perumahan swadaya. konsep, pembelajaran dan praktek unggulan

26
PERUMAHAN SWADAYA KONSEP, PEMBELAJARAN DAN PRAKTEK UNGGULAN Oswar Mungkasa 1 I. PENDAHULUAN Perumahan dan permukiman merupakan kebutuhan dasar manusia bahkan Persatuan bangsa-Bangsa (PBB) telah menegaskan rumah sebagai hak asasi manusia. Hal ini didasari oleh prinsip bahwa hak untuk hidup sebagai hak yang paling kodrati tidak akan dapat pernah tercapai kecuali semua hak-hak dasar yang dibutuhkan ketika manusia hidup seperti “hak untuk bekerja, makan, rumah, kesehatan, pendidikan, dan budaya” dapat tercukupi (adequately) dan tersedia (available) bagi setiap orang. Pengakuan terhadap hal ini tercantum dalam berbagai perjanjian dan regulasi baik internasional maupun di Indonesia sendiri. Sebagai konsekuensinya maka negara memiliki kewajiban untuk mengakui hak setiap warga negara atas standar hidup yang layak yaitu meliputi kecukupan atas makanan, pakaian dan perumahan serta senantiasa meningkatkan perbaikan kondisi penghidupan secara terus-menerus. Namun data menunjukkan bahwa masih terdapat sekitar 8 juta rumah tangga di Indonesia yang belum menempati rumah yang layak huni 2 . Hal ini menunjukkan bahwa Negara yang diwakili oleh pemerintah dan pemangku kepentingan ternyata belum berhasil memenuhi hak warga negara terhadap kebutuhan perumahan. Kondisi ini menjadi isu utama sejak beberapa dekade terakhir terkait pembangunan perumahan. Disadari oleh semua pihak bahwa penanganan isu ini tidak akan dapat dilaksanakan sendiri oleh pemerintah, dengan berbagai keterbatasan baik pendanaan maupun kapasitas sumber daya manusia. Untuk itu, terbuka peluang keterlibatan para pemangku kepentingan mulai dari pengembang, komunitas, dan individu masyarakat. Bahkan fakta menunjukkan bahwa kontribusi masyarakat baik pada tingkat komunitas maupun individu dalam pembangunan perumahan sangat siginfikan. Tidak terdapat data yang pasti tetapi UN-Habitat menunjukkan bahwa sekitar 70 persen investasi perumahan di negara-negara berkembang dilakukan oleh masyarakat, 1 Staf Bappenas. Penulis pernah bekerja di Kementerian Perumahan Rakyat (2010-2012). 2 Data ini dikeluarkan oleh Kemenpera dan merupakan hasil extrapolasi dari data RPJMN 2010-2014. Diperkirakan pertambahan backlog sekitar 800 ribu per tahun. Sementara BPS menyatakan bahwa rumah tangga yang belum memiliki rumah layak huni mencapai sekitar 13,6 juta rumah tangga. Perbedaan mendasar adalah pada konsep memiliki (BPS) dan menghuni (Kemenpera).

Category:

Real Estate


10 download

DESCRIPTION

Menjelaskan tentang perumahan swadaya sebagai bahan masukan pengambil keputusan khususnya yang berada di pemerintahan

TRANSCRIPT

PERUMAHAN SWADAYA

KONSEP, PEMBELAJARAN DAN PRAKTEK UNGGULAN

Oswar Mungkasa1

I. PENDAHULUAN

Perumahan dan permukiman merupakan kebutuhan dasar manusia bahkan Persatuan

bangsa-Bangsa (PBB) telah menegaskan rumah sebagai hak asasi manusia. Hal ini didasari oleh

prinsip bahwa hak untuk hidup sebagai hak yang paling kodrati tidak akan dapat pernah tercapai

kecuali semua hak-hak dasar yang dibutuhkan ketika manusia hidup seperti “hak untuk bekerja,

makan, rumah, kesehatan, pendidikan, dan budaya” dapat tercukupi (adequately) dan tersedia

(available) bagi setiap orang. Pengakuan terhadap hal ini tercantum dalam berbagai perjanjian

dan regulasi baik internasional maupun di Indonesia sendiri.

Sebagai konsekuensinya maka negara memiliki kewajiban untuk mengakui hak setiap

warga negara atas standar hidup yang layak yaitu meliputi kecukupan atas makanan, pakaian dan

perumahan serta senantiasa meningkatkan perbaikan kondisi penghidupan secara terus-menerus.

Namun data menunjukkan bahwa masih terdapat sekitar 8 juta rumah tangga di Indonesia yang

belum menempati rumah yang layak huni2. Hal ini menunjukkan bahwa Negara yang diwakili

oleh pemerintah dan pemangku kepentingan ternyata belum berhasil memenuhi hak warga

negara terhadap kebutuhan perumahan. Kondisi ini menjadi isu utama sejak beberapa dekade

terakhir terkait pembangunan perumahan.

Disadari oleh semua pihak bahwa penanganan isu ini tidak akan dapat dilaksanakan

sendiri oleh pemerintah, dengan berbagai keterbatasan baik pendanaan maupun kapasitas sumber

daya manusia. Untuk itu, terbuka peluang keterlibatan para pemangku kepentingan mulai dari

pengembang, komunitas, dan individu masyarakat. Bahkan fakta menunjukkan bahwa kontribusi

masyarakat baik pada tingkat komunitas maupun individu dalam pembangunan perumahan

sangat siginfikan. Tidak terdapat data yang pasti tetapi UN-Habitat menunjukkan bahwa sekitar

70 persen investasi perumahan di negara-negara berkembang dilakukan oleh masyarakat,

1 Staf Bappenas. Penulis pernah bekerja di Kementerian Perumahan Rakyat (2010-2012).

2 Data ini dikeluarkan oleh Kemenpera dan merupakan hasil extrapolasi dari data RPJMN 2010-2014. Diperkirakan

pertambahan backlog sekitar 800 ribu per tahun. Sementara BPS menyatakan bahwa rumah tangga yang belum memiliki rumah

layak huni mencapai sekitar 13,6 juta rumah tangga. Perbedaan mendasar adalah pada konsep memiliki (BPS) dan menghuni

(Kemenpera).

khususnya dalam bentuk rumah tumbuh (progressive housing/incremental shelter). Bahkan di

Indonesia jumlahnya mencapai 90-95 persen (UN-Habitat, 2005). Selengkapnya pada Tabel 1.

Tabel 1

Proporsi Rumah Swadaya dibandingkan Pendapatan Nasional Bruto (PNB)/Kapita

Negara

Perkiraan

Proporsi Rumah

Swadaya (%)

Pendapatan Nasional

Bruto/Kapita (PPP $)

(WHO, 2006)

Sumber Data

Nikaragua 85 2.720 Pemerintah Nikaragua (2005)

Indonesia 90-95 3.310 UN Habitat (1993)

Peru 70 6.490 De Soto (2000)

Meksiko 50 11.990 Potter dan Lloyd-Evans (1991)

Sumber: UN Habitat, 2005.

Hal ini menunjukkan peran masyarakat sendiri dalam pemenuhan rumah tidak dapat

diabaikan. Keterlibatan masyarakat ini yang kemudian di label menjadi rumah swadaya, yang

secara sederhana diartikan sebagai upaya masyarakat baik secara individu maupun berkelompok

dalam memenuhi kebutuhannya terhadap rumah.

Kondisi ini yang memungkinkan pemerintah menjadikan perumahan swadaya sebagai

salah satu ujung tombak pemenuhan hak asasi masyarakat. Namun disadari sepenuhnya bahwa

masih banyak pekerjaan rumah yang perlu diselesaikan untuk menjadikan perumahan swadaya

berjalan efektif dan efisien. Dibutuhkan suatu skenario yang menyeluruh mulai dari paradigma,

prinsip dasar, kebijakan, strategi, peta jalan, sampai pada kebutuhan pendanaan dan sumber daya

manusia yang disepakati oleh semua pemangku kepentingan.

II Sejarah dan Perkembangan Perumahan Swadaya3

2.1 Awal Berkembangnya Perumahan Swadaya

Perumahan swadaya terlihat seperti sesuatu yang baru terutama ketika John Turner

memformulasikan pemikiran perumahan swadaya pada tahun 1960an (Harris, 1998). Fakta

menyatakan bahwa perumahan swadaya merupakan hal yang sama tuanya dengan kehidupan

manusia (Pugh, 2001). Bahkan dikatakan bahwa perumahan swadaya telah dipraktekkan jauh

sebelum perencanaan kota diperkenalkan yaitu pada awal tahun 1900, bahkan jauh sebelumnya.

Menurut Mathey (1992) and Tait (1997), sejarah skema perumahan swadaya, khususnya

di Negara berkembang dimulai tahun 1930an ketika institusi pemerintah AS melaksanakan

percontohan di Puerto Rico, Kolombia dan Chili. Keivani and Werna (2001) mendukung

pernyataan ini dengan menyatakan bahwa di banyak tempat di Afrika penduduk membangun

sendiri rumahnya seperti skema yang dikenal sekarang sebagai perumahan swadaya. Jadi

sejatinya John Turner hanya memperkenalkan skema perumahan swadaya, dalam bentuk yang

3 Dalam literatur perumahan swadaya dikenal dengan istilah self-help housing.

lebih ilmiah. Bahkan sebelum perang dunia II, dikenal Jacob L. Crane sebagai penyuara teori

dan praktek perumahan swadaya melalui tulisan dan beberapa proyeknya. Namun kemudian

upaya dan tulisannya terlupakan (Harris, 1998).

Peningkatan penerimaan terhadap kebijakan perumahan swadaya di Negara berkembang

sejak tahun 1960an tanpa didahului pelaksanaan uji coba sebelumnya. Disadari bahwa pemikiran

Turner lah yang banyak mempengaruhi. Sepertinya terdapat dua hal yang berpengaruh terhadap

pengembangan perumahan swadaya di dekade 1960 dan 1970. Menurut Harris (2003), para ahli

PBB memegang peran utama. Pengetahuan mereka terakumulasi dan ditularkan setelah perang

dunia II. Institusi riset juga memegang peran (Turner, 1976). Jadi pemikiran Turner sebagai

pemicu dan pendorong, sementara berbagai pihak mempraktekkannya di lapangan. Pemikiran

Turner yang merubah persepsi umum menjadi perumahan swadaya sebagai alternatif penyediaan

perumahan masyarakat miskin (Harris, 2003).

Dari literatur yang ada, dapat dibedakan tiga bentuk perumahan swadaya, (i) swadaya

mandiri (laissez-faire self-help), senyatanya tanpa campur tangan pemerintah; (ii) swadaya

berbantuan pemerintah (state-aided self-help), berupa skema penyediaan prasarana, sarana dan

utilitas (PSU) oleh pemerintah, dan (iii) swadaya terlembaga (institutionalized self-help), campur

tangan pemerintah melalui lembaga perumahan (Ntema, 2011).

Perkembangan perumahan swadaya banyak berkutat pada perumahan swadaya

berbantuan. Didasari pada pemahaman bahwa pemerintah seharusnya menolong warganya

membangun tempat tinggalnya. Pertama kali hal ini dilaksanakan di Swedia pada tahun 1904

ketika pemerintah menciptakan program pinjaman perumahan ke pemilik tempat tinggal.

