perubahan iain menjadi uin

22
TELAAH ATAS PERUBAHAN IAIN MENJADI UIN Analisis Politik Terhadap Pengembangan PTAIS Oleh: Akmaluddin (Mahasiswa Pascasarjana UIN SUSKA Riau) A. Pendahuluan Institut Agama Islam Negeri (IAIN) merupakan bagian integral dari sistem pendidikan nasional. Karena itu, IAIN secara keseluruhan juga tidak bisa mengisolasikan diri dari perubahan-perubahan paradigma, konsep, visi dan orientasi baru pengembangan pendidikan tinggi/Perguruan Tinggi nasional, dan bahkan internasional, seperti dirumuskan dalam Deklarasi UNESCO tentang Perguruan Tinggi pada 1998. Dalam konteks Indonesia, kajian ulang tentang Perguruan Tinggi semakin menemukan momentumnya dengan terjadinya krisis moneter, yang disusul krisis ekonomi, politik dan sosial. Semua krisis ini tidak hanya menimbulkan keprihatinan mendalam tentang meningkatnya drop-out rate di kalangan mahasiswa, tetapi juga tentang semakin merosotnya efektivitas dan efisiensi Perguruan Tinggi dalam menghasilkan mahasiswa dan lulusan yang memiliki competitive advantage, memiliki daya saing yang

Upload: teman-maya

Post on 25-Jul-2015

318 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: Perubahan Iain Menjadi Uin

TELAAH ATAS PERUBAHAN IAIN MENJADI UINAnalisis Politik Terhadap Pengembangan PTAIS

Oleh: Akmaluddin(Mahasiswa Pascasarjana UIN SUSKA Riau)

A. Pendahuluan

Institut Agama Islam Negeri (IAIN) merupakan bagian integral dari sistem

pendidikan nasional. Karena itu, IAIN secara keseluruhan juga tidak bisa

mengisolasikan diri dari perubahan-perubahan paradigma, konsep, visi dan orientasi

baru pengembangan pendidikan tinggi/Perguruan Tinggi nasional, dan bahkan

internasional, seperti dirumuskan dalam Deklarasi UNESCO tentang Perguruan Tinggi

pada 1998.

Dalam konteks Indonesia, kajian ulang tentang Perguruan Tinggi semakin

menemukan momentumnya dengan terjadinya krisis moneter, yang disusul krisis

ekonomi, politik dan sosial. Semua krisis ini tidak hanya menimbulkan keprihatinan

mendalam tentang meningkatnya drop-out rate di kalangan mahasiswa, tetapi juga

tentang semakin merosotnya efektivitas dan efisiensi Perguruan Tinggi dalam

menghasilkan mahasiswa dan lulusan yang memiliki competitive advantage, memiliki

daya saing yang andal dan tangguh dalam zaman globalisasi yang penuh tantangan.

Pengembangan IAIN, dengan demikian, juga harus dilihat dalam konteks

perubahan-perubahan yang terjadi begitu cepat, baik pada tingkat konsep dan

paradigma Perguruan Tinggi. Bahkan lebih jauh lagi, pengembangan IAIN sekaligus

pula harus mempertimbangkan perubahan dan transisi sosial, ekonomi dan politik

nasional dan global.

Tulisan ini mencoba mengkaji perubahan-perubahan yang dapat ditempuh IAIN

dalam perspektif paradigma baru Perguruan Tinggi yang telah dirumuskan baik pada

tingkat pendidikan nasional maupun internasional. Tulisan ini juga berusaha

Page 2: Perubahan Iain Menjadi Uin

menawarkan sejumlah peluang dan alternatif yang dapat ditempuh IAIN—bukan

hanya untuk survive, tetapi lebih-lebih lagi untuk mengembangkan dirinya menjadi

Perguruan Tinggi yang dapat memberikan competitive advantage kepada

mahasiswanya.

