ppkn smstr 1

160
RUANG LINGKUP KAJIAN PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pendidikan Kewarganegaraan B. Pengertian dan tujuan pendidikan Kewarganegaraan 1. Pengertian Pendidikan Kewarganegaraan 2. Tujuan Pendidikan Kewarganegaraan C. Landasan Pendidikan Kewarganegaraan 1. Landasan Ilmiah (Keilmuan) 2. Landasan Hukum BAB II. WARGANEGARA A. Pengertian Warganegara B. Karakteristik Warganegara BAB. III. KEWARGANEGARAAN A. Konsep Kewarganegaraan B. Perspektif Teori Kewarganegaraan C. Kewarganegaraan Yuridis- Sosiologis dan Kewarganegaraan Formal dan Material BAB. IV. WARGANEGARA INDONESIA

Upload: cwly

Post on 06-Dec-2015

123 views

Category:

Documents


11 download

DESCRIPTION

ppkn

TRANSCRIPT

RUANG LINGKUP KAJIANPENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN

BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pendidikan Kewarganegaraan B. Pengertian dan tujuan pendidikan Kewarganegaraan 1. Pengertian Pendidikan Kewarganegaraan 2. Tujuan Pendidikan Kewarganegaraan C. Landasan Pendidikan Kewarganegaraan 1. Landasan Ilmiah (Keilmuan) 2. Landasan Hukum

BAB II. WARGANEGARAA. Pengertian WarganegaraB. Karakteristik Warganegara

BAB. III. KEWARGANEGARAAN A. Konsep Kewarganegaraan B. Perspektif Teori Kewarganegaraan C. Kewarganegaraan Yuridis- Sosiologis dan Kewarganegaraan Formal dan Material BAB. IV. WARGANEGARA INDONESIA

A. Siapakah Wrganegara IndonesiaB. Hak dan Kewajiban Warganegara IndonesiaC. Kewarganegaraan Indonesia

BAB. V. PERATURAN KEWARGANEGARAAN INDONESIA

A. Sebelum berlakunya UU No. 12 tahun 2006B. Sesudah berlakunya UU No. 12 tahun 2006

BAB. VI. HAK ASASI MANUSIA A. Hak Asasi Manusia (HAM) 1. Pengertian HAM 2. Sejarah HAM 3. HAM di Indonesisa B. Rule of Law 1. Pengertian Rule of Law 2. Unsur-Unsur Rule of Law

BAB. VII. DEMOKRASI A. Pengertian Demokrasi B. Perkembangan Demokrasi di Indonesia C. Pendidikan Demokrasi D. Tujuan pendidikan Demokrasi E. Strategi Pengembangan Pendidikan Demokrasi

F. Nilai-Nilai Demokrasi

BAB. VIII. WAWASAN NUSANTARA A. Dasar Pemikiran B. Pengertian Wawasan Nusantara C. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Wawasan Nusantara 1. Wilayah (Geografi/Teritori) 2. Geopolitik dan Geostrategi 3. Perkembangan Wilayah Indonesia dan Acuan Dasar Hukumnya D. Unsur-Unsur Wadah Wawasan Nusantara 1. Wadah Wawasan Nusantara 2. Isi Wawasan Nusantara 3. Tata Laku wawasan Nusantara (Segi Bathiniah dan Lahiriah) E. Implementasi Wawasan Nusantara 1.Wawasan Nusantara sebagai Pancaran Falsafah Pancasila 2. Wawasan Nusantara dalam Pembangunan Nasional 3. Penerapan Wawasan Nusantara BAB. IX. KETAHANAN NASIONAL A. Latar Belakang dan Landasan Ketahanan Nasional 1. Latar belakang Ketahanan Nasional 2. Landasan Ketahanan Nasional B. Ruang Lingkup Ketahanan Nasional 1. Pokok-Pokok yang Mendasari Konsepsi Ketahanan Nasional 2. Pengertian Ketahanan Nasional dan Konsepsi Ketahanan Nasional 3. Hakekat Ketahanan Nasional dan Hakekat Konsepsi Ketahanan Nasional 4. Asas-Asas Ketahanan Nasional 5. Sifat Ketahanan Nasional 6. Kedudukan dan Fungsi Konsepsi Ketahanan Nasional C. Pengaruh HAM, Demokrasi, Lingkungan Hidup dan

demografi terhadap ketahanan nasional 1. Hak Asasi Manusia 2. Demokrasi 3. Lingkungan Hidup 4. Demografi D. Pengaruh Aspek Ketahanan Nasional terhadap Kehidupan Berbangsa dan Bernegara 1. Pengaruh Aspek Ideologi 2. Pengaruh Aspek Politik 3. Pengaruh aspek Ekonomi 4. Pengaruh Aspek Sosial Budaya 5. Pengaruh Aspek Pertahanan dan Keamanan 6. Lingkungan hidup 7. Demografi 8. Sumber daya manusia 9. HAM 10. Demokrasi

Strategi Kuliah: Ceramah, tanya jawab, diskusi, membahas kasus. Objek Penilaian: UTS, UAS, Paper, Kehadiran, Keaktifan Sistem Penilaian: Standar Universitas. Daftar Bacaan 1. Pendidikan Kewarganegaraan Untuk Perguruan Tinggi(Team Dosen UGM, Editor: Drs. H.Kaelan, MS), Edisi I, 2002 2. Pendidikan Kewarganegaraan (Team Penyunting: Drs. H. Hamndan Mansyur Tjiptadi, SE, SIP, MM dan Drs, H. AN. Sobana), Cetakan ke IV, 2004. 3. Empat Pilar Berbangsa Dan Bernegara: Prof. Drs. CST Kansil, S.H. dan Christine S.T Kansil, S.H, M.H 4. UUD 1945 dan Perubahannya. 5. Dimensi Dinamika Hak Asasi Manusia (Dalam Hukum Nasional Dan Internasional) oleh: Prof. H.A. Mansyhur Effendi, S.H., M.S. 6. Pengantar Hukum Indonesia (Edisi Revisi) oleh: R. Abdoel Djamali, S.H. 7. Kewarganegaraan Indonesia (Dari Sosiologis menuju Yuridis): oleh Winarno, M.Si. 8. Pendidikan Kewarganegaraan (Paradigma Terbaru Untuk Mahasiswa, oleh Tim Nasional Dosen Pendidikan Kewarganegaraan 9. Tripama karya Mangkunegoro ke IV

MATERI AJAR PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN BAB. I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pendidikan Kewarganegaraan Keberadaan Mata Kuliah Pendidikan Kewarganegaraan dalam tatanan Kurikulum Pendidikan Tinggi dan SISDIKNAS untuk mengganti mata kuliah Kewiraan pada masa era Orde Baru yang sering dianggap berbau militeristik. Untuk itu agar anggapan itu diluruskan, maka perlu adanya reorientasi dan restrukturisasi materi kurikulum mata kuliah Pendidikan Kewarganegaraan untuk Pendidikan Tinggi yang sesuai dengan tuntutan dinamika reformasi. Adapun tujuan pembelajaran mata kuliahPendidikan Kewarganegaraan, agar mahasiswa mampu memahami serta untuk menumbuhkan :

- Kesadaran berbangsaan dan bernegara - Hak dan kewajiban sebagai warganegara - Hak Asasi Manusia (HAM) - Wawasan Nusantara- Demokrasi dan Ipoleksosbudhankam - Lingkungan hidup dan demografi (kependudukan) - Kesadaran akan Ketahanan Nasional - Nasionalisme, bela negara (heroisme) dan patriotisme

B. Pengertian dan Tujuan Pendidikan Kewarganegaraan 1. Pengertian Pendidikan Kewarganegaraan Dalam UU No. 2 Tahun 1989 tentang SISDIKNAS, Pasal 39 ayat (2) dinyatakan bahwa : disetiap jenis, jalur dan jenjang pendidikan wajib me- muat Pendidikan Pancasila, Pendidikan Kewarganegaraan dan Pendidikan Agama. Adapun materi pokok Pendidikan Kewarganegaraan adalah tentang hu- bungan antara warganegara dengan negara serta Pendidikan Pendahuluan Bela Negara (PPBN:vide Ps26 dan Ps 30 UUD 45) bagi semua wargane- gara yang berdasar undang-undang jo Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan No. 056/U//1994 tentang Pedoman Penyusunan Kurikiulum Pendidikan Tinggi dan Penilaian Hasil Belajar Mahasiswa jo Keputusan DIRJEN DIKTI No. 267/DIKTI/2000 yang menyatakan , bahwa Mata Kuliah Pendidikan Kewarganegaraan merupakan Kelompok Mata Kuliah Pengembangan Kepribadian (MKPK). Yang dimaksudkan Mata Kuliah Pengembangan Kepribadian, yakni mata kuliah yang diharapkan mampu memberi bekal untuk mengembangkan ke- pribadian/karakter mahasiswa dalam bidang moralitas/etika, agama, huma-

niora, nasionalisme, patriotisme maupun heroisme, baik dalam ranah kehi- dupan pribadi, sosial, berbangsa dan bernegara (nasional) maupun tata kehi- dupan internasional. Dalam mata kuliah ini lebih menekankan pada aplika- sinya/prakteknya. Misal: prilaku jujur, bela negara bukan hanya sebagai life service dan sekedar wacana saja, yang lebih penting menyatu dalam prilaku sehari-hari. 2. Tujuan Pendidikan Kewarganegaraan a. Tujuan Umum Memberikan pengetahuan dan kemampuan dasar kepada mahasiswa mengenai hubungan antara warga negara dengan negara, Pendidikan Pen- dahuluan Bela Negara (PPBN), serta pendidikan selanjutnya adalah Wajib Militer (Wamil) untuk semua warga negara berdasarkan undang-undang yang berlaku sebagai partisipasi dan keikutsertaan dalam pertahanan sipil (hansip) dan sishankamrata (sistem keamanan rakyat semesta). b. Tujuan Khusus : 1. Agar mahasiswa memahami berbagai masalah dalam peri kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, serta mampu mengatasinya segala persoalan dengan analisa kritis, komprehensif serta berani ber- tanggung jawab berdasarkan Pancasila, UUD 45, Wawasan Nusantara dan Ketahanan Nasional. 2. Agar mahasiswa mempunyai sikap dan prilaku yang sesuai dengan nilai- nilai kejuangan, cinta tanah air serta berani dan rela berkorban demi ke- pentingan bangsa dan negara Indonesia. C. Landasan Pendidikan Kewarganegaraan 1. Landasan Ilmiah (Keilmuan) Dasar Pemikiran Setiap warga negara dituntut untuk hidup berguna dan bermakna bagi negara dan bangsanya, serta mampu mengantisipasi dalam segala bentuk perubahan dan perkembangan jaman demi masa depan bangsa dengan se- gala kemampuan yang dimiliki, seperti bunyi bait puisi Krawang Bekasi karya Chairil Anwar, yang tertulis di tembok depan Monumen Jogya Kembali yakni: kami sudah coba beri apa yang kami punya dan sudah coba berbuat apa yang kami bisa, tapi kerja belum selesai, belum bisa memperhitungkan 4-5 ribu nyawa ( Monumen Jogya Kembali). Juga sesuai dengan adagium John F. Kennedy ” jangan bertanya pada ne- gara, negara telah memberikan apa padamu, tetapi bertanyalah pada dirimu sendiri apa yang telah kau berikan pada negara” Di Jawa filosofi rasa memiliki dan rasa rela berkorban (rumangsa handar-

beni lan melu hangungkrebi) di jelaskan oleh Sri Mangkunegara ke IV da- lam bukunya Tripama. (uraikan sinopsisnya). Sebagai perbandingan diberbagai negara juga diajarkan Pendidikan Umum/ Dasar (General Education/Humanities), diantaranya di : 1. Amerika Serikat: history, humanity, dan Philosophy. 2. Jepang: Japanese History, Ethics and Philisophy 3. Filipina: Philipino, Family Planing, Study of Human Right Selain itu juga diajarkan materi Pendidikan Kewarganegaraan (Civics Edu- cation) 2. Landasan Hukum (Yuridis) a. UUD 45 1. Pebukaan UUD 45, alinea ke dua dan ke empat yang memuat cita-cita dan tujuan serta aspirasi bangsa Indonesia tentang kemerdekaannya. 2. Pasal 27 ayat (1) menyatakan bahwa, Segala warga negara bersama- an kedudukannya di dalam hukum (equality before the law) dan pe- merintah wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya), serta ayat (3) yang bunyinya: Setiap warga negara berhak dan wajib ikut serta dalam upaya pembelaan negara.   3. Pasal 30 ayat (1) menyatakan bahwa, tiap-tiap warga negara berhak dan wajib dalam usaha pembelaan negara. b. Undang-Undang No. 20 Tahun 1982 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pertahanan Keamanan Negara RI . c. Ketetapan MPR No. II/MPR/1999 tentang GBHN d. Ketetapan MPR No VII/MPR/2001 yang dinyatakan masih berlaku ter- terdapat visi masa depan. Dalam visi masa depan tersebut karakter bang- sa yang diidealkan adalah: terwujudnya bangsa yang religius, manusi- wi, adil,bersatu, demokratis, sejahtera, maju, mandiri, baik dan bersih dalam penyelengggaraan negara (good gouverment). Bangsa atau masyarakat yang demikian merupakan ciri dari masyarakat madhani (civil soceity/demokrasi modern/masyarakat yang penuh kese- taraan)) di Indonesia (Handam Mansoer; 2005).

BAB. II. WARGANEGARA A. Pengertian Warganegara Istilah Warganegara dalam konteks kosa kata Bahasa Indonesia merujuk pada terjemahan: kata Citizen (Inggris) dan Citoyen (Perancis). Istilah Citizen secara etimologis berasal dari Romawi dari bahasa Latin, yak- ni dari kata Civis/Civitas sebagai anggota atau warga dari suatu Cyte-State.

Kata ini dalam bahasa Perancis diistilahkan Citoyen yang bermakna warga dalam kota (cite) yang memiliki hak-hak terbatas. Citoyen atau Citezen ber- makna warga atau penghuni kota. Warga dan kota adalah kesatuan yang bila ditelusuri secara historis adalah angggota dari suatu polis (negara) Warga dari polis historis bermula pada masa Yunani Kuno, dimana warga di Yunani dinamakan polite, sedang di Romawi warga dari republik disebut civis atau civitae. Dengan demikian konsep Polites (Yunani/Greek), Civis/ Civitas (Romawi- Latin), Citoyen (Perancis) serta Citizen (Inggris) bermakna sama, yakni menunjuk pada warga atau penghuni kota yang pada masa lalu yang meru- pakan komunitas politik. Jadi konsep warga bukan hal yang baru, karena telah ada sejak pada masa Yunani Kuno dan Romawi yang dianggap tempat asalnya demokrasi. Dalam terminologi modern, istilah Citizen dalam kajian akademik ber- pengaruh luas dalam upaya untuk menjelaskan konsep warganegara maupun kewarganegaraan.Menurut Tuner (1990), istilah Citizen (abad tengah/abad 15) saling bertukar pakai dengan istilah Denizen. Kedua istilah itu secara umum menunjuk warga atau penduduk kota, sedang orang-orang yang berada di luar kota (di luar Citizen-Denizen) disebut Subject. Subject pada awalnya adalah non warga kota yang terdiri dari anak-anak, wanita, budak dan pendu- duk asing. Dalam Rationalisme Barat, konsep Citizen memiliki karakter yang unik, karena amat dekat dengan gagasan tentang Civility (kesopanan) dan Civilation (peradaban). Untuk menjadi warga kota (Citizen) orang luar perlu melakukan proses Civilization atau menjadi Urban perlu ada proses Citinize bagi orang tersebut. Diperlukan beberapa persyaratan seseorang agar dikategorikan sebagai Citizen. Perkembangan konsep polites, civis, citoyen dan citizen yang pada mulanya bersifat tertutup (eklusif) dengan hak-hak yang terbatas. Melalui perju- angan panjang akhirnya wanita dan anak-anak sudah dapat menjadi bagian dari Civis dengan hak-haknya yang setara (equality). Misal wanita sudah memiliki hak suara dalam pemilu. Di Australia pemilu pa- da tahun 1902, di Kanada pemilu tahun 1918 dan di Amerika Serikat pada tahun 1920. Sedangkan hak-hak anak sebagai warganegara baru berkembang pesat setelah adanya Konvensi hak anak internasional. Konsep mengenai Citizen, hak, kota, peradaban dan urban tak bisa dilepas- kan dengan apa yang terjadi diYunani Kuno, yang memang di sanalah menja- di kiblat dan cikal bakal (sumber acuan) berkembangnya konsep Citizen bagi dunia Barat.

Pengertian warganegara harus dibedakan dengan penduduk (population) dan rakyat (people). Pengertian tentang warganegara telah dijelaskan di atas, maka perlu juga di- jelaskan juga pengertian tentang penduduk dan rakyat. Adapun pengertian penduduk dan rakyat, adalah: - Penduduk(Population) adalah setiap orang yang menempati/bertempat tinggal di daerah/wilayajh teretentu, yang identitasnya ditandai dengan kepemilikan KTP (Kartu Tanda Penduduk). Penduduk dibedakan:penduduk yang ber KTP daerah itu (mempunyai hak dan kewajiban, misal bayar pajak, ikut pilkada) dan penduduk yang tidak ber KTP di daerah itu, yakni penduduk pendatang/ musiman, misal: WNA dan penduduk lain daerah. - Rakyat (People), adalah semua warganegara yang mempunyai ikatan bathin dengan bangsa dan negara itu, sehingga mempunyai kesanggupan dan kese- diaan diri untuk bela negara, terutama mengahadapi musuh, baik yang berasal dari dalam negeri maupun dari luar negeri (HGAT). Rakyat adalah warganegara yang mempunyai rasa memiliki, mencintai serta rela berkorban demi bangsa dan negaranya. Dari sanalah akan tersirat nilai-nilai patriotisme, nasionalisme dan heroisme. B. Karakteristik Warganegara Karakteristik warganegara yang digambarkan oleh para filsuf tidak dapat dipisahkan dari pengaruh sosial politik, latar belakang dan institusi, di mana mereka hidup. Menurut Aristoteles warganegara adalah orang yang mampu menjalankan dirinya dalam berperan di kehidupan politik, terkenal dengan ucapanya bahwa manusia adalah:man as a political animal atau zoon politicon. Menurut dia warganegara diklasifikasikan menjadi dua, yakni: 1). Warganegara yang menguasai atau memerintah (the ruling) 2). Warganegara yang dikuasai atau diperintah (the ruled) Warganegara yang memerintah harus mempunyai kebajikan dan kearifan, se- dangkan kebajikan dan kearifan tidaklah begitu penting bagi yang diperintah. Semua warganegara adalah bebas, sederajad dan harus siap untuk memerintah dan diperintah, maka semua warganegara harus mempunyai satu keuatamaan dan kebajikan. Karakteristik warganegara yang baik menurut Aristoteles adalah Civic Virtue (keutamaan sipil) dalam dirinya. Menurutnya ada 4 komponen civic virtue, yakni : 1). Temperance (kesederhanaan) termasuk self control dan avoidance of extremes;2). justice (keadilan, 3), courage (keberanian dan kete- guhan) termasuk patriotism dan yang ke 4). Wisdom or prudence (kearifan dan kesopanan) termasuk di dalamnya the capacity for judment (Heater, 2004).

Warganegara yang mempunyai klasifikasi demikian akan menjadi wargane- gara yang baik dan akan mampu memerintah secara baik dan serta dia juga dapat diperintah secara baik pula. Sampai di situ akhirnya dia menyatakan warganegara ada yang yang termasuk good citizen dan bad citizen. Good citizen berbeda dengan good man, karena good citizen ditentukan oleh kon- stitusi. Cicero (Romawi) menyatakan bahwa tugas warganegara Romawi untuk ada- lah untuk saling menghormati dan mempertahankan ikatan persaudaran ber- sama, dengan menggantikan semua konsep yang membedakan anggota ras manusia. Warga hidup dalam arahan dan perlindungan hukum Romawi dengan memiliki kewajiban dan hak yang sama. Warga ditur oleh hukum bukan kaisar. Kewajiban warga adalah pelayanan militer dan membayar pajak-pajak tertentu. Kewajiban khusus warganegara ideal adalah menem- patkan civic vitue , pada masa Republik Romawi diartikan sebagai kemauan untuk mendahulukan kepentingan publik (umum). Tradisi Republik dan ke- sediaan mendahulukan kepentingan umum, ini natinya menjadi dasar-dasar bagi berkembangnya teori kewarganegaraan republikan. Pemikiran abad 17 dan 18 seperti Thomas Hobbes, John locke dan JJ. Rousseau membawa perubahan ke arah paham indivualisme liberal. Mereka menganggap manusia adalah sebagai individu-individu dan masya- rakat sebagai koleksi individu yang independen dan mengejar tujuan pribadi. Manusia secara fundamental dianggap sebagai individu-individu yang me- miliki hak dan kepentingan. Individu dipandang sebagai makhluk yang egois, berpikir dan bertindak demi kepentingan semata-mata. Negara adalah hasil kontrak antara individu, yang tugasnya menjamin pemenuhan hak dan kepentingan warga (kontrak sosial). Inilah pendapat mereka tentang warganegara: 1). Thomas Hobbes, berpendapat warganegara menunjuk pada manusia dengan sifat politik yang fantatis, penuh nafsu, kepentingan dan kebe- basan, Hobbes terkenal dengan ucapannya: homo homimhi lupus. Rationalitas kepentingan pribadi secara sosial mendorong individu un- tuk mencari kedamaian dan keamanan diri. Sejauh kebebasannya terlin- dungi, induvidu akan puas dan bersedia menjadi subjek kedaulatan negara 2). John locke, berpendapat bahwa manusia dibekali dengan hak-hak alamiah (natural right), sedangkan negara merupakan hasil persetujuan dari yang diperintah (warga/rakyat). Berbeda dengan Hobbes yang mendukung absolutisme negara, Locke berpendapat bahwa kedaulatan negara tidak berdiri di atas civil soceity tetapi civil sosietylah yang membatasi negara.

3). J;J. Rousseou mengidealkan sebuah masyarakat di mana setiap individu dapat mengembangkan kebebasannya dan pada saat yang bersamaan dapat berprilaku sebagai anggota komunitas yang besar dan loyal. Untuk mencapainya individu sebagai suatu warga suatu negara harus tunduk pada hukum yang mengespresikan kehendak umum (volunte general). Pemikiran Rousseau ini pada sisi lain mengembangkan pemikir- an Kewarganegaraan Republik Klasik. Dalam perkembangan konteporer para ahli berupaya mengembangkan se- jumlah karakteristik warganegara yang sejalan dengan dunia modern. Istilah civic virtue yang diatikan sebagai kebajikan kewarganegaraan yang berupa kemauan dari warganegara untuk mengesampingkan kepentingan pribadi (privat) untuk menuju ke kepentingan umum (publik). Civic virtue terdiri atas Civic Dispotitionn and Civic Commitment (watak dan komitmen kewarganegaraan). Watak kewarganegaraan merujuk pada sejumlah kebiasaan dan sikap warga dalam menopang berkembangnya fungsisosial yang sehat dan jaminan atas kepentingan umum dalam sis- tem demokrasi. Komitmen warganegara merujuk pada kesediaan secara sadar untuk menerima, memegang teguh nilai dan prinsip demokrasi. Thomas Lickona dalam bukunya Education for Character, menyata- kan bahwa karakter mengandung tiga bagian yang saling berhubungan, yakni moral knowing, moral feeling dan moral behavior. Oleh karena itu karakter yang baik selalu mengandung tiga hal,yakni mengetahui hal yang baik (knowing the good, menginginkan hal yang baik ( desiring the good) dan melakukan hal yang baik (doing the good. Moral knowing mempunyai indikator: moral awareness, knowing moral values, perspecive taking, mo- ral reasoning, decision making dan self knowledge. Moral feeling memi- liki indikator : conccience, self esteem, emphaty, loving the good, self control dan humality, sedangkan Moral behavior/action mempunyai indi- kator: competence, will dan habit. Kompetensi ideal seorang warganegara menurut Magaret Stimman Branson, memiliki 3 kompetensi , yakni civic knowledge (pengetahuan kewarganegaraan), civic skill (ketrampilan kewarganegaraaan) dan civic dispotions (karakter kewarganegaraan). Menurut dia civic dispostion terdiri dari karakter privat dan publik sebagai hal yang esensial bagi pengembang- an demokrasi konstitusional. Karakter privat, misalnya : tanggung jawab, moral, disiplin diri, penghormatan terhadap harkat dan martabat manusia manusia, sedangkan karakter publik misalnya: taat terhadap aturan, sikap kritis, sopan, kesediaan mendengar, kemauan bernegoisasi dan kompromi. Dalam tulisannya yang berjudul: From Character Development and Demo-

cratic Citzenship, Character Count (2007), ia mengembangkan (6)enam pi- lar karakter bagi kewarganegaraaan demokrasi, yakni; 1). Trustworthines (rasa percaya), 2) Respect (rasa hormat). 3). Responcibility (tanggung ja- wab), 4).Fairness (kejujuran), 5). Caring (kepedulian) dan Citizenship (ke- warganegaraan). Cogan dan Derricot (1998) mengidentifikasi perlunya warganegara memi- liki delapan (8) karakteristik yang dipandang sebagai cerminan wargnegara ideal abad 21. Kedelapan karakteristik tersebut adalah: 1). Kemampuan untuk untuk melihat dan mendekati masalah sebagai ang- gota masyarakat global). 2). Kemapuan bekerja sama dengan yangh lain dengan cara yang kooperatif dan menerima tanggung jawab atas peran dan tugasnya di dalam masya- rakat. 3). Kemampuan memahami, menerima dan menghargai dan menerima per- bedaan-perbedaan budaya. 4). Kapasitas berpikir dengan cara yang kritis dan sistematis. 5). Keinginan untuk menyelesaiakan konflik dengan cara tanpa kekerasan. 6). Keinginan untuk mengubah gaya hidup dan kebiasaan konsumtifnya, untuk melindungi lingkungan. 7). Kemampuan bersikap sensitif dan melindungi hak asasi manusia, misal- nya hak wanita, hak etnis minoritas dan hak-hak yang lainnya. 8). Keinginan dan kemampuan untuk ikut serta dalam politik pada tingkat lokal, national maupun internasional. Senada dengan karakter tersebut di atas, Louise Douglas dalam bukunya Global Citizenship (2002) juga memandang warganegara global sebagai orang yang: 1). Menyadari dunia secara luas dan mempunyai perasaan sendiri sebagai warganegara. 2). Pengakuan terhadap nilai-nilai keberagaman. 3). Memiliki satu pemahaman bagaimana dunia bekerja secara ekonomis, politis, sosial, kultural, teknologi dan lingkungan. 4). Menolak ketidakadilan sosial. 5). Berpartispasi dan berperan dari tingkat lokal sampai global. 6). Memiliki kemampuan untuk bertindak dan membuat dunia sehingga sebagai tempat yang patut. 7). Bertanggungjawab terhadap tindakan-tindakan mereka.

