pertimbangan hakim dalam penerapan pidana terhadap anggota tentara nasional indonesia

27
1 PERTIMBANGAN HAKIM DALAM PENERAPAN PIDANA TERHADAP ANGGOTA TENTARA NASIONAL INDONESIA YANG MELAKUKAN DESERSI (Studi Kasu s Pengadila n Militer I-03 Padang) ARTIKEL Oleh : ANNY YUSERLINA NO BP. 0921211110 BP. 09.212.11.110 PROGRAM PASCA SARJANA UNIVERSITAS ANDALAS PADANG 2011

Upload: ardiansyah-arafah-putra

Post on 11-Oct-2015

51 views

Category:

Documents


1 download

TRANSCRIPT

  • 1PERTIMBANGAN HAKIM DALAM PENERAPAN PIDANA TERHADAPANGGOTA TENTARA NASIONAL INDONESIA

    YANG MELAKUKAN DESERSI(Studi Kasus Pengadilan Militer I-03 Padang)

    ARTIKEL

    Oleh :ANNY YUSERLINANO BP. 0921211110

    BP. 09.212.11.110

    PROGRAM PASCA SARJANAUNIVERSITAS ANDALAS PADANG

    2011

  • 2AbstrakAnggota Tentara Nasional Indonesia sebagaimana Warga Negara Indonesia

    lainnya, memiliki kedudukan yang sama di depan hukum dan wajib menjunjunghukum, sebagaimana diatur dalam Pasal 27 ayat (1) Undang-undang Dasar RepublikIndonesia Tahun 1945 Amandemen Keempat yang berbunyi: Segala warga negarabersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjunghukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya. Salah satu tindak pidanayang diancamkan kepada para anggota Tentrara Nasional Indonesia dikelompokkanpada Bab III KUHPM tentang kejahatan-kejahatan seperti yang disebabkan karenaanggota Tentara Nasional Indonesia itu sendiri menghindarkan diri untuk tidakmemenuhi kewajiban-kewajiban dinasnya, salah satunya mengenai desersi. Tindakpidana desersi diatur di dalam Pasal 87 KUHPM yang berbunyi sebagai berikut:Dihukum sebagai bersalah karena desersi, anggota tentara yang:1. Pergi denganmaksud menarik diri untuk selama-lamanya dalam memenuhi kewajiban-kewajibandinasnya, menghindari bahaya perang, menyeberang pada musuh, atau tanpa hakuntuk itu masuk dinas dalam tentara dari Negara atau kekuasaan lain, 2. Karenasalahnya atau dengan sengaja tidak hadir secara tidak sah dimasa damai lebih daritiga puluh hari dan keadaan perang lebih dari empat hari lamanya, 3. Bersalahkarena dengan sengaja tidak hadir secara tidak sah dank arena itu menyebabkan iasama sekali atau hanya sebagian saja tidak turut serta dalam suatu perjalanan yangtelah diperintahkan seperti yang disebutkan dalam Pasal 85 No 2 KUHPM.

  • 3A. Latar BelakangAnggota Tentara Nasional Indonesia adalah warga negara Indonesia yang

    memenuhi persyaratan yang ditentukan dalam peraturan perundang-undangan dandiangkat oleh pejabat yang berwenang untuk mengabdikan diri dalam dinaskeprajuritan diatur di dalam Pasal 21 Undang-undang Nomor 34 Tahun 2004.Disamping itu berkewajiban menjunjung tinggi kepercayaan yang diberikan olehbangsa dan negara untuk melakukan usaha pembelaan negara sebagaimana yangtermuat dalam Sumpah Prajurit yaitu:1

    Demi Allah saya bersumpah/berjanji:1. Bahwa saya akan setia kepada Negara Kesatuan Republik Indonesia yang

    berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945;2. Bahwa saya akan tunduk kepada hukum dan memegang teguh disiplin

    keprajuritan;3. Bahwa saya akan taat kepada atasan dengan tidak membantah perintah atau

    putusan;4. Bahwa saya akan menjalankan segala kewajiban dengan penuh rasa

    tanggung jawab kepada Tentara dan Negara Republik Indonesia;5. Bahwa saya akan memegang segala rahasia Tentara sekeras-kerasnya.

    Berdasarkan hal di atas bahwa para prajurit Tentara Nasional Indonesia harusmematuhi peraturan dan taat kepada atasannya. Selain itu, anggota Tentara NasionalIndonesia wajib pula menegakkan kehormatan dan selalu menghindari perbuatan yangdapat menodai nama baik ketentaraan dan kesatuannya. Setiap anggota TentaraNasional Indonesia yang telah digembleng baik fisik dan mental harus mampu dandapat diandalkan untuk melaksanakan tugas pokok Tentara Nasional Indonesia baikdalam tugas Operasi Militer untuk perang maupun tugas Operasi Militer Non perang,

    1 Ibid, Pasal 35.

  • 4tentunya tugas berat tersebut haruslah di miliki oleh setiap anggota Tentara NasionalIndonesia untuk bekerja secara professional dan berbasis disiplin yang tinggi.

    Ketentuan-ketentuan hukum yang berlaku bagi setiap anggota Tentara NasionalIndonesia yaitu Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Militer (yang selanjutnyadisebut KUHPM), Kitab Undang-Undang Hukum Disiplin Militer (yang selanjutnyadisebut KUHDM), dan Peraturan Disiplin Militer (yang selanjutnya disebut PDM) danperaturan-peraturan lainnya. Peraturan hukum tentara inilah yang diterapkan kepadaTamtama, Bintara, maupun Perwira yang melakukan suatu tindakan yang merugikankesatuan.

    Untuk melihat bagaimana KUHPM mengatur tentang jenis pidana terhadaptindak pidana yang dilakukan oleh anggota Tentara Nasional Indonesia yang diatur didalam Pasal 6 KUHPM yang berbunyi sebagai berikut:2

    Pidana-pidana yang ditetapkan dalam kitab undang-undang ini ialah:a. Hukuman-hukuman Pokok:

    1. Hukuman Mati;2. Hukuman Penjara;3. hukuman Kurungan.

    b. Hukuman-hukuman Tambahan:1. Pemecatan dari dinas tentara dengan disertai atau tidak disertai

    pencabutan hak bekerja pada kekuasaan bersenjata.2. Penurunan pangkat3. Pencabutan hak-hak yang disebutkan dalam Pasal 35 ayat (1) pada

    Nomor 1, 2 dan 3 Kitab Undang-undang Hukum Pidana.Salah satu tindak pidana yang diancamkan kepada para anggota Tentrara

    Nasional Indonesia dikelompokkan pada Bab III KUHPM tentang kejahatan-kejahatanseperti yang disebabkan karena anggota Tentara Nasional Indonesia itu sendirimenghindarkan diri untuk tidak memenuhi kewajiban-kewajiban dinasnya, salah

    2 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Tentara. 1967. Bogor: Gajah Mada, Pasal 6.