B. Pembahasan

1. Paradigma Baru Perguruan Tinggi

Tidak perlu diuraikan secara rinci maka konsep “paradigma baru” bagi Perguruan

Tinggi di Indonesia merupakan sebuah keharusan. Paradigma baru itu, mau tidak mau,

melibatkan reformasi besar yang mencakup perubahan kebijakan yang lebih terbuka,

transparan, dan akuntabel. Dengan reformasi dan perubahan Perguruan Tinggi dapat

melayani kebutuhan yang lebih beragam bagi lebih banyak orang dengan kandungan

pendidikan (contents), metode, dan penyampaian pendidikan berdasarkan jenis dan

bentuk-bentuk baru hubungan dengan masyarakat dan sektor-sektor masyarakat lebih

luas.

Paradigma baru Perguruan Tinggi yang sekarang ini di Indonesiamenjadi

kerangka dan landasan pengembangan Perguruan Tinggi merupakan hasil dari

pembahasan dan perumusan yang telah dilakukan sejak waktu yang lama baik pada

tingkat nasional maupun internasional. Sekali lagi, IAIN sebagai bagian integral dari

sistem pendidikan nasional juga tidak bisa melepaskan diri dari perumusan-perumusan

yang berkembang dari waktu ke waktu itu.

Kajian ulang terhadap kinerja Perguruan Tinggi secara komprehensif, yang

menghasilkan pemikiran dan konsep baru tentang pengembangan Perguruan Tinggi,

bisa kita lihat misalnya dalam kerangka yang diajukan oleh D.A. Tisna Amijaya.1

Sebelum memberikan kerangka pengembangan Perguruan Tinggi jangka panjang, ia

mengidentifikasi lima masalah besar yang dihadapi Perguruan Tinggi pada umumnya.

1 D.A. Tisna Amijaya, Kerangka Pengembangan Pendidikan Tinggi Jangka Panjang 1976-1985 (Jakarta: Dirjen Dikti, 1976)

Page 3: Perubahan Iain Menjadi Uin

Pertama, produktivitas yang rendah; kedua, keterbatasan daya tampung; ketiga

keterbatasan kemampuan berkembang; keempat, kepincangan di antara berbagai

Perguruan Tinggi; dan kelima, distribusi yang tidak seimbang dalam bidang-bidang

ilmu yang disediakan Perguruan Tinggi, khususnya di antara ilmu-ilmu sosial dan

humaniora dengan ilmu-ilmu eksakta. Untuk mengatasi berbagai kelemahan ini,

Amijaya mengajukan lima program besar. Pertama, peningkatan produktivitas

Perguruan Tinggi; kedua, peningkatan daya tampung; ketiga, peningkatan pelayanan

kepada masyarakat; keempat peningkatan bidang keilmuan eksakta atau iptek; kelima,

peningkatan kemampuan berkembang.2

Harus diakui, program di atas tidak banyak berhasil, karena terdapat berbagai

kendala, khususnya di lingkungan Perguruan Tinggi itu sendiri dan kebijakan

pendidikan nasional yang masih tetap sangat sentralistik dan kaku. Sebab itu, sebuah

konsep program pengembangan Perguruan Tinggi jangka panjang, 1986-1995, yang

sedikit berbeda diperkenalkan Sukadji Ranuwihardjo.3

Beberapa konsep program besar kembali dirumuskan, yakni, pertama,

peningkatan kualitas Perguruan Tinggi; kedua, peningkatan produktivitas; ketiga,

peningkatan relevansi; keempat, perluasan kesempatan memperoleh pendidikan.

Sebagian besar berdasarkan konsep-konsep ini selanjutnya dirumuskan sebuah

“paradigma baru” Perguruan Tinggi sebagaimana terdapat dalam Rencana Jangka

Panjang Ketiga (1996-2005). Paradigma baru ini mencakup antara lain: peningkatan

kualitas Perguruan Tinggi secara berkelanjutan melalui peningkatan kualitas

manajemen yang telah diperbaiki, di mana otonomi, akuntabilitas dan akreditasi

merupakan komponen-komponen terpenting.4

2 Sukadji Ranuwihardjo, Kerangka Pengembangan Pendidikan Tinggi Jangka Panjang 1986-1995 (Jakarta: Dirjen Dikti, 1985)

3 Lihat, Bambang Soehendro, Kerangka Pengembangan Pendidikan Tinggi Jangka Panjang 1996-2005  (Jakarta: Dikti, 1996)

4 Lihat, Bambang Soehendro, Kerangka Pengembangan Pendidikan Tinggi Jangka Panjang 1996-2005  (Jakarta: Dikti, 1996).

Page 4: Perubahan Iain Menjadi Uin

Demikian, dalam paradigma baru tersebut, peranan negara mengalami

perubahan yang sangat signifikan dengan pengurangan peranan pemerintah.

