posmodern

13
RINGKASAN MATERI KULIAH AKUNTANSI MULTIPARADIGMA POST MODERNISME Oleh : Tatang Fattah Musthafa 156020301111003 Yopi Yudha Utama 156020301111012 PROGRAM MAGISTER AKUNTANSI

Upload: yopie-yudha

Post on 10-Apr-2016

6 views

Category:

Documents


1 download

DESCRIPTION

AM

TRANSCRIPT

Page 1: Posmodern

RINGKASAN MATERI KULIAH

AKUNTANSI MULTIPARADIGMA

POST MODERNISME

Oleh :

Tatang Fattah Musthafa 156020301111003

Yopi Yudha Utama 156020301111012

PROGRAM MAGISTER AKUNTANSI

UNIVERSITAS BRAWIJAYA

MALANG

2015

Page 2: Posmodern

Lahirnya Postmodernisme

Lemert menyatakan bahwa kelahiran postmodernisme dapat dirunut sekurang

kurangnya secara simbolis kepada :

“ Kematian arsitektur modern pada jam 3.32 siang, 15 Juli 1972 – saat dihancurkannya

proyek perumahan Pruitt-Igoe di St Louise… Proyek perumahan raksasa di St Louis ini

melambangkan keyakinan arogan arsitektur modern bahwa dengan membangun proyek

perumahan publik terbesar dan termegah ini arsitek dan perencananya dapat membasmi

kemiskinan dan kesengsaraan manusia. Dengan menghancurkan simbol gagasan modern itu

berarti mengakui kegagalan arsitektur modern dan secara hakiki mengakui kegagalan

gagasan modernitas itu sendiri. (Lemert, 1990:233, mengikuti Jencks, 1977).

Penghancuran proyek Pruitt – Igoe mencerminkan perbedaan antara pemikir modern

dan post modern tentang persoalan apakah mungkin ditemukan penyelesaian rasional atas

masalah masyarakat. Contoh lain, perang terhadap kemiskinan yang dicanangkan Presiden

Amerika Serikat Lyndon Johnson tahun 60-an adalah khas cara masyarakat modern

meyakini bahwa dapat ditemukan dan diterapkan penyelesaian rasional atas masalah

kemiskinan itu.

Tak inginnya pemerintahan Reagan di tahun 1980 an membangun program raksasa

untuk mengatasi masalah kemiskinan, mencerminkan keyakinan masyarakat postmodern

bahwa tak ada jawaban rasional tunggal untuk menanggulangi berbagai macam masalah.

Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa antara pemerintahan Kennedy dan Johnson dan

Reagan, Amerika Serikat bergerak dari masyarakat modern ke masyarakat post modern.

Penghancuran proyek Pruitt-Igoe sebenarnya terjadi dalam jangka waktu itu.

Konsep kedua, post modernisme, berkaitan dengan dunia kultural dan dapat

dinyatakan bahwa produk post modern cenderung menggantikan produk modern. Di dunia

kesenian, Jameson (1984) mempertentangkan lukisan Andy Warhol di era post modern yang

menampilkan sosok Marilyn Monroe hampir tanpa emosi dengan lukisan Edvard Munch

modern, The Scream. Demikian juga dalam hal seni pahat, Carl Andre Equivalent VIII

(1966), yang hanya menampilkan tumpukan bata, membuat banyak pengunjung terganggu

ketika ia ditampilkan di Tate Gallery, London. Ini adalah tipikal dari obyek postmodern, ia

tidak mempunyai banyak hal yang dapat dibanggakan dalam seni pahat modern. Ia tidak

bersifat kompleks dan berlebihan, tidak pula menyenangkan untuk dipandang, ia juga dapat

menjadikan seseorang menjadi bosan dengan cepat. Mudah pula untuk ditiru. Kurangnya

fitur fitur yang dapat membuat seseorang tertarik kepadanya menjadikan ia lebih

menginspirasi hal hal yang berkaitan dengan konteks, bukan isi yang ada. “Apa sih

Page 3: Posmodern

maksudnya ini dipajang”, “Kenapa hal seperti ini bisa dipajang di museum?” “Apakah ini

benar benar sebuah karya seni, ataukah sosok batu bata yang berpura pura menjadi seni?”

