polahi dan pemilu indonesia “sebuah urgensi gagasan ...gorontalo.bawaslu.go.id/upload/artikel...

21
1 POLAHI DAN PEMILU INDONESIA “Sebuah Urgensi Gagasan Pengawasan Partisipatif Terhadap Komunitas Suku Terasing Polahi Untuk Menegakkan Keadilan PemiluOleh ; Bawaslu Provinsi Gorontalo 1. Mukaddimah Sesuai amanat konstitusi Undang-Undang Dasar Tahun 1945, Pasal 27 Ayat (1) berbunyi “segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya”. Indonesia sebagai negara demokrasi yang menegakkan keadilan sosial bagi seluruh rakyatnya, maka esensinya adalah seluruh warga negara Indonesia tanpa terkecuali harus diberikan hak dan kedudukan yang sama dalam hukum dan pemerintahan lebih khusus dalam penyelenggaraan Pemilihan Umum sebagai wujud demokrasi yang dilakananakan secara langsung, umum, bebas rahasia, jujur dan adil setiap 5 (lima) tahun sekali. Dalam teori demokrasi, salah seorang mantan Presiden Amerika Serikat Abraham Lincoln pernah mengatakan democracy is goverment of the people, by the people, and for the people, artinya bahwa demokrasi adalah pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Berdasarkan pernyataan pendapat tersebut maka jelaslah bahwa dalam negara demokrasi, rakyatlah yang memiliki kedaulatan. Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) sebagai lembaga yang diberi amanat oleh negara untuk mengawasi tahapan penyelenggaraan Pemilihan Umum (Pemilu), menangani pelanggaran Pemilu dan menyelesaikan sengketa proses Pemilu sebagaimana diatur dalam ketentuan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 Tentang Pemilihan Umum, maka untuk mewujudkan komitmen Bawaslu dalam menegakkan keadilan Pemilu, menegakkan persamaan hak dan kewajiban antara sesama warga Negara Indonesia maka telah dirumuskan gerakan semangat bersama dengan motto “Bersama Rakyat Awasi Pemilu Bersama Bawaslu Tegakkan Keadilan Pemilu”. Motto tersebut bukan hanya sekedar ungkapan kata-kata, tetapi sesungguhnya mengandung makna tanggung jawab dan semangat yang kuat untuk menegakkan nilai-nilai kejujuran dan keadilan untuk seluruh warga Negara dalam penyelenggaraan Pemilu sebagai wujud pelaksanaan demokrasi di Indonesia, sebagaimana ketentuan Pasal 22E Ayat (1) Undang-Undang Dasar Tahun 1945 yang berbunyi “Pemilihan umum dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil setiap lima tahun sekali”.

Upload: others

Post on 29-Jan-2020

14 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: POLAHI DAN PEMILU INDONESIA “Sebuah Urgensi Gagasan ...gorontalo.bawaslu.go.id/upload/Artikel Polahi Revisi Kelima Ok-dikonversi.pdf · perjalanan Pemilihan Umum (Pemilu) telah

1

POLAHI DAN PEMILU INDONESIA

“Sebuah Urgensi Gagasan Pengawasan Partisipatif Terhadap Komunitas Suku

Terasing Polahi Untuk Menegakkan Keadilan Pemilu”

Oleh ;

Bawaslu Provinsi Gorontalo

1. Mukaddimah

Sesuai amanat konstitusi Undang-Undang Dasar Tahun 1945, Pasal 27 Ayat (1) berbunyi

“segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib

menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya”. Indonesia sebagai negara

demokrasi yang menegakkan “keadilan sosial bagi seluruh rakyatnya”, maka esensinya adalah

seluruh warga negara Indonesia tanpa terkecuali harus diberikan hak dan kedudukan yang sama

dalam hukum dan pemerintahan lebih khusus dalam penyelenggaraan Pemilihan Umum sebagai

wujud demokrasi yang dilakananakan secara langsung, umum, bebas rahasia, jujur dan adil setiap

5 (lima) tahun sekali. Dalam teori demokrasi, salah seorang mantan Presiden Amerika Serikat

Abraham Lincoln pernah mengatakan “democracy is goverment of the people, by the people, and

for the people, artinya bahwa demokrasi adalah pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk

rakyat. Berdasarkan pernyataan pendapat tersebut maka jelaslah bahwa dalam negara demokrasi,

rakyatlah yang memiliki kedaulatan.

Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) sebagai lembaga yang diberi amanat oleh

negara untuk mengawasi tahapan penyelenggaraan Pemilihan Umum (Pemilu), menangani

pelanggaran Pemilu dan menyelesaikan sengketa proses Pemilu sebagaimana diatur dalam

ketentuan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 Tentang Pemilihan Umum, maka untuk

mewujudkan komitmen Bawaslu dalam menegakkan keadilan Pemilu, menegakkan persamaan

hak dan kewajiban antara sesama warga Negara Indonesia maka telah dirumuskan gerakan

semangat bersama dengan motto “Bersama Rakyat Awasi Pemilu Bersama Bawaslu Tegakkan

Keadilan Pemilu”. Motto tersebut bukan hanya sekedar ungkapan kata-kata, tetapi sesungguhnya

mengandung makna tanggung jawab dan semangat yang kuat untuk menegakkan nilai-nilai

kejujuran dan keadilan untuk seluruh warga Negara dalam penyelenggaraan Pemilu sebagai wujud

pelaksanaan demokrasi di Indonesia, sebagaimana ketentuan Pasal 22E Ayat (1) Undang-Undang

Dasar Tahun 1945 yang berbunyi “Pemilihan umum dilaksanakan secara langsung, umum, bebas,

rahasia, jujur dan adil setiap lima tahun sekali”.

Page 2: POLAHI DAN PEMILU INDONESIA “Sebuah Urgensi Gagasan ...gorontalo.bawaslu.go.id/upload/Artikel Polahi Revisi Kelima Ok-dikonversi.pdf · perjalanan Pemilihan Umum (Pemilu) telah

2

Indonesia sebagai salah satu negara demokrasi di dunia, berdasarkan catatan sejarah

perjalanan Pemilihan Umum (Pemilu) telah berulang kali menyelenggarakan Pemilu yakni sejak

Pemilu pertama pada tahun 1955-2014 terhitung sudah 11 (sebelas belas) kali menyelenggarakan

Pemilu. Oleh karena itu, sejatinya penyelenggaraan Pemilu tahun 2019 sebagai Pemilu yang ke-

dua belas harus lebih baik dari Pemilu sebelumnya. Hal ini penting untuk menunjukkan adanya

peningkatan kualitas demokrasi yang sesuai dengan harapan masyarakat indonesia dan dunia

internasional. Memang patut disadari bahwa sebagai negara kepulauan terbesar di dunia dengan

jumlah penduduk terbesar ke-empat di dunia dan keadaan penduduknya sangat heterogen menjadi

tantangan tersendiri bagi Indonesia dalam mengelolah kehidupan demokrasi yang sesuai dengan

harapan semua pihak pada semua tingkatan Provinsi dan Kabupaten/Kota sampai pada tingkat

Kecamatan dan Desa/Kelurahan.

Gorontalo sebagai salah satu provinsi baru di Indonesia yang secara resmi lahir pada

tanggal 5 Desember Tahun 2000 melalui Undang-Undang Nomor 38 Tahun 2000, dimana pada

awalnya menjadi bagian dari Provinsi Sulawesi Utara, maka seiring dengan perkembangan zaman

sejak tahun 2000-sekarang, telah memiliki 5 Kabupaten dan 1 Kota yaitu; Kota Gorontalo,

Kabupaten Gorontalo, Kabupaten Bone Bolango, Kabupaten Boalemo, Kabupaten Pohuwato dan

Kabupaten Gorontalo Utara. Jumlah penduduk provinsi Gorontalo saat ini baru mencapai

1.166.142 jiwa, dengan jumlah pemilih pada Pemilu Tahun 2019 adalah sebanyak 812.801 Pemilih

tersebar di 77 kecamatan, 729 desa/kelurahan dan 3.364 TPS. Sebagai sebuah daerah yang berada

diantara dua provinsi yakni; Provinsi Sulawesi Utara dengan Provinsi Sulawesi Tengah, maka

Provinsi Gorontalo memiliki beragam budaya dan komunitas termasuk didalamnya adalah

komunitas terasing suku “Polahi” yang tinggal di kawasan hutan belantara dan pegununungan

Boliyohuto Kabupaten Gorontalo.