Pemerintah secara konseptual dan praktikal tidak lagi merupakan lembaga sentral yang

menetapkan segala ketentuan secara rinci; atau mengontrol secara terpusat seluruh

gerak dan dinamika Perguruan Tinggi. Pemerintah dalam paradigma baru itu hanyalah

memberikan kerangka dasar; memberikan insentif agar sumber daya manusia dan

keuangan dapat dialokasikan kepada prioritas-prioritas terpenting pada Perguruan

Tinggi; dan mendorong setiap Perguruan Tinggi meningkatkan standar kualitasnya.

2. Perubahan IAIN/STAIN Menjadi UIN

Sebuah pertanyaan yang sangat amat sederhana tetapi membutuhkan jawaban

yang sangat cerdas. Mengapa STAIN/IAIN harus berubah menjadi UIN?.

Status sebagai STAIN hanya memungkinkan lembaga ini menangani dan menekuni

satu bidang keilmuan saja, seperti tarbiyah saja, atau syariah saja; sedangkan status

IAIN memberikan ruang yang lebih besar, yakni menangani bidang-bidang keilmuan

yang beragam, namun keragaman bidang kajian itu hanyalah dalam lingkup kajian

Islam. Sehingga baik dalam status STAIN maupun IAIN, secara konseptual semua itu

tidak relevan dengan keyakinan dasar Islam yang menyatakan sebagai agama universal.

Konsep Islam Universal dalam wadah Universitas Islam Negeri (UIN)

mewujudkan integrasi dan sintesis ilmu-ilmu keislaman (agama) dengan ilmu-ilmu

umum (sains) dalam sebuah bangunan peradaban Islam. Dalam hal ini, ilmu-ilmu

keislaman, seperti tarbiyah, ushuluddin, syariah, dakwah, adab, dan lainnya, diperankan

sebagai basis keilmuan. Pada basis keilmuan ini, Wahyu al-Qur’an dan al-Hadits-yang

melahirkan ilmu-ilmu keislaman-diletakkan berdampingan dengan akal, observasi, dan

eksperimentasi yang melahirkan ilmu-ilmu alamiah, atau ilmu-ilmu umum.

Page 5: Perubahan Iain Menjadi Uin

Dua sisi basis keilmuan ini diperankan dan diaktifkan secara serempak untuk

melahirkan bidang-bidang keilmuan alam, sosial, dan humaniora. Dari tiga bidang

keilmuan ini akan lahir berbagai disiplin ilmu yang mencerminkan kesemestaan Islam.

Dari bidang ilmu alam akan lahir ilmu Biologi, Fisika, Kimia, dan ilmu-ilmu alamiah

lainnya; dari bidang sosial akan lahir ilmu psikologi, Sosiologi, Sejarah, Hukum,

Manajemen, dan lain-lain; sedangkan dari bidang Humaniora akan lahir ilmu-ilmu

filsafat, seni, bahasa, sastra, dan lain-lain. Semua bidang dan disiplin keilmuan ini akan

menjadi bagian integral dari proses pendidikan Islam ketika IAIN/STAIN sudah

berubah menjadi UIN.5

Meskipun berubahnya sebagian IAIN/STAIN menjadi UIN secara legal-formal

sudah terwujud dengan turunnya SK Presiden, masing-masing IAIN Syarif

Hidayatullah Jakarta, IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, STAIN Malang, dan IAIN

