plika vocalis
DESCRIPTION
nb vcxzxdsfgTRANSCRIPT
PEMBAHASAN
1. PLIKA VOCALIS
Plika vokalis adalah dua pita elastis jaringan otot yang berada pada laring
yang secara langsung berada diatas trakea. Kedua sisinya berdekatan dengan
Adam’s apple. Plika vokalis menghasilkan suara ketika udara dari paru-paru
dilepaskan dan terjadi penutupan dari plika vokalis, menyebabkan plika vokalis
mengalami vibrasi. Apabila seseorang tidak sedang berbicara, plika vokalis
terbuka agar terjadi proses pernafasan
Paralisis plika vokalis berarti bahwa plika vokalis terpaku di tempatnya
pada posisi tertentu atau terjadi gangguan apabila satu atau dua plika vokalis tidak
terbuka atau tertutup karena impuls saraf dari otak ke laring terputus sehingga
tidak terjadi pergerakan otot. Paralisis plika vokalis dapat terjadi pada semua
umur, dan gejalanya dari yang ringan sampai mengancam jiwa.
Paralisis plika vokalis unilateral atau bilateral terjadi sekitar 10% dari
semua kelainan kongenital pada laring. Paralisis plika vokalis unilateral biasanya
tidak terdiagnosa pada beberapa bayi, karena berfungsinya kembali laring
sehingga jarang dilaporkan. Cedera dapat berada pada sepanjang penghantaran
saraf mulai dari nukleus ambigus pada batang otak ke neuromuscular junction di
laring, termasuk nervus vagus dan serat rekuren. Oleh karena itu, setiap kasus
harus didiagnosis hati-hati untuk mengetahui letak lesi dan menentukan terapi.
2. ANATOMI DAN FISIOLOGI
Anatomi
Laring merupakan bagian yang terbawah dari saluran nafas bagian atas.
Bentuknya menyerupai limas segitiga terpancung, dengan bagian atas lebih besar
dari bagian bawah. Batas atas laring adalah aditus laring dan batas bawahnya
adalah kartilago krikoid.
Bangunan kerangka laring tersusun dari satu tulang, yaitu tulang hioid dan
beberapa buah tulang rawan. Tulang hioid berbentuk seperti huruf U, yang
permukaan atasnya dihubungkan dengan lidah, mandibula, dan tengkorak. Tulang
rawan yang menyusun laring adalah kartilago epiglotis, kartilago krikoid,
kartilago aritenoid, kartilago kornikulata, kartilago kuneiforme, dan kartilago
tiroid. Kartilago tiroid dihubungkan dengan kartilago krikoid oleh ligamentum
krikotiroid. Bentuk kartilago krikoid berupa lingkaran yang membentuk susunan
laring adalah ligamentum seratokrikoid (anterior, lateral, posterior), ligamentum
krikotiroid medial, ligamentum krikotiroid posterior, ligamentum
kornikulofaringeal, ligamentum hiotiroid lateral, ligamentum hioepiglotik,
ligamentum ventrikularis, ligamentum vokale yang menghubungkan kartilago
aritenoid dak kartilago tiroid, dan ligamentum tiroepiglotika.
Batas atas rongga laring adalah aditus laring, batas bawahnya adalah
bidang yang melalui pinggir bawah kartilago krikoid. Batas depannya adalah
permukaan belakang epiglotis, tuberkulum epiglotik, ligamentum tiroepiglotik,
sudut antara kedua belah lamina kartilago tiroid dan arkus kartilago krikoid. Batas
lateralnya adalah membran kuadrangularis, kartilago aritenoid, konus elastikus,
dan arkus kartilago krikoid, sedangkan batas belakangnya adalah aritenoid
transversus dan lamina kartilago krikoid. Dengan adanya lipatan muksa dari
ligamentum vokale dan ligamentum ventrikulare, maka terbentuklah plika vokalis
dan plika ventrikularis. Bidang antara plika vokalis kiri dan kanan disebut rima
glotis, sedangkan antara kedua plika ventrikularis disebut rima vestibuli. Plika
vokalis dan plika ventrikularis membagi rongga laring dalam tiga bagian, yaitu
vestibulum laring, glotik, dan subglotik.
