pertemuan demi pertemuan bulanan rutin digelar. seiring dengan · contoh keberhasilan lainnya...

18

Upload: others

Post on 21-Oct-2020

15 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

  • Pertemuan demi pertemuan bulanan rutin digelar. Seiring dengankegiatan itu, kapasitas Komunitas Pertuni (Persatuan Tuna Netra)Malang kian menunjukkan kemajuan yang signifikan. Dari sebanyak50 orang, kebanyakan anggota sudah mengetahui substansi Undang-undang Pelayanan Publik. Mereka juga telah memahami apa yang menjadihak-hak dan kewajibannya sebagai warga negara, khususnya dalam halpelayanan publik.

    Dengan pemahaman yang mendalam terkait Undang-undang PelayananPublik, kesadaran anggota Pertuni pun mulai terbangun. Budaya diam dannrimo mulai tergerus. Setidaknya para anggota sudah tidak lagi seganmembahas kejanggalan-kejanggalan yang mereka alami, terkhusus dalamhal pendidikan, kesehatan, dan adminduk. Konsistensi pertemuan danpendekatan diskusi yang menyentuh kondisi riil mereka, nyatanya lebihmeningkatkan semangat advokatif anggota komunitas.

    Hal-hal di atas tampak dari beberapa pengalaman di lapangan dalamperiode April – Juni 2013 ini. Salah satu anggota komunitas Pertuni telahberani mengadukan upaya penahanan ijazah oleh salah satu oknum SMKNdi Kota Malang. Bersama rekan-rekan sekomunitasnya, ia mengadvokasikasus ini. Keterbatasan fisik tidak mengecilkan semangat mereka. Memangmasih dalam dampingan Malang Corruption Watch (MCW). Namun, seluruhkegiatan advokasi, dapat dikatakan, dilakukan oleh anggota komunitasPertuni sendiri.

    Berikutnya adalah seperti yang dikisahkan salah satu anggota komunitasyang telah berani menegur petugas kelurahan. Menurutnya, si petugastelah bersikap angkuh dan cuek terhadapnya karena alasan keterbatasanfisik. Ia menegurnya dengan maksud si petugas tidak bersikap dan

  • bertindak diskriminatif dalam memberikan pelayanan.Langkah teguran itu dilakukan karena ia sadar bahwamemperoleh pelayanan yang berkualitas adalah haksemua warga.

    Contoh keberhasilan lainnya adalah keberaniankomunitas untuk melakukan audiensi dengan KepalaDinas Sosial Kota Malang (Dinsos). Dengan percaya diri,mereka menuntut akuntabilitas penggunaan danahibah dari Dinsos. MCW membantu sebatasmemfasilitasinya. Pada Selasa 16 Juli 2013, Dinsosmelakukan survey bagi calon penerima bantuan hibahuntuk penyandang difabel. Ini terjadi setelah melalui

    proses diskusi panjang dan berbelit-belit yangdilakukan oleh komunitas ini.

    Selain itu, anggota komunitas juga mulai memahamitentang peraturan lain yang saat ini sedang merekahadapi, seperti Undang-undang Pemilihan UmumKepala Daerah dan Undang-undang PemilihanGubernur. MCW memang tidak memberikan matericetak, semisal Undang-undang. Namun pemahamananggota komunitas tentang UU Pelayanan Publiktimbul dari proses diskusi-diskusi yang mengalir dandari proses tanya jawab.

    http://mediacenter.malangkota.go.id/2011/05/pertuni-wadul-dewan/

    Ketua PERTUNI Malang Supriyadi saat menyerahkan surat pengaduan kepada Christea Frisdiantara Ketua Komisi D DPRD Kota Malang.

  • ROB, hingga kini, masih menjadi problema bagi masyarakatKelurahan Pasir Sari, Kecamatan Pekalongan Utara, KotaPekalongan, Jawa Tengah. Rob besar yang‘menggulung’kawasantepi Pantai Utara Pekalongan beberapa bulan terakhir, itu telahmenyebabkan akses jalan dipenuhi genangan air. Ribuan pemukimanwarga terendam. Ini menjadi penghambat besar warga dalamkesehariannya. Warga pun gelisah, saat rob melanda. Para petani gelisahkarena hampir 70 persen luas lahan pertanian tak bisa diolah. Selain itu,sekitar 110 pengusaha batik mengalami kerugian karena adanyapenambahan biaya untuk proses produksi batik yang memakan waktulebih lama. Bahkan Wakil Wali Kota Pekalongan, AAlf Arslan Djunaidmenyebut rob yang terjadi pada Juni lalu sebagai banjir yang terbesardari sejarah rob yang terjadi di Pekalongan sebelumnya. Tak heran bilaPemerintah Kota Pekalongan lantas menetapkan status darurat.