  • 5satunya mengenai desersi. Tindak pidana desersi diatur di dalam Pasal 87 KUHPMyang berbunyi sebagai berikut:

    Dihukum sebagai bersalah karena desersi, anggota tentara yang:1. Pergi dengan maksud menarik diri untuk selama-lamanya dalam memenuhi

    kewajiban-kewajiban dinasnya, menghindari bahaya perang, menyeberangpada musuh, atau tanpa hak untuk itu masuk dinas dalam tentara dariNegara atau kekuasaan lain.

    2. Karena salahnya atau dengan sengaja tidak hadir secara tidak sah dimasadamai lebih dari tiga puluh hari dan keadaan perang lebih dari empat harilamanya.

    3. Bersalah karena dengan sengaja tidak hadir secara tidak sah dank arena itumenyebabkan ia sama sekali atau hanya sebagian saja tidak turut sertadalam suatu perjalanan yang telah diperintahkan seperti yang disebutkandalam Pasal 85 No 2 KUHPM.

    Ayat (2) pasal tersebut memberikan sanksi apabila desersi itu dilakukan dimasa damai dihukum dengan pidana penjara selama-lamannya dua tahun delapanbulan. Tetapi pidana itu akan diperberat apabila desersi itu dilakukan dimasa perangsebagaimana diatur dalam ayat (3) pasal tersebut yang mengancam dengan pidanapenjara selama-lamanya delapan tahun enam bulan.3

    Dalam hal ini apabila seorang Anggota Tentara Nasional Indonesia yangmelakukan tindak pidana, baik tindak pidana umum maupun tindak pidana militersebagaimana terdapat dalam KUHPM, diadili oleh Peradilan Militer (SPPM), tetapidengan keluarnya Ketetapan MPR RI Nomor: VII/MPR/2000, khususnya Pasal 3 Ayat(4) huruf a yang berbunyi, Prajurit Tentara Nasional Indonesia tunduk kepadakekuasaan peradilan militer dalam hal pelanggaran kekuasaan peradilan militer dantunduk kepada kekuasaan peradilan umum dalam hal pelanggaran hukum pidanaumum.

    3 Ibid, Pasal 87 ayat (2) dan ayat (3).

  • 6Berdasarkan hal di atas setiap anggota Tentara Nasional Indonesia yangmelakukan tindak pidana militer akan tunduk pada Peradilan Militer dan diprosesmelalui mekanisme Sistem Peradilan Pidana Militer (SPPM) dengan komponen(subsistem) terdiri dari Ankum, Papera, Polisi Militer, Oditur Militer, Hakim Militer,dan Petugas Pemasyarakatan Militer.4 Sedangkan bagi anggota Tentara NasionalIndonesia yang melakukan tindak pidana umum akan diadili di peradilan umum dandiproses melalui mekanisme Sistem Peradilan Pidana Umum (SPPU) dengankomponen (subsistem) terdiri dari Polisi selaku penyidik, Jaksa selaku penuntut,Hakim, dan Petugas Lembaga Pemasyarakatan.5

    Setelah mengetahui subsistem peradilan militer dalam menindak lanjuti perkaratindak pidana militer, sama halnya dengan peradilan umum yang berhak dalampenjatuhan pidana kepada pelaku kejahatan adalah hakim dengan berdasarkan kepadabukti-bukti dan proses persidangan, begitu juga dengan pelaku desersi dalam hal inihakimlah yang mempunyai kekuasaan untuk menjatuhkan putusan kepada pelakudesersi tersebut. Dalam menetapkan putusan, dasar seorang hakim adalah DemiKeadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.6 Dengan demikian, dalammenetapkan putusannya, pertama-tama seorang hakim bermunajat kepada Allah SWT.Atas nama-Nyalah suatu putusan diucapkan dan ia bersumpah atas nama Tuhan YangMaha Esa.7

    Hakim dalam membuat putusan harus memperhatikan segala aspek didalamnya, mulai dari perlunya kehati-hatian, dihindari sekecil mungkinketidakcermatan, baik yang bersifat formal maupun materiil sampai dengan adanya

    4 http://www.hukum online.com. (terakhir kali dikunjungi tanggal 3 Januari 2011. Jam 20.00).5Barda Nawawi Arif, 2006. Sistem Peradilan Pidana Terpadu (Intergrated Criminal Justice

    System). Semarang: Universitas Diponegoro, hlm 20.6Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman.

    2010, Jakarta: Sinar Grafika, Pasal 2 ayat (2).7 Bambang Sutiyoso, 2010. Reformasi Keadilan dan Penegakan Hukum Di Indonesia,

    Yogyakarta: UII Press, hlm 95.

  • 7kecakapan teknik membuatnya.8Oleh karena itu hakim tidak berarti dapat berbuatsesuka hatinya, melainkan hakim juga harus mempertanggung jawabkan putusannya.

    Dalam memberikan putusan terhadap suatu perkara pidana, seharusnya putusanhakim tersebut berisi alasan-alasan dan pertimbangan-pertimbangan yang bisamemberikan rasa keadilan bagi terdakwa. Dimana dalam pertimbangan-pertimbanganitu dapat dibaca motivasi yang jelas dari tujuan putusan diambil, yaitu untukmenegakkan hukum (kepastian hukum) dan memberikan keadilan.9 Dalammemberikan pertimbangan untuk memutuskan suatu perkara pidana diharapkan hakimtidak menilai dari satu pihak saja sehingga dengan demikian ada hal-hal yang patutdalam penjatuhan putusan hakim apakah pertimbangan tersebut memberatkan ataupunmeringankan pidana, yang melandasi pemikiran hakim, sehingga hakim sampai padaputusannya.