Sultan Syarif Qasim Riau. Salah satu perubahan yang paling tampak dari

pengembangan IAIN/STAIN menjadi UIN adalah penambahan fakultas serta perluasan

disiplin dan bidang kajian. Fakultas yang sebelumnya hanya terkait dengan disiplin

keilmuan dasar Islam, seperti Tarbiyah, Syariah, Ushuludin, Dakwah, dan Adab

kemudian ditambah dengan beberapa fakultas yang mengkaji disiplin keilmuan yang

tidak berkaitan langsung dengan disiplin dasar Islam, seperti Sains dan Teknologi,

Ekonomi, Psikologi, Humaniora dan Budaya. Namun satu hal yang perlu diingat adalah

bahwasannya dalam konteks UIN tidak membedakan adanya fakultas agama dan

fakultas umum. Dalam hal ini akan dibuktikan pada struktur keilmuan yang

dikembangkan di UIN tersebut, yakni semua mahasiswa-baik jurusan agama maupun

jurusan umum-akan mendapatkan Mata Kuliah Ciri Khusus (MKCK) UIN meliputi

Studi al-Qur’an, Studi Hadits, Studi Fiqh, Tasawuf, Teologi, Bahasa Arab dan lain-lain.

Sehingga diharapkan output/ lulusan UIN akan menyandang gelar “Ulama yang Intelek

5 www.kabmalang.go.id/artikel/artikel.cfm?id=berita.cfm&xid=125

Page 6: Perubahan Iain Menjadi Uin

Professional dan Intelek Profesional yang Ulama” Dalam pengamatan penulis, satu hal

yang masih membutuhkan kerja keras kita dalam rangka benar-benar mewujudkan

gerakan Islamisasi ilmu Pengetahuan, yaitu Kurikulum yang dikembangkan di UIN

harus berbeda dengan kurikulum yang dikembangkan di PT umum atau PT Islam yang

telah lama berkembang.

Berkaitan hal ini, penulis setuju dengan konsep yang dibangun ketika

IAIN/STAIN berubah menjadi UIN, yakni UIN merupakan Perguruan Tinggi yang

berbeda dengan Perguruan Tinggi Umum dan bahkan berbeda dengan Perguruan

Tinggi Islam yang telah ada sekarang. Kalau kita melihat perbedaan dengan Perguruan

Tinggi Umum memang sudah nampak kelihatan, tetapi bagaimana perbedaan dengan

Perguruan Tinggi Islam yang sudah lama berkembang.

UIN haruslah memiliki karakteristik tersendiri yang membedakannya dengan

Perguruan Tinggi Umum. Bahkan juga tidak harus sama dengan Universitas Islam

sejenis yang sudah lama berkembang. Dengan hadirnya UIN harus dapat memberikan

banyak peran dan inovasi baru yang dapat ditawarkan. Atau dengan kata lain kehadiran

UIN harus berani tampil beda dibandingkan dengan universitas lain yang selama ini

masih dalam kompetensi institusi keilmuan yang dapat dipertanggung jawabkan secara

akademik dan moral. Berani tampil beda merupakan tantangan, sekaligus merupakan

kesempatan mencari peluang-peluang baru sehingga peran-peran yang dimainkan akan

terasa baru yang selama ini belum tergarap secara maksimal oleh perguruan Tinggi

yang sudah ada. Kurikulum yang dikembangkan selama ini di PT Islam masih diwarnai

dengan adanya dikotomisasi ilmu, hal ini dibuktikan masing-masing keilmuan (baca;

mata kuliah) masih berdiri sendiri-sendiri.

Harapan dengan lahirnya UIN adalah dalam kurikulum tidak ada lagi pemisahan

antara ilmu umum dan ilmu agama, UIN harus mampu mengintegrasikan ajaran Islam

ke dalam setiap mata kuliah yang menjadi lahan garapannya, UIN harus mampu

Page 7: Perubahan Iain Menjadi Uin

mengaitkan setiap materi kuliahnya dengan ruh dan pesan-pesan Islam. Dengan

hadirnya UIN, sebagaimana yang dikatakan Zainuddin (2004:17) maka diharapkan

dapat mencetak sarjana muslim yang memiliki dua keunggulan, yakni keunggulan di

bidang Sains dan Teknologi sekaligus keunggulan di bidang wawasan keislaman.

