perlindungan nasabah likuidasi bank

Upload: adedidikirawan

Post on 11-Jul-2015

686 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

PERLINDUNGAN HUKUM NASABAH TERHADAP LIKUIDASI BANK DIHUBUNGKIAN DENGAN UNDANG-UNDANG NOMOR 10 TAHUN 1998 TENTANG PERBANKAN

TRANSCRIPT

1

BAB I PENDAHULUAN

A.Latar Belakang Pembangunan nasional memerlukan sumber pendanaan yang tidak kecil guna mencapai sasarannya: pertumbuhan ekonomi, pendapatan perkapita, kesempatan kerja distribusi pendapatan, dan lain-lain. sasaran ini terus di upayakan untuk di tingkatkan kualitasnya dari waktu ke waktu. upaya memperbaiki dan memperkuat sektor keuangan khususnya industri perbankan menjadi sangat penting. Sektor perbankan memiliki peran yang sangat vital, antara lain sebagai pengatur urat nadi perekonomian nasional. Lancarnya aliran uang sangat diperlukan untuk mendukung kegiatan ekonomi. Kondisi sektor perbankan yang sehat dan kuat penting menjadi sasaran akhir dari kebijakan di sektor perbankan. Peran sektor perbankan dalam pembangunan juga dapat di lihat pada fungsinya sebagai alat transmisi kebijakan moneter. Disamping itu, perbankan merupakan alat yang sangat vital dalam menyelenggarakan transaksi pembayaran, baik nasional maupun internasional. Mengingat pentingnya fungsi ini, maka upaya menjaga kepercayaan masyarakat.

1

2

Terhadap perbankan menjadi bagian yang sangat penting untuk diperhatikan oleh bank.1 Bisnis perbankan merupakan bisnis yang penuh risiko, di samping menjanjikan keuntungan yang besar jika di kelola secara baik dan hati-hati.dikatakan sebagai bisnis penuh risiko karena aktivitasnya sebagian besar mengandalkan dana titipan masyarakat, baik dalam bentuk tabungan giro maupun deposito. Besarnya peran yang diperhatikan oleh sektor perbankan, bukan berarti membuka peluang sebebas-bebasnya bagi siapa saja untuk mendirikan, mengelola ataupun menjalankan bisnis perbankan tanpa di dukung dengan aturan perbankan yang baik dan sehat. pemerintah melalui otoritas keuangan dan perbankan berwenang menetapkan aturan dan bertanggung jawab melakukan pengawasan terhadap jalannya usaha dan aktivitas perbankan oleh karenanya, kebijakan pemerintah disektor perbankan harus di arahkan pada upaya mewujudkan perbankan yang sehat, kuat dan kokoh. Hal ini mengingat kebijakan di bidang perbankan ini tidak lagi semata-mata memegang pernan penting dalam pengembangan infrasturktur keuangan dalam rangka mengatasi kesenjangan antara tabungan dan investasi, tetapi juga berperan penting dalam memelihara kesetabilan ekonomi makro melalui keterkaitannya dengan efektivitas kebijakan moneter 2 Pemerintah telah cukup mencurahkan perhatian pada penyempurnaan peraturan-peraturan hukum di bidang perbankan . Mulai dari undang-undang hinggaAdrian Sutedi, Hukum Perbankan Suatu Tinjauan Pencucian Uang, Merger, Likuidasi, dan Kepailitan.,Sinar Grafika, Jakarta 2007, hlm., 130 2 Ibid., hlm 131.1

3

peraturan yang sifatnya teknis sudah cukup tersedia. Bahkan, peraturan yang berhubungan dengan prinsip kehati-hatian pun sudah sangat memadai. Namun demikian, kelengkapan peraturan terutama menyangkut prinsip kehati-hatian tidaklah cukup untuk dijadikan ukuran bahwa perbankan nasional lepas dari segala permasalahan. Buktinya sebagian besar bank nasional (khususnya bank swasta) merupakan bank bermasalah, yang satu persatu masuk pengawasan Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) bahkan lebih tragis lagi beberapa bank swasta nasional terpaksa di likuidasi pada masa pemerintahan Sosilo Bambang Yhudhoyono.3 Salah satu contoh bank sawasta tersebut adalah Bank Century, laporan keuangan Bank Century pada rapat KSSK pada tanggal 20-21 November 2008 jam 00:11WIB 05:00 WIB, dalam salinan notulensi rapat KSSK, inilah rincian dana yang telah di kucurkan oleh LPS dan penarikan dana nasabah di Bank Century, adalah sebagai berikut:4 1. Kucuran dana LPS (biaya penyelamatan): a. b. 20 Nov 2008 (saat penyelamatan): Rp 632 miliar Juli 2009 : Rp 6,76 triliun. (msh tersisa sekitar Rp 2 triliun di brangkas Century untuk memenuhi rasio kecukupan modal /CAR 8% yang di persyaratkan Bank Indonesia 2. Dana Nasabah (saat penyelamatan 20 November 2008)Ibid. M. Muifti Mubarok Membongkar Kotak Hitam Century Gate, Java Pustaka Media Utama, Jakarta Selatan, 2010 hlm.,56.4 3

4

a. b. c.

Yang dijamin pemerintah : Rp 5,6 triliun Di luar penjamin :3,4 triliun Dana nasabah yang dijamin di 18 bank yang terancam kolaps Rp 5,6 triliun + Rp 15 triliun = Rp 20,6 triliun

3. Penarikan dana nasabah a. b. Seblum penylamatan (1-20 November 2008) : Rp 1,2 triliun Setelah pnyelamatan (20 November 2008-31 Desember 2008): 1) Penarikan dana nasabah yang dijamin : Rp 3,5 triliun 2) Penarikan dana nasabah besar : 1 triliun.

Berdasarkan data-data di atas, dana yang harus dikeluarkan oleh LPS untuk penutupan Bank Century (Rp 20,6 triliun) jauh lebih besar dibandingkan biaya penyelamatan (6,7 triliun). Penarikan dana pasca penyelamatan, sebagian besar dilakukan oleh nasabah yang dijamin oleh pemerintah (simpanan di bawah Rp 2 miliar), yaitu sebesar Rp 3,5 triliun.5 Besarnya peran pengawasan oleh sektor perbankan, bukan berarti membuka peluang sebebas-bebasnya bagi siapa saja untuk mendirikan, mengelola ataupun menjalankan bisnis perbankan tanpa di dukung dengan aturan perbankan yang baik dan sehat. pemerintah melalui otoritas keuangan dan perbankan berwenang menetapkan aturan dan bertanggung jawab melakukan pengawasan terhadap jalannya usaha dan ativitas perbankan oleh karenanya, kebijakan pemerintah disektor5

Ibid .,hlm 58.

5

perbankan harus di arahkan pada upaya mewujudkan perbankan yang sehat, kuat dan kokoh. Hal ini mengingat kebijakan di bidang perbankan ini tidak lagi semata-mata memegang pernan penting dalam pengembangan infrasturktur keuangan dalam rangka mengatasi kesenjangan antara tabungan dan investasi, tetapi juga berperan penting dalam memelihara kesetabilan ekonomi makro melalui keterkaitannya dengan efektivitas kebijakan moneter. 6 Salah satu faktor yang membuat sistem perbankan nasional mengalami masalah likuidasi adalah akibat perilaku para pengelola dan pemilik bank yang cenderung mengekploitasi dan/atau mengabaikan prinsip kehati-hatian dalam berusaha, disamping faktor penunjang lain, yakni lemahnya pengawasan dari bank Indonesia (BI).7 Sebagai tindak lanjut dari pencabutan ijin usaha, dilakukan pembubaran badan hukum bank tersebut melalui proses likuidasi bank tersebut menimbulkan domino effect antara lain di dahului dengan adanya rush di sektor perbankan

sehingga kepercayaan masyarakat terhadap perbankan nasional menjadi terpuruk.8 Berdasarkan uraian diatas, untuk mengatasi hal tersebut diperlukan suatu kajian untuk melengkapi hal-hal yang belum tersentuh pengaturannya terkait dengan kewenangan Bank Indonesia melakukan pencabutan, pembubaran dan likuidasi bank, disamping tidak menutup kemungkinan memunculkan alternatif lain dalam penanganan bank bermasalah misalnya melalui sarana Undang-Undang Kepailitan,6 7

Adrian Sutedi, Hukum Perbankan,Op.Cit., hlm 131. Ibid. 8 Ibid., hlm 132.

6

yakni Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1998 tentang penetapan peraturan pemerintah pengganti Undang-Undang No.1 Tahun 1998 tentang perubahan atas UndangUndang tentang kepailitan menjadi Undang-Undang (sekarang Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang kepailitan) Untuk mengembalikan kepercayaan masyarakat terhadap perbankan nasional , pemerintah mengeluarkan jaminan kewajiban pembayaran bank umum atau dikenal dengan blanket guarantee yang merupakan financial safety net dengan keputusan presiden Nomor 26 Tahun 1998 dan Undang-Undang No.10 Tahun 1998 (Pasal 37) Atas dasar tersebut, peneliti mencoba meneliti tentang perlindungan nasabah terhadap likuidasi bank , yang di tuangkan ke dalam skripsi ini dengan judul : Perlindungan Hukum Nasabah Terhadap Likuidasi Bank Dihubungkan dengan Undang-Undang Nomor. 10 Tahun 1998 tentang Perbankan.

B. Identifikasi Masalah Berdasarkan latar belakang di atas, peneliti mengidentifikasi hal-hal yang akan diteliti, sebagai berikut : 1. Bagaimana pengaturan likuidasi bank menurut Undang-Undang Nomor10 Tahun 1998 tentang Perbankan ? 2. Bagaimana perlindungan hukum terhadap nasabah bank yang di atur dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan ?

7

C. Tujuan Penelitian Adapun tujuan dilakukannya penelitian ini adalah sebagai berikut : 1. Untuk mengetahui pengaturan likuidasi bank menurut Undang-Undang No.10 Tahun 1998 tentang Perbankan. 2. Untuk mengetahui perlindungan nasabah apabila terjadi likuidasi bank yang tertuang dalam Undang-Undang No.10 Tahun 1998 tentang Perbankan. D. KegunaanPenelitian Kegunaan dari penelitian ini dapat di lihat dari 2 (dua) segi yaitu: 9 1. Kegunaan Teoritis Guna memberikan dan sumbangan pemikiran bagi pengembangan bidang ilmu hukum perbankan di bidang perlindungan nasabah berkenaan dengan masalah likuidasi bank, serta memberikan bahan referensi bagi kepentingan akademis dan juga sebagai tambahan bagi kepustakaan dalam bidang ilmu hukum. 2. Kegunaan Praktis

9

Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Universitas Indonesia, Jakarta 2010, hlm.,

103.

8

a. Bagi nasabah menambah wawasan dan pengetahuan dalam segi kehati-hatiannya dalam memilih produk yang ditawarkan oleh bank b. Bagi peneliti, menambah wawasan dan pengetahuan dalam segi ilmu hukum perbankan. c. Bagi praktisi, memberikan informasi dan bahan masukan tentang pentingnya perlindungan nasabah terhadap likuidasi bank.

