ppembangunan kepariwisataan: overview, embangunan...

Download PPembangunan Kepariwisataan: Overview, embangunan ...perpustakaan.bappenas.go.id/lontar/file?file=digital/131031... · SSinkronisasi Kebijakan Fiskal dan Moneter dalam inkronisasi

If you can't read please download the document

Upload: lamdang

Post on 06-Feb-2018

233 views

Category:

Documents


2 download

TRANSCRIPT

  • I. PENDAHULUAN

    A. Latar Belakang

    Krisis keuangan global yang mendera zona Euro dan Amerika Serikat sejak pertengahan tahun 2008 telah berdampak pada penurunan yang tajam pada pertumbuhan ekonomi dunia dan bahkan hampir semua negara mengalami kontraksi ekonomi. Data menunjukkan bahwa pertumbuhan ekonomi dunia sebelum krisis (2007) sebesar 5,4% menjadi 2,8% pada tahun 2008, dan bahkan pada tahun 2009 mengalami kontraksi sebesar -0,6%1. Ketidakpastian kondisi ekonomi global pasca krisis Eropha dan Amerika yang dibarengi dengan meningkatnya eskalasi kawasan Timur Tengah, Jepang-China, Korea Utara-Korea Selatan, telah berimbas kepada penurunan pemintaan barang dan jasa global yang signifi kan termasuk permintaan barang dan jasa ke Indonesia. Namun demikian, dalam kondisi ekonomi dunia yang masih dibayang-bayangi oleh krisis keuangan global ini, ekonomi Indonesia pada tahun 2012 masih mampu tumbuh sebesar 6,23% menduduki posisi kedua tertinggi dunia setelah China yang tumbuh sebesar 8,7%. Pertumbuhan ekonomi Indonesia yang cukup tinggi ditengah kelesuan ekonomi global ini, nampaknya membawa mimpi buruk bagi kondisi makroekonomi, karena untuk pertama kalinya sejak tahun 1961, Indonesia mengalami defi sit kembar (twin defi cit)2.

    Twin defi sit merupakan fenomena dimana defi sit anggaran pemerintah (APBN) terjadi bersamaan dengan defi sit transaksi berjalan (current account)3. Tahun 2012 defi sit APBN Indonesia sebesar Rp. 190,1 trilyun atau 2,23% dari PDB, dianggap aman karena masih di bawah angka toleransi defi sit sebesar 3%4. Permasalahan utamanya adalah bahwa defi sit fi skal tahun 2012 ini diantaranya berasal dari defi sit keseimbangan primer sebesar Rp 72,3 triliun, dan pertama kali terjadi sejak tahun 1990-an. Keseimbangan primer merupakan total penerimaan negara dikurangi belanja, tetapi tidak memasukkan pembayaran bunga. Disamping defi sit fi skal, pada tahun 2012 Indonesia juga mengalami

    1Republik Indonesia, (2013). Nota Keuangan dan Rancangan Anggaran dan Pendapatan Belanja Negara Tahun Anggaran 2013, pp. 2-3

    2A. Tony Priantono, Defi sit Kembar, Kompas 18 Februari 2013 available at: http://psekp.ugm.ac.id /artikel/id/13.

    3John Bluedron and Daniel Leigh, Revisiting the Twin Defi cit Hypothesis: The Eff ect of Fiscal Consolidation on the current Account, pp. 1.

    4Republik Indonesia, (2013). Nota Keuangan dan Rancangan Anggaran dan Pendapatan Belanja Negara Tahun Anggaran 2013, pp. 1-9

    defi sit neraca perdagangan sebesar US$ 1,7 milliar yang juga merupakan pengalaman pertama sejak 2009 yang surplus US$ 19,6 miliar, pada tahun 2010 surplus sebesar US$ 22,1 miliar dan pada 2011 surplus US$ 26 milliar5. Defi sit neraca perdagangan ini terjadi karena kombinasi faktor domestik (impor migas meningkat dan lifting minyak dalam negeri menurun) dan menurunnya ekspor karena menurunnya permintaan barang dan jasa khususnya dari Amerika dan Eropa.

    Neraca transaksi berjalan (current account) merupakan penjumlahan neraca barang (trade balance), neraca jasa (service account), dan neraca transaksi unilateral (hibah atau grant), baik yang dilakukan oleh pemerintah maupun yang dilakukan oleh swasta.6 Kecenderungan sebelum tahun 2012, neraca transaksi berjalan yang dilakukan oleh pemerintah sering defi sit, tetapi bisa ditutup oleh transaksi swasta. Masalah mulai timbul ketika transaksi berjalan yang dilakukan oleh swasta mulai mengalami defi sit, dan pada saat yang sama pemerintah tidak mampu menekan defi sit anggaran. Neraca transaksi berjalan secara total mengalami defi sit 2,8% dari Produk Domestik Bruto (PDB) pada 2012, dan 0,2% dari PDB pada 2011. Pada tahun 2012, neraca transaksi perdagangan dan jasa mengalami defi sit, sedangkan neraca arus modal mengalami surplus. Jadi sumber masalah utama pelemahan nilai tukar pada 2012 adalah defi sit neraca perdagangan dan jasa. Defi sit neraca transaksi berjalan ini, berujung pada penurunan pasokan valuta asing.

    Defi sit kembar ini dapat berdampak pada melemahnya nilai tukar rupiah terhadap USD karena kurangnya pasokan valuta asing (Aviliani dan Iman Sugema, 2013)7, dalam jangka menengah dapat mendorong munculnya fenomena downward death spiral, lingkaran setan yang menjerumuskan (Wijayanto Samirin, 2013)8, dan dalam jangka panjang akan mengganggu stabilitas perekonomian suatu negara (Edward, 2001)9. Defi sit kembar dalam jangka menengah sangat berbahaya, seperti downward death spiral, lingkaran setan yang

    5BPS, Perkembangan Ekspor dan Impor Indonesia Januari 2013, Berita Resmi Statistik No. 17/03/Th. XVI, 1 Maret 2013, pp. 1-11

    6Tulus Tambunan, Perdagangan Internasional dan Neraca Pembayaran: Teori dan Temuan Empiris, Jakarta: Putaka LP3ES, P. 184

    7Aviliani dan Iman Sugema dalam diskusi EC-Think. Avalibale at: http://www.metrotvnews.com/ metronews/read/2013/03/21/2/140365/Defi sit-Kembar-Ancaman-Perekonomian-Indonesia.

    8Wijayanto Samirin, Defi sit Kembar: Lingkaran Setan Yang Menjerumuskan Availabel at: http://beritamoneter.com/defi sit-kembar-lingkaran-setan-yang-menjerumuskan/

    9Anonim, Waspadai Jebakan Twin Defi cit, availabel at: http://klikheadline.com/in/berita/waspadai-jebakan-twin-defi cit.html

    68 Edisi 03/Tahun XIX/2013

    I. PENDAHULUAN defi sit neraca perdagangan sebesar US$ 1,7 milliar

    Pembangunan Kepariwisataan: Overview, Pembangunan Kepariwisataan: Overview, Tantangan, dan Kebijakan Pembangunan ke DepanTantangan, dan Kebijakan Pembangunan ke Depan

    Esti *Esti *

    ABSTRAK

    Destinasi Pariwisata Nasional (DPN), Devisa, Kebijakan, Multiplier Eff ect, Wisatawan

    Pariwisata merupakan salah satu bidang yang penting dalam mendukung pembangunan perekonomian nasional melalui sumbangan devisa yang dihasilkan dari jumlah kunjungan wisatawan asing ke Indonesia. Perkembangan pariwisata di suatu daerah akan ditengarai dengan meningkatnya jumlah hotel dan restoran maupun membaiknya infrastruktur serta berkembangnya industri yang terkait dengan kepariwisataan. Dampak lebih lanjut, dengan berkembangnya industri-industri tersebut akan memperluas lapangan pekerjaan. Pariwisata merupakan bidang yang pembangunnya melibatkan banyak sektor. Oleh karenanya, permasalah yang dihadapi selama ini selalu terkait dengan koordinasi dan sinergi kebijakan dalam mengembangkan dan meningkatkan daya saing destinasi pariwisata dan sekaligus mempromosikannya serta menciptakan keamanan dan kenyamanan wisatawan di daerah wisata.

    I. POTRET PARIWISATA INDONESIA SAAT INI

    Kebijakan pembangunan kepariwisataan sejak Indonesia merdeka pada tahun 1945 sampai sekarang telah mengalami perubahan-

    perubahan seiiring dengan perubahan kondisi sosial politik dan ekonomi di Indonesia maupun dunia. Walaupun terjadi perbedaan dan perubahan pemerintahan, namun pada dasarnya kebijakan pembangunan kepariwisataan terutama ditujukan untuk meningkatkan jumlah orang yang melakukan perjalananan wisata wilayah Indonesia atau dikenal dengan wisatawan. Meningkatnya jumlah wisawatan diharapkan mampu meningkatkan perekonomian lokal sekaligus meningkatkan kesejahteraan masyarakatnya dan melestarikan alam dan budaya tradisional. Tulisan ini akan diawali dengan potret pariwisata Indonesia, kemudian dilanjutkan dengan perjalanan kebijakan pembangunan kepariwisataan selama periode Orede Lama sampai dengan periode Reformasi. Dan terakhir penulis mencoba menawarkan alternatif kebijakan pembangunan kepariwisataan ke depan.

    Menurut Undang-Undang No. 10 Tahun 2009 Tentang Kepariwisataan, yang dimaksud dengan Pariwisata adalah berbagai macam kegiatan wisata1 dan didukung berbagai fasilitas serta layanan yang disediakan oleh masyarakat, pengusaha, Pemerintah, dan Pemerintah Daerah. Sedangkan kepariwisataan adalah keseluruhan

    1Wisata adalah kegiatan perjalanan yang dilakukan oleh seseorang atau sekelompok orang dengan mengunjungi tempat tertentu untuk tujuan rekreasi, pengembangan pribasi, atau mempelajari keunikan daya tarik wisata yang dikunjungi dalam jangka waktu sementara (UU No. 10 Tahun 2009 Tentang Kepariwisataan).

    21Edisi 03/Tahun XIX/2013

    MAJALAH.indd Spread 21 of 44 - Pages(68, 21)MAJALAH.indd Spread 21 of 44 - Pages(68, 21) 31/12/2013 16:01:0031/12/2013 16:01:00

  • kegiatan yang terkait dengan pariwisata dan bersifat multidimensi serta multidisiplin yang muncul sebagai wujud kebutuhan setiap orang dan negara serta interaksi antara wisatawan dan masyarakat setempat, sesama wisatawan, Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan pengusaha. Pembangunan kepariwisataan merupakan bagian integral dari pembangunan nasional yang dilaksanakan secara terencana dan terpadu dan memegang prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan dengan tetap memperhatikan kelestarian nilai-nilai agama, budaya, dan lingkungan alam, dan yang paling penting harus tetap menjaga Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

    Peran Pariwisata dalam Pembangunan di Indonesia

    Pariwisata mempunyai peran penting dalam perekonomian nasional melalui kontribusinya terhadap penerimaan devisa negara yang dihasilkan dari jumlah wisatawan asing (wisman) yang berkunjung ke Indonesia. Jumlah kunjungan wisman yang berkunjung ke Indonesia dari tahun ke tahun sejak periode Repelita I sampai dengan Periode RPJMN I selalu mengalami peningkatan dengan tingkat pertumbuhan yang berfl uktuasi. Pertumbuhan tertinggi terjadi pada periode Repelita IV (Gambar 2), yang disebabkan karena adanya kemudahan-kemudahan bagi wisman antara lain pemberian bebas visa selama 2 bulan untuk wisman di 26 negara, memantapkan Kantor Pusat Promosi Pariwisata Indonesia (P3I) di luar negeri dan pengembangan dan peningkatan daya tarik wisata, sedangkan yang terendah terjadi pada era Transisi (Propenas). Pada era tersebut tepatnya pada tahun 2002 Bali digoncang Bom yang menewaskan ratusan manusia yang sebagian besar adalah wisatawan asing. Walaupun obyek wisata di Indonesia bukan Bali semata, namun karena Bali merupakan provinsi yang menyumbangkan wisatawan paling besar di antara provinsi-provinsi lainnya di Indonesia, maka pertumbuhan wisman yang berkunjung ke Indonesia berada di titik terendah. Sementara itu, kontribusi pariwisata dalam penerimaan devisa negara pada tahun 2010 menduduki peringkat keempat setelah minyak & gas bumi, minyak kelapa sawit, dan karet olahan. Keberhasilan pembangunan pariwisata tersebut belum dibarengi dengan peringkat daya saing Indonesia di pasar global. Berdasarkan laporan The Travel & Tourism Competitiveness Report

    yang dikeluarkan oleh World Economic Forum (WEF), peringkat daya saing pariwisata Indonesia pada tahun 2013 meningkat menjadi peringkat 70 dari 140 negara, dari posisi daya saing tahun 2011 yaitu peringkat 74 dari 139 negara. Namun peringkat tersebut masih dibawah Singapura (peringkat 10), Thailand (43), dan Malaysia (34), serta China (45).

