personalisasi agama dan kerukunan studi atas pemikiran …

15
Conference Proceeding ICONIMAD 2019 International Conference on Islam in Malay World IX, Krabi, Thailand PERSONALISASI AGAMA DAN KERUKUNAN Studi atas Pemikiran W.C.Smith dalam Membangun Harmoni Antar Umat Beragama Adeng Muchtar Ghazali Universitas Islam Negeri Sunan Gunung Djati, Indonesia Email: [email protected] Abstrak Tulisan ini berangkat dari fenomena kehidupan beragama yang semakin hari semakin dinamis dan kompleks. Beberapa faktor, baik yang bersipat sosial, kultural, politik, ekonomi, maupun pemahaman agama ikut mempengaruhi dinamika dan kompleksitas kehidupan beragama. Komunitas antar umat beragama semakin terbuka (inklusif) dan tidak menutup diri (eksklusif) dari entitas sebuah masyarakat. Kenyataan pluralitas agama dan multi kultural merupakan suatu kenyataan yang muncul ditempat yang berbeda-beda, dan umat beragama tidak bisa lagi hidup secara terisolasi. Melalui analisis- kualitatif, menstudi agama sebaiknya lebih diorientasikan pada memahami ‘manusia beragama’nya. Oleh karena itu, Smith menyodorkan logika memahami agama melalui pendekatan pronominal terms. Tujuannya adalah untuk terjalin harmoni dalam perbedaan diantara penganut agama yang berbeda-beda. Pemikiran Smith dapat berimplikasi secara teoritis dan konseptual dalam membangun masyarakat beragama yang rukun, toleran, dan saling bekerja sama. Kata kunci: pronominal terms, kerukunan, pluralitas, faktor sosial kultural

Upload: others

Post on 16-Oct-2021

7 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: PERSONALISASI AGAMA DAN KERUKUNAN Studi atas Pemikiran …

Conference Proceeding ICONIMAD 2019

International Conference on Islam in Malay World IX, Krabi, Thailand

PERSONALISASI AGAMA DAN KERUKUNAN

Studi atas Pemikiran W.C.Smith dalam Membangun Harmoni

Antar Umat Beragama

Adeng Muchtar Ghazali

Universitas Islam Negeri Sunan Gunung Djati, Indonesia

Email: [email protected]

Abstrak

Tulisan ini berangkat dari fenomena kehidupan beragama yang semakin

hari semakin dinamis dan kompleks. Beberapa faktor, baik yang bersipat sosial,

kultural, politik, ekonomi, maupun pemahaman agama ikut mempengaruhi

dinamika dan kompleksitas kehidupan beragama. Komunitas antar umat

beragama semakin terbuka (inklusif) dan tidak menutup diri (eksklusif) dari

entitas sebuah masyarakat. Kenyataan pluralitas agama dan multi kultural

merupakan suatu kenyataan yang muncul ditempat yang berbeda-beda, dan

umat beragama tidak bisa lagi hidup secara terisolasi. Melalui analisis-

kualitatif, menstudi agama sebaiknya lebih diorientasikan pada memahami

‘manusia beragama’nya. Oleh karena itu, Smith menyodorkan logika

memahami agama melalui pendekatan pronominal terms. Tujuannya adalah

untuk terjalin harmoni dalam perbedaan diantara penganut agama yang

berbeda-beda. Pemikiran Smith dapat berimplikasi secara teoritis dan

konseptual dalam membangun masyarakat beragama yang rukun, toleran, dan

saling bekerja sama.

Kata kunci: pronominal terms, kerukunan, pluralitas, faktor sosial kultural

Page 2: PERSONALISASI AGAMA DAN KERUKUNAN Studi atas Pemikiran …

PERSONALISASI AGAMA DAN KERUKUNAN

Studi atas Pemikiran W.C.Smith dalam Membangun Harmoni Antar Umat Beragama

260 | Conference Proceeding ICONIMAD 2019

International Conference on Islam in Malay World IX, Krabi, Thailand

Pendahuluan

Wilfred Cantwell Smith adalah seorang penstudi agama berkebangsaan

Kanada kelahiran tahun 1916 dan meninggal tahun 2000. Ia pernah belajar di

Unversitas Toronto dalam bidang oriental studies, terutama sejarah dan

bahasa,,kemudian melanjutkan jenjang pendidikannya ke Wentminster College

Universitas Cambridge. Ia menekuni bhs Arab dan Islam dari seorang tokoh

orientalis Prof. HAR Gibb. Untuk lebih memperdalam teori yang dibangunnya,

ia pernah ke India untuk mempelajari agama dan budaya setempat.

W. C. Smith memulai karir dosennya di universitas M. C. Gill, Montreal

pada bidang kajian perbandingan agama (Comparative Study of Religion).

Sebagai Profesor di Unversitas M. C. Gill, ia mendirikan M. C. Gill Institute of

Islamic Stadies yang sekaligus menjadi direkturnya pada tahun 1952 yg

merupakan bagian dari M. C. Gill University, kemudian dikembangkan pula di

Harvard university. Sebagian pengajar dan mahasiswanya adalah orang-orang

Islam. Latar belakang pendidikan dan pengalaman mengajarnya ini membentuk

pemikiran dan keahliannya di bidang metodologi studi ilmu perbandingan

agama.1

Smith ingin menunjukkan dua hal yang berbeda ketika memahami agama

: “agama” (religion) dan “manusia beragama” (religious faith).2 Manusia

beragama berkaitan dengan konstruk kesejarahan (historical construct), yang

melibatkan banyak elemen baik sosial kultural, ekonomi, politik dan lain

sebagainya. Melalui proses interaksi, muncul beragam tradisi dan komunitas

keagamaan. Pada konteks kepenganutan inilah para penstudi agama lebih fokus

dalam menstudi agama.

Tulisan ini lebih fokus pada pemikiran Smith tentang metodologi

memahami agama-agama sebagai tahapan dalam proses terbangunnya

hubungan yang harmonis di antara para penganut agama.

