potret etika keluarga jawa dalam film (studi … alvi.pdf · memiliki pengertian yang berbeda...

20
POTRET ETIKA KELUARGA JAWA dalam FILM (Studi Semiotika Mengenai Etika Keluarga Jawa dalam Film Opera Jawa) JURNAL Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Ilmu Komunikasi Oleh: Alvi Syahrin Tamami D1210005 PROGRAM STUDI ILMU KOMUNIKASI FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA 2014

Upload: buinguyet

Post on 06-Feb-2018

215 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

POTRET ETIKA KELUARGA JAWA dalam FILM

(Studi Semiotika Mengenai Etika Keluarga Jawa

dalam Film Opera Jawa)

JURNAL

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh

Gelar Sarjana Ilmu Komunikasi

Oleh:

Alvi Syahrin Tamami

D1210005

PROGRAM STUDI ILMU KOMUNIKASI

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS SEBELAS MARET

SURAKARTA

2014

2

1

POTRET ETIKA KELUARGA JAWA DALAM FILM

(Studi Semiotika Mengenai Etika Keluarga Jawa dalam

Film Opera Jawa Karya Garin Nugroho)

Alvi Syahrin Tamami

Sutopo

Widyantoro

Program Studi Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik

Universitas Sebelas Maret Surakarta

Abstract

The objective of research was to find out how the Javanese family ethics is

featured in Opera Jawa movie, in relation to many problems in family and ethics

of Javanese family recently.

The method employed in this study was movie semiotic derived from

Roland Barthes’ semiotic method discussing the movie narration specifically in

certain section.

The data presentation was conducted using mise-en-scene technique,

selecting and capturing the scenes selectively from “Opera Java” movie

narration as the research object. The data presentation was conducted by dividing

the movie narration into three elements: visual narration, auditory narration, and

other symbolic elements.

In line with Brathesian semiotic theory, the research analysis was divided

into three stages: denotative, connotative, and ideological cultural meanings

analyses. The result of research showed that “Opera Jawa” movie contained

representative element in featuring Javanese family’s life and culture, and could

give a complex and fundamental description on various family problems

occurring.

The conclusion of research was that the representation of Javanese family

in this condition had been far from ethics and harmonic value. It was

recommended to the audiences and the movie art lovers and particularly the

Javanese people to keep maintaining Javanese ethic principles such as

harmonious and respecting values.

2

Keywords: Semiotics, Javanese familial ethics, connotative,meaning of visual-

audial texts/narration.

Pendahuluan

Membaca masyarakat Jawa adalah menemukan sebuah masyarakat dengan

berbagai problematikanya yang kompleks. Adalah sesuatu hal yang ironis kiranya,

meskipun tatar regulasi keluarga Jawa diperkuat oleh budaya, tradisi dan hukum

adat, namun pada titik itu pulalah berbagai persoalan sosial sering terjadi.

Persoalan dalam keluarga Jawa tercermin dari persoalan yang dialami oleh

setiap individunya. Individu Jawa berada dibawah tekanan terus menerus, untuk

mengontrol dorongan-dorongan spontannya dan untuk menyesuaikan diri dalam

berbagai otoritas. Sebagaimana telah diutarakan, sikap individu Jawa ditentukan

oleh prinsip-prinsip kerukunan dan hormat. Terus menerus individu berada di

bawah tekanan masyarakat untuk bertindak sesuai kedua prinsip tersebut. Tekanan

dari luar ini didukung dari dalam oleh perasaan isin dan sungkan. Kedua prinsip

keselarasan tersebut menuntut agar dorongan-dorongannya sendiri senantiasa

dikontrol demi mencegah adanya konflik (Suseno, 2003: 168).

Satu-satunya ruangan yang relatif bebas dari tekanan itu adalah keluarga.

Keluarga merupakan tempat orang Jawa menjadi dirinya sendiri, dimana ia

merasa bebas dan aman, dimana ia harus mengerem dorongan-dorongannya dan

apabila itu memang perlu maka hal itu tidak dirasakan sebagai heteronomi

(Suseno, 2003: 169).

Oleh karena itu keluarga merupakan suatu kenyataan yang mempunyai arti

istimewa bagi manusia Jawa. Keluarga merupakan sandaran hati, tempat untuk

berlindung yang dipercaya paling aman, bebas dari paksaan-paksaan lahir dan

batin, di mana ia mempelajari keutamaan-keutamaan dan nilai-nilai dasar moral

(Wildan, 2009: 3).