    Sebelum ini terjadi, Komunitas Warga Pasir Sari, KOMPASS (KomunikasiMasyarakat Pasirsari), telah berulang kali membahas penyelesaianpersoalan rob. Namun, solusi yang signifikan tak kunjung datang. Seiringpra pemilihan Gubernur Jawa Tengah, Ketua KOMPASS, Ircham, mulaiterlibat sebagai panitia Pilkada di Kelurahan Pasir Sari. Dari sana, iamembangun jaringan dengan pihak kelurahan dan apartur di dalamnya.

    Kebetulan Pasir Sari memiliki lurah baru. Keberadaan Ircham sebagaiaktivis setempat diperhitungkan Martoyo, lurah Pasir Sari. SeringkaliIrcham diajak berdiskusi seputar isu permasalahan di Kelurahan PasirSari. Beberapa kawan-kawannya di KOMPASS pun mulai diajak sertasehingga menjadi dekat dengan pihak kelurahan. Lantas, KOMPASS mulaidilibatkan dalam Kepanitiaan Pilkada Gubernur Jawa Tengah sertadiundang dalam rapat-rapat mewakili organisasi kepemudaan.

  • Setiap kali diskusi dengan pihak kelurahan, isu-isupelayanan publik kerap diselipkan. Salah satunya, robsebagai problema warga. KOMPASS sempat mengajakLurah Martoyo berkeliling ke lokasi rob danmengunjungi warganya yang terkena rob. Harapannyasatu, lurah mampu menyuarakan masalah rob ini ditingkat kota supaya segera ada perbaikan.

    Pada Mei lalu, Lurah Martoyo pun bersedia hadirsebagai pembicara dalam diskusi bulanan KOMPASS.Topiknya terkait penangan rob. Apa-apa yang sudahdilakukan pihak kelurahan terkait penanganan rob,dijelaskan Martoyo panjang lebar. Namun, toh faktanyarob masih kerasan berkunjung ke Pasir Sari. Karenanya,komunitas menghendaki agar warga dipertemukandengan walikota. Ia pun menyanggupi akanmenghadirkan Walikota Pekalongan, Basyir Achmad,ke Pasir Sari pada 5 Juni 2013. Seluruh peserta diskusidiundang untuk hadir dan berdialog langsung denganorang nomor satu di Kota Pekalongan ini.

    Informasi tentang kehadiran walikota pun cepatmenyebar. Selain sejumlah tokoh masyarakat danpemuda karang taruna, organisasi pecinta alam juga

    berkomitmen menghadirinya. Namun rencanakehadiran kelompok-kelompok kritis tersebut justrudilihat Lurah Martoyo sebagai upaya rencanademonstrasi warga terhadap walikota. Sehari sebelumacara, Ircham dipanggil Lurah Martoyo supaya tidakmelibatkan sejumlah tokoh kritis. Namun Ircham punngotot, mendesak Martoyo untuk mengagendakanadanya pertemuan dengan perwakilan warga terkaitrob.

    Pada 16 Juni 2013, secara mendadak, Lurah Martoyomengabari Ircham agar mengajak perwakilan wargaberdialog bersama petinggi Kota. Keeseokannya, tujuhperwakilan hadir dalam dialog dengan walikota diKantor Dinas Pekerjaan Umum (DPU). Dalampertemuan itu, warga menghendaki dibangunnyapintu air. Permintaan tersebut dikabulkan dengankucuran dana sebesar Rp 15 juta. Namun, setelahberkoordinasi dengan pihak DPU, ternyata danatersebut tidaklah mencukupi untuk dibangunnya pintuair. Jalan keluarnya, dana tersebut disepakati untukmenguruk daerah yang rendah supaya tidak terlaluparah bila banjir rob kembali melanda.

  • YAPPIKA, Pekalongan - Sudah lebih dari tiga bulan, air bersih diKelurahan Buaran, Kecamatan Pekalongan Selatan, Jawa Tengah, tidakmengalir selancar biasanya. Di Kampung Buaran bagian barat, airmengalir bagaikan orang kencing, seicrit-seicrit. Di Kampung Buaranbagian timur, air malah mampet sama sekali. Padahal, air menjadi hajathidup sehari-hari warga di Kota Batik ini. Tanpa pasokan air yang cukup,kampung yang tidak jauh dari pesisir Pantai Utara Jawa ini menjadibegitu kering dan gersang. Warga pun gelisah dibuatnya.

    Sejak Agustus 2012, warga harus berbondong-bondong membawa em-ber dan wadah seadanya untuk menimba air di sumur warga bagianbarat. Malah ada yang mencuci dan mandi di sana. Mereka, warga yangberduit lebih, rela merogoh koceknya untuk membeli air galonan.

    Sejak air sumurnya berubah warna menjadi keruh, warga KampungBuaran tidak lagi meminumnya. Wajar saja. Limbah-limbah dari produksibatik cukup mencemari sungai dan sumur-sumur warga. Biladikonsumsi, bisa membahayakan kesehatan.

    Keluhan-keluhan warga itu ditangkap sekelompok pemuda yangtergabung dalam Komunitas Buaran. “Kami menyebutnya GreenPeanut’s atau kacang hijau, karena kami masih muda dan hijau,” kataDani, Ketua komunitas ini.

