permasalahan hak kesehatan reprduksi perempuan dalam perspektif hukum kesehatan dan ham di indonesia
TRANSCRIPT
PERMASALAHAN HAK KESEHATAN REPRODUKSI PEREMPUAN DALAM PERSPEKTIF HUKUM KESEHATAN DAN HAK ASASI MANUSIA DI
INDONESIA
Disusun oleh:
Dony Septriana Rosady
PROGRAM MAGISTER HUKUM KESEHATAN
UNIVERSITAS KATOLIK SOEGIJAPRANATA
SEMARANG
2012
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Pembicaraan hak asasi perempuan sebagai hak asasi manusia seutuhnya
bukan hal yang relatif baru. Meskipun demikian, hak asasi perempuan yang
sudah mulai terangkat dari beberapa waktu sebelumnya, kelihatannya semakin
menguat dari waktu ke waktu.1
Pada tahun-tahun terakhir ini, angka partisipasi wanita dalam dunia usaha
semakin meningkat. Peningkatan partisipasi wanita tersebut mengindikasikan
adanya peningkatan peran wanita dalam aktivitas ekonomi dan pembangunan.2
Seiring dengan adanya peningkatan peran wanita, ada hal penting yang
kemudian memerlukan perhatian serius, yaitu masalah perlindungan terhadap
hak-hak wanita. Perlindungan terhadap hak wanita tersebut tidak hanya terbatas
pada masalah perlindungan fisik (kondisi ergonomis, lingkungan, dll), tetapi juga
termasuk perlindungan atas hak-hak wanita untuk memperoleh hak
kesehatannya.2
Kesehatan adalah keadaan sehat, baik secara fisik, mental, spritual
maupun sosial yang memungkinkan setiap orang untuk hidup produktif secara
sosial dan ekonomis (UU No. 36 tahun 2009 tentang Kesehatan Pasal 1 ayat 1),
karena itu kesehatan merupakan dasar dari diakuinya derajat kemanusiaan.
Tanpa kesehatan, seseorang menjadi tidak sederajat secara kondisional. Tanpa
kesehatan, seseorang tidak akan mampu memperoleh hak-hak lainnya.
Sehingga kesehatan menjadi salah satu ukuran selain tingkat pendidikan dan
ekonomi, yang menentukan mutu dari sumber daya manusia.3
Hak atas kesehatan bukanlah berarti hak agar setiap orang untuk menjadi
sehat, atau pemerintah harus menyediakan sarana pelayanan kesehatan yang
mahal di luar kesanggupan pemerintah. Tetapi lebih menuntut agar pemerintah
dan pejabat publik dapat membuat berbagai kebijakan dan rencana kerja yang
mengarah kepada tersedia dan terjangkaunya sarana pelayanan kesehatan
untuk semua dalam kemungkinan waktu yang secepatnya.3,4,5
Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia telah menjamin bahwa setiap
manusia di dunia berhak atas hak-hak dasarnya, tidak terkecuali dengan
perempuan. Dalam deklarasi tersebut disebutkan bahwa semua orang dilahirkan
merdeka dan mempunyai martabat dan hak-hak yang sama. Setiap orang
berhak atas semua hak dan kebebasan-kebebasannya dan tidak ada
pengecualian apa pun termasuk pembedaan atas dasar ras, warna kulit, jenis
kelamin, bahasa, agama, politik atau pandangan lain, asal-usul kebangsaan atau
kemasyarakatan, hak milik, kelahiran ataupun kedudukan lain.6
Hak kesehatan merupakan salah satu hak yang dijamin dalam Deklarasi
Universal Hak Asasi Manusia. Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia pasal 25
ayat 1 menyatakan bahwa setiap orang berhak atas tingkat hidup yang memadai
untuk kesehatan dan kesejahteraan dirinya dan keluarganya, termasuk hak atas
pangan, pakaian, perumahan dan perawatan kesehatan serta pelayanan sosial
yang diperlukan, dan berhak atas jaminan pada saat menganggur, menderita
sakit, cacat, menjadi janda/duda, mencapai usia lanjut atau keadaan lainnya
yang mengakibatkannya kekurangan nafkah, yang berada di luar
kekuasaannya.6 Oleh karena itu, setiap manusia dijamin haknya untuk hidup
dalam tingkat yang memadai termasuk untuk mendapatkan pelayanan
kesehatan. Dalam kondisi apapun negara/pemerintah harus menjamin
terselenggaranya kehidupan yang bermartabat bagi seluruh warga negaranya.