Dasar-dasar Metodologis

Memahami agama pada dasarnya memahami agama dari teks dan

konteks. Teks menunjukkan pada doktrin atau ajaran agama yang

bersumberkan wahyu, sedangkan konteks menunjukkan pada sikap dan

pemahaman penganut agama terhadap teks. Oleh karena itu, para penstudi

agama pada umumnya, termasuk didalamnya W.C. Smith yang memisahkan

agama dengan klasifikasi internal dan eksternal religion, selalu memisahkan

1 W.C. Smith, Meaning and End of Religion, A Revolutionary Approach to the Great Religious

Tradistions, pertama kali dipublikasikan di Macmillan Company, New York, Amerika, 1962,

kemudian di Inggris tahun 1978, hal. 165-169 2 Ibid, hal. 1-4

Page 3: PERSONALISASI AGAMA DAN KERUKUNAN Studi atas Pemikiran …

SPERSONALISASI AGAMA DAN KERUKUNAN

Studi atas Pemikiran W.C.Smith dalam Membangun Harmoni Antar Umat Beragama

Conference Proceeding ICONIMAD 2019 | 261

International Conference on Islam in Malay World IX, Krabi, Thailand

agama sebagai doktrin (religion) dan agama sebagai perilaku (religiosity).3

Emile Durkheim, misalnya, memisahkan istilah religion dengan religious

phenomena.4 Demikian pula, para penstudi agama lain, seperti Eliade, Wach,

Kitagawa, memisahkan agama dan praktek agama dalam studinya. Pemisahan

ini untuk memudahkan dalam memahami agama. Sebab, agama menjadi hidup

dan dinamis sangat bergantung kepada para penganutnya. Demikian pula

sebaliknya, agama bisa mati karena ditinggalkan penganutnya. Dengan

demikian, secara empiris, baik buruknya agama tergantung pada penganutnya

yang merefleksikan keyakinan agamanya dalam kesehariannya. Jika agama

dikesani sebagai ‘teroris’, radikalis, dan lain sebagainya, adalah ditujukan

kepada para pengnutnya yang merepresentasikan ‘perilaku’ ini, bukan pada

agamanya. Di sinilah pentingnya memahami agama sebagai teks dan konteks,

agama sebagai doktrin dan praktek, serta agama yang bersipat internal dan

eksternal.

Secara filosofis, pemikiran Smith semakin mudah dipahami jika

mempelajari pemikiran Fritjof Schuon dan Huston Smith tentang Supreme

Being (Adi Kudrati)5 melalui pendekatan esoteris dan eksoteris, sebagaimana

diulas dalam pembahasan sebagai bagian dari dasar-dasar metodologis Smith

dalam memahami agama-agama. Semua penganut agama yang dipelajari Smith

memiliki tujuan untuk menyusun dan mengembangkan teori-teori yang dapat

diterima baik oleh orang Yahudi, Budha, Islam maupun Kristen, yg diperkuat

melalui tradisi akademik sebagai scientific method.

Smith seolah memberi pemahaman setidaknya : pertama, diperlukan

reorientasi baru ilmu perbandingan agama dalam menstudi agama pada situasi

dan dinamika kehidupan keagamaan yang semakin kompleks, terutama

berhadapan dengan kemajuan sains dan teknologi. Kedua, diupayakan adanya

hubungan antaragama yang lebih harmonis, minimal diawali dari lingkungan

tokoh agama dan kaum intelektual sebagai bagian yang integral dan komunitas.

Ketiga, hubungan yang berlangsung sebagaimana pada pemikiran di atas,

bukan hanya bersifat pertemuan ilmiah, tetapi lebih bersifat kebersamaan

komunitas dalam beragama.

Pembahasan

3 Lihat, Adeng Muchtar Ghazali, “Toleransi Beragama dan Kerukunan dalam Perspektif

Islam”, dalam Religious, Jurnal Studi Agama-Agama dan Lintas Budaya, Vol. 1, Nomor 1,

September 2016, Jurusan Studi Agama-agama Fakultas Ushuluddin UIN Sunan Gunung Djati

Bandung, hal. 25. 4 Ibid; lihat pula, Emile Durkheim, the Elementary Forms of the Religious Life, translated by

Joseph Ward Swain, George Allen & Unwin LTD, London, 1976, hal. 23-47. 5 Lihat, Adeng Muchtar Ghazali, Ilmu Studi Agama, Pustaka Setia, Bandung, 2005, hal. 139-

148

Page 4: PERSONALISASI AGAMA DAN KERUKUNAN Studi atas Pemikiran …

PERSONALISASI AGAMA DAN KERUKUNAN

Studi atas Pemikiran W.C.Smith dalam Membangun Harmoni Antar Umat Beragama

262 | Conference Proceeding ICONIMAD 2019

International Conference on Islam in Malay World IX, Krabi, Thailand

1. Tahapan Memahami Agama ‘Kita’ dan ‘Orang Lain’

Sebagai seorang penganut Kristen, upaya akademis Smith dalam

memahami agama orang lain tidak terlepas dari kesejarahan Kristianinya -

sebagai agama yang diyakininya. Mempelajari agama adalah mempelajari

manusia dengan ragam karakter, kapasitas pengetahuan, dan kondisi sosial

kultural yang mengitarinya. Dalam merefleksikan keyakinannya, manusia

beragama dihadapkan dengan ragam keyakinan lain yang berbeda dengan

keyakinan agamanya. Pada konteks ini, Smith menyodorkan pemikiran tentang

bagaimana seseorang atau sekelompok komunitas tertentu bisa saling

berinteraksi dengan sekelompok orang yang berbeda keyakinan dengan

dirinya, tanpa memunculkan ‘perasaan’ bermusuhan.

