potensi dan status kerusakan tanah untuk …
TRANSCRIPT
1
LAPORAN
PENELITIAN UNGGULAN PROGRAM STUDI
POTENSI DAN STATUS KERUSAKAN TANAH UNTUK
PRODUKSI BIOMASSA DI KECAMATAN MENGWI
KABUPATEN BADUNG
(Tahun ke-1 dari Rencana 1 Tahun)
KETUA/ANGGOTA TIM
IR. I WAYAN SEDANA,M.Si /0031125745
IR. DESAK NYOMAN KASNIARI, M.P./ 0010125503
PROGRAM STUDI AGROEKOTEKNOLOGI
FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS UDAYANA
Oktober 2018
POTENSI DAN STATUS KERUSAKAN TANAH UNTUK PRODUKSI
BIOMASSA DI KECAMATAN MENGWI
KABUPATEN BADUNG
IR. I WAYAN SEDANA,M.Si
PROGRAM STUDI AGROEKOTEKNOLOGI
FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS UDAYANA
2019
Oktober 2018
2
`DAFTAR ISI
Daftar Isi --------------------------------------------------------------------------------------------- i
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang ---------------------------------------------------------------------------------------- I
1.2 Tujuan Khusus Penelitian ---------------------------------------------------------------- ---------- 2
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Sifat sifat Dasar Tanah--------------------------------------------------------------------- 3
2.2 Kerusakan Tanah----------------- --------------------------------------------------------- 6
2.3 Kerusakan Tanah Untuk Produksi Biomassa ------------------------------------------ 8
BAB III METODOLOGI
3.1 Identifikasi Kondisi Awal Tanah -------------------------------------------------------- 10
3.2 Verifikasi di Lapangan --------- --------------------------------------------------------- 14
3.3 Evaluasi Penetapan Status Kerusakan Tanah ----------------------------------------- 15
3.4 Penyusunan Peta Status Kerusakan Tanah --------------------------------------------- 15
BAB IV GAMBARAN UMUM KECAMATAN MENGWI
4.1 Wilayah Geografis dan Administratif -------------------------------------------------- 18
3.2 Kondisi Geologi ----------------------------------------------------------------------------- 19
4.3 Kondisi Jenis Tanah ----------------------------------------------------------------------- 20
4.4 Kondisi Kemiringan Lereng -------------------------------------------------------------- 21
4.5 Kondisi Curah Hujan----------------------------------------------------------------------- 22
4.6 Deskripsi Lokasi Pengambilan Sampel ------------------------------------------------ 24
4.7 Lokasi Sampling ----------------------------------------------------------------------- 24
BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN
5.1. Karakteristik wilayah Kajian ------------------------------------------------------------- 28
5.2 Verifikasi Lapangan dan Analisis Laboratorium ------------------------------------- 31
- Ketebalan solum -------------------------------------------------------------------------- 32
- Kebatuan Permukaan -------------------------------------------------------------------- 33
- pH ------------------------------------------------------------------------------------------- 33
- Komposisi Fraksi------------------------------------------------------------------------- 34
- Berat Volume ----------------------------------------------------------------------------- 35
- Porositas Total ---------------------------------------------------------------------------- 35
- Derajat Kelulusan Air ------------------------------------------------------------------- 36
- Daya Hantar Listrik ---------------------------------------------------------------------- 37
5.3. Status Kerusakan Tanah untuk Produksi Biomassa ---------------------------------- 38
BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN
6.1 Kesimpulan -------------------------------------------------------------------------------- 41
6.2 Rekomendasi -------------------------------------------------------------------------------- 41
Daftar Pustaka ---------------------------------------------------------------------------------- 43
3
BAB I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Kabupaten Badung merupakan salah satu Kabupaten yang ada di Provinsi Bali
dengan potensi ekonomi yang cukup tinggi, didukung sektor pariwisata sebagai ikon
atau model income yang sangat besar. Perhatian terhadap sektor pariwisata, Kabupaten
Badung khususnya Badung tengah memiliki potensi yang sangat besar dan cenderung
menjadi overload. Penanganan alih fungsi lahan sudah tidak bisa dibendung lagi,
terutama Kecamatan Mengwi yang memiliki potensi pertanian sangat baik (produktif).
Kecamatan Mengwi memiliki luas wilayah 8.200 Ha terdiri dari lahan pertanian 6.755
Ha (lahan sawah : 4.572 Ha, bukan sawah 2.183 Ha) dan lahan bukan pertanian 1.445
Ha.
Meningkatnya berbagai aktivitas penduduk di Kecamatan Mengwi telah
menimbulkan berbagai dampak lingkungan, salah satunya adalah terjadinya penurunan
kualitas mutu tanah pada lahan-lahan produktif yang ditandai dengan menurunnya
produktifitas pertanian.
Tanah sebagai salah satu sumberdaya alam, wilayah hidup, media lingkungan
dan faktor produksi termasuk produksi biomassa yang mendukung kehidupan manusia
serta makhluk hidup lainnya harus dijaga dan dipelihara kelestariannya. Di sisi lain
kegiatan dan atau aktifitas manusia yang tidak terkendali dapat mengakibatkan
kerusakan tanah untuk produksi biomassa, sehingga dapat menurunkan mutu dan
fungsinya, pada akhirnya dapat mengancam kelangsungan hidup manusia dan makhluk
hidup lainnya. Oleh karena itu agar pengawasan dan pengendalian kerusakan dapat
berlangsung dengan baik, maka terlebih dahulu harus dilakukan kegiatan inventarisasi
data kondisi tanah dan kerusakannya yang selanjutnya dituangkan dalam Peta potensi
dan Peta Status Kerusakan Tanah.
Sherbinin (2002) menyatakan, bahwa pembangunan infrastruktur seperti
permukiman penduduk merupakan salah satu aktivitas manusia yang menyebabkan
kerusakan lahan dan Montgomeri (2007) menyatakan bahwa aktivitas pertanian
konvensional menyebabkan kerusakan lahan akibat erosi lebih besar dibandingkan
kemampuan alami lahan untuk memperbaiki kondisi tanah karena erosi geologi.
4
1.2. TUJUAN KHUSUS PENELITIAN
Tujuan penelitian ini adalah untuk :
1. Mengetahui potensi kerusakan tanah dan mengidentifikasi parameter kerusakan
tanah sehingga dapat ditentukan pendekatan sesuai dengan permasalahannya
2. Memperoleh peta potensi kerusakan tanah.
3. Memperoleh peta status kerusakan tanah di wilayah Kecamatan Mengwi. Serta
upaya yang dapat dilakukan dalam pengendalian yang meliputi pencegahan,
penanggulangan dan pemulihan kondisi tanah.
5
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA
Kerusakan tanah untuk produksi biomassa adalah berubahnya sifat dasar tanah
yang melampaui kriteria baku karusakan tanah. Biomassa adalah tumbuhan atau
bagian-bagiannya yaitu bunga, biji, buah, daun, ranting, batang dan akar, termasuk
tanaman yang dihasilkan oleh kegiatan pertanian, perkebunan dan hutan tanaman.
Produksi biomassa adalah bentuk-bentuk pemanfaatan sumber daya tanah untuk
menghasilkan biomassa.
Pengendalian kerusakan tanah adalah upaya pencegahan dan penanggulangan
kerusakan tanah serta pemulihan kondisi tanah. Kondisi tanah adalah sifat dasar tanah
di tempat dan waktu tertentu yang menentukan mutu tanah. Sifat dasar tanah adalah
sifat dasar fisika, kimia dan biologi tanah. Status kerusakan tanah adalah kondisi tanah
di tempat dan waktu tertentu yang dinilai berdasarkan kriteria baku kerusakan tanah
untuk produksi biomassa. Kriteria baku kerusakan tanah untuk produksi biomassa
adalah ukuran batas perubahan sifat dasar tanah yang dapat ditenggang, berkaitan
dengan kegiatan produksi biomassa.
Pencegahan kerusakan tanah untuk produksi biomassa adalah upaya untuk
mempertahankan kondisi tanah melalui cara-cara yang tidak memberi peluang
berlangsungnya proses kerusakan tanah. Penanggulangan kerusakan tanah adalah
upaya untuk menghentikan meluas dan meningkatnya kerusakan tanah. Pemulihan
kondisi tanah adalah upaya untuk mengembalikan kondisi tanah ke tingkatan yang
tidak rusak.
2.1. SIFAT-SIFAT DASAR TANAH
Jenis tanah muda seperti Entisol/regosol sampai tanah tua seperti
Ultisol/podsolik merah kuning dan Oxisol/latosol umumnya mempunyai kandungan
unsur-unsur terbanyak SiO2 diikuti oleh Fe2Os, AlaOs (dengan kandungan menengah),
diikuti oleh MgO, CaO, K2O, Na2O, P2Oo dan BO (kandungan rendah), sedangkan
usur logam-logam berat berkadar sangat rendah . Komposisi unsur tanah ini berbentuk
secara alami dan menyusun fase padat tanah sebesar 50%, sedangkan 25% berupa fase
cair dan sisanya 25% berupa fase gas, gabungan dari tiga fase ini menjadikan
sumberdaya tanah dapat berfungsi sebagai media tumbuh tanaman maupun menjadi
kompnen lingkungan yang sehat.
6
Proses-proses yang terjadi dalam tanah dapat menyebabkan perubahan
karakteristik tanah secara berangsur menuju kearah tertentu (mengikuti kurva
kuadratik). Pada umumnya proses-proses yang terjadi dalam tanah berlangsung relative
lambat, sehingga perubahan sifat- sifat tanah secara nyata baru dapat teramati dalam
waktu puluhan tahun, tanah bukanlah sistem yang statis tapi tanah merupakan identitas
alam yang berdimensi ruang dan waktu.
