persoalan+banjir.doc
TRANSCRIPT
Persoalan Banjir Jakarta
OLEH JAJANG HUSNI HIDAYAT
Banjir jakarta telah memaksa 600 warga mengungsi. Boleh jadi ini baru tahap awal.
Karena Menurut perhitungan BMG, hujan deras disertai petir akan mengguyur Jakarta dalam
sepekan ini. Sehingga tidak berlebihan, jika diperkirakan 416 sekolah akan terendam.
Perkiraan ini hanya meliputi TK sampai SMP, belum termasuk SLTA (kompas 12-
13/11/2008).
Umberto Eco mengatakan ilmu “memperpanjang umur manusia”. Jarak dilipat, waktu
diperingkas, kehidupan di permudah. Namun, fakta ini belum berlaku bagi Jakarta. Disini,
ilmu hanya berpusar pada pelahapan tanah kosong, pembudidayaan hutan beton, yang pada
akhirnya membuat manusia bugar pun seolah tak berdaya. Hujan turun, banjir melanda. Lalu
evakuasi, mengungsi, bibit penyakit mewabah dan kerugian lain. Setiap tahun, Jakarta
disibukan oleh bencana yang bisa diprediksi (!).
Manusia dibentuk oleh sejarahnya. Dengan atau tidak disadari, kemampuan
berdialektika dengan kenyataan membuat pola pikir manusia berkembang. Manusia belajar
dari rasa sakit untuk memperbaikinya. Hingga muncul sebuah ungkapan, “hanya keledai yang
jatuh ke lobang yang sama dua kali.”
Mempertanyakan keseriusan Pemkot
Banjir bukan hal baru bagi Jakarta. Bahkan sudah terjadi sejak tahun 1918 saat masih
bernama Batavia. Saat itu, seorang ahli tata air belanda, Van Breen, menggagas manajemen
banjir dengan system kanal. Kanal barat pun dibuat. Namun, usaha ini gagal dikarenakan
kapasitas kanal yang terbatas. Seperti yang direkam Koran Sin Po bulan Februari 1918,
hampir seluruh Jakarta direndam air.
Gagasan kanal barat Van Breen sebetulnya hanya sebagian kecil dari upaya
manajemen banjir. Diluar itu masih ada system folder, tanggul yang mengelilingi kawasan
pantai utara, kemudian airnya di pompa keluar melalui parit hingga kering. Namun,
sayangnya tidak terwujud (kompas 10-11-07).
Meski gagasan Van Breen bukan dimaksudkan untuk Jakarta yang penuh beton
seperti sekarang ini, infrastruktur pengendalian banjir yang ada sekarang sebagian besar
adalah warisannya, dan – anehnya- masih diandalkan. Itupun tanpa penyempurnaan. Kanal
barat semakin dangkal. Pembuatan kanal timur tersendat. Pembuatan tanggul asal-asalan.
System folder entah kapan. Jauh di Belanda sana, gagasan Van Breen dimaksimalkan.
Al-hasil, banjir besar tak pernah terjadi. Padahal di beberapa wilayah Negeri
Belanda, ketinggian tanah 5 meter dan bahkan ada yang mencapai 6,6 meter dibawah
permukaan laut. Bandingkan dengan ketinggian tanah Jakarta yang mencapai 7 meter diatas
permukaan laut.
Fakta ini seharusnya dijadikan pemantik optimisme. Sayangnya, yang terjadi justru
sebaliknya. Memandang Jakarta dibawah ancaman bencana, bagi Pemkot seolah cara
pandang keliru. Bukan gagasan Van Breen yang direalisasikan melainkan proyek mercusuar
reklamasi pantai utara Jakarta. Reklamasi yang menguruk pantai sedalam 8 meter, lebar 2
meter, dan sepanjang 30 kilometer kawasan pesisir (kompas, 29-11-07).
