powerpoint kapal isap penambang timah

11
ROSIM NYERUPA

Upload: rosim-nyerupa

Post on 19-Jul-2015

369 views

Category:

Education


1 download

TRANSCRIPT

ROSIM NYERUPA

Potensi pertambangan pasir timah wilayah Bangka cukup menjanjikan hingga menarik para pengusaha luar dan dalam daerah Bangka untuk berinvestasi. Tak heran, wilayah laut dan darat berpotensi memiliki cadangan biji timah pun hampir digarap untuk usaha pertambangan. Permasalahan dari pertambangan timah lepas pantai dengan mengoperasikan kapal isap produksi (KIP) tentunya akan memberikan banyak masalah saat masa operasi produksi. beberapa masalah yang timbul saat masa ini yaitu :

1. Ekosistem laut rusak

Dampak turunan dari rusaknya ekosistem laut adalah dengan semakin berkurangnya hasil tangkapan nelayan karena ikan semakin menjauh akibat penurunan habitat ikan.

Adapun dampak yang ditimbulkan dari aktivitas pertambangan di pesisir laut oleh Kapal Isap antara lain:

• Sebagian besar terumbu karang tertutup lumpur bahkan tertimbun oleh debu sisa penambangan timah lepas pantai.

• Sedimentasi lumpur tersebut menyebabkan terumbu karang tertutup lumpur dan mati, yang berganti dengan makro alga, dan jika terus menerus dibiarkan daerah tersebut akan menghadapi bencana pangan dan ekologi akibat langkanya berbagai jenis ikan karena habitatnya telah dirusak.

• Pemulihan (recovery) ekosistem terumbu karang yang rusak akibat aktivitas penambangan sangat sulit untuk dilakukan.

• Akibat pengerukan timah di lepas pantai terjadi perubahan topografi pantai dari yang sebelumnya landai menjadi curam.

• Sekitar 50 persen terumbu karang di Provinsi Bangka Belitung (Babel) rusak akibat sedimentasi lumpur yang berasal dari aktivitas penambangan timah di perairan.

2. Beroperasinya KIP akan diikuti dengan munculnya

Pengalaman dari model pertambangan di Pulau Bangka, KIP biasanya dioperasikan oleh pekerja dari luar dareah seperti misalnya dari negara Thailand. Tidak realistis jika orang dari luar boleh mengaduk-aduk laut di depan mata masyarakat lokal sedangkan masyarakat sendiri tidak boleh menambang. Akhirnya masyarakat ikut menambang berpacu merusak lingkungan laut dengan kemampuan seadanya dan standar keselamatan minimal dengan membuka TI Apung.

3. Banyak pendatang dari luar pulau untuk bekerja di TI Apung

Penduduk Provinsi Kepulauan Bangka Belitung mayoritas adalah Suku Melayu yang secara umum tidak memiliki kemampuan menyelam 5-12 meter di laut. Akhirnya, didatangkan pekerja dari luar daerah yang mempunyai kemampuan menyelam atau nekad menyelam (karena himpitan ekonomi) ke daerah pertambangan. Bukan tidak membolehkan datangnya penduduk luar ke Pulau Bangka Belitung, namun sangat ironis jika penduduk luar datang hanya untuk membuat kerusakan alam dengan menambang di daerah ini.

4. Alih profesi dari nelayan ikan menjadi nelayan timah

Berdasarkan pengalaman di darat, godaan pertambangan membuat banyak petani yang beralih menjadi penambang timah. Bahkan kebun karet, kelekak, dan lahan basah yang subur di darat disulap menjadi lahan tambang. Begitu pula di laut, alih profesi dari nelayan ikan menjadi penambang timah laut terjadi di Pulau Bangka seperti di daerah Teluk Limau Kecamatan Parit Tiga Bangka Barat; Kampung Nelayan Kecamatan Sungailiat, Kabupaten Bangka; Desa Tanjung Gunung Kecamatan Pangkalan Baru Kabupaten Bangka Tengah; dan Desa Pasir Putih Kecamatan Sadai dan Desa Permis Kecamatan Simpang Teritip Kabupaten Bangka Selatan. Ini adalah dampak dari hasil laut yang semakin berkurang akibat rusaknya ekosistem laut sehinga nelayan akhirnya beralih menjadi penambang timah laut. Hal ini menunjukkan bahwa begitu rapuhnya profesi nelayan di daerah ini. Dengan biaya operasional yang semakin meningkat akibat daerah tangkapan yang semakin jauh dan hasil tangkapan yang tidak menentu akhirnya membuat nelayan beralih menjadi nelayan timah.

5. Operasi kapal isap biasanya akan diikuti dengan munculnya preman (pembela perusahaan) dari kalangan masyarakat dan aparat pemda yang ikut bermain dengan pengusaha.

Inilah yang telah terjadi di Pulau Bangka. Istilahnya, berani membela yang bayar (pengusaha timah). Zaman sekarang sudah menjadi hal yang wajar jika kita melihat dan mendengar ada orang-orang yang berani menyatakan yang salah adalah sebuah kebenaran. Apalagi penegakan hukum terhadap pertambangan timah laut dengan KIP belum pernah terdengar tegas dan berefek jera. Akhirnya penerapan pertambangan timah berwawasan lingkungan dan berkelanjutan semakin jauh api dari panggang.

5. Harga ikan dipastikan akan bertambah mahal

Ini merupakan dampak dari biaya operasional untuk melaut yang semakin tinggi. Kerusakan ekosistem laut akan membuat ikan semakin menjauh sehingga nelayan menangkap ikan ke tempat yang lebih jauh pula. Hasil tangkapan pun biasanya lebih sedikit dan ukuran ikan lebih kecil. Waktu melaut pun semakin lama. Meningkatnya biaya operasional inilah yang kemudian membuat harga ikan di pasar semakin tinggi. Parahnya, kenaikan harga ikan yang ditanggung masyarakat/konsumen tidak pernah diperhatikan. Dampaknya kesejahteraan masyarakat semakin menurun karena semakin rendahnya daya beli masyarakat untuk membeli komoditas perikanan laut yang bergizi tinggi tersebut.

7. Pengawasan pertambangan laut belum jelas dan tegas

Tidak seperti di darat, batas dari IUP laut tidak diketahui langsung secara kasat mata. Hal inilah yang membuat pengawasan pertambangan di laut berbeda dengan di darat. Di Pulau Bangka terbukti, 100 persen kapal hisap yang beroperasi telah melenceng dari batas IUP yang telah diizinkan (Bangkapos, 16 November 2008). Realita dari kondisi di Pulau Bangka, peran pengawasan laut dari SKPD terkait dampak penambangan timah di laut sepertinya tidak optimal bahkan sangat minim. Hal ini menunjukkan bahwa undang-undang perlindungan lingkungan hidup belum diterapkan sebagaimana mestinya.

8. Warisan yang tidak baik untuk anak cucu

Dampak sosial budaya terhadap penambangan timah yang tidak ramah lingkungan memberikan warisan yang tidak baik kepada anak cucu generasi masa depan daerah ini. Selama beroperasinya penambangan, anak-anak diperlihatkan bagaimana orang tua mereka merusak alam di depan mata mereka. Padahal, seharusnya contoh yang diberikan adalah bagaimana memperlakukan alam dengan arif dan bijaksana dengan bersahabat dengan alam seperti yang diajarkan oleh norma agama dan budaya masyarakat.