Tubuh tanah mengandung komponen-komponen hayati dan non hayati.
sehingga tanah beserta dinamika proses yang berlansung didalamnya dapat dipandang
sebagai bio-geoekosistem. Oleh karena itu tanah merupakan suatu sistem yang dinamis
yang berinteraksi antar komponen tanah. Tanah berfungsi melindungi kehidupan selaku
sistem penyaring, buffer (penyangga kimia), pengendap, transformer (pengalihragam)
dan pengendali biologi.
Fungsi penyaring dijalankan tanah dengan tubuhnya yang berbentuk jaring
(berstruktur). Bahan buangan padatan berupa lumpur, debu, sedimen dan bahan
tersuspensi ditahan oleh tanah (topsoil), sehingga tidak terbawa aliran limbah
atau air perkolasi dengan demikian tanah hilir dan badan air permukaan serta tanah
bawah (subsoil) dan air tanah terhindar dari pengotoran atau pencemaran.
Fungsi menyangga kimiawi dijalankan tanah dengan menyerap zat-zat beracun
berupa ion-ion terlarut atau koloid tersuspensi. Daya menyangga berkaitan
dengan kadar lempung, bahan humik dan oksida serta hidroksida Fe dan
Al. Lempung menjerap kation, bahan humik menjerap kation dan anion, sedang
oksida dan hidroksida Fe dan Al menyerap atau menyerap anion.
Fungsi mengendapkan secara kimiawi berkaitan dengan pH dan potensial
redoks. Dengan jalan menyangga dan mengendapkan, tanah dapat membersihkan
air limpasan dan air perkolasi dari zat- zat beracun, seperti logam berat, oksida N
dan S, sisa pupuk dan sisa pestisida yang terlarut. Pencekalan senyawa amonium,
nitrat dan fosfat yang terlarut dalam air limpas dan air perkolasi sebelum
masuk ke badan air permukaan dan air tanah dapat menghindarkan eutrofikasi
perairan. Nitrat meracuni air minum. Zat-zat yang sangat beracun biasa terdapat
dalam buangan industri dan pertambangan karena mengandung unsur F, Hg, Cd,
Pb, Ni, Zn dan/atau Cu. Sisa pestisida berbahaya karena mengandung Zn atau Cu.
Fungsi mengalihragamkan dikerjakan oleh jasad tanah. khususnya flora dan renik,
atas senyawa pencemar organik seperti yang terdapat dalam urine, tinja, kotoran
7
hewan, rembesan perairan hijauan ternak (silage), sari kering limbah (sludge) dan
pestisida organik. Senyawa - senyawa tersebut di rombak dan diubah dengan
proses mineralisasi dan huraifikasi menjadi zat-zat yang tidak berbahaya.
Penguraian bahan organik yang mudah teroksidasi menanggulangi pemasukan
bahan organik tersebut ke perairan dan dengan demikian menanggulangi
penghangatan tubuh air dan oksigen bebas, sehingga menghindarkan habitat
peairan dari kerusakan.
Pada tanaman tanah berfungsi sebagai penyimpan cadangan unsur hara tanaman,
pengikat lengas dan air tanah, pengurai dan penangkap senyawa-senyawa beracun (sisa
herbisida, pestisida, fungisida dll), penyedia aerasi/ oksigen bagi aktivitas
mikroorganisme.
Sifat fisik dan kimia tanah sebagian besar ditentukan oleh unsur liat dan humus,
yang berfungsi sebagai pusat kegiatan tanah yang terjadi reaksi-reaksi kimia dan
pertukaran ion, dan selanjutnya dengan menarik ion-ion tertentu dan menahannya pada
permukaan liat dan humus, ion-ion tersebut tidak hilang tercuci. Ion tersebut lambat
laun dibebaskan kembali dan dapat diambil oleh tanaman, karena muatan permukaan,
dan merupakan jembatan pengikat antara butiran-butiran besar, dengan demikian
menjamin adanya struktur granular yang mantap dan sangat diperlukan oleh tanaman.
Atas dasar bobot, koloid humus mempunyai kapasitas menahan hara dan air yang lebih
baik dari pada liat.
Tanah-tanah berstruktur kasar seperti pasir dan pasir berkerikil mempunyai
infiltrasi yang tinggi, dan jika tanah tersebut dalam, maka erosi dapat diabaikan. Tanah
bertekstur pasir halus yang mempunyai kapasitas infiltrasi cukup tinggi, akan tetapi jika
terjadi aliran permukaan maka butir-butir halus akan mudah terangkut.
Tanah-tanah yang mengandung liat dalam jumlah yang tinggi dapat tersuspensi
oleh butir-butir hujan yang jatuh menimpanya dan pori-pori lapisan permukaan akan
tersumbat oleh butir-butir liat, hal ini inenyebabkan terjadinya aliran permukaan dan
erosi yang berat. Akan tetapi jika tanah demikian ini mempunyai struktur yang mantap
yaitu tidak mudah terdispersi maka Infiltrasi masih cukup besar sehingga aliran
permukaan dan erosi tidak begitu berat. Lapisan teratas suatu penampang tanah
biasanya mengandung banyak bahan organik dan berwarna gelap, karena akumulasi
bahan organik. Lapisan ini merupakan lapisan utama disebut lapisan olah. Lapisan di
bawah lapisan olah dikenal dengan lapisan bawah yang juga dipengaruhi oleh kondisi
8
iklim, tetapi tidak seintensif yang dialami lapisan olah dan pada umumnya mengandung
lebih sedikit bahan organik. Lapisan olah merupakan daerah utama bagi pertumbuhan
perakaran, dan mengandung banyak unsur hara serta air yang dibutuhkan oleh tanaman.
2.2. KERUSAKAN TANAH
Kerusakan tanah dapat disebabkan oleh sifat alami tanah, dapat pula
disebabkan oleh kegiatan manusia yang menyebabkan tanah tersebut
terganggu rusak hingga tidak mampu lagi berfungsi. Kegiatan produksi
biomassa yang memanfaatkan tanah maupun sumberdaya alam lainnya dengan tidak
terkendali dapat mengakibatkan kerusakan tanah untuk produksi biomassa,
sehingga menurunkan mutu serta fungsi tanah yang pada akhirnya dapat mengancam
kelangsungan kehidupan manusia dan makhluk hidup lainnya.
Kerusakan tanah dapat terjadi oleh : kehilangan unsur hara dan bahan organik
dari daerah perakaran, terkumpulnya garam didaerah perakaran (salinisasi),
terkumpulnya atau terungkapnya unsur atau senyawa yang merupakan racun bagi
tanaman, penjenuhan tanah oleh OH- (waterlogging), dan erosi.
Kerusakan tanah oleh satu atau lebih proses tersebut menyebabkan
berkurangnya kemampuan tanah untuk mendukung pertumbuhan tanaman, dan
biomassa yang dihasilkan. Hilangnya secara berlebihan satu atau beberapa unsur hara
dari daerah perakaran menyebabkan merosotnya kesuburan tanah, sehingga tanah tidak
mampu menyediakan unsur hara yang cukup dan seimbang untuk mendukung
pertumbuhan tanaman yang normal, sehingga produktivitas tanah menjadi sangat
rendah. Kerusakan bentuk ini terjadi sebagai akibat perombakan bahan organik dan
pelapukan mineral serta pencucian hara yang berlangsung dengan cepat di bawah iklim
tropis, panas dan lembab / basah, atau terangkutnya hara dari dalam tanah melalui
panen tanpa ada usaha untuk mengembalikannya. Proses ini menyebabkan juga
rusaknya struktur tanah.
Pembakaran tumbuhan yang menutupi tanah akan mempercepat proses
pencucian dan pemiskinan, apalagi jika pembakaran terjadi setiap tahun. Kerusakan
bentuk ini terjadi segera setelah vegetasi seperti hutan, semak belukar atau rumput
ditebang atau ditebas dan dibersihkan untuk penanaman tanaman semusim, atau
pembakaran jerami di sawah setelah dilakukannya panen. Hal tersebut akan
mengurangi kandungan bahan organik dalam tanah, karena bahan organik yang diambil
9
dari tanah tidak dikembalikan lagi ke dalam tanah berupa sisa tanaman, atau berupa
bahan organik lainnya ke dalam tanah.
Di daerah beriklim kering atau dekat pantai pada musim kemarau dapat
terkumpul di permukaan tanah garam natrium dalam jumlah yang cukup menghambat
pertumbuhan atau mematikan tanaman, peristiwa ini disebut salinisasi. Kerusakan
bentuk ini dapat hilang pada musim hujan dengan tercucinya garam-garam tersebut.
Kerusakan tanah dapat juga terjadi oleh terungkapnya liat masam ke daerah perakaran
pada tanah-tanah rawa atau terakumulasinya unsur-unsur tertentu seperti besi,
aluminium, dan mangan dapat ditukar dalam jumlah yang tidak dapat ditoleransi oleh
tanaman. Dengan bertambahnya pemakaian bahan kimia dalam pertanian dan buangan
limbah industri, maka besar kemungkinan terjadi akumulasi bahan-bahan tersebut yang
dapat merupakan racun bagi tanaman
Kepekaan tanah terhadap kerusakan dan aktivitas manusia merupakan faktor-
faktor yang mempengaruhi tingkat kerusakan. Untuk menilai kerusakan tanah aktual,
faktor-faktor tataguna dan pengelolaan tanah harus diperhitungkan karena kedua faktor
tersebut merupakan penyebab utama dalam perubahan dari kerusakan alami (natural
atau geological degradation) menjadi kerusakan yang dipercepat (accelerated
degradation).
Menilai resiko kerusakan tanah yang akan datang sangat sulit, dan prakiraan
yang dibuat seringkali meleset, karena adanya perubahan dalam tataguna tanah /
pengelolaan tanah dan keadaan lingkungan seperti iklim. Walaupun tataguna /
pengelolaan tanah tetap tidak berubah, prakiraan akan tetap mendapat kesulitan karena
hubungan antara kerusakan tanah dan waktu tidak selalu merupakan garis lurus (linier).