Untuk menggambarkan ‘personalisasi’ agama antara ‘keyakinan kita’

dengan ‘keyakinan orang lain” sehingga memunculkan “harmoni dalam

perbedaan”, Smith menggunakan pendekatan pronominal terms. Menurutnya,

di lingkungan Kristen, agama Kristen dipandang sebagai ‘personal’, sedangkan

non-Kristen dipandang sebagai impersonal. Smith mengawali pernyataan

teologisnya dengan menjelaskan adanya implikasi moral dan implikasi

konseptual wahyu Kristen. Pada tingkat wahyu Allah, Kristus menghendaki

rekonsiliasi dan rasa kebersamaan yang dalam: kita harus berusaha

menghilangkan hambatan-hambatan, menjembatani perbedaan-perbedaan,

mengakui semua orang sebagai sesama dan anak-anak Allah Bapa, yang sedang

berupaya menemukan Dia. Pada taraf ini, kita tidak akan menjadi orang Kristen

sejati sebelum kita mencapai suatu komunitas yang mengubah seluruh umat

manusia menjadi satu “kita” yang mutlak. Jika pernyataan-pernyataan teologis

dirumuskan, pernyataan-pernyataan itu jangan sampai memungkinkan orang-

orang Kristen nrengabadikan sikap kami (we) dan mereka (they), yang menjadi

sikap eksklusif masa lampau. Sikap seperti ini, didasari oleh keangkuhan dan

bukan kerendahan hati yang diajarkan Kristus dan benar-benar tidak bermoral.6

Untuk lebih memahami personalisasi agama yang dikaitkan dengan

penggunaan “pronominal terms”, penulis kemukakan istilah-istilah pronominal

yang digunakan Smith. Ada beberapa tahapan studi agama dalam upaya

personalisasi yang menggunakan pronominal terms7, yaitu :

a. It, bentuk tradisional yang biasa digunakan orang barat (baca: Kristen)

untuk membicarakan agama-agama (non-Kristen). It menunjukkan sesuatu

yang impersonal. Pada tahapan ini agama non-Kristen adalah agama yang

impersonal, masih asing, belum bisa dijadikan objek kajian.

66 Harold Coward, Pluralisme Tantangan Bagi Agama-Agama, terjemahan, Kanisius,

Yogyakarta, 1989, hal. 62 7 Kitagawa & Eliade, History of Religion, Essays in the Problem of Understanding, University

of Chicago Press, 1974, hal. 34

Page 5: PERSONALISASI AGAMA DAN KERUKUNAN Studi atas Pemikiran …

SPERSONALISASI AGAMA DAN KERUKUNAN

Studi atas Pemikiran W.C.Smith dalam Membangun Harmoni Antar Umat Beragama

Conference Proceeding ICONIMAD 2019 | 263

International Conference on Islam in Malay World IX, Krabi, Thailand

b. They, agama yang impersonal menjadi personal, sesuatu yang asing

menjadi dikenal dan bisa didekati sebagai objek kajian. Pada tahapan ini,

ada pengakuan bahwa agama-agama non-Kristen (they) merupakan bagian

dari komunitas manusia beragama.

c. We, sudah tercapai adanya hubungan yang bersifat dialogis antar agama

Kristen dan non-Kristen. We mencakup they dan you. They menunjukkan

bahwa para penstudi memandang agama yang dikajinya sebagai objek, dan

penstudi berkedudukan hanya sebagai partisipan, sedangkan you

menunjukkan adanya dialog yang harmonis, tadinya we’re speaking (to)

you, --kami berbicara (kepada) Anda, menjadi we’re speaking (with) you,--

kami berbicara (kepada) Anda. Di sini nampak bahwa yang tadinya (to)

you sebagai objek, berubah menjadi (with) you sama-sama sebagai subjek.

d. We all, merupakan kelanjutan dari tahapan sebelumnya sebagai tahapan

terakhir dalam personalisasi agama dengan menggunakan pronominal

terms. Unsur kebersamaan dari berbagai umat beragama yang berlainan,

menjadi satu komunitas, satu sama lain saling berbicara dan tertukar

pikiran tentang agamanya. We all yang dibicarakan tiada lain adalah with

each ather about us - marilah bersama-sama berbicara tentang kita; yakni

agama yang sedang kita anut dan tersebar di seluruh pelosok dunia.

Tahapan di atas menunjukkan bahwa masing-masing keyakinan agama

sebagai “keyakinan kita” (truth claim) tetap terpelihara, tetapi pada saat yang

bersamaan dia “menghormati” keyakinan agama “orang lain” yang berbeda

dengan keyakinannya. Dari rasa ‘saling’ menghormati ini dalam prosesnya

membuka ruang peluang terjadinya suasana kebersamaan dan kerjasama untuk

memelihara kedamaian dan kenyamanan diantara sesama penganut agama.

2. Pendekatan Eksoteris dan Esoteris

Implikasi teoritis dari penggunaan pendekatan pronominal terms adalah,

bahwa dalam memahami agama perlu menggunakan pendekatan esoteris dan

eksoteris. Pendekatan ini digunakan untuk memahami prinsip dasar keyakinan

agama. Pendekatan esoteris adalah hakikat (essence), sedangkan eksoteris

adalah perwujudan (manifest). Kajian ini didasarkan kepada ajaran yang

bersipat metafisik, bukan bersipat filosofis. Berdasarkan pendekatan itu,

perbedaan dasar bukanlah antara agama yang satu dengan agama yang lain.

Dapat dikatakan, garis pemisah itu bukannya membagi perwujudan historis

yang besar dari agama-agama secara vertikal. Sebaliknya, garis pemisah tadi

bersipat horizontal dan hanya ditarik satu kali membelah berbagai esoterisme,

sedangkan dibawahnya terletak faham eksoterisme. Secara esoteris semua

Page 6: PERSONALISASI AGAMA DAN KERUKUNAN Studi atas Pemikiran …

PERSONALISASI AGAMA DAN KERUKUNAN

Studi atas Pemikiran W.C.Smith dalam Membangun Harmoni Antar Umat Beragama

264 | Conference Proceeding ICONIMAD 2019

International Conference on Islam in Malay World IX, Krabi, Thailand

agama pada dasarnya atau pada hakeketnya sama, dan secara eksoteris hanya

berbeda dalam bentuknya.8

Setiap agama memiliki satu bentuk dan satu substansi. Substansi

mempunyai hak-hak yang tidak terbatas, sebab ia lahir dari Yang Mutlak

sedangkan bentuk adalah relatif, dan karena itu hak-haknya terbatas. Setelah

mengetahui ini, orang tiak dapat menutup matanya dari dua fakta, bahwa : (1)

