petualangan di sungai ajaib

222
Petualangan di Sungai Ajaib Ebook by BBSC - PDB by Otoy Bab 1, EMPAT ANAK YANG MERASA SENGSARA "Kasihan!" Suara pelan dan sedih itu berkeluh-kesah di balik pintu kamar tidur anak-anak. "Kasihan Polly! Bersihkan hidungmu, Polly yang malang!" Terdengar bunyi seperti orang menyedot-nyedot ingus, disusul suara batuk-batuk. Setelah itu sepi. Seakan-akan yang berada di balik pintu itu memasang telinga, menunggu kalau-kalau ada jawaban dari dalam. Jack menegakkan tubuhnya di tempat tidur, lalu memandang Philip yang berbaring di seberang. "Bagaimana, Philip—kau rasanya akan bisa tahan atau tidak, jika Kiki diizinkan masuk? Ia kedengarannya begitu sedih!" Philip mengangguk. "Baiklah," katanya. "Asal ia nanti tidak menjerit, atau terlalu berisik. Kepalaku sekarang sudah tidak begitu pusing lagi. Untung saja!" Jack turun dari tempat tidurnya, lalu menghampiri pintu dengan langkah gontai, ia dan Philip, begitu pula kedua adik mereka, saat itu mulai sembuh dari serangan influensa yang cukup berat. Mereka masih merasa agak lemas. Philip yang paling parah sakitnya. Selama itu ia tidak tahan jika Kiki ada di kamar tidur. Burung iseng itu menirukan bunyi batuk dan bersin mereka. Walaupun Philip sebenarnya penyayang binatang—termasuk burung—tapi kalau sudah begitu ia rasanya kepingin sekali melempari Kiki dengan sandal, buku, atau apa saja. Padahal burung kakaktua itu sama sekali tidak merasa bersalah. Terang saja ia bingung, apa sebabnya Philip marah-marah padanya.

Upload: onyxwine

Post on 30-Jun-2015

121 views

Category:

Documents


3 download

TRANSCRIPT

Page 1: Petualangan di Sungai Ajaib

Petualangan di Sungai Ajaib

Ebook by BBSC - PDB by Otoy

Bab 1, EMPAT ANAK YANG MERASA SENGSARA

"Kasihan!" Suara pelan dan sedih itu berkeluh-kesah di balik pintu kamar tidur anak-anak. "Kasihan Polly! Bersihkan hidungmu, Polly yang malang!"

Terdengar bunyi seperti orang menyedot-nyedot ingus, disusul suara batuk-batuk. Setelah itu sepi. Seakan-akan yang berada di balik pintu itu memasang telinga, menunggu kalau-kalau ada jawaban dari dalam. Jack menegakkan tubuhnya di tempat tidur, lalu memandang Philip yang berbaring di seberang.

"Bagaimana, Philip—kau rasanya akan bisa tahan atau tidak, jika Kiki diizinkan masuk? Ia kedengarannya begitu sedih!"

Philip mengangguk.

"Baiklah," katanya. "Asal ia nanti tidak menjerit, atau terlalu berisik. Kepalaku sekarang sudah tidak begitu pusing lagi. Untung saja!"

Jack turun dari tempat tidurnya, lalu menghampiri pintu dengan langkah gontai, ia dan Philip, begitu pula kedua adik mereka, saat itu mulai sembuh dari serangan influensa yang cukup berat. Mereka masih merasa agak lemas. Philip yang paling parah sakitnya. Selama itu ia tidak tahan jika Kiki ada di kamar tidur. Burung iseng itu menirukan bunyi batuk dan bersin mereka.

Walaupun Philip sebenarnya penyayang binatang—termasuk burung—tapi kalau sudah begitu ia rasanya kepingin sekali melempari Kiki dengan sandal, buku, atau apa saja. Padahal burung kakaktua itu sama sekali tidak merasa bersalah. Terang saja ia bingung, apa sebabnya Philip marah-marah padanya.

Kiki masuk beringsut-ingsut, ketika pintu sudah dibukakan oleh Jack. Jambul burung itu rebah ke belakang.

"Kasihan," kata Jack. Kiki langsung terbang ke bahu tuannya. "Baru sekarang ini kau mengalami tidak diperbolehkan masuk, ya? Itulah, jangan suka berisik! Tidak ada yang suka mendengar segala bunyi-bunyimu, jika kepala sedang pusing sekali, Kiki. Philip benar-benar tidak tahan lagi, ketika kau menirukan bunyi pesawat terbang yang mengalami kerusakan mesin!"

"Aduh, jangan kauingatkan itu!" kata Philip, Ia menggeleng-gelengkan kepala, sambil mendesah seperti kepedasan. "Rasanya aku tak mampu lagi tertawa mendengar bunyi-bunyi yang ditirukan Kiki." ia batuk, lalu mencari-cari sapu tangan di bawah bantal.

Page 2: Petualangan di Sungai Ajaib

Kiki ikut batuk. Tapi pelan-pelan sekali. Jack tersenyum.

"Sudahlah, Kiki," katanya. "Kau tidak terserang flu, jadi tidak ada gunanya berpura-pura."

"Flu, flu. siafa ferlu," kata Kiki dengan segera, lalu terkekeh-kekeh. Tapi tertawanya itu juga tidak keras-keras.

"Jangan, Kiki! Saat ini kami rasanya belum mampu tertawa mendengar kata-kata konyolmu," kata Jack sambil naik lagi ke tempat tidur. "Tidak bisakah kau berkelakuan sopan seperti layaknya jika menjenguk orang sakit? Bicara dengan suara tenang, sambil mengangguk-angguk dengan sikap kasihan? Pokoknya sikap yang begitulah!"

"Polly yang malang," kata Kiki. ia merapatkan diri ke leher Jack, lalu mendesah. Embusan napasnya panjang sekali.

"Jangan ke leherku dong!" kata Jack. "Kau merasa kasihan pada dirimu sendiri rupanya, ya? Sudah, jangan sedih. Kami hari ini merasa sudah lebih enak, dan tidak demam lagi. Tidak lama lagi pasti sembuh kembali. Bibi Allie tentu akan senang, karena selama ini repot sekali mengurus empat anak sakit yang menderita."

Saat itu pintu terbuka lambat-lambat. Bibi Allie menjenguk ke dalam.

"Ah—kalian berdua sudah bangun," katanya. "Bagaimana rasanya? Ada yang mau minum air jeruk lagi?"

"Tidak, Bibi Allie, terima kasih," kata Jack. "Bibi mau tahu, aku ini tiba-tiba saja ingin apa? Aku ingin makan telur rebus dengan roti yang diolesi mentega! Tahu-tahu saja keinginan itu datang. Tidak ada yang lebih kuingini saat ini, kecuali makan itu!"

Bibi Allie tertawa.

"Kalau begitu kau benar-benar sudah sembuh, Jack! Kau juga ingin telur rebus, Philip?"

"Tidak, terima kasih, Bu," kata Philip. "Aku tidak ingin apa-apa."

"Anak malang, Anak yang malang," kata Kiki. ia mengangkat kepala, lalu memandang Philip. Burung konyol itu terkekeh.

"Tutup mulut!" kata Philip. "Aku sekarang belum tahan jika ditertawakan, Kiki. Kau akan dikeluarkan lagi dari sini, jika terlalu banyak mengoceh."

"Diam, Kiki!" kata Jack. sambil menepuk paruh burung kakaktua itu. Kiki langsung merunduk, sambil merapatkan diri ke leher tuannya, ia tidak keberatan disuruh diam, asal boleh menemani Jack yang disayanginya.

Page 3: Petualangan di Sungai Ajaib

"Bagaimana keadaan Dinah dan Lucy-Ann?" tanya Jack.

"Sudah jauh lebih baik," kata Bibi Allie. "Lebih baik daripada kalian berdua! Mereka sudah bisa main kartu. Mereka ingin tahu, apakah nanti malam mereka sudah bisa datang untuk mengobrol dengan kalian di sini."

"Kalau aku, mau sekali," kata Jack dengan gembira. "Tapi kau mungkin tidak ya, Philip?"

"Kita lihat saja nanti!" kata Philip dengan masam. "Saat ini rasanya aku masih gampang marah. Apa boleh buat!"

"Biasanya memang begitu, Philip," kata ibunya. "Tapi kau sudah mulai sembuh—jadi kurasa besok kau sudah seperti biasa lagi!"

Ternyata Bu Cunningham benar. Esok malamnya Philip sudah merasa segar sekali. Kiki puasnya, ia bahkan diizinkan meniru bunyi kereta cepat yang meluncur di dalam terowongan. Mendengar bunyi itu, Bu Cunningham bergegas-gegas datang.

"Aduh, jangan!" katanya. "Jangan kautirukan bunyi itu di dalam rumah, Kiki! Aku tidak tahan!"

Dinah memandang ibunya, lalu memegang tangannya.

"Bu—Ibu pasti repot sekali mengurus kami berempat selama ini. Untung Ibu tidak ikut terserang flu.—Tapi Ibu kelihatannya pucat sekali. Jangan-jangan sekarang Ibu yang sakit!"

"Ah, tidak," kata ibunya. "Aku cuma agak capek, karena bolak-balik naik turun tangga mengurus kalian berempat. Tapi sebentar lagi kalian sudah boleh ke luar lagi—dan kembali bersekolah!"

"Kata-kata itu disambut erangan empat anak— dan disusul suara kelima. Kiki merasa asyik mendengar bunyi serempak itu; lalu menirukan-nya. Erangannya yang terdengar paling keras!

“Ih sekolah!" kata Jack dengan sebal. "Kenapa Bibi mengingatkan kami padanya, Bibi Allie?— Tidak enak rasanya mulai bersekolah di tengah-tengah semester yang sudah berjalan. Rasanya hampir seperti murid baru, karena teman-teman yang lain semuanya sudah sempat membiasakan diri kembali."

"Aduh, kalian ini rupanya merasa kasihan pada diri sendiri, ya?" kata Bu Cunningham sambil tertawa geli. "Teruskan saja permainan kalian— tapi jangan kalian biarkan Kiki menirukan suara pesawat terbang, kereta api, mobil, atau mesin pemotong rumput."

"Baik, Bibi," kata Jack, lalu berbicara dengan sikap galak pada Kiki. "Kaudengar itu tadi, Kiki? Bersikaplah yang sopan—sebisa-bisamu!"

Page 4: Petualangan di Sungai Ajaib

"Ibu kelihatannya memang agak pucat, ya?" kata Philip, ketika ibunya sudah pergi, ia membagi-bagikan kartu. "Mudah-mudahan Bill akan mengajaknya pergi berlibur, jika ia sudah kembali dari perjalanannya."

"Bill pergi ke mana sih? Ada di antara kalian yang mendapat kabar dari dia?" tanya Dinah, sambil memungut kartu-kartunya.

"Kau kan tahu bagaimana Bill—selalu menjalankan tugas rahasia untuk pemerintah," kata Philip. “Kurasa selain Ibu, tidak ada lagi yang tahu ke mana ia pergi. Kalau Ibu, ia selalu diberi tahu! Kapan-kapan Bill pasti akan muncul, dengan tiba-tiba."

Bill itu suami Bu Cunningham. Mereka menikah beberapa waktu yang lalu. Sebelumnya ibu Philip dan Dinah masih bernama Bu Mannering, yang hidup menjanda bersama kedua anaknya itu. Pak Mannering, suaminya, dan ayah Philip serta Dinah, sudah meninggal dunia. Sedang Jack dan Lucy-Ann sudah dianggap menjadi anak-anaknya sendiri. Mereka sudah tidak punya orang tua lagi. Keempat anak itu sangat sayang pada Bill yang pintar dan selalu bersikap tegas, dan yang pekerjaannya sering menyebabkan ia menghadapi bermacam-macam bahaya.

"Moga-moga saja Bill sudah kembali sebelum kita harus bersekolah lagi," kata Jack. "Sudah lama kita tidak melihatnya. Sebentar—sekarang sudah hampir bulan Oktober—ketika ia tahu-tahu harus pergi, saat itu awal September."

"Dengan menyamar!" kata Lucy-Ann mengingat-ingat. "Ingat tidak kalian? Waktu itu ia pergi dengan menyamar sebagai orang yang sudah tua. Aku sampai heran, karena tidak mengenali laki-laki tua dan bungkuk yang duduk di samping Ibu malam itu. Bahkan rambutnya pun kelihatan lain!"

"Bill memakai rambut palsu," kata Jack. "Ayo, cepatlah sedikit, Dinah—sekarang kan giliranmu. Kau punya king atau tidak?"

Dinah meletakkan kartunya, lalu memutar tombol radio yang ada di dekat situ.

"Kita hidupkan radio, ya?" katanya. "Aku kepingin mendengar musik. Kau tahan atau tidak, Philip?"

"Aku tidak perlu terlalu dikasihani lagi sekarang," kata Philip. "Aku sudah sembuh. Wah—malu rasanya sekarang kalau kuingat betapa sengsaranya perasaanku sewaktu masih sakit! Aku takkan heran, jika saat itu tahu-tahu aku menangis!"

"Kau memang menangis—satu kali," kata Jack. "Aku melihatmu saat itu. Tampangmu aneh sekali!"

"Tutup mulut," sergah Philip. "Jangan suka berbohong. Dinah—radio belum kausetel dengan benar. Sini, biar aku saja—anak-anak perempuan memang tak pernah bisa beres,

Page 5: Petualangan di Sungai Ajaib

jika melakukan hal-hal seperti ini!—Biar aku saja yang menyetelnya, Dinah. Minggir! Sialan!"

"Nah—ternyata dia memang sudah kembali menjadi Philip yang asli," kata Jack, melihat pertengkaran yang sudah tidak asing lagi itu. "Nah—sekarang setelannya sudah tepat, Philip. Eh—itu kan suara John Jordans. Pasti ini lawakan tentang pencurian itu! Yuk, kita dengarkan—kata orang lawaknya lucu sekali!"

Acara lawakan itu memang lucu. Bu Cunningham yang saat itu sedang beristirahat di tingkat bawah, senang mendengar suara anak-anak ramai tertawa di atas. Tapi kemudian kening Bu Cunningham berkerut, karena terdengar bunyi peluit yang nyaring dan panjang. Hhh—kakaktua itu menjengkelkan!

Tapi yang menimbulkan bunyi itu bukan Kiki, melainkan John Jordans dalam acara lawakan. Aktor itu berperan sebagai polisi di dalamnya, dan saat itu ia meniup peluit polisinya. Setelah itu ada yang berteriak-teriak, "Polisi! Polisi!", disusul bunyi peluit lagi.

"Polisi, polisi!" Kiki ikut berteriak-teriak, lalu menirukan bunyi peluit. Bunyinya sangat mirip! "Fiiieeet! Polisi! Polisi! Fiiieeet!"

"Diam, Kiki! Nanti polisi benar-benar datang, kalau kau terus berteriak-teriak dan bersuit-suit senyaring itu!" kata Jack. "Aduh—mudah-mudahan saja Kiki tidak lantas biasa meniru-nirukan bunyi peluit polisi. Bisa repot kita nantinya! Kiki—jika kau sekali lagi berani berteriak ‘Polisi', akan kuikat kau di ujung bawah ranjang ini."

Sebelum Kiki sempat menjawab, tahu-tahu ada yang mengetuk pintu kamar. Anak-anak terkejut, karena ketukan itu keras sekali.

"Siapa memanggil polisi?" kata seseorang dengan suara nyaring dari balik pintu. "Polisi sudah datang. Buka pintu, atas nama hukum!"

Pintu kamar terbuka lambat-lambat, sementara anak-anak yang terkejut hanya bisa memandang sambil melongo. Ada apa ini? Benarkah ada polisi datang?

Kemudian muncullah wajah seseorang dari balik pintu. Wajah yang cerah dan ramah, yang sangat dikenal anak-anak.

"Bill!" seru mereka serempak. Keempat anak itu berhamburan turun dari tempat tidur, mendatangi laki-laki bertubuh tinggi kekar itu. "Wah, kau sudah pulang, Bill! Kami sama sekali tidak mendengar tadi. Halo, Bill!"

Bab 2, AJAKAN YANG TAK TERSANGKA-SANGKA

Bill masuk ke dalam, lalu duduk di ranjang Jack. Kiki terkekeh senang, lalu terbang ke bahu Bill. Burung itu mencubit cuping telinga Bill dengan paruhnya. Bibi Allie ikut masuk, ia tersenyum bahagia, ia nampak lain sekali sekarang, setelah Bill kembali.

Page 6: Petualangan di Sungai Ajaib

"Nah—apa yang kudengar tadi, tentang empat anak sakit yang merasa sengsara?" kata Bill. Dirangkulnya Dinah dan Lucy-Ann. "Sekarang kalian harus bangun, karena aku sudah pulang. Tidak bisa kubiarkan kalian bermalas-malas saja di tempat tidur, seperti ini."

"Kami memang sudah akan keluar lagi besok petang, pada saat minum teh," kata Lucy-Ann. "Ke mana saja kau selama ini, Bill? Ceritakan dong!"

"Wah—sayang, aku tidak boleh menceritakannya," kata Bill.

"Sangat rahasia, kalau begitu," kata Dinah kecewa. "Dan sekarang kau akan tinggal di rumah?"

"Ya, begitulah—sepanjang pengetahuanku," jawab Bill. "Mudah-mudahan saja begitu! Menurutku, perlu ada seseorang yang mengurus ibu kalian sekarang. Lihatlah—badannya kurus! Kenapa kalian harus keempat-empatnya sekaligus terserang flu, sehingga tidak ada yang bisa membantunya?"

"Ya, kami memang hanya mengingat diri sendiri saja," kata Jack. "Dan bahkan kau pun juga pergi, Bill! Tapi sudahlah—kini semuanya sudah beres lagi, karena kau sudah pulang. Ya kan, Bibi Allie?"

Bu Cunningham mengangguk.

"Ya, semuanya!" katanya. "Bagaimana jika kita makan dengan santai di sini saja, Anak-anak— supaya kita bisa mengobrol dengan Bill?"

Anak-anak tentu saja langsung setuju. Asyik sekali makan di kamar tidur. Kiki timbul lagi penyakit konyolnya. Sebentar-sebentar ditirukan-nya bunyi peluit polisi. Akhirnya semua bosan mendengarnya—termasuk Bill.

"Bill! Bill, minum pil, Bill pengupil, Bill pengupil!" teriak Kiki. Jack menjentik paruhnya.

"Jangan kurang ajar, ya!" katanya. "Tahu aturan sedikit, Kiki."

Kiki terbang ke lantai, ia merasa tersinggung.

"Kasihan Kiki, kasihan, kasihan," gumam burung itu pada dirinya sendiri, lalu menyusup masuk ke kolong tempat tidur, ia menemukan sandal tua di situ. Selama setengah jam berikutnya ia asyik mematuk-matuknya.

Penyakit influensa rupanya sudah dilupakan. Semua asyik mengobrol sambil tertawa-tawa. Semua merasa berbahagia. Tapi ketika sudah pukul setengah sepuluh malam, tahu-tahu wajah Lucy-Ann mejadi pucat sekali, ia merebahkan diri di tempat tidur.

Page 7: Petualangan di Sungai Ajaib

"Kita lupa daratan!" kata Bill. "Aku lupa bahwa anak-anak baru saja sembuh dari sakit berat. Yuk, Lucy-Ann—kugendong kau ke tempat tidurmu! Kau bisa berjalan sendiri, Dinah?"

Keesokan harinya Pak Dokter datang lagi. ia senang melihat perkembangan keempat anak yang baru saja sembuh dari sakit itu.

"Hari ini kalian boleh meninggalkan tempat tidur untuk minum teh—dan besok, setelah sarapan pagi," katanya. "Setelah itu, seperti biasanya."

"Kapan mereka sudah boleh bersekolah lagi, Dokter?" tanya Bu Cunningham.

Pak Dokter memberi jawaban yang sama sekali tak terduga oleh anak-anak.

"Sementara ini belum," katanya. "Mereka perlu beristirahat dulu untuk memulihkan tenaga di tempat lain—katakanlah selama sepuluh hari, atau dua minggu. Mereka harus beristirahat di tempat yang panas, yang banyak sinar mataharinya! Flu yang menyerang mereka tergolong jenis yang gawat. Sepanjang musim dingin mereka akan tetap merasa lesu, jika sekarang tidak mendapat kesempatan untuk beristirahat di daerah berhawa panas. Bisakah Anda mengurusnya, Bu Cunningham?"

"Itu bisa saja," kata Bill. "Tapi takkan saya biarkan istri saya pergi dengan mereka, Dokter, ia sendiri juga perlu beristirahat sekarang, sesudah sekian lama repot mengurus anak-anak. Baginya takkan merupakan istirahat, jika pergi bersama keempat berandal ini. Biar saya saja yang mengurus hal itu."

"Baiklah," kata Pak Dokter, lalu menyambung, "Nah, Sabtu nanti aku akan datang lagi, hanya untuk melihat apakah di sini segala-galanya beres. Aku pergi saja sekarang."

"Berlibur!" kata Dinah dengan gembira, begitu pintu kamar sudah ditutup kembali. "Wah—kita benar-benar mujur! Semula kusangka bahwa kita akan harus langsung bersekolah kembali!"

Setelah itu mereka berembuk, untuk membicarakan apa yang sebaiknya dilakukan.

"Besok sudah bulan Oktober," kata Bill, "dan menurut ramalan keadaan cuaca tidak bagus. Hujan, angin, dan berkabut! Payah, iklim daerah kita ini! Sayang anak-anak tidak bisa berlibur ke luar negeri, Allie."

"Memang lebih baik jangan, jika tidak ditemani seseorang yang penuh tanggung jawab," kata istrinya. "Jadi kita terpaksa memilih salah satu tempat di pesisir selatan, dan mengirim mereka ke sana."

Segala rencana yang telah disusun, kemudian tiba-tiba saja mengalami perubahan. Jumat malam telepon berdering di rumah. Saat itu hari sudah larut malam. Bunyinya

Page 8: Petualangan di Sungai Ajaib

membangunkan Bill dan istrinya. Kiki juga ikut terbangun. Pendengaran burung kakaktua itu sangat tajam, ia menirukan bunyi deringan itu dengan suara pelan. Tapi ia tidak membangunkan Jack dan Philip. Kiki mendengarkan, dengan kepala dimiringkan. Didengarnya Bill berbicara dengan suara pelan pada telepon sambungan yang ada di kamar tidur. Kemudian terdengar bunyi berdenting, tanda bahwa gagang telepon dikembalikan ke tempatnya.

"Ting!" kata Kiki menirukan dengan suara pelan. "Ting tong! Ting!" Setelah itu ditelusupkannya kembali kepalanya ke bawah sayap. Burung itu tidur lagi, sambil bertengger dengan nyaman pada bingkai perapian. Anak-anak semuanya tidur nyenyak. Mereka sama sekali tidak menduga akan ada perubahan besar dalam rencana liburan mereka, yang disebabkan oleh pembicaraan telepon malam itu!

Keesokan paginya Bill tidak ikut sarapan. Anak-anak turun semuanya. Lucy-Ann bahkan sudah lebih dulu, untuk membantu mengatur meja. Wajah keempat anak itu nampak masih pucat dan agak lesu. Tapi mereka bergembira, karena membayangkan akan berlibur—meski tempat yang dipilih rasanya tidak begitu mengasyikkan. Sebuah desa kecil yang tenang, di tepi laut.

"Mana Bill?" tanya Dinah. ia heran, melihat Bill tidak ada di tempatnya. "Aku tadi tidak mendengarnya bersiul-siul ketika bercukur. Apakah ia sudah keluar untuk berolahraga pagi—atau begitu?"

"Tidak—tengah malam tadi ia harus buru-buru pergi," kata ibunya dengan wajah suram, "ia ditelepon—kalian tidak terbangun karena deringnya? Rupanya ada urusan gawat yang harus segera ditangani. Dan untuk itu sangat diperlukan saran-saran Bill. Biasa! Setelah itu ia langsung berangkat, naik mobil. Kurasa pukul sebelas nanti ia sudah kembali. Mudah-mudahan saja urusan ini tidak berarti ia harus segera berangkat lagi dengan tujuan yang dirahasiakan, lalu selama berminggu-minggu tidak ada kabar berita dari dia. Padahal ia kan baru saja kembali. Payah, kalau begitu urusannya!"

Bill kembali sekitar pukul setengah dua belas siang. Setelah menaruh mobil di garasi, ia masuk ke rumah lewat pintu samping, sambil bersiul-siul. Anak-anak bergegas menyongsongnya.

"Ke mana kau tadi, Bill? Kau tidak harus pergi lagi, kan?" seru Dinah.

"Aduh—kalian ini seperti lintah saja, menempel terus," kata Bill sambil melepaskan diri dari rangkulan. "Mana ibumu, Dinah?"

"Di ruang duduk," kata Dinah. “Cepatlah ke sana—kami juga ingin mendengar beritanya."

Bill masuk ke ruang duduk. Tapi pintu kemudian ditutup olehnya. Keempat anak itu berpandang-pandangan.

Page 9: Petualangan di Sungai Ajaib

"Aku berani bertaruh, Bill pasti harus berangkat lagi, menjalankan tugas rahasia baru," kata Jack dengan lesu. "Kasihan Bibi Allie—ia sudah senang sekali, akan bisa berlibur berdua saja dengan Bill!"

Setengah jam sudah lewat. Tapi perembukan yang dilakukan dengan suara pelan dan serius di ruang duduk masih juga belum selesai. Namun akhirnya pintu dibuka kembali. Bill berseru, memanggil anak-anak.

"Di mana kalian, Anak-anak? Masuklah—kami sudah selesai berembuk."

Anak-anak masuk beramai-ramai. Dan seperti biasanya, Kiki bertengger di bahu Jack, sambil mengoceh dengan suara pelan, "Kanan-kiri, makan sendiri, kanan sendiri, makan kiri!"

"Diam, Kiki," kata Jack. "Awas, kalau nanti mengganggu!"

"Begini, Anak-anak," kata Bill, ketika anak-anak sudah duduk semua. "Aku harus pergi lagi."

Ucapannya itu disambut keluhan serempak.

"Aduh, Bill!" kata Lucy-Ann. "Itu sudah kami khawatirkan tadi. Padahal kau kan baru saja kembali!"

"Kau harus berangkat ke mana?" tanya Jack.

"Itu belum kuketahui dengan pasti," jawab Bill. "Tapi singkatnya—ingat, ini rahasia, ya!—aku ditugaskan mengamat-amati seseorang yang dicurigai pemerintah kita. Sementara ini belum jelas, apa yang hendak dilakukan orang itu. Mungkin juga ia tidak akan berbuat apa-apa—tapi lebih baik bersikap waspada, daripada menyesal kemudian. Selama beberapa hari aku ditugaskan untuk mengamati orang itu di tempat ia berada sekarang, untuk mengumpulkan beberapa keterangan mengenai dirinya. Aku harus terbang ke sana."

"Wah—kalau demikian, tidak begitu lama, ya?" kata Philip.

"Itu belum kuketahui. Mungkin selama tiga sampai empat hari, tapi bisa pula dua minggu," kata Bill. "Pokoknya, ada dua hal yang penting dalam urusan ini. Tidak boleh ada seorang pun di tempat itu yang menduga bahwa aku berada di situ atas penugasan pemerintah kita. Sedang hal penting kedua, iklim di tempat yang akan kudatangi itu panas dan banyak sinar mataharinya. Karena itu aku berpendapat, ada baiknya jika kalian semua ikut!"

Semua terdiam selama beberapa saat, sibuk mencernakan arti kata-kata yang terakhir itu—lalu disusul pekik jerit dan seruan ramai. Lucy-Ann berdiri, lalu merangkul Bill.

Page 10: Petualangan di Sungai Ajaib

"Kami semua? Jadi Bibi Allie juga, Bill? Aduh, asyik! Tapi bolehkah kau mengajak kami semua?"

"Seperti sudah kukatakan tadi—tidak boleh sampai ada yang curiga, bahwa aku ini penyelidik," kata Bill. "Karenanya, jika aku muncul di sana sebagai kepala keluarga, bersama sejumlah anak-anak yang baru sembuh dari sakit, serta istri yang perlu beristirahat, itu kurasa sudah cukup sebagai kedok untuk menutupi kenyataan bahwa aku ini sebenarnya datang ke sana dengan mengemban tugas rahasia."

Anak-anak memandang Bill. Mereka sangat gembira. Bayangkan—berlibur ke luar negeri, bersama Bill serta Bibi Allie! Apa lagi yang bisa lebih mengasyikkan dari itu? Lucy-Ann bahkan sampai khawatir, jangan-jangan itu hanya mimpinya saja!

"Ke mana tadi, katamu, kita akan pergi?—Ah, betul juga, kau tidak mengatakannya! Apakah kita nanti akan tinggal di hotel? Lalu apakah yang harus dikerjakan di sana? Akan berbahayakah tugas itu, Bill—berbahayakah bagimu?"

Pertanyaan demi pertanyaan datang bertubi-tubi. Sedang Bill hanya menggeleng-geleng terus, sambil menutupi telinga.

"Percuma saja aku kalian tanyai saat ini," katanya. "Aku sendiri baru mengetahui garis besarnya saja! Tapi aku sudah mengatakan bahwa kalian semua akan kubawa sebagai kedok samaranku.

Aku akan tampil di sana selaku kepala keluarga. Saranku itu kelihatannya diterima, jadi kuserahkan saja pada pihak atasan untuk mengatur yang selebihnya. Sungguh, cuma itu saja yang kuketahui saat ini. Dan awas—jangan kalian bicarakan urusan ini, kecuali dengan berbisik-bisik."

"Tentu saja, Bill," kata Lucy-Ann dengan serius. "Urusan ini akan tetap merupakan rahasia."

"Rahasia!" jerit Kiki dengan tiba-tiba, sambil menandak naik turun meja. ia merasakan adanya kegairahan saat itu. "Rahasia! Rahasia atasan! Jauh tinggi di langit, bersihkan kaki, buang rahasiamu!"

"Jika nanti ternyata ada yang membocorkan rahasia, maka itu pasti Kiki!" kata Bill sambil tertawa. "Tidak bisakah kau menjaga mulut, Kiki?"

Kiki takkan bisa—tapi kalau anak-anak, mereka jelas bisa diandalkan. Itu sudah pasti! Mereka bergegas meninggalkan ruang duduk, lalu naik ke tingkat atas, menuju ke sebuah gudang kecil. Setelah menutup pintu dari dalam, mereka berpandang-pandangan dengan mata bersinar sinar.

"Wah, asyik!" kata Philip, sambil mengembuskan napas panjang. "Untung kita terserang flu!—Nah, sekarang kita berembuk—tapi ingat, kita harus berbisik!"

Page 11: Petualangan di Sungai Ajaib

Bab 3, BERANGKAT

Suasana akhir pekan itu ramai, penuh dengan kesibukan. Telepon tidak henti-hentinya berdering. Akhirnya pada hari Senin malam datanglah sebuah mobil kecil yang tidak menyolok. Tiga orang laki-laki turun, lalu menghampiri pintu pagar kebun. Bill yang membukakan, dan mengajak ketiga pria itu masuk.

"Philip! Jack!" seru Bill memanggil. "Coba kemari sebentar! Masuklah ke mobil itu. Kalian menjaga di situ. Kurasa tidak ada siapa-siapa di sekitar sini—tapi siapa tahu! Mereka ini tamu penting, dan walaupun rasanya tak mungkin ada yang tahu bahwa mereka datang kemari, tapi tidak ada salahnya jika kalian berjaga-jaga di luar.”

Jack dan Philip menerima tugas itu dengan bersemangat. Dengan menyelinap mereka mendatangi mobil itu, lalu duduk di dalamnya. Mereka menjaga dengan sepenuh hati. Setiap bayangan yang bergerak diperhatikan. Setiap kali ada mobil memasuki jalan yang lengang itu, mereka langsung tegang. Dinah dan Lucy-Ann memperhatikan mereka dengan perasaan iri dari jendela tingkat atas. Mereka ingin bisa ikut menjaga di dalam mobil.

Tapi ternyata sama sekali tidak terjadi sesuatu yang mendebarkan. Jack dan Philip sangat kecewa. Akhirnya mereka bahkan merasa sangat bosan, setelah menjaga selama dua sampai tiga jam. Mereka merasa lega, ketika kemudian terdengar bunyi pintu pagar dibuka dengan pelan, disusul langkah orang berjalan menuju mobil.

"Tidak ada yang perlu dilaporkan, Bill," bisik Jack. Ia hendak masuk kembali ke rumah bersama Philip. Tapi saat itu Kiki rupanya merasa bahwa ia sudah boleh mengoceh lagi. Sebelumnya ia merajuk, karena disuruh diam terus selama berada di dalam mobil. Kini ia melampiaskan kekesalannya!

"Polisi! Panggil polisi! Fiiiettt!" Kiki bersuit dengan nyaring, Bunyinya persis seperti peluit polisi. Semua langsung kaget. Ketiga tamu Bill memandang berkeliling dengan heran, seperti mencari-cari.

"Maaf," kata Jack. "Itu tadi cuma kebiasaan Kiki yang paling baru. Maaf, Bill!"

Ia bergegas masuk ke rumah, bersama Philip. Kiki terbang menjauh. Rupanya ia merasa bahwa Jack marah padanya. Burung itu terbang ke ruang duduk, lalu masuk ke dalam keranjang sampah besar yang ada di situ. ia mendekam di situ, tanpa sedikit pun berbunyi. Di luar terdengar bunyi mesin mobil dihidupkan. Kendaraan itu berangkat Bunyinya pelan sekali. Bill masuk lagi ke dalam rumah.

"Kenapa Kiki tadi tahu-tahu begitu—berteriak-teriak memanggil polisi?" katanya. Matanya dikejap-kejapkan, karena silau kena lampu ruang duduk yang terang. "Kami tadi sampai kaget sekali mendengarnya! Apalagi bunyi peluitnya! Mana Kiki sekarang? Burung konyol itu perlu diomeli!"

Page 12: Petualangan di Sungai Ajaib

"Ia bersembunyi—entah di mana," kata Jack. "Ia tahu, ia sebetulnya tidak boleh berteriak seperti tadi. ia baru kemarin malam mendengarnya—dan sejak itu tidak henti-hentinya memanggil-manggil polisi, dan menirukan bunyi peluit melengking itu. Ada kabar baru, Bill?"

"Ya, ada," kata Bill, sambil mengisi pipanya dengan tembakau. "Bahkan banyak! Semuanya kabar baik. Wah—bisa asyik kita nanti, Anak-anak!"

"O, ya?" kata istrinya. "Apa maksudmu, Bill?"

"Yah—tempat yang akan kita datangi itu—aku tidak menyebut namanya sekarang, karena jika Kiki ada di sekitar sini, ia nanti menjerit-jerit meneriakkannya—tempat itu jauh sekali dari sini. Tapi itu tidak menjadi persoalan, karena kita akan naik pesawat terbang ke sana. Selanjutnya 'mereka yang di atas' sudah memutuskan bahwa untuk kita akan disediakan sebuah perahu motor kecil. Kita bisa mengarungi sungai naik perahu itu, melihat-lihat pemandangan—sementara aku akan bisa melakukan penyelidikan!"

"Asyik sekali kedengarannya!" kata Philip. Matanya bersinar-sinar. "Benar-benar hebat! Perahu motor, untuk kita sendiri! Wah—hebat sekali liburan kita kali ini!"

"Kedengarannya memang menarik," kata ibunya. "Kapan kita berangkat, Bill?—Pakaian musim panas kita harus kukeluarkan lagi."

"Kita akan berangkat dengan pesawat terbang, hari Rabu malam," kata Bill. "Kau sudah bisa siap sampai saat itu? Kalau di sana, segala-galanya sudah ada yang mengatur—jadi kau tidak perlu repot-repot lagi."

Setelah itu semuanya ribut bercakap-cakap dengan gembira. Semua merasa bergairah. Ketika mereka berhenti sebentar, tahu-tahu terdengar bunyi terceguk.

"Itu Kiki!" kata Jack dengan segera. "Kiki selalu begitu jika malu atau kikuk. Pasti ia merasa tidak enak, setelah ribut-ribut di kebun tadi. Mana dia, ya?"

Mereka tidak menemukan Kiki di semak yang tebal. Di bawah kursi atau meja, juga tidak ada. Semua memandang berkeliling dengan bingung, ketika kemudian terdengar suara terceguk sekali lagi.

"Di mana sih, Kiki? Kita sudah mencari ke mana-mana. Ayo ke luar, Kiki. Burung konyol— kau sama sekali tidak tersedak. Kau cuma pura-pura saja!"

"Kasihan Polly!" Suara sedih dan pilu itu datang dari dalam keranjang sampah. "Polly-wolly-molly sepanjang hari, kasihan Polly!" Ocehan itu disusul suara desahan panjang.

"Kiki ada di dalam keranjang sampah!" seru Lucy-Ann, lalu mencari-cari di antara kertas-kertas yang dibuang di situ. Ya—ternyata Kiki memang ada di situ, mendekam di

Page 13: Petualangan di Sungai Ajaib

dasarnya! Kiki memanjat ke luar dengan kepala terkulai, ia berjalan dengan gerakan kikuk menghampiri Jack, lalu memanjat tubuh tuannya, sampai ke bahu.

"Kau sudah lupa bagaimana caranya terbang, ya!" kata Jack dengan geli. "Sudahlah, Konyol— angkat lagi jambulmu! Jangan berlagak sedih. Tapi awas—kalau kau masih berani berteriak-teriak memanggil polisi, dan menirukan bunyi peluit mereka!"

"Kita akan bepergian, Kiki," kata Dinah. Tapi burung kakaktua itu masih tetap pura-pura merasa sedih, ia menyembunyikan kepalanya ke balik kerah baju Jack. Tapi tidak ada yang memperhatikannya lagi. Karenanya dengan segera ia sudah bersikap biasa lagi, dan ikut mencampuri percakapan.

Tiba-tiba Bu Cunningham kaget.

"Astaga—tahukah kalian, sudah pukul berapa sekarang?" serunya. "Sudah hampir tengah malam—padahal kalian baru saja sembuh! Bagaimana sih, aku ini? Kalau kita tidak berhati-hati, tahu-tahu mereka sudah meringkuk lagi di tempat tidur. Ayo cepat tidur, Anak-anak!"

Keempat anak itu naik ke tingkat atas, sambil tertawa-tawa dengan gembira. Sudah tidak ada lagi bekas-bekas perasaan muram yang menghinggapi mereka ketika masih sakit influensa dulu. Apalagi karena kini mereka akan mengadakan perjalanan yang mengasyikkan, berlibur di negeri asing!

"Aku ingin tahu, ke mana kita akan berlibur, kata Jack pada Philip. "Bill tadi tidak mau mengatakannya, karena khawatir kalau didengar Kiki."

"Bill selalu berhati-hati tentang segalanya, sampai kita betul-betul sudah berangkat," kata Philip. "Jadi tidak ada gunanya ia didesak-desak Lagi pula, itu kan tidak begitu penting! Kan asyik seperti sekarang ini, akan berangkat entah ke mana—dan bukan harus segera kembali bersekolah."

"Lucy-Ann pasti tidak suka jika mendengarnya—tapi bagiku, ini pasti akan merupakan petualangan hebat!" kata Jack. "Sudahlah, tidur saja sekarang. Kurasa kau sudah seratus kali lebih menggosok masing-masing gigimu."

Selama dua hari selanjutnya, keadaan di rumah itu sibuk sekali. Pakaian musim panas dikeluarkan lagi dari lemari, anak-anak sibuk mencari mainan yang hendak dibawa, dan seperti biasa semuanya sibuk mencari-cari anak kunci yang hilang. Ributnya bukan main, akibatnya Bu Cunningham sampai pusing mendengarnya.

"Ribut!" kata Kiki menirukan, ketika didengarnya Bu Cunningham mengucapkan kata itu sewaktu mengeluh pada Bill. "Ribut, bat-bit-ribut! Panggil dokter, ribut!"

"Aduh, Kiki—kau ini selalu saja membuat orang tertawa," kata Bu Cunningham. "Kau sendiri juga ribut. Berisik, tahu?"

Page 14: Petualangan di Sungai Ajaib

Ketika Rabu malam tiba, kopor-kopor sudah selesai dikemas—dan bisa dibilang dengan rapi — sedang semua anak kunci dititipkan pada Bill, untuk disimpan di dalam dompetnya. Begitu pula sudah ada yang dimintai tolong membersihkan rumah, selama mereka tidak ada. Bill mengeluarkan mobil dari garasi. Akhirnya tiba juga saat berangkat.

Bill mengemudikan mobil, menuju ke bandar udara. Asyik rasanya tiba malam-malam di tempat itu, karena begitu banyak lampu berwarna-warni yang menyala. Terdengar suara seorang wanita mengumumkan dengan suara lantang lewat pengeras suara, "Pesawat dari Roma sudah mendarat. Pesawat dari Roma sudah mendarat."

"Keberangkatan pesawat ke Jenewa mengalami pengunduran sepuluh menit."

"Pesawat dari Paris sudah mendarat, dua menit lebih cepat dari jadwal."

Rombongan Bill Cunningham duduk di ruang tunggu. Anak-anak mulai merasa mengantuk di ruangan yang hangat itu. Kepala Lucy-Ann sudah terangguk-angguk. Tibat-tiba Bill berdiri, ketika terdengar lagi pengumuman lewat pengeras suara.

"Itu pesawat kita! Yuk," katanya. "Kita jangan sampai memencar. Jaga baik-baik, Jack—jangan sampai Kiki terbang, atau menjerit. Lebih baik ia kaumasukkan saja ke dalam jasmu."

Kiki mengomel-ngomel, karena merasa terkurung di dalam jas. Tapi hanya pelan-pelan saja, karena ia sebenarnya agak bingung juga mendengar deru pesawat setiap kali mendarat atau tinggal landas. Tidak lama kemudian mereka berenam sudah duduk di kursi masing-masing. Mereka merasa nyaman sekali, apalagi karena pramugari dengan segera menghidangkan makanan dan minuman.

Mereka tidak bisa melihat apa-apa di luar, karena pesawat terbang menembus kegelapan malam. Cuaca saat itu cerah dan tenang. Keempat anak itu tidur nyenyak sambil bersandar ke punggung kursi yang direbahkan ke belakang. Kiki juga tidur, sambil mendekam di dalam jas.

Sementara pesawat masih terus mengarungi angkasa, bintang-bintang di langit mulai memudar cahayanya. Fajar mulai menyingsing di ufuk timur. Langit berubah warna, yang semula biru pekat berangsur-angsur menjadi keperak-perakan, dan kemudian kuning keemasan. Akhirnya matahari menampakkan diri. Anak-anak terbangun satu demi satu. Semula mereka agak bingung, karena tidak ingat di mana mereka berada saat itu.

"Dua atau tiga jam lagi, kita sudah akan sampai," kata Bill. "Ada yang ingin makan sesuatu? Itu, pramugari kita yang ramah sudah datang lagi."

"Kepingin rasanya punya rumah di dalam pesawat terbang," kata Jack, ketika pramugari sudah datang dengan hidangan sarapan sebaki penuh. "Kenapa ya, makanan di pesawat

Page 15: Petualangan di Sungai Ajaib

rasanya selalu enak? Coba lihat saja, buah persik yang begini besar! Aku rasanya belum pernah makan roti sandwich seenak ini!"

"Sedap!" kata Lucy-Ann, sambil meraih sandwich yang keempat. "Jack! Jangan kaubiarkan Kiki mengambil persik lagi—itu sudah yang kedua! Lihatlah, air sarinya berceceran. Aku basah dibuatnya!"

Ya—sekali ini untung Bill harus melakukan tugas lagi, dan karenanya anak-anak boleh ikut!

Bab 4, DI BAGIAN DUNIA SEBELAH MANAKAH TEMPAT INI?

Sesudah itu lama sekali anak-anak asyik memandang ke luar lewat jendela, memperhatikan bumi yang terbentang di bawah. Pesawat mereka saat itu terbang tinggi, dan sering melintas di atas hamparan awan putih. Kelihatannya seperti hamparan salju yang sangat luas. Lewat lubang-lubang yang terdapat pada beberapa tempat, jauh sekali di bawah nampak bukit-bukit, sungai-sungai, serta kota atau desa-desa. Semuanya kelihatan serba kecil!

Suasana menjadi ramai ketika pesawat akhirnya mendarat di landasan yang panjang. Banyak orang berlari-lari menuju ke pesawat. Tangga-tangga beroda didorong mendekat, barang-barang diturunkan, para penumpang berbondong-bondong keluar, ada yang disambut dengan meriah oleh handai taulan yang datang menjemput. Bill beserta keluarganya dijemput dengan mobil besar yang dikemudikan seorang laki-laki berkulit sawo matang.

"Segalanya sudah diatur," kata Bill menjelaskan, sementara mobil meninggalkan bandar udara. “Dari sini kita ke suatu kota kecil. Nama kota itu Barira. Untuk kita sudah dipesankan tempat di sebuah hotel yang sangat nyaman di sana. Aku tidak mau tinggal di tempat yang besar, untuk menghindari kemungkinan ada yang mengenali diriku. Mulai saat ini aku akan selalu memakai kaca mata gelap."

Kota kecil yang disebutkan oleh Bill itu ternyata letaknya jauh dari bandar udara. Tiga jam kemudian barulah mereka tiba di sana, setelah melewati jalan yang di beberapa bagian sangat berbenjol-benjol, melalui daerah yang kadang-kadang berhutan lebat, atau kadang-kadang gundul seperti gurun. Tapi akhirnya mereka sampai juga di tempat tujuan. Mobil besar itu berhenti di depan sebuah hotel. Bangunannya rendah, tapi melebar. Seluruh dinding luarnya dicat putih.

Manajer hotel itu sendiri yang datang menyambut mereka. Orangnya gemuk pendek, dan hidungnya sangat besar, ia membungkuk dalam-dalam di depan mereka, lalu dengan keras menyerukan perintah dalam bahasa yang tidak dikenal oleh anak-anak. Beberapa pelayan datang untuk menurunkan barang-barang dari mobil. Keringat mereka bercucuran, karena harus bekerja di bawah sinar matahari yang terik.

Page 16: Petualangan di Sungai Ajaib

"Barangkali Anda ingin menyegarkan diri sebentar, Nyonya?" kata manajer hotel pada Bu Cunningham. "Segalanya sudah disiapkan dengan sempurna, dan kami mengucapkan selamat datang pada Anda berenam."

Sambil membungkuk, manajer itu mempersilakan mereka masuk ke hotel, dan langsung mengantarkan ke kamar-kamar yang sudah dipesan. Kamar-kamar itu lapang dan segar, dengan perabotan yang sangat sederhana. Anak-anak senang, ketika melihat bahwa masing-masing kamar dilengkapi dengan ruang mandi yang memakai pancuran. Jack langsung membuka pakaian, lalu mandi di bawah siraman air yang ternyata tidak dingin.

"Di mana sebenarnya kita sekarang ini? Kau tahu, Philip?" seru Jack sambil mandi. "Aku tahu, Bill mengatakan bahwa kota ini bernama Barira. Tapi baru sekali ini aku mendengar nama itu."

Saat itu Bill masuk ke kamar mereka.

"Nah—semuanya beres di sini?" katanya. "Mana Dinah dan Lucy-Ann? Ah—kamar mereka bersebelahan dengan kamar kalian? Bagus! Kamar kami di seberang tangga—jika kapan-kapan kalian mencari kami. Kira-kira seperempat jam lagi kita akan makan. Tolong beri tahu kami jika kalian sudah siap."

"He, Bill," seru Jack dari ruang mandi. "Di bagian dunia sebelah manakah kita sekarang ini? Orang-orang yang kita lihat sejak dari bandar udara tadi, semuanya bertampang seperti orang Arab."

Bill tertawa.

"Kau tidak tahu di mana kita sekarang ini?" katanya. "Kita berada di suatu tempat, agak jauh dari perbatasan dengan Suriah—di daerah yang sudah sangat tua peradabannya!—Tolong beri tahu anak-anak perempuan, agar mereka secepat mungkin menggabungkan diri dengan kalian, ya?"

Hotel kecil itu ternyata sangat menyenangkan. Bahkan Kiki pun disambut dengan ramah, setelah manajer pulih dari rasa kaget, ketika melihat ada burung kakaktua bertengger di bahu Jack.

"Eh—ada—burung apa namanya?—O ya, kakaktua!" kata laki-laki pendek gendut itu. "Burung manis, ya?"

"Bersihkan kakimu!" kata Kiki, menyebabkan manajer itu tercengang. "Tutup pintu!"

Laki-laki itu bingung, apakah perintah itu harus dipatuhi atau tidak.

"Burung lucu!" katanya. "Pintar sekali—pandai bicara. Polly, Polly!"

Page 17: Petualangan di Sungai Ajaib

"Polly masak air," kata Kiki lagi, lalu menjerit sekuat-kuatnya. Mendengar teriakan itu, manajer hotel cepat-cepat keluar.

Kecuali mereka berenam, tidak ada lagi tamu di hotel itu. Anak-anak duduk di keteduhan beranda yang dinaungi tumbuhan berbunga merah menyala. Kupu-kupu yang besar-besar beterbangan di sekitar situ. Kiki memperhatikan dengan penuh minat, ia mengenal kupu-kupu, karena di rumah juga banyak. Tapi kupu-kupu yang di sini kelihatannya lain. Kiki berbicara pada dirinya sendiri. Para pelayan yang lewat memandangnya dengan kagum. Kebetulan salah satu dari mereka batuk. Kiki langsung menirukannya. Orang itu ketakutan, lalu cepat-cepat lari.

"Jangan suka pamer, Kiki," kata Jack dengan mata setengah terpejam. "Dan jangan bergerak-gerak terus. Diam sedikit kenapa sih!"

Keesokan harinya diatur rencana untuk mengadakan pesiar lewat sungai. Menurut rencana, pesiar itu akan memakan waktu paling sedikit seminggu. Bill mengambil peta, untuk memperlihatkan alur sebuah sungai yang berkelok-kelok, ia menunjukkan beberapa tempat di tepi sungai itu.

"Kita berangkat dari sini," katanya. "Di situlah kita ditunggu perahu motor kita. Lalu mula-mula kita ke sini—ini, ke tempat ini! Lalu ke kota ini—aku tidak tahu bagaimana cara menyebut namanya yang benar—kalau tidak salah Ala-ou-iya. Pokoknya kurang lebih begitulah!—Nah, di situ kalian akan kutinggal, karena aku harus mengadakan penyelidikan tentang orang yang harus kuamat-amati. Tapi mungkin juga Jack dan Philip bisa ikut."

"Siapa nama orang itu?" tanya Jack.

"Raja Uma," kata Bill. "Tidak ada yang tahu apakah itu namanya yang benar atau bukan. Dan tidak ada pula yang mengetahui ia itu sebenarnya bangsa apa. Tapi kami mengetahui bahwa ia perlu diamat-amati, karena suka menimbulkan keributan. Sementara ini kami belum tahu, untuk tujuan apa ia ada di sini. Mungkin saja ia tidak punya niat untuk berbuat apa-apa. Tapi mengingat tindak-tanduknya selama ini, kurasa itu tidak mungkin. Pokoknya, aku hanya bertugas menemukan orang itu, lalu menyelidiki apa yang dilakukannya di sini, dan melaporkan hasil penyelidikanku. Hanya itu saja! Jadi sama sekali tidak berbahaya. Sebab kalau berbahaya, kalian pasti takkan kuajak ikut."

"Kalau ada bahaya pun, kami tidak takut!" kata Philip. "Justru bahayalah yang membuat petualangan menjadi asyik, Bill!"

"Kau ini—dengan petualangan kalian!" kata Bill sambil tertawa. "Tapi sekarang dengar baik-baik. Orang yang bernama Uma itu tidak mengenal diriku, ia belum pernah berjumpa dengan aku. Tapi ada kemungkinan ia sudah diberi tahu bahwa tindak-tanduknya di sini sedang diselidiki. Jadi bisa saja ia sudah waspada, terhadap orang yang mungkin hendak mengamat-amati dirinya. Jadi, jika nanti ada yang bertanya-tanya, jawab dengan segera bahwa kalian habis sakit, dan kalian kemari untuk beristirahat agar

Page 18: Petualangan di Sungai Ajaib

mendapat sinar matahari. Pokoknya yang begitulah! Itu kan benar, sehubungan dengan diri kalian sendiri."

"Ya, memang," kata Jack. "Uma itu seperti apa tampangnya?"

"Ini—ada beberapa fotonya," kata Bill, sambil meletakkan sejumlah foto. Anak-anak memandang foto-foto itu dengan heran.

"Tapi ini kan foto beberapa orang," kata Dinah. "Tidak ada dua yang sama."

"Kelihatannya memang begitu—tapi semuanya ini foto teman kita itu, Uma," kata Bill. "ia memang ahli dalam soal menyamar. Satu-satunya tanda yang sulit ditutupi cuma bekas luka memanjang di lengan kanannya sebelah atas. Bekas luka itu bentuknya melengkung, seperti badan ular yang langsing. Tapi itu bisa ditutup dengan mudah, yaitu jika ia memakai kemeja lengan panjang, atau jas—atau pakaian apa saja yang berlengan panjang."

Bill mengumpulkan foto-foto itu, lalu menyimpan semuanya kembali ke dalam dompet.

"Kecil sekali kemungkinannya kalian akan bisa mengenali Uma apabila sewaktu-waktu bertemu dengannya," katanya. "Jadi, jangan langsung mencurigai setiap orang yang kalian jumpai. Itu malah hanya akan mengganggu keasyikan liburan kalian! Aku tahu di mana harus kutemui orang-orang yang mengenalnya, dan ada kemungkinan bahwa aku akan menerima kabar tentang dia. Tapi di lain pihak, bisa saja kini ia tidak ada lagi di sini—mungkin sudah terbang ke Amerika, atau ke Australia. Orang itu memang luar biasa—dengan seenaknya saja berkeliaran ke mana-mana. Sebentar di sini, lalu saat berikut tahu-tahu sudah ada di tempat lain."