Dalam suatu pengelolaan tanah, kerusakan yang terjadi mungkin dipercepat dan
diperlambat dan kurva selalu menjadi asimptotik terhadap suatu nilai produktivitas.
Misalnya usaha pertanian dalam beberapa tahun tanpa pemupukan atau mencapai titik
nol dengan percepatan seperti dalam kasus erosi pada tanah-tanah bersolum dangkal di
atas batuan yang kompak. Kerusakan potensial atau kerusakan maksimum akan timbul
pada tanah yang keadaannya kritis, karena pengelolaan yang buruk, misalnya erosi
pada tanah gundul. Maka dapat dikatakan bahwa resiko kerusakan maksimum adalah
fungsi beberapa faktor alam yang relatif stabil, sama seperti bahaya dalam kasus erosi,
yaitu agresivitas iklim, erodibilitas tanah, kecuraman lereng, panjang lereng tidak
bervegetasi penutup tanah dan pengelolaan yang buruk.
10
2.3. KERUSAKAN TANAH UNTUK PRODUKSI BIOMASSA
Tanah sebagai salah satu komponen lingkungan hidup merupakan karunia
Tuhan Yang Maha Esa kepada Bangsa Indonesia. Tanah memiliki banyak fungsi dalam
kehidupan. Di samping sebagai ruang hidup, tanah memilki fungsi produksi, yaitu
antara lain sebagai penghasil biomassa, seperti bahan makanan, serat, kayu, dan bahan
obat-obatan. Selain itu, tanah juga berperan dalam menjaga kelestarian sumberdaya air
dan kelestarian lingkungan hidup secara umum.
Berdasarkan peranan tanah yang sangat penting dalam produksi biomassa, maka
perlindungan tanah, pengendalian pemanfaatan tanah, pengendalian kerusakan tanah
serta pemulihan kerusakan tanah perlu lebih diperhatikan dalam pengembangan
kawasan atau wiiayah.
11
BAB III. METODE PENELITIAN
Pelaksanaan kegiatan identifikasi dan pemetaan status kerusakan lahan untuk
produksi biomassa menggunakan metode survey yaitu dengan melakukan pengamatan
dan pengambilan sampel tanah secara langsung dilapangan, dilanjutkan dengan analisis
laboratorium. Pengamatan dan pengambilan sampel tanah dilakukan pada lokasi yang
telah ditentukan berdasarkan peta kerja
Kriteria baku yang digunakan untuk menentukan status kerusakan tanah untuk
produksi biomassa didasarkan pada parameter kunci sifat dasar tanah, yang mencakup
sifat fisik, sifat kimiawi dan sifat biologi tanah. Sifat dasar tanah ini menentukan
kemampuan tanah dalam menyediakan air dan unsur hara yang cukup bagi kehidupan
(pertumbuhan dan perkembangan) tumbuhan. Dengan mengetahui sifat dasar suatu
tanah maka dapat ditentukan status kerusakan tanah untuk produksi biomassa.
Gambar 3.1 menunjukkan skema pelaksanaan pekerjaan.
PENETAPAN KONDISI
TANAH
IDENTIFIKASI KONDISI AWAL TANAH
UNTUK MENENTUKAN AREAL YANG
BERPOTENSI MENGALAMI KERUSAKAN
(Penetapan Peta Potensi)
PERUNTUKAN KAWASAN
PRODUKSI BIOMASSA
ANALISIS SIFAT
DASAR TANAH
EVALUASI UNTUK
MENETAPKAN STATUS
KERUSAKAN TANAH
PENYUSUNAN
PETA KERJA
- SURVEY
- PENGAMBILAN SAMPEL
TANAH
- UJI LABORATORIUM
STATUS KERUSAKAN TANAH
(PENETAPAN PETA STATUS)
12
3.1. Identifikasi Kondisi Awal Tanah
Identifikasi kondisi awal tanah dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui areal
yang berpotensi mengalami kerusakan. Identifikasi kondisi awal tanah dilakukan
dengan:
1. Menghimpun data sekunder untuk memperoleh informasi awal sifat-sifat dasar tanah
yang terkait dengan parameter kerusakan tanah. Peta tanah dan peta lahan kritis
biasanya memuat informasi sifat dasar tanah;
2. Menghimpun data sekunder yang terkait dengan kondisi iklim, topografi,
penggunaan tanah, dan potensi sumber kerusakan;
3. Menghimpun data sekunder lain yang dapat mendukung penetapan kondisi tanah,
seperti citra satelit, foto udara, data kependudukan dan sosial ekonomi masyarakat,
pengaduan masyarakat;
4. Data dan informasi yang terhimpun kemudian dituangkan di dalam peta dasar skala
minimal 1:100.000, jika memungkinkan peta tersebut didigitasi sehingga menjadi
peta-peta tematik tunggal;
5. Melakukan overlay atau superimpose atas beberapa peta tematik yang telah dibuat
guna memperoleh gambaran tentang areal yang berpotensi mengalami kerusakan
tanah. Pembuatan peta kerja dengan metode overlay antara peta curah hujan , jenis
tanah, peta lereng, dan penggunaan lahan.
Nilai skoring atau skor pembobotan potensi kerusakan tanah didapat dari hasil
perkalian nilai rating yaitu nilai potensi masing masing unsur peta tematik terhadap
terjadinya kerusakan tanah dengan nilai bobot masing masing peta tematik yatu peta
tanah, peta lereng, peta curah hujan dan peta penggunaan lahan
1. Peta Tanah
Pada sistem klasifikasi Soil Taxonomy, terdapat 10 ordo tanah yang ada dan
tersebar di Indonesia yaitu :
1. Histosols 6 Alfisols
2. Entisols 7 Mollisol
3. Inceptisols 8 Ultisols
4. Vertisols 9 Oxisols
5. Andisols 10 Spodosols
13
Berdasarkan kondisi kelembabannya, tanah dibagi menjadi tanah lahan basah
dan tanah lahan kering. Tanah lahan basah adalah tanah yang sebagian besar waktu di
tahun-tahun normalnya berada pada kondisi jenuh air. Tanah lahan kering adalah tanah
yang sebagian besar waktu di tahun-tahun normalnya berada pada kondisi tidak jenuh.
Tanah lahan kering dan lahan basah dapat diduga dari nama jenis tanahnya. Selain
Histosol, yang termasuk lahan basah adalah tanah-tanah mineral yang mempunyai
rejim kelembaban akuik atau bersub ordo akuik, misalkan Aquents, Aquepts, Aquults,
Aquods dsb.
Dalam menduga potensi kerusakan, tanah-tanah dikelompokan ke dalam 5
(lima) kelas potensi kerusakan tanah. Nilai rating potensi kerusakan tanah diberikan
terutama berdasarkan pendekatan nilai erodibilitas tanah.
Tabel 3.1. Penilaian Potensi Kerusakan Tanah Berdasarkan Jenis Tanah
Tanah
Potensi
Kerusakan
Tanah
Simbol Rating Skor pembobotan
(rating X bobot)
Vertisol, Tanah
dengan rejim
kelembaban aquik
Sangat ringan T1 1 2
Oxisol Ringan T2 2 4
Alfisol, Mollisol,
Ultisols Sedang T3 3 6
Inceptisols,
Entisols, histosols Tinggi T4 4 8
Spodosol Andisol Sangat tinggi T5 5 10
Sumber : Kementrian Negara Lingkungan Hidup Republik Indonesia (2009)
2. Peta Lereng
Kemiringan lereng adalah perbandingan antara beda tinggi (jarak vertikal) suatu
lahan dengan jarak mendatarnya. Besar kemiringan lereng dapat dinyatakan dengan
beberapa satuan, diantaranya adalah dengan % (prosen) dan o (derajat). Kelerengan
mempengaruhi kerusakan lahan terkait dengan besarnya erosi dan kemampuan tanah
menyimpan air hujan. Semakin besar kelerengan akan menyebabkan kerusakan tanah
yang makin tinggi. Kemiringan lereng yang dihasilkan selanjutnya diklasifikasikan
sesuai dengan klasifikasi kemiringan lereng untuk identifikasi Potensi Kerusakan
Tanah.
14
Tabel 3.2. Penilaian Potensi Kerusakan Tanah Berdasarkan Kemiringan Lahan
Lereng (%) Potensi
Kerusakan Tanah Simbol Rating
Skor pembobotan
(rating X bobot)
1 – 8 Sangat ringan L1 1 3
9 – 15 Ringan L2 2 6
16 – 25 Sedang L3 3 9
26 – 40 Tinggi L4 4 12
> 40 Sangat tinggi L5 5 15
Sumber : Kementrian Negara Lingkungan Hidup Republik Indonesia (2009)
3. Peta Curah Hujan
Faktor terpenting penyusun iklim yang mempengaruhi tanah adalah curah
hujan. Curah hujan dapat dibedakan menurut sifatnya menjadi intensitas hujan,
distribusi hujan dan jumlah hujan. Intensitas hujan adalah banyaknya curah hujan per
satuan waktu tertentu (mm/jam), jumlah hujan menunjukkan banyaknya hujan selama
hujan terjadi dalam periode tertentu (hari, minggu, bulan dan tahun). Distribusi hujan
adalah penyebaran waktu terjadinya hujan. Sifat hujan tersebut diatas intensitas hujan
mempunyai pengaruh terbesar dibandingkan yang lainnya. Suatu tempat mempunyai
jumlah hujan yang tinggi belum tentu menyebabkan erosi, sebaliknya jumlah hujan
yang rendah dapat menyebabkan erosi, bila hujan yang terjadi sekali-kali saja.
