pertanyaan dalam al-qur`an (kajian atas q.s. al...
TRANSCRIPT
PERTANYAAN DALAM AL-QUR`AN
(Kajian Atas Q.S. al-Baqarah: 67-71)
Skripsi
Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Agama (S.Ag)
Oleh:
Joni Hendri
NIM. 11150340000223
PROGRAM STUDI ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIR
FAKULTAS USHULUDDIN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1441 H./ 2020 M.
PERTANYAAN DALAM AL-QUR`AN
(Kajian Atas Q.S. al-Baqarah: 67-71)
Skripsi
Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Agama (S.Ag)
Oleh:
Joni Hendri
NIM. 11150340000223
Pembimbing,
Drs. Ahmad Rifqi Muchtar M.A
NIP. 19690822 199703 1 002
PROGRAM STUDI ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIR
FAKULTAS USHULUDDIN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1441 H./ 2020 M.
PERNYATAAN KEASLIAN SKRIPSI
Yang bertandatangan di bawah ini:
Nama : Joni Hendri
NIM : 11150340000223
Email : [email protected]
Menyatakan bahwa skripsi dengan judul “Pertanyaan Dalam al-Qur’an
(Kajian atas Q.S. al-Baqarah: 67-71)” adalah benar-benar asli karya
saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu persayaratan memperoleh
gelar strata 1 di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, terkecuali kutipan-
kutipan yang telah disebutkan sumbernya. Kesalahan dan kekurangan
dalam skripsi ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab saya. Jika di
kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya atau
merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia
menerima sanksi yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Ciputat, 31 Desember, 2019
Joni Hendri
PENGESAHAN UJIAN
Skripsi berjudul “Pertanyaan Dalam Al-Qur’an (Kajian Atas Q.S. al-
Baqarah: 67-71)” telah diujikan dalam sidang munaqasyah Fakultas
Ushuluddin Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta pada 04
Februari 2020. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat
memperoleh gelar Sarjana Agama (S.Ag.) pada Program Studi Ilmu Al-
Quran dan Tafsir.
Jakarta, 06 Februari 2020
Sidang Munaqasyah,
Ketua Sidang,
Dr. Lilik Ummi Kaltsum, M.A
NIP. 19711003 199903 2 001
Sekretaris Sidang,
Roswan Rio Utomo, M.A
NIP. 19880502 201903 1 009
Penguji I,
Drs. Harun Rasyid, M.Ag
NIP. 19600902 198703 1 001
Penguji II,
Dr. Muhammad Zuhdi Zaini, M.Ag
NIP. 19650817 200003 1 001
Pembimbing,
Drs. Ahmad Rifqi Muchtar M.A
NIP. 19690822 199703 1 002
i
ABSTRAK
Joni Hendri
Pertanyaan Dalam Al-Qur`An (Kajian Atas Q.S. Al-Baqarah: 67-71)
Skripsi ini membahas tentang pertanyaan dalam al-Qur`an. Lebih
fokusnya adalah membahas tentang pertanyaan-pertanyaan yang muncul
dari Banī Isrā`īl yang terdapat dalam surah al-Baqarah ayat 67-71, yaitu
pertanyaan tentang kriteria-kriteria sapi yang akan disembelih oleh Banī
Isrā`īl, yang mana nantinya sapi tersebut akan digunakan untuk
menghidupkan seseorang yang terbunuh dikalangan mereka supaya orang
yang mati tersebut memberi tahu siapa yang telah melakukan pembunuhan
terhadap dirirnya.
Adapun metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode
kualitatif dengan jenis kepustakaan (Library Reseach) yaitu dengan
mengumpulkan data-data melalui bacaan dan beberapa literatur yang
berkaitan dengan pembahasan. Adapun teknis yang diterapkan pada
penelitian ini adalah teknis analisis data.
Adapun hasil dari penelitian ini adalah bahwasannya kriteria
pertanyaan-pertanyaan yang diajukan oleh Banī Isrā`īl yang terdapat
dalam QS. al-Baqarah/2: 67-71 yang terkait dengan ciri-ciri sapi yang
akan disembelih adalah jenis pertanyaan yang tidak penting untuk
ditanyakan. Karena pada awalnya sudah cukup bagi mereka untuk
menyembelih sapi mana saja yang mereka temukan. Mereka hanya
dituntut untuk menyembelih sapi betina tanpa mempermasalahkan ciri-
cirinya. Adapun dampak menanyakan sesuatu yang tidak penting untuk
ditanyakan adalah akan memberatkan si penanya itu sendiri. Hal itulah
yang dialami oleh Banī Isrā`īl. Mereka mendapatkan kesusahan yang
diakibatkan oleh pertanyaan mereka sendiri.
Kata Kunci: Pertanyaan, Banī Isrā`īl, Penyembelihan Sapi Betina.
iii
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kehadirat Allah Subhānahu wa Ta‟āla, yang telah
memberikan petunjuk, taufik, ilmu, dan karunia-Nya, sehingga penulis
dapat menyelesaikan penelitian ini. Shalawat teriring salam, semoga
senantiasa terlimpah curahkan kepada kekasih tercinta, teladan termulia,
insan sempurna, Nabi Muhammad Salallah „Alaihi Wa al-Salām, yang
telah menebarkan cahaya iman dan Islam ke Muka Bumi ini, serta menjadi
rahmat bagi seluruh alam semesta. Tak lupa, salawat dan salam semoga
tersampaikan juga kepada keluarga beliau yang suci, sahabat-sahabatnya
yang terpilih, serta para-tabi‟in yang istimewa, dan kepada seluruh
umatnya. Semoga kita dapat mengikuti jejak-jejak hidupnya yang mulia,
dan mendapatkan syafaat yang agung darinya, kelak di hari kiamat. Āmīn
Yā Allah Ya Rabbāl „ālamĪn.
Terselesaikannya skrispi ini, tentu tidak terlepas dari bantuan dan
dukungan berbagai pihak yang ikut andil, baik secara langsung maupun
tidak langsung, baik secara moril maupun materil. Maka sepatutnya
penulis mengucapkan syukur, terima kasih dan penghargaan kepada :
1. Ibu Prof. Dr. Amany Burhanuddin Umar Lubis, MA, selaku Rektor
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Bapak Dr. Yusuf Rahman, MA, selaku Dekan Fakultas Ushuluddin
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Bapak Dr. Eva Nugraha. MAg, selaku ketua program studi Ilmu Al-
Qur`an dan Tafsir, serta Bapak Fahrizal Mahdi, Lc. MIRKH, selaku
sekretaris program studi Ilmu Al-Qur`an dan Tafsir.
4. Dosen pembimbing skripsi penulis, yakni Bapak Drs. Rifqi Muchtar
M.A , yang sangat bermurah hati meluangkan waktunya buat penulis
dalam berdiskusi terkait skripsi ini kepada penulis.
iv
5. Dosen penasehat akademik, yakni Bapak Maulana, M.Ag, yang telah
memberikan masukan dan motivasi kepada penulis selama penulis
belajar di kampus UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
6. Seluruh dosen di Jurusan Ilmu Al-Qur`an dan Tafsir yang telah
memberikan ilmu pengetahuan kepada penulis.
7. Seluruh staf jurusan dan fakultas yang turut membantu mengurusi
terkait adminstrasi penulis.
8. My Parents, Bapak Ali Munir dan Ibu Nurmayan, yaitu sosok orang
tua yang sudah dijanjikan oleh Allah untuk di ijabah doa`anya, yang
dengan ikhlas telah memberikan dukungan baik berupa materi
maupun non materi.
9. Kepada empat saudara penulis; Amrizal, Melfi, Roni Syahputra, dan
Sriwahyuni yang ikut serta dalam membantu penulis dalam
menempuh pendidikan sampai sa‟at sekarang ini.
10. Kapada alm. Kyai Ali Musthofa Ya‟qub dan jajaran asatiz Ma‟had
Darussunnah, yang telah berkenan mendidik dan mendoakan yang
terbaik bagi penulis selama menempuh pendidikan 4 tahun disana.
11. Teman-teman Ihna Darussunnah yang satu persatu telah wisuda
duluan, dan telah sibuk dengan urusan masing-masing. Semoga
kekelurgaan kita selalu terjalin ilā yaumil Qiyāmah.
12. Guru dan Murabbi penulis, Buya Dr. Arrazy Hasyim, Lc. MA, selaku
Khādim al-Ribāṭ Nouraniyah, yang tak kenal lelah untuk mengajarkan
ilmu dan membimbing ruhani penulis, sehingga penulis banyak
memperoleh pengetahuan dan pencerahan dalam memandang makna
hidup yang hakiki. Demikian juga kepada guru-guru penulis lainnya
di Ribāṭ, yaitu Buya Asyfi dan Buya Yunal, serta kawan-kawan di
Ribāṭ, yang juga mensuport penulis dalam meyelesaikan skripsi ini.
v
13. Seluruh kawan-kawan mahasiswa Tafsir Hadis 2015, dan kawan-
kawan KMM Ciputat (Keluarga Mahasiswa Minang), kawan-kawan
IMTI (Ikatan Mahasiswa Tarbiyah Islamiyah) JABODETABEK,
kawan-kawan AMR (Asosiasi Mahasiswa ar-Rasuli)
JABODETABEK. Serta pihak-pihak yang terlibat lainnya dalam
penulisan skripsi ini yang tidak bisa penulis sebutkan satu persatu.
Akhirnya dengan segala kerendahan hati, penulis panjatkan doa
kepada Allah Subhānahu wa Ta‟āla, semoga amal baik semua pihak yang
sudah membimbing, mengarahkan, memotivasi, dan mendoakan penulis
dalam menyelesaikan skripsi ini mendapatkan pahala yang berlipat ganda
dari Allah Subhānahu wa Ta‟āl. Semoga skripsi ini dapat memberikan
manfaat bagi yang membacanya, terutama bagi penulis sendiri. ĀmĪn.
Ciputat, 31 Desember, 2019
Joni Hendri
Penulis
vii
PEDOMAN TRANSLITERASI
Transliterasi Arab-Latin yang digunakan dalam skripsi ini
menggunakan pedoman transliterasi Arab-Latin hasil keputusan bersama
(SKB) Menteri Agama dan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan R.I.
Nomor: 158 Tahun 1987 dan Nomor: 0543b/U/1987.
A. Konsonan
Huruf Arab Nama Huruf Latin Nama
- Alif اTidak
dilambangkan
Ba B Be ب
Ta T Te ت
Ṡa Ṡ ثEs (dengan titik di
atas)
Jim J Je ج
Ḥ Ḥ حha (dengan titik di
bawah)
Kha Kh Ka dan Ha خ
Dal D De د
Ż Ż ذZet (dengan titik di
atas)
Ra R Er ر
Zai Z Zet ز
viii
Sin S Es ش
Syin Sy Es dan Ye ش
Ṣad Ṣ صEs (dengan titik di
bawah)
Ḍ Ḍ ضDe (dengan titik di
bawah)
Ṭ Ṭ طTe (dengan titik di
bawah)
Ẓ Ẓ ظZet (dengan titik di
bawah)
Ain „ koma terbalik„ ع
Gain G Ge غ
Fa F Ef ف
Qof Q Qi ق
Kaf K Ka ك
Lam L El ل
Mim M Em م
Nun N En ن
Wau W We و
Ha H Ha ھ
Hamzah ` Apostrop ء
Ya Y Ye ي
ix
B. Tanda Vokal
Vokal dalam bahasa Arab-Indonesia terdiri dari vokal tunggal disebut
juga monoftong dan vokal rangkap atau disebut diftong. Untuk vokal
tunggal sebagai berikut:
Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan
A Fatḥah أ
I Kasrah إ
U Ḍhammah أ
Adapun untuk vokal rangkap, sebagai berikut:
Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan
ي Ai A dan I ئ
و Au A dan U ئ
Dalam bahasa Arab untuk ketentuan alih aksara vokal panjang (mad)
dilambangkan dengan harakat dan huruf, yaitu:
Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan
Ā a dan garis di atas ىا
Ī i dan garis di atas ىي
و Ū u dan garis di atas ى
C. Kata Sandang
Kata sandang dilambangkan dengan “al-“, yang diikuti huruf
syamsiyah dan huruf qamariyah.
al-Qamariyah رال ني al-Munīr
x
al- Syamsiyah رجال al-Rijāl ال
D. Syaddah atau Tasydīd
Dalam bahasa Arab syaddah atau tasydīd dilambangkan dengan “ “
ketika dialihkan ke bahasa Indonesia dilambangkan dengan huruf, yaitu:
al-Qamariyah ال
ة و ق al-Quwwah
al- Syamsiyah ال
رة و ضر al-Ḍarurah
E. Ta Marbûṭah
Ta marbūṭah, dalam aksaranya terdapat pada kata yang berisi sendiri.
Ta marbūṭah dialihaksarakan menjadi huruf “h”. Hal yang sama juga
berlaku jika ta marbûṭah diikuti oleh kata sifat (na„t). Namun, jika huruf ta
marbūtah tersebut diikuti kata benda (ism), maka huruf tersebut
dialihaksarakan menjadi huruf “t”. Contohnya:
No Kata Arab Alih Aksara
1 ةق ري
Ṭarīqah ط
2 ة مي
لا ص
ال
جامعة
al-Jāmi‟ah ال
د 3 و ج و ال دة Waḥdat al-Wujūd وح
F. Huruf Kapital
Penerapan huruf kapital dalam alih aksara ini, juga mengikuti Ejaan
Bahasa Indonesia (EBI) yaitu, untuk menuliskan permulaan kalimat, huruf
awal nama tempat, nama bulan, nama diri, dan lain-lain. Jika nama diri
didahului oleh kata sandang, maka yang ditulis dengan huruf kapital tetap
huruf awal nama diri tersebut, bukan huruf awal atau kata sandangnya.
Contoh: Abū Hāmid al-Gazālī, al-Kindi.
xi
Berkaitan dengan penulisan nama, untuk nama-nama tokoh yang
berasal dari Indonesia sendiri, tidak dialihaksarakan meskipun akar
katanya berasal dari bahasa Arab. Misalnya ditulis Abdussamad al-
Palimbani, tidak „Abd al-Samad al-Palimbānī; Nuruddin al-Raniri, tidak
Nūr al-Dīn al-Rānīrī.
G. Singkatan-singkatan
Singkatan Keterangan
QS. al-Qur`an Ṣurah
Swt. Subḥanahu wa Ta„āla
Saw. Ṣallallāhu „Alaihi Wasallam
Ra. Radhiyallāhu „Anhu
terj. Terjemah
M. Masehi
H. Hijriah
w. Wafat
xiii
DAFTAR ISI
ABSTRAK ......................................................................................... i
KATA PENGANTAR ...................................................................... iii
LEMBAR PEDOMAN TRANSLITERASI ................................... vii
DAFTAR ISI ..................................................................................... xiii
BAB 1 PENDAHULUAN ................................................................. 1
A. Latar Belakang Masalah ......................................................... 1
B. Identifikasi Masalah ............................................................... 5
C. Batasan dan Rumusan Masalah .............................................. 6
D. Tujuan Penelitian .................................................................... 6
E. Manfaat Penelitian .................................................................. 6
F. Tinjauan Pustaka .................................................................... 6
G. Metolode Penelitian ................................................................ 10
H. Sistematika Penulisan ............................................................. 12
BAB II KAJIAN TEORITIS TENTANG PERTANYAAN ......... 13
A. Pengertian Pertanyaan ............................................................ 13
B. Klasifikasi Pertanyaan ............................................................ 14
C. Perangkat-Perangkat Pertanyaan ............................................ 15
D. Pertanyaan Dalam al-Qur`an .................................................. 21
E. Jenis dan Hukum Pertanyaan .................................................. 33
BAB III MENGENAL BANĪ ISRĀ`ĪL ........................................... 38
A. Pengertian Banī Isrā`īl ........................................................... 38
B. Nama lain Banī Isrā`īl Dalam al-Qur`an ................................ 41
xiv
C. Kisah Populer Bani Isra‟il dala al-Qur`an .............................. 44
D. Karakter Banī Isrā`īl yang disebutkan dalam al-Qur`an ........ 61
BAB IV KLASIFIKASI PRTANYAAN BANĪ ISRĀ`ĪL ............. 70
A. Bentuk Dan Analisis Pertanyaan Banī Isrā`īl ...................... 74
B. Kriteria pertanyaan yang diajukan oleh Banī Isrā`Īl .............. 85
BAB V PENUTUP ............................................................................ 91
A. Kesimpulan ............................................................................. 91
B. Saran ....................................................................................... 92
DAFTAR PUSTAKA ....................................................................... 93
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Al-Qur`an memiliki beberapa fungsi, diantaranya adalah sebagai salah
satu media dalam berinteraksi. Dalam melakukan interaksi, al-Qur`an
menggunakan beragam kalimat. Interaksi dalam al-Qur`an akan lebih
kentara pada ayat-ayat al-Qur`an yang berbentuk pertanyaan. Dalam ayat-
ayat yang berbentuk pertanyaan ini, komunikasi timbal balik antara
Komunikator dan komunikan tampak terformasikan secara jelas dengan
berbagai variasi , baik dari aspek pihak yang terlibat dalam iteraksi
maupun dari aspek fungsi (semantik ataupun pragmatik) dari interaksi itu
sendiri. Pihak Komunikator dalam pertanyaan tersebut boleh jadi Tuhan
sedangkan komunikannya adalah makhluk-Nya atau bisa jadi sebaliknya.
Bahkan tidak menutup kemungkinan antara makhluk Tuhan sendiri
sebagai komunikatornya dan komunikannya.1
Tidak ada manusia yang mengetahui segala hal, hidup manusia
berproses. Semakin banyak manusia belajar, maka pengetahuannya pun
semakin meluas. Salah satu cara untuk menambah pengetahuan adalah
dengan bertanya kepada orang yang pandai dan lebih tahu tentang materi
pertanyaan. Dalam konteks Interaksi, pertanyaan berfungsi sebagai
permintaan penjelasan, permintaan agar mitra interaksi melakukan suatu
tindakan atau tidak melakukan sesuatu.2
Lebih luas lagi, hasil penelitian menunjukkan bahwa fungsi
pertanyaan dalam al-Qur`an dapat dikelompokkan pada tiga kategori
1 Moh. Amin dan Imam Asrori, “Pola Interaksi Dalam al-Qur‟an yang Tercermin
Pada Ayat-Ayat Berbentuk Petanyaan”. Bahasa dan Seni, vol.40, no.1 ( Februari 2012):
27. 2 Moh. Amin dan Imam Asrori, “Pola Interaksi Dalam al-Qur‟an yang Tercermin
Pada Ayat-Ayat Berbentk Petanyaan: 27.
2
tindak; asertif, direktif, dan ekspresif. Tindak asertif yang disampaikan
dengan menggunakan pertanyaan meliputi mengagungkan diri, melepas
tanggung jawab, membedakan, mempertegas, memberikan informasi,
menolak, menyangkal, menafikan, mengindar, menganggap mustahil,
mengingkari dan membuat mengerti. Adapun tindak Erektif yang
disampaikan dengan menggunakan pertanyaan meliputi; mencari muka,
memerintah, melarang, menyeru, meminta informasi, meminta kepastian,
meminta kesediaan, meminta saran, meminta dikasihani, meminta
bayaran, meminta pengakuan, meminta jasa, meminta diikut sertakan,
meminta penegasan, klarifikasi, menantang, menegur, mengingatkan,
menganjurkan, memuji, dan memeberi stimulus. Tindak ekspresif yang
disampaikan menggunakan pertanyaan meliputi; menghina, meremehkan,
menyatakan heran, mengecam atau mencela, merasa kagum, menyesali,
mengkhayal, menyayangkan, merasa puas, mengungkit-ngungkit,
menakut-nakuti, mengancam, dan memutuskan harapan.3
Sikap bertanya sudah dimulai sebelum penciptaan manusia pertama,
yaitu ketika Malaikat bertanya kepada Allah tentang kepentingan
penciptaan manusia. Sebagaimana yang diabadikan dalam surah al-
Baqarah/2: 30:
ي جاغل
ث ان ملىك
ك لل رة
واذ كال
ػل ج
تيا ا
رض خليفث كال
افى ال
س مدك ونلد ح بح ست ن ن ح
ون ماء فسد فيىا ويسفك الد فيىا من ي
مين ا حػل
م ما ل
علي ا ان ك كال
ل
“Dan (ingatlah) ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat,
“Aku hendak menjadikan khalifah di bumi.” Mereka berkata,
3 Moh. Amin dan Imam Asrori, “Pola Interaksi Dalam al-Qur‟an yang Tercermin
Pada Ayat-Ayat Berbentuk Petanyaan, 28.
3
“Apakah Engkau hendak menjadikan orang yang merusak dan
menumpahkan darah di sana, sedangkan kami bertasbih memuji-Mu
dan menyucikan nama-Mu?” Dia berfirman, “Sungguh, Aku
mengetahui apa yang tidak kamu ketahui.”
Berbicara tentang pertanyaan, ada sebuah “julukan” yang diberikan
masyarakat umum kepada orang yang banyak bertanya, yaitu dengan
julukan” Banī Isrā`īl”. Hal ini dikarenakan orang banyak tanya biasanya
akan mendapatkan kesulitan dari pertanyaannya tersebut. Seperti halnya
kaum Nabi Musa yang bernama Banī Isrā`īl, mereka mendapatkan
kesulitan untuk menjalankan suatu yang diperintahkan oleh Allah melalui
Nabi Musa yang disebabkan oleh banyaknya pertanyaan dari mereka,
yaitu ketika umat Nabi Musa yang bernama Banī Isrā`īl tersebut bertanya
tentang masalah sapi yang akan disembelih, untuk menghidupkan orang
yang telah mati supaya diketahui dari orang yang mati tersebut siapa yang
telah melakukan pembunuhan terhadap dirinya.
Sebagaimana digambarkan dalam surah al-Baqarah ayat 67-71, Nabi
Musa memberi tahu kepada mereka cara menghidupkan mayat adalah
dengan cara menyembelih seekor sapi, kemudian salah satu dari bagian
tubuh sapi dipukulkan kepada mayat tersebut. Maka dari hal inilah timbul
banyak pertanyaan dari umat Nabi Musa mengenai sifat dari sapi betina
yang akan mereka sembelih.4
Dari kisah ini, sepintas tidak ada masalah dan wajar jika umat Nabi
Musa menanyakan kriteria sapi yang akan disembelih, karena akan
digunakan buat hal yang tidak biasanya, yaitu untuk menghidupkan orang
yang sudah mati. Tetapi melalui kisah ini juga, banyak tanya dianggap
sebagai suatu hal yang tidak baik dan sering dianggap tercela karena
4 Muḥammad Ḥusein al-Bagāwī, Ma‟alimu al-Tanzil, juz 3, cet. 4 (Dar thayyibah Li
an-Nasyr wa at-Tauzi‟, 1997), 106
4
membebankan terhadap sipenanya. Kemudian anggapan seperti diatas
(larangan banyak tanya) juga diperkuat oleh sabda Nabi SAW:
بالن نع ت نوع د ال ق م ل س و ويل ع ىاللهل أ ن إمكهتهكر ا ث مكهل ب ق ان ك ن ك ل ىا ةهر ك وهنواتهأف ر ب مكهتهر اأ ذ إو ههوب هنت اجف ء يش نع مكهتهي ه ن اذ إف مهائي بنىأ ل ع مههف هل تاخو مالؤ سهمتهعط ت ااس
“Biarkan apa-apa yang aku tinggalkan kepadamu,sesungguhnya
yang membinasakan umat sebelum kalian adalah karena
banyaknya pertanyaan mereka dan banyaknya perselisihan mereka
kepada nabi-nabi mereka, maka apabila aku melarang sesuatu
kepada kalian, maka tingalkanlah. Dan apabila aku memerintahkan
sesuatu kepada kalian, maka kerjakanlah semampu kalian.”5
Dari hadist diatas, Nabi melarang dari banyak bertanya sebagai
pendukung terhadap anggapan orang bahwa jika banyak tanya maka sama
seperti Banī Isrā`īl yang dianggap sebagai suatu sikap yang tidak baik.
Kendatipun demikian, ada ayat lain dalam al-Qur`an yang memerintahkan
seseorang untuk bertanya terhadap suatu masalah yang tidak diketahuinya
kepada ahlinya. Seperti halnya yang tertera dalam Q.S. al-Naḥl/16: 43:
يال ـ يىم فس
ا نيحي ال
ا رجال
نا من كتلك ال
رسل
ا وما ا
جخم ل
ر ان ك
ك الذ
ول
ا
مين حػل
“Dan Kami tidak mengutus sebelum engkau (Muhammad),
melainkan orang laki-laki yang Kami beri wahyu kepada mereka;
maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika
kamu tidak mengetahui”
Ayat tersebut kemudian diulang lagi dalam surat al-Anbiya‟ ayat 7
yang menjelaskan tentang perintah bertanya tentang sesuatu yang tidak
diketahui kepada ahlinya. Jika dililihat kisah umat Nabi Musa terdahulu,
mereka sudah terlebih dahulu mengamalkan ayat tersebut, yaitu ketika
5 Muḥammad bin Ismā‟īl al-Bukhārī, Ṡahīh al-Bukhārī, juz 1 (Beirut: Dār ibnu
Katsīr, 1987), 2658.
5
mereka tidak tahu jenis sapi yang akan disembelih kemudian langsung
menanyakan kepada ahlinya yaitu Nabi Musa.
Dengan demikian, jika berpatokan kepada firman Allah SWT didalam
surat al-Anbiyā‟ dan an-Naḥl maka seharusnya bertanya itu adalah hal
yang seharusnya dilakukan apalagi banyak bertanya terhadap sesuatu yang
tidak diketahui. Tetapi pada kenyataannya, banyak bertanya tersebut
membawa kepada kesulitan dan kesusahan seperti dalam kisah Banī
Isrā`īl, bahkan bisa membawa kepada kebinasaan sebagaimana yang
digambarkan oleh Nabi Muhammad SAW didalam sabdanya.
Dalam hal ini, seolah-olah ada dua naṡ yang saling bertolak belakang,
yaitu hadits Nabi Muhammad SAW yang melarang banyak bertanya dan
ayat al-Qur`an yang memerintahkan untuk bertanya. Oleh karena itu,
penulis akan membahas apa kriteria dari sebuah pertanyaan yang bisa
membawa kesulitan kepada si penanya seperti kisah umat Banī Isrā`īl, dan
yang bisa membawa kebinasaan seperti yang telah disebutkan oleh Nabi
Muhammad SAW.
B. Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang yang sudah penulis uraikan, setidaknya
ada beberapa masalah yang teridentifikasi:
1. Kata al-Baqarah sering diterjemahkan dengan sapi betina. Apakah
arti sapi betina itu dikarenakan adanya tā` marbuṭah-nya atau
memang al-Baqarah tersebut memang berarti sapi betina? Dengan
artian, adanya kosa kata bahasa arab lain yang menunjukkan
makna untuk sapi jantan.
2. Kenapa hewan yang disuruh untuk disembelih adalah seekor sapi,
Padahal masih banyak hewan yang lainnya?
6
3. Apa kriteria sebuah pertanyaan yang bisa menyulitkan bagi si
Penanyanya?