BAB. III. KEWARGANEGARAAN A. Konsep Kewarganegaraan Warganegara dan kewarganegaraan merupakan dua hal yang berkaitan. John J Cogan dan Ray Derricott membuat definisi kedua hal tersebut secara berkesinambungan bahwa: Warganegara adalah anggota syah dari suatu masyarakat, sedang kewarganegaraan adalah seperangkat karakteristik dari seorang warganegara. Dalam definisi lain dikatakan, bahwa Kewargane- garaan merupakan keanggotaan dalam komunitas politik (yang dalam seja- rah perkembangannya di awali pada negara kota polis, namun sekarang telah berkembang pada keanggotaan suatu negara). Kewarganegaaan mem- bawa implikasi pada kepemilikan hak untuk berpartisipasi dalam politik. Orang yang telah menjadi dan memiliki keanggotaan penuh disebut Citizen. Berdasarkan pendapat Roger M Smith, kewarganegaraan dipahami: 1). Sebagai hak yaitu hak politik untuk berpartisipasi dalam proses peme- rintahan. 2). Sebagai status hukum yang secara syah diakui sebagai anggota dari komu- nitas politik negara yang berdaulat. 3). Keanggotaan dari sustu komunitas, kewarganegaraan menunjuk pada aso- siasi/keterikatan orang tidak hanya pada negara, tetapi juga komunitas lain (keluarga, klub, universitas dan komunitas politik yang lebih luas lagi); 4). Seperangkat tindakan, artinya kewarganegaraan tidak hanya mengimplika- sikan adanya keanggotaan, tetapi juga ketentuan-ketentuan dan prilaku warganegara. Kewarganegaraan menunjuk pada seperangkat tindakan. Handbook: Making Sense of Citizenship, menyatakan bahwa konsep kewar- ganegaraan memiliki arti sebagai berikut: Kewarganegaran mencakup: 1). Keanggotaan yang dengannya terdapat hak dan kewajiban terhadap komunitas, 2). Tindakan dalam kehidupan dan ke 3). Kewarganegaraan mencakup pula aktivitas membantu manusia menjadi warganegara yang aktif, terbuka dan bertanggung jawab. Menurut Bryan S Turner, kewarganegaraan merupakan seperangkat praktik atau tindakan yang mencakup yudisial, politik, ekonomi dan budaya yang dapat menentukan seseorang sebagai anggota masyarakat yang kompeten, sebagai konsekuensinya membentuk aliran sumber daya kepada orang-orang dan kelompok-kelompok sosial. Ada tiga (3) hal yang bisa disimpulan dari definisi ini, yakni: 1). Kewarganegaraan bukan semata-mata hak/status legal formal, tetapi suatu identitas yang beragam. 2). Kewarganegaraan tidak pasif, tetapi bersifat aktif (bahwa hak itu perlu

diperjuangkan). 3). Kewarganegaraan bukan hanya berhubungan dengan negara/nation, tetapi terkait dengan banyak ragam komunitas sebagai identitas seseorang , misal komunitas atas dasar region, etnik, sex, bahasa, agama dan kelom- pok sosial lainnya. Cogan dan Derricott (1998) mengidentifikasi adanya 5 (lima) atribut kewar- ganegaraan ( The five attributes of citizenship), yakni: 1). Sense of identity (perasaan identitas) 2). The enjoyment of certain rights (pemilikan hak-hak tertentu) 3). The fulfiment of corresponding obligations (pemenuhan kewajiban- kewajiban yang sesuai) 4). A degre of intterest ang involvement in public affair (tingkat ketertarik- an dan ketrelibatan dalam masalah publik) 5). An acceptance of basic social values (penerimaan terhadap nilai-nilai sosial dasar) Dari pelbagai pendapat tentang kewarganegaraan kiranya dapat disimpul- kan, bahwa kewarganegaraan menunjuk pada status seseorang sebagai anggota dari suatu komunitas bahkan beragam komunitas. Kepemilikan akan status tersebut menyiratkan bahwa terkandung di dalam- nya seperangkat karakteristik. Identitas, hubungan dengan warga lain dan komunitas, hak dan kewajiban (tanggung jawab), dan prilaku/tindakan hidup yang diperjuangkan. Dalam rumusan yang lebih umum, kewarganegaraan adalah bentuk iden- titas yang memungkinkan individu-individu merasakan makna kepemilik- an, hak dan kewajiban sosial dalam komunitas politik (negara); hubung- an antara rakyat dengan negara berdasarkan asas resiprokalitas (pro- porsional) antara hak dan kewajiban. Melalui penulusuran sejarah Derek Heater sampai pada simpulan, bahwa Kewarganegaraan adalah suatu bentuk identitas politik dari seorang indi- vidu. Bentuk identitas sosial politik itu berbeda-beda tergantung pada sistem politik yang dianutnya , dimana warga negara itu berada. Heater menemukan adanya 5 (lima) bentuk , yakni sistem feodal (feudal), monarkhi (monarchical), tirani (tyranical), nasianal (nasional) dan sistem kewarganegaraan (citizenship). 1). Dalam sistem feodal, hubungan warganegara dengan komunitas politik- nya bersifat herarkis, artinya status hubungan itu ditentukan berdasar- kan keterikatan antara budak dengan sang majikan/tuan yakni raja. tuan/raja, sedangkan raja memberikan bentuk perlindungan. 2). Dalam sistem kerajaan (monarkhi), raja sebagai penguasa tunggal yang

mempunyai kedudukan/kekuasaan atas warganya. Warga diharapkan menunjukan semangat kesetiaan/loyalitas kepada raja yang dianggap sebagai lambang negara. Kesanggupan yang diharapkan dari warga- nya paling tidak adalah kepatuhan yang bersifat pasif, karena pada da- sarnya hal itulah yang dibutuhkan/dikehendaki oleh sang raja. 3). Sistem tirani ditunjukkan dengan bentuk pemerintahan otoriter terma- suk totaliter dan keditaktatoran. Dalam sistem ini, kedudukan warga jauh lebih rendah karena diakibatkan dari tujuan yang kuat akan du- kungan terhadap rezim penguasa. Pandangan politiknya adalah pen- dapat yang dihidupkan oleh penguasa dan satu-satunya kemampuan warga dibutuhkan adalah kemampuan untuk terlibat dalam pengerahan dukungan terhadap sang tiran tersebut. 4). Dengan sistem nation, mereka mengakui stausnya sebagai anggota dari suatu kelompok budaya. Perasaan yang berhubungan dengan bentuk identitas ini adalah kecintaan pada bangsa dan kesadaran pada badaya. Dengan demikian pengetahuan tentang apa yang telah dibuat dan yang masih dijalankan agar negara menjadi besar adalah kompensasi yang dibutuhkan. 5). Pada sistem kewarganegaraan, hubungan warga tidak seperti yang ter- dapat dalam sistem feodal, monarkhi, tirani dan nasional melainkan berhubungan dengan gagasan tentang bernegara. Identitas warga di- badikan di dalam hak-hak yang diakui oleh negara dan kewajiban- kewajiban yang dijalankan oleh warganegara. Semua warganegara memiliki status yang setara. Warganegara yang baik adalah mereka yang merasakan kesetiaan pada negara dan memiliki rasa tanggung jawab dalam melaksanakan tugas-tugasnya, sebagai konsekuensinya mereka butuh ketrampilan dan kecakapan yang berkaitan dengan par- tispasinya selaku warganegara. B. Perspektif Teori Kewarganegaraan Terjadi perbedaan pendapat mengenai konsep kewargnegaraan se- suai dengan perspektifnya masing-masing, diantaranya: 1). Pendapat Ronald Beiner dalam bukunya Theorizing Citizenship (1995), mengemukakan adanya 3 teori kewarganegaraan, yakni: liberal, communitarian dan republican. 2). Herman Van Gunstreren dalam Sapriya (2006) mengemukakan ada 3 Teori dasar kewarganegaan yang berkembang dan menjadi kajian ilmiah, yakni: liberalisme, komunitarianisme dan republikanisme. 3). Derek Heater dalam bukunya: A Brief History of Cizenship (2004)

menyatakan bahwa berdasar sejarah perkembangannya, teori kewar- ganegaraan dibedakan antara tradisi republikan (the civic tradition) dengan tradisi liberal (liberal tradition). Sejalan dengan pendapat umum, maka dapat disimpulkan bahwa teori kewarganegaraan mencakup: liberal, komunitarian dan republikan. 1). Teori Kewaganegaraan liberal (Liberalism) 2). Teori Kewarganegaraan komunitarian (Communitarianism) 3). Teori Kewarganegaraan Republikan (Republicanism) 1). Teori Kewarganegaraan Liberal (Liberalism) Teori ini muncul pada abad 17 dan 18 serta berkembang kuat pada abad 19 dan 20. Teori ini tentang kewarganegaraan dimulai dari pandangan yang bersifat individualistis. Teori ini bersumber dari ideologi individualis- me yang berpahamkan kebebasan individu terutama kebebasan dari campur tangan negara dan masyarakat. Teori ini juga berpendapat bahwa warganegara sebagai pemegang otoritas untuk menentukan pilihan dan hak. Berdasarkan aksioma teori ini meman- dang warganegara secara individual memaksimalkan keuntungan yang di- milikinya , yakni menentukan pilihan tindakan yang akan mengantarkan pada hasil tertinggi dikalikan peluang situasi yang akan terjadi. Perspektif ini bercirikan penekanan pada individu, dan kapasitas individu untuk mengubah identitas kelompok atau kolektif, untuk menghancurkan belenggu identitas pasti (status sosial, hirarkis, peran tradisional), untuk menentukan ulang tujuan seseorang. Teori kewarganegaraan liberal mene- kankan pada konsep kewarganegaraan yang berbasis pada hak. Peter H Scuck dalam Liberal Citizenship (2002) menyatakan bahwa penga- ruh besar dari teori ini diawali oleh penjelasan secara sistematis melalui John locke dan J S Mill. Menurut Locke individu dianugerahi dan dihiasi oleh Tuhan dengan hukum alam dan berupa hak-hak alamiah. Individu se- belumnya hidup dalam alam alamiah, kemudian masuk dalam kehidupan masyarakat politik. Teori Locke tentang kepemilikian (Locke’s theory of property) menyebutkan ada tiga (3) elemen sentral bagi kewarganegaraan liberal. Pertama, individu dapat menciptakan kekayaan atau kepemilikan dan menambah dominasi kepemilikan itu melalui kerja. Kedua, perlidung- an terhadap kepemilikanmerupakan fungsi utama hukum dan pemerintahan dan Ketiga, pelaksanaan yang sah menurut hukum atas hak-hak kepemilikan secara alamiah mengasilkan ketidakmerataan yang adil. JS Mill berpendapat bahwa individualitas dan kepentingan diri merupakan sumber bagi kema- juan dan kebaikan sosial. Menurut Peter H Suchuk ada 5 Prinsip Dasar

Teori Liberal Klasik. Pertama, mengutamakan kebebasan individu yang dipahami sebagai kebebasan dari campur tangan negara, Kedua, proteksi yang luas terhadap kebebasan berpikir, berbicara dan beribadah, Ketiga, kecurigaan yang dalam terhadap kekuasaan negara dalam mengatasi indi- vidu, Keempat, pembatasan kekuasaan negara pada bidang atau aktivitas individu dalam berhubungan dengan yang lain, serta Kelima, anggapan yang kuat dapat dibantah mengenai kebaikan hati dalam hal masalah pri- badi seta bentuk lain yang mendukung pribadi. Sedangkan salah satu teori liberal modern, adalah yang dikemukakan oleh TH Marshall dalam bukunya Citizenship and Social Class (1950), menu- rutnya kewarganegaraan diartikan sebagai status yang dianugerahkan bagi mereka sebagai anggota komunitas yang mencakup hak sipil, hak politik, dan hak sosial. Jadi kewarganegaraan di dasarkan atas elemen hak dan ber- dasar ini terdapat bentuk kewarganegaraan sipil, kewarganegaraan politik dan kewarganegaraan sosial. Kewarganegaraan sosial muncul di abad 19, misal hak mendapat kesejahteraan dan keamanan. Hak sosial menjadi unsur yang penting untuk menggerakan hak sipil dan politik bagi mereka yang dimarjinalkan dan dalam situasi yang tidak beruntung. Menurut dia hak merupakan hal yang penting dan ketiadaan hak menjadikan wargane- gara tidak dapat berperan aktif secara efektif. Baginya kewarganegaraan (hak) dapat memperbaiki konflik dalam kelas di masyarakat. 2). Teori Kewarganegaraan Komunitarian (Communitarianism) Teori ini sangat menekankan pada fakta bahwa setiap orang, warganegara perlu memiliki sejarah perkembangan masyarakat. Individualitas yang dimiliki warganegara berasal dan dibatasi oleh masyarakat (Supriya, 2007). Hal itu berdasar keyakinan teori ini bahwa individu dibentuk oleh masyarakat. Perspektif komunitarian menekankan pada kelompok etnis atau kelompok budaya, solidaritas diantaranya orang-orang yang memiliki sejarah atau tradisi yang sama, kapasitas kelompok tersebut untuk menghargai identitas orang- orang yang dibiarkan teratomisasi oleh kecenderungan yang mengakar pada masyarakat liberal. Komunitarian menekankan pada kebutuhan untuk menye- imbangkan hak-hak dan kepentingan individu dengan kebutuhan komunitas sebagai kesatuan dan bahwa individu terbentuk dari budaya-budaya dan nilai- nilai komunitas. Pada abad 20 muncul teori kewarganegaraan komunitarian sebagai reaksi dari teori kewarganegaraan liberal, kalau teori kewarganegaraan liberal yang berpendapat bahwa masyarakat terbentuk dari pilihan-pilihan be- bas individu, sedangkan teori ini berpendapat justru masyarakatlah yang me- nentukan dan membentuk individu baik karakternya, nilai keyakinan- keyakin- annya.

Komunitarianisme menekankan pentingnya komunitas dan nilai sosial bersama. Pokok-pokok ajaran komunitarianisme antara lain, adalah sebagai berikut: 1). Komunitas adalah arbiter (yang berkewajiban) dalam kehidupan bersama; 2). Nilai-nilai sosial adalah kerangka moral kehidupan bersama; 3). Nilai-nilai sosial tersebut pada gilirannya merupakan croos societal moral dialoge. Dalam masyarakat perlu pembentukan konsensus bersama dan nilai-nilai moral merupakan dasar ertimbangan bagi pembentukan nilai sosial bersama sebagai konsensus. Tanpa nilai-nilai sosial dan konsensus, kehidupan bersama akan hancur. Keputusan atas nilai-nilai yang disepakati menjadi milik bersama dan secara sukarela merupakan sustu keteraturan sosial. Konsensus ini bisa terjadi di ting- kat lokal (kelompok), national (nation) maupun kemungkinan berlaku pada masyarakat global. 3). Teori Kewarganegaraan Republikan (Republicanisme) Teori ini berpendapat bahwa masyarakat sebagai komunitas politik adalah pusat kehidupan politik (sapriya, 2006). Kewarganegaraan republikan menekankan pada ikatan-ikatan sipil (civic bonds) suatu hal yang berbeda dengan ikatan-ikatan individual (tradisi liberal) ataupun ikatan kelompok (tradisi komunitarian). Sementara kewarganegaraan liberal lebih menekankan pada hak (right), sedangkan kewarganegaraan republikan menekankan pada kewajiban (duty) warganegara. Kewarganegaraan Republikan merupakan bentuk kewarganegaraan yang paling tua dari pada komunitarian, yang menyatakan pentingnya parti- sipasi warga dalam pengambilan keputusan di wilayah republik, bukan hanya sebagai hak dan kewajiban tetapi sebagai esensi dari adanya ikatan sipil. Ia menempatkan tanggung jawab sosial pada masyarakat daripada negara, percaya bahwa tradisi budaya bukan negara yang dapat menguatkan civil society. Dalam tradisi Yunanidan Romawi, masyarakat adalah negaritu sendiri sebagai lembaga publik. Warganegara akan mempunyai arti jika mereka terlibat dalam kehidupan publik, kehidupan politik atau kehidupan bernegara. Teori kewarganegaraan republikan baik yang klasik maupun yang humanis merupakan paham pemikiran kewarganegaraan yang berpendapat, bahwa bentuk ideal dari suatu negara didasarkan atas dua dukungan, yakni civic virtue wargannya dan pemerintahan yang republic karena ini merupakan hak yang esensial, sehingga disebut civic republic. Jadi kewarganegaraan ini menekankan pentingnya kewajiban (duty), tanggung

jawab (responsibility) dan civic virtue (keutamaan kewarganegaraan) dari warganegaranya. Civic virtue dalam republik Romawi berarti kesediaan mendahulukan kepentingan publik. Warganegara yang baik menurut Republik Klasik Teori JJ Rousseau) adalah yang mendahulukan kepentingan umum, jika ada warganegara yang mendahu- lukan kepentingan pribadinya di atas kepentingan umum (publik) berarti dia melakukan korupsi. Kepentingan umum (publik) itu di formulasikan melalui apa yang yang dinamakan general will/volonte generale (kehendak umum). Negara yang ideal adalah negara yang warganya tidak mementingkan dirinya sendiri, negara yang diatur oleh general will/volonte generale. Di dalam kewarganegaraan republikan memiliki karakteristik etis demikian juga status legal/hukum. Warganegara dalam suatu republik tidak hanya dilindungi oleh hukum, tetapi juga tunduk pada hukum. Kewarganegaraan mempunyai dimensi etis yang dimunculkan dalam dua cara. Pertama, bahwa warganegara yang baik adalah yang memiliki semangat publik ( public spirit), yaitu menempatkan kepentingan umum di atas kepentingan pribadi, Kedua, komitmen pada masalah publik yang dimanivestasikan sebagai suatu komit- men keterlibatan sipil. Warganegara yang baik akan mengambil tanggung jawab publik ketika muncul tanpa harus menunggu yang lainnya, bahkan ia akan mengambil bagian yang aktif di dalam masalah publik. Warganegara republikan dapat mengambil bagian dengan berbagai bentuk dalam masalah publik maupun untuk kepentingan umum. Secara nyata dapat melalui pengor- banan/loyalitas warganegara, misalnya ikut serta dalam pembelaan negara (perang), membayar pajak serta mentaati hukum yang berlaku. C. Perspektif Pengertian Kewarganegaraan Gautama dalam Paulus (1983) menyatakan bahwa pengertian kewargane- garaan dapat dibedakan dalam : (1) kewarganegaraan dalam arti yuridis dan sosiologis serta (2) kewarganegaraan dalam arti formal dan material. 1. Kewarganegaraan Dalam Arti Yuridis dan Sosiologis Yang dimaksud kewarganegaraan dalam arti yuridis, adalah ikatan hukum (de rechtband) antara negara dengan orang-orang pribadi (natuurlijke personen) yang karena ikatan itu menimbulkan akibat bahwa orang-orang itu jatuh di bawah lingkungan kuasa pribadi dari negara yang bersangkutan. Dengan kata lain pengertian kewarganegaran dalam arti yuridis adalah ada- nya ikatan antara warganegara dengan negara dan tanda adanya ikatan itu antara lain bentuk pernyataan secara tegas seorang individu menjadi anggota dari suatu negara atau warganegara dari negara tersebut atau dalam bentuk konkritnya berupa surat-surat (dokumen, surat keterangan atau putusan dari

lembaga negara itu). Sedangkan kewarganegaraan dalam arti sosiologis, adalah kewarganegaraan yang terikat pada suatu negara oleh karena adanya suatu perasaan kesatuan ikatan, dikarenakan satu keturunan, suku, kepercayaan/agama, kebersamaan, sejarah, daerah, sehingga menimbulkan ikatan emosional yang kuat serta ada ikatan dengan penguasa (pemerintah) atau dengan kata lain adanya penghayatan kultur (budaya) yang tumbuh dan berkembang dalam suatu persekutuan daerah atau negara di mana dia bertempat tinggal. Dari kewarganegaraan dalam arti yuridis maupun sosiologis mengakibatkan ada kalanya seorang diakui warganegaranya hanya karena secara yuridis, atau merasa menjadi warganegara dari suatu negara, karena adanya ikatan- ikatan emosional (sosiologis). Oleh karena itu sungguh sangat ideal apabila seseorang menjadi warganegara dari suatu negara karena diakui secara yuridis maupun sosiologis. 2. Kewarganegaraan Dalam Arti Formal dan Material Kewargaan dalam arti formal adalah tempat kewarganegaraan itu dalam sistematika hukum. Hal ini dapat dipahami kewarganegaraan itu menyangkut salah satu tiang/syarat negara, yaitu rakyat. Oleh karena itu kewarganegaan termasuk dalam ranah hukum publik, sebab kaidah-kaidah yang mengenai adanya negara semata-mata bersifat publik. Sedangkan yang dimaksud Kewarganegaraan dalam arti material (isinya) adalah akibat hukum dari pengertian kewarganegaraan itu sendiri. Misalnya apakah hak dan kewajiban yang konkrit dari seorang warganegara, apa perbe- daan antara warganegara dengan warganegara asing ditinjau dari status dan ikatan hukumnya. D. Kewarganegaraan Sebagai Status Hukum Dari perspektif hukum, status kewarganegaraan seseorang amat menentukan hak, kewajiban dan kewenangan selaku warganegara. Orang yang berstatus warganegara akan berbeda dengan orang yang tidak berstatus sebagai warganegara (WNA) di negara tersebut. Warganegara akan mendapat jaminan perlidungan dan pemenuhan akan hak- haknya sebagai warganegara, sedangkan warganegara asing haknya terbatas, warganegara berhak memilih dan dipilih dalam jabatan politik dan pemilu, sedangkan orang asing tidak. Orang asing boleh diusir (persona non grata) dan dikembalikan ke negaranya (ekstradisi), sedangkan untuk warganegara tidak boleh. Semua ini menunjukkan bahwa warganegara memiliki keduduk- an yang penting dalam negara, bahkan merupakan unsur yang esensial untuk eksistensi, keberlangsungan dan kelanggengan dari suatu negara.

Status kewarganegaraan seseorang mengakibatkan orang tersebut mempunyai pertalian (hubungan) hukum serta tunduk pada hukum negara yang bersang- kutan. Kewarganegaraan menghasilkan akibat hukum, yakni adanya hak dan kewajiban warganegara maupun negara. Hak dan kewajiban warganegara biasanya dimuat dalam konstitusi negara yang bersangkutan. Akibat hukum yang lain adalah orang yang sudah memilik kewarganegaraan tidak jatuh pada kekuasaan atau kewenangan negara lain, negara lain juga tidak berhak memberlakukan kaidah-kaidah hukum kepada orang yang bukan wargane- garanya. Setiap negara berwenang untuk menentukan siapa-siapa saja yang bisa menjadi warganegaranya. Hukum internasional memberi pengakuan bahwa setiap negara berhak memilih dan memiliki hak untuk menentukan siapa saja yang bisa menjadi warganegaranya atau bukan warganegaranya, karena setiap negara mempunyai kedaulatan. Negara tidak terikat oleh negara lain dalam menentukan kewarganegaraan, negara lain juga tak berhak menentukan dan ikut campur dalam penentuan status kewaragnegaraan seseorang, negara tidak boleh melanggar general principles (asas-asas umum) hukum inter- nasional tentang kewarganegaraan. Menurut pasal 1 konvensi Den Haag Tahun 1930 dinyatakan bahwa pe- nentuan kewargegaraan merupakan hak mutlak dari negara yang bersangkut- an. Namun demikian hak mutlak tadi tidak boleh bertentangan dengan General Principles (Prinsip Umum). Adapun prinsip umum tersebut, adalah: 1). Tidak boleh bertentangan dengan konvensi-konvensi internasional 2). Tidak boleh bertentangan dengan kebiasaan international 3). Tidak boleh bertentang dengan prinsip-prinsip hukum yang secara interna- sional diterapkan dalam hal penentuan kewarganegaraan, misal suaka politik. Contoh penerapan prinsip tersebut, adalah: a). Suatu negara tak boleh memasukkan orang-orang yang sama sekali tidak ada hubungan sedikitpun dengan negara yang bersangkutan sebagai warga negaranya. Misal Indonesia tidak dapat menyatakan bahwa semua orang yang ada di Kutub Utara (Suku Eskimo) adalah warganegaranya. b). Suatu negara tidak boleh menentukan kewarganegaraan seseorang atau kelompok orang berdasarkan unsur-unsur primodial seperti: agama, suku, ras dan golongan yang dirasakan bertentangan dengan prinsip-prinsip hukum umum. Misal, Indonesia tidak boleh menyatakan bahwa yang boleh menjadi warganegara Indonesia adalah orang-orang suku/ras

tertentu ( jawa/Minang ) atau yang beragama tertentu saja (Islam/kristen). Sejalan dengan perkembangan demokrasi dan hak asasi manusia, ke- daulatan negara dalam menentukan status kewarganegaraan diimbangi pula dengan kebebasan dari warganya untuk menentukan hak kewarga- negaraan. Hal ini sebagaimana dinyatakan di dalam Articel 15 Universal Declaration of Human Right tahun 1948, bahwa: setiap orang berhak atas sesuatu kewarganegaraan. Tidak seorangpun dengan semena-mena dapat dicabut kewarganegaraannya atau ditolak haknya untuk mengganti kewarganegaraan. 1. Penentuan Asas Kewarganegaraan

Asas kewarganegaraan menjadi pedoman dasar bagi suatu negara untuk menentukan siapakah yang menjadi warganegaranya. Pada dasarnya negara sebagai subjek hukum yang berdaulat memiliki ke- bebasan untuk menentukan kewarganegaraan termasuk asas yang diguna- kan/dipilih. Menurut Heater ada dua cara untuk menentukan asas kewar- ganegaraan , yakni Ius Soli dan Ius Sanguinis, selain itu juga ada/dipakai yakni Asas Campuran. Dalam menentukan kewarganegaraan seseorang, dikenal adanya asas kewarganegaraan berdasarkan kelahiran dan asas perkawinan. Penentuan asas kewarganegaraan berdasarkan kelahiran dikenal dua asas, yakni Ius Soli dan Ius Sanguinis. Kedua istilah itu berasal dari bahasa Latin, Ius artinya hukum atau dalil, Soli berasal dari kata solum yang artinya negeri atau tanah, sedang sanguinis berasal dari kata sanguis yang artinya darah. Sedangkan penentuan kewarganegaraan berdasarkan aspek perkawinan mencakup asas kesatuan hukum dan asas persamaan derajad. Asas Ius Soli dan asas Ius Sanguinis inilah secara internasional dianggap asas yang utama dalam menentukan status hukum kewarga- negaraan. Asas-asas kewarganegaraan tersebut, adalah: 1). Asas Ius Soli (Law of the Soil) Ius Soli artinya pedoman yang berdasarkan daerah atau tempat. Asas ini nyatakan bahwa kewarganegaraan seseorang ditentukan dari tempat di mana orang tersebut dilahirkan, disebut juga asas daerah. Contoh: Negara A menganut asas Ius Soli, berarti orang yang lahir di negara tersebut akan memiliki kewarganegaraan A, tidak melihat orang tersebut keturunan dari mana. 2). Asas Ius Sanguinis (Law of the Blood) Ius Sanguinis artinya pedoman yang berdasarkan darah atau keturunan Asas ini menyatakan bahwa kewarganegaran seseorang ditentukan ber- dasarkan keturunan dari orang tersebut.