Arti Postmodern

Sebagian besar dari teori postmodern bergantung pada adanya sikap skeptis, dan di

sinilah kontribusi besar dari Jean-François Lyotard. Dia berargumen di La condition

postmoderne (terbit di Perancis pada tahun 1979, dan Inggris pada tahun 1984) bahwa kita

hidup di era yang melegitimasi “master narratives” sedang dalam krisis dan dalam keadaan

runtuh. Narasi narasi ini terdapat dalam beberapa filosofi besar seperti Kantianism,

Hegelianism, and Marxism, yang berpendapat bahwa sejarah bersifat progresif, bahwa

pengetahuan dapat membebaskan kita dan bahwa setiap pengetahuan mempunyai

kebersatuan rahasia. Dua narasi utama yang diserang oleh Lyotard adalah emansipasi

manusia progresif – mulai dari penebusan dosa Kristen sampai Marxist Utopia – dan

pencapaian dari pengetahuan. Lyotard menyatakan bahwa doktrin doktrin itu semua “telah

hilang kredibilitasnya” semenjak perang dunia ke dua. “Dalam bentuk sederhana dari arah

ekstrem, aku mendefinisikan postmodern sebagai ketidakpercayaan terhadap metanarrative”

Akan tetapi, menentukan arti postmodernisme bukanlah sebuah perkara yang mudah,

terdapat perbedaan besar di kalangan pemikir postmodern yang umumnya bersifat

idiosinkratik. Smart (1993), misalnya, telah membedakan tiga pendirian di kalangan pemikir

postmodern itu. Pertama atau pendirian yang ekstrem menyatakan bahwa masyarakat

modern telah terputus hubungannya dan sama sekali telah digantikan oleh masyarakat

postmodern. Tokoh yang berpendirian demikian termasuk Jean Baudrillard , Gilles Deleuze,

dan Felix Guattari. Kedua, pendirian yang menyatakan bahwa meski telah terjadi perubahan,

postmodernisme muncul dan terus berkembang bersama dengan modernisme. Pendirian ini

diikuti oleh pemikir Marxian seperti Fredric Jameson, Ernesto Laclau, dan Chantal Mouffe,

dan oleh pemikir feminis postmodern seperti Nancy Fraser dan Linda Nicholson. Ketgia,

pendirian Smart sendiri yang lebih memandang modernisme dan postmodernimse sebagai

zaman. Keduanya terlibat dalam rentetan hubungan jangka panjang dan postmodernimse

terus menerus menunjukkan keterbatasan modernisme. Meski berguna, tipologi Smart ini

mungkin ditolak oleh pemikir postmodernisme lain karena terlalu menyederhanakan

perbedaan besar antara pemikiran mereka

Sementara menurut (Hadiwinata, 1994), Postmodernisme adalah sebuah cara pandang

yang mencoba “meletakkan dirinya ‘di luar’ paradigma modern dalam arti bahwa ia menilai

Page 4: Posmodern

modernisme bukan dari kriteria modernitas, tetapi melihatnya dengan cara kontemplasi dan

dekonstruksi”

Ia (postmodernisme) bukanlah suatu bentuk gerakan yang utuh dan homogen di dalam

dirinya sebagaimana ditemui dalam bentuk pemikiran modernisme (paradigma

fungsionalisme/positivisme) yang selalu sarat dengan sistematika, formalitas, dan

keteraturan. Sebaliknya, ia adalah sebuah gerakan yang mengandung keaneka-ragaman

pemikiran “yang meliputi Marxisme Barat, strukturalisme Prancis, nihilisme, etnometodogi,

romantisisme, populisme, dan hermeneutika” (Hadiwinata, 1994). Mungkin karena

keberagaman yang dimilikinya inilah akhirnya orang banyak mengatakan bahwa

postmodernisme tidak mempunyai “bentuk” yang jelas. Tetapi sebetulnya “tidak

berbentuknya” postmodernisme ini justru merupakan “bentuk” asli dari dirinya.