Rima glotis terdiri dari dua bagian, yaitu :
1. Bagian intermembran
Bagian intermembran adalah ruang antara kedua plika vokalis dan terletak
dibagian anterior
2. Bagian interkartilago
Bagian interkartilago terletak antara kedua puncak kartilago aritenoid, dan
terletak dibagian posterior.
a. laring normal saat inspirasi
b. Laring normal saat fonasi
Hirano pada tahun 1974 mendemonstrasikan anatomi laring dan membagi
plika vokalis menjadi beberapa lapisan. Lapisan paling luar atau lapisan
mukosa mengandung epitel squamous pseudostratified superior dan inferior
pada lapisan kontak pita. Lapisan kontak merupakan epitel squamous
nonkeratinisasi. Jaringan superfisial mengandung tiga lapisan lamina propria
diatas otot tiroaritenoid. Lapisan superfisial lamina propria, Reinke’s space,
mengandung sedikit fibroblas dan mempunyai serat kolagen dan elastin.
Lapisan intermediate diisi dengan serat elastin utama dan fibroblas dalam
jumlah sedang, kesemuanya membentuk ligamentum vokale. Jumlah
fibroblas adalah penting karena fibroblas sangat responsibel terhadap
pembentukan skar selama manipulasi bedah. Lapisan terdalam dibentuk oleh
serat kolagen membentuk ligamentum vokale. Lapisan superfisial dan
epitelial diperlukan untuk vibrasi plika vokalis.8
Persarafan
Laring dipersarafi oleh cabang-cabang nervus vagus, saraf ini merupakan
campuran saraf motorik dan sensorik. Pergerakan plika vokalis terjadi karena
koordinasi kontraksi dari berbagai macam otot yang dikontrol oleh otak melalui
hantaran sinyal pada saraf laring. Persarafan laring adalah :
1. Nervus laringeus superior
Nervus laringeus superior berlokasi diantara kartilago tiroid dan
krikoid. Nervus laringeus superior meninggalkan trunkus vagalis tepat
dibawah ganglion nodosum, melengkung ke anterior dan medial dibawah
arteri karotis eksterna dan interna. Saraf ini mula-mula terletak diatas
muskulus konstriktor faring medial, di sebelah medial a.karotis interna dan
eksterna, kemudian menuju ke kornu mayor tulang hioid, dan setelah
menerima hubungan dari ganglion servikal superior, dan bercabang dua
menjadi suatu cabang sensorik interna dan cabang motorik eksterna. Cabang
interna tertutup oleh m. tirohioid terletak disebelah medial a.tiroid superior
menembus membran tirohioid dan bersama-sama dengan a.laringeus superior
menuju ke mukosa laring, mengurus persarafan sensorik valekula, epiglotis,
sinus piriformis, dan seluruh mukosa laring superior interna tepi bebas plika
vokalis sejati. Cabang eksterna berjalan pada permukaan luar m.konstriktor
faring inferior dan menuju ke m.krikotiroideus, merupakan suplai motorik
untuk m.krikotiroideus.
Persarafan Laring : Tampak persarafan nervus laringeus rekuren kiri
lebih panjang sampai ke aorta sedangkan yang kanan sampai a.subklavia
2. Nervus laringeus rekuren
Nervus laringeus rekuren bertugas untuk membuka plika vokalis
(seperti bernafas, dan batuk), penutupan plika vokalis untuk menggetarkan
plika vokalis selama suara digunakan, dan penutupan plika vokalis selama
menelan. Nervus laringeus rekuren berjalan kedalam kavum thoraks dan
berputar kembali kebelakang sampai keleher dan mencapai laring, mengurus
persarafan motorik semua otot intrinsik laring. Karena saraf ini relatif panjang
sampai pada laring, maka mempunyai resiko besar untuk mengalami cedera.
Oleh karena itu nervus laringeus rekuren adalah kasus utama pada paralisis
plika vokalis.
Otot-otot laring
Otot-otot laring dapat dibagi dalam dua kelompok, yaitu :
1. Otot-otot ekstrinsik
Otot-otot ini terutama bekerja pada laring secara keseluruhan,. Otot ekstrinsik
dapat dibagi menurut fungsinya :
a. Otot depresor atau otot-otot leher
m.omohioideus, m.sternotiroideus, m.sternohioideus yang berasal dari
bagian inferior.
b. Otot-otot elevator
m.milohioideus, m.geniohioideus, m.genioglosus, m.hioglosus,
m.digastrikus, dan m.stilohioideus
2. Otot-otot intrinsik
Otot intrinsik menyebabkan gerakan antara berbagai struktur laring sendiri
laring sehingga paling baik dimengerti dengan mengaitkan fungsinya.
