prajurit profesional-patriot: menuju tni profesional pada

31
Edisi Cetak Lepas Versi Digital ISSN: 0852-8489 Prajurit Profesional-Patriot: Menuju TNI Profesional pada Era Reformasi Penulis: Syamsul Ma’arif Sumber: Jurnal Sosiologi MASYARAKAT, Vol. 19, No. 2, Juli 2014: 257-286 Dipublikasikan oleh: Pusat Kajian Sosiologi, LabSosio FISIP-UI Jurnal Sosiologi MASYARAKAT diterbitkan oleh LabSosio, Pusat Kajian Sosiologi Departemen Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Indonesia. Jurnal ini menjadi media informasi dan komunikasi dalam rangka pengembangan sosiologi di Indonesia. Redaksi MASYARAKAT mengundang para sosiolog, peminat sosiologi dan para mahasiswa sosiologi untuk berdiskusi dan menulis secara bebas dan kreatif demi pengembangan sosiologi di Indonesia. Email: [email protected] ; [email protected] Website: www.journal.ui.ac.id/jsm SK Dirjen Dikti Akreditasi Jurnal No. 80/DIKTI/Kep/2012 Untuk mengutip artikel ini: Ma’arif, Syamsul. 2014. “Prajurit Profesional-Patriot: Menuju TNI Profesional pada Era Reformasi.” Jurnal Sosiologi MASYARAKAT, Vol. 19, No. 2, Juli 2014: 257-286.

Upload: others

Post on 09-Nov-2021

3 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: Prajurit Profesional-Patriot: Menuju TNI Profesional pada

Edisi Cetak Lepas Versi Digital ISSN: 0852-8489

Prajurit Profesional-Patriot: Menuju TNI Profesional pada Era Reformasi

Penulis: Syamsul Ma’arif

Sumber: Jurnal Sosiologi MASYARAKAT, Vol. 19, No. 2, Juli 2014: 257-286

Dipublikasikan oleh: Pusat Kajian Sosiologi, LabSosio FISIP-UI

Jurnal Sosiologi MASYARAKAT diterbitkan oleh LabSosio, Pusat Kajian Sosiologi Departemen Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Indonesia. Jurnal ini menjadi media informasi dan komunikasi dalam rangka pengembangan sosiologi di Indonesia. Redaksi MASYARAKAT mengundang para sosiolog, peminat sosiologi dan para mahasiswa sosiologi untuk berdiskusi dan menulis secara bebas dan kreatif demi pengembangan sosiologi di Indonesia. Email: [email protected]; [email protected] Website: www.journal.ui.ac.id/jsm

SK Dirjen Dikti Akreditasi Jurnal No. 80/DIKTI/Kep/2012

Untuk mengutip artikel ini: Ma’arif, Syamsul. 2014. “Prajurit Profesional-Patriot: Menuju TNI Profesional pada Era Reformasi.” Jurnal Sosiologi MASYARAKAT, Vol. 19,

No. 2, Juli 2014: 257-286.

Page 2: Prajurit Profesional-Patriot: Menuju TNI Profesional pada

Prajurit Profesional-Patriot: Menuju TNI Profesional pada Era Reformasi

S y a m s u l M a ’ a r i fBadan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB)

Email: [email protected]

Abstrak

Tulisan ini membahas fenomena TNI yang tengah mengalami pergeseran dari militer praetorian menuju militer profesional seiring terjadinya perubahan mendasar dalam masyarakat Indonesia karena peralihan kekuasaan dari Orde Baru ke pemerintahan Re-formasi pasca-berakhirnya pemerintahan Soeharto pada 1998. Pergeseran tersebut dapat dilihat dari isu-isu terkait keberadaan lembaga teritorial, bisnis militer, serta hubungan antara TNI dengan Departemen Pertahanan. Tulisan ini berargumen bahwa pergeseran tersebut dapat dijelaskan dengan tesis militer profesional patriot. Tesis ini merupakan kombinasi aspek-aspek tertentu dari tesis Huntington mengenai profesionalisme militer yang disebut profesionalisme lama dengan aspek-aspek tertentu dari tesis Stepan yang disebut profesionalisme baru. Sebagai militer profesional patriot, selain hadir dengan karakteristik profesional TNI juga memiliki komitmen kuat untuk mengambil pe-ran dalam tugas-tugas nonpertahanan berdasarkan keputusan pemerintah sipil. Untuk itu, TNI perlu berkembang dalam kondisi kontrol sipil objektif yang menitikberatkan profesionalisme militer itu sendiri, dan turut menjunjung supremasi sipil. Tulisan ini disusun dengan pendekatan sosiologi militer. Adapun proses penelitiannya dilakukan dengan menggunakan metode kualitatif.

Abstract

This article discuses about The Indonesian National Defense Forces (Tentara Nasional Indonesia/TNI) who has been experiencing a shift from praetorian military to profes-sional military because of fundamental change within Indonesian society after the end of the Soeharto’s regime in 1998 which is followed by a transition of power from New Order to reformed government. That shift can be seen through some issues related to territorial institutions, military business, and relation between TNI and The Ministry of Defense (Departemen Pertahanan). This paper argues that that shift and its related issues can be explained by patriot professional military thesis. This thesis combines certain aspects of Huntington’s old professionalism and Stepan’s new professionalism. As a patriot professional military TNI has professional characteristics as well as strong commitment to take a part in nondefense tasks according to decisions of civilian go-vernment. To become patriot professional military TNI needs to develop itself in a condition with objective civilian control that promotes military professionalism, and highly respects the civilian supremacy. This paper approached its problem with sociology of military, and made its inquiry with qualitative method.

Keywords: civilian control, civilian supremacy, military professionalism, objective, TNI

Page 3: Prajurit Profesional-Patriot: Menuju TNI Profesional pada

258 | S Y A M S U L M A ’ A R I F

M ASYA R AK AT Jurna l Sosiolog i Vol. 19, No. 2 , Ju l i 2014:257-286

PE N DA H U LUA N

Sejak kelahirannya, sebagai alat negara di bidang pertahanan TNI telah mengalami perubahan-perubahan tertentu seiring perubahan di dalam masyarakat Indonesia. Perubahan besar akibat pergantian kekuasaan dari Orde Baru ke pemerintahan era Reformasi, seiring dengan perubahan tata nilai di tingkat global, turut memengaruhi pergeseran peran TNI dari tentara Pretoria, yakni tentara yang tu-rut terlibat dan melakukan intervensi dalam kehidupan politik, ke arah tentara profesional. Kendati demikian, hingga saat ini berba-gai kalangan masih memperdebatkan hakikat profesionalisme TNI. Keberadaan Komando Teritorial (Koter), persoalan bisnis militer, dan hubungan struktural TNI–Departemen Pertahanan (Dephan) menjadi isu yang cukup menonjol. Dalam kondisi masyarakat kita yang sampai saat ini masih berupaya mewujudkan cita-cita reformasi sekaligus bangkit dari keterpurukan di berbagai bidang akibat krisis multidimensional pada akhir dasawarsa 1990-an, diundangkannya jati diri TNI menuai berbagai pandangan mengenai upaya pembangunan TNI menuju militer profesional. Hal terakhir inilah yang menjadi permasalahan di dalam tulisan ini.

Beranjak dari permasalahan di atas, tulisan ini bertujuan mema-hami secara mendalam, bagaimana pandangan masyarakat sipil dan perwira TNI mengenai eksistensi lembaga teritorial, bisnis TNI, serta hubungan TNI–Dephan dalam rangka membangun militer profesio-nal di masa depan? Prasyarat apa sajakah yang dibutuhkan TNI da-lam upayanya menuju militer profesional? Skenario apa sajakah yang mungkin dapat dibentangkan untuk mereformasi lembaga teritorial, bisnis TNI, dan hubungan TNI–Dephan dalam rangka menuju mi-liter profesional?

Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan di atas, tulisan ini menggunakan pendekatan sosiologi militer, terutama pandangan Samuel P. Huntington mengenai militer profesional. Inti pandangan Huntington adalah berubahnya korps perwira militer dari kelompok penakluk (warrior) menjadi kelompok profesional. Dalam pandangan Huntington (1957:8-10), militer profesional adalah tentara yang (i) memiliki keahlian (expertise), berupa pengetahuan dan keterampilan khusus di bidangnya, sehingga mengemban (ii) tanggung jawab (responsibility) terhadap masyarakat sebagai kliennya dan (iii) memiliki

Page 4: Prajurit Profesional-Patriot: Menuju TNI Profesional pada

P R A J U R I T P R O F E S I O N A L - P A T R I O T | 259

M ASYA R AK AT Jurna l Sosiolog i Vol. 19, No. 2 , Ju l i 2014:257-286

kesadaran kelompok (corporateness) di antara anggota profesinya yang berbeda dari orang awam.

Terkait peran militer dalam masyarakat, Huntington (1957:80-85) mengajukan terminologi kontrol sipil (civilian control). Kontrol sipil identik dengan pemerintahan demokratis, sementara kontrol militer identik dengan pemerintahan totaliter. Kontrol sipil dibedakan men-jadi kontrol sipil subjektif (subjective civilian control) dan kontrol sipil objektif (objective civilian control). Dalam kontrol sipil subjektif, keku-atan sipil berusaha memaksimalkan kekuasaan (termasuk dengan me-ngorbankan kelompok-kelompok sipil lainnya) dan berusaha menarik tentara ke dalam urusan sipil demi kepentingannya, baik kepentingan politik maupun ekonomi. Adapun dalam kontrol sipil objektif, yang coba dimaksimalkan adalah profesionalisme militer itu sendiri dengan menegakkan empat hal pokok: (i) profesionalisme militer yang tinggi dan pengakuan pejabat militer terhadap batas-batas profesionalisme yang menjadi bidang mereka; (ii) subordinasi yang efektif dari militer kepada pemimpin politik yang membuat keputusan pokok tentang kebijakan luar negeri dan militer; (iii) pengakuan dan persetujuan pe-mimpin politik terhadap kewenangan profesional dan otonomi militer; (iv) konsekuensinya, minimalisasi intervensi militer dalam politik dan minimalisasi intervensi politik dalam militer (Huntington 2000:4).