A.August Burns, tahun 2000 mengemukakan fakta bahwa ternyata
kemiskinan dapat memaksa perempuan hidup dalam sebuah lingkungan yang
tidak sehat, seperti hidup di rumah yang tidak sehat, tidak memiliki makanan
yang cukup, bekerja dengan jam kerja yang lama, tidak mampu menjangkau
pelayanan kesehatan, dan tidak punya waktu mengurus diri mereka sendiri.2,7
Kondisi yang disampaikan August Burns tersebut jelas sangat
bertentangan dengan semangat Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia untuk
menjamin kesehatan dan kehidupan yang bermartabat bagi seluruh umat
manusia. Dalam hal ini, negara/pemerintah wajib menjamin seluruh hak-hak
dasar warga negaranya termasuk hak kesehatan dan hak mendapatkan
pelayanan kesehatan yang memadai.
Pemikiran mengenai hak-hak reproduksi perempuan merupakan
perkembangan dari konsep hak asasi manusia. Dalam perkembangannya,
konsep hak-hak asasi manusia dapat dibagi dalam dua ide dasar. Pertama
pandangan yang berpijak pada keyakinan bahwa tiap manusia lahir dengan hak-
hak individu yang tidak dapat dipisahkan darinya, dan kedua pandangan yang
menekankan kewajiban masyarakat dan negara, untuk menjamin tidak saja
kebebasan dan kesempatan bagi warga negara, tetapi juga memastikan bahwa
warga negara mampu memperoleh, melaksanakan kebebasan, dan apa yang
menjadi haknya.8
Banyak perempuan yang tidak mengetahui akan haknya, karena dalam
kehidupan perempuan, masalah hak sangat langka dibicarakan. Fungsi
reproduksi mereka yang diperankan hanya pada wilayah domestik membuat
perempuan lebih biasa dengan berbagai kewajiban, misalnya sebagai seorang
ibu dan istri, harus atau wajib mendidik anak, mengatur rumah tangga,
mendampingi dan melayani suami.8
Saat ini, mungkin lebih mudah bagi perempuan untuk membuat daftar
kewajiban mereka dari pada haknya. Begitu juga dengan arti sehat, perempuan
lebih menganggap kesehatan hanya yang berkaitan dengan organ tubuhnya,
padahal makna kesehatan tidak hanya terbatas pada hal tersebut saja. Apalagi
makna kata reproduksi, masih bayak tidak diketahui oleh kaum perempuan.8
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1. Kesehatan Reproduksi
Kesehatan reproduksi mendapat perhatian khusus secara global sejak
diangkatnya isu tersebut dalam Konferensi Internasional tentang Kependudukan
dan Pembangunan (International Conference on Population and Development,
ICPD), di Kairo, Mesir pada tahun 1994. Hal penting dalam konferensi tersebut
adalah disepakatinya perubahan paradigma dalam pengelolaan masalah
kependudukan dan pembangunan dari pendekatan pengendalian populasi dan
penurunan fertilitas menjadi pendekatan yang terfokus pada kesehatan
reproduksi serta upaya pemenuhan hak-hak reproduksi.9
Upaya pengendalian kependudukan telah bergeser ke arah yang lebih
luas, yang meliputi pemenuhan kebutuhan kesehatan reproduksi bagi laki-laki
dan perempuan sepanjang siklus hidup, termasuk hak-hak reproduksinya,
kesetaraan dan keadilan gender, pemberdayaan perempuan dan
penanggulangan kekerasan berbasis gender, serta tanggung jawab laki-laki
dalam kaitannya dengan kesehatan reproduksi.9
Kesehatan adalah keadaan sehat, baik secara fisik, mental, spritual