Saat itu ada sesuatu bertubuh panjang dan lentur menggeleser di dekat kaki Bill, lalu menghilang ke tengah semak yang ada di dekat situ. Bill terkejut, lalu cepat-cepat menahan Philip ketika anak itu hendak mengejar.

"Jangan—mungkin itu tadi ular berbisa! Lebih baik jangan kaucoba menjinakkan satwa liar daerah sini."

Dinah terpekik.

"Tadi itu ular?" jeritnya. "Ih, seram! Bill, kau tidak mengatakan bahwa di sini ada ular. Aku paling benci pada ular.—Awas kalau kau berani menangkap mereka, Philip! Aku akan menjerit sekuat-kuatnya!"

"Anak konyol!" tukas Philip. Tapi ia duduk lagi. Baiklah, Bill—aku berjanji takkan menangkap dan memelihara ular berbisa. Tapi yang tadi itu kelihatannya bagus. Jenis apa itu?"

Page 19: Petualangan di Sungai Ajaib

"Aku tidak tahu," jawab Bill. "Aku ini bukan ahli soal ular. O ya, kau sebaiknya juga berhati-hati dengan serangga-serangga yang ada di sini, Philip—karena beberapa di antaranya sangat berbahaya sengatannya. Jangan mengantungi terlalu banyak!"

Dinah sudah tidak begitu gembira lagi sekarang, setelah mendengar bahwa di situ ada ular. Kalau berjalan matanya selalu menatap ke tanah. Begitu melihat ada sesuatu yang bergerak—walau itu hanya selembar daun saja—ia langsung meloncat. Manajer hotel melihat sikapnya itu, lalu menghampiri.

“Di sini memang banyak ular—" kata laki-laki bertubuh pendek gemuk itu,—ular besar-besar, yang tidak menggigit—dan yang kecil, yang sangat beracun. Yang paling berbisa, namanya ular bargua. Jangan sekali-kali menyentuh ular itu!"

"Ih!" kata Dinah sambil bergidik, ia bertanya, "Seperti apa ular itu?"

"Warnanya hijau, berbintik-bintik."

"Bintik-bintiknya berwarna apa?" tanya Dinah lagi.

"Merah dan kuning," jawab manajer hotel. "Dan kalau mematuk cepat sekali—begini!" ia menggerakkan tangannya, seolah-olah ular yang hendak mematuk Dinah. Dinah terpekik, sambil cepat-cepat mundur.

"Ah—kau ketakutan!" ujar manajer hotel, ia merasa bersalah. Jangan takut! Sebentar—kuambilkan sesuatu untukmu!"

Ia bergegas pergi, lalu kembali dengan sebuah piring berisi manisan.

"Kuberikan maafku padamu," kata orang itu dalam bahasa Inggris yang ngawur. "Dan juga permintaan ampun."

Dinah terpaksa tertawa mendengar kata-kata itu.

"Itu tidak perlu," katanya. "Aku tadi tidak benar-benar ketakutan—melainkan hanya kaget saja. Tapi terima kasih atas pemberian manisan ini."

Setelah manajer hotel pergi, anak-anak mencicipi manisan yang dihadiahkan. Mereka langsung merasa agak mual, karena manisan itu kecuali sangat lengket dan berlemak, rasanya juga sangat manis. Tapi Kiki tidak peduli, ia makan terus dengan nikmat, lalu mengeluarkan bunyi terceguk dengan keras. Seorang pelayan yang kebetulan lewat tertawa geli mendengarnya.

"Diam, Kiki," kata Jack. "Jangan suka macam-macam."

Tapi sekali ini Kiki benar-benar kecegukan. ia agak heran, ketika ternyata bahwa ia tidak bisa berhenti terceguk-ceguk.

Page 20: Petualangan di Sungai Ajaib

"Maaf," katanya setiap kali terceguk. Anak-anak terpingkal-pingkal, karena burung konyol itu mengucapkannya dengan nada terheran-heran.

"Itulah—lain kali jangan terlalu rakus!" kata Jack. "He—besok kita akan mulai pesiar dengan perahu motor! Cup—sekali-sekali aku akan mengemudikannya!"

Kiki langsung menirukannya.

"Cup, aku! Cup, aku!" ocehnya sambil melonjak-lonjak. "Cup, cup, cup! Cup, aku! Eh—maaf!"

Besok! Besok mereka akan mulai mengarungi sungai yang tidak dikenal, menuju tempat-tempat misterius di negeri asing! Apa lagi yang lebih mengasyikkan daripada itu?

Bab 5, MENGARUNGI SUNGAI

Keesokan harinya mereka berangkat dengan mobil ke sungai, melewati jalan yang nampak putih. Jalan itu berkelok-kelok. Penduduk setempat yang ada di jalan buru-buru minggir, begitu mobil besar itu lewat.

"Mereka kelihatannya seperti orang-orang yang dikisahkan dalam Alkitab," kata Lucy-Ann.

"Yah—itu tidak aneh, karena orang-orang yang dituturkan itu banyak yang berasal dari daerah sini," kata Bill. "Dan dalam beberapa hal, penduduk sini maupun desa-desa mereka, tidak banyak mengalami perubahan, kecuali beberapa jenis benda hasil perkembangan zaman modern yang merembes kemari—seperti radio, arloji, dan kadang-kadang juga sanitasi modern. Dan tentu saja juga film. Di mana-mana bisa ditemukan gedung bioskop."

"He, Bill! Orang itu tampangnya persis gambar Abraham, yang ada di dalam Alkitab bergambarku yang dulu!" kata -Lucy-Ann sambil menunjuk dengan anggukan kepala ke arah seorang laki-laki berjubah putih, yang melangkah dengan sikap berwibawa di pinggir jalan. "Dan lihatlah—wanita yang menjunjung pot—eh, maksudku kendi—di atas kepalanya! ia kelihatannya persis gambar yang kumiliki, yang menggambarkan Rebeka sedang pergi mengambil air ke sumur."

"He, lihatlah—ada kawanan unta!" seru Philip dengan tiba-tiba. "Dan itu ada yang masih bayi. Baru sekali ini kulihat bayi unta. Ingin aku memilikinya, untuk kujadikan peliharaan."

"Yah—kalau dia kaupelihara, masih mendingan—karena tidak bisa kaukantungi seperti ular, atau tikus," kata Dinah. "Masam sekali tampang unta-unta itu!"

Page 21: Petualangan di Sungai Ajaib

"Memang," kata Bill. "Unta memang selalu bertampang masam. Yang di sana itu, sikapnya memandang kita seolah-olah muak melihat mobil ini."

"Mungkin memang begitu," kata Dinah. "Bau bensin pasti sangat tidak enak baginya!—Wah, ia benar-benar mencibir! Sudah, janganlah semacam itu mukamu, Unta!"

Mereka juga berpapasan dengan iring-iringan keledai, yang dengan sabar berjalan sambil memanggul keranjang yang besar-besar. Muatan yang dibawa nampaknya sangat berat, sehingga anak-anak heran melihat keledai-keledai itu masih mampu berjalan.

"Coba buku bergambarku tentang unggas sedunia jadi kubawa, aku akan bisa mengetahui nama-nama segala burung yang cemerlang warna bulunya itu," kata Jack dengan sedih. "Aku sebenarnya sudah berniat akan membawanya, tapi kemudian tertinggal di meja kamarku."

"Kau takkan diizinkan masuk ke pesawat jika buku berukuran raksasa itu kaubawa," kata Bill. "Tapi kulihat kau membawa teropongmu. Banyak sekali nanti yang bisa kaulihat dengan alat itu."

"Itukah sungainya?" kata Dinah tiba-tiba, ketika ia sekilas melihat sebidang air di sela pepohonan yang dilewati. "Ya, betul! Wah—lebar sekali sungai di tempat ini!"

Tepi seberang sungai itu memang jauh sekali kelihatannya. Perahu motor yang dipesan sudah siap menunggu mereka. Perahu itu tidak besar, tapi apik. Pengemudinya, seorang penduduk setempat berpenampilan rapi, memberi hormat ketika para penumpang datang. Perahu itu ditambatkan di tepi pangkalan yang kecil. Bill memeriksa perahu motor itu. Setelah puas, ia mengangguk pada laki-laki itu.

"Saya Tala," kata laki-laki itu sambil membungkukkan badan. "Tala mengurus kapal, dan juga mengurus tamu-tamu, Tuan."

Tala mempersilakan tamu-tamunya turun ke perahu. Kendaraan sungai itu kecil, tapi cukup lapang untuk mereka. Hawa di dalam kabin panas dan pengap. Tapi tidak apa, karena memang tidak ada yang berniat tinggal lama-lama di situ! Tempat berbaring-baring terdapat di bawah dek. Nampaknya tidak enak tidur di situ, karena hawanya juga panas dan pengap. Tapi Bill mengatakan bahwa mereka bisa tidur di atas dek, asal jangan lupa memasang kelambu. Angin semilir yang sekali-sekali mengembus, terasa sangat nyaman.

"Tuan mau kita berangkat sekarang ini juga?" tanya Tala sambil memperhatikan para penumpang satu demi satu. Orang itu giginya putih sekali. Matanya berkilat-kilat Jenaka, menyebabkan anak-anak langsung suka padanya.

Bill mengangguk.

Page 22: Petualangan di Sungai Ajaib

"Ya, kita berangkat sekarang! Tolong jelaskan untuk apa segala instrumen ini, supaya bila ingin aku bisa menggantikan mengemudi."

Dengan mulus perahu motor itu mulai bergerak meninggalkan pangkalan. Bunyi mesinnya sangat lembut, hampir-hampir tidak kedengaran. Begitu perahu sudah berjalan, hawa langsung terasa lebih sejuk, karena ada angin dari depan. Anak-anak duduk di dek, memperhatikan pemandangan yang dilewati pada kedua tepi sungai.

Bu Cunningham turun ke bawah, untuk memeriksa bekal makanan apa saja yang dibawa. Tidak lama kemudian terdengar suaranya memanggil Bill.

"Boleh juga kau, Bill!" katanya. "Bekal ini pasti cukup untuk satu pasukan—dan semuanya enak-enak! Ada pula lemari es di sini, berisi mentega serta susu segar. Kau ini orang penting rupanya, kalau melihat apa saja yang dipersiapkan demi kesenanganmu!"

Bill tertawa saja.

"Sudahlah, naik saja ke dek—supaya pipimu bisa agak merah kena sinar matahari!" katanya.

"He—kenapa anak-anak itu?"

Saat itu perahu mereka melewati sebuah desa kecil. Anak-anak desa itu bergegas-gegas ke tepi sungai, untuk memperhatikan perahu lewat. Mereka melambai-lambai sambil berseru-seru dengan gembira. Keempat anak yang ada di atas perahu membalas lambaian itu.

"Apa nama sungai ini, Tala?" tanya Philip.

"Namanya, Sungai Abenca," jawab Tala, sementara matanya terus ditatapkan ke sungai di depannya.

"Adventure? Sungai Adventure?—He, Anak-anak!" seru Philip. "Kata Tala, sungai ini namanya Sungai Adventure! Asyik, ya?—Sungai Petualangan!"

"Abenca! Abenca," kata Tala membetulkan ucapan Philip. Tapi anak itu mengira bahwa Tala hendak mengucapkan kata "Adventure", yang memang berarti Petualangan Tapi cara pengucapannya saja yang keliru. Soalnya, Tala memang sering mengalami kesulitan dalam mengucapkan kata-kata dalam bahasa Inggris.

"Ya, Tala—kami sudah mengerti," kata Philip. "Mama itu bagus—Sungai Petualangan. Dan ini memang merupakan petualangan, bagi kami!"

Hari pertama pesiar itu berlangsung dengan tenang dan tenteram. Mereka mengarungi sungai selama berjam-jam. Bill menggantikan memegang kemudi, ketika Tala harus turun ke bawah untuk menyiapkan makanan. Anak-anak ingin sekali tahu, hidangan

Page 23: Petualangan di Sungai Ajaib

seperti apa yang akan disajikan nanti. Mereka sudah sangat lapar. Kemudian Tala muncul lagi, dengan hidangan yang hebat sekali. Menurut Dinah, sebutan hidangan saja tidak pantas untuk itu—karena masih kurang hebat. Rasanya lebih cocok jika dikatakan perjamuan. Atau bahkan pesta!

Tala rupanya menyajikan hidangan hasil ciptaannya sendiri, yang diramunya dengan bahan-bahan dari beberapa kaleng yang dibukanya. Hidangan sedap itu dilengkapi acar, serta bermacam-macam saus. Dan ada pula roti segar sebagai pengiring, serta buah-buahan—baik yang segar, maupun buah kalengan. Lucy-Ann langsung menyambar sebuah persik yang besar.

"Jangan kaumakan dengan kulitnya, Lucy-Ann!" kata Bill, ketika melihat anak itu langsung hendak menggigit persiknya. "Buah-buahan di sini harus dikupas dulu sebelum dimakan. Itu harus selalu kalian ingat! Jangan sampai lupa!"

Bu Cunningham benar-benar menikmati hari yang berjalan dengan tenang itu, mendengarkan kecipak air memukul haluan perahu, serta melihat desa-desa yang dilewati, serta sekali-sekali berpapasan dengan perahu-perahu lain di tengah sungai yang biru kehijauan itu.

Sinar matahari senja yang hangat dan embusan angin menyebabkan mereka semua merasa mengantuk. Mereka langsung tertidur, begitu merebahkan diri di lantai dek. Tala menepikan perahu, lalu menambatkannya. Setelah itu ia pun merebahkan diri di pembaringannya, yang terletak di buritan.

Sebelum terlelap, Jack masih sempat heran, kenapa bintang-bintang di langit kelihatan begitu besar dan terang. Malam itu semuanya tidur nyenyak. Tidak ada yang mendengar apa-apa. Mereka juga tidak mendengar suara seekor burung malam, yang bunyinya merupakan campuran antara teriakan dan suara burung hantu. Sebenarnya ada juga yang mendengar suara itu, yaitu Kiki! Burung itu membuka sebelah matanya. Sejenak ia sudah berniat untuk menjawab teriakan itu dengan suara yang serupa. Tapi tidak jadi—karena pasti Bill akan marah-marah lagi!

Keesokan paginya, sungai kelihatan lebih indah. Warna airnya biru pudar. Jack sangat tertarik, melihat kawanan burung air yang kecil-kecil mengambang sambil berenang-renang di sekitar perahu.

"Burung-burung ini, apa namanya?" tanyanya pada Tala, sambil menuding ke arah burung-burung kecil yang bulunya berwarna biru bercampur kuning.

"Tala tidak tahu," jawab yang ditanya, sambil mengangkat bahu. Ternyata Tala tidak tahu apa-apa tentang burung, serangga, maupun bunga. Tidak satu pun yang ia tahu namanya. Seluruh minatnya terarah pada mesin perahu, serta bagaimana merawatnya.

"Sebentar lagi kita sampai di tempat besar," kata Tala petang itu. Sikapnya nampak lebih gembira. "Nama tempat itu Kota Fellem."

Page 24: Petualangan di Sungai Ajaib

"Kota Fellem?" tanya Bill dengan heran. "Kurasa kau keliru, Tala. Tidak ada kota besar di sepanjang sungai ini. Yang ada hanya kota-kota kecil saja. Kota Fellem? Belum pernah kudengar nama itu. Yang jelas, di petaku tidak tertera!"

Tapi Tala mengangguk-anggukkan kepalanya dengan tegas.

"Ya, Kota Fellem," katanya dengan sikap yakin. "Tala tahu! Setengah jam lagi, kita akan lihat Kota Fellem."

Bill mengeluarkan petanya, lalu menelusuri gambar sungai yang tertera di situ. Sambil menggeleng-geleng, diperlihatkannya peta itu pada Tala.

"Kau keliru," kata Bill. "Tidak ada di sini yang namanya Kota Fellem. Lihat saja sendiri. Di mana tempatnya?"

Tala meletakkan jari telunjuknya pada satu bagian dari peta itu, di mana sungai digambarkan agak membelok.

"Kota Fellem di sini," katanya. "Tuan lihat saja nanti. Tala pasti benar. Tala sudah pernah ke sana. Kota besar sekali. Banyak orang di sana. Menara besar-besar, setinggi langit."

Keterangannya itu benar-benar mengherankan. Bill sampai merasa bingung. Apa sebabnya 'kota besar sekali' itu tidak diterakan pada peta? Padahal desa-desa kecil saja ada! Kota kecil yang menjadi tujuan mereka saat itu, letaknya dekat -sekali dengan tikungan sungai tempat Kota Fellem terletak—menurut Tala.

Bill mengangkat bahu. Tala pasti mengada-ada. Menara-menara setinggi langit? Omong kosong!

Malam tiba, bintang-bintang bermunculan menghias langit. Berkelap-kelip, dengan cahaya yang terang dan misterius. Air sungai kelihatan berubah menjadi hitam pekat, sedangkan pantulan cahaya bintang-bintang di langit berwarna ke-perak-perakan

"Itu tikungan sungai yang kumaksudkan, Tuan—lalu sesudah itu, Kota Fellem," kata Tala bersemangat. "Tuan lihat nanti!"

Perahu memasuki tikungan—dan sekejap kemudian Bill serta yang lain-lainnya melihat pemandangan yang benar-benar menakjubkan! Di depan mereka nampak sebuah kota besar, di tepi sungai sebelah barat. Kota yang penuh dengan cahaya terang, serta suara ramai. Kota dengan menara-menara yang menjulang tinggi. Persis seperti yang dikatakan oleh Tala!

Sambil memandang, Bill hanya bisa melongo, ia tidak mengerti. Di depan mata nampak sebuah kota besar, yang tidak tertera di peta. Padahal peta itu terbitan paling baru. Belum sampai setahun! Mana mungkin ada kota dibangun dalam waktu tidak sampai setahun.

Page 25: Petualangan di Sungai Ajaib

Baru sekali ini Bill benar-benar bingung, ia memandang dengan mata terbelalak, seolah-olah tidak bisa mempercayai penglihatannya sendiri.

"Tala boleh ke Kota Fellem malam ini?" tanya Tala dengan nada mengharap. "Tala suka Kota Fellem. Boleh ya, Tuan? Perahu aman—kan ada Tuan di sini!"

"Ya, ya, pergilah," kata Bill, setelah agak pulih dari kebingungannya. "Ini benar-benar luar biasa! Sebuah kota yang besar dan ramai, dengan gedung yang besar-besar—tapi tidak tertera di peta. Tidak seorang pun di London yang mengatakan apa-apa padaku mengenai kota ini. Apa artinya ini?"

"Kita melihat-lihat ke sana, ya, Bill?" kata Jack mengajak.

"Jangan malam ini," kata Bill. "Kita ke sana besok, jika hari sudah siang. Tapi bukan main terangnya tempat ini! Dan bangunannya juga besar-besar! Aku benar-benar tidak mengerti. Benar-benar aneh!"

Bab 6, 'KOTA FELLEM'

Malam itu semuanya tidur enak. Sebelumnya, sampai larut mereka masih memandang lampu-lampu gemerlapan yang menerangi 'Kota Fellem' yang menakjubkan itu. Tala sudah pergi. Orang itu kelihatannya senang sekali. Dengan sekali loncat saja ia sudah sampai di darat. Dan ia belum kembali ketika yang lain-lain sudah merebahkan diri untuk tidur di dek yang sejuk. Bill agak gelisah, karena tidak tahu kapan Tala akan kembali.

Tapi keesokan harinya, pagi-pagi Jack terbangun karena mendengar orang mengutik-utik mesin perahu. Ternyata orang itu Tala! ia sedang membersihkan busi-busi. Tampangnya agak kuyu. Rupanya karena semalam kurang tidur, ia memandang Jack sambil nyengir, ketika anak itu berdiri lalu menggeliat.

"Tala ke Kota Fellem," kata orang itu, sambil mengangguk ke arah tepi sungai. Jack langsung teringat pada kejutan yang tiba-tiba nampak malam sebelumnya, ia bergegas ke pinggir seberang perahu, untuk memandang ke arah Kota Fellem yang misterius itu. Apa yang dilihatnya begitu mengherankan, sehingga Jack merasa perlu memanggil Bill.

"Bill Kemarilah, Bill! Coba kaulihat!"

Bill bangun mendengar namanya dipanggil, lalu menghampiri Jack. Mereka memandang ke arah kota yang luas itu. Bill ternyata juga tercengang.

"Ada yang aneh dengan kota ini," katanya. "Lihat saja menara-menara itu!—Kelihatannya tidak seperti menara sungguhan—lalu apa itu, yang di sana—kelihatannya seperti istana, atau begitu! Itu juga kelihatan agak aneh. Dari sini, kelihatannya seperti satu sisinya tidak ada! Mana teropongmu, Jack? Coba kupinjam sebentar."

Bill mengamat-amati kota itu dengan teropong yang disodorkan Jack padanya.

Page 26: Petualangan di Sungai Ajaib

"Wah—aku semakin bingung jadinya," katanya kemudian, sambil menurunkan teropong. "Kota itu terdiri dari berbagai bangunan yang serba aneh—ada pondok-pondok dan gubuk-gubuk yang kelihatannya seperti gudang, lalu rumah-rumah model kuno, menara-menara, lalu istana itu, serta sesuatu yang nampaknya mirip sebuah kuil kuno—dan di sana-sini orang ramai berkerumun, serta iring-iringan unta, dan... pokoknya, aku bingung melihatnya."

"Yuk, kita melihat ke sana setelah sarapan," kata Jack.

"Ya, tentu saja kita perlu melihatnya," kata Bill. "Tempat bernama Kota Fellem ini bukan desa—karena terlalu besar untuk itu! Tapi kenapa tidak tertera pada petaku? Kemarin malam aku sempat mempelajari peta lain. Tapi di situ pun tidak ada. Bangunkan yang lain-lain, Jack."

Tidak lama kemudian mereka sudah sarapan beramai-ramai. Bu Cunningham juga merasa heran, melihat wujud kota aneh di tepi sungai itu.

"Istana itu kelihatannya masih baru," kata Lucy-Ann sambil memandang ke arah bangunan yang dibicarakan. "Padahal mestinya sudah ribuan tahun umurnya! Jadi mestinya sudah lama runtuh, dan tinggal puing-puingnya saja."

Selesai sarapan mereka semua turun ke darat. Tala ditinggal, karena harus menjaga perahu. Kiki tentu saja diajak. Seperti biasanya, ia bertengger di bahu Jack. ia mengoceh terus. Penduduk setempat yang berpapasan dengan mereka geli mendengarnya.

"Tutup pintu!" seru Kiki dengan galak. "Panggil dokter, Polly pilek." Setelah itu Kiki bersin dengan keras. Bunyinya begitu meyakinkan, sehingga hampir saja Lucy-Ann menyodorkan sapu tangan padanya. Akhirnya Jack menyuruh burung kakaktua itu diam, karena ia melihat segerombolan anak-anak kecil berjalan mengikuti mereka sambil tertawa-tawa dan menunjuk-nunjuk ke arah Kiki.

Ketika kota yang dituju sudah dekat, Bill berseru, "Ini kota tiruan! Menara-menara, candi, dan juga istana itu—semuanya tiruan! Lihat saja yang itu—yang ada kan cuma dinding depannya saja! Bagian belakangnya tidak ada!"

Semua memandang dengan heran. Ucapan Bill memang benar. Yang nampak memang hanya dinding depan yang ringkih—kalau dilihat dari jauh, nampaknya memang persis candi yang asli. Tapi di belakang dinding depan yang ternyata terbuat dari papan dan terpal itu hanya ada tempat terbuka. Dinding depan palsu itu sendiri hanya ditopang dengan kerangka yang terbuat dari sejumlah tiang.

Bill dan rombongannya meneruskan langkah. Mereka sampai di sebuah bangunan gudang yang kokoh. Di dalamnya ada bermacam-macam barang yang baru sekali itu dilihat oleh anak-anak. Mereka juga melihat pondok-pondok yang dibangun asal jadi saja. Pondok-

Page 27: Petualangan di Sungai Ajaib

pondok itu merupakan warung-warung. Ada yang menjual rokok, ada yang menjual minuman ringan, dan ada lagi yang menawarkan beraneka ragam keperluan sehari-hari.

Orang-orang yang mereka jumpai, beraneka ragam pula penampilannya. Pria dan wanita hilir mudik bergegas-gegas, kebanyakan mengenakan pakaian Barat yang kelihatan lusuh. Tapi tidak sedikit pula yang mengenakan pakaian penduduk setempat. Di mana-mana nampak anak-anak kecil berkeliaran, dengan pakaian seadanya.

Di balik suatu tikungan nampak pemandangan yang semakin membuat Bill dan rombongannya terheran-heran. Mereka melihat arak-arakan yang terdiri dari kaum pria berbusana megah. Mereka melangkah dengan tenang dan lambat, sambil menyanyikan lagu dengan khidmat. Di tengah arak-arakan itu ada tempat yang kosong. Tempat kosong itu diisi sesuatu yang kelihatannya seperti tempat tidur, dikelilingi sejumlah wanita yang mengenakan jubah berpotongan zaman dulu. Tempat tidur yang dikelilingi itu diusung oleh empat orang laki-laki bertubuh tinggi kekar, dan berkulit hitam. Dan di atasnya berbaring seorang wanita yang sangat cantik!

Sementara rombongan dari perahu pesiar memandang sambil melongo, tiba-tiba Bill berpaling, ia mendengar bunyi desiran yang aneh. ia langsung berseru, begitu melihat apa yang menimbulkan bunyi itu. Anak-anak, dan juga Bu Cunningham, menoleh ke arahnya. Mereka melihat Bill tertawa lebar.

"Sekarang aku mengerti!" katanya. "Heran— kenapa selama ini tidak ada pikiranku ke arah situ. Sebabnya 'Kota Fellem' ini tidak tertera di peta, mungkin karena belum ada ketika peta itu diterbitkan setahun yang lalu! Kalian lihat kamera-kamera yang besar di sana itu? Mereka sedang merekam adegan untuk film, dan..." ia tidak sempat menyelesaikan kalimatnya, karena saat itu anak-anak langsung ribut berbicara dengan serempak.

"Ah, tentu saja! Ya—kota ini dibangun khusus untuk membuat film yang ceritanya tentang zaman dulu!"

"Kenapa tidak ke situ pikiran kita, ya? Itu sebabnya candi itu hanya berupa dinding depannya saja!"

"Dan itu sebabnya kenapa di sini banyak orang dengan pakaian yang macam-macam!"

"Sekarang aku baru mengerti! Mamanya 'Kota Film'—dan bukan 'Kota Fellem', seperti sangkaan kita selama ini," kata Jack. "Sebuah kota yang dibangun khusus untuk membuat film. Kota Film!"

"Kelihatannya sangat menarik!" kata Philip bergairah. "Bolehkah kami berkeliling sendiri untuk melihat-lihat, Bill? Lihatlah—di sana ada yang sedang mempertunjukkan permainan akrobat! Nah, sekarang ia membungkukkan badan ke belakang, lalu memegang pergelangan kakinya dari belakang!"

Page 28: Petualangan di Sungai Ajaib

Bill tertawa.

"Baiklah," katanya. "Sana—pergilah melihat-lihat! Kurasa tempat ini menarik banyak artis, karena merasa akan bisa mendapat penghasilan dengan pertunjukan mereka. Mungkin kalian nanti akan bisa melihat sesuatu yang menarik. Tapi hati-hati, jangan sampai memencar. Jack, Philip— kalian menjaga ya, jangan sampai kedua adik kalian terpisah. Aku akan pergi melihat-lihat sendiri bersama ibumu, Philip! Siapa tahu, mungkin aku di sini bisa mendapat keterangan yang berguna untuk penyelidikanku."

Anak-anak langsung mengerti. Bill mengharapkan akan bisa memperoleh keterangan tentang Raja Uma. Memang ada saja kemungkinannya bahwa orang itu juga ada di Kota Film!

Keempat anak itu berjalan sambil melihat-lihat, diikuti sekelompok kecil anak-anak penduduk setempat yang tertarik melihat mereka. Pedagang kaki lima berpakaian lusuh berseru-seru menawarkan dagangan ketika keempat anak itu lewat. Ada yang menjual manisan yang ditaruh di atas tampah. Dinah dan Lucy-Ann bergidik karena jijik, ketika melihat manisan yang ditawarkan itu dikerumuni lalat. Lalu ada pula yang menawarkan buah-buahan segar, yang ditaruh di dalam keranjang. Barang-barang mainan yang murah, seperti yang banyak ditawarkan di pasar malam. Gambar-gambar berbagai bintang film, yang mungkin ikut tampil dalam film yang sedang dibuat di situ. Pokoknya bermacam-macamlah yang ditawarkan pada mereka. Tapi tidak satu pun yang menarik selera anak-anak untuk membelinya.

Semua orang di situ kelihatannya menguasai bahasa Inggris. Bahkan penduduk setempat pun berbahasa Inggris. Atau lebih tepat dikatakan berbahasa Amerika, karena yang sedang membuat film itu merupakan salah satu perusahaan film yang paling besar di Amerika. Tidak sulit mengenali mana yang orang Amerika atau Eropa, karena kecuali cara mereka berjalan lebih bergegas-gegas, suara mereka kalau berbicara juga lebih lantang.

Keempat anak itu berkeliaran ke mana-mana, melihat candi-candi dan menara-menara palsu, sambil menduga-duga film apa yang saat itu sedang dibuat. Mungkin salah satu kisah dari Perjanjian Lama.

Kemudian mereka menghampiri beberapa pondok. Di sana nampak seseorang yang sedang mempertunjukkan keahliannya, dikerumuni sekelompok penonton. Orang itu melakukan sesuatu yang benar-benar menakjubkan, ia sedang memanjat tangga, yang jenjangnya terdiri dari jajaran pisau!

Sementara dua orang pembantunya menyanyikan lagu yang aneh, orang itu terus memanjat. Dengan tenang dipijakkannya kakinya yang telanjang ke mata pisau yang dijadikan jenjang, mengikuti irama gendang. Anak-anak ikut menonton dengan mulut ternganga karena heran.

Page 29: Petualangan di Sungai Ajaib

Akhirnya orang yang memanjat itu meloncat turun ke tanah. Sambil nyengir diperlihatkannya telapak kakinya. Telapak kaki itu tetap utuh. Sedikit pun tidak nampak luka. Kemudian dipersilakannya penonton untuk memeriksa ketajaman pisau-pisau yang dijadikannya tempat berpijak tadi. Beberapa penonton maju, lalu meraba mata pisau-pisau itu dengan ujung jari mereka. Orang yang kelihatannya kebal itu menggamit keempat anak yang menonton. Mereka menghampiri tangga yang berjenjang pisau, lalu meraba mata alat-alat pemotong itu. Wah—ternyata memang sangat tajam! Mereka memandang orang itu dengan kagum, lalu memasukkan uang sekadarnya ke dalam kantung yang disodorkan. Mereka hanya membawa uang Inggris. Tapi orang itu kelihatannya tidak keberatan. Rupanya uang itu nanti bisa ditukarkannya dengan mata uang yang berlaku di situ, di salah satu pondok reyot yang ada di sekitar situ.

"Luar biasa caranya mencari nafkah," kata Lucy-Ann. "Memanjat pisau-pisau tajam, tanpa alas kaki!—Eh, itu ada tukang sulap dengan bola!"

Tukang sulap itu sangat terampil memamerkan keahliannya. Enam bola yang berwarna kemilau dilambung-lambungkannya dengan serempak dan dengan cepat sekali, sehingga sulit sekali rasanya mengikuti segala gerak-geriknya. Dan kemudian ditangkapnya kembali dengan cekatan, sampai anak-anak ternganga kagum. Setelah itu diambilnya enam buah piring yang kemudian dengan lincah dijadikannya permainan, dilempar dari tangan yang satu ke tangan lainnya lewat bahu dan di antara kakinya yang dibentangkan—susul-menyusul dengan cepat, tanpa ada satu piring pun yang jatuh atau pecah.

Anak-anak bertepuk tangan dengan kagum. Tahu-tahu Jack merasa ada tangan menyusup masuk ke dalam kantung kemejanya, ia berpaling dengan cepat, menyambar seorang anak laki-laki yang dekil. Tapi anak kecil itu menggeliat, dan berhasil melepaskan diri.

"He—awas kalau berani melakukannya lagi!" seru Jack dengan marah, sambil meraba kantungnya. Rasanya tidak ada yang hilang. Untung tadi ia lebih cepat dari si pencopet cilik. Walau demikian, itu merupakan pelajaran baginya, dan juga bagi anak-anak yang lain.

"Rupanya kita tidak boleh terlalu asyik menonton, sehingga lupa menjaga keamanan kantung," kata Jack. "Kenapa kau tadi tidak melihat perbuatan kunyuk kecil itu, Kiki? Kalau melihat, kau kan bisa berteriak, 'Awas copet!'"

"Awascopet, awascopet, awascopet!" teriak Kiki dengan cepat. Dikiranya harus begitulah mengucapkannya, disambung menjadi satu. Teriakannya mengherankan orang-orang yang lewat, sehingga semua berhenti dan memandang ke arah anak-anak. Seorang anak perempuan cepat-cepat lari menjauh.

"Anak itu rupanya mengira bahwa ialah yang dimaksudkan oleh Kiki," kata Philip sambil nyengir. "Kurasa tadi ia bermaksud mencopet isi tasmu, Lucy-Ann."

Saat itu terdengar bunyi musik yang aneh, melengking tinggi. Keempat anak itu berhenti lagi.

Page 30: Petualangan di Sungai Ajaib

"Kedengarannya seperti musik tari ular!" kata Philip dengan gembira. "Yuk—cepat ke sana! Sejak dulu aku kepingin melihat pawang ular beraksi. Ayo cepat!"

Bab 7, KENYATAAN YANG TIDAK DISANGKA-SANGKA

Jack, Philip, dan Lucy-Ann bergegas menuju ke arah suara musik itu. Tapi Dinah tidak ikut.

"Ular! Ih—aku tidak ingin melihat," katanya. "Aku tidak suka pada ular! Aku tidak mau ikut."

"Kau harus bersama-sama dengan kami, Dinah," kata Philip dengan sikap tidak sabar. "Bill yang mengatakan begitu tadi. Kau tidak perlu ikut melihat. Kau berdiri membelakang saja nanti. Tapi kau harus ikut dengan kami."

"Ya deh, ya deh," kata Dinah mengomel. "Aku heran, mau-maunya kalian menonton ular. Binatang jelek saja ditonton!"

Dinah mengikuti dengan langkah lambat, tapi tetap menjaga agar tidak terlalu jauh terpisah dari anak-anak yang mendului. Ketika sudah sampai di dekat kerumunan orang yang mengelilingi pawang ular, ia cepat-cepat membalikkan tubuh. Perutnya terasa agak mual, karena sebelum membelakang masih sempat melihat seekor ular tersembul dari sebuah keranjang. Ular itu muncul sambil menggerak-gerakkan kepalanya kian kemari. Setelah meneguk ludahnya beberapa kali Dinah merasa seperti biasa lagi. Tapi ia tidak berani membalikkan tubuh, menghadap ke arah pawang ular. ia memperhatikan orang banyak yang lalu alang, dengan pakaian yang beraneka ragam.

Anak-anak yang tiga lagi ikut berkerumun mengelilingi pawang ular. Orang itu agak dekil kelihatannya, dengan sorban terlilit di kepala, serta sarung membungkus tubuh sebelah bawah. Matanya buta sebelah. Tapi matanya yang sehat menatap tajam ke sekelilingnya, sehingga Lucy-Ann merasa tidak enak melihatnya. Habis—tidak pernah mengejap, seperti mata ular!

Pawang ular itu didampingi seorang anak laki-laki yang masih kecil. Pembantunya itu hanya memakai semacam cawat. Tubuhnya sangat kurus. Lucy-Ann yang memperhatikannya merasa dengan gampang bisa menghitung tulang rusuknya yang menonjol ke luar. Mata anak laki-laki itu tajam dan bersinar—menurut Lucy-Ann bukan seperti mata ular, tapi lebih mirip mata burung murai. Anak laki-laki pembantu pawang ular itu berbicara dengan cepat sekali, tentang ular-ular yang ada di dalam keranjang.

Ia berbicara dalam bahasanya sendiri, dicampur dengan bahasa Amerika. Ketiga anak yang menonton hanya bisa menangkap separuhnya saja. Tapi itu sudah cukup untuk mengetahui bahwa ular-ular yang ada di dalam keranjang itu berbahaya. Gigitan mereka beracun, sehingga orang dewasa pun jika dipatuk bisa mati dalam waktu dua belas jam.

Page 31: Petualangan di Sungai Ajaib

"Geraknya begini," kata anak laki-laki dengan suara seperti bernyanyi, sambil menggeliatkan lengannya menirukan gerak ular, "lalu mematuk dengan cepat, cepat, cepat..."

Pawang ular yang duduk bersila menghadapi keranjang bundar mulai memainkan sulingnya lagi. Terdengar kembali musik aneh tanpa nada tertentu yang beberapa menit sebelumnya sudah mengalun. Ular yang tadi dilihat Dinah muncul, kini menyembulkan kepalanya lagi. Napas para penonton tersentak, melihat bentuk kepala yang menyeramkan itu.

"Jack," bisik Lucy-Ann, "itu kan ular yang disebutkan oleh manajer hotel kita! Lihatlah—warnanya hijau, berbintik-bintik merah dan kuning. Apa katanya, nama ular itu?"

"Eh—bargua, kalau tidak salah," kata Jack, sambil memperhatikan ular itu. "Wah, bagus sekali—tapi kelihatannya galak! Lihatlah caranya menggerak-gerakkan kepala—seolah-olah memperhatikan semua yang ada di sini.—Astaga, itu ada seekor lagi!"

Sementara itu memang ada seekor ular lain yang tersembul dari dalam keranjang, ia mengangkat kepalanya lambat-lambat, sambil menggerak-gerakkannya seperti memandang ke sekelilingnya. Beberapa orang di antara penonton mendesak maju karena ingin melihat lebih dekat. Tapi dengan segera anak laki-laki pembantu pawang berteriak, “Mundur, mundur! Kalian ingin dipatuk, ya? Serangannya cepat sekali! Sangat cepat!"

Orang-orang yang semula sudah maju cepat-cepat mundur lagi, karena takut dipatuk. Sedang pawang ular terus saja memainkan sulingnya, sementara matanya yang hanya satu mengamat-amati segala gerak-gerik penonton yang berkerumun. Tahu-tahu muncul lagi seekor ular dari dalam keranjang. Binatang itu melambai-lambaikan kepalanya kian kemari, seakan-akan mengikuti irama lagu yang ke luar dari lubang suling. Pembantu pawang mengetuk kepala ular yang ketiga itu dengan tongkat. Ular itu masuk lagi ke dalam keranjang.

"Ular itu jahat, tidak aman," kata anak laki-laki itu dengan sikap bersungguh-sungguh.

Sementara itu kedua ekor ular yang pertama masih saja bergerak-gerak seperti menari. Tahu-tahu pawang ular mengubah irama lagunya. Lebih lantang, dan lebih cepat. Salah satu ular yang sedang menari nampak bertambah cepat gerak ayunan kepalanya. Pembantu pawang mengacungkan sepotong tongkat di atas kepalanya, seakan-akan hendak menghentikan gerakannya.

Tahu-tahu ular itu mematuk tongkat! Dan sebelum ada yang sempat berbuat apa-apa, binatang berbisa itu sudah menggeleser ke luar dari keranjang, lalu meluncur dengan cepat ke arah penonton. Orang ribut berteriak dan memekik, menjerit-jerit. Semuanya berebutan ingin lari menjauh. Pembantu pawang lari mengejar ular yang hendak minggat itu. Ular itu ditangkap, diangkat, lalu dicampakkan kembali ke dalam keranjang. Orang-orang yang melihat berseru kagum. Terdengar tepuk tangan ramai serta seruan memuji-muji. Pawang ular berdiri dengan gerakan lambat, lalu menepuk-nepuk kepala

Page 32: Petualangan di Sungai Ajaib

pembantunya. menyambung dengan beberapa patah kata dalam bahasanya sendiri yang diucapkan dengan cepat. "Anak ini berani. Ular tadi bisa saja mematuknya, anak tabah," katanya sekali lagi.

"What a kid!" seru salah seorang penonton. Dari logatnya ketahuan bahwa ia orang Amerika. Dan terdengar jelas pula bahwa ia merasa sangat kagum. "Nih, Nak—untukmu!" katanya, sambil menyodorkan selembar uang bernilai satu dollar. Anak laki-laki itu melesat maju secepat ular untuk menerima uang itu, yang diambilnya dengan diiringi anggukan kepala sebagai ganti ucapan terima kasih.

Melihat itu para penonton lainnya lantas ikut melemparkan uang sebagai hadiah untuk pembantu pawang ular itu. Sedang yang diberi dengan cekatan memungut uang yang berhamburan di sekelilingnya, dan memasukkan semuanya ke balik lipatan cawatnya. Pawang ular bersikap tidak acuh. ia menutup keranjang tempat ular dan bersiap-siap hendak meninggalkan tempat itu.

Jack merogoh kantung, hendak mengambil uang. ia heran, karena tahu-tahu Philip melarangnya.

"Jangan kauberi," kata Philip. "Tadi itu tipuan belaka!"

Dengan heran, Jack memalingkan muka ke arah Philip.

"Tipuan, katamu? Mana mungkin—anak itu betul-betul berani! Kau sendiri kan mendengar apa kata manajer hotel kita—ular bargua sangat berbisa!"

"Percaya sajalah—tadi itu tipuan," kata Philip dengan suara tertahan. "Kuakui, ular-ular itu memang ular bargua, dan ular bargua jelas berbahaya—tapi tidak satu pun dari ketiga ekor ular tadi yang bisa membahayakan siapa pun juga."

"Apa maksudmu?" tanya Lucy-Ann dengan heran.

"Kita menjauh saja dulu—nanti kukatakan," kata Philip. Mereka menghampiri Dinah, lalu bersama-sama pergi dari situ. Setelah agak jauh, Jack memandang Philip dengan sikap tidak sabar.

"Sekarang katakan—apa sebabnya kau berpendapat tadi itu tipuan!"

"Kalian lihat tidak tadi, ketika ular-ular itu menggerak-gerakkan kepala, mulut mereka selalu tertutup," kata Philip. "Tidak pernah dibuka, biarpun sekejap. Lidah mereka tidak dijulurkan ke luar! Juga ketika kepala seekor di antaranya diketuk dengan tongkat! Padahal ular kalau dibegitukan pasti marah, dan langsung mengambil sikap menyerang!"

"Ya, memang—kalau kuingat-ingat kembali, mulut ular-ular itu memang selalu tertutup," kata Jack. "Tapi itu kan tidak ada hubungannya sama sekali dengan tipuan, seperti yang

Page 33: Petualangan di Sungai Ajaib

kaukatakan! Ular yang lari tadi kan bisa saja langsung menyerang, begitu melihat ada kesempatan. Aku heran, kenapa pembantu pawang tadi tidak dipatuk olehnya!"

"Dengar dulu dong!" kata Philip. "Aku tadi mulai curiga, ketika menyadari bahwa ular-ular itu tidak pernah kelihatan mengangakan mulut mereka! Jadi ketika ular tadi lari—dan kejadian itu menurut aku memang sudah diatur—nah, ketika ular itu meluncur ke arah kita, aku memperhatikannya dengan teliti. Kalian boleh percaya atau tidak—tapi mulut ular yang malang itu ternyata dijahit."

Anak-anak yang lain memandangnya dengan perasaan ngeri.

"Dijahit?!" kata Lucy-Ann. "Aduh, kejamnya! Jadi itu berarti bahwa pawang ular itu tentu saja aman. ia tidak mungkin bisa dipatuk, karena ular-ularnya tidak bisa membuka mulut untuk menyerang."

"Tepat," kata Philip. "Selama ini aku tidak tahu, bagaimana cara pawang ular bekerja. Ular yang tadi dibuat seolah-olah minggat itu, mulutnya jelas-jelas dijahit! Aku sempat melihat jahitannya. Kurasa sewaktu dijahit, ular itu dibius dulu."

"Tapi kalau begitu, ular itu tidak bisa lagi makan maupun minum," kata Lucy-Ann. ia merasa lemas. "Itu kan kejam! Kenapa tidak ada yang melakukan sesuatu untuk melarangnya?"

"Kalau begitu anak tadi tidak bisa dibilang berani," kata Jack.

"Memang! Itulah yang sejak tadi hendak kukatakan padamu," kata Philip. "Anak itu sudah dilatih untuk memainkan adegan tadi—berbuat seolah-olah sangat berani! Kalian kan melihat sendiri, betapa lincahnya ia mengumpulkan uang yang dihamburkan ke arahnya! Semuanya tipuan belaka, penipuan tanpa perasaan! Menjahit mulut ular, untuk kemudian dijadikan alat mencari nafkah—ih, menjijikkan!"

"Untung aku tidak jadi memberi uang padanya," kata Jack.

"Dan untung aku tidak ikut menonton," kata Dinah menimpali.

"Aku merasa kasihan pada ular-ular itu," kata Lucy-Ann. "Tidak enak perasaanku mengingat nasib mereka."

"Aku juga begitu," kata Philip. "Padahal warna mereka bagus-bagus—hijau cerah, dengan bintik-bintik merah dan kuning yang berkilat-kilat. Ingin rasanya memelihara seekor."

Dinah memandang abangnya dengan mata melotot.

"Philip!" tukasnya. "Awas, kalau kau berani memelihara ular—apalagi yang berbisa!"

Page 34: Petualangan di Sungai Ajaib

"Jangan langsung panas, Di," kata Jack dengan geli. "Kau kan tahu sendiri, mana mungkin Bill akan mengizinkannya memelihara ular bargua yang berbisa! Sudahlah, jangan marah-marah terus."

"Bagaimana ya—aman atau tidak, kalau kita membeli es krim di sini?" kata Lucy-Ann dengan tiba-tiba. ia merasa sanggup menyikat tiga mangkuk es krim sekaligus. "Mulutku kering sekali rasanya!"

"Kita cari saja tempat yang kelihatan bersih," kata Jack. "Bagaimana kalau yang di sana itu?"

Mereka menghampiri restoran kecil itu, lalu memperhatikan keadaan di bagian dalamnya. Nampaknya cukup bersih. Di situ ada sejumlah orang Amerika, serta beberapa pemain film yang masih dalam pakaian untuk peranan yang dimainkan.

"Kurasa di sini bersih," kata Philip, lalu mendului masuk. Orang-orang yang sudah lebih dulu ada di situ memandang ke arah mereka. Perhatian mereka terutama terarah pada Jack, karena ada Kiki yang bertengger seperti biasa di bahunya.

Di atas setiap meja ada sebuah lonceng kecil. Tamu yang hendak memesan sesuatu harus membunyikan lonceng itu untuk memanggil pelayan. Jack mengangkat lonceng yang terletak di atas meja mereka, lalu membunyikannya.

"Teng, teng, teng," oceh Kiki menirukan bunyi lonceng. "Kucing di atas genteng. Panggil dokter!" Burung konyol itu terkekeh-kekeh, lalu mengoceh lagi. "Kucing di atas genteng, ngeong, ngeong— pus, pus, pus! Teng, teng, teng!"

Restoran itu langsung sunyi. Semua menatap dengan heran ke arah burung kakaktua itu, yang kini terbatuk-batuk menirukan suara domba yang sudah tua. Jack menepuk paruhnya.

"Ayo, Kiki—jangan suka pamer!"

"Astaga!" Seorang laki-laki berlogat Amerika yang duduk di dekat anak-anak memandang mereka dengan geli. "Hebat sekali kakaktua itu, Anak muda! Kau mau menjualnya?"

"Tentu saja tidak!" kata Jack. ia merasa tersinggung. "Ayo diam, Kiki! Ini bukan tempat untuk memamerkan kepandaianmu!"

Tapi Kiki tidak peduli. Burung iseng itu senang melihat bahwa ia diperhatikan, lalu mulai mengumbar segala kepandaiannya. Tahu-tahu seorang laki-laki masuk ke restoran itu—lalu duduk di meja anak-anak!

"Halo!" sapa orang itu. "Kurasa, kalian ini kukenal! Kalian kan termasuk rombongan Bill? Ia ada di sini sekarang?"

Page 35: Petualangan di Sungai Ajaib

Bab 8, LAGI-LAGI PAWANG ULAR ITU

Anak-anak menoleh dengan heran. Mereka menatap orang itu. ia berpakaian rapi, sedang air mukanya nampak segar. Kulitnya kecoklat-coklatan. ia tersenyum pada mereka, menampakkan deretan gigi yang rapi dan bersih.

Sesaat semuanya diam. Kemudian Kiki menelengkan kepalanya ke samping, lalu mengoceh. Ocehannya ditujukan pada orang yang baru datang itu.

"Bill! Bill pengupil, minum pil, billy-bill!"

"Pintarnya kakaktua ini!" kata orang itu. ia mengulurkan tangannya, hendak mengelus jambul Kiki. Tapi Kiki rupanya tidak mau. Dipatuknya tangan orang itu dengan cepat. Orang itu langsung cemberut, menyebabkan tampangnya berubah sama sekali.

"Nah?" katanya kemudian sambil mengusap-usap jarinya yang kena patukan, ia memandang anak-anak sambil tersenyum. "Kalian tahu-tahu bisu, ya? Aku bertanya, dengan siapa kalian di sini? Kalian bersama Bill, kawan lamaku?"

Dengan sembunyi-sembunyi Jack dan Philip menendang kaki adik-adik mereka di bawah meja, untuk mengingatkan mereka pada nasihat Bill. Mereka dilarang mengatakan sesuatu yang tidak boleh diketahui orang lain, jika ada yang bertanya-tanya.

"Kami di sini bersama ibu kami," kata Philip. "Kami baru saja sembuh, dan sekarang tetirah di sini. Kami baru saja pesiar sebentar di sungai, naik perahu motor."

"Begitu ya," kata orang itu. "Kalau begitu kalian tidak kenal dengan orang yang bernama Bill?"

"O, kenal saja," kata Dinah. Sementara Jack dan Philip yang kaget belum sempat memotong, ia sudah meneruskan, "Kami punya kenalan, namanya Bill Hilton! Diakah yang Anda maksudkan?"

"Bukan," kata orang asing itu.

"Lalu ada pula Bill Jordans," sambung Dinah. Dari sinar matanya, Jack dan Philip langsung tahu bahwa anak itu hanya mengarang-ngarang saja. Mereka lantas ikut-ikutan berbicara.

"Atau mungkin yang dimaksudkan itu Bill Ponga!—Betul dia yang Anda tanyakan, Pak?"

"Atau mungkin juga Bill Tipps—itu, yang punya empat buah mobil yang besar-besar, serta dua buah mobil kecil! Bill itukah yang Anda maksudkan?"

Page 36: Petualangan di Sungai Ajaib

"Atau mungkin maksudnya Bill Kent. Kau tahu kan, Jack—itu, tukang membersihkan cerobong asap, yang biasa dipanggil Ibu!"

"Atau maksud Anda Bill Plonk, Pak? Mungkin Anda mengenalnya—pemilik pabrik biskuit yang biskuitnya..."

"Bukan, bukan dia yang kumaksudkan—begitu pula bukan Bill-Bill yang kalian sebutkan tadi!" tukas orang itu. "Tidak ada orang bernama Bill bersama kalian di sini?"

"Tidak! Seperti Anda lihat sendiri, cuma kami saja yang ada di sini," kata Jack.

"Di mana perahu motor kalian?" tanya orang itu lagi. Wah—keadaan mulai gawat sekarang! Jack mencari-cari akal untuk mengakhiri percakapan yang mulai tidak mengenakkan itu. Dengan tiba-tiba ia memandang Lucy-Ann, lalu berbicara dengan nada kaget.

"Eh—kau kelihatannya agak mulas, ya? Cepat ke luar, kalau begitu!"

Untungnya Lucy-Ann langsung mengerti. Anak itu berdiri sambil memasang tampang seperti sedang merasa mual.

"Tapi aku rasanya tidak mampu berjalan sendiri," katanya dengan suara dilemas-lemaskan. ia dibimbing ketiga anak lainnya, diajak ke luar.

"Cepat lari!" kata Philip, begitu mereka sudah berada di luar. "Kurasa ia takkan mengejar—tapi siapa tahu! Kau hebat tadi, Jack—bersikap seolah-olah Lucy-Ann tahu-tahu tidak enak badan!"

Anak-anak lari ke balik bangunan itu, lalu masuk ke sebuah gudang yang kosong. Di situ ada sebuah jendela yang kacanya kotor. Mereka mengintip dari balik jendela itu, untuk mengamat-amati apakah orang yang terlalu ramah tadi ke luar untuk mengejar. Tiba-tiba Lucy-Ann mengeluarkan bunyi aneh.

"Kurasa Jack tadi memang benar—aku merasa agak mulas," katanya. Tapi itu rupanya hanya sangkaannya saja, karena dengan segera ia sudah tidak apa-apa lagi.

"Itu teman kita keluar," kata Jack, sambil mengintip dari balik kaca jendela yang kotor, "ia berdiri sambil memandang ke segala arah. Sekarang ia menuju ke sebuah mobil—sekarang duduk di belakang kemudi.—Nah, syukurlah, ternyata ia pergi dengan mobil itu. Ngebut!"

"Menurutmu, mungkinkah dia itu Raja Uma?" tanya Dinah.