    Pertimbangan hakim sebenarnya tidak kalah pentingnya dibandingkan denganbagian amar putusan hakim dan justru bagian pertimbangan itulah yang menjadi rohdari seluruh materi isi putusan, bahkan putusan yang tidak memuat pertimbangan yangcukup dapat menjadi alasan untuk diajukannya suatu upaya hukum baik itu bandingmaupun kasasi, yang dapat menimbulkan potensi putusan tersebut akan dapatdibatalkan oleh pengadilan yang lebih tinggi.10

    Dalam penjatuhan pidana oleh hakim terhadap pelaku tindak pidana, padadasarnya haruslah mempertimbangkan segala aspek tujuan, yaitu sebagai berikut:11

    1. Sebagai upaya untuk melindungi masyarakat dari ancaman suatu kejahatanyang dilakukan oleh pelakunya;

    8 Ahmad Rifai, 2010. Penemuan Hukum oleh Hakim Dalam Persfektif Hukum Progresif,Jakarta: Sinar Grafika, hlm 94.

    9 Nanda Agung Dewantara, 1987. Masalah Kebebasan Hakim Dalam Menangani SuatuMasalah Perkara Pidana. Jakarta: Aksara Persada Indonesia, hlm 50.

    10Ahmad Rifai, Op Cit, hlm 111.11 Ibid, hlm 112.

  • 82. Sebagai upaya represif agar penjatuhan pidana membuat pelakunya jeradan tidak akan melakukan tindak pidana dikemudian hari;

    3. Sebagai upaya preventif agar masyarakat luas tidak melakukan tindakpidana sebagaimana yang dilakukan oleh pelakunya;

    4. Mempersiapkan mental masyarakat dalam menyikapi suatu kejahatan danpelaku kejahatan tersebut, sehingga pada saatnya nanti pelaku tindakpidana dapat diterima dalam pergaulan masyarakat.

    Proses penjatuhan putusan yang dilakukan hakim merupakan suatu proses yangkompleks dan sulit, sehingga memerlukan pelatihan, pengalaman, dan kebijaksanaan.Dalam proses penjatuhan putusan tersebut, seorang hakim harus meyakini apakahseorang terdakwa melakukan tindak pidana ataukah tidak, dengan tetap berpedomanpada pembuktian untuk menentukan kesalahan dari perbuatan yang dilakukan olehpelaku pidana. Setelah menerima dan memeriksa suatu perkara, selanjutnya hakimakan menjatuhkan keputusan, yang dinamakan dengan putusan hakim, pernyataanhakim yang merupakan sebagai pernyataan pejabat negara yang diberi wewenanguntuk putusan itu. Jadi putusan hakim bukanlah semata-mata didasarkan padaketentuan yuridis saja, melainkan juga didasarkan pada hati nurani.12

    A. Perumusan Masalah

    Agar ruang lingkup penelitian tidak terlalu luas dan pembahasan tidakmenyimpang, maka perlu dirumuskan permasalahan pokok, yaitu:

    a. Bagaimana penerapan pidana oleh Hakim Militer terhadap anggota TentaraNasional Indonesia yang melakukan desersi di Pengadilan Militer I-03Padang?

    b. Apasaja pertimbangan hakim dalam menerapkan pidana terhadap pelakutindak pidana desersi di Pengadilan Militer I-03 Padang?

    12 Bambang Sutiyoso, Op Cit, hlm 95.

  • 9B. Tujuan PenelitianAgar data-data yang diperoleh melalui penelitian benar-benar dapat memberi

    jawaban atas permasalahan perlu ditetapkan dahulu apa yang menjadi tujuanpenelitian. Sesuai dengan permasalahan yang telah dikemukakan, maka penelitian inibertujuan untuk:

    a. Untuk menjelaskan penerapan pidana oleh Hakim Militer terhadap anggotaTentara Nasional Indonesia yang melakukan desersi di Pengadilan MiliterI-03 Padang

    b. Untuk menjelasakan pertimbangan hakim dalam menerapkan pidanaterhadap pelaku tindak pidana desersi di Pengadilan Militer I-03 Padang.

    C.Manfaat PenelitianAdapun manfaat dari penulisan ini adalah sebagai berikut:

    1. Secara TeoritisDiharapakan dapat bermanfaat bagi pengembangan ilmu hukum khususnyahukum pidana dalam penerapan pidana terhadap Anggota TentaraIndonesia yang melakukan Desersi.

    2. Secara PraktisDiharapkan dapat bermanfaat sekaligus menjadi acuan dan saran bagipraktisi hukum dalam penyelesaian pidana desersi yang di lakukan olehanggota Tentara Nasional Indonesia.

    D. Kerangka Teoritis dan Konseptual1. Kerangka Teoritis

    Kekuasaan kehakiman merupakan badan yang menentukan dan kekuatankaidah-kaidah hukum positif dalam konkretisasi oleh hakim melalui putusan-putusannya. Bagaimanapun baiknya segala peraturan perundang-undangan yangsiciptakan dalam suatu Negara, dalam usaha menjamin keselamatan masyarakat

  • 10

    menuju kesejahteraan rakyat, peraturan-peraturan tersebut tidak ada artinya, apabilatidak ada kekuasaan kehakiman yang bebas yang diwujudkan dalam bentuk peradilanyang bebas dan tidak memihak, sebagai salah satu unsur Negara hukum. Sebagaipelaksana dari kekuasaan kehakiman adalah hakim, yang mempunyai kewenangandalam peraturan peraturan perundang-undangan yang berlaku, dan hal ini dilakukanoleh hakim melalui putusannya.13

    Fungsi utama dari seorang hakim adalah memberikan putusan terhadap perkarayang diajukan kepadanya, di mana dalam perkara pidana, hal itu tidak terlepas darisistem pembuktian negatif, yang pada prinsipnya menetukan bahwa suatu hak atauperistiwa atau kesalahan dianggap telah terbukti, disamping adanya alat-alat buktimenurut undang-undang juga ditentukan keyakinan hakim yang dilandasi denganintegritas moral yang baik.

    Menurut Gerhard Robbes secara kontekstual ada 3 (tiga) esensi yangterkandung dalam kebebasan hakim dalam melaksanakan kekuasaan kehakiman,yaitu:14

    a. Hakim hanya tunduk pada hukum dan keadilan;b. Tidak seorangpun termasuk pemerintah dapat mempengaruhi atau

    mengarahkan putusan yang akan dijatuhkan oleh hakim;c. Tidak ada konsekuensi terhadap pribadi hakim dalam menjalankan tugas dan

    fungsi yudisialnya.Kebebasan hakim dalam memeriksa dan mengadili suatu perkara merupakan

    mahkota bagi hakim dan harus tetap dikawal dan dihormati oleh semua pihak tanpakecuali, sehingga tidak ada satu pihak yang dapat menginterpensi hakim dalammenjalankan tugasnya tertentu. Hakim dalam menjatuhkan putusan harusmempertimbangkan banyak hal, baik itu yang berkaitan dengan perkara yang sedangdiperiksa, tingkat perbuatan dan kesalahan yang dilakukan pelaku, sampai kepentingan

    13Ahmad Rifai, Op Cit, hlm 102.14Ibid, hlm 104.