maupun sosial yang memungkinkan setiap orang untuk hidup produktif secara
sosial dan ekonomis.10
Batasan yang diangkat dari batasan kesehatan menurut Organisasi
Kesahatan Dunia ( WHO ) yang paling baru memang lebih luas dan dinamis
dibandingkan dengan batasan sebelumnya yang mengatakan bahwa kesehatan
adalah keadaan sempurna, baik fisik, mental, maupun sosial, dan tidak hanya
bebas dari penyakit dan cacat.11
Konfrensi Kependudukan di Kairo 1994, telah disusun pula definisi
kesehatan reproduksi yang dilandaskan kepada definisi sehat menurut WHO:
keadaan sehat yang menyeluruh, meliputi aspek fisik, mental dan sosial, dan
bukan sekedar tidak adanya penyakit disegala hal yang berkaitan dengan sistem
reproduksi, fungsinya, tetapi juga proses reproduksi itu sendiri.11
Secara luas, ruang lingkup kesehatan produksi yang tercantun dalam
Kebijakan dan Strategi Nasional Kesehatan Reproduksi di Indonesia (2005)
meliputi:
1. Kesehatan ibu dan bayi baru lahir
2. Keluarga berencana
3. Pencegahan dan penanggulangan Infeksi Saluran Reproduksi (ISR)
termasuk IMS-HIV/AIDS
4. Pencegahan dan penanggulangan komplikasi aborsi
5. Kesehatan reproduksi remaja
6. Pencegahan dan penanganan infertilitas
7. Penanggulangan masalah kesehatan reproduksi pada usia lanjut seperti
kanker, osteoporosis, dementia dan lain-lain.
2.2. Hak Kesehatan Reproduksi
Sebelum tahun 1960, beberapa konsensus PBB tentang populasi tidak
menfokuskan pada hak. Demikian pula dengan konvensi tentang perempuan,
juga belum memberi penekanan pada Hak Asasi Manusia atau isu yang
mempedulikan reproduksi dan seksualitas. Pada konfrensi Hak Asasi Manusia I
yang diselenggarakan di Teheran tahun 1960, mulai menyebutkan adanya hak
untuk menentukan dan jumlah dan jarak anak. Konfrensi Hak Asasi Manusia II
pada tahun 1993 di Viena mulai membuat tahapan mengenai hasil konvensi di
Kairo dan Beijing yang menegaskan bahwa hak perempuan adalah Hak Asasi
Manusia yang memangkas semua bentuk diskriminasi berdasarkan seks harus
menjadi prioritas pemerintah. Dari konvensi ini akhirnya perempuan mempunyai
hak untuk menikmati standar tertinggi dari kesehatan fisik dan psikis sepanjang
kehidupan termasuk hak untuk akses dan pelayanan kesehatan yang adekuat.
Ada beberapa hak yang digunakan untuk melindungi dan meningkatkan
kesehatan gender dalam kesehatan reproduksi dan kesehatan seksual.12
Hak-hak reproduksi mencakup hak-hak asasi manusia tertentu yang
sudah diakui dalam hukum-hukum nasional, dokumen-dokumen hak asasi
manusia internasional dan dokumen-dokumen konsensus Perserikatan Bangsa-
Bangsa lain yang relevan. Hak-hak ini didasarkan pada pengakuan akan hak-hak
asasi semua pasangan dan pribadi untuk menentukan secara bebas dan
bertanggung jawab mengenai jumlah anak, penjarakan anak, dan menentukan
waktu kelahiran anak-anak mereka, mempunyai informasi dan cara
memperolehnya, serta hak untuk mencapai standar tertinggi kesehatan seksual
dan reproduksi. Hal ini juga mencakup hak semua orang untuk membuat
keputusan mengenai reproduksi yang bebas dari diskriminasi, paksaan, dan
kekerasan seperti dinyatakan dalam dokumen-dokumen hak asasi manusia.