Hujan yang turun akan mengenai tanah dan menghancurkan agregat tanah,
kemudian terangkut ke tempat lain. Hujan yang sampai ke permukaan tanah akan
mengalami infiltrasi, aliran permukaan, intersepsi dan penguapan. Aliran permukaan
(run off) menyebabkan erosi akan meningkat. Kelas curah hujan tahunan dalam
kaitannya dengan potensi kerusakan tanah disajikan dalam tabel 3.3.
Tabel 3.3. Penilaian Potensi Kerusakan Tanah Berdasarkan Curah Hujan
CH (mm)
Potensi
Kerusakan Tanah
Simbol Rating Skor pembobotan
(rating X bobot)
< 1000 Sangat rendah H1 1 3
1000 – 2000 Rendah H2 2 6
2000 – 3000 Sedang H3 3 9
3000 – 4000 Tinggi H4 4 12
> 4000 sangat tinggi H5 5 15 Sumber : Kementrian Negara Lingkungan Hidup Republik Indonesia (2009)
15
4. Peta Penggunaan Lahan
Penilaian potensi kerusakan tanah berdasarkan penggunaan lahan didekati
berdasarkan koefisien tanaman (faktor C). Dengan pendekatan tersebut, jenis
penggunaan lahan untuk daerah pertanian maupun vegetasi alami) dikelompokan ke
dalam 5 kelas potensi kerusakan tanah.
Sekalipun informasi pada satuan penggunaan lahan bersifat lebih umum, namun
informasi-informasi yang lebih detil mengenai jenis komoditas/vegetasi, tipe
pengelolaan dan langkah-langkah konservasi yang diterapkan yang terkait erat dengan
sifat tanah sangat penting dan bermanfaat untuk menduga potensi kerusakan tanah.
Data-data tersebut penting untuk dicatat dan diperhatikan dalam pemanfaatan peta
penggunaan lahan guna penyusunan peta kondisi awal tanah.
Tabel 3.4. Penilaian Potensi Kerusakan Tanah Berdasarkan Penggunaan Lahan
Penggunaan Lahan
Potensi
Kerusakan
Tanah
Simbol Rating Skor pembobotan
(rating X bobot)
Hutan alam
Sawah
Alang-alang murni
subur
Sangat rendah T1 1 2
Kebun campuran
Semak belukar
Padang rumput
Rendah T2 2 4
Hutan produksi
Perladangan Sedang T3 3 6
Tegalan
(tanaman semusim) Tinggi T4 4 8
Tanah terbuka Sangat tinggi T5 5 10
Sumber : Kementrian Negara Lingkungan Hidup Republik Indonesia (2009)
Penyusunan potensi kerusakan tanah disusun dengan cara ataupun prosedur
overlay. Data dianalisis untuk memperoleh informasi mengenai potensi kerusakan
tanah. Analisis spasial dilakukan dengan menumpangsusunkan (overlay) beberapa data
spasial (parameter penentu potensi kerusakan tanah), sehingga diperoleh unit peta baru
yang akan digunakan sebagai unit analisis. Pada setiap unit analisis tersebut dilakukan
analisis terhadap data atributnya berupa data tabular. Hasil analisis tabular selanjutnya
dikaitkan dengan data spasialnya untuk menghasilkan data spasial potensi kerusakan
tanah.
16
Analisa spasial, sistem proyeksi dan koordinat menggunakan metode Universal
Transverse Mercator (UTM). Sistem koordinat dari UTM adalah meter, sehingga
dimungkinkan analisa yang membutuhkan informasi dimensi-dimensi linier seperti
jarak dan luas. Sistem proyeksi lazim digunakan dalam pemetaan topografi sehingga
sesuai untuk pemetaan tematik termasuk pemetaan potensi kerusakan tanah.
Metode yang digunakan dalam analisis tabular adalah metode skoring. Pada unit
analisis hasil tumpangsusun data spasial dilakukan dengan menjumlahkan skor. Hasil
penjumlahan skor digunakan untuk klasifikasi penentuan tingkat potensi kerusakan
tanah. Klasifikasi tingkat kerusakan tanah menurut penjumlahan skor dengan parameter
kerusakan tanah
Tabel 3.5. Kriteria Kelas Potensi Kerusakan Tanah Berdasarkan Nilai Skor
Simbol Skor Potensi Kerusakan Tanah Pembobotan
PR.I Sangat Rendah <15
PR.II Rendah 15-24
PR.III Sedang 25-34
PR.IV Tinggi 35-44
PR.V Sangat Tinggi 45-50
Sumber : Kementrian Negara Lingkungan Hidup Republik Indonesia (2009)
3.2. Verifikasi Lapangan
Verifikasi lapangan adalah untuk membuktikan benar tidaknya indikasi atau
potensi kerusakan tanah yang telah disusun. Kegiatan ini dilakukan dengan urutan
prioritas berdasarkan potensi kerusakan tanahnya. Prioritas utama dilakukan pada tanah
dengan potensi kerusakan paling tinggi
3.2.1. Pengamatan dan Pengambilan Contoh Tanah
1. Pengamatan
Pengamatan di lapangan dilakukan untuk parameter erosi air, ketebalan solum,
kebatuan permukaan, derajat pelulusan air, nilai redoks, subsidensi gambut,
kedalaman lapisan berpirit, dan kedalaman air tanah dangkal.
2. Pengambilan contoh tanah
Metode pengambilan contoh tanah dilakukan dengan 2 cara yaitu:
a. Terusik, menggunakan bor tanah atau membuat profil tanah. Tiap lapisan tanah
(hingga lapisan pembatas) diambil satu contoh untuk kepentingan analisis pH,
Daya Hantar Listrik (DHL), porositas total, komposisi fraksi.
17
b. tidak terusik, menggunakan ring sampler atau bongkah tanah. Digunakan untuk
analisis Berat Isi (BI), batuan permukaan.
3.2.2. Analisis Contoh Tanah
Tanah di lahan kering adalah tanah yang berada di lingkungan tidak tergenang
yang pada umumnya merupakan tanah mineral (bukan tanah organik). Tanah-tanah ini
berada di wilayah beriklim basah maupun beriklim kering. Analisis tanah yang
dilakukan adalah analisis kimia, fisika dan biologi. Adapun analisis yang dilakukan
adalah :
1. Ketebalan Solum
2. Kebatuan Permukaan
3. Komposisi Fraksi
4. Berat Isi
5. Porositas Total
6. Derajat Pelulusan Air
7. pH(H2O) 1: 2,5
8. Daya Hantar Listrik/ DHL
3.3 Evaluasi Untuk Penetapan Status Kerusakan Tanah
Evaluasi Status Kerusakan Tanah ini bertujuan untuk menentukan rusak
tidaknya suatu lokasi tanah berdasarkan kretiria baku kerusakan tanah. Evaluasi
dilakukan dengan membandingkan hasil analisis sifat dasar tanah sebagaimana yang
tercantum dalam tabel 3.6 dan Tabel 3.7
Tabel 3.6. Evaluasi Kerusakan Tanah di Lahan Kering Akibat Erosi Air
No Tebal Tanah (cm)
Ambang Kritis (mm/10 Tahun)
1 < 20 >0,2 - <1,3
2 20 - <50 1,3 - < 4
3 50 - <100 4,0 - < 9,0
4 100 – 150 9,0 – 12
5 >150 > 12
Sumber: PerMen LH No 7 Tahun 2006
18
Tabel 3.7. Evaluasi Kerusakan Tanah di Lahan Kering
No Parameter Ambang Kritis
(PP 150/2000)
1 Ketebalan Solum <20 cm
2 Kebatuan Permukaan >40 %
3 Komposisi Fraksi <18% Koloid; >80 % pasir kuarsitik
4 Berat Isi >1,4 g/cm3
5 Porositas Total <30%; >70%
6 Derajat Pelulusan Air <0,7 cm/jam; >8,0 cm/jam
7 pH(H2O) 1: 2,5 <4,5; >8,5
8 Daya Hantar Listrik/ DHL >4,0 mS/cm
9 Redoks <200 Mv
Sumber: PerMen LH No. 7 Tahun 2006
Apabila salah satu ambang parameter terlampaui, maka tanah dikatakan rusak.
Selanjutnya hasil evaluasi ini digunakan untuk menetapkan status kerusakan tanah.
Dari hasil evaluasi tersebut, Bupati selanjutnya menetapkan status kerusakan tanah
yang kemudian diumumkan kepada masyarakat. Hasil evaluasi juga digunakan untuk
verifikasi atau updating status kerusakn tanah pada setiap satuan peta kerusakan tanah
yang telah disusun sebelumnya.
3.4 Penyusunan Peta Status Kerusakan Tanah Untuk Produksi Biomassa
Peta Status Kerusakan Tanah untuk Produksi Biomassa merupakan output akhir
yang berisi informasi tentang status, sebaran, dan luasan kerusakan tanah pada wilayah
yang dipetakan. Peta ini disusun melalui dua tahapan evaluasi yaitu matching dan
scoring. Secara terperinci penetapan status kerusakan tanah diuraikan sebagai berikut:
1. Metode Matching
Matching adalah membandingkan antara data parameter-parameter kerusakan
tanah yang terukur dengan criteria baku kerusakan tanah (sesuai PP No. 150 tahun
2000). Matching ini dilakukan pada setiap titik pengamatan. Dengan metode ini, setiap
titik pengamatan dapat dikelompokkan kedalam tanah yang tergolong rusak ( R ) atau
tidak rusak ( N ).