"Kurasa bukan," kata Jack. "Tapi giginya memang sangat putih—kalian sempat memperhatikannya atau tidak tadi? Dan menurut Bill, Raja Uma sangat menyolok

Page 37: Petualangan di Sungai Ajaib

giginya, karena putih sekali. Aku tadi tidak bisa melihat apakah di lengannya ada bekas luka atau tidak, karena ia memakai jas berlengan panjang."

"Banyak juga Bill yang kita sebutkan padanya tadi," kata Dinah sambil tertawa.

Anak-anak itu menghampiri pintu, lalu mengintip lagi ke luar.

"Sudah aman atau belum, kalau kita keluar sekarang?" tanya Dinah. Jack mengangguk

"Kurasa sudah," katanya. "Orang itu takkan berusaha memancing-mancing lagi. ia tahu bahwa kita mempermainkannya—tapi ia tidak tahu apakah itu karena kita berhati-hati, atau cuma karena iseng saja. Kejadian ini perlu kita laporkan pada Bill. Kita lihat saja, apa katanya nanti! Kurasa tidak ada kesangsian lagi, orang itu pasti mendapat kabar bahwa ada yang datang untuk mengadakan penyidikan—dan karenanya berjaga-jaga, kalau ada pendatang baru."

Anak-anak keluar dari gudang kosong itu, lalu meneruskan langkah, melihat-lihat. Mereka kemudian menjumpai sekelompok gubuk reyot yang dihuni penduduk setempat. Pondok-pondok itu kelihatannya sudah lama ada di situ, dan bukan dibangun untuk keperluan pembuatan film.

"Yuk, kita kembali," ajak Jack. "Tempat ini agak tidak enak baunya.—Eh, apa itu?"

Pendengarannya yang tajam, dengan tiba-tiba mendengar suara teriakan, ia memasang telinga. Ternyata anak-anak yang lain juga mendengar teriakan itu. Mereka juga mendengar bunyi lain, yang lebih tidak enak lagi. Mereka mendengar bunyi tongkat yang dipakai sebagai pemukul! Setiap pukulan dengan tongkat itu diikuti jeritan melengking. Jeritan karena sakit—atau takut.

"Yang menjerit itu anak kecil!" kata Philip. "Dari bunyinya, ia dipukul habis-habisan. Yuk—ini tidak bisa kita biarkan saja. Kita harus berbuat sesuatu!"

Keempat anak itu lari ke balik pondok-pondok. Mereka sampai ke suatu tempat terbuka. Di sana terdapat sejumlah peti dan kotak tua yang berserakan. Di bagian belakang tempat itu ada seorang laki-laki, yang sedang memukuli seorang anak dengan tongkat besar. Di situ ada pula beberapa orang lain. Tapi tak seorang pun kelihatannya berniat untuk menghentikan pemukulan itu.

"He—itu kan pawang ular yang tadi!" kata Jack. "Dan yang dipukulnya anak kecil yang memungut uang yang dilemparkan penonton ke arahnya. Lihatlah—ia sudah terguling-guling di tanah!"

Keempat anak itu dengan cepat menghampiri pawang ular yang nampak sedang marah itu. Philip memegang lengan orang itu, sementara Jack merenggut tongkat yang dipegangnya. Orang itu berbalik dengan marah. Sambil berteriak dalam bahasa yang

Page 38: Petualangan di Sungai Ajaib

tidak dimengerti oleh anak-anak, ia berusaha merebut kembali tongkatnya. Tapi Philip menjauhkan benda itu dari jangkauannya.

"Tidak! Kau kejam, menghajar anak sekecil itu! Apa kesalahannya?"

Pawang ular itu berseru sekali lagi, sementara matanya yang tinggal satu berkilat-kilat mengancam. Sambil melindungi kepala dengan tangan, anak kecil yang tadi dipukuli berbicara dengan terisak-isak.

"Katanya, aku menyembunyikan uangnya. Katanya aku mencuri. Tapi itu tidak benar. Lihatlah!" Ia membuka kain yang melilit pinggangnya, lalu mengibas-ngibaskannya. Kemudian ia menuding si pawang ular.

"Semuanya sudah kuserahkan padanya. Semua! Katanya sebagian kupakai sendiri. Kemudian aku dipukulnya!"

Anak itu menutupi mukanya dengan lengannya yang kurus, lalu menangis lagi. Pawang ular maju ke arahnya, dengan sikap seperti hendak memukul lagi. Tapi Philip langsung melompat, menyela dengan tongkat siap di tangan.

"Jangan kaupukul anak ini! Awas—kalau masih berani juga, nanti kuadukan!"

Itu hanya gertakan belaka, karena Philip tidak tahu pada siapa urusan seperti itu harus diadukan. Tapi ia bertekad, tidak akan membiarkan anak kecil itu dipukul lagi. Mata pawang ular yang tinggal satu menatap ke arahnya dengan marah. Tahu-tahu ia melangkah ke arah keranjang ularnya, yang terletak di tanah dekat situ. Tutup keranjang itu ditendangnya sehingga terpental. Seketika itu juga ular-ular yang ada di dalam mengangkat kepala mereka ke luar, kaget bercampur marah.

"Lari! Lari!" teriak pawang ular dalam bahasa Inggris. "Kalau tidak, kusuruh ular-ularku mematuk kalian!"

Dinah langsung lari. Tapi yang lain-lain tidak beranjak dari situ. Jika kata Philip benar, bahwa ular-ular itu tidak bisa menyerang karena mulut mereka dijahit, maka mereka tidak perlu lari. Dua ekor ular ke luar dari dalam keranjang, lalu menggeleser dengan cepat ke arah mereka. Tahu-tahu Philip melakukan perbuatan yang tidak terduga-duga sebelumnya. Tongkat yang dipegang dilemparkannya pada Jack. Setelah itu ia berjongkok, sambil mendesis-desis. Suara yang ke luar dari mulutnya biasa dipergunakannya jika ia hendak menjinakkan ular yang berkeliaran di antara rerumputan di rumah.

Kedua ular yang menggeleser itu langsung berhenti. Mereka mengangkat kepala sebentar— lalu menghampiri Philip. Mereka mengusap-usapkan mulut ke tangannya. Seekor di antaranya membelitkan tubuhnya ke lengan Philip, merayap naik, lalu membelit leher anak itu.

Page 39: Petualangan di Sungai Ajaib

Pawang ular hanya bisa memandang sambil melongo. Nampak jelas bahwa ia sangat heran. Astaga—belum pernah ada ularnya yang berbuat begitu padanya! Mereka selalu berusaha menghindar, ia belum pernah melihat ada ular liar yang mau mendekati orang, seperti yang kini terjadi dengan anak laki-laki yang mendesis-desis di depannya itu! Dan anak laki-laki itu sedikit pun tidak merasa takut!

"Ular mematuk! Gigit, gigit!" katanya, ia mengentak-entakkan kakinya ke tanah. Maksudnya hendak mengejutkan kedua ular itu, agar mematuk—walau dengan mulut terjahit rapat.

"Mereka tidak bisa," kata Philip sambil mencibir. Disentuhnya mulut ular yang menggelungkan diri di lehernya. "Kau menjahit mulut mereka! Di negara kami, untuk perbuatan kejam seperti ini kau akan dihukum, dan dipenjarakan!"

Pawang ular semakin marah, ia berteriak-teriak, dalam bahasanya sendiri. Anak laki-laki yang tadi dipukuli lari menghampiri Philip.

"Pergi! Pergi! ia memanggil kawan-kawannya, dan mereka nanti akan menyerangmu! Cepat, pergi!"

Dengan cepat Philip meletakkan ular-ular itu ke tanah.' ia memikirkan keselamatan Dinah dan Lucy-Ann. Mereka harus segera pergi dari tempat itu. Jangan sampai kawan-kawan si pawang ular datang, lalu kemudian terjadi keributan.

"Lebih baik kita cepat-cepat pergi saja dari sini," katanya pada Jack.

Tapi sudah terlambat! Tiga orang remaja penduduk setempat muncul sambil berlari-lari, karena mendengar panggilan pawang ular. Mereka mengepung keempat anak itu. Dinah yang berdiri agak jauh, didorong ke tengah. Philip mendatangi ketiga remaja itu, dengan memasang tampang berani.

"Minggir!" katanya dengan mantap. "Minggir— kalau tidak ingin berurusan dengan polisi!"

Tapi ketiga remaja itu malah semakin merapat. Philip dan Jack mulai ngeri, karena sadar bahwa mereka takkan mampu menghadapi ketiga remaja itu—apalagi ditambah dengan si pawang ular!

Tapi masih ada Kiki! Kakaktua itu merasa bahwa tuannya dalam bahaya, ia melonjak-lonjak dengan marah di atas bahu Jack, sambil menjerit sekuat-kuatnya.

"Polisi! Polisi! Panggil Polisi!" jeritnya, lalu menirukan bunyi peluit polisi. "Fiiieeet! Fiiieeet! Fiiiiettt!"

Bab 9, SAAT MAKAN SIANG

Page 40: Petualangan di Sungai Ajaib

Ketiga remaja yang mengepung kaget sekali. Dengan mata terbelalak, mereka memandang burung kakaktua yang luar biasa itu. Kemudian, dengan serempak mereka lari pontang-panting, diikuti si pawang ular. Orang itu masih sempat menyambar keranjangnya. Ular-ularnya sebelum itu sudah masuk lagi ke dalamnya. Sayang, kata Philip dalam hati. Keempat anak yang tadi terkepung memandang orang-orang yang lari ketakutan itu dengan perasaan lega. Kiki terkekeh-kekeh. Anak-anak ikut tertawa.

"Terima kasih, Kiki!" kata Jack, sambil menggaruk-garuk jambul burung kakaktuanya yang keasyikan. "Kau tadi mendengar Philip menyebut-nyebut polisi, dan langsung ingat akan kepandaianmu yang baru—menirukan bunyi peluit. Untung saja kau ingat!"

"Tapi tidak ada polisi yang datang," kata Lucy-Ann. "Kau hebat, Kiki! Belum pernah kau bersuit sebagus tadi—bahkan masih lebih bagus daripada bunyi peluit kereta api yang biasa kautirukan."

"Kurasa kita pulang saja ke perahu, karena sudah saatnya makan siang," kata Philip. "Aku tidak ingin anak-anak perempuan terlibat dalam urusan seperti tadi. Kita pasti akan dimarahi habis-habisan oleh Bill, Jack—jika tadi terjadi sesuatu yang gawat."

Ketika mereka hendak pergi dari situ, tahu-tahu anak kecil yang mereka tolong tadi muncul dari balik sebuah pondok, ia bergegas menghampiri Philip, lalu memegang tangannya.

"Aku ikut, Tuan! Aku ditinggal Bula. ia pergi dengan ular-ularnya. Aku tidak punya uang. ia orang jahat! Aku tidak suka padanya. Aku ikut dengan Tuan, ya?"

"Wah, tidak bisa," kata Philip. Dengan pelan dilepaskannya tangan anak itu. "Tapi kalau uang, itu bisa kuberi."

"Aku tidak minta uang. Aku ingin ikut denganmu, Tuan! Oola boleh ikut, ya!" kata anak kecil itu meminta-minta.

"Tidak bisa, Oola—kami tidak bisa membawamu," kata Philip.

"Bisa saja! Oola akan bekerja untukmu, Tuan!" kata anak kecil itu, sambil memegang tangan Philip lagi. "Kau suka ular, Tuan? Oola bisa menangkapkan!"

"Coba dengar dulu, Oola! Aku memang suka pada ular—tapi bukan yang mulutnya dijahit," kata Philip. "Sedang kalau menangkap yang bisa mematuk, itu bisa berbahaya! Kau tidak punya keluarga, yang bisa mengurusmu?"

"Cuma Bula saja! Dia itu pamanku," kata Oola sambil terus memegang tangan Philip, sehingga ia mulai merasa tidak enak. Oola mengatakan lagi, "Bula itu jahat, suka memukul. Ini, lihatlah!" Diperlihatkannya bekas-bekas pukulan yang nampak di sekujur tubuhnya. Tahu-tahu Lucy-Ann terisak pelan.

Page 41: Petualangan di Sungai Ajaib

"Oola yang malang," katanya lirih. "Tidak bisakah kita mengajaknya, Philip?"

"Itu tidak bisa, Lucy-Ann," kata Philip. "Mana mungkin semua anak-anak atau hewan yang kelihatan sengsara dan tersiksa di sini kita bawa! Itu—anjing yang di sana itu—lalu bayi kecil dan sangat kurus, yang tadi kita lihat tergeletak di atas tikar kotor—ingat tidak? Semuanya memerlukan bantuan! Tapi tidak mungkin kita mengajak mereka semuanya, dan kita beri makan.—Tidak, Oola, apa boleh buat—kau tidak bisa ikut!"

"Bagaimana aku sekarang?" keluh anak kecil itu berulang-ulang.

"Begini sajalah! Kau akan kami bawa ke Kemah Klinik Kesehatan," kata Philip. "Kalau aku tidak salah lihat, klinik itu ada di dekat-dekat sini. Mereka yang bertugas di situ akan merawatmu, Oola— dan mungkin setelah itu bisa memberi pertolongan."

Oola mengikuti mereka dengan lesu. ia berjalan dengan kepala tertunduk. Langkahnya terseret-seret. Tapi begitu dilihatnya bahwa mereka menuju ke sebuah tenda yang bersih, dan di depan tenda itu berdiri seorang perawat dengan seragam putih bersih—Oola langsung berpaling, lalu cepat-cepat lari! Anak-anak mendengar bahwa Oola menangis. Dengan mata berkaca-kaca, Dinah dan Lucy-Ann memperhatikan anak kecil setengah telanjang itu, yang menghilang ke balik sebuah pondok.

"Ih, tidak enak hatiku rasanya," kata Jack mengumpat dirinya sendiri. "Aku merasa bersalah, karena membiarkan Oola menghadapi nasibnya— Tapi apa boleh buat, aku tidak tahu cara untuk menolongnya!"

"Yuk—kita kembali saja ke perahu," kata Philip. "Pukul satu siang kita kan sudah harus ada lagi di sana, dan sekarang sudah hampir pukul satu."

Keempat anak itu berjalan dengan lunglai, kembali ke tepi sungai. Sambil berjalan Philip bersikap waspada, kalau-kalau berjumpa lagi dengan laki-laki yang menanyai mereka tadi. Tapi ia tidak melihatnya. Anak-anak kembali ke perahu dengan selamat, disambut dengan gembira oleh Tala. Ketika mereka masuk ke perahu, terdengar suara Bill menyapa.

"Kalian agak terlambat! Kami sudah mulai gelisah. Ayo cepat cuci tangan! Kita makan sekarang!"

Sambil makan, anak-anak bercakap-cakap dengan Bill.

"Ada keterangan yang berhasil kauperoleh tentang orang yang bernama Raja Uma itu?" tanya Philip, ia berbicara dengan suara dipelankan, agar Tala tidak bisa ikut mendengar.

"Sama sekali tidak," jawab Bill. "Tapi kurasa nanti pasti ada juga. jika kita sudah sampai di Alaouiya.

Page 42: Petualangan di Sungai Ajaib

“Kami tadi hanya berkeliling-keliling saja untuk melihat kesibukan pembuatan film. Kami berjumpa dengan seorang kenalan, dan kemudian kembali lagi ke sini. Jadi biasa-biasa saja, tidak ada yang menarik. Bagaimana dengan kalian? Apa saja yang kalian lihat tadi?"

Bill nampak kaget, ketika anak-anak bercerita tentang laki-laki yang mendatangi mereka di tempat es krim, lalu bertanya-tanya pada mereka.

"ia tidak menyebut nama belakangmu, Bill," kata Jack. "ia cuma menyebut-nyebut 'Bill' saja. Apakah mungkin ia tidak tahu nama belakangmu?"

"Tidak. Tapi kalau nama depanku, itu mungkin saja diketahuinya," kata Bill. "Kalian tadi kan tidak menyebutkan nama belakangku?"

"Tentu saja tidak," kata Jack dan Philip serempak, dengan nada tersinggung. "Tapi kami menyebutkan sejumlah Bill yang lain, sambil menanyakan apakah Bill itu yang dimaksudkan olehnya," kata Jack menambahkan sambil tertawa geli.

"Apa maksudmu?" tanya Bill. ia agak bingung.

"Yah—kami bertanya padanya, apakah Bill yang dimaksudkannya itu Bill Hilton—atau Bill Jordans—atau Bill Ponga—atau Bill Tipps, yang memiliki empat mobil besar dan dua mobil kecil," kata Jack.

"Atau mungkin juga Bill Kent, tukang membersihkan cerobong asap langganan Ibu," kata Dinah menyela, "atau Bill Plonk, pemilik pabrik biskuit."

Bill tertawa terbahak-bahak.

"Kalian ini benar-benar kunyuk semuanya," katanya sambil tertawa. "Dan semua Bill itu hanya karangan kalian saja, mestinya! Lalu, bagaimana setelah itu?"

"ia bertanya, di mana perahu motor kita—karena sebelumnya aku bercerita bahwa kita pesiar mengarungi sungai, untuk beristirahat memulihkan tenaga setelah sakit selama ini," kata Philip. "Kami sebenarnya sudah merasa tidak enak, tidak tahu bagaimana menjawab pertanyaan itu. Untung Jack tahu akal! ia bersikap pura-pura kaget dan cemas, karena Lucy-Ann nampaknya kurang enak badan. Dengan segera Lucy-Ann kami ajak ke luar—untuk menghirup udara segar. Begitu sampai di luar, kami langsung lari menyembunyikan diri."

Bill terbahak-bahak lagi.

"Aku kasihan pada orang yang menghadapi kalian sebagai lawan," katanya dengan geli. "Kalian terlalu licin dan cerdik!—Yah, nampaknya orang yang menanyai kalian tadi itu kaki tangan Raja Uma. Seperti apa tampangnya?"

Page 43: Petualangan di Sungai Ajaib

Anak-anak menceritakannya.

"Kurasa ia bukan Uma," kata Bill. "Kecuali kalau kita ingat akan giginya!—Tapi tidak, kurasa tidak mungkin ia si Uma. Jika ia berani tampil terang-terangan seperti yang terjadi tadi, maka itu berarti bahwa kehadirannya di sini bukan untuk urusan penting. Soalnya, kalau muncul terang-terangan begitu, ia kan bisa dengan mudah diamat-amati! Tapi nampaknya Uma memang ada di sini, dan ada temannya yang melihat kalian, lalu orang itu datang pada kalian untuk bertanya-tanya tentang seseorang yang bernama Bill. Untung kalian tadi tidak menyebut nama belakangku. Terima kasih, Anak-anak!"

"Ada cerita lain, kecuali itu?" tanya Bu Cunningham. "Apa lagi yang kalian lakukan ketika berjalan-jalan tadi?"

"Ih—ular-ular tadi!" kata Dinah. ia bergidik, membayangkan binatang-binatang melata itu. "Kau saja yang menceritakannya, Philip!"

Philip menuturkan seluruh kejadian yang mereka alami, termasuk bagaimana Kiki akhirnya berteriak-teriak memanggil polisi, sambil bersuit-suit menirukan bunyi peluit polisi. Kening Bill langsung berkerut.

"Itu sebetulnya tidak boleh terjadi, Anak-anak," katanya. "Soalnya, kalian bisa mengalami kesulitan serius karenanya. Lain kali jangan ke sana lagi!"

"Tapi, Bill—kami kan tidak bisa membiarkan orang itu memukuli Oola!" kata Jack. "Kami wajib mencegahnya!"

"Kan bisa saja kau dan Philip yang maju, sementara Dinah dan Lucy-Ann cepat-cepat lari mencari bantuan," kata Bill. "Dengan begitu mereka tidak perlu ikut menghadapi bahaya! Ingat, Jack dan Philip—kalian berdua, pertama-tama harus selalu memikirkan keselamatan adik-adik kalian dulu. Jika kalian ingin berkelahi—silakan, asal jangan sampai Dinah dan Lucy-Ann ikut terancam bahaya. Mengerti?"

"Ya, kami mengerti," kata kedua anak laki-laki itu. Muka mereka agak merah. "Maaf, Bill!"

"Maaf, Bill," oceh Kiki menirukan. "Maaf, Bill! Billbol!"

Semua tertawa mendengarnya. Setelah itu Bill mengalihkan pembicaraan.

"Tempat ini benar-benar luar biasa," katanya, sambil menggerakkan kepala ke arah Kota Film. "Segala bangunan itu didirikan, hanya untuk keperluan selama enam bulan saja! Kalian tadi melihat pasar malam yang juga ada di sana?"

"Tidak," jawab anak-anak dengan heran. "Rupanya terlewat tadi."

Page 44: Petualangan di Sungai Ajaib

"Ramai juga suasana di situ. Ada stan-stan tempat mengadu ketangkasan, permainan adu untung, pertunjukan tari-tarian, pertunjukan penembak jitu, dan macam-macam lagi," kata Bill. "Kurasa pawang ular yang berurusan dengan kalian tadi, termasuk rombongan pasar malam itu. Kusangsikan ia berani datang lagi, setelah mendengar Kiki menjerit-jerit memanggil polisi.— Ngomong-ngomong, di tempat itu juga. ada tukang sulap, yang memamerkan kepandaiannya menelan api."

"Menelan api?" seru Philip. "Wah—aku kepingin melihatnya, Bill! Kita ke sana, yuk!"

"Kurasa tidak ada waktu lagi," jawab Bill. "Kita harus melanjutkan perjalanan, ke Alaouiya. Aku berharap, di sana nanti aku akan bisa mendapat berita tentang Uma. Lain kali saja kalian melihat pertunjukan tukang sulap menelan api. O ya, kalian tadi melihat pertunjukan orang yang memanjat tangga yang jenjang-jenjangnya terdiri dari pisau-pisau bermata tajam atau tidak? Kami melihat pertunjukannya ketika kembali kemari tadi."

"Ya, kami juga melihatnya," kata Jack. "Aku kepingin waktu kita lebih banyak, supaya kita bisa lebih lama melihat-lihat Kota Film ini. Tempat ini sebetulnya jelek, tapi sangat menarik!"

Bill berdiri, lalu memanggil Tala.

"Kami sudah selesai makan, Tala!" katanya. "Sejam lagi kita berangkat, menuju Alaouiya. Sekitar pukul enam sore kita harus sudah tiba di sana. Kita bermalam di situ. Tapi tidak perlu merapat. Kita berlabuh di tengah saja."

"Baik, Tuan!" balas Tala, lalu datang untuk membereskan meja makan. Anak-anak duduk-duduk sambil membaca di bawah sebuah tenda yang dipasang di atas dek. Bill memberi mereka beberapa buku tentang daerah yang mereka datangi. Peradaban di situ ternyata sudah sangat tua. Sudah ribuan tahun umurnya.

Pelayaran mengarungi sungai siang itu menyenangkan. Perahu motor mereka meluncur dengan Menjelang pukul enam sore, Tala berseru dari belakang kemudi.

"Kita mendekati Ala-ou-iya!" serunya. Nama kota itu disebutnya dengan nada bergelombang, kedengarannya seperti menyanyi. "Anda tahu kota tua itu, Tuan? Ala-ou-iya—itu berarti Gerbang Raja-raja!"

Bab 10, MALAM ITU

Dengan cekatan Tala mengemudikan perahu motor, menghampiri sebuah pangkalan kecil yang terbuat dari kayu, lalu menambatkannya pada sebuah tonggak. Beberapa buah perahu nelayan sudah lebih dulu bersandar di pangkalan itu. Tepi sungai di tempat itu penuh dengan pepohonan yang tumbuh sampai ke tepi air. Di belakang pepohonan nampak rumah-rumah penduduk yang rendah dan dikapur putih bersih. Asap mengepul ke langit sore, menjulang tegak lurus ke atas. Saat itu tidak ada angin mengembus.

Page 45: Petualangan di Sungai Ajaib

"Apa maksud Tala tadi? ia mengatakan, Ala-ou-iya itu Gerbang Raja-raja," kata Dinah. "Itu juga tertera di dalam buku-buku yang kauberikan pada kami, Bill—tapi tanpa disertai penjelasan lebih lanjut."

"Menurutku, itu memang namanya sejak zaman dulu," kata Bill. "Sejak daerah sini merupakan pusat peradaban purba, ribuan tahun yang silam!"

"Sama tuanya dengan Ur, kota yang diceritakan di dalam Perjanjian Lama?" tanya Lucy-Ann.

"Ya, setua kota Ur—atau bahkan mungkin masih lebih tua lagi," kata Bill sambil tertawa. "Di daerah sini mestinya sudah ada istana dan kuil yang hebat-hebat, sebelum kemudian terjadi bencana banjir besar, dan Nabi Nuh berlayar menyelamatkan diri dengan bahteranya!"

"Wah! Kalau begitu nama 'Gerbang Raja-raja' pasti punya makna tertentu!" kata Dinah. "Mungkin dulu di sini ada gerbang gemerlapan, sebagai ambang jalan menuju ke sebuah istana—atau mungkin juga kuil. Aneh ya, Bill, kalau dipikirkan seandainya kita melayari sungai ini tujuh atau delapan ribu tahun yang lalu, kita mungkin akan melihat bangunan-bangunan yang serba hebat dan megah sepanjang perjalanan! Semuanya menjulang tinggi, dan kemilau kena sinar matahari!"

"Mungkin juga kita bisa melihat Menara Babil, yang menjulang tinggi seperti hendak menggapai langit," kata Lucy-Ann. "Mungkinkah itu, Bill?"

"Tidak, kalau dari sungai ini. Kota Babylon itu letaknya jauh dari sini," kata Bill. "Nah—sekarang hari sudah gelap, dan bintang-bintang mulai bermunculan di langit!"

"Dan kini kita bisa melihat nyala api tempat memasak di luar rumah-rumah penduduk. Itu, kelihatan di sela-sela pepohonan," kata Dinah. "Aku suka suasana menjelang malam, di sini. Rumah-rumah penduduk nampak bertambah bagus, jika dilihat dari sini. Padahal kalau didekati, baru ketahuan bahwa keadaannya sudah serba rusak dan kotor. Sayang!"

"Syang!" kata Kiki menimpali dengan segera. "Syang, syang-sying-syung! Cuh!" Kiki menirukan bunyi orang meludah.

"He, jangan begitu, Kiki!" tukas Dinah. "Aku tadi mengatakan, 'sayang'! Aku sama sekali tidak meludah!"

"Syang!" kata Kiki lagi, lalu mengulangi dengan nada semakin meninggi. "Syang, sying, syung! Cuh!"

"Diam!" kata Jack sambil menepuk kepala Kiki.

Page 46: Petualangan di Sungai Ajaib

"Cuh!" teriak Kiki sekali lagi, lalu tertawa menjerit-jerit. Tala tertawa mendengar kekonyolan Kiki.

Semua kaget mendengarnya, karena suara tertawa Tala keras sekali. Bagi orang itu, Kiki merupakan binatang paling kocak yang pernah dijumpainya, ia selalu memberinya makanan. Dan kini ia menyodorkan sepotong nenas. Kiki menerima pemberian itu, lalu mengguncang-guncangkan kaki untuk membuang air nenas yang menempel.

"Aduh—jangan Kiki!" seru Dinah. "Kaukira enak, kena cipratan air. nenas! Ayo Kiki, jangan nakal! Kau kan burung manis!"

"Manis, manis, manisnis," oceh Kiki sambil mematuk-matuk potongan nenas yang dicengkeramnya. "Anak manis, Kiki manis, nenas manis..."

Bill melambaikan tangannya menyuruh Tala pergi, karena orang itu terbahak-bahak lagi. Mungkin jika dibiarkan, ia bisa sepanjang malam asyik menonton kekonyolan Kiki.

"Kapan kau akan turun ke darat, Bill? Malam ini juga, atau baru besok?" tanya Bu Cunningham.

"Kurasa sebaiknya malam ini juga," kata Bill. "Orang yang ingin kutemui itu, mungkin besok akan pergi sepanjang hari. Lagi pula, aku lebih suka menjumpainya malam-malam, agar tidak diketahui orang lain."

Sekitar pukul sembilan Bill turun ke darat, ia menyelinap pergi, berjalan di bawah bayangan pepohonan, ia sudah diberi tahu di mana akan bisa menjumpai orang yang hendak ditemuinya. Orang itu tinggal di sebuah rumah yang dibangun bersebelahan dengan sebuah bangunan gudang yang besar. Jalan ke situ akan ditanyakannya nanti pada penduduk yang kebetulan berpapasan.

Dinah sudah beberapa kali menguap. Kasurnya, dan juga kasur Lucy-Ann, yang kedua-duanya diselubungi kelambu, diletakkan di atas dek, tidak jauh dari pembaringan Bu Cunningham. Jack dan Philip belum merasa mengantuk. Mereka bercakap-cakap dengan berbisik-bisik, sambil berdiri menggelantung di pinggir perahu. Tala sudah terdengar mendengkur di buritan.

"Bagaimana—kita tunggu sampai Bill pulang nanti?" tanya Jack. "Aku ingin tahu hasil penyelidikannya."

"Kurasa tidak usah kita tunggu—karena mungkin baru larut malam ia kembali," jawab Philip. "Kita tidur sajalah. Sekarang sudah sekitar setengah sebelas. Mana kelambumu?—Ah, itu dia, kaubawa. Yuk, kita tidur!"

Setelah memasang kelambu, kedua anak itu berbaring di atas kasur masing-masing. Enak rasanya berbaring di dek yang sejuk, setelah sepanjang hari kepanasan terus. Mereka

Page 47: Petualangan di Sungai Ajaib

mendengarkan bunyi kecipak air sungai, serta suara burung malam yang berbunyi dengan tiba-tiba, dan bunyi air ketika ada seekor ikan meloncat.

Jack terlelap. ia bermimpi tentang istana-istana yang serba megah, serta gerbang-gerbang yang bersinar keemasan, dan gudang-gudang luas berisi harta. Sedang Philip belum bisa tidur, ia menunggu Bill pulang. Nah—itu pasti Bill! Philip mendengar langkah menyelinap, naik ke perahu. Ditunggunya Bill, menyalakan korek api. Bill biasanya merokok dulu, sebelum tidur. Tapi bunyi itu tidak terdengar. Rupanya Bill sekali itu hendak langsung tidur.

Tiba-tiba Philip kaget. Didengarnya bunyi lain. Apakah dia itu Bill? Tapi tidak mungkin—Bill kan bertubuh besar dan berat. Biar ia berusaha sesedikit mungkin menimbulkan bunyi, selalu masih juga terdengar. Tidak mungkin ia bisa sepelan itu! Jadi kalau bukan Bill—siapakah itu?

Dengan hati-hati sekali Philip menggulingkan tubuhnya ke tepi kasur. Disibakkannya kelambu yang menyelubungi. Philip duduk di dek, sambil mendengarkan lagi. Ya—tidak mungkin keliru lagi, memang ada orang merangkak di atas dek. Dan orang itu tidak memakai alas kaki. Tidak mungkin itu Tala. Memang ia juga tidak memakai alas kaki. Tapi dengkurannya terdengar jelas di buritan perahu. Siapakah itu? Jangan-jangan orang yang tadi siang bertanya-tanya tentang Bill! Atau barangkali pawang ular, yang datang untuk membalas dendam.—Ah, tidak, itu tidak mungkin!

Philip memasang telinga lagi. ia kembali mendengar bunyi yang pelan sekali. Datangnya dari arah kabin. Philip menyelinap di dek, yang hanya diterangi sinar bintang-bintang di langit. Ia sampai di tepi lubang tangga yang menuju ke kabin, ia mendengarkan lagi di situ. Ya—memang ada orang di bawah. Dan kedengarannya orang itu—makan! Dan minum! Philip mendengar bunyi terteguk-teguk, seperti ada yang minum di bawah.

Jangan-jangan itu salah seorang penduduk, penghuni rumah-rumah yang terdapat di balik pepohonan! Philip bimbang. Bagaimana sekarang? Apakah sebaiknya Tala dibangunkan saja? Rasanya itu bukan pekerjaan gampang, karena orang itu tidur nyenyak. Dan bisa pula Tala kaget, lalu menjerit. Kalau itu terjadi, orang yang masuk dengan diam-diam itu pasti akan sempat melarikan diri!

Kemudian Philip merasa mendapat akal bagus. Ya—sebaiknya ditutupnya saja lubang tangga itu, sehingga orang tak dikenal itu terperangkap di dalam kabin! Philip berusaha menarik tutup tingkap. Tapi tidak bisa, karena dikunci.

Akhirnya Philip memutuskan untuk kembali ke tempat pembaringannya, lalu membangunkan Jack. Kalau mereka berdua, pasti akan mampu meringkus orang tak dikenal yang menyusup masuk itu!

Philip kembali dengan langkah menyelinap. Sebentar-sebentar ia berhenti, untuk mendengarkan. Sekali ia merasa seperti mendengar ada orang di belakangnya. Tapi

Page 48: Petualangan di Sungai Ajaib

ternyata ia salah dengar. Philip muncul dari balik bayangan kabin. Maksudnya hendak menuju ke tempatnya berbaring bersama Jack.

Tahu-tahu ada sesosok tubuh gelap, berdiri di depannya. Orang itu kelihatannya memandang ke arahnya, dan mengenali dirinya—karena tahu-tahu Philip dirangkul erat-erat. Philip berusaha membebaskan diri.

"Tuan!" kata sosok gelap itu. "Tuan. Oola menyusulmu. Ini Oola, Tuan! Oola!"

Semua yang berada di perahu terbangun mendengar suara anak itu—kecuali Tala, yang mendengkur terus di buritan. Bu Cunningham menegakkan tubuh. Sedang Jack langsung meloncat. Maksudnya hendak ke luar dengan cepat. Tapi malah tersangkut kelambu. Dinah dan Lucy-Ann duduk dengan cemas. Siapakah yang ribut-ribut itu?

Jack menyalakan senter, sementara Dinah masih mencari-cari. Bu Cunningham menyibakkan kelambu yang menyelubungi pembaringannya, lalu menyorotkan senternya ke arah suara ribut-ribut itu. Cahayanya menerangi adegan yang luar biasa. Philip nampak berdiri di atas dek, sementara kakinya dirangkul oleh seorang anak kecil berkulit sawo matang

"Lepaskan!" kata Philip. "Semuanya terbangun karena suaramu! Mau apa kau kemari?"

"Oola ingin ikut denganmu, Tuan," kata anak kecil yang merangkul kakinya. "Jangan usir Oola, Tuan!"

"Ada apa, Philip?" seru Bu Cunningham dari pembaringannya. "Mana Bill? ia belum kembali?"

"Belum, Bu!" kata Philip. "Inilah anak yang kami ceritakan tadi—yang kami selamatkan dari pawang ular yang memukulinya. Rupanya ia membuntuti kita terus, sampai kemari!"

"Oola mengikuti perahu! Terus! Oola lari terus," kata anak kecil itu.

"Astaga! ia lari terus sejak tadi, menyusur sungai!" kata Jack. "Anak malang! Rupanya ia benar-benar ingin ikut denganmu, Philip! Kau lapar, Oola?"

"Oola sudah makan—di situ," kata anak laki-laki itu sambil menunjuk ke arah lubang tangga.

"Oola tidak makan—dua, tiga hari."

Bu Cunningham mengamat-amati anak itu, dengan diterangi sinar senter yang dipegangnya, ia terkejut melihat tubuh anak itu penuh dengan bekas-bekas pukulan.

"Kasihan—dan lihatlah, badannya kurus sekali! Betulkah ia lari terus mengikuti perahu kita, Philip?"

Page 49: Petualangan di Sungai Ajaib

"Kelihatannya begitu," kata Philip. Rasa belas kasihannya timbul terhadap anak kecil yang aneh itu—membayangkan betapa ia tadi lari tersaruk-saruk menyusur tepi sungai, merintis semak dan belukar—dengan perut kosong, kehausan, capek, dan sekujur tubuh terasa nyeri. Dan anak itu melakukannya, karena Philip sebelumnya telah menyelamatkan dirinya dari siksaan pamannya yang jahat! Mungkin belum pernah ada yang berbaik hati padanya selama ini.

Tiba-tiba terdengar suara orang berseru-seru dari tepi sungai.

"Halo! Kalian semua masih bangun? Tapi bukan karena menunggu aku pulang, kan?" Orang yang datang itu Bill. ia melompat ke perahu, ia tertegun, ketika melihat Oola yang masih berlutut di atas dek.

"Apa ini? Apa yang tadi terjadi di sini?" tanya Bill. "Siapa anak ini? Kenapa malam-malam begini ada di sini?"

Bab 11, OOLA—DAN HADIAHNYA

Mendengar suara Bill yang lantang, Oola meringkuk ketakutan. Philip menariknya, menyuruh anak itu berdiri.

"Kau tidak perlu takut," katanya. "Bill—ini dia anak yang tadi pagi kami selamatkan, ketika ia sedang dipukuli oleh pawang ular itu. Ternyata ia kemudian mengikuti kita. ia lari terus sejak dari Kota Film, menyusur tepi sungai."

Bill tercengang mendengarnya.

"Tapi ia kan tidak bisa berbuat begini," katanya. "Seenaknya saja naik ke perahu orang—apalagi saat tengah malam begini! Ada barang yang hilang? Anak-anak sekecil ini, kadang-kadang ada yang sengaja dilatih untuk mencuri!"

"ia tadi mengambil makanan dari kabin. Katanya, sudah beberapa hari ia tidak makan," kata Lucy-Ann. "ia kelihatannya ingin sekali ikut dengan Philip, Bill. Apa yang harus kita lakukan sekarang?"

"ia harus pergi," kata Bill. "Ini pasti siasat belaka, supaya kita tidak curiga. Pasti pamannya yang pawang ular itu yang menyuruhnya melakukan hal ini—dan ia di darat, menunggu anak ini kembali dengan barang-barang yang berhasil dicuri di sini!" Bill membentak anak kecil itu. "Ayo pergi! Cepat!"

Oola sangat ketakutan mendengar bentakan itu. Lututnya gemetar ketika berjalan ke pinggir perahu, menuju ke pangkalan. Ketika ia lewat di dekat Bu Cunningham, tiba-tiba ia dipegang. Bu Cunningham memutar tubuh anak itu dengan pelan, sehingga berdiri menghadapnya, dan membelakangi Bill.

Page 50: Petualangan di Sungai Ajaib

"Bill! Coba kaulihat ini," kata Bu Cunningham sambil menerangi punggung anak itu dengan sinar senternya. Bill kaget, ketika melihat punggung itu penuh dengan bekas pukulan.

"Astaga! Itu perbuatan siapa? Anak malang—ia kelihatannya kelaparan. Coba kemari sebentar, Oola!"

Oola datang mendekat Takutnya berkurang, karena Bill menyapanya dengan nada lebih ramah. Bill menyorotkan senternya untuk menerangi tubuh anak itu. Oola terkejap-kejap, karena silau.

"Kenapa kau kemari, Oola?" tanya Bill masih dengan nada galak. Tapi tidak lagi membentak. "Katakan yang sebenarnya. Kau tidak perlu takut!"

"Aku kemari karena mencari dia," kata Oola sambil menunjuk Philip. "Aku ingin ikut dengan dia. Oola ingin memberi hadiah padanya."

Bill mencari-cari. Anak itu hanya memakai cawat yang melilit di pinggangnya. Kecuali itu, ia tidak membawa apa-apa.

"Kau tidak membawa apa-apa, Oola," kata Bill. "Kenapa kau berbohong?"

"Oola tidak bohong!" kata anak kecil itu. "Tuan itu bilang, ia suka ular. Sangat suka. Jadi Oola membawakan ular. Ular bargua!"

Sementara Bill dan yang lain-lainnya memandang dengan ngeri, Oola merogoh ke dalam cawatnya, ia mengeluarkan seekor ular hijau berbadan langsing, dengan bintik-bintik merah dan kuning!

"Mulutnya tidak dijahit!" seru Jack. "Awas! Awas, Oola! Ular itu berbisa. Jika kau dipatuk, bisa mati!"

Dinah lari ke tangga, bergegas turun ke kabin, lalu masuk ke dalam sebuah lemari yang ada di situ. ia gemetar. Ih, ular bargua! Ular yang termasuk paling berbisa! Berani-beraninya Oola membawanya di dalam cawat! Dinah merasa mual. Sementara itu ular tadi masih terus dipegang oleh Oola. Ular itu menggeliat-geliat. Lidahnya yang bercabang bergerak-gerak, terjulur ke luar dari mulutnya.

"Buang ular itu, Oola!" seru Bill. "Cepat, lemparkan jauh-jauh! Kau sudah gila ya?!"

"Ini hadiah untuk Tuan," kata Oola berkeras. Diacungkannya ular itu pada Philip, yang cepat-cepat mundur. Philip suka pada ular. ia tidak takut pada binatang melata itu. Tapi itu tidak berarti ia mau memegang ular berbisa yang sedang ketakutan!

"Lemparkan ke air!" teriak Bill. Ia takut sekali, jangan-jangan nanti ada yang kena patuk. "Anak gila!"

Page 51: Petualangan di Sungai Ajaib

"Ular tidak menggigit," kata Oola. "Racunnya sudah tidak ada. Ini—lihat!"

Semua semakin ngeri, ketika anak itu memegang mulut ular, lalu membukanya. Philip mendekatkan kepalanya, untuk melihat. Entah kenapa, tahu-tahu ia mendapat perasaan bahwa ular itu tidak mungkin masih berbahaya, ia mencari-cari kelenjar tempat bisa, yang terdapat di bagian bawah taring yang berlubang ujungnya. Ia menegakkan tubuhnya kembali, sementara yang lain-lain menunggu dengan tegang.

"Ular ini tidak ada bisanya lagi," katanya. Dengan tenang diambilnya ular itu dari tangan Oola. "Kelenjar bisanya sudah dibuang. Itu sebenarnya perbuatan jahat, karena biasanya itu berarti bahwa ular ini beberapa minggu lagi pasti akan mati. Siapa yang membuangnya, Oola?"

"Perempuan tua," jawab Oola. "Oola bilang padanya, tuan saya ingin punya ular. bargua. Lalu diberinya ular itu padaku. Ular itu aman, Tuan—tapi tidak seperti ular-ular yang mulutnya dijahit. Tuan suka yang ini?"

"Kasihan," kata Philip. "Hanya karena aku, kau harus menderita, Ular! Kau kini tidak punya racun lagi, dan karenanya kau akan mati. Selama ini kau akan kupelihara, sehingga bisa hidup dengan senang. Oola—jangan kaulakukan lagi hal-hal seperti ini! Ini perbuatan kejam!"

"Baik, Tuan," kata Oola dengan patuh, ia memandang Bill dengan sikap takut-takut.

"Oola boleh tinggal?" tanyanya. "Oola ikut tuan ini," katanya sambil menuding Philip.

"Baiklah—untuk malam ini kau boleh tinggal," kata Bill. Ia sudah mulai bosan. "Sekarang ikut aku! Kau tidur dengan Tala!"

"Pergilah, Oola," kata Philip, karena anak kecil itu kelihatannya ragu-ragu. Oola mengikuti Bill.

"Aku ingin mengobati punggungnya dulu," kata Bu Cunningham. "Anak kecil yang malang!—Philip, haruskah ular itu kaupelihara?"

"Ia akan kutaruh dalam kantungku terus," kata Philip. "Takkan kuperbolehkan ke luar—kecuali jika aku sedang sendiri, atau hanya ada Jack. Ular ini kan tidak berbahaya lagi, Bu!—O ya, Bu, bolehkah Oola ikut dengan kita? Nanti ia bisa membantu-bantu Tala. Akan kujaga agar ia jangan sampai merepotkan kita. Aku heran, kenapa ia begitu memaksa ingin ikut aku."

"Kan kau yang menyelamatkannya dari pamannya yang jahat itu!" kata Lucy-Ann.

"Kita serahkan saja keputusan tentang itu pada Bill," kata Bu Cunningham. "ia pasti bisa menemukan kemungkinan yang paling baik.—He, mana Dinah?"

Page 52: Petualangan di Sungai Ajaib

Dinah masih mendekam dalam lemari, di dalam kabin. Sementara itu ia merasa agak malu terhadap sikapnya. Tapi ia tidak berani ke luar. Ditunggunya sampai ada yang datang menjemput. Alangkah lega hatinya, ketika yang datang ternyata Jack.

Jack merasa lebih baik jangan dikatakan dulu pada Dinah, tentang ular yang sekarang ada di dalam kantung Philip. Karena jika Dinah sampai tahu, ia pasti akan marah-marah, lalu melabrak Philip. Lebih baik keesokan paginya saja ia diberi tahu. Jangan saat itu, karena semua sudah capek sekali.

"Keluarlah, Di," kata Jack, sambil membuka pintu lemari. "Kau ini benar-benar konyol! Ular itu sama sekali tidak berbisa lagi! Kelenjarnya sudah dipotong, jadi racunnya tidak bisa lagi mengalir ke taringnya. Kita tadi ketakutan tanpa alasan!"

"Aku tidak percaya," kata Dinah. "ia pasti masih berbisa. Cuma kau saja yang mengatakan tidak, supaya aku mau keluar!"

"Sungguh, Di—aku tidak bohong," kata Jack. "Ayo, keluarlah! Semua sudah mau tidur lagi sekarang. Oola sudah pergi tidur di tempat Tala. Anak itu berkeras ingin ikut dengan Philip. Kasihan, anak itu!"

Dinah menyangka ular itu pasti dibawa oleh Oola. Karenanya ia mau naik lagi ke dek. Tidak lama kemudian semua sudah berbaring lagi di bawah kelambu masing-masing, lalu tidur. Setengah jam kemudian, sesosok tubuh kecil merayap di atas dek, menghampiri tempat Jack dan Philip tidur. Itu Oola, yang datang karena ingin dekat dengan "tuannya"! ia meringkuk tanpa alas di dek, di dekat kaki Philip, lalu memejamkan mata. Kini ia sudah puas, karena sudah berada di dekat "tuannya", ia hendak menjaga, jangan sampai ada yang mendekati Philip tanpa diketahui olehnya.

Paginya Tala yang paling dulu bangun, seperti biasanya, ia langsung mencari-cari Oola, karena teringat pada kejadian malam sebelumnya. Tapi anak itu tidak ada lagi di tempatnya. Tala mengangguk, ia merasa puas. Soalnya, ketika ia malam-malam dibangunkan oleh Bill, ia sudah mengatakan bahwa anak seperti Oola itu brengsek. Tapi tuan berkepala botak itu malah mengatakan, "ia tidur bersamamu! ia tetap tinggal di sini." Tapi sekarang anak itu ternyata tidak ada lagi. Jadi Tala ternyata benar!

Sambil menyiapkan hidangan untuk sarapan, ia sibuk merencanakan apa yang nanti akan dikatakan pada Bill. "Tala ternyata benar, Tuan," begitulah akan dikatakannya pada Bill. "Anak itu sudah pergi."

Karenanya Tala kaget sekali—dan juga kecewa—ketika melihat Oola meringkuk di dekat kaki Philip. Didorongnya anak itu dengan kakinya. Oola langsung bangun, siap untuk membela Philip.

"Ayo kembali ke sana," kata Tala dengan sengit dalam bahasa setempat, ia berbicara dengan suara pelan, agar tidak membangunkan yang lain-lain. Sambil berbicara, ia

Page 53: Petualangan di Sungai Ajaib

menunjuk ke arah buritan dengan anggukan kepala. Tapi Oola menggeleng, ia duduk lagi, dekat kaki Philip. Tala mengangkat tangannya, seolah-olah hendak memukul Oola.

Anak itu mengelak dengan cepat, lalu lari menyembunyikan diri. Tala langsung mengejar. Tapi Oola malah kembali ke tempat Philip. Ular bargua yang diberikannya malam sebelumnya, ada di dalam keranjang kecil yang terletak di sisi "tuannya". Oola menggaruk-garuk sisi keranjang itu, sambil bersiul lirih. Ular yang ada di dalam mendesis, lalu berusaha ke luar.

"Kau ular tuanku," kata Oola pada ular itu dalam bahasa setempat. "Kita sama-sama menjaga tuan kita!"

Ketika sedang sarapan, tahu-tahu Dinah terpekik, ia melihat kepala ular bargua itu tersembul dari kantung abangnya.

"Philip! Aku tidak mau, kau memelihara ular itu. Kau kan tahu, aku paling benci pada ular. Bill, jangan kauperbolehkan Philip menyimpan ular itu. Aku takut pada ular, Bill! Jika kau mengizinkannya, aku tidak mau lagi tinggal di perahu ini. Aku pulang ke hotel!"

"Tenang sajalah, Di," kata Bill dengan sabar. "Jangan marah-marah. Aku takkan menahanmu, jika kau benar-benar ingin kembali ke hotel. Akan kusuruh Tala mengantarmu, dengan membawa surat untuk manajer. Kau pasti senang di sana—apalagi menurut manajer itu akan datang dua wanita tua berbangsa Inggris. Mereka hendak menginap selama minggu ini di sana, untuk melukis. Mereka pasti mau menemani."

Dinah kaget. Apa? Bill sungguh-sungguh akan membiarkan ia kembali ke hotel—kembali seorang diri—dan bukan melarang Philip memelihara ular itu?

"Bagaimana—kupanggilkan Tala sekarang?" kata Bill lagi.

Wajah Dinah menjadi merah. Dipandangnya Bill dengan mata berkaca-kaca. "Jangan—tidak usah," katanya. "Aku—lebih baik kuterima saja Philip memelihara ular itu, daripada harus berpisah dari kalian."

"Nah—begitu dong, Di," kata Bill, lalu tersenyum. "Sekarang—apa rencana kita untuk hari ini? Dan apa yang akan kita lakukan dengan Oola?"

Bab 12, KABAR MENYENANGKAN UNTUK OOLA

Oola disuruh ikut sarapan dengan Tala. Tala bersikap ketus sekali terhadap anak itu. ia sebenarnya menyukai anak-anak. Tapi anak yang satu ini tidak ada urusannya di situ, di perahunya! Begitulah pikiran Tala. Oola berusaha sebaik-baiknya untuk menyenangkan hati Tala. ia mendengarkan dengan tekun, hanya berbicara jika ditanya. Segala perintah Tala dipatuhinya. Disuruh ke sana, menurut Kemari, oke saja!

Page 54: Petualangan di Sungai Ajaib

Tapi kemudian, ketika Tala sedang sibuk mengutik-utik mesin perahu, dengan diam-diam Oola pergi mencari Philip, ia kini merasa tenteram, karena ada orang yang kelihatannya sayang padanya. Oola sudah tidak punya ayah maupun ibu lagi. Ibunya meninggal dunia ketika ia dilahirkan. Sedang ayahnya jahat. Ialah yang menyerahkan Oola pada Bula, pamannya—untuk dijadikan pembantu dalam pertunjukan ularnya. Jadi bagi Oola, ayahnya dianggap sudah tidak ada lagi. Tapi kini—kini ada Philip, "tuannya"! Oola menepuk perutnya dengan puas. ia sudah kenyang, ia teringat pada hadiah yang diberikannya pada Philip. Ular itu kini ada di kantung "tuannya". Oola melihat tangan anak itu beberapa kali dimasukkan ke dalam kantung. Kelihatannya seperti mengelus-elus sesuatu yang ada di situ, sambil mendengar Bill berbicara. Oola mendengar namanya disebut oleh Bill, yang saat itu mengatakan, "Dan apa yang akan kita lakukan dengan Oola?"

Dalam hati Oola terkejut ia hendak diapakan? Apa maksud tuan botak bertubuh besar itu? Apakah ia akan dilemparkan ke air—atau diserahkan pada polisi? Oola berusaha menangkap percakapan itu. Tapi tahu-tahu tengkuknya dicengkeram, lalu diangkat ke atas dengan kasar. Oola tidak tahu, bahwa Tala menghampirinya dengan diam-diam.

"Apa yang kaulakukan di sini?" sergah orang itu dalam bahasa mereka. "Duduk mengantuk di sini! Sekarang kan masih pagi! Ayo bantu aku bekerja, Anak pemalas! Kau ini keturunan kura-kura rupanya, ya!"

Oola menatapnya dengan marah. Tapi ia tidak berani membantah. Kata-kata Bill masih terngiang di telinganya. "Kita apakan Oola?"

Sementara itu Bill masih terus berunding dengan istrinya dan anak-anak. ia sendiri menghendaki anak itu lebih baik disuruh pergi dengan dibekali uang sedikit biar ia mencari sanak keluarganya. Anak seperti dia diajak—cuma akan merepotkan saja. Tapi Bu Cunningham, lain pendapatnya.

"Kita ajak dia, setidak-tidaknya sampai ia tidak begitu kurus lagi," katanya. "Aku kasihan melihatnya! Apalagi kalau melihat caranya memandang— takut-takut seolah-olah kita akan memukulnya. Sungguh, tak sampai hatiku membiarkan dia seperti itu."

"Tapi nanti ia merepotkan Philip," kata Bill lagi.

"Ah—bagiku, itu tidak apa," kata Philip dengan tenang.

"Bagaimana pendapat kalian?" tanya Bu Cunningham, sambil memandang ketiga anak yang lain.

"Kami senang padanya," kata Lucy-Ann. Anak-anak yang lain mengangguk. "Kami bisa mengaturnya agar ia jangan merepotkan. Kecuali itu, kan ada Tala! Jika Tala sudah agak terbiasa, ia pasti akan senang pada Oola. Tentang itu, aku yakin. Jangan kausuruh dia pergi, Bill."

Page 55: Petualangan di Sungai Ajaib

Dinah duduk sejauh mungkin dari Philip. Dipaksanya dirinya agar jangan terus mengingat-ingat ular yang entah ditaruh di mana oleh abangnya itu. Dinah masih tidak enak perasaannya. Tapi ia berusaha keras untuk mengendalikan diri. Bill senang melihat sikapnya yang begitu, ia menyapa anak itu.

"Kau juga setuju, Di?"

"Ya," kata Dinah sambil mengangguk. "Aku senang pada anak itu—meski aku lebih senang jika tubuhnya agak bersih, dan tidak bau."