tidak ada kredibilitas mutlak pada tingkat fenomena semata dan, (2) penafsiran

harfiah dan eksklusif atas pesan-pesan agama diperdayai oleh ketidaktepatan

mereka yang relatif sepanjang menyangkut orang-orang beriman dari agama-

agama lain.9

Pemahaman esoteris dan eksoteris, berdasarkan logika Schuon, adalah

melalui penjelasan bahwa wujud penyelamat dari Yang Mutlak adalah

Kebenaran atau Kehadiran, tetapi salah satunya tidak berdiri sendiri.Dalam

kerangka ini kita bisa melihat bahwa Kristus adalah kebenaran dan Kehadiran

bagi orang-orang Kristen, yaitu kehadiran dalam kebenaran itu itu sendiri atau

satu-satunya Kehadiran Tuhan yang benar. Nabi, sebaliknya, adalah kehadiran

dari kebenaran bagi seorang Muslim, dalam arti bahwa ia sajalah yang

menghadirkan Kebenaran murni atau menyeluruh, Kebenaran itu sendiri.10

Frithjof Schuon berusaha untuk menganalisis hubungan antar agama-

agama. Dasar pemikirannya adalah, bahwa setiap hal memiliki persamaan

sekaligus perbedaan dengan hal-hal lainnya. Persamaan, paling tidak dalam

adanya hal-hal itu sendiri. Perbedaan, karena kalau tidak, pasti tidak akan ada

keragaman yang dapat diperbandingkan. Demikian pula halnya dengan agama-

agama. Bila tidak ada persamaan pada agama-agama, kita tidak akan

menyebutnya dengan nama yang sama : “agama”. Bila tidak ada perbedaan

diantaranya, kita pun tidak akan menyebutnya dengan kata majemuk : “agama-

agama”, dan karena itu kata benda tunggal akan lebih cepat untuk itu.

Dimanakah akan ditarik garis antara kesatuan dan kemajemukan diantara

keduanya ? mengajukan teori tentang “Perbedaan antara hakekat dan

perwujudan : esoteris lawan eksoteris”. Kajian ini didasarkan kepada ajaran

yang bersipat metafisik, bukan bersipat filosofis. Schuon menarik garis

pemisah antara yang eksoteris dan esoteris. 11

Pendekatan esoteris dan eksoteris itu bisa memperoleh pemahaman

tentang “kesatuan” : kesatuan yang absolut, kategoris dan utuh. Secara

antropologis, kesatuan ini menutup kemungkinan bagi munculnya perbedaan

akhir antara yang manusiawi dan ilahi. Sedangkan secara epistimologis,

kesatuan yang sama akan meniadakan kemungkinan bagi munculnya

8 Lihat, Adeng Muchtar Ghazali, Op.Cit, hal.75 9 Frithjof Schuon, Islam dan Filsafat Perenial, terjemahan, Mizan, Bandung, 1993, hal. 25 10 Ibid, hal. 17 11 Ibid, hal.74

Page 7: PERSONALISASI AGAMA DAN KERUKUNAN Studi atas Pemikiran …

SPERSONALISASI AGAMA DAN KERUKUNAN

Studi atas Pemikiran W.C.Smith dalam Membangun Harmoni Antar Umat Beragama

Conference Proceeding ICONIMAD 2019 | 265

International Conference on Islam in Malay World IX, Krabi, Thailand

perbedaan akhir antara yang mengetahui dan diketahui Inilah yang

memungkinkan kita memahami bahwa versi Schuon tentang perbendaan antara

hakekat dan perwujudan agama sangat penting artinya. Menurut

pandangannya, kelemahan versi-versi lain mengenai perbedaan ini karena

versi-versi tadi terlalu cepat menyatakan adanya kesatuan, padahal

sesungguhnya kesatuan tersebut tidak terjangkau karena bercorak eksoteris

sebagaimana terlihat pada garis bawah, nampak berbagai agama itu terpecah

belah. Namun, perbedaan tingkat ini merupakan hal yang mendasar. Tanpa

perbedaan tersebut akan terjadi kebingungan yang tidak dapat dielakkan.

Sebagaimana yang dikatakan dalam pengantar buku Attitudes toward other

Religions bahwa “kadang-kadang ditekankan bahwa semua agama sama

benarnya, tetapi hal ini kelihatannya merupakan suatu pendapat yang lemah,

karena agama yang bermacam-macam itu mempunyai pandangan yang sangat

berbeda tentang realitas, jika bukan bertentangan satu sama lain”.12

Kesatuan berbagai agama hanya terjadi pada tingkat estoris. Ia

bersembunyi dan bersipat rahasia, bukan karena orang mengetahuinya,

melainkan karena kebenaran yang merupakan rahasia itu terbenam didalam

timbunan unsur manusiawi. Inilah sebabnya mengapa mereka tidak dapat

menjelaskan secara meyakinkan kepada orang banyak.

Ada perbedaan yang jelas antara pengetahuan metafisik dengan

pengetahuan teologis. Dapat dicontohkan melalui analogi indrawi. Pengetahuan

metafisik atau esoteris, jika diungkapkan dalam simbol religius adalah

kesadaran mengenai hakekat cahaya yang tidak berwarna dan mengenai cirinya

sebagai sumber terang sejati. Sebaliknya, suatu kepercayaan religius tertentu

akan mengatakan cahaya itu berwarna merah dan bukan hijau, sementara itu

kepercayaan religius lainnya akan menyatakan sebaliknya. Kedua pernyataan

tadi adalah benar sejauh keduanya membedakan cahaya dari kegelapan, tapi

tidak benar kalau cahaya itu mereka anggap sama dengan sesuatu warna saja.

Dalam pengertian lain, pengetahuan metafisik merupakan “sumber asal

kebenaran” dan “sumber asal adi kodrati”, sedangkan pengetahuan teologis

merupakan “perwujudan” dari yang adi kodrati tadi, dan hanya bisa diphamai

dengan bahasa “dogmatis”. Dengan demikian, berbagai agama yang ada

merupakan “terjemah” dari kebenaran metafisik atau kebenaran universal

dengan bahasa dogmatis. Karena itu, walaupun kebenaran intrisik dari dogma

tidak dapat dipahami semua orang, termasuk melalui kemampuan intelek, tapi

hanya bisa dipahami lewat iman. Ini merupakan satu-satunya cara yang

mungkin bagi sebagian besar manusia untuk berpartisipasi dalam ‘kebenaran

ilahi’.13

12 Ibid, hal.76 13 Ibid, hal. 77

Page 8: PERSONALISASI AGAMA DAN KERUKUNAN Studi atas Pemikiran …

PERSONALISASI AGAMA DAN KERUKUNAN

Studi atas Pemikiran W.C.Smith dalam Membangun Harmoni Antar Umat Beragama

266 | Conference Proceeding ICONIMAD 2019

International Conference on Islam in Malay World IX, Krabi, Thailand

Dari pembahasan diatas nampak jelas, bahwa pada dasarnya, agama-

agama yang ada didunia berasal dari satu sumber, satu kebenaran universal,

yakni adi kodrati. Hanya sebutan untuk adi kodrati tersebut dapat berbeda

sesuai dengan wujud eksoteris dari pengetahuan esoteris (metafisik).