2. Metode Skoring
Metode skoring dilakukan dengan mempertimbangkan frekwensi relatif tanah
yang tergolong rusak dalam satu polygon. Yang dimaksud dengan frekwensi relative
(%) kerusakan tanah adalah nilai persentase kerusakan tanah didasarkan perbandingan
contoh tanah yang tergolong rusak yaitu hasil pengukuran setiap parameter kerusakan
19
tanah yang sesuai dengan baku kerusakan tanah terhadap jumlah keseluruhan titik
pengamatan yang dilakukan dalam polygon tersebut. Dalam menetapkan status
kerusakan lahan tanah, langkah-langkah yang dilalui adalah sebagai berikut:
Menghitung frekwensi relative (%) dari setiap parameter kerusakan tanah
Member nilai skor untuk masing-masing parameter berdasarkan nilai frekwensi
relatifnya dengan kisaran 0 sampai 4 (tabel 3.8)
Melakukan penjumlahan nilai skor masing-masing parameter criteria kerusakan
tanah
Penentuan status kerusakan tanah berdasarkan hasil penjumlahan nilai skor
Tabel 3.8 Skor Kerusakan Tanah Berdasarkan Frekwensi Relatif dari Berbagai
Parameter Kerusakan Tanah
Frekwesi Relatif Tanah
Rusak (%)
Parameter Ambang Kritis
(PP150/2000)
0-10 0 Tidak rusak
11-25 1 Rusak ringan
26-50 2 Rusak sedang
51-75 3 Rusak berat
76-100 4 Rusak sangat berat
Sumber: Kementrian Negara Lingkungan Hidup Republik Indonesia (2009)
Dari penjumlahan nilai skor tersebut dilakukan pengkategorian status kerusakan
tanah. Berdasarkan status kerusakannnya, tanah dibagi ke dalam 5 kategori yakni;
Tidak Rusak (N), Rusak Ringan (R.I), Rusak Sedang (R.II), Rusak Berat (R.III) dan
Rusak Sangat Berat (R.IV). Status kerusakan tanah berdasarkan penjumlahan nilai skor
kerusakan tanah disajikan dalam tabel 3.9.
Tabel 3.9 Status Kerusakan Tanah Berdasrkan Nilai Akumulasi Skor Kerusakan Tanah
Simbol Status Kerusakan
tanah
Nilai Akumulasi Skor
Kerusakan Tanah
N Tidak rusak 0
R.I Rusak ringan 1-14
R.II Rusak sedang 15-24
R.III Rusak berat 25-34
R.IV Rusak sangat berat 35-40
Sumber: Kementrian Negara Lingkungan Hidup Republik Indonesia (2009)
20
BAB IV. GAMBARAN UMUM KECAMATAN MENGWI
4.1. Wilayah Geografis dan Administrasi Kecamatan Mengwi Kabupaten
Badung
Kabupaten Badung dengan luas ± 418,52 Km² atau ± 41.852 Ha sekitar 7,43 %
dari luas pulau Bali, yang terletak pada koordinat 08˚ 14' 20” - 08˚ 50' 48” LS (Lintang
Selatan) dan 115˚ 05' 00” - 115˚ 26' 16” BT (Bujur Timur), dengan batas-batas wilayah
sebagai berikut : Sebelah utara wilayah Kabupaten Buleleng, sebelah timur wilayah
Kabupaten Bangli, Kabupaten Gianyar dan Kota Denpasar, sebelah selatan merupakan
Samudera Hindia dan sebelah barat wilayah Kabupaten Tabanan
Kecamatan Mengwi memiliki batas batas administrasi sebagai berikut :
Batas utara : Kecamatan Petang
Batas selatan : Kecamatan Kuta Utara
Batas barat : Kabupaten Tabanan
Batas timur : Kabupaten Gianyar
Wilayah Kecamatan Mengwi terdiri dari 20 Kelurahan yang tersebar dari utara sampai
selatan dengan luas wilayah 8.200 Ha terdiri dari lahan pertanian 6.755 Ha (lahan
sawah : 4.572 Ha, bukan sawah 2.183 Ha) dan lahan bukan pertanian 1.445 Ha.
KECAMATAN MENGWI
No NAMA DESA/KELURAHAN KECAMATAN KABUPATEN
1 ABIANBASE MENGWI BADUNG
2 BAHA MENGWI BADUNG
3 BUDUK MENGWI BADUNG
4 CEMAGI MENGWI BADUNG
5 GULINGAN MENGWI BADUNG
6 KAPAL MENGWI BADUNG
7 KEKERAN MENGWI BADUNG
8 KUWUM MENGWI BADUNG
9 LUKLUK MENGWI BADUNG
10 MENGWI MENGWI BADUNG
11 MENGWI TANI MENGWI BADUNG
12 MUNGGU MENGWI BADUNG
13 PENARUNGAN MENGWI BADUNG
14 PERERENAN MENGWI BADUNG
15 SADING MENGWI BADUNG
16 SEMBUNG MENGWI BADUNG
17 SEMPIDI MENGWI BADUNG
18 SOBANGAN MENGWI BADUNG
19 TUMBAK BAYUH MENGWI BADUNG
20 WEDI BHUANA MENGWI BADUNG
21
4.2. Kondisi Geologi
Struktur geologi Kabupaten Badung sebagian besar merupakan produk gunung
api muda yang terdiri dari breksi vulkanik, tufa pasiran dan endapan lahar. Sebagian
kecil daerah pesisir sekita Kuta merupakan daerah aluvial endapan pantai yang tersusun
dari pasir, sedangkan didaerah selatan merupakan bukit kapur yang berasal dari batu
gamping, batu pasir gampingan dan napal. Kondisi geologi Kecamatan Mengwi dalam
Kabupaten Badung secara jelas dapat dilihat pada gambar berikut :
Gambar 4.1. Peta Geologi Kabupaten Badung
22
4.3. Kondisi Jenis Tanah
Sebagian besar tanah di wilayah Kabupaten Badung tergolong jenis Inceptisols
berbahan induk abu vulkan intermedier dan tuf. Disamping itu terdapat pula jenis tanah
Andisol dari bahan induk yang sama terdapat di daerah hutan lindung yang berbatasan
dengan Kabupaten Buleleng, dan jenis tanah Entisols terdapat di sekitar dataran pantai
Kuta. Wilayah perbukitan kapur di bagian selatan memiliki jenis tanah Alfisols dengan
fisiografi pengangkatan (uplifit) daerah pantai. Untuk Kecamatan Mengwi dominan
Latosol. Peta jenis tanah dapat dilihat sebagai berikut :
Gambar 4.2. Peta Jenis Tanah Kecamatan Mengwi
23
4.4. Kondisi Kemiringan Lereng
Kecamatan Mengwi terletak di Wilayah Kabupaten Badung pada ketinggian 0
– 2.075 meter di atas permukaan laut (DPL), dengan luas wilayah 418,52 Km² atau
7,44% dari luas wilayah Provinsi Bali. Kecamatan Mengwi dengan luas wilayah 8.200
Ha berada pada ketinggian 65-150 m diatas permukaan laut (DPL). Berikut disajikan
gambar dibawah ini :
Gambar 4.3. Peta Kemiringan Lereng Kecamatan Mengwi
24
4.5. Kondisi Curah Hujan
Rata-rata curah hujan di Kabupaten Badung tahun 2017 sebesar 1.996,7/tahun
atau 115 mm/bulan. Untuk lebih jelasnya angka curah hujan Kecamatan Mengwi dalam
Kabupaten Badung tahun 2017 dapat dilihat sebagai berikut : (Peta Curah Hujan dan
Iklim Kabupaten Badung)
Gambar 4.4. Peta Curah Hujan Kecamatan Mengwi
25
Angka Curah Hujan Pada Stasiun Hujan di Kabupaten Badung Tahun 2017
Bulan
Kuta
Selatan Kuta
Kuta
Utara Mengwi Abiansemal Petang
CH HH CH HH CH H
H CH HH CH HH CH HH
1 Januari 820 24 - - 473 19 534 27 481 21 349 30
2 Februari 87 8 - - 105 6 127 8 111 9 248 19
3 Maret 136 11 - - 46 3 104 8 197 13 258 27
4 April 170 11 - - 8 1 185 8 243 13 316 18
5 Mei 149 11 - - 228 5 152 8 144 12 267 24
6 Juni 434 6 - - 279 3 240 12 275 13 216 28
7 Juli 143 10 - - 34 7 145 14 189 13 91 22
8 Agustus 20 2 - - - - 4 4 12 3 11 11
9 September - - - - - - 13 4 42 7 39 9
10 Oktober - - - - - - 27 4 95 4 5 3
11 November 108 7 - - 209 11 345 12 151 17 318 23
12 Desember 516 17 - - 450 12 515 18 684 20 433 30
Jumlah 2.582 107 - - 1.832 67 2.391 127 2.624 145 2.551 244
Rata – rata 215 9 - - 153 6 199 11 219 12 213 20
Sumber: Badung dalam angka Tahun 2017
26
4.6. Deskripsi Lokasi Pengambilan Sampel
Lokasi pengambilan sampel Tanah ditetapkan sebanyak 5 ( lima ) titik lokasi yang
mewakili kondisi daerah selatan sampai utara. Mewakili bagian selatan dimulai dari Desa
Pererenan sampai Desa Kuwum. Secara menyeluruh dapat dilihat pada Tabel berikut :
Tabel 4.1. Posisi Geografis Masing-masing Titik Lokasi Tukad Badung
Wilayah Kecamatan
Mengwi
Nama
Titik
Pantau
Kode Titik
Pantau
Koordinat Titik Lokasi
Lintang Bujur
Desa Pererenan Pererenan (PR) 08054514 115
021659
Desa Abianbase
Desa Gulungan
Desa Sobangan
Desa Kuwum
Abianbase
Gulungan
Sobangan
Kuwum
(AB)
(GL)
(SB)
(KW)
08064943
08065947
08068516
08054505
115021233
115021328
115019809
115021775
4.7. Lokasi Sampling
Lokasi pengambilan sampel tanah dimulai dari Desa Pererenan sampai Desa
Kuwum. Dasar pengambilan sampel pada tiap tiap Desa tidak berdasarkan pola yang baku
namun pengambilan sampel dari selatan ke utara hanya untuk mempermudah proses
perjalanan pengambilan sampel saja. Pada penelitian ini ditetapkan 5 (lima) titik
pengambilan sampel, proses pengambilan sampel dapat dilihat pada gambar berikut ini.