Gagasan Huntington mengenai militer profesional oleh Yong Lee (2001:47) disebut sebagai profesionalisme lama (the old professionalism), yakni sebuah aliran pemikiran Barat yang memandang militer sebagai kelompok yang memainkan peran berbeda dengan masyarakat pada umumnya. Di sisi lain, terdapat konsep profesionalisme baru (the new professionalism) yang diperkenalkan oleh Stepan, yang memandang militer sebagai kelompok yang memiliki dan memainkan peran kom-prehensif dalam masyarakat dan pembangunan. Di sini, peran militer diperluas untuk menghadapi ancaman dari luar dan dalam negeri, terutama di negara-negara belum maju.

Beranjak dari gagasan-gagasan dalam kerangka sosiologi militer di atas, tulisan ini berupaya memahami fenomena TNI dalam perkem-bangannya selama masa transisional dari Orde Baru ke era Reformasi. Penulis berargumen, TNI saat ini tengah bergerak menuju profesio-nalisme militer dengan membawa sebagian karakteristik profesiona-lisme lama yang dikombinasikan dengan karakteristik-karakteristik profesionalisme baru.

Page 5: Prajurit Profesional-Patriot: Menuju TNI Profesional pada

260 | S Y A M S U L M A ’ A R I F

M ASYA R AK AT Jurna l Sosiolog i Vol. 19, No. 2 , Ju l i 2014:257-286

M E TODE PE N E L I T I A N

Tulisan ini didasarkan pada penelitian yang dilakukan dengan menggunakan metode kualitatif. Daerah yang menjadi latar peneliti-annya meliputi dua belas kota yang dipilih berdasarkan keberadaan Komando Daerah Militer (Kodam) di seluruh Indonesia, dengan latar utamanya adalah Jakarta. Sumber data dalam penelitian ini diklasifi-kasikan menjadi tiga: responden, informan, dan peserta. Responden merupakan sumber data untuk pengisian kuesioner, berjumlah 200 orang di tiap-tiap kota, dan terdiri atas 100 orang dari kalangan sipil, 100 orang anggota TNI. Informan merupakan sumber data untuk wawancara mendalam. Adapun peserta merupakan sumber data yang diundang berpartisipasi aktif dalam FGD untuk membahas temuan-temuan penelitian. Kegiatan lapangan penelitian ini berlangsung se-lama 5 bulan, sejak Maret hingga Juli 2006, dan dilanjutkan dengan analisis intensif yang berlangsung sejak pertengahan Juli sampai No-vember 2006.

Untuk menghimpun data, digunakan empat metode utama: pe-nyebaran kuesioner, FGD, wawancara mendalam, dan penelusuran dokumen. Adapun analisis data dilakukan dengan mengikuti prosedur yang ditawarkan Bogdan dan Biklen: (i) menelaah data, membaca data dengan cermat; (ii) memilah data yang diperoleh ke dalam sa-tuan-satuan dan memberinya kode-kode tertentu; (iv) membuat sin-tesis antara satu temuan dengan temuan-temuan lain; (v) berusaha mencari pola; (vi) berupaya menemukan sesuatu yang penting, “be-sar”, dan “unik” sehingga perlu dipelajari secara ilmiah; (vii) akhirnya, menuliskannya dalam sebuah tulisan ilmiah.

DA R I M I L I T E R PR A E TOR I A N M E N U J U M I L I T E R PROFE SIONA L

Terkait dengan upaya membangun profesionalisme TNI, tiga hal utama yang perlu diperhatikan adalah keberadaan lembaga teritorial berupa Komando Teritorial (Koter), bisnis TNI, dan hubungan antara TNI dengan Departemen Pertahanan (Dephan). Ketiga isu ini pula yang secara khusus dibahas dalam tulisan ini.

Menurut Huntington (1957:264-265), pemeliharaan kekuatan bersenjata yang kuat akan cenderung mengurangi terjadinya perang dengan mencegah (deterring) musuh-musuh potensial untuk

Page 6: Prajurit Profesional-Patriot: Menuju TNI Profesional pada

P R A J U R I T P R O F E S I O N A L - P A T R I O T | 261

M ASYA R AK AT Jurna l Sosiolog i Vol. 19, No. 2 , Ju l i 2014:257-286

menyerang. Kendati demikian, secara sosiologis Huntington juga menyebutkan pentingnya hubungan yang erat antara militer dan masyarakat. Tentara, terutama AD, bukanlah kasta khusus yang terpisah dari masyarakat, karena mereka harus “berada dalam hubungan yang segar dan konstan dengan pemikiran dan perasaan para warga sipil setempat”. Para perwira militer pun menekankan pentingnya tentara “berada dekat dengan masyarakat”. Atas dasar pemikiran ini pula, lembaga teritorial dibentuk.

Terkait dengan hubungan antara militer dengan bisnis, Hunting-ton (1957:361-373) menekankan bahwa hubungan tersebut lebih di-warnai oleh figur (individual) yang tidak melibatkan institusi. Para perwira yang bergabung dengan manajemen berbagai perusahaan terlebih dahulu meninggalkan dinas aktif mereka demi posisi yang lebih menguntungkan di dalam bisnis. Sebaliknya, dalam kerangka profesionalisme, perwira militer (aktif) dan institusi militer tidak bo-leh terlibat kegiatan bisnis.

Selain itu, Huntington (1957:186) juga menyebutkan adanya tiga jenis hubungan antara Presiden, menteri, dan pimpinan militer, yakni tipe seimbang (balanced), koordinasi (coordinate), dan tipe vertikal (vertical). Dalam tipe seimbang, Presiden membawahi menteri; di bawah menteri, hierarki terbagi ke dalam unsur militer dan unsur administratif. Tipe ini digunakan oleh Inggris. Dalam tipe koordinasi, terdapat pemisahan fungsi militer dan administratif di bawah Presiden. Tugas menteri terbatas pada tugas-tugas administratif yang bersifat nonmiliter, sementara panglima militer menjalankan fungsi kemiliterannya langsung di bawah Presiden. Tipe ini digunakan oleh Amerika Serikat. Adapun dalam tipe vertikal, Presiden merupakan panglima tertinggi sehingga mengharuskan adanya hubungan antara Presiden dan hirarki militer lainnya. Menteri diberi posisi dalam rantai komando militer dengan digambarkan sebagai wakil panglima tertinggi.

KOM A N DO T E R I TOR I A L: A N TA R A POS T U R PE RTA H A NA N DA N A RUS DE MOK R AT IS A SI

Salah satu wujud gelar kekuatan TNI, khususnya Angkatan Darat, adalah hadirnya Komando Teritorial (Koter) yang membentang mengikuti struktur hirarki pemerintahan dan meliputi seluruh wilayah/daerah. Pada masa Orde Baru Koter tidak hanya

Page 7: Prajurit Profesional-Patriot: Menuju TNI Profesional pada

262 | S Y A M S U L M A ’ A R I F

M ASYA R AK AT Jurna l Sosiolog i Vol. 19, No. 2 , Ju l i 2014:257-286

melaksanakan fungsi teritorial di bidang pertahanan, melainkan juga memasuki berbagai aspek kehidupan: sosial, ekonomi, dan politik. Hal ini dinilai oleh para informan sebagai deviasi fungsi lembaga teritorial, karena menjadikan peran TNI lebih sebagai alat kekuasaan ketimbang alat negara dalam membangun sistem pertahanan yang kokoh. Meskipun demikian, tidak serta merta Koter dituntut untuk dibubarkan.

Temuan lapangan melalui kuesioner menunjukkan bahwa sebagi-an besar responden dari kalangan masyarakat sipil di dua belas kota menyatakan sangat setuju untuk tetap mempertahankan lembaga te-ritorial sesuai dengan fungsi pertahanan. Hal ini dapat dilihat dalam tabel berikut.

Tabel 1. Alasan Masyarakat Tentang Pentingnya Koter Dipertahankan (N=1072 dalam %)

Isu-isu Sangat Setuju

Setuju Kurang Setuju

Tidak Setuju

1. Koter masih perlu dipertahankan untuk menjalankan fungsi pertahanan (wajib militer, ratih, dsb.)

64,8 17 7 11,2

2. Koter masih perlu dipertahankan untuk membantu polisi dan Pemda dalam bidang keamanan

56,7 19,7 4,5 19,1

3. Koter perlu dipertahankan untuk menjalankan fungsi teritorial di daerah (pembinaan masyarakat, operasi buta aksara, pembinaan daerah rawan pangan, dsb.)

59,3 18 11,7 11

4. Koter perlu dipertahankan karena Pemda belum siap menjalankan fungsi teritorial di daerah

29,9 26,6 15,4 28,1

Sumber: diolah dari hasil kuesioner

Tidak jauh berbeda dengan kalangan sipil, anggota TNI juga mendukung kuat keberadaan Koter. Bagi mereka, Koter masih sangat dibutuhkan dalam memperkokoh sistem pertahanan nasional.

Page 8: Prajurit Profesional-Patriot: Menuju TNI Profesional pada

P R A J U R I T P R O F E S I O N A L - P A T R I O T | 263

M ASYA R AK AT Jurna l Sosiolog i Vol. 19, No. 2 , Ju l i 2014:257-286

Tabel 2. Alasan Anggota TNI Tentang Pentingnya Lembaga Teritorial Dipertahankan (N=1151 dalam %)

Isu-isu Sangat Setuju Setuju Kurang

SetujuTidak Setuju

TidakJawab

1. Koter masih perlu dipertahankan untuk menjalankan fungsi pertahanan (wajib militer, ratih, dsb.)

64 11,9 8,3 7,2 8,6

2. Koter masih perlu dipertahankan untuk membantu polisi dan Pemda dalam bidang keamanan

68,5 12,6 4,3 5,3 9,3

3. Koter perlu dipertahankan untuk menjalankan fungsi teritorial di daerah (pembinaan masyarakat, operasi buta aksara, pembinaan daerah rawan pangan, dsb.)