Untuk laringeal inlet
a. Membuka laringeal inlet
- m.tiroepiglotik
b. Menutup laringeal inlet
- m. Interaritenoid
Untuk plika vokalis
a. Abduktor
- Otot-otot krikoaritenoideus posterior meluas dari permukaan posterior
lamina krikoidea untuk berinsersi kedalam prosesus muskularis
aritenoidea, otot ini menyebabkan rotasi aritenoid kearah luar dan
mengabduksi plika vokalis
b. Adduktor
- Serat-serat otot interariteniodeus transversus dan oblikus meluas
diantara kedua kartilago aritenoidea, bila berkontraksi, kartilago
aritenoidea akan bergeser kearah garis tengah, mengaduksi plika vokalis.
- Otot krikoaritenoideus lateralis merupakan antagonis utama otot
krikoaritenoideus posterior, berorigo pada arkus krikoidea lateralis,
insersinya juga pada prosesus muskularis dan menyebabkan rotasi
aritenoid ke medial menimbulkan adduksi
c. Tensor
- Otot vokalis dan otot tiroaritenoideus, membentuk tonjolan plika
vokalis, kedua otot ini ikut berperan dalam membentuk tegangan plika
vokalis
- Otot krikotiroideus, yaitu otot yang berbentuk kipas berasal dari arkus
krikoidea disebelah anterior berinsersi pada permukaan lateral ala tiroid
yang luas.
Kontraksi otot ini menarik kartilago tiroid kedepan, meregang, dan
menegangkan plika vokalis. Kontraksi ini secara pasif juga memutar aritenoid ke
medial, sehingga otot ini juga dianggap sebagai otot adduktor
Otot-tot laring : a. M.krikotiroideus, b. Otot laring tampak lateral
Otot otot laring dari belakang : tampak m.aritenoideus transversus dan oblikus,
dan m.krikoaritenoideus posterior .Aksi dari otot-otot laring
Secara umum terdapat lima posisi dari plika vokalis sesuai derajat dari
ostium laringis yaitu median, paramedian, intermedia, sedikit abduksi, dan
abduksi penuh. Jika paralisis terjadi bilateral. Maka pengamat pertama-tama harus
mengamati posisi garis tengah sebenarnya dan kemudian menghubungkannya
dengan posisi plika vokalis.
Fisiologi laring
Laring berfungsi untuk proteksi, batuk, respirasi, sirkulasi, menelan, emosi serta
fonasi.
1. Fungsi laring uintuk proteksi adalah untuk mencegah makanan dan benda
asing masuk kedalam trakea, dengan jalan nafas menutup aditus laring adalah
karena pengangkatan laring keatas akibat kontraksi otot-otot ekstrinsik laring.
Dalam hal ini kartilago aritenoid bergerak kedepan akibat kontraksi
m.tiroaritenoid dan m.aritenoid. selanjutnya m.ariepiglotika berfungsi sebagai
sfingter. Penutupan rima glotis terjadi karena adduksi plika. Kartilago
aritenoiod kiri dan kanan mendekat karena adduksi otot-otot intrinsik.
2. Selain itu dengan refleks batuk, benda asing yang telah masuk kedalam trakea
dapat dibatukkan keluar. Demikian juga dengan bantuan batuk, sekret yang
berasal dari paru dapat dikeluarkan.
3. Fungsi respirasi dan laring adalah dengan mengatur besar kecilnya rima
glotis. Bila m.krikoaritenoid posterior berkontraksi akan menyebabkan
prosesus vokalis kartilago aritenoid bergerak kelateral, sehingga rima glotis
terbuka.
4. Dengan terjadinya perubahan tekanan udara di dalam traktus trakeo-bronkial
akan dapat mempengaruhi sirkulasi darah dari alveolus, sehingga
mempengaruhi sirkulasi darah tubuh. Dengan demikian laring berfungsi juga
sebagai alat pengatur sirkulasi darah.
5. Fungsi laring dalam membantu proses menelan adalah dengan 3 mekanisme,
yaitu gerakan laring bagian bawah ke atas, menutup aditus laringeus dan
mendorong bolus makanan turun ke hipofaring dan tidak mungkin masuk
kedalam laring.
6. Laring juga mempunyai fungsi untuk mengekspresikan emosi, seperti
berteriak, mengeluh, menangis dan lain-lain.
7. Fungsi laring yang lain adalah untuk fonasi, dengan membuat suara serta
menentukan tinggi rendahnya nada. Tinggi rendahnya nada diatur oleh
peregangan plika vokalis. Bila plika vokalis dalam adduksi, maka
m.krikotiroid akan merotasikan kartilago tiroid kebawah dan kedepan,
menjauhi kartilago aritenoid. Pada saat yang bersamaan m.krikoaritenoid
posterior akan menahan atau menarik kartilago aritenoiod kebelakang. Plika
vokalis ini dalam keadaan yang efektif untuk berkontraksi. Sebaliknya
kontraksi m. krikoaritenoid akan mendorong kartilago aritenoid kedepan,
sehingga plika vokalis akan mengendur. Kontraksi serta mengendornya plika
vokalis akan menentukan tinggi rendahnya nada
C. ETIOLOGI
Penyebab dari paralisis plika vokalis adalah sebagai berikut :
1. Cedera pada plika vokalis selama prosedur bedah
Pembedahan pada daerah dekat leher atau di atas dada dapat menimbulkan
kerusakan pada saraf-saraf yang menghantarkan impuls ke voice box.
