pikiranrakyat - pustaka.unpad.ac.idpustaka.unpad.ac.id/wp-content/uploads/2010/10/...ke, ditemukan...

2
Pikiran Rakyat o Selasa o Rabu o Kamis Jumat o Sabtu o Minggu 2 3 4 5 6 78 9 10 11 12 13 14 €) 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 OPeb o Mar OApr OMei OJun OJul ·OAgs OSep .Okt ONov ODes Wartawan, Profesi tanpa Perlindunp;a Oleh S. SAHALA TUA SARAGIH ',L- _ P ROFFSI warta- wan di Indone- sia harus lebih terlindungi secara profe- sional, karena tugas me- reka membawa kepen- tingan rakyat dan me- ngemban misi demokra- si. Ketua Dewan Pers, Prof. Dr. Bagir Manan berkata, "Saya ini lama menjadi hakim karier dan merasakan profesi hakim berada di posisi yang tidak menyenang- kan dalam menjalankan .tugasnya. Kini, selama menjadi Ketua Dewan Pers, saya merasakan profesi wartawan dalam menjalankan tugasnya lebih tidak menyenangkan." Dosen Fakultas Hukum Unpad dan mantan Ketua Mahkamah Agung itu mengatakan, di tengah membaiknya in- dustri pers beberapa waktu belakangan ini belum dibarengi dengan terjaminnya . keamanan wartawan dalam menjalan- kan profesinya. "Masih ada wartawan di negeri ini yang tewas terbunuh saat menjalankan tugas jurnalistiknya. Ini ironis. Yang lebih ironis lagi, tewasnya wartawan saat menjalankan tugas jurna- listiknya sama sekali tidak mendapatkan perhatian penuh dari pejabat negara ataupun DPR." (Pikiran Rakyat, 24/9). Pernyataan Bagir Manan ini bertolak belakang dengan situasi dan harapan ki- ta sebelas tahun silam. Tentu masih hi- jau dalam ingatan kita betapa gembira- nya masyarakat, terutama masyarakat pers, ketika Presiden B. J. Habibie dan DPR menerbitkan Undang-Undang No- mor 40/1999 tentang Pers (UU Pers). Rasa sukacita yang meluap-luap ini ber- lanjut ketika Presiden Megawati Soekar- no Putri dan DPR menerbitkan pula Un- dang-undang Nomor 32/2002 tentang Penyiaran (UU Penyiaran). Euforia masyarakat, terlebih-lebih masyarakat pers, tersebut mudah dipa- hami. Sebelumnya, selama hampir 32 tahun rezim Orde Baru di bawah pim- pin an Presiden Soeharto, kebebasan pers sangat dikekang. Tak terhitung jumlah media massa yang diberangus oleh penguasa bertangan besi itu. Pada- hal, waktu itu UU Pers (Nomor 11/1966) sebenarnya melarang sensor karya war- tawan dan pembredelan media massa, sama dengan UU Pers sekarang. Akan tetapi apa yang terjadi setelah 11 tahun UU Pers yang sangat liberal itu di- berlakukan? Industri pers bagaikan ban- jir bah. Tiba-tiba banyak orang yang me- rasa atau sok mampu dan pintar dalam dunia kewartawanan. Bahkan ada yang masih buta huruf nekad menjadi wartawan. Luar biasa. Bila pada zaman Soeharto terkenal ung- kapan "pers bebas dan bertanggung jawab" (maksudnya bertang- gung jawab kepada pe- nguasa alias pemerin- tah), pada era rezim Or- de Reformasi kini terke- nal pula ungkapan "pers bebas dan tidak ber- tanggung jawab". Ung- kapan sinis ini muncul karena banyak orang hanya dengan modal nekat menjadi warta- wan dan/atau pengusaha pers atau me- dia. Atas nama hak asasi manusia dan kebebasan pers, mereka terjun bebas ke dunia yang tampak sangat menggiurkan itu. Celakanya, dunia pers atau warta- wan mereka artikan dan lakoni sebagai pekerjaan atau cari makan belaka. Seba- gian di antaranya menghalalkan segala cara demi tujuan konkret (uang). Warta- wan tidak mereka pahami dan lakoni se- bagai profesi, yang diikat oleh berbagai undang-undang dan kode etik profesi. Lalu apa dampak buruknya? Di mata sebagian orang, terutama para pejabat dan pengusaha yang masih "berdarah" rezim Orba, citra wartawan (pers) dan media semakin lama semakin buruk. Mereka menganggap banyak wartawan yang benar-benar ngawur atau ngaco. Karena penegak hukum (polisi, jaksa, dan hakim) serta Dewan Pers dan Ko- misi Penyiaran Indonesia (KPI) tak ter- andalkan untuk menegakkan hukum (terutama UU Pers dan up Penyiaran), dan Kode Etik Wartawan/Jumalistik, tidak sedikif orang yang main hakim sendiri. Memirut catatan Aliansi Jurna- lis Independen (AJI), pada periode Mei 1999-2009 terjadi 643 kali tindak keke- rasan (main hakim sendiri) terhadap wartawan dan pengusaha media. Pada 1999-2000 terjadi 106 kali, 2001 (95), 2002 (70), 2003 (97), 2004 (27), 2005 (43), 2006 (53), 2007 (75), 2008 (33), dan 2009 (44). Siapa pelakunya? Pada 1999-2005 yang melakukan kekerasan terhadap wartawan danpengusaha media seba- nyak 42,40 persen anggota Polri, apara- tur pemerintah, anggota TNI, anggota DPR dan DPRD, serta jaksa, sedangkan sisanya oleh warga atau massa. Sayang- nya, data AJI itu tak menunjukkan jum- lah wartawan yang dianiaya hingga te- was, yang luka-luka parah hingga cacat permanen, yang luka-luka ringan, yang diteror, yang dirampas alat kerjanya, yang dilecehkan dan dihina (kekerasan