E.Kerangka Pemikiran Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia Tahun 1945 menyebutkan, bahwa Negara Indonesia negara hukum. Negara hukum dimaksud adalah negara yang menegakan supermasi hukum untuk menegakan kebenaran dan keadilan dan tidak ada kekuasaan yang tidak

dipertanggungjawabkan.10 Berdasarkan uraian di atas yang dimaksud dengan Negara Hukum ialah negara yang berediri di atas hukum yang menjamin keadilan kepada warga negaranya. Keadilan merupakan syarat bagi terciptanya kebahagiaan hidup untuk warga negaranya, dan sebagai dasar dari pada keadilan itu perlu diajarkan rasa susila kepada setiap manusia agar ia menjadi warga negara yang baik. Demikian pula

Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia,Panduan Pemasyarakatan UndangUndang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 (Sesuai dengnan Urutan Bab, Pasal dan ayat), Sekertaris Jendral MPR RI, Jakarta, 2010, hlm, 46

10

9

peraturan hukum yang sebenarnya hanya ada jika peraturan hukum itu mencerminkan keadilan bagi pergaulan hidup antar warga negaranya.11 Menurut Aristoteles yang memerintah dalam negara bukanlah manusia sebenarnya, melainkan fikiran yang adil, sedangkan penguasa sebenarnya hanya pemegang hukum dan keseimbangan saja. Kesusilaan yang akan menentukan baik tidaknya suatu peraturan undang-undang dan membuat undang-undang adalah sebagian dari kecakapan menjalankan pemerintahan negara. Oleh karena itu Menurut, bahwa yang penting adalah mendidik manusia menjadi warga negara yang baik, karena dari sikapnya yang adil akan terjamin kebahagiaan hidup warga negaranya.12 Secara umum, dalam setiap negara yang menganut paham negara hukum, selalu berlakunya tiga prinsip dasar, yakni supermasi hukum (supremacy of law), kesetaraan di hadapan hukum (equality before the law), dan penegakan hukum dengan cara tidak bertentangan dengan hukum (due process of law). Supermasi hukum, artinya bahwa yang mempunyai kekuasaan yang tertinggi di dalam negara adalah hukum (kedaulatan hukuum.13 Prinsip penting dalam negara hukum adalah perlindungan yang sama (equal protection) atau persamaan dalam hukum (equality before the law). Perbedaan perlakuan hukum hanya boleh jika ada alasan yang khusus, misalnya, anak-anak yang di bawah umur 17 tahun mempunyai hak yang berbeda dengan anak-anak yang di atas 17 tahun. Perbedaan ini ada alasan yang rasional. Tetapi perbedaan perlakuanMoh. Kusnardi dan Harmaily Ibrahim, Hukum Tata Negara Indonesia, Sinar Bakti, Jakarta 1988, hlm., 153. 12 Ibid., hlm,154. 13 Ibid., hlm 161.11

10

tidak dibolehkan jika tanpa alasan yang logis, misalnya karena perbedaan warna kulit, gender agama dan kepercayaan, sekte tertentu dalam agama, atau perbedaan status seperti antara tuan tanah dan petani miskin. Meskipun demikian, perbedaan perlakuan tanpa alasan yang logis seperti ini sampai saat ini masih banyak terjadi di berbagai negara, termasuk di negara yang hukumnya sudah maju sekalipun.14 Mengenai konsep kesetaraan dihadapan hukum (equality before the law), menurut Dicey, Bahwa berlakunya Konsep kesetaraan dihadapan hukum (equality before the law), di mana semua orang harus tunduk kepada hukum, dan tidak seorang pun berada di atas hukum (above the law).15 Istilah due process of law mempunyai konotasi bahwa segala sesuatu harus dilakukan secara adil. Konsep due process of law sebenarnya terdapat dalam konsep hak-hak fundamental (fundamental rights) dan konsep kemerdekaan/kebebasaan yang tertib (ordered liberty).16 Konsep due process of law yang prosedural pada dasarnya didasari atas konsep hukum tentang keadilan yang fundamental (fundamental fairness). Perkembangan , due process of law yang prossedural merupakan suatu proses atau prosedur formal yang adil, logis dan layak, yang harus dijalankan oleh yang berwenang, misalnya dengan kewajiban membawa surat perintah yang sah, memberikan pemberitahuan yang pantas, kesempatan yang layak untuk membela diri termasuk memakai tenaga ahli seperti pengacara bila diperlukan, menghadirkan14

Munir Fuady, Teori Negara Hukum Modern (Rehctstaat) ,Refika Aditama, Bandung 2009,

hlm., 207.15 16

Ibid., hlm., 3. Ibid., hlm,46.

11

saksi-saksi yang cukup, memberikan ganti rugi yang layak dengan proses negosiasi atau musyawarah yang pantas, yang harus dilakukan manakala berhadapan dengan hal-hal yang dapat mengakibatkan pelanggaran terhadap hak-hak dasar manusia, seperti hak untuk hidup, hak untuk kemerdekaan atau kebebasan (liberty), hak atas kepemilikan benda, hak mengeluarkan pendapat, hak untuk beragama, hak untuk bekerja dan mencari penghidupan yang layak, hak pilih, hak untukberpergian kemana dia suka, hak atas privasi, hak atas perlakuan yang sama (equal protection) dan hakhak fundamental lainnya.17 Sedangkan yang dimaksud dengan due process of law yang substansif adalah suatu persyaratan yuridis yang menyatakan bahwa pembuatan suatu peraturan hukum tidak boleh berisikan hal-hal yang dapat mengakibatkan perlakuan manusia secara tidak adil, tidak logis dan sewenang-wenang.18 Pasal 23 huruf D Undang-Undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia 1945 menyebutkan bahwa negara memiliki suatu bank sentral yang susunan, kedudukan, kewenangan, tanggung jawab, dan independensinya diatur dengan Undang-Undang. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2004 perubahan atas UndangUndang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia, disebutkan bahwa tujuan Bank Indonesia adalah mencapai dan memelihara kestabilan nilai rupiah, dan untuk mencapai tujuan tersebut, Bank Indonesia melaksanakan kebijakan moneter secara berkelanjutan. Untuk mencapai tujuan tersebut, Bank Indonesia memiliki tugas

17 18

Ibid., hlm.,47. Ibid.

12

menetapkan dan melaksanakan kebijakan moneter, mengatur dan menjaga kelancaran sistem pembayaran, dan mengawasi bank-bank. Undang-undang ini lahir setelah krisis karena sebelumnya berlaku Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1968 tentang Bank Indonesia.19 Perbedaan yang mendasar yang terkait dengan penyelsaian krisis perbankan adalah, bahwa pada undang-undang sebelumnya secara kelembagaan Bank Indonesia berada di dalam pemerintah atau di bawah presiden sebagai kepala pemerintah dan di bawah Dewan Moneter yang diketuai oleh Menteri Keuangan dalam melakukan kebijakan moneter. Sementara itu, dengan undang-undang baru, Bank Indonesia berada di luar pemerintah, artinya tidak berada di bawah menteri kabinet dalam pemerintahan presiden, tetapi tetap dalam koordinasi presiden sebagai kepala negara. Perbedaan kewenangan yang mendasar terkait dengan penyelsaian likuidasi perbankan adalah bahwa kebijakan-kebijakan pengaturan dan pengawasan bank-bank termasuk penutupan bank harus berada dalam koordinasi menteri keuangan, termasuk hak untuk memberikan dan mencabut izin usaha bank berada pada menteri keuangan.20 Sementara itu, setelah undang-undang baru, koordinasi dengan Menteri Keuangan lebih dikaitkan, karena Departemen Keuangan yang merupakan otoritas

Kusumaningtuti, Peranan Hukum dalam Penyelsaian Krisis Perbankan di Indonesia, Raja Grafindo Persada Grafika 2009, Jakarta, hlm,162.20

19

Ibid.

13

keuangan dan fiskal, sementara kebijakan pengaturan dan pengawasan sepenuhnya berada di Bank Indonesia, termasuk hak pemberian dan pencabutan izin usaha bank.21 Undang-Undang Perbankan Indonesia yaitu, Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan, kedudukan dan kapasitas Bank Indonesia di bidang perbankan diatur, yang terkait dengan penyelsaian likuidasi perbankan dan perlindungan nasabah adalah kedudukan Bank Indonesia dalam merekomendasi

kepada pemerintah untuk membentuk badan khusus yang bersifat sementara untuk menyehatkan perbankan sebagaimana diatur dalam pasal 37A undang-undang tersebut.22 Pengertian hukum dalam konteks terhadap likuidasi bank, dipergunakan sistem hukum dari Lawrence M Friedman. Teori ini menyebutkan, bahwa sistem hukum mengandung tiga faktor yaitu structur, substance, dan legal culture. Ketiga faktor tersebut saling terkait sehingga mewujudkan gambaran yang sebenarnya mengenai bagaimana suatu sistem hukum di suatu negara tersebut berfungsi.23 Mengenai structure, Friedman mengatakan bahwa sistem selalu berubah, tetapi bagian-bagian dari sistem tersebut berubah dengan kecepatan yang berbedabeda, dan tidak setiap bagian berubah secepat dan memiliki kepastian seperti bagian lainnya. Bagian-bagian ini memiliki pola jangka panjang bagian ini adalah aspekaspek dari sistem yang ada di sini pada waktu sebelumnya (atau bahkan ada sejak abad yang lalu) dan akan tetap ada dalam waktu yang lama di masa depan. InilahIbid., hlm.162. Ibid., hlm.163. 23 M.Khozim, Lawrence M. Friedman Sistem Hukum Presfektif Ilmu Sosial, Nusa Media, Bandung, 2009, hlm 12.22 21

14

struktur dari sistem hukum, yaitu kerangka atau cara kerja. Bagian tetap, yang memberikan sebuah bentuk dan definisi bagi keseluruhan sistem. Struktur sistem hukum ini terdiri dari beberapa elemen seperti : jumlah dan kapasitas pengadilan, yuridiksi (yaitu apa kasus yang mereka tangani, bagaimana, serta mengapa), dan bentuk banding dari satu pengadilan ke pengadilan lainnya. Struktur juga berarti cara badan hukum berorganisasi, beberapa anggota yang duduk di komisi, apa yang dapat dan tidak dapat dilakukan (secara legal) oleh seorang presiden, prosedur apa yang harus diikuti oleh kepolisisan, dan lain sebagainya.struktur dapat dikatakan,sebagai sebuah bentuk lintas bagian dari sistem hukum sebuah bentuk visualisasi merekam sebuah peristiwa.24 Mengenai substance, Friedman mengatakan Substance adalah peraturan atau regulasi dalam arti yang sebenarnya, yaitu norma dan pola perilaku dari orang-orang yang berada dalam sistem. Ini adalah pertama-tama hukum dalam istilah populer, kenyataan bahwa batas kecepatan kendaran adalah lima puluh lima mil per jam, peratuaran yang dapat membuat seorang perampok masuk ke penjara, bahwa sesuai hukum seorang pembuat acara harus mencantumkan komposisi isi pada kemasan. Namun, hal ini juga, dengan kata lain substansi, bahwa polisi hanya menangkap pengemudi yang memacu kendaraannya tujuh puluh mil per jam. hal-hal seperti ini merupakan pola kerja dari hukum yang hidup. substance juga berarti produk yang di hasilkan, oleh orangorang dalam sistem hukum, keputusankeputusan yang di yang

24

Ibid.,hlm 202.