27
Gambar 4.5. Peta Kerja
28
Foto Proses survey dan pengambilan sampel
29
30
BAB V. HASIL DAN PEMBAHASAN
5.1. Karakteristik Wilayah Kajian
Sampling tanah dilakukan secara purposive berdasarkan peta kerja yang merupakan
hasil overlay beberapa peta tematik lahan, yaitu jenis tanah, lereng, iklim, dan penggunaan
lahan. Lokasi pengamatan dan pengambilan sampel tanah difokuskan pada kawasan
budidaya, dengan harapan bahwa keterwakilan sampel pada kawasan budidaya karena
produksi biomassa lebih difokuskan pada kawasan tersebut, terutama untuk pengembangan
pertanian, perkebunan dan hutan tanaman.
Pembagian Rencana Pola Ruang Wilayah Kabupaten Badung untuk Produksi
Biomassa berdasarkan Perda Kab Badung No 26 Th 2013 disesuaikan dengan tipe
penggunaan lahan di Kabupaten Badung 2017 (berdasarkan data Badung dalam angka
2017) disajikan pada tabel berikut ini :
Tabel 5.1. Luas Tipe Penggunaan Lahan di Kabupaten Badung per Kecamatan
Kecamatan Luas (Ha)
Sawah Kebun Tegalan Hutan Rakyat
Hutan Lindung (BWE)
Petang 11.166,65 1173 3593 4855 399 1126,9
Abiansemal 5.736,97 2914 908 903 998 13,97
Mengwi 6.755 4597 781 1007 69 -
Kuta Utara 1.785 1430 - 354 - -
Kuta 85 - 30 55 - -
Kuta Selatan 3.412 - 1138 980 655 639
Luas Total 28.640 10.114 6.450 8.154 2.122 1.779,87
Sumber : Badung Dalam Angka Tahun 2017
Keterangan : BWE = Bukan Wilayah Efektif (Tidak di Analisa)
Wilayah Kecamatan Mengwi terdiri dari 20 Kelurahan yang tersebar dari utara sampai
selatan dengan luas wilayah 8.200 Ha terdiri dari lahan pertanian 6.755 Ha (lahan sawah :
4.572 Ha, bukan sawah 2.183 Ha) dan lahan bukan pertanian 1.445 Ha.
Potensi kerusakan tanah di Kecamatan Mengwi didapatkan dari proses pemetaan
yang digunakan sebagai peta kerja untuk verifikasi lapangan. Pada prinsipnya peta kondisi
awal (peta kerja) menyajikan informasi dugaan potensi kerusakan tanah berdasarkan
analisis peta dan data-data sekunder. Peta disusun berdasarkan peta-peta tematik utama
serta data dan informasi lainnya yang mendukung. Peta kerja dibuat dengan metode
overlay antara peta jenis tanah, curah hujan, peta lereng dan penggunaan lahan. Proses
overlay secara spasial dilakukan dengan menggunakan perangkat GIS Arcview 3.3.
31
Peruntukan kawasan untuk produksi biomassa di Kecamatan Mengwi sebesar
6.755 Ha, hasil analisis menunjukan bahwa penyebaran kelas potensi kerusakan tanah di
Kecamatan Mengwi tergolong rendah sebesar 5.378 Ha atau 65,6 %, sedang sebesar 1.076
Ha atau 13,1 % dan BWE sebesar 1.746 Ha atau 21,3 % dari total luas Kecamatan Mengwi.
Tabel 5.2. Potensi kerusakan tanah di Kecamatan Mengwi
Kabupaten Badung Potensi Kerusakan Tanah
Luas (Ha) Persentase
(%) Kecamatan
MENGWI
Rendah (PR II) 5.378 65,6
Sedang (PR III) 1.076 13,1
BWE 1.746 21,3
Total 8.200 100
Sumber : analisis data sekunder
Keterangan : BWE = Bukan Wilayah Efektif (Tidak di Analisa)
Kecamatan Mengwi memiliki potensi kerusakan tanah tergolong rendah dan
sedang, hal ini disebabkan faktor faktor yang menjadi indikator potensi kerusakan tanah,
baik itu kelerengan, curah hujan dan penggunaan lahan, faktor lain yang mungkin bisa
mempengaruhi atau sebagai factor pembatas adalah jenis tanah. Penilaian potensi
kerusakan tanah untuk produksi biomassa di Kecamatan Mengwi berdasarkan pada
Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Republik Indonesia yang penilaiannya pada
1. Curah Hujan
2. Jenis Tanah
3. Kemiringan Lereng
4. Penggunaan Lahan
Hasil overlay dan penetapan scoring didapatkan Peta Potensi Kerusakan Tanah untuk
Produksi Biomassa, berikut disajikan pada gambar dibawah ini :
32
Gambar 5.1. Peta Potensi Kerusakan Tanah Untuk Produksi Biomassa Di Kecamatan
Mengwi
33
5.2. Verifikasi Lapangan dan Analisis Laboratorium
Verifikasi lapangan dilakukan untuk membuktikan benar tidaknya potensi
kerusakan tanah yang telah disusun dalam sebuah peta potensi kerusakan tanah. Kegiatan
ini dilakukan dengan urutan prioritas berdasarkan potensi kerusakan tanahnya.
Pemantauan dilapangan dilakukan berdasarkan hasil pembentukan unit lahan dari proses
overlay yang sudah ditetapkan pada kondisi lahan yang cukup beragam. Lokasi sampel
ditunjukkan pada tabel 5.4.
Kegiatan verifikasi ini dilakukan dengan observasi dan pengambilan sampel tanah
dilapangan, tanah yang diambil masing masing satu contoh tanah (dikompositkan) untuk
kepentingan analisis tanah dilaboratorium.
Gambar 5.2. Kegiatan pengambilan sampel tanah
Pengamatan sifat sifat tanah dilapangan dilakukan terhadap beberapa parameter
sifat fisika dan kimia tanah, untuk beberapa parameter kimia dan Fisika dilakukan di
laboratorium. Hasil dari pengamatan kemudian dilakukan pencocokan terhadap baku mutu
sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 7
Tahun 2006 tentang Tata Cara Pengukuran Kriteria Baku Kerusakan Tanah untuk
Produksi Biomassa.
34
SIFAT TANAH (Pengamatan dan Analisis Laboratorium)
Analisis yang dapat dilakukan langsung dilapangan
1. Ketebalan Solum
Ketebalan solum adalah jarak vertikal dari permukaan tanah sampai ke lapisan
yang membatasi keleluasaan perkembangan system perakaran. Solum tanah merupakan
lapisan-lapiasan yang menyusun dalam tubuh tanah. Pada umumnya tanah tersusun oleh
lapisan organik, top soil, sub soil dan lapisan batuan induk. Sistem perakaran akan dibatasi
perkembangnya oleh lapisan pembatas yang berupa lapisan padas/batu, lapisan beracun
(garam, logam berat, alumunium, besi), muka air tanah, dan lapisan kontras. Pengukuran
ketebalan solum tanah pada lokasi sampel berkisar antara 50 cm – 120 cm, hal ini
menunjukkan bahwasanya ditinjau dari parameter solum tanah di Kecamatan Mengwi
tidak terjadi kerusakan. Hasil pengukuran dapat dilihat pada tabel berikut :
Tabel 5.3. Hasil Pengukuran Ketebalan Solum
No
Sampel Lokasi Penelitian
Hasil Analisis
(Cm)
Status
(Melebihi/Tidak)
PR Kecamatan
Mengwi
Pererenan 100 Tidak
AB Abianbase 105 Tidak
GL Gulungan 110 Tidak
SB Sobangan 115 Tidak
KW Kuwum 120 Tidak
Keterangan : Ambang Kritis Ketebalan Solum <20cm
Berdasarkan tabel diketahui bahwa solum terdalam terdapat pada lokasi sampling
KW (Kuwum) hal ini bisa disebabkan oleh adanya proses pelapukan lanjut dari bahan
induk ataupun lokasi sampling berada pada daerah cekungan. Solum tanah yang paling
dangkal berada pada lokasi sampling PR (Pererenan), hal ini bisa disebabkan lokasi
sampling berada pada posisi miring (lereng). Berdasarkan hal tersebut berarti bahwa
seluruh lokasi sampling di Kecamatan Mengwi tidak berada pada nilai ambang kritis yaitu
< 20 cm menurut Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 7 Tahun 2006.
2. Kebatuan Permukaan
Kebatuan permukaan adalah persentase tutupan batu di permukaan tanah. Batu
adalah semua material kasar yang berukuran diameter > 2 mm. Kebatuan permukaan
memiliki peranan yang penting dalam mendukung pertumbuhan tanaman dan kemudahan
dalam pengelolaan tanah. Tanah yang memiliki kebatuan tinggi akan mengakibatkan
penurunan jumlah tanaman, sehingga penutupan lahan juga semakin berkurang. Menurut
35
Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 7 Tahun 2006 bahwa kebatuan
permukaan yang menjadi pembatas pertanaman sebesar 40 %. Hasil pengukuran Kebatuan
Permukaan di beberapa lokasi di Kecamatan Kuta Mengwi ditunjukkan pada tabel berikut
Tabel 5.4. Hasil Pengukuran Kebatuan Permukaan
No
Sampel Lokasi Penelitian
Hasil Analisis
(%)
Status
(Melebihi/Tidak)
PR Kecamatan
Mengwi
Pererenan 8 Tidak
AB Abianbase 6 Tidak
GL Gulungan 5 Tidak
SB Sobangan 5 Tidak
KW Kuwum 6 Tidak
Keterangan : Ambang Kritis Kebatuan Permukaan > 40 %
Berdasarkan tabel diketahui bahwa Kebatuan Permukaan di Kecamatan Mengwi
berkisar antara 1 % - 8 %, hal tersebut berarti bahwa seluruh lokasi sampling di
Kecamatan Kuta Utara tidak berada pada nilai ambang kritis >40 % menurut Peraturan
Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 7 Tahun 2006.