Upload: duongcong

Post on 13-Jun-2019

219 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Pikiran Rakyato Selasa o Rabu o Kamis • Jumat o Sabtu o Minggu

2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 €)18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31

OPeb oMar OApr OMei OJun OJul ·OAgs OSep .Okt ONov ODes

Wartawan,Profesi tanpa Perlindunp;a

Oleh S. SAHALA TUA SARAGIH

',L- _

PROFFSI warta-wan di Indone-sia harus lebih

terlindungi secara profe-sional, karena tugas me-reka membawa kepen-tingan rakyat dan me-ngemban misi demokra-si. Ketua Dewan Pers,Prof. Dr. Bagir Mananberkata, "Saya ini lamamenjadi hakim karierdan merasakan profesihakim berada di posisiyang tidak menyenang-kan dalam menjalankan.tugasnya. Kini, selamamenjadi Ketua DewanPers, saya merasakan profesi wartawandalam menjalankan tugasnya lebih tidakmenyenangkan."

Dosen Fakultas Hukum Unpad danmantan Ketua Mahkamah Agung itumengatakan, di tengah membaiknya in-dustri pers beberapa waktu belakanganini belum dibarengi dengan terjaminnya .keamanan wartawan dalam menjalan-kan profesinya. "Masih ada wartawan dinegeri ini yang tewas terbunuh saatmenjalankan tugas jurnalistiknya. Iniironis. Yang lebih ironis lagi, tewasnyawartawan saat menjalankan tugas jurna-listiknya sama sekali tidak mendapatkanperhatian penuh dari pejabat negaraataupun DPR." (Pikiran Rakyat, 24/9).

Pernyataan Bagir Manan ini bertolakbelakang dengan situasi dan harapan ki-ta sebelas tahun silam. Tentu masih hi-jau dalam ingatan kita betapa gembira-nya masyarakat, terutama masyarakatpers, ketika Presiden B. J. Habibie danDPR menerbitkan Undang-Undang No-mor 40/1999 tentang Pers (UU Pers).Rasa sukacita yang meluap-luap ini ber-lanjut ketika Presiden Megawati Soekar-no Putri dan DPR menerbitkan pula Un-dang-undang Nomor 32/2002 tentangPenyiaran (UU Penyiaran).

Euforia masyarakat, terlebih-lebihmasyarakat pers, tersebut mudah dipa-hami. Sebelumnya, selama hampir 32tahun rezim Orde Baru di bawah pim-pin an Presiden Soeharto, kebebasanpers sangat dikekang. Tak terhitungjumlah media massa yang diberangusoleh penguasa bertangan besi itu. Pada-hal, waktu itu UU Pers (Nomor 11/1966)sebenarnya melarang sensor karya war-tawan dan pembredelan media massa,sama dengan UU Pers sekarang.