Khususnya untuk ungkapan eksoteris, perwujudan berbagai agama menjadi

persoalan tersendiri. Bagaimana cara yang paling tepat, agar diantara agama-

agama tersebut terjadi keharmonisan, dan tidak menjadi perbedaan yang perlu

diperdebatkan.

Tentu saja hal ini melalui batasan-batasan keyakinan tertentu sesuai

dengan apa yang dianjurkan dan diajarkan oleh masing-masing agama tersebut.

Hal ini disadari, karena pada akhirnya masing-masing agama mengakui dan

meyakini “kebenaran dogmatis”nya. Paling tidak, dapat membukakan dialog

antar agama, dan hal ini hanya bisa dimulai dengan mengandaikan adanya

keterbukaan sebuah agama terhadap agama lainnya. Masalahnya mungkin baru

timbul, bila kemudian mulai dipersoalkan secara terperinci apa yang dimaksud

dengan keterbukaan, segi-segi mana dari suatu agama yang memungkinkannya

terbuka terhadap agama yang lain, pada tingkat mana keterbukaan itu dapat

dilaksanakan atau dapat ditolerir, dan juga dalam modus yang mana

keterbukaan itu dapat dilaksanakan.

Dengan lain perkataan, perlu dirumuskan juga batas-batas kemungkinan

keterbukaan tersebut). Karena itu, yang perlu mendapat perhatian bukanlah

bagaimana agama sebagai suatu sistem substansial dengan ajaran, doktrin dan

kewajiabn-kewajibannya melihat persamaan dan perbedaannya dengan suatu

agama lain, tetapi bagaimana agama menjadi jalan dan sebab seseorang atau

sekelompok orang terbuka kepada kelompok orang yang beragama lain.

Hakekat dan perwujudan, atau pun Kebenaran dan Kehadiran adalah

jelas saling melengkapui, terlepas dari yang mana yang ditekankan, tetapi

secara de fakto dapat meruncingkan pandangan-pandangan yang bertentangan,

sebagaimana yang ditunjukkan bukan hanya oleh antagonisme antara agama

Kristen dan Islam, melainkan juga – dalam kandungan Islam sendiri – oleh

perpecahan antara ajaran Sunni dan Syi’ah. Ajaran Syi’ah dengan caranya

sendiri setia kepada nsur kehadiran, sedangkan ajaran Sunni – yang sejalan

dengan Islam yang murni – mendukung unsur Kebenaran.

Agama Buddha mengemukakan secara a priori (eksoterik), yaitu dalam

kerangka formalnya, sebagai suatu jalan menurut “kekuatan-diri” dan dengan

demikian dibangun di atas unsur “Kebenaran” sebagai suatu kekuatan penerang

dan pembebas yang imanen. Tetapi, secara a posteriori (esoterik), ia

menyiratkan jalan menurut “kekuatan dari yang lain”, yang karenanya

Page 9: PERSONALISASI AGAMA DAN KERUKUNAN Studi atas Pemikiran …

SPERSONALISASI AGAMA DAN KERUKUNAN

Studi atas Pemikiran W.C.Smith dalam Membangun Harmoni Antar Umat Beragama

Conference Proceeding ICONIMAD 2019 | 267

International Conference on Islam in Malay World IX, Krabi, Thailand

didasarkan pada unsur “Kehadiran” sebagai suatu kekuatan transenden dari

kerahiman dan keselamatan.14

Dengan menggunakan pendekatan yang sama, secara eksoterik, unsur

Kebenaran dalam agama Kristen merupakan dalil bahwa Kristus adalah Tuhan.

Tetapi secara esoteris, Kebenaran Kristus di satu pihak berarti bahwa setiap

perwujudan dari Yang mutlak identik dengan Yang Mutlak. Di lain pihak, ia

berarti bahwa Perwujudan itu bersipat transenden dan selalu ada. Transenden

karena Kristus itulah yang ada di atas kita dan selalu ada, karena Kristus berada

dalam diri kita sendiri. Ialah Hati, yang sekaligus berupa Akal dan Kasih.

Masuk ke dalam Hati berarti memasuki Kristus, dan, begitu pula sebaliknya,

Kristus adalah Hati dari Makro-kosmos, sebagaimana Akal merupakan Kristus

dari Mikro-kosmos. “Tuhan menjadi Manusia sehingga manusia dapat menjadi

Tuhan”; “Diri menjadi Hati sehingga Hati dapat menjadi Diri”; dan inilah

sebabnya mengapa “Kerajaan Surga ada dalam dirimu”.15

Dalam jasmani manusia, unsur Kebenaran diwakili oleh pengetahuan

dan unsur Kehadiran oleh Kebajikan; pengetahuan berdasar pada akal, dan

kebajikan pada kekuatan kehendak. Pengetahuan sepenuhnya dikarenakan

adanya usaha tertentu dari kehendak. Dan sebaliknya, terbukti bahwa akal yang

diterapkan secara baik dapat melahirkan atau menguatkan kebajikan, karena

akal menguraikan secara gamblang kepada kita sipat kehendak dan kebutuhan

kita akan kebajikan. Dan juga sama jelasnya bahwa kebajikan pada gilirannya

dapat meningkatkan pengetahuan karena ia menentukan hal-hal tertentu dari

pengetahuan.

