perumahan swadaya. konsep, pembelajaran dan praktek unggulan
Upload: pusat-informasi-virtual-air-minum-dan-penyehatan-lingkungan-piv-ampl
Post on 06-Jul-2015
557 views
DESCRIPTION
Menjelaskan tentang perumahan swadaya sebagai bahan masukan pengambil keputusan khususnya yang berada di pemerintahanTRANSCRIPT
PERUMAHAN SWADAYA
KONSEP, PEMBELAJARAN DAN PRAKTEK UNGGULAN
Oswar Mungkasa1
I. PENDAHULUAN
Perumahan dan permukiman merupakan kebutuhan dasar manusia bahkan Persatuan
bangsa-Bangsa (PBB) telah menegaskan rumah sebagai hak asasi manusia. Hal ini didasari oleh
prinsip bahwa hak untuk hidup sebagai hak yang paling kodrati tidak akan dapat pernah tercapai
kecuali semua hak-hak dasar yang dibutuhkan ketika manusia hidup seperti “hak untuk bekerja,
makan, rumah, kesehatan, pendidikan, dan budaya” dapat tercukupi (adequately) dan tersedia
(available) bagi setiap orang. Pengakuan terhadap hal ini tercantum dalam berbagai perjanjian
dan regulasi baik internasional maupun di Indonesia sendiri.
Sebagai konsekuensinya maka negara memiliki kewajiban untuk mengakui hak setiap
warga negara atas standar hidup yang layak yaitu meliputi kecukupan atas makanan, pakaian dan
perumahan serta senantiasa meningkatkan perbaikan kondisi penghidupan secara terus-menerus.
Namun data menunjukkan bahwa masih terdapat sekitar 8 juta rumah tangga di Indonesia yang
belum menempati rumah yang layak huni2. Hal ini menunjukkan bahwa Negara yang diwakili
oleh pemerintah dan pemangku kepentingan ternyata belum berhasil memenuhi hak warga
negara terhadap kebutuhan perumahan. Kondisi ini menjadi isu utama sejak beberapa dekade
terakhir terkait pembangunan perumahan.
Disadari oleh semua pihak bahwa penanganan isu ini tidak akan dapat dilaksanakan
sendiri oleh pemerintah, dengan berbagai keterbatasan baik pendanaan maupun kapasitas sumber
daya manusia. Untuk itu, terbuka peluang keterlibatan para pemangku kepentingan mulai dari
pengembang, komunitas, dan individu masyarakat. Bahkan fakta menunjukkan bahwa kontribusi
masyarakat baik pada tingkat komunitas maupun individu dalam pembangunan perumahan
sangat siginfikan. Tidak terdapat data yang pasti tetapi UN-Habitat menunjukkan bahwa sekitar
70 persen investasi perumahan di negara-negara berkembang dilakukan oleh masyarakat,
1 Staf Bappenas. Penulis pernah bekerja di Kementerian Perumahan Rakyat (2010-2012).
2 Data ini dikeluarkan oleh Kemenpera dan merupakan hasil extrapolasi dari data RPJMN 2010-2014. Diperkirakan
pertambahan backlog sekitar 800 ribu per tahun. Sementara BPS menyatakan bahwa rumah tangga yang belum memiliki rumah
layak huni mencapai sekitar 13,6 juta rumah tangga. Perbedaan mendasar adalah pada konsep memiliki (BPS) dan menghuni
(Kemenpera).
khususnya dalam bentuk rumah tumbuh (progressive housing/incremental shelter). Bahkan di
Indonesia jumlahnya mencapai 90-95 persen (UN-Habitat, 2005). Selengkapnya pada Tabel 1.
Tabel 1
Proporsi Rumah Swadaya dibandingkan Pendapatan Nasional Bruto (PNB)/Kapita
Negara
Perkiraan
Proporsi Rumah
Swadaya (%)
Pendapatan Nasional
Bruto/Kapita (PPP $)
(WHO, 2006)
Sumber Data
Nikaragua 85 2.720 Pemerintah Nikaragua (2005)
Indonesia 90-95 3.310 UN Habitat (1993)
Peru 70 6.490 De Soto (2000)
Meksiko 50 11.990 Potter dan Lloyd-Evans (1991)
Sumber: UN Habitat, 2005.
Hal ini menunjukkan peran masyarakat sendiri dalam pemenuhan rumah tidak dapat
diabaikan. Keterlibatan masyarakat ini yang kemudian di label menjadi rumah swadaya, yang
secara sederhana diartikan sebagai upaya masyarakat baik secara individu maupun berkelompok
dalam memenuhi kebutuhannya terhadap rumah.
Kondisi ini yang memungkinkan pemerintah menjadikan perumahan swadaya sebagai
salah satu ujung tombak pemenuhan hak asasi masyarakat. Namun disadari sepenuhnya bahwa
masih banyak pekerjaan rumah yang perlu diselesaikan untuk menjadikan perumahan swadaya
berjalan efektif dan efisien. Dibutuhkan suatu skenario yang menyeluruh mulai dari paradigma,
prinsip dasar, kebijakan, strategi, peta jalan, sampai pada kebutuhan pendanaan dan sumber daya
manusia yang disepakati oleh semua pemangku kepentingan.
II Sejarah dan Perkembangan Perumahan Swadaya3
2.1 Awal Berkembangnya Perumahan Swadaya
Perumahan swadaya terlihat seperti sesuatu yang baru terutama ketika John Turner
memformulasikan pemikiran perumahan swadaya pada tahun 1960an (Harris, 1998). Fakta
menyatakan bahwa perumahan swadaya merupakan hal yang sama tuanya dengan kehidupan
manusia (Pugh, 2001). Bahkan dikatakan bahwa perumahan swadaya telah dipraktekkan jauh
sebelum perencanaan kota diperkenalkan yaitu pada awal tahun 1900, bahkan jauh sebelumnya.
Menurut Mathey (1992) and Tait (1997), sejarah skema perumahan swadaya, khususnya
di Negara berkembang dimulai tahun 1930an ketika institusi pemerintah AS melaksanakan
percontohan di Puerto Rico, Kolombia dan Chili. Keivani and Werna (2001) mendukung
pernyataan ini dengan menyatakan bahwa di banyak tempat di Afrika penduduk membangun
sendiri rumahnya seperti skema yang dikenal sekarang sebagai perumahan swadaya. Jadi
sejatinya John Turner hanya memperkenalkan skema perumahan swadaya, dalam bentuk yang
3 Dalam literatur perumahan swadaya dikenal dengan istilah self-help housing.
lebih ilmiah. Bahkan sebelum perang dunia II, dikenal Jacob L. Crane sebagai penyuara teori
dan praktek perumahan swadaya melalui tulisan dan beberapa proyeknya. Namun kemudian
upaya dan tulisannya terlupakan (Harris, 1998).
Peningkatan penerimaan terhadap kebijakan perumahan swadaya di Negara berkembang
sejak tahun 1960an tanpa didahului pelaksanaan uji coba sebelumnya. Disadari bahwa pemikiran
Turner lah yang banyak mempengaruhi. Sepertinya terdapat dua hal yang berpengaruh terhadap
pengembangan perumahan swadaya di dekade 1960 dan 1970. Menurut Harris (2003), para ahli
PBB memegang peran utama. Pengetahuan mereka terakumulasi dan ditularkan setelah perang
dunia II. Institusi riset juga memegang peran (Turner, 1976). Jadi pemikiran Turner sebagai
pemicu dan pendorong, sementara berbagai pihak mempraktekkannya di lapangan. Pemikiran
Turner yang merubah persepsi umum menjadi perumahan swadaya sebagai alternatif penyediaan
perumahan masyarakat miskin (Harris, 2003).
Dari literatur yang ada, dapat dibedakan tiga bentuk perumahan swadaya, (i) swadaya
mandiri (laissez-faire self-help), senyatanya tanpa campur tangan pemerintah; (ii) swadaya
berbantuan pemerintah (state-aided self-help), berupa skema penyediaan prasarana, sarana dan
utilitas (PSU) oleh pemerintah, dan (iii) swadaya terlembaga (institutionalized self-help), campur
tangan pemerintah melalui lembaga perumahan (Ntema, 2011).
Perkembangan perumahan swadaya banyak berkutat pada perumahan swadaya
berbantuan. Didasari pada pemahaman bahwa pemerintah seharusnya menolong warganya
membangun tempat tinggalnya. Pertama kali hal ini dilaksanakan di Swedia pada tahun 1904
ketika pemerintah menciptakan program pinjaman perumahan ke pemilik tempat tinggal.
Kemudian, beragam program perumahan swadaya bermunculan sepanjang tahun 1920-an di
Eropa barat dan Uni Sovyet. Namun hanya sedikit yang bertahan seperti di Stockholm dan Wina.
Dekade beikutnya, berbagai Negara mencoba melaksanakan program perumahan swadaya
dengan tujuan menyediakan rumah layak huni yang terjangkau bagi rumah tangga miskin seperti
di Perancis, Jerman, Yunani, dan Finlandia (Harris, 1998). Perumahan swadaya di Eropa Barat
sebagian besar dilaksanakan ketika krisis ekonomi setelah perang, khususnya di Jerman (Harms,
1982). Di AS, program ini mendukung keluarga miskin di perdesaan dalam bentuk perumahan
swadaya gotong royong (mutual self-help housing). Namun program sejenis yang dianggap
paling berhasil adalah di Kanada (Schulist dan Harris, 2002).
Memasuki era 1940an dan 1950an, perumahan swadaya berbantuan di AS dimulai tahun
1939 ketika Otoritas Perumahan Ponce (Puerto Rico) memulai skema lahan dan PSU (sites and
services), dengan konsekuensi pemerintah menyediakan lahan dan sertifikatnya kepada keluarga,
dan memberikan beragam bentuk bantuan teknis bagi perumahan penduduk miskin (Harris,
1998). Program sejenis juga dilaksanakan Negara lain dalam rangka memerangi masalah
perumahan dengan biaya sekecil mungkin. Setelah tahun 1945, program ini disebarkan oleh
institusi pemerintah di AS, utamanya oleh Jacob Crane dan menyusul PBB. Jacob Crane lah
yang pertama kali memperkenalkan istilah ‘aided self-help’ (perumahan swadaya berbantuan)
dan dikaitkan awalnya dengan perdesaan dan upaya meminimalkan urbanisasi. Kemudian diikuti
oleh Negara Amerika Latin. Di India dan Afrika Selatan, program ini telah dikenali sejak akhir
tahun 1940.
Perumahan swadaya berbantuan dianggap lengkap karena mencakup pandangan liberal
tetapi juga terdapat komponen sosial, tetapi terutama terlihat berseberangan dengan perumahan
publik.