Perumusan Masalah

“Bagaimanakah etika keluarga Jawa ditampilkan dalam film Opera Jawa karya

Garin Nugroho ?”

3

Tujuan Penelitian

“Untuk mengetahui bagaimana etika keluarga Jawa ditampilkan dalam film Opera

Jawa?”

Tinjauan Pustaka

1. Film

Peter Woolen dalam Signs and Meaning in the Cinema (1969) menyatakan

bahwa film memuat ketiga kategori tanda yaitu: ikon, index dan simbol, yang

didasarkan pada pendekatan tanda oleh Charles Sanders Pierce. Pierce (dalam,

Indriyani, 2008: 28) menandaskan bahwa tanda-tanda berkaitan dengan

objek-objek yang menyerupainya, keberadaannya memiliki hubungan sebab-

akibat dengan tanda-tanda atau karena ikatan konvensional dengan tanda-

tanda tersebut. Ia menggunakan istilah ikon untuk kesamaannya, indeks untuk

hubungan sebab akibat, dan simbol untuk asosiasi konvensional. (Sobur, 2006:

34). Menurut Van Zoest, film lebih banyak menggunakan sistem tanda ikonik

daripada sistem tanda yang lain.

Christian Metz menegaskan bahwa sinema adalah juga bahasa, meski

memiliki pengertian yang berbeda dengan bahasa verbal yang telah dikenal

masyarakat. Bukanlah karena sinema adalah bahasa maka kemudian ia dapat

menceritakan kisah-kisah, jalinan cerita secara baik, maka ia otomatis sudah

dapat dianggap sebagai sebuah bahasa. Menurut Metz, film bukan sistem

bahasa tetapi bahasa, sebuah shot selalu memberi kita lebih dari sekedar

sebuah kata, barangkali malah tepat kalau diperbandingkan dengan sebuah

kalimat. Tentu saja yang dijadikan titik tolak Metz adalah film narasi

(narrative film), jenis film yang memiliki alur cerita realis, memiliki awal dan

akhir “yang jelas”, dan merupakan jenis film yang banyak dikenal masyarakat.

Dalam menjelaskan kategori paradigmatik dan sintagmatik dalam sinema, ia

menolak anggapan bahwa hubungan paradigmatik dalam bahasa sinematografi

itu tidak ada. Menurutnya, pada titik-titik tertentu sepanjang jalinan gambar,

4

terdapat unit-unit yang tidak bisa eksis sendiri sebagai sebuah peristiwa atau

proses, maka unit-unit tersebut menggali maknanya dari anggota-anggota lain

dalam paradigmanya. Sebuah shot gambar dalam film adalah sebuah kalimat

(satu atau lebih kalimat) dalam bahasa, ia bukanlah sebuah kata, karena

gambar ini hampir selalu menyertakan sesuatu (assertive), didalamnya

memuat hasil dari kombinasi bermacam hal, seperti kata-kata yang telah

tersusun. Sedangkan hubungan sintagmatik memiliki peran jauh lebih penting

daripada hubungan paradigmatik, karena pengaturan gambar-gambar ke dalam

susunan yang dapat dipahami–melalui cutting dan montage–yang membawa

kita ke inti dari dimensi semiologi film. Dari aspek sintagmatik inilah narasi

film dapat menjadi hidup dan dipahami.

Film bisa dipahami sebagai suatu sistem tanda yang mengandung makna, atau

semacam bahasa audio visual dengan pola grammar dan sintaksisnya sendiri.

Sebagai konsekuensinya:

“.........according to Christian Metz, that we will only be interested

incertain aspect of film. We will be concerned only with the various ways

inwhich particular film can have meaning and significance for normal

spectators. We will be directly concerned with the nature of the film

image, the relation between sound and image, and the effect of various

kind of editing”. (Mast & Cohen 1979: 204). Dalam Indriyani, (2008: 30).

Semua itu bisa kita temukan pada elemen-elemen struktural film-form

(bagaimana gambar diciptakan atau framing, misalnya sudut dan gerakan

kamera) dan film-content (apa yang ada dalam gambar) dan pada beberapa

code of meaning-nya yang lebih mendasar seperti montage dan mise-en-scene.

Montage artinya editing; membangun elemen-elemen film yang terpisah,

membangun suatu scene melalui penggabungan beberapa shot. Sedangkan

mise-en-scene artinya putting into scene; pengarahan bermacam-macam

elemen pembuatan film dari actor hingga teknik pencahayaan ke dalam scene,

terjadi di lokasi syuting (on the set) berlawanan dengan montage yang

dilakukan sesudah pengambilan gambar selesai.