Setiap pelaku agama akan berbeda dalam memahami doktrin-doktrin,

simbol-simbol atau ajarannya. Oleh karena itu, untuk memahami “kebenaran”

agama tiada lain apa yang dikatakan “benar” oleh penganutnya, sehingga obyek

studi agama bukan pada bagian pertama (external religion), tetapi pada “diri

manusia” (internal religion).16

Max Weber, seringkali mengisyaratkan bahwa dalam mengkaji dan

menganalisis agama bukan dalam arti “apakah agama itu”, tetapi untuk

menelusuri kondisi-kondisi dan dampak-dampak teodisi budaya yang berbeda-

beda. Karena itu, hakekat beragama adalah untuk menjadikan hidup bermakna

dan menselaraskan kesenjangan antara harapan-harapan dan pengalaman

aktual. Maka, pendekatan internal consistency untuk memahami arti dan makna

agama dari para pemeluknya adalah sangat penting.17

14 Ibid, hal. 22 15 Ibid, hal. 16 16 Adeng Muchtar, Op.Cit, hal.78 17 Ibid.

Page 10: PERSONALISASI AGAMA DAN KERUKUNAN Studi atas Pemikiran …

PERSONALISASI AGAMA DAN KERUKUNAN

Studi atas Pemikiran W.C.Smith dalam Membangun Harmoni Antar Umat Beragama

268 | Conference Proceeding ICONIMAD 2019

International Conference on Islam in Malay World IX, Krabi, Thailand

Berdasarkan itu, sebagai bagian dari akibat semakin intensifnya

pergaulan dan proses komunikasi antar bangsa, maka antara satu agama dengan

agama lainnya, harus berhubungan secara terbuka, dan bukan sebagai entitas

yang tertutup dalam sebuah masyarakat yang terbuka pula. Disadari, bahwa

pluralitas agama-agama akan muncul ditempat yang berbeda-beda, dan agama

tidak bisa lagi hidup secara terisolasi.

Solarso Sopater memberikan pandangan bahwa pluralisme terjadi bukan

hanya sebagai suatu proses eksternal, akan tetapi juga internal. Hal ini

disebabkan adanya kontak dimana agama-agama itu hidup, yang juga

menentukan corak-corak agama itu sendiri. Sebagai contoh, keberagamaan

Kristen di Eropa akan berbeda dengan keberagamaan Kristen di Asia, Afrika

atau di Amerika Latin. Demikian pula kerbergamaan Islam di negeri-negeri

jazirah Arab akan berbeda dengan Islam yang berkembang di Indonesia

ataupun di negara-negara lainnya. Dengan demikian terlihat bahwa proses

pluralisasi menimbulkan kesadaran akan kemajemukan ekspresi keagamaan

yang ada di tempat-tempat yang berbeda. 18 Tinggi rendahnya kualitas bergama atau “perwujudan” kebenaran agama

terletak pada manusianya, karena hanya manusia yang menganut agama. Taufik

Abdullah menekankan bahwa memahami agama tiada lain adalah memahami

kebenaran agama dari realitas empiris, yang berarti apa-apa yang diyakini dan

diperbuat oleh manusia dalam kesehariannya sebagai manusia beragama.19

3. Personalisasi : Antara Eksklusif dan Inklusif Dengan menggunakan pronominal terms sebagai gambaran tahapan-

tahapan orang Barat dalam memahami agama, yang pada mulanya

dipandang sebagai ‘impersonal’ menjadi ‘personal’, dan akhirnya tercapai

kebersamaan sebagai saru komunitas, maka sikap eksklusif yang selama ini

mewarnai sebagian besar orang-orang Kristen (atau Barat) semakin terbuka.

Menurut Smith, sikap eksklusif seperti ini secara moral tidak dapat

diterima. Apabila orang Kristen bertemu atau mendengar tentang seorang

Hindu, Islam atau Budhis yang hidupnya saleh dan bermoral, sehingga

kelihatannya dekat sekali dengan Tuhannya dalam pengertian ‘memadai’

sebagaimana pandangan hidup Kristen, maka orang Kristen yang

bersangkutan harus bersuka cita dengan penuh semangat, berharap bahwa

hal ini benar.20

Sikap Kristen yang dipersepsikan Smith, jelas adanya

“keinginan” hidup bersama secara damai, atau paling tidak adanya

pengakuan bahwa “ada kebenaran lain” selain kebenaran agamanya.

18 Ibid,, hal.79 19 Taufik Abdullah & Rusli Karim, ed, Metodologi Penelitian Agama, Tiara Wacana, Jakarta,

1989, hal. xiii 20 Coward, Op.Cit, hal. 62

Page 11: PERSONALISASI AGAMA DAN KERUKUNAN Studi atas Pemikiran …

SPERSONALISASI AGAMA DAN KERUKUNAN

Studi atas Pemikiran W.C.Smith dalam Membangun Harmoni Antar Umat Beragama

Conference Proceeding ICONIMAD 2019 | 269

International Conference on Islam in Malay World IX, Krabi, Thailand

Dalam eksklusivitas tercakup pengertian tentang pemikiran yang

magis-religius, satu hal yang datangnya “dari dalam” yang hanya bisa

dihayati oleh anggota-anggota kelompok tersebut. Hal demikian disebut

“kesadaran kolektif”, dan kesadaran kolektif inilah kemudian yang

membentuk satu tembok pemisah antara “we group” dan “they group”.

Kuatnya orientasi kedalam berarti menekan adanya orientasi keluar

seminimal mungkin. Proses integrasi atau adanya kemauan kebersamaan,

sering tertumbuk pada “tapal batas” nilai-nilai berbagai kelompok yang

selalu memandang nilainya sebagai yang terbaik, satu-satunya yang benar.

Dalam karya klasiknya, “The Meaning and End of Religion”,21

Smith

menjelaskan bahwa penggunaan teologi yang eksklusif mengakibatkan

agama orang lain dipandang sebagai penyembahan berhala dan

menyamakan Tuhannya dengan dewa. Sebagai contoh , Smith mengutip

pernyataan teolog Kristen Emil Brunner, “Allah dari agama lain”,

senantiasa merupakan suatu berhala. Contoh-contoh mengenai sikap

eksklusif seperti itu adalah contoh dari keangkuhan beragama yang tidak

dapat diterima. Kita tidak dapat mengenal satu sama lain kecuali dengan

kebersamaan : Atas dasar hormat, kepercayaan, persamaan dan kasih timbal

balik. Dalam pengetahuan agama, menurut Smith, kita harus beralih dari

pandangan mengenai mereka sebagi sesama anggota yang sederajat dari

komunitas keagamaan yang meliputi seluruh dunia22

.