Sebelum tahun 1960, perumahan swadaya sering dilihat sebagai masalah sosial dan
penggambaran kemiskinan perkotaan. Pada tahun 1960, Anthropolog Amerika William Mangin
dan Arsitek Inggris John Turner, keduanya bekerja di Peru, tertarik terhadap perumahan swadaya
yang digambarkan sebagai fenomena positip terkait perumahan sosial, khususnya di permukiman
kumuh Peru (Fernandez-Maldonado, 2007). Berbeda dengan Negara Amerika Latin lainnya,
Peru dan Kolombia sudah terbiasa dengan perumahan swadaya berbantuan sejak awal tahun
1940 (Harris, 1998). Bahkan di Peru, sejak tahun 1956 perumahan swadaya telah banyak
dipraktekkan4. Implementasi Undang-Undang Perumahan di Peru tahun 1961 banyak terbantu
oleh dukungan dari Inter-American Development Bank. Pada saat itu, John Turner merupakan
penulis terkenal tentang isu perumahan swadaya melalui tulisannya ‘Peru Experiences’
(Bredenoord, 2011).
Sebagai konsekuensi hasil karya Mangin dan Turner, sejak awal tahun 1970 Bank Dunia
mulai membiayai penyediaan tempat tinggal dan lahan bagi rumah tangga miskin. Pinjaman
berbunga rendah ditawarkan termasuk pinjaman bergaransi, subsidi, rencana rumah standar, dan
petunjuk konstruksi. Pada tahapan ini, uji coba skema ‘lahan dan layanan dasar’ (sites-and-
services) digiatkan dan mereplikasinya kemudian. Namun upaya ini kurang berhasil karena
replikasi membutuhkan pemulihan biaya (cost recovery) tetapi pengembaliannya kurang
berhasil, penerima manfaat tidak tergerak membayar kembali dan secara politis tidak didukung
pemerintah. Kelihatannya komitmen masyarakat terbatas.
Sejak awal tahun 1980, sikap optimis terhadap perumahan swadaya berbantuan mulai
berubah. Pertama, memperoleh lahan relatif sulit, kecuali pada saat dilaksanakan di Peru (lahan
dimiliki oleh pemerintah). Selanjutnya dibutuhkan investasi yang cukup besar untuk PSU.
Menjadi jelas bahwa perumahan swadaya berbantuan dengan lahan, layanan dasar, rumah inti,
dan rencana penanganan kumuh, bukan merupakan satu-satunya jawaban bagi masalah
perumahan (Mathey, 1992). Penyediaan tempat tinggal oleh pemerintah tidak realistis, tetapi
input pemerintah dapat beragam seperti bantuan teknis, penyediaan lahan baik berupa bank tanah
maupun ‘land pooling’.
Setelah tahun 1992, perumahan swadaya sepi peminat. Tema perumahan berubah
menjadi lebih luas seperti Habitat, dan pendekatan skala kota. Pada era 1990an, kecenderungan
privatisasi mempengaruhi visi pemerintah, dan perumahan dipandang sebagai barang privat,
sekedar tanggungjawab keluarga. Secara umum, di dunia internasional kepedulian terhadap
perumahan swadaya menurun tajam sejak tahun 1980an. Terkecuali di Afrika Selatan, karena
krisis perumahan tahun 1994, perumahan swadaya memperoleh perhatian kembali. Pemerintah
4 Pada tahun 1961, di Peru diluncurkan undang-undang yang mengatur tentang permukiman informal dan secara
tersistematis mempromosikan konsep rumah swadaya.
Afrika Selatan menyediakan skema lahan dan layanan dasar termasuk rumah inti sementara
penduduk meningkatkan luasan dan kualitas tempat tinggal mereka sendiri di kemudian hari
(Bredenoord, 2011).
Teori perumahan swadaya dalam konteks negara berkembang biasanya mengacu pada
JFC Turner (Turner, 1976). Namun harus diakui bahwa rumah swadaya berbantuan telah
berlangsung lama sebelum munculnya ide Turner pada tahun 1960-1970. Lebih lanjut, ide
Turner terkait erat dengan kebijakan skema PSU dan kebijakan neo-liberal yang dipromosikan
oleh Bank Dunia (Pugh, 1992). Walaupun ide Turner tidak dapat digolongkan baru tapi
implikasinya pemerintah mulai menyadari bahwa tidak seharusnya pemerintah menyediakan
sesuatu yang masyarakat dapat menyediakannya secara swadaya. Konsekuensinya Turner
menjadi pendukung skema PSU (site-and-services) atau dikenal sebagai rumah swadaya
berbantuan, yang berarti pemerintah bertanggungjawab menyediakan layanan dasar dan rumah
tangga bertanggungjawab membangun unit rumahnya (Pugh, 2001).
2.2 Pergulatan Pemikiran Perumahan Swadaya
2.2.1 Campur Tangan Pemerintah vs Kendali Penuh Masyarakat
Pemikiran Turner timbul sebagai tanggapan terhadap kegagalan pemerintah dalam
penyediaan perumahan di Negara berkembang5. Turner meletakkan sumber masalah pada
pelaksanaan sistem yang rumit dan birokratis (Ward, 1982). Turner menyarankan sejumlah
konsep yang mempengaruhi dan merubah pemikiran terhadap perumahan masyarakat miskin
pada dekade 1960 dan 1970.
Pada setiap program perumahan sebaiknya masyarakat diberi kewenangan penuh
terhadap pengambilan keputusan, misalnya bentuk dan desain lingkungan mereka. Dengan
demikian, program terlepas dari kerumitan birokrasi atau pendekatan atas-bawah (top-down).
Sebagai pelengkap pemberian kewenangan bagi masyarakat, Turner menggunakan konsep
‘freedom to build’, yang diartikan sebagai ‘who decides’. Alasannya bahwa hasil terbaik ketika
penerima manfaat mengendalikan sepenuhnya desain, konstruksi dan pengelolaan. Tidak terlalu
penting siapa yang membangunnya, terkecuali penerima manfaat sangat miskin (Harris, 2003).
Ketika masyarakat diberi kewenangan mengendalikan konstruksi rumah mereka, biasanya rumah
yang terbangun sesuai kapasitas ekonomi, sosial, budaya mereka (Marcussen, 1990). Maka,
Turner mengingatkan untuk tidak memisahkan kontribusi tenaga (sweat equity) dari ide kendali
oleh masyarakat. Maksudnya untuk memastikan kontribusi tenaga tidak secara otomatis
disamakan dengan membangun sendiri, sebagaimana yang sering terjadi (Turner, 1976).
5 Secara umum dalam setiap perdebatan pro dan kontra perumahan swadaya, terdapat 3 (tiga) penjelasan utama
yang mendukung perumahan swadaya. Pertama, kemampuan pemerintah tidak tak terbatas (Ward, 1982).
Akibatnya, kebutuhan rumah tidak dapat terpenuhi. Kedua, pemukim liar seharusnya dipandang sebagai sumber
daya pertumbuhan perumahan daripada sebuah masalah sosial. Ketiga, penyediaan rumah oleh pemerintah tidak
dapat memenuhi kebutuhan masyarakat yang sangat beragam secara sosial, budaya dan ekonomi termasuk
prioritasnya.
Disebutkan oleh Turner, peran pemerintah tidak seharusnya berupa mendikte persyaratan
pada masyarakat yang mampu melaksanakan pembangunan rumahnya. Dibutuhkan perubahan
peran pemerintah dalam proses penyediaan rumah bagi penduduk miskin. Pemerintah sebaiknya
(melalui peran dukungan) menyediakan beragam aspek yang tidak dapat disediakan sendiri oleh
masyarakat seperti lahan, regulasi, peralatan, kredit, know-how dan land tenure (Payne, 1984;
Ward, 1982). Kendali oleh masyarakat memastikan bahwa rumah lebih murah dan terjangkau
baik oleh masyarakat atau pemerintah dan karenanya peran yang berbeda membuat hasil
kegiatan lebih efektif.
Sebagai ilustrasi, permukiman liar yang dibangun sesuai regulasi memungkinkan rumah
dibangun lebih murah separuhnya dibanding jika dibangun oleh pemerintah (Harris, 2003).
Meskipun pada awalnya pembangunan dapat terlihat kurang rapi tetapi akhirnya akan membaik
dengan berjalannya waktu seiring meningkatnya kondisi ekonomi mereka (Turner, 1976). Turner
menyebutnya konsep “housing as a process” (perumahan sebuah proses) dan “progressive
development” (pembangunan berkemajuan) (Harris, 2003; Turner, 1976).
Turner mempertimbangkan rumah sederhana6 sebagai tempat tinggal yang selalu sedang
dalam proses. Pemilik rumah akan membiayai perijinannya, dan lingkungan yang sehat tercipta,
akhirnya rumah terbangun lengkap. Hal ini didukung oleh Pugh (2001) ketika menyatakan
bahwa “pemilik mampu memperbaiki rumahnya bertahap, menggunakan material yang lebih
baik, memperluas ruang setidaknya dalam 15 tahun”. Dibutuhkan dua hal yaitu (i) penciptaan
lingkungan yang mendukung penggunaan sumber daya setempat, (ii) menugaskan pemerintah
untuk melindungi dan menyediakan sumber daya yang sulit diperoleh seperti memperbaiki
layanan dasar yang akan mendorong tersedianya rumah (Stein, 1991).
Turner berpendapat perumahan swadaya sebagai aspirasi kemanusian yang mendalam,
dinyatakan dalam istilah seperti rumah oleh rakyat (housing by people), dan rumah adalah kata
kerja (housing is a verb) (Harris, 2003). Housing is a verb mengacu pada rumah selalu
berkembang, sementara housing by people mengacu pada partisipasi aktif masyarakat dalam
proses. Keterlibatan masyarakat memungkinkan tersedianya rumah yang terjangkau dan sesuai.
Dari pengalamannya, Turner berpendapat pemukim liar di Negara berkembang mengetahui
persis kebutuhannya dan bagaimana cara memenuhinya (Marcussen, 1990).
Nilai dari sebuah rumah terletak lebih pada fungsinya daripada materialnya. Sehingga
seharusnya tercipta kaitan yang erat antara bangunan, fungsinya, dan manusia yang
menempatinya. Turner lebih mementingkan kesesuaian bangunan dengan fungsi dan pemanfaat,
dan kurang memberi perhatian pada standar bangunan. Untuk alasan itu, rumah yang dibangun
sendiri akan lebih murah. Rumah sebaiknya diperlakukan sebagai produk yang dikonsumsi
hanya sesuai nilai manfaatnya, keluaran dari upaya penghuninya dalam bentuk rumah swadaya
yang menghabiskan waktu mereka dalam proses pembangunannya (Soliman, 2004).
Hasil pemikiran Turner berdampak sangat besar. Untuk pertama kalinya penghuni
perumahan liar dipandang sebagai penghuni normal dari sebuah kota dari sudut kebutuhan,
ambisi, dan upaya mencapainya (Smith, 1987). Sebagai hasilnya, permukiman informal mulai
6 Bahkan Turner mengistilahkannya shack atau dalam bahasa Indonesia berarti gubuk
dipandang lebih positif oleh pengambil keputusan. Asumsi ini telah menjadi dasar skema
program perumahan swadaya.