Kemudian, beragam program perumahan swadaya bermunculan sepanjang tahun 1920-an di

Eropa barat dan Uni Sovyet. Namun hanya sedikit yang bertahan seperti di Stockholm dan Wina.

Dekade beikutnya, berbagai Negara mencoba melaksanakan program perumahan swadaya

dengan tujuan menyediakan rumah layak huni yang terjangkau bagi rumah tangga miskin seperti

di Perancis, Jerman, Yunani, dan Finlandia (Harris, 1998). Perumahan swadaya di Eropa Barat

sebagian besar dilaksanakan ketika krisis ekonomi setelah perang, khususnya di Jerman (Harms,

1982). Di AS, program ini mendukung keluarga miskin di perdesaan dalam bentuk perumahan

swadaya gotong royong (mutual self-help housing). Namun program sejenis yang dianggap

paling berhasil adalah di Kanada (Schulist dan Harris, 2002).

Memasuki era 1940an dan 1950an, perumahan swadaya berbantuan di AS dimulai tahun

1939 ketika Otoritas Perumahan Ponce (Puerto Rico) memulai skema lahan dan PSU (sites and

services), dengan konsekuensi pemerintah menyediakan lahan dan sertifikatnya kepada keluarga,

dan memberikan beragam bentuk bantuan teknis bagi perumahan penduduk miskin (Harris,

1998). Program sejenis juga dilaksanakan Negara lain dalam rangka memerangi masalah

perumahan dengan biaya sekecil mungkin. Setelah tahun 1945, program ini disebarkan oleh

institusi pemerintah di AS, utamanya oleh Jacob Crane dan menyusul PBB. Jacob Crane lah

yang pertama kali memperkenalkan istilah ‘aided self-help’ (perumahan swadaya berbantuan)

dan dikaitkan awalnya dengan perdesaan dan upaya meminimalkan urbanisasi. Kemudian diikuti

oleh Negara Amerika Latin. Di India dan Afrika Selatan, program ini telah dikenali sejak akhir

tahun 1940.

Perumahan swadaya berbantuan dianggap lengkap karena mencakup pandangan liberal

tetapi juga terdapat komponen sosial, tetapi terutama terlihat berseberangan dengan perumahan

publik.

Sebelum tahun 1960, perumahan swadaya sering dilihat sebagai masalah sosial dan

penggambaran kemiskinan perkotaan. Pada tahun 1960, Anthropolog Amerika William Mangin

dan Arsitek Inggris John Turner, keduanya bekerja di Peru, tertarik terhadap perumahan swadaya

yang digambarkan sebagai fenomena positip terkait perumahan sosial, khususnya di permukiman

kumuh Peru (Fernandez-Maldonado, 2007). Berbeda dengan Negara Amerika Latin lainnya,

Peru dan Kolombia sudah terbiasa dengan perumahan swadaya berbantuan sejak awal tahun

1940 (Harris, 1998). Bahkan di Peru, sejak tahun 1956 perumahan swadaya telah banyak

dipraktekkan4. Implementasi Undang-Undang Perumahan di Peru tahun 1961 banyak terbantu

oleh dukungan dari Inter-American Development Bank. Pada saat itu, John Turner merupakan

penulis terkenal tentang isu perumahan swadaya melalui tulisannya ‘Peru Experiences’

(Bredenoord, 2011).

Sebagai konsekuensi hasil karya Mangin dan Turner, sejak awal tahun 1970 Bank Dunia

mulai membiayai penyediaan tempat tinggal dan lahan bagi rumah tangga miskin. Pinjaman

berbunga rendah ditawarkan termasuk pinjaman bergaransi, subsidi, rencana rumah standar, dan

petunjuk konstruksi. Pada tahapan ini, uji coba skema ‘lahan dan layanan dasar’ (sites-and-

services) digiatkan dan mereplikasinya kemudian. Namun upaya ini kurang berhasil karena

replikasi membutuhkan pemulihan biaya (cost recovery) tetapi pengembaliannya kurang

berhasil, penerima manfaat tidak tergerak membayar kembali dan secara politis tidak didukung

pemerintah. Kelihatannya komitmen masyarakat terbatas.

Sejak awal tahun 1980, sikap optimis terhadap perumahan swadaya berbantuan mulai

berubah. Pertama, memperoleh lahan relatif sulit, kecuali pada saat dilaksanakan di Peru (lahan

dimiliki oleh pemerintah). Selanjutnya dibutuhkan investasi yang cukup besar untuk PSU.

Menjadi jelas bahwa perumahan swadaya berbantuan dengan lahan, layanan dasar, rumah inti,

dan rencana penanganan kumuh, bukan merupakan satu-satunya jawaban bagi masalah

perumahan (Mathey, 1992). Penyediaan tempat tinggal oleh pemerintah tidak realistis, tetapi

input pemerintah dapat beragam seperti bantuan teknis, penyediaan lahan baik berupa bank tanah

maupun ‘land pooling’.

Setelah tahun 1992, perumahan swadaya sepi peminat. Tema perumahan berubah

menjadi lebih luas seperti Habitat, dan pendekatan skala kota. Pada era 1990an, kecenderungan

privatisasi mempengaruhi visi pemerintah, dan perumahan dipandang sebagai barang privat,

sekedar tanggungjawab keluarga. Secara umum, di dunia internasional kepedulian terhadap

perumahan swadaya menurun tajam sejak tahun 1980an. Terkecuali di Afrika Selatan, karena

krisis perumahan tahun 1994, perumahan swadaya memperoleh perhatian kembali. Pemerintah

4 Pada tahun 1961, di Peru diluncurkan undang-undang yang mengatur tentang permukiman informal dan secara

tersistematis mempromosikan konsep rumah swadaya.

Afrika Selatan menyediakan skema lahan dan layanan dasar termasuk rumah inti sementara

penduduk meningkatkan luasan dan kualitas tempat tinggal mereka sendiri di kemudian hari

(Bredenoord, 2011).

Teori perumahan swadaya dalam konteks negara berkembang biasanya mengacu pada

JFC Turner (Turner, 1976). Namun harus diakui bahwa rumah swadaya berbantuan telah

berlangsung lama sebelum munculnya ide Turner pada tahun 1960-1970. Lebih lanjut, ide

Turner terkait erat dengan kebijakan skema PSU dan kebijakan neo-liberal yang dipromosikan

oleh Bank Dunia (Pugh, 1992). Walaupun ide Turner tidak dapat digolongkan baru tapi

implikasinya pemerintah mulai menyadari bahwa tidak seharusnya pemerintah menyediakan

sesuatu yang masyarakat dapat menyediakannya secara swadaya. Konsekuensinya Turner

menjadi pendukung skema PSU (site-and-services) atau dikenal sebagai rumah swadaya

berbantuan, yang berarti pemerintah bertanggungjawab menyediakan layanan dasar dan rumah

tangga bertanggungjawab membangun unit rumahnya (Pugh, 2001).

2.2 Pergulatan Pemikiran Perumahan Swadaya

2.2.1 Campur Tangan Pemerintah vs Kendali Penuh Masyarakat

Pemikiran Turner timbul sebagai tanggapan terhadap kegagalan pemerintah dalam

penyediaan perumahan di Negara berkembang5. Turner meletakkan sumber masalah pada

pelaksanaan sistem yang rumit dan birokratis (Ward, 1982). Turner menyarankan sejumlah

konsep yang mempengaruhi dan merubah pemikiran terhadap perumahan masyarakat miskin

pada dekade 1960 dan 1970.

Pada setiap program perumahan sebaiknya masyarakat diberi kewenangan penuh

terhadap pengambilan keputusan, misalnya bentuk dan desain lingkungan mereka. Dengan

demikian, program terlepas dari kerumitan birokrasi atau pendekatan atas-bawah (top-down).

Sebagai pelengkap pemberian kewenangan bagi masyarakat, Turner menggunakan konsep

‘freedom to build’, yang diartikan sebagai ‘who decides’. Alasannya bahwa hasil terbaik ketika

penerima manfaat mengendalikan sepenuhnya desain, konstruksi dan pengelolaan. Tidak terlalu

penting siapa yang membangunnya, terkecuali penerima manfaat sangat miskin (Harris, 2003).

Ketika masyarakat diberi kewenangan mengendalikan konstruksi rumah mereka, biasanya rumah

yang terbangun sesuai kapasitas ekonomi, sosial, budaya mereka (Marcussen, 1990). Maka,

Turner mengingatkan untuk tidak memisahkan kontribusi tenaga (sweat equity) dari ide kendali

oleh masyarakat. Maksudnya untuk memastikan kontribusi tenaga tidak secara otomatis

disamakan dengan membangun sendiri, sebagaimana yang sering terjadi (Turner, 1976).

5 Secara umum dalam setiap perdebatan pro dan kontra perumahan swadaya, terdapat 3 (tiga) penjelasan utama

yang mendukung perumahan swadaya. Pertama, kemampuan pemerintah tidak tak terbatas (Ward, 1982).

Akibatnya, kebutuhan rumah tidak dapat terpenuhi. Kedua, pemukim liar seharusnya dipandang sebagai sumber

daya pertumbuhan perumahan daripada sebuah masalah sosial. Ketiga, penyediaan rumah oleh pemerintah tidak

dapat memenuhi kebutuhan masyarakat yang sangat beragam secara sosial, budaya dan ekonomi termasuk

prioritasnya.

Disebutkan oleh Turner, peran pemerintah tidak seharusnya berupa mendikte persyaratan

pada masyarakat yang mampu melaksanakan pembangunan rumahnya. Dibutuhkan perubahan

peran pemerintah dalam proses penyediaan rumah bagi penduduk miskin. Pemerintah sebaiknya

(melalui peran dukungan) menyediakan beragam aspek yang tidak dapat disediakan sendiri oleh

masyarakat seperti lahan, regulasi, peralatan, kredit, know-how dan land tenure (Payne, 1984;

Ward, 1982). Kendali oleh masyarakat memastikan bahwa rumah lebih murah dan terjangkau

baik oleh masyarakat atau pemerintah dan karenanya peran yang berbeda membuat hasil

kegiatan lebih efektif.

Sebagai ilustrasi, permukiman liar yang dibangun sesuai regulasi memungkinkan rumah

dibangun lebih murah separuhnya dibanding jika dibangun oleh pemerintah (Harris, 2003).

Meskipun pada awalnya pembangunan dapat terlihat kurang rapi tetapi akhirnya akan membaik

dengan berjalannya waktu seiring meningkatnya kondisi ekonomi mereka (Turner, 1976). Turner

menyebutnya konsep “housing as a process” (perumahan sebuah proses) dan “progressive

development” (pembangunan berkemajuan) (Harris, 2003; Turner, 1976).

Turner mempertimbangkan rumah sederhana6 sebagai tempat tinggal yang selalu sedang

dalam proses. Pemilik rumah akan membiayai perijinannya, dan lingkungan yang sehat tercipta,

akhirnya rumah terbangun lengkap. Hal ini didukung oleh Pugh (2001) ketika menyatakan

bahwa “pemilik mampu memperbaiki rumahnya bertahap, menggunakan material yang lebih

baik, memperluas ruang setidaknya dalam 15 tahun”. Dibutuhkan dua hal yaitu (i) penciptaan

lingkungan yang mendukung penggunaan sumber daya setempat, (ii) menugaskan pemerintah

untuk melindungi dan menyediakan sumber daya yang sulit diperoleh seperti memperbaiki

layanan dasar yang akan mendorong tersedianya rumah (Stein, 1991).

