praktek yang baik dalam melaksanakan kebijakan...
TRANSCRIPT
Decentralized Basic Education 1: Manajemen dan Tata Layanan
Praktek yang Baik dalam
Melaksanakan Kebijakan
Pendidikan Dasar
Terdesentralisasi di Indonesia
Januari 2010
Laporan ini adalah salah satu dari sejumlah laporan khusus yang disusun oleh Research Triangle Institute (RTI), Mitra Pelaksana untuk program Improved Quality of Decentralized Basic Education (IQDBE) yang didanai oleh USAID di Indonesia
Manajemen dan Tata Layanan Pendidikan (DBE1) Terdesentralisasi yang Lebih Efektif
Praktek yang Baik dalam Melaksanakan Kebijakan
Pendidikan Dasar Terdesentralisasi di Indonesia
Kontrak 497-M-00-05-00029-00
Disusun untuk
USAID/Indonesia
Disusun oleh
RTI International 3040 Cornwallis Road
Post Office Box 12194 Research Triangle Park, NC 27709-2194
Pandangan penulis yang dinyatakan dalam publikasi ini tidak harus mencerminkan pandangan United States Agency for International Development (USAID) atau Pemerintah Amerika Serikat.
Good Practice, Dissemination and Sustainability: Implications for Policy iii
Daftar Isi Hal.
Daftar Isi ........................................................................................................ iii
Daftar Tabel ....................................................................................................v
Daftar Gambar ............................................................................................... vi
Ringkasan Eksekutif ......................................................................................1
1. Pendahuluan ..............................................................................................7
2. Pengembangan dan Hasil-Hasil Praktek yang Baik di DBE1 .................9
Mendefinisikan praktek yang baik ......................................................................... 9
Praktek yang Baik dalam Manajemen Berbasis Sekolah ...................................... 10
Rencana Pengembangan Sekolah/Madrasah (RPS/M atau RKS/M) ................. 11
Penguatan Komite Sekolah .............................................................................. 14
Pelatihan Kepemimpinan Sekolah .................................................................... 16
School Database System .................................................................................. 18
Praktek yang Baik dalam Pengembangan Kapasitas Pemangku Kepentingan Kabupaten/Kota di bidang Manajemen dan Tata Layanan Pendidikan ................. 20
Analisa Keuangan ............................................................................................ 21
Perencanaan Berbasis Data .............................................................................. 25
Sistem Informasi Manajemen Pendidikan (EMIS) ............................................ 27
Tata Layanan yang Baik di Sektor Pendidikan ..................................................... 29
3. Diseminasi dan Keberlanjutan Praktek yang Baik ................................ 31
Definisi Keberlanjutan dan Diseminasi ................................................................ 31
Strategi DBE1 untuk Diseminasi dan Keberlanjutan ........................................ 32
Hasil Diseminasi ................................................................................................. 34
Komponen-Komponen Utama Strategi Diseminasi ....................................... 35
Partisipasi Pemangku kepentingan dalam Pengembangan Program dan Menyelaraskan Intervensi Proyek dengan Kebijakan Pemerintah ...... 36
Pengelolaan Diseminasi ............................................................................... 37
Menyelenggarakan Pelatihan Pengembangan Kapasitas yang Mendalam bagi Pemangku Kepentingan Lokal untuk Melatih dan Menyediakan Bantuan Teknis bagi Sekolah dan Kabupaten/Kota ............................. 37
Mengembangkan Model Praktek yang Baik ............................................... 39
4. Pelembagaan dan Penyerahan Produk DBE1 ....................................... 40
5. Bagaimana Kebijakan Nasional Dilaksanakan di Tingkat Kabupaten dan Sekolah .............................................................................. 42
Ringkasan Praktek yang Baik yang Mendukung Pelaksanaan Kebijakan Pemerintah secara Terdesentralisasi ..................................................... 42
Ringkasan Pelaksanaan Kebijakan Pemerintah di Tingkat Lokal ............ 46
Kesimpulan .................................................................................................... 50
Lampiran 1: Produk-produk DBE1 ............................................................. 51
Lampiran 2: Status dokumen proyek yang diunggah di Development Experience Clearinghouse (DEC) USAID ........................... 53
iv Good Practice, Dissemination and Sustainability: Implications for Policy
Lampiran 3: Kontribusi DBE1 dalam Pengembangan Kebijakan Kab/Kota ....................................................................................................... 54
Lampiran 4: Singkatan, Akronim dan Glosari ........................................... 57
Good Practice, Dissemination and Sustainability: Implications for Policy v
Daftar Tabel
Hal.
Tabel 1 Uraian program dan kegiatan SDN Kutorejo III, Kabupaten Nganjuk, Jawa Timur, seperti tertera dalam Rencana Pengembangan Sekolah periode 2007-2010 .................................. 13
Tabel 2 Bagian dari analisis BOSP Kabupaten Palopo, Sulawesi Selatan, yang menghitung biaya terkait pegawai. .......................................... 25
Tabel 3 Jumlah TK/RA dan Angka Partisipasi di Tapanuli Utara yang digunakan sebagai basis pengembangan rencana strategis Dinas Pendidikan ........................................................................................ 27
Tabel 4 Jumlah sekolah pelaksana program DBE1 di bawah diseminasi ...... 34
vi Good Practice, Dissemination and Sustainability: Implications for Policy
Daftar Gambar
Hal.
Gambar 1 Lokasi Sasaran DBE1 .......................................................................... 8
Gambar 2 Pedoman Penguatan Komite Sekolah/Madrasah DBE1 ................ 16
Gambar 3 Kepala madrasah sedang membicarakan alokasi dana dengan guru-guru ............................................................................................ 17
Gambar 4 Lembar Mutu Sekolah ........................................................................ 18
Gambar 5 Arsitektur SDS .................................................................................... 19
Gambar 6 Analisa Belanja Sektor Pendidikan ................................................... 23
Gambar 7 Segitiga EMIS – Penawaran, Permintaan & Penggunaan ............. 28
Gambar 8 Strategi Peralihan ............................................................................... 33
Manajemen dan Tata Layanan Pendidikan Terdesentralisasi yang Lebih Efektif 1
Ringkasan Eksekutif Pendidikan Dasar Terdesentralisasi (Decentralized Basic Education/DBE) adalah
sebuah program bilateral antara Pemerintah Amerika Serikat yang diwakili oleh
United States Agency for International Development (USAID), dan Pemerintah
Republik Indonesia yang diwakili oleh Kementerian Koordinator Kesejahteraan
Rakyat (Kemenko Kesra). DBE terdiri dari tiga proyek yang terpisah namun
terkoordinasi: DBE1, yang berfokus pada manajemen dan tata layanan pendidikan
dasar; DBE2, yang berfokus pada kualitas kegiatan belajar mengajar di sekolah dasar
dan madrasah ibtidaiyah (MI); dan DBE3, yang berfokus pada relevansi dan kualitas
sekolah menengah pertama dan madrasah tsanawiyah (MTs). Setelah jangka
waktunya diperpanjang baru-baru ini, proyek berlangsung dari bulan April 2005
sampai September 2010. Program yang lengkap sedang dilaksanakan di seluruh 50
kabupaten/kota sasaran di delapan provinsi. Selain itu, proyek belum lama ini telah
diperluas ke 18 kabupaten/kota lain di Aceh dalam rangka menyelenggarakan
program di tingkat kabupaten/kota di seluruh provinsi tersebut.
Tujuan dari DBE1 adalah membantu pemerintah Indonesia meningkatkan kualitas
pendidikan dasar di Indonesia melalui manajemen dan tata layanan pendidikan
terdesentralisasi yang lebih efektif. Laporan ini mendokumentasikan hasil-hasil
proyek terpilih, menyoroti praktek-praktek yang baik dari DBE1, bagaimana praktek-
praktek tersebut dikembangkan dan diuji serta didiseminasi, dan bagaimana praktek-
praktek tersebut telah mendorong pelaksanaan kebijakan pemerintah Indonesia
(Kemendiknas, Kemenag, Kemendagri dan Kemenkeu) di tingkat sekolah/komunitas,
kabupaten/kota dan provinsi. Laporan ini juga menguraikan pelembagaan dan
penyerahan hasil-hasil kegiatan DBE1 kepada Kemendiknas dan Kemenag.
Kemendiknas menguraikan praktek yang baik sebagai praktek yang ‘... meningkatkan segala
hal berikut ini: Akses, Kualitas, Relevansi dan Efisiensi pendidikan dasar.” Melalui kerja
sama dengan Kemendiknas dan Kemenag serta lembaga-lembaga pemerintah lain
seperti Kemendagri serta dengan pemangku kepentingan internasional lain, DBE1
telah menghasilkan sejumlah praktek yang baik di bidang manajemen dan tata
layanan pendidikan terdesentralisasi di tingkat sekolah dan pemerintah daerah.
Di tingkat sekolah, aspek terpenting dari praktek yang baik DBE1 adalah secara
konsisten menyelaraskan model dan manual perencanaan pembangunan sekolah,
pelatihan kepemimpinan, penguatan komite sekolah dan sistem database sekolah
dengan peraturan dan kebijakan pemerintah yang terbaru. Melalui pendekatan ini,
proyek telah berhasil menerjemahkan praktek baik internasional yang mapan ke
dalam konteks Indonesia. Penyelarasan strategis input proyek dengan peraturan-
peraturan yang berlaku saat ini sangat meningkatkan potensi pelaksanaan, diseminasi
dan keberlanjutan proyek.
Pengembangan materi DBE1 untuk perencanaan pembangunan sekolah dan aspek-
aspek lain dari manajemen berbasis sekolah telah dilakukan melalui konsultasi dengan
Kemendiknas dan Kemenag. Sekretariat Manajemen Berbasis Sekolah (Sekretariat
2 Manajemen dan Tata Layanan Pendidikan Terdesentralisasi yang Lebih Efektif
MBS) dari Direktorat Pembinaan TK dan Sekolah Dasar, Kemendiknas, memainkan
peranan penting dalam proses ini, yang menghasilkan kesepakatan untuk menerbitkan
semua materi dengan logo Kemendiknas dan Kemenag dan dengan persetujuan resmi
dari Direktur-Direktur Kementerian yang bersangkutan.
Metodologi pelatihan dan bantuan teknis DBE1 menekankan keterlibatan pemangku
kepentingan di luar manajemen sekolah dalam perencanaan pembangunan dan tata
layanan sekolah. Sebagian karena melibatkan komite sekolah dan anggota masyarakat
dalam perencanaan sekolah dan pelatihan komite sekolah dan kepala sekolah,
masyarakat sekolah DBE telah menyumbangkan lebih dari Rp 25 milyar ($2,7 juta)
sampai bulan Desember 2009 untuk membantu sekolah melaksanakan rencana-
rencana mereka. Salah satu aspek dari pelatihan komite sekolah, selain membantu
mereka meningkatkan pemahaman dan pelaksanaan peran dan fungsi komite sekolah
sebagaimana didefinisikan dalam Kepmendiknas 044/2002 serta peraturan-peraturan
pelaksanaannya berdasarkan Undang-Undang No. 20/2003 tentang Sistem Pendidikan
Nasional, adalah mempersiapkan komite sekolah untuk mengadvokasi dukungan
dalam musyawarah perencanaan pembangunan desa/kelurahan (musrenbangdes/kel),
yang diadakan setiap tahun pada bulan Januari-Februari. Berkat pelatihan tersebut,
komite sekolah yang berpartisipasi dalam sekolah-sekolah binaan DBE1, dalam waktu
setahun telah menyediakan dana sekitar Rp1.143.200.000 (US$115.000) untuk
program-program pembangunan sekolah.
DBE1 telah bekerja sama dengan mitra Pemerintah Indonesia untuk meningkatkan
kapasitas pemerintah kabupaten/kota dan pemangku kepentingan lain dalam
merencanakan dan membiayai pembangunan pendidikan serta meningkatkan
akuntabilitas dan transparansi dengan memfasilitasi kesempatan bagi anggota
masyarakat dan pemangku kepentingan lain untuk menyuarakan keprihatinan dan
aspirasi mereka terhadap pendidikan yang lebih berkualitas di kabupaten/kota. Seperti
halnya dengan program di tingkat sekolah dan masyarakat yang disebutkan di atas,
semua pendekatan dan metodologi DBE1 dengan kuat didasarkan pada kebijakan dan
peraturan pemerintah yang berlaku saat ini. Penyelarasan strategis metode DBE1
dengan kebijakan pemerintah Indonesia sangat memperkuat pelaksanaan dan
keberlanjutan program.
DBE1 telah membantu lebih dari 30 kabupaten/kota menyusun rencana pembangunan
strategis sesuai dengan pedoman Kemendagri sebagaimana dituangkan dalam
Peraturan Pemerintah No. 8/2008. sebuah perangkat lunak berbasis Excel untuk
menganalisa data sebagai dasar untuk perencanaan telah diterapkan secara luas oleh
kabupaten-kabupaten binaan DBE. DBE1 melalui konsultasi dengan Badan Standar
Nasional Pendidikan (BSNP) Kemendiknas telah mengembangkan dua metodologi
analisa keuangan pendidikan. Kedua metodologi tersebut membantu kabupaten untuk
lebih memahami dari mana pendanaan pendidikan itu berasal dan bagaimana
menggunakannya. Melalui kerja sama yang erat dengan BSNP, DBE1 telah
mengembangkan metodologi untuk menghitung biaya operasional sekolah sesuai
dengan standar nasional pendidikan. Lebih dari 60 kabupaten telah menerapkan
metodologi ini; dan hasil analisa telah digunakan di beberapa kabupaten dan dua
provinsi untuk merumuskan kebijakan-kebijakan baru tentang pendanaan sekolah
Manajemen dan Tata Layanan Pendidikan Terdesentralisasi yang Lebih Efektif 3
yang melaluinya APBD digunakan untuk membantu mengatasi kesenjangan antara
biaya operasional nyata dengan hibah operasional sekolah yang disediakan melalui
BOS. Sejak tahun 2009 kami menghitung bahwa pendanaan sekolah dari dua provinsi
(Jawa Barat dan Jawa Tengah) dan beberapa pemerintah kabupaten/kota mencapai
total lebih dari Rp 1 trilyun ($105 juta). Kebijakan tersebut diharapkan akan
mengurangi beban orang tua atas biaya sekolah sehingga akhirnya akan meningkatkan
akses dan kualitas pendidikan dasar.
Praktek yang baik dari DBE1 dalam mengembangkan kapasitas pemangku
kepentingan kabupaten di bidang manajemen dan tata layanan pendidikan telah
menghasilkan perencanaan, penganggaran dan pengembangan kebijakan yang
berbasis pada data dan informasi yang lebih efektif yang didukung dengan
transparansi, hubungan yang terbuka dan dialog di dalam dan antara pemangku
kepentingan ekesekutif, legislatif dan non pemerintah. Praktek yang baik dari DBE1
di bidang tata layanan pendidikan adalah proses dua langkah. Pertama, untuk
mengembangkan kapasitas lembaga yang terkait dengan tata layanan (DPRD, Dewan
Pendidikan Kabupaten, pers dan LSM) maka konsultasi publik dicantumkan dalam
metodologi perencanaan dan rencana keuangan DBE1 sehingga para fasilitator dapat
mendukung pemangku kepentingan untuk menyuarakan aspirasi masyarakat dan
menjadi sarana untuk mendorong transparansi dan akuntabilitas dalam manajemen
pendidikan oleh pemerintah daerah. Kedua, produk perencanaan dan analisa
keuangan biasanya berkembang menjadi permintaan eksekutif atau legislatif untuk
bantuan teknis dalam rangka mengembangkan kebijakan-kebijakan baru yang dapat
meningkatkan kualitas pendidikan, memperluas akses ke pendidikan dasar dan
memperkuat manajeman pendidikan. DBE1 telah membantu merumuskan lebih dari
30 peraturan daerah tentang pendidikan. Kunci keberhasilan bantuan teknis dalam
pengembangan kebijakan adalah menyatukan keahlian di bidang instrumen hukum,
teori pendidikan dan analisa data yang andal.
Strategi inti dari proyek DBE adalah mengembangkan sekolah dan kabupaten/kota
sasaran dalam jumlah yang terbatas sebagai contoh praktek yang baik dengan harapan
agar hal ini akan dicontoh dan dilaksanakan (atau ‘didiseminasi’) oleh kabupaten/kota
dan lembaga-lembaga lain, dan agar proses ini mempengaruhi kebijakan pemerintah
yang akan menciptakan dampak yang jauh lebih luas. Unsur-unsur utama dari suatu
strategi diseminasi telah diidentifikasi oleh proyek-proyek sebelumnya yang meliputi:
proyek CLCC UNICEF/UNESCO, proyek Mengelola Pendidikan Dasar USAID
(MBE), proyek Pengarusutamaan Praktek Terbaik UNICEF maupun beberapa proyek
lain yang dilaksanakan oleh Kemendiknas dan Kemenag dengan bantuan donor
seperti Bank Dunia, ADB, JICA, Ausaid, GTZ, serta Pemerintah Belanda.
Strategi-strategi utama yang digunakan oleh DBE1 untuk mendukung diseminasi dan
keberlanjutan adalah memastikan partisipasi calon pelaku diseminasi dalam
pengembangan program, pemantauan dan pelaksanaan, dan materi diseminasi secara
jelas diselaraskan dengan atau mendukung kebijakan pemerintah dan pemerintah
menyetujui materi-materi tersebut; memastikan calon pelaku diseminasi memahami
cara mengelola diseminasi (rencana dan anggaran belanja) dengan menyediakan
bantuan teknis dan perangkat pengelolaan diseminasi; secara saksama melatih dan
4 Manajemen dan Tata Layanan Pendidikan Terdesentralisasi yang Lebih Efektif
memberikan sertifikat kepada para pelatih/fasilitator lokal yang dapat melaksanakan
diseminasi intervensi proyek secara mandiri; dan mengembangkan model-model
praktek yang baik di mana calon pelaku diseminasi dapat mengamati intervensi dalam
praktek dan membahasnya dengan para praktisi.
Sampai akhir bulan Desember 2009, lebih dari 8000 sekolah telah melaksanakan
program DBE1, dan hampir Rp13 milyar, atau $1,365 juta, telah dialokasikan untuk
disemnasi program-program DBE1 di 68 kabupaten/kota. Dari total jumlah kumulatif
ini, sekitar Rp10 milyar berasal dari APBD kabupaten/kota sedangkan sisanya, hampr
Rp milyar, berasal dari sumber-sumber non APBD, termasuk Kemenag, dana sekolah
(terutama BOS) dan dana sektor non-pemerintah (misalnya Muhammadiyah).
Seluruh kabupaten/kota yang telah melaksanakan sedikitnya satu program DBE1
sekarang berjumlah 68. Empat puluh di antaranya merupakan kabupaten/kota sasaran
DBE1 yang semula sedangkan 28 kabupaten non-DBE yang baru belum lama ini
memulai diseminasi. Analisa lebih lanjut memperlihatkan bahwa 50 kabupaten/kota
telah mendiseminasi program manajemen berbasis sekolah dan 19 kabupaten/kota
telah mendiseminasi program-program tingkat kabupaten/kota. Rencana Kegiatan
Sekolah (RKS) sejauh ini merupakan program yang paling luas didiseminasi.
Agar praktek-praktek yang baik yang dikembangkan oleh proyek ini dapat
dilembagakan sepenuhnya maka, idealnya, produk-produk DBE1 akan diserahkan
kepada Kemendiknas dan Kemenag. Hal ini berarti bahwa kepemilikan materi beralih
dari USAID/DBE1 kepada Pemerintah Indonesia. Produk-produk DBE1 mencakup
materi pelatihan, manual, perangkat lunak dan laporan tentang praktek yang baik
dalam perencanaan, manajemen serta tata layanan pendidikan di tingkat pemerintah
daerah dan sekolah, serta partisipasi masyarakat dalam praktek-praktek manajemen.
Sebagaimana diuraikan di atas, proses ini sangat bergantung pada partisipasi mitra
Kemendiknas dan Kemenag dalam pengembangan, ujicoba dan finalisasi materi.
Sejauh ini, DBE1 telah menyusun sekitar 25 manual dan materi pelatihan dari
berbagai jenis dan newsletters dari semua provinsi.
Seluruh paket materi manajemen berbasis sekolah DBE1 sekarang sampai pada tahap
akhir dipublikasikan dengan logo Kemendiknas dan Kemenag dan kata pengantar dari
Direktur-Direktur kedua Kementerian maupun pesan dari Wakil Direktur Kemenko
Kesra.
Strategi keberlanjutan dan diseminasi praktek-praktek yang baik di DBE1 tertanam
pada keyakinan yang telah mendukung pendekatan DBE1 sejak hari pertamanya:
bahwa tugas DBE1 adalah membantu pemerintah Indonesia dan pemangku
kepentingan non pemerintah untuk meningkatkan pelaksanaan kebijakan resmi
pemerintah Indonesia dengan bersama-sama mengembangkan dan mencoba
metodologi untuk meningkatkan kapasitas dan mendukung praktek yang baik di
kabupaten sasaran.
Kebijakan-kebijakan pemerintah diresmikan dalam bentuk hirarki peraturan
perundang-undangan yang disahkan oleh DPR, dan peraturan-peraturan pelaksanaan
undang-undangan. Peraturan tingkat tertinggi adalah peraturan pemerintah (PP) yang
dikeluarkan oleh Presiden, yang diikuti dengan berbagai peraturan yang dikeluarkan
Manajemen dan Tata Layanan Pendidikan Terdesentralisasi yang Lebih Efektif 5
oleh kementerian teknis bersangkutan, yang paling umum disebut peraturan menteri
(Permen) (sehingga Permendiknas memaksudkan Peraturan Menteri Pendidikan
Nasional). Semua intervensi DBE1 telah disesuaikan dengan atau mendukung
pelaksanaan peraturan perundang-undangan terkait dengan pendidikan dasar
terdesentralisasi. Peraturan perundang-undangan tersebut berhubungan dengan
Undang-Undang Pendidikan tahun 2003, paket Undang-Undang Desentralisasi
(sehubungan dengan pemerintahan daerah dan keuangan negara) dan Undang-Undang
Perencanaan Pembangunan Nasional. Pelaksanaan peraturan-peraturan teknis di
tingkat lokal yang didukung oleh program-program DBE1 terutama adalah peraturan-
peraturan yang dikeluarkan oleh Kemendiknas, Kemenag, Kemendagri dan
Kemenkeu.
DBE1 telah turut mendukung pelaksanaan sedikitnya 25 kebijakan berupa berbagai
peraturan perundang-undangan di lebih dari 40 kabupaten/kota dan lebih dari 9.000
sekolah. Peraturan perundang-undangan tersebut mencakup aspek-aspek: Undang-
Undang No. 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, Peraturan Pemerintah No.