3. pH Tanah
Kemasaman atau kealkalian tanah (pH tanah) adalah suatu parameter penunjuk
keaktifan ion H+ dalam suatu larutan, yang berkesetimbangan dengan H tidak terdisosiasi
dari senyawa-senyawa dapat larut dan tidak larut yang ada di dalam sistem. Jadi,
intensitas keasaman dari suatu sistem dinyatakan dengan pH dan kapasitas keasaman
dinyatakan dengan takaran H+ terdisosiasi ditambah H tidak terdisosiasi di dalam sistem.
Sistem tanah yang dirajai oleh ion-ion H+ akan bersuasana asam. Penyebab keasaman
tanah adalah ion H+ dan Al
3+ yang berada dalam larutan tanah dan komplek jerapan. Hasil
pengukuran pada lokasi sampling di seluruh wilayah Kecamatan Mengwi kisaran nilai pH
tanah antara 5,3 sampai dengan 6,5.
36
Tabel 5.9. Hasil Pengukuran pH Tanah
No
Sampel Lokasi Penelitian
Hasil Analisis
(pH)
Status
(Melebihi/Tidak)
PR Kecamatan
Mengwi
Pererenan 5,4 Tidak
AB Abianbase 5,3 Tidak
GL Gulungan 5,4 Tidak
SB Sobangan 6,5 Tidak
KW Kuwum 6,5 Tidak
Keterangan : Ambang Kritis pH , 4,5, pH> 8,5
Berdasarkan tabel diketahui bahwa pengukuran pH tanah di seluruh wilayah
Kecamatan Mengwi tidak melebihi nilai ambang kritis pH yaitu 4,5, pH> 8,5 sesuai
dengan Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 7 Tahun 2006.
4. Komposisi Fraksi
Komposisi fraksi tanah adalah perbandingan berat dari pasir kuarsatik (50 –
2.000 μm) dengan debu dan lempung (< 50 μm). Tanah tidak dapat menyimpan hara dan
air bilamana kandungan pasir kuarsanya > 80 %. Pasir yang mudah lapuk (vulkanik) yang
berwarna gelap tidak termasuk dalam definisi ini. Pengamatan ini khusus diberlakukan
untuk tanah pasiran berwarna keputih-putihan yang jika diraba dengan ibu jari dan
telunjuk pada kondisi basah terasa kasar dan relatif tidak liat atau lekat (untuk
memperkirakan kadar pasir kuarsitik > 80%). Hasil pengukuran komposisi fraksi pada
beberapa sampel di Kecamatan Kuta Utara menunjukkan bahwa komposisi fraksi tanah
untuk pasir kuarsatik berkisar antara 16,62 % - 23,65 % . Hasil pengukuran komposisi
fraksi tanah pada tabel berikut :
Tabel 5.5. Hasil Pengukuran Komposisi Fraksi Tanah
No
Sampel Lokasi Penelitian
Hasil Analisis Status
(Melebihi/Tidak) Koloid % Pasir Kuarsatik
%
PR Kecamatan
Mengwi
Pererenan 16,62 27,65 Tidak
AB Abianbase 23,65 26,60 Tidak
GL Gulungan 18,54 16,65 Tidak
SB Sobangan 21,45 23,78 Tidak
KW Kuwum 19,67 18,35 Tidak
Keterangan : Nilai Ambang Kritis : <18% Koloid, >80% Pasir Kuarsatik
37
Berdasarkan tabel diketahui bahwa komposisi fraksi di seluruh wilayah sampling
di Kecamatan Mengwi yang diobservasi tidak melebihi nilai ambang kritis yaitu <18%
Koloid, >80% Pasir Kuarsatik sesuai dengan Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup
Nomor 7 Tahun 2006.
5. Berat Volume
Berat isi (volume) adalah perbandingan berat masa padatan tanah dengan volume
tanah dengan volume pori-porinya. Berat isi ini dapat dinyatakan dalam satuan gram.cm-3.
Tanah mineral mempunyai berat isi 1,1 - 1,8 g.cm-3., tanah biasa 1,3 – 1,5 g.cm-3 dan
tanah yang kaya abu vulkan memiliki berat isi < 0,9 g.cm-3 . Menurut Peraturan Menteri
Negara Lingkungan Hidup Nomor 7 Tahun 2006 bahwa faktor pembatas berat isi adalah >
1,4 g.cm-3 .
Tabel 5.6. Hasil Pengukuran Berat Volume (BV)
No
Sampel Lokasi Penelitian
Hasil Analisis
(gr/Cm3)
Status
(Melebihi/Tidak)
PR Kecamatan
Mengwi
Pererenan 0,85 Tidak
AB Abianbase 1,35 Tidak
GL Gulungan 0,89 Tidak
SB Sobangan 0,79 Tidak
KW Kuwum 1,19 Tidak
Keterangan : Ambang Kritis BV > 1,4 gram/Cm3
Berdasarkan tabel diketahui bahwa hasil pengukuran berat volume tanah di
Kecamatan Mengwi berkisar antara 0,79 g/cm3 – 1,35 g/cm3, tingginya nilai Berat
Volume pada titik sampling tersebut disebabkan oleh penggunaan lahan yang intensif
untuk persawahan (minimnya pemupukan organik). Hasil dari pengukuran nilai Berat
Volume di Kecamatan Kuta Utara tidak melebihi nilai ambang batas > 1,4 g.cm-3 sesuai
dengan Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 7 Tahun 2006.
6. Porositas Total
Porositas total tanah adalah persentase ruang pori yang ada dalam tanah terhadap
volume tanah. Porositas tanah mengambarkan nisbah volume ruang pori dengan padatan
atau disebut nisbah ruang pori (pore space ratio (PSR)). Sehingga porositas sangat
tergantung pada berat isi dan berat jenis tanah. PSR akan sangat menentukan kandungan
air, udara, suhu dan unsur hara, ruang akar tanaman. Porositas akan menentukan
38
kemampuan tanah untuk meloloskan air serta kemampuan tanah untuk menyimpan air dan
hara. Volume pori mencakup berbagai ukuran ada yang lebar dengan diameter > 10 um,
sedang (berdiameter 10 - 0,2 um), dan halus (diameter < 0,2 um).
Porositas ini sangat dipengaruhi oleh agihan ukuran butiran tanah, bahan Organik
dan Bentuk, ukuran dan struktur tanah. Menurut Peraturan Menteri Negara Lingkungan
Hidup Nomor 7 Tahun 2006 bahwa faktor pembatas porositas untuk mendukung
pertanaman sebesar < 30 % dan > 70 %. Hasil analisis laboratorium untuk porositas total
di Kecamatan Mengwi berkisar antara 41,32 % - 55,77 %.
Tabel 5.7. Hasil Pengukuran Porositas Total
No
Sampel Lokasi Penelitian
Hasil Analisis
(%) Status
(Melebihi/Tidak)
PR Kecamatan
Mengwi
Pererenan 44,23 Tidak
AB Abianbase 43,46 Tidak
GL Gulungan 54,99 Tidak
SB Sobangan 53,12 Tidak
KW Kuwum 55,77 Tidak
Keterangan : Ambang Kritis Porositas Total <30%, dan >70%
Berdasarkan tabel diketahui bahwa hasil pengukuran porositas total tanah diseluruh
wilayah Kecamatan Mengwi tidak melebihi nilai ambang kritis porositas total <30%, dan
>70% sesuai dengan Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 7 Tahun 2006.
7. Derajat Pelulusan Air (Permeabilitas)
Derajat pelulusan air atau biasa disebut permeabilitas tanah adalah kecepatan air
merembes ke dalam tanah kearah horizontal dan vertikal (meloloskan air) melalui pori-
pori tanah. Semakin tinggi nilai permeabilitas tanah menujukkan bahwa kecepatan aliran
air menghilang dari pemukaan tanah semakin tinggi. Hasil pengukuran Permeabilitas
berkisar antara 0,77 cm/jam – 1,98 cm/jam, dan hasil seluruh pengukuran Permeabilitas
disajikan pada tabel berikut :
39
Tabel 5.8. Hasil Pengukuran Permeabilitas
No
Sampel Lokasi Penelitian
Hasil Analisis
(Cm/Jam)
Status
(Melebihi/Tidak)
PR Kecamatan
Mengwi
Pererenan 1,79 Tidak
AB Abianbase 2,05 Tidak
GL Gulungan 1,78 Tidak
SB Sobangan 1,98 Tidak
KW Kuwum 1,82 Tidak
Keterangan : Ambang Kritis Permeabilitas <0,7 cm/jam dan >8 cm/jam
Berdasarkan tabel diketahui bahwa hasil pengukuran permeabilitas tanah di seluruh
wilayah observasi tidak melebihi ambang batas kritis yaitu <0,7 cm/jam dan >8 cm/jam
sesuai dengan Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 7 Tahun 2006.