68,7 11,8 5 4,9 9,6

4. Koter perlu dipertahankan karena Pemda belum siap menjalankan fungsi teritorial di daerah

51,7 17,9 11,6 8,3 10,5

Sumber: diolah dari hasil kuesioner

KOT E R M A SI H T E TA P R E L E VA N

Pandangan arus utama para informan memperlihatkan eksistensi Koter masih relevan sehingga perlu dipertahankan. Koter dipandang memegang posisi penting dalam menunjang pertahanan Indonesia se-bagai negara kepulauan. Mantan Panglima TNI Jenderal Endriartono Sutarto menyebutkan, Indonesia yang merupakan negara kepulauan terbesar:

“... memerlukan kekuatan militer yang besar, baik dalam jumlah maupun kualitasnya. Bandingkan dengan kekuatan TNI saat ini, termasuk peralatannya. Karenanya gelar kekuatan TNI harus dilakukan menyesuaikan dengan kondisi wilayah, ancaman, dan kondisi TNI sendiri. Dari pertimbangan tersebut, Koter termasuk salah satu strategi gelar kekuatan TNI yang masih sangat relevan untuk dipertahankan saat ini. Yang sering dipermasalahkan banyak kalangan dengan Koter ini adalah penggunaan Koter untuk kepentingan politik seperti di masa Orde Baru dan takut terulang kembali, termasuk campur tangan Koter pada masalah-masalah yang sebenarnya berada di luar tanggung jawab TNI. Kalau Koter tidak lagi

Page 9: Prajurit Profesional-Patriot: Menuju TNI Profesional pada

26 4 | S Y A M S U L M A ’ A R I F

M ASYA R AK AT Jurna l Sosiolog i Vol. 19, No. 2 , Ju l i 2014:257-286

digunakan untuk melakukan tindakan di luar wewenangnya, maka sikap antipati sebagian masyarakat terhadap Koter akan dapat terkikis”.

Seorang akademisi dari Universitas Cendrawasih yang banyak me-lakukan kajian di daerah pedalaman Papua menyatakan:

“Tentara-tentara yang ditugaskan di daerah pelosok sering kali harus menggantikan aparat-aparat sipil yang semestinya ber-tugas di sana. Banyak dijumpai tentara yang menjadi tenaga pengajar di sekolah-sekolah di pedalaman Papua, karena keti-dakhadiran guru-guru yang seharusnya bertugas di sana. Di Papua kepemimpinan tentara masih sangat diperlukan, karena kepemimpinan lokal masih belum mampu menjalankan tugas-tugasnya dengan baik. Berbagai kasus korupsi dan konflik an-tar berbagai kepentingan di Papua justru menghambat pening-katan kesejahteraan masyarakat. Kepemimpinan yang tegas dan berwibawa sangat dibutuhkan di Papua, dan sepertinya peran tersebut hanya mampu dilakukan oleh tentara”.

Seorang tokoh agama di Aceh berpendapat, dalam konteks masyarakat Aceh yang masih labil keberadaan Koter merupakan kebutuhan. Menurutnya, untuk memelihara ketertiban dan keamanan masyarakat Aceh perlu ada kerja sama antara TNI dengan pemerintah daerah. Selain itu, keberadaan TNI juga membantu rekonstruksi pasca tsunami dan rekonsiliasi Aceh pasca-Kesepakatan Finlandia.

KOT E R T I DA K R E L E VA N DI M A S A R E FOR M A SI

Sementara itu, kelompok pandangan yang berbeda melihat Koter sebagai bagian dari peran dan fungsi TNI di masa lalu. Keberadaan Koter dan berbagai upaya mempertahankannya dinilai lebih sebagai strategi TNI yang tak rela meninggalkan secara total fungsi-fungsi nonpertahanan yang dipegang dan dinikmatinya selama ini.

Mereka berpandangan, Koter harus dibubarkan karena tidak lagi relevan dari sisi peran dan fungsi. Selain itu, pembubaran Koter juga dianggap menjadi salah satu tuntutan Reformasi sejak 1998. Diha-puskannya doktrin Dwifungsi pada tahun 2000 memperkuat keha-

Page 10: Prajurit Profesional-Patriot: Menuju TNI Profesional pada

P R A J U R I T P R O F E S I O N A L - P A T R I O T | 265

M ASYA R AK AT Jurna l Sosiolog i Vol. 19, No. 2 , Ju l i 2014:257-286

rusan membubarkan Koter. UU No. 34/2004 juga tidak mengatur soal Koter. Mengemukanya isu supremasi sipil, menguatnya tuntutan profesionalisme TNI, dan terus bergulirnya arus perubahan serta de-mokratisasi, menjadi alasan sosiologis tersendiri mengapa pembubaran lembaga teritorial perlu dilakukan.

Kelompok pandangan ini menganggap Koter merupakan bentuk pemborosan dalam organisasi TNI. Menurutnya, kalaupun Koter di-perlukan, keperluannya hanyalah untuk daerah-daerah tertentu yang dari sisi pertahanan bersifat strategis, benar-benar rentan konflik, dan secara objektif memang memerlukan kehadiran tentara.

Informan yang berada di Jakarta, terutama dari kalangan no-nanggota TNI, pada umumnya memiliki pandangan yang jauh lebih keras dibandingkan dengan informan yang berada di daerah-daerah. Mereka pada umumnya memandang Koter tidak lagi ideal untuk kondisi bangsa saat ini dan ke depan.

Terdapat pandangan lain yang menyebutkan, Koter memang tidak harus dibubarkan. Yang perlu dilakukan adalah refungsionalisasi, yakni mengembalikan Koter kepada fungsinya sebagai kekuatan pertahanan. Pada waktu yang sama harus dijamin TNI tidak terlibat politik praktis di daerah dan tidak pula menjalankan kegiatan bisnis dalam segala bentuknya. Jika untuk kepentingan pertahanan, tidak masalah Koter dipertahankan. Namun, kalau Koter masih berperan ganda, hal ini tentu membahayakan kelangsungan demokratisasi.

Pada masa depan Koter perlu dipikirkan untuk diganti dengan Komando Daerah Pertahanan (Kodehan) yang melibatkan semua Angkatan dan keberadaannya disesuaikan dengan kondisi daerah. Ada yang menyebutkan, menghilangkan Koter sama sekali adalah hal yang sulit dilakukan dan tidak sesederhana yang dibayangkan. Selain karena memang tidak kehilangan relevansi secara total, TNI AD juga akan berusaha mempertahankannya dengan berbagai cara. Di negara maju seperti Australia ternyata juga terdapat semacam Ko-ter yang disebut army territory yang saat ini sedang dikembangkan.

T N I DA N BISN IS: A N TA R A T U N T U TA N K E SEJA H T E R A A N DA N K E T E R BATA S A N A NG G A R A N

Berdasarkan temuan lapangan bisnis TNI dapat diklasifikasikan menjadi enam tipologi, yakni industri militer (military industry), mi-liter dalam industri (military in industry), bisnis militer (military bu-

Page 11: Prajurit Profesional-Patriot: Menuju TNI Profesional pada

266 | S Y A M S U L M A ’ A R I F

M ASYA R AK AT Jurna l Sosiolog i Vol. 19, No. 2 , Ju l i 2014:257-286

siness), yayasan nonprofit, koperasi, dan bisnis ilegal (crime business). Berbagai kalangan masyarakat dan perwira TNI menghendaki tentara lepas dari segala bentuk kegiatan bisnis. Bisnis yang dikelola TNI selama ini, terutama yang berorientasi profit, dapat dialihkan kepada pemerintah.

Tabel 3. Preferensi Masyarakat dan Anggota TNI terhadap Masa Depan Bisnis TNI Yang Berorientasi Profit (N=1072 untuk masyarakat; N=1151 untuk TNI)

Preferensi terhadap Bisnis yang Berorientasi Profit

RespondenMasyarakat(dalam %)

Anggota TNI(dalam %)

Diserahkan ke pemerintah 71 80Tetap dikelola TNI 29 16Tidak Menjawab - 4Total 100 100

Sumber: diolah dari hasil kuesioner

Tidak hanya bisnis TNI yang berorientasi profit, bisnis yang ber-orientasi nonprofit pun sesungguhnya lebih disarankan untuk dise-rahkan kepada pemerintah. Menariknya, justru dari kalangan perwira TNI-lah yang lebih menghendaki hal ini dilakukan.

Tabel 4. Preferensi Masyarakat dan Anggota TNI terhadap Masa Depan Yayasan TNI yang Nonprofit (N=1072 untuk masyarakat; N=1151 untuk TNI)

Preferensi terhadap Yayasan Nonprofit

RespondenMasyarakat(dalam %)

Anggota TNI(dalam %)

Diserahkan ke pemerintah 66 79Tetap dikelola TNI 34 17Tidak Menjawab - 4Total 100 100

Sumber: diolah dari hasil kuesioner

Hasil wawancara mendalam dan FGD menunjukkan, hampir seluruh informan dan peserta (sipil maupun perwira TNI), menghendaki TNI sama sekali lepas dari kegiatan bisnis. Selama ini bisnis dipandang tidak hanya menghalangi profesionalisme TNI, tetapi pada kenyataannya juga tidak mampu secara signifikan menyejahterakan seluruh prajurit karena hanya dikuasai oleh sekelompok orang saja. Kendati demikian, di antara informan dan peserta ada juga yang menghendaki koperasi dan yayasan nonprofit

Page 12: Prajurit Profesional-Patriot: Menuju TNI Profesional pada

P R A J U R I T P R O F E S I O N A L - P A T R I O T | 267

M ASYA R AK AT Jurna l Sosiolog i Vol. 19, No. 2 , Ju l i 2014:257-286

dipertahankan karena sangat membantu prajurit yang berpangkat rendah seperti Tamtama dan Bintara.

R E L A SI T N I DE NG A N DE PA RT E M E N PE RTA H A NA N

Pandangan yang menghendaki TNI berada di bawah Dephan, baik dari kalangan sipil maupun perwira, dapat dikatakan seimbang dengan mereka yang menghendaki TNI berada secara langsung di bawah Presiden, seperti ditunjukkan pada grafik berikut.

Grafik 1. Preferensi Masyarakat Terhadap Relasi TNI Dan Dephan di Masa Depan Berdasarkan Latar Belakang Daerah (N=1072)

Hubungan TNI dan Dephan berdasarkan Kota

0102030405060

Aceh

Medan

Palemba

ng

Jaka

rta

Bandu

ng

Jogja

karta

Suraba

ya

Makas

ar

Kupan

g

Ambon

Jaya

pura

Pontia

nak

TNI di bawah Dephan TNI sejajar dg Dephan TNI di bawah lgsng presiden

Hasil wawancara mendalam dan FGD menunjukkan, terdapat kelompok pandangan yang menghendaki TNI berada secara langsung di bawah Presiden, bukan di bawah Dephan. Kepala Staf TNI AU Marsekal Herman Prayitno berpendapat, UU No. 34/2004 mengisyaratkan TNI berada di bawah Presiden. Adapun untuk urusan kebijakan, strategi, dan dukungan administrasi TNI berada di bawah koordinasi Dephan. Baginya, hal itu sudah terdapat dalam UU No. 34/2004.

