praise the lord jesus christ!repository.ub.ac.id/5141/1/ekyn prananta ginting.pdf · 2020. 7....
TRANSCRIPT
HALAMAN PERSEMBAHAN
“Jangan Seorang pun Menganggap Engkau Rendah Karena
Engkau Muda. Jadilah Teladan Bagi Orang-orang Percaya, Dalam
Perkataanmu, Dalam Tingkah Lakumu, Dalam Kasihmu, Dalam
Kesetianmu dan Dalam Kesucianmu”
(1 Timotius 4:12)
Praise the Lord Jesus Christ!
-Ekyn Prananta Ginting,2017-
KONFLIK PENGUASAAN LAHAN ULAYAT
(Studi Kasus Sengketa Penguasaan Lahan di Kabupaten Batanghari Jambi
antara Suku Anak Dalam, Warga dan PT. Asiatik Persada)
SKRIPSI
Untuk Memenuhi Sebagian Prasyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Strata 1 (S1)
Pada Program Studi Ilmu Pemerintahan Fakultas Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik
Dengan Minat Utama Inovasi Pemerintahan
Oleh :
EKYN PRANANTA GINTING
NIM 135120600111018
PROGRAM STUDI ILMU PEMERINTAHAN
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
2017
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa, atas berkat dan
rahmatNya sehingga, penulis dapat menyelesaikan skripsi berjudul KONFLIK
ANTAR ETNIS DAN PERUSAHAAN DALAM PENGUASAAN LAHAN(
Studi Kasus Sengketa Lahan di Kabupaten Batanghari Jambi Antara Suku Anak
Dalam, Warga dan PT. Asiatik Persada), yang disusun oleh peneliti untuk
memenuhi syarat dalam memperoleh gelar Sarjana Strata Satu (S1) pada Program
Studi Ilmu Pemerintahan dengan Minat Utama Inovasi Pemerintahan di Fakultas
Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Brawijaya Malang.
Pada proses pembuatan proposal, penelitian, hingga penyusunan skripsi ini,
penulis mendapatkan begitu banyak bantuan dan dukungan yang diberikan oleh
orang sekitar yang begitu berarti bagi penulis. Maka dari itu, sebagai bentuk
penghargaan bagi mereka, penulis juga menyampaikan ribuan terimakasih kepada:
Pertama, Kedua orang tua yang teramat penulis cintai dan hormati.Ibu saya
Elisabeth Br Sitepu, terimakasih untuk doa yang selalu engkau selipkan disetiap
Memanjadkan doa, terimakasih untuk selalu mengingatkan dan memberikan
semangat bagi penulis untuk segera menyelesaikan skripsi ini. Ayah saya Karya
Ginting, terimakasih untuk doa dan untuk setiap peluh dan tetesan keringat yang
kau keluarkan dalam perjuanganmu mencari nafkah untuk keluarga terkhusus
untuk mendukung penulis tidak kekurangan apapun dalam menyelesaikan masa
studi. Tidak lupa untuk kakak dan adik penulis Elka Angreani Br Ginting dan Inda
Yorena Br Ginting yang selalu mengingatkan untuk cepat selesai studi dan
kembali berkumpul bercanda tawa di rumah.
Kedua, Ratnaningsih Damayanti, S.IP.,M.Ec.Devst. Dosen pembimbing
pertama yang amat luar biasa hebat. Dosen yang selalu memberikan penulis
semangat dan keberanian tidak hanya dalam menulis namun juga berinteraksi di
kehidupan sosial. Dosen yang selalu mendengarkan keluh kesah serta dan
memecahkan setiap kebuntuan dalam proses penulisan. Terimakasih untuk selalu
memberikan bantuan, masukan serta ilmu yang bermanfaat bagi penulisan skripsi
agar lebih sempurna.
Ketiga, Terimakasih kepada pak Andi Setiawan S,IP.M.Si Dosen
pembimbing kedua yang tegas dan baik serta selalu bisa memberikan masukan
sehingga penulis dapat menyusun skripsi dengan lebih baik. Begitu banyak saran
dan masukan cemerlang yang diberikan beliau demi kesempurnaan skripsi ini.
Keempat, Terimakasih kepada penguji pertama ibu Irma Fitriana Ulfah,
S.IP.,M.Si dan penguji kedua ibu Ruth Agnesia Sembiring, S.Sos.,MA. Penguji
yang aktif dapat mendukung sempurnanya penyusunan skripsi ini. Segala ide,
saran dan kritikan yang membangun membuat penulis belajar untuk selalu
memperbaiki tulisan agar lebih baik lagi.
Kelima, para narasumber yang teramat membantu penulis dalam pemenuhan
data yang dapat mendukung penyusunan skripsi ini. Di antaranya, Pdt. Togap
Parulian Harahap selaku Orang tau penulis selama berada di Suku Anak dalam;
Bapak Diki Kurniawan selaku Direktur KKI LSM Warsi; Bapak Parulian
Dabukke selaku Pegawai PT. Asiatik Persada; Bapak Ansori Selaku Kanwil
Badan Pertanahan Nasional Kota Jambi; Bapak Daniel Ngalay Selaku
Tumenggung (ketua adat) Suku Anak Dalam; Bapak Ainul Irfan Selaku Kepala
Bidang Biro SDA dan Lingkungan Kantor Gubernur Jambi; Bapak Kompol R.
Manalu Selalu kasubdid PID Bidang Humas Polda Jambi, serta seluruh
narasumber yang membantu penulis dalam proses pengumpulan data yang tidak
bisa penulis sebutkan satu per satu.
Keenam, Terimakasih kepada sodara dan teman yang telah membantu
penulis selama di jambi yaitu Notha Galo yang selama sebulan penuh berjuang
bersama untuk menembus tebalnya dinding birokrasi dan kerasnya kehidupan di
Kota Jambi. Evi Lince, Pdt, Julimto, terimakasih untuk tidak pernah lelah
mengingatkan mengerjakan skripsi, terimakasih untuk selalu ada dan menemani
ketika penulis tidak bisa mengerjakan semua hal sendiri.
Ketujuh, Grup, Menuju wisuda Orang-orang yang membuat penulis merasa
bahagia selama proses pengerjaan Skripsi dan grup yang menjadi tempat dipenuhi
kasih sayang dan kenyamanan. Terimakasih untuk saling berbagi kesal dan penat,
menjadi obat pertolongan pertama ketika penulis sakit, Terimakasih untuk
dukungan kalian yang tidak akan pernah penulis lupakan.
Kedelapan, Janitra Yonda Seseorang yang begitu spesial sejak penulis
masih duduk Semester satu, terimakasih untuk kesetiaan, pengertian dan
dukungan yang telah diberikan sehingga penulis mampu tidak terlambat dalam
menyelesaikan masa studi.
Kesembilan, teman-teman terbaik di Ilmu Pemerintahan FISIP UB angkatan
2013 terimakasih untuk menjadi teman seperjuangan selama menempuh bangku
perkuliahan semoga kita bisa bersama-sama menjadi orang yang membanggakan.
Teman-teman yang mengajarkan bagaimana menjadi makhluk sosial,
Walaupun penulis mendapatkan banyak dukungan namun penulis
menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna. Maka dari itu, saran dan
kritik yang konstruktif dari berbagai pihak sangat penulis harapkan.
Malang, Agustus 2017
Penulis
ABSTRACT
Ekyn Prananta Ginting, Governmental Science, Faculty of Social Sciences and
Political Sciences, University of Brawijaya Malang,2017. Conflict of customary
land mastery(Study case of land ownership disputes in Batanghari jambi among
Suku Anak Dalam, Migrans and PT.Asiatik). Supervisor: Ratnaningsih
Damayanti, S.IP.,M.Ec.Dev and Andi Setiawan, S.IP, Msi.
The management of natural resources in various places in its development often creates
conflict. Agrarian conflicts are the most common conflicts. In Jambi Province precisely in
Batanghari District, there is a group of Customary Law Community inhabiting Ulayat
land that is Suku Anak Dalam. Since the establishment of PT Bangun Desa Utama now
named PT Asiatic Persada, land tenure dispute over Ulayat. HGU owned by PT Asiatic
Persada was located on Ulayat land, Suku Anak Dalam (SAD). This has led to many
years of conflict between the two sides. The problem of land disputes conflicts that
occurred in Batanghari District, Jambi Province has been going on for 27 years between
the Suku Anak Dalam (SAD) community, Batanghari Community with PT. Asiatic
Persada. In the permit of Hak Guna Usaha (HGU) PT. Asiatik Persada has the
obligation to release the shifting cultivation, shelter and shrub land of the Suku Anak
Dalam (SAD) of 3,550 Ha. But as long as the land is claimed by the company as the
property of the company and since the establishment of PT. Asiatik Persada,
thecommunity felt that it does not provide benefits even become the beginning of conflict
of dispute and acts of violence and violation of human rights to the society. People who
usually meet daily needs by taking the forest products, even accused of taking and
stealing in the forest owned by PT. Asiatic Persada. The case of indigenous land disputes
between the Suku Anak Dalam (SAD) community and PT. Asiatic Persada which lasted
more than 27 Years has not got a meaningful way out. The peace process facilitated by
the government and non-governmental organizations (NGOs) does not provide maximum
results. Complaints and demonstrations from the Suku Anak Dalam (SAD) community
who asked for their customary lands returned and demanded legal protection for acts of
violence committed by PT. Asiatic Persada as if not getting a serious response. Until
finally formed an Integrated Team in accordance with the Decree of the Regent of
Batanghari Regency which involves conflicting parties, customary institutions, elements
of the Land Agency, District Court, State Prosecutors, Police, local government and
university.
Keywords: Agrarian Conflict, Natural Resources, Batang Hari.
ABSTRAK
Ekyn Prananta Ginting, Program Studi Ilmu Pemerintahan, Fakultas Ilmu
Sosial Dan Ilmu Politik Universitas Brawijaya Malang, 2017, Konflik
Penguasaan Lahan Ulayat (Studi Kasus Sengketa Penguasaan lahan di
kabupaten Batanghari, Jambi anatar Suku Anak Dalam, Warga dan PT.
Asiatik). Tim pembimbing: Ratnaningsih Damayanti, S.IP.,M.Ec.Dev Dan
Andi Setiawan, S.IP, Msi.
Pengelolaan sumber daya alam di berbagai tempat dalam perkembangannya sering
menimbulkan konflik, Konfik Agraria adalah konflik yang paling sering terjadi,
Di Propinsi Jambi tepatnya di Kabupaten Batanghari terdapat sekelompok
Masyarakat Hukum Adat yang mendiami tanah hak Ulayat yaitu Suku Anak
Dalam. Sejak bedirinya PT Bangun Desa Utama, sekarang bernama PT Asiatic
Persada, muncul sengketa kepemilikan tanah Ulayat. HGU yang dimiliki oleh PT
Asiatic Persada ternyata berada di atas tanah Ulayat Suku Anak Dalam (SAD) hal
ini mengakibatkan sengketa selama bertahun-tahun antara kedua belah pihak.
Masalah konflik sengketa lahan yang terjadi di Kabupaten Batanghari, Provinsi
Jambi ini sudah berlangsung selama 27 tahun antara masyarakat Suku Anak
Dalam (SAD), Masyarakat Batanghari dan dengan PT. Asiatik Persada. Dalam
izin Hak Guna Usaha (HGU) PT. Asiatik Persada memiliki kewajiban melepaskan
lahan perladanagan, pemukiman, semak belukar milik masyarakat Suku Anak
Dalam (SAD) seluas 3.550 Ha, namun selama ini lahan tersebut diklaim oleh
pihak perusahan sebagai milik perusahan dan sejak berdirinya PT. Asiatik Persada
dirasakan oleh masyarakat tidak memberikan manfaat malah menjadi awal konflik
sengkata dan tindak kekerasan serta pelanggaran HAM terhadap masyarakat.
Masyarakat yang biasa memenuhi kebutuhan sehari-hari dengan mengambil hasil
hutan malah dituduh mengambil dan mencuri dihutan milik PT. Asiatik Persada.
Kasus sengketa tanah adat antara masyarakat Suku Anak Dalam (SAD) dengan
PT. Asiatik Persada yang berlangsung lebih dari 27 Tahun belum mendapatkan
jalan keluar yang berarti, proses perdamaian yang difasilitasi oleh pemerintah
maupun Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) tidak membuahkan hasil yang
maksimal, pengaduan dan aksi demontrasi dari masyarakat Suku Anak Dalam
(SAD) yang meminta tanah adat mereka kembali dan meminta perlindungan
hukum atas tindakan kekerasan yang dilakukan oleh PT. Asiatik Persada seperti
tidak mendapatkan tanggapan serius. Hingga akhirnya dibentuknya Tim Terpadu
sesuai dengan SK Bupati Kabupaten Batanghari yang melibatkan pihak yang
berkonflik, lembaga adat, unsur Badan Pertanahan, Pengadilan Negeri, Kejaksaan
Negeri, Kepolisian, pemerintah daerah dan perguruan tinggi.
Kata kunci: Konflik Agraria, sumber daya alam, Batang Hari.
DAFTAR BAGAN
Bagan 2.1 Alur Pikir Penelitian ................................................................................. 43
DAFTAR GAMBAR
Gambar 2.1 Fase Konflik dalam Masyarakat ............................................................. 31
Gambar 2.2 Analogi Pilar .......................................................................................... 41
Gambar 3.6 Teknik Analisis Data Kualitatif ............................................................. 36
Gambar 4.1 Peta Wilayah kabupaten Batang Hari ..................................................... 58
DAFTAR GRAFIK
Grafik 1.1 Jumlah Kasus Konflik Agraria tahun 2009-2016 ........................ 6
Grafik 1.2 Luas Areal Konflik Agraria .......................................................... 7
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ................................................................................... i
HALAMAN PERSETUJUAN .................................................................. ii
HALAMAN PENGESAHAN ...................................................................iii
HALAMAN PERNYATAAN ................................................................... iv
KATA PENGANTAR ................................................................................ v
HALAMAN PERSEMBAHAN .............................................................viii
ABSTRACT ................................................................................................ ix
ABSTRAK .................................................................................................. x
DAFTAR ISI .............................................................................................. xi
DAFTAR TABEL ...................................................................................xiii
DAFTAR GAMBAR ............................................................................... xiv
DAFTAR BAGAN .................................................................................... xv
DAFTAR GRAFIK ................................................................................. xvi
DAFTAR ISTILAH ............................................................................... xvii
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang .................................................................................. 1
1.2 Rumusan Masalah ........................................................................... 17
1.3 Tujuan Penelitian ............................................................................ 18
1.4 Manfaat Penelitian .......................................................................... 18
1.4.1 Manfaat Akademis ................................................................ 18
1.4.1 Manfaat Praktis ..................................................................... 19
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Hasil Penelitian Terdahulu .............................................................. 21
2.2 Kajian teoritik ................................................................................. 27
2.2.1 Dialektika Teori Konflik Ralf Dahrendolf dan Lewis coser ... 27
2.2.2 Kesenjangan Sebagai Penyebab konflik .................................. 34
2.2.3 Konflik Horizontal: Suku Anak Dalam dan Penguasa SDA ... 36
2.2.4 Anologi Pilar sebagai alat bantu Analisis Eksistensi konflik .. 38
2.3 Alur Pikir ......................................................................................... 41
BAB III METODE PENELITIAN
3.1 Jenis Penelitian ................................................................................ 43
3.2 Metode Penelitian ............................................................................ 44
3.3 Fokus Penelitian .............................................................................. 47
3.4 Unit Analisis data dan teknik Pengumpulan data ............................ 48
3.4.1 Wawancara ................................................................................. 49
3.4.2 Observasi .................................................................................... 50
3.4.3 Dokumentasi .............................................................................. 51
3.5 Sumber data ..................................................................................... 52
3.5.1 Data Primer ................................................................................. 52
3.5.2 Data Sekunder ........................................................................... 52
3.6 Teknik Analisis Data ....................................................................... 52
3.7 Informan Penelitian dan Instrumen Penelitian ................................ 54
BAB IV DESKRIPSI LOKASI KONFLIK DAN AWAL MULA
TERJADINYA KONFLIK
4.1 Kabupaten Batang Hari ................................................................... 57
4.1.1 Kondisi Geografis ..................................................................... 57
4.1.2 Keadaan Topografis ................................................................. 57
4.2 Potensi Sumber Daya Alam ............................................................ 62
4.2.1 Potensi Tanaman Pangan ........................................................... 62
4.2.2 Pertanian, Perkebunan dan Kehutanan....................................... 63
4.3 Profil Desa Bungku dan Komunitas Batin 9 (Suku Anak Dalam) .. 65
4.3.1 Kependudukan ........................................................................... 66
4.3.2 Kondisi Sosial Ekonomi ............................................................ 67
4.3.2.1 Pemanfaatan Kawasan Hutan Untuk Penghidupan .............. 67
4.4 Kronologi Masalah Sengketa Tanah Masyarakat Suku Anak
Dalam dan PT. Asiatik persada ........................................................... 68
BAB V IDENTIFIKASI KONFLIK BERDASARKAN ANALISIS
RALF DAHRENDOLF DAN LEWIS COSER
5.1 Identifikasi Peran ......................................................................... 81
5.1.1 Superordinat (Menguasai) ...................................................... 82
5.1.2 Subordinat (Dikuasai) ............................................................ 87
5.2 Analisi Kepentingan Berdasarkan Aktor ......................................... 90
5.2.1 Kepentingan Nyata, Tersembunyi dan Semu .......................... 93
5.2.2 Upaya Mediasi Konflik.......................................................... 100
5.3 Dampak Konflik ............................................................................ 106
5.3.1 Dampak Negatif .................................................................... 106
5.3.2 Dampak Positif ....................................................................... 107
5.4 Faktor Penyangga Konflik ............................................................. 109
BAB VI PENUTUPAN
6.1 Kesimpulan .................................................................................... 116
6.2 Rekomendasi ................................................................................. 122
6.2.1 Bagi Pemerintah Indonesia .................................................... 122
6.2.2 Bagi Pemerintah Jambi .......................................................... 123
6.2.3 Bagi Penilitian Selanjutnya.................................................... 124
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................. 125
LAMPIRAN
DAFTAR ISTILAH
BANGKESBANGPOL : Badan Kesatuan Bangsa dan Politik adalah
Instansi Pemerintah Provinsi yang mengurusi
bidang kesatuan bangsa, politik dan perlindungan
masyarakat
BPN : Badan Pertanahan Nasional adalah lembaga
pemerintahan nonkementrian di Indonesia yang
mempunyai tugas melaksanakan tugas
pemerintahan di bidan pertanahan sesua dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan
BPS : Badan Pusat Statistik adalah lembaga pemerintah
nonkementrian yang bertanggung jawab kepada
presiden yang ibentuk berdasarkan UU nomer 6
tahun 1960 tetang sensus dan UU no 7 tahun 1960
tentang statistik
HAM : Hak Asasi Manusia adalah prinsip-prinsip moral
atau norma yang berlaku secara universal dan
egaliter daam arti yang sama bagi setiap orang dan
dijamin oleh hukum
HGU : Hak Guna Usaha adalah hak untuk menguasakan
tanah yang dikuasai langsung oleh Negara, dalam
jangka waktu tertentu, guna perusahaan pertanian,
perikanan atau peternakan
HTI : Hutan Tanaman Industri adalah hutan tanaman
yang dibangun dalam rangka meningkatkan potensi
dan kualitas hutan dengan menerapkan silvikultur
intensif untuk memenuhi kebutuhan bahan baku
industri hasil hutan
HPH : Hak Penguasaan Hutan adalah hak untuk
mengusahakan hutan didalam suatu kawasan hutan,
yang meliputi kegiatan-kegiatan penebangan kayu,
permudaan, pemeliharaan hutan, pengelolaan dan
pemasaran hasil hutan.
KANWIL : Kantor Wilayah merupakan pelaksanaan tugas
pokok departemen Indonesia yang berkedudukan
di ibu kota provinsi. Kantor wilayah dipinpin oleh
seorang kepala kantor wilayah.
KK : Kepala Keluarga adalah orang yang bertanggung
jawab terhadap suatu keluarga
KKI :Komunitas konservasi Indonesia adalah organisasi
masyarakat yang bergerak dalam bidang
pengawasan konservasi di Indonesia
KPA : Komisi Pembaharuan Agraria adalah organisasi
nonpemerintah tingkat nasional yang
beranggotakan organisasi petani, organisasi
masyarakat adat, nelayan, perempuan, NGO,
Individu, dan akademisi yang memperjuangkan
perwujutan pembaharuan agraria sejati di
Indonesia.
LSM : Lembaga Swadaya Masyarakat adalah sebuah
organisasi yang didirikan oleh perorangan ataupun
sekelompok orang yang secara sukarela yang
memberikan pelayanan kepada masyarakat umum
tanpa bertujuan memperoleh keuntungan dari
kegiatannya
MOU : Memorandum of Understanding atau Nota
kesepahaman adalah sebuah dokumen lega yang
menjelaskan persetujuan damai antara kedua belah
pihak.
SAD : Suku Anak Dalam atau orang rimba adalah salah
satu suku bangsa minoritas yang hidup di pulau
Sumatra dengan perkiraan jumlah populasi sekitas
2000 orang
SDA : Sumber Daya Alam adalah segala sesuatu yang
berasal dari alam yang dapat digunakan untuk
memenuhi kebutuhan hidup manusia
SDM : Sumber Daya Manusia adalah salah satu faktor
sangat penting yang bekerja sebagai pengerak
suatu organisasi dan memiliki fungsi sebagai aset
sehingga harus dilatih dan dikembangkan
kemampuannya
SK : Surat Keputusan adalah surat yang berisi suatu
keputusan yang dibuat oleh pimpinan suatu
organisasi atau lembaga pemerintahan berkaitan
dengan kebujakan organinasi tersebut
SOP : Standar Operasional Prosedur merupakan tatacara
atau tahapan yang dibakukan dan harus dilalui
untuk menyelesaikan suatu proses kerja tertentu.
PNS : Pegawai Negeri Sipil adalah mereka atau
seseorang yang telah memenuhi syarat-syarat dan
siangkat oleh pejabat berwenang serta diserahi
tugas-tugas negri
UUPA : Undang-Undang Pokok Agraria adalah undang-
undang yang dibuat untuk mengatur permasalahan
agraria di Indonesia.
KUBU :Sebutan masyarakat terhadap Suku Anak Dalam
yang cenderung menghina.
SENPAI : Sejenis monyet yang biasa diburu oleh Suku
Anak Dalam
TUMENGGUNG : Tetua ada atau kepala suku yang dituakan oleh
masyarakat Suku Anak Dalam
ULAYAT : Ulayat adalah kewenangan, yang menurut hukum
adat, dimiliki oleh masyarakat hukum adat atas
wilayah tertentu yang merupakan lingkungan
warganya, di mana kewenangan ini
memperbolehkan masyarakat untuk mengambil
manfaat dari sumber daya alam, termasuk tanah,
dalam wilayah tersebut bagi kelangsungan
hidupnya
JOMET : Sebutan lain untuk Suku Anak Dalam
DAFTAR TABEL
Tabel 1.1 Perkembangan konflik Agraria di Indonesia ........................................ 8
Tabel 2.1 Penelitian terdahulu ........................................................................... 24
Tabel 3.1 Informan Penelitian ............................................................................ 55
Tabel 4.1 Komposisi Penduduk Kabupaten Batang hari Berdasarkan Usia
Tahun 2015 ......................................................................................... 60
Tabel 4.2 Komposisi Penduduk Kabupaten Batang Hari Berdasarkan Agama
Tahun 20153 ....................................................................................... 61
Tabel 4.3 Komposisi Penduduk Kabupaten Batang Hari Berdasarkan
Pekerjaan Tahun 2015 ........................................................................ 62
Tabel 4.4 Komposisi penduduk Kabupaten Batang hari Berdasarkan Etnis
Tahun 2015 ......................................................................................... 63
Tabel 4.5 Komposisi Penduduk Kabupaten Batang Hari Berdasarkan
Prasarana Pendidikan Tahun 2015 ..................................................... 65
Tabel 4.6 Jumlah Produktifitas Tanaman Pangan Tahun 2016 .......................... 67
Tabel 4.7 Jenis Tanaman yang ditanam diperkebunan Tahun 2015 ................... 68
LAMPIRAN
DOKUMENTASI PENELITI
Salah Satu kelompok Masyarakat Suku
Anak Dalam
Masyarakat Suku Anak Dalam Mengambil
Gejah Jelatung Dari hutan untuk dijual
Masyarakat Suku Anak Dalam
Mengumpulkan Getah Jelatung
Peneliti Melakukan wawancara
Dengan Kompol R. Manalu SH. Mh
Selaku Kasubdid OID Bidang
Humas polda Jambi
Peneliti Bersama Pak Ainul Irfan Selaku kepala
bidan Biro SDA dan Lingkungan Kantor gubernur jambi
Peneliti Bersama Bapak Fahrizal,
SH.MH Sekretaris tim Terpadu
Peneliti saat Berada di Kanwil Badan
Pertanahan Nasional, Jambi.
Peneliti saat
Mengurus Perizinan Penelitian di kantor
Bangkesbangpol Jambi
Peneliti saat Mandi di Sungai Bersama Pdt. Togap Harahap
Peneliti Bersama Bapak
Daniel Ngalay
Tumenggung (Kepala
Suku) Suku Anak dalam
dan Bapak Amit Selaku
Wakil Tumenggung
Tempat Tinggal Suku Anak Dalam
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Provinsi Jambi merupakan salah satu kawasan di Sumatera yang mempunyai
nilai strategis di sektor kehutanan. Sejak dikeluarkannya Undang-Undang No. 1
Tahun 1967 Tentang Penanaman Modal Asing (PMA) memudahkan para pemilik
modal untuk masuk ke Jambi.1 Kebijakan pada masa Pemerintahan Orde Baru
telah melahirkan para pemodal besar untuk bebas merambah dan menghancurkan
hutan yang ada di pedalaman Propinsi Jambi. Keadaan tersebut juga semakin
diperparah dengan masuknya perusahaan besar milik swasta maupun pribadi yang
bergerak di sektor perkebunan kelapa sawit.
Pembukaan perkebunan kelapa sawit yang banyak terjadi pada masa Orde
Baru ternyata menyimpan banyak masalah, antara lain masalah penggunaan tanah
ulayat tanpa persetujuan masyarakat adat, proses penerbitan Hak Guna Usaha
(HGU) yang tidak mengikuti ketentuan yang berlaku, sehingga menimbulkan
konflik sosial. Menurut catatan akhir tahun Komisi Pembaharuan Agraria 2013 di
Propinsi Jambi terdapat 21 kasus konflik sosial yang dialami oleh masyarakat adat
termasuk Suku Anak Dalam dan 12 kasus konflik sosial antara petani dan
perusahaan. Masalah ini sama seperti yang terjadi di Kabupaten Batang Hari yang
kawasannya banyak dijadikan sebagai lahan perkebunan kelapa sawit, termasuk
1 Lindayanti dan Zaiyardam Zubir. “Konflik dan Integrasi dalam Masyarakat Plural: Jambi 1970-
2012”. Prosiding Seminar Nasional 70 Tahun Indonesia Merdeka. Jurusan Sejarah Fakultas Ilmu
Budaya Universitas Andalas. 2015, hal. 21.
sebagian kawasan yang menjadi hunian masyarakat Suku anak dalam. Sayangnya,
UU Nomor 5 Tahun 1960 tentang peraturan dasar pokok pokok Agraria (PA)
yang diharapkan bisa menjawab persoalan itu tidak pernah berjalan sesuai
semangat para pembentuknya. Bahkan diselewengkan dan dikebiri oleh
munculnya undang-undang sektoral seperti Undang-undang Pertanahan, Undang-
undang Sumber Daya Air, Undang-undang Minerba, Undang-undang kehutanan
hingga Undang-undang Perkebunan.
Sudah 57 tahun usia Undang-undang Pokok Agraria (UUPA) No 5 Tahun
1960. Namun selama kurun waktu itu pula persoalan sengketa tanah mengenai
hak milik dan hak kelola tak kunjung reda sampai saat ini. Penyebab terjadinya
konflik di bidang pertanahan di Indonesia antara lain keterbatasan ketersediaan
tanah pada suatu wilayah yang berkonflik, tumpang tindih hak milik tanah
maupun hak atas pengelolaan tanah, ketimpangan dalam struktur penguasaan
tanah, inkonsistensi negara dan ketidak sinkronnya baik secara vertikal maupun
secara horizontal peraturan perundang-undangan yang ada kaitannya dengan hak
pengelolaan tanah, praktek manipulasi dalam perolehan hak milik tanah dan hak
kelola tanah sehingga pada masa lalu dan di era reformasi sekarang ini muncul
kembali gugatan atas hak milik dan hak kelola atas tanah, dualisme kewenangan
(pusat-daerah) tentang urusan pertanahan.
Suku anak dalam mengklaim bahwa kawasan hidup yang diakui sebagai
tempat tinggal mereka telah diserobot perusahaan perkebunan sawit milik swasta
yakni PT. Asiatic Persada, padahal masyarakat Suku Anak Dalam jauh lebih dulu
berada dan menghuni di sekitar kawasan perkebunan sawit yang telah disulap
menjadi sebuah perusahaan besar tersebut. Kabupaten Batang Hari merupakan
salah satu kabupaten yang memiliki jumlah populasi Suku Anak Dalam yang
cukup besar, menurut data statistik kabupaten Batang Hari tahun 2010,
masyarakat Suku anak dalam berjumlah sebanyak 864 Kepala Keluarga (KK),
dengan total keseluruhan yakni sebanyak 3.895 Jiwa. Masyarakat Suku anak
dalam tersebar di 8 kecamatan yang berada di peta wilayah administratif
Kabupaten Batang Hari.
Provinsi Jambi memliki keberanekaragaman budaya termasuk salah satunya
macam-macam suku. Salah satu suku di Jambi yang banyak dikenal oleh
masyarakat Indonesia adalah Suku Anak Dalam. Suku Anak Dalam di Jambi
memiliki seburan nama untuk mereka yaitu kubu, suku anak dalam, dan anak
rimba. Untuk sebutan kubu bagi Suku anak dalam memiliki arti yang negatif,
kubu memiliki arti menjijikan, kotor, dan bodoh. Suku anak dalam hidup dan
tinggal di tengah-tengah hutan dan masih menerapkan cara hidup berburu dan
mengumpulkan makanan sehingga sangan bergantung kepada hutan dan alam
disekitarnya dan karena tidak dekat dengan peradapan dan hukum modern suku
anak dalam memiliki hukum sendiri yakni hukum rimba mereka menyebutnya
seloka adat.
Suku Anak Dalam secara umum hidup dengan mengandalkan hasil hutan,
pada tahun 2000, luas hutan di Propinsi Jambi hanya tinggal berkisar 1,6 juta
hektar, dari jumlah total luas keseluruhan pada tahun 1990 yakni 2,4 juta hektar.2
2 Muhammad Ibrahim, “Kehidupan Suku Anak Dalam di Kecamatan Air Hitam Kabupaten
Sarolangun”, Tesis. (Bandung: Universitas Pendidikan Indonesia, 2013), hal. 1.
Artinya laju kerusakan hutan di Propinsi Jambi yang terjadi sejak tahun 1970an
hingga tahun 2000 semakin meningkat. Kerusakan hutan akibat penebangan
dalam bentuk Hak Penguasaan Hutan (HPH), dan akibat penanaman perkebunan
kelapa sawit dengan skala besar di Kabupaten Batang Hari mengharuskan
masyarakat Suku Anak Dalam tersingkir dari wilayah jelajah asalnya.
