permintaan pasien untuk melakukan

49
Permintaan Pasien untuk Melakukan Euthanasia Pasif Yehiel Flavius Kabanga 102011063 Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana Jakarta Barat Jalan Arjuna Utara No. 6 Jakarta Barat 11510 Telp. 021-56942061 Fax. 021-5631731 e-mail : [email protected] _____________________________________________________________ ____________ Pendahuluan Seiring dengan berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi, pola pikir masyarakat sekarang ini pun kian maju oleh karena mudahnya pengaksesan informasi, termasuk informasi kesehatan. Hal itu membuat sebagian besar masyarakat menjadi lebih kritis dalam menilai setiap tindakan medis yang diperolehnya. Sehingga hubungan dokter-pasien yang pada awalnya adalah hubungan yang bersifat paternalistic lambat laun berubah menjadi hubungan yang kontraktual di mana dokter dan pasien adalah pihak-pihak yang bebas, yang meskipun memiliki perbedaan kapasitas dalam membuat keputusan, tetapi saling menghargai. Dokter akan mengemban tanggung jawab atas segala

Upload: yehiel-flavius

Post on 14-Sep-2015

34 views

Category:

Documents


2 download

DESCRIPTION

euthanasia

TRANSCRIPT

Permintaan Pasien untuk Melakukan Euthanasia Pasif Yehiel Flavius Kabanga102011063

Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida WacanaJakarta BaratJalan Arjuna Utara No. 6 Jakarta Barat 11510Telp. 021-56942061 Fax. 021-5631731e-mail : [email protected]_________________________________________________________________________

PendahuluanSeiring dengan berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi, pola pikir masyarakat sekarang ini pun kian maju oleh karena mudahnya pengaksesan informasi, termasuk informasi kesehatan. Hal itu membuat sebagian besar masyarakat menjadi lebih kritis dalam menilai setiap tindakan medis yang diperolehnya. Sehingga hubungan dokter-pasien yang pada awalnya adalah hubungan yang bersifat paternalistic lambat laun berubah menjadi hubungan yang kontraktual di mana dokter dan pasien adalah pihak-pihak yang bebas, yang meskipun memiliki perbedaan kapasitas dalam membuat keputusan, tetapi saling menghargai. Dokter akan mengemban tanggung jawab atas segala keputusan teknis, sedangkan pasien tetap memegang kendali keputusan penting, terutama yang terkait dengan nilai moral dan gaya hidup pasien. Hubungan kontrak mengharuskan terjadinya pertukaran informasi dan negosiasi sebelum terjadinya kesepakatan, namun juga memberikan peluang kepada pasien untuk menyerahkan pengambilan keputusan kepada dokter. 1Skenario PBL VSeorang pasien berusia 62 tahun datang ke rumah sakit dengan karsinoma kolon yang telah terminal. Pasien masih cukup sadar berprndidikan cukup tinggi. Ia memahami benar posisi kesehatannya dan keterbatasan kemampuan ilmu kedokteran saat ini, ia juga memiliki pengalaman pahit sewaktu kakaknya menjelang ajalnya dirawat di ICU dengan peralatan bermacam-macam tampak sangat menderita , dan alat-alat tersebut tampaknya hanya memperpanjang penderitaannya saja. Oleh karena itu ia meminta kepada dokter apabila dia mendekati ajalnya agar menerima terapi yang minimal saja (tanpa antibiotika, tanpa peralatan ICU, dll), dan ia ingin mati dengan tenang dan wajar. Namun ia tetap setuju apabila ia menerima obat-obatan penghilang rasa sakit bila memang dibutuhkan. Dari skenario ini rumusan masalahnya adalah seorang pasien (62) yang menderita carcinoma colon stadium terminal, dimana pasien tersebut meminta dokter untuk hanya memberikan pelayanan minimal kepadanya. Dalam kasus ini dokter menyetujui permintaan pasien setelah dilakukan informed consent.

Etika Etika adalah disiplin ilmu yang mempelajari baik buruk atau benar salahnya suatu sikap dan atau perbuatan seseorang individu atau institusi dilihat dari moralitas. Dalam menangani pasien sangatlah dibutuhkan etika. Karena dengan adanya standar etika tersebut, kita dapat mampu menangani pasien dengan baik. Dengan menggunakan dasar etika yang benar kita dapat menangani pasien secara holistik. Untuk itulah disusun suatu dasar etika untuk praktek kedokteran. Etika secara umum dapat dibagi menjadi :A. Etika Umum. Mengenai kondisi-kondisi dasar bagaimana manusia bertindak secara etis, tentang bagaimana manusia mengambil keputusan etis, teori-teori etika dan prinsip-prinsip moral dasar yang menjadi pegangan bagi manusia dalam bertindak serta tolak ukur dalam menilai baik atau buruknya suatu tindakan. Etika umum dapat di analogkan dengan ilmu pengetahuan, yang membahas mengenai pengertian umum dan teori-teori.B. Etika khusus. Penerapan prinsip-prinsip moral dasar dalam bidang kehidupan yang khusus. Penerapan ini bisa berwujud :1. mengambil keputusan dan bertindak dalam bidang kehidupan dan kegiatan yang dilakukan2. menilai perilaku diri dan orang lain dalam bidang kegiatan dan kehidupan khusus yang3. dilatarbelakangi oleh kondisi yang memungkinkan manusia bertindak etis 4. mengambil suatu keputusan atau tindakan, dan teori serta prinsip moral dasar yang ada dibaliknya.Etika khusus dibagi lagi menjadi dua bagian :1. Etika individual, yaitu menyangkut kewajiban dan sikap manusia terhadap dirinya sendiri.2. Etika sosial, yaitu berbicara mengenai kewajiban, sikap dan pola perilaku manusia sebagai anggota umat manusia.1Etika Kedokteran. Ada dua macam etika yang harus kita pahami bersama dalam menentukan baik dan buruknya perilaku manusia terutamanya apabila menyangkut ilmu profesi kedokteran yang berhadapan dengan pasien:A. Etika deskriptif :Yaitu etika yang berusaha meneropong secara kritis dan rasional sikap dan prilaku manusia dan apa yang dikejar oleh manusia dalam hidup ini sebagai sesuatu yang bernilai. Etika deskriptif memberikan fakta sebagai dasar untuk mengambil keputusan tentang prilaku atau sikap yang mau diambil.B. Etika normatif:Yaitu etika yang berusaha menetapkan berbagai sikap dan pola prilaku ideal yang seharusnya dimiliki oleh manusia dalam hidup ini sebagai sesuatu yang bernilai. Etika normatif memberi penilaian sekaligus memberi norma sebagai dasar dan kerangka tindakan yang akan diputuskan.2

Peranan Etika Dalam Profesi:A. Suatu kelompok diharapkan akan mempunyai tata nilai untuk mengatur kehidupan bersama kerana nilai-nilai etika itu tidak hanya milik satu atau dua orang, atau segolongan orang saja, tetapi milik setiap kelompok masyarakat, bahkan kelompok yang paling kecil yaitu keluarga sampai pada suatu bangsa.B. Salah satu golongan masyarakat yang mempunyai nilai-nilai yang menjadi landasan dalam pergaulan baik dengan kelompok atau masyarakat umumnya maupun dengan sesama anggotanya, yaitu masyarakat profesional. Golongan ini sering menjadi pusat perhatian karena adanya tata nilai yang mengatur dan tertuang secara tertulis (yaitu kode etik profesi) dan diharapkan menjadi pegangan para anggotanya.C. Sorotan masyarakat menjadi semakin tajam manakala perilaku-perilaku sebagian para anggota profesi yang tidak didasarkan pada nilai-nilai pergaulan yang telah disepakati bersama (tertuang dalam kode etik profesi), sehingga terjadi kemerosotan etik pada masyarakat profesi tersebut. 2Tujuan Kode Etik Profesi:A. Untuk menjunjung tinggi martabat profesi.B. Untuk menjaga dan memelihara kesejahteraan para anggota.C. Untuk meningkatkan pengabdian para anggota profesi.D. Untuk meningkatkan mutu profesi.E. Untuk meningkatkan mutu organisasi profesi.F. Meningkatkan layanan di atas keuntungan pribadi.G. Mempunyai organisasi profesional yang kuat dan terjalin erat.1Prinsip-Prinsip Etika Profesi. Beauchamp and childress (1994) menguraikan bahwa untuk mencapai suatu keputusan etis diperlukan empat kaedah dasar moral dan beberapa rules dibawahnya, yaitu:2A. Prinsip beneficence, yaitu prinsip moral yang mengutamakan tindakan yang ditunjukan kepada kebaikan pasien. Dokter harus mengusahakan agar pasien yang dirawatnya terjaga keadaan kesehatannya. Pengertian berbuat baik di sini adalah bersikap ramah atau menolong, lebih dari sekedar memenuhi kewajibannya. Tindakan konkrit dari beneficience meliputi:1. Mengutamakan altruisme (menolong tanpa pamrih, rela berkorban untuk kepentingan orang lain)2. Menjamin nilai pokok harkat dan martabat manusia3. Memandang pasien/keluarga/sesuatu tidak hanya sejauh menguntungkan dokter4. Mengusahakan agar kebaikan/manfaatnya lebih banyak dibandingkan dengan keburukannya5. Paternalisme bertanggung jawab/berkasih sayang6. Menjamin kehidupan baik 7. Pembatasan goal based8. Maksimalisasi pemuasan kebahagiaan / preferensi pasien9. Minimalisasi akibat buruk10. Kewajiban menolong pasien gawat darurat11. Menghargai hak-hak pasien secara keseluruhan12. Tidak menarik honorarium di luar kepantasan13. Maksimalisasi kepuasan tertinggi secara keseluruhan14. Mengembangkan profesi secara terus-menerus15. Memberikan obat berkhasiat namun murah16. Menerapkan Golden Rule Principle, dimana kita harus memperlakukan orang lain seperti kita ingin diperlakukan oleh orang lain.B. Prinsip non-maleficence, yaitu prinsip moral yang melarang tindakan yang memperburuk keadaan pasien. Prinsip ini dikenal sebagai primum non nocere atau do not harm. Tindakan konkrit dari non-maleficence meliputi:1. Menolong pasien emergensi2. Kondisi untuk menggambarkan criteria ini adalah:3. Mengobati pasien yang luka4. Tidak membunuh pasien (tidak melakukan euthanasia)5. Tidak menghina/mencaci maki/memanfaatkan pasien6. Tidak memandang pasien hanya sebagai objek7. Mengobati secara tidak proporsional8. Mencegah pasien dari bahaya9. Menghindari misinterpretasi dari pasien10. Tidak membahayakan kehidupan pasien karena kelalaian11. Memberiksan semangat hidup12. Melindungi pasien dari serangan13. Tidak melakukan white collar crime dalam bidang kesehatan/ kerumah-sakitan yang merugikan pihak pasien/ keluarganya.C. Prinsip autonomy, yaitu prinsip moral yang menghormati hak-hak pasien (the rights to self determinations). Maksudnya tiap individu harus diperlakukan sebagai makhluk hidup yang memiliki otonomi (hak untuk menentukan nasibnya sendiri). Tindakan konkrit dari autonomi meliputi:31. Menghargai hak menentukan nasibnya sendiri2. Tidak mengintervensi pasien dalam membuat keputusan (pada kondisi elektif)3. Berterus terang4. Menghargai privasi5. Menjaga rahasi pasien6. Menghargai rasionalitas pasien7. Melaksanakan informed consent8. Membiarkan pasien dewasa dan kompeten mengambil keputusan sendiri9. Tidak mengintervensi atau menghalangi autonomi pasien10. Mencegah pihak lain ,emgintervensi pasien dalam membuat keputusan, termasuk keluarga pasien sendiri11. Sabar menunggu keputusan yang akan diambil pasien pada kasus non emergensi12. Tidak berbohong kepada pasien meskipun demi kebaikan pasien13. Menjaga hubungan.D. Prinsip justice, yaitu prinsip moral yang mementingkan fairness dan keadilan dalam mendistribusikan sumber daya (distributive justice). Maksudnya adalah memperlakukan semua pasien sama dalam kondisi yang sama. Tindakan konkrit yang termasuk justice meliputi:1. Memberlakukan segala sesuatu secara universal2. Mengambil porsi terakhir dari proses membagi yang telah ia lakukan3. Memberi kesempatan yang sama terhadap pribadi dalam posisi yang sama4. Menghargai hak sehat pasien (affordability, equality, accessibility, availability, quality)5. Menghargai hak hukum pasien6. Menghargai hak orang lain7. Menjaga kelompok yang rentan (yang paling merugikan)8. Tidak membedakan pelayanan pasien atas dasar SARA, status social, dll9. Tidak melakukan penyalahgunaan10. Memberikan kontribusi yang relative sama dengan kebutuhan pasien11. Meminta partisipasi pasien sesuai kemampuannya12. Kewajiban mendistribusi keuntungan dan kerugian (biaya, beban, sanksi) secara adil13. Mengembalikan hak kepada pemiliknya pada saat yang tepat dan kompeten14. Tidak memberi beban berat secara tidak merata tanpa alasan sah/tepat15. Menghormati hak populasi yang sama-sama rentan penyakit/gangguan kesehatan16. Bijak dalam makroalokasi.Praktek kedokteran juga berpegang kepada prinsip-prinsip moral kedokteran, prinsip-prinsip moral yang dijadikan arahan dalam membuat keputusan dan bertindak, arahan dalam menilai baik-buruknya atau benar-salahnya suatu keputusan atau tindakan medis dilihat dari segi moral. Pengetahuan etika ini dalam perkembangannya kemudian disebut sebagai etika biomedis. Etika biomedis memberi pedoman bagi para tenaga medis dalam membuat keputusan klinis yang etis (clinical ethics) dan pedoman dalam melakukan penelitian di bidang medis.Nilai-nilai materialisme yang dianut masyarakat harus dapat dibendung dengan memberikan latihan dan teladan yang menunjukkan sikap etis dan profesional dokter.Pembuatan keputusan etik terutama dalam situasi klinik, dapat juga dilakukan dengan pendekatan yang berbeda dengan pendekatan kaidah dasar moral diatas. Jonsen, Siegler, dan Winslade mengembangkan teori etik yang menggunakan 4 topik yang esensial dalam pelayanan klinik, yaitu :A. Medical indication. Pada topik ini dimasukkan semua prosedur diagnostik dan terapi yang sesuai untuk mengevaluasi keadaan pasien dan mengobatinya. Penilaian aspek indikasi medis ini ditinjau dari sisi etiknya, terutama menggunakan kadiah beneficence dan non-maleficence. Pertanyaan etika pada topic ini adalah serupa dengan seluruh informasi yang selayaknya disampaikan kepada pasien pada informed consent.B. Patient preferences. Pada topik ini kita memperhatikan nilai dan penilaian pasien tentang manfaat dan beban yang akan diterimanya, yang berarti cerminan kaidah autonomy. Pertanyaan etiknya meliputi pertanyaan tentang kompetensi pasien, sifat volunteer sikap dan keputusannya, pemahaman atas informasi, siapa pembuat keputusan bila pasien tidak kompeten, nilai dan keyakinan yang dianut pasien, dan lain-lain.C. Quality of life. Topik ini merupakan aktualisasi salah satu tujuan kedokteran, yaitu, memperbaiki, menjaga, atau meningkatkan kualitas hidup insani. Apa, siapa, dan bagaimana melakukan penilaian kualitas hidup merupakan pertanyaan etik sekitar prognosis, yang berkaitan dengan beneficence, non-maleficence, dan autonomy. D. Contextual features. Dalam topik ini dibahas pertanyaan etik seputar aspek non medis yang mempengaruhi keputusan, seperti faktor keluarga, ekonomi, agama, budaya, kerahasiaan, alokasi sumber daya, dan faktor hukum.2,3Clinical ethics/Etika klinikEtik klinik merupakan bagian dari bioetik yang lebih memperhatikan pada masalah etik selama pemberian pelayanan pada klien.Contoh clinical ethics : adanya persetujuan atau penolakan, dan bagaimana seseorang sebaiknya merespon permintaan medis yang kurang bermanfaat (sia-sia).

KODEKI berisikan:1 KEWAJIBAN UMUMPasal 1:Setiap dokter harus menjunjung tinggi, menghayati dan mengamalkan sumpah dokter.Pasal 2:Seorang dokter harus senantiasa berupaya melaksanakan profesinya sesuai dengan standar profesi yang tertinggi.Pasal 3:Dalam melakukan pekerjaan kedokterannya, seorang dokter tidak boleh dipengaruhi oleh sesuatu yang mengakibatkan hilangnya kebebasan dan kemandirian profesi.Pasal 4:Setiap dokter harus menghindarkan diri dari perbuatan yang bersifat memuji diri.

Pasal 5:Tiap perbuatan atau nasehat yang mungkin melemahkan daya tahan psikis maupun fisik hanya diberikan untuk kepentingan dan kebaikan pasien, setelah memperoleh persetujuan pasien.Pasal 6:Setiap dokter harus senantiasa berhati-hati dalam mengumumkan dan menerapkan setiap penemuan teknik atau pengobatan baru yang belum diuji kebenarannya dan hal-hal yang dapat menimbulkan keresahan masyarakat.Pasal 7:Seorang dokter hanya memberi surat keterangan dan pendapat yang telah diperiksa sendiri kebenarannya.Pasal 7a:Seorang dokter harus, dalam setiap praktik medisnya, memberikan pelayanan medis yang kompeten dengan kebebasan teknis dan moral sepenuhnya, disertai rasa kasih sayang (compassion) dan penghormatan atas martabat manusia.Pasal 7b:Seorang dokter harus bersikap jujur dalam berhubungan dengan pasien dan sejawatnya, dan berupaya untuk mengingatkan sejawatnya yang dia ketahui memiliki kekurangan dalam karakter atau kompetensi, atau yang melakukan penipuan atau penggelapan, dalam menangani pasienPasal 7c:Seorang dokter harus menghormati hak-hak pasien, hak-hak sejawatnya, dan hak tenaga kesehatan lainnya, dan harus menjaga kepercayaan pasienPasal 7d:Setiap dokter harus senantiasa mengingat akan kewajiban melindungi hidup makhluk insani.Pasal 8:Dalam melakukan pekerjaannya seorang dokter harus memperhatikan kepentingan masyarakat dan memperhatikan semua aspek pelayanan kesehatan yang menyeluruh (promotif, preventif, kuratif dan rehabilitatif), baik fisik maupun psiko-sosial, serta berusaha menjadi pendidik dan pengabdi masyarakat yang sebenar-benarnya.Pasal 9:Setiap dokter dalam bekerja sama dengan para pejabat di bidang kesehatan dan bidang lainnya serta masyarakat, harus saling menghormati.2

KEWAJIBAN DOKTER TERHADAP PASIENPasal 10:Setiap dokten wajib bersikap tulus ikhlas dan mempergunakan segala ilmu dan ketrampilannya untuk kepentingan pasien. Dalam hal ini ia tidak mampu melakukan suatu pemeriksaan atau pengobatan, maka atas persetujuan pasien,ia wajib menujuk pasien kepada dokten yang mempunyai keahlian dalam penyakit tersebut.Pasal 11:Setiap dokter harus memberikan kesempatan kepada pasien agar senantiasa dapat berhubungan dengan keluarga dan penasehatnya dalam beribadat dan atau dalam masalah lainnya.Pasal 12:Setiap dokter wajib merahasiakan segala sesuatu yang diketahuinya tentang seorang pasien, bahkan juga setelah pasien itu meninggal dunia.Pasal 13:Setiap dokter wajib melakukan pertolongan darurat sebagai suatu tugas perikemanusiaan, kecuali bila ia yakin ada orang lain bersedia dan mampu memberikannya. 2

KEWAJIBAN DOKTER TERHADAP TEMAN SEJAWATPasal 14:Setiap dokter memperlakukan teman sejawatnya sebagaimana ia sendiri ingin diperlakukan.Pasal 15:Setiap dokter tidak boleh mengambil alih pasien dan teman sejawat, kecuali dengan persetujuan atau berdasarkan prosedur yang etis. 2

KEWAJIBAN DOKTER TERHADAP DIRI SENDIRIPasal 16:Setiap dokter harus memelihara kesehatannya, supaya dapat bekerja dengan baik.Pasal 17:Setiap dokter harus senantiasa mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi kedokteran/kesehatan.Etika Profesi dalam Kasus Euthanasia berdasarkan KODEKIDalam KODEKI pasal 2 dijelaskan bahwa; Seorang dokter harus senantiasa berupaya melaksanakan profesinya sesuai dengan standar profesi tertinggi. Jelasnya bahwa seorang dokter dalam melakukan kegiatan kedikterannya sebagai seorang profesi dikter harus sesuai dengan ukuran ilmu tertinggi. Yang dimaksud dengan ukuran tertinggi dalam melakukan protesi kedokteran mutakhir, yaitu yang sesuai dengan perkembangan IPTEK Kedokteran, etika umum, etika kedokteran, hukum dan agama, sesuai tingkat/jenjang pelayanan kesehatan, serta kondisi dan situasi setempat..KODEKI pasal 7d juga menjelaskan bahwa setiap dokter harus senantiasa mengingat akan kewajiban melindungi hidup insaniArtinya dalam setiap tindakan dokter harus bertujuan untuk memelihara kesehatan dan kebahagiaaan manusia. Mengenai euthanasia, ternyata dapat digunakan dalam tiga arti, yaitu 1. Berpindah ke alam baka dengan tenang dan aman tanpa penderitaan dan bagi yang beriman dengan nama Allah di bibir.1. Waktu hidup akan berakhir (sakaratul maut) penderitaan pasien diperingan dengan memberi obat penenang. 1. Mengakhiri penderitaan dan hidup pasien dengan sengaja atas permintaan pasien sendiri dan keluanganya. 4Pada suatu saat seorang dokter mungkin menghadapi penderitaan yang tidak tertahankan, misalnya karena kanker dalam keadaan yang menyedihkan, kurus kering bagaikan tulang di bungkus kulit, menyebarkan bau busuk, menjerit-jerit kesakitan dan sebagainya. Orang yang berpendirian pro euthanasia dalam butir c, akan mengajukan supaya pasien di beri saja morphin dalam dosis lethal, supaya ia bebas dan penderitaan yang berat itu. Kita di Indonesia sebagai umat yang beragama dan benfalsafah/berazaskan Pancasila percaya pada kekuasaan mutlak dan Tuhan Yang Maha Esa. Segala sesuatu yang diciptakannya serta penderitaan yang dibebankan kepada makhluknya mengandung makna dan maksud tertentu. Dokter harus mengerahkan segala kepandaiannya dan kemampuannya untuk meringankan penderitaan dan memelihara hidup akan tetapi tidak untuk mengakhirinya. Jadi dalam menjalankan prifesinya seorang dokter tidak boleh melakukan mengakhiri kehidupan seorang pasien yang menurut ilmu dan pengetahuan tidak mungkin akan sembuh lagi (euthanasia).Aspek hukum

(PERMENKES No.1419/MENKES/PER/2005 tentang Penyelenggaraan Praktik Dokter dan Dokter Gigi pasal 17) Dokter atau dokter gigi dalam memberikan pelayanan tindakan kedokteran atau kedokteran gigi terlebih dahlu harus memberika penjelasan kepada pasien tentang tindakan kedokteran yang akan dilakukan dan mendapat persetujuan pasien.5Pasien berhak menolak tindakan yang dilakukan terhadap dirinya dan mengakhiri pengobatan serta perawatan atas tanggung jawab sendiri sesudah memperoleh informasi yang jelas tentang penyakitnya. 5,6Pemberian obat-obatan juga harus dengan persetujuan pasien dan bila pasien meminta untuk dihentikan pengobatan, maka terapi harus dihentikan kecuali dengan penghentian terapi akan mengakibatkan keadaan gawat darurat atau kehilangan nyawa pasien. 6Dalam Pedoman Penegakkan Disiplin Kedokteran tahun 2008 seorang dokter dapat dikategorikan melakukan bentuk pelanggaran disiplin kedokteran apabila tidak memberikan penjelasan yang jujur, etis, dan memadai (adequate information) kepada pasien atau keluarganya dalam melakukan praktik kedokteran. 5,6Hak Pasien atas Informasi Penyakit dan Tindakan Medis dari Aspek Hukum Kedokteran.Merima pelayanan praktik kedokteran mempunyai hak mendapatkan penjelasan secara lengkap tentang tindakan medis yang akan diterimanya (Undan-Undang No. 29 tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran pasal 52). Penjelasan tersebut sekurang-kurangnya mencakup :1,51. Diagnosis dan tata cara tindakan medis2. Tujuan tindakan medis yang dilakukan3. Alternatif tindakan lain dan resikonya4. Resiko dan komplikasi yang mungkin terjadi5. Prognosis terhadap tindakan yang dilakukan. (Pasal 45 ayat 3).Dalam praktek kedokteran dikenal dua macam euthanasia yaitu: 1,5a. Euthanasia pasif: Ialah tindakan dokter mempercepat kematian pasien dengan memberikan suntikan ke dalam tubuh pasien tersebut. Alasan yang lazim dikemukakan dokter ialah bahwa pengobatan yang diberikan hanya akan memperpanjang penderitaan pasien, tidak mengurangi keadaan sakitnya yang memang sudah parah.b. Euthanasia pasif: Tindakan dokter berupa penghentian pengobatan pasien yang menderita sakit keras, yang secara medis sudah tidak mungkin lagi dapat disembuhkan. Penghentian pemberian obat ini berakibat mempercepat kematian pasien. Alasan yang lazim dikemukakan ialah karena keadaan ekonomi pasien yang terbatas, sementara dana yang dibutuhkan untuk biaya pengobatan cukup tinggi, sedangkan fungsi pengobatan menurut perhitungan dokter sudah tidak efektif lagi. Tindakan upaya dokter menghentikan pengobatan terhadap pasien yang menurut penelitian medis masih mungkin bisa sembuh. Umumnya alasannya adalah ketidakmampuan pasien dari segi ekonomi padahal biaya pengobatannya yang dibutuhkan sangat tinggi. 5Secara yuridis formal dalam hukum pidana positif di Indonesia hanya dikenal satu bentuk euthanasia, yaitu euthanasia yang dilakukan atas permintaan pasien atau korban itu sendiri (voluntary euthanasia). 5Pasal 344 KUHP. Yang menyatakan : Barang siapa merampas nyawa orang lain atas permintaan orang itu sendiri yang jelas dinyatakan dengan kesungguhan hati diancam dengan pidana penjara palinglama dua belas tahun.6 Maka disimpulkan, bahwa pembunuhan atas permintaan korban sekalipun tetap diancam pidana bagi pelakunya. Dengan demikian, dalam konteks hukum positif di Indonesia euthanasia tetap dianggap sebagai perbuatan yang dilarang dan tidak dimungkinkan dilakukan pengakhiran hidup seseorang sekalipun atas permintaan orang itu sendiri. Perbuatan tersebut tetap dikualifikasi sebagai tindak pidana, yaitu sebagai perbuatan yang diancam dengan pidana bagi siapa yang melanggar larangan tersebut5. Dalam ketentuan Pasal 338 KUHP secara tegas dinyatakan, Barang siapa sengaja merampas nyawa orang lain diancam, karena pembunuhan dengan pidana penjara paling lama lima belas tahun. 6Pasal 340 KUHP menyatakan, Barang siapa dengan sengaja dan dengan rencana lebih dulu merampas nyawa oranglain diancam, karena pembunuhan berencana, dengan pidana mati atau pidana penjaraseumur hidup atau selama waktu tertentu paling lama dua puluh tahun. 6Pasal 356 (3) KUHP Penganiayaan yang dilakukan dengan memberikan bahan yang berbahaya bagi nyawa dan kesehatan untuk dimakan atau diminum. 6Pasal 304 KUHP dinyatakan, Barang siapa dengan sengaja menempatkan atau membiarkan seorang dalam keadaan sengsara, padahal menurut hukum yang berlaku baginya atau karena persetujuan, dia wajib memberikan kehidupan, perawatan atau pemeliharaan kepada orang itu, diancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan atau denda paling banyak tiga ratus rupiah 6. Pasal 306 (2) KUHP dinyatakan, Jika mengakibatkan kematian, perbuatan tersebut dikenakan pidana penjara maksimal sembilan tahun. 6KUHP hanya melihat dari sisi dokter sebagai pelaku utama euthanasia, khususnya euthanasia aktif dan dianggap sebagai pembunuhan berencana, atau dengan sengaja menghilangkan nyawa seseorang. Akibatnya, dokter sering dipersalahkan dalam tindakan euthanasia, tanpa melihat latar belakang dilakukannya euthanasia tersebut, tidak peduli apakah tindakan tersebut atas permintaan pasien itu sendiri atau keluarganya, untuk mengurangi penderitaan pasien dalam keadaan sekarat atau rasa sakit yang sangat hebat yang belum diketahui pengobatannya. 5Di lain pihak, hakim dapat menjatuhkan pidana mati bagi seseorang yang masih segar bugar yang tentunya masih ingin hidup, dan tidak menghendaki kematiannya seperti pasien yang sangat menderita tersebut, tanpa dijerat pasal-pasal dalam undang-undang dalam KUHP. Beberapa pasal KUHP yang berkaitan dengan euthanasia antara lain 338, 340, 344, 345, dan 359. Hubungan hukum dokter-pasien juga dapat ditinjau dari sudut perdata, antara lain pasal 1313, 1314, 1315, dan 1319 KUH Perdata. Secara formal tindakan euthanasia di Indonesia belum memiliki dasar hukum sehingga selalu terbuka kemungkinan terjadinya penuntutan hukum terhadap euthanasia yang dilakukan. 5,6Ikatan Dokter Indonesia (IDI) berperan dalam menghadapi perkembangan iptekdok, telah menyiapkan perangkat lunak berupa SK PB IDI no.319/PB/4/88 mengenai Pernyataan Dokter Indonesia tentang Informed Consent. Disebutkan di sana, manusia dewasa dan sehat rohani berhak sepenuhnya menentukan apa yang hendak dilakukan terhadap tubuhnya. Dokter tidak berhak melakukan tindakan medis yang bertentangan dengan kemauan pasien, walau untuk kepentingan pasien itu sendiri. Kemudian SK PB IDI no.336/PB/4/88 mengenai Pernyataan Dokter Indonesia tentang Mati. Sayangnya SKPB IDI ini tidak atau belum tersosialisasikan dengan baik di kalangan IDI sendiri maupun di kalangan pengelola rumah sakit. Sehingga, tiap dokter dan rumah sakit masih memiliki pandangan dan kebijakan yang berlainan.5Masalah euthanasia dapat menyangkut dua aturan hukum, yakni pasal 338 dan 344 KUHP. 5 Dalam hal ini terdapat apa yang disebut concursus idealis yang diatur dalam pasal 63 KUHP, yang menyebutkan bahwa: (1) Jika suatu perbuatan masuk dalam lebih dari satu aturan pidana, maka yang dikenakan hanya salah satu diantara aturan-aturan itu, jika berbeda-beda yang dikenakan yang memuat ancaman pidana pokok yang paling berat. (2) Jika suatu perbuatan yang masuk dalam suatu aturan pidana yang umum diatur pula dalam aturan pidana yang khusus, maka hanya yang khusus itulah yang dikenakan. Pasal 63 (2) KUHP ini mengandung asas lex specialis derogat legi generalis, yaitu peraturan yang khusus akan mengalahkan peraturan yang sifatnya umum.Prosedur medikolegalPersetujuan tindakan medikPeraturan menteri kesehatan No 585/MenKes/Per/IX/1989 tentang persetujuan tindakan medisPasal 1. Pemenkes No 585/MenKes/Per/IX/19891. Persetujuan tindakan medik/informed consent adalah persetujuan yang diberikan oleh pasien atau keluarganya atas dasar penjelasan mengenai tindakan medik yang akan dilakukan terhadap pasien tersebut;2. Tindakan medik adalah suatu tindakan yang akan dilakukan terhadap pasien berupa diagnostik atau terapeutik;3. Tindakan invasif adalah tindakan medik yang langsung dapat mempengaruhi keutuhan jaringan tubuh;4. Dokter adalh dokter umum/spesialis dan dokter gigi/dokter gigi spesialis yang bekerja di rumah sakit, puskesmas, klinik, atau praktek perorangan atau bersama. 6Pasal 2. Pemenkes No 585/MenKes/Per/IX/19891. Semua tindakan medis yang akan dilakukan terhadap pasien harus mendapat persetujuan.2. Persetujuan dapat diberi secara bertulis atau lisan3. Persetujuan sebagaiman dimaksud ayat (1) diberikan setelah pasien mendapat informasi yang adekuat tentang perlunya tindakan medik yang bersangkutan serta risiko yang dapat ditimbulkannya.4. Cara penyampaian dan isi informasi harus disesuaikan dengan tingkat pendidikan serta kondisi dan situasi pasien6Pasal 3. Pemenkes No 585/MenKes/Per/IX/19891. Setiap tindakan medis yang berisiko tinggi harus dengan persetujuan bertulis yang ditanda tangani oleh yang berhak memberikan persetujuan6Pasal 4. Pemenkes No 585/MenKes/Per/IX/19891. Informasi tentang tindakan medik harus diberi kepada pasien, baik diminta maupun tidak diminta.2. Dokter harus memberikan informasi selengkap-lengkapnya, kecuali bila dokter menilai bahwa informasi tersebut dapat merugikan kepentingan kesehatan pasien atau pasien menolak diberikan informasi. 6Pasal 5. Pemenkes No 585/MenKes/Per/IX/19891. Informasi yang diberikan mencakup keuntungan dan kerugian dari tindakan medik yang kan dilakukan, baik diagnostik maupun terapeutik2. Informasi diberikan secara lisan3. Informasi harus diberiakn jujur dan benar kecuali bila dokter menilai bahwa hal itu dapat merugikan kepentingan kesehatan pasien,4. Dalam hal dimaksud dalam ayat (3) dokter dengan persetujuan pasien dapat memberikan informasi tersebut kepada keluarga terdekat pasien. 6

Pasal 8. Pemenkes No 585/MenKes/Per/IX/19891. Persetujuan diberiakan oleh pasien dewasa yang berada dalam keadaan sedar dan sehat mental2. Pasien dewasa yang dimaksud ayat (1) adalah yang telah berumur 21 tahun atau telah menikah. 6

Panitia Pertimbangan Dan Pembinaan Etik KedokteranPeraturan menteri kesehatan No 554/MenKes/Per/XII/1982 tentang Panitia pertimbangan dan Pembinaan Etik KedokteranPasal 8 Permenkes No 554/MenKes/Per/XII/1982Panitia Pertimbangan Dan Pembinaan Etik Kedokteran (P3EK) Pusat dalam persoalan Etik Kedokteran dan khusunya dalam menangani pelanggaran kode etik masing-masing bekerjasam dengan IDI atau PDGI6Pasal 22 Permenkes No 554/MenKes/Per/XII/1982(1) P3EK Propinsi dalam hal sebagaimana dimaksud dalam pasal 19 ayat (2) mengusulkan kepada Kakanwil DepKes Propinsi untuk mengambil tindakan yang diperlukan terhadap dokter atau dokter gigi yang bersngkutan(2) Kakanwil DepKes Propinsi dapat mengambil tindakan berupa peringatan atau tindakan administratif terhadap dokter atau dokter gigi sesuai dengan berat ringannya pelanggaran6

Dalam aspek hukum kesehatan, hubungan dokter dengan pasien terjalin dalam ikatan transaksi atau kontrak terapeutik. Tiap-tiap pihak, yaitu yang memberi pelayanan (medical providers) dan yang menerima pelayanan (medical receivers) mempunyai hak dan kewajiban yang harus dihormati. Dalam ikatan demikianlah masalah Persetujuan Tindakan Medik atau yang sekarang disebut Persetujuan Tindakan Kedokteran (PTM) ini timbul. Artinya, di satu pihak dokter (tim dokter) mempunyai kewajiban untuk melakukan diagnosis, pengobatan, dan tindakan medik yang terbaik menurut jalan pikiran dan pertimbangannya (mereka), dan di lain pihak pasien atau keluarga pasien memiliki hak untuk menentukan pengobatan atau tindakan medik apa yang akan dilaluinya.7Masalahnya adalah, tidak semua jalan pikiran dan pertimbangan terbaik dari dokter akan sejalan dengan apa yang diinginkan' atau dapat diterima oleh pasien atau keluarga pasien. Hal ini dapat terjadi karena dokter umumnya melihat pasien hanya dari segi medik saja, sedangkan pasien mungkin melihat dan mempertimbangkan dari segi lain yang tidak kalah pentingnya, seperti keuangan, psikis, agama, dan pertimbangan keluarga.7Perkembangan terakhir di Indonesia mengenai PTM adalah ditetapkannya Peraturan Menteri Kesehatan No. 585/Menkes/Per/IX/1989 tentang Persetujuan Tindakan Medik (informed consent).Yang dimaksud dengan informed consent adalah persetujuan yang diberikan oleh pasien atau walinya yang berhak kepada dokter untuk melakukan suatu tindakan medis terhadap pasien sesudah pasien atau wali itu memperoleh informasi lengkap dan memahami tindakan itu. Dengan kata lain, informed consent juga disebut persetujuan tindakan medis. Persetujuan (consent) dapat dibagi menjadi 2, yaitu:5,71. expressed, dapat secara lisan atau secara tulisan, dan2. implied, yang dianggap telah diberikan.Persetujuan yang paling sederhana ialah persetujuan yang diberikan secara lisan, misal untuk tindakan-tindakan rutin. Tindakan-tindakan, yang lebih kompleks yang mempunyai risiko yang kadang-kadang tidak dapat diperhitungkan dari awal dan yang dapat menyebabkan hilangnya nyawa atau cacat permanen, memperoleh persetujuan yang tertulis agar suatu saat apabila diperlukan persetujuan itu dapat dijadikan bukti. 5,7Namun, persetujuan yang dibuat secara tertulis tersebut tidak dapat dipakai sebagai alat untuk melepaskan diri dari tuntutan apabila terjadi suatu yang merugikan pasien. Hal ini harus diingat karena secara etik dokter diharapkan untuk memberikan yang terbaik bagi pasien. Apabila dalam suatu kasus ditemukan unsur kelalaian dari pihak dokter, maka dokter tersebut harus mempertanggungjawabkan perbuatannya itu. Begitu pula dari pihak pasien; mereka tidak bisa langsung menuntut apabila terjadi hal-hal di luar dugaan karena hams ada bukti-bukti yang menunjukkan adanya kelalaian. Dalam hal ini, harus dibedakan antara kelalaian dan kegagalan. Apabila hal tersebut merupakan risiko dari tindakan yang telah disebutkan dalam persetujuan tertulis, maka pasien tidak bisa menuntut. Oleh sebab itu, untuk memperoleh persetujuan dari pasien dan untuk menghindari adanya salah satu pihak yang dirugikan, dokter wajib memberikan informasi sejelas-jelasnya agar pasien dapat mempertimbangkan apa yang akan terjadi terhadap dirinya. Biasanya informasi itu meliputi: 5,7a. sifat dan tujuan tindakan medik;b. keadaan pasien yang memerlukan tindakan medis;c. risiko dari tindakan itu apabila dilakukan atau tidak.Implied consent adalah peristiwa yang terjadi sehari-hari. Misalnya, seorang ibu datang ke poliklinik kebidanan dengan keluhan terasa ada yang aneh pada alat-alat genital. Dalam hal ini, ia dianggap telah memberikan persetujuan untuk dilakukan pemeriksaan sesuai prosedur. Meskipun demikian, secara etik/santunnya dokter diharapkan meminta persetujuan lisan. 5,7Implied consent juga dapat terjadi pada keadaan gawat darurat apabila pasien dalam keadaan tidak sadar, kritis, sementara persetujuan dari wali tidak diperoleh karena tidak ada di tempat. Dalam hal ini dokter secara etik berkewajiban menolong pasien jika memang diyakini tidak ada orang lain yang sanggup.7Dalam memberikan informasi tentang tindakan medis yang akan dilakukan, harus diingat kondisi pasien pada saat itu. Mengingat pasien biasanya datang dalam keadaan yang tidak sehat, diharapkan dokter tidak memberikan informasi yang dapat mempengaruhi keputusan pasien karena dalam keadaan yang demikian itu pikiran pasien tersebut mudah terpengaruh. Atau apabila kondisi pasien tidak memungkinkan untuk menerima informasi tersebut, diharapkan wali yang berhak dapat menggantikannya. Apabila wali tidak ada dan kondisi pasien kritis, maka implied consent dapat diambil sebagai pegangan untuk melakukan tindakan medis.7Selain terhadap kondisi pasien pada saat ia datang, dokter juga harus dapat menyesuaikan diri terhadap tingkat pendidikan pasien agar pasien mengerti dan memahami pembicaraan. Pasien mempunyai hak untuk memperoleh informasi dan dokter berkewajiban menyampaikan informasi tersebut, baik diminta atau tidak, kecuali jika penyampaian informasi tersebut akan memperburuk kondisi pasien. Ini sesuai dengan hak dan kewajiban dokter dan pasien.7Tujuan dari informed consent adalah agar pasien mendapat informasi yang cukup untuk dapat mengambil keputusan atas terapi yang akan dilaksanakan. Informed consent juga berarti mengambil keputusan bersama. Hak pasien untuk menentukan nasibnya dapat terpenuhi dengan sempurna apabila pasien telah menerima semua informasi yang ia perlukan sehingga ia dapat mengambil keputusan yang tepat. Kekecualian dapat dibuat apabila informasi yang diberikan dapat menyebabkan guncangan psikis pada pasien.7Informed ConsentDalam praktek kedokteran sehari-hari sangatlah wajib dan penting untuk melakukan informed consent kepada pasien. Dalam hal ini kita telah menjelaskan segala hal tentang kondisi pasien serta meminta persetujuan pasien atas tindakan yang akan dilakukan ataupun menerima penolakan dari pasien. Informed Consent terdiri dari dua kata yaitu informed yang berarti telah mendapat penjelasan atau keterangan (informasi), dan consent yang berarti persetujuan atau memberi izin. Jadi informed consent mengandung pengertian suatu persetujuan yang diberikan setelah mendapat informasi. Dengan demikian informed consent dapat didefinisikan sebagai persetujuan yang diberikan oleh pasien dan atau keluarganya atas dasar penjelasan mengenai tindakan medis yang akan dilakukan terhadap dirinya serta resiko yang berkaitan dengannya.Suatu informed consent baru sah diberikan oleh pasien jika memenuhi minimal 3 (tiga) unsure sebagai berikut :1. Keterbukaan informasi yang cukup diberikan oleh dokter1. Kompetensi pasien dalam memberikan persetujuan1. Kesukarelaan (tanpa paksaan atau tekanan) dalam memberikan persetujuan.Di Indonesia perkembangan informed consent secara yuridis formal, ditandai dengan munculnya pernyataan Ikatan Dokter Indonesia (IDI) tentang informed consent melalui SK PB-IDI No. 319/PB/A.4/88 pada tahun 1988. Kemudian dipertegas lagi dengan PerMenKes No. 585 tahun 1989 tentang Persetujuan Tindakan Medik atau Informed Consent. Hal ini tidak berarti para dokter dan tenaga kesehatan di Indonesia tidak mengenal dan melaksanakan informed consent karena jauh sebelum itu telah ada kebiasaan pada pelaksanaan operatif, dokter selalu meminta persetujuan tertulis dari pihak pasien atau keluarganya sebelum tindakan operasi itu dilakukan.Secara umum bentuk persetujuan yang diberikan pengguna jasa tindakan medis (pasien) kepada pihak pelaksana jasa tindakan medis (dokter) untuk melakukan tindakan medis dapat dibedakan menjadi tiga bentuk, yaitu:1. Persetujuan Tertulis, biasanya diperlukan untuk tindakan medis yang mengandung resiko besar, sebagaimana ditegaskan dalam PerMenKes No. 585/Men.Kes/Per/IX/1989 Pasal 3 ayat (1) dan SK PB-IDI No. 319/PB/A.4/88 butir 3, yaitu intinya setiap tindakan medis yang mengandung resiko cukup besar, mengharuskan adanya persetujuan tertulis, setelah sebelumnya pihak pasien memperoleh informasi yang adekuat tentang perlunya tindakan medis serta resiko yang berkaitan dengannya (telah terjadi informed consent);1. Persetujuan Lisan, biasanya diperlukan untuk tindakan medis yang bersifat non-invasif dan tidak mengandung resiko tinggi, yang diberikan oleh pihak pasien;1. Persetujuan dengan isyarat, dilakukan pasien melalui isyarat, misalnya pasien yang akan disuntik atau diperiksa tekanan darahnya, langsung menyodorkan lengannya sebagai tanda menyetujui tindakan yang akan dilakukan terhadap dirinya.6,7,8

Tujuan Pelaksanaan Informed Consent. Dalam hubungan antara pelaksana (dokter) dengan pengguna jasa tindakan medis (pasien), maka pelaksanaan informed consent, bertujuan :1. Melindungi pengguna jasa tindakan medis (pasien) secara hukum dari segala tindakan medis yang dilakukan tanpa sepengetahuannya, maupun tindakan pelaksana jasa tindakan medis yang sewenang-wenang, tindakan malpraktek yang bertentangan dengan hak asasi pasien dan standar profesi medis, serta penyalahgunaan alat canggih yang memerlukan biaya tinggi atau over utilization yang sebenarnya tidak perlu dan tidak ada alasan medisnya;1. Memberikan perlindungan hukum terhadap pelaksana tindakan medis dari tuntutan-tuntutan pihak pasien yang tidak wajar, serta akibat tindakan medis yang tak terduga dan bersifat negatif, misalnya terhadap risk of treatment yang tak mungkin dihindarkan walaupun dokter telah bertindak hati-hati dan teliti serta sesuai dengan standar profesi medik.7Perlunya dimintakan informed consent dari pasien karena informed consent mempunyai beberapa fungsi sebagai berikut :1. Penghormatan terhadap harkat dan martabat pasien selaku manusia1. Promosi terhadap hak untuk menentukan nasibnya sendiri1. Untuk mendorong dokter melakukan kehati-hatian dalam mengobati pasien1. Menghindari penipuan dan misleading oleh dokter1. Mendorong diambil keputusan yang lebih rasional1. Mendorong keterlibatan publik dalam masalah kedokteran dan kesehatan1. Sebagai suatu proses edukasi masyarakat dalam bidang kedokteran dan kesehatan.1

Aspek Hukum Informed ConsentDalam hubungan hukum, pelaksana dan pengguna jasa tindakan medis (dokter, dan pasien) bertindak sebagai subyek hukum yakni orang yang mempunyai hak dan kewajiban, sedangkan jasa tindakan medis sebagai obyek hukum yakni sesuatu yang bernilai dan bermanfaat bagi orang sebagai subyek hukum, dan akan terjadi perbuatan hukum yaitu perbuatan yang akibatnya diatur oleh hukum, baik yang dilakukan satu pihak saja maupun oleh dua pihak.Dalam masalah informed consent dokter sebagai pelaksana jasa tindakan medis, disamping terikat oleh KODEKI (Kode Etik Kedokteran Indonesia) bagi dokter, juga tetap tidak dapat melepaskan diri dari ketentuan-ketentuan hukun perdata, hukum pidana maupun hukum administrasi, sepanjang hal itu dapat diterapkan.Pada pelaksanaan tindakan medis, masalah etik dan hukum perdata, tolok ukur yang digunakan adalah kesalahan kecil (culpa levis), sehingga jika terjadi kesalahan kecil dalam tindakan medis yang merugikan pasien, maka sudah dapat dimintakan pertanggungjawabannya secara hukum. Hal ini disebabkan pada hukum perdata secara umum berlaku adagium barang siapa merugikan orang lain harus memberikan ganti rugi. Sedangkan pada masalah hukum pidana, tolok ukur yang dipergunakan adalah kesalahan berat. Oleh karena itu adanya kesalahan kecil (ringan) pada pelaksanaan tindakan medis belum dapat dipakai sebagai tolok ukur untuk menjatuhkan sanksi pidana.8Aspek Hukum Perdata, suatu tindakan medis yang dilakukan oleh pelaksana jasa tindakan medis (dokter) tanpa adanya persetujuan dari pihak pengguna jasa tindakan medis (pasien), sedangkan pasien dalam keadaan sadar penuh dan mampu memberikan persetujuan, maka dokter sebagai pelaksana tindakan medis dapat dipersalahkan dan digugat telah melakukan suatu perbuatan melawan hukum (onrechtmatige daad) berdasarkan Pasal 1365 Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUHPer). Hal ini karena pasien mempunyai hak atas tubuhnya, sehingga dokter dan harus menghormatinya;Aspek Hukum Pidana, informed consent mutlak harus dipenuhi dengan adanya pasal 351 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) tentang penganiayaan. Suatu tindakan invasive (misalnya pembedahan, tindakan radiology invasive) yang dilakukan pelaksana jasa tindakan medis tanpa adanya izin dari pihak pasien, maka pelaksana jasa tindakan medis dapat dituntut telah melakukan tindak pidana penganiayaan yaitu telah melakukan pelanggaran terhadap Pasal 351 KUHP.4Sebagai salah satu pelaksana jasa tindakan medis dokter harus menyadari bahwa informed consent benar-benar dapat menjamin terlaksananya hubungan hukum antara pihak pasien dengan dokter, atas dasar saling memenuhi hak dan kewajiban masing-masing pihak yang seimbang dan dapat dipertanggungjawabkan. Masih banyak seluk beluk dari informed consent ini sifatnya relative, misalnya tidak mudah untuk menentukan apakah suatu inforamsi sudah atau belum cukup diberikan oleh dokter. Hal tersebut sulit untuk ditetapkan secara pasti dan dasar teoritis-yuridisnya juga belum mantap, sehingga diperlukan pengkajian yang lebih mendalam lagi terhadap masalah hukum yang berkenaan dengan informed consent ini.1,7

Aspek Hukum PidanaDalam pengambilan keputusan dalam praktek kedokteran, selain prinsip-prinsip etis, moral, dan ketentuan-ketentuan profesi, sangatlah perlu untuk mempertimbangkan aspek pidana juga yang berlaku di Indonesia. Terutama dalam hal euthanasia, masih banyak hal yang menjadi perdebatan, sehingga perlu diperhatikan banyak aspek yang menyangkut didalamnya. Undang-undang yang tertulis dalam KUHP hanya melihat dari sisi dokter sebagai pelaku utama euthanasia, khususnya euthanasia aktif dan dianggap sebagai pembunuhan berencana, atau dengan sengaja menghilangkan nyawa seseorang. Sehingga dalam aspek hukum, dokter selalu pada pihak yang dipersalahkan dalam tindakan euthanasia, tanpa melihat latar belakang dilakukannya euthanasia tersebut, tidak peduli apakah tindakan tersebut atas permintaan pasien itu sendiri atau keluarganya, untuk mengurangi penderitaan pasien dalam keadaan sekarat atau rasa sakit yang sangat hebat yang belum diketahui pengobatannya. Meskipun euthanasia bukan merupakan istilah yuridis, namun mempunyai implikasi hukum yang sangat luas, baik pidana maupun perdata. Pasal-pasal dalam KUHP menegaskan bahwa euthanasia baik aktif maupun pasif tanpa permintaan adalah dilarang. Demikian pula dengan euthanasia aktif dengan permintaan. Berikut adalah bunyi pasal-pasal dalam KUHP tersebut: Pasal 344 KUHP. Barang siapa merampas nyawa orang lain atas permintaan orang itu sendiri yang jelas dinyatakan dengan kesungguhan hati diancam dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun.Pasal 345 KUHP. Barangsiapa dengan sengaja membujuk orang lain untuk bunuh diri, menolongnya dalam perbuatan itu atau memberi sarana kepadanya untuk itu, diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun, kalau orang itu jadi bunuh diri.Bertolak dari ketentuan Pasal 344 KUHP tersebut tersimpul, bahwa pembunuhan atas permintaan korban sekalipun tetap diancam pidana bagi pelakunya. Dengan demikian, dalam konteks hukum positif di Indonesia euthanasia tetap dianggap sebagai perbuatan yang dilarang. Dengan demikian dalam konteks hukum positif di Indonesia, tidak dimungkinkan dilakukan pengakhiran hidup seseorang sekalipun atas permintaan orang itu sendiri. Perbuatan tersebut tetap dikualifikasi sebagai tindak pidana, yaitu sebagai perbuatan yang diancam dengan pidana bagi siapa yang melanggar larangan tersebut.Dalam ketentuan Pasal 338 KUHP secara tegas dinyatakan, Barang siapa sengaja merampas nyawa orang lain diancam, karena pembunuhan dengan pidana penjara paling lama lima belas tahun. Sementara dalam ketentuan Pasal 340 KUHP dinyatakan, Barang siapa dengan sengaja dan dengan rencana lebih dulu merampas nyawa orang lain diancam, karena pembunuhan berencana, dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau selama waktu tertentu paling lama dua puluh tahun.Di luar dua ketentuan di atas juga terdapat ketentuan lain yang dapat digunakan untuk menjerat pelaku euthanasia, yaitu ketentuan Pasal 356 (3) KUHP yang juga mengancam terhadap Penganiayaan yang dilakukan dengan memberikan bahan yang berbahaya bagi nyawa dan kesehatan untuk dimakan atau diminum.Selain itu patut juga diperhatikan adanya ketentuan dalam Bab XV KUHP khususnya Pasal 304 dan Pasal 306 (2). Dalam ketentuan Pasal 304 KUHP dinyatakan, Barang siapa dengan sengaja menempatkan atau membiarkan seorang dalam keadaan sengsara, padahal menurut hukum yang berlaku baginya atau karena persetujuan, dia wajib memberikan kehidupan, perawatan atau pemeliharaan kepada orang itu, diancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan atau denda paling banyak tiga ratus rupiah.Sementara dalam ketentuan Pasal 306 (2) KUHP dinyatakan, Jika mengakibatkan kematian, perbuatan tersebut dikenakan pidana penjara maksimal sembilan tahun.Dua ketentuan terakhir tersebut di atas memberikan penegasan, bahwa dalam konteks hukum positif di Indonesia, meninggalkan orang yang perlu ditolong juga dikualifikasi sebagai tindak pidana. Dua pasal terakhir ini juga bermakna melarang terjadinya euthanasia pasif yang sering terjadi di Indonesia.1,7,8

REKAM MEDISDalam pelayanan kedokteran/kesehatan, terutama yang dilakukan para dokter baik di rumah sakit maupun praktik pribadi, peran pencatatan rekam medis (RM) sangat penting dan sangat melekat dengan kegiatan pelayanan tersebut. Dengan demikian, ada ungkapan bahwa rekam medis adalah orang ketiga pada saat dokter menerima pasien. Hal tersebut dapat dipahami karena catatan demikian akan berguna untuk merekam keadaan pasien, hasil pemeriksaan serta tindakan pengobatan yang diberikan pada waktu itu. Catatan atau rekaman itu menjadi sangat berguna untuk mengingatkan kembali dokter tentang keadaan, hasil pemeriksaan, dan pengobatan yang telah diberikan bila pasien datang kembali untuk berobat ulang setelah beberapa hari, beberapa bulan, bahkan setelah beberapa tahun kemudian. Dengan adanya rekam medis, ia bisa mengingat atau mengenali keadaan pasien saat diperiksa sehingga lebih mudah melanjutkan strategi pengobatan dan perawatannya. Namun, kini makin dipahami bahwa peran rekam medis tidak terbatas pada asumsi yang dikemukakan di atas, tetapi jauh lebih luas. Oleh karena itu, para tenaga kesehatan masa kini harus memahami dengan baik hal-hal yang berkaitan dengan rekam medis.8Dalam Undang-undang Kesehatan, walaupun tidak ada bab yang mengatur tentang rekam medis secara khusus, secara implisit Undang-undang ini jelas membutuhkan adanya rekam medis yang bermutu sebagai bukti pelaksanaan pelayanan kedokteran/ kesehatan yang berkualitas.8Kewajiban dokter untruk membuat rekam medis dalam pelayanan kesehatan dipertegas dalam UUPK seperti terdapat pada pasal 46: (1). Setiap dokter atau dokter gigi dalam menjalankan praktik kedokteran wajib membuat rekam medis. (2) Rekam medis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus segera dilengkapi setelah pasien selesai menerima pelayanan kesehatan. Setiap catatan rekam medis harus dibubuhi nama, waktu, dan tanda tangan petugas yang memberikan pelayanan atau tindakan. Selanjutnya dalam pasal 79 diingatkan tentang sanksi hukum yang cukup berat, yaitu denda paling banyak Rp.50.000.000,- bila dokter terbukti sengaja tidak membuat rekam medis.5-8Dalam Permenkes No. 749a/Menkes/Per/XII/1989 tentang RM, disebut pengertian RM adalah berkas yang berisi catatan dan dokumen tentang identitas pasien, pemeriksaan, pengobatan, tindakan, dan pelayanan lain kepada pasien pada sarana pelayanan kesehatan.

Isi Rekam Medis : 8Di rumah sakit didapat dua jenis RM, yaitu: RM untuk pasien rawat jalan RM untuk pasien rawat inapUntuk pasien rawat jalan, termasuk pasien gawat darurat, RM memiliki informasi pasien, antara lain:8a. Identitas dan formulir perizinan (lembar hak kuasa)b. Riwayat penyakit (anamnesis) tentang : keluhan utama riwayat sekarang riwayat penyakit yang pernah diderita riwayat keluarga tentang penyakit yang mungkin diturunkanc. Laporan pemeriksaan fisik, termasuk pemeriksaan laboratorium, foto rontgen, scanning, MRI, dan lain lain.d. Diagnosis dan/atau diagnosis bandinge. Instruksi diagnostik dan terapeutik dengan tanda tangan pejabat kesehatan yang berwenang.Untuk rawat inap, memuat informasi yang sama dengan yang terdapat dalam rawat jalan, dengan tambahan :8 Persetujuan tindakan medik Catatan konsultasi Catatan perawat dan tenaga kesehatan lainnya Catatan observasi klinik dan hasil pengobatan Resume akhir dan evaluasi pengobatan.Secara umum kegunaan RM adalah:81. Sebagai alat komunikasi antara dokter dan tenaga kesehatan lainnya yang ikut ambil bagian dalam memberi pelayanan, pengobatan dan perawatan pasien. Dengan membaca RM, dokter atau tenaga kesehatan lainnya yang terlibat dalam merawat pasien (misalnya, pada pasien rawat bersama atau dalam konsultasi) dapat mengetahui penyakit, perkembangan penyakit, terapi yang diberikan, dan lain-lain tanpa harus berjumpa satu sama lain. Ini tentu merupa-kan sarana komunikasi yang efisien.2. Sebagai dasar untuk perencanaan pengobatan/perawatan yang harus diberikan kepada pasien. Segala instruksi kepada perawat atau komunikasi sesama dokter ditulis agar rencana pengobatan dan perawatan dapat dilaksanakan.3. Sebagai bukti tertulis atas segala pelayanan, perkembangan penyakit dan pengobatan selama pasien berkunjung/dirawat di rumah sakit. Bila suatu waktu diperlukan bukti bahwa pasien pernah dirawat atau jenis pelayanan yang diberikan serta perkembangan penyakit selama dirawat, tentu data dari RM dapat mengungkapkan dengan jelas.4. Sebagai dasar analisis, studi, evaluasi terhadap mutu pelayanan yang diberikan kepada pasien. Baik buruknya pelayanan yang diberikan tercermin dari catatan yang ditulis atau data yang didapati dalam RM. Hal ini tentu dapat dipakai sebagai bahan studi ataupun evaluasi dari pelayanan yang diberikan.5. Melindungi kepentingan hukum bagi pasien, rumah sakit maupun dokter dan tenaga kesehatan lainnya. Bila timbul permasalahan (tuntutan) dari pasien kepada dokter maupun rumah sakit, data dan keterangan yang diambil dari RM tentu dapat diterima semua pihak. Di sinilah akan terungkap aspek hukum dari RM tersebut. Bila catatan dan data terisi lengkap, RM akan menolong semua yang terlibat. Sebaliknya, bila catatan yang ada hanya sekedarnya saja, apalagi kosong pasti akan merugikan dokter dan rumah sakit. Penjelasan yang bagaimanapun baiknya tanpa bukti tertulis, pasti sulit dipercaya.6. Menyediakan data-data khusus yang sangat berguna untuk keperluan penelitian dan pendidikan. Setiap penelitian yang melibatkan data klinik pasien hanya dapat diper-gunakan bila telah direncanakan terlebih dahulu. Oleh karena itu, RM di rumah sakit pendidikan biasanya tersusun lebih rinci karena sering digunakan untuk bahan penelitian.7. Sebagai dasar di dalam perhitungan biaya pembayaran pelayanan medik pasien. Bila pasien mau dipulangkan, bagian administrasi keuangan cukup melihat RM, dan segala biaya yang harus dibayar pasien/keluarga dapat ditentukan.8. Menjadi sumber ingatan yang harus didokumentasikan, serta sebagai bahan pertanggungjawaban dan laporan.Data dan infomasi yang didapat dari RM sebagai bahan dokumentasi, bila diperlukan dapat digunakan sebagai dasar untuk pertanggungjawaban atau laporan kepada pihak yang memerlukan masa mendatang.8Pemeriksaan Medis1. Pemeriksaan FisikTanda-tanda Ca Colon tergantung pada letak tumor. Tanda-tanda yang biasanya terjadi adalah :1. Perdarahan pada rectal1. Anemia1. Perubahan fecesKemungkinan darah ditunjukan sangat kecil atau lebih hidup seperti mahoni atau bright-red stooks. Darah kotor biasanya tidak ditemukan tumor pada sebelah kanan kolon tetapi biasanya (tetapi bisa tidak banyak) tumor disebelah kiri kolon dan rectum.Pemeriksaan rektal dengan jari (Digital Rectal Exam), di mana dokter memeriksa keadaan dinding rektum sejauh mungkin dengan jari; pemeriksaan ini tidak selalu menemukan adanya kelainan, khususnya kanker yang terjadi di kolon saja dan belum menyebar hingga rectum. Hal pertama yang ditunjukkan oleh Ca Colon adalah :0. teraba massa0. pembuntuan kolon sebagian atau seluruhnya1. perforasi pada karakteristik kolon dengan distensi abdominal dan nyeriIni ditemukan pada indikasi penyakit Cachexia.9

1. Pemeriksaan Psikososial.Orang-orang sering terlambat untuk mencoba perawatan kesehatan karena khawatir dengan diagnosa kanker. Kanker biasanya berhubungan dengan kematian dan kesakitan. Banyak orang tidak sadar dengan kemajuan pengobatan dan peningkatan angka kelangsungan hidup. Deteksi dini adalah cara untuk mengontrol Ca Colon dan keterlambatan dalam mencoba perawatan kesehatan dapat mengurangi kesempatan untuk bertahan hidup dan menguatkan kekhawatiran klien dan keluarga klien. Orang-oarang yang hidup dalam gaya hidup sehat dan mengikuti oedoman kesehatan mungkin merasa takut bila melihat pengobatan klinik, klien ini mungkin merasa kehilangan kontrol, tidak berdaya dan shock. Proses diagnosa secara umum meluas dan dapat menyebabkan kebosanan dan menumbuhkan kegelisahan pada pasien dan keluarga pasien. Perawat membolehkan klien untuk bertanya dan mengungkapkan perasaanya selama proses ini.10

1. Pemeriksaan laboratoriumNilai hemaglobin dan Hematocrit biasanya turun dengan indikasi anemia. Hasil tes Gualac positif untuk accult blood pada feces memperkuat perdarahan pada GI Tract. Pasien harus menghindari daging, makanan yang mengandung peroksidase (Tanaman lobak dan Gula bit) aspirin dan vitamin C untuk 48 jam sebelum diberikan feces spesimen. Perawat dapat menilai apakah klien pada menggumakan obat Non steroidal anti peradangan (ibu profen) Kortikosteroid atau salicylates. Kemudian perawat dapat konsul ke tim medis tentang gambaran pengobatan lain. Makanan-makanan dan obat-obatan tersebut menyebabkan perdarahan. Bila sebenarnya tidak ada perdarahan dan petunjuk untuk kesalahan hasil yang positif. Dua contoh sampel feses yang terpisah dites selama 3 hari berturut-turut, hasil yang negatif sama sekali tidak menyampingkan kemungkinan terhadap Ca Colon. Carsinoma embrionik antigen (CEA) mungkin dihubungkan dengan Ca Colon, bagaimanapun ini juga tidak spesifik dengan penyakit dan mungkin berhubungan dengan jinak atau ganasnya penyakit. CEA sering menggunakan monitor untuk pengobatan yang efektif dan mengidentifikasi kekambuhan penyakit.9,101. Pemeriksaan radiografiPemeriksaan dengan enema barium mungkin dapat memperjelas keadaan tumor dan mengidentifikasikan letaknya. Tes ini mungkin menggambarkan adanya kebuntuan pada isi perut, dimana terjadi pengurangan ukuran tumor pada lumen. Luka yang kecil kemungkinan tidak teridentifikasi dengan tes ini. Enema barium secara umum dilakukan setelah sigmoidoscopy dan colonoscopy. Computer Tomografi (CT) membantu memperjelas adanya massa dan luas dari penyakit. Chest X-ray dan liver scan mungkin dapat menemukan tempat yang jauh yang sudah metastasis.1. Pemeriksaan Diagnosa lainnyaTim medis biasanya melakukan sigmoidoscopy dan colonoscopy untuk mengidentifikasi tumor. Biopsi massa dapat juga dilakukan dalam prosedur tersebut.9Rencana TerapiPerawatan penderitatergantung pada tingkat stagingkanker itu sendiri dan komplikasi yang berhubungan. Endoskopi, ultrasonografi dan laparoskopi telah terbukti berhasil dalam pentahapankanker kolorektal pada periode praoperatif. Metode pentahapan yang dapat digunakan secara luas adalah klasifikasi Duke:1. Kelas A tumor dibatasi pada mukosa dan sub mukosa1. Kelas B penetrasi melalui dinding usus1. Kelas C Invasi ke dalam sistem limfe yang mengalir regional1. Kelas D metastasis regional tahap lanjut dan penyebaran yang luas

Terapi akan jauh lebih mudah bila kanker ditemukan pada stadium dini. Tingkat kesembuhan kanker stadium 1 dan 2 masih sangat baik. Namun bila kanker ditemukan pada stadium yang lanjut,atau ditemukan pada stadium dini dan tidak diobati, maka kemungkinan sembuhnya pun akan jauh lebih sulit.

Gambar 1. Stadium Ca Colon9

Di antara pilihan terapi untuk penderitanya, operasi masih menduduki peringkat pertama, dengan ditunjang oleh radiasi dan kemoterapi mungkin juga digunakan untuk membantu pembedahan, untuk mengontrol dan mencegah kekambuhan kanker.10Pelaksanaan tanpa pembedahan.Tim medis dapat menilai kanker tiap pasien untuk menentukan rencana pengobatan yang baik dengan mempertimbangkan usia, komplikasi penyakit dan kualitas.1. Terapi radiasiPersiapan penggunaan radiasi dapat diberikan pada pasien yang menderita Ca kolorektal yang besar, walaupun ini tidak dilaksanakan secara rutin. Terapi ini dapat menyebabkan kesempatan yang lebih banyak dari tumor tertentu, yang mana terjadi fasilitas reseksi tumor selama pembedahan. Radiasi dapat digunakan post operatif sampai batas penyebaran metastase. Sebagai ukuran nyeri, terapi radiasi menurunkan nyeri, perdarahan, obstruksi usus besar atau metastase ke paru-paru dalam perkembangan penyakit. Perawat menerangkan prosedur terapi radiasi pada klien dan keluarga dan memperlihatkan efek samping (contohnya diare dan kelelahan). Perawat melaksanakan tindakan untuk menurunkan efek samping dari terapi.1. KemoterapiObat non sitotoksik memajukan pengobatan terhadap Ca kolorektal kecuali batas tumor pada anal kanal. Bagaimanapun juga 5 fluorouracil (5-FU,Adrucil) dan levamisole (ergamisol) telah direkomendasikan terhadap standar terapi untuk stadium khusus pada penyakit (contoh stadium III) untuk mempertahankan hidup. Kemoterapi juga digunakan sesudah pembedahan untuk mengontrol gejala-gejala metastase dan mengurangi penyebaran metastase. Kemoterapi intrahepatik arterial sering digunakan 5 FU yang digunakan pada klien dengan metastasis liver.9Penatalaksanaan dengan PembedahanTindakan ini dibagi menjadi Curative, Palliative, Bypass, Fecal diversion, dan Open-and-close.1. Bedah Curativedikerjakan apabila tumor ditemukan pada daerah yang terlokalisir. Intinya adalah membuang bagian yang terkena tumor dan sekelilingnya. Pada keadaan ini mungkin diperlukan suatu tindakan yang disebut TME (Total Mesorectal Excision), yaitu suatu tindakan yang membuang usus dalam jumlah yang signifikan. Akibatnya kedua ujung usus yang tersisa harus dijahit kembali. Biasanya pada keadaan ini diperlukan suatu kantong kolostomi, sehingga kotoran yang melalui usus besar dapat dibuang melalui jalur lain. Pilihan ini bukanlah suatu pilihan yang enak akan tetapi merupakanlangkah yang diperlukan untuk tetap hidup, mengingat pasien tidak mungkin tidak makan sehingga usus juga tidak mungkin tidak terisi makanan / kotoran; sementara ada bagian yang sedang memerlukan penyembuhan. Apa dan bagaimana kelanjutan dari kolostomi ini adalah kondisional dan individual, tiap pasien memiliki keadaan yang berbeda-beda sehingga penanganannya tidak sama.1. Bedah paliatifdikerjakan pada kasus terjadi penyebaran tumor yang banyak, dengan tujuan membuang tumor primernya untuk menghindari kematian penderita akibat ulah tumor primer tersebut. Terkadang tindakan ini ditunjang kemoterapi dapat menyelamatkan jiwa. Bila penyebaran tumor mengenai organ-organ vital maka pembedahan pun secara teknis menjadi sulit, sehingga dokter mungkin memilih teknikk bedah bypass atau fecal diversion(pengalihan tinja) melalui lubang. Pilihan terakhir pada kondisi terburuk adalah open and close, di mana dokter membuka daerah operasinya, kemudian secara de facto melihat keadaan sudah sedemikian rupa sehingga tidak mungkin dilakukan apa-apa lagi atau tindakan yang akan dilakukan tidak memberikan manfaat bagi keadaan pasien, kemudian di tutup kembali. Tindakan ini sepertinya sudah tidak pernah dilakukan lagi mengingat sekarang sudah banyak tersedia laparoskopi dan radiografi canggih untuk mendeteksi keberadaan dan kondisi kanker jauh sebelum diperlukan operasi.9,10

Penatalaksanaan pasien Karsinoma Kolon TerminalPembedahan merupakan pilihan terbaik untuk memperpanjangkan jangka hayat hidup pasien. Melalui pembedahan dokter akan membuang bagian tumor kolon dan mencantumkan bagian yang sehat bersama. Pilihan lain adalah cryotherapy yaitu membekukan dan membuang tumor tersebut. Kemudian, kemoterapi dilakukan untuk membunuh sel-sel yang tersisa setelah pengangkatan dan biasanya ditujukan pada organ yang terinfeksi. Metode yang digunakan adalah heptic artery infusion di mana targetnya langsung ke hati.10KESIMPULANBerdasarkan kasus diatas dapat disimpulkan bahwa, yang dibutuhkan adalah perawatan dan pendampingan, baik bagi pasien maupun bagi pihak keluarga. Perhatian dan kasih sayang sangat diperlukan bagi penderita sakit terminal, bukan lagi bagi kebutuhan fisik, tetapi lebih pada kebutuhan psikis dan emosional, sehingga baik secara langsung maupun tidak kita dapat membantu pasien menyelesaikan persoalan-persoalan pribadinya dan kemudian hari siap menerima kematian penuh penyerahan kepada penyelenggaraan Tuhan Yang Maha Esa. Bagaimanapun pasien adalah manusia yang masih hidup, maka perlakuan yang seharusnya adalah perlakuan yang manusiawi kepadanya. Jelas bahwa hukum (pidana) positif di Indonesia belum memberikan ruang bagi euthanasia baik euthanasia aktif maupun euthanasia pasif. Tanpa harus mengesampingkan pendapat lain, kesimpulan normatif ini urgen untuk disampaikan mengingat berbagai hal. Pertama, munculnya permintaan tindakan medis euthanasia hakikatnya menjadi indikasi, betapa masyarakat sedang mengalami pergeseran nilai kultural. Namun tetap saja pasien memiliki hak autonomi dimana pasien berhak menetukan apa yang terbaik untuk dirinya, sehingga dengan adanya hak autonomi tersebut seorang pasien boleh meminta eutanashia kepada dokter yang merawatnya (permintaannya di kabulkan). Namun tindakan tersebut harus tetap dengan indikasi dan alasan yang tepat. Dan dokter yang melakukannya harus melakukan informed consent sejelas-jelasnya kepada pasien maupun keluarganya.Daftar Pustaka0. Sampurna. Budi., Syamsu. Zulhasmar., Siswaja. Tjetjep Dwidja.Bioetik dan Hukum Kedokteran.Jakarta:Bagian Kedokteran Forensik Fakultas Kedokteran UI.2007.h.418.0. Kode Etik Kedokteran. http://www.ilunifk83.com/t130-kode-etik-kedokteran-indonesia. 18 Januari 2009. Diunduh 7 Januari 2014.0. Sampurna B. Bioetik dan hukum kedokteran. Jakarta: Pustaka Dwipar, 2007.0. Samil, Suprapti R. Etika kedokteran indonesia. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo, 2001.0. Euthanasia. http://www.fk.uwks.ac.id/elib/arsip/departemen/.../euthanasia%20(13).pdf. 30 Desember 2008. Diunduh 7 Januari 2014. 0. FK UI. Persetujuan Tindakan Medik.Peraturan perundang-undangan bidang kedokteran. Edisi 1, cetakan ke-2. Jakarta: Bagian Kedokteran forensic FK UI.2005.hal.5-15.0. Moeljatno. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Cetakan 21. Jakarta : Bumi Aksara ;2005.h.159.0. Rekam Medisdan Informed Consent. http://repository.ui.ac.id/contents/koleksi/11/b6fa37a62692182ad455b08bac8ac3d8bc639f55.pdf. 27 April 2009. Diunduh 7 Januari 2014. 0. Perhimpunan dokter spesialis penyakit dalam Indonesia. Buku ajar ilmu penyakit dalam jilid I. Edisi IV. Jakarta: Departemen penyakit dalam UI;2008.h.150-3.0. Sjamsuhidajat R, Jong W. Buku ajar ilmu bedah. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran ECG;2001.h.34-6.