2. Semiotika

5

Pendekatan semiotika dipilih sebagai pisau analisis utama dalam penelitian

ini, karena pendekatan ini bisa menguak kompleksitas dari sebuah narasi teks,

termasuk narasi film, sehingga pada akhirnya bisa diperoleh makna-makna

yang ada di dalamnya.

Secara etimologis, semiotika berasal dari bahasa yunani semeion yang

berarti “tanda”. Tanda itu sendiri di definisikan sebagai sesuatu yang atas

dasar konvensi sosial yang terbangun sebelumnya, dapat mewakili sesuatu

yang lain (Sobur, 2001: 95). Analisis semiotik merupakan cara atau metode

untuk menganalisis dan memberikan makna-makna terhadap lambang-

lambang pesan atau teks. Teks yang dimaksud dalam hubungan ini adalah

segala bentuk serta sistem lambang (sign) baik terdapat pada media massa

(sepeti sebagai paket tayangan televisi, media cetak, film, radio dan berbagai

bentuk iklan) maupun yang terdapat di media massa (seperti karya lukis,

patung, candi, monument). Pemaknaan terhadap lambang-lambang dalam teks

yang menjadi pusat perhatian analisis semiotik (Pawito, 2007: 156).

Semiotika adalah suatu ilmu atau metode analisis untuk mengkaji tanda.

Tanda-tanda adalah sesuatu yang berdiri pada sesuatu yang lain atau

menambahkan dimensi yang berbeda pada sesuatu, dengan memakai segala

apapun. Diantara semua jenis tanda-tanda yang terpenting adalah kata-kata.

Studi sistematis suatu tanda-tanda dikenal dengan semiologi. Arti harfiahnya

adalah kata-kata mengenai tanda-tanda (Berger, 2005: 1).

Terdapat dua nama yang berperan besar dalam sejarah kajian tentang tanda

ini. yaitu Ferdinand de Saussure dari Prancis (1857-1913) dan Charles Sanders

Peirce dari Amerika (1839-1914). Saussure sebagai ahli linguistik,

mengembangkan dari dasar-dasar linguistik dan memberi tekanan pada

struktur yang menyusun tanda, sementara Peirce lebih menekankan pada

konsep-konsep di luar tanda. Dalam usaha mencari makna suatu tanda, Pierce

membuat teori triangle meaning yang terdiri atas sign, object dan interpretant.

Salah satu bentuk dari tanda adalah kata, sedangkan object adalah sesuatu

yang dirujuk tanda, sementara interpretant adalah tanda yang ada dalam

6

bentuk seseorang tentang objek yang dirujuk sebuah tanda. Maka muncullah

makna tentang sesuatu yang diwakili oleh tanda tersebut (Sobur, 2001: 115).

Metodologi

Pendekatan semiotika dipilih sebagai pisau analisis utama dalam penelitian

ini, karena pendekatan ini bisa menguak kompleksitas dari sebuah narasi teks,

termasuk narasi film, sehingga pada akhirnya bisa diperoleh makna-makna yang

ada di dalamnya.

Pengumpulan data penelitian ini dilakukan dengan cara meng-capture

bagian-bagian adegan (scene) dan contain yang lain sebagai unit analisis yang

penting, representatif dan terpilih dalam film “Opera Jawa”. Scene-scene dari film

ini secara kronologis diolah dalam proses koding dan dijabarkan makna denotatif

dan konotatifnya.

Berdasarkan kerangka teori semiotika film, proses pengumpulan dan

koding data akan didasarkan pada tujuan untuk melihat hubungan tanda dan

makna film “Opera Jawa” dalam tiga tingkatan, yakni:

1. Tingkat Realitas: terdiri dari penampilan, pakaian, rias wajah, gerak tubuh,

ekspresi, suara dan lain-lain.

2. Tingkat representasi: terdiri dari kamera, pencahayaan, editing, musik, lagu,

nyanyian, dan hal lain yang ditransmisikan lewat narasi, konflik, karakter aksi,

dialog dan lainnya.