Tanah ulayat sendiri memiliki makna bidang tanah yang di atasnya terdapat
hak ulayat dari suatu masyarakat hukum adat tertentu. Hak ulayat adalah
kewenangan, yang menurut hukum adat, dimiliki oleh masyarakat hukum
adat atas wilayah tertentu yang merupakan lingkungan warganya, di mana
kewenangan ini memperbolehkan masyarakat untuk mengambil manfaat dari
sumber daya alam, termasuk tanah, dalam wilayah tersebut bagi kelangsungan
hidupnya. Masyarakat dan sumber daya yang dimaksud memiliki hubungan secara
lahiriah dan batiniah turun temurun dan tidak terputus antara masyarakat hukum
adat tersebut dengan wilayah yang bersangkutan dalam kasus ini ialah Suku Anak
Dalam. Pada dasarnya hak ulayat keberadaannya dalam UUPA adalah sudah
diakui, akan tetapi pengakuan tersebut masih diikuti oleh syarat-syarat tertentu,
yaitu: “eksistensi” dan mengenai pelaksananya. Oleh karena itu, hak ulayat dapat
diakui sepanjang menurut kenyataan masih ada. Maksudnya adalah apabila di
daerah-daerah dimana hak itu tidak ada lagi, maka tidak akan dihidupkan kembali.
Hingga awal 2015 nasib Suku Anak Dalam seakan tidak pernah lepas dari
kesengsaraan. Fenomena kematian 11 orang Suku Anak Dalam merupakan salah
satu bukti bahwa Pemerintah selama ini telah abai terhadap kelangsungan hidup
mereka. Terkait hal tersebut Pemerintah selama ini berdalil bahwa Suku Anak
Dalam yang meninggal tersebut diduga tidak mendapatkan asupan pangan dan air
bersih yang layak sehingga mereka sakit dan akhirnya meninggal dunia. Kematian
beruntun menyerang di dua Kabupaten yang menjadi daerah persebaran
masyarakat Suku anak dalam yaitu: Kabupaten Batang Hari dan Sarolangun.
Korban tersebut merupakan Suku anak dalam yang berasal dari tiga kelompok
Tumenggung antara lain: kelompok Tumenggung Marituha, Tumenggung Ngamal
dan Tumenggung Nyenong. Kebijakan yang pernah dijalankan oleh Pemerintah
Indonesia sejak tahun 1970an ternyata tidak mampu mengentaskan konflik yang
terjadi diantara Suku Anak Dalam, Masyarakat pendatang dan PT. Asiatik
persada.
Luas area konflik agraria dan jumlah Kepala Keluarga yang menjadi korban
dalam masalah agraria di Indonesia ini menunjukan peningkatan dari tahun
ketahun, pada tahun 2009-2016 luas area konflik agraria meningkat tajam, pada
tahun 2009 jumlah terdapat 89 kasus konflik agraria dengan luas area sengketa
tanah mencapai 133.278 Ha, lalu pada tahun 2014 meningkat menjadi 472 konflik
agraria dari 2.860.977 hektar (Ha), meski pada tahun 2015 mengalami penurunan
menjadi 252 kasus namun pada tahun 2016 kembali meningkat menjadi 450
kasus, luas area konflik peningkatan jumlah konflik agraria selama 2009-2016
adalah 430%3. Seperti yang tertera pada Grafik.1 dan 2 di bawah ini.
3Laporan akhir tahun 2013 Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA)
http://www.mongabay.co.id/2013/12/22/konflik-agraria-2014-meningkat-21-warga-tewas-30-
tertemba. diakses tanggal : 2 february, 2017, jam 15:28
Grafik 1.1 Jumlah Kasus Konflik Agraria Tahun 2009-2016
.Sumber : Grafis Konsorsium Pembaruan Agraria tahun 2017
Dari data di atas dapat dilihat bahwa jumlah konflik Agraria dari tahun
2009 selalu mengalami kenaikan yang signifikan setiap tahunnya meningkatnya
konflik agraria ini ditunjang oleh banyaknya transmigrasi dan minimnya lahan
didaerah-daerah padat penduduk.
Grafik 1.2 Luas Area Konflik Agraria Tahun 2009-2016
Grafik 2. Sumber : Grafis Konsorsium Pembaruan Agraria 2017
Pada Grafik di atas pada memperlihatkan jumlah luasan areal konflik agraria
dari tahun ke tahun dilihat mulai dari tahun 2009 hingga tahun 2014 mengalami
peningkatan yang yang sangat cepat. Pada 2009 ada 89 kasus dengan luas lahan
seluas 133.278 Ha, dan 84 kriminal dan kekerasan, serta5,835 KK yang tergusur
dan 4 orang meninggal dunia.pada tahun 2010 mencapai 535,197 hektar, dengan
jumlah 106 konflik agraria di berbagai wilayah Indonesia serta melibatkan
517,159 KK. Pda tahun 2011, jumlah konflik agraria meningkat menjadi 163
konflik, meski luas lahan yang disengketakan sedikit lebih kecil, yaitu 472.048,44
hektar. Sementara pada tahun 2012, jumlah konflik agraria meningkat lagi
menjadi 198 konflik dengan luas lahan yang semakin besar, yaitu 963.411,2
hektar. Pada tahun 2013 terdapat 369 kasus dan 2014 terjadi 472 kasus dengan
luas lahan konflik agrarian mencapai 2.860.997 hektar (Ha), sepertinya tahun
2014 adalah tahun terburuk konflik agraria di Indonesia dengan Jumlah kasus
terbanyak dan area konflik terluas yaitu 2.860.977 hektar sedangkan tahun 2015
mengalami penurunan luas area konflik menjadi 400.430 hektar dan kembali
meningkat ditahun 2016 yaitu 1.265.027 hektar (Ha). Data dari KPA ini
menunjukkan selama Indonesia memasukin periode pemerintahan Presiden SBY
dan sekarang Presiden JOKOWI semakin meninggkat kasus konflik agraria dan
makin mempertegas posisi Presiden tidak untuk rakyat tetapi pengusaha skala
besar, bahkan bukan membawa rakyat Indonesia menuju kesejahteraan.
Konflik agraria juga terjadi di kawasan ekspansi perkebunan sawit seperti di
Riau, Jambi, Sumatera Selatan, Sulawesi Tengah hingga Lampung. Keadaan ini
memperlihatkan, ekspansi perkebunan, pertambangan skala besarbersamaan
dengan perampasan tanah yang dikelola masyarakat. Ini menunjukan konflik
agraria terjadi akibat kebijakan agraria masa kolonial hingga orde baru sebagian
besar menjadi PTPN belum terselesaikan. Masih menyisakan konflik yang belum
terselesaikan, seperti Sumatera Utara dan Jawa4.
Tabel 1.1 Perkembangan Konflik Agraria Indonesia Menurut 2012-2016
Sektor 2012 2013 2014 2015 2016
Perkebunan 90 180 185 127 163
Infrastruktur 60 105 215 70 100
Kehutanan 20 31 27 24 25
Pertambangan 21 38 14 14 21
Pesisir/Perairan 2 9 4 9 10
Tabel 1.1 Sumber : Tabel Konsorsium Pembaruan Agraria 2017
Pada tahun 2012 dan 2013, perkebunan merupakan sektor yang konfliknya
pertama terbanyak, Namun, pada 2014, sektor yang konfliknya pertama terbanyak
adalah sektor infrastruktur dengan 215 konflik, sementara sektor perkebunan ada
di posisi kedua dengan 185 konflik, adapun sektor lainnya seperti kehutanan,
pertambangan dan pesisir/perairan, meski konfliknya terus ada, tetapi jumlahnya
cenderung fluktuatif, Tahun 2015 kembali mengalami penurunan yang cukup
drastis disetiap sektor namun kembali meningkat pada tahun 2016.
4TRIBUNNEWS.COM. Ketergantungan Suku Anak Dalam (SDA) Picu Konflik Agraria
Meninggi, diakses2 february, 2017, jam 15:28.
Menurut Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) meningkatnya konflik
agraria ini dikarenakan sengketa lahan dan distribusi lahan yang tidak adil terlalu
banyaknya konflik yang terjadi secara tidak langsung membuat kemiskinan dan
kelaparan akan melebar, semua ini disebabkan karena tidak adanya keberpihakan
pemerintah terhadap petani dan masyarakat.
Konsorsium Pembaharuan Agraria (KPA) juga mencatat sepanjang tahun
2012 terjadi 173 kasus konflik agraria di sejumlah daerah, akibat konflik tersebut
sebanyak 3 orang petani tewas, 25 terluka tembak, 44 orang luka-luka biasa, dan
131 petani ditahan. Konflik agraria tersebut melibatkan luas lahan sengketa
mencapai 866.676 hektare. Perebutan lahan itu melibatkan 112.854kepala
keluarga berhadapan dengan negara, militer, pihak swasta, dan lain-lain. Sebanyak
sembilan kasus konflik agraria melibatkan institusi militer. Sebanyak 6 kasus
sengketa agraria di sektor pertambangan dan terbanyak 37 kasus sektor pertanian.5
Lebih jauh lagi Konsorsium Pembaharuan Agraria (KPA) pada tahun 2013
jumlah konflik agraria kini menjadi 369 atau meningkat sebanyak 86,36%, korban
dari konflik agraria ini sebanyak 21 orang meninggal dunia,30 orang tertembak,
130 mengalami penganiayaan dan sebanyak 239 warga ditahan. Sepanjang 2013,
KPA mencatat 369 konflik agraria dengan luasan lahan mencapai 1.281.660.09
hektar melibatkan 139.874 keluarga.
Adapun di Provinsi Jambi tercatat 13 konflik lahan di Provinsi Jambi
selama 2011 sebagaimana laporan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM)
Komunitas Konservasi Indonesia Warsi Jambi yang didominasi sengketa antara
5Konflik-Agraria-Meningkat-Kemiskinan-Menghebat.
http://m.bisnis.com/industri/read/20131227/99/194455. diakses, 5 february, pukul,14:32
masyarakat dengan perusahaan. Direktur Komunitas Konservasi Indonesia (KKI)
konflik lahan atau agraria dipicu pengelolaan sumber dayaalam yang terfokus
pada pemegang modal besar. Kasus agraria di Jambi juga sudah berlangsung lama
tanpa ada penyelesaian6.
Pada kasus-kasus tersebut terjadi menyebar di beberapa daerah di Provinsi
Jambi seperti di Kabupaten Muaro Jambi, Tanjung Jabung Barat,Merangin, Tebo
dan Kabupaten Bungo, Jumlahnya mencapai ribuan hektare yang disengketakan.
Korbannya justru lebih banyak pada masyarakat atau petani baik korban secara
fisik maupun materi, Berdasarkan data resmi Pemerintah provinsi Jambi saat ini
terdapat 24 kasus agraria antara masyarakat dengan perusahaan sawit, serta empat
kasus masyarakat dengan perusahaan pengelola Hak Tanaman Industri (HTI)7.
Masalah konflik sengketa lahan yang terjadi di kabupaten Batanghari ini sudah
berlangsung selama 25 tahun antara Suku Anak Dalam (SAD) dan PT Asiatic
Persada, dalam ijin HGU PT. Asiatic Persada disebutkan adanya lahan
perladangan, pemukiman, belukar milik rakyat seluas 3.550 Ha, namun selama ini
lahan tersebut diklaim oleh pihak perusahaan dan keberadaan PT. Asiatic Persada
tidak begitu memberikan manfaat bagi masyarakat Suku Anak Dalam (SAD) yang
berdiam diwilayah tersebut, justru kesengsaraan yang terjadi. Keberadaannya PT.
Asiatik Persada pun dinilai telah mengambil tiga kampung milik Suku Anak
Dalam, meliputi Kampung Pinang tinggi, Padang salak, dan Tanah menang. PT
Asiatic Persada juga telah merambah kawasan hutan produksi, luasnya hanya 192
6Laporan Akhir Tahun KPA, http://www.mongabay.co.id/2013/12/22/konflik-agraria-2013-
meningkat-21-warga-tewas-30-tertembak/, diakses tanggal : 2 february 2017, jam : 5:55:25 7Koran Independent, Senin, 9 januari 2011. PT Asiatic Persada Lapor Ke Komnas HAM Soal
Sengketa Lahan
hektare bukan 800 hektare yang hasil hutannya diandalkan oleh masyarakat SAD
untuk memenuhi kebutuhan mereka sehari-hari. Tetapi sejak adanya PT. Asiatik
Persada masyarakat tidak dapat lagi mengambil hasil hutan, mereka malah
dituduh mengambil dan mencuri di hutan milik PT. Asiatik Persada.8
PT. Asiatic Persada merupakan perusahaan yang beroperasi sejak tahun
1986 dengan luas Hak Guna Usaha (HGU) sebesar 20.000 Ha sesuai dengan SK
pencadangan tanah yang diberikan oleh Gubernur Jambi Kepada PT.Asiatik
persada Perusahaan ini beroperasi diwilayah Kabupaten Batanghari dan
Kabupaten Muaro Jambi. Keberadaan perusahaan kelapa sawit ini telah
memberikan dampak pada suku adat (Suku Anak Dalam / SAD). PT Asiatic
Persada telah merambah sedikitnya 800 hektare kawasan hutan lindung terbatas di
kawasan Desa Bungku. Pada tanggal 9 sampai 11Agustus 2011 terjadi kekerasan
di Wilayah Dusun Sungai Beruang, sekitar 80 Kepala Keluarga (KK) kehilangan
rumah tempat tinggal karena di gusur oleh Brimob, dan 1 orang tertembak peluru
karet. “Konflik yang berakhir kekerasan kemudian menghasilkan perundingan
yang difasilitasi oleh tim CAO-Bank Dunia bersama dengan Tim dari Pemerintah
Propinsi Jambi, diistilahkan dengan Jomet”9. Namun perundingan mengalami
kegagalan karena ketika perundingan hampir sampai pada pencapaian
kesepakatan, PT Asiatik Persada beralih management dari Willmar ke PT AMS
Ganda Group. Situasiini kemudian berdampak pada berubahnya pola penyelesaian
konflik di tubuh PT Asiatik Persada.
8Sumber Artikel: http://www.berdikarionline.com/kabar-rakyat/20131029/tujuh-alasan-izin-hgupt-
asiatic-persada-harus-dicabut.html#ixzz2mU7dJ2dT, diakses : 2 february 2017, jam : 07:00 9Koran Independent Jambi. 2011,
Asal mula konflik sengketa lahan ini berawal dari Pencadangan Tanah
sesuai SK Gubernur Jambi No. 188.4/599/1985, yang mencadangkan tanah seluas
40.000 Ha untuk perkebunan sawit PT. Bangun Desa Utama (BDU). Surat
Keputusan Gubernur tersebut ditindak lanjuti dengan Surat Keputusan Mendagri
No.SK.46/HGU/DA/1986 Tanggal 1 September 1986 tentang Pemberian HGU
kepada PT. BDU seluas 20.000 Ha yang terletak di Kecamatan. Muaro Bulian,
Kabupaten. Batang Hari, Izin HGU itu berlaku sampai dengan 31 Desember
202110
. Dengan mengantongi izin tersebut, pihak perusahaan menggusur tiga
dusun, Tanah Menang, Pinang Tinggi dan Padang Salak, wilayah Sungai Bahar
Jumlah SAD berdasarkan hasil verfikasi Pemerintah Kabupaten Batanghari,
sebanyak 1.900-an jiwa, yang tersebar ditiga kampung tersebut. Perampasan tanah
ini disertai dengan pelanggaran HAM, membuat kehidupan SAD sangat
memprihatinkan.
Demi memperjuangkan hak-hak mereka sebagai masyarakat yang
tertindas, para masyarakat Suku Anak Dalam (SAD) melakukan penyampaian
aspirasi dan protes mereka melalui demontrasi yang dilakukan oleh kelompok
kelompok SAD, “Senin, 30 September 2013, ratusan warga Suku Anak Dalam
(SAD) kembali menggelar aksi pendudukan di kantor Gubernur Jambi, Mereka
menuntut tanah ulayat mereka seluas 3550 ha segera dikembalikan.11
” tetapi
demontrasi yang dilakukan oleh SAD kepada PT. Asiatik Persada initidak
dihiraukan malah mereka diberi janji-janji kosong, mediasi dan perundingan yang
digagas oleh Jomet pun dibuat seolah tak bernyali oleh pemerintah. Pemerintah
10
Jurnal, Resolusi Konflik Pertanahan Berdasarkan Pranata Adat, Tahun 2008 11
Koran Tribun Jambi, 28 April 2012 ,Seribu Petani Demo Tuntut Cabut HGU Asiatik
seperti tunduk pada PT Asiatic Persada, padahal perusahaan ini jelas bermasalah,
tak hanya soal konflik dengan Suku Anak Dalam (SAD), tapi juga HGU yang
tidak jelas luasannya berapa, ditambah lagi perusahaan ini sudah berganti
kepemilikan sebanyak 4 kali sepanjang Tahun 2001-2016 dan pergantian
kepemilikan ini tak sedikitpun meminta persetujuan pemerintah.
Pemerintah Provinsi Jambi seakan-akan tidak peduli atas konflik yang
tengah terjadi selama ini, dengan adanya pemberontakan dan protes yang
dilakukan oleh Suku Anak Dalam (SAD) seharusnya pemerintah lebih
memperhatikan dan mendengarkan apa yang diingikan oleh masyrakatnya. Kasus
ini merupakan bukti bahwa pemerintah telah melakukan pembiaran dan
penelantaran. Jika pemerintah serius dan memiliki itikad baik mereka bisa
mengevaluasi izin HGU PT Asiatic. Pemerintah selalu mengelak bahwa mereka
tertipu dan tak pernah diberitahu jika perusahaan itu berpindah-pindah tangan,
tidak hanya pemerintah yang bertanggung jawab tetapi juga pihak swasta punya
tanggung jawab yang lebih. Perjanjian internasional pada prinsipnya pihak swasta
harus menghormati dan melindungi hak asasi manusia.
Pada penegakan hukum dan keberadaan tanah ulayat telah diatur dalam
regulasi nasional, hak ulayat pada permasalahan yang diangkat ini berkaitan erat
dengan hak keberlangsungan hidup dari masyarakat suku anak dalam, pada tanah
tersebut tempat mereka hidup dan memenuhi kebutuhan hidup, pengertian tanah
ulayat sendiri adalah Bidang tanah yang diatasnya terdapat hak ulayat dari suatu
masyarakat adat dan eksistensi hak ulayat diatur oleh undang-undang tercakup
dalam pasal 3 undang-undang nomer 5 tahun 1960 tengtang peraturan dasar
pokok agraria, yakni berbunyi:
“Dengan mengingat ketentuan-ketentuan dalam pasal 1 dan 2 pelaksanaan
hak ulayat dan hak-hak yang serupa itu dari masyarakat hukum adat,
sepanjang menurut kenyataanya masih, harus sedemikian rupa sehungga
sesuai dengan kepentingan nasional dan negara, yang berdasarkan atas
persatuan bangsa serta tidak boleh bertentangan dengan undang-undang
dan peraturan yang lebih tinggi”
Masyarakat hukum adalat adalah sekelompok orang yang terikat oleh
tatanan hukum adatnya sebagai warga bersama suatu persekutuan hukum karna
kesamaan tempat tinggal ataupun atas dasar keturunanya. Dapat diartikan
persekutuan geologis dari masyarakat hukum adat, sedangkan hukum tanah adat
adalah hak kepemikilan dan penguasaan sebidang tanah yang hidup dalam
masyarakat adat pada masa lampau dan masa kini serta ada yang tidak memiliki
bukti-bukti kepemilikan secara uatentik atau tertulis. Dalam peraturan Mentri
Agraria/ Kepala Badan Pertanahan Nasional No 5 Tahun 1999, pada pasal 2 ayat
2 disebutkan bahwa hak ulayat masyarakat hukum adat dianggap masih ada
apabila memenuhi tiga syarat:
1. Terdapat sekelompok orang yang masih merasa terkait oleh tataan
hukum adatnya sebagai warga bersama suatu ersekutuan hukum
tertentu, yang mengakui dan menerapkan ketentuan-ketentuan
persekutuan tersebut dalam kehidupan sehari-hari.
2. Terdapat tanah ulayat tertentu yang menjadi lingkungan hidup warga
persekutuan hukum tersebut dan tempatnya mengambil keperluan
hidup sehari-hari
3. Terdapat tatanan hukum adat mengenai penguasaan dan penggunaan
tanah ulayat yang berlaku dan ditaan oleh warga persekutuan tersebut.
Secara hukum di indonesia maka keberadaan Suku anak dalam masih
dijamin keberadaaannya dan dilindungi hak nya sesuai dengan undang-undang No
5 Tahun 1999 Tetapi terdapat sebuah fakta yang memilukan, dimana Pemerintah
Provinsi Jambi seakan acuh tak acuh terhadap kasus ini, pemerintah seperti tak
bernyali menghadapi PT Asiatic Persada, padahal secara wewenang dan tanggung
jawab, pemerintah harus melindungi dan memberikan rasa aman untuk rakyatnya.
Pemerintah Provinsi Jambi seakan menutup telingga dan mata mereka dengan apa
yang terjadi, Gubernur harusnya segera memperingatkan PT Asiatic Persada
untuk tidak mengabaikan perundingan yang telah menghasilkan kesepakatan-
kesepakatan penting, karena mengabaikan perundingan dengan beralih pada Tim
Terpadu ditingkat Kabupaten jelas telah mengabaikan peran Jomet yang berkerja
atas perintah Surat Tugas yang dikeluarkan oleh Gubernur, dan setiap kali hampir
berujung kesepakatan dengan pola kemitraan selalu saja perusahaan itu beralih
kepemilikan, dan setiap ganti kepemilikan pihak Pemerintah Jambi tidak
mengetahui, seharusnya dengan adanya pelanggaran dan konflik yang sudah
berlangsung sejak lama ini pemerintah lebih memperhatikan12
.
Dalam menyelesaikan kasus sengketa ini dengan membuat koperasi
kemitraan yang di usulkan oleh PT. Asiatik Persada, tetapi semua kesepakatan
yang dibuat oleh PT Asiatik Persada dengan Mayarakat Suku Anak Dalam gugur
dan tidak berjalan dikarenakan PT.Asitik Persada berusaha lari dari tanggung
12
Artikel, Gubernur, berhentilah melindungi PT Asiatic Persada. 3 Desember 2013.
jawab dengan mengalihkan kepemilikan manajemen perusahaan secara diam-diam
dari PT. Asitic Persada kepada PT. Agro Mandiri Semesta13
. Pada akhir 2012,
BPN RI mengeluarkan SK bahwa sengketa lahan SAD bagian dari permasalahan
yang harus diselesaikan BPN secara nasional.Selanjutnya, pada 7 Mei 2013,
Pemerintah Provinsi Jambi mengeluarkan surat yang ditanda tangani Sekda
Provinsi Jambi, yang isinya memerintahkan PT Asiatik Persada mengembalikan
tanah adat seluas 3550 ha kepada masyarakat SAD 113. Pada saat itu,
mengeluarkan ultimatum bahwa Pemerintah Provinsi Jambi memberikan waktu
tiga bulan kepada PT. Asiatik Persada untuk menindak lanjuti surat tersebut14
PT. Asiatik Persada adalah perusahaan yang bergerak dibidang
perkebunan sawit dan pabrik pengolahan kelapa sawit yang bernaung dalam
Willmar Group. Berdirinya PT. Asiatik Persada iini Berawal dari SK dari Menteri
Kehutanan memberi pelepasan kawasan hutan seluas 27.252 Ha dari 40.000 Ha
lahan pencadangan Gubernur Jambi, lalu HGU seluas 20.000 Ha direalisasikan
menjadi milik PT. BDU. PT Asiatic Persada merupakan perusahaan yang paling
sering berganti kepemilikan, di Tahun 2001 sampai Tahun 2006 perusahaan ini
dikuasai oleh perusahaan dari Inggris yaitu CDCPacrim, lalu Tahun 2006-2007
dikuasai oleh Cargill dari Amerika, dan tahun 2008-2012 giliran Wilmar Group
yang berbasis di Singapura menguasai PT Asiatic Persada, dan terakhir awal
Tahun 2013, PT Asiatik Persada dikuasaioleh PT AMS (Agro Mandiri Semseta)
Ganda Group. kemudian perusahaan CDC-Pacrim Inggris di tahun 2000 menjadi
13
Tujuh Alasan Izin HGU PT. Asiatic Persada Harus Dicabut,
http://www.berdikarionline.com/kabar-rakyat/20131029/tujuh-alasan-izin-hgu-pt-asiatic-persadaharus-
dicabut.html#ixzz2mU7t3MX6, diakses: 5 februari 2017 pukul 08:00 14
HARIANJAMBI.COM, Senin, 6 Januari 2014, Sulitnya Mencari Perdamaian Dibalik Konflik
Lahan PT Asiatik –SAD
pemegang saham mayoritas, lalupada tahun 2006 pemegang saham mayoritas
berpindah lagi keperusahaan Cargill Amerika Serikat, dan di tahun 2010 saham
mayoritas dibeli Willmar Group Malaysia. Sedangkan sisanya 7.150 Ha jatuh
ketangan PT. Maju Perkasa Sawit (MPS) dan PT. Jammer Tulen, keduanya anak
perusahaan Willmar Group.
Pengalihan saham PT. Asiatic Persada kepada pihak lain yang dilakukan
oleh Wilmar tanpa konsultasi terlebih dahulu dengan masyarakat yang terlibat
dalam proses penyelesaian konflik JOMET merupakan pelanggaran pada P&C
RSPO dan Kode Etik Anggota RSPO15
. Jika RPSO tidak mengambil tindakan
dengan memberikan sanksi kepada WILMAR atas ketidak terbukaan dan niat
buruk WILMAR dalam kasus ini, maka ini akan membahayakan akun tabilitas
dan legitimasi RSPO dalam upaya mendorong produksi sawit yang benar-benar
berkelanjutan. Keputusan pengalihan kepemilikan PT.Asiatik Persada tersebut
telah mengkhianati hasil keputusan tiga pihak, yakni Lembaga Negara, PT.
Asiatic Persada, dan Suku Anak Dalam.
Rumusan permasalahan
Berdasarkan latar belakang masalah yang telah dipaparkan di atas, maka
dalam penelitian ini maka rumusan masalah yang peneliti angkat adalah:
1. Bagaimana Konflik Penguasaan lahan ulayat yang terjadi antara Suku Anak
Dalam, Warga dan PT. Asiatik Persada di Kabupaten Batanghari Jambi serta
bagaimana penanganannya?
15
RSPO berhentilah melindungi Willmar, http://www. tinyurl.com/oul2pe, diakses 3 februari 2017
pukul 17:00
2. Apa faktor-faktor yang meneguhkan konflik tersebut tetap eksis hingga saat
ini?
1.2. Tujuan penelitian
Adapun penelitian ini bertujuan sebagai berikut:
1. Memaparkan bagaimana konflik Penguasaan lahan yang terjadi antara
Suku Anak Dalam, Warga dan PT. Asiatik Persada di Kabupaten
Batanghari Jambi.
2. Memahami Faktor-faktor yang meneguhkan konflik tersebut tetap eksis
hingga saat ini dan penangananya.
1.3. Manfaat penelitian
Adapun manfaat yang diperoleh dari penelitian ini dibagi ke dalam dua
manfaat yakni manfaat akademis dan manfaat praktis.
1.4.1. Manfaat Akademis
1. Manfaat penelitian ini secara Akademis atau keilmuan yaitu,diharapkan
nantinya akan memberikan suatu kontribusi, hasil-hasil penelitian harus
dirasakan bagi pengembangan ilmu pengetahuan,seperti mata kuliah
“Politik Lingkungan” yang ditempuh pada semester 5,Manfaat yang
diperoleh dari penelitian dapat bersifat langsung.
2. Menyempurnakan penelitian terdahulu yang memiliki ranah sama, namun
dengan penemuan-penemuan yang berbeda
3. Sebagai bahan pemahaman dam pembelajaran bagi peneliti untuk
melakukan pendalaman dan pemahaman mengenai konflik tanah adat dan
perusahaan yang terjadi antara Suku Anak Dalam, Warga dan PT. Asiatik
Persada di Kabupaten Batanghari Jambi.
1.4.2. Manfaat Praktis
1. Dengan adanya penelitian ini diharapkan akan memberikan jalan terbaik untuk
kesemua pihak, baik pihak pemerintahan, Suku Anak Dalam (SAD), dan PT.
Asiatik Persada. Penelitian ini bukan hanya ingin mengetahuai bagaimana konflik
ini bisa terjadi tetapilebih ingin mengetahui bagaimana peran pemerintah terhadap
masyarakat yang memiliki hak istimewa dan mendapatkan hak tersebut sesuai
dengan seharusnya. Konflik sengketa lahan ini telah berlangsung sangat lama dan
belum ada juga jalan keluar yang baik untuk ke dua pihak, diharapkan dengan
penelitian ini pemerintah lebih memikirkan bagaimana seharusnya kebijakan itu
bisa sampai kepada sasaran dan bisa melakukan kewajibanya sebagai pelindung
bagi masyarakatnya.
2. Manfaat penelitian ini bagi suku anak dalam (SAD) bisa mendapatkan hak nya
sebagai masyarakat yang berada dibawah Undang-undang tentang hak ulayat atau
hak istimewa bagi masyarakat atau suatu suku adat asli. Seharusnya dengan
adanya Undang-Undang tersebut masyarakat lebih bisa memperjuangkan apa
yang seharusnya mereka dapatkan dan pertahankan.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Pada bab ini akan dibahas mengenai tinjauan pustaka yang didalamnya
memuat tiga aspek penting yang berhubungan erat dengan penelitian yang
dilakukan. Pertama, tentang penelitian terdahulu, penelitan terdahulu digunakan
sebagai bahan perbandingan yang relevan sesuai dengan fokus penelitian yang
dilakukan. Kedua, akan membahas tentang teori yang digunakan sebagai pisau
analisis untuk mendukung penelitian yang digunakan. Ketiga, pada tinjauan
pustaka ini akan dijelaskan tentang alur pikir yang digunakan dalam penelitian ini
sesuai dengan teori yang digunakan.
1.1. Hasil Penelitian Terdahulu
Hasil penelusuran pustaka yang dilakukan, terdapat beberapa tulisan yang
sebelumnya pernah mengkaji penelitian dengan fokus yang sama dengan
penelitian yang dilakukan oleh peneliti saat ini yakni Konflik penguasaan lahan
Ulayat (Terhadap Kasus Sengketa Penguasaan Lahan di Kabupaten Batanghari
Jambi antara Suku Anak Dalam, Warga dan PT. Asiatik). Berikut adalah
penelitian-penelitian yang digunakan peneliti sebagai penelian terdahulu karna
dari masing-masing penelitian tersebut membantu peneliti menemukan sumber ide
fokus permasalahan yang akan diteliti, metode pengumpulan dan analisis data.
Sebagian besar peneliti tersebut embuat penelitian tentang latar belakang
penyebab konflik, fenomena dan dampak konflik, tetapi beberapa dari mereka
mengkaji konflik dengan metode studi pustaka (library research). Sedangkan
dalam penelitian ini, peneliti mengamati secara langsung kehidupan masyarakat
lokat, Suku Anak Dalam dan Pt. Asiatic persada di kabupaten Batanghari, jambi.
Penelitian terdahulu ini memberikan gambaran kepada peneliti tentang hal-hal apa
saja yang berpengaruh dalam penelitian tentang konflik, sehingga menjadi
masukan peneliti untuk membuat desain penelitian dengan maksimal.