Teosentris, adalah sebutan yang kira-kira tepat terhadap pemikiran-

pemikiran Smith tersebut di atas, sekalipun pendiriannya itu sendiri

didasarkan kepada Allah yang duwahyukan melalui Kristus. Tiap-tiap

komunitas manusia, tiap-tipa agama, sedang berkembang ke arah suatu

tujuan akhir pengetahuan dan pengalamannya bersama-sama dengan tujuan

akhir semua komunitas dan agamalainnya. Hanya, Smith tidak bisa

menjawab persoalan tentang cara menghindari hiangnya keyakinan

kebenaran seseorang sementara memperluas misinya mengenai kebenaran,

sehingga dapat menampung semua kebenaran lainnya. Tentu saja, pendirian

Smith akan menjadi masalah bagi para fundamentalis agama-agama.

4. Reorientasi Baru dalam Menstudi Agama

Melihat beberapa pemikiran tersebut tampak bahwa yang menjadi titik

tekan studi-studi agama (baca: ilmu perbandingan agama) bukan lagi agama-

agama sebagaimana sering dipahami, tetapi manusianya, yakni “kehidupan

21 W.C. Smith, Meaning and End of Religion, A Revolutionary Approach to the Great Religious

Tradistions, (dalam Bab 3 tentang agama dan kultur,hal.51, dan dalam Bab 6 tentang kumulasi

tradisi, hal. 154). 22 Coward, Op.cit, hal. 65

Page 12: PERSONALISASI AGAMA DAN KERUKUNAN Studi atas Pemikiran …

PERSONALISASI AGAMA DAN KERUKUNAN

Studi atas Pemikiran W.C.Smith dalam Membangun Harmoni Antar Umat Beragama

270 | Conference Proceeding ICONIMAD 2019

International Conference on Islam in Malay World IX, Krabi, Thailand

manusia beragama”23 Tinggi rendahnya kualitas beragama atau perwujudan

kebenaran agama terletak pada manusianya karena hanya manusia yang

menganut agama, Taufik Abdullah berpendapat bahwa memahami agama tiada

lain adalah memahami kebenaran agama dari realitas empiris, yang berarti apa-

apa yang diyakini dan diperbuat oleh manusia dalam kesehariannya sebagai

manusia beragama.24

Kepercayaan agama adalah sesuatu yang diyakini dan dipahami

manusia. Kepercayaan ini bisa tampak manakala diekspresikan oleh manusia

atau penerapan kongkret nilai-nilai yang dimiliki manusia.25 Smith mencoba

mempersoalkan agama berdasarkan apa yang diyakini dan diperbuat manusia

karena kebenaran itu muncul berdasarkan yang dipahami oleh manusia.

Keberagamaan seseorang, bagaimanapun akan dipengaruhi oleh skuktur sosial,

politik, dan kultural tempat agama itu hidup dan berkembang. Dalam konteks

demikian, mengapa perwujudan Islam di Indonesia bisa dibedakan dengan

Islam di Arab Saudi, Pakistan, atau Mesir? Juga, mengapa Hindu di India

berbeda dengan Hindu di Bali? Setiap agama tidak dapat dipisahkan dari

cirinya yang kompromisis atau akomodatif. Sifat akomodatif terletak pada

penghampiran manusia terhadap agamanya yang dipengaruhi oleh lingkungan

sosial, kultur, dan politis ternpat dia hidup.

Tentu saja pandangan itu lebih bersifat sosial antropologis. Sebaliknya,

sebagai sistem keyakinan agama dapat menjadi bagian dan inti dari sistem-

sistem nilai yang ada dalam kebudayaan suatu masyarakat dan menjadi

pendorong tindakan-tindakan anggota masyarakat supaya tetap berjalan sesuai

dengan niali-nilai kebudayaan dan ajaran agamanya26

Untuk mernberikan pemahaman yang benar tentang personalisasi agama

yang diajukan Smith, perlu dibedakan dua bagian agama sebagai objek

kajiannya yakni:

a. External religion; bagian luar agama, seperti ajaran-ajaran, simbol-

simbol, praktek-praktek, dan lain-lain yang selama ini dipandang

sebagai agama.

b. Internal religion; bagian dalam agama, yang tiada lain adalah pada diri

manusia. Apa artinya dan makna agama bagi semua orang yang

terlibat?27

Internal religion merupakan inti kajian Smith dalam memahami agama

dan agama yang sebenarnya terletak pada bagian ini. Setiap pelaku agama akan

berbeda dalam memahami doktrin-doktrin, simbol-simbol atau ajarannya. Oleh

23 Kitagawa & Eliade, 1974, Op.Cit, hal. 32 24 Taufiq Abdullah, Op.Cit, 1989, hal. xii 25 F.J. Moreno, Agama dan Akal Fikiran, terjemahan, Rajawali, Jakarta, 1985, hal. 122 26 Roland Robertson, Sosiologi Agama, terjemahan, Rajawali, Jakarta,1985, hal. vi 27 Kitagawa & Eliade, 1974, Op.Cit, hal. 35

