapat bahwa dasar dari setiap hukum Islam
adalah untuk kebaikan umat. Kebaikan atau kemaslahatan inilah yang menjadi
pedoman dalam setiap penetapan hukum atas persoalan baru yang muncul dan
belum ada dalil yang mengaturnya. Maslahah adalah memelihara dan
1 Ahmad bin Ali bin Hajar al- Asyqolani, Fathul Barry Juz XVII Syarah Shahih al
Bukhari, (Riyad: Daar Tayyibah,2005) h. 47.
-
2
mewujudkan tujuan hukum Islam, yakni memelihara agama, jiwa, akal, keturunan
dan kekayaan.2 Dari berbagai praktik nganyare kabin di berbagai daerah
menghendaki maslahah sebagai tujuannya.
Misal, praktik nganyare kabin atau lazim disebut nganyari nikah dalam
bahasa Jawa yang terjadi di wilayah Jawa, seperti yang dikemukakan dalam
penelitian yang berjudul Tinjauan Hukum Islam Terhadap Hitungan Weton
Dalam Pelaksanaan Tajdd an-nik (Studi Kasus di Dusun Secang Desa
Ngandong Kecamatan Grabagan Kabupaten Tuban) menyebutkan bahwa tajdd
an-nik dilaksanakan karena hasil perhitungan (weton) pasangan suami istri
tidak bagus.3 Masyarakat Jawa mempercayai, weton yang tidak bagus dapat
menimbulkan malapetaka dalam berumah tangga, oleh karena itu tajdd an-nik
dilaksanakan dengan beranggapan akad yang baru akan menghilangkan
keburukan-keburukan yang dapat terjadi karena akad yang pertama.
Berbeda dengan penelitian lain yang berjudul Studi Tentang Motivasi
Bilas Nikah Masyarakat Desa Kranji Kecamatan Paciran Kabupaten Lamongan
Dalam Melaksanakan Bilas Nikah Ditinjau Dari Maslahah menyebutkan bahwa
tujuan pelaksanaan tajdd an-nik yaitu memperindah pernikahan, ada rasa
kekhawatiran, kepercayaan kepada mitos dan mensucikan pernikahan.4
Indonesia memiliki banyak suku yang mana setiap suku memiliki
adat/kebiasaan yang berbeda-beda, terutama dalam hal pernikahan, salah satunya
adalah Suku Madura. Daerah yang juga masih melaksanakan kebiasaan tajdd an-
nik atau nganyare kabin di Madura adalah masyarakat Desa Gapura Tengah
Kecamatan Gapura Kabupaten Sumenep. Dari hasil pengamatan sementara
menunjukkan bahwa pelaksanaan nganyare kabin adalah anjuran (sunah) bagi
2 Asmawi, Teori Maslahat Dan Relevansinya Dengan Perundang-Undangan Khusus Di
Indonesia, (Jakarta: Badan Litbang dan Diklat Kementrian Agama RI, 2010), h. 35. 3 Muhammad Yuda, Tinjauan Hukum Islam Terhadap Hitungan Weton Dalam
Pelaksanaan Tajdidun (Studi Kasus di Dusun Secang Desa Ngandong Kecamatan Grabagan
Kabupaten Tuban) (Repository: UIN Sunan Ampel Surabaya, 2017), h. abstrak. 4 Nur Salimatul Makhfudo, Studi Tentang Motivasi Bilas Nikah Masyarakat Desa Kranji
Kecamatan Paciran Kabupaten Lamongan Dalam Melaksanakan Bilas Nikah Ditinjau Dari
Maslahah, (Repository: UIN Sunan Ampel Surabaya, 2017), h. abstrak.
-
3
masyarakat Madura, terutama bagi pernikahan yang masa pernikahannya
mengalami berbagai kesulitan. Perkawinan yang telah dilaksanakan di KUA akan
di perbaharui lagi bersama kyai setempat setelah diperhitungkan hari baik untuk
memperbaharui nikah. Hal ini yang melatarbelakangi penulis tertarik untuk
meneliti lebih lanjut tentang praktik masyarakat Madura dalam melaksanakan
nganyare kabin (tajdd an-nik) serta bagaimana interaksi hukum Islam terhadap
peristiwa tersebut dalam sebuah skripsi yang berjudul, Praktik Nganyare Kabin
(Tajdd an-nik) Suku Madura (Studi Masyarakat Desa Gapura Tengah
Kecamatan Gapura Kabupaten Sumenep).
B. Identifikasi Masalah
Identifikasi masalah adalah beberapa permasalahan yang berkaitan dengan
tema yang dibahas. Adapun identifikasi masalahnya adalah sebagai berikut:
1. Bagaimana praktik nganyare kabin di masyarakat Desa Gapura Tengah
Kecamatan Gapura Kabupaten Sumenep?
2. Apa makna yang terkandung dalam praktik nganyare kabin di Desa Gapura
Tengah Kecamatan Gapura Kabupaten Sumenep?
3. Bagaimana pandangan masyarakat Desa Gapura Tengah terhadap praktik
nganyare kabin?
4. Mengapa masyarakat Desa Gapura Tengah mengamalkan praktik nganyare
kabin?
5. Bagaimana interaksi nganyare kabin dengan hukum pernikahan Islam?
6. Bagaimana interaksi hukum Islam terhadap praktik nganyare kabin yang
terjadi di masyarakat Desa Gapura Tengah Kecamatan Gapura Kabupaten
Sumenep?
C. Pembatasan dan Rumusan Masalah
Selanjutnya, untuk mempermudah pembahasan, maka dirumuskan
permasalahan sebagai berikut:
-
4
1. Bagaimana pelaksanaan nganyare kabin di Desa Gapura Tengah Kecamatan
Gapura Kabupaten Sumenep? Mengapa melaksanakan demikian?
2. Bagaimana interaksi hukum Islam terhadap praktik nganyare kabin di Desa
Gapura Tengah Kecamatan Gapura Kabupaten Sumenep?
D. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan Penelitian
Sehubungan dengan permasalahan di atas, maka tujuan yang hendak dicapai
dalam penulisan ini adalah:
a. Untuk mengetahui pelaksanaan nganyare kabin Desa Gapura Tengah
Kecamatan Gapura Kabupaten Sumenep.
b. Untuk mengetahui interaksi hukum Islam terhadap praktik nganyare
kabin di Desa Gapura Tengah Kecamatan Gapura Kabupaten Sumenep.
2. Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat baik secara teoritis
maupun praktis:
a. Secara teoritis
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat dalam bentuk
sumbang pemikiran untuk penelitian lanjutan, baik sebagai bahan awal
maupun sebagai bahan perbandingan untuk penelitian yang lebih luas dan
berhubungan dengan praktik nganyare kabin di masyarakat Madura.
b. Secara Praktis
Penelitian ini diharapkan dapat menambah wawasan dan khazanah
pengetahuan dibidang hukum terkait persoalan praktik nganyare kabin
masyarakat Madura.
E. Tinjauan (Review) Kajian Terdahulu
Dalam penelitian ini, penulis melakukan analisis pada kajian terdahulu
sebagai bahan pertimbangan dan perbandingan. Adapun kajian terdahulu yang
menjadi acuan antara lain :
-
5
1. Tinjauan Hukum Islam Terhadap Hitungan Weton Dalam Pelaksanaan
Tajdd an-nik (Studi Kasus di Dusun Secang Desa Ngandong
Kecamatan Grabagan Kabupaten Tuban), (Skripsi Muhammad Yuda,
Mahasiswa Fakultas Syariah dan Hukum, UIN Sunan Ampel Surabaya,
Tahun 2017). Dalam tesis mahasiswa tersebut, penulis fokus pada
pembahasan pelaksanaan tradisi hitungan Weton Jawa yang dipakai
masyarakat Desa Ngandong dalam melaksanakan tajdd an-nik. Yang
mana, hasil dari penelitiannya disebutkan bahwa tradisi hitungan Weton
diperbolehkan dalam agama Islam, selama hal tersebut tidak bertentangan
dengan akidah dan syariat hukum Islam.
2. Analisis Hukum Islam Terhadap Tajdd an-nik di Desa Pandean,
Banjarkemantren Kecamatan Buduran Kabupaten Sidoarjo, (Skripsi
mahasiswi Ratna Ayu Anggraini, Fakultas Syariah dan Hukum, UIN Sunan
Ampel tahun 2014). Dalam skripsi ini, penulis membahas tentang tata cara
pelaksanaan tajdd an-nik yang terjadi di Desa Pandean, Banjarkemantren
Kecamatan Buduran Kab. Sidoarjo. Adapun tata caranya yaitu pasangan
yang akan melakukan tajdd an-nik mendatangi rumah modin, pasangan
suami istri mempersiapkan rukun dan syarat pernikahan, Ijab dan Qobul
yang disertai dengan mahar oleh suami kepada istri kemudian dilanjutkan
dengan khutbah nikah dan yang terakhir adalah doa yang dipimpin oleh
penghulu.
3. Studi Tentang Motivasi Masyarakat Desa Kranji Kecamatan Paciran
Kabupaten Lamongan Dalam Melaksanakan Bilas Nikah Ditinjau Dari
Maslahah, (Skripsi mahasiswi Nur Salimatul Makhfudho, Fakultas Syariah
dan Hukum, UIN Sunan Ampel Surabaya, tahun 2017). Dalam skripsi
tersebut penulis membahas praktik bilas nikah di Desa Kranji Kecamatan
Paciran Kabupaten Lamongan dilaksanakan sama seperti melaksanakan
akad nikah pada umumnya, syarat dan ketentuannya hampir sama, yang
membedakan adalah status bilas nikah sudah sah menjadi pasangan suami
istri, sedangkan akad nikah pada umumnya belum sah menjadi pasangan
suami istri. Selanjutnya motivasi masyarakat Desa Kranji Kecamatan
-
6
Paciran Kabupaten Lamongan dalam melaksanakan bilas nikah yaitu
memperindah pernikahan, ada rasa kekhawatiran, kepercayaan kepada mitos
dan mensucikan pernikahan. Kemudian tinjauan maslahah tentang bilas
nikah di Desa Kranji Kecamatan Paciran Kabupaten Lamongan adalah
melaksanakan bilas nikah hukumnya boleh, dengan alasan mendatangkan
kemaslahatan dan tidak ada kemadharatan serta secara nyata menimbulkan
dampak positif bagi pernikahan suami istri.