Pembedahan yang dapat membawa resiko kerusakan adalah operasi tiroid,
esofagus, leher, dan dada
2. Cedera pada daerah leher dan dada
Trauma pada daerah leher dan dada dapat menyebabkan perlukaan saraf
yang melayani plika vokalis
3. Stroke
Stroke dapat menyebabkan putusnya aliran darah ke otak dan dapat
menimbulkan kerusakan pada bagian otak yang mengirim impuls ke laring
4. Tumor
Tumor baik kanker maupun nonkanker dapat tumbuh disekitar otot dan
kartílago plika vokalis sehingga menimbulkan paralisis
5. Inflamasi dan infeksi
Beberapa infeksi virus dapat menyebabkan paralisis, collagen vascular
disease, lyme disease, mononucleosis, sarcoidosis
6. Kondisi neurologik
Parkinson’s disease, Multiple sklerosis, Arnold-Chiari malformation yang
dikarakteristikkan dengan herniasi cerebellum dan kinking dari medulla
oblongata kedalam foramen magnum
7. Trauma lahir
Trauma lahir dapat menimbulkan cedera di intrakranial, leher, dan dada
yang merupakan perjalanan dari saraf yang melayani plika vokalis
8. Obat-obatan
Vinkristin dan fenitoin dilaporkan dapat menyebabkan paralisis plika
vokalis
9. Kasus metabolik dan toksik
Diabetes mellitus dapat menimbulkan neuropati diabetik, pajanan logam
berat (arsen, merkuri)
10. Anomali kardiovaskuler
Ventricular septal defect, Tetralogy of fallot, abnormalitas vena besar,
Patent ductus arteriosus
11. Komplikasi pemasangan intubasi
D. PATOFISIOLOGI
Nervus laringeus rekuren responsibel untuk adduksi dan abduksi plika
vokalis. Nervus laringeus rekuren berasal dari nervus vagus, dimana berasal
dari batang otak (nukleus ambigus pada medulla) dan berjalan sepanjang
carotid sheath. Nervus laringeus rekuren kiri berjalan sampai ke aorta
sedangkan yang kanan sampai pada arteri subklavia.
Tiap lesi sepanjang perjalanan nervus vagus dapat menimbulkan
paralisis plika vokalis. Bila terjadi paralisis nervus laringeus rekurens maka
plika vokalis berada pada posisi adduksi dekat garis tengah. Suara dengan
pernafasan yang berbunyi karena rima glotis tidak dapat menutup rapat
( stridor inspiratoar). Lebih dekat plika vokalis yang paralisis ke garis tengah
maka suara lebih mendekati normal. Kebanyakan pasien paralisis plika
vokalis unilateral asimptomatik.
Paralisis plika vokalis harus dianggap suatu gejala, yang
menggambarkan penyakit sepanjang perjalanan nervus laringeus rekuren.
E. KLASIFIKASI
1. Paralisis nervus laringeus rekuren
Semua otot-otot intrinsik laring mengalami paralisis, tergantung pada sisi
yang terkena kecuali otot krikotiroid. Otot krikotiroid mendapat suplai dari
serat ekstrinsik dari nervus laringeus superior sehingga terjadi paralisis
plika vokalis dengan ketegangan plika vokalis yang masih baik. Posisi
plika vokalis adalah paramedian. Pada paralisis adduktor inkomplit, otot
abduktor tunggal (otot krikoaritenoid posterior) berfungsi predominan.
Terdapat bentuk paralisis unilateral atau bilateral
a. Paralisis unilateral
Paralisis plika vokalis unilateral terjadi karena adanya disfungsi
inervasi nervus laringeus rekuren. Terjadi karena ketidakmampuan
salah satu plika vokalis untuk adduksi ataupun abduksi. Hal ini
umumnya menyebabkan suara serak neurogenik.
Paralisis plika vokalis unilateral lebih sering pada bagian kiri
daripada bagian kanan. Hal ini disebabkan karena perjalanan nervus
laringeus rekuren pada sisi kiri lebih panjang, yaitu sampai pada aorta
sedangkan yang kanan hanya sampai pada arteri subklavia.