Dalam kenyataan, Turner tidak menutup peluang keterlibatan pihak lain (termasuk
pemerintah). Kritik utama terhadap pemikiran Turner yang berasal dari kaum Marxis adalah ide
Turner tidak punya dasar dan tidak realistis.
2.2.2 Perspektif Neo-Marxist terhadap Perumahan Swadaya
Burgess merupakan pendukung ternama dari ideologi Neo-Marxist terkait perumahan.
Menurut Soliman (2004), ide Burgess didasarkan terutama pada prasangka terhadap ideologi
Marxist dan juga dukungan yang besar terhadap sistem sosialis. Burgess (1977; 1978)
menyatakan bahwa secara umum perumahan tidak hanya sebuah proses menghasilkan nilai
manfaat (use values), sebagaimana dikatakan Turner, tetapi juga menghasilkan nilai tukar
(exchange values) (Stein, 1991).
Perumahan sebagai sebuah komoditas perlu dianalisa berdasar pada proses sosial
mendasar yang biasanya dikaitkan dengan produksinya, konsumsi dan pertukaran. Perumahan
sebaiknya dipertimbangkan hanya dalam kaitannya dengan ketertarikan beragam orang dan kelas
sosial ekonominya (Stein, 1991). Stein (1991) menekankan bahwa rumah swadaya harus
dianalisis sesuai keterkaitannya dengan proses komoditas dan bukan nilai manfaat yang dimiliki.
Aspek lain yang menjadikan rumah sebagai komoditas (menurut Burgess) adalah fakta bahwa
rumah terbuat dari produk komersial (semen, atap dan lainnya). Kesemuanya, menurut Soliman
(2004) telah mempunyai nilai tukar yang dihasilkan dari waktu kerja yang dihabiskan. Menurut
Burgess (1977), sangat sulit memisahkan program swadaya berbantuan dari kepentingan
permodalan. Hal yang membuat rumah swadaya lebih murah adalah bukan tidak
diperhitungkannya keuntungan tetapi lebih pada keterlibatan tenaga kerja sukarela (sweat equity)
(Stein, 1991). Burgess menyatakan bahwa tenaga kerja sularela seharusnya dipandang bukan
sebagai upaya membuat rumah lebih terjangkau tetapi lebih sebagai mekanisme melepaskan
pemerintah dari tanggungjawabnya dengan membebankan pada penduduk miskin.
Selanjutnya, istilah ‘freedom to build’ pada kenyataannya sangat sulit dijalankan dan
dibatasi oleh pertentangan keinginan antara berbagai pemangku kepentingan. Maka keterlibatan
swasta dan pemerintah dalam penyediaan rumah akan tetap merupakan kunci keberhasilan
penyediaan perumahan bagi penduduk miskin, termasuk skema swadaya. Burgess mengaskan
bahwa rumah swadaya baik mandiri maupun berbantuan tidak benar-benar otonom tetapi tetap
terpengaruh oleh beragam kepentingan baik finasial maupun politik dari yang berkuasa (Dewar
et al., 1981). Kondisi ini dapat berdampak pada kesulitan memperoleh bantuan finansial pada
akhirnya. Burgess mengkritik Turner yang gagal mengenali peran pemangku kepentingan kunci
seperti pemerintah. Peran pemerintah tetap penting (Harms, 1976).
Penekanan Turner pada pemakaian material dan tenaga setempat memungkinkan
terbentuknya permukiman kumuh yang baru dengan rumah yang kurang layak (Midgley et al.,
1986).
2.2.3 Kebijakan Bank Dunia dan Pemikiran Turner
Bank Dunia menjadi terlibat aktif dalam pendanaan perumahan penduduk miskin pada
1970an. Meskipun awalnya keterlibatan ini dipengaruhi oleh pemikiran Turner tetapi dalam
prakteknya terjadi perubahan signifikan (Pugh, 2001). Bank Dunia menjalankan pemikiran
Turner secara keekonomian dan konsekuensinya kebijakannya merujuk pada keterjangkauan dan
pemulihan biaya yang dihasilkan dari rumah swadaya (World Bank, 1993). Implikasi praktisnya
adalah (i) Pembiayaan perumahan. Bank dunia bermaksud mengadopsi pinjaman rumah dan
bukannya subsidi pemerintah (Pugh, 2001). Alasan utamanya untuk menjadikan perumahan
lebih terjangkau pemerintah, sementara tanggungjawab finansialnya bergeser ke institusi
keuangan dan donor (Marais, 2003). Penekanan pada pinjaman rumah dapat juga dilihat sebagai
strategi bank Dunia untuk menjamin peran perumahan penduduk miskin pada tingkat Ekonomi
makro dan berkontribusi pada pertumbuhan ekonomi (Alan, 2000).
Tujuan Bank Dunia adalah untuk mendorong pemerintah dan institusi keuangannya
mengembangkan program dan mekanisme efisien yang akan menjamin keberhasilan pemulihan
biaya (Pugh, 1992). Hal yang menonjol adalah keinginan Bank Dunia menjadikan penghuni dan
bukan pemerintah yang bertanggungjawab terhadap biaya penyediaan perumahan. Dalam kaitan
ini, bank Dunia menekankan individu dan prinsip penghuni membayar (user-pay principle)
(Marais, 2003). Program ini mengharapkan pemerintah untuk memastikan bahwa rumah
terjangkau dan tidak menjadi beban sumber daya keuangan pemerintah yang terbatas.
Tidak lama kemudian, perumahan swadaya mendapat label ‘neo liberal’ dan dipandang
sebagai cara kapitalis mengurangi tanggungjawab pemerintah, sementara prinsip pemulihan
biaya menggeser tanggungjawab pembiayaan ke rumah tangga miskin.
2.2.4 Peran Pemerintah dalam Pemenuhan Rumah sebagai Hak Asasi
Rumah sebagai hak dasar bahkan hak asasi telah lama disepakati di dunia internasional.
The International Covenant on Economical and Social Rights (untuk selanjutnya disingkat
CESCR) telah disusun dan disepakati sebagai bagian dari Hukum HAM Internasional (The
International Bill of Rights) dengan maksud tidak lain adalah untuk melindungi hak-hak asasi
manusia sehingga manusia dapat hidup sebagai manusia seutuhnya, bebas, aman, terlindungi dan
hidup sehat. Hak untuk hidup sebagai hak yang paling kodrati tidak akan dapat pernah tercapai
kecuali semua hak-hak dasar yang dibutuhkan ketika manusia hidup seperti “hak untuk bekerja,
makan, rumah, kesehatan, pendidikan, dan budaya” dapat tercukupi (adequately) dan tersedia
(available) bagi setiap orang. Pasal 1 Ayat (1) CESCR menyatakan secara jelas tentang hal ini.
Tanggungjawab Pemerintah
Berdasar komentar umum Nomor 15 dari Komite PBB tentang Hak Ekonomi, Sosial dan
Budaya bahwa hak atas rumah sebagaimana hak asasi lainnya menghasilkan tiga tipe kewajiban
bagi negara yaitu (a) kewajiban menghargai (to respect). Kewajiban ini mengharuskan negara
tidak mengganggu baik langsung maupun tidak langsung keberadaan hak atas rumah. Kewajiban
ini termasuk misalnya tidak membatasi akses kepada siapapun; (b) kewajiban melindungi (to
protect), dalam bentuk mengatur pihak ketiga. Kewajiban ini mengharuskan negara untuk
menghalangi campur tangan pihak ketiga dengan cara apapun keberadaan hak atas rumah. Pihak
ketiga termasuk individu, kelompok, perusahaan dan institusi yang dibawah kendali pemerintah.
Kewajiban ini termasuk mengadopsi regulasi yang efektif.dan (c) kewajiban memenuhi (to fulfil)
berupa fasilitasi, promosi dan penyediaan. Kewajiban ini mengharuskan pemerintah mengambil
langkah untuk memenuhi hak atas rumah. Sementara ketentuan Pasal 11 Ayat (1) CESCR
menambahkan satu kewajiban bagi negara yaitu menyosialisasikan (“the obligation to promote).
Indikator Pemenuhan Hak
Dalam kaitan pemenuhan hak terhadap rumah, Komite Hak Ekonomi Sosial Budaya
memberikan penjelasan terhadap ketentuan Pasal 11 CESCR tentang apa yang dimaksud rumah
layak huni (”adequate housing”) yaitu yang memenuhi 6 (enam) indikator. Keenam indikator ini
yang menjadi kewajiban Pemerintah baik pemerintah pusat maupun pemerintah daerah untuk
dapat memenuhinya dalam rangka menjamin pemenuhan hak atas rumah yaitu (1) sifat
kepemilikan haknya (security of tenure), (2) ketersediaan pelayanannya (availability of services),
(3) keterjangkauan daya beli masyarakatnya (affordability), (4) kelayakan sebagai tempat tinggal
(habitability),(5) adanya peluang bagi setiap orang (accessibility), serta (6) kesiapan lokasi dan
daya dukung budaya (location and cultural adequacy).
III Definisi dan Konsep Dasar
3.1 Definisi
Istilah perumahan, menurut Khurana (2001), diartikan sebagai satu paket layanan terdiri
dari lahan, fasilitas publik, akses ke tempat kerja dan layanan sosial lainnya, dan juga termasuk
bangunannya sendiri (Ntema, 2011).
Konsep perumahan swadaya, dari sudut pandang perumahan penduduk berpendapatan
rendah, diartikan sebagai kegiatan kelompok penduduk berpendapatan rendah dalam memenuhi
kebutuhan rumah melalui sumber daya sendiri baik berupa tenaga kerja dan keuangan (Zhang,
Zhao dan Tian, 2003). Sementara Dewar, Andrew dan Watson (1981), menekankan hal yang
sedikit berbeda, dengan menyatakan bahwa perumahan swadaya adalah sebuah proses
pembangunan rumah yang individu dan komunitas memegang kendali terhadap keputusan
tentang rumah dan lingkungannya, tanpa perlu membangunnya sendiri. Untuk definisi ini,
perumahan swadaya didefinisikan sebagai proses pembangunan perumahan yang memungkinkan
penduduk miskin bertindak sebagai pengambil keputusan pada tahapan perencanaan, desain,
pengelolaan dan implementasi sementara pemerintah hanya menyediakan dana awal, pelatihan
pengelolaan dan pengawasan selama pelaksanaan proyek (Ntema, 2011).