Adapun perbedaan penelitian sebelumnya di atas dengan penelitian di
skripsi ini adalah objek kajiannya. Objek penelitian pada skripsi ini yaitu
pelaksanaan nganyare kabin di masyarakat Madura, dimana setiap masyarakat
memiliki prilaku-prilaku yang berbeda dalam hal adat atau kebiasaan. Sehingga
tujuan serta sebab pelaksanaan nganyare kabin di masyarakat Madura berbeda
dengan tujuan dan sebab pada karya-karya penelitian diatas.
F. Kerangka Teori
Nikah (kawin) menurut arti istilah ialah hubungan seksual tetapi menurut
arti bahasa atau arti hukum ialah akad (perjanjian) yang menjadikan halal
hubungan seksual sebagai suami istri antara seorang pria dan seorang wanita
(Madzhab Hanafi).5 Menurut Sajuti Thalib perkawinan ialah suatu perjanjian yang
suci kuat dan kokoh untuk hidup bersama secara sah antara laki-laki dan
perempuan membentuk keluarga yang kekal, santun menyantuni, kasih mengasihi,
tentram dan bahagia.
Dalam hal suatu pernikahan tidak dapat lagi dipertahankan lantaran
beberapa sebab, seperti karena sudah tidak lagi ada keharmonisan antara suami
dan istri, Islam telah memberikan jalan keluar melalui talak. Talak merupakan
perbuatan melepasnya ikatan perkawinan antara laki-laki dan perempuan yang
telah memiliki hubungan suami istri, sehingga hilanglah hak dan kewajiban dalam
hubungan tersebut.
5 M. Idris Ramulyo, Tinjauan Beberapa Pasal Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Dari
Segi Hukum Perkawinan Islam, (Jakarta: Ind-Hill-Co: 1990), cet. 2, h. 1.
-
7
Namun jika pasangan tersebut pasca bercerai, ingin kembali lagi antara
suami dan istri mereka dapat rujuk kembali. Baik rujuk dengan cara melafalkan
atau bertindak yang mengisyaratkan ingin rujuk pada saat istri masih dalam masa
iddah, maupun rujuk dengan cara melaksanakan akad baru.
Dalam kehidupan bersama, ada norma yang harus dipatuhi, norma-norma
melekat kuat sebagai fakta di dalam realitas.6 Norma-norma tersebut dibuat
menjadi hukum di dalam kehidupan bersama di tengah masyarakat, hukum adat
yang merupakan kongkritisasi daripada kesadaran hukum.7
Mengenai adat, Islam telah mengaturnya dalam bentuk hukum al-adat atau
urf. Urf ialah sesuatu yang telah sering dikenal manusia dan telah menjadi
tradisinya baik berupa ucapan atau perbuatannya dan atau hal meninggalkan
sesuatu juga disebut adat.8Urf ada dua macam, yaitu urf shohih dan urf fasid. Urf
sohih ialah sesuatu yang dikenal manusia dan tidak bertentangan dengan dalil
syara. Sedangkan urf fasid ialah sesuatu yang dikenal manusia yang bertentangan
dengan syara.9
Tentang kehujjahan urf terdapat perbedaan pendapat dikalangan ulama
fikih. Menurut golongan Hanafiyah dan golongan Malikiyah urf adalah hujjah
untuk menetapkan hukum. Sedangkan golongan Syafiiyah dan Hambaliyah tidak
menganggap urf itu sebagai hujjah atau dalil syari.10
Dari berbagai urf yang
dijumpai para ulama merumuskan kaidah-kaidah fikih yang berkaitan dengan urf.
Diantaranya adalah yang paling mendasar:11
Adat/ kebiasaan dapat dijadikan hukum.
6 Hans Kelsen, Dasar-dasar Hukum Normatif, Penerjemah: Nurulita Yusron, (Bandung:
Nusa media, 2010) Cet. 2, h. 214. 7 Soerjono Soekanto, Hukum Adat Indoensia, (Jakarta: PT Raja Grafindo 2013), h. 338.
8 Abdul Wahhab Khalaf, Kaidah-kaidah Hukum Islam (Ilmu Ushul Fikih), (Jakarta: PT
Raja Grafindo Persada, 2002), Cet. 8, h. 130. 9 Abdul Wahhab Khalaf, Kaidah-kaidah Hukum Islam (Ilmu Ushul Fikih), h. 131.
10 Chaerul Uman, Dkk, Ushul Fikih 1, (Bandung: PT Pustaka Setia, 2000), Cet. 2, h. 159.
11 Chaerul Uman, Dkk, Ushul Fikih I, h. 166-167.
-
8
Berubahnya hukum yang didasarkan pada maslahah dan urf karena
berubahnya waktu tidak diingkari.
Ada beberapa alasan urf dapat dijadikan dalil, diantaranya yaitu:
1. Hadits nabi Muhammad SAW yang dinukil oleh Djazuli, dalam bukunya
yang berbunyi:
:
Artinya: Dari Abdullah Ibnu Masud berkata bahwa sesungguhnya Allah ada
dalam hati hamba, hati yang paling baik adalah hati Nabi Muhammad SAW,
hamba seorang mukmin adalah sebaik-baiknya hati, mereka akan memilih
sesuatu yang baik untuk agaman dan mereka akan berperang demi
agamanya. Maka apa yang dianggap baik oleh rang-orang islam, maka hal
itu baik pula di sisi Allah, dan apa yang dianggap buruk oleh orang-orang
Islam, maka hal itu buruk pula di sisi Allah. (HR. Thabrani)
Hal ini menunjukkan bahwa segala adat kebiasaan yang dianggap baik oleh
umat Islam adalah baik menurut Allah, karena apabila tidak melaksanakan
kebiasaan tadi akan menimbulkan kesulitan.
2. Hukum Islam dalam kitabnya memelihara hukum Arab yang maslahat.
3. Adat kebiasaan manusia baik berupa perbuatan atau perkataan berjalan dengan
aturan hidup manusia dan keperluannya, apabila dia berkata ataupun berbuat
sesuai dengan pengertian dan apa yang biasa berlaku pada masyarakat.12
Para ulama ushul fiqh menyatakan bahwa suatu urf dapat dijadikan sebagai
dalil dalam menetapkan hukum syara apabila memenuhi syarat sebagai berikut:13
1. Urf itu berlaku secara umum, artinya berlaku dalam mayoritas kasus yang
terjadi di tengah masyarakat dan dianut oleh mayoritas masyarakat tersebut,
2. Urf yang akan dijadikan sandaran hukum terlebih dahulu ada sebelum kasus
yang ditetapkan hukumnya.
12
Djazuli dan Nurol Aen, Ushul Fiqh Metode Hukum Islam, (Jakarta: Grafindo Persada,
2000), h. 186. 13
Djazuli dan Nurol Aen, Ushul Fiqh Metode Hukum Islam, h. 185.
-
9
3. Urf itu tidak bertentangan dengan yang diungkapkan secara jelas dalam suatu
transaksi.
4. Urf tidak bertentangan dengan nash.
Selain pertimbangan urf, kasus adat juga dapat dikaitkan dengan
pertimbangan maslahah mursalah. Maslahah mursalah (kesejahteraan sosial)
yakni yang dimutlakkan, (maslahah bersifat umum). Menurut istilah ulama ushul
fikih yaitu, maslahat dimana syari tidak mensyariatkan hukum untuk
mewujudkan maslahah itu, juga tidak terdapat dalil yang menunjukkan atas
pengakuannya atau pembatalannya.14
Jumhur ulama berpendapat bahwa maslahah mursalah itu adalah hujjah
syariat yang dijadikan dasar pembentukan hukum, dan bahwasannya kejadian
yang tidak ada hukumnya dalam nash, ijma, qiyas atau istihsan itu disyariatkan
kepadanya hukum yang dihendaki oleh masyarakat umum, dan tidaklah berhenti
pembentukan hukum atas maslahah ini karena adanya sanksi syari yang
mengakuinya.15
Syarat-syarat menjadikan hujjah maslahah mursalah adalah
(1)berupa maslahah yang sebenarnya, bukan maslahah yang bersifat dugaan,
(2)berupa maslahah yang umum bukan bersifat perorangan, (3) pembentukan
hukum bagi maslahah ini tidak bertentangan dengan hukum atau prinsip yang
telah dinyatakan dalam nash atau ijma.16
G. Metode Penelitian
Metode penelitian berarti cara yang dipakai untuk mencari, mencatat,
menemukan dan menganalisis sampai menyusun laporan guna mencapai tujuan.17
Adapun metode penelitian yang digunakan dalam melakukan penelitian ini
diuraikan sebagai berikut:
1. Jenis Penelitian
14
Abdul Wahhab Khalaf, Kaidah-kaidah Hukum Islam, h.123. 15
Abdul Wahhab Khalaf, Kaidah-kaidah Hukum Islam (Ilmu Ushul Fikih), h.125. 16
Abdul Wahhab Khalaf, Kaidah-kaidah Hukum Islam (Ilmu Ushul Fikih), h. 125 17
Cholid Narboko dan Abu Achmadi, Metode Penelitian, (Jakarta: Bumi Aksara Pustaka,
2011), h. 1.
-
10
Jenis penelitian yang digunakan untuk menyusun skripsi ini adalah:
a. Penelitian Field Research, metode ini digunakan dalam rangka
memperoleh data lapangan dengan melakukan pengamatan terhadap
praktik nganyare kabin masyarakat Madura di Desa Gapura Tengah
Kecamatan Gapura Kabupaten Sumenep.
b. Library Research, yaitu penelitian yang dilakukan dengan cara
mengkaji, menganalisa dari literatur yang ada yang memiliki relevansi
terhadap penulisan skripsi ini.
2. Pendekatan penelitian
Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif. Penggunaan pendekatan
kualitatif merupakan salah satu cara dalam penelitian yang bertujuan untuk
memahami masyarakat, masalah atau gejala dalam masyarakat dengan
mengumpulkan sebanyak mungkin fakta secara mendalam, dan data disajikan
dalam bentuk verbal bukan dalam bentuk angka.18
3. Sumber Data
a. Sumber data primer, yaitu berupa hasil observasi, wawancara, baik
dengan tokoh adat, tokoh agama dan masyarakat serta keberadaan
penulis sebagai masyarakat Madura yang tinggal di Desa Gapura
Tengah.
b. Sumber data sekunder, yaitu data yang didapatkan dari selain data
primer, yaitu data yang dikumpulkan dari studi pustaka berupa kitab-
kitab fikih, dan pustaka lain yang terkait dengan penelitian ini.