Pertama, Nuri Rachma Oktaviani meneliti tentang permasalahan pemetaan
konflik yang terjadi, resolusi serta implikasi konflik yang terjadi antara
masyarakat dengan pengusaha di PT. Krene-Gresik. Jenis penelitian ini adalah
kualitatif eksplanoris menggunakan pendekatan teori Louis coser dan Ralf
Dahrendofl. Penelitian ini menghasilkan beberapa hal diantaranya , pemetaan
konflik, resolusi terhadap konflik, serta implikasi terhadap konflik yang terjadi di
masyarakat. Konflik antara masyarakat dan perusahaan terjadi karna adanya
perbedaan pandangan antara buruh dan pengusaha. Resolusi konflik yang diambil
adalah dengan cara intervensi atau negoisasi politik, kemudian dilanjutkan pada
tahap arbritrasion. Dilihat dari dampaknya, konflik antar buruh dan pengusaha ini
menghasilkan dampak positif karena dengan adanya konflik ini dapat
menciptakan solidaritas dalam buruh atau pekerja.
Kedua, Deviana Kuspriandi meneliti konflik anatar masyarakat dan
perusahaan (Studi kasus perbedaan kepentingan antara masyarakat dengan
perusahaan PT.X di dusun karang Bangkal Desa Karangrejo Kecamatan Gempol
Kabupaten pasuruan), dia menemukan bahwa penyebab onflik ini adalah karena
adanya perbedaan pendapat terlalu besar antara pekerja dan pengusaha di PT.X.
Konflik ini semakin membesar karena masing-masing kelompok saling
mempertahankan diri dan tidak ingin saling berdamai. Deviana Mencoba
mengumpulkan informasi dan menganalisis dengan metode studi kasus.
Ketiga, Penelitian Luluk Annisa, Arif Satria dan Rilus A kinseng tentang
konflik nelayan di jawa timur, Menggunakan metode studi kasus dalam
menganalisis perubahan struktur agraria dan diferensi kesejahtraan komunitas
nelayan di lebak banten, menemukan bahwa konflik yang terjadi diklasifikasikan
menjadi : (1) konflik kelas, yaitu konflik antara nelayan dan nelayan lain dari
daerah berbeda, berhubungan dengan alat tangkap yang digunakan, (2) Konflik
usaha yaitu konflik antara nelayan dengan non nelayan dikarenakan kecurangan-
kecurangan yang dilakukan pangamba’ dan agen kepada nelayan seperti
manipulasi penimbangan, harga ikan yang ditentukan secara sepihak, harga jual
yang berbeda antara nelayan yang memiliki hutang dengan pengamban penipuan
grade ikan. Konflik kelas dan penggunaan alat menyebabkan terjadinya konflik
fisik, penyandraan perahu-perahu nelayan, dan semat adanya penyerbuan ke desa
lain tempat nelayan berkonflik menyebabkan rusaknya kampun nelayan dan
merupakan konflik antar nelayan terbersar dipasuruan.
Keempat, Penelitian selanjutnya yang peneliti gunakan sebagai referensi
adalah penelitian Ali Imron A.M tentang resolusi konflik antra etnik an antar
agama. Pada penelitian ini Ali Imron menemukan bahwa penyebab munculnya
konflik sangatlah kompleks, seperti muatan politis, masalah kekecewaan dan
perasaan ditekan selama ini. Berawal dari konfigurasi intersected kemudian
berubah menjadi consulidated yang membuka kesadaran konflik dan
memungkinkan terjadinya kekerasan kolektif. Faktor penyebab timbulnya konflik
antar etnik dan antar agama di Indonesia: (1) seberapa jauh tingkat
keterbelakangan atau penderitaan kolektif kelompok komunal tersebut dibanding
dengan kelompok-kelompok lain; (2) ketegasan identitas kelompok; (3) derajat
kohesi dan mobilitas kelompok; dan 9/4) kontrol represif oleh kelompok-
kelompok dominan.
Kelima, I Gusti Putu Putra Asmawan memberikan penjelasan yang cukup
jelas tentang hasil penelitiannya yaitu Konflik Etnis Dalam Penguasaan Sumber
Daya Alam di Sumatra Selatan Ia menemukan bahwa faktor-faktor penyebab
konflik antar etnis iyalah Berawal dari konfigurasi intersected kemudian berubah
menjadi consulidated yang membuka kesadaran konflik dan memungkinkan
terjadinya kekerasan kolektif. Faktor penyebab timbulnya konflik antar etnik dan
antar agama di Indonesia: (1) seberapa jauh tingkat keterbelakangan atau
penderitaan kolektif kelompok komunal tersebut dibanding dengan kelompok-
kelompok lain; (2) ketegasan identitas kelompok; (3) derajat kohesi dan mobilitas
kelompok; dan 9/4) kontrol represif oleh kelompok-kelompok dominan.
Tabel 2.1
Penelitian terdahulu
No Nama Judul, Metode
Penelitian
Masalah
yang diteliti
Temuan Perbandingan
Dengan
Penelitian
yang
dilakukan
01. Nuri Rachma
Oktaviani
(2010)
Konflik Pekerja
dan Pengusaha di
PT. Krene-Gresik.
(Studi tentang
pemetaan konflik,
resolusi konflik
dan solidaritas
pekerja di pT.
Krene-Gresik).
Penelitian ini
merupakan jenis
penelitian
Kualitatif
Eksplanatoris, dan
menggunakan
metode studi kasus.
Permasalahan
pemetaan
konflik yang
terjadi,
resolusi serta
implikasi
konflik yang
terjadi antara
masyarakat
dengan
pengusaha di
PT.krene
Gresek
Penelitian ini
menghasilkan
beberapa hal
diantaranya,
pemetaan konflik,
resolusi konflik,
serta implikasi
konflik yang terjad
dalam masyarakat.
Resolusi konflik
yang diambil adalah
dengan cara
intervensi atau
negosiasi politik,
kemudian
dilanjutkan pada
tahap arbitration.
Dilihat dari
dampaknya, konflik
antara buruh dan
penusaha ini
menghasilkan
dampak positif
karena dengan
adanya konflik ini
dapat menciptakan
solidaritas dalam
kelompok buruh
atau pekerja.
Dalam kedua
penelitian ini
sama-sama
menggunakan
jenis penelitian
kualitatif
Eksplanoris
yang bertujuan
agar penelitian
yang dilakukan
dapat dijadikan
gambaran
untuk kejadian
yang sama di
tempat lain
02. Deviana
Kuspriandani
(2009)
Konflik Antara
Masyarakat dan
perusahaan (studi
kasus Perbedaan
kepentingan antara
masyarakat dengan
perusahaan PT.X
di dusun Karang
bangkal Desa
Aspek
penyebab
terjadinya
konflik,
proses
berjalannya
konflik, serta
cara
menangani
Penyebab dari
konflik ini adalah
karena adanya
perbedaan
pendapatan yang
terlalu besar antara
pekerja dan
pengusaha di PT.
Krene-Gresik.
Perbedaan
dalam
penelitian ini
dapat dilihat
dari masalah
yang diteliti,
dalam
penelitian
Deviana ini
karangrejo
Kecamatan
Gempol Kabupaten
pasuruan).
Penelitian ini
menggunakan
metode Kualitatif
Deskriptif dengan
metode studi kasus.
atau
rekonsiliasi
konflik yang
terjadi antara
masyarakat
dengan
perusahaan.
Konflik ini semakin
membesar karena
masing-masing
kelompok saling
mempertahankan
diri dan tidak ingin
saling berdamai.
mencoba untuk
membentuk
konsep
rekonsiliasi
untuk
menyelesaikan
konflik
sementrara
penelitian yang
dilakukan saat
ini hanya
memetakan
dan
menemukan
faktor-faktor
peyangga
konflik,
03. Luluk
Annisa, Arif
Satria dan
Rilus A
Kinseng
(2000)
Konflik Nelayan di
Jawa timur, Studi
kasus Perubahan
struktur Agraria
dan Diferensiasi
kesejahtraan
komunitas nelayan
di lebak Banten.
Penelitian
Kualitatif dengan
desain studi kasus.
Konflik yang
terjadi dalam
pemanfaatan
sumberdaya
perikanan di
daerah
perairan
lekok
menemukan
bahwa konflik yang
terjadi
diklasifikasikan
menjadi : (1) konflik
kelas, yaitu konflik
antara nelayan dan
nelayan lain dari
daerah berbeda,
berhubungan
dengan alat tangkap
yang digunakan, (2)
Konflik usaha yaitu
konflik antara
nelayan dengan non
nelayan dikarenakan
kecurangan-
kecurangan yang
dilakukan
pangamba’ dan agen
kepada nelayan
seperti manipulasi
penimbangan, harga
ikan yang
ditentukan secara
sepihak, harga jual
yang berbeda antara
nelayan yang
memiliki hutang
Perbedaan
penelitian yang
dilakukan oleh
luluk Anisa,
dkk, Lebih
menekankan
pada pemetaan
atau
identivikasi
konflik.
Persamaan:
sama-sama
penelitian
konflik yang
berbasis pada
sumber daya
lam, dan sama-
sama
menggunaan
desain
penelitian studi
kasus.
dengan pengamba’,
penipuan grade
ikan.
04 Ali imron
A.M (2009)
Resolusi konflik
antar Etnik dan
antar Agama
menggunakan
metode Kualitatif
studi pustaka
dengan pendekatan
Multikultural.
Latar
belakang dan
situasi
konflik, sikap
dan persepsi
pihak yang
sedang
berkonflik,
perilaku
mereka
ketika
berkonflik
dan perantara
yang
digunakan
serta strategi
untuk
bertahan
dalam
konflik.
penyebab
munculnya konflik
sangatlah kompleks,
seperti muatan
politis, masalah
kekecewaan dan
perasaan ditekan
selama ini. Berawal
dari konfigurasi
intersectedkemudian
berubah menjadi
consulidatedyang
membuka kesadaran
konflik dan
memungkinkan
terjadinya kekerasan
kolektif. Faktor
penyebab timbulnya
konflik antar etnik
dan antar agama di
Indonesia: (1)
seberapa jauh
tingkat
keterbelakangan
atau penderitaan
kolektif kelompok
komunal tersebut
dibanding dengan
kelompok-kelompok
lain; (2) ketegasan
identitas kelompok;
(3) derajat kohesi
dan mobilitas
kelompok; dan 9/4)
kontrol represif oleh
kelompok-kelompok
dominan.
Dalam
penelitian yang
dilakukan oleh
Ali Imron,
sangat
menekankan
pada proses
resolusi yang
dimulai dari
pemetaan latar
belakang dan
situasi konflik.
Sedangkan
dalam
penelitian yang
dilakukan saat
ini, resolusi
konflik bukan
merupakan
penekanan
utama, namun
lebih kepada
langkah awal
untuk menu
pada resolusi
konflik.
05. I Gusti Putu
Asmawan
(2014)
Konflik Etnis
Dalam penguasaan
Sumber Daya
Alam Sumatra
Pemetaan
serta
penjelasan
situasi
penyebab
munculnya konflik
sangatlah kompleks,
seperti muatan
Penelitian
yang dilakukan
saat ini hampir
samadengan
Selatan konflik yang
terjadi di
Sumatra
Selatan
antara etnis
satu dengan
yang lainnya
politis, masalah
kekecewaan dan
perasaan ditekan
selama ini. Berawal
dari konfigurasi
intersectedkemudian
berubah menjadi
consulidatedyang
membuka kesadaran
konflik dan
memungkinkan
terjadinya kekerasan
kolektif.
yang dilakukan
oleh I Gusti
Putu
Asmawan.
Yaitu memberi
penekanan
pada pemetaan
konflik lalu
memberi
rekomendasi
untuk proses
rekonsiliasi
yang dapat
dilakukan.
Namn
Perbedaannya
lebih pada
Metodologi
yang
digunakan
yaitu etnograsi
dan studi
kasus.
Tabel 2 ,Sumber: Diolah oleh penulis dari berbagai sumber, 2017
2.2 Kajian Teoritik
2.2.1 Dialektika Teori Konflik Ralf Dahrendolf dan Lewis A. Coser Tentang
Konflik Perebutan penguasaan Tanah Ulayat di Batanghari Jambi
Dalam Ilmu sosial , Teori Konflik Ralf Dahrendolf merupakan salah satu
yang paling dikenal selain teori konflik milik lewis Coser. Selama kunjungan
Singkatnya di Amerika Serikat antara tahun 1957 sampai 1958, Dahrendolf
menemukan teori kelas dan konflik kelas. Hampir sama dengan teori konflik yang
lainnya , Dahrendolf juga merupakan seorang pengkritik sturtural tradisonal yang
tidak mampu menjelaskan tentang perubahan sosial yang terus terjadi dalam
masyarakat1
Dahrendolf membangun teorinya dengan separuh penerimaan dan separuh
penolakan teori yang dikemukakan oleh Karl Marx. Penerimaannya jelas terlihat
pada beberapa isu diantaranya tentang dekomposisi modal, dekomposisi tenaga
kerja dan juga timbulnya kelas-kelas baru sebagai akibat adanya perubahan sosial
yang ada di dalam masyarakat. Sedangkan penolakannya terutama terlihat pada
pemikiran marx tentang perjuangan kelas yang menurutnya sangat sulit atau
bahkan tidak mungkin untuk terjadi terutama dengan kondisi masyarakat saat ini.2
Teori Dahrendolf terutama membahas tentang bagaimana konflik yang terjadi
dalam masyarakat industri yang dipicu karena adanya dominasi modal dalam
masyarakat. Lebih lanjut dominasi atas modal inilah yang seringkali menjadi
konflik di Indonesia termasuk dalam kasus penguasaan lahan di kabupaten
Batanghari, Jambi. Dominasi Lahan perkebunan Sawit yang dalam Industri ini
menjadi modal utama dan modal pokok. Dominasi atas lahan menciptakan konflik
antara Suku Anak Dalam, PT. Asiatic Persada dan Warga di daerah Batanghari,
Jambi. Berkurangnya Hutan dan Tanah Ulayat akibat pengolahan menjadi lahan
Sawit oleh PT.Asiatic Persada dan warga mengakibatkan sulitnya Suku anak
dalam untuk berburu dan mengumpulkan Makanan.
Lebih lanjut Ralf Dahrendolf juga mengatakan bahwa analisis masyarakat
menggunakan sudut pandang konflik bertitik tolak pada kenyataan bahwa anggota
1 Poloma, Margaret. M, Sosiologi kontemporer ,Jakarta: PT Raja Grafindo Persada ,2007, hal 129
2 ibid hal 131-133
masyarakat dapat dikelompokkan ke dalam dua kategori, yaitu orang yang
menguasai dan orang yang dikuasai. Sedangkan dalam masyarakat daerah
Batanghari ini memang sangat terlihat adanya pihak-pihak yang mendominasi
pihak lain terutama dari segi kekuasaan dan ekonomi yang akhirnya juga menjalar
pada segi kehidupan lainnya.
Pihak yang dikuasai dalam kasus ini mengkin akan lebih tepat disebut sebagai
pihak yang terpinggirkan karena pada akhirnya kita akan melihat adanya garis
dominasi yang tegas terutama dalam permasalahan pemanfaatan lahan. Ralf
Dahrendolf menyebut pihak-pihak ini sebagai Superordinat dan pihak
Subordinat.3 Dalam konteks Penguasaan lahan Ulayat dan Ekonomi PT. Asiatic
persada dan masyarakat lokal dan PT Asiatik menjadi Superordinat, dan Suku
anak dalam lebih menjadi Subordinat. Pada kasus ini Suku Anak Dalam sebagai
kelompok yang dikuasai , mereka merasa Hutan rimba tempat mereka selama ini
tinggal, Berburu dan mengumpulkan makanan yang selama ini mereka miliki dan
anggap keamat kini mulai menghilang digantikan lahan sawit milik PT asiatic dan
warga, Permasalahan ini yang terus berkembang yang berdampak kepada pola
komunikasi dan huungan bermasyarakat yang tidak sehat dan seringkali konflik
ini menyebabkan adanya korban jiwa di semua pihak.
Ralf Dahrendolf juga menyatakan bagaimana terbentuknya kelompok-
kelompok kepentingan dalam konflik. Menurut Dahrendolf kelompok-kelompok
kepentingan dapat terbentuk setidaknya karna tiga kondisi yaitu kondisi teknis,
kondisi politik, kondisi sosial. Dalam kondisi teknis Ralf Dahrendolf menyebut
3 Johnson, Doyle Paul, Teori Sosiologi klasis dan modern,Jakarta: PT Gramedia, 1996, hal 188
bahwa munculnya pemimpin dan pembentuk idiologi menjadi penting dalam
pembentukan kelompok konflik dan tindakan kolektif. Sedangkan dari kondisi
politik, Dahrendolf tingkat kebebasan dalam pembentukan kelompok dan
tindakan kelompok. Kategori Kondisi sosial dalam hal ini terutama meliputi
tingkat komunikasi antar anggota dari suatu kelompok menjadi hal yang juga
sangat menentukan terbentuknya kelompok-kelompok konflik.4
Selain itu, Ralf Dahrendolf juga menyebutkan fase-fase terbentuknya konflik
dalam masyarakat. Fase-fase tersebut dapat dilihat dari gambar dibawah ini:
Gambar 1. Fase Konflik Dalam Masyarakat.5
Jika melihat keadaan dalam Suku anak dalam, adanya persepektif bahwa
masyarakat lokal dan PT. Asiatik Persada sebagai kelompok yang merebut tempat
4 Turner, The Structure of Sociological Theory, Jakarta, PT Gramedia 1997 hal 169
5 Ibid Turner, 1997:168
Adanya
Legitimasi
atas
pembagian
peran dalam
Masyarakat.
(Superordina
t dan
Subordinat)
Terjadinya
Penegasan
atas otoritas
dan jenjang
dalam
Masyarakat
Adanya
Perlawana
n dari
Kelompok
Subordinat
Munculnya
Kesadaran
dari
kelompok
Subordinat
Terbentuknya Konflik Grups.
Konflik
Terjadi Reformasi atas kuasa dalam Masyarakat
Belum Muncul Masalah Masa-masa Kritis
tinggal mereka merupakan awal mula terbentuknya konflik perebutan lahan di
kabupaten Batanghari, Jambi ini, kemudian terjadinya penguasaan lahan
tanahulayat pada akhirnya membuat suku anak dalam sebagai Subordinat dan
membuat muncul tindakan dan perlawanan oelh Suku Anak Dalam.
Stereotipe, sentimen dan pandangan buruk yang berkembang pada Suku Anak
Dalam terhadap PT. Asiatic dan warga lokal inilah yang menjadikan komunikasi
antar pihak menjadi tidak efektif. Anggapan bahwa PT. Asiatic dan Warga lokal
merupakan pengganggu, Perbut hak-hak mereka dan mengancap kehidupan
mereka terlihat dalam kehidupan bermasyarakatnya, seperti tidak saling menyapa,
sikap membesar-besarkan ketikaterjadi masalah, saling memperguncingkan, dan
selalu berusaha menyelesaikan permasalahan dengan konflik fisik. Bentuk-bentuk
seperti itu memberikan gambaran pola kehidupan yang tidak ideal.
Namun dari teori konflik yang dikemukakan di atas, Dahrendofl tidak mampu
menjelaskan fenomena dimana Suku Anak Dalam bahkan semakin bersatu karena
adanya konflik ini. Pada titik inilah letak dialektika antara pemikiran Dahrendolf
dan Coser. Tidak seperti beberapa ahli yang lebih sering mengatakan bahwa
konflik hanya banyak menimbulkan dampak negatif dan cenderung destruktif
dalam kehidupan bermasyarakat, namun Coser memilih menunjukkan berbagai
sumbangan konflik yang secara potensial positif untuk membentuk serta
mempertahankan stuktur6. Selain itu Coser juga memandang konflik sebagai
sebuah kesadaran pembaharuan masyarakat.
6Poloma, Margaret. M, Sosiologi kontemporer ,Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2007 hal: 106
Jadi Coser menganggap dan memandang konflik tidak saja memberikan
dampak negatif dalam masyarakat, namun juga memberikan dampak positif dalam
masyarakat yang salah satunya adalah dapat membentuk stuktur sosial serta
mempertahankannya. Namun dalam penelitian ini, yang akan lebih diperlihatkan
salah satu sisi dari konflik Coser yang menyatakan bahwa, konflik dapat
mempertahankan serta mempererat ikatan dalam kelompok atau In- Groups ketika
mengalami konflik dengan kelompok sosial lainnya Out- Groups. Dalam buku
sosiologi Kontemporer, lebih lanjut dan lebih jelas Coser mengatakan bahwa:
“Konflik dapat merupakan proses yang bersifat instrumental dalam
pembentukan, penyatuan dan pemeliharaan struktur sosial, konflik dapat
menetapkan dan menjaga garis batas antara dua atau lebih kelompok.
Konflik dengan kelompok lain dapat memperkuat kembali identitas dan
melindunginya agar tidak lebur ke dalam dunia sosial kelilingnya”.7
Konflik yang terjadi dengan Out-Groups dapat dijadikan instrumen untuk
memperkuat dan memperjelas identitas diantara para anggota-anggota kelompok.
Kelompok keagamaan, kelompok etnis, kelompok polotik, sering berhasil
mengatasi berbagai hambatan karena konflik menjalankan fungsi positif dalam
memperkuat identitas In- Groups. Keadaan tersebut terjadi terutama dalam Suka
Anak Dalam yang sangat bersatu dan telah berhasil menentukan batas-batas
identitas anggotanya dalam kelompok tersebut. Salah satunya di contohkan
dengan, mereka tidak mau saling bermasalah atau tidak membesar-besarkan
masalah ketika dengan sesama Suku Anak Dalam , namun akan berbeda halnya
jika mereka terlibat masalah dengan Warga atau pekerja PT. Asiatik.
7 Ibib hal 107
Selain itu, Ibnu Khaldun juga menyatakan hal yang hampir sama dengan
yang dikemukakan oleh Coser. Khaldun menyatakan bahwa:
“Suatu kelompok sosial akan mampu edominasi kekuasaan takala secara
internal kelompok tersebut mampu menjaga solidaritas kelompoknya.
Loyalitas para anggotanya dalam menjaga persatuan kelompok sosial dan
ketika solidaritas dalam kelompok mengalami kegoyahan , maka bisa
dipastikan suatu kelompok tidak dapat mempertahankan lebih lama
dominasi kekuasaannya”.8
Pendapat Khaldun diatas menggambarkan bagaimana solidarits dalam
kelompok penguasa (Warga & PT asiatik ) juga mempertahankan dan
membangun solidaritas diantara anggotanya. Perbedaanya dengan Coser adalah
Khaldun lebih melihat dan menekankannya pada kelompok penguasa, dan konsep
dari Ibnu Khaldun ini semakin memperkuat asumsi bahwa karna adanya konflik
ini solidaritas warga lokal dan PT. Asiatik semakin meningkat. Namun
perbedaannya, ketika peningkatan solidaritas Suku Anak Dalam ditujukan untuk
melakukan perlawanan pada kelompok yang mendominasi, Berbeda dengan PT.
Asiatik dan Warga Lokal yang meningkatkan Solidaritasnya karena ingin
mempertahankan kuasanya atas tanah ulayat di daerah tersebut.
Ketidakmampuan teori konflik Dahrendolf dalam menjelaskan fenomena
inilah dan penjelasan di atas yang pada akhirnya menjadi pertimbangan penulis
untuk juga memasukkan pemikiran Coser ini tentang dampak dari situasi konflik
yang bahkan mampu mempertegas identitas pada anggota Suku anak dalam agar
dapat melengkapi kerangka konseptual penelitian ini sekaligus melengkapi
pemikiran Dahrendolf.
8 Susan, Novri, Sosiologi Konflik dan isu-isu konflik Kontemporer, Jakarta, 2009, hal 30
2.2.2 Kesenjangan Sebagai Penyebab Konflik
Menurut Kamanto Sunarto, Secara singkat kesenjangan sosial dapat
diartikan sebagai suatu keadaan dimana terjadi gab atau jarak antara satu
kelompok masyarakat dengan kelompok masyarakat yang lain9. Lebih lanjut
dijelaskan pula bahwa kesenjangan yang terjadi dalam masyarakat bisa
disebabkan karna faktor ekonomi, sosial, dan politik.
Jika dilihat dari faktor ekonomi kesenjangan antara Suku anak dalam,
Warga lokal , dan PT. asiatik sangat jomplang, Hutan tanah ulayat yang selama ini
ditempati Suku anak dalam untuk berburu, mengumulan makanan, dan bertani
dengan sistem berpindah-pindah sudah dipenuhi lahan perkebunan sawit milik
Masyarakat lokal dan PT. Asiatik sehingga suku anak dalam sanagta kesulitan
untuk memenuhi kebutuhan hidup dan ekonomi keluarganya. Sedangkan warga
sangat terbantu dan sangat diuntungkan dengan membuka lahan sawit baru di
tanah ulayat dari segi materi dan kesempatan kerja. Sedangkan jika dilihat dari
segi politik salah satunya adalah adanya dominasi posisi-posisi atau kuasa serta
wewenang dalam suatu sistem pemerintahan oleh kelompok tertentu. Sedangkan
dari segi sosial, adalanya pandangan rasisme dan anggapan suku anak dalam
adalah suku sangat tertinggal dan membahayan menimbulkan kesenjangan dalam
tata kehidupan bermasyarakat.
Dari pengertian diatas, dapat dipahami bahwa keadaan yang terjadi pada
masyarakat Batanghari, Jambi yaitu antara Suku anak Dalam dengan PT. Asiatik
9 Sunarto, Kamanto, Pengantar Sosiologi, edisi kedua, Jakarta: Lembaga penerbit Fakultas
Indonesia, 2000, hal 85
dan Warga pendatang mengalami kesenjangan sosial karna dalam masyarakat ini
terdapat gap atau jarak antara Suku anak dalam dengan warga pendatang dan PT.
Asiatik persada terutama karna Faktor ekonomi, sosial, dan poliik. Adanya
penguasaan atas lahan serta perbedaan pendapat menjadi pemicu terjadinya
kesenjangan dalam masyarakat.
Menurut Karl Marx, Kesenjangan sosial yang terlalu terlihat dan terasa
dalam masyarakat bisa terjadi pemicu sebuah konflik dalam masyarakat tersebut
yang dalam buku ini Marx mencontohkannya dengan kesenjangan yang terjadi
antara kaum buruh dan Proretar dan kaun Majikan atau kaum Borjuis.10
Sedangkan yang terjadi dalam masyarakat Suku anak dalam merupakan
kesenjangan sosial yang diakibatkan karena adanya penguasaan lahan oleh PT.
Asiatik dan masyarakat pendatang yang berakibat pada perbedaan yang sangat
terlihat dan kesulitan Suku anak Dalam untuk mempertahankan tata
kehidupannya, Kesenjangan sosial inilah yang diindikasikan sebagai cikal bakal
penyebab konflik yang terjadi di Batanghari ini. Konsep kesenjangan sosial
dimaksut dalam kerangka konseptual ini untuk mengidentifikasikan dan
memperkuat argumentasi bahwa keaadaan yang terjadi di Batanghari, jambi ini
adalah benar merupakan keadaan “ Kesenjangan Sosial” dan nantinya juga akan
banyak disebutkan dalam penulisan laporan penelitian ini.
2.2.3 Konflik Horizontal: Konflik Suku Anak Dalam dan Penguasa Sumber
Daya Alam
10
Johnson, Doyle Paul, Teori Sosiologi klasis dan modern,Jakarta: PT Gramedia, 1996, hal 142
Teori konflik muncul atas adanya kritik terhadap teori struktural
fungsional yang tidak dapat menjelaskan adanya perubahan sosial yang terjadi
dalam masyarakat. Menurut T. Parsons keberadaan konflik dalam masyarakat
sudah dianggap sebagai sebuah patogi atau penyakit yang pasti ada dalam
masyarakat dan tidak dapat dihindarkan terutama dalam konteks masyarakat yang
terus bergerak dan mengalami perubahan sosial.11
Namun terlepas dari itu, konflik
tidak bisa semata-mata dipandang sebagai sesuatu yang merusak tetapi konflik
juga dapat menyumbangkan banyak terhadap kelestarian kelompok dan
mempererat hubungan diantara para anggotanya.
Beberapa ahli memiliki definisinya masing-masing atas konflik dan
diantaranya menurut Lewis A, Coser:
“Konflik adalah perselisihan mengenai nilai-nilai atau tuntutan-tuntutan
berkenaan dengan status, kuasa, dan sumber-sumber kekayaan yang
persediaannya tidak mencukupi, dimana pihak-pihak yang sedang
berselisih tidak hanya bermaksud untuk memperoleh barang yang
diinginkan, melainkan juga memojokkan, merugikan, atau menghancurkan
lawan mereka”12
Dari definisi konflik Coser diatas, perebutan sumberdaya yang ada dalam
masyarakat tertentu memiliki potensi munculnya konflik. Hal ini juga terjadi pada
konflik antar etnis di daerah Kabupaten Batanghari jambi antara Suku anak dalam,
Masyarakat dan PT. Asiatik persada. Perebutan dan Penguasaan lahan ulayat oleh
Masyarakat pendatang dan PT. Asiatik persada memicu kecemburuan dan
kemarahan Suku Anak Dalam yang merasa lahan ulayat itu milik mereka dan
tempat mereka tinggal.
11
Veeger. K. J, Realitas Sosial, Jakarta, PT Gramedia,1986, hal 210 12
Ibid hal 211
Kecemburuan semakin bertambah ketika harga buah sawit meningkat dan
semakin banyaknya lahan yang dikuasai warga dan PT. Asiatik persada yang
digunakan sebagai lahan perkebunan kelapa sawit sehingga hal ini menyebabkan
terjadinya kemarahan Suku anak dalam karena menyempitnya hutan tempat
mereka tinggal, makin sulitnya mereka berburu untuk mencukupi kebutuhan
hidupnya dan gangguan asap akibat pembukaan lahan yang dilakukan dengan
membakar hutan untuk membuka lahan perkebunan kelapa sawit.
Dari pengertian diatas juga didapat bahwa dalam situasi konflik, suatu
pihak yang berselisih dengan pihak lain tidak hanya bermaksut memperoleh
barang, namun juga memojokkan, merugikan dan berupaya untuk menghancurkan
pihak lain dalam kondisi perebutan tersebut. Dalam permasalahan di Batanghari
jambi, terutama PT. Asiatik, Masyarakat pendatang dan Suku anak dalam juga
menggambarkan hal tersebut. Upaya saling memojokkan dibuktikan dengan
adanya tindakan pembakaran Hutan oleh pihak PT. Asiatik dan Masyarakat
pendatang sehingga mengahncurkan kuasa Suku anak dalam terhadap sebagian
lahan yang terbakar tersebut, sedangkan pada suku anak dalam sering melakukan
pemalakan terhadap warga atau karyawan PT. Asiatik yang berada di lahan ulayat
bahkan sering sampai ke tindakan kriminal untuk memberikan efek jera dan
ketakutan.
Dalam bukunya, Kumanto Sunarto menjelaskan bahwa konflik horizontal
merupakan konflik yang terjadi antara satu kelompok dan kelompok lain dalam
masyarakat yang bersifat sejajar. Seperti contohnya konflik antar etnis, konflik
13Suku, konflik agama. Sedangkan konflik vertikal adalah konflik yang cenderung
melibatkan masyarakat yang berbeda lapisan, atau cenderung bersifat berjenjang,
contohnya konflik antara kaum buruh dengan kaum ajikan atau pengusaha atau
konflik anatara masyarakat dengan pemerintah.14
Jika dilihat dari kasus yang terjadi antara Suku anak dalam dan PT. Asiatik
maupun warga pendatang di kabupaten Batanghari, Jambi maka konflik ini dapat
digolongkan dalam konflik yang bersifat horizontal karena kedua golongan atau
kelompok tidak dipisahkan dalam kelompok masyarakat yang bersifat berjenjang
dan tidak memiliki saling ketergantungan satu sama lain. Sangat penting dalam
suatu penelitian mengidentifikasikan suatu keadaan, termaksuk juga
mengindentifikasikan konflik ini termaksuk dalam konflik horizontal maupun
vertikal karena akan sangat berpengaruh pada metode pendekatannya dan cara
untuk mendapatkan data yang falid, serta agar dapat membentuk saran yang
benar-benar sesuai dengansituasi yang terjadi pada masyarakat.