Tidak banyak masyarakat Gorontalo yang mengetahui keberadaan komunitas Polahi,

karena tempat tinggal mereka di hutan belantara dan pegunungan serta jarang dijumpai dan/atau

dibicarakan apalagi kaitannya dengan penyelenggaraan Pemilihan Umum atau Pemilihan Kepala

Daerah (Pilkada). Berangkat dari Motto Bawaslu yakni “Bersama Rakyat Awasi Pemilu Bersama

Bawaslu Tegakkan Keadilan Pemilu”, maka Bawaslu Provinsi Gorontalo melakukan penelusuran

untuk mengetahui keberadaan suku Polahi tersebut dan partispasinya dalam penyelenggaraan

Pilkada dan Pemilihan Umum Tahun 2019. Penelusuran Bawaslu Provinsi Gorontalo, berawal dari

informasi yang disiarkan oleh salah satu media televisi swasta nasional Trans7 pada tahun 2017,

Page 3: POLAHI DAN PEMILU INDONESIA “Sebuah Urgensi Gagasan ...gorontalo.bawaslu.go.id/upload/Artikel Polahi Revisi Kelima Ok-dikonversi.pdf · perjalanan Pemilihan Umum (Pemilu) telah

3

dan melalui jajaran Bawaslu Kabupaten Gorontalo, Panwaslu Kecamatan Asparaga dan Panwaslu

Kecamatan Tolangohula Kabupaten Gorontalo serta Panwas Desa Bina Jaya Kecamatan

Tolangohula. Untuk merumuskan langkah Bawaslu Provinsi Gorontalo mengenai penelusuran

komunitas Polahi tersebut, maka pada bulan Mei Tahun 2018 Bawaslu Provinsi Gorontalo

melaksanakan rapat koordinasi bersama dengan jajaran Bawaslu/Panwaslu Kabupaten/Kota dan

Panwaslu Kecamatan terkait.

Sebagai tindaklanjut dari hasil rapat koordinasi tersebut, maka pada tanggal 10 Juni 2018

Bawaslu provinsi Gorontalo, melaksanakan kegiatan Sosialisasi Pengawasan Partisipatif Pemilu

bertempat di dusun Pilomuluta Desa Bina Jaya, Kecamatan Tolangohula Kabupaten Gorontalo,

dengan mengundang 25 orang dari komunitas Polahi melalui juru bicara Sdr. Budin Mole sebagai

mantan Kepala Dusun Pilomuluta Desa Bina Jaya Kecamatan Tolangohula Kabupaten Gorontalo,

dan salah seorang angota Bawaslu kabupaten Gorontalo Sdr. Kholik Mootalu yang sudah terbiasa

dengan komunitas “Polahi”. Dalam kegiatan sosialisasi tersebut, juga hadir KPU Provinsi

Gorontalo, jajaran Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil, Kementerian Agama Provinsi

Gorontalo, Pemerintah Kecamatan Tolangohula, Kepolisian Sektor Tolangohula, Pemerintah Desa

Bina Jaya, dan beberapa tokoh masyarakat.

Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) mengungkapkan fakta mengenai pemilih

masyarakat adat yang terancam tidak bisa mencoblos atau tidak dapat menggunakan hak suaranya

pada Pemilu Tahun 2019, yakni sebanyak 2,3 juta masyarakat adat hidup di kawasan hutan. Dari

jumlah tersebut, sekitar 720.000 (tujuh ratus dua puluh ribu) jiwa masyarakat adat yang tidak bisa

menggunakan hak pilih karena tidak adanya identitas kependudukan KTP-Elektronik1. Persoalan

lain yang juga ditemui AMAN yakni masih ada sekitar 1 juta masyarakat adat yang buta huruf atau

tunaaksara. Andre Barahamin sebagai Direktur Perluasan Partisipasi Politik Masyarakat Adat

AMAN menyebut aturan soal tuna aksara tidak diatur secara detail, sementara mereka tidak yakin

soal pendamping di bilik suara yang bisa menjamin suara mereka diarahkan dengan benar2. Hal

ini disebabkan oleh karena pada pelaksanaan Pemilu dan Pilkada sebelumnya sudah terjadi

kecurangan terhadap suara masyarakat adat.

Sebagai lembaga yang bertugas mengawasi tahapan penyelenggaraan Pemilu termasuk

didalamnya tahapan sosialisasi kepada masyarakat sesuai ketentuan peraturan perundang-

1 Ibid 2 Ibid.,

Page 4: POLAHI DAN PEMILU INDONESIA “Sebuah Urgensi Gagasan ...gorontalo.bawaslu.go.id/upload/Artikel Polahi Revisi Kelima Ok-dikonversi.pdf · perjalanan Pemilihan Umum (Pemilu) telah

4

undangan yang berlaku, maka sebagaimana motto Bawaslu yakni “Bersama Rakyat Awasi Pemilu

Bersama Bawaslu Tegakkan Keadilan Pemilu”, Bawaslu Provinsi Gorontalo berkomitmen untuk

memastikan agenda sosialiasi penyelenggaraan Pemilihan Umum Tahun 2019 khususnya di

Provinsi Gorontalo dan Kabupaten/Kota, serta Kecamatan dan Desa/Kelurahan, yang

dilaksanakan oleh Penyelenggara Pemilu dalam hal ini KPU dapat menyentuh seluruh lapisan

masyarakat termasuk komunitas suku terasing “Polahi” meskipun mereka bertempat tinggal di

hutan dan pegunungan yang sulit dijangkau dan sulit untuk ditemui. Hal dimaksudkan agar seluruh

warga negara Indonesia termasuk Polahi di Gorontalo yang telah memenuhi syarat untuk memilih

yakni telah berumur 17 tahun dan/atau sudah pernah menikah dapat berpartisipasi dalam Pemilu

dengan menggunakan hak pilihnya secara baik.

Sejatinya, Pemilu yang dilaksanakan setiap lima tahun sekali sebagaimana amanat

konstitusi Undang-Undang Dasar Tahun 1945, seluruh warga negara Indonesia yang telah

memenuhi syarat memilih yakni telah berumur 17 tahun dan/atau sudah pernah menikah, termasuk

mereka dari komunitas terasing “Polahi” yang tinggal di hutan dan pegunungan harus diberi

kesempatan yang sama untuk memilih dan/atau dipilih menjadi pemimpin negara dan bangsa baik

sebagai pejabat legislatif (anggota DPR, DPD, dan DPRD) maupun untuk memilih pejabat

eksekutif Presiden dan Wakil Presiden secara langsung. Namun ironisnya, sejak Pemilu pertama

Tahun 1955 hingga tahun 2014 komunitas suku terasing “Polahi” di Gorontalo belum mengenal

Pemilu. Dalam konteks ini, maka kehadiran negara harus mampu memberikan pelayanan yang

sama bagi seluruh warga negara, tak terkecuali kaum-kaum marginal yang disebabkan oleh karena

perbedaan suku, ras, agama dan budaya, walaupun mereka hanya sebagian kecil dari eksistensi

Negara, perhatian Negara harus mampu menyentuh struktur dasar identitas manusia yang memiliki

harkat dan martabat yang sama di depan hukum dan pemerintahan.

Berdasarkan uraian pemikiran di atas, maka Penulis sebagai organ penyelenggara Pemilu

tertarik untuk menulis tentang keberadaan komunitas terasing suku “Polahi” di Gorontalo dan

partisipasinya dalam Pemilu Tahun 2019 yang dikemas dengan judul “POLAHI DAN PEMILU

INDONESIA, Sebuah Urgensi Gagasan Pengawasan Partisipatif Terhadap Komunitas Suku

Terasing “Polahi” Untuk Menegakkan Keadilan Pemilu”. Adapun metode yang digunakan

untuk mengumpulkan fakta dan keterangan dalam tulisan ini menggunanakan motode empirik

melalui wawancara dengan para responden.

Page 5: POLAHI DAN PEMILU INDONESIA “Sebuah Urgensi Gagasan ...gorontalo.bawaslu.go.id/upload/Artikel Polahi Revisi Kelima Ok-dikonversi.pdf · perjalanan Pemilihan Umum (Pemilu) telah

5

2. Hasil Penelitian/Pembahasan

Berawal dari informasi yang disiarkan oleh salah satu media televisi swasta nasional

Trans7 pada tahun 2017, dan hasil penelusuran Bawaslu Provinsi Gorontalo melalui jajaran

Panwaslu Kabupaten Gorontalo Sdr. Kholik Mootalu (Anggota/Koordinator Divisi Pengawasan,

Pencegahan dan Hubungan Antar Lembaga), Ketua dan Anggota Panwaslu Kecamatan Asparaga,

Ketua dan Anggota Panwaslu Kecamatan Tolangohula Sdr. Jahja Alijonga (Ketua) dan Sdr.