Misalkan di Fakultas Sains dan Teknologi mahasiswa diberikan mata kuliah Studi al-

Qur’an, maka seharusnya materi yang diberikan tentu akan berbeda dengan materi yang

diberikan pada mahasiswa Fakultas Syariah. Mata kuliah studi al-Qur’an bagi

mahasiswa Sains dan Teknologi harus digunakan sebagai landasan/pijakan dalam

rangka menggali ayat-ayat kauniyah yang tersebar di alam raya. Atau dengan kata lain

materi yang diberikan kepada mahasiswa Sains dan teknologi adalah berkutat pada

ayat-ayat tentang kekuasaan Tuhan, proses penciptaan manusia, kesehatan, reproduksi,

lingkungan dan lainnya meskipun tidak mengesampingkan materi dasar tentang

ketauhidan/keislaman. Di Fakultas Ekonomi materi al-Qur’an yang diberikan juga

harus bersentuhan berkenaan dengan prinsip-prinsip ekonomi Islam seperti: jual beli,

riba, manajeman, dan lainnya. Begitu juga di Fakultas Psikologi harus benar-benar

berbeda dengan kurikulum di Fakultas Psikologi PT Umum/PT Islam yang sudah

berkembang lebih dulu. Bahkan boleh jadi kurikulum UIN Jakarta akan berbeda

dengan kurikulum yang diterapkan di UIN Malang atau UIN Yogyakarta, begitu

sebaliknya. Sehingga kurikulum yang ada benar-benar terintegrasi antara ilmu agama

dan ilmu umum dan yang lebih penting adalah kurikulum yang digunakan harus

mampu menjawab pelbagai problem yang muncul di masyarakat.

3. Menjawab Kehawatiran dan Membuka Peluang dan Harapan Baru

Setiap terjadi proses “perubahan”, maka kekhawatiran dan kecemasan tidak bisa

ditutup-tutupi. Berbagai pertanyaan mulai muncul ke permukaan: bagai mana nasib

Page 8: Perubahan Iain Menjadi Uin

fakultas Adab, Dakwah, Syari’ah, Tarbiyah dan Ushuluddin?. Mengapa harus berubah

menjadi “Universitas”? Tidak cukupkah dengan nama Institut seperti yang

disandangnya selama 53 tahun (1951-2004)? Akankah struktur keilmuan , kurikulum

dan silabinya sama dan sebangun dengan sebelum dan sesudah UIN diresmikan?

Begitu pula pertanyaan bagaimana struktur struktur mata kuliah, kurikulum dan silabi

pada prodi-prodi umum di UIN dan Universitas Umum yang lain? Bagai mana pola

pembinaan dan Pengembangan dan Pengembangan minat dan bakat, ketrampilan dan

kepribadian mahasiswa? Dan berbagai pertanyaan yang lain?

Untuk merespon berbagai pertanyaan yang muncul,6 Pertama, yang harus digaris

bawahi terlebih dahulu adalah adanya catatan penting yang termaktub dalam surat

Mendiknas yang ditujukan kepada Mentri Agama, tanggal 23 Januari 2004 sebagai

berikut: “Meskipun IAIN Sunan Kalijaga dan STAIN Malang berubah menjadi UIN

Sunan Kalijaga Yogyakarta dan UIN Malang, namun tugas pokoknya tetap sebagai

institusi pendidikan tinggi bidang Agama Islam, sedangkan penyelenggaraan program

non-agama Islam (umum) merupakan tugas tambahan”. Dengan penegasan itu, maka

sebagai institusi pendidikan tinggi bidang Agama Isam masih tetap menjadi tugas

utama. Main mandate-nya tidak boleh dan tidak perlu digeser oleh Winder mandate-

nya. Hanya saja kualitas dan koleksi perpustakaan, buku literatur yang digunakan,

jaringan kelembagaan pengembangan metodologi pengajaran dan penelitian serta

mentalitas keilmuan para dosen dan mahasiswanya perlu memperoleh titik okus

penekanan yang lebih dari pada sebelumnya sesuai dengan kultur akademik yang

adapada universitas.