5/2006, Permendiknas No. 35/2006 dan Peraturan Pemerintah No. 47/2008 tetang
wajib belajar pendidikan dasar 9 tahun serta ketentuan agar pemerintah daerah
mengalokasikan 20% dari anggaran belanjanya untuk pendidikan; Undang-Undang
No. 25/2004 (“Undang-Undang Perencanaan Pembangunan”), PP 8/2008, dan
Permendiknas 32/2005 yang mengharuskan kementerian nasional dan pemerintah
daerah mengembangkan rencana strategis jangka panjang dan menengah dan yang
berisi renana jangka panjang Kemendiknas (20 tahun) serta rencana strategisnyauntuk
jangka waktu 2005 – 2010; Peraturan Pemerintah No. 19/2005 dan Permendiknas No.
19/2007 yang menetapkan Standar Nasional Pendidikan serta pedoman Manajemen
Berbasis Sekolah; Kepmendiknas No. 044/U/2002 yang menetapkan peraturan-
peraturan tentang Komite Sekolah dan Dewan Pendidikan; Surat Edaran Bersama
Bappenas dan Kemendagri No.0008/M.PPN/01/2007/050/264/SJ dan No. 140/640/SJ
yang memungkinkan sekolah mengakses dana Pembangunan Desa dan menyediakan
pedoman bagi pemerintah kabupaten/kota dalam perencanaan pembangunan tahunan,
yang berfokus untuk menghubungkan rencana tahunan dengan rencana strategis; PP
38/2008 and Permendiknas 12, 13, 19, 24 dan 50 tahun 2007 yang terkait dengan
peranan pengawas dan kepala sekolah, manajemen dan infrastruktur sekolah, serta
manajemen oleh provinsi dan kabupaten/kota yang juga berhubungan dengan
pengelolaan aset nasional dan daerah; Undang-Undang No. 17/2003, Undang-Undang
No. 1/2004, Undang-Undang No. 15/2004 dan PP 48/2008 yang mengatur
pembiayaan desentralisasi dengan menentukan bagaimana kabupaten/kota dan
provinsi menerima sebagian besar pendanaan dari pemerintah pusat; PP 48/2008 yang
menguraikan berbagai biaya pendidikan yang perlu didanai; PP 7/1999 yang menjadi
dasar evaluasi dan pelaporan tahunan tentang pelaksanaan rencana strategis
kabupaten/kota; Pelaksanaan kebijakan EMIS Kemendiknas dan Kebijakan Bantuan
Operasional Sekolah (BOS) Kemendiknas/Kemenag.
Sebagai kesimpulan, sekarang kita mengetahui bahwa manajemen dan tata layanan
pendidikan terdesentralisasi dapat berhasil di Indonesia. Yang jelas, pelaksanaan
kebijakan pemerintah tentang manajemen dan tata layanan pendidikan dasar
terdesentralisasi, termasuk Manajemen Berbasis Sekolah, memerlukan dukungan di
6 Manajemen dan Tata Layanan Pendidikan Terdesentralisasi yang Lebih Efektif
tingkat sekolah dan kabupaten/kota. DBE1 telah mengembangkan pendekatan-
pendekatan yang dapat berhasil untuk memberikan dukungan ini. Pendekatan dan
metodologi tersebut saat ini sedang difinalisasi dalam format yang dapat diserahkan
kepada Pemerintah Indonesia dan kepada lembaga-lembaga lain termasuk donor
internasional untuk digunakan dan dikembangkan lebih lanjut.
Manajemen dan Tata Layanan Pendidikan Terdesentralisasi yang Lebih Efektif 7
1. Pendahuluan Laporan ini disusun untuk program Peningkatan Kualitas Pendidikan Dasar
Terdesentralisasi USAID (Quality Improvement for Decentralized Basic Education),
Komponen: Manajemen dan Tata Layanan Pendidikan Terdesentralisasi yang Lebih
Efektif (DBE1) yang dilaksanakan oleh Research Triangle Institute.
Pendidikan Dasar Terdesentralisasi (Decentralized Basic Education/DBE) adalah
sebuah program bilateral antara Pemerintah Amerika Serikat yang diwakili oleh
United States Agency for International Development (USAID), dan Pemerintah
Republik Indonesia yang diwakili oleh Kementerian Koordinator Kesejahteraan
Rakyat (Kemenko Kesra). DBE terdiri dari tiga proyek yang terpisah namun
terkoordinasi: DBE1, yang berfokus pada manajemen dan tata layanan pendidikan
dasar; DBE2, yang berfokus pada kualitas kegiatan belajar mengajar di sekolah dasar
dan madrasah ibtidaiyah (MI); dan DBE3, yang berfokus pada relevansi dan kualitas
sekolah menengah pertama dan madrasah tsanawiyah (MTs).
Tujuan dari DBE1 adalah membantu pemerintah Indonesia meningkatkan kualitas
pendidikan dasar di Indonesia melalui manajemen dan tata layanan pendidikan
terdesentralisasi yang lebih efektif.
Setelah jangka waktunya diperpanjang baru-baru ini, proyek berlangsung dari bulan
April 2005 sampai September 2010. Program yang lengkap sedang dilaksanakan di
seluruh 50 kabupaten/kota sasaran di delapan provinsi. Tiga kabupaten/kota lain telah
ditambahkan baru-baru ini sehingga proyek dapat melatih penyedia pelayanan baru di
bidang metodologi di tingkat kabupaten/kota. 6 kabupaten/kota lain telah mengambil
bagian dalam program Kemitraan Pemerintah Swasta (Public-Private Alliance) di
Yogyakarta dan Papua Barat. Selain itu, baru-baru ini proyek telah diperluas ke 18
kabupaten/kota lain di Aceh dalam rangka menyelenggarakan program-program di
tingkat kabupaten/kota di seluruh provinsi tersebut.
8 Manajemen dan Tata Layanan Pendidikan Terdesentralisasi yang Lebih Efektif
Gambar 1 Lokasi Sasaran DBE1
1. Aceh 6. Yogyakarta (PPA)
2. Sumatra Utara 7. Jawa Tengah
3. Banten 8. Jawa Timur
4. Jawa Barat 9. Sulawesi Selatan
5. Jakarta 10. Papua Barat (PPA)
Laporan ini mendokumentasikan hasil-hasil proyek terpilih, menyoroti praktek-
praktek yang baik dari DBE1, bagaimana praktek-praktek tersebut dikembangkan dan
diuji serta didiseminasi, dan bagaimana praktek-praktek tersebut telah mendorong
pelaksanaan kebijakan pemerintah Indonesia (Kemendiknas, Kemenag, Kemendagri
dan Kemenkeu) di tingkat sekolah/komunitas, kabupaten/kota dan provinsi. Laporan
ini juga menguraikan pelembagaan dan penyerahan hasil-hasil kegiatan DBE1 kepada
Kemendiknas dan Kemenag.1.
1 Laporan ini berisi hasil kegiatan dari Urutan Tugas DBE1 sebagai berikut:
Hasil Kegiatan 13: Mendokumentasikan hasil-hasil yang menonjolkan praktek-praktek terbaik DBE1, bagaimana praktek-praktek tersebut dikembangkan, diuji dan tingkat keberhasilan replikasi. Laporan ini juga memberikan informasi kepada Kemendiknas dan Kemenag tentang pelaksanaan kebijakan nasional di tingkat yang lebih rendah (kabupaten/kota dan sekolah) serta rekomendasi untuk dialog kebijakan nasional.
Hasil Kegiatan 23: Menyusun laporan berkala yang menguraikan pelembagaan dan penyerahan produk-produk DBE1 (materi pelatihan, manual, laporan tentang perencanaan pendidikan, manajemen dan tata layanan di tingkat pemerintah daerah dan sekolah, serta partisipasi masyarakat dalam praktek-praktek manajemen) kepada Kemendiknas dan Kemenag.
Manajemen dan Tata Layanan Pendidikan Terdesentralisasi yang Lebih Efektif 9
2. Pengembangan dan Hasil-Hasil Praktek yang Baik di DBE1
Mendefinisikan praktek yang baik
DBE1 bermaksud mengembangkan manajeman dan tata layanan pendidikan dasar
terdesentralisasi yang lebih efektif. Strategi intinya adalah mengembangkan contoh-
contoh praktek yang baik di bidang manajemen dan tata layanan di tingkat sekolah
maupun kabupaten/kota, dan mendukung diseminasi contoh-contoh tersebut ke
sekolah dan kabupaten/kota yang lain. Untuk memilih contoh praktek yang baik maka
dibutuhkan kesepakatan mengenai apa yang dimaksud dengan istilah ‘praktek yang
baik’ dan bagaimana kita dapat mengidentifikasinya.
Sebagaimana dalam laporan DBE1 sebelumnya, laporan ini menggunakan istilah
“praktek yang baik’, bukan ‘praktek terbaik’. Meskipun istilah praktek terbaik
menyiratkan suatu tujuan, ukuran mengenai apa yang ‘terbaik’ memperlihatkan
bahwa hanya ada sedikit yang perlu diperbaiki lebih lanjut dan bahwa hanya ada satu
jawaban, satu pendekatan ‘terbaik’, sedangkan istilah ‘praktek yang baik’ lebih
bersahaja dan bersifat terbuka.
Untuk memilih contoh praktek yang baik maka dibutuhkan kesepakatan mengenai apa
yang dimaksud dengan istilah ‘praktek yang baik’ dan bagaimana kita dapat
mengidentifikasinya. Praktek yang baik dalam DBE1 didefinisikan melalui hasil
penelitian internasional, laporan tentang proyek-proyek yang telah dilaksanakan dan
yang terjadi secara bersamaan di Indonesia dan pelajaran yang diperoleh dari
pengalaman proyek kami sendiri serta sistem pemantauan dan evaluasi.
Karena konsep ‘praktek yang baik’ atau ‘praktek terbaik’ mulai terbiasa digunakan di
lingkungan Pemerintah Indonesia, maka kami mempunyai beberapa referensi dari
pihak pemerintah. Kriteria praktek yang baik disebutkan dalam Perjanjian
Pembiayaan yang ditandatangani antara Masyarakat Eropa dan Pemerintah
Indonesia.2 Perjanjian tersebut menyatakan bahwa Kemendiknas telah mendefinisikan
praktek yang baik sebagai suatu praktek yang ‘... meningkatkan segala hal berikut ini:
Akses, Kualitas, Relevansi dan Efisiensi pendidikan dasar.3
Menurut laporan baru-baru ini yang disusun untuk Bank Dunia,
‘… Pemerintah Indonesia bahkan telah mendefinisikan praktek yang baik, bersama
dengan Masyarakat Eropa, sebagai suatu praktek yang: (1) meningkatkan akses,
kualitas, relevansi dan/atau efisiensi, (2) mempertimbangkan keragaman Indonesia
dan kapasitas yang berbeda dari kabupaten/kota, dan (3) terjangkau sehingga dapat
berkelanjutan.' 4
2 Program Dukungan Kapasitas Sektor Pendidikan Dasar di Indonesia (2005). Perjanjian Pembiayaan, Lampiran 2. hal. 6.
3 Dikutip dalam laporan UNICEF tanggal 27 Juni 2007, Program Dukungan Kapasitas Sektor Pendidikan Dasar di Indonesia; Pemetaan Praktek yang Baik untuk Pengarusutamaan dalam Pendidikan Dasar, Jakarta
4 Bank Dunia (2009), Promosi Praktek yang Baik di Bidang Pendidikan, TF 070811 – Basic Education Capacity TRUST Fund, BEC-TF
10 Manajemen dan Tata Layanan Pendidikan Terdesentralisasi yang Lebih Efektif
Kemendagri baru-baru ini mengeluarkan sebuah rancangan Peraturan Menteri tentang
‘Praktek Terbaik’ di bidang tata layanan pemerintahan: Peraturan Menteri Dalam
Negeri Nomor … Tahun 2008 tentang Pedoman “Best Practice” Tata Layanan
Pemerintahan Yang Baik. Rancangan peraturan menteri ini mendefinisikan ‘Praktek
Terbaik’ di bidang tata layanan pemerintahan sebagai berikut:
‘"Praktek Terbaik (Best Practice)" dalam Tata Layanan Pemerintahan yang Baik atau
"BP" adalah suatu praktek yang motivasional, inovatif dan berkelanjutan serta dapat
dialihkan (sustainable-transferable), dikembangkan oleh Pemerintah Daerah (atau
pemangku kepentingan lain) yang melibatkan pemangku kepentingan, dalam
memecahkan satu persoalan atau lebih sebagai pendekatan baru yang sebelumnya
tidak dilaksanakan dengan prioritas mempercepat terwujudnya kesejahteraan sosial.’
Dengan mengingat berbagai definisi baru tersebut, DBE1 mendefinisikan praktek
yang baik sebagai praktek yang memenuhi kebutuhan pemangku kepentingan dan
membantu melaksanakan kebijakan saat ini yang meningkatkan pendidikan dasar
secara efisien dan efektif.
Praktek yang Baik dalam Manajemen Berbasis Sekolah
Selama empat setengah tahun pelaksanaan, DBE1 telah membantu kementerian-
kementerian penanggung-jawab pendidikan dalam mengembangkan dan menguji
pendekatan-pendekatan untuk melaksanakan kebijakan Manajemen Berbasis Sekolah
(MBS). Di Indonesia ada dua kementerian pusat yang berurusan dengan pengelolaan
sistem pendidikan: Kementerian Pendidikan Nasional (Kemendiknas) dan
Kementerian Agama (Kemenag)5. Hal ini karena sekitar 20% anak di Indonesia
mendapatkan pendidikan di sekolah-sekolah Islam yang dikenal sebagai madrasah.
Kepmendiknas No 044/U/20026 tentang Komite Sekolah dan Dewan Pendidikan
menguraikan peranan, hak dan tanggung jawab badan-badan yang berwenang tersebut
di tingkat sekolah dan kabupaten/kota. Dengan disahkannya Undang-Undang Sistem
Pendidikan Nasional (20/2003),7 Indonesia secara formal mengadopsi kebijakan
manajemen berbasis sekolah untuk semua sekolah dan madrasah negeri maupun
swasta. Pada bulan Juli 2005, Pemerintah Indonesia (GOI) memperkenalkan Bantuan
Operasional Sekolah, (BOS)8 suatu skema pendanaan hibah per siswa langsung dari
pemerintah pusat, yang memberi sekolah dan madrasah untuk pertama kalinya
independensi keuangan9. Kriteria rencana pengembangan sekolah/madrasah (RPS/M)
pertama kalinya dituangkan dalam peraturan yang dikeluarkan pada tahun 2005 (PP
5 MONE (bahasa Inggris) dikenal sebagai Kementerian Pendidikan Nasional atau Kemendiknas (bahasa Indonesia). MORA (bahasa Inggris) dikenal sebagai Kementerian Agama atau Kemenag.
6 Kepmendiknas adalah singkatan dari Keputusan Menteri Pendidikan Nasional.
7 Undang Undang Sisdiknas 20/2003 – Undang-undang ini dan peraturan perundang-undangan lainnya yang relevan dapat dilihat dalam website DBE, http://www.dbe-usaid.org/ di bawah seksi Resource Materials
8 Lihat laporan DBE1, Studi Kerangka Hukum Sektor Pendidikan Dasar di Indonesia (November 2007) untuk penjelasan secara lengkap tentang skema BOS beserta Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional (20/2003) serta undang-undang, peraturan dan kebijakan pemerintah yang penting lainnya.
9 Sekolah dasar di pedesaan sebelum diperkenalkannya BOS mendapatkan anggaran tahunan sekitar Rp 2 juta ($200), cukup
untuk membeli sejumlah alat tulis. Buku pelajaran dan kebutuhan lainnya dipasok dari pusat atau dengan pungutan biaya. Sejak tahun 2005 sekolah dasar mendapatkan anggaran lebih dari Rp25 juta ($2.500) dan sejak tahun 2009, anggarannya menjadi Rp 40 juta ($4.000). Sumbangan dari orang tua dan masyarakat serta pendanaan dari sumber lain seperti pemerintah kabupaten dapat semakin meningkatkan jumlah tersebut.
Manajemen dan Tata Layanan Pendidikan Terdesentralisasi yang Lebih Efektif 11
No. 19/2005)10. Pada bulan Juli 2007, peraturan tahun 2005 tersebut direvisi dan
diperkuat dengan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional yang baru Permendiknas 19,
200711 yang mengharuskan semua sekolah dan madrasah di Indonesia untuk
menyusun rencana pembangunan sekolah yang dikenal dengan Rencana Kerja
Sekolah/Madrasah (RKS/M).
Sejak diadopsinya kebijakan manajemen dan tata layanan sekolah yang baru,
Pemerintah Indonesia telah berupaya melaksanakannya di seluruh 216.000 sekolah
dan madrasah. Dalam konteks inilah DBE1 memberikan bantuan dengan
mengembangkan dan melaksanakan model perencanaan pembangunan sekolah yang
didukung oleh pelatihan kepemimpinan bagi kepala sekolah, pelatihan untuk
memperkuat komite sekolah dan sistem database sekolah (SDS) yang baru.
Pengembangan materi DBE1 untuk perencanaan pembangunan sekolah dan aspek-
aspek lain dari manajemen berbasis sekolah telah dilakukan melalui konsultasi dengan
Kemendiknas dan Kemenag. Sekretariat Manajemen Berbasis Sekolah (Sekretariat
MBS) dari Direktorat Pembinaan TK dan Sekolah Dasar, Kemendiknas, memainkan
peranan penting dalam proses ini, yang menghasilkan kesepakatan untuk menerbitkan
semua materi dengan logo Kemendiknas dan Kemenag dan dengan persetujuan resmi
dari Direktur-Direktur Kementerian yang bersangkutan.
Dalam bagian-bagian berikut, proses pengembangan praktek yang baik serta hasil-
hasil dari praktek yang baik dijabarkan untuk setiap program Manajemen Berbasis
Sekolah yang utama: Rencana Pengembangan Sekolah/Madrasah, Penguatan Komite
Sekolah, Pelatihan Kepemimpinan dan Sistem Database Sekolah.
Rencana Pengembangan Sekolah/Madrasah (RPS/M atau RKS/M) 12
Inti dari keberhasilan manajemen berbasis sekolah adalah komitmen kepada anak-
anak, kepada kegiatan belajar mengajar, kepada perbaikan yang terus menerus,
kepada perencanaan yang baik dan kepada partisipasi semua pemangku kepentingan.
10 PP singkatan dari Peraturan Pemerintah, dan biasanya berfungsi untuk menafsirkan suatu undang-undang sebagai kebijakan yang lebih tinggi tingkatannya ke dalam ketentuan-ketentuan operasional.
11 Permendiknas adalah singkatan dari Peraturan Menteri Pendidikan Nasional.
12 Secara formal dalam bahasa Indonesia disebut Rencana Pengembangan Sekolah (RPS). Setelah terjadi perubahan kebijakan pemerintah, rencana tersebut sekarang disebut Rencana Kerja Sekolah (RKS).
Salah satu aspek terpenting dari pendekatan DBE1 adalah secara konsisten
menyelaraskan model dan manual perencanaan pembangunan sekolah,
pelatihan kepemimpinan, penguatan komite sekolah dan sistem database
sekolah dengan peraturan dan kebijakan pemerintah yang terbaru. Melalui
pendekatan ini, proyek telah berhasil menerjemahkan praktek baik internasional
yang mapan ke dalam konteks Indonesia. Penyelarasan strategis input proyek
dengan peraturan-peraturan saat ini sangat meningkatkan potensi pelaksanaan,
diseminasi dan keberlanjutan proyek.
12 Manajemen dan Tata Layanan Pendidikan Terdesentralisasi yang Lebih Efektif
Kemendiknas mengakui hal ini dalam definisinya tentang manajemen berbasis
sekolah, yang menggunakan hasil dari proyek-proyek sebelumnya termasuk CLCC
UNICEF, untuk mendefinisikan manajemen berbasis sekolah yang terdiri dari tiga
pilar: Manajemen, Partisipasi Masyarakat dan Pembelajaran Aktif, Kreatif, Efektif
dan Menyenangkan (PAKEM)13. Dalam konteks ini, perencanaan pengembangan
sekolah memainkan peranan yang penting.
Dengan mengikuti model-model praktek yang baik yang telah mapan dan dengan
menggunakan hasil dari proyek-proyek sebelumnya, DBE1 telah membantu sekitar
1.076 sekolah dasar dan madrasah ibtidaiyah (MI) serta 202 sekolah menengah
pertama dan madrasah tsanawiyah (MTs) untuk menyusun dan melaksanakan rencana
pengembangan sekolah secara komprehensif yang:
• Memusatkan perhatian pada perbaikan kualitas dan didasarkan pada kebutuhan yang diidentifikasi melalui data yang dikumpulkan dan dianalisa dalam profil sekolah,
• Mencerminkan aspirasi dan prioritas pemangku kepentingan,
• Terintegrasi dan mencakup semua aspek utama dari program sekolah,
• Bersifat tahunn – umumnya selama empat tahun,
• Memiliki multi sumber daya – semua sumber pendanaan dan sumber daya dicakup, termasuk hibah blok dari pemerintah pusat (Bantuan Operasional Sekolah/BOS), Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD), sumbangan orang tua murid, dan sumber-sumber lain,
• Berkaitan langsung dengan rencana kerja tahunan (RKT) dan Rencana Kegiatan dan Anggaran Sekolah/Madrasah (RKAS/M), dan
• Secara efektif dilaksanakan dan dipantau oleh komite sekolah dan pemangku kepentingan.
Melalui konsultasi dengan pemangku kepentingan nasional dari Kemendiknas dan
Kemenag, DBE1 mengembangkan sebuah manual (buku pedoman) awal untuk
penyusunan rencana pengembangan sekolah/madrasah (RPS/M) tahun 2005-6.
Manual ini didasarkan pada peraturan pemerintah tentang standar nasional pendidikan
(PP No. 19/2005). RPS/program yang pertama dilaksanakan di sekitar 500 sekolah
dan rancangan pertama dari manual RPS/M dievaluasi dan direvisi menjelang akhir
tahun 2006. Manual yang telah direvisi tersebut digunakan untuk melatih lebih dari 50
sekolah lagi pada Tahun ke-2 proyek. Dengan menggunakan manual-manual tersebut,
DBE1 menyediakan bantuan yang intensif kepada 1.076 sekolah dasar untuk
menyusun rencana pengembangan sekolah berbasis kebutuhan yang komprehensif
melalui kerja sama dengan masyarakat.
13 PAKEM adalah akronim di Indonesia untuk Pembelajaran yang Aktif, Kreatif, Efektif dan Menyenangkan.
Manajemen dan Tata Layanan Pendidikan Terdesentralisasi yang Lebih Efektif 13
Tabel 1 Uraian program dan kegiatan SDN Kutorejo III, Kabupaten Nganjuk, Jawa Timur, seperti tertera dalam Rencana Pengembangan Sekolah periode
2007-2010
Segi-segi utama dari metodologi perencanaan pengembangan sekolah yang dianggap sebagai praktek yang baik adalah sebagai berikut:
• Menyusun rencana sekolah melalui pembentukan kelompok-kelompok kerja
yang beranggotakan para pemangku kepentingan dari masyarakat, komite
sekolah, guru dan kepala sekolah.
• Prosesnya difasilitasi oleh pengawas sekolah setempat, awalnya dengan
dukungan dari personil proyek.