Asas ini disebut juga asas keturunan atau darah (genetik). Misal: Negara B menganut Asas Sanguinis, maka orang yang lahir di manapun saja asalkan keturunan dari orang yang berkewarga- negaraan B, maka orang tersebut akan berkewarganegaan B. Dalam prakteknya ada negara yang menganut asas ius soli dan yang menggunakanasas ius sanguinis. Namun ada juga negara yang menitik beratkan pada aspek ius soli dengan ius sanguinis sebagai pengecuali- an, sebaliknya ada negara yang menitikberatkan pada aspek ius sangu- inis dengan ius soli sebagai pengecualian. Pada mulanya asas ius soli lebih awal digunakan karena dianggap lebih sederhana, artinya siapa saja yang lahir di wilayah itu dianggap sebagai warganegaranya. Namun seiring dengan berkembangnya kon- sep nasionalisme di negara-negara/bangsa modern asas ius sanguinis lebih sering diterapkan. Seseorang dianggap sebagai warganya, jika orang yang lahir itu merupakan keturunan dari orang yang berkewar- ganegaraan negara tersebut. 3). AsasKewarganegaraan Tunggal, adalah asas yang menentukan satu ke- warganegaraan bagi setiap orang. 4). Asas Kewarganegaraan Ganda Terbatas, adalah asas yang nenentukan kewarganegaraan ganda bagi anak-anaknya sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam undang-undang (suatu pengecualian). Selain itu juga terdapat asas kewarganegaraan umum, yakni: 1). Asas Kepentingan Nasional, yakni asas yang menentukan bahwa per- aturan kewarganegearaan yang mengutamakan kepentingan nasional Indonesia, yang bertekad untuk mempertahankan kedaulatan sebagai negara kesatuan yang memiliki cita-cita dan tujuan sendiri. 2). Asas Perlindungan Maksimum, yakni asas yang mewajibkan pemerintah Memberikan perlindungan penuh kepada setiap setiap warganegara Indonesia dalam keadaan apapun, baik dalam maupun di luar negeri. 3). Asas Persamaan dalam Hukum dan Pemerintah, adalah asas yang me- nentukan bahwasetiap warganegara Indonesia mendapatkan perlakuan yang sama di dalam hukum dan pemerintahan. 4). Asas kebenaran substansif, adalah prosedur pewarganegaraan seseo- orang tidak hanya bersifat administratif, tetapi juga disertai subtsansi dan syarat-syarat permohonan yang dapat dipertanggungjawabkan kebe- narannya. 5). Asas Nondiskriminatif, yaitu asas yang tidak membedakan perlakuan dalam segala hal ihwal yang berhubungandengan warganegara berdasar- kan suku, ras, agama, golongan, jenis kelamin dan gender. 6). Asas Pengakuan dan Penghormatan Hak Asasi Manusia, adalah asas

yang dalam segala hal ihwal yang berhubungan dengan warganegara yang menjamin, melindungi dan memuliakan hak asasi manusia pada umumnya dan hak warganegara pada khususnya. 7). Asas Keterbukaan, adalah asas yang menentukan bahwa dalam segala hal ihwal berhubungan dengan warganegara harus dilakukak secara ter- buka. 8). Asas Publisitas, adalah asas yang menentukan bahwa seseorang mem- peroleh atau kehilangan kewarganegaraan Republik Indonesia diumum- kan dalam Berita Negara RI, agar masyarakat mengetahuinya. c). Penentuan Kewarganegaraan Berdasarkan Aspek Perkawinan (Asas Hukum dan Asas Persamaan Derajad) 1). Asas persamaan Hukum, didasarkan pandangan bahwa suami istri adalah satu ikatan yang tidak terpecah sebagai inti dari masyarakat. Dalam menjalankan hidupnya suamu istri perlu mencerminkan suatu kesatuan yang bulat termasuk dalam masalah kewarganega- raan. Berdasarkar asas ini diusahakan status kewarganegaraan suami istri sama dan satu. 2). Asas Persamaan Derajad, didasarkan pandangan bahwa suatu per- kawinan tidak menyebabkan perubahan status kewarganegaraan suami istri. Keduanya memiliki hak yang sama untuk menentukan sendiri kewarganegarannya. Jadi mereka dapat berbeda status ke- kewarganegaraan seperti halnya ketika mereka belum berkeluarga. Berdasarkan asas persamaan hukum , bahwa suatu perkawinan dapat menyebabkan perubahan status kewarganegaraan. Permasalahan akan timbul jika terjadi perkawinan campuran, yakni perkawinan dilakukan oleh pihak-pihak yang berbeda kewarganegaraan. Bagaiman status kewarganegaran kedua suami istri tersebut setelah bersatu dalam hubungan perkawinan serta bagaimana pula status kewarganegaraan keturunannya. Akibat perkawinan campuran seperti tersebut di atas, maka akan menimbulkan dua asas kewagranegaraan, yakni asas kesatuan hukum dan asas persamaan derajad. Asas kesatuan hukum bertolak dari pandangan bahwa suami istri ada- lah satu kesatuan dalam sebuah ikatan keluarga. Guna mendukung satu keluarga ini, maka anggota keluarga (suami-istri) harus tunduk dalam satu hukum yang sama. Dengan tunduk dalam satu hukum, maka akan banyak manfaatnya, ketika menjalani kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Jika terjadi persoalan hukum khususnya perdata, maka da- pat diatasi dengan satu hukum yang sama. Misalnya masalah penga- pengaturan kekayaan, status anak, warisan dan lain-lain. Dengan demikian kesatuan hukum akan mendukung ikatan yang kuat

dan keharmonisan dalam keluarga. Oleh karena itkeluarga dari perka- winan campuran perlu memiliki status kewarganegaraan yang sama. Namun permasalahan akan muncul dalam perkawinan campuran, jika dipertanyakan status kewarganegaraan siapa yang harus diikuti?. Status kewarganegaraan suami(istri harus mengikuti status kewargane- garaan suaminya) atau status kewarganegaraan istri (suami mengikuti kewarganegaraan istrinya). Kedua pilihan itu dapat digunakan, namun pada umumnya status kewarganegaraan suamilah yang digunakan, se- hingga istri harus mengikuti kewarganegaraan suaminya. Istri harus mengikuti status kewarganegaraan suami, kurang dapat di diterima oleh sebagian pihak karena dianggap merendahkan derajad, harkat, martabat wanita serta tak sesuai dengan emansipasi wanita. Wanita (istri) mempunyai hak yang sama dengan laki-laki (suami), dalam hal untuk menentukanstatus kewarganegaraannya. Istri tidaklah harus mengikuti status kewaraganegaraan suaminya. Berdasarkan pernyataan di atas, maka muncul asas persamaan derjad. Asas persamaan derajad menentukan bahwa dalam perkawinan tidak- lah menyebabkan perubahan status kewarganegaraan. Suami istri tetap mempunyai status kewaragnegaraan asal, sehingga mereka me- miliki status kewarganegaraan yang berbeda. Asas persamaan derajad memiliki manfaat,yakni dapat menghindari terjadinya penyelundupan hukum atau penyalahgunaan status kewarganegaran yang dimungkin- kan terjadi, jika digunakan asas kesatuan hukum. Misal, orang asing menikah ingin mendapatkan status kewarganegaraan dari suami/istri. Setelah itu ia bercerai. Akhirnya dengan status warganegaranya yang baru, ia dapat melakukan pelbagai tindakan hukum (kejahatan, baik di dalam negeri ataupun di luar negeri) sebagaimana hak yang di- miliki oleh warganegara lainnya. d). Akibat Perbedaan penentuan Status Kewarganegaraan 1. Apatride (Stateless), adalah istilah untuk orang-orang yang tidak mempunyai status kewarganegaraan. Contohnya: Seseorang lahir di negara A yang menganut asas ius sanguinis, se- dangkan ia keturunan dari orang yang berkewarganegaraan di nega- ra B yang menganut asas ius soli. Maka orang tersebut tak mempu- nyai status kewarganegaraan A, sebab ia bukan keturunan orang yang berkewarganegaraan A. Orang tersebut juga tak berkewarga- negaraan B karena ia tidak lahir diwilayah negara B. 2. Bipatride (Dwi Kewarganegaraan), adalah istilah untuk orang-orang yang memiliki status dua kewarganegaraan atau berkewarganegara-

an ganda. Contohnya: Seseorang lahir di negara X yang menganut asas ius soli, sedangkan ia keturunan dari orang yang berkewarganegaraan Y yang menganut asas ius sanguinis. Orang tersebut berkewarganegaraan X karena ia lahir di negara X dan orang tersebut juga berkewarganegaraan Y sebab ia keturunan dari orang yang berkewaganegaraan Y.

3. Multipatride, adalah istilah untuk orang-orang yang mempunyai status wargaganegaraan lebih dari dua. Penggunaan asas kewarganegaraan berdasarkan perkawinan yang berbeda antar negara (perkawinan campuran) dapat menyebabkan seseorang menjadi apatride atau bipatride khususnya bagi wanita. Melalui perkawinan campuran seorang wanita juga dapat mempunyai status kewarganegaraan ganda atau lebih (bipatride atau multipatride), bahkan sebaliknya bisa kehilangan satatus kewarganegaraannya atau tak berkewarganegaraan (apatride). Contoh, negara A menganut asas kesatuan hukum, sedang negara B menganut asas persamaan derajad. Ada laki-laki berkewarganegaraan A menikah dengan wanita yang berkewarganegaraan B, maka wanita itu dapat bersatatus bipatride. Ia menjadi warganegaraan A, karena ikut suaminya serta ia juga masih menjadi berkewarganegaraan B, karena asas persamaan derajad. Sebaliknya bisa menjadi apatride, jika wanita itu berkewarganegaraan A, sedang suaminya berkewarganegaraan B. Sedangkan di negaranya sendiri (A), kewarganegaraannya telah lepas karena bersuamikan de- ngan orang asing. Sedangkan di negara suaminya (B), ditolak kewar- ganegaraannya, sebab menurut ketentuan suatu perkawinan (asas per- samaan derajad) tidak menyebabkan perubahan satatus kewarganega- raan masing-masing-masing pihak. Munculya kasus apatride/bipatride telah diupayakan untuk dicegah oleh masing-masing negara, karena status apatride maupun bipatride akan menjadikan permasalahan dan merugikan negara, Berkaitan dengan asas kewarganegaraan tersebut, maka dalam suatu negara terdapat 2 stelsel kewarganegaraan, yakni: 1). Stelsel Aktif, yakni orang harus aktif melakukan tindakan-tindakan hukum tertentu untuk dapat menjadi suatu warganegara dari suatu negara tertentu. Ini disebut pewarganegaraan aktif. 2). Stelsel Pasif, yakni seseorang dengan sendirinya dianggap sebagai waragnegaranya, walaupun tanpa melakukan tindakan hukum ter-

tentu untuk menjadi warganegara dari suatu negara (misal: dalam asas perasamaan hukum seorang wanita secaraotomatis akan men- jadi warganegara sama dengan warganegara suaminya, atau bayi yang lahir pada negara yang menganut asas ius soli. Dengan adanya dua stelsel tersebut, maka terdapat dua kelompok/jenis warganegaraa, yaitu: a). Warganegara by operation of law atau warganegara dengan stelsel pasif. Bahwa status kewarganegaran yang dia peroleh, karena berlakunya hukum atau karena adanya peristiwa hukum. b). Warganegara by registration atau warganegara dengan stelsel aktif. Mereka memperoleh status kewarganegaraan karena me- lalui proses dan prosedur hukum yang telah ditentukan/hukum yang berlaku di negara itu. Dalam pewarganegaraan aktif, seseorang dapat menggunakan hak opsi, yakni hak untuk memilih atau mengajukan kehendak menjadi warganegara. Sedang pewarganegaraan pasif, seseorang yang tidak mau diwarganegarakan/tak mau dijadikan warganegara suatu negara dapat mengajukan hak repudasi, yakni hak untuk menolak suatu kewarganegaraan (misal, seorang wanita yang menikah berdasarkan asas kesatuan hukum) 2). Perolehan dan Kehilangan Kewarganegaraan Menurut Jimly Asshiddiqie (2006) ada 5 (lima) prosedur/me- tode dalam memperoleh satatus kewarganegaraan, Yakni: a). Citizenship by birt, yakni perolehan kewarganegaraan karena kelahiran, di mana orang yang lahir di wilayah negara itu di- anggap syah sebagai warganegaranya ( asas Ius Soli). b). Citizenship by descent, adalah perolehan kewarganegaraan seseo- rang karena faktor keturunan (genetik/darah), di mana seseorang yang lahir diluar wilayah negara apabila orang tuanya adalah warganegara dari negara tersebut (asas Ius Sanguinis). c). Citizenship by naturatization, adalah pewarganegaraan orang asing ataskehendaknya sendiri mengajukan menjadi warganegara suatu negara, dengan memenuhi persyaratan yang ditentukan. d). Citizeship by registration, adalah pewarganegaraan bagi mereka yang telah memenuhi syarat dianggap cukup dilakukakn melalui prosedur administrasi yang lebih sederhana dibandingkan dengan cara naturalisasi. Misal, seorang wanita asing yang menikah dengan warganegara

Indonesia, maka proses pewarganegaraannya tidak harus melalui cara naturalisasi, tetapi cukup dengan cara registrasi. e). Citizenship by incorporation of teritory, adalah proses pewarga- negaraan karena terjadinya perluasan wilayah negara. Misalnya, ketika Timor Timur/Timor Leste menjadi bagian dari wilayah negara Indonesia tahun 1976, maka proses pewarganegaraan warga di wilayah tersebut dilakukan melalui prosedur ini. 3). Konsekuensi Hukum dari Status Kewarganegaraan Konsekuensi (akibat) hukum dari status hukum dari kewarganega- raan yang berkaitan dengan isi material (hak dan kewajiban) ke- wargaganegaraan. Artinya hak dan kewajiban warganegara apa saja yang muncul dari status yang nisbatkan tersebut. Ketentuan seperti itu umumnya terbingkai dalam rumusan-rumusan hukum negara yang bersangkutan. Namun demkian setidaknya konsekuensi yuridis tersebut mencakup dalam tiga (3) ranah hukum, yakni: hukum publik, hukum kekeluar- gaan dan hukum perdata internasional (Handoyo, 2003). a). Hukum Publik Di bidang hukum publik menunjukkan bahwa status hukum kewarganegaraan seseorang merupakan bukti keanggotaan mere- ka dalam suatu negara, sejalan dengan prinsip resiprokalitas (mereka mempunyai hak-hak tertentu dan sekaligus mempunyai kewajiban-kewajiban tertentu pula). Hak-hak itu pada umumnya terdiri atas hak warganegara dan hak asasi manusia, sedangkan kewajiban mencakup kewajiban warganegara dan kewajiban dasar manusia. Dalam dimensi publik, negara berkewajiban me- lindungi hak-hak warganegara, sebaliknya setiap warganegara harus tunduk pada hukum-hukum negara (ada hubungan timbal balik antara warganegara dan negara). Hubungan timbal balik antara negara dan warganegara terlihat jelas di dalam penegrtian keadilan yang dikemukakan oleh Aristoteles, yakni: 1). Keadilan Distributf (membagi), yakni keadilan yang diberikan pemerintah/ negara kepada rakyat, masyarakat maupun warganegara (misal: makna yang terkandung di dalam alinea ke 4 Pembukaan UUD 45), ke 2). Keadilan Legal, yakni keadilan yang diberikan rakyat, masyarakat dan warganegara kepada pemerintah/negara (misal: bayar pajak, bela negara), sedang yang ke 3). Keadilan Komutatif, yakni keadilan yang diberikan antar individual, warganegara (hukum privat).

Filsuf Inggris Johm Locke (cikal bakal perumusan hak asasi ma- nusia) mengatakan, bahwa manusia sejak lahir secara inheren memiliki hak-hak alamiah dan pemikiran bahwa penguasa harus memerintah dengan persetujuan rakyat. Menurut dia, hak asasi meliputi: hak hidup (the right of life), hak merdeka (the right to liberty) danhak milik (the right to property). Hak asasi pada umumnya dicantumkan dalam konstitusi berbagai negara sebagai ciri dari pemerintahan yang konstitusional. Konstititusi dianggap sebagai jaminan yang paling efektif (negara hukum), bahwa kekuasaan tidak akan disalahgunakan dan hak asasi akan ditaati dan tidak dilanggar. Misal, di Indonesia dicantumkan pada Alinea Pertama Pembuka- an UUD 45, yang berbunyi: sesunguhnya kemerdekaan itu............ ........................, karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan, yang juga tercantum pada pasal 27 sampai pasal 34 UUD 45. Hak asasi manusia yang terumuskan dalam konstitusi pada dasar- nya merupakan hak-hak dasar warganegara, namun demikian hak- hak warganegara belum tentu hak asasi manusia. Hak asasi ber- sifat mendasar dan universal, walaupun konstitusi negara tak mencantumkannya. Sebaliknya hak-hak warganegara bersifat par- tikular (khusus), artinya oleh/ada karena konstitusi dari suatu negara. Hak dan kewajiban warganegara suatu negara bisa berbeda dengan hak warganegara lain, dikarenakan perbedaan rumusan dan konstitusinya. Hak dan kewajiban warganegara di Indonesia diatur pada pasal: 27, 28. 29. 30. 31, 32, 33 dan 34 UUD 45. Konsep Locke ini akan mengilhami dan mendasari munculnya berbagai konsep dan deklarasi hak asasi manusia di seluruh dunia (Inggris, Perancis, Amerika dan PBB). Mengenai hak asasi manusia akan kita bahas lebih rinci dalam bab tersendiri. b). Hukum Kekeluargaan Di bidang hukum kekeluargaan, status seseorang sebagai warganegara membawa akibat adanya kepastian hukum (security of principle) mengenai hak dan kewajiban yang berkaitan dengan masalah hubungan antara anak dan orang tua, pewarisan, perwa- lian dan pengampuan. Prinsip ini hanya dibentuk dan implementa- tasikan dalam kaitannya dengan status seseorang bila berhadapan

dengan negara atau menundukkan diri pada hukum negara. Di sisi lain seorang warganegara juga bisa tunduk dan mengikatkan diri pada hukum adat, hukum agama, sebab mereka juga menjadi ang- gota dari komunitas itu. Jika demikian halnya maka persoalan ini (hukum adat dan hukum agama)tidak lagi berkaitan dengan hukum kewarganegaraan yang disusun oleh negara c).Hukum Perdata Internasional Di bidang hukum perdata internasional dikenal asas nationaliteit principles, artinya status hukum seorang warganegara dalam hak dan kewajiban melekat di manapun dia berada. Di lihat dari aspek hukum, maka keberadaan hukum nasional suatu negara tetap mempengaruhi kebaradaan sikap dan prilaku seorang warga negara, walaupun dia berada di luar yurisdiksi negara yang ber- sangkutan, prinsip ini penting mengingat aspek kewajiban negara untuk memberikan perlindungan kepada warganya dimanapun dia berada. Namun prinsip ini cukup sulit untuk diterapkan kepada warganegara yang berada di luar yurisdiksinya yang mengalami persoalan hukum(misal, keberadaan TKI dan TKW di luar negeri). TKI dan TKW di luar negeri). Hal ini disebabkan karena hukum internasional juga mengenal prinsip domisili, yang menyatakan bahwa status hukum mengenai hak dan kewajiban seseorang di- tentukan oleh hukum di mana dia berada. Jika prisip ini berlaku maka akan terjadi dilema hukum. Disatu pihak ada kewajiban negara untuk melindungi warganya, di sisi lain negara juga harus menghormati hukum negara lain dengan alasan aspek yurisdiksi (hukun international). Langkah yang ditempuh antara lain: dengan mengadakan perjanjian ektradiksi (misal WNI yang me- lakukan kejahatan di luar negeri), perundingan/minta pengampun- an, keringanan dan penghapusan hukuman (TKI danTKW).

BAB. IV. WARGANEGARA INDONESIA A. Siapakah Warganegara Indonesia Dalam bab sebelumnya telah dijelaskan, bahwa setiap negara yang ber- daulat (merdeka) berwenang untuk menentukan siapa saja yang berhak men- jadi warganegaranya. Setiap negara memiliki kewenangan sendiri untuk menentukannya, sebagai- mana yang ditetapkan dalam konstitusi negara masing-masing. Perihal tentang siapa saja yang berhak, bisa dan boleh menjadi warganegara

Indonesia, negara juga telah menentukannya. Ketentuan tersebut tercantum dalam pasal 26 UUD 45, adalah sebagai beriku: (1) Yang menjadi warganegara ialah orang-orang bangsa Indonesia asli dan orang-orang bangsa lain yang disahkan dengan undang-undang sebagai warganegara

(2) Penduduk adalah warganegara Indonesia dan orang asing yang ber- tempat tinggal di indonesia. (3) Hal- hal mengenai warganegara dan penduduk diatur dengan undang- undang. Berdasarkan penjelasan di atas, maka dapat diketahui bahwa orang yang dapat/boleh dan berhak menjadi warganegara Indonesia adalah: a). Orang-orang bangsa Indonesia asli b). Orang-orang bangsa lain yang disahkan dengan undang-undang sebagai warganegara Pengertian orang-orang bangsa indonesia asli mengalami perubahan dan perkembangan. Pada awalnya yang dimaksudkan dengan Orang-orang bangsa Indonesia asli, adalah orang-orang yang merupakan golongan pri- bumi dan keturunannya. Orang Indonesia asli adalah golongan orang-orang mendiami bumi nusantara (Indonesia) secara turun temurun sejak Jaman Tandun. Yang dimaksud Jaman Tandun, adalah jaman di mana tanah dijadi- kan sumber hidup, manunggal dengan dirinya sendiri, dipercaya dan dijaga oleh danyang-danyang desa, yang mempunyai sifat magis-religius, diamanat- kan oleh nenek moyangnya untuk dijaga dan dipelihara, sebagai tempat me- nyimpan jazadnya setelah berpindah ke alam baka (Paulu, 1983). Perkataan Asli di atas mengandung syarat biologis, yakni bahwa asal- usul keturunan sesorang akan menentukan kedudukan sosial seseorang itu, antara yang asli atau yang tidak asli. Keaslian ditentukan oleh turunan atau hubungan darah antara yang melahirkan dengan yang dilahirkan. Dengan demikian penentuan keaslian bisa didasarkan atas tiga (3) alternatif, yakni: a). Turunan atau pertalian darah (geneologis) b). Ikatan pada tanah atau wilayahnya (territorial) c). Turunan atau pertaliandarah dan ikatan pada tanah atau wilayah (geneologis-territorial) Jika apabila tiga alternatif itu dijadikan sebagai dasar pemahanan tentang Orang-orang bangsa Indonesia asli, maka pengertian itu dapat diartikan pengertian antroplogis (ada ikatan ras, darah dan etnik) dan juga pengertian sosiologis ( ada kaitan dengan tanah, wilayah dan lingkungan alam). Pengertian Orang-orang bangsa Indonesia asli seperti yang dicontohkan di

atas, akan menimbulkan penafsiran yang ambigu (multi tafsir) yang dikemu- dian hari akan menjadi probematik dari ranah hukum. Penafsiran yang abigu ini dapat dipahami antara lain, adalah sebagai berikut (Handoyo, 2003): (1) Orang-orang yang berikut keturunannya yang telah ada di Indonesia sejak Indonesis menyatakan kemerdekaannya pada tanggal 17 Agustus 1945; ataukah (2) Orang-orang sejak peradaban Indonesia terbentuk sudah ada di bumi nusantara, termasuk di dalamnya Phitecantropus Paleo Javanicus atau Homo Soloensis yang fosilnya ditemukan di Sangiran dan di sepanjang Sungai Bengawan Solo; ataukah (3) Orang-orang yang pada prinsipnya sebagai cikal bakal nenek moyang sebagai pembentuk bangsa Indonesia yang berarti jika ditinjau dari aspek rasnya; ataukah (4) Orang-orang yang di dalam sejarah bangsa Indonesia berasal dari Yunan Utara di Daratan China serta pedagang dari Gujarat. Problema sosiologis yuridis ini akan berkembang hukum kewargane- garaan Indonesia memang menimbulkan persoalan terutama masalah diskriminasi penegakan hukum terhadap warganegara yang dianggap bukan orang-orang bangsa Indonesia asli. Problem ini pada akhirnya diupayakan untuk diatasi. Pada perekembangan terakhir melalui Undang-Undang No. 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia ditemukan, bahwa yang dimaksud dengan: orang-orang bangsa Indonesia asli adalah orang Indonesia yang menjadi warganegara Indonesia sejak kelahiran- nya dan tidak pernah menerima kewarganegaraan lain atas kehendak- nya sendiri. Adapun sejarah perkembangan kewarganegaraan Indonesia, adalah sebagai berikut: 1). Kewarganegaraan Indonesia Masa Pra Kolonial Konsep warganegara masa pra kolonial di Indonesia sulit dicari dan ditemukan rujukannya, kecuali dengan menyelusuri kehidupan kerajaan- kerajaan di Indonesia, itupun tidak banyak mengulas masalah kewargaan. Sebagaimana kita ketahui sebelum bangsa Barat (kolonial) datang ke wilayah Indonesia (dulu nusantara), sudah ada kerajaan-kerajaan, diantara- nya kerajaan-kerajaan besar itu, adalah: kerajaan Sriwijaya, Majapahit dan Mataram Islam. Pengetahuan tentang kerajaan-kerajaan itu bersumber dari: prasasti, kitab dan situs-situs peninggalan kerajaan.