Samsul Atid (Anggota), Panwas Desa Bina Jaya Kecamatan Tolangohula Sdr. Abdul Gias Ntobuo,

dan melalui kegiatan sosialisasi pengawasan partisipatif yang dilaksanakan Bawaslu Provinsi

Gorontalo pada hari Minggu Tanggal 10 Juni 2018 bertempat di dusun Pilomuluta Desa Bina Jaya,

Kecamatan Tolangohula Kabupaten Gorontalo, dengan mengundang 25 orang dari komunitas

Polahi melalui juru bicara Sdr. Budin Mole sebagai mantan Kepala Dusun Pilomuluta Desa Bina

Jaya Kecamatan Tolangohula Kabupaten Gorontalo, serta hasil wawancara Penulis dengan para

responden, maka diperoleh fakta dan keterangan mengenai komunitas suku terasing “Polahi” di

Gorontalo yaitu sebagai berikut;

A. Asal Mula Komunitas Suku Terasing “Polahi” di Gorontalo

Berdasarkan hasil wawancara Penulis dengan beberapa responden, maka dapat dijelaskan

bahwa yang dimaksud dengan komunitas Polahi adalah kelompok atau komunitas suku Gorontalo

yang terasing dan tinggal di hutan dan daerah pegunungan sejak zaman penjajahan Belanda di

Gorontalo. Menurut Hasanudin komunitas Polahi adalah mereka yang melarikan diri ke hutan

dan pegunungan yang disebabkan oleh karena mereka tidak ingin disiksa dan menjadi korban para

penjajah Belanda dan kaki tangan para penjajah dan pendudukan Jepang serta para residivis.3

Adanya komunitas Polahi adalah sebagai bukti adanya pembangkangan rakyat atas tindakan para

penjajah, dan para pemimpin yang berselingkuh dengan pihak kolonial. Komunitas Polahi, selain

melarikan diri di hutan belantara dan pegunungan yakni di gunung Tilongkabila dan Boliyohuto

kabupaten Gorontalo, mereka juga menolak untuk membayar upeti dan memberikan hasil alam

pada kolonial Belanda.4

Dari berbagai sumber yang diperoleh Penulis dapat diuraikan bahwa asal mula komunitas

suku “Polahi” adalah diawali pada dua zaman raja besar di Gorontalo masing-masing yaitu; Raja

3 Hasanudin dalam Samsi Pomalingo “ Polahi, Komunitas pedalaman suku Gorontalo” , repository.ung.ac.id Jurnal Dinamika Sosial dan Budaya (1) 2015, hal 1. Diakses 21/9/2019. 4 ibid

Page 6: POLAHI DAN PEMILU INDONESIA “Sebuah Urgensi Gagasan ...gorontalo.bawaslu.go.id/upload/Artikel Polahi Revisi Kelima Ok-dikonversi.pdf · perjalanan Pemilihan Umum (Pemilu) telah

6

Eyato pada tahun 1673-1679, hingga Raja Biya pada tahun 1677-16795. Pada masa kekuasaan

kedua Raja tersebut, perlawanan paling sengit terjadi antara suku Polahi dengan pihak kolonial

Belanda. Bagi mereka, lebih baik mengasingkan diri selama-lamanya dari pada harus tunduk pada

kekuasaaan Belanda. Menurut salah seorang akademisi dan budayawan Gorontalo Alim Niode,

menerangkab bahwa latar belakang banyaknya masyarakat lari ke hutan dan menjadi Polahi adalah

karena kekuasaan raja-raja kecil pada masa itu yang sangat otoriter sehingga membuat rakyat

banyak melarikan diri ke hutan dan menjadi Polahi6. Dari sikap mereka tersebut, dalam beberapa

generasi hingga hari ini mereka memilih untuk tetap menjadi warga hutan dan gunung daripada

membaur dengan masyarakat pada umumnya yang menurut mereka masih dikuasai oleh

penjajahan kolonial Belanda. Struktur kehidupan Polahi sangat primitif, khususnya dalam hal

perkawinan. Menurut Feriyanto Madjowa yang dikutip oleh Syamsi Pomalingo, bahwa Polahi

mempunyai tradisi kawin sumbang, kontak dengan pencari rotan, tidur dekat api, takut kematian,

serta rajin bekerja dan bertani7.

Selanjutnya berdasarkan hasil wawancara Penulis dengan sekretaris Desa Bina Jaya

Kecamatan Tolangohula Bapak Tamrin Orasi, mengatakan yang dimaksud dengan kawin

sumbang pada suku Polahi adalah suka menikahi antar sesama keluarganya; anak menikahi

Ibunya, ayah menikahi anaknya, dan sesama saudara saling menikah. Pola perkawinan tersebut

telah menjadi tradisi suku Polahi, yang dikarenakan mereka tidak punya pengetahuan yang cukup

tentang Agama. Lebih lanjut Tamrin Orasi selaku Sekretaris Desa Bina Jaya menyampaikan

bahwa sosialisasi dan pembimbingan dari pemerintah terkait dengan hal tersebut belum pernah

menyentuh masyarakat Polahi. Olehnya, tidak heran jika prilaku mereka dalam hal pernikahan

masih sangat primitif. Namun demikian, salah satu suku Polahi bernama Babuta atau yang disebut

Raja Palowa, memiliki keunggulan tersendiri dimana yang bersangkutan dianggap sebagai

pemimpin/raja di golongan mereka, dan telah menikahi dua wanita kampung di desa yang berbeda.

Babuta yang termasuk pimpinan komunitas suku Polahi di wilayah hutan Boliyohuto kabupaten

Gorontalo, dan dapat berbaur dengan masyarakat desa setempat sekaligus sebagai juru bicara dari

suku Polahi. Sebagai seorang yang dianggap kepala suku/raja Polahi, Babuta ternyata meneruskan

kepemimpinan ayahnya yang telah wafat beberapa tahun silam.

5 Ibid., hal 3. 6 Alim Niode, “Gorontalo Perubahan Nilai-nilai Budaya dan Pranata Sosial” Jakarta : PT Pustaka Indonesia Press, 2007 hal 99. 7 Feriyanto Madjowa dan Samsi Pomalingo, loc.cid, hal 8.

Page 7: POLAHI DAN PEMILU INDONESIA “Sebuah Urgensi Gagasan ...gorontalo.bawaslu.go.id/upload/Artikel Polahi Revisi Kelima Ok-dikonversi.pdf · perjalanan Pemilihan Umum (Pemilu) telah

7

Mengenai jumlah komunitas “Polahi” yang tinggal di Pegunungan Boliyohuto Kabupaten

Gorontalo hingga saat ini tidak dapat dipastikan. Namun menurut Budin Mole mantan kepala

Dusun Pilomuluta Desa Bina Jaya Kecamatan Tolangohula, yang juga sebagai juru bicara Polahi

mengatakan bahwa berdasarkan pengalaman empirik yang pernah ditemukan oleh warga desa Bina

Jaya Kecmatan Tolangohula yang berprofesi sebagai pencari rotan di kawasan hutan dan

pegunungan Boliyohuta kabupaten Gorontalo, bahwa komunitas Polahi yang tinggal di

pegunungan tersebut terbagi dalam beberapa kelompok yang tidak diketahui jumlahnya, dan

kelompok yang paling jauh berada di dekat perbatasan Provinsi Gorontalo dengan Provinsi

Sulawesi Tengah yakni Kabupaten Parigi Moutong.

Selanjutnya, Syamsi Pomalingo akademisi Universitas Negeri Gorontalo dan Peneliti di

Gorontalo menjelaskan bahwa sesungguhnya yang hadir pada kegiatan sosialisasi Bawaslu

maupun KPU sudah tergolong eks-Polahi, karena mereka sudah membaur dengan masyarakat desa

pada umumnya. Menurutnya, Polahi diklasifikasikan dalam sebutan kelompok 11, kelompok 20,

kelompok 50, dll. Klasifikasi tersebut didasarkan pada jumlah anggota keluarga atau kelompok

mereka. Saat ini, masih ada ratusan polahi yang ada pada kelompok 50, dimana mereka adalah

kelompok yang masih sangat primitif. Belum ada satu peneliti atau instansi negara yang mampu

untuk menemui mereka, oleh karena mereka masih memegang teguh prinsip dasar manusia Polahi

sebagaimana buyut-buyut mereka. Adapun cara untuk memantik mereka agar dapat berbicara

banyak, maka diperlukan minuman keras (cap tikus). Hal ini dia buktikan pada Polahi yang ada di

kawasan pegunungan kabupaten Boalemo.

B. Bahasa, dan Karaktersitik Polahi

Sebagaimana diuraikan di atas bahwa komunitas suku terasing “Polahi” di Gorontalo

adalah mereka yang tinggal di kawasan hutan belantara dan pegunungan yang sulit ditemui dan

belum beradaptasi dengan masyarakat pada umumnya. Bahasa yang digunakan “Polahi” adalah

bahasa Gorontalo asli yaitu bahasa yang digunakan oleh masyarakat Gorontalo pada zaman dahulu

kala. Orang Gorontalo pada umumnya saat ini tidak bisa mengerti bahasa Polahi, karena dialek

dan maknanya berbeda. Olehnya, jika bertemu dengan komunitas Polahi atau berkunjung ke

tempat mereka maka harus menggunakan juru bicara atau juru bahasa yang mampu menguasai

bahasa Polahi, dan tidak asing bagi mereka karena Polahi tidak mau bertemu dengan orang yang

belum dikenal tanpa ada perantara atau orang yang mengenalkannya sebelumnya. Komunitas

Page 8: POLAHI DAN PEMILU INDONESIA “Sebuah Urgensi Gagasan ...gorontalo.bawaslu.go.id/upload/Artikel Polahi Revisi Kelima Ok-dikonversi.pdf · perjalanan Pemilihan Umum (Pemilu) telah

8

Polahi juga terkenal dengan tidak bisa mengucapkan huruf “R”8, dan fenomena tersebut belum

diketahui apa sebabnya.