Beberapa informan menyebutkan bahwa di negara-negara demokratis, supremasi sipil ditunjukkan dengan keberadaan markas besar militer di bawah Dephan. Dalam banyak kasus, Panglima atau Kepala Staf Angkatan Bersenjata merupakan bagian integral dari Dephan. Namun, dalam konstelasi Indonesia, sistem konstitusi memberi peluang bagi Panglima TNI untuk berada secara langsung di bawah Presiden. Acuannya adalah UUD 1945 dan UU TNI.

Page 13: Prajurit Profesional-Patriot: Menuju TNI Profesional pada

268 | S Y A M S U L M A ’ A R I F

M ASYA R AK AT Jurna l Sosiolog i Vol. 19, No. 2 , Ju l i 2014:257-286

Ada pula pendapat yang menghendaki TNI berada di bawah Dephan. Hal ini dipandang sebagai salah satu wujud pengakuan TNI terhadap supremasi sipil, sekaligus dipandang sebagai upaya antisipasi berbagai kemungkinan terburuk yang bisa saja dilakukan TNI sebagai kekuatan bersenjata. Dengan berada di bawah Dephan, format hubungan antara TNI dengan Presiden dan Dephan justru menjadi jelas. Kebijakan pertahanan, yang bersifat politis karena terkait visi-misi Presiden, merupakan tugas Dephan. Adapun urusan teknis kemiliteran dalam menopang pertahanan menjadi otoritas TNI. Posisi demikian dipandang lebih dapat menjamin profesionalisme TNI karena lebih fokus pada bidang tugas dan fungsinya di tataran teknis.

Seorang purnawirawan perwira tinggi TNI AD berpandangan, sebagai panglima tertinggi Presiden sebaiknya mendelegasikan keku-asaannya kepada pejabat yang secara konkret mengendalikan militer. Namun, persoalannya apakah kekuasaan tersebut mesti didelegasikan kepada Menteri Pertahanan (Menhan) atau Panglima TNI. Menu-rutnya, jika kita menginginkan agar semua organisasi negara berada di bawah kekuasaan politik, maka lebih baik TNI berada di bawah Menhan karena Menhan merupakan pejabat politik yang dapat diberi kewenangan oleh Presiden untuk mengatur hal itu.

Menurut kelompok pandangan kedua ini, kata kunci dalam demo-krasi adalah militer harus berada di bawah kendali sipil. Kontrol sipil terhadap militer, secara formal dapat melalui Dephan atau melalui lembaga tertentu yang dibentuk oleh pemerintah. Akan tetapi, mereka juga menyatakan bahwa menempatkan TNI di bawah Dephan bu-kanlah sebuah keputusan tanpa risiko. Risikonya, ketika Menhan ber-asal dari partai politik dan tidak memahami masalah-masalah militer, maka akan mengundang masalah tertentu yang justru mengganggu profesionalisme TNI, sehingga hakikat supremasi sipil pun ternoda.

Ada pula kelompok pandangan yang berpendapat, tidak terlalu penting di mana posisi TNI secara struktural, apakah sejajar dengan atau di bawah Dephan. Persoalannya terletak pada bagaimana TNI secara konsisten diberi akses luas dalam menjalankan fungsi kemiliterannya dengan baik sesuai koridor pembangunan TNI menuju profesionalisme.

Menurut pandangan ini, posisi TNI (apakah berada langsung di bawah Presiden atau di bawah Dephan) tidaklah begitu penting bagi pembentukan profesionalisme TNI di masa depan—tidak ada

Page 14: Prajurit Profesional-Patriot: Menuju TNI Profesional pada

P R A J U R I T P R O F E S I O N A L - P A T R I O T | 269

M ASYA R AK AT Jurna l Sosiolog i Vol. 19, No. 2 , Ju l i 2014:257-286

jaminan dan kepastian untuk hal tersebut. Kelompok pandangan ini lebih menekankan pada pemberian dukungan dan kesempatan kepada TNI untuk membenahi internal organisasinya, sekaligus menjalankan fungsinya dengan baik. Hal ini mesti didukung dengan kesejahteraan yang memadai dan peralatan kemiliteran yang lengkap.

Bagi Panglima TNI Marsekal TNI Djoko Suyanto, TNI dalam posisinya sekarang ini sudah berada di bawah supremasi sipil. Semua kebutuhan TNI saat ini sepenuhnya diatur dan dikendalikan oleh Dephan. Masalah anggaran, misalnya, tidak lagi harus diajukan dan diperjuangkan sendiri oleh TNI di DPR, melainkan oleh Dephan. Demikian pula dalam hal pengadaan peralatan militer, saat ini sudah mulai ditangani Dephan, sementara TNI cukup mengajukan peralat-an militer apa saja yang dibutuhkan.

Berbagai pandangan yang dikemukakan sebelumnya, baik me-nyangkut eksistensi lembaga teritorial, bisnis TNI, maupun hubung-an TNI–Dephan, dapat diklasifikasikan menjadi tiga kategori utama yakni (1) pandangan konservatif, yang cenderung mempertahankan pola-pola lama yang sudah mapan serta apa yang saat ini berlangsung sehingga kurang menghendaki terjadinya perubahan signifikan dalam tubuh TNI; (2) pandangan progresif, menghendaki dilakukannya per-ubahan mendasar serta perombakan total terhadap eksistensi Koter, bisnis TNI, dan hubungan struktural TNI–Dephan; (3) pandangan moderat, yang berpendirian bahwa memang harus ada reformasi sig-nifikan di tubuh TNI sebagai bagian dari upaya menjadikan TNI komunitas militer yang profesional, tetapi reformasi tersebut harus dilakukan secara bertahap agar tidak menimbulkan guncangan yang justru berekses buruk dan memunculkan masalah-masalah baru yang mungkin malah lebih rumit.

T N I: M I L I T E R PROFE SIONA L PAT R IOT DA N KON T ROL SI PI L OBJEK T I F

Sebagai fenomena sosiologis, TNI merupakan bagian yang tak terpisahkan dari realitas kehidupan masyarakat dan bangsa. Sebagai kekuatan utama pertahanan nasional, TNI yang sedang berada di tengah-tengah pusaran perubahan, dihadapkan pada tantangan untuk menemukan identitas dirinya sebagai tentara profesional.

Kuat sekali keinginan masyarakat untuk menata TNI agar (i) me-lepaskan peran-peran nonpertahanan dan merefungsionalisasi struktur

Page 15: Prajurit Profesional-Patriot: Menuju TNI Profesional pada

270 | S Y A M S U L M A ’ A R I F

M ASYA R AK AT Jurna l Sosiolog i Vol. 19, No. 2 , Ju l i 2014:257-286

teritorialnya; (ii) mencabut haknya berbisnis dan melarang keterli-batannya dalam politik praktis; (iii) mendorongnya mengakui dan tunduk pada supremasi sipil, sebagai upaya rasional-konstitusional me-nempatkan TNI pada posisi sosial yang tepat. Upaya-upaya itu perlu dilakukan sebagai konsekuensi logis dari konsensus bangsa yang telah memilih jalan demokrasi dalam membangun kehidupan masyarakat. Itu pula bagian dari pesan penting ketika Indonesia memasuki era Reformasi pada tahun 1998. Dengan mendudukkan TNI pada posisi sosial yang tepat, disertai dengan tata aturan dan pola permainan yang jelas, sekaligus memberi pesan kepada seluruh bangsa bahwa TNI siap berperan mendorong terwujudnya masyarakat demokratis dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.

Dalam konteks dan kedudukan sosial semacam itu, TNI dibawa ke sebuah kondisi sosial di mana kontrol sipil objektif (objective civi-lian control) berlaku dalam bingkai besar sistem demokrasi. Dengan kontrol sipil objektif, TNI menjadi institusi yang memiliki wilayah kewenangan khusus dalam masyarakat demokratis. Di dalamnya TNI memiliki otoritas untuk urusan manajemen kekerasan (management of violence).

Kondisi kontrol sipil objektif dapat tercipta dengan baik dan nor-mal seiring menguatnya supremasi sipil yang tunduk pada prinsip-prinsip demokrasi. Hal ini menjadi tonggak penentu dalam mem-bangun profesionalisme tentara. Dengan demikian, ada sinergisitas antara penciptaan tentara profesional dengan kehadiran kontrol sipil objektif yang ditopang oleh supremasi sipil yang kuat dan berwibawa. Kontrol sipil objektif yang bersinggungan dengan upaya menciptakan profesionalisme militer merupakan kecenderungan kuat yang diperli-hatkan dalam kasus TNI.

Supremasi sipil secara substansial—dan bukan secara sempit, yang sekadar menempatkan TNI di bawah Dephan—terletak pada kemam-puan sipil untuk mendudukkan militer secara proporsional sesuai tu-gas dan fungsinya. Dengan demikian, militer pun akan memberikan ketundukan dan penghormatan terhadap kepemimpinan sipil yang terpilih secara demokratis. Supremasi sipil menuntut militer tidak me-lakukan intervensi terhadap urusan sipil; dan sebaliknya, sipil pun tidak mencampuri urusan-urusan internal militer, memasuki wilayah otoritas militer, atau berusaha menarik-narik TNI dalam urusan-urus-an sipil yang berkaitan dengan masalah politik praktis.

Page 16: Prajurit Profesional-Patriot: Menuju TNI Profesional pada

P R A J U R I T P R O F E S I O N A L - P A T R I O T | 271

M ASYA R AK AT Jurna l Sosiolog i Vol. 19, No. 2 , Ju l i 2014:257-286

Berdasarkan kerangka yang ditawarkan Huntington, Alagappa (2001:7) membuat kategorisasi yang menghubungkan kontrol sipil dengan profesionalisme militer. Hal ini seperti tampak pada tabel berikut.

