praktik nganyare kabin nikĀḤrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41789/1/muhammad...

94
PRAKTIK NGANYARE KABIN (TAJDĪD AN-NIKĀḤ) (Studi Masyarakat Desa Gapura Tengah Kecamatan Gapura Kabupaten Sumenep) Skripsi Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (SH) Oleh: MUHAMMAD NUR SUBHAN FISABILILLAH MISWIN NIM. 1113044000045 PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH J A K A R T A 2017 M/1439 H

Upload: lamduong

Post on 18-Jul-2019

253 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

  • PRAKTIK NGANYARE KABIN (TAJDD AN-NIK)

    (Studi Masyarakat Desa Gapura Tengah Kecamatan Gapura

    Kabupaten Sumenep)

    Skripsi

    Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat

    Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (SH)

    Oleh:

    MUHAMMAD NUR SUBHAN FISABILILLAH MISWIN

    NIM. 1113044000045

    PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA

    FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

    UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

    SYARIF HIDAYATULLAH

    J A K A R T A

    2017 M/1439 H

  • ABSTRAK

    Muhammad Nur Subhan Fisabilillah Miswin. NIM 1113044000045.

    Praktik Nganyare Kabin (Tajdd An-nik) (Studi Masyarakat Desa Gapura

    Tengah Kecamatan Gapura Kabupaten Sumenep). Konsentrasi Peradilan Agama,

    Program Studi Hukum Keluarga, Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam

    Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2017M/ 1439H. viii+61 halaman +20 halaman

    lampiran

    Tajdd an-nik atau nganyare kabin adalah memperbaharui akad nikah

    yang sebelumnya sudah pernah dilakukan secara sah, baik sah menurut agama

    maupun sah menurut negara. Masyarakat Madura biasanya melakukan nganyare

    kabin atas anjuran seorang kyai atau tokoh agama setempat. Mereka

    melakukannya karena sedang mengalami permasalahan rumahtangga dengan

    beberapa alasan. Meski nganyare kabin bersifat anjuran, namun masyarakat

    sangat mempercayai dampak jika melakukannya. Namun, hal demikian tidak ada

    aturannya dalam hukum Islam, baik dalam Al-quran maupun hadis. Oleh karena

    itu, skripsi ini bertujuan mengetahui pengertian dan hukum melaksanakan

    nganyare kabin, praktik di tengah masyarakat dalam menerapkan kebiasaan ini

    dan mengetahui interaksi antara hukum Islam dan nganyare kabin.

    Penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian lapangan

    (field research). Penelitian ini bersifat analitik yang merupakan kelanjutan dari

    penelitian deskriptif, sehingga tidak hanya memaparkan ciri tertentu tetapi juga

    menggali dan menganalisa bagaimana hal itu terjadi. Teknik pengumpulan data

    dalam penelitian ini adalah observasi, wawancara, studi dokumentasi dan studi

    pustaka.

    Hasil penelitian menunjukkan bahwa nganyare kabin dilakukan ketika

    seorang kyai menyarankannya kepada pasangan suami istri yang datang dan

    meminta nasehat agara rumahtangga mereka kembali harmonis. Ada tiga

    permasalahan dominan yang menjadi alasan pelaksanaan nganyare kabin, yaitu

    pertengkaran yang terjadi terus menerus, permasalahan ekonomi, dan

    permasalahan perubahan nama. Terkait pelaku nganyare kabin di Desa Gapura

    Tengah dapat kita bagi menjadi dua golongan. Pertama, pasutri yang sudah pernah

    melakukan nganyare kabin. Kedua, pasangan muda mudi yang usia pernikahannya

    belum terlalu lama sehingga tidak memiliki masalah yang memerlukan ngnyare

    kabin. Adapun praktik nganyare kabin di Desa Gapura Tengah mengikuti pendapat ulama bahwa nganyare kabin boleh dilakukan dan tidak mengurangi hak talak suami.

    Selain itu, praktik nganyare kabin merupakan kebiasaan/ urf bagi masyarakat Desa

    Gapura Tengah.

    Kata Kunci : Nganyare Kabin, Tajdd An-nik.

    Pembimbing : Dr. H. Abdul Halim, MA.

    Daftar pustaka : Tahun 1969 s.d. Tahun 2017

  • i

    KATA PENGANTAR

    Segala puja dan puji syukur hanya untuk Allah SWT, karena berkat rahmat

    nikmat serta anugerah-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul

    PRAKTIK NGANYARE KABIN (TAJDD AN-NIK) (Studi Masyarakat Desa

    Gapura Tengah Kecamatan Gapura Kabupaten Sumenep). Shalawat serta salam

    penulis curahkan kepada junjungan Nabi Agung Muhammad SAW yang selalu

    memberi syafaat kepada umatnya dari setiap lafal shalawat yang terucap.

    Penulis sadar bahwa dalam menyelesaikan skripsi ini tidak luput dari

    dukungan, arahan dan bantuan banyak pihak, dengan segala kerendahan hati dan

    rasa syukur penulis ingin menyampaikan terimakasih kepada:

    1. Dr. Asep Saepudin Jahar, MA selaku Dekan Fakultas Syariah dan Hukum

    beserta jajaran dan staff Fakultas Syariah dan Hukum.

    2. Ketua Progam Studi Hukum Keluarga Dr. H. Abdul Halim, MA. juga

    sekaligus dosen pembimbing skripsi penulis dan Sekretaris Prodi Hukum

    Keluarga, Indra Rahmatullah, SHI.,MH yang senantiasa memberikan

    bimbingan, saran dan banyak ilmu kepada penulis dalam mengerjakan

    skripsi ini.

    3. Seluruh Dosen Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

    yang telah mendidik dan membimbing penulis selama masa perkuliahan.

    yang tidak bisa penulis sebut semuanya tanpa mengurangi rasa hormat

    penulis.

    4. Staff Perpustakaan Utama UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, dan Staff

    Perpustakaan Fakultas Syariah dan Hukum, Staff Perpustakaan Daerah

    Sumenep yang telah memberikan pelayanan kepada penulis serta memberikan

    fasilitas untuk mengadakan studi kepustakaan guna menyelesaikan skripsi ini.

    5. Orang tua Penulis ayahanda Ahmad Misbah dan Ibunda Fitria Misbah, Adik

    penulis, Nur Ilhamillaili FM dan Muhammad Habiburrahman FM yang telah

    memberikan kasih sayang, dukungan dan doanya untuk kesuksesan penulis.

  • ii

    6. Sahabat seperjuangan penulis Kholis Bidayati, Mohammad Shofwan

    Nidhami, Anisaul Khoiriyyah, Izatus Syafaat, Irfan Fatir Hamili dan Fuad

    Utsmani Hasibuan yang senantiasa meluangkan waktu berdiskusi dengan

    penulis perihal skripsi ini, semoga kita bisa bersahabat sampai tua nanti dan

    kelak semua menjadi orang-orang sukses.

    7. Peserta KKN Asmara 2016 di Desa Mekar Jaya yang telah memberikan

    pengalaman dan ilmu luar biasa kepada penulis yang tidak pernah penulis

    dapatkan dari bangku perkuliahan.

    8. Teman-teman Hukum Keluarga UIN Jakarta khususnya angkatan 2013, yang

    telah berbagi ilmu dan bertukar pikiran dengan penulis. Semoga ilmu yang

    kita dapatkan menjadi ilmu yang bermanfaat.

    9. Semua pihak yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini

    semoga Allah membalasnya. Amin

    Semoga skripsi ini bermanfaat bagi yang membacanya khususnya untuk

    mahasiswa/i Fakultas Syariah dan Hukum.

    Jakarta, Desember 2017

    Penulis

  • iii

    PEDOMAN TRANSLITERASI

    Keputusan Bersama Menteri Agama dan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan

    Nomor: 158 Tahun 1987 Nomor: 0543 b/u/1987

    1. Konsonan

    Huruf Arab Nama Huruf Latin Nama

    Alif - Tidak dilambangkan

    Ba B Be

    Ta T Te

    ( s (dengan titik di atas

    Jim J Je

    (Ha Ha (dengan titik di bawah

    Kha Khu ka dan ha

    Dal D De

    (al Zet (dengan titik di atas

    Ra R Er

    Zai Z Zet

    Sin S Es

    Syin Sy es dan ye

    (ad es (dengan titik di bawah

    (Dad de (dengan titik di bawah

    (a te (dengan titik di bawah

  • iv

    (Za zet (dengan titik di bawah

    (ain koma terbalik (di atas

    Gain G Ge

    fa F Ef

    Qaf Q Ki

    Kaf K Ka

    Lam L El

    Mim M Em

    Nun N En

    Wawu W We

    Ha H Ha

    Hamzah ... Apostrof

    Ya Y Ye

    2. Konsonan

    Vokal Bahasa Arab, seperti vokal bahasa Indonesia, terdiri dari vokal

    tunggal atau monoftong dan vokal rangkap atau diftong.

    a. Vokal Tunggal

    Vokal tunggal bahasa Arab yang lambangnya berupa tanda atau harkat,

    transliterasinya sebagai berikut:

    Tanda Nama Huruf Latin

    Fatah A

    Kasrah I

    Dammah U

  • v

    b. Vokal Rangkap

    Vokal rangkap bahasa Arab yang lambangnya berupa gabungan antara

    harkat dan huruf, transliterasinya gabungan huruf, yaitu:

    Tanda dan

    Huruf

    Nama Gabungan Huruf

    Fatah dan ya Ai

    Fatah dan wau Au

    Contoh:

    kaifa :

    haula :

    3. Maddah

    Maddah atau vokal panjang yang lambangnya berupa harkat dan huruf ,

    transliterasinya berupa huruf dan tanda, yaitu:

    Harkat dan Huruf Nama Huruf dan tanda

    Fatah dan /

    alif atau ya

    Kasrah dan ya

    Dammah dan

    wau

    Contoh:

    qla:

    ram:

    qla:

    yaqlu:

    4. Ta Marbutah ()

    Transliterasi untuk ta marbutah ada dua.

    a. Ta marbutah () hidup

  • vi

    Ta marbutah () yang hidup atau mendapat harkat fatah, kasrah dan dammah,

    transliterasinya adalah t.

    b. Ta marbutah () mati

    Ta marbutah () yang mati atau mendapat harkat sukun, transliterasinya adalah h.

    c. Kalau pada suatu kata yang akhir katanya ta marbutah () diikuti oleh kata yang

    menggunakan kata sandang al, serta bacaan kedua kata itu terpisah maka ta

    marbutah () itu ditransliterasikan dengan h.

    Contoh:

    rauah al-afl/ rauatul afl :

    : al-Madnah al-Munawwarah/

    al-Madnatul Munawwarah

    alah :

    Catatan:

    Modifikasi

    1. Nama orang berkebangsaan Indonesia ditulis seperti biasa tanpa transliterasi,

    seperti M. Syuhudi Ismail. Sedangkan nama-nama lainnya ditulis sesuai kaidah

    penerjemahan. Contoh: amad Ibn Sulaiman.

    2. Nama negara dan kota ditulis menurut ejaan Bahasa Indonesia, seperti Mesir,

    bukan Misr ; Beirut, bukan Bayrut ; dan sebagainya.

    3. Kata-kata yang sudah dipakai (serapan) dalam kamus Bahasa Indonesia tidak

    ditransliterasi. Contoh: Tasauf, bukan Tasawuf.