15

hasilkan oleh orang peraturan baru yang di ikuti. Penekanannya disini adalah pada hukum hidup, bukan sekedar peraturan pada buku-buku tentang hukum.25 Mengenai legal culture, Friedman mengatakan, legal culture adalah sikap orang-orang hukum dan sistem hukum , kepercayaan nilai-nilai ide-ide dan ekspresi mereka. Dengan kata lain, legal culture merupakan bagian dari budaya secara umum yang terkait dengan sistem hukum. Ide-ide dan opini ini dapat dikatakan adalah apa yang menentukan sebuah proses hukum berjalan. Legal culture, dalam pengertian lain, adalah iklim dari pemikiran sosial dan kekuatan social yang menentukan bagaimana hukum digunakan dihindari, disalah gunakan. Tanpa legal culture, sistem hukum menjadi statis, seperti seekor ikan mati didalam sebuah keranjang, bukan seperti seekor ikan yng berenang di laut. Setiap masyarakat, setiap negara, setiap komunitas, memiliki legal culture. Selalu ada sikap dan opini tentang hukum. Salah satu subkultur yang penting adalah legal culture dari para insiders, yaitu para hakim dan jaksa yang bekerja didalam sistem hukum itu sendiri. karena hukum menjadi kepentingan mereka, nilai-nilai dan sikap mereka menjadi penentu yang membedakan sistem.26 Ringkasnya pendapat tersebut mengemukakan bahwa structure mencakup sebagai lembaga yang diciptakan oleh sistem hukum. Substance mencakup segala hal yang di hasilkan oleh structure, sedangkan legal culture adalah mengenai siapa yang

25 26

Ibid.,hlm.377. Ibid., hlm.254.

16

menentukan struktur tersebut berjalan dan bagaimana structure dan substance tersebut akan digunakan.27 Perubahan kelembagaan dalam rangka penyelamatan sistem perbankan cara simultan akan memberikan pengaruh penyempurnaan sistem hukum yang berlaku, sementara unsur governance dalam pembangunan akan menentukan tingkat keberhasilan perubahan yang sedang dilaksanakan. Optimal atau kurang optimalnya peran hukum dalam program-program penyelesaian krisis perbankan dapat dikaji dari terpenuhi atau tidak terpenuhinya faktor-faktor yang menjadi kriteria, seperti penerapan hukum yang memadai, adanya pemerintahan yang bersih, serta adanya sistem pengaturan yang efisien, demokratis dan akuntabel. Kajian terhadap indikasi tidak berfungsinya hukum dengan baik merupakan kajian yang harus dilakukan secara mendalam guna menjawab permasalahan-permasalahan yang menghambat peranan hukum dalam pembangunan. Sementara itu, sejauh mana suatu sistem hukum diterapkan dalam suatu perekonomian dapat ditelaah dari interaksi tiga faktor yang disebut dengan struktur (kelembagaan), substansi (regulasi), dan budaya hukum (pandangan atau pemahaman masyarakat pelaku, pengguna, dan otoritas kebijakan).28 Faktor substansi atau regulasi yang menurut Friedman adalah actual rules, norma-norma, dan pola perilaku dari masyarakat di dalam sistem meliputi segala regulasi atau peraturan yang dapat menimbulkan implikasi dampak negatif atau

Kusumaningtuti.Peranan Hukum dalam Penyelsaian Perbankan di Indonesia, Rajagrafindo Persada, Jakarta 2009. hlm. 17. 28 Ibid.,

27

17

kerugian.29 Sistem perbankan, yang dimaksud dengan substansi adalah setiap regulasi dan kebijakan yang berkaitan dengan perizinan, kegiatan usaha dan pembubaran bank, baik yang diberlakukan secara individual maupun secara sistem. Dalam penyelsaian likudasi perbankan, yang disebut dengan substansi selain sama seperti pengertian dalam sistem perbankan juga segala ketentuan dan kebijakan yang terkait dengan penyelesaian likuidasi bank tersebut.30 Faktor budaya hukum, yang didefinisikan oleh Friedman sebagai perilaku/ sikap, kepercayaan, nilai-nilai pemikiran, dan harapan masyarakat terhadap hukum, mencakup mengenai siapa dan bagaimana dalam menentukan faktor struktur dan substansi hukum berjalan dan digunakan. Dalam budaya hukum dikenal teori yang membedakan formal law dan law in action. Formal law berarti suatu perangkat norma atau aturan yang dimuat dalam perundang-undangan atau dalam penyelsaian suatu kasus hukum sedangkan law in action adalah hukum yang di terapkan atau dilaksanakan oleh para pihak, pengacara, dan pengadilan.31 Interaksi ketiga faktor,yaitu struktur, substansi, dan budaya hukum, akan mencerminkan bagaimana peran hukum pada suatu kondisi di suatu negara. Telaahan terhadap interaksi ketiga faktor sistem hukum tersebut dapat memberikan gambaran apakah hukum berperan secara memadai atau tidak dalam penyelesaian persoalanpersoalan atau permasalahan.

Didik J.Rachbini, Ekonomi Politik Kebijakan dan Setrategi Pembangunan, (Jakarta : Penerbit Granit , 2004 )hlm 23. 30 Kusumaningtuti.perananop.Cit.,hlm18. 31 Ibid.

29

18

Pada sistem perbankan Indonesia, bagian-bagian yang dapat dikelompokan dalam struktur, substansi, dan budaya hukum adalah sebagaimana diuraikan dibawah ini. Sistem perbankan, yang termasuk dalam struktur adalah institusi yang menjadi otoritas yang mengeluarkan peraturan-peraturan perbankan yang baik. Lazimnya bank sentral atau otoritas pengawasan perbankan merupakan merupakan bagian pokok dari sturktur. Setiap lembaga pemerintah atau non pemerintah yang memiliki kewenangan untuk menentukan berfungsinya sistem perbankan yang baik juga merupakan bagian dari struktur ini. Sistem perbankan Indonesia, pada awalnya yang termasuk dalam cakupan struktur adalah Bank Indonesia sebagai lembaga supervisi dan regulasi perbankan, Departemen Keuangan sebagai lembaga perizinan perbankan (sebelum Undang-Undang Perbankan Nomor 10 Tahun 1998 tenteng Perbankan) dan sebagai lembaga pemberi penjaminan pemerintah, Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) sebagai lembaga penyehatan perbankan dan Komite Kebijakan Sektor Keuangan (KKSK) sebagai lembaga yang merumuskan kebijakan yang terkait dengan restrukturisasi perbankan dalam rangka pemulihan krisis.32 Saat ini, cakupan struktur dalam praktik Perbankan Indonesia adalah Bank Indonesia (sebagai lembaga supervisi dan regulasi perbankan), Departemen Keuangan (sebagai lembaga penjaminan pemerintah ), dan KKSK (sebagai lembaga yang merumuskan kebijakan32 Secara teori dalam restrukturisasi perbankan, yang termasuk dalam structure adalah hal-hal yang terkait dengan kerangka kelembagaannya .pembentukan otoritas tingkat tinggi yang di beri tuga untuk memastikan terdapatnya kebijakan yang konsisten di antara beberapa instansi pemerintah .institusi ini akan memperkuat setrategi restrukturisasi .lembaga-lembaga pengawasan sektor keuangan . agar efektif ,pejabat-pejabat wajib terus memiliki komitmen politik.Fakta menujukan bahwa pelaksanaan yang konsisten atas proses restrukturisasi yang kompleks menjadi sulit apabila tidak disertai dengan otoritas tunggal berikut mandate yang jelas .Institusi tersebut harus mendelegasikan sebagian besar masalah pelaksanaan pada lembaga lembaga terkait yang secara tepat. ibid , hlm19.

19

yang terkait dengan restrukturisasi perbankan dalam rangka pemulihan krisis) Masih termasuk dalam struktur adalah pembentukan pengadilan khusus untuk menangani restrukturisasi bank dan perusahaan. Demikian pula dengan perlunya pembentukan panel abritase dan fasilitas-fasilitas lain yang berkaitan dengan penyelsaian perselisihan di bidang keuangan luar pengadilan. Oleh karena itu, Pengadilan Niaga yang dibentuk dalam rangka memfasilitasi perselisihan penyelsaian asset serta sebagai forum yudisial yang menyelsaikan perkara kepailitan merupakan bagian dari struktur ini. Demikian pula dengan forum-forum penyelsaian sengketa di luar pengadilan.33 Sistem perbankan, yang termasuk dalam substansi adalah setiap regulasi dan kebijakan yang berkaitan deng perizinan, kegiatan usaha, maupun pembubaran bankbank baik yang diberlakukan secara individual maupun secara kelompok. Pada awalnya, yang termasuk substansi dalam sistem perbankan Indonesia adalah setiap ketentuan yang tertulis maupun tidak tertulis yang berbentuk peraturan perundangan maupun berbentuk arahan dari pemerintah termasuk KKSK maupun dari Bank Indonesia atau BPPN. Berdasarkan restrukturisasi perbankan, yang termasuk substansi adalah aturan hukum yang akan digunakan untuk menyelsaikan bank-bank bermasalah seperti halnya likuidasi bank. Aturan tersebut harus didasarkan pada undang-undang, dan bila perlu, dibuat peraturan yang sifatnya mendesak peraturan tersebut sekurang-kurangnya memuat (a) hak untuk melakukan intervensi bankbank yang lemah dan mendata penyertaan modal para pemegang saham ; (b) pengaturan33

Ibid., hlm 20.

20

penilaian asset dan memindahkan hak kreditor dan kepemilikan property dalam rangka melaksanakan strategi restrukturisasi bank; (c) penyesuaian aturan-aturan akunting dan auditing serta aturan-aturan penilaian koleteral; (d) pemastian kelayakan kewajaran pemilik dan pengurusan bank; (e) kemungkinan masuknya investor asing; (f) penyusunan kriteria perizinan bank baru; (g) pembatasan ekspor kewajiban dalam valuta asing serta pinjaman pada pihak terkait dan (h) pemusatan pemberian kredit. Setelah dibubarkan BPPN, yang termasuk substansi pada sistem perbankan Indonesia saat ini hanya ketentuan yang di keluarkan pemerintah, KKSK dan Bank Indonesia.34 Sementara itu yang termasuk budaya hukum dalam sistem perbankan adalah hal-hal yang terkait dengan cara para aparat otoritas yang melaksanakan hukum perbankan maupun bagaimana para pengurus atau pemilik bank memahami, mematuhi, dan melaksanakan ketentuan serta kebijakan perbankan. Pada konteks ini, tidak terlepas pula aspek politik hukum yang mempengaruhi penerapan kebijakan dan ketentuan di bidang perbankan demikian pula dengan sistem perbankan Indonesia, yang termasuk dalam budaya hukum adalah segala kebiasaan dan perilaku otoritas perbankan dan bank-bank beserta aparatnya dalam melaksanakan kebijakan operasi perbankan. Termasuk budaya hukum dalam restrukturisasi perbankan adalah kultur yang tidak mendukung kelancaran atau keberhasilan restrukturisasi perbankan seperti praktik korupsi, kolusi, dan koronisme. Sudut pandang kepentingan stabilitas

34

Ibid.