Sajian dan Analisis Data

A. Kodifikasi Tematik

1. Representasi Karakter Manusia Jawa

2. Karakter Manusia Jawa secara Individual

Film Opera Jawa melukiskan karakter manusia Jawa berdasarkan

representasi tokoh-tokohnya. Scene yang masuk ke dalam kodifikasi ini

diantaranya adalah; 5, 7, 8, 15, 18, 19, 37,40, 41, 42. Scene-scene itu

melukiskan beragam karakter manusia Jawa secara personal lewat

7

representasi tokoh-tokohnya. Berikut ini pemaparan karakter manusia

secara individual yang ditampilkan dalam “Opera Jawa”:

a) Tokoh Setyo: merupakan representasi sosok manusia Jawa elit,

kesadaran kelas priyayi, mentalitas hirarkis, kepemilikan/posesifitas,

dan cerminan subjek patriarki. Tokoh Setyo juga digambarkan

memiliki.

b) Tokoh Siti: representasi manusia Jawa priyayi, kesadaran seniman

Jawa, kesetiaan perempuan, sosok wanita yang ikut dan terikat pada

kultur patriarki Jawa.

c) Tokoh Ludiro: representasi sosok manusia Jawa borjuis, kesadaran

kelas menengah, kesadaran kekuasaan ekonomi, mentalitas dengan

banyak kepribadian, personifikasi subjek kultur matriarki.

d) Tokoh Suksesi: representasi wanita Jawa borjuis, kemandirian kaum

wanita, watak budaya matriarki, simbol orangtua tunggal/single-

parent.

3. Karakter manusia Jawa secara Kolektif dan Relasional

Sementara itu, karakter manusia Jawa secara kolektif tampak pada

secene 7,8, 67, 78, 65, 42. Penggambaran karakter kolektif di sini

maksudnya adalah melihat bagaimana watak, sifat dan perilaku keluarga

Jawa dilihat dari interaksi antar individunya.

Secara lebih spesifik, potret manusia Jawa ini dapat kita lihat

dengan lebih dekat lewat relasi antar subjeknya, seperti hubungan seorang

suami istri, dan hubungan seorang ibu dan anak. Representasi manusia

Jawa secara relasional dapat dijabarkan sebagai berikut:

8

Scene 19 Scene 20

(00:20:59) (00:20:33)

a) Hubungan dengan orang dekat/keluarga :

1) Hubungan Suksesi dengan Ludiro adalah hubungan orangtua tunggal

dengan anak semata wayang, Suksesi cenderung memberikan

keberlimpahan dan kemanjaan pada Ludiro.

2) Hubungan Ludiro dengan ibunya yang harmonis menunjukkan

keutamaan posisi wanita dalam kelas sosial di mana Ludiro berada.

Dalam teori etika Jawa Franz Magnis telah disebutkan bahwa bagi

individu Jawa, keluarga merupakan sarang keamanan dan sumber

perlindungan. Itu pertama-tama berlaku bagi orang tua. Mereka adalah

sumber pertama kesejahteraan jasmani dan rohani bagi anak mereka, dari

mereka ia menerima berbagai macam kebaikan, dan berkat mereka ia

mendapatkan kedudukan. Orang tua memberikan cinta kasih mereka

kepada anaknya dan segala apa yang dibutuhkannya, tanpa menghitung

dan tanpa prasarat. Mereka berusaha memaafkan kekeliruan dan

kenakalan-kenakalannya, dalam keadaan bagaimanapun, mereka

merupakan batu karang keamanan bagi anak-anaknya (Suseno, 2003: 169).

Keterkaitan teori dengan konteks film ini dalam tafsiran penulis

adalah bahwa sosok Ibu Ludiro terlepas dari semua problem, memiliki

tindakan cinta dan kasih sayang yang ideal yang menjadi dambaan setiap

anak. Sekalipun di sini ada sisi-sisi tertentu yang „dirumpak‟ (dilewati

dengan melebihi batas), namun dari adegan/scene inilah kita bisa melihat

gambaran bagaimana dukungan seorang ibu sangatlah berperan dan

menentukan dalam proses kehidupan seorang anak; dukungan dan restu

seorang ibu akan menentukan tingkat keyakinan seorang anak dalam

mengambil pilihan dan keputusan dalam hidup.

b) Hubungan antara laki-laki dan perempuan/relasi gender:

9

1) Dalam tradisi patriarki, wanita harus patuh sepenuhnya pada suami, ini

tercermin dari sikap Siti pada Setyo.

2) Dalam kehidupan kelas sosial bawah, kaum wanita sesungguhnya

banyak dikecewakan oleh kaum laki-laki.

3) Lelaki dalam kultur patriarki sangat merasa memiliki/posesif dan

berhak sepenuhya atas perempuan yang mendampinginya.

Wanita digambarkan sebagai sosok yang hanya menjadi korban bagi

kultur patriarki yang berfihak pada kepentingan kaum laki-laki. Salah satu

sisi negatif dari keluarga tradisional Jawa adalah wanita diposisikan

sebagai subordinan atas laki-laki dalam segala hal, dan secara otomatis

terjadilah represi dari kaum laki-laki terhadap wanita. (Falah, 2008: 17).