Reklamasi ini bukan saja keliru, tetapi salah kaprah. Dua Negara yang selalu menjadi
rujukan reklamasi, Singapura dan Tokyo, melakukannya karena system drainase kota sudah
tertata dengan baik. Adapun system drainase Jakarta masih kacau. Bahkan menurut
pemberitaan Kompas (12-11-08), ada yang selama 20 tahun tidak dibersihkan.
Hal ini sangat ironis. Jakarta yang dilanda banjir tiap tahun, seolah belum puas
dengan banjirnya sehingga harus mengundang potensi banjir lain. Perbandingan
perkembangan –pembuatan infrastruktur- pengendalian dan pengundang banjir tak ubahnya
teori Malthus tentang perkembangan manusia dan alam. Infrastruktur pengendalian
berdasarkan deret hitung, sedangkan pengundang banjir berdasar deret ukur. Maka
selamanya, banjir tak bisa ditanggulangi.
Cara pandang pemegang kebijakan terhadap kota Jakarta harus diubah. Dari “cara
pandang santai dan komersil” terhadap “awas bencana”. Kota ini harus dipandang sebagai
tempat yang setiap saat bisa diporakporandakan banjir. Apalagi pengaruh pemanasan global
membuat alam sulit dikenali. Sehingga terendamnya Jakarta tidak hanya bisa terjadi dimusim
hujan.
Cara pandang “awas bencana” yang dipraktekan pemerintah Belanda, membuat
pembangunan delta, penguatan tanggul-tanggul raksasa, empat bendungan besar, dan
pembaruan system pemompa air cepat terealisir, setelah di tahun 1953 badai dahsyat
menghancurkan 67 tanggul di barat daya Belanda. Cara pandang “awas bencana”, juga yang
membuat warga belanda dengan bangga berkata, “ Tuhan menciptakan bumi tapi orang
Belanda menciptakan Negeri Belanda.”
Cara pandang “awas bencana” menuntut keseriusan dalam membuat jalan keluarnya.
Jika ditangani dengan serius, tidak mustahil tiap inci tanah Jakarta ditinggalkan banjir.
Factor masyarakat
Shakesphere pernah merumuskan kalimat pendek berisi pertanyaan sekaligus
jawaban, “ apakah kota itu, kalau bukan penduduknya”. Terang menurut Shakesphere, bahwa
watak kota ditentukan watak penduduknya. Penduduk, memegang kendali cukup besar dalam
menentukan kumuh, bersih, rapi, semrewutnya sebuah kota. Karena secanggih apapun
strategi penataan kota akan mental ketika dihadapkan pada penduduk yang bebal.
Laju pertumbuhan penduduk Jakarta menjadi problem tersendiri bagi pemerintah.
Perpindahan dari desa yang diperkirakan mencapai 1000 jiwa per-hari jelas mendatangkan
masalah serius. Ketegasan pemerintah dalam pembatasan pendatang ini perlu diapresiasi.
Meski tidak dipungkiri, perpindahan besar-besaran masyarakat desa ke kota, sebetulnya
bukan semata karena kemajuan kota, tapi karena kemiskinan desa.
Terlepas dari semua itu, masyarakat golongan menengah ke bawah adalah mereka
yang menghidupkan kota. Sehingga kekuatan mayoritas ini adalah mitra strategis dalam
pengentasan masalah kota, termasuk banjir. Kebijakan-kebijakan mengenai tata kota tidak
semestinya lagi dimonopoli oleh ahli tata ruang kota dan penentu kebijakan. Dengan cara ini,
masyarakat kota tidak hanya tinggal dikota tetapi merasa memiliki kota.
Bukan tidak mungkin, dari masyarakat yang dimata pemerintah tidak tahu apa-apa,
muncul ide kreatif untuk kemajuan kota.
TENTANG PENULIS
Jajang Husni Hidayat, lahir di Ciamis, 07-12-1985. Kini tinggal di Yogyakarta dan aktif
sebagai peneliti di Lembaga Pemberdayaan dan Pengabdian Masyarakat (LP2M)
Yogyakarta.