"Ah—itu urusan gampang," kata Bill. "Baiklah! Akan kuberi kesempatan padanya. Akan kuminta pada Tala untuk mengawasi agar ia mau mandi, dan mengganti cawatnya dengan sarung yang bersih. Kupanggil saja dia sekarang.—Oola! OOLA!"

Saat itu Oola sedang membantu Tala yang sibuk mengutik-utik mesin perahu. Mendengar namanya dipanggil, dengan segera dilepaskannya kawat yang sedang dipegang. Oola lari ke haluan, dengan hati berdebar-debar. Apakah ia akan diusir? Ia berdiri di depan Bill, tanpa berani memandang tuan berkepala botak itu.

"Oola," kata Bill, "kau akan kami beri kesempatan. Kau boleh ikut dengan kami, untuk sementara waktu. Tapi kau harus mematuhi segala perintah Tala. Aku ini Tuan Besar, dan Tala Tuan Kecil. Mengerti?"

"Tuan Besar baik hati, Tuan Besar bagus!" kata Oola. Matanya bersinar-sinar. "Oola senang. Oola akan kerja rajin!" Kemudian ia memandang Philip, sambil tersenyum lebar. "Aku akan ikut Tuan!" katanya lagi. "Oola bekerja untuk Tuan!"

Bill memanggil Tala.

"Tala! Coba kemari sebentar!" Tala cepat sekali datang. Rupanya ia selama itu ikut mendengarkan. Sesampai di depan Bill ia mengambil sikap menunggu, tapi dengan tampang masam.

"Tala—Oola ini akan ikut dengan kita, selama kita berlayar. Tolong urus, agar badannya menjadi bersih. Beri dia pekerjaan. Kauawasi dia, dan laporkan padaku apakah pekerjaannya baik atau tidak."

Tala mengangguk. Tapi ia tidak mengatakan apa-apa. ia melirik Oola sebentar, yang sementara itu berdiri merapat pada Philip. Oola ikut mendengarkan, dengan kepala tertunduk.

"Cuma itu saja, Tala," kata Bill. "Hari ini kita meneruskan perjalanan. Nanti kukatakan, di mana kita singgah lagi."

"Baik, Tuan," kata Tala. ia pergi dengan tampang masih tetap geram. Tahu-tahu ada yang memanggil-manggil namanya lagi.

Page 56: Petualangan di Sungai Ajaib

"Tala! Tala! Tala!"

Tala bergegas kembali. Tapi ternyata yang memanggil itu Kiki. Burung iseng itu sudah bosan, membungkam terus sejak pagi.

"Tala! Bersihkan kakimu! Satu, dua, empat, tujuh, tiga—maju JALAN! Fiiieeettt!"

Tiruan bunyi peluit polisi itu mengejutkan semua yang ada di perahu. Apalagi Oola! ia nyaris saja terjun ke air, karena ketakutan. Tala langsung melupakan kejengkelannya, ia tertawa keras sampai terhuyung-huyung di dek, karena geli mendengar ocehan Kiki.

"Hentikan suitan itu, Kiki!" kata Bu Cunningham dengan tegas. "Sakit kepalaku mendengarnya. Berisik!"

"Brisik-sik-sik!" oceh Kiki bernyanyi-nyanyi, ia senang melihat dirinya diperhatikan. "Sik-sik-sik...."

Ia baru terbungkam ketika paruhnya diketuk Jack. Kiki langsung terbang ke sudut perahu, mengumpat-umpat dengan suara pelan.

"Ajak Oola ke belakang, Tala—dan urus dia," kata Bill. "Pertama-tama, ia harus mandi. Badannya bau."

Tala langsung mengendus-endus ke arah Oola. ia pura-pura mencium bau yang sangat busuk, lalu mengernyitkan hidung dengan sikap muak.

"Busuk!" katanya mencibir. "Bau busuk. Bwahhh!"

"Bwahh!" Kiki langsung menirukannya, lalu berjalan tergeol-geol ke luar dari sudut perahu. “Bwahh! Buuhh! Bau busuk—buhhh!"

Tala terbahak! Disambarnya lengan Oola, lalu ditariknya pergi dari situ.

Ketika mereka sudah agak jauh, Jack bertanya pada Bill, "Ada pengalamanmu yang menarik tadi malam? Maksudku di Alaouiya! Lama sekali kau baru kembali."

"Memang! Aku tidak tahu, apakah yang kudengar di sana banyak artinya atau tidak," kata Bill. "Orang yang harus kuhubungi sesudah larut malam baru pulang. Jadi aku terpaksa menunggu. Ternyata ia memang mengenal Raja Uma. Menurut dugaannya, orang itu hendak melakukan sesuatu, karena sebentar-sebentar pergi. Tidak pernah ada yang tahu ke mana ia pergi."

"Apa sebenarnya yang dilakukan olehnya, jika tidak sedang pergi?" tanya Bu Cunningham.

Page 57: Petualangan di Sungai Ajaib

"ia nampaknya menaruh minat pada Kota Film," kata Bill. "ia sering ke sana, dan menyewa kamar di hotel besar yang ada di situ. ia mengaku pernah menjadi aktor, dan sangat tertarik pada pembuatan film. Tapi itu bisa saja cuma kedok belaka, untuk menutupi kegiatan yang sebenarnya."

"Aku percaya—jika ia mengatakan bahwa ia pernah menjadi aktor," kata Bu Cunningham. "Foto-foto yang kauperlihatkan waktu itu, Bill— kalau tidak kaukatakan bahwa itu semuanya Raja Uma, pasti akan dikira orang yang berlain-lainan! Kurasa ia pasti juga mampu berbicara dengan suara yang diubah-ubah, sesuai dengan samaran yang sedang dipakai!"

"Memang," kata Bill. "Nah—katakanlah ia dulu memang aktor, dan ia juga benar-benar tertarik pada film, lalu ke manakah ia pergi, kalau setiap kali menghilang selama seminggu sampai sepuluh hari? Aku yakin, orang itu pasti hendak melakukan sesuatu yang melanggar hukum!"

"Apa maksudmu, Bill?" tanya Jack, setelah semua terdiam sesaat.

"Ini—daftar beberapa kegiatannya selama ini," kata Bill sambil mengeluarkan sebuah buku catatan dari kantungnya. "Penyelundupan senjata, menjadi mata-mata—ia benar-benar hebat di bidang itu, tapi sekarang tidak ada lagi negara yang mau memakainya, karena ia tidak bisa dipercaya. Kalau ditawari uang sedikit lebih banyak lagi, tanpa segan ia langsung beralih pihak!"

"Bagus sekali wataknya!" kata Jack, sambil mengelus-elus Kiki yang sementara itu sudah bertengger di lututnya.

"Lalu ada lagi kegiatan yang paling dikuasainya," kata Bill. "Perdagangan gelap! ia melakukannya secara besar-besaran, sampai pernah ia hampir menjadi milyuner karenanya. Tapi kemudian ada komplotannya yang membocorkan rahasia. Walau ia berusaha menyuap ke kanan dan ke kiri agar ada yang mau memikul tanggung jawab, tapi akhirnya ia dijatuhi hukuman penjara juga.— Nah, itulah beberapa di antara sekian banyak kegiatannya. Kabarnya ia sekarang sedang kekurangan uang. Temannya juga tinggal sedikit. Tapi ia bertekad, ingin melancarkan sesuatu secara besar-besaran."

"Dan menurut dugaanmu, itu mungkin akan dilakukannya di sini?" tanya Philip. "Lalu dengan cara bagaimana kau bisa menggagalkannya?"

"Itu bukan tugasku! Aku cukup menyampaikan laporan mengenai kegiatannya, ke kantor pusat Polisi Internasional," kata Bill.

"Tapi tadi malam, tidak banyak informasi yang kauperoleh?" kata Bu Cunningham. "Yah— mungkin di tempat berikut kau akan lebih berhasil. Apa nama persinggahan kita setelah ini?"

Page 58: Petualangan di Sungai Ajaib

"Ullabaid," kata Bill. "Orang yang kujumpai tadi malam mengatakan, Uma memiliki sebuah perahu motor kecil, yang sering dipakainya untuk mondar-mandir di sungai ini. Jadi kurasa jelas, tempat-tempat yang didatangi selama ia pergi, mestinya terletak di tepi sungai ini—atau tidak jauh ke darat.—Nah, kita berangkat saja sekarang. Coba kaulihat sebentar, Jack, apakah Tala sudah siap. Katakan padanya agar jangan buru-buru. Tenang-tenang sajalah, karena cuaca sedang indah sekali!"

Jack bergegas ke buritan.

"Kita sudah bisa berangkat sekarang, Tala?" serunya. "Sudah! Bagus. Kalau begitu, kita berangkat!"

Bab 13, SETELAH MAKAN SORE

Perjalanan hari itu sangat menyenangkan. Seperti sediakala, matahari bersinar sepanjang hari. Tala mengemudikan perahu dekat tepi sebelah kiri di mana tumbuh pepohonan yang tinggi-tinggi. Dengan begitu mereka bisa menikmati keteduhannya. Banyak desa yang dilewati sepanjang pelayaran. Penduduk desa yang melihat perahu motor itu lewat, bergegas menuju tepi sungai untuk menyerukan salam sambil melambai-lambai. Oola disuruh-suruh terus oleh Tala. Philip jarang melihat anak itu, sampai saat istirahat siang.

Waktu itu sinar matahari sangat terik, sehingga Bill memutuskan untuk beristirahat dulu. Perahu diarahkan ke bawah bayangan pepohonan, lalu berlabuh di situ. Semua mendesah-desah kepanasan.

Saat itulah Oola datang dengan diam-diam, menghampiri Philip dan Jack yang sedang berbaring-baring di tempat yang teduh. Anak kecil itu kemudian berbaring di dekat Philip. Philip nyengir, ketika melihat anak itu. Oola langsung merasa senang.

"Tuan tidur dengan tenang," bisik anak itu. "Oola di sini untuk menjaga."

Dan anak itu ternyata memang tetap bangun, walau semua yang ada di perahu tidur melepaskan lelah, termasuk Tala. Matanya langsung berkeliaran ke segala arah, setiap kali ada sesuatu yang berbunyi. Sekali dilihatnya kepala ular bargua yang kelihatannya galak tersembul sebentar dari dalam kemeja Philip. Oola tersenyum bangga. Ah— tuannya menyimpan hadiahnya dengan aman. Bahkan dekat dengan hatinya.

Saat minum teh sore itu berlangsung dengan menyenangkan. Semua merasa segar kembali setelah tidur siang. Selera mereka timbul, menghadapi roti dan minuman. Hanya Bu Cunningham saja yang ingin minum teh, lainnya minta air jeruk.

Oola langsung pergi, begitu mendengar suara Tala berdesis-desis memanggilnya. Tala sebenarnya senang sekali melihat anak itu rajin. Tapi ia merasa cemburu, karena Oola selalu ingin duduk dekat anak-anak, begitu mendapat kesempatan. Sedang Tala sendiri tidak berani berbuat begitu. Sementara itu Oola sudah tertarik untuk mengamati mesin

Page 59: Petualangan di Sungai Ajaib

perahu motor itu. Tala sampai heran, melihat anak itu begitu lekas mengerti jika diterangkan mengenai hal itu.

"Oola mengemudikan perahu!" kata anak itu sehabis makan sore. "Oola tahu caranya!"

"Tidak boleh," potong Tala cepat. "Jangan coba-coba berbuat iseng, Oola—nanti kuadukan pada Tuan Besar, dan kukatakan, 'Lemparkan saja anak ini ke air, Tuan, ia brengsek!' Kaudengar itu, Oola?"

"Ya, aku dengar, Tuan Kecil," kata Oola dengan cepat, ia ngeri, jangan-jangan Tala nanti sungguh-sungguh mengadu. "Oola membersihkan minyak, ya? Oola mengelap?"

Ya—kalau itu, tentu saja boleh! Oola boleh saja melakukan pekerjaan yang kotor-kotor. Tapi ada satu hal mengenai anak itu yang disesali Tala. Setelah melakukan tugas-tugas seperti itu, Oola menjadi dekil lagi badannya! Padahal Tala sudah begitu bangga, karena paginya sudah memandikan anak itu sampai bersih sekali, ia menggosok tubuh Oola keras-keras. Oola menjerit-jerit ketika bengkak-bengkak bekas pukulan di tubuhnya digosok terlalu keras.

"Nah—sekarang sudah tidak bau lagi, sudah tidak buhh!" kata Tala, ketika selesai. "Sebelumnya kau terlalu bwahhh, Oola—busuk sekali!"

Oola memang sudah jauh lebih bersih kelihatannya sekarang. Bersih, dengan rambut hitamnya yang gondrong dilicinkan ke belakang, serta kain sarung baru berwarna biru terang melilit pinggang. Oola sangat membanggakan sarung barunya itu.

Rombongan pesiar itu sampai di Ullabaid, sebuah desa apik yang letaknya agak jauh dari tepi sungai. Pada dermaga yang agak besar bersandar sejumlah perahu kecil yang lumayan banyaknya.

"Aku akan turun ke darat," kata Bill. "Ada yang ingin ikut? Kita beri kesempatan pada Ibu untuk beristirahat sendiri di perahu. Kita ini memang berisik!"

Anak-anak berlompatan dari perahu ke dermaga mengikuti Bill, lalu berlari-lari ke darat. Tala, Oola, dan Bu Cunningham ditinggal di perahu. Tala merasa kesal, karena ia sendiri sebenarnya juga ingin turun ke darat. Tapi karena ia tidak boleh, Oola lantas tidak diizinkannya pula turun.

Anak itu disuruhnya melakukan sesuatu yang akan memakan waktu lama. Oola merengut, ia bertekad akan menyelinap pergi begitu Tala tidak memperhatikan dirinya—atau yang juga sangat mungkin, begitu Tala tertidur.

Desa Ullabaid lumayan juga besarnya. Rumah-rumah penduduk seperti yang biasa di daerah itu. Rendah, beratap datar, dan dikapur putih. Tempat memasak terdapat di luar rumah. Anak-anak banyak berkeliaran, berkulit sawo matang, dan berpakaian apa adanya. Mereka mulanya masih malu dan takut-takut, tapi kemudian mulai berani dan ingin tahu.

Page 60: Petualangan di Sungai Ajaib

Bill mendatangi bangunan yang paling besar di desa itu, yang ternyata gedung sekolah. Guru di situ penduduk setempat, ia berwajah ramah, dan berpenampilan cerdas, ia kelihatannya heran melihat Bill datang. Tapi begitu Bill menyodorkan selembar kartu padanya sambil mengatakan sesuatu dengan suara pelan, dengan segera ia diajak masuk.

Anak-anak ditinggal di luar. Entah kenapa, sekali itu Kiki lebih banyak diam. ia memandang berkeliling, melihat anak-anak desa yang menonton dengan mata membundar. Seorang anak laki-laki yang umurnya sekitar dua belas tahun datang menghampiri mereka, ia membawa setumpuk kartu pos bergambar. Satu di antaranya ditunjukkan pada Jack, lalu anak itu menuding ke arah yang jauh sementara kepalanya terangguk-angguk, ia mengatakan sesuatu, berulang kali.

Jack serta ketiga anak lainnya berkerumun, untuk melihat kartu pos bergambar yang ditunjukkan. Ternyata gambarnya menunjukkan bekas bangunan kuno. Sebuah kuil kuno yang rupanya ditemukan dan kemudian digali beberapa tahun sebelumnya oleh seorang sarjana ilmu purbakala yang terkenal.

"Kuil Dewi Hannar." Philip membaca tulisan yang tertera pada kartu pos itu. "Menarik juga kelihatannya! Bagaimana jika kita melihat-lihat sebentar ke sana, sementara Bill masih sibuk dengan urusannya? He—berapa jauhnya tempat itu dari sini? Jauh—berapa?"

Anak laki-laki yang ditanya tidak bisa berbahasa Inggris. Tapi rupanya ia bisa menebak maksud Philip, karena ia memberi isyarat agar mereka ikut dengan dia. Keempat anak itu mengikutinya, berjalan di antara pohon-pohon, lalu melintasi tanah yang dijadikan kebun. Mereka dibuntuti segerombolan anak yang ribut.

Ada seorang anak kecil yang berjalan dengan sembunyi-sembunyi di belakang gerombolan itu. Anak itu—Oola! ia tadi menunggu sampai Tala tertidur, lalu cepat-cepat turun dari perahu. Di desa ia bertanya-tanya ke mana teman-temannya orang Inggris pergi. Dan kini ia membuntuti mereka, tapi sambil menjaga jangan sampai kelihatan, ia tidak berani menggabungkan diri. Gerombolan anak-anak yang mengikuti mulai mendesak-desak keempat anak itu. Jack menoleh dengan kesal.

"Mundur!" katanya. "Jangan mendesak-desak!—Dengar tidak kataku? Mundur!"

Gerombolan yang mengikuti mundur sedikit Tapi hanya sebentar saja. Saat berikutnya mereka sudah mulai mendesak-desak lagi. Kini Kiki campur tangan. Atau campur kaki? Entahlah— yang penting, tiba-tiba burung iseng itu berteriak.

"Mundur!" serunya. "Mundur, mundur, undur-undur, mundur!" Setelah itu ia menirukan bunyi pesawat terbang yang mengalami kerusakan mesin dan hampir jatuh. Gerombolan anak-anak setempat kaget sekali mendengar bunyi itu, lalu cepat-cepat menjauh. Dan mereka tetap menjaga jarak itu.

Page 61: Petualangan di Sungai Ajaib

Philip tertawa.

"Hebat, Kiki!" katanya. "Aku tidak tahu bagaimana kita, jika kau tidak ada!"

Akhirnya mereka sampai di kuil yang dituju. Anak-anak agak kecewa ketika melihatnya— karena ternyata lebih rusak daripada yang nampak dalam kartu pos bergambar.

"Seperti bangunan-bangunan yang di Kota Film," kata Lucy-Ann. "Cuma bagian depannya saja yang ada—belakangnya kosong!"

"He," kata Philip tiba-tiba, "lihatlah serangga kecil-kecil yang sedang berjemur itu—kurasa ularku pasti mau kalau diberi makan itu. ia tentunya sudah lapar sekarang."

Dinah kaget setengah mati ketika Philip mengeluarkan ular bargua dari balik kemejanya. Ular itu dilepaskannya ke tanah, tidak jauh dari kumpulan serangga yang dilihatnya itu.

Dinah tentu saja menjerit, lalu cepat-cepat lari. Jeritannya mengejutkan anak-anak penduduk setempat yang menonton. Begitu mereka melihat ular itu, yang mereka tahu sangat berbisa, mereka pun ikut menjerit ketakutan, lalu cepat-cepat lari.

"Bargua!" teriak anak-anak itu. "Bargua!" Anak-anak yang lebih besar menyeret adik-adik mereka, dan bahkan anak laki-laki yang menjadi pemandu juga ikut lari, setelah sepintas melihat ular yang sedang menggeleser itu.

"Astaga!" kata Philip, ia juga ikut kaget. "Semuanya lari—hanya karena aku mengeluarkan ularku agar ia bisa makan. Macam-macam saja!"

"Itu tidak aneh," tukas Dinah dari jauh. "Kita tahu ular itu aman—tapi mereka tidak! Kau aneh-aneh saja, Philip. Tapi syukurlah, ular itu sekarang pasti lari! Takkan mau kembali lagi, setelah kaulepaskan!"

"Kalau tidak mau, ya sudah," kata Philip. "Tapi aku yakin, ia pasti kembali!"

Ular itu mematuk serangga-serangga, yang kelihatannya merupakan makanan lezat baginya. Setelah itu ia menyusup ke bawah semak, lalu menangkap seekor katak kecil di situ. Katak itu langsung ditelan. Tapi kemudian ia kembali lagi kepada Philip! Ketiga anak yang lain memandang sambil melongo, sementara binatang melata itu merayap ke arah Philip, lalu tanpa kelihatan sangsi sedikit pun langsung melilit naik ke kaki anak itu—terus merayap ke atas, dan menghilang di balik kemejanya.

"Ih—jijik aku melihatnya," kata Dinah. Meski ngeri, mau tidak mau ia ikut juga memperhatikan.

"Kalau jijik, jangan melihat, Goblok!" kata Philip, ia melihat ke sekelilingnya, dan tiba-tiba ia kaget.

Page 62: Petualangan di Sungai Ajaib

"Wah—kelihatannya sebentar lagi sudah akan gelap—pukul berapa sekarang? Kita tidak sadar bahwa hari semakin sore. Kita harus lekas-lekas kembali ke perahu. Yuk!"

Mereka lantas bergegas-gegas. Tapi sekitar sepuluh menit kemudian mereka menyadari bahwa mereka salah jalan. Mereka berhenti, lalu memandang berkeliling.

"Waktu datang tadi kita tidak melewati pohon yang disambar petir itu, kan?" kata Jack dengan sangsi. "Ada yang ingat atau tidak?"

Ternyata tidak ada yang ingat.

"Kita kembali saja sedikit," kata Philip, ia merasa agak cemas. "Ayo cepat—sebentar lagi sudah gelap, padahal tidak seorang pun dari kita membawa senter."

Keempat anak itu kembali sejauh kira-kira seratus meter, lalu mengambil jalan lain. Tapi itu malah menuju ke sebuah hutan. Dan itu sudah pasti bukan arah yang benar! Mereka kembali lagi mengambil jalan semula. Semua sudah bertambah cemas sekarang.

"Coba kupanggil anak-anak yang tadi berkerumun—mungkin ada yang mau kembali," kata Jack. ia berseru-seru dengan lantang, "He, Anak-anak! Kembali! Kemarilah sebentar!"

"Kembali, kembali!" seru Kiki menirukan, lalu menjerit. Suaranya melengking. Dari jarak satu kilometer pun rasanya masih bisa didengar.

Tapi anak-anak yang tadi, seorang pun tidak ada yang datang kembali. Tempat itu sunyi. Hanya kicauan seekor burung saja yang terdengar, menyanyi tidak henti-hentinya.

"Bagaimana sekarang?" kata Jack dengan gugup. "Tidak ada siapa-siapa di sini! Satu rumah pun tidak ada. Gawat ini, Philip!"

"Yang kukhawatirkan ialah tahu-tahu hari sudah malam—seperti biasanya di daerah sini," kata Philip.

Dan tepat saat itu hari menjadi gelap. Gelap gulita! Kini mereka benar-benar tersesat. Lucy-Ann cepat-cepat memegang tangan Jack. ia ketakutan.

"Bagaimana sekarang?" tanya gadis cilik itu

Bab 13, SETELAH MAKAN SORE

Perjalanan hari itu sangat menyenangkan. Seperti sediakala, matahari bersinar sepanjang hari. Tala mengemudikan perahu dekat tepi sebelah kiri di mana tumbuh pepohonan yang tinggi-tinggi. Dengan begitu mereka bisa menikmati keteduhannya. Banyak desa yang dilewati sepanjang pelayaran. Penduduk desa yang melihat perahu motor itu lewat,

Page 63: Petualangan di Sungai Ajaib

bergegas menuju tepi sungai untuk menyerukan salam sambil melambai-lambai. Oola disuruh-suruh terus oleh Tala. Philip jarang melihat anak itu, sampai saat istirahat siang.

Waktu itu sinar matahari sangat terik, sehingga Bill memutuskan untuk beristirahat dulu. Perahu diarahkan ke bawah bayangan pepohonan, lalu berlabuh di situ. Semua mendesah-desah kepanasan.

Saat itulah Oola datang dengan diam-diam, menghampiri Philip dan Jack yang sedang berbaring-baring di tempat yang teduh. Anak kecil itu kemudian berbaring di dekat Philip. Philip nyengir, ketika melihat anak itu. Oola langsung merasa senang.

"Tuan tidur dengan tenang," bisik anak itu. "Oola di sini untuk menjaga."

Dan anak itu ternyata memang tetap bangun, walau semua yang ada di perahu tidur melepaskan lelah, termasuk Tala. Matanya langsung berkeliaran ke segala arah, setiap kali ada sesuatu yang berbunyi. Sekali dilihatnya kepala ular bargua yang kelihatannya galak tersembul sebentar dari dalam kemeja Philip. Oola tersenyum bangga. Ah— tuannya menyimpan hadiahnya dengan aman. Bahkan dekat dengan hatinya.

Saat minum teh sore itu berlangsung dengan menyenangkan. Semua merasa segar kembali setelah tidur siang. Selera mereka timbul, menghadapi roti dan minuman. Hanya Bu Cunningham saja yang ingin minum teh, lainnya minta air jeruk.

Oola langsung pergi, begitu mendengar suara Tala berdesis-desis memanggilnya. Tala sebenarnya senang sekali melihat anak itu rajin. Tapi ia merasa cemburu, karena Oola selalu ingin duduk dekat anak-anak, begitu mendapat kesempatan. Sedang Tala sendiri tidak berani berbuat begitu. Sementara itu Oola sudah tertarik untuk mengamati mesin perahu motor itu. Tala sampai heran, melihat anak itu begitu lekas mengerti jika diterangkan mengenai hal itu.

"Oola mengemudikan perahu!" kata anak itu sehabis makan sore. "Oola tahu caranya!"

"Tidak boleh," potong Tala cepat. "Jangan coba-coba berbuat iseng, Oola—nanti kuadukan pada Tuan Besar, dan kukatakan, 'Lemparkan saja anak ini ke air, Tuan, ia brengsek!' Kaudengar itu, Oola?"

"Ya, aku dengar, Tuan Kecil," kata Oola dengan cepat, ia ngeri, jangan-jangan Tala nanti sungguh-sungguh mengadu. "Oola membersihkan minyak, ya? Oola mengelap?"

Ya—kalau itu, tentu saja boleh! Oola boleh saja melakukan pekerjaan yang kotor-kotor. Tapi ada satu hal mengenai anak itu yang disesali Tala. Setelah melakukan tugas-tugas seperti itu, Oola menjadi dekil lagi badannya! Padahal Tala sudah begitu bangga, karena paginya sudah memandikan anak itu sampai bersih sekali, ia menggosok tubuh Oola keras-keras. Oola menjerit-jerit ketika bengkak-bengkak bekas pukulan di tubuhnya digosok terlalu keras.

Page 64: Petualangan di Sungai Ajaib

"Nah—sekarang sudah tidak bau lagi, sudah tidak buhh!" kata Tala, ketika selesai. "Sebelumnya kau terlalu bwahhh, Oola—busuk sekali!"

Oola memang sudah jauh lebih bersih kelihatannya sekarang. Bersih, dengan rambut hitamnya yang gondrong dilicinkan ke belakang, serta kain sarung baru berwarna biru terang melilit pinggang. Oola sangat membanggakan sarung barunya itu.

Rombongan pesiar itu sampai di Ullabaid, sebuah desa apik yang letaknya agak jauh dari tepi sungai. Pada dermaga yang agak besar bersandar sejumlah perahu kecil yang lumayan banyaknya.

"Aku akan turun ke darat," kata Bill. "Ada yang ingin ikut? Kita beri kesempatan pada Ibu untuk beristirahat sendiri di perahu. Kita ini memang berisik!"

Anak-anak berlompatan dari perahu ke dermaga mengikuti Bill, lalu berlari-lari ke darat. Tala, Oola, dan Bu Cunningham ditinggal di perahu. Tala merasa kesal, karena ia sendiri sebenarnya juga ingin turun ke darat. Tapi karena ia tidak boleh, Oola lantas tidak diizinkannya pula turun.

Anak itu disuruhnya melakukan sesuatu yang akan memakan waktu lama. Oola merengut, ia bertekad akan menyelinap pergi begitu Tala tidak memperhatikan dirinya—atau yang juga sangat mungkin, begitu Tala tertidur.

Desa Ullabaid lumayan juga besarnya. Rumah-rumah penduduk seperti yang biasa di daerah itu. Rendah, beratap datar, dan dikapur putih. Tempat memasak terdapat di luar rumah. Anak-anak banyak berkeliaran, berkulit sawo matang, dan berpakaian apa adanya. Mereka mulanya masih malu dan takut-takut, tapi kemudian mulai berani dan ingin tahu.

Bill mendatangi bangunan yang paling besar di desa itu, yang ternyata gedung sekolah. Guru di situ penduduk setempat, ia berwajah ramah, dan berpenampilan cerdas, ia kelihatannya heran melihat Bill datang. Tapi begitu Bill menyodorkan selembar kartu padanya sambil mengatakan sesuatu dengan suara pelan, dengan segera ia diajak masuk.

Anak-anak ditinggal di luar. Entah kenapa, sekali itu Kiki lebih banyak diam. ia memandang berkeliling, melihat anak-anak desa yang menonton dengan mata membundar. Seorang anak laki-laki yang umurnya sekitar dua belas tahun datang menghampiri mereka, ia membawa setumpuk kartu pos bergambar. Satu di antaranya ditunjukkan pada Jack, lalu anak itu menuding ke arah yang jauh sementara kepalanya terangguk-angguk, ia mengatakan sesuatu, berulang kali.

Jack serta ketiga anak lainnya berkerumun, untuk melihat kartu pos bergambar yang ditunjukkan. Ternyata gambarnya menunjukkan bekas bangunan kuno. Sebuah kuil kuno yang rupanya ditemukan dan kemudian digali beberapa tahun sebelumnya oleh seorang sarjana ilmu purbakala yang terkenal.

Page 65: Petualangan di Sungai Ajaib

"Kuil Dewi Hannar." Philip membaca tulisan yang tertera pada kartu pos itu. "Menarik juga kelihatannya! Bagaimana jika kita melihat-lihat sebentar ke sana, sementara Bill masih sibuk dengan urusannya? He—berapa jauhnya tempat itu dari sini? Jauh—berapa?"

Anak laki-laki yang ditanya tidak bisa berbahasa Inggris. Tapi rupanya ia bisa menebak maksud Philip, karena ia memberi isyarat agar mereka ikut dengan dia. Keempat anak itu mengikutinya, berjalan di antara pohon-pohon, lalu melintasi tanah yang dijadikan kebun. Mereka dibuntuti segerombolan anak yang ribut.

Ada seorang anak kecil yang berjalan dengan sembunyi-sembunyi di belakang gerombolan itu. Anak itu—Oola! ia tadi menunggu sampai Tala tertidur, lalu cepat-cepat turun dari perahu. Di desa ia bertanya-tanya ke mana teman-temannya orang Inggris pergi. Dan kini ia membuntuti mereka, tapi sambil menjaga jangan sampai kelihatan, ia tidak berani menggabungkan diri. Gerombolan anak-anak yang mengikuti mulai mendesak-desak keempat anak itu. Jack menoleh dengan kesal.

"Mundur!" katanya. "Jangan mendesak-desak!—Dengar tidak kataku? Mundur!"

Gerombolan yang mengikuti mundur sedikit Tapi hanya sebentar saja. Saat berikutnya mereka sudah mulai mendesak-desak lagi. Kini Kiki campur tangan. Atau campur kaki? Entahlah— yang penting, tiba-tiba burung iseng itu berteriak.

"Mundur!" serunya. "Mundur, mundur, undur-undur, mundur!" Setelah itu ia menirukan bunyi pesawat terbang yang mengalami kerusakan mesin dan hampir jatuh. Gerombolan anak-anak setempat kaget sekali mendengar bunyi itu, lalu cepat-cepat menjauh. Dan mereka tetap menjaga jarak itu.

Philip tertawa.

"Hebat, Kiki!" katanya. "Aku tidak tahu bagaimana kita, jika kau tidak ada!"

Akhirnya mereka sampai di kuil yang dituju. Anak-anak agak kecewa ketika melihatnya— karena ternyata lebih rusak daripada yang nampak dalam kartu pos bergambar.

"Seperti bangunan-bangunan yang di Kota Film," kata Lucy-Ann. "Cuma bagian depannya saja yang ada—belakangnya kosong!"

"He," kata Philip tiba-tiba, "lihatlah serangga kecil-kecil yang sedang berjemur itu—kurasa ularku pasti mau kalau diberi makan itu. ia tentunya sudah lapar sekarang."

Dinah kaget setengah mati ketika Philip mengeluarkan ular bargua dari balik kemejanya. Ular itu dilepaskannya ke tanah, tidak jauh dari kumpulan serangga yang dilihatnya itu.

Page 66: Petualangan di Sungai Ajaib

Dinah tentu saja menjerit, lalu cepat-cepat lari. Jeritannya mengejutkan anak-anak penduduk setempat yang menonton. Begitu mereka melihat ular itu, yang mereka tahu sangat berbisa, mereka pun ikut menjerit ketakutan, lalu cepat-cepat lari.

"Bargua!" teriak anak-anak itu. "Bargua!" Anak-anak yang lebih besar menyeret adik-adik mereka, dan bahkan anak laki-laki yang menjadi pemandu juga ikut lari, setelah sepintas melihat ular yang sedang menggeleser itu.

"Astaga!" kata Philip, ia juga ikut kaget. "Semuanya lari—hanya karena aku mengeluarkan ularku agar ia bisa makan. Macam-macam saja!"

"Itu tidak aneh," tukas Dinah dari jauh. "Kita tahu ular itu aman—tapi mereka tidak! Kau aneh-aneh saja, Philip. Tapi syukurlah, ular itu sekarang pasti lari! Takkan mau kembali lagi, setelah kaulepaskan!"

"Kalau tidak mau, ya sudah," kata Philip. "Tapi aku yakin, ia pasti kembali!"

Ular itu mematuk serangga-serangga, yang kelihatannya merupakan makanan lezat baginya. Setelah itu ia menyusup ke bawah semak, lalu menangkap seekor katak kecil di situ. Katak itu langsung ditelan. Tapi kemudian ia kembali lagi kepada Philip! Ketiga anak yang lain memandang sambil melongo, sementara binatang melata itu merayap ke arah Philip, lalu tanpa kelihatan sangsi sedikit pun langsung melilit naik ke kaki anak itu—terus merayap ke atas, dan menghilang di balik kemejanya.

"Ih—jijik aku melihatnya," kata Dinah. Meski ngeri, mau tidak mau ia ikut juga memperhatikan.

"Kalau jijik, jangan melihat, Goblok!" kata Philip, ia melihat ke sekelilingnya, dan tiba-tiba ia kaget.

"Wah—kelihatannya sebentar lagi sudah akan gelap—pukul berapa sekarang? Kita tidak sadar bahwa hari semakin sore. Kita harus lekas-lekas kembali ke perahu. Yuk!"

Mereka lantas bergegas-gegas. Tapi sekitar sepuluh menit kemudian mereka menyadari bahwa mereka salah jalan. Mereka berhenti, lalu memandang berkeliling.

"Waktu datang tadi kita tidak melewati pohon yang disambar petir itu, kan?" kata Jack dengan sangsi. "Ada yang ingat atau tidak?"

Ternyata tidak ada yang ingat.

"Kita kembali saja sedikit," kata Philip, ia merasa agak cemas. "Ayo cepat—sebentar lagi sudah gelap, padahal tidak seorang pun dari kita membawa senter."

Page 67: Petualangan di Sungai Ajaib

Keempat anak itu kembali sejauh kira-kira seratus meter, lalu mengambil jalan lain. Tapi itu malah menuju ke sebuah hutan. Dan itu sudah pasti bukan arah yang benar! Mereka kembali lagi mengambil jalan semula. Semua sudah bertambah cemas sekarang.

"Coba kupanggil anak-anak yang tadi berkerumun—mungkin ada yang mau kembali," kata Jack. ia berseru-seru dengan lantang, "He, Anak-anak! Kembali! Kemarilah sebentar!"

"Kembali, kembali!" seru Kiki menirukan, lalu menjerit. Suaranya melengking. Dari jarak satu kilometer pun rasanya masih bisa didengar.

Tapi anak-anak yang tadi, seorang pun tidak ada yang datang kembali. Tempat itu sunyi. Hanya kicauan seekor burung saja yang terdengar, menyanyi tidak henti-hentinya.

"Bagaimana sekarang?" kata Jack dengan gugup. "Tidak ada siapa-siapa di sini! Satu rumah pun tidak ada. Gawat ini, Philip!"

"Yang kukhawatirkan ialah tahu-tahu hari sudah malam—seperti biasanya di daerah sini," kata Philip.

Dan tepat saat itu hari menjadi gelap. Gelap gulita! Kini mereka benar-benar tersesat. Lucy-Ann cepat-cepat memegang tangan Jack. ia ketakutan.

"Bagaimana sekarang?" tanya gadis cilik itu

Bab 14, KEMBALI KE PERAHU

Keempat anak itu berdiri dalam gelap. Mereka mengharapkan kemunculan bintang-bintang di langit. Kalau sudah, mereka akan bisa melihat— walau hanya samar-samar saja. Tapi sialnya, malam itu langit berawan. Jika lapisan awan agak jarang sebentar, barulah nampak satu dua bintang berkelip redup.

Setelah beberapa waktu, anak-anak mulai biasa memandang dalam gelap. Mereka memberanikan diri berjalan beberapa langkah. Tiba-tiba Jack merasa seperti melihat sesuatu yang bergerak dengan hati-hati, agak jauh dari tempat mereka berada.

"Siapa di situ?" serunya dengan segera. "Jangan mendekat. Siapa itu?"

Bayangan yang dilihatnya itu maju dengan cepat menghampiri. Ternyata yang datang itu Oola!

"Ini Oola, Tuan," kata anak itu sambil menghampiri Philip. "Oola tadi ikut terus. Tala bilang jangan, tidak boleh—tapi Oola ikut. Oola menjagamu, Tuan!"

Page 68: Petualangan di Sungai Ajaib

"Oola!" seru Philip, ia kaget, tapi juga merasa lega. "Astaga—sama sekali tak kusangka akan menjumpaimu di sini! Untung kau muncul sekarang. Kami tersesat. Tahukah kau jalan kembali ke perahu?"

"Ya, Oola tahu," kata anak itu. "Oola akan mengantar pulang sekarang. Ikuti Oola!"

"Kau selama ini membuntuti kami terus, Oola?" tanya Lucy-Ann dengan heran.

"Ya—sedari tadi Oola ikut terus, ikut, ikut terus," kata Oola sambil berjalan di depan. "Oola menjaga tuannya."

Penglihatan Oola dalam gelap ternyata tajam. Setajam mata kucing! ia berjalan tanpa sedikit pun merasa ragu. Lewat jalan yang ini, lalu yang itu—dan akhirnya mereka sampai lagi di desa. Tempat itu kelihatan misterius sekarang, karena diterangi nyala api di tempat-tempat masak. Anak-anak di situ datang berlari-lari ketika melihat rombongan orang asing datang. Tapi begitu mereka tahu bahwa yang datang ternyata anak-anak tadi, yang membawa ular bargua yang berbahaya, mereka langsung berpencaran karena takut, sambil terpekik jerit, "Bargua, bargua!"

Philip berhenti berjalan, ia melihat anak laki-laki yang tadi mengantar mereka ke kuil. Anak itu berdiri di tempat yang agak jauh. ia memandang ke arah mereka dengan mata terpicing, diterangi sinar api.

"Oola—kaulihat anak yang di sana itu?" kata Philip sambil menuding. "Tolong berikan uang ini padanya."

"Jangan!" kata Oola memprotes. "Anak itu tidak baik."

"Lakukan apa yang kusuruh, Oola," kata Philip dengan nada memerintah. Oola menerima uang yang disodorkan, lalu bergegas membawanya ke tempat anak itu. ia mendamprat anak itu. Itu ketahuan dari caranya berbicara. Tapi uang yang diberikan Philip diserahkannya juga. Anak yang diberi nampak senang sekali, ia langsung masuk ke rumahnya, sambil berseru-seru penuh semangat.

"Bagaimanapun, ia tadi kan mengantar kita ke kuil kuno itu," kata Philip. Anak-anak yang lain sependapat. Philip menyambung, "Wah—bukan main keributan yang ditimbulkan oleh ular ini! Tak kusangka mereka akan begitu ketakutan."

"Pasti kita akan dimarahi habis-habisan oleh Bill, jika sudah sampai di perahu nanti," kata Jack dengan lesu. "ia tidak senang, kita keluyuran dalam gelap seperti sekarang ini."

"Mudah-mudahan saja ia belum kembali," kata Dinah, yang tidak ingin melihat Bill jengkel lagi.

Page 69: Petualangan di Sungai Ajaib

Mereka cepat-cepat menuju ke tepi sungai, lalu naik ke perahu. Bu Cunningham sedang duduk sambil membaca di dalam kabin, karena malam itu ternyata dingin, ia merasa lega ketika anak-anak muncul.

"Ah—Oola ada bersama kalian! Syukurlah, kalau begitu," katanya, ketika melihat wajah anak itu tersembul bersama yang lain-lainnya di lubang tangga. "Bill belum kembali. Kalian sudah lapar? Kalau sudah, bilang saja pada Tala. Kita akan makan malam sekarang."

"Kami selalu lapar," kata Jack. "Itu tidak perlu ditanyakan lagi, Bibi Allie! Tapi lebih baik kita tunggu saja sampai Bill sudah kembali."

Bill muncul sepuluh menit kemudian.

"Kalian belum makan?" tanyanya. "Kalau begitu bilang saja pada Tala, kita makan sekarang. Aku sudah lapar sekali. Nah, kalian berempat, apa saja yang kalian lakukan tadi siang?"

"Tidak banyak! Cuma pergi melihat sebuah kuil kuno. Tapi sesampai di sana, ternyata tidak banyak yang bisa kami lihat," kata Jack.

"Beberapa tahun yang lalu, di daerah sini banyak dilakukan penggalian oleh rombongan ahli purbakala," kata Bill. "Aku mendengarnya dari guru yang kalian lihat tadi. Orang itu sangat baik, lagi pula cerdas. Aku sampai merasa ingin ikut melakukan penggalian karena mendengar ceritanya!"

"Kau mendengar sesuatu tentang Raja Uma?" tanya Jack. Diam-diam ia merasa lega, karena Bill ternyata tidak begitu banyak bertanya-tanya tentang kesibukan mereka sore itu. Dan ia harus berusaha agar keadaannya tetap begitu.

"Ya," jawab Bill. "Guru tadi kenalan baiknya, dan ia suka padanya. Katanya, Uma itu sangat menarik orangnya, dan bisa diajak mengobrol tentang apa saja! Termasuk arkeologi, yang merupakan pokok percakapan yang tidak enteng! Begitu pula ilmu penelitian bangunan kuno, serta peninggalan-peninggalan lainnya. Guru itu kelihatannya mengira Uma ada di sini untuk mengadakan penelitian tentang kuil-kuil kuno serta lain-lainnya yang sudah digali. Tapi sangkaan itu tentu saja tidak benar. Itu cuma kedok belaka, untuk menutupi kegiatan yang sebenarnya!"

Tiba-tiba Jack mengendus-endus, ia mencium bau enak. Datangnya dari buritan, tempat Tala. Bau ikan goreng!

"Ya," kata Bu Cunningham sambil tertawa. "Tala tadi memancing ikan—dan sekarang kita akan memakan hasilnya. Enak ya, baunya!"

Page 70: Petualangan di Sungai Ajaib

"Hmm—ya," kata Philip. "Selama ini kita begitu sering mendapat hidangan makanan dingin, sampai tak kusangka Tala bisa memasak. Kurasa Oola pasti senang, mendapat makanan seperti itu."

"Karena kau menyebut nama Oola, aku lantas teringat—Tala tadi marah sekali, karena Oola tahu-tahu menghilang setelah kalian pergi," kata ibunya. "Aku didatanginya, sambil marah-marah. Tapi Oola rupanya sudah menyelesaikan semua tugas yang diberikan Tala padanya. Jadi aku tidak begitu menanggapi. Kurasa Oola tadi menyusul kalian, ya?"

"Memang," kata Jack. "ia menyusul kami, karena katanya hendak menjaga tuannya! Anak itu senang sekali pada Philip. Aku jadi heran," sambungnya, lalu memandang Philip sambil nyengir.

"Aku juga tidak mengerti," sambut Dinah dengan segera. "Maksudku, kalau ia mengagumi Jack, itu bisa kumengerti, yaitu karena Kiki. Tapi kenapa Philip?"

Pembicaraan itu terputus, karena Oola dan Tala datang membawa baki-baki berisi makanan. Hidangan ikan goreng dengan sayuran segar serta dihiasi dedaunan tak dikenal yang tumbuh di daerah itu, disambut dengan sangat gembira. Tala nyengir senang, ketika melihat wajah-wajah para pelancong yang dilayaninya semua tersenyum cerah. Oola agak diam. ia habis diomeli Tala, yang mengancam akan mengadukan dirinya pada Bill, karena meninggalkan pekerjaan dengan diam-diam.

Tapi ketika Oola kemudian bercerita bahwa anak-anak tadi tersesat dalam gelap, lalu ia menyelamatkan mereka dan membawa mereka kembali ke perahu dalam keadaan selamat, Tala tidak mengatakan apa-apa lagi. ia tidak memuji anak itu. Dalam hati ia merasa iri, mengapa bukan dia yang menyelamatkan anak-anak. Namun Oola juga tidak dimarahi lagi.

Oola sebenarnya mengharapkan Tala akan mengizinkannya menikmati hidangan yang baunya sedap itu. Karenanya ia patuh sekali. Sedang Tala, kalau marah juga tidak bisa lama. Dalam hati ia sudah memutuskan, Oola nanti juga akan diberinya makan yang banyak.

Semua menikmati hidangan itu dengan lahap, termasuk Bu Cunningham. Padahal biasanya ia hanya makan sedikit.

"Tala bisa kaya, kalau menjadi tukang masak di restoran," kata Bu Cunningham sambil makan. "Saus apa ini? Belum pernah kurasakan saus seenak ini!"

"Lebih baik jangan kautanyakan," kata Bill menggoda. "Siapa tahu, mungkin dibuat dari berbagai serangga aneh yang dilumatkan—atau..."

Dinah terpekik. Saus yang ada di mulutnya langsung diludahkan.

Page 71: Petualangan di Sungai Ajaib

"Ih, Dinah!" tukas Bu Cunningham. "Tahu aturan sedikit, ya! Bill—jangan suka berbicara begitu saat sedang makan. Seleraku makan saus ini juga terganggu karenanya."

"Maaf," kata Bill menyesal. "Aku tadi cuma main-main saja. Tapi memang, saus ini enak sekali.— Nah, itu Tala! Tala, sausmu ini enak rasanya. Kaubuat dari bahan apa saja?"

Dinah cepat-cepat menutupi telinganya, karena yakin saus itu pasti dibuat dari serangga yang dilumatkan—seperti dikatakan oleh Bill. Atau mungkin dari siput air, atau makhluk-makhluk menjijikkan lainnya.

"Dari susu dan bawang, Tuan, ditambah kulit pohon yang di sini disebut mollia," kata Tala. Wajahnya berseri-seri. "Dan juga lumatan—anu— apa namanya?—Eh, itu..."

"Serangga," kata Jack dengan cepat.

Tala kelihatan tersinggung.

"Tala tidak memakai serangga," katanya. "Tala memakai—ah, itu—kentangl Ya, kentang yang dilumat halus. Tapi sedikit saja!"

Semua tertawa geli. Adonan itu kedengarannya biasa-biasa saja, jika dibandingkan dengan dugaan iseng Bill tadi. Tala tersenyum, ia senang jika bisa membuat tamu-tamunya tertawa—meski saat itu ia tidak tahu, apa sebenarnya yang lucu.

"Kau tidak perlu menutupi kupingmu lagi, Di," kata Jack. "Yang dipakainya memang sesuatu yang dilumatkan. Tapi itu kentang. Dan cuma sedikiiit saja!"

Dinah merasa lega, setelah mengetahui bahwa adonan saus itu ternyata biasa-biasa saja. Tidak lama kemudian seluruh hidangan sudah licin tandas dimakan.

Kemudian Oola disuruh menghidangkan buah-buahan segar yang dibeli oleh Tala hari itu di desa. Bill, Bu Cunningham, dan anak-anak hanya bisa makan sedikit saja, karena sudah kenyang sehabis menikmati hidangan ikan goreng.

Setelah itu barulah Tala dan Oola makan. Oola merasa sangat berbahagia. Kecuali menghadapi hidangan yang sangat enak, ada pula pengalaman petang itu yang bisa dibanggakan olehnya. Diceritakannya pengalaman itu sekali lagi pada Tala. Tapi Tala tidak kepingin mendengarnya untuk yang kedua kali. Disuruhnya Oola membersihkan sisa-sisa makanan yang masih tertinggal di piring.

"Lemparkan saja ke air," kata Tala. "Ikan memakan sisa-sisa itu, menjadi gemuk, lalu Tala menangkap ikan-ikan itu, dan kita makan enak lagi," katanya menjelaskan. Oola langsung mengerti.

Page 72: Petualangan di Sungai Ajaib

Saat ia sedang membersihkan sisa-sisa makanan, tiba-tiba dilihatnya sebuah perahu meluncur dalam gelap. Sebuah lentera terpasang di haluannya. Oola menatap perahu itu. Apakah hanya akan lewat saja, tanpa menyapa?

Perahu itu ternyata dipinggirkan, lalu berhenti di pangkalan. Bill memandang ke arahnya, karena ia juga mendengar bunyi mesinnya. Seorang laki-laki meloncat turun dari perahu motor yang baru datang itu, lalu menghampiri perahu mereka, ia menyapa dengan suara lantang.

"Ada orang di situ?"

'Ada," balas Bill dengan berseru pula. "Siapa itu?"

"Tamu!" balas orang yang datang. "Bolehkah saya naik?"

"Nama Anda siapa?" tanya Bill.

"Raja Uma!"

Seisi perahu kaget.

Astaga!—Orang yang datang itu Raja Uma!

Bab 15, RAJA UMA

Bill juga kaget sekali, sampai tidak bisa mengatakan apa-apa.

"He—saya boleh naik, atau tidak?" seru orang itu lagi. Kedengarannya ia tidak sabar. "Saya mendengar bahwa ada suatu keluarga Inggris sedang pesiar di sungai. Saya datang ini karena ingin mengobrol."

Sementara itu Bill sudah pulih dari kekagetannya.

"Ya, naiklah!" serunya menjawab. "Saya tadi diam saja, karena Anda begitu tiba-tiba muncul-Saya tidak menyangka akan berjumpa dengan orang Inggris di sini!"

"Apakah lebih baik jika kami pergi saja, Bill?" tanya Jack dengan lirih. Bill menggeleng.

"Tidak. Lebih baik kalian menemani aku. Aku tidak tahu, apakah ia tahu siapa aku ini sebenarnya. Pokoknya, lebih baik jika ia melihat kita sekeluarga ada di sini. Nah, itu dia datang!"

Tala menyongsong membawa lampu, untuk menerangi orang yang datang itu naik ke perahu. Kini diantarnya orang itu ke tenda, tempat Bill serta yang lain-lainnya duduk di dalam kelambu, diterangi lentera yang besar. Mereka memandang orang yang datang itu dengan penuh minat. Orang itu bertubuh sedang, dengan pakaian musim panas yang

Page 73: Petualangan di Sungai Ajaib

biasa. Celana panjang dari kain flanel, kemeja, serta pullouer tipis, ia memakai topi linen berwarna putih. Janggut dan kumis tipis menghias wajahnya, ia memakai kaca mata gelap, seperti yang dipakai Bill.

Ketika orang itu tersenyum, anak-anak melihat bahwa giginya putih sekali, ia membungkuk untuk memberi hormat pada Bu Cunningham dengan tangan terulur untuk menyalami, sementara Tala menyibakkan kelambu untuknya. Bu Cunningham menyambut uluran tangan itu. Kemudian Raja Uma bersalaman dengan Bill. Sedang pada anak-anak, ia hanya menganggukkan kepalanya.

"Ah—keluarga Anda ikut rupanya!"

"Ya—anak-anak ini baru saja sembuh dari sakit flu yang berat! Kata dokter yang merawat, mereka perlu beristirahat di daerah berhawa panas—kalau bisa, di luar negeri. Karenanya kami memutuskan untuk melancong kemari," kata Bu Cunningham. "Dan ternyata memang besar sekali manfaatnya bagi mereka."

"Begitu ya! Siapa nama-nama mereka?" tanya Pak Uma. ia tersenyum lagi, menampakkan deretan gigi yang putih bersih.

Pertanyaannya itu ditanggapi oleh Philip.

"Saya Philip—dan mereka ini Jack—Lucy-Ann—dan Dinah."

"Dan burung kakaktua itu? Siapa namanya? Binatang yang menarik," kata Pak Uma.

"Namanya Kiki," kata Jack. "Kiki—ini Pak Uma."

"Bersihkan kakimu, buang ingusmu, panggil dokter," kata Kiki dengan sopan. Tapi setelah itu ia menjerit sekeras-kerasnya.

"Jangan berteriak, Kiki," kata Bu Cunningham. "Kan sedang ada tamu!"

"Anda mendengar dari siapa tentang kami?" tanya Bill, sambil menawarkan rokok pada Pak Uma.

"Ah—kabar tentang soal-soal begini cepat tersiar," kata Pak Uma. Ditatapnya Bill lurus-lurus.

"Saya yakin, Anda pasti sudah mendengar tentang saya."

"Eh—ya, memang," kata Bill. ia mengerutkan kening, seolah-olah berusaha mengingat di mana ia mendengar nama orang itu disebutkan. "Ada yang pernah bercerita tentang Pak Uma, yang tertarik pada pembuatan film di Kota Film."

Page 74: Petualangan di Sungai Ajaib

"Ah, itu cuma sambilan saja," kata Pak Uma sambil mengepulkan asap rokoknya. "Kegemaran saya yang sebenarnya, ilmu purbakala."

Dengan cara tidak menyolok, Lucy-Ann berusaha melihat apakah pada lengan Pak Uma ada bekas luka berbentuk seperti ular. Tapi kalau ada, itu tidak kelihatan, karena orang itu memakai kemeja berlengan panjang.