C. Batasan Dan Rumusan Masalah
1) Berdasarkan identifikasi masalah diatas, penulis akan membatasi
penelitian pada poin yang ketiga yaitu, terkait kriteria-kriteria dari
sebuah pertanyaan, sehingga diketahui kapan sebuah pertanyaan
disuruh dan dilarang untuk menanyakannya.
2) Adapun rumusan masalah yang akan dijawab dalam penelitian ini
adalah: Termasuk jenis pertanyaan yang bagaimanakah
pertanyaan yang diajukan oleh Banī Isrā`īl Iyang terdapat dalam
Q.S al-Baqarah: 67-71 sehingga mereka mendapatkan kesulitan
lantaran pertanyaan mereka tersebut?
D. Tujuan Penelitian
Adapun Tujuan dari penelitian ini adalah:
1. Mengurai jenis-jenis pertanyaan
2. Mengkategorikan jenis-jenis pertanyaan yang diajukan oleh Banī
Isrā`īl dalam Q.S. al-Baqarah/2: 67-71.
3. Mengetahui dampak dari sebuah pertanyaan
E. Manfaat penelitian
Manfaat yang akan diperoleh dari penelitian ini adalah memberikan
pemahaman tentang pertanyaan, berupa jenis-jenis pertanyaan dan dampak
dari sebuah pertanyaan.
Secara praktis, kesimpulan dari penelitian ini adalah menjelaskan
jenis-jenis dari pertanyaan, sehingga dapat diketahui pertanyan yang
bagaimana yang pantas “dijuluki” sebagai pertanyaan Banī Isrā`īl yang
sering didengar dalam keseharian ketika ada seseorang yang bertanya.
7
F. Tinjauan Pustaka
Untuk menghindari terjadinya kesamaan pembahasan penelitian ini
dengan penelitian yang lainnya, maka penulis telah mencoba menelusuri
penelitian-penelitian terdahulu. Dalam hasil penelusuran penulis, maka
dapat penulis bagi dalam dua pembagian:
Pertama, penelitian yang secara langsung membahas tentang motif
yang melatar belakangi sebuah pertanyaan. Penulis tidak menemukan
penelitian sebelumnya baik yang berupa jurnal, skripsi atau karya ilmiyah
lainnya.
Kedua, penelitian yang terkait dengan pembahasan kisah Nabi Musa
dan umatnya perihal penyembelihan sapi ataupun penulisan yang
menyinggung tentang tanya jawab secara umum, atau tulisan yang
membahasa tanya jawab dalam al-Qur`ān. seperti halnya yang ditulis oleh
Ahmad Baihaqi yang berjudul al-Baqarah dan keangkuhan Banī Isrā`īl
(studi kritis Q.S. al-Baqarah/2: 67-71). Skripsi tersebut sama-sama
membahas tentang kisah Banī Isrā`īl yang terdapat dalam Q.S. al-
Baqarah/2: 67-71. Tetapi dalam hal ini, Ahmad Baihaqi hanya berfokus
membahas karakter-karakter Banī Isrā`īl yang ada dalam surah dan ayat
tersebut.6
Kemudian Skripsi yang ditulis oleh Muhammad Dail Khoir yang
berjudul ”Qiṣah aṣhāb al-Baqarah serta Pelajaran yang bisa diambil
darinya”. Sebagaimana skripsi yang ditulis oleh Ahmad Baihaqi, skripsi
yang ditulis oleh Dail Khoir ini juga menuliskan kisah dari Nabi Musa dan
perihal penyembelihan sapi yang terdapat dalam surah al-Baqarah. Tetapi
6 Ahmad Baihaqi, “al-Baqarah dan keangkuhan Bani Israil: studi kritis Q.S al-
Baqarah/2:67-71” (Skripsi S1., Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta,
2008)
8
dalam hal ini, Dail khairi lebih berfokus kepada faedah-faedah yang bisa
dipetik dari kisah tersebut. 7
Artikel yang ditulis oleh Kamarul Azmi Jazmi. Dalam artikelnya yang
berjudul Banī Isrā`īl dan Peristiwa Lembu surat al-Baqarah ayat 67-71
tersebut, Kamarul Azmi juga menceritakan kisah Nabi Musa dan umatnya
yang terdapat dalam surat al-Baqarah ayat 67-71 berdasarkan beberapa
kitab tafsir. Dalam artikelnya tersebut, Kamarul Azmi lebih fokus
membahas tentang beberapa pengajaran yang terkait dengan ayat
tersebut.8
Selanjutnya Syifa Syarifah dalam skripsinya yang berjudul Metode
tanya jawab dalam al-Qur`ān. Dalam skripsinya tersebut, Syifa hanya
membahas metode tanya jawab dalam al-Qur`an dengan menggunakan
beberapa surat saja. Seperti surah al-Anbiyā‟/21: 1-2, al-Baqarah/2: 28,
al-Takwīr/81: 26-27, al-Raḥmān/78:13, dan al-Baqarah/2:245. Dalam
skripsi tersebut Syifa tidak menyinggung pembahasan tentang surat al-
Baqarah/2: 67-71.9
Moh. Ainin dan Imam Asrori dalam jurnal yang berjudul Pola
Interaksi dalam al-Qur`anyang tercermin dalam ayat-ayat berbentuk
pertanyaan. Dalam tulisan tersebut disimpulkan bahwa tema-tema
interaksi dalam ayat-ayat berbentuk pertanyaan dalam al-Qur`an meliputi
7 Muhammad Dail Khoir, “Qiṡaṡu Aṡḥābil baqarah wa al-durūsul istifādah minhā”
(Skripsi., S1 Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2010) 8 Kamarul Azmi Jazmi, “Bani Israil dan peristiwa Sembelihan Lembu; al-Baqarah
67-71”. Jurnal Akademi Tamddun Islam (Malaysia: Fakultas Sains Sosial dan
Kemanusiaan, 2019) 9 Syifa Syarifah, “Metode tanya jawab dalam al-Qur‟an; surat al-Anbiya‟ 7, al-
Qari‟ah1-2,al-Baqarah 28, at-Takwir 26-27, ar-Rahman 13, al-Baqarah 245”(Skripsi S1.,
Universitas Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2017)
9
sikap hidup manusia, kekuasan Tuhan, kepemimpinan, jihad, sosial
ekonomi, dan sejarah umat sebelumya.10
Setyo Utomo dalam skripsinya yang berjudul Nilai-nilai pendidikan
akhlak dalam al-Qur`an surah al-Baqarah ayat 67-73. Dalam skripsi
tersebut, Setyo Utomo membahas kisah Nabi Musa dan umatnya perihal
penyembelihan sapi betina. Tetapi yang menjadi fokus pembahasan dari
Setyo dalam kisah tersebut adalah mengambil nilai-nilai akhlak yang
tercermin didalamnya.11
Ayusmi dalam skripsinya yang berjudul Analisis Idiom Dalam al-
Qur`an pada surah al-Baqarah. Dalam skripsinya tersebut, Ayusmi juga
membahas surat al-Baqarah tentang penyembelihan sapi betina. Tetapi
yang dibahas oleh Ayusmi dalam ayat tersebut adalah dari segi
Idiomnya.12
Ahmad Zarnuji dalam jurnal yang berjudul Israiliyyat Dalam
Menceritakan Kisah-Kisah al-Qur`an. Dalam tulisannya tersebut, Ahmad
Zarnuji menjelaskan kisah Nabi Musa dan umatnya yang terdapat dalam
surah al-Baqarah ayat 67-71.13
Dwi Cahyo Kurniawan dalam skripsinya yang berjudul Qaswat al-
Qalb dalam al-Qur`an: Studi komparatif tafsir al-Misbah dan Tafsir al-
Qur`anal-„Azhim tentang surah al-Baqarah ayat 67-71. Dalam skripsi
tersebut, Dwi Cahyo lebih memfokuskan penelitiannya dalam membahas
makna dari kalimat Qaswat al Qalbu beserta faktor yang bisa membuat al-
Qaswat al Qalbu tersebut. Serta menjelaskan perbedaan tafsirnya menurut
10
Moh Aimin dan Imam Asrori, “Pola Interaksi Dalam al-Qur‟an yang Tercermin
pada ayat-ayat Berbentuk Pertanyaan”, Jurnal Bahasa dan Seni, vol.40, no. 1, (Februari
2012) 11
Setyo Utomo, “Nilai-nilai pendidikan akhlak dalam al-Qur‟an surah al-Baqarah
ayat 67-73” (Skripsi S1., Institut Agama Islam Semarang, 2012) 12
Ayusmi, “Analisis Idiom Dalam al-Qur‟an pada surah al-Baqarah” (Skripsi S1,.
Universitas Sumatera Utara, 2016) 13
Ahmad Zarnuji, “Israiliyyat Dalam Menceritakan Kisah-Kisah al-Qur‟an”,
jurnal Kajian Agama Sosial dan Budaya, vol.1, no.2 (Desember 2016)
10
Quraih Shihab dalam kitab tafsir al-Misbah dan Ibnu Kaṡīr dalam kitab
tafsir al-Qur`ān al „Azhī m.14
Ahmad Choirun Awwal dalam skripsinya yang berjudul Studi kisah
Nabi Musa dalam surat al-Baqarah ayat 72-73 tentang Pengungkapan
Kasus Pembunuhan Melalui Otopsi Forehensik. Dalam skirpsi tersebut
Ahmad Choirun Awwal lebih memfokuskan pembahasannya kepada
bentuk implisit masalah otopsi forensik pada penafsiran surat al-Baqarah
ayat 72-73 tersebut.15
Berdasarkan Tinjauan Pustaka diatas, diketahui ada beberapa peneliti
yang telah membahas tentang kisah-kisah dari Banī Isra`īl dan juga
masalah pertanyaan. Tatapi penulis tidak menemukan pembahasan yang
spesifik yang membahas tentang jenis dari pertanyaan yang diajukan oleh
kaum Banī Isrā`īl tentang kriteria sapi yang akan disembelih. Untuk itu
penulis akan meneliti kisah tersebut dari sudut pandang mengetahui jenis
pertanyaan yang diajujakan oleh Banī Isrā`īl. Dan adapun alasan lain
penulis melakukan penelitan ini adalah untuk menjelaskan pertanyaan
seperti apakah yang membuat seorang penanya pantas dijuluki dengan
Banī Isrā`īl.
G. Metodologi Penelitian
1. Jenis Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif, karena data yang
digunakan dalam penelitian ini berupa dokumentasi kepustakaan. Oleh
karena itu, penelitian ini termask dalam penelitian Library Researc
(PenelitianKepustakaan). Adapun data-data yang digunakan sebagai
14
Dwi Cahyo Kurniawan, “Qaswat al-Qalb dalamal-Qur‟an: studi komparatif tafsir
al-Misbah dan Tafsir al-Qur‟an al-„Azhim tentang surah al-Baqarah ayat 67-71” (Skripsi
S1., Institut Agama Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya, 2006) 15
Ahmad Choirunn Awwal, “Studi kisah Nabi Musa dalam surat al-Baqarah ayat
72-73; Pengungkapan Kasus Pembunuhan Melalui Otopsi Forehensik” (Skripsi S1.,
Institut Agama Islam Surabaya, 2013)
11
bahan dan materi diperoleh dari buku-buku, artikel, jurnal, skripsi,
tesis, dan sebagainya yang terkait dengan tema yang dimaksud.
2. Sumber Data
Adapun sumber data dalam penelitian ini terbagi menjadi dua
kategori, yaitu sumber primer dan sumber sekunder. Sumber primer
merupakan rujukan utama yang menjadi landasan data yang akan
dicari dan dianalisis. Sedangkan sumber adalah data lain yang
berkaitan dengan tema penelitian guna memperoleh kelengkapan
dalam penelitian.
Dalam penelitian ini, sumber penelitian primer yang digunakan
adalah al-Qur`anul Karim dan terjemahnya. Karena, kisah tanya jawab
antara Banī Isrā`īl dan Nabi Musa terdapat dalam al-Qur`an itu
sendiri.
Adapun sumber sekunder yang digunakan adalah kamus-kamus
bahasa arab, kitab tafsir, kitab hadis, buku-buku, jurnal, artikel, skripsi
dan sumber lainnya yang dapat dijadikan rujukan yang terkait
penelitian ini.
3. Metode Pengumpulan Data
Pengumpulan data dalam metode ini yaitu dengan menggunakan
metode dokumentasi, yaitu dengan mengumpulkan data dari sumber-
sumber bahan atau kepustakaan yang berkaitan dengan tema penelitian
ini.
4. Pengolahan Data
Dalam melakukan pengolahan data yang telah ditemukan, maka
langkah-langkah yang akan ditempuh adalah; mengurai pertanyaan-
pertanyaan yang diajukan oleh Banī Isrā`īl kepada Nabi Musa, serta
menguraikan juga jawaban dari Nabi Musa terhadap pertanyaan
mereka tersebut. Kemudian, pertanyaan-pertanyaan yang telah
12
diajukan oleh Banī Isrā`īl tersebut akan diteliti, Kemudian
mengkategorikan pertanyaa-pertanyaan tersebut kadalam kategori-
kategori pertanyaan yang telah ditentukan oleh para ulama.
H. Sistematika Penulisan
Agar penulisan dapat tersusun dengan rapi san sistematis, penulis
menyusunnya sebagai berikut:
Bab pertama adalah pendahuluan. Dalam bab ini berisi tentang latar
belakang masalah, Identifikasi Masalah, Batasan dan Rumusan Masalah,
Tujuan Penelitian, Manfaat Penelitian, dan Tinjauan Pustaka.
Bab kedua adalah mengenai pertanyaan. Bab ini berisikan penjelasan
tentang pertanyaan, kalimat-kalimat yang digunakan untuk bertanya,
bentuk-bentuk pertanyaan dalam al-Qur`an, serta klasifikasi dan hukum
dari sebuah pertanyaan.
Bab ketiga adalah mengenai Banī Isrā`īl. Bab ini berisikan tentang
penjelasan pengertian Banī Isrā`īl, asal-usul, serta kisah-kisah pokok Banī
Isrā`īl yang ada dalam surah al-Baqarah ayat 67-71.
Bab kempat adalah Pembahasan yang berisikan kronologi
penyembelihan sapi betina, analisis pertanyaan-pertanyaan Banī Isrā`īl,
kriteria pertanyaan-pertanyaan Banī Isrā`īl, dan penyelesaian dua naṣ
yang dianggap bertentangan. Bab kelima adalah penutup, yang berisikan
kesimpulan dan saran-saran.
13
BAB II
KAJIAN TEORITIS TENTANG PERTANYAAN
Rene Descartes (1596-1650 M)1 pernah mengatakan Cogito ergo sum,
saya berpikir maka saya ada.2 Ketika seseorang berfikir, maka ketika itu
pasti ia bertanya-tanya. Kesadaran bagi Descartes ialah ketika orang
berfikir. Ketidak sadaran dengan demikian terjadi saat orang tidak
bertanya dan menerima begitu saja sebuah realitas. Dengan bertanya, bisa
memunculkan segudang kebingungan dan kekaguman, yaitu ketika
pertanyaan itu kadang bisa dijawab maka timbullah kekaguman dan
kepuasan. Dan kadang pula suatu pertanyaan tidak bisa dijawab, maka
disanalah timbulnya kebingungan.
Dalam hai ini, penulis akan menguraikan tentang hal-hal yang berkait
dengan pertanyaan; baik berupa pengertian pertanyaan, perangkat-
perangkat yang digunakan dalam bertanya, fungsi pertanyaan dalam al-
Qur`an, serta jenis-jenis dari pertanyaan.
A. Pengertian Pertanyaan
Pertanyaan dalam bahasa arab disebut juga dengan kalimat Istifhām
إ) (امهف تص yaitu sebuah kalimat yang memiliki kata dasar Fahima ( مهف )
yang berarti paham, mengerti, menyerap. Kemudian kata tersebut diberi
huruf tambahan berupa hamzah, sīn dan tā‟. Adapun salah satu fungsi dari
penambahan huruf hamzah, sīn dan ta‟ dalam gramatikal arab adalah
1 Rene Descartes sering disebut sebagai bapak Filsafat modern. Rene Descartes lahir
di Lahaye Touraine-Prancis 31 Maret 1956 dari sebuah keluarga terhormat. Sejak kecil,
Rene Descertes sudah diperkenalkan oleh keluarganya terhadap ilmu-ilmu Huamniora.
Ketika berumur 10-18 tahun, Rene Descertes belajar di Universitas Jesuit di La Fleche.
Disana ia menjadi mahasiswa yang sangat cerdas terutama pada ilmu matematika dan
geometri. Lihat: T. Z. Lavine, Descartes: Masa transisi Bersejarah Menuju Dunia
Modern, terj. Andi Iswanto dan Dedy Adrian utama (Yogyakarta: Jendela, 2013), 3. 2 Rene Descartes, Risalah Tentang metode, terj. Ida sundari Husen dan Rahayu S.
Hidayat (Jakarta: P.T Gramedia Pustaka Utama, 1995), 34.
14
untuk Ṭalab (meminta, memohon).3 Adapula yang mendefinisikan bahwa
pertanyaan atau Istifhām adalah menanyakan sesuatu hal yang terkait
dengan keadaan, tempat, waktu, kondisi, dan lain sebagainya.4 Sedangkan
menurut al-Hāsyimī (1878- 1943 M), pertanyaan adalah meminta
pengetahuan dari sesuatu yang belum diketahui sebelumnya dengan
menggunakan kalimat-kalimat tanya.5
Dari pendapat-pendapat diatas, dapat disimpulkan bahwa kalimat
Istifhām adalah kata tanya yang digunakan untuk meminta keterangan
terhadap sesuatu yang belum diketahui sebelumnya sesuai dengan
perangkat dan tujuannya.
B. Klasifikasi Pertanyaan.
Dalam kajian bahasa Arab, Istifhām diklasifikasikan menjadi dua
pembagian; Istifhām Haqiqī dan Istifhām Majazī.6
Adapun pembagian dari Istifhām tersebut adalah:
1) Istifhām Haqīqī yaitu, pertanyaan seseorang kepada orang lain
tentang suatu perkara yang benar-benar belum diketahui
sebelumnya.
2) Istifhām Majāzī adalah pertanyaan tentang sesuatu yang
sebenarnya sudah diketahui. Dalam kondisi ini, fungsi yang
dimiliki oleh kalimat Istifhām tersebut tidak lagi orisinil sebagai
pertanyaan yang mengaharapkan jawaban, namun beralih kepada
fungsi-fungsi lainnya semisal larangan, perintah, pengingkaran,
3 Louwis Ma‟lūf al-Yasū`i, al-Munīd fī al- Lugat wa al-Adabī wa al-„Ulūmī, cet. 17
(Beirut: Mathba‟ah al-Katsulikah,1956), ج. 4 Yunal Isra, Metode Praktis Belajar Kitab Kuning, (Tangerang selatan: Makhtabah
Darussunnah, 2018), 60. 5 Sayyid Aḥmad al-Hāsyimī, Jawāhirul Balāgah (Beirut: Maktabah al-„Aṡriyyah,
1960), 85. 6 Ade Nurdiyanto, “Istifham dalam al-Qur‟an: Studi analisa Balagah”. Jurnal Studi
agama, vol.4, no.1 (Juni 2016): 39.
15
doa, harapan, sangkalan, serta tujuan lainnya.7 Dengan demikian,
pola Istifhām berpindah berpindah fungsi sehingga membutuhkan
penalaran dan penafsiran karena berubahnya makna yang
disampaikan kepada sipembicara.
C. Perangkat-perangkat Istifhām
Jika dilihat dari segi fungsi, maka perangkat Istifhām menjadi 3
pembagian:8 Petama: Berfungsi sebagai Taṣawwur
9 dan Taṣdīq
10. Dalam
hal ini adalah huruf Hamzah saja. Kedua: Berfungsi sebagai Tasdīq saja.
Dalam hal ini adalah huruf Hal. ketiga: Berfungsi sebagai Taṣawwur saja.
Dalam hal ini adalah perangkat Istifhām selain Hamzah dan Hal.
Adapun perangkat-perangkat Istifhām tersebut adalah:
1. Hamzah ( همزة)
Dalam hal ini, Hamzah mempunyai dua makna, yaitu:
a) Hamzah Bermakna Taṣawwur
Dalam hal ini Hamzah langsung diiring dengan hal yang
dinyatakan dan mempunyai bandingan dengan kata yang
disebutkan setalah lafazh `Am (أم) yang berarti “atau”.
7 Ade Nurdiyanto, “al-Qur‟an dalam Balagah: Studi analisa balagah, El-
Wasathiyah.” Studi Agama, vol. 4, no. 1 (2016): 40. 8 Sayyid aḥmad al-Hāsyimī, Jawāhirul Balāgah (Beirut: Maktabah al-„Aṡriyyah,
1960), 85. 9 Taṣawwur adalah memberikan gambaran tentang sesuatu yang tunggal. Segi taṡaur
ini akan didapatkan jika seseorang bertanya menggunakan perangkat Hamzah dan disertai
dengan Am(atau) huruf athaf. seperti, ada orang yang ragu tentang keberadaan seseorang
yang berada di dalam suatu rumah apakah orang tersebut si A atau si B. Kemudian dia
bertanya: apakah yang didalam rumah itu si A atau si B. maka jawaban dari pertanyaan
tersebut adalah menjelaskan tentang salah satu orang yang berada dalam rumah tersebut.
Inilah yang dimaksud dengan memberikan gambaran dengan sesuatu yang tunggal. Lihat:
Sayyid aḥmad al-Hāsyimī, Jawāhirul Balāgah, 78. 10
Taṣdīq adalah mengetahui tentang terjadi atau tidak terjadinya sesuatu. Dengan
artian, suatu pertanyaan yang hanya membutuhkan jawaban iya atau tidak. Seperti ada
yang bertanya, apakah kamu akan melakukan perjalanan hari ini. Maka jawaban dari
pertanyaan tersebut hanyalah antara iya atau tidak. Itulah yang dimaksud dengan
mendapati terjadi ata tidak terjadinya sesuatu. Sayyid aḥmad al-Hāsyimī, Jawāhirul
Balāgah, 89.
16
Sebagai contohnya adalah, ada orang yang bertanya ر ي س أ؟د يعس مأ ةر كهلببهع لي (apakah yang bermain bola itu adalah
Amir ata Sa‟id? Kemudian dijawab ةر كهلببهع لي ر ي س (yang
bermain bola adalah Samir. Contoh tersebut menanyaan
tentang sat hal (Mufrad). Contoh kalimat tersebut tidak
membutuhkan jawaban iya tau tidak, tetapi membutuhkan
jawaban berupa gambaran tentang kejelasan yang ditanyakan.
b) Hamzah bermakna Taṣdīq.
Maksudnya adalah pembenaran terhadap hal yang ditanyakan
dan tidak menyebutkan perbandingan perkara yang ditanyakan.
Dalam bentuk Istifhām ini tidak membutuhkan jawaban tentang
penggambaran terhadap sesuatu yang ditanyakan, tetapi
membutuhkan pembenaran saja. Seperti ada yang bertanya: ر ي س أ؟ك وخهأ (apakah Samir itu saudara kamu?). maka jawabannya
adalah antara iya atau tidak saja.
2. Hal ( لى) Sebagaiman yang telah disebutkan sebelumnya, bahwa Hal dalam
kalimat tanya hanya berfungsi sebagai Taṣdiq saja.11
Adapun
tujuannya hanyalah untuk mengetahui terjadi atau tidaknya sesuatu.
Contohnya adalah: كذ ى لى ؟ك ابهت ا (apakah ini adalah kitab kamu?)
maka jawaban dari pertanyaan tersebut adalah antara iya atau tidak.
Adapun kalimat Istifhām yang menggunakan perangkat Hal ini
tidak boleh dipakai dalam kalimat-kalimat berikut:
a) Frasa yang didahului oleh oleh huruf Nafi
11
Sayyid aḥmad al-Hāsyimī, Jawāhirul Balāgah, 79.
17
b) Fiil mudhari‟12
yang menunjukkan suatu proses yang sedang
berlangsung.
c) Klausa yang didahului oleh huruf Inna
d) Klausa yang didalamnya menggunakan huruf „athaf13
e) Klausa yang didalamnya ada huruf syarat
f) Klausa isim14
yang sesudahnya terdapat fi‟il15
3. Man ( ن)
Perangkat Istifhām ini berfungsi untuk menanyakan tentang
makhluk yang berakal yang diletakkan diawal kalimat juga terletak
12
Fiil Muḍāri‟ adalah, kata kerja yang mengandung makna kejadian dengan
perkiraan waktu sekarang atau yang akan datang. Fiil mudhari‟ dapat dikenali dengan
beberapa ciri-ciri, yaitu: Didahului oleh salah satu huruf Muḍāra‟ah yang empat ,أ,ن(ت( ي, , bisa didahului oleh huruf قد (bermakna kadang-kadang), bisa didahului oleh huruf
bisa dimasuki oleh huruf Naṣab dan Jazam,mempunyai 14 taṡrif lugawī, bisa ,سوف dan س
dimasuki nūn taukīd ṡaqilah (Nun bertasydid yang berfungsi memperkuat ma‟na fi‟il
Muḍāri‟), bisa dimasuki Nūn Taukid ṡaqilah (Nun sukun yang yang berfungsi
memperkuat makna fi‟il Muri‟ namun kekuatan maknanya dibawah Nun Taukid qilah).
Yunal Isra, Metode Praktis Belajar Kitab Kuning (Tangerang selatan: Makhtabah
Darussunnah, 2018), 83-85. 13
Huruf aṭaf adalah huruf yang berfungsi menghubungkan satu kata dengan kata
lain yang memiliki relasi yang setara. Contoh: جاءمحمدوبكر , huruf „athaf yang ada dalam
kalimat tersebut adalah huruf waw. Dan hruf waw tersebut menghubungkan satu kata
dengan kata lain yang setara yaitu Muhammad dan Bakr. Adapun diantara huruf-huruf
athaf adalah: waw, fa, ṡumma, aw, am, ima, bal, lā, lākin, dan hattā. Lihat: Yunal Isra,
Metode Praktis Belajar Kitab Kuning, 123. 14
Isim adalah,salah satu jenis kata yang menunjukkan makna benda atau orang ang
tidak diikiat oleh keterangan waktu (dulu, sekarang, dan akan datang). Isim bisa dikenali
dengan beberapa ciri, yaitu: adanya harkat Kasrah diakhir kalimat tersebut, kalimat yang
diakhiri oleh tanwin, kalimat yang didahului oleh Alif dan Lām, kalimat yang didahului
oleh salah satu huruf Khafadh ن,إلى,عن,على,في,حتى,خل,حاشا,عدا,ذ,نذ,رب( ,تى( لعل, ب, ك, تا, و, كي, أيا) didahului oleh huruf Nida ,ل, ىيا, آ, أي, أ, وايا, ,) , Iḍafah (yaitu kondisi sebuah kata yang disandarkan kepada kata setelahnya. Dalam
bahasa Indonesia, kata seperti ini disebut juga dengan kata majemuk. Kata yang pertama
disebut Muḍaf dan kata yang kedua disebut Muḍafun Ilaih). Lihat: Yunal Isra, Metode
Praktis Belajar Kitab Kuning, 13. 15
Fi‟il adalah salah satu jenis kata yang menunjukkan makna kejadian/peristiwa
yang dikait oleh keterangan waktu.pembagian fiil ada 3: fiil Madhi (kata kerja yang
menunjukkan waktu lampau), fiil Muḍāri‟ (kata kerja yang menunjukkan waktu kejadian
sekarang atau akan datang), fiil Amr (kata kerja yang menunjukkan waktu akan datang).