  • 11

    pihak korban maupun keluarganya serta mempertimbangkan pula rasa keadilanmasyarakat.15

    Menurut Mackenzei, ada beberapa teori atau pendekatan yang dapatdipergunakan oleh hakim dalam mempertimbangkan penjatuhan putusan dalam suatuperkara, yaitu sebagai berikut:16

    1. Teori keseimbanganYang dimaksud dengan keseimbangan disin adalah keseimbangan antara

    syarat-syarat yang ditentukan oleh undang-undang dan kepentinagan pihak-pihak yangtesangkut atau berakitan dengan perkara, yaitu anatara lain seperti adanyakeseimbangan yang berkaitan dengan masyarakat, kepentingan terdakwa dankepentingan korban.

    2. Teori pendekatan seni dan intuisiPenjatuhan putusan oleh hakim merupakan diskresi atau kewenangan dari

    hakim. Sebagai diskresi, dalam penjatuhan putusan hakim menyesuaikan dengankeadaan dan pidana yang wajar bagi setiap pelaku tindak pidana, hakim akan melihatkeadaan pihak terdakwa atau penuntut umum dalam perkara pidana. Pendekatan senidipergunakan oleh hakim dalam penjatuhan suatu putusan, lebih ditentukan olehinstink atau intuisi dari pada penegtahuan dari hakim.

    3. Teori pendekatan keilmuanTitik tolak dari teori ini adalah pemikiran bahwa proses penjatuhan pidana

    harus dilakukan secara sistematik dan penuh kehati-hatian khususnya dalam kaitannyadengan putusan-putusan terdahulu dalam rangka menjamin konsistensi dari putusanhakim. Pendekatan keilmuan ini merupakan semacam peringatan bahwa dalammemutus suatu perkara, hakim tidak boleh semata-mata atas dasar intuisi atau instinksemata, tetapi harus dilengkapi dengan ilmu pengetahuan hukum dan juga wawasankeilmuan hakim dalam menghadapi suatu perkara yang harus diputuskannya.

    4. Teori Pendekatan Pengalaman

    15 http://www.hukum online.com. (terakhir kali dikunjungi tanggal 9 Juni 2011. Jam 20.00).16 Ibid, hlm 106.

  • 12

    Pengalaman dari seorang hakim merupakan hal yang dapat membantunyadalam menghadapi perkara-perkara yang dihadapinya sehari-hari, dengan pengalamanyang dimilikinya, seorang hakim dapat mengetahui bagaimana dampak dari putusanyang dijatuhkan dalam suatu perkara pidana yang berkaitan dengan pelaku, korbanmaupun masyarakat.

    5. Teori Ratio DecidendiTeori ini didasarkan pada landasan filsafat yang mendasar, yang

    mempertimbangkan segala aspek yang berkaitan dengan pokok perkara yangdisengketakan, kemudian mencari peraturan perundang-undangan yang relevan denganpokok perkara yang disengketakan sebagai dasar hukum dalam penjatuhan putusan,serta pertimbangan hakim harus didasarkan pada motivasi yang jelas untukmenegakkan hukum dan memberikan keadilan bagi para pihak yang berperkara.

    2. Kerangka KonseptualKerangka Konseptual merupakan gambaran bagaimana hubungan kosnsep-

    konsep yang akan diteliti. Defenisi konsep bertujuan merumuskan istilah yangdigunakan secara mendasar dan menyamakan persepsi tentang apa yang akan diteliti.Untuk mengetahui pengertian konsep-konsep yang digunakan maka penelitian inimembatasi konsep sebagai berikut:

    a. Menurut Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang kekuasaanKehakiman, Pertimbangan Hakim adalah pemikiran-pemikiran ataupendapat hakim dalam menjatuhkan putusan dengan melihat hal-hal yangdapat meringankan atau memberatkan pelaku. Setiap hakim wajibmenyampaikan pertimbangan atau pendapat terlulis terhadap perkara yangsedang diperiksa dan menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari putusan.

  • 13

    b. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia yang dimaksud dengan Penerapanadalah proses atau cara pembuatan.17

    c. Pidana menurut Reaksi atas delik yang berwujud suatu nestapa yangsengaja ditimpakan negara kepada pembuat delik.18

    d. Anggota Tentara Nasional Indonesia adalah warga negara yangdipersiapkan dan dipersenjatai untuk tugas-tugas pertahanan negara gunamenghadapi ancaman militer maupun ancaman bersenjata.19

    e. Menurut kamus hukum militer desersi adalah melarikan diri dalam masadinas.

    E. Metode Penelitian1. Bentuk Penelitian

    Penelitian hukum pada hakikatnya dapat dibedakan di dalam dua bentuk kajian.Pertama, penelitian hukum normative atau penelitian hukum doktrinal, yaitu penelitianhukum yang menggunakan sumber data sekunder. Penelitian ini dilakukan dengan carameneliti bahan-bahan hukum atau bahan pustaka sebagai data sekunder yang disebutdengan penelitian kepustakaan. Kedua, penelitian hukum empiris atau penelitianhukum sosiologis (penelitian non doktrinal) yaitu penelitian hukum yangmempergunakan data primer. Penelitian ini bertujuan untuk meneliti danmengumpulkan data primer yang diperoleh lansung dari nara sumber.20

    17 Menurut Kamus Besar Bahasa Bahasa Indonesia Edisi Ketiga Departeman PendidikanNasional yang Diterbitkan oleh Balai Pustaka Pada Tahun 2007.

    18 Roeslan Saleh, Op.cit.19 Undang-undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia, 2004.

    Bandung: Fokus Media, Pasa1.20 Ronny Hanitijo Soemitro, 1988. Metodelogi Penelitian Hukum. Jakarta: Ghalia Indonesia,

    hlm 9.