21

keuangan, praktik korupsi yang merajalela akan melemahkan kepercayaan masyarakat terhadap sistem keuangan dan akan menurunkan investasi. 35 Berkaitan dengan teori perlindungan hukum terhadap nasabah, penulis mengambil pendapat dari Marulak Pradede mengemukakan bahwa dalam sistem perbankan Indonesia, mengenai perlindungan terhadap nasabah penyimpan dana, dapat dilakukan melalui 2 teori yaitu, teori perlindungan secara impilisit (implicit deposit protection), dan teori perlindungan secara eksplisit (Explicit deposit protection).36 Mengenai teori perlindungan secara implisit (implicit deposit protection), yaitu perlindungan yang dihasilkan oleh pengawasan dan pembinaan bank yang efektif, yang dapat menghindarkan terjadinya kebangkrutan bank. Perlindungan ini yang diperoleh melalui: (1) peraturan perundang-undangan dibidang perbankan, (2) perlindungan yang dihasilkan oleh pengawasan dan pembinaan yang efektif, yang dilakukan oleh Bank Indonesia, (3) upaya menjaga kelangsungan usaha bank sebagai sebuah lembaga pada khususnya dan perlindungan terhadap sistem perbankan pada umumnya, (4) memelihara tingkat kesehatan bank, (5) melakukan usaha sesuai

Oleh karena itu , ada beberapa persyaratan minimal yang di perlukan untuk tidak mendorong praktik korupsi seperti (a) batas maksimum kredit kepada setiap debitor sesuai dengan standar internasional ;(b) larangan bagi kegiatan manipulasi pasar; dan (c) self dealfing . pengaturan yang memberikan perlindungan terhadap kepemilikan sejalan dengan upaya peningkatan kepercayaan dalam sistem keuangan ,perlu dilaksanakan secara efektif . Joseph J. Norton , Financial Sector Reform and International Financial Crises :The Legal Challenges, The London Institute of International Baking, Finance & Development Law , Great Britain 1988, hlm .28. 36 Hermansyah, Hukum Perbankan Nasional Indonesia, Kencana Pernada Media grup, Jakarta 2011, hlm., 145

35

22

dengan prinsip kehati-hatian, (6) cara pemberian kredit yang tidak merugikan bank dan kepentingan nasabah, dan (7) menyediakan informasi risiko pada nasabah.37 Mengenai teori perlindungan secara eksplisit (Explicit deposit protection), yaitu perlindungan melalui pembentukan suatu lembaga yang menjamin simpanan masyarakat, sehingga apabila bank mengalami kegagalan, lembaga tersebut yang akan mengganti dana masyarakat yang disimpan pada bank yang gagal tersebut, perlindungan ini diperoleh melalui pembentukan lemabaga yang menjamin simpanan masyarakat, sebagaimana diatur dalam Keputusan Presiden RI Nomor 26 Tahun 1998 tentang Jaminan terhadap Kewajiban Bank Umum.38

F. Metode Penelitian Dalam pembuatan skripsi ini, peneliti melakukan penelitian dengan menggunakan metode dan data sebagai berikut :

1. Spesifikasi Penelitian Dalam penelitian hukum ini peneliti menggunakan spesifikasi penelitian deskritif analitis yaitu menggambarkan serta menguraikan semua data yang diperoleh dari hasil studi kepustakaan yang berkaitan dengan judul penulisan hukum yang secara jelas dan rinci kemudian dianalisis guna menjawab permasalahan yang diteliti.

37 38

Ibid Ibdi., hlm 146.

23

2. Metode Pendekatan Metode pendekatan yang penulis pergunakan dalam penyusunan penulisan hukum ini adalah penelitian yuridis normatif atau penelitian hukum kepustakaan, yaitu penelitian hukum yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau data sekunder yang terdiri dari bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tersier39. Dalam penelitian ini penulis melakukan penelitian terhadap asas-asas hukum yang dikomaparasikan dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan Indonesia khususnya berhubungan dengan perlindungan nasabah terhadap likuidasi Bank yang dituangkan dalam kasus Bank Century.

3. Tahap Penelitian Tahap penelitian yang penulis pergunakan dalam penelitisn ini berupa pengumpulan data sekunder, yaitu data atau informasi hasil penelaahan dokumen penelitian serupa yang pernah dilakukan sebelumnya, bahan kepustakaan seperti buku-buku, literatur, Koran, majalah, jurnal, artikel internet, Undang-Undang, Peraturan Pemerintah, Peraturan Menteri, maupun arsip-arsip yang berkesesuaian dengan penelitian yang dibahas.40

39 40

Abdul Kadir. Hukum dan Penelitian Hukum. Citra Aditya Bakti, Bandung. 2004. hlm101 Ibid., hlm 67.

24

Menurut Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji menyatakan bahwa suatu penelitian hukum normatif mengandalkan pada penggunaan bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tertier. 41 a. Bahan hukum primer, yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat, dalam pembuatan skripsi ini bahan hukum yang akan di gunakan adalah UndangUndang Nomor. 10 Tahun 1998 tentang Perbankan , Undang-Undang No. 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2004 tentang Lembaga Penjamin Simpanan, dan KUHPerdata, KUHPidana. b. Bahan hukum sekunder, yaitu bahan yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer, seperti rancangan undang-undang, hasil-hasil penelitian, atau pendapat pakar hukum. c. Bahan hukum tersier, yaitu bahan yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, seperti kamus(hukum), ensiklopedia.

4.Teknik Pengumpulan Data. Teknik pengumpulan data yang dipergunakan dalam penulisan ini adalah studi kepustakaan. Studi kepustakaan adalah merupakan penelaahan peraturan perundang- undangan yang terkait serta buku-buku atau literatur sebagai bahan

Soerjono Soekanto dan Srimantudji, Penelitian Hukum Normative Suatu Tinjauan Singkat .Rajagrafindo Persada ,Jakarta 2001, hlm 13.

41

25

bacaan. Menurut Soejono Soekanto studi kepustakaan ini menelaah bahan-bahan hukum yang pokok yaitu undang-undang dalam arti materiil dan formal, hukum kebiasaan dan hukum adat yang tercatat, yurisprudensi yang konstan, traktat dan doktrin. Juga bahan-bahan yang dinamakan dokumen seperti autobiografi yang konprohensif, surat-surat pribadi, buku harian dan memori, surat kabar dan majalah, dokumen-dokumen pemerintah dan cerita-cerita rakyat.42

5. Metode Analisis Data Mengenai kegiatan analisis data dalam penelitian ini peneliti

mengklasifikasikan pasal-pasal dalam peraturan perundang-undangan, karya tulis para sarjana serta dokumen penunjang lainnya ke dalam kategori yang tepat. Setelah analisis data selesai, peneliti akan menyajikan hasilnya secara deskritif analisi yaitu dengan jalan menuturkan dan menggambarkan serta menganalisis hasil penelitian guna menemukan titik permasalahan yang deteliti.

6. Lokasi Penelitian Penelitian ini peneliti memilih lokasi penelitian di perpustakaan Universitas Subang

42

Moh. Nazir, Metode Penelitian, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1988, hlm. 246.

26

BAB II TINJAUAN TENTANG PERBANKAN BERDASARKAN HUKUM PERBANKAN DI INDONESIA

A. Pengertian Hukum Perbankan Apabila kita menelusuri sejarah dari terminologi bank, kita temukan bahwa kata bank berasal dari bahasa italy banca, yang berarti bence, yaitu suatu tempat duduk. Sebab, pada zaman pertengahan pihak bankir italy yang memberikan pinjaman-pinjaman melakukan usahanya tersebut dengan duduk di bangku-bangku di

26

27

halaman pasar.43 Sementara itu Munir Fuady menyatakan, bahwa hukum yang mengatur masalah perbankan disebut hukum perbankan (banking law), yakni seperangkat kaidah hukum dalam bentuk peraturan perundang-undangan,

yurisprudensi, doktrin, dan lain-lain sumber hukum, yang mengatur masalah-masalah perbankan sebagai lembaga dan aspek kegiatannya sehari-hari, rambu-rambu yang harus dipenuhi oleh suatu bank, perilaku petugas-petugasnya, hak, kewajiban tugas dan tanggung jawab para pihak yang tersangkut dengan bisnis perbankan, apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan oleh bank, eksistensi perbankan, dan lain-lain yang berkenan dengan dunia perbankan.44 Sedangkan Hermansyah menyatakan, bahwa bertitik tolak dari pengertian perbankan sebagai segala sesuatu yang menyangkut tentang bank, mencakup kelembagaan, kegiatan usaha, serta cara, dan proses melaksanakan kegiatan usahanya, maka pada prinsipnya hukum perbankan adalah keseluruhan norma-norma tertulis maupun norma-norma tidak tertulis yang mengatur tentag bank, mencakup kelembagaan, kegiatan usaha, serta cara, dan proses melaksanakan kegiatan usahanya. Norma-norma tertulis dimaksud adalah seluruh peraturan perundangundangan yang mengatur menganai bank, sedangkan norma-norma yang tidak tertulis adalah seluruh peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai bank,

43

Munir Fuady., Hukum Perbankan Modern kesatu , Citra Aditya Bakti, Bandung 2003, Djoni S. Gazali dan Rachmadi Usman., Hukum Perbankan, Sinar Grafika, Jakarta 2010,

hlm.,13.44

hlm 2.

28

sedangkan norma-norma yang tidak tertulis adalah hal-hal atau kebiasaan-kebiasaan yang timbul dalam praktik perbankan.45 Pengertian yang senada dikemukakan pula Tan Kamello menyatakan bahwa jika hukum perbankan diartikan dengan Undang-Undang Perbankan, maka diperoleh batasan bahwa hukum perbankan adalah sekumpulan peraturan hukum yang mengatur segala hal yang menyangkut tentang bank, baik kelembagaan, kegiatan usaha, serta cara dan proses dalam melaksanakan usaha bank. Namun jika dilihat dalam prespektif sistem sebagai entitas, maka hukum perbankan adalah sekumpulan peraturan hukum yang merupakan satu kesatuan yang masing-masing unsurnya

berkaitan satu sama lain dan bekerja sama secara aktif untuk mencapai tujuan keseluruhan dari hukum perbankan. Unsur sistem hukum perbankan yang dimaksudkan adalah peratuaran hukum (norma), asas-asas hukum, dan pengertianpengertian hukum yang terdapat di dalamnya. Unsur hukum tersebut dibangun di atas tertib hukum, sehingga terdapat keharmonisan di dalam atau di luarnya, dan dapat dihindarkan adanya tumpang tindih (overlapping) di antara unsur-unsur yuridis tersebut. Kalau terjadi konflik mengenai persoalan perbankan, maka solusinya adalah melalui asas hukum yang terdapat dalam sistem hukum perbankan itu sendiri.46 Dari pendapat-pendapat di atas, kiranya dapat di rumuskan pengertian hukum perbankan itu, yaitu kumpulan ketentuan hukum, yang meliputi peraturan hukum (norma) dan asas-asas hukum, struktur hukum dan budaya hukum yang mengatur

45 46

Ibid. Ibid ., hlm 3.