    Pada November 2012, komunitas baru dampingan Pattiro Pekalonganini lantas memperkenalkan sebuah Posko Pengaduan Layanan Publik.Warga Buaran pun mengadu. Dan, benarlah. Air mampet menjadimasalah yang paling banyak diadukan warga.

    Langkah mediasi dipilih untuk mencari solusi atas persoalan warga.Dalam sebuah forum, komunitas ini menyampaikan keluhan masyarakatkepada pihak TAMARA, penyedia jasa layanan air bersih untuk wargaKelurahan Buaran. Hal ini sempat menimbulkan kesalahpahaman.Malahan, Dani dan teman-teman kelompoknya dianggap hendakmencari sensasi dan menyerang TAMARA yang dikelola oleh beberapapersonel pemuda karang taruna setempat.

    “Sebagai kelompok baru di Pekalongan Selatan, kami dianggappahlawan Kesiangan,” ucapnya.

    Pihak TAMARA menganggap air mampet di Buaran adalah isu lokal yangtak layak dibesar-besarkan. Perusahaan air lokal yang sudah lebih daridua tahun melayani kebutuhan air warga itu malah balik mengkritik.Posko Pengaduan Layanan Publik harusnya ditujukan untuk isu-isupelayanan publik di level kota!

    “Dibutuhkan energi yang besar untuk meluruskan kesalahpahaman ini,”kata Nurrochmah, pegiat Pattiro Pekalongan yang juga salah satu wargaBuaran.

  • Komunitas Buaran menjelaskan bahwa pengaduan warga tidaklahmengada-ada. Sejumlah data ditunjukkan. Selain persoalan air mampet,persoalan kesehatan dan sampah juga menjadi keluhan warga Buaran.Dan persoalan air nggak ngalir sebagai keluhan warga yang tertinggiadalah fakta!

    “Hal ini murni dilakukan demi kebaikan seluruh warga Buaran,” tuturnya.

    Mendengar hal itu, pihak TAMARA lambat laun mulai bisa memahami.Pasca pertemuan tersebut, pengurus TAMARA menggelar rapat internal.Tak lama berselang, muncullah Surat Edaran untuk 120 wargapelanggannya. Melalui surat itu, pihak TAMARA menjelaskan hal-hal teknismengapa air tidak mengalir di Buaran.

    Pertama, debit air menurun karena banyaknya sumur bor baru kurangdari 500 meter di sekitar sumur TAMARA. “Pihak Puskesmas menggalisumur 50 meter dari sumur TAMARA. Pihak PDAM milik Pemerintahmenggali sumur 100 meter dari sumur TAMARA. Keberadaan sumur-sumur ini sebenarnya memang legal,” terang Dani.

    Kedua, musim kemarau yang berkepanjangan menyebabkan debit airjuga menurun. Ketiga, sudah dua tahun beroperasi, mesin pompa belummengalami perbaikan.

    Pasca terbitnya surat edaran itu, pihak TAMARA terus melakukanpembenahan. Dalam jangka waktu tidak lebih dari dua minggu, air kembalimengalir di Buaran. Warga pun bergembira karena tidak lagi kesulitanmemperoleh air bersih. Pasca peristiwa ini, pihak TAMARA mengucapkanterima kasih karena teman-temannya di Komunitas Buaran telahmengingatkan mereka untuk melayani warga dengan lebih baik lagi.

    Komunitas Buaran atau Green Peanut’s adalah kelompok dampinganPattiro Pekalongan. Cikal bakal kelompok ini adalah pemuda karang tarunaKelurahan Buaran yang sempat vakum berkegiatan. Pada pertengahan2012, Dani dan teman-temannya yang masih aktif kemudian berinisiatifmembentuk Green Peanut’s. Seiring dengan diresmikannya bulanpengaduan oleh Pattiro Pekalongan dan Walikota, sebanyak 12 kelompokdampingan, termasuk kelompok Green Peanut’s ini, membuka poskopengaduan di wilayahnya masing-masing. Sebanyak 314 pengaduanterkumpul hanya dalam waktu sebulan.

    Bagi masyarakat Kelurahan Buaran, kemunculan posko pengaduan menjadisaluran menuju perubahan. Dan, keberanian Green Peanut’s memediasiwarga dengan pihak penyedia jasa layanan air mampu mendorongterwujudnya perubahan, sehingga warga memperoleh air bersih yangmenjadi haknya.

    Keberadaan Program SIAP2 telah dirasakan manfaatnya secara langsungoleh masyarakat Kelurahan Buaran, Kecamatan Pekalongan Selatan, KotaPekalongan, Jawa Tengah. YAPPIKA bersama dengan Pattiro Pekalonganmendorong program ini demi mempercepat pelaksanaan Undang-Undang No. 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik. Program yangdidukung oleh USAID ini diharapkan dapat menumbuhkan budayaakuntabilitas masyarakat melalui pemanfaatan ruang-ruang partisipasimasyarakat dalam kebijakan penyelenggaraan pelayanan publik. (NTK)

  • YAPPIKA, KUPANG – Perjalanan ke Kota Kupang pada Maret 2013lalu, menunjukkan fakta terbangunnya kesadaran warga akan kondisipelayanan publik di Kota Kupang. Hal itu nampak dari inisiatif wargamengorganisir diri membentuk kelompok-kelompok komunitas.Sedikitnya 12 kelompok telah berkomitmen mengawal pelaksanaanpelayanan publik yang adil dan berkualitas di Kota Kupang.