Sebagaimana dikemukakan terdahulu, terdapat tiga bentuk berbeda dari perumahan
swadaya, yaitu (i) perumahan swadaya terlembaga (institutionalized self-help housing) mengacu
pada pelaksanaan perumahan swadaya melalui institusi berbasis masyarakat seperti koperasi atau
kelompok swadaya. Di dunia internasional, kelompok swadaya ini dikenal sebagai koperasi
perumahan (housing co-opratives). Di Afrika Selatan dikenal sebagai Pusat Bantuan Perumahan
(Housing Support Center); (ii) Perumahan swadaya mandiri (Laissez-faire self-help housing)
didefinisikan sebagai proses swadaya yang tidak dicampuri oleh pemerintah. Ini terjadi pada
penduduk menengah ke atas atau pada permukiman informal (Harris, 1991). Tetapi dalam
beberapa kejadian, perumahan swadaya mandiri juga mendapat bantuan dari pemerintah tetapi
penduduk tetap memegang kendali penuh terhadap keputusan pelaksanaan pembangunan. Jadi
ide dasarnya, sepanjang kendali tetap oleh penduduk, masih dipertimbangkan sebagai perumahan
swadaya mandiri. (iii) Perumahan swadaya berbantuan didefinisikan sebagai program yang
skema PSU nya memegang peran penting, pemerintah bertanggungjawab terhadap penyediaan
layanan dasar, dan pemilik rumah bertanggungjawab membangun rumahnya. Di Afrika Selatan,
perumahan swadaya berbantuan termasuk pembangunan rumah inti (core house) oleh
pemerintah, namun pengembangan rumah tahap berikutnya menjadi tanggungjawab pemilik
rumah. Namun, perdebatan yang terjadi selama ini adalah terkait apakah subsidi termasuk rumah
dan seberapa luasan sebuah rumah inti.
Teori Turner menekankan hak individu dan kemampuan membuat keputusan tentang
desain dan konstruksi. Kondisi ini dapat terjadi hanya jika pemerintah berkeinginan mengenali
sebuah ‘gubuk’ sebagai rumah yang dalam tahap pembangunan, sehingga lebih memberi
dukungan daripada peran dominan dalam membantu penghuni meningkatkan kondisi rumahnya.
Perubahan peran pemerintah ini akan mendukung ide Turner tentang rumah oleh masyarakat dan
bukan rumah massal milik pemerintah.
3.2 Beragam Bentuk Perumahan Swadaya
Secara ringkas disebutkan pada bagian terdahulu bahwa perumahan swadaya terbagi
dalam tiga kelompok besar, namun dalam kenyataannya perumahan swadaya dapat dipraktekkan
dalam berbagai bentuk. Pertama, ketika tersedia dana dan kemampuan yang memadai untuk
membangun rumah. Keluarga mampu mengelola bantuan dari anggota keluarga lainnya. Kedua,
ketika kualitas rumah yang akan terbangun tergantung pada bantuan pemerintah atau organisasi
non pemerintah. Bantuan ini dapat berbentuk fasilitas dasar, sampai bantuan fasilitas
pembiayaan. Selengkapnya pada Tabel 2
Tabel 2 Jenis dan Kualitas Rumah Skema Perumahan Swadaya
Tingkatan Penjelasan produk perumahan Perkiraan Biaya Produksi
(USD)
Perkiraan Biaya untuk
Total Paket (USD)
P 1 Lahan dengan layanan dasar (air
dan kepemilikan lahan)
1.000 – 1.500 1.000-1.500
P 2 Lahan berikut layanan dasar
ditambah pinjaman
Nilai dikonversi ke pemba-yaran
bulanan tergantung tingkat
bunga dan lamanya pinjaman
Pembayaran bulanan
P 3 Lahan dengan layanan dasar, tangki
septik, dan pinjaman
Tambahan biaya untuk tangki
septik 500
1.500 – 2.000
(P) + H 1 Lahan dengan layanan dasar, tangki
septik, bantuan teknis (rencana
konstruksi dan ijin)
Tambahan biaya untuk bantuan
teknis 500
2.000 – 2.500
(P) + H 2 (P) + H 1 dan tambahan berupa 500 – 1.000 2.500 – 3.500
Tingkatan Penjelasan produk perumahan Perkiraan Biaya Produksi
(USD)
Perkiraan Biaya untuk
Total Paket (USD)
material dan pinjaman
(P) + H 3 (P) + H 2 dan tambahan berupa
material dan bantuan teknis
1.000 – 1.500 3.000 – 4.000
(P) + H3 (P) + H 2 dan tambahan berupa
material dan rumah inti
3.500 – 5.000 6.000 – 8.500 atau lebih
Sumber: Bredenoord, 2011.
3.3 Tahapan Perumahan Swadaya
Disadari sepenuhnya bahwa tahapan pembangunan rumah swadaya akan sangat
bervariasi, sehingga pada naskah ini akan ditampilkan beberapa hasil riset tentang tahapan ini.
Hasil riset pertama adalah hasil kajian Bredenoord (2002) dan Bredenoord dan Veldkamp
(2004) di Lima, Peru, yang mengungkapkan praktek perumahan swadaya pada lokasi
metropolitan. Tahapan awal biasanya swadaya murni.
Tahap pertama. Tahap pertama adalah tahap paling dasar dari rumah swadaya, dengan bantuan
dari pemerintah (pusat dan/atau daerah) berupa layanan dasar. Ketika rumah penampungan telah
siap, keluarga membangun rumahnya sedikit demi sedikit dengan bantuan anggota keluarga
lainnya dan bahkan teman. Pada awalnya rumah yang terbangun dalam bentuk yang sangat
sederhana.
Sumber foto: Bredenoord (2004)
Tahap Stabilisasi. Berharap. Pada tahap kedua, keluarga telah bertempat tinggal dan
mempunyai pendapatan, kemudian mereka mendapat akses kredit dari LSM untuk membeli
material. Keluarga kemudian mempekerjakan pengawas atau mandor untuk bantuan teknis.
Walaupun demikian, secara umum keluarga lebih senang menabung, dan jika perlu meminjam
dana secara informal dari kerabat atau sahabat. Akhirnya terdapat kebutuhan tersedianya akses
ke sumber pembiayaan eksternal.
Sumber foto: Bredenoord (2004)
Tahap Konsolidasi. Aman. Pada tahap ketiga, rumah inti sudah siap dan keluarga dapat
melibatkan tenaga profesional untuk menambah luas atau menambah lantai. Namun keluarga
tetap harus dapat mengendalikan biaya pembangunan, dan standar kelayakan bangunan tetap
terpenuhi. Keterlibatan anggota keluarga dalam kegiatan fisik tetap dimungkinkan untuk
menekan harga, namun tenaga tukang akan lebih sering dipekerjakan. Tahapan ini dapat berjalan
baik karena keluarga mempunyai kondisi ekonomi lebih baik dan pengalaman dari tahap
sebelumnya (Bredenoord, 2011)
Sumber: Bredernoord (2004)
Ketiga tahapan di atas dapat juga dilihat dari perspektif lain menurut Greene dan Rojas
(2008) berdasar proses pembangunan rumah bertahap yaitu (i) akses ke lahan perumahan; (ii)
pembangunan rumah inti yang layak huni; (iii) peningkatan kualitas rumah secara bertahap.
Pada setiap tahapan, dimungkinkan intervensi pemerintah agar prosesnya menjadi lebih efisien
dan efektif (Brenoord, 2011).
Rumah swadaya dapat dikembangkan melalui rumah swadaya gotong royong (mutual
self-help) dan pemerintah bersama LSM dapat mendukung dengan memberi insentif berupa
bantuan teknis. Sebagai hasilnya, perumahan swadaya dapat menjadi cara meningkatkan taraf
hidup.
IV Kebijakan Pemerintah tentang Perumahan Swadaya di Negara Berkembang7
Ditengarai terdapat hubungan langsung antara pertambahan permukiman liar di berbagai
belahan bumi khususnya di Negara berkembang dan ketidakmampuan masyarakat memiliki
rumah konvensional (Skinner dan Rodell, 1983). Dalam rangka menangani permukiman liar,
pemerintah kembali melakukan campur tangan langsung dalam penyediaan tempat tinggal pada
tahun 1950-1960. Namun banyak pemerintah negara berkembang menyadari bahwa mereka
tidak mempunyai cukup dana ataupun penguasaan teori dan praktek untuk merumahkan seluruh
penduduk miskin sesuai standar sebagai bagian dari pendekatan campur tangan pemerintah
(Ward, 1982). Akibatnya, pada tahun 1970an, kebijakan perumahan menekankan pembangunan
disponsori oleh pemerintah menyediakan tempat tinggal kepada penduduk miskin yang
kemudian dikritik oleh berbagai pihak. Hal yang tidak dapat dihindari ketika terjadi kesenjangan
antara kebutuhan dan ketersediaan adalah meningkatnya permukiman liar, perumahan bangun
sendiri, bertambahnya kepadatan dan meningkatnya ketertarikan terhadap paradigma
keswadayaan (Payne, 1984). Perlu dicatat bahwa keswadayaan tidak hanya telah menjadi proses
perumahan konvensional bagi manusia, tetapi juga telah dipraktekkan sejak tahun 1930-1940
(Harris, 2003).
Perumahan berbantuan pemerintah memungkinkan peran langsung pemerintah sebagai
pengembang, penyandang dana, dan/atau kontraktor dalam proses pengembangan perumahan.
Walaupun terdapat indikasi keterlibatan pemerintah sebelum perang dunia II di Eropa,
penghancuran permukiman perkotaan selama perang dunia II memacu keterlibatan langsung
pemerintah setelah perang.
Namun, literatur menunjukkan bahwa hanya sedikit Negara yang benar-benar menangani
masalah perumahan menggunakan pendekatan campur tangan pemerintah (Hardoy dan
Satterthwaite, 1997). Campur tangan pemerintah selalu dikritik karena ketidakmampuannya
untuk menyediakan rumah yang terjangkau bagi penduduk miskin (Skinner and Rodell, 1983),
dan berlokasi jauh dari tempat kerja dan fasilitas sosial (Gilbert, 1997), lebih cenderung
mementingkan sisi produksi dibanding sisi permintaan (Ward, 1982), dan kekurang berhasilan
dalam pemulihan biaya untuk pengelolaan (Gilbert dan Gugler, 1992). Faktor lainnya adalah
kekurangan luasan lahan yang terjangkau, standar bangunan yang terlalu ketat dan kekurangan
material lokal (Harris, 1999a; Harris dan Giles, 2003; Rondinelli,1990). Campur tangan
pemerintah tidak hanya tidak terjangkau tetapi juga berarti subsidi yang besar dari pemerintah,
yang dalam jangka panjang terbukti tidak layak (Awotona, 1999; Gilbert dan Gugler, 1992;
Payne, 1984; Tipple, 1994). Negara Amerika Latin dan Afrika mengalami masalah terlalu
besarnya subsidi perumahan, yang berarti berdampak negatif terhadap ketersediaan dana
pembangunan (Awotona, 1999; Harris, 1997).