29

segala sesuatu yang menyangkut tentang bank, mencakup kelembagaan, kegiatan usaha, serta cara dan proses dalam melaksanakan kegiatan usahanya.47 Pengertian perbankan menurut Pasal 1 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan adalah segala sesuatu yang menyangkut tentang bank, mencakup kelembagaan, kegiatan usaha serta cara dan proses dalam melaksanakan kegiatan usahanya.48 Bank adalah badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkannya kepada masyarakat dalam bentuk kredit dan atau bentuk-bentuk lainnya dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat banyak ( Pasal 1 butir 2 Undang-Undang Nomor. 10 Tahun 1998 Tentang Perbankan ).49

B.

Sumber Hukum Perbankan. Setelah mendapat gambaran pengertian hukum perbankan sebagaimana

diuraikan di atas, maka tidak dapatlah dikesampingkan perlunya pemahaman terhadap sumber-sumber hukum yang ada dalam sistem hukum perbankan, yaitu sumber hukum dalam arti formal dan sumber hukum dari arti materiil. Sumber hukum formal dalam Hukum Perbankan Indonesia tidak hanya terbatas pada sumber hukum tertulis, dimungkinkan adanya sumber hukum yang tidak tertulis meskipun sangat sedikit, mengingat hukum perbankan itu sendiri lebih mengedepankan positifistik. Berbicara mengenai sumber hukum formal di Indonesia,47 48

Ibid. Sentosa Sembiring., Hukum Perbanka, Mandar Maju, Bandung 2008, hlm 1. 49 Ibid., hlm 2.

30

maka kita akan selalu menempatkan Undang-Undang Dasar 1945 sebagai sumber utama. Kita selanjutnya bisa mengurut sumber hukum formal mengenai bidang perbankan tersebut, sebagai berikut: 50 1. Undang-Undang Dasar 1945 Negara Kesatuan Republik Indonesia Pasal 23 huruf D beserta amandemennya. 2. Undang-Undang pokok di Bidang Perbankan dan undang-undang pendukung sektor ekonomi dan sektor lainya yang terkait, seperti : a. Peraturan pokok, yaitu Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan beserta perubahannya, yakni Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 dan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia beserta perubahannya, yaitu Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2004 dan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2004 tentang Lembaga Penjamin Simpanan. b. Peraturan pendukung yaitu baik Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dan Kitab Undang-Undang Hukum dagang maupun Kitab Undang-Undang Hukum Pidana serta undang-undang lainnya yang berkaitan dan banyak hubungannya dengan kegiatan perbankan, misalnya: 1) Undang-Undang yang mengatur badan usaha atau lembaga

yang berkaitan dengan perbankan, seperti Undang-Undang Nomor 49 Tahun 1960 tentang Panitia Urusan Piutang Negara; Undang-Undang

50

Muhamad Djumhana., Hukum Perbankan di Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung 2006,

hlm.6

31

Nomor 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian; Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas; Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara; serta Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan penundaan kewajiban Pembayaran Utang 2) Undang-undang pengesahan yang berkaitan dengan perjanjian

internasional, baik di bidang perbankan maupun bidang ekonomi, seperti Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1994 tentang pengesahan Agreement Establishing Trade Organization. 3) Undang-undang yang mengatur kegiatan ekonomi lainya,

seperti Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal, Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1999 tentang Lalu Lintas Devisa dan Sistem Nilai Tukuar Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang beserta perubahannya, yaitu Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2003; Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2002 tentang Surat Utang Negara. 4) Undang-undang yang berkaitan dengan jaminan, seperti

Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan atas Tanah Beserta Benda-Benda yang Berkaitan dengan Tanah dan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia. 3. Peraturan Pemerintah

32

a. Peraturan pelaksanaan dari Undang-Undang Perbankan seperti: 1) Peraturan Pemerintah Nomor 84 Tahun 1998 tentang Program

Rekapitulasi Bank Umum. 2) Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1999 tentang ketentuan

dan Tata Cara Pembukaan Kantor Cabang, Kantor Cabang Pembantu, dan Kantor Perwakilan dari Bank yang berkedudukan di luar negeri. 3) Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 1999 tentang

Pencabutan Izin Usaha, Pembubaran, dan Likuidasi Bank. 4) Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1999 tentang Merger,

Konsolidasi, dan akuisisi Bank. 5) Peraturan Pemerintah Nomor 29 Tahun 1999 tentang

Pembelian Saham Bank Umum. 6) Peraturan Pemerintah Nomor 30 Tahun 1999 tentang

Pencabutan Peraturan Pemerintah Nomor 70 Tahun 1992 tentang Bank Umum sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Peraturan Pemerintah Nomor 73 Tahun 1998, Peraturan Pemerintah 71 Tahun 1992 tentang Bank Perkereditan Rakyat, dan peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 1992 tentang Bank Berdasarkan Prinsip Bagi Hasil. 7) Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 32 Tahun

2005 tentang Modal Awal Lembaga Penjamin Simpanan.

33

8)

Peraturan Pemerintah Nomor 39 Tahun 2005 tentang

Penjaminan Simpanan Nasabah Bank Berdasarkan Prinsip Syariah b. Peraturan pemerintah pelaksanaan dari undang-undang yang berkaitan dengan kegiatan perbankan termaksud dalam angka 5 diatas, seperti: 1) Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 1994 tentang Pajak

Penghasilan atas Bunga Deposito dan Tabungan serta Diskonto Sertifikat Bank Indonesia. 2) Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 1998 tentang

Perusahaan Perseroan (persero) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 2001 3) Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1998 tentang

Penggabungan, Peleburan dan Pengambilalihan Perseroan Terbatas 4) Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 2005 tentang

Penghitungan Jumlah Hak Suara Kreditur 5) Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 2005 tentang Modal

Awal Lembaga Penjamin Simpanan 6) Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun 2005 tentang Pinjaman

Daerah. c. Peraturan Presiden (Perpres),51 misalnya:

Istilah Peraturan Presiden menggantikan keputusan Presiden sesuai dengan ketentuan Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundangundangan.

51

34

1) Keputusan Presiden Nomor 59 Tahun 1972 tentang Penerimaan Kredit Luar negeri 2) Keputusan Presiden Nomor 5 Tahun 1984 tentang Penerbitan Sertifikat Bank Indonesia. 3) Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2005 tentang Pengakhiran Jaminan Pemerintah terhadap Kewajiban Pembayaran Bank Perkeriditan Rakyat. 4) Dan peraturan presiden lainnya. d. Peraturan lainnya yang dikeluarkan oleh institusi pemerintah yang tidak langsung mengurus perbankan, tetapi peraturannya memuat ketentuan yang erat dengan kegiatan perbankan atau secara langsung mengatur kegiatan perbankan, misalnya, Peraturan Menteri Dalam Negeri yang mengatur Perbankan Milik Pemerintah Daerah dan Keputusan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal, contoh peraturan tentang Persetujuan Bank Umum sebagai Kustodian.

C. Pengaturan Perlindungan Nasabah Bank Likuidasi dalam Hukum Perbankan Indonesia. Salah satu aspek penting dalam bahasan hubungan hukum antara nasabah dengan bank adalah perjanjian antara keduanya, yang biasanya dibuat secara sepihak oleh bank. Seiring dengan perkembangan hukum dan masuknya hukum dari negara

35

Anglo Saxon, maka perjanjian sebagaimana diatur dalam KUHPerdata Pasal 1320 tentang syarat syahnya perjanjian yang dianut oleh Indonesia yaitu meliputi :52

1.Sepakat mereka mengikat dirinya. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya mengandung makna bahwa para pihak yang membuat perjanjian telah sepakat atau ada persesuaian kemauan atau saling menyetujui kehendak masing-masing, yang dilahirkan oleh para pihak dengan tidak ada paksaan, kekeliruan dan penipuan.53 Persetujuan mana dapat dinyatakan secara tegas maupun secara diam-diam. Persoalan yang sering dikemukakan dalam hubungan ini adalah, kapan saja kesepakatan itu terjadi. Persoalan ini sebenarnya tidak akan timbul jika para pihak yang membuat perjanjian itu pada suatu saat bersama-sama berada di satu tempat dan disitulah dicapai kata sepakat. Akan tetapi, nyatanya dalam pergaulan hukum di masyarakat tidak selalu demikian, melainkan banyak perjanjian terjadi antara pihak melalui surat menyurat, sehingga menimbulkan persoalan kapan saatnya kesepakatan itu terjadi. Hal ini penting dipersoalkan sebab untuk perjanjian-perjanjian yang tunduk pada asas konsesualitas, saat terjadi kesepakatan merupakan saat terjadinya perjanjian. Ada empat teori yang mencoba memberikan penyelsaian persoalan itu: a.52

Uiting theorie (teori saat melahirkan kemauan).Riduan Syahrani, Seluk Beluk dan Asas-asas Hukum Perdata, Alumin, Bandung 2004,

hlm., 205. Paksaan (dwang) dan penipuan (bedrog) merupakan 3 hal yang mengakibatkan kesepakatan tidak sempurna (Pasal 1321KUHPidana).53

36

Menurut teori ini perjanjian terjadi apabila atas penawaran telah dilahirkan kemauan menerimanya dari pihak lain. Mulai menulis surat penerimaan b. Verzend theorie (teori saat mengirim surat penerimaan) Menurut teori ini perjanjian terjadi pada saat surat penerimaan dikirimkan kepada si penawar. c. Ontavangs theorie (teori saat menerima surat penerimaan) menurut teori ini perjanjian terjadi pada saat menerima surat penerimaan sampai di alamat si penawar. d. Vernemings theorie (teori saat mengetahui surat penerimaan) Menurut teori ini perjanjian baru terjadi, apabila si penawar telah membuka dan membaca surat penerimaan itu. Subekti dalam bukunya Hukum Perjanjian menyatakan bahwa menurut ajaran yang lazim dianut sekarang perjanjian harus dianggap dilahirkan pada saat dimana pihak yang melakukkan penawaran (efferete) menerima yang termaktub dalam surat tersebut, sebab detik itulah dapat dianggap sebagai detik lahirnya kesepakatan. Bahwasanya mungkin ia tidak membaca surat itu, hal itu menjadi tanggungjawabnya sendiri. Surat itu dianggap sepantasnya membaca surat-surat yang diterimanya dalam waktu sesingkat-singkatnya. Menurut Wirjono Prodjodikoro, Ontavangs theorie dan Vernemings theorie dapat disatukan sedemikian rupa, yaitu dalam keadaan biasa perjanjian harus dianggap terjadi pada saat surat penerimaan sampai pada alamat penawar (ontavangs