Kehidupan bangsa Indonesia pra kolonial sudah ditandai dengan telah tumbuhnya berbagai suku bangsa (etnic) yang sebagian secara otonomik tidak di bawah kekuasaan suatu kerajaan, misal suku di Papua, sedangkan etnis yang lain (Jawa, Sumatra, Kalimantan, Sulawesi, Bali, NTB) yang secara politis berada di bawah kekuasaan raja, bahkan suku-suku bangsa itu telah ada terlebih dahulu sebelum ada kerajaan-kerajaan. Sampai saat ini suku-suku bangsa tersebut masih tetap bertahan, walaupun telah memasuki identitas politik baru serta ada di bawah kekuasaan negara nasional (NKRI). Struktur masyarakat Indonesia ditandai dengan adanya struktur hori- sontal dan vertikal (Nasikun, 1980; Suriakusumah 2007). Yang dimaksudkan struktur horisontal dalam struktur masyarakat, adalah terdapatnya beragam suku bangsa di Indonesia termasuk keragaman agama yang dianut serta adanya ras di dalam suku-suku bangsa. Sedangkan dari struktur vertikal ditandai dengan adanya lapisan-lapisan masyarakat (stratifikasi sosial). Struktur vertikal ini terjadi, karena hal-hal berikut ini:

(a) Faktor ekonomi, yaitu yang memiliki kekayaan dan yang miskin,(b) Faktor tanah, yaitu yang merupakan pemilik tanah (tuan tanah atau

juragan) yang kaya dan mereka yang hanya mengandalkan fisiknya saja untuk mengolah tanah (buruh), (c) Faktor kekuasaan, yaitu mereka yang memiliki kedudukan tinggi, menengah dan rendahan dalam birokrasi pemerintahan kerajaan, (d) Faktor keturunan, yaitu yang mereka yang termasuk keturunan bang-

sawan (ningrat, darah biru) dan mereka yang hanya merupakan rakyat jelata (hamba sahaya atau kawulo alit).

Stuktur vertikal pada masyarakat Indonesis lama (prakolonial) pada umumnya tampak sekali dan berusaha untuk dipertahannkan secara kuat. Seseorang yang berasal dari bangsawan/ningrat, pada umumnya memiliki kekuasaan, tanah dan kekayaan, sedangkan rakyat jelata (kawulo alit) tidak punya kekuasaan, tanah dan kekayaan (miskin). Dari sini muncul dua golongan masyarakat, yakni: mereka yang berada di lapisan atas, karena mempunyai kekuasaan, tanah (tuan tanah) dan kekayaan, sedangkan orang- orang yang berada di tingkat/lapisan bawah, adalah mereka yang tak punya kekuasaan, tanah maupun kekayaan (orang miskin), mereka hanya punya tenaga fisik sebagai buruh. Warisan masa lalu tentang struktur masyarakat sebagian besar di Indonesia, apalagi di masyarakat Jawa pada dasarnya bersifat hierarkis (Affan Ghafar, 1999). Ada pemilahan yang tegas antara mereka yang memegang kekuasaan dengan orang kebanyakan.

Contoh hal ini diperlihatkan dengan cara berekspresi dalam bahasa, untuk Kalangan kebanyakan jika bertutur kata dengan kalangan priyayi harus dengan bahasa yang halus (kromo inggil), sedangkan kaum priyayi dalam bertutur kata dengan orang kebanyakan cukup dengan bahasa biasa/kasar (ngoko). Pemilahan ini juga terlihat dalam istilah untuk kalangan penguasa (wong gedhe/penggede), sedang untuk rakyat biasa/jelata disebut wong cilik. Hierarkis yang tegas ini juga terdapat pada hubungan warga yang bersifat Patronage (pola hubungan yang bersifat/patron-client). Hubungan ini bersifat individual, yakni antara patron dan clien t akan ter- jadi interaksi yang bersifat resiprokal (hubungan timbak balik dengan mempertukarkan sumber daya/exchange of resources yang dimiliki masing- masimg pihak. Si patron memiliki sumber daya yang berupa: kekuasaan, kedudukan/jabatan, perlidungan, perhatian dan rasa sayang, tak jarang pula sumber daya itu berupa materi (harta kekayaan, tanah garapan dan uang), sementara Si client hanya mempunyai sumber daya berupa: tenaga, dukung- an dan loyalitas. a. Sistem Masyarakat Pada Masa Kerajaan Majapahit Lapisan masyarakat yang hierarkis dapat ditemukan pada kehidupan sosial budaya pada masa kerajaan di Indonesia, meskipun dengan pola yang berlainan. Masyarakat pada jaman dibedakan atas lapisan-lapisan(strata), (strata), yang pembedaannya lebih bersifat statis. Walaupun di Majapahit terdapat empat kasta seperti di India yang sering disebut dengan Catur Warna, tetapi hanya bersifat teoritis hanya di literatur istana saja. Pola ini dibedakan atas empat (4) golongan masyarakat, yakni: Brahmana, Ksatria, Waisya dan Sudra (Catur Warna), selain itu ada lapisan lain di luar lapisan ini yang sering disebut Panca Warna, yakni:Candala, Mleccha dan Tuccha (Mulyana, 2006). Adapun tugas dan fungsi dari kasta, adalah sebagai berikut: 1). Kasta Brahmana (Kaum Pendeta) Kasta ini terdiri dari kaum brahmana (pendeta) yang mempunyai kewajiban menjalankan dharma, yakni mengajar, belajar, melakukan persajian untuk diri sendiri atau orang lain, membagi dan menerima derma (sedekah) untuk mencapai keabadian dan kesempurnaan hidup serta dapat bersatu dengan Brahman (Tuhan). Semua rokhaniawan menghambakan dirinya kepada raja yang disebut sebagai wikuhaji. Para rokhaniawan biasanya tinggal di sekitar wilayah bangunan agama, yakni mandala (nama komunitas agama di desa, di daerah tepencil di bukit yang berhutan), dharma, sima (adalah daerah

yang menjadi milik kaum agama dari berbagai sekte, tidak langsung di bawah kekuasaan pejabat istana manapunn) serta vihara dan lain- lain. 2). Kasta Ksatria merupakan keturunan dari pewaris tahta (raja) kerajaan yang terdahulu, yang mempunyai tugas memerintah tampuk kekua- saan. Keluarga raja dapat dikatakan keturunan dari raja Singosari dan Majapahit yang dapat terlihat dari silsilah keluarga-keluarga yang ter- sebar di seluruh negeri (Nusantara), karena mereka melakukan sistem poligami secara meluas yang disebut dengan wargahaji atau sakaparek selain itu juga mempunyai daerah kekuasaan (taklukan/jajahan) di wi- layah lain. Para bangsawan yang memerintah di daerah ruang lingkup kerajaan dapat dikatakan memiliki hubungan (keluarga, persahabatan atau perjanjian) dengan keluarga raja yang terdahulu, yang disebut sebagai parawangsya. Semua anggota keluarga raja masing-masing akan diberi nama atas gelar, umur dan fungsi mereka di dalam masya- rakat. Pemberian nama pribadi dan nama gelar terhadap keluarga raja didasarkan atas nama daerah kerajaan yang mereka kuasai sebagai kuasasi sebagai wakil raja. 3). Kasta Waisya merupakan kaum yang menekuni bidang pertanian dan perdagangan. 4). Kasta Sudra, yakni kasta yang paling rendah tingkatannya dalam catur warna, yang hanya mempunyai kewajiban untuk mengabdi kepada kasta yang lebih tinggi kedudukannya, terutama kepada golongan (kasta) Brahmana. 5). Golongan (kasta) terbawah yang tidak termasuk dalam catur warna dan sering disebut sebagai panca warna (warna ke lima), yang terdiri dari kaum: candala, mleccha dan tuccha. - Yang dimaksud candala, adalah anak dari hasil campuran antara laki-laki (kasta sudra) dengan wanita (kasta yang ada di atasnya: brahmana , ksatria , waisya dan sudra), sehingga si anak mempu- nyai status yang lebih rendah dari dari ayahnya. - Yang dimaksud Mleccha, adalah semua bangsa di luar Arya tanpa memandang bahasa dan warna kulit, yakni para pedagang asing (China, India, Champa, Siam dan lain-lain), yang tak menganut agama Hiundu. - Yang dimaksud Tuccha, adalah golongan yang merugikan masya- rakat, salah satu contohnya adalah penjahat. Ketika mereka mela- kukan tatayi (membakar rumah, meracuni sesama, mananung, me- rusak, mengamuk dan mefitnah kehormatan perempuan). Dari aspek kedudukan wanita dalam masyakat Majapahit, mereka mempunyai status yang lebih rendah dari para lelaki. Hal ini terlihat pada

kewajiban mereka untuk menyenangkan dan melayanai para suami mereka saja. Wanita tak boleh ikut campur dalam urusan apapun, selain mengurusi dapur rumah tangga mereka. Di dalam undang-undang Majapahit pun para wanita yang sudah menikah tidak boleh bercakap-cakap dengan lelaki lain atau sebaliknya. Hal ini bertujuan untuk menghindari pergaulan bebas dan perselingkuhan diantara kaum pria dan wanita. b. Sistem Masyarakat pada Masa kerajaan Mataram (Islam) Konsep kekuasaan di kerajaan Mataram, adalah ajaran ke-agungbi-

natara-an. Bahwa raja Mataram adalah pembuat undang-undang, pelaksa- na undang-undang dan sekaligus menjadi hakim. Kekuasaan raja Mataram begitu besar (Hangabehi), dihadapan rakyat raja adalah sebagai pemilik harta maupun manusia, sehingga dikatakan sebagai wenang wisesa ing sanagari (memiliki kewanangan tertinggi di sekuruh negeri). Raja Mataram (Islam) yang pertama, adalah Panembahan Senopati, dengan gelar: Kalifatullah, abdul rachman, senopati ing alaga, sayidin patagama. Masyarakat di atur berdarakan cara pandang agraris, yang kemudian mela- hirkan masyaraka feodal. Masyarakat disusun atas penguasaan tanah yang terpusat pada raja. Untuk mendukung kekuasaannya raja membagikan tanah kepada pembantunya dengan memberikan lungguh (bengkok) yang luasnya diukur berdasarkan tinggi rendahnya kedudukan dan hitungan kar- ya atau cacah. Dengan sarana tanah inilah masyarakat dibentuk menjadi masyaratkat agraris dan feodal. Pelapisan sosial masyarakat pada masa kerajaan Mataram kurang lebih ter- diri atas tiga (3) lapisan, yakni: a). Golongan atas, yakni raja beserta keluarganya b). Golongan menengah, yakni ulama kraton dan para abdi dalem kraton termasuk para pegawai kraton yang ditempatkan di wilayah sekitar kera- an atau yang ditempatkan di wilayah kekusaan raja, tetapi tempatnya jauh dari kerajaan, misal sebagai adipati di daerh tertentu. c). Golongan rakyat jelata sebagai kawula alit yang umumnya berprofesi sebagai buruh/buruh tani (pengolah tanah dan petani. Pada waktu Belanda datang ke wilayah Indonesia (nusantara), struktur masyarakat Indonesia pada umumnya dan Jawa pada khususnya bercorak/ bersifat: hierarkis, patronage dan feodal ini tetap dipertahankan. Hanya bedanya golongan/lapisan atas bukan lagi kasta teringgi (brahmana) atau raja, tetapi digantikan oleh pemerintahan Hindia Belanda, yang ter- cermin dalam prilaku orang-orang Belanda, bahkan lebih feodal dari sebe- lumnya. 2. Kewarganegaraan Indonesia Pada Masa Kolonial Ketika Belanda datang ke wilayah Indonesia (Nusantara). Wilayah itu

disebutnya Indie (India), sebagai terjemahan dari bahasa Inggris Indies. Serupa dengan kata itu muncullah istilah Achster-Indie atau India Belakang atau sekarang disebut Asia tenggara, yang berbeda dengan Voor-Indie atau India Muka atau Asia Selatan atau India yang sekarang (Hari Poerwanto, 2003). Selain itu sampai akhir abad 19 juga dipakai istilah Indische Archiple atau Kepulauan Indie, dan baru tahun 1910 secara resmi wilayah jajahannya di- sebut dengan: Nederlandsch-Indie (India- Belanda/Hindia-Belanda). Sedangkan istilah Inladers (bahasa Belanda) sebutan untuk orang Pribumi (penduduk asli) yang mempunyai dan mediami wilayah itu. Orang Belanda sendiri menyebut dirinya sebagai Nederlander. Istilah Inlanders selanjutnya dimasukkan ke dalam undang-undang Hindia Belanda, yakni Regerings Reglement (RR) tahun 1854, pemerintahan kolonial membagi pendududuk Hindia Belanda menjadi tiga (3) golongan, yakni: 1). Europeanen (Golongan orang-orang Eropa), 2). Vreemde Oosterlingen (Golongan Timur Jauh, yakni:: Arab, India, Tionghoa, kecuali Jepang) 3). Inlanders (Golongan Penduduk Asli). Menurut Mr. Schrieke pembagian ini berdasarkan perbedaan nationalieit bukan berdasarakan ras criterium, tetapi kenyataannya tetap berdasarkan pada kriteria ras. Kemudian tahun 1892 kolonial Belanda mengeluarkan undang-undang Wet de Nederlanderschap, yang isinya bahwa mereka yang berada di wilayah Nederland Indie (Indonesia) termasuk Inladers dan yang disamakan dengan Inlanders tidak akan diberi status Nederlander. Sedangkan keturunan Tionghoa, Arab dan India yang dilahirkan di Suriname dengan undang- undang tersebut akan memeperoleh status Nederlander. Sedangkan orang Jepang yang di lahirkan di wilayah Nederland Indie (Indonesia) akan men- dapatkan status Nederlander. Kondisi politil akibat kebangkitan nasionalisme Asia yang dipelopori oleh Dr. Sun Yat Sen memaksa Belanda untuk mengeluarkan Wet op de Nederlandsch onderdaanschap (undang-undang Kawula Belanda) pada tanggal 10 Februari 1910 dengan tujuan untuk mengurangi jumlah orang Tionghoa yang berada di daerah hukum perwakilan pemerintahTiongkok, sehingga intervensi Tiongkok dapat dikurangi. Oleh karena itu pemerin- pemerintahan Belanda menerapkan ius soli dan stelsel pasif dengan tidak memberikan hak repudiatie (hak menolak kewarganegaraan). Dengan demikian orang Tionghoa yang lahir di wilayah hukum Hindia Belanda otomatis akan berstatus dwi-kewarganegaraan, karena pada saat yang sama Dinasti Qing mengapdosi ius sanguinis sebagai asas kewargane- garaan yang diumumkan pada tahun 1909. Pemerintahan Belanda tetap memberlakukan sistem pemisahan penduduk

berdasarkan kategori rasial saat Indische Staatsinricting (IS) mengganti- kan Regerings Reglement (RR), yakniUndang-Undang DasarPemerintah- an Jajahan Belanda (Djamali. 2005, p. 21). Di dalam Pasal 163 IS meng- kategorikan penduduk menjadi: golongan Nederlanders/Eropeanen(terma- suk Jepang), Uitheemsen (Vreemde Oosterlingen/Timur Asing (Arab dan Tionghoa) serta Inheemsen (pengganti istilah Inlander). Indische Staatregeling (IS) tahun 1927 membagi penduduk Hindia belanda menjadi tiga (3) golongan, yakni: a). Golongan Eropa (Nederlanders/Europeanen, terdiri atas: 1. Bangsa Belanda 2. Bukan bangsa belanda tetapi dari Eropa 3. Orang bangsa lain yang hukum keluarganya sama dengan golongan Eropa. b). Golongan Timur Asing (Uitheemsen/Vreemde Oosterlingen), terdiri atas:

1. Golongan Tionghoa2. Gongan Timur Asing bukan China

c). Golongan Bumiputra/Pribumi (Inheemsen pengganti istilah Inlander), terbagi atas: 1. Orang Indonesia Asli dan keturunannya 2. Orang lain yang menyesuaikan diri dengan yang pertama. Oleh karena Hindia Belanda bukanlah suatu negara merdeka, tetapi bagi- an dari negara Belanda, maka wilayah itu tidak mempunyai warganegara. Menurut peraturan Pemerintah Hindia Belanda, penghuni tanah air wila- yah itu selain orang asing disebut kaulanegara Belanda (Kansil, 1984). Kaulanegara Belanda dibedakan menjadi: 1). Kaulanegara Belanda terdiri dari orang Belanda 2). Kaulanegara Belanda bukan orang Belanda, tetapi yang termasuk Bumiputra (Inlander) 3). Kaulanegara Belanda bukan Belanda, tetapi juga bukan termasuk Bumiputra, misal orang Timur Asing (China, India, Pakistan dan lain- lain) Pengaturan penduduk dan kewarganegaran masa kolonial di atas lebih di- dasarkan atas kategori ras. Pengkategorian berdasarkan ras ini dianggap merugikan banyak pihak, terutama bagi orang-orang pergerakan masa itu, karena, karena dinilai tidak memupuk rasa persatuan para putera bangsa (bumiputra). Pengkategorian ini juga berakibat pada perbedaan perlaku- an hukum yang berbeda terhadap penduduk wilayah yuridis Hindia Belanda. Pada tahun 1936 muncul Petisi Roep, bersama dengan Yo Heng Kam dan Pranowo yang menuntut sebuah undang-undang kewarganega- garaan di Hindia Belanda (Indonesia) dengan menghapus pembagian

penduduk bersadarkan ras. Kelemahan petisi ini adalah penggunaan ka- tegori perbedaan strata sosial dan intelelektual sebagai pengganti rasial. Gagasan sistem satu kewarganegaraan tanpa diskriminasai kembali mun- cul dalam volkstsraad (suara rakyat) yang diajukan oleh Soetarjo(Petisi Soetarjo), yang isinya antara lain, menyatakan bahwa syarat untuk diakui Sebagai warganegara dapat ditentukan berdasarkan: lahir di Indonesia, asal keturunan, orientasi hidup dikemudian hari. Jadi semua orang Indonesia dan semua golongan Indo, yang dilahirkan di Indonesia dan orang asing, yang bersedia mengakui negeri ini sebagai tanah airnya, bersedia memikul segala konsekuensinya dari pengakuan ini, dinyatakan sebagai warganegara (Kenken, 2006). Pada masa sidang BPUPKI yang pertama, perihal warganegara dan penduduk Indonesia juga dibahas, terutama berkisar tentang kewargane- garaan bagi orang-orang keturunan, misalnya Pranakan Tionghoa, Arab, yakni bagaimana masa depannya kewarganegaraan bagi mereka, mana- kala Indonesia sudah merdeka. Pada sidang BPUPKI yang ke dua (2) tanggal 11 Juli 1945, anggota Liem Koen Hian menyatakan pendapatnya: .... maka pemuka-pemuka bangsa Tionghoa di Malang dan Surabaya telah meminta kepada saya, agar disampaikan kepada Badan Penyelidik supaya di waktu mengadakan undang-undang dasar, biar ditetapkan saja, bahwa semua orang Tionghoa menjadi warganegara Indonesia. Juga di Bandung Tuan Ketua telah dinyatakan pikiran-pikiran begitu.... (Risalah Sidang BPUPKI dan PPKI). Menanggapi isi pidato Liem Koen Hian Wongsonegoro (anggota),menya- kan bahwa hal ini tidak dapat dibantah sebagai hal yang benar atau salah, tetapi kemungkinan diantara saudara-saudara bangsa Tionghoa ada yang tidak mau menjadi pendduduk asli (warganegara). Oleh karena itu perlu diciptakan status baru buat saudara kita bangsa Asia Timur Raya. Selanjutnya dia mengatakan: ” Dimana tempatnya formeel itu saya serahkan, akan tetapi dapat kami sampaikan saran, yang pada waktu ini disetujui oleh para kawan anggota Jawa Tengah segenapnya, yaitu mengatakan status baru untuk saudara- saudara kita yang tidak masuk asli, juga tidak masuk orang asing, akan tetapi termasuk golongan kita, bangsa Asia Timur Raya.....(Risalah sidang BPUPKI & PPKI, 1998). Salah satu keturunan Arab Baswedan (anggota),menyatakan bahwa orang- orang Arab yang tinggal di Indonesia sebagian besar telah merupakan per- anakan, sedangkan orang-orang Arab totok sudah amat sedikit. Oleh karena itu orang-orang Arab minta supaya mereka dimasukkan ke dalam rakyar Indonesia. Pada intinya Baswedan, meminta kerakyatan Indonesia meliputi peranakan Arab dan peranakan lainnya, dengan, mem- berikan kesempatan bagi yang tidak setuju supaya boleh menarik diri dari

pemasukanj ini (Risalah BPUPKI & PPKI, 1998). Pembicaraan tentang warganegsra Indonesia ini pada akhirnya ter- wujud dan terumuskan pada pasal 26 UUD 45 Negara Indonesia. Soepomo ketika menyampaikan pendapat mengenai rancangan pasal ter- sebut menyatakan sebagai berikut: ” Tentang warganegara, lihatlah pasal 26 UUD 45: (1) Yang menjadi warna negara ialah orang-orang bangsa Indonesia asli dan orang-orang bangsa lain yang disahkan dengan undang-undang sebagai warga negara. (2) Syarat mengenai kewarganegaraan ditetapkan dengan Undang- undang. Sedangkan pendapat lain (Aliran kedua) menyatakan, bahwa hendaknya orang-orang peranakan (Indo, Arab, Tionghoa) yang sungguh ingin men- jadi warganegara Indonesia, hedaknya memberitahukan keinginannya itu. Siapa yang tidak minta menjadi warganegar, dianggap orang asing. Berdasarkan hasil rumusan rancangan perihal kewarganegaraan pasal 26 UUD tersebut, terdapat beberapa hal penting, adalah sebagai berikut: 1). Kata bangsa Indonesia asli tetap dirujuk dan diakui yang nampaknya para anggota masih dipengaruhi oleh pembagian kewarganegaraan di jaman kolonial. Kata Indonesia asli juga menunjukkan ekspresi politik dari bangsa yang sebelumnya sebagai orang jajahan. Istilah tersebut tak Indonesia mudah begitu saja dihilangkan (pengalaman sejarah). 2). Perihal adanya orang-orang peranakan bangsa lain yang tinggal bahkan telah berkembang secara turun-temurun,hidup bersama sebagai bagian dari sejarah Indonesia yang perlu diakomodasi. 3). Tetap adanya pemberian kesempatan bagi orang-orang peranakan ter- sebut untuk menyatakan keinginan menjadi rakyat Indonesia atau tidak menjadi warganegara Indonesia. 4). Pengaturan yang lebih tentang kewarganegaraan, lebih baik dinyatakan dalam suatu undang-undang biasa. 3. Kewarganegaraan Indonesia Pascakolonial Ketika Indonesia merdeka tahun 1945, pengaturan tentang kewarga- negaraan yang disyahkan oleh PPKI pasal 26 UUD 45 pada tanggal 18 Agustus 1945 tidak mengalami perubahan dari rumusan rancangan hukum dasar yang dikemukakan oleh BPUPKI. Hal ini berarti pengaturan tentang kewarganegaraan tidak menjadi problem kebangsaan kala itu. Bisa juga juga karena adanya klausul yang menyatakan, bahwa pengaturan kewarga- negaraan lebih lanjut dan akan lebih baik jika diatur kemudian, melalui undang-undang biasa (Undang-Undang Kewarganegaraan). Sebagai tindak lanjut, kemudian pemerintah untuk pertama kalinya menge- sahkan undang-undang kewarganegaraan, yakni Undang-Undang No. 3

tahun 1946 yang berjudul Undang-Undang tentang Kewarganegaraan dan Penduduk Indonesia. Perihal warganegara, undang-undang ini telah mem- berikan pengakuan tehadap orang Indonesia asli (pribumi) dan bangsa lain menjadi warganegara, karena telah memenuhi ketentuan undang-undang. Sedangkan dalam hal pendududuk, undang-undang menyatakan bahwa yang namanya pendududuk Indonesia adalah: tiap orang yang berkedu- dukan dalam daerah Indonesia selama satu tahun berturut-turut. Undang-undang ini tidak memberikan ketentuan yang jelas mengenai pen- duduk Indonesia, sehingga yang berlaku dalam prakteknya adalah penggo- longan penduduk pada masa Hindia Belanda (IS 1927 pasal 163). Jadi meskipun secara yurisdi tidak berlaku, tetapi secara secara sosiologis penggolongan penduduk ini dirasakan oleh warganegara. Dengan amandemen UUD 45, penggolongan penduduk seperti pernyataan di atas sudah tak berlaku lagi. Maka berdasarkan hasil perubahan UUD 45, yang di dalam pasal 26 ayat (2) dinyatakan, bahwa penduduk negara Indonmesia terdiri atas, yaitu warganegara dan orang asing. Penduduk Negara Indonesia ialah tiap-tiap orang yang bertempat kedu- dukan di dalam daerah negara Indonesia. Untuk istilah pribumi (penduduk asli) dan non pribumi (warga keturunan/ peranakan) sudah tidak berlaku lagi. Istilah bangsa Indonesia asli yang diartikan sebagai orang pribumi/bumi putra dan keturunannya sudah tak dapat dipertahankan lagi. Sekarang istilah Bangsa Indonesia Asli diartikan sudah tidak lagi bersifat diskriminatif, yakni berdasarkan etnis tetapi di da- sarkan atas hukum. Menurut UU No. 12 tahun 2006, ditentukan bahwa yang dimaksud dengan bangsa Indonesia asli, adalah orang yang menjadi warganegara Indonesia sejak kelahirannya dan tidak pernah menerima kewarganegaraan lain atas kehendaknya sendiri. Sehingga dengan demikian istilah bangsa Indonesia asli bukan diartikan dalam pengertian sosiologis antropologis, tetapi merupakan pengertian yuridis. Telah terjadi perubahan paradigma kewarganegaraan dari penger- tian sosiologis antropologis menuju ke pengertian yuridis. Terjadinya perubahan ini juga telah diakomodasi dalam UUD 45. Misalnya dalam pasal 6 UUD 45 tentang persyaratan menjadi presiden Indonesia. Pasal 6 ayat (1) UUD 45 sebelum perubahan berbunyi ”Presiden ialah orang Indonesia asli, setelah diamandemen pasal tersebut berbunyi”Calon presiden dan calon Wakil Presiden harus seorang warganegara Indonesia sejak kelahirannya dan tidak pernah menerima kewarganegaraan lain karena kehendaknya sendiri, tidak pernah mengkhianati negara, serta mampu secara rokhani dan jasmani untuk melaksanakan tugas dan kewa- jiban sebagai Presiden dan Wakil Presiden”. Pernyataan harus seorang warga negara Indonesoa sejak kelahirannya dan tidak pernah menerima kewarganegaraan lain, menyiratkan konsepsi kewarganegaraan yuridis.