Lihat: Yunal Isra, Metode Praktis Belajar Kitab Kuning, 76.
18
sebelum Isim. Posisi perangkat ini adalah sebagai subjek (mubtada‟).
Contoh: ؟ت نأ ن (siapa kamu?). Kata Man bisa didahului oleh huruf
jar dan posisi kata tersebut sebagai isim yang majrur.
4. Mā ( ا)
Kata tanya yang menggunakan perangkat Ma befungsi
menanyakan sesuatu yang tidak berakal yang terletak sebelum Fi‟il
berposisi sebagai subjek, seperti contoh: ان ؟ع ط ق ا (apa yang
dipotong?). Ada juga berposisi sebagai Khobar, contoh: ال ؟انهس حا
(apa itu Ihsan?). Juga berposisi sebagai Maf‟ul bih, contoh: ؟ت بر ش ا
(apa yang engkau minum?). Kata ا mendapat imbuhan اذ menjadi ااذ .
Adapun kata setelah tambahan اذ bersifat Isim Mauṣul dan Isyarah.
Apabila kata اذا mendapat imbuhan huruf lam (ل) menjadi اذ ا ل yang
berarti ”kenapa” yaitu menanyakan alasan tentang dilakukannya suatu
pekerjaan. Contoh: وهت ب ر اض اذ م ل (kenapa engkau memukulnya?)
Faidah lain yang bisa dihasilkan oleh perangkat Mā adalah:
a) Menjelaskan suatu nama, seperti: الع ؟دهج سا (apa itu „Asjad?)
maka jawabannya adalah Emas. Karena „Asjad adalah nama
lain dari Emas.
b) Menjelaskan hakikat suatu yang diberi nama, seperti ada orang
yang bertanya: الش ؟سهما (apa itu matahari?), maka
jawabannya adalah: matahari adalah Bintang yang terlihat pada
siang hari.
c) Menjelaskan tentang suatu sifat. Seperti ada orang yang
bertanya: ؟لهيلاخ (apa itu Kholil?), maka jawabannya
memberikan penjelasan tentang sifat. Seperti, kholil itu adalah
orang yang tinggi.
19
5. Matā ( تى)
Dalam kaidah Bahasa Arab, kata ini berfungsi untuk menanyakan
keterangan waktu. Baik waktu yang lalu maupun yang akan datang.
Contoh:
؟ت ئجتى “kapan kamu datang?”
6. Ayyāna ( ن يا أ)
Kata tanya ini biasanya terletak sebelum kata benda dan kata kerja
serta berfungsi sebagai menerangkan masa yang secara spesifik.
Contoh:
ليمث يان ييم ال
ال ـ يس
“Dia bertanya, “Kapankah hari Kiamat itu?”(Q.S. al-Qiyāmah: 6)
7. Ayna ( ن يأ)
kata tanya ini berfngsi menanyakan keterangan tempat yang
posisinya sebelum kata kerja dan benda. Contoh:
جخم حزغمين …ذين ك
م ال
اؤك
ين شرك
ا
“Di manakah sembahan-sembahanmu yang dahulu kamu sangka
(sekutu-sekutu Kami)?” (Q.S. al-An‟am: 22)
8. Kaifa ( ف يك)
Dalam kaidah Istifhām terletak sebelum kata kerja dan kata
benda. Yang berfungsi untuk menjelaskan keadaan. Contoh:
بشىيد ث م ا ليف اذا جخنا من ك
…فك
“Dan bagaimanakah (keadaan orang kafir nanti), jika Kami
mendatangkan seorang saksi (Rasul)?” (Q.S. al-Nisā‟: 41)
20
9. Kam ( مك)
Dalam kalimat Istifhām,perangkatt tersebut berfungsi untuk
menanyakan tentang jumlah. Contoh:
برخم …م ل ك
“Sudah berapa lama kamu berada (di sini)?” (Q.S. al-Kaḥfī: 19)
10. Ayyu ( ي أ)
Perangkat ini dalam kalimat Istifhām berfungsi untuk menanyakan
dan menghendaki perbedaan antara dua hal yang terlepas setelah kata
benda yang menempati berbagai posisi, mubtada‟, khobar, maf‟ul bih.
Contoh:
لاما فريلين خيد مي ال
خسن ندياا
ا و
“Manakah di antara kedua golongan yang lebih baik tempat
tinggalnya dan lebih indah tempat pertemuan(nya)?” (Q. S
Maryam: 73)
11. Annā ( ن أ)
Perangkat ini memiki fungsi tersendiri, yaitu terletak sebelum
huruf jar, yang memiliki beberapa makna sesuai dialognya, seperti:
Bagaimana, darimana, dan kapan. Contoh:
ةػد ميحىا… ي وذه الل نى يح …ا
“Bagaimana Allah menghidupkan kembali (negeri) ini setelah
hancur?” (Q.S. . al-Baqarah: 259)
Dari paparan diatas dapat diketahui bahwa kata tanya dalam dalam
bahasa Arab memiliki berbagai macam posisi dan makna tersendiri. Posisi
dan maknanya tersebut dapat diketahui apabila masuk dalam sebuah
kalimat . kemudian posisi kalimat dan makna Istifhām dalam al-Qur`ān,
dimana fungsi Istifhām sudah berefolusi jauh pada makna fungsi yang
sebenarnya, sehingga muncul beragam karya makna dalam multi tafsir.
21
Fungsi Istifhām dalam al-Qur`anbukan lagi meminta jawaban atau
penjelasan tetapi lebih kepada memberi kabar, penegasan, dan penalaran.
Semua penjelasan diatas merupakan penjelasan dari Istifhām Haqiqi,
yaitu pertanyaan seserang kepada orang lain tentang suatu perkara yang
benar-benar belum diketahui sebelumnya.
D. Pertanyaan dalam Al-Qur`ān.
Uslub Istifhām erat hubungannya dengan ilmu balagah,16
yakni
kajian yang menitik beratkan pada keindahan bahasa Arab, dimana bahasa
Arab memang memiliki keistimewaan dari sisi estetika bahasanya. Uslub
Istifhām dalam ilmu ma‟āni memiliki makna-makna tertentu mengikuti
siyāq atau konteks kalimat. Istifhām yang dipahami dengan mencari
pengetahuan tentang sesuatu yang sebelumnya tidak diketahui,
mengandung pengertian bahwa sebuah pertanyaan diberikan hanya
mencari tahu dari orang yang ditanya. Akan tetapi, bila ditinjau dari ilmu
ma‟ani, tidak semua fungsi Istifhām menunjukkan arti mencari tahu,
namum dapat berarti perintah (amr) yang tergolong Uslub thalab serta
makna-makna lainnya. Sehingga hal ini menjadi titik permasalahan
tersendiri.
Ketika sebuah pola Istifhām sudah terlepas dari fungsi asalnya dan
memiliki makna Istifhām yang beragam serta sama sekali berbeda dengan
16
Ilmu balāgah adalah salah satu ilmu dalam bahasa arab yang berkaitan dengan
masalah perkataan, yaitu mengenai susunanya, maknanya, pengaruh jiwa terhadapnya,
serta keindahan dan ketepatan pemilihan kata yang sesuai. Ilmu Balagah mempunyai tiga
bidang pembahasan. Pertama: ilmu Bayan. Yaitu suatu ilmu yang mempelajari cara-cara
menyampaikan suatu gagasan dengan kaidah yang bervariasi. Kedua: ilmu ma‟ani yaitu
ilmu sebagai pengungkapan melalui ucapan sesuatu yang ada dalam fikiran atau disebut
juga gambaran dalam fikiran. Sedangkan menurut istilah, ilmu ma‟ani didefinisikan
dengan Ilmu yang mempelajari hal ihwal bahasa Arab yang sesuai dengan tuntutan situasi
dan kondisi. Ketiga: Ilmu Badi‟, yaitu ilmu yang mempelajari cara-cara yang ditetapkan
untuk menghiasi kalimat dan memperindahnya, serta keistimewaan yang dapat membuat
kalimat semakin indah. Lihat: Khāṭib al-Quzwaini, al-Ȋḍāḥ fī „Ulūm al-Balāgah, cet. 1
(Beirut: Dār al-Kutubi al-„Ilmiyyah, 2003), 4-5.
22
fungsi awalnya, maka disinilah sisi estetika dalam suatu kalimat Istifhām
yang bermunculan.
Al-Qur`an sebagai kumpulan kalam Tuhan yang susunan kalimatnya
memiliki nilai estetika sangat tinggi juga menggunakan uṣlub Istifhām
dalam ayat-ayatnya untuk menyampaikan berbagai pesan yang tersimpan
dalam kalimat tersebut.
Adapun beberapa fungsi kalimat Istifhām Majāzī yang sering
digunakan dalam al-Qur`an antara lain adalah:
1. Taqrīr (menetapkan)
Dalam hal ini pola kalimat Istifhām tidak lagi memerlukan
jawaban. Sebab tujannya adalah menetapkan suatu gagasan,bukan
pertanyaan. Pola yang sering digunakan adalah Hamzah yang diikuti
oleh Fiil Nafi.
Contohnya adalah:
يدوم في حضليل كػل م يج
ل …ا
“Bukankah Dia telah menjadikan tipu daya mereka itu sia-sia?”
(Q.S. . al-Fīl: 22)
Makna Istifhām didalam ayat tersebut adalah untuk taqrīr
(Menetapkan). Makna yang dikandung adalah, bahwa sungguh Allah
telah menjadikan tipu daya mereka itu menjadi sia-sia, sehingga
mereka tidak sampai ke Ka‟bah dan tidak jadi melangsungkan
keinginan mereka untuk menghancurkan Ka‟bah.17
Yang dimaksud orang yang berkeinginan menghancurkan Ka‟bah
tersebut adalah sekelompok tentara yang datang dari Yaman, yaitu
dari negeri Habasyah yang dipimpin oleh Abrahah al-Habsyī al-
17
Muḥammad al-Syaukānī, Fatḥul Qadīr, cet. 4 (Beirut: Dār al-Ma‟rifah, 2007),
1655.
23
Asyrām. Kemudian Allah menggagalkan rencana mereka dengan
mengutus burung ababil untuk membunuh mereka semua.18
Begitu juga dengan ayat:
ظرح م نلك صدرك ا
…ل
“Bukankah Kami telah melapangkan dadamu (Muhammad)?”
Huruf hamzah yang ada diayat tersebut juga berfungsi sebagai
Taqrīr (menetapkan).19
2. al-Ikhbār (menginformasikan)
Pola Istifhām seperti ini bertujan untuk menguatkan informasi
yang disampaikan dalam suatu kalimat. Istifhām dalam pola ini
biasanya menggunakan perangkat “Hamzah” atau “Hal”. Seperti
dalam surah al-Gāsyiyah ayat 1:
غاشيث حىك حديد ال
ا ول
“Sudahkah sampai kepadamu berita tentang (hariKiamat)?” (Q.S.
al-Gāsyiyah: 1)
Fungsi dari perangkat Istifhām tersebut adalah sebagai Khabar
(pemberitahuan) sebagaimana yang dikatakan oleh Imam al-Ṭabarī
(224- 310 H) dalam Tafsirnya;20
Maksudnya adalah bahwa Allah
menginformasikan kepada manusia bahwa akan datang suatu hari
yang menakutkan bagi manusia yaitu hari kiamat. Adapun taqdir
kalam dalam ayat tersebut adalah;
18
Abū Ja‟far al-Ṭobarī, Jamī‟ul Bayān fī Tafsīr al-Qur‟ān, juz 24, cet. 1 (Muassasah
al-Risālah, 2000), 258. 19
Muḥammad Muḥyiddīn „Abdul ḥamīd, Tuḥfatu al-Saniyyah, cet. 1 (Damaskus:
Maktabah dārul fiḥā‟,1994), 71. 20
Abū Ja‟far al-Ṭobarī, Jamī‟ul Bayān fī Tafsīr al-Qur‟ān, juz 24, cet. 1 (Beirut:
Mu`assasah al-Risālah, 2000), 381.
24
“sungguh telah datang kepadamu berita tentang kedatangan Hari
Kiamat.”21
Makna dari ayat tersebut adalah memberi informasi. Dalam ayat
tersebut menggunakan kalimat al-Gāsyiyah yang merupakan salah
satu nama dari nama-nama hari kiamat yang berarti “membuat
pingsan”. Karena kedahsyatan dari kiamat tersebut membuat manusia
pingsan terlebih dahulu menghadapinya.22
3. al-Taswiyyah (menyamakan)
Pola Istifhām ini bertujuan menyamakan dan menunjukkan kalimat
yang memiliki kedudukan yang sama. Perangkat yang sering
digunakan adalah “Hamzah” dan “Hal”. Seperti firman Allah:
يىم فروا سياء عل
ذين ك
ا يؤمنين ان ال
م حنذروم ل
م لنذرتهم ا
ءا
“Sesungguhnya orang-orang kafir, sama saja bagi mereka, engkau
(Muhammad) beri peringatan atau tidak engkau beri peringatan,
mereka tidak akan beriman.” (Q. S al-Baqarah: 6)
Dalam ayat ini, pola yang digunakan adalah Hamzah yang
berfungsi menyamakan watak dan kondisi orang kafir. Dalam kitab
Fatḥūl Qadīr yang dikarang oleh Muḥammad al-Syaukanī (1173-
1250 H) juga dijelaskan bahwa Hamzah yang ada dalam ayat tersebut
bermakna Istiwā‟ (menyamakan). Sekalipun huruf Hamzah tersebut
pada asal merupakan salah satu perangkat dari Istifhām, maka dalam
ayat ini bukanlah tujuannya untuk bertanya, melainkan adalah untuk
Istiwā‟‟ (penyamaan).23
Sebagaimana yang dijelaskan oleh Imam Ibnu
Kaṡīr (1301- 1372 M/700-774 H)) bahwa tafsir dari ayat tersebut
21
al-Khāzin, Lubāb al-Ta‟wīl fī Ma‟āniyyi at-Tanzīl, juz 4, cet. 1 (Beirut: Dār al-
Kutub al-„Ilmiyyah, 2004), 420. 22
Abū Fidā` Ibnu Kaṡīr, Tafsīr al-Qur‟ān al-„azhīm, juz 8, cet. 2 (Dār al-Ṭayyibah,
1999), 384. 23
Muḥammad al-Syaukānī, Fatḥul Qadīr, cet. 4 (Beirut: Dār al-Ma‟rifah, 2007), 29.
25
adalah “bagi orang kafir sama saja bagi mereka apakah mereka diberi
peringatan atau tidak, mereka tetap tidak akan mau beriman.”24
Sebagaiman yang dijelaskan dalam firman Allah SWT:
ذين ى ان ال يث خت
الي جاءتهم ك
ا يؤمنين ول
ك ل
لمث رة يىم ك
ج عل خل
ليم اػذاب ال
يروا ال
“Sungguh, orang-orang yang telah dipastikan mendapat ketetapan
Tuhanmu, tidaklah akan beriman, meskipun mereka mendapat
tanda-tanda (kebesaran Allah), hingga mereka menyaksikan azab
yang pedih.” (Q.S. Yunus: 96)
Menggunakan kalimat Istifhām dengan makna Taswiyah ini
memang akan lebih memunculkan estetika kebahasaan kalimat
tersebut dibandingkan dengan pengunaan kalimat biasa.
4. al-Amru (perintah) Perangkat Istifhām yang digunakan disini adalah ىل (Hal). Seperti
contoh:
مر ختغضاء فى ال
ػداوة وال
م ال
يكع ةحنك ن ي
يطن ا انما يريد الش
وغن ر اللم غن ذك
محصر ويصدك
جخىينوال نخم م
اية فىل
ل الص
“Dengan minuman keras dan judi itu, setan hanyalah bermaksud
menimbulkan permusuhan dan kebencian di antara kamu, dan
menghalang-halangi kamu dari mengingat Allah dan melaksanakan
salat, maka tidakkah kamu mau berhenti?” (Q. S al-Maidah; 5)
Dalam ayat tersebut memang menggunakan perangkat Istifhām,
tetapi makna yang dimaksud adalah perintah untuk meninggalkan hal-
hal yang dilarang oleh Allah SWT. yaitu perintah meninggalkan
meminum minuman keras dan berjudi. Adapun kalimat yang
26
dimaksud dari kalimat جخىين نخم م اهتهواا adalah فىل (jauhilah).
25
Sebagaimana yang dikatakan oleh Imam al-Bagawī (433- 516 H)
dalam kitab tafsirnya yang berjudul Ma‟ālimu al-Tanzīl , bahwa
makna dari kalimat جخىين نخم م ا .adalah untuk Amr (Perintah) فىل
Adapun taqdir lafaz menurutnya adalah واههت ن ا (jauhilah)26
. Ia
mengkiyaskan dengan ayat yang ada dalam surat al-Anbiyā` , yaitu
ayat yang ke 80:
نخم شكرون ... ا فىل
“Apakah kamu bersyukur (kepada Allah)?
Maknanya adalah وارهكهشأه (bersyukurlah kamu). Tetapi dalam hal
ini, Imam Ibn Kaṡīr (700-774 H) berbeda pendapat dalam menetapkan
fungsi Istifhām yang ada dalam Q.S. al-Mā‟idah ayat 91 tersebut.
Beliau lebih condong mengatakan bahwa Fungsi dari Istiham tersebut
adalah untuk taḥdīd (ancaman) dan tarhīb (menakuti).27
Dengan
artian, jika mereka tetap melakukan hal-hal yang dilarang oleh Allah
seperti meminum minuman keras dan berjudi. Maka ancamannya
adalah bahwa mereka akan mudah dihalang-halangi oleh setan untuk
mengingat Allah dan melaksanakan shalat.
5. al- Taubīkh (celaan)
Dalam hal ini, makna lain dari kalimat Istifhām adalah untuk
celaan. Perangkat Istifhām yang dipakai adalah Hamzah. Seperti
contoh:
ؤمنين جخم مشيه ان ك خ
ن ت
خق ا
ا شينهم فالل خ
ت ا
25
Sayyid aḥmad al-Hāsyimī, Jawāhirul Balāgah (Beirut: Maktabah al-„Aṡriyyah,
1960), 81. Dan „Alī al-Jārimī dan Musṭafā Amīn, al-Balāgah al- Wāḍiḥaḥ, (Mesir: Dār al-
Ma‟ārīf, 1999), 83. 26
al-Bagāwī, Ma‟ālimu al-Tanzīl, juz 3, cet. 4 (Dār al-Ṭayyibah, 1997), 94. 27
Ismā‟īl bin „Umar bin Ibnu Katsīr, Tafsīr al-Qur‟ān al-„azhīm, juz 3, cet. 2 (Dār
al-Ṭayyibah, 1999), 179.
27
“Apakah kamu takut kepada mereka, padahal Allah-lah yang lebih
berhak untuk kamu takuti, jika kamu orang-orang beriman?” (Q.S.
al-Taubah: 13)
Seperti yang dikatakan oleh Imām al-Syaukānī dalam tafsirnya,
bahwa fungsi dari makna Istifhām dalam ayat tersebut adalah untuk
Taubīkh (celaan). Dengan artian, bahwa Allah mencela orang-orang
yang telah diperintahkan-Nya untuk diperangi tetapi mereka malah
tidak mau untuk memeranginya. Kemudian Allah mencela mereka
dengan mengatakan apakah kamu takut kepada mereka sehingga
kamu tidak jadi memerangi mereka, sedangkan yang pantas untuk
ditakuti itu hanyalah Allah semata.28
Dalam hal ini juga ada perbedaan ulama dalam menetapkan makna
Istifhām dari ayat tersebut. Ada yang mengatakan bahwa fungsi dari
Istifhām tersebut adalah untuk Naḥyī (Larangan). Adapun takdirnya
adalah ههوش ت نأ ق ح أ اللهف مههن وش ت ل (janganlah kamu kepada mereka,
karena Allah lah yang lebih berhak untuk ditakuti).29
6. al-Nafyu (menidakkan)
Perangkat yang sering digunakan dalam menetapkan makna
Istifhām yang berfungsi sebagai al-Nafyu (menidakkan) adalah
perangkat Hamzah. Contohnya adalah seperti yang terdapat dalam
Q.S. al-Raḥmān ayat 60:
اخسان ا ال
اخسان ال
جزاء ال
ول
“adakah balasan untuk kebaikan selain kebaikan (pula)?”
28
al-Bagāwī, Ma‟ālimu al-Tanzīl, juz 3, cet. 4 (Beirut: Dār al-Ṭayyibah, 1997), 560. 29
Sayyid aḥmad al-Hāsyimī, Jawāhirul Balāgah (Beirut: Maktabah al-„Aṡriyyah,
1960), 81. Dan „Alī al-Jārimī dan Musżafā Amīn, al-Balāgah al- Wāḍiḥah (Mesir: Dār
al-Ma‟ārīf, 1999), 83.
28
Adapun takdiran lafaznya adalah ضان ح ال
إل ضان ح
ال جساء ما
(tidak ada balasan untuk kebaikan kecuali kebaikan pula.30
Imam al-
Bagāwī juga mengatakan hal demikian didalam tafsirnya, yaitu makna
dari Istifhām dalam ayat tersebut adalah untuk menidakkan.31
Begitu
juga dengan Imām al-Syaukānī menyatakan bahwa makna Istifhām
dalam ayat tersebut adalah untuk menidakkan. Adapun tafsirannya
menurut Imam al-Syaukānī adalah اإل ي ن الدهفيل م الع ن س حأ ن اءهز اجةر اآخخفيويل إانهس حال (tidak ada balasan bagi orang yang baik amal
perbuatannya di dunia, kecuali kebaikan pula yang akan diperolehnya
di akhirat nanti).32
7. al-Tasywīq (memotivasi)33
Istifhām ini bertujuan untuk menggiring perasaan manusia kepada
gagasan yang dimunculkan dalam kalimat Istifhām tersebut. Seperti
dalam Q.S. al-Ṣāf ayat 10:
ليم …ن عذاب ا م م
ارة حنجيك ى تج
م عل
كدل ا ول
“Maukah kamu Aku tunjukkan suatu perdagangan yang dapat
menyelamatkan kamu dari azab yang pedih?”
Ayat dalam surat ini Allah menerangkan kepada seluruh manusia
terutama orang-orang yang beriman, dimana mereka akan
diperlihatkan bentuk-bentuk amalan yang dapat menolong mereka
dari siksaan di hari kebangkitan nanti, sebagai bentuk motivasi
30
Sayyid aḥmad al-Ḥāsyimī, Jawāhirul Balāgah, 81. Dan „Alī al-Jārimī dan
Musṭafā Amīn, al-Balāgah al- Wāḍiḥah, 83. 31
Al-Bagāwī, Ma‟ālimu al-Tanzīl, juz 3, cet. 4 (Beirut: Dār al-Ṭayyibah, 1997),
455. 32
Muḥammad al-Syaukānī, Fatḥul Qadīr, cet. 4 (Beirut: Dār al-Ma‟rifah, 2007),
1440. 33
Sayyid aḥmad al-Hāsyimī, Jawāhirul Balāgah (Beirut: Maktabah al-„Aṡriyyah,
1960), 81. Dan Ali al-Jarimi dan Musthofa Amin, al-Balagah al- Wadhihah (Mesir: Dār
al-Ma‟ārif, 1999), 83.
29
mereka untuk membenahi diri selama mereka berada didunia yang
fana ini.
8. al-Taḥqīr (menghinakan)
Bentuk Istifhām ini adalah untuk menghina dan merendahkan
derajat. Sebagaimana yang tercantum dalam Q.S. al-Furqān ayat 41:
ا خخذونك ال وك ان ي
اواذا را
رسيل ذي ةػد الل
وذا ال
وزوا ا
“Dan apabila mereka melihat engkau (Muhammad), mereka
hanyalah menjadikan engkau sebagai ejekan (dengan mengatakan),
“Inikah orangnya yang diutus Allah sebagai Rasul? “
Kalimat Istifhām yang dilontarkan oleh kaum Kafir dalam ayat ini
berfungsi untuk menghina tentang kerasulan dan kenabian
Muhammad SAW. Kalimat Istifhām disini juga berfungsi sebagai
penguatan tentang keingkaran mereka terhadap Muhammad sebagai
Rasul yang diutus oleh Allah.34 Hal ini juga dinyatakan oleh Imam
al-Baiḍawī (685 H) dalam tafsirnya yang berjudul Anwār al Tanzīl wa
asrāru al-Ta‟wil, bahwa perkataan kafir Quraisy dalam ayat yang
berbentuk Istifhām tersebut adalah sebuah isyarat bahwa mereka
menghina dan mencomooh kenabian Muhammad.35
9. al-Ta‟ẓīm (mengagungkan)
Istifhām juga ada yang bermakna mengagungkan sesuatu, seperti
halnya dalam surat:
ا ةاذنه … ال ذي يشفع غنده
من ذا ال
“Tidak ada yang dapat memberi syafaat di sisi-Nya tanpa izin-
Nya.”
34
Jalāluddīn al-Maḥallī dan Jalāluddīn al-Syuyūṭī, Tafsīrul Jalālain al-Muyassār,
cet. 1 (Beirut: Maktabah Libnān, 2003), 363. 35
Abul Khair al-baiḍawī, Anwāru al-Tanzīl wa asrāru al-Ta‟wīl, juz 4 (Beirut: Dār
al Fikr, tdt), 219.
30
Perangkat yang digunakan pada contoh Istifhām ini adalah
perangkat man (ن) . Maknanya adalah, sebuah pengagungan kepada
Allah bahwa tidak ada seseorang yang dapat memberikan syafaat
kecuali dengan seizin-Nya.
10. al-Ingkār (mengingkari).36
Makna dari Istiham selanjutnya dari kalimat Istifhām adalah untuk
mengingkari atau menyangkal. Adapun perangkat Istifhām yang
sering dipakai dalam hal ini adalah perangkat Hamzah seperti dalam
Q.S. al-An‟ām ayat 40:
جخم صدكين … حدغين ان ك غيد الل
ا
“Apakah kamu akan menyeru (tuhan) selain Allah, jika kamu
orang yang benar?”
Dalam menetapkan makna Istifhām dalam ayat tersebut, ada
beberapa perbedaan pendapat. Ada yang mengatakan bahwa
maknanya adalah untuk Amr (perintah), dengan makna yang tersirat
“menyerulah kamu hanya kepada Allah, dan jangan kepada selain-
Nya”. Adapula yang memaknai Istifhām dalam ayat tersebut adalah
36
Kalimat ingkar apabila terletak pada kalimat Ibat¸maka makna kalimat tersebut
berubah menjadi Nafi (menetapkan). Contohnya yang terdapat dalam surat Ibrahim, ayat
kalimat tersebut adalah .(?apakah terhadap Allah ada sebuah keraguan) أفي الله شك :10
kalimat Itsbat, kemudian masuk istifhām yang maknanya untuk mengingkari. Maka
berubahlah makna kalimat tersebut dari Itsbat ke Nafi. Maka taqdir kalimatnya adalah لا
tidak ada keraguan terhadap Allah). Begitu juga sebalikya, apabila makna ingkar شك فيه
masuk kedalam kalimat Nafi, maka makna kalimat tersebut berubah menjadi Itsbat.