37

theorie), tetapi dalam keadaan luar biasa kepada sipenawar diberikan kesempatan untuk membuktikan bahwa itu tidak mungkin dapat mengetahui isi surat penerimaan pada saat surat itu sampai dialamtnya, melainkan baru beberapa hari kemudian atau beberapa bulan kemudian, misalnya karena berpergian atau sakit keras. Persoalan kapan lahirnya perjanjian betapapun juga adalah sangat penting untuk diketahui dan ditetapkan, berhubung undangan yang mempunyai pengaruh terhadap pelaksanaan perjanjian, beralihnya risiko dalam perjanjian, tempat lainnya dan ditutupnya perjanjian dan sebagainya. Persoalan kapan lahirnya perjanjian betapapun juga adalah sangat penting untuk diketahui dan ditetapkan, yang mempunyai pengaruh terhadap pelaksanaan perjanjian, beralihnya risiko dalam perjanjian, tempat lainnya dan ditutupnya perjanjian. Persoalan lain dalam hubungan ini yang sering juga diperbincangkan adalah, seandainya kata-kata penawaran yang dikeluarkan lewat alat komunikasi itu tidak cocok dengan apa yang sebetulnya diinginkan oleh orang yang mengeluarkan penawaran itu, sedangkan dipihak lain telah mempercayainya dan menyesuaikan dirinya dengan pernyataan yang keliru itu, apakah disini terjadi perjanjian Menurut wils theorie (teori kemauan), tidak terjadi perjanjian perjanjian tetapi pihak yang mengeluarkan pernyataan tersebut tidak terlepas baegitu saja dari tanggung jawab atas akibat-akibat yang timbul karena pernyataan yang dikeluarkan tapi keliru. Sehingga dalam hal ini ia diwajibkan untuk membayar ganti kerugian kepada siapa

38

yang menderita kerugian akibat tindakannya mengeluarkan pernyataan meskipun tidak sesuai dengan keinginannya. Sedangkan menurut vertrouwens theorie (teori kepercayaan), telah terjadi perjanjian. Sebab kemauan yang masih tersimpan dalam hati sanubari artinya belum dinyatakan belum diatur oleh hukum. Hukum hanya mengatur apa-apa yang lahir dan dilahirkan yakni segala yang tampak dari tingkah laku orang seorang dalam pergaulan hidup di tengah-tengah masyarakat. Kebanyakan para sarjana berpendapat bahwa sepanjang tidak ada dugaan pernyataan itu keliru melainkan sepantasnya dapat dianggap melahirkan keinginan orang yang mengeluarkan pernyataan itu, vertrouwens thorie (teori kepercayaan) yang dipakai.

2. Cakap untuk membuat suatu perjanjian Cakap (bekwaam) merupakan syarat umum untuk dapat melakukan perbuatan hukum secara sah yaitu harus sudah dewasa, sehat akal pikiran dan tidak dilarang oleh suatu peraturan perundang-undangan untuk melakukan suatu perbuiatan tertentu. Orang yang kurang sehat akal pikiranya, dalam hukum perdata Barat hanya mereka yang telah berada di bawah pengampuan saja yang dianggap tidak dapat melakukan perbuatan hukum secara sah. Sedangkan orang-orang yang kurang atau tidak sehat akal pikirannya yang tidak berada di bawah pengampuan (curatele) tidak demikian, perbuatan hukum yang dilakukannya tidak dapat dikatakan tidak sah kalau hanya didasarkan Pasal 1320 Ayat (2) BW. Akan tetapi, perbuatan hukum itu dapat

39

dibantah dengan alasan tidak sempurnanya kesepakatan yang diperlukan, juga untuk sahnya perjanjian sebagaimana ditentukan Pasal 1320 Ayat (1) BW. Dilihat dari sudut rasa keadilan memang benar-benar perlu bahwa orang yang membuat perjanjian yang nantinya akan terikat oleh perjanjian yang dibuatnya itu harus benar-benar mempunyai kemampuan untuk menginsyafi segala tanggung jawab yang bakal dipikulnya karena perbuatannya. Sedangkan bila dilihat dari sudut ketertiban umum, karena orang yang membuat perjanjian mempertaruhkan kekayaannya, sehingga sudah seharusnya orang tersebut sungguh-sungguh berhak berbuat bebas terhadap harta kekayaannya. Tegasnya syarat kecakapan untuk membuat suatu perjanjian ini mengandung kesadaran untuk melindungi baik bagi dirinya dan bagi miliknya maupun dalam hubungan keselamatan keluarganya.

3. Suatu Hal tertentu Suatu hal tertentu dalam perjanjian adalah barang yang menjadi obyek suatu perjanjian ini harus tertentu, setidak-tidaknya harus ditentukan jenisnya, sedangkan jumlahnya tidak perlu ditentukan, asalkan saja kemudian dapat ditentukan atau diperhitungkan. Selanjutnya dalam Pasal 1334 Ayat (1) BW ditentukan bahwa barang-barang yang baru akan ada kemudian hari juga dapat menjadi obyek suatu perjanjian.

40

Menurut Wirjono Prodjodikoro, zbarang yang belum ada yang dijadikan obyek perjanjian tersebut bisa dalam pengertian mutlak (absolut) dan bisa dalam pengertian relatif (nisib). Belum ada dalam pengertian mutlak misalnya, perjanjian jual beli beras, beras yang diperjual-belikan sudah terwujud beras, pada saat perjanjian diadakan masih milik orang lain, tetapi akan menjadi milik penjual. Namun menurut Pasal 1344 Ayat (2) BW barang-barang yang akan masuk hak warisan seseorang karena yang lain akan meninggal dunia dilarang dijadikan obyek suatu perjanjian, kendatipun hal itu dengan kesepakatan orang yang akan meninggal dunia dan akan meninggalkan barang-barang warisan. Adanya laranngan ini karena menjadikan barang yang akan diwarisi itu dihibahkan oleh calon suami kepada calon isteri dalam perjanjian kawin atau oleh pihak ketiga kepada calon suami atau calon isteri, ini diperkenankan. Kemudian dalam Pasal 1322 BW ditentukan bahwa barang-barang yang dapat dijadikan obyek perjanjian hanyalah barang-barang yang dapat diperdagangkan. Lazimnya barang-barang yang dipergunakan untuk kepentingan umum dianggap sebagai barang-barang diluar perdagangan, sehingga tidak bisa dijadikan obyek perjanjian.

4. Suatu sebab yang halal Suatu sebab yang halal merupakan syarat yang keempat untuk sahnya perjanjian. Mengenai syarat ini Pasal 1335 BW menyatakan bahwa suatu perjanjian tanpa sebab,

41

atau telah dibuat karena suatu sebab yang palsu atau terlarang, tidak mempunyai kekuatan. Ternyata pembentuk undang-undang membayangkan tiga macam perjanjian mungkin terjadi yakni (1) perjanjian yang tanpa sebab, (2) perjanjian dengan suatu sebab yang palsu atau terlarang, dan (3) perjanjian dengan suatu sebab yang halal. Persoalan pokok dalam hal ini adalah apakah pengertian perkataan sebab itu sebenarnya, dari sejumlah interpretasi dan penjelasan para ahli dapat disimpulkan bahwa pengertian perkataan sebab itu adalah sebagai berikut: a. perkataan sebab sebagai salah satu syarat perjanjian

adalah sebab dalam pengertian ilmu pengetahuan hukum yang berbeda dengan pengertian ilmu pengetahuan lainnya. b. Perkataan sebab itu bukan pula motif (desakan jiwa

yang mendorong seseorang melakukan perbuatan tertentu) karena motif adalah soal bathin yang tidak diperdulikan oleh hukum.Perkataan sebab secara letterlijk berasal dari perkataan oorzak (bahasa Belanda) atau causa (bahasa Latin) yang menurut riwayatnya bahwa yang dimaksud dengan perkataan itu dalam perjanjian adalah tujuann yakni apa yang dimaksudkan oleh kedua ppihak dengan mengadakan perjanjjian. Perkataan lain kata sebab berarti isi perjanjian itu sendiri.

42

c.

Kemungkinan perjanjian tanpa sebab yang dibayangkan

dalam Pasal 1335 BW adalah suatu kemungkinan yang tidak akan terjadi, karena perjanjian itu sendiri adalah isi bukan tempat yang harus diisi. Kemudian yang perlu mendapat perhatian dalam hubungan ini adalah apa yang dinyatakan Pasal 1336 BW, bahwa jika tidak dinyatakan sesuatu sebab, tetapi ada sesuatu sebab yang halal, ataupun jika sebab yang lain dari pada yang dinyatakan persetujuan namun demikian sah.54 Oleh para ahli dikatakan bahwa kata sebab dalam Pasal 1336 BW itu adalah kejadian menyebabkan adanya hutang, misalnya perjanjian jual beli barang atau perjanjian perjanjian peminjaman uang dan sebagainya. Sehingga yang dimaksud dengan persetujuan dalam Pasal 1336 BW itu tidak lain adalah surat pengakuan hutang bukan perjanjiannya sendiri. Oleh karena itu, surat pengakuan hutang yang menyebutkan sebabnya (causanya) dinamakan cautio discerta. Sedangkan yang tidak menyebutkan sebabnya (causanya) dinamakan cautioindiscreta.55 Akhirnya, Pasal 1337 BW menentukan bahwa sesuatu sebab dalam perjanjian tidak boleh bertentangan dengan undang-undang kesusilaan dan ketertiban umum. Demikianlah syarat-syarat yang harus dipenuhi untuk sahnya suatu perjanjian pada umumnya sebagaimana dikhendaki Pasal 1320 BW. Untuk perjanjian. Perdamaian (Pasal11851 Ayat (2) BW), perjanjian tentang besarnya bunga Pasal 1767 Ayat (3) BW. 5654 55

Ibid., hlm., 212 Ibid. 56 Ibid.

43

Pasal 1320 KHUPerdata selama ini mengalami pergeseran. Di antara pergeseran dalam pembuatan perjanjian adalah perjanjian antara produsen dan konsumen yang salah satunya adalah antara bank dengan nasabah. Hal ini tercermin dalam Pasal 18 ayat 1 dan 2 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen selengkapnya berbunyi sebagai berikut:57 Ayat 1: pelaku usaha dalam menawarkan barang dan atau jasa yang ditujukan untuk diperdagangkan, dilarang membuat atau mencantumkan klaausula baku pada setiap dokumen dan atau perjanjian apabila:58 1. menyatakan pengalihan tanggung jawab pelaku usaha 2. menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali barang yang dibeli konsumen; 3. menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali barang yang dibeli oleh konsumen 4. menyatakan pemberian kuasa dari konsumen kepada pelaku usaha, baik secara langsung maupun tidak langsung untuk melakukan segala tindakan sepihak yang berkaitan dengan barang yang dibeli oleh konsumen. 5. mengatur perihal pembuktian atas hilangnya kegunaan barang atau pemanfaatan jasa yang dibeli oleh konsumen

Try Widiyono, Aspek Hukum Operasional Perbankan di Indonesia, Gahlia Indonesia, Bogor 2006 hlm 66. 58 Ibid., hlm 67.