  • vii

    DAFTAR ISI

    PERSETUJUAN PEMBIMBING

    LEMBAR PENGESAHAN PENGUJI

    LEMBAR PERNYATAAN

    ABSTRAK

    KATA PENGANTAR ......................................................................................i

    PEDOMAN TRANSLITERASI ......................................................................iii

    DAFTAR ISI .....................................................................................................vii

    BAB 1 PENDAHULUAN

    A. Latar Belakang Masalah ......................................................... 1

    B. Identifikasi Masalah ............................................................... 3

    C. Pembatasan dan Rumusan Masalah ....................................... 3

    D. Tujuan dan Manfaat Penulisam .............................................. 4

    E. Tinjauan (Review) Kajian Terdahulu ..................................... 4

    F. Kerangka Teori ...................................................................... 6

    G. Metode Penelitian ................................................................... 9

    H. Sistematika Penulisan ............................................................. 11

    BAB II KONSEP TAJDD AN-NIK DALAM HUKUM ISLAM

    A. Pengertian Tajdd An-nik ................................................... 13

    B. Hukum Tajdd An-nik ......................................................... 14

    1. Pandangan Ulama Terhadap Tajdd An-nik ................. 17

    2. Bahtsul Masail Tentang Tajdd An-nik ........................ 20

    C. Putus dan Batalnya Pernikahan .............................................. 21

    1. Talak ................................................................................. 21

    2. Macam-Macam Talak ....................................................... 24

    3. Perceraian ......................................................................... 26

    4. Batalnya Pernikahan ......................................................... 28

  • viii

    BAB III PRAKTIK TAJDD AN-NIK (NGANYARE KABIN) DI

    MASYARAKAT DESA GAPURA TENGAH

    A. Desa Gapura Tengah dan Masyarakatnya .............................. 30

    1. Sistem Kekerabatan dan Pemukiman Di Madura ............... 32

    2. Adat Pernikahan Masyarakat Madura ................................ 35

    B. Praktik Tajdd An-nik Di Desa Gapura Tengah .................. 37

    BAB IV INTERAKSI PRAKTIK TAJDD AN-NIK DENGAN

    HUKUM ISLAM

    A. Meninjau Praktik Nganyare Kabin (Tajdd An-nik) Berdasar

    Pandangan Ulama .................................................................. 44

    B. Meninjau Praktik Nganyare Kabin (Tajdd An-nik) Sebagai

    Urf ......................................................................................... 50

    BAB V PENUTUP

    A. Simpulan ................................................................................. 56

    B. Saran ....................................................................................... 57

    DAFTAR PUSTAKA

    LAMPIRAN-LAMPIRAN

  • 1

    BAB I

    PENDAHULUAN

    A. Latar Belakang Masalah

    Tajdd an-nik atau nganyare kabin, dalam bahasa Madura, dikenal

    masyarakat sebagai cara memperbaharui kembali akad nikah yang telah dilakukan

    dengan tatacara yang sama seperti pernikahan pada umumnya. Untuk menentukan

    pelaksanaan nganyare kabin, biasanya masyarakat mempercayakan kepada kyai

    atau tetua desa setempat untuk memilih hari baik. Adapun alasan pelaksanaan

    nganyare kabin pada masyarakat Madura sangat beragam. Hampir setiap terjadi

    permasalahan atau kesulitan dalam rumah tangga, mereka menganggap nganyare

    kabin adalah solusinya. Seperti permasalahan ekonomi, pertengkaran suami istri,

    hingga masalah keturunan.

    Nganyare kabin atau tajdd an-nik merupakan salah satu persoalan yang

    tidak ditemukan secara pasti hukumnya baik di dalam Al-quran maupun hadist

    nabi. Meski demikian, mengenai praktik ini beberapa ulama telah mengeluarkan

    pendapatnya tentang tajdd an-nik yang akan dibahas dalam bab selanjutnya.

    Seperti contoh pendapat dari Ibnu Munir beliau memberikan hukum bahwa tajdd

    an-nik adalah boleh. Karena mengulang lafad akad nikah maupun akad lainnya

    yang kedua tidak merusak pada akad yang pertama.1

    Setelah Islam menyebar luas di dunia dan pemeluknya tidak hanya

    masyarakat Arab sedangkan Nabi Muhammad sebagai pembawa syariat juga telah

    wafat, banyak persoalan keagamaan yang muncul dan belum ada ketentuan dalil

    yang mengaturnya dan tidak bisa ditanyakan secara langsung kepada Nabi. Maka,

    sejalan dengan itu para ulama berpendapat bahwa dasar dari setiap hukum Islam

    adalah untuk kebaikan umat. Kebaikan atau kemaslahatan inilah yang menjadi

    pedoman dalam setiap penetapan hukum atas persoalan baru yang muncul dan

    belum ada dalil yang mengaturnya. Maslahah adalah memelihara dan

    1 Ahmad bin Ali bin Hajar al- Asyqolani, Fathul Barry Juz XVII Syarah Shahih al

    Bukhari, (Riyad: Daar Tayyibah,2005) h. 47.

  • 2

    mewujudkan tujuan hukum Islam, yakni memelihara agama, jiwa, akal, keturunan

    dan kekayaan.2 Dari berbagai praktik nganyare kabin di berbagai daerah

    menghendaki maslahah sebagai tujuannya.

    Misal, praktik nganyare kabin atau lazim disebut nganyari nikah dalam

    bahasa Jawa yang terjadi di wilayah Jawa, seperti yang dikemukakan dalam

    penelitian yang berjudul Tinjauan Hukum Islam Terhadap Hitungan Weton

    Dalam Pelaksanaan Tajdd an-nik (Studi Kasus di Dusun Secang Desa

    Ngandong Kecamatan Grabagan Kabupaten Tuban) menyebutkan bahwa tajdd

    an-nik dilaksanakan karena hasil perhitungan (weton) pasangan suami istri

    tidak bagus.3 Masyarakat Jawa mempercayai, weton yang tidak bagus dapat

    menimbulkan malapetaka dalam berumah tangga, oleh karena itu tajdd an-nik

    dilaksanakan dengan beranggapan akad yang baru akan menghilangkan

    keburukan-keburukan yang dapat terjadi karena akad yang pertama.

    Berbeda dengan penelitian lain yang berjudul Studi Tentang Motivasi

    Bilas Nikah Masyarakat Desa Kranji Kecamatan Paciran Kabupaten Lamongan

    Dalam Melaksanakan Bilas Nikah Ditinjau Dari Maslahah menyebutkan bahwa

    tujuan pelaksanaan tajdd an-nik yaitu memperindah pernikahan, ada rasa

    kekhawatiran, kepercayaan kepada mitos dan mensucikan pernikahan.4

    Indonesia memiliki banyak suku yang mana setiap suku memiliki

    adat/kebiasaan yang berbeda-beda, terutama dalam hal pernikahan, salah satunya

    adalah Suku Madura. Daerah yang juga masih melaksanakan kebiasaan tajdd an-

    nik atau nganyare kabin di Madura adalah masyarakat Desa Gapura Tengah

    Kecamatan Gapura Kabupaten Sumenep. Dari hasil pengamatan sementara

    menunjukkan bahwa pelaksanaan nganyare kabin adalah anjuran (sunah) bagi

    2 Asmawi, Teori Maslahat Dan Relevansinya Dengan Perundang-Undangan Khusus Di

    Indonesia, (Jakarta: Badan Litbang dan Diklat Kementrian Agama RI, 2010), h. 35. 3 Muhammad Yuda, Tinjauan Hukum Islam Terhadap Hitungan Weton Dalam

    Pelaksanaan Tajdidun (Studi Kasus di Dusun Secang Desa Ngandong Kecamatan Grabagan

    Kabupaten Tuban) (Repository: UIN Sunan Ampel Surabaya, 2017), h. abstrak. 4 Nur Salimatul Makhfudo, Studi Tentang Motivasi Bilas Nikah Masyarakat Desa Kranji

    Kecamatan Paciran Kabupaten Lamongan Dalam Melaksanakan Bilas Nikah Ditinjau Dari

    Maslahah, (Repository: UIN Sunan Ampel Surabaya, 2017), h. abstrak.

  • 3

    masyarakat Madura, terutama bagi pernikahan yang masa pernikahannya

    mengalami berbagai kesulitan. Perkawinan yang telah dilaksanakan di KUA akan

    di perbaharui lagi bersama kyai setempat setelah diperhitungkan hari baik untuk

    memperbaharui nikah. Hal ini yang melatarbelakangi penulis tertarik untuk

    meneliti lebih lanjut tentang praktik masyarakat Madura dalam melaksanakan

    nganyare kabin (tajdd an-nik) serta bagaimana interaksi hukum Islam terhadap

    peristiwa tersebut dalam sebuah skripsi yang berjudul, Praktik Nganyare Kabin

    (Tajdd an-nik) Suku Madura (Studi Masyarakat Desa Gapura Tengah

    Kecamatan Gapura Kabupaten Sumenep).

    B. Identifikasi Masalah

    Identifikasi masalah adalah beberapa permasalahan yang berkaitan dengan

    tema yang dibahas. Adapun identifikasi masalahnya adalah sebagai berikut:

    1. Bagaimana praktik nganyare kabin di masyarakat Desa Gapura Tengah

    Kecamatan Gapura Kabupaten Sumenep?

    2. Apa makna yang terkandung dalam praktik nganyare kabin di Desa Gapura

    Tengah Kecamatan Gapura Kabupaten Sumenep?

    3. Bagaimana pandangan masyarakat Desa Gapura Tengah terhadap praktik

    nganyare kabin?

    4. Mengapa masyarakat Desa Gapura Tengah mengamalkan praktik nganyare

    kabin?

    5. Bagaimana interaksi nganyare kabin dengan hukum pernikahan Islam?

    6. Bagaimana interaksi hukum Islam terhadap praktik nganyare kabin yang

    terjadi di masyarakat Desa Gapura Tengah Kecamatan Gapura Kabupaten

    Sumenep?

    C. Pembatasan dan Rumusan Masalah

    Selanjutnya, untuk mempermudah pembahasan, maka dirumuskan

    permasalahan sebagai berikut:

  • 4

    1. Bagaimana pelaksanaan nganyare kabin di Desa Gapura Tengah Kecamatan

    Gapura Kabupaten Sumenep? Mengapa melaksanakan demikian?

    2. Bagaimana interaksi hukum Islam terhadap praktik nganyare kabin di Desa

    Gapura Tengah Kecamatan Gapura Kabupaten Sumenep?

    D. Tujuan dan Manfaat Penelitian

    1. Tujuan Penelitian

    Sehubungan dengan permasalahan di atas, maka tujuan yang hendak dicapai

    dalam penulisan ini adalah:

    a. Untuk mengetahui pelaksanaan nganyare kabin Desa Gapura Tengah

    Kecamatan Gapura Kabupaten Sumenep.

    b. Untuk mengetahui interaksi hukum Islam terhadap praktik nganyare

    kabin di Desa Gapura Tengah Kecamatan Gapura Kabupaten Sumenep.

    2. Manfaat Penelitian

    Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat baik secara teoritis

    maupun praktis:

    a. Secara teoritis

    Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat dalam bentuk

    sumbang pemikiran untuk penelitian lanjutan, baik sebagai bahan awal

    maupun sebagai bahan perbandingan untuk penelitian yang lebih luas dan

    berhubungan dengan praktik nganyare kabin di masyarakat Madura.

    b. Secara Praktis

    Penelitian ini diharapkan dapat menambah wawasan dan khazanah

    pengetahuan dibidang hukum terkait persoalan praktik nganyare kabin

    masyarakat Madura.

    E. Tinjauan (Review) Kajian Terdahulu

    Dalam penelitian ini, penulis melakukan analisis pada kajian terdahulu

    sebagai bahan pertimbangan dan perbandingan. Adapun kajian terdahulu yang

    menjadi acuan antara lain :

  • 5

    1. Tinjauan Hukum Islam Terhadap Hitungan Weton Dalam Pelaksanaan

    Tajdd an-nik (Studi Kasus di Dusun Secang Desa Ngandong

    Kecamatan Grabagan Kabupaten Tuban), (Skripsi Muhammad Yuda,

    Mahasiswa Fakultas Syariah dan Hukum, UIN Sunan Ampel Surabaya,

    Tahun 2017). Dalam tesis mahasiswa tersebut, penulis fokus pada

    pembahasan pelaksanaan tradisi hitungan Weton Jawa yang dipakai

    masyarakat Desa Ngandong dalam melaksanakan tajdd an-nik. Yang

    mana, hasil dari penelitiannya disebutkan bahwa tradisi hitungan Weton

    diperbolehkan dalam agama Islam, selama hal tersebut tidak bertentangan

    dengan akidah dan syariat hukum Islam.

    2. Analisis Hukum Islam Terhadap Tajdd an-nik di Desa Pandean,

    Banjarkemantren Kecamatan Buduran Kabupaten Sidoarjo, (Skripsi

    mahasiswi Ratna Ayu Anggraini, Fakultas Syariah dan Hukum, UIN Sunan

    Ampel tahun 2014). Dalam skripsi ini, penulis membahas tentang tata cara

    pelaksanaan tajdd an-nik yang terjadi di Desa Pandean, Banjarkemantren

    Kecamatan Buduran Kab. Sidoarjo. Adapun tata caranya yaitu pasangan

    yang akan melakukan tajdd an-nik mendatangi rumah modin, pasangan

    suami istri mempersiapkan rukun dan syarat pernikahan, Ijab dan Qobul

    yang disertai dengan mahar oleh suami kepada istri kemudian dilanjutkan

    dengan khutbah nikah dan yang terakhir adalah doa yang dipimpin oleh

    penghulu.