Sebagaimana dalam surat al-qiyāmah ayat 36: أيحسبالنسانأنيتركسدى (apakah manusia
mengira bahwa mereka akan dibiarkan begitu saja). Makna yang terdapat dalam kalimat
tersebut pada asalnya adalah kalimat Nafyi. Kemudian masuk perangkat istifhām yang
bermakna Ingkar, maka berubahlah makna ayat tersebut dari Nafi ke Itsbat. Lihat: Sayyid
aḥmad al-Hāsyimī, Jawāhirul Balāgah (Beirut: Maktabah al-„Aṡriyyah, 1960), 81. Dan
Ali al-Jarimi dan Musthofa Amin, al-Balagah al- Wadhihah (Mesir: Dār al-Ma‟ārīf,
1999), 83.
31
untuk Ta‟ajjūb (mengherankan)37
. Dengan makna, sangat
mengherankan orang-orang yang menganggap dirinya telah
berperilaku benar, tetapi mereka menyeru kepada selain Allah. Itu
adalah sebuah sikap yang dianggap mengherankan.
11. al-Wa‟īd (ancaman)
Makna Istifhām selanjutnya adalah untuk mengancam.
Sebagaimana yang dapat dilihat dalam Q.S. al-Fajr ayat 6:
ك رةيف فػل
م حر ك
ل ةػاد ا
“Tidakkah engkau (Muhammad) memperhatikan bagaimana
Tuhanmu berbuat terhadap (kaum) „Ad?” Dalam ayat tersebut ada perangkat Istifhām yang maknanya adalah
untuk mengancam. Dengan artian, Allah mengancam akan menyiksa
orang-rang yang ingkar kepada-Nya sebagaimana siksaan yang
diberikan kepada kaum „Ad. Begitu juga menurut Imām al-Khāzin
dalam kitab tafsirnya yang berjudul Lubbāb al-Ta‟wīl fī Ma‟āniyyi al-
Tanzīl, bahwa ayat tersebut merupakan ancaman buat ahli Makkah
dengan memberikan berita pertakut berupa kebinasaan atas diri
mereka sebagaimana kebinasaan yang di timpikan oleh Allah kepada
kaum „Ad.38
12. Tanbīhun „alā al-Khata‟ (peringatan bagi orang yang tersalah).
Contohnya adalah seperti:
دن …ذي وي ا
ين ال
تستتدل
اذي وي خيد كال
.…ى ةال
“Apakah kamu meminta sesuatu yang buruk sebagai ganti dari
sesuatu yang baik? (Q.S. al-Baqarah:61)
37
Syihābuddīn al-Alūsī, Rūḥul ma‟ānī fī tafsīril Qur‟ānil „aẕīm wa al-Sab‟i al-
Matsānī , juz 7 (Beirut: Dār iḥyā‟ wa al-Turāts al-„Arabiy, ttd), 148. 38
al- Khāzin, Tafsīr al-Khāzin, juz 4, cet. 1 (Beirut: Dār al-Kutub al-„Ilmiyaah,
2004), 424.
32
Dalam hal ini, fungsi dari Istifhām yang ada dalam ayat tersebut
adalah untuk mengingatkan orang yang tersalah. Karena dalam ayat
tersebut, kaum dari Banī Isrā`īl dianggap bersalah karena mereka
meminta ganti dari terhadap sesuatu buruk dari sesuatu yang baik.
Yaitu meminta berbagai macam makanan, padahal sebelumnya
mereka telah diberi makanan yang menurut Allah adalah makanan
yang lebih baik dari makanan yang mereka minta. Oleh karena itu
Nabi Musa mengingatkan mereka terhadap kesalahan mereka
tersebut.
Dalam memaknai fungsi dari Istifhām dalam ayat tersebut, para
ulama juga ada yang berbeda pendapat. Ada juga yang memaknai
bahwa fungsi dari Istifhām tersebut adalah untuk “mengingkari”.
Maksudnya adalah, bahwa Nabi Musa mengingkari permintaan
mereka tersebut dengan mengatakan apakah kamu akan meminta
ganti dari sesuatu yang baik dengan sesuatu yang buruk.39
13. Tanbīhun „alā Ḍalālah al- Ṭarīq
Dalam hal ini contohnya adalah;
ين حذوتين فا
“Maka ke manakah kamu akan pergi?”
Istifhām yang ada dalam ayat tersebut berfungsi untuk
mengingatkan orang yang tersesat dari jalannya. Yaitu
mengingatkan orang-orang dari menempuh jalan selain jalan yang
ditunjuki al-Qur`an dan karena berpalingnya mereka dari al-
39
Muḥammad al-Rāzī Fakhruddīn, Tafsīru al Fakhru al-Rāzī ,juz 3, cet. 1 (Dār al-
fikr, 1981), 106.
33
Qur`an. Maka Allah mengingatkan mereka dari ketersesatan
tersebut.40
Dari bentuk-bentuk Istifham yang ada dalam al-Qur`an seperti
yang dijelaskan diatas, maka dapat diketahui bahwa makna sebuah
Istifhām bisa bergeser dari makna hakikatnya yang pada awalnya
adalah untuk mengetahui hal-hal yang belum pernah diketahui
sebelunya kepada makna-makna lainnya seperti, sebagai makna
Taqrīr, Ikhbār, Taswiyah dan lain sebagainya.
E. Jenis dan Hukum-hukum Bertanya
Bertanya ada banyak macam dan hukumnya sesuai dengan faktor
penyebab dan dampak yang ditimbulkan dari pertanyaan tersebut. Dalam
Syarah Hadist Arba‟in yang disebutkan oleh Musṭāfā Dīb al-Bugā dan
Muhyiddīn Mitsu dalam al-Wāfī Syarah Hadist al-ba‟īn al-Nawāwī yang
diterjemahkan oleh Rohidin Wahid adalah;
1. Pertanyaan yang dibolehkan syari‟at.41
Pertanyaan ini memiliki banyak tingkatan:
a. Pertanyaan yang hukumnya fardhu „ain bagi setiap Muslim.
Yaitu menanyakan suatu hal yang memang harus diketahui
oleh seseorang. Seperti bertanya tentang hukum bersuci, bertanya
tentang hukum puasa Ramadhan, bertanya tentang syarat-syarat
dan rukun-rukun shalat, dan lain sebagainya.
b. Pertanyaan yang hukumnya Fardhu Kifayah
Artinya, setiap Muslim tidak wajib menanyakan persoalan
tersebut, tetapi cukup sebagiannya saja. Dengan tujuan untuk
memperdalam dan memperluas masalah agama, mengetahui
40
Jalāluddīn al-Maḥallī dan Jalāluddīn al-Syuyūṭī, Tafsīrul Jalālain al-Muyassār,
cet. 1 (Beirut: Maktabah Libnān, 2003), 586. 41
Musṭāfā Dīb al-Bugā dan Muhyiddīn Mitsu, al-Wāfī Syarah Hadist al-ba‟īn al-
Nawāwī terj. Rohidin Wahid (Jakarta: Qishti press, 2014), 70.
34
hukum syariat. Bukan untuk damalkan sendiri , melaikan agar ada
orang yang seanantiasa menjaga agama Allah seperti ulama,
hakim, dan pendidik.
c. Pertanyaan yang hukumnya sunnah.
Artinya, disunnahkan bagi setiap Muslim untuk bertanya
tentang hal itu. Seperti bertanya tentang perbatan-perbuatan terpuji
dan ibadah-ibadah selain yang wajib.
2. Pertanyaan yang dilarang Syari‟at42
Pertanyaan yang semacam ini juga memiliki beberapa tingkatan:
a. Pertanyaan yang hukumnya haram. Artinya, seorang Mukallaf
berdosa jika menanyakan hal tersebut. Adapun contoh-contoh
pertanyaan tersebut adalah:
1) Bertanya tentang satu hal yang Allah sembunyikan
pengetahuannya dari para hamba-Nya. Dan hanya Dia yang
mengetahuinya. Seperti menanyakan tentang waktu
datangnya hari kiamat, bertanya tentang hakikat roh,
beranya tentang rahasia, qadha qadar, dan lain sebagainya.
2) Bertanya dengan tujuan mencela dan menghina. Seperti
halnya salah seorang yang bertanya kepada Rasulullah
dengan tujuan mencela dan menghina. Salah seorang dari
mereka bertanya “siapa ayahku?” sementara seseorang
yang kehilangan ontanya bertanya, “dimana ontaku?”.
Kemudian Allah berfirman “Wahai orang-orang yang
beriman, janganlah kamu bertanya kepada nabimu tentang
42
Musṭāfā Dīb al-Bugā dan Muhyiddīn Mitsu, al-Wāfī Syarah Hadist al-ba‟īn al-
Nawāwī, 71.
35
suatu perkara yang apabila dijelaskan kepadamu, maka
akan memberatkanmu.”43
3) Bertanya tentang suatu mu‟jizat dan sesuatu yang luar biasa
dengan tujuan menentang, mengada-ada, menyudutkan, dan
membuat bingung orang yang ditanya.
Seperti halnya para penentang para nabi yang enggan
beriman kepada nabi sebelum mereka menyaksikan
Mu‟jizat nabi tersebut. Dan bahkan setelah mereka
menyaksikan mu‟jizat yang mereka minta tersebut, masih
banyak juga diantara mereka yang tetap tidak mau beriman.
4) Bertanya tentang masalah khayalan (tidak nyata).
Imam Aḥmad (780- 855 M) dan Abū Dāwud (817- 889
M) meriwayatkan dari Mu‟awiyah bahwa Rasulullah
melarang dari menanyakan sesuatu yang tidak nyata
(khayalan). Imam Nawawi dalam bukunya yang berjudul
al-Nihāyah menjelaskan bahwa makna sesuatu yang tidak
nyata (galutat) adalah pertanyaan pertanyaan yang tidak
realistis sehingga para ulama terjerumus kedalamnya lalu
timbullah kerusakan dan fitnah.
b. Pertanyaan yang hukumnya Makruh. Artinya, sebuah
pertanyaan yang sebaiknya ditingalkan oleh seseorang.
Contoh-contoh pertnyaannya adalah:
1) Bertanya tentang sesuatu yang tidak penting dan juga
jawabannya pun tidak mempunyai manfaat ilmiah apapun.
Seperti hal yang dilakukan oleh Abū Ja‟far ketika dia
bertanya kepada Ahmad bin Hanbal. Dia bertanya, apakah
43
„Abdūl „Azīz Muḥammad bin „abdillāh, Ma‟ālīm fī ṭarīq ṭalab al-„Ilmī (Sa‟ūdī:
Dār aṡamah, 1999), 61-62.
36
aku boleh berwudhu‟ menggunakan air bunga? Kemudian
Ahamad bin Hambal menjawab, aku tidak menyukainya
(tidak boleh). Kemudian Abu Ja‟far bertanya lagi apakah
aku boleh berwudhu‟ menggunakan air mawar. Ahmad bin
Hanbal menjawab, aku tidak menyukainya. Kemudian
ketika Abū Ja‟far beridiri, Ahmad bin Hanbal memegang
tanggannya dan berkata, apa yang engkau baca ketika
hendak masuk masjid? Abu Ja‟far terdiam tidak mampu
menjawabnya. Ahmad bin Hanbal bertanya lagi apa
yangengkau baca ketika keluar dari masjid. Abu Ja‟far juga
tidak mampu menjawabnya. Ahamad bin Hanbal berkata,
pergilah kamu dan jangan tanyakan hal-hal yang jauh dari
yang kamu butuhkan.
Juga halnya seperti seorang sahabat nabi yang bertanya
kepada nabi, “ya Rasulullah siapa bapakku?” Rasulullah
menjawab, “Bapakmu adalah Hużaifah.” Seorang lainnya
pun bertanya, “siapa bapakku, ya Rasulullah?” Rasulullah
pun menjawab, “Bapakmu adalah Salim, mantan budak
Syaibah.” Ketika melihat aura kemarahan dari wajah
Rasulullah, Umar berkata, “ya Rasulullah, kami bertobat
kepada Allah.“
2) Bertanya tentang suatu yang dibiarkan syari‟at dan tidak
dijelaskan halal dan haramnya, tidak dijelaskan apakah
perkara tersebut perintah atau larangan.
Pertanyaan tentang hal ini bisa menyebabkan adanya
perintah yang memberatkan, yang pada akhirnya
mengakibatkan keberatan dan kesulitan agi kam Muslimin.
Seperti halnya sabda Rasulullah, “Sesungguhnya, sebesar-
37
besar kejahatan kaum Muslimin kepada kaum Muslimin
lain adalah orang yang bertanya tentang suatu hal yang
tidak diharamkan atas kaum Muslimin lalu menjadi
diharamkan lantaran pertanyaan tersebut. Dalam riwayat
lain juga disebutkan, yaitu orang-orang yang mendetail-
detailkan ketika bertanya tentang suatu hal.44
Untuk memperkuat penjelasan tentang tingkatan-
tingkatan pertanyaan, Imam al-Nawawi menjelaskan dalam
kitabnya yang berjudul Syarḥu al-Arba‟īn al-Nawāwī
bahwa sebuah pertanyaan memiliki beberapa macam:
1) Pertanyaan orang yang tidak tahu tentang kewajiban-
kewajiban agama, seperi wudhu‟, shalat, puasa, dan
sejenisnya.
2) Pertanyaan untuk tawaqquh fī al-Dīn (memahami agama),
bukan untuk beramal semata, seperti peradilan dan fatwa.
3) Bertanya tentang sesuatu yang tidak diwajibkan Allah
atasnya dan tidak pula atas selainnya. Karena kadangkala
pertanyaan tersebut mengakibatkan Masyaqqah
(kesulitan).45
Dari penjelasan di atas, jelaslah bahwa sebuah pertanyaan
memiliki pembagian-pembagian serta tingakatan hukumnya tersendiri.
44
Musṭāfā Dīb al-Bugā dan Muhyiddīn Mitsu, al-Wāfī Syarah Hadist al-ba‟īn al-
Nawāwī terj. Rohidin Wahid (Jakarta: Qishti press, 2014), 73. 45
Muḥyiddīn al-Nawāwī, Syarḥu al-Arba‟īn al-Nawāwī, cet. 13, terj. Ahmad
Syaikhu (Jakarta: Dārul Haq, 2018), 119.
39
BAB III
MENGENAL TENTANG BANĪ ISRĀ`ĪL
Dalam kitab suci al-Qur`an yang terdiri dalam 30 juz tersebut, tujuh
juz khusus berbicara kepada dan mengenal Banī Isrā`īl. Dengan begitu
besarnya porsi yang diberikan al-Qur`an kepada bangsa Yahudi ini.
Sekaligus mengingatkan kepada Nabi Muhammad SAW dan umatnya
akan sepak terjang dari bangsa Yahudi ini baik dimasa nabi-nabi
sebelumnya ataupun yang dihadapi oleh Rasulullah sendiri.1
Pada bab ini, penulis akan membahas tentang Banī Isrā`īl yaitu, mulai
dari asal usulnya, sampai kepada mengenalkan sifat-sifat dari Banī Isrā`īl
itu sendiri yang terdapat dalam al-Qur`an al-Karīm.
A. Pengertian Banī Isrā`īl
Term )إسرائيل -Banī Isrā`īl sangat banyak diulang di dalam al )بني
Qur`ān. Hal ini dibuktikan dengan ditemukannya term tersebut sebanyak
41 kali dalam 40 ayat dalam al-Qur`anyang merujuk kepada bangsa atau
kaum Isrā`īl dengan istilah Banī Isrā`īl, yaitu sebuah gelar yang diberikan
kepada Ya‟qub bin Ishak.2 Adapun di dalam surat Āli „Imrān ayat 93
hanya bertuliskan Isrā`īl saja.
Banī Isrā`īl terdiri dari dua kata, yakni Banī dan Isrā`īl (بني) يل(سرائ)إ .
Banī (Banu) adalah bentuk jamak dari kata bin, ibn yang berarti anak laki-
laki, anak cucu, keturunan.3 Menurut satu pendapat, kata Banī (بني)
mengandung makna sesuatu yang lahir dari sesuatu yang lain.4 Sedangkan
1 M Thalib, 76 karakter Yahudi dalam al-Qur‟an, cet. 3 (Solo: CV. PUSTAKA
MANTIQ, 1992), 1. 2 Muḥammad Rasyīd Riḍa, Tafsīr al-Manār, juz 1 (al-Qāhirah: Dār al-Manār,
1947), 289. 3 SoftwareKBBI online
4 Abū al-Husyain Aḥmad bin Fāris bin Zakariyyā, Mu‟jam al-Muqāyis fī al-Lugah
(Beirut: Dār al- Fikr, 1994), 156.
40
kata Isrā`īl adalah sebuah nama yang diberikan kepada salah seorang Nabi
Allah yang bernama Ya‟qub. Nama tersebut berasal dari bahasa Ibrani
yang tersusun dari dua kata, yaitu Isra‟ إسراء() yang bermakna “Hamba
atau orang yang terpilih” dan kata Īl إيل() yang berarti Allah. Berdasarkan
hal ini, semua orang yang nasabnya sampai kepada Nabi Ya‟qub bin Ishak
bin Ibrahim, maka ia berhak dinamai keturunan Isrā`īl .5
Begitu juga menurut Muḥammad bin Muḥammad abu Syahbah;
menurutnya, makna dari Banī Isrā`īl adalah “Hamba Allah”. Isra‟ artinya
Hamba, dan Īl artinya Allah. Yang digelari Isrā`īl adalah Nabi Ya‟qub
AS. Sedangkan Banī Isrā`īl artinya anak-anak dari Nabi Ya‟qub dan
keturunan setelahnya. Ada kalanya mereka juga dikenal sebutan Yahudi.6
Sedangkan menurut al-Sirrī, Isrā`īl artinya adalah orang yang
melakukan perjalanan pada malam hari dan bersembunyi pada siang hari.
Karena Nabi Ya‟qub pernah melakukan perjalanan pada malam hari dan
bersembunyi pada siang hari.7 Kisah penyebutan Nabi Ya‟qub dengan
Isrā`īl adalah berawal dari kisahnya dengan saudara kembarnya yang
bernama ( ص يع) „Īṣ.
„Īṣ adalah seorang anak yang dekat kepada ayahnya, sedangkan
Ya‟qub lebih dekat kepada ibunya. „Īṣ adalah seorang yang suka berburu.
Suatu hari, ketika dia sudah besar ayahnya berkata kepadanya “Wahai
anakku berikanlah aku makan dengan daging hasil dari buruanmu, maka
aku akan berdoa untukmu sebagaimana doa yang pernah dibacakan oleh
ayahku dulu untukku. Kemudian „Īṣ pergi berburu dan mengambil daging
hasil buruan sebagaimana yang diinginkan oleh ayahnya. Percakapan itu
didengarkan oleh Istri Ishak dan dia menyuruh Ya‟qub menyembelih
5 Sabīr Ṭa‟imah, al-Tirāts al-Isrāiliy (Beirut: Dār al-Jail, 1978), 28.
6 Muḥammad abū Syahhbah, al-Isrāīliyyat wa al-Maudhū‟āt īi Kutub al-Tafsīr, cet.
4 (al-Qāhirah: Maktabah al-Sunnah, 1408 H), 12. 7 Abū hasan bin „Alī, al-Kāmīl fī al- Tārīkh, juz 2, cet. 1 (Beirut: Dār al-Kutub al-
„Ilmiyyah, 1987), 96.
41
ternak dan membuat pakaian dari kulit ternak tersebut dan kemudian
memerintahkan Ya‟qub untuk berikan makanan dan menyuruh mengaku
kepada Ishak bahwa dia adalah „Īṣ8.
Ketika sampai didekat Ishak, maka Ya‟qub mendekat dan
menyuapkannya makan. Kemudian Ishak bertanya, siapa kamu? Maka
Ya‟qub menjawab:; “saya adalah „Īṣ”. Kemudian Ishak meraba dan
mencium Ya‟qub, awalnya dia ragu kalau itu bukanlah „Īṣ, dan dia
mengatakan bahwa yang dia raba itu adalah ciri-ciri dari anaknya yang
bernama „Īṣ. Maka keraguan Ishak itu dihilangkan oleh istrinya dengan
mengatakan “itu adalah Ya‟qub”, maka dari itu Ishak mempercayai bahwa
yang memberinya makan adalah „Īṣ. Setelah Ya‟qub memberi Ishak
makan, maka Ishak mendoakan supaya anak keturunan Ya‟qub adalah
para nabi dan para Raja. „Īṣ
Setelah memberi ayahnya makan, Ya‟qub pun pergi. Kemudian
datanglah „Īṣ membawakan daging dari hasil buruannya dan
memberikannya kepada Ishak sebagaimana yang dikehendakinya.
Kemudian ayahnya berkata; sungguh saudaramu telah terlebih dahulu
memberiku makan. mendengarkan hal itu, maka „Īṣ bersumpah akan
membunuh Ya‟qub. Mengetahui hal itu maka Ya‟qub melarikan pada
malam harinya dan bersembunyi pada siang harinya menuju rumah
pamannya. Maka dinamailah Ya‟qu dengan Isrā`īl, yaitu orang yang
melarikan diri pada malam hari karena takut dan bersembunyi pada siang
harinya.9
8 Ishak adalah orang yang buta sehingga dia tidak bisa mengenali antara kedua
anaknya kecuali dengan meraba dan menciumya. Abū asan bin „Alī, al-Kāmīl fī al-
Tārīkh, juz 2, cet. 1 (Beirut: Dār al-Kutub al- „Ilmiyyah, 1987), 96. 9 Abū ḥasan bin „Alī, al-Kāmīl fī al- Tārīkh, juz 2, cet. 1 (Beirut: Dār al-Kutub al-
„Ilmiyyah, 1987), 96.
42
B. Istilah Lain Dari Banī Isrā`Īl Dalam Al-Qur`an
Sebagaimana yang telah disebutkan sebelumnya, bahwa Banī Isrā`īl
juga mempunyai nama-nama lain. Diantara nama-nama lain dari Banī
Isrā`īl yang disebutkan dalam al-Qur`anadalah:
1. Banī Isrā`īl
Banī atau Banū Isrā`īl terdiri dari dua kata, yaitu Banī dan Isrā`īl.
Banī, Banū, Banīn adalah bentuk kalimat plural dari kata bin, ibn
yang berarti anak laki-laki, anak ,cucu, keturunan.10
Dan Isrā`īl
artinya adalah anak cucu keturunan Nabi Ya‟qub bin Ishak bin
Ibrahim, yang kemudian dikenal dengan nama Isrā`īl dan anak-
anaknya yakni Isrā`īl.
Kata Banī Isrā`īl disebutkan dalam Al-Qur`an sebanyak 40 kali
dalam berbagai surat, dan sekali dengan kata Banū Isrā`īl dalam Q.S.
Yunus/10: 90.11
Sedangkan dalam Mu‟jām al-mufahrās kata Banī
disebutkan sebanyak 14 kali, yaitu dalam Q.S. al- Syu‟arā‟: 17, 22,
59, 197. Q.S. al-Naml: 76, Q.S. al-Sajādah: 23, Q.S. Yāsīn: 60, Q.S.
Gaffār: 53, Q.S. al-Zukhrūf: 59, Q.S. al-Dukhān: 30, Q.S. al-
Jaṡiyah: 16, Q.S. al-Aḥqāf: 10, Q.S. Sāf: 6, 14.12
2. Ahlu Kitab
Ahlu Kitab terdiri dari dua kata ahlu dan Kitāb. Ahlu berarti
keluarga, kerabat, anggota, penganut, pengikut, pemilik, penghuni,
dan sebagainya.13
Kata ahlu dalam KBBI berarti anggota, orang-orang
10
Secara Literal, Banī adalah bentuk Plural dari ibn yang berarti anak. Bentuk dasar
dari Banī adalah banun atau Banīn. Tetapi karena berada dalam posisi muḍaf, wau atau
ya‟ dan nun yang ada dihilangkan menjadi banū atau Banī 11
Ali Audah, Nama dan Kata dalam Al-Qur‟an: Pembahasan dan Perbandingan,
cet. 1 (Bogor: Pustaka Lintera Antar Nusa, 2011), 412. 12
M. Abdul Bāqī, Mu‟jām al-Mufaḥras min alfāż al-Qur‟an (Mesir: Dār al-ḥadīts,
1996), 169. 13
Ali Audah, Nama dan Kata dalam Al-Qur‟an: Pembahasan dan Perbandingan,
cet. 1 (Bogor: Pustaka Lintera Antar Nusa, 2011), 369.
43
yang termasuk dalam suatu golongan, keluarga, atau kaum.14
Ahlu
juga mengandung pengertian orang mahir , faham sekali dalam suatu
ilmu (kepandaian).
Dalam al-Qur`an, banyak kata ahl yang diikuti setelahnya,
misalnya ahlu al-Qur`ān, ahlu Yastrīb, ahl Kitāb, ahl Zikri dan lain
sebagainya. Secara Harfiah, ahl Kitab berarti yang mempunyai kitab.
Yaitu konsep yang memberi pengakuan tertentu kepada para penganut
agama diluar Islam. Sikap ini bermaksud memberi pengakuan sabatas
hak masing-masing untuk berinteraksi dengan menjalankan ajaran
dalam Kitab suci mereka.15
Menurut Istilah, ahl-Kitab adalah mereka
yang berpegang pada kitab suci tertentu, seperti Taurat dan Injil, atau
mungkin pengikut kitab suci lain.
Penelusuran ayat-ayat al-Qur`an mengenai ahl kitab terdapat dalam
kitab Mu‟jam al-Mufaḥras min alfāż al-Qur`ān. Kata ahl disebut
dalam al-Qur`an terdapat dalam 9 surat, yaitu: (a). Q.S. al-
Baqarah/2: 105. 109. (b). Q.S. Ȃlī „Imrān/3: 64, 65, 69, 70,71, 72,
75, 95, 110, 113, 199. (c). Q.S. al-Nisā‟/4: 123, 153, 159, 171.
(d).Q.S. al-Māidah/5: 15, 19,59, 65, 68, 77. (e). Q.S. . al-Ankābūt/29:
46. (f). Q.S. al-Aḥzāb/33: 26. (g). Q.S. al-ḥadīd/57: 29. (h). Q.S. . al-
Hasyār/57: 2. (i). Q.S. . al-Bayyinah/98: 1, 6.16
3. Yahudi
Hūd adalah jamak dari kata Haid, Yahūd,Yahūdi, yang berarti
masyarakat golongan atau orang-orang Yahudi. Bisa juga dikatakan
sebagai suatu ras Semit: Yahudiah, Yudaisme, agama, kepercayaan,
14
SoftwareKBBI online 15
Darwis Muhdina , “Orang-orang non-Muslim dalam Al-Qur‟an”. al-Adyan,
vol.1, no.2 (Desember 2015): 111. 16
M. Abdul Bāqī, Mu‟jām al-Mufaḥras min alfāż al-Qur‟an (Mesir: Dār al-ḥadīts,
1996), 117.