4. Pengumpulan Data
Pengumpulan data yang dilakukan penulis yaitu dengan metode:
a. Observasi;
b. Wawancara dengan tetua desa, ulama atau kyai desa dan beberapa
18
Neong Muhadjir, Metode Penelitian Kualitatif, Edisi ketiga, (Yogyakarta: Pilar Media,
1996), h. 20.
-
11
masyarakat yang pernah melaksanakan nganyare kabin. Adapun
informan dalam skripsi ini adalah orang-orang yang dianggap cukup
untuk mewakili jawaban masyarakat Desa Gapura Tengah terkait
praktik nganyare kabin. Dari masing-masing subjek penelitian, terdapat dua
informan;
c. Penelitian perpustakaan.
5. Pengelolahan Data
Dalam mengelola data yang penulis dapatkan baik data dari wawancara
maupun data tertulis dari berbagai studi perpustakaan penulis melakukan analisis
terhadap data tersebut dengan analisis secara deskriptif maupun analisis
komparatif.
6. Analisa Data
Analisis data merupakan hal yang sangat penting dalam suatu peneletian
untuk memberi jawaban terhadap masalah yang diteliti. Analisis data dapat
diartikan sebagai proses menganalisa, memanfaatkan data yang terkumpul untuk
digunakan dalam pemecahan masalah penelitian. Dalam proses pengelolahan,
analisis dan pemanfaatan data di penelitian ini menggunakan metode kualitatif,
yaitu prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif, yang bersumber dari
tulisan atau ungkapan dan tingkah laku yang dapat diobservasi dari manusia.
H. Sistematika Penulisan
Agar pembahasan dalam penelitian ini lebih terarah penulis menjadikan
sistematika penulisan dalam lima bab, yang mana dalam kelima bab tersebut
terdiri dari sub-sub bab yang terkait. Sistematika penulisan sebagai berikut:
Bagian pertama adalah Pendahuluan, dalam bab ini akan memuat tentang
latar belakang masalah, pembatasan dan perumusan masalah, tujuan dan manfaat
penelitian, review studi terdahulu, kerangka teori, metodologi penelitian, metode
analisis dan sistematika penulisan.
-
12
Selanjutnya bagian kedua akan membahas tentang nganyare kabin atau
tajdd an-nik dalam hukum pernikahan Islam. Mulai dari pengertian, pandangan
ulama-ulama serta fatwa yang ada tentang tajdd an-nik.
Adapun bagian ketiga, penulis akan membahas kondisi masyarakat Desa
Gapura Tengah Kecamatan Gapura Kabupaten Sumenep serta membahas tentang
pelaksanaan nganyare kabin di masyarakat tersebut dan alasan adanya praktik
nganyare kabin.
Selanjutnya bagian keempat, yaitu membahas tentang nganyare kabin dalam
kacamata hukum Islam serta menganalisisnya dalam pembahasan interaksi atau
hubungan antara hukum Islam terkait nganyare kabin.
Bagian terakhir adalah Penutup. Penulis akan menyimpulkan berkaitan
dengan pembahasan yang penulis lakukan sekaligus menjawab rumusan masalah
yang penulis gunakan dalam bab pendahuluan. Uraian terakhir adalah saran yang
dapat dilakukan untuk kegiatan lebih lanjut berkaitan dengan apa yang telah
penulis kaji.
-
13
BAB II
KONSEP TAJDD AN-NIK DALAM HUKUM ISLAM
A. Pengertian Tajdd an-nik
Menurut bahasa tajdd merupakan bentuk masdar dari kata --
yang artinya memperbaharui.1 Sedangkan secara istilah, tajdd mempunyai dua
makna, yaitu: pertama apabila dilihat dari segi sasarannya, dasarnya, landasan dan
sumber yang tidak berubah-ubah, maka tajdd diartikan mengembalikan segala
sesuatu kepada bentuk aslinya. Kedua, tajdd bermakna modernisasi, apabila
sasarannya pada hal-hal yang tidak mempunyai sandaran, dasar, landasan dan
sumber yang berubah-ubah, seperti metode, sistem, teknik, strategi, dan lainnya
untuk disesuaikan dengan situasi dan kondisi serta ruang dan waktu.2
Abu Baiquni dan Arni Fauziana memberikan definisi tajdd an-nik ialah
memperbaharui atau menghidupkan kembali nilai-nilai keagamaan sesuai Al-
quran dan hadis setelah mengalami pergeseran nilai karena kharafat atau bidah di
lingkungan umat Islam.3
Sedangkan pengertian nikah secara bahasa berasal dari kata al- ommu wa
al-jamu, al-wau yang artinya hubungan badan. Secara terminologis, perkawinan
(nikah) yaitu akad yang membolehkan terjadinya istimta (persetubuhan) dengan
seorang wanita, selama seorang wanita tersebut bukan wanita yang diharamkan
baik dengan sebab keturunan atau seperti sebab sesusuan.4
Selain dalam hukum fikih Islam, pengertian pernikahan juga termuat dalam
hukum positif Indonesia yang tertuang dalam pasal 1 Undang-undang Perkawinan
Nomor 1 Tahun 1974 yang berbunyi Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara
seorang seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan
1 Mahmud Yunus, Kamus Arab Indonesia, (Ciputat, PT. Mahmud Yunus Wa Dzurriyah,
2007), h. 85. 2 Abdul Manan, Reformasi Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta, PT Raja Grafindo Persada,
2006), h.147. 3 Abu Baiquni dan Arni fauzziana, Kamus Istilah Agama Islam, (Jakarta: PT Grafindo,
1995) h. 12. 4 Wahbah Az-Zuhaili, Al-Fikih al Islami Wa Adillatuhu jus IX, (Damsyiq: Dar-Al fikr,
1984), h. 6513.
-
14
membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan
Ketuhanan Yang Maha Esa. Disamping definisi yang diberikan oleh Undang-
Undang Nomor 1 Tahun 1974 tersebut di atas, Kompilasi Hukum Islam (KHI)
Indonesia memberikan definisi lain yang tidak mengurangi arti-arti definisi UU
tersebut, namun bersifat menambah penjelasan, dengan rumusan sebagai berikut,
Perkawinan ialah ialah akad yang sangat kuat atau miitsaaqon ghaliidzhon untuk
menaati perintah Allah dan melaksanankannya merupakan ibadah.
Mengutip dari Anggraini dalam skripsinya yang berjudul Analisis Hukum
Islam Terhadap Tajdd an-nik mengemukakan, Tajdd an-nik adalah
memperbaharui nikah, dengan arti sudah pernah terjadi akad nikah yang sah
menurut syara, kemudian dengan maksud sebagai itiyt (kehati-hatian) dan
membuat kenyamanan hati maka dilakukan akad nikah sekali lagi atau lebih.5
Dari definisi di atas dapat disimpulkan Tajdd an-nik dalam pembahasan
skripsi ini adalah memperbaharui akad pernikahan yang sebelumnya sudah pernah
melakukan akad nikah secara sah baik sah menurut agama maupun sah menurut
negara.
B. Hukum Tajdd An-nik
Sebelum membahas hukum dari tajdd an-nik, penulis akan membahas
terlebih dahulu hukum dari pernikahan. Dasar disyariatkannya pernikahan termuat
dalam ayat-ayat al-Quran dan hadis. Salah satu ayat yang menjadi dasar
pernikahan adalah ayat 21 surat ar-Rum:
Artinya: Dan diantara tanda-tanda-Nya bahwa Dia menciptakan jodoh untukmu
dari dirimu (bangsamu), supaya kamu bersenang-senang kepadanya dan Dia
mengadakan sesama kamu kasih sayang dan rahmat, sesungguhnya demikian itu
menjadi ayat (tanda) bagi kaum yang memikirkan. (ar-Rum/30: 21)
5 Ratna Ayu Anggraini, Analisis Hukum Islam Terhadap Tajdd an-nik, (Repository UIN
Sunan Ampel) Bab 2, h. 29.
-
15
Perintah menikah juga terkandung dalam hadis nabi Muhammad SAW
sebagai berikut:
6
Artinya: Hai pemuda, barang siapa diantara kalian mampu kawin, maka
hendak dia kawin. Sesungguhnya kawin dapat menjaga pandangan dan
memelihara kemaluan. Dan barang siapa tidak mampu kawin, hendaklah ia
puasa, karena puasa adalah perisai.
Selanjutnya, baik dalam al-Quran maupun dalam hadis tidak ada penjelasan
pasti tentang tajdd an-nik. Namun beberapa ulama memberikan pemaparan
dalam kitabnya berdasarkan hasil ijtihad masing-masing. Sebelum masuk pada
pembahasan para ulama tentang tajdd an-nik penulis akan memaparkan
pendapat penulis tentang hukum tajdd an-nik.
Dalam kehidupan bersama, ada norma yang harus dipatuhi, norma-norma
melekat kuat sebagai fakta di dalam realitas.7 Norma-norma tersebut dibuat
menjadi hukum di dalam kehidupan bersama di tengah masyarakat, hukum adat
yang merupakan kongkritisasi daripada kesadaran hukum.8
Mengenai adat, Islam telah mengaturnya dalam bentuk hukum al-adah atau
urf. Urf ialah sesuatu yang telah sering dikenal manusia dan telah menjadi
tradisinya baik berupa ucapan atau perbuatannya dan atau hal meninggalkan
sesuatu juga disebut adat.9 Urf ada dua macam, yaitu urf shohih dan urf fasid.
Urf sohih ialah sesuatu yang dikenal manusia dan tidak bertentangan dengan dalil
syara. Sedangkan urf fasid ialah sesuatu yang dikenal manusia yang
bertentangan dengan syara.10
6 Abu Husain Muslim Bin Al-Hajjaj Al-Qusyairy An-Naisaburi., Shahih Muslim, No. Hadis
807, Bab Istihbaabun nikah, juz II, (Bairut: Daar al-ihya, 1992), h. 1018. 7 Hans Kelsen, Dasar-dasar Hukum Normatif, Penerjemah: Nurulita Yusron, (Bandung:
Nusa media, 2010) Cet. 2, h. 214. 8 Soerjono Soekanto, Hukum Adat Indonesia, (Jakarta: PT Raja Grafindo, 2013), h. 338.