Perubahan ini juga sebagai penyesuaian dengan perkembangan masyarakat yang semakin demokratis, egaliter (equality before the law) dan berdasar- kan rule of law. Penggunaan istilah Pribumi dan Non Pribumi juga sudah tidak sesuai de- ngan perkembangan dan tuntutan jaman, terkesan diskriminatif dan berten- tangan dengan jiwa pasal 27 UUD 1945. Sebutan pribumi dan non pribumi rentan sebagai pemicu dan pemacu konflik horisontal dalam masyarakat Indonesia. Penghapusan istilah tersebut telah dilakukakn melalui inpres No. 26 Tahun 1988 tentang Penghentian Istilah Pribumi dan Non Pribumi da- lam Semua Rumusan dan Penyelenggaraan Kebijakan Perencanaan Pro- gram, ataupun Pelaksanaan Kegiatan Penyelenggaraan Pemerintahan. Dengan demikian untuk selanjutnya penduduk Indonesia hanya ada dua, yaitu Warganegara Indonesia dan Orang Asing yang bertempat tinggal di Indonesia. Tentang orang-orang bangsa lain yang disyahkan sebagai warganegara Indonesia adalah orang-orang peranakan Belanda, Arab dan Timur Asing lainnya, termasuk pula orang-orang yang sebelumnya berkewarganegaraan lain (orang asing). Mereka bisa menjadi warganegara Indonesia melalui peraturan perundangan yang berlaku. Syarat umum bagi orang bangsa lain yang ingin menjadi warga negara Indonesia, adalah mengakui negara Indonesia sebagai tanah airnya, bersikap setia kepada negara republik Indonesia dan bertempat tinggal di Indonesia selama 5 tahun berturut- turut. Dalam peraturan perundang-undangan mengenai kewarganegaraan Indonesia, yakni UU No. 12 tahun 2006 dinyatakan bahwa orang asing dapat memperoleh Kewarganegraaan Republik Indonesia dengan melalui permohonan. Sedangkan tata cara bagi orang asing untuk memperoleh ke- warganegaraan. Syarat bagi orang asing unuk melakukan pewarganegaraan antara lain: yah negara Republik Indonesia paling singkat 5 (lima) tahun berturut- turut atau paling singkat 10 (sepuluh) tahun tidak berturut-turut; c). Sehat jasmani dan rohani; d). Dapat berbahasa Indonesia serta mengaku dasar negara Pancasila dan UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945; e). Tidak pernah dijatuhi pidana karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 1 (satu) tahun atau lebih; f). Jika dengan memperoleh Kewarganegaraan RI tidak menjadi berke- warganegaraan ganda; g). Mempunyai pekerjaan dan/atau betrpenghasilan tetap; dan h). Membayar uang pewarganegaraan ke Kas Negara. Jadi bangsa lain yang ingin menjadi warganegara Indonesia perlu melaku- kan upaya-upaya hukum tertentu (stelsel aktif/pewarganegaraan aktif) agar

dapat diterima sebagai warganegara Indonesia. Cara ini sering disebut

pewarganegaraan aktif, sedangkan kelompok warganegaranya disebut war- ganegara by registration atau warganegara dengan stelsel aktif. Warganegara Indonesia belum tentu menjadi penduduk Indonesia. Kriteria seseorang dikatakan penduduk adalah domisili atau tempat tinggal. Warganegara Indonesia yang tinggal di Indonesia disebut warganegara Indonesia, sedang warganegara Indonesia yang tinggal di luar Indonesia (di luar negeri) bukanlah penduduk Indonesia, dia akan menjadi penduduk di negara yang ditempatinya, ia menjadi orang asing di negara tesebut. Contohnya seorang duta besar atau seorang yang berkewarganegaraan Indonesia yang studi di luar negeri. Begitu juga warganegara asing bisa menjadi penduduk Indonesia, karena bertempat tinggal di wilayah negara Indonesia. Perbedaan antara penduduk negara yakni warganegara dan orang asing, adalah kedudukan hukum terhadap negara. Warganegara memiliki hak dan kewajiban yang penuh terhadap negara. Warganegara mempunyai hak-hak yang wajib diakui (recognized), dihormati (respected), dilindungi (protected), difasilitasi (facilitated) dan dipenuhi (fulfiled) oleh negara. Sebaliknya warganegara juga mempunyai kewajiban-kewajiban kepada ne- gara yang merupakan hak-hak negara yang juga wajib diakui (reconized), dihormati (respected) dan juga ditaati atau ditunaikan (complied) oleh setiap warganegara (Jimly Asshidigie, 2006). Sedangkan orang asing yang merupakan penduduk negara memiliki hak dan kewajiban yang terbatas dalam hubungannya dengan negara yang mejadi tempat tinggalnya. Hak orang asing diantaranya adalah perlindungan terhadap keselamatannya , sedangkan kewajibannya antara: lain harus taat dan meghormati hukum, adat budaya dan agama yang ada di seluruh wilayah negara Indonesia. B. Hak dan Kewajiban Warganegara Indonesia 1. Hubungan Warganegara dengan Negara Hak dan kewajiban warganegara muncul sebagai akibat adanya hubung- an antara warganegara dengan negara. Hubungan antara warganegara dapat dilihat dari berbagai perspektif, diantaranya perspektif hukum, politik, kesu- silaan dan kebudayaan (Cholisin, 2007). Dari perspektif hukum didasarkan pada konsepsi, bahwa warganegara adalah seluruh individu yang memiliki ikatan hukum dengan suatu negara. Hubungan yang bersifat yuridis ini dibe- dakan menjadi (a) hubungan hukum yang sederajad dan tidak sederajad dan (b) hubungan hukum timbal balik dan timbang timpang. Hubungan hukum warganegara dengan negara yang baik, adalah hubungan hukum yang sederajad dan timbal balik. Antara warganegara dengan negara

sesungguhnya tidak ada perbedaan kedudukan tinggi atau rendah. Artinya apa yang menjadi hak wargnegara merupakan kewajiban yang harus dipenuhi oleh negara, sebaliknya yang menjadi kewajiban warganegara merupakan hak negara. Dengan posisi yang sederajad dan timbal balik inilah, maka antar keduanya dapat saling menggugat, manakala hak dan kewajiban yang timbul dari keduanya diabaikan. Hal inilah yang disebut hubungan timbal balik antar warganegara dan negara. Dalam hubungan hukum yang tidak sederajad dan timbang timpang, dapat terjadi apabila negara berkuasa atas rakyatn/warganya, sehingga akan muncul hegemoni negara terhadap warganegara. Sebaliknya jika rakyat/warganegara berada di atas negara, maka masyarakatlah yang memenangkan hegemoni terhadap negara. Jika negara memenangkan hegemoni atas rakyat/wargane- garanya, maka akan menimbulkan kehidupan politik yang tidak demokratis serta berpotensi terjadi penindasan oleh negara terhadap rakyat, sehingga menimbulkan pemerintahan yang tiran, otoriter dan totaliter). Sebaliknya jika rakyat/masyarakat yang memenangkan hegemoni terhadap negara, maka na- sib negara semata-mata hanya sebagai alat begi kelompok-kelompok masya- rakat yang saling memiliki kepentingannya sendiri-sendiri(lihat ormas-ormas radikal, keberadaan kelompok preman Jhon Key). Bagaimana dengan kelom- pok elit partai yang mempunyai kepentingannya sendiri-sendiri?. Bentuk hubungan politik warganegara dengan negara pada dasarnya, adalah keinginan warganegara untuk mempengaruhi pemerintah negara agar kepentingannya berupa nilai-nilai politik dipenuhi oleh pemerintah/negara. Nilai-nilai politik warganegara tersebut menurut W. Deutsh, sebagaimana dikutip dalam Cholisin, (2007) yang meliputi: kekuasaan, kekayaan, pendi- dikan, ketrampilan, kesehatan, respek, afeksi, kebajikan, keamanan dan kebe- basan, ini semua dituangkan ke dalam konstitusi (lihat Pembukaan UUD 45 alinea ke 4 dan Pasal 26 sampai dengan pasal 34 UUD 45). Adapun bentuk hubungan politik antara warganegara dengan negara dapat berupa kooperatif (kerjasama), paternalistik (negara sebagai patront, sedang kelompok sosial/ masyarakat sebagai client). Perihal hubungan antara negara dengan warganegara dalam sejarah pernah dikemukakan oleh para founding father pada sidang I BPUPKI tanggal 31 Mei -1 Juni 1945, antara lain Bung Karno yang menyatakan bahwa negara Indonesia yang kita dirikan haruslah negara gotong royong, sedang Moh Hatta menghendaki negara pengurus, kita membangun masyarakat baru ber- dasarkan gotong-royong, sedangkan Mr. Soepomo mengajukan bentuk ideo- logi dalam hidup berbangsa dan bernegara, yakni 1). Paham Individualisme, 2). Paham Kolektivisme (Komunisme) dan 3). Paham Integralistik. Beliau dengan sangat meyakinkan menolak paham individualisme dan kolek- tivisme dan menyarankan pahan intgralistik yang dinilai lebih sesuai dengan semangat kekeluargaan yang berkembang di masyarakat kita (Risalah Sidang

BPUPKI dan PPKI). Dalam paham integralistik memberikan makna bahwa

semua untuk semua, tidak mendominasikan untuk kelompok yang besar (dominasi mayoritas) dan kelompok yang kecil (tirani minoritas), semua ter- tergantung dari kepentingan (mendesak) dan skala prioritas. Manifestasi dari bentuk negara yang integralistik tertuang di dalam pasal 1 UUD 1945, yang menyatakan bahwa, negara Indonesia adalah negara kesatuan yang berben- tuk republik, negara yang berkedaulatan rakyat (demokrasi) dan negara hukum. Paham negara hukum yang demokratis sesungguhnya dapat menggambarkan pola hubungan warganegara dengan negara. Dalam negara hukum yang demokratis, warganegara/rakyat dipandang sebagai sumber kedaulatan (lihat ayat ke 2), memiliki hubungan yang sederajad dengan negara serta semua warganegara mempunyai kedudukan hukum yang sama (equality before the law). Oleh karena itu negara hukum yang demokratis, hendaknya pola hubungan negara dan warganegara yang dibangun adalah hukum yang sederajad serta timbal balik. Sedangkan perihal hubungan negara dengan warganegara terdapat pada pasal 26 sampai pada pasal 34 UUD 1945, yang isinya menyatakan status warga- negara, kedudukan hukum warganegara dalam negara, hak dan kewajiban warganegara serta hak dan kewajiban negara. 2. Kedudukan (Status) dan Peran (Role) Warganegara Seseorang yang berkedudukan sebagai warganegar Indonesia, maka ia memiliki status sebagai warganegara Indonesia. Status sebagai wargnegara berbeda dengan orang yang berstatus sebagai orang asing. Perbedaan ini akan ditunjukkan dengan adanya seperangkat peran (role), hak dan kewajiban selaku warganegara. Antara status dan peran mempunyai hubungan yang erat, karena status sese- orang akan menghasilkan peran dari status tersebut. Peran merupakan aspek yang dinamis dari status, peran menunjuk pada apa yang seharusnya kita lakukan berdasarkan status tersebut. Oleh karena itu berstatus sebagai warga- negara, kita memilik peran pula sebagai seorang warganegara. Peran itu itu akan tercermin dengan adanya sejumlah hak, kewajiban dan kewenangan sebagai warganegara. Adapun pembagian pola peranan (role) warganegara menurut Soerjono Soekamto (19820, adalah sebagai berikut: 1). Peranan Ideal yaitu peranan yang diharapkan dari status itu, misal: peran- an ideal dari seorang pemimpin/ayah. 2). Peranan yang dianggap oleh diri sendiri (peranan yang dinginkan).

Misal, seorang ibu yang ingin berperan sebagai seorang kakak bagi anak perempuannya yang sudah menginjak remaja/dewasa. 3). Peranan yang dikerjakan, yaitu peranan yang dilakukan individu sesuai dengan kenyataan, misal seorang murid. Menurut Padmo Wahyono (19830), status seorang warganegara terbagi 4 macam, yakni status positif, negatif, aktif dan pasif. (1). Status Positif, yang dimaksudkan, adalah setiap warganegara berhak memperoleh sesuatu yang positif dari negara terutama yang berhubung- an dengan upaya pemenuhan untuk mewujudkan kemakmuran dan dan kesejahteraan. Negara tidak boleh pasif, tetapi harus selalu aktif untuk mewujudkan kemakmuran dan kesejahteraan warganya. (2). Status Negatif, yang dimaksudkan bahwa warganegara berhak untuk menolak atau tidak dicampuri oleh negara dalam hal-hal tertentu ter- utama menyangkut hak-hak yang bersifat pribadi (privat). Misal, tentang: menganut agama, memilih pasangan hidup, memilih pendidikan, memilih pekerjaan dan memilih dalam pemilu. (3). Status Pasif, diartikan sebagai kepatuhan warganegara kepada pemerin- tah berserta hukum dan peraturannya dan hukum yang bersumber pada keadilan dan kebenaran. Contohnya, mematuhi peraturan lalu-lintas, ti- dak main hakim sendiri, membayar pajak. Status Pasif sangat penting untuk dilaksanakan oleh warganegara, agar organisasi pemerintahan/ negara dapat berjalan dengan baik. (4). Status Aktif, adalah keterlibatan secara aktif warganegara dalam organi- sasi negara. Status ini pada prinsipnya merupakan partisipasi wargane- gara dalam tata kehidupan berbangsa dan bernegara. Berdasakan 4 status tersebut, maka warganegara memiliki 4 macam peranan (role), yakni peranan positif, peranan negatif, peranan pasif dan peranan aktif (Cholisin, 2007). Empat (4) macam peranan/peran (role) tersebut, adalah: a). Peranan Positif, yakni aktivitas warganegara untuk minta pelayanan dari negara untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Contoh sekelompok warga yang meminta pemerintah daerah untuk membangun jalan atau jembatan. b). Peranan Negatif, yakni aktivitas warga untuk menolak campur tangan pemerintah dalam persoalan pribadi. Misal seorang warga menolak cam- pur tangan pejabat dalam hal membagi harta warisan keluarganya. c). Peranan Pasif, yakni kepatuhan warganegara terhadap hukum/peraturan perundang-undangan yang berlaku. Misal, membayar pajak. d). Peranan Aktif, yakni aktivitas warganegara, untuk mempengaruhi kebi- jakan publik. Contoh ikut serta dalam memberi masukan pada sebuah cangan undang-undang (RUU), misal RUU tentang Rahasia Negara, yang natinya akan disahkan menjadi sebuah undang-undang . Status (kedududkan) sebagai warganegara Indonesia, baik aktif, pasif, positif

maupun negatif mempunyai kedudukan yang sama dan diperlakukan sama

pula. Negara Indonesia adalah negara demokrasi, yang meliputi demokrasi politik, ekonomi dan sosial. Salah satu ktriteria/ciri negara demokrasi, adalah adanya pengakuan akan persamaan kedudukan (status), hak warganegaranya, baik dalam bidang politik, ekonomi maupun sosial. Hal ini jelas dinyatakan secara tegas dalam pasal 27 ayat (1) UUD 1945 bahwa ” segala warganegara bersamaan dalam kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjunhg tinggi hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualiannya” 3. Hak dan Kewajiban Warganegara Indonesia Warganegara dalam peranan/peran (role) mempunyai sejumlah hak dan kewajiban pada negara, begitu juga dengan negara mempunyai sejumlah hak dan kewajiban pada warganegara. Pengaturan akan hak dan kewajiban warganegara maupun negara tertuang dalam berbagai peraturan perundang-undangan negara. Pada jaminan akan hak dan kewajiban warganegara maupun negara tertuang di dalam konstitusi negara (Pembukaan UUD 1945) dan Undang-Undang tahun 1945. Hak dan kewajiban antara negara satu dengan yang lainnya berbeda-beda sesuai dengan pengaturan yang ada dalam undang-undang dasar negara mereka. Di Indonesia pengaturan tentang hak dan kewajiban warganegara maupun negara tertuang di dalam Pembukaan UUD 1945 Alinea ke 4 dan UUD 1945 pasal 26 sampai pasal 34, yang kemudian akan ditindak lanjuti me- lalui undang-undang, keputusan menteri dan seterusnya, yang merupakan petunjuk pelakasanaan (juklak) dan petunjuk teknis (juknis). Coba ingat kembali tentang: Sistem Perundang-Undangan Negara Republik Indonesia, hierarkis nilai:nilai dasar, nilai instrumen dan nilai praksis serta 3 asas hukum: lex specialis derogat legi generalis, lex superior derogat legi inferiori dan lex posteriori derogat legi apripori). Secara garis besar hak warganegara Indonesia tertuang di dalam Alinea Ke 4 Pembukaan UUD 1945 dan di dalam pasal 26 sampai pasal 34 UUD 1945, adalah sebagai berikut: 1). Hak Warganegara: a). Hak warganegara untuk memperoleh perlindungan, kesejahteraan dan pendidikan Hal ini termaktub di dalam Pembukaan UUD 1945 aline ke 4, yang berbunyi: kemudian daripda itu untuk membentuk suatu pemerintahan Negara Indonesia yang melindungi seluluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan

bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia........................................ …............................serta mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. b). Pasal 26 ayat (1)dan (2) UUD 1945, yakni hak menjadi warganegara dan dan penduduk. c). - Pasal 27 ayat (2) UUD 1945, yakni hak untuk mendapatkan pekerjaan dan penghidupan yang layak. - Pasal 27 ayat (3) UUD 1945, yakni hak untuk membela negara. d). - Pasal 28 UUD 1945, yakni hak berserikat, berkumpul dan berpendapat. - Pasal 28 A sampai I UUD 1945 mengenai hak asasi manusia dan hak dasar manusia. e). Pasal 29 ayat (2) UUD 1945, yakni hak dalam memeluk agama. d). Pasal 30 ayat (1) UUD 1945, yakni hak dalam usaha pertahanan negara. f). Pasal 31 ayat (1) UUD 1945, yakni hak untuk mendapatkan pengajaran dan pendidikan g). Pasal 32 ayat (1) UUD 1945, yakni kebebasan masyarakat dalam meme- lihara dan mengembangkan nilai-nilai budaya. h). Pasal 33 UUD 1945 ayat (1) sampai ayat (4) , yakni hak ekonomi untuk kesejahteraan dan kemakmuran rakyat. i). Pasal 34 ayat (1) UUD 1945, yakni hak mendapatkan jaminan sosial. 2). Kewajiban warganegara meliputi: a). Pasal 27 ayat (1) UUD 1945, yakni kewajiban warganegara untuk men- mentaati hukum dan pemerintahan. membela negara. c). - Pasal 28 J ayat (1), yakni kewajiban menghormati hak asasi manusia. - Pasal 28 J ayat (2), yakni wajib tunduk kepada pembatasan yang dite- tapkan dengan undang-undang. d). Pasal 31 ayat (2), yakni kewajiban mengikuti pendidikan dasar dan menengah. e). Pasal 30 ayat (1), yakni yang menyatakan kewajiban warganegara da- lam upaya pertahanan negara. Kewajiban warganegara pada dasarnya adalah hak negara. Negara adalah Sebagai organisasi kekuasaan yang memiliki sifat memaksa (imperatif), memonopoli dan mencakup semua hal. (lihat deifinisi negara menurut Meriem Budihardjo). Oleh karena itu hak negara untuk ditaati dan dilaksa- nakan hukum-hukumnya yang berlaku di seluruh negara (unifikasi). Hak-hak warganegara wajib untuk diakui (reconized), wajib untuk dihor- mati (respected) , dilindungi (protected), difasilitasi (facilitated), serta di penuhi (fulfilled) oleh negara. Negara dibentuk dan didirikan dengan tujuan untuk memenuhi kebutuhan hidup warganya. Pengertian hak warganegara dan hak asasi manusia perlu dibedakan. Hak warganegara timbul sebagai akibat hukum dari hubungan antara war-

ganegara dengan negara. Setiap hubungan hukum selalu akan melahirkan kekuasaan (hak) dan kewajiban. Jadi menurut hal ini adalah kekuasaan atau wewenang yang oleh hukum diberikan kepada seseorang dari yang menjadi lawannya, ialah kewajiban. Kekuasaan ini oleh hukum diberikan kepada seseorang, karena hubungan hukum dengan orang lain atau puhak yang selanjutnya disebut dengan hak (Suria Kusuma,1986), Pengertian lain dari hak, adalah sesuatu yang harus diterima/didapat. Misal, hak anak ada- lah untuk mendapat perlindungan dan pendidikan dari orang tua, hak yang diperoleh warganegara antara lain:mendapatkan/memeperoleh kesejahtera- an, pendidikan dan perlindungan dari pemerintah/negara. Jadi hak bisa di- sebut sebuah kekuasaan/wewenang yang oleh hukum diberikan kepada seseorang dari yang menjadi lawannya, ialah kewajiban, yakni orang lain untuk mengakui kekuasaan itu, sedangkan kewajiban adalah tugas yang harus dikerjakan/dilakukakan/diberikan oleh manusia untuk dipertahankan dan membela haknya. Hak warganegara pada dasarnya adalah kekuasaan/ kewengangan yang dimiliki warganegara yang oleh hukum negara diberi- kan atau ditetapkan. Oleh karena itu hak warganegara setiap negara bisa bisa berbeda sesuai dengan penetapan dari hukum negara yang bersang- kutan. Sedangkan hak asasi manusia adalah kebutuhan dasar yang memang telah dimiliki oleh manusia sejak ia lahir. Hak asasi manusia adalah melekat pa- da hakekat dan keberadaan manusia sebagai makhluk ciptaan Tuhan serta merupakan anugrahNya. Hak warganegara setiap negara berbeda dikarena- kan perbedaan penetapan konstitusinya, sedangkan hak asasi manusia ada- sama, karena bersifat universal, berlaku bagi siapa saja, dimana saja dan kapan saja. C. Kewarganegaraan Indonesia Telah dijelaskan sebelumnya, seperti apa yang dikemukan oleh Paulus, bahwa konsep kewarganegaraan memiliki dua pengertian, yakni pengertian yuridis dan sosiologis serta pengertian formal dan material. Pengertian yu- ridis-sosiologis menunjuk pada ikatan seseorang dengan negara. Kewarganegaraan dalam arti yuridis ditandai dengan adanya ikatan hukum seseorang dengan negara, sedang dalam arti sosiologis, yakni ikatan yang terjadi tidak berupa ikatan hukum, tetapi karena adaya ikatan emosional, seperti ikatan perasaan, keturunan, nasib, ikatan sejarah dan ikatan tanah air. Dengan kata lain ikatan ini lahir dari pengahyatan orang yang bersang- tan terhadap negara dan bangsa (wawasan nasional/wawasan nusantara). Kewarganegaraan dalam arti formal menunjuk pada hal ihwal pada umum- nya berada di dalam ranah hukum publik serta membicarakan masalah- masalah kewarganegaraan, sperti: siapakah warganegara itu, bagaimana ke- hilangan kewarganegaran dan sejnisnya. Kewarganegaran dalam arti mate-

rial menunjuk pada akibat dari status kewarganegaraan, yakni hak dan kewajiban warganegara. Sejak Indonesia merdeka pengaturan masalah kewarganegraan, baik dalam arti formal maupun material sudah diupayakan masuk dalam negara maupun perundang-undangan negara, dalam UUD 1945 yang asli. Isi ke- warganegraan termuat dalam pasal 27 sampai 34 UUD 1945, yang di da- lamnya berisi hak dan kewajiban warganegara maupun kewajiban negara. Dalam hal hukum kewarganegaraan (arti formal), pengaturan masalah ke- warganegaraan Indonesia pertama kali diatur dalam UU No. 3 tahun 1946 tentang Warganegara dan Penduduk Indonesia. Dalam perekembangan nya UU ini mengalami perubahan yang secara berurut-turut, adalah sebagai berikut:

a. UU No. 6 tahun 1974 tentang Perubahan atas UU No. 3 tahun 1946 tentang Warganegara dan Penduduk Negarab. UU No. 8 tahun 1974 tentang Memperpanjang Waktu untuk Mengaju- kan Pernyataan Berhubung dengan Kewarga Negara Indonesiac. UU No. 11 tahun 1948 tentang Memperpanjang Waktu Lagi untuk Mengajukan Pernyataan Berhubung dengan Kewarga Negara Indonesiad. UU No. 62 tahun 1958 tentang Kewarganenagraan republik Indonesiae. UU No. 3 tahun 1976 tentang Perubahan atas pasal 18 UU No. 62 tahun

1958 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesiaf. UU No. 12 tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia

Dengan demikian untuk saat ini perihal hukum kewarganegaraan di atur dalam UU No. 12 tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Republik Indo- nesia Adapun perturan perundang-undangan yang telah dikeluarkan oleh peme- rintah Indonesia sebagai pelaksanaan dari undang-undang tersebut, adalah: a. Peraturan pemerintah RI No. 2 tahun 2007 tentang Tata Cara Memper-

oleh, Kehilangan, Pembatalan dan Memperoleh Kembali Kewargane- garaan Republik Indonesiab. Peraturan Menteri Hukum dan HAM RI No. M.01-HL. 30.01 tahun 2006 tentang tata cara untuk Memperoleh Kewarganegaraan RI berda-

sarkan pasal 41 dan Memeperoleh Kembali Kewarganegaraan RI ber- dasarkan pasal 42 UU No. 12 tahun 2006 tentang Kewarganegaraan RI

c. Peraturan Menteri Hukum dan HAM RI No M.02-HL tahun 2006 tentang Tata Cara Menyampaikan Pernyataan Untuk Menjadi Wargane- gara Indonesia

BAB. V. PERATURAN KEWARGANEGARAAN RIA. Kewarganegaraan RI sebelum berlakunya UU No. 12 tahun 2006 Untuk melaksanakan ketentuan pasal 26 UUD 1945, dibuatlah undang-

undang pelaksanaan, yakni undang-undang yang mengatur tentang kewarganega- raan Indonesia. Sejak merdeka tanggal 17 Agustus 1945 sampai sekarang undang- undang mengenai kewarganegaraan Indonesia, adalah sebagai berikut: 1. Undang-undang No. 3 tahun 1946 tentang Warganegara dan penduduk Indonesia Undang-undang No. 3 tahun 1946 disetujui bersama oleh pemerintah dengan Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat (BP KNIP) dan diun- dangkan pada tanggal 10 April 1946. Namun pada tanggal 27 Februari 1947, Pemerintah RI dengan persetujuan KNIP mengeluarkan Undang-Undang No. 6 tahun 1947 tentang Perubahan dalam Undang-Undang No. 3 tahun 1946 tentang Warganegara dan Penduduk Indonesia. Undang-undang No. 3 tahun 1946 jo UU No. 6 tahun 1947. Menurut pasal 1 UU No. 3 tahun 1946, penjelasan tentang siapakah Warga Negara Indonesia (Winarno, hal.108- 114). 2. Undang-Undang No. 2 tahun 1958 tentang Persetujuan antara RI-RRT mengenai Dwikewarganegaraan Diwajibkan kepada setiap orang yang mempunyai dwi-kewarganegaraan

Untuk menentukan pilihannya, apakah ia akan melepaskan kewarganegaraan RRC dan menjadi warganegara Indonesia, atau tetap menjadi warganegara RRC dengan kehilangan kewarganegaraan Indonesia. Kewajiban memilih itu hanya dibebankan kepada orang dewasa (telah berumur 18 tahun atau pernah kawin). Pemilihan kewarganegaraan itu dilakukan dengan menyatakan kepada petugas- petugas negara, kewarganegaraan mana yang hendak dipilihnya, secara tertulis atau secara lisan , dengan disertai surat-surat keteranagan diri serta keluarganya. Anak-anak yang belum dewasa menyatakan pilihannya dalam waktu satu tahun setelah mereka dewasa. Bagi dwi-kewarganegaraan yang dewasa tidak menyatakan pilihannya dalam waktu 2 tahun berlaku ketentuan yang berikut:

1. Ia dianggap tekah memilih kewarganegaraan RRC, kalau ayahnya keturunan Cina,

2. Ia dianggap telah memilih kewarganegaraan Indonesia, kalau ayahnya keturunan Indonesia.

Sedangkan yang belum dewasa berlaku ketentuan, bahwa ia memilih kewarga- negaraan yang diikutinya selama ia belum dewasa. Pada tahun 1969 UU No. 2 tahun 1958 dicabut kembali oleh UU No. 4 tahun 1969. Ditetapkan dalam UU No. 4 tahun 1969 ini, bahwa mereka yang telah mempunyai kewarganegaraan RI berdasarkan UU No. 2 tahun 1958, tetap kewarganegaraan Indonesia, sedang orang-orang yang di bawah umur secara otomatis mengikuti garis kewargane- garaan orang tuanya.