Film menggambarkan sisi lain dari kehidupan keluarga Jawa. Dalam

teori etika Jawa disebutkan bahwasannya etika keselarasan secara teoritis

memang menjadi dasar dari hukum keluarga Jawa. Keluarga Jawa mengatur

interaksi-insteraksinya melalui dua prinsip, yakni prinsip kerukunan dan

hormat, dan dua prinsip tersebut dijadikan landasan terciptanya harmoni

didalam keluarga (Suseno, 2003: 69). Paparan teoritis ini merupakan

idealitas nilai bagi kehidupan berkeluarga dalam masyarakat Jawa.

B. Paradoksi Simbolik atas Makna-makna di Dalam Hubungan Cinta Kasih

dan Keluarga

Film “Opera Jawa” memakai strategi paradoksi simbolik, artinya

membenturkan suatu simbol atau tanda dengan simbol atau tanda lain yang

memiliki makna kontras. Dengan strategi ini, sesungguhnya film “Opera

Jawa” tengah membuka kemungkinan dari timbulnya makna-makna lain yang

bisa ditangkap oleh penonton. Diantaranya adalah:

1. Hati Babi dan Tangan Sepasang Kekasih

Sebagai pembuka cerita:

“Sang Dalang bertutur bahwa ini adalah kisah Ramayana sebagai

cerminan kehidupan manusia, tegasnya dalang menyatakan bahwa inilih

10

kisah Dewi Shinta”. Dalang juga berkata bahwa kebenaran adalah milik

semua manusia, semua persepsi.

Tembang dalang:

“dalam hati babi seseorang bisa melihat seluruh kehidupan. kau bisa

membaca takdir seseorang lewat hati seekor babi. cinta dan kematian

menyatu. inilah kisah Dewi Sinta. dengarkanlah kisah Dewi Sinta. kaum

lelaki dari berbagai tempat bersaing mendapatkan hatinya. sejak awal

mula dunia ini ada. dari jaman nabi Adam hingga zaman Adam Smith.

setiap orang ingin tau apa yang terjadi”

Scene 1 Scene 2

(00:01:43) (00:01:56)

Pada scene 1 dan 2 digambarkan sepasang tangan kekasih, yakni

tangan Setyo dan Siti yang saling terpaut, dan di bawah itu diletakkan

seonggok hati babi. Dua simbol yakni sepasang tangan kekasih dan hati

babi adalah simbol yang kontras dan paradoks. Sepasang tangan kekasih

adalah simbol cinta kasih yang merupakan anugerah yang tinggi dan indah

pada manusia, sedangkan hati babi adalah simbol dari kehinaan,

kebinatangan dan kebrutalan.

Pembenturan dua simbol ini memiliki keterkaitan dengan sifat

tragis dari narasi kisah film ini, yakni dimana kisah cinta Setyo dan Siti

berakhir dengan terbunuhnya Siti oleh Setyo. Kisah asmara Setyo dan Siti

adalah sesuatu yang nihil dan berakhir dengan kesia-siaan, di mana

sepasang hati yang awalnya bertabur cinta justru kemudian berakhir

dengan penuh egoisme dan gelap mata. Simbol hati babi yang ditampilkan

dekat dengan tangan sepasang kekasih itu adalah sebuah peringatan,

sebuah siratan dari makna yang mengandung sarkasme yang sangat tajam;

11

bahwa meskipun tengah berada dalam gelombang asmara, tetapi hati

manusia rentan tergelincir pada derajat hewani dan kebutaan nurani.

2. Rasa Posesif dan Penguasaan Berlebihan yang Dijustifikasi

“Pada sepertiga malam, tidak bisa tidur

bulan purnama menerangi alasan

duduk sendirian dengan fikiran saya

diterpa dengan angin lembab

hati saya dingin

sehingga benar-benar sendirian di dunia ...

saya ...

tidak ada saudara, tidak ada adik, ada sepupu

di sini saya menderita hal ini bagai lempengan marmer

miskin jiwa saya! tubuh saya yang buruk !

cintaku padamu ...

seperti cintaku kepada bumi

jadi saya telah memilih kamu

Aku tidak hanya bumi, tetapi bumi dipercepat dengan kehidupan manusia

Saya tidak diresapi dengan minyak bumi

dan saya tidak memiliki hasil panen

atau saya bumi yang suci

atau bumi untuk diperjuangkan dalam pertempuran

Aku dibuat sebagai manusia

yang bisa berpikir

yang memiliki tangan, yang memiliki kaki.