9 Abdul Wahhab Khalaf, Kaidah-Kaidah Hukum Islam (Ilmu Ushulul Fiqh), (Jakarta: PT
Raja Grafindo Persada, 2002), Cet. 8, h. 130. 10
Abdul Wahhab Khalaf, Kaidah-Kaidah Hukum Islam (Ilmu Ushulul Fiqh), h. 131.
-
16
Tentang kehujjahan urf terdapat perbedaan pendapat dikalangan ulama
fiqih. Menurut golongan Hanafiyah dan golongan Malikiyah, urf adalah hujjah
untuk menetapkan hukum. Sedangkan golongan Syafiiyah dan Hanbaliyah tidak
menganggap urf itu sebagai hujjah atau dalil syari.11
Dari berbagai urf yang
dijumpai para ulama merumuskan kaidah-kaidah fiqih yang berkaitan dengan urf.
Diantaranya adalah yang paling mendasar:12
13
Adat/ kebiasaan dapat dijadikan hukum.
Adapun mengenai adat dan muamalah berlaku kaedah fikih:
14
Hukum asal dalam muamalah adalah kebolehan sampai ada dalil yang
menujukkan keharamannya
Dari kaidah fikih diatas dapat diketahui bahwa asal segala sesuatu adalah
boleh kecuali ada nash yang melarangnya, karena sumber masalah adat dan
muamalah bukan dari syari (Allah) tetapi justru manusia itu sendiri yang
menimbulkan dan mengadakan.15
Selain hukum adat, perbuatan manusia juga dapat digolongkan ke dalam
bentuk ibadah. Dalam hal ibadah berlaku suatu kaidah fikih yaitu:
16
Hukum asal dalam ibadah adalah batal sampai ada dalil yang
memerintahkannya
Kaidah fikih diatas menjelaskan bahwa suatu bentuk ibadah yang tidak
disyariatkan oleh Allah SWT kepada hamba-Nya, haram hukumnya untuk
11
Chaerul Uman, Dkk, Ushul Fiqih 1, (Bandung: CV Pustaka Setia, 2000), Cet. 2, h. 166-
167. 12
Chaerul Uman, Dkk, Ushul Fiqih I, h. 168. 13
Ali Ahmad An Nadwi, Qawai al Fiqhiyyah, (Damaskus: Daar al Qolam, 1986) h. 256. 14
A. Djazuli, Kaidah-Kaidah Fikih: Kaidah-Kaidah Hukum Islam dalam Menyelesaikan
Masalah-Masalah yang Praktis, (Jakarta: Kencana, 2007), Cet. 2, h. 130. 15
Abdul Mujib, Kaidah Ilmu Fikih, (Jakarta: Kalam Mulia, 2001), h.132. 16
A. Djazuli, Kaidah-Kaidah Fikih: Kaidah-Kaidah Hukum Islam dalam Menyelesaikan
Masalah-Masalah yang Praktis, h. 115.
-
17
dilaksanakan. Hal ini sangat berbeda dengan adat dan muamalah seperti yang
telah dijelaskan diatas. Dan diantara contoh dari ibadah yang telah disyariatkan
oleh Allah SWT melalui Rasul-Nya adalah ibadah sholat lima waktu, puasa
ramadhan dan pernikahan.
Dalam Alquran dan hadis memang tidak ditemukan secara pasti ketentuan
tentang tajdd an-nik, namun kenyataanya, praktik tajdd an-nik telah lama
muncul dan tumbuh di masyarakat. Oleh karena itu, tajdd an-nik dapat disebut
sebagai kebiasaan atau urf yang dapat dijadikan sebagai pijakan pengambilan
hukum kebolehan melaksankannya. Lebih mendalam, penulis akan bahas di bab
selanjutnya. Selain itu, beberapa ulama juga telah mengemukakan pendapatnya
terkait praktik tajdd an-nik yang akan dibahas dalam sub bab selanjutnya.
Sedangkan dalam hukum positif di Indonesia, hukum tajdd an-nik, tidak
dibahas secara pasti, namun dapat kita temukan dalam pasal 26 UU. No. 1 Tahun
1974 tentang Perkawinan pernyataan bahwa perkawinan harus diperbaharui.
Maksud dari pernyataaan tersebut ialah apabila terdapat suami istri yang telah
tinggal bersama dan memiliki akta perkawinan yang tidak diakui oleh negara,
harus melakukan pembaharuan perkawinan dihadapan pegawai pencatat
perkawinan yang sah.
1. Pandangan Ulama Terhadap Tajdd An-nik
Sebagai pijakan penulis dalam menganalisis permasalahan hukum tajdd an-
nik ini akan penulis uraikan pandangan-pandangan ulama terdahulu. Dari Ibnu
Munir beliau memberikan hukum bahwa tajdd an-nik adalah boleh. Karena
mengulang lafad akad nikah dalam nikah yang kedua tidak merusak pada akad
yang pertama. Kemudian dikuatkan dengan argument Ahmad bin Ali bin Hajar al-
Asyqolani, menyatakan bahwa menurut jumhur ulama bahwa tajdd an-nik
tidak merusak akad yang pertama. Dan beliau juga menambahkan perkataan
bahwa yang shahih di kalangan Ulama Syafiiyyah adalah mengulang akad nikah
-
18
atau akad lainnya tidak mengakibatkan fasakh akad yang pertama, sebagaimana
menurut pendapat jumhur ulama.17
Akan tetapi ada juga Ulama Syafiiyah yang berpendapat bahwa tajdd an-
nik dapat membatalkan nikah sebelumnya antara lain Yusuf al-Ardabili, ulama
terkemuka Madzhab Syafiiyah, sebagaimana perkataan beliau dalam kitabnya, Al-
Anwar lil Amal sebagai berikut:
Jika seorang suami memperbaharui nikah pada istrinya, maka wajib
memberi mahar lain, karena ia mengakui perceraian dan memperbaharui nikah
termasuk mengurangi hitungan talak kalau dilakukan sampai tiga kali maka
diperlukan muhalil18
Mengutip Ratna Ayu Anggraini dalam skripsinya yang berjudul Analisis
Hukum Islam Terhadap tajdd an-nik dari Sayyid Abdurrahman dalam kitabnya
yang berjudul Bughyah al Murtasyidin memberikan pemaknaan tentang tajdd an-
nik adalah sebagai berikut:19
Artinya: Telah menikahkan sebagian wali terhadap keluarganya dengan
tidak ada kesepadanan dengan kerelaan orang-orang yang ada di
tingkatannya, kemudian suami mencela istrinya, dan istrinya menghendaki
tajdd dari suaminya, maka harus ada kerelaan dari semuanya. Menurut
pendapat yang kuat dan tidak cukup dengan kerelaan sebelumnya. Dan
yang menyamainya adalah qadli (hakim) ketika tidak adanya wali,
meskipun diperbaharui dengan orang yang diridhai oleh wali. Namun qadli
adalah yang lebih utama untuk mencegah daripada para wali.
17
Ahmad bin Ali bin Hajar al- Asyqolani, Fathul Barry Juz XII Syarah Shahih al Bukhari,
(Bairut: Dar al-Fikri,1980) h. 199. 18
Yusuf Al-Ardabili al Syafii, Al-Anwar li Amal Al-Abrar Juz II (Kuwait: Daar Al-Adiya,
2006), h. 441. 19
Ratna Ayu Anggraini, Analisis Hukum Islam Terhadap Tajdd an-nik, (Repository
UIN Sunan Ampel) Bab 2, h. 37.
-
19
Tajdd an-nik adalah tindakan sebagai lambang kenyamanan hati dan
ikhtiyat (kehati-hatian) yang diperintah dalam agama sebagaimana dalam
kandungan sabda Nabi Muhammad SAW sebagai berikut:20
: :
. .
) (
Artinya: Dari Abu Abdullah An Numan bin Basyir Radhiallahu
Anhuma, dia berkata, Aku mendengar Rasulullah Shallallahu Alaihi wa
Aalihi wa Sallam bersabda:Sesungguhnya yang halal adalah jelas dan
yang haram juga jelas dan di antara keduanya terdapat perkara yang
samar, kebanyakan manusia tidak mengetahuinya. Barangsiapa yang
menghindar dari yang samar maka dia telah menjaga agamanya dan
kehormatannya. Dan barangsiapa yang terjatuh dalam perkara yang samar
maka dia telah terjatuh dalam perkara yang haram, seperti penggembala
yang berada dekat di pagar milik orang lain dikhawatiri dia masuk ke
dalamnya. Ketahuilah setiap raja memiliki pagar (aturan), aturan Allah
adalah larangan-laranganNya. Sesungguhnya di dalam tubuh terdapat
segumpal daging jika dia baik maka baiklah seluruh jasad itu, jika dia
rusak maka rusak pula seluruh jasad. Ketahuilah itu adalah hati. (HR.
Bukhari).
Menurut A. Masduki Machfud adalah boleh dan tidak merusak pada akad
yang pertama, karena memperbaharui akad itu hanya sekedar keindahan (al-
Tajammul) atau berhati-hati. Hal ini juga diungkapkan oleh A. Qusyairy Ismail,
bahwa hukum asal memperbaharui akad nikah itu boleh, karena bertujuan hati-
hati dan terhindar dari hal yang tidak diinginkan atau bertujuan tajammul (upaya
manaikan prestise/ gengsi).21
20
Muhammad Ibn Ismail Al-Bukhari, Shahih Al-Bukhari Hadis nomor 2051, Kitab al-
Buyu, juz III, (Bairut: Daar al Fikr, 1994), h. 5. 21
Masduki Machfud, Bahtsul Masail Diniya, (Malang: PPSH, 2000), h. 25.