    Tabel 1: Peringkat Daya Saing Pariwisata Negara-negara ASEAN dan China

    Tahun Indonesia Kamboja Malaysia Filipina Singapura Thailand Vietnam China2008 1) 80 112 32 81 16 42 96 62

    2009 1) 81 108 32 86 10 39 89 472011 1) 74 109 35 94 10 41 80 3920132) 70 106 34 82 10 43 80 45

    Sumber : 1) The Travel and Competitiveness Report (World Economic

    Forum Report 2011)2) Insight Report: The Travel & Tourism Competitiveness

    Report 2013, Reducing Barriers to Economic Growth and Job Creation

    Dari aspek kebudayaan, pengembangan pariwisata terutama wisata budaya akan membantu menyadarkan dan memperkenalkan kepada masyarakat betapa kaya dan uniknya kebudayaan Indonesia. Di samping itu, dana yang dihasilkan dari kunjungan wisatawan di obyek wisata budaya dapat dimanfaatkan untuk melestarikan dan menata kebudayaan yang ada.

    Grafi k 1: Perkembangan Wisatawan Mancanegara (wisman) Periode Repelita I Periode Propenas

    Sumber: Repelita

    22 Edisi 03/Tahun XIX/2013

    kegiatan yang terkait dengan pariwisata dan bersifat yang dikeluarkan oleh World Economic Forum (WEF),

    Sinkronisasi Kebijakan Fiskal dan Moneter dalam Sinkronisasi Kebijakan Fiskal dan Moneter dalam Mengantisipasi Fenomena Desifi t Kembar (Mengantisipasi Fenomena Desifi t Kembar (Twin Twin

    Defi sit)Defi sit)

    Haryanto

    Abstract

    Twin defi cits hypothesis is one of the signifi cant economic issues in developed and developing countries in the world during past 20 years. This paper is itended to carry out a descriptive analysis of the twin defi cit phenomenon that occurred in Indonesia in the period of 2012, and to propose some policy recomendations in term of synchronization between monetary and fi scal policies. Results of the analysis concluded that the twin defi cits in 2012 was triggered by the current account defi cit and the primary balance defi cit, and likely resulted in the decline of domestic exchange rate against the USD. The main causes of the current account defi cit, estimated as (1) the drop in demand for goods and services to other countries, (2) rising oil imports since oil lifting decreased from 900,000 barrels to 830,000 barrels per day, (3) high imports of capital goods, (4) no longer a competitive exchange rate to encourage exports and restrain imports. In the medium term, the twin defi cit lead to the emergence of

    downward death spiral, a vicious cycle that plunged, and could destabilize the economy. To anticipate the negative impact of twin defi cit, it is necessary to synchronize the monetary and fi scal policy formulation, as follows: (1) the implementation of monetary policy to mitigate the decline or depreciation of the local currency excessive, (2) reduction in spending on unproductive activities and divert it to activities that reduce the social costs of the economic crisis, (3) the implementation of policies to improve the ability of public and private sector management, including eff orts to reduce government intervention, monopolies and activities that are less productive, (4) increasing fuel prices, seeking fuel consumption savings, reducing fuel subsidies, avoiding fuel smuggling, and reducing the imports of fuel, (5) increasing tax revenues through tax collection decrease the leakage rate and expand the tax base, (6) promote the upgrading of domestic industries, and (7). Assisting the private to renegotiate short-term private loans into medium-term / long terms loans, to reduce the private current need of foreign exchange.

    67Edisi 03/Tahun XIX/2013

    MAJALAH.indd Spread 22 of 44 - Pages(22, 67)MAJALAH.indd Spread 22 of 44 - Pages(22, 67) 31/12/2013 16:01:0331/12/2013 16:01:03

  • a new paradigm in disaster education. Disaster Prevention and Management,17. 2. 183-198.

    Shaw, R., Shiwaku, K., Kobayashi, H., and Kobayashi, M. (2004). Linking experience, education, perception and earthquake prepredness. Disaster Prevention and Management, 13, 1. 39-49.

    Shiwaku, K. (2009). Essentials of school disaster education: example from Kobe, Japan. In Disaster Management: global challenges and local solutions, ed. Rajib Shaw and R.R. Krishnamurty. Hyderabad, India: Universities Press.

    Shiwaku, K., Shaw, R. Kandel, R.C., Shrestha S.N., and Dixit, A. M., (2007). Future perspective of school disaster education in Nepal. Disaster Prevention and Management, 16(4), 576-587. doi: 10.1108/09653560710817057.

    Simpson, D.M. (2002). Earthquake Drills and Simulations in Communitybased Training and Preparedness Programmes. Disasters, 26(1), 5569.

    Sugimoto, M., Iemura, H., and Shaw, R., (2010). Tsunami height poles and disaster awareness. Disaster Prevention and Management, 19, 5. 527-540. doi: 10.1108/09653561011091869.

    UNCRD. (2009). Mengurangi Kerentanan Anak-anak Sekolah terhadap Bahaya Gempa Bumi. Jakarta: Proyek Inisiatif Keselamatan Sekolah Terhadap Gempa Bumi (SESI). Retrieved from http://www.hyogo.uncrd.or.jp/publication/pdf/Report/SESI%20Outcome/SESI%20Outcome%20Bahasa%20Indonesia%20fi nal.pdf

    UN-ISDR - Thematic Platform on Knowledge and Education (TPKE). (2011). School safety baseline study. UN-ISDR, Thematic Platform on Knowledge and Education (TPKE). Retrieved from http://www.unisdr.org/fi les/23587_doc18766contenido.pdf

    UNICEF. (2011). Disaster risk reduction: integrating into school curriculum in Lesotho. Lesotho: UNICEF Lesotho. Retrieved from http://www.p re ve n t i o nwe b. n e t / e n g l i s h / p ro fe s s i o n a l /publications/v.php?id=23844

    Widhiarso, W. (2010). Aplikasi Analisis Kovarian dalam Psikologi Eksperimen. Fakultas Psikologi UGM, Yogyakarta. Retrieved from http://wahyupsy.blog.ugm.ac.id/2011/02/20/aplikasi-analisis-kovarian-dalam-penelitian-eksperimen/

    66 Edisi 03/Tahun XIX/2013

    a new paradigm in disaster education. Disaster UNCRD. (2009). Mengurangi Kerentanan Anak- Grafi k 2: Pertumbuhan Wisatawan MancanegaraPeriode Repelita I Periode Propenas anegara

    Sumber: Repelita

    Pariwisata sebagai suatu industri mempunyai peran sebagai multiplier eff ect dalam pembangunan ekonomi. Salah satu dampak penting dalam berkembangnya pariwisata adalah adanya perbaikan infrastruktur sosial di suatu destinasi pariwasata, seperti bandara udara, akses jalan, hotel, transportasi, dan energi, industri kerajinan, dan industri-industri lainnya yang mempunyai keterkaitan dengan industri pariwisata (Backward maupun forward linkage) yang semuanya itu dibutuhkan untuk menjamin kenyamanan wisatawan menuju dan tinggal selama di destinasi pariwisata. Dampak lebih jauh, dengan berkembangnya industri pariwisata2 akan memperluas lapangan kerja dan pada akhirnya akan menurunkan angka penganngguran dan kemiskinan. Kontribusi pariwisata terhadap penyediaan lapangan kerja mengalami peningkatkan setiap tahunnya (Tabel 2).

    Grafi k 3:

    Sumber: Neraca Satelit Pariwisata Nasional (NESPARNAS), Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif,

    Catatan: Angka dalam triliun rupiah, kecuali tenaga kerja dalam juta orang

    2Menurut Undang-undang No. 10 Tahun 2009 Tentang Kepariwisataan, yang dimaksud industri pariwisata adalah kumpulan usaha pariwisata yang saling terkait dalam rangka menghasilkan barang dan/atau jasa bagi pemenuhan kebutuhan wisatawan dalam penyelenggaraan pariwisata

    Grafi k 4:

    Tabel 2 :Dampak Ekonomi Mikro berdasarkan Neraca Satelit Pariwisata Nasional

    Tahun 2006-2011

    Tahun

    Dampak terhadap

    Produksi /Output(Barang dan Jasa) PDB Lapangan kerja Gaji dan Upah

    Pajak tidak Langsung

    Rp triliun

    Share(%) Rp triliun

    Share(%)

    Juta orang

    Share(%)

    Rp triliun

    Share(%)

    Rp triliun

    Share(%)

    2006 306,50 4,62 143,62 4,30 4,44 4,65 45,63 4,44 5,40 4,122007 362,10 4,62 169,67 4,29 5,22 5,22 53,88 4,43 6,31 4,092008 499,67 5,06 232,93 4,70 7,02 6,84 75,45 4,97 8,41 4,322009 504,69 4,79 233,64 4,16 6,98 6,68 75,49 4,70 8,36 4,192010 565,15 4,73 261,06 4,06 7,44 6,87 84,80 4,63 9,35 4,132011 648,49 4,34 296,97 4,00 8,53 7,75 96,57 4,14 10,72 3,85

    Sumber: Depbudpar, 2009, NESPARNAS

    Catatan: Angka dalam triliun rupiah, kecuali tenaga kerja dalam juta orang

    II. PERJALANAN KEBIJAKAN PEMBANGUNAN KEPARIWISATAAN NASIONAL

    Pada masa setelah kemerdekaan yang juga dikenal dengan masa Orde Lama, pembangunan ekonomi berdasarkan pada Pembangunan Nasional Semesta Delapan Tahun 1961 1969 yang ditetapkan melalui Ketetapan MPRS Republik Indonesia No. II/MPRS/1960 Tentang Garis-Garis Besar Pola Pembangunan Nasional Semesta Berencana Tahapan Pertama 1061- 1969. Pada

    23Edisi 03/Tahun XIX/2013

    Grafi k 2: Pertumbuhan Wisatawan Mancanegara Grafi k 4:

    MAJALAH.indd Spread 23 of 44 - Pages(66, 23)MAJALAH.indd Spread 23 of 44 - Pages(66, 23) 31/12/2013 16:01:0631/12/2013 16:01:06

  • masa itu, pembangunan pariwisata belum menjadi perhatian pemerintah. Fokus pemerintah pada pada saat itu masih pada pembangunan dan pembenahan perekonomian nasional sehingga mampu berdiri sendiri. Pembangunan diprioritaskan pada bidang pertanian dan meletakkan dasar-dasar bagi industrialisasi terutama industri dasar dan industri berat.

    Memasuki era Orde Baru kondisi sosial, ekonomi dan politik secara bertahap mulai tertata. Pembangunan nasional pada masa itu mengacu pada Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN) yang ditetapkan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR). GBHN pada dasarnya memuat Pola Umum Pembangunan Jangka Panjang yang memuat ketentuan-ketentuan mengenai pelaksanaan pembangunan Nasional untuk masa 25 tahun, yaitu selama terlaksananya Pembangunan Lima Tahun (PELITA) I sampai dengan V3.

    Di masa Orde Baru pembangunan pariwisata mulai mendapat perhatian pemerintah yang ditandai dengan dituangkannya kebijakan pembangunan kepariwisatan di dalam Pembangunan Jangka Panjang 25 tahun pertama yang dimulai tahun 1967/68 dan berakhir pada tahun 1998/99. Pembangungan Jangka Panjang tersebut kemudian dijabarkan ke dalam rencana lima tahunan yang dikenal dengan Rencana Pembangunan Lima Tahun (Repelita Pertama Repelita Keenam)

    Kebijakan pembangunan kepariwisataan dalam Repelita Pertama (1969/70 1973/74) tidak dilakukan secara menyeluruh dan bersamaan melainkan melalui pentahapan dengan berbasis pada pengembangan wilayah. Tahap pertama difokuskan pada wilayah Indonesia bagian Tengah dan berpusat di pulau Bali. Hal ini bukan berarti kegiatan pembangunan kepariwisataan di daerah lain tidak mendapat perhatian pemerintah. Pembangunan kepariwisataan tetap diarahkan untuk semua wilayah Indonesia, namun akan dilakukan secara bertahap dengan memanfaatkan pulau Bali sebagai titik tolak pengembangan kepariwisataan di pulau-pulau lainnya di Indonesia, mengingat pulau Bali sudah terkenal di seluruh dunia sebagai destinasi pariwisata yang menarik baik dari segi budaya maupun alamnya. Kemudian tahap kedua, difokuskan di Indonesia Bagian Barat dan berpusat di Medan.