44
tradisi dan kebudayaan Yahudi. Al-Qur`an juga menyebut Yahudi
dengan kata-kata lain seperti: Hādu, Yahūd dan Yahūdi.
Istilah Yahudi ini dinisbatkan pada Yahuda, salah satu dari dua belas
anak laki-laki Ya‟qub dan salah satu dari dua belas suku Israel.
Sepertinya, istilah ini pada mulanya merujuk hanya kepada mereka yang
berasal dari suku Yehuda, namun kemudian ketika kerajaan terpecah
setelah pemerintahan Solomon, istilah tersebut merujuk kepada semua
orang yang ada dalam kerajaan Yehuda, yang termasuk suku Yehuda,
Benyamin, dan Lewi. Saat ini banyak yang percaya bahwa seorang
Yahudi adalah orang yang merupakan keturunan Abraham, Ishak, dan
Ya‟qub tanpa memandang dari suku mana dia berasal. Dengan demikian,
Yahudi merupakan sebuah nama yang bisa dipakai untuk agama dan bisa
pula dipakai untuk bangsa. Jadi, Isilah agama Yahudi dan bangsa Yahudi
sama-sama dibenarkan.17
Contoh ayat yang menggunakan kata Hādū seperti dalam Q.S. al-
Māidah/22: 17, dan ayat yang menggunakan kata Hūd adalah Q.S. al-
Baqarah/2: 13. Ali Audah dalam bukunya Nama dan Kosa Kata dalam
al-Qur`an menyebutkan bahwa kata Hādū terdapat 10 ayat dalam Al-
Qur`an dan Hūd sebanyak 3 ayat. Adapun kata Hādū, Naṣārā dan
Ṣabi‟īn disebutkan bersamaan seperti dalam Q.S al-Baqarah/2: 62, al-
Māidah/5: 69 dan al-Hajj/22: 17.18
Dari penjelasan diatas, dapat disimpulkan bahwa Banī Isrā`īl
memiliki istilah lain dalam al-Qur`ān, yaitu dengan istilah ahlu kitab dan
Yahudi
17
M Ali Imran, Sejarah lengkap agama-agama dunia, cet. 1 (Yogyakarta:
IRCiSoD, 2015), 346. 18
Ali Audah, Nama dan Kata dalam Al-Qur‟an: Pembahasan dan Perbandingan,
cet. 1 (Bogor: Pustaka Lintera Antar Nusa, 2011), 422.
45
C. Kisah Populer Banī Isrā`īl dalam al-Qur`ān.
Al-Qur`an kandungannya membahas segala hal, mulai dari masalah
akidah, Ibadah dan mu‟amalah, akhlak, hukum, dasar-dasar ilmu
pengetahuan sampai kepada sejarah atau kisah-kisah umat terdahulu.
Antara kisah-kisah yang banyak disebutkan dalam al-Qur`an adalah kisah
dari Banī Isrā`īl. Diantara kisah Banī Isrā`īl yang terdapat dalam al-
Qur`an secara runtut adalah:
1. Selamatnya Banī Isrā`īl dari pengejaran Fir‟aun dan bala
tentaranya.
Kisah diselamatkannya Nabi Musa dan Banī Isrā`īl dari pengejaran
Fir‟aun dan bala tentaranya disebutkan oleh Allah dalam Q.S. al-
Baqarah/2: 50
نخم حنظرون فرغين وا
لغركنا ا
م وا
حنك ج
نبدر فا
م ال
واذ فركنا ةك
“Dan (ingatlah) ketika Kami membelah laut untukmu, sehingga
kamu dapat Kami selamatkan dan Kami tenggelamkan (Fir„aun
dan) pengikut-pengikut Fir„aun, sedang kamu menyaksikan.”
Ibnu Kaṡīr mengatakan ayat ini menjelaskan bahwa tafsiran dari
ayat tersebut adalah;
“Sesudah Kami selamatkan kamu dari Fir‟aun dan bala tentaranya,
lalu kamu berangkat bersama Musa. Dan Fir‟aun pun berangkat
mengejar kamu dan bala tentaranya, maka Kami belahkan laut buat
kamu. Yaitu Kami selamatkan kamu dari mereka lalu Kami
halangi antara kamu dan antara mereka, lalu Kami tenggelamkan
mereka, sedangkan kamu menyaksikan sendiri hal tersebut agar
hati kamu lebih tenang dan lebih meyakinkan dalam menghina
musuh kamu.”19
Kisah pengejaran Nabi Musa dan Banī Isrā`īl oleh Fir‟aun dan bala
tentaranya ini dimulai ketika Allah memerintahkan Nabi Musa untuk
19
Abū al-fidā‟ ibnul Kaṡīr, Tafsīr Ibnu Kaṡīr cet. 2 (Riyadh: Dār al-Ṭayyibah,
1999), 259.
46
membebaskan umatnya yang menjadi budak dari Fir‟aun dan
pengikutnya.20
sekaligus menyeru Fir‟aun dan bala tentaranya
mengikuti ajarannya dan ajaran Nabi Harun.21
Hal ini disebabkan karena Fir‟aun dan para pengikutnya telah
berlaku angkuh dan sombong. Mereka menjalankan kekuasaan
dengan dengan sewenang-wenang dan berbuat kerusakan di muka
bumi. Mereka menjadikan diri mereka dewa yang layak disembah.
Mereka menyamakan diri mereka dengan Tuhan. Mereka
memerintahkan kepada orang-orang untuk menyembah mereka.
Selain itu, Fir‟aun dan para pengikutnya sangat benci terhadap bangsa
Ibrani sehingga mereka selalu menindas dan menjajahnya. Mereka
menzalimi Banī Isrā`īl dengan berbagai siksaan yang kejam,
membebankan mereka pekerjaan yang melelahkan sehingga banyak
yang berputus asa lagi kehilangan harapan. Bagi Fir‟aun, Banī Isrā`īl
adalah sampah yang hina.22
Karena sakit hati dan marah karena telah di pecundangi oleh Nabi
Musa dan Nabi Harun dalam adu kesaktian,23
maka Fir‟aun berencana
20
Pada awalnya Isrā`īl merupakan sekelompok suku yang kemudian disatukan oleh
nasib yang sama dan juga perang yang sama. Israil adalah bangsa yang akrab dengan
kehidupan pengembala dan telah menjadi budak di Mesir yang harus bekerja dengan
begitu keras kemudian mereka berhasil melarikan diri dari perbudakan itu atas prakarsa
dari seorang pemimpin yang karismatik yang juga membimbing mereka menuju tradis
religious. Lihat: Allan Menzie, sejarah agama-agama, terj. Dion Yulianto dan Em Irfan,
cet. 1 (Yogyakarta: Forum IKAPI, 2014), 212.
21
Perintah tersebut awalnya turun kepada Nabi Musa semata. Tetapi karena tidak
percaya diri dikarenakan Nabi Musa tidak lancar dalam berbicara, maka Nabi Musa
meminta kepada Allah untuk ditemani oleh Nabi Harun yang pandai dalam orasi untuk
diangkat sebagai orang yang membantu perjuangannya. Maka permintaan tersebut
dikabulkan oleh Allah, hal ini terdapat dalam Q.S al-Qaṡaṡ/28: 33-35. 22
M Ahmad Jadul Maula dan M Abu al-Fadhl Ibrahim, Buku Induk Kisah-Kisah al-
Qur‟an, ter. Abdurrahman assegaf, cet. 1 (Jakrta: ZAMAN, 2009), 235. 23
Hal ini dikarenakan Fir‟aun tidak percaya terhadap ajakan Musa maka Nabi Musa
terus meyakinkan Fir‟aun dengan bukti-bukti Mu‟jizatnya. Tetapi tetap saja Fir‟aun tidak
percaya akan kenabian dari Musa. Bahkan dia menuduh Nabi Musa akan mengkudeta
dirinya. Maka Fir‟aun menentang Musa untuk bertanding dengan para tukang sihir dari
Fir‟aun dan Nabi Musa pun menyetujuinya. (Q.S Thaha/20:57-59) Ketika para penyihir
47
akan mencelakai Musa dan mengusir Banī Isrā`īl. Ia menyampaikan
rencananya itu kepada para pembesarnya. Fir‟aun pun beriap-siap
dengan mengumpulkan bala tentaranya untuk menumpas Musa dan
Banī Isrā`īl.24
Allah memerintahkan Nabi Musa dan Banī Isrā`īl untuk pergi
keluar dari Memphis pada malam hari. Mendengar hal tersebut,
Fir‟aun dan pasukannya bergerak untuk menyusul mereka.
Rombongan Musa dapat disusul oleh Fir‟aun dan bala tentaranya
ketika matahari mulai terbit di sebuah pinggiran sungai Nil. Nabi
Musa pun menenangkan kaumnya.25
Nabi Musa diperintahkan Allah memukulkan tongkatnya kearah
lautan. Seketika lautan menjadi terbelah dua dan membentuk jalur
menyeberang. Air dikedua sisi belahan itu seperti gunung yang besar.
Dalam rasa ta‟jub, rombongan Nabi Musa melewati belahan itu
dengan cepat sehingga keseberangnya. Sedangkan Fir‟aun dan bala
tentaranya berusaha menyusul masuk kedalamnya. Akan tetapi
Fir‟aun dan bala tentaranya ditenggelamkan oleh Allah. 26
Maka
selamatlah Musa dan umatnya dari kejaran Fir‟aun dan bala
tentaranya dengan mendarat di gunung Sinai.27
Fir‟aun dapat dikalahkan oleh Nabi Musa, maka fir‟aunpun merasa geram dan ingin
mencelakai Musa dan mengusir Banī israil. 24
Q.S al-Mu‟min/40: 26, Q.S Al-Syu‟ara/26: 53-54. Lihat juga Q.S al-Isra‟/17: 103. 25
Q.S al-Syu‟ara‟/26: 60-62 26
Q.S al-Syu‟arā/26: 66. Ṭahā/20:78, al-Hajj/22:44, al-Mu‟minūn/23:45-48 27
Menurut catatan sejarah, nama Sinai diambil dari kata Tuhan masyarakat Mesir
kuno, yaitu Sin yang berarti Tuhan Bulan. Selain itu, Sinai juga memiliki banyak julukan
seperti Land of Turquoise, Land of Enchantment (tanah pesona) dan Bridge to Asia.
Untuk nama yang terakhir ini, Sinai disebut demikian karena letaknya yang merupakan
persimpangan antara Asia dan Afrika. Dalam al-Qur‟an, Sinai disebut dengan nama Thur
Saina atau Thur Sinin. Menurut pendapat lain, bukit Sinai disebut juga dengan Jabal
Musa (Bukit Musa), karena dipuncak gunung itulah nabi Musa a.s menerima wahyu dan
berdialog dengan Tuhan. Lihat: Eka Safitri Anasari, “Kontruksi Sejarah Bukit Sinai Serta
Pengaruhnya terhadap Realita Sosial Masyarakat Mesir” (Skripsi S1., Universitas Sebelas
Maret Surakarta, 2016), 21.
48
2. Kaum Banī Isrā`īl dan Peristiwa penyembahan Anak Sapi.
Pada masa kejayaan Banī Isrā`īl, tidak ada satu kaum pun yang
dianugerahi kebaikan oleh Allah, diberi kenikmatan yang berlimpah,
dan dimuliakan dengan berbagai berkah. Allah telah menyelamatkan
mereka dari Fir‟aun dan bala tentaranya setelah bertahun-tahun
lamanya mereka ditindas dan disiksa. Kemudian Allah kembali
menyelamatkan mereka dengan menghancurkan Fir‟aun dan
pasukannya dihadapan mata kepala mereka sendiri. Setelah itu,
mereka menjadi manusia yang merdeka, lepas dari penindasan dan
penjajahan.28
Setelah Nabi Musa dan Banī Isrā`īl diselamatkan oleh Allah dari
kejaran Fir‟aun dan bala tentaranya, maka selanjutnya Allah menguji
kesetian Banī Isrā`īl terhadap Nabi Musa yaitu apakah mereka tetap
teguh memegang janji mereka dengan tidak menyekutukan Allah
dengan sesuatu pun atau malah sebaliknya ada sesembahan lain yang
mereka sembah.
Dalam kisah ini ada beberapa rentetan persitiwa:
a. Nabi Musa memenuhi panggilan Allah ke bukit Thursina
Nabi Musa memiliki semacam kewajiban, yaitu apabila
selamat dari kejaran Fir‟aun dan bala tentaranya, Maka Nabi
Musa bemunajat disisi kaki gunung Sinai sebagai sebuah perintah
dari Tuhannya.29
Musa pun menyerahkan urusan umat kepada
Nabi Harun. Karena telah memberi amanah ke Harun, Musa pun
28
M Ahmad Jadul Maula dan M Abu al-Fadhl Ibrahim, Buku Induk Kisah-Kisah al-
Qur‟an, terj. Abdurrahman assegaf (Jakarta: Zaman, 2009), 270. 29
Q.S al-A‟raf/7: 144
49
pergi ke Sinai. Sesampainya di Sinai, Musa bermunajat dan
menerima Taurat dari Allah SWT.30
Sementara kepergian Musa selama empat puluh hari, kaumnya
tidak bisa menjaga amanah yang telah diamanahkan kepada
mereka. Setelah masa tiga puluh hari penantian-sebagaimana
yang dijanjikan- mereka masih setia menunggunya. Namun,
belum lagi masa empat puluh hari lewat, mereka mulai
mempertimbangkan gagasan pemikiran mereka sendiri. Mereka
berkata “Musa telah melanggar janjinya”. Ia telah lama
meninggalkan kita ditempat persinggahan yang asing ini. Dan
mereka pun bertanya-tanya siapakah orang yang lebih pantas
yang dapat menyinari jalan kita dan memberikan petunjuk
menuju jalan yang lurus.31
Saat pergi ke Sinai, Banī Isrā`īl diuji oleh Allah.32
Yaitu
ditengah kekalutan dan kebimbangan yang meliputi bangsa
Isrā`īl, maka ada terlintas pikiran jahat dalam hati salah seorang
pengikut Musa yang bernama Samiri33
, seorang Banī Isrā`īl dari
suku al-Sāmirah. Tokoh Samiri ini disebutkan secara nyata oleh
Allah dalam Q.S. Thaha/20:85 yaitu sebagai aktor penghianatan
akidah.
30
M Ahmad Jadul Maula dan M Abu al-Fadhl Ibrahim, Buku Induk Kisah-Kisah al-
Qur‟an, ter. Abdurrahman assegaf (Jakarta: Zaman, 2009), 226. 31
M Ahmad Jadul Maula dan M Abu al-Fadhl Ibrahim, Buku Induk Kisah-Kisah al-
Qur‟an, 266. 32
Q.S al-Ṡaf: 5 33
Ibnu „Abbās mengatakan “dahunya Samiri berasal dari suatu kaum yang biasa
menyembah api , lalu ia datang ke negeri Mesir, lalu ia masuk kedalam agama Banī Israil
secara lahir, namun batinnya masih senang menyembah api. Ada juga yang mengatakan
bahwa Samiri berasal dari suku Qibṭi, dan ia adalah tetangga Musa, lalu ia beriman
kepada Musa dan ikut bersamanya. Ada juga yang mengatakan bahwa dia adalah salah
seorang pemuka Banī Israil yang bersal dari suatu kabilah yang dikenal dengan Kabilah
Samirah, mereka dikenal tinggal di Syam. Sa‟id bin Jubair mengatakan ia bersalal dari
penduduk Karman. Lihat: Al-Qurṭubī, al-Jāmi‟ al ahkām, terj. Fathurrahman, Ahmad
Hotib, Nashrul Haq , jilid 1 (Jaksel: Pustaka Azzam, 2007), 269.
50
Samiri berkata kepada mereka “Musa telah meninggalkan kita.
Kalian harus mencari Tuhan untuk diri kita sendiri. Ia pergi
mencari Rabb kalian, namun ia tersesat diperjalanan sehingga tak
bisa pulang menemui kalian. Ia sungguh telah melanggar
janjinya”. Karena pada dasarnya, orang Ibrani pengikut Musa ini
terkenal dengan bangsa yang lemah lagi pengecut dan selalu
meragukan pemimpin mereka, maka mudah saja bagi Samiri
untuk menyesatkan mereka.
Musapun kembali kepada kaumnya dalam kedaan kecewa dan
marah.34
Begitu kecewanya, Musa pun melemparkan lembaran
Taurat. Banī Isrā`īl berdalih terbebani membawa emas yang
dibawa dari Mesir. Oleh karena itu ketika Samiri meminta
mereka untuk melempar emas-emas itu kedalam api, mereka
memenuhinya. Samiri menyepuhnya mejadi patung anak sapi
yang bersuara.35
Mereka terkesima dengan patung itu dan
bergumam bahwa patung itu adalah Tuhan mereka dan Tuhan
Musa. Sebenarnya Nabi Harun yang telah diamanati oleh Nabi
Musa untuk menjaga mereka terguncang dan telah mencoba
mengingatkan mereka, tetapi mereka tetap saja menyembah
patung anak sapi itu hingga Nabi Musa kembali dari Munajat.36
Kekecewaan Nabi Musa tersebut juga dilampiasakannya
kepada Nabi Harun karena tidak bisa menjaga amanah yang telah
diamanahkan Nabi Musa kepadanya. Ia melemparkan lembaran-
lembaran yang ada ditangannya sambil mendekat kepada Nabi
Harun. Kemudian ia memegang kepala Nabi Harun dan
34
Q.S al-Anfāl/7:150-154 35
Yaitu dengan cara mengambil perhiasannya yang terbuat dari emas, kemudian
mengambil segenggam tanah yang pernah dilewati malaikat ketika memandu perjalannan
Musa. Lalu menyalakan api dan melebur perhiasan emasnya. 36
Q.S Ṭahā/20:88
51
menghardiknya. Dengan sikap Nabi Musa seperti itu, Nabi Harun
meminta belaskasihannya. Kemudian Nabi Harun
mengemukakan usahanya dalam mencegah Banī Isrā`īl dari
berbuat demikian, Nabi Harun berkata “Mereka telah
menganggapku lemah dan nyaris saja membunuhku. Karena itu,
jangan jadikan musuh gembira melihatku, dan jangan
memasukkanku kedalam golongan orang yang sesat. Sungguh
aku khawatir, jika aku memerangi mereka engkau akan
menuduhku memecah belah Banī Isrā`īl dan tidak menjaga
amanah darimu.37
Begitupun Samiri, ia tidak luput dari amarahnya Nabi Musa.
Samiri mengakui kesalahannya sebagai orang yang memiliki
kemampuan supranatural tetapi disalah gunakannya. Nabi Musa
pun menghukum Samiri dengan mengusuirnya dari komuditas
Banī Isrā`īl. Sedangkan patung anak sapi yang disepuh Samiri,
dihancurkan.38
b. Hukuman yang diberikan kepada Banī Isrā`īl
Adapun hukuman atas perbuatan mereka yang telah
menyekutukan Allah yaitu dengan menyembah anak sapi tersebut
adalah dengan membunuh diri mereka sendiri. Hal ini terdapat
dalam Q.S al-Baqarah/2:54:
37
M Ahmad Jadul Maula dan M Abu al-Fadhl Ibrahim, Buku Induk Kisah-Kisah al-
Qur‟an, ter. Abdurrahman assegaf, cet. 1 (Jakarta: Zaman, 2009), 268. 38
Q. S al-A‟raf/7: 150 dan Q.S Ṭahā/20:93-97
52
م اذك خ
م ةات
نفسك
مخم ا
م ظل
ميسى لليمه يليم انك
واذ كال
م كم خيد ل
م ذلك
نفسك
يا ا
م فاكخل
ى ةارىك
فخيةيا ال
ػجل
ال
م خيم غند ةارىك اب الر م انه وي الخي
يك فخاب عل
“Dan (ingatlah) ketika Musa berkata kepada kaumnya, “Wahai
kaumku! Kamu benar-benar telah menzalimi dirimu sendiri
dengan menjadikan (patung) anak sapi (sebagai sesembahan),
karena itu bertobatlah kepada Penciptamu dan bunuhlah
dirimu. Itu lebih baik bagimu di sisi Penciptamu. Dia akan
menerima tobatmu. Sungguh, Dialah Yang Maha Penerima
tobat, Maha Penyayang”.
Dalam kitab Tafsīr Ibnu Kaṡir dijelaskan menurut Ibnu
„Abbās, tafsiran ayat ini adalah, bahwa Allah berfirman;
“Sesungguhnya taubat yang harus dilakukan oleh mereka yang
menyembah anak sapi adalah dengan cara setiap orang yang
diantara mereka yang terlibat dalam penyembahan anak sapi
harus mereka (yang tidak terlibat dalam penyembahan anak
sapi) bunuh, dimanapun mereka jumpai tanpa memandang
apakah yang mereka bunuh itu orang tuanya sendiri ataupun
anaknya sendiri.”39
Banī Isrā`īl harus saling membunuh tanpa memperdulikan
siapa yang dibunuhnya. Maka Allah menerima taubat mereka
yang menyembunyikan dosa mereka terhadap Nabi Musa dan
Nabi Harun, yang mana dosa tersebut kemudian ditampakkan
oleh Allah, lalu mereka mengakui dosa-dosa mereka dan ingin
melakukan apa yang diperintahkan oleh Allah kepada mereka.
39
Abū al-fidā‟ ibnul Kaṡīr, Tafsīr Ibnu Kaṡīr, jilid 1, cet.2 (Riyaḍ: Dār al-Ṭayyibah,
1999), 261.
53
Kemudian Allah memberikan ampunan kepada yang membunuh
dan yang dibunuh.40
c. Keras kepalanya Banī Isrā`īl untuk tidak bersedia beriman
kepada Nabi Musa sebelum mereka melihat Allah SWT.41
Kisah keras kepala Banī Isrā`īl ini diabadikan oleh Allah
dalam Q.S. al-Baqarah/2: 55:
ػلث م الصخذحك
جىرة فا ى نرى الل ك خت
ن نؤمن ل
خم يميسى ل
واذ كل
نخم حنظرون وا
“Dan (ingatlah) ketika kamu berkata, “Wahai Musa! Kami
tidak akan beriman kepadamu sebelum kami melihat Allah
dengan jelas,” maka halilintar menyambarmu, sedang kamu
menyaksikan.”
Dalam Tafsīr Ibnu Kaṡir dijelaskan bahwa tafsiran ayat diatas
adalah;
“Ingatlah akan nikmat-Ku yang aku limpahkan kepadamu,
yaitu Aku menghidupkan kamu kembali sesudah kamu mati
karena disambar petir. Hal ini terjadi ketika kamu (Musa)
meminta agar kamu dapatmelihat-Ku secara terang-terangan,
padahal hal tersebut tidak akan mampu kamu lakukan.”42
Tentang ayat ini, ibnu Abbas menyatakan bahwa kaum Banī
Isrā`īl baru bersedia beriman jika permintaan mereka untuk
melihat Allah dengan mata kepala mereka terkabulkan. Dengan
maksud, mereka tidak akan beriman jika mereka tidak melihat
Allah dengan mata kepala mereka. Al-Rābi‟ bin Annās
menambahkan bahwa mereka yang mengatakan demikian adalah
40
Kisah pemberian hukuman ini diabadikan oleh Allah dalam Q.S al-Baqarah/2:
51-56 41
Q.S al-Baqarah/2: 55-56 42
Abū al-fidā‟ ibnul Kaṡīr, Tafsīr Ibnu Kaṡīr, jilid 1, cet. 2 (Riyaḍ: Dār al-Ṭayyibah,
1999), 264.
54
tujuh puluh orang, yaitu orang yang dipilih oleh Nabi Musa untuk
sama-sama berangkat dengannya.43
Menurut al-Rābi‟ bin Anas bahwa pada asalnya mereka hanya
mendengar kalam Allah saja, lalu mereka meminta untuk bisa
melihat Allah dengan mata kepala mereka . Kemudian mereka
mendengar suara halilintar yang dahsyat yang menyebabkan
mereka mati. Melihat kejadian tersebut, Maka Nabi Musa pun
berdiri sambil menangis dan memohon kepada Allah seraya
berkata “Wahai Tuhanku apakah yang akan aku katakana kepada
Banī Isrā`īl yang lain jika aku kembali dan menemui mereka
nanti, sedangkan Engkau telah membinasakan orang yang terpilih
dari mereka. Kemudian Allah menurunkan wahyu kepada Nabi
Musa bahwa mereka yang tujuh puluh orang itu termasuk
kedalam orang yang menyembah anak sapi. Setelah itu, Allah
menghidupkan mereka. Mereka hidup dan bangun satu-persatu,
sedangkan sebagian dari mereka melihat sebagian yang lain
dalam keadaan dihidupkan.44
Inilah yang dimaksud dengan
firman Allah yang ada dalam ayat ke 56:
رون م تشك
كػلم لن ةػد ميحك م م
نك ذم ةػث
“Kemudian, Kami membangkitkan kamu setelah kamu
mati, agar kamu bersyukur”.
d. Kasih sayang Allah kepada Banī Isrā`īl dengan tetap
memberikan nikmat sekalipun mereka telah menyembah anak
43
Abū al-fidā‟ ibnul Kaṡīr, Tafsīr Ibnu Kaṡīr, 264. 44
Abū al-fidā‟ ibnul Kaṡīr, Tafsīr Ibnu Kaṡīr, 264.
55
sapi dan meminta untuk memelihat Allah dengan mata kepala
mereka sendiri.45
Ibnu Kaṡir menjelaskan, bahwa sesudah Allah menyebutkan
kemurkaan-Nya sampai Ia mematikan mereka (Banī Isrā`īl).
Kemudian Allah kembali mengingatkan mereka dengan akan
limpahan nikmat yang diberikan oleh-Nya kepada mereka.46
Adapun nikmat yang disebutkan dalam ayat ini adalah; al-
Gammām, mannā, dan salwā. al-Gamām menurut Ibnu Kaṡir
adalah jama‟ dari gammah yang artinya awan yang menutupi
langit, artinya awan putih. Mereka dinaungi awan tersebut agar
terhindar dari sengatan panas matahari padang pasir yang sangat
terik. Al- Ḥasan dan Qatādah mengatakan “Bahwa hal ini terjadi
di padang pasir47
.
Al-mannā, sebagaimana yang dipaparkan Ibnu Kaṡir,48
bahwa
ahli tafsir berbeda pendapat tentang makna dari al-mannā:
1) Ibnu „Abbās mengatakan bahwa, al-mannā adalah sesuatu
yang diturunkan kepada mereka pada sebuah pohon, lalu
menaikinya dan memakannya dengan puas.
2) Mujahīd mengatakan bahwa, al-mannā adalah getah
3) Ikrimah mengatakan bahwa, al-mannā adalah suatu
makanan yang diturunkanoleh Allah kepada mereka
seperti hujan gerimis
4) Qatādah mengatakan bahwa, al-mannā adalah sesuatu
yang turun ketempat mereka seperti turunnya salju.