-
20
2. Bahtsul Masail Tentang Tajdd An-nik
Selain pemaparan dari para ulama terdahulu, permasalahan tajdd an-nik
juga dibahas dalam pelaksanaan Bahtsul Masail PWNU Jatim di Pon. Pes. Zainul
Hasan Genggong Kraksan Probolinggo, 22-23 Nopember 1981. Bahtsul Masail
merupakan upaya ulama Nahdlatul Ulama (NU) dalam memberikan solusi
terhadap problematika hukum Islam yang semakin kompleks di tengah
masyarakat, salah satunya adalah tajdd an-nik. Banyak masyarakat yang
melaksanakan praktik ini tanpa mengetahui dasar hukum yang jelas. Adapun
dalam Bahtsul Masail tersebut keputusannya adalah sebagai berikut:22
Hukumnya tajdd an-nik (memperbaharui nikah tanpa terjadinya cerai)
adalah boleh, bertujuan untuk memperindah atau ihtiyat dan tidak termasuk
pengakuan talak (tidak wajib membayar mahar) akan tetapi menurut imam Yusuf
al-Ardabili dalam kitab al-Anwar wajib membayar mahar karena sebagai
pengakuan jatuhnya talak.
Dasar pengambilan hukum sebagai berikut:
"Sesungguhnya persetujuan murni suami atas akad nikah yang kedua
(memperbarui nikah) bukan merupakan pengakuan habisnya tanggung
jawab atas nikah yang pertama, dan juga bukan merupakan kinayah dari
pengakuan tadi. Dan itu jelas. Sedangkan apa yang dilakukan suami di sini
(dalam memperbarui nikah) semata-mata untuk memperindah atau berhati-
hati".23
22
http://santri.net/fiqih/bahtsul-masaail/mahar-untuk-pembarunikah/, diakses pada tanggal
12 September 2017 pukul 17.00 WIB 23
Ibnu Hajar al-Haitami, Tuhfatul Muhtaj bi Syarhil Minhaj, Juz III, Edisi V (Bairut: Dar al- Kotob al-Ilmiyah, 2013), h. 280.
http://santri.net/fiqih/bahtsul-masaail/mahar-untuk-pembaruan-nikah/ -
21
"Jika seorang suami memperbaharui nikah kepada isterinya, maka wajib
memberi mahar (mas kawin) karena ia mengakui perceraian dan
memperbaharui nikah termasuk mengurangi (hitungan) cerai/talaq. Kalau
dilakukan sampai tiga kali, maka diperlukan muhallil".24
C. Putusnya dan Batalnya Pernikahan
Dari pemaparan di atas, beberapa ulama berpendapat bahwa tajdd an-nik
dapat menyebabkan rusaknya akad yang pertama yang mana mempengaruhi status
pernikahan tersebut, apakah pernikahannya putus atau tidak. Berikut akan
dipaparkan penjelasan hal-hal yang dapat menyebabkan putusnya dan batalnya
pernikahan dalam hukum pernikahan Islam.
Suatu perkawinan dapat putus dan berakhir karena beberapa hal, yaitu,
karena terjadinya talak yang dijatuhkan oleh suami terhadap istrinya, atau karena
perceraian yang terjadi antara keduanya, atau karena sebab-sebab lain. Hal-hal
yang dapat menyebabkan putusnya perkawinan akan dijelaskan berikut ini.25
1. Talak
Talak terambil dari kata itlaq yang menurut bahasa artinya, melepaskan
atau meninggalkan. Menurut istilah syara, talak yaitu:
melepas tali perkawinan dan mengakhiri hubungan suami istri
Jadi talak ialah menghilangkan ikatan perkawinan sehingga setelah
hilangnya perkawinan itu istri tidak lagi halal bagi suaminya. Adapun suatu
24
Yusuf Ibrahim Ardabili, Al-anwar lil Amali Al-abrori, (Kuwait: Dar Addiya, 2006) juz II, h. 441.
25Abdul Rahman Ghazali, Fiqh Munakahat, (Jakarta: Kencana, 2003), h. 191.
-
22
talak dapat jatuh apabila telah memenuhi syarat-syarat, dan syarat-syarat
tersebut ada tiga yaitu26
:
a. Syarat yang Berhubungan dengan Suami
Para ahli fikih sepakat bahwa suami yang sah menjatuhkan talak ialah
suami yang mukallaf, seperti sempurna akalnya telah baligh dan sebagainya.
Berbeda pendapat ahli fikih tentang sahnya talak yang dijatuhkan suami yang
kurang sempurna mukallafnya. Tanda-tanda orang yang kurang sempurna
mukallafnya ialah ia tidak mempunyai kehendak dan pilihan dalam
melaksanakan perbuatan yang dilakukan. Diantara tanda suami yang tidak
sempurna mukallafnya ialah:
1) Suami yang Terpaksa
Orang yang terpaksa ialah orang yang tidak dapat melakukan
kehendaknya dan tidak pula dapat menyatakan pilihannya. Pada hakekatnya
kehendak dan pilihan orang yang terpaksa itu adalah kehendak dan pilihan
orang atau keadaan yang memaksanya. Karena itu ia tidak dapat
mempertanggung jawabkan perbuatannya, dengan kata lain, orang yang
demikian adalah orang yang tidak sempurna mukallafnya, dan perbuatannya
tidak dapat dihukum sebagai perbuatan dirinya.
Sedangkan Imam Syafii, Imam Malik, dan Imam Ahmad berpendapat
bahwa talak yang dijatuhkan oleh suami yang terpaksa menjatuhkannya
tidak sah (tidak jatuh). Namun, Imam Abu Hanifah berpendapat bahwa talak
tersebut adalah talak yang sah.
2) Suami yang Mabuk
Sebagian ahli fikih berpendapat bahwa, talak yang dijatuhkan oleh
suami yang mabuk adalah sah jika suami tersebut sengaja menjadikan
dirinya mabuk. Namun apabila mabuknya itu tidak disengaja maka talaknya
26
Kamal Mukhtar, Asas-Asas Hukum Islam Tentang Perkawinan, (Jakarta: Bulan Bintang,
1987), h. 163-165.
-
23
tidak sah. Kebanyakan ahli fikih, seperti Imam Abu Hanifah, sebagian
pengikut Syafii dan Ahli Zahir berpendapat bahwa tidak sah talak yang
dijatuhkan oleh orang yang sedang mabuk, karena orang yang sedang
mabuk itu sama hukumnya dengan oorang yang tidak berakal, atau orang
gila. Jika orang mabuk tidak sah mengerjakan shalat maka tidak sah pula
orang mabuk menjatuhkan talak.
3) Suami yang Sedang Marah
Yang dimaksud dengan marah ialah semacam perasaan benci karena
suatu kejadian atau suatu tindakan seseorang. Marah yang dimaksud disini
ialah marah yang telah sedemikian rupa, sehingga orang yang marah
tersebut tidak dapat menentukan kehendak dan pilihannya lagi, apa yang
dilakukan dan dikatakannya hampir di luar kesadarannya. Apabila seorang
suami marah sampai ia tidak dapat menentukan kehendak dan pilihannya,
maka talaknya tidak sah. Namun, jika seorang suami marah yang masih bisa
menentukan kehendak dan pilihannya, maka talaknya sah.
Selain yang telah disebutkan diatas, talak yang berhubungan dengan suami
dapat dilakukan dalam beberapa bentuk. Pertama, dengan mewakilkan kepada
orang lain. Suami boleh mewakilkan haknya itu kepada orang lain yang bertindak
atas namanya untuk menjatuhkan talak kepada istrinya. Kedua, dengan mengutus
seorang utusan kepada istrinya untuk menyampaikan pesan bahwa, istrinya boleh
memilih apakah dia ditalak atau tidak. Kalau istrinya memilih ditalak, maka
utusan suami itu menyatakan bahwa telah jatuh talak suami satu kali. Namun jika
istri memilih sebaliknya, maka perkawinan itu tetap berlangsung sebagaimana
biasa. Ketiga, Tafwidh. Maksudnya ialah suami menyerahkan haknya itu kepada
istrinya. Kemudian terserah istrinya mau dilakukan atau tidak wewenang yang dia
terima itu.27
b. Syarat-syarat yang berhubungan dengan istri
27
Kamal Mukhtar, Asas-Asas Hukum Islam Tentang Perkawinan, h. 167.
-
24
Para ahli fikih sepakat bahwa istri yang boleh ditalak oleh suami ada tiga.
Pertama, istri yang telah terikat perkawinan yang sah dengan suaminya. Apabila
istri belum terikat perkawinan yang sah atau akad nikahnya masih diragukan sah
tidaknya, maka istri itu tidak dapat ditalak. Kedua, istri yang belum dicampuri
oleh suaminya dalam keadaan masa suci. Ketiga, istri yang sedang hamil.
c. Syarat-syarat pada sighat talak
Sighat talak ialah perkataan yang diucapkan oleh suami atau wakilnya di
waktu ia mmenjatuhkan talak kepada istrinya. Sighat talak itu ada yang diucapkan
langsung, ada dengan perkataan yang jelas, dan ada yang diucapkan dengan
sindiran. Ditinjau dari segi apakah talak itu telah jatuh disaat suami selesai
mengucapkan sighat talak, terbagi menjadi dua. Pertama, Talak Munjiz, yaitu
talak yang telah jatuh disaat suami selesai mengucapkan sighat talak. Kedua,
Talak Muallaq, yaitu talak yang jatuh apabila telah ada syarat-syarat yang
disebutkan suami dalam sighat akad yang telah diucapkannya dahulu, atau syarat-
syarat yang ditetapkan kemudian setelah akad nikah.28
2. Macam-Macam Talak
Adapun macam-macam talak dapat dilihat dari dua aspek yang berbeda.
Pertama, dapat dilihat dari aspek talak yang sesuai atau tidak dengan sunah
Rasulullah SAW. Kedua, dapat dilihat dari aspek kemungkinan bekas suami
merujuk kembali bekas istri.
Jika talak dilihat dari aspek sesuai atau tidaknya talak dengan sunah
Rasulullah SAW dibagi menjadi dua macam, yaitu:
a. Talak Sunni
Talak sunni adalah talak yang terjadi sesuai dengan ketentuan agama, yaitu
seorang suami mentalak istrinya yang telah dicampurinya dengan sekali talak di
masa suci dan belum ia sentuh kembali di masa sucinya itu berdasarkan firman
Allah SWT yang berbunyi:
28
Kamal Mukhtar, Asas-Asas Hukum Islam Tentang Perkawinan, h. 167-168.
-
25
....