  • 14

    2. Sifat PenelitianPenelitian ini bersifat Deskriptif, yang mana bertujuan untuk menggambarkan

    secara tepat bagaimana pertimbanagn hakim dalam penerapan pidana terhadap olehanggota Tentara Nasional Indonesiayang melakukan desersi.

    3. Data dan Metode Pengumpulan DataData penelitian ada dua macam, data primer dan sekunder. Data primer yaitu

    data yang diperoleh langsung dari sumber pertama, sedangkan data sekunder antaralain mencakup dokumen-dokumen resmi, buku-buku, hasil-hasil penelitian yangberwujud laporan dan sebagainya.21

    Oleh karena penelitian ini merupakan penelitian yuridis sosiologis, maka datayang digunakan adalah data primer. Dalam hal ini data yang dimaksud adalah:

    a. Data tentang perkara desersi di Pengadilan Militer I-03 Padang.b. Data tentang putusan hakim dalam perkara desersi yang dilakukan oleh

    anggota Tentara Nasional Indonesia.c. Data tentang pidana yang dijatuhkan dalam perkara desersi yang dilakukan

    oleh anggota Tentara Nasional Indonesia.d. Data tentang pertimbangan hakim dalam menerapkan pidana pada perkara

    desersi yang dilakukan oleh anggota Tentara Nasional Indonesia.

    A. Hukum Pidana Militer Di IndonesiaPada dasarnya semua hukum bertujuan untuk menciptakan suatu keadaan

    dalam pergaulan hidup masyarakat, baik dalam lingkungan yang kecil maupunlingkungan yang lebih besar, agar di dalamnya terdapat suatu keserasian, suatuketertiban, suatu kepastian hukum dan sebagainya.

    Akan tetapi di dalam satu hal hukum pidana itu menunjukkan adanya suatuperbedaan dari hukum-hukum yang lain pada umumnya, yaitu bahwa di dalamnya

    21 Peter Mahmud Marzuki, 2009. Penelitian Hukum. Surabaya: Kencana Prenada Media Group,hlm 26.

  • 15

    orang mengenal adanya suatu kesengajaan untuk memberikan suatu akibat hukumberupa suatu bijzondere leed atau suatu penderitaan yang bersifat khusus dalam bentuksuatu hukuman kepada mereka yang telah melakukan suatu pelanggaran terhadapkeharusan-keharusan atau larangan-larangan yang telah ditentukan di dalammya.Adanya suatu penderitaan yang bersifat khusus dalam bentuk suatu pidana itu sudahpasti tidak dapat dihindarkan di dalam bagian-bagian yang lain dari hukum padsumumnya, yaitu apabila orang menginginkan agar norma-norma yang terdapat didalamnya benar-benar akan ditaati oleh orang.22

    Hukum pidana merupakan serangkaian norma-norma yang berisi keharusan-keharusan dan larangan-larangan yang (oleh pembentuk Undang-Undang) telahdikaitkan dengan sautu sanksi berupa hukuman, yakni suatu penderitaan yang bersifatkhusus. Dengan demikian dapat juga dikatakan, bahwa hukum pidana itu merupakansuatu sistem norma-norma yang menentukan terhadap tindakan-tindakan yang mana(hal melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu dimana terdapat sesuatukeharusan untuk melakukan sesuatu) dan dalam keadaan-keadaan bagaimana hukumanitu dapat dijatuhkan, serta hukuman yang bagai manusia yang dapat dijatuhkan bagitindakan-tindakan tersebut.23

    B. Tindak Pidana Desersi Dan Pengadilan Militera. Tindak Pidana DesersiIstilah Strafbaarfeit oleh beberapa ahli hukum Indonesia diterjemahkan dengan

    istilah yang berbeda-beda. Dalam KUHP dikenal istilah Strafbaarfeit, atau yang dalamilmu pengetahuan hukum disebut delik. Sedangkan pembuat Undangundang dalammerumuskan undang-undang mempergunakan istilah peristiwa pidana atau perbuatanpidana atau tindak pidana. Strafbaarfeit sendiri berarti suatu kelakuan manusia yang

    22 P.A.F. Lamintang, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung,1996, Hal 16.

    23 Pipin Syarifin, 2000. Hukum Pidana Di Indonesia, Bandung : Putaka Setia, hlm 23

  • 16

    diancam pidana oleh peraturan perundangan, jadi yang diancam pidana adalahmanusia, sehingga banyak ahli hukum yang mengartikan.

    Desersi merupakan salah satu kejahatan yang dilakukan oleh anggota TentaraNasional Indonesia, yang dimaksud dengan desersi adalah tidak hadir tanpa adanyaizin, atau disebut jugs melarikan diri dari masa dinasnya dengan sengaja. Di dalamtindak pidana desersi terdapat beberapa unsur dakwaan Oditur militer yaitu :

    1. Unsur militer;2. Unsur dengan sengaja;3. Unsur melakukan ketidak hadiran tanpa izin;4. Unsur dimasa damai;5. Unsur lebih lama tiga puluh (30) hari.

    b. Pengadilan MiliterKonstitusi Negara Indonesia mengatakan bahwa segala warga Negara

    bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pernerintaban dan wajib menjunjunghukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada keculalinya (Pasal 27 ayat (1) UUD1945 amandemen keempat. Dengan demikian sebenarnya baik dalam kehidupansehari-hari maupun dalam menjalankan pemerintahan tidak boleti ada warga Negarayang mempunyai keistimewaan, temiasuk dalam masalah peradilan, semua wargaNegara harus tunduk dan patuh kepada keputusan hukum dan diperlakukan samaapabila salah seorang warga Negara tersangkut perkara hukum. Pengadilan harus bisamenjalankan dan mengayomi para pihak yang berpekara di pengadilan.24

    Dari sudut kompetisi sistem kekuasaan kehakiman di Indonesia mengenal 5(lima) macam jenis peradilan, yaitu peradilan umum, peradilan agama, peradilan tatausaha negara, peradilan militer dan mahkamah konstitusi, masing-masing peradilanmempunyai obyek dan subyek yang berbeda dan kekhususan tersendiri.