Tabel 5. Menghubungkan Kontrol Sipil Dengan Profesionalisme Militer

Karakteristik Profesional

Kontrol Sipil Objektif Kontrol Sipil Subjektif

Keahlian Keterampilan manajemen kekerasaan yang sangat khusus; peran militer berbeda secara tajam dengan peran-peran sosial dan politik lain

Peran militer tidak berbeda secara tajam dari kelompok-kelompok lain; peran militer dan politik tak begitu terbedakan

Tanggung jawab sosial

Klien dari militer adalah negara dan masyarakat, tanggung jawabnya adalah untuk membela mereka dari serangan eksternal; merupakan alat bagi kebijakan negara

Kesetiaan militer ditujukan kepada suatu bentuk pemerintahan, kelas sosial, atau kelompok etnis tertentu; tanggung jawabnya adalah membela posisi yang memiliki privilese dan hak-hak dari pemerintahan atau kelompok tersebut dalam menghadapi kelompok lain di dalam masyarakat; sebagai partisipan dan alat dalam perebutan kekuasaan di antara kelompok-kelompok sipil, militer memiliki fokus internal

Kesadaran kelompok

Terdapat garis yang tegas antara militer dan masyarakat; secara politis dan sosial terpisah dari masyarakat, militer merupakan sebuah kelompok tersendiri yang memiliki sistem nilai dan organisasinya sendiri

Tak ada pembagian yang jelas antara militer dan masyarakat; militer bukanlah kelompok tersendiri yang terpisah dari masyarakat; ia mencerminkan nilai-nilai dan pemilahan dominan dalam masyarakat

Sumber: Muthiah Alagappa. 2001. Military Professionalism: A Conceptual Perspective. “Military Professionalism in Asia”, disunting oleh Muthiah Alagappa.

Honolulu, Hawaii: East-West Center, hal. 7.

Kerangka analisis yang disodorkan Alagappa tampaknya lebih menempatkan militer sebagai subjek, sehingga militerlah yang lebih mengambil inisiatif. Akan tetapi, argumentasi dalam tulisan ini lebih cenderung memandang sipillah yang menjadi subjek, sehingga kontrol sipil terhadap militer lebih banyak bergantung pada sipil itu

Page 17: Prajurit Profesional-Patriot: Menuju TNI Profesional pada

272 | S Y A M S U L M A ’ A R I F

M ASYA R AK AT Jurna l Sosiolog i Vol. 19, No. 2 , Ju l i 2014:257-286

sendiri. Dengan demikian, sipil hadir sebagai variabel independen di dalamnya.

Dalam kasus TNI, terdapat kecenderungan kuat TNI untuk bergerak dan berproses secara konsisten, melepaskan diri dari sisa-sisa kebiasaan masa lalu dan secara bertahap menuju tentara profesional. Seperti dikatakan Huntington, upaya menjadi militer profesional harus dimulai dari militer sendiri. Dalam Indonesia hal tersebut sudah dan sedang terjadi. Sipil kemudian memberikan dukungan kuat, ditandai dengan lahirnya UU No. 34/2004 yang secara tegas mengarahkan TNI menuju tentara profesional. Tetapi, hal ini akan dapat berlangsung dengan baik jika sipil mampu memelihara konsistensi kontrol sipil objektif, dan tidak lagi tergoda memainkan pola-pola kontrol subjektif yang memandang TNI sebagai kekuatan menggiurkan yang dapat dimanfaatkan untuk kepentingan pragmatis.

Mengacu pada pandangan Huntington mengenai kriteria dasar militer profesional, sesungguhnya sampai tingkat tertentu TNI sudah menginjak titik profesional. Tetapi jika mengacu pada kriteria yang lebih luas, seperti bebas dari kegiatan bisnis, tunduk pada supremasi sipil, memiliki tabiat militer (military mind) yang tegas, kesejahtera-an terjamin, sesungguhnya TNI saat ini belum memenuhi kriteria lengkap sebagai tentara profesional, meskipun hasil penelitian me-nunjukkan TNI sedang berusaha mengarah ke sana. Demikian pula, jika mengacu pada persyaratan yang ditentukan UU No. 34/2004, TNI bersama masyarakat dan Pemerintah masih harus bekerja keras membangun dan mewujudkan militer profesional.

Setelah terbitnya UU TNI, TNI memiliki kecenderungan kuat untuk bergerak dari profesionalisme baru apa Stepan (new professio-nalism) menuju profesionalisme lama ala Huntington (old professiona-lism), sebagaimana dapat ditunjukkan pada grafik 02. Tetapi harus dipahami, pola gerak TNI dari profesionalisme baru menuju profe-sionalisme lama tidaklah persis seperti yang tergambar dalam teori Stepan dan Huntington. Maksudnya, predikat profesional (dalam pengertian profesionalisme lama Huntington) tidaklah menafikan aspek-aspek tertentu dari profesionalisme baru (ala Stepan) yang ma-sih melekat pada TNI.

Aspek-aspek profesionalisme baru pada TNI justru muncul dari UU No. 34/2004. Setidaknya, ada tiga titik penting dalam UU itu yang memberikan warna profesionalisme baru pada TNI, yakni (i) memberi dan tetap mempertahankan jati diri TNI sebagai Tentara

Page 18: Prajurit Profesional-Patriot: Menuju TNI Profesional pada

P R A J U R I T P R O F E S I O N A L - P A T R I O T | 273

M ASYA R AK AT Jurna l Sosiolog i Vol. 19, No. 2 , Ju l i 2014:257-286

Rakyat, Tentara Pejuang, dan Tentara Nasional (pasal 2); (ii) mele-takkan fungsi penangkal dan penindak terhadap ancaman bersenjata dari dalam negeri kepada TNI (pasal 6); (iii) mendefinisikan salah satu tugas pokok TNI, berupa operasi militer selain perang (pasal 7), seperti mengatasi gerakan separatisme bersenjata, pemberontakan ber-senjata, dan terorisme, serta membantu tugas pemerintahan di daerah.

Grafik 2. Alur Gerak TNI dari Kontrol Sipil Subjektif ke Objektif

New Professionalism Old Professionalism

Objective Civilian Control

Subjective Civilian Control

MiliterPraetorian

MiliterRevolusioner

Militer Pro-fesional Patriot

Dengan demikian, di era Reformasi saat ini wujud profesionalisme TNI di bawah UU No. 34/2004 sesungguhnya merupakan perpadu-an antara profesionalisme baru dengan profesionalisme lama. Profe-sionalisme TNI yang demikianlah yang dalam penelitian ini disebut militer profesional patriot (the patriot professional military). Militer pro-fesional patriot adalah tentara yang selain memiliki prinsip-prinsip profesionalisme sebagai militer, konsisten berada dalam kontrol sipil objektif, dan tunduk pada supremasi sipil, juga tulus mengabdikan dirinya untuk membela kedaulatan, ideologi, dan keutuhan wilayah NKRI. Lebih jauh dapat dikatakan, militer profesional patriot adalah militer yang selalu berkomitmen dan berusaha membela kepentingan yang lebih fundamental, bersifat strategis, dan mengayomi kebaikan bersama bangsa, negara, dan masyarakat. Dengan kata lain, TNI bukan tentara yang sektarian, yang memelihara aliran primordial dan mendasarkan diri pada agama atau isme-isme tertentu yang membuat

Page 19: Prajurit Profesional-Patriot: Menuju TNI Profesional pada

274 | S Y A M S U L M A ’ A R I F

M ASYA R AK AT Jurna l Sosiolog i Vol. 19, No. 2 , Ju l i 2014:257-286

TNI menjauh dari poros pluralitas bangsa. Istilah patriot sendiri ber-asal dari bahasa Latin, patria (tanah air), yang lekat dengan prinsip moral dan perasaan sosial yang berisikan cinta tanah air, kebaktian kepada tanah air, kebanggaan akan masa lalu dan masa sekarang, dan kesiap-sediaan membela kepentingan-kepentingannya (Lorens Bagus 1996:793).

Semangat dan komitmen TNI membela kedaulatan dan ideologi negara serta kepentingan yang lebih mendasar didorong antara lain oleh pesan yang diwariskan Panglima Besar Jenderal Soedirman:

“TNI adalah soko guru dari negaranya. Ia tegak dengan negaranya, dan ia hancur dengan negaranya pula. Suatu tentara yang memiliki kepercayaan diri sendiri yang kokoh, yang tidak tergoyahkan, yang sanggup untuk menjamin keamanan dan keselamatan negara dan bangsanya. ... Perjuangan yang menuntut keadilan dan kesucian” (Jenderal TNI Joko Santoso 2006:102).

Tentara patriot adalah pula tentara yang selalu berusaha berpe-gang pada etika militer Indonesia, yakni Sapta Marga dan Delapan Wajib TNI. Sapta Marga merupakan pedoman moral yang harus diwujudkan dalam tingkah laku dan tindakan setiap anggota TNI. Adapun Delapan Wajib TNI merupakan bagian dari etika (code of conduct) TNI yang mengikat sikap dan tindakan anggotanya terutama dalam interaksi dengan masyarakat luas nonanggota TNI (Ma’arif et al. 2004:27-29).

Selain Sapta Marga dan Delapan Wajib TNI, dikenal pula Budhi-Bhakti-Wira-Utama, yang juga bagian dari etika militer Indonesia. Jika Sapta Marga dan Delapan Wajib TNI berlaku untuk seluruh anggota TNI, maka Budhi-Bhakti-Wira-Utama lebih ditujukan bagi kalangan perwira. Karena itu, UU No. 34/2004 memilah etika TNI menjadi Kode Etik Prajurit (Sapta Marga dan Delapan Wajib TNI) dan Kode Etik Perwira (Budhi-Bhakti-Wira-Utama). Berdasarkan etika di atas, dalam kerangka kriteria militer profesional Huntington, maka client TNI sebagai militer profesional patriot adalah negara, bangsa, dan masyarakat, yang secara eksplisit dinyatakan dalam Sapta Marga dan Delapan Wajib TNI. Begitu pula dalam partisipasinya menjaga eksistensi NKRI dan Pancasila, tentara profesional patriot

Page 20: Prajurit Profesional-Patriot: Menuju TNI Profesional pada

P R A J U R I T P R O F E S I O N A L - P A T R I O T | 275

M ASYA R AK AT Jurna l Sosiolog i Vol. 19, No. 2 , Ju l i 2014:257-286

akan tampil ke depan sebagai Bayangkari Negara sebagaimana terlihat pada tabel 02 berikut.