Turner berpendapat perumahan swadaya sebagai aspirasi kemanusian yang mendalam,

dinyatakan dalam istilah seperti rumah oleh rakyat (housing by people), dan rumah adalah kata

kerja (housing is a verb) (Harris, 2003). Housing is a verb mengacu pada rumah selalu

berkembang, sementara housing by people mengacu pada partisipasi aktif masyarakat dalam

proses. Keterlibatan masyarakat memungkinkan tersedianya rumah yang terjangkau dan sesuai.

Dari pengalamannya, Turner berpendapat pemukim liar di Negara berkembang mengetahui

persis kebutuhannya dan bagaimana cara memenuhinya (Marcussen, 1990).

Nilai dari sebuah rumah terletak lebih pada fungsinya daripada materialnya. Sehingga

seharusnya tercipta kaitan yang erat antara bangunan, fungsinya, dan manusia yang

menempatinya. Turner lebih mementingkan kesesuaian bangunan dengan fungsi dan pemanfaat,

dan kurang memberi perhatian pada standar bangunan. Untuk alasan itu, rumah yang dibangun

sendiri akan lebih murah. Rumah sebaiknya diperlakukan sebagai produk yang dikonsumsi

hanya sesuai nilai manfaatnya, keluaran dari upaya penghuninya dalam bentuk rumah swadaya

yang menghabiskan waktu mereka dalam proses pembangunannya (Soliman, 2004).

Hasil pemikiran Turner berdampak sangat besar. Untuk pertama kalinya penghuni

perumahan liar dipandang sebagai penghuni normal dari sebuah kota dari sudut kebutuhan,

ambisi, dan upaya mencapainya (Smith, 1987). Sebagai hasilnya, permukiman informal mulai

6 Bahkan Turner mengistilahkannya shack atau dalam bahasa Indonesia berarti gubuk

dipandang lebih positif oleh pengambil keputusan. Asumsi ini telah menjadi dasar skema

program perumahan swadaya.

Dalam kenyataan, Turner tidak menutup peluang keterlibatan pihak lain (termasuk

pemerintah). Kritik utama terhadap pemikiran Turner yang berasal dari kaum Marxis adalah ide

Turner tidak punya dasar dan tidak realistis.

2.2.2 Perspektif Neo-Marxist terhadap Perumahan Swadaya

Burgess merupakan pendukung ternama dari ideologi Neo-Marxist terkait perumahan.

Menurut Soliman (2004), ide Burgess didasarkan terutama pada prasangka terhadap ideologi

Marxist dan juga dukungan yang besar terhadap sistem sosialis. Burgess (1977; 1978)

menyatakan bahwa secara umum perumahan tidak hanya sebuah proses menghasilkan nilai

manfaat (use values), sebagaimana dikatakan Turner, tetapi juga menghasilkan nilai tukar

(exchange values) (Stein, 1991).

Perumahan sebagai sebuah komoditas perlu dianalisa berdasar pada proses sosial

mendasar yang biasanya dikaitkan dengan produksinya, konsumsi dan pertukaran. Perumahan

sebaiknya dipertimbangkan hanya dalam kaitannya dengan ketertarikan beragam orang dan kelas

sosial ekonominya (Stein, 1991). Stein (1991) menekankan bahwa rumah swadaya harus

dianalisis sesuai keterkaitannya dengan proses komoditas dan bukan nilai manfaat yang dimiliki.

Aspek lain yang menjadikan rumah sebagai komoditas (menurut Burgess) adalah fakta bahwa

rumah terbuat dari produk komersial (semen, atap dan lainnya). Kesemuanya, menurut Soliman

(2004) telah mempunyai nilai tukar yang dihasilkan dari waktu kerja yang dihabiskan. Menurut

Burgess (1977), sangat sulit memisahkan program swadaya berbantuan dari kepentingan

permodalan. Hal yang membuat rumah swadaya lebih murah adalah bukan tidak

diperhitungkannya keuntungan tetapi lebih pada keterlibatan tenaga kerja sukarela (sweat equity)

(Stein, 1991). Burgess menyatakan bahwa tenaga kerja sularela seharusnya dipandang bukan

sebagai upaya membuat rumah lebih terjangkau tetapi lebih sebagai mekanisme melepaskan

pemerintah dari tanggungjawabnya dengan membebankan pada penduduk miskin.

Selanjutnya, istilah ‘freedom to build’ pada kenyataannya sangat sulit dijalankan dan

dibatasi oleh pertentangan keinginan antara berbagai pemangku kepentingan. Maka keterlibatan

swasta dan pemerintah dalam penyediaan rumah akan tetap merupakan kunci keberhasilan

penyediaan perumahan bagi penduduk miskin, termasuk skema swadaya. Burgess mengaskan

bahwa rumah swadaya baik mandiri maupun berbantuan tidak benar-benar otonom tetapi tetap

terpengaruh oleh beragam kepentingan baik finasial maupun politik dari yang berkuasa (Dewar

et al., 1981). Kondisi ini dapat berdampak pada kesulitan memperoleh bantuan finansial pada

akhirnya. Burgess mengkritik Turner yang gagal mengenali peran pemangku kepentingan kunci

seperti pemerintah. Peran pemerintah tetap penting (Harms, 1976).

Penekanan Turner pada pemakaian material dan tenaga setempat memungkinkan

terbentuknya permukiman kumuh yang baru dengan rumah yang kurang layak (Midgley et al.,

1986).

2.2.3 Kebijakan Bank Dunia dan Pemikiran Turner

Bank Dunia menjadi terlibat aktif dalam pendanaan perumahan penduduk miskin pada

1970an. Meskipun awalnya keterlibatan ini dipengaruhi oleh pemikiran Turner tetapi dalam

prakteknya terjadi perubahan signifikan (Pugh, 2001). Bank Dunia menjalankan pemikiran

Turner secara keekonomian dan konsekuensinya kebijakannya merujuk pada keterjangkauan dan

pemulihan biaya yang dihasilkan dari rumah swadaya (World Bank, 1993). Implikasi praktisnya

adalah (i) Pembiayaan perumahan. Bank dunia bermaksud mengadopsi pinjaman rumah dan

bukannya subsidi pemerintah (Pugh, 2001). Alasan utamanya untuk menjadikan perumahan

lebih terjangkau pemerintah, sementara tanggungjawab finansialnya bergeser ke institusi

keuangan dan donor (Marais, 2003). Penekanan pada pinjaman rumah dapat juga dilihat sebagai

strategi bank Dunia untuk menjamin peran perumahan penduduk miskin pada tingkat Ekonomi

makro dan berkontribusi pada pertumbuhan ekonomi (Alan, 2000).

Tujuan Bank Dunia adalah untuk mendorong pemerintah dan institusi keuangannya

mengembangkan program dan mekanisme efisien yang akan menjamin keberhasilan pemulihan

biaya (Pugh, 1992). Hal yang menonjol adalah keinginan Bank Dunia menjadikan penghuni dan

bukan pemerintah yang bertanggungjawab terhadap biaya penyediaan perumahan. Dalam kaitan

ini, bank Dunia menekankan individu dan prinsip penghuni membayar (user-pay principle)

(Marais, 2003). Program ini mengharapkan pemerintah untuk memastikan bahwa rumah

terjangkau dan tidak menjadi beban sumber daya keuangan pemerintah yang terbatas.

Tidak lama kemudian, perumahan swadaya mendapat label ‘neo liberal’ dan dipandang

sebagai cara kapitalis mengurangi tanggungjawab pemerintah, sementara prinsip pemulihan

biaya menggeser tanggungjawab pembiayaan ke rumah tangga miskin.

2.2.4 Peran Pemerintah dalam Pemenuhan Rumah sebagai Hak Asasi

Rumah sebagai hak dasar bahkan hak asasi telah lama disepakati di dunia internasional.

The International Covenant on Economical and Social Rights (untuk selanjutnya disingkat

CESCR) telah disusun dan disepakati sebagai bagian dari Hukum HAM Internasional (The

International Bill of Rights) dengan maksud tidak lain adalah untuk melindungi hak-hak asasi

manusia sehingga manusia dapat hidup sebagai manusia seutuhnya, bebas, aman, terlindungi dan

hidup sehat. Hak untuk hidup sebagai hak yang paling kodrati tidak akan dapat pernah tercapai

kecuali semua hak-hak dasar yang dibutuhkan ketika manusia hidup seperti “hak untuk bekerja,

makan, rumah, kesehatan, pendidikan, dan budaya” dapat tercukupi (adequately) dan tersedia

(available) bagi setiap orang. Pasal 1 Ayat (1) CESCR menyatakan secara jelas tentang hal ini.

Tanggungjawab Pemerintah

Berdasar komentar umum Nomor 15 dari Komite PBB tentang Hak Ekonomi, Sosial dan

Budaya bahwa hak atas rumah sebagaimana hak asasi lainnya menghasilkan tiga tipe kewajiban

bagi negara yaitu (a) kewajiban menghargai (to respect). Kewajiban ini mengharuskan negara

tidak mengganggu baik langsung maupun tidak langsung keberadaan hak atas rumah. Kewajiban

ini termasuk misalnya tidak membatasi akses kepada siapapun; (b) kewajiban melindungi (to

protect), dalam bentuk mengatur pihak ketiga. Kewajiban ini mengharuskan negara untuk

menghalangi campur tangan pihak ketiga dengan cara apapun keberadaan hak atas rumah. Pihak

ketiga termasuk individu, kelompok, perusahaan dan institusi yang dibawah kendali pemerintah.

Kewajiban ini termasuk mengadopsi regulasi yang efektif.dan (c) kewajiban memenuhi (to fulfil)

berupa fasilitasi, promosi dan penyediaan. Kewajiban ini mengharuskan pemerintah mengambil

langkah untuk memenuhi hak atas rumah. Sementara ketentuan Pasal 11 Ayat (1) CESCR

menambahkan satu kewajiban bagi negara yaitu menyosialisasikan (“the obligation to promote).

Indikator Pemenuhan Hak

Dalam kaitan pemenuhan hak terhadap rumah, Komite Hak Ekonomi Sosial Budaya

memberikan penjelasan terhadap ketentuan Pasal 11 CESCR tentang apa yang dimaksud rumah

layak huni (”adequate housing”) yaitu yang memenuhi 6 (enam) indikator. Keenam indikator ini

yang menjadi kewajiban Pemerintah baik pemerintah pusat maupun pemerintah daerah untuk

dapat memenuhinya dalam rangka menjamin pemenuhan hak atas rumah yaitu (1) sifat

kepemilikan haknya (security of tenure), (2) ketersediaan pelayanannya (availability of services),

(3) keterjangkauan daya beli masyarakatnya (affordability), (4) kelayakan sebagai tempat tinggal

(habitability),(5) adanya peluang bagi setiap orang (accessibility), serta (6) kesiapan lokasi dan

daya dukung budaya (location and cultural adequacy).

III Definisi dan Konsep Dasar

3.1 Definisi

Istilah perumahan, menurut Khurana (2001), diartikan sebagai satu paket layanan terdiri

dari lahan, fasilitas publik, akses ke tempat kerja dan layanan sosial lainnya, dan juga termasuk

bangunannya sendiri (Ntema, 2011).