Mengenai karakteristik Polahi, menurut juru bicara Polahi Sdr. Budin Mole mantan

Kepala Dusun Pilomuluta Desa Bina Jaya, bahwa komunitas Polahi memiliki karakteristik yang

berbeda dengan masyarakat pada umumnya yakni jika berjalan/bepergian ke suatu tempat selalu

rombongan, bagi laki-laki selalu membawah parang yang diikat dengan tali khusus di pinggang

atau digantung di punggung, dan apabila salah satu kelompok meninggalkan rumah tempat tinggal

misalnya ke pasar atau ada keperluan di tempat lain, maka ada kelompok lain yang bertugas

menjaga tempat tinggal mereka, serta apabila ada diantara anggota keluarga yang meninggal dunia

di tempat tinggal mereka, maka tempat tinggal tersebut akan mereka tinggalkan karena dianggap

membawa sial, dan mereka sangat takut dengan kematian.

Sejalan dengan hal tersebut di atas, Gatara dan Said membagi perubahan social

masyarakat dalam 5 (lima) fase, yaitu sebagai berikut;

a. Fase Primitif, yaitu manusia hidup secara nomaden dan terisolasi dengan lingkungan alam dan

sumber daya makanan yang menentukan kelangsungan hidupnya, fase primitif ini dicirikan oleh

kehidupan manusia dalam kelompok-kelompok kecil (band) dan terpisah dengan kelompok

lainnya sering terjadi peperangan untuk memperebutkan sumber makanan. Pada fase primitive,

masyarakat menerapkan hukum rimba , yakni hukum yang mengedepankan prinsip , “siapa

yang kuat, dia yang berkuasa” artinya, mereka yang dianggap sebagai pemimpin atau penguasa

kelompoknya dianggap sebagai pemimpin atau penguasa kelompoknya. pemimpin ini memiliki

otoritas yang besar. Apapun bisa dilakukan meskipun harus mengorbankan harta dan martabat

anggotanya. Seorang pemimpin atau penguasa dipercaya dapat melindungi para anggotanya

dari gangguan atau ancaman kelompok lainnya. Pada fase ini nampak pada kehidupan suku

Polahi, dimana hidup berkelompok dan berpindah-pindah, dan belum bisa beradaptasi dengan

kelompok masyarakat pada umumnya. Menurut Jahja Alijonga mantan ketua Panwaslu

Kecamatan Tolangohula Kabupaten Gorontalo, peristiwa perkelahian kelompok masyarakat

kampung dengan komunitas Polahi pernah terjadi pada tahun 1980-an yaitu dikenal dengan

peristiwa “Baminya dan Bakara”. Baminya dan Bakara sendiri adalah dua nama jagoan

kampung yang pada saat itu rombongannya bertemu dengan komunitas Polahi di hutan

Boliyohuto. Saat itu suku Polahi menganggap mereka adalah pihak Kolonial sehingga terjadilah

8 Ibid.,hal 8

Page 9: POLAHI DAN PEMILU INDONESIA “Sebuah Urgensi Gagasan ...gorontalo.bawaslu.go.id/upload/Artikel Polahi Revisi Kelima Ok-dikonversi.pdf · perjalanan Pemilihan Umum (Pemilu) telah

9

penyerangan kepada sekelompok warga kampung tersebut. Semua warga kampung melarikan

diri ke hutan, tinggal tersisa dua orang yang bertahan, yakni Baminya dan Bakara, kedua orang

tersebut melawan dan hingga saat ini tidak kembali. Peristiwa itu dikenal dengan nama

“Baminya dan Bakara”.

b. Fase bercocok tanam atau agrokultural. Fase ini dilakukan ketika pola pikir masyarakat

berubah, yaitu hidup menetap dengan memaksimallkan sumber daya alam yang ada

dilingkungannya. Keinginan hidup menetap sebetulnya bukan hanya didorong oleh keinginan

ini saja, tetapi ada faktor-faktor eksternal, misalnya lingkungan alam tidak lagi mampu

memberikan dorongan yang maksimal terhadap manusia dan populasi penduduk semakin

bertambah banyak. Mereka yang semula hidup secara berpindah-pindah mulai merasa lelah dan

bosan sehingga memilih untuk menetap dengan memanfaatkan sumber daya alam yang

menurutnya bisa menopang kehidupannya. Pada fase ini budaya berpindah-pindah masih tetap

dilakukan meskipun pada skala waktu yang relatife lebih lama. Berdasarkan sumber yang

diperoleh Penulis, pada fase ini terjadi pada komunitas Polahi dimana kehidupan mereka sangat

tergantung pada sumber daya alam guna memenuhi kebutuhan pokok sehari-hari. Selain

mengkonsumsi bahan makanan yang bersumber langsung dari alam misalnya rotan, dan buah-

buahan dari pepohonan, komunitas Polahi juga membuka lahan dan bertani di pegunungan

dengan menggunakan metode yang sangat sederhana.

c. Fase Tradisional, dijalani masyarakat dengan hidup secara menetap di tempat tertentu yang

dianggap strategis guna memenuhi berbagai kebutuhan kehidupannya, seperti di pinggir sungai

gunung, dataran rendah, lereng dan sebagainya. Pemilihan tempat ini disesuaikan dengan

sumber daya alam dan kemampuan manusia dalam menyesuaikan diri dengan kondisi alamnya.

Mereka mulai membentuk suatu tatanan kehidupan masyarakat dalam bentuk sejenis desa.

Jumlah populasinya pun semakin bertambah sehingga suatu desa tidak hanya terdiri dari satu

keturunan, tetapi ada beberapa keturunan yang didalamnya dibentuk pola pemerintahan yang

sangat sederhana. Budaya dan tradisi dalam suatu desa mulai tercipta dan berkembang. Pada

fase tradisional ini, masyarakat mulai mengembangkan hukum yang lebih baik ketimbang masa

sebelumnya. Hukum yang berkembang bukan lagi hukum rimba, tetapi ada norma atau aturan

yang disepakati bersama. Penetapan suatu hukum dihasilkan dari kesepakatan seluruh anggota

kelompok masyarakat. Hukum tidak lagi dibuat oleh pemimpin atau penguasa seperti pada

penerapan hukum rimba , melainkan atas kehendak seluruh anggota masyarakat disini,

Page 10: POLAHI DAN PEMILU INDONESIA “Sebuah Urgensi Gagasan ...gorontalo.bawaslu.go.id/upload/Artikel Polahi Revisi Kelima Ok-dikonversi.pdf · perjalanan Pemilihan Umum (Pemilu) telah

10

pemimpin atau penguasa hanya sekedar representasi untuk menjalankan amanat dari anggota

masyarakatnya. Mengenai norma atau aturan yang berlaku pada komunitas Polahi, berdasarkan

hasil wawancara Penulis ditemukan bahwa Polahi belum mengenal aturan atau norma-norma

yang ditaati oleh masyarakat pada umumnya misalnya; norma agama, norma adat, norma

kesusilaan dan lain-lain. Polahi belum mengenal agama, mereka hanya mengikuti pola hidup

atau kebiasaan yang diturunkan oleh orangtuanya secara turun temurun. Dalam hal perkawinan,

tidak ada batasan perkawinan antara anak dengan ibunya, ayah dengan anaknya, dan/atau

perkawinan antara saudara sekandung. Namun demikian, Polahi memiliki kebiasaan hidup

berkelompak/bersama, serta membagi hasil yang diperoleh dari alam secara adil dan merata,

misalnya hasil berburu, atau bercocok tanam.

d. Fase transisi, kehidupan desa sudah sangat maju dan isolasi terhadap salah satu kelompok

masyarakat mulai berkurang, penggunaan media informasi hampir merata. Hanya saja secara

geografis kehidupan masyarakat transisi masih berada disekitar pinggiran kota dan hidupnya

pun masih mencirikan kehidupan tradisional. Pola pikir dan system social tradisional silih

berganti digunakan, namun mengalami penyesuaian dengan pola pikir dan system social yang

baru dan inovatif. Dengan kata lain, pada masyarakat transisi terdapat ambigu antara

menjalankan system kehidupan lama dan menyesuaikan dengan system kehidupan baru. Sifat

ambigu ini tercermin dalam pola pikir, sikap, dan perilaku sehari-hari. Pola pikir masyarakat

terlihat masih tradisional dan masih memelihara kekerabatan, namun mulai memperlihatkan

individualis. Ciri yang paling dominan pada fase ini adalah terjadinya proses asimilasi budaya

dan social yang belum tuntas dan terlihat masih canggung dalam semua dimensi kehidupan.