2.2.4. Analogi Pilar Sebagai Alat bantu Analisis Eksistensi Konflik
Penggunaan dan pemilihan alat bantu konflik yang tepat akan dapat
memudahkan peneliti dalam menganalisis dan mencoba menyelesaikan keadaan
atau situasi konflik. Terdapat beberapa alat bantu analisis konflik dengan
kareteristik dan kelebihan yang berbeda-beda diantaranya analogi bawang
bombay, pohon konflik, analogi piramida, dan analogi pilar.
14
Sunarto, Kamanto, Pengantar Sosiologi, edisi kedua, Jakarta: Lembaga penerbit Fakultas Indonesia, 2000, hal 102
Dalam kasus ini, peneliti akan mencoba mengkaji konflik dengan
menggunakan analogi pilar. Analogi pilar didasarkan pada keyakinan bahwa
situasi tertentu tidak benar-benar stabil, tetapi ditahan oleh berbagai faktor atau
kekuatan, yaitu pilar-pilar. Analogi pilar-pilar dapat dipergunakan ketika situasi
tidak jelas, kekuatan apa saja yang membuat situasi tidak stabil tetap bertahan.
Dengan menggunakan analogi pilar ini, diharapkan dapat membantu penulis
dalam mengidentifikasikan faktor-faktor yang membuat situasi konflik tetap
bertahan, dan juga untuk mempertimbangkan berbagai cara untuk mengurangi
atau menghilangkan faktor-faktor negatif tersebut, atau mungkin mengubahnya
menjadi kekuatan-kekuatan yang lebih positif.15
Hal pertama yang harus dilakukan dalam menggunakan analogi pilar
adalah mengidentifikasikan situasi yang tidak stabil (konflik, masalah atau
ketidakadilan) dan kemudian menganalogikannya dengan sebuah segitiga sama
kaki terbalik yang berdiri diatas satu titik. Selanjutnya kita harus
mengidentifikasikan berbagai kekuatan dan faktor yang tampaknya menahan
situasi konflik ini tetap terjadi yang digambarkan dengan pilar-pilar pendukung di
masing-masing segitiga. Kemudian untuk tahap yang lebih lanjut, kita dapat
mempertimbangkan bagaimana pilar-pilar ini dapat dikurangi dan dihilangkan
dari situasi konflik, serta pertimbangan situasi stabil apa yang dapat menggantikan
situasi yang tidak stabil tersebut.
Gambar 2.1 Analogi Pilar
15
Fisher, Simon, Mengelola konflik: Keterampilan& strategi untuk bertindak, Yogyakarta 2001 hal 31
Gambar 2.1 Sumber diolah sendiri oleh Peneliti
Dari Gambar di atas dapat dilihat bentuk abstrak analogi pilar yang akan
digunakan sebagai alat bantu analasis konflik di daerah Kabupaten Batanghari
Jambi. Pengunaan analogi Pilar ini akan lebih memudahkan penulis dalam
mengidentifikasikan faktor-faktor yang menjaga atau menahan konflik antara
Suku Anak Dalam dan PT Asiatik beserta Masyarakat Pendatang di daerah
batanghari ini tetap Stabil. Setelah dapat diiedentivikasi, tahap selanjutya
memungkinkan untuk mencoba menemukan cara meredakan konflik atau konsep
rekonsiliasinya.
Mengacu pada gambar diatas, kita dapat menempatkan faktor-faktor yang
memperkuat konflik ke dalam pilar-pilar yang ada di kedua sisi segitiga tersebut.
Pada pilar dengan tanda angka 1 (satu) a dan b akan diisi dengan faktor yang
berbeda (yang saling berkaitan) yang paling kuat dalam menjaga keadaan konflik
tetap eksis dan semakin ke dalam dapat diisi dengan faktor-faktor yang lebih
kecil.
Konflik Anatara Suku anak Dalam Dan PT.
Asiatik Persada/Masyarakat
Pendatang
1a 2a 3a 3b 2b 1b
2.3 Alur Berpikir
Alur berfikir dalam penelitian ini berawal dari adanya dominasi dan
Penguasaan Lahan ulayat di daerah Batanghari, Jambi oleh PT. Asiatik Persada
dan masyarakat Pendatang. Keberadaaan dan dominasi lahan oleh PT. Asiatik
Persada dan Masyarakat Pendatang ini menyebabkan kesulitan yang luarbiasa
untuk Suku Anak Dalam dimana selama ini mereka hidup dengan cara berburu
dan bertani hanya untuk sekali tanam ditempat yang sama, kehidupan mereka
sangat bergantung terhadap kondisi hutan, Kini hutan tempat mereka tinggal
sudah dipenuhi lahan perkebunan sawit milik PT. Asiatik Persada dan Masyarakat
pendatang yang akhirnya menimbulkan konflik antara Suku Anak Dalam kepada
PT. Asiatik dan Masyarakat pendatang.
Dari konflik yang terjadi terbentuk kondtelasi konflik dan eksistensi
konflik dan diketahui Kehadiran pihak LSM dan masyarakat Pendatang menjadi
faktor yang menyangga konflik perebutan lahan ulayat ini tetap eksis dan terjaga
hingga saat ini. Dominasi dan Penguasaan Lahan serta konstelasi konflik dalam
penelitian ini dikaji lebih lanjut dengan menggunakan beberapa teori konflik yaitu
teori konflik dari Ralf Dahrendolf dan disandingkan dengan kajian konflik Lewis
Coser. Untuk memetakan eksistensi atau faktor-faktor penyangga konflik, maka
digunakan konsep analogi pilar sebagai alat bantu untuk menganalisi dan
memetakan konflik.
Bagan 1.1
Alur Pikir Penelitian
Sumber: Hasil Olah Sendiri
Konflik Penguasaan Lahan Ulayat di
Desa Bungkul, Kabupaten Batanghari,
jambi Anatar Suku Anak Dalam,
Warga pendatang dan PT. Asiatik
Persada.
Konflik Agraria
Konflik Kepentingan
(Adanya kepentingan masing-
masing pihak untuk menguasai
lahan ulayat di kabupaten
Batanghari, Jambi)
Analisis Teori Konflik Ralf Dahrendolf &
Lowis Coser
Rafl Dahrendolf
Identifikasi awal mula terjadinya
konflik
Identifikasi Peran
- Superordinat (Menguasai)
- Subordinat (Dikuasai)
Identifikasi Kepentingan
- Kepentingan Tersembunyi
- Kepentingan Nyata
-Kepentingan Semu
Lowis Coser
Identifikasi dampak konflik
Hasil
1) Kehadiran LSM dan Msyarakat pendatang menjadi Faktor Penyangga Konflik tetap eksis
sehingga konflik tersebut tidak pernah benar-benar selesai saat ini dimana kedua aktor ini
memanfaatkan konflik demi memperoleh keuntungan sendiri.
2) PT. Asiatik Persada dan LSM menjadi pihak Superordinat (Menguasai) dikarenakan faktor
SDM yang lebih tinggi dari Suku Anak Dalam, kebanyakan warga pendatang bekerja sebagai
pegawai di PT. Asiatik sehingga sangat mudah bagi PT. Asiatik untuk mengontrol Masyarakat
pendatang dan Suku Anak Dalam serta masyarakat Pendatang berada di posisi
Subordinat(Dikuasai).
3) PT. Asiatik persada dan Suku Anak Dalam memiliki kepentingan Nyata dalam kasus ini
dimana PT. Asatik memliki kepentingan Ekonomi dan Suku Anak Dalam berkepentingan
untuk kelangsungan hidupnya, LSM sendiri memiliki kepentingan Tersembunyi dimana
merea menunggangi penderitaan Suku Anak Dalam untuk memperoleh keuntungan sedangkan
Masyarakat pendatang mengemban kepentingan Semu dimana hanya mengambil keuntungan
jika memiliki kesempatan.
BAB III
METODE PENELITIAN
Pada bab ini akan dibahas tentang metode penelitian yang digunakan dalam
penelitian yakni berisi tentang jenis penelitian, fokus dan lokasi penelitian, jenis
data, teknik pengumpulandata dan teknik analisa data.
3.1. Jenis penelitian
Jenis penelitian yang digunakan oleh peneliti dalam penelitian ini adalah
penelitian kualitatif yang kemudian dipaparkan secara deskriptif analisis.
Pengertian penelitian kualitatif menurut Taylor dan Bogdan dapat diartikan
sebagai prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata
tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat di amati1. Pendekatan
Kualitatif lebih menekankan penggunaan diri peneliti sebagai alat, dan kepekaan
penelitian dengan mengerahkan segenap fungsi indranya.
Metode kualitatif dapat digunakan untuk mengungkap dan memahami sesuatu
di balik fenomena yang sedikit pun belum diketahui, metode ini dapat
memberikan rincian yang kompleks tentang fenomena yang sulit diungkapkan
oleh metode kualitatif.2 Metode penelitian kualitatif dipilih agar peneliti bisa
mendapatkan data yang mendalam dan data pasti dimana data tersebut tidak
didapat hanya dari mendengar namun data yang sebenarnya terjadi sebagaimana
adanya. Riset ini tidak mementingkan besarnya populasi atau sampling bahkan
populasi atau Sampling-nya sangat terbatas. Ketika penelisti merasa data yang
1 Lexy J Moleong. Metodologi Penelitian Kualitatif, (Bandung : Remaja Rosdakarya,2012), Hlm 4
2 Suryabrata Sumadi. Metodologi Penelitian, (Jakarta: Rajawali, 1989). Hlm 5
dikumpulkan sudah cukup untuk dianalisis dan data yang diperoleh telah sampai
pada titi jenuh, maka ia tidak harus menambahkan kuantitas data lainnya.
Tujuan penelitian ini bersifat eksplanatoris. Tujuan maupun keunggulan dari
jenis penelitian eksplanatoris ini adalah untuk memajukan penjelasan-penjelasan
tandingan untuk rangkaian pristiwa semacam itu bisa digunakan dan diterapkan
untuk menjelaskan situasi-situasi yang lain3. Jadi dalam hal ini, konflik yang
terjadi di kabupaten Batanghari, Jambi ini tidak hanya terjadi di Jambi namun
juga ditempat lain yang juga dijadikan tujuan transmigrasi dan perkembangan
pengolahan Sumber daya alam seperti di Kalimantan dan Papua sehingga dengan
mengunakan jenis penelitian eksplanatoris ini diharapkan nantinya hasil dari
penelitian ini juga dapat digunakan untuk melihat konflik-konflik Sumber daya
Alam yang terjadi terutama di daerah-daerah transmigrasi.
3.2 Metode Penelitian
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah studi kasus. Studi
kasus merupakan sebuah strategi penelitian dimana didalamnya peneliti
menyelidiki secara cermat suatu program, pristiwa, aktivitas, proses, ataupun
sekelompok individu. Kasus-kasus dibatasi oleh waktu dan aktivitas, dan peneliti
mengumpulkan informasi secara lengkap dengan menggunakan berbagai prosedur
pengumpulan data berdasarkan waktu yang telah ditentukan.4 Metode ini dapat
mengantarkan peneliti memasuki unit-unit sosial terkecil seperti perhimpunan,
kelompok, keluarga, dan berbagai bentuk unit sosial lainnya. Jadi, kasisi dalam
3 Yin, Robert, K, Studi kasus, Desain & Metode. Jakarta, PT Raja Grafindo, 2011 hal 6
4 Creswell, John, Research Design, Pendekatan Kualitatif, Kuantitatif dan Mixed,Yogyakarta,
Pustaka Pelajar, 2010 hal 20
khazana metodologi dikenal sebagai suatu studi yang bersifat komprehensif,
intens, rinci dan mendalam serta lebih diarahkan sebagai upaya menelaah
masalah-masalah atau fenomena yang bersifat kontemporer atau kekinian.5
Pakar metodologi penelitian, Robert Yin menyebutkan:
“Studi kasus adalah suatu inkuiri empiris yang: menyelidiki fenomena
dalam konteks kehidupan nyata, bilamana; batas-batas anatara fenomena
dan konteks tak tampak dengan tegas ; dan dimana:multi sumber bukti
dimanfaaatkan. Ia menambahkan, studi kasus itu lebih banyak berkutat
pada atau berupaya menjawab pertanyaan-pertanyaan “how” (bagaimana)
dan “Why” (mengapa), serta pada tingkat tertentu juga menjawab
pertanyaan “wahat” (apa/apakah) dalam kegiatan penelitian,”6
Peneliti menggunakan studi kasus sebagai metode karena obyek pada
penelitian ini adalah kelompok masyarakat yang telah lama mengalami konflik.
Konflik tetap ada namun tidak selalu muncul kepermukaan. Selain itu, kekuatan
utama sebagai kareteristik dasar studi kasus adalah memberikan akses atau
peluang kepada peneliti untuk menelaah secara mendalam, detail, intensif, dan
menyeluruh terhadap unit sosial yang diteliti.
Jenis studi kasus yang digunakan dalam penelitian ini adalah studi kasus
eksplanatoris. Hal ini dikarenakan peneliti menyesuaikan dengan jenis
penelitiannya yaitu kualitatif yang bertujuan memaparkan dan memberikan
gambaran tentang historasi, konstelasi dan eksistensi konflik perebutan kekuasaan
tanah ulayat di daerah batanghari jambi.
5 Burhan bungin, Analisis data penelitian kualitatif, Pemahaman Filosofis dan metodologis ke arah
penguasaan model aplikasi Ed.. Jakarta, PT. Raja Grafindo Persada,2010 hal19-20 6 Yin, Robert, K, Studi kasus, Desain & Metode. Jakarta, PT Raja Grafindo, 2011
Secara lebih rinci, Abdul Aziz S.R merumuskan keunggulan-keunggulan
studi kasus:
Studi kasus dapat memberikan informasi penting mengenai hubungan
antar-variabel serta proses-proses yang memerlukan penjelasan dan pemehaman
yang lebih luas;
1. Studi kasus memberikan kesempatan untuk memeperoleh wawasan
mengenai konsep-konsep dasar prilaku manusia. Melalui penyelidikan
intensif peneliti dapat menemukan kareteristik dan hubungan-hubungan
yang (mungkin) tidak diharapkan/diduga sebelumnya:
2. Studi kasus dapat menyajikan data-data dan temuan-temuan yang sangat
berguna sebagai dasar untuk membangun latar permasalahan bagi
perencanaan penelitian yang lebih besar dan mendalam dalam rangka
pembangunan ilmu sosial.
Desain dalam penelitian ini digunakan untuk penelitian dengan kasus
tunggal (single case) yaitu mengetahui dan mendeskripsikan secara holistik
historasi, konstelasi dan eksistensi konflikpenguasaan lahan ulayat di saerah
lempuinh. Tiga macam rasionalitas yang harus diperhatikan untuk mendesain
penelitian studi kasus tunggal:
1. Bahwa kasus tunggal pada dasarnya analog dengan eksperimen
tunggal (dalam penelitian kuantitatif). Dalam konteks ini sebuah
rasional muncul ketika kasus itu tampak sebagai kasus penting dan
relevan untuk menguji suatu teori yang diletakkan sebelumnya sebagai
perspektif. Teori sebelumnya yang digunakan peneliti adalah teori
konflik Ralf Dahrendolf dan Lewis Coser yang mencoba melihat
penguasaan lahan sumber daya alam yang memiliki pengaruh terhadap
keberadaan konflik dan karena konflik yang terjadi menyebabkan
saling menguatkan in-Group kelompok masing-masing
2. Sebuah kasus merefleksikan sesuatu yang ekstrim atau penuh keunikan
sehingga menarik dan bermakna untuk ditelusuri. Fenomena konflik
lahan menjadi isu yang sensitif terjadi di Indonesia.
3. Sebuah kasus yang dapat dikatakan sebagai kasus penyingkapan.
Kasus ini dapat ditemui seorang peneliti ketika ia berkesempatan
memasuki suatu ranah sosial atau fenomena yang kurang diijinkan
untuk diteliti secara alamiah. Fenomena konflik menjadi suatu yang
sulit mengungkapkannya, akrena ketika konflik itu tidak sampai
dipermukaan akan sangat sulit untuk mendeteksi konflik yang sedang
terjadi.
3.3 Fokus Penelitian
Penelitian ini mengambil fokus tentang historasi, Kontelasi, hubungan antar
faktor-faktor yang menyebabkan konflik tetap terjadi dan eksistensi konflik lahan
itu sendiri di daerah kabupaten Batanghari, jambi.
Fokus yang akan dibahas dalam penelitian antara lain:
1. Story telling tentang awal mula terbentuknya konflik.
2. Kontelasi atau latar belakang yang menyebabkan konflik antar Suku anak
dalam dengan PT, Asiatik dan warga pendatang
3. Eksistensi konflik atau faktor-faktor yang menyebabkan konflik tetap
eksis.
Penelitian ini dilakukan di Desa Bungku, Kec. Bajubang,
Kabupaten Batanghari, Jambi. Berada di kawasan PT. Asiatik Persada dan
Perkampungan masyarakat Suku Anak Dalam (SAD) Kelompok 113 tiga
dusun (Tanah Menang, Pinang Tinggi, Padang Salak) yang berada di areal
HGU PT. Asiatic Persada Subyek Penelitian.
3.4 Unit Analisi Data dan Teknik Pengumpulan Data
Unit analisis data adalah kajian penelitian yang dikelompokkan dalam
unit-unit tertentu. Pada penelitian ini unit analisis data meliputi historisasi,
konstelasi dan eksistensi konflik. Historisasi dalam hal ini meliputi beberapa unit-
unit lebih lecil diantaranya adalah tentang bagaimana PT. Asiatik Persada dan
masyarakat pendatang mulai merambah tanah Ulayat di Batanghari Jambi.
Sedangkan untuk kontelasi konfliknya, akan dilihat lebih jauh bagaimana
sebenarnya keadaan pada Suku anak dalam serta masalah inti atau masaah utama
yang sering memicu terjadinya konflik, dari segi Eksistensi konfliknya , peneliti
akan mencari faktor-faktor yang membuat konflik tetap eksis meski dalam jangka
waktu yang cukup lama.
Peneliti Menggunakan teknik wawancara mendalam, observasi dan
dokumentasi sebagai metode pengumpulan data. Wawancara atau interview
adalah suatu bentuk komunikasi verbal, semacam percakapan yang bertujuan
memperoleh informasi. Peneliti memilih wawancara karena metode ini
merupakan cara yang sesuai untuk mengungkapkan kenyataan hidup, apa yang
dipikirkan atau dirasakan orang tentang berbagai aspek kehidupan. Melalui tanya
jawab kita dapat memasuki alam pikiran orang lain, sehingga kita dapat
memperoleh gambaran tentang dunia mereka. Jadi wawancara dapat berfungsi
deskriptif yaitu melukiskan dunia kenyataan seperti yang dialami orang lain.
3.4.1 Wawancara
Wawancara dapat diartikan sebagai cara yang dipergunakan untuk
mendapatkan informasi (data) dari responden dengan cara bertanya langsung
secara bertatap muka (face to face).7 Definisi wawancara Menurut Esterberg,
wawancara adalah merupakan pertemuan dua orang untuk bertukar informasi
dan ide melalui tanya jawab, sehingga dapat dikonstruksikan makna dalam
suatu topik tertentu.8
Esterberg mengemukakan beberapa macam wawancara yaitu:9
Wawancara terstruktur adalah bila peneliti atau pengumpul data telah
mengetahui dengan pasti tentang informasi apa yang akan diperoleh. Peneliti
melakukan wawancara dan dalam pengumpul data peneliti telah menyiapkan
instrumen berupa pertanyaan-pertanyaan tertulis.
Wawancara semi terstruktur adalah wawancara dimana
pengggunaannya lebih bebas dibandingkan dengan wawancara terstruktur.
Dalam melakukan wawancara peneliti perlu mendengarkan secara teliti dan
mencatat apa yang dikemukakan informan sedangkan wawancara tak
7Ibid. Hlm 69
8 Sugiyono., Op.Cit., Hlm. 72S
9Ibid. Hlm 73-75
berstruktur adalah wawancara yang bebas dimana peneliti tidak menggunakan
pedoman wawancara.
Dalam penelitian ini peneliti menggunakan metode wawancara
semiterstrukur dimana metode semiterstrukur digunakan untuk menemukan
permasalahan secara terbuka dan pihak yang diajak wawancara dapat dimintai
pendapat dan ide-idenya. Peneliti tetap menggunakan pedoman-pedoman
pertanyaan, agar penelitian lebih terarah namun juga akan dikembangkan
secara bebas. Teknik pengambilan sampel dengan metode Purposive
Sampling, yang diartikan sebagai pengambilan sampel sengaja sesuai dengan
persyaratan sampel yang diperlukan. Sampel informan dipilih peneliti dengan
menentukan dan menemukan siapa yang akan diwawancara
3.4.2 Observasi
Observasi ialah pengamatan dan pencatatan yang sistematis terhadap
gejala-gejala yang diteliti.10
Menurut Guba dan Lincoln ada beberapa alasan
mengapa dalam penelitian kualitatif pengamatan dimanfaatkan sebesar-
besarnya diantaranya:11
teknik pengamatan didasarkan atas pengalaman
secara langsung, melalui pengamatan memungkinkan peneliti untuk melihat
dan mengamati sendiri tentang kejadian yang sebagaimana terjadi di
lapangan, teknik pengamatan memungkinkan peneliti untuk mampu
memahami situasi-situasi rumit dan kasus-kasus tertentu dimana teknik
komunikasi tidak memungkinkan untuk dilakukan.
10
Husaini, Usman, Metodologi Penelitian Sosial, ( Jakarta: Bumi Aksara, 2014). Hlm 52 11
Lexy J Moleong. Op.Cit. Hlm 174-175
3.4.3 Dokumentasi
Dokumen merupakan catatan peristiwa yang sudah berlalu yang bisa
berbentuk tulisan, gambar, atau karya-karya monumental dari
seseorang.12
Menurut Lexy J Moleong ada dua jenis dokumen yang dapat
dijadikan bahan studi dalam studi dokumentasi yaitu dokumen pribadi dan
dokumen resmi.13
Dokumen pribadi digunakan untuk memperoleh kejadian nyata
tentang situasi sosial di sekitar subjek penelitian. Sumber dokumen pribadi
dapat berupa buku harian, surat pribadi dan otobiografi. Dokumen resmi
terdiri atas dokumen internal dan dokumen eksternal. Adapun dokumen
internal dapat berupa memo, pengumuman, isntruksi, ataupun aturan suatu
lembaga masyarakat. sedangkan dokumen eksternal dapat berupa majalah,
buletin, pernyataan dan berita yang disiarkan di media massa.
12
Ibid. Hlm 82 13
Lexy J Moleong. Op.Cit. Hlm 217-219
3.5 Sumber Data
3.5.1 Data primer
Data primer merupakan data yang diperoleh peneliti dari sumber asli
(langsung dari informan) yang memiliki informasi atau data tersebut.14
Adapun data primer yang diperoleh dalam penelitian ini adalah data yang
didapatkan melalui wawancara dan observasi atau pengamatan langsung.
3.5.2 Data sekunder
Data sekunder adalah data yang diperoleh dari sumber kedua (bukan
orang pertama, bukan asli) yang memiliki informasi atau data tersebut. 15
.
Data Sekunder ini terutama digunakan untuk memperkuat dan memverivikasi
data yang telah didapatkan dari informan utama yang telah ditentukan dan
telah melakukan wawancara mendalam. Data sekunder juga diperoleh melalui
studi literatur baik berupa buku, jurnal, penelitian terdahulu, situs internet
serta dokumen-dokumen milik desa yang mendukung dan membantu peneliti
untuk memperoleh informasi berkaitan dengan penelitian ini.
3.6 Teknik Analisa Data
Menurut Bogdan dan Biklen16
, analisis data ialah proses pencarian dan
penyusunan data yang sistematis melalui transkrip wawancara, catatan lapangan,
dan dokumentasi yang secara akumulasi menambah pemahaman peneliti terhadap
yang ditemukan. Nasution menyatakan bahwa analisis data ialah proses menyusun
14
Ibid. Hlm 86 15
Ibid. Hlm 87 16
Husaini, Usman, Op. Cit, Hlm 84
data agar dapat ditafsirkan, menyusun data berarti menggolongkannya dalam
suatu pola atau tema.17
Miles and Huberman (1984), mengemukakan bahwa
aktivitas dalam analisis data kualitatif dilakukan secara interaktif dan berlangsung
secara terus-menerus sampai tuntas. Proses-proses analisis kualitatif dapat
dijelaskan ke dalam tiga langkah sebagaimana berikut:
Gambar 3.1
Teknik Analisis Data Kualitatif
Sumber: Sugiyono, 2010
Penjabaran dari gambar di atas adalah pertama, pengumpulan data (data
collection), peneliti mengumpulkan dan menggali sebanyak-banyaknya data dan
Diolah menjadi sebuah fakta. Kedua, reduksi data (data reduction), banyaknya
data yang diperoleh di lapangan maka perlu untuk dilaksanakan tahap reduksi
data. Mereduksi data berarti merangkum, memilih hal-hal yang pokok, dan
memfokuskan pada hal-hal yang penting dan dibutuhkan saja. Ketiga, penyajian
data (data display), dalam penelitian kualitatif penyajian data dapat dilakukan
dalam bentuk uraian singkat, bagan dan sejenisnya. Namun yang paling sering
digunakan untuk menyajikan data adalah dengan teks yang bersifat naratif.
Keempat, penarikan kesimpulan/verifikasi (conclusion drawing/verification).
17
Husaini, Usman, Op.Cit, Hlm 84
Data
collection
Conclusion:
drawing/verifying
Data
reduction
Data
display
Penarikan kesimpulan yang akan menyimpulkan keseluruhan data-data konkrit
yang di dapat di lapangan secara jelas dan pasti.
3.7 Informan Penelitian dan Instrumen Penelitian
Informan utama dealam penelitian ini adalah orang-orang yang dianggap
sebagai tetua atau pimpinan masing-masing kelompok atau orang-orang yang
sering menyelesaikan permasalahan diatara kelompok baik itu Suku Anak dalam,
Masyarakat pendatang, maupun pihak PT. Asiatik persada. Selanjutnya, informan
juga dapat dipilih berdasarkan rekomendasi daripada informan kunci yang telah
dipilih. Informan utama yang dipilih dengan alasan bahwa orang-orang tersebut
lebih mengerti permasalahan apa yang sering terjadi antar kelompok tersebut, dan
mereka juga lebih mengerti tentang historisasi terjadinya konflik antara Suku anak
dalam, PT. Asiatik dan Warga pendatang.
Tabel 3.1 Informan Penelitian
NO NAMA JABATAN
01. Sigit Eko Yuwono Tim Penanganan konflik Bangkesbangpol
Jambi, dan anggota Tim Terpadu
02. Farizal, SH.MH Sekretaris Tim Terpadu Kakan Kesbang
dan Politik Batanghari
03. Pdt. Togap Parulian Harahap Misionaris (pendeta) yang melayani ke
Suku anak Dalam
04. Diki Kurniawan Direktur KKI LSM WARSI (warung
Informasi)
05. Jarni Masyarakat Suku Anak Dalam (Anak
Rimba)
06. Parulian dabukke Pegawai PT. Asiatik Persada
07 MR. X Satuan pengamanan (satpam) perusahaan
perkebunan kelapa sawit PT Asiatic
Persada
07. Kompol R Manalu. SH. MH Kasubdid PID Bidang Humas Polda
Jambi
08. Mr. Y Kepala Desa Bungku kabupaten
Batanghari, Jambi
09. Ainul Irfan Kepala Bidang Biro SDA dan
Lingkungan Kantor Gubernur Jambi
10 Daniel ngalay Tetua adat Suku Anak Dalam
(Tumenggung)
11 Amit Wakil Tumenggung Suku Anak dalam
12 Ansori Kanwil Badan Pertanahan Nasional Kota
Jambi
Tabel 3.1 Sumber Diolah sendiri oleh Peneliti
BAB IV
DESKRIPSI LOKASI KONFLIK DAN AWAL MULA TERJADINYA
KONFLIK
Pada bab ini peneliti menggambarkan bagaimana lokasi konflik serta hasil
penelitian. Dalam menggambarkan lokasi konflik, peneliti membagi gambaran
menjadi dua, yakni keadaan geografis, keadaan kependudukan dan potensi Desa
Bungku itu sendiri, baik potensi dalam pertanian pangan, potensi peternakan, dan
potensi Sumber Daya Manusia. Selain itu, peneliti juga memaparkan sejarah
singkat lokasi konflik, hal ini peneliti maksudkan untuk memberikan gambaran
bagaimana kondisi lokasi sebelum terjadi adanya konflik Perebutan Lahan Ulaya
dari data-data valid yang berhasil peneliti himpun saat melakukan penelitian ke
lapangan.
4.1. KABUPATEN BATANG HARI
4.1.1 Kondisi Geografis
Kabupaten Batang Hari terletak di antara 1º15’ lintang selatan sampai dengan
2º2’ lintang selatan dan diantara 102º30’ bujur timur sampai dengan 104º30’ bujur
timur. 101-500 (data BPS 11-100A meter dpl sebanyak 92,67 % dan 101-500
meter dpl 7,33 %). Iklim (Suhu rata-rata perbulan) 26,5 (data BPS 26.0 s.d. 27,2).
Curah hujan rata-rata per tahun 179,3 (119 mm sampai 371,5 mm). Luas wilayah
kabupaten 5246 km2. Batas wilayah kabupaten Batang Hari
a) Sebelah Barat : Kabupaten Tebo
b) Sebelah Timur : Kabupaten Muaro Jambi
c) Sebelah Selatan : Provinsi Sumatra Selatan, Kabupaten Sarolangun, dan
Kabupaten Muaro Jambi
d) Sebelah Utara : kabupaten Muaro Jambi, Tebo dan tanjung Jabung Barat
Kabupaten Batang Hari ini mempunyai 8 jumlah kecamatan, 100 Desa, 13
Kelurahan, 345 Dusun, 29 Rukun Warga (RW). 1192 Rukun tetangga. Dan
90884 kepala keluarga. Kabupaten Batang hari ini mempunyai lahan terluas
pada perkebunan yaitu sebanyak 180173 ha/km2 dan untuk lahan tersempit
yaitu untuk kolam/ empang yaitu sebanyak 185 Ha/km2.
4.1.2 Keadaan Topografis
Gambar 4.1. Peta kabupaten Batang Hari Tahun 2016
S
umber: Situs Pemerintahan Kabupaten Batang Hari 2016
Kabupaten Batang Hari terletak di bagian tengah Provinsi jambi dan
dilalui oleh dua sungai besar yaitu Batang tembesi dan Sungai Batanghari.
Beberapa sungai lainnya yang relatif besar anatar lain adalah sungai Dangun
bangko, Sungai kayu Aro, Sungai Renggas, Sungai Lingkar, Sungai Kejasung
Besar, Sungai jebak. Disamping singai besar tadi terdapat pula beberapa
sungai kecil yang merupakan anak-anak sungai yaitu Sungai Singoan, Sungai
Bernai, Sungai Mersam, Sungai Bulian, Sungai kandang, Sungai Aur, Sungai
Bacang dan lain-lain. Secara topografis Kabupaten Batanghari merupakan
wilayah dataran rendah dan rawa yang dibelah Sungai Batanghari dan
sepanjang tahun tergenang air, dimana menurut evaluasinya daerah ini terdiri
dari:
0-10 meter dari permukaan laut (11,80%)
11-100 meter dari permukaan laut (83,70%)
4,50 % wilayahnya berada pada ketinggian 101-500 meter dari
permukaan laut
Komposisi penduduk berdasarkan pekerjaan, penduduk kabupaten Batang
Hari dibidang pekerjaaan memiliki beberapa bidang dengan dominan bekerja
dibeberapa sektor dan perusahaan yang berada di sekitar daerah Batang hari.