    Selain mengorganisir diri, mereka rutin berkumpul dan membicarakanproblem pelayanan publik di Kotanya. Didampingi PIAR NTT, merekasiap melakukan advokasi dan mengawasi pelayanan publik Kota Kupang.

    “IKBP merasa bersyukur dengan keberadaan PIAR dan YAPPIKA. IKBPsiap menjadi mata, telinga dan corong bagi masyarakat, sehinggamasyarakat menjadi berani dan lebih terbuka,” kata Ketua IkatanKeluarga Besar Pluralis (IKBP), Christian Frans dalam Diskusi AntarKelompok Komunitas di Sekretariat PIAR NTT, Jumat, 22 Maret 2013.

    IKBP terbentuk karena kesadaran bahwa kondisi pelayanan publik diKota Kupang masih jauh dari harapan warga. Kelompok ini merasaterpanggil untuk menjawab persoalan-persoalan warga dikomunitasnya. IKBP pun membuka posko pengaduan. Semangat kianbertumbuh seiring dengan antusiasme pengaduan warga. Sejumlahkasus di bidang kesehatan dan pendidikan telah mereka advokasi. Meskihasilnya belum cukup signifikan, kata Frans, paling tidak masyarakatsemakin berani bersuara.

    “Sebelumnya, masyarakat enggan mengadu dan hanya berhenti padakeluhan-keluhan. Setelah ada posko pengaduan, warga mulai beranimengadu,” ucapnya.

    Pengalaman yang sama juga dialami Martha Taga, Ketua HimpunanKelompok Serabutan Oebobo (HKSO). Perkenalannya dengan PIAR NTTtelah menumbuhkan keberanian warga melakukan advokasi kasus-kasusyang dijumpai di komunitasnya. Kasus distribusi ‘Beras untuk orangmiskin’ (raskin); kasus ketidakjelasan prosedur pengurusan Kartu TandaPenduduk (KTP); dan kasus pengurusan Jaminan Kesehatan Daerah(Jamkesda) yang bermasalah adalah contoh kasus yang telah merekaadvokasi bersama PIAR NTT.

  • “Awalnya kami tidak punya kemampuan apa-apa dalam hal advokasi.Setelah kenal PIAR, kami sudah berani melakukan advokasi masalah-masalah. Kami bersyukur. Adanya PIAR telah membimbing HKSOsehingga menjadi tidak takut-takut lagi,” terangnya.

    Kesadaran kelompok warga ini nyatanya tidak hanya melulu padamasalah pelayanan publik saja. Hal itu nampak dengan adanya advokasikasus Tenaga Kerja Wanita ke Polda NTT; advokasi kasus retribusi pasaroleh Forum Pedagang Karya Ampera; hingga masalah sesederhanakebiasaan warga membuang sampah di sungai yang advokasinyadilakukan oleh HKSO.

    Sukses-sukses kecil melakukan advokasi nyatanya menambahkepercayaan diri. Keberadaan mereka diakui dan membawa manfaat bagiwarga sekitar. “Kini keberadaan kelompok sudah dianggap ada olehpemerintah. Dalam hal ini, kelurahan. Penguatan kapasitas ke depan haruslebih diperkuat,” ungkap Ian Habaora, Ketua Forum Pemerhati AspirasiRakyat Kupang (FPAR).

    Menurutnya, penguatan kapasitas tersebut dapat dilakukan denganberbagai pelatihan, pertemuan-pertemuan lintas kelompok danpengadaan literatur terkait pelayanan publik. Penguatan kapasitas,lanjutnya, mutlak diperlukan karena mereka menyadari keterbatasannya.Sementara, kepercayaan yang telah diberikan masyarakat menjaditaruhannya. “Jangan sampai ada anggapan bahwa pos pengaduan ituadalah bohong,” tandasnya.

    Kedekatan dan kepercayaan media massa terhadap PIAR NTT, olehkelompok-kelompok ini dimanfaatkan sebagai ruang partisipasi dalampenyelenggaraan pelayanan publik. Salah satu contohnya, redaksiVictorynews, media cetak lokal, memberikan ruang bagi warga berdiskusimembicarakan pelayanan publik. Selain itu, mereka menyediakan rubrikkhusus pelayanan publik di Kota Kupang.