Page 13: PERSONALISASI AGAMA DAN KERUKUNAN Studi atas Pemikiran …

SPERSONALISASI AGAMA DAN KERUKUNAN

Studi atas Pemikiran W.C.Smith dalam Membangun Harmoni Antar Umat Beragama

Conference Proceeding ICONIMAD 2019 | 271

International Conference on Islam in Malay World IX, Krabi, Thailand

karena itu, untuk memahami kebenaran agama adalah menuruti apa yang

dikatakan benar oleh penganutnya sehingga objek studi agama bukan pada

bagian pertama (eksternal), tetapi pada diri manusia (internal) yang memahami

agamanya. Max Weber seringkali mengisyaratkan bahwa dalam mengkaji dan

menganalisis agama bukanlah dalam arti, “Apakah agama itu?” Akan tetapi,

untuk menelusuri kondisi dan dampak teodisi yang berbeda-beda dan budaya

yang berbeda pula.28 Dalam segi kepercayaan, beragama berarti usaha untuk

menjadikan hidup lebih bermakna dan menyelaraskan kesenjangan antara

harapan-harapan dan pengalaman aktual. Kitagawa dengan tepat pula menaruh

perhatiannya pada isu sentral masalah meaning, yakni arti penting agama

menurut para pemeluknya. Hal ini dapat dicapai dengan cara kerja

memperhatikan keseluruhannya, melihat the Wholenes, atau dengan kata lain

menggunakan pendekatan holistik; atau menurut istilahnya sendiri, pendekatan

internal consistency.29

Penutup

Memahami agama melalui sisi kepenganutan, sebagaimana yang

diinginkan Smith, menginspirasi para penstudi agama dalam membangun teori

kerukunan antar umat beragama dan faham keagamaan dimana pun manusia

beragama hidup. Di Indonesia, misalnya, keragaman kepenganutan agama dan

budaya yang dimilikinya mengandung potensi konflik. Di satu sisi bahwa

beragama merupakan hak pribadi yang otonom, namun pada saat yang

bersamaan memiliki implikasi sosial yang kompleks dalam kehidupan

bermasyarakat.30

Untuk itu, pemahaman agama dari sisi penganut bisa membuka ruang

untuk saling mengenal dan berinteraksi tanpa mengabaikan dasar keimanan

yang dimilikinya. Semua doktrin agama mengarahkan kepada semua

penganutnya untuk memelihara perdamaian dan menjauhi permusuhan.

Toleransi, sebagai perilaku, muncul dari kesadaran ini. Untuk itu, dalam

pendekatan budaya, sosial dan politik, toleransi merupakan simbol kompromi

beberapa kekuatan yang saling tarik menarik untuk kemudian bahu membahu

membela kepentingan bersama, menjaga dan memperjuangkannya.31 Dengan

28 Dalam buku Brian S. Turner, Weber and Islam, A Critical Study, Routledge &Kegan Paul,

London, 1973, hal.45 29 Dalam buku Romdhon, Metodologi Ilmu Perbandingan Agama, Raja Grafindo Persada,

Jakarta, 1996, hal. 3 30 Lihat, Adeng Muchtar Ghazali, “Teologi Kerukunan Beragama dalam Islam”, dalam

Analisis, Jurnal Studi Keislaman, Vol.XIII, Nomor 2, Desember 2013, IAIN Raden Intan

Lampung, hal. 271. 31 Ibid, hal. 280

Page 14: PERSONALISASI AGAMA DAN KERUKUNAN Studi atas Pemikiran …

PERSONALISASI AGAMA DAN KERUKUNAN

Studi atas Pemikiran W.C.Smith dalam Membangun Harmoni Antar Umat Beragama

272 | Conference Proceeding ICONIMAD 2019

International Conference on Islam in Malay World IX, Krabi, Thailand

demikian, toleransi adalah pintu menuju kerukunan di lingkungan masyarakat

yang beragam kepenganutan agama dan budaya.

Di negara atau bangsa yang memiliki ragam kepenganutan agama dan

budaya, konsep “agree in disagreement” yang disodorkan Mukti Ali, dapat

dijadikan salah satu model dalam membangun kerukunan antar kepenganutan

agama dan faham keagamaan. Gagasan Mukti Ali ini sampai sekarang masih

segar dan menjadi rujukan utama pemerintah dalam membangun dan

memelihara kerukunan hidup antar umat beragama di Indonesia.32

Daftar Pustaka

Buku :

Coward, Harold. (1989). Pluralisme Tantangan Bagi Agama-Agama, terjemahan, Kanisius, Yogyakarta. Durkheim, Emile. (1976). the Elementary Forms of the Religious Life, translated by Joseph Ward Swain, George Allen & Unwin LTD, London. Kitagawa & Eliade. (1974). History of Religion, Essays in the Problem of Understanding, University of Chicago Press. Muchtar Ghazali, Adeng. (2005). Ilmu Studi Agama, Pustaka Setia, Bandung. Moreno, Jose. (1985). Agama dan Akal Fikiran, terjemahan, Rajawali, Jakarta. Robertson, Roland. (1985). Sosiologi Agama, terjemahan, Rajawali, Jakarta. Romdhon. (1996). Metodologi Ilmu Perbandingan Agama, Raja Grafindo Persada, Jakarta,. Smith, Wilfred Cantwell. (1978). Meaning and End of Religion, A Revolutionary Approach to the Great Religious Tradistions, pertama kali dipublikasikan di Macmillan Company, New York, Amerika, 1962, kemudian di Inggris, 1978 Schuon, Frithjof. (1993). Islam dan Filsafat Perenial, terjemahan, Mizan, Bandung Taufik Abdullah & Rusli Karim, ed. (1989). Metodologi Penelitian Agama, Tiara Wacana, Jakarta. Turner, Brian S. (1973). Weber and Islam, A Critical Study, Routledge &Kegan Paul, London.

32 Lihat, Adeng Muchtar Ghazali, “Perbandingan Agama antara Ilmu dan Nama Jurusan”,

dalam Wawasan, Jurnal Ilmiah Agama dan Sosial Budaya, Vol. 37, Nomor 1, Januari-Juni

2014, Fakultas Ushuluddin UIN Sunan Gunung Djati Bandung, Hal. 21

Page 15: PERSONALISASI AGAMA DAN KERUKUNAN Studi atas Pemikiran …

SPERSONALISASI AGAMA DAN KERUKUNAN

Studi atas Pemikiran W.C.Smith dalam Membangun Harmoni Antar Umat Beragama

Conference Proceeding ICONIMAD 2019 | 273

International Conference on Islam in Malay World IX, Krabi, Thailand

Jurnal :

Analisis. (2013). Jurnal Studi Keislaman, Vol.XIII, Nomor 2, Desember, IAIN Raden Intan Lampung Religious. (2016). Jurnal Studi Agama-Agama dan Lintas Budaya, Vol. 1, Nomor 1, September, Jurusan Studi Agama-agama Fakultas Ushuluddin UIN Gunung Djati Wawasan. (2014). Jurnal Ilmiah Agama dan Sosial Budaya, Vol. 37, Nomor 1, Januari- Juni, Fakultas Ushuluddin UIN Sunan Gunung Djati Bandung.