Tabel 4.3. Komposisi Penduduk Kabupaten Batang Hari Berdasarkan
Pekerjaan Tahun 2015
NO Bidang Pekerjaan Laki-Laki Perempuan Jumlah
1 Pertanian, Kehutanan.
Perburuan dan Perikanan
41667 20739 62406
2 Industri Pengolahan 3086 751 3837
3 Pedagang, Eceran, Rumah
Makan, Dan Hotel
7316 7439 14755
4 Jasa Kemasyarakatan 5248 7150 12398
5 Lainnya 7882 279 8161
Jumlah 65119 36358 101557
Sumber: Badan Pusat Statistik Batang Hari 2016
Dari bidang pekerjaan, sektor pertanian merupakan sektor tertinggi untuk
mata pencaharian penduduk di kabupaten batang Hari. Hal ini juga didukung
dengan banyaknya areal perkebunan seperti karet dan kelapa sawit baik yang
dikuasai oleh perusaahaan maupun milik masyarakat. Sebagian Besar wilayah
kabupaten Batang Hari merupakan wilayah perkebunan kelapa sawit yang
dikuasai oleh perusahan-perusahaan swasta. Masyarakat yang tidak mempunyai
lahan seperti pendatang kebanyakan beerja sebagai buruh lepas atau karyawan di
perusahaan perkebunan tersebut. Mata pencaharian penduduk pada umumnya
berkaitan erat dengan tingkat pendidikan. Dengan tingkat pendidikan yang masih
cukup rendah, maka keahlian dan pengetahuan masyarakat masih cuku rendah
untuk bekerja menjadi karyawan tetap di perusahaan.
Masyarakat yang berada di daerah ini, terdiri dari bermacam-macam jenis
etnis, karena adanya program transmigrasi dari pemerintah meskipun ada juga
masyarakat yang sengaja ingin mengadu nasib di daerah lain, sehingga membuat
daerah ini mamiliki etnis-etnis penduduk yang sangat beragam.
Tabel 4.4: Komposisi penduduk Kabupaten Batang hari Berdasarkan Etnis Tahun
2015
NO Nama Etnis Jumlah Sumber Data Keterangan
1 Melayu Jambi 111342 Sensus
Penduduk
tahun 2015
Pencatatan
jumlah
penduduk
berdasarkan
etnis
terakhir
dilakukan
pada sesus
penduduk
tahun 2015
2 Jawa 49455
3 Minang 7266
4 Sunda, Pariangan 5718
5 Kerinci 2814
6 Melayu 1106
7 Banjar 1059
8 Bugis 234
9 Lainnya 12621
Sumber: Badan Pusat Statistik Batang Hari Tahun 2016
Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik Batang Hari ini didominasi
oleh etnis Melayu, dikarenakan daerah sumatra memiliki rata-rata penduduk yang
beretnis asli melayu, masyarakat Suku Anak Dalam (SAD) yang berada didaerah
ini juga salah satu dari etnis melayu diketahui mereka berada di daerah ini telah
lama selama berpuluh-puluh tahun, serta bahasa dan adat yang digunakan memilki
kemiripan dengan adat melayu yang ada, jadi tidak memungkri jika kabupaten
Batang hari memiliki jumlah etnis melayu yang banyak mendominasi di daerah
ini.
Dalam meningkatkan jumlah pekerjaan dalam kualitas suatu daerah sangat
diperlukan sarana dan prasarana pendidikan yang mendukung, kabupaten Batang
Hari ini terdapat beberapa sekolah sebagai sarana penunjang kemajuan daerah
seperti yang tertera pada tabel dibawah ini.
Tabel 4.5. Komposisi Penduduk Kabupaten Batang Hari Berdasarkan Prasarana
Pendidikan Tahun 2015
NO Tingkat Jumlah
1 TK 89
2 SD 207
3 SMP/MTs 78
4 SMA/SMK/MAN 36
5 Akademi 1
6 Universitas/Sekolah Tinggi 3
Sumber: Badan Pusat Statistik Batanghari Tahun 2016
Jumlah sarana pendidikan sudah cukup memadai untuk tingkat sekolah
dasar (SD, Namun untuk SMP dan SMA masih sangat kurang karna masyarakat
yang ada di desa-desa mengalami kesulitan untuk melanjutkan sekolah karna
letaknya terlalu jauh dari desa. Penduduk Kabupaten Bang Hari dengan jumlah
241.334 jiwa merupakan salah satu modal dasar pembangunan sekaligus menjadi
beban dalam pelaksanaan pembangunan. Pertumbuhan penduduk mengalami
peningkatan sebesar 4.85 persen dimana penduduk palinng tinggi
pertumbuhannya berada di kecamatan Bathin Sembilan yang merupakan wilayah
Transmigrasi di Kabupaten Batang Hari.
4.2 POTENSI SUMBER DAYA ALAM
Potensi Sumber daya alam yang tersedia di kabupaten Batang hari ini sangat
beragam, dan dengan berkembangnya potensi alam yang tersedia maka akan
memajukan pertumbuhan ekonomi dan mesejahtrakan masyarakat yang berada di
kabupaten ini. Sektor yang paling dominan ialah perkebunan karet dan sawit yang
diamana harganya cukup stabil setiap tahunnya.
4.2.1 Potensi tanaman pangan
Komoditi padi merupakan komoditi yang memiliki lahan terluas di sektor
tanaman pangan. Secara keseluruhan , luas lahan produksi tanaman pangan di
daerah ini berfluktuayif mengalami penurunan dan peningkatan, keberadaan
indutri hulu migas di Kabupaten ini tidak berpengaruh signifikan terhadap sektor
tanaman pangan di daerah ini karna tidak bersinggungan langsung antara hulu
migas dan sektor ini, jenis tanaman pangan yang diusahakan oelh masyarakat
yaitu: Kedelai, Kacang tanah, Kacang hijau, Ubi kayu, Ubi jalar dan lain-lain.
Pemasaran hasil tanaman pangan sebagian besar digunakan untuk konsumsi
sendiri dan sisanya dijual ke pasar sekitar. Pda tabel dibawah ini menunjukkan
produksi tanaman pangan di Kabupaten Bantang Hari.
Tabel 4.6. Jumlah Produktifitas Tanaman Pangan Tahun 2015
Tanaman Pangan (Padi Sawah)
Data Tahun Luas
Lahan
Produktif
Nilai
Produktifitas
(Kwt/Ha)
2014 7755 47.41
2015 8166 47.52
2016 7907 45.31
Sumber: Badan Pusat Statistik Batang Hari 2016
Potensi tanaman pangan yang tersedia dikabupaten Batang Hari
mengalami jumlah produksi yang masih belum stabil, seperti yang terlihat dari
tahun 2014 s/d 2016 jumlah yang diproduksi mengalami penurunan, hingga pada
tahun 2016 hanya mendapat 45.31 Kwt/Ha lebih kecil dari pada 2 tahun
sebelumnya ini disebabkan kebanyakan orang memilih beralih ke perkebunan
sawit atau menjadi buruh sawit.
4.2.2 Pertanian, Perkebunan dan Kehutanan
Masyarakat yang berada di kabupaten Batang Hari ini menggunakan
sebagian lahan perkebunan dan huatn sebagai tempat bercocok tanam yang
hasilnya sebagian dikonsumsi dan sebagian lagi dijual untuk memenuhi
kehudupan sehari-hari, pada tabel dibawah ini saya akan memaparkan tanaman-
tanaman yang ditanam diperkebunan dan hasilnya dominan untuk lebih dijual, dan
berikutnya saya akan memaparkan tanaman yang ada dihutan , biasanya memang
sudah ada di hutan dan masyaraat hanya tinggak menjaga dan memeliharanya
saja.
Tabel 4.7: Jenis Tanaman yang ditanam diperkebunan Tahun 2015
Tahun Jenis Tanaman dan Jumlahnya (Pohon/hektar)
Karet Kelapa Kelapa
Hibritda
Kelapa
Sawit
Kopi Kapuk Lada Aren Kakao Kemiri
2013 109007 857 238 63510.64 350 47 27.4 98 305 57
2014 111523 804 238 63631.6 314 47 100 90 305 0
2015 111619 689 238 66838 247 47 102 92 240 24
Sumber: Badan Pusat Statistik Kabupeten Batang Hari tahun 2016
Sumber daya Alam (SDA) hutan di kabupaten ini memiliki kekayaan yang
berlimpah tidak hanya alam namun disalah satu hutan di daerah ini bermukim
orang rimba yang disebut dengan Suku Anak Dalam (SAD) salah satu wilayah
hutan yaitu hutan jelutin, yang terletak di desa jelutin kecamatan Batin Sembilan,
mereka mendapat hak pengelolaan Hutan desa (HPHD) dari mentri kehutanan.
Namun daerah hutan yang dihuni oleh SAD di wilayah desa bungku hingga saat
ini masih terjadi konflik antara SAD dengan pihak perusahaan mengenai lahan.
Sayangnya keberadaan Suku anak dalam atau Suku Tabo ini tidak didukung oleh
pemerintah daerah, status pengolahan lahan hutan yang didiami oleh SAD
diserahkan kepada PT. Asiatik Persada.
4.3 PROFIL DESA BUNGKU DAN KOMUNITAS BATIN 9 (SUKU ANAK
DALAM)
Simpang Macan adalah wilayah kelola masyarakat yang berada di sebelah
timur laut kawasan hutan HRF yang posisinya berdampingan dengan wilayah
perusahaan perkebunan PT Asiatik Persada. Secara administrasi kependudukan
wilayah ini adalah wilayah (bagian) RT 11 yang dikepalai oleh Amran dan RT 14
desa Bungku yang dikepalai oleh Komrin. Wilayah ini dapat diakses melalui jalan
perkebunan PT asiatik Persada dengan kondisi yang sudah lumayan baik.
Wilayah ini adalah wilayah pemanfaatan komunitas dahulunya untuk hasil
hutan kayu dengan system mandah (menetap beberapa hari dan kembali lagi ke
dusun) sekitar tahun 1980. Wilayah ini mulai dibuka (komunitas mulai berladang
sambil memanfaatkan hasil hutan non kayu) sekitar tahun 1995 sampai sekarang
dengan sistem (kebanyakan) menetap. Pola penyebaran penduduk menyebar
memanjang sesuai akses jalan dan umumnya berada diatas lahan yang mereka
kelola. Perumahan mereka terbuat dari kayu dan tidak jarang juga berdindingkan
kulit kayu dan umumnya rumah mereka berbetuk panggung. Kondisi alam
diwilayah ini masih berhutan dan belukar setelah terjadinya kebakaran tahun 1997
dan aktifitas penebangan hutan ilegal maka muncul perladangan masyarakat
dengan memanfaatkan komuditi karet. Karet yang ditanam diwilayah ini beragam
(berumur 1-7 tahun). Disamping itu juga telah ada kebun karet yang menghasilkan
di wilayah ini (karet sudah dideres).
4.3.1 Kependudukan
Tidak semua warga yang ada diwilayah ini mempunyai KTP desa Bungku.
Masyarakat disini kebanyakan berasal dari Markanding (Sungai Dayo dan
Tenggalung) dan Tanjung Lebar (Penyerokan). Pada dasarnya masyarakat yang
ada disini masih satu keluarga seperti keluarga Alam Sina (Amin, Asip, Amit,
Asan dan Alik) arah ke camp 35 dan keluarga Mat Tahir (Mahmud, Bahmad,
Asik, Ruslan dan Ajir) kearah hutan Bulian. Tidak semua masyarakat yang
mempunyai akses kewilayah ini menetap dan berkedudukan diwilayah ini, serta
tidak semua masyarakat yang ada (mempunyai akses) diwilayah ini adalah
komunitas Bathin IX. Masih ada juga masyarakat dari daerah lain (masyarakat
bayat, sako suban, palembang, jawa dan jambi) yang berpenghidupan dan
berkedudukan di wilayah ini. Untuk masyarakat yang diluar komunitas
keberadaan mereka bagi komunitas tidak begitu dipermasalahkan (selama tidak
mengganggu mereka) dan bahkan (ada) yang menganggap mereka sebagai bagian
dari komunitas.
Masuknya masyarakat pendatang kewilayah ini dikarenakan aktifitas jual
beli maupun proses pertemanan dan pengenalan dahulunya (baik didesa maupun
waktu sama melakukan aktifitas balok maupun memanfaatkan hasil hutan
dahulunya). Masyarakat luar yang telah mengenal masyarakat komunitas
kemudian meminta izin pada komunitas untuk berpenghidupan juga diwilayah ini.
Bagi masyarakat yang tidak berkedudukan diwilayah ini mereka memanfaatkan
wilayah ini sebagai aternatif perekonomian dan untuk adanya Investasi (jaminan)
keluarga mereka (misalnya pembukaan kebun untuk kesiapan dan “jatah” anak
dan keluarga mereka) nantinya.
4.3.2 Kondisi Sosial Ekonomi
Pemanfatan kawasan oleh masyarakat sekarang adalah lahan dan mencari
hasil hutan non kayu (hewan dan tumbuhan). Lahan dimanfaatkan oleh
masyarakat dengan karet sebagai komoditas. Karet yang ada kondisisnya sudah
disadap (hanya beberapa orang) dan belum disadap (kebanyakan orang yang
berumur sekitar 1-7 tahun). Rata-rata masyarakat mempunyai kebun disini adalah
sekitar 2-7 Ha/KK. Semakin lama masyarakat menempat diwilayah ini semakin
luas kebun yang dimilikinya, hal ini disebabkan karena kebiasan mereka
membuka kebun tiap tahunnya disekitar kebun mereka yang belum diolah orang
lain. Luas bukaan masyarakat tiap tahunnya berkisar 1-2 bidang (1 bidang
berkisar 1,5 ha) per tahunnya, hal itu dikarenakan pembukaan lahan yang
dilakukan secara manual menggunakan kapak dan beliung. Disamping adanya
kebun umumnya masyarakat juga mengklem kepemilikan lahan berupa belukar
yang belum mereka kelola, hal itu dikarenakan adanya bekas olahan mereka yang
belum dikelola secara optimal maupun bekas hasil kebakaran tahun 1997.
Hasil hutan dan kebun yang mereka dapatkan akan dijual ke Penadah dan
pada masyarakat baik yang berada di pemukiman karyawan perusahaan PT.
Asiatik persada maupun masyarakat Tranmigrasi Sungai Bahar dan Bungku. Toke
yang biasa menampung hasil masyarakat adalah Mujiran (Penadah Unit 5 yang
biasanya menapung damar, rotan), Toto (Penadah yang menampung hasil dammar
dari Tempino) maupun Penadah-penadah lain yang ada di wilayah Sungai Bahar
dan Bungku. System penjualan dilakukan ketoke dilakukan dengan cara dianatar
maupun dijemput ke lokasi (tergantung kesepakatan dan permintaan). Oleh
Penadah, masyarakat diberi kelebihan yaitu masyarakat boleh ngebon (ngutang)
dulu kepada Penadah sebelum permintaan Penadah dipenuhi oleh komunitas.
Selain menjual pada Penadah, hasil yang didapatkan dari hutan dan kebun
juga dijual secara lansung pada masyarakat. Untuk hasil buruan dan sayuran
biasanya lansung dijual kepada masyarakat yang berminat. Hasil dari itu akan
dibelikan kebutuhan yang dibutuhkan masyarakat. Disamping memanfaatkan hasil
hutan dan kebun, perekonomian masyarakat disini juga bergantung pada sawit PT
Asiatik. Masyarakat seringkali melakukan kegiatan pengutipan brondol sawit
walaupun dilarang oleh pihak perusahaan. Hasil yang didapatkan dari brondol
sawit dibawa keluar (Sungai Bahar) dan dijual kepada toke. Brondol tersebut
dihargai rendah dari buah sawit pada umumnya. Dalam sehari masyarakat disini
bisa mendapatkan 20 kg brondol sawit.
4.4 Kronologi Masalah Sengketa Tanah Masyarakat Suku Anak Dalam
(SAD) dan PT. Asiatik Persada
Ketentuan Pasal 33 ayat (3) menyebutkan bahwa “Bumi, air dan kekayaan
alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk
sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”. Ketentuan ini melahirkan konsepsi hak
penguasaan negara atas sumber daya alam untuk sebesar-besarnya kemakmuran
rakyat. Sebagai penjabaran dari Pasal 33 UUD 1945 ini dibentuklah UU No. 5
Tahun 1960 tentang Ketentuan Pokok Agraria (selanjutnya disebut UUPA).
Dari nama yang digunakan tampak bahwa undang-undang ini mengatur hal-
hal yang berkenaan dengan (pemanfaatan) sumber daya alam, semisal tanah, air,
dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya (hutan, tambang). Namun
demikian, sebagian besar pasalnya (53 pasal dari 67 pasal) ternyata mengatur
tentang tanah. Hal inilah yang kemudian mendorong pembentukan undang-
undang lainnya yang berkenaan dengan pemanfaatan sumber daya alam, sehingga
terbit-lah UU sektoral antara lain dalam UU No. 5 Tahun 1967 tentang Kehutanan
(diperbarui dengan UU No. 41 Tahun 1999), UU No. 11 Tahun 1967 tentang
Pertambangan (diubah dengan UU No. 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas
Bumi, UU No. 4 Tahun 2009 tentang Mineral dan Batubara), dan UU No. 11
Tahun 1974 tentang Pengairan (direvisi dengan UU No. 7 Tahun 2004).1
Berbagai UU sektoral tersebut dibentuk dengan tidak berlandaskan prinsip-
prinsip yang telah diletakkan UUPA. Pada gilirannya, kedudukan UUPA
didegradasi menjadi UU sektoral yang hanya mengatur pertanahan. Selain itu,
meski berbagai undang-undang sektoral mengacu Pasal 33 Ayat (3) UUD 1945,
namun substansinya pada umumnya memiliki karakteristik yang tidak sesuai
dengan falsafah untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Hal ini dikarenakan
berbagai UU sektoral tersebut memiliki karakteristik: 1) berorientasi pada
eksploitasi, mengabaikan konservasi dan keberlanjutan fungsi SDA, digunakan
1 Maria SW Sumarjono, Tanah dalam Perspektif Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya, Kompas
Gramedia, Jakarta, 2008, hal. 95.
sebagai alat pencapaian pertumbuhan ekonomi melalui peningkatan pendapatan
dan devisa negara; 2) lebih berpihak pada pemodal besar; 3) ideologi penguasaan
dan pemanfaatan SDA terpusat pada negara sehingga bercorak sentralistik; (4)
pengelolaan SDA yang sektoral berdampak terhadap koordinasi antarsektor yang
lemah; 5) tidak mengatur perlindungan hak asasi manusia (HAM) secara
proporsional.2
Keberadaan berbagai UU sektoral yang demikian itu berdampak pada
koordinasi yang lemah di tingkat pusat, antara pusat dan daerah, serta antar-
daerah, kerusakan dan kemunduran kualitas SDA, ketidakadilan berupa
terpinggirkannya hak-hak masyarakat yang hidupnya terutama tergantung pada
akses terhadap SDA (petani, masyarakat adat, dll); serta timbulnya konflik
berkenaan dengan SDA. Kenyataan ini mendorong terbitnya Tap MPR IX/2001
yang meletakkan prinsip pembaruan agraria, mendorong pengkajian ulang dan
harmonisasi berbagai peraturan perundang-undangan sektoral melalui pencabutan,
penggantian, atau penyempurnaan UU sektoral.
Kekayaan sumber daya alam dan daya dukung lingkungan yang makin
terbatas dapat menimbulkan konflik, baik karena masalah kepemilikan,
kelemahan dalam sistem pengelolaannya yang tidak memperhatikan kepentingan
masyarakat setempat, maupun karena penegakan hukum yang belum memenuhi
rasa keadilan masyarakat. Adanya konflik menyebabkan hilangnya rasa aman,
timbulnya rasa takut, rusaknya lingkungan danpranata sosial, kerugian harta
benda, jatuhnya korban jiwa, timbulnya trauma psikologis (dendam, benci,
2 ibid
antipati), serta melebarnya jarak segresi antara para pihak yang berkonflik
sehingga dapat menghambat terwujudnya kesejahteraan umum.3
Dalam perkembangannya penguasaan negara terhadap sumber daya alam
teryata lebih banyak dialihkan kepada korporasi dibandingkan kepada rakyat. Hal
ini ditandai dengan banyaknya konflik perebutan sumber daya alam. Studi M.
Ridha Saleh menunjukkan, dalam tiga dasawarsa sejak Januari 1970 hingga Mei
20010 konflik tanah dan sumber daya alam yang bersifat struktural berjumlah
1.877 kasus, terjadi di 2.804 desa, memperebutkan kurang lebih 10.892.203 Ha,
yang mengakibatkan 1.189.482 KK dipelosok nusantara, telah mengikutsertakan
berbagai bentuk pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) (terjadi di wilayah
perkebunan, kawasan konservasi, kehutanan, pembangunan, Dam, sarana umum
dan fasilitas perkotaan, kawasan industri atau pabrik, perumahan, kawasan
parawisata, pertambakan, trasmigrasi) yang secara umum telah menghilangkan
akses dan hak-hak kolektif masyarakat hukum adat atas tanah dan sumber daya
alam.4
Hal yang sama juga terjadi di Provinsi Jambi. Kasus perebutan sumber daya
alam meningkat sebagai akibat semakin terbukanya Pemerintah Daerah kepada
investor Pertumbuhan ekonomi Propinsi Jambi yang mengandalkan sektor
pertambangan, perkebunan dan kehutanan dengan mengundang korporasi besar
telah mengakibatkan ketidakmerataan penguasaan dan pemanfaatan atas ruang.
Sehingga menimbulkan perebutan ruang antara perusahaan dengan perusahaan,
3Penjelasan Umum, Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2012 tentang Penanganan Konflik Sosial.
4 M. Ridah Saleh, “Hak-Hak Masyarakat Adat”, Makalah pada Advanced Training bagi Dosen
Pengajar Hukum HAM, diselenggarakan oleh Pusham UII kerjasama dengan Norwegian Centre
for Human Rights, Yogyakarta 21-24 Agustus 2007, hal. 17.
perusahaan dengan masyarakat dan masyarakat dengan masyarakat, yang memicu
menimbulkan konflik ruang. Pengguasaan ruang yang tidak adil tersebut dapat
dilihat dengan pembagian peruntukan ruang saat ini. Dari total luas Propinsi
Jambi 5,1 juta hektar, untuk sektor kehutanan yang mencapai 2,1 juta hektar,
perkebunan kelapa sawit sekitar 600.000, pertambangan sekitar 1.1 juta hektar
dan peruntukan pemukiman sekitar 1,1 juta hektar, serta sekitar 300 ribu ha
kawasan perairan/laut. Pengguasaan ruang yang terbagi di dalam beberapa sektor
tersebut sebagian besar dikuasai oleh koorporasi besar skala internasional seperti
Sinar Mas Group, Wilmar Group dan Astra. Dalam rentang tahun 2001-2010,
terdapat 70 konflik di sektor kehutanan dan perkebunan, yang sampai akhir tahun
2010 belum ada penyelesaiannya. Di tahun 2011, tercatat 44 konflik diberbagai
sektor berbasis tanah dan sumber kekayaan alam, dengan luasan lahan konflik
222,688 hektar5.
Suku Anak Dalam adalah salah satu suku tertua yang ada di daerah Jambi.
Beberapa keterangan dari buku sejarah menyebutkan bahwa Suku Anak Dalam
merupakan hasil pencampuran antara Suku Weda dengan Suku Negrito yang
dalam perjalanan sejarah kemudian disebut Suku Weddoid. Adapun ciri-ciri Suku
Weddoid adalah rambut keriting, kulit sawo matang, mata terletak agak menjorok
ke dalam, badan kecil, dan kepala berukuran sedang. Ciri-ciri ini sebagian besar
memiliki kesamaan dengan Suku Anak Dalam. Secara umum, Suku Anak Dalam
hidup dengan budaya berburu dan meramu, mereka sangat terampil berburu
5 Priyan, “RTRW Provinsi Jambi Mengeruk Sumber Daya Alam Menyisakan Konflik dan
Kemiskinan”, diakses dari http://regional.kompasiana.com/2012/10/01/rtrw-propinsi-jambi-
%E2%80%9Cmengeruk-sumber-daya-alam-menyisakan-konflik-dan-kemiskinan%E2%80%9D-
497681.html.
dengan menggunakan alat tradisional seperti tombak, kujur, dan anak panah.
Sejak ratusan tahun suku primitif ini disebut Suku Kubu, yang belakangan lebih
dikenal dengan Suku Anak Dalam.6 Di Provinsi Jambi, Suku Anak Dalam
tersebar di empat wilayah daerah tingkat dua, yakni Kabupaten Batanghari,
Tanjung Jabung, Bungo Tebo, dan Kabupaten Sarolangun Bangko. Jumlah Suku
Anak Dalam ditiap Kabupaten di Provinsi Jambi pada tahun 1991, sebagai
berikut:7 Batanghari (2.224 jiwa), Sarolangun (2.331 jiwa), Bungo Tebo (1.631
jiwa), dan Tanjung Jabung (2.971 jiwa).
Pada penelitian ini, Penulis hendak membahas Suku Anak Dalam yang
berada di Kabupaten Batanghari, tepatnya di Desa Bungku dengan
menitikberatkan pada proses gerakan Suku Anak Dalam yang memperjuangkan
hak adat atas tanah mereka yang diklaim oleh sebuah perusahaan sawit bernama
PT. Asiatic Persada yang awalnya bernama PT. Bangun Desa Utama. Perlu
diperhatikan, Suku Anak Dalam yang dibahas pada penelitian ini bukanlah Suku
Anak Dalam secara umum. Karena pada dasarnya, Suku Anak Dalam terbagi di
berbagai wilayah dengan nama suku yang berbeda pula. Terkhusus di Desa
Bungku ialah Suku Anak Dalam Bathin Sembilan yang berkonflik dengan PT.
Asiatic Persada. Dinamai Suku Bathin Sembilan karena memang ada sembilan
bathin yang berasal dari sembilan aliran sungai dimana Suku Anak Dalam tinggal.
Nama-nama sembilan bathin tersebut adalah: Batin Bulian, Batin Jebak, Batin
Bahar, Batin Sekamis, Batin Jangga, Batin Singoan, Batin Burung Antu, Batin
6 Jauhari, Budhi Vrihaspathi,. Said, Arislan. 2012. Jejak Peradaban Suku Anak Dalam. Bangko:
Lembaga Swadaya Masyarakat Kelompok Suku Anak Dalam. hal. 15-17 7 Sriwijaya Post, Harian Umum, Desember 1991
Pemusiaran, dan Batin Telisak. Semuanya tersebar di wilayah Kabupaten
Batanghari, Muarojambi, dan Sarolangun. Lebih khusus lagi yang berkonflik
dengan PT. Asiatic Persada adalah Bathin Bahar.
Konflik dimulai dengan perampasan tanah di Era Orde Baru, yang memaksa
Suku Anak Dalam keluar dari tanah adat mereka. Masuknya investasi perkebunan
kelapa sawit memberikan perubahan yang berdampak tidak baik bagi kehidupan
Suku Anak Dalam. Ratusan warga Suku Batin Sembilan terpaksa harus terusir
dari kampung halamannya. Mereka memilih pindah ke wilayah lain di luar
kawasannya. Karena kawasan yang selama ini ditinggali dan digarap warga Suku
Anak Dalam Batin Sembilan digusur oleh perusahaan yang dibekengi oknum
aparat.8 Secara runut rentetan waktu konflik Suku Anak Dalam dengan PT.
Asiatic Persada, sebagai berikut:9
Pertama, Kasus ini berawal dari Pencadangan Tanah sesuai SK Gubernur
Jambi No.188.4/599/1985, yang mencadangkan tanah seluas 40.000 Ha
untuk perkebunan sawit PT. Bangun Desa Utama (BDU).
Kedua, Surat Keputusan Gubernur tersebut di tindak lanjuti dengan Surat
Keputusan Mendagri No.SK.46/HGU/DA/1986 tanggal 1 September 1986 tentang
Pemberian HGU kepada PT. BDU seluas 20.000 Ha yang terletak di Kec.Muaro
8 Judul Berita: Suku Batin Sembilan Jambi Berjuang di Hutan Harapan (22 Mei 2016), daring
http://regional.liputan6.com/read/2513176/suku-batin-sembilan-jambi-berjuang-di-hutan-harapan
diakses pada tanggal 24 Agustus 2016 9 Resume Kasus Konflik Agraria Warga Suku Anak Dalam dengan PT. Asiatic Persada oleh
Serikat Tani Nasional (STN) Provinsi Jambi dilihat dari http://www.stn.or.id/wp-
content/uploads/2016/03/Resume-Konflik-SAD-STN-GNP33.pdf diakses pada tanggal 13 Agustus
2016
Bulian, Kab. Batang Hari. Izin HGU itu berlaku sampai dengan 31Desember
2021.
Ketiga, Berdasarkan SK Menteri Kehakiman tanggal 6 Juni 1992 No:
C.4726HT.01.04 Tahun 1992, PT. Bangun Desa Utama beralih menjadi PT.
Asiatic Persada.
Keempat, Dalam ijin prinsip PT. Asiatic Persada, terdapat kewajiban hukum
untuk melepaskan area pemukiman, perladangan, dan semak belukar milik
masyarakat, yang kemudian disebut sebagai tanah adat Suku Anak Dalam (SAD)
yang terdapat di tiga perkampungan (dusun tua) yaitu, Padang Salak,Pinang
Tinggi dan Tanah Menang.
Kelima, Keberadaan perkampungan Suku Anak Dalam sudah ada sejak
zamanBelanda. Hal ini diketahui berdasarkan Surat Keterangan tanggal 20
Desember1940 dari BC Mantri Politic. Surat Keterangan tanggal 20 November
1940 dari BC Mantri Politic Menara Tembesi di buat di hadapan Gez En Accord
Muara Tembesi, di saksikan Penghulu Dusun Singkawang dan Pasirah Pemayung
Ulu, menerangkan wilayah perkampungan masyarakat Suku Anak DalamDusun
Pinang Tinggi, Padang Salak dan Tanah Menang wilayah Sungai Bahar.
Keenam, Surat ini di kuatkan dengan surat sebelumnya yaitu Surat Resident
Palembang No: 211 Tanggal 4 September 1930 dan No: 233 Tanggal 25 Oktober
1927.
Ketujuh, Selain itu, Kepala Pasirah Marga Batin V Muara Tembesi, Ibrahim
Tarab, pernah mengeluarkan Surat Keterangan Sembilan Batin yang tertanggal 4
Maret 1978. Isi surat menyebutkan keberadaan Suku Anak Dalam di Hutan Jebak,
Jangga, Cerobong Besi, Padang Salak, Bahar, Pinang Tinggi sampai ke Burung
Antu Pemusiran. Dan beberapa surat-surat berlogo Garuda tentang keterangan hak
milik yang masih tulis tangan, yang dibuat oleh Kepala Kampung pada tahun
1977.
Kedelapan, Mulanya Menteri Kehutanan memberi pelepasan kawasan hutan
seluas 27.252Ha dari 40.000 Ha lahan pencadangan Gubernur Jambi, lalu HGU
seluas 20.000 Ha direalisasikan menjadi milik PT. BDU yang berganti nama
menjadi PT. Asiatic Persada, dan kemudian perusahaan CDC-Pacrim Inggris di
tahun2000 menjadi pemegang saham mayoritas, lalu pada tahun 2006 pemegang
saham mayoritas berpindah lagi keperusahaan Cargill Amerika Serikat, dan
ditahun 2010 saham mayoritas dibeli Willmar Group Malaysia. Sedangkan
sisanya 7.150 Ha jatuh ketangan PT. Maju Perkasa Sawit (MPS) dan PT.Jammer
Tulen, keduanya anak perusahaan Willmar Group.