Kebanyakan anak dengan paralisis plika vokalis unilateral mempunyai
jalan nafas yang adekuat. Pada awalnya mungkin menunjukkan
aspirasi minimal atau suara yang lemah, tetapi kebanyakan mengalami
kompensasi dan jarang yang memerlukan tindakan intervensi jalan
nafas. Paralisis plika vokalis pada anak memiliki ciri tambahan, karena
ukuran glotis yang kecil, maka paralisis unilateral dapat
membahayakan jalan nafas sehingga secara klinis menimbulkan
stridor. Pada anak-anak perbedaan antara kongenital dan dapatan
paralisis plika vokalis harus diperhatikan karena penanganan pada
kedua kasus ini berbeda. Laringomalacia adalah penyebab tersering
anomali kongenital pada laring, dan hal ini harus dibedakan dengan
paralisis plika vokalis dimana juga menimbulkan stridor. Paralisis
plika vokalis adalah penyebab kedua stridor pada anak. Stridor adalah
gejala utama yang muncul pada paralisis plika vokalis pada anak.
Onset paralisis pada anak mulai dari lahir sampai umur 6-8 minggu.
Paralisis unilateral lebih banyak daripada paralisis bilateral.
Banyak pasien kembali mendapat fungsi plika vokalis yang
normal baik karena saraf yang memulih dan dapat menggerakkan plika
vokalis ataupun karena kompensasi plika vokalis satunya, yang
menyeberangi garis tengah untuk menempel dengan polika vokalis
yang lumpuh. Hal ini dimungkinkan apabila posisi plika vokalis yang
lumpuh berada pada paramedian. Sebelum restorasi dilakukan, maka
hal ini dibiarkan selama 6 bulan sampai 12 bulan agar terjadi
kompensasi. Penyembuhan kembali dapat terjadi pada sekitar 20%
pasien dari semua kasus. Secara kilinis, paralisis unilateral dapat
digolongakan :
- Paralisis unilateral midline
Paralisis ini juga paralisis nervus laringeus rekuren
merupakan paralisis dari otot abduktor pada satu sisi. Pada paralisis
ini gejala yang timbul adalah disfonia, tidak ada gangguan
respirasi.
- Paralisis unilateral inkomplit
Terjadi jika semua otot laring sepihak lumpuh kecuali otot
aritenoideus, karena otot ini innervasinya bilateral
b. Paralisis bilateral
Paralisis plika vokalis bilateral menampilkan masalah yang
berbeda dengan unilateral. Karena kedua plika vokalis biasanya dalam
posisi paramedian, maka suara tidak terlalu terpengaruh, akan tetapi
rima glotis tidak cukup lebar untuk kegiatan yang menggerakkan
tenaga. Pasien bahkan mengalami sesak nafas pada waktu istirahat.
Paralisis plika vokalis bilateral berhubungan dengan kegawatdaruratan
jalan nafas. Penyakit-penyakit seperti artritis rheumatoid sehingga
plika vokalis terfiksir karena adanya artritis pada sendi cricoaritenoid
harus dibedakan dengan paralisis plika vokalis bilateral.
- Paralisis bilateral midline
Paralisis dari otot abduktor pada dua sisi. Gejala yang timbul
adalah sesak dengan kemungkinan untuk asfiksia oleh karena
penyempitan dari glotis. Pernafasan stridor cenderung terjadi
selama tidur atau pada saat melakukan aktivitas.
- Paralisis bilateral inkomplit
Semua otot laring lumpuh kecuali otot aritenoideus. Kedudukan
plika vokalis di tengah-tengah antara kedudukan respirasi dalam
dan fonasi
- Paralisis komplit
Semua otot nintrinsik mengalami kelumpuhan sehingga suara
sangat serak dan gangguan respirasi
- Paralisis adduktor
Terjadi karena paralisis otot-otot penutup glotis. Otot-otot penutup
glotis dibagi atas pars intermembranacea dan pars
intercartilagineus. Pada paralisis adduktor komplit Paralisis
adduktor komplit, jika semua otot penutup glotis mengalami
kelumpuhan. Apabila pars intercartilagineus tidak lumpuh, maka
glotis tetap pars intermembranecea tetap terbuka. Apabila hanya
pars cartilagineus yang lumpuh, maka hanya pars kartilagineus
yang terbuka.