    3. Studi Tentang Motivasi Masyarakat Desa Kranji Kecamatan Paciran

    Kabupaten Lamongan Dalam Melaksanakan Bilas Nikah Ditinjau Dari

    Maslahah, (Skripsi mahasiswi Nur Salimatul Makhfudho, Fakultas Syariah

    dan Hukum, UIN Sunan Ampel Surabaya, tahun 2017). Dalam skripsi

    tersebut penulis membahas praktik bilas nikah di Desa Kranji Kecamatan

    Paciran Kabupaten Lamongan dilaksanakan sama seperti melaksanakan

    akad nikah pada umumnya, syarat dan ketentuannya hampir sama, yang

    membedakan adalah status bilas nikah sudah sah menjadi pasangan suami

    istri, sedangkan akad nikah pada umumnya belum sah menjadi pasangan

    suami istri. Selanjutnya motivasi masyarakat Desa Kranji Kecamatan

  • 6

    Paciran Kabupaten Lamongan dalam melaksanakan bilas nikah yaitu

    memperindah pernikahan, ada rasa kekhawatiran, kepercayaan kepada mitos

    dan mensucikan pernikahan. Kemudian tinjauan maslahah tentang bilas

    nikah di Desa Kranji Kecamatan Paciran Kabupaten Lamongan adalah

    melaksanakan bilas nikah hukumnya boleh, dengan alasan mendatangkan

    kemaslahatan dan tidak ada kemadharatan serta secara nyata menimbulkan

    dampak positif bagi pernikahan suami istri.

    Adapun perbedaan penelitian sebelumnya di atas dengan penelitian di

    skripsi ini adalah objek kajiannya. Objek penelitian pada skripsi ini yaitu

    pelaksanaan nganyare kabin di masyarakat Madura, dimana setiap masyarakat

    memiliki prilaku-prilaku yang berbeda dalam hal adat atau kebiasaan. Sehingga

    tujuan serta sebab pelaksanaan nganyare kabin di masyarakat Madura berbeda

    dengan tujuan dan sebab pada karya-karya penelitian diatas.

    F. Kerangka Teori

    Nikah (kawin) menurut arti istilah ialah hubungan seksual tetapi menurut

    arti bahasa atau arti hukum ialah akad (perjanjian) yang menjadikan halal

    hubungan seksual sebagai suami istri antara seorang pria dan seorang wanita

    (Madzhab Hanafi).5 Menurut Sajuti Thalib perkawinan ialah suatu perjanjian yang

    suci kuat dan kokoh untuk hidup bersama secara sah antara laki-laki dan

    perempuan membentuk keluarga yang kekal, santun menyantuni, kasih mengasihi,

    tentram dan bahagia.

    Dalam hal suatu pernikahan tidak dapat lagi dipertahankan lantaran

    beberapa sebab, seperti karena sudah tidak lagi ada keharmonisan antara suami

    dan istri, Islam telah memberikan jalan keluar melalui talak. Talak merupakan

    perbuatan melepasnya ikatan perkawinan antara laki-laki dan perempuan yang

    telah memiliki hubungan suami istri, sehingga hilanglah hak dan kewajiban dalam

    hubungan tersebut.

    5 M. Idris Ramulyo, Tinjauan Beberapa Pasal Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Dari

    Segi Hukum Perkawinan Islam, (Jakarta: Ind-Hill-Co: 1990), cet. 2, h. 1.

  • 7

    Namun jika pasangan tersebut pasca bercerai, ingin kembali lagi antara

    suami dan istri mereka dapat rujuk kembali. Baik rujuk dengan cara melafalkan

    atau bertindak yang mengisyaratkan ingin rujuk pada saat istri masih dalam masa

    iddah, maupun rujuk dengan cara melaksanakan akad baru.

    Dalam kehidupan bersama, ada norma yang harus dipatuhi, norma-norma

    melekat kuat sebagai fakta di dalam realitas.6 Norma-norma tersebut dibuat

    menjadi hukum di dalam kehidupan bersama di tengah masyarakat, hukum adat

    yang merupakan kongkritisasi daripada kesadaran hukum.7

    Mengenai adat, Islam telah mengaturnya dalam bentuk hukum al-adat atau

    urf. Urf ialah sesuatu yang telah sering dikenal manusia dan telah menjadi

    tradisinya baik berupa ucapan atau perbuatannya dan atau hal meninggalkan

    sesuatu juga disebut adat.8Urf ada dua macam, yaitu urf shohih dan urf fasid. Urf

    sohih ialah sesuatu yang dikenal manusia dan tidak bertentangan dengan dalil

    syara. Sedangkan urf fasid ialah sesuatu yang dikenal manusia yang bertentangan

    dengan syara.9

    Tentang kehujjahan urf terdapat perbedaan pendapat dikalangan ulama

    fikih. Menurut golongan Hanafiyah dan golongan Malikiyah urf adalah hujjah

    untuk menetapkan hukum. Sedangkan golongan Syafiiyah dan Hambaliyah tidak

    menganggap urf itu sebagai hujjah atau dalil syari.10

    Dari berbagai urf yang

    dijumpai para ulama merumuskan kaidah-kaidah fikih yang berkaitan dengan urf.

    Diantaranya adalah yang paling mendasar:11

    Adat/ kebiasaan dapat dijadikan hukum.

    6 Hans Kelsen, Dasar-dasar Hukum Normatif, Penerjemah: Nurulita Yusron, (Bandung:

    Nusa media, 2010) Cet. 2, h. 214. 7 Soerjono Soekanto, Hukum Adat Indoensia, (Jakarta: PT Raja Grafindo 2013), h. 338.

    8 Abdul Wahhab Khalaf, Kaidah-kaidah Hukum Islam (Ilmu Ushul Fikih), (Jakarta: PT

    Raja Grafindo Persada, 2002), Cet. 8, h. 130. 9 Abdul Wahhab Khalaf, Kaidah-kaidah Hukum Islam (Ilmu Ushul Fikih), h. 131.

    10 Chaerul Uman, Dkk, Ushul Fikih 1, (Bandung: PT Pustaka Setia, 2000), Cet. 2, h. 159.

    11 Chaerul Uman, Dkk, Ushul Fikih I, h. 166-167.

  • 8

    Berubahnya hukum yang didasarkan pada maslahah dan urf karena

    berubahnya waktu tidak diingkari.

    Ada beberapa alasan urf dapat dijadikan dalil, diantaranya yaitu:

    1. Hadits nabi Muhammad SAW yang dinukil oleh Djazuli, dalam bukunya

    yang berbunyi:

    :

    Artinya: Dari Abdullah Ibnu Masud berkata bahwa sesungguhnya Allah ada

    dalam hati hamba, hati yang paling baik adalah hati Nabi Muhammad SAW,

    hamba seorang mukmin adalah sebaik-baiknya hati, mereka akan memilih

    sesuatu yang baik untuk agaman dan mereka akan berperang demi

    agamanya. Maka apa yang dianggap baik oleh rang-orang islam, maka hal

    itu baik pula di sisi Allah, dan apa yang dianggap buruk oleh orang-orang

    Islam, maka hal itu buruk pula di sisi Allah. (HR. Thabrani)

    Hal ini menunjukkan bahwa segala adat kebiasaan yang dianggap baik oleh

    umat Islam adalah baik menurut Allah, karena apabila tidak melaksanakan

    kebiasaan tadi akan menimbulkan kesulitan.

    2. Hukum Islam dalam kitabnya memelihara hukum Arab yang maslahat.

    3. Adat kebiasaan manusia baik berupa perbuatan atau perkataan berjalan dengan

    aturan hidup manusia dan keperluannya, apabila dia berkata ataupun berbuat

    sesuai dengan pengertian dan apa yang biasa berlaku pada masyarakat.12

    Para ulama ushul fiqh menyatakan bahwa suatu urf dapat dijadikan sebagai

    dalil dalam menetapkan hukum syara apabila memenuhi syarat sebagai berikut:13

    1. Urf itu berlaku secara umum, artinya berlaku dalam mayoritas kasus yang

    terjadi di tengah masyarakat dan dianut oleh mayoritas masyarakat tersebut,

    2. Urf yang akan dijadikan sandaran hukum terlebih dahulu ada sebelum kasus

    yang ditetapkan hukumnya.

    12

    Djazuli dan Nurol Aen, Ushul Fiqh Metode Hukum Islam, (Jakarta: Grafindo Persada,

    2000), h. 186. 13

    Djazuli dan Nurol Aen, Ushul Fiqh Metode Hukum Islam, h. 185.

  • 9

    3. Urf itu tidak bertentangan dengan yang diungkapkan secara jelas dalam suatu

    transaksi.

    4. Urf tidak bertentangan dengan nash.

    Selain pertimbangan urf, kasus adat juga dapat dikaitkan dengan

    pertimbangan maslahah mursalah. Maslahah mursalah (kesejahteraan sosial)

    yakni yang dimutlakkan, (maslahah bersifat umum). Menurut istilah ulama ushul

    fikih yaitu, maslahat dimana syari tidak mensyariatkan hukum untuk

    mewujudkan maslahah itu, juga tidak terdapat dalil yang menunjukkan atas

    pengakuannya atau pembatalannya.14

    Jumhur ulama berpendapat bahwa maslahah mursalah itu adalah hujjah

    syariat yang dijadikan dasar pembentukan hukum, dan bahwasannya kejadian

    yang tidak ada hukumnya dalam nash, ijma, qiyas atau istihsan itu disyariatkan

    kepadanya hukum yang dihendaki oleh masyarakat umum, dan tidaklah berhenti

    pembentukan hukum atas maslahah ini karena adanya sanksi syari yang

    mengakuinya.15

    Syarat-syarat menjadikan hujjah maslahah mursalah adalah

    (1)berupa maslahah yang sebenarnya, bukan maslahah yang bersifat dugaan,

    (2)berupa maslahah yang umum bukan bersifat perorangan, (3) pembentukan

    hukum bagi maslahah ini tidak bertentangan dengan hukum atau prinsip yang

    telah dinyatakan dalam nash atau ijma.16

    G. Metode Penelitian

    Metode penelitian berarti cara yang dipakai untuk mencari, mencatat,

    menemukan dan menganalisis sampai menyusun laporan guna mencapai tujuan.17

    Adapun metode penelitian yang digunakan dalam melakukan penelitian ini

    diuraikan sebagai berikut:

    1. Jenis Penelitian

    14

    Abdul Wahhab Khalaf, Kaidah-kaidah Hukum Islam, h.123. 15

    Abdul Wahhab Khalaf, Kaidah-kaidah Hukum Islam (Ilmu Ushul Fikih), h.125. 16

    Abdul Wahhab Khalaf, Kaidah-kaidah Hukum Islam (Ilmu Ushul Fikih), h. 125 17

    Cholid Narboko dan Abu Achmadi, Metode Penelitian, (Jakarta: Bumi Aksara Pustaka,

    2011), h. 1.

  • 10

    Jenis penelitian yang digunakan untuk menyusun skripsi ini adalah:

    a. Penelitian Field Research, metode ini digunakan dalam rangka

    memperoleh data lapangan dengan melakukan pengamatan terhadap

    praktik nganyare kabin masyarakat Madura di Desa Gapura Tengah

    Kecamatan Gapura Kabupaten Sumenep.

    b. Library Research, yaitu penelitian yang dilakukan dengan cara

    mengkaji, menganalisa dari literatur yang ada yang memiliki relevansi

    terhadap penulisan skripsi ini.

    2. Pendekatan penelitian

    Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif. Penggunaan pendekatan

    kualitatif merupakan salah satu cara dalam penelitian yang bertujuan untuk

    memahami masyarakat, masalah atau gejala dalam masyarakat dengan

    mengumpulkan sebanyak mungkin fakta secara mendalam, dan data disajikan

    dalam bentuk verbal bukan dalam bentuk angka.18

    3. Sumber Data

    a. Sumber data primer, yaitu berupa hasil observasi, wawancara, baik

    dengan tokoh adat, tokoh agama dan masyarakat serta keberadaan

    penulis sebagai masyarakat Madura yang tinggal di Desa Gapura

    Tengah.

    b. Sumber data sekunder, yaitu data yang didapatkan dari selain data

    primer, yaitu data yang dikumpulkan dari studi pustaka berupa kitab-

    kitab fikih, dan pustaka lain yang terkait dengan penelitian ini.

    4. Pengumpulan Data

    Pengumpulan data yang dilakukan penulis yaitu dengan metode:

    a. Observasi;

    b. Wawancara dengan tetua desa, ulama atau kyai desa dan beberapa

    18

    Neong Muhadjir, Metode Penelitian Kualitatif, Edisi ketiga, (Yogyakarta: Pilar Media,

    1996), h. 20.