Sebagaimana dikemukakan sebelumnya, konsekuensi campur tangan pemerintah dalam
7Sebagian besar materi pada sub bab ini diambil dari Lejone John Ntema. Self-Help Housing in South Africa:
Paradigms, Policy and Practice. Disertasi. Faculty of The Economic and Management Sciences (Centre for
Development Support) University of the Free State, Bloemfontein, Afrika Selatan, Mei 2011.
penyediaan tempat tinggal adalah pertumbuhan pesat permukiman informal. Diperkirakan
dikarenakan kondisi rumah buruk dan gelandangan, terdapat antara 600-850 juta penduduk kota
di Amerika Latin, Afrika dan Asia yang tinggal pada permukiman kumuh (Alan, 2000). Menurut
United Nations Center for Human Settlements (UNCHS), 64% persediaan rumah di Negara
berkembang dan sekitar 85% dari rumah baru ternyata tidak resmi (unauthorized) (Berner dan
Philips, 2003). Menghadapi kenyataan ini, Keivani dan Werna (2001) menyatakan bahwa
program perumahan publik langsung oleh pemerintah di Negara berkembang telah gagal, dengan
kontribusinya hanya sekitar 10% dari total persediaan rumah. Meskipun demikian, tetap saja
terdapat pengecualian seperti di Singapura, Hongkong dan Arab Saudi (Berner, 2001).
Di Hongkong, tujuan utama penyediaan rumah bagi penduduk miskin adalah memastikan
tidak terdapat sejengkal tanah yang menjadi perumahan liar. Namun, program ini walaupun
berhasil memenuhi tujuannya tetapi gagal memenuhi kebutuhan penduduk miskin (Dwyer,
1975). Keberhasilan Singapura dan Arab Saudi disebabkan sejumlah faktor (Marais, 2003).
Pertumbuhan ekonomi Singapura berdampak pada berkurangnya ketergantungan penduduk pada
pemerintah dan menurunnya pertambahan penduduk. Hal ini memungkinkan pemerintah
meningkatkan dana bagi penyediaan rumah bagi penduduk miskin. Selain itu, tidak seperti
Negara berkembang lainnya, lahan di Singapura dimiliki pemerintah, sehingga pemerintah tidak
perlu menyediakan dana pembelian lahan. Sementara di Arab Saudi, pendapatan Negara yang
sangat besar memungkinkan pemerintah menyediakan rumah bagi setiap penduduk (Hardoy dan
Satterthwaite, 1997).
Meskipun terdapat contoh keberhasilan campur tangan pemerintah, banyak pemerintahan
di Negara berkembang menyadari bahwa mereka tidak dapat memenuhi kebutuhan rumah
penduduk, mereka juga tidak menginginkan terbentuknya permukiman liar. Sebagai jalan tengah,
pemerintahan mengalihkan pendekatannya ke perumahan swadaya. (Berner, 2001). Terlepas dari
niat baik campur tangan pemerintah, tetapi diragukan bahwa pemerintah dapat mengatasi
masalah kekurangan rumah khususnya bagi penduduk miskin
V Pelaksanaan Perumahan Swadaya di Negara Berkembang
Pada bagian ini akan dikemukakan pelaksanaan perumahan swadaya, terutama konsep
swadaya berbantuan dan swadaya terlembaga.
5.1 Rumah Swadaya Berbantuan
Pada skema rumah swadaya berbantuan, pemerintah tetap berperan menyediakan
beberapa fasilitas perumahan yang tidak terjangkau masyarakat miskin. Sementara masyarakat
berusaha merumahkan diri mereka sendiri, pemerintah bertanggungjawab mendukung dengan
menyediakan lahan yang murah, penjaminan hak, dan layanan dasar seperti air, limbah, listrik.
Di luar ide ini, konsep site-and-services terlahir (Payne, 1984). Banyak program seperti ini yang
didukung oleh lembaga bantuan asing seperti Bank Dunia. Skinner dan Rodell (1983)
menyatakan bahwa prinsip site-and-services berbeda dari prinsip konvensional dalam dua cara
yaitu (i) keluarga yang berpindah ke lingkungan site-and-services hanya menerima rumah yang
belum jadi dikenal dengan istilah core housing (rumah inti/tumbuh) yang dibangun pemerintah
untuk dikembangkan nantinya. Alternatif lain, keluarga dapat menerima hanya berupa lahan dan
utilitas dan rumah tumbuh pada proyek yang mahal melalui skema site-and-services. Penerima
manfaat menjadi penanam modal yang membuat keputusan sendiri dan menghasilkan produk
akhir. Namun perlu juga dicatat, kadang kala dalam proyek mahal (expensive project),
pemerintah yang membangun rumah tumbuh dan menyerahkan ke penghuni untuk diselesaikan .
Ini menjadikan pemerintah tetap dapat mengendalikan penyediaan rumah bagi penduduk miskin.
A. Manfaat Rumah Swadaya Berbantuan
Terdapat dua keuntungan terkait rumah swadaya berbantuan atau site-and-sevices yaitu
(i) mempunyai potensi menyebarkan dana yang terbatas seluas mungkin, (ii) tidak hanya
penerima manfaat yang untung, tetapi juga pemerintah. Pemerintah terbebas dari kewajiban
keuangan membiayai pembangunan rumah untuk penduduk miskin (Payne, 1984).
Sebagai penutup, menurut Mukhija (2004) and juga Skinner and Rodell (1983) proyek
site-and-services menandakan tidak hanya pembangunannya dalam jangka panjang (rumah
sebagai sebuah proses), kecepatan dan biaya yang sesuai kemampuan penghuni, tetapi lebih
penting lagi, bahwa rumah dapat ditempati sebelum rumah selesai dibangun.
B. Kritik terhadap Swadaya Berbantuan
Salah satu kritik terkeras terhdap rumah swadaya berbantuan adalah bahwa skema ini
bukan merupakan strategi yang efektif bagi penyediaan rumah untuk penduduk miskin (Burgess,
1992). Prinsip pemulihan biaya tidak berjalan sebagaimana mestinya. Disamping kemampuan
penanganan oleh pemerintah juga terbatas seperti kekurangan tenaga penagih, pengelolaan yang
tidak memadai terhadap utilitas.
Pada daerah perkotaan, skema site-and –services menjadi tidak realistis karena mahalnya
harga lahan. Bukti menunjukkan bahwa pasokan selalu kurang dari kebutuhan. Lamanya
pelaksanaan kegiatan juga menjadi kendala. Banyaknya masalah administratif dan manajemen
memerlukan waktu tambahan untuk memantau dan pemerintah menganggap sulit menyediakan
sumber daya manusia yang sesuai. Karenanya, banyak proyek site-and-services yang
berlangsung sampai 10 tahun. Penerapan pemulihan biaya juga menjadikan program sering tidak
menjangkau sasaran penduduk miskin (Keivana dan Werna, 2001).
5.2 Perumahan Swadaya Terlembaga (Institutionalised Self-Help Housing)
Di dunia internasional, biasanya perumahan swadaya dilaksanakan melalui lembaga
tertentu. Hal ini melibatkan kelompok swadaya yang sering disebut koperasi perumahan
(Khurana, 2001). Menurut Khurana, koperasi perumahan dapat digambarkan sebagai sebuah
perkumpulan masyarakat yang terbentuk secara resmi dalam rangka mencapai tujuan yang sama
berupa pemenuhan kebutuhan rumah atau perbaikannya. Keivana dan Werna (2001) juga
menyebutkan bahwa kelompok tersebut dapat berunding atas nama anggotanya untuk
memperoleh lahan dari pemerintah atau mengajukan permohonan dan menerima kredit atau
pinjaman pemilikan rumah dari pemerintah dan dari institusi formal lainnya, menerima material
bangunan dan mempekerjakan kontraktor membangun perumahan. Hal yang berbeda dari
koperasi perumahan adalah bahwa anggotanya bersifat sukarela, dikendalikan secara demokratis,
dan anggota menyumbang dana yang relatif sama sebagai kontribusi modal ke koperasi
(Khurana, 2001). Namun, peran pemerintah, baik langsung maupun tidak langsung, pada
kegiatan koperasi ini masih menjadi perbincangan.
A. Skala Keterlibatan di Negara Berkembang
Beberapa Negara berkembang telah memanfaatkan koperasi perumahan sebagai alternatif
menyediakan rumah bagi penduduk miskin (Khurana, 2001). Tercatat banyak Negara
berkembang, berdasar pengalaman dan sejarah pembangunan perumahan masing-masing, telah
memanfaatkan keberadaan koperasi perumahan sebagai mekanisme mempercepat pembentukan
modal yang dibutuhkan dan meningkatkan jumlah dan kualitas rumah yang terjangkau bagi
penduduk miskin (Gonzalez Corzo, 2005). Sehingga, pada Negara-negara ini, koperasi
perumahan swadaya dianggap kendaraan yang bermanfaat bagi rumah tangga miskin
mengendalikan lingkungannya dan meningkatkan kualitas hidupnya.Beberapa Negara yang
tercatat adalah India, Jordania, Bangladash, Indonesia, Malaysia, Pakistan, Thailand, Iran,
Cuba, Pereira, Egypt, Botswana, Zimbabwe and Zambia (Khurana, 2001).
Perlu disimak, koperasi perumahan di beberapa Negara tersebut mencatatkan pencapaian
yang fantastik. Sebagai misal, koperasi perumahan di India menyumbang sekitar 10,8 persen dari
persediaan rumah tahunan antara tahun 1991-1995 (Sukumar, 2001). Di Iran, koperasi
perumahan berkontribusi setidaknya 6 persen dari total investasi perumahan sejak diperkenalkan
pada tahun 1985 (Keivana dan Werna, 2001).
B. Keberadaan dalam Negara Bersistem Sosialis
Meskipun perumahan swadaya mendapat cap neo-liberal, namun bukan berarti di Negara
sosialis perumahan swaadaya tidak mendapat tempat. Sebut saja misalnya Uni Sovyet, India dan
Kuba pada masa itu.
Sejak awal, pemerintah Kuba telah merasa bertanggungjawab memenuhi kebutuhan dasar
seperti rumah, makanan, pendidikan dan kesehatan. Terdapat dua alasan untuk itu. Hal ini sesuai
dengan garis kebijakan ekonomi makro pemerintah. Ideologi sosialis menghrauskan mereka
member prioritas untuk mendistribusikan kesejahteraan kepada penduduk miskin. Hal ini
memberi penekanan pada pentingnya campur tangan pemerintah pada penciptaan kesejahteraan
masyarakat termasuk ketersediaan perumahan (Ramirez, 2005).
Memasuki era tahun 1980an, kondisi ekonomi mengalami perubahan. Perekonomian
Kuba mengalami guncangan dan pertumbuhan ekonomi menurun drastic. Sebagai akibat,
pemerintah tidak mampu lagi menyediakan cukup dana untuk memenuhi kewajibannya sebagai
Negara berpaham sosialis, yaitu kebutuhan dasar disediakan pemerintah termasuk perumahan.