Konsep perumahan swadaya, dari sudut pandang perumahan penduduk berpendapatan

rendah, diartikan sebagai kegiatan kelompok penduduk berpendapatan rendah dalam memenuhi

kebutuhan rumah melalui sumber daya sendiri baik berupa tenaga kerja dan keuangan (Zhang,

Zhao dan Tian, 2003). Sementara Dewar, Andrew dan Watson (1981), menekankan hal yang

sedikit berbeda, dengan menyatakan bahwa perumahan swadaya adalah sebuah proses

pembangunan rumah yang individu dan komunitas memegang kendali terhadap keputusan

tentang rumah dan lingkungannya, tanpa perlu membangunnya sendiri. Untuk definisi ini,

perumahan swadaya didefinisikan sebagai proses pembangunan perumahan yang memungkinkan

penduduk miskin bertindak sebagai pengambil keputusan pada tahapan perencanaan, desain,

pengelolaan dan implementasi sementara pemerintah hanya menyediakan dana awal, pelatihan

pengelolaan dan pengawasan selama pelaksanaan proyek (Ntema, 2011).

Sebagaimana dikemukakan terdahulu, terdapat tiga bentuk berbeda dari perumahan

swadaya, yaitu (i) perumahan swadaya terlembaga (institutionalized self-help housing) mengacu

pada pelaksanaan perumahan swadaya melalui institusi berbasis masyarakat seperti koperasi atau

kelompok swadaya. Di dunia internasional, kelompok swadaya ini dikenal sebagai koperasi

perumahan (housing co-opratives). Di Afrika Selatan dikenal sebagai Pusat Bantuan Perumahan

(Housing Support Center); (ii) Perumahan swadaya mandiri (Laissez-faire self-help housing)

didefinisikan sebagai proses swadaya yang tidak dicampuri oleh pemerintah. Ini terjadi pada

penduduk menengah ke atas atau pada permukiman informal (Harris, 1991). Tetapi dalam

beberapa kejadian, perumahan swadaya mandiri juga mendapat bantuan dari pemerintah tetapi

penduduk tetap memegang kendali penuh terhadap keputusan pelaksanaan pembangunan. Jadi

ide dasarnya, sepanjang kendali tetap oleh penduduk, masih dipertimbangkan sebagai perumahan

swadaya mandiri. (iii) Perumahan swadaya berbantuan didefinisikan sebagai program yang

skema PSU nya memegang peran penting, pemerintah bertanggungjawab terhadap penyediaan

layanan dasar, dan pemilik rumah bertanggungjawab membangun rumahnya. Di Afrika Selatan,

perumahan swadaya berbantuan termasuk pembangunan rumah inti (core house) oleh

pemerintah, namun pengembangan rumah tahap berikutnya menjadi tanggungjawab pemilik

rumah. Namun, perdebatan yang terjadi selama ini adalah terkait apakah subsidi termasuk rumah

dan seberapa luasan sebuah rumah inti.

Teori Turner menekankan hak individu dan kemampuan membuat keputusan tentang

desain dan konstruksi. Kondisi ini dapat terjadi hanya jika pemerintah berkeinginan mengenali

sebuah ‘gubuk’ sebagai rumah yang dalam tahap pembangunan, sehingga lebih memberi

dukungan daripada peran dominan dalam membantu penghuni meningkatkan kondisi rumahnya.

Perubahan peran pemerintah ini akan mendukung ide Turner tentang rumah oleh masyarakat dan

bukan rumah massal milik pemerintah.

3.2 Beragam Bentuk Perumahan Swadaya

Secara ringkas disebutkan pada bagian terdahulu bahwa perumahan swadaya terbagi

dalam tiga kelompok besar, namun dalam kenyataannya perumahan swadaya dapat dipraktekkan

dalam berbagai bentuk. Pertama, ketika tersedia dana dan kemampuan yang memadai untuk

membangun rumah. Keluarga mampu mengelola bantuan dari anggota keluarga lainnya. Kedua,

ketika kualitas rumah yang akan terbangun tergantung pada bantuan pemerintah atau organisasi

non pemerintah. Bantuan ini dapat berbentuk fasilitas dasar, sampai bantuan fasilitas

pembiayaan. Selengkapnya pada Tabel 2

Tabel 2 Jenis dan Kualitas Rumah Skema Perumahan Swadaya

Tingkatan Penjelasan produk perumahan Perkiraan Biaya Produksi

(USD)

Perkiraan Biaya untuk

Total Paket (USD)

P 1 Lahan dengan layanan dasar (air

dan kepemilikan lahan)

1.000 – 1.500 1.000-1.500

P 2 Lahan berikut layanan dasar

ditambah pinjaman

Nilai dikonversi ke pemba-yaran

bulanan tergantung tingkat

bunga dan lamanya pinjaman

Pembayaran bulanan

P 3 Lahan dengan layanan dasar, tangki

septik, dan pinjaman

Tambahan biaya untuk tangki

septik 500

1.500 – 2.000

(P) + H 1 Lahan dengan layanan dasar, tangki

septik, bantuan teknis (rencana

konstruksi dan ijin)

Tambahan biaya untuk bantuan

teknis 500

2.000 – 2.500

(P) + H 2 (P) + H 1 dan tambahan berupa 500 – 1.000 2.500 – 3.500

Tingkatan Penjelasan produk perumahan Perkiraan Biaya Produksi

(USD)

Perkiraan Biaya untuk

Total Paket (USD)

material dan pinjaman

(P) + H 3 (P) + H 2 dan tambahan berupa

material dan bantuan teknis

1.000 – 1.500 3.000 – 4.000

(P) + H3 (P) + H 2 dan tambahan berupa

material dan rumah inti

3.500 – 5.000 6.000 – 8.500 atau lebih

Sumber: Bredenoord, 2011.

3.3 Tahapan Perumahan Swadaya

Disadari sepenuhnya bahwa tahapan pembangunan rumah swadaya akan sangat

bervariasi, sehingga pada naskah ini akan ditampilkan beberapa hasil riset tentang tahapan ini.

Hasil riset pertama adalah hasil kajian Bredenoord (2002) dan Bredenoord dan Veldkamp

(2004) di Lima, Peru, yang mengungkapkan praktek perumahan swadaya pada lokasi

metropolitan. Tahapan awal biasanya swadaya murni.

Tahap pertama. Tahap pertama adalah tahap paling dasar dari rumah swadaya, dengan bantuan

dari pemerintah (pusat dan/atau daerah) berupa layanan dasar. Ketika rumah penampungan telah

siap, keluarga membangun rumahnya sedikit demi sedikit dengan bantuan anggota keluarga

lainnya dan bahkan teman. Pada awalnya rumah yang terbangun dalam bentuk yang sangat

sederhana.

Sumber foto: Bredenoord (2004)

Tahap Stabilisasi. Berharap. Pada tahap kedua, keluarga telah bertempat tinggal dan

mempunyai pendapatan, kemudian mereka mendapat akses kredit dari LSM untuk membeli

material. Keluarga kemudian mempekerjakan pengawas atau mandor untuk bantuan teknis.

Walaupun demikian, secara umum keluarga lebih senang menabung, dan jika perlu meminjam

dana secara informal dari kerabat atau sahabat. Akhirnya terdapat kebutuhan tersedianya akses

ke sumber pembiayaan eksternal.

Sumber foto: Bredenoord (2004)

Tahap Konsolidasi. Aman. Pada tahap ketiga, rumah inti sudah siap dan keluarga dapat

melibatkan tenaga profesional untuk menambah luas atau menambah lantai. Namun keluarga

tetap harus dapat mengendalikan biaya pembangunan, dan standar kelayakan bangunan tetap

terpenuhi. Keterlibatan anggota keluarga dalam kegiatan fisik tetap dimungkinkan untuk

menekan harga, namun tenaga tukang akan lebih sering dipekerjakan. Tahapan ini dapat berjalan

baik karena keluarga mempunyai kondisi ekonomi lebih baik dan pengalaman dari tahap

sebelumnya (Bredenoord, 2011)

Sumber: Bredernoord (2004)

Ketiga tahapan di atas dapat juga dilihat dari perspektif lain menurut Greene dan Rojas

(2008) berdasar proses pembangunan rumah bertahap yaitu (i) akses ke lahan perumahan; (ii)

pembangunan rumah inti yang layak huni; (iii) peningkatan kualitas rumah secara bertahap.

Pada setiap tahapan, dimungkinkan intervensi pemerintah agar prosesnya menjadi lebih efisien

dan efektif (Brenoord, 2011).

Rumah swadaya dapat dikembangkan melalui rumah swadaya gotong royong (mutual

self-help) dan pemerintah bersama LSM dapat mendukung dengan memberi insentif berupa

bantuan teknis. Sebagai hasilnya, perumahan swadaya dapat menjadi cara meningkatkan taraf

hidup.

IV Kebijakan Pemerintah tentang Perumahan Swadaya di Negara Berkembang7

Ditengarai terdapat hubungan langsung antara pertambahan permukiman liar di berbagai

belahan bumi khususnya di Negara berkembang dan ketidakmampuan masyarakat memiliki

rumah konvensional (Skinner dan Rodell, 1983). Dalam rangka menangani permukiman liar,

pemerintah kembali melakukan campur tangan langsung dalam penyediaan tempat tinggal pada

tahun 1950-1960. Namun banyak pemerintah negara berkembang menyadari bahwa mereka

tidak mempunyai cukup dana ataupun penguasaan teori dan praktek untuk merumahkan seluruh

penduduk miskin sesuai standar sebagai bagian dari pendekatan campur tangan pemerintah

(Ward, 1982). Akibatnya, pada tahun 1970an, kebijakan perumahan menekankan pembangunan

disponsori oleh pemerintah menyediakan tempat tinggal kepada penduduk miskin yang

kemudian dikritik oleh berbagai pihak. Hal yang tidak dapat dihindari ketika terjadi kesenjangan

antara kebutuhan dan ketersediaan adalah meningkatnya permukiman liar, perumahan bangun

sendiri, bertambahnya kepadatan dan meningkatnya ketertarikan terhadap paradigma

keswadayaan (Payne, 1984). Perlu dicatat bahwa keswadayaan tidak hanya telah menjadi proses

perumahan konvensional bagi manusia, tetapi juga telah dipraktekkan sejak tahun 1930-1940

(Harris, 2003).

Perumahan berbantuan pemerintah memungkinkan peran langsung pemerintah sebagai

pengembang, penyandang dana, dan/atau kontraktor dalam proses pengembangan perumahan.

Walaupun terdapat indikasi keterlibatan pemerintah sebelum perang dunia II di Eropa,

penghancuran permukiman perkotaan selama perang dunia II memacu keterlibatan langsung

pemerintah setelah perang.