Kesembilan, Dengan mengantongi izin tersebut, pihak perusahaan
menggusur tiga dusun,Tanah Menang, Pinang Tinggi dan Padang Salak.
Perampasan tanah disertaidengan pelanggaran HAM, membuat kehidupan SAD
sangat memprihatinkan. Kesepuluh, Jumlah SAD berdasarkan hasil verfikasi
Pemda Batanghari, sebanyak 1.900-an jiwa, yang tersebar di tiga kampung
tersebut.
Kesebelas, Pada tanggal 18 Juli s/d 25 Juli 2007, Kanwil BPN Jambi
mengadakan penelitian di lapangan. Hasilnya, pihak BPN mengakui keberadaan b
ekas perkampungan SAD Kelompok 113 tersebut. Keduabelas, Semula, pihak
perusahaan tidak mengakui hasil penelitian dan fakta hokum tersebut. PT. Asiatic
Persada menawarkan lahan 1000 Ha dengan pola Koperasi Primer untuk Anggota
(KKPA). Oleh karena itu, SAD 113 menyatakan bahwa tidak setuju dengan
kesepakatan pola 1000 Ha KKPA.
Ketigabelas, Pada bulan Maret 2012, ditemukanlah peta mikro yang
menjelaskankeberadaan wilayah tiga dusun tersebut, sebagaimana tertuang dalam
IjinPrinsip Badan Inventarisasi dan Tata Guna Hutan Jakarta No. 393/VII-
4/1987tanggal 11 Juli 1987, tertera keterangan lokasi yang dilepaskan seluas
27.150Ha terdapat lokasi masih berhutan 23.00 Ha, belukar 1.400 Ha,
perladangan2.100 Ha, dan pemukiman penduduk 50 Ha.
Sejarah perijinan PT. Asiatic Persada diawali dengan berdirinya perusahaan
bernama PT. Bangun Desa Utama pada tanggal 21 Juni 1979 sebagai perusahaan
terbatas yang bergerak dalam bisnis pertanian dan perdagangan dengan status
sebagai perusahaan yang berbasis modal dalam negeri (PMDN) yang dimiliki oleh
keluarga Senangsyah. Perusahaan ini mendapatkan pencadangan lahan dari
Gubernur Jambi dengan diterbitkannya Keputusan Gubernur No. 188.4/599/1985
pada tanggal 3 Desember 1985 tentang pencadangan lahan sebesar 40.000 hektar
bagi PT. Bangun Desa Utama untuk perkebunan kelapa sawit dan coklat. Hal ini
senada dengan penjelasan dari Kepala Kesbangpol Bidang Penanganan Konflik,
Bapak Siggit Eko Yuwono saat wawancara dengan Penulis bahwa PT. BDU
mendapatkan ijin untuk pembangunan kebun kelapa sawit dan coklat di Desa
Bungku. Berbekal surat ini PT. Bangun Desa Utama berkirim surat kepada
Departemen Kehutanan untuk pelepasan status kawasan hutan menjadi areal
perkebunan.
Pihak Badan Inventarisasi dan Tata Guna Hutan dari Departemen
Kehutanan menanggapi dengan dikeluarkannya surat persetujuan dilepaskannya
kawasan itu dari kawasan hutan dengan surat bernomor 393/VII-4/1987 tertanggal
11 Juli 1987. Luasan yang dapat dilepaskan menurut surat itu adalah sebesar
27.150 hektar. Departemen Dalam Negeri menerbitkan Surat Keputusan
No.46/HGU/DA/86 pada tanggal 1 September 1986 kepada PT. Bangun Desa
Utama yang akan berakhir pada tahun 2021. Penerbitan surat keputusan ini diikuti
dengan penerbitan Sertifikat HGU No. 1/1986 oleh Departemen Dalam Negeri.
Perusahaan ini kemudian berubah nama menjadi PT. Asiatic Persada pada tanggal
22 September 1989 sesuai dengan salinan rapat No. 46 yang ditandatangani oleh
notaris Elliza Asmawel, SH. Pemilik perusahaan berkeputusan untuk menjual
51% saham kepada pihak asing, yaitu CDC Industries Holdings (Mauritius)
Limited, yang kemudian dikenal dengan nama Pasific Rim Palm Oil Limited
(Mauritius). Dengan dijualnya saham ini kepada pihak asing, status permodalan
perusahaan ini berubah menjadi modal asing. Wilmar secara resmi membeli 51%
saham dari Pacific Rim Palm Oil Limited (Mauritius) pada tanggal 23 November
2006 yang dinyatakan dalam Pernyataan Keputusan rapat PT. Asiatic Persada
No.7 yang ditandatangai oleh notaris.10
Areal Hak Guna Usaha (HGU) yang dimasukkan dalam konsesi ternyata
merupakan lahan-lahan, perkampungan, pedusunan dan hutan yang dimiliki oleh
10
Data primer didapat langsung dari observasi Badan Kesatuan Bangsa dan Politik (Kesbangpol) Kabupaten Batanghari pada tanggal 26 Juli 2016
Suku Anak Dalam Bathin Sembilan yang mendiami Sungai Bahar (Bathin Bahar).
Dusun-dusun yang masuk dalam areal HGU PT. Asiatic Persada adalah: Dusun
Lamo Pinang Tinggi, Dusun Lamo Padang Salak, Dusun Lamo Tanah Menang,
serta beberapa pedusunan di wilayah Markanding. Padahal kawasan tersebut
sudah ada sejak masa kerajaan zaman Belanda, bahkan Belanda pada tanggal 27
Oktober 1927, 4 September 1930, dan 20 Desember 1940, membuatkan surat
keterangan keberadaan dusun (pemukiman kawasan Suku Anak Dalam) yang
disertai penyebutan batas.11
Kondisi semakin parah karena di tahun 2014 terjadi tindakan kekerasan
yang dilakukan oleh aparat TNI dan petugas keamanan PT. Asiatic Persada
terhadap warga Suku Anak Dalam dan petani Mentilingan di Desa Bungku,
Kecamatan Bajubang, Batanghari. Akibat tindakan kekerasan oleh TNI dan
petugas keamanan PT. Asiatic Persada itu seorang warga Suku Anak Dalam
bernama Puji yang berusia 34 tahun meninggal dunia dan 5 warga Suku Anak
Dalam lainnya mengalami luka parah.12
Konflik lahan antara SAD dengan PT.
Asiatic Persada memang telah berlangsung cukup lama. Ketika kejatuhan Suharto
di tahun 1998 merupakan awal SAD menuntut kembali hak adat atas tanah
mereka. Pergerakan SAD hadir setelah sekian lama mereka hidup terancam karena
ekspansi perusahaan sawit yang tak berkesudahan. Sehingga hal ini sangat
menarik untuk dibahas secara mendalam dengan menggambarkan proses
11
Judul Berita: Kala Konflik Lahan SAD 113 dengan Asiatic Persada Berlarut, Mengapa? (7 Juni
2016), daring http://www.mongabay.co.id/2016/06/07/kala-konflik-lahan-sad-113-dengan-asiatic-
persada-berlarut-mengapa/ diakses pada tanggal 25 Agustus 2016 12
Judul Berita: Kronologis Penculikan, Pembunuhan dan Penggusuran Warga SAD oleh Aparat
TNI, daring http://www.berdikarionline.com/kronologis-penculikan-kekerasan-dan-pembunuhan-
warga-sad-oleh-aparat-tni/ diakses pada tanggal 13 Agustus 2016
pergerakan Suku Anak Dalam yang memperjuangkan hak adat di Desa Bungku,
Kabupaten Batanghari.
BAB V
IDENTIFIKASI KONFLIK
Bab ini merupakan bab yang menjelaskan secara luas dan terperinci tentang
identifikasi peran-peran aktor-aktor yang terlibat serta kepentingan apa saja yang
mereka bawa. Pada bab ini sudah dapat dilihat apakah konflik ini memiliki
dakpak positif dan negatif serta faktor-faktor pennyangga konflok tetap eksis dan
tidak pernah benar-benar selesai.
5.1 Mengidentifikasikan Peran
Analisis Peran terhadap aktor yang terkait konflik sangat penting
dilakukan, karena Peran Aktor secara tak langsung memegang kendali sejauh
mana konflik ini berlangsung. Aktor pada dasarnya mempunyai porsi sendiri-
sendiri dalam konflik yang terjadi, hal ini didasarkan pada kapasitas,
fungsi,peran, serta konsentrasinya pada suatu masalah.
Dalam menganalisis peran ini, peneliti memberikan batasan dengan
mengkategorikan Peran aktor ke dalam dua bagian yang akan menjadi sub-bab
tersendiri, yakni Peran Superordinat (menguasai) dan Peran Subordinat
(Dikuasai). Peran Superordinat (menguasai) yang dimaksud disini adalah
pihak-pihak yang mempunyai kekuatan untuk mengatur secara langsung alur
konflik dan Sangat Dominan kekuatannya biasanya didukung oleh SDA dan
Peraturan di daerah itu sendiri. Sedangkan yang dimaksud dengan Peran
Subordinat (Dikuasai) disini adalah pihak-pihak yang Cenderung tidak
memiliki banyak kekuatan dalam konflik dikarenakan banyak faktor seperti
Rendahnya SDA, dll.
5.1.1 Superordinat (Menguasai)
Masalah konflik sengketa lahan yang terjadi di kabupaten Batang Hari ini
sudah berlangsung selama 25 tahun antara Suku Anak Dalam (SAD) dan PT
Asiatic Persada, dalam ijin HGU PT. Asiatic Persada disebutkan adanya lahan
perladangan, pemukiman, belukar milik rakyat seluas 3.550 Ha, namun selama ini
lahan tersebut diklaim oleh pihak perusahaan dan keberadaan PT Asiatic
Persada tidak begitu memberikan manfaat bagi masyarakat Suku Anak Dalam
(SAD) yang berdiam diwilayah tersebut, justru kesengsaraan yang terjadi.
Keberadaannya PT. Asiatik Persada pun dinilai telah mengambil tiga kampung
milik Suku Anak Dalam, meliputi Kampung Pinang tinggi, Padang salak, dan
Tanah menang. PT. Asiatic Persada juga telah merambah kawasan hutan
produksi, luasnya hanya 192 hektare bukan 800 hektare yang hasil hutannya
diandalkan oleh masyarakat SAD untuk memenuhi kebutuhan mereka sehari-
hari. Tetapi sejak adanya PT. Asiatik Persada masyarakat tidak dapat lagi
mengambil hasil hutan, mereka malah dituduh mengambil dan mencuri di
hutan milik PT. Asiatik Persada.1
PT. Asiatic Persada merupakan perusahaan yang beroperasi sejak tahun
1986 dengan luas Hak Guna Usaha (HGU) sebesar 20.000 Ha sesuai dengan
SK pencadangan tanah yang diberikan oleh Gubernur Jambi Kepada PT. BDU.
1 Sumber Artikel: http://www.berdikarionline.com/kabar-rakyat/20131029/tujuh-alasan-izin-hgupt-
asiatic-persada-harus-dicabut.html#ixzz2mU7dJ2dT, diakses : December 18, 2013, pukul.
10:00:58
Perusahaan ini beroperasi diwilayah Kabupaten Batanghari dan Kabupaten
Muaro Jambi. Keberadaan perusahaan kelapa sawit ini telah memberikan
dampak pada suku adat (Suku Anak Dalam / SAD).
PT. Asiatic Persada telah merambah sedikitnya 800 hektare kawasan hutan
lindung terbatas di kawasan Desa Bungku. Pada tanggal 9 sampai 11 Agustus
2011 terjadi kekerasan di Wilayah Dusun Sungai Beruang, sekitar 80 Kepala
Keluarga (KK) kehilangan rumah tempat tinggal karena di gusur oleh Brimob,
dan 1 orang tertembak peluru karet.
Konflik sengketa lahan ini berawal dari Pencadangan Tanah sesuai SK
Gubernur Jambi No. 188.4/599/1985, yang mencadangkan tanah seluas 40.000
Ha untuk perkebunan sawit PT. Bangun Desa Utama (BDU) yang kemudian
akan berganti nama menjadi PT. Asiatik Persada. Surat Keputusan Gubernur
tersebut di tindak lanjuti dengan Surat Keputusan Mendagri
No.SK.46/HGU/DA/1986 Tanggal 1 September 1986 tentang Pemberian HGU
kepada PT. Bangun Desa Utama seluas 20.000 Ha yang terletak di Kecamatan.
Muaro Bulian, Kabupaten. Batang Hari, Izin HGU itu berlaku sampai dengan
31 Desember 2021.2 Sehingga dalam konflik ini pihak PT. Asiatik persada
berada pada posisi Superordinat (menguasai) karna selain telah mendapat ijin
dan dukungan pemerintah maka PT. Asiatik persada dapat menguasai lahan
yang ditempati oleh Suku Anak Dalam atau Orang rimba, terlebih lagi pihak
PT. Asiatik persada juga unggul dari kualitas Sumber Daya Manusia jika
2 M. Ridah Saleh, “Hak-Hak Masyarakat Adat”, Makalah pada Advanced Training bagi Dosen
Pengajar Hukum HAM, diselenggarakan oleh Pusham UII kerjasama dengan Norwegian Centre for Human Rights, Yogyakarta 21-24 Agustus 2007, hal. 17.
dibandingkan dengan Suku Anak Dalam yang tidak pernah mengenyam
pendidikan dan buta akan Hukum.
Dengan mengantongi izin tersebut, pihak perusahaan menggusur tiga
dusun, Tanah Menang, Pinang Tinggi dan Padang Salak, wilayah Sungai Bahar
Jumlah SAD berdasarkan hasil verfikasi Pemerintah Kabupaten Batanghari,
sebanyak 1.900-an jiwa, yang tersebar di kawasan hutan Batng Hari.
Perampasan tanah ini disertai dengan pelanggaran HAM, membuat kehidupan
SAD sangat memprihatinkan. Pemerintah seperti tunduk pada PT. Asiatic
Persada, padahal perusahaan ini jelas bermasalah, tak hanya soal konflik
dengan Suku Anak Dalam (SAD), tapi juga perusahaan ini sudah berganti
kepemilikan sebanyak 4 kali sepanjang Tahun 2001-2013 dan pergantian
kepemilikan ini tak sedikitpun meminta persetujuan pemerintah, kita sudah
dibohongi dan dirugikan oleh investor yang menanam investasinya di PT
Asiatic Persada.3
Pemerintah Provinsi Jambi seakan-akan tidak peduli atas konflik yang
tengah terjadi selama ini, dengan adanya pemberontakan dan protes yang
dilakukan oleh Suku Anak Dalam (SAD) seharusnya pemerintah lebih
memperhatikan dan mendengarkan apa yang diingikan oleh masyrakatnya.
Kasus ini merupakan bukti bahwa pemerintah telah melakukan pembiaran dan
penelantaran. Jika pemerintah serius dan memiliki itikad baik mereka bisa
mengevaluasi izin HGU PT. Asiatic. Pemerintah selalu mengelak bahwa
3 Koran Tribun Jambi, Selasa, 26 Februari 2013 , SAD 113 Ancam Duduki Kantor Kanwil BPN
Jambi
mereka tertipu dan tak pernah diberitahu jika perusahaan itu berpindah-pindah
tangan, tidak hanya pemerintah yang bertanggung jawab tetapi juga pihak
swasta punya tanggung jawab yang lebih. Dalam perjanjian internasional pada
prinsipnya pihak swasta harus menghormati dan melindungi hak asasi manusia.
Perusahaan besar seperti Willmar ini yang 30% hasil produknya dijual ke
pasar Eropa serta Willmar menjadi salah satu anggota RSPO Group. Tetapi
sebuah fakta yang memilukan, dimana Pemerintah Provinsi Jambi seakan acuh
tak acuh terhadap kasus ini, pemerintah seperti tak bernyali menghadapi PT
Asiatic Persada, padahal secara wewenang dan tanggung jawab, pemerintah
harus melindungi dan memberikan rasa aman untuk rakyatnya.
Pemerintah Provinsi Jambi seakan menutup telingga dan mata mereka
dengan apa yang terjadi, Gubernur harusnya segera memperingatkan PT
Asiatic Persada untuk tidak mengabaikan perundingan yang telah
menghasilkan kesepakatan-kesepakatan penting, karena mengabaikan
perundingan dengan beralih pada Tim Terpadu ditingkat Kabupaten jelas telah
mengabaikan peran Jomet yang berkerja atas perintah Surat Tugas yang
dikeluarkan oleh Gubernur, dan setiap kali hampir berujung kesepakatan
dengan pola kemitraan selalu saja perusahaan itu beralih kepemilikan, dan
setiap ganti kepemilikan pihak Pemerintah Jambi tidak mengetahui, seharusnya
dengan adanya pelanggaran dan konflik yang sudah berlangsung sejak lama ini
pemerintah lebih memperhatikan.4
4 Artikel, Gubernur, berhentilah melindungi PT Asiatic Persada. 3 Desember 2013.
Dalam menyelesaikan kasus sengketa ini dengan membuat koperasi
kemitraan yang di usulkan oleh PT. Asiatik Persada, tetapi semua kesepakatan
yang dibuat oleh PT Asiatik Persada dengan Mayarakat Suku Anak Dalam
gugur dan tidak berjalan dikarenakan PT.Asitik Persada berusaha lari dari
tanggung jawab dengan mengalihkan kepemilikan manajemen perusahaan
secara diam-diam dari PT. Asitic Persada kepada PT. Agro Mandiri Semesta.5
Selain PT. Asiatik Persada peneliti juga menempatkan LSM X sebagai
pihak Superordinat (Menguasai) dalam kasus konflik ini, tidak dapat
dipungkiri Masalah konflik sengketa lahan yang terjadi di kabupaten Batang
Hari ini sudah berlangsung selama 25 tahun antara Suku Anak Dalam (SAD)
dan PT Asiatic Persada menyebabkan banyaknya LSM yang mencoba
memanfaatkan situasi tersebut demi keuntungan pribadi, dikarenakan banyak
pihak yang bersimpati kepada nasib Suku Anak Dalam maka dengan topik
mendampingi pihak LSM berusaha mencari peruntungan dalam setiap kasus.
Hal ini diperkuat dengan berbagai wawancara yang penulis lakukan seperti
wawancara terhadap kepala bidang biro SDA dan Lingkungan kantor gubernur
jambi bapak Ainul Irfan:
Sebenernya dek, kasus ini sudah hampir selesai karna sudah terjadi
kesepakan anatara semua pihak, pihak PT, Sudah membebaskan
200 hektare lahan kepala sawit sudah siap panen dan dibagikan
terhadap semua keturunan Suku Anak Dalam Asli dan bahkan
dibuatkan koprasi untuk mengelola hasilnya, ini suku anak dalam
juga sudah setuju tapi ya itu ada pihak-pihak yang menunggangi
5 HARIANJAMBI.COM, Senin, 6 Januari 2014, Sulitnya Mencari Perdamaian Dibalik Konflik
Lahan PT Asiatik –SAD
Suku Anak Dalamsupaya kasus ini tidak selesai, karna kalau
selesai dia gak punya penghasilan lagi.6
Suku Anak Dalam sendiri mulai merasakan alotnya penyeselian konflik ini
dikarenakan pihak LSM, Seperti yang diutarakan Bapak Daniel ngalay tetua
adat Suku Anak Dalam atau yang disebut Tumenggung:
Saat ini saya tidak lagi membiarkan LSM X untuk masuk ke dalam
Suku kami, saya pengalaman dengan kelompok lain di daerah
sarolangun, itu ya mereka, suku kakak saya itu kemarin ada beberapa
yang meninggal karena penyakit menular tetapi LSM ini memberitakan
mereka meninggal karna kelaparan semuanya mereka dapat sumbangan
kami gak dapat apa-apa.
Tetapi dari beberapa kelompok Suku Anak Dalam masih ada yang percaya
kepada LSM X tetapi hanya satu kelompok dari sekian banyak kelompok-
kelompok Suku Anak Dalam dan kelompok itulah saat ini yang masih
bertahan menolak penyelesaian yang ditawarkan oleh pemerintah dan PT,
Asiatik persada.
5.1.2 Subordinat (Dikuasai)
Pola hidup berburu dan meramu (hunter and gatherers) masih terapkan
oleh orang rimba, namun sejak era tahun 1980-an, ketika hutan sebagai
pemberi kehidupan mulai beralih fungsi, orang rimba semakin kesulitan untuk
mempertahankan kelangsungan hidupnya, konflik perebutan sumber daya juga
tidak dapat dielakkan, dalam data yang saya temukan dilapangan konflik
perebutan sumber daya yang melibatkan orang rimba semakin intens terjadi,
setiap tahun ada saja ledakan yang terjadi bisa berujung kekerasan bahkan
6 Wawancara dengan Pak Ainul Irfan, selaku kepala bidang biro SDA dan Lingkungan kantor gubernur
jambi. Pada Hari Rabu, tanggal 7 juni 2017, pukul 08:00 WIB
menimbulkan kematian, yang paling sering mengalami korban adalah pihak
suku anak dalam atau orang rimba.7 Seperti yang diutarakan Pak Daniel ngalay,
Tumenggung kelompok Bathin 9:
Kami, suku anak dalam, dari dulu selalu berpindah-pindah di dalam
hutan demi mata pencaharian kami. Kami berpindah-pindah untuk
berburu, mengambil, mengumpulkan tanaman obat, akar, rotan dan
kayu. Kami punya tempat suci yang kami kunjungi dan kami punya
tempat kuburan kami. Kami berpindah-pindah dalam hutan karena ini
merupakan adat kami dan ini adalah hak adat kami dan karena ini
adalah tanah kami untuk kami gunakan dan hutan kami untuk kami
dapat hidup darinya.8
Dari tahun 1997-2016 terdapat 22 konflik perebutan sumber daya yang
melibatkan orang rimba atau Suku Anak Dalam, baik dengan perusahaan
maupun dengan masyarakat transmigrasi. Dari konflik ini, juga telah
menyebabkan 13 jiwa orang rimba meninggal, juga terdapat korban luka-luka
berat, cacat permanen, kehilangan harta benda berupa pondok yang dibakar.
Konflik lahan yang melibatkan suku anak dalam dengan perusahaan mendapat
legalitas dari negara, kehadiran perusahaan ini, telah menyebabkan Suku Anak
Dalam kehilangan hutan yang menjadi tempat penghidupan mereka, mereka
menjadi kesulitan pangan dan tertekan, konflik dengan perusahaan dan juga
konflik sosial dengan masyarakat sekitar nya menjadi tidak terelakkan.9
Dalam konflik ini, posisi orang Rimba atau Suku Anak Dalam berada
paling rendah dan lemah atau subordinat (dikuasai), sehingga orang rimba
cenderung menjadi korban dalam tiap konflik dan persoalaan yang mereka
hadapi, walau mereka hanya berusaha untuk bertahan hidup dari tekanan hidup
7 Sumber majalah: Alam sumatra edisi april 2017, hal 37
8 Wawancara dengan Daniel ngalay, selaku Temenggung (Ketua Suku) Suku Anak Dalam. Pada
Hari Sabtu, tanggal 10 juni 2017, pukul 15.27 WIB. 9 ibid
mereka, banyak hal yang menyebabkan hal tersebut, beberapa diantaranya
disebabkan karna hampir seluruh orang rimba tidak mengenyam dunia
pendidikan dan hanya mengenal hukum rimba sehingga sangat kesulitan ketika
berhadapan dengan orang luar.
Suku Anak Dalam hidup menyebar dalam kelompok-kelompok kecil
yang otonom dengan pola hidup semi nomadik. Dikatakan semi nomadik karna
Suku Anak Dalam dalam kehidupannya memang akan bergerser dari wilayah
mereka ketika ada kematian atau yang dikenal dengan istilah melangun, waktu
melangun sangat bervareasi tergantung dengan kesedihan yang dirasakan oleh
Suku Anak Dalam akibat kematian anggota keluarganya. Dengan pola hidup
semi nomadik ini menyebabkan Suku Anak Dalam belum diperhitungkan
dalam aktivitas yang berlangsung di wilayah hidupnya. Misalnya saja ketika
pemerintah memberikan alokasi lahan untuk perkebunan, hutan taman indutri
hingga transmigrasi, Suku Anak dalam yang nyata-nyata sudah berada di lokasi
itu sama sekali belum menjadi pertimbangan, bahkan ditiadakan, sehingga
tidak ada alokasi lahan untuk mereka, begitu pun dengan penyediaan kartu
tanda penduduk dan kartu keluarga hampir sangat sulit untuk mereka peroleh.
Kondisi inilah yang menyebabkan Suku Anak Dalam makin terdesak
dan menyebabkan kemarginalan pada hidup mereka, bahkan sampai mengarah
pada timbulnya etnosida, kondisi ini juga membenturkan Suku Anak Dalam
pada konflik dan permasalahan sosial yang sangat sulit mereka hadapi.
Selain Suku Anak Dalam, pihak Masyarakat pendatang juga berada
pada posisi Subordinat (dikuasai) meskipun tidak semua tetapi kebanyakan
masyarakat pendatang tersebut bekerja kepada perusahaan-perusaaan sawit
yang berada di daerah konflik tersebut sehingga mereka tidak memiliki power
untuk melawan, sebagaimana yang diutarakan Parulian Dabukke:
Bulan lalu itu kami ada konflik sama beberapa orang rimba itu iya itu
karna orang rimba ini, mencuri buah sawit dia terus di tangkap sama
salah satu kawan kami tapi melawan dia terus dipukulkan kan kawan
kami ini depalanya pake gagang senapan itu itupun karna udah
berantem jadi gak sdar dia udah dipukulkannya, besoknya datanglah
beramai-ramai suku anak dalam ini karna kawanya berdarah itu
dibakarnya dua mobil sawit PT. Ini, sebebernya kami gak tega dek,
kasian juga kami tapi mau gimana kami kerja di PT. Inilah yang gaji
pun mereka.10
5.2 Analisis Kepentingan Berdasarkan Aktor.
Konflik merupakan sesuatu yang tidak dapat dihindarkan dalam
kehidupan manusia, walaupun kehidupan masyarakat kelihatan sangat damai
dan rukun belum tentu masyarakat itu tidak mempunyai konflik. Konflik
sering terjadi karena terdapat beraneka ragam karakter, sifat, perilaku yang
dimiliki individu yang berbeda satu sama lain.
Konflik terjadi apabila dalam hubungan antara dua orang atau kelompok,
perbuatan yang satu berlawanan dengan perbuatan yang lain, sehingga salah
satu atau keduanya saling terganggu. Perbuatan dapat mengganggu karena
tidak didukung, tidak memudahkan kegiatan yang sedang berlangsungf atau
dapat merugikan sehingga dengan adanya suatu konflik yang terjadi merusak
suatu tujuan yang telah direncanakan sebelumnya. Keberadaan konflik tidak
10
Wawancara dengan Parulian Dabukke, selaku salah satu pegawai PT.asiatik Persada. Pada Hari
Minggu, tanggal 11 juni 2017, pukul 12:45 WIB.
dapat dihindarkan, dengan kata lain bahwa konflik selalu muncul dan terjadi
pada setiap organisasi. Menurut Luthans,F dikutip oleh Wahyudi mengartikan:
“konflik merupakan ketidaksesuian nilai atau tujuan antara anggota
organisasi, sebagaimana dikemukakan berikut;perilaku konflik
dimaksud adalah perbedaan kepentingan perilaku kerja,perbedaan
sifat individu, dan perbedaan tanggung jawab dalam aktivitas
organisasi”.
Seperti yang telah dijelaskan pada awal mula terjadinya konflik, telah
dijelaskan bagaimana PT. Asiatik persada masuk dan akhirnya menguasai
lahan-lahan hutan tempat Suku Anak Dalam tinggal. Seperti yang dikatakan
Ralf Dahrendolf dalam pemikirannya tentang konflik bahawa adanya dominasi
dan ketimpangan (ekonomi) dalam masyarakat menjadi faktor yang sangat
dominan menyebabkan konflik. Ralf Dahrendolf menyatakan bahwa dominasi
atas modal dan tenaga kerja pada akhirnya dapat menyebabkan konflik.11
PT. Asiatik Persada menguasai hampir seluruh wilayah hutan yang
ditinggali Masyarakat Suku Anak dalam yang dikelola menjadi perkebunan
Kelapa sawit, ketidak mampuan Masyarakat Suku Anak Dalam untuk melawan
juga sangat dimanfaatkan oleh PT. Asiatik persada dimana mereka sangat
mengandalkan ijin yang diberikan oleh pemerintah, selain itu penampilan
pegawai pabrik dengan Suku Anak Dalam sangat-sangat berbeda, dimana Suku
Anak Dalam hanya menggenakan Sarung atau kain Panjang yang digulung
menutupi bagian tertentu saja sedangankan pegawai PT. Asiatik Persada dan
11
Poloma, Margaret.M Sosiologi Kontemporer, Jakarta:PT. RajaGrafindo Persada hal 117
Masyarakat Pendatang tentu sudah berpenampilan modern dan menggunakan
alat-alat medern seperti sepeda motor, mobil, truk, dan handphone.
Dari penjelasan diatas, dapat ditemukan dua hal yang setidaknya sangat
berpotensi untuk menumbuhkan kecemburuan dan konflik baru setiap harinya.
Pertama dikarenakan masyarakat merasa lahan tempat tinggalnya direnggut
begitu saja dan kesulitan yang mereka rasakan saat ini untuk bertahan hidup,
yang kedua akibat kecemburuan sosial melihat penampilan masyarakat
pendatang dan Pegawai PT. Asiatik persada.
Seperti halnya penjelasan Ralfdahrendof bahwa dominasi serta
kepemilikan modal produksi dapat menyebabkan ketimpangan dalam
masyarakat dan ketimpangan itu dapat menjadi faktor yang kuat dalam
menciptakan konflik. Lebih lanjut, Dahrendolf menjelaskan tentang terjadinya
kelas-kelas baru karena dominasi modal dalam masyarakat, namun yang terjadi
di Batanghari bukanlah kelas-kelas baru namun dengan adanya dominasi
modal pada akhirnya membuat jarak atau gab (kesenjangan) yang sangat
terlihat jelas diantara pihak-pihak yang berkonflik.
Pemerintah Republik Indonesia sejatinya telah melakukan berbagai cara
untuk menyelesaikan setiap permasalahan konflik agraria yang terjadi di
Kabupaten Batanghari, Jambi. Berdasarkan pernyataan dari pihak Sumber
Daya Alam Gubernur Jambi, Pemerintah mengimplementasikan beberapa
tahap upaya penyelesaian yang menjadi tindakan utama dalam penyelesaian
konflik perbatasan antara Masyarakat Suku Anak Dalam dengan PT. Asiatik
persada beserta masyarakat pendatang, khususnya konflik Perebutan lahan adat
tersebut diantaranya adalah menganalisis kepentingan dalam konflik, penilaian
kepentingan, upaya mediasi.
5.2.1 Kepentingan Nyata, Tersembunyi dan Semu
Sejatinya kepentingan-kepentingan dalam suatu konflik sangat kompleks,
oleh karena itu diperlukan langkah untuk menganalisis atau mengidentifikasi
kepentingan apa sebenarnya yang mendasari terjadinya konflik. Kepentingan
menjadi hal utama dalam suatu konflik, dimana kepentingan tertentu pihak-
pihak terkait menyebabkan konflik terjadi dan dapat pula kepentingan tersebut
berkembang sehingga memunculkan upaya penyelesaian konflik. Identifikasi
kepentingan ini sangat penting dilakukan guna menjadi landasan perencanaan
keputusan dalam penyelesaian konflik. Kepentingan setiap aktor juga
mempengaruhi bagaimana kondisi konflik tersebut, apakah konflik tersebut
berkembang menjadi konflik yang berujung korban jiwa ataukah konflik yang
berujung secara damai dengan saling bekerja sama.