Pemerintah Kuba memutuskan beralih ke skema perumahan swadaya melalui sistem
‘micro-bridges’ (konsepnya sama dengan kelompok swadaya) dari buruh sukarela untuk
pembangunan perumahan publik . Penyediaan ‘micro-bridges’ dipandang sebagai sebuah cara
yang efektif dari pemerintah dalam mendukung inisiatif perumahan. Memang sulit dibayangkan
bahwa Pemerintah Kuba yang nota bene berpaham sosialis (ideologi Marxist) dapat mengadopsi
sebuah sistem yang mendorong pemanfaatan tenaga kerja sukarela dalam penyediaan
perumahan. Dari sudut pandang kaum Marxis, Burgess mengkritik dan menamai praktek tersebut
sebagai ketidaadilan mekanisme pemerintah untuk menghemat dana dengan memanfaatkan
rumah tangga miskin (Burgess, 1977). Walaupun seharusnya ini dilihat sebagai keterpaksaan
pemerintah Kuba mengadopsi konsep perumahan swadaya yang member peran lebih banyak
pada masyarakat. Tetapi pada dasarnya pemerintah Kuba sendiri gagal melaksanakan konsep
perumahan swadaya secara benar. Terlihat dari keleluasan yang diberikan pada masyarakat
hanya dalam porsi terbatas. Seperti dikatakan oleh Ramirez (2005), pemaduan konsep micro-
bridges kedalam proyek Perumahan Komunitas di Pogolloti, digunakan sebagai cara pemerintah
menghilangkan kendali institusi masyarakat dan mengembalikannya ke institusi pemerintah.
Dalam prosesnya, partisipasi penghuni hanya dalam bentuk diberi informasi terkait desain
rumah, dan melibatkan tenaga kerja sukarela untuk pekerjaan ringan seperti pengecatan,
sementara keseluruhan proses pengambilan keputusan berada di tangan institusi pemerintah
(Ramirez, 2005).
C. Pembenaran Keberadaan Koperasi Perumahan
Sejumla alasan dapat dikemukakan terkait keberadaan koperasi perumahan, yaitu (i)
menjamin keterlibatan sejumlah besar masyarakat; (ii) membantu kelompok membangun rumah
layak huni; dan (iii) memanfaatkan tabungan untuk kebutuhan perumahan (Khurana, 2001).
Gonzalez Corzo (2005) menyatakan bahwa sejak lama koperasi perumahan dimanfaatkan
untuk mengumpulkan modal dan meningkatkan kualitas dan jumlah rumah yang terjangkau di
daerah perkotaan di dunia. Dimungkinkan bagi koperasi untuk berfungsi sebagai model institusi
tabungan bagi rakyat miskin untuk membangun rumahnya sendiri, dan sebagai institusi yang
membangun perumahan masyarakat miskin yang terjangkau dan layak huni (Khurana, 2001).
Secara umum, koperasi perumahan menjalankan dua metode dalam program
konstruksinya. Menurut Khurana (2001), membangun dan menyerahkan ke pemilik, atau
menyediakan pinjaman kepada anggota yang akan membangun sendiri rumahnya. Di Kairo,
koperasi membangun rumah dengan satu kamar, utilitas, dan lingkungannya, kemudian
diserahkan ke pemilik untuk melengkapi kekurangannya sesuai kemampuannya. Rumahnya
disebut rumah inti (nucleus house) (Khurana, 2001).
Lebih jauh, untuk menghemat dana, pemilik akan secara bersama-sama memanfaatkan
material lokal. Mereka didorong untuk mendirikan pusat bangunan di daerah mereka, yang
berfungsi menyiapkan kebutuhan material dalam jumlah banyak sehingga dapat menurunkan
harga material (Gough, 1996).
Di Zimbabwe, perumahan swadaya terlembaga mendirikan pusat bangunan yang
memproduksi pintu, dan jendela dari bahan local dan teknologi sederhana untuk menekan biaya
rumah. Sekitar 400 pusat bangunan telah terbangun di seluruh India, untuk membantu
masyarakat miskin memperoleh material bangunan dan keterampilan untuk membangun sendiri
rumahnya bahkan menciptakan lapangan kerja. Pada seluruh pusat bangunan, bekerja sekitar 55
000 mandor, tukang ledeng, tukang kayu, tukang listrik yang sebelumnya telah dilatih (Keivana
dan Werna, 2001).
D. Campur Tangan Pemerintah
Disepakati bahwa perumahan swadaya relatif tidak terlalu dicampuri oleh pemerintah,
namun pada dasarnya tidak benar-benar terlepas dari pemerintah. Terdapat dua cara pemerintah
melakukan intervensi yaitu secara langsung melalui regulasi atau kebijakan dan penyediaan
sumber daya utama seperti keuangan, bantuan teknis, dan tidak langsung melalui institusi
keuangan.
Campur tangan jenis pertama dapat berdampak positip maupun negatip. Secara positip
dalam bentuk penyediaan pinjaman yang dapat digunakan untuk membeli material dan
membayar buruh. Masyarakat membangun rumah secara berkelompok sehingga pembelian
material juga secara berkelompok. Di India, pemerintah menyediakan pinjaman kepada institusi
sukarela yang mengatur rumah tangga miskin dalam koperasi perumahan (Sukumar, 2001),
Selain juga mengembangkan pusat pelatihan koperasi yang diberi tugas menyediakan informasi,
pelatihan administrasi. Koperasi perumahan di Mumbai dimanfaatkan oleh pemerintah dan LSM
untuk mempercepat kegiatan bersama, swadaya, dan kelompok usaha kredit informal. Sementara
pemerintah Bangladesh membentuk Bangladesh Co-operative Housing Federation dengan
maksud memperbesar dukungan keuangan, pengawasan dan koordinasi kegiatan terbatas pada
koperasi perumahan yang terafiliasi (Khurana, 2001)
Di Bogota, Colombia, kebijakan subsidi perumahan diperkenalkan pada tahun 1990
dimaksudkan untuk meningkatkan kondisi perumahan dan membantu masyarakat miskin secara
langsung. Pemerintah tidak lagi memberikan rumah secara cuma-cuma tetapi menyediakan
subsidi kepada keluarga miskin. Skemanya berupa setiap keluarga yang membutuhkan subsidi
harus menyiapkan uang muka sebesar lima persen dari nilai pinjaman dan kemudian dibantu
dipersiapkan untuk membentuk kelompok yang akan membantu memberi solusi melalui program
perumahan swadaya terlembaga (Alan, 2000).
Contoh lainnya keberhasilan campur tangan pemerintah, Skinner and Rodell (1983)
menjelaskan tentang the Chawama Institutionalised Self-help Project di Kafue (Zambia),
pemerintah menghibahkan lahan, memberikan ruang kantor, menyediakan pinjaman murah dari
pemerintah pusat, sementara LSM mendonasikan dana dan peralatan, membayar tenaga
professional yang mendesain rumah dan mengelola pelaksanaan konstruksi. Hal ini menandakan
kerjasama pemerintah dengan LSM berjalan dengan baik.
Salah satu tantangan utama pemerintah adalah menyediakan sumber dana yang murah.
Kesulitannya adalah tidak adanya kepercayaan dari lembaga keuangan terkait penyediaan dana
bagi pembangunan rumah masyarakat miskin. Sejak lama, bank di Negara berkembang menolak
membiayai penyediaan rumah bagi masyarakat miskin. Dikatakan dalam berbagai literatur
bahwa keengganan keterlibatan bank komersil dalam menyediakan dana bagi koperasi
perumahan dapat disebabkan oleh (i) besarnya potensi kegagalan kredit; (ii) koperasi perumahan
menjadi tidak independen; (iii) perumahan menjadi komoditas daripada sebagai alat
pemberdayaan komunitas. Pertanyaannya kemudian apa yang dapat membuat bank tertarik?.
Jawabannya sebagaimana dikemukakan oleh Khurana (2001) dapat belajar pada pemerintah
Indonesia yang menjamin keseluruhan dana yang dipinjam oleh koperasi perumahan. Hal ini
dapat dipandang sebagai pedang bermata dua yaitu (i) menjamin keuntungan dan resiko bank,
(ii) menjamin bahwa pemerintah tetap merupakan mitra utama penyediaan rumah bagi
masyarakat miskin. Skema sejenis juga dilaksanakan di Bangladesh, Malaysia, Pakistan, and
Thailand (Khurana, 2001). Upaya pemerintah ini dapat dipandang sebagai dorongan
mempercepat tercapainya keinginan masyarakat miskin meemperoleh rumah. Pada akhirnya,
bantuan pemerintah ini memberi pembenaran pada pemikiran Turner bahwa pemerintah hanya
perlu menyediakan sumber daya yang tidak dimiliki oleh rumah tangga miskin (Khurana, 2001).
Pada sisi negatifnya, dikatakan bahwa keterlibatan pemerintah baik keuangan maupun
administratif pada program perumahan swadaya telah mengurangi independensi koperasi
perumahan. Bukannya menjadi perusahaan dari masyarakat tetapi perusahaan dikendalikan
pemerintah. Salah satu contohnya adalah di India.
Sebagai kesimpulan, keterlibatan pemerintah dalam perumahan swadaya terlembaga,
ternyata walaupun dapat mendorong ketersediaan rumah bagi masyarakat miskin tetapi di lain
pihak ternyata mengurangi independensi koperasi perumahan mealui bantuan teknis baik berupa
dana maupun administrasi. Hal ini mengurangi salah satu prinsip perumahan swadaya yaitu
kendali penghuni.
E. Manfaat Perumahan Swadaya Terlembaga
Berdasar kenyataan lapangan, perumahan swadaya terlembaga dapat berpotensi
meningkatkan produksi rumah, mengurangi biaya bagi penghuni dan pemerintah, dan
berkontribusi pada pengurangan kemiskinan. Hal lainnya, mempromosikan ‘rumah dihuni I oleh
pemilik’ (owner-occupancy), yang dipercaya dapat mendorong stabilitas sosial, memberi
kebanggaan bagi pemilik, sekaligus mendorong tabungan dan investasi (Harris dan Giles, 2003).
Lebih jauh lagi, sebagaimana dinyatakan oleh Gough (1996), Keivana dan Werna (2001) dan
Sukumar (2001), koperasi perumahan mempunyai manfaat bagi rumah tangga miskin setidaknya
dalam tiga hal, yaitu (i) pengumpulan sumber daya secara bersama membantu menurunkan biaya
setiap rumah; (ii) jika memungkinkan, keahlian yang dimiliki oleh anggota koperasi dapat
dimanfaatkan dalam pelaksanaan pembangunan perumahan (Sukumar, 2001); (iii) walaupun
selama ini penduduk miskin tidak mempunyai akses ke lembaga keuangan, dengan terbangunnya
rumah mereka dengan sendirinya peluang tersebut menjadi terbuka (Sukumar, 2001).
Selain itu, koperasi berpeluang menciptakan eksternalitas positip melalui penciptaan
lapangan kerja, meningkatnya penerimaan pajak bagi pemerintah setempat, dan dampak
berganda terkait bertambahnya investasi dan konsumsi (Gonzalez Corzo, 2005).