57

44

6. memberi hak kepada pelaku usaha untuk mengurangi manfaat jasa atau mengurangi jasa atau mengurangi harta kekayaan konsumen yang menjadi objek jual beli jasa; 7. menyatakan tunduknya konsumen kepada peraturan yang berupa aturan baru, tambahan, lanjutan dan atau pengubahan lanjutan yang dibuat sepihak oleh pelaku usaha dalam masa konsumen secara angsuran. Ayat 2: pelaku usaha dilarang mencantumkan klausula baku yang letak atau bentuknya sulit terlihat atau tidak dapat dibaca secara jelas atau yang pengungkapannya.59 Adapun langkah nyata dari Bank Indonesia dalam perlindungan nasabah saat ini sudah semakin terlihat, diantaranya, menempatkan perlindungan nasabah sebagai salah satu pilar perbankan nasional. Menyangkut pengaturan pun sudah terlihat dengan diterbitkannya beberapa peraturan yang secara fokus untuk melindungi nasabah, diantaranya:60 a. Peraturan Bank Indonesia Nomor 7/7/PBI/2006 tentang penyelesaian pengaduan Nasabah. b. Peraturan Bank Indonesia Nomor 8/5/PBI/2006 tanggal 30 Januari 2006 tentang Mediasi Perbankan. Berdasarkan dua peraturan perundang-undangan khusus di atas yang materinya ditujukan untuk perlindungan nasabah, maka sudah menjadi keharusan

59 60

Ibid. Muhamad Djumhana, Hukum Perbankan, op.Cit., hlm 343.

45

bagi kita untuk menghargainya atas upaya tersebut. Namun begitu, masyarakat masih mengharapkan lebih baik lagi kiprah Bank Indonesia dalam rangka melindungi konsumen tersebut.61 Seiring dengan peratuaran Bank Indonesia yang telah dibuat untuk mengembalikan kepercayaan masyarakat dan sekaligus melindungi hak-hak penyimpan dana, akhirnya pemerintah mengeluarkan Keputusan Presiden Nomor 26 Tahun 1998 tentang Jaminan terhadap Kewjiban Pembayaran Bank Umum dan Keputusan Presiden nomor 193 Tahun 1998 tentang Program Penjaminan Bank Perkeriditan Rakyat, yang pada intinya memberi perlindungan hukum secara langsung kepada nasabah penyimpan dana terhadap kegagalan Bank Umum maupun BPR dalam memenuhi kewajibannya.62

D. Asas-Asas Hukum Perbankan dan Tujuannya Bahwa dalam memahami asas hukum perbankan, dengan sendirinya harus terlebih dahulu juga mempunyai pemahaman materi asas hukum pokoknya, seperti asas hukum administrasi negara dan hukum tata negara, asas hukum perdata, asas hukum pidana, dan juga asas hukum Islam, serta asas hukum Internasional. Uraian untuk itu semua khusus dalam bingkai permasalahan yang berkaitan langsung dengan lembaga atau industri perbankan.63

Ibid. Djoni S.Gazali dan Rachmadi Usman, Hukum perbankan, op.Cit., hlm 568. 63 Muhamad Djumhana, Asas-asas Hukum Perbankan Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung 2008, hlm., 235.62

61

46

1. Asas Hukum Umum Perbankan Indonesia a. Asas-asas Hukum Tata Negara dan Hukum Administrasi Negara yang Terkait dengan Operasional Perbankan Gambaran untuk memahami keterkaitan antara hukum tata negara dan perbankan, perlu terlebih dahulu memahami mengenai hubungan lembaga kenegaraan dengan hukum tata negara. Kelembagaan itu sendiri mengandung pengertian sebagai seperangkat peraturan yang menyangkut hak dan kewajiban. Salah satu pendapat yang dapat menggambarkan kondisi tersebut, yaitu pendapatnya Van Vollenhoven, dia mengatakan bahwa:64 badan-badan kenegaraan tanpa hukum tata negara adalah lumpuh karena mereka tidak diberi kekuasaan atau kekuasaannya itu tidak menentu dan badan kenegraan tanpa hukum administrasi negara adalah bebas karena mereka dapat menggunakan kekuasaannya itu sekehendak hatinya saja. Gambaran pendapat tersebut menunjukan bahwa badan-badan kenegaraan itu memperoleh wewenangnya dari hukum tata negara dan badan-badan kenegaraan itu menggunakan wewenangnya itu harus berdasarkan atau sesuai dengan hukum administrasi negara (asas negara hukum).65 Berpijak pada pengertian-pengertian tersebut di atas, maka ruang lingkup kelembagaan dari sudut pandang administrasi negara menyangkut hal-hal berikut: 66 1) Kelembagaan adalah kreasi manusia, beberapa bagian penting kelembagaan adalah hasil akhir dari kegiatan manusia yang dilakukan secara sadar.64 65

Ibid., hlm 236. Ibid., 66 Ibid., hlm 237.

47

2) Kumpulan individu, karena itu kelembagaan dirumuskan dan diputuskan bersama-sama bukan secara perorangan. 3) Dimensi waktu, dapat diaplikasikan dalam situasi yang berulang dalam suatu dimensi waktu. 4) Dimensi tempat, lingkungan fisik adalah salah satu determinan penting dalam aransemen dan pembentukan struktur kelembagaan 5) Aturan main dan norma, anggota masyarakat harus mengerti rumusanrumusan yang mewarnai semua tingkah laku dan norma yang dianut dalam kelembagaan tersebut. 6) Sistem pemantauan dan penegakan aturan.aturan main dan norma harus dipantau dan di tegakan oleh suatu badan yang kompeten atau oleh masyarakat secara internal. 7) Hierarki dan jaringan, bagian dari hierarki dan jaringan atau sistem kelembagaan yang lebih kompleks. 8) konsekuensi kelembagaan, kelembagaan meningkatkan rutinitas dan memiliki pengaruh bagi terciptanya suatu pola interaksi yang stabil. Hal-hal di atas penting dipahami guna mendukung pemahaman yang lebih komperhensif atas seluruh permasalahan yang berkaitan dengan kelembagaan dan hubungannya dengan aspek yang menjadi bidang garapan dari lemabaga tersebut.67

67

Ibid.

48

Kelembagaan negara atau pemerintahan yang berkaitan dengan perbankan dan diatur langsung dalam konstitusi, yaitu lembaga bank sentral. Undang-Undang Dasar 1945, diatur sebagai berikut : Negara memiliki suatu bank sentral yang susunan, kedudukan kewenangan, tanggung jawab, dan independensinya diatur dengan undang-undang.68 Undang-undang pelaksanaan dari amanat ketentuan konstitusi tersebut, yaitu Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia. Ketentuan yang mengatur bank sentral, baik susunan kedudukan,

kewenangan, tanggung jawab, dan independensinya semuanya paling tidak berpijak pada asas-asas sebagai berikut :69 1) asas pemisahan secara organisasional antara jabatan yang menjabatnya dan pikiran, pandangan hidup, perasaan, kepentingan pribadi tidak boleh dicampuradukan dengan tugas, fungsi, dan kewajiban jabatan. 2) Asas persamaan ketundukan pada hukum, yang menyatakan bahwa pejabat penguasa negara (sebagai pemegang policy pemerintah) jika berbuat atau bertindak diluar batas-batas tugas dan wewenang jabatannya (jika sedang tidak berdinas) berkedudukan sama

dalam/terhadap hukum, seperti setiap warga masyarakat biasa.

68 69

Ketentuan Pasal 23D Undang-Undang Dasar 1945 amandemen keempat. Ibid., hlm 238

49

3) Asas pemisahan kas, yang menyatakan, bahwa harta kekayaan pribadi (kas pribadi) dipisah secara tegas dari harta benda/kekayaan negara (kas negara) Ketiga asas tersebut memberikan landasan kepada bank sentral dalam kedudukannya sebagai suatu lembaga. fungsinya memelihara kestabilan nilai rupiah, maka Bank Indonesia mempunyai tugas menetapkan dan melaksanakan kebijakan moneter ; mengatur dan menjaga kelancaran sistem pembayaran; serta mengatur dan mengawasi bank. Bank indonesia dengan otoritas moneter yang independen, saat ini tidak lagi memberikan kredit program, tetapi dalam menjalankan tugas dan fungsinya dapat mengakomodasi prinsip-prinsip yariah kegiatannya.70Bank Indonesia dalam menjalankan tugas pengaturan dan pengawasan bank,71 berwenang untuk menetapkan peraturan dan perizinan bagi kelembagaan dan kegiatan usaha bank serta mengenakan sanksi terhadap bank.72 Bank Indonesia sebagai lembaga negara yang independen berada di luar pemerintahan, mandiri bebas dari campur tangan pemerintah dan/atau pihak lainnya, kecuali untuk hal-hal yang secara tegas diatur dalam Undang-Undang Bank Indonesia.73 Bank Indonesia sebagai lemabaga mandiri, namun harus didasari dan memenuhi prinsip pertanggungjawaban kepada masyarakat (akuntabilitas publik)Lihat pasal 10 ayat (2) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia. 71 Dalam hal pengawasan bank, maka Bank Indonesia sesuai dengan ketentuan Pasal 34 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia akan menyerahkannya kepada lembaga yang akan dibentuk kemudia dan akan dilaksanakan selambat-lambatnya 31 Desember 2002. Ketentuan tersebut diubah waktunya melalui Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2004, menjadi selambat-lambatnya 31 Desember 2010. 72 Lihat ketentuan Pasal 15 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia 73 Lihat ketentuan Pasal 4 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia.70

50

bahwa Bank Indonesia dituntut untuk transparan dalam menetapkan kebijakannya serta terbuka bagi pengawasan oleh masyarakat.74 Bank Indonesia tersebut hadir dan dibentuk guna dapat mengorganisasi, serta mengoperasionalisasikan kebijakan publik (public policy) di bidang perbankan dan moneter. Kedudukan seperti itu, maka kebijakan yang diambilnya dapat berupa bentuk penetapan-penetapan yang bersifat beschiking, seperti contohnya pemberian izin usaha jasa perbankan atau pencabutan izin, itu semua merupakan bagian dari suatu putusan tata usaha negara sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 1 angka 3 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 9 tahun 2004.75 Pembahasan hukum perbankan yang bersentuhan dengan hukum administrasi negara, maka konsep dan pengertian kewenangan atau wewenang dasar kewenangan untuk melakukan perbuatan hukum dalam suatu jabatan yang berkaitan dengan pelayanan kepada masyarakat menyangkut bidang perbankan.76 Namun, demikian juga dapat berkaitan dengan kedudukan pejabat administrasi negara sebagai nasabah di mana kewenangan pengeluaran atau pengelolaan uang negara/daerah yang menggunakan jasa perbankan harus diperhatikan si pejabat tersebut, apakah berwenang atau tidak.77

Muhamad Djumhana, AsasOp.Cit., hlm.239. Ibid.,hlm. 240. 76 Pelayanan yang diberikan oleh pejabat kepada masyarakat menyangkut bidang perbankan, yaitu menyangkut perizinan untuk berusaha di bidang perbankan. 77 Muhamad Djumhana, AsasOp.Cit., hlm.24075