    Keberanian warga bernegosiasi dan berhadapan dengan pemerintahatau penyelenggara pelayanan patut diacungi jempol. Kelompok-kelompok warga tersebut sangat potensial menjadi kelompok pemantaupelayanan publik, sebagaimana diamanatkan Undang-Undang No. 25Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik. Sehingga ruang-ruang partisipasipublik seperti ‘ruang ekspresi inisiatif walikota’ dan momentum ‘walikotaberkantor di kelurahan’, dapat menjadi wadah menyampaikan berbagaiaspirasi dan keluhan ke Pemerintah Kota Kupang. (NTK)

  • Sore itu, Kamis 24 Januari 2013, hujan deras mengguyur Kota BandarLampung, Provinsi Lampung, Indonesia. Hanya dalam tiga jam, KotaGajah ini pun hampir tenggelam oleh banjir. Media menyiarkan,lalu lintas Kota Lampung nyaris lumpuh. Banjir menggenangi jalan-jalanprotokol Kota Lampung setinggi satu hingga dua meter. Selainmerendam jalanan protokol, banjir juga melumpuhkan rumah sakit,kampus, pasar tradisional, kompleks perbankan, hingga kompleks tamanmakam pahlawan. Hujan yang mengguyur sejak pukul 17.30 – 20.30WIB., itu juga membanjiri pemukiman warga di enam kelurahan.Akibatnya, sebanyak 265 rumah warga terendam. Badan NasionalPenanggulangan Bencana (BNPB) mencatat ada 20 titik lokasi banjirLampung. Dan, sebanyak tiga korban jiwa melayang akibat banjir ini.

    Dari 20 titik itu, Kelurahan Kuala Garuntang termasuk salah satunya. Lokasiini adalah lokasi terkena dampak yang cukup serius. Dalam hal evakuasi,Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Provinsi Lampung danBPBD Kota Lampung dibantu oleh satu peleton Korps Marinir. Namunsebelum para petugas itu datang, ada sekelompok warga yang ternyatalebih dahulu sigap melakukan aksi tanggap darurat.

    Adalah Serikat Perempuan Bandar Lampung (SPBL), kelompok wargayang mempunyai inisiatif itu. Hal pertama yang dilakukan SPBL di lokasikejadian adalah mengevakuasi para orang tua, para perempuan dananak-anak ke lokasi yang lebih aman. Karena keterbatasan sumber daya,SPBL menggandeng banyak orang dan komunitas untuk membantumeringankan penderitaan korban banjir. Gayung pun bersambut.Sejumlah kelompok maupun perorangan hadir secara langsung

  • memberikan suplai logistik, perlengkapan kebersihan dan obat-obatan.Setelah, banjir mereda, ibu-ibu ini bersama-sama warga membersihkanlingkungannya dari lumpur dan sisa-sisa genangan. Komunitas yangintens melakukan advokasi kesehatan masyarakat Lampung ini jugaberhasil mendatangkan Palang Merah Indonesia untuk melakukanpelayanan medis gratis.

    Upaya SPBL mewujudkan inisiatif gagasannya menjadi aksi tanggapdarurat tidaklah tanpa hambatan. Pemerintah kelurahan dan kecamatansetempat dinilai kurang tanggap terhadap upaya evakuasi danpemenuhan kebutuhan para korban banjir. Hal itu tampak dari sikapresisten Camat Panjang atas laporan Lilis Rohana, Ketua SPBL. Merekatidak patah arang. Malah sebaliknya, SPBL dengan tegas dan percayadiri, tetap menuntun pemerintah kecamatan untuk mau terjun ke lokasiguna membantu proses evakuasi dan pemenuhan kebutuhan parakorban banjir. Daya juang sukarelawan SPBL berhasil menggugah CamatPanjang Herni Musfi untuk segera turun ke tengah-tengah warganya. Iapun kemudian berupaya dalam pengadaan makanan bagi warganya yangmenjadi korban banjir.

    Serikat Perempuan Bandar Lampung (SPBL) merupakan kelompokmasyarakat di Kota Bandar Lampung. Mereka adalah kelompok kritisyang memperoleh pendidikan dari Lembaga Advokasi PerempuanDAMAR. Sebelumnya, SPBL mendampingi warga dua kecamatan, yaituKecamatan Teluk Betung Selatan dan Kecamatan Panjang. Namun pascapemekaran wilayah di Kota Bandar Lampung, area kerja SPBL menyempitdi Kecamatan Panjang. Isu program yang menjadi garapan SPBL adalahrevitalisasi posyandu sebagai garda terdepan bagi kesehatan masyarakatmiskin.

    Pasca evakuasi, SPBL mengadakan pertemuan dengan beberapa tokohdan kelompok masyarakat guna menanggulangi masalah banjir. Merekabersepakat memperkuat diri secara terstruktur dan akan membuat dasarargumen yang kuat mengenai solusi masalah banjir di Kota Lampung.Solusi-solusi konkret akan disampaikan kepada aparatur pemerintah,mulai dari lurah, camat, hingga walikota Bandar Lampung.