• Kelompok kerja ikut dalam serangkaian lokakarya pelatihan yang didukung
dengan sejumlah kunjungan lapangan oleh fasilitator (pengawas sekolah).
• Rencana didasarkan pada pengumpulan dan analisa data yang saksama.
Uraian Program & Kegiatan
Jenis Harga Jml. Satuan Jml. Biaya Jml. Satuan Jml. Biaya Jml. Satuan Jml. Biaya
1 2 3 4=6+8+10+12 5=7+9+11+13 6 7=6x3 8 9=8x3
A. Peningkatan kualitas sekolah ramah anak
1.6 - Pemberian Tambahan Pelajaran Orang/thn 7,000 1,165 8,155,000 269 1,883,000 296 2,072,000
- Peningkatan kinerja guru melalui
KKG dan pelatihan DBE II
1.2 - Pemberian beasiswa kepada
peserta didik sec. ekonomi kurang Orang/thn 120,000 54 6,480,000 12 1,440,000 13 1,560,000
mampu
- Pemberian seragam sekolah kepada Orang/thn 30,000 54 1,620,000 12 360,000 13 390,000
pst didik sec. ekon. Kurang mampu
1.4 - Pengadaan ekstrakurikuler:
- Seni Orang/thn 22,000 279 6,138,000 60 1,320,000 66 1,452,000
- Olahraga Orang/thn 14,000 279 3,906,000 60 840,000 66 924,000
- Pengadaan guru/pelatih ekstrakurikuler
B. Peningkatan Kual itas P. Pembelajaran
2.1 Penyusunan si labus dan RPP 5 mapel Orang/thn 13,000 1,165 15,145,000 269 3,497,000 296 3,848,000
dan penilaian semua sistem
2.2 Pengadaan alat peraga Orang/thn 5,000 1,165 5,825,000 269 1,345,000 296 1,480,000
C. Peningkatan Manajemen Sekolah
3.1 - Pelatihan advokasi kuirkulum thn 06
- Pelatihan DBE1 dan DBE2
3.6 Pengadaan brosur, pengumuman Orang/thn 1,000 1,165 1,165,000 269 269,000 296 296,000
pada masyarakat terbuka, internet
untuk penyampaian informasi
D. Peningkatan Peran Serta Masyarakat
4.1.1 - Pemil ihan pengurus komite sekolah Orang/thn 5,000 300 1,500,000 0 300 1,500,000
sec. demokratis
4.1.1.2 - Penyusunan pengurus komite sek.
dari berbagai unsur
E. Prestasi peserta didik
5.1.1 Tambahan pelajaran untuk Orang/thn 30,000 149 4,470,000 32 960,000 35 1,050,000
Peningkatan Nilai UAS
5.1.5 Tambahan pelajaran utk pembinaan Orang/thn 45,000 46 2,070,000 10 450,000 11 495,000
siswa berprestasi
F. Sumber daya pendidikan
6.2.2 Pengadaan buku 4 mapel rasio 1:1
dalam kurun wkt 4thn mulai 07/08
6.2.5 Pembuatan gapura Orang/thn 101,360 250 25,340,000 100 10,136,000 50 5,068,000
TOTAL BIAYA 393,360 6,071 81,814,000 1,362 22,500,000 1,738 20,135,000
Satuan Total 4 tahun 2007/2008 2008/2009
14 Manajemen dan Tata Layanan Pendidikan Terdesentralisasi yang Lebih Efektif
Pada tahun 2008, setelah pertemuan multi-donor di Bank Dunia, tim nasional DBE1
mengadakan pertemuan dengan donor lain, Kemendiknas dan Kemenag untuk berbagi
pengalaman, memetakan program manajemen berbasis sekolah dan membentuk
forum multi pemangku kepentingan. Dalam konteks ini, informasi disampaikan
kepada para donor dan Kemendiknas mengenai pendekatan perencanaan
pengembangan sekolah. Juga turut hadir dalam pertemuan ini para wakil dari Bank
Dunia, AusAID, (IAPBE, NTT PEP, LAPIS), Yayasan Kartika Sukarno, Plan
International, Save the Children, UNESCO, UNICEF, World Vision dan JICA.
Secara menonjol ditegaskan bahwa pendekatan penyusunan rencana pengembangan
sekolah/madrasah (RKS/M) oleh DBE1 adalah satu-satunya pendekatan yang saat ini
selaras sepenuhnya dengan peraturan pemerintah yang berlaku (terutama
Permendiknas 19/2007). Fakta ini sangat dihargai oleh Kemendiknas (terutama
Direktorat Pembinaan TK/SD dan Direktorat Pembinaan SMP) dan sebagian besar
merupakan keberhasilan program di lapangan serta minat yang kuat untuk melakukan
diseminasi.
Penguatan Komite Sekolah
Praktek yang baik dalam manajemen berbasis sekolah mencakup bukan hanya
perencanaan yang baik melainkan juga partisipasi aktif semua pemangku kepentingan.
Ketika orang tua murid, warga masyarakat, guru – dan, bila perlu, peserta didik –
berpartisipasi dalam pengambilan keputusan dan perencanaan, mereka kemungkinan
besar lebih berkomitmen untuk mendukung pelaksanaan keputusan dan rencana
tersebut. Idealnya, pendidikan sekolah adalah kemitraan antara rumah
tangga/masyarakat dan sekolah dengan setiap orang yang mempunyai visi yang sama
untuk perbaikan kualitas; setiap orang yang mempunyai rasa memiliki, tanggung
jawab dan komitmen untuk bekerja bersama dalam rangka mewujudkan visi tersebut.
Kepmendiknas No 044/U/200214 tentang Komite Sekolah dan Dewan Pendidikan
menguraikan peranan, hak dan tanggung jawab badan-badan yang berwenang tersebut
di tingkat sekolah dan kabupaten/kota.
Untuk mendukung pelaksanaan kebijakan ini dan perubahan menjadi kemitraan yang
lebih besar antara sekolah dan masyarakat, dan untuk menciptakan model-model
praktek yang baik dalam tata layanan sekolah maka DBE1 telah mengembangkan dan
menguji materi-materi pelatihan untuk memperkuat peranan komite sekolah.
Pelatihan dirancang untuk meningkatkan pemahaman komite sekolah tentang peranan
mereka berdasarkan Kepmendiknas dan memperkuat kapasitas mereka untuk
memenuhi peranan tersebut. Pelatihan komite sekolah oleh DBE1 terdiri dari empat
belas modul yang dirancang untuk dilaksanakan dalam enam tahap. Pendekatan ini
memberi sekolah kesempatan untuk memilih modul-modul yang paling cocok dari
menu, setelah menyelesaikan pelatihan pengenalan standar.
Pelatihan untuk memperkuat peranan komite sekolah telah diselenggarakan di semua
sekolah dasar dan madrasah yang didukung oleh DBE1. Keempat belas modul
14 Kepmendiknas adalah singkatan dari Keputusan Menteri Pendidikan Nasional.
Manajemen dan Tata Layanan Pendidikan Terdesentralisasi yang Lebih Efektif 15
pelatihan tersebut disusun berdasarkan tema sehingga sekolah-sekolah dapat memilih
topik-topik yang paling cocok untuk pengembangan kapasitas.
Bagian 1: Pengenalan peran dan fungsi komite sekolah/madrasah
Bagian 2: Penilaian Sendiri dan Penguatan Organisasi, meliputi pembentukan dan
perwakilan komite, sensitivitas terhadap gender, sensitivitas terhadap diversitas dan
kelompok-kelompok marginal, serta organisasi komite sekolah.
Bagian 3: Administrasi dan Manajemen: meliputi organisasi komite
sekolah/madrasah, penyusunan anggaran dan rencana kerja dasar
Bagian 4: (pilih dari menu) Memperkuat peranan komite: meliputi partisipasi,
transparansi dan akuntabilitas, menilai aspirasi masyarakat, mengembangkan
kemitraan, sumber pendanaan alternatif dan partisipasi dalam musyawarah
perencanaan pembangunan desa/kelurahan (musrenbangdes/kel).
Bagian 5 (pilih dari menu): Memperkuat peranan komite: meliputi pelaporan
keuangan yang sederhana, dan mengidentifikasi sumber daya pembelajaran.
Sebagian karena adanya keterlibatan komite sekolah dan anggota masyarakat dalam
perencanaan sekolah dan pelatihan untuk komite sekolah dan kepala sekolah,
komunitas sekolah DBE telah menyumbangkan lebih dari Rp. 25 milyar ($2.7 juta)
sampai bulan Desember 2009 untuk membantu sekolah melaksanakan rencana
mereka.
Selain itu, pada tahun 2008, DBE1 telah mengembangkan materi pelatihan untuk
mendukung pelaksanaan undang-undang beserta peraturan-peraturan terkait tentang
perencanaan pemerintahan dan pembangunan tingkat desa – terutama untuk
mendukung pelaksanaan rencana pengembangan sekolah.
Modul pelatihan yang baru telah dikembangkan dan kemudian dilaksanakan di semua
sekolah dukungan DBE1 untuk mempersiapkan komite sekolah dalam rangka
mendukung proses konsultasi masyarakat yang diadakan setiap tahun pada bulan
Januari-Februari. Proses konsultasi ini, yang disebut musrenbangdes/kel15 adalah
bagian dari proses konsultasi perencanaan dari bawah ke atas (bottom-up) secara luas
yang diadakan setiap tahun di semua kabupaten/kota di seluruh Indonesia. Proses
perencanaan pembangunan ini dilayanan oleh Kementerian Dalam Negeri
(Kemendagri)16 berdasarkan UU No. 25/2004 tentang Sistem Perencanaan
Pembangunan Nasional17. Dana pembangunan dialokasikan kepada desa dan
kabupaten/kota sebagai bagian dari program perencanaan pembangunan.
Program ini memberikan kesempatan yang sangat baik kepada sekolah-sekolah untuk
mendapatkan Anggaran Alokasi Desa/Kelurahan (ADD) dalam rangka membiayai
rencana pengembangan sekolah. Hasil evaluasi awal terhadap program ini yang
dilaporkan dalam studi dampak yang akan diterbitkan pada bulan Maret 2010,18
15 Musrenbangdes/kel adalah singkatan dari Musyawarah Perencanaan Pembangunan Desa Kelurahan 16 Kementerian Dalam Negeri atau Kemendagri
17 Undang Undang No 25/2004 tentang Sistim Perencanaan Pembangunan Nasional
18 DBE1, 2009, (draft), Melaksanakan Manajemen Berbasis Sekolah di Indonesia, Pengalaman DBE1; Studi
Dampak 2009.
16 Manajemen dan Tata Layanan Pendidikan Terdesentralisasi yang Lebih Efektif
menyingkapkan bahwa melalui proses musrenbang, komite sekolah dari sekolah-
sekolah peserta program DBE1 telah menyediakan dana sekitar Rp 1.143.200.000
(US$ 115.000) untuk program pengembangan sekolah. Dari 368 program yang
diusulkan oleh anggota komite sekolah dalam musrenbang, 65% di antaranya berasal
dari rencana pengembangan sekolah (RPS/RKS).
Gambar 2 Pedoman Penguatan Komite Sekolah/Madrasah DBE1
Pelatihan komite sekolah yang diselenggarakan melalui DBE1 tidak hanya memperkuat tata layanan sekolah melainkan juga memberikan kesempatan yang penting bagi masyarakat dan warga setempat untuk menikmati demokrasi secara terbuka dan partisipatif di tingkat bawah (grass roots level). Sistem pendidikan serta sekolah dan madrasah di bawahnya merangkul masyarakat lokal dan kehidupan rakyat Indonesia lebih jauh daripada instansi pemerintah lain manapun. Potensi dampak dari meningkatnya tata layanan sekolah melalui komite sekolah adalah penyelenggaraan pelatihan yang sangat luas di bidang demokrasi bagi masyarakat di tingkat bawah.
Pelatihan Kepemimpinan Sekolah
Pelatihan kepemimpinan (leadership training) bagi kepala sekolah (dan pengawas)
merupakan salah satu komponen dalam program DBE1 untuk melaksanakan
manajemen berbasis sekolah. Tujuan dari pelatihan ini adalah memperkuat kapasitas
kepala sekolah dalam melaksanakan tugas hariannya – dengan perhatian khusus untuk
mengembangkan pendekatan kepemimpinan yang terbuka, inklusif dan partisipatif.
Strateginya adalah membantu kepala sekolah untuk memahami apa artinya
kepemimpinan yang efektif dalam praktek, dan mendukung kepala sekolah menilai
gaya kepemimpinannya serta mengembangkan rencana singkat untuk perbaikan diri.
Tujuan yang lebih luas adalah, dengan meningkatkan kualitas kepemimpinan sekolah,
memfasilitasi partisipasi masyarakat dan pelaksanaan rencana pengembangan sekolah.
Manajemen dan Tata Layanan Pendidikan Terdesentralisasi yang Lebih Efektif 17
Pelatihan kepemimpinan sekolah terdiri dari dua acara yang masing-masing
berlangsung selama sehari. Pelatihan hari pertama diadakan sebelum proses
perencanaan RKS/M guna mempersiapkan kepala sekolah untuk memikul peranannya
sebagai pemimpin dan memperlengkapi kepala sekolah untuk mengelola partisipasi
komite sekolah dan pemangku kepentingan yang lain. Pelatihan hari kedua
diselenggarakan setelah tahun pertama pelaksanaan rencana pengembangan sekolah
(RKS/M). Meskipun tidak mungkin untuk mengikuti urutan ini secara saksama,
pelatihan selama dua hari ini sejauh ini telah diselenggarakan bagi kepala sekolah dan
pengawas sekolah di semua sekolah dasar dan menengah pertama dan madrasah
sasaran.
Gambar 3 Kepala madrasah sedang membicarakan alokasi dana dengan guru-guru
Pada tahun 2009, sebuah studi kecil diadakan di Karanganyar untuk menilai dampak
dari program ini.19 Hasil studi menunjukkan bahwa pelatihan tersebut telah memberi
kepala sekolah pemahaman baru mengenai cara menjadi seorang pemimpin. Dampak
yang dirasakan meliputi peningkatan pengetahuan kepala sekolah, perubahan
manajemen kepala sekolah, gaya kepemimpinan serta hal-hal lain. Namun, dampak
yang paling sering disebutkan dari pelatihan ini adalah meningkatnya pengetahuan
tentang kepemimpinan. Meskipun sulit untuk memilah-milah dampak langsung dari
dua hari pelatihan tentang kepemimpinan yang diselenggarakan bagi kepala sekolah
dan pengawas sekolah ini, berdasarkan studi kasus tersebut, kita dapat mengatakan
dengan yakin bahwa secara umum program DBE1 mempunyai dampak penting yang
dapat diidentifikasi terhadap pendekatan kepemimpinan dan manajemen yang
dilakukan oleh para kepala sekolah.
19 Lihat: DBE1, 2009, (draft), Melaksanakan Manajemen Berbasis Sekolah di Indonesia, Pengalaman DBE1;
Studi Dampak 2009.
18 Manajemen dan Tata Layanan Pendidikan Terdesentralisasi yang Lebih Efektif
School Database System
DBE1 melakukan kegiatan sepanjang tahun 2006 dan 2007 melalui kerja sama
dengan DBE2 untuk mengembangkan aplikasi perangkat lunak yang disebut Kartu
Laporan Sekolah (School Report Card/SRC) untuk menyampaikan laporan kinerja
sekolah kepada orang tua murid dan warga masyarakat.
Gambar 4 Lembar Mutu Sekolah
Dengan adanya landasan ini, di akhir tahun 2007 dan 2008, DBE1 memperluas
program SRC dengan mengembangkan Sistem Database Sekolah terpadu (SDS) yang
mencakup semua data yang diperlukan sebagai kelengkapan pelaporan selain SRC;
data tersebut mencakup: data untuk mengikuti proses akreditasi sekolah yang
disampaikan kepada Badan Akreditasi Sekolah (BAS), laporan penggunaan dana
bantuan BOS dan rencana jangka menengah dan tahunan serta anggaran belanja
(Error! Reference source not found.).
SDS mengalami perkembangan sesuai dengan kebutuhan dan inisiatif dari dalam
proyek menjadi suatu inisiatif yang unik untuk mendukung pelaksanaan Sistem
Peraturan Menteri Pendidikan Nasional tentang Standar Pengelolaan Pendidikan oleh
Tampaknya pelatihan kepemimpinan yang ditargetkan secara spesifik ini telah
menyumbang kepada Manajemen Berbasis Sekolah dan Tata Layanan Sekolah
secara keseluruhan. Pada umumnya, kepala sekolah telah mengadopsi gaya
kepemimpinan yang lebih terbuka, transparan dan partisipatif di sekolah dan
masyarakat sebagai hasil dari program DBE1.
Manajemen dan Tata Layanan Pendidikan Terdesentralisasi yang Lebih Efektif 19
ProfileProfile RKSRKS
SRCSRC
AccreditationAccreditation
Form (BAN)Form (BAN)
BOS ReportsBOS Reports
INPUT PROCESS OUTPUT
SchoolSchool
Database Database
SystemSystem
School ProfileSchool Profile
School ProgramSchool Program
BOS TransactionBOS Transaction
ProfileProfile RKSRKS
SRCSRC
AccreditationAccreditation
Form (BAN)Form (BAN)
BOS ReportsBOS Reports
INPUT PROCESS OUTPUT
SchoolSchool
Database Database
SystemSystem
School ProfileSchool Profile
School ProgramSchool Program
BOS TransactionBOS Transaction
Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah20, Peraturan Pemerintah No. 48/2008 tentang
Pendanaan Pendidikan21, dan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional No. 12/2007
tentang Standar Pengawas Sekolah /Madrasah22.
Melalui SDS, sekolah dapat menyusun laporan dalam format yang telah dirancang
untuk memenuhi berbagai kebutuhan pemerintah/Kemendiknas seperti profil sekolah
untuk rencana pengembangan sekolah (RKS/M), laporan Bantuan Operasional
Sekolah (BOS), dan data akredinasi sekolah. Selain itu, SDS menyediakan laporan
bagi warga masyarakat dan orang tua murid tentang kinerja sekolah setiap tahun
(Kartu Laporan Sekolah).
Gambar 5 Arsitektur SDS
Sistem database sekolah (SDS) ternyata sangat populer di sekolah dan kabupaten/kota
yang merasa bahwa sistem ini mudah digunakan dan sesuai dengan kebutuhan mereka
untuk memenuhi berbagai ketentuan pelaporan. Sekolah-sekolah melaporkan bahwa
mereka merasakan manfaat yang sangat besar dari SDS karena sistem ini memberi
mereka kesempatan untuk memanfaatkan komputer dalam pengelolaan data sekolah.
Pengalaman menggunakan komputer ini meningkatkan kesadaran mereka akan
pentingnya data yang akurat dan berkualitas sekaligus meningkatkan pengetahuan
mereka tentang ICT. Tenaga kependidikan mulai memahami bahwa teknologi dapat
mempermudah atau meminimalkan pengelolaan data yang tidak perlu dan berulang.
SDS merupakan inovasi yang signifikan dan praktek yang baik, yang meningkatkan
akurasi, ketepatan waktu dan kelengkapan data yang disampaikan oleh sekolah
20 Permendiknas No. 19/2007 tentang Standar Pengelolaan Pendidikan oleh Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah – lihat website DBE http://www.dbe-usaid.org/ untuk peraturan perundang-undangan ini maupun lainnya yang relevan.
21 PP No. 48/2008 tentang Pendanaan Pendidikan
22 Permendiknas No. 48/2008 tentang Standar Pengawas Sekolah/Madrasah.
20 Manajemen dan Tata Layanan Pendidikan Terdesentralisasi yang Lebih Efektif
kepada sistem – sekaligus mendukung sekolah untuk membuat rencana berdasarkan
data yang berkualitas baik.
Nilai nyata dari SDS adalah bahwa sistem ini menyediakan data dalam bentuk
yang dapat dengan mudah dimanfaatkan untuk mendukung pengambilan
keputusan dan pengembangan kebijakan. Salah satu masalah penting di sekolah
dan di tingkat pemerintahan yang lebih tinggi adalah bahwa keputusan biasanya
dibuat dan kebijakan dirumuskan tanpa referensi data yang baik. SDS antara lain
menghasilkan profil sekolah, memasukkan data sekolah dan masyarakat dalam
suatu format yang memungkinkan sekolah dapat dengan cepat melihat kekuatan
dan kelemahannya, perkembangan dari waktu ke waktu, dan kesenjangan antara
kenyataan saat ini dengan tujuan sekolah dalam mewujudkan misi yang
dinyatakannya.
Praktek yang Baik dalam Pengembangan Kapasitas Pemangku Kepentingan Kabupaten/Kota di bidang Manajemen dan Tata Layanan Pendidikan
DBE1 telah bekerja sama dengan mitra pemerintah Indonesia untuk meningkatkan
kapasitas pemerintah kabupaten/kota dan pemangku kepentingan lain dalam
merencanakan dan membiayai pembangunan pendidikan, dan meningkatkan
akuntabilitas dan transparansi dengan memfasilitasi kesempatan bagi warga
masyarakat dan pemangku kepentingan lain untuk menyuarakan keprihatinan dan
aspirasi mereka dalam upaya mendapatkan pendidikan yang lebih berkualitas di
kabupaten/kota.
Seperti halnya dengan program tingkat sekolah dan masyarakat yang disebutkan di
atas, semua pendekatan dan metodologi DBE1 secara kuat didasarkan pada kebijakan
dan peraturan pemerintah yang berlaku. Melalui pendekatan ini, proyek telah berhasil
menerjemahkan praktek baik internasional yang mapan ke dalam konteks Indonesia.
Penyelarasan strategis input proyek dengan peraturan-peraturan yang berlaku saat ini
sangat memperkuat potensi pelaksanaan, diseminasi dan keberlanjutan program.
Praktek yang baik dalam manajemen dan tata layanan pendidikan dasar di tingkat
kabupaten/kota sejalan dengan praktek yang baik di sektor-sektor lain dan dengan
prinsip-prinsip tata layanan pemerintahan yang baik. Tata layanan (governance)
didefinisikan sebagai proses dan lembaga yang melaluinya mereka yang memerintah
(1) dipilih, dimintai pertanggungjawaban, dipantau dan digantikan; (2) mempunyai
keterampilan, perangkat dan sumber daya untuk mengelola sumber daya dan
menyediakan pelayanan secara efisien, serta merumuskan dan melaksanakan
kebijakan dan peraturan yang tepat; dan (3) mereka yang memerintah dan diperintah
mempunyai respek terhadap lembaga-lembaga yang mengatur interaksi ekonomi dan
sosial.23
23 Ini digunakan sebagai ‘definisi operasional’ tata layanan dalam Rencana Kerja tahunan DBE1 dan diadopsi dari Proyek LGSP. LGSP mengadopsi definisi ini dari berbagai sumber, termasuk Bank Dunia, OECD, UNDP, ADB, USAID, dan RTI.