45
Q.S al-Baqarah/2:57 46
Abū al-fidā‟ ibnul Kaṡīr, Tafsīr Ibnu Kaṡīr, jilid 1, cet. 2 (Riyaḍ: Dār al-Ṭayyibah,
1999), 266. 47
Abū al-fidā‟ ibnul Kaṡīr, Tafsīr Ibnu Kaṡīr, 266. 48
Abū al-fidā‟ ibnul Kaṡīr, Tafsīr Ibnu Kaṡīr 267.
56
Bentukny lebih puih daripada susu dan lebih manis
daripada madu.
5) Al-Rābi‟ bin Anas mengatakan bahwa, al-mannā adalah
minuman yang diturunkan kepada kaum Banī Isrā`īl,
rupanya seperti madu, mereka meminumnya dengan cara
mencapurkannya dengan air.
6) Wahāb bin Munabbih mengatakan bahwa, al-mannā
adalah roti lembut seperti biji jagung atau seperti dedak
7) „Āmīr al-Ṣa‟bī dan „Abdurraḥmān bin Zaid bin Aslām:
Madu.
Selanjutnya tentang makna salwa, Ibnu Kaṡir juga
memaparkan makna dari salwa menurut para Mufassir49
:
1) Ibnu „Abbās, ibnu Mas‟ūd dan sejumlah sahabat lain
berpendapat: sejenis burung yang mirip dengan Burung
sumani yang biasa mereka makan.
2) Ikrimah: sejenis burung yang kelak ada disurga.
Bentuknya lebih besar daripada burung pipit.
3) Qatādah: sejenis burung yang berblu merah yang datang
digiring oleh angin selatan.
4) Wahāb bin Munabbih: Burung yang gemuk seperti brng
merpati. Burung tersebut dengan berbondong-bondong
dari hari sabtu ke sabtu laginya.
Al-Saddi menyatakan bahwa ketika Banī Isrā`īl
memasuki padang sahara, mereka berkata pada Musa
“Bagaimana kami dapat bertahan ditempat seperti ini?
Dimanakah makanannya? Maka Allah menurunkan
manna kepada mereka. Manna turun kepada mereka
49
Abū al-fidā‟ ibnul Kaṡīr, Tafsīr Ibnu Kaṡīr, 271.
57
berjatuhan diatas pohon halia. Sedangkan salwa adalah
sejenis burung yang bentuknya mirip dengan burung
sumani, tetapi sedikit lebih besar.
Seseorang dari mereka menangkap burung salwa itu
telebih dahulu mereka meperhatikannya. Jika burung
tersebut gemuk, maka mereka menyembelihnya. Tetapi
jika kurus mereka melepaskannya. Setelah mereka
menyembelih burung tersebut, kemudian mereka berkata
kepada Nabi Musa, burung ini adalah makanannya, maka
manakah minumannya? Maka Allah memerintahkan ke
Nabi Musa untuk memukulkan tongkatnya pada sebuah
batu yang besar. Setealh batu itu dipukul, maka
memancarlah dua belas mata air yang mengalir, hingga
tiap tiap dari kelompok dari Banī Isrā`īl mempunyai mata
air mereka sendiri. kemudian Mereka berkata lagi “Air ini
minumannya, maka manakah naungannya? Lalu mereka
dinaungi oleh awan. Dan mereka berkara lagi, awan ni
adalah naungannya, maka manakah pakaiannya? Maka
seketika itu bahwa pakaian mereka tahan lama dan tidak
robek-robek. Adapun tentang air yang memancar dari bat
besar, terdapat dalam surah al-Baqarah ayat 60:
حجر ػصاك ال نا اضرب ة
واذ استسقى ميسى لليمه فلل
فانفجرت منه اذجخا غضرة غحنا “Dan (ingatlah) ketika Musa memohon air untuk
kaumnya, lalu Kami berfirman, “Pukullah batu itu
dengan tongkatmu!” Maka memancarlah daripadanya
dua belas mata air”.
58
3. Banī Isrā`īl dan Pejanjian dengan Allah SWT. 50
Setelah Banī Isrā`īl melakukan penyembahan terhadap anak sapi
yang diperdaya oleh seseorang diantara mereka yang bernama Samiri,
dan juga telah mendapatkan hukuman dari perbuatan mereka tersebut.
Maka setelah itu mereka mengadakan perjanjian dengan Allah SWT.
Kisah perjanjian Allah SWT dengan Banī Isrā`īl diabadikan oleh
Allah dalam Q.S. al-Baqarah/2: 83-86:
يالدين وةال ا الل
ا حػتدون ال
لخذنا محراق ةني اسراءيل
واذ ا
اس خسنا يا للنمسكين وكيل
حخمى وال
لربى وال
ذى ال اخسانا و
حخم ا ذم حيل ية
حيا الزك
ية وا
ل كيميا الص
ا نخم و
م وا
نك ا م
ا كليل
ل
ا م ول
ين دماءك
ا تسفك
م ل
خذنا محراكك
ػرضين واذ ا م
نخم تشىدون ذم كررحم وا
م ذم ا
ن ديارك م م
نفسك
خرجين ا
ت
نفسك
ين ا
اء حلخل
ؤل نخم و
ن ا م م
نك خرجين فريلا م
م وت
سرى م احيك
وان يأ ػدوان
اذم وال
يىم ةال
دياروم حظىرون عل
فخؤمنين ةتػض م اخراجىم ا
يكم عل حفدووم ووي محر
فرون ةتػض كتب وحك
ا ال
م ال
ذلك منك
فػل فما جزاء من ي
ػذاب شد ال
ى ا ون ال ليمث يرد
نيا وييم ال حيية الد
خزي فى ال
50
Q.S al-Baqarah/2: 83-86
59
حيية ذين اشتدوا ال
ك ال ى ول
ين ا
ا حػمل ةغافل غم
وما الل
خ انيا ةال ا وم ينصرون الد
ػذاب ول
ف غنىم ال ف ا يخ
رة فل
“Dan (ingatlah) ketika Kami mengambil janji dari Bani Israil,
Janganlah kamu menyembah selain Allah, dan berbuat-baiklah
kepada kedua orang tua, kerabat, anak-anak yatim, dan orang-
orang miskin. Dan bertuturkatalah yang baik kepada manusia,
laksanakanlah salat dan tunaikanlah zakat.” Tetapi kemudian kamu
berpaling (mengingkari), kecuali sebagian kecil dari kamu, dan
kamu (masih menjadi) pembangkang.
Dan (ingatlah) ketika Kami mengambil janji kamu, “Janganlah
kamu menumpahkan darahmu (membunuh orang), dan mengusir
dirimu (saudara sebangsamu) dari kampung halamanmu.”
Kemudian kamu berikrar dan bersaksi.
Kemudian kamu (Bani Israil) membunuh dirimu (sesamamu), dan
mengusir segolongan dari kamu dari kampung halamannya. Kamu
saling membantu (menghadapi) mereka dalam kejahatan dan
permusuhan. Dan jika mereka datang kepadamu sebagai tawanan,
kamu tebus mereka, padahal kamu dilarang mengusir mereka.
Apakah kamu beriman kepada sebagian Kitab (Taurat) dan ingkar
kepada sebagian (yang lain)? Maka tidak ada balasan (yang pantas)
bagi orang yang berbuat demikian di antara kamu selain kenistaan
dalam kehidupan dunia, dan pada hari Kiamat mereka
dikembalikan kepada azab yang paling berat. Dan Allah tidak
lengah terhadap apa yang kamu kerjakan.
Mereka itulah orang-orang yang membeli kehidupan dunia dengan
(kehidupan) akhirat. Maka tidak akan diringankan azabnya dan
mereka tidak akan ditolong.”
Dalam ayat tersebut, ada dua kategori perjanjian Banī Isrā`īl
dengan Allah SWT. Yaitu untuk melaksanakan beberapa tuntutan
penting yang berhubungan Allah SWT dan hubungan mereka dengan
sesama manusia. Yang kedua adalah perjanjian Banī Isrā`īl kepada
Allah untuk tidak menumpahkan darah sesama manusia.
60
Ibnu Kaṡīr berpendapat bahwa melalui ayat ini Allah SWT
mengingatkan Banī Isrā`īl terhadap apa yang diperintahkan oleh-Nya
kepada mereka dan ikatan janji oleh-Nya perkara tersebut kepada
mereka. Namun mereka berpaling dari semua janji itu bahkan mereka
juga menantang secara sengaja dan membuat berbagai rencana untuk
menentang perjanjian Allah tersebut sedangkan mereka mengetahui
dan mengetahui hal tersebut. Maka Allah memerintahkan mereka agar
menyembah-Nya dan tidak menyekutukan mereka dengan sesuatu apa
pun.51
Dan firman Allah الل ل إل ت عبهدهون menurut al Zamakhsyarī
adalah kalimat berbentuk khabar tetapi bermakna thalab.52
Selanjutnya, yang ditekankan oleh Allah terhadap Banī Isrā`īl
adalah untuk tidak menumpahkan darah sesama manusia. Ibnu Kaṡīr
berkata; Melalui ayat ini Allah SWT membantah orang Yahudi yang
ada pada zaman Rasulullah di Madinah, dan mengecam tindakan
mereka yang ikut berperang yang melibatkan diri dalam perang antara
„Aus dan Khadraj.53
Hal ini karena Kabilah „Aus dan Khadraj , yaitu orang Anshar pada
asalnya pada masa Jahiliyyah adalah penyembah berhala. Oleh karena
itu antara dua belah pihak banyak terjadi peperangan . sedangkan
orang Yahudi di Madinah terdiri atas tiga Kabilah yaitu Banī
Qainuqā‟ dan Banī Nadhīr merupakan sekutuh kabilah Arab Khadraj.
Sedangkan Banī Quzairah adalah sekutu dengan Qabīlah „Aus .
Apabila terjadi peperangan antara dua belah pihak, maka masing-
masing berpihak kepada teman sejutu mereka. Orang Yahudi juga
terlibat dalam peperangan ini Hingga mereka juga membunuh musuh
51
Abū al-fidā‟ ibnu Katsīr, Tafsir Ibnu katsīr, cet . 2 (Riyaḍ: Dār al-Ṭayyibah,
1999), 316. 52
Abū al-fidā‟ ibnu Katsīr, Tafsir Ibnu katsīr, 317. 53
Abū al-fidā‟ ibnu Katsīr, Tafsir Ibnu katsīr, 318.
61
sekutu mereka. Adakalanya Yahudi membunuh Yahdi yang lain yang
berpihak kepada musuh sekutu. Padahal perbuatan tersebut
diharamkan atas mereka menurut ajaran agama yang di naṣ kan oleh
kitab Taurat mereka. Mereka mengusir musuh mereka dari kampung
halamannya serta merampok semua peralatan, barang dan harta benda
yang ada pada kampung tersebut. Tetapi apabila perang berhenti dan
terjadi gencatan senjata antara kedua belah pihak yang bersangkutan,
masing-masing dari dua golongan dari kaum Yahudi menebus
tawanan yang sekaum dengan mereka daripada tangan musuh mereka
karna mengamalkan kandungan kitab Taurat.54
4. Banī Isrā`īl dan Kisah Penyembelihan sapi
Kisah penyembelihan sapi ini adalah kisah yang terjadi setelah kisah
penyembahan anak sapi yang dilakukan oleh Kaum Banī Isrā`īl dan
setelah adanya perjanjian antara mereka dengan Allah SWT.
Setelah berlalu, ada suatu kejadian baru yang menimpa kaum Banī
Isrā`īl, yaitu terjadinya pembunuhan dikalangan mereka yang tidak
diketahui siapa pembunuhnya. Sebagaimana yang telah disebutkan
sebelumya, bahwa surat al-Baqarah ayat 67-71 menceritakan dialog
antara Nabi Musa dan kaumnya yang bernama Banī Isrā`īl tentang siapa
yang telah melakukan pembunuhan terhadap salah satu dari mereka.
Kemudian meminta kepada Nabi Musa untuk memohonkan kepada Allah
supaya memberitahu siapa yang telah melakukan pembunuhan tersebut. 55
54
Abū al-fidā‟ ibnu Katsīr, Tafsir Ibnu katsīr, 293 55
Mahmud Yunus mengutip perkataan Rasyid Ridha bahwa bukanlah orang yang
mati itu hidup kembali, melainkan dengan penyembelihan sapi itu menurut syaria‟at Nabi
Musa tercapailah perdamaian dan terhindalah pertumpahan darah. Jadi arti
menghidupkan oang mati adalah memelihara jiwa dan pertumpahan darah dan perang
saudara, sebab perselisihan tentang pembunuhan yang terjadi itu. Pendeknya, dengan
adanya hukum penyembelihan sapi itu hiduplah mereka dengan aman kembali. Tetapi
menurut M. Syaltut, tafsiran ini sangat jauh dari arti ayat tersebut. Lihat: Mahmud Yunus,
Tafsīr Qur‟ān Karīm, cet. 72 (Jakarta: PT. Hidakarya Agung, 2002), 15.
62
Mengenai kronologi penyembelihan sapi betina sangatlah banyak
riwayat yang menceritakannya. Dari kesemuanya itu, hanya perbedaan
pada redaksinya saja, yaitu adanya pembunuhan dikalangan Banī Isrā`īl
dan mereka ingin mengetahui pembunuhnya dengan cara meminta bantuan
kepada Nabi Musa.
Adapun kronologinya adalah bahwa ada seorang laki-laki yang lanjut
usia dalam kalangan kaum Banī Isrā`īl pada zaman Nabi Musa AS, lelaki
tua tersebut mempunyai harta yang banyak sedangkan anak-anak dari
saudara laki-lakinya adalah orang miskin. Dan laki-laki tersebut tidak
mempunyai anak, sedangkan yang mewarisi hartanya itu hanyalah anak-
anak dari saudara laki-lakinya. Anak-anak saudaranya sangat
menginginkan kematian dari paman mereka itu segera tiba, karena mereka
juga ingin segera menguasai harta paman mereka. Namun setelah berlalu
beberapa waktu yang cukup lama, paman mereka yang mereka harapkan
kematiannya tersebut tidak kunjung mati. Lalu datanglah setan yang
membisikkan kepada mereka untuk membunuh paman mereka tersebut,
supaya mereka segera memiliki harta paman mereka itu. Dan setan juga
membisiki kepada mereka untuk membuang mayat paman mereka itu ke
luar daerah mereka.
Demikian itu karena ada dua kota disekitar daerah tersebut dan
mereka berada di salah satu dari kedua kota tersebut. Sedangkan hukum
yang berlaku pada waktu itu adalah apabila ada seorang yang terbunuh
lalu mayatnya tergeletak diantara dua kota, maka dilakukanlah
pengukuran jarak antara si mayit dan kedua kota tersebut. Kota manapun
yang letaknya lebih dekat dengan si mayat tersebut, maka penduduk kota
itulah yang harus membayar diyatnya.
Setelah berlalu beberapa waktu yang cukup lama, merekapun terhasut
dengan apa yang dibisikan setan dan kemudian mereka membunuh paman
63
mereka itu dan melemparkan mayatnya kedepan pintu gerbang kota yang
mana mereka bukan berasal dari kota tersebut. Pada keesokan harinya
penduduk kota tersebut mendatangi penduduk kota tepat mererka
membuang mayat, lalu berkata: “Saudara dari bapak kami terbunuh
didepan pintu gerbang kota kamu ini. Demi Allah kamu harus membayar
diyat dari kematian saudara bapak kami ini. Penduduk kota menjawab,
Kami bersumpah dengan nama Allah bahwa kami tidak membunuhnya
dan kami tidak mengetahui siapa pembunuhnya. Kami belum pernah
membuka gerbang pintu gerbang kota kami sejak kami menutupnya
hingga pagi hari.”
Kemudian mereka mendatangi Nabi Musa dan mereka berkata: “Kami
menemui saudara dari bapak kami ini dalam keadaan terbunuh dihadapan
pintu kota mereka. Penduduk kota tersebut menjawab: “Kami bersumpah
kepada Allah bahwa kami tidak membunuhnya dan kami tidak pernah
membuka pintu gerbang kota kami bila telah kami tutup hingga pagi
harinya”.
Kemudian datanglah Malaikat Jibril menyampaikan berita dari Allah
kepada Nabi Musa untuk menyembelih seekor sapi betina. Dan Nabi Musa
pun berkata kepada mereka “Sesungguhnya Allah menyuruh kamu
menyembelih seekor sapi kemudian kamu pukul mayat tersebut dengan
salah satu anggota badan sapi betina yang telah disembelih tersebut”.56
Maka dipanggillah Nabi Musa untuk menyelesaikan masalah tersebut.
Nabi Musa menyuruh mereka untuk menyembelih sapi betina kemudian
memukulkan bagian dari sapi ke mayat tersebut. Kemudian mayat tersebut
hidup lagi dan menceritakan siapa orang yang telah membunuhnya, yaitu
keponakan dari mayat itu sendiri.
56
Abū Ja‟far al-Ṭabarī, jāmi‟ul bayān fī ta‟wīl al-Qur‟an, juz 1, cet. 1 (Beirut:
Mu`assasah al-Risālah, 2000), 188.
64
D. Karakter Banī Isrā`īl yang disebutkan dalam al-Qur`ān.
Disamping menceritakan kisah-kisah dari Banī Isrā`īl, al-Qur`anjuga
menyebutkan beberapa sifat-sifat dari Banī Isrā`īl atau Bangsa Yahudi
tersebut. Bahkan dalam kitab Tafsīr al-Marāgī disebutkan ada 76 karakter
atau sifat yang di miliki kaum Yahudi yang berhasil disusun Drs M.
Thalib dalalam bukunya yang berjudul 76 karakter Yahudi dalam al-
Qur`anyang terdapat dalam tafsir al-Maragi. Tetapi dalam tulisan ini,
penulis akan menyebutkan beberapa saja. Diantaranya adalah:
1. Kelompok Orang Yang Cepat Melanggar Janji
Sifat yang dimiliki Banī Isrā`īl ini tergambar dalam Q.S. . al-
Baqarah/2: 64
جخم كم ورحمخه ل
يك عل الل
ا فضل
يلن ةػد ذلك فل حخم م
ن ذم حيل م
صرين خ ال
“Kemudian setelah itu kamu berpaling. Maka sekiranya bukan
karena karunia Allah dan rahmat-Nya kepadamu, pasti kamu
termasuk orang yang rugi.”
Banī Isrā`īl yang berada dibawah pimpinan Nabi Musa
diperintahkan oleh Allah untuk melaksanakan isi kitab Taurat dengan
sepenuh hati dan sungguh-sungguh. Disaat mereka menerima perintah
ini, Allah mengangkat gunung Thursina diatas kepala mereka agar
mereka menjadi yakin dan bertambah kuat Iman serta menghayatinya
dengan sedalam-dalamnya.
Setelah mereka menyaksikan kejadian tersebut, kemudian Allah
menyuruh mereka berjanji untuk mematuhi Kitab Tauat dengan
sungguh-sungguh . akan tetapi mereka malah bersikap sebaliknya,
mereka justru dengan cepat melanggar perjanjian yang baru saja
65
mereka buat. Namun karena sifat belas kasih dari Allah,mereka tidak
dihukum atas pelanggaran yang mereka perbuat tersebut.57
Begitu juga pada masa Nabi Muhammad SAW. Banī Isrā`īl atau
bangsa Yahudi juga gemar mengingkari janji mereka sendiri. Yaitu
ketika Bangsa Yahudi tinggal di kota Madinah, pada masa Rasulullah
telah mengadakan perjanjian dengan mereka untuk tidak saling
membantu musuh yang akan menyerang Madinah dan bersama-sama
dengan umat Islam untuk menjaga keamanandan ketentraman di
Madinah. Akan tetapi kemudian Bangsa Yahudi bersepakat dengan
Bangsa Quraisy di Makkah untuk menyerang kota Madinah dan
menghancurkan umat Islam. Penyerangan ini berlangsung dalam
sebuah perang yang disebut dengan perang Khandaq.58
Perang Khandaq ini merupakan pelajaran terhadap Rasulullah
bahwa bangsa Yahudi sebagai mansia yang tidak pernah jujur
memegang janji-janjinya kepada Nabi Musa. Karena pelanggaran janji
itulah kemudian Rasulullah menghukum mati bangsa Yahudi laki-laki
dewasa, sedangkan anak-anak dan perempuan diusir keluar dari kota
Madinah.
Megenai hal ini, Allah secara jelas menerangkan sifat mereka
tersebut dalam Q.S. al-Maidah/5: 13. Dari ayat tersebut jelas sekali
bahwa al-Qur`an telah menyebutkan sifat mereka secara terang-
terangan yaitu Khianat. Karena mereka telah melanggar janji mereka
57
M Thalib, 76 karakter Yahudi dalam al-Qur‟an, cet. 3 (Solo: CV. Pustaka
Mantiq, 1992), 36. 58
Perang Khandaq terjadi pada blan Syawal tahun 5 H. peristiwa ini disebutkan
dalam surat al-Ahzab ayat ke 10. Kota Madinah dikepung oleh msuh selama 27 hari,
sehingga umat Islam Madinah hamper mengalami kekacauan karena kelaparan .
mayoritas kaum Muslimin telah berputus asa. Pada saat yang demikian gawat, kemudian
Allah memberi pertolongan-Nya sehingga musuh lari meninggalkan Madinah dan
selamatlah umat Islam dari kepungan mereka. Lihat: Muḥammad Khuḍarī Bīk, Nūr al-
Yaqīn fī Sīrati al-Mursalīn, (Makkah: Dār al-Ȋmān, 1997), 149.
66
dengan Allah SWT utuk tidak lagi berkmaksiat tetapi mereka
melanggar janj mereka tersebut. Bahka mereka bersekongkol dengan
orang-orang Musyrik untuk memerangi Nabi MuhammadSAW. Hal
ini diketahui secara jelas dalam kalimat خائنة dengan makna خيانة. 59
2. Suka Merubah Dan Memutarbalikkan Kebenaran Yang Ada Dalam
Kitab
Sebagaimana yang telah disebutkan pada penjelasan tentang kisah-
kisah Banī Isrā`īl dalam al-Qur`an pada pembahasan sebelumnya,
bahwa Banī Israi suka melakukan pengubahan kitab Taurat sesuai
hawa nafsu mereka semata. Hal ini disebutkan dalam Q.S. al-Baqarah
ayat 75:
نى ان فريق م م وكد ك
كؤمنيا ل ن ي
فخطمػين ا
ذم ۞ ا ام الل
لم يسمػين ك
مين يه ووم يػل
فينه من ةػد ما غلل ر
يح“Maka apakah kamu (Muslimin) sangat mengharapkan mereka
akan percaya kepadamu, sedangkan segolongan dari mereka
mendengar firman Allah, lalu mereka mengubahnya setelah
memahaminya, padahal mereka mengetahuinya?”
Dalam ayat tersebut jelas menunjukkan bahwa Banī Isrā`il itu suka
merubah dan memutarbalikkan kebenaran yang terdapat dalam kitab.
Hal ini dapat dilihat dalam kalimat ن وف هريح yang bermakna
membelokkan. Dalam kitab Tafsīr al-Bagāwī dijelaskan bahwa
maksud dari ن وف هريح adalah هغ ي ه ن وي yang berarti merubah.60
Adapun bukti terhadap sikap Banī Isrā`īl tersebut adalah, bahwa
mereka telah mengubah isi Taurat maupun Injil sehingga tidak dapat
sesuai aslinya. Misalnya, mereka mengubah kata “Muḥammad”
59
Muḥammad Ḥusein al-Bagāwī, Ma‟alimu al-Tanzil, juz 3, cet. 4 (Dar thayyibah
Li an-Nasyr wa at-Tauzi‟, 1997), 31. 60
Muḥammad Ḥusein al-Bagāwī, Ma‟alimu al-Tanzil, 113.
67
dengan menerjemahkannya kedalam bahasa Ibrani dengan kata
paraclet yang berarti orang yang mempunyai sifat terpuji. Sekalipun
secara makna kata tersebut searti dengan kata “Muḥammad”, tetapi
perubahan tersebut menimbulkan pengertian yang kabur. Akibatnya,
nama yang telah tegas disebut dengan kata “Muḥammad” menjadi sulit
dimengerti orang, dan lenyaplah kebenaran yang dikehendaki kitab
Taurat dan Injil yang asli.61
Kitab Taurat dan Injil sejatainya menjelaskan tentang hal-hal
sebagai berikut:
a. Mengingatkan tentang munculnya nabi-nabi palsu di tengah-
tengah bangsa Yahudi, dan akan terjadi kenehan-keanehan
yang mengejutkan hati.
b. Allah akan mengutus seorang nabi dari keturunan Nabi Isma‟il
ditengah-tengah mereka. Ia akan mendirikan suatu umat dan ia
berasaldari anak keturunan Hajar. Dan Allah menjelaskan
tanda-tanda nabi keturunan Nabi Ismail ini dengan gamblang,
tidak samar sama sekali.
Kemudian para pendeta dan Rahib Yahudi mengaburkan hal
tersebut. Mereka sembunyikan sifat-sifat yang sesuai dengan Nabi
Muhammad SAW. yang telah mereka ketahui. Mereka juga
menyembunyikan tentang sifat-sifat para nabi yang jujur dan cara
mereka mengajak manusia ke jalan Allah.62
3. Melakukan Pembunuhan Terhadap Para Nabi
Sifat lain yang dimiliki oleh Banī Isrā`īl adalah mereka suka
membunuh nabi-nabi yang diutus oleh Allah kepada mereka untuk
menyampaikan Risah kepada mereka. Tetapi apabila risalah tersebut
61 Rizem Aizid, Al-Qur‟an mengungkap Yahudi, cet. 1 (Yogyakarta: DIVA Press,
2015), 72. 62
Rizem Aizid, Al-Qur‟an mengungkap Yahudi, 73.
68
tidak mereka sukai, maka ada sebagian dari Rasul tersebut mereka
dustai dan bahkan mereka akan membunuh nabi-nabi yang membawa
risalah tersebut.
Sifat ini disebtkan secara terang-terangan oleh Allah dalam Q.S.
al-Maidah ayat 70:
ما جاءوم رسيل
لا ك
يىم رسل
نا ال
رسل
وا
خذنا محراق ةني اسراءيل
لد ا
ل
نفسىم فريلا ى ا ا حىي
ينةما ل
لخل ةيا وفريلا ي ذ
ك
“Sesungguhnya Kami telah mengambil perjanjian dari Banī Isrā`īl,
dan telah Kami utus kepada mereka rasul-rasul. Tetapi setiap rasul
datang kepada mereka dengan membawa apa yang tidak sesuai
dengan keinginan mereka, (maka) sebagian (dari rasul itu) mereka
dustakan dan sebagian yang lain mereka bunuh.”
Sebagian bangsa Yahudi menutup mata dan telinga mereka dari
menerima nasehat kebenaran. Semakin sering para nabi mereka
mengingatkan mereka, namun tetap saja mereka mengabaikannya.
dengan sikap mereka tersebut, mereka berani membunuh para nabi
yang membawa petunjuk dan bimbingan hidup kepada mereka .
mereka telah membunuh Nabi Zakariya dan Nabi Yahya, bahkan
mereka juga berusaha membunuh Nabi Isa, tetapi gagal.63
4. Bangsa Yang Paling Mengenal Ciri Nabi Muhammad Tetapi
Mengingkarinya.