2. Paralisis nervus laringeus superior
a. Paralisis unilateral
Cedera pada nervus laringeus superior jarang, biasanya adalah paralisis
kombinasi. Paralisis dari nervus laringeus superior menyebabkan
paralisis otot krikotiroid dan anestesi ipsilateral laring diatas plika
vokalis. Paralisis dari otot krikotiroid sehingga ketegangan plika
vokalis terganggu. Gejala temasuk aspirasi dari makanan dan
minuman, kehilangan volume suara, dan anestesi laring pada satu sisi.
b. Paralisis bilateral
Hal ini adalah kondisi yang jarang terjadi. Kedua otot krikotiroid
mengalami paralisis dengan anestesi pada laring bagian atas. Gejala
klinik berupa anestesi yang menyebabkan inhalasi makanan dan
sekresi faring yang merangsang batuk dan tersedak. Suara menjadi
lemah.
3. Paralisis Kombinasi
a. Paralisis unilateral
Hal ini menyebabkan paralisis pada semua otot laring satu sisi
kecuali otot interaritenoid yang juga menerima persarafan pada sisi
yang berlawanan
b. Paralisis bilateral
Kedua saraf mengalami paralisis pada kedua sisi. Hal ini adalah
kondisi yang jarang terjadi. Juga terjadi total anestesi pada laring
MEKANISME SUARA
Suara merupakan alat komunikasi verbal yang sangat penting dalam
kehidupan sehari-hari, terlebih lagi sangat penting pada bidang-bidang pekerjaan
tertentu seperti guru, penyanyi, penyiar, aktor dan sebagainya. Kelelahan bersuara
(Voice fatigue) merupakan adaptasi negatif pembentukan suara yang timbul pada
orang-orang yang sering menggunakan suara dalam jangka waktu lama tanpa
adanya kelainan patologis pada laring. Kelelahan bersuara biasanya
bermanifestasi sebagai turunnya volume suara dan tinggi nada, rasa nyeri saat
bersuara bahkan dapat terjadi suara serak.
Proses pembentukan suara sendiri dimulai dari adanya tekanan udara yang
adekuat dari dalam paru-paru (kekuatan aerodinamis), kemudian dialirkan melalui
pita suara untuk menggetarkannya (kekuatan mioelastis), di artikulasikan dan
resonansikan di dalam traktus vokalis supraglotis, serta dikoordinasi dan dikontrol
oleh sistem syaraf pusat dan tepi melalui sistem umpan balik. Besarnya tekanan
udara dari dalam paru-paru akan menentukan intensitas suara yang dihasilkan.
Misalnya, bila ingin berteriak maka dibutuhkan tekanan intratorakal yang lebih
besar dibandingkan pada saat berbicara normal.
Beberapa mekanisme fisiologis dan biomekanis yang mungkin berperan
dalam timbulnya kelelahan bersuara, antara lain kelelahan neuromuskuler,
perubahan viskoelastisitas plika vokalis, gangguan aliran darah, regangan non-
neuromuskuler, dan kelelahan otot-otot pernapasan. Kelelahan neuromuskuler
didefinisikan sebagai menurunnya kapasitas regangan otot bila dilakukan
stimulasi berulang. Pada proses pembentukan suara, kelelahan otot-otot intrinsik
dan atau ekstrinsik laring berpotensi untuk mengurangi kapasitas untuk
meregangkan dan menjaga stabilitas plika vokalis.
Bersuara dalam jangka panjang dapat mengubah komposisi cairan di
dalam pita suara, berupa meningkatnya viskositas dan kekakuan (perubahan
viskoelastisitas). Hal ini terjadi karena pada saat bersuara akan terjadi penguapan
cairan dari dalam jaringan akibat peningkatan suhu lokal karena pelepasan energi.
Berkurangnya sirkulasi darah terjadi karena vasokonstriksi pembuluh darah akibat
meningkatnya tekanan intramuskuler selama kontraksi. Pengaruh penurunan
aliran darah terhadap kelelahan bersuara diduga melalui 2 mekanisme, pertama
akibat menurunnya jumlah suplai oksigen dan kalori serta terhambatnya
pembuangan asam laktat yang menimbulkan penurunan kemampuan kontraksi
otot. Kedua, penurunan aliran darah akan berakibat pada menurunnya kemampuan
untuk membuang panas dari plika vokalis. Jika panas ini tetap berada di laring,
maka terjadi peningkatan suhu yang berisiko mengakibatkan kerusakan jaringan
laring.
Penggunaan suara yang berlebihan merupakan faktor yang paling sering
mengakibatkan kelalahan bersuara, sehingga diperlukan kesadaran dari individu
yang bersangkutan terhadap pengaturan penggunaan suaranya sendiri. Beberapa
peneliti menyarankan untuk meminum air pada setiap beberapa saat setelah
berbicara (hydrations precautions), seseorang yang meminum air akan dapat
membaca dengan kualitas suara yang baik dalam waktu yang lebih lama
dibandingkan orang yang tidak diberi minum air. Istirahat bersuara merupakan
salah satu teknik untuk mengistirahatkan organ-organ pembentuk suara. Penyanyi
yang diberi istirahat 1 menit setiap selesai menyanyikan satu lagu, mampu
bernyanyi rata-rata selama 101 menit sedangkan yang tidak diberi istirahat hanya
mampu bernyanyi selama 86 menit.