PT. Asiatic Persada dulunya bernama PT. Bangun Desa Utama (BDU)
yang dimiliki keluarga Senangsyah. Sejak tahun 1970-an memegang konsesi
pembalakan yang luas di wilayah tersebut. Pada tahun 1987, PT. BDU dengan
legalitas yang patut dipertanyakan diberikan izin areal seluas 20.000 hektare.
Berada di Kabupaten Batanghari yang belakangan dimekarkan menjadi dua
kabupaten: Muaro Jambi dan Batanghari. Izin tersebut diberikan di areal
pembalakannya untuk mengembangkan perkebunan. Menjelang tahun 1990-an
barulah perkebunan kelapa sawit dibangun. Pada tahun 1992, perusahaan itu
juga berganti nama menjadi PT Asiatic Persada (AP). Saat perkebunan mulai
diperluas di tanah Batin Sembilan, sengketa tanah mulai bermunculan hingga
sekarang.
Dari persepektif izin dan hukum administtrasi PT. Asiatik Persada
memang memiliki izin baik secara Hak Guna Usaha maupun izin-izin lainnya
dan sesua dengan ketentuan yang berlaku sehingga wajar PT. Asiatik persada
sangat memiliki kekuatan dalam konflik ini, kepentingan bisnis tentu adalah
kepentingan utama dan nyata bagi PT. Asiatik Persada dimana dengan 20.000
hektare perkebunan kelapa sawit tentu saja terjadi begitu besar perputaran uang
didalamnya, selain minyak goreng sangat banyak produk yang ditunjang oleh
hasil olahan kelapa sawit, seperti produk sabun, shampo, detergen, pasta gigi,
kosmetik dan berbagai bahan makanan serta obat-obatan, tidak hanya dalam
negri olehan kelapa sawit juga sangat laris manis di pasaran luar negeri. Oleh
karna itu PT. Asiatik Persada menegusahakan seoptimal mungkin seluruh lahan
dan tidak mentolerir ganguang dari pihak luar termaksuk Suku Anak Dalam
kepentingan yang dijunjung oleh PT. Asiatik Persada Dapat dengan jelas kita
lihat yaitu Kepentingan Nyata, salah satu pegawai PT. Asiatik Persada yang
saya wawancarai yang tidak mau disebutkan namanya mengatakan:
Perusahaan Mana mau mengangkat orang rimba jadi pegawai,
mending mereka rasa mengambil pegawai dari luar daerah kayak
saya inilah, ya karna terlalu lama kalo mengajari orang rimba ini
bahkan untuk pegawai kasar pun karna ya mereka gak pernah sama
sekali berpengalaman kerja, perusahaan ini takut produksinya
terhambat kalo memperkerjakan anak rimba ini, ya mereka buat lah
persyaratan KTP sama Kartu Keluarga jadi alasan, ya sudah pasti
lah mereka gak punya orang selama ini pun tinggal dihutan dan
gak menetap.12
12
Wawancara dengan MR. X, selaku Salah satu pegawai PT. X Yang berkonflik. Pada Hari Sabtu,
tanggal 10 juni 2017, pukul 09:00 WIB.
Selain PT. Asiatik Persada kita juga tidak dapat mengesampingkan
Kepentingan Suku Anak Dalam pada konflik ini dimana Suku Anak
Dalamlah yang paling pertama menduduki lahan adat di batang Hari jambi.
Mengenai hakekat tanah adat itu sudah ada sejak masyarakat adat lahir,
Tanah bagi masyarakat adat adalah Ibu, dimana tanah digunakan masyarakat
adat untuk bernaung,mencari penghidupan,dan menjalankan aktivitasnya, sela
in itu tanah bagi masyarakat adat adalah hak purba, yang mana hak itu sudah
melekat dan turuntemurun dari nenek moyang masyarakat adat. Adapun sifat
dari tanah itu sendiri adalah sesuatu yang kekal, meski dihancurkan, dibakar,
di bom, dan kenak bencana alam tanah masih tetap ada dantidak berpindah.
Mengenai fakta yang terjadi tanah digunakan oleh masyarakat adatsebagai
tempat tinggal persekutuan, memberikan penghidupan pada persekutuan,
tempat untuk dikebumikan (masyarakat adat yang meninggal), dan tempat
paraleluhur bernaung.13
Tanah-tanah yang dikuasai oleh masyarakat hukum adat dikenal
dengan hak ulayat.Eksistensi dan pengakuan adanya masyarakat hukum adat
dan hak-haknya telah tertuang di dalam Undang-Undang Dasar
1945 pasal 18 B ayat (2) yang menyebutkan:
“Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan
masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya
sepanjangmasih hidup dan sesuai dengan perkembangan
13 Soerojo wignjodiporo, SII, pengantar dan Asas-asas Hukum Adat, Jakarta, PT. Toko Gunung Agung, 1995,
hal 197
masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang
diatur dalam undang- undang”
dan dalam pasal 28I ayat (3) yang menyebutkan
“Identitas budaya dan hak masyarakat tradisionaldihormati selaras
dengan perkembangan zaman dan peradaban”
Dalam Undang-Undang No. 5 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar
Pokok-pokok Agraria (UUPA) :
pasal 58 masih mengakui hak ulayat dan hak-hak lainnya sejenis
yangtidak bertentangan dan selama belum diatur secara khusus. Sedangaka
n dalam Undang-Undang No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutan tidak secara
rinci mengatur keberadaan hak ulayat, UU kehutanan hanya mengatur
mengenai keberadaan hutan adat danmasyarakat hukum adat dan rumusan
mengenai hutan adat adalah hutan negara yang berada dalam wilayah
masyarakat hukum adat. Hak ulayat adalah suatu sifat komunaltistik yang
menunjuk adanya hak bersama oleh paraanggota masyarakat hukum
adat atas suatu tanah tertentu. Dalam pelaksanaannya, kelompok tersebut
bisa merupakan masyarakat hukum adat yang teritorial (Desa,Marga
magari, hutan) bisa juga merupakan masyarakat hukum adat geneologik
atau keluarga, seperti suku. Hak Ulayat disebut juga sebagai hak purba
atau hak pertuanan yaitu hak yang dimiliki oleh suatu persekutuan hukum
adat (sehingga sifatnya merupakan hak bersama) untuk menguasai seluruh
tanah beserta segala isinya dalam lingkungan wilayah persekutuan tersebut
dan merupakan hak atas tanah yang tertinggi dalam hukum adat.14
Keberadaan masyarakat adat itu tak bisa dipisahkan dari Tanah,
sepertipada penjelasan diatas bahwa tanah merupakan faktor yang sangat e
sensial bagi masyarakat, tak terkecuali masyarakat adat Suku Anak Dalam
Jambi, mereka tentunya sudah menganggap bahwa Tanah, Air, Tumbuh-
tumbuhan, dan binatang yang hidup liar di wilayah mereka adalah hak
ulayat (persekutuan) mereka15
, jadi secara sosiologis wajar kalau
masyarakat Suku Anak Dalam menuntut untuk dikembalikan hak
ulayatnya. Terlebih kehudupan mereka sangat bergantung kepada alam
karena pola hidup mereka masih berburu dan meramu makanan jadi sangat
nyata dapat kita lihat kepentingan yang diperjuangkan oleh Suku Anak
Dalam adalah kepentingan Nyata.
Warga Pendatang juga memiliki kepentingan dan andil pada konflik ini
meski kepentingan tersebut adalah kepentingan semu dimana kepentingan
semu dapat diartikan kepentingan yang tidak begitu nyata dan tidak juga
tersembunyi, banyaknya warga pendatang yang datang ke Provinsi dimulai
dari Program Transmigrasi yang dcanangkan oleh Presiden Soeharto untuk
pemerataan pembangunan selai itu dibukanya lahan hutan untuk inestasi
perkebunan juga menyita banyak tenaga kerja dari luar jambi untuk datang ke
14
M. Ridah Saleh, “Hak-Hak Masyarakat Adat”, Makalah pada Advanced Training bagi Dosen Pengajar Hukum HAM, diselenggarakan oleh Pusham UII kerjasama dengan Norwegian Centre for Human Rights, Yogyakarta 21-24 Agustus 2007, hal. 19 15
Soerojo wignjodiporo, SII, pengantar dan Asas-asas Hukum Adat, Jakarta, PT. Toko Gunung Agung, 1995, hal 199
jambi mengadu nasibnya, hal ini lah yang membuat banyak warga dari daerah
lain banyak datang ke Jambi termaksut kabupaten Batang Hari.
Sekian lama menetap di Batang Hari baik sebagai Transmigran maupun
Sebagai pegawai perusahaan-perusahaan perkebunan sawit menimbulkan
banyak gesekan kepentingan dengan penduduk Suku Anak Dalam atau anak
Rimba terlebih banyak dari trasmigran yang memperluas lahannya dengan
cara menggarap Hutan dan berkonflik langsung dengan suku anak dalam
yang merasa tempat tinggalnya terganggu, tidak jarang masyarakat pendatang
berkonflik dengan anak rimba (Suku Anak Dalam) sampai menimbulkan
korban jiwa, selain itu banyak dari masyarakat pendatang yang sudah
menikah dengan penduduk Suku Anak Dalam dan memanfaatkan hal tersebut
untuk memperoleh lahan sawit siap panen yang diberikan PT.Asiatik untuk
masyarakat Suku Anak dalam.
Kejadian bentrokan antar Kelompok SAD 113 dengan security PT. Asiatik
pada tanggal Maret 2014, yang diduga sebagai akibat dari kejadian pencurian
sawit, telah membuka mata kita semua. salah satu korban penganiayaan
adalah bernama Titus Simanjuntak. Tidakkah kita berpikir dengan akal sehat,
adakah orang SAD asli memiliki marga Simanjuntak? Artinya SAD 113 tidak
murni SAD tetapi telah disusupi oleh orang-orang yang akan mengambil
keuntungan untuk kelompoknya sendiri dengan selalu mengatasnamakan
SAD yang tertindas dan teraniaya. Dari informasi dan data yang diperoleh
dilapangan, diperoleh fakta bahwa kegiatan Titus Simanjuntak selama ini
adalah sebagai pencuri dan penadah buah sawit hasil curian masyarakat atau
Korban yang lainnya adalah Sdr, Puji bin Tayat yang tingga di Desa Johor
Kec. Bajubang Kab. Batanghari. Dari data alamat saja dapat diketahui bahwa
yang bersangkutan adalah bukan tinggal di daerah yang selama ini
diperjuangkannya.
Selain kepentingan aktor yang telah saya jabarkan diatas ada satu aktor
lain yang memiliki kepentingan dalam kasus konflik perebutan lahan ulayat
yang terjadi di kabupaten Batang hari ini meski pada hakikatnya mereka
membawa Kepentingan tersembunyi atau kepentingan yang tidak begitu
ditunjukan seperti kepentingan nyata yang di bawa PT. Asiatik dan Suku
Anak Dalam, Lembaga swadaya masyarakat (disingkat LSM) adalah sebuah
organisasi yang didirikan oleh perorangan ataupun sekelompok orang yang
secara sukarela yang memberikan pelayanan kepada masyarakat umum tanpa
bertujuan untuk memperoleh keuntungan dari kegiatannya. Pengertian LSM
ttersebut ternyata tidak berlaku pada kasus ini, Dalam penyelesaian kasus ini
sebenarnya 90% kelompok-kelompok Suku Anak Dalam Sudah menerima
sulusi yang ditawarkan oleh pihak pemerintah dan PT. Asiatik, hanya ada 2
kelompok yang menolak dan kelompok tersebut lah yang didampingi oleh
LSM tertentu yang mengatas namakan kepentingan Suku Anak dalam.
Untuk menarik simpati semua orang maka dalam pernyataan-pernyataan,
pemberitaan-pemberitaan di media masa cetak, elektronik maupun online ,
Pihak LSM selalu mengatasnamakan warga Suku Anak Dalam sebagai
petani Suku Anak Dalam yang tertindas, padahal faktanya Menungguangi
Kelompok Suku Anak Dalam Untuk kepentingan Meraka Sendiri. Kelompok
Suku Anak Dalam telah disusupi oleh kelompok-kelompok LSM untuk
kepentingan-kepentingan tertentu untuk melawan pemerintah dan
perusahaan-perusahaan. Mereka juga mendapat banyak dana Sumbangan dari
masyarakat luas yang merasa iba dengan Suku Anak Dalam sehingga mereka
berusaha menahan kasus ini se alot mungkin.
Dari penjabaran indentifikasi Kepentingan aktor-aktor yang terlibat diatas
dapat dilakukan Penilaian kepentingan atau pembobotan kepentingan menjadi
salah satu factor utama penentu keberhasilan keputusan penyelesaian konflik.
Setelah adanya identifikasi kepentingan yang jelas maka perlu dilakukannya
penilaian untuk meninjau titik berat kepentingan yang lebih dipertimbangkan
sebagai landasan pengambilan keputusan dan awal mula dapat dilakukannya
mediasi.
5.2.1 Upaya Mediasi Konflik
Indonesia sebagai negara agraris, masih diliputi oleh permasalahan konflik
sumber daya alam/agraria. Tingginya konflik ini disebabkan oleh adanya
ketimpangan penguasaan sumber daya alam antara masyarakat yang
menggantungkan hidup dari sumber ekonomi berbasis sumber daya alam
(tanah, hutan, perkebunan) dengan penguasaan oleh perusahaan, khususnya
perusahaan besar perkebunan, kehutanan, pertambangan, dan hak penguasaan
oleh negara yang masih berpihak pada perusahaan dibanding pemenuhan hak-
hak masyarakat adat atas sumber daya alam.
Konflik yang ada sebagian telah menyebabkan terjadinya kekerasan.
Pengambil- Resolusi konflik, sumber daya alam, Batang Hari. 145 alihan lahan
masyarakat lokal/adat bagi kepentingan dunia bisnis diwarnai dengan tindakan-
tindakan kekerasan. Keterlibatan para pihak ketiga dan oknum aparat negara
dalam pengamanan perusahaan menambah intensitas konflik. Akibatnya
implikasi konflik sumber daya alam antara masyarakat adat/lokal dengan
perusahaan selain tidak terpenuhinya hak-hak masyarakat hukum adat juga
ketidakpastian investasi bagi perusahaan. Konflik yang terus meningkat
menyebabkan kerugian di semua pihak, oleh karna itu untuk pemerintah Jambi
mencanangkan penyelesaian konflik dengan dibentuknya Tim terpadu untuk
memahami dan menjadi bagian dari mediasi.
Kebijakan Pemerintah Daerah dalam penyelesaian konflik sumber daya
alam dalam membentuk Tim terpadu penanganan gangguan keamanan yang
dibentuk Bupati Batanghari melalui SK No 158 tahun 2012, akan
menginventarisir ulang konflik sosial yang ada di Batanghari. Pendataan ulang
ini melibatkan 19 institusi yang ada di Batanghari. Hal tersebut disampaikan
Kepala Kantor Kesbangpol Linmas Batanghari, Farizal, yang juga sekretaris
tim terpadu penanganan gangguan keamanan dalam wilayah Batanghari. Lebih
jauh dikatakan bahwa langkah itu mengingat banyaknya konflik sosial di
Kabupaten Batanghari.
Apabila dicermati konflik sosial yang umumnya terjadi di Kabupaten
Batanghari adalah persoalan lahan, terutama konflik antara kelompok
masyarakat dengan pihak perusahaan maupun masyarakat dengan pihak
perusahaan.Tim terpadu yang dibentuk berdasarkan SK Bupati No 158 tahun
2013, Bupati sebagai ketua tim, Sekda sebagai Wakil Ketua I, Kapolres
Batanghari Wakil Ketua II, dan Ketua PN Wakil Ketua III, serta Kajari Wakil
ketua IV. Kakan Kesbangpol Linmas ditunjuk sebagai sekretaris Tim.
Langkah tim terpadu untuk mempermudah proses inventarisir tersebut,
telah dilayangkan surat kepada 19 institusi, yang isinya meminta agar
menyampaikan data konflik sosial dan konflik lainnya yang belum di selesaikan
di masing-masing SKPD ke Bupati Batanghari selaku ketua tim
terpadu.Terhitung sejak tanggal 6 Maret 2013 hingga hari ini, tim terpadu sudah
melakukan upaya penanganan konflik yang ada di Batanghari sebanyak 11
kasus. Beberapa di antaranya bahkan sudah dikeluarkan keputusan oleh tim
terpadu dan sebagian lainnya masih dalam proses.
Berdasarkan observasi lapangan di Kecamatan Pemayung Desa Lopak Aur
diperoleh gambaran bahwa adanya masalah kultur, struktur, dan proses
pembagian struktur ruang yang tidak mengindahkan pranata dan kearifan lokal
menjadi salah satu faktor pemicu konflik. Perbedaan-perbedaan ini pula yang
perlu diperhatikan guna penyelesaian konflik ke depan agar konflik dapat
diminimalisir dan diantisipasi sejak awal sehingga tidak terjadi kerugian yang
lebih besar.
Observasi lapangan penulis Juli 2017 dengan Tim Terpadu Penyelesaian
Konflik di Kabupaten Batanghari bahwa telah pembentukan badan mediasi
yang menjalankan fungsi-fungsi memetakan konflik, pelatihan resolusi konflik,
pencegahan konflik, dan penyelesaian konflik yang melibatkan pemerintah,
pemerintah daerah, perusahaan, masyarakat lokal, lembaga adat dan lembaga
swadaya masyarakat.
Berdasarkan dari data Rekapitulasi Tim Terpadu, bahwa telah dilakukan
berbagai upaya melalui rapat dan pertemuan-pertemuan, mediasi dengan semua
pihak yang berkonflik di falitasi oleh tim terpadu, maka telah dihasilkan
berbagai kesepakatan yaitu:
Pertama, Kesepakatan Rapat tanggal 26 maret 2012, diantaranya berbunyi
bahwa: BPN RI sesuai kewenangannya akan bekerja sama dengan PT. Asiatik
Persada dan pemerintah Batanghari serta perwakilan Suku Anak Dalam
melakukan pengukuran lahan hutan yang selama ini diklain masyarakat Suku
Anak Dalam Melebihi 20.000 hektare yang diberikan izin oleh pemerintah dan
pemkab Batang Hari wajib mengesahkan hasil verifikasi terhadap subyek
(pendudk kabupaten Batang Hari) Dalam Bentuk Satuan Keluarga).
Kedua, Kesepakatan Pertemuan Tanggal 4 April 2012, diantaranya
berbunyi bahwa penyelesaian tuntutan kelompok Suku Anak Dalam tetap
mengacu pada Surat Keputsan Mendagri NO. Sk.46/HGU/DA/86 tanggal 1
september 1986 dan surat badan inventarisasi dan tataguna Hutan Dephut
tanggal 11 juli 1987 no. 393/VII-4/1987.
Ketiga, Berita Acara Mediasi lahan antara masyarakat Suku Anak Dalam
dengan PT. Asiatik Persada pada rapat di Komnas Ham RI di jakarta tanggal 10
juli 2012, diantaranya telah menyepakati bahwa akan dilaksanakan pengukuran
ulang atas lahan 3.550 Ha yang terdiri dari perkampungan, perladangan, belukar
berdasarkan survey mikro tahun 1987 dimana selama ini Suku Anak Dalam
Mengklaim wilayah PT. Asiatik Persada sudah lebih dari yang dicanangkan dan
mengambil lahan mereka yang selama ini diukur sebanyak 3.550 ha.
Keempat, Kesepakatan rapat Bersadam DPR RI tanggal 1 Agustus 2012,
diantaranya berbunyi bahwa pengukuran ulang akan melibatkan semua pihak
terkait. Kelima, Berita Acara pertemuan di kantor Bappeda Kab. Batang hari
antara PT. Asiatik Persada dengan Suku Anak Dalam yang dipimpin oleh
lembaga adat Batang hari dan dihadiri oleh Kakan Kesbangpol, Polres Batang
Hari, Kadis Perkebunan, Kepala BPN Batang Hari. Kadis Perindakop, Kebag
Hukum, Kapolsek Bajubang dan Management PT Asiatik Persada tanggal 22
Januari 2014, diantaranya telah menyepakati bahwa:
Pihak PT.Asiatik Akan menyerahkan Areal Kebun Sawit
Seluas 2000 ha siap Panen Kepada Suku Anak Dalam
keturunan Asli.
PT. Asiatik Akan menyapkan Patok/Plat Yang akan
dipasang di Lokasi Suku Anak Dalam
Lemabaga Adat akan segera memverifikasi data valid Suku
Anak Dalam asli
Tim terpadu akan terlibat langsung dalam pelaksanaaan
penanganan konflik.
Konflik yang awalnya kecil dapat polarisasi dan berpotensi disusupi oleh
pihak ketiga yang sesungguhnya tidak memiliki keterkaitan dengan konflik
namun memiliki kepentingan terhadap konflik agar terus terjadi hal ini juga
terjadi di permasalahan konflik perebutan lahan adat yang terjadi di Batanghari
ini dimana 90% kelompok Suku Anak Dalam telah menyepakati kesepakatan
Hasil Mediasi Diatas, hanya tinggal 1 Kelompok yang selama ini di tunggangi
Pihak LSM tertentu yang berusaha menolak tanpa solusi.
Kondisi ini, dapat menyebabkan ketidakpercayaan dan permusuhan di
antara kelompok yang berbeda dalam suatu masyarakat. Karena itu berdasarkan
studi lapangan diperoleh gambaran agar gugus tugas penanganan konflik dalam
masyarakat sejak awal juga seharusnya sudah dapat dibentuk guna memediasi
kelompok yang berkonflik karena perebutan sumber daya alam dengan sasaran
yang ingin dicapai. Keberadaan gugus tugas ini berperan dalam menyelesaikan
konflik, sumber daya alam, Batang Hari. 157 pengetahuan pihak-pihak yang
berkonflik mengenai budaya pihak lain, dengan mengedepankan aspek
pendidikan multikultural yang lebih konfrehensif; (2) mengurangi steriotif
negatif suatu pihak dengan pihak lain; dan (3) meningkatkan keefektifan
komunikasi antar budaya.
Selanjutnya, dialog sebagai penyelesaian konflik melalui pranata adat
sebagai modal sosial penyelesaian konflik dan pendidikan karakter solusi konflik
jangka panjang perlu dipikirkan dan dipertimbangan menjadi kebijakan yang
dapat ditempuh dalam upaya menghasilkan insan-insan yang memiliki peradaban
yang tinggi. Sementara itu resolusi konflik yang dicapai dalam konflik sumber
daya alam di Kabupaten Batanghari khususnya mengenai konflik Suku Anak
Dalam dengan PT Asiatic Persada telah dicapai melalui dialog dan pencadangan
lahan bagi Suku Anak Dalam berikut sertifikatnya disiapkan oleh Pemerintah
Kabupaten Batanghari agar penyelesaian konflik sumber daya alam di Kabupaten
Batanghari dapat dicapai secara menyeluruh dan masyarakat dapat terlindungi.
5.3 Dampak Positif dan Negatif dari Konflik
Konflik mempunyai pengaruh besar terhadap kehidupan manusia , baik
secara individual maupun kelompok. Konflik mempunyai pengaruh positif dan
negative. Kedua pengaruh tersebut menciptakan perubahan bagi kehidupan
manusia. Konflik mengubah dan mengembangkan manusia menjadi lebih baik
hal ini juga dapat kita lihat dalam konflik Perebutan Lahan adat di Kabupaten
Batang Hari antara Suku Anak Dalam dan PT. Asiatik Persada.
5.3.1 Dampak Negatif
Pertama, Menghambat kerjasama: secara langsung maupun tidak
langsung, konflik Perebutan lahan ulayat ini akan berdampak buruk terhadap
kerjasama yang akan direncanakan diantara semua pihak, Baik Suku Anak Dalam
dan PT. Asiatik sehingga tidak ada masyarakat Suku Anak Dalam yang bekerja di
PT. Asiatik setiap pihak sangat membatasi diri untuk berinteraksi dengan pihak
lain karna dipenuhi dengan kebencian.
Kedua, Saling menjatuhkan : ini merupakan akibat yang paling nyata dari
konflik yang terjadi didalam suatu Masyarakat, akan selalu muncul tidakan atau
upaya saling menjatuhkan satu sama lain dan membuat kesan lawan masing-
masing rendah dan penuh dengan masalah hal ini jg terlihat dengan jelas dimana
pihak masyarakat sudah melabeli suku anak dalam dengan nama kubu dimana
nama tersebut memiliki makna sangat rendah, tertinggal, hina, maupun kotor.
Ketiga, Merusak sistem masyarakat : Masyarakat merupakan sistem sosial
yang saling berhubungan, saling membantu, dan saling tergantung satu sama lain
dalam mencapai tujuan organisasi. Konflik merusak suatu sistem dan dapat
menimbulkan ketidak pastian pencapaian tujuan organisasi. Keempat,
Menurunkan mutu pengambilan keputusan: Konflik yang desktruktif atau konflik
tidak sehat akan menghilangkan kebuntuan diskusi, fitnah, agresi, dan sabotase,
serta menghilangkan sikap percaya oleh karna itu banyak kasus yang terjadi
diselesaikan dengan cara kekerasan hingga menyebabkan korban bagi semua
pihak baik Suku Anak Dalam, Warga, dan PT. Asiatik. Situasi seperti ini tidak
mungkin mengembangkan sumber dalam pengambilan keputusan sehingga
banyak keputusan yang hanya menguntungkan sebelah pihak, diamana biasanya
pihak yg diuntungkan adalah pihak yang menguasai modal dan Sumber daya
Manusia yaitu PT. Asiatik.
Kelima, Kehilangan waktu kerja : Jika konflik berkembang menjadi
konflik dekstruktif, atau konflik yang tidak sehat. Hal ini mengurangi waktu untuk
berproduksi dan menurunkan produktivitas Dalam bekerja baik pada Pegawai PT.
Asiatik Maupun Suku Anak Dalam, karena waktu digunakan untuk
menyelesaikan konflik dan menyebabkan kerugian terhadap produktivitas
perusahaan. Keenam, Korban Jiwa: Puluhan Tahun Berkonflik tentu saja seudah
banyak memakan korban jiwa diantara kedua belah pihak, baik korban luka
maupun korban jiwa.
Ketujuh, Kerugian Materi: Penyelesaian Konflik yang alot mengakibatkan
banyak kerugian materi untuk semua pihak baik dalam mengurusi konflik maupun
kerugian akibat pencurian kelapa sawit. Kedelapan, Merusak citra semua pihak:
dengan konflik yang tidak terselesaikan maka akan merusak citra semua pihak
termaksuk pemerintahan kabupaten Jambi.
5.3.2 Dampak Positif
Pertama, Mendorong untuk kembali mengoreksi diri: dengan adanya
konflik yang terjadi mungkin akan membuat kesempatan bagi salah satu atau
kedua belah pihak untuk saling merenungi kembali, berpikir ulang kenapa konflik
bisa terjadi diantara mereka. Kedua, Meningkatkan Prestasi kerja: dengan adanya
konflik bisa membuat orang yang terimajinasikan oleh konflik merasa mempunyai
kekuatan sendiri untuk membuktikan bahwa ia mampu dan sukses dan tidak
pantas untuk “dihina” begitupun dengan Suku Anak Dalam dikarena sering
dikucilkan dan dianggap suku tertinggal oleh Maasyarakat sekitar dan Pegawai
PT. Asiatik maka Suku Anak Dalam mulai menyekolahkan anak-anak mereka
meski tidak semua, mereka mulai membuka diri terhadap kemajuan.
Ketiga, Mengembangkan hubungan kerja yang baik : dengan adanya
konflik yang terjadi membuat orang berpikir untuk mulai mencari alternatif yang
lebih baik misalnya bekerjasama dengan orang lain termaksuk Suku Anak Dalam
yang mulai berkerja sama dengan LSM untu membangun sukunya. Kelima,
Menciptakan Perubahan : Konflik berpengaruh besar terhadap kehidupan manusia
karena suatu konflik yang terjadi dapat mengubah dan mengembangkan
kehidupan manusia. Seperti contoh di Indonesia konflik menciptakan perubahan
kehidupan politik
Keenam, Mampu memahami orang lebih baik : Konflik membuat orang
memahami adanya orang lain yang berbeda pendapat, berbeda polapikir dan
berbeda karakter. Perbedaan tersebut perlu dimanajemen. Ketujuh, Mempererat
Hubungan Diantara kelompok: dengan adanya konflik dengan kelompok lain
maka sesama anggota di dalam kelompok menjadi lebih kompak dan bersatu,
sudah sangat jarang ditemukan perselisihan dianata kelompok karna merasa
seperjuangan untuk melawan kelompok lainnya.
Kedelapan. Meningkatkan kreativitas dan cara berpikir yang kritis :
Konflikakan menstimulus orang untuk berpikir kritis terhadap posisi lawan
konfliknya dan posisi dirinya sendiri. Orang harus memahami mengapa lawan
konfliknya mempunyai pendapat yang berbeda dan mempertahankan
pendapatnya. Meningkatnya kreativitas digunakan dalam menyusun strategi dan
traktik untuk menghadapi konflik tersebut. Kesembilan, Manajemen konflik
dalam menciptakan solusi terbaik : Jika suatu konflik yang terjadi di manajemeni
dengan baik dapat menghasilkan solusi yang memuaskan kedua belah pihak yang
terlibat. Solusi yang memuaskan akan menghilangkan perbedaan mengenai objek
konflik. Hilangnya perbedaan membawa keduanya kembali dalam interaksi sosial
yang harmonis.
Kesepuluh, Konflik menciptakan revitalisasi norma : norma yang berlaku
dan mengatur kehidupan masyarakat berkembang lebih lambat daripada
perkembangan anggota masyarakat. Perubahan norma sering dimulai dengan
terjadinya perbedaan pendapat mengenai norma yang berlaku antara pihak yang
ingin mempertahankannya dan mengubahnya. Perbedaan tersebut berkembang
menjadi suatu konflik dekstruktif, apabila konflik tersebut dimanajemeni dengan
baik, maka norma baru yang merupakan revitalisasi norma yang akan
berkembang.
5.4 Faktor Penyangga Konflik
Dalam kasus ini, peneliti akan mencoba mengkaji konflik dengan
menggunakan analogi pilar. Analogi pilar didasarkan pada keyakinan bahwa
situasi tertentu tidak benar-benar stabil, tetapi ditahan oleh berbagai faktor atau
kekuatan, yaitu pilar-pilar. Analogi pilar-pilar dapat dipergunakan ketika situasi
tidak jelas, kekuatan apa saja yang membuat situasi tidak stabil tetap bertahan.
Dengan menggunakan analogi pilar ini, diharapkan dapat membantu penulis
dalam mengidentifikasikan faktor-faktor yang membuat situasi konflik tetap
bertahan, dan juga untuk mempertimbangkan berbagai cara untuk mengurangi
atau menghilangkan faktor-faktor negatif tersebut, atau mungkin mengubahnya
menjadi kekuatan-kekuatan yang lebih positif.16
Perjuangan Suku Anak Dalam menuntut hak adat atas tanah mereka seluas
3.550 hektar dimulai sejak pasca reformasi ketika akses informasi dan sistem
politik dalam negeri berkembang demokratis. Sebagaimana telah dicatat, alokasi
semula dari tanah leluhur Batin Sembilan di dalam kawasan PT. Asiatik Persada
ke sektor perusahaan swasta terjadi selama era rezim otoriter militer Presiden
16 Fisher, Simon, Mengelola konflik: Keterampilan& strategi untuk bertindak, Yogyakarta 2001 hal
33
Suharto (1966-1998),17
di saat mana adalah sangat berbahaya untuk menentang
rencana pembangunan pemerintah.