Pada fase ini terlihat beberapa diantara komunitas Polahi mulai mengenal pasar tradisional,

namun masih sangat canggung karena perbedaan bahasa dan belum mampu berhitung dengan

menggunakan mata uang sebagai alat tukar.

e. Fase modern, ditandai dengan adanya peningkatan kualitas perubahan social yang lebih konkret

untuk meninggalkan fase transisi, dimana masyarakat sudah menunjukkan kehidupan

kosmopolitannya dengan ciri yang paling professional, dan pembagian kerja diantara anggota

masyarakat mulai jelas.9 Pada fase ini, belum terlihat dalam kehidupan komunitas Polahi,

9 Gatara dan Said, Sosiologi Politik, konsep dan dinamika perkembangan Kajian, Bandung; Pustaka setia, 2007; Cet I, Hal 55-56

Page 11: POLAHI DAN PEMILU INDONESIA “Sebuah Urgensi Gagasan ...gorontalo.bawaslu.go.id/upload/Artikel Polahi Revisi Kelima Ok-dikonversi.pdf · perjalanan Pemilihan Umum (Pemilu) telah

11

karena kehidupan mereka masih sangat primitif dan tradisional, dengan menggatungkan hidup

pada alam yaitu hutan dan pegunungan.

Dari lima fase perkembangan atau perubahan sosial tersebut di atas, komunitas Polahi di

Gorontalo masih termasuk pada fase primitif dan tradisional, dimana mereka masih hidup

berpindah-pindah dalam hutan dan pegunungan, sulit beradaptasi dengan masyarakat pada

umumnya karena masih menganggap sebagai kolonial, serta belum mengenal norma hukum yang

ditaati oleh masyarakat pada umumnya misalnya; norma agama, norma adat, norma kesusilaan dan

lain-lain. Mereka hanya mengikuti pola hidup atau kebiasaan yang diturunkan oleh orangtuanya

secara turun temurun. Dalam hal perkawinan, tidak ada batasan perkawinan antara anak dengan

ibunya, ayah dengan anaknya, dan/atau perkawinan antara saudara sekandung. Namun demikian,

beberapa diantara mereka saat ini, mulai beradaptasi dengan kehidupan masyarakat pada

umumnya, dimana diantara mereka mulai mengikuti sosialisasi-sosialisasi yang dilakukan oleh

pemerintah, mulai mengenal pasar tradisional, serta menikah dengan warga desa. Dengan

demikian maka ini berarti juga telah masuk pada fase transisi, yang mulai mengenal perkembangan

informasi dan pola hidup masyarakat pada umumnya.

C. Polahi Dalam Kehidupan Sehari-hari

Berdasarkan sumber yang diperoleh Penulis, bahwa dalam kehidupan sehari-hari

komunitas terasing “Polahi” di Gorontalo berbeda dengan kehidupan masyarakat pada umumnya.

Mereka terbagi atas dua kelompok yaitu; kelompok kecil dan kelompok besar10. Dua kelompok

tersebut mempunyai cara bertahan hidup yang berbeda, dimana pada kelompok kecil berkeliaran

kemana-mana dan menggantungkan hidupnya pada hasil alam dalam wilayah yang dia kunjungi,

seperti berburu dan membuka lahan dan mengkonsumsi sagu (Labiya) sebagai bahan makanan

utama bagi mereka. Sementara pada kelompok besar, menetap dalam kurun waktu yang cukup

lama di suatu tempat dan menggantungkan hidupnya pada hasil ladang atau berkebun dengan cara

berpindah-pindah. Aktivitas berburu bagi mereka adalah usaha sampingan ketika mereka ingin

mendapatkan daging untuk dimasak11.

Namun demikian, dalam kehidupan sosial kemasyarakatan, komunitas “Polahi”

menunjukkan pola hidup yang positif yakni; saling menghargai antar sesama, saling tolong

menolong, dan saling menjaga ketika terjadi permasalahan atau gangguan dari pihak luar. Dalam

10 Ibid., hal 5 11 Ibid., hal 5

Page 12: POLAHI DAN PEMILU INDONESIA “Sebuah Urgensi Gagasan ...gorontalo.bawaslu.go.id/upload/Artikel Polahi Revisi Kelima Ok-dikonversi.pdf · perjalanan Pemilihan Umum (Pemilu) telah

12

menguasai ladang untuk menanam, mereka tidak menguasai lahan secara membabi buta dan

individualistik. Selalu saja mereka bercocok tanam secara bersama-sama secara tradisional dan

membagi hasilnya secara adil pula. Dalam konteks ini, salah satu ciri khas komunitas Polahi adalah

hidup berkelompok, diantara mereka saling menjaga jangan sampai terjadi gangguan. Oleh karena

itu, bagi orang baru tidak mudah untuk bertemu langsung dengan Polahi, mereka hanya percaya

dengan orang-orang tertentu yang sudah terbiasa dengan kehidupan mereka. Olehnya bagi

seseorang yang ingin bertemu dengan komunitas Polahi harus melalui perantara dan/atau juru

bicara yang dikenal oleh mereka.

Hal yang menarik dari kehidupan komunitas “Polahi” di Gorontalo adalah pengenalan

mereka terhadap hitungan angka dan nilai mata uang. Mereka baru mengenal hitungan angka dari

angka 1 sampai 10 dengan sebutan 1 (tuweu), 2 (duluo), 3 (totolu), 4 (topato), 5 (limo), 6 (wulomo),

7 (pitu), 8 (walu), 9 (tio), dan 10 (mopulu). Sementara pengenalan mereka terhadap nilai mata uang

hanya Rp. 1.000.-, Rp. 5.000.- Rp. 10.000.-, Rp. 20.000.-, dan Rp. 50.000.-12. Keterbatasan

pemahaman terhadap bahasa dan hitungan nilai mata uang tersebut, menjadikan mereka sangat

canggung berinteraksi dengan masyarakat pada umumnya, misalnya di pasar tradisional atau

ditempat-tempat umum lainnya.

Berdasarkan hasil wawancara Penulis dengan masyarakat desa Bina Jaya kecamatan

Tolangohula, bahwa “Polahi” yang tinggal di pegunungan Boliyohuto sering ditemukan turun ke

pasar tradisional desa Tamiala dan Tamila Utara kecamatan Tolangohula. Mereka mencari/

berbelanja kebutuhan sehari-hari terutama garam dan alat-alat pertanian seperti parang dan

kampak untuk memotong kayu. Namun mereka kesulitan berkomunikasi karena belum mengerti

bahasa Gorontalo pada umumnya, baru sebagian diantara mereka yang mengenal mata uang

sebagai alat tukar dan belum bisa berhitung.

D. Polahi dan Lingkungannya

Kehidupan komunitas Polahi sangat tergantung pada alam/lingkungan hutan dan

pegunungan. Bagi mereka hutan dan gunung telah menyatu dan menjadi satu kesatuan yang tak

dapat dipisahkan dari kehidupan mereka. Hasil wawancara Penulis dengan Farida Kurnai salah

satu warga desa Bina Jaya yang juga sebagai Kepala Urusan Kesejahteraan Pemerintahan Desa

Bina Jaya Kecamatan Tolangohula, mengatakan bahwa pada tahun 2008 komunitas Polahi diajak

12 Ibid.,hal 8

Page 13: POLAHI DAN PEMILU INDONESIA “Sebuah Urgensi Gagasan ...gorontalo.bawaslu.go.id/upload/Artikel Polahi Revisi Kelima Ok-dikonversi.pdf · perjalanan Pemilihan Umum (Pemilu) telah

13

untuk tinggal di desa Bina Jaya, dan oleh pemerintah waktu itu diberikan fasilitas rumah layak

huni (mahayani) sebanyak 9 unit, sertifikat tanah dan KTP. Akan tetapi, mereka hanya bertahan

beberapa waktu saja apalagi ada rekan mereka yang meninggal dunia. Menurut mereka rumah

layak huni ini membawa sial, maka lebih baik kembali dan menyatu dengan alam di hutan daripada

tinggal ditempat yang penuh kesialan” kata mereka.

Selain itu, Polahi tidak bisa tinggal di rumah yang berdinding padat/rapat dan beratapkan

seng karena panas. Menurut mereka lebih baik tinggal di hutan karena dingin dari pada tinggal di

rumah yang panas. Anak-anak mereka juga terbiasa dengan lingkungan hutan sehingga tidak mau

diajak bermain dengan anak-anak pada umumnya. Beberapa diantara anak-anak mereka diajak

oleh masyarakat sekitar di desa Bina Jaya untuk disekolahkan dan/atau diajak jalan-jalan ke kota

Gorontalo untuk melihat tempat-tempat yang ramai, namun mereka tetap tidak mau dan mamilih

bersama orang tuanya ke hutan. Oleh karena itu, mungkin membutuhkan waktu yang lama untuk

bisa merubah kebiasaan hidup Polahi tersebut dari kehidupan yang sangat primitif menjadi maju

dan modern seperti masyarakat pada umumnya.