    Dalam rangka meningkatkan jumlah wisatawan yang berkunjung ke Indonesia, pemerintah Indonesia membuka kantor-kantor cabang kepariwisataan di

    3 GBHN, Ginandjar Kartasasmita

    Jepang, Australia, Eropa, dan Amerika Utara, disamping upaya menyelesaikan lapangan terbang Tuban/Bali untuk memungkinkan pendaratan penerbangan-pener-bangan luar negeri secara langsung, dengan frekwensi pener bangan yang besar. Selanjutnya, dalam upaya meningkatkan pelayanan kepada wisatawan, pada tahun 1969 dibentuk Tourist Information Center terutama di Bali dan Jakarta. Sementara untuk memudahkan wisatawan mancanegara asing masuk ke Indonesia dibentuk National Facilitation Commitee yang bertugas mempersiapkan peraturan-peraturan yang terkait dengan hambatan masuknya wisatawan mancanegara masuk ke Indonesia, misalnya special air agreement. Dalam tahun 1972, usaha promosi berhasil memas tikan akan dilangsungkannya Konperensi Pasifi c Area Travel Association di Indonesia tahun 1974. Hal ini membuka kesem patan yang sangat baik bagi promosi pariwisata Indonesia di dunia pariwisata Internasional umumnya dan daerah Pasifi k khususnya.

    Dalam Repelita Pertama, peranan Pemerintah dalam mendukung pembangunan kepariwisataan dipusatkan pada pengembangan prasa rana obyek pariwisata, dan pelayanan yang bersifat umum, selebihnya diserahkan pengusahaannya kepada sektor swasta. Atas dasar ini maka dalam Repelita Pertama telah dilaksanakan pro gram rehabilitasi obyek-obyek pariwisata di daerah konsentrasi usaha pariwisata. Tumbuh dan berkembangnya industri pariwisata berdampak pada meningkatnya kebutuhan tenaga kerja profesional di bidang pariwisata. Oleh karenanya dalam rangka memenuhi pasar tenaga kerja tersebut telah didirikan berbagai pusat pendidikan pariwisata baik baik oleh pemerintah , se perti Pusat Pendidikan Pariwisata (Hotel and Training Institute) di Bandung maupun oleh swasta.

    Berdasarkan Instruksi Presiden (Inpres) No. 9 Tahun 1969 dibentuk Badan Pengembangan Pariwisata Nasional (Bapparnas) untuk menjamin pembinaan pengembangan pariwisata secara efektif dan kontinyu baik yang dilakukan oleh pemerintah maupun swasta. Badan yang beranggotakan pemerintah dan swasta tersebut bertugas membantu Menteri Perhubungan dengan tetap bekerjasama dengan Direktorat Jenderal Pariwisata.

    Kebijakan-kebijakan tersebut telah mampu meningkatkan jumlah kunjungan wisman ke Indonesia cukup mencolok. Pada tahun 1974 jumlah wisman yang berkunjung ke Indonesia sekitar 297,6 ribu orang atau

    24 Edisi 03/Tahun XIX/2013

    masa itu, pembangunan pariwisata belum menjadi Jepang, Australia, Eropa, dan Amerika Utara, disamping Daftar Pustaka

    ADPC. (2003, April-June). Lest we forget- Learning to Remember - Memorials, Mascots and Safety Days. Newsletter of the disaster management community in Asia and the Pacifi c, 9 (2). Retrieved from http://www.adpc.net/irc06/2003/04-06.pdf

    ASEAN Secretariat. (2011). Disaster resilience starts with the young: Mainstreaming disaster risk reduction in the school curriculum 2011. Jakarta: ASEAN Secretariat. Retrieved from http://www.preventionweb.net/files/submissions/18743_disasterresilienceyounglowresfi nal.pdf

    Gaillard, JC., Clave, E., Vibert, O., Azhari, Dedi, Denain , J.C., Efendi, Y, Grancher, D., Liamzon,C.C., Sari, D., R., Setiawan, R. (2008). Ethnic groups response to the 26 December 2004 earthquake and tsunami in Aceh, Indonesia. Natural Hazards, 47, 1738. doi: 10.1007/s11069-007-9193-3.

    GeoHazard International. (2007). Preparing your community from tsunamies. Retrieved from http://www.geohaz.org/news/images/publications/Preparing%20Your%20Community%20for%20Tsunamis%20version%202%20low%20res.pdf

    ICHARM-UNESCO. (2010). Report on the international workshop on sustainable tsunami disaster management: developing awareness, hazard mapping and coastal forest implementation.ICHARM Publication no.19.Retrieved from http://www.pacifi cdisaster.net/pdnadmin/data/original/ICHARM_2010_tsunami_workshop.pdf

    Johnston, D.M., Bebington, M, S., Lain, C. D., Houghton, B.F., & Paton, D. (1999).Volcanic hazard perception: comparative shift in knowledge and risk. Disaster Prevention & Management, 8(2) 118-126.

    LIPI & UNESCO. (2010). Cerita dari Aceh: membangun kapasitas dan sekolah siaga bencana. Jakarta: LIPI & UNESCO.

    Kurita, T., Arakida, M., and Colombage, S.R.N. (2007). Regional characteristics of tsunami risk perception among the tsunami aff ected countries in the Indian ocean. Journal of Natural Disaster Science, 29(1), 29-38. doi: 10.1108/09653560654266.

    Lavigne, F., Coster, B.D., Juvin, N., Flohic, F., Gailard, J.C., Texier, P., Morin, J., and Sartohadi, J. (2008). Peoples behaviour in the face of volcanoic hazards: perspective from Javanese communities, Indonesia.

    Journal of Vulcanology and Geothermal Research, 172, 273-287.

    Morin, J.,N., Flohic, F., and Lavigne. (2008). Tsunami-resilient communities development in Indoensia thorugh educative actions. Disaster Prevention and Management, 13 (1), 39-49. doi: 10.1108/09653560810887338.

    Mulilis, J.P., Duval, T.S., & Bovalino, K. (2000).Tornado preparedness of students, nonstudents renters, and nonstudent owners: issue of PrE theory. Journal of Applied Social Psychology, 30( 6) 1310-1329.

    Murata, S., Imamura, F., Katoh, K., Kawata, Y., Takahashi, S., and Takayama. (2010). Tsunami: to survive from tsunami. Singapore: World Scientifi c.

    Ozmen, Fatma. (2006). The level of preparedness of the schools for disasters from the aspect of the school principals. Disaster Prevention and Management, 15 (3), 383-395. doi: 10.1108/09653560610669873.\

    Paton, D. (2003). Disaster preparedness: a social-cognitive perspective. Disaster Prevention and Management, 12, 3, 210.

    Kementerian Pendidikan Nasional-Pusat Kurikulum. (2009). Modul ajar pengintegrasian pengurangan resiko gempa bumi: bahan pengayaan bagi guru SMA/SMK/MA/MAK. Jakarta: Pusat Kurikulum Badan Penelitian dan Pengembangan, Kementerian Pendidikan Nasional.

    Rachmalia, Hatthakit, U., and Chaowalit, A. (2011). Tsunami preparedness of people living in aff ected and non-aff ected areas: a comparative study in coastal area in Aceh, Indonesia. Australasian Emergency Nursing Journal, 14, 17-25.

    Ronan, K. R., and Johnston, D.M. (2010). Promoting community resilience in disaster: the role for schools, youth and families. New York: Springer

    Ronan, K. R., Crellin, K., and Johnston, D. (2009). Correlates of hazards education for youth: a replication study. Natural Hazards, 53, 503526. doi: 10.1007/s11069-009-9444-6

    Ronan, K. R., and Johnston, D.,M. (2003). Hazards education for youth: a quasi-experimental investigation. Risk Analysys, Vo. 23 No. 5, 2003.

    Ronan, K. R., and Johnston, D.,M. (2001). Hazards education program for youth. Risk Analysys, 21(6).

    Shaw, R and Shiwaku, K., (2008). Proactive co-learning:

    65Edisi 03/Tahun XIX/2013

    Daftar Pustaka Journal of Vulcanology and Geothermal Research,

    MAJALAH.indd Spread 24 of 44 - Pages(24, 65)MAJALAH.indd Spread 24 of 44 - Pages(24, 65) 31/12/2013 16:01:0731/12/2013 16:01:07

  • anak sekolah dan sekolah terkait dengan pengurangan risiko bencana sebagian terbukti. Efek yang kurang signifi kan terdapat pada kesadaran kritis karena pendekatan yang berbeda dari pendidikan bencana di sekolah yang mungkin disebabkan anak-anak sekolah di kedua sekolah merasa bahwa telah dilaksanakan pendidikan bencana di sekolah, sehingga tidak perlu untuk membahas masalah bencana tsunami di sekolah dan rumah. Temuan ini mirip dengan penelitian sebelumnya bahwa pendidikan bencana di sekolah tidak mempengaruhi tingkat kesadaran bencana daripada persepsi resiko23).

    Temuan penting lainnya adalah bahwa hasil dari penerapan isu bencana berbasis kurikulum di sekolah bisa menimbulkan sikap kesiapsiagaan anak-anak sekolah meskipun terbatas hanya dengan mengunjungi fasilitas pendidikan bencana (museum tsunami, kapal terdampar, pemakaman massal dan runtuhan bangunan). Temuan ini memenuhi harapan umum bahwa pendidikan bencana seharusnya tidak hanya berfokus pada memberikan pengetahuan tentang bencana tetapi juga bagaimana menjadi siap dan tanggap bencana23).

    Memberikan pengetahuan mengenai bencana dalam program pendidikan bencana bukanlah tugas yang begitu berat. Tantangannya adalah bagaimana program pendidikan bencana dapat mendorong masyarakat untuk memperbarui informasi, meningkatkan tingkat persepsi risiko, menjaga kesadaran, serta melakukan dan memperbarui persiapan yang tepat terhadap bencana di masa mendatang. Sebagai tindak lanjut, perlu dikembangkan berbagai pendekatan pengajaran dan pembelajaran yang akan mampu mencapai tujuan utama dari pengurangan risiko bencana: membuat orang memiliki budaya kesiapsiagaan bencana. Metode ceramah dalam pendekatan pembelajaran akan kurang efektif kecuali didukung oleh metode yang berbeda termasuk simulasi permainan, kunjungan lapangan, percobaan dan pelatihan rutin bencana. Seperti didukung oleh pernyataan Johnston dan Ronan17), melibatkan anak-anak dalam pendidikan bencana yang berbeda akan mendapatkan manfaat yang signifi kan daripada program tunggal.

    Standar kesiapsiagaan tsunami yang dikemukakan dalam penelitian ini, digambarkan sebagai seringnya kunjungan ke fasilitas pendidikan bencana dan fasilitas darurat yang mana akan berguna sebagai salah satu sikap perlindungan yang diperlukan untuk mengadopsi tidak hanya anak-anak sekolah tetapi juga bagi anggota

    masyarakat secara keseluruhan. Mengunjungi jalur evakuasi, membangun penampungan, menara sirene, dan museum tsunami akan membuat orang terbiasa dengan fasilitas tersebut. Ketika tsunami terjadi mereka akan dengan mudah menemukan tempat-tempat yang aman ke tempat dan waktu yang tepat. Mengunjungi pemakaman massal, kapal terdampar dan tiang tinggi tsunami tiang juga dapat dikategorikan sebagai tindakan kesiapsiagaan karena akan menjaga kesadaran masyarakat pada bencana di masa mendatang.

    Penelitian ini yang hanya mencakup kesiapsiagaan tsunami pada anak-anak sekolah sebagai hasil dari penerapan pendidikan bencana berbasis kurikulum merupakan salah satu keterbatasan dalam penelitian ini. Kerbatasan lain dari penelitian ini adalah tidak menyertakan kelompok sekolah yang tidak pernah menerapkan pada program pendidikan bencana sebagai kelompok kontrol. Penelitian selanjutnya harus difokuskan pada hasil dari program pendidikan bencana di sekolah terhadap kesiapsiagaan bencana tsunami baik di rumah tangga atau masyarakat.

    6. Kesimpulan

    Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa efek dari sekolah yang mengadopsi isu bencana berbasis kurikulum terhadap anak-anak sekolah berkaitan dengan pengurangan risiko bencana adalah efektif dalam meningkatkan pengetahuan bencana, meningkatkan tingkat persepsi risiko, kesiapsiagaan individu dan sekolah. Temuan penting adalah bahwa hasil dari penerapan isu bencana berbasis kurikulum di sekolah dapat membangkitkan sikap kesiapsiagaan anak-anak sekolah meskipun terbatas hanya pada kunjungan ke fasilitas pendidikan dan fasilitas darurat. Pengertian umum bahwa hukuman Tuhan sebagai penyebab utama tsunami harus ditangani secara komprehensif - tidak terbatas di sekolah. Guru dan siswa memainkan peran penting dalam meningkatkan kesadaran masyarakat, menyebarkan pengetahuan yang benar tentang bencana dan membangkitkan sikap kesiapsiagaan perilaku pada bencana lebih luas di masyarakat daripada terbatas di sekolah.

    Acknowledgment: Penelitian ini didukung oleh Disaster Mitigation Urban and Cultural Heritage(DMUCH), Ritsumeikan Universiy Global Centre of Excellence (G-COE). Kami juga mengucapkan terima kepada para siswa, guru, pemerintah daerah, dan TDMRC Aceh, Indonesia untuk dukungan dalam penelitian ini.