"Tadi sore kami pergi melihat-lihat sebuah kuil kuno, di luar desa Gllabaid," kata Jack. "Mengecewakan sekali! Yang ada cuma bagian depannya saja. Di belakangnya tidak ada apa-apa—seperti bangunan kuil tiruan, yang di Kota Film."

Pak Uma menanggapi ucapan itu sebagai lelucon, ia terpingkal-pingkal—agak berlebih-lebihan.

"Ya, memang," katanya kemudian. "Yah—ilmu purbakala memang sering mengecewakan. Begitulah, seperti kisah Bung Kelinci! 'Menggali, menggali, dan menggali terus—tapi tidak menemukan daging'."

"Mestinya pekerjaan menggali untuk mencari kota-kota kuno seperti itu mahal sekali biayanya, ya?" tanya Bu Cunningham. ia melihat bahwa anak-anak tidak begitu suka pada Pak Uma.

"Ya, memang! Untuk itu bisa keluar biaya sampai ribuan pound!" kata Pak Uma. "Saya sekarang sudah tidak aktif lagi, karena tidak kuat memikul biaya yang begitu tinggi. Apalagi pekerjaan itu tidak menghasilkan uang. Yang kita peroleh cuma keasyikan saja, menemukan—eh, menemukan peradaban zaman purba.—Tapi sebagai kegemaran, mengasyikkan sekali! Saya sekarang menggabungkan minat saya terhadap film dengan kegemaran itu. Uang yang saya peroleh dari film, saya pakai untuk berkeliaran di wilayah yang sudah sangat tua ini—membuat peta dan denah tentang penggalian-penggalian terbaru. Pokoknya hal-hal seperti itulah! Kalau Anda bagaimana. Pak—Anda juga tertarik pada hal-hal seperti itu?"

"Seperti orang-orang lain yang tergolong awam," kata Bill. ia langsung bersikap waspada, karena tahu bahwa kini ia diteliti tentang pekerjaannya yang dirahasiakannya. "Tapi saya selalu tertarik pada pengalaman-pengalaman baru. Saya suka menulis artikel-artikel—dan saya berniat kapan-kapan akan menulis buku. Banyak hal-hal menarik yang bisa dituangkan ke dalamnya!"

Anak-anak tersenyum dalam hati. Bill memang biasa menulis artikel. Itu memang benar! Tapi baru saat itu mereka mendengar tentang menulis buku. Bill pasti bisa menulis buku yang mengasyikkan— jika itu diizinkan! Hal-hal yang pernah dialami olehnya benar-benar luar biasa!

"Ah—jadi Anda ini penulis? Enak hidup Anda kalau begitu," kata Pak Uma. "Hanya penulis dan pelukis saja yang tidak perlu duduk di kantor. Bisa mengembara ke mana-mana, mencari bahan untuk ditulis, atau dilukis."

Page 75: Petualangan di Sungai Ajaib

Anak-anak mulai bosan mengikuti percakapan itu. Kini sudah jelas bahwa Pak Uma tidak tahu pasti siapa Bill sebenarnya. Begitu pula apakah Bill datang ke situ untuk berlibur, atau ada tugas tertentu. Selama percakapan berlangsung, ia dan Bill bisa dibilang "bersilat lidah", saling menyelidik. Menurut perasaan anak-anak. Bill ada di atas angin, karena kelihatannya berhasil membuat Pak Uma percaya bahwa ia penulis.

"Akan ke mana lagi kalian dari sini?" tanya Pak Uma lagi. "Kalau saya boleh menawarkan diri—saya mempunyai pondok kecil, letaknya di tepi sungai ini juga. Saat ini saya sedang dalam perjalanan ke sana. Kalau Anda sudi mampir di pondok saya itu, kita bisa makan-makan bersama."

Bill menimbang-nimbang undangan itu. Bagaimana enaknya, diterima atau tidak? Kalau ditolak, malah bisa menimbulkan kecurigaan. Yah—siapa tahu, mungkin di tempat tinggal Pak Uma ia akan bisa mengorek keterangan lebih banyak tentang orang itu. Akhirnya Bill mengangguk.

"Terima kasih," katanya. "Dengan senang hati kami akan mampir ke sana. Kapan ya, enaknya? Bagaimana kalau besok?"

"Ya, tentu saja bisa," kata Pak Uma, lalu berdiri. Rupanya ia hendak pamitan. "Kita tetapkan saja besok malam pukul tujuh. Setuju? Orang Anda pasti mengenal pangkalan perahu di Chaldo. Saya akan menunggu Anda di sana, lalu kita bersama-sama ke rumah saya."

"Kita minum dulu, ya," kata Bill menawarkan. "Saya panggilkan Tala."

Tapi Pak Uma menolak, ia pamitan dengan sopan sekali, lalu mengangkat kelambu untuk melangkah ke luar. Nyaris saja ia terjerembab, karena tersandung tubuh seseorang yang mendekam di balik kelambu. Terdengar suara menjerit, karena Pak Uma menendang.

"Eh—siapa ini? Minggir! Nyaris saja aku tersungkur karena kau!" bentak Pak Uma, yang tahu-tahu sangat marah, ia menendang sekali lagi.

Philip bergegas bangun, karena menduga bahwa yang ada di luar itu Oola.

"Pak Uma—itu cuma seorang anak kecil penduduk sini, yang membantu-bantu pemandu kami," katanya dengan marah. Bill cepat-cepat memegang bahunya, memberi isyarat agar berhati-hati.

"Maaf, Pak Uma," kata Bill. "Mudah-mudahan kaki Anda tidak sakit setelah menendang tadi."

Pak Uma tidak tahu, apa sebenarnya makna yang ada di balik ucapan Bill. ia cepat-cepat menenangkan diri, mengucapkan selamat malam dengan ramah, lalu turun ke pangkalan diantarkan Tala yang membawa lentera.

Page 76: Petualangan di Sungai Ajaib

"Makanya, Oola—jangan suka duduk di sembarang tempat yang gelap," kecam Bill. "Orang kan bisa tersandung karena kau!"

"Orang itu jahat," kata Oola. "Jahat, jahat sekali! Oola tadi hendak menjaga Tuan."

"Jangan asal ngomong saja, Oola," kata Bill. "Kau kan tidak tahu apa-apa tentang dia. Atau tahu?"

Oola menggeleng.

"Oola tahu, dia orang tidak baik. Itu Oola tahu! Oola belum pernah melihat orang jahat itu."

"Sana—pergi ke belakang, ke tempat Tala," kata Bill. "Dan jangan datang lagi, kalau kami tidak memanggil. Mengerti?"

Oola pergi. Bill masuk lagi ke bawah kelambu. Sementara itu terdengar bunyi mesin perahu Pak Uma dihidupkan. Gerak perahu itu saat meninggalkan pangkalan, menyebabkan bayangan bintang-bintang di air bergerak-gerak memecah.

"Nah?" kata Bill kemudian pada istrinya. Bagaimana pendapatmu tentang kawan baru kita tadi?"

"Aku tidak mempercayainya," kata Bu Cunningham. "Orangnya—yah, bagaimana ya—"

"Licin," kata Dinah membantu. Semua mengangguk. Itu memang kata yang tepat!

"Apakah yang direncanakannya sekarang ini, menurut perasaanmu?" tanya Bill lagi. "Atau mungkin ia tidak punya niat apa-apa?"

Bu Cunningham menimbang-nimbang sebentar.

"Kurasa ia sadar bahwa namanya tidak bersih," katanya kemudian. "Karenanya ia merasa

gelisah, jangan-jangan ada yang curiga bahwa ia sedang merencanakan sesuatu, lalu datang untuk mengamat-amati. Kurasa saat ini ia sedang dalam keadaan terdesak, dan karena itu mencari uang seadanya dengan melakukan salah satu pekerjaan di Kota Film. Caranya mengutarakan minatnya pada bangunan-bangunan kuno sangat menyolok, sehingga aku merasa bahwa minatnya yang sesungguhnya terletak pada bidang lain."

"Maksudmu, ada kemungkinan kegemarannya pada ilmu purbakala itu dipakainya sebagai kedok, untuk menutupi kegiatannya yang sebenarnya di Kota Film?" tanya Bill.

"Ya, begitulah menurut perasaanku," kata Bu Cunningham.

Page 77: Petualangan di Sungai Ajaib

"Kurasa kegiatannya di Kota Film itu sesuatu yang tidak beres," kata Jack. "Mungkin sebagai pemodal atraksi tipuan—atau sejumlah toko kecil yang menjual barang-barang palsu—di samping menanam modal dalam film. Pokoknya, di berbagai bidang!"

"Kalau benar itu yang dikerjakannya, itu tidak apa-apa—kalau dilihat dari sudut pandanganku," kata Bill. "Aku bertugas menyelidiki kalau-kalau ia terlibat dalam urusan yang lebih besar! Hal-hal seperti yang pernah kuceritakan pada kalian. Kalau cuma seperti dugaan kalian saja, pihak atasan tidak mau ambil pusing!"

"Syukurlah, jika benar begitu," kata Bu Cunningham dengan lega. "Aku tidak ingin kau terlibat dalam urusan yang berbahaya. Bill—dan menurut firasatku, Raja Uma itu bisa sangat berbahaya, dan tidak segan-segan berbuat apa saja!"

"Memang," kata Bill membenarkan. "Nah— bagaimana kalau kita tidur saja sekarang? Aku masih ingin merokok dulu—yang terakhir untuk hari ini. Bintang-bintang kelihatan indah sekali sekarang. Aku ingin menikmati ketenangan, duduk-duduk sambil memandang sungai, selama sepuluh menit."

Setelah mengucapkan selamat tidur, semua —kecuali Bill—langsung menuju ke pembaringan masing-masing. Semua sudah capek sekali. Mereka langsung terlelap, begitu meletakkan kepala di atas bantal.

Sambil merokok, Bill berpikir-pikir tentang Pak Uma yang aneh itu. Tiba-tiba dilihatnya sesosok tubuh kecil menyelinap di atas dek, kemudian merebahkan diri di dekat pembaringan Philip. Oola datang, untuk menjaga tuannya!

Anak kecil itu kaget melihat Bill berjalan ke arahnya, sewaktu menuju ke pembaringannya. Oola cepat-cepat duduk.

"Baring sajalah lagi, Oola," kata Bill dengan suara pelan. Oola merebahkan diri lagi. Tuannya sudah tidur—dan ia, Oola, akan menjaga keselamatannya!

Bab 16, KEESOKAN HARINYA

Keesokan harinya mereka meneruskan perjalanan. Tala mengemudikan perahu dengan lambat sekali, karena Chaldo bisa dicapai dalam waktu setengah hari saja. Sedang Bill tidak mau terlalu cepat sampai di sana. Daerah yang dilewati sangat gersang, mirip gurun pasir.

"Rupanya di daerah ini pernah dilakukan kegiatan penggalian yang begitu disukai oleh Pak Uma," kata Jack. "Mestinya banyak sekali biaya yang diperlukan untuk melakukan penggalian di daerah seluas ini, ya Bill! Lihatlah!"

"Memang," kata Bill. "Tapi imbalannya juga ada. Bukan cuma puing-puing kota kuno saja yang ditemukan di bawah lapisan tanah dan debu yang menimbuninya selama ribuan tahun, tapi juga harta!"

Page 78: Petualangan di Sungai Ajaib

"Harta?" kata Philip. Hal itu sama sekali di luar dugaannya. "Harta apa?"

"Yah—di daerah sini banyak bangunan-bangunan kuno, yang merupakan makam raja-raja yang kaya raya," kata Bill. "Tapi jangan kalian tanyakan nama-nama mereka, sebab aku sudah lupa."

"Nebukadnezar?" kata Lucy-Ann menebak.

Bill tertawa.

"Kau hafal sekali cerita-cerita Perjanjian Lama, Lucy-Ann," katanya. "Ya—bahkan kaisar itu pun mungkin pernah memiliki istana tidak jauh dari sini. Atau Raja Saigon. Entahlah—pokoknya ketika raja-raja itu meninggal dunia, jenazah mereka disemayamkan di dalam makam yang besar-besar, dikelilingi segala perhiasan kerajaan serta harta lainnya, seperti tameng bertatahkan permata, pedang yang indah-indah—pokoknya macam-macamlah!"

"Astaga!" kata Jack. ia sangat tertarik. "Dan maksudmu segala harta seperti itu pernah ditemukan dalam penggalian di daerah sini—di antara benda-benda lain yang sudah ribuan tahun umurnya?"

"O ya," kata Bill. "Benda-benda semacam itu kini dipamerkan di museum, di seluruh dunia— yang dengan senang hati membeli, mengingat nilai sejarahnya. Tentu saja nilainya sendiri sebagai benda juga tinggi. Aku pernah melihat cawan emas berukir yang indah sekali, bergambar sapi-sapi jantan di sekelilingnya. Nilainya pasti ribuan pound! Cawan itu bertatahkan batu-batu mulia yang serba indah."

"Wah," kata Jack, "kalau begitu aku tidak yakin apakah kegemaran Pak Uma itu tidak menguntungkan baginya. Memungut harta yang tak ternilai harganya, dengan begitu saja."

"Kau keliru, Jack," kata Bill. "Harta itu tidak bisa dipungut begitu saja, tanpa mengeluarkan biaya! Seperti sudah kukatakan, rombongan penggali yang katakanlah terdiri dari sekitar lima puluh pekerja setempat, ditambah sejumlah tenaga ahli, memerlukan biaya ribuan pound. Dan jika itu yang dilakukan oleh Pak Uma—maksudku, jika saat ini ia sedang mengadakan penggalian, kita pasti mendengar berita tentang hal itu!"

"Ya, benar juga," kata Jack. "Maksudku, penggalian secara besar-besaran, takkan mungkin tidak diketahui orang lain. Ya, kan? Pasti ada berita mengenai hal itu dalam surat kabar."

"Eh, lihatlah — di sebelah sana ada puing-puing reruntuhan!" seru Lucy-Ann. ia menuding ke seberang sungai. "Nampaknya masih baru. Mungkinkah Tala tahu tentang puing-puing itu?"

Page 79: Petualangan di Sungai Ajaib

"Tanyakan saja sendiri padanya," kata Bill. "Tapi kurasa tidak banyak yang bisa diceritakan olehnya."

Anak-anak mendatangi Tala, untuk menanyakan. Orang itu mengangguk.

"Tala tahu. Ayah Tala ikut menggali di sana. Menggali harta. Harta yang banyak sekali. Tapi tidak ada lagi. Sudah habis!"

Kelihatannya hanya itu saja yang diketahui oleh Tala. Anak-anak kembali lagi ke tempat Bill, lalu menceritakan apa yang dikatakan oleh Tala. Bill mengangguk.

"Ya—maksudnya tenaga ahli yang memimpin penggalian di sana rupanya memiliki peta yang menunjukkan tempat makam raja-raja, sekian meter di bawah tanah. Dan menurut peta itu, makam-makam itu mungkin dinyatakan banyak berisi harta. Tapi ketika penggalian sudah sampai di tempat itu, baru ketahuan bahwa makam-makam itu sudah pernah dibongkar dan dirampok isinya."

"Lalu siapa yang melakukannya?" tanya Lucy-Ann.

"Mungkin perampok, tiga atau empat ribu tahun yang lalu," kata Bill. ia tersenyum, memandang Lucy-Ann yang kelihatannya heran. "Kan sudah kukatakan, umur peradaban di daerah ini sudah ribuan tahun. Di bawah timbunan pasir di sini, para ahli purbakala bisa menemukan puing-puing reruntuhan kota-kota purba, yang dulu dibangun satu di atas yang lainnya. Tumpuk-menumpuk!"

Lucy-Ann bingung mendengar penjelasan itu. Kota di atas kota? Dicobanya membayangkan masa-masa yang sudah lama silam di daerah yang nampak di depan mata. Kota dibangun, kemudian runtuh menjadi puing-puing, lalu ada kota baru dibangun di atas reruntuhan kota lama. Lalu kota baru itu runtuh pula menjadi debu, dan dijadikan landasan pembangunan sebuah kota baru.

Lucy-Ann bergidik.

"Tidak enak rasanya membayangkan hal itu," katanya. "Kita bicara tentang soal lain saja, Bill."

Bill mengerti. Dirangkulnya anak itu.

"Baiklah! Bagaimana dengan air jeruk?" katanya. "Kita bicara tentang itu saja, ya? Rasanya itu pokok pembicaraan yang paling cocok dalam hawa sepanas sekarang ini, Lucy-Ann."

"Ah, Bill! Maksudmu kan, kau menyuruhku membuatkan, ya?" kata Lucy-Ann, yang sementara itu sudah hafal kebiasaan Bill. "Jack! Philip! Kalian juga mau air jeruk? Mau?"

Page 80: Petualangan di Sungai Ajaib

"Mau!" teriak Kiki. "Mau, Lucy! Lucy-mau! Mau-mau! Panggil mau! Buang mau!"

Saat itu Philip sedang memberi kesempatan pada ular barguanya untuk jalan-jalan sebentar di luar. Ular itu menggeleser-geleser di dekat kakinya. Bagi Lucy-Ann itu tidak apa-apa. Tapi Dinah pasti langsung marah. Karenanya Philip selalu menunggu sampai Dinah tidak ada. Misalnya saja jika ia sedang sibuk di bawah, di dalam kabin.

"Bagus ya, binatang ini?" kata Philip, sambil mengagumi kulit ular yang hijau berbintik-bintik merah dan kuning. "Sayang saluran racunnya sudah dipotong, ya Jack?"

"Kalau bagiku pribadi, aku senang—karena takkan mungkin keracunan jika dipatuk olehnya," kata Jack.

Oola datang dengan minuman air jeruk yang dibawa di atas baki. ia senang ketika melihat ular pemberiannya menggeleser di lantai. Tapi ketika Dinah muncul dari bawah, ia langsung berhenti sewaktu melihat ular itu. Philip cepat-cepat menyimpannya lagi di balik kemeja.

Perjalanan hari itu cukup menyenangkan. Apalagi karena untuk pertama kali mereka menemukan teluk kecil yang airnya cukup jernih untuk dijadikan tempat berenang-renang.

"Kau juga berenang, Oola," kata Jack. "Itu baik bagimu!"

Tapi anak itu tidak mau, walau didesak-desak, ia memasukkan ujung jari kakinya sebentar ke dalam air—lalu menjerit, seakan-akan digigit sesuatu, ia hanya melihat saja dengan heran dan kagum, sementara anak-anak berenang-renang dengan asyik dalam air di teluk kecil itu. ia dititipi ular bargua sementara Philip mandi. Oola mengalungkannya dengan bangga, melilit lehernya.

Kiki agak jengkel, karena ditinggal anak-anak yang sedang asyik bermain-main di air. ia terbang ke sebuah dahan yang menjulur di atas air, lalu berteriak-teriak pada mereka.

"Jangan berteriak-teriak, Kiki!" kata Philip sambil memercikkan air ke atas. "Tingkahmu seperti ada yang mau membunuh saja!"

Kiki terbang membubung, ia marah, karena disiram dengan air. ia hinggap di dek perahu, lalu berjalan menghampiri Oola. Rupanya ia ingin dibujuk anak itu. Tapi begitu melihat ular yang melilit di leher Oola, Kiki cepat-cepat mundur, ia mendesis-desis. Bunyinya persis desisan ular. Bu Cunningham tersenyum melihat tingkah Kiki. Burung itu dipanggilnya, lalu disuruh bertengger di bahunya.

"Kasihan Polly," kata Kiki dekat telinga Bu Cunningham. "Kasihan, Polly kasihan! Polly senang, kasihan Polly malang.'

Page 81: Petualangan di Sungai Ajaib

"Yang mana yang benar—malang atau senang?" kata Bu Cunningham sambil tertawa. "Sudahlah, jangan merajuk terus. Sebentar lagi mereka sudah akan keluar lagi dari dalam air."

"Aku sebenarnya segan pergi untuk memenuhi undangan makan malam ini, Allie," kata Bill beberapa saat kemudian. "Merepotkan saja! Aku menyesal, kenapa kukatakan mau. Aku lebih senang menikmati ketenangan malam di atas perahu ini."

"Aku juga," kata istrinya. "Tapi sudahlah—kita kan tidak perlu terlalu lama di sana! Lagi pula, mungkin kita nanti akan bisa mendapat informasi baru. Siapa tahu, kan?"

Sekitar pukul setengah tujuh malam, mereka tiba di Chaldo. Bill dan istrinya berdandan, lalu menunggu Pak Uma datang menjemput mereka.

"Kalian makan saja sendiri," kata Bu Cunningham pada anak-anak. "Setelah itu membaca-baca, dan masuk ke tempat tidur seperti biasanya. Kami takkan terlalu lama pergi. Kalian akan dijaga oleh Tala."

"Itu Pak Uma datang," kata Jack. ia melihat seseorang datang dalam gelap, membawa lentera "Hati-hati di sana—Pak Uma itu mungkin lebih berbahaya dari apa yang diperlihatkannya pada kita."

Pak Uma berseru dari pangkalan.

"Selamat malam! Jika Anda berdua sudah siap, kita ke rumah saya saja sekarang. Letaknya tidak begitu jauh dari sini. Anak-anak mungkin ingin menonton pertunjukan tari yang malam ini diadakan di desa kecil sebelah sana. Di tempat itu sedang dilangsungkan pesta pernikahan. Tarian-tarian penduduk sini menarik untuk ditonton. Bawahan saya bisa mengantar mereka ke sana."

"Ya, ya—kita nonton, yuk!" seru Lucy-Ann. Anak-anak yang lain juga mau. Tapi Bill melarang.

"Jangan!" katanya dengan tegas. "Aku ingin kalian tetap ada di perahu."

"Ih," kata Jack dengan kesal. "Ayolah, Bill! Kami takkan apa-apa. Kami berjanji takkan berbuat yang tidak-tidak. Boleh ya, Bill?"

"Tidak, kataku," jawab Bill. "Orang asing tidak selalu disukai kehadirannya pada pesta-pesta seperti itu."

Apa boleh buat! Keempat anak itu sangat kecewa. Mereka mengucapkan salam dengan lesu, lalu memperhatikan sinar lentera yang terangguk-angguk dalam gelap, dibawa oleh pelayan Pak Uma. Cahayanya makin lama makin jauh.

Page 82: Petualangan di Sungai Ajaib

"Aku ingin bisa pergi," kata Dinah. "Apa sih, yang bisa terjadi dengan kita? Kan kita ditemani pelayan Pak Uma! Sialan!"

"Sudahlah—itu jangan kita pikirkan terus," kata Jack. "Makan apa kita malam ini, ya?"

Tala menghidangkan makanan yang enak. Ketika sedang makan, anak-anak mendengarnya bercakap-cakap dengan seseorang yang rupanya baru saja datang.

"Siapa itu, Tala?" tanya Philip dengan segera.

"Jallie, pelayan Tuan Uma," kata Tala. "Katanya, Tuan. menyuruhnya memberi tahu bahwa kalian boleh menonton pertunjukan tari. Katanya Tuan mengubah keputusannya. Kalian boleh pergi."

"Asyik, asyik, asyik!" seru Dinah dengan gembira, diikuti ketiga anak lainnya. Mereka bergegas menyelesaikan makannya, lalu memanggil Tala.

"Bilang pada orang itu, kami sudah siap. Kami hanya akan mengambil jaket saja sebentar. Hawa agak dingin malam ini."

“Oola boleh ikut?" tanya anak kecil itu pelan. Tapi Tala masih bisa mendengarnya, lalu menyela dengan kasar.

"Tidak! Kau masih ada kerja di sini. Tuan mengirim pesan, kau tidak boleh ikut. Kau harus tinggal, dengan Tala."

Oola sangat kecewa. Dalam hati ia bertekad hendak cepat-cepat menyelesaikan tugasnya, lalu setelah itu menyusul anak-anak.

"Selamat tinggal, Oola!" seru Lucy-Ann pada anak kecil yang sedang kecewa itu. "Kami takkan lama pergi. Jaga perahu baik-baik, Oola."

Oola memandang keempat anak itu. Mereka menghilang ke dalam kegelapan. Tiba-tiba ia mendapat firasat yang tidak enak. ia merasa bahwa akan terjadi sesuatu—sesuatu yang tidak enak. Oola merasakannya dalam hati.

Bab 17, KEJADIAN YANG TAK TERSANGKA-SANGKA

Perjalanan ke desa yang dituju, rasanya lama sekali. Anak-anak berjalan dengan langkah tersaruk-saruk. Tiba-tiba, entah kenapa, Jack merasa tidak enak.

"Masih jauh?'' tanyanya pada Jallie, orang yang membawa lentera.

"Sudah dekat," jawab orang itu dengan nada masam.

Page 83: Petualangan di Sungai Ajaib

Tapi sepuluh menit kemudian, desa itu masih juga belum nampak. Jack berbisik-bisik pada Philip. "Perasaanku tidak enak, Philip. Coba kautanya-kan lagi padanya, tentang desa itu."

"Mana desa itu?" tanya Philip sambil menepuk lengan Jallie.

"Sudah dekat," jawab Jallie.

Philip berhenti. Kini ia pun merasa tidak enak. ia mulai curiga—jangan-jangan pesan dari Bill tadi, yang mengizinkan mereka pergi menonton pertunjukan tari di desa itu palsu. Jangan-jangan itu hanya untuk memancing agar mereka meninggalkan perahu—supaya kemudian Uma bisa mengirim orang untuk melakukan penggeledahan! Kalau dipikir-pikir, bukan kebiasaan Bill mengubah keputusan mengenai sesuatu. Apalagi setelah ia sebelumnya begitu tegas mengatakan bahwa mereka tidak boleh pergi.

"Ayo!" kata orang yang mengantar. Diangkatnya lentera tinggi-tinggi, untuk melihat apa sebabnya anak-anak berhenti.

"Ssst, Lucy-Ann," desis Jack. "Cepat—pura-pura sakit! Menangislah, sambil minta pulang." Lucy-Ann langsung menurut, tanpa bertanya-tanya lagi.

"Jack," katanya sambil pura-pura menangis. "Aku merasa tidak enak badan. Antarkan aku pulang. Aduuuh!"

"Aduuuh," oceh Kiki menirukan.

"Ah—kasihan," kata anak-anak yang lain sambil menepuk-nepuk punggungnya. Punggung Lucy-Ann, bukan Kiki! "Baiklah, Lucy-Ann, kita pulang sekarang."

Jack menghampiri Jallie.

"Adikku harus kembali ke perahu," katanya. "Kaulihat sendiri, ia tidak enak badan. Kami harus segera kembali."

"Tidak bisa," kata Jallie. "Ayo ikut!"

"Jangan macam-macam, ya!" tukas Jack dengan marah. "Kaudengar kataku. Antarkan kami pulang."

"Tidak," kata orang itu berkeras. "Aku telah mendapat perintah. Ayo!"

"He, he—ada apa ini?" kata Philip mencampuri, “Ada sesuatu yang tidak beres di sini. Kurasa kau bukan hendak membawa kami menonton tari-tarian di pesta pernikahan! Pokoknya, aku perintahkan kita pulang sekarang juga. Mengerti!?"

Page 84: Petualangan di Sungai Ajaib

Jallie memandang mereka dengan mata melotot. Nampak jelas bahwa ia sedang bimbang, Ia takkan mampu memaksa keempat anak itu mengikutinya. Tapi di lain pihak, sudah jelas ia tidak mau mengantar mereka pulang ke perahu. Jack, Philip, dan juga Dinah membalas tatapan mata orang itu. Isak tangis Lucy-Ann kini sudah bukan pura-pura lagi. ia benar-benar takut.

"Kau harus mengantar kami pulang," kata Philip lambat-lambat. "Lihatlah—aku membawa sesuatu, yang akan memaksamu melakukan apa yang kukehendaki!"

Dengan hati-hati diambilnya ular yang tidur melingkar di balik kemejanya. Sentuhan tangannya membangunkan binatang itu.

Philip mengeluarkan ular bargua itu. Tiba-tiba Jallie melihatnya, diterangi sinar lentera, ia terpana, seakan-akan tidak mempercayai penglihatannya sendiri.

"Bargua," desahnya sambil cepat-cepat mundur. "Bargua!"

"Ya, bargua! Barguaku! Apa pun yang kusuruh, ia pasti menurut," kata Philip. "Bagaimana—kau ingin aku menyuruhnya mematukmu?"

Jallie jatuh berlutut. Sekujur tubuhnya gemetar, sementara Philip mengacungkan ular yang menggeliat-geliat itu ke arahnya.

"Ampun, ampun! Kuantar kalian pulang," kata Jallie dengan suara menggigil. "Tapi jauhkan ular itu!'

'Tidak!" kata Philip, "ia akan terus kudekatkan padamu. Lihatlah—begini!" Disodorkannya ular yang dipegangnya lebih dekat lagi ke Jallie. Orang itu jatuh terjengkang ketakutan.

"Awas, kalau kau berani minggat! Akan kusuruh ularku mengejarmu," kata Philip mengancam, ia sengaja menggertak, karena tidak ingin mereka ditinggal dalam gelap, apalagi di tempat yang tidak jelas di mana letaknya.

"Akan kuantar kalian pulang," kata orang itu merintih-rintih.

"Kalau begitu cepat berdiri," kata Philip sambil menimang ularnya. Binatang itu menjilati pergelangannya dengan lidah yang bercabang dua Jallie bergidik melihatnya. Untuk kesekian kalinya Lucy-Ann menatap Philip dengan kagum. Bisa-bisanya Philip menjinakkan segala macam binatang, serta membuat binatang-binatang itu sayang padanya!

Jallie mengambil lentera, lalu mulai berjalan dengan lutut gemetar. Pikirannya selalu kembali pada ular berbisa yang ada di dekat punggungnya. Anak macam apa dia, yang berani menyimpan ular berbisa di balik baju?

Page 85: Petualangan di Sungai Ajaib

Jallie mengambil jalan yang tadi dilewati. Setidak-tidaknya itu perasaan anak-anak. Mudah-mudahan saja perasaan itu benar, kata mereka dalam hati. Jack dan Philip sangat gelisah.

"Jika orang ini disuruh Uma membawa kita entah ke mana, dengan perintah supaya kita kemudian ditinggal sendiri di sana—lalu apakah yang dilakukan olehnya dengan Bill serta Ibu?" pikir Philip dengan cemas.

Mereka terus berjalan. Akhirnya, di sela-sela pepohonan nampak pemandangan yang melegakan. Sungai sudah ada di depan mereka! Jallie menuding ke arah situ dengan tangan yang gemetar.

"Kalian sudah kuantar pulang," katanya. "Sekarang aku boleh pergi, ya?"

"Ya! Sana, pergilah," kata Philip, ia merasa lega, melihat orang itu bergegas pergi dengan lenteranya. Jallie begitu terburu-buru, sampai jalannya tersandung-sandung.

Tahu-tahu ada yang muncul dari balik pepohonan. Ternyata itu Oola!

"Orang-orang jahat tadi datang," katanya berkeluh-kesah pada Philip. "Orang-orang jahat Bagaimana aku? Apa yang harus kulakukan?"

Philip menarik bahu anak itu.

"Oola! Cepat katakan—apa yang terjadi?"

Oola mengajak mereka bergegas di bawah pepohonan, menuju ke pangkalan, ia menuding, sementara anak-anak yang lain memandang dengan heran bercampur ngeri.

Perahu motor mereka sudah tidak ada lagi di sana!

"Apakah yang terjadi, Oola?" tanya Philip. Diguncang-guncangnya bahu anak itu.

"Tadi ada orang-orang jahat datang. Mereka menggiring Tuan Besar dan Nyonya, lalu disuruh naik ke perahu. Orang-orang jahat mengikat Tala, lalu melemparkannya ke darat. Lalu orang-orang jahat membawa lari perahu!" kata Oola, dengan suara seperti hampir menangis.

"Aduh!" kata Jack, lalu menjatuhkan diri ke tanah, ia benar-benar kaget mendengar berita itu. Anak-anak yang lain ikut duduk.

"Dari mana kau mengetahui semua ini, Oola?" tanya Jack kemudian. "Apa sebabnya kau tidak ikut diikat?"

Page 86: Petualangan di Sungai Ajaib

"Oola tadi sudah hendak menyusul Tuan," kata Oola. "Oola meninggalkan perahu dengan diam-diam—lalu kemudian melihat orang-orang jahat itu. Mereka tidak melihat Oola. Oola bersembunyi."

"Sekarang kita sudah mendapat gambaran yang cukup jelas tentang apa yang terjadi tadi," kata Philip dengan geram. "Uma rupanya merasa curiga, bahwa Bill terlalu banyak tahu tentang dirinya—dan karena itu kemudian menyekapnya. Sayang Ibu ikut tersekap pula!—Kita sebenarnya juga hendak disingkirkan. Untung Oola tidak apa-apa!"

"Dan Tala juga," kata Jack. "ia mestinya ada di sekitar sini—dalam keadaan terikat. Kami harus menemukannya. Apa yang bisa kita lakukan sekarang?"

Anak-anak berdiri lagi, lalu menuju ke tepi air. Oola menuding ke arah bayangan gelap di dekat situ, agak jauh dari pangkalan.

"Itu perahu orang jahat," katanya. "Kenapa itu tidak dibawa?"

"Kurasa karena ia ingin melenyapkan seluruh jejak kita," kata Jack. "Coba ia pergi dengan perahu motornya sendiri.—He, itu kedengarannya seperti suara Tala."

Anak-anak mendengar suara orang mengerang, tidak jauh dari tempat mereka. Oola menghilang ke tempat gelap. Tidak lama kemudian terdengar suaranya memanggil-manggil.

"Tala ada di sini!"

Anak-anak yang lain bergegas mendatangi. Ternyata Tala memang ada di situ, dalam keadaan terikat erat, sehingga sangat sulit membebaskannya. Pikiran orang itu campur-aduk. ia merasa kasihan pada dirinya sendiri, tapi juga sangat marah, ia menggeliat-geliat, tidak sabar menunggu sampai anak-anak berhasil membebaskannya dari ikatan. Akhirnya mereka terpaksa memotong tali yang mengikat dengan pisau.

Setelah terlepas. Tala menceritakan pengalamannya, ia berbicara secara tergesa-gesa. ia memukul-mukul dadanya sendiri dengan penuh penyesalan ketika menceritakan betapa ia melihat Tuan Besar dan Nyonya diseret pergi, ia berteriak dengan marah, ketika mengingat kembali betapa ia diikat, lalu dicampakkan dengan begitu saja ke darat—seakan-akan ia seonggok sampah.

"Coba dengar sebentar, Tala," kata Philip menyela. "Uma-kah yang datang tadi?"

"Bukan—bukan dia, tapi beberapa orang lain," kata Tala. "Orang-orangnya. Mereka jahat. Tala meludahi mereka!"

"Ke manakah Tuan Besar dan Nyonya dibawa oleh mereka?" tanya Jack.

Page 87: Petualangan di Sungai Ajaib

"Ke arah hilir," jawab Tala sambil menuding. "Aku mendengar mereka menyebut-nyebut Wooti. Tala tidak tahu. di mana tempat itu. Tala marah sekali!"

"Bagaimana sekarang?" kata Dinah. "Kita tidak bisa terus saja di sini sepanjang malam. Tapi ke mana kita bisa pergi? Kita tidak tahu jalan untuk bisa pergi dari sini."

"Oola tahu," kata Oola dengan bersemangat. "Oola akan menunjukkan pada Tuan." ia menarik-narik lengan kemeja Philip, ia mengajak pergi dari pangkalan, menuju tempat perahu motor Raja Uma ditambatkan. "Itu—perahu orang jahat. Kita ambil, ya?"

"Wah, Oola! Idemu hebat!" kata Philip. "Ya, tentu saja. Itu pembalasan yang setimpal. Kita pergi dengan perahu itu, sekarang ini juga—ke hulu!"

"Jangan! Lebih baik ke Wooti," kata Jack. "Mungkin letaknya sama dekatnya seperti desa terakhir yang kita singgahi. Mudah-mudahan saja itu desa besar, sehingga ada pihak berwenang yang bisa kita hubungi untuk urusan ini. Di sana nanti kita mungkin juga bisa mendengar kabar tentang perahu motor kita."

"Ya—kurasa itu memang gagasan yang paling baik," kata Philip. "Tala—bisakah kau mengemudikan perahu motor ini?"

"Ya, ya, Tala tahu!" kata Tala bersemangat. "Kita mengejar orang-orang jahat itu, ya?"

"Aku belum tahu, apa yang akan terjadi nanti!" kata Jack. "Tapi yang jelas, kita tidak akan tetap di sini terus, sehingga Uma besok pagi bisa menangkap kita! Yuk—semuanya naik!" Anak-anak naik satu per satu ke perahu itu, sementara Tala menyibukkan diri dengan mesinnya. Ke manakah mereka sekarang? Ke Wooti? Dan apakah yang akan terjadi di sana?

Bab 18, BERANGKAT MALAM-MALAM

Dengan segera semua sudah naik ke perahu, sebenarnya sedikit banyak karena takut kalau-kalau ada yang tiba-tiba muncul dari tempat gelap, lalu menyergap mereka. Mungkin saja Jallie memberi tahu kawan-kawannya bahwa ia terpaksa mengantarkan anak-anak kembali ke tepi sungai, dan bukan meninggalkan mereka dalam gelap di salah satu tempat yang jauh. Dan jika itu terjadi, bisa saja beberapa anak buah Uma kemudian pergi mencari untuk menawan mereka. Tapi tidak ada yang muncul. Hanya bunyi air di sungai saja yang terdengar, diselingi kesibukan Tala yang berusaha menghidupkan mesin. Oola memegang lentera di sebelahnya, untuk menerangi.

Mesin perahu mulai menyala.—Nah, sekarang sudah hidup! Syukurlah!

Page 88: Petualangan di Sungai Ajaib

"Cepatlah sedikit, Tala!" desis Philip mendesak, karena bunyi mesin yang dihidupkan itu rasanya nyaring sekali di tengah kesunyian malam. "Kalau kita tidak buru-buru, nanti ada yang datang. Tamu-tamu yang tidak diundang!"

Teriring bunyi deru yang terdengar, dengan tiba-tiba perahu motor itu melesat ke tengah sungai. Anak-anak mengembuskan napas lega. Gerak perahu kemudian menjadi tenang. Tala mengarahkan haluannya ke hilir, menyusur tengah-tengah sungai. Tidak terdengar suara teriakan marah dari tepi sungai yang ditinggalkan. Rupanya tidak ada yang tahu bahwa mereka pergi dengan perahu motor milik Raja Uma. Jack menyapa Tala.

"Katamu, kau tidak mengenal tempat yang namanya Wooti itu. Kau tahu. berapa jauhnya dari sini?"

"Ya—Tala pernah mendengar tentang Wooti," jawab Tala. "Tempatnya jauh, di hilir sungai. Oola pernah ke Wooti?"

Ternyata tidak. Tapi Oola ingat, di dekat Wooti ada desa lain.

"Nama desa itu Hoa," katanya. "Kalau kita sudah sampai di Hoa, Oola akan ke sana, lalu bertanya tentang Wooti, ya?"

"Baik," kata Jack. "Jangan sampai kita tiba di Wooti, hanya untuk kemudian ditawan pula! Kita harus menambatkan perahu agak jauh dari situ, lalu ke sana dengan hati-hati. Kita lihat, apa yang akan kita ketahui di tempat itu."

"Tala—kita berlayar dulu selama katakanlah satu jam. Lalu perahu kita tambatkan di salah satu tempat, dan kita tidur," kata Philip. "Jika berlayar terus sepanjang malam, jangan-jangan nanti Wooti terlewat! Jadi mendingan kita berlabuh dulu selama beberapa jam, begitu rasanya sudah cukup aman, dan tidak bisa lagi disusul oleh anak buah Uma."

"Sepanjang pengetahuanku di tempat Uma tadi tidak ada perahu lain, jadi tidak mungkin ada yang mengejar," kata Jack. "Tapi walau begitu, lebih baik kita jangan mengambil risiko. Ya, kita berlayar dulu selama sejam, Tala—lalu setelah itu. perahu kita tambatkan."

Tala mengemudikan perahu menyusur malam yang diterangi bintang-bintang di langit. Anak-anak bercakap-cakap dengan suara pelan. Oola merasa senang dan puas, karena bisa duduk dekat Philip. Untuk apa ia merasa gelisah? Bukankah anak-anak ini cukup cerdik, sehingga bahkan orang jahat seperti Uma pun mungkin saja dikalahkan oleh mereka? Oola sekarang bisa selalu berdekatan dengan Philip, karena perahu motor itu jauh lebih kecil dari yang dibawa lari orang-orang jahat.

Sekitar satu jam kemudian Jack menyapa Tala.

"Tala! Di sini saja kita berlabuh. Carilah tempat bertambat yang baik. Selama ini rasanya tidak ada desa yang kita lewati. Rupanya ruas sungai ini tidak ada penghuninya."

Page 89: Petualangan di Sungai Ajaib

Mata Tala yang sudah terlatih menemukan sebatang pohon yang lurus di tepi air sebelah kiri. ia mengemudikan perahu lurus ke tempat itu. Perahu menyentuh tepi dengan benturan pelan. Mesin dimatikan, dan kesunyian malam saat itu langsung menyelubungi.

"Kubantu kau menambatkan perahu, Tala," kata Jack. "Setelah itu kita semua tidur."

Lima menit kemudian semua sudah tidur nyenyak. Dinah dan Lucy-Ann berbaring saling merapatkan diri, sementara Jack dan Philip tidur di samping mereka. Oola tidur di dekat kaki Philip. Tapi anak itu tetap waspada. Ia langsung terbangun, begitu ada bunyi sedikit saja. Tala merebahkan diri di dekat kemudi. Sikapnya tidur tidak bisa dibilang nyaman. Sekali-sekali terdengar bunyi dengkurnya yang keras. Kiki tidur sambil bertengger di kaki Jack. Kepalanya disusupkan ke bawah sayap.

Mereka tidur terus, sampai pagi tiba. Cahaya fajar menyebabkan air sungai nampak keperak-perakan. Kemudian matahari terbit. Sinarnya yang hangat menerangi tubuh keenam orang yang masih terus tidur. Ular bargua yang melingkar di balik kemeja Philip merasakan kehangatannya, lalu merayap ke luar. ia melingkar lagi di bahu tuannya, menikmati sinar matahari.

Dinah bangun paling dulu. Semula ia heran, apa sebabnya ia merasa pegal-pegal, ia berbaring diam-diam, sambil mengingat-ingat kejadian malam sebelumnya. Setelah itu ia memutar tubuh sedikit, untuk melihat anak-anak yang lain. Saat itu dilihatnya ular yang melingkar di atas bahu Philip yang berbaring di sebelahnya.

Dinah menjerit, karena kaget. Semua langsung terbangun. Tala menyambar pisau yang ditaruh di dekatnya. Oola meloncat bangun, lalu mengambil sikap melindungi di depan Philip.

"Siapa yang berteriak?" tanya Jack. "Ada apa?"

"Aku yang berteriak." kata Dinah malu-malu. "Maaf—tapi begitu aku bangun, kulihat ular peliharaan Philip menatap ke arahku. Aku kaget sekali karenanya. Maaf deh!"

"Maaf deh, maaf!" oceh Kiki menyanyikan kata-kata itu, lalu berteriak menirukan Dinah.

"Jangan kaubiasakan berteriak seperti itu!" kata Lucy-Ann. Sementara itu ular tadi sudah menyusup kembali ke balik kemeja Philip. Hal itu menyebabkan Dinah menjadi tenang kembali.

Sambil mengusap-usap mata, anak-anak memandang berkeliling. Di sungai tidak nampak sesuatu yang menarik perhatian. Airnya masih tetap mengalir dengan tenang, sementara di tepi kiri dan kanan nampak pepohonan yang tumbuh sampai ke tepi air.

Page 90: Petualangan di Sungai Ajaib

Anak-anak lebih tertarik pada perahu motor yang mereka tumpangi. Adakah makanan dan minuman di situ? Atau mungkinkah Raja Uma hanya memakainya untuk pergi ke tempat-tempat yang dekat, sementara perjalanan jauh dilakukan dengan naik mobil?

"Yuk—kita periksa kalau-kalau ada bekal makanan di sini," kata Philip. Mereka langsung mencari.

"Coba lihat ini!" kata Jack sambil membuka pintu sebuah lemari kecil yang terdapat di bawah tempat duduk di haluan.

Semua memandang ke dalam lemari itu. Ternyata penuh berisi kaleng-kaleng makanan. Isinya ada daging asap, daging asin, sardin, dan aneka jenis buah-buahan. Bahkan ada pula beberapa kaleng yang berisi sup.

"Aneh!" kata Philip. "Untuk apa Uma membekali perahu motor sekecil ini dengan makanan yang begitu banyak? Rupanya kadang-kadang ia pergi cukup lama juga sehingga memerlukan bekal. Itu berarti ia tidak mendatangi tempat yang berdekatan dengan desa—karena makanan kan bisa dibeli di desa-desa."

"Aku tidak peduli kenapa ia membawa bekal," kata Dinah. "Yang penting, di sini masih banyak yang tersisa untuk kita! Minuman juga ada—ini, lihatlah! Sari limau, dan ini ada sari jeruk. Kurasa kita perlu mengencerkannya sedikit, dengan air biasa."

Tala menunjuk sebuah bejana kecil dengan anggukan kepalanya.

"Di situ ada air," katanya.

Tapi Tala salah sangka, karena ketika diperiksa bejana itu ternyata kosong. Jadi jika anak-anak ingin minum, mereka terpaksa mengambil sari limau atau sari jeruk yang kental.

Di sebuah lemari kecil lainnya terdapat beberapa utas tali, begitu pula senter-senter yang terang sekali sinarnya, serta kait yang besar-besar dan kelihatannya kuat.

"Untuk apa kait-kait ini?" kata Lucy-Ann mengomentari dengan heran.

"Itu biasa dipakai untuk pendakian," kata Jack. "Tapi untuk apa Uma membawa-bawa barang seperti itu?"

"Aku tahu! Untuk melakukan kegemarannya— ilmu purbakala," kata Dinah. "Kalian masih ingat, kan? Jika ia hendak menjelajahi tempat-tempat kuno dan tersembunyi di sekitar sini, kurasa ia memerlukan peralatan seperti ini. Ada lagi barang lainnya yang menarik?"

"Beberapa buah sekop," kata Jack, "dan sebuah linggis kecil. Yah, jika Uma memakai kegemarannya menyelidiki bangunan-bangunan kuno untuk menutupi kegiatan

Page 91: Petualangan di Sungai Ajaib

sebenarnya yang melanggar hukum, harus kukatakan bahwa penyamaran itu dilakukannya dengan serius sekali. Lihatlah—di sini juga ada buku-buku tentang ilmu purbakala."

Dikeluarkannya buku-buku itu. Di antaranya ada yang baru, tapi ada juga yang sudah tua. Semua menampakkan tanda-tanda sering dibaca, karena pada halaman-halaman tertentu ada catatan pinggir yang ditulis dengan huruf kecil-kecil.

"Nanti kalau sudah makan, akan kuteliti isi buku-buku ini!" kata Jack. "Saat ini aku lebih mementingkan mengisi perut dulu. Aku sudah lapar!"

Begitu pula halnya dengan yang lain-lain. Mereka menemukan dua buah alat pembuka kaleng, tergantung pada paku yang tertancap pada sisi dalam lemari. Jack langsung mengantungi satu di antaranya, untuk mengamankan. Kemudian mereka membuka sebuah kaleng daging asap serta dua kaleng nenas. Menurut mereka, kedua makanan itu cocok jika dimakan bersama-sama. Setelah makan mereka meneguk air nenas. Tapi mereka masih saja merasa haus.

"Kita isi saja bejana air ini," kata Philip sambil memandang ke dalamnya. "Kelihatannya bersih."

"Tala dan Oola mengambil air ke desa terdekat," kata Tala mengusulkan. "Dan juga roti."

"Setuju. Tapi kita perlu memastikan dulu bahwa desa itu bukan Wooti, sebelum kita datang ke sana," kata Jack. "Aduh—coba lihat Kiki! Itu potongan nenas kelima yang dimakannya. Enak, Kiki?"

Kiki menelan potongan itu, lalu terbang menghampiri kaleng. Tapi isinya sudah tidak ada lagi, sudah habis dimakan. Kiki meneriakkan kekecewaannya.

"Kosong melompong!" ocehnya menyanyi-nyanyi. "Kosong melompong. Panggil dokter!"

"Burung konyol," kata Jack. "Nah, bagaimana, Tala? Sudah siap untuk berangkat? Nanti berhentilah di desa yang kelihatannya aman."

Tala melepaskan tali penambat perahu, lalu menghidupkan mesin. Mereka berangkat. Haluan diarahkan ke tengah sungai. Sementara itu sinar matahari sudah menghangatkan lingkungan. Semua merasa riang—walau masih juga dihantui kecemasan, memikirkan nasib Bill dan istrinya.

Kemudian mereka menghampiri sebuah desa, yang pondok-pondoknya dibangun sampai ke tepi air. Anak-anak di situ langsung datang berlari-lari, untuk melihat perahu yang datang. Tala mengarahkan haluan ke tepi, di mana terdapat pangkalan yang kecil untuk tempat sandar perahu. ia berbicara sebentar dengan seorang anak laki-laki di situ.

Page 92: Petualangan di Sungai Ajaib

Suaranya cepat sekali. Kemudian ia menoleh ke arah anak-anak yang ada di dalam perahu.

"Katanya, ini desa Hoa. Wooti masih jauh lagi, ke hilir. Dua sampai tiga jam lagi. Katanya, ia akan mengambilkan air dalam kantung, serta roti. Ya?" "Baik!" kata Jack. "Sementara itu kami akan turun ke darat, untuk melemaskan kaki. Kau dan Oola memeriksa keadaan air itu. Harus diambil langsung dari sumur. Kau sendiri yang mengambilnya, Tala. Yuk, kita jalan-jalan sebentar. Tempat ini kelihatannya aman. Tapi walau begitu, kita jangan terlalu jauh dari perahu!"

Bab 19, SUNGAI YANG ANEH

Enak rasanya bisa berjalan-jalan sebentar, melemaskan otot-otot kaki. Seperti biasa Kiki bertengger di bahu Jack. Anak-anak desa sangat tertarik melihatnya. Mereka mengerumuni dengan suara ribut, sambil menunjuk-nunjuk. Philip menjaga jangan sampai ular barguanya ke luar. ia tahu, begitu ular itu menyembulkan kepala dari balik kemeja, anak-anak itu pasti akan langsung pontang-panting, lari ketakutan!

Untungnya, Tala dan Oola menemukan dua ember besar dalam perahu. Ember-ember itu kemudian dipakai untuk mengambil air. Itu melegakan perasaan anak-anak, karena mereka tidak suka minum air yang disimpan di dalam kantung-kantung yang terbuat dari kulit binatang, seperti yang biasa nampak dibawa penduduk setempat.

Lama juga Tala dan Oola pergi mengambil air. Anak-anak mulai gelisah.

"Kenapa mereka belum datang-datang juga, ya?" kata Jack. "Mudah-mudahan saja tidak terjadi apa-apa dengan mereka. Kalau Tala tidak ada, kita bisa repot."

Tapi akhirnya mereka kembali juga, masing-masing menjinjing ember berat yang penuh berisi air. Sedang roti yang dibungkus mereka panggul di bahu.

'Lama sekali kau pergi, Tala," kata Jack dengan nada mengomeli.

"ia mengobrol terus," kata Oola. "Oola ingin cepat-cepat kembali, tapi Tala bicara terus."

Tala menatap anak itu dengan mata dipelotot-kan. Setelah itu ia meluruskan tegaknya.

"Ya, Tala tadi bicara—tapi bukan mengobrol! Banyak yang berhasil diketahui Tala. Semua orang kenal Uma. ia menggali. Banyak sekali menggali. Kata orang-orang tadi, Uma tahu tempat harta yang banyak. Banyak sekali emas!"

Jack tertawa.

"Kau tadi mengobrol, Tala," katanya. "Uma memang sengaja membuat orang mengira bahwa ia sibuk menggali benda-benda kuno yang sudah lama lenyap. Tapi bukan itu

Page 93: Petualangan di Sungai Ajaib

kegiatannya yang sebenarnya. Ada sesuatu yang disembunyikannya—dan aku ingin tahu, apa itu!"

"Uma menyembunyikan sesuatu?" kata Tala. ia tidak memahami maksud Jack. "Apa itu? Senjata, ya?"

"Ah, sudahlah!" tukas Philip tidak sabar. "Kita tuangkan air dulu, ke dalam bejana. Aku sudah kepingin minum air jeruk, karena sudah haus sekali."

Semua juga merasa haus. Ketika air dari kedua ember dituangkan ke dalam bejana, Jack melakukan penaksiran. Kelihatannya tidak banyak, jika untuk mereka berenam!

"Yuk, kita terus," katanya pada Tala. "Dua jam lagi kita sudah boleh berjaga-jaga—jika Wooti letaknya benar dua sampai tiga jam dari sini."

Tala menghidupkan mesin, lalu mereka melanjutkan perjalanan. Setelah melewati beberapa desa kecil, kemudian mereka menghampiri desa lain, yang nampaknya agak besar. Itukah Wooti? Jack memandang jam tangannya. Tidak mungkin— karena perjalanan mereka baru satu setengah jam. Sedang Tala tadi mendapat keterangan bahwa Wooti letaknya dua sampai tiga jam ke hilir.

"Kita singgah?" tanya Tala. "Tala menanyakan nama desa itu?"

"Tidak usah, karena tidak mungkin itu sudah Wooti," kata Jack. Perjalanan diteruskan. Tahu-tahu sungai menjadi sangat lebar! Anak-anak tercengang, melihat kedua tepinya semakin menjauh. Sungai itu seakan-akan menjelma menjadi danau!