Scene 57 Scene 58

(01:15:15) (01:18:04)

12

Kecemburuan telah membakar hati Setyo, ia melumuri tubuh Siti

dengan tanah basah/lumpur.

Tanah adalah benda yang fundamental dalam dari kehidupan

manusia. ia adalah dasar dari segala sesuatu. narasi film ini mensejajarkan

lambang tanah dengan perasaan cemburu yang meledak-ledak, dengan

suatu kekuasaan posesif yang sangat mengikat dari seorang lelaki atas

perempuan.

3. Kasih yang Tulus

Scene 3 (00:02:05) Scene 6(00:08:37)

Percintaan antara Setyo dan Siti bermula dari pandangan pertama.

Menunjukkan cinta mereka tulus pada scene 3.

sejak tanah kita tandus,

kita bagaikan Rama dan Sinta

yang terbuang dari kampong halaman.

apa yang tersisa dari kita hanyalah iman, harapan dan cinta.

Setyo melantunkan syair yang menyatakan cintanya pada Siti;

bahwa mereka laksana Rama dan Shinta, meskipun mereka “terbuang”

dari tanah asal (dalam hal ini kraton dan posisi sosial didalmnya), tetapi

cinta akan tetap menyatukan mereka.

Meskipun kini sepasang kekasih itu terbuang dari Kraton, namun

keduanya berjanji untuk tetap saling setia meski hidup dalam keadaan

yang sangat sederhana.

13

Melalui karakterisasi tokoh dan pergerakannya dalam narasi, film

ini memperlihatkan atau lebih tepatnya mempersonifikasikan cerminan

keluarga yang telah gagal dalam mendidik putranya. Peranan Ibu Sukesi

disini telah melanggar nilai-nilai etika kelurga Jawa, dimana beliau disini

telah mendukung Ludiro untuk mendapatkan hati Siti, sementara Siti telah

bersuami. Dalam titik ini, Suksesi tetap tidak tepat dalam bersikap karena

telah mendukung anaknya untuk merebut istri orang lain, dengan alasan

apapun.

Dengan kata lain, film ini menyorot secara lebih dekat potret suatu

keluarga, beserta sekian sistem nilai dan ideologi yang inheren di

dalamnya, melalui bentuk yang nyata, dalam kesadaran dan perilaku

setiap individu.

Pola penggambaran dari film ini dalam melakukan pembacaan.

(Istilah “pembacaan” di sini memiliki makna bagaimana film

memvisualisasikan sebuah konteks menjadi sebuah adegan/scene. Proses

visualisasi ini berdasar pada sebuah paradigma, pola kognitif dan pola

mental tertentu yang dimiliki oleh si pembuat film, karena itu visualisasi

adalah sebuah cara bagaimana film menafsirkan realitas).

Konteks adalah dengan memakai logika negasi (logika negasi

adalah sebuah bentuk logika yang melihat sesuatu entitas tidak sebagai

sesuatu yang bulat, utuh dan positif, melainkan sebagai sesuatu yang

problematis, yang memiliki kekurangan dan paradoks dan kontradiksi

dalam dirinya). (Bagus. 2005: 123).

Dalam menguraikan struktur sistem di dalam keluarga, di dalam

persfektif “Opera Jawa”, semua sistem ; balik itu kultur patriarki, kultur

matriarki, secara gamblang bahkan vulgar, juga ditampilkan segala

batasan sisi kekurangan/kelemahan dari sistem-sistem dan ideologi-

ideologi itu, terutama yang tercermin dari kelemahan subjek-subjeknya.

a. Nihilisme Kultur Patriarki

Kultur patriarki yang bergandengan dengan kesadaran kelas

priyayi yang diwakilkan oleh sosok Setyo digambarkan sebagai

14

sebuah sistem nilai yang memiliki kehalusan, kecerdasan yang

mendalam dan pengetahuan yang adiluhung tentang karakter manusia

dan norma-norma dan budi pekerti.

Namun, rupanya kesadaran kelas priyayi pun memiliki sisi

lemah dan kekurangannya. Normatifitas dan budi pekerti formal yang

melekat pada kesadaran Setyo sirna perlahan untuk kemudian musnah

sama sekali saat ia berhadapan dengan goncangan-goncangan batin

yang ia temui di kehidupan nyata, di luar wilayah kraton.