  • .KOPEL SINJAI terus berupaya meningkatkan kapasitas kelompokdampingannya. Selama periode April hingga Juni 2013, pertemuanrutin terus dilakukan. Dari 16 kelompok dampingan, sebanyak 11kelompok telah rutin melakukan kegiatan diskusi bulanan. Beberapalainnya, belum bisa rutin karena masih baru.

    Berkat diskusi-diskusi tersebut, pengetahuan kelompok terhadap sejumlahregulasi mengalami peningkatan. Utamanya, pemahaman regulasi terkaitpelayanan publik. Isu inilah yang menjadi fokus perhatian kelompokdampingan dalam melakukan advokasi di wilayah mereka masing-masing.Selain itu, penekanan diskusi juga selalu berangkat dari studi kasus ditingkat kelompok. Ini menjadi referensi dalam menilai seberapa besarpengaruh atau dampak sebuah kebijakan bagi masyarakat.

    Pengetahuan kelompok dapat dipetakan dalam dua kriteria, yaitu:pengetahuan internal dan eksternal.

    1. Pengetahuan internal yakni segala sesuatu yang diketahui berasaldari pengalaman kelompok dalam melakukan advokasi terhadapkasus-kasus yang berkembang di wilayah masing-masing. Hal inilahyang kemudian menjadi pembelajaran di tingkat kelompokdampingan. Ada beberapa yang termasuk dalam kategori tersebut,diantaranya terkait dengan strategi advokasi, pendekatan, danpemecahan masalah/analisis kasus.

  • 2. Pengetahuan eksternal yaitu segala sesuatuyang diketahui yang bersumber dari luar danbersifat membangun yang memperkuatkelompok serta dijadikan sebagai referensidalam melakukan aksi/penyikapan terhadaphal-hal yang berkaitan langsung denganpelayanan publik. Beberapa hal yang termasukdalam kategori tersebut, diantaranya Undang-Undang, Peraturan Daerah, Peraturan Bupati, danPeraturan Desa. Sumber pengetahuan tersebutdiperoleh kelompok dari berbagai sumber baikdari media, dari Kopel sebagai lembaga mitrakelompok, maupun dengan cara mengakseslangsung. Sumber pengetahuan itulah yangkemudian dikaji dalam setiap diskusi di tingkatkelompok dampingan.

    Implementasi dari pengetahuan kelompokdampingan dilakukan dalam tiga bulan terakhir.Diantaranya, advokasi terhadap adanya indikasipermainan yang dilakukan pada tingkat Satuan KerjaPerangkat (SKPD) terhadap pengusulan daftar nama-nama tenaga honorer Kategori Dua (K2) di KabupatenSinjai. Dimana dari daftar tersebut, ada banyak tenagahonorer yang tidak masuk dalam daftar usulan tersebut.Didampingi Forum Peduli Masyarakat Sipil Sinjai(FPMS), para pengadu melakukan advokasi dari tingkatlokal hingga mendatangi Badan Kepegawaian Negara(BKN) di ibu kota negara.

    Setelah melakukan koordinasi langsung dengan BKNdi Jakarta, para pengadu yang diwakili oleh AwaluddinAdil dari FPMS, akhirnya diberikan peluang untukmenyampaikan daftar usulan K2 yang tidak sempattercantum dalam daftar usulan pertama.

    .Selain itu, pada tingkat praktis kelompok dampinganjuga intens melakukan pengawalan terhadap isupermasalahan lainnya. Salah satunya adalah KelompokPemuda Koro (KPK), yang mengawal kasus asusila yangdilakukan oleh salah seorang oknum pengajar (PNS) diDesa Tellu Limpoe, Kecamatan Tellulimpoe, KabupatenSinjai. Kasus tersebut berawal dari temuan rekamanvideo mesum si oknum. Kasus ini cukup meresahkanwarga, sehingga kepala desa setempat melakukantindakan peringatan kepada oknum tersebut. Karenamelawan, kepala desa sempat melakukan tindakanyang berlebihan. Tamparan keras kepala desamendarat di pipi oknum pengajar tersebut. Plak. Atasperistiwa tersebut, kepala desa diproses secara hukumoleh kepolisian. Berbeda dengan kepala desa,perbuatan mesum si oknum justru tak diproses.

    KPK melakukan pengawalan atas kasus tersebut terkaitdengan identitas oknum tersebut sebagai tenagapendidik. Anehnya, pihak Dinas Pendidikan KabupatenSinjai tidak melakukan tindakan terhadap onumtersebut. Padahal si oknum adalah guru berstatusPNS.

  • YAPPIKA, SINJAI – Berkunjung ke Sinjai, Sulawesi Selatan, pertegahan Maret2013 lalu, penulis menemukan sejumlah forum warga yang tengah bergiatmenjawab persoalan-persoalan terkait pelayanan publik. Masyarakat Sinjaiyang berkomunitas itu terdiri dari berbagai latar belakang sosial budaya,diantaranya komunitas nelayan, komunitas perempuan, komunitaspemuda dan pelajar serta komunitas pengrajin.