"Astaga! Jika masih tambah melebar, nanti kedua tepinya tidak kelihatan lagi!" kata Dinah.

Lucy-Ann memandang dengan mulut ternganga.

"Jack," katanya dengan cemas, "kita—kita kan belum sampai di laut, ya?"

Semua tertawa mendengar pertanyaan itu. Bahkan Tala pun ikut tersenyum. Wajah Lucy-Ann menjadi merah, karena malu. Jack menepuk bahu adiknya.

"Ya—kelihatannya memang begitu, seakan-akan kita sekarang ada di tengah laut! Tapi kurasa nanti sungai akan menyempit kembali. Mungkin dasar di sini sangat dangkal, sehingga aliran sungai melebar."

Philip memanggil Tala.

"Lebih baik kita menyusuri salah satu tepinya, Tala! Kalau tidak, nanti kita kehilangan arah. Tepi sebelah kanan sudah nyaris tidak kelihatan lagi sekarang!"

Page 94: Petualangan di Sungai Ajaib

Tala mengarahkan haluan perahu ke tepi sebelah kiri. yang juga sudah lumayan jauhnya.

"Coba kita punya peta sungai daerah ini," kata Jack. "Itu, seperti yang dimiliki Bill. Ingat tidak? Pada peta itu tertera semua desa. Jadi pasti tertera pula desa Wooti di situ, serta apa yang terjadi dengan sungai di tempat ini. Maksudku, kenapa tahu-tahu menjadi begini lebar, dan di mana akan menyempit kembali."

Sementara itu perahu sudah menelusuri tepi sebelah kiri, dan tidak lagi berlayar di tengah-tengah. Tepi seberang tidak kelihatan. Air membentang luas sekali ke sebelah kanan. Anak-anak mendapat kesan seolah-olah mereka ada di pinggir laut, dan berlayar menyusur pantai. Persis seperti dikatakan Lucy-Ann tadi.

Tala merasa heran, dan juga agak takut.

"Sungai sangat lebar di sini," katanya dalam bahasa setempat pada Oola. "Kita takkan bisa melihat Wooti, jika letaknya di seberang sana."

Kemungkinan itu juga melintas pikiran Philip. Ditariknya lengan Jack.

"He, Jack! Bagaimana jika Wooti terletak di seberang sana? Kita bisa melewatinya begitu saja, tanpa menyadarinya!"

"Wah, betul juga katamu," kata Jack. "Tepinya saja tidak kelihatan, apalagi desa-desa yang ada di sana! Yah—begini sajalah—nanti kita mampir sebentar di desa berikut. Lalu kita suruh Tala bertanya di situ, tentang Wooti. Kalau ternyata memang di tepi sebelah sana, kita akan menyeberang dan mencarinya! Mudah-mudahan saja selama ini belum kita lewati."

Seisi perahu mengamat-amati tepi sungai, mencari desa yang berikut. Tapi semak belukar tumbuh dengan rapat sampai ke tepi air, sehingga kalaupun ada desa di belakangnya, mereka takkan mungkin bisa melihatnya. Ketika satu jam sudah berlalu tanpa melihat desa, anak-anak mulai gelisah.

"Coba kita membawa peta," keluh Jack. "Uma sialan—kenapa perahu ini tidak dilengkapi dengan peta! Coba ada, kan bisa lebih enak bagi kita.— Eh, aku melihat sesuatu di sebelah kanan—ya, itu tepi kanan, sudah mulai kelihatan lagi!"

Di seberang kanan memang mulai nampak garis berwarna kecoklatan. Garis itu dengan cepat bertambah besar kelihatannya. Itu tentu saja berarti bahwa alur sungai kembali menyempit. Bahkan begitu menyempit, sehingga tepi kiri dan kanan menjadi sangat berdekatan. Jauh lebih dekat daripada yang pernah dilewati sebelumnya.

"Ini aneh!" kata Philip dengan tiba-tiba. "Kita kan berlayar menghilir. Nah—sungai biasanya kan kalau tidak selalu sama lebarnya dalam perjalanan menuju laut, mestinya menjadi semakin lebar. Dan tempat yang paling lebar, umumnya tempat sungai itu bermuara di laut."

Page 95: Petualangan di Sungai Ajaib

Jack menatapnya sesaat.

"Ya, memang," katanya kemudian. "Kalau begitu—kenapa sungai ini dengan tiba-tiba saja menjadi begini sempit? Padahal sebelumnya begitu lebar! Aku tahu pasti, kita saat ini masih jauh dari laut. Jadi kenapa tadi begitu melebar—dan sekarang tahu-tahu menyempit kembali?"

"Mungkin tadi bercabang-cabang, menjadi dua aliran—atau bahkan lebih!" kata Philip. "Dan kita sekarang memasuki cabang yang sangat sempit. Cuma itu saja penjelasan yang bisa kubayangkan."

"Tala! Coba hentikan perahu sebentar," kata Jack. "Kita perlu berembuk dulu."

Tala menghentikan perahu dengan lega. ia sementara itu sudah sangat gelisah. Apakah yang terjadi dengan sungai itu? Mana desa yang bernama Wooti? Apakah yang sebaiknya mereka lakukan sekarang?

Mereka berembuk di tengah-tengah perahu. Percakapan mereka sangat serius, sehingga Kiki tidak berani mengganggu.

"Menurutmu, apakah yang sebenarnya terjadi, Tala? Apa sebabnya sungai tahu-tahu menyempit? Mungkinkah karena di belakang sana bercabang-cabang, menjadi dua atau tiga sungai yang lebih kecil?" tanya Jack.

"Tala tidak tahu. Tala takut," kata yang ditanya. "Tala bilang, kita kembali saja. Sungai ini sekarang tidak baik."

"Kata-katamu itu tidak banyak gunanya bagi kita, Tala," kata Philip. "Kita rupanya tanpa sadari sudah melewati Wooti. Kurasa letaknya pasti di tepi sebelah kanan—dan kita tidak bisa melihatnya, karena terlalu jauh. Sialan! Gawat juga keadaan ini."

"Kita terus saja," kata Dinah mengusulkan. "Nanti kan pasti akan sampai di salah satu tempat. Harus begitu!"

Jack memandang ke tepi kiri, lalu pindah ke tepi kanan.

"Kelihatannya serba sunyi," katanya. "Cuma beberapa batang pohon—serta semak belukar yang bulukan—dan selebihnya hanya bukit-bukit pasir melulu! Yah—kita teruskan saja perjalanan selama setengah jam lagi. Jika sampai saat itu kita tidak menjumpai apa-apa—desa, atau tempat apa saja di mana kita bisa mampir untuk bertanya, lebih baik kita kembali—dengan menelusuri tepi sebelah kanan. Mungkin dengan begitu kita akan bisa menjumpai Wooti."

"Tala bilang, kita kembali sekarang," kata Tala berkeras. “Sungai ini sekarang jahat. Airnya dalam sekali. Lihatlah!" Tala berdiri, lalu menunjuk ke air di tepi perahu.

Page 96: Petualangan di Sungai Ajaib

"Dalamnya tidak bisa kautaksir dengan melihat saja," kata Jack. Diperhatikannya air sungai yang tidak lagi jernih, melainkan berlumpur.

'Tala tahu. Perahu lewat di air dalam, bunyinya lain," kata Tala sambil cemberut. "Sungai sekarang jahat."

"Begini sajalah. Kita terus berlayar di sungai jahat, selama setengah jam lagi," kata Philip dengan tegas. "Kalau selama itu kita belum juga menjumpai desa, kita akan kembali. Hidupkan mesin, Tala!"

Tapi Tala tidak mau. ia tetap berdiri, dengan sikap membangkang. Perasaan Jack dan Philip langsung menjadi kecut. Bagaimana kalau Tala tetap berkeras pada saat sepenting itu? Mereka harus tetap berkeras! Sebab kalau mengalah, jangan-jangan keputusan lain-lain yang selanjutnya akan tidak dipedulikan pula oleh orang itu.

"Ini perintah, Tala! Kau harus menurut," kata Philip dengan galak, menirukan gaya Bill berbicara. Tapi Tala tetap diam, dengan sikap membangkang.

Tahu-tahu terdengar bunyi mesin perahu dihidupkan. Semua tercengang, lalu menoleh ke arah situ, sementara tubuh perahu bergetar keras, lalu melesat maju. Para penumpang berjatuhan karena gerakan yang tiba-tiba itu.

Dari arah buritan terdengar suara Oola. "Oola patuh pada Tuan! Oola yang menjalankan perahu!"

Tala berdiri dengan cepat, sambil berteriak marah. Diserbunya Oola, lalu dihujaninya dengan pukulan. Roda kemudi direbutnya. Tala meneriakkan serentetan kata yang tidak jelas pada Oola yang nyengir. Lalu, sementara air mukanya masih nampak marah, Tala mengemudikan perahu, menghiliri sungai.

Oola cepat-cepat berdiri lagi. ia seakan-akan tidak merasakan hujan pukulan Tala tadi. ia tersenyum lebar.

"Oola membuat Tala menurut kata Tuan!" katanya, ia senang sekali, melihat anak-anak memandangnya sambil nyengir.

"Hebat, Oola," kata Philip. "Tapi jangan sering-sering kaulakukan. Kami tadi kaget setengah mati!"

Bab 20, APAKAH YANG TERJADI SEKARANG?

Tala menjalankan perahu dengan laju, untuk menunjukkan bahwa ia masih marah. Philip memanggilnya.

Page 97: Petualangan di Sungai Ajaib

"Jangan terlalu cepat, Tala!"

Tala memperlambat perahu, rupanya karena khawatir kalau Oola nanti datang untuk menunjukkan cara menjalankan perahu dengan lambat. Perahu meluncur terus di antara kedua tepi sungai, yang kelihatannya masih terus menyempit. Kemudian kedua tepi itu juga semakin tinggi!

"Wah—kita sekarang seakan-akan berlayar di antara dua tebing," kata Jack dengan heran. "Jangan terlalu cepat, Tala!"

"Tala tidak cepat!" seru orang itu. ia kelihatannya bingung. "Sungai yang cepat! Cepat sekali! Perahu diseret arus. Tala matikan mesin nanti lihat sendiri!"

Mesin perahu dimatikan olehnya. Ternyata benar katanya tadi! Arus sungai deras sekali, menyeret perahu ke hilir!

Anak-anak mulai takut, melihat tebing di kiri-kanan semakin menjulang ke atas.

"Kita berada dalam semacam ngarai," kata Philip. "Ngarai yang menurun dasarnya, sehingga air mengalir dengan deras. Hentikan perahu, Tala! Keadaan kita berbahaya sekarang!"

"Tala tidak bisa!" balas orang itu dengan segera. "Perahu meluncur terus, dibawa arus!"

"Aduh, benar!" kata Jack. "Bagaimana caranya agar kita bisa berhenti? Dan kalau mau berhenti, di mana? Hanya tebing tinggi saja yang ada di kiri-kanan. Tidak ada tempat untuk berhenti! Perahu bisa pecah membentur tebing, jika haluannya tidak dijaga tetap lurus mengikuti arus."

Dinah dan Lucy-Ann sudah pucat. Kiki ketakutan, lalu menyembunyikan kepala di bawah sayap. Jack dan Philip mendongak, memandang tepi atas tebing di kedua sisi. Ya—tebing-tebing sudah sangat tinggi, sehingga langit hanya nampak berupa sejalur saja, jauh di atas kepala. Pantas kini gelap di perahu.

Air sungai sudah tidak licin lagi permukaannya, tapi bergolak dan berbuih-buih.

"Karena mengalir lewat aluran batu yang menurun arahnya," kata Jack mengomentari, ia terpaksa berbicara dengan suara dinyaringkan, agar tidak dikalahkan oleh deru air yang mengalir.

"Rupanya kita menuju ke dalam bumi," kata Philip sambil menatap ke arah depan. Tiba-tiba ia terkejut. "Jack—coba dengar! Bunyi apa itu?"

Semua yang di perahu memasang telinga, wajah Tala berubah, nampak memucat.

Page 98: Petualangan di Sungai Ajaib

"Air jatuh, air jatuh ke bawah!" teriaknya mengalahkan deru sungai. Jack ketakutan. Dipegangnya Philip erat-erat.

"Katanya benar—kita menuju ke suatu air terjun! Air terjun yang besar di bawah tanah! Kita pasti sudah jauh masuk ke dalam tanah, kalau melihat betapa gelapnya di sini. Aduh, bagaimana jika perahu terjungkir ke dasar air terjun itu nanti? Pasti akan pecah berantakan. Mendengar bunyinya, air terjun itu besar sekali!"

Bunyi menderu semakin membahana, dan akhirnya seakan memenuhi ngarai batu itu. Dinah dan Lucy-Ann menutupi telinga dengan tangan yang ditekankan rapat-rapat. Belum pernah rasanya mereka mendengar bunyi sedahsyat itu!

Tala juga ketakutan. Tapi kemudi perahu tetap dipegangnya, untuk menjaga agar jangan sampai terbentur ke batu yang ada di kanan-kiri. Tiba-tiba ia menjerit.

"Kita sampai di air menerjun!"

Anak-anak tidak bisa mendengar apa-apa lagi sekarang, kecuali deru air terjun yang ada di depan mereka. Mereka juga tidak bisa melihat apa-apa agi, karena tebing pada kedua sisi sangat tinggi. Mereka hanya bisa saling berpegangan, atau mencengkeram tempat duduk.

Tiba-tiba perahu terdorong dengan keras ke kiri, nyaris terbalik, terombang-ambing sebentar, ia lu kandas dengan tiba-tiba! Bunyi air terjun masih terus menyelubungi. Tapi kedengarannya tidak lagi senyaring tadi. Apakah yang telah terjadi? Dengan tampang lesi karena ngeri, anak-anak memandang berkeliling. Mereka tidak bisa melihat apa-apa, karena tempat itu gelap gulita. Philip merasa ada sepasang tangan memegang kedua lututnya. Pasti itu Oola, yang duduk di dekat kakinya.

"Tuan tidak apa-apa?" tanya anak kecil itu dengan suara mengalahkan deru air.

"Ya, Oola," kata Philip. Didengarnya bahwa suaranya gemetar. "Kalian tidak apa-apa, Dinah dan Lucy-Ann?"

"Ya," jawab kedua anak perempuan itu. Tapi hanya itu saja yang bisa mereka katakan. Keduanya masih saling berpelukan.

"Aku juga selamat," kata Jack. Suaranya terdengar riang. "He, Tala! Kau bagaimana?"

Anak-anak mendengar suara orang mengerang. Erangan sedih. Jack beringsut-ingsut sambil meraba-raba, menuju ke tempat Tala.

"Kau cedera?" tanyanya sambil meraba-raba tubuh orang itu. ia mengambil senter yang ada di dalam kantungnya, lalu menyalakannya. Tala masih ada di belakang kemudi, ia tertunduk, dengan kepala ditutupi dengan kedua belah tangan, ia rupanya yang

Page 99: Petualangan di Sungai Ajaib

mengerang-erang. Jack melihat bahwa orang itu tidak luka. Diguncang-guncangnya Tala. Akhirnya orang itu mendongak. Rupanya ia menangis.

"Kau cedera!" teriak Jack. Dikiranya Tala dengan tiba-tiba menjadi tuli.

Tala nampak seolah-olah baru saat itu sadar, ia terkejap-kejap menatap senter, lalu menghapus air matanya, ia meraba-raba tubuhnya sendiri, dengan hati-hati sekali.

"Tala tidak luka," katanya kemudian. "Tala tidak apa-apa."

Jack menyorotkan senternya berkeliling, untuk melihat di mana mereka terdampar. Ternyata di semacam telaga kecil yang tenang, dikelilingi dinding batu. Aneh! Bagaimana mereka sampai bisa tahu-tahu ada di situ—padahal tadi kan sedang terseret arus deras, menuju air terjun? ia kembali ke tempat anak-anak, yang sementara itu sudah pulih dari kekagetan mereka.

"Untuk sementara kita nampaknya selamat," kata Jack dengan suara masih tetap riang. "Kurasa sebaiknya kita makan saja dulu. Kalau perut sudah terisi, perasaan kita juga akan lebih enak.— Mana Kiki?"

"Dalam lemari itu," kata Dinah. "Baru saja kudengar dia berteriak dengan suara pelan. Kedengarannya sedih."

Jack mengarahkan sorotan senternya ke lemari itu. Pintunya agak terbuka sedikit, karena terdorong kaleng-kaleng yang rupanya tadi berjatuhan. Kiki mengamankan diri ke situ, menjauhi bunyi deru air.

"Kiki! Kau sudah bisa ke luar sekarang," seru Jack memanggil. Burung kakaktua itu berjalan melenggang-lenggok ke luar. Jambulnya terkulai, ia kelihatan sangat tua saat itu, berjalan terbungkuk-bungkuk, dan nampaknya sedih sekali. Tubuh Jack dipanjatnya, seolah-olah tidak bisa terbang lagi. Akhirnya ia sampai di bahu tuannya, lalu bertengger di situ sambil mengomel-ngomel. Kiki marah, karena merasa terganggu.

"Keluarkan beberapa kaleng makanan, Di— karena kau yang paling dekat ke lemari," kata Jack.

"Sudah, kau tidak perlu takut lagi, Lucy-Ann. Philip, coba kaunyalakan lentera itu, ya! Itu biasanya dipasang di haluan, jadi mestinya terang sinarnya. Cepatlah sedikit!"

Untung Jack dengan segera mengambil pimpinan. Sikapnya yang riang menyebabkan yang lain-lain dengan segera berbesar hati lagi— termasuk Tala, yang selama beberapa waktu sebelumnya masih terdengar berkeluh-kesah. Beberapa saat kemudian semua sudah duduk sambil makan roti bersama-sama.

"Asyik, ya?" kata Jack sambil memandang semua yang sedang makan dan minum, diterangi cahaya lentera.

Page 100: Petualangan di Sungai Ajaib

Lucy-Ann memaksa diri tersenyum, walau saat itu ia sama sekali tidak merasa ada yang asyik.

"Jangan konyol!" tukas Philip. "Kita nikmati saja kesengsaraan kita. sebelum itu kita katakan asyik! Wah—aku rasanya seperti sedang bermimpi buruk. Ada yang tahu, apa sebetulnya yang telah terjadi?"

Tidak ada yang tahu. Kejadian itu rasanya benar-benar merupakan misteri. Tadi mereka masih diseret arus deras menuju air terjun yang kedengarannya sangat besar—tapi tahu-tahu perahu melesat ke kiri—ke tempat yang aman.

"Ada apa, Tala?" tanya Jack dengan geli. "Kau kelihatannya seperti orang yang kehilangan uang tembaga, tapi kemudian menemukan uang emas!"

Tala bingung mendengar kiasan itu.

"Tala tidak kehilangan uang," katanya.

"Ya, ya—sudahlah!" kata Jack. "Kenapa kau nampaknya begitu senang?"

"Tala orang berani. Tala menyelamatkan kita semua," kata Tala dengan wajah berseri-seri. Anak-anak hanya bisa melongo mendengar kata-katanya itu. Apa maksud Tala? Kedengarannya seolah-olah ia sudah agak sinting. Dan ia kelihatan memang aneh saat itu, duduk diterangi cahaya lentera, dengan kepala terangguk-angguk.

"Aku tidak mengerti," kata Jack. "Kenapa kaukatakan, kau menyelamatkan kita semua?"

"Tala baru saja ingat lagi," kata Tala dengan wajah tetap berseri-seri. "Perahu jalan cepat, cepat sekali—bunyi ribut ada di depan—air jatuh sudah dekat sekali! Tiba-tiba Tala melihat ada celah di dinding—Tala membelokkan perahu—" ia menirukan bunyi benda besar terbentur-bentur, "perahu hampir terbalik. Sekarang kita ada di sini!"

"Tapi itu kan tidak mungkin, Tala! Mana mungkin kau melihat ada celah di dinding tebing!" kata Jack kemudian, setelah selama beberapa saat menatap wajah Tala sambil melongo, seperti yang dilakukan anak-anak yang lain.

"Ya, ya, betul," kata Oola yang duduk di dekat Philip. "Oola juga melihat lubang besar! Lubang besar di dinding batu. Mata Oola bisa melihat dalam gelap. Tala juga!"

"Wah—bukan main!" kata Philip. "Sedang aku tadi sama sekali tidak bisa melihat apa-apa. Tapi kurasa Tala memang mencari-cari celah di dinding tebing, dan pada saat yang tepat, ia berhasil menemukannya. Matanya tajam sekali rupanya, seperti mata kucing!"

Page 101: Petualangan di Sungai Ajaib

"Mata Tala bagus. Bagus sekali," kata Tala. ia merasa senang, karena perhatian anak-anak terarah padanya. "Tala bisa melihat banyak sekali. Tala menyelamatkan semua. Tala orang baik."

Terdengar jelas bahwa Tala sangat bangga, karena merasa bahwa ia orang baik'. Jack menepuk-nepuk bahu orang itu.

"Kau memang luar biasa, Tala!" katanya sambil menyalami.

Tala rupanya sependapat, bahwa anak-anak memang perlu bersalaman dengan orang yang telah berjasa besar, seperti dia. Disalaminya anak-anak satu demi satu, termasuk Oola. ia semakin senang, ketika Kiki ikut-ikutan mengajak bersalaman.

"Hidup Ratu," kata Kiki dengan suara digagah-gagahkan, lalu terbatuk-batuk. Begitulah sikapnya, jika beranggapan bahwa itu merupakan saat yang khidmat.

"Jadi itu rupanya yang terjadi tadi!" kata Jack, sambil mengedarkan roti yang diisi dengan daging. "Yah—terlepas dari apakah kita ini sedang mimpi atau tidak—aku sendiri belum tahu pasti!—Yang jelas, pengalaman kita tadi hebat. Yuk, kita makan saja dulu sampai selesai—lalu setelah itu menjelajahi tempat ini sebentar. Bisa saja kita ini seperti ikan yang ke luar dari periuk, tapi lantas tercebur ke dalam belanga!"

“Aduh—mudah-mudahan saja tidak begitu," kata Philip, ia memandang berkeliling. "Tapi terus terang saja, aku tidak terlalu optimis!"

Bab 21, MENGENALI LINGKUNGAN

Perasaan mereka sudah cukup enak sepuluh menit kemudian. Mereka turun dari perahu, lalu pergi memeriksa gua di mana mereka saat itu berada. Tempat itu ternyata bukan merupakan bagian dari ngarai tadi. Itu sudah jelas—karena di situ ada langit-langit yang menaungi, sekitar tiga meter di atas mereka. Sorotan senter ke atas menampakkan hal itu dengan jelas.

"Ini rupanya gua besar yang bermulut pada tebing ngarai yang di luar, yang menuju ke air terjun," kata Jack. "Setidak-tidaknya itu sudah jelas sekarang."

"Tala tadi melihat ada beberapa lagi yang dilewati," kata Tala sambil mengangguk-angguk. "Tapi Tala tidak berhenti. Perahu cepat sekali."

"Begitu ya," kata Jack. "Ya, rupanya banyak juga rongga yang terdapat di sisi ngarai. Tapi yang menjadi persoalan sekarang, apakah rongga-rongga itu merupakan gua yang buntu—atau ada liang yang menghubungkan dengan tempat lain?"

"Itulah yang perlu kita selidiki," kata Philip. "Sekarang kita semua perlu berbekal senter, sebelum meneruskan penjelajahan. Lentera kita biarkan menyala di perahu—supaya kita

Page 102: Petualangan di Sungai Ajaib

semua bisa melihatnya, untuk menunjukkan jalan jika kita hendak kembali kemari. Tapi nanti jangan sampai memencar. Kita harus terus bersama-sama.”

Tala merapatkan perahu ke sisi kiri gua. Di situ ditemukannya batu yang agak menonjol. Perahu ditambatkannya ke batu itu, karena takut kalau nanti hanyut, lalu terseret arus dan kembali lagi ke sungai yang di luar.

Setelah itu semuanya turun, dan berdiri di atas semacam pelataran sempit beralas batu yang terdapat di situ. Tala membawa senter yang sangat terang sinarnya. Senter itu ditemukannya di dalam perahu. Dengan bangga disorotkannya sinar senter itu ke segala arah. Gua itu nampaknya menjorok jauh ke belakang, dan berakhir dalam kegelapan.

"Mungkin telaga yang tenang ini menjorok ke belakang, dan di sana menjadi semacam sungai bawah tanah," kata Jack. ia kedengarannya optimis.

"Kau ini terlalu optimis, Jack!" kata Philip. "Jangan begitu, nanti kau menimbulkan harapan yang berlebihan!"

"Biar saja dia berbicara semaunya," kata Lucy-Ann sambil menyorotkan senternya berkeliling. "Di tempat seseram begini, aku ingin sekali mendengar kata-kata yang riang!"

Sementara itu Oola sudah mendului. Sinar senter yang dibawanya sangat buram. Tapi anak itu rupanya memang bisa melihat dengan jelas di tempat gelap. Jack berseru-seru memanggilnya.

“Hati-hati, Oola! Nanti kau jatuh ke air—dan kau kan tidak bisa berenang."

"Tuan nanti akan menarik Oola ke luar," balas Oola berseru dengan riang. "Tuan berani akan menyelamatkan Oola."

Anak-anak tertawa mendengarnya. Mereka berkeliaran sambil bergerak maju menyusur tepi telaga, sambil menyorotkan senter ke sana dan kemari. Mereka semakin jauh menuju ke belakang gua.

Telaga tadi kini merupakan semacam saluran lebar, diapit pelataran batu di kiri-kanannya. Rongga gua kemudian menyempit. Oola yang berjalan lebih dulu, berseru memanggil yang lain-lainnya.

"Hei! Hei! Di sini ada liang!"

Mendengar seruan itu, semua langsung bersemangat. Liang? Itu pasti menuju ke salah satu tempat! Mereka bergegas-gegas menghampiri Oola. Ternyata ucapannya tadi benar. Di bagian tengah sisi belakang rongga itu nampak air mengalir masuk ke dalam semacam liang sempit. Liang itu gelap gulita. Kelihatannya sangat misterius!

Page 103: Petualangan di Sungai Ajaib

"Bisakah perahu dibawa sampai kemari, Tala?" tanya Philip bersemangat. Tapi Tala menggeleng.

"Terlalu berbahaya," katanya. "Bagaimana kalau kandas? Liang buntu? Perahu bocor? Tidak—kita jalan kaki saja. Bisa melihat lebih banyak."

"Ya deh, kalau begitu," kata Philip, ia tadi sudah membayangkan yang hebat-hebat saja. Naik perahu menyusur liang bawah tanah itu, kemudian sewaktu muncul di luar, ternyata sudah sampai di tempat lain. Tapi ia sadar bahwa ucapan Tala memang benar. Mereka perlu memeriksa lebih jauh ke dalam dulu, sebelum kemudian bisa merencanakan untuk meneruskan perjalanan dengan perahu.

Liang itu menjorok terus ke dalam, sekali-sekali menikung—ke kiri, atau ke kanan. Kadang-kadang melebar, dan kemudian menyempit lagi. Terkadang langit-langitnya tinggi sekali, sehingga tidak kelihatan. Tapi ada pula bagian-bagian yang sangat rendah, hanya beberapa senti saja di atas kepala.

"Sampai di sini, perahu sudah jelas bisa kita pergunakan," kata Jack pada Philip. "Eh—kenapa Oola berteriak-teriak di depan?"

Oola memang ribut berteriak-teriak.

"Cepat, kemari! Lihatlah, Tuan!'

Jack dan Philip bergegas sebisa-bisa mereka. Itu tidak mudah, karena mereka berjalan dalam liang batu yang licin, dengan air yang gelap di sisi kanan.

Sesampai di tempat Oola, mereka melihat anak itu sedang asyik mengintip ke dalam sebuah lubang yang tidak rata. Lubang itu terdapat di dinding liang.

"Ada apa di situ?" tanya Philip sambil mendorong Oola ke samping.

"Bata," kata Oola. "Batu bata yang sudah tua!"

Philip memasukkan senternya ke dalam lubang itu, untuk menerangi. Seketika itu juga ia melihat sesuatu yang luar biasa—apalagi di tempat itu!

Sorotan senternya menerangi sesuatu, yang kelihatannya merupakan bagian dari dinding batu bata! Tapi itu kan tidak mungkin? Siapakah yang mau membuat dinding dengan batu bata di bawah tanah? Dan untuk apa?

"Nampaknya dinding ini dibuat dari seberang sana, untuk menyembunyikan lubang ini," kata Philip.

Page 104: Petualangan di Sungai Ajaib

"Atau mungkin ini bagian dari sebuah dinding pembatas lorong bawah tanah!" kata Jack. "Bisa saja dinding itu memang lewat di balik lubang ini—dan bukan untuk menyembunyikannya."

"Ya—tapi lalu untuk apa di sini dibuat dinding?" kata Philip. "Benar-benar aneh! Coba kemari, Tala! Apa ini, kalau menurutmu?"

Tala mendesak maju. ia menyorotkan senternya yang sangat terang sinarnya ke dalam lubang, menerangi tembok bata yang ada di situ.

"Ha!" katanya. "Bata kuno. Sangat tua! Tala pernah melihat bata seperti ini. Ayah Tala yang menggali, jauh sekali di dalam tanah."

"Wah!" kata Jack kaget. "Kalau begitu ini mungkin merupakan tempat di mana orang zaman purba membangun makam para raja dan ratu mereka. Makam-makam begitu biasanya besar-besar, kan? Jauh di dalam tanah—dengan lorong-lorong penghubung."

"Lebih baik kita baca saja beberapa halaman dari buku-buku Pak Oma yang ada di perahu," kata Philip. "Kita kembali saja dulu. Siapa tahu, mungkin kita menemukan salah satu keterangan mengenai tempat ini. Air terjun besar itu misalnya, pasti ada keterangannya dalam salah satu buku itu."

Sementara itu Tala menyusup masuk ke dalam lubang itu, lalu mendorong tembok bata yang ada di dekatnya kuat-kuat dengan telapak tangan. Anak-anak tercengang, karena tahu-tahu tembok itu runtuh—menjadi debu!

“Tala pintar! Tala melihat ayah dulu juga berbuat begitu, Tala ingat!" kata Tala dengan bangga.

"Wah, wah!—Eh, mau apa kau sekarang, Oola, anak monyet!"

Tahu-tahu Oola mendesak Tala dengan kasar ke samping, lalu menerobos masuk. Anak itu melompat ke balik tembok yang sudah runtuh, lalu berdiri sambil menyorotkan senter Tala yang direbutnya ke berbagai arah.

“Di sini ada jalan!" serunya bersemangat. "Oola pergi melihat!"

“Ayo kembali, Goblok!" seru Philip. "Jangan memisahkan diri! Oola!"

Oola yang tadinya sudah pergi, bergegas kembali.

"Oola ada di sini, Tuan," katanya dengan takut-takut. Philip menatapnya dengan galak.

Setelah itu ia menyeberangi lubang, disusul oleh Jack dan yang lain-lainnya.

Page 105: Petualangan di Sungai Ajaib

Ternyata Oola tadi memang benar. Di balik tembok yang sudah runtuh itu ada sebuah jalan bawah tanah. Mungkinkah itu lorong yang menuju ke tempat pemakaman di bawah tanah? Mungkinkah ada orang lain yang sudah lebih dulu menemukannya? Atau barangkali itu merupakan ruangan bawah tanah dari sebuah kuil—atau mungkin juga istana!

"Yuk—kita memeriksa jalan ini," kata Jack. "Asyik, ya! Awas, kita jangan sampai memencar. Kiki, jangan menandak-nandak di atas bahuku. Geli rasanya digelitik bulu-bulumu. Duduk yang tenang, Kiki!"

"Tenang!" kata Kiki menirukan dengan lantang. "TENANG!"

Anak-anak berlompatan karena kaget, karena tahu-tahu terdengar suara besar menggema di sekeliling mereka.

"TENANGTENANGNANGNANG!"

Lucy-Ann menyambar Dinah, sehingga anak itu semakin ketakutan. Jack mulanya juga kaget. Tapi kemudian tertawa. Bunyinya langsung kembali berulang-ulang. Seram sekali kedengarannya!

"Ha-ha-hahahahaha..."

"Ah—itu kan cuma gema," kata Jack dengan pelan, agar tidak menggema. "Aku sampai kaget sekali tadi. Dan Kiki langsung bungkam!"

Tapi saat itu Kiki mengangkat kepalanya, lalu terkekeh-kekeh. Semuanya cepat-cepat menutup telinga. Gema kekehan Kiki langsung datang, bunyinya seperti ada ratusan raksasa yang tertawa mengejek.

"Aduh, Kiki!" tukas Lucy-Ann. "Jangan kaulakukan lagi!"

"Yuk. kita terus," kata Jack. "Semuanya ada di sini?—Mana Oola?"

Oola tidak ada lagi di situ.

"Sialan, anak itu!" kata Jack. "Ke mana lagi dia? Kita tidak boleh sampai berpencar!"

"Pencarpencar!" Begitulah bunyi gemanya.

"Ah—bosan!" tukas Jack dengan sebal. Ucapannya itu pun menggema. "Bosanbosansan!"

Tahu-tahu Oola muncul dari balik sebongkah batu. ia kelihatannya sangat ketakutan. Rupanya ngeri mendengar gema, karena baru sekali itu dialaminya.

Page 106: Petualangan di Sungai Ajaib

"Itulah, Keledai," tukas Philip. Tapi ia tidak benar-benar marah. "Lain kali jangan suka memencar. Dekat-dekat saja dengan aku, supaya jangan ditelan gema!"

Mereka menyusur lorong yang landai itu. Tidak ada apa-apa di situ. Dinding di kiri-kanannya terbuat dari bata, dan di sana-sini nampak semacam gerbang, yang juga terbuat dari bahan yang sama.

"Bata ini terbuat dari lumpur," kata Jack. "Bentuknya tidak serupa dengan bata di tempat Kita—karena mirip batangan roti yang bagian atasnya cembung. Nah—di depan ada pintu besar. Bisakah kita melewatinya? Kurasa pasti terkunci."

Pintu besar itu ribuan tahun yang lalu bukan hanya dikunci, tapi juga disegel. Segelnya masih nampak, tapi sudah sangat rapuh. Jack mendorong daun pintu itu dengan hati-hati. Kagetnya bukan main, ketika tahu-tahu pintu itu hancur, teriring bunyi seperti desahan pelan. Rupanya sudah benar-benar lapuk!

Apakah yang ada di belakangnya? Philip menyorotkan senternya ke sana. Tapi ia hanya melihat dinding batu belaka. Namun kemudian sinar senter menerangi benda lain! Tangga, yang menurun!

"Yuk, kita turun!" ajak Philip sambil melangkah ke jenjang teratas. "Semuanya sudah ada di sini? Ikuti dengan berhati-hati—karena tangganya sangat terjal.—Wah, ini benar-benar petualangan namanya!"

Bab 22, MISTERI TERSIBAK

Ketika Philip hendak menuruni tangga, tahu-tahu ada yang menerobos lewat, sehingga ia nyaris saja terjatuh. Ternyata itu Oola, karena suaranya terdengar berseru di bawahnya.

"Jangan, Tuan! Jangan! Di situ berbahaya. Oola yang turun dulu, Tuan. Oola dulu!"

Anak itu sudah bergegas-gegas turun, sebelum Philip sempat menahannya.

"Ayo kembali!" teriak Philip, ia benar-benar marah. "Kaudengar tidak, Oola? Kembali, kataku! Kenapa kau tahu-tahu begitu?"

Sebelum Oola sempat menjawab, tiba-tiba terdengar jeritannya.

"Eh, eh—", disusul debaman berturut-turut. "Aduh! Aduh!"

"Oola jatuh," kata Jack kaget. "Aduh, anak itu benar-benar goblok! Sudah goblok, nekat lagi! Jenjang ini mungkin sudah selapuk pintu tadi! Sekarang bagaimana?"

Tala berseru dari belakang.

"Tala mengambil tali. Di perahu ada tali. Tala pergi sekarang."

Page 107: Petualangan di Sungai Ajaib

Rasanya memang hanya itu saja satu-satunya kemungkinan. Philip memanggil Oola.

"Kau cedera, Oola?"

"Oola tidak apa-apa. Cuma buk-buk-buk saja. Oola naik lagi, Tuan!"

"Jangan! Nanti kau malah jatuh semakin jauh lagi ke bawah!" balas Philip dari ujung atas tangga.

"Tapi karena dia, kau tidak jatuh, Philip," kata Jack. "Coba kau yang pertama-tama turun tadi, pasti kau yang sekarang tergelimpang di bawah. Kita tolol—tidak memikirkan kemungkinan itu."

"Kita duduk saja dulu, sambil menunggu Tala datang lagi," kata Dinah. "Kasihan Kiki! Kau bungkam terus—rupanya tidak suka ada di sini, ya?"

Sambil menunggu Tala, anak-anak itu berunding. Semua bertekad hendak meneruskan penyelidikan. Sebab sudah jelas, mereka harus mencari jalan ke luar dari situ. Jack ingin menyusur lorong ke arah atas, untuk melihat apakah lewat situ mereka akan bisa sampai di tempat terbuka. Tapi Philip menolak usul itu dengan tandas.

"Kita konyol, jika itu kita lakukan," katanya. "Dengan begitu kita akan terpencar-pencar. Oola tergeletak di bawah, Tala pergi mengambil tali ke perahu—sedang kita berkeliaran ke tempat lain. Yang terpenting saat ini, kita tidak boleh sampai terpisah-pisah.—Tala-kah yang datang itu? Wah, Tala memang hebat! Pantasnya ia dianugerahi tanda jasa!"

Orarg yang datang itu memang Tala, dengan membawa tali yang diambilnya dari perahu, ia juga membawa sebuah kait besar.

"Tali diulurkan ke bawah sekarang, Oola!" seru Philip. Tala menyangkutkan kait besar ke batu yang menonjol. Tali diikatkan pada kait itu, lalu diulurkan oleh Tala dan Philip ke bawah tangga. Oola merasakan tali itu menyentuh tubuhnya, lalu memegangnya erat-erat dengan kedua belah tangan. Sementara Tala dan Philip menghela dari atas, Oola sendiri juga memanjat. Dengan segera ia sudah ada di atas lagi.

"Terima kasih, karena kau menggantikan aku jatuh ke bawah," kata Philip sambil menepuk anak itu. "Tapi jangan kauulangi lagi. ya!"

"Oola menjaga Tuan." Hanya itulah yang dikatakan oleh anak kecil itu. Philip berpaling, lalu berbicara pada anak-anak yang lain.

"Kita tadi sudah merundingkan segala-galanya, dan kita semua sependapat bahwa sebaiknya kita kembali saja dulu ke perahu, untuk makan dan beristirahat sebentar di sana. Pukul berapa sekarang? Setengah tujuh—aduh, tidak, sudah setengah sembilan! Siapa yang akan menyangka?"

Page 108: Petualangan di Sungai Ajaib

"Setengah sembilan malam?" kata Lucy-Ann. ia memperhatikan jam tangannya, untuk memastikan. "Wah, betul!—Kalau keadaan di sini selalu gelap seperti sekarang ini. sulit bagi kita untuk bisa menaksir waktu."

"Kalau begitu sehabis makan nanti, kita tidur—bukan cuma beristirahat sebentar," kata Jack. "Supaya besok pagi kita semua merasa segar kembali. Dan setelah bangun besok, apa yang kita kerjakan, Philip?"

"Kita sarapan sampai kenyang—lalu meneliti isi buku-buku yang ada di perahu. Siapa tahu, mungkin kita bisa menemukan salah satu keterangan tentang tempat ini, sehingga tahu di mana kita berada," kata Philip. "Setelah itu kita berangkat lagi, dengan berbekal makanan, serta dengan saling mengikatkan diri dengan tali, sebagai pengaman."

"Baik, Tuan," kata Jack. Anak-anak yang lain tertawa.

"Ada yang punya usul lebih lanjut?" tanya Philip. Ternyata tidak ada. Jadi rombongan itu langsung kembali ke perahu. Ke luar lewat lubang di dinding, lalu menyusur liang tempat air mengalir, dan akhirnya sampai di tempat semula. Perahu masih ada di telaga, terayun pelan mengikuti gerakan air.

Mereka semua makan malam. Kiki makan begitu banyak, sampai terceguk-ceguk.

"Itulah, kalau terlalu rakus," kata Jack. "Malu sedikit dong!"

"Sekarang kita meneliti isi buku itu, yuk," kata Dinah mengusulkan, setelah semua selesai makan. "Aku sedikit pun tidak mengantuk. Malah bersemangat rasanya! Coba kita bisa tahu dengan pasti, bahwa Ibu dan Bill tidak apa-apa."

"Kurasa kita tidak perlu terlalu cemas, karena kan ada Bill," kata Jack. "Bill sudah biasa menghadapi urusan seperti ini. Bahkan yang lebih berbahaya lagi pun sering! Kurasa Uma menawan mereka di salah satu tempat yang tersembunyi, sementara ia menyelesaikan kegiatan yang ditutup-tutupinya itu—kemungkinannya di Kota Film."

"Kalian ingat tidak, bagaimana ia berlagak menaruh minat yang besar sekali terhadap ilmu purbakala, begitu pula pada bangunan-bangunan kuno, dan lain-lainnya seperti itu?" tanya Dinah. "ia pasti mengira, dengan begitu Bill tidak akan melanjutkan penyelidikannya."

"Yah—berpura-pura atau tidak, tapi buku-bukunya ini menarik," kata Philip. Anak-anak saat itu berada di dek, sedang Philip berdiri di depan mereka. "Ini, masing-masing memeriksa satu buku.

“Coba cari, apakah ada peta sungai petualangan kita ini di dalamnya. Tapi jangan lupa, namanya Sungai Abencha."

Page 109: Petualangan di Sungai Ajaib

Tala dan Oola tidak ikut disuruh. Mereka tidak biasa membaca buku-buku seperti itu. Oola bahkan sama sekali tidak bisa membaca. Keduanya duduk bersantai-santai, dengan perut yang sudah kenyang.

"Ini ada peta!" kata Dinah dengan tiba-tiba. Wah—besar lagi! Lihatlah, bisa dibeberkan sampai lebar sekali!"

Keempat anak itu berkerumun, untuk memperhatikan peta itu. Tiba-tiba Jack berseru.

"Ini dia sungainya. Lihatlah, menjulur selebar peta. Hebat! "Sungai Abencha"—ya, memang inilah sungai kita. Sekarang kita telusuri desa-desa yang sudah kita singgahi."

"Ini Alaouiya," kata Lucy-Ann. "Namanya bagus. Dan artinya juga bagus! Gerbang Raja-raja."

"Ya—dan ini Ullabaid, tempat kita pergi melihat-lihat kuil kuno itu, lalu anak-anak desa lari Ketakutan melihat ular peliharaan Philip," kata Dinah sambil menuding.

"Dan ini Chaldo, lihatlah—tempat Pak Uma yang jahat itu menculik Ibu dan Bill," kata Philip, "dan tempat kita kemudian mengambil perahu motornya. Dan ini Hoa, tempat kita mengambil air dan roti."

Dengan jari mereka menelusuri gambar sungai itu, melewati sejumlah desa tempat mereka tidak singgah. Mereka mencari-cari letak desa Wooti, di mana kemungkinannya Bill dan istrinya dibawa oleh Raja Uma.

“Ini dia!" kata Jack. "Ternyata kita memang melewatinya. Lihatlah—ini, di tempat sungai mulai melebar. Saat itu kita berada di tengah-tengah sungai, jadi tidak melihatnya. Sialan! Kita melewatinya. Ini—di peta kelihatan jelas, sungai melebar di sini."

Mereka mengikuti garis sungai yang berkelok-kelok itu dengan penuh minat. Kemudian Philip berseru.

“Ternyata kemudian memang bercabang dua—lihatlah! Itu sudah kusangka. Bukan—bukan bercabang dua, tapi bahkan tiga! Satu mengalir ke timur, satu ke selatan—sedang yang ketiga, ini—garis kecil ini—kurasa inilah mestinya yang kemudian mengalir dalam ngarai yang kita lewati. Ya, memang benar!"

Semua ikut melihat. Cabang sungai yang ditunjukkan oleh Philip, ternyata bernama "Teo Ura". Menurut penjelasan Tala, itu berarti "Ngarai Dalam", atau "Terowongan". Gambar sungai itu di peta terputus dengan begitu saja. Aneh!

"Kalau begitu, ke manakah air yang mengalir dalam ngarai?" tanya Philip.

"Kurasa ke bawah tanah," kata Jack. "Kita kan sudah berada dalam ngarai yang -dalam sekali, ketika perahu dengan tiba-tiba membelok ke rongga ini. Kemungkinannya setelah

Page 110: Petualangan di Sungai Ajaib

air terjun, sungai benar-benar mengalir di dalam tanah. Wah—untung kita tidak ikut terseret ke sana! Kalau itu terjadi, kita pun ikut lenyap—seperti sungai ini!"

"Nah, kalau begitu teka-teki sungai yang bercabang sudah berhasil kita ketahui jawabannya," kata Philip dengan senang. "Sekarang kita cari, apakah ada kota bawah tanah, atau kuil, atau makam, di dekat-dekat sini. Ada tidak tertera pada peta?"

"Tidak," jawab Jack. "Begini sajalah—kita cari keterangan tentang Alaouiya, Gerbang Raja-raja, barangkali saja ada di dalam salah satu buku ini. Mungkin di situ juga terdapat sedikit mengenai daerah sekitar ngarai aneh ini."

Mereka lantas mencari keterangan tentang Alaouiya. Kebanyakan buku yang diteliti mengungkapkan hal yang sama, yaitu bahwa di daerah itu banyak sekali terdapat istana dan kuil terpendam, dan baru sebagian saja yang sudah digali kembali.

"Coba dengar ini," kata Jack dengan tiba-tiba. ia membacakan, “Diketahui bahwa di daerah sekitar Ngarai Dalam yang aneh dan misterius itu dahulu terdapat sebuah kuil yang sangat indah, jauh melebihi keindahan kuil-kuil lainnya yang sezaman (sekitar tujuh ribu tahun yang silam). Penggalian dilakukan terus-menerus, karena ada kemungkinan bahwa di situ akan didapat temuan yang tergolong paling besar di dalam sejarah ilmu purbakala, begitu pula harta yang tidak terbayangkan nilainya. Kuil itu dibangun sebagai tempat pemujaan seorang dewi yang disayangi, dan hadiah-hadiah dari sekian banyak keturunan raja serta kaum bangsawan diantar ke sana untuk menghormatinya. Harta sesajian itu mungkin disimpan di dalam bilik-bilik bawah tanah dari kuil tersebut, yang kemudian ditutup rapat-rapat. Tidak diketahui apakah kuil itu pernah dijarah perampok selama ribuan tahun semenjak kuil itu lenyap dari catatan sejarah."

“Wah!" kata Dinah dan Philip serempak. Benarkah itu?"

“Yah—buku ini sangat serius, ilmiah sekali," Kata Jack. "Kurasa kalau dongeng saja takkan dikutip. Pembahasannya hanya tentang hal-hal yang benar—atau yang kemungkinannya benar."

"Bagaimana dengan lorong aneh yang kita temukan tadi? Dan tangga yang mengarah ke bawah, yang terdapat di balik pintu tua itu?" kata Lucy-Ann. ia begitu tegang, sampai suaranya terdengar terputus-putus. "Mungkinkah—mungkinkah kita tadi menemukan jalan menuju suatu kuil atau istana tua—yang puing-puingnya tertimbun di bawah debu dan pasir yang sudah ribuan tahun?"

"Itu mungkin saja," kata Jack. "Bagaimanapun—jalan masuk yang kita temukan itu bukan yang biasa! Kurasa belum pernah ada yang masuk ke rongga gua ini—karena mana mungkin? Tidak ada orang berpikiran sehat yang mau memasuki ngarai itu dengan perahu. Kita pun tidak—jika sebelumnya sudah menelaah peta."

"Ada satu hal lagi," kata Dinah menyela. "Kurasa ngarai itu dulu belum sedalam sekarang ini. Menurut dugaanku, ribuan tahun yang lalu masih dangkal—dan barangkali bahkan

Page 111: Petualangan di Sungai Ajaib

belum merupakan ngarai. Karenanya, mulut gua kita ini letaknya tidak dekat dengan permukaan air di ngarai, seperti sekarang—melainkan jauh sekali di bawahnya. Jadi tidak mungkin orang dulu bisa masuk ke dalamnya."

"Dinah benar," kata Philip. "Waktu itu dasar sungai letaknya pasti lebih tinggi dari mulut gua ini. Itu berarti kita menemukan jalan masuk di bawah tanah yang tidak diketahui orang lain, menuju salah satu kota kuno yang sudah punah!"

Anak-anak terpana membayangkan kemungkinan itu. Mereka berpandang-pandangan penuh gairah. Tahu-tahu mereka dikagetkan oleh bunyi yang keras sekali. Ternyata itu dengkuran Tala. Kasihan, orang itu sudah capek sekali, ia tertidur sementara anak-anak sedang asyik berembuk.

"Lebih baik kita juga tidur saja," kata Jack sambil tertawa. "Tahu tidak kalian, sekarang ini sudah tengah malam? Biarkan lentera perahu menyala, Philip. Kaukecilkan saja—tapi kurasa kita semua pasti lebih enak, jika malam ini ada lampu menyala!"

Tidak lama kemudian semuanya sudah tidur nyenyak. Sinar redup lentera tidak menampakkan ada yang bergerak di dalam perahu, kecuali ketika ular peliharaan Philip ke luar dari balik kemejanya, karena hendak mencari makan. Tapi tidak ada sesuatu pun yang ditemukannya. Akhirnya ia terpaksa kembali menyusup ke balik kemeja tuannya, dalam keadaan masih lapar. Ular bargua itu menggelungkan diri lagi di tempat yang hangat. Setelah itu hanya bunyi napas saja yang masih terdengar—ditingkah deru air yang mengalir dengan deras di luar mulut gua.

Bab 22, MISTERI TERSIBAK

Ketika Philip hendak menuruni tangga, tahu-tahu ada yang menerobos lewat, sehingga ia nyaris saja terjatuh. Ternyata itu Oola, karena suaranya terdengar berseru di bawahnya.

"Jangan, Tuan! Jangan! Di situ berbahaya. Oola yang turun dulu, Tuan. Oola dulu!"

Anak itu sudah bergegas-gegas turun, sebelum Philip sempat menahannya.

"Ayo kembali!" teriak Philip, ia benar-benar marah. "Kaudengar tidak, Oola? Kembali, kataku! Kenapa kau tahu-tahu begitu?"

Sebelum Oola sempat menjawab, tiba-tiba terdengar jeritannya.

"Eh, eh—", disusul debaman berturut-turut. "Aduh! Aduh!"

"Oola jatuh," kata Jack kaget. "Aduh, anak itu benar-benar goblok! Sudah goblok, nekat lagi! Jenjang ini mungkin sudah selapuk pintu tadi! Sekarang bagaimana?"

Tala berseru dari belakang.

Page 112: Petualangan di Sungai Ajaib

"Tala mengambil tali. Di perahu ada tali. Tala pergi sekarang."

Rasanya memang hanya itu saja satu-satunya kemungkinan. Philip memanggil Oola.

"Kau cedera, Oola?"

"Oola tidak apa-apa. Cuma buk-buk-buk saja. Oola naik lagi, Tuan!"

"Jangan! Nanti kau malah jatuh semakin jauh lagi ke bawah!" balas Philip dari ujung atas tangga.

"Tapi karena dia, kau tidak jatuh, Philip," kata Jack. "Coba kau yang pertama-tama turun tadi, pasti kau yang sekarang tergelimpang di bawah. Kita tolol—tidak memikirkan kemungkinan itu."

"Kita duduk saja dulu, sambil menunggu Tala datang lagi," kata Dinah. "Kasihan Kiki! Kau bungkam terus—rupanya tidak suka ada di sini, ya?"

Sambil menunggu Tala, anak-anak itu berunding. Semua bertekad hendak meneruskan penyelidikan. Sebab sudah jelas, mereka harus mencari jalan ke luar dari situ. Jack ingin menyusur lorong ke arah atas, untuk melihat apakah lewat situ mereka akan bisa sampai di tempat terbuka. Tapi Philip menolak usul itu dengan tandas.

"Kita konyol, jika itu kita lakukan," katanya. "Dengan begitu kita akan terpencar-pencar. Oola tergeletak di bawah, Tala pergi mengambil tali ke perahu—sedang kita berkeliaran ke tempat lain. Yang terpenting saat ini, kita tidak boleh sampai terpisah-pisah.—Tala-kah yang datang itu? Wah, Tala memang hebat! Pantasnya ia dianugerahi tanda jasa!"

Orarg yang datang itu memang Tala, dengan membawa tali yang diambilnya dari perahu, ia juga membawa sebuah kait besar.

"Tali diulurkan ke bawah sekarang, Oola!" seru Philip. Tala menyangkutkan kait besar ke batu yang menonjol. Tali diikatkan pada kait itu, lalu diulurkan oleh Tala dan Philip ke bawah tangga. Oola merasakan tali itu menyentuh tubuhnya, lalu memegangnya erat-erat dengan kedua belah tangan. Sementara Tala dan Philip menghela dari atas, Oola sendiri juga memanjat. Dengan segera ia sudah ada di atas lagi.

"Terima kasih, karena kau menggantikan aku jatuh ke bawah," kata Philip sambil menepuk anak itu. "Tapi jangan kauulangi lagi. ya!"

"Oola menjaga Tuan." Hanya itulah yang dikatakan oleh anak kecil itu. Philip berpaling, lalu berbicara pada anak-anak yang lain.