Akan tetapi apa yang terjadi setelah 11tahun UU Pers yang sangat liberal itu di-berlakukan? Industri pers bagaikan ban-jir bah. Tiba-tiba banyak orang yang me-rasa atau sok mampu dan pintar dalamdunia kewartawanan. Bahkan ada yang

masih buta huruf nekadmenjadi wartawan. Luarbiasa. Bila pada zamanSoeharto terkenal ung-kapan "pers bebas danbertanggung jawab"(maksudnya bertang-gung jawab kepada pe-nguasa alias pemerin-tah), pada era rezim Or-de Reformasi kini terke-nal pula ungkapan "persbebas dan tidak ber-tanggung jawab". Ung-kapan sinis ini munculkarena banyak oranghanya dengan modalnekat menjadi warta-

wan dan/atau pengusaha pers atau me-dia. Atas nama hak asasi manusia dankebebasan pers, mereka terjun bebas kedunia yang tampak sangat menggiurkanitu. Celakanya, dunia pers atau warta-wan mereka artikan dan lakoni sebagaipekerjaan atau cari makan belaka. Seba-gian di antaranya menghalalkan segalacara demi tujuan konkret (uang). Warta-wan tidak mereka pahami dan lakoni se-bagai profesi, yang diikat oleh berbagaiundang-undang dan kode etik profesi.

Lalu apa dampak buruknya? Di matasebagian orang, terutama para pejabatdan pengusaha yang masih "berdarah"rezim Orba, citra wartawan (pers) danmedia semakin lama semakin buruk.Mereka menganggap banyak wartawanyang benar-benar ngawur atau ngaco.Karena penegak hukum (polisi, jaksa,dan hakim) serta Dewan Pers dan Ko-misi Penyiaran Indonesia (KPI) tak ter-andalkan untuk menegakkan hukum(terutama UU Pers dan up Penyiaran),dan Kode Etik Wartawan/Jumalistik,tidak sedikif orang yang main hakimsendiri. Memirut catatan Aliansi Jurna-lis Independen (AJI), pada periode Mei1999-2009 terjadi 643 kali tindak keke-rasan (main hakim sendiri) terhadapwartawan dan pengusaha media. Pada1999-2000 terjadi 106 kali, 2001 (95),2002 (70), 2003 (97), 2004 (27), 2005(43), 2006 (53), 2007 (75), 2008 (33),dan 2009 (44).

Siapa pelakunya? Pada 1999-2005yang melakukan kekerasan terhadapwartawan danpengusaha media seba-nyak 42,40 persen anggota Polri, apara-tur pemerintah, anggota TNI, anggotaDPR dan DPRD, serta jaksa, sedangkansisanya oleh warga atau massa. Sayang-nya, data AJI itu tak menunjukkan jum-lah wartawan yang dianiaya hingga te-was, yang luka-luka parah hingga cacatpermanen, yang luka-luka ringan, yangditeror, yang dirampas alat kerjanya,yang dilecehkan dan dihina (kekerasan

verbal dan nirverbal), dan yang kantormedianya dirusak secara terang-tera-ngan atau sembunyi-sembunyi.

Baru-baru ini, kita kembali dikejutkandengan dua tragedi dalam duniajurna-lisme. Pada 29 Juli lalu, jenazah Ardian-syah Matrais, wartawan Televisi Merau-ke, ditemukan terapung di Sungai Maro,Merauke, Papua. Korban terbaru, warta-wan (kontributor) TV SUN (kelompokMedia Nusantara Citra) Jakarta, Rid-wan Salamun, juga dianiaya massa hing-ga tewas ketika meliput dua kelompokmasyarakat yang sedang tawuran di Tu-al, Maluku Tenggara. Kita tidak menge-tahui besok lusa siapa lagi wartawanyang menjadi korban tindak kriminalorang-orang yang main hakim sendiri.

Tak perlu lagi dijelaskan di sini fungsiserta peran penting dan besar pers da-lam sebuah negara demokratis. Halyang menjadi pertanyaan pokok seka-rang, siapa seharusnya yang melindungiwartawan sungguhan (bukan wartawan-wartawanan) ketika melaksanakan tu-gas profesional mereka? Perusahaantempat mereka bekerjakah? Dewan Persdan/atau KPI-kah? Polri-kah? Pemerin-tahkah? Memang betul, pasal8 UU Persmenegaskan bahwa dalam melaksana-kan profesinya wartawan mendapat per-lindungan hukum. Hukum atau un-dang-undang man a yang melindungiwartawan? Undang-Undang Pers takmenjelaskannya. Juga dalam pasal 18(ayat 1) UU Pers memang dinyatakanbahwa setiap orang yang menghambatpelaksanaan kegiatan jurnalistik dipida-na dengan pidana penjara paling lamadua tahun atau denda paling banyak Rp500 juta. "Untung" -nya, isi pasal ini takpernah dilaksanakan.