  • 11

    masyarakat yang pernah melaksanakan nganyare kabin. Adapun

    informan dalam skripsi ini adalah orang-orang yang dianggap cukup

    untuk mewakili jawaban masyarakat Desa Gapura Tengah terkait

    praktik nganyare kabin. Dari masing-masing subjek penelitian, terdapat dua

    informan;

    c. Penelitian perpustakaan.

    5. Pengelolahan Data

    Dalam mengelola data yang penulis dapatkan baik data dari wawancara

    maupun data tertulis dari berbagai studi perpustakaan penulis melakukan analisis

    terhadap data tersebut dengan analisis secara deskriptif maupun analisis

    komparatif.

    6. Analisa Data

    Analisis data merupakan hal yang sangat penting dalam suatu peneletian

    untuk memberi jawaban terhadap masalah yang diteliti. Analisis data dapat

    diartikan sebagai proses menganalisa, memanfaatkan data yang terkumpul untuk

    digunakan dalam pemecahan masalah penelitian. Dalam proses pengelolahan,

    analisis dan pemanfaatan data di penelitian ini menggunakan metode kualitatif,

    yaitu prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif, yang bersumber dari

    tulisan atau ungkapan dan tingkah laku yang dapat diobservasi dari manusia.

    H. Sistematika Penulisan

    Agar pembahasan dalam penelitian ini lebih terarah penulis menjadikan

    sistematika penulisan dalam lima bab, yang mana dalam kelima bab tersebut

    terdiri dari sub-sub bab yang terkait. Sistematika penulisan sebagai berikut:

    Bagian pertama adalah Pendahuluan, dalam bab ini akan memuat tentang

    latar belakang masalah, pembatasan dan perumusan masalah, tujuan dan manfaat

    penelitian, review studi terdahulu, kerangka teori, metodologi penelitian, metode

    analisis dan sistematika penulisan.

  • 12

    Selanjutnya bagian kedua akan membahas tentang nganyare kabin atau

    tajdd an-nik dalam hukum pernikahan Islam. Mulai dari pengertian, pandangan

    ulama-ulama serta fatwa yang ada tentang tajdd an-nik.

    Adapun bagian ketiga, penulis akan membahas kondisi masyarakat Desa

    Gapura Tengah Kecamatan Gapura Kabupaten Sumenep serta membahas tentang

    pelaksanaan nganyare kabin di masyarakat tersebut dan alasan adanya praktik

    nganyare kabin.

    Selanjutnya bagian keempat, yaitu membahas tentang nganyare kabin dalam

    kacamata hukum Islam serta menganalisisnya dalam pembahasan interaksi atau

    hubungan antara hukum Islam terkait nganyare kabin.

    Bagian terakhir adalah Penutup. Penulis akan menyimpulkan berkaitan

    dengan pembahasan yang penulis lakukan sekaligus menjawab rumusan masalah

    yang penulis gunakan dalam bab pendahuluan. Uraian terakhir adalah saran yang

    dapat dilakukan untuk kegiatan lebih lanjut berkaitan dengan apa yang telah

    penulis kaji.

  • 13

    BAB II

    KONSEP TAJDD AN-NIK DALAM HUKUM ISLAM

    A. Pengertian Tajdd an-nik

    Menurut bahasa tajdd merupakan bentuk masdar dari kata --

    yang artinya memperbaharui.1 Sedangkan secara istilah, tajdd mempunyai dua

    makna, yaitu: pertama apabila dilihat dari segi sasarannya, dasarnya, landasan dan

    sumber yang tidak berubah-ubah, maka tajdd diartikan mengembalikan segala

    sesuatu kepada bentuk aslinya. Kedua, tajdd bermakna modernisasi, apabila

    sasarannya pada hal-hal yang tidak mempunyai sandaran, dasar, landasan dan

    sumber yang berubah-ubah, seperti metode, sistem, teknik, strategi, dan lainnya

    untuk disesuaikan dengan situasi dan kondisi serta ruang dan waktu.2

    Abu Baiquni dan Arni Fauziana memberikan definisi tajdd an-nik ialah

    memperbaharui atau menghidupkan kembali nilai-nilai keagamaan sesuai Al-

    quran dan hadis setelah mengalami pergeseran nilai karena kharafat atau bidah di

    lingkungan umat Islam.3

    Sedangkan pengertian nikah secara bahasa berasal dari kata al- ommu wa

    al-jamu, al-wau yang artinya hubungan badan. Secara terminologis, perkawinan

    (nikah) yaitu akad yang membolehkan terjadinya istimta (persetubuhan) dengan

    seorang wanita, selama seorang wanita tersebut bukan wanita yang diharamkan

    baik dengan sebab keturunan atau seperti sebab sesusuan.4

    Selain dalam hukum fikih Islam, pengertian pernikahan juga termuat dalam

    hukum positif Indonesia yang tertuang dalam pasal 1 Undang-undang Perkawinan

    Nomor 1 Tahun 1974 yang berbunyi Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara

    seorang seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan

    1 Mahmud Yunus, Kamus Arab Indonesia, (Ciputat, PT. Mahmud Yunus Wa Dzurriyah,

    2007), h. 85. 2 Abdul Manan, Reformasi Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta, PT Raja Grafindo Persada,

    2006), h.147. 3 Abu Baiquni dan Arni fauzziana, Kamus Istilah Agama Islam, (Jakarta: PT Grafindo,

    1995) h. 12. 4 Wahbah Az-Zuhaili, Al-Fikih al Islami Wa Adillatuhu jus IX, (Damsyiq: Dar-Al fikr,

    1984), h. 6513.

  • 14

    membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan

    Ketuhanan Yang Maha Esa. Disamping definisi yang diberikan oleh Undang-

    Undang Nomor 1 Tahun 1974 tersebut di atas, Kompilasi Hukum Islam (KHI)

    Indonesia memberikan definisi lain yang tidak mengurangi arti-arti definisi UU

    tersebut, namun bersifat menambah penjelasan, dengan rumusan sebagai berikut,

    Perkawinan ialah ialah akad yang sangat kuat atau miitsaaqon ghaliidzhon untuk

    menaati perintah Allah dan melaksanankannya merupakan ibadah.

    Mengutip dari Anggraini dalam skripsinya yang berjudul Analisis Hukum

    Islam Terhadap Tajdd an-nik mengemukakan, Tajdd an-nik adalah

    memperbaharui nikah, dengan arti sudah pernah terjadi akad nikah yang sah

    menurut syara, kemudian dengan maksud sebagai itiyt (kehati-hatian) dan

    membuat kenyamanan hati maka dilakukan akad nikah sekali lagi atau lebih.5

    Dari definisi di atas dapat disimpulkan Tajdd an-nik dalam pembahasan

    skripsi ini adalah memperbaharui akad pernikahan yang sebelumnya sudah pernah

    melakukan akad nikah secara sah baik sah menurut agama maupun sah menurut

    negara.

    B. Hukum Tajdd An-nik

    Sebelum membahas hukum dari tajdd an-nik, penulis akan membahas

    terlebih dahulu hukum dari pernikahan. Dasar disyariatkannya pernikahan termuat

    dalam ayat-ayat al-Quran dan hadis. Salah satu ayat yang menjadi dasar

    pernikahan adalah ayat 21 surat ar-Rum:

    Artinya: Dan diantara tanda-tanda-Nya bahwa Dia menciptakan jodoh untukmu

    dari dirimu (bangsamu), supaya kamu bersenang-senang kepadanya dan Dia

    mengadakan sesama kamu kasih sayang dan rahmat, sesungguhnya demikian itu

    menjadi ayat (tanda) bagi kaum yang memikirkan. (ar-Rum/30: 21)

    5 Ratna Ayu Anggraini, Analisis Hukum Islam Terhadap Tajdd an-nik, (Repository UIN

    Sunan Ampel) Bab 2, h. 29.

  • 15

    Perintah menikah juga terkandung dalam hadis nabi Muhammad SAW

    sebagai berikut:

    6

    Artinya: Hai pemuda, barang siapa diantara kalian mampu kawin, maka

    hendak dia kawin. Sesungguhnya kawin dapat menjaga pandangan dan

    memelihara kemaluan. Dan barang siapa tidak mampu kawin, hendaklah ia

    puasa, karena puasa adalah perisai.

    Selanjutnya, baik dalam al-Quran maupun dalam hadis tidak ada penjelasan

    pasti tentang tajdd an-nik. Namun beberapa ulama memberikan pemaparan

    dalam kitabnya berdasarkan hasil ijtihad masing-masing. Sebelum masuk pada

    pembahasan para ulama tentang tajdd an-nik penulis akan memaparkan

    pendapat penulis tentang hukum tajdd an-nik.

    Dalam kehidupan bersama, ada norma yang harus dipatuhi, norma-norma

    melekat kuat sebagai fakta di dalam realitas.7 Norma-norma tersebut dibuat

    menjadi hukum di dalam kehidupan bersama di tengah masyarakat, hukum adat

    yang merupakan kongkritisasi daripada kesadaran hukum.8

    Mengenai adat, Islam telah mengaturnya dalam bentuk hukum al-adah atau

    urf. Urf ialah sesuatu yang telah sering dikenal manusia dan telah menjadi

    tradisinya baik berupa ucapan atau perbuatannya dan atau hal meninggalkan

    sesuatu juga disebut adat.9 Urf ada dua macam, yaitu urf shohih dan urf fasid.

    Urf sohih ialah sesuatu yang dikenal manusia dan tidak bertentangan dengan dalil

    syara. Sedangkan urf fasid ialah sesuatu yang dikenal manusia yang

    bertentangan dengan syara.10

    6 Abu Husain Muslim Bin Al-Hajjaj Al-Qusyairy An-Naisaburi., Shahih Muslim, No. Hadis

    807, Bab Istihbaabun nikah, juz II, (Bairut: Daar al-ihya, 1992), h. 1018. 7 Hans Kelsen, Dasar-dasar Hukum Normatif, Penerjemah: Nurulita Yusron, (Bandung:

    Nusa media, 2010) Cet. 2, h. 214. 8 Soerjono Soekanto, Hukum Adat Indonesia, (Jakarta: PT Raja Grafindo, 2013), h. 338.

    9 Abdul Wahhab Khalaf, Kaidah-Kaidah Hukum Islam (Ilmu Ushulul Fiqh), (Jakarta: PT

    Raja Grafindo Persada, 2002), Cet. 8, h. 130. 10

    Abdul Wahhab Khalaf, Kaidah-Kaidah Hukum Islam (Ilmu Ushulul Fiqh), h. 131.

  • 16

    Tentang kehujjahan urf terdapat perbedaan pendapat dikalangan ulama

    fiqih. Menurut golongan Hanafiyah dan golongan Malikiyah, urf adalah hujjah

    untuk menetapkan hukum. Sedangkan golongan Syafiiyah dan Hanbaliyah tidak

    menganggap urf itu sebagai hujjah atau dalil syari.11

    Dari berbagai urf yang

    dijumpai para ulama merumuskan kaidah-kaidah fiqih yang berkaitan dengan urf.

    Diantaranya adalah yang paling mendasar:12

    13

    Adat/ kebiasaan dapat dijadikan hukum.

    Adapun mengenai adat dan muamalah berlaku kaedah fikih:

    14

    Hukum asal dalam muamalah adalah kebolehan sampai ada dalil yang

    menujukkan keharamannya

    Dari kaidah fikih diatas dapat diketahui bahwa asal segala sesuatu adalah

    boleh kecuali ada nash yang melarangnya, karena sumber masalah adat dan

    muamalah bukan dari syari (Allah) tetapi justru manusia itu sendiri yang

    menimbulkan dan mengadakan.15

    Selain hukum adat, perbuatan manusia juga dapat digolongkan ke dalam

    bentuk ibadah. Dalam hal ibadah berlaku suatu kaidah fikih yaitu:

    16

    Hukum asal dalam ibadah adalah batal sampai ada dalil yang

    memerintahkannya

    Kaidah fikih diatas menjelaskan bahwa suatu bentuk ibadah yang tidak

    disyariatkan oleh Allah SWT kepada hamba-Nya, haram hukumnya untuk

    11

    Chaerul Uman, Dkk, Ushul Fiqih 1, (Bandung: CV Pustaka Setia, 2000), Cet. 2, h. 166-

    167. 12

    Chaerul Uman, Dkk, Ushul Fiqih I, h. 168. 13

    Ali Ahmad An Nadwi, Qawai al Fiqhiyyah, (Damaskus: Daar al Qolam, 1986) h. 256. 14

    A. Djazuli, Kaidah-Kaidah Fikih: Kaidah-Kaidah Hukum Islam dalam Menyelesaikan

    Masalah-Masalah yang Praktis, (Jakarta: Kencana, 2007), Cet. 2, h. 130. 15

    Abdul Mujib, Kaidah Ilmu Fikih, (Jakarta: Kalam Mulia, 2001), h.132. 16

    A. Djazuli, Kaidah-Kaidah Fikih: Kaidah-Kaidah Hukum Islam dalam Menyelesaikan

    Masalah-Masalah yang Praktis, h. 115.

  • 17

    dilaksanakan. Hal ini sangat berbeda dengan adat dan muamalah seperti yang

    telah dijelaskan diatas. Dan diantara contoh dari ibadah yang telah disyariatkan

    oleh Allah SWT melalui Rasul-Nya adalah ibadah sholat lima waktu, puasa

    ramadhan dan pernikahan.

    Dalam Alquran dan hadis memang tidak ditemukan secara pasti ketentuan

    tentang tajdd an-nik, namun kenyataanya, praktik tajdd an-nik telah lama

    muncul dan tumbuh di masyarakat. Oleh karena itu, tajdd an-nik dapat disebut

    sebagai kebiasaan atau urf yang dapat dijadikan sebagai pijakan pengambilan

    hukum kebolehan melaksankannya. Lebih mendalam, penulis akan bahas di bab

    selanjutnya. Selain itu, beberapa ulama juga telah mengemukakan pendapatnya

    terkait praktik tajdd an-nik yang akan dibahas dalam sub bab selanjutnya.

    Sedangkan dalam hukum positif di Indonesia, hukum tajdd an-nik, tidak

    dibahas secara pasti, namun dapat kita temukan dalam pasal 26 UU. No. 1 Tahun

    1974 tentang Perkawinan pernyataan bahwa perkawinan harus diperbaharui.

    Maksud dari pernyataaan tersebut ialah apabila terdapat suami istri yang telah

    tinggal bersama dan memiliki akta perkawinan yang tidak diakui oleh negara,

    harus melakukan pembaharuan perkawinan dihadapan pegawai pencatat

    perkawinan yang sah.

    1. Pandangan Ulama Terhadap Tajdd An-nik

    Sebagai pijakan penulis dalam menganalisis permasalahan hukum tajdd an-

    nik ini akan penulis uraikan pandangan-pandangan ulama terdahulu. Dari Ibnu

    Munir beliau memberikan hukum bahwa tajdd an-nik adalah boleh. Karena

    mengulang lafad akad nikah dalam nikah yang kedua tidak merusak pada akad

    yang pertama. Kemudian dikuatkan dengan argument Ahmad bin Ali bin Hajar al-

    Asyqolani, menyatakan bahwa menurut jumhur ulama bahwa tajdd an-nik

    tidak merusak akad yang pertama. Dan beliau juga menambahkan perkataan

    bahwa yang shahih di kalangan Ulama Syafiiyyah adalah mengulang akad nikah

  • 18

    atau akad lainnya tidak mengakibatkan fasakh akad yang pertama, sebagaimana

    menurut pendapat jumhur ulama.17

    Akan tetapi ada juga Ulama Syafiiyah yang berpendapat bahwa tajdd an-

    nik dapat membatalkan nikah sebelumnya antara lain Yusuf al-Ardabili, ulama

    terkemuka Madzhab Syafiiyah, sebagaimana perkataan beliau dalam kitabnya, Al-

    Anwar lil Amal sebagai berikut:

    Jika seorang suami memperbaharui nikah pada istrinya, maka wajib

    memberi mahar lain, karena ia mengakui perceraian dan memperbaharui nikah

    termasuk mengurangi hitungan talak kalau dilakukan sampai tiga kali maka

    diperlukan muhalil18

    Mengutip Ratna Ayu Anggraini dalam skripsinya yang berjudul Analisis

    Hukum Islam Terhadap tajdd an-nik dari Sayyid Abdurrahman dalam kitabnya

    yang berjudul Bughyah al Murtasyidin memberikan pemaknaan tentang tajdd an-

    nik adalah sebagai berikut:19

    Artinya: Telah menikahkan sebagian wali terhadap keluarganya dengan

    tidak ada kesepadanan dengan kerelaan orang-orang yang ada di

    tingkatannya, kemudian suami mencela istrinya, dan istrinya menghendaki

    tajdd dari suaminya, maka harus ada kerelaan dari semuanya. Menurut

    pendapat yang kuat dan tidak cukup dengan kerelaan sebelumnya. Dan

    yang menyamainya adalah qadli (hakim) ketika tidak adanya wali,

    meskipun diperbaharui dengan orang yang diridhai oleh wali. Namun qadli

    adalah yang lebih utama untuk mencegah daripada para wali.

    17

    Ahmad bin Ali bin Hajar al- Asyqolani, Fathul Barry Juz XII Syarah Shahih al Bukhari,

    (Bairut: Dar al-Fikri,1980) h. 199. 18

    Yusuf Al-Ardabili al Syafii, Al-Anwar li Amal Al-Abrar Juz II (Kuwait: Daar Al-Adiya,

    2006), h. 441. 19

    Ratna Ayu Anggraini, Analisis Hukum Islam Terhadap Tajdd an-nik, (Repository

    UIN Sunan Ampel) Bab 2, h. 37.

  • 19

    Tajdd an-nik adalah tindakan sebagai lambang kenyamanan hati dan

    ikhtiyat (kehati-hatian) yang diperintah dalam agama sebagaimana dalam

    kandungan sabda Nabi Muhammad SAW sebagai berikut:20

    : :

    . .

    ) (

    Artinya: Dari Abu Abdullah An Numan bin Basyir Radhiallahu

    Anhuma, dia berkata, Aku mendengar Rasulullah Shallallahu Alaihi wa

    Aalihi wa Sallam bersabda:Sesungguhnya yang halal adalah jelas dan

    yang haram juga jelas dan di antara keduanya terdapat perkara yang

    samar, kebanyakan manusia tidak mengetahuinya. Barangsiapa yang

    menghindar dari yang samar maka dia telah menjaga agamanya dan

    kehormatannya. Dan barangsiapa yang terjatuh dalam perkara yang samar

    maka dia telah terjatuh dalam perkara yang haram, seperti penggembala

    yang berada dekat di pagar milik orang lain dikhawatiri dia masuk ke

    dalamnya. Ketahuilah setiap raja memiliki pagar (aturan), aturan Allah

    adalah larangan-laranganNya. Sesungguhnya di dalam tubuh terdapat

    segumpal daging jika dia baik maka baiklah seluruh jasad itu, jika dia

    rusak maka rusak pula seluruh jasad. Ketahuilah itu adalah hati. (HR.

    Bukhari).

    Menurut A. Masduki Machfud adalah boleh dan tidak merusak pada akad

    yang pertama, karena memperbaharui akad itu hanya sekedar keindahan (al-

    Tajammul) atau berhati-hati. Hal ini juga diungkapkan oleh A. Qusyairy Ismail,

    bahwa hukum asal memperbaharui akad nikah itu boleh, karena bertujuan hati-

    hati dan terhindar dari hal yang tidak diinginkan atau bertujuan tajammul (upaya

    manaikan prestise/ gengsi).21

    20

    Muhammad Ibn Ismail Al-Bukhari, Shahih Al-Bukhari Hadis nomor 2051, Kitab al-

    Buyu, juz III, (Bairut: Daar al Fikr, 1994), h. 5. 21

    Masduki Machfud, Bahtsul Masail Diniya, (Malang: PPSH, 2000), h. 25.

  • 20

    2. Bahtsul Masail Tentang Tajdd An-nik

    Selain pemaparan dari para ulama terdahulu, permasalahan tajdd an-nik

    juga dibahas dalam pelaksanaan Bahtsul Masail PWNU Jatim di Pon. Pes. Zainul

    Hasan Genggong Kraksan Probolinggo, 22-23 Nopember 1981. Bahtsul Masail

    merupakan upaya ulama Nahdlatul Ulama (NU) dalam memberikan solusi

    terhadap problematika hukum Islam yang semakin kompleks di tengah

    masyarakat, salah satunya adalah tajdd an-nik. Banyak masyarakat yang

    melaksanakan praktik ini tanpa mengetahui dasar hukum yang jelas. Adapun

    dalam Bahtsul Masail tersebut keputusannya adalah sebagai berikut:22

    Hukumnya tajdd an-nik (memperbaharui nikah tanpa terjadinya cerai)

    adalah boleh, bertujuan untuk memperindah atau ihtiyat dan tidak termasuk

    pengakuan talak (tidak wajib membayar mahar) akan tetapi menurut imam Yusuf

    al-Ardabili dalam kitab al-Anwar wajib membayar mahar karena sebagai

    pengakuan jatuhnya talak.

    Dasar pengambilan hukum sebagai berikut:

    "Sesungguhnya persetujuan murni suami atas akad nikah yang kedua

    (memperbarui nikah) bukan merupakan pengakuan habisnya tanggung

    jawab atas nikah yang pertama, dan juga bukan merupakan kinayah dari

    pengakuan tadi. Dan itu jelas. Sedangkan apa yang dilakukan suami di sini

    (dalam memperbarui nikah) semata-mata untuk memperindah atau berhati-

    hati".23

    22

    http://santri.net/fiqih/bahtsul-masaail/mahar-untuk-pembarunikah/, diakses pada tanggal

    12 September 2017 pukul 17.00 WIB 23

    Ibnu Hajar al-Haitami, Tuhfatul Muhtaj bi Syarhil Minhaj, Juz III, Edisi V (Bairut: Dar al- Kotob al-Ilmiyah, 2013), h. 280.

    http://santri.net/fiqih/bahtsul-masaail/mahar-untuk-pembaruan-nikah/
  • 21

    "Jika seorang suami memperbaharui nikah kepada isterinya, maka wajib

    memberi mahar (mas kawin) karena ia mengakui perceraian dan

    memperbaharui nikah termasuk mengurangi (hitungan) cerai/talaq. Kalau

    dilakukan sampai tiga kali, maka diperlukan muhallil".24

    C. Putusnya dan Batalnya Pernikahan

    Dari pemaparan di atas, beberapa ulama berpendapat bahwa tajdd an-nik

    dapat menyebabkan rusaknya akad yang pertama yang mana mempengaruhi status

    pernikahan tersebut, apakah pernikahannya putus atau tidak. Berikut akan

    dipaparkan penjelasan hal-hal yang dapat menyebabkan putusnya dan batalnya

    pernikahan dalam hukum pernikahan Islam.

    Suatu perkawinan dapat putus dan berakhir karena beberapa hal, yaitu,

    karena terjadinya talak yang dijatuhkan oleh suami terhadap istrinya, atau karena

    perceraian yang terjadi antara keduanya, atau karena sebab-sebab lain. Hal-hal

    yang dapat menyebabkan putusnya perkawinan akan dijelaskan berikut ini.25

    1. Talak

    Talak terambil dari kata itlaq yang menurut bahasa artinya, melepaskan

    atau meninggalkan. Menurut istilah syara, talak yaitu:

    melepas tali perkawinan dan mengakhiri hubungan suami istri

    Jadi talak ialah menghilangkan ikatan perkawinan sehingga setelah

    hilangnya perkawinan itu istri tidak lagi halal bagi suaminya. Adapun suatu

    24

    Yusuf Ibrahim Ardabili, Al-anwar lil Amali Al-abrori, (Kuwait: Dar Addiya, 2006) juz II, h. 441.

    25Abdul Rahman Ghazali, Fiqh Munakahat, (Jakarta: Kencana, 2003), h. 191.

  • 22

    talak dapat jatuh apabila telah memenuhi syarat-syarat, dan syarat-syarat

    tersebut ada tiga yaitu26

    :

    a. Syarat yang Berhubungan dengan Suami

    Para ahli fikih sepakat bahwa suami yang sah menjatuhkan talak ialah

    suami yang mukallaf, seperti sempurna akalnya telah baligh dan sebagainya.

    Berbeda pendapat ahli fikih tentang sahnya talak yang dijatuhkan suami yang

    kurang sempurna mukallafnya. Tanda-tanda orang yang kurang sempurna

    mukallafnya ialah ia tidak mempunyai kehendak dan pilihan dalam

    melaksanakan perbuatan yang dilakukan. Diantara tanda suami yang tidak

    sempurna mukallafnya ialah:

    1) Suami yang Terpaksa

    Orang yang terpaksa ialah orang yang tidak dapat melakukan

    kehendaknya dan tidak pula dapat menyatakan pilihannya. Pada hakekatnya

    kehendak dan pilihan orang yang terpaksa itu adalah kehendak dan pilihan

    orang atau keadaan yang memaksanya. Karena itu ia tidak dapat

    mempertanggung jawabkan perbuatannya, dengan kata lain, orang yang

    demikian adalah orang yang tidak sempurna mukallafnya, dan perbuatannya

    tidak dapat dihukum sebagai perbuatan dirinya.

    Sedangkan Imam Syafii, Imam Malik, dan Imam Ahmad berpendapat

    bahwa talak yang dijatuhkan oleh suami yang terpaksa menjatuhkannya

    tidak sah (tidak jatuh). Namun, Imam Abu Hanifah berpendapat bahwa talak

    tersebut adalah talak yang sah.

    2) Suami yang Mabuk

    Sebagian ahli fikih berpendapat bahwa, talak yang dijatuhkan oleh

    suami yang mabuk adalah sah jika suami tersebut sengaja menjadikan

    dirinya mabuk. Namun apabila mabuknya itu tidak disengaja maka talaknya

    26

    Kamal Mukhtar, Asas-Asas Hukum Islam Tentang Perkawinan, (Jakarta: Bulan Bintang,

    1987), h. 163-165.

  • 23

    tidak sah. Kebanyakan ahli fikih, seperti Imam Abu Hanifah, sebagian

    pengikut Syafii dan Ahli Zahir berpendapat bahwa tidak sah talak yang

    dijatuhkan oleh orang yang sedang mabuk, karena orang yang sedang

    mabuk itu sama hukumnya dengan oorang yang tidak berakal, atau orang

    gila. Jika orang mabuk tidak sah mengerjakan shalat maka tidak sah pula

    orang mabuk menjatuhkan talak.

    3) Suami yang Sedang Marah

    Yang dimaksud dengan marah ialah semacam perasaan benci karena

    suatu kejadian atau suatu tindakan seseorang. Marah yang dimaksud disini

    ialah marah yang telah sedemikian rupa, sehingga orang yang marah

    tersebut tidak dapat menentukan kehendak dan pilihannya lagi, apa yang

    dilakukan dan dikatakannya hampir di luar kesadarannya. Apabila seorang

    suami marah sampai ia tidak dapat menentukan kehendak dan pilihannya,

    maka talaknya tidak sah. Namun, jika seorang suami marah yang masih bisa

    menentukan kehendak dan pilihannya, maka talaknya sah.

    Selain yang telah disebutkan diatas, talak yang berhubungan dengan suami

    dapat dilakukan dalam beberapa bentuk. Pertama, dengan mewakilkan kepada

    orang lain. Suami boleh mewakilkan haknya itu kepada orang lain yang bertindak

    atas namanya untuk menjatuhkan talak kepada istrinya. Kedua, dengan mengutus

    seorang utusan kepada istrinya untuk menyampaikan pesan bahwa, istrinya boleh

    memilih apakah dia ditalak atau tidak. Kalau istrinya memilih ditalak, maka

    utusan suami itu menyatakan bahwa telah jatuh talak suami satu kali. Namun jika

    istri memilih sebaliknya, maka perkawinan itu tetap berlangsung sebagaimana

    biasa. Ketiga, Tafwidh. Maksudnya ialah suami menyerahkan haknya itu kepada

    istrinya. Kemudian terserah istrinya mau dilakukan atau tidak wewenang yang dia

    terima itu.27

    b. Syarat-syarat yang berhubungan dengan istri

    27

    Kamal Mukhtar, Asas-Asas Hukum Islam Tentang Perkawinan, h. 167.

  • 24

    Para ahli fikih sepakat bahwa istri yang boleh ditalak oleh suami ada tiga.

    Pertama, istri yang telah terikat perkawinan yang sah dengan suaminya. Apabila

    istri belum terikat perkawinan yang sah atau akad nikahnya masih diragukan sah

    tidaknya, maka istri itu tidak dapat ditalak. Kedua, istri yang belum dicampuri

    oleh suaminya dalam keadaan masa suci. Ketiga, istri yang sedang hamil.

    c. Syarat-syarat pada sighat talak

    Sighat talak ialah perkataan yang diucapkan oleh suami atau wakilnya di

    waktu ia mmenjatuhkan talak kepada istrinya. Sighat talak itu ada yang diucapkan

    langsung, ada dengan perkataan yang jelas, dan ada yang diucapkan dengan

    sindiran. Ditinjau dari segi apakah talak itu telah jatuh disaat suami selesai

    mengucapkan sighat talak, terbagi menjadi dua. Pertama, Talak Munjiz, yaitu

    talak yang telah jatuh disaat suami selesai mengucapkan sighat talak. Kedua,

    Talak Muallaq, yaitu talak yang jatuh apabila telah ada syarat-syarat yang

    disebutkan suami dalam sighat akad yang telah diucapkannya dahulu, atau syarat-

    syarat yang ditetapkan kemudian setelah akad nikah.28

    2. Macam-Macam Talak

    Adapun macam-macam talak dapat dilihat dari dua aspek yang berbeda.

    Pertama, dapat dilihat dari aspek talak yang sesuai atau tidak dengan sunah

    Rasulullah SAW. Kedua, dapat dilihat dari aspek kemungkinan bekas suami

    merujuk kembali bekas istri.

    Jika talak dilihat dari aspek sesuai atau tidaknya talak dengan sunah

    Rasulullah SAW dibagi menjadi dua macam, yaitu:

    a. Talak Sunni

    Talak sunni adalah talak yang terjadi sesuai dengan ketentuan agama, yaitu

    seorang suami mentalak istrinya yang telah dicampurinya dengan sekali talak di

    masa suci dan belum ia sentuh kembali di masa sucinya itu berdasarkan firman

    Allah SWT yang berbunyi:

    28

    Kamal Mukhtar, Asas-Asas Hukum Islam Tentang Perkawinan, h. 167-168.

  • 25

    ....

    Artinya: Talak (yang dapat dirujuki) dua kali. setelah itu boleh rujuk lagi

    dengan cara yang ma'ruf atau menceraikan dengan cara yang baik. (QS.

    Al-Baqarah/2: 229)

    Dikatakan talak sunni mempunyai tiga syarat sebagai berikut:

    1) Istri yang ditalak sudah pernah dikumpuli. Bila talak dijatuhkan pada istri

    yang belum pernah dikumpuli, tidak termasuk talak sunni.

    2) Istri dapat segera melakukan iddah suci setelah ditalak. Yaitu istri dalam

    keadaan suci dari haid.

    3) Talak itu dijatuhkan ketika istri dalam keadaan suci. Dalam masa suci itu

    suami tidak pernah menggaulinya.

    b. Talak Bidi

    Talak bidi ialah talak yang dijatuhkan pada waktu dan jumlah yang tidak

    tepat. Talak bidi merupakan talak yang dilakukan bukan menurut petunjuk

    syariat, baik mengenai waktunya maupun cara-cara menjatuhkannya. Dari segi

    waktu, ialah talak terhadap istri yang telah dicampuri pada waktu ia bersih atau

    terhadap istri yang sedang haid. Dari segi jumlah talak, ialah tiga talak yang

    dijatuhkan sekaligus. Ulama sepakat bahwa talak bidi dari segi jumlah talak,

    ialah tiga sekaligus, mereka juga sepakat bahwa talak bidi itu haram dan

    melakukannya berdosa.

    Sedangkan talak yang dapat dilihat dari aspek kemungkinan bekas suami

    merujuk kembali bekas istri, talak dibagi dua macam sebagai berikut:29

    a. Talak Raji

    Yaitu talak yang dijatuhkan suami kepada istrinya yang pernah digauli,

    bukan karena memperoleh ganti harta dari istri, talak yang pertama kali dijatuhkan

    atau yang kedua kalinya. Setelah talak raji maka istri wajib ber-iddah, hanya

    bila suami hendak kembali pada bekas istri sebelum berakhir masa iddah, maka

    29

    Abdul Rahman Ghazali, Fiqh Munakahat, h. 192.

  • 26

    hal itu dapat dilakukan rujuk, tetapi jika dalam masa iddah suami tidak merujuk,

    lalu habis masa iddahnya dan suami baru berkeinginan merujuk, maka wajib

    dilakukan dengan akad baru dan dengan mahar yang baru pula. Talak raji hanya

    terjadi pada talak pertama dan kedua saja. Seperti dalam firman Allah ayat 229

    Al-Baqarah:

    ........

    Artinya: talak (yang dapat dirujuk) dua kali. Setelah itu boleh rujuk lagi

    dengan cara yang maruf atau menceraikan dengan cara yang baik.

    b. Talak Bain

    Yaitu talak yang tidak memberi hak merujuk bagi bekas suami terhadap

    istrinya. Untuk mengembalikan istri ke dalam ikatan perkawinan dengan bekas

    suami harus melalui akad nikah baru, lengkap dengan syarat dan rukunnya.30

    Talak bain ada dua macam, yaitu talak bain sugro dan talak bain kubro.

    Talak bain sugro ialah talak bain yang menghilangkan hak-hak rujuk dari bekas

    suaminya, tetapi tidak menghilangkan hak nikah baru kepada bekas istrinya itu.

    Sedangkan talak bain kubro yaitu, talak yang mengakibatkan hilangnya hak-hak

    rujuk kepada bekas istri, walaupun keduanya ingin melakukannya, baik diwaktu

    iddah atau sesudahnya. Suami haram kawin lagi dengan bekas istrinya, kecuali

    bekas istri itu telah menikah dengan lelaki lain (muhalil).

    Sebagian ulama berpendapat yang termasuk talak bain kubro adalah segala

    macam perceraian yang mengandung unsur sumpah seperti: ila, zihar, dan lian.31

    3. Perceraian

    Suatu perkawinan menjadi putus antara lain karena perceraian. Dalam

    hukum Islam, percerian terjadi karena terjadinya khulu, zihar, ila dan lian.

    a. Khulu

    30

    Tihami, dan Sohari Sahrani, Fikih Munakahat: Kajian Fikih Nikah Lengkap, (Jakarta:

    Rajawali Pers: 2013), h. 245. 31

    Tihami, dan Sohari Sahrani, Fikih Munakahat: Kajian Fikih Nikah Lengkap, h. 246.

  • 27

    Menurut ulama fuqaha, khulu kadang dimaksudkan makna yang

    umum, yakni perceraian dengan disertai iwadh, yang diberikan istri kepada

    suami sebagai bentuk penebusan atas dirinya agar terlepas dari ikatan

    perkawinan, baik dengan kata khulu mubaroah, maupun talak.32

    b. Zhihar

    Dalam bahasa Arab, kata zhihar terambil dari kata Zahrun yang

    bermakna punggung. Dalam kaitannya dengan hubungan suami istri, zhihar

    adalah ucapakan suami kepada istrinya yang berisi menyerupakan punggung

    istri dengan punggung ibu suami. Pada masa jahiliyah, ucapan tersebut

    sebagai cara seorang suami mengharamkan dirinya untuk menyetubuhi

    istrinya selama-lamanya.33

    Syariat Islam datang untuk memperbaiki masyarakat menuju

    kemaslahatan hidup. Hukum Islam menjadikan ucapan zhihar berakibat

    hukum yang bersifat duniawi dan ukhrawi. Akibat bersifat duniawinya ialah

    suami haram menggauli istrinya yang dizihar sampai ia menebus kafarat

    zihar. Sedangkan bersifat ukhrawi bahwa zhihar itu perbuatan dosa, orang

    yang mengucapkannya telah berbuat dosa.34

    c. Ila

    Menurut istilah hukum islam, ila ialah, sumpah suami dengan

    menyebut nama Allah atau sifatnya yang tertuju pada istri untuk tidak

    mendekati istrinya itu, baik secara mutlak maupun dibatasi dengan ucapan

    selamanya atau dengan empat bulan atau lebih.35

    Demikian beberapa perkara yang dapat menyebabkan putusnya ikatan

    pernikahan. Dengan putusnya ikatan pernikahan maka, suami-istri dilarang

    bergaul sampai dengan mereka kembali rujuk ataupun kembali

    32

    Abdul Rahman Ghazali, Fiqh Munakahat, h. 220. 33

    Abdul Rahman Ghazali, Fiqh Munakahat, h. 228. 34

    Abdul Rahman Ghazali, Fiqh Munakahat, h. 228. 35

    Abdul Rahman Ghazali, Fiqh Munakahat, h. 234.

  • 28

    melaksanakan akad yang baru. Adapun akad baru tersebut harus memenuhi

    syarat dan rukun pernikahan selayaknya saat akad yang pertama.

    4. Batalnya Pernikahan

    Batal adalah rusaknya hukum yang ditetapkan terhadap suatu amalan

    seseorang, karena tidak memenuhi syarat dan rukunnya yang ditetapkan syara.

    Batalnya pernikahan adalah rusak atau tidak sahnya pernikahan karena tidak

    memenuhi salah satu syarat atau diharamkan oleh agama. Batalnya pernikahan

    disebut juga dengan fasakh. Fasakh bisa terjadi karena tidak terpenuhinya syarat-

    syarat ketika berlangsungnya akad nikah, atau karena hal-hal lain yang datang

    kemudian dan membatalkan kelangsungan pernikahan. Contoh, setelah akad

    ternyata diketahui bahwa istrinya adalah saudara kandung atau saudara sesusuan

    pihak suami.36

    Dalam Undang-Undang No.1 tahun 1974 tentang Perkawinan pasal 22

    dikatakan bahwa, perkawinan dapat dibatalkan, apabila para pihak tidak

    memenuhi syarat-syarat untuk melangsungkan perkawinan. Syarat-syarat

    perkawinan yang dimaksud adalah persyaratan usia kedua calon mempelai,

    persyaratan kerelaan kedua calon mempelai, persyaratan izin orangtua kedua

    mempelai, persyaratan administrasi, dan sebagaimana yang telah diuraikan

    sebelumnya berkaitan dengan rukun dan syarat-syarat sahnya perkawinan menurut

    Undang-Undang No.9 tahun 1975 Tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-

    Undang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam.

    Jika ditinjau dari perspektif KHI, di dalam pasal 70 KHI dinyatakan

    perkawinan batal (batal demi hukum) apabila:

    a. Suami melakukan perkawinan, sedang ia tidak berhak melakukan akad

    nikah karena sudah mermpunyai empat orang istri, srekalipun salah satu

    dari keempat istrinya itu dalam iddah talak raji.

    b. Seseorang menikahi bekas istrinya yang terlah diliannya.

    36

    Tihami, dan Sohari Sahrani, Fikih Munakahat: Kajian Fikih Nikah Lengkap, h. 196.

  • 29

    c. Seseorang menikahi bekas istrinya yang telah dijatuhi tiga talak olehnya,

    kecuali bila bekas istrinya tersebut pernah menikah dengan pria lain yang

    kemudian bercerai lagi bada dukhul dari pria tersebut dan telah habis

    masa iddahnya.

    d. Perkawinan dilakukan antara dua orang yang mempunyai hubungan

    darah, semenda dan sesusuan sampai derajat tertentu yang menghalangi

    perkawinan.

    e. Istri adalah saudara kandung atau sebagai bibi atau kemenakan dari istri

    atau istri-istrinya

    Selanjutnya pada pasal 71 dijelaskan perkawinan yang dapat dibatalkan

    apabila:

    a. Seorang suami melakukan poligami tanpa izin Pengadilan Agama.

    b. Perempuan yang dikawini ternyata dikemudian diketahui masih menjadi

    istri pria yang mafqud.

    c. Perempuan yang dikawini ternyata masih dalam iddah dari suami lain.

    d. Perkawinan yang melanggar batas umur perkawinan, sebagaimana

    ditetapkan pasal 7 Undang-undang No.1 Tahun 1974.

    e. Perkawinan dilangsungkan tanpa wali atau dilaksanakan oleh wali yang

    tidak berhak.

    f. Perkawinan yang dilaksanakan dengan paksaan.

  • 30

    BAB III

    PRAKTIK NGANYARE KABIN (TAJDD AN-NIK)

    DI MASYARAKAT MADURA DESA GAPURA TENGAH

    A. Desa Gapura Tengah dan Masyarakatnya

    Setiap desa atau daerah pasti memiliki sejarah dan latar belakang tersendiri

    yang merupakan pencerminan dari karakter dan pencirian khas tertentu dari suatu

    daerah. Sejarah desa atau daerah sering kali tertuang dalam dongeng yang

    diwariskan secara turun temurun dari mulut ke mulut sehingga sulit dibuktikan

    secara fakta dan tidak jarang dongeng tersebut dihubungkan dengan mitos,

    tempat-tempat tertentu yang dianggap keramat. Begitupun dengan Desa Gapura

    Tengah, ia memiliki sejarah dan mitos tersendiri.

    Desa Gapura Tengah pada awalnya menjadi satu desa dengan Desa Gapura

    Timur dan Gapura Barat. Pada masa itu hanya dikenal satu nama untuk wilayah

    dimaksud, yaitu Gapura atau Geppora. Masyarakat setempat menyebutnya punya

    arti pintu gerbang masuk suatu wilayah. Ada sisa-sisa peninggalan bangunan

    sejarah bangunan di sekitar gapura barat yang diperkirakan merupakan gapura

    atau pintu gerbang kerajaan. Pada kerajaan Majapahit daerah tersebut merupakan

    pintu masuk laskar Majapahit lewat laut. Maka dibangunlah pintu gerbang keraton

    Sumenep sebelah timur yang kemudian dikenal sebagai Gapura.

    Gapura Tengah berjarak sekitar 15 km dari Ibukota Kabupaten Sumenep.

    Sebelah utara desa Gapura Tengah berbatasan dengan Desa Tamidung, sebelah

    timur dengan Desa Mandala dan Gapura Timur, sebelah barat dengan Desa

    Gapura Barat, sebelah selatan dengan Desa Gersik Putih. Adapun luas desa

    Gapura Tengah adalah 499 Ha yang terdiri dari tanah pertanian, perkebunan,

    tambak dan pemukiman warga.1

    Secara umum, masyarakat hukum adat di Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa

    Timur dan Bali pada umumnya disebut desa. Dan digambarkan sebagai

    masyarakat hukum yang berbentuk tunggal. Desa dikepalai seorang kepala desa

    1 Data Arsip Desa Gapura Tengah Tahun 2016.

  • 31

    yang disebut lurah, kuwu, bekel atau petinggi (Jawa Timur dan Jawa Tengah.2

    Demikian juga dengan Madura tak jauh berbeda sistem kemasyarakatannya

    dengan Jawa. Di desa Gapura seorang kepala desa sering disebut kalebun atau

    petinggi.

    Desa Gapura Tengah merupakan salah satu desa yang terletak di Kecamatan

    Gapura Kabupaten Sumenep. Pada tahun 2016, jumlah penduduk desa Gapura

    Tengah sebanyak 1758 jiwa yang terdiri dari 836 orang laki-laki dan 922 orang

    perempuan, ini berarti rata-rata kepadatan penduduk 3,5 Jiwa per KM. Desa ini

    memiliki 3 dusun, 15 RT dan 7 RW. Tiga dusun tersebut ialah dusun Sema, dusun

    Banjeru dan dusun Panile.

    Adapun kelompok tingkat pendidikan masyarakat desa Gapura Tengah

    dapat dikelompokan sebagai berikut:3

    Tabel 1.1

    Kelompok Tingkat Pendidikan

    No. Tingkat Pendidikan Jumlah Siswa

    1. PAUD 19

    2. TK 72

    3. SD 263

    4. SLTP 237

    5. SLTA 182

    6. Sarjana 17

    TOTAL 790

    Dari tabel diatas diketahui bahwa tingkat pendidikan masyarakat desa

    Gapura Tengah pada saat ini sudah banyak yang mengenyam pendidikan formal

    dari tingkat pendidikan yang paling rendah sampai tingkat pendidikan yang paling

    tinggi. Hal ini dapat dibuktikan dengan jumlah masyarakat desa ini yang tengah

    2 Soerjono Soekanto, Hukum Adat Indonesia, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2003), h.

    144. 3 Data Arsip Desa Gapura Tengah Tahun 2016.

  • 32

    mengenyam pendidikan formal sebanyak 790 orang dari 1758 orang.4 Adapun

    mengenai sistem sosial masyarakat Madura akan dijelaskan sebagai berikut.

    1. Sistem Kekerabatan dan Sistem Pemukiman Masyarakat Madura

    Dalam hal pola permukiman dan kekerabatan masyarakat Madura

    khususnya desa Gapura Tengah memiliki ciri khas tersendiri. Secara umum,

    sistem kekerabatan masyarakat Madura terbentuk melalui adanya ikatan-ikatan

    keturunan.5 Sama halnya dengan yang terjadi pada sistem kekerabatan masyarakat

    desa Gapura Tengah yang juga masih dipengaruhi oleh ikatan-ikatan

    kekeluargaan. Bisa dibilang, ikatan-ikatan kekeluargaan merupakan awal mula

    tumbuhnya solidaritas bagi masyarakat desa Gapura Tengah.

    Sebagai contoh misalnya, seorang bapak atau ibu akan mengenalkan

    anaknya kepada keluarganya yang lain dari sejak anaknya dilahirkan sampai

    menjelang dewasa. Hal tersebut berlaku pula bagi para tetangga di sekitarnya.

    Artinya, orang tua dituntut untuk memberikan pelajaran berharga bahwa

    mengenal orang disekelilingnya sangatlah penting.

    Pemukiman masyarakat Madura pada umumnya dapat dibedakan menjadi

    dua pola, yaitu pola pemukiman tanean lanjheng (halaman panjang) dan pola

    pemukiman kampong mejhi6. Di daerah Kabupaten Sumenep yang di dalamnya

    terdapat desa Gapura Tengah, pola pemukiman masyarakat yang banyak

    ditemukan adalah pola pemukiman tanean lanjheng. Sedangkan pola pemukiman

    kampong mejhi jarang ditemui pada pemukiman masyarakat di daerah ini, baik

    pada masyarakat pedalaman, pesisir atau perkotaan. Pola pemukiman tanean

    lanjheng dapat dijumpai di daerah-daerah yang umumnya masih termasuk daerah

    yang masyarakatnya masih mampu secara ekonomi atau termasuk daerah bekas

    kerajaan.

    Tanean lanjheng adalah pemukiman tradisonal Madura yaitu suatu

    kumpulan rumah yang terdiri atas keluarga-keluarga yang mengikatnya. Letaknya

    4 Arsip Data Desa Gapura Tengah 2016.

    5 A. Latief Wiyata, Carok: Konflik Kekerasan dan Harga Diri Orang Madura,

    (Yogyakarta: LkiS, 2006), h. 53. 6 A. Latief Wiyata, Carok: Konflik Kekerasan dan Harga Diri Orang Madura, h. 41.

  • 33

    sangat berdekatan dengan lahan garapan, mata air atau sungai. Antara pemukiman

    dengan lahan garapan hanya dibatasi dengan tanaman hidup atau peninggian tanah

    yang disebut tabun (tanggul pemisah antar sawah), sehingga masing-masing

    kelompok menjadi terpisah oleh lahan garapannya. Satu kelompok rumah terdiri

    atas 2 sampai 10 rumah, atau dihuni sepuluh keluarga yaitu keluarga batih yang

    terdiri dari orang tua, anak, cucu, cicit dan seterusnya. Jadi hubungan keluarga

    kandung merupakan ciri khas kelompok ini.7

    Dalam proses pembentukan pemukiman tradisional Madura diawali dengan

    sebuah rumah induk yang disebut dengan tonghuh (rumah cikal bakal atau leluhur

    suatu keluarga). Tonghuh dilengkapi dengan langgar, kandang dan dapur. Apabila

    sebuah keluarga memiliki anak yang berumah tangga, khususnya anak

    perempuan, maka orang tua akan atau bahkan ada keharusan untuk membuatkan

    rumah bagi anak perempuannya. Penempatan rumah untuk anak perempuan

    berada di sebelah timurnya. Kelompok pemukiman yang demikian disebut

    pamengkang, demikian juga bila generasi berikutnya telah menempati maka akan

    terbentuk koren dan sampai tanean lanjheng. Susunan demikian terus menerus

    berkembang dari masa ke masa.8

    Susunan rumah disusun berdasarkan hirarki dalam keluarga. Barat-timur

    adalah arah yang menunjukkan urutan tua muda. Sistem yang demikian

    mengakibatkan ikatan kekeluargaan menjadi sangat erat. Sedangkan hubungan

    antar kelompok menjadi sangat renggang karena letak pemukiman yang menyebar

    dan terpisah. Ketergantungan keluarga tertentu pada lahan masing-masing. Di

    ujung paling barat terletak langgar. Bagian utara merupakan kelompok rumah

    yang tersusun sesuai hirarki keluarga. Susunan barat-timur terletak rumah orang

    tua, anak-anak, cucu-cucu dan cicit-cicit dari keturunan perempuan. Kelompok

    keluarga yang demikian disebut koren atau rumpun bambu. Istilah ini sangat

    cocok karena satu koren berarti satu keluarga inti.9

    Apabila susunan ini terlalu panjang maka susunan berubah menjadi

    berhadapan. Urutan susunan rumah tetap dimulai dari ujung barat kemudian

    7A. Latief Wiyata, Carok: Konflik Kekerasan dan Harga Diri Orang Madura, h. 42.