Untuk melaksanakan hak tersebut, mereka harus mempertimbangkan kebutuhan
kehidupan anak-anak mereka yang sekarang dan pada masa mendatang, serta
tanggung jawab mereka terhadap masyarakat.
Winkjosastro menuliskan dalam setiap hak, pemerintah mempunyai 3
tingkat peraturan :
1. Menghormati HAM yang berarti pemerintah tidak melakukan kekerasan;
2. Melindungi HAM yang berarti pemerintah membuat suatu hukum yang
mengatur mekanisme untuk melindungi dari kekerasan;
3. Memenuhi HAM yang berarti pemerintah mengambil suatu tindakan yang
bertahap ditempatkan dalam suatu peraturan yang prosedural (sesuai
prosedur) dalam suatu institusi.12
2.3. Budaya Reproduksi
Manusia percaya bahwa salah satu tugas mereka di dunia adalah
melestarikan eksistensi manusia di bumi ini. Memiliki anak merupakan salah satu
cara untuk memenuhi kewajiban itu. Banyak budaya yang memperbolehkan atau
malah mendorong laki-laki untuk menceraikan istrinya dan kawin lagi, kalau
perkawinan mereka tidak menghasilkan keturunan. Perempuan seolah-olah
dianggap sebagai penyebab kemandulan.14
Mohamad menyatakan bahwa di kalangan masyarakat agraris,
kelangsungan hidup mereka amat bergantung pada kesuburan, baik kesuburan
tanah tempat mereka hidup maupun kesuburan kaum perempuannya.
Perempuan yang subur sangat dihargai dan sebaliknya yang tidak subur
dipandang rendah. Budaya tersebut menanamkan konsep pada kaum
perempuan bahwa mengandung dan melahirkan anak adalah kewajiban tanpa
diimbangi dengan hak juga pilihan lainnya. Keinginan untuk tidak hamil dan tidak
mempunyai anak dianggap menyimpang dari aturan sosial. Kondisi ini
menyebabkan perempuan untuk dapat melahirkan anak seperti harapan orang-
orang yang ada di sekelilingnya.14
Selain budaya reproduksi diperlukan juga tema budaya yang menjadi latar
belakang perawatan dan pemeliharan kehamilan. Tema budaya ini akan
memberikan gambaran bagaimana perilaku ibu hamil dalam melakukan
pemelihaaran selama kehamilan dan pada saat persalinan.15
2.4. Bias Gender dalam Pelayanan Kesehatan Reproduksi
Abdullah menuliskan kelemahan dalam kebijakan reproduksi dapat dilihat
dari tiga hal. Pertama, kebijakan yang ada cenderung memperlakukan
perempuan sebagai “sasaran” atau korban. Program aksi seperti kondomisasi
tampak lebih banyak merugikan kaum perempuan karena perempuan di
tempatkan sebagai pihak yang berkepentingan dalam menjaga kesehatan.16
Kedua, persoalan akses pelayanan kesehatan reproduksi. Jika pelayanan
secara umum bersifat public goods, maka pelayanan kesehatan reproduksi
dalam bentuk-bentuk tertentu tidak dapat dihadirkan sebagai fasilitas publik
dalam arti sesungguhnya akibat pro dan kontra dalam persoalan seksual secara
umum. Isu yang sejak lama belum selesai dan bahkan cenderung dilupakan
dalam pembicaraan publik adalah “pendidikan seks di sekolah”. Kaum remaja
atau pasien tidak dapat mengakses informasi yang berkaitan dengan praktik
seksual atau aspek-aspek reproduktif remaja. Oleh karena itu, informasi
cenderung di dapatkan dari informasi yang salah dan menyebabkan terjadinya
penyimpangan seks. Dalam berbagai bentuk penyimpangan yang terjadi, kaum
perempuan menjadi pihak yang disudutkan untuk bertanggungjawab atas
penyimpangan-penyimpangan yang berlangsung. Perlindungan terhadap hak
perempuan sangat terbatas dan tidak berkualitas.16