Kelainan suara yang persisten seringkali diawali dengan kesalahan
penggunaan suara. Walaupun faktor-faktor lain seperti kurangnya minum, adanya
refluks gastroesofageal, peningkatan umur juga dapat mempengaruhi kualitas
suara, namun dari beberapa penelitian, kesalahan penggunaan suara merupakan
faktor utama. Pada tahap awal kesalahan penggunaan suara akan mengakibatkan
timbulnya kelelahan bersuara. Keadaan ini dapat timbul berulang-ulang tanpa
disadari oleh penderitanya sehingga dapat meningkatkan risiko terjadinya
kelainan permanen pada laring. Hal terpenting dalam mengurangi risiko tersebut
adalah dengan mengenali dan mengetahui patofisiologi bagaimana timbulnya
kelelahan bersuara tersebut. Apabila telah dapat mengenali dan mengetahui
kelainan tersebut, maka selanjutnya diharapkan kelainan tersebut dapat dicegah
dan ditangani sesuai dengan patofisiologinya
PROSES FISIOLOGI BICARA
Menurut beberapa ahli komunikasi, bicara adalah kemampuan anak untuk
berkomunikasi dengan bahasa oral (mulut) yang membutuhkan kombinasi yang
serasi dari sistem neuromuskular untuk mengeluarkan fonasi dan artikulasi suara.
Proses bicara melibatkan beberapa sistem dan fungsi tubuh, melibatkan sistem
pernapasan, pusat khusus pengatur bicara di otak dalam korteks serebri, pusat
respirasi di dalam batang otak dan struktur artikulasi, resonansi dari mulut serta
rongga hidung.
Terdapat 2 hal proses terjadinya bicara, yaitu proses sensoris dan motoris.
Aspek sensoris meliputi pendengaran, penglihatan, dan rasa raba berfungsi untuk
memahami apa yang didengar, dilihat dan dirasa. Aspek motorik yaitu mengatur
laring, alat-alat untuk artikulasi, tindakan artikulasi dan laring yang bertanggung
jawab untuk pengeluaran suara.
Pada hemisfer dominan otak atau sistem susunan saraf pusat terdapat
pusat-pusat yang mengatur mekanisme berbahasa yakni dua pusat bahasa reseptif
area 41 dan 42 (area wernick), merupakan pusat persepsi auditori-leksik yaitu
mengurus pengenalan dan pengertian segala sesuatu yang berkaitan dengan
bahasa lisan (verbal). Area 39 broadman adalah pusat persepsi visuo-leksik yang
mengurus pengenalan dan pengertian segala sesuatu yang bersangkutan dengan
bahasa tulis. Sedangkan area Broca adalah pusat bahasa ekspresif. Pusat-pusat
tersebut berhubungan satu sama lain melalui serabut asosiasi.
Saat mendengar pembicaraan maka getaran udara yang ditimbulkan akan
masuk melalui lubang telinga luar kemudian menimbulkan getaran pada membran
timpani. Dari sini rangsangan diteruskan oleh ketiga tulang kecil dalam telinga
tengah ke telinga bagian dalam. Di telinga bagian dalam terdapat reseptor sensoris
untuk pendengaran yang disebut Coclea. Saat gelombang suara mencapai coclea
maka impuls ini diteruskan oleh saraf VIII ke area pendengaran primer di otak
diteruskan ke area wernick. Kemudian jawaban diformulasikan dan disalurkan
dalam bentuk artikulasi, diteruskan ke area motorik di otak yang mengontrol
gerakan bicara. Selanjutnya proses bicara dihasilkan oleh getaran vibrasi dari pita
suara yang dibantu oleh aliran udara dari paru-paru, sedangkan bunyi dibentuk
oleh gerakan bibir, lidah dan palatum (langit-langit). Jadi untuk proses bicara
diperlukan koordinasi sistem saraf motoris dan sensoris dimana organ
pendengaran sangat penting.
PROSES RESEPTIF – PROSES DEKODE
Segera saat rangsangan auditori diterima, formasi retikulum pada batang
otak akan menyusun tonus untuk otak dan menentukan modalitas dan rangsang
mana yang akan diterima otak. Rangsang tersebut ditangkap oleh talamus dan
selanjutnya diteruskan ke area korteks auditori pada girus Heschls, dimana
sebagian besar signal yang diterima oleh girus ini berasal dari sisi telinga yang
berlawanan.