Namun, literatur menunjukkan bahwa hanya sedikit Negara yang benar-benar menangani

masalah perumahan menggunakan pendekatan campur tangan pemerintah (Hardoy dan

Satterthwaite, 1997). Campur tangan pemerintah selalu dikritik karena ketidakmampuannya

untuk menyediakan rumah yang terjangkau bagi penduduk miskin (Skinner and Rodell, 1983),

dan berlokasi jauh dari tempat kerja dan fasilitas sosial (Gilbert, 1997), lebih cenderung

mementingkan sisi produksi dibanding sisi permintaan (Ward, 1982), dan kekurang berhasilan

dalam pemulihan biaya untuk pengelolaan (Gilbert dan Gugler, 1992). Faktor lainnya adalah

kekurangan luasan lahan yang terjangkau, standar bangunan yang terlalu ketat dan kekurangan

material lokal (Harris, 1999a; Harris dan Giles, 2003; Rondinelli,1990). Campur tangan

pemerintah tidak hanya tidak terjangkau tetapi juga berarti subsidi yang besar dari pemerintah,

yang dalam jangka panjang terbukti tidak layak (Awotona, 1999; Gilbert dan Gugler, 1992;

Payne, 1984; Tipple, 1994). Negara Amerika Latin dan Afrika mengalami masalah terlalu

besarnya subsidi perumahan, yang berarti berdampak negatif terhadap ketersediaan dana

pembangunan (Awotona, 1999; Harris, 1997).

Sebagaimana dikemukakan sebelumnya, konsekuensi campur tangan pemerintah dalam

7Sebagian besar materi pada sub bab ini diambil dari Lejone John Ntema. Self-Help Housing in South Africa:

Paradigms, Policy and Practice. Disertasi. Faculty of The Economic and Management Sciences (Centre for

Development Support) University of the Free State, Bloemfontein, Afrika Selatan, Mei 2011.

penyediaan tempat tinggal adalah pertumbuhan pesat permukiman informal. Diperkirakan

dikarenakan kondisi rumah buruk dan gelandangan, terdapat antara 600-850 juta penduduk kota

di Amerika Latin, Afrika dan Asia yang tinggal pada permukiman kumuh (Alan, 2000). Menurut

United Nations Center for Human Settlements (UNCHS), 64% persediaan rumah di Negara

berkembang dan sekitar 85% dari rumah baru ternyata tidak resmi (unauthorized) (Berner dan

Philips, 2003). Menghadapi kenyataan ini, Keivani dan Werna (2001) menyatakan bahwa

program perumahan publik langsung oleh pemerintah di Negara berkembang telah gagal, dengan

kontribusinya hanya sekitar 10% dari total persediaan rumah. Meskipun demikian, tetap saja

terdapat pengecualian seperti di Singapura, Hongkong dan Arab Saudi (Berner, 2001).

Di Hongkong, tujuan utama penyediaan rumah bagi penduduk miskin adalah memastikan

tidak terdapat sejengkal tanah yang menjadi perumahan liar. Namun, program ini walaupun

berhasil memenuhi tujuannya tetapi gagal memenuhi kebutuhan penduduk miskin (Dwyer,

1975). Keberhasilan Singapura dan Arab Saudi disebabkan sejumlah faktor (Marais, 2003).

Pertumbuhan ekonomi Singapura berdampak pada berkurangnya ketergantungan penduduk pada

pemerintah dan menurunnya pertambahan penduduk. Hal ini memungkinkan pemerintah

meningkatkan dana bagi penyediaan rumah bagi penduduk miskin. Selain itu, tidak seperti

Negara berkembang lainnya, lahan di Singapura dimiliki pemerintah, sehingga pemerintah tidak

perlu menyediakan dana pembelian lahan. Sementara di Arab Saudi, pendapatan Negara yang

sangat besar memungkinkan pemerintah menyediakan rumah bagi setiap penduduk (Hardoy dan

Satterthwaite, 1997).

Meskipun terdapat contoh keberhasilan campur tangan pemerintah, banyak pemerintahan

di Negara berkembang menyadari bahwa mereka tidak dapat memenuhi kebutuhan rumah

penduduk, mereka juga tidak menginginkan terbentuknya permukiman liar. Sebagai jalan tengah,

pemerintahan mengalihkan pendekatannya ke perumahan swadaya. (Berner, 2001). Terlepas dari

niat baik campur tangan pemerintah, tetapi diragukan bahwa pemerintah dapat mengatasi

masalah kekurangan rumah khususnya bagi penduduk miskin

V Pelaksanaan Perumahan Swadaya di Negara Berkembang

Pada bagian ini akan dikemukakan pelaksanaan perumahan swadaya, terutama konsep

swadaya berbantuan dan swadaya terlembaga.

5.1 Rumah Swadaya Berbantuan

Pada skema rumah swadaya berbantuan, pemerintah tetap berperan menyediakan

beberapa fasilitas perumahan yang tidak terjangkau masyarakat miskin. Sementara masyarakat

berusaha merumahkan diri mereka sendiri, pemerintah bertanggungjawab mendukung dengan

menyediakan lahan yang murah, penjaminan hak, dan layanan dasar seperti air, limbah, listrik.

Di luar ide ini, konsep site-and-services terlahir (Payne, 1984). Banyak program seperti ini yang

didukung oleh lembaga bantuan asing seperti Bank Dunia. Skinner dan Rodell (1983)

menyatakan bahwa prinsip site-and-services berbeda dari prinsip konvensional dalam dua cara

yaitu (i) keluarga yang berpindah ke lingkungan site-and-services hanya menerima rumah yang

belum jadi dikenal dengan istilah core housing (rumah inti/tumbuh) yang dibangun pemerintah

untuk dikembangkan nantinya. Alternatif lain, keluarga dapat menerima hanya berupa lahan dan

utilitas dan rumah tumbuh pada proyek yang mahal melalui skema site-and-services. Penerima

manfaat menjadi penanam modal yang membuat keputusan sendiri dan menghasilkan produk

akhir. Namun perlu juga dicatat, kadang kala dalam proyek mahal (expensive project),

pemerintah yang membangun rumah tumbuh dan menyerahkan ke penghuni untuk diselesaikan .

Ini menjadikan pemerintah tetap dapat mengendalikan penyediaan rumah bagi penduduk miskin.

A. Manfaat Rumah Swadaya Berbantuan

Terdapat dua keuntungan terkait rumah swadaya berbantuan atau site-and-sevices yaitu

(i) mempunyai potensi menyebarkan dana yang terbatas seluas mungkin, (ii) tidak hanya

penerima manfaat yang untung, tetapi juga pemerintah. Pemerintah terbebas dari kewajiban

keuangan membiayai pembangunan rumah untuk penduduk miskin (Payne, 1984).

Sebagai penutup, menurut Mukhija (2004) and juga Skinner and Rodell (1983) proyek

site-and-services menandakan tidak hanya pembangunannya dalam jangka panjang (rumah

sebagai sebuah proses), kecepatan dan biaya yang sesuai kemampuan penghuni, tetapi lebih

penting lagi, bahwa rumah dapat ditempati sebelum rumah selesai dibangun.

B. Kritik terhadap Swadaya Berbantuan

Salah satu kritik terkeras terhdap rumah swadaya berbantuan adalah bahwa skema ini

bukan merupakan strategi yang efektif bagi penyediaan rumah untuk penduduk miskin (Burgess,

1992). Prinsip pemulihan biaya tidak berjalan sebagaimana mestinya. Disamping kemampuan

penanganan oleh pemerintah juga terbatas seperti kekurangan tenaga penagih, pengelolaan yang

tidak memadai terhadap utilitas.

Pada daerah perkotaan, skema site-and –services menjadi tidak realistis karena mahalnya

harga lahan. Bukti menunjukkan bahwa pasokan selalu kurang dari kebutuhan. Lamanya

pelaksanaan kegiatan juga menjadi kendala. Banyaknya masalah administratif dan manajemen

memerlukan waktu tambahan untuk memantau dan pemerintah menganggap sulit menyediakan

sumber daya manusia yang sesuai. Karenanya, banyak proyek site-and-services yang

berlangsung sampai 10 tahun. Penerapan pemulihan biaya juga menjadikan program sering tidak

menjangkau sasaran penduduk miskin (Keivana dan Werna, 2001).

5.2 Perumahan Swadaya Terlembaga (Institutionalised Self-Help Housing)

Di dunia internasional, biasanya perumahan swadaya dilaksanakan melalui lembaga

tertentu. Hal ini melibatkan kelompok swadaya yang sering disebut koperasi perumahan

(Khurana, 2001). Menurut Khurana, koperasi perumahan dapat digambarkan sebagai sebuah

perkumpulan masyarakat yang terbentuk secara resmi dalam rangka mencapai tujuan yang sama

berupa pemenuhan kebutuhan rumah atau perbaikannya. Keivana dan Werna (2001) juga

menyebutkan bahwa kelompok tersebut dapat berunding atas nama anggotanya untuk

memperoleh lahan dari pemerintah atau mengajukan permohonan dan menerima kredit atau

pinjaman pemilikan rumah dari pemerintah dan dari institusi formal lainnya, menerima material

bangunan dan mempekerjakan kontraktor membangun perumahan. Hal yang berbeda dari

koperasi perumahan adalah bahwa anggotanya bersifat sukarela, dikendalikan secara demokratis,

dan anggota menyumbang dana yang relatif sama sebagai kontribusi modal ke koperasi

(Khurana, 2001). Namun, peran pemerintah, baik langsung maupun tidak langsung, pada

kegiatan koperasi ini masih menjadi perbincangan.

A. Skala Keterlibatan di Negara Berkembang

Beberapa Negara berkembang telah memanfaatkan koperasi perumahan sebagai alternatif

menyediakan rumah bagi penduduk miskin (Khurana, 2001). Tercatat banyak Negara

berkembang, berdasar pengalaman dan sejarah pembangunan perumahan masing-masing, telah

memanfaatkan keberadaan koperasi perumahan sebagai mekanisme mempercepat pembentukan

modal yang dibutuhkan dan meningkatkan jumlah dan kualitas rumah yang terjangkau bagi

penduduk miskin (Gonzalez Corzo, 2005). Sehingga, pada Negara-negara ini, koperasi

perumahan swadaya dianggap kendaraan yang bermanfaat bagi rumah tangga miskin

mengendalikan lingkungannya dan meningkatkan kualitas hidupnya.Beberapa Negara yang

tercatat adalah India, Jordania, Bangladash, Indonesia, Malaysia, Pakistan, Thailand, Iran,

Cuba, Pereira, Egypt, Botswana, Zimbabwe and Zambia (Khurana, 2001).

Perlu disimak, koperasi perumahan di beberapa Negara tersebut mencatatkan pencapaian

yang fantastik. Sebagai misal, koperasi perumahan di India menyumbang sekitar 10,8 persen dari

persediaan rumah tahunan antara tahun 1991-1995 (Sukumar, 2001). Di Iran, koperasi

perumahan berkontribusi setidaknya 6 persen dari total investasi perumahan sejak diperkenalkan

pada tahun 1985 (Keivana dan Werna, 2001).

B. Keberadaan dalam Negara Bersistem Sosialis

Meskipun perumahan swadaya mendapat cap neo-liberal, namun bukan berarti di Negara

sosialis perumahan swaadaya tidak mendapat tempat. Sebut saja misalnya Uni Sovyet, India dan

Kuba pada masa itu.

Sejak awal, pemerintah Kuba telah merasa bertanggungjawab memenuhi kebutuhan dasar

seperti rumah, makanan, pendidikan dan kesehatan. Terdapat dua alasan untuk itu. Hal ini sesuai

dengan garis kebijakan ekonomi makro pemerintah. Ideologi sosialis menghrauskan mereka

member prioritas untuk mendistribusikan kesejahteraan kepada penduduk miskin. Hal ini

memberi penekanan pada pentingnya campur tangan pemerintah pada penciptaan kesejahteraan

masyarakat termasuk ketersediaan perumahan (Ramirez, 2005).