Kedua, 5 fakultas yang ada sekarang ini ( fakultas Adab, Dakwah, Syari’ah, Tarbiyah,

Ushuluddin), dari semula berdiri memanag telah dengan sengaja dibina, dipelihara,

dibesarkan, dikembangkan secara terus-menerus selama 50 tahun. Sampai sekarang,

6 http://tri-pdm.blogspot.com/

Page 9: Perubahan Iain Menjadi Uin

masing-masing fakultas telah mempunyai sejumlah tenaga pengajar yang cukup kuat,

dan dosen-dosen tetap bergelar magister dan doctor cukup memadai. Usaha untuk

mengembangkan tenaga pengajar yang sudah ada tetap berlangsung hinga sekarang

baik keluar negeri maupun di dalam negeri. Untuk itu, kekhawatiran akan

termanigalisasikannya 5 fakultas yang ada sekarangtidak cukup beralasan. Bahkan

dalam rangka konversi ke UIN, ke 5 fakultas yang ada diperkuat dengan standar

metodologi dan epistemology baru yang selevel dengan pendidikan, pengajaran dan

penelitian di universitas pada umumnya dengan berbagai penyesuaian di sana sini,

sehingga mempunyai daya tawar keluar yang lebih bagus dan kompetitif.

Ketiga, dalam rancang bangunfakultas yang berada dibawah UIN akan mengalami

perubahan sesuai dengan prinsip dasar “Miskin struktur, kaya fungsi” seperti yang

diminta oleh Kementrian Pndidikan Nasional saat meng-verifikasi prodi-prodi umum

yang diusulkan untuk dibuka di UIN Sunan Kalijaga pada tanggal 22 Desember 2003

dan deputi Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara (MENPAN) saat melakukan rapat

interdepartemental untuk membahas draft rancangan Keputusan Presiden pada tanggal

11 Maret 2004. Dalam diskusi forum think tank IAIN yang melibatkan seluruh

pimpinan fakultas dan institut dan para pakar di IAIN sampai pada kesimpulan bahwa

untuk memperkuat fakultas yang ada di UIN adalah dengan cara memadukan fakultas

agama yang ada dengan kelompok ilmu atau program studi ilmu-ilmu sosial dan

humaniora pada fakultas – fakultas yang ada sekarang ini. Untuk sementara,fakultas-

fakultas yang ada sekarang aklan berubah nama sebagai berikut:Adab, Dakwah,

Syari’ah, Tarbiyah, Ushuluddin, Sains dan Tehnologi serta Sosial dan Humaniora.

Nama 5 Fakultas yang lama masih sama seperti ketika masih berada di IAIN, tetapi

berbeda dari segi muatan metode, pendekatan serta sistem pembelajaran.

Keempat, berbeda memang titik tekan dan ruang lingkup pergaulan komunitas

keilmuan antara Sekolah Tinggi, Institut dan Universitas. Jika Sekolah Tinggi hanya

Page 10: Perubahan Iain Menjadi Uin

menyelenggarakan pendidikan pada “satu” bidang ilmu saja seperti Sekolah Tinggi

Ilmu Tarbiyah atau Sekolah Tinggi Ilmu Syari’ah, maka perjalanan STAIN (Sekolah

Tinggi Agama Islam Negeri) yang membuka lebih dari satu bidang ilmu sebenarnya

menyalahi aturan dan nomenklatur yang biasa dikenal di lingkungan pendidkan tinggi.

Sedang Institut membidangi “kelompok” bidang ilmu (seperti yang ada pada IAIN

sekarang, yaitu keilmuan Adab, Dakwah, Syari’ah, Tarbiyah, Ushuluddin). Adapun

Universitas membidangi beberapa cabang disiplin keilmuan, baik eksakta, sosial

maupun humaniora.

Ruang gerak “Universitas” sudah barang tentu lebih luas daipada Institut.

Kerjasama dengan berbagai pihak baik dengan dalam maupuin luar negeri menjadai

terbuka lebar. Problem dikotomi keilmuan pun sedikit banyak akan dapat teratasi,

meskipun dengan kurikulum dan silabinya perlu dirancang secara lebih cermat.