    Karena minimnya pengetahuan dan informasi, warga seringkalimendapatkan perlakuan yang cenderung diskriminatif dalam memperolehpelayanan. Selain itu, keterbatasan ruang-ruang partisipasi juga menjadikendala warga dalam menyuarakan aspirasi.

    Beruntung, ada sosok-sosok perempuan dan pelajar yang mampu menjadiujung tombak dalam membuka ruang partisipasi masyarakat. Mereka yanglebih melek pengetahuan dan informasi, mengajak warga untuk kritis atasapa yang menjadi hak dan kewajibannya. Bersama Komite PemantauLegislatif (KOPEL) Sinjai, mereka mendorong warga berjuang memperolehpelayanan publik yang berkualitas, adil dan merata.

    Adalah Musfirah, pemudi dari Kelurahan Lappa, Kecamatan Sinjai Utara, inimampu mengorganisir sejumlah ibu dan remaja untuk berkumpul danpeduli akan kondisi di wilayahnya. Komunitas Lappa yang berupaperkampungan nelayan sederhana, jauh dari sarana air bersih, kesehatandan hidup layak. Sebaliknya, warga di mana komunitas ini tinggal, sangatdekat dengan kebiasaan minum minuman beralkohol. Bagi sebagiannelayan, mungkin wajar. Menjadi tidak wajar ketika berujung padakekerasan dalam rumah tangga. Karenaitulah, komunitas ini dibentuk.

    Namanya Forum Peduli PerempuanLappa (Forlipera). Walau pun hanya

  • beranggotakan 20 orang, bila mereka berkumpul, suasananyamenjadi begitu ramai. Ibu-ibu ini kebanyakan berprofesisebagai pengajar Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD). Tak jarangpertemuan dilakukan di ruangan kecil milik PAUD Cahaya Kalbu.Pagi hingga siang hari, PAUD ini berfungsi sebagai saranapendidikan. Selebihnya berfungsi menjadi Posko Pengaduan.Remaja-remaja SMP juga turut berkumpul dalam pertemuan-pertemuan forum yang belum genap satu tahun ini. Salah satukeberhasilan forum ini adalah melakukan advokasi kasusminimnya air bersih. “Meski hasilnya belum maksimal, namunpersoalan air bersih di Kampung Lappa ini sempat menarikmedia lokal, Sinjai TV, meliput langsung dari lapangan,” ucapMusfira bangga.

    Ada pula Wardaniah di Kelurahan Bikeru, Kecamatan SinjaiSelatan. Gadis yang masih berstatus mahasiswi ini mampumemfasilitasi lahirnya Forum Pemerhati Perempuan dan Anak(FPPA). Sejumlah ibu ia ajak berkumpul dan menampungkeluhan warga. Berbagai pengaduan terkumpul. Pernah adapengaduan warga terkait pelayanan dokter di Puskesmas SinjaiSelatan. Misalnya, masih adanya sikap pemberi layanankesehatan yang diskriminatif, serta jadwal layanan kesehatanyang tidak konsisten. “Ada warga yang minta rujukan, doktermalah sibuk main catur,” ucap Wardaniah.

    Persoalan lain juga disampaikan Darmawati, Ketua FPPA.Contohnya, pembagian ‘Beras untuk warga miskin’ (raskin) yangtidak adil serta pungutan dari pihak kelurahan atas distribusiKTP elektronik. Hebatnya, kaum perempuan ini justru beranimendatangi RT, RW dan Lurah untuk meminta klarifikasi.“Akhirnya mereka mengakui salah dan akanmengembalikannya ke warga,”kata Darmini disambut tepuktangan anggotanya.

    Keberadaan posko pengaduan, ternyata mampu mendorongmasyarakat berani bergerak untuk memperoleh pelayanan

    yang layak. Namun, tidak jarang forummenemukan sejumlah pengaduan yang sulituntuk diatasi.

    Keberadaan Forum Peduli Masyarakat Sipil(FPMS) menjadi jawabannya. Forum advokasitingkat kabupaten ini secara proaktifmengawal berbagai pengaduan yangberkembang di masing-masing kelompokwarga. Forum yang dibentuk pada September2012 ini memiliki tiga divisi; advokasi danmobilisasi; publikasi; pemberdayaan perempuan. Keanggotaan FPMS terdiri dari beberapaperwakilan kelompok dampingan itu sendiri,sehingga lebih bisa memahami persoalanbaik ketika berdiskusi atau pun saatmenyampaikannya ke pihak penyelenggaralayanan.

    Satu contoh keberhasilan FPMS adalah langkahadvokasi tindakan guru bersama kepalasekolah yang mengkoordinir penjualanLembar Kerja Siswa (LKS), buku dan bajuorahraga. FPMS melakukan unjuk rasa,mengangkat persolan itu melalui media,melaporkannya ke SKPD terkait, sertameminta DPRD dan Dinas Pendidikanmemanggil pelaku untuk mempertanggungjawabkannya. Hasil dari advokasi ini, adalahdiberikannya sanksi teguran atas pelanggaranPerda Nomor 6 Tahun 2010 tentangPembebasan Biaya Pendidikan di KabupatenSinjai. Akhirnya pihak sekolah yangbersangkutan mengembalikan biaya pembelian LKS yang dibayarkan siswa.