Hal ini berarti, bahwa semasa UU No. 2 tahun 1958 tentang dwi-kewar- ganegaraan Indonesia masih berlaku. Orang tua memilih warganegara Indo- nesia, secara otomatis anaknya sesudah dewasa menjadi warganegara Indonesia dan sebaliknya bila orang tuanya memilih warganegara RRC, maka anaknya se- sudah dewasa akan menjadi warganegara RRC. Satu-satunya jalan yang dapat untuk mengubah kewarganegaraannya menjadi warganegara Indonesia dengan jalan naturalisasi. 3. Undang-Undang No. 62 tahun 1958 tentang Kewarganegaraan Indonesia Undang-Undang N0. 62 tahun 1958 tentang Kewarganegaraan Indonesia (Lembaran Negara tahun 1958 Nomor 113) mulai berlaku sejak diundangkan pada tanggal 1 Agustus 1958. Beberapa bagian dari undang-undang ini, yaitu mengenai ketentuan-ketentuan siapa yang menjadi warganegara Indonesia, status anak dan cara-cara kehilnagan kewarganegaraan, ditetapkan berlaku surut tanggal 27 Desember 1949. Dasar hukum dari undang-undang ini adalah UUD S tahun 1950, khususnya 5 pasal dan 144 UUDS 1950(Winarno, hal. 116- 123).

4. Undang-Undang No. 3 tahun 1976 tentang Perubahan Pasal 18 UU No. 62 tahun 1958 tentang Kewarganegaraan Repulblik Indonesia Pasal 17 huruf k UU No. 62 tahun 1958 memberikan kewajiban bagi war- ganegara RI yang bertempat tinggal di luar negeri lain daripada untuk menja- lankan dinas negara, guna menyatakan keingiunan untuk tetap menjadi warga- negara RI dalam jangka waktu 5 (lima) tahun yang pertama dan selanjutnya untuk siap 2 (dua ) tahun. Dalam masa itu tidak semua warganegara RI yang tinggal di luar negeri dapat memenuhi kewajiban tersebut, bukan karena kelalain melainkan akibat dari keadaan di luar kesalahannya, sehingga ia terpaksa tidak dapat menyatakan keinginannya tersebut tepat pada waktunya. Karena Pasal 18 tidak menam- pung orang-orang tersebut, maka perlu diadakan perubahan bertahap Pasal 18 UU No. 62 Tahun 1958. Adapun mengenai orang yang berhak menggunakan kesempatan Pasal 18 ayat (2) adalah orang-orang yang pada waktunya mulai berlakunya UU No. 62 Tahun 1958 adalah warganegara R I dan selama ini menunjukkan kesetian- nya kepada Negara RI. Dengan demikian mereka yang berkewarganegaraan asing, mereka yang tanpa kewarganegaraan karena kehilangan kewarganegaraan RI atau mereka yang telah memilih menjadi warganegara dari negara lain, tidak dapat meng- menggunakan kesempatan ini. Demikian pula orang-orang Cina Perantauan (Hoa Kiau) juga tidak dapat

menggunakan kesempatan yang diberikan oleh UU ini. Ketentuan berlakunya UU ini terbatas pula, yaitu: hanya berlaku 1 (satu) tahun, sehingga merupakan ketentuan yang berlaku satu kali saja, Jangka waktu 2 (dua) tahun diberikan bagi mereka yang di tempat tinggalnya tidak ada Perwakilan RI. Sedangkan isi Pasal 18 UU No. 62 Tahun 1958 dapat di lihat Winarnod, hal. 124-125. B. Kewarganegaraan Republik Indonesia menurut Undang-Undang No. 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia Undang-Undang No. 12 Tahun 2006 berlaku sejak diundangkan tanggal 1 Agustus 2006. UU ini untuk menggantikan undang-undang kewarganegaraan yang lama, yakni UU No. 62 Tahun 1958 tentang Kewarganegaraan RI. Dasar pertimbangan (konsideran) UU ini adalah, sebagaimana telah diubah dengan UU No. 3 Tahun 1976 tentang Perubahan Pasal 18 UU No. 62 Tahun 1958 tentang Kewarganegaran R I sudah tidak sesuai lagi dengan perkemabangan ketatanegaraan RI, sehingga harus dicabut dan diganti dengan yang baru. Undang-Undang No. 62 tahun 1958 secara filosofis, yuridis dan sosiologis sosiologis sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan masyarakat dan keta-

tanegaran RI. Secara filosofis, undang-undang masih mengandung ketentuan- ketentuan yang tidak sejalan dengan falsafah Pancasila, antara lain, karena masih adanya sifat diskriminatif, kurang menjamin pemenuhan hak asasi manusia dan persamaan antar warganegara, serta kurang memberikan perlin- dungan terhadap perempuan dan anak-anak. Secara yuridis, landasan konstitu- sional pembentukan undang-undang tersebut adalah UUDS tahun 1950 sudah tidak berlaku lagi sejak diberlakukan Dekrit Presiden tanggal 5 juli 1959 yang menyatakan kembali ke UUD 1945. Dlam perkembangannya UUD 1945 telah mengalami perubahan yang lebih menjamin perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia dan hak warganegara. Secara sosiologis, Undang-undang ini su- dah tak sesuai lagi dengan perkembangan dan tuntutan masyarakat Indonesia sebagai bagian dari masyarakat internasional dalam pergaulan global, yang menghendaki adanya persamaan perlakuan dan kedudukan waranegara di hadapan hukum serta adanya kestaraan gender. Istilah kewarganegaraan menurut ketentuan UU No. 12 Tahun 2006 adalah segala ikhwal yang berhubungan dengan warga negara (pasal 1). Oleh karena kewarganegaraan adalah segala ikhwal yang berhubungan dengan kewargane- garaan, maka kewarganegaraan mencakup hal-hal, antara lain

a. penentuan tentang siapa saja yang termasuk warga negara,b. cara menjadi warga negara atau pewarganegaraanc. tentang kehilnagan kewarganegaraand. tentang cara memperoleh kembali kewarganegaraan yang hilang

Adapun ketentuan pokok yang diatur dalam UU No. 12 Tahun 2006, adalah sebagai berikut:

a. tentang siapa yang menjadi warga negara Indonesiab. Tentang syarat dan tata cara memperoleh kewarganegaraan RIc. Tantang kehilangan Kewarganegaraan RId. Tentang syarat dan tata cara memperoleh kembalai Kewarganegaraan RIe. Tentang ketentuan pidana.Secara umum dalam undang-undang dinyatakan bahwa menjadi WNI adalah orang-orang bangsa Indonesia asli dan orang-orang lain yang disahkan dengan undang-undang sebagai warganegara (pasal 2). Yang dimaksud dengan orang-orang bangsa Indonesia asli, adalah orang Indonesia yang menjadi warganegara Negara Indonesia sejak kelahirannya dan tidak pernah menerima kewarganegaraan lain tas kehendaknya sendiri. Rumusan tentang bangsa Indonesia asli sebagaimana di atas merupakan pengertian yuridis. Dengan demikian istilah bangsa Indonesia asli bukan diartikan dalam pengertian sosiologis antropologis. Sedang warganegara Indonesia yang merupakan orang-orang bangsa lain adalah mereka yang memperoleh

kewarganegaraan Indonesia melalui pewarganegaraan berdasarkan peraturan perundangan yang berlaku.

Sedangkan isi dari UU No. 12 Tahun 2006, adalah sebagai berikut:1. Tentang siapa warga negara Indonesia, dinyatakan bahwa yang menjadi

warga negara Indonesia termaktub didalam pasal 4 atau Winarno, hal. 128-130.

2. Tentang cara memperoleh Kewarganegaraan RI, menuryt undang-undang ini dapat dlakukan dengan:

a. Melalui permohonan (pasal 8-9)b. Melalui pernyataan (pasal 19)c. Melalui pemberian kewarganegaraan (pasal 20)d. Melaui pernystssn untuk memilih kewarganegaraan (wqinarno, hal.

131-132).3. Tentang kehilangan kewarganegaraan, dinyatakan bahwa kewarganega- an RI hilang, jika bersangkutan: (pasal 23) atau Winarno, hal. 132-136.4. Mengenai ketentuan pidana diatur dalam pasal 36-38.

Untuk memenuhi tuntutan masyarakat dan melaksanakan amanat UUD 45 sebagaimana tersebut di atas, undang-undang ini memperhatikan asa-asa ke- warganegaraan umum (universal), yaitu asas ius sanguinis, ius soli dan campuran. Asas-asas yang digunakan dalam UU No. 12 Tahun 2006 tentang Kewarga- negaraan Indonesia, adalah sebagai berikut:

a. asas ius sanguinis )(law of the blood)b. asas ius soli (law of the soil)c. asas kewarganegaraan tunggal, yaitu asas yang mentukan satu

kewarganegaraam bagi setiap orangd. asas kewarganegaraan ganda terbatas, yaitu asas yang menetukan

kewarganegaraan ganda bagi anak-anak sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam undang-undang ini.

Selain itu masih ada, beberapa asas kewarganegaraan yang bersifat khusus, yang juga menjadi dasar penyusunan undang-undang Kewarganegaraan Indonesia, yaitu:

1. Asas kepentingan nasioanl, adalah asas yang menentukan bahwa per- aturan kewarganegaraan mengutamakan kepentingan nasional Indo- nesia, yang bertekad mempertahankan kedaulatan sebagai negara ke- satuan yang memiliki cita-cita dan tujuannya sendiri.2. Asas perlindungan maksimum, adalah asas yang menentukan bahwa

Pemerintah wajib memberikan perlindungan penuh kepada setiap WNI dalam kedaan apapun, baik di dalam maupun diluar negeri.

3. Asas persamaan di dalam hukum dan pemerintahan, adalah asas yang menentukan bahwa setiap WNI mendapatkan perlakuan yang sama di dalam hukum dan pemerintahan.4. Asas kebebasan substantif, adalah prosedur pewarganegaraan sese- orang tidak hanya bersifat administratif, tetapi juga disertai subsatnsi dan syarat-syarat permohonan yang dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya.5. Asas nondiskriminstif,adalah asas yang tidak membedakan perlakuan perlakuan dalam segala hal ikwal yang berhubungan dengan warga warganegara atas dasar suku, agama, ras, golongan, jenis kelamin dan gender.6. Asas pengakuan dan penghormatan terhadap hak asasi manusia, ada- lah asas yang dalam segala ikhwal yang berhubungan dengan warga negara harus menjamin, melindungi, dan memuliakan hak asasi manusia pada umumnya dan warganegara pada khususnya.7. Asas keterbukaan, adalah asas yang menentukan bahwa dalam segala hal ikhwal yang berhubungan dengan warga negara harus dilakukan secara terbuka.8. Asas publisitas, adalah asas yang menentukan bahwa seseorang yang memperoleh atau kehilangan Kewarganegaraan RI diumumkan dalam Berita Negara RI agar masyarakat mengetahuinya.

BAB. VI. HAk-HAk ASASI MANUSIA DAN RULE OF LAW A. Hak Asasi Manusia (HAM) 1). Pengertiah Hak Asasi Manusia (HAM) Secara harafiah Hak Asasi Manusia (HAM) adalah hak yang dimiliki oleh seseorang sekedar karena orang itu adalah manusia. Konsep yang sederhana ini mempunyai implikasi yang mendalam ke berbagai ranah, diantaranya: hukum, politik, sosial, agama dan ekonomi. Hak itu ada dan melekat pada diri yang namanya manusia, sejak ia hidup dan sampai mati. Hak itu bersifat universal, merata dan tak dapat dialihkan dan diwakilkan. Sehubungan dengan hal ini persoalan hak asasai bersifat holistik, dalam arti menjadi tanggung jawab bersama seluruh umat manusia, tanpa membedakan status, identitas diantara mereka. Hak asasi manusia ada yang bersifat individu, sosial dan universal, oleh karena itu tanpa adanya kerjasama dan komitmen dari seluruh umat manusia, negara sera organisasi-orga- nisasi dunia, hak asasi manusia hanyalah bersifat yuridis, normatif dan jargon belaka. Kata padanan Hak Asasi Manusia, antara lain : 1). Natural Rights (hak dasar/hak alami) yang dikemukakan oleh John Locke dan Prof. Ritchie yang artinya sepadan dengan arti manusia adalah Zoon Politicon(Aristoteles), bahwa manusia secara alami/kodrati adalah sama (equality) dan bebas (freedom). 2). Human Rights dan Basic Rights (Universal Declaration of Human Rights, 10 Desember 1948) yang mengadung arti : persamaan di depan hukum (equality before the law/ Isonomia. 3). Fundamental Rights yang meliputi Legal Rights dan Moral Rights (Philipus M. Hadjon, 1985 : 51). Sedangkan pengertian Hak Asasi Manusia (HAM), adalah hak dasar (kodrati/alami) yang dimiliki oleh setiap manusia sesuai dengan kodratnya. Hak asasi manusia meliputi hak hidup, hak kemerdekaan, hak milik dan hak-hak yang lainnya yang melekat pada diri manusia. Hak asasi pada hakekatnya adalah hak yang berasal dari Tuhan, sebagaimana yang tercantum di dalam Ketetapan MPR No. XVII/MPR/1998, bahwa hak asasi manusia adalah hak-hak dasar yang melekat pada diri manusia secara kodrati, universal dan abadi sebagai anugerah Tuhan YME. Pengertian Hak Asasi Manusia dari berbagai 2). Sejarah Hak Asasi Manusia (HAM) Sejarah hak asasi manusia merupakan perjalanan panjang upaya manusia mencari keadilan, untuk memperjuangkan agar memperoleh hak-haknya sebagai manusia. Nilai-nilai hak asasi manusia mulai diperjuangkan sejak dari : a. Protes Kaum Bangsawan terhadap Raja Inggris John Lackhland (abad ) yang menghasilkan : Magna Charta ( 1215) yang isinya : Jaminan perlindungan terhadap hak- hak kaum bangsawan dan gereja b. Pertentangan antara Raja Charles I dengan Parlemen (1628) yang menghasilkan: Petition of Rights (Penetapan Pajak dan hak-hak istimewa) harus pesetujuan parlemen dan bahwa siapapun tak boleh ditangkap tanpa tuduhan-tuduhan yang sah.

c. Pada tahun 1689 waktu Raja Willem III menandatangani Bill of Rights sebagai hasil dari The Glorious Revolution Revolusi ini mengawali babak baru kehidupan demokrasi di Inggris, yakni perpindahan kekuasaan dari raja ke parlemen. Parlemen juga berhak : untuk merubah keputusan raja, mempunyai kebebasan berbicara dan berpendapat, disamping itu pemilihan parlemen berlaku bebas.

d. Di Inggris John Locke dan Thomas Hobbes dan di Perancis, terdiri dari Tiga Serangkai, yakni: J.J Roesseou ( Contract Social), Montesque (De Lo’is S’prits), Voltaire serta dari Jerman adalah Immanuel Kant (Trias Politica: eksekutif, legislatif dan yudiukatif). John Locke memandang manusia sebagai makhluk sosial (homo Social) yang padanya melekat hak asasi yang diberikan oleh alam yakni: life, liberty dan property. Konsep ini mengilhami munculnya Declaration of Independence Amerika Serikat pada tanggal 4 juli 1776. e. Di Perancis terjadi Declaration des Droits de I‘homne et du Citoyen (Pernyataan hak hak asasi dan warganegara pada tahun 1789 yang isinya: Liberty, egality dan fartenity pada jaman Raja Louis XVI yang disertai dengan hancurnya Penjara Bastille oleh oleh Napoleon Bonaparte, sebagai akibat dari revolusi yang dipelopori oleh tiga serangkai tokoh pencerahan di Perancis. f. Declaration of Independence (1780) yang dipertegas dan diucapkan pada tahun 1941 oleh Presiden Amerika Franklin D.Roosevelt,ungkapan ini terkenal dengan Four The Freedom yang isinya : 1). Kebebasan berbicara (freedom to speech) 2). Kebebasan beragama (freedom to religion) 3). Kebebasan dari kemiskinan (freedom from want) 4). Kebebasan dari rasa ketakutan (freedom from fear). g. Universal Declaration of Human Rights pada tanggal 10 Desember 1948 3). Perkembangan Hak Asasi Manusia di Indonesia a. Perkembangan Hak Asasi Manusia di Indonesia Sebelum disahkan Hak Asasi Manusia Dunia (Universal Declaration of Human Rights) tanggal 10 Desember 1948) oleh PBB, Indonesia sudah terlebih dahulu mencan- tumkan nilai-nilai HAM ke dalam Pembukaan dan UUD 45 sejak disahkan pada tanggal 18 Agustus 1945 oleh PPKI. Selain itu Indonesia juga sudah meratifikasi (pengesahan dokumen, konvensi , undang- undang, perjanjian antar negara atau persetujuan hukum international yang dilakukan oleh parlemen) Piagam PBB tentang HAM ke dalam sistem hukum Indonesia. Adapun Piagam PBB tentang HAM terdiri dari 30 Pasal (Kaelan, p. 15- 23) Nilai-nilai Hak Asasi Manusia (HAM) tercantum di dalam : 1). Pembukaan UUD 45 : a. Di dalam alinea 1, yang berbunyi : kemerdekaanan ----------------karena tidak sesuai dengan peri keadilan dan peri kemanusiaan b. Di dalam alinea ke .4 yang isinya antara lain : 1. Pemerintahan Negara Indonesia melindungi segenap bangsa Indonesia dan tumpah tumpah darah Indonesia 2. Untuk memajukan kesejahteraan umum 3. Mencerdaskan kehidupan bangsa 4. Ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan dan perdamaian abadi dan keadilan sosial 2). Di dalam UUD 45 : a. BAB X Warga Negara dan Penduduk Pasal 27 ayat (1, 2 dan 3) b. Pasal 28A-28J yang isinya tentang hak: tentang kebebasan berserikat, berkumpul dan mengeluarkan pendapat.-------- vide hal. 144. c. BAB XI (Agama) Pasal 29 ayat (1 dan 2)

d. BAB XII Pertahanan dan Keamanan Negara Pasal 30 ayat (1) e. BAB XIII Pedidikan dan Kebudayaa Pasal 31 seluruh f. Pasal 33 tentang sumber daya alam dan kesejahteraan masyarakat ayat ( 1, 2, 3) g. Pasal 34 Fakir Miskin dan Anak Terlantar meliputi seluruh ayat ( 1, 2, 3, 4) 3). Penjelasan Umum KUHP (U U N0. 8/1981), antara lain menyebutkan bahwa, UUD 45 Menyebutkan bahwa, UUD45menjelaskan dengan tegas, Negara Indonesia berdasarkan atas hukum (rechtstaat negara hukum) dan bukan berdasarkan atas kekuasaan belaka (marchtstaat atau negara kekuasaan), yang berarti negara Indonesia menjunjung tinggi hak asasi manusia dan menjamin warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum (equality before the law). 4). Keputusan Presiden No. 50 tahun 1993 dibentuk Komisi Nasional Hak Asasi (KOM NASHAM) (Masyur, p. 131-133). 5). Bukti bahwa Indonesia adalah negara yang concern/peduli dan melaksanakan hak asasi manusia, antara lain adalah disahkannya: a. UU RI No. 3 tahun 1977 tentang Peradilan b. UU RI No. 4 tentang 1978 tentang Kesejahteraan Anak c. UU R I No. 23 th 2004 tentang PKDART d. UU RI No. 5 tahun 1988 tentang Konvesi Menentang dan Penghukuman yang Kejam e. UU No. 9 tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di muka Umu f. Kepres No. 1 tahun 1999 tentang Pengadilan HAM g. UU RI NO. 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia h. UU RI No. 26 tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia i. UU RI No. 40 tahun 1999 tentang Kebebasan Pers j. UU RI No. 13 th 2006 tentang Perlindungan Saksi korban k.UU RI No. 12 th 2006 tentang Kewarganegaraan RI l. UU RI No. 40 th 2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis Selain itu juga banyak tercantum di dalam undang-undang Ketenagakerjaan No. 13 Th 2003 dan UU Serikat Pekerja th 2000 B. Rule of Law 1.Pengertian Rule of Law Pada abad ke 19 dan abad ke 20 muncul gagasan mengenai pembatasan mendapat rumusan secara yuridiksi (hukum). Ahli hukum Eropa Barat Konti- nental seperti Immanuel Kant dan friedrich Julius Stahl memakai istilah : istilah Rechsstaat, sedangkan para ahli hukum Anglo Saxon, seperti A.V. Dicey memakai istilah Rule of Law. Menurut Stahl ada empat (4) unsur-unsur rechtssaat dalam arti klasik, yakni: 

1. Hak-hak asasi manusia2. Pemisahan atau pembagian kekuasaan-kekuasaan untuk menjamin hak-hak

itu (di negara-negara Eropa Kontinental disebut Trias Politica).3. Pemerintahan berdasarkan peraturan-peraturan.4. peradilan admonistrasi dalam perselisihan (Oemar Seno Adji, dalam 5. Budihardjo, 1982: 58).

2. Unsur-Unsur Rule of Law Sedangkan unsur-unsur Rule of Law dalam arti klasik menurut A.V. Dicey dalam Introduction to the law of the Constitution mencakup tiga hal, yakni:

1. Supremasi aturan-aturan hukum (supremacy of the law), tidak adanya ke- kuasaan yang sewenang-wenang, dalam arti seseorang boleh dihukum (diberi sanksi), apabila orang itu melanggar dan melawan hukum.

2. Kedudukan yang sama dalam menghadapi/didepan hukum (equality before the law). Ketentuan ini berlaku bagi siapa saja, baik pejabat maupun orang/rakyat biasa.