    64 Edisi 03/Tahun XIX/2013

    anak sekolah dan sekolah terkait dengan pengurangan masyarakat secara keseluruhan. Mengunjungi jalur mengalami peningkatan yang sangat tinggi hampir 2 kali lipat dari kunjungan wisman tahun 1969 yaitu sekitar 245,64persen.

    Kebijakan pembangunan kepariwisataan dalam Repelita Kedua (1974/75 1978/79) ditujukan untuk memperke nalkan kebudayaan, keindahan alam dan kepribadian Indonesia kepada masyarakat wisatawan, dan sekaligus membantu meningkatkan pendapatan masyarakat dan membuka kesempatan bagi wisatawan dalam negeri untuk mengenal tanah airnya sendiri. Titik berat pembangunan kepariwisataan pada waktu itu adalah pada (1) pengembangan sarana dan prasarana obyek pariwisata, khususnya di Bali terutama di Nusa Dua, Kuta, Sanur, dan daerah tujuan pariwisata lainnya; dan (2) pembinaan kelembagaan dan organisasi unsur-unsur penunjang pariwisata agar mampu mendukung pengembangan pariwisata, baik bagi wisatawan asing maupun wisatawan dalam negeri.

    Untuk mencapai tujuan-tujuan tersebut, maka langkah-langkah yang diambil antara lain: (a) menyusun pola pengembangan rencana induk pariwisata terutama pada daerah-daerah yang mempunyai potensi menarik wisatawan; (b) menyerasikan pola pengembangan pariwisata dari semua daerah-daerah tujuan wisata di Indonesia menjadi satu rencana induk pembangunan pariwisata nasional; (c) melanjutkan peningkatan prasarana dan sarana kepariwisataan yang telah dimulai pada Repelita Pertama serta memulai perencanaan prasarana dan sarana baru di bidang pariwisata; (d) mengadakan konsolidasi dan peningkatan pembinaan tenaga kerja berikut fasilitasnya untuk menampung pelayanan wisata yang memenuhi persyaratan kepariwisataan internasional; (e) memantapkan kedudukan Indonesia sebagai daerah tujuan wisata internasional; (f ) menyusun langkah-langkah pengembangan pariwisata dalam negeri; (g) meningkatan jumlah wisatawan terutama ditujukan pada segi peningkatan kualitas, sehingga penerimaan yang akan diperoleh negara menjadi lebih besar; (h) mengembangkan Sumber Daya Manusia (SDM) pariwisata; (i) mengembangkan kelembagaan dan organisasi yang menunjang pengembangan pariwisata.

    Dalam upaya meningkatkan kunjungan wisatawan mancanegara ke Indonesia, pemerintah telah membuka Kantor-kantor Pusat Promosi Pariwisata Indonesia di Frankfurt untuk kawasan Eropa Barat, San Francisco untuk kawasan Amerika Utara, Tokyo untuk kawasan Australia dan di Singapura untuk kawasan ASEAN serta melakukan kerjasama dengan beberapa media

    masa luar negeri. Untuk perencanaan pembangunan kepariwisataan yang berkelanjutan, dalam Repelita kedua pemerintah mulai menyusun Rencana Induk Pembangunan Pariwisata Nasional yang mengacu pada pola pengembangan pariwisata induk daerah-daerah di Indonesia. Selama Repelita kedua, jumlah wisman yang berkunjung ke Indonesia selalu mengalami peningkatan setiap tahunnya dan pada akhir Repelita kedua jumlah tersebut mencapai 501,4 ribu orang atau meningkat sekitar 68,48 persen dari tahun 1974 yang sebesar 297,6 ribu orang.

    Pembangunan kepariwisataan dalam Repelita Ketiga (1979/80 1983/84) ditujukan untuk meningkatkan penerimaan devisa, memperluas lapangan kerja dan memperkenalkan ke budayaan bangsa dengan tetap berupaya melestarikan keindahan alam dan keunikan budaya yang merupakan daya tarik wisata dan difokuskan pada 5 (lima) kegiatan pokok, yaitu kegiatan-kegiatan: (1) promosi pariwisata luar negeri yang akan lebih diintensifkan langsung ke negara-negara asal yang mempunyai potensi pasar; (2) Pengembangan pariwisata dalam negeri yang bertujuan untuk memperkecil mengalirnya devisa ke luar negeri, mendorong industri dalam negeri serta menciptakan kesempatan kerja bagi masyarakat; (3) Penataan dan peningkatan obyek wisata akan terus dilakukan sesuai dengan Rencana Induk Kepariwisataan Nasional; (4) Peningkatan pelayanan wisata melalui upaya pemberian kemudahan kepada wisatawan yang datang selama berada dan pada waktu meninggalkan Indonesia. Untuk itu akan dilakukan berbagai perbaikan dalam pelayanan kepada wisatawan, meliputi penyederhanaan dalam memperoleh visa, seperti pemberian visa pada waktu tiba (visa on arrival); memperluas pusat penerangan pariwisata; meningkatkan pelayanan sarana ang-kutan (penerbangan, kereta api, bis dan lain-lain); meningkatkan pelayanan hotel dan biro perjalanan; meningkatkan kemampuan personal yang melayani wisata, seperti pramuwisata, juru penerang dan penterjemah; (5) Kegiatan Penunjang Pariwisata yang meliputi upaya untuk (i) meningkatkan kemampuan lembaga pendidikan pariwisata melalui pembangunan Institut Pariwisata Nasional dan pembinaan lembaga pendidikan pariwisata swasta; (ii) menyusun undang-undang kepariwisataan nasio nal serta peraturan-peraturan pelaksanaannya; (iii) Memberikan bim-bingan dan penataran kepada para pengusaha biro perjalanan, peng usaha restoran, pengusaha hotel,

    25Edisi 03/Tahun XIX/2013

    mengalami peningkatan yang sangat tinggi hampir masa luar negeri. Untuk perencanaan pembangunan

    MAJALAH.indd Spread 25 of 44 - Pages(64, 25)MAJALAH.indd Spread 25 of 44 - Pages(64, 25) 31/12/2013 16:01:0831/12/2013 16:01:08

  • para pramuwisata, para pengusaha yang bergerak dalam usaha jasa agar dapat meningkatkan mutu pela-yanannya.

    Dalam rangka meningkatkan jumlah kunjungan wisman ke Indonesia, pada tahun 1983 Pemerintah mengeluarkan Keputusan Presiden No. 15 Tahun 1983 Tentang Kebijakan Pengembangan Pariwisata. Kebijakan tersebut memuat kebijakan pemberian bebas visa kunjungan singkat (BVKS) selama 2 (dua) bulan untuk wisatawan dari 26 negara, kebijakan membuka 3 pelabuhan udara sebagai pintu gerbang masuknya wisatawan asing ke Indonesia yaitu Mokmer (Biak), Sam Ratulangi (Manado), dan Pattimura (Ambon); dan menetapkan pelabuhan laut Belawan, Batu Ampar, Tanjung Priok, Tanjung Perak, Benoa, Padang Bai, Ambon dan Bitung sebagai pintu masuk kapal-kapal pesiar bagi wisatawan rombongan (cruise) dari luar negeri. Pada akhir Repelita ketiga pemerintah berhasil mendatangkan wisman sebesar 749,4 ribu orang atau meningkat sekitar 24,89 persen dari kunjungan wisman tahun 1980.

    Kebijakan pembangunan kepariwisataan dalam Repelita Keempat (1984/85 1988/89) diarahkan pada pengembangan beberapa kawasan wisata terutama untuk wisata resort baik resort di kawasan pantai (termasuk Tirta), kawasan pegunungan maupun resort di kawasan wisata budaya. Disamping itu juga akan dikembangkan Taman wisata dan hiburan yang potensial. Dalam rangka meningkatkan jumlah kunjungan wisatawan mancanegara, disamping memberikan kemudahan bagi wisman masuk ke Indonesia dengan kebijakan bebas visa, melalui Intrusksi Presiden (Inpres) No. 46 Tahun 1988 pemerintah juga menambah (1) empat Bandara Udara (Bandara), yaitu Bandara Frans Ksiepo (Biak), Supadio (Pontianak), El Tari (Kupang), Sepinggan (Balikpapan), dan Bandara Juanda (Surabaya); (2) tiga pelabuhan laut, yaitu Sekupang (Pulau Batam), Tanjung Mas, dan Tanjung Pinang, sebagai pintu masuk wisatawan dari luar negeri. Sementara itu, untuk mendorong tumbuhnya investasi di industri pariwisata, pemerintah memberikan insentif berupa keringanan perpajakan dan restribusi daerah bagi investor yang menanamkan modalnya di Indonesia. Kebijakan-kebijakan tersebut dibarengi dengan kebijakan di bidang penerbangan Internasional yaitu dengan membuka pintu masuk pariwisata dan perluasan jaring an penerbangan ke daerah tujuan wisata di Indonesia. Semua kebijakan tersebut tidak akan efektif untuk mendatangkan wisman tanpa dibarengi dengan upaya pemasaran dan

    promosi yang efektif baik di dalam maupun di luar negeri, diantaranya yaitu dengan memantapkan kantor Pusat Promosi Pariwisata Indonesia (P3I) di luar negeri.

    Sejalan dengan kebijakan pembangunan Nasional, mulai Repelita Keempat, kebijakan pembangunan kepariwisataan dilakukan melalui 1 (satu) Program, yaitu Program Pengembangan Pariwisata yang merupakan bagian dari Bidang Perhubungan dan Pariwisata. Program ini terutama diarahkan untuk menarik jumlah wisatawan asing hingga mencapai lebih dari 1(satu) juta orang melalui langkah-langkah antara lain : pemberian ijin bebas visa bagi wisatawan asing yang berasal dari 26 negara pasaran wisata, kebijaksanaan pintu masuk lebih diperlonggar, penye lesaian Rancangan Undang-undang Kepariwisataan Nasional (RUU Kepariwisataan Nasional), penyelesaian obyek wisata (resort) di 10 daerah tujuan wisata, pemberian insentif bagi calon in vestor (perpajakan, retribusi, pungutan) dan pemantapan pro-mosi ke luar negeri terutama dalam mencapai sasaran pasar wi sata internasional. Kebijakan pemerintah tersebut telah mampu mendatangkan wisman sebesar 1.625,0 ribu orang pada akhir Repelita keempat atau meningkat cukup tinggi (116,91 persen) dibandingkan jumlah wisman yang berkunjung ke Indonesia pada tahun pertama Repelita keempat.

    Kebijakan pembangunan kepariwisataan dalam Repelita Kelima (1989/90 1994/95) diarahkan pada upaya memupuk rasa cinta tanah air dan bangsa, memperkenalkan kekayaan dan keunikan budaya, keindahan alam termasuk alam bahari, serta menanamkan jiwa, semangat dan nilai-nilai luhur bangsa dalam rangka lebih memperkokoh persatuan dan kesatuan nasional di samping untuk mendorong peningkatan kegiatan perekonomian nasional. Untuk mendukung kebijakan tersebut diperlukan langkah-langkah antara lain melakukan diversifi kasi produk dan atraksi wisata dengan pendekatan Wilayah Tujuan Wisata (WTW), yaitu suatu wilayah yang meliputi beberapa Pro vinsi atau daya tarik wisata (DTW) yang berdekatan, dirangkai menjadi suatu paket wisata yang terintegrasi dan saling mengisi. Selain itu, juga dikembangkan wisata konvensi mengingat adanya kecenderungan semakin meningkatnya kegiatan pertemuan internasional, konperensi, eksibisi dan pameran di Indonesia; dan wisata kapal pesiar me lalui kerja sama dengan perusahaan wisata kapal pesiar inter nasional untuk dapat menjaring peningkatan kunjungan transit ke objek-objek wisata bahari dan taman laut, serta obyek wisata lainnya. Sementara itu untuk menarik wisatawan dalam negeri, pemerintah menerapkan insentif bagi wisatawan dalam negeri, terutama wisatawan remaja,

    26 Edisi 03/Tahun XIX/2013

    para pramuwisata, para pengusaha yang bergerak promosi yang efektif baik di dalam maupun di luar negeri, Table 3 Pemahaman Siswa terhadap Tsunami

    Pengetahuan Kurikulum N(%)

    Non- Kurikulum N(%)

    Peyebab tsunami 98 (100%0 70 (100%)Hukuman TuhanFenomena alamPerbuatan manusiaTidak tahuLainnya

    30 (31%)37 (38%)20 (22%)

    9 (9%)2 (2%)

    28 (40%)4 (6%)

    25 (36%)11 (15%)

    2 (3%)

    Kemungkinan terjadi tsunami 97 (100%) 70(100%)Kapan sajaTahun iniTahun depan 25 tahun ke depan50 tahun ke depan100 tahun ke depan

    82 (84%)4 (4%)2 (2%)2 (2%)2 (2%)5 (5%)

    50 (71%)3 (4%)5 (9%)2 (3%)3 (4%)6 (9%)

    Table 4 Mean, Standard Error and MANOVA test: skor pengetahuan, persepsi resik, kesadaran kritis, kesiapasiaaan individual dan sekolah masing-masing kelompok sekolah

    Dependent Variables/School Groups

    (Min-Max)Mean

    Standard Error df F Sig (p)