Artinya: Talak (yang dapat dirujuki) dua kali. setelah itu boleh rujuk lagi
dengan cara yang ma'ruf atau menceraikan dengan cara yang baik. (QS.
Al-Baqarah/2: 229)
Dikatakan talak sunni mempunyai tiga syarat sebagai berikut:
1) Istri yang ditalak sudah pernah dikumpuli. Bila talak dijatuhkan pada istri
yang belum pernah dikumpuli, tidak termasuk talak sunni.
2) Istri dapat segera melakukan iddah suci setelah ditalak. Yaitu istri dalam
keadaan suci dari haid.
3) Talak itu dijatuhkan ketika istri dalam keadaan suci. Dalam masa suci itu
suami tidak pernah menggaulinya.
b. Talak Bidi
Talak bidi ialah talak yang dijatuhkan pada waktu dan jumlah yang tidak
tepat. Talak bidi merupakan talak yang dilakukan bukan menurut petunjuk
syariat, baik mengenai waktunya maupun cara-cara menjatuhkannya. Dari segi
waktu, ialah talak terhadap istri yang telah dicampuri pada waktu ia bersih atau
terhadap istri yang sedang haid. Dari segi jumlah talak, ialah tiga talak yang
dijatuhkan sekaligus. Ulama sepakat bahwa talak bidi dari segi jumlah talak,
ialah tiga sekaligus, mereka juga sepakat bahwa talak bidi itu haram dan
melakukannya berdosa.
Sedangkan talak yang dapat dilihat dari aspek kemungkinan bekas suami
merujuk kembali bekas istri, talak dibagi dua macam sebagai berikut:29
a. Talak Raji
Yaitu talak yang dijatuhkan suami kepada istrinya yang pernah digauli,
bukan karena memperoleh ganti harta dari istri, talak yang pertama kali dijatuhkan
atau yang kedua kalinya. Setelah talak raji maka istri wajib ber-iddah, hanya
bila suami hendak kembali pada bekas istri sebelum berakhir masa iddah, maka
29
Abdul Rahman Ghazali, Fiqh Munakahat, h. 192.
-
26
hal itu dapat dilakukan rujuk, tetapi jika dalam masa iddah suami tidak merujuk,
lalu habis masa iddahnya dan suami baru berkeinginan merujuk, maka wajib
dilakukan dengan akad baru dan dengan mahar yang baru pula. Talak raji hanya
terjadi pada talak pertama dan kedua saja. Seperti dalam firman Allah ayat 229
Al-Baqarah:
........
Artinya: talak (yang dapat dirujuk) dua kali. Setelah itu boleh rujuk lagi
dengan cara yang maruf atau menceraikan dengan cara yang baik.
b. Talak Bain
Yaitu talak yang tidak memberi hak merujuk bagi bekas suami terhadap
istrinya. Untuk mengembalikan istri ke dalam ikatan perkawinan dengan bekas
suami harus melalui akad nikah baru, lengkap dengan syarat dan rukunnya.30
Talak bain ada dua macam, yaitu talak bain sugro dan talak bain kubro.
Talak bain sugro ialah talak bain yang menghilangkan hak-hak rujuk dari bekas
suaminya, tetapi tidak menghilangkan hak nikah baru kepada bekas istrinya itu.
Sedangkan talak bain kubro yaitu, talak yang mengakibatkan hilangnya hak-hak
rujuk kepada bekas istri, walaupun keduanya ingin melakukannya, baik diwaktu
iddah atau sesudahnya. Suami haram kawin lagi dengan bekas istrinya, kecuali
bekas istri itu telah menikah dengan lelaki lain (muhalil).
Sebagian ulama berpendapat yang termasuk talak bain kubro adalah segala
macam perceraian yang mengandung unsur sumpah seperti: ila, zihar, dan lian.31
3. Perceraian
Suatu perkawinan menjadi putus antara lain karena perceraian. Dalam
hukum Islam, percerian terjadi karena terjadinya khulu, zihar, ila dan lian.
a. Khulu
30
Tihami, dan Sohari Sahrani, Fikih Munakahat: Kajian Fikih Nikah Lengkap, (Jakarta:
Rajawali Pers: 2013), h. 245. 31
Tihami, dan Sohari Sahrani, Fikih Munakahat: Kajian Fikih Nikah Lengkap, h. 246.
-
27
Menurut ulama fuqaha, khulu kadang dimaksudkan makna yang
umum, yakni perceraian dengan disertai iwadh, yang diberikan istri kepada
suami sebagai bentuk penebusan atas dirinya agar terlepas dari ikatan
perkawinan, baik dengan kata khulu mubaroah, maupun talak.32
b. Zhihar
Dalam bahasa Arab, kata zhihar terambil dari kata Zahrun yang
bermakna punggung. Dalam kaitannya dengan hubungan suami istri, zhihar
adalah ucapakan suami kepada istrinya yang berisi menyerupakan punggung
istri dengan punggung ibu suami. Pada masa jahiliyah, ucapan tersebut
sebagai cara seorang suami mengharamkan dirinya untuk menyetubuhi
istrinya selama-lamanya.33
Syariat Islam datang untuk memperbaiki masyarakat menuju
kemaslahatan hidup. Hukum Islam menjadikan ucapan zhihar berakibat
hukum yang bersifat duniawi dan ukhrawi. Akibat bersifat duniawinya ialah
suami haram menggauli istrinya yang dizihar sampai ia menebus kafarat
zihar. Sedangkan bersifat ukhrawi bahwa zhihar itu perbuatan dosa, orang
yang mengucapkannya telah berbuat dosa.34
c. Ila
Menurut istilah hukum islam, ila ialah, sumpah suami dengan
menyebut nama Allah atau sifatnya yang tertuju pada istri untuk tidak
mendekati istrinya itu, baik secara mutlak maupun dibatasi dengan ucapan
selamanya atau dengan empat bulan atau lebih.35
Demikian beberapa perkara yang dapat menyebabkan putusnya ikatan
pernikahan. Dengan putusnya ikatan pernikahan maka, suami-istri dilarang
bergaul sampai dengan mereka kembali rujuk ataupun kembali
32
Abdul Rahman Ghazali, Fiqh Munakahat, h. 220. 33
Abdul Rahman Ghazali, Fiqh Munakahat, h. 228. 34
Abdul Rahman Ghazali, Fiqh Munakahat, h. 228. 35
Abdul Rahman Ghazali, Fiqh Munakahat, h. 234.
-
28
melaksanakan akad yang baru. Adapun akad baru tersebut harus memenuhi
syarat dan rukun pernikahan selayaknya saat akad yang pertama.
4. Batalnya Pernikahan
Batal adalah rusaknya hukum yang ditetapkan terhadap suatu amalan
seseorang, karena tidak memenuhi syarat dan rukunnya yang ditetapkan syara.
Batalnya pernikahan adalah rusak atau tidak sahnya pernikahan karena tidak
memenuhi salah satu syarat atau diharamkan oleh agama. Batalnya pernikahan
disebut juga dengan fasakh. Fasakh bisa terjadi karena tidak terpenuhinya syarat-
syarat ketika berlangsungnya akad nikah, atau karena hal-hal lain yang datang
kemudian dan membatalkan kelangsungan pernikahan. Contoh, setelah akad
ternyata diketahui bahwa istrinya adalah saudara kandung atau saudara sesusuan
pihak suami.36
Dalam Undang-Undang No.1 tahun 1974 tentang Perkawinan pasal 22
dikatakan bahwa, perkawinan dapat dibatalkan, apabila para pihak tidak
memenuhi syarat-syarat untuk melangsungkan perkawinan. Syarat-syarat
perkawinan yang dimaksud adalah persyaratan usia kedua calon mempelai,
persyaratan kerelaan kedua calon mempelai, persyaratan izin orangtua kedua
mempelai, persyaratan administrasi, dan sebagaimana yang telah diuraikan
sebelumnya berkaitan dengan rukun dan syarat-syarat sahnya perkawinan menurut
Undang-Undang No.9 tahun 1975 Tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-
Undang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam.
Jika ditinjau dari perspektif KHI, di dalam pasal 70 KHI dinyatakan
perkawinan batal (batal demi hukum) apabila:
a. Suami melakukan perkawinan, sedang ia tidak berhak melakukan akad
nikah karena sudah mermpunyai empat orang istri, srekalipun salah satu
dari keempat istrinya itu dalam iddah talak raji.
b. Seseorang menikahi bekas istrinya yang terlah diliannya.
36
Tihami, dan Sohari Sahrani, Fikih Munakahat: Kajian Fikih Nikah Lengkap, h. 196.
-
29
c. Seseorang menikahi bekas istrinya yang telah dijatuhi tiga talak olehnya,
kecuali bila bekas istrinya tersebut pernah menikah dengan pria lain yang
kemudian bercerai lagi bada dukhul dari pria tersebut dan telah habis
masa iddahnya.
d. Perkawinan dilakukan antara dua orang yang mempunyai hubungan
darah, semenda dan sesusuan sampai derajat tertentu yang menghalangi
perkawinan.
e. Istri adalah saudara kandung atau sebagai bibi atau kemenakan dari istri
atau istri-istrinya
Selanjutnya pada pasal 71 dijelaskan perkawinan yang dapat dibatalkan
apabila:
a. Seorang suami melakukan poligami tanpa izin Pengadilan Agama.
b. Perempuan yang dikawini ternyata dikemudian diketahui masih menjadi
istri pria yang mafqud.
c. Perempuan yang dikawini ternyata masih dalam iddah dari suami lain.
d. Perkawinan yang melanggar batas umur perkawinan, sebagaimana
ditetapkan pasal 7 Undang-undang No.1 Tahun 1974.
e. Perkawinan dilangsungkan tanpa wali atau dilaksanakan oleh wali yang
tidak berhak.
f. Perkawinan yang dilaksanakan dengan paksaan.
-
30
BAB III
PRAKTIK NGANYARE KABIN (TAJDD AN-NIK)
DI MASYARAKAT MADURA DESA GAPURA TENGAH
A. Desa Gapura Tengah dan Masyarakatnya
Setiap desa atau daerah pasti memiliki sejarah dan latar belakang tersendiri
yang merupakan pencerminan dari karakter dan pencirian khas tertentu dari suatu
daerah. Sejarah desa atau daerah sering kali tertuang dalam dongeng yang
diwariskan secara turun temurun dari mulut ke mulut sehingga sulit dibuktikan
secara fakta dan tidak jarang dongeng tersebut dihubungkan dengan mitos,
tempat-tempat tertentu yang dianggap keramat. Begitupun dengan Desa Gapura
Tengah, ia memiliki sejarah dan mitos tersendiri.