8. Daya Hantar Listrik (DHL)
Nilai DHL adalah pendekatan kualitatif dari kadar ion yang ada di dalam larutan
tanah, di luar kompleks serapan tanah. Semakin besar kadar ionik larutan akan semakin
besar DHL-nya. DHL dinilai dengan satuan mS/cm atau µS/cm, padasuhu 25º C. Nilai
DHL > 4 mS mengkibatkan akar membusuk karena terjadi plasmolisis. Nilai DHL dapat
menggambarkan kondisi salinitas atau tingkat kegaraman tanah. Hasil analisis
laboratorium DHL pada titik sampling di Kecamatan Mengwi menunjukkan bahwa nilai
DHL tanah berkisar antara 0,95 µS/cm sampai dengan 1,90 µS/cm. Berdasarkan tabel
diketahui bahwa DHL tanah diseluruh wilayah yang diobservasi tidak melebihi nilai
ambang kritis DHL yaitu >4,0 mS/cm sesuai dengan Peraturan Menteri Negara
Lingkungan Hidup Nomor 7 Tahun 2006.
Tabel 5.10. Hasil Pengukuran Daya Hantar Listri (DHL)
No
Sampel Lokasi Penelitian
Hasil Analisis
(mS/cm)
Status
(Melebihi/Tidak)
PR Kecamatan
Mengwi
Pererenan 0,95 Tidak
AB Abianbase 1,16 Tidak
GL Gulungan 1,14 Tidak
SB Sobangan 1,66 Tidak
KW Kuwum 1,87 Tidak
Keterangan : Ambang Kritis DHL > 4,0 mS/cm
40
5.3. Status Kerusakan Tanah Untuk Produksi Biomasa
Untuk menghitung tingkat kerusakan tanah produksi biomassa dalam penelitian ini
disusun berdasarkan metode skoring dari frekwensi relatif kerusakan tanah. Metode ini
disusun dengan mempertimbangkan frekwensi relatif tanah yang tergolong rusak dalam
suatu poligon. Frekwensi relatif kerusakan tanah adalah nilai persentase kerusakan tanah
yang didasarkan pada perbandingan jumlah contoh tanah yang diambil dalam satu poligon
dan dianalisis perparameternya dengan kriteria baku kerusakan tanah. Berdasarkan skoring
dari seluruh parameter pemantauan kualitas tanah, maka dapat diketahui bahwa wilayah
Kecamatan Mengwi keseluruhan memiliki status Rusak Ringan (R-I) dengan luas 6.454
Ha atau sebesar 78,70% dari total luas wilayah Kecamatan Mengwi 8.200 Ha.
Tabel 5.11 Status Kerusakan Tanah di Kecamatan Mengwi Kabupaten Badung
Kabupaten Badung Status Kerusakan
Tanah Luas (Ha)
Persentase
(%) Kecamatan
MENGWI Rusak Ringan (R I) 6.454 78,70
BWE 1.746 21,30
Total 8.200 100
Keterangan : BWE = Bukan Wilayah Efektif (Tidak di Analisa)
41
Gambar 5.12. Peta Status Kerusakan Tanah Untuk Produksi Biomassa Di Kecamatan
Mengwi
42
Berdasarkan hasil analisis bahwasanya : Kecamatan Mengwi terdapat parameter
yang memiliki nilai persentase frekwensi relatif kerusakan tanah melebihi 10%, dari
semua parameter tersebut Berat Isi (tanah sawah) memilki relatif kerusakan tanah 75 -
100%, kemudian Permeabilitas 30%, Porositas 25%. Hasil kompilasi skor frekwensi relatif
tingkat kerusakan tanah menunjukkan bahwa tingkat kerusakan tanah untuk biomasa di
Kecamatan Mengwi dengan status Rusak Ringan. Karena merupakan wilayah Kecamatan,
maka luas wilayah yang mengalami kerusakan adalah seluas unit lahan pada kecamatan
Mengwi yaitu 6.454 Ha atau 78.70 %
Walaupun Kecamatan Mengwi Kabupaten Badung memiliki status kerusakan tanah
yang tergolong ringan, akan tetapi langkah penanggulangan dan pemulihan perlu
dipertimbangkan. BV, Porositas dan permeabilitas kecendrungannya mengalami
penurunan kualitas sehingga diperlukan langkah penanggulangan terhadap parameter yang
mengindikasikan kerusakan atau potensi kerusakan perlu dipertimbangkan berdasarkan
jenis komoditas yang ditanam, sehingga dapat memperbaiki dan pertumbuhan tanaman
menjadi lebih baik. Selain itu juga proses pengolahan tanah untuk lahan Sawah, Tegalan,
Kebun, Hutan Rakyat sesuai dengan kaidah konservasi tanah, serta perlunya tindakan
antisipatif dengan penambahan bahan organik.
43
VI. KESIMPULAN DAN SARAN
6.1. Kesimpulan
Berdasarkan hasil pelaksanaan penelitian Pemetaan Potensi dan Status Kerusakan
Tanah Untuk Produksi Biomassa, maka dapat disimpulkan beberapa hal sebagai berikut :
1) Luas lahan yang telah ditetapkan untuk produksi biomassa di Kecamatan Mengwi
adalah seluas 6.454 Ha dari total luas 8.200 Ha.
2) Potensi kerusakan tanah di Kecamatan Mengwi Kabupaten Badung berada pada
kategori rendah dan sedang.
3) Status kerusakan tanah di Kecamatan Mengwi kategori rusak ringan dan terdapat 2
parameter yang merupakan faktor pembatas yaitu Nilai Redoks dan Berat Volume
tanah.
6.2. Saran
Berdasarkan hasil pelaksanaan penelitian Pemetaan Potensi dan Status Kerusakan
tanah Untuk Produksi Biomassa, maka dapat dijadikan masukan beberapa hal sebagai
berikut :
1) Untuk dapat memperbaiki kondisi lahan di Kecamatan Mengwi perlu diupayakan
usaha konservasi lahan baik secara mekanis maupun vegetatif.
2) Perlunya sosialisasi didalam pemanfaatan tanaman dan tindakan konservasi tanah
yang tepat pada masyarakat, seperti kegiatan pemupukan berimbang (penggunaan
pupuk organic).
3) Dilakukan perbaikan saluran irigasi maupun pengerukan/normalisasi sungai terkait
pemanfaatan lahan persawahan. (daerah hilir)
44
DAFTAR PUSTAKA
Aldrian, E., and R.D. Susanto. 2003. Identification of Three Dominant Rainfall Regions
Denpasar
Australian Greenhouse Office. 1999. National Carbon Accounting System, Methods
forEstimating Woody Biomass. Technical Report No. 3, Commonwealth of
Australia.
Brown S. 1997. Estimating Biomass and Biomass Change of Tropical Forest, a Primer.
FAO Forestry Paper 134, FAO. Rome.
Cairns, Michael A., Sandra Brown, Eileen H. Helmer, Greg A. Baumgardner. 1997. Root
biomass allocation in the world's upland forests. Oecologia (1997) 111:1 -11
FAO. 1996. Population Change-Natural Resources-Environment Linkages In East and
Southeast Asia. Prepared by the Population Information Network (POPIN) of the
United Nations Population Division, Department for Economic and Social
Information and Policy Analysis. FAO Population Programme Service, Rome.
Guntoro, H. 2008. Laporan Presentasi Kelompok Biomassa
http://helmiguntoro.blogspot.com. [17 Desember 2008].
Hairiah, K., Lusian B., and Van Noordwijk M. 2001. Methods For Sampling Carbon
Stocks Above and Below Ground. ICRAF, Southeast Asian Regional Research
Program Bogor Indonesia. Bogor.
Heiskanen, 2006. Biomass ECV Report. Twww.fao.org/GTOS/doc/ECVs/T12-biomass-
standards-report-v01.docT
Hitchcock III, H.C. & J.P. McDonnell, 1979. Biomass measurement: a synthesis of the
literature. Proc. For. Inventory Workshop, SAF-IUFRO. Ft. Collins, Colorado:
544-595.
Indrawan, 1999. Pendugaan Biomassa Pohon dengan Model Branching pada Hutan
Sekunder di Rantau Padan Jambi. Institut Pertanian Bogor, Bogor.
IPCC, 1995. Good Practice Guidance for Land Use, Land-Use Change and Forestry.
Intergovernmental Panel on Climate Change National Greenhouse Gas Inventories
Programme. HTwww.ipcc-nggip.iges.or.jp/lulucf/gpglulucf_unedit.htmlTH
Sherbinin, 2002. Guide to Land-Use and Land-Cover Change (LUCC) Center for
International Earth Science Informa-tion Network (CIESIN) Columbia University
Palisades, NY, USA. Acollaborative effort of SEDAC and the IGBP/IHDP LUCC
Project.
Siradz, S.A. 2006. Degradasi Lahan Persawahan Akibat Produksi Biomassa di
DIYogyakarta. Jurnal Ilmu Tanah dan Lingkungan Vol. 6 (1) p: 47-51.
45
Sutaryo, D. 2009. Penghitungan Biomassa : Sebuah pengantar untuk studi karbon dan
perdagangan karbon. Wetlands International Indonesia Programme.
Dipublikasikan oleh : Wetlands International Indonesia Programme. Pp. : 365.
Tjasyono, B. 2004. Klimatologi. Cetakan Ke-2. ITB Press. Bandung.
Within Indonesia and Their Relationship to Sea Surface Temperature. International
Journal of Climatology. Int. J. Climatol. 23: 1435–1452
Wahyunto, M.Z. Abidin, A. Priyono, dan Sunaryo. 2001. Studi Perubahan Penggunaan
Lahan Di Sub DAS Citarik, Jawa Barat dan DAS Kaligarang, Jawa Tengah.
Prosiding Seminar Nasional Multifungsi Lahan Sawah. Balai Penelitian Tanah.
Bogor.
Whitmore, T.C. 1985. Tropical Bain Forest of The Far East. Second Edition. Oxfort
University Press. New York.
Yokoyama, S. 2008. Buku Panduan Biomassa Asia : Panduan untuk Produksi dan
Pemanfaatan Biomassa. The Japan Institute of Energy, Jakarta Pp:365