    Partial Eta Squared

    Pengetahuan (0 - 2) - 1 18.094 .000 .147KurikulumNo- Kurikulum

    1.12.596

    .081

    .092--

    --

    --

    Persepsi resiko (1 - 5) - 1 5.810 .018 .052KurikulumNo- Kurikulum

    3.7883.463

    .089

    .101--

    --

    --

    Kesadaran Kritis (1 - 5) - 1 .578 .449 .005KurikulumNo- Kurikulum

    2.4162.427

    .110

    .129--

    --

    --

    Kesiapan Individu (1 - 5) - 1 11.405 .001 .098KurikulumNo- Kurikulum

    2.6862.191

    .097

    .110--

    --

    --

    Kesiapan Sekolah (1 - 5) - 1 32.627 .000 .237KurikulumNo- Kurikulum

    4.5073.945

    .065

    .097--

    --

    --

    Nilai rata-rata dari pengetahuan anak-anak sekolah, persepsi resiko, kesadaran kritis, kesiapsiagaan sekolah dan individu dapat dilihat pada table 4. Secara umum, nilai rata-rata semua variable tersebut lebih tinggi di sekolah yang mengadopsi kurikulum bencana dibandingkan dengan sekolah yang non kurikulum kecuali dalam hal kesadaran kritis. Dalam hal pengetahuan, 2 Kelompok Sekolah dapat dikategorikan sama rendah. Untuk sekolah yang mengadopsi kurikulum bencana dengan Mean=1.1, sedikit lebih tinggi dibanding sekolah non-adopsi (Mean=6). Sementara dalam hal persepsi resiko, kesadaran kritis, kesiapsiagaan sekolah dan individu, Nilai rata-rata dari sekolah yang mengadopsi kurikulum bencana lebih tinggi dibandingkan sekolah non adopsi

    kecuali untuk kesadaran kritis. Nilai kesadaran kritis di kedua sekolah cukup rendah atau dibawah nilai tengah dengan skala 5 (2.5). Secara keseluruhan, nilai yang lebih rendah

    Analisis MANOVA menunjukkan bahwa Box M tidak memenuhi dugaan homogenitas varian (F (15, 39121) = 2,339, sig = 002). Hasil pengujian oleh Lavene menunjukkan bahwa hanya variabel persepsi (F (1, 105) = 4,626, sig = 0,034) dan kesiapsiagaan sekolah (F (1, 105) = 19,465, sig = .000) yang tidak terpenuhi dugaan homogenitas asumsi varian. Namun karena sampel berukuran hampir sama, prosedur MANOVA secara umum kuat 30).

    Hasil analisis mendukung adanya perbedaan pengaruh yang efektif dari program pendidikan bencana di sekolah. Terdapat pengaruh yang signifi kan dukungan terhadap program pendidikan bencana berbasis kurikulum pada gabungan variabel tetap seperti pengetahuan anak sekolah, persepsi resiko, kesadaran kritis dan kesiapsiagaan sekolah. (F (5,101) =10.55, p=.000; Wilks Lambda= .66; Partial Eta Squared = .343).

    Seperti ditunjukkan pada tabel 4, analisis setiap variabel tetap menunjukkan bahwa penerapan pendekatan yang berbeda dari pendidikan bencana di sekolah kurang begitu mempengaruhi secara signifi kan terhadap kesadaran kritis (F (1.105) = 0,578, p = 0,449). Di sisi lain, terdapat hasil dari penerapan topik bencana berbasis kurikulum pada pengetahuan anak-anak sekolah (F (1, 105) = 18,094, p = .000), persepsi risiko (F (1.105) = 5,810, p = 018), kesiapsiagaan individu (F (1.105) = 11,405, p = 011) dan kesiapsiagaan sekolah (F (1.105) = 32,627, p = 000).

    Jumlah jawaban yang lebih besar dari anak-anak sekolah di kedua sekolah terhadap penyebab tsunami menunjukkan bahwa peran agama dalam memahami fenomena alam sangat penting. Dalam mengembangkan materi terkait pengurangan risiko bencana di negara mayoritas Muslim seperti Indonesia, keyakinan bahwa bencana disebabkan karena hukuman Tuhan harus lebih diberikan perhatian. Biar bagaimanapun, keyakinan tersebut tidak akan secara signifi kan mempengaruhi pengurangan risiko bencana yang efektif jika orang memiliki kemauan untuk membangun kesiapsiagaan yang tepat. Sangat penting untuk mengembangkan pengetahuan bencana berdasarkan perspektif keagamaan.

    Temuan ini menunjukkan bahwa pengaruh sekolah mengadopsi isu bencana berbasis kurikulum pada anak-

    63Edisi 03/Tahun XIX/2013

    Table 3 Pemahaman Siswa terhadap Tsunami kecuali untuk kesadaran kritis. Nilai kesadaran kritis di

    MAJALAH.indd Spread 26 of 44 - Pages(26, 63)MAJALAH.indd Spread 26 of 44 - Pages(26, 63) 31/12/2013 16:01:0931/12/2013 16:01:09

  • tsunami dengan anggota keluarga (ayah, ibu, nenek, nenek, kakak, adik, dll ), saya berbicara (membahas) tentang tsunami dengan teman-teman di sekolah saya/desa (tidak pernah / selalu).

    Terdapat 7 item (Cronbach Alpha = 0,738) dari kesiapsiagaan individu termasuk dalam waktu enam bulan terakhir, seberapa sering Anda: (1) mengunjungi (mengindahkan) jalur evakuasi dan tempat penampungan, (2) mengunjungi menara sirene tsunami, (3) berpartisipasi dalam pelatihan rutin bencana tsunami/simulasi, (4) mengunjungi pemakaman massal, (5) mengunjungi museum tsunami, (6) tiang penanda tinggi tsunami, dan (7) mengunjungi kapal. Jawabannya dievaluasi dengan memberikan nilai dengan skala 3 tidak pernah, 1 kali, 2 kali dan 3 atau lebih dari 3 kali.

    Kesiapsiagaan sekolah dikembangkan dari LIPI (2009) dan berbagai referensi lainnya terdiri dari 7 item (Cronbach Alpha = 0,781), dengan bertanya kepada siswa perjanjian bahwa sekolah telah (1) mengajarkan tentang tsunami kepada siswa, (2) mengajarkan bagaimana tanggap tsunami, (3) mengembangkan rencana evakuasi dan menyiapkan perlengkapan darurat, (4) mengembangkan sistem peringatan dini atau komunikasi darurat, (5) memasang petunjuk-petunjuk evakuasi, (6) memberikan informasi, (7) melakukan pelatihan rutin bencana . Jawabannya dinilai dengan memberikan nilai dengan skala 5 sangat tidak setuju, tidak setuju, tidak setuju atau setuju, setuju, dan sangat setuju.

    5. Temuan dan Pembahasan

    Sebagaimana dipaparkan dalam tabel 1, secara umum tidak terdapat karakteristik yang berbeda diantara anak-anak sekolah dari dua sekolah. Tabel 2 menunjukkan informasi mengenai pengalaman tsunami tahun 2004, apakah mereka memiliki pengalaman secara langsung atau tidak, rumah mereka telah terpukul oleh tsunami dan anggota keluarga kehilangan atau tidak. Dalam hal pengetahuan, hasil deskriptif yang menunjukkan bahwa bagian jawaban yang benar tentang penyebab tsunami dan ketika tsunami akan terjadi adalah terhitung rendah sebanyak 38% di sekolah yang mengadopsi kurikulum bencana terpadu dan hanya 6% di sekolah yang tidak mengadopsi ada kurikulum tersebut. Tabel 3 menunjukkan bahwa bencana tsunami yang disebabkan oleh hukuman Allah tetap sama tinggi di kedua sekolah dengan masing-masing perolehan 31% dan 40%.

    Tabel 1 Karakteristik subyek (siswa)

    Karakteristik Subyek (siswa) Kurikulum N(%)

    Non- Kurikulum

    N(%)Kelas 97 (100%) 71 (100%)

    456

    0 (0%)54 (55%)43 (44%)

    20 (28%)26 (37%)25 (35%)

    Umur 89 (100%) 71 (100%)

  • pembangunan objek dan daya tarik wisata, serta (h) meningkatkan usaha perintisan untuk menjangkau daerah dan masyarakat tertinggal sebagai salah satu upaya mengentaskan kemiskinan; (i) mendorong usaha pariwisata berskala besar dan menengah untuk membantu penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan tenaga kerja di kalangan usaha kecil, dan mengembangkan modul tingkat khusus untuk semua jenjang pekerjaan atau jabatan, terutama bagi usaha golongan menengah dan kecil; serta (j) membentuk unit pelatihan khusus untuk melakukan pendidikan dan pelatihan tenaga kerja di daerah yang lokasinya berjauhan dengan lembaga pendidikan dan pelatihan yang ada.

    Kebijakan pembangunan kepariwisataan dalam Repelita Keenam dijabarkan ke dalam 2 (dua) program pokok dan 5 (lima) program penunjang. Kedua Porgram Pokok tersebut adalah (1) Program Pengembangan Pemasaran yang meliputi kegiatan-kegiatan pemasaran dalam negeri dan pemasaran luar negeri; (2) Program Pengembangan Produk Wisata yang meliputi kegiatan-kegiatan: penyusunan rencana induk pengembangan kepariwisataan nasional dan rencana pengembangan kawasan, obyek dan daya tarik wisata yang mempunyai potensi; pengembangan obyek dan daya tarik wisata bahari yang mencakup antara lain; pengembangan obyek dan daya tarik wisata alam, agrowisata, peninggalan sejarah dan budaya; pengembangan obyek wisata dan daya tarik wisata minat khusus; pengembangan dan pengelolaan kawasan pariwisata Krakatau, kawasan Batam dan Bintan dalam kaitan dengan kawasan kawasan Sijori, kawasan Aceh dan Sumatera Utara dalam kaitan dengan kawasan segitiga Utara, kawasan Sulawesi Utara dalam kaitan dengan kawasan Utara Indoneisa, dan Kawasan Nusa Tenggara Timur dan Timor Timur dalam kaitan dengan kawasan Selatan Indonesia; pembangunan Taman Rekreasi dan tempat hiburan; pengembangan wisata konvensi di Jakarta, Bali, Medan, Bandung, Yogyakarta, dan Surabaya; pendirian usaha perjalanan wisata sebanyak yang dibutuhkan; pengembangan dan penyusunan informasi pariwisata; peningkatan peran serta koperasi, usaha kecil dan menengah dalam usaha pengembangan produk wisata; dan pembangunan sarana akomodasi sekitar 100.000 kamar tersebar di seluruh Indonesia sejalan dengan pengembangan obyek dan daya tarik wisata

    Selanjutnya kelima Program Penunjang meliputi: (1) Program Pengemdalian Pencemaran Lingkungan Hidup; (2) Program Pendidikan, Pelatihan, dan

    Penyuluhan Pariwisata; (3) Program Penelitian dan Pengembangan Pariwisata; (4) Program Pembangunan Prasarana pariwisata; dan (5) Program Pembinaan dan Pengembangan Kebudayaan dan Kesenian

    Kebijakan pembangunan kepariwisataan selama periode Orde Baru cukup menggembirakan. Hal ini ditandai bahwa pada masa tersebut jumlah wisman yang berkunjung ke Indonesia meningkat secara mencolok dari 86,1 ribu orang dengan devisa yang dihasilkan sebesar USD 10,8 juta pada tahun 1969 menjadi 2.569,9 ribu orang (30 kali lipat dari tahun 1969) dengan devisa yang dihasilkan sebesar USD 2.518,1 juta pada tahun 19914 (Gambar....).

    Gambar 5:

    Grafik 6:

    Sumber: Orde Baru Dalam Angka, Hasil-hasil Pembangunan Jangka Panjang Tahap Pertama

    Pembangunan Jangka Panjang 25 tahun Kedua yang seharusnya berlangsung sampai dengan tahun 2020, hanya dapat dilaksanakan Pembangunan

    4 Sekretariat Jenderal Dewan Pimpinan Pusat Golongan Karya, Orde Baru Dalam Angka, Hasil-hasil Pembangunan Jangka Panjang Tahap Pertama, Jakarta 1992, hal. 96-97

    28 Edisi 03/Tahun XIX/2013

    pembangunan objek dan daya tarik wisata, serta (h) Penyuluhan Pariwisata; (3) Program Penelitian Meskipun surat Edaran Kementerian Pendidikan mendorong pemerintah daerah untuk mengadopsi Pendidikan Bencana berbasis Sekolah, namun di Aceh kebijakan tersebut secara resmi telah diterapkan meluas ke semua sekolah. Memiliki pengalaman mengembangkan SSB, didukung oleh pendanaan internasional yang disebut DRR - A, pada tahun 2011, TDMRC mulai meniru model SSB di 28 sekolah di tempat yang berbeda di Aceh . Sebagai ganti dari menerapkan pendidikan bencana berbasis kurikulum, mereka memulai proyek dengan pelatihan mengenai isu-isu bencana langsung kepada guru dan anak-anak sekolah yang terpisah dari mata pelajaran dan jam sekolah. Meskipun pada akhirnya, proyek ini akan menerapkan pendidikan bencana berbasis kurikulum sekolah, program yang diajarkan lebih interaktif dengan menggunakan berbagai metode seperti permainan peran, diskusi dan metode lainnya. Setiap bulan TDMRC melibatkan pemerintah daerah, organisasi Palang Merah mengadakan kegiatan yang berbeda di sekolah sesuai jadwal. Meskipun terdapat kegiatan serupa yang berkaitan dengan pendidikan bencana yang diadakan di sekolah-sekolah, namun terdapat perbedaan yang signifi kan terhadap cara yang berbeda dalam memasukan tema bencana berbasis kurikulum secara resmi dan waktu pelaksanaan.