3. Terjaminnya hak-hak manusia oleh undang-undang negara (konstitusi). Pada tahun 1965 International Commission of Jurist (organisasi ahli hukum internasional) dalam konferensinya di Bangkok memperluas konsep rule of law. Dikemukakan bahwa syarat-syarat dasar untuk terselenggaranya peme- rintahan yang demokratis di bawah rule of law adalah:

1. Perlindungan konstitusional, dalam arti bahwa konstitusi, selain menjamin hak-hak individu, harus menentukan pula cara-cara yang prosedural untuk memperoleh perlindungan atas hak-haknya yang dijamin;2. Badan kehakiman yang bebas dan tidak memihak;3. Pemilihan umum yang bebas;4. Kebebasan untuk menyatakan pendapat;5. Kebebasan untuk berserikat/berorganisasi dan beroposisi;6. Pendidikan Kewarganegaraan (civic education)

BAB. VII. DEMOKRASI A. Pengertian Demokrasi Istilah Demokrasi berasal dari bahasa Yunani dari kata demos yang artinya rakyat dan kratos/kraten yang berarti kekuasaan. Demokrasi berarti rakyat bekuasa (goverment of rule by th people). Menurut Abraham Lincoln yakni: demokrasi di artikan sebagai pemerintahan/kekuasaan dari rakyat, oleh rakyat untuk rakyat (government of pepople, by the prople, for the people). Demokrasi adalah pemerintahan rakyat, kekuasaan tertinggi di tangan rakyat dan dijalankan langsung oleh mereka atau wakil-wakil mereka pilih di bawah sistem pemerintahan yang bebas.Menurut konsep demokrasi, kekuasaan menyiratkan arti politik dan pemerintahan, sedang rakyat beserta warga masyarakat yang didefinisikan sebagai warganya. Kenyataannya, baik dari segi konsep maupun praktinya, demos menyiratkan makna diskriminatif. Karena demos bukanlah rakyat secara keseluruhan , tetapi hanya populus tertentu, yakni mereka yang berdasarkan tradisi atau kesepakatan foremal dari para pengontrol aksas ke sumber-su7mber kekuasaan, yang diakui dan bisa mengklaim memeiliki hah-hak praerogatif dalam proses pengambilan keputusan menyangkut urusan publik atau pemerintahan (sumarsono, 200 :20). Dalam perspektif teoritis, demokrasi sering dipahami sebagai maryoritarianisme (dominasi mayoritas), yakni kekeuasaan oleh mayoritas rakyat lewat wakil-wakil yang dipilih melalui proses pemilihan demokratis, sehingga muncul pertanyaan dari Syamsuddin (2000: 4)”Betulkah bahwa mayoritas identik dengan kebenaran?”. Dalam perspektif filosofis jawaban dari pertanyaan tersebut negatif. ”Apa yang disukai orang banyak” (prefferred by most) tidak sama dengan ”Apa yang banyak disukai” (most prefferred). Baik kekuasaan maupun kemayoritasan tidak identik dengan kebenaran. Proses politik acapkali membawa kekuasaan untuk mmemmutuskan kesuakaan

tanpa memperhatikan kebenaran, apalagi jika proses politik itu sendiri dijalankan atas kekuasaan. Pengertian demokrasi dari dua aliran, yakni: a. Demokrasi konstitusional/demokrasi yang terbatas kekuasaannya dalam suatu negara hukum. b. Demokrasi Komunis , yakni mencita-citakan pemerintahan yang tidak terbatas(machtsstaat) dan bersifat totaliter. Sistem demokrasi ini sebenarnya bertentangan dengan arti dan makna demokrasi itu sendiri, karena demokrasi adalah identik dengan kebebasan (freedom) c. Arti demokrasi dalam aplikasinya, antara lain: 1). Musyawarah untuk sepakat dan mufakat. 2). Menghargai pendapat dan suara orang lain 3). Kemenangan ditentukan suara terbanyak (aklamasi) atau 2/3 dari jumlah anggota/pemilih atau berdasarkan aturan yang telah disepakati (50+1) 4). Sahnya suatu keputusan (DPR) apabila dihadiri paling sedikit 2/3 dari semua jumlah anggotanya, sehingga kalau kurang dari itu dianggap tidak sah karena tidak memenuhi qourum. 5). Anggota/peserta yang berhak tidak datang/tak menggunakan haknya, maka dianggap me- nyetujunya semua hasil keputusan/pemilihan. 6). Demokrasi selalu disamakan dengan kebebasan (freedom) 7). Demokrasi di Indonesia adalah demokrasi perwakilan. 8). Demokrasi Indonesia berdasarkan pasal 1 ayat (2) UUD 1945 harus sesuai dengan adagium : Lex Populi Lex Dei dan Lex Populi Suprema lex. 9). Demokrasi Indonesia adalah demokrasi Pancasila (musyawarah untuk mufakat) Adapun ciri-ciri demokrasi menurut Erni Ernawati dalam bukunya: Business Etics, adalah: a). Demokrasi menjamin adanya keanekaragaman dan pluralisme (bhinneka). b). Demokrasi menjamin kebebasan dalam mengeluarkan pendapat, untuk memperjuangkan nilai yang dianut oleh setiap orang dan sekelompok masyarakat dalam frame kepentingan bersama. c). Demokrasi menjamin setiap orang dan kelompok masyarakat ikut berpartisipasi dalam me- nentukan kebijakan publik dan memeperoleh manfaatnya d). Demokrasi menjamin sifat transparansi (keterbukaan) e). Adanya akuntabilitas publik. Selain itu ada Demokrasi Klasik, yakni dari Yunani Kuno dalam lingkup Negara Polis (City State/Polis), sifat demokrasi ini adalah demokrasi langsung, bentuk pemerintahan yang di da- lamnya berupa untuk membuat keputusan politik yang dijalankan secara langsung oleh seluruh warganegara berdasarkan suara . Demokrasi ini mulai berkembang di Eropa Barat pada abad 15 dan 16 dan mecapai puncaknya pada abad 19. Dalam Demokrasi Modern menonjolkan asas kebebasan manusia terhadap segala bentuk kekangan dan penindasan, baik di bidang agama, pemikiran maupun politik. Selaian itu juga menekankan pentingnya jaminan terhadap hak-hak asasi manusia (demokrasi terkait dengan HAM). Komisi Internasional Ahli Hukum dalam konferensi di Bangkok tahun 1965 merumuskan syarat-syarat dasar penyelenggaraan pemerintahan yang demokratis di bawah Rule of Law, sebagai berikut :   a. Perlindungan konstitusional yang menjamin hak- hak individu b. Badan kehakiman yang bebas dan tidak memihak c. Pemilihan yang bebas d. Kebebasan untuk menyatakan pendapat e. Kebebasan berserikat, berkumpul dan beroposisi f. Pendidikan kerwarganegaraan (civic education)

Sedangkan bentuk negara pemerintahan menurut Plato, Aristoteles dan Polybus mengklasifikasi- kan dalam tiga bentuk yakni : Monarki, aristokrasi dan demokrasi. Kriteria yang digunakan adalah : 1). Jumlah orang yang memegang pemerintahan, apakah satu orang/beberapa orang ataukah dipegang oleh seluruh rakyat. 2). Sifat pemerintahan ditujukan untuk kepentingan umum (rakyat), pemerintah/negara atau untuk kepentingan perorangan/kelompok. 3). Tujuan pemerintahan ditujukan untuk kepentingan umum/masyatakat. Ketiga bentuk pemerintahan/negara itu baik, jika ditujukan untuk kepentingan rakyat (umum), namun mempunyai ekses, jika kekuasaan tidak untuk kepentingan rakyat. Adapun ekses-ekses itu adalah : - Dari Monarki menjadi Tirani - Dari Aristokrasi menjadi - Dari Demokrasi menjadi Anarki

B. Perkembangan Demokrasi Perkembangan jaman modern,k etika kehidupan memasuki skala luas, demo- krasi tidak lagi berformat lokal, ketika negara sudah mulai berskala nasional, bah- kan internasional demokrasi tak mungkin lagi direalisasikan dalam bentuk partisi- pasi langsung, masalah diskriminasi dan kegiatan politik tetap saja berlangsung. Kenyataannya tidak semua warganegara dapat langsung terlibat dalam perwakilan, dan hanya mereka yang karena sebab tertentu mampu membangun pengaruh dan menguasai suara politik, terpilih sebagai wakil.Sementara sebagian besar rakyat ha- nya/harus puas jika kepentingannya terwakili, tetapi tidak memiliki kemampuan dan kesempatan yang sama untuk mengefektikan hak-haknya sebagai warganegara. Adapun pun perkembanagn bentuk pemerintahan dari monarkhi absolut menuju ke monarkhi konstitutional, aristokrasi dan demokrasi. C. Perkembangan Demokrasi Di Indonesia 1. Sejarah Perkembangan Demokrasi di Indonesia a. Periode 1945-1959: UUD R I S demokrasi Parlementer yang menonjolkan parlemen, partai serta memberi peluang untukpartai-partai politik dan DPR. Akibatnya persatuan yang digalang selama perjuangan melawan musuh menjadi lemah dan tidak dapat dibina menjadi kekuatan yang konstruktif pasca kemerdekaan. b. Periode 1959-1965 masa Demokrasi Terpimpin dalam beberapa aspek telah menyimpang dari Demokrasi Konstitusional dan lebih menampilan beberapa aspek dari demokrasi rakyat (Marhaen, Ampera). Dengan ditandai dominasi Presiden, terbatasnya peran politik dan pengaruh komunis sema- kin luas. c. Periode 1966-1998, masa Demokrasi Pancasila era Or-Ba merupakan demokrasi konstitusi- onal yang menonjolkan sistem presidensiil. Dalam perkembangannya peran Presiden s- makin dominan terhadap lembaga-lembaga yang lain (legislatif dan yudikatif). d. Periode 1999 - Sekarang: masa demokrasi Pancasila era reformasi dengan berakar pada kekuatan multi partai yang berusaha mengembalikan peran dan perimbangan antara lem- baga-lembaga negara (eksekutif, legislatif dan yudikatif). Pada tahun 2004 dimulai pemilihan pejabat publi secara langsung (presiden, gubernur, wali kota dan bupati)

Selain itu juga disahkannya UU Otonomi Daerah yang mengindikasikan adanya pembagian kekuasaan secara vertikal dari sistem sentralisasi (terpusat) menjadi desentralisasi (terdistri- busi). e. Adanya Pengesahan Berbagai Undang-Undang, antara lain: 1. Adanya amandemen UUD 45 yang ke empat, bahkan berpotensi untuk amandemen lagi. 2. Adanya UU Otonomi Daerah 3. Adanya UU Otonomi Khusus untuk daerah tertentu (NAD, Papua) 4. Adanya UU Pemilihan Kepala Daerah dan Presiden secara langsung 5. Adanya UU Pemilu. 6. Konsep-konsep demokrasi juga tercantum pada: a). Alinea ke II Pembukaan UUD 45, yakni Dan perjuangan---------------------------- negara ------------------------------Indonesia yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur. b). Alinea ke IV Kemudian Pembukaan UUD 45, yakni-----------------------kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, serta-------- ----------rakyat Indonesia. c). Pasal 1ayat (2) UUD 45, yakni: kedaulatanberada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut UUD*** d). Pasal 19 UUD 45, yakni:  Anggota DPR dipilih melalui pemilu * e). Pasal 22 E yakni: Pemilu dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, adil setiap lima tahun sekali***. 3. Pengertian Demokrasi menurut UUD 45 a. Seminar Angkatan Darat II (Agustus 1966) (1). Bidang politik dan Konstitusional Demokrasi Indonesia menurut UUD 45 berarti menegakkan kembali pada asas-asas negara hukum (legal state), yang menjamin adanya kepastian hukum (principle of secu- rity) dapat dirasakan oleh semua warganegara (equality before the law) serta pelaksa- naan hak asasi manusia, baik secara kolektif maupun individual dan penyalagunanaan wewenang/kekuasaan dapat dihindarkan secara konstitusional. Agar hak-hak wargane- gara di bidang politik dapat terpenuhi, antara lain hak untuk mengikuti pemilu/pemilu- kada (hak untuk dipilih dan memilih) yang berdasarkan hukum dan aturan yang berlaku. (2). Bidang Ekonomi Demokrasi ekonomi menurut UUD 45, ekonomi yang tercantum dalam Pasal 33 ayat (1, 2, 3, 4) UUD 45, yang pada hakekatnya memberikan kehidupan yang layak bagi semua warganegara, karena itu sebagai tugas dan kewajiban pemerintah/negara pada warganegaranya, antara lain mencakup: a. pengawasan oleh rakyat terhadap penggunaan kekayaan dan keuangan negara, b. adanya koperasi, c. Pengakuan atas hak milik perorangan dan kepastian hukum dalam penggunaannya. d. peranan pemerintah yang bersifat pembinaan, penunjuk jalan serta pelindung. b. Munas III: The Rule of Law (Desember 1966) Asas negara hukum mengandung prinsip : 1. Pengakuan dan perlindungan hak asasi mengandung arti persamaan dalam bidang : politik, hukum, ekonomi, sosial-kultural, pendidikan dan keamanan. 2. Peradilan yang independen dan tak memihak. 3. Jaminan kepastian hukum dalam segala persoalan. C. Simposium Hak-Hak Asasi Manusia (Juni 1967) Persoalan hak asasi manusia dalam kehidupan kepartaian untuk tahun-tahun yang

akan datang harus ditinjau dalam rangka untuk mencapai keseimbangan yang wajar, yang mencakup tiga hal, yakni: 1). adanya pemerintahan yang mempunyai cukup kekuasaan dan kewibawaan, 2). adanya kebebasan yang sebesar-besarnya, 3). perlunya untuk membina suatu rapidly expanding economy (pengembangan ekonomi se- cara cepat). D. Nilai-Nilai Demokrasi Adapun nilai-nilai demokrasi menurut Cipto (2002, 31-37), meliputi: 1. Kebebasan Menyatakan Pendapat Kebebasan menyatakan pendapat adalah sebuah hak bagi warganegara yang wajib dija- min dengan undang-undang dalam sebuah sistem politik demokrasi. Warganegara dapat menyampaikan kepada pejabat yang berwenang dari tingkat paling rendah : lurah sampai presiden, DPRD Tk II/I sampai ke DPR Pusat serta ke DPD, baik melalui pem- bicaraan langsung (temu wicara), lewat surat, sms, media massa, lewat penulisan buku atau- pun melalui wakil-wakil di DPR. 2. Kebebasan Berkelompok, Barserikat dan Berkumpul Berkelompok, berserikat dan berkumpul dalam suatu organisasi merupakan nilai dasar demokrasi yang diperlukan bagi setiap warganegara. Kebutuhan berkelompok, berserikat dan berkumpul merupakan naluri dasar manusia sebagai makhluk sosial, sehingga manusia tidak bisa hidup sendiri, tanpa bantuan dan kehadiran orang l ain. Secara natural manusia adalah makhluk tidak sempurna, sehingga tidak mampu mengatasi persoalan secara diri sendiri. 3. Kebebasan Berprestasi Kebebasan berpartisipasi sejatinya merupakan gabungan dari kebebasan berpendapat, berserikat dan berkumpul. Ada empat (4) jenis partisipasi: Pertama, adalah pemberian suara dalam PEMILU, baik pemilihan anggora DPR, ataupun presiden. Kedua, adalah bentukpartisipasi yang disebut melakukakan kontak hubungan dengan pejabat pemerintah. Contoh: temu wicara dengan pejabat pemerintah lurah/kepala desa sampai kepada presiden, atau menyampaikan aspirasi kepada pejabat. Ketiga, melakukan protes atau unjuk rasa terhadap lembaga masyarakat atau pemerintah, misal tentang privatisasi BUMN, kenaikan TDL, BBM, adalah merupakan salah satu bagian dari proses demokrasi untuk memperbaiki kebijakan pemerintah atau swasta yang dirasa membe- ratkan rakyat, terutama rakyat kecil tanpa harus menimbulkan gangguan dalam kehidupan politik. Keempat, mencalonkan diri untuk menjadi kadidat pejabat publik mulai dari kepala desa, bupati atau walikota, gubernur, anggota DPR hingga presiden sesuai dengan sistem dan undang-dan undang-undang yang berlaku. 4. Kesetaraan Antar Warganegara Kesetaraan atau egalitarianisme merupakan salah satu nilai fundamental yang diperlukan untuk pengembangan demokrasi di Indonesia. Kesetaraan di sisi lain diartikan sebgai kesem- patan yang sama (the right man the right place) bagi setiap warganegara, tanpa membedakan etnis, suku, agama, ras maupun golongan. Nilai ini sangat diperlukan bagi negara yang masya- rakatnya heterogen, yang multi etnis, multi ras, multi bahasa dan multi agama. Heteroginitas masyarakat sangat rawan dan rentan terhapap berbagai konflik kepentingan (vetsed interst), terutanma konfik horisontal. jika tidak ada suatu konsep yang disepakati ber- sama dan mempersatukan mereka, sehinggga situasi toteransi bisa tercipta (kondusif), serta perbedaan bisa diminimalisir/diperkecil jaraknya.

5. Rasa Percaya (Trust) Sebuah negara/pemerinatahan yang demokrasi akan sulit berkembang, apabila rasa saling percaya tidak tumbuh diantara mereka, baik yang bersifat horisontal (antar lembaga peme rintah) dan bersifat vertikal (antara pejabat pemerintah dengan rakyat/warganegara/masya- rakat. Bila yang ada hanyalah rasa ketakutan, kecurigaan, kekawatiran dan permusuhan sehingga akan menimbulkan hubungan diantara mereka tidak harmonis, yang berakibat pada situasi tidak kondusif, bahkan secara nasional akan menimbulkan ketidakstabilan (unstability) kehidupan politik. 6. Kerjasama Kerjasama di dalam masyarakat demokrasi sangat diperlukan untuk mengatasi pesoalan yang muncul dalam kehidupan bernasyarakat, berbangsa dan bernegara. Kerjasama yang di- maksudkan adalah kerjasama dalam hal kebajikan. Kerjasama (mufakat) akan terlaksanana, jika setiap orang/kelompok bersedia untuk mengor- bankan sebagian apa yang diperoleh dari kerjasama itu. Demokrasi tidak hanya memerlukan hubungan kerjasama antar individu dan kelompok. Kompetisi, kompromi dan kerjasama merupakan nilai-nilai yang mampu mendorong terwujud- nya demokrasi. Menurut Muhaimin (2002, 11) nilai yang penting dalam demokrasi, seperti: kemauan melaku- kukan kompromi, bermusywarah berdasarkan asas saling menghargai dan ketundukan pada rule of law, yang pada akhirnya dapat menjamin terlindungnya hak asasi setiap manusia Indonesia. Demokrasi dalam arti yang luas adalah: kebebasan/hak, menghargai perbedaan penda- pat, kewajiban, memberi ruang, kesempatan untuk hidup dan pengembangan diri bagi yang bagi yang minoritas, inilah yang disebut dengan demokrasi modern (Buyung Nasution). Demokrasi masuk ke dalam ranah hehidupan, baik politik, ekonomi, sosial maupun budaya. Demokrasi hanyalah sebuah sarana/instrumen/alat/tool untuk penyelenggaraan kehidupan ber- bangsa dan bernegara, yang tujuan akhirnya, untuk mencapai kesejahteraan bersama (kesejah- teraan sebesar-besarnya untuk sebagian besar masyarakat). Demokrasi bukan tujuan, dengan demokrasi penyelenggraan pemerintahan diharapkan akan lebih baik. Demokrasi tanpa batas (pasca reformasi) akan terjadi anarki dan reformasi keba- blasan, justru akan menimbulkan ketidakjelasan dan kertidakpasian. Banyak slogan demokrasi diucapkan: atas nama demokrasi, demi demokrasi tetapi cara dalam menyelesaikan justru bertentangan dengan hakekat demokrasi itu sendiri. Selain itu demokrasi acapakali bertentangan dengan konsep dan aplikasi ketahanan nasional. Pelaksanaan demokrasi dalam segala bidang akan berjalan dengan baik, jika disertai kedewa- saan berdemokrasi serta dilandasi niat dan moral yang baik,jika tidak, makad emokrasi hanyalah sebagai slogan dan diskursus semata. Demokrasi yang dibangun sebaiknya adalah demokrasi partisipatif bukan instruktif/demokrasi epigon), sehingga demokrasi merupakan cerminan suara rakyat. Pengertian demokrasi dari perspektif harafiah, adalah pemerintahan/kedaulatan rakyat, sesuai dengan bunyi pasal 1 ayat (2) UUD 45: Kedaulatan di tangan rakyat yang dilaksanakan berda- sarkan UU (amandemen). Demokrasi dalam arti aplikatif berdasarkan konteks dan kontennya, antara lain: - Suara 2/3 atau 50 + 1 atau aklamasi - Mengakui dan menrima kebaradaan dan perbedaan dengan orang lain - Mengakui dan mendengarkan, menghargai pendapat orang lain - Tak boleh memaksakan kehendak - Memberi kesempatan bagi orang lain .

Ada yang berpendapat bahwa demokrasi , adalah dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Demokrasi ini meliputi seluruh aspek kehidupan, baik individual, bermasyarakat, berbangsa

maupun bernegara, antara lain demokrasi politik, ekonomi, sosial, budaya serta hankam.

E.Pendidikan Demokrasi 1. Pengertian pendidikan Demokrasi a. Pendidikan Demokrasi menurut Zamroni (2001:8), adalah mendidik warga masyarakat agar mudah dipimpin, tetapi sulit untuk dipaksa, mau diperintah tetapi sulit untuk diper- budak. Sebagai warga masyarakat demokratis, masing-masing warga dengan sukarela senatiasa taat pada undang-undang dan peraturan-peraturan yang berlaku. Jika undang-undang dilecehkan, mereka akan bangkit, apalagi kalau mereka dipaksa me- lakukakn sesuatu yang bertentangan dengan undang-undang yang berlaku. Demikian pula reaksi spontan warga masyarakat akan muncul, apabila justru penguasa sendiri yang dengan sengaja dan sadar melecehkan undang-undang atau peraturan-peratur- an yang berlaku. Pendidikan demokrasi menekankan pada kemandirian, kebebasan tanggung jawab. Kebebasan memiliki makna perlu dikembangkan visi kehidupan yang bertumpu pada kesadaran akan pluralitas masyarakat. Dalam kehidupan pluraliatas, tidak jarang seseorang atau kelompok masyarakat memiliki kecenderungan untuk mementingkan kelompoknya, sehingga akan menimbulkan konflik (konflik horisontal). Oleh karena itu, kebebasan harus diiringi dengan kesabaran, tolernasi dan kemampuan untuk mengendaliakan diri. Pendidikan untuk demokrasi adalah proses sepanjang hayat, hal ini tak dibatasi pada jen- jang atau kelas pendidikan sekolah. Pendidikan demokrasi dapat menggunakan berbagai model/pendekatan, sesuai dengan sistem politik, tradisi sosial budaya dan sejarahnya atau dengan model negara Barat yang bebas, model yang digunakan oleh negara Asia dan negara-negara berkembang.

b. Menurut UNESCO (1998:57) terdapat berbagai aspek/dimensi demokrasi yang dapat digu- nakan untuk pendidikan demokrasi meliputi hal-hal yang bersifat: politis, ideologis, filsa- fati atau konseptual, sejarah, hukum, legislatif, budaya, artistik dan sus sastra. Suatu pendekatan yang selektif digunakan di dalam memilih dari daftar ini, akan tetapi perhatian khusus hendaknya diberikan pada demokrasi dalam kehidupan sehari-hari dari semua paguyuban (komunitas). 2. Maksud Pendidikan Demokrasi Menurut Unesco maksud pendididkan demokrasi pada hakekatnya, adalah untuk mengembangkan eksistensi manusia dengan jalan mengilhami de- ngan pengertian martabat dan persamaan, saling mempercayai, toleransi, penghar- gaan pada kepercayaan dan kebudayaan orang-orang lain, pengormatan pada indi- vidualitas, promosi peran aktif dalam semua aspek kehidupan sosial dan kebe- basan bersekspresi, kepercayaan dan beribadat. Jika hal-hal itu sudah ada, maka dimungkinkan untuk pengambilan keputusan, demokrasi pada semua tingkatan yang akan mengarah pada kewajaran , keadilan dan perdamaian. Sedangkan Rosyada (2004:17),berpendapat bahwa sekolah demokratis merupakan sekolah yang dikelola dengan struktur yang memungkinkan praktik-praktik demokrasi itu terlaksana, seperti pelibatan masyarakat (stakeholder dan user

sekolah) dalam membahas program-program sekolah dan prosedur pengambilan keputusan juga memperhatikan berbagai aspirasi publik, serta dapat diperta- nggungjawabkan implementasinya kepada publik. 3. Tujuan Kurikulum Demokrasi Menurut UNESCO tujuan kurikulum demokrasi adalah: 1). Meningkatkan informasi dan pengetahuan tentang prinsip-prinsip demo- kratis, berbagai bentuk pemerintahan yang demokratis, lembaga-lembaga politik, demokrasi dalam praktek, dan masasalah-masalah demokrasi khu- susnya di Asia-Afrika. 2). Menanamkan dan sikap-sikap dan nilai-nilai yang mengembangkan demo- krasi dalam kehidupan sehari-hari. 3). Memperkuat prilaku demokrasi. 4. Strategi Pengembangan Pendidikan Demokrasi Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam startegi pengembangan pen- didikan demokrasi, yakni: a). Untuk dapat mengembangkan pendidikan demokrasi haruslah berlaku di tempat-tempat pembelajaran, sepertidi sekolah-sekolah dan di kelas-kelas pendidikan di luar sekolah. Hendaknya kegiatan-kegiatan pembelajaran dilaksanakan dengan cara yang demokratis. b). Pendidikan untuk demokrasi adalah proses yang berlanjut; secara tepat diperkenalkan di semua jenhjang dan semua bentuk pendidikan, melalaui pendekatan terpadu. c). Penafsiran demokrasi yang kaku dan eksklusif hendaknya dihindari, diu- payakan secara tetap untuk memperluas perspektif-perspektif demokrasi kita, sesuai dengan berbagai konteks sosio-budaya dan ekonomis dan evolusinya. d). Kawasan Asia Pasifik secara budaya kaya dalam musik, seni, susastra dan tari-tarian. Hal inilah hendaknya sedapat mungkin digunakan untuk membuat proses pembelajaran hidup, serta penting untuk mencari suatu model demokrasi yang ada dan asli di kawasan ini (unesco, 1998,; 57- 58)