Dengan demikian perlawanan lokal terhadap pengambil alihan tanah oleh
PT. Asiatik Persada dilakukan secara diam-diam hingga saat jatuhnya Suharto
saat mana prinsip demokrasi, desentralisasi dan menjamurnya organisasi
masyarakat sipil memberanikan masyarakat untuk menegaskan kembali hak-hak
mereka Suku Anak Dalam bersatu dan membuat kelompok yang menciptakan
suatu gerakan sosial. Pergerakan Suku Anak Dalam berjuang dengan didampingi
dan didukung oleh berbagai LSM baik lokal maupun internasional. Peran aktif
LSM memiliki andil yang cukup besar sebagai penggerak perjuangan SAD.
Strategi-strategi yang dilakukan dalam berbagai bentuk seperti mengajukan surat
tuntutan ke pemerintah hingga melancarkan demonstrasi.
Peran LSM pada awalnya sangat membantu perjuangan yang dilakukan
Suku Anak Dalam untuk menuntut Haknya, namun setelah masalah tidak kunjung
selesai dan makin banyak menimbulkan korban pihak Suku Anak Dalam mulai
menyadari bahwa hadirnya pihak LSM lah yang menjadi pilar penyangga konflik
tidak menemui titik terang samapai saat ini, ini ditegaskan oleh salah satu
tumenggung atau ketua adat saalah satu kelompok suku anak dalam yang saya
wawancarai:
Saat ini saya tidak lagi membiarkan LSM X untuk masuk ke dalam
Suku kami, saya pengalaman dengan kelompok lain di daerah
17
Pada tahun 1966 ratusan ribu orang yang diduga komunis dibunuh oleh tentara dan milisia sipil anti-komunis dan ratusan ribu lainnya dipenjara tanpa persidangan (Fauzi Rachman 2011 mengutip Cribb 1990).
sarolangun, itu ya mereka, suku kakak saya itu kemarin ada beberapa
yang meninggal karena penyakit menular tetapi LSM ini memberitakan
mereka meninggal karna kelaparan semuanya mereka dapat sumbangan
kami gak dapat apa-apa.18
Dari Hasil yang penulis temukan dilapangan 90 % kelompok-kelompok
Suku Anak Dalam Telah menyetujui hasil mediasi hanya satu kelompok yang di
sertai oleh LSM lah yang masih bersikeras untuk menolak tanpa alasan yang pasti,
kebanyakan penduduk Suku Anak Dalam yang menyetuji hasil mediasi juga
sudah menghindari kehadiran LSM ke lingkungan mereka, ini dibuktikan dengan
sulitnya penulis untuk memasuki lingkungan Suku Anak Dalam karna mereka
mengganggap penulis bagian dari LSM yang ingin memperalat mereka. Penulis
juga sempat mewawancarai Kompol R Manalu PID bid humas Polda Jambi
Beliau Mengatakan:
Sebenarnya ini sudah mau selesai dari kemarin, tetapi ya itu ada
saja yang berusaha untuk menahan agar kasus ini tidak selesai,
karna dia makan dari situ makanya dia gak mau ini selesai.19
Penulis juga mendapat penegasan setelah mewawancarai Bapak Sigit Eko
Yuwono Selaku Bidang penanganan Konflik di Bangkesbangpol Jambi dimana
bapak Sigit Eko Yuwono juga ikut tergabung bersama di TIM Terpadu
Penyeselaian Konflik perebutan Lahan adat di Batang Hari jambi:
Setelah kami sepakat dalam mediasi tiba-tiba ada satu kelompok
yang menolak dan minta semua tanah yang telah ditempati PT.
Asiatik untuk kembalikan kepada Suku Anak Dalam, itulah karna
mereka ditunggangi oleh oknum-uknum tertentu, mereka
18
Wawancara dengan Daniel ngalay, selaku Temenggung (Ketua Suku) Suku Anak Dalam. Pada Hari Sabtu,
tanggal 10 juni 2017, pukul 15.27 WIB 19
Wawancara dengan, Kompol R Manalu selaku PID bid humas Polda Jambi. Pada Hari Senin, tanggal 6
juni 2017, pukul 10:00 WIB
dimanfaatkan tapi mereka belum sadar, makanya kasus ini seperti
berhenti sekarang.20
Selain LSM Masyarakat pendatang juga memiliki andil besar dalam
menjadi pilar-pilar penyangga konflik perebutan lahan ulayat ini tidak dapat
selesaikan sampai sekarang. Kejadian bentrokan antar Kelompok Suku Anak
Dalam dengan security PT. Asiatik pada Maret 2014, yang diduga sebagai akibat
dari kejadian pencurian sawit. salah satu korban penganiayaan adalah bernama
Titus Simanjuntak. Artinya Suku Anak Dalam tidak murni Suku Anak dalam
tetapi telah disusupi oleh orang-orang yang akan mengambil keuntungan untuk
kelompoknya sendiri dengan selalu mengatasnamakan SAD yang tertindas dan
teraniaya. Dari informasi dan data yang diperoleh dilapangan, diperoleh fakta
bahwa kegiatan Titus Simanjuntak selama ini adalah sebagai pencuri dan penadah
buah sawit hasil curian masyarakat dan kelompoknya sendiri untuk
kepentingannya.
Korban yang lainnya adalah Sdr Puji bin Tayat yang tinggal di Desa Johor
Kec. Bajubang Kab. Batanghari. Dari data alamat saja dapat diketahui bahwa
yang bersangkutan adalah bukan tinggal di daerah yang selama ini
diperjuangkannya. Penulis mencoba teliti dan kaji lebih lanjut tentang siapa Puji
almarhum. Betapa terkejutnya saya, bahwa ternyata yang bersangkutan adalah
narapidana dan residivis. Berdasarkan Putusan PN. Muara Bulian Nomor
:12/Pid.B/2009/PN.MBLN tanggal 1 Juni 2009. Yang bersangkutan di tuntut 8
Tahun pidana penjara dan diputus oleh Majelis dengan pidana penjara selama 4
Tahun, karena terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana
20
Wawancara dengan, Pak Sigit Agus Yuwoni selaku Bidang Penanganan konflik kesbangpol jambi dan
angota Tm Terpadu. Pada Hari Rabu, tanggal 8 juni 2017, pukul 09:45 WIB
sebagaimana Pasal 338 Jo Pasal 53 ayat (1) KUHP. Yang bersangkutan mencoba
melakukan pembunuhan secara keji dan membabi buta kepada Saudara Hadirman
seorang anggota Security PT. Asiatik Persada di Divisi Mentingan Blok 16A PT.
Asiatik Persada desa Bungku Kecamatan Bajubang, Batang Hari. Yang
bersangkutan selau bikin onar, menyerang perusahaan dan sudah dikenal sebagai
seorang preman. Kemudian berdasarkan penjelasan dari AKBP Almansyah
(Kabidhumas Polda Jambi) pada tanggal 6 Maret 2014, menjelaskan “bahwa
meski informasi yang beredar di media massa menyebutkan kalau Puji adalah
salah seorang warga SAD, namun hal tersebut disangkal dan dikatakannya, bahwa
belum bisa dipastikan kalau Puji yang tewas dalam pertikaian tersebut adalah
merupakan warda SAD. Dari verifikasi dan identifikasi di lapangan, diketahui
kalau Puji adalah warga setempat yang berasal dari keturunan Batak, bukan
SAD”.
Ini juga diperkuat dengan wawancara yang penulis lakukan dengan
seorang Misionaris (pendeta) yang melayani ke Suku Anak Dalam yaitu PDT,
Togap Parulian Hutabarat:
Masyarakat Suku Anak Dalam ini udah banyak di susupi oleh orang luar,
kayak Batak, Jawa, Padang mereka mencoba membodohi suku anak dalam
ini karna mereka belum berpendidikan, makanya masyarakat pendatang ini
senang sekali kalo masalah ini tidak selesai-selesai jadi bisa mereka
manfaatkan terus, salah satu contohnya masyarakat Suku Anak Dalam ini
kan diberiakn hutan sawit siap panen nah itu dibodohin lah mereka sama
masyarakat pendatang ini, diberikan lah mereka sepeda motor untuk
ditukar lahan sawit mereka yang diberikan oleh PT. Itu, padahal kan itu
harganya gak seimbang kalo kita lihat, tapi kan mereka ini belum terlalu
berpendidikan, nah setelah itu besok-besok demo lagi lah anak suku anak
dalam ini minta ganti rugi sama PT. Ini padahal sebelumnya duah
selesai21
.
Ketidak tegasan Pemerintah dalam menyikapi permasalahan di daerahnya
juga menjadi salah satu pilar penopang kenapa masalah konflik perebutan lahan
ulayat samapai berlarut-larut tidak terselesaikan. Masuknya investasi ke daerah
tentu sangat menguntungkan pemerintah baik di pusat maupun pemerintah daerah,
tidak hanya dari segi pajak, dan pembangunan wilayah namun dengan hadirnya
pabrik-pabrik pengolahan kelapa sawit akan menyita banyak tenaga kerja dari
wilayah itu sendiri, oleh karna itu pemerintah cenderung tutup mata akan nasib
Suku tradisional seperti Suku Anak Dalam, tuntutan-tuntutan yang dilayangkan
oleh Suku Anak Dalam seakan-akan hanya membentur tembok kantor-kantor
pemerintahan yang berwenang, ketidak tegasan inilah yang menjadi salah satu
pilar penopang kenapa kasus ini masih tetap eksis sampai sekarang. Hal ini
diperkuat dengan berita di media massa seperti:
“Pemerintah propinsi Jambi dalam hal ini Gubernur propinsi Jambi, harus
bertanggung jawab jika akhirnya konflik ini akan melahirkan kekerasan,
karena pemerintah propinsi Jambi menutup mata atas konflik yang telah
berlansung hampir 25 tahun. Demontrasi yang dilakukan oleh kelompok-
kelompok SAD tidak digubris, malah mereka diberi janji-janji kosong,
mediasi dan perundingan yang digagas oleh Jomet pun dibuat seolah tak
bernyali oleh pemerintah. Pemerintah seperti tunduk pada PT Asiatic
Persada, padahal perusahaan ini jelas bermasalah, tak hanya soal konflik
dengan suku Anak Dalam, tapi juga HGU yang tidak jelas luasannya
berapa, ditambah lagi perusahaan ini sudah berganti kepemilikan sebanyak
4 sepanjang tahun 2001-2013 dan pergantian kepemilikan ini tak
sedikitpun meminta persetujuan pemerintah, kita sudah dikadalin oleh
investor yang menanam investasinya di PT Asiatic Persada, dan
21
Wawancara dengan, Pak Togap Parulian Hutabarat selaku Misyonaris (pendeta) di Suku Anak Dalam.
Pada Hari Rabu, tanggalSabtu 17 juni 2017, pukul 11:55 WIB
pemerintah dalam hal ini gubernur Jambi diam saja.” Ungkap Feri Irawan,
Direktur Perkumpulan Hijau saat diliput media Forest poeple programm.22
22 Daniel,” Informasi untuk Pers: Gubernur, berhentilah melindungi PT Asiatic Persada”, diakses dari
http://www.forestpeoples.org/id/topics/palm-oil-rspo/news/2013/10/informasi-untuk-pers-gubernur-
berhentilah-melindungi-pt-asiatic-pe 17 juli 2017 pukul 04:55 wib
BAB VI
PENUTUP
Sebagai pelengkap dalam penelitian ini, peneliti akan memaparkan
mengenai kesimpulan yang dihasilkan dalam pelaksanaan penelitian yang mana
kesimpulan ini dibuat untuk menjawab pertanyaan yang ada pada sub-bab
rumusan masalah pada Bab I. Sedangkan rekomendasi merupakan saran yang
peneliti tawarkan kepada pihak-pihak terkait yang terlibat dalam konflik
Perebutan Lahan Ulayat anatar Suku Anak Dalam, Warga Pendatang, Dan PT.
Asiatik Persada. Rekomendasi ini diharapkan dapat menjadi masukan dan
pandangan baru bagi seluruh pihak terkait untuk mencari solusi terbaik dan
menyelesaikan permasalahan konflik ini.
6.1 Kesimpulan
Pertama, kesimpulan terlebih dahulu ditujukan untuk menjawab
permasalahan pertama yakni bagaimana konflik penguasaan lahan ulayat yang
terjadi anatara Suku Anak Dalam, PT. Asiatik Persada dan Warga Pendatang
adalah sebagai berikut :
Suku Anak Dalam adalah salah satu suku tertua yang ada di daerah Jambi.
Beberapa keterangan dari buku sejarah menyebutkan bahwa Suku Anak Dalam
merupakan hasil pencampuran antara Suku Weda dengan Suku Negrito yang
dalam perjalanan sejarah kemudian disebut Suku Weddoid. Adapun ciri-ciri Suku
Weddoid adalah rambut keriting, kulit sawo matang, mata terletak agak menjorok
ke dalam, badan kecil, dan kepala berukuran sedang. Ciri-ciri ini sebagian besar
memiliki kesamaan dengan Suku Anak Dalam. Secara umum, Suku Anak Dalam
hidup dengan budaya berburu dan meramu, mereka sangat terampil berburu
dengan menggunakan alat tradisional seperti tombak, kujur, dan anak panah.
Sejak ratusan tahun suku primitif ini disebut Suku Kubu, yang belakangan lebih
dikenal dengan Suku Anak Dalam. Di Provinsi Jambi, Suku Anak Dalam tersebar
di empat wilayah daerah tingkat dua, yakni Kabupaten Batanghari, Tanjung
Jabung, Bungo Tebo, dan Kabupaten Sarolangun Bangko. Jumlah Suku Anak
Dalam ditiap Kabupaten di Provinsi Jambi pada tahun 1991, sebagai berikut:
Batanghari (2.224 jiwa), Sarolangun (2.331 jiwa), Bungo Tebo (1.631 jiwa), dan
Tanjung Jabung (2.971 jiwa) Suku ini hidup dengan berpindah-pindah di sekitaran
kawabsan Hutan yang akhirnya di tempati oleh PT. Asiatik Persada sebagai
kawasan lahan sawit itu menyebabkan kesulitan yang luar biasa bagi Suku Anak
Dalam untuk bertahan hidup karna hewan buruan, tempat tinggal dan tempat-
tempat yang mereka anggap keramat di hutan sudah tidak ada lagi, jika
dipaparkan dari kronologinya dapat kita lihat seperti dibawah ini:
Kasus ini berawal dari Pencadangan Tanah sesuai SK Gubernur Jambi
No.188.4/599/1985, yang mencadangkan tanah seluas 40.000 Ha
untuk perkebunan sawit PT. Bangun Desa Utama (BDU). Surat Keputusan
Gubernur tersebut di tindak lanjuti dengan Surat Keputusan Mendagri
No.SK.46/HGU/DA/1986 tanggal 1 September 1986 tentang Pemberian HGU
kepada PT. BDU seluas 20.000 Ha yang terletak di Kec.Muaro Bulian, Kab.
Batang Hari. Izin HGU itu berlaku sampai dengan 31Desember 2021.
Kedua, Dalam ijin prinsip PT. Asiatic Persada, terdapat kewajiban hukum
untuk melepaskan area pemukiman, perladangan, dan semak belukar milik
masyarakat, yang kemudian disebut sebagai tanah adat Suku Anak Dalam (SAD)
yang terdapat di tiga perkampungan (dusun tua) yaitu, Padang Salak,Pinang
Tinggi dan Tanah Menang. Keberadaan perkampungan Suku Anak Dalam sudah
ada sejak zaman Belanda. Hal ini diketahui berdasarkan Surat Keterangan tanggal
20 Desember 1940 dari BC Mantri Politic. Surat Keterangan tanggal 20
November 1940 dari Mantri Politic Menara Tembesi di buat di hadapan Gez En
Accord MuaraTembesi, di saksikan Penghulu Dusun Singkawang dan Pasirah
Pemayung Ulu, menerangkan wilayah masyarakat Suku Anak Dalam Dusun
Pinang Tinggi, Padang Salak dan Tanah Menang wilayah Sungai Bahar.
Kedua, kesimpulan yang akan dipaparkan selanjutnya adalah untuk
menjawab rumusan masalah yang kedua yaitu Faktor-faktor apa saja yang
meneguhkan konflik tetap eksis sampai sekarang dan penyelesaiannya.
Peran LSM pada awalnya sangat membantu perjuangan yang dilakukan
Suku Anak Dalam untuk menuntut Haknya, namun setelah masalah tidak kunjung
selesai dan makin banyak menimbulkan korban pihak Suku Anak Dalam mulai
menyadari bahwa hadirnya pihak LSM lah yang menjadi pilar penyangga konflik
tidak menemui titik terang samapai saat ini, Mayarakat Suku Anak Dalam mulai
merasa pihak LSM hanya memanfaatkan mereka saja setlah bertahun-tahun tanpa
ada satupun penyelesaian kasus bahkan banyak berita bohong yang dikarang oleh
pihak LSM yang dikemudian hari disadari oleh banyak kelompok-kelompok Suku
Anak Dalam dimana pihak LSM memberitakan banyak Suku Anak Dalam yang
mati kelaparan akibat sulitnya mencari makanan padahal pada kenyataannya
beberapa Suku Anak Dalam yang meninggal itu akibat terkena penyakit menular.
Pihak LSM memanfaatkan kasus ini untuk terus mendapatkan Dana dan simpatik
masyarakat nasional maupun luar negri agar terus memperoleh kucuran dana
untuk menopang penghidupan LSM nya. Dari Hasil yang penulis temukan
dilapangan 90 % kelompok-kelompok Suku Anak Dalam Telah menyetujui hasil
mediasi hanya satu kelompok yang di sertai oleh LSM lah yang masih bersikeras
untuk menolak tanpa tanpa solusi.
Selain LSM Masyarakat pendatang juga memiliki andil besar dalam menjadi
pilar-pilar penyangga konflik perebutan lahan ulayat ini tidak dapat selesaikan
sampai sekarang. Kejadian bentrokan antar Kelompok Suku Anak Dalam dengan
security PT. Asiatik pada Maret 2014, yang diduga sebagai akibat dari kejadian
pencurian sawit telah membuka mata kita semua. salah satu korban penganiayaan
adalah bernama Titus Simanjuntak. Tidakkah kita berpikir dengan akal sehat,
adakah orang Suku Anak Dalam asli memiliki marga Simanjuntak? Artinya Suku
Anak Dalam tidak murni Suku Anak dalam tetapi telah disusupi oleh orang-orang
yang akan mengambil keuntungan untuk kelompoknya sendiri dengan selalu
mengatasnamakan SAD yang tertindas dan teraniaya Dari informasi dan data yang
diperoleh dilapangan, diperoleh fakta bahwa kegiatan Titus Simanjuntak selama
ini adalah sebagai pencuri dan penadah buah sawit hasil curian masyarakat.
Masyarakat pendatang memanfaatkan minimnya tingkat SDM Masyarakat
Suku Anak dalam untuk merebut lahan-lahan hasil ganti rugi Suku Anak Dalam
dengan iming-iming pertukaran dengan barang-barang yang jarang dilihat oleh
Masyarakat Suku Anak Dalam seperti motor, dan setelah lahan dikuasai oleh
Masyarakat pendatang masyarakat Suku Anak Dalam di hasut agar menuntut
kembali haknya kepada PT. Asiatik Persada, selain itu banyak dari Masyarakat
pendatang mengaku sebagai masyarakat Suku Anak Dalam untuk memperoleh
hak suku anak dalam oleh karna itu Masyarakat Pendatang tidak akan ingin agar
konflik ini cepat selesai.
Untuk Menyelesaikan konflik maka dibentuklah Tim terpadu berdasarkan
SK Bupati No 158 tahun 2013, Bupati sebagai ketua tim, Sekda sebagai Wakil
Ketua I, Kapolres Batanghari Wakil Ketua II, dan Ketua PN Wakil Ketua III,
serta Kajari Wakil ketua IV. Kakan Kesbangpol Linmas ditunjuk sebagai
sekretaris. Berdasarkan dari data yang ada, bahwa telah dilakukan berbagai
upaya melalui rapat dan pertemuan-pertemuan, mediasi dengan semua pihak
yang berkonflik di falitasi oleh tim terpadu, maka telah dihasilkan berbagai
kesepakatan yaitu:
Pertama, Kesepakatan Rapat tanggal 26 maret 2012, diantaranya berbunyi
bahwa: BPN RI sesuai kewenangannya akan bekerja sama dengan PT. Asiatik
Persada dan pemerintah Batanghari serta perwakilan Suku Anak Dalam
melakukan pengukuran lahan hutan yang selama ini diklain masyarakat Suku
Anak Dalam Melebihi 20.000 hektare yang diberikan izin oleh pemerintah dan
pemkab Batang Hari wajib mengesahkan hasil verifikasi terhadap subyek
(pendudk kabupaten Batang Hari) Dalam Bentuk Satuan Keluarga). Kedua,
Kesepakatan Pertemuan Tanggal 4 April 2012, diantaranya berbunyi bahwa
penyelesaian tuntutan kelompok Suku Anak Dalam tetap mengacu pada Surat
Keputsan Mendagri NO. Sk.46/HGU/DA/86 tanggal 1 september 1986 dan surat
badan inventarisasi dan tataguna Hutan Dephut tanggal 11 juli 1987 no. 393/VII-
4/1987.
Ketiga, Berita Acara Mediasi lahan antara masyarakat Suku Anak Dalam
dengan PT. Asiatik Persada pada rapat di Komnas Ham RI di jakarta tanggal 10
juli 2012, diantaranya telah menyepakati bahwa akan dilaksanakan pengukuran
ulang atas lahan 3.550 Ha yang terdiri dari perkampungan, perladangan, belukar
berdasarkan survey mikro tahun 1987 dimana selama ini Suku Anak Dalam
Mengklaim wilayah PT. Asiatik Persada sudah lebih dari yang dicanangkan dan
mengambil lahan mereka yang selama ini diukur sebanyak 3.550 ha. Keempat,
Kesepakatan rapat Bersadam DPR RI tanggal 1 Agustus 2012, diantaranya
berbunyi bahwa pengukuran ulang akan melibatkan semua pihak terkait.
Kelima, Berita Acara pertemuan di kantor Bappeda Kab. Batang hari
antara PT. Asiatik Persada dengan Suku Anak Dalam yang dipimpin oleh
lembaga adat Batang hari dan dihadiri oleh Kakan Kesbangpol, Polres Batang
Hari, Kadis Perkebunan, Kepala BPN Batang Hari. Kadis Perindakop, Kebag
Hukum, Kapolsek Bajubang dan Management PT Asiatik Persada tanggal 22
Januari 2014, diantaranya telah menyepakati bahwa:
Pihak PT.Asiatik Akan menyerahkan Areal Kebun Sawit
Seluas 2000 ha siap Panen Kepada Suku Anak Dalam
keturunan Asli.
PT. Asiatik Akan menyapkan Patok/Plat Yang akan
dipasang di Lokasi Suku Anak Dalam
Lemabaga Adat akan segera memverifikasi data valid Suku
Anak Dalam asli
Tim terpadu akan terlibat langsung dalam pelaksanaaan
penanganan konflik
Sampai Saat ini 90% Masyarakat Suku-Suku Anak Dalam menyetujui hasil
dari mediasi yang di dampingi oleh Tim Terpadu, hanya ada satu kelompok yaitu
kelompok yang didamping oleh LSM tertentu yang menolak solusi dan hasil dari
mediasi tanpa alsan dan solusi yang jelas.
6.2 Rekomendasi
Adanya beberapa ketidakoptimalan dalam pengelolaan mengatasi konflik
Perebutan Lahan Ulayat di Kabupaten Batanghari, Jambi maka dibutuhkan
rekomendasi dan saran yang akan peneliti sampaikan sebagai berikut;
6.2.1 Bagi Pemerintah Indonesia
1. Diperlukan suatu Standar Operasional Prosedur (SOP) berkaitan
dengan Resolusi konflik sumber daya alam agar penanganan konflik
memiliki alur dan prosedur baku yang dijadikan pedoman dalam
setiap penyelesaian konflik dalam masyarakat.
2. Diperlukan kegiatan pengabdian yang terus-menerus dalam upaya
meningkatkan pengetahuan dan pemahaman pihak-pihak yang
berkonflik melalui: 1) Pendidikan karakter solusi konflik jangka
panjang yang menghasilkan insan-insan yang memiliki peradaban
yang tinggi; 2) peningkatan pemahaman mengenai budaya pihak
lain, ini bisa dilakukan dengan mengedepankan aspek pendidikan
multikultural yang lebih komfrehensif; 3) Mengurangi steriotif
negatif suatu pihak dengan pihak lain dan: 4) Meningkatkan
keefektifan komunikasi antar budaya.
3. Pemerintah seharusnya lebih menunjukkan perannya sejak pertama
kali konflik ini muncul dan menjadi runyam, dengan tindakan
antisipasi yang lebih cepat dapat mencegah konflik lebih
berkembang dan meluas.
6.2.2 Bagi Pemeritahan Jambi
1. Tim Terpadu dalam melakukan proses mediasi konflik agraria
antara pihak PT. Asiatik Persada dan Masyarakat Suku Anak
Dalam (SAD) memiliki ketegasan yang lebih lagi, agar tidak
terjadi pembatalan kesepakatan yang telah dibuat, dan semua
pihak dapat salaing menghargai kesepakatan.
2. Tim Terpadu hendaknya mengusulkan undang-undang atau
sanksi yang tegas kepada perusahaan yang melanggar aturan
dan mengkesampingkan Hak Asasi Manusia agar dapat menjadi
pelajaran untuk kedepannya.
3. Dalam Proses mediasi hendaknya pihak-pihak yang dituju lebh
tanggap dan lebih merespon masalah ini, agar masalah cepat
terselesaikan dengan baik. Dan pihak yang ditunjuk sebagai
badan yang mumpuni hendaknya lebih mendahulukan
kepentingan bersama, bukan kepentingan yang paling bermodal.
6.2.3 Bagi Penelitian Selanjutnya
1. Konflik Perebutan Lahan Ulayat dapat dikatakan menjadi topik yang
menarik untuk dijadikan objek penelitian. Masih banyak hal yang dapat
ditemukan pada Konflik yang telah berlangsung selama puluhan tahun
ini apabila dilihat dari sudut pandang yang berbeda. Semakin luas sudut
pandang pengkajian tentang konflik agraria sekaligus akan menjadi
bahan evaluasi yang berguna bagi pemerintah Provinsi Jambi serta
pemerintah daerah lain yang Mengalami konflik Agraria di daerahnya.
2. Skripsi ini dirasa penulis belum sempurna, jika ada mahasiswa ataupun
akademisi yang ingin melakukan penelitian selain penelitian yang
penulis lakukan dapat melenjutkannya dengan menggunakan kerangka
konseptual lain demi menyempurnakan penelitian terdahulunya.
DAFTAR PUSTAKA
BUKU
M. Ridah Saleh, Hak-Hak Masyarakat Adat, Makalah pada Advanced Training
bagi Dosen Pengajar Hukum HAM, diselenggarakan oleh Pusham UII kerjasama
dengan Norwegian Centre for Human Rights, Yogyakarta 21-24 Agustus 2007.
Maria SW Sumarjono. 2008. Tanah dalam Perspektif Hak Ekonomi, Sosial dan
Budaya, Kompas Gramedia, Jakarta.
Clark, Samuel. 2004. Bukan Sekedar Persoalan Kepemilikan, Sepuluh Studi
Kasus Konflik Tanah dan Sumber Daya Alam dari Jawa dan Flores, Jakarta: Bank
Dunia.
Creswell. W. John. Research Design, Pendekatan Kualitatif, Kuantitatif, Dan
Mixed, Pustaka Pelajar, Celeban Timur, Yogyakarta Dirjen Dikti Depdiknas.
Bahtiar, Arif&Muchlis, Iskandar,2002,. Akuntansi Pemerintahan.Jakarta:
Salemba Empat.
Johnson, Doyle Paul. 1986. Teori sosiologi klasik dan Modern. Jakarta: PT.
Gramedia.
Lexy J. Melong, M.A.2008 Metodologi Penelitian Kualitatif Edisi Revisi.
Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.
Poloma, Margaret. M. 2007. Sosiologi Kontemporer. Jakarta: PT. RajaGrafindo
Persada.
Yin, Robert. K 2011. Studi Kasus, Desain & metode. Jakarta: PT. Rajarafindo
Persada.
Syarif, Alza. 2014. Menuntaskan Sengketa Tanah Melalui Pengadilan Khusus
Pertanahan, Kepustakaan Populer Gramedia, Jakarta
Musta'in. 2006. Hukum Dan Politik Agrarian, universitas terbuka, Karunia,
Jakarta.
JURNAL, ARTIKEL DAN REFRENSI DARI INTERNET
Arsyad, Idham. (2012). Terkuburnya Keadilan Agraria Bagi Rakyat Melalui
Reformasi Agraria, Laporan Akhir Tahun Konsorsium Pembaharuan Agraria
2012. (http://www.sapa.or.id/laporan-program/126-mitra-sapa/805-laporanakhir-
tahun-2012-konsorsium-pembaruan-agraria.html, diakses 22 juli 2017)
Artikel, ratusan warga Suku Anak Dalam (SAD) kembali duduki Kantor
Gubernur.http://www.berdikarionline.com/kabar-rakyat/20131002/ratusan-warga-
sad-113-kembali-duduki-kantor-gubernur-jambi.html#ixzz2pFsUf400, diakses 25
februari 2013, pukul 3:42
Data Konflik Agraria PT. Asiatik Persada dan masyarakat Suku Anak Dalam
(SAD), Dokumen Tim Terpadu Kabupaten Batanghari
Dinas Kehutanan Kabupaten Batanghari, Dokumen Konflik Agraria PT. Asiatik
Persada dan Masyarakata Suku Anak Dalam (SAD), Tim Terpadu Kabupaten
Batanghari.
Informasi untuk Pers: Gubernur, berhentilah melindungi PT Asiatic Persada http://www.forestpeoples.org/id/topics/palm-oil-rspo/news/2013/10/informasi-
untuk-pers-gubernur-berhentilah-melindungi-pt-asiatic-pe., diakses pada 22 Juli
2017, pukul: 1:00
Hasil Hearing antara masyarakat Suku Anak Dalam (SAD) dan Gubernur Jambi,
Dokumen Tim Terpadu Kabupaten Batanghari.
Jurnal Agraria, Resolusi Konflik Pertanahan Berdasarkan Pranata Adat, Tahun
2008,Jambi: Yayasan Caffaa
Jurnal KPA: http://www.berdikarionline.com/kabar-rakyat/20131029/tujuh-
alasanizin-vhgu-pt-asiatic-persada-harus-dicabut.html#ixzz2mU7dJ2dT, diakses
pada, 13 juli 2017
PRODUK HUKUM
SK Bupati nomor: 800/0919/SPT/2010, dokumen Tim Terpadu Kabupaten
Batanghari
Surat Badan Inventarisasi dan Tata Guna Hutan, Dertemen Kehutanan An.
Menteri Kehutanan Tanggal 11 Juli 1987 Nomor: 393/VII-4/198, tentang
Pemberitahuan Persetujuan Pelepasan Areal Hutan Seluas 27.150 Ha untuk
Perkebunan Kepala Sawit dan Coklat an. PT. BDU di Provinsi Jambi, Dokumen
Tim Terpadu Kabupaten Batanghari
Undang-undang Republik Indonesia nomor: 30 tahun 1999
Undang-undang Pokok Agraria (UUPA) No 5 Tahun 1960
Undang-Undang No. 1 Tahun 1967 Tentang Penanaman Modal Asing (PMA)