    24 Edi Setiadi, Sebuah Makalah Pengantar, Artikel, Bandung: 23 Desember 2006.

  • 17

    C. Putusan Hakim Dalam Perkara PiadanaPutusan hakim merupakan mahkota dan puncak dari suatu perkara yang sedang

    diperiksa dan diadili oleh hakim tersebut. Oleh karena itu, tentu saja hakim dalammembuat putusan harus memperhatikan segala aspek di dalamnya, mulai dari perlunyakehati-hatian, dihindari sedikit mungkin ketidakcermatan, baik yang bersifat formalmaupun meteriil sampai dengan adanya kecakapan teknik membuatnya. Jika hal-halnegatif tersebut dapat dihindari, tentu saja diharapkan dalam diri hakim hendak lahir,tumbuh dan berkembang adanya sikap atau sifat kepuasaan moral jika kemudianputusan yang dibuatnya itu dapat menjadi tolok ukur untuk perkara yang sama, ataudapat menjadi bahan referensi bagi kalangan teoretisi maupun praktisi hukum sertakepauasan nurani tersendiri jika putusannya dikuatkan dan tidak dibatalkan pengadilanyang lebih tinggi.25

    Jika seorang hakim menjatuhkan suatu putusan, maka ia akan selalu berusahaagar putusannya sebarapa mungkin dapat diterima masyarakat, setidak-tidaknyaberusaha agar lingkungan orang yang akan dapat menerima putusannya seluasmungkin. Hakim akan merasalebih lega manakala putusannya dapat memberikankepuasaan pada semua pihak dalam suatu perkara, dengan memberikan alasan-alasanatau pertimbangan-pertimbangan yang sesuai dengan nilai-nilai kebenaran dankeadilan.

    D. Pertimbangan Hakim Dalam Perkara PidanaMenurut Pasal 1 Undang-undang No. 8 Tahun 1981 tentang kitab undang-

    undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), Hakim adalah pejabat Peradilan Negara yangdiberi wewenang oleh undang-undang untuk mengadili. Kemudian kata mengadilisebagai rangakain tindakan hakim untuk menerima, memeriksa, dan memutus perkara

    25 Lilik Mulyadi, 2007. Penerapan Putusan Hakim Pada Kekerasan Dalam Rumah Tangga.Jakarta : Ikahi, hlm 25

  • 18

    berdasarkan asas bebas, jujur, dan tidak memihak dalam sidang suatu perkara danmenjunjung tinggi 3 (tiga) asas peradilan yaitu sederhana, cepat dan biaya ringan.26

    Hakim merupakan salah satu obyek studi sosiologi hukum. Dimana masyarakatbanyak yang mencibir sinis dan pesimis namun ada juga yang menaruh harapanterhadap putusan hakim dalam suatu perkara. Banyak masalah yang memicukekecewaan masyarakat, salah satunya adalah bagaimana hakim memutuskan perkara-perkara yang bisa mengundang pro dan kontra dalam masyarakat luas, Jangan sampaiputusan itu mematikan rasa keadilan masyarakat.27

    Kerap sekali terjadi terutama terhadap perkara-perkara yang mendapatperhatian masyarakat luas. Bisa saja sebuah putusan dianggap tidak adil dan dianggapsenuansa dengan koruptif dan kolutif. Secara umum anggapan itu adalah sah-sah saja,setidaknya ada alasan dari masyarat yaitu telah hampir hilangnya kepercayaanmasyarakat terhadap lembaga peradilan, disebabkan terbongkarnya berbagai kasuspenyuapan yang melibatkan aparat Pengadilan, terutama hakim.

    Oleh karena itu seorang hakim dalam memutus suatu perkara harusmempertimbangkan kebenaran yuridis (hukum) dengan kebenaran fisolofis (keadilan).Seorang Hakim harus membuat keputusan-keputusan yang adil dan bijaksana denganmempeertimbangkan implikasi hukum dan dampaknya yang terjadi dalam masyarakat.

    A. Penerapan Pidana Oleh Hakim Militer Terhadap Anggota Tentara NasionalIndonesia Yang Melakukan Desersi Di Pengadilan Militer I-03 Padang.

    Tindak pidana desersi merupakan tindak pidana yang secara khusus dilakukanoleh seorang anggota militer. Dalam KUHPM tindak pidana desersi diatur dalam Pasal87 dengan rumusan sebagai berikut:28

    26Undang-undang No. 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana,2007. Surabaya : Kresindo Utama, Pasal 1.

    27 http//:Sosiologi Hukum.blog.spon di 20 Juni 2011. (terakhir kali dikunjungi tanggal 20 Juni2011. Jam 20.15).

    28 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Tentara. 1967. Bogor: Gajah Mada, Pasal 87.

  • 19

    Diancam karena desersi, militer:

    Ke-1 Yang pergi dengan maksud untuk menarik diri untuk selamanya darikewajiban-kewajiban dinasnya, menghindari bahaya perang, menyeberangkemusuh atau memasuki dinas milter pada suatu Negara, atau kekuasaanlain tanpa dibenarkan untuk itu.

    Ke-2 Yang karena salahnya atau dengan sengaja melakukan ketidakhadirantanpa izin dalam waktu damai lebih lama dari tiga puluh hari, dalam waktuperang lebih lama dari empat hari.

    Ke-3 Yang dengan sengaja melakukan ketidakhadiran tanpa izin dan karenanyatidak ikut melaksanakan sebagian atau seluruhnya dari suatu perjalananyang diperintahkan, seperti yang diuraikan pada Pasal 85 ke-2.

    Apabila kita cermati substansi rumusan pasal tersebut, sesuai denganpenempatannya dibawah judul mengenai ketentuan cara bagi seorang prajurit untukmenarik diri dari pelaksanaan kewajiban dinas, maka dapat dipahami bahwa hakekatdari tindak pidana desersi harus dimaknai bahwa pada diri prajurit yang melakukandesersi harus tercermin sikap bahwa ia tidak ada lagi keinginannya untulk beradadalam dinas militer.