Tabel 6. Tipe-Tipe dan Orientasi Militer

Ciri-ciri Tipe dan OrientasiProfesional Praetorian Revolusioner Patriot

Keahlian Pengetahuan khusus yang didasarkan pada standar objektif dari kompetisi profesional yang tinggi

Pengetahuan profesional tidak diperhatikan dengan ketat sekali

Pengetahuan profesional diarahkan kepada nilai-nilai sosial politik

Sesuai prinsip-prinsip profesionalisme militer (old dan new professionalism)

Klien Negara Salah satu dari:- bangsa- kelompok suku- suku/puak- militer- negara

Gerakan partai NegaraBangsaMasyarakat

Sifat lembaga(tipe kekuasaan)

Hierarki, kohesif,organik, kolektif, subordinasi, otomatik/manipulatif, sempit

Hierarki, tidak kohesif, kolektif, mengubah-ubah kepatuhan, sempit

Sebelum dan selama revolusi: egalitarian, sangat mobil, kader, manipulatif, luas

Hierarki, solid, organik, kolektif

Penerimaan Terbatas, hanya universal pada masa perang

Terbatas Universal Pada masa perang dan damai

Ideologi Konservatif Tradisional materialis, anti-sosialis, praetorian

Revolusioner, gerakan partai

Konservatif (Nasionalis/Pancasilais)

Kecenderungan untuk campur tangan

Rendah Permanen/ berkelanjutan

Tinggi sebelum dan selama revolusi; rendah sesudah revolusi

Relatif rendahTinggi bila menyangkut eksistensi Pancasila dan NKRI

Sumber: diadopsi dan diolah dari Perlmutter (1984:24)

Dengan demikian, tentara profesional patriot merupakan salah satu varian tipe militer yang menjadi arah perjalanan TNI saat ini menuju profesionalisme militer di era Reformasi.

Page 21: Prajurit Profesional-Patriot: Menuju TNI Profesional pada

276 | S Y A M S U L M A ’ A R I F

M ASYA R AK AT Jurna l Sosiolog i Vol. 19, No. 2 , Ju l i 2014:257-286

SK E NA R IO DA N PR A S YA R AT M E N U J U T N I PROFE SIONA L

Berdasarkan hasil penelitian dan analisis berbasis skenario, ter-dapat beberapa skenario yang dapat dilakukan untuk membangun dan mendorong TNI menuju profesionalisme militer di dalam ling-kup supremasi sipil dan di dalam lingkaran masyarakat demokratis. Skenario tersebut didasarkan pada pandangan-pandangan masyarakat sipil dan TNI mengenai eksistensi lembaga teritorial, bisnis TNI, dan hubungan TNI–Dephan. Ikhtisar mengenai beberapa skenario tersebut adalah sebagai berikut:

Tabel 7. Skenario untuk Eksistensi Lembaga Teritorial

SkenarioI II III IV

membubarkan Koter, memperkuat pasukan tempur

mempertahankan Koter apa adanya

refungsionalisasi Koter

mengubah Koter menjadi Kowilhan

Tabel 8. Skenario untuk Bisnis TNI

SkenarioI II III

mengalihkan sebagian bisnis TNI ke pemerintah

mengalihkan bisnis TNI secara total kepada pemerintah

mengalihkan bisnis TNI ke pemerintah dengan kompensasi

Tabel 9. Skenario untuk Hubungan TNI–Dephan

SkenarioI II III

TNI berada langsung di bawah Presiden

TNI di bawah Dephan, model Inggris

TNI di bawah Dephan, model Amerika Serikat

Dari berbagai skenario di atas, skenario yang penulis pilih sebagai skenario terbaik adalah refungsionalisasi lembaga Koter, mengalihkan bisnis TNI kepada Pemerintah disertai kompensasi yang jelas, dan menempatkan TNI di dalam Dephan dengan tipe koordinatif. Lem-baga Koter tetap dipertahankan karena masih cukup relevan, tetapi harus dilakukan perubahan signifikan dan refungsionalisasi dengan fokus pada urusan pertahanan. Selain itu, harus ada jaminan bahwa TNI tidak terlibat politik praktis dan kegiatan bisnis dalam segala bentuknya. Bagi TNI, skenario ini memberikan kepastian eksistensi

Page 22: Prajurit Profesional-Patriot: Menuju TNI Profesional pada

P R A J U R I T P R O F E S I O N A L - P A T R I O T | 277

M ASYA R AK AT Jurna l Sosiolog i Vol. 19, No. 2 , Ju l i 2014:257-286

organisasi. Adapun bagi masyarakat, skenario ini akan dipandang sebagai wujud reformasi lembaga teritorial sehingga keberadaannya memberikan ketenangan tersendiri.

Bisnis TNI haruslah diambil alih oleh pemerintah, baik selu-ruhnya maupun sebagian (dengan menyisakan koperasi dan yayasan nonprofit). Akan tetapi, pengambilalihan tersebut harus disertai de-ngan komitmen kompensasi bagi kepentingan kesejahteraan prajurit. Skenario ini akan menciptakan iklim ekonomi dan bisnis yang fair dalam masyarakat, juga berpengaruh kuat bagi pembangunan pro-fesionalisme TNI karena TNI tak lagi direpotkan dengan masalah bisnis militer yang kontroversial.

Terkait dengan hubungan TNI–Dephan, TNI perlu ditempatkan di dalam Dephan dengan tipe hubungan koordinatif. Dalam hal ini, harus ada koordinasi yang baik dan pembagian kerja yang jelas di antara TNI dan Dephan. Skenario ini akan memberikan dampak positif bagi menguatnya supremasi sipil, di mana sipil harus berusaha meningkatkan kemampuan dan pemahamannya tentang militer se-hingga dapat tercapai pola hubungan koordinatif yang simetris. De-ngan skenario ini, masyarakat pun akan memandang kesungguhan dan ketulusan TNI untuk tunduk pada supremasi sipil sesuai prinsip-prinsip demokrasi.

Adapun kekuatan yang mendorong upaya menuju militer profesio-nal tergambarkan dalam prasyarat-prasyarat di bidang ekonomi, sosial, politik, teknologi, dan kurikulum pendidikan militer, sebagai berikut:

• Prasyarat EkonomiSalah satu kriteria tentara profesional yang disyaratkan oleh UU TNI adalah tentara harus terjamin kesejahteraannya. Pihak yang menjamin kesejahteraan TNI adalah negara, bukan TNI sendiri dengan berbisnis atau cara-cara lainnya.

• Prasyarat SosialPrasyarat ini terkait persoalan kultur dan kemampuan sumber daya prajurit TNI. Dalam konteks outward looking, prajurit TNI dituntut melakukan penyesuaian mendasar untuk me-nempatkan diri sesuai arus perubahan dan tuntutan demokra-si. Pada waktu yang sama, TNI harus meningkatkan kualitas sumber daya prajuritnya sesuai tuntutan perang modern dan wujud musuh yang dihadapi.

• Prasyarat Politik

Page 23: Prajurit Profesional-Patriot: Menuju TNI Profesional pada

278 | S Y A M S U L M A ’ A R I F

M ASYA R AK AT Jurna l Sosiolog i Vol. 19, No. 2 , Ju l i 2014:257-286

Prasyarat ini terkait kehendak politik negara dalam memandang, memperlakukan, dan memosisikan TNI. Ketegasan negara (pemerintah sipil) dalam mendorong TNI menjadi militer profesional ditandai dengan kesungguhan para elite pemerintahan dan politisi memperlakukan TNI dalam kerangka kontrol sipil objektif.

• Prasyarat Teknologi TNI harus terbuka terhadap kemajuan teknologi, baik tekno-logi informasi maupun teknologi perang. Penguasaan teknolo-gi mutakhir merupakan sebuah keharusan demi terwujudnya tentara profesional.

• Kurikulum Pendidikan MiliterMembangun tentara profesional dengan kualitas sumber daya prajurit yang tangguh selayaknya dimulai dari lembaga pendi-dikan militer yang memiliki kurikulum relevan. Kualitas dan sistem pendidikan yang diberikan kepada para calon perwira diyakini berbagai kalangan akan sangat menentukan sosok, kualitas, dan sikap prajurit TNI kelak. Munculnya perwira-perwira scholar officers berwawasan luas merupakan kebutuhan fundamental dalam menjawab tantangan zaman yang semakin maju.

K E SI M PU L A N

Kriteria dasar militer profesional yang diperkenalkan Huntington, masih sangat relevan untuk menggambarkan kasus TNI yang saat ini sedang berproses menuju militer profesional. Begitu pula tesisnya tentang etika militer, ternyata bersinggungan positif dengan Kode Etik Prajurit dan Kode Etik Perwira milik TNI. Huntington me-ngontraskan antara etika militer dengan beberapa ideologi seperti Li-beralisme, Fasisme, Marxisme, dan Konservativisme. Dari keempat ideologi tersebut, Konservativisme memiliki kemiripan dan kesesuaian dengan etika TNI. Namun demikian, tawaran ini tidak cukup me-madai untuk menjelaskan secara komprehensif dan total sosok TNI sebagai militer profesional patriot. Selain itu, TNI di era Reformasi juga tidak bisa lagi digambarkan dengan teori militer praetorian yang diawali Weber dan disambut juga oleh Huntington, karena TNI ti-dak lagi berperan dan terlibat dalam kehidupan sosial, politik, dan bisnis seperti di masa Orde Baru. Sejak Reformasi TNI relatif cepat

Page 24: Prajurit Profesional-Patriot: Menuju TNI Profesional pada

P R A J U R I T P R O F E S I O N A L - P A T R I O T | 279

M ASYA R AK AT Jurna l Sosiolog i Vol. 19, No. 2 , Ju l i 2014:257-286

meninggalkan identitasnya sebagai militer praetorian menuju militer profesional.