"Kita tadi sudah merundingkan segala-galanya, dan kita semua sependapat bahwa sebaiknya kita kembali saja dulu ke perahu, untuk makan dan beristirahat sebentar di

Page 113: Petualangan di Sungai Ajaib

sana. Pukul berapa sekarang? Setengah tujuh—aduh, tidak, sudah setengah sembilan! Siapa yang akan menyangka?"

"Setengah sembilan malam?" kata Lucy-Ann. ia memperhatikan jam tangannya, untuk memastikan. "Wah, betul!—Kalau keadaan di sini selalu gelap seperti sekarang ini. sulit bagi kita untuk bisa menaksir waktu."

"Kalau begitu sehabis makan nanti, kita tidur—bukan cuma beristirahat sebentar," kata Jack. "Supaya besok pagi kita semua merasa segar kembali. Dan setelah bangun besok, apa yang kita kerjakan, Philip?"

"Kita sarapan sampai kenyang—lalu meneliti isi buku-buku yang ada di perahu. Siapa tahu, mungkin kita bisa menemukan salah satu keterangan tentang tempat ini, sehingga tahu di mana kita berada," kata Philip. "Setelah itu kita berangkat lagi, dengan berbekal makanan, serta dengan saling mengikatkan diri dengan tali, sebagai pengaman."

"Baik, Tuan," kata Jack. Anak-anak yang lain tertawa.

"Ada yang punya usul lebih lanjut?" tanya Philip. Ternyata tidak ada. Jadi rombongan itu langsung kembali ke perahu. Ke luar lewat lubang di dinding, lalu menyusur liang tempat air mengalir, dan akhirnya sampai di tempat semula. Perahu masih ada di telaga, terayun pelan mengikuti gerakan air.

Mereka semua makan malam. Kiki makan begitu banyak, sampai terceguk-ceguk.

"Itulah, kalau terlalu rakus," kata Jack. "Malu sedikit dong!"

"Sekarang kita meneliti isi buku itu, yuk," kata Dinah mengusulkan, setelah semua selesai makan. "Aku sedikit pun tidak mengantuk. Malah bersemangat rasanya! Coba kita bisa tahu dengan pasti, bahwa Ibu dan Bill tidak apa-apa."

"Kurasa kita tidak perlu terlalu cemas, karena kan ada Bill," kata Jack. "Bill sudah biasa menghadapi urusan seperti ini. Bahkan yang lebih berbahaya lagi pun sering! Kurasa Uma menawan mereka di salah satu tempat yang tersembunyi, sementara ia menyelesaikan kegiatan yang ditutup-tutupinya itu—kemungkinannya di Kota Film."

"Kalian ingat tidak, bagaimana ia berlagak menaruh minat yang besar sekali terhadap ilmu purbakala, begitu pula pada bangunan-bangunan kuno, dan lain-lainnya seperti itu?" tanya Dinah. "ia pasti mengira, dengan begitu Bill tidak akan melanjutkan penyelidikannya."

"Yah—berpura-pura atau tidak, tapi buku-bukunya ini menarik," kata Philip. Anak-anak saat itu berada di dek, sedang Philip berdiri di depan mereka. "Ini, masing-masing memeriksa satu buku.

Page 114: Petualangan di Sungai Ajaib

“Coba cari, apakah ada peta sungai petualangan kita ini di dalamnya. Tapi jangan lupa, namanya Sungai Abencha."

Tala dan Oola tidak ikut disuruh. Mereka tidak biasa membaca buku-buku seperti itu. Oola bahkan sama sekali tidak bisa membaca. Keduanya duduk bersantai-santai, dengan perut yang sudah kenyang.

"Ini ada peta!" kata Dinah dengan tiba-tiba. Wah—besar lagi! Lihatlah, bisa dibeberkan sampai lebar sekali!"

Keempat anak itu berkerumun, untuk memperhatikan peta itu. Tiba-tiba Jack berseru.

"Ini dia sungainya. Lihatlah, menjulur selebar peta. Hebat! "Sungai Abencha"—ya, memang inilah sungai kita. Sekarang kita telusuri desa-desa yang sudah kita singgahi."

"Ini Alaouiya," kata Lucy-Ann. "Namanya bagus. Dan artinya juga bagus! Gerbang Raja-raja."

"Ya—dan ini Ullabaid, tempat kita pergi melihat-lihat kuil kuno itu, lalu anak-anak desa lari Ketakutan melihat ular peliharaan Philip," kata Dinah sambil menuding.

"Dan ini Chaldo, lihatlah—tempat Pak Uma yang jahat itu menculik Ibu dan Bill," kata Philip, "dan tempat kita kemudian mengambil perahu motornya. Dan ini Hoa, tempat kita mengambil air dan roti."

Dengan jari mereka menelusuri gambar sungai itu, melewati sejumlah desa tempat mereka tidak singgah. Mereka mencari-cari letak desa Wooti, di mana kemungkinannya Bill dan istrinya dibawa oleh Raja Uma.

“Ini dia!" kata Jack. "Ternyata kita memang melewatinya. Lihatlah—ini, di tempat sungai mulai melebar. Saat itu kita berada di tengah-tengah sungai, jadi tidak melihatnya. Sialan! Kita melewatinya. Ini—di peta kelihatan jelas, sungai melebar di sini."

Mereka mengikuti garis sungai yang berkelok-kelok itu dengan penuh minat. Kemudian Philip berseru.

“Ternyata kemudian memang bercabang dua—lihatlah! Itu sudah kusangka. Bukan—bukan bercabang dua, tapi bahkan tiga! Satu mengalir ke timur, satu ke selatan—sedang yang ketiga, ini—garis kecil ini—kurasa inilah mestinya yang kemudian mengalir dalam ngarai yang kita lewati. Ya, memang benar!"

Semua ikut melihat. Cabang sungai yang ditunjukkan oleh Philip, ternyata bernama "Teo Ura". Menurut penjelasan Tala, itu berarti "Ngarai Dalam", atau "Terowongan". Gambar sungai itu di peta terputus dengan begitu saja. Aneh!

"Kalau begitu, ke manakah air yang mengalir dalam ngarai?" tanya Philip.

Page 115: Petualangan di Sungai Ajaib

"Kurasa ke bawah tanah," kata Jack. "Kita kan sudah berada dalam ngarai yang -dalam sekali, ketika perahu dengan tiba-tiba membelok ke rongga ini. Kemungkinannya setelah air terjun, sungai benar-benar mengalir di dalam tanah. Wah—untung kita tidak ikut terseret ke sana! Kalau itu terjadi, kita pun ikut lenyap—seperti sungai ini!"

"Nah, kalau begitu teka-teki sungai yang bercabang sudah berhasil kita ketahui jawabannya," kata Philip dengan senang. "Sekarang kita cari, apakah ada kota bawah tanah, atau kuil, atau makam, di dekat-dekat sini. Ada tidak tertera pada peta?"

"Tidak," jawab Jack. "Begini sajalah—kita cari keterangan tentang Alaouiya, Gerbang Raja-raja, barangkali saja ada di dalam salah satu buku ini. Mungkin di situ juga terdapat sedikit mengenai daerah sekitar ngarai aneh ini."

Mereka lantas mencari keterangan tentang Alaouiya. Kebanyakan buku yang diteliti mengungkapkan hal yang sama, yaitu bahwa di daerah itu banyak sekali terdapat istana dan kuil terpendam, dan baru sebagian saja yang sudah digali kembali.

"Coba dengar ini," kata Jack dengan tiba-tiba. ia membacakan, “Diketahui bahwa di daerah sekitar Ngarai Dalam yang aneh dan misterius itu dahulu terdapat sebuah kuil yang sangat indah, jauh melebihi keindahan kuil-kuil lainnya yang sezaman (sekitar tujuh ribu tahun yang silam). Penggalian dilakukan terus-menerus, karena ada kemungkinan bahwa di situ akan didapat temuan yang tergolong paling besar di dalam sejarah ilmu purbakala, begitu pula harta yang tidak terbayangkan nilainya. Kuil itu dibangun sebagai tempat pemujaan seorang dewi yang disayangi, dan hadiah-hadiah dari sekian banyak keturunan raja serta kaum bangsawan diantar ke sana untuk menghormatinya. Harta sesajian itu mungkin disimpan di dalam bilik-bilik bawah tanah dari kuil tersebut, yang kemudian ditutup rapat-rapat. Tidak diketahui apakah kuil itu pernah dijarah perampok selama ribuan tahun semenjak kuil itu lenyap dari catatan sejarah."

“Wah!" kata Dinah dan Philip serempak. Benarkah itu?"

“Yah—buku ini sangat serius, ilmiah sekali," Kata Jack. "Kurasa kalau dongeng saja takkan dikutip. Pembahasannya hanya tentang hal-hal yang benar—atau yang kemungkinannya benar."

"Bagaimana dengan lorong aneh yang kita temukan tadi? Dan tangga yang mengarah ke bawah, yang terdapat di balik pintu tua itu?" kata Lucy-Ann. ia begitu tegang, sampai suaranya terdengar terputus-putus. "Mungkinkah—mungkinkah kita tadi menemukan jalan menuju suatu kuil atau istana tua—yang puing-puingnya tertimbun di bawah debu dan pasir yang sudah ribuan tahun?"

"Itu mungkin saja," kata Jack. "Bagaimanapun—jalan masuk yang kita temukan itu bukan yang biasa! Kurasa belum pernah ada yang masuk ke rongga gua ini—karena mana mungkin? Tidak ada orang berpikiran sehat yang mau memasuki ngarai itu dengan perahu. Kita pun tidak—jika sebelumnya sudah menelaah peta."

Page 116: Petualangan di Sungai Ajaib

"Ada satu hal lagi," kata Dinah menyela. "Kurasa ngarai itu dulu belum sedalam sekarang ini. Menurut dugaanku, ribuan tahun yang lalu masih dangkal—dan barangkali bahkan belum merupakan ngarai. Karenanya, mulut gua kita ini letaknya tidak dekat dengan permukaan air di ngarai, seperti sekarang—melainkan jauh sekali di bawahnya. Jadi tidak mungkin orang dulu bisa masuk ke dalamnya."

"Dinah benar," kata Philip. "Waktu itu dasar sungai letaknya pasti lebih tinggi dari mulut gua ini. Itu berarti kita menemukan jalan masuk di bawah tanah yang tidak diketahui orang lain, menuju salah satu kota kuno yang sudah punah!"

Anak-anak terpana membayangkan kemungkinan itu. Mereka berpandang-pandangan penuh gairah. Tahu-tahu mereka dikagetkan oleh bunyi yang keras sekali. Ternyata itu dengkuran Tala. Kasihan, orang itu sudah capek sekali, ia tertidur sementara anak-anak sedang asyik berembuk.

"Lebih baik kita juga tidur saja," kata Jack sambil tertawa. "Tahu tidak kalian, sekarang ini sudah tengah malam? Biarkan lentera perahu menyala, Philip. Kaukecilkan saja—tapi kurasa kita semua pasti lebih enak, jika malam ini ada lampu menyala!"

Tidak lama kemudian semuanya sudah tidur nyenyak. Sinar redup lentera tidak menampakkan ada yang bergerak di dalam perahu, kecuali ketika ular peliharaan Philip ke luar dari balik kemejanya, karena hendak mencari makan. Tapi tidak ada sesuatu pun yang ditemukannya. Akhirnya ia terpaksa kembali menyusup ke balik kemeja tuannya, dalam keadaan masih lapar. Ular bargua itu menggelungkan diri lagi di tempat yang hangat. Setelah itu hanya bunyi napas saja yang masih terdengar—ditingkah deru air yang mengalir dengan deras di luar mulut gua.

Bab 23, PEMANDANGAN YANG MENAKJUBKAN

Keesokan paginya Dinah yang paling dulu bangun. Ia menyalakan senternya, untuk melihat waktu, aduh—sudah pukul delapan kurang seperempat! Dengan segera semua dibangunkan. Mereka bangun, sambil menggeliatkan tubuh yang terasa pegal. Tala membesarkan nyala lentera perahu, lalu memandang berkeliling untuk melihat apakah semuanya beres.

“Hei!" serunya kaget. "Oola tidak ada!"

Tidak ada? Tidak mungkin ia pergi dengan diam-diam!" seru Philip—dan tepat saat itu Oola muncul dari arah mulut gua. Tubuhnya basah-kuyup.

“Ke mana kau tadi?" tanya Philip dengan galak. “Badanmu basah kuyup. Kau terjatuh ke air, ya? kau kan tidak bisa berenang!"

“Tidak, Tuan—Oola bukan jatuh," kata anak tecil itu. "Oola pergi melihat air menerjun! Oola - melihat suatu yang bagus sekali!"

Page 117: Petualangan di Sungai Ajaib

"Astaga!" seru Philip. "Anak bandel—itu kan berbahaya sekali? Kalau mati, bagaimana! Bagaimana caramu ke sana tadi?"

"Oola tunjukkan," kata anak itu bersemangat. "Bagus sekali! Tuan ikut? Aman, Tuan!"

Oola lari menyusur pelataran sempit yang membatasi air dalam gua, menuju ke mulutnya. Sesampai di situ ia berpaling, lalu melambaikan tangannya dengan wajah berseri-seri.

"Ikut, Tuan! Oola tunjukkan!"

"Yah—kita lihat saja apa maunya," kata Jack, yang tahu-tahu timbul minatnya. Pasti itu akan sangat mengesankan. Air terjun yang jatuh dari ngarai, dan menghilang ke dalam tanah! Oola membawa senternya, karena walaupun saat itu sudah pagi, tidak banyak sinar matahari yang masuk ke dalam ngarai bertebing tinggi itu. Tala mengambil lentera perahu, lalu membawanya pula. ia ikut merasakan kegairahan yang menghinggapi anak-anak.

Deru air bertambah dahsyat bunyinya, ketika mereka sudah berada di mulut gua. Di sebelah luar ternyata ada semacam serambi batu yang lebar. Letaknya sedikit di atas permukaan air sungai yang bergolak.

"Ikuti Oola!" teriak anak kecil itu. "Aman, aman! Sebentar lagi ke atas."

Percikan air yang mengalir deras sekitar satu meter di bawah kaki mereka menyebabkan semua dengan segera sudah basah kuyup. Serambi yang dilewati ternyata menanjak terus. Dan cukup lebar, sehingga aman berjalan di situ. Tidak lama kemudian rombongan itu sudah berada di tempat yang tingginya sekitar empat meter di atas air. Tempat itu jauh lebih terang daripada yang di bawah tadi, karena lebih banyak sinar matahari yang masuk. Anak-anak memadamkan senter mereka, dan kemudian mengantunginya. Deru air semakin menggila bunyinya, sehingga menyakitkan gendang telinga. Oola masih terus saja berjalan mendului. Kemudian ia berhenti dengan tiba-tiba.

"Di sini, Tuan!" serunya sambil berpaling. Suaranya hanya sayup-sayup sampai, karena dikalahkan deru air. "Sungai lenyap!"

Mereka berenam berdiri berdesak-desak pada semacam landasan beralas batu, lalu memandang ke bawah. Ngarai terputus di situ, berubah menjadi tebing terjal yang dalamnya mungkin lebih dari seratus meter. Mereka melihat air dari ngarai yang berbuih dan memercik-mercik, jatuh menghunjam ke bawah lewat tepi atas tebing itu. Ke mana jatuhnya tidak kelihatan, karena menghilang di tempat yang sangat gelap.

Jauh sekali di bawah nampak sinar-sinar aneh memercik-mercik, seperti sekian banyak pelangi Kecil-kecil yang gemerlapan. Pemandangan itu benar-benar aneh dan mengagumkan. Semua hanya bisa memandang sambil membisu, karena terpesona. Percikan air menghambur begitu tinggi, sehingga membasahi rombongan yang berdiri di

Page 118: Petualangan di Sungai Ajaib

atas landasan batu. Tapi mereka tidak merasakan, karena seluruh perhatian terpaku pada pemandangan yang nampak di bawah, yang pasti termasuk salah satu pemandangan yang paling menakjubkan di dunia ini!

Ngarai masih memanjang terus ke depan, tapi mulai dari tempat itu tanpa dialiri air lagi. Sungai deras itu lenyap ke dalam lubang yang menganga itu, masuk ke perut bumi. Itulah ujung sungai yang mengalir dalam Teo Gra—Ngarai Dalam!

“Ke manakah mengalirnya?" tanya Lucy-Ann. Menurut perasaannya, belum pernah ia sekagum saat itu.

“Bayangkan—jika Tala kemarin tidak melihat Tulut gua, perahu kita pasti terjerumus ke dalam lubang ini, diseret air deras!" kata Philip dalam hati. ia menggigil, membayangkan hal itu.

“Alangkah indahnya!" pikir Dinah. "Pelangi-pelangi kecil yang seperti menari-nari di bawah sana—takkan mungkin kulupakan seumur hidupku!"

"Luar biasa!" kata Jack dalam batinnya. ""Hampir-hampir tidak bisa diterima oleh akal!"

Sedang Tala berpikir, kini sudah waktunya untuk kembali ke gua. Masih mau berapa lama lagi anak-anak berdiri memandang dengan mulut ternganga di situ? Tala sudah lapar, dan air tidak bisa membuat perut kenyang. Ditariknya lengan kemeja Jack dengan pelan.

Jack kaget, lalu berpaling. Tala berbisik, sambil mendekatkan mulut ke telinga anak itu. "Kita kembali, ya?"

"Baiklah," kata Jack, walau ia sebenarnya mau saja seharian berada terus di tempat itu. Disenggolnya Philip, lalu rombongan ini kembali menuruni serambi yang melandai ke bawah, kembali ke rongga gua. Agak lama juga tidak ada yang membuka mulut. Masing-masing nampaknya masih sangat terkesan.

"Aku rasanya seperti baru keluar dari gereja," kata Lucy-Ann kemudian, mengucapkan perasaan yang juga menghinggapi anak-anak yang lain. "Rasanya begitu—begitu agung!"

Kiki tadi sama sekali tidak menyukai percikan air yang tidak henti-hentinya menyirami, ia sama sekali tidak melihat air terjun itu, karena bersembunyi di balik jaket Jack. Kiki takut pada bunyi gemuruh, serta cipratan air! Kini ia sudah senang lagi, karena sudah kembali ke perahu, sementara sebuah kaleng berisi nenas dibuka di depan matanya!

Entah kenapa, sarapan pagi itu sangat meriah, Semua banyak tertawa. Oola bahkan begitu sering tertawa melihat kejenakaan Kiki, sampai ia terjatuh dari perahu. Untungnya tidak ke air, tapi ke pelataran batu yang ada di pinggir gua.

Page 119: Petualangan di Sungai Ajaib

Selesai sarapan mereka mengemaskan bekal makanan sebanyak mungkin. Sebagai pembungkus mereka memakai kertas-kertas, yang kemudian diikat erat-erat dengan tali. Tala menggantungkan dua kaleng air limau ke lehernya setelah saling diikatkan dengan tali. Oola juga banyak mengangkut perbekalan.

"Nah—semua sudah siap dengan senter masing-masing?" kata Jack. "Semua juga sudah membawa bekal makanan? Semua sudah tahu, kita harus menjaga jangan sampai tertinggal dari yang di depan?"

"Ya," seru semuanya, termasuk Kiki.

"Tali sudah kaulilitkan ke pinggangmu, Tala?"

"Tala sudah membawa tali," kata Tala. "Dan uga kait! Tala juga membawa sekop kecil dan alat penggaru!"

Segala peralatan itu memang dibawa olehnya, digantungkan ke tubuh dengan tali. ia sebenarnya juga hendak membawa sekop besar. Tapi yang ada di perahu semuanya berat-berat. Orang sekuat Tala pun, rasanya tidak akan mampu membawa-bawanya terus.

“Kau seperti unta saja, Tala, membawa barang sebanyak itu!" kata Philip sambil tertawa.

"Oola juga mengangkut barang seperti unta," kata Oola tidak mau kalah, ia merasa iri, mendengar Tala dipuji tuannya.

“Wah—Oola mengangkut barang sebanyak dua ekor unta!" kata Philip. Anak kecil yang berani itu langsung senang kembali.

“Yah, kurasa sekarang kita terpaksa berpisah dengan perahu ini," kata Philip sambil menoleh ke arah perahu itu. Kemudian ia membungkuk, lalu memungut sesuatu dari situ.

"Apa itu?" tanya Dinah.

"Ah—cuma pikiran yang tiba-tiba saja datang," kata Philip. Dirobeknya beberapa halaman dari buku milik Raja Uma yang dipungutnya. Lembaran-lembaran itu dimasukkannya ke kantung.

"Beberapa lembar yang diberi tanda oleh Uma," katanya lagi. "Jika ia berpendapat bahwa isi halaman itu perlu diberi tanda, maka mestinya penting artinya. Jadi kita bawa saja—siapa tahu, mungkin nanti ada gunanya!"

Setelah itu mereka berangkat. Menyusur pelataran sempit yang menjorok ke belakang, menyusur tepi air. Mereka sampai di depan lubang yang mulanya ditutupi dinding bata yang sudah ambruk menjadi debu ketika didorong oleh Tala.

Page 120: Petualangan di Sungai Ajaib

Rombongan itu menyusup masuk ke dalam lubang, dan sampai di lorong yang ada di belakangnya. Sekitar mereka gelap. Penerangan hanya datang dari senter mereka.

"Sebaiknya kita memeriksa lorong ini ke arah atas, untuk melihat apakah kita bisa ke luar lewat sana. Kalau itu sudah pasti, barulah kita memeriksa tangga menarik yang kita temukan kemarin di ujung bawah," kata Jack. "Kurasa kalau ke atas, lorong ini akan sampai di permukaan bumi."

"Mudah-mudahan saja begitu!" kata Philip. "Tapi aku sangsi. Sebab jika ada jalan ke luar dari sini, mestinya kan orang sudah dulu-dulu menemukan, lalu masuk kemari! Tapi pintu disegel yang kemudian hancur itu, ketika kita temukan masih utuh."

"Ya—kurasa itu merupakan bukti bahwa sejak pintu itu dibuat, belum pernah ada orang masuk kemari," kata Dinah. "Yuk—kita berjalan saja ke arah atas!"

Rombongan itu mulai mendaki lorong yang landai, sambil menyorotkan senter ke depan. Tapi setelah beberapa waktu berjalan, mereka terhenti. Di depan mereka nampak dinding batu yang menghadang. Dinding batu itu dibangun melintang, menutupi seluruh rongga lorong. Dan bahan yang dipakai bukan bata dari lumpur, yang langsung hancur begitu disentuh! Tidak, dinding itu dibuat dari bongkah-bongkah batu persegi yang diatur berjejer-jejer, baris demi baris sampai ke langit-langit lorong. Sekarang jelaslah, apa sebabnya belum pernah ada yang masuk ke tempat itu! Rupanya dulu ada yang memerintahkan pembuatan dinding batu itu, untuk menutup jalan masuk ke tempat yang ada di sebelah bawah.

"Tidak ada jalan ke luar lewat sini," kata Philip, dengan hati serasa kelu. "Sebaiknya kita menuju ke bawah lagi sekarang—ke tangga tua itu. Mungkin lewat situ, kita akan bisa sampai ke suatu tempat!"

Bab 24, TEMUAN ANEH YANG MENARIK

Diterangi sinar senter, Jack memandang Philip. Philip memoncongkan mulutnya. Tampangnya serius. Keadaan mereka saat itu memang serius. Philip memberi isyarat dengan gerakan kepala ke arah kedua anak perempuan. Maksudnya memperingatkan Jack, jangan sampai kedua anak itu ketakutan. Jack membalas dengan anggukan, tanda mengerti.

Kini mereka menuruni lorong, menuju tempat di mana terdapat gerbang yang pintunya sudah ambruk. Dari situ, mereka sampai di ujung atas tangga. Tangga itu terbuat dari batu, tapi tepi jenjang-jenjang sudah rapuh sekali. Itulah yang menyebabkan Oola terpeleset, lalu jatuh. Tapi saat itu ia tidak langsung jatuh sampai ke kaki tangga!

"Tala, kau dan Jack memegangi ujung tali," kata Philip. "Lalu selebihnya diulurkan ke bawah. Ya, begitu! Sekarang aku turun sambil berpegangan pada tali. Akan kuperiksa masing-masing jenjang, dan kuhitung jumlahnya. Nanti kalau kutemukan yang sudah

Page 121: Petualangan di Sungai Ajaib

lapuk, akan kuserukan nomor berapa itu. Jadi nanti sewaktu kalian turun, bisa berjaga-jaga saat melewati jenjang yang kusebutkan itu!"

Itu ide yang bagus," kata Jack. Sementara ia memegangi ujung atas tali bersama Tala, Philip mulai melangkah turun. Oola sebenarnya hendak mendesak maju dan turun paling dulu. Tapi Tala sempat menahannya. Oola marah sekali pada Tala. Tapi ia tetap harus tinggal dulu di atas.

Philip menuruni anak tangga dengan pelan dan sangat berhati-hati, sambil menghitung-hitung.

"Satu, dua, tiga, empat—jenjang nomor empat sudah agak rapuh, Jack!—lima, enam, tujuh, delapan, sembilan—nomor sembilan sudah hampir runtuh semuanya—sepuluh, sebelas..."

"Satu, dua, enam, sepuluh!" teriak Kiki, yang menyangka Philip mengajaknya bermain. "Satu dua, dalam gua, sepuluh sembilan, jalan yang pelan, tiga empat..."

"Nomor lima belas sudah tidak ada lagi—dan juga nomor enam belas," seru Philip dari bawah. Empat, sembilan, lima belas, enam belas," seru Jack mengulangi. "Kau harus lebih keras berteriak, Philip! Suaramu tidak jelas lagi terdengar di sini."

"Baik," teriak Philip membalas. Tali pengaman dipegangnya erat-erat, karena takut terpeleset. Tangga ini terjal sekali! Kalian harus sangat berhati-hati nanti!" ia melangkah lebih lanjut sambil menyerukan nomor jenjang yang sedang diteliti. Tapi ketika sampai pada jenjang nomor 39, suaranya sudah hampir tak terdengar lagi di atas. Selama itu sudah banyak diteriakkannya nomor-nomor anak tangga yang rusak, sehingga Lucy-Ann harus mengambil pensil dan buku catatan dari kantung Jack, untuk mencatat semuanya.

"Sekarang aku sudah sampai di bawah," seru Philip.

"Apa?" teriak Jack dari atas.

"AKU—SUDAH—SAMPAI—DI BAWAH!" teriak Philip sekali lagi, dengan sekuat-kuatnya. "Sekarang biar Dinah yang turun dulu. Tapi HATI-HATI!"

Dinah mulai menuruni tangga. Anak-anak mendengar suaranya menghitung. Ketika ia sampai pada bagian yang rapuh, anak-anak berteriak memperingatkan. Tapi Dinah masih ingat semuanya, ia berhasil turun dengan selamat, dan akhirnya berdiri di sisi Philip.

Sekarang menyusul Lucy-Ann. ia tidak seberani Dinah. Pada jenjang kelima belas, ia terpeleset Untung ia berpegangan erat-erat pada tali. Akhirnya ia sampai juga dengan selamat di bawah. Setelah itu Jack yang turun, ia melangkah dengan pasti. Rasanya jauh sekali, sebelum sampai di bawah. Jenjang yang dilewati kadang-kadang terjal sekali, sementara lubang yang dituruni tidak begitu lebar.

Page 122: Petualangan di Sungai Ajaib

"Sekarang kita berempat sudah ada di sini," kata Philip sambil menyorotkan senternya, ia berseru ke atas. "Tala, suruh Oola turun sekarang!"

Tapi yang turun ternyata malah Tala sendiri, ia menjelaskan, bahwa Oola ingin turun paling belakang. Kata anak itu, ia tidak memerlukan tali. Dan benarlah, tali itu dilemparkannya ke bawah, begitu Tala sudah sampai di kaki tangga.

"Kalau jatuh, bisa patah kakinya!" kata Jack dengan kesal. "Anak bandel!"

Tapi tahu-tahu Oola sudah berdiri di sampingnya. Kelihatan bahwa anak itu tertawa nyengir, diterangi sinar senter, ia tadi berhati-hati, setelah tahu bahwa banyak jenjang yang sudah rapuh. Dan yang jelas, langkahnya memang sangat pasti.

"Oola ada di sini, Tuan," katanya pada Philip.

"Nah—ke mana kita sekarang?" kata Philip bertanya-tanya pada diri sendiri. Disorotkannya senter ke arah depan. Ternyata ada lorong lagi di situ, tapi lebih sempit daripada yang di atas. Dinding pada kedua sisinya terbuat dari bata, seperti yang sudah mereka lihat sebelumnya. Anak-anak tidak berani menyentuh, karena takut kalau tahu-tahu hancur menjadi debu. Kalau itu terjadi— hih, seram membayangkannya!

Mereka berjalan di dalam lorong itu, yang arahnya sangat menurun. Akhirnya mereka tiba di depan sebuah gerbang, yang juga terbuat dari bata.

"Kurasa gerbang-gerbang begini sengaja dibuat, untuk memperkokoh langit-langit lorong," kata Jack. "Ajaib—kenapa ada yang belum runtuh."

"Tapi pasti banyak yang sudah ambruk," kata Dinah. "Mudah-mudahan saja di antara kita nanti tidak ada yang bersin. Aku khawatir, nanti langit-langit jatuh menimpa kita karenanya."

"Aduh, jangan ada yang bersin, ya!" kata Lucy-Ann ketakutan.

Lewat lorong itu mereka sampai di semacam ruangan yang bentuknya nyaris bundar. Di sisi seberang nampak sebuah pintu yang besar. Anak-anak berhenti sebentar, sambil menyorotkan senter mereka berkeliling. Di satu sudut nampak berbagai benda yang ditumpukkan. Mereka menghampiri tumpukan itu.

Tapi getaran langkah mereka—walau mereka berjalan dengan hati-hati sekali!—tahu-tahu menyebabkan tumpukan itu runtuh, menjelma menjadi timbunan debu! Tapi ada satu benda yang tetap utuh. Benda itu kemilau, memantulkan sinar senter yang diarahkan padanya.

"Apa itu?" tanya Dinah. ia tidak berani menyentuh benda itu. Jack memungutnya dengan hati-hati sekali.

Page 123: Petualangan di Sungai Ajaib

"Mangkuk!" katanya. "Mangkuk dari emas! Lihatlah—dihiasi dengan permata yang dipasang di sekelilingnya. Emas merupakan satu-satunya logam yang tidak bisa hancur dimakan umur, atau berubah warna. Mangkuk ini masih utuh, walau umurnya pasti sudah berabad-abad. Indah, ya?"

Semua memandang benda temuan itu dengan kagum. Sudah berapakah umurnya? Tiga ribu tahun? Atau mungkin empat, atau bahkan lima ribu? Siapakah yang dulu memakainya? Siapa yang membuat gambar unta-unta yang terukir di sekelilingnya? Indah sekali buatannya!

"Harganya pasti tak ternilai," kata Philip dengan kagum. "Mestinya dulu merupakan tempat sesajian bagi salah satu dewa atau dewi yang dipuja orang-orang sini masa itu. Wah—ini benar-benar hebat!"

"Philip—" kata Lucy-Ann dengan ragu-ragu, "—menurutmu, mungkinkah kita saat ini ada di dekat kuil dewi pujaan yang katanya lenyap tertimbun tanah itu? Itu, yang keterangannya kaubaca dalam salah satu buku Pak Uma?"

"Itu mungkin saja," kata Philip sambil mengelus-elus permukaan mangkuk itu. "Bahkan bisa jadi kita ini ada di bawahnya—dan menuju ke bilik-bilik tempat segala hadiah persembahan disimpan! Wah—sulit sekali kubayangkan bahwa hal seperti ini akan kita alami!"

"Tapi itu kan mungkin!" kata Dinah. Kegairahannya menyebabkan suaranya terdengar seperti tercekik.

Oola dan Tala sangat tertarik melihat mangkuk itu. Apalagi Tala!

"Emas!" katanya, sambil mengetuk-ngetuk benda temuan itu. "Tala kenal emas! Ini emas!"

"Kau yang membawanya, Tala," kata Philip. "Tapi hati-hati, jangan sampai jatuh!—Nah, bagaimana dengan pintu ini? Juga disegel!"

Oola bergegas menghampiri, lalu mengguncang segel itu. Ternyata langsung hancur! Philip mendekati pintu, lalu mendorongnya. Pintu itu pun langsung ambruk, walau tidak menjadi debu. Pintu itu miring ke samping, meninggalkan celah yang cukup lebar untuk dilewati. Kini nampak jelas bahwa mereka berada di dalam sebuah bangunan kuno yang besar sekali!

Mereka menjumpai ruangan yang besar-besar, sambung-menyambung. Ada yang dibatasi pintu yang sudah runtuh, tapi ada pula yang tak berpintu sama sekali. Sinar senter yang dibawa menerangi ruang-ruang persegi berdinding batu, lalu kemudian ruang-ruang berbentuk lonjong, dan setelah itu lorong-lorong penghubung. Di mana-mana nampak

Page 124: Petualangan di Sungai Ajaib

tumpukan aneh, yang terdiri dari berbagai benda yang tidak bisa dikenali lagi wujud aslinya. Semua sudah hancur, kecuali yang terbuat dari logam, atau dari batu.

"Lihatlah—ini ada patung kecil, di dalam sebuah relung," kata Lucy-Ann, lalu mengambilnya. Patung itu terbuat dari sejenis batu aneh. Bentuknya sangat indah, setiap lipatan jubahnya terukir dengan halus sekali. Semua mengamat-amati benda seni itu. Sudah berapakah umurnya? Berapa abad yang lalukah seniman yang membuat menekuninya dengan asyik, selama berminggu-minggu—atau bahkan sampai berbulan-bulan? Siapakah yang kemudian membawanya ke kuil, untuk dipersembahkan pada sang dewi? Segala pertanyaan itu takkan mungkin bisa dijawab lagi!

Setelah itu mereka memeriksa benda-benda yang terdapat dalam berbagai tumpukan. Benda yang terbuat dari emas selalu langsung nampak, karena warnanya tidak mengalami perubahan sama sekali. Dan banyak sekali benda dari emas di situ! Patung, mangkuk, sisir, anting-anting berbentuk cincin, berbagai jenis perhiasan...

Di sebuah bilik kecil anak-anak menemukan kumpulan pedang, yang gagangnya bertatahkan batu mulia. Batu apa? Tidak ada yang tahu. Jack memungut sebilah pedang yang gagangnya berukir, dan dihiasi dengan emas.

"Aku mau yang ini!" katanya.

"Kita tidak bisa membawa semuanya!" kata Philip mengingatkan. "Hanya yang kita perlukan saja, sebagai bukti nilai penemuan kita ini."

"Baiklah—kalau begitu pisau ini saja," kata Jack, lalu menyisipkan senjata tajam itu ke pinggangnya.

"Dan aku sisir emas ini." kata Dinah. "Kutusukkan ke rambutku!"

"Aku memilih patung kecil ini," kata Lucy-Ann. Coba aku bisa memilikinya! Aku kepingin sekali, karena sangat indah. Tapi tentu saja segala harta ini dak bisa kita ambil dengan seenak kita, karena merupakan milik seluruh dunia. Benda-benda ini merupakan peninggalan peradaban yang sudah lama lenyap!"

"Kau mengucapkan hal yang ada dalam pikiranku, Lucy-Ann," kata Philip. "Aku akan membawa mangkuk ini—artinya, menurut pendapatku, ini mangkuk. Dari emas—dan lihatlah, betapa indahnya ukiran sapi-sapi jantan yang dibuat melingkarinya!"

Mereka meneruskan pemeriksaan, sampai akhirnya tiba di ujung bilik-bilik tempat penyimpanan itu. Mereka bingung, melihat banyaknya benda yang ada di situ. Pasti ribuan jumlahnya! Tempat itu rupanya belum pernah dimasuki perampok. Sudah elas, belum pernah ada yang datang mengusik segala harta yang dipersembahkan pada dewi pelindung kuil itu, selama sekian ribu tahun yang silam!

Page 125: Petualangan di Sungai Ajaib

"Oola ingin matahari, Tuan," kata Oola pada Philip. "Oola tidak suka gelap. Tidak suka tempat ini."

"Kurasa kita semua sudah rindu, ingin melihat sinar matahari lagi," kata Philip. "Tapi ada di antara kalian yang melihat jalan ke atas, ke luar dari bilik-bilik bawah tanah ini? Aku tidak!"

Bab 25, ADAKAH JALAN MENUJU KE LUAR?

Semua begitu asyik dengan harta yang mereka temukan, sehingga melupakan bahaya. Jack duduk di sebuah bangku yang terbuat dari batu. ia melakukannya dengan hati-hati. karena takut kalau bangku itu tahu-tahu hancur berantakan, seperti sekian banyak benda yang terdapat di situ. Tapi ternyata aman, karena terbuat dari batu.

"Mestinya ada jalan turun ke bilik-bilik tempat penyimpanan ini," katanya. "Bahkan menurutku mestinya ada dua atau tiga jalan, mengingat luasnya tempat ini. Ada yang tadi melihat tangga menuju ke atas?"

"Cuma yang kita lewati tadi," kata Philip. Mungkin cuma itu satu-satunya jalan masuk kemari."

"Tidak. Kurasa itu merupakan jalan rahasia, yang dipakai oleh kaum pendeta," kata Jack. “Mestinya ada jalan yang biasa, untuk masuk kemari. Kurasa bangunan kuilnya sendiri tepat di atas sana—dan ukurannya pasti besar sekali!"

"Ya—tapi jangan lantas kaubayangkan bahwa itu masih ada, menjulang tinggi ke udara!" kata Philip. "Bangunan itu pasti sudah runtuh ribuan tahun yang lalu, lalu di atasnya didirikan bangunan-bangunan selanjutnya, satu di atas reruntuhan yang lain! Bisa saja kita ini berada jauh sekali di dalam tanah—dan kemungkinannya memang begitu. Kau kan juga membaca tentang hal ini dalam buku-buku milik Uma? Kita ini berada di suatu bangunan kuno yang sudah lama hilang. Sudah lama dilupakan orang. Secara kebetulan saja kita menemukannya!"

Penjelasan Philip didengar yang lain-lainnya sambil membisu. Lucy-Ann bergidik sebentar. Sudah lama dilupakan orang. Ih, kata-kata itu terdengar menyedihkan, dan juga menimbulkan perasaan seram. Dan juga aneh, jika diingat bahwa kemungkinannya di atas mereka ada lagi puing-puing reruntuhan beberapa kuil lain, yang juga sudah lama lenyap dan dilupakan orang.

"Aku ingin ke luar dari sini," kata Lucy-Ann dengan tiba-tiba. "Aku merasa ngeri!"

"Yuk, kita makan saja dulu," kata Jack dengan segera, ia melihat bahwa sehabis makan semua merasa lebih enak—termasuk Lucy-Ann, yang perasaannya lebih peka dari yang lain-lainnya, serta selalu membayangkan yang tidak-tidak!

Page 126: Petualangan di Sungai Ajaib

Mereka duduk di salah satu bilik tempat penyimpanan. Kesunyian yang sudah ribuan tahun mereka ramaikan dengan obrolan pengiring makan. Mereka bahkan tertawa-tawa, karena Kiki mengoceh terus sambil ikut makan.

"Mana sapu tanganmu?" katanya pada Tala yang terheran-heran. "Bersihkan hidungmu! Dua satu, siapa kamu? Bersihkan kakimu, tok-tok, siapa itu?" Tiba-tiba Kiki menirukan bunyi orang bersin. Bunyinya begitu persis, sehingga Tala dan Oola tercengang memandangnya. Setelah itu Kiki menirukan berbagai suara orang terceguk-ceguk. Tala tertawa begitu keras mendengarnya, sampai suaranya menggema ke mana-mana. Kiki langsung terdiam mendengar gema itu. Tahu-tahu sebuah tumpukan kecil di salah satu sudut ruangan itu runtuh dengan bunyi seperti mendesah pelan.

"Nah, Tala—coba kaulihat, itu akibat tertawamu tadi," kata Jack sambil menunjuk ke tumpukan yang runtuh. "Jika kau tertawa sekeras itu, tahu-tahu seluruh bangunan ini runtuh, menimpa kepala kita!"

Tala kaget sekali, ia mendongak, sambil menyoroti langit-langit dengan senternya—seakan-akan mengira bahwa itu akan benar-benar runtuh. Oola ikut memandang ke atas. ia diam sekali. Di samping tidak senang, rupanya merasa takut, ia tidak mau jauh-jauh dari Philip.

Tala membuang kertas pembungkus rotinya ke lantai.

“Jangan, Tala!" kata Jack dengan segera. "Ayo, pungut kembali! Tempat seperti ini, jangan kaukotori sembarangan!"

Tala memungut kertas pembungkus yang dicampakkannya tadi. Dari air mukanya kelihatan bahwa ia menganggap Jack pasti sudah sinting. Philip meraba-raba kantungnya, lalu mengeluarkan beberapa lembaran yang dirobeknya dari salah satu buku Raja Uma—yang dibubuhi catatan pinggir oleh orang itu.

"Kuteliti halaman-halaman ini sebentar," katanya. "Meski menurutku takkan ada gunanya bagi kita, tapi siapa tahu! Menurutku, tempat di mana kita berada sekarang inilah yang dicari-cari oleh Uma—dan setelah melihat dengan mata sendiri, sekarang timbul perasaanku bahwa kita selama ini sangat keliru tentang Uma."

"Apa maksudmu?" tanya Jack. "Kita kan bisa dibilang yakin, ia memakai kegemarannya terhadap ilmu purbakala untuk menutupi kegiatannya yang sesungguhnya di Kota Film. Ya kan? Jadi maksudmu, dugaan kita itu keliru?"

"Betul! Menurut perasaanku sekarang, justru ilmu purbakalalah kegiatannya yang sebenarnya!" kata Philip. "Tapi bukan karena ia tertarik pada sejarah, atau pada bangunan-bangunan kuno! Oh, sama sekali bukan. Uma hanya tertarik pada kemungkinan akan bisa mengambil segala harta tak ternilai, yang menurut perkiraannya mungkin ada di sini! Dia itu perampok biasa—yang melakukan penggalian, hanya untuk

Page 127: Petualangan di Sungai Ajaib

mencuri harta yang kita lihat bertaburan di sekeliling kita saat ini. ia menginginkan benda-benda seperti mangkuk emas yang kita serahkan pada Tala untuk dibawa, dan..."

"Ya, kau benar!" seru Jack memotong. "Dan kemungkinannya saat ia merasa bahwa penggaliannya sudah hampir berhasil, setelah itu ia akan bisa merampok tempat ini—eh, tahu-tahu Bill muncul! Karena mengetahui siapa Bill sebenarnya, Uma takut kalau-kalau Bill datang untuk mengamat-amati dirinya!"

"Itu dia jawabannya!" kata Philip. "Lalu ia mengatur rencana—dan menculik Bill serta Ibu— sedang kita menurut rencananya juga harus disingkirkan—dan setelah itu ia bisa menyelesaikan penggalian, lalu lari dengan hasil rampokannya!"

Dinah mendesah, karena sangat kaget mendengar penjelasan itu.

"Kurasa kau benar!" katanya. "Tapi kemudian kita malah lari dengan perahu milik Uma, dan kemudian menemukan bilik-bilik harta yang dicarinya itu!"

"Betul—tapi kita menghadapi rintangan yang sangat besar sekarang," kata Philip dengan suram. Kita tidak tahu jalan ke luar dari sini!"

"Coba kauteliti catatan Uma itu. Mungkin ada sesuatu di situ, yang bisa membantu kita," kata Lucy-Ann. "ia kan sedang mencari-cari tempat ini? Dan kaukatakan tadi, menurut perkiraanmu Uma sudah hampir selesai dengan penggaliannya. Jadi a mestinya sudah hampir sampai di bilik-bilik harta ini! Coba kauperiksa catatannya!"

Philip membeberkan lembaran-lembaran yang dibubuhi catatan itu di lantai, lalu diterangi oleh Tala dengan sinar senternya. Anak-anak berlutut, untuk meneliti catatan yang nampak. Pada suatu halaman tertera daftar bangunan-bangunan yang diketahui pernah dibangun di atas tempat kuil besar itu. Uma membubuhkan tanda kait di sisi masing-masing bangunan itu, disertai tulisan, “Trouve".

"Itu bahasa Prancis, artinya ditemukan'," kata Jack. "Rupanya dalam penggaliannya, ia sudah menemukan reruntuhan bangunan-bangunan yang diberi tanda ini, dan ia sudah menggali lebih lanjut. Ya—kegiatannya berjalan dengan baik. Mestinya sekarang sudah sampai ke dekat tempat ini. Aku ingin tahu, berapa orang yang dipekerjakan olehnya. Pekerjaan seperti ini biasanya memakan waktu lama sekali kan, Philip?"

"Kalau yang melakukan perampok biasa, dan bukan ahli purbakala, tidak!" jawab Philip. "Orang yang benar-benar tertarik pada peninggalan kuno takkan langsung meneruskan penggalian apabila menemukan peninggalan tertentu, sehingga menyebabkan rusaknya berbagai benda bersejarah! ia akan melanjutkan penggalian dengan sangat berhati-hati—sedikit demi sedikit—menggaru tanah, memeriksa semua yang ditemukan. Tapi Uma..."

"Ya—Uma cuma perampok biasa saja! Tahunya cuma mengupah tenaga setempat untuk melakukan penggalian, menunjuk tempat yang harus digali—lalu memerintahkan penggalian, dengan cepat!" kata Jack menyela. "Wah—orang itu pintar sekali!"

Page 128: Petualangan di Sungai Ajaib

"Bukan pintar, tapi licik!" kata Dinah. "Orang jahat! Mungkinkah orang-orangnya saat ini sedang melakukan penggalian di atas kepala kita?"

"Mungkin saja!" kata Philip. "Eh—ini ada peta kecil, buatannya. Adakah gunanya bagi kita?"

Mereka menelaah peta itu. Tapi mereka tidak bisa memahami maknanya. Philip mendesah.

"Ah, kertas-kertas ini tidak banyak gunanya bagi kita, kecuali untuk mendapat gambaran tentang kegiatan Uma yang sebenarnya. Yuk—lebih baik kita cari sendiri jalan ke luar itu. Harus ada salah satu cara untuk ke luar dari ruangan bawah tanah ini, menuju ke kuil yang dulu ada di atas."

Mereka berkeliaran lagi, menyusur bilik-bilik tempat penyimpanan itu. Mereka sudah bosan sekali terus-terusan berada di tempat yang gelap dan pengap. Menurut Dinah, baunya semakin jelas tercium sekarang. Oola sudah sangat menderita, ia berjalan dengan langkah terseret-seret, mengikuti Philip.

Akhirnya mereka terenyak lagi di ruangan yang paling besar.

"Satu-satunya kemungkinan yang bisa kupikirkan saat ini ialah menaiki tangga yang tadi lagi, lalu Kembali ke perahu," kata Philip, setelah semuanya membisu dengan lesu selama beberapa waktu. Terus terang saja, aku tidak melihat gunanya kita masih berlama-lama di sini. Kelihatannya tidak ada jalan ke luar dari tempat ini ke atas!"

"Lalu apa gunanya, kalau kita kembali ke perahu?" kata Jack dengan suram. "Dari rongga gua itu pun tidak ada jalan ke luar!"

"Belum tentu," kata Philip. "Ingat tidak, landasan batu ke mana kita dibawa oleh Oola? Dari mana kita memandang ke bawah, tempat air sungai menghilang? Nah—ada saja kemungkinan bahwa kita bisa terus saja mendaki tepi tebing itu, dan akhirnya sampai di atas!"

"Mustahil!" bantah Jack. "Ketika kita di sana, aku sempat memperhatikan. Tapi—kita kembali sajalah ke sana, lalu melihat lagi. Aku setuju, tidak ada gunanya kita duduk-duduk saja di sini. Takkan ada orang datang menyelamatkan kita!"

Dengan lesu mereka kembali, menelusuri ruangan demi ruangan yang serba luas. Mereka sampai di pintu yang tadi ambruk ketika didorong oleh Philip. Dari situ, masuk ke ruang tempat mereka menemukan mangkuk emas yang indah. Lalu memasuki lorong sempit yang menuju ke tangga yang terjal.

"Oola! Kau yang paling dulu naik, karena kau cekatan," kata Philip. "Tala, suruh dia membawa bagian ujung dari tali, serta kait itu. Oola, Tuan perlu bantuan. Oola harus

Page 129: Petualangan di Sungai Ajaib

menaiki tangga dengan hati-hati—hati-hati, kataku!—dengan membawa tali dan kait. Oola mengerti?"

Oola sudah langsung berubah, karena merasa bahwa mereka akan meninggalkan ruang-ruang di bawah tanah itu. ia menganggukkan kepala dengan bersemangat, lalu mengambil tali yang disodorkan padanya. Dengan bangga dipanjatnya tangga, sambil meraba-raba dulu sebelum naik setingkat lagi. Sekali ia terpeleset, tapi tidak sampai jatuh.

Ketika sudah sampai di atas, ia berseru, "Oola sudah sampai! Oola selamat! Tali turun!"

Oola melepaskan tali yang tergulung, sehingga terulur ke bawah sampai ke kaki tangga. Sedang ujungnya yang di atas dipegang erat-erat. Ujung itu sudah diikatkannya ke kait. Dan kait itu kini disangkutkannya ke batu yang menonjol, ia melakukannya dengan cermat, menirukan cara yang dilihatnya diperbuat oleh Tala. Tali terasa menegang. Dengan begitu Oola tahu, ada yang memanjat ke atas. Tuannyakah itu?

Oola memegang tali erat-erat sambil bertahan di balik sebuah batu. ia berjaga-jaga, karena siapa tahu Philip terpeleset, dan harus menarik tali supaya tidak jatuh.

Tahu-tahu Oola mendengar sesuatu yang menyebabkan ia setengah mati ketakutan, ia mendengar bunyi mengetuk-ngetuk. Datangnya dari lorong yang terdapat di belakangnya! Tok, tok, tok—duk, duk, duk! Oola merasa jantungnya seperti terlepas, ia ambruk ke tanah, sementara tali terlepas dari pegangannya.

Seketika itu juga terdengar suara Philip berteriak. “Kencangkan tali, Oola! Jangan sampai kendur! He, sedang apa kau di atas?"

Tok-tok-duk-duk! Aduh, jangan-jangan itu para dewa zaman purba yang kembali ke bumi, marah karena ada orang memasuki kuil mereka! Oola menjerit sekuat-kuatnya. Philip nyaris saja terjatuh, karena kaget.

Bab 26, DEWA-DEWA DATANG KEMBALI!

Philip tidak menangkap kata-kata yang diteriakkan anak itu. Tapi walau begitu ia tetap saja cemas. Dengan bergegas-gegas dinaikinya tangga sampai ke atas. Tapi ia harus berhati-hati juga, karena Oola yang begitu ngeri lupa bahwa ia harus kencang-kencang memegang tali.

“Oola! Ada apa? Kenapa kau menjerit-jerit?" tanya Philip, begitu sampai di ujung atas tangga.

"Dewa-dewa!" kata Oola menangis, sambil menuding ke arah lorong di belakangnya. "Mereka kembali! Dengarlah, Tuan!"

Page 130: Petualangan di Sungai Ajaib

Ketika masih mendaki tangga, Philip tidak mendengar apa-apa, kecuali pekik jerit Oola. Tapi kini ia juga mendengar bunyi mengetuk-ngetuk yang menyebabkan Oola sangat takut!

Tok-tok-tok-tok-tok! Dukk!

Philip menatap ke dalam lorong gelap yang menjulur di depan mata, dengan jantung berdebar keras. Sesaat lamanya ia dijangkiti kengerian yang menyebabkan Oola seakan-akan lumpuh. Dibayangkannya dewa-dewa yang marah, dan mengetuk-ngetuk ingin masuk. Bunyi apakah itu?

Philip berpaling, dan berseru ke bawah.

"Cepat naik! Ada sesuatu terjadi di sini!"

Dipegangnya tali pengaman erat-erat dengan tangan gemetar, sementara lututnya dipeluk erat-erat oleh Oola yang seperti sudah gila karena takut. Dinah yang paling dulu muncul, ia kaget sekali mendengar teriakan Philip tadi. Begitu sampai di atas, ia pun mendengar bunyi mengetuk-ngetuk itu. ia ikut-ikut ketakutan, apalagi karena Oola tidak henti-hentinya merintih.

"Itu dewa-dewa! Mereka datang! Mereka kembali ke bumi!"

Kemudian yang lain-lain menyusul naik. Tala yang paling belakang. Begitu didengarnya bunyi mengetuk-ngetuk itu, ia langsung berbalik ketakutan. Maksudnya hendak cepat-cepat turun lagi. Tapi sial baginya, ia terpeleset—lalu jatuh terguling-guling ke kaki tangga, sambil mengaduh-aduh. Tala pun mengira bahwa itu pasti dewa-dewa yang muncul kembali, untuk menghukum orang-orang yang telah lancang, berani berkeliaran di dalam ruangan-ruangan kuil mereka! Philip tidak sempat memikirkan nasib Tala. ia harus mengambil keputusan, apa yang harus dilakukan sekarang. Dari manakah datangnya bunyi mengetuk-ngetuk itu?

"Kedengarannya dari dalam lorong—dan kita tahu bahwa tidak ada jalan masuk ke situ! Kita kan sudah melihat dinding batu yang merintangi!" kata Philip. "Jack—mungkinkah itu Uma serta orang-orangnya?"

"Siapa lagi, kalau Bukan mereka?" jawab Jack. “Diam, Oola! Aku sampai tidak bisa mendengar kata-kataku sendiri "

Tok-tok,tok!

"Mereka datang! Mereka datang!" jeluh Oola, sambil terus memeluk kaki Philip.