Ketika merayakan Hari Pers Nasionaldi Palembang pada 9 Februari lalu, atasprakarsa Dewan Pers, sebanyak delapanbelas pernimpin puncak perusahaanpers menandatangi (meratifikasi) Pia-gam Palembang tentang KesepakatanPerusahaan Pers Nasional. Butir satu (1)piagam itu berbunyi, "Kami menyetujuidan sepakat, bersedia melaksanakan se-penuhnya Kode Etik Jurnalistik, Stan-dar Perusahaan Pers, Standar Perlin-dungan Profesi Wartawan, dan StandarKompetensi Wartawan, serta akan me-nerapkannya sebagai bagian yang tidakterpisahkan dari ketentuan-ketentuanyang beraku di perusahaan kami."

Memang pada 28 April 2008 DewanPers mengeluarkan peraturan bagusten tang Standar Perlindungan ProfesiWartawan. Dalam peraturan itu dinya-takan bahwa wartawan adalah pilar uta-ma kemerdekaan pers. Oleh karena itu,dalam menjalankan tugas profesinya,wartawan mutlak mendapat perlindung-an hukum dari negara, masyarakat, danperusahaan pers. Untuk itu Standar Per-lindungan Profesi Wartawan ini dibuatsebagai berikut:

Pertama, perlindungan yang diaturdalam standar ini adalah perlindunganhukum untuk wartawan yang menaatiKode Etik Jurnalistik dalam melaksana-kan tugas jurnalistiknya memenuhi hakmasyarakat memeroleh informasi.

Kedua, dalam melaksanakan tugasjurnalistik, wartawan memeroleh perlin-dungan hukum dari negara, masyarakat,dan perusahaan pers.

Ketiga, dalam menjalankan tugas jur-nalistik, wartawan dilindungi dari tindakkekerasan, pengambilan, penyitaan,dan/atau perampasan alat-alat kerja,serta tidak boleh dihambat atau diinti-midasi oleh pihak manapun.

Keempat, karya jurnalistik wartawandilindungi dari segala bentuk penyenso-ran.

Kelima, wartawan yang ditugaskankhusus di wilayah berbahaya dan/ataukonflik wajib dilengkapi surat penuga-san, peralatan keselamatan yang meme-nuhi syarat, asuransi, serta pengetahu-an, keterampilan dari perusahaan persyang berkaitan dengan kepentingan pe-nugasannya.

Keenam, dalam penugasanjurnalistikdi wilayah konflik bersenjata, wartawanyang telah menunjukkan identitas seba-gai wartawan dan tidak menggunakanidentitas pihak yang bertikai, wajib di-perlakukan sebagai pihak yang netraldan diberikan perlindungan hukum, se-hingga dilarang diintimidasi, disandera,disiksa, dianiaya, apalagi dibunuh.

Ketujuh, dalam perkara yang me-nyangkut karya jurnalistik, perusahaanpers diwakili oleh penanggungjawabnya.

Kedelapan, dalam kesaksian perkarayang menyangkut karya jurnalistik, pe-nanggungjawabnya hanya dapat ditanyamengenai berita yang telah dipublikasikan.Wartawan dapat menggunakan hak tolakuntuk melindungi sumber informasi.

Kesembilan, pemilik atau manajemenperusahaan pers dilarang memaksa war-tawan untuk membuat berita yang me-langgar Kode Etik Jurnalistik dan/atauhukum yang berlaku.

Memang isi peraturan Dewan Pers initampak sangat bagus. Akan tetapi siapayang mau melaksanakannya? Apakahini memiliki kekuatan hukum sepertihalnya DU Pers, DU Penyiaran, dan her-

. bagai DU terkait lainnya? Ab, jangankanmelanggar peraturan buatan DewanPers, mereka yang terang-terangan me-labrak UU Pers dan UU Penyiaran punterbukti tak pernah dihukum. Tampak-nya semakin lama semakin banyakorang yang sangat yakin bahwa undang-undang atau peraturan dibuat denganbiaya sangat besar hanyalah untuk di-abaikan.

Hah, celaka tiga belas republik kitaini!***

Penulis, dosen Jurusan Jurnalistik,Fikom Unpad.

l-