Manajemen dan Tata Layanan Pendidikan Terdesentralisasi yang Lebih Efektif 21
Untuk membantu mengembangkan kapasitas pemangku kepentingan lokal dalam
menyusun kebijakan dan rencana pendidikan serta mengadakan pengelolaan
berdasarkan keterbukaan dalam pemberian informasi yang akurat dan lengkap serta
menyuarakan aspirasi pemangku kepentingan utama sehingga mendorong
akuntabilitas dan transparansi maka DBE1 telah bekerja sama dengan pemerintah
daerah dan pusat untuk mengembangkan sejumlah pendekatan dan metodologi.
Pendekatan dan metodologi tersebut antara lain meliputi:
• Analisis keuangan pendidikan: Analisis Keuangan Pendidikan Kabupaten/Kota
(AKPK), Analisa Biaya Operasional Satuan Pendidikan (BOSP).
• Metodologi perencanaan pendidikan: Rencana strategis kabupaten/kota (atau Renstra)24.
• Metodologi pengelolaan informasi pendidikan: Sistem Informasi Manajemen Pendidikan dan Sistem Informasi Perencanaan Pendidikan Kabupaten/Kota (SIPPK).
• Metodologi penguatan tata layanan: Lokakarya Multi Pemangku Kepentingan, pelatihan bagi Dewan Pendidikan, briefing bagi DPRD dan Kartu Laporan Kabupaten/Kota (masih dikembangkan).
Konsultasi yang ekstensif telah dilakukan dan masih berlangsung dengan pemerintah
pusat dalam pengembangan masing-masing metodologi. Metodologi-metodologi ini
diuraikan dalam bagian-bagian berikutnya.
Analisa Keuangan
DBE1 telah mengembangkan dan sedang melaksanakan dua metodologi utamanya
untuk analisa keuangan: (1) Analisis Keuangan Pendidikan Kabupaten/Kota ( AKPK)
dan (2) Analisa Biaya Operasional Satuan Pendidikan (BOSP). Dalam
mengembangkan kedua metodologi ini, kami telah berkonsultasi dengan Kementerian
Keuangan (Kemenkeu)25 dan Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP)
Kemendiknas.
Analisa-analisa keuangan tersebut mempunyai dua tujuan utama:
1. Menyediakan data keuangan untuk perencanaan pembangunan pendidikan, terutama untuk penyusunan rencana pembiayaan, dan
24
Renstra adalah singkatan dari Rencana Strategis (Strategic Plan).
25 Kami menemui Kemenkeu untuk mendapatkan data APBD kabupaten/kota di mana spesialis DBE1 mengadakan AKPK untuk data anggaran belanja tahun 2005 & 2006.
Praktek yang baik dari DBE1 dalam mengembangkan kapasitas pemangku
kepentingan kabupaten/kota di bidang manajemen dan tata layanan pendidikan
menghasilkan perencanaan, penganggaran dan pengembangan kebijakan
berbasis data dan informasi yang lebih efektif yang didukung dengan
transparansi, hubungan secara terbuka dan dialog dalam dan antara pemangku
kepentingan eksekutif, legislatif dan non pemerintah.
22 Manajemen dan Tata Layanan Pendidikan Terdesentralisasi yang Lebih Efektif
2. Menyediakan informasi bagi dialog kebijakan dan meningkatkan harmonisasi upaya pembangunan pendidikan yang dilakukan oleh berbagai tingkat pemerintahan.
Analisis Keuangan Pendidikan Kabupaten/Kota (AKPK)
Perencanaan pembangunan pendidikan hendaknya menghasilkan rencana-rencana
yang dapat dilaksanakan secara realistis. Hal ini hanya dapat dicapai jika rencana
disusun dengan mempertimbangkan keterbatasan sumber daya keuangan. Metodologi
DBE1 untuk Analisa Keuangan Pendidikan Kabupaten/Kota (AKPK) dikembangkan
sebagai alat untuk mendapatkan gambaran yang lebih komprehensif tentang
bagaimana pembangunan pendidikan dibiayai. Metodologi tersebut pada dasarkan
meringkaskan dan menyusun kembali informasi yang tercantum dalam dokumen
anggaran pemerintah yang sangat tebal menjadi informasi yang mudah dipahami dan
yang memberikan gambaran yang transparan dan relevan tentang uang yang
dibelanjakan. Hal ini membantu:
• Meningkatkan pengambilan keputusan karena keputusan didasarkan pada hasil analisa.
• Menetapkan prioritas di antara sektor-sektor pembangunan kabupaten/kota dan di sektor pendidikan (misalnya investasi pada pengembangan anak usia dini terhadap peningkatan pendidikan menengah).
• Menilai apakah pendanaan dialokasikan secara adil karena AKPK menyediakan informasi pengeluaran per siswa menurut jenjang pendidikan.
• Membandingkan kinerja di antara kabupaten-kabupaten yang merupakan cara yang efektif untuk menilai setiap kinerja kabupaten/kota.
• Menilai sejauh mana kabupaten/kota telah memenuhi kewajibannya berdasarkan UU No. 20 tahun 2003 untuk membelanjakan minimum 20% dari APBD untuk pendidikan.
• Membuat kemajuan menuju orientasi pada hasil di mana belanja telah sesuai dengan indikator kunci kinerja pendidikan.
• Meningkatkan akuntabilitas internal dengan menghubungkan hasil dengan input yang akan membantu memperbaiki manajemen internal.
• Meningkatkan akuntabilitas eksternal dengan menyebarluaskan informasi tentang hasil sampai input melalui cara yang mudah dimengerti untuk digunakan dalam pembahasan kebijakan dengan publik.
Manajemen dan Tata Layanan Pendidikan Terdesentralisasi yang Lebih Efektif 23
Gambar 6 Analisa Belanja Sektor Pendidikan
Singkatnya, metodologi AKPK pada dasarnya menjawab dua pertanyaan: (1) dari
mana dana tersebut berasal, dan (2) ke mana perginya dana tersebut serta berapa besar
yang digunakan untuk setiap jenjang pendidikan?
Menurut kami, ini adalah pertama kalinya kabupaten/kota dapat menjawab
pertanyaan-pertanyaan tersebut karena mereka mempersiapkan anggaran dan
mempertimbangkan kebutuhan. Metodologi AKPK memperhitungkan belanja
pendidikan dengan lebih akurat dibandingkan sebelumnya. Metodologi ini
menghapuskan komponen-komponen non pendidikan dari dokumen anggaran
pendidikan yang ditetapkan dan melengkapi komponen-komponen pendidikan dari
sektor-sektor lain seperti Dinas Cipta Karya dan Bagian Keuangan-Sekretariat
Daerah.
Biaya Operasional Satuan Pendidikan (BOSP)
Biaya Operasional Satuan Pendidikan (BOSP) adalah sebuah metodologi yang
memungkinkan kabupaten/kota menjawab pertanyaan: Berapa biaya untuk
mengoperasikan sekolah sesuai dengan standar pelayanan minimum yang ditetapkan
oleh Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP) Kemendiknas?
Program ini terbukti sangat populer di kalangan kepala daerah, DPRD dan
administrasi pemerintahan. Untuk pertama kalinya, program memberi pengelola
AKPK membekali pemangku kepentingan kabupaten/kota dengan pengetahuan dan keterampilan untuk menganalisa penganggaran sektor pendidikan dan kondisi keuangannya. Metodologi AKPK DBE1 memberikan kesempatan kepada pemangku kepentingan lain untuk mempelajari topik-topik ini. Hasil AKPK telah mempengaruhi proses penganggaran karena sejumlah kabupaten/kota telah mengambil inisiatif untuk mengubah pola alokasi dana mereka.
Dinas Tata Kota, 10.4%
Bidang Pendidikan,
87.9%
Bag. Perlengkapan, 1.7%
DAU
DAK
Shared Revenue
OwnRevenue
FY2005
Rupiah
Millions
Realised
Expenditure
Share of
APBD(%)
Total APBD Expenditure 388,738 100.0 Education Sector Expenditure (including Teacher salaries) 180,081 46.3 Teacher Salaries 128,350 33.0 Education Sector Expenditure (excluding Teacher salaries) 51,731 13.3
Education Sector Expenditure by type of expenditure 180,081 100.0 1. Total Salaries 153,500 85.2 (1a) Teacher Salaries 128,350 71.3 (1b) Other salaries 25,150 14.0 2. Capital Expenditure (Belanja Modal) 14,400 8.0 (2a) Schools 14,149 7.9 (2b) Non-school 251 0.1 3. Operational Expenditure 12,181 6.8 (3a) Schools 5,935 3.3 (3b) Non-school 6,247 3.5
Education Sector Expenditure by level of education SDN (Primary) 101,163 56.2
SMPN (Junior Secondary) 33,560 18.6 SMAN/SMKN (Senior Secondary) 10,485 5.8 Education Department (Dinas+KCD) 29,143 16.2
24 Manajemen dan Tata Layanan Pendidikan Terdesentralisasi yang Lebih Efektif
kabupaten/kota dan pemangku kepentingan suatu penilaian yang akurat terhadap
biaya untuk mendidik seorang anak di setiap jenjang dalam sistem26. Akhirnya,
mereka dapat secara akurat memprediksi biaya, menghitung kekurangan (perbedaan
antara dana BOS yang dialokasikan oleh pusat dengan biaya sebenarnya yang
dihitung oleh BOSP) dan merumuskan kebijakan serta mengalokasikan APBD
berdasarkan kebutuhan yang sebenarnya.
Kepentingan kabupaten dalam program BOSP meningkat secara signifikan dengan
adanya kampanya pemerintah ‘yang agresif’ untuk ‘sekolah gratis’. Mulai Januari
2009, bantuan operasional sekolah (BOS) dari pemerintah pusat meningkat dalam
jumlah yang besar dari Rp 254.000 menjadi Rp 400.000 untuk sekolah di daerah
perkotaan (Rp 397.000 untuk sekolah di daerah perdesaan) per siswa per tahun di
tingkat SD dan dari Rp 354.000 menjadi Rp 575.000 per siswa per tahun di tingkat
SMP. Namun, hasil analisa BOSP di lebih dari 40 kabupaten/kota menunjukkan
bahwa bahkan peningkatan pendanaan BOS tersebut masih belum cukup untuk
mendanai biaya operasional sesuai dengan standar pelayanan minimum. Jadi, DBE1
hampir selalu menemukan kesenjangan antara biaya operasional sebenarnya dengan
pendanaan BOS.
Hasil BOSP telah digunakan di beberapa kabupaten/kota dan dua provinsi untuk
merumuskan kebijakan baru mengenai pendanaan sekolah yang melaluinya APBD
digunakan untuk membantu menutupi kesenjangan antara biaya operasional
sebenarnya dengan bantuan operasional sekolah. Sejak tahun 2009 kami menghitung
bahwa pendanaan sekolah seperti ini dari dua provinsi (Jawa Barat dan Jawa Tengah)
serta beberapa pemerintah kabupaten/kota telah mencapai lebih dari Rp 1 trilyun
($105 juta). Kebijakan tersebut diharapkan akan mengurangi beban orang tua atas
biaya sekolah sehingga akhirnya akan meningkatkan akses dan kualitas pendidikan
dasar. Beberapa kabupaten/kota memilih untuk menyediakan pendanaan tambahan
yang diperlukan hanya untuk memenuhi standar operasional minimum. Dengan
meningkatkan standar dan menyediakan dana untuk memenuhi standar yang lebih
tinggi, kualitas pendidikan juga diharapkan akan meningkat.
26 Perhatikan bahwa BOSP hanya menghitung biaya operasional sekolah – gaji dan bukan gaji – sesuai dengan standar yang ditetapkan oleh BSNP. BOSP tidak termasuk kebutuhan investasi di tingkat sistem.
Manajemen dan Tata Layanan Pendidikan Terdesentralisasi yang Lebih Efektif 25
Tabel 2 Bagian dari analisis BOSP Kabupaten Palopo, Sulawesi Selatan, yang menghitung biaya terkait pegawai.
DeskripsiFrekuensi
per TahunJumlah
Per Unit
SatuanBiaya/Unit (Rp) Nilai (Rp) Keterangan
BIAYA PEGAWAI
a. Gaji
Guru sebagai Kepala Sekolah 12 1 1 1.823.000 21.876.000 Gol IV/a, Masa Kerja Golongan 6 Tahun
Guru 12 9 1 1.823.000 196.884.000 Gol IV/a, Masa Kerja Golongan 6 Tahun
Tenaga Kependidikan - - - - -(Pustakawan, Laporan (1), Teknisi sumber belajar,
TU, Kebersihan) dari Standar Penglolaan
b. Tunjangan Melekat pada Gaji
Guru 12 10 1 368.220 44.186.400
Istri/suami 10% dari gaji + 2 anak @ 2% dari gaji +
Askes Rp 10.000 + perumahan Rp 7.000 + 40 kg beras
@Rp 2.500
Tenaga Kependidikan - - -
c. Penghasilan Lainnya
1. Tunjangan Profesi
Guru 12 1 1 449.925 5.399.100 30% dari jumlah guru, sebesar 1kali gaji pokok
2. Fungsional
Guru 12 1 1 327.000 35.316.000
Kebijakan Pemerintah menaikkan nominal
tunjangan diatas Perpres No. 58/2006 (Rp 227.0000
sebesar Rp. 100.000
Tenaga Kependidikan - Perpres No. 40/2006 (Pustakawan Lanjutan)
3. Tunjangan Khusus Diberikan untuk daerah khusus
Guru
Tenaga Kependidikan
4. Maslahat Tambahan
Guru sebagai Kepala Sekolah 12 1 1 365.000 4.380.000 Perpres No. 58/2006 (Tunjangan untuk Kepsek)
Tenaga Kependidikan Tunjangan Tenaga Struktural
JUMLAH BIAYA PEGAWAI 308.041.500
Perencanaan Berbasis Data
DBE1 telah mengembangkan pendekatan baru untuk perencanaan pembangunan
pendidikan jangka menengah di tingkat kabupaten/kota (Renstra). Segi-segi utama
dari metodologi ini adalah:
• Rencana berbasis informasi
• Perubahan dari perencanaan berbasis input menjadi berbasis output/outcome (hasil)
Dengan meningkatnya kapasitas kabupaten/kota untuk menganalisa biaya
operasional, kabupaten/kota dibantu untuk lebih akurat dalam merencanakan
anggaran belanja mereka guna melengkapi bantuan operasional sekolah dari
pemerintah pusat. Alhasil, APBD kabupaten (dan dalam beberapa kasus, APBD
provinsi) yang terbatas dapat digunakan lebih efektif dan efisien, bukan sebagai
tambahan melebihi dari yang dibutuhkan atau yang hampir tidak cukup untuk
mengubah keadaan – apapun halnya, bisa jadi hanya menjadi pemborosan atau
tidak berguna sama sekali.
26 Manajemen dan Tata Layanan Pendidikan Terdesentralisasi yang Lebih Efektif
• Fokus yang kuat pada identifikasi kelompok sekolah yang membutuhkan perhatian khusus (misalnya sekolah yang rendah kinerjanya atau sekolah-sekolah yang kurang terlayani).
DBE1 bekerja sama dengan para pejabat dari dua kementerian – Kementerian Pendidikan Nasional (Kemendiknas) dan Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) – dalam pengembangan metodologi perencanaan pendidikan, dengan progresif merevisi dan menyempurnakan pendekatan untuk mencapai tujuan dari kedua kementerian tersebut. Proses ini membutuhkan waktu yang lebih lama daripada yang diperkirakan tetapi dianggap sangat penting jika DBE1 ingin memberikan dampak bukan hanya pada perencanaan dan pengelolaan pendidikan di kabupaten-kabupaten sasaran melainkan juga secara lebih luas pada kebijakan nasional.27
Di antara segi-segi metodologi Renstra DBE1 adalah penggunaan metodologi dan perangkat lunak analisa data yang disebut Sistem Informasi Perencanaan Pendidikan Kabupaten/Kota (SIPPK). Melalui sistem ini, kabupaten/kota dapat menyusun rencana berdasarkan data tersendiri untuk memprioritaskan sekolah-sekolah secara spesifik dan wilayah-wilayah program yang memerlukan perhatian khusus. Secara tradisional, rencana disusun berdasarkan data gabungan di tingkat kabupaten/kota, sehingga seringkali mengakibatkan kelebihan pasokan dalam beberapa kasus dan kekurangan pasokan dalam kasus-kasus lain.
SIPPK adalah perangkat lunak berbasis Excel, yang mudah digunakan dan
memungkinkan dilakukannya analisa berbagai jenis data. Selain mendukung
metodologi Renstra DBE1, program ini juga merupakan platform yang umum untuk
perangkat manajemen lainnya seperti perangkat lunak perencanaan personalia.
Dengan metodologi SIPPK DBE1, Dinas Pendidikan Kabupaten dapat
menggunakan data yang diperlukan oleh Pusat Statistik Pendidikan Kemendiknas
untuk mengkompilasi statistik pendidikan nasional, untuk pengelolaan
pendidikan di tingkat kabupaten/kota. Pengalaman DBE1 memperlihatkan bahwa
pegawai dinas pendidikan kabupaten dapat menggunakan SIPPK untuk
menyusun profil pendidikan kabupaten sebagai langkah pertama yang penting
dalam menyusun renstra. SIPPK terbukti menjadi alat analisa data yang berguna
untuk mendukung berbagai jenis kegiatan perencanaan pembangunan dan
pengembangan kebijakan.
Metodologi perencanaan DBE1 dituangkan dalam sebuah manual yang dikembangkan
melalui konsultasi dengan Kementerian Pendidikan Nasional (Kemendiknas) dan
Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) selama tahun 2007 dan kemudian
disempurnakan pada tahun 2008. Para pejabat Kemendiknas memberikan informasi
kepada DBE1 mengenai program prioritas tinggi Kemendiknas, dan peraturan
pemerintah yang baru tentang Pendanaan Pendidikan (PP 48 tahun 2008).28 Manual
tersebut direvisi berdasarkan masukan dan umpan balik ini.
27 Bandingkan Laporan Khusus DBE1 “Reformasi Kebijakan dalam Perencanaan Pendidikan”, Oktober 2007.
28 Peraturan ini beserta peraturan perundang-undangan lainnya dapat dilihat di website DBE website http://www.dbe-usaid.org/ di bawah Resource Materials
Manajemen dan Tata Layanan Pendidikan Terdesentralisasi yang Lebih Efektif 27
Metodologi Renstra DBE1 memenuhi permintaan Dinas Pendidikan Kabupaten
untuk bantuan dalam menyusun rencana pembangunan pendidikan lima tahun
sesuai dengan standar pengembangan rencana yang ditetapkan oleh Kemendagri.
Kemendagri telah meneliti model-model SKPD renstra yang lain, tetapi mereka
menyatakan bahwa model DBE1 adalah rencana pertama yang didasarkan pada
analisa data yang terperinci, mempunyai orientasi yang kuat pada hasil dan
memperlihatkan konsistensi perencanaan yang jelas. Di beberapa kabupaten di
mana rencana pembangunan disusun dengan menggunakan metodologi Renstra
DBE1, rencana pembangunan mendapatkan dukungan dari masyarakat sipil dan
secara resmi disahkan pemerintah kabupaten/kota. Rencana pembangunan telah
menjadi dasar alokasi anggaran dan pengembangan kebijakan pendidikan tertentu.
Tabel 3 Jumlah TK/RA dan Angka Partisipasi di Tapanuli Utara yang digunakan sebagai basis pengembangan rencana strategis Dinas Pendidikan
Kabupaten
Jumlah TK/RA Angka Partisipasi
Formal
Non Formal
Formal
(TK/RA)
Non Formal
Total
TK
RA
Negeri Swasta Negeri Swasta
Tarutung 1 9 - - 1 23,9% 1,6% 12,9%
Adian Koting - - - - 2 0,0% 4,0% 1,9%
Parmonangan - - - - 2 0,0% 5,0% 2,4%
Sipoholon - 1 - - 2 4,3% 3,0% 3,7%
Pahae Jae - 1 - - 2 5,4% 5,8% 5,6%
Pahae Julu - 1 - - - N/A 0,0% 0,0%
Pangaribuan - - - - 2 0,0% 2,6% 1,3%
Garoga 1 - - - 1 N/A 5,0% 2,5%
Sipahutar - - - - 4 0,0% 5,1% 2,5%
Siborongborong 1 2 - - 2 10,3% 3,8% 7,1%
Muara - - - - 4 0,0% 9,4% 4,6%
Pagaran 1 - - - 1 6,1% 4,4% 5,3%
Purbatua - - - - 1 0,0% 8,3% 3,9%
Simangumban - - - - 1 0,0% 10,3% 5,1%
Siatas Barita 1 - - - 2 N/A 10,2% 5,1%
Total Tapanuli Utara
5 14 0 0 27 5,7% 4,4% 5,1%
Sistem Informasi Manajemen Pendidikan (EMIS)
Pada tahun 2006, DBE1 mengadakan kajian terhadap Sistem Informasi Manajemen
Pendidikan (EMIS) Kemendiknas. Kajian ini meninjau instrumen EMIS yang ada
28 Manajemen dan Tata Layanan Pendidikan Terdesentralisasi yang Lebih Efektif
serta sistem pengumpulan, analisa dan pelaporan data yang digunakan. Beberapa
temuan penting adalah:
• EMIS Kemendiknas tidak dirancang sedemikian rupa agar cukup memotivasi sekolah dan kabupaten/kota untuk merasa berkepentingan dalam keberhasilan EMIS.
• Sekolah dan kabupaten/kota akan lebih termotivasi untuk memasukkan data yang lebih akurat dan tepat waktu jika data tersebut tersedia dan siap digunakan untuk penyusunan rencana mereka.
• Kapasitas kabupaten/kota untuk menganalisa data masih rendah.
DBE1 mempresentasikan hasil awal Kajian EMIS tersebut di sebuah lokakarya pada
bulan September 2006, yang diselenggarakan oleh Pusat Statistik Pendidikan (PSP)
Kemendiknas untuk memperkenalkan EMIS berbasis web Kemendiknas yang baru
yang disebut PADATIWEB (Pangkalan Data dan Informasi berbasis Web). Temuan-
temuan awal DBE1 ini sangat dihargai dalam lokakarya. Kemendiknas mengomentari
bahwa temuan-temuan ini sepenuhnya mendukung alasan mereka untuk menerapkan
sistem yang baru. Namun, selama tiga tahun kemudian, masih banyak yang harus
dilakukan agar sistem ini dapat sepenuhnya diimplementasikan.
Meskipun secara umum sering disalah-mengerti, EMIS bertujuan bukan untuk
mengumpulkan data ataupun mengelola, menginput, mencetak atau mengirimkan data
kepada lembaga-lembaga pendidikan pemerintah atau internasional seperti UNESCO.
Meskipun hal-hal ini penting dalam penggunaan data, EMIS hendaknya
memungkinkan penggunaan informasi untuk mendukung pengelola pendidikan dan
pengambil keputusan pada semua tingkatan.
Hasil pemeriksaan lingkungan EMIS di Indonesia memperlihatkan bahwa ada tiga
elemen yang saling bergantung satu sama lain sehubungan dengan penggunaan
informasi: 1) penawaran data yang berkualitas; 2) permintaan data dalam manajemen
pendidikan; dan 3) kapasitas untuk menggunakan data (lihat Gambar 3 di bawah ini).