"Uma rupanya menemukan peta atau denah, dengan mana ia bisa menggali sampai ke lorong ini," kata Philip, seperti pada dirinya sendiri. "Tapi mereka bukannya rampai d)

Page 131: Petualangan di Sungai Ajaib

sebelah sini, melainkan di balik dinding penghalang. Dan rupanya mereka sekarang sedang berusaha meruntuhkan dinding itu. Mana mungkin!"

"Tapi mereka akan berhasil," kada Jack sambil memasang telinga. "Mereka mempergunakan alat-alat yang kuat. Cepat, Philip–bagaimana rencana kita?"

"Aku tidak tahu, karena kejadian ini datang dengan begitu tiba-tiba!" keluh Philip. "Wah, untung saja dengan begitu setidak-tidaknya kita akan bisa ke luar dari sini!"

"Uma pasti takkan senang melihat kita ada di sini—jika itu memang Uma beserta orang-orangnya!" kata Jack dengan suram. "Yah, apa boleh buat—kita cuma bisa menunggu saja. Eh, . ..Philip—Uma pasti akan merampok isi kuil itu sekarang—dan mengambil benda-benda yang paling berharga. Sedang aku tidak melihat kemungkinan kita mencegahnya."

"Coba itu bisa kita lakukan!" kata Philip. Dinah dan Lucy-Ann sependapat dengannya. Sakit sekali perasaan mereka, membayangkan Uma serta kawanannya merampok isi bilik-bilik kuno yang ada di bawah. Sementara itu bunyi mengetuk-ngetuk terdengar terus. Rupanya dinding batu penghalang itu sangat kokoh! Namun tiba-tiba sebagian dari dinding itu pecah. Salah satu batu besar tercongkel, dan jatuh berdebam ke dasar lorong. Anak-anak mendengar bunyinya. Tapi tempat mereka tidak begitu dekat ke situ, sehingga tidak bisa melihat apa yang terjada.

"Dinding mulai roboh," kata Jack. "Sebentar lagi mereka akan sudah berhasil menembusnya. Kita tunggu saja dengan diam-diam di sini. Sudahlah, Oola jangan terus berkeluh-kesah. Yang datang itu bukan dewa-dewa, tapi manusia biasa."

"Tidak! Bukan—Oola bilang itu dewa-dewa! Tala juga bilang dewa-dewa!" keluh Oola. Sementara itu Tala sudah sampai di atas lagi. ia meraba-raba bagian tubuhnya yang terasa sakit, ia bertekad—apakah yang terdengar itu dewa-dewa atau bukan—ia takkan mau lagi jatuh ke kaki tangga. Namun begitu kembali mendengar bunyi mengetuk-ngetuk, hampir saja ia mengulangi perbuatannya yang tadi. Tapi sekali ini nasibnya mujur, ia masih sempat cepat-cepat berpegangan ke tali. Dan untung kait masih tersangkut dengan teguh ke batu. Tala menarik tubuhnya ke atas, ke tempat yang aman.

Terdengar lagi bunyi berdebam. Itu berarti batu besar kedua sudah tercongkel, di samping yang pertama. Kini orang-orang itu akan bisa dengan mudah mencongkel dua batu besar lagi, dan setelah itu menyusup masuk lewat lubang yang terjadi.

Bumm! Buk! Kemudian menyusul suara berteriak-teriak, yang menggema di dalam lorong. Tala mendengarkan suara-suara itu dengan heran. Eh—dewa-dewa itu ternyata berteriak dalam bahasanya! ia mulai sangsi. Jangan-jangan yang datang itu bukan dewa! Oola juga ikut mendengarkan, lalu berdiri. Siapakah dewa-dewa itu, yang berbicara dalam bahasa manusia biasa—dengan kata-kata yang biasa diucapkan oleh Tala dan dia sendiri?

Page 132: Petualangan di Sungai Ajaib

Di kejauhan nampak sinar memancar.

"Satu sudah masuk," kata Philip. "Nah—itu sinar yang berikut. Dua orang sudah masuk. Sekarang mereka kemari!"

Kedua orang yang muncul itu menyusur lorong dengan berhati-hati, sambil menyorotkan senter mereka ke segala arah. Rupanya untuk mengetahui di mana mereka berada. Tahu-tahu mereka sudah berhadapan dengan kelompok anak-anak yang selama itu terus membisu, sementara Tala berdiri di belakang mereka. Kedua orang itu memandang dengan mata terbelalak, karena sangat heran. Kemudian Philip maju selangkah. Maksudnya hendak menyapa kedua orang itu. Tapi mereka malah berbalik dengan cepat, lalu lari pontang-panting sambil menjerit-jerit ketakutan, kembali ke lubang tempat mereka menyusup masuk tadi.

"Orang-orang ketakutan." kata Oola dengari puas. "Mereka lari."

"Yuk—kita ke luar lewat lubang di dinding itu," kata Philip. "Aku sudah kepingin sekali menghirup udara segar, serta merasakan kehangatan sinar matahari menimpa kepalaku. Kurasa permukaan bumi pasti jauh sekali di atas kita—tapi mendingan mendaki sampai pegal, daripada terkurung terus di sini!"

Rombongan itu menyusur lorong, dan kemudian sampai di depan tembok penghalang. Tala menyorotinya dengan senter. Ternyata ada empat batu besar yang dicongkel ke luar, dan kini tergeletak di dasar lorong.

"Yuk," kata Philip. "Kau dulu, Jack—kami menyusul di belakang."

Tapi saat itu ada muka orang tersembul di tengah lubang. Orang itu menyorotkan senter ke arah mereka, lalu bersiul.

"Benar juga kata orang-orang itu tadi. Ternyata memang ada orang di sini—dan ini kan anak-anak yang ikut dengan Bill? Wah, wah—ini kan bukan mimpi, ya? Bagaimana kalian sampai bisa ada di sini?"

"Itu bukan urusan Anda!" jawab Philip dengan ketus. "Banyak pertanyaan yang ingin kami ajukan pada Anda, Pak Uma! Mana Bill dan ibuku? Selamatkah mereka?"

Orang itu—yang memang Pak Uma—tidak menjawab. Disorotinya rombongan yang ada di depannya dengan senter, untuk memastikan jumlah mereka.

"Kaliankah yang mengambil perahu motorku?" tanyanya dengan tiba-tiba. "Mana dia sekarang?"

"Itu tidak penting," kata Philip sekali lagi dengan ketus. "Jawab pertanyaanku, tentang Bill dan ibuku. Anda akan mengalami kesulitan besar karena urusan ini, Pak Uma. Kami sudah mengetahui segala rencana jahat Anda. Anda ini ternyata cuma perampok!"

Page 133: Petualangan di Sungai Ajaib

"Tutup mulut!" bentak Pak Uma, yang tahu-tahu marah. "Bagaimana caranya kalian bisa sampai di sini? Tidak ada jalan lain kecuali yang ini."

"Ada saja," jawab Philip. "Tapi Anda takkan bisa menemukannya! Sekarang bawa kami ke luar dari liang ini, dan katakan di mana Bill sekarang berada.”

Pak Uma mengatakan sesuatu pada Tala dalam bahasa orang itu. Dari nadanya yang marah, begitu pula air mukanya yang galak, ketahuan bahwa ia melontarkan berbagai ancaman pada Tala. Tapi orang itu hanya mendengarkan saja, tanpa sedikit pun mengubah sikapnya.

"Tala tidak tahu, Tala tidak tahu." Hanya itu saja yang diucapkannya berulang-ulang, dalam bahasa Inggris. Hal itu semakin menambah kemarahan Pak Uma.

"Apa katanya, Tala?" tanya Philip.

"Katanya, bagaimana kita bisa masuk ke sini? Katanya kita semua akan ditangkap, dan tidak dilepaskan lagi. ia mengatakan macam-macam— semuanya jahat. Dia orang jahat." Tahu-tahu Tala meludahi Pak Uma, yang langsung melemparkan senternya ke arah Tala, mengenai pipi orang itu. Tapi Tala malah tertawa, ia membungkuk. Dipungutnya senter yang jatuh, lalu diselipkannya ke balik sarung. Setelah itu ia berdiri lagi, dan dengan tenang menatap Pak Uma yang marah-marah.

Pak Uma mengancam dengan kepalan tinjunya, lalu menarik kepalanya kembali. Terdengar suaranya berteriak-teriak, memanggil orang-orangnya.

"ia memanggil orang-orangnya, untuk mengikat kita," kata Tala. "Pak Uma itu orang jahat. Jahat sekali!"

"Apakah ia benar-benar akan menyuruh supaya kita diikat?" tanya Dinah dengan cemas.

"Aku takkan heran," kata Jack. "ia harus menyingkirkan kita dulu, sebelum ia bisa mencuri apa yang diingininya dari bilik-bilik harta yang di bawah. Lalu setelah itu ia lari, dan kita dibebaskan kembali. Mudah-mudahan!"

"Brengsek!" tukas Dinah dengan sengit "Kukira Bill dan Ibu juga disekapnya di salah satu tempat."

"Kemungkinannya di tempat tinggalnya, di Chaldo," kata Philip. "Bagaimana kita sekarang? Kita takkan mampu melawan anak buah Pak Uma, jika mereka banyak!"

"Yuk, kita kembali saja ke perahu," kata Jack dengan tiba-tiba.

Page 134: Petualangan di Sungai Ajaib

"Itu ide bagus," kata Philip. "Tapi dengan begitu Uma bisa dengan bebas menggerataki bilik-bilik harta, dan mengambil barang-barang yang diingininya. Sedang aku sebenarnya berharap bahwa kita bisa menghalang-halanginya—dengan salah satu cara!"

"Terlambat," kata Lucy-Ann. "Mereka sudah datang!"

Seorang laki-laki muncul dari balik lubang, disusul yang kedua, lalu yang berikut. Anak-anak tidak bisa lari lagi sekarang, karena pasti orang-orang itu akan mengejar, lalu melihat ke mana mereka lari. Jadi anak-anak tetap bertahan di tempat semua. Kiki yang selama itu membungkam, begitu melihat ada beberapa orang menyusup masuk lewat lubang di tembok tahu-tahu merasa tergugah. Sambil berjingkrak-jingkrak di atas bahu Jack, burung itu menjerit. Bunyinya nyaring sekali, sehingga sangat mengagetkan orang orang Pak Uma yang datang. Sementara itu mereka sudah berenam. Semuanya maju ke arah anak-anak, dengan sikap mengancam.

"Jangan maju lagi!" kata Philip dengan galak. "Awas kalau berani menyentuh kami, nanti kalian pasti akan mengalami kesulitan besar dengan polisi."

"Polisi!" pekik Kiki dengan segera. "Polisi! Panggil polisi! Fiiieeet! Fiiiieeet!'

Keenam orang yang maju itu langsung terhenti. Mereka kaget setengah mati. Tiruan bunyi peluit melengking yang diteriakkan oleh Kiki menggema di dalam lorong itu.

"Fiiaieett! FIEEETT!"

Kedengarannya seperti takkan pernah berhenti. Tapi itu saja rupanya belum memuaskan Kiki. Tahu-tahu ia menirukan bunyi letusan knalpot mobil. Bunyi berisik itu, berbaur dengan bunyi peluit polisi, ternyata menyebabkan orang-orang itu kaget dan takut sekali. Mereka berbalik, lalu lari kembali ke lubang di dinding. Pekik jerit mereka menambah kebisingan gema di dalam lorong! Anak-anak tertawa terpingkal-pingkal, melihat keenam orang itu berebut-rebut hendak lebih dulu menyusup ke balik lubang di dinding. "Terima kasih, Kiki," kata Jack. Dielus-elusnya bulu burung kakaktua itu. "Sekali ini aku tidak mengatakan, 'Diam!' Teriakanmu tadi datang tepat sekali pada waktunya!"

Bab 27, BAGAIMANA SEKARANG?

Tala tertawa senang, melihat keenam orang itu berebut-rebut lari menjauhi segala bunyi aneh dan misterius itu. Bunyi gelaknya yang nyaring juga menggema memenuhi seluruh lorong. Oola menandak-nandak sambil bertepuk tangan dengan gembira. Rupanya mereka berdua mengira bahwa kesulitan sudah diatasi, karena anak buah Pak Uma sudah lari kocar-kacir. Tapi Philip, dan begitu pula ketiga anak lainnya sadar bahwa kenyataannya tidak begitu. Mereka saling berpandang-pandangan.

"Bagaimana—apakah sebaiknya kita mencoba lari lewat lubang itu, sementara ada kesempatan?" tanya Philip.

Page 135: Petualangan di Sungai Ajaib

"Entahlah. Di sini kita bisa dibilang aman, karena orang-orang itu sudah lari ketakutan," kata Jack. "Bagaimana pendapatmu, Tala? Mungkinkah orang-orang tadi akan datang lagi?"

"Mereka ketakutan. Takut sekali," kata Tala sambil memamerkan deretan giginya yang putih. "Mereka tidak kembali lagi. Jadi kita pergi?"

"Nanti dulu. Kita tunggu sebentar," kata Jack. "Orang-orang tadi pasti lari ke Uma untuk melaporkan apa yang terjadi—dan mungkin ia sekarang mengintai, dengan harapan akan bisa menangkap kita saat kita menyusup ke luar lewat lubang itu."

Tala mengangguk.

"Itu benar," katanya. "Kita tunggu. Uma orang yang jahat sekali."

Kemudian semuanya duduk, untuk menunggu. Selama beberapa lama tidak terjadi apa-apa. Kemudian nampak kepala seseorang tersembul di tengah lubang. Orang itu memakai sorban, dan jubah berwarna putih.

"Aku ingin bicara dengan kalian sebentar," seru orang itu. Philip diam saja, menunggu apa yang hendak dikatakan orang yang baru muncul itu.

"Aku akan ke tempat kalian sekarang. Aku ingin bicara dengan kalian," kata orang itu sekali lagi.

"Kemarilah, kalau begitu," kata Philip. Dalam hati ia bertanya-tanya, siapakah orang itu.

Pria yang memakai sorban itu menyusup masuk lewat lubang di dinding, lalu mendatangi anak-anak. Sikapnya sangat sopan.

"Bolehkah aku ikut duduk?"

"Silakan," kata Philip dengan sikap berjaga-jaga. "Kenapa Anda kemari?'

"Aku datang ini untuk mengatakan bahwa kawanku, Pak Raja Uma, sedih sekali karena telah menyebabkan kalian ketakutan," kata orang itu. "ia tadi kaget, ketika melihat kalian ada di sini—sehingga mengucapkan kata-kata yang sekarang disesalinya."

Tidak ada yang menanggapi kata-kata itu. Jack dan Philip mendengarkan dengan sikap waspada. Mau apa lagi Pak Uma sekarang?

"Orang-orangnya datang padanya, untuk mengatakan bahwa mereka tidak mau lagi bekerja untuk dia," kata orang itu dengan suaranya yang lirih. "Mereka terlalu takut! Itu berita buruk bagi Pak Uma. Kini ia terpaksa mencari pekerja-pekerja lain, sebagai pengganti. Karenanya aku dimintanya datang kemari, untuk mengatakan bahwa kalian boleh pergi. Kalian takkan diapa-apakan. ia akan mengatur agar kalian diantarkan ke

Page 136: Petualangan di Sungai Ajaib

jalan raya, lalu kalian akan dipinjami mobilnya yang paling besar, sehingga bisa kembali dengan aman sampai ke Chaldo."

"Kenapa ke Chaldo?" tanya Philip dengan segera.

"Karena Pak Bill dan istrinya ditawan di sana," jawab laki-laki bersuara lirih itu. "Kalian akan bergabung kembali dengan mereka. Apa yang kalian lakukan setelah itu, terserah pada kalian sendiri. Bagaimana—setuju?"

"Anda ini siapa?" tanya Jack secara langsung.

"Aku teman Pak Uma," jawab orang itu. "Tapi aku tidak segegabah dia. Aku mengatakan bahwa ia salah, menakut-nakuti kalian—karena kalian kan hanya anak-anak. ia mau mendengar nasihatku. Nah—maukah kalian menerima tawarannya yang bermurah hati ini? ia sungguh-sungguh menyesali perbuatannya yang terburu-buru tadi."

"Katakan padanya, kami akan memikirkannya dulu," kata Jack. "Kami perlu berembuk dulu. Kami tidak mempercayai Pak Uma, teman Anda itu."

"Sayang," kata laki-laki itu, lalu berdiri. "Aku akan menunggu di balik lubang, sampai kalian sudah selesai berembuk. Katakan keputusan kalian nanti padaku. Setuju?"

Tiba-tiba orang itu melihat mangkuk emas yang ada di sisi Tala. ia menatapnya dengan heran.

"Di mana itu kalian temukan?" tanyanya. "Bolehkah aku melihatnya?" ia membungkuk, untuk mengambil. Tapi Tala lebih cepat. Disentakkannya mangkuk itu, dan diangkatnya tinggi-tinggi. Teman Pak Uma berusaha meraihnya. Lengan jubahnya tersingkap sampai ke bahu. Tapi Tala tidak mau melepaskan mangkuk yang dipegang, ia mengumpat dalam bahasanya. Pria berjubah itu menunjukkan sikap seperti hendak memukul Tala. Tapi dengan cepat ia berhasil mengendalikan perasaannya, ia membungkuk, lalu menghampiri lubang di dinding dan menyusup ke seberang untuk kemudian menunggu di situ.

"Nah—bagaimana dengan tawarannya tadi?" kata Philip.

Jack menggeleng-geleng dengan tegas.

"Tidak, tidak, tidak! Kau tidak melihat apa-apa tadi, ketika orang itu mengangkat tangannya untuk meraih mangkuk yang dijunjung tinggi-tinggi oleh Tala? Orang itu bukan teman Pak Uma!"

"Kalau begitu siapa dia?" tanya yang lain-lain dengan heran.

"Pak Uma sendiri!" kata Jack. "Kalian tidak melihat lengan bawahnya yang sebelah kanan saat itu? Lengan jubahnya tersingkap—dan saat itu kulihat bahwa di lengannya ada goresan panjang bekas luka. Bentuknya meliuk, seperti ular!"

Page 137: Petualangan di Sungai Ajaib

Semua terdiam, mendengar kata-kata itu. Kemudian Philip bersiul pelan.

"Astaga!" desahnya. "Nekat sekali orang itu! Dengan tenang saja ia mendatangi kita! Tak pernah terlintas kecurigaan dalam hatiku bahwa ia sebenarnya Pak Uma sendiri—menyamar sebagai penduduk setempat. Logatnya berbahasa Inggris persis orang sini! Wah—Pak Uma itu ternyata sangat licin, dan banyak akalnya. Pantas foto-fotonya yang sebanyak itu, tidak satu pun menampakkan wajah yang sama!"

"Bukan main!" kata Dinah. ia masih terkejut. "Bayangkan—berani-beraninya ia kemari, lalu berbicara seperti tadi dengan kita! Mencoba membujuk kita, supaya mau masuk ke dalam perangkapnya. Untung kau tadi melihat bekas luka yang seperti bentuk ular itu, Jack!"

"Dan untung Bill mengatakan adanya tanda itu," kata Jack. "Yah—tapi apa yang sebaiknya kita lakukan sekarang? Kita katakan padanya bahwa kita tidak mau, dan kita tahu siapa dia sebenarnya?"

"Ya," kata Philip, lalu berdiri. "Yuk, kita katakan itu padanya, Jack. Kalian yang lain-lain, tunggu di sini."

Jack dan Philip berjalan menuju lubang di dinding. Pak Uma menunggu dengan tenang di situ, dengan tangan terlipat dalam lengan jubah. Penampilannya saat itu persis seperti penduduk setempat yang berkedudukan terhormat.

"Pak Uma," sapa Philip dengan berani, "kami menolak—kami tidak ingin masuk ke dalam jebakan Anda."

"Pak Uma? Apa maksudmu?" kata orang itu. "Aku bukan Pak Uma! Aku kawannya. Jangan seenaknya kalau bicara, ya!"

"Anda Pak Uma," kata Philip. "Kami tadi sempat melihat bekas luka yang berbentuk seperti ular pada lengan kanan Anda. Itu tanda untuk mengenali siapa Anda sebenarnya, Pak Uma! Dan itu cocok sekali, karena siasat Anda memang selicin ular!"

Mendengar itu, Pak Uma tidak lagi berpura-pura. Dilupakannya suara lirih, serta tingkah laku sopan, ia berteriak membentak-bentak, sambal mengacung-acungkan kepalan tinju.

"Ini kemauan kalian sendiri! Kuberi pelajaran pahit pada kalian sekarang! Kalian sangka akan bisa ke luar dari sini? Tidak! Kalian takkan bisa melihat sinar matahari lagi! Akan kusumbat lubang ini—biar kalian tidak bisa menyusup lewat sini!"

"Kalau begitu kami akan ke luar melalui jalan yang kami lewati sewaktu masuk kemari," kata Jack menggertak. "Ini bukan satu-satunya jalan masuk kemari."

Page 138: Petualangan di Sungai Ajaib

"Kalian tidak bisa mengambil jalan itu!" tukas Pak Uma. "Kalau bisa, pasti kalian sudah lama pergi! Aku tidak sebodoh sangkaan kalian. Kalian perlu diberi pelajaran—dan itu akan kuberikan!"

Pak Uma agak menjauhkan badannya dari lubang, lalu berseru memanggil sambil memalingkan kepala.

"He, Orang-orang! Sini—ada pekerjaan untuk kalian!"

Sementara itu anak-anak, begitu pula Tala dan Oola, sudah berdiri di samping dinding di seberang lubang. Mereka memasang telinga. Mereka tidak mendengar bunyi orang-orang datang di balik dinding. Pak Uma berseru sekali lagi, kini dalam bahasa yang tidak dipahami anak-anak. Dan kemudian terdengar langkah orang datang. Dua orang. Mereka menghampiri dengan langkah ragu.

"Bawa batu-batu bata kemari! Tutup kembali lubang ini!" kata Pak Uma dengan nada memerintah. Kedua orang yang datang itu menatapnya dengan masam, lalu menoleh dengan sikap ngeri ke balik lubang. Rupanya mereka ingat pada kata-kata teman-teman mereka ketika lari pontang-panting dari lorong yang ada di balik lubang itu. Melihat sikap mereka, Pak Uma tidak kehilangan akal. ia berbicara dengan cepat sekali. Kedua orang itu ternyata menanggapi dengan sikap penuh minat.

"Apa katanya, Tala?" tanya Jack.

"ia menjanjikan emas," kata Tala. "ia mengatakan bahwa jika mau menurut, nanti mereka akan bisa menjadi kaya raya."

Kedua anak buah Pak Uma saling berpandangan, lalu mengangguk. Mereka pergi, untuk mengambil batu bata. Seorang lagi kemudian datang dengan semen. Pekerjaan menutup lubang dimulai.

Anak-anak yang ada di dalam merasa bingung. Mereka tahu bahwa mereka bisa kembali ke perahu di mana ada bekal makanan yang masih cukup banyak. Dan udara segar bisa dihirup di tepi ngarai, di luar gua. Tapi akan berapa lamakah Pak Uma membiarkan mereka terkurung di situ? Mereka tahu, lambat-laun mereka mau tidak mau akan terpaksa menyerah. Ketika semua sedang memandang lubang yang mulai. ia merogoh ke balik kemejanya, untuk mengambil ular bargua yang masih mendekam di situ. Ular berwarna hijau berbintik-bintik merah dan kuning itu disodorkannya ke tepi lubang yang sementara itu sudah menyempit. Ular itu ditahannya dengan tangan di tempat itu.

"Pak Uma!" seru Philip memanggil. "Anda masih ada di situ, Pak Uma? Ini, ada sesuatu untuk Anda!"

Dengan segera Pak Uma datang, lalu mendekatkan muka ke lubang yang sedang ditutup anak buahnya, ia menyorotkan senternya ke dalam. Seketika itu juga dilihatnya ular bargua yang menggeliat-geliat di dekatnya. Pak Uma terpekik ngeri, sementara ular itu

Page 139: Petualangan di Sungai Ajaib

menggeleser ke arahnya. Ketiga anak buahnya juga melihat binatang itu. Dengan segera mereka mencampakkan peralatan yang dipegang, lalu lari sambil menjerit-jerit ketakutan.

"Bargua! Bargua!"

Tidak ada yang melihat apa yang kemudian terjadi, karena tempat di balik lubang itu kini diselubungi kegelapan. Tidak ada bunyi apa pun di situ, sementara suara pekik jerit ketiga orang tadi semakin menjauh.

"Tala mendobrak dinding," kata Tala dengan tiba-tiba. Diambilnya sekop kecil yang masih tergantung di lehernya, dan dengan alat itu ia mengorek-ngorek semen pengikat bata yang menutup lubang. Oola membantu, ikut membongkar dengan kedua belah tangannya saja. Semen itu masih lunak, jadi tidak sulit untuk membongkar tembok baru itu. Dengan segera lubang sudah kembali sebesar tadi.

"Bagus, Tala! Bagus, Oola!" kata Philip. "Sekarang kita cepat-cepat saja ke luar, sementara orang-orang itu masih ketakutan karena bargua kita. Kalian sudah siap?"

Satu demi satu mereka menyusup ke luar lubang. Ternyata mereka sampai di sebuah liang yang sangat sempit. Kelihatan jelas bahwa liang itu belum lama digali. Mereka menyusur liang itu, dan kemudian sampai di sebuah korok, yang nampaknya tegak lurus ke atas arahnya. Pada sisi korok itu ada tempat berpijak berupa jenjang-jenjang yang dibuat asal jadi. Seutas tali terjulur dari atas. Rupanya itu gunanya untuk pegangan.

"Nah—kita ke atas saja sekarang!" kata Philip sambil menyorotkan senternya ke atas. "Hati-hati! Semoga kita semua berhasil—karena ini satu-satunya jalan bagi kita untuk lari dari sini!"

Bab 28, PAK UMA DALAM KESULITAN

Pendakian untuk bisa ke luar dari korok yang dalam itu tidak mudah. Cukup lama juga mereka memanjat. Philip yang paling dulu naik, merasa kehabisan tenaga ketika akhirnya sampai di ujung atas. Memanjat dengan menopangkan kaki pada jenjang-jenjang yang dibuat asal-asalan saja, serta dengan tangan berpegangan pada tali yang tidak cukup besar, memang sangat melelahkan.

Sesampai di atas, Philip melihat bahwa sekelilingnya masih tetap gelap, ia berada dalam sebuah lorong sempit yang melandai ke arah atas. ia berdiri di ujung atas korok untuk menolong Lucy-Ann ke luar. Setelah itu ia pergi memeriksa, ke mana arah lorong landai itu. Ternyata berujung di korok lain. Tapi korok ini lebih pendek. Philip bisa melihat cahaya terang di ujungnya. Semangatnya langsung menggelora. Itu pasti sinar matahari! Sebentar lagi mereka sudah akan berada di luar kembali! Dengan segera yang lain-lainnya juga sudah sampai di ujung atas korok. Tapi Tala muncul sambil berkeluh-kesah.

"Tala tadi terpeleset," katanya. "Tala berpegangan pada tali. Sekarang tangan Tala lecet. Ini—lihatlah!"

Page 140: Petualangan di Sungai Ajaib

Kasihan Tala—rupanya ia tadi terpeleset, lalu meluncur ke bawah sementara tangannya terus menggenggam tali. Sebagai akibatnya, telapak tangannya melepuh. Philip memberikan sapu tangannya.

"Ini, kaubalut saja dengan sapu tanganku ini," kata Philip. "Kita tidak punya waktu untuk merepotkan diri dengan hal-hal begitu.—Mana ularku, ya?"

"Kausangka binatang itu akan ikut memanjat ke atas?" tukas Dinah.

"Ular bisa menggeleser ke mana saja," kata Philip. "Tapi sudahlah—kita masih harus melalui sebuah korok lagi—dan setelah itu, kita sampai di luar!"

Semua bergembira mendengar kabar itu. Korok berikut lebih mudah dipanjat, karena ada tangga dari tali tergantung di sisinya. Dengan segera semua sudah sampai di atas.

"Aahh—nikmatnya, merasakan kehangatan sinar matahari lagi!" kata Lucy-Ann sambil mengejap-ngejapkan mata, kena sinar matahari yang terang.

"Aduh, Philip—kau masih mencari-cari ular barguamu? Kau ini keterlaluan! Mana mungkin binatang sekecil itu mampu merayap naik lewat dua buah korok!" Dalam hati. Dinah merasa lega bahwa ular hijau berbintik-bintik itu tidak ada lagi bersama mereka. Tapi ia tidak berani mengatakan secara terang-terangan, karena ular itulah yang menyebabkan dengan tiba-tiba jalan terbuka bagi mereka untuk lari. Dinah memandang berkeliling, senang berada kembali di tempat yang disinari cahaya matahari.

Mereka ternyata berada di suatu tempat yang berantakan, tapi sunyi.

"Seperti tempat pembangunan di tengah gurun pasir berdebu!" kata Dinah.

"Mana orang-orang yang mestinya ada di sini?" kata Jack dengan heran. "Nah—di sana ada beberapa orang. Apakah yang sedang mereka lakukan itu? Mereka membungkuk, seperti sedang memperhatikan sesuatu."

Orang-orang yang kelihatan itu berpaling, karena mendengar suara anak-anak yang bercakap-cakap. Tahu-tahu salah satu dari orang-orang itu cepat-cepat lari mendatangi, sambil melompati tanah galian yang bertumpuk-tumpuk. Begitu sudah dekat, orang itu langsung meratap-ratap, dalam bahasanya sendiri.

"Apa katanya?" tanya Philip sambil memandang Oola dan Tala. ia heran, melihat kegugupan orang yang datang itu.

Oola tertawa puas.

"Katanya, ular bargua mematuk tuannya. Tuannya sekarang ketakutan sekali, katanya, takut mati karena racun ular. Katanya, Pak Uma ingin bicara."

Page 141: Petualangan di Sungai Ajaib

Anak-anak berpandang-pandangan, sambil bertukar senyum dengan sembunyi-sembunyi. Mereka tahu bahwa gigitan ular bargua itu tidak mengandung racun lagi. Tapi Pak Uma yang dipatuk olehnya, kini mengira bahwa ia pasti akan mati karenanya—kecuali jika cepat-cepat dibawa ke dokter untuk diselamatkan!

"Barguamu bisa mematuk?" tanya Dinah dengan suara pelan. "Kan sudah terputus saluran racunnya?"

Philip mengangguk.

"Memang masih bisa—tapi tidak berbisa lagi. Kocak juga kejadian ini!—Yuk, kita datangi Pak Uma. Aku mau tahu, apa yang ingin dikatakannya pada kita. Pasti ia sedang meratapi nasibnya."

Mereka menghampiri Pak Uma yang terkapar di tanah, ia begitu ketakutan, sehingga mukanya nampak pucat pasi. ia mengerang-erang, sambil memegangi lengan kanannya.

"Ular tadi—aku dipatuknya," katanya pada Philip. "Kau yang menyebabkan aku mati, jika tidak mau membawa aku dengan segera ke Kota Film. Di sana ada dokter-dokter yang baik! Mereka akan bisa menyelamatkan nyawaku."

"Anak buah Anda yang bernama Jallie mengatakan pada kami bahwa Bill dan ibuku Anda bawa ke Wooti," kata Philip dengan galak. "Betulkah itu? Ayo jawab! Di sanakah mereka sekarang?"

"Ya—begitu pula perahu motor kalian," kata Pak Uma dengan suara lemah. "Kita harus ke sana dengan segera. Lalu Pak Bill bisa mengantarku dengan perahunya ke hulu, ke Kota Film—lalu mencarikan dokter untukku. Tolong aku, nak! Selamatkan nyawaku! Tolonglah—kan ularmu yang mematuk aku tadi!"

Philip berpaling, ia merasa muak melihat orang yang kini meratap-ratap minta ampun, padahal tidak lama sebelumnya masih memerintahkan anak buahnya untuk mengurung anak-anak dalam lorong di bawah tanah.

"Bereskan urusan ini. Tala!" kata Philip pada Tala. Itu ada sebuah truk tertutup, dan sebuah mobil gerobak. Suruh orang-orang itu menggotong Pak Uma ke truk dan memasukkannya ke situ. Kami akan naik mobil gerobak. Truk berjalan di depan, karena Pak Uma yang tahu jalan. Kau yang mengemudikan mobil gerobak, Tala. Jadi kalau nanti terjadi sesuatu yang mencurigakan, kita bisa cepat-cepat lari menyelamatkan diri dengan kendaraan itu."

Tapi sekali ini Pak Uma sudah tidak mau main licik-licikan lagi. ia benar-benar panik setelah dipatuk ular bargua. Jadi yang diingininya sekarang hanya cepat-cepat sampai di Wooti, lalu di sana memohon pada Bill agar diantar selekas mungkin ke Kota Film. Iringan kedua kendaraan pengangkut itu berangkat. Truk tertutup di depan, diikuti mobil

Page 142: Petualangan di Sungai Ajaib

gerobak yang dikemudikan Tala. Untung saja kedua kendaraan itu kokoh, karena melintasi daerah yang boleh dibilang tidak mempunyai jalan yang pantas disebut jalan. Truk dan mobil gerobak itu terlambung-lambung terus, karena melalui tanah yang benjol-benjol. Kasihan Pak Uma, yang tergeletak di lantai truk. ia berteriak kesakitan, setiap kali tubuhnya terlambung lalu terbanting lagi ke lantai truk yang keras, ia sebenarnya tidak apa-apa. Tapi ia begitu yakin bahwa racun ular bargua sudah menjalar ke seluruh tubuhnya!

Jalan yang ditempuh menuju Wooti lumayan juga jauhnya. Tapi akhirnya mereka tiba juga di desa itu. Sesampai di sana Pak Uma memberi instruksi pada sopir. Kedua kendaraan besar itu dihentikan di depan sebuah pondok yang terpencil, di samping sebuah jalan untuk gerobak.

Sopir truk turun, lalu mengambil anak kunci yang diserahkan Pak Uma padanya. Dengan anak kunci itu dibukanya pintu pondok yang didatangi. Begitu pintu terbuka, Bill langsung memburu ke luar. Anak-anak belum pernah melihat Bill semarah saat itu!

"Mana orang yang bernama Uma itu?" sergahnya.

Sopir truk menjawab dengan serentetan kata-kata, diiringi gerakan tangan yang ribut. Melihat gerak-geriknya, ia rupanya sedang bercerita tentang Pak Uma yang dipatuk ular. Tapi Bill tidak nampak merasa kasihan. Jack dan Philip merasa bahwa sudah waktunya mereka ikut bicara.

Keduanya meloncat turun, lalu berlari-lari mendatangi Bill. Bill menatap mereka dengan heran.

"Jack! Philip! Kenapa kalian—astaga, ada apa ini? Coba terangkan, Philip. Cepat!"

Philip menuturkan seperlunya saja dulu, asal Bill mengerti bagaimana duduk perkaranya saat itu.

"Pak Uma ada di bak belakang truk itu," katanya, "ia mengira bahwa ia tadi dipatuk ular berbisa. Tapi sebetulnya tidak, karena yang mematuknya ular barguaku—kau tahu kan, ular itu sudah tidak berbahaya lagi! Pak Uma sekarang ketakutan, ingin cepat-cepat mendapat pertolongan dokter di Kota Film. Karenanya ia mau membawa kami kemari dan membebaskan kalian, agar kau kemudian bisa membawanya dengan perahu ke sana, lalu mengantarkannya ke dokter. Itulah singkatnya yang terjadi saat ini, Bill!"

"Astaga!" kata Bill. "Jadi teman kita Pak Uma itu mengira ia sekarang pasti akan mati, karena gigitan ular itu? Kalau begitu ia pasti mau mengakui beberapa dosanya selama ini, untuk meringankan hati! Baiklah—cari di mana perahu kita ditaruh, Anak-anak! Katakan pada Uma aku akan segera datang. Aku sekarang akan mengambil istriku dulu."

Page 143: Petualangan di Sungai Ajaib

Bill bergegas kembali ke pondok, diikuti oleh Philip yang sudah ingin sekali melihat ibunya lagi. Sementara itu Jack memberi tahu Pak Uma bahwa Bill akan datang, serta sekaligus menanyakan tentang perahu motor.

Wajah Pak Uma masih pucat pasi. ia mengerang-erang.

"Kau anak yang baik," katanya lirih. "Ah, rupanya ini hukuman yang harus kupikul, karena dosa-dosaku selama ini. Kehidupanku memang bergelimang kejahatan, Nak!"

"Kelihatannya memang begitu," tukas Jack tanpa sedikit pun menampakkan rasa kasihan. "Bill menanyakan, di mana perahu motor kami ditaruh."

"Di tepi sungai," rintih Pak Uma. "Racun ular sudah menjalar ke segala pembuluh darahku sekarang. Aku tahu pasti! Kita harus cepat-cepat!"

Bill muncul dari dalam pondok bersama istrinya. Bu Cunningham tidak menampakkan kesan bahwa ia terkurung selama beberapa hari di pondok itu. Sikapnya tetap riang. Sementara itu Philip sudah bercerita sedikit tentang pengalamannya bersama anak-anak yang lain. Selama itu baik Bill maupun istrinya sama sekali tidak menduga bahwa anak-anak mengalami petualangan yang begitu menegangkan.

Kemudian semuanya berangkat ke tepi sungai. Bill naik truk bersama Pak Uma, yang membeberkan kesalahannya yang begitu banyak, sampai Bill merasa kikuk mendengarnya. Kejahatan apa saja yang pernah dilakukan orang ini, katanya dalam hati.

Perahu motor memang ada di tepi sungai, seperti dikatakan oleh Pak Uma. Sementara itu anak-anak sudah sibuk bercerita tentang pengalaman mereka pada Bu Cunningham, yang bersama-sama dengan mereka naik mobil gerobak. Kiki menyambutnya dengan gembira. Berulang kali ia mengajaknya bersalaman.

"Haloapakabar," kata Kiki. Kata-kata itu diucapkannya saling bersambungan. "Halopakabar, selamat pagi, permisi!"

"Ah, Kiki—senang rasanya hatiku melihatmu lagi," kata Bu Cunningham. "Kami mengira Tala akan menjaga kalian, dan langsung mencari bantuan untuk membebaskan kami dari sekapan. Tak kusangka kalian mengalami kejadian-kejadian yang begitu tidak enak! Kasihan Pak Uma—ia pasti panik sekarang, karena patukan ular itu!"

"Ibu tidak perlu merasa kasihan padanya, Bu," kata Dinah. "Pak Uma itu orang jahat Tunggu saja sampai Ibu sudah mendengar seluruh kejadiannya. Seram, deh!"

Kedua kendaraan besar itu ditinggal di desa Wooti, dan semua berangkat naik perahu motor menuju ke Kota Film. Pak Uma juga ikut diangkut, ia tidak henti-hentinya merintih, sambil berguling-guling kian kemari. Aneh—tingkah lakunya saat itu persis orang yang keracunan setelah dipatuk ular berbisa! Bill sampai sangsi, jangan-jangan ular bargua peliharaan Philip sebenarnya masih ada racunnya.

Page 144: Petualangan di Sungai Ajaib

Kemudian kening Bill berkerut, ketika teringat pada segala kejahatan yang diakui Pak Uma yang sedang ketakutan. Apalagi rencananya yang terbaru, merampok harta kuil kuno yang sudah dilupakan orang. Bill merasa muak membayangkan pengakuan itu. Tidak! Pak Uma nanti tidak akan diantarkan ke dokter—tapi diserahkan pada polisi!

Ketika mereka sampai di Kota Film, Pak Uma kaget setengah mati. Begitu perahu merapat ke pangkalan di situ, Bill langsung memanggil dua buah mobil, ia masuk ke kendaraan yang pertama, bersama istrinya dan Pak Uma. Sedang yang selebihnya naik mobil lainnya. Lalu kedua kendaraan itu berangkat, menuju ke—kantor polisi setempat! Pak Uma hanya bisa melongo saja ketika ia tahu-tahu setengah digiring dan setengah digotong masuk ke situ—dan bukan ke kamar yang nyaman di rumah sakit, seperti perkiraannya semula.

"Apa-apaan ini?" teriaknya. "Benar-benar keterlaluan, orang yang sudah hampir mati keracunan karena dipatuk ular berbisa—masa diperlakukan seperti ini?!"

"Anda sebenarnya tidak apa-apa, Pak Uma," kata Bill sambil tertawa. "Ular yang mematuk Anda itu sudah tidak berbisa lagi, karena saluran racunnya sudah diputuskan. Jadi jangan cemas— Anda takkan mati! Tapi banyak yang akan perlu Anda jelaskan pada polisi, Pak Uma!"

Bab 29, AKHIR PETUALANGAN

Bukan Pak Uma saja yang harus memberikan penjelasan panjang lebar, tapi juga anak-anak. Begitu banyak yang perlu diceritakan pada Bill dan Bu Cunningham, sehingga rasanya diperlukan waktu seminggu untuk itu!

Pak Uma sudah diserahkan pada pihak kepolisian. Para petugas di kantor polisi geli mendengar laporan dari Bill serta anak-anak tentang orang itu, yang menyangka pasti akan mati karena dipatuk ular. Setelah itu Bill beserta rombongannya diizinkan pergi ke perahu motor mereka.

"Polisi tadi nampaknya sangat geli, melihat Pak Uma seolah-olah sangat kecewa setelah sadar bahwa ia sama sekali tidak keracunan," kata Bill. "Tapi begitulah jika orang berniat jahat—selalu saja ada kesialan yang menimpa!"

"Apakah hal itu sekarang sudah disadari oleh Pak Uma?" kata Philip. "Atau mungkinkah ia akan mengulangi kebiasaan buruknya lagi, setelah tahu bahwa ia tidak dipatuk ular bargua yang berbisa, Bill?"

"Kurasa itu tidak perlu kaupikirkan, karena sementara ini pasti ia akan lama mendekam dalam penjara karena segala kesalahannya," kata Bill. "Pokoknya cukup lama baginya untuk bisa sembuh dari patukan ular—baik yang berbisa maupun tidak. Harus kuakui, ularmu itu tahu membalas budi, Philip!"

Page 145: Petualangan di Sungai Ajaib

"Ya, memang. Tapi aku ingin ular itu kembali ada padaku sekarang," kata Philip. "Aku suka padanya."

"Jangan kaukatakan itu di depan Oola," kata Dinah ketakutan. "Nanti dibawakannya lagi beberapa ekor!"

Nikmat rasanya bisa bersantai-santai lagi sambil mengobrol di perahu. Bill hanya bisa tercengang saja, mendengar kisah petualangan yang dialami anak-anak.

"Sementara kami berdua terkurung di dalam pondok yang jendela-jendelanya berterali kokoh, dan pintu dikunci dari luar, dan tidak mengalami apa-apa selain itu—pengalaman kalian bukan main!" katanya. "Terseret arus sungai ke dalam ngarai, nyaris jatuh di air terjun, merangkak-rangkak dalam liang gelap, menjelajahi ruang-ruang berisi harta yang umurnya sudah ribuan tahun...."

"Tapi kadang-kadang keadaan kami gawat juga, Bill," kata Jack. "Di dan Lucy-Ann benar-benar hebat. Mereka setanding dengan anak laki-laki yang mana pun juga."

Kedua anak perempuan itu memandangnya dengan heran. Belum pernah terdengar pujian seperti itu keluar dari mulut Jack!

"Dan Kiki pun ikut berjasa," kata Jack lagi.

Bill tertawa.

"Ya, memang—kalau menurut cerita kalian," katanya. "Reaksinya tepat sekali, kalau mendengar kata 'polisi'."

"Polisi!" teriak Kiki dengan segera. "Panggil polisi! Fiiieeet!"

Beberapa orang yang saat itu sedang berjalan dekat perahu, langsung berhenti ketakutan.

"Jangan kaget," kata Jack pada mereka. "Yang bersuit tadi cuma burung kakaktua ini.—Ayo, Kiki! Jangan suka begitu, ah. Awas, nanti polisi benar-benar datang, lalu kau ditangkap olehnya!"

Tapi dasar burung bandel, sekali lagi Kiki bersuit dengan nyaring.

“FIIIIEEEET!”

Jack menepuk paruh Kiki.

"Anak nakal!" kata burung itu menggerutu. "Anak nakal! Panggil ingusmu, buang dokter!"

Page 146: Petualangan di Sungai Ajaib

"Senang rasanya, bisa mendengar ocehan Kiki lagi," kata Bu Cunningham. "Bayangkan—bagaimana bosannya berhari-hari disekap di dalam pondok itu. Kalau waktu itu ada Kiki, mungkin masih lumayan."

"Kalian mestinya tahu juga, Anak-anak—bahwa kalian ternyata mengadakan penemuan yang terhebat dalam abad ini," kata Bill beberapa waktu kemudian. "Aku tahu, Uma juga sudah menuju ke sana pula dengan penggaliannya. Tapi saat ini namanya buruk—karena ia mencari kuil kuno yang hebat itu hanya dengan maksud untuk merampok isinya! Itu lain dari menemukannya secara kebetulan—seperti yang kalian alami. Apalagi kalian kemudian berusaha keras untuk menghalang-halangi orang yang hendak mencemari tempat suci itu."

"Bagaimana pendapatmu tentang barang-barang yang kami bawa ke atas, Bill?" tanya Dinah bersemangat. "Mangkuk emas itu—kan terbuat dari emas, ya?—Lalu cawan, dan patung kecil itu, dan juga pisau yang kecil. Semuanya bagus-bagus, kan? Aku ingin sekali diperbolehkan memiliki kesemuanya itu. Tapi aku tahu, itu tidak mungkin!"

"Memang—karena harta peninggalan zaman purba seperti itu milik seluruh dunia," kata Bill. "Bukan saja untuk kita yang hidup sekarang ini, tapi juga generasi-generasi sesudah kita. Aku benar-benar bangga, sedikit banyak karena jasa kalian, benda-benda kuno yang tak ternilai harganya itu ditemukan kembali."

"Lalu apa yang akan terjadi dengan kuil kuno itu, Bill?" tanya Jack. "Begitu pula dengan benda-benda yang kami bawa dari sana? Kita tadi kan diminta agar menyerahkan semuanya di kantor polisi!"

"Yah—nanti benda-benda itu pasti akan diteliti oleh para ahli yang hebat-hebat dalam bidang ilmu purbakala," kata Bill. "Menurut polisi tadi, apabila sudah tersiar berita tentang ditemukannya kembali kuil zaman purba yang selama ini tertimbun di bawah tanah, pasti akan banyak ahli purbakala yang kenamaan berdatangan kemari, untuk mengawasi agar penggalian selanjutnya dilakukan secara tertib."

"Apakah kita nanti akan bisa berjumpa dengan mereka?" tanya Philip, ia sudah senang saja membayangkan kemungkinan itu. Tapi—

"Tidak. Saat itu kalian sudah akan ada di sekolah lagi," kata Bill dengan sikap keras, sambil mengisap pipanya.

"Sekolah! Aduh, Bill, kau ini jahat!" kata Dinah. ia pun sudah membayangkan betapa asyiknya nanti, bercakap-cakap dengan sekian banyak tokoh ilmuwan ternama. "Apakah kita tidak akan tinggal di sini dulu, untuk ikut melihat pekerjaan penggalian itu?"

"Wah, mana mungkin?" kata Bu Cunningham. "Penggalian itu pasti akan memakan waktu lima atau enam tahun—dan barangkali bahkan lebih lama lagi. Penggalian kuil itu takkan dilakukan dengan cara serampangan saja, seperti Pak Uma dengan orang-

Page 147: Petualangan di Sungai Ajaib

orangnya selama ini. Tanah galian nanti akan diteliti dengan saksama—bahkan mungkin disaring, sedikit demi sedikit!"

"Sayang kita tidak bisa tinggal untuk melihat keasyikan itu," keluh Lucy-Ann.

"Eh, Lucy-Ann! Keasyikan kalian selama ini—itu masih belum cukup bagimu?" tanya Bill dengan heran. "Kusangka kalian berempat sekarang sudah jenuh terhadap petualangan, sampai seumur hidup! Manusia normal pasti begitu!"

"Yah—mungkin kami ini bukan manusia normal," kata Philip, dengan mata berkilat-kilat jenaka.

"Kau yang bukan manusia normal, Philip!" kata Dinah. "Mana ada orang normal mau membawa-bawa ular. Kurasa sehabis ini, kau akan memungut unta, untuk kaujadikan binatang kesayangan!"

"Eh—aku jadi ingat lagi—Bill, hari ini aku melihat seekor anak unta, yang kelihatannya sedih," kata Philip. "Kalau ada hadiah yang akan diberikan untuk kegemilangan dalam menemukan kuil yang sudah lama hilang, kurasa hadiahku mungkin anak unta."

"Tidak bisa!" kata Bu Cunningham sambil menegakkan tubuhnya dengan segera. "Kau kan tidak bersungguh-sungguh? Maksudmu tadi— untuk dibawa pulang?"

"Tapi anak unta ini kecil sekali, Bu," kata Philip dengan tampang serius. "Ya kan, Lucy-Ann? Umurnya paling-paling baru dua hari. Wah— benar-benar man—"

"Philip! Masa kau tidak tahu, unta kalau sudah dewasa besar sekali badannya? Dan mereka tidak bisa hidup di tempat kita, yang beriklim dingin?" kata ibunya. "Aku tidak mau ada unta enak-enak duduk di tengah kebun mawarku, dan..."

"Ya, ya, baiklah, Bu," kata Philip cepat-cepat. "Itu tadi cuma gagasanku saja—karena Ibu dan Bill nampaknya begitu puas terhadap kami—jadi..."

"Jadi kausangka mumpung ada angin baik, kau hendak mencoba-coba kalau-kalau diperbolehkan memelihara unta?" sela Bill sambil tertawa lebar. "Tidak bisa, Philip. Coba usul yang lain saja!"

"Moga-moga saja kami tidak harus segera kembali ke sekolah nanti," kata Jack. "Aku masih ingin memperlihatkan pada Anda air terjun yang menghilang ke dalam bumi di ujung ngarai itu, Bibi Allie. Tidak bisakah kita melihat-lihat ke kuil kuno itu? Boleh tidak ya, kami masuk ke sana? Kan kami yang menemukan! Nanti Bibi akan bisa menyusup lewat lubang di dinding rongga gua itu, lalu kita berdiri di atas landasan batu, untuk melihat apa yang oleh Oola disebut 'air menerjun'. Pemandangannya benar-benar luar biasa, Bibi Allie! Sulit sekali bisa percaya, kalau tidak melihatnya sendiri!"

Page 148: Petualangan di Sungai Ajaib

"Oola temukan air menerjun, Oola perlihatkan Nyonya baik?" kata seseorang dengan tiba-tiba.

Semua menoleh ke arah suara itu. Rupanya Oola, yang tahu-tahu muncul.

"Ah, di situ kau rupanya!" kata Philip. "Coba kemari sebentar, Oola. Duduklah bersama kami, lalu ceritakan bagaimana kau pergi ke luar seorang diri, dan kemudian menemukan air menerjunmu itu."

Oola bangga sekali, karena diminta bercerita. Tapi ia melakukannya sambil berdiri, dengan mata bersinar-sinar. Ketika ia selesai, Bu Cunningham menarik anak itu ke dekatnya.

"Kau ini anak yang baik dan berani, Oola," kata Bu Cunningham. "Kami akan selalu ingat padamu."

"Tuan juga akan selalu ingat pada Oola?" tanya anak kecil itu, sambil menatap Philip.

"O ya, selalu," jawab Philip. "Kalau kami kapan-kapan kembali lagi kemari, untuk melihat kuil yang sementara itu sudah seluruhnya tergali, serta menonton hartanya yang dipamerkan, kau harus menjadi pemandu kami, Oola. Janji ya?"

"Oola berjanji. Oola akan sekolah, Oola akan melakukan semua yang dikatakan Tuan," kata anak itu. Tahu-tahu ia membungkuk, lalu cepat-cepat pergi.

Suasana di perahu hening selama beberapa saat sesudah itu.

"Aku suka sekali pada anak itu," kata Lucy-Ann kemudian. "Kau juga, Jack?"

Bukan hanya Jack, tapi semuanya mengangguk untuk mengiakan. Anak kecil itu memang luar biasa—sehebat harta yang ditemukan di dalam kuil. Mungkinkah mereka kapan-kapan akan berjumpa dengan Oola? Itu sudah pasti!

"Wah—begitu banyak kita berbicara, sampai lidahku seperti lemas rasanya," kata Bu Cunningham. "Tapi masih ada yang perlu kukatakan, untuk melegakan hati kalian. Kita pulang nanti tidak naik pesawat udara—tapi lewat laut! Jadi baru kira-kira seminggu kemudian kita sampai di rumah lagi."

"Asyik!" seru Dinah bersemangat, diikuti oleh yang lain-lainnya. Bayangkan—masih satu minggu lagi bersantai-santai!

"Apakah saat itu kami akan sudah cukup bertetirah?" tanya Lucy-Ann. "Apakah kami akan sudah cukup sehat, sehingga bisa bersekolah lagi?"

"Aduh, kau ini! Kalian kan sudah sehat sekali! Lebih sehat lagi dari sehat—itu mustahil!"

Page 149: Petualangan di Sungai Ajaib

Setelah itu mereka berdiam diri, mendengar bunyi air sungai yang mengalir, berkecipak membelai tepi perahu.

"Sungai Petualangan," kata Lucy-Ann dengan suara pelan. "Tidak ada nama lain yang lebih cocok. Kita menemukan petualangan, di sepanjang tepinya."

"Dan bukan petualangan yang sembarangan," kata Jack. Tiba-tiba ia mengaduh, karena telinganya dicubit oleh Kiki dengan paruhnya. "Awas ya—nanti paruhmu kupolesi!"

"Polesi! Polisi! Polisi—panggil polisi!" teriak Kiki, lalu— “

“FIIIIEEEEET!”

Selamat jalan, Kiki! Kau memang selalu mau menang!

TAMAT