Ketiga, masalah kualitas pelayanan dimana pelayanan yang tersedia tidak
memiliki kelengkapan informasi baik dalam pengertian obyektif maupun
subyektif. Latar belakang sosial ekonomi pasien berpengaruh dalam persepsi
dan penilaian mereka tentang kualitas suatu bentuk pelayanan. Peningkatan
kualitas secara umum meliputi tingkat keahlian paramedis dan pendekatan yang
digunakan dalam melayani kepentingan pasien. Perempuan yang menjadi
pasien dalam pelayanan kesehatan reproduksi tidak mendapatkan pelayanan
yang sesuai dengan hanya karena suami tidak turut memberdayakan posisi
perempuan. Hal ini terutama akibat pengetahuan umum yang menilai kehamilan
dan persalinan, misalnya sebagai tanggungjawab perempuan.16
Lemahnya posisi perempuan dalam pelayanan reproduksi tampak dari
berbagai hal, seperti: (1) Kurangnya informasi yang dapat diakses oleh kaum
perempuan dan tidak dimilikinya keahlian menolong diri sendiri dalam kesehatan
sehingga ketergantungan pada pihak lain sangat besar; (2) Tidak memiliki
jaringan sosial yang kuat yang memungkinkan perempuan mampu melakukan
tawar menawar dalam berbagai tindakan yang merugikan; (3) Lemahnya basis
ekonomi perempuan yang menyebabkan ia tergantung pada pencari nafkah dan
pada fasilitas kesehatan yang berkualitas rendah; (4) Lemahnya basis sosial
yang dapat digunakan sebagai sumber legitimasi keberadaannya. Ke empat
faktor ini merupakan dasar dari berbagai bentuk tindakan yang merugikan
perempuan.16
BAB III
PEMBAHASAN
Menurut Triwijati hak menentukan bila dan kapan menikah serta memilih
pasangan merupakan salah satu elemen dalam pemenuhan hak reproduksi. Hak
reproduksi tersebut masih belum dapat terpenuhi di Kecamatan Mandrehe.
Perempuan tidak dapat memilih sendiri calon suaminya dan tidak dapat
menentukan sendiri kapan waktu yang tepat bagi dirinya untuk menikah.
Perjodohan dan pernikahan diatur oleh orangtua sehingga kesiapan untuk
menikah tidak tergantung kepada anak perempuan.
Perempuan menerima perjodohan yang dilakukan oleh orangtua karena
anggapan bahwa pilihan orangtua adalah yang terbaik. Perempuan pasrah
terhadap pilihan orangtua dengan tidak menolaknya. Menikah dengan pilihan
orangtua berarti orangtua merestui pernikahan tersebut. Restu dari orangtua
merupakan hal yang sangat penting. Dalam konteks perkawinan, restu dipahami
bukan hanya mengandung kekuatan sakral tertentu yang dapat menentukan
keselamatan hidup berumah tangga, tetapi juga memiliki makna sosial yang
kuat, yang menunjukkan keberpihakan orangtua terhadap perkawinan anaknya.
Anak laki-laki dan perempuan sangat mengharapkan restu dari orangtua
terhadap perkawinannya. Restu orangtua tersebut merupakan doa agar anaknya
dapat hidup bahagia dan memperoleh keturunan.
Perempuan mempunyai posisi yang lemah dalam pelayanan reproduksi.
Hal ini tampak dari: (1) Kurangnya informasi yang dapat diakses oleh kaum
perempuan dan tidak dimilikinya keahlian menolong diri sendiri dalam kesehatan
sehingga ketergantungan pada pihak lain sangat besar; (2) Tidak memiliki
jaringan sosial yang kuat yang memungkinkan perempuan mampu melakukan
tawar menawar dalam berbagai tindakan yang merugikan; (3) Lemahnya basis
ekonomi perempuan yang menyebabkan ia tergantung pada pencari nafkah dan
pada fasilitas kesehatan yang berkualitas rendah; (4) Lemahnya basis sosial
yang dapat digunakan sebagai sumber legitimasi keberadaannya.