    Secara singkat, perbedaan metode antara sekolah dengan pendidikan bencana berbasis kurikulum dan sekolah non kurikulum adalah, di sekolah dengan kurikulum: (1) difasilitasi dan dibiayai oleh pemerintah pusat dan daerah, sementara di sekolah non-kurikulum oleh NGO, (2) permasalahan bencana telah digabungkan ke dalam mata pelajaran sekolah (Bahasa, Ilmu Sosial, Ilmu Pengetahuan, Agama, dll) sementara di non-kurikulum belum digabungkan, (3) topik bencana diajarkan oleh guru yang bertanggung jawab untuk setiap mata pelajaran, sementara di non-kurikulum diajarkan oleh staf NGO.

    Melihat perbedaan tersebut, hipotesis penelitian adalah bahwa sekolah yang mengadopsi pendidikan bencana berbasis kurikulum lebih efektif dalam hal pengetahuan, kesadaran, risk reception, kesiapsiagaan bencana tsunami dibandingkan dengan sekolah yang mengadopsi non-kurikulum baik secara kelembagaan maupun individual. Pengaruh pendidikan bencana tidak hanya mempengaruhi pengetahuan, kesadaran kritis, dan persepsi risiko tetapi juga pada sikap kesiapsiagaan.

    4. Metode

    Survei dengan metode pembagian kuesioner dilakukan di antara anak-anak sekolah pada tiga sekolah di Banda Aceh (25-26 November 2011) dan kabupaten Aceh Jaya (27-28 November 2011). Sekolah A yang mengadopsi tema bencana ke dalam kurikulum sekolah (n = 98) dikelompokkan ke dalam Kelompok Sekolah 1 dan sekolah B dan C dikelompokkan ke dalam pendidikan bencana berbasis non kurikulum (n = 71) atau Kelompok Sekolah 2. Wawancara mendalam dengan guru, pejabat pemerintah daerah, dan organisasi non pemerintah dilakukan untuk membahas aspek-aspek terkait pelaksanaan kurikulum pengurangan risiko bencana.

    Pembagian kuesioner dilakukan oleh peneliti dengan bantuan guru, staf pejabat pemerintah daerah dan LSM. Guru dan staf lokal diberi pengarahan dan dibekali dengan penjelasan kuesioner untuk memastikan siswa tepat dalam mengisi kuesioner. Awalnya 110 set kuesioner dibagikan dan dikembalikan 110 (100%) di Sekolah 1 tetapi hanya 98 (89%) yang dapat dianalisis. Hal tersebut dikarenakan tanggapan yang kurang lengkap. Sedangkan Sekolah 2, dari 80 kuesioner yang dikembalikan 75 (93%) namun hanya 71 (88%) dimasukkan dalam analisis, karena jawaban kurang lengkap.

    Kuesioner dibagi menjadi tiga bagian: karakteristik demografi , pengalaman dengan tsunami 2004, dan pengetahuan anak-anak sekolah, persepsi risiko, kesadaran kritis, pemahaman dan kesiapsiagaan individual. Pengetahuan mengenai tsunami berasal dari dua pertanyaan, seperti apa yang dimaksud tsunami dan penyebab tsunami dan kapan tsunami berikutnya dapat terjadi. Tanggapan hanya memiliki satu jawaban yang benar, berkisar dari 0 sampai 2 (respon yang benar total = 2).

    Persepsi risiko dievaluasi dengan 4 hal (Cronbach Alpha = 0,574) terdiri dari 1 hal mengenai Bagaimana kemungkinan tsunami yang dapat terjadi selanjutnya dan 3 hal mengenai Apabila tsunami terjadi di daerah Anda, bagaimana kemungkinan anda berpikir hal tersebut dapat mempengaruhi /mengakibatkan bahaya bagi anda/keluarga anda (kerusakan properti dan mengganggu keluarga untuk mencari nafkah), (sangat tidak mungkin / sangat mungkin). Kesadaran kritis dinilai oleh 3 hal (Cronbach Alpha = 0,562) menggunakan karya dari Paton et. al .14 ) yang mana saya berpikir tentang peristiwa tsunami dan dampak kami kehidupan kami, saya berbicara (membahas) tentang

    61Edisi 03/Tahun XIX/2013

    Meskipun surat Edaran Kementerian Pendidikan 4. Metode

    MAJALAH.indd Spread 28 of 44 - Pages(28, 61)MAJALAH.indd Spread 28 of 44 - Pages(28, 61) 31/12/2013 16:01:1131/12/2013 16:01:11

  • kesiapsiagaan masyarakat terhadap bencana, risk perception, dan critical awareness. Sudut pandang secara teori dan praktek menegaskan bahwa pengetahuan bencana di sekolah tidak hanya ditujukan pada pengetahuan murid sekolah, kesadaran kritis ,dan persepsi resiko tapi juga perubahan sikap terhadap kesiapsiagaan.

    3. Pembangunan Program Kesiapsiagaan Bencana berbasis Sekolah di Indonesia

    Tidak lama setelah tsunami yang menghancurkan pada tahun 2004, pemerintah Indonesia didesak untuk mengadopsi kurikulum bencana ke dalam sekolah. Dikarenakan peliknya birokasi pendidikan, pembahasan mengenai pengurangan resiko bencana ke dalam sekolah menimbulkan perdebatan apakah pendidikan resiko bencana seharusnya dijadikan mata pelajaran khusus atau digabungkan dengan mata pelajaran yang sudah ada. Kedua metode tersebut memiliki keuntungan dan kerugian. Menciptakan mata pelajaran dengan tema bencana kedalam kurikulum dapat menimbulkan kesulitan dan memakan waktu yang lama untuk menerapkannya. Karena hal tersebut terkait dengan kebutuhan untuk mengubah peraturan, mengembangkan kurikulum yang mencakup nasional, dan mengadopsi karakteristik local kedalam mata pelajaran bencana.

    Setelah memberlakukan Undang-Undang tentang Penanggulangan Bencana Nomor 24/2007, pemerintah mengembangkan kurikulum bencana dengan menerapkan proyek percontohan di beberapa sekolah baik untuk sekolah dasar, sekolah menengah pertama dan sekolah menengah atas. Pada tahun 2009, Pusat Pengembangan Kurikulum, Kementerian Pendidikan meluncurkan modul pengajaran tentang pengarusutamaan pengurangan risiko bencana berdasarkan jenis bencana seperti gempa bumi, tsunami, kebakaran, tanah longsor dan banjir15).

    Pada saat yang bersamaan, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) mengembangkan proyek percontohan untuk sekolah berbasis pendidikan bencana yang disebut Sekolah Siaga Bencana (SSB). SSB yang didukung oleh UNESCO, telah sukses diterapkan di tempat yang berbeda di Indonesia 7, 9, 28). Program mendasar dari SSB adalah mengembangkan kurikulum bencana melalui berbagai kegiatan termasuk pelatihan untuk pelatih yang ditujukan bagi para guru, lokakarya, pengembangan modul, pelatihan untuk warga

    sekolah, melengkapi dengan kegiatan percobaan yang berkaitan dengan subjek bencana. Kegiatan lainnya adalah memasang tanda dan pesan tentang pendidikan bencana, membagikan bahan-bahan yang berhubungan dengan informasi bencana dan penilaian bangunan sekolah tahan gempa7, 28).

    Kebijakan pengarusutamaan pendidikan bencana kedalam sekolah terutama ditandai dengan terbitnya Surat Edaran Menteri Pendidikan (Kemendiknas) No 70a/MPN/SE/2010 tentang Pengarusutamaan Bencana ke Sekolah oleh Kementerian Pendidikan27). Kebijakan ini menunjukkan bahwa pemerintah daerah harus dapat mengadopsi dan mengembangkan sekolah berbasis program pendidikan bencana berdasarkan kebutuhan dan karakteristik daerah namun tetap didasarkan pada pedoman umum dari kebijakan pemerintah pusat dalam hal penanggulangan bencana.

    Pada tahun 2009, proyek percontohan SSB mulai diterapkan di Aceh yang didukung oleh LIPI, UNESCO dan TDMRC9). Terdapat satu sekolah dasar, sekolah menengah pertama dan sekolah menengah atas di Banda Aceh. Tema bencana telah digabungkan terutama ke dalam mata pelajaran Agama, Bahasa Indonesia, Ilmu Sosial, Ilmu Pengetahuan dan Muatan Lokal. Modul tersebut dikembangkan oleh para pemangku kepentingan daerah seperti Dinas Pendidikan Kota, guru, TDMRC berdasarkan pedoman nasional untuk kurikulum bencana.

    Pada dasarnya mata pelajaran mengenai bencana diberikan kepada semua tingkatan kelas. Untuk satu mata pelajaran yang diajarkan dalam satu semester, setidaknya ada lebih dari 3 kali (2 jam) pembahasan dengan tema bencana. Terutama dalam Ilmu Alam dan Sosial, permasalahan mengenai bencana dibahas secara lebih mendalam dan rinci. Awalnya, para guru diberi pelatihan bagaimana mengembangkan dan mengajarkan tema mengenai bencana kepada anak-anak sekolah. Mereka juga didorong untuk mengembangkan metode yang berbeda dalam mengajar siswa seperti mengembangkan percobaan sederhana yang berkaitan dengan mata pelajaran tersebut dan metode lainnya seperti kegiatan ekstrakurikuler dan mengadakan pengajaran umum dengan mengundang narasumber dari luar sekolah. Sekolah juga harus dapat mengembangkan pedoman sekolah tentang penanggulangan bencana, rencana darurat, memasang petunjuk-petunjuk darurat, pameran pendidikan umum, dan pelatihan rutin bencana.

    60 Edisi 03/Tahun XIX/2013

    kesiapsiagaan masyarakat terhadap bencana, risk sekolah, melengkapi dengan kegiatan percobaan lima tahun Pertama. Hal ini disebabkan terjadinya gejolak politik dan ekonomi pada tahun 1998 yang mengakibatkan jatuhnya Orde Baru dan melahirkan era Reformasi. Peristiwa tersebut mengakibatkan situasi dalam negeri yang kurang kondusif dan akhirnya berdampak pula pada menurunya jumlah kunjungan wisman pada tahun 1998 sebesar 12,11 persen dari tahun 1997.

    Empat tahun pertama masa Reformasi dikenal dengan masa transisi. Dalam masa tersebut kebijakan perencaaan pembangunan kepariwisataan mengacu pada Program Pembangunan Nasional Lima Tahun. Sesuai dengan amanah GBHN 1999 2004, arah kebijakan pembangunan nasional dituangkan dalam Program Pembangunan Nasional Lima Tahun (Propenas) yang ditetapkan oleh Presiden bersama Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) melalui Undang-Undang Republik Indonesia No. 25 Tahun 2000 tentang Program Pembangunan Nasional (Propenas) tahun 2000 2004. Propenas kemudian dirinci dalam Rencana Pembangunan Tahunan (Repeta) yang memuat Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yang ditetapkan oleh Presiden bersama DPR. Di dalam GBHN disebutkan bahwa pariwisata merupakan salah satu sektor yang mendukung pembangunan ekonomi -Mengembangkan perekonomian yang berorientasi global sesuai kemajuan teknologi dengan membangun keunggulan kompetitif berdasarkan keunggulan komparatif sebagai negara maritim dan agraris sesuai kompetensi dan produk unggulan di setiap daerah, terutama pertanian dalam arti luas, kehutanan, kelautan, pertambangan, pariwisata, serta industri kecil dan kerajinan rakyat.

    Dalam periode Propenas, kebijakan pengembangan Pariwisata diarahkan untuk mendukung kebijakan Peningkatan Daya Saing pariwisata dan diprioritaskan pada upaya pemulihan citra pariwisata yang sempat menurun sebagai akibat dari peristiwa bom Bali pada tahun 2002 dan tahun 2005. Kedua peristiwa tersebut tentu saja berdampak pada menurunnya jumlah wisman yang berkunjung ke Indonesia (Grafi k 2) mengingat Bali merupakan penyumbang terbesar jumlah wisman. Secara khusus pembangunan pariwisata diarahkan untuk mendukung pencapaian sasaran prioritas pembangunan nasional, yaitu Meningkatnya kesejahteraan rakyat, kualitas kehidupan beragama, dan meningkatnya ketahanan budaya melalui pengembangan kepariwisataan dengan secara

    terpadu bersifat interdisipliner dan partisipatoris dan menggunakan kriteria ekonomis, teknis, ergonomis, sosial budaya, hemat energi, melestarikan alam, dan tidak merusak lingkungan.