Sifat kaum Banī Isrā`īl ini disebutkan oleh Allah SWT. dalam Q.S.
al-Baqarah ayat 146:
بناءوم وان فريلا م ما يػرفين ا
كتب يػرفينه ك
ححنىم ال
ذين ا
لنىم ا
مين حق ووم يػل
خمين ال
يك ل
63
M Thalib, 76 karakter Yahudi dalam al-Qur‟an, cet. 3 (Solo: CV. PUSTAKA
MANTIQ, 1992), 186.
69
“Orang-orang yang telah Kami beri Kitab (Taurat dan Injil)
mengenalnya (Muhammad) seperti mereka mengenal anak-anak
mereka sendiri. Sesungguhnya sebagian mereka pasti
menyembunyikankebenaran, padahal mereka mengetahui(nya).”
Dalam ayat tersebut, seolah-olah Allah berfirman “Mereka itu
mengenal Muhammad dengan sungguh-sungguh karena mereka telah
mendapatkan penjelasan dari kitab mereka. Bahkan „Abdullah bin
Salām64
seorang pendeta Yahudi yang kemudian masuk Islam Berkata
“Aku lebih banyak mengenalnya (Muhammad) daripada mengenal
anakku sendiri”. Lalu Umar berkata “Mengapa?”. Dia menjawab
“Karena aku tidak ragu-ragu lagi bahwa Muhammad adalah seorang
Nabi. Adapun anakku oleh jadi ibunya menyeleweng. Lalu Umar
mencium kepalanya.65
Walaupun kaum Yahudi mengetahui tentang kanabian
Muahammad, tetapi tetap saja sebagian dari mereka menyembunyikan
kebenaran tersebut dan mengingkarinya. Oleh karena itu Allah
mengatakan “Mereka itu mengenal Muhammad dengan sebenarnya
64
Nama aslinya adalah al-Ḥusain bin Salām, namun Rasulullah mengganti namanya
dengan Abdullah bin Salam setelah dia masuk Islam. Dia adalah seorang rahib atau
pendeta Yahudi dari Banī Qainuqa‟. Cucu dari Yusuf bin Ya‟qub as. Dia adalah orang
yang paling tahu diantara Yahudi lainnya tentang ajaran-ajaran Taurat. Dan seorang
pemimpin Yahudi yang sangat disegani dikalangan Yahudi. Diriwayatkan dalam ṡahih
Bukhari bahwa sebelum masuk Islam, Abdullah bin Salam mengajukan kepada Nabi
Muhammad tentang tiga pertanyaan yang tidak diketetahui jawabannya kecuali oleh
seorang Nabi (sekaligus menguji kenabian Nabi Muhammad). Pertantanyaan pertama
adalah apakah tanda-tanda pertama dari Hari Akhir?, pertanyaan kedua, makanan
pertama apa yang dimakan orang di surga?. Pertanyaan ketiga, mengapa seorang anak
mirip ayahnya dan mengapa saudaranya mirip pamannya?. Maka Nabi Menjawab, tanda
pertama Hari Akhir adalah akan ada api yang menyatukan orang-orang dari Timur dan
Barat. Makanan pertama orang disurga adalah hati ikan. Tentang anak yang mirip orang
tuanya, jika seorang laki-laki berhubungan badan dengan istrinya dan mencapai orgasme
lebih dahulu, anaknya akan mirip dia dan jika istrinya mencapai orgasme terlebih dahulu,
maka anaknya mirip sang istri. Lihat: Muḥammad bin Ismā‟īl al-Bukhārī, Ṡahīh al-
Bukhārī, juz 3,cet. 3 (Beirut: Dār ibnu Kaṡīr, 1987), 1211. 65
M Thalib, 76 karakter Yahudi dalam al-Qur‟an, cet. 3 (Solo: CV. Pustaka
Mantiq, 1992), 94.
70
tetapi ada saja diantara mereka yang menyembunyikan kebenaran
tersebut”.
5. Su‟ul Adab Terhadap Allah
Adapun diantara sifat-sifat lain dari Banī Isrā`īl adalah bahwa
mereka su‟ul adab terhadap Allah. Seperti mengatakan perkataan
yang tidak pantas terhadap Allah SWT. seperti yang disebutkan dalam
Q.S. ali-„Imran ayat 181:
تب ما غجياء سنك
ن ا ح
ن فليد و يا ان الل
ذين كال
ال كيل لد سمع الل
ل
ذوكيا عذاب نليل و
بياء ةغيد خق ناىم ال
يا وكخل
حريق كال
ال
“Sungguh, Allah telah mendengar perkataan orang-orang (Yahudi)
yang mengatakan, “Sesungguhnya Allah itu miskin dan kami
kaya.” Kami akan mencatat perkataan mereka dan perbuatan
mereka membunuh nabi-nabi tanpa hak (alasan yang benar), dan
Kami akan mengatakan (kepada mereka), “Rasakanlah olehmu
azab yang membakar!”
Dari ayat tersebut jelaslah bahwa mereka telah su‟ul adab kepada
Allah dengan mengatakan hal-hal yang tidak pantas bagi Allah SWT.
yaitu perkataan yang mengatakan bahwa Allah itu adalah miskin dan
mereka adalah kaya. Padahal sudah banyak ayat-ayat yang
menjelaskan bahwa Allah itu Maha kaya. Sebagaimana yang terdapat
dalam Q.S. al-Baqarah ayat 263:
غ ذى واللتتػىا ا ن صدكث ي مغفرة خيد م ػروف و م
ني حليم كيل
“Perkataan yang baik dan pemberian maaf lebih baik daripada
sedekah yang diiringi tindakan yang menyakiti. Allah Mahakaya,
Maha Penyantun.”
71
6. Berhati Keras Seperti Batu
Sifat selanjutnya yang ada pada Banī Isrā`īl adalah bahwa hati
mereka itu keras seperti batu. Yaitu tidak mau menerima kebenaran-
kebenaran maupun mu‟jizat yang didatangkan oleh Allah kepada para
Nabi-Nya. Seperti yang disebutkan dalam Q.S. al-Baqarah ayat 74:
جا حالن ةػد ذلك فهي ك م م
يةك
شد كسية ذم كسج كل
و ا …رة ا
“Kemudian setelah itu hatimu menjadi keras, sehingga (hatimu)
seperti batu, bahkan lebih keras”
Dalam ayat diatas, Allah menggambarkan salah satu dari sifat Banī
Isrā`īl yaitu hati mereka keras seperti batu karena mereka tidak mau
menerima kebenaran dan kemukjizatan yang diberikan oleh Allah
kepada Nabi-Nya. Hal itu diketahui ketika mereka telah menyaksikan
kebenaran dari Allah tetapi mereka mengingkarinya. Maka Allah
menyamakan hati mereka seperti batu yang keras yang tidak mau
menerima kebenaran.66
Sikap egois dan keras kepala Banī Isrā`īl yang telah diebutkan oleh
Allah secara terang-terangan tersebut bukan karena mereka tidak
mengerti kebenaran tetapi justru bermaksud memperalat kebenaran
untuk memperoleh keuntungan untuk dirinya sendiri.
Dalam Q.S. al-Baqarah/2: 75 diatas dengan tegas memberikan
keterangan bahwa mental durhaka dan fasik yang ada pada bangsa
Yahudi atau Banī Isrā`īl sudah menjadi darah daging mereka. Karena
itu ayat ini memperingatkan umat Islam janganlah menaruh harapan
sedikit pun kepada bangsa Yahudi untuk dapat menjadi pemeluk-
pemeluk agama Islam. Karena nenek moyang mereka, para pendeta
dan ahli-ahli agama mereka gemar berbuat keji, yaitu merubah
66
Abū al-fidā‟ ibnu Katṡīr, Tafsir Ibnu kaṡīr, cet. 2 (Riyaḍ: Dār al-Ṭayyibah, 1999),
304.
72
firman-firman Allah yang ada pada kitab-kitab suci mereka,
sehinggatidak lagi dapat diketahui kebenaran aslinya. Dengan
demikian Bangsa Yahudi yang ada sampai sekarang pun mental dan
keadaanya tidak lebih baik dari nenek moyang mereka.67
Itu adalah beberapa karakter dari Banī Isrā`īl yang disebutkan
dalam al-Qu‟an. sebenarnya masih banyak lagi karakter dari Banī
Isrā`īl yang mencapai 76 karakter, sebagaimana yang dirangkum oleh
oleh M. Tholib dalam bukunya yang berjudul 76 Karakter Banī Isrā`īl
yang.
67
M Thalib, 76 karakter Yahudi dalam al-Qur‟an, cet. 3 (Solo: CV. PUSTAKA
MANTIQ, 1992), 41.
73
BAB IV
KLASIFIKASI PERTANYAAN BANĪ ISRĀĪL
Bagian bab IV merupakan inti dari penulisan skripsi ini, yaitu analisa
terhadap pertanyaan-peranyaan yang diajukan oleh Banī Isrāīl. Sehingga
bisa diketahui jenis daripada pertanyaan Banī Isrāīl tersebut. Kisah Banī
Isrā`īl tersebut diabadikan oleh Allah dalam Q.S. al-Baqarah/2: 67-71.
Ayat tersebut didalamnya menjelaskan tentang dialog antara Nabi Musa
dan kaumnya yang bernama Banī Isrā`īl dalam peristiwa penyembelihan
sapi betina.
Allah SWT berfirman:
ن م امرك
ــأ ي ــه ان الل ميســى لليم
حخخــذنا واذ كــال
يا ا
ــال ــرة ك يا ةل ــذبح ح
نـا ن ل نـا رةـك يتـي
يا اد ل
جىلـين كـال
ين من ال
كن ا
ا غيذ ةالل
اوزوا كال
ـر غـيان ةـين ـا ةك
ل ـا فـارض و
انىـا ةلـرة ل
انه يلـيل
ذلـك ما هي كال
انـه يلـيل
ينىـا كـال
نـا مـا ل
ن ل نا رةك يتـي
يا اد ل
يا ما حؤمرون كال
فافػل
نـا ن ل نـا رةـك يتـي
يا اد ل
ظـرين كـال ينىـا تطـر الن
انىا ةلرة صفراء فاكع ل
ما هي ان انـه يلـيل
مىخـدون كـال
ل حنـا وانـا ان شـاء الل
تلر تشـته عل
ال
اشـيث فيىـا مث ل
حـرث مسـل
ـا تسـقى ال
رض ول
ـا حريد ال
يلا ذل
انىا ةلرة ل
يوا فذبححق ن جخج ةال ـ
يا ال
ين كال
ادوا يفػل
وما ك
“Dan (ingatlah) ketika Musa berkata kepada kaumnya, “Allah
memerintahkan kamu agar menyembelih seekor sapi betina.”
Mereka bertanya, “Apakah engkau akan menjadikan kami sebagai
ejekan?” Dia (Musa) menjawab, “Aku berlindung kepada Allah
agar tidak termasuk orang-orang yang bodoh.”
“Mereka berkata, “Mohonkanlah kepada Tuhanmu untuk kami
agar Dia menjelaskan kepada kami tentang (sapi betina) itu.” Dia
74
(Musa) menjawab, “Dia (Allah) berfirman, bahwa sapi betina itu
tidak tua dan tidak muda, (tetapi) pertengahan antara itu. Maka
kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu.”
“Mereka berkata, “Mohonkanlah kepada Tuhanmu untuk kami
agar Dia menjelaskan kepada kami apa warnanya.” Dia (Musa)
menjawab, “Dia (Allah) berfirman, bahwa (sapi) itu adalah sapi
betina yang kuning tua warnanya, yang menyenangkan orang-
orang yang memandang(nya).”
“Mereka berkata, “Mohonkanlah kepada Tuhanmu untuk kami
agar Dia menjelaskan kepada kami tentang (sapi betina) itu.
(Karena) sesungguhnya sapi itu belum jelas bagi kami, dan jika
Allah menghendaki, niscaya kami mendapat petunjuk.”
“Dia (Musa) menjawab, “Dia (Allah) berfirman, (sapi) itu adalah
sapi betina yang belum pernah dipakai untuk membajak tanah dan
tidak (pula) untuk mengairi tanaman, sehat, dan tanpa belang.”
Mereka berkata, “Sekarang barulah engkau menerangkan (hal)
yang sebenarnya.” Lalu mereka menyembelihnya, dan nyaris
mereka tidak melaksanakan (perintah) itu.”
A. Bentuk Dan Analisis Pertanyaan Banī Isrā`īl.
Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, bahwa Banī Isrā`īl
meminta bantuan kepada Nabi Musa untuk menunjukkan kepada mereka
siapa yang telah melakukan pembunuhan terhadap salah satu dari
kalangan mereka. Nabi Musa tidak memberikan jawaban tentang siapa
yang telah melakukan pembunuhan tersebut, tetapi Nabi Musa terlebih
dahulu memerintahkan mereka untuk menyembelih seekor sapi betina.
Mendengarkan jawaban dari Nabi Musa, Banī Isrā`īl merasa diperolok-
olok oleh Nabi Musa karena jawaban Nabi Musa yang sangat jauh dari apa
yang mereka harapkan.
Menurut Hasby as-Shiddiqqi dalam hal ini, seolah-olah mereka
berkata kepada Nabi Musa “ketika kami bertanya kepadamu tentang orang
yang mati terbunuh wahai Musa, kenapa kamu justru memerintahkan kami
75
memotong seekor sapi betina? Hal ini sangatlah ganjil dan jauh dari apa
yang kami inginkan. Apakah engkau hendak mempermainkan kami?1
Mereka menilai, jawaban dari Musa tersebut adalah sebuah bentuk
ketidak seriusan Nabi Musa, oleh karena itu mereka berkata “Apakah
engkau akan menjadikan kami sebagai bahan ejekan?”.2 Kurang lebih
maksud perkataan mereka adalah; “Bagaimana tidak kami berkata
demikian, kami memohon kepadamu untuk berdo`a agar Tuhan
menjelaskan siapa pembunuh sebenarnya, lalu engkau menyuruh kami
menyembelih seekor sapi.”3 Perkiraan tersebut muncul dikarenakan
mereka tengah mencari penyelesaian pembunuhan, tahu-tahu mereka
malah disuruh menyembelih sapi betina oleh Nabi Musa. Jadi mereka
merasa sedang dipermainkan oleh Nabi Musa.4
Mendengarkan tanggapan mereka itu, Nabi Musa berkata:
جىلين .…ين من ال
كن ا
ا غيذ ةالل
ا كال
“Dia (Musa) menjawab, “Aku berlindung kepada Allah agar tidak
termasuk orang-orang yang bodoh”.
Perkataan tersebut dilontarkan oleh Nabi Musa sebagai penjelasan
kalau dia sedang tidak memberikan perintah main-main. Sebab,
memberikan perintah yang hanya untuk bermain-main bukanlah
perbuatan orang yang berakal melainkan perbuatan orang yang bodoh.
Apalagi Nabi Musa adalah seorang utusan Allah.5 Sebagaimana yang
1 Hasby al-shiddiqi, Tafsīr al-Qur‟ānul Majīd al-Nūr, cet. 2 (PT. Pustaka Rizki
Putra, 2000), 130. 2 Lajnah pentashihan Mshaf al-Qur‟an, Tafsir ringkas, cet. 2 (Jakarta: lajnah
pentashhihan Mushaf al-Qur‟an, 2016), 32. 3 M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah, cet. 1 (Ciputat: Penerbit Lentera Hati, 2000),
216. 4 Hamka, Tafsir al-Azhar, juz 1 (Jakarta: Pustaka Panjimas, 2005), 283
5 Hamka, Tafsir al-Azhar, 283.
76
dikatakan Abu Ja‟far al-Ṭabarī: Karena orang bodohlah yang
menyampaikan perintah Allah sebagai bahan ejekkan dan permainan.6
Bentuk pertanyaan yang diajukan oleh Banī Isrā`īl kepada Allah
perihal ciri-ciri sapi yang akan disembelih bukanlah permohonan
langsung dari Banī Isrā`īl kepada Allah, melainkan mewakilkan
pertanyaan tersebut kepada Nabi Musa. Dengan artian, Banī Isrā`īl
meminta kepada Nabi Musa untuk menyeru kepada Allah tentang ciri-ciri
sapi yang akan disembelih. Tetapi dalam mengajukan permintaan
tersebut, terdapat perkataan yang dianggap tidak sopan dari Banī Isrā`īl.
Seperti perkataan mereka:
نان ل نا رةك يتي
يا اد ل
.…ماهيكال
“Mereka berkata, “Mohonkanlah kepada Tuhanmu untuk kami
supaya menjelaskan kepada Kami apa sapi itu”
Adapun letak ketidak sopanan dalam perkataan mereka adalah pada
kalimat “Tuhanmu”. Hal ini mengisyratkan bahwa Tuhan tempat Nabi
Musa meminta itu adalah Tuhan musa saja dan bukan Tuhan mereka,
padahal sebelumnya mereka telah diberi nikmat yang tidak terhitung dari
Tuhan yang tempat mereka meminta itu. Dan kalimat tersebut juga
mengisyaratkan bahwa perintah penyembelihan sapi tidak ada gunanya
bagi mereka, melainkan hanya untuk kepentingan bagi Musa dan Tuhan
saja.7
Adapun bentuk-bentuk pertanyaan Banī Isrā`īl adalah:
1. Menyuruh Nabi Musa untuk menyeru kepada Tuhan supaya
meneyebutkan ciri-ciri sapi tersebut:
6 Abū Ja‟far al-Ṭabarī, Tafsīr al-Ṭabarī, terj. Ahsan Askan, jilid 2, cet. 1 (Jakarta:
Pustaka Azzam, 2008), 60. 7 Sayyid Quṭb, Tafsīr fī ẕilālil Qur‟ān, terj. as-„Ad Yasin, Abdyl „Aziz Salim,
Muchotob Hamzah, jilid 13, cet. 2 (Jakarta: Gema Insani Press, 2000), 94.
77
نا رة يا اد ل
نا ما هي كال
ن ل …ك يتي
“Mereka berkata, “Mohonkanlah kepada Tuhanmu untuk
kami agar Dia menjelaskan kepada kami tentang (sapi betina)
itu”
Mengenai bentuk pertanyaan semacam ini, Sayyid Quṭb
berkomentar Bahwa sebuah pertanyaan yang menanyakan materi
atau bendanya dalam situasi seperti ini-meskipun yang dimaksud
sifatnya- adalah mengindenfikasikan pengingkaran dan permainan,
yaitu ketika mereka menanyakan sapi apakah itu? Padahal dari awal
Nabi Musa tidak menyebutkan batasan tentang sifat dan cirinya “sapi
betina saja, cukup, tanpa ada tambahan.8
Dari pernyataan Sayyid Quṭb tersebut dapat dipahami bahwa
sikap Banī Isrā`īl dalam melontarkan pertanyaan seperti itu adalah
sebuah sikap pengingkaran kepada Nabi Musa. Alasannya adalah
bahwa pertanyaan mereka tersebut tidak diperlukan lagi, karena
perintah dari Allah kepada mereka untuk menyembelih seekor sapi
betina sudah jelas dan tidak ada lagi kesamaran didalamnya. Tetapi
dengan sikap mereka tersebut, menunjukkan bahwa mereka telah
melakukan pengingkaran atau pembangkangan terhadap Nabi Musa.
Begitu juga yang dinyatakan oleh Imam al-Syaukānī, bahwa
pertanyaan seperti ini menunjukkan salah satu bentuk pengingkaran
dan keras kapala Banī Isrā`īl. Seandainya mereka tidak keras kepala
dan tidak bertele-tele mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang
mereka buat-buat itu, tentulah akan cukup bagi mereka menyembelih
sapi apapun. Tetapi mereka mempesulit diri mereka sendiri sehingga
Allah mempersulit mereka dengan mengatakan kepada Nabi Musa
8 Sayyid Quṭb, Tafsīr fī ẕilālil Qur‟ān, terj. as-„Ad Yasin, Abdyl „Aziz Salim,
Muchotob Hamzah, 94.
78
supaya mereka harus menyembelih sapi yang tidak tua ( ض راف ل) dan
juga tidak muda yaitu sapi yang pertengahan, tidak tua dan (ر كبل )
tidak muda.9
Adapun maksud dari sapi yang tua ( ض ارف) menurut para Mufassir
adalah sapi yang telah banyak melahirkan, dan dari kelopak alat
vitalnya sudah melebar karena telah banyak melahirkan tersebut.
Karena dalam etimologi, kata ارف ض itu bermakna luas. Sedangkan
yang dimaksud dari sapi yang muda (ر ك ب) adalah sapi yang berumur
kecil dan belum pernah mengandung. Adapun maksud dari perkataan
“pertengahan” ( ان و ع) adalah pertengahan, yaitu seekor sapi betina
yang telah melahirkan satu sampai dua ekor. Jenis dari sapi ini adalah
jenis sapi yang paling kuat dan paling bagus dari golongan hewan
sapi.10
Setelah perintah menyembelih sapi betina dengan ciri-cirinya yang
tidak tua dan tidak muda sebagaimana yang disampaikan oleh Nabi
Musa kepada Banī Isrā`īl, Nabi Musa langsung menyampaikan pesan
Allah yang mengandung nasihat kepada mereka, yaitu:
يا ما حؤمرون ... فافػل
“Maka kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu.”
Maksudnya adalah, Setelah Nabi Musa menyebutkan bahwa sapi
yang disembelih itu adalah sapi yang tidak tua dan juga tidak muda,
maka ia langsung menyebutkan Firman Allah “perbuatlah apa yang
diperintahkan”. Dari firman Allah tersebut, terlihat jelas bahwa Allah
tidak menginginkan Banī Isrā`īl untuk bertanya lagi dan segera
mereka melakukan hal yang diperintahkan saja.
9 al-Syaukanī, Fatḥul Qadīr, terj. Amir Hamzah Fakhrudin dan Asep Saifullah, jilid
1 (Jaksel: Pustaka Azzam, 2008), 281. 10
Al-Qurṭubī, al-Jāmi‟ al ah-Kām, terj. Fathurrahman, Ahmad Hotib, Nashrul Haq ,
jilid 1 (Jaksel: Pustaka Azzam, 2007), 978.
79
Sebagaimana yang dikatakan oleh Abū Ja‟far al-Ṭabarī dalam hal
ini, seolah-olah Allah berkata “kerjakanlah apa yang Aku perintahkan
kepada kalian, niscaya kalian akan mendapatkan apa yang kalian cari
disisi-Ku. Dan sembelihlah sapi betina yang Aku perintahkan kepada
kalian, niscaya dengan menaati perintah-Ku tersebut, kalian akan
mengetahui siapa pelaku pembunuhan tersebut.11
Dalam pernyataan
ini sebenarnya sudah cukup bagi mereka untuk mencari sapi yang
sudah ditentukan itu.12
Begitu juga menurut Hasby As-Shiddiqi, makna dari pernyataan
Allah ini adalah “Ta‟atilah perintah dan laksanakan dengan segera dan
jangan berandai-andai lagi. Kalimat ini memberi pengertian bahwa
mereka diminta manaati perintah dan dilarang berkeras kepala. Begitu
menerima penjelasan, seharusnya mereka langsung melaksanakan.
Tetapi mereka malah terus-menerus memperpanjang masalah dengan
mengajukan pertanyaan.13
2. Banī Isrā`īl menanyakan warna sapi.
Setelah disampaikannya perintah untuk hanya mengerjakan apa-
apa yang diperintahkan saja, mereka tetap saja tidak
menghiraukannya, bahkan mereka kembali kepada kebiasaan mereka
yang ingkar dan membangkang terhadap perintah tersebut, yaitu
dengan menayakan pertanyaan lain. Seperti pertanyaan mereka:
ينىا نا ما ل
ن ل نا رةك يتي
يا اد ل
…كال
11
Abū Ja‟far al-Ṭabarī, Tafsīr al-Ṭabarī, terj. Ahsan Askan, jilid 2, cet. 1 (Jakarta:
Pustaka Azzam, 2008), 77. 12
Sayyid Quṭb, Tafsīr fī ẕilālil Qur‟ān, terj: as-„Ad Yasin, Abdyl „Aziz Salim,
Muchotob Hamzah, jilid 13, cet. 2 (Jakarta: Gema Insani Press, 2000), 94. . 13
Hasby ash-shiddiqy, Tafsīr al-Qur‟anul Majīd al-Nūr, cet. 2 (PT. Pustaka Rizki
Putra, 2000), 131.
80
“Mereka berkata, “Mohonkanlah kepada Tuhanmu untuk
kami agar Dia menjelaskan kepada kami apa warnanya.”
Pertanyaan ini adalah kelanjutan dari bentuk pembangkangan Banī
Isrā`īl. Sebagaimana yang dikatakan Abū Ja‟far al-Ṭabarī:
pertanyaan tersebut adalah bentuk pembangkangan atau keras kepala
Banī Isrā`īl terhadap Nabi Musa yang berikutnya, yaitu menambah-
nambah pertanyaan yang tidak diperlukan lagi. Dimana, tidak cukup
bagi mereka dengan menanyakan hakikat sapi yang diperintahkan,
akan tetapi juga menanyakan warnanya. Padahal sebenarnya sudah
cukup bagi mereka ciri-ciri sapi yang sebelumnya. Dikarenakan
pertanyaan mereka tersebut, Allah menentukan bagi mereka warna
dari sapi tersebut, yang mana warna yang ditentukan itu menyulitkan
mereka dalam mencarinya. Seperti dalam berfirman-Nya: “sapi
tersebut adalah sapi yang kuning tua warnanya lagi menyenangkan
orang-orang ketika memandangnya.14
Yang dimaksud dengan kuning tua (اه ن هول ع اقف اءهر ف) menurut ahli
tafsir adalah bahwa pada sapi tersebut memiliki warna yang benar-
benar kuning. Tidak ada warna lain pada sapi tersebut kecuali hanya
warna kuning. Dan yang dimaksud dengan kata “lagi menyenangkan
orang-orang yang melihatnya” (ن يراظالن ر سه)ت adalah bahwa warna
kuning yang ada pada sapi tersebut seolah-olah seperti sinar matahari
yang keluar darinya, sehingga orang-orang yang melihat ke sapi
tersebut menjadi kagum karenanya. Inilah dua sifat yang terkandung
dalam warna kuning yang terdapat pada sapi tersebut.15
14
Abū Ja‟far al-Ṭabarī, Tafsir at-Thabari, terj. Ahsan Askan, jilid 2, cet. 1 (Jakarta:
Pustaka Azzam, 2008), 60. 15
Al-Qurṭubī, al-Jāmi‟ al ahkām, terj. Fathurrahman, Ahmad Hotib, Nashrul Haq ,
jilid 1 (Jaksel: Pustaka Azzam, 2007), 980.