Berdasarkan pengalaman empirik sebagian masyarakat desa Bina Jaya Kecamatan

Tolangohula yang berprofesi sebagai pencari rotan di hutan, mengatakan bahwa kawasan hutan

dan pegunungan tempat tinggal Polahi tersebut dapat ditempuh dalam waktu sehari semalam

dengan berjalan kaki. Hingga sekarang bentuk rumah mereka dihiasi dengan daun-daunan dari

pohon lontar atau dalam bahasa Gorontalo dikenal dengan nama “lopou dungilo”. Daun lontar

tersebut digunakan sebagai bahan atap dan dinding rumah. Sementara untuk mematangkan

makanan misalnya umbi-umbian atau dari hasil berburu, mereka menggunakan pelepah pohon

enau sebagai bahan bakar. Pelepah pohon enau dibenturkan dan digesekkan dengan piring batu

dapat menghasilkan api untuk mematangkan makanan13.

Namun demikian, banyak warga desa yang ingin mengetahui pengetahuan Polahi

mengenai obat-obatan dari alam, karena pada kenyataanya mereka tidak mengenal puskemas dan

rumah sakit, tidak mengenal obat-obat kimia, mereka melahirkan di hutan dan merawat anak-

anaknya hingga dewasa tanpa bantuan tenaga medis atau dokter, akan tetapi kelihatannya mereka

sehat-sehat saja. Orang yang sudah lanjut usia, masih tetap kelihatan kuat berjalan jauh dan

mendaki gunung, tidak mengenal rasa lelah meskipun sudah tua. Oleh karena itu, banyak yang

13 Ibid.,hal 7

Page 14: POLAHI DAN PEMILU INDONESIA “Sebuah Urgensi Gagasan ...gorontalo.bawaslu.go.id/upload/Artikel Polahi Revisi Kelima Ok-dikonversi.pdf · perjalanan Pemilihan Umum (Pemilu) telah

14

menduga bahwa mereka memiliki pengetahuan mengenai kesehatan yang sumbernya dari alam,

namun belum diketahui oleh masyarakat pada umumnya.

E. Polahi Dalam Pemilu Tahun 2019

Sebagaimana ketentuan Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 Tentang

Pemilihan Umum menyatakan ”Pemilihan Umum yang selanjutnya disebut Pemilu adalah sarana

kedaulatan ratkyat untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat, anggota Dewan Perwakilan

Daerah, Presiden dan Wakil Presiden, dan untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat

Daerah, yang dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil dalam Negara

Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik

Indonesia Tahun 1945.

Selanjutnya, Pasal 198 ayat (1) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 Tentang Pemilihan

Umum menyatakan “Warga Negara Indonesia yang pada hari pemungutan suara sudah genap

berumur 17 (tujuh belas) tahun atau lebih, sudah kawin, atau sudah pernah kawin mempunyai hak

memilih. Berdasarkan ketentuan tersebut, maka sebagai upaya untuk mendorong dan memastikan

warga negara Indonesia yang memenuhi syarat untuk menggunakan hak pilih pada Pemilu Tahun

2019 terutama terhadap komunitas masyarakat terpencil dan/atau terasing, maka Bawaslu Provinsi

Gorontalo melaksanakan kegiatan Sosialisasi Pengawasan Partisipatif pada hari Minggu Tanggal

10 Juni 2018 bertempat di dusun Pilomuluta Desa Bina Jaya Kecamatan Tolangohula Kabupaten

Gorontalo, dengan mengundang 25 (dua puluh lima) orang dari komunitas suku terasing “Polahi”

sebagai peserta sosialisasi melalui juru bicara Sdr. Budin Mole sebagai mantan Kepala Dusun

Pilomuluta Desa Bina Jaya Kecamatan Tolangohula.

Sebagai tindaklanjut dari kegiatan sosialisasi tersebut maka pada bulan September 2019,

Tim Penulis Bawaslu Provinsi Gorontalo kembali mendatangi desa Bina Jaya Kecamatan

Tolangohula, untuk mengetahui partisipsasi komunitas Polahi pada pelaksanaan Pemilihan Umum

Tahun 2019. Berdarkan hasil penelusuran Penulis melalui wawancara dengan Sdr. Jahja

Alijonga, sebagai mantan Ketua Panwaslu Kecamatan Tolangohula bahwa pada Pemilu Tahun

2019, partisipasi Pemilih dari komunitas terasing “Polahi” mengalami peningkatan dibanding

dengan Pemilihan sebelumnya yakni sebanyak 7 (tujuh) orang dari 25 orang yang pernah

mengikuti sosialisasi yang menggunakan hak pilihnya.

Lebih lanjut Jahja Alijonga, menjelaskan bahwa Pemilih dari komunitas Polahi tersebut

menggunakan hak pilihnya di TPS 2 Desa Bina Jaya, dan yang menarik perhatian adalah setelah

Page 15: POLAHI DAN PEMILU INDONESIA “Sebuah Urgensi Gagasan ...gorontalo.bawaslu.go.id/upload/Artikel Polahi Revisi Kelima Ok-dikonversi.pdf · perjalanan Pemilihan Umum (Pemilu) telah

15

selesai proses Pemilihan di TPS tersebut, tidak ditemukan adanya surat suara yang rusak, keliru

dicoblos atau surat suara tidak sah. Hal ini menunjukkan bahwa mereka telah mengetahui

bagaimana cara memilih atau menggunakan hak pilihnya dengan benar di TPS meskipun tidak

didampingi petugas/pendamping. Kesadaran memilih bagi komunitas Polahi sebenarnya sudah

dimulai sejak tahun 2008 yang lalu ketika pemilihan kepala desa. Namun setelah itu, memang

Pemerintah Desa Bina Jaya agak kesulitan dalam menghadirkan mereka, karena prilaku mereka

yang sangat matrealistik, dimana setiap kali diundang oleh pemerintah mereka selalu meminta

uang yang jumlahnya mencapai Rp.100.000,00- (seratus ribu rupiah)/orang, dan apabila tidak

diberikan uang maka mereka tidak akan hadir.

Kebiasaan materialistik tersebut, menjadi tantangan tersendiri dalam penyelenggaraan

Pemilu kaitannya dengan larangan politik uang dengan “tidak terkecuali”, sebagaimana ketentuan

Pasal 523 ayat (3) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 Tentang Pemilihan Umum yang

menyatakan “Setiap orang yang dengan sengaja pada hari pemungutan suara menjanjikan atau

memberikan uang atau materi lainnya kepada Pemilih untuk tidak menggunakan hak pilihnya atau

memilih Peserta Pemilu tertentu dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan

denda paling banyak Rp36.000.000,00 (tiga puluh enam juta rupiah)”. Hal ini menjadi tantangan

tersendiri antara upaya untuk meningkatkan partisipasi pemilih sebagai warga negara yang

memiliki hak pilih dengan larangan politik uang. Olehnya, hal ini harus menjadi perhatian khusus

dalam rangka penyesuaian atau adaptasi penegakkan hukum sebagaimana ketentuan peraturan

perundang-undangan yang berlaku.

F. Sosialisasi Pengawasan Partisipatif Bawaslu Provinsi Gorontalo Terhadap Komunitas

Suku Terasing “Polahi”.

Pada hari Minggu, tanggal 10 Juni 2018, bertempat di dusun Pilomuluta desa Bina Jaya

kecamatan Tolangohula kabupaten Gorontalo, Bawaslu Provinsi Gorontalo melaksanakan

kegiatan Sosialisasi Pengawasan Partisipatif Pada Pemilu Tahun 2019 dengan mengundang 25

orang dari komunitas suku Polahi sebagai peserta sosialisasi melalui juru bicara Sdr. Budin Mole

sebagai mantan Kepala Dusun Pilomuluta Desa Bina Jaya kecamatan Tolangohula, dan anggota

Bawaslu Kabupaten Gorontalo Kordiv Pengawasan/Pencegahan dan Hubungan Antar lembaga

Sdr. Kholik Mootalu. Hadir sebagai narasumber dalam kegiatan tersebut, Ketua dan Anggota

Bawaslu Provinsi Gorontalo; Jaharudin Umar/Kordiv Penindakan Pelanggaran, Rahmad

Mohi/Kordiv Pengawasan/Pencegahan dan Hubungan Antar Lembaga, dan Rauf Ali/Kordiv SDM

Page 16: POLAHI DAN PEMILU INDONESIA “Sebuah Urgensi Gagasan ...gorontalo.bawaslu.go.id/upload/Artikel Polahi Revisi Kelima Ok-dikonversi.pdf · perjalanan Pemilihan Umum (Pemilu) telah

16

dan Organisasi, dan Kasubbag PHL Iswan Maksum bersama staf, serta beberapa stake holder

yaitu; KPU Provinsi Gorontalo, Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil, Camat Tolangohula,

Kementerian Agama Provinsi Gorontalo, Kepolisian Sektor Tolangohula, dan Kepala Desa Bina

Jaya, serta beberapa tokoh masyarakat, tokoh agama, tokoh adat, tokoh perempuan dan tokoh

Pemuda di Kecamatan Tolangohula.