Desa Gapura Tengah pada awalnya menjadi satu desa dengan Desa Gapura
Timur dan Gapura Barat. Pada masa itu hanya dikenal satu nama untuk wilayah
dimaksud, yaitu Gapura atau Geppora. Masyarakat setempat menyebutnya punya
arti pintu gerbang masuk suatu wilayah. Ada sisa-sisa peninggalan bangunan
sejarah bangunan di sekitar gapura barat yang diperkirakan merupakan gapura
atau pintu gerbang kerajaan. Pada kerajaan Majapahit daerah tersebut merupakan
pintu masuk laskar Majapahit lewat laut. Maka dibangunlah pintu gerbang keraton
Sumenep sebelah timur yang kemudian dikenal sebagai Gapura.
Gapura Tengah berjarak sekitar 15 km dari Ibukota Kabupaten Sumenep.
Sebelah utara desa Gapura Tengah berbatasan dengan Desa Tamidung, sebelah
timur dengan Desa Mandala dan Gapura Timur, sebelah barat dengan Desa
Gapura Barat, sebelah selatan dengan Desa Gersik Putih. Adapun luas desa
Gapura Tengah adalah 499 Ha yang terdiri dari tanah pertanian, perkebunan,
tambak dan pemukiman warga.1
Secara umum, masyarakat hukum adat di Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa
Timur dan Bali pada umumnya disebut desa. Dan digambarkan sebagai
masyarakat hukum yang berbentuk tunggal. Desa dikepalai seorang kepala desa
1 Data Arsip Desa Gapura Tengah Tahun 2016.
-
31
yang disebut lurah, kuwu, bekel atau petinggi (Jawa Timur dan Jawa Tengah.2
Demikian juga dengan Madura tak jauh berbeda sistem kemasyarakatannya
dengan Jawa. Di desa Gapura seorang kepala desa sering disebut kalebun atau
petinggi.
Desa Gapura Tengah merupakan salah satu desa yang terletak di Kecamatan
Gapura Kabupaten Sumenep. Pada tahun 2016, jumlah penduduk desa Gapura
Tengah sebanyak 1758 jiwa yang terdiri dari 836 orang laki-laki dan 922 orang
perempuan, ini berarti rata-rata kepadatan penduduk 3,5 Jiwa per KM. Desa ini
memiliki 3 dusun, 15 RT dan 7 RW. Tiga dusun tersebut ialah dusun Sema, dusun
Banjeru dan dusun Panile.
Adapun kelompok tingkat pendidikan masyarakat desa Gapura Tengah
dapat dikelompokan sebagai berikut:3
Tabel 1.1
Kelompok Tingkat Pendidikan
No. Tingkat Pendidikan Jumlah Siswa
1. PAUD 19
2. TK 72
3. SD 263
4. SLTP 237
5. SLTA 182
6. Sarjana 17
TOTAL 790
Dari tabel diatas diketahui bahwa tingkat pendidikan masyarakat desa
Gapura Tengah pada saat ini sudah banyak yang mengenyam pendidikan formal
dari tingkat pendidikan yang paling rendah sampai tingkat pendidikan yang paling
tinggi. Hal ini dapat dibuktikan dengan jumlah masyarakat desa ini yang tengah
2 Soerjono Soekanto, Hukum Adat Indonesia, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2003), h.
144. 3 Data Arsip Desa Gapura Tengah Tahun 2016.
-
32
mengenyam pendidikan formal sebanyak 790 orang dari 1758 orang.4 Adapun
mengenai sistem sosial masyarakat Madura akan dijelaskan sebagai berikut.
1. Sistem Kekerabatan dan Sistem Pemukiman Masyarakat Madura
Dalam hal pola permukiman dan kekerabatan masyarakat Madura
khususnya desa Gapura Tengah memiliki ciri khas tersendiri. Secara umum,
sistem kekerabatan masyarakat Madura terbentuk melalui adanya ikatan-ikatan
keturunan.5 Sama halnya dengan yang terjadi pada sistem kekerabatan masyarakat
desa Gapura Tengah yang juga masih dipengaruhi oleh ikatan-ikatan
kekeluargaan. Bisa dibilang, ikatan-ikatan kekeluargaan merupakan awal mula
tumbuhnya solidaritas bagi masyarakat desa Gapura Tengah.
Sebagai contoh misalnya, seorang bapak atau ibu akan mengenalkan
anaknya kepada keluarganya yang lain dari sejak anaknya dilahirkan sampai
menjelang dewasa. Hal tersebut berlaku pula bagi para tetangga di sekitarnya.
Artinya, orang tua dituntut untuk memberikan pelajaran berharga bahwa
mengenal orang disekelilingnya sangatlah penting.
Pemukiman masyarakat Madura pada umumnya dapat dibedakan menjadi
dua pola, yaitu pola pemukiman tanean lanjheng (halaman panjang) dan pola
pemukiman kampong mejhi6. Di daerah Kabupaten Sumenep yang di dalamnya
terdapat desa Gapura Tengah, pola pemukiman masyarakat yang banyak
ditemukan adalah pola pemukiman tanean lanjheng. Sedangkan pola pemukiman
kampong mejhi jarang ditemui pada pemukiman masyarakat di daerah ini, baik
pada masyarakat pedalaman, pesisir atau perkotaan. Pola pemukiman tanean
lanjheng dapat dijumpai di daerah-daerah yang umumnya masih termasuk daerah
yang masyarakatnya masih mampu secara ekonomi atau termasuk daerah bekas
kerajaan.
Tanean lanjheng adalah pemukiman tradisonal Madura yaitu suatu
kumpulan rumah yang terdiri atas keluarga-keluarga yang mengikatnya. Letaknya
4 Arsip Data Desa Gapura Tengah 2016.
5 A. Latief Wiyata, Carok: Konflik Kekerasan dan Harga Diri Orang Madura,
(Yogyakarta: LkiS, 2006), h. 53. 6 A. Latief Wiyata, Carok: Konflik Kekerasan dan Harga Diri Orang Madura, h. 41.
-
33
sangat berdekatan dengan lahan garapan, mata air atau sungai. Antara pemukiman
dengan lahan garapan hanya dibatasi dengan tanaman hidup atau peninggian tanah
yang disebut tabun (tanggul pemisah antar sawah), sehingga masing-masing
kelompok menjadi terpisah oleh lahan garapannya. Satu kelompok rumah terdiri
atas 2 sampai 10 rumah, atau dihuni sepuluh keluarga yaitu keluarga batih yang
terdiri dari orang tua, anak, cucu, cicit dan seterusnya. Jadi hubungan keluarga
kandung merupakan ciri khas kelompok ini.7
Dalam proses pembentukan pemukiman tradisional Madura diawali dengan
sebuah rumah induk yang disebut dengan tonghuh (rumah cikal bakal atau leluhur
suatu keluarga). Tonghuh dilengkapi dengan langgar, kandang dan dapur. Apabila
sebuah keluarga memiliki anak yang berumah tangga, khususnya anak
perempuan, maka orang tua akan atau bahkan ada keharusan untuk membuatkan
rumah bagi anak perempuannya. Penempatan rumah untuk anak perempuan
berada di sebelah timurnya. Kelompok pemukiman yang demikian disebut
pamengkang, demikian juga bila generasi berikutnya telah menempati maka akan
terbentuk koren dan sampai tanean lanjheng. Susunan demikian terus menerus
berkembang dari masa ke masa.8
Susunan rumah disusun berdasarkan hirarki dalam keluarga. Barat-timur
adalah arah yang menunjukkan urutan tua muda. Sistem yang demikian
mengakibatkan ikatan kekeluargaan menjadi sangat erat. Sedangkan hubungan
antar kelompok menjadi sangat renggang karena letak pemukiman yang menyebar
dan terpisah. Ketergantungan keluarga tertentu pada lahan masing-masing. Di
ujung paling barat terletak langgar. Bagian utara merupakan kelompok rumah
yang tersusun sesuai hirarki keluarga. Susunan barat-timur terletak rumah orang
tua, anak-anak, cucu-cucu dan cicit-cicit dari keturunan perempuan. Kelompok
keluarga yang demikian disebut koren atau rumpun bambu. Istilah ini sangat
cocok karena satu koren berarti satu keluarga inti.9
Apabila susunan ini terlalu panjang maka susunan berubah menjadi
berhadapan. Urutan susunan rumah tetap dimulai dari ujung barat kemudian
7A. Latief Wiyata, Carok: Konflik Kekerasan dan Harga Diri Orang Madura, h. 42.
8 A. Latief Wiyata, Carok: Konflik Kekerasan dan Harga Diri Orang Madura, h. 43.
9 A. Latief Wiyata, Carok: Konflik Kekerasan dan Harga Diri Orang Madura, h. 44.
-
34
berakhir di ujung timur. Pertimbangan ini dikaitkan dengan terbatasnya lahan
garapan, sehingga sebisa mungkin tidak mengurangi lahan garapan yang ada. Jadi,
untuk melacak satu alur keturunan dapat dilacak melalui susunan penghuni
rumahnya. Generasi terpanjang dapat dilihat sampai dengan 5 generasi yaitu di
tanean lanjheng. Posisi tonghuh selalu ada di ujung barat sesudah langgar.
Langgar selalu berada di ujung barat sebagai akhiran masa bangunan yang ada.
Susunan rumah tersebut selalu berorientasi utara-selatan. Halaman di tengah
inilah yang disebut tanean lanjheng.10
Kampong mejhi adalah salah satu dari dua pola pemukiman masyarakat
Madura selain tanean lanjheng yang telah dijelaskan di atas. Kampong mejhi
yaitu kumpulan atau kelompok-kelompok pemukiman penduduk desa yang satu
sama lain saling terisolasi. Jarak satu pemukiman dengan pemukiman yang lain
sekitar satu atau dua kilometer. Keterisolasian kelompok pemukiman ini menjadi
semakin nyata oleh adanya pagar dari beberapa rumpu bambu yang sengaja
ditanam di sekelilingnya. Antara kelompok-kelompok pemukiman yang satu
dengan yang lain biasanya hanya dihubungkan oleh jalan desa atau jalan setapak.
