persoalan+banjir.doc

7
Persoalan Banjir Jakarta OLEH JAJANG HUSNI HIDAYAT Banjir jakarta telah memaksa 600 warga mengungsi. Boleh jadi ini baru tahap awal. Karena Menurut perhitungan BMG, hujan deras disertai petir akan mengguyur Jakarta dalam sepekan ini. Sehingga tidak berlebihan, jika diperkirakan 416 sekolah akan terendam. Perkiraan ini hanya meliputi TK sampai SMP, belum termasuk SLTA (kompas 12-13/11/2008). Umberto Eco mengatakan ilmu “memperpanjang umur manusia”. Jarak dilipat, waktu diperingkas, kehidupan di permudah. Namun, fakta ini belum berlaku bagi Jakarta. Disini, ilmu hanya berpusar pada pelahapan tanah kosong, pembudidayaan hutan beton, yang pada akhirnya membuat manusia bugar pun seolah tak berdaya. Hujan turun, banjir melanda. Lalu evakuasi, mengungsi, bibit penyakit mewabah dan kerugian lain. Setiap tahun, Jakarta disibukan oleh bencana yang bisa diprediksi (!). Manusia dibentuk oleh sejarahnya. Dengan atau tidak disadari, kemampuan berdialektika dengan kenyataan membuat pola pikir manusia berkembang. Manusia belajar dari rasa sakit

Upload: husni-bertahlil

Post on 06-Aug-2015

33 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: persoalan+banjir.doc

Persoalan Banjir Jakarta

OLEH JAJANG HUSNI HIDAYAT

Banjir jakarta telah memaksa 600 warga mengungsi. Boleh jadi ini baru tahap awal.

Karena Menurut perhitungan BMG, hujan deras disertai petir akan mengguyur Jakarta dalam

sepekan ini. Sehingga tidak berlebihan, jika diperkirakan 416 sekolah akan terendam.

Perkiraan ini hanya meliputi TK sampai SMP, belum termasuk SLTA (kompas 12-

13/11/2008).

Umberto Eco mengatakan ilmu “memperpanjang umur manusia”. Jarak dilipat, waktu

diperingkas, kehidupan di permudah. Namun, fakta ini belum berlaku bagi Jakarta. Disini,

ilmu hanya berpusar pada pelahapan tanah kosong, pembudidayaan hutan beton, yang pada

akhirnya membuat manusia bugar pun seolah tak berdaya. Hujan turun, banjir melanda. Lalu

evakuasi, mengungsi, bibit penyakit mewabah dan kerugian lain. Setiap tahun, Jakarta

disibukan oleh bencana yang bisa diprediksi (!).

Manusia dibentuk oleh sejarahnya. Dengan atau tidak disadari, kemampuan

berdialektika dengan kenyataan membuat pola pikir manusia berkembang. Manusia belajar

dari rasa sakit untuk memperbaikinya. Hingga muncul sebuah ungkapan, “hanya keledai yang

jatuh ke lobang yang sama dua kali.”

Mempertanyakan keseriusan Pemkot

Banjir bukan hal baru bagi Jakarta. Bahkan sudah terjadi sejak tahun 1918 saat masih

bernama Batavia. Saat itu, seorang ahli tata air belanda, Van Breen, menggagas manajemen

banjir dengan system kanal. Kanal barat pun dibuat. Namun, usaha ini gagal dikarenakan

kapasitas kanal yang terbatas. Seperti yang direkam Koran Sin Po bulan Februari 1918,

hampir seluruh Jakarta direndam air.

Gagasan kanal barat Van Breen sebetulnya hanya sebagian kecil dari upaya

manajemen banjir. Diluar itu masih ada system folder, tanggul yang mengelilingi kawasan

Page 2: persoalan+banjir.doc

pantai utara, kemudian airnya di pompa keluar melalui parit hingga kering. Namun,

sayangnya tidak terwujud (kompas 10-11-07).

Meski gagasan Van Breen bukan dimaksudkan untuk Jakarta yang penuh beton

seperti sekarang ini, infrastruktur pengendalian banjir yang ada sekarang sebagian besar

adalah warisannya, dan – anehnya- masih diandalkan. Itupun tanpa penyempurnaan. Kanal

barat semakin dangkal. Pembuatan kanal timur tersendat. Pembuatan tanggul asal-asalan.

System folder entah kapan. Jauh di Belanda sana, gagasan Van Breen dimaksimalkan.

Al-hasil, banjir besar tak pernah terjadi. Padahal di beberapa wilayah Negeri

Belanda, ketinggian tanah 5 meter dan bahkan ada yang mencapai 6,6 meter dibawah

permukaan laut. Bandingkan dengan ketinggian tanah Jakarta yang mencapai 7 meter diatas

permukaan laut.

Fakta ini seharusnya dijadikan pemantik optimisme. Sayangnya, yang terjadi justru

sebaliknya. Memandang Jakarta dibawah ancaman bencana, bagi Pemkot seolah cara

pandang keliru. Bukan gagasan Van Breen yang direalisasikan melainkan proyek mercusuar

reklamasi pantai utara Jakarta. Reklamasi yang menguruk pantai sedalam 8 meter, lebar 2

meter, dan sepanjang 30 kilometer kawasan pesisir (kompas, 29-11-07).

Reklamasi ini bukan saja keliru, tetapi salah kaprah. Dua Negara yang selalu menjadi

rujukan reklamasi, Singapura dan Tokyo, melakukannya karena system drainase kota sudah

tertata dengan baik. Adapun system drainase Jakarta masih kacau. Bahkan menurut

pemberitaan Kompas (12-11-08), ada yang selama 20 tahun tidak dibersihkan.

Hal ini sangat ironis. Jakarta yang dilanda banjir tiap tahun, seolah belum puas

dengan banjirnya sehingga harus mengundang potensi banjir lain. Perbandingan

perkembangan –pembuatan infrastruktur- pengendalian dan pengundang banjir tak ubahnya

teori Malthus tentang perkembangan manusia dan alam. Infrastruktur pengendalian

Page 3: persoalan+banjir.doc

berdasarkan deret hitung, sedangkan pengundang banjir berdasar deret ukur. Maka

selamanya, banjir tak bisa ditanggulangi.

Cara pandang pemegang kebijakan terhadap kota Jakarta harus diubah. Dari “cara

pandang santai dan komersil” terhadap “awas bencana”. Kota ini harus dipandang sebagai

tempat yang setiap saat bisa diporakporandakan banjir. Apalagi pengaruh pemanasan global

membuat alam sulit dikenali. Sehingga terendamnya Jakarta tidak hanya bisa terjadi dimusim

hujan.

Cara pandang “awas bencana” yang dipraktekan pemerintah Belanda, membuat

pembangunan delta, penguatan tanggul-tanggul raksasa, empat bendungan besar, dan

pembaruan system pemompa air cepat terealisir, setelah di tahun 1953 badai dahsyat

menghancurkan 67 tanggul di barat daya Belanda. Cara pandang “awas bencana”, juga yang

membuat warga belanda dengan bangga berkata, “ Tuhan menciptakan bumi tapi orang

Belanda menciptakan Negeri Belanda.”

Cara pandang “awas bencana” menuntut keseriusan dalam membuat jalan keluarnya.

Jika ditangani dengan serius, tidak mustahil tiap inci tanah Jakarta ditinggalkan banjir.

Factor masyarakat

Shakesphere pernah merumuskan kalimat pendek berisi pertanyaan sekaligus

jawaban, “ apakah kota itu, kalau bukan penduduknya”. Terang menurut Shakesphere, bahwa

watak kota ditentukan watak penduduknya. Penduduk, memegang kendali cukup besar dalam

menentukan kumuh, bersih, rapi, semrewutnya sebuah kota. Karena secanggih apapun

strategi penataan kota akan mental ketika dihadapkan pada penduduk yang bebal.

Laju pertumbuhan penduduk Jakarta menjadi problem tersendiri bagi pemerintah.

Perpindahan dari desa yang diperkirakan mencapai 1000 jiwa per-hari jelas mendatangkan

masalah serius. Ketegasan pemerintah dalam pembatasan pendatang ini perlu diapresiasi.

Page 4: persoalan+banjir.doc

Meski tidak dipungkiri, perpindahan besar-besaran masyarakat desa ke kota, sebetulnya

bukan semata karena kemajuan kota, tapi karena kemiskinan desa.

Terlepas dari semua itu, masyarakat golongan menengah ke bawah adalah mereka

yang menghidupkan kota. Sehingga kekuatan mayoritas ini adalah mitra strategis dalam

pengentasan masalah kota, termasuk banjir. Kebijakan-kebijakan mengenai tata kota tidak

semestinya lagi dimonopoli oleh ahli tata ruang kota dan penentu kebijakan. Dengan cara ini,

masyarakat kota tidak hanya tinggal dikota tetapi merasa memiliki kota.

Bukan tidak mungkin, dari masyarakat yang dimata pemerintah tidak tahu apa-apa,

muncul ide kreatif untuk kemajuan kota.

TENTANG PENULIS

Jajang Husni Hidayat, lahir di Ciamis, 07-12-1985. Kini tinggal di Yogyakarta dan aktif

sebagai peneliti di Lembaga Pemberdayaan dan Pengabdian Masyarakat (LP2M)

Yogyakarta.

Page 5: persoalan+banjir.doc