Kegiatan sosialiasi tersebut diawali dengan sambutan Ketua Bawaslu Provinsi Gorontalo

Bpk. Jaharudin Umar, yang pada pokoknya menyampaikan bahwa kegiatan Sosialisasi

Pengawasan Partisipastif yang dilakukan oleh Bawaslu Provinsi Gorontalo dengan mengundang

komunitas Polahi di desa Bina Jaya ini bermula dari informasi yang diperoleh Bawaslu mengenai

suku Polahi yang katanya terasing, sulit ditemui dan tidak memiliki Kartu Identitas Kependudukan

(KTP-Elektronik), yang menjadi syarat bagi setiap warga negara untuk dapat menggunakan hak

pilih pada Pemilu Tahun 2019. Oleh karena itu, sebagai upaya Bawaslu untuk memastikan

keterpenuhan syarat memilih bagi warga negara Indonesia yang berumur 17 tahun atau sudah

pernah menikah, serta dalam rangka mewujdukan data pemilih yang akurat sebagaimana ketentuan

peratuan perundang-undangan, maka pada kegiatan ini Bawaslu Provinsi Gorontalo menggandeng

pemangku kepentingan/stake holder yaitu; KPU Provinsi Gorontalo, Dinas Kependudukan dan

Catatan Sipil, Kementerian Agama Provinsi Gorontalo, Pemerintah Kecamatan Toalngohula dan

Pemerintah Desa Bina Jaya. Kegiatan ini penting, karena sesuai amanat Undang-Undang Nomor

7 Tahun 2017 Tentang Pemilihan Umum, Bawaslu bertugas memastikan penyelenggaraan Pemilu

sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan, dimana salah satu persoalan penting hari ini

adalah kepemilikan KTP-Elektronik bagi warga negara yang telah berumur 17 tahun atau sudah

pernah menikah, dimana hal tersebut menjadi syarat mutlak bagi setiap pemilih untuk dapat

menggunakan hak suaranya di TPS termasuk komunitas Polahi.

Selain itu, sebagaimana panduan dari Bawaslu Republik Indonesia dalam rangka

Pengawasan Partisipatif pada Pemilu Tahun 2019 maka dibentuk forum warga yang bertujuan

untuk menjamin hak dan kewajiban warga negara dalam pelaksanaan Pemilihan Umum, termasuk

komunitas terasing Polahi. Forum warga ini dapat menjadi ajang pemersatu bagi masyarakat dan

diharapkan mampu mengakomodir kepentingan politik warga negara yang khususnya yang

memiliki hak pilih serta untuk mempermudah sosialisasi khas kultural dengan masyarakat yang

dapat melibatkan akademinsi atau pihak lain yang konsen terhadap persoalan Pemilu. Forum

Warga tersebut menjadi simbol Pengawasan Partisipatif yang dilakukan oleh Bawaslu dengan

Page 17: POLAHI DAN PEMILU INDONESIA “Sebuah Urgensi Gagasan ...gorontalo.bawaslu.go.id/upload/Artikel Polahi Revisi Kelima Ok-dikonversi.pdf · perjalanan Pemilihan Umum (Pemilu) telah

17

melibatkan seluruh elemen masyarakat, dan yang lebih penting adalah keberadaan Polahi yang

terdeteksi ada di desa Bina Jaya, desa Tamaila dan Tamaila utara kecamatan Tolangohula ini akan

mampu diarahkan dalam forum warga tersebut.

Kholik Mootalu/Anggota Panwaslu Kabupaten Gorontalo yang juga sebagai juru bicara

menyampaikan kepada Polahi bahwa maksud dan tujuan dari kegiatan ini agar warga masyarakat

dari komunitas Suku Polahi yang juga sebagai rakyat Gorontalo dapat bersama-sama berperan

berpartisipasi pada Pemilihan Umum yakni ikut memilih pada hari rabu tanggal 17 April 2019.

Hal tersebut ditanggapi positif oleh warga Polahi dengan menyatakan bersedia untuk memilih

sesuai jadwal pelaksanaan Pemilu pada hari Rabu tanggal 17 April 2019. Selanjutnya, Kholik

Mootalu juga memberikan kesempatan kepada perwakilan Kemenag Provinsi Gorontalo Bapak

Sabara Karim Ngou, yang menyampaikan bahwa suku Polahi ini tidak ketahui agamanya dan

mereka belum mengenal agama, sehingga pada kesemapatan tersebut Kemenag Provinsi

Gorontalo memandu suku Polahi untuk mengucapkan dua kalimat Syahadat “Asyhadu Alla Ilaha

Ilallah, wa Asyhadu Anna Muhammadarrasulullah” sebanyak 2 kali yang diikuti oleh warga

Polahi. Selanjutnya kesempatan yang sama juga di berikan kepada Camat Tolanguhula, yang

dalam sambutannya menyampaikan terima kasih kepada Bawaslu Gorontalo yang telah

memberikan perhatian serius kepada suku Polahi dalam bentuk kegiatan sosialisasi. Sama halnya

dengan Kepala Desa Bina Jaya dalam sambutannya menyampaikan bahwa dengan adanya Polahi

di Desa Bina Jaya desa ini sering di undang oleh pemerintah Pusat ke Jakarta karena satu-satunya

desa yang memiliki suku terisolir/terasing.

Sebagai upaya untuk mensosialisasikan ketentuan penyelenggaraan Pemilu Tahun 2019

kepada masyarakat termasuk kepada suku terasing Polahi, maka Bawaslu Provinsi Gorontalo juga

menyampaikan beberapa ketentuan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun

2017 Tentang Pemilihan Umum, khususnya Pasal 198 Ayat (1) yang berbunyi “Warga Negara

Indonesia yang pada hari pemungutan suara sudah genap berumur 17 tahun atau lebih, sudah kawin

atau sudah pernah kawin mempunyai hak memilih”; dan ketentuan Pasal 199 yang berbunyi

“Untuk dapat menggunakan hak memilih, warga Negara Indonesia harus terdaftar sebagai pemilih

kecuali yang ditentukan lain dalam undang-undang ini”. Ketentuan tersebut penting untuk

disampaikan kepada masyarakat, sebagai upaya memberi edukasi dan mendorong warga negara

untuk berpartisipasi dalam Pemilu khususnya Polahi sebagai komunitas suku terasing yang masih

sangat awam dengan Pemilu.

Page 18: POLAHI DAN PEMILU INDONESIA “Sebuah Urgensi Gagasan ...gorontalo.bawaslu.go.id/upload/Artikel Polahi Revisi Kelima Ok-dikonversi.pdf · perjalanan Pemilihan Umum (Pemilu) telah

18

Selain itu, Bawaslu Provinsi Gorontalo juga menyampaikan ketentuan-ketentuan

sebagaimana datur dalam Peraturan Bawaslu Nomor 24 Tahun 2018 Tentang Pengawasan

Pemutakhiran Data dan Penyusunan Daftar Pemilih Dalam Pemilihan Umum, Pasal 8 Ayat (1).

Bawaslu Provinsi dan Bawaslu Kabupaten/Kota melakukan pengawasan penyusunan daftar

Pemilih menggunakan hasil analisis DP4 dari Bawaslu dan formulir Model A-KPU; Ayat (2).

Dalam melakukan pengawasan penyusunan daftar Pemilih sebagaimana dimaksud pada Ayat (1).

Bawaslu Kabupaten/Kota memastikan penyusunan daftar Pemilih dilakukan dengan membagi

Pemilih untuk tiap TPS paling banyak 300 (tiga ratus) orang dengan memperhatikan; (a). tidak

menggabungkan kelurahan/desa atau sebutan lain; (b). memudahkan Pemilih; (c). hal berkenaan

dengan aspek geografis; dan (d). jarak dan waktu tempuh menuju TPS dengan memerhatikan

tenggang waktu pemungutan suara. Ayat (3). Dalam hal ditemukan penyusunan daftar Pemilih di

TPS tidak sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) Bawaslu

Kabupaten/Kota menyampaikan rekomendasi perbaikan; Ayat (4) Bawaslu Kabupaten/Kota

memastikan penyampaian daftar Pemilih kepada Pantarlih melalui PPK dan PPS dalam bentuk

hardcopy dan softcopy.

3. Kesimpulan

a. Polahi adalah kelompok suku Gorontalo yang terasing dan tinggal di daerah pegunungan dan

hutan sejak zaman penjajahan kolonial Belanda di Gorontalo. Menurut Hasanudin,

komunitas Polahi adalah mereka yang melarikan diri ke hutan dan pegunungan yang

disebabkan oleh karena mereka tidak ingin disiksa dan menjadi korban para penjajah

Belanda dan kaki tangannya penjajah pada pendudukan Jepang serta para residivis.