Memasuki era tahun 1980an, kondisi ekonomi mengalami perubahan. Perekonomian

Kuba mengalami guncangan dan pertumbuhan ekonomi menurun drastic. Sebagai akibat,

pemerintah tidak mampu lagi menyediakan cukup dana untuk memenuhi kewajibannya sebagai

Negara berpaham sosialis, yaitu kebutuhan dasar disediakan pemerintah termasuk perumahan.

Pemerintah Kuba memutuskan beralih ke skema perumahan swadaya melalui sistem

‘micro-bridges’ (konsepnya sama dengan kelompok swadaya) dari buruh sukarela untuk

pembangunan perumahan publik . Penyediaan ‘micro-bridges’ dipandang sebagai sebuah cara

yang efektif dari pemerintah dalam mendukung inisiatif perumahan. Memang sulit dibayangkan

bahwa Pemerintah Kuba yang nota bene berpaham sosialis (ideologi Marxist) dapat mengadopsi

sebuah sistem yang mendorong pemanfaatan tenaga kerja sukarela dalam penyediaan

perumahan. Dari sudut pandang kaum Marxis, Burgess mengkritik dan menamai praktek tersebut

sebagai ketidaadilan mekanisme pemerintah untuk menghemat dana dengan memanfaatkan

rumah tangga miskin (Burgess, 1977). Walaupun seharusnya ini dilihat sebagai keterpaksaan

pemerintah Kuba mengadopsi konsep perumahan swadaya yang member peran lebih banyak

pada masyarakat. Tetapi pada dasarnya pemerintah Kuba sendiri gagal melaksanakan konsep

perumahan swadaya secara benar. Terlihat dari keleluasan yang diberikan pada masyarakat

hanya dalam porsi terbatas. Seperti dikatakan oleh Ramirez (2005), pemaduan konsep micro-

bridges kedalam proyek Perumahan Komunitas di Pogolloti, digunakan sebagai cara pemerintah

menghilangkan kendali institusi masyarakat dan mengembalikannya ke institusi pemerintah.

Dalam prosesnya, partisipasi penghuni hanya dalam bentuk diberi informasi terkait desain

rumah, dan melibatkan tenaga kerja sukarela untuk pekerjaan ringan seperti pengecatan,

sementara keseluruhan proses pengambilan keputusan berada di tangan institusi pemerintah

(Ramirez, 2005).

C. Pembenaran Keberadaan Koperasi Perumahan

Sejumla alasan dapat dikemukakan terkait keberadaan koperasi perumahan, yaitu (i)

menjamin keterlibatan sejumlah besar masyarakat; (ii) membantu kelompok membangun rumah

layak huni; dan (iii) memanfaatkan tabungan untuk kebutuhan perumahan (Khurana, 2001).

Gonzalez Corzo (2005) menyatakan bahwa sejak lama koperasi perumahan dimanfaatkan

untuk mengumpulkan modal dan meningkatkan kualitas dan jumlah rumah yang terjangkau di

daerah perkotaan di dunia. Dimungkinkan bagi koperasi untuk berfungsi sebagai model institusi

tabungan bagi rakyat miskin untuk membangun rumahnya sendiri, dan sebagai institusi yang

membangun perumahan masyarakat miskin yang terjangkau dan layak huni (Khurana, 2001).

Secara umum, koperasi perumahan menjalankan dua metode dalam program

konstruksinya. Menurut Khurana (2001), membangun dan menyerahkan ke pemilik, atau

menyediakan pinjaman kepada anggota yang akan membangun sendiri rumahnya. Di Kairo,

koperasi membangun rumah dengan satu kamar, utilitas, dan lingkungannya, kemudian

diserahkan ke pemilik untuk melengkapi kekurangannya sesuai kemampuannya. Rumahnya

disebut rumah inti (nucleus house) (Khurana, 2001).

Lebih jauh, untuk menghemat dana, pemilik akan secara bersama-sama memanfaatkan

material lokal. Mereka didorong untuk mendirikan pusat bangunan di daerah mereka, yang

berfungsi menyiapkan kebutuhan material dalam jumlah banyak sehingga dapat menurunkan

harga material (Gough, 1996).

Di Zimbabwe, perumahan swadaya terlembaga mendirikan pusat bangunan yang

memproduksi pintu, dan jendela dari bahan local dan teknologi sederhana untuk menekan biaya

rumah. Sekitar 400 pusat bangunan telah terbangun di seluruh India, untuk membantu

masyarakat miskin memperoleh material bangunan dan keterampilan untuk membangun sendiri

rumahnya bahkan menciptakan lapangan kerja. Pada seluruh pusat bangunan, bekerja sekitar 55

000 mandor, tukang ledeng, tukang kayu, tukang listrik yang sebelumnya telah dilatih (Keivana

dan Werna, 2001).

D. Campur Tangan Pemerintah

Disepakati bahwa perumahan swadaya relatif tidak terlalu dicampuri oleh pemerintah,

namun pada dasarnya tidak benar-benar terlepas dari pemerintah. Terdapat dua cara pemerintah

melakukan intervensi yaitu secara langsung melalui regulasi atau kebijakan dan penyediaan

sumber daya utama seperti keuangan, bantuan teknis, dan tidak langsung melalui institusi

keuangan.

Campur tangan jenis pertama dapat berdampak positip maupun negatip. Secara positip

dalam bentuk penyediaan pinjaman yang dapat digunakan untuk membeli material dan

membayar buruh. Masyarakat membangun rumah secara berkelompok sehingga pembelian

material juga secara berkelompok. Di India, pemerintah menyediakan pinjaman kepada institusi

sukarela yang mengatur rumah tangga miskin dalam koperasi perumahan (Sukumar, 2001),

Selain juga mengembangkan pusat pelatihan koperasi yang diberi tugas menyediakan informasi,

pelatihan administrasi. Koperasi perumahan di Mumbai dimanfaatkan oleh pemerintah dan LSM

untuk mempercepat kegiatan bersama, swadaya, dan kelompok usaha kredit informal. Sementara

pemerintah Bangladesh membentuk Bangladesh Co-operative Housing Federation dengan

maksud memperbesar dukungan keuangan, pengawasan dan koordinasi kegiatan terbatas pada

koperasi perumahan yang terafiliasi (Khurana, 2001)

Di Bogota, Colombia, kebijakan subsidi perumahan diperkenalkan pada tahun 1990

dimaksudkan untuk meningkatkan kondisi perumahan dan membantu masyarakat miskin secara

langsung. Pemerintah tidak lagi memberikan rumah secara cuma-cuma tetapi menyediakan

subsidi kepada keluarga miskin. Skemanya berupa setiap keluarga yang membutuhkan subsidi

harus menyiapkan uang muka sebesar lima persen dari nilai pinjaman dan kemudian dibantu

dipersiapkan untuk membentuk kelompok yang akan membantu memberi solusi melalui program

perumahan swadaya terlembaga (Alan, 2000).

Contoh lainnya keberhasilan campur tangan pemerintah, Skinner and Rodell (1983)

menjelaskan tentang the Chawama Institutionalised Self-help Project di Kafue (Zambia),

pemerintah menghibahkan lahan, memberikan ruang kantor, menyediakan pinjaman murah dari

pemerintah pusat, sementara LSM mendonasikan dana dan peralatan, membayar tenaga

professional yang mendesain rumah dan mengelola pelaksanaan konstruksi. Hal ini menandakan

kerjasama pemerintah dengan LSM berjalan dengan baik.

Salah satu tantangan utama pemerintah adalah menyediakan sumber dana yang murah.

Kesulitannya adalah tidak adanya kepercayaan dari lembaga keuangan terkait penyediaan dana

bagi pembangunan rumah masyarakat miskin. Sejak lama, bank di Negara berkembang menolak

membiayai penyediaan rumah bagi masyarakat miskin. Dikatakan dalam berbagai literatur

bahwa keengganan keterlibatan bank komersil dalam menyediakan dana bagi koperasi

perumahan dapat disebabkan oleh (i) besarnya potensi kegagalan kredit; (ii) koperasi perumahan

menjadi tidak independen; (iii) perumahan menjadi komoditas daripada sebagai alat

pemberdayaan komunitas. Pertanyaannya kemudian apa yang dapat membuat bank tertarik?.

Jawabannya sebagaimana dikemukakan oleh Khurana (2001) dapat belajar pada pemerintah

Indonesia yang menjamin keseluruhan dana yang dipinjam oleh koperasi perumahan. Hal ini

dapat dipandang sebagai pedang bermata dua yaitu (i) menjamin keuntungan dan resiko bank,

(ii) menjamin bahwa pemerintah tetap merupakan mitra utama penyediaan rumah bagi

masyarakat miskin. Skema sejenis juga dilaksanakan di Bangladesh, Malaysia, Pakistan, and

Thailand (Khurana, 2001). Upaya pemerintah ini dapat dipandang sebagai dorongan

mempercepat tercapainya keinginan masyarakat miskin meemperoleh rumah. Pada akhirnya,

bantuan pemerintah ini memberi pembenaran pada pemikiran Turner bahwa pemerintah hanya

perlu menyediakan sumber daya yang tidak dimiliki oleh rumah tangga miskin (Khurana, 2001).

Pada sisi negatifnya, dikatakan bahwa keterlibatan pemerintah baik keuangan maupun

administratif pada program perumahan swadaya telah mengurangi independensi koperasi

perumahan. Bukannya menjadi perusahaan dari masyarakat tetapi perusahaan dikendalikan

pemerintah. Salah satu contohnya adalah di India.

Sebagai kesimpulan, keterlibatan pemerintah dalam perumahan swadaya terlembaga,

ternyata walaupun dapat mendorong ketersediaan rumah bagi masyarakat miskin tetapi di lain

pihak ternyata mengurangi independensi koperasi perumahan mealui bantuan teknis baik berupa

dana maupun administrasi. Hal ini mengurangi salah satu prinsip perumahan swadaya yaitu

kendali penghuni.

E. Manfaat Perumahan Swadaya Terlembaga

Berdasar kenyataan lapangan, perumahan swadaya terlembaga dapat berpotensi

meningkatkan produksi rumah, mengurangi biaya bagi penghuni dan pemerintah, dan

berkontribusi pada pengurangan kemiskinan. Hal lainnya, mempromosikan ‘rumah dihuni I oleh

pemilik’ (owner-occupancy), yang dipercaya dapat mendorong stabilitas sosial, memberi

kebanggaan bagi pemilik, sekaligus mendorong tabungan dan investasi (Harris dan Giles, 2003).

Lebih jauh lagi, sebagaimana dinyatakan oleh Gough (1996), Keivana dan Werna (2001) dan

Sukumar (2001), koperasi perumahan mempunyai manfaat bagi rumah tangga miskin setidaknya

dalam tiga hal, yaitu (i) pengumpulan sumber daya secara bersama membantu menurunkan biaya

setiap rumah; (ii) jika memungkinkan, keahlian yang dimiliki oleh anggota koperasi dapat

dimanfaatkan dalam pelaksanaan pembangunan perumahan (Sukumar, 2001); (iii) walaupun

selama ini penduduk miskin tidak mempunyai akses ke lembaga keuangan, dengan terbangunnya

rumah mereka dengan sendirinya peluang tersebut menjadi terbuka (Sukumar, 2001).