Tesis Huntington tentang kontrol sipil, baik objektif maupun sub-jektif, juga sangat berguna dalam memotret perjalanan transisional TNI dari tentara praetorian menuju tentara profesional. Tesis kontrol sipil yang diajukan Huntington ditujukan terutama untuk kondisi di mana militer menghadapi ancaman luar. Tesis ini akan menjadi lebih relevan dan memadai untuk memotret fenomena TNI jika dipadukan dengan tesis kontrol sipil dari Stepan, yang terutama ditujukan untuk melihat peran militer di ranah domestik dengan memasuki bidang nonpertahanan.

Menimbang potensi dan keterbatasan teoretis di atas, untuk me-mahami fenomena TNI di era Reformasi saat ini dan mungkin juga ke depan, nampaknya dibutuhkan sebuah perspektif baru yang lebih komprehensif. Perspektif baru yang tidak saja mengacu pada teori-teori sosial Barat, melainkan juga berbasis pada kenyataan empiris da-lam konteks Indonesia. Tesis militer profesional patriot, dengan segala kekurangan dan kelebihannya, merupakan salah satu perspektif baru yang ditawarkan dalam tulisan ini. Militer profesional patriot meru-pakan militer yang selain hadir dengan karakteristik profesional (the old professionalism), juga memiliki komitmen kuat untuk mengambil peran secara tulus dalam tugas-tugas nonpertahanan demi kemanu-siaan, solidaritas sosial, kebaikan bersama, kepentingan nasional, dan kehormatan bangsa (the new professionalism) berdasarkan keputusan pemerintah sipil.

DA F TA R PUS TA K A

Agger, B. 2003. Teori Sosial Kritis: Kritik, Penerapan dan Implikasinya. Yogyakarta: Kreasi Wacana.

Alagappa, M. 2001a. “Investigating and Explaning Change: An Anal-ytical Framework.” Coercion and Governance: The Declining Politi-cal Role of the Military in Asia, disunting oleh Muthiah Alagappa. Stanford, California: Standford University Press.

------. 2001b. “Asian Civil-Miliatry Relations: Key Development, Explanations, and Trajectories.” Coercion and Governance: The Dec-lining Political Role of the Military in Asia, disunting oleh Muthiah Alagappa. Stanford, California: Standford University Press.

Page 25: Prajurit Profesional-Patriot: Menuju TNI Profesional pada

280 | S Y A M S U L M A ’ A R I F

M ASYA R AK AT Jurna l Sosiolog i Vol. 19, No. 2 , Ju l i 2014:257-286

------. 2001c. “Military Professionalism: A Conceptual Perspective.” Military Professionalism in Asia: Conceptual and Empirical Perspective, disunting oleh Muthiah Alagappa. Honolulu, Hawaii: East-West Center.

Anderson, B. R. O’G. 1990. Language and Power: Exploring Political Culture in Indonesia. Ithaca, New York: Cornell University Press.

Anwar, D. F. 2001. “Insurgencies and Communal Conf licts: Governance and Security Indonesia’s Plural Societies.” Non-Traditional Security Issues in Southeast Asia, disunting oleh Andrew T. H. Tan dan J. D. Kenneth Boutin. Singapore: Institute of Defence and Strategic Studies.

Aquero, F. 1995. Soldiers, Civilians and Democracy: Post-Franco Spain in Comparative. Baltimore: The John Hopkins University.

Aribowo. 2003. “Koter dan Kepentingan TNI (AD) di Daerah.” Wa-cana Pembubaran Koter, disunting oleh Muhammad Asfar. Sura-baya: PuSDeHAM.

Asfar, M., ed. 2003. Wacana Pembubaran Koter. Surabaya: PuSDe-HAM

------. 2002. Restrukturisasi Koter, Peran TNI Pasca Rejim Soeharto. Surabaya: PuSDeHAM.

Bagus, Lorens. 1996. Kamus Filsafat. Jakarta: Gramedia Pustaka Uta-ma.

Baudrillard, J. P. 2004. Masyarakat Konsumsi. Yogyakarta: Kreasi Wacana.

Bauman, Z. 1990. Thinking Sociologically. Oxfrord UK: Blackwell.Beling dan Totten. 1985. Modernisasi: Masalah Model Pembangunan.

Jakarta: Rajawali Pers.Berger, P. L. dan Thomas L. 1966. The Social Construction of Reality:

A Treatise in the Sociology of Knowledge. New York: Anchor Books.Borgotta, E. F. dan M. L. Borgotta, ed. 1992. Encyclopedia of Socio-

logy. New York: Macmillan Library Reference.Branford, J. F. 2004. “The Indonesian Military as a Professional Or-

ganization: Criteria and Ramifications for Reform.” Southeast Asian Studies 5(2).

Briton, P. 1996. Profesionalisme dan Ideologi Militer Indonesia. Jakarta: LP3ES.

Calhoun, C. 1998. Critical Social Theory. Massachussetts: Blackwell Publishers Inc.

Page 26: Prajurit Profesional-Patriot: Menuju TNI Profesional pada

P R A J U R I T P R O F E S I O N A L - P A T R I O T | 281

M ASYA R AK AT Jurna l Sosiolog i Vol. 19, No. 2 , Ju l i 2014:257-286

Crouch, H. 1974. The Indonesian Army and Politics. Ithaca: Cornell University Press.

Crouch, H., ed. 1985. Militer – Civilians Relations in South East Asia. Singapore: Oxford University.

Dahl, R. 1971. Polyarchy: Participation and Opposition. New Haven: Yale University Press.

Desch, M. 2000. “Ancaman Lingkungan dan Misi Militer.” Hubungan Sipil-Militer dan Konsolidasi Demokrasi, disunting oleh Larry Diamond dan Mac F. Plattner. Jakarta: Rajawali Pers.

Djiwandono, J. S. 1998. “Civil-Military Relations in Indonesia: The Case of ABRI’s Dual Function.” Civil-Military Relations: Building Democracy and Regional Security in Latin America, Southern Asia, and Central Europe, disunting oleh David R. Mares. Colorado: Wesview Press.

Doktrin Pertahanan Keamanan Negara. 1991. Jakarta: Dephankam.Fay, B. 2002. Filsafat Ilmu Sosial Kontemporer. Yogyakarta: Jendela.Fukuyama, F. 1992. The End of History and the Last Man Standing.

New York: Penguin Books.------. 2005. Memperkuat Negara: Tata Pemerintahan dan Tata Du-

nia Abad 21. Jakarta: Freedom Institute dan Gramedia Pustaka Utama.

Gintings, S. 2006. Jalan Terjal Menuju Demokrasi. Jakarta: IPCOS.Grabb, E .G. 1990. Theories of Social Inequality: Classical and Contem-

porary Perspective. Canada: Holt, Rinehard, and Winston.Guba, E. G. dan Y. S. Lincoln. 1994. “Competing Paradigms in

Qualitative Research.” Handbook of Qualitative Research, disunting oleh Norman K. Denzin dan Yvonna S. Lincoln. London: Sage Publication.

Hadiz, V. R. 2005. Dinamika Kekuasaan: Ekonomi Politik Indonesia Pasca-Soeharto. Jakarta: LP3ES.

Hagopian, M. N. 1978. Regimes, Movement, and Ideologies: A Com-parative Introduction to Political Science. New York: Longman Inc.

Huntington, S. P. 1957. The Soldier and the State: The Theory and Politics of Civil-Military Relations. Cambridge: The Belknap Press of Harvard University Press.

------. 1991. The Third Wave of Democratization in the Late Twentieth Century. Norman: University of Oklahoma.

------. 1993. The Third Wave: Democratization in the Late Twentieth Century, Norman: University of Oklahoma Press.

Page 27: Prajurit Profesional-Patriot: Menuju TNI Profesional pada

282 | S Y A M S U L M A ’ A R I F

M ASYA R AK AT Jurna l Sosiolog i Vol. 19, No. 2 , Ju l i 2014:257-286

------. 2000. “Mereformasi Hubungan Sipil-Militer.” Hubungan Sipil-Militer dan Konsolidasi Demokrasi, disunting oleh Lary Diamond dan M. F. Plattner. Jakarta: Rajawali Pers.

------. 2004. Who Are We: The Challenges to America’s National Iden-tity. New York: Simon & Chuster.

Kerbo, H. R. 1991. Social Stratification and Inequality: Class Conflict in Historical Comparative Perspective. New York: McGraw-Hill, Inc.

Kompas, Harian. 2004. Edisi 10 November.Kompas, Harian. 2002. Edisi 31 Agustus.Kompas, Harian. 2006. Edisi 2 September.Kompas, Harian. 2006. Edisi 7 November.Koran Tempo, Harian. 2006. Edisi 2 Mei.Liddle, R. W. 2006. “Intervensi SBY.” Majalah Berita Mingguan Tem-

po, 3 Desember.Ma’arif, Syamsul et al., ed. 2004. TNI-Polri dalam DPR/MPR 1960-

2004. Jakarta: Markas Besar TNI.MacFarling, I. 1996. The Dual Function of Indonesian Armed Force:

Military Politics in Indonesia. Australia: Australia Defence Studies Centre.

Magenda, B. D. 1984. “Kata Pengantar Edisi Indonesia.” Militer dan Politik, oleh Amos Perlmutter. Jakarta: Rajawali Pers.

------. 2002. “Kata Pengantar.” Hubungan Sipil-Militer di Indonesia Pasca Orba di Tengah Pusaran Demokrasi, oleh Arief Yulianto. Ja-karta: RajaGrafindo Persada.

Markas Besar TNI. 1999. TNI Abad XXI: Redefinisi, Reposisi, dan Reaktualisasi Peran TNI dalam Kehidupan Bangsa. Jakarta: Jasa Buma.

------. 2001. TNI Abad XXI: Redefinisi, Reposisi, dan Reaktualisasi Peran TNI dalam Kehidupan Bangsa: Langkah-Langkah Reformasi Internal Lanjutan (Tahap II). Jakarta: Mabes TNI.

------. 2000. Sejarah TNI, Jilid V (1984-2000). Jakarta: Pusat Sejarah dan Tradisi TNI.

Markas Besar TNI Angkatan Darat. 2003. Kodam sebagai Kompar-temen Strategis Pertahanan (Sistem Pertahanan Semesta). Jakarta: Kodiklat Mabes TNI AD.

Martinussen, J. 1997. Society, State, and Market: A Guide to Competing Theories of Development. London: Zed Books.