    Berdasarkan Surat Keputusan Bupati SinjaiNomor 628 Tahun 2012 Tentang ProgramLegislasi Daerah Kabupaten Sinjai Tahun 2013,Perda Pelayanan Publik masuk pada ProgramLegislasi Daerah Tahun 2013. Hal ini membukapeluang lebar bagi FPMS dan masyarakatSinjai melakukan pemantauan dan advokasi dilapangan. Semoga dengan ini, FPMS dan fo-rum warga dapat menorehkan kisah-kisahsukses lainnya. (NTK)

  • Di berbagai daerah, sering kita dengar cerita kelam kondisi paraKader Posyandu. Mulai dari soal upah layak hingga minimnyaanggaran untuk operasional Posyandu itu sendiri. Persoalan inijuga pernah dialami oleh para Kader Posyandu di Surakarta, Jawa Tengah.Memang diperlukan daya kreatifitas untuk menemukan solusinya.Nyatanya, bagaimana cara mendapatkan alokasi anggaran daerah untukPosyandu, belum semua Kader Posyandu tahu. Para Kader ini berkumpulmembentuk sebuah komunitas yang diberi nama Forum KomunikasiKader Posyandu (FKKP) Surakarta. Pertemuan demi pertemuan yang diisidengan diskusi pun rutin dilakukan. Berkat forum-forum pertemuan ru-tin bulanan itu, antar Kader Posyandu di Kota Surakarta dapat saling belajarbagaimana menghidupkan Posyandu masing-masing. Utamanya, dalammemperoleh alokasi anggaran daerah.

    Caranya, sesama Kader Posyandu saling bertukar nomor kontak dan salingmembantu ketika ada Posyandu atau Kadernya mendapatkan kesulitandalam menggeliatkan aktifitas Posyandu. Demikian pula dalam halmengakses pelayanan kesehatan. Satu sama lain saling mengenalkanrelasi yang bisa mendukung kinerja mereka dalam memperjuangkananggaran untuk Posyandu. Ini dilakukan karena dana alokasi dari DinasKesehatan Kota Surakarta tidaklah mencukupi. Kini, banyak KaderPosyandu yang kian aktif dalam forum Musrenbangkel untuk mengusulkanberbagai program yang mana tujuan sebenarnya untuk kelangsungankegiatan Posyandu. Hal di atas menunjukkan bahwa problem anggaranKader Posyandu terjawab dengan cara kreatif menemukan solusi danberjejaring melaksanakan solusinya itu. Salut!

  • Keberadaan Becak tidak selalu diharapkan. Pada masanya, di kota-kota besar, Becak diusir karena menimbulkan kemacetan. Di daerahpun, respon aparat beragam. Keberadaan Becak masihmenimbulkan pro dan kontra. Namun bagaimana pun, para Tukang Becakadalah penyedia jasa angkutan transportasi juga. Hak mereka untukbekerja dan mencari nafkah perlu dijamin oleh negara. Di Surakarta, JawaTengah, para Tukang Becak berhimpun dalam FKKB (Forum KomunikasiKeluarga Becak) Surakarta. Melalui pertemuan rutin bulanan, merekamenjadi paham dan solid bergerak bersama memperjuangkankepentingan kelompoknya. Mereka juga akrab dengan media. Karenanya,setiap isu terkait hak para Tukang Becak muncul, mereka menjadi sumberberita.

    Dengan demikian, suara para Tukang Becak ini bakal mudah didengar olehaparat Pemerintah Kota Surakarta. Hasilnya, meloby dan audiensi keSatuan Kerja Perangkat Daerah menjadi hal yang biasa. Kelompok ini sudahdikenal baik oleh Satuan Kerja Perangkat Daerah Kota Surakarta, sehinggaFKKB sering diundang dalam berbagai kegiatan tingkat Kota.

    Belakangan, FKKB berhasil meloby Dinas Perhubungan Komunikasi danInformasi Kota Surakarta untuk menerima aspirasi mereka dalam sebuahaudiensi. Dalam audiensi yang dihadiri banyak wartawan itu, FKKBmemperjuangkan adanya jalan untuk kendaraan tidak bermotor danpejalan kaki dalam perencanaan under pass di Solo. Kepala Dinas terkaitberjanji untuk mewujudkannya. Keberadaan dan kiprah FKKB dapatmenjadi contoh komunitas lainnya dalam mewujudkan pelayanan publikyang adil dan berkualitas, khususnya bagi mereka yang kecil, lemah dansering disingkir-singkirkan. Hebat!

  • COVERCerita Sukses PertuniCerita Sukses PekalonganCerita Sukses Pekalongan_Air mengalirCerita Sukses PIARCerita Sukses LampungCerita Sukses SINJAI Diskusi KomunitasCerita SuksesSinjaiCerita Sukses SoloCOVER B