Jarang sekali ditemui jalan beraspal, kecuali beberapa jalan makadam, yaitu jalan
yang dikeraskan oleh tumpukan batu, kemudian diratakan tanpa dilapisi aspal.
Ketika musim hujan tiba, maka kondisi jalan desa tersebut menjadi sangat jelek
(berlumpur atau becek). Pada setiap desa khususnya kawasan diluar kota,
biasanya ditemukan antara lima sampai sepuluh pola pemukiman kampong
mejhi.11
Menurut dua pola pemukiman yang telah dipaparkan diatas, pola
pemukiman masyarakat desa Gapura Tengah dapat dikategorikan dalam pola
pemukiman tanean lanjheng. Hal ini berdasarkan dari pengamatan penulis yang
langsung turun ke lapangan melihat kondisi masyarakat desa Gapura Tengah.
Disana banyak ditemukan rumah warga yang letaknya berbaris memanjang
dan saling berdempetan, bahkan juga ada yang sampai berhadap-hadapan. Namun
tidak semua pemukiman masyarakat memiliki langgar yang berada di ujung
10
A. Latief Wiyata, Carok: Konflik Kekerasan dan Harga Diri Orang Madura, h. 46. 11
A. Latief Wiyata, Carok: Konflik Kekerasan dan Harga Diri Orang Madura , h. 46.
-
35
barat, ini disebabkan oleh terbatasnya luas tanah yang dimiliki. Selain itu ada
juga yang sengaja tidak membangun langgar karena letak pemukimannya dekat
dengan masjid. Mengenai susunan rumah yang ada di pemukiman desa ini juga,
tidak selalu anak perempuan pertama yang sudah berkeluarga dibuatkan rumah di
sebelah timur rumah orang tua, akan tetapi anak perempuan tersebut akan tetap
tinggal di rumah orang tuanya. Alasannya karena kelak jika orang tua sudah
meninggal, secara otomatis anak perempuan tersebut yang akan menempatinya.
2. Adat Pernikahan Masyarakat Madura Desa Gapura Tengah
Dalam tradisi pernikahan masyarakat Madura, ada tiga tahap yang biasanya
dikerjakan. Pertama, adat sebelum menikah; kedua, upacara pernikahan; dan
ketiga, upacara sesudah menikah.
Sebelum menikah, masyarakat Madura mengenal istilah ngangene (mencari
berita) atau nyalabar atau resarean (mencari-cari) apakah gadis yang ingin
dilamar sudah mempunyai tunangan atau belum. Namun informasi ini tidak
langsung dari orangtua si gadis, melainkan dari tetangga atau kerabatnya.
Bila si gadis belum punya tunangan, maka tahap selanjutnya adalah narabas
pagar (menerobos pagar) maksudnya adalah orangtua dari pemuda langsung yang
bertanya pada orangtua si gadis apakah anaknya sudah punya tunangan atau
belum. Apabila orangtua gadis berkenan pada pemuda tersebut maka hubungan
itu dikonkritkan dengan nalee pagar (mengikat pagar).
Proses nalee pagar ini ditandai dengan utusan keluarga pemuda dengan
membawa surat. Isi surat tersebut adalah, orangtua dari pemuda menginginkan
anak gadis itu untuk dinikahkan dengan anaknya. Bilamana dalam surat itu pihak
keluarga tidak berpesan minta balasan, maka keluarga si gadis datang ke keluarga
pemuda untuk mengantarkan hantaran berupa pakaian dan makanan untuk
pemuda. Proses ini disebut tongkebban.
Setelah tahap nalee pagar, maka tahap selanjutnya adalah lamaran.
Lamaran dikatakan resmi jika pihak keluarga pemuda mengirimkan penengset
(dalam bahasa madura berati ikat pinggang). Biasanya dalam penengset berupa
pisang susu, yang artinya si pemuda sudah kesusu (terburu-buru) untuk menikah.
-
36
Jumlah dari pisang tersebut menandakan jumlah bulan, (bila tiga sisir artinya tiga
bulan), dan tak lupa kue tettel.12 Hal ini biasanya dijalankan oleh masyarakat
Madura yang masih berpegang teguh pada adat Madura.
Setelah resmi bertunangan, jika si pemuda ingin segera menikah, maka ia
mengirimkan utusan kepada keluarga perempuan untuk melaksanakan pertemuan
membahas hari pernikahan. Para utusan ini adalah orang yang ahli dalam
perhitungan hari baik pernikahan.
Dalam ajaran Islam, dikenal istilah khitbah. Khitbah (meminang) adalah
kegiatan upaya terjadinya hubungan perjodohan antara seorang pria dengan
seorang wanita. Atau seorang lelaki meminta kepada seorang wanita untuk
menjadi istrinya dengan cara-cara yang umum berlaku ditengah masyarakat.
Khitbah disyariatkan sebelum ada ikatan suami istri. Tujuannya agar ketika
memasuki perkawinan didasarkan pada penelitian dan pengetahuan serta
kesadaran masing-masing pihak.13
Tradisi ngangene, narabas pagar, nalee pagar hingga ngelamar
merupakan tata cara yang sudah lumrah di masyarakat Madura. Artinya, kegiatan
ini dilakukan dengan tujuan yang sama dengan khitbah namun pelaksanaannya
berdasarkan kebiasaan masyarakat setempat. Pemberian berupa makanan atau
pakaian ini juga bukan kewajiban, melainkan bentuk penghormatan antar keluarga
yang akan menikahkan anak-anaknya.
Kemudian memasuki tahap akad nikah. Ada tiga bentuk pelaksanaan
pernikahan. Pertama, akad nikah terlebih dahulu, baru beberapa hari kemudian
diadakan resepsi. Kedua, bentuk kabin moso, yaitu sebelum bersanding
kepelaminan, dilangsungkan terlebih dahulu akad, jadi akad langsung resepsi, dan
ketiga, pagi hari dlilangsungkan akad, malam harinya baru dilaksanakan resepsi
pernikahan.
Pasca menikah, masyarakat Madura menganggap masa pengantin baru itu
berjalan selama dua sampai tiga bulan. Pada bulan-bulan itu pengantin baru
dilarang bekerja dan belanja sendiri melainkan orangtuanya yang menghidupi.
12
Kue tettel merupakan kue yang terbuat dari ketan yang sifatnya rekat, melambangkan
hubungan yang rekat atau lengket. 13
M. A. Tihami, Fikih Munakahat, (Jakarta: Rajawali Pres, 2013) h. 24.
-
37
Setelah masa pengantin baru lewat, mereka akhirnya akan dilepaskan untuk
mengarungi rumahtangga secara mandiri.14 Adapun nganyare kabin masuk pada
tahap pasca pernikahan apabila dalam pernikahan itu terjadi kendala-kendala yang
meyebabkan keretakan hubungan suami istri.
B. Praktik Nganyare Kabin (Tajdd an-nik) Di Desa Gapura Tengah
Hukum adat merupakan hukum yang tidak tertulis dan berkembang sejak
dahulu serta sudah berakar di dalam masyarakat. Walaupun tidak tertulis namun
hukum adat mempunyai akibat hukum terhadap siapa saja yang melanggarnya.
Norma-norma dan nilai-nilai hukum adat sangat dipatuhi dan dipegang teguh oleh
masyarakat adat.15
Dari segi keagamaan, masyarakat Desa Gapura Tengah merupakan
masyarakat yang agamis. Hampir seluruh masyarakat adalah nahdliyin, yaitu
pengikut organiasi masyarakat Islam, Nahdlatul Ulama, begitupun dengan
kyainya. Penduduk Gapura Tengah termasuk penduduk yang taat kepada kyai
setempat. Selain itu, seperti warga nahdliyin pada umumnya, mereka juga
memiliki agenda-agenda keagamaan rutinan. Seperti pelaksanaan tahlil ataupun
sholawat jamaah.16
Hukum adat disebut hukum asli karena lahir dari bawah atau dari
masyarakat adat sesuai dengan kepentingannya dan menjelmakan perasaan
masyarakatnya.17 Bagi masyarakat Gapura Tengah, adat atau kebiasaan nganyare
kabin sudah turun temurun dari dulu. Umumnya mereka mendapat saran dari kyai
setempat untuk melaksanakan hal itu. Ada beberapa alasan yang menyebabkan
seorang kyai menyarankan masyarakat melaksanakan tajdd an-nik atau
nganyare kabin.18
14
Tahap-tahap pernikahan ini berdasarkan pengamatan penulis pada prosesi pernikahan di
Masyarakat Madura. 15
A. Suriyaman Mustari, Hukum Adat, Dahulu, Kini dan Akan Datang, (Jakarta:
Prenadamedia Group, 2014, h. 87. 16
Hasil wawancara pribadi dengan Tokoh Agama, KH. M. Arif, pada Selasa, 3 Oktober
2017 di kediaman informan. 17
A. Suriyaman Mustari, Hukum Adat, Dahulu, Kini dan Akan Datang, (Jakarta:
Prenadamedia Group, 2014, h. 88. 18
Hasil wawancara pribadi dengan Tokoh Agama, KH. M. Arif, pada Selasa, 3 Oktober
2017 di kediaman informan.
-
38
Adapun alasan-alasan yang menyebabkan warga masyarakat Gapura Tengah
melangsungkan akad kedua kalinya (nganyare kabin) adalah sebagai berikut:
1. Sering terjadi perselisihan antara suami istri;
2. Perekonomian keluarga yang kurang lancar;
3. Akibat perubahan nama salah satu pasangan, baik suami atau istri.
Dari ketiga alasan itu, yang paling sering menyebabkan masyarakat
melakukan nganyare kabin adalah rusaknya keharmonisan dalam rumah tangga
atau seringnya perselisihan yang terjadi. Selain itu permasalahan ekonomi juga
menjadi alasan yang lumrah terjadi. Saat pasangan suami istri merasa sering
bertengkar, mereka biasanya datang ke kyai untuk meminta saran agar rumah
tangganya kembali harmoni. Pada saat itulah kyai menyarankan agar pasutri itu
melakukan nganyare kabin. Dalam hal itu, tidak ada kewajiban untuk suami istri
tersebut melaksanakannya. Mereka ber