Ciri dari kultur patriarki terutama adanya hierarki internal yang

sangat senjang antara perempuan dengan laki-laki dalam hal peran

publik; laki-laki memiliki peran sebagai pengatur keluarga dan

memiliki wilayah aktualisasi diri yang lebih luas terutama dalam hal

profesi. Sementara perempuan, selalu berposisi subrodinan di bawah

laki-laki, ia hanyalah pendamping hidup suami yang harus ikut

kemanapun suaminya memerintahkan dan menuruti apapun yang

suaminya inginkan/perintahkan, dan wilayah aktualisasi dirinya

terbatas di ruang domestik (urusan rumah tangga belaka).

Kultur patriarki yang bergandengan dengan kesadaran kelas

priyayi memang memiliki watak kebijaksanaannya sendiri. Ini

tercermin dari bagaimana tuturan Setyo yang ditujukan kepada istri

yang berisi wejangan, tutur kata yang santun dan sarat dengan nilai

kearifan. Namun rupanya semua hal, semua landasan nilai yang

dibangun oleh Setyo dalam kehidupannya terkikis dan sirna dengan

cepat oleh beberapa hal; pertama, kekalahan kehidupan ekonomi

Setyo. Tatkala ia menjauh dari lingkungan kraton, yang artinya ia

sudah tidak mendapatkan pengayoman dan akomodasi lagi dari

kraton, Setyo berjuang untuk memenuhi kebutuhan ekonomi antara ia

dan istrinya, namun rupanya mereka hidup dalam keadaan serba

sangat pas-pasan, bahkan terkadang kebutuhan pangan mereka

seringkali digambarkan kurang artinya kehidupan ekonomi Siti dan

Setyo sangat sederhana dan tidak stabil.

15

Kedua, kejatuhan Setyo diakibatkan oleh kecemburuan dan

prasangkanya yang berlebihan atas hubungan Ludiro dan Siti. Ini

merupakan faktor dari puncak kejatuhan Setyo; kemarahan dan

kecemburuan yang menghanguskan hati akhirnya mendorong Setyo

untuk melakukan tindakan amoral yakni membunuh Siti dengan cara

merobek dan mengambil hatinya.

Tindakan Setyo yang kelewat batas ini menunjukkan bahwa

betapa manusia yang terdidik dalam ajaran dan bentukan nilai-nilai

bisa terjatuh, bisa melakukan hal-hal yang jauh bertentangan dengan

ajaran nilai kraton yang membentuknya.

Titik nihil dari kultur patriarki terletak pada penguasaan

berlebih dari laki-laki atas perempuan itu sendiri. Rasa posesif yang

berlebihan dari Setyo atas Siti membentuk Setyo merasa dirinya

memiliki sepenuhnya atas diri Siti dan berhak melakukan apapun pada

Siti, termasuk tindakan-tindakan hewani yang didasarkan pada amarah

yang gelap mata.

b. Nihilisme Kultur Matriarki

Meskipun konsep budaya matriarki memiliki pengertian sendiri

yang ketat dalam konteks ajaran tradisional, namun dalam film Opera

Jawa ini, kultur matriarki dikontekstualisasikan dengan kondisi

keluarga Jawa kontemporer. Kultur matriarki di sini dilihat sebagai

sistem sosial yang menjadikan perempuan sebagai pusat dari peran

utama, perempuan adalah yang pemimpin.

Dalam teks Opera Jawa, hubungan Suksesi (representasi kultur

matriarki) sebagai ibu dari Ludiro (reprsentasi kekuasaan ekonomi)

menunjukkan adanya hubungan antara kultur matriarki dengan

kekuasaan ekonomi. “Opera Jawa” mempersepsikan kultur matriarki

sebagai sistem sosial yang menjadikan kekuasaan ekonomi sebagai

basis sistemnya, dengan kata lain kekuasaan kapitalisme adalah anak

dari budaya matriarki. Simbol kaum raksasa.

16

Dengan tampilan etika keluarga Jawa, dalam film, “Opera

Jawa” terkesan sebagai sebuah teks yang penuh dengan konflik di

dalamnya. “Opera Jawa” menggambarkan betapa keluarga Jawa,

sudah melenceng dari konsep rukun dan hormat, sesuai dengan teori

Franz Magnis Suseno.

Film “Opera Jawa” ini menyodorkan sebuah kritik nilai yang

sangat tajam pada pemirsa bahwa sistem kekuasaan dan ideologi

apapun memiliki kelemahan-kelemahan yang bisa menjeremuskan

manusia pada arah yang salah. Dengan mempelajari dan

mengantisipasi kesalahan-kesalahan dalam pola kekuasaan dan sistem

yang ada, diharapkan agar kita bisa meningkatkan harmoni dalam

membangun kehidupan dengan sesama manusia, yang salah satu

bagian terpentinya adalah kehidupan berkeluarga.