BAB. VIII. WAWASAN NUSANTARA A. Dasar Pemikiran Kedudukan Manusia di bumi adalah : 1. Sebagai hamba Tuhan, karena sebagai ciptaan Tuhan yang paling tinggi derajadnya (mempunyai akal, budhi dan nurani), jika dibandingka dengan ciptaanTuhan yang lainnya. 2. Sebagai wakil Tuhan (Khalifatullah) di bumi yang menerima ananatNya untuk mengelola, menjaga, melestarikan dan memanfaatkan kekayaan alam

dengan segala isinya Karena kedudukannya itulah manusia mempunyai dua tatanan hubungan, yakni : 1. Secara Horizontal: hubungan antara manusia dengan Tuhan (privat) 2. Secara Vertikal: hubungan antara manusia dengan manusia (sebagai ma- khluk sosial), antara manusia dengan makhluk lainnya (hewan, tumbuh- tumbuhan dan alam). Dari sini diharapkan akan terjadi hubungan yang har- monis, komprehensif-holistik, sehingga akan tercipta kondisi ekosistem yang serasi selaras dan seimbang (simbiose mutualistis). Bangsa Indonesia sebagai umat manusia yang religius sudah seharusnya dapat berperan aktif sesuai dengan kedudukannya sebagai makhluk Tuhan. Manusia dalam melaksanakan tugas dan kegiatan hidupnya bergerak, meliputi dua bidang, yakni  1. Bidang Universal Filosofis: bersifat transendens dan idealistis (das sollen) yang berupa:aspirasi bangsa, pedoman hidup dan pandangan hudup bangsa. Aspirasi bangsa ini menjadi inspirasi dan dasar wawasan nusantara bangsa Indonesia dalam kaitannya dengan wilayah Nusantara. Misal : tujuan dan cita-cita negara.* 2. Bidang Sosial Politik: bersifat imanensi dan realistis (das sain),yang lebih lebih nyata dan bisa dirasakan dalam kehidupan, karena bersifat indrawi dan fisik (Kesejahteraan, keamanan, ketentraman, keadilan). Misal: Aturan hukum dan undang-undang yang berlaku dalam kehidupan berbangsa dan bernegara sebagai produk sosial-politik. Sebagai negara kepulauan(nusantara/archipelago serta tipe masyarakatnya yang majemuk/bhinneka memiliki dua unsur sekaligus, yakni : 1. Unsur Kekuatan, karena negara Indonesia secara geografis terletak pada posisi yang strategis (posisi silang diantara benua Asia dan Australia) dan kaya akan sumber daya alam (natural rechources) serta mempunyai jumlah penduduk yang banyak, merupakan sumber daya manusia dan sumber daya pembangunan yang potensial. 2. Unsur Kelemahan, karena wujud kepulauan dan kemajukan masyarakat yang harus disatukan seperti ikrar Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928, se- bagaimana sudah diperjuangkan dan dikonsepkan oleh para pendiri bangsa/negara (founding fathers). Puncak perjuangan itu berwujud de- ngan adanya proklamasi kemerdekaan Indonesia tanggal 17 Agustus 45. Dengan banyaknya pulau kalau tak mampu mengelola rentan terhadap pe- nyusupan orang asing dan separatisme. Begitu juga dengan kemajukan

masyarakat, rentan terjadi perpecahan kalau tak ada konsep yang mampu mempersatukan dan diterima oleh semua elemen dan komponen bangsa. Jumlah penduduk yang banyak distu sisi menguntungkan tersedianya tenaga

kerja, namu disisi lain kelemahannya kalau pemerintah tak mampu menye- diakan lapangan kerja akan menjadi masalah sosial, karena akan mencipta- kan pengangguran. Selain itu jumlah penduduk yang banyak kalau tak ber- pendidikan juga bermasalah, karena tidak terserap dalam pekerjaan yang membutuhkan keahlian, sehingga pekerjaan yang sesuai hanyalah kerja masal/padat karya. * Salah satu pedoman hidup bangsa Indonesia adalah wawasan nasional yang berpijak pada wujud wilayah nusantara yang disebut Wawasan Nusantara. Karena hanya dengan upaya inilah akan menjamin kesatuan dan persatuan wilayah, bangsa dan segala aspek kehidupan nasionalnya, sehingga bangsa Indonesia tetap eksis serta dapat melanjutkan perjuangan untuk menuju cita- cita nasional, yakni masyarakat adil, makmur dan sejahtera (the greatest of number, the greatest of the hapinnes: memberikan kesejahteraan yang se- besar-besarnya kepada sebagian besar masyarakat/rakyat Indonesia). B. Pengertian Wawasan Nusantara 1. Pengantar : a. Setiap bangsa (Indonesia) mempunyai Wawasan Nasional (National Out look) yang merupakan visi bangsa tersebut menuju ke masa depan. b.Wawasan Nasional untuk menjamin kelangsungan hidup dan keutuhan bangsa, wilayahnya serta untuk membangun dan mempertahankan jati diri bangsa, yang merupakan karakteristik bangsa yang membedakan dengan bangsa lain. c.Wawasan Nasional bangsa Indonesia dikenal dengan nama Wawasan Nusantara. 2. Pengertian Wawasan Nusantara Wawasan berasal dari kata Wawas yang berarti : pandangan, tinjauan atau penglihatan indrawi, yang kemudian menjadi kata : Mawas, yang berarti  : memandang , meninjau atau cara melihat. Sedangkan arti Wawasan adalah : cara pandang, cara tinjau atau cara melihat. Sedangkan istilah Nusantara berasal dari kata Nusa yang artinya : pulau-pulau dan Antara yang artinya : diapit diantara dua hal. Istilah Nusantara dikenal sejak jaman Majapahit pada masa kejayaan raja Hayamwuruk dengan patihnya Gajahmada. Kata Nusantara dipakai un- tuk: menggambarkan kesatuan wilayah perairan dan gugusan pulau- pulau(arhipelago) di Indonesia yang terletak diantara samudra Pasifik dan samudra Indonesia serta diantara benua Asia dan Australia. Secara umum Wawasan Nasional adalah cara pandang suatu bangsa tentang diri dan lingkungannya yang dijabarkan dari dasar falsafah dan sejarah bangsa itu sesuai dengan posisi dan kondisi geografis negara- nya untuk mencapai tujuan dan cita-cita nasionalnya. Sedangkan Wawasan Nusantara mempunyai arti cara pandang bangsa

Indonesia tentang diri dan lingkungannya berdasarkan Pancasila dan UUd 45 serta sesuai dengan geografis wilayah nusantara yang menji- wai kehidupan dalam mencapai tujuan dan cita-cita nasionalnya. Fungsi dan peran wawasan nusantara adalah untuk membimbing dan mengarahkan bangsa Indonesia dalam penyelenggaraan kehidupannya, serta sebagai rambu-rambu dalam perjuangan mengisikemerdekaan. Selain itu juga diharapkan mampu untuk membina persatuan dan kesa- tuan bangsa dan negara RI dalam segala aspek kehidupan. C. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Wawasan Nusantara 1. Faktor Wilayah (Geografi) a. Asas Kepulauan (Archipelagic Principle) Kata archipelago/archipelagic berasal dari bahasa Italia dari kata archipelagos, dari asal kata : archi yang berarti penting dan terutama serta dari kata pelagos yang berarti laut atau wilayah lautan. Jadi Archipelago dapat diartikan sebagi wilayah lautan yang terpenting. Pada awalnya kata Archipelago terdapat di Naskah resmi Perjanjian antara Republik Venezza dengan Michael Palaleogus pada tahun 1262. Perjanjian ini menyebutkan bahwa Arc(h)Pelago, yang maksudnya ada- lah Auigaius Pelagos atau Laut Aigia yang dianggap sebagai laut ter- penting oleh negara-negara yang bersangkutan. Pengertian ini berkem- bang tidak hanya laut Aigia saja, tetapi juga laut-laut yang ada di da- lamnya. Istilah Archipelago pada mulanya berarti wilayah lautan de- ngan pulau-pulau di dalamnya. Namun dalam perkembangannya Archipelago selalu diartikan kepu- lauan/kumpulan pulau-pulau atau gugusan pulau-pulau. Lahirnya asas archipelago mengandung pengertian : bahwa pulau-pulau tersebut selalu dalam kesatuan yang utuh, sedangkan tempat unsur perair- an sebagai unsur penghubung dan bukan sebagai unsur pemisah. Istilah Archipelago pertama kali digunakan oleh John Cawford dalam bukunya The History of Indian Archipelago tahun 1820. b. Kepulauan Indonesia Bagian wilayah Indiche Archipel yang dikuasai oleh Belanda dinamakan Nederlandsch Oost Indishe Archipelago, yang kemudian menjadi wila- yah negara RI. Banyak untuk sebutan kepulauan bekas jajahan Belanda, yakni: Hindia Timur, Insulinde (Multatuli), Nusantara (Majapahit), Indonesia, Hindia Belanda (Nederlandsch-Indie), Nama Indonesia yang berarti Kepulauan India. Dalam bahasa Yunani Indo berarti Indi/Hindia dan Nesos yang berarti pulau.Jadi Indonesia adalah Pulau India/Hindia. Sebutan Indonesia merupakan ciptaan ilmuwan JR Logan dalam Journal of the indian Archipelago and East Asia (1850). Seorang ahli hukum Sir W.E Maxwell juga memakainya dalam kegemarannya mempelajari Rum-

pun Melayu. Pada tahun1882 dia menerbitkan buku penuntun untuk ba- hasa itu, dengan kata pembukaan memakai istilah Indonesia. Istilah Indonesia semakin terkenal berkat peran Adolf Bastian (etnolog) yang menegaskan arti kepualauan ini dalam bukunya: Indonesien order die Inseln des Malaysichen Archipels (1884-1889). Pada awal abad ke-20 Perhimpuanan Mahasiswa Indonesia di Belanda menyebut diri dengan Perhimpunan Indonesia, yang kemudian diikuti Sumpah Pemuda pada tanggal 28 Oktober 1928 dengan menggunakan istilah Indonesia untuk: tanah air, bangsa dan bahasa untuk mengganti sebutan Nederlandsch Ooust Indie. Sejak proklamasi kemerdekaan pada tanggal 17 Agustus 1945 kata/istilah Indonesia telah resmi (legal formal) menjadi nama negara dan bangsa Indonesia sampai sekarang. C. Konsepsi Wilayah Lautan Dalam perkembangannya hukum laut International dikenal beberapa konsepsi mengenai pemilikan dan penggunaan wilayah laut, yakni : 1). Res Nullius, yang menyatakan bahwa laut itu tidak ada yang memiliki- nya. 2). Res Cimmunis, yang menyatakan bahwa laut itu dalah milik masyara- kat dunia, karena itu tidak dapat dimiliki oleh masing-masing negara. 3). Mare Liberum, yang menyatakan bahwa wilayah laut adalah bebas un- tuk semua bangsa. 4). Mare Clausum (The Right and Domonion of the Sea) hanya laut se- panjang pantai saja yang dapat dimiliki oleh suatu negara sejauh yang dapat dikuasai dari darat (waktu itu kira-kira sejauh 3 mil). 5). Archipelagic State Principle (Asas negara Kepulauan) yang menjadi dasar adalah Konvensi PBB tentang Hukum Laut. Saat ini Konvensi PBB tentang Hukum Law (United Nation Conven- tion the Law of the Sea-UNCLOS) mengakui adanya tertib hukum laut dan samudra yang dapat memudahkan komunikasi internasional dan memajukan penggunaan laut yang damai. Selain itu juga ada keinginan untuk mendayagunakan sumber daya dan kekayaan laut secara adil dan efisien, konservasi dan pengkajian sumber kekayaan hayati serta perlindungan dan pelestarian lingkungan laut. Sesuai dengan Hukum Laut International, secara garis besar negara Indonesia sebagai negara kepulauan memiliki Laut teritorial,Perairan Pedalaman, Zone Ekonomi Eksklusif (ZEE), dan LandasKontinen.

Masing-masing dapat dijelaskan sebagai berikut: 1). Negara Kepulauan adalah negara yang seluruhnya terdiri dari

satu atau lebih kepulauan dan dapat mencakup pulau-pulau lain- nya. Sedangkan yang dimaksud kepulauan adalah suatu gugusan pulau, termasuk bagian pulau yang terdiri dari:perairan dan wujud alamiah, antara satu dengan yang l ainnya mempunyai hubungan yang erat dan merupakan satu kesatuan yang hakiki diantara geografi, ekonomi dan politik. 2). Laut Teritorial adalah satu wilayah laut yang lebarnya tidak mele- bihi 12 mil laut diukur dari garis pangkal, yakni garis air surut terendah sepanjang pantai, seperti terlihat pada peta laut skala be- sar berupa garis yang menghubungkan titik terluar dari dua pulau dengan batas-batas tertentu sesuai dengan konvensi ini. 3). Perairan Pedalaman adalah wilayah sebelah dalam daratan atau sebelah kanan dari garis pangkal. 4). Zone Ekonomi Eksklusif (ZEE) adalah zona tidak boleh melebihi dari 200 mil laut dari garis pangkal. Di dalam ZEE negara yang bersangkutan mempunyai hak berdaulat untuk keperluan eksplo- rasi, eksploitasi, konservasi dan pengelolaan sumber kekayaan alam hayati dari perairan. 5). Landas Kontinen suatu negara berpantai meliputi dasar laut dan tanah di bawahnya yang terletak di luar laut teritorialnya, sepan- jang merupakan kelanjutan alamiah wilayah daratannya. Jaraknya 200 mil laut dari garis pangkal atau lebih dari itu dengan tidak boleh melebihi 100 mil batas kedalaman dasar laut 2500 m. d. Karakteristik Wilayah Nusantara Nusantara berarti Kepulauan Indonesia yang terletak diantara: Benua Asia dan Benua Australia dan diantara Samudra Indonesia dan Samudra Pasi- fik. Kepulauan Indonesia terdiri dari 17.508 pulau besar maupun kecil. Pulau yang sudah memiliki nama berjumlah 6.044. Kepulauan Indonesia terletak pada batas-batas astronomi : Utara : ± 6º 08’ LU Selatan : ± 11º 15’ LS Barat : ± 94º 45º 45’ BT Timur : ± 141º 05’ BT Jarak antara Utara - Selatan ± 1.888 km, sedangkan jarak antara Barat - Timur sekitar 5.110 km. Bila diproyeksikan dengan peta Benua Eropa jarak Barat-Timur sama dengan jarak antara London (Inggris) – Ankara (Turki). Bila diproyeksikan dengan peta Amerika Serikat jaraknya antara Pantai Barat sampai Pantai Timur Amerika Serikat. Luas wilayah Indonesia seluruhnya adalah 5.193.250 km2, yang terdiri dari daratan seluas 2.027.087 km2 dan perairan 3.166.163 km2. Luas wilayah Indonesia terbesar, jika dibandingkan dengan negara-negara Asia Tenggara dan jika dibandingkan negara-negara dunia luas daratan

Indonesia menempati urutan yang ke 14. 2. GEOPOLITIK DAN STRATEGI A. GEOPOLITIK 1). Pengertian Geopolitik Istilah Geopolitik semula diartikan oleh Frederich Ratzel (1884-1904) sebagai Ilmu Bumi Politik (Political Geography). Istilah itu kemudian diperluas dan dikembangkan oleh : Rudolf Kjellen (Sarjana Ilmu Politik Swedia 1864-1922) dan Karl Haushofer Jerman 1869-1964) menjadi Geographical Politic = Geopolitik). Perbedaannya dari dua istilah : Ilmu Bumi Politik (Political Geograhy) dengan Geograpical Politic (Geopolitik) terletak pada perspektif dan te- kanannya, apakah bidang politik atau geografinya. Ilmu Bumi Politik Ratzel melihat/mempelajari fenomena geografi dari aspek politik, sedang- kan Geopolitik Kjellen dan Houshofer mempelajari fenomena politik dari aspek geografi. Geopolitik memaparkan dasar pertimbangan dalam nenentukan kebijakan nasional untuk mencapai tujuan tertentu (misal ketahanan nasional). Prinsip-prinsip geopolitik menjadi perkembangan suatu wawasan nasi- onal. Pengertian geopolitik mulai berkembang sejak abad XIX-XX se- bagai: ilmu penyelenggaraan negara yang setiap kebijaksanaannya selalu dikaitkan dengan problematik geografi wilayah yang menjadi tempat tinggal suatu bangsa. 2). Pandangan Ratzel dan Kjellen Pandangan Ratzel dalam kajian Geografi Politik, bahwa negara adalah mirip dengan suatu organisme (makhluk hidup). Dia memandang negara dari sudut konsep ruang hidup (lebensraum). Negara adalah ruang yang ditempati oleh sekelompok masyarakat politik (bangsa). Bangsa dan ne- gara terikat oleh hukum alam. Jika bangsa dan negara ingin tetap eksis dan berkembang, maka harus diberlakukan hukum ekspansi (pemekaran wilayah, coba ingat kembali Teori Evolusi Darwin dalam bukunya « Ori- ginal of species », srategi makhluk hidup untuk memepertahankan diri supaya tetap eksis/the survival of fittest, harus melakukan antara lain : evolusi, mencari/menduduki daerah lain (ekspansi, imperialisasi dan ko- lonilaisasi). Sedang Kjellen berpendapat bahwa negara adalah organanis- me yang harus memiliki intelektual, negara merupakan sistem politik yang mencakup : geopolitik, ekonomi politik, kratopolitik dan sosiopolitik. Dia juga setuju dengan paham Ekspansionis dalam rangka untuk memper- tahankan dan mengembangkan negara, dengan langkah strategis sekaligus untuk memperkuat negara, dengan dimulainya membangun kekuatan da- ratan (kontinental) dan diikuti dengan membangun kekuatan maritim/ba- hari/kelautan. Seperti pendapat negara-negara penganut paham ekspansi-

onisme : suatu negara jika menguasai daratan dia akan menguasai dunia (Jerman), suatu negara jika menguasai lautan dia akan menguasai dunia (Inggris), jika suatu negara menguasai udara dia akan menguasai dunia (Amerika Serikat). Mereka mengajukan paham ekspansionisme, yang kemudian melahirkan ajaran adu kekuatan (Power Politics/Theory of Power). 3. Pandangan Haushofer Pandangan dan pemikiran Haushofer mewarnai geopolitik Nazi Jerman (Hittler). Selain berisi paham ekspasionisme Haushofer juga mengandung paling unggul(Duetch ubber alles/Ubber mench: F. Nietsche). Pandangan ini juga berkembang di Jepang, yakni ajaran Hako Ichiu, Boshido, Kami- kaze yang dilandasi oleh semangat militerisme dan fasisme yang tinggi. Fasisme juga dianut negara Turki yang dipimpin oleh presiden Benicto Mussolini. Pokok-Pokok Pemikiran Haushofer, yakni : a). Suatu bangsa bisa mempertahankan kelangsungan hidupnya tidak ter- lepas dari hukum alam (natural selection). Hanya bangsa yang unggul (berkualitas) sajalah yang mapu bertahan hidup (survival of fittes, coba ingat kembali teori evolusi Charles Darwin: seleksi , evolusi, kompe- tisi dan ekspansi yang terus berkembang dan menjurus kearah diskri- minasi rasialis, chauvinistik , zenobhis, gnozidais, apartheid dan di Australia disebut dengan « White Policy », di Amerika black and white. b). Kekuasaan/imperium daratan yang kompak akan dapat mengejar kekuasaan imperium maritim untuk menguasai pengawasan lautan. c). Beberapa negara besar di dunia akan timbul dan akan menguasai Eropa , Afrika dan Asia Barat, yakni Jerman dan Italia. Sementara Jepang akan menguasai Timur Raya. d). Geopolitik dirumuskan sebagai perbatasan ruang hidup bangsa dengan kekuasaan ekonomi dan sosial yang rasial mengharuskan pembagian baru dalam kekayaan dunia. Geopolitik adalah landasan ilmiah bagi tindakan politik untuk memperjuangkan kelangsungan hidup untuk mendapatkan ruangb hidupnya . Berdasarkan teori yang bersifat ekspansionisme, wilayah dunia dibagi - bagi menjadi region-region yang akan dikuasai oleh bangaa-bangsa yang unggul (dalam segala aspek), seperti Amerika, Jerman, Rusia , Inggris, Jepang, yang kemudian terkelnal sebagai negara-negara Industri/G.8. 4. Geopolitik Bangsa Indonesia Pandangan Geopolitik Bangsa Indonesia didasarkan pada nilai-nilai Ke- tuhanan dan Kemanusiaan yang luhur dengan jelas dan tegas tertuang di dalam Pembukaan UUD 45. Bangsa Indonesia adalah bangsa yang cinta damai, cinta kemerdekaan. Bangsa Indonesia menolak segala bentuk

pejajajahan,karena penjajahan tidak sesuai dengan peri keadilan dan peri- kemanusiaan (alinea I Pembukaan UUD 45). Bangsa Indonesia menolak rasialisme, karena berpijak pada paham ke- bangsaan (nasionalisme), dengan menolak paham chauvinisme. Bangsa Indonesia adalah bangsa yang terbuka, mau kerjasama, tolong menolong antara bangsa lain dan saling menguntungkan. Semua dalam rangka ikut mewujudkan perdamaian dan ketertiban dunia yang abadi. B. GEOSTRATEGI Geostrategi berasal dari dua kata, yakni Geo= alam, bumi, sedangkan strategi adalah : politik dalam pelaksanaan, yakni upaya bagaimana mencapai tujuan dan sasaran yang ditetapkan sesuai dengan keinginan politik. Karena strategi merupakan upaya pelaksanaan, maka strategi pada hakekat- nya merupakan suatu seni/cara yang implementasinya didasarkan atas intui- si, perasaan dan hasil pengalaman. Strategi merupakan ilmu yang langkah-langkahnya selalu berkaitan dengan data dan fakta yang ada. Seni dan ilmu digunakan sekaligus untuk membina dan mengelola sumber daya yang dimiliki dalam suatu rencana dan tindakan. Pertimbangan geostrategis untuk Indonesia yang berada dalam posisi silang Dilihat dari dari berbagai aspek, geografi, demografi maupun dari aspek : IPOLEKSOSBUDHANKAM. 1). Geografis ; terletak diantara dua benua Asia dan Australia, serta diantara samudra Pasifik dan Samudra Hindia. (apa keuntungan dan kelemahan- nya). 2). Demografi Penduduk Indonesia berada penduduk yang jarang di selatan (Australia) dan penduduk yang padat penduduknya (RRC dan Jepang). Sebutkan kelelebihan dan kelemahan dalam segala aspek kehidupan). 3). Ideologi : Indonesia Pancasila berada diantara ideologi Liberalisme (Australia) dan Komunisme (RRC, Vietnam dan Korea Utara). 4). Politik : Indonesia demokrasi Pancasila berada dinatara demokrasi liberal dan demokrasi rakyat (demokrasi proletar/diktator). 5). Ekonomi  : terletak diantara ekonomi kapitalis (selatan) dan sosialis/ komunis (utara). 6). Sosial : Indonesia terletak diantara masyarakat individulis /liberalisme (Selatan) dan masyarakat sosialis (utara). 7). Budaya:Budaya Indonesia terletak diantara budaya barat dan budaya timur. 8). Hankam: geopolitik dan geostrategi Hankam Indonesia terletak diantara wawasan kekuatan maritim (Selatan) dan wawasan kekuatan kontinental/ daratan (Utara). 3. Perkembangan Wilayah Indonesia dengan Dasar Hukumnya a. Sejak tanggal 17-8-1945 – 13-12-1957 Wilayah RI ketika merdeka meliputi semua wilayah bekas jajahan

Belanda berdasarkan ketentuan Teritoriale Zee en Maritim Krigen Ordonantie (1939) tentang batas wilayah laut teritorial Indonesia. Ordonansi tersebut menetapkan batas wilayah laut teritorial sejauh 3 Mil dari garis pantai surut dengan asas pulau demi pulau secara terisah- pisah. b. Deklarasai Juanda (13-12-57-17-2-69) Tanggal 17 Desember 1957 dikeluarkan Deklarasi Juanda sebagai peng- ganti Ordonasi tahun 1939 dengan tujuan adalah sebagain berikut : 1). Perwujudan bentuk wilayah NKRI yang utuh dan bulat. 2). Penentuan batas-batas wilayah Negara Indonesia disesuaikan dengan asas hukum negara kepulauan (Archipelagic State Princiles). 3). Pengaturan lalulintas damai pelayaran yang lebih menjamin kesela- matan dan keamanan NKRI. Asas kepulauan mengikuti ketentuanYurisprudensi Makamah International tahun 1951 ketika menyelesaikan kasus perbatasan antara Inggris dan Nor- wegia. Berdasarkan asas kepulauan nusantara termasuk perairan yang utuh dan bulat (Point to point the ory untuk menentukan garis dasar titik terluar dari pulau-pulau terluar). Untuk mengatur lalu lintas perairan dikeluarkan PP No. 8 tahun 1962 ten- tang lalun lintas damai perairan pedalaman Indonesia(intrnal waters) yang meliputi: a). semua pelayaran dari laut bebas kesatu pelabuhan Indonesia, b). semua pelayaran dari pelabuhan Indonesia ke laut bebes dan c). semua pelayaran dari indonesia ke laut bebas dengan melintas perairan Indonesia.

BAB. IX. KETAHANAN NASIONAL

1. Latar Belakanga. Terbentuknya negara Indonesia dilatarbelakangi oleh

perjuangan seluruh rakyat dan bangsa Indonesia.b. Adanya HGAT dari sejak Indonesia merdeka sampai se- karang ,baik dari dalam maupun dari luar yang bersum- ber bisa dari IPOLEKSOSBUDHANKAM, pangan, ke- penduduk, hak asasi manusia, demokrasi dan lingkungan hidup.

2. Landasan Ketahanan Nasional

a. Landasan Ideal : Pancasilab. Landasan Konstitusional: UUD 45 (Ps 27 dan Ps 30 UUD

45) 3. Wawasan Nusantara sebagai Landasan Visional Bangsa Indonesia merintis jalan kebangsaan dengan perjua- ngan sejak jaman penjajahan baik secara fisik, jiwa maupun pikiran demi kelangsungan hidup bangsa Indonesia sekarang dan masa yang akan datang (visi ke depan).

4. Ruang Lingkup Katahanan Nasional Pokok-Pokok Pikiran Ketahanan Nasional Konsepsi Ketahanan Nasional: mengandung keuletan dan ke- tangguhan dalam rangka mengembangkan kekuatan nasional untuk menghadapi potensi HGAT baik yang berasal dalam dari luar maupun dari dalam negeri. Konsep nasional berupa pokok pikiran : - Manusia sebagai makhluk berbudaya - Tujuan nasional, falsahah dan ideologi negara. 5. Pengertian Ketahanan Nasional dan pengertian Konsepsi Ke- tahanan Nasional. a). Pengertian Ketahanan Nasional, adalah kondisi suatu bangsa yang meliputi segenap kehidupan nasional yang terintegrasi berisi keuletan dan ketangguhan yang mengandung kemam- puan mengembangkan kekuatan nasional dalam menghadapi segala potensi HGAT baik dari dalam maupun dari luar nege- ri untuk menjamin identitas, integritas dan kelangsungan hi- dup bangsa yang disertai perjuangan untuk mencapai tujuan nasional (Lemhanas, 2000:98). b). Konsepsi Ketahanan Nasional berupa: hal. 68-69 Kaelan. - Ketangguhan - Keuletan - Identitas - Integritas - HGAT Dalam aplikasinya untuk membangun ketahanan nasional se- Lalu berhadapan dengan : hak asasi manusia, demokrasi, ke- pendudukan,lingkungan hidup,pangan serta IPOLEKSOSBUD. Diantara komponen-komponen itu ada kalanya dalam aplikasi-

nya dapat sejalan dan saling mendukung, namun juga tak dapat dipungkiri seringkali terjadi pertentangan dan perlawanan bagi mereka yang merasa dirugikan.