Pengembangan kemampuan akademik dan keluasan cakupan wilayah peneilitian juga

lebih dimungkinkan dalam bentuk universitas. Pusat-pusat studi dapat berkembang

lebih luas, belum lagi dalam kerjasama dengan dunia usaha.

4. Beberapa Perguruan Tinggi STAIN/IAIN dalam mensikapi perubahan

menjadi UIN

a. Idealisme UIN Malang ke Depan7

Konsep keterpaduan agama dan ilmu yang akan dibangun oleh UIN Malang

bukanlah semata-mata pada tataran kurikulum atau kerangka keilmuan semata,

melainkan yang justru lebih diutamakan adalah tataran perilaku warga kampus.

Integrasi ilmu dan agama yang dibangun ini seharusnya pula mampu memberi dampak

pada terbentuknya integritas kepribadian warga kampus. Lebih jauh, civitas akademika

UIN Malang diharapkan turut mengembangkan integritas ilmu dan agama dalam

7 Ibid.,

Page 11: Perubahan Iain Menjadi Uin

pengabdian dan pergaulannya ditengah-tengah masyarakat. Islam membimbing mahluk

manusia ini mengembangkan seluruh aspek kehidupansecara utuh dan menyeluruh

(kaffah),lahir dan bathin, keselamatan dunia dan akhirat,meliputi pengembanagan

aspek spiritual,akidah,akhlak dan ketrampilan. Islam mengajarkan keberanian,kasih

sayang,keindahan dan kebersihan,hemat dan tidak boros,dapat dipercaya atau amanah

dan istiqomah.Pilar-pilar itu disebut sebagai arkan al-jami’ah (rukun perguruan

tinggi)yang terdiri dari sembilan pilar, yaitu:

1. Tenaga dosen, yakni dosen yang memiliki, baik dari sisi akhlak,spiritual,latar

belakang pendidikan,jabatan akademik, dan kualitas serta kuantitas

produktivitasnya.M

2. Masjid,masjid dimaknai sebagai wahana pengembanaganspiritual, tempat berupaya

bagi siapa saja termasuk warga kampus untuk mendekatkan diri pada Allah secara

berjamaah.Masjid bukan semata-mata difungsikan sebagai simbol kekayaan

spiritual umat islam yang kering makana karena tempat ibadah itu kurang maksimal

dimanfaatkan, melainkan tampak subur dan kaya kegiatan, baik kegiatan

spiritual,maupun intelektual.

3. Ma’had difungsikan membangun kultur yang kukuh. Kultur yang dimaksudkan di

sini adalah kebiasaan dan adat istiadat yang bernuansa islami. Bentuk konkretnya

adalah kebiasaan melakukakn shalat berjamaah, tadarus Al-Quran,shalat

malam,menghargai waktu,disiplin, menghormati sesama kolega, menghargai ilmu

sampai pada karakter atau watak dalam melakukan pilihan-pilihan teknologi dan

manajemen modern ebagai produk ilmu pengetahuan.

4. Perpustakaan.UIN Malang berharap suatu ketika memiliki perpustakaan yang

unggul,baik dari sisi koleksi maupun pelayanan.

5. Laboratorium. Sebagai perguruan tinggi Islam,UIN Malang menyadari betapa kitab

suci Al-Quran dan hadist nabi mengutamakan dan menghargai posisi ilmu

Page 12: Perubahan Iain Menjadi Uin

pengetahuan yang seharusnya dikembangkan secara sungguh melalui

observasi,ksperimen maupun olah akal yang cerdas.

6. Tempat-tempat pertemuan ilmiah,berupa ruang kuliah,ruang dosen tempat diskusi,

dan lain-lain.

7. Tempat pelayanan administrasi kampus. Bagaimanapun kampus perguruan tinggi

Islam harus mampu memberikan pelayanan yang cepat,tepat ,dan santun. Dalam

melayani siapa saja,entah dosen,karyawan harus didasarkan pada prinsip-prinsip

bangunan akhlakul karimah.