74

51

Kedudukan sebagai nasabah, maka pada lembaga tata usaha negara tersebut melekat asas hukum administrasi negara yang berhubungan dengan pelayanan perbankan, diantaranya, yaitu sebagai berikut:78 1) Asas bahwa terhadap benda-benda public tidak dapat diletakan sita jaminan, asas tersebut telah diterapkan dalam ketentuan Pasal 50 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara: Pihak mana pun dilarang melakukan penyitaan terhadap : a) Uang atau surat berharga milik negara/daerah, baik yang berada pada instansi pemerintah maupun pada pihak ketiga; b) Uang yang harus disetor oleh pihak ketiga kepada negara/daerah; c) Barang bergerak milik negara/daerah, baik yang berada pada instansi pemerintah maupun pada pihak ketiga d) Barang tidak bergerak dan hak kebendaan lainnya milik

negara/daerah; e) Barang milik pihak ketiga yang dikuasai oleh negara/daerah yang diperlukan untuk penyelenggaraan tugas pemerintahan 2) asas bahwa negara selalu harus dianggap akan selalu mampu membayar (solvable). Berdasarkan asas-asas tersebut di atas, yang berkaitan dengan perbankan, diantaranya, bahwa bank yang diberi kepercayaan menyimpan uang atau surat

Lihat uraian dari philipus M. Hadjon, et al., Pengantar Hukum Administrasi Indonesia, Cetakan Kelima, Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1997, hlm, 375

78

52

berharga milik negara/daerah tidak boleh memberikan izin untuk penyitaan milik negara /daerah yang disimpannya apabila ada permohonan dari pihak mana pun, bahkan uang yang masih dalam proses untuk diserahkan kepada negara /daerah pun tidak boleh dihentikan proses pemindahbukuannya. Negara/daerah selalu harus dianggap akan selalu mampu membayar (solvable), dengan demikian negara/daerah merupakan nasabah yang mudah dikenali.79

b. Asas-asas Hukum Perdata yang Terkait dengan Operasional Perbankan Asas hukum perdata yang terkait dengan operasional perbankan sangatlah banyak karena kegiatan perbankan pada dasarnya lebih besar keperdataannya. Asas hukum perdata yang sangat besar keterkaitannya dengan perbankan, yaitu asas-asas hukum perikatan. Perikatan hukum merupakan bagian dari operasional perbankan, maka asas hukum perikatan telah menyatu dalam kegiatan operasional perbankan sehingga dengan sendirinya menjadi bagian dari pembahasan asas hukum perbankan pula.80 Keberadaan asas hukum perikatan tersebut dikenali, baik dalam operasional perbankan konvensional maupun operasional perbankan syariah. Paling utama dalam suatu perikatan atau perjanjian, yaitu syarat sahnya suatu perikatan atau perjanjian

79 80

Muhamad Djumhana, AsasOp.Cit., hlm 241. Ibid.

53

tersebut. Berdasarkan Pasal 1320 KUHPerdata, perikatan atau perjanjian harus memenuhi empat syarat yaitu:81 1) Sepakat (consensus), yaitu ada perizinan yang bebas dari orang-orang yang mengikatkan diri serta harus mempunyai kemauan yang bebas untuk meningkatkan diri dan kemauan itu harus dinyatakan, baik dengan tegas maupun secara diam-diam. 2) Kecakapan untuk membuat suatu perjanjian (capacity) 3) Suatu hal tertentu yang diperjanjikan (certainty of terms), dalam suatu perikatan atau perjanjian objeknya haruslah suatu hal atau suatu barang yang cukup jelas atau tertentu, agar dapat menetapkan kewajiban para pihak. 4) Suatu sebab yang halal (consideration), tujuan yang dikehendaki/isi dari perjanjian yang dilakukan oleh kedua pihak harus ada/jelas. Syarat pertama dan kedua di atas merupakan syarat subjektif, yang berarti apabila suatu perikatan atau perjanjian tidak memenuhi kedua syarat tersebut, perikatan atau perjanjian tersebut dapat dibatalkan, sebaliknya, syarat ketiga dan keempat diatas merupakan syarat objektif, yang berarti apabila suatu perikatan atau perjanjian tersebut batal demi hukum dan sejak semula dianggap tidak terjadi perjanjian.82

81

Riduan Syahrani , Seluk-beluk dan Asas-Asas Hukum Perdata, Alumni, Bandung, 2004, Muhamad Djumhana, AsasOp.Cit., hlm.,242

hlm., 205.82

54

Selain asas perikatan sebagaimana tercantum dalam KUHPerdata, ada juga dikenal beberapa contoh asas dalam perikatan lainnya yang tidak termuat dalam peraturan perundang-undangan, diantaranya:83 1) asas kebebasan berkontrak asas kebebasan berkontrak merupakan asas kebebasan para pihak untuk menentukan isi perjanjian, setelah Perang Dunia Kedua dan terutama menjelang akhir abad ke-20 ini sudah banyak diubah oleh peraturan-peraturan hukum administrasi negara sehingga hukum kontrak di bidang bisnis kini tidak lagi dapat dikatakan tunduk sepenuhnya pada asas kebebasan berkontrak dalam hukum perdata, unsur kepentingan umum dan hukum administrasi negara.84ketentuan Pasal 1338 KUH Perdata, dinyatakan bahwa semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Sesuai dengan asas pokok dari suatu perjanjian, yakni asas kebebasan berkontrak (freedom of contract), yaitu adanya kebebasan untuk membuat suatu perjanjian apa saja asalkan dibuat secara sah dan akibatnya, perjanjian tersebut akan mengikat mereka yang membuatnya seperti suatu undangundang. Hubungan dengan perjanjian kredit maka pihak-pihak yang akan mengikatkan diri dalam perjanjian kredit, maka pihak-pihak yang akan mengikatkan diri dalam perjanjian kredit tersebut dapat mendasarkan perjanjian yang akan dibuatnya pada ketentuan-ketentuan yang ada pada BukuIbid. Hardjin Rusli, Hukum Perjanjian Indonesia dan Indonesia dan Common Law, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta 1996, hlm., 38.84 83

55

III KUH Perdata dan peratuaran perundang-undangan lainnya yang mengatur perkreditan, juga oleh apa yang secara khusus disepakati oleh kedua belah pihak. Perkembangan asas kebebasan berkontrak ini, kemudian mendapat pengaruh dari peraturan ekonomi yang memuat ketentuan yang bersifat memaksa, yang ditujukan untuk menyeimbangkan kemampuan pihak-pihak pelaku ekonomi secara lebih adil dalam rangka pelaksanaan pembangunan nasional yang berdasarkan asas pemerataan. Pengaruhnya sangat terasa apabila ada suatu ketentuan dari pemerintah yang menyatakan apa yang harus disepakati, ataupun persyaratan lainnya untuk melengkapi suatu perjanjian yang dibuat. Pembatasan-pembatasan terhadap kebebasan berkontrak yang dikeluarkan oleh pemerintah, haruslah dalam bentuk peraturan perundang-undangan yang setingkat dengan undang-undang ataupun peraturan pengganti undang-undang (perpu) tidak boleh dalam bentuk peraturan pemerintah . hal demikian mengingat karena kebebasan berkontrak diatur dalam undang-undang (KUH Perdata), ketentuan yang membatasi kebebasan berkontrak pun harus setingkat dengan KUH perdata, tidak boleh tingkatannya di bawah undangundang. Pendapat seperti itu terungkap dari pendapatnya Dr. Sutan Remi Sjahdeini, S.H., yang lengkapnya sebagai berikut :85 Asas kebebasan berkontrak eksistensinya diakui oleh peraturan perundang-undangan yang bertingkat undang-undang, yaitu KUHSutan Remy Sjahdeini, Kebebasan Berkontrak dan Perlindungan yang seimbang bagi para pihak dalam Perjanjian kredit di Indonsia, Institut Bankir Indonesia Jakarta 1993, hlm., 30085

56

Perdata, maka hanya undang-undang atau peraturan pemerintah pengganti undang-undang (misalnya keputusan menteri) hanya dapat mengatur pelaksanaan dari pembatasan yang telah ditetapkan sebelumnya oleh suatu undang-undang atau peraturan pemerintah pengganti undang-undang tersebut dan bukannya menetapkan pembatasan itu sendiri. 2) Asas itikad baik (te goeder trouw, in good faith)86 Menurut Hardijan Rusli, S.H., unsur-unsur itikad baik dan kepatutan itu ada jika tidak melakukan segala sesuatu yang tidak masuk akal. Putusan-putusan pengadilan common law juga banyak yang menekankan bahwa pelaksanaan suatu perjanjian harus dilakukan dengan itikad baik (good faith). Beliau selanjutnya menjelaskan itikad baik ini, dengan mengambil contoh aturan yang berasal dari negara common law, Restatment Second, section 205 menyatakan bahwa : Every contract imposes upon each party a duty of good faith and fair dealing in its performance and enforcement. (setiap perjanjian membebankan kepada masing-masing pihak suatu kewajiban untuk melaksanakan perjanjian secara itikad baik dan transaksi adil). Keterangan atas section 205 ini memberikan contoh tentang tiada itikad baik (bad faith) dalam hal terdapat : menghindar dari maksud/ tujuan transaksi; kurang aktif dan berkurangnya perhatian; melakukan perbuatan yang baik dengan sengaja; kesewenangan dalam menentukan isi perjanjian; ikut campur tangan atau gagal bekerja sama dalam prestasi pihak lawannya.

86

Hardjin Rusli Hukum PerjanjianOp. Cit., hlm,119-120.

57

Asas ini tercantum dalam Pasal 1313 jo. Pasal 1320 KUH Perdata yang berbunyi:87 suatu persetujuan adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih. Dan Untuk sahnya persetujuan-persetujuan diperlukan empat syarat yaitu sepakat mereka yang mengikatkan dirinya, kecakapan untuk membuat suatu perikatan, suatu hal tertentu, dan suatu sebab yang halal.

c. Asas-asas Hukum Pidana yang Terkait dengan Operasional Perbankan Hukum perbankan tidak akan terlepas dari kaidah-kaidah yang secara khusus memerhatikan kepentingan umum, juga menyangkut kaidah-kaidah tertentu yang secara khusus memerhatikan kepentingan umum, juga menyangkut kaidah-kaidah tertentu yang memuat sanksi guna mendorong ditaatinya ketentuan tersebut sehingga akan terkait dengan hukum pidana, jadi, sangat wajar pula apabila menguraikan mengenai asas-asas hukum pidana yang terkait dengan ruang lingkup bidang perbankan.88 pembahasan asas-asas hukum pidana ini, maka perlu pemahamn awal mengenai tindak pidana atau dalam istilah belanda disebut straf. Tindak pidana suatu konsep yuridis, yang berarti tingkah laku manusia yang dapat dihukum berdasarkanR. Subekti dan R. Tjitrosudibio. KitabUndang-Undang Hukum Perdata, Pradnya Paramita, Bandung 1992, hlm 338,339. 88 Muhamad Djumhana, AsasOp.Cit., hlm.,24687

58

hukum pidana. Menurut Prof.Simon, straf ialah het leed, door de strafwet als gevolg aan de overtrading van de norm verbode, dat aan den schuldige bij rechtelijk vonnis wordt opgelegd, yang artinya straf adalah suatu penderitaan yang oleh undangundang pidana telah dikaitkan dengan pelanggaran terