persamaan dan perbedaan kebijakan ekonomi pada masa orde lama

30
PERSAMAAN DAN PERBEDAAN KEBIJAKAN EKONOMI PADA MASA ORDE LAMA, ORDE BARU DAN REFORMASI PERSAMAAN o Sama-sama masih terdapat ketimpangan ekonomi, kemiskinan, dan ketidakadilan Setelah Indonesia Merdeka, ketimpangan ekonomi tidak separah ketika zaman penjajahan namun tetap saja ada terjadi ketimpangan ekonomi, kemiskinan, dan ketidakadilan. Dalam 26 tahun masa orde baru (1971-1997) rasio pendapatan penduduk daerah terkaya dan penduduk daerah termiskin meningkat dari 5,1 (1971) menjadi 6,8 (1983) dan naik lagi menjadi 9,8 (1997). Ketika reformasi ketimpangan distribusi pendapatan semakin tinggi dari 0,29 (2002) menjadi 0,35 (2006). Sehingga dapat dikatakan bahwa kaum kaya memperoleh manfaat terbesar dari pertumbuhan ekonomi yang dikatakan cukup tinggi, namun pada kenyataanya tidak merata terhadap masyarakat. o Adanya KKN (Korupsi, Kolusi, Nepotisme) Orde Lama: Walaupun kecil, korupsi sudah ada. Orde Baru: Hampir semua jajaran pemerintah koruptor (KKN). Reformasi: Walaupun sudah dibongkar dan dipublikasi di mana- mana dari media massa,media elektronik,dll tetap saja membantah melakukan korupsi. Hal ini menimbulkan krisis kepercayaan masyarakat yang sulit untuk disembuhkan akibat praktik-pratik pemerintahan yang manipulatif dan tidak terkontrol. o Kebijakan Pemerintah Sejak pemerintahan orde lama hingga orde reformasi kini, kewenangan menjalankan anggaran negara tetap ada pada Presiden (masing-masing melahirkan individu atau pemimpin yang sangat kuat dalam setiap periode pemerintahan sehingga menjadikan mereka seperti “manusia setengah dewa”). Namun tiap-tiap masa pemerintahan mempunyai cirinya masing-masing dalam menjalankan arah kebijakan anggaran negara. Hal ini dikarenakan untuk disesuaikan dengan kondisi: stabilitas politik, tingkat ekonomi masyarakat, serta keamanan dan ketertiban.

Upload: wiezy-wie

Post on 02-Jul-2015

2.203 views

Category:

Documents


9 download

TRANSCRIPT

Page 1: PERSAMAAN DAN PERBEDAAN KEBIJAKAN EKONOMI PADA MASA ORDE LAMA

PERSAMAAN DAN PERBEDAAN KEBIJAKAN EKONOMI PADA MASA ORDE LAMA, ORDE BARU DAN REFORMASI

PERSAMAAN

o Sama-sama masih terdapat ketimpangan ekonomi, kemiskinan, dan ketidakadilan

Setelah Indonesia Merdeka, ketimpangan ekonomi tidak separah ketika zaman penjajahan

namun tetap saja ada terjadi ketimpangan ekonomi, kemiskinan, dan ketidakadilan. Dalam 26

tahun masa orde baru (1971-1997) rasio pendapatan penduduk daerah terkaya dan penduduk

daerah termiskin meningkat dari 5,1 (1971) menjadi 6,8 (1983) dan naik lagi menjadi 9,8

(1997). Ketika reformasi ketimpangan distribusi pendapatan semakin tinggi dari 0,29 (2002)

menjadi 0,35 (2006).

Sehingga dapat dikatakan bahwa kaum kaya memperoleh manfaat terbesar dari pertumbuhan

ekonomi yang dikatakan cukup tinggi, namun pada kenyataanya tidak merata terhadap

masyarakat.

o Adanya KKN (Korupsi, Kolusi, Nepotisme)

Orde Lama: Walaupun kecil, korupsi sudah ada.

Orde Baru: Hampir semua jajaran pemerintah koruptor (KKN).

Reformasi: Walaupun sudah dibongkar dan dipublikasi di mana-mana dari media

massa,media elektronik,dll tetap saja membantah melakukan korupsi.

Hal ini menimbulkan krisis kepercayaan masyarakat yang sulit untuk disembuhkan akibat

praktik-pratik pemerintahan yang manipulatif dan tidak terkontrol.

o Kebijakan Pemerintah

Sejak pemerintahan orde lama hingga orde reformasi kini, kewenangan menjalankan

anggaran negara tetap ada pada Presiden (masing-masing melahirkan individu atau pemimpin

yang sangat kuat dalam setiap periode pemerintahan sehingga menjadikan mereka seperti

“manusia setengah dewa”). Namun tiap-tiap masa pemerintahan mempunyai cirinya masing-

masing dalam menjalankan arah kebijakan anggaran negara. Hal ini dikarenakan untuk

disesuaikan dengan kondisi: stabilitas politik, tingkat ekonomi masyarakat, serta keamanan

dan ketertiban.

Kebijakan anggaran negara yang diterapkan pemerintah selama ini sepertinya berorientasi

pada ekonomi masyarakat. Padahal kenyataannya kebijakan yang ada biasanya hanya untuk

segelintir orang dan bahkan lebih banyak menyengsarakan rakyat. Belum lagi kebijakan-

kebijakan yang tidak tepat sasaran, yang hanya menambah beban APBN. Bila diteliti lebih

mendalam kebijakan-kebijakan sejak Orde Baru hingga sekarang hanya bersifat jangka

pendek. Dalam arti kebijakan yang ditempuh bukan untuk perencanaan ke masa yang akan

datang, namun biasanya cenderung untuk mengatur hal-hal yang sedang dibutuhkan saat ini.

Page 2: PERSAMAAN DAN PERBEDAAN KEBIJAKAN EKONOMI PADA MASA ORDE LAMA

PERBEDAAN :

- Orde lama (Demokrasi Terpimpin)

1. Masa Pasca Kemerdekaan (1945-1950)

Keadaan ekonomi keuangan pada masa awal kemerdekaan amat buruk, antara lain

disebabkan oleh :

a. Inflasi yang sangat tinggi, disebabkan karena beredarnya lebih dari satu mata uang secara

tidak terkendali. Pada waktu itu, untuk sementara waktu pemerintah RI menyatakan tiga mata

uang yang berlaku di wilayah RI, yaitu mata uang De Javasche Bank, mata uang pemerintah

Hindia Belanda, dan mata uang pendudukan Jepang. Kemudian pada tanggal 6 Maret 1946,

Panglima AFNEI (Allied Forces for Netherlands East Indies/pasukan sekutu) mengumumkan

berlakunya uang NICA di daerah-daerah yang dikuasai sekutu. Pada bulan Oktober 1946,

pemerintah RI juga mengeluarkan uang kertas baru, yaitu ORI (Oeang Republik Indonesia)

sebagai pengganti uang Jepang. Berdasarkan teori moneter, banyaknya jumlah uang yang

beredar mempengaruhi kenaikan tingkat harga.

b. Adanya blokade ekonomi oleh Belanda sejak bulan November 1945 untuk menutup pintu

perdagangan luar negeri RI.

c. Kas negara kosong.

d. Eksploitasi besar-besaran di masa penjajahan.

Usaha-usaha yang dilakukan untuk mengatasi kesulitan-kesulitan ekonomi, antara lain :

a.Program Pinjaman Nasional dilaksanakan oleh menteri keuangan Ir. Surachman dengan

persetujuan BP-KNIP, dilakukan pada bulan Juli 1946.

b.Upaya menembus blokade dengan diplomasi beras ke India, mangadakan kontak dengan

perusahaan swasta Amerika, dan menembus blokade Belanda di Sumatera dengan tujuan ke

Singapura dan Malaysia.

c.Konferensi Ekonomi Februari 1946 dengan tujuan untuk memperoleh kesepakatan yang

bulat dalam menanggulangi masalah-masalah ekonomi yang mendesak, yaitu : masalah

produksi dan distribusi makanan, masalah sandang, serta status dan administrasi perkebunan-

perkebunan.

d.Pembentukan Planning Board (Badan Perancang Ekonomi) 19 Januari 1947

Rekonstruksi dan Rasionalisasi Angkatan Perang (Rera) 1948, mengalihkan tenaga bekas

angkatan perang ke bidang-bidang produktif.

e.Kasimo Plan yang intinya mengenai usaha swasembada pangan dengan beberapa petunjuk

pelaksanaan yang praktis. Dengan swasembada pangan, diharapkan perekonomian akan

membaik (mengikuti Mazhab Fisiokrat : sektor pertanian merupakan sumber kekayaan).

2. Masa Demokrasi Liberal (1950-1957)

Masa ini disebut masa liberal, karena dalam politik maupun sistem ekonominya

menggunakan prinsip-prinsip liberal. Perekonomian diserahkan pada pasar sesuai teori-teori

mazhab klasik yang menyatakan laissez faire laissez passer. Padahal pengusaha pribumi

Page 3: PERSAMAAN DAN PERBEDAAN KEBIJAKAN EKONOMI PADA MASA ORDE LAMA

masih lemah dan belum bisa bersaing dengan pengusaha nonpribumi, terutama pengusaha

Cina. Pada akhirnya sistem ini hanya memperburuk kondisi perekonomian Indonesia yang

baru merdeka.

Usaha-usaha yang dilakukan untuk mengatasi masalah ekonomi, antara lain :

a)Gunting Syarifuddin, yaitu pemotongan nilai uang (sanering) 20 Maret 1950, untuk

mengurangi jumlah uang yang beredar agar tingkat harga turun.

b)Program Benteng (Kabinet Natsir), yaitu upaya menumbuhkan wiraswastawan pribumi dan

mendorong importir nasional agar bisa bersaing dengan perusahaan impor asing dengan

membatasi impor barang tertentu dan memberikan lisensi impornya hanya pada importir

pribumi serta memberikan kredit pada perusahaan-perusahaan pribumi agar nantinya dapat

berpartisipasi dalam perkembangan ekonomi nasional. Namun usaha ini gagal, karena sifat

pengusaha pribumi yang cenderung konsumtif dan tak bisa bersaing dengan pengusaha non-

pribumi.

c)Nasionalisasi De Javasche Bank menjadi Bank Indonesia pada 15 Desember 1951 lewat

UU no.24 th 1951 dengan fungsi sebagai bank sentral dan bank sirkulasi.

d)Sistem ekonomi Ali-Baba (kabinet Ali Sastroamijoyo I) yang diprakarsai Mr Iskak

Cokrohadisuryo, yaitu penggalangan kerjasama antara pengusaha cina dan pengusaha

pribumi. Pengusaha non-pribumi diwajibkan memberikan latihan-latihan pada pengusaha

pribumi, dan pemerintah menyediakan kredit dan lisensi bagi usaha-usaha swasta nasional.

Program ini tidak berjalan dengan baik, karena pengusaha pribumi kurang berpengalaman,

sehingga hanya dijadikan alat untuk mendapatkan bantuan kredit dari pemerintah.

e)Pembatalan sepihak atas hasil-hasil Konferensi Meja Bundar, termasuk pembubaran Uni

Indonesia-Belanda. Akibatnya banyak pengusaha Belanda yang menjual perusahaannya

sedangkan pengusaha-pengusaha pribumi belum bisa mengambil alih perusahaan-perusahaan

tersebut.

3. Masa Demokrasi Terpimpin (1959-1967)

Sebagai akibat dari dekrit presiden 5 Juli 1959, maka Indonesia menjalankan sistem

demokrasi terpimpin dan struktur ekonomi Indonesia menjurus pada sistem etatisme (segala-

galanya diatur oleh pemerintah). Dengan sistem ini, diharapkan akan membawa pada

kemakmuran bersama dan persamaan dalam sosial, politik,dan ekonomi (mengikuti Mazhab

Sosialisme). Akan tetapi, kebijakan-kebijakan ekonomi yang diambil pemerintah di masa ini

belum mampu memperbaiki keadaan ekonomi Indonesia, antara lain :

a)Devaluasi yang diumumkan pada 25 Agustus 1959 menurunkan nilai uang sebagai

berikut :Uang kertas pecahan Rp 500 menjadi Rp 50, uang kertas pecahan Rp 1000 menjadi

Rp 100, dan semua simpanan di bank yang melebihi 25.000 dibekukan.

b)Pembentukan Deklarasi Ekonomi (Dekon) untuk mencapai tahap ekonomi sosialis

Indonesia dengan cara terpimpin. Dalam pelaksanaannya justru mengakibatkan stagnasi bagi

perekonomian Indonesia. Bahkan pada 1961-1962 harga barang-baranga naik 400%.

Page 4: PERSAMAAN DAN PERBEDAAN KEBIJAKAN EKONOMI PADA MASA ORDE LAMA

c)Devaluasi yang dilakukan pada 13 Desember 1965 menjadikan uang senilai Rp 1000

menjadi Rp 1. Sehingga uang rupiah baru mestinya dihargai 1000 kali lipat uang rupiah lama,

tapi di masyarakat uang rupiah baru hanya dihargai 10 kali lipat lebih tinggi. Maka tindakan

pemerintah untuk menekan angka inflasi ini malah meningkatkan angka inflasi.

Kegagalan-kegagalan dalam berbagai tindakan moneter itu diperparah karena pemerintah

tidak menghemat pengeluaran-pengeluarannya. Pada masa ini banyak proyek-proyek

mercusuar yang dilaksanakan pemerintah, dan juga sebagai akibat politik konfrontasi dengan

Malaysia dan negara-negara Barat. Sekali lagi, ini juga salah satu konsekuensi dari pilihan

menggunakan sistem demokrasi terpimpin yang bisa diartikan bahwa Indonesia berkiblat ke

Timur (sosialis) baik dalam politik, eonomi, maupun bidang-bidang lain.

- Orde Baru/ Orba (Demokrasi Pancasila)

Pada masa orde baru, pemerintah menjalankan kebijakan yang tidak mengalami perubahan

terlalu signifikan selama 32 tahun. Dikarenakan pada masa itu pemerintah sukses

menghadirkan suatu stablilitas politik sehingga mendukung terjadinya stabilitas ekonomi.

Karena hal itulah maka pemerintah jarang sekali melakukan perubahan-perubahan kebijakan

terutama dalam hal anggaran negara.

Pada masa pemerintahan orde baru, kebijakan ekonominya berorientasi kepada pertumbuhan

ekonomi. Kebijakan ekonomi tersebut didukung oleh kestabilan politik yang dijalankan oleh

pemerintah. Hal tersebut dituangkan ke dalam jargon kebijakan ekonomi yang disebut

dengan Trilogi Pembangungan, yaitu stabilitas politik, pertumbuhan ekonomi yang stabil,

dan pemerataan pembangunan.

Hal ini berhasil karena selama lebih dari 30 tahun, pemerintahan mengalami stabilitas politik

sehingga menunjang stabilitas ekonomi. Kebijakan-kebijakan ekonomi pada masa itu

dituangkan pada Rencana Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN), yang pada

akhirnya selalu disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) untuk disahkan menjadi

APBN.

APBN pada masa pemerintahan Orde Baru, disusun berdasarkan asumsi-asumsi perhitungan

dasar. Yaitu laju pertumbuhan ekonomi, tingkat inflasi, harga ekspor minyak mentah

Indonesia, serta nilai tukar rupiah terhadap dollar Amerika. Asumsi-asumsi dasar tersebut

dijadikan sebagai ukuran fundamental ekonomi nasional. Padahal sesungguhnya,

fundamental ekonomi nasional tidak didasarkan pada perhitungan hal-hal makro. Akan tetapi,

lebih kearah yang bersifat mikro-ekonomi. Misalnya, masalah-masalah dalam dunia usaha,

tingkat resiko yang tinggi, hingga penerapan dunia swasta dan BUMN yang baik dan bersih.

Oleh karena itu pemerintah selalu dihadapkan pada kritikan yang menyatakan bahwa

penetapan asumsi APBN tersebut tidaklah realistis sesuai keadaan yang terjadi.

Page 5: PERSAMAAN DAN PERBEDAAN KEBIJAKAN EKONOMI PADA MASA ORDE LAMA

Format APBN pada masa Orde baru dibedakan dalam penerimaan dan pengeluaran.

Penerimaan terdiri dari penerimaan rutin dan penerimaan pembangunan serta pengeluaran

terdiri dari pengeluaran rutin dan pengeluaran pembangunan. Sirkulasi anggaran dimulai

pada 1 April dan berakhir pada 31 Maret tahun berikutnya. Kebijakan yang disebut tahun

fiskal ini diterapkan seseuai dengan masa panen petani, sehingga menimbulkan kesan bahwa

kebijakan ekonomi nasional memperhatikan petani.

APBN pada masa itu diberlakukan atas dasar kebijakan prinsip berimbang, yaitu anggaran

penerimaan yang disesuaikan dengan anggaran pengeluaran sehingga terdapat jumlah yang

sama antara penerimaan dan pengeluaran. Hal perimbangan tersebut sebetulnya sangat tidak

mungkin, karena pada masa itu pinjaman luar negeri selalu mengalir. Pinjaman-pinjaman luar

negeri inilah yang digunakan pemerintah untuk menutup anggaran yang defisit.

Ini artinya pinjaman-pinjaman luar negeri tersebut ditempatkan pada anggaran penerimaan.

Padahal seharusnya pinjaman-pinjaman tersebut adalah utang yang harus dikembalikan, dan

merupakan beban pengeluaran di masa yang akan datang. Oleh karena itu, pada dasarnya

APBN pada masa itu selalu mengalami defisit anggaran.

Penerapan kebijakan tersebut menimbulkan banyak kritik, karena anggaran defisit negara

ditutup dengan pinjaman luar negeri. Padahal, konsep yang benar adalah pengeluaran

pemerintah dapat ditutup dengan penerimaan pajak dalam negeri. Sehingga antara

penerimaan dan pengeluaran dapat berimbang. Permasalahannya, pada masa itu penerimaan

pajak saat minim sehingga tidak dapat menutup defisit anggaran.

Namun prinsip berimbang ini merupakan kunci sukses pemerintah pada masa itu untuk

mempertahankan stabilitas, khususnya di bidang ekonomi. Karena pemerintah dapat

menghindari terjadinya inflasi, yang sumber pokoknya karena terjadi anggaran yang defisit.

Sehingga pembangunanpun terus dapat berjalan.

Prinsip lain yang diterapkan pemerintah Orde Baru adalah prinsip fungsional. Prinsip ini

merupakan pengaturan atas fungsi anggaran pembangunan dimana pinjaman luar negeri

hanya digunakan untuk membiayai anggaran belanja pembangunan. Karena menurut

pemerintah, pembangunan memerlukan dana investasi yang besar dan tidak dapat seluruhnya

dibiayai oleh sumber dana dalam negeri.

Pada dasarnya kebijakan ini sangat bagus, karena pinjaman yang digunakan akan

membuahkan hasil yang nyata. Akan tetapi, dalam APBN tiap tahunnya cantuman angka

pinjaman luar negeri selalu meningkat. Hal ini bertentangan dengan keinginan pemerintah

untuk selalu meningkatkan penerimaan dalam negeri. Dalam Keterangan Pemerintah tentang

Page 6: PERSAMAAN DAN PERBEDAAN KEBIJAKAN EKONOMI PADA MASA ORDE LAMA

RAPBN tahun 1977, Presiden menyatakan bahwa dana-dana pembiayaan yang bersumber

dari dalam negeri harus meningkat. Padahal, ketergantungan yang besar terhadap pinjaman

luar negeri akan menimbulkan akibat-akibat. Diantaranya akan menyebabkan berkurangnya

pertumbuhan ekonomi.

Hal lain yang dapat terjadi adalah pemerataan ekonomi tidak akan terwujud. Sehingga yang

terjadi hanya perbedaan penghasilan. Selain itu pinjaman luar negeri yang banyak akan

menimbulkan resiko kebocoran, korupsi, dan penyalahgunaan. Dan lebih parahnya lagi

ketergantungan tersebut akan menyebabkan negara menjadi malas untuk berusaha

meningkatkan penerimaan dalam negeri.

Prinsip ketiga yang diterapakan oleh pemerintahan Orde Baru dalam APBN adalah, dinamis

yang berarti peningkatan tabungan pemerintah untuk membiayai pembangunan. Dalam hal

ini pemerintah akan berupaya untuk mendapatkan kelebihan pendapatan yang telah dikurangi

dengan pengeluaran rutin, agar dapat dijadikan tabungan pemerintah. Oleh karena itu,

pemerintah dapat memanfaatkan tabungan tersebut untuk berinvestasi dalam pembangunan.

Kebijakan pemerintah ini dilakukan dengan dua cara, yaitu derelgulasi perbankan dan

reformasi perpajakan. Akan tetapi, kebijakan demikian membutuhkan waktu dan proses yang

cukup lama. Akibatnya, kebijakan untuk mengurangi bantuan luar negeri tidak dapat terjadi

karena jumlah pinjaman luar negeri terus meningkat. Padahal disaat yang bersamaan

persentase pengeluaran rutin untuk membayar pinjaman luar negeri terus meningkat. Hal ini

jelas menggambarkan betapa APBN pada masa pemerintahan Orde Baru sangat bergantung

pada pinjaman luar negeri. Sehingga pada akhirnya berakibat tidak dapat terpenuhinya

keinginan pemerintah untuk meningkatkan tabungannya.

- Masa Reformasi (Demokrasi Liberal)

Pada masa krisis ekonomi,ditandai dengan tumbangnya pemerintahan Orde Baru kemudian

disusul dengan era reformasi yang dimulai oleh pemerintahan Presiden Habibie. Pada masa

ini tidak hanya hal ketatanegaraan yang mengalami perubahan, namun juga kebijakan

ekonomi. Sehingga apa yang telah stabil dijalankan selama 32 tahun, terpaksa mengalami

perubahan guna menyesuaikan dengan keadaan.

Pemerintahan presiden BJ.Habibie yang mengawali masa reformasi belum melakukan

manuver-manuver yang cukup tajam dalam bidang ekonomi. Kebijakan-kebijakannya

diutamakan untuk mengendalikan stabilitas politik. Pada masa kepemimpinan presiden

Abdurrahman Wahid pun, belum ada tindakan yang cukup berarti untuk menyelamatkan

negara dari keterpurukan. Padahal, ada berbagai persoalan ekonomi yang diwariskan orde

baru harus dihadapi, antara lain masalah KKN (Korupsi, Kolusi dan Nepotisme), pemulihan

ekonomi, kinerja BUMN, pengendalian inflasi, dan mempertahankan kurs rupiah. Malah

presiden terlibat skandal Bruneigate yang menjatuhkan kredibilitasnya di mata masyarakat.

Page 7: PERSAMAAN DAN PERBEDAAN KEBIJAKAN EKONOMI PADA MASA ORDE LAMA

Akibatnya, kedudukannya digantikan oleh presiden Megawati.

Masa kepemimpinan Megawati Soekarnoputri mengalami masalah-masalah yang mendesak

untuk dipecahkan adalah pemulihan ekonomi dan penegakan hukum. Kebijakan-kebijakan

yang ditempuh untuk mengatasi persoalan-persoalan ekonomi antara lain :

a)Meminta penundaan pembayaran utang sebesar US$ 5,8 milyar pada pertemuan Paris Club

ke-3 dan mengalokasikan pembayaran utang luar negeri sebesar Rp 116.3 triliun.

b)Kebijakan privatisasi BUMN. Privatisasi adalah menjual perusahaan negara di dalam

periode krisis dengan tujuan melindungi perusahaan negara dari intervensi kekuatan-

kekuatan politik dan mengurangi beban negara. Hasil penjualan itu berhasil menaikkan

pertumbuhan ekonomi Indonesia menjadi 4,1 %. Namun kebijakan ini memicu banyak

kontroversi, karena BUMN yang diprivatisasi dijual ke perusahaan asing.

Di masa ini juga direalisasikan berdirinya KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi), tetapi

belum ada gebrakan konkrit dalam pemberantasan korupsi. Padahal keberadaan korupsi

membuat banyak investor berpikir dua kali untuk menanamkan modal di Indonesia, dan

mengganggu jalannya pembangunan nasional.

Masa Kepemimpinan Susilo Bambang Yudhoyono terdapat kebijakan kontroversial yaitu

mengurangi subsidi BBM, atau dengan kata lain menaikkan harga BBM. Kebijakan ini

dilatar belakangi oleh naiknya harga minyak dunia. Anggaran subsidi BBM dialihkan ke

subsidi sektor pendidikan dan kesehatan, serta bidang-bidang yang mendukung peningkatan

kesejahteraan masyarakat.

Kebijakan kontroversial pertama itu menimbulkan kebijakan kontroversial kedua, yakni

Bantuan Langsung Tunai (BLT) bagi masyarakat miskin. Kebanyakan BLT tidak sampai ke

tangan yang berhak, dan pembagiannya menimbulkan berbagai masalah sosial.Kebijakan

yang ditempuh untuk meningkatkan pendapatan perkapita adalah mengandalkan

pembangunan infrastruktur massal untuk mendorong pertumbuhan ekonomi serta

mengundang investor asing dengan janji memperbaiki iklim investasi. Salah satunya adalah

diadakannya Indonesian Infrastructure Summit pada bulan November 2006 lalu, yang

mempertemukan para investor dengan kepala-kepala daerah.

Menurut Keynes, investasi merupakan faktor utama untuk menentukan kesempatan kerja.

Mungkin ini mendasari kebijakan pemerintah yang selalu ditujukan untuk memberi

kemudahan bagi investor, terutama investor asing, yang salah satunya adalah revisi undang-

undang ketenagakerjaan. Jika semakin banyak investasi asing di Indonesia, diharapkan

jumlah kesempatan kerja juga akan bertambah.

Pada pertengahan bulan Oktober 2006 , Indonesia melunasi seluruh sisa utang pada IMF

sebesar 3,2 miliar dolar AS. Dengan ini, maka diharapkan Indonesia tak lagi mengikuti

agenda-agenda IMF dalam menentukan kebijakan dalam negeri. Namun wacana untuk

berhutang lagi pada luar negri kembali mencuat, setelah keluarnya laporan bahwa

kesenjangan ekonomi antara penduduk kaya dan miskin menajam, dan jumlah penduduk

Page 8: PERSAMAAN DAN PERBEDAAN KEBIJAKAN EKONOMI PADA MASA ORDE LAMA

miskin meningkat dari 35,10 jiwa di bulan Februari 2005 menjadi 39,05 juta jiwa pada bulan

Maret 2006. Hal ini disebabkan karena beberapa hal, antara lain karena pengucuran kredit

perbankan ke sector riil masih sangat kurang (perbankan lebih suka menyimpan dana di SBI),

sehingga kinerja sector riil kurang dan berimbas pada turunnya investasi. Selain itu, birokrasi

pemerintahan terlalu kental, sehingga menyebabkan kecilnya realisasi belanja Negara dan

daya serap, karena inefisiensi pengelolaan anggaran. Jadi, di satu sisi pemerintah berupaya

mengundang investor dari luar negri, tapi di lain pihak, kondisi dalam negeri masih kurang

kondusif.

o Masalah pemanfaatan kekayaan alam.

Pada masa orde lama : Konsep Bung Karno tentang kekayaan alam sangat jelas. Jika Bangsa

Indonesia belum mampu atau belum punya iptek untuk menambang minyak bumi dsb biarlah

SDA tetap berada di dalam perut bumi Indonesia. Kekayaan alam itu akan menjadi tabungan

anak cucu di masa depan. Biarlah anak cucu yang menikmati jika mereka sudah mampu dan

bisa. Jadi saat dipimpin Bung Karno, meski RI hidup miskin, tapi Bung Karno tidak pernah

menggadaikan (konsesi) tambang-tambang milik bangsa ke perusahaan asing. Penebangan

hutan pada masa Bung Karno juga amat minim.

Pada masa Orde Baru konsepnya bertolak belakang dengan orde lama.Apa yang bisa

digadaikan; digadaikan. Kalo bisa ngutang ya ngutang. Yang penting bisa selalu makan enak

dan hidup wah. Rakyat pun merasa hidup berkecukupan pada masa Orba. Beras murah,

padahal sebagian adalah beras impor. Beberapa gelintir orang mendapat rente ekonomi yang

luar biasa dari berbagai jenis monopoli impor komoditi bahan pokok, termasuk beras, terigu,

kedelai dsb. Semua serba tertutup dan tidak tranparan. Jika ada orang mempertanyakan,

diancam tuduhan subversif. Hutan dijadikan sumber duit, dibagi menjadi kapling-kapling

HPH; dibagi-bagi ke orang-orang tertentu (kroni) secara tidak transparan. Ingat fakta sejarah:

Orde Baru tumbang akibat demo mahasiswa yang memprotes pemerintah Orba yang

bergelimang KKN. Jangan dilupakan pula bahwa ekonomi RI ambruk parah ditandai Rupiah

terjun bebas ke Rp 16.000 per dollar terjadi masih pada masa Orde Baru.

Masa Reformasi krisis ekonomi parah sudah terjadi. Utang LN tetap harus dibayar. Budaya

korupsi yang sudah menggurita sulit dihilangkan, meski pada masa Presiden SBY

pemberantasan korupsi mulai kelihatan wujudnya.. Rakyat menikmati kebebasan (namun

sepertinya terlalu “bebas”). Media masa menjadi terbuka.

Yang memimpikan kembalinya rezim totaliter mungkin hanyalah sekelompok orang yang

dulu amat menikmati previlege dan romantisme kenikmatan duniawi di zaman

Orba.Sekarang kita mewarisi hutan yang sudah rusak parah; industri kayu yang sudah

terbentuk dimana-mana akibat dari berbagai HPH , menjadi muara dari illegal logging.

Page 9: PERSAMAAN DAN PERBEDAAN KEBIJAKAN EKONOMI PADA MASA ORDE LAMA

o Sistem pemerintahan

Orde lama : kebijakan pada pemerintah, berorientasi pada politik,semua proyek diserahkan

kepada pemerintah, sentralistik,demokrasi Terpimpin, sekularisme.

Orde baru : kebijakan masih pada pemerintah, namun sektor ekonomi sudah diserahkan ke

swasta/asing, fokus pada pembangunan ekonomi, sentralistik, demokrasi Pancasila,

kapitalisme.

Soeharto dan Orde Baru tidak bisa dipisahkan. Sebab, Soeharto melahirkan Orde Baru dan

Orde Baru merupakan sistem kekuasaan yang menopang pemerintahan Soeharto selama lebih

dari tiga dekade. Betulkah Orde Baru telah berakhir? Kita masih menyaksikan praktik-praktik

nilai Orde Baru hari ini masih menjadi karakter dan tabiat politik di negeri ini. Kita masih

menyaksikan koruptor masih bercokol di negeri ini. Perbedaan Orde Baru dan Orde

Reformasi secara kultural dan substansi semakin kabur. Mengapa semua ini terjadi? Salah

satu jawabannya, bangsa ini tidak pernah membuat garis demarkasi yang jelas terhadap Orde

Baru. Tonggak awal reformasi 11 tahun lalu yang diharapkan bisa menarik garis demarkasi

kekuatan lama yang korup dan otoriter dengan kekuatan baru yang ingin melakukan

perubahan justru “terbelenggu” oleh faktor kekuasaan.Sistem politik otoriter (partisipasi

masyarakat sangat minimal) pada masa orba terdapat instrumen-instrumen pengendali seperti

pembatasan ruang gerak pers, pewadahunggalan organisasi profesi, pembatasan partai poltik,

kekuasaan militer untuk memasuki wilayah-wilayah sipil, dll.

Orde reformasi : pemerintahan tidak punya kebijakan (menuruti alur parpol di DPR),

pemerintahan lemah, dan muncul otonomi daerah yang kebablasan, demokrasi Liberal

(neoliberaliseme), tidak jelas apa orientasinya dan mau dibawa kemana bangsa ini.

Referensi :

http://id.answers.yahoo.com/question/index?qid=20090126174820AAFGt08

http://yunaniabiyoso.blogspot.com/2008/04/perbedaan-determinasi-kebijakan.html

http://labtani.wordpress.com/2008/11/07/sejarah-perekonomian-indonesia/

http://www.mudrajad.com/upload/Reformasi%20di%20Persimpangan%20Jalan.pdf

Pohan, Aulia. 2008. Potret Kebijakan Moneter Indonesia.Jakarta:Rajawali pers.

Yustika, Ahmad Erani. 2002. Pembangunan dan Krisis, Memetakan Perekonomian

Indonesia. Jakarta : PT. Grasindo.

DENGAN Dekrit 5 Juli 1959, Soekarno membubarkan Konstituante yang bertugas

merancang UUD baru bagi Indonesia, serta memulai periode yang dalam sejarah politik kita

Page 10: PERSAMAAN DAN PERBEDAAN KEBIJAKAN EKONOMI PADA MASA ORDE LAMA

disebut sebagai “Demokrasi Terpimpin”. Peristiwa ini sangat penting, bukan saja karena

menandai berakhirnya eksperimen bangsa Indonesia dengan sistem demokrasi yang liberal,

tetapi juga tindakan Soekarno tersebut memberikan landasan awal bagi sistem politik yang

justru kemudian dibangun dan dikembangkan pada masa Orde Baru. Tapi bukankah

Soekarno amat berbeda dari Soeharto, pendiri Orde Baru yang menggantikannya lewat

serangkaian manuver politik sejak tahun 1965 yang hingga kini masih banyak diselimuti

misteri?Tentu banyak perbedaan antara Soekarno dan Soeharto yang amat gamblang.

Presiden pertama RI dikenal sebagai orator yang ulung, yang dapat berpidato secara amat

berapi-api tentang revolusi nasional, neokolonialisme dan imperialisme. Ia juga amat percaya

pada kekuatan massa, kekuatan rakyat.

Presiden kedua RI sama sekali bukan orator, jauh lebih tertutup, serta dikenal sebagai orang

yang-meskipun pemerintahannya penuh dengan kasus kolusi, korupsi dan nepotisme (KKN)-

memimpin proses bergabung kembalinya Indonesia dengan sistem kapitalisme internasional,

setelah sempat hendak diputus oleh pendahulunya. Ia juga terkesan curiga dengan kekuatan

rakyat: kebijaksanaan “massa mengambang” Orde Baru didasari premis bahwa rakyat harus

dipisahkan dari politik.

Namun, di balik kesan kuat adanya keterputusan antara “Orde Lama” dan “Orde Baru”,

terdapat pula beberapa kontinuitas yang cukup penting. Pertama, dua-duanya sangat anti

terhadap hal-hal yang dapat menyebabkan disintegrasi teritorial Indonesia, dua-duanya dapat

dikatakan sangat “nasionalis” dalam hal itu. Dengan demikian, baik Soekarno maupun

Soeharto amat mementingkan retorika “persatuan” dan “kesatuan”. Bahkan, sejak 1956,

Soekarno sudah menuduh partai politik di Indonesia pada waktu itu sebagai biang keladi

terpecah-belahnya bangsa, dan sempat mengajak rakyat untuk “mengubur” partai-partai

tersebut dalam sebuah pidato yang amat terkenal.

Dengan mengubur partai politik, Soekarno menganggap bahwa bangsa Indonesia dapat

kembali kepada “rel” revolusi yang sejati dengan semangat persatuan. Soeharto bahkan

dikenal lebih antipartai politik, dengan merekayasa sebuah sistem yang pada dasarnya

didominasi oleh satu “partai negara”, yakni Golkar, dan dua partai “pajangan”. Sebenarnya,

didirikannya satu “partai negara” atau “pelopor” adalah ide yang juga lama digandrungi oleh

Soekarno, walau keinginannya tidak pernah menjadi kenyataan di masa kekuasaannya.

SEPERTI Soekarno, Soeharto juga beranggapan bahwa sistem politik yang didukungnya

adalah yang paling “cocok” dengan “kepribadian” dan “budaya” khas bangsa Indonesia yang

konon mementingkan kerja sama, gotong-royong, dan keselarasan. Dalam retorika, keduanya

mengecam “individualisme” yang katanya lahir dari liberalisme Barat. Individualisme itu

melahirkan egoisme, dan ini terutama dicerminkan oleh pertarungan antar-partai.

Pada akhirnya, tidaklah terlalu sulit untuk menemukan banyak kontinuitas antara “Demokrasi

Terpimpin”-nya Soekarno dan “Demokrasi Pancasila”-nya Soeharto, dengan perbedaan

bahwa Soekarno mementingkan politik mobilisasi massa, sedangkan Soeharto justru

Page 11: PERSAMAAN DAN PERBEDAAN KEBIJAKAN EKONOMI PADA MASA ORDE LAMA

sebaliknya. Perbedaan kedua adalah simpati Soekarno pada gerakan-gerakan anti-

imperialisme, dan mungkin sebagai salah satu konsekuensi, penerimaannya pada Partai

Komunis Indonesia (PKI) sebagai aktor politik yang sah. Soeharto sendiri menjalankan

pembangunan bercorak kapitalis, termasuk dengan merangkul kekuatan-kekuatan kapitalisme

terdepan di dunia, dan justru telah menutup arena politik untuk kekuatan komunisme. Tapi

dua-duanya, dengan caranya masing-masing, mencanangkan sistem politik yang berwatak

anti-liberal dan curiga pada pluralisme politik. Dua-duanya mementingkan “persatuan”-yang

satu demi “revolusi” dan yang lainnya demi “pembangunan”.

Boleh dikatakan bahwa Orde Lama serta Demokrasi Terpimpin telah pave the way,

membuka jalan, bagi Orde Baru dan “Demokrasi Pancasila” versi Soeharto. Tidak

mengherankan bahwa Soekarno telah mengawali Demokrasi Terpimpinnya dengan kembali

pada Undang-Undang Dasar 1945, sedangkan Soeharto, di masa kekuasaannya, selalu

bersikeras tentang sifat “sakral” konstitusi, yang tidak boleh diamandemen.

Sikap menomorsatukan UUD 1945 bukanlah hanya mencerminkan masalah ideologis atau

filosofis yang abstrak, tetapi masalah kekuasaan yang konkret. Baik Soekarno maupun

Soeharto amat mengerti bahwa UUD ‘45 memusatkan kekuasaan pada lembaga

kepresidenan, suatu hal yang hari ini justru menjadi masalah dengan adanya tarik-menarik

antara Presiden dan DPR. Hal yang menarik adalah justru pada tahun 1945 Soekarno pernah

berucap bahwa konstitusi itu hanya bersifat sementara. Sebab, UUD ‘45 diciptakan dalam

keadaan darurat, jadi sama sekali bukan sesuatu yang “suci”, sebagaimana diklaim oleh

Soeharto, dan beberapa aktor politik lebih kontemporer.

Dalam pengamatan yang lebih seksama, ternyata ada banyak sekali “utang” Orde Baru pada

Orde Lama. Untuk menjelaskan hal ini, mungkin ada baiknya kita kembali dulu kepada latar

belakang pembubaran Konstituante oleh Soekarno serta kembalinya Indonesia kepada UUD

1945.

Dalam versi sejarah yang dibaca di sekolah, tahun 1950-an di Indonesia ditandai oleh

ketidakstabilan politik yang disebabkan oleh sistem demokrasi parlementer yang berlaku

pada waktu itu. Sistem ini bersifat sangat liberal, dan didominasi oleh partai-partai politik

yang menguasai parlemen. Toh Pemilu 1955-yang dimenangkan empat kekuatan besar,

Masyumi, Partai Nasional Indonesia (PNI), Nahdlatul Ulama (NU) serta PKI-kini masih

dianggap sebagai pemilu paling bebas dan bersih yang pernah dilaksanakan sepanjang

sejarah Indonesia. Namun, sisi lain dari sistem parlemen yang dikuasai partai ini adalah

sering jatuh bangunnya kabinet yang dipimpin oleh perdana menteri. Selain itu, sejarah yang

kita baca di sekolah akan menekankan pula bahwa integritas nasional terus-menerus diancam

oleh berbagai gerakan separatis, yakni DI/TI, PRRI/Permesta, dan sebagainya.

Bahwa kabinet sering jatuh bangun pada waktu itu adalah kenyataan yang tidak bisa

dipungkiri. Bahwa beberapa gerakan separatis muncul sepanjang tahun 1950-an juga adalah

kenyataan, bahkan Soekarno makin curiga pada partai politik karena dia menganggap

Page 12: PERSAMAAN DAN PERBEDAAN KEBIJAKAN EKONOMI PADA MASA ORDE LAMA

Masyumi, dan juga PSI, terlibat dalam beberapa pemberontakan daerah. Lebih jauh lagi,

Soekarno mendekritkan kembalinya Indonesia pada UUD 1945 karena kegagalan

Konstituante untuk memutuskan UUD baru untuk Indonesia, akibat perdebatan berlarut-larut,

terutama antara kekuatan nasionalis sekuler dan kekuatan Islam mengenai dasar negara.

Seperti diketahui, salah satu aspek yang penting dari Demokrasi Terpimpin adalah

berpusatnya kekuasaan di tangan eksekutif (presiden) dan berkurangnya kekuasaan lembaga

legislatif, atau DPR. Hal ini telah difasilitasi dengan kembalinya Indonesia kepada UUD ‘45.

Bahkan, bentuk parlemen pun diubah dengan dicanangkannya suatu lembaga yang pada

dasarnya memberikan tempat yang lebih besar untuk golongan-golongan “fungsional” dalam

masyarakat, yang kemudian dikenal sebagai golongan “karya”. Pada saat yang sama, tempat

partai di dalam parlemen juga dibatasi-sebab menurut Soekarno-politisi partai hanya

mewakili kepentingan partainya, dan yang diperlukan adalah individu-individu yang dapat

mewakili kepentingan “rakyat” atau yang depat menyuarakan “kepentingan nasional” yang

sebenarnya.

Di masa Orde Baru, dengan sistem kekuasaan yang jauh lebih terpusat dibandingkan pada

masa Soekarno, hal ini kemudian menjadi masalah yang amat besar. Negara-dalam hal ini

hampir tidak bisa dibedakan dari Soeharto, keluarga, sekutu serta kroninya- mengambil-alih

seluruh hak untuk mendefinisikan “kepentingan nasional” tersebut. Akibatnya, kepentingan

nasional menjadi identik dengan kepentingan segelintir penguasa politik dan ekonomi, dan

segala unsur dalam masyarakat yang menentangnya dinyatakan sebagai pengkhianat. Bahkan

“oposisi” menjadi kata yang kotor. Mungkin terjadinya hal seperti itu akan sukar

dibayangkan oleh Soekarno sendiri, meskipun ia senang memandang dirinya sebagai

“penyambung lidah rakyat” berada “di atas” konflik-konflik kepentingan yang sempit.

ADALAH penting juga untuk dicatat bahwa salah satu kekuatan pendukung utama upaya

Soekarno untuk memberlakukan Demokrasi Terpimpin adalah Angkatan Darat. Mengapa

Angkatan Darat mendukung upaya Soekarno? Jawabannya sebenarnya cukup sederhana. Ada

persamaan nasib antara Soekarno dan tentara di dalam sistem demokrasi liberal yang

mementingkan peranan partai dan parlemen, yakni keduanya tidak mempunyai akses yang

langsung terhadap jalannya roda pemerintahan.

Dengan kata lain, di luar jatuh bangunnya kabinet dalam sistem liberal tahun 1950-an serta

pemberontakan-pemberontakan di daerah, baik Soekarno dan Angkatan Darat mempunyai

kepentingan nyata untuk membangun suatu sistem politik baru yang memberikan mereka

kekuasaan yang lebih langsung. Bisa dikatakan Soekarno tidak puas sebagai presiden yang

hanya bersifat figure-head, sedangkan Angkatan Darat telah berkembang menjadi kekuatan

yang juga tidak puas dalam peranan hanya sebagai penjaga pertahanan dan keamanan belaka.

Pembahasan terhadap kepentingan-kepentingan konkret seperti ini tidak lazim ditemukan

dalam pelajaran sejarah di sekolah pada tahun 1950-an.

Perlu diingat pula bahwa, untuk sebagian, penaklukan terhadap pemberontakan daerah telah

Page 13: PERSAMAAN DAN PERBEDAAN KEBIJAKAN EKONOMI PADA MASA ORDE LAMA

menghasilkan suatu pimpinan Angkatan Darat yang jauh lebih bersatu dibandingkan

sebelumnya. Jenderal Abdul Haris Nasution telah tampil sebagai pimpinan yang mampu

untuk meredam tantangan yang diajukan oleh komandan-komandan lokal yang memberontak

karena tidak senang dengan dominasi Jakarta/Jawa. Di samping itu, kondisi darurat yang

dicanangkan untuk menghadapi pemberontakan daerah telah menempatkan banyak perwira

militer sebagai administrator roda pemerintahan. Lebih jauh lagi, nasionalisasi perusahaan-

perusahaan asing di tahun 1957-yang sebenarnya dipelopori oleh serikat buruh-telah

menempatkan banyak perwira militer di pucuk pimpinan perusahaan-perusahaan negara yang

terbesar. Di antaranya adalah Ibnu Sutowo yang kemudian mengembangkan Pertamina.

Dengan posisi politik dan ekonomi yang kuat seperti ini, tampaknya militer tergiur untuk

mempunyai peranan yang langsung di dalam sistem politik. “Demokrasi Terpimpin”-nya

Soekarno memberikan peluang. Di antara golongan “fungsional” atau “karya” yang boleh

duduk dalam parlemen adalah tentara.

Dalam konteks ini, kita perlu mengingat pula bahwa Jenderal Nasution telah mengajukan apa

yang disebut sebagai “jalan tengah” untuk militer Indonesia. Dalam konsepsi ini, militer

Indonesia tidak akan bersifat intervensionis-dan terlibat dalam kudeta demi kudeta-

sebagaimana di Amerika Latin, namun juga tidak akan tinggal diam sebagai penonton arena

politik, sebagaimana di negeri-negeri Barat. Walaupun sering dikatakan bahwa maksud awal

Nasution telah dipelesetkan oleh Soeharto, dalam ide ini kita melihat cikal-bakal dari

“dwifungsi” ABRI yang dipraktikkan Orde Baru.

Jadi, bila Soekarno telah memberikan dasar dari konsepsi sistem politik yang akan

dikembangkan dalam versi yang lebih birokratis, otoriter dan ekslusioner pada masa Orde

Baru, Nasution telah memberikan landasan awal bagi peranan militer di dalamnya. Nasution

pulalah yang pertama mengusulkan bahwa hak pilih tentara dan polisi dicabut dan diganti

oleh hak otomatis memperoleh perwakilan di badan legislatif. Oleh karena itu, Orde Baru

dapat dipandang sampai tingkat tertentu sebagai hasil yang tidak disengaja (unintended

consequence) dari manuver-manuver politik Soekarno dan Nasution di tahun 1950-an. Bisa

dikatakan bahwa Soeharto tidak mungkin “ada” secara politik tanpa manuver kedua

pendahulunya itu, masing-masing sebagai pimpinan negara dan tentara.

Tentunya, Soekarno dan Nasution pada waktu itu berada dalam situasi yang ditandai oleh

keharusan untuk bernegosiasi dan bekerja sama, tetapi juga tidak jarang oleh konflik.

Khususnya, militer amat tidak senang dengan upaya Soekarno untuk mengikutsertakan PKI

dalam pemerintahan, sedangkan Soekarno semakin mengandalkan PKI sebagai satu-satunya

kekuatan politik di awal tahun 1960-an yang dapat mengimbangi Angkatan Darat.

Dalam pikiran Soekarno, PKI adalah bagian tak terpisahkan dari “front” nasional menentang

imperialisme dan untuk memajukan revolusi nasional. Ternyata-walaupun cukup “sukses”

dalam pemilu nasional dan lokal sebelumnya-PKI mampu beradaptasi dengan lingkungan

politik baru setelah berakhirnya masa demokrasi parlementer, seperti juga PNI dan NU (dua

Page 14: PERSAMAAN DAN PERBEDAAN KEBIJAKAN EKONOMI PADA MASA ORDE LAMA

elemen lain dari Nasakom-nya Soekarno).

Konflik militer-PKI sendiri setidaknya sudah berawal pada peristiwa Madiun, dan diperburuk

sejak tentara semakin aktif mengembangkan ormas untuk melawan dominasi PKI terutama di

bidang organisasi buruh dan tani. Apalagi tentara sejak 1957 berhadapan langung dengan

SOBSI-serikat buruh yang dekat dengan PKI-di perusahaan nasional yang dikelola militer.

Sebagaimana diketahui, konflik militer dan PKI itu akhirnya berkulminasi dengan peristiwa

1965 yang hingga kini masih misterius, dan naiknya Jenderal Soeharto ke pucuk pimpinan

negara.

Adalah dalam konteks konflik militer dengan PKI ini jugalah lahir “bayi” yang kemudian

menjadi entitas politik bernama Golkar. Setelah Soekarno memperjuangkan konsep

perwakilan politik berdasarkan “fungsi” dalam masyarakat, ideolog militer macam Jenderal

Soehardiman juga mengembangkan konsep “karyawan” di bidang perburuhan dengan

mendirikan SOKSI (terutama berbasis pada perusahaan negara yang dikuasai militer).

Akhirnya, Sekretariat Bersama Golkar (Sekber Golkar) didirikan oleh tentara untuk

menghimpun kekuatan-kekuatan keormasan dan politik yang berseberangan dengan kekuatan

komunis.

Pada dasarnya, militerlah yang kemudian menjadi ahli waris langsung dari konsep golongan

karya yang awalnya diperjuangkan oleh Soekarno, walau dalam versi tentara, konsep ini

bermutasi menjadi lebih anti-partai, dan bercorak anti-komunis. Dalam perjalanan sejarah,

Golkar dikembangkan di masa Soeharto sebagai salah satu pilar utama Orde Baru, yakni

sebagai wadah untuk melegitimasikan kekuasaan lewat sejumlah pemilu yang jauh dari

prinsip bebas dan bersih.

ADALAH menarik bahwa pada masa awal Orde Baru, terjadi pula perdebatan di antara para

pendukungnya sendiri (ketika itu, termasuk para intelektual dan mahasiswa) tentang peranan

partai politik yang wajar di Indonesia. Intelektual macam Mochtar Lubis pun menulis di

koran Indonesia Raya tentang perlunya lapangan politik dibersihkan dari partai politik yang

identik dengan Orde Lama, yang katanya menghambat pembangunan. Tentu dia tidak sendiri,

karena pandangan ini dikumandangkan juga oleh banyak intelektual lain-termasuk yang

kemudian menjadi lawan Soeharto yang gigih dan tokoh gerakan demokrasi-serta sejumlah

jenderal.

Perdebatan di antara para pendiri atau pendukung Orde Baru berkisar sejauh dan secepat

manakah partai politik perlu di-’kubur’. Dalam hal-hal macam ini pulalah kita bisa melihat

satu lagi “utang” Orde Baru-nya Soeharto pada “Orde Lama”-nya Soekarno. Seperti

diketahui, setelah proses perdebatan dan intrik yang panjang, akhirnya semua partai “sisa”

Orde Lama memang difusikan menjadi Partai Persatuan Pembangunan dan Partai Demokrasi

Indonesia di tahun 1973, disertai oleh Golkar, partainya golongan karya.

Salah satu tokoh yang paling penting dalam proses perekayasaan sistem politik Orde Baru

adalah Jenderal Ali Moertopo. Peranannya menonjol baik sebagai ideolog maupun sebagai

Page 15: PERSAMAAN DAN PERBEDAAN KEBIJAKAN EKONOMI PADA MASA ORDE LAMA

operator politik utama Soeharto di awal Orde Baru (dengan Aspri dan Opsus-nya). Jenderal

Moertopo menerbitkan beberapa karya yang amat gamblang menggambarkan dasar-dasar

pemikiran, blueprint, politik Orde Baru. Moertopo bukan seorang Soekarnois, tapi saya kira

ada beberapa aspek dari pemikirannya-yang meskipun mungkin “dipinjam” dari tempat lain-

“bertemu” secara tidak langsung dengan ide-ide yang sempat diperjuangkan oleh Soekarno di

tahun 1950-an. Salah satu “pertemuan” itu adalah dalam penempatan “negara” sebagai suatu

entitas yang diidealisasikan berada di atas konflik dan perbedaan dalam masyarakat. Dalam

pidato kenegaraan di tahun 1956, Soekarno menyatakan bahwa negara atau bangsa adalah

suatu organisme yang tidak bisa dipilah-pilah, sedangkan strategi politik Moertopo

dicurahkan terutama untuk menjamin bahwa tidak ada kekuatan dalam masyarakat yang

mampu untuk menentang kemauan negara sebagai pengejewantahan dari kepentingan

bersama.

Menurut David Bourchier (seorang pengamat politik Indonesia berasal dari Australia),

pemikiran Moertopo banyak dipengaruhi oleh pemikiran Gereja Katolik Eropa awal abad ke-

20, yang juga mengajukan konsep adanya pertalian yang erat, hubungan organik, antara

negara dan masyarakat. Pemikiran ini aslinya dikembangkan di Eropa sebagai respons

terhadap bahaya “fragmentasi” masyarakat yang disebabkan oleh kemunculan politik

perjuangan kelas yang dimotori oleh kaum sosialis. Menurut Bourchier, Moertopo mungkin

memperoleh gagasan ini dari intelektual Center for Strategic and International Studies (CSIS)

yang sempat menjadi dapur pemikirannya. Seperti dikemukakan sebelumnya, Soekarno pun

mengkhawatirkan proses fragmentasi di Indonesia, walaupun lebih menurut aliran politik

atau sentimen kedaerahan. Di masa Orde Baru, ketakutan akan fragmentasi-atas dasar kelas,

agama, atau hal lain-digabungkan dengan praktik-praktik politik represif yang membungkam

bukan hanya partai, tetapi semua suara oposisi dengan dalih ancaman terhadap persatuan

nasional dan sebagainya. Bahkan, protes daerah-daerah tertentu mengenai berbagai kebijakan

pemerintah pusat dijawab dengan pengiriman tentara demi menjamin lestarinya persatuan

nasional.

Sekali lagi, tentu ada perbedaan-perbedaan yang penting antara “visi” Orde Baru dan visi

“Demokrasi Terpimpinnya Soekarno”. Setidak-tidaknya retorika Orde Baru di masa awal

dibumbui dengan jargon-jargon teori modernisasi yang dipinjam dari kepustakaan ilmu sosial

Barat, seperti karya Samuel Huntington yang tersohor, Political Order in Changing Societies.

Ironisnya, hal ini terjadi meskipun sistem politik yang hendak dibangun di Indonesia adalah

yang diklaim bercorak kepribadian nasional yang khas. Sebaliknya, retorika Soekarno seperti

biasa dibumbui oleh jargon-jargon revolusioner yang cenderung romantis dan yang

menekankan bersatunya pemimpin dengan rakyat

TULISAN ini telah memusatkan perhatian pada beberapa kontinuitas-mungkin terasa agak

ironis-antara Orla dan Orba, meskipun ada banyak perbedaan di tingkat permukaan. Hal ini

dilakukan untuk menunjukkan betapa relevannya pemikiran dan tindakan Soekarno pada

Page 16: PERSAMAAN DAN PERBEDAAN KEBIJAKAN EKONOMI PADA MASA ORDE LAMA

masa yang jauh melampaui kurun waktu kehidupannya sendiri-walaupun dalam bentuk

unintended consequence-yakni berdiri, berkembang, dan bercokolnya Orde Baru.Pada

dasarnya, kontinuitas adalah tema yang masih amat relevan dibicarakan di Indonesia, bahkan

dewasa ini karena masih eratnya kaitan antara aktor-aktor politik di masa reformasi ini

dengan berbagai kepentingan yang menonjol di masa Orde Baru. Bedanya, kepentingan-

kepentingan ini bukan lagi dilindungi oleh negara yang otoriter tetapi justru oleh partai-partai

yang tumbuh relatif bebas dalam alam demokratisasi.

Seperti di tahun 1950-an dan 1960-an, perilaku partai politik yang dianggap mementingkan

diri sendiri juga telah menyebabkan banyak orang menjadi sinis terhadapnya. Apakah sejarah

akan berulang dan partai politik kembali dicap sebagai biang keladi fragmentasi bangsa,

sebagaimana pernah dituduhkan Soekarno?

Mudah-mudahan saja solusi politik yang akhirnya ditemukan oleh bangsa Indonesia akan

sangat berbeda dari solusi yang pernah muncul sebelumnya. Mudah-mudahan sejarah tidak

berulang dengan naiknya tentara sebagai panglima politik, dan bercokolnya rezim yang

otoriter untuk waktu yang lama.

Pasca runtuhnya rezim politik Orde Baru-nya Suharto yang otoriter di tahun 1998. Indonesia,

kemudian memasuki masa Reformasi, yang lantas disebut juga “Orde Reformasi”. Orde

Reformasi dicirikan dengan terjadinya apa yang oleh O’Donnell dan Schmitter disebutnya

fase “liberalisasi politik”. Fase ini secara teoritis sebagai fase transisi dari otoritarianisme

entah menuju kemana”.

Apa yang disebut liberalisasi adalah proses pendefinisian ulang dan perluasan hak-hak.

Liberalisasi merupakan proses mengefektifkan hak-hak yang melindungi individu dan

kelompok-kelompok sosial dari tindakan sewenang-wenang yang dilakukan oleh negara.

Liberalisasi politik awal pasca Orde Baru ditandai antara lain terjadinya redefinisi hak-hak

politik rakyat.

Ketika Orde Baru tumbang, setiap kalangan menuntut kembali hak-hak politiknya yang

selama bertahun-tahun dikerangkeng oleh negara. Konsekuensi dari liberalisasi politik

ditandai dengan terjadinya ledakan partisipasi politik. Ledakan ini terjadi dalam bentuk yang

beragam. Pada tataran akar rumput (grass root), ledakan partisipasi politik banyak mengambil

bentuk huru-hara, kekerasan massa, amuk massa, atau praktek penjarahan kolektif.

Page 17: PERSAMAAN DAN PERBEDAAN KEBIJAKAN EKONOMI PADA MASA ORDE LAMA

Sementara ledakan partisipasi politik di kalangan elit politik ditandai dengan maraknya

pendirian partai politik.

Sebagai perwujudan dari ledakan partisipasi politik itu, para elit politik berlomba-lomba

mendirikan kembali partai politik, sehingga jumlah partai politik banyak. Klimaks dari

pendirian partai politik adalah diselenggarakannya pemilu di tahun 1999. Inilah pemilu

pertama pasca Orde Baru dan pemilu kedua setelah pemilu 1955, yang oleh para pengamat

asing disebut sebagai pemilu paling bersih.

Pemilu 1999 juga dijadikan tonggak awal Orde Reformasi. Sebagai orde transisi politik di

Indonesia, maka sistem politik Indonesia di masa reformasi dianggap sebagai sistem politik

yang juga bersifat transisi. Pertanyaan mendasar kemudian adalah, sampai kapan sistem

politik Indonesia berkutat pada tataran transisi?

Kran demokrasi yang tertutup rapat selama 32 tahun, berimbas pada meledaknya partisipasi

politik. Ini bukanlah hal yang mengejutkan, karena banyak kalangan yang telah

memperhitungkan sebelumnya. Sebuah sistem politik yang sangat akut ini sedang mencari

format terbaik, guna terciptanya sebuah sistem yang sehat seperti yang digambarkan oleh

David Easton.

Sebuah sistem merupakan sebuah keseluruhan yang saling berinteraksi di dalamnya, di mana

terdiri atas sub-sub sistem. Jadi sebagai sebuah keseluruhan, sistem politik Indonesia perlu

adanya sebuah evaluasi ulang atas fungsi-fungsi lembaga berdasarkan aturan yang telah ada.

Proses input sebuah kebijakan haruslah kebutuhan mendasar sebuah masyarakat yang

ditafsirkan sebagai doa-doa makhluk terhadap Tuhannya, ibarat sebuah harapan.

Sehingga proses yang berjalan merupakan transformasi nilai-nilai kemanusiaan. Bukan

berarti menafikan bahwa akan ada benturan kepentingan di dalamnya, atau doa-doa tidak

berakomodasi sepenuhnya, akibat begitu banyaknya masyarakat Indonesia yang menjadi

pengemis akibat keganasan sebuah rezim yang ‘menyulam’ lidah-lidah rakyat dengan benang

sutra.

Page 18: PERSAMAAN DAN PERBEDAAN KEBIJAKAN EKONOMI PADA MASA ORDE LAMA

Reformasi yang terjadi pun adalah sebuah negosiasi kekuasaan elit lama yang merasa kecewa

atas seniornya, sehingga regulasi yang berjalan harus dibayar dengan kelaparan di berbagai

daerah. Perubahan adalah sebuah keniscayaan, reformasi yang terjadi juga sebuah

keniscayaan yang tidak pernah diharapkan akan seperti ini, masyarakat pun kecewa dengan

hal ini dan merasa sakit. Sebagai salah satu bagian dari sebuah sistem politik maka yang

hadir adalah sebuah sistem politik yang tidak lagi menarik. Politisi terperangkap pada

keistimewaan akan dirinya sehingga tidak lagi menganggap rakyat adalah bagian dari

dunianya, yaitu politisi sebagai pelayan bagi umatnya, atau biasa disebut oleh kalangan

agamawan sebagai sosok nabi.

Masa sekarang ini pun sistem politik Indonesia masih mengalami krisis yang

memprihatinkan. Pasca reformasi yang harapannya akan ada format baru bagi dunia politik

ternyata mengalami kebuntuan. Hal ini dapat dilihat dari partai politik yang menjadi

bangunan dasar demokrasi, belum mampu untuk menjalankan fungsinya dengan baik.

Perubahan yang terlihat hanyalah pada kuantitas partai, tapi masih menggunakan pola lama,

artinya belum ada perubahan yang mendasar dari reformasi yang dicita-citakan.

Sistem politik ini merupakan bagian dari sebuah sistem yang besar, sehingga hal ini berimbas

pada sektor yang lain. Seperti sebuah virus yang menjangkiti sebuah bangsa, maka

diperlukan seorang dokter dengan jarum suntik di tangannya untuk menyembuhkan bangsa

ini. Jarum suntik ini adalah pendidikan politik yang merata, karena partisipasi politik

masyarakat belumlah cukup. Untuk itu dibutuhkan teropong yang lebih besar buat melihat

masalah yang hadir.

Transformasi nilai yang saya maksud di atas tadi adalah puncak tertinggi nilai-nilai universal,

yaitu filsafat politik. Filsafat politik sebagai nilai-nilai universal adalah konstitusi tertinggi

kemanusiaan, yang membawa kita pada kemakmuran bersama. Jika mencoba membawanya

pada realitas politik, maka haru ada sebuah kedinamisan dan keadilan pengetahuan atau yang

dibahasakan oleh Muhammad Hatta pendidikan politik, guna pencapaian cita-cita filsafat

politik.

Legitimasi yang hadir saat ini adalah semu, karena tampil sebagai topeng, rezim yang hadir

pun hanya menjadikannya tiket menuju kelas yang lebih tinggi, setelah sampai ditujukan

Page 19: PERSAMAAN DAN PERBEDAAN KEBIJAKAN EKONOMI PADA MASA ORDE LAMA

dengan mudah untuk membuangnya ke dalam keranjang sampah. Kondisi yang seperti ini

terjadi tidak lain akibat pengetahuan masyarakat yang masih kurang terhadap politik.

Pemahaman atas politik masih jauh dari harapan para filosof, sementara ilmu politik begitu

dinamis dan terus berkolaborasi dengan konteks budaya yang ada.

Keberagaman budaya yang ada pada bangsa kita sangat berpengaruh pada perangkat politik

yang ada pula, perangkat politik yang sangat penting saya kira adalah partai politik yang

melakukan adaptasi sebagai jawaban atas tantangan modernitas. Oleh karena itu dibutuhkan

partai yang modern pula mengingat kebutuhan manusia yang semakin kompleks. Bukan

hanya itu partai pulalah yang harus menggantikan tanggung jawab negara untuk memberikan

pendidikan politik bagi masyarakat luas.

Sudah saatnya partai politik menebus budi atas suara yang telah diberikan padanya oleh

rakyat, dan menjadi tanggung jawab bersama untuk menuju kemakmuran bersama.

Kemudian tantangan yang kedua adalah, partai politik harus belajar untuk mandiri dalam

banyak hal, mengingat kondisi bangsa yang carut-marut. Untuk pembiayaan kampanye saja

negara masih harus menanggungnya, ini memperlihatkan bahwa partai politik masih sangat

dimanjakan.

Banyaknya bencana kemanusiaan yang melanda bangsa ini, seharusnya partai politik

memperlihatkan eksistensinya pada rakyat, bukan hanya pada momen tertentu saja. Dari sini

dapat dikatakan bahwa partai politik belum mampu menjalankan fungsinya di dalam

masyarakat. Oleh karena dibutuhkan kedinamisan maupun keseimbangan komponen-

komponen yang ada dalam sebuah sistem, maka komponen-komponen tersebut harus

menjalankan fungsinya dengan baik. Sistem ini pun tidak terlepas dari pengaruh yang hadir

dari luar.

Logika politik luar negeri yang ada pun membenarkan asumsi tersebut, di mana politik luar

negeri merupakan cerminan politik dalam negeri. Sehingga dibutuhkan kondisi politik yang

kuat untuk dapat menunjukkan eksistensi bangsa pada lingkup global. Pendidikan politik

yang adil serta memanusiakan manusia adalah cita-cita kemakmuran itu, dan sebagai sebuah

sub-sistem dari sistem yang lebih besar, yaitu dunia politik yang humanis telah menjadi

kebutuhan yang meniscayakan sebuah bangsa yang kuat.

Page 20: PERSAMAAN DAN PERBEDAAN KEBIJAKAN EKONOMI PADA MASA ORDE LAMA

Perlu diingat bahwa pendidikan politik itu bukan hanya pada masyarakat saja, tapi juga bagi

elit politik sebagai pemegang peran penting dalam sebuah kebijakan. Hal ini menjadi sangat

penting melihat realitas politik yang ada di Indonesia bahwa elit yang hadir bukanlah orang-

orang yang begitu paham dengan politik. Sehingga kebijakan yang lahir pun tidak lagi

menjadi alat untuk mensejahterakan rakyat, tapi sebagai alat untuk mendapatkan kekuasaan

dan menjadi budak nafsu keserakahan binatang.

Jadi sistem politik Indonesia harus dilihat sebagai sebuah keseluruhan yang saling

mempengaruhi, bukan ditafsirkan secara sempit sebagai sebuah kesalahan sebuah rezim atau

kejahatan elit politik semata.

2. Studi Kasus

Sistem politik digambarkan secara sederhana oleh David Easton sebagai sebuah proses

pembuatan kebijakan (konversi). Proses ini tidak lahir begitu saja. Ada sebuah proses yang

mendahuluinya, yakni proses input atau masukan. Proses input ini terdiri dari setidaknya dua

variabel, yakni dukungan dan tuntutan (suplay and demand). Adapun setelah terjadinya

proses konversi dari kedua variabel input tersebut, maka proses itu lantas disebut keluaran

atau output. Keluaran dari sebuah sistem politik dengan demikian disebut sebagai hasil

kebijakan atau kebijaksanaan. Kebijakan atau kebijaksanaan yang dilahirkan dari sebuah

proses konversi dari sebuah sistem politik tidak dengan sendirinya berakhir, melainkan terus

berproses dalam bentuk umpan balik (feed-back). Demikian seterusnya, bahwa proses politik

dari sebuah sistem politik tidak akan pernah berakhir karena adanya proses feed-back

tersebut.

Ambillah contoh kasus terhadap kenaikan harga bahan bakar minyak (disingkat: BBM).

Naiknya harga BBM di awal Maret 2005 lalu, tak luput dari beragam penilaian. Mulai dari

aksi demonstrasi menolak kenaikannya sampai kemudian persetujuan bahwa kenaikan harga

BBM tak mungkin lagi kita tolak atau tahan, dengan dua alasan mendasar. Pertama, karena

harga minyak dunia sementara melonjak. Kedua, untuk mengurangi pembiayaan negara

(subsidi) atas sebagian besar masyarakat yang seharusnya tidak layak untuk disubsidi, yakni

orang-orang kaya.

Page 21: PERSAMAAN DAN PERBEDAAN KEBIJAKAN EKONOMI PADA MASA ORDE LAMA

Proses inputnya terdiri dari dua, kelompok yang menolak naiknya harga BBM yang diwakili

secara pas oleh kelompok mahasiswa dan para aktivis buruh yang memang secara nyata

paling rentan terancam dengan kebijakan tersebut. Kelompok kedua adalah mereka yang

mendukung kenaikan harga BBM. Kelompok yang mendukung ini dapat dibagi dua,

kelompok yang melihatnya sebagai bagian dari penyelamatan ekonomi negara (anti subsidi)

dan kelompok yang secara langsung dan tak langsung justru diuntungkan dengan naiknya

harga BBM (para pendukung neo-liberalis).

Ketika dikonversi untuk dijadikan sebagai sebuah kebijakan, yakni bagaimana seharusnya

BBM itu dikelola. Terjadi proses tarik-menarik kepentingan di dalam parlemen Indonesia

(DPR). Antara partai politik yang mendukung dan tidak mendukung naiknya harga BBM.

Proses politik yang terjadi, pada awalnya, demikian alot dan keras. Partai-partai politik yang

anti kenaikan BBM kelihatan sangat bersungguh-sungguh untuk tetap sejalan dengan

sebagian masyarakat untuk menolak naiknya harga BBM.

Tetapi karena kuatnya kekuatan kelompok yang mendukung naiknya harga BBM di DPR,

kebijakan naiknya harga BBM tidak dapat diubah lagi. Kebijakan itu dengan sendirinya

menjadi output dari pemerintahan SBY-Kalla. Tetapi meski demikian, ada sebuah kebijakan

yang juga lahir di samping kebijakan naiknya harga BBM, yakni kebijakan kompensasi

(bantuan langsung tunai, disingkat: BLT) bagi masyarakat kecil yang terimbas dengan

keluarnya kebijakan menaikkan BBM.

Pada tataran feed-back atau umpan balik. Jelaslah bahwa hingga saat ini, sebagian

masyarakat masih tetap menolak kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintahan yang ada.

Adapun kebijakan BLT pada kenyataannya tidak mampu menjadi penopang ekonomi

masyarakat menghadapi kenaikan harga sembako. Apalagi ternyata, yang mendapatkan BLT

tidak semuanya berkategori miskin, yang menurut pemerintah mereka-mereka inilah yang

seharusnya mendapatkannya. Kebijakan BLT ternyata tetap disalahgunakan oleh aparat

pemerintah di tingkatan bawah. Akibat yang terjadi kemudian adalah terjadinya pemiskinan

secara terstruktur oleh negara terhadap masyarakatnya.

Page 22: PERSAMAAN DAN PERBEDAAN KEBIJAKAN EKONOMI PADA MASA ORDE LAMA