    Kebijakan pariwisata tersebut dilaksanakan melalui 1 (satu) program yaitu program pengembangan pariwisata. Program ini bertujuan untuk mengembangkan dan memperluas diversifi kasi produk dan kualitas pariwisata nasional yang berbasis pada pemberdayaan masyarakat, kesenian, dan kebudayaan, dan sumber daya alam (pesona alam) lokal dengan tetap memperhatikan kelestarian seni dan budaya tradisional serta kelestarian lingkungan hidup setempatl; mengembangkan dan memperluas pasar pariwisata terutama pasar luar negeri. Untuk mencapai tujuan tersebut kegiatan-kegiatan pokok yang akan dilakukan antara lain (i) merumuskan reformasi kebijakan pariwisata nasional berlandaskan pemberdayaan sumber daya lokal; (ii) merumuskan strategi pemasaran industri pariwisata dengan penekanan pada keterpaduan antara produk dan pemasaran pariwisata; (iii) mengembangkan sumber daya alam; (iv) mengembangkan serta pengkayaan kesenian dan kebudayaan tradisional sebagai produk wisata potensial; (v) meningkatkan profesionalisme SDM pariwisata; dan meningkatkan aksessbilitas ke tujuan-tujuan wisata potensial; (vi) meningkatkan kemampuan lembaga pelayanan publik; dan (vii) meningkatkan koordinasi

    Dalam rangka menata dan memperkuat perencanaan pembangunan nasional pada tahun 2007 dikeluarkan Undang-undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional. Undang-undang tersebut mengamanahkan untuk menyusun Rencana Pembangunan Jangka Panjang dan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional. Dalam Pasal 19 ayat (1), Undang-undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional menetapkan bahwa Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional ditetapkan paling lambat 3 (tiga) bulan setelah Presiden dilantik. Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional merupakan penjabaran visi, misi, dan program Presiden selama 5 (lima) tahun, ditempuh melalui Strategi Pokok yang dijabarkan dalam Agenda Pembangunan Nasional memuat sasaran-sasaran pokok yang harus dicapai, arah kebijakan, dan program-program pembangunan. Disamping itu, Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional disusun dengan tetap mempertimbangkan amanah

    29Edisi 03/Tahun XIX/2013

    lima tahun Pertama. Hal ini disebabkan terjadinya terpadu bersifat interdisipliner dan partisipatoris dan

    MAJALAH.indd Spread 29 of 44 - Pages(60, 29)MAJALAH.indd Spread 29 of 44 - Pages(60, 29) 31/12/2013 16:01:1231/12/2013 16:01:12

  • Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional tahun 2005 2025 yang ditetapkan dengan Undang-Undang Republik Indonesia No. 17 Tahun 2007 Tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional Tahun 2005 2025.

    Sejalan dengan Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional 2005 2025 dan dalam rangka memperkuat Perekonomian Domestik dengan Orientasi dan Berdaya Saing Global pembangunan Kepariwisataan diarahkan untuk mendorong kegiatan ekonomi dan meningkatkan citra Indonesia, meningkatkan kesejahteraan masyarakat lokal, serta memberikan perluasan kesempatan kerja. Pengembangan kepariwisataan memanfaatkan keragaman pesona keindahan alam dan potensi nasional sebagai wilayah wisata bahari terluas di dunia secara arif dan berkelanjutan, serta mendorong kegiatan ekonomi yang terkait dengan pengembangan budaya bangsa. Amanah tersebut kemudian dijabarkan dalam rencana lima tahunan yang dikenal dengan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN)

    RPJMN Pertama merupakan penjabaran lima tahun pertama dari kebijakan pembangunan keparwisataan yang diamanahkan oleh RPJPN 2005 2025. RPJMN ditetapkan dengan Peraturan Presiden Republik Indonesia No. 7 Tahun 2005 Tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional Tahun 2004 2009. Kebijakan pembangunan kepariwisataan dalam RPJMN pertama diarahkan untuk mendukung peningkatan daya saing pariwisata di tingkat global dalam rangka mencapai sasaran Prioritas Nasional Peningkatan Investasi dan peningkatan ekspor.

    Arah kebijakan pengembangan kepariwisataan adalah adalah meningkatkan jumlah kunjungan wisatawan mancanegara dan wisatawan nusantara yang difokuskan pada upaya: (a). Peningkatan efektivitas kelembagaan promosi pariwisata, baik di dalam maupun di luar negeri; (b). Pengembangan jenis dan kualitas produk-produk wisata, terutama pengembangan wisata bahari yang potensinya sangat besar dengan tetap memperhatikan pembangunan yang berkelanjutan; (c) harmonisasi dan simplifi kasi berbagai perangkat peraturan yang terkait di dalam mendukung pengembangan pariwisata, termasuk di dalamnya wisata bahari; dan (d) Optimalisasi dan sinkronisasi dalam pengelolaan jasa pelayanan pariwisata, terutama yang melibatkan lebih dari satu moda transportasi.

    Dalam RPJMN Pertama (2004 2009), kebijakan pembangunan kepariwisataan dilaksanakan dengan 3 (tiga) program pembangunan, yaitu: (1) Program Pengembangan Pemasaran Pariwisata. Program ini ditujukan untuk menciptakan promosi pariwisata yang efektif dengan pendekatan profesional, kemitraan antara swasta, pemerintah, dan masyarakat dan memperkuat jaringan kelembagaan. (2) Program Pengembangan Destinasi Pariwisata. Program ini ditujukan untuk meningkatkan pengelolaan destinasi wisata dan aset-aset warisan budaya menjadi obyek daya tarik wisata yang atraktif dengan pendekatan profesional, kemitraan swasta, pemerintah, dan masyarakat dan memperkuat jaringan kelembagaan serta mendorong investasi. dan (3) Program Pengembangan Kemitraan. Program ini bertujuan untuk mengembangkan dan memperkuat jaringan kerjasama antara Pemerintah (pusat-kabupaten/kota)-swasta-dan masyarakat dan pelaku industri budaya dan pariwisata di dalam maupun di luar negeri dalam bidang penelitian, sumber daya manusia, dan kelembagaan dan sekaligus mengembangkan pariwisata yang berbasis budaya.

    RPJMN Kedua ditetapkan dengan Peraturan Presiden Republik Indonesia No. 5 Tahun 2010 Tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional Tahun 2010 2014. Dalam RPJMN Kedua, Presiden menetapkan 11 Prioritas Naional, yaitu: (1) Reformasi Birokrasi dan Tata Kelola; (2) Pendidikan; (3) Kesehatan; (4) Penanggulangan Kemiskinan; (5) Ketahanan Pangan; (6) Infrastruktur; (7) Iklim Investasi dan Iklim Usaha; (8) Energi; (9) Lingkungan Hidup dan Pengelolaan Bencana; (10) Daerah Tertinggal, Terdepan, Terluar, dan Pasca-Konfl ik; (11) Kebudayaan, Kreativitas, dan Inovasi Teknologi. Disamping itu, juga telah ditetapkan 3 Prioritas Lainnya Bidang Politik, Hukum dan Keamanan; Prioritas Lainnya Bidang Ekonomi, dan Prioritas Lainnya Bidang Kesejahteraan Rakyat. Pariwisata merupakan salah satu prioritas nasional yang diharapkan mampu mendukung pencapaian sasaran Prioritas Lainnya Bidang Kesejahteraan Rakyat.

    Kebijakan pembangunan kepariwisataan dalam RPJMN Kedua difokuskan pada upaya mendukung pelaksanaan amanah presiden terpilih, yaitu: (i) peningkatan jumlah wisatawan mancanegara dan wisatawan nusantara sebesar 20% secara bertahap dalam 5 tahun; (ii) promosi 10 tujuan pariwisata Indonesia melalui saluran pemasaran dan pengiklanan yang kreatif dan efektif; (iii)

    30 Edisi 03/Tahun XIX/2013

    Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional tahun Dalam RPJMN Pertama (2004 2009), kebijakan tahun 1995, sebagai contoh, guru dan pemerintah daerah mengembangkan penanggulangan bencana ke dalam mata pelajaran seperti geografi , sejarah, ilmu pengetahuan, pendidikan jasmani dan kesehatan, lingkungan 21,23). Pendekatan lainnya termasuk simulasi permainan, lokakarya, pembuatan peta, pelatihan rutin kuis danmenciptakan kompetensi2, 25).

    Pengarusutamaan pengurangan resiko bencana diharapkan dapat meningkatkan pengetahuan anggota masyarakat, tingkat kesadaran dan persepsi bencana, dan kesiapan dalam menanggapi bencana di masa mendatang. Kesadaran akan bahaya merupakan salah satu unsur penting yang dapat mempengaruhi masyarakat dalam menanggulangi bencana14). Paton et al.,14) menyimpulkan bahwa kesadaran kritis menentukan kesiapsiagaan masyarakat dalam hal gempa dan bahaya kebakaran. Selain itu, adanya keterikatan yang erat antara kesadaran umum dan kesiapsiagaan bencana dikemukakan oleh Pusat Ancaman Alam, Universitas Colorado11).

    Bagaimana masyarakat mengartikan resiko sering dianggap sebagai sebuah penanda penting dari keputusan mereka untuk melakukan persiapan terhadap ancaman alam. persepsi resiko mengacu pada kemungkinan bahwa bahaya yang akan terjadi dan dampak yang parah bagi mereka11,18,19).

    Sementara semakin tingginya persepsi resiko dapat memotivasi masyarakat dalam mengambil tindakan untuk kesiapsiagaan, sebaliknya rendahnya persepsi mengurangi penyesuaian dalam mengadopsi bencana. Johnston et. Al.,6) mengidentifi kasikan peran penting risk perception dan tingkat pengetahuan mengenai bahaya dalam mempengaruhi masyarakat untuk penanggulangan persitiwa bencana. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Shaw22) menunjukan bahwa pendidikan sekolah mengenai bencana memberikan kontribusi untuk pengembangan pengetahuan dan persepsi dari bencana gempa namun terbatas pada kesiapsiagaan gempa.

    Penelitian bencana yang dilakukan di negara berkembang menemukan bahwa masyarakat mengartikan bahaya berdasarkan pada budaya dan kepercayaan agama daripada pengetahuan modern10). Di Indonesia, anggapan bahwa penyebab bencana merupakan hukuman Tuhan dikarenakan dosa oleh manusia masih berlaku17, 10). Aceh merupakan sebuah provinsi khusus di Indonesia yang menerapkan syariat Islam, pengetahuan mengenai tsunami akan berguna

    dalam meneliti persepsi siswa terhadap bencana tsunami.

    Beberapa ahli menyarankan bahwa tujuan dari pendidikan umum termasuk di sekolah tidak hanya terbatas pada meningkatkan kemampuan, persepsi resiko dan kesadaran tapi juga memiliki sikap kesiapsiagaan. Murata et.al12) memberikan perhatian mengenai pentingnya proses menafsirkan dari pengetahuan ke dalam tindakan dengan memberikan pengetahuan baik di sekolah dan masyarakat sehingga mereka akan siap dalam menghadapi tsunami.

    GeoHazard International4), Sugimoto et.al.,26) ICHARM-UNESCO5), and Murata et.al.,12) memberikan pedoman bagaimana membangun kesiapsiagaan menghadapi bencana alam. Murata et.al.,12) menyarankan bahwa untuk menekan dampak dari tsunami, masyarakat harus menciptakan sebuah budaya bencana melalui pembelajaran (menyiapkan diri dengan pengetahuan khusus mengenai tsunami), pelatihan rutin (berlatih secara teratur untuk menghindari kehilangan pengetahuan) dan latihan (kemahiran dibuktikan dengan latihan). GeoHazard International menyarankan bahwa membuat ancaman tsunami dan peta jalur evakuasi merupakan contoh bagus dalam memulai upaya kesiapsiagaan.

    Sugimoto et., al.,26) menyatakan bahwa membangun perangkat unik, tiang ketinggian tsunami dapat membuat masyarakat mengingat dampak tsunami dalam jangka waktu yang lama. Selain itu, berlatih secara teratur dan mengenal jalur evakuasi sangat berguna ketika terjadi bencana4, 5, 12, 26), kepanikan sering terjadi. Mengenal baik jalur evakuasi akan membantu orang dalam menemukan tempat yang lebih aman ketika bencana tsunami terjadi. Oleh sebab itu, mengunjungi atau berlatih di jalur evakuasi tsunami menjadi salah satu sikap penting dalam kesiapsiagaan tsunami. Tingkat kesiapsiagaan siswa dapat terlihat dari intensitas mengunjungi museum tsunami, kapal terdampar, dan pemakaman massal sebagaimana ditetapkan oleh pemerintah sebagai fasilitas pendidikan bencana tsunami dan fasilitas kedaruratan lainnya1,5). Objek utama dari penelitian ini adalah murid sekolah, dimana kesiapsiagaan individu ditekankan dengan kegiatan murid sekolah yang berkaitan dengan fasilitas bencana dan peringatan bencana, sementara persiapan nyata harus dilakukan oleh orang dewasa.