    Sikap tersebut dapat saja terealisasikan dalam perbuatan yang bersangkutanpergi meninggalkan kesatuan dalam batas tenggang waktu minimal 30 (tiga puluh) harisecara berturut-turut atau perbuatan menarik diri untuk selamanya. Bahwa dalamkehidupan sehari-hari, seorang militer dituntut kesiapsiagaannya ditempat dimana iaharus berada, tanpa itu sukar dapat diharapkan dari padanya untuk menjadi militeryang mampu menjalankan tugasnya.29

    29 Hasil wawancara dengan Ketua Panitera Pengadilan Militer I-03 Padang , Pada Tanggal 29Juni 2011, Pukul 11.00

  • 20

    B. Pertimbangan Hakim Dalam Menerapkan Pidana Terhadap Pelaku TindakPidana Desersi Di Pengadilan Militer I-03 Padang.

    Dalam doktrin hukum pidana sesungguh ada yang dapat dijadikan pedoman untuksementara waktu sebelum KUHP Nasional diberlakukan. Pedoman tersebut terdapatdalam konsep KUHP baru Pasal 55 ayat (1), yaitu:30

    a. Kesalahan pembuat tindak pidana;b. Motif dan tujuan melakukan tindak pidana;c. Sikap batin pembuat tindak pidana;d. Apakah tindak pidana dilakukan dengan berencana;e. Cara melakukan tindak pidana;f. Sikap dan tindakan pembuat sesudah melakukan tindak pidana;g. Riwayat hidup dan keadaan sosial dan ekonomi pembuat tindak pidana;h. Pengaruh pidana terhadap masa depan pembuat tindak pidana;i. Pengaruh tindak pidana terhadap korban atau keluarga korban;j. Pemaafan dari korban atau keluarganya;k. Pandangan masyarakat terhadap tindak pidana yang dilakukan.

    Untuk dapatnya seorang pelaku tindak pidana dijatuhi pidana maka perbuatanpelaku harus mengandung unsur kesalahan, hal ini berdasarkan asas kesalahan GeenStraf Zonder Schuld (tiada suatu perbuatan yang dapat dihukum tanpa ada kesalahan).Berdasarkan hal tersebut, dalam menjatuhkan hukuman terhadap pelaku hakim harusmelihat kepada kesalaan yang dilakukan oleh pelaku sesuai dengan perbuatan yangdilakukan. Selain itu dalam menjatuhkan hukuman kepada pelaku hakim juga melihatkepada motif, tujuan, cara perbuatan dilakukan dan dalam hal apa perbuatan itudilakukan (perbuatan itu direncanakan). Dalam konsep KUHP baru berdasarkan Pasal55 menyatakan bahwa hakim dalam menjatuhkan hukuman kepada pelaku selainmelihat kepada aspek pelaku dan perbuatan, hakim juga harus melihat danmempertimbangkan kepada aspek lain yakni melihat aspek akibat, korban dan juga

    30 Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Pasal 55.

  • 21

    keluarga korban. Hal ini merupakan konsep baru yang harus diperhatikan hakim dalammenjatuhkan pidana kepada pelaku tindak pidana, karena perbuatan pidana yangdilakukan selain berdampak kepada pelaku, hal ini juga berakibat kepada korban danjuga keluarga korban.

    Sebagaimana yang kita ketahui bahwasanya apabila terjadi suatu perbuatanpidana, maka korban dan keluarga korban tidak bisa dikesampingkan, artinya pelakuselalu berhubungan dengan korban dan juga keluarga korban, sehingga dengandemikian rasa keadilan dan keamanan di tengah-tengah masyarakat dapat terwujud.

    Sehingga apabila hakim dalam menjatuhkan pidana denganmempertimbangkan konsep-konsep pidana baru tersebut, maka dengan demikiankorban dan keluarga korban bisa diperhatikan, sehingga korban dan keluarga korbanbukan hanya sebagai objek saja tetapi juga sebagai subjek yang harusdipertimbangkan.

    Semua konsep tersebut di atas merupakan konsep dalam KUHP terhadaphakim yang mengadili perbuatan pidana yang tersebar dalam KUHP. Ketika perbuatanpidana tersebut dilakukan oleh anggota militer terhadap tindak pidana desersi makadalam hal ini, dalam menjatuhkan hukuman kepada anggota yang melakukankejahatan tersebut hakim hanya mempertimbangkan kepada aspek pelaku danperbuatannya, hal ini disebabkan karena perbuatan yang dilakukan pelaku tidakberhubungan dengan korban, karena desersi merupakan perbuatan pidana yangberhubungan dengan pelanggaran terhadap kode etik kedisiplinan. Artinya desersi atauperbuatan pidana yang dilakukan anggota Tentara Nasional Indonesia merupakansuatu perbuatan pelanggaran terhadap kode etik yang telah ditetapkan. Berdasarkan haltersebut, dalam menjatuhkan hukuman kepada pelaku, hakim tidak memperhatikankepada aspek korban dan keluarga korban tetapi hanya melihat danmempertimbangkan kepada aspek pelaku dan perbuatannya saja.

    Namun dalam hasil penelitian yang didapat, pertimbangan hakim dalammenjatuhkan pidana kepada pelaku tindak pidana desersi adalah sebagai berikut:

    1. Hal-hal yang memberatkan pada ke 2 (dua) terdakwa yang melakukan

  • 22

    tindak pidana desersi antara lain:a. Bahwa terdakwa bertentangan dengan sapta marga dan sumpah

    prajurit;b. Bahwa perbuatan terdakwa dapat merusak sendi-sendi disiplin di

    kesatuannya;c. Bahwa perbuatan terdakwa mencerminkan sikap mental yang buruk

    yang menghindar dari tugas dan tanggung jawab.Sedangkan bagi terdakwa tindak pidana desersi yang menyerahkan diri kepada

    kesatuannya atau terdakwa mengikuti jalan persidangan sehingga adanya pertimbanganhakim yang meringankan hukuman yang kepadanya, yaitu:

    1. Terdakwa belum pernah dihukum;2. Terdakwa berterus terang di pengadilan;3. Terdakwa merasa bersalah dan menyesali perbuatannya serta berjanji

    tidak akan mengulangi perbuatannya;4. Terdakwa kembali ke kesatuan dengan menyerahkan diri.

    Adanya perbedaan antara putusan hakim terhadap kasus I dan kasus II ini, dapatterlihat bahwa hakim dalam memutus suatu perkara akan mempertimbangkanputusannya sesuai dengan teori dalam penjatuhan putusan yaitu teori keseimbangan.31

    Dari hal di datas dapat disimpulkan bahwa penerapan pidana terhadap anggotaTentara Nasional Indonesia yang melakukan desersi, terdakwanya tidak selaludiberikan hukuman tambahan, oleh karena adanya niat yang baik dari terdakwa dalamuntuk menyerahkan diri ke kesatuannya atau mengikuti proses persidangan, sedangkanbagi terdakwa yang in absensia pada proses persidangan biasanya akan diberikanhukuman tambahan oleh hakim.