Girus dan area asosiasi auditori akan memilah informasi bermakna yang
masuk. Selanjutnya masukan linguistik yang sudah dikode, dikirim ke lobus
temporal kiri untuk diproses. Sementara masukan paralinguistik berupa intonasi,
tekanan, irama dan kecepatan masuk ke lobus temporal kanan. Analisa linguistik
dilakukan pada area Wernicke di lobus temporal kiri. Girus angular dan
supramarginal membantu proses integrasi informasi visual, auditori dan raba serta
perwakilan linguistik. Proses dekode dimulai dengan dekode fonologi berupa
penerimaan unit suara melalui telinga, dilanjutkan dengan dekode gramatika.
Proses berakhir pada dekode semantik dengan pemahaman konsep atau ide yang
disampaikan lewat pengkodean tersebut.
PROSES EKSPRESIF – PROSES ENCODE
Proses produksi berlokasi pada area yang sama pada otak. Struktur untuk
pesan yang masuk ini diatur pada area Wernicke, pesan diteruskan melalui
fasikulus arkuatum ke area Broca untuk penguraian dan koordinasi verbalisasi
pesan tersebut. Signal kemudian melewati korteks motorik yang mengaktifkan
otot-otot respirasi, fonasi, resonansi dan artikulasi. Ini merupakan proses aktif
pemilihan lambang dan formulasi pesan. Proses enkode dimulai dengan enkode
semantik yang dilanjutkan dengan enkode gramatika dan berakhir pada enkode
fonologi. Keseluruhan proses enkode ini terjadi di otak/pusat pembicara.
Di antara proses dekode dan enkode terdapat proses transmisi, yaitu
pemindahan atau penyampaian kode atau disebut kode bahasa. Transmisi ini
terjadi antara mulut pembicara dan telinga pendengar. Proses decode-encode
diatas disimpulkan sebagai proses komunikasi. Dalam proses perkembangan
bahasa, kemampuan menggunakan bahasa reseptif dan ekspresif harus
berkembang dengan baik.
Tunarungu dan Tunawicara
Menurut Pernamari Somad dan Tati Herawati (1996, hal. 27) menyatakan
bahwa “Tunarungu adalah seseorang yang mengalami kekurangan atau
kehilangan kemampuan mendengar baik sebagian atau seluruhnya yang
diakibatkan karena tidak berfungsinya sebagaian atau seluruh alat pendenganran,
sehingga ia tidak dapat menggunakan alat pendegarannya dalam kehidupan
sehari-hari yang memabawa dampak terhadap kehidupan secara kompleks”.
Sedangkan menurut Sardjono (1997, hal. 7) mengatakan bahwa: “Anak
tunarungu adalah anak yang kehilangan pendengaran sebelum belajar bicara atau
kehilangan pendengaran demikian anak sudah mulai belajar bicara karena suatu
gangguan pendengaran, suara dan bahasa seolah-olah hilang”.
Lebih lanjut, Moories (1991) menjabarkan bahwa, “A deaf person is one’s
hearing disabled to an extend usually 70 dB ISO or greater that precludes the
understanding of speech through the ear alone, with or without the use of hearing
disabled to an extend (usually 35-69 dB ISO) that make difficult but he does the
understanding a speech through the ear alone, without or with a hearing aid.”
Sedangkan sebagian tunawicara adalah mereka yang menderita tuna rungu
sejak bayi/lahir, yang karenanya tidak dapat menangkap pembicaraan orang lain,
sehingga tak mampu mengembangkan kemampuan bicaranya meskipun tak
mengalami ganguan pada alat suaranya.
Jadi, dapat disimpulkan bahwa anak penyandang tunarungu dan
tunawicara adalah anak yang kehilangan kemampuan untuk mendengar baik
sebagaian maupun seluruhnya yang mengakibatkan tidak mampu untuk
menggunakan alat pendengarannya dalam kehidupannya sehari-hari dan juga
tidak mampu mengembangkan kemampuan bicaranya.
Penyebab Tunawicara
Ada beberapa faktor yang bisa menyebabkan tunawicara, diantaranya:
1. Hipertensi
2. Faktor genetik /turunan dari orang tua.
3. Keracunan makanan
4. Tetanus Neonatorum (Penyakit yang menyerang bayi saat baru lahir.
Biasanya disebabkan oleh pertolongan persalinan yang tidak memadai)
5. Difteri (Penyakit infeksi akut pada saluran pernafasan bagian atas)