Gambar 7 Segitiga EMIS – Penawaran, Permintaan & Penggunaan
Elemen penawaran, permintaan dan penggunaan akhirnya menentukan apakah data
dapat mendukung manajemen pendidikan atau tidak. Menurut pengalaman kami, jika
data tidak digunakan di tingkat sekolah maka data yang diteruskan ke tingkat
kabupaten/kota kemungkinan mempunyai kualitas yang buruk. Demikian pula, jika
Supply
Use Demand
Manajemen dan Tata Layanan Pendidikan Terdesentralisasi yang Lebih Efektif 29
data tidak digunakan di tingkat kabupaten/kota maka data yang disampaikan kepada
tingkat provinsi atau pusat seringkali mempunyai kualitas yang tidak memuaskan atau
kurang baik. Di Indonesia, jika kebutuhan data di tingkat pusat bergantung pada
tingkat sekolah dan kabupaten/kota sebagai sumbernya maka sangat penting untuk
memastikan bahwa data di tingkat yang lebih rendah mempunyai kualitas yang tinggi.
Cara terbaik untuk menjamin kualitas data yang tinggi adalah dengan memastikan
bahwa data tersebut sedang digunakan oleh sekolah dan kabupaten/kota.
DBE1 telah mengembangkan dua metodologi untuk menyelesaikan masalah:
penawaran data yang berkualitas, permintaan data dalam manajemen pendidikan,
dan kapasitas untuk menggunakan data. Sistem Database Sekolah (SDS) dan
Sistem Informasi Perencanaan Pendidikan Kabupaten/Kota (SIPPK) telah
terbukti efektif dalam meningkatkan kapasitas pemangku kepentingan
pendidikan untuk menggunakan data dalam perencanaan dan mempengaruhi
pengembangan kebijakan; dan metodologi ini berpotensi untuk melengkapi
EMIS berbasis web Kemendiknas yang baru, yang disebut PADATIWEB
(Pangkalan Data dan Informasi berbasis Web).
Tata Layanan yang Baik di Sektor Pendidikan
Seperti dijelaskan di atas, tata layanan yang baik di tingkat kabupaten/kota pada
dasarnya salah satu faktor dari hubungan yang terbuka dan transparan antar pemangku
kepentingan utama: legislatif, eksekutif dan masyarakat sipil. Pengembangan
kebijakan publik yang mendukung peningkatan kualitas dan manajemen pendidikan
yang efektif dan efisien di kabupaten/kota memerlukan keterbukaan dalam
penyampaian informasi yang lengkap dan akurat. Ini hendaknya mencakup data yang
mencerminkan kebutuhan pendidikan, kondisi sistem saat ini, keuangan dan sumber
daya serta analisa. Dialog yang terbuka antara semua pemangku kepentingan, yang
dipengaruhi oleh pemberian informasi ini menjadi dasar untuk pengembangan
kebijakan. Kebijakan dalam konteks ini mencakup rencana strategis (Renstra), APBD,
dan peraturan perundang-undangan daerah (perda, keputusan bupati, dan
sebagainya29).
Hasil kajian kapasitas di bidang tata layanan yang diadakan pada tahun 2007-2008
memperlihatkan bahwa tata layanan pendidikan dasar di tingkat kabupaten/kota masih
sangat lemah. DPRD kurang terinformasi dan kurang memiliki data dan hasil analisa
untuk menjadi dasar kebijakan. Dewan Pendidikan Kabupaten/Kota seringkali
terperangkap oleh birokrasi tanpa mengetahui dengan jelas cara memainkan peranan
yang berguna atau independen dalam tata layanan. Secara umum, pers juga kurang
terinformasi dan tidak mempunyai kapasitas yang memadai untuk bertindak sebagai
pengawas independen atau menyediakan informasi yang andal bagi masyarakat
tentang masalah-masalah pendidikan. Barangkali, yang lebih penting adalah
29 Perda adalah singkatan dari Peraturan Daerah. Keputusan Bupati berarti District Head Decree (bahasa Inggris).
30 Manajemen dan Tata Layanan Pendidikan Terdesentralisasi yang Lebih Efektif
kurangnya komunikasi antara lembaga-lembaga yang terkait dengan tata layanan
tersebut.
Kajian ini memperjelas bahwa tata layanan pendidikan dasar dan desain intervensi
untuk meningkatkannya di tingkat kabupaten/kota tidak dapat dipisahkan dari
pengembangan dan pelaksanaan program-program DBE1 lainnya: perencanaan
tingkat sekolah dan pengembangan kapasitas (pelatihan kepemimpinan dan penguatan
komite sekolah), pengelolaan data pendidikan (SDS, SIPPK), perencanaan keuangan
(AKPK, BOSP) dan perencanaan kabupaten/kota (Renstra). Semua kegiatan ini
membutuhkan partisipasi masyarakat yang kuat dan mencakup pengumpulan,
pemeriksaan, analisa dan diseminasi data yang mempengaruhi tata layanan
pendidikan dasar.
Produk-produk yang telah dikembangkan dan diimplementasikan oleh DBE1
bukanlah produk akhir melainkan sebagai sarana untuk memperbaiki manajemen dan
tata layanan pendidikan di sekolah dan pemerintah daerah. Untuk mencapai tujuan ini,
DBE1 telah membantu pemerintah daerah untuk menyusun berbagai kebijakan yang
melembagakan hasil intervensi DBE1. Sampai Desember 2009, lebih dari 30
kebijakan kabupaten/kota telah disahkan dengan bantuan DBE1 (lihat Lampiran 3).
Berbagai instrumen kebijakan telah digunakan mulai dari bentuk kebijakan lokal
tertinggi – peraturan daerah (Perda) yang disetujui oleh DPRD – sampai surat
keputusan kepala dinas (SK Kepala Dinas). Kebijakan-kebijakan tersebut mulai dari
surat keputusan mengenai pendidikan dasar gratis sampai instruksi yang
memandatkan penggunaan perencanaan pembangunan sekolah atau penggunaan
analisa keungan pendidikan (AKPK) untuk keperluan perencanaan.
Praktek yang baik dari DBE1 di bidang tata layanan pendidikan adalah proses dua
langkah. Pertama, untuk mengembangkan kapasitas lembaga yang terkait dengan tata
layanan (DPRD, Dewan Pendidikan Kabupaten, pers dan LSM) maka konsultasi publik
dicantumkan dalam metodologi perencanaan dan rencana keuangan DBE1 sehingga para
fasilitator dapat mendukung pemangku kepentingan untuk menyuarakan aspirasi
masyarakat dan menjadi sarana untuk mendorong transparansi dan akuntabilitas dalam
manajemen pendidikan oleh pemerintah daerah. Kedua, produk perencanaan dan analisa
keuangan biasanya berkembang menjadi permintaan eksekutif atau legislatif untuk
bantuan teknis dalam rangka mengembangkan kebijakan-kebijakan baru yang dapat
meningkatkan kualitas pendidikan, memperluas akses ke pendidikan dasar dan
memperkuat manajeman pendidikan. DBE1 telah membantu merumuskan lebih dari 30
peraturan daerah tentang pendidikan. Kunci keberhasilan bantuan teknis dalam
pengembangan kebijakan adalah menyatukan keahlian di bidang instrumen hukum, teori
pendidikan dan analisa data yang andal.
Manajemen dan Tata Layanan Pendidikan Terdesentralisasi yang Lebih Efektif 31
3. Diseminasi dan Keberlanjutan Praktek yang Baik Strategi inti proyek DBE adalah mengembangkan sekolah dan kabupaten/kota sasaran
dalam jumlah yang terbatas sebagai contoh praktek yang baik dengan harapan agar
hal ini akan dicontoh dan dilaksanakan (atau ‘didiseminasi’) oleh kabupaten/kota dan
lembaga-lembaga lain, dan agar proses ini mempengaruhi kebijakan pemerintah yang
akan menciptakan dampak yang jauh lebih luas. Tujuan dari pasal ini adalah
menjabarkan dampak DBE1 yang lebih luas terhadap sekolah/madrasah di luar
kelompok sasaran awal, yaitu, tingkat keberhasilan replikasi atau ‘diseminasi’, dan
menjabarkan praktek-praktek yang baik dari keberhasilan diseminasi.
Dalam konteks ini, istilah ‘diseminasi’ digunakan sebagai sinonim dengan ‘replikasi’.
Untuk keperluan tersebut maka ‘diseminasi’ berarti bahwa program, pendekatan dan
praktek yang baik dari DBE dilaksanakan oleh pemangku kepentingan dengan
menggunakan sumber daya mereka sendiri.
Juga patut diperhatikan bahwa keberlanjutan, salah satu elemen yang penting dari
praktek yang baik dalam rancangan dan implementasi proyek, berhubungan erat
dengan konsep diseminasi. Elemen keberlanjutan maupun diseminasi dicapai dengan
melembagakan praktek-praktek yang baik yang dikembangkan melalui proyek.
Definisi Keberlanjutan dan Diseminasi
Pada akhirnya, praktek yang baik yang didorong oleh DBE1 akan dilaksanakan
sepenuhnya terlepas dari DBE. Dalam hal ini, istilah ‘replikasi’, yang pernah
digunakan dalam proyek, dapat menyesatkan dengan gagasan duplikasi ‘yang serupa’
dari program. Dari perspektif pemangku kepentingan, termasuk Pemerintah
Indonesia, istilah yang tepat bukan ‘replikasi’ melainkan ‘ melaksanakan praktek
yang baik’. Istilah lain yang cocok adalah ‘mengarusutamakan praktek yang baik’,
‘perluasan’ atau ‘diseminasi’; istilah-istilah yang memungkinkan lembaga pemangku
kepentingan menerapkan dan melaksanakan praktek yang baik dan aspek-aspek dari
DBE akan menjadikan program tersebut sebagai milik mereka sendiri,
melaksanakannya menurut cara mereka sendiri dan menyesuaikannya dengan selera
dan pandangan mereka menurut konteksnya.
Berdasarkan saran dari USAID, kami biasanya menggunakan istilah ‘diseminasi’
dalam dokumen bahasa Indonesia karena istilah ini lebih dikenal dan dapat diterima
oleh mitra-mitra kami. Dalam laporan ini, istilah ‘replikasi’ tidak digunakan dan
digantikan dengan istilah ‘diseminasi’ yang menunjukkan rasa memiliki yang lebih
besar dari para mitra pelaksana.
32 Manajemen dan Tata Layanan Pendidikan Terdesentralisasi yang Lebih Efektif
Untuk menjadikan definisi operasional di atas sebagai istilah yang konkret; misalnya,
jika sekolah masih terus melaksanakan rencana pengembangan sekolah dan
mewujudkannya setiap tahun menjadi rencana kerja dan anggaran belanja, dan jika
proses ini dilembagakan di lingkungan sekolah dan kabupaten/kota setelah selesainya
program maka hasilnya (outcome) berkelanjutan. Jika kabupaten menerapkan
pendekatan dan melatih sekolah-sekolah lain dalam menyusun rencana
pengembangan sekolah, maka terjadi diseminasi.
Prinsip yang sama berlaku di tingkat kabupaten. Jika suatu kabupaten/kota
mengembangkan rencana strategis yang baik (Renstra) berdasarkan data dan analisa
kuangan yang tepat beserta konsultasi secara terbuka dengan pemangku kepentingan,
dan jika Renstra dioperasionalisasikan melalui rencan kerja (Renja) dan anggaran
(APBD) sehingga menghasilkan manajemen pendidikan yang lebih baik, maka hasil
praktek yang baik berkelanjutan (sustainable) – jika hasil-hasil ini dituangkan dalam
kebijakan formal (Renstra, Renja, APBD dan perda atau surat keputusan) maka
praktek yang baik itu dilembagakan sehingga memperkuat keberlanjutan
(sustainability).
Jika praktek yang baik, yang dituangkan dalam manual DBE1 dan materi-materi
pendukungnya, diadopsi secara formal oleh lembaga pemerintah dan non-pemerintah
maka tingkat pelembagaannya akan lebih tinggi sehingga dampak dari proyek
menjadi jauh lebih besar.
Strategi DBE1 untuk Diseminasi dan Keberlanjutan
Dari perspektif perencanaan dan manajemen proyek, diseminasi maupun
keberlanjutan dilayanan melalui strategi peralihan yang menyeluruh, sebagaimana
diilustrasikan dalam Gambar 4 di bawah ini. Sejak permulaan, dukungan proyek jelas
diperlukan selama peralihan. Tanpa dukungan seperti ini, upaya-upaya diseminasi
kemungkinan akan gagal. Jika tidak diselenggarakan peningkatan kapasitas maka
kabupaten/kota dan para mitra pelaksana pada umumnya kurang memiliki kapasitas
untuk langsung melaksanakan program yang kompleks secara teknis seperti
perencanaan pengembangan sekolah. Guna memastikan keberlanjutan dan
mendukung diseminasi maka dukungan yang diberikan oleh DBE1 akan dikurangi
secara bertahap. Seraya kapasitas untuk melaksanakan program meningkat, dukungan
dari proyek akan dikurangi.
Keberlanjutan berarti bahwa dampak positif dari DBE terus berlanjut meskipun program telah berakhir.
Diseminasi (atau Replikasi) berarti bahwa program, pendekatan dan praktek yang baik dari DBE dilaksanakan oleh pemangku kepentingan dengan menggunakan sumber daya mereka sendiri.
Manajemen dan Tata Layanan Pendidikan Terdesentralisasi yang Lebih Efektif 33
Gambar 8 Strategi Peralihan
Sebagaimana diilustrasikan dalam Gambar 4 di atas, DBE1 secara bertahap
mengurangi tingkat upayanya di sekolah, masyarakat dan kabupaten/kota seraya
proyek terus berjalan. Pada saat yang sama, kabupaten/kota mitra secara bertahap
memperbesar tingkat upayanya seraya mereka mengembangkan kepemilikan dan
kapasitas mereka. Meskipun grafik tersebut memperlihatkan konsep yang dibuat
ideal, konsep ini menjadi dasar bagi pendekatan strategis kami dan mencerminkan
realita.
Salah satu aspek penting dari model ini adalah bahwa peralihan dimulai pada hari
pertama pelaksanaan proyek. Peralihan bukan tahap akhir yang terjadi pada tahun
terakhir. Ketika DBE1 menutup kantornya dan mengakhiri kegiatannya (garis biru
mencapai titik nol pada grafik), maka pemerintah daerah dan mitra-mitranya harus
memikul tanggung jawab 100% atas pelaksanaan dan diseminasi yang sedang
berlangsung (garis merah mencapai titik puncak pada grafik).
Proyek-proyek pembangunan dapat disamakan beroperasi di pasar. Kabupaten/kota
dan lembaga-lembaga lain akan ‘membeli’ dan mendiseminasi program-program
hanya jika program-program tersebut sesuai dengan kebutuhan mereka, sejalan
dengan kebijakan pemerintah dan terjangkau. Fakta bahwa kabupaten/kota telah
mengkomitmenkan dana dalam jumlah yang besar dan telah mendiseminasi elemen-
elemen DBE1 selama tiga tahun terakhir merupakan tanda yang sangat positif (lihat
penjelasan di bawah).
Salah satu tantangan awal dalam merancang sebuah strategi diseminasi adalah bahwa
proyek harus mendefinisikan tingkat dan jenis dukungan yang akan disediakan oleh
DBE1 bagi program-program diseminasi.
Year 1 Year 2 Year 3 Year 4-5
Lev
el o
f E
ffort
Districts & partners
DBE1
34 Manajemen dan Tata Layanan Pendidikan Terdesentralisasi yang Lebih Efektif
• Jika dukungannya terlalu besar maka hal itu bukan lagi ‘diseminasi’ melainkan pelaksanaan proyek. Dengan kepemilikan lokal maka keberlanjutan akan berkurang. Sumber daya proyek terbatas.
• Jika dukungannya terlalu kecil maka efektifitas proses dan kualitas hasil akan berkurang. Hal itu bukan lagi diseminasi karena pendekatannya tidak lagi sesuai dengan konsep awal. Hasil yang dicapai kemungkinan mengecewakan sehingga dampak maupun keberlanjutannya berkurang.
Hasil Diseminasi
Sampai akhir Desember 2009, hampir Rp 13 milyar, atau $1,365 juta,30 telah
dialokasikan untuk diseminasi program-program DBE1 di 68 kabupaten/kota. Dari
jumlah ini, sekitar $25.000 dikeluarkan untuk program-program DBE1 tingkat
kabupaten/kota, terutama BOSP; sisanya digunakan untuk program-program
manajemen berbasis sekolah.31 Dari total jumlah kumulatif ini, sekitar Rp 10 milyar
berasal dari APBD kabupaten dan sisanya, hampir Rp 3 milyar, berasal dari berbagai
sumber non APBD termasuk dana Kementerian Agama, dana bantuan sekolah
(terutama BOS) dan dana non-pemerintah (misalnya Muhammadiyah).
Tabel 1 di bawah ini menunjukkan jumlah sekolah dan madrasah yang, sampai saat
ini, telah berpartisipasi dalam program diseminasi untuk melaksanakan metodologi
DBE1 dengan menggunakan dana dari APBD dan sumber-sumber lain. Untuk setiap
sekolah sasaran di mana program sepenuhnya didanai oleh DBE1, enam atau tujuh
sekolah lainnya telah melaksanakan aspek-aspek program dengan pendanaan secara
mandiri.
Tabel 4 Jumlah sekolah pelaksana program DBE1 di bawah diseminasi
Provinsi Jumlah
sekolah
Aceh 79
Sumatera Utara 257
Banten 642
Jawa Barat 525
Jawa Tengah 2,794
Jawa Timur 3,429
Sulawesi Selatan 671
Grand Total 8,397
CATATAN: seluruh sekolah di Jawa Tengah mencakup 15 sekolah dari provinsi DIY (Yogyakarta).
30Menggunakan kurs Rp9.500 = $1
31 Besarnya pengeluaran ini tidak termasuk dana yang telah dikeluarkan untuk melaksanakan kegiatan diseminasi yang pertama, yaitu pelatihan pelatih (TOT). Misalnya, Kantor Wilayah Urusan Agama (Kanwil Agama) Provinsi Jawa Tengah dan Yogyakarta mendanai TOT pada triwulan berjalan bagi pengawas sekolah dan pegawai lain tetapi para pelatih tersebut belum melatih sekolah-sekolah (diharapkan pada triwulan berikutnya). Karena program belum didiseminasi di sekolah-sekolah maka total dana untuk kegiatan ini (Rp.323 juta) belum dilaporkan sebagai pengeluaran diseminasi.
Manajemen dan Tata Layanan Pendidikan Terdesentralisasi yang Lebih Efektif 35
Jumlah seluruh kabupaten/kota yang telah melaksanakan sedikitnya satu program
DBE1 saat ini ada 68. Empat puluh di antaranya adalah kabupaten/kota sasaran DBE1
yang semula sedangkan 28 kabupaten/kota non-DBE yang baru belum lama ini mulai
melakukan diseminasi. Hasil analisa lebih lanjut memperlihatkan bahwa 50
kabupaten/kota telah mendiseminasi program manajemen berbasis sekolah dan 19
kabupaten/kota telah mendiseminasi program tingkat kabupaten/kota. Rencana Kerja
Sekolah (RKS) sejauh ini merupakan program yang paling luas didiseminasi.
DBE1 mulai memantau dan mengevaluasi kualitas program-program yang telah
didiseminasi. Hasil awal evaluasi terhadap sejumlah kecil sekolah sampel
memperlihatkan beragam tingkat keberhasilan. Sekitar seperempat kabupaten/kota
telah menganggarkan dan melaksanakan pelatihan dengan menggunakan materi
DBE1 tetapi belum mengikuti metodologi. Hasilnya masih buruk atau tidak ada.
Seperempat kabupaten/kota yang lain mulai mengikuti metodologi atau belum
menyelesaikan prosesnya pada waktu pemantauan atau telah menyimpang dari proses.
Secara umum, kualitas hasil yang dicapai masih kurang baik. Hampir separuh sekolah
sampel mengikuti sebagian besar metodologi, dan kualitas produknya cukup baik
sampai baik. Terlihat ada kecenderungan peningkatan kualitas dari waktu ke waktu di
kabupaten/kota yang terus mendanai diseminasi setiap tahun. Selanjutnya, bukti awal
memperlihatkan bahwa ketika sekolah-sekolah menghimpun sumber daya mereka
untuk mendanai pelatihan diseminasi, hasilnya cenderung baik. Pada tahun 2010,
DBE1 akan melaksanakan dan melaporkan evaluasi yang lebih saksama terhadap
kualitas diseminasi.
Komponen-Komponen Utama Strategi Diseminasi
Unsur-unsur utama dari strategi diseminasi telah diidentifikasi dalam proyek-proyek
sebelumnya yang meliputi: proyek CLCC UNICEF/UNESCO, Proyek Pengelolaan
Pendidikan Dasar (MBE) USAID, proyek Pengarusutamaan Praktek Yang Baik
UNICEF serta sejumlah proyek lain yang dilaksanakan oleh Kemendiknas dan
Kemenag dengan bantuan para donor seperti Bank Dunia, ADB, JICA, Ausaid, GTZ,
dan Pemerintah Belanda. Pada bagian ini, kami menguraikan praktek-praktek
diseminasi DBE1 yang dipelajari sebagian besar dari proyek-proyek yang lain.
Strategi utama yang digunakan oleh DBE1 untuk mendukung diseminasi dan
keberlanjutan adalah:
• Memastikan partisipasi calon pelaku diseminasi dalam pengembangan, pemantauan dan pelaksanaan program.
• Memastikan bahwa materi diseminasi dengan jelas diselaraskan dengan atau mendukung kebijakan pemerintah dan bahwa pemerintah menyetujui materi tersebut.
• Memastikan bahwa calon pelaku diseminasi mengerti cara mengelola diseminasi (rencana dan anggaran) dengan memberikan bantuan teknis dan perangkat pengelolaan diseminasi.
• Secara saksama melatih dan memberikan sertifikat kepada pelatih/fasilitator lokal yang dapat melaksanakan diseminasi intervensi proyek secara independen.
36 Manajemen dan Tata Layanan Pendidikan Terdesentralisasi yang Lebih Efektif
• Mengembangkan model-model praktek yang baik di mana calon pelaku diseminasi dapat mengamati intervensi dalam praktek dan membahasnya dengan para praktisi.
Partisipasi Pemangku kepentingan dalam Pengembangan Program dan
Menyelaraskan Intervensi Proyek dengan Kebijakan Pemerintah
Sejak permulaan proyek, DBE1 telah berkonsultasi dengan para pengelola pendidikan
di tingkat nasional (Kemendiknas, Kemenag dan Kemenko Kesra) maupun pemangku
kepentingan pendidikan di tingkat kabupaten (dan dalam banyak kasus, di tingkat
provinsi) mengenai pengembangan, pengujian dan evaluasi intervensi proyek.
Dukungan atau “buy-in” diperoleh dari kebanyakan mereka yang berpartisipasi dan
pada saat yang sama partisipasi ini telah memastikan bahwa tindakan-tindakan
intervensi mendukung atau sejalan dengan kebijakan pemerintah sehingga sesuai
dengan kebutuhan langsung. Hal ini telah menyumbang kepada dukungan diseminasi
oleh pemangku kepentingan nasional, provinsi dan kabupaten/kota.