Selain itu, koperasi berpeluang menciptakan eksternalitas positip melalui penciptaan

lapangan kerja, meningkatnya penerimaan pajak bagi pemerintah setempat, dan dampak

berganda terkait bertambahnya investasi dan konsumsi (Gonzalez Corzo, 2005).

Keuntungan lainnya sebagaimana dikemukakan oleh Khurana (2001), Rodriguez and

Astrand (1996) and Rondinelli (1990), dari skema ini adalah termasuk kemampuannya

menghindarkan eksploitasi ekonomi terhadap penghuni, sebagai alat untuk meningkatkan kendali

penghuni. Berbeda dengan perumahan public, koperasi meberdayakan penghuni untuk

mengendalikan setiap tahapan. Lebih penting lagi, pemeliharaan lingkungan juga menjadi

tanggungjawab penghuni yang dapat mengurangi biaya pemeliharaan dan meningkatkan

kepuasan dari penghuni. Keterlibatan penghuni dalam setiap tahapan juga dapat menjamin

terjaganya kualitas, terpenuhinya kebutuhan penghuni.

Dalam literatur tercatat bahwa program ini berpotensi menghasilkan komunitas yang

terpadu dengan standar hidup lebih baik melalui tersedianya layanan dasar, mendorong

hubungan yang saling menguntungkan diantara penghuni. Koperasi juga menciptakan sistem

bersama pembiayaan dan pembayaran dan mengurangi bahaya gagal bayar dengan menerapkan

prinsip tanggungjawab bersama diantara penghuni, berpotensi digunakan sebagai alat untuk

memasilitasi pemberdayaan kelompok yang termarjinalkan.

F. Tantangan bagi Perumahan Swadaya Terlembaga

Secara umum, beberapa tantangan yang dihadapi adalah (i) pusat bangunan ternyata tidak

seefisien dan seefektif yang diharapkan. Menurut Gough (1996), bagi produsen, keberadaan

pusat bangunan hanya merubah jalur distribusi dan tidak ada insentif buat mereka. Bahkan

mengganggu sistem distribusi yang telah ada. Hal lainnya, setiap penghuni membangun dengan

desain yang berbeda pada waktu yang berbeda, membutuhkan material yang berbeda pada waktu

yang berbeda; (ii) keterlibatan penghuni juga bentuknya beragam. Keluarga muda akan aktif

berpartispasi dibanding keluarga yang sudah sepuh, dan termasuk keluarga orang tua tunggal;

(iii) anggota kelompok berasal dari beragam latar belakang budaya. Hal ini juga kadang

mengurangi kepercayaan diantara mereka; (iv) koperasi tidak berdaya terhadap kenaikan harga

lahan, kekurangan pendanaan, kenaikan biaya konstruksi; (v) Upaya menekan biaya dapat

berdampak pada rendahnya kualitas bangunan yang tidak hanya kurang nyaman dipandang tetapi

juga dapat menurunkan nilai property di sekitar lokasi.

5.3 Rangkuman

Penyediaan rumah bagi masyarakat miskin masih menjadi hal yang belum terwujud bagi

Negara berkembang. Faktor yang menjadi penyebabnya kemungkinan adalah

ketidakterjangkauan baik bagi pemerintah maupun penerima manfaat, yang diakibatkan oleh

biaya dan standar tinggi yang harus terpenuhi terkait perumahan publik (public housing).

Akibatnya, konsep perumahan swadaya mendapat perhatian sejak pertengahan tahun 1960 dan

akhirnya diterima secara luas sebagai sistem alternatif penyediaan perumahan. Namun,

meskipun perumahan swadaya dikenal dengan prinsip seperti kendali oleh penghuni, rumah oleh

rakyat, kebebasan membangun, literatur menunjukkan bahwa keterlibatan pemerintah tetap

dominan terhadap pelaksanaan konsep perumahan swadaya. Ironisnya, penjelasan neo-liberal

sering digunakan untuk memberi pembenaran pada perumahan swadaya. Namun dalam

prakteknya, kendali pemerintah menjadi suatu norma. Karenanya, akhirnya, tepat jika

disimpulkan bahwa terlalu menyederhanakan menyamakan perumahan swadaya dengan neo-

liberalisme.

Selengkapnya pada tabel 3 berikut ditampilkan perbandingan konsep utama terkait

pelaksanaan perumahan swadaya sebagaimana dikemukakan oleh Turner dengan beragam

pemangku kepentingan

Tabel 3

Perbandingan Konsep Kunci Turner dengan Pandangan Pemangku Kepentingan

Konsep Pemerintah Neo- Marxist Turner Bank Dunia Swadaya

Berbantuan

Swadaya

Terlembaga

Kendali

Penghuni

Tidak

disinggung-

tidak

menjadi

prioritas

utama

Tanggungjawab

pemerintah

menyediakan

perumahan

missal bagi

penduduk

miskin

Penerima

manfaat

adalah

pembuat

keputusan

pada tahap

desain,

perencanaan,

dan

konstruksi

Penerima

manfaat adalah

pengambil

keputusan pada

masa konstruksi

Penerima

manfaat

memutuskan

tipe rumah

dan produk

lainnya

Manajemen

proyek oleh

penerima

manfaat-

kebutuhan

komunal

dapat

mengalahkan

kendali

individual

Kendali

pemerintah

Pemerintah

bertindak

sebagai

pengembang,

penyandang

dana dan

atau

kontraktor

Pemerintah

sebagai

pemeran kunci

penyediaan

perumahan

Pemerintah

menyediakan

fasilitas

perumahan

diluar

kemampuan

penduduk

miskin

Peerintah

memegang

peran

memberdayakan

Pemerintah

menciptakan

lingkungan

kondusif,

menyiapkan

lahan dan

layanan dasar

Pemerintah

menciptakan

lingkungan

kondusif

berbentuk

konsesi fiskal

Kontribusi

sukarela

Mekanisme

oleh

pemerintah

untuk

menekan

biaya - tidak

penting

Mekanisme

untuk

mengeksploitasi

penduduk

miskin

Tidak wajib

kecuali bagi

penerima

manfaat

yang tidak

bisa

membayar

tukang

Penting dalam

proses

konstruksi yang

diserahkan

keputusannya

pada penerima

manfaat

Penting

dalam proses

konstruksi

yang

diserahkan

keputusannya

pada

penerima

manfaat

Dilakukan

jika penerima

manfaat tidak

dapat

membayar

tukang

Pemanfaatan

sumber daya

lokal

Diadakan

oleh

pemasok luar

Mengarah

terbangunnya

rumah yang

jelek

Mobilisasi

keterampilan

dan sumber

daya lokal

Mobilisasi

keterampilan

dan sumber

daya lokal

Mobilisasi

keterampilan

dan sumber

daya lokal

Penerima

manfaat

membeli atau

memproduksi

sendiri

Biaya

perumahan

Pemerintah

menyubsidi

tetapi tidak

mampu

Pemerintah

sebagai

penyandang

dana

Pemerintah

dan

penerima

manfaat

menanggung

biayanya

Pinjaman

perumahan

lebih layak

disbanding

subsidi

Pemerintah

dan penerima

manfaat

menanggung

beban

Tabungan

individu dan

kelompok

oleh

penerima

manfaat dan

pendanaan

pemerintah

untuk

keberlanjutan

institusi

Definisi

rumah

Rumah

formal

Rumah adalah

tanggungjawab

pemerintah

Rumah inti Rumah inti Rumah

tumbuh

Sumber: Ntema, 2011

VI PEMBELAJARAN DARI BERBAGAI PRAKTEK UNGGULAN

Dipahami selama ini bahwa kiblat perumahan swadaya adalah Afrika Selatan, lebih

disebabkan karena ketersediaan sumber informasi yang relatif lengkap. Hal ini kemudian

menjadikan naskah ini banyak mengacu pembelajaran dari Afrika Selatan, walaupun pada

beberapa kondisi tetap mencoba mengacu pada pembelajaran Negara lain.

6.1 Afrika Selatan

Pengamatan terhadap pelaksanaan perumahan swadaya di Afrika Selatan secara intensif

dilakukan oleh seorang mahasiswa doktoral di Afrika Selatan, Lejone John Ntema, yang

kemudian menuliskannya sebagai karya disertasi dengan judul Self-Help Housing in South

Africa: Paradigms, Policy and Practice. Pengamatan dilakukan terhadap 3 bentuk perumahan

swadaya yang berbeda pada lokasi yang juga berbeda yaitu (i) perumahan swadaya berbantuan di

Freedom Square (Mangaung); (ii) perumahan swadaya mandiri di Thabong Housing Project; dan

(iii) perumahan swadaya terlembaga di Free State.

Secara umum, kesimpulan dari pengamatannya sebagai berikut:

a. Praktek rumah swadaya di Negara berkembang didominasi oleh campur tangan

pemerintah dan bukan dikendalikan oleh penerima manfaat

Terdapat banyak bukti bahwa konsep kendali penghuni (dweller control) tidak terlaksana,

dan pada banyak kejadian, campur tangan pemerintah menjadi lazim. Dari beberapa kasus,

terlihat adanya mekanisme kendali oleh pemerintah terhadap program rumah swadaya.

Komunitas miskin hanya menjadi penerima produk rumah yang didesain dan direncanakan oleh

pemerintah dan disediakan melalui kelompok swadaya atau kontraktor yang ditunjuk

pemerintah. Sebagai contoh bahkan hanya sekedar menentukan tipe material yang digunakan,

saja penghuni tidak diperbolehkan Selanjutnya desain dan perencanaan perumahan ditentukan

pemerintah. Walaupun terdapat pengecualian pada beberapa lokasi. Misalnya bentuk campur

tangan dengan mencoba mempengaruhi dengan membangun rumah contoh. Pemilihan kontraktor

dan pengembang oleh pemerintah juga salah satu cara mengendalikan proyek.

b. Pemikiran Turner tentang kendali penghuni telah disalahartikan dan terbatas

hanya pada kegiatan membangun sendiri dan sumbangan sukarela

Praktek rumah swadaya diartikan sebatas membangun sendiri dan kontribusi tenaga. Pada

banyak kejadian sumbangan sukarela menjadi persyaratan oleh pemerintah tetapi tanpa diberikan

kesempatan sebagai pengambil keputusan.

c. Rumah Swadaya Mandiri (laissez-faire self-help) terlihat lebih berhasil dibanding

rumah swadaya berbantuan (contractor-driven)

Pemikiran bahwa ‘kendali penghuni’ berperan terhadap dampak (outcome) rumah

swadaya terbukti, ketika dibandingkan antara rumah swadaya mandiri dengan rumah swadaya

berbantuan (apalagi campur tangan pemerintah terlalu kuat). Rumah swadaya mandiri hasilnya

lebih baik dan lebih luas serta berkembang jauh lebih baik (Huchzermeyer, 2002). Hal ini juga

ditunjang oleh besarnya rasa memiliki penghuni yang berakibat tingginya kepuasan mereka.

d. ‘Kendali Penghuni’ mengalahkan dampak negatif dari kesulitan ekonomi

Terbukti bahwa kondisi ekonomi keluarga yang membaik mendorong perbaikan kondisi

rumah (kualitas dan luasan) secara bertahap (Pugh, 2001). Walaupun demikian ternyata kendali

penghuni yang menimbulkan rasa memiliki dapat mendorong penghuni mengabaikan kesulitan

ekonomi yang dihadapinya dan tetap meningkatkan kualitas rumahnya.

e. Perumahan swadaya tidak selalu bersifat formal tetapi juga bersifat informal

Berbeda dengan yang dipercayai oleh Turner bahwa ketika penghuni diberi kebebasan

maka hasilnya akan selalu berupa formalisasi permukiman informal. Dalam kenyataannya,

terjadi kondisi sebaliknya. Terdapat bukti pada beberapa kejadian, hasilnya tetap dalam bentuk

permukiman informal.

f. Mekanisme Rumah Swadaya kemungkinan menghasilkan pertentangan diantara

penerima manfaat.