Postmodernisme juga adalah nama gerakan di kebudayaan kapitalis lanjut, secara

khusus dalam seni. Lyotard seorang seniman postmodernisme (dalam Sarup, 1993) percaya

bahwa kita tidak dapat lagi bicara tentang gagasan penalaran yang mentotalisasi karena

penalaran itu tidak ada, yang ada adalah pelbagai macam penalaran. Konsep

postmodernisme sendiri merupakan konsep yang ambigu dan belum dipahami secara luas.

Mungkin konsep ini muncul sebagai reaksi spesifik pada bentuk-bentuk modernisme lanjut

yang mapan. Bagi sejumlah pemikir, postmodernisme merupakan periodesasi yang

berfungsi mengorelasikan kemunculan aspek-aspek baru dalam kebudayaan. Dengan kata

lain paradigma postmodern berupaya untuk bisa memahami realitas secara lebih utuh dan

lengkap, artinya tidak hanya sebatas realitas yang nampak saja akan tetapi juga realitas yang

tidak nampak.

Dikarenakan memang dalam kehidupan ini realitas tidak hanya yang nampak namun

realitas yang tidak nampak juga akan selalu ada dan mempengaruhi kehidupan manusia. Jika

manusia hanya memahami sebatas fisik saja maka konsep teori atau realitas yang

dibangunnya hanya sebatas dunia materi belaka dan sebaliknya, tidak akan mampu masuk

pada dunia psikis dan spiritual, serta jika memahami realitas dari satu sudut pandang,

metode dan teknik tertentu saja maka dikhawatirkan pemahaman atas realitas yang

sesungguhnya (kompleks) tidak dapat tertangkap secara lebih utuh, namun mengakibatkan

terjadinya pemahaman yang parsial, dangkal dan salah kaprah.

Karakter utama postmodernisme terletak pada usaha dekonstruksi yang dilakukan

terhadap semua bentuk “logosentrisme” yang dibuat oleh modernisme. Logosentrisme

adalah sistem pola berpikir yang mengklaim adanya legitimasi dengan referensi kebenaran

universal dan eksternal (Rosenau, 1992). Dengan kata lain, modernisme menghasilkan

Page 5: Posmodern

produk pemikiran dengan ciri "penunggalan" yang berpijak pada hal-hal yang bersifat

universal dan mengsubordinasikan "sang lain" (the others) yang berada di "luar" dirinya.

Karakter penunggalan inilah yang menyebabkan modernisme bersifat sangat parsial dalam

segala bentuknya.

Dengan dekonstruksi, postmodernisme memasukkan “sang lain” - yang

dimarginalkan, disepelekan, ditindas, dieksploitasi, dan di”bunuh” - ke dalam kedudukan

yang sama dengan apa yang ditunggalkan oleh modernisme. Misalnya, pada aspek ontologi

modernisme menganggap bahwa realitas sosial adalah realitas yang konkrit dan bisa diukur

secara pasti sebagai sesuatu yang tunggal, dan sebaliknya memarginalkan atau meniadakan

realitas yang ideal, nominal, dan abstrak. Bagi postmodernisme, dua pola pemikiran tentang

realitas tersebut didudukkan pada posisi yang sejajar; sesuatu yang ditunggalkan berdiri

sejajar dengan sesuatu yang dimarginalkan.

Dengan demikian berarti bahwa paradigma ini lebih bersifat terbuka atas masuknya

berbagai macam pendekatan-pendekatan, pemikiran-pemikiran yang berbeda untuk

bersama-sama membangun sebuah realitas yang lebih utuh dengan didasari atas semangat

keberagaman. Pendekatan dan pemikiran yang beragam tidak diperlakukan sebagai sebuah

konflik, namun sebaliknya dikelola dan diupayakan menjadi sebuah kekuatan baru yang

lebih superior. Pengelolaan keberagaman aliran pemikiran dan pendekatan ini dilakukan

dengan cara melakukan kombinasi atau pensinergian satu aliran pemikiran atau pendekatan

dengan aliran pemikiran yang lainnya. Adapun kelemahan paradigma ini adalah terletak

pada pendekatannya yang tidak terstruktur, tidak formal, tidak baku. Sehingga dalam

penerapannya nanti terkesan tidak ada aturan dan memungkinkan akan membingungkan

para penggunanya. Terkesan arah dan tujuan paradigma ini tidak jelas dan tidak ditentukan

sejak awal.