Kesimpulan

Berdasarkan proses dan hasil dari penelitian pada bab-bab sebelumnya,

maka dapat ditarik kesimpulan penelitian sebagai berikut:

1. Dengan strategi simbolisasi etika Jawa lewat teks audiovisual, film “Opera

Jawa” ini tidak saja mempresentasikan kondisi aktual keluarga Jawa yang kini

tengah rentan dengan konflik; seperti kasus kekerasan dalam rumah tangga,

perselingkuhan, perceraian karena persoalan kondisi ekonomi yang minim,

dan lain sebagainya sebagaimana yang terepresentasikan lewat film ini. Film

“Opera Jawa” pun memperingatkan bahwa siapapun, sekalipun ia seorang ibu,

bisa saja melanggar etika Jawa. Misalnya sebagaimana ditampilkan oleh sosok

Ibu Ludiro yang tetap mendukung keinginan anaknya untuk mendekati Siti

yang sudah bersuami walaupun ia jelas tahun ia adalah suatu hal yang tidak

benar (salah) dalam konteks etika keluarga Jawa yang menghormati kesetiaan.

2. Secara luas, representasi keluarga Jawa yang tersirat secara tajam di balik

film“Opera Jawa” ini terutama adalah pada kondisi keluarga Jawa yang sudah

jauh dari etika dan nilai keselarasan, ini dicirikan oleh banyaknya konflik yang

17

terjadi antar keluarga. Film “Opera Jawa” juga berhasil memperingatkan sisi

rentan dari suatu sistem kekuasaan, yakni bahwa ia bisa semata menjadi suatu

hal yang sepenuhnya berisi kepentingan yang jauh dari kebenaran dan nilai

melanggar etika; contohnya adalah tokoh Ludiro dengan kekayaannya

(kekuasaan ekonomi) menggeser saingan-saingannya dan sebagai alat untuk

memikat perempuan yang sudah memiliki ikatan perkawinan, atau seperti

tokoh Setyo yang menggunakan kharismanya (kekuasaan struktural) sebagai

modal untuk memobilisasi massa untuk kepentingan pribadinya.

Saran

Adapun saran-saran berkenaan dengan dari penulis dalam hal ini adalah:

1. Bagi pemirsa dan penikmat seni film serta masyarakat Jawa khususnya, agar

senantiasa menjaga prinsip-prinsip etika Jawa seperti nilai keselarasan, saling

menghormati, dsb, juga hikmah serta pesan moral dari film ini dapat menjadi

bahan refleksi diri untuk memperbaiki banyak hal dan sikap-sikap dalam

kehidupan sosial dewasa ini yang semakin kompleks.

2. Bagi peneliti selanjutnya; agar menggali lebih dalam teks film “Opera Jawa”

dari sudut pandang yang lain. Penelitian atas film juga terbuka untuk metode

dan pendekatan lain, salah satunya adalah analisis linguistik untuk melihat

perkembangan bahasa Jawa saat ini, karena film “Opera Jawa” sangat kaya

akan bentuk-bentuk dialek bahasa Jawa yang digunakan dalam masyarakat.

DAFTAR PUSTAKA

Berger, Artur Asa. (2005.) Tanda-Tanda dalam Kebudayaan Kontemporer.

Yogyakarta: Tiara Wacana.

Falah, Falasifatul. (2008.) “Javanese Women in Hybridism”. Malaysia, Jurnal

Proyeksi vol.4 (2).

Indriyani, Febrina Dwiki. 2008. “Analisis Semiotik Mengenai Perjuangan

Perempuan Sebagai Single Mother dalam Film Dawn Anna dan Erin

Brokovich”. Yogyakarta. Jurusan Ilmu Komunikasi, Fakultas Ilmu Soial

dan Ilmu Politik. UGM. Yogyakarta.

Pawito. (2007.) Penelitian Komunikasi Kualitatif. Yogyakarta: LKiS.

18

Sobur, Alex. (2001.) Analisis Teks Media. Bandung: Remaja Rosdakarya.

_________.2006. Semiotika Komunikasi. Bandung: Rosda Karya.

Suseno, Franz Magniz. (2003.) Etika Jawa. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Wildan, Syaiful. “Kedudukan dan Peran Perempuan Sebagai Istri dalam

Masyarakat Kraton Yogyakarta Hadiningrat”. Yogyakarta. Fakultas

Syari‟ah UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.