Dengan masukan dari pemangku kepentingan, DBE1 telah menyusun sejumlah materi
Manajemen Berbasis Sekolah yang terdiri dari manual untuk manajer dan fasilitator
serta materi pelatihan untuk pegawai sekolah dan masyarakat (lihat keterangan lebih
lanjut dalam Bab 4 di bawah ini). Di tingkat nasional, Sekretariat Manajemen
Berbasis Sekolah di Direktorat Pembinaan TK dan SD Kemendiknas, bersama wakil
Kemenag, telah mengikuti serangkaian lokakarya untuk meninjau materi-materi
DBE1 yang sedang didiseminasi, mengadakan kajian implementasi, mempromosikan
pendekatan DBE1 melalui serangkaian lokakarya regional yang mencapai setiap
kabupaten/kota di Indonesia, dan sepakat untuk secara formal menyetujui materi-
materi tersebut dan mempublikasikannya dengan logo pemerintah serta
menandatangani kata-kata pengantar. Beberapa pemerintah provinsi seperti Jawa
Timur dan kantor wilayah urusan agama di Banten, Jawa Tengah dan Yogyakarta
(bukan provinsi sasasaran DBE) telah menyumbangkan dana untuk mendukung
diseminasi metodologi perencanaan sekolah DBE1. Seperti yang dilaporkan di atas,
sebagian besar kabupaten/kota sasaran DBE telah menyediakan dana APBD untuk
mendukung kegiatan diseminasi.
Manajemen dan Tata Layanan Pendidikan Terdesentralisasi yang Lebih Efektif 37
Pengelolaan Diseminasi
Sejak permulaan proyek, staf DBE1 mengadakan pertemuan yang teratur dengan
pemangku kepentingan kabupaten/kota secara formal dalam berbagai lokakarya dan
secara informal di kantor-kantor mereka untuk mempromosikan gagasan diseminasi.
Rapat-rapat tingkat provinsi juga telah diadakan untuk mempromosikan intervensi
DBE1—seringkali dengan partisipasi mitra DBE yang lain dan USAID. Pemerintah
kabupaten/kota dan provinsi harus mulai mempersiapkan APBD sekitar 6-8 bulan
sebelum dimulainya tahun fiskal. Jadi, DBE1 mulai mengadakan pertemuan dengan
pemerintah kabupaten/kota pada periode Juni 2006 (setahun setelah dimulainya
proyek) dan setiap tahun setelahnya pada periode yang sama. Konsultasi tersebut
menghasilkan peningkatan alokasi pendanaan replikasi dan sebagian besar
kabupaten/kota, antara lain, memandatkan agar semua sekolah menyusun rencana
sekolah berdasarkan prinsip-prinsip DBE1. Kami yakin bahwa pendanaan untuk
diseminasi di kabupaten-kabupaten tersebut sekarang telah menjadi rutin sehingga
akan terus berlanjut meskipun proyek berakhir.
DBE1 telah mengembangkan manual mengenai cara mengelola diseminasi. Manual
ini mencakup CD dengan semua rumus yang dibutuhkan untuk menghitung biaya
pelaksanaan setiap program DBE1. Kabupaten/kota harus mencantumkan biaya
satuan yang berlaku (misalnya tunjangan perjalanan dinas dan makan, tunjangan
standar daerah untuk fotokopi) untuk mengetahui biaya pelaksanaan sebuah program
di satu sekolah sehingga dapat merencanakan volume kegiatan diseminasi yang
sesuai. Standar dan kualifikasi pelatih/fasilitator juga dicantumkan dalam materi
manajemen berbasis sekolah yang telah disetujui oleh Kemendiknas dan Kemenag
(lihat penjelasan di atas).
Menyelenggarakan Pelatihan Pengembangan Kapasitas yang Mendalam bagi
Pemangku Kepentingan Lokal untuk Melatih dan Menyediakan Bantuan Teknis
bagi Sekolah dan Kabupaten/Kota
Pada permulaan proyek tepat sebelum kami mulai melaksanakan program DBE1 yang
pertama di sekolah-sekolah sasaran yang mula-mula, kami meminta Dinas Pendidikan
Kabupaten/kota dan Kandep untuk mengirimkan pegawai yang akan dilatih oleh
DBE1 untuk mendapatkan keterampilan yang dibutuhkan selama berlangsungnya
proyek sehingga mereka akan mampu melaksanakan program tanpa pendampingan
dari DBE1. Dalam kebanyakan kasus, pengawas sekolah dipilih karena pengawasan
sekolah secara umum dianggap mencakup menyediakan dukungan teknis. Pendekatan
yang masuk akal digunakan untuk mengembangkan kapasitas pengawas sekolah.
Pertama-tama, mereka menerima Pelatihan Pelatih (TOT) selama beberapa hari.
Kemudian, dukungan diberikan kepada mereka (yaitu dengan menyediakan
pendanaan) untuk bergabung dengan pelatih DBE1 dalam menyelenggarakan sesi-sesi
pelatihan serta pendampingan di mana mereka dapat mengamati dan membantu.
Secara bertahap seraya fasilitator yang dilatih tersebut memperoleh pengalaman,
mereka mengambil alih peran utama dalam memfasilitasi lokakarya pelatihan dan
menyelenggarakan pelatihan lanjutan di sekolah-sekolah. Selama jangka waktu tiga
tahun, DBE1 juga menyelenggarakan forum-forum dua bulanan yang dilaksanakan
38 Manajemen dan Tata Layanan Pendidikan Terdesentralisasi yang Lebih Efektif
selama sehari untuk terus meningkatkan keterampilan mereka sekaligus
mendatangkan orang-orang baru untuk dilatih sebagai fasilitator.
Sebagian besar kabupaten/kota sasaran DBE mengandalkan para fasilitator yang
terlatih untuk melaksanakan program-program diseminasi. Lebih dari 800 fasilitator
telah dilatih untuk melaksanakan program Manajemen Berbasis Sekolah yang
pendekatannya dirancang oleh DBE1. Beberapa fasilitator mulai ditugaskan di luar
daerah dinas mereka yang biasa untuk melaksanakan program-program diseminasi.
DBE1 juga telah memulai proses sertifikasi fasilitator yang memenuhi persyaratan.
Adapun persyaratan berdasarkan kepada lama pelatihan yang diterima dari DBE1
serta telah menunjukkan kompetensi dalam melaksanakan pelatihan dan
pendampingan secara independen. Penilaian akan dilakukan oleh tim yang terdiri dari
pemerintah daerah dan DBE1. Informasi mengenai mereka yang telah tersertifikasi
akan dibagikan kepada pemangku kepentingan kabupaten/kota, provinsi, dan
nasional.
Kami juga telah mulai mengembangkan kapasitas Penyedia Jasa, yang saat ini
meliputi dosen dan staf LSM yang akan dilatih selama lima sampai enam bulan untuk
membantu kabupaten/kota dalam melaksanakan program perencanaan dan analisa
keuangan DBE1 tingkat kabupaten. Perjanjian kerja baru saja ditandatangani dengan
empat lembaga yang akan menyediakan penyedia jasa: Universitas Pendidikan
Indonesia (UPI) di Bandung, Universitas Nasional Makassar (UNM), LSM, Pusat
Telaah dan Informasi Regional (PATTIRO),32 dan Universitas Muhammadiyah
Surakarta (UMS)33.
Melalui kerja sama dengan lembaga-lembaga tersebut, pada bulan Desember 2009
kami bersama-sama telah menyeleksi 16 individu dari lembaga penyedia jasa melalui
proses seleksi berbasis prestasi (merit). Pelatihan induksi akan diadakan di awal tahun
2010 yang diikuti dengan pelatihan lanjutan sebulan kemudian. Kami berharap bahwa
narasumber dari Kemendiknas maupun Kemendagri akan mengikuti pelatihan-
pelatihan tersebut. Setelah itu, peserta pelatihan akan bergabung dengan staf DBE1
yang berpengalaman untuk melaksanakan program di kabupaten-kabupaten yang baru
berupa pelatihan sambil bekerja atau “magang profesional”. Menjelang akhir periode
tersebut, DBE1 akan membahas dengan Kemendiknas dan Kemendagri mengenai
mekanisme yang dapat digunakan untuk sertifikasi penyedia jasa dan diseminasi
informasi kepada pemangku kepentingan di seluruh Indonesia.
32 Pusat Telaah dan Informasi Regional
33 Untuk memberikan pengalaman pelatihan secara lengkap kepada Penyedia Jasa (SP), kami bermaksud untuk memberikan
pelatihan sambil bekerja (on-the-job training) untuk setiap langkah dalam metodologi DBE1. Karena kami telah
menyelesaikan atau hampir menyelesaikan intervensi di kabupaten sasaran DBE yang mula-mula, maka kami
menandatangani perjanjian dengan tiga pemerintah kabupaten di Sulawesi Selatan, Jawa Tengah dan Jawa Barat/Banten di
mana program-program DBE1 akan dilaksanakan sebagai sarana untuk pelatihan SP.
Manajemen dan Tata Layanan Pendidikan Terdesentralisasi yang Lebih Efektif 39
Mengembangkan Model Praktek yang Baik
Pada permulaan proyek, DBE1 mendanai wakil-wakil dari rombongan pertama sekitar
500 sekolah di enam provinsi untuk mengamati praktek yang baik dan bertemu
dengan praktisi di sekolah-sekolah yang telah melaksanakan praktek manajemen
berbasis sekolah yang baik melalui proyek MBE USAID dan CLCC
UNICEF/UNESCO. Setelah mendapatkan visi mengenai “seperti apa sekolah yang
baik itu” maka para pengurus sekolah DBE segera memulai dan secara antusias
melaksanakan praktek manajemen berbasis sekolah DBE1 dan praktek pembelajaran
aktif DBE2 (PAKEM). Setelah satu tahun pelaksanaan proyek, 500 sekolah pertama
binaan DBE menjadi model untuk kelompok kedua dari sekitar 500 sekolah lainnya.
Sekitar 1.000 sekolah binaan DBE ini dalam kebanyakan kasus telah menjadi model
bagi 8.000 sekolah yang telah mendiseminasi program-program DBE1.
Pada tahun ketiga proyek, DBE1 menunjuk beberapa sekolah di setiap kabupaten/kota
untuk menjadi model atau sekolah rujukan untuk diseminasi. Sekolah-sekolah tersebut
tidak diberikan input (masukan) program tambahan. Sebaliknya, kami memberikan
sedikit pelatihan kepada pemangku kepentingan di tingkat sekolah mengenai caranya
menampung pertanyaan pengunjung dan menjawabnya. Demikian pula, satu
kabupaten/kota di setiap provinsi ditunjuk menjadi kabupaten rujukan yang berfungsi
sebagai model bagi daerah-daerah lain yang akan mendiseminasi intervensi DBE1.
Kabupaten/kota tersebut, selain berhasil melaksanakan program DBE di tingkat
sekolah dan kabupaten yang sama seperti di kabupaten/kota DBE lainnya, juga akan
melaksanakan program-program percontohan di bidang pengelolaan aset pendidikan,
pengelolaan pengawasan sekolah dan pengelolaan personalia. DBE1 tidak
mempunyai waktu maupun sumber daya untuk melaksanakan ketiga program ini di
semua kabupaten/kota DBE dalam waktu yang tersisa. Namun, kami berharap bahwa
beberapa kabupaten/kota yang lain akan mencari bantuan dari kabupaten/kota rujukan
untuk melaksanakan program-program tersebut.
40 Manajemen dan Tata Layanan Pendidikan Terdesentralisasi yang Lebih Efektif
4. Pelembagaan dan Penyerahan Produk DBE1 Seperti diuraikan di atas, strategi inti DBE1 adalah mengembangkan dan menguji
metodologi untuk meningkatkan manajemen dan tata layanan di tingkat sekolah dan
kabupaten/kota dan meningkatkan kapasitas fasilitator kabupaten/kota dan penyedia
jasa agar mampu mendiseminasi metodologi tersebut. Untuk mendukung pendekatan
ini, kami telah menyusun sejumlah manual dan materi pelatihan. Selama
berlangsungnya proyek, materi-materi ini terus disempurnakan dan dimuktahirkan
sebagai bagian dari proses pengujian dan perbaikan yang berkelanjutan. Dari waktu
ke waktu, kami merevisi materi-materi, seperti yang dijelaskan di atas, sesuai dengan
perubahan peraturan karena sangat penting bahwa manual-manual tersebut selaras
dengan dan mendukung pelaksanaan peraturan perundang-undangan yang berlaku
saat ini.
Agar praktek-praktek yang baik yang dikembangkan oleh proyek ini dapat
dilembagakan sepenuhnya maka produk-produk DBE1 akan diserahkan kepada
Kemendiknas dan Kemenag. Kedua kementerian ini, melalui konsultasi dengan
pemangku kepentingan lokal dan donor lainnya, akan menentukan jumlah materi yang
akan digunakan oleh sekolah, kabupaten/kota, dan provinsi. Hal ini berarti bahwa
kepemilikan materi beralih dari USAID/DBE1 kepada Kementerian Pendidikan
Nasional dan Kementerian Agama. Produk-produk DBE1 mencakup materi pelatihan,
manual, perangkat lunak dan laporan tentang praktek yang baik dalam perencanaan,
manajemen serta tata layanan pendidikan di tingkat pemerintah daerah dan sekolah,
serta partisipasi masyarakat dalam praktek-praktek manajemen. Sebagaimana
diuraikan di atas, proses ini sangat bergantung pada partisipasi mitra Kementerian
Pendidikan Nasional dan Kementerian Agama dalam pengembangan, ujicoba dan
finalisasi materi. Sejauh ini, DBE1 telah menyusun sekitar 25 manual dan materi
pelatihan dari berbagai jenis dan newsletters dari semua provinsi (lihat Lampiran 1
untuk daftar produk). Kami juga secara rutin telah memberikan kontribusi untuk
newsletter (Mitra Pendidik) yang diterbitkan untuk seluruh proyek oleh DBE3.
DBE1 mengelola website proyek yang mencantumkan sebagian besar materi yang
diterbitkan termasuk manual, laporan, kisah sukses dan materi referensi seperti
peraturan perundang-undangan Indonesia. Laporan proyek juga tersedia secara online;
sejauh ini sejumlah 19 laporan triwulan dan empat laporan tahunan telah diterbitkan.
Sejak diluncurkan pada bulan Juni 2006, website ini mencatat 1.488.844 kunjungan.
Tingkat permintaan halaman terus meningkat selama periode pelaksanaan proyek.
Laporan dan materi DBE1 juga secara rutin telah diunggah ke USAID Development
Experience Clearinghouse (DEC) (lihat Lampiran 2.) Secara lokal di Indonesia,
proyek juga telah diliput oleh lebih dari 200 artikel surat kabar, yang secara umum
menyoroti praktek yang baik. Sebagian besar dari artikel ini juga diterbitkan dalam
versi online.
Singkatnya, seluruh paket materi manajemen berbasis sekolah DBE1 sekarang sudah
sampai pada tahap akhir dipublikasikan dengan logo Kemendiknas dan Kemenag dan
Manajemen dan Tata Layanan Pendidikan Terdesentralisasi yang Lebih Efektif 41
kata pengantar dari Direktur-Direktur kedua Kementerian maupun pesan dari Wakil
Direktur Kemenko Kesra. Paket tersebut mencakup manual untuk manajer tingkat
kabupaten atau tingkat sistem dan tinjauan mengenai cara menggunakan paket, modul
pelatihan untuk pengurus sekolah, manual untuk SDS, modul pelatihan untuk
memperkuat komite sekolah, manual untuk menyusun RKS dan manual teknik
fasilitasi.
Manual pengembangan kapasitas tingkat kabupaten/kota, materi pelatihan dan
perangkat lunaknya sedang dalam proses diserahkan kepada Kemendiknas dan
Kemenag. Karena materi-materi tersebut dimaksudkan untuk mendukung kebijakan
desentralisasi maka mungkin kurang cocok jika materi-materi tersebut disahkan
secara formal oleh kementerian-kementerian di tingkat pusat; namun, kami berharap,
Kemendiknas dan Kemenag dapat memberikan semacam persetujuan sesuai dengan
peraturan-peraturan desentralisasi. Kemendagri telah memperlihatkan bahwa
Kemendagri akan menyetujui edisi final dari materi perencanaan strategis
kabupaten/kota dan perangkat lunaknya.
Pada tahun 2006, DBE mengadakan kemitraan pemerintah swasta dengan perusahaan
AS ConocoPhillips di mana organisasi ini memberikan hibah senilai $1 juta yang
diimbangi dengan bantuan sekitar $250.000 dari USAID/DBE1 untuk mendanai
rekonstruksi 35 sekolah yang rusak akibat gempa bumi di provinsi Yogyakarta dan
Jawa Tengah. DBE1 menyumbangkan hibah langsung kepada sekolah-sekolah, dan
sekolah-sekolah mengelola pembangunan tersebut secara mandiri dengan bimbingan
teknis dari DBE1. Praktek yang baik ini menghasilkan bangunan yang tahan gempa
dan berkualitas tinggi. Dampak tambahan yang besar dari praktek yang baik ini
adalah kontribusi yang signifikan dari masyarakat dan tingginya rasa memiliki oleh
masyarakat. Sebuah manual untuk membangun sekolah-sekolah yang tahan gempa
melalui partisipasi masyarakat didiseminasi kepada Kemendiknas dan Kemenag.
42 Manajemen dan Tata Layanan Pendidikan Terdesentralisasi yang Lebih Efektif
5. Bagaimana Kebijakan Nasional Dilaksanakan di Tingkat Kabupaten dan Sekolah Laporan ini telah mendokumentasikan hasil-hasil proyek dengan menyoroti praktek
yang baik dari DBE1, bagaimana praktek yang baik dikembangkan dan diuji, serta
tingkat keberhasilan diseminasi. Laporan ini bertujuan untuk menyampaikan
informasi kepada Kemendiknas dan Kemenag mengenai pelaksanaan kebijakan
nasional di tingkat yang lebih rendah (kabupaten dan sekolah) dan memberikan
masukan untuk pembahasan kebijakan nasional.
Dalam bab terakhir ini, kami merangkum beberapa pelajaran penting dan
menyampaikan pokok terakhir. Dalam konteks ini, ada dua pesan yang penting:
1. Berdasarkan pengalaman DBE1, kebijakan Pemerintah Indonesia mengenai
pendidikan dasar terdesentralisasi pada dasarnya saksama, terarah dan dapat
dilaksanakan dengan efektif di tingkat sekolah maupun kabupaten/kota di
Indonesia.
2. Agar berhasil dalam pelaksanaan kebijakan di sekolah dan kabupaten/kota,
dibutuhkan peningkatan kapasitas dan dukungan tambahan melebihi dari yang
biasa diberikan.
Ini khususnya mengacu kepada kebijakan-kebijakan yang meliputi: manajemen
berbasis sekolah (MBS) dan Rencana Kerja Sekolah (RKS), peran komite sekolah,
rencana strategis (Renstra) kabupaten/kota, manajemen pendidikan kabupaten/kota,
tata layanan pendidikan kabupaten/kota serta peran DPRD, dewan pendidikan dan
masyarakat sipil.
Melalui kerja sama dengan mitra Pemerintah Indonesia, DBE1 telah mengembangkan
sejumlah praktek yang baik yang mendukung pelaksanaan kebijakan nasional. Praktek
yang baik tersebut dapat diringkaskan sebagai berikut.
Ringkasan Praktek yang Baik yang Mendukung Pelaksanaan Kebijakan
Pemerintah secara Terdesentralisasi
Praktek yang baik dalam penyusunan Rencana Kerja Sekolah (RKS): Melalui
konsultasi yang erat dengan Kemendiknas dan Kemenag, DBE1 telah
mengembangkan dan menguji metodologi penyusunan Rencana Kerja Sekolah yang
sejalan dengan kebijakan pemerintah saat ini sehingga diwajibkan kepada sekolah-
sekolah. Metodologi tersebut mendukung praktek yang baik dalam perencanaan dan
manajemen berbasis sekolah.
Agar sekolah dapat menyusun rencana yang sepenuhnya sesuai dengan ketentuan
peraturan pemerintah yang berlaku, yang didasarkan pada informasi dan disusun
secara partisipatif, dan dilaksanakan untuk memperbaiki kinerja sekolah maka sekolah
Manajemen dan Tata Layanan Pendidikan Terdesentralisasi yang Lebih Efektif 43
membutuhkan bantuan. Metodologi DBE1 untuk pelatihan dan pembinaan sekolah
terbukti telah mencapai hasil praktek yang baik.
Praktek yang baik dalam tata layanan sekolah: Praktek yang baik dalam tata layanan
sekolah adalah program pelatihan DBE1 yang mengoperasionalisasi peraturan
pemerintah yang berlaku yang mengatur peranan komite sekolah dan kepala sekolah
serta mempertimbangkan prinsip-prinsip pembelajaran dewasa dan pengambilan
keputusan partisipatif. Data dasar DBE1 memperlihatkan bahwa sebelum diberikan
bantuan proyek, sebagian besar komite sekolah hanya menjadi badan formalitas yang
ditunjuk oleh kepala sekolah dan tidak mempunyai peranan selain (1) memungut
iuran dan (2) bagi ketua komite, menandatangani anggaran sekolah dan dokumen-
dokumen serupa. Sebagian besar kepala sekolah dan anggota komite sekolah tidak
mengetahui peraturan pemerintah yang mengatur tentang komite sekolah serta peran
dan tanggung jawab yang ditetapkan dalam peraturan tersebut untuk komite sekolah.
Modul-modul pelatihan yang diuji oleh DBE1 menyediakan informasi dan
peningkatan kapasitas serta berhasil memberdayakan komite sekolah.
DBE1 juga telah merintis pengembangan pendekatan untuk memberdayakan sekolah
melalui komite sekolah dengan berupaya mendapatkan dana desa melalui proses
Musrenbangdes/kel. Ini adalah praktek yang baik di mana sekolah-sekolah mengalami
kekurangan dana serta sumbangan orang tua murid terbatas akibat adanya kebijakan
“sekolah gratis”.
Praktek yang baik dalam manajemen data sekolah: Sebelum intervensi proyek,
kebanyakan sekolah tidak mengelola data secara efektif. Kalaupun mereka
mengumpulkan data, hal itu biasanya karena diwajibkan oleh dinas di kabupaten atau
kecamatan. Data tersebut jarang dianalisa atau digunakan di tingkat sekolah kecuali
dalam bentuk yang paling sederhana dan paling mendasar. Karena dianggap kurang
berguna, data tidak dihargai dan data yang dilaporkan ke tingkat yang lebih tinggi
seringkali tidak lengkap dan tidak akurat.