Aspek-Aspek Utama dalam Postmodernisme

Bagi Lyotard (dalam Sarup, 1993) , kondisi postmodern adalah kondisi dimana narasi

besar modernitas – dialektika ruh, emansipasi buruh, akumulasi kekayaan, masyarakat tanpa

kelas – kehilangan kredibilitas. Ia percaya bahwa masyarakat kita saat ini adalah masyarakat

yang individualistik, dan terfragmentasi. Selain itu, juga mengaharapkan fleksibilitas

pengetahuan narasi – dimana narasi estetik, kognitif, dan moral berjalin kelindan – dan

disamping itu, ia juga ingin mempertahankan individualisme yang tumbuh kembang

bersama kapitalisme. Salah satu ciri zaman posmodenitas adalah fragmentasi permainan

Page 6: Posmodern

bahasa, tidak ada metabahasa. Tidak ada seorang pun dapat memahami apa yang terjadi di

masyarakat secara keseluruhan. Dan tidak ada lagi sistem yang dominan.

Berikut tiga aspek pemikiran postmodern

1. Kecenderungan untuk mereduksi semua klaim kebenaran sampai pada level retorika,

strategi narasi atau wacana yang diangap ada hanya karena perbedaan atau

persaingan antarnarasi, sehingga tidak ada penuntut yang dapat menegaskan diri

dengan mengorbankan yang lain.

2. Sering muncul perujukan, terutama dalam Lyotard, pada konsep “permainan bahasa”

wittgeinsteinian (kadang disebut bentuk-bentuk kehidupan).

3. Terjadi pergeseran ke arah sublim kantian sebagai sarana devaluasi klaim-kebenaran

dan mengangkat konsep yang tidak dapat direpresentasikan ke posisi tertinggi yang

absolut di ranah etis.

Sedangkan menurut Jameson (dalam Sarup, 1993) ciri utama postmodernisme ada dua,

yaitu schizofrenia dan pastiche. Pastiche merupakan suatu pandangan dimana pandangan ini

mencakup unsur-unsur yang berlawanan seperti lama dan baru. Ini menyangkal keteraturan,

logika, atau simetri; itu kemuliaan di dalam pertentangan dan kebingungan (Rosenau, 1992).

Sedangkan schizofrenia adalah sebuah gangguan bahasa (Lacan dalam Sarup, 1993).

Feminisme dan Postmodernisme

Feminisme dan postmodernisme muncul sebagai dua arus kultural dan politik paling

penting selama dekade terakhir. Karena dalam keduanya terdapat kesamaan, yaitu

menawarkan kritik dalam dan berdaya jangkau luas pada filsafat dan hubungan filsafat

dengan kebudayaan yang lebih luas. Keduanya berusaha mengembangkan paradigma baru

kritik sosial yang tidak didasarkan pada dasar-dasar filsafat tradisional. Selain itu, perbedaan

dari keduanya adalah jika kaum postmodern menawarkan kritik yang rumit dan kompleks

pada fondasionalisme dan esensialisme, tapi konsepsi kritik sosial mereka cenderung kurang

darah. Sedangkan kaum feminisme menawarkan konsepsi kritik sosial yang kuat, namun

cenderung terjebak dalam fondasionalisme dan esensialisme. Kaum feminis, seperti kaum

postmodern, berusaha mengembangkan paradigma kritik sosial yang baru yang tidak

didasarkan pada dasar-dasar filsafat tradisional. Namun, imperatif membuat beberapa

pemikir feminis mengadopsi mode teorisasi yang mirip dengan bentuk-bentuk metanarasi

filsafat yang dikritik kaum postmodern.

Page 7: Posmodern

Postmodernisme Wujud Perbaikan Paradigma?

Covey (dalam Haryadi, 2010) mengungkapkan jika anda ingin mencapai

keberhasilan biasa perbaikilah perilaku, namun jika ingin mencapai keberhasilan besar maka

perbaikilah paradigma. Menurut Haryadi (2010) pernyataan tersebut memiliki pesan, pesan

yang bisa kita gapai adalah betapa bernilainya perubahan paradigma yang dilakukan oleh

seseorang dalam mencapai kesuksesan.