8. Pusat pengembangan seni dan olahraga. Kedua aspek ini perlu dikembanmgkan

untuk mengembangkan watak strategis yang harus dimilikioleh setiap calon

pemimpin,yaitu watak halus dan kasar tetapi spotif. Watak halus biasanya

dikembamngkan lewat aktivitas seni, sedangkan watak kasar tetapi sportif biasanya

dikembangkan melalui olah rasa. UIN Malang yang bermaksud mengembangkan

calon pemimpin masa depan ya ng tangguh memerlukan wahana pelatihan olahraga

dan seni.

9. Sumber pendanaan yang luas dan kuat. Kelemahan sebagian besar perguruan tinggi

Iuslam adalah dalam hal pengembangan pendanaan.Akibatnya, mereka tidak

mampu membangun performance kampus yang gagah dan bersih, memberikan

imbalan tenaga pengajar yang cukup,merumuskan program peningkatan kualitas

serta inovasi sesuai dengan tuntutan masyarakat.

b. UIN Sunan Gunung Jati Bandung

Agama dapat memberikan makna pada ilmu pengetahuan yang tidak dapat

diberikan oleh ilmu pengetahuan itu sendiri. Pengetahuan yang diperoleh dengan

penggunaan cara berfikir dan cara bekerja yang lazim dalam bidang pengetahuan

Page 13: Perubahan Iain Menjadi Uin

keahlian yang bersangkutan, pada umumnya masih menuntut penafsiran yang lebih

mutakhir dan menyeluruh, yang hanya dapat diberikan oleh ajaran agama yang

bersangkutan, buat umat Islam tentu saja ajaran agama Islam. Ini berarti, bahwa para

ahli agama diharapkan mempunyai kemampuan untuk mengaitkan beraneka ragam

pengetahuan yang pada hakekatnya bersifat sekuler dengan acuan yang terwujud

sebagai ajaran agama.

Bukan pula berarti bahwa ilmu pengetahuan harus diganti dengan ajaran agama.

UIN SGD Bandung mengakui adanya dua karakteristik ilmu yang lahir dalam

tradisi yang berbeda. Pembedaan karakteristik ilmu-ilmu umum dan ilmu-ilmu Islam

bukan menjadi tujuan akhir dari perumusan filosofi ilmu-ilmu UIN SGD Bandung.

Pembedaan ilmu hanyalah sebuah cara untuk menghargai keunikan ilmu pada wilayah

kajian masing-masing.

Paradigma keilmuan UIN SGD Bandung yang utuh itu dibingkai dalam metapora

sebuah roda. Roda adalah simbol dinamika dunia ilmu yang selalu berputar pada

porosnya dan berjalan melewati relung permukaan bumi. Roda adalah bagian yang

esensial dari sebuah makna kekuatan yang berfungsi penopang beban dari suatu

kendaraan yang bergerak dinamis.

Fungsi roda dalam sebuah kendaraan ini diibaratkan fungsi UIN Bandung pada

masa mendatang yang mampu menopang berbagai perkembangan budaya, tradisi,

teknologi dan pembangunan bangsa sebagai tanggung jawab yang harus dipikul.

Kekuatan UIN Bandung dalam menopang semua bidang kehidupan itu tentu tidak

statis. Berbagai upaya perlu dilakukan agar kemajuan budaya, tradisi, teknologi dan

pembangunan bangsa bergerak lebih maju, menyentuh realitas yang diinginkann dan

selalu menampilkan identitas keislamannya.

Paradigma keilmuan UIN Bandung dengan simbol roda berputar dunia bergulir

tersebut, menjadi pendorong bagi pengembangan IAIN menjadi UIN, dari institut yang

Page 14: Perubahan Iain Menjadi Uin

mengasuh hanya ilmu agama menjadi universitas yang mengajarkan di samping ilmu-

ilmu agama juga ilmu-ilmu umum. Maka yang terdapat di UIN nanti bukan hanya

program studi agama dari Fakultas Ushuluddin, Syari’ah, Tarbiyah, Dakwah dan Adab,

tetapi juga program studi umum seperti Sosiologi, Teknologi, Ekonomi, Pertanian,

MIPA, Psikologi, dan sebagainya.