    Dalam hal ini, hakim juga dapat menjatuhkan pidana terhadap tindak pidanadesersi yang in absensia, selanjutnya dalam menjatuhkan putusan tindak pidanadesersi, hakim menjadikan in absensia sebagai suatu alasan untuk mempertimbangkan

    31 Hasil wawancara dengan Hakim Anggota Pengadilan Militer I-03 Padang , Pada Tanggal14Juli 2011, Pukul 11.00.

  • 23

    hal-hal yang baik atau meringankan dan hal-hal yang buruk atau yang memberatkan.

    A. KesimpulanDari uraian pada bab-bab sebelumnya ditarik beberapa kesimpulan sebagai

    berikut:1. Bahwa penerapan pidana terhadap anggota Tentara Nasional Indonesia

    yang melakukan desersi dapat dilihat dalam putusan hakim dalammenjatuhkan pidana terhadap terdakwa. Perbedaan putusan hakim di dalammenjatuhkan pidana terhadap 2 (kasus) tindak pidana desersi,memperlihatkan adanya pertimbangan-pertimbangan hakim. Sehingga ke 2(dua) terdakwa tindak pidana desersi tersebut mendapatkan hukumanpidana pokok dan pidana tambahan.

    2. Dalam kasus desersi yang menjadi pertimbangan hakim di dalammenjatuhkan putusan adalah jika terdakwa yang melakukan desersimenyerahkan diri kepada kesatuannya dan hadir dalam proses persidanganakan mendapatkan hal-hal yang meringankan hukuman terdakwa antaralain Terdakwa belum pernah dihukum, Terdakwa berterus terang dipenagdilan, terdakwa merasa bersalah dan menyesali perbuatannya sertaberjanji tidak akan mengulangi perbuatannya dan Terdakwa kembali kekesatuan dengan menyerahkan diri.

    Sedangakan terdakwa desersi yang tidak menyerahkan diri dan tidakmengikuti proses persidangan tidak mendapatkan hal-hal yang meringankanakan tetapi hanya mendapatkan hal-hal yang memberatkan terdakwa antaralain Perbuatan Terdakwa bertentangan dengan Sapta Marga dan SumpahPrajurit, Bahwa perbuatan Terdakwa dapat merusak sendi-sendi disiplin diKesatuannya dan Bahwa Terdakwa lebih mementingkan kepentinganpribadinya dari pada kepentingan dinas.

  • 24

    B. Saran-SaranDisampaikan saran sebagai berikut:

    1. Sebaiknya setiap komandan pada kesatuan lebih melihat lagi pribadi masing-masing anggota agar mengetahui permasalahan yang dihadapinya anggotanya,sehingga bisa menekan angka tindak pidana desersi yang dilakukan olehanggotanya.

    2. Sebaiknya atasan juga dapat mempertimbangkan izin yang diminta olehanggotanya sehingga agar tidak terjadinya tindak pidana desersi.

    3. Sebainya anggota Tentara Nasional Indonesia dalam meminta izin juga bisamemberikan alasan yang tepat dan tidakk berbelit-belit agar atasan dapatmemberikan izin.

  • 25

    DAFTAR PUSTAKA

    A. Buku-BukuAmiruddin dan Asikin Zainal, Pengantar Metode Penelitian Hukum, Raja Grafindo

    Persada, Jakarta, 2004.Amiroeddin Sjarif, Hukum Disiplin Militer Indonesia, Rineka Cipta, Jakarta, 1996.Darji Darmodiharjo & Shidarta, Pokok-Pokok Filsafat Hukum, Apa dan Bagaimana

    Filsafat Hukum Indonesia, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1995.Dewantara, Nanda Agung, Masalah Kebebasan Hakim Dalam Menangani Suatu

    Masalah Perkara Pidana, Aksara Persada Indonesia, Jakarta, 1987.Hamzah Andi, Hukum Acara Pidana Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, 2005.Ilhami Bisri, Sistem Hukum Indoensia (Prinsip-prinsip dan implementasi Hukum di

    Indonesia), Rajawali Pers, Jakarta. 2011.Marpaung, Leden, Asas-Teori-Praktik Hukum Pidana, Sinar Grafika, Jakarta, 2005.Moch. Faisal Salam, Hukum Acara Pidana Militer Di Indoensia, Mandar Maju,

    Bandung, 2002.Moch. Faisal Salam, Hukum Pidana Militer Di Indonesia, Mandar Maju, Bandung,

    2006.Moeljatno, Azas-azas Hukum Pidana, Rineka Cipta, Jakarta, 2000.Muladi dan Barda Nawawi Arief, Teori-teori dan Kebijakan Pidana, Alumni,

    Bandung, 1998.P.A.F. Lamintang, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, Citra Aditya Bakti,

    Bandung, 1996.Pipin Syarifin, Hukum Pidana Di Indonesia, Bandung, Pustaka Setia, 2000Prodjodikoro, Wirjono, Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia, Refika Aditama,

    Bandung, 2008.

  • 26

    Rifai Ahmad, Penemuan Hukum oleh Hakim Dalam Persfektif Hukum Progresif, :Sinar Grafika, Jakarta, 2010.

    Salam, Moch. Faisal, Peradilan Militer Indonesia, Mandar Maju, Bandung, 1994.Saleh, Roeslan, Stelsel Pidana Indonesia, Bina Aksara, Jakarta, 1987.

    Soegiri, 30 Tahun Perkembangan Peradilan Militer di Negara Republik Indonesia,Indra djaja, Jakarta, 1976.

    Sudarto, Kapita Selekta Hukum Pidana, Alumni, Bandung, 1986.Supranto, Metode Penelitian Hukum dan Statistik, Rineka Cipta, Jakarta, 2003.Sutiyoso Bambang, Reformasi Keadilan dan Penegakan Hukum Di Indonesia, UII

    Press, Yogyakarta, 2010.Sudikmo Mertokusumo, Bab-bab tentang Penemuan Hukum. Citra Aditya Bakti,

    Bandung, 1993.

    B. Peraturan Perundang-undanganKitab Undang-Undang Hukum Pidana Militer.Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana Militer.Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.Kitab Undang-Undang Hukum Acara PidanaUndang-Undang Dasar 1945 Hasil Amandemen dan Proses Amendemen Undang-

    Undang 1945 Secara Lengkap.Undang-undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia.Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer.Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan

    Kehakiman.Konsep Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana

  • 27

    C. Lain-lainhttp://www.hukum online.comhttp://222.124.250.252/mpr/video/risalah/10/46/risalah_2022006155106.pdf.http://www.situshukum.com/kolom/penegakan-hukum-dalam-perkara-pidana.shkm.http://putusan.mahkamahagung.go.id