81
3. Banī Isrā`īl menanyakan ciri-ciri dari sapi betina yang lebih rinci
Sebagaimana yang dikatakan sebelumnya, bahwa jika mereka
menyembelih sapi betina mana saja yang mereka temukan, maka hal
itu cukup bagi mereka tetapi mereka tetap membangkang, maka
Allah menyuruh mereka bahwa sapi betina tersebut tidak tua dan
tidak muda, tetapi pertengahan. Lalu mereka membangkang lagi dan
menanyakan apa warnanya? Maka Allah menyatakan bahwa
warnanya kuning tua yang menyenangkan orang yang
memandangnya.
Dengan disebutkannya ciri-ciri sapi tersebut, Banī Isrā`īl masih
tetap membangkang. Bukannya langsung mencari sapi yang
dimaksud, mereka malah menanyakan sapi yang ciri-cirinya lebih
rinci. Mereka berdalih bahwa ciri-ciri sapi yang disebutkan oleh Nabi
Musa sebelumnya masih belum jelas bagi mereka. Sebagaimana
perkataan mereka:
حنا تلر تشته عل
…ان ال
“(Karena) sesungguhnya sapi itu belum jelas bagi kami”
Mereka masih saja mengaku bahwa jenis sapi yang harus
disembelih masih samar, dan belum pasti menurut mereka. Karena
menurut mereka, jenis dan ciri-ciri sapi itu banyak sekali dan
membingungkan mereka.16
Padahal, sekalipun tidak disebutkan ciri-
ciri dari sapi yang akan disembelih, dan mereka menyembelih sapi
betina mana saja yang mereka temukan,maka itu cukup bagi mereka.
Karena pada awalnya Allah tidak hanya menyuruh menyembelih sapi
betina mana saja tanpa menyebutkan ciri-cirinya.
16
Hasby ash-shiddiqy, Tafsir al-Qur‟anul Majid al-Nur, cet. 2 (PT. Pustaka Rizki
Putra, 2000), 131.
82
Lantaran pembangkangan mereka itu, yaitu dengan menanyakan
ciri-ciri sapi yang lebih rinci, maka Allah lebih mempersulit mereka
lagi, yaitu dengan menyatakan bahwa sapi betina itu adalah sapi yang
belum pernah digunakan untuk membajak tanah dan belum pernah
digunakan untuk mengairi tanaman, tidak cacat, dan juga tidak ada
belangnya.
Setelah mereka diberitahu ciri-ciri dari sapi yang harus mereka
sembelih, mereka seakan-akan menyadari bahwa mereka telah
membangkang dan rewel terhadap perintah tersebut. Hal ini terlihat
dari perkataan mereka:
مىخدون .... ل وانا ان شاء الل
“Dan jika Allah menghendaki, niscaya kami mendapat
petunjuk.”
Mengenai perkataan mereka ini, Abū Ja‟far al-Ṭabarī mengutip
perkataan Abul „Aliyah berkata;
“seandainya mereka tidak mengatakan hal itu, niscaya mereka
tidak akan memperoleh petunjuk untuk mendapat sapi itu selama-
lamanya.”17
Setelah mereka merasa sadar akan sifat pembangkangan mereka
dengan menanyakan ciri-ciri sapi betina yang lebih rinci, kemudian
tampak lagi kebangkangkan mereka selanjutnya kepada Nabi Musa,
yaitu dengan mengatakan:
… حق ن جخج ةال ـ
يا ال
…كال
”Mereka berkata, “Sekarang barulah engkau menerangkan
(hal) yang sebenarnya.”
17
Abū Ja‟far al-Ṭabarī, Tafsīr al-Ṭabarī, terj. Ahsan Askan, jilid 2, cet. 1 (Jakarta:
Pustaka Azzam, 2008), 64.
83
Dari perkataan “sekarang” tersebut seakan-akan apa yang
diterangkan oleh Nabi Musa sebelum-sebelumnya tidaklah benar.
Atau seakan-akan mereka tidak meyakini bahwa apa yang
disampaikan Nabi Musa sebelumnya adalah tidak benar kecuali baru
sekarang.18
Itu adalah bentuk-bentuk dari kebangkangan Banī Isrā`īl terhadap
perintah yang dinyatakan Tuhan melalui Nabi Musa kepada mereka.
Dikarenakan mereka selalu membangkang terhadap perintah Allah,
maka Allah menyuruh mereka mencari sapi untuk disembelih dengan
kriteria yang sangat sulit untuk ditemukan, yaitu sapi yang tidak tua
dan tidak muda, tepatnya sapi yang pernah melahirkan satu sampai
dua kali saja, tidak boleh kurang dan tidak boleh lebih.
Kriteria selanjutnya dari sapi yang harus mereka cari adalah
seluruh kulitnya berwarna kuning tua yang bercahaya seolah-olah
cahaya matahari memancar darinya, yang mana ketika melihat sapi
tersebut, orang-orang yang memandangnya merasa kagum dan tidak
bosan terhadap keindahannya. Adapun kriteria terakhir dari sapi itu
adalah, sapi yang belum pernah dipekerjakan oleh tuannya, baik
untuk membajak sawah ataupun untuk mengairi sawah.
Dari semua kriteria sapi yang dinyatakan tersebut, maka
merekapun sangat kesusahan dalam mencari sapi yang telah di
tentukan sebagaimana yang telah penulis sebutkan tingkat kesusahan
mereka dalam mencari sapi tersebut sebagaimana yang tergambar
dalam kisah kronologi penyembelihan sapi yang terdapat di
pembahasan sebelumnya. Dan pada akhirnya mereka berhasil
menyembelihnya sekalipun hampir saja tidak jadi melakukannya.
18
Sayyid Quṭb, Tafsīr fī ẕilālil Qur‟ān, terj: as-„Ad Yasin, Abdyl „Aziz Salim,
Muchotob Hamzah, jilid 13, cet. 2 (Jakarta: Gema Insani Press, 2000), 94.
84
Kemudian para mufassir berbeda pendapat mengenai sebab
mereka hampir tidak jadi melakukan pemyembelihan tersebut:
a. Riwayat Muḥammad bin Ka‟ab al Kurdī: karena harganya
sangat mahal. Yaitu membelinya dengan harga seberat badan
sapi dari harta si korban hingga tidak tersisa padanya, lalu
mereka menyembelihnya.
b. Riwayat Ibnu „Abbās mengatakan bahwa alasan mereka
hampir tidak jadi melakukan penyembelihan tersebut adalah
karena memang dasarnya mereka tidak mau melakukannnya
karena takut terbongkar siapa pelaku dari pembunuhan
tersebut.19
c. Ada juga yang mengatakan bahwa sebab mereka hampir tidak
jadi melakukan penyembelihan adalah karena tidak
menemukan kriteria dari sapi tersebut.
Dalam ketiga pendapat tersebut, Abū Ja‟far al-Ṭabarī berkata
“yang benar menurut kami adalah bahwa mereka hampir tidak
melakukan penyembelihan terhadap sapi tersebut dikarenakan harga
sapinya yang sangat mahal dan juga takut terbongkarnya kasus
kejahatan mereka.20
Adapun perangkat- perangkat pertanyaan yang digunakan oleh
Banī Isrā`īl tentang perintah penyembelihan sapi betina adalah
perangkat huruf Mā (ا). Sebagaimana yang disinggung sebelumnya, bahwa huruf Mā
memiliki tiga faidah, yaitu sebagai penjelas suatu nama, menjelaskan
hakikat sesuatu yang diberi nama, dan menjelaskan tentang suatu
sifat. Adapun huruf Mā yang digunakan oleh Banī Isrā`īl dalam
19
Abū Ja‟far al-Ṭabarī, Tafsīr al-Ṭabarī, terj. Ahsan Askan, jilid 2, cet. 1 (Jakarta:
Pustaka Azzam, 2008), 97. 20
Abū Ja‟far al-Ṭabarī, Tafsīr al-Ṭabarī, terj. Ahsan Askan, 98.
85
bertanya perihal sapi yang akan disembelih adalah huruf Mā yang
memberi faidah menjelaskan tentang suatu sifat.21 Hal ini juga
dilelaskan oleh Imām al-Bagawī bahwa yang faidah huruf Mā yang
ada dipertanyaan Banī Isrā`īl adalah Mā yang berfaidah menanyakan
sifat tentang suatu hal.22
B. Kriteria Pertanyaan Banī Isrā`īl
Sebagaimana yang telah dibahas pada bab sebelumnya, bahwa
sebuah pertanyaan memiliki kriteria dan hukumnya tersendiri, yaitu
adanya pertanyaan yang dianjurkan oleh syari‟at, dan pertanyaan yang
dilarang oleh syari‟at. Pertanyaan yang dianjurkan syari‟at memiki
tingkatan-tingkatan huku m (fardhu „ain, fardhu kifayah, dan sunnah)
sebagaimana yang telah dijelaskan pada bab sebelumnya. Begitu juga
dengan pertanyaan yang dilarang oleh syari‟at, juga memiliki tingkatan
hukum (haram dan makruh).
Jika diteliti lagi, pertanyaan-pertanyaan yang diajukan oleh Banī
Isrā`īl adalah suatu jenis pertanyaan yang masuk dalam kategori
pertanyaan yang dilarang untuk ditanyakan. Dan hukum pertanyaan
tersebut adalah Makruh. Karena Banī Isrā`īl menanyakan suatu perkara
yang dibiarkan oleh syari‟at dan dan tidak dijelaskan halal haramnya dan
tidak dijelaskan juga apakah mengetahui hal yang ditanyakan tersebut
merupakan perkara yang diperintahkan untuk mengetahuinya atau
larangan.
Buktinya adalah, bahwa Banī Isrā`īl hanya diperintahkan untuk
menyembelih seekor sapi mana saja yang tidak ditentukan usianya,
21
Abū al-Sa‟ūd Muḥammad bin Muḥammad al-„Amādī, Tafsīr Abī al- Sa‟ūd, juz 1
(Beirut: Dār al- Iḥyā al-Turāṡ al-„Arābī, tdt), 111. 22
Muḥammad Ḥusein al-Bagāwī, Ma‟alimu al-Tanzil, juz 3, cet. 4 (Dar thayyibah
Li an-Nasyr wa at-Tauzi‟, 1997), 106.
86
warnanya serta hakikatnya. Tetapi, Banī Isrā`īl tetap bersikeras
menanyakan hal-hal tersebut. Maka pertanyaan yang semacam ini masuk
kedalam kategori pertanyaan yang dilarang dalam syari‟at dan termasuk
kedalam pertanyaan yang dimakruhkan.23
Dalam kitab Syarah hadiṡ arbaīn al-Nawawī dijelaskan, bahwa
menanyakan pertanyaan yang semacam ini akan memungkinkan
membawa dampak kepada si penanyanya. Bisa jadi adanya perintah
susulan yang akan memberatkan dan menyulitkan sipenanya.24
Sebagaimana halnya ketika turun perintah Haji dari Allah dalam surah Āli
„Imrān ayat 97, kemudian ada diantara sahabat yang bertanya kepada
Rasulullah “apakah setiap tahun ya Rasululah”? mendengarkan pertanyaan
tersebut, Rasulullah pun berpaling sehingga sahabat tersebut terus
menanyakannya sampai tiga kali. Kemudian Rasul menjawab “apakah
kamu puas jika aku menjawab iya?. Demi Allah, seandainya aku
menjawab iya, itu akan menjadi wajib, niscaya kalian tidak akan sanggup.
Maka biarakanlah apa yang aku biarkan terhadap kalian. Karena
sesungguhnya yang membinasakan orang-orang yang sebelum kalian
hanyalah karena mereka banyak bertanya dan suka menyelisihi para nabi
mereka”.25
Dari hadiṡ diatas jelaslah bahwa Rasul melarang menanyakan sesuatu
yang tidak diperintahkan untuk mengetahuinya, karena Rasulullah
khawatir dari pertanyaan-pertanyaan tersebut malah mendatangkan
kewajiban-keajiban lain yang dapat memberatkan umatnya.
23
Musṭafā Dieb al-Buga dan Muḥyiddīn Mitsu, al Wāfī Syarah Hadist al-ba‟īn al-
Nawāwī , terj. Rohidin Wahid (Jakarta: Qishti press, 2014), 73. 24
Muḥyiddīn al-Nawāwī, Syarah al-Arba‟īn al-Nawāwī, terj. Ahmad Syaikhu, cet.
13 (Jakarta: Dārul Haq, 2018), 119. 25
Sulaimān bin Ahmad al-Ṭabrānī, al-Mu‟jam al-Kabīr, juz 8, cet. 2 (Madinah,
Maktabah al-„ulūm wa al-Hikam, 1983), 159.
87
Hal inilah yang dialami oleh Banī Isrā`īl, mereka yang menanyakan
hal-hal yang tidak ada kewajiban buat mereka untuk mengetahuinya, yaitu
menanyakan umur sapi, warnanya, serta hakikat sapi itu sendiri. Maka
Allah menyulitkan mereka dengan ciri-ciri sapi yang tidak tua dan tidak
muda (pertengahan umurnya), yang berwarna kuning keemasan, serta
belum pernah digunakan untuk membajak dan mengairi sawah.
Kriteria dari sapi tersebut adalah kriteria sapi yang sangat sulit untuk
ditemukan. Bahkan ada suatu riwayat mengatakan bahwa dalam mencari
sapi dengan kriteria tersebut membutuhkan waktu yang sangat lama, yaitu
selama 40 tahun untuk menemukannya. Dan ketika sapi dengan kriteria
yang telah ditentukan tersebut telah ditemukan, maka ada lagi kesulitan
yang menimpa mereka, yaitu si pemilik sapi tidak mau menjual sapinya
kepada mereka kecuali dengan harga yang sangat mahal.
Ada beberapa riwayat yang menjelaskan tentang harga dari sapi
tersebut:
1. Riwayat dari al-Suddī mengatakan bahwa harga dari sapi tersebut
adalah seharga emas yang beratnya sepuluh kali lipat dari berat
sapi tersebut.
2. Riwayat dari „Ubaidah mengatakan mereka membeli sapi tersebut
dengan dinar sepenuh isi kulit sapi tersebut.
3. Riwayat dari Wahb mengatakan bahwa mereka membeli sapi
tersebut dengan syarat memberikan dinar sepenuh isi kultnya,
kemudian mereka menyembelihnya dan mengisi kulitnya dengan
dinar, kemudian membayarkannya kepada si pemilik sapi.
4. Riwayat dari Abul „Āliyah mengatakan bahwa mereka tidak
menemukan sapi yang sesuai kiteria kecuali pada seorang nenek
tua, dan ia meminta dari mereka harga yang berlipat. Maka Nabi
Musa berkata berikan harga yang sesuai dengan yang diridhainya.
88
Dari empat riwayat diatas, dapat diketahui betapa mahalnya sapi
dengan kriteria-kriteria yang dibebankan kepada mereka. Bahkan ada yang
berpendapat mereka hampir tidak jadi menyembelih dikarenakan
mahalnya harga sapi tersebut.
Menurut Sayyid Quṭb, pertanyaan-pertanyaan Banī Isrā`īl yang
menanyakan ciri-ciri dari sapi tersebut yang sebelumnya tidak ditentukan
ciri-cirinya menunjukkan terputusnya hubungan diantara hati mereka. Hal
itu disebabkan tipis dan dangkalnya keimanan mereka kepada perkara gaib
dan Allah, serta tipis dan minimnya kesiapan mereka untuk membenarkan
apa yang dibawa oleh rasul kepada mereka. Kemudian sifat engan
menerima tugas, mencari-cari alasan, dan suka mengejek yang disebabkan
oleh buruknya hati mereka dan tajamnya lidah mereka.26
Imam Ṭabari mengatakan;
“Pertanyaan- pertanyaan yang dilontarkan oleh Banī Isrā`īl terkait
sapi yang akan disembelih sebagaimana yang diperintahkan oleh
Allah melalui Nabi Musa tersebut juga merupakan suatu sikap
pembangkangan mereka kepada Nabi Musa AS. Yang dimaksud
dengan pembangkangan disini adalah bahwa pada mulanya mereka
hanya disuruh menyembelih sapi mana saja yang mereka temui yang
tidak dispesifikasikan oleh Nabi Musa. Tetapi karena sikap
pembangkangan mereka tersebut yang selalu bertanya tentang kriteria
sapinya, maka Allah memberikan kriteria sapi yang susah untuk
mereka temukan.”27
Dalam hal ini jelaslah bahwa pertanyaan-pertanyaan yang dilontarkan
oleh Banī Isrā`īl adalah pertanyaan yang tidakdiperlukan lagi dalam
menunaikan kewajiban menyembelih seekor sapi betina. Tetapi
dikarenakan sikap pembangkang dan keras kepala mereka, maka Allah
26
Sayyid Qutub, Tafsīr fī ẕilālil Qur‟ān, terj: as-„Ad Yasin, Abdyl „Aziz Salim,
Muchotob Hamzah, jilid 13, cet. 2 (Jakarta; GEMA INSANI PRESS, 2000), 93. 27
Abū Ja‟far al-Ṭabarī, Tafsir al-Ṭabarī, terj. Ahsan Askan, jilid 2, cet. 1 (Jakarta:
PUSTAKA AZZAM, 2008), 70.
89
mempersulit mereka dengan menyuruh mereka untuk menyembelih sapi
betina yang ciri-cirinya sulit untuk ditemukan.
91
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Adapun kesimpulan yang diperoleh sebagai jawaban dari rumusan
masalah adalah bahwa jenis pertanyaan-pertanyaan yang diajukan
oleh Banī Isrā`īl yang ada dalam Q.S al-Baqarah: 67-71 adalah jenis
pertanyaan yang dilarang untuk ditanyakan. Dan hukumnya adalah
Makhruh.
B. Saran-saran
Saran penulis terhadap tulisan ini adalah:
1. Kajian tentang Banī Isrā`īl perlu ditinjau ulang. Karena dalam hal
ini, penulis hanya mengkaji dari beberapa referensi yang terkait
saja. Karena masih banyak referensi-referensi yang belum sempat
penulis baca.
2. Setelah memahami kriteria-kriteria pertanyaan yang telah
dijabarkan oleh para ulama, maka kita harus bisa
mengaplikasikannya dalam kehidupan kita sehari. Dengan artian,
kita hanya menanyakan hal-hal yang seharusnya untuk ditanyakan
dan tidak menanyakan hal yang tidak patut untuk ditanyakan.
93
DAFTAR PUSTKA
„Abdillāh, „Abdūl „Azīz Muḥammad bin. Ma‟ālīm fī ṭarīq ṭalab al-„Ilmī. Sa‟ūdī: Dār aṣamah, 1999.
„Abdu al-Manaf, Mujahid. Sejarah Agama-Agama. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1996.
Abī Hātim, „Abdurahmān bin. Tafsīr al-Qur‟ān al-„Azhīm. Riyadh: Maktabah al-„Arabiyyah al-Su‟ūdiyyah, 1997.
Abū Syahhbah, Muḥammad. al-Isrā`īl iyyat wa al-Maudhū‟āt īi Kutub al-Tafsīr. al-Qāhirah: Maktabah al-Sunnah, 1408 H.
Ahwal, Ahmad Choirunn, “Pengungkapan Kasus Pembunuhan Melalui Otopsi Forehensik.” Skripsi S1., Institut Agama Islam Surabaya, 2013.
Aimin, Moh dan Imam Asrori. “Pola Interaksi Dalam al-Qur`anyang Tercermin pada ayat-ayat Berbentuk Pertanyaan.” Jurnal Bahasa dan Seni. vol 40, no. 1 (Februari 2012): 26-34.
Aizid, Rizem. Al-Qur`anmengungkap Yahudi. Yogyakarta: DIVA Press, 2015.
al- Alūsī, Syihābuddīn. Rūḥul ma‟ānī fī tafsīril Qur‟ānil „aẓīm wa al-Sab‟i al- Maṣānī . Beirut: Dār iḥyā‟ wa al-Turāṡ al-„Arabiy. Tdt.
Anasar, Eka Safitrii, “Kontruksi Sejarah Bukit Sinai Serta Pengaruhnya terhadap Realita Sosial Masyarakat Mesir.” Skripsi S1., Universitas Sebelas Maret Surakarta, 2016.
Audah, Ali. Nama dan Kata dalam Al-Qur`ān: Pembahasan dan Perbandingan. Bogor: Pustaka Lintera Antar Nusa, 2011.
Ayusmi, “Analisis Idiom Dalam al-Qur`anpada surah al-Baqarah.” Skripsi S1., Universitas Sumatera Utara, 2016.
al-Bagāwī, Abu Muḥammd al Ḥusein. Ma‟ālimu al-Tanzīl, Dār al-Ṭayyibah, 1997.
al-Baiḍawi, Abul Khair. Anwāru al-Tanzīl wa asrāru al-Ta‟wīl. Beirut: Dār al Fikr, Ttd.
Baihaqi, Ahmad. “Al-Baqarah dan Keangkuhan Banī Isrā`īl : Studi Kritis Q.S. al-Baqarah/2: 67-71.” Skripsi S1., Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2008.
94
al-Bāqi, M. Abdu. Mu‟jām al-Mufaḥras min alfāż al-Qur`ān. Mesir: Dār al-ḥadīṡ, 1996.
Bīk, Muḥammad Khuḍarī. Nūr al- Yaqīn. Dār al- Īmān, 1997.
al-Bugā, Musṭāfā Dīb dan Muhyiddīn Miṡu. al-Wāfī Syarah Hadist al-ba‟īn al-Nawāwī. Jakarta: Qiṣti press. 2014.
al-Bukhāri, Muẖammad bin Ismail. Ṣahih al Bukhari. Beirut: Dār ibnu Kaṡīr, 1987.
Descartes, Rene. Risalah Tentang metode, terj. Ida sundari Husen dan Rahayu S. Hidayat. Jakarta: P.T Gramedia Pustaka Utama, 1995.
Fakhruddīn, Muḥammad al-Rāzī, Tafsīrul Fakhru al-Rāzī. Dār al-fikr, 1981.
Hamka. Tafsir al-Azhar. Jakarta: Pustaka Panjimas, 2005.
al- Hāsyimī, Sayyid aḥmad. Jawāhirul Balāgah. Beirut: Maktabah al-„Aṣriyyah, 1960.
Ibn „Alī, Abū asan. al-Kāmīl fī al- Tārīkh. Beirut: Dār al-Kutub al- „Ilmiyyah, 1987.
Ibn Zakariyyā, Abū al-Husyain Aḥmad bin Fāris. Mu‟jam al-Muqāyis fī al-Lugah. Beirut: Dār al- Fikr, 1994.
Ibnu Kaṡīr, Abul Fidā‟ bin Ismā‟il. Tafsīr al-Qur‟ān al-„azhīm. Dār al-Ṭayyibah, 1999.
Imran, M Ali. Sejarah lengkap agama-agama dunia, Yogyakarta: IRCiSoD, 2015.
Isra, Yunal. Metode Praktis Belajar Kitab Kuning. Tangerang selatan: Makhtabah Darussunnah, 2018.
al-Jazairi, Abu Bakar Jabir. Tafsir al-Aisar. Jakarta: Darus Sunnah Press, 2015.
Jazmi, Kamarul Azmi, “Banī Isrā`īl dan peristiwa Sembelihan Lembu; al-Baqarah (2:67-71).” Kolej Tun Fatimah Universiti Teknologi Malaysia (Januari 2019): 1- 39
al-Khāzin, Abul Ḥasan „Alī. Lubāb al-Ta‟wīl fī Ma‟āniyyi at-Tanzīl. Beirut: Dār al-Kutub al-„Ilmiyyah, 2001.
95
Khoir, Muhammad Dail, “Qiṣaṣu aṣ-Ḥābil baqarah wa al-durūsul istifādah minhā.” Skripsi S1., Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2010.
Kurniawan, Dwi Cahyoko, “Qaswat al-Qalb dalam al-Qur`ān: studi komparatif tafsir al-Misbah dan Tafsir al-Qur`anal-„Azhim tentang surah al-Baqarah ayat 67-71.” Skripsi S1., Institute Agama Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya, 2006.
Lavine. T Z. Descartes: Masa transisi Bersejarah Menuju Dunia Modern. Yogyakarta: Jendela, 2013.
Maḥallī, Jalāluddīn dan Jalāluddīn al-Syuyūṭī. Tafsīrul Jalālain al-Muyassār. Beirut: Maktabah Libnān, 2003.
Maula, M Ahmad Jadul dan M Abu al-Fadhl Ibrahim. Buku Induk Kisah-Kisah al-Qur`ān. Jakrta: Zaman, 2009.
Menzie, Allan. sejarah agama-agama. Yogyakarta: Foru IKAPI. 2014.
Muhdina, Darwis “Orang-orang non-Muslim dalam al-Qur`ān.” al-Adyan. vol. 1, no. 2, (Desember 2015)
Nawāwī, Muḥyiddīn. Syarḥu al-Arba‟īn al-Nawāwī. Jakarta: Dārul Haq. 2018.
Nurdiyanto, Ade. “Istifhām dalam al-Qur`ān: Studi analisa balagah” . Studi Agama. vol. 4, no. 1, (Juni 2016) : 41-52
Quṭub, Sayyid. Tafsīr fī ẓilālil Qur‟ān. Terj. as-„Ad Yasin, Abdul „Aziz Salim, Muchotob Hamzah. Jakarta: Gema Insani Press, 2000.
al-Quwaiznī, Khāṭib. al-Īḍāḥ fī „Ulūm al-Balāgah. Beirut: Dār al-Kutubi al-„Ilmiyyah, 2003.
Ridha, Muhammad Rasyid. Tafsīr al-Manār. al-Qāhirah: Dār al-Manār, 1947.
Shiddiqī, Hasby. Tafsīr al-Qur‟ānul Majīd al-Nūr. Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra, 2000.
Shihab. M. Quraish. Tafsir al-Misbah. Ciputat: PENERBIT LENTERA HATI, 2000.
Syarifah, Syifa, “Metode tanya jawab dalam al-Qur`ān; surat al-Anbiya‟ 7, al-Qari‟ah1-2,al-Baqarah 28, at-Takwir 26-27, ar-Rahman 13, al-Baqarah 245.” Skripsi S1., Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2017.
96
al-Syaukānī, Muḥammad. Fatḥul Qadīr. Beirut: Dār al-Ma‟rifah, 2007.
Ṭa‟imah, Ṣabīr. al-Tirāṡ al-Isrāiliy. Beirut: Dār al-Jail, 1978.
Thalib, M. 76 karakter Yahudi dalam al-Qur`ān. Solo: CV. Pustaka Mantiq, 1992
al-Ṭabarī , Abū Ja‟far. Jamī‟ul Bayān fī Tafsīr al-Qur‟ān. Muassasah ar-Risalah, 2000.
Utomo, Setyo, “Nilai-nilai pendidikan akhlak dalam al-Qur`ansurah al-Baqarah ayat 67-73.” Skripsi S1., Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2012.
al-Yasū‟I, Louwis Ma‟luf. al-Munīid fī al- Lugat wa al-Adabī wa al-„Ulūmī. Beirut: Maṭba‟ah al-Kaṡūlikah, 1956.
Yunus, Mahmud. Tafsīr Qur‟ān Karīm. Jakarta: PT. ī, 2012.
Zarnuji, Ahmad. “Israiliyyat Dalam Menceritakan Kisah-Kisah al-Qur`ān”, jurnal Kajian Agama Sosial dan Budaya, vol. 1, no. 2, (2016): 449-466.