Keuntungan lainnya sebagaimana dikemukakan oleh Khurana (2001), Rodriguez and
Astrand (1996) and Rondinelli (1990), dari skema ini adalah termasuk kemampuannya
menghindarkan eksploitasi ekonomi terhadap penghuni, sebagai alat untuk meningkatkan kendali
penghuni. Berbeda dengan perumahan public, koperasi meberdayakan penghuni untuk
mengendalikan setiap tahapan. Lebih penting lagi, pemeliharaan lingkungan juga menjadi
tanggungjawab penghuni yang dapat mengurangi biaya pemeliharaan dan meningkatkan
kepuasan dari penghuni. Keterlibatan penghuni dalam setiap tahapan juga dapat menjamin
terjaganya kualitas, terpenuhinya kebutuhan penghuni.
Dalam literatur tercatat bahwa program ini berpotensi menghasilkan komunitas yang
terpadu dengan standar hidup lebih baik melalui tersedianya layanan dasar, mendorong
hubungan yang saling menguntungkan diantara penghuni. Koperasi juga menciptakan sistem
bersama pembiayaan dan pembayaran dan mengurangi bahaya gagal bayar dengan menerapkan
prinsip tanggungjawab bersama diantara penghuni, berpotensi digunakan sebagai alat untuk
memasilitasi pemberdayaan kelompok yang termarjinalkan.
F. Tantangan bagi Perumahan Swadaya Terlembaga
Secara umum, beberapa tantangan yang dihadapi adalah (i) pusat bangunan ternyata tidak
seefisien dan seefektif yang diharapkan. Menurut Gough (1996), bagi produsen, keberadaan
pusat bangunan hanya merubah jalur distribusi dan tidak ada insentif buat mereka. Bahkan
mengganggu sistem distribusi yang telah ada. Hal lainnya, setiap penghuni membangun dengan
desain yang berbeda pada waktu yang berbeda, membutuhkan material yang berbeda pada waktu
yang berbeda; (ii) keterlibatan penghuni juga bentuknya beragam. Keluarga muda akan aktif
berpartispasi dibanding keluarga yang sudah sepuh, dan termasuk keluarga orang tua tunggal;
(iii) anggota kelompok berasal dari beragam latar belakang budaya. Hal ini juga kadang
mengurangi kepercayaan diantara mereka; (iv) koperasi tidak berdaya terhadap kenaikan harga
lahan, kekurangan pendanaan, kenaikan biaya konstruksi; (v) Upaya menekan biaya dapat
berdampak pada rendahnya kualitas bangunan yang tidak hanya kurang nyaman dipandang tetapi
juga dapat menurunkan nilai property di sekitar lokasi.
5.3 Rangkuman
Penyediaan rumah bagi masyarakat miskin masih menjadi hal yang belum terwujud bagi
Negara berkembang. Faktor yang menjadi penyebabnya kemungkinan adalah
ketidakterjangkauan baik bagi pemerintah maupun penerima manfaat, yang diakibatkan oleh
biaya dan standar tinggi yang harus terpenuhi terkait perumahan publik (public housing).
Akibatnya, konsep perumahan swadaya mendapat perhatian sejak pertengahan tahun 1960 dan
akhirnya diterima secara luas sebagai sistem alternatif penyediaan perumahan. Namun,
meskipun perumahan swadaya dikenal dengan prinsip seperti kendali oleh penghuni, rumah oleh
rakyat, kebebasan membangun, literatur menunjukkan bahwa keterlibatan pemerintah tetap
dominan terhadap pelaksanaan konsep perumahan swadaya. Ironisnya, penjelasan neo-liberal
sering digunakan untuk memberi pembenaran pada perumahan swadaya. Namun dalam
prakteknya, kendali pemerintah menjadi suatu norma. Karenanya, akhirnya, tepat jika
disimpulkan bahwa terlalu menyederhanakan menyamakan perumahan swadaya dengan neo-
liberalisme.
Selengkapnya pada tabel 3 berikut ditampilkan perbandingan konsep utama terkait
pelaksanaan perumahan swadaya sebagaimana dikemukakan oleh Turner dengan beragam
pemangku kepentingan
Tabel 3
Perbandingan Konsep Kunci Turner dengan Pandangan Pemangku Kepentingan
Konsep Pemerintah Neo- Marxist Turner Bank Dunia Swadaya
Berbantuan
Swadaya
Terlembaga
Kendali
Penghuni
Tidak
disinggung-
tidak
menjadi
prioritas
utama
Tanggungjawab
pemerintah
menyediakan
perumahan
missal bagi
penduduk
miskin
Penerima
manfaat
adalah
pembuat
keputusan
pada tahap
desain,
perencanaan,
dan
konstruksi
Penerima
manfaat adalah
pengambil
keputusan pada
masa konstruksi
Penerima
manfaat
memutuskan
tipe rumah
dan produk
lainnya
Manajemen
proyek oleh
penerima
manfaat-
kebutuhan
komunal
dapat
mengalahkan
kendali
individual
Kendali
pemerintah
Pemerintah
bertindak
sebagai
pengembang,
penyandang
dana dan
atau
kontraktor
Pemerintah
sebagai
pemeran kunci
penyediaan
perumahan
Pemerintah
menyediakan
fasilitas
perumahan
diluar
kemampuan
penduduk
miskin
Peerintah
memegang
peran
memberdayakan
Pemerintah
menciptakan
lingkungan
kondusif,
menyiapkan
lahan dan
layanan dasar
Pemerintah
menciptakan
lingkungan
kondusif
berbentuk
konsesi fiskal
Kontribusi
sukarela
Mekanisme
oleh
pemerintah
untuk
menekan
biaya - tidak
penting
Mekanisme
untuk
mengeksploitasi
penduduk
miskin
Tidak wajib
kecuali bagi
penerima
manfaat
yang tidak
bisa
membayar
tukang
Penting dalam
proses
konstruksi yang
diserahkan
keputusannya
pada penerima
manfaat
Penting
dalam proses
konstruksi
yang
diserahkan
keputusannya
pada
penerima
manfaat
Dilakukan
jika penerima
manfaat tidak
dapat
membayar
tukang
Pemanfaatan
sumber daya
lokal
Diadakan
oleh
pemasok luar
Mengarah
terbangunnya
rumah yang
jelek
Mobilisasi
keterampilan
dan sumber
daya lokal
Mobilisasi
keterampilan
dan sumber
daya lokal
Mobilisasi
keterampilan
dan sumber
daya lokal
Penerima
manfaat
membeli atau
memproduksi
sendiri
Biaya
perumahan
Pemerintah
menyubsidi
tetapi tidak
mampu
Pemerintah
sebagai
penyandang
dana
Pemerintah
dan
penerima
manfaat
menanggung
biayanya
Pinjaman
perumahan
lebih layak
disbanding
subsidi
Pemerintah
dan penerima
manfaat
menanggung
beban
Tabungan
individu dan
kelompok
oleh
penerima
manfaat dan
pendanaan
pemerintah
untuk
keberlanjutan
institusi
Definisi
rumah
Rumah
formal
Rumah adalah
tanggungjawab
pemerintah
Rumah inti Rumah inti Rumah
tumbuh
Sumber: Ntema, 2011
VI PEMBELAJARAN DARI BERBAGAI PRAKTEK UNGGULAN
Dipahami selama ini bahwa kiblat perumahan swadaya adalah Afrika Selatan, lebih
disebabkan karena ketersediaan sumber informasi yang relatif lengkap. Hal ini kemudian
menjadikan naskah ini banyak mengacu pembelajaran dari Afrika Selatan, walaupun pada
beberapa kondisi tetap mencoba mengacu pada pembelajaran Negara lain.
6.1 Afrika Selatan
Pengamatan terhadap pelaksanaan perumahan swadaya di Afrika Selatan secara intensif
dilakukan oleh seorang mahasiswa doktoral di Afrika Selatan, Lejone John Ntema, yang
kemudian menuliskannya sebagai karya disertasi dengan judul Self-Help Housing in South
Africa: Paradigms, Policy and Practice. Pengamatan dilakukan terhadap 3 bentuk perumahan
swadaya yang berbeda pada lokasi yang juga berbeda yaitu (i) perumahan swadaya berbantuan di
Freedom Square (Mangaung); (ii) perumahan swadaya mandiri di Thabong Housing Project; dan
(iii) perumahan swadaya terlembaga di Free State.
Secara umum, kesimpulan dari pengamatannya sebagai berikut:
a. Praktek rumah swadaya di Negara berkembang didominasi oleh campur tangan
pemerintah dan bukan dikendalikan oleh penerima manfaat
Terdapat banyak bukti bahwa konsep kendali penghuni (dweller control) tidak terlaksana,
dan pada banyak kejadian, campur tangan pemerintah menjadi lazim. Dari beberapa kasus,
terlihat adanya mekanisme kendali oleh pemerintah terhadap program rumah swadaya.
Komunitas miskin hanya menjadi penerima produk rumah yang didesain dan direncanakan oleh
pemerintah dan disediakan melalui kelompok swadaya atau kontraktor yang ditunjuk
pemerintah. Sebagai contoh bahkan hanya sekedar menentukan tipe material yang digunakan,
saja penghuni tidak diperbolehkan Selanjutnya desain dan perencanaan perumahan ditentukan
pemerintah. Walaupun terdapat pengecualian pada beberapa lokasi. Misalnya bentuk campur
tangan dengan mencoba mempengaruhi dengan membangun rumah contoh. Pemilihan kontraktor
dan pengembang oleh pemerintah juga salah satu cara mengendalikan proyek.
b. Pemikiran Turner tentang kendali penghuni telah disalahartikan dan terbatas
hanya pada kegiatan membangun sendiri dan sumbangan sukarela
Praktek rumah swadaya diartikan sebatas membangun sendiri dan kontribusi tenaga. Pada
banyak kejadian sumbangan sukarela menjadi persyaratan oleh pemerintah tetapi tanpa diberikan
kesempatan sebagai pengambil keputusan.
c. Rumah Swadaya Mandiri (laissez-faire self-help) terlihat lebih berhasil dibanding
rumah swadaya berbantuan (contractor-driven)
Pemikiran bahwa ‘kendali penghuni’ berperan terhadap dampak (outcome) rumah
swadaya terbukti, ketika dibandingkan antara rumah swadaya mandiri dengan rumah swadaya
berbantuan (apalagi campur tangan pemerintah terlalu kuat). Rumah swadaya mandiri hasilnya
lebih baik dan lebih luas serta berkembang jauh lebih baik (Huchzermeyer, 2002). Hal ini juga
ditunjang oleh besarnya rasa memiliki penghuni yang berakibat tingginya kepuasan mereka.
d. ‘Kendali Penghuni’ mengalahkan dampak negatif dari kesulitan ekonomi
Terbukti bahwa kondisi ekonomi keluarga yang membaik mendorong perbaikan kondisi
rumah (kualitas dan luasan) secara bertahap (Pugh, 2001). Walaupun demikian ternyata kendali
penghuni yang menimbulkan rasa memiliki dapat mendorong penghuni mengabaikan kesulitan
ekonomi yang dihadapinya dan tetap meningkatkan kualitas rumahnya.
e. Perumahan swadaya tidak selalu bersifat formal tetapi juga bersifat informal
Berbeda dengan yang dipercayai oleh Turner bahwa ketika penghuni diberi kebebasan
maka hasilnya akan selalu berupa formalisasi permukiman informal. Dalam kenyataannya,
terjadi kondisi sebaliknya. Terdapat bukti pada beberapa kejadian, hasilnya tetap dalam bentuk
permukiman informal.
f. Mekanisme Rumah Swadaya kemungkinan menghasilkan pertentangan diantara
penerima manfaat.