May, R. J., S. Lawson dan V. Selochan. 1998. “Intorduction: De-mocracy and the Military in Comparative Perspective.” Military

Page 28: Prajurit Profesional-Patriot: Menuju TNI Profesional pada

P R A J U R I T P R O F E S I O N A L - P A T R I O T | 283

M ASYA R AK AT Jurna l Sosiolog i Vol. 19, No. 2 , Ju l i 2014:257-286

and Democracy in Asia and the Pacific, disunting oleh R. J. May dan Viberto Solechan. Bathurst NSW, Australia: Crawford House Publishing.

May, R. J. dan V. Selochan, ed. 1998. Military and Democracy in Asia and the Pacific. Bathurst NSW, Australia: Crawford House Publishing.

Media Indonesia, Harian. 2006. Edisi 23 September.Media Indonesia, Harian. 2006. Edisi 25 November.Muhaimin, Y. 1982. Perkembangan Militer dalam Politik di Indonesia

1945-1966. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.Munck, F. L. 1994. “Democratic Transitions in Comparative Perspec-

tive”, (Review Article). Comparative Politics, 1994.Nasution, A. H. 1953. Pokok2 Gerilja dan Pertahanan Republik In-

donesia di Masa jang Lalu dan jang Akan Datang. Jakarta: Pem-bimbing Masa.

------. 1954. Tjatatan2 Sekitar Politik Militer Indonesia. Jakarta: Pem-bimbing.

------. 1978. Sekitar Perang Kemerdekaan Indonesia: Perang Gerilya Semesta I. Bandung: Angkasa.

------. 1984. Sekitar Perang Kemerdekaan Indonesia: Diplomasi Sambil Bertempur. Bandung: Angkasa.

Nugroho, H. 2002. “Terpaan Demokrasi Global dan Pasang Surut Demokratisasi di Indonesia: Sebuah Kata Pengantar untuk John Markoff.” Gelombang Demokrasi Dunia: Gerakan Sosial dan Peru-bahan Politik, oleh John Markoff. Yogyakarta: CCSS dan Pustaka Pelajar.

Nurhasim, M. 2003. Praktek-Praktek Bisnis Militer: Pengalaman In-donesia, Burma, Filipina, dan Korea Selatan. Jakarta: The Ridep Insitue.

Nordlinger, E. 1994. Militer dalam Politik. Jakarta: Rineka Cipta.O’Donnell, G. dan P. Schmitter. 1986. Transitions from Authoritarian

Rule: Tentative Conclusions about Uncertain Demoncracies. Baltimo-re: Johns Hopkins University Press.

Panggabean, R. 2002. “Reformasi Sektor Pertahanan dan Keamanan.” Demiliterisasi, Demokratisasi, dan Desentralisasi, disunting oleh Ari Sujito dan Sutoro Eko. Yogyakarta: Ire dan USAID-OTI.

Pye, L. W. 1966. Aspect of Poltical Development. Boston and Toronto: Little Brown and Company, Inc.

Republika, Harian. 2000. Edisi 15 Januari.

Page 29: Prajurit Profesional-Patriot: Menuju TNI Profesional pada

284 | S Y A M S U L M A ’ A R I F

M ASYA R AK AT Jurna l Sosiolog i Vol. 19, No. 2 , Ju l i 2014:257-286

Republika, Harian. 2000. Edisi 14 Mei.Ricklefs, M. C. 2005. Sejarah Modern Indonesia 1200-2004. Jakarta:

Serambi.Rinakit, S. 2005. The Indonesian Military after the New Order. Si-

ngapore: ISEAS.Ringland, G. 1998. Scenario Planning: Managing for the Future. Chic-

hester: John Wiley & Sons.Robison, R. 1986. Indonesia: The Rise of Capital. NSW, Australia:

Allen & Unwin.------. 1992. “Industrialization and the Economic and Political Deve-

lopment of Capital: the Case of Indonesia.” Southeast Asian Capi-talists, disunting oleh Ruth McVey. Itacha, New York: Southeast Asian Program, Cornell University.

Robinson, G. 2000. Kudeta Angkatan Darat. Jakarta: Teplok Press.------. 2001. “Indonesia: On a New Course?” Coercion and Gover-

nance: The Declining Political Role of the Military in Asia, disunting oleh Muthiah Alagappa. Stanford, California: Standford University Press.

Said, S. 1991. Genesis of Power: General Soedirman and the Indonesian Military in Politics 1945-1949. Singapore: ISEAS.

------. 1993. Genesis of Power: General Sudirman and the Indonesian Military in Politics 1945-49. Singapore dan Jakarta: ISEAS dan Pustaka Sinar Harapan.

------. 2001. Militer Indonesia dan Politik, Dulu, Kini dan Kelak. Ja-karta: Pustaka Sinar Harapan.

------. 2002. Tumbuh dan Tumbangnya Dwifungsi. Jakarta: Aksara Karunia.

Samego, I. et al. 1997. Peran Sospol ABRI. Jakarta: LIPI.------. 1998. Militer dan Bisnis: Peran ABRI dalam Pembangunan Eko-

nomi. Jakarta: LIPI.Santoso, D. 2006. Setia dan Menepati Janji serta Sumpah Prajurit.

Jakarta: Markas Besar TNI Angkatan Darat.Schwartz, P. 1996. The Art of the Long View. New York: Currency

Doubleday.Sebastian, L. C. 2006. Realpolitic Ideology: Indonesia’s Use of Military

Force. Singapore: Institute of Southeast Asian Studies.Shaw, M. 2001. Bebas dari Militer: Analisis Sosiologis atas Kecenderung-

an Masyarakat Modern. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Page 30: Prajurit Profesional-Patriot: Menuju TNI Profesional pada

P R A J U R I T P R O F E S I O N A L - P A T R I O T | 285

M ASYA R AK AT Jurna l Sosiolog i Vol. 19, No. 2 , Ju l i 2014:257-286

Singh, B. 1996. Dwifungsi ABRI: Asal-Usul, Aktualisasi, dan Implikasinya bagi Stabilitas dan Pembangunan. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Skocpol, T. 1985. State and Social Revolutions: A Comparative Analysis of France, Rusia, and China. New York: Cambridge University Press.

Snider, D. M. dan G. L. Watkins. 2000. “The Future of Army Pro-fessionalism: A New for Renewal and Redefinition.” Parameters, Usmy War College Quarterly-Autumn.

Stepan, A. 1996. Militer dan Demokrasi: Pengalaman Brazil dan Be-berapa Negara Lain. Jakarta: Grafiti Pers.

Supardi, Y. 2000. Pertahanan Negara Indonesia oleh Bangsa Indonesia dengan Cara Indonesia. Jakarta: Grafika Desa Putera.

Sundhaussen, U. 1988. Politik Militer Indonesia 1945-1967: Menuju Dwifungsi ABRI. Jakarta: LP3ES.

Suryohadiprojo, S. 2005. Si Vis Pacem Para Bellum: Membangun Pertahanan Negara yang Modern dan Efektif. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Sztompka, P. 2004. Sosiologi Perubahan Sosial. Jakarta: Prenada.Tempo, Majalah Berita Mingguan. 2002. Edisi 30 September.Tempo, Majalah Berita Mingguan. 2006. Edisi 14 Mei.Tempo, Majalah Berita Mingguan. 2006. Edisi 16 Juli.Tim ICW. 2004. “Bisnis Militer Mencari Legitimasi.” Jakarta. ICW.Tim Imparsial, ed. 2005a. Menuju TNI Profesional: Tidak Berbisnis

dan Tidak Berpolitik (Perjalanan Advokasi RUU TNI). Jakarta: Imparsial.

------. 2005b. Dinamika Reformasi Sektor Keamanan. Jakarta: Impar-sial.

Tim Peneliti LIPI. 1998. “… Bila ABRI Menghendaki”: Desakan Kuat Reformasi atas Konsep Dwifungsi ABRI. Bandung: Mizan.

Tim Peneliti LIPI. 1998. Bila ABRI Berbisnis. Bandung: Mizan.Tim Peneliti Yayasan Insan Politika. 1999. Tentara yang Gelisah: Hasil

Penelitian Yapika tentang Posisi ABRI dalam Gerakan Reformasi. Bandung: Mizan.

Tomagola, T. A. 2006. “Momentum Reformasi Jilid Dua.” Harian Kompas, 18 November.

Turner, B. S. 2006. Runtuhnya Universalitas Sosilogi Barat: Bongkar Wacana Atas: Islam vis a vis Barat, Orientalisme, Postmodernisme, dan Globalisme. Yogyakarta: Ar-Ruzz.

Page 31: Prajurit Profesional-Patriot: Menuju TNI Profesional pada

286 | S Y A M S U L M A ’ A R I F

M ASYA R AK AT Jurna l Sosiolog i Vol. 19, No. 2 , Ju l i 2014:257-286

Turner, J. H. 1998. The Structure of Sociological Theory. Belmont, CA: Wadsworth Publishing Company.

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (yang telah diamandemen).

Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2002 tentang Pertahanan Negara.Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional In-

donesia.Yong Lee, M. 2001. “South Korea: From ‘New Professionalism’ to

‘Old Professionalism’.” Military Professionalism in Asia: Conceptual and Emperical Perspective, disunting oleh Muthiah Alagappa. Ho-nolulu, Hawaii: East-West Center.

Van Klinken, G. 2000. “Bagaimana Sebuah Kesepakatan Demokratis Tercapai.” Harapan dan Kecemasan: Menatap Arah Reformasi Indo-nesia, disunting oleh Arief Budiman et al. Jakarta: Bigraf.

Vatikiotis, M. R. J. “The Military and Democrasy in Indonesia.” The Military and Democracy in Asia and the Pacific, disunting oleh R. J. May dan Viberto Selochan. Bathurst NSW, Australia: Crawford House Publishing.

Vermonte, P. J. 2005. “Problematika Bisnis Militer.” Makalah, tidak diterbitkan.

Von Bredow, W. 2000. “Military Sociology.” Ensiklopedi Ilmu-Ilmu Sosial, disunting oleh Adam Kuper dan Jessica Kuper. Jakarta: Rajawali Pers.

Weber, M. 1978. Economy and Society. Vol. 1. Berkeley dan Los Ange-les: California University Press.

Widjajanto, A., ed. 2004. Reformasi Sektor Keamanan Indonesia. Ja-karta: Propatria.