Rumah swadaya yang menekankan pada proses diasumsikan meningkatkan kebersamaan

diantara penerima manfaat. Walaupun demikian bukan berarti pertentangan tidak terjadi diantara

penerima manfaat, walaupun dalam porsi yang relatif kecil. Kondisi ini terjadi khususnya pada

rumah swadaya mandiri.

g. Perumahan Swadaya Berbantuan dalam bentuk penyediaan rumah inti oleh

pemerintah tidak dengan sendirinya mendorong peningkatan kualitas rumah

tersebut

Sebenarnya skema perumahan swadaya berbantuan tidak mencakup penyediaan rumah

inti oleh pemerintah, tetapi hanya berupa infrastruktur dasar. Namun, sebagian Negara

menyediakan subsidi dalam bentuk rumah, termasuk Afrika Selatan yang dianggap sebagai kiblat

perumahan swadaya. Penerima manfaat diharapkan mengembangkan rumah inti tersebut di

kemudian hari. Fakta menunjukkan bahwa hal ini tidak terjadi atau hanya terjadi dalam porsi

yang sangat kecil.

h. Tidak disarankan mengukur dampak (outcome) dalam jangka pendek, namun

pemantauan jangka panjang akan lebih bermanfaat.

Sebagaimana diketahui perumahan swadaya berbantuan didesain agar penghuni

mengembangkan sendiri rumahnya dalam jangka panjang. Hal ini sesuai dengan pemikiran

Turner bahwa rumah harus dipandang sebagai kata kerja (verb) dan bukan kata benda (noun).

Rumah sebaiknya dianggap sebagai sebuah proses (Turner, 1976), sehingga sebuah rumah tidak

akan pernah selesai tetapi akan berkembang terus. Demikian pula halnya ketika dilakukan

pengamatan. Tidak disarankan pengamatan tersebut secara seketika (snap shot) tetapi dalam satu

waktu yang cukup panjang.

Keseluruhan pembelajaran di atas disarikan pada tabel berikut, dilengkapi rekomendasi

dan acuan lokasi pengamatan.

Tabel 4

Rangkuman Pembelajaran Perumahan Swadaya di Afrika Selatan

No Temuan Rekomendasi Lokasi Pengamatan

1 Praktek perumahan swadaya (self-

help housing) di Negara berkem-

bang didominasi campur tangan

pemerintah yang sangat kuat dan

cenderung mengabaikan keterlibat-

- Pemerintah seharusnya berfungsi

memasilitasi proses, sehingga petu-

gas pemerintah berperan utamanya

sebagai fasilitator.

- Penghuni/masyarakat sebaiknya di-

- Rumah swadaya terlem-

baga di Free State (Afrika

Selatan)

- Rumah swadaya berban-

tuan di Freedom Square/

No Temuan Rekomendasi Lokasi Pengamatan

an penghuni/masyarakat (dweller

control)

didik memahami peran, tugas dan

tanggungjawabnya sehingga salah

satu bagian dari kegiatan perumahan

swadaya adalah pemberdayaan ma-

syarakat dalam bentuk kegiatan so-

sialisasi/advokasi

Mangaung (Afrika Selatan)

2 Kendali penghuni (dweller control)

dalam perumahan swadaya dimi-

nimalkan menjadi hanya sekedar

masyarakat membangun sendiri

dan berkontribusi secara sukarela

baik tenaga maupun material

(sweat equity)

Kontribusi masyarakat sebaiknya

dipertimbangkan kembali

- Rumah swadaya terlem-

baga di Free State (Afrika

Selatan)

- Rumah swadaya berban-

tuan di Freedom Square/

Mangaung (Afrika Selatan)

3 Keluaran (output) dan dampak

(outcome) perumahan swadaya

mandiri (Laissez-Faire self-help

housing)

- Rumah swadaya berban-

tuan di Freedom Square/

Mangaung (Afrika Selatan)

- Rumah swadaya mandiri di

Thabong Housing Project

(Afrika Selatan) 4 Keberadaan kendali ditangan

penghuni (dweller control) ter-

nyata dapat mengurangi dampak

negatif dari kesulitan ekonomi

penghuni (misal kehilangan peker-

jaan ternyata tidak selamanya

menghambat peningkatan kualitas

rumah)

- Rumah swadaya berban-

tuan di Freedom Square/

Mangaung (Afrika Selatan)

- Rumah swadaya mandiri di

Thabong Housing Project

(Afrika Selatan)

5 Perumahan swadaya tidak selalu

bersifat formal tetapi juga bersifat

informal

Mekanisme perumahan swadaya

sebaiknya mengadopsi situasi

informal

Rumah swadaya mandiri di

Thabong Housing Project

(Afrika Selatan)

6 Mekanisme perumahan swadaya

dapat menyebabkan konflik

diantara sesama penerima manfaat

Pemerintah sebaiknya memastikan

terjaminnya akuntabilitas dan

pengawasan dalam proses perumahan

swadaya tanpa melakukan

pengendalian langsung

Rumah swadaya mandiri di

Thabong Housing Project

(Afrika Selatan)

7 Perumahan swadaya berbantuan

dalam bentuk penyediaan rumah

inti oleh pemerintah tidak dengan

sendirinya mendorong pada pe-

ngembangan rumah inti tersebut

Penekanan pada keswadayaan sebaik-

nya mendorong perumahan sebagai

sebuah proses daripada kegiatan

sesaat.

Rumah swadaya berbantuan

di Freedom Square/Manga-

ung (Afrika Selatan)

8 Mengukur dampak (outcome)

perumahan dalam jangka pendek

tidak disarankan, namun penga-

matan jangka panjang akan

menghasilkan pemahaman yang

lebih baik dari dampak perumahan

Mengacu pada prinsip keswadayaan

sebaiknya mendorong perumahan

sebagai sebuah proses daripada kegiat-

an sesaat, demikian pula ketika dila-

kukan pengamatan sebaiknya bersifat

jangka panjang.

- Rumah swadaya berbantu-

an di Freedom Square/

Mangaung (Afrika Selatan)

- Rumah swadaya mandiri di

Thabong Housing Project

(Afrika Selatan)

Sumber: Ntema, 2011 dengan beberapa penyesuaian

.

6.2 Israel

Berdasar pengamatan Carmon, dan Gayrieli (1987) yang membandingkan antara

perumahan swadaya dan non swadaya di Israel, didapatkan kesimpulan bahwa melalui

perumahan swadaya dihasilkan rumah yang lebih berkualits, hubungan bertetangga lebih baik,

dan penghuni lebih puas dengan hasil pembangunannya. Selain itu, masyarakat juga terdorong

untuk mempertahankan kondisi lingkungannya. Kondisi ini tercapai dengan hanya sedikit biaya

pemerintah dibandingkan dengan perumahan non swadaya (Ntema, 2011).

DAFTAR PUSTAKA

Awotona, A. (ed.). Housing Provision and Bottom-up Approaches: Family Case Studies

from Africa, Asia and South America. Ashgate, England, 1999.

Bredenoord, Jan. The people‟s Struggle for Affordable Living Space. The Role of (assisted)

Self-Help Housing From 1950 – 2010 and Beyond. The Housing Research Group, 2011.

Carmon, Naomi dan Gayrieli, Tamar. Improving Housing by Conventional Versus Self-help

Methods: Evidence From Israel. Urban Study, 24 (4), 324-332, Agustus 1987

Fernandez-Maldonado, A.M. Fifty Years of Barriadas in Lima: Revisiting Turner and De

Soto. ENHR 2007 International Conference Sustainable Urban areas. Delft University of

Technology, 2007.

Gilbert, A. On Subsidies and Home Ownership: Colombian Housing Policy During the

1990s. Third World Planning Review, 19(1), 51-70, 1997.

Gilbert, A. and Gugler, J. Cities, poverty and development: urbanisation in the third world.

Oxford University, New York, 1992.

Hardoy, J.E. and Satterthwaite, D. Building the future city, in: J. Gugler (ed.) Cities in the

developing world. Issues, theory, and policy. Oxford University, New York, 1997.

Harms, H. Historical Perspectives on the Practice and Purpose of Self-Help Housing‟

(Chapter 9) in Self-help Housing: A Critique (P. Ward, ed.), London, Mansell, 1982.

Harris, R. The Silence of the Experts: “Aided Self-Help Housing”, 1939-1954. Habitat

International, 22(2), 165-189, 1998.

Harris, R. Aided Self-Help Housing, a Case of Amnesia: Editor’s Introduction. Housing

Studies, 14(3), 277-280, 1999a.

Harris, R. A Double Irony: the Originality and Influence of John F.C Turner. Habitat

International, 27(2), 245-269, 2003.

Mathéy, K. (Ed.). Beyond Self-Help Housing. London: Mansell, 1992.

Ntema, Lejone John. Self-Help Housing in South Africa: Paradigms, Policy and Practice.

Disertasi. Faculty of The Econodmic and Management Sciences (Centre for Development

Support) University of the Free State, Bloemfontein, Afrika Selatan, Mei 2011.

Payne, G.K. (ed.). Low-income Housing in the Developing World: the Role of Sites and

Services and Settlement Upgrading. John Wiley and Sons, New York, 1984.

Pugh, C. International Finance and Housing Policies in Developing Countries. Cities, 9, 117-

137, 1992.

Pugh, C. The Theory and Practice of Housing Sector Development for Developing

Countries, 1950-99. Housing Studies, 16(4), 399-423, 2001.

Rondinelli, D. A. Housing the Urban Poor in Developing Countries. The American Journal of

Economics and Sociology, 49(3), 258-269, 1990.

Schulist, T. and Harris, R. Build Your Own Home‟. State Assisted Self-Help Housing in

Canada, 1942-1975. Planning Perspectives, Vol. 17, No 4, October 2002, pp. 345-372,

2002.

Skinner, R. J. and Rodell, M. J. (eds.). People, Poverty and Shelter: Problems of Self-Help

Housing in the Third World. Methuen, London, 1983.

Tipple, A.G. A Matter of Interface: the Need for a Shift in Targeting Housing Interventions.

Habitat International, 18, 1-15, 1994.

Turner, J.F.C. Housing by People. Towards Autonomy in Building Environments. Marion

Byers, London, 1976.

UN-Habitat. Financing Urban Shelter, Global Report on Human Settlements, London,

Earthscan, 2005.

Ward, P.M. (ed.). Self-help Housing: a Critique. Mansell, London, 1982.

Zhang, L., Zhao, S.X.B. and Tian, J.P. Self-Help in Housing and Chengzhongcun in China’s

Urbanisation. International Journal of Urban and Regional Research, 27(4), 912-937, 2003.