Kelompok Polahi adalah bukti pembangkangan rakyat atas tindakan para penjajah, dan para

pemimpin yang berselingkuh dengan pihak kolonial. Mereka melarikan diri ke-hutan dan

pegunungan yakni gunung Tilongkabila dan Boliyohuto, karena mereka juga menolak untuk

membayar upeti dan memberikan hasil alam pada pihak kolonial;

b. Jumlah Polahi di Gorontalo tidak diketahui secara pasti. Menurut Budin Mole bahwa jumlah

Polahi yang tinggal di pegunungan Boliyohuto Kabupaten Gorontalo tidak dapat dipastikan,

namun berdasarkan pengalaman empirik yang pernah ditemukan oleh warga desa Bina Jaya

yang mencari rotan di hutan, bahwa komunitas Polahi tersebut terbagi dalam beberapa

kelompok, dan kelompok yang paling jauh berada di dekat perbatasan Provinsi Gorontalo

dengan Provinsi Sulawesi Tengah yakni Kabupaten Parigi Moutong, sebagian diantara

Page 19: POLAHI DAN PEMILU INDONESIA “Sebuah Urgensi Gagasan ...gorontalo.bawaslu.go.id/upload/Artikel Polahi Revisi Kelima Ok-dikonversi.pdf · perjalanan Pemilihan Umum (Pemilu) telah

19

mereka sudah menggunakan pakaian dari kain dan bisa ditemui/ komunikasi, namun

sebagian masih menggunakan daun-daunan sebagai penutup badan serta tidak mau bertemu

dengan masyarakat pada umumnya. Selanjutnya, Syamsi Pomalingo mengatakan bahwa,

Polahi diklasifikasikan dalam sebutan kelompok 11, kelompok 20, kelompok 50, dll.

Klasifikasi tersebut didasarkan pada jumlah anggota keluarga atau kelompok mereka. Saat

ini, masih ada ratusan polahi yang ada pada kelompok 50, dimana mereka adalah kelompok

yang masih sangat primitif. Belum ada satu peneliti atau instansi negara yang mampu untuk

menemui mereka, oleh karena mereka masih memegang teguh prinsip dasar manusia Polahi

sebagaimana buyut-buyut mereka;

c. Perhatian pemerintah terhadap komunitas Polahi sudah pernah ada. Menurut Farida Kurnai

sebagai Kepala Urusan Kesejahteraan Pemerintahan Desa Bina Jaya Kecamatan

Tolangohula, bahwa pada tahun 2008 komunitas Polahi diajak untuk tinggal di desa Bina

Jaya, dan oleh pemerintah waktu itu diberikan fasilitas rumah layak huni (mahayani)

sebanyak 9 unit, sertifikat tanah dan KTP. Akan tetapi, mereka hanya bertahan beberapa

waktu saja karena ada rekan mereka yang meninggal dunia. Menurut mereka rumah layak

huni ini membawa sial, olehnya lebih baik kembali dan menyatu dengan alam di hutan

daripada tinggal ditempat yang penuh kesialan”;

d. Sebagai upaya untuk mewujudkan keadilan Pemilu dengan memastikan keterpenuhan syarat

memilih bagi warga negara Indonesia yang memiliki hak pilih khususunya komunitas suku

terasing “Polahi” di Gorontalo, sebagaimana ketentuan Undang-Undang Nomor 7 Tahun

2017 Tentang Pemilihan Umum, Pasal 198 Ayat (1) yang menyatakan “Warga Negara

Indonesia yang pada hari pemungutan suara sudah genap berumur 17 tahun atau lebih, sudah

kawin atau sudah pernah kawin mempunyai hak memilih”, maka Bawaslu Provinsi

Gorontalo telah melaksanakan kegiatan Sosialisasi Pengawasan Partisipatif di desa Bina

Jaya kecamatan Tolangohula dengan menghadirkan 25 orang komunitas suku terasing

Polahi sebagai peserta sosialisasi. Dalam kegiatan tersebut juga dibahas pembentukan Forum

Warga, sebagai upaya untuk mengakomodir pemenuhan hak dan kewajiban warga negara

dalam Pemilu Tahun 2019;

e. Partisipasi Polahi pada Pemilu Tahun 2019 mengalami peningkatan, yakni sebanyak 7 orang

yang memilih di TPS 2 desa Bina Jaya Kecamatan Tolangohula. Namun demikian, menurut

Jahja Alijonga terdapat tantangan tersendiri dalam upaya peningkatan partisipasi pemilih

Page 20: POLAHI DAN PEMILU INDONESIA “Sebuah Urgensi Gagasan ...gorontalo.bawaslu.go.id/upload/Artikel Polahi Revisi Kelima Ok-dikonversi.pdf · perjalanan Pemilihan Umum (Pemilu) telah

20

Polahi dengan pencegahan dan penanganan politik uang sebagaimana ketentuan Pasal 523

ayat (3) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 Tentang Pemilihan Umum yang menyatakan

“Setiap orang yang dengan sengaja pada hari pemungutan suara menjanjikan atau

memberikan uang atau materi lainnya kepada Pemilih untuk tidak menggunakan hak

pilihnya atau memilih Peserta Pemilu tertentu dipidana dengan pidana penjara paling lama

3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp36.000.000,00 (tiga puluh enam juta rupiah)”.

Permasalahannya adalah komunitas Polahi apabila diundang harus diberikan uang, jika tidak

diberikan uang maka mereka tidak mau hadir. Terkait dengan hal ini maka diperlukan

perhatian khusus dalam rangka penyesuaian atau adaptasi terhadap ketentuan peraturan

perundang-undangan yang berlaku.

4. Saran

a. Oleh karena partisipasi Polahi di Gorontalo dalam pelaksanaan Pemilu dan Pilkada masih

sangat rendah, yang disebabkan mereka masih tinggal di hutan dan pegunungan, maka

diperlukan perhatian khusus dari semua pihak baik Pemerintah/Pemerintah Daerah

maupun Penyelenggara Pemilu agar keterjangkauan pelayanan dalam rangka peningkatan

partisipasi pemilih kedepan dapat ditingkatkan;

b. Untuk memenegakkan keadilan Pemilu bagi seluruh warga Negara Indonesia khususnya

terhadap komunitas suku terasing Polahi di Gorontalo sesuai amanat konstitusi UUD

Tahun 1945, ketentuan peraturan perundang-undangan Pemilu, dan Motto Bawaslu

“Bersama Rakyat Awasi Pemilu Bersama Bawaslu Tegakkan Keadilan Pemilu”, maka

diperlukan adanya sosialisasi dan pendidikan khusus bagi pemilih Polahi sesuai ketentuan

peraturan perundang-undangan.

c. Terkait dengan pencegahan dan penanganan politik uang dalam Pemilu dan Pilkada,

sebagaimana ketentuan peraturan perundang-undangan, maka terhadap komunitas Polahi

di Gorontalo yang cenderung materialistik, dimana apabila diundang harus diberikan uang,

maka harus ada perlakuan khusus dalam rangka peningkatan pemahaman dan penyesuaian/

adaptasi terhadap norma hukum yang berlaku.

Page 21: POLAHI DAN PEMILU INDONESIA “Sebuah Urgensi Gagasan ...gorontalo.bawaslu.go.id/upload/Artikel Polahi Revisi Kelima Ok-dikonversi.pdf · perjalanan Pemilihan Umum (Pemilu) telah

21

Daftar Pustaka

a. Buku:

Niode, Alim. 2007 “Gorontalo Perubahan Nilai-nilai Budaya dan Pranata Sosial” Jakarta : PT

Pustaka Indonesia Press;

Budiman, Hikmat. 2009 “Hak Minoritas , Ethos, Demos dan batas-batas

Multikulturalisme”The Interaksi Fondation : Jakarta Selatan.

Gatara dan Said. 2002 “Sosiologi Politik, konsep dan Dinamika Perkembangan Kajian”,

Bandung; Pustaka setia;

Wantu, Satro, dkk. 2012 “Dinamika Elit Politik Lokal Gorontalo, Transformasi Demokrasi

Lokal”, Jakarta; Pustaka Indonesia Press dan Fisip Universitas Ichsan Gorontalo;

Wirutmo, Paulus dan dkk. 2005 “Desentralisasi dan Otonomi Daerah”, Jakarta ; Yayasan Obor

Indonesia dan LIPI Press.

b. Internet :

Masyarakat Adat, Pemilu dan Demokrasi Lokal, https://rumahpemilu.org/masyarakat-adat-

pemilu-dan-demokrasi-lokal/ diakses 23/9/2019.

c. Jurnal :

Pomalingo, Syamsi. 2015 “Polahi, Komunitas pedalaman suku Gorontalo” ,

repository.ung.ac.id . Jurnal Dinamika Sosial dan Budaya.

Madjowa, Feriyanto, dan Samsi Pomalingo, “Kearifan Lokal Masyarakat Polahi Gorontalo“

Kearifan Lokal Masyarakat Polahi Gorontalo, Jurnal Polahi, https://www.academia.edu/

5564476/Jurnal_Polahi