Rumah swadaya yang menekankan pada proses diasumsikan meningkatkan kebersamaan
diantara penerima manfaat. Walaupun demikian bukan berarti pertentangan tidak terjadi diantara
penerima manfaat, walaupun dalam porsi yang relatif kecil. Kondisi ini terjadi khususnya pada
rumah swadaya mandiri.
g. Perumahan Swadaya Berbantuan dalam bentuk penyediaan rumah inti oleh
pemerintah tidak dengan sendirinya mendorong peningkatan kualitas rumah
tersebut
Sebenarnya skema perumahan swadaya berbantuan tidak mencakup penyediaan rumah
inti oleh pemerintah, tetapi hanya berupa infrastruktur dasar. Namun, sebagian Negara
menyediakan subsidi dalam bentuk rumah, termasuk Afrika Selatan yang dianggap sebagai kiblat
perumahan swadaya. Penerima manfaat diharapkan mengembangkan rumah inti tersebut di
kemudian hari. Fakta menunjukkan bahwa hal ini tidak terjadi atau hanya terjadi dalam porsi
yang sangat kecil.
h. Tidak disarankan mengukur dampak (outcome) dalam jangka pendek, namun
pemantauan jangka panjang akan lebih bermanfaat.
Sebagaimana diketahui perumahan swadaya berbantuan didesain agar penghuni
mengembangkan sendiri rumahnya dalam jangka panjang. Hal ini sesuai dengan pemikiran
Turner bahwa rumah harus dipandang sebagai kata kerja (verb) dan bukan kata benda (noun).
Rumah sebaiknya dianggap sebagai sebuah proses (Turner, 1976), sehingga sebuah rumah tidak
akan pernah selesai tetapi akan berkembang terus. Demikian pula halnya ketika dilakukan
pengamatan. Tidak disarankan pengamatan tersebut secara seketika (snap shot) tetapi dalam satu
waktu yang cukup panjang.
Keseluruhan pembelajaran di atas disarikan pada tabel berikut, dilengkapi rekomendasi
dan acuan lokasi pengamatan.
Tabel 4
Rangkuman Pembelajaran Perumahan Swadaya di Afrika Selatan
No Temuan Rekomendasi Lokasi Pengamatan
1 Praktek perumahan swadaya (self-
help housing) di Negara berkem-
bang didominasi campur tangan
pemerintah yang sangat kuat dan
cenderung mengabaikan keterlibat-
- Pemerintah seharusnya berfungsi
memasilitasi proses, sehingga petu-
gas pemerintah berperan utamanya
sebagai fasilitator.
- Penghuni/masyarakat sebaiknya di-
- Rumah swadaya terlem-
baga di Free State (Afrika
Selatan)
- Rumah swadaya berban-
tuan di Freedom Square/
No Temuan Rekomendasi Lokasi Pengamatan
an penghuni/masyarakat (dweller
control)
didik memahami peran, tugas dan
tanggungjawabnya sehingga salah
satu bagian dari kegiatan perumahan
swadaya adalah pemberdayaan ma-
syarakat dalam bentuk kegiatan so-
sialisasi/advokasi
Mangaung (Afrika Selatan)
2 Kendali penghuni (dweller control)
dalam perumahan swadaya dimi-
nimalkan menjadi hanya sekedar
masyarakat membangun sendiri
dan berkontribusi secara sukarela
baik tenaga maupun material
(sweat equity)
Kontribusi masyarakat sebaiknya
dipertimbangkan kembali
- Rumah swadaya terlem-
baga di Free State (Afrika
Selatan)
- Rumah swadaya berban-
tuan di Freedom Square/
Mangaung (Afrika Selatan)
3 Keluaran (output) dan dampak
(outcome) perumahan swadaya
mandiri (Laissez-Faire self-help
housing)
- Rumah swadaya berban-
tuan di Freedom Square/
Mangaung (Afrika Selatan)
- Rumah swadaya mandiri di
Thabong Housing Project
(Afrika Selatan) 4 Keberadaan kendali ditangan
penghuni (dweller control) ter-
nyata dapat mengurangi dampak
negatif dari kesulitan ekonomi
penghuni (misal kehilangan peker-
jaan ternyata tidak selamanya
menghambat peningkatan kualitas
rumah)
- Rumah swadaya berban-
tuan di Freedom Square/
Mangaung (Afrika Selatan)
- Rumah swadaya mandiri di
Thabong Housing Project
(Afrika Selatan)
5 Perumahan swadaya tidak selalu
bersifat formal tetapi juga bersifat
informal
Mekanisme perumahan swadaya
sebaiknya mengadopsi situasi
informal
Rumah swadaya mandiri di
Thabong Housing Project
(Afrika Selatan)
6 Mekanisme perumahan swadaya
dapat menyebabkan konflik
diantara sesama penerima manfaat
Pemerintah sebaiknya memastikan
terjaminnya akuntabilitas dan
pengawasan dalam proses perumahan
swadaya tanpa melakukan
pengendalian langsung
Rumah swadaya mandiri di
Thabong Housing Project
(Afrika Selatan)
7 Perumahan swadaya berbantuan
dalam bentuk penyediaan rumah
inti oleh pemerintah tidak dengan
sendirinya mendorong pada pe-
ngembangan rumah inti tersebut
Penekanan pada keswadayaan sebaik-
nya mendorong perumahan sebagai
sebuah proses daripada kegiatan
sesaat.
Rumah swadaya berbantuan
di Freedom Square/Manga-
ung (Afrika Selatan)
8 Mengukur dampak (outcome)
perumahan dalam jangka pendek
tidak disarankan, namun penga-
matan jangka panjang akan
menghasilkan pemahaman yang
lebih baik dari dampak perumahan
Mengacu pada prinsip keswadayaan
sebaiknya mendorong perumahan
sebagai sebuah proses daripada kegiat-
an sesaat, demikian pula ketika dila-
kukan pengamatan sebaiknya bersifat
jangka panjang.
- Rumah swadaya berbantu-
an di Freedom Square/
Mangaung (Afrika Selatan)
- Rumah swadaya mandiri di
Thabong Housing Project
(Afrika Selatan)
Sumber: Ntema, 2011 dengan beberapa penyesuaian
.
6.2 Israel
Berdasar pengamatan Carmon, dan Gayrieli (1987) yang membandingkan antara
perumahan swadaya dan non swadaya di Israel, didapatkan kesimpulan bahwa melalui
perumahan swadaya dihasilkan rumah yang lebih berkualits, hubungan bertetangga lebih baik,
dan penghuni lebih puas dengan hasil pembangunannya. Selain itu, masyarakat juga terdorong
untuk mempertahankan kondisi lingkungannya. Kondisi ini tercapai dengan hanya sedikit biaya
pemerintah dibandingkan dengan perumahan non swadaya (Ntema, 2011).
DAFTAR PUSTAKA
Awotona, A. (ed.). Housing Provision and Bottom-up Approaches: Family Case Studies
from Africa, Asia and South America. Ashgate, England, 1999.
Bredenoord, Jan. The people‟s Struggle for Affordable Living Space. The Role of (assisted)
Self-Help Housing From 1950 – 2010 and Beyond. The Housing Research Group, 2011.
Carmon, Naomi dan Gayrieli, Tamar. Improving Housing by Conventional Versus Self-help
Methods: Evidence From Israel. Urban Study, 24 (4), 324-332, Agustus 1987
Fernandez-Maldonado, A.M. Fifty Years of Barriadas in Lima: Revisiting Turner and De
Soto. ENHR 2007 International Conference Sustainable Urban areas. Delft University of
Technology, 2007.
Gilbert, A. On Subsidies and Home Ownership: Colombian Housing Policy During the
1990s. Third World Planning Review, 19(1), 51-70, 1997.
Gilbert, A. and Gugler, J. Cities, poverty and development: urbanisation in the third world.
Oxford University, New York, 1992.
Hardoy, J.E. and Satterthwaite, D. Building the future city, in: J. Gugler (ed.) Cities in the
developing world. Issues, theory, and policy. Oxford University, New York, 1997.
Harms, H. Historical Perspectives on the Practice and Purpose of Self-Help Housing‟
(Chapter 9) in Self-help Housing: A Critique (P. Ward, ed.), London, Mansell, 1982.
Harris, R. The Silence of the Experts: “Aided Self-Help Housing”, 1939-1954. Habitat
International, 22(2), 165-189, 1998.
Harris, R. Aided Self-Help Housing, a Case of Amnesia: Editor’s Introduction. Housing
Studies, 14(3), 277-280, 1999a.
Harris, R. A Double Irony: the Originality and Influence of John F.C Turner. Habitat
International, 27(2), 245-269, 2003.
Mathéy, K. (Ed.). Beyond Self-Help Housing. London: Mansell, 1992.
Ntema, Lejone John. Self-Help Housing in South Africa: Paradigms, Policy and Practice.
Disertasi. Faculty of The Econodmic and Management Sciences (Centre for Development
Support) University of the Free State, Bloemfontein, Afrika Selatan, Mei 2011.
Payne, G.K. (ed.). Low-income Housing in the Developing World: the Role of Sites and
Services and Settlement Upgrading. John Wiley and Sons, New York, 1984.
Pugh, C. International Finance and Housing Policies in Developing Countries. Cities, 9, 117-
137, 1992.
Pugh, C. The Theory and Practice of Housing Sector Development for Developing
Countries, 1950-99. Housing Studies, 16(4), 399-423, 2001.
Rondinelli, D. A. Housing the Urban Poor in Developing Countries. The American Journal of
Economics and Sociology, 49(3), 258-269, 1990.
Schulist, T. and Harris, R. Build Your Own Home‟. State Assisted Self-Help Housing in
Canada, 1942-1975. Planning Perspectives, Vol. 17, No 4, October 2002, pp. 345-372,
2002.
Skinner, R. J. and Rodell, M. J. (eds.). People, Poverty and Shelter: Problems of Self-Help
Housing in the Third World. Methuen, London, 1983.
Tipple, A.G. A Matter of Interface: the Need for a Shift in Targeting Housing Interventions.
Habitat International, 18, 1-15, 1994.
Turner, J.F.C. Housing by People. Towards Autonomy in Building Environments. Marion
Byers, London, 1976.
UN-Habitat. Financing Urban Shelter, Global Report on Human Settlements, London,
Earthscan, 2005.
Ward, P.M. (ed.). Self-help Housing: a Critique. Mansell, London, 1982.
Zhang, L., Zhao, S.X.B. and Tian, J.P. Self-Help in Housing and Chengzhongcun in China’s
Urbanisation. International Journal of Urban and Regional Research, 27(4), 912-937, 2003.