Kesuksesan yang besar hanya bisa diraih tatkala kita telah dengan bulat memperbaiki

paradigma yang selama ini telah membelenggu dan membuat kita kurang kreatif dan stagnan

dalam perkembangan. Di dalam paradigma ini, dapat diakatakan bahwa paradigma ini dapat

sebagai usaha nyata dalam perbaikan paradigma yang sebelumnya, karena kemungkinan

paradigma ini dapat menjadi sebuah kekuatan untuk mencapai keberhasilan , dikarenakan

terdapat keunggulan keunggulan dibandingkan paradigma lain. Menurut Haryadi (2010)

keunggulan paradigma ini dibandingkan dengan paradigma lain adalah:

1. Kita bisa menunjukkan bahwa betapa paradigma ini lebih jernih dalam memandang

realitas yang komplek, dan oleh karena itu maka paradigma ini menginginkan adanya

pluralisme dalam pendekatan, aliran, metode dan berusaha untuk tidak memutlakkan

suatu pendekatan tertentu atas pendekatan, aliran dan metode yang lainnya.

2. Keagungan tujuan dari postmodernisme yang menghargai dan menjunjung tinggi

nilai-nilai kemanusiaan, dan kerohaniahan seorang manusia dalam pengembangan

pengetahuan manusia itu sendiri benar-benar telah menunjukkan jati diri manusia

sesungguhnya dimana pada hakekatnya manusia itu merupakan satu kesatuan dengan

alam dan lingkungannya, serta senantiasa membutuhkan nilai spiritual dalam

hidupnya untuk pada akhirnya nilai-nilai spiritual itu akan menjadi warna atau

karakter dalam kehidupannya.

3. Postmodernis yang memandang bahwa ilmu-ilmu pengetahuan (empiris khususnya)

bukanlah merupakan satu-satunya standar kebenaran tertinggi namun kebenaran

yang mutlak hanya Tuhan itu sendiri, telah menimbulkan konsekuensi yang

spektakuler dimana nilai-nilai moral-religius lebih dijunjung tinggi dan berwibawa

dalam pandangan manusia itu sendiri.

4. Paradigma ini tidak berupaya menguniversalkan gagasan atau pengetahuan menjadi

ralitas sosial yang seragam, namun yang lebih arif adalah mengangkat dan

menghargai nilai-nilai lokal yang ada dalam masyarakat dan disinergikan menjadi

sebuah kekuatan yang utuh dan terpadu dalam mengkonstruksi sebuah pengetahuan

atau realitas

Page 8: Posmodern

Sehingga pada akhirnya menurut Triyuwono (dalam Haryadi, 2010) menyatakan

bahwa paradigma postmodernis bisa dikatakan telah mampu memahami realitas sosial,

hakikat manusia dan ilmu pengetahuan dan metodologi secara sangat inklusif (terbuka),

holistik, transedental, teleologikal dan humanis. Sehingga pada gilirannya dampak yang

diciptakannya adalah manusia dapat dengan bebas berkreasi menciptakan instrumen

pengetahuan dalam upayanya mengkonstruksi ilmu pengetahuan tersebut.

Daftar Pustaka

Butler, Christopher. Postmodernism, A Very Short Introduction. New York, Oxford

University Press

Hadiwinata, Bob Sugeng, 1994. “Theatrum Politicum”: Posmodernisme dan Krisis

Kapitalisme Dunia. Kalam. Edisi 1: 23-31.

Ritzer, George. 2014. Teori Sosiologi Modern. Edisi ke 7. Diterjemahkan oleh: Triwibowo

B.S. Kencana, Jakarta

Rosenau, Pauline Marie. 1992. Post-modernism and the Social Sciences: Insights, Inroads,

and Intrusions. Princeton, NJ: Princeton University Press

Sarup, Madan. 2008. Panduan Pengantar untuk Memahami POSTRUKTURALISME &

POSMODERNISME. Diterjemahkan oleh: Medhy Aginta Hidayat. Jojakarta:

Jalasutra.