Praktek yang baik yang dikembangkan oleh DBE1 adalah penekanan pada
penggunaan data yang tersedia untuk perencanaan. Sistem Database Sekolah (SDS)
memperkenalkan manajemen data berbasis komputer kepada sekolah untuk pertama
kalinya. SDS adalah aplikasi yang mudah digunakan, dengan platform Excel yang
sudah dikenal untuk menangani data dasar di tingkat sekolah. Sistem ini
menghasilkan laporan dalam format yang dibutuhkan oleh pemerintah untuk berbagai
keperluan dan pengguna data, yang meliputi:
• Laporan Bantuan Operasional Sekolah (BOS) – untuk bagian yang menangani
pengelolaan BOS di Kemendiknas
• Laporan Akreditasi Sekolah – untuk Badan Akreditasi Sekolah (BAS)
• Kartu Laporan Sekolah – untuk komunitas sekolah dan pemangku kepentingan
• Profil Sekolah – untuk penyusunan Rencana Kerja Sekolah (RKS).
Praktek yang baik dalam analisa keuangan kabupaten/kota: Sebelum intervensi oleh
DBE1, kabupaten/kota biasanya menyimpan data keuangan dalam map-map yang
tebal dan tidak dapat diakses oleh sebagian besar pembuat kebijakan dan perencana.
44 Manajemen dan Tata Layanan Pendidikan Terdesentralisasi yang Lebih Efektif
Hanya sedikit dilakukan analisa yang berguna. DBE1 melalui kemitraan dengan
pemangku kepentingan pemerintah telah mengembangkan dua alat pendukung untuk
melakukan analisa keuangan yang sangat berguna bagi pemerintah lokal maupun yang
lebih tinggi dalam penyusunan rencana dan pembuatan kebijakan: Analisa Keuangan
Pendidikan Kabupaten/Kota (AKPK) dan Biaya Operasional Satuan Pendidikan
(BOSP).
Dengan menggunakan alat-alat ini, untuk pertama kalinya pengelola kabupaten dan
pemangku kepentingan dapat melakukan penghitungan yang akurat terhadap biaya
pendidikan seorang anak di setiap jenjang dalam sistem dan memperoleh pemahaman
yang komprehensif tentang pembiayaan pendidikan dari berbagai sumber anggaran
yang tersedia (APBN, APBD provinsi dan APBD kabupaten/kota).
Akhirnya, pembuat keputusan untuk pertama kalinya dapat secara akurat memprediksi
biaya, menghitung kekurangan serta merumuskan kebijakan dan APBD berdasarkan
kebutuhan yang sebenarnya.
Praktek yang baik dalam penyusunan rencana strategis kabupaten/kota: Sebelum
DBE1, sebagian besar rencana strategis (Renstra) kabupaten/kota disusun oleh
konsultan eksternal yang ditunjuk untuk keperluan tersebut. Renstra biasanya disusun
hanya dengan sedikit rujukan data, sedikit analisa dan sedikit atau tanpa konsultasi
dengan pemangku kepentingan. Praktek yang baik yang diperkenalkan melalui DBE1
adalah penyusunan rencana strategis berbasis informasi yang diwujudkan menjadi
rencana kerja dan anggaran belanja kabupaten/kota dan juga mempengaruhi
pengembangan kebijakan yang lebih luas.
Metodologi DBE1 untuk mencapai tujuan ini adalah:
• Mendukung pelaksanaan kebijakan Kemendagri 34,
• Mendukung kabupaten/kota untuk merumuskan tujuan strategis berdasarkan
analisa data,
• Memuat perangkat lunak (software) yang mudah digunakan untuk analisa
(SIPPK),
• Mencakup pengembangan rencana keuangan berdasarkan analisa keuangan,
• Membantu mengoperasionalisasi pernyataan visi dan misi kabupaten/kota;
• Terpadu dengan rencana strategis nasional Kemendiknas.
Praktek yang baik dalam sistem informasi manajemen pendidikan (EMIS):
Berdasarkan hasil kajian EMIS DBE1, yang disampaikan pada bulan April 2007:
• Sistem EMIS Kemendiknas tidak dirancang sedemikian rupa agar cukup
memotivasi sekolah dan kabupaten/kota untuk merasa berkepentingan dalam
keberhasilan EMIS.
34 Terutama Undang Undang No 25/2004 tentang Sistim Perencanaan Pembangunan Nasional, dan Peraturan Pemerintah yang baru tentang Pendanaan Pendidikan (PP No. 48 tahun 2008)
Manajemen dan Tata Layanan Pendidikan Terdesentralisasi yang Lebih Efektif 45
• Sekolah dan kabupaten/kota akan lebih termotivasi untuk memasukkan data yang
lebih akurat dan tepat waktu jika data tersebut tersedia dan siap digunakan untuk
penyusunan rencana mereka.
• Kapasitas kabupaten/kota untuk menganalisa data masih rendah.
DBE1 telah mengembangkan sejumlah alat EMIS yang mendemonstrasikan cara
menggunakan data untuk perencanaan dan pengembangan kebijakan. Selanjutnya, hal
ini menciptakan permintaan, yang mendorong penawaran data yang berkualitas. Alat-
alat tersebut mencakup perangkat lunak yang mudah digunakan sehingga data yang
ada dapat dianalisa untuk mempengaruhi perencanaan, manajemen dan kebijakan.
Melalui kerja sama dengan Pusat Statistik Pendidikan (PSP) Kemendiknas, DBE1
saat ini sedang menguji suatu program untuk memperkuat EMIS di dua
kabupaten/kota di Aceh. Hasilnya diharapkan akan mempengaruhi kebijakan nasional.
Praktek yang baik dalam tata layanan pendidikan di kabupaten/kota: Tata layanan
yang baik pada dasarnya adalah hubungan dan komunikasi yang terbuka dan
konstruktif antara eksekutif, legislatif, kepala daerah, masyarakat sipil, pers dan
lembaga-lembaga terkait seperti Dewan Pendidikan, sektor swasta, LSM, dan
masyarakat yang lebih luas. Transparansi dan akuntabilitas menyangkut berbagai
bidang (multidirectional). Hasilnya adalah kebijakan pendidikan, rencana dan
manajemen berbasis keterbukaan dalam pemberian informasi yang akurat dan lengkap
dan penyuaraan aspirasi oleh pemangku kepentingan utama.
DBE1 telah mengembangkan pendekatan untuk mendukung perumusan kebijakan
pendidikan berbasis informasi. Kami mengundang pemangku kepentingan pendidikan
utama dalam forum-forum multi pemangku kepentingan dan memfasilitasi tinjauan
bersama terhadap hasil analisa data. Dalam konteks ini, kami memfasilitasi dialog
kebijakan berdasarkan analisa data dan penilaian kebutuhan. Pendekatan ini
memerlukan pengumpulan dan analisa data secara saksama yang diikuti dengan
presentasi yang baik; semuanya merupakan hasil dari metodologi pembiayaan dan
perencanaan DBE1.
Diseminasi praktek yang baik: Sejauh ini, diseminasi dilakukan terutama di tingkat
sekolah. Selain itu, kami sekarang sedang meninjau dampak praktek yang baik dari
metodologi DBE1 di tingkat kabupaten/kota. Ini dilakukan dalam rangka kerja sama
dengan Kemendiknas, Kemenag, pemerintah provinsi dan kabupaten/kota dan donor-
donor lain. Metodologi manajemen berbasis sekolah DBE1 telah diperkenalkan di
seluruh Indonesia melalui lokakarya regional Kemendiknas dan juga sedang
diterapkan dan didiseminasi di daerah-daerah perbatasan, dalam beberapa kasus
dengan pendanaan atau dukungan provinsi.
Pada periode terakhir pelaksanaan proyek, berbagai kolaborasi tersebut akan menjadi
fokus utama karena metodologi DBE1 dilembagakan dan diubah dari artifak proyek
USAID menjadi metodologi resmi pemerintah Indonesia. Praktek yang baik ini telah
dikembangkan bersama dengan mitra pemerintah terkait dan mendukung pelaksanaan
kebijakan nasional dan provinsi untuk meningkatkan kualitas pendidikan dasar.
Strategi untuk melestarikan dan mendiseminasi praktek yang baik di tertanam pada
keyakinan yang telah mendukung pendekatan DBE1 sejak hari pertamanya: bahwa
46 Manajemen dan Tata Layanan Pendidikan Terdesentralisasi yang Lebih Efektif
tugas DBE1 adalah membantu pemerintah Indonesia dan pemangku kepentingan non
pemerintah untuk meningkatkan pelaksanaan kebijakan resmi pemerintah Indonesia
dengan bersama-sama mengembangkan dan menguji metodologi untuk meningkatkan
kapasitas dan mendukung praktek yang baik di kabupaten sasaran.
Ringkasan Pelaksanaan Kebijakan Pemerintah di Tingkat Lokal
Kebijakan-kebijakan pemerintah diresmikan dalam bentuk hirarki peraturan
perundang-undangan yang disahkan oleh DPR, dan peraturan-peraturan pelaksanaan
undang-undangan. Peraturan tingkat tertinggi adalah peraturan pemerintah (PP) yang
dikeluarkan oleh Presiden, yang diikuti dengan berbagai peraturan yang dikeluarkan
oleh kementerian teknis bersangkutan, yang paling umum disebut peraturan menteri
(Permen) (sehingga Permendiknas memaksudkan Peraturan Menteri Pendidikan
Nasional) 35. Semua intervensi DBE1 telah disesuaikan dengan atau mendukung
pelaksanaan peraturan perundang-undangan terkait dengan pendidikan dasar
terdesentralisasi. Peraturan perundang-undangan tersebut berhubungan dengan
Undang-Undang Pendidikan tahun 2003, paket Undang-Undang Desentralisasi
(sehubungan dengan pemerintahan daerah dan keuangan negara) dan Undang-Undang
Perencanaan Pembangunan Nasional. Pelaksanaan peraturan-peraturan teknis di
tingkat lokal yang didukung oleh program-program DBE1 terutama adalah peraturan-
peraturan yang dikeluarkan oleh Kemendiknas, Kemenag, Kemendagri dan
Kemenkeu.
Seperti diuraikan di atas, patut diperhatikan bahwa pelaksanaan suatu peraturan
tertentu dalam kebanyakan kasus secara otomatis mendukung pelaksanaan peraturan
atau undang-undang yang lebih tinggi.
Kebijakan penting Kemendiknas dan Kemenag serta Kemendagri, Kemenkeu dan
Bappenas yang telah dilaksanakan di tingkat lokal dirangkum sebagai berikut. Setiap
kebijakan didasarkan pada berbagai peraturan perundang-undangan. Di bawah ini,
peraturan perundang-undangan yang disebutkan hanya yang paling sering diacu oleh
DBE1.
Undang-Undang No. 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, Peraturan
Pemerintah No. 5/2006, Permendiknas No. 35/2006 dan PP No. 47/2008 tentang
Wajib Belajar 9 tahun: Ini adalah kebijakan-kebijakan utama yang mengatur wajib
belajar dan mandat pendanaan agar semua anak mempunyai akses ke pendidikan
dasar. Metodologi DBE1 di tingkat sekolah dan kabupaten/kota berfokus pada akses
pendidikan dan pada perbaikan kualitas pendidikan. Metodologi pembiayaan
pendidikan dan program-program tata layanan membantu kabupaten/kota (dan dalam
beberapa kasus, provinsi) untuk mengetahui kebutuhan pendanaan guna membantu
memastikan akses universal pendidikan dasar dan pengesahan kebijakan daerah untuk
meresmikan pendanaan tersebut. AKPK juga membantu kabupaten/kota untuk
35 Lihat “Studi Kerangka Hukum Sektor Pendidikan Dasar Indonesia, Edisi kedua.
Manajemen dan Tata Layanan Pendidikan Terdesentralisasi yang Lebih Efektif 47
melaksanakan kebijakan bahwa 20% dari APBD harus dialokasikan untuk pendidikan
(UU 20/2003, Pasal 49)36.
Undang-Undang No. 25/2004 (“tentang Sistem Perencanaan Pembangunan
Nasional”), PP No. 8/2008, dan Permendiknas No. 32/2005: Undang-Undang
Perencanaan Pembangunan Nasional dan peraturan pelaksanaannya (PP 8/2008)
mewajibkan kementerian di pusat dan pemerintah daerah untuk menyusun rencana
strategis jangka panjang dan jangka menengah. Metodologi Renstra DBE1telah
membantu lebih dari 30 pemerintah kabupaten/kota untuk melaksanakan peraturan-
peraturan tersebut. Permendiknas 32/2005 adalah peraturan menter yang berisi
rencana jangka panjang (20 tahun) Kemendiknas serta rencana strategis untuk jangka
waktu 2005 – 2010. Rencana strategis Kemendiknas dapat diringkaskan menjadi tiga
pilar pendidikan yang lebih baik: akses (termasuk akses universal ke pendidikan
dasar), kualitas pendidikan serta manajemen dan tata layanan pendidikan. Semua
intervensi DBE1 berfokus pada pelaksanaan kebijakan ini dengan berbagai cara.
Metodologi Renstra secara spesifik bertujuan untuk menghubungkan rencana strategis
kabupaten/kota dengan rencana Kemendiknas37.
Peraturan Pemerintah No. 19/2005 dan Permendiknas No. 19/ 2007: PP 19/2005
menetapkan Standar Nasional Pendidikan sedangkan Permendiknas No. 19/2007
memperbaharui ketentuan-ketentuan manajemen berbasis sekolah. Kedua peraturan
ini memberikan bimbingan teknis untuk melaksanakan Undang-Undang Sistem
Pendidikan Nasional (UU No. 20/2003). Beberapa intervensi DBE1 secara langsung
mendukung pelaksanaaan peraturan di tingkat sekolah dan pemerintah
kabupaten/kota. Praktek manajemen berbasis sekolah DBE1 memperlihatkan bahwa
kebijakan-kebijakan Kemendiknas/Kemenag tentang manajemen berbasis sekolah
adalah valid dan dapat dilaksanakan jika digunakan metodologi bantuan teknis dan
pelatihan yang tepat.
Program-program DBE1 telah membantu melaksanakan beberapa aspek dari PP
19/2005 berkenaan pelaksanaan Standar Nasional Pendidikan, khususnya yang
berkaitan dengan manajemen dan pendanaan38. Selain mempertimbangkan standar
nasional pendidikan dalam pengembangan semua metodologi DBE1, metodologi
analisa biaya operasional sekolah DBE1 (BOSP) khususnya telah membantu sekolah
dan kabupaten/kota untuk menghitung biaya operasional sekolah yang diperlukan
untuk memenuhi Standar Pendidikan Nasional.
Kepmendiknas No 044/U/200239: Surat keputusan menteri tentang Komite Sekolah
dan Dewan Pendidikan ini menguraikan peranan, hak dan tanggung jawab badan-
badan yang berwenang tersebut di tingkat sekolah dan kabupaten/kota. Dengan
36 Hasil pelaksanaan AKPK oleh semua kabupaten memperlihatkan bahwa mereka mengalokasikan lebih dari 20% dana APBD untuk pendidikan. 37 Kemenag tidak mempunyai rencana strategis khusus untuk pendidikan. Pendidikan Madrasah tercantum dalam
salah satu pasal dari rencana strategis Kemenag di bidang keagamaan.Tetapi, Kemenag diwajibkan untuk mengikuti Standar Nasional Pendidikan sehingga sebagian besar kebijakan yang dilaksanakan melalui program DBE1 juga berlaku bagi Kemenag. 38 Delapan kelompok standar tercantum dalam peraturan. Lihat laporan DBE1, Studi Kerangka Hukum Sektor Pendidikan Dasar Indonesia, Edisi kedua, Hal. 17 untuk uraian tentang standar. 39 Kepmendiknas adalah singkatan dari Kepututsan Menteri Pendidikan Nasional.
48 Manajemen dan Tata Layanan Pendidikan Terdesentralisasi yang Lebih Efektif
disahkannya Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional (20/2003),40 Indonesia
secara formal mengadopsi kebijakan manajemen berbasis sekolah untuk semua
sekolah dan madrasah negeri maupun swasta. Metodologi pelatihan komite sekolah
dan kepemimpinan DBE1 sepenuhnya mendukung pelaksanaan kebijakan ini serta
aspek-aspek dari PP 19/2005 dan Permendiknas 19/2007 terkait dengan perencanaan
dan penganggaran sekolah.
Surat Edaran Bersama Bappenas dan Kemendagri tentang pedoman Perencanaan
Pembangunan (No. 0008/M.PPN/01/2007/050/264/SJ) dan Surat Edaran Kemendagri
tentang Pedoman Hibah untuk Pembangunan Desa (No. 140/640/SJ): Metodologi
perencanaan strategis kabupaten/kota DBE1 dan pelatihan komite sekolah untuk
mengakses dana Pembangunan Desa membantu melaksanakan kebijakan-kebijakan
pemerintah Indonesia ini. DBE1 juga sedang mengembangkan metodologi untuk
membantu pemerintah kabupaten dalam perencanaan tahunan dengan berfokus pada
menghubungkan rencana tahunan dengan rencana strategis. Hal ini belum dibahas
karena hal ini belum dilaksanakan sepenuhnya sehingga tidak dilaporkan sebagai
praktek yang baik. DBE1 berharap dapat memberikan bantuan teknis di bidang ini
kepada semua kabupaten/kota yang telah menyusun rencana strategis (Renstra) pada
bulan Juni 2010.
PP 38/2008 dan Permendiknas 12, 13, 19, 24, 50 tahun 2007: Kelima peraturan
yang terakhir masing-masing berhubungan dengan peranan pengawas sekolah dan
kepala sekolah, manajemen dan infrastruktur sekolah, dan pengelolaan oleh provinsi
dan kabupaten/kota. Selain metodologi yang diuraikan di atas (manajemen berbasis
sekolah, perencanaan kabupaten dan analisa keuangan serta program-program tata
layanan), DBE1 sedang dalam proses mengembangkan metodologi peningkatan
kapasitas untuk meningkatkan pengawasan serta pengelolaan aset dan manajemen
tenaga kependidikan. PP 38/2008 juga berhubungan dengan pengelolaan aset nasional
dan regional yang sedang dibantu pelaksanaannya oleh DBE1 melalui program
pengelolaan aset. Intervensi-intervensi yang disebutkan belakangan masih
dikembangkan serta diuji, dan belum sepenuhnya dilaksanakan; oleh karena itu,
intervensi-intervensi tersebut belum dianggap sebagai praktek yang baik. Kami
berharap agar program-program ini dapat sepenuhnya dikembangkan dan
dilaksanakan secara terbatas sebelum berakhirnya proyek.
UU 17/2003, UU 1/2004, UU 15/2004 dan PP 48/2008: Paket peraturan pembiayaan
desentralisasi ini menentukan bagaimana kabupaten dan provinsi menerima sebagian
besar pendanaan dari pemerintah pusat. Karena kompleksnya sistem pembiayaan yang
sebagian besar dikendalikan oleh Kemenkeu maka kabupaten/kota (dan beberapa
provinsi) kadang-kadang tidak mengetahui dengan pasti berapa jumlah dana yang
tersedia atau diharapkan, dan bahkan dalam beberapa kasus, penggunaan dana secara
tepat. Metodologi DBE1 untuk perencanaan dan analisa pendanaan pendidikan
mempertimbangkan undang-undang ini beserta peraturan pelaksanaannya sehingga
dapat mendukung pelaksanaannya di tingkat daerah.
40 Undang Undang Sisdiknas 20/2003 – Undang-undang ini dan peraturan perundang-undangan lainnya yang relevan dapat dilihat dalam website DBE, http://www.dbe-usaid.org/ di bawah bagian Resource Materials
Manajemen dan Tata Layanan Pendidikan Terdesentralisasi yang Lebih Efektif 49
PP 48/2008 menguraikan berbagai biaya pendidikan yang perlu didanai: biaya
sekolah (investasi, biaya operasional, bantuan keuangan bagi keluarga dan peserta
didik). Peraturan pemerintah ini memberikan petunjuk yang terperinci kepada instansi
pemerintah di tingkat pusat dan daerah mengenai bagaimana dan untuk apa
mengalokasikan pengeluaran dalam anggaran belanja mereka. PP ini juga
mengizinkan sekolah untuk memungut sumbangan dari orang tua jika, antara lain,
sumbangan tersebut berkaitan dengan rencana strategis dan tahunan sekolah yang
berorientasi pada pencapaian Standar Nasional Pendidikan (SNP). Metodologi
perencanaan dan penganggaran DBE1 dengan jelas mendukung pelaksanaan
kebijakan ini.
PP No. 7/1999 tentang Laporan Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah (LAKIP):
Peraturan ini menjadi dasar untuk evaluasi dan pelaporan tahunan tentang
pelaksanaan rencana strategis kabupaten/kota. Sekali lagi, program ini sedang dalam
proses pengembangan dan tidak dilaporkan di atas. Semua kabupaten/kota DBE yang
telah menyusun Renstra akan dibantu dalam kegiatan ini pada bulan Februari 2010
dalam rangka melaksanakan peraturan ini.
Pelaksanaan Kebijakan EMIS Kemendiknas: Kebijakan EMIS Kemendiknas berasal
dari berbagai peraturan perundang-undangan yang tidak dikutip di sini. Pendek kata,
EMIS tidak terlalu berhasil karena kurang tersedianya data yang valid dari sekolah ke
kabupaten/kota dan dari kabupaten/kota ke kementerian di pusat. DBE1 telah
memutuskan bahwa penggunaan data yang lebih baik di tingkat yang lebih rendah
(sekolah dan kabupaten/kota) akan meningkatkan ketersediaan data ke tingkat
pemerintahan yang lebih tinggi. Tampaknya penggunaan data mendorong tersedianya
data yang lebih baik di tingkat kabupaten/kota, tetapi dalam kebanyakan kasus, data
tersebut tidak disalurkan secara efisien atau efektif sampai ke Kemendiknas di tingkat
nasional. Jadi, DBE1 telah membantu melaksanakan kebijakan EMIS Kemendiknas
dengan meletakkan dasar bagi ketersediaan data yang lebih baik di tingkat lokal.
Kami sedang menguji penggunaan metodologi ICT yang inovatif dengan
Kemendiknas yang mungkin menghasilkan penyerahan data yang lebih baik dari
sekolah/kabupaten kepada kementerian di pusat.
Kebijakan Bantuan Operasional Sekolah (BOS) Kemendiknas/Kemenag:
Kemendiknas dan Kemenag mengirimkan dana langsung kepada sekolah dan
madrasah untuk membantu pendanaan biaya operasional sekolah untuk mencapai
Standar Nasional Pendidikan41. DBE1 berpendapat bahwa sekolah dan
kabupaten/kota menghadapi kesulitan yang besar dalam menafsirkan peraturan
tentang BOS dan ketentuan tentang pelaporan. Ketidakpastian ini juga terjadi pada
inspektorat nasional dan daerah serta badan-badan audit yang mempunyai penafsiran
yang berbeda tentang kebijakan sehingga mengeluarkan temuan-temuan yang saling
bertentangan. Tim BOS Kemendiknas meminta agar DBE1 membantu
mengklarifikasi prosedur pelatihan. Oleh karena itu, kami menyusun pedoman teknis
untuk membantu sekolah memperbaiki pelaporannya tentang penerimaan dan
41 Praktek mendukung sekolah dengan hibah berakar dari Undang-Undang Pendidikan tahun 2003. Namun, praktek ini sebenarnya telah ada sejak krisis keuangan tahun 1999. Lihat Lampiran 2, “Studi Kerangka Hukum Sektor Pendidikan Dasar Indonesia”, Edisi Kedua.
50 Manajemen dan Tata Layanan Pendidikan Terdesentralisasi yang Lebih Efektif
penggunaan dana BOS. Pedoman tersebut tercantum dalam Buku Pedoman BOS
2010; kami sedang dalam proses membahas dengan Kemenag bagaimana
menggabungkan pedoman teknis ke dalam manual-manualnya yang telah direvisi.
(Kebetulan, pedoman yang baru mengharuskan dana BOS didasarkan pada format
perencanaan RKS DBE1.) Pada saat penulisan dokumen ini, DBE1 dan Kemendiknas
sedang bekerja sama dengan inspektorat dan auditor bersangkutan untuk mencapai
pemahaman bersama tentang kebijakan dan peraturan BOS; dan kami sedang
mengembangkan sistem pelaporan komputerisasi berbasis sekolah yang sederhana42
yang diyakini oleh Kemendiknas akan banyak meningkatkan transparansi dan
akuntabilitas dalam pengelolaan dana BOS.
Kesimpulan
Sekarang kita mengetahui bahwa manajemen dan tata layanan pendidikan
terdesentralisasi dapat berhasil di Indonesia. Yang jelas, pelaksanaan kebijakan
pemerintah tentang manajemen dan tata layanan pendidikan dasar terdesentralisasi,
termasuk Manajemen Berbasis Sekolah, memerlukan dukungan di tingkat sekolah dan
kabupaten/kota. DBE1 telah mengembangkan pendekatan-pendekatan yang dapat
berhasil untuk memberikan dukungan ini. Pendekatan dan metodologi tersebut saat ini
sedang difinalisasi dalam format yang dapat diserahkan kepada Pemerintah Indonesia
dan kepada lembaga-lembaga lain termasuk donor internasional untuk digunakan dan
dikembangkan lebih lanjut.
42 Kemendiknas yakin bahwa sekitar 50% sekolah dasar di bawah Kemendiknas dan hampir semua sekolah menengah pertama sekarang memiliki komputer dan bahwa jumlah sekolah dasar yang memiliki komputer akan meningkat dengan pesat dalam beberapa tahun mendatang. Sekolah-sekolah sekarang dapat membeli komputer dengan dana BOS.
Manajemen dan Tata Layanan Pendidikan Terdesentralisasi yang Lebih Efektif 51
Lampiran 1: Produk-produk DBE1
No Program Judul Edisi Jenis Laporan Status per Feb 2010
1 EMIS dan ICT
Titik Penting Pendidikan Januari 06 Laporan Hasil Kegiatan (15) Diserahkan dan disetujui oleh USAID
2 Manual (buku pedoman) Aplikasi Hibah April-06 Manual Diserahkan dan disetujui oleh USAID
3 Manual Hibah Oktober 06 Manual Diserahkan dan disetujui oleh USAID
4 Sistemisasi Pemuktahiran dan Pelaporan Informasi Agustus 07 Laporan Pelatihan Laporan Internal
5 Proyek Percontohan Penguatan EMIS Mei 08 Studi Kelayakan Dikembangkan bersama dengan
Balitbank PSP Kemendiknas
6
Buku Direktori Sekolah, Profil Sekolah dan Peserta Pelatihan Program DBE1 di Tingkat Sekolah April 09 Direktori
Diserahkan kepada Sekretariat MBS Kemendiknas
7
Kemitraan Pemerintah Swasta
Manual Rekonstruksi Darurat Sekolah dan Madrasah Juni 05 Modul Pelatihan
Dikembangkan bersama dengan Dinas Pendidikan Klaten
8
Manual Rekonstruksi dan Rehabilitasi Sekolah dan Madrasah Pasca Gempa Bumi dengan Partisipasi Masyarakat Desember 08 Modul Pelatihan
Disampaikan kepada Kemendiknas dan Kemendagri
9
Kegiatan Tingkat Sekolah
Manual MBS Juli 09 Manual
Dikembangkan bersama dengan Kemendiknas dan Kemenag. Saat ini sedang ditinjau oleh Kemendiknas
10 Manual Pengembangan RKS/M Juli 09 Manual S.d.a.
11 Modul Pelatihan Komite Sekolah Juli 09 Modul Pelatihan S.d.a.
12 Pelatihan Kepemimpinan Kepala Sekolah /Madrasah Juli 09 Modul Pelatihan S.d.a.
13 Manual Teknik Fasilitasi Juli 09 Manual S.d.a.
14 Manual Pembentukan Kelompok Kerja Rencana Pengembangan Sekolah Juli 09 Manual S.d.a.
15 Manual Pelaksanaan, Pemantauan, Evaluasi, Pelaporan dan Pemuktahiran Juli 09 Manual S.d.a.
52 Manajemen dan Tata Layanan Pendidikan Terdesentralisasi yang Lebih Efektif
No Program Judul Edisi Jenis Laporan Status per Feb 2010
Rencana Pengembangan Sekolah
16
Manual Cara Mengisi Profil Sekolah dalam Rencana Pengembangan Sekolah Juli 09 Manual S.d.a.
17 Formulir Profil Sekolah dalam Rencana Pengembangan Sekolah Juli 09 Instrumen S.d.a.
18 Pedoman Teknis Sistem Database Sekolah Juli 09 Manual
S.d.a.
19
Perencanaan & Analisa Keuangan Kabupaten/ Kota
Cara Mengembangkan Rencana Peningkatan kapasitas Kabupaten/Kota Juli 07 Manual
DBE1 memberikan masukan kepada program RPK Kemendiknas/Bank Dunia
20 Manual untuk Mengembangkan Rencana Strategis Dinas Pendidikan Januari 08 Manual
Dukungan sedang berlangsung untuk metodologi DBE1 oleh Kemendagri
21 Manual Analisa Keuangan Pendidikan Kabupaten/Kota Maret 08 Manual
Draft Awal
22 Manual Fasilitasi BOSP Desember 08 Manual
BSNP sepenuhnya mendukung metodologi DBE1. Namun belum ada penerimaan secara resmi.
23
Manual Sistem Pendukung Informasi Perencanaan Pembangunan Kabupaten/Kota (DPISS) Desember 08 Manual
Draft Kedua Diselesaikan
24 Manual Pengawasan Manajemen Sekolah Dalam Proses Manual Dalam Proses
25 Manual Manajemen Keuangan Sekolah (Lampiran Manual BOS) Dalam Proses Manual
Dikembangkan bersama dengan Tim Nasional BOS
26
Manual Penelusuran Manajemen dan Pemeliharaan Aset oleh Kabupaten/Kota Dalam Proses Manual Dalam Proses
Manajemen dan Tata Layanan Pendidikan Terdesentralisasi yang Lebih Efektif 53
Lampiran 2: Status dokumen proyek yang diunggah di Development Experience Clearinghouse (DEC) USAID
Status Pengunggahan Dokumen ke Development Education Clearing House (DEC)
Laporan Tanggal
diunggah ke DEC
Laporan Kemajuan Pemantauan 1 bulan September 2006 28-09-2009
Laporan Kemajuan Pemantauan 2 bulan September 2007 28-09-2009
Laporan Kemajuan Pemantauan 3 bulan November 2007 28-09-2009
Laporan Kemajuan Pemantauan 4 bulan Juni 2008 28-09-2009
Pemantauan dan Evaluasi Pelatihan Kejuruan USAID Chevron (Laporan khusus akhir DBE1) bulan September 2007
28-09-2009
Laporan Tahunan III Okt 2007 – Sep 2008 31-03-2009
Studi Kerangka Hukum/Rangkuman Peraturan Perundang-undangan (2007) 05-03-2009
Replikasi Perencanaan Pengembangan Sekolah DBE1 Okt 2008 05-03-2009
Kemitraan Pemerintah Swasta Sep 2008 – Tahun ke-3 05-03-2009
Kemitraan Pemerintah Swasta Sep 2007 – Tahun ke-2 05-03-2009
Kemitraan Pemerintah Swasta – Tahun ke-1 tanggal14 Agustus 2006 05-03-2009
Laporan Kemajuan Pemantauan Rekonstruksi Sekolah Jawa Tengah 1 Agustus 2008 05-03-2009
Analisa Keuangan Pendidikan Kab/Kota (DEFA) Okt 2007 05-03-2009
Penilaian EMIS Juni 2007 05-03-2009
Hibah ICT Sep 2006, Laporan Hibah ICT DBE1 05-03-2009
Tinjauan Materi Perencanaan, Manajemen dan Tata layanan Pendidikan Juni 2007 05-03-2009
Manajemen dan Tata Kelola Pendidikan Terdesentralisasi yang Lebih Efektif Okt06-Sept07, Laporan Tahunan, Tahun ke-2
05-03-2009
Manajemen dan Tata Kelola Pendidikan Terdesentralisasi yang Lebih Efektif April 05-Sept06, Laporan Tahunan, Tahun ke-1
05-03-2009
Reformasi Kebijakan dalam Perencanaan Pendidikan Okt 2007 05-03-2009
54 Manajemen dan Tata Layanan Pendidikan Terdesentralisasi yang Lebih Efektif
Lampiran 3: Kontribusi DBE1 dalam Pengembangan Kebijakan Kab/Kota
No. Provinsi Kab/Kota Kebijakan Status Kontribusi DBE1
Aceh Aceh Besar Surat edaran Kepala Dinas Pendidikan yang meminta sekolah untuk memiliki RKS/M dan mencantumkan rencana sekolah dalam Rencana kabupaten/kota.
Selesai Bantuan Teknis Penuh
Revisi Qanun no. 23/2002 sampai 5/2008 tentang pendidikan.
Selesai Provided input
Sumatra Utara
Deli Serdang Surat Keputusan Kepala Dinas Pendidikan yang meminta SD, SMP, dan SMA untuk memiliki RKS.
Selesai Bantuan Teknis Penuh, dokumen dikembangkan oleh Dinas Pendidikan.
Deli Serdang Draft Perda untuk memenuhi biaya operasional sekolah melalui BOSDA.
Dalam Proses
Tanjung Balai
Surat keputusan untuk mengalokasikan anggaran bagi siswa miskin
Selesai
Jawa Barat Karawang Surat keputusan Bupati mengenai memenuni biaya operasional sekolah melalui BOSDA
Selesai Bantuan Teknis Penuh, dokumen dikembangkan oleh Dinas Pendidikan.
Provinsi Surat keputusan gubernur mengenai memenuhi biaya operasional sekolah melalui BOS provinsi
Selesai Berdasarkan presentasi Bupati Karawang kepada Gubernur.
Tangerang Surat keputusan walikota mengenai memenuhi biaya operasional sekolah melalui BOSDA
Selesai Bantuan Teknis Penuh, dokumen dikembangkan oleh Dinas Pendidikan.
Sukabumi Surat keputusan bupati mengenai memenuhi biaya operasional sekolah melalui BOSDA
Selesai Bantuan Teknis Penuh, dokumen dikembangkan oleh Dinas Pendidikan.
Banten Surat keputusan kepala dinas pendidikan yang meminta SD dan SMP untuk menyusun RKS
Selesai Bantuan Teknis Penuh, dokumen dikembangkan oleh Dinas Pendidikan.
Manajemen dan Tata Layanan Pendidikan Terdesentralisasi yang Lebih Efektif 55
No. Provinsi Kab/Kota Kebijakan Status Kontribusi DBE1
Jawa Tengah
Boyolali Surat keputusan kepala dinas pendidikan mengenai mekanisme perencanaan.
Selesai Bantuan Teknis Penuh
Boyolali Peraturan daerah tentang Pendidikan Selesai Anggota DPRD yang terlibat dalam kegiatan DBE1, anjuran untuk mencantumkan RKS/M dalam Perda.
Jepara Peraturan Bupati tentang Pendidikan Gratis Selesai Memberikan masukan untuk proses
Jepara Peraturan Bupati tentang memenuhi biaya operasional sekolah melalui BOS (90%)
Selesai Bantuan Teknis Penuh, dokumen dikembangkan oleh Dinas Pendidikan.
Kudus Peraturan Bupati tentang sumber daya manusia di sektor pendidikan
Selesai Bantuan Teknis Penuh
Kudus Surat keputusan bupati tentang BOS Daerah Dalam proses (menunggu persetujuan dari Sekda)
Bantuan Teknis Penuh, dokumen dikembangkan oleh Dinas Pendidikan.
Jawa Timur
Tuban Surat keputusan Kepala Dinas Pendidikan mengenai Pedoman Teknis 2009 untuk melaksanakan BOSDA.
Selesai Hasil BOSP digunakan sebagai dasar surat keputusan
Tuban Draft perda tentang pendidikan Dalam Proses Asisten Teknis Penuh
Pembiayaan bersama
Dinas Pendidikan Provinsi Jawa Timur dan Bappeda
Laporan akhir tentang perhitungan BOSP untuk tahun 2009 sesuai dengan BSNP untuk 24 kabupaten/kota.
Selesai Asisten Teknis Penuh
Pembiayaan bersama
Mojokerto Draft perda tentang pendidikan Selesai Menetapkan substansi Perda
Sampang Draft perda tentang pendidikan Selesai
Menetapkan substansi Perda
Bangkalan Draft perda tentang pendidikan Dalam Proses Menetapkan substansi Perda
56 Manajemen dan Tata Layanan Pendidikan Terdesentralisasi yang Lebih Efektif
No. Provinsi Kab/Kota Kebijakan Status Kontribusi DBE1
Sidoarjo Peraturan Bupati tentang biaya pendidikan bagi siswa miskin.
Selesai Menetapkan substansi
Sampang SK kepala dinas pendidikan yang mengharuskan sekolah memiliki RKTS/RKAS.
Selesai Menetapkan substansi
Mojokerto SK Bupati tentang BOSDA SD/MI dan SMP/MTs tahun 2009
Selesai Menetapkan substansi
Tuban SK Kepala Dinas Pendidikan yang meminta sekolah untuk memiliki RKS
Selesai Bantuan Teknis Penuh
Mojokerto SK Kepala Dinas Pendidikan yang meminta sekolah untuk memiliki RKS
Selesai Bantuan Teknis Penuh
Surabaya SK Kepala Dinas Pendidikan yang meminta sekolah untuk memiliki RKS
Selesai Menetapkan substansi
Nganjuk SK Kepala Dinas Pendidikan yang meminta sekolah untuk memiliki RKS
Selesai Bantuan Teknis Penuh
Sulawesi Selatan
Soppeng Draft perda tentang pendidikan Dalam Proses Bantuan Teknis Penuh
Sidrap Draft perda tentang pendidikan gratis Memberikan masukan tentang Draft
Enrekang Draft perda tentang pendidikan Hasil BOSP digunakan sebagai dasar penyusunan perda
57 Good Practice, Dissemination and Sustainability: Implications for Policy
Lampiran 4: Singkatan, Akronim dan Glosari
Singkatan dan Akronim
ADD Alokasi Dana Desa [Village Budget Allocation]
APBD Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah [District Government Annual Budget]
APBN Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara [National Government Annual Budget]
AusAID Australian Agency for International Development
Balitbang Badan Penelitian dan Pengembangan [Research and Development Body]
Bappeda Perencanaan Pembangunan Daerah [Regional Development Planning Agency]
Bappenas Perencanaan Pembangunan Nasional [National Development Planning Agency]
BIA BOS (Bantuan Operational Sekolah) Impact Analysis
BOP Bantuan Operasional Pendidikan [Education Operational Grants]
BOS Bantuan Operational Sekolah [school grants]
BOSP Biaya Operasional Satuan Pendidikan [School Unit Cost]
BP British Petroleum
BRR Bureau for Reconstruction and Rehabilitation (Aceh and Nias)
BSNP Badan Standar Nasional Pendidikan [National Education Standard Board]
CA Capacity Assessment [Penilaian Kapasitas]
CLCC Creating Learning Communities for Children
COP Chief of Party
CSO Civil Society Organization [Organisasn Masyarakat Sipil]
DAU Dana Alokasi Umum [general budget allocation from central government to local governments]
DBE USAID Decentralized Basic Education Project
DBE1 Decentralized Basic Education Project Management and Governance
DBE2 Decentralized Basic Education Project Teaching and Learning
DBE3 Decentralized Basic Education Project Improving Work and Life Skills
DEFA District Education Finance Analysis [Analisa Keuangan Pendidikan
Kabupaten/Kota]
DPISS District Planning Information Support System [Sistem Pendukung
Informasi Perencanaan Kab./Kota]
DPRD Dewan Perwakilan Rakyat Daerah [district parliament]
DSC District Steering Committee [Komite Pengarah Kab./Kota]
DTT District Technical Team [Tim Teknis Kabupaten/Kota]
EMIS Education Management Information System [Sistem Informasi
Manajemen Pendidikan]
ESP Environmental Services Program [USAID project]
58 Good Practice, Dissemination and Sustainability: Implications for Policy
GDA Global Development Alliance
GDP Gross Domestic Product [Produk Domestik Bruto]
GGSP Good Governance Sektor Pendidikan (Good Governance in The Education Sector)
GOI Government of Indonesia
IAPBE Indonesia-Australia Partnership in Basic Education [AusAID project]
ICT Information and Communication Technology
ILO International Labor Organization
Jardiknas Jaringan pendidikan nasional – national education network
KADIN Indonesian Chamber of Commerce
Kandepag Kantor Departemen Agama [District Religious Affairs Office]
KKG Kelompok Kerja Guru [teachers’ working group]
KKRPS Kelompok Kerja RPS [school RPS team]
KTSP Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan [School Unit Curriculum]
LG Local government
LGSP Local Governance Support Program [USAID project]
LOE Level of Effort
LPMP Lembaga Penjamin Mutu Pendidikan [Education Quality Assurance Body]
M&E Monitoring and Evaluation
MAPENDA Madrasah dan Pendidikan Agama [Religious and Madrasah Education]
MBE Managing Basic Education [USAID project]
MBS Manajemen Berbasis Sekolah (SBM=School Based Management)
MCA Millennium Challenge Account
MGMP Musyawarah Guru Mata Pelajaran [Subject-based Teachers Association]
MI Madrasah Ibtidaiyah [Islamic primary school]
MIS Madrasah Ibtidaiyah Swasta [private madrasah; MIN State Madrasah]
MOU Memoranda of Understanding
MSS Minimum Service Standards
MTs Madrasah Tsanawiyah [Islamic junior secondary school]
Musrenbangdes Musyawarah Perencanaan Pembangunan Desa [Village Development Planning Forum]
NGO Non Governmental Organization
P4TK Pusat Pengembangan dan Pemberdayaan Pendidik dan Tenaga
Kependidikan [Center for Educators and Education-Related Personnel Capacity Building]
PAG Provincial Advisory Group
PAKEM Pembelajaran Aktif, Kreatif, Efektif, dan Menyenangkan
[AJEL: Active, Creative, Joyful, and Effective Learning]
PADATIWEB Pangkalan Data dan Informasi berbasis WEB. MONE database system
PCR Politeknik Caltex Riau, Pekanbaru
PDIP Pusat Data dan Informasi Pendidikan [Education Data and Information Center]
PDMS Project Data Management System
Good Practice, Dissemination and Sustainability: Implications for Policy 59
Permendiknas Peraturan Menteri Pendidikan Nasional [Minister of National Education Regulation]
PKBM Pusat Kegiatan Belajar Mengajar [Teaching and Learning Center]
PMP Performance Monitoring Plan
PMTK Peningkatan Mutu dan Tenaga Kependidikan [Quality Improvement of
Education and Education Staff]
PPA Public-private alliances
Ranperda Rancangan Peraturan Daerah [Draft of District Regulations]
RAPBS Rencana Anggaran, Pendapatan, dan Belanja Sekolah [School Budget Plan]
Rembuk Nasional
National meeting
RKAS Rencana Kegiatan dan Anggaran Sekolah [School Activities and Budget Plan]
RKS Rencana Kerja Sekolah [School Work Plan]
RKT Rencana Kerja Tahunan [Annual Work Plan]
RKTL Rencana Kerja Tindak Lanjut [Future Action Plan]
RPJMD Rencana Pengembangan Jangka Menengah Daerah [District Mid-Term Development Plan]
RPK Rencana Pengembangan Kapasitas [Capacity Development Plan]
RPPK Rencana Pengembangan Pendidikan Kabupaten/Kota [District Education Development Plan]
RPS Rencana Pengembangan Sekolah [School Development Plan]
RTI RTI International
SBM School-based management (see MBS)
SD Sekolah Dasar [primary school]
SIMNUPTK Sistem Informasi Manajemen - Nomor Unik Pendidik dan Tenaga
Kependidikan (Management Information System of Unique Number of Educator and Education Staff)
SIPPK Sistem Informasi Perencanaan Pendidikan Kabupaten/Kota [District
Planning Information Support System]
SMP Sekolah Menengah Pertama [junior secondary school]
SNP Standar Nasional Pendidikan [National Standards for Education]
SOAG Strategic Objective Agreement [USAID and Kemenko Kesra]
SOTK Struktur Organisasi dan Tata Kerja [Organizational and Work Structure]
SPM Standard Pelayanan Minimum [Minimum Service Standard]
STTA Short-Term Technical Assistance
SUCA School Unit Cost Analysis
TraiNet TraiNet Administrator & Training [USAID reporting system]
UPTD Unit Pelaksana Teknis Dinas [Technical Implementation Unit]
USAID United States Agency for International Development
WIB Waktu Indonesia Barat [Western Indonesian Standard Time]
60 Good Practice, Dissemination and Sustainability: Implications for Policy
Glosari
Badan Kepegawaian Daerah District Personnel Board
Bupati Head of a district
Kementerian Agama Ministry of Religious Affairs
Kementerian Keuangan Ministry of Finance
Kementerian Pendidikan Nasional Ministry of National Education
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah District Parliament (DPRD)
Dinas Provincial, district, or city office with sectoral responsibility
Dinas Pendidikan dan Kebudayaan
(Dinas P&K) Provincial or district educational office
Gugus School cluster
Kabupaten District (administrative unit), also referred to as a regency
Kanwil Agama Provincial Religious Affairs Office
Kecamatan Sub-district
Kepala Dinas Pendidikan Head of provincial or district education office
Kepala Sekolah School principal
Komisi Committee in national or local legislatures
Komite sekolah School committee
Kota City (administrative unit)
Madrasah Ibtidaiyah Islamic primary school (MI; MIS Swasta; MIN Negeri)
Madrasah Tsanawiyah Islamic junior secondary school (MT)
Madrasah Pendidikan dan Agama Ministry of Religious Affairs directorate for Islamic religious schools (Mapenda)
Kemenko Kesra Coordinating Ministry for People’s Welfare
Pengawas School inspector
Renstra Satuan Kerja Perangkat
Daerah (Renstra SKPD)
Strategic Plan for local government work unit (e.g. District Education Development Plan)
Sekolah Dasar primary school (SD)
Sekolah Menengah Pertama junior secondary school (SMP)
Surat Keputusan Decree/defining conditions, outcomes of a decision
Walikota Mayor
Widyaiswara Trainer