    8 A. Latief Wiyata, Carok: Konflik Kekerasan dan Harga Diri Orang Madura, h. 43.

    9 A. Latief Wiyata, Carok: Konflik Kekerasan dan Harga Diri Orang Madura, h. 44.

  • 34

    berakhir di ujung timur. Pertimbangan ini dikaitkan dengan terbatasnya lahan

    garapan, sehingga sebisa mungkin tidak mengurangi lahan garapan yang ada. Jadi,

    untuk melacak satu alur keturunan dapat dilacak melalui susunan penghuni

    rumahnya. Generasi terpanjang dapat dilihat sampai dengan 5 generasi yaitu di

    tanean lanjheng. Posisi tonghuh selalu ada di ujung barat sesudah langgar.

    Langgar selalu berada di ujung barat sebagai akhiran masa bangunan yang ada.

    Susunan rumah tersebut selalu berorientasi utara-selatan. Halaman di tengah

    inilah yang disebut tanean lanjheng.10

    Kampong mejhi adalah salah satu dari dua pola pemukiman masyarakat

    Madura selain tanean lanjheng yang telah dijelaskan di atas. Kampong mejhi

    yaitu kumpulan atau kelompok-kelompok pemukiman penduduk desa yang satu

    sama lain saling terisolasi. Jarak satu pemukiman dengan pemukiman yang lain

    sekitar satu atau dua kilometer. Keterisolasian kelompok pemukiman ini menjadi

    semakin nyata oleh adanya pagar dari beberapa rumpu bambu yang sengaja

    ditanam di sekelilingnya. Antara kelompok-kelompok pemukiman yang satu

    dengan yang lain biasanya hanya dihubungkan oleh jalan desa atau jalan setapak.

    Jarang sekali ditemui jalan beraspal, kecuali beberapa jalan makadam, yaitu jalan

    yang dikeraskan oleh tumpukan batu, kemudian diratakan tanpa dilapisi aspal.

    Ketika musim hujan tiba, maka kondisi jalan desa tersebut menjadi sangat jelek

    (berlumpur atau becek). Pada setiap desa khususnya kawasan diluar kota,

    biasanya ditemukan antara lima sampai sepuluh pola pemukiman kampong

    mejhi.11

    Menurut dua pola pemukiman yang telah dipaparkan diatas, pola

    pemukiman masyarakat desa Gapura Tengah dapat dikategorikan dalam pola

    pemukiman tanean lanjheng. Hal ini berdasarkan dari pengamatan penulis yang

    langsung turun ke lapangan melihat kondisi masyarakat desa Gapura Tengah.

    Disana banyak ditemukan rumah warga yang letaknya berbaris memanjang

    dan saling berdempetan, bahkan juga ada yang sampai berhadap-hadapan. Namun

    tidak semua pemukiman masyarakat memiliki langgar yang berada di ujung

    10

    A. Latief Wiyata, Carok: Konflik Kekerasan dan Harga Diri Orang Madura, h. 46. 11

    A. Latief Wiyata, Carok: Konflik Kekerasan dan Harga Diri Orang Madura , h. 46.

  • 35

    barat, ini disebabkan oleh terbatasnya luas tanah yang dimiliki. Selain itu ada

    juga yang sengaja tidak membangun langgar karena letak pemukimannya dekat

    dengan masjid. Mengenai susunan rumah yang ada di pemukiman desa ini juga,

    tidak selalu anak perempuan pertama yang sudah berkeluarga dibuatkan rumah di

    sebelah timur rumah orang tua, akan tetapi anak perempuan tersebut akan tetap

    tinggal di rumah orang tuanya. Alasannya karena kelak jika orang tua sudah

    meninggal, secara otomatis anak perempuan tersebut yang akan menempatinya.

    2. Adat Pernikahan Masyarakat Madura Desa Gapura Tengah

    Dalam tradisi pernikahan masyarakat Madura, ada tiga tahap yang biasanya

    dikerjakan. Pertama, adat sebelum menikah; kedua, upacara pernikahan; dan

    ketiga, upacara sesudah menikah.

    Sebelum menikah, masyarakat Madura mengenal istilah ngangene (mencari

    berita) atau nyalabar atau resarean (mencari-cari) apakah gadis yang ingin

    dilamar sudah mempunyai tunangan atau belum. Namun informasi ini tidak

    langsung dari orangtua si gadis, melainkan dari tetangga atau kerabatnya.

    Bila si gadis belum punya tunangan, maka tahap selanjutnya adalah narabas

    pagar (menerobos pagar) maksudnya adalah orangtua dari pemuda langsung yang

    bertanya pada orangtua si gadis apakah anaknya sudah punya tunangan atau

    belum. Apabila orangtua gadis berkenan pada pemuda tersebut maka hubungan

    itu dikonkritkan dengan nalee pagar (mengikat pagar).

    Proses nalee pagar ini ditandai dengan utusan keluarga pemuda dengan

    membawa surat. Isi surat tersebut adalah, orangtua dari pemuda menginginkan

    anak gadis itu untuk dinikahkan dengan anaknya. Bilamana dalam surat itu pihak

    keluarga tidak berpesan minta balasan, maka keluarga si gadis datang ke keluarga

    pemuda untuk mengantarkan hantaran berupa pakaian dan makanan untuk

    pemuda. Proses ini disebut tongkebban.

    Setelah tahap nalee pagar, maka tahap selanjutnya adalah lamaran.

    Lamaran dikatakan resmi jika pihak keluarga pemuda mengirimkan penengset

    (dalam bahasa madura berati ikat pinggang). Biasanya dalam penengset berupa

    pisang susu, yang artinya si pemuda sudah kesusu (terburu-buru) untuk menikah.

  • 36

    Jumlah dari pisang tersebut menandakan jumlah bulan, (bila tiga sisir artinya tiga

    bulan), dan tak lupa kue tettel.12 Hal ini biasanya dijalankan oleh masyarakat

    Madura yang masih berpegang teguh pada adat Madura.

    Setelah resmi bertunangan, jika si pemuda ingin segera menikah, maka ia

    mengirimkan utusan kepada keluarga perempuan untuk melaksanakan pertemuan

    membahas hari pernikahan. Para utusan ini adalah orang yang ahli dalam

    perhitungan hari baik pernikahan.

    Dalam ajaran Islam, dikenal istilah khitbah. Khitbah (meminang) adalah

    kegiatan upaya terjadinya hubungan perjodohan antara seorang pria dengan

    seorang wanita. Atau seorang lelaki meminta kepada seorang wanita untuk

    menjadi istrinya dengan cara-cara yang umum berlaku ditengah masyarakat.

    Khitbah disyariatkan sebelum ada ikatan suami istri. Tujuannya agar ketika

    memasuki perkawinan didasarkan pada penelitian dan pengetahuan serta

    kesadaran masing-masing pihak.13

    Tradisi ngangene, narabas pagar, nalee pagar hingga ngelamar

    merupakan tata cara yang sudah lumrah di masyarakat Madura. Artinya, kegiatan

    ini dilakukan dengan tujuan yang sama dengan khitbah namun pelaksanaannya

    berdasarkan kebiasaan masyarakat setempat. Pemberian berupa makanan atau

    pakaian ini juga bukan kewajiban, melainkan bentuk penghormatan antar keluarga

    yang akan menikahkan anak-anaknya.

    Kemudian memasuki tahap akad nikah. Ada tiga bentuk pelaksanaan

    pernikahan. Pertama, akad nikah terlebih dahulu, baru beberapa hari kemudian

    diadakan resepsi. Kedua, bentuk kabin moso, yaitu sebelum bersanding

    kepelaminan, dilangsungkan terlebih dahulu akad, jadi akad langsung resepsi, dan

    ketiga, pagi hari dlilangsungkan akad, malam harinya baru dilaksanakan resepsi

    pernikahan.

    Pasca menikah, masyarakat Madura menganggap masa pengantin baru itu

    berjalan selama dua sampai tiga bulan. Pada bulan-bulan itu pengantin baru

    dilarang bekerja dan belanja sendiri melainkan orangtuanya yang menghidupi.

    12

    Kue tettel merupakan kue yang terbuat dari ketan yang sifatnya rekat, melambangkan

    hubungan yang rekat atau lengket. 13

    M. A. Tihami, Fikih Munakahat, (Jakarta: Rajawali Pres, 2013) h. 24.

  • 37

    Setelah masa pengantin baru lewat, mereka akhirnya akan dilepaskan untuk

    mengarungi rumahtangga secara mandiri.14 Adapun nganyare kabin masuk pada

    tahap pasca pernikahan apabila dalam pernikahan itu terjadi kendala-kendala yang

    meyebabkan keretakan hubungan suami istri.

    B. Praktik Nganyare Kabin (Tajdd an-nik) Di Desa Gapura Tengah

    Hukum adat merupakan hukum yang tidak tertulis dan berkembang sejak

    dahulu serta sudah berakar di dalam masyarakat. Walaupun tidak tertulis namun

    hukum adat mempunyai akibat hukum terhadap siapa saja yang melanggarnya.

    Norma-norma dan nilai-nilai hukum adat sangat dipatuhi dan dipegang teguh oleh

    masyarakat adat.15

    Dari segi keagamaan, masyarakat Desa Gapura Tengah merupakan

    masyarakat yang agamis. Hampir seluruh masyarakat adalah nahdliyin, yaitu

    pengikut organiasi masyarakat Islam, Nahdlatul Ulama, begitupun dengan

    kyainya. Penduduk Gapura Tengah termasuk penduduk yang taat kepada kyai

    setempat. Selain itu, seperti warga nahdliyin pada umumnya, mereka juga

    memiliki agenda-agenda keagamaan rutinan. Seperti pelaksanaan tahlil ataupun

    sholawat jamaah.16

    Hukum adat disebut hukum asli karena lahir dari bawah atau dari

    masyarakat adat sesuai dengan kepentingannya dan menjelmakan perasaan

    masyarakatnya.17 Bagi masyarakat Gapura Tengah, adat atau kebiasaan nganyare

    kabin sudah turun temurun dari dulu. Umumnya mereka mendapat saran dari kyai

    setempat untuk melaksanakan hal itu. Ada beberapa alasan yang menyebabkan

    seorang kyai menyarankan masyarakat melaksanakan tajdd an-nik atau

    nganyare kabin.18

    14

    Tahap-tahap pernikahan ini berdasarkan pengamatan penulis pada prosesi pernikahan di

    Masyarakat Madura. 15

    A. Suriyaman Mustari, Hukum Adat, Dahulu, Kini dan Akan Datang, (Jakarta:

    Prenadamedia Group, 2014, h. 87. 16

    Hasil wawancara pribadi dengan Tokoh Agama, KH. M. Arif, pada Selasa, 3 Oktober

    2017 di kediaman informan. 17

    A. Suriyaman Mustari, Hukum Adat, Dahulu, Kini dan Akan Datang, (Jakarta:

    Prenadamedia Group, 2014, h. 88. 18

    Hasil wawancara pribadi dengan Tokoh Agama, KH. M. Arif, pada Selasa, 3 Oktober

    2017 di kediaman informan.

  • 38

    Adapun alasan-alasan yang menyebabkan warga masyarakat Gapura Tengah

    melangsungkan akad kedua kalinya (nganyare kabin) adalah sebagai berikut:

    1. Sering terjadi perselisihan antara suami istri;

    2. Perekonomian keluarga yang kurang lancar;

    3. Akibat perubahan nama salah satu pasangan, baik suami atau istri.

    Dari ketiga alasan itu, yang paling sering menyebabkan masyarakat

    melakukan nganyare kabin adalah rusaknya keharmonisan dalam rumah tangga

    atau seringnya perselisihan yang terjadi. Selain itu permasalahan ekonomi juga

    menjadi alasan yang lumrah terjadi. Saat pasangan suami istri merasa sering

    bertengkar, mereka biasanya datang ke kyai untuk meminta saran agar rumah

    tangganya kembali harmoni. Pada saat itulah kyai menyarankan agar pasutri itu

    melakukan nganyare kabin. Dalam hal itu, tidak ada kewajiban untuk suami istri

    tersebut melaksanakannya. Mereka ber