    Secara singkat, penelitian sebelumnya telah mengevaluasi faktor-faktor penting terkait dengan

    59Edisi 03/Tahun XIX/2013

    tahun 1995, sebagai contoh, guru dan pemerintah dalam meneliti persepsi siswa terhadap bencana

    MAJALAH.indd Spread 30 of 44 - Pages(30, 59)MAJALAH.indd Spread 30 of 44 - Pages(30, 59) 31/12/2013 16:01:1331/12/2013 16:01:13

  • tsunami dibandingkan dengan masyarakat di Pulau Simeleu dimana korban tewas sebanyak 44 orang, karena masyarakat Simeleu mendengar cerita turun-menurun dari para leluhur mengenai tsunami3).

    Pemerintah, lembaga daerah, nasional dan internasional serta Organisasi Non Pemerintah (NGO) memberikan perhatian untuk mendidik masyarakat agar lebih sadar bencana dan siaga ketika terjadi bencana. Karena anak-anak merupakan salah satu kelompok yang rentan akan bencana, pemerintah melakukan upaya dengan memperkenalkan pendidikan bencana berbasis sekolah dengan memasukkan pengurangan resiko bencana ke dalam kurikulum sekolah. Pengenalan pendidikan bencana berbasis kurikulum di sekolah diharapkan dapat membuat sekolah menjadi lebih sadar akan bencana alam2.

    Pada tahun 2009, pemerintah mulai mengembangkan sebuah proyek percontohan dari penggabungan pendidikan bencana ke dalam kurikulum sekolah atau Sekolah Siaga Bencana (SBB) atau Program Kesiapsiagaan Bencana berbasis Sekolah (PKBS). SSB difokuskan pada pembangunan struktur, infrastruktur, dan sistem sekolah. Struktural termasuk pembangunan gedung sekolah, sementara non structural mencakup peningkatan pengetahuan, keahlian, modul, sistem peringatan dini sekolah, perencanaan darurat sekolah, dan pengerahan kemampuan sumber daya sekolah selama bencana7)..

    Sementara terbatasnya sekolah yang memiliki kesempatan demikian, beberapa NGO mencoba untuk mengembangkan pendidikan bencana sekolah di sekolah lain yang tidak tercakup oleh PKBS. Didukung oleh pendanaan internasional yang disebut DRR-A, pada tahun 2011, Tsunami Disaster Management Researh Centre (TDMRC) mulai mereplikasi model SSB di sekolah yang berbeda-beda di Aceh. Sebagai ganti dalam menerapkan pendidikan bencana berbasis kurikulum, TDMRC memulai proyek tersebut dengan pelatihan mengenai pelatihan bencana kepada para guru dan murid-murid sekolah secara terpisah dari mata pelajaran dan jam sekolah.

    Walaupun pendekatan yang berbeda diterapkan pada pendidikan bencana di sekolah, kedua program tersebut memiliki tujuan yang sama, yaitu: membangun pengetahuan, kesadaran, dan keahlian dalam mendukung sekolah agar mampu mempersiapkan, tanggap terhadap bencana dan pulih dari bencana7,28). Oleh karenanya, penting untuk mengevaluasi

    efektifi tas kedua program tersebut dalam peningkatan pengetahuan sekolah, kesadaran, persepsi resiko, dan kesiapsiagaan bencana tsunami. Penelitian terhadap kesiapsiagaan bencana berbasis sekolah di Indonesia masih sedikit. Penelitian ini menguji efektifi tas dari pendidikan bencana berbasis kurikulum dan sekolah berbasis non kurikulum terhadap pengetahuan siswa, persepsi resiko kesadaran dan perilaku kesiapsiagaan. Pendekatan yang berbeda terhadap pendidikan kebencanaan di sekolah juga akan didiskusikan.

    2. Peran Penting Sekolah dalam Pengurangan Resiko Bencana

    Bencana tidak membeda-bedakan ras, jenis kelamin, umur, dan tempat2). Bahkan bencana hampir sering menimpa golongan yang rentan, seperti anak-anak, lansia, perempuan, dan orang-orang miskin. Terutama anak-anak, mereka adalah anggota masyarakat yang paling rentan terhadap bencana karena mereka memiliki kapasitas dan sumber daya yang terbatas dalam mengatasi bencana. Terdapat pengakuan secara luas bahwa pendidikan bencana yang efektif harus dimulai pada tingkat individu, keluarga, sekolah, dan masyarakat20).

    Sekolah berperan penting dalam membangun kesadaran bencana dalam masyarakat, dengan demikian upaya yang dilakukan adalah bagaimana membangun sekolah yang siap siaga menghadapi bencana alam 27). Sekolah memiliki beberapa fungsi dalam pengurangan resiko bencana termasuk memfasilitasi dan bekerjasama dengan lingkungan sekitar, meningkatkan kacakapan masyarakat, pusat penampungan pengungsi ketika terjadi bencana, dan memberikan contoh model gedung sekolah tahan gempa kepada masyarakat23,24,13). Belajar dari kejadian di Jepang, sekitar 60% penampungan pengungsi adalah gedung sekolah selain fasilitas umum seperti kantor pemerintahan, kantor pemadam kebakaran, dan kantor polisi27). Dalam kaitannya dengan kesadaran umum, sekolah dapat bertindak sebagai perantara dalam masyarakat yang bertanggungjawab untuk menyebarluaskan informasi bencana kepada keluarga siswa dan anggota masyarakat1,29).

    Pendekatan umum yang sering digunakan untuk membangun sekolah tahan gempa adalah dengan memasukan mata pelajaran bencana ke dalam kurikulum sekolah. Defi nisi kurikulum mengacu pada pendidikan sebagai tempat untuk menciptakan budaya keselamatan27). Setelah gempa Kobe pada

    58 Edisi 03/Tahun XIX/2013

    tsunami dibandingkan dengan masyarakat di Pulau efektifi tas kedua program tersebut dalam peningkatan perbaikan dan peningkatan kualitas jaringan prasarana dan sarana pendukung pariwisata; (iv) peningkatan kapasitas pemerintah dan pemangku kepentingan pariwisata lokal untuk mencapai tingkat mutu pelayanan dan hospitality management yang kompetitf di kawasan Asia.

    Dalam rangka mendukung pencapaian sasaran tersebut, kebijakan pembangunan kepariwisataan terutama diarahkan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi dan meningkatkan kesejahteran rakyat, dengan tetap memperhatikan asas manfaat, kekeluargaan, adil dan merata, keseimbangan, kemandirian, kelestarian, partisipasi masyarakat, berkelanjutan, demokratis, kesetaraan, dan kesatuan serta berpegang pada prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan dan tata kelola pemerintahan yang baik (good governance). Kebijakan tersebut kemudian dijabarkan ke dalam strategi-strategi (a) pengembangan industri pariwisata dengan menciptakan iklim yang kondusif bagi pertumbuhan investasi dan peluang usaha yang berorientasi pada pertumbuhan ekonomi, pengentasan kemiskinan, dan penyerapan tenaga kerja; (b) pengembangan destinasi pariwisata dengan mendorong perbaikan dan peningkatan kualitas jaringan prasarana dan sarana pendukung pariwisata, melakukan konsolidasi akses transportasi mancanegara dan dalam negeri, terutama ke sepuluh tujuan pariwisata Indonesia, dan mengembangkan kawasan strategis dan daya tarik pariwisata berbasis wisata bahari, alam, dan budaya di luar Jawa dan Bali, termasuk industri kreatif, serta mengembangkan desa wisata melalui PNPM Mandiri; (c) pengembangan pemasaran dan promosi pariwisata dengan meningkatkan jumlah wisatawan mancanegara dan wisatawan nusantara sebesar 20 (dua puluh) persen secara bertahap dalam 5 (lima) tahun dan mempromosikan ke 10 (sepuluh) tujuan pariwisata Indonesia melalui saluran pemasaran dan pengiklanan yang kreatif dan efektif, serta menguatkan strategi pemasaran dan promosi pariwisata terpadu berbasis teknologi informasi dan komunikasi, dan responsif terhadap pasar; (d) pengembangan sumber daya pariwisata dengan strategi meningkatkan kapasitas pemerintah dan pemangku kepentingan pariwisata lokal untuk mencapai tingkat mutu pelayanan dan hospitality management yang kompetitif di kawasan Asia, dan meningkatkan kualitas penelitian dan pengembangan kepariwisataan.

    Strategi tersebut diatas didukung oleh peningkatan koordinasi lintas sektor pada tataran kebijakan, program, dan kegiatan kepariwisataan, terutama di bidang (a) pelayanan kepabeanan keimigrasian, dan karantina; (b) keamanan dan ketertiban; (c) prasarana umum yang mencakup jalan, air bersih, listrik, telekomunikasi, dan kesehatan lingkungan; (d) transportasi darat, laut, dan udara; dan (e) bidang promosi dan kerja sama luar negeri; serta koordinasi dan kerja sama dengan pemerintah daerah, swasta, dan masyarakat.

    Di dalam RPJMN Kedua (2010 2014), arah kebijakan pembangunan pariwisata dijabarkan ke dalam fokus prioritas dan kegiatan prioritas sebagai berikut:

    1. Fokus Prioritas Pengembangan Industri Pariwisata, yang didukung oleh kegiatan prioritas: (a) Pengembangan Usaha, Industri, dan Investasi Pariwisata; dan (b) Pengembangan Standardisasi Pariwisata.

    2. Fokus Prioritas Pengembangan Tujuan Pariwisata yang didukung oleh kegiatan prioritas: (a) Pengembangan Daya Tarik Pariwisata; (b) Pemberdayaan Masyarakat di Tujuan Pariwisata; (c) Peningkatan PNPM Mandiri Bidang Pariwisata; dan (d) Dukungan Manajemen dan Dukungan Teknis Lainnya Direktorat Jenderal Pengembangan Tujuan Pariwisata

    3. Fokus Prioritas Pengembangan Pemasaran dan Promosi Pariwisata, yang didukung oleh kegiatan prioritas: (a) Peningkatan Promosi Pariwisata Luar Negeri; (b) Peningkatan Promosi Pariwisata Dalam Negeri; (c) Pengembangan Informasi Pasar Pariwisata; (d) Peningkatan Publikasi Pariwisata; (e) Peningkatan Pertemuan, Perjalanan Insentif, Konferensi, dan Pameran (Meeting, Incentive Travel, Conference, and Exhibition/MICE); dan (f ) Dukungan Manajemen dan Dukungan Teknis Lainnya Direktorat Jenderal Pemasaran

    I. Fokus Prioritas Pengembangan Sumber Daya Pariwisata, yang didukung oleh kegiatan prioritas: (a) Pengembangan SDM Kebudayaan dan Pariwisata; (b) Penelitian dan Pengembangan Bidang Pariwisata; (c) Pengembangan Pendidikan Tinggi Bidang Pariwisata

    31Edisi 03/Tahun XIX/2013

    perbaikan dan peningkatan kualitas jaringan prasarana Strategi tersebut diatas didukung oleh peningkatan

    MAJALAH.indd Spread 31 of 44 - Pages(58, 31)MAJALAH.indd Spread 31 of 44 - Pages(58, 31) 31/12/2013 16:01:1431/12/2013 16:01:14

  • Tabel 2 :Perkembangan Wisatawan

    Tahun 2009-2012

    URAIAN 2008 2009 2010 2011 2012

    Wisatawan mancanegara

    Jumlah (juta) 6,23 6,32 7,00 7,65 8.04

    Rata-rata pengeluaran per kunjungan (USD) 1.178,54 995,93 1.085,75 1.118,26 1.133,81

    Rata-rata lama tinggal (hari) 8,58 7,69 8,04 7,84 7,70

    Rata-rata pengeluaran per hari (USD) 137,38 129,57 135,01 142,69 147,22

    Penerimaan devisa (Juta USD) 7,347,60 6.297,99 7.603,45 8.554,39 9.120,85

    Wisatawan nusantara

    Jumlah pergerakan (juta perjalanan) 225,04 229,73 234,38 236,75 105.95*

    Rata-rata pengeluran per perjalanan (ribu) 547,33 600,30 641,76 662,68 n.a.

    Total pengeluaran wisnus (Rp.Trilliun) 123,17 137,91 150,41 156,89 n.a

    Wisatawan Nasional- Jumlah (juta orang) 4,99 5,05 6,23 6,75 7,31- Rata-rata lama tinggal (hari) 10,62 8,81 8,20 7,67 7,67**- Total pengeluaran selam diluar negeri (juta USD) 5.245,02 4.939,01 6.090,00 6.308,26 7.173,24**Sumber: Kemenparekraf dan BPS*Data Sementara; ** angka estimasi

    II. TANTANGAN DAN KEBIJAKAN PEMBANGUNAN KEPARIW