Perempuan mempunyai informasi yang sangat kurang untuk
kesehatannya sehingga ketergantungan pada pihak lain sangat besar. Informasi
dapat diperoleh dari mertua sehingga pelayanan kesehatan yang diperoleh
tergantung anjuran mertua. Pendidikan yang masih rendah serta umur menikah
menyebabkannya pasrah terhadap anjuran orang-orang disekitarnya.
Kehidupan perempuan dibatasi oleh budaya tempatnya tinggal. Posisi
perempuan yang lemah dalam keluarga menyebabkan tidak mempunyai
keberanian mengambil keputusan berdasarkan keinginannya sendiri.Perempuan
cenderung memandang bahwa calon suami yang diberikan oleh orangtua adalah
yang terbaik. Sikap pasrah sudah dimiliki oleh perempuan sebelum menikah atau
berkeluarga. Hal ini menunjukkan bahwa posisi anak perempuan dalam keluarga
masih lemah.
Tingkat ekonomi yang rendah menyebabkan perempuan tidak dapat
memanfaatkan fasilitas kesehatan yang dibutuhkannya. Biaya yang dibutuhkan
serta waktu yang terbuang untuk mencapai fasilitas pelayanan kesehatan
menyebabkannya tidak mementingkan pelayanan kesehatan untuknya dan
kandungannya. Perempuan cenderung menunggu fasilitas pelayanan kesehatan
datang ke tempat tinggalnya. Perempuan mempunyai fungsi produksi dan
reproduksi dalam keluarga. Perempuan bertanggungjawab dalam pemenuhan
kebutuhan sehari-hari seluruh anggota keluarga.
Pendidikan dan dan kemampuan ekonomi perempuan perlu ditingkatkan
sehingga dapat menentukan dan memanfaatkan pelayanan kesehatan yang
diperlukannya. Pendidikan perempuan perlu ditingkatkan sehingga tidak hanya
mengecap pendidikan dasar saja.
BAB IV
KESIMPULAN
Hak reproduksi perempuan, saat ini dapat di ketahui melalui haknya dalam
pemilihan jodoh, hak atas kehamilan yang aman, hak melahirkan yang aman,
hak menentukan kelahiran dan hak atas pelayanan kesehatan. Berdasarkan hak
reproduksi tersebut dapat disimpulkan bahwa hak reproduksi perempuan saat ini
masih belum terpenuhi. Hak reproduksi perempuan belum terpenuhi disebabkan
oleh kondisi atau lingkungan dimana perempuan tersebut berada.
Umur dan pengetahuan harus dipertimbangkan oleh orangtua ketika
menikahkan anak perempuannya. Pengetahuan yang sangat kurang
menyebabkan perempuan tidak mengerti bagaimana melakukan perawatan
terhadap kandungannya.
Penentuan jumlah dan jarak anak tidak sepenuhnya ditentukan sendiri
oleh perempuan. Perempuan dituntut untuk memberikan penerus keturunan bagi
keluarga suaminya. Perempuan mempunyai fungsi produksi dan reproduksi
dalam keluarganya.
BAB V
SARAN
Dalam rangka meningkatkan kesehatan reproduksi perempuan, perlu
dilakukan pemenuhan terhadap hak reproduksinya. Peningkatan promosi
kesehatan melalui penyuluhan oleh tenaga kesehatan perlu dilakukan. Hal ini
diharapkan dapat meningkatkan pengetahuan perempuan akan pentingnya
pelayanan kesehatan reproduksi terutama pada saat mengandung dan
melahirkan. Tenaga kesehatan diharapkan dapat meningkatkan pelayanan
kesehatan terutama ke desa yang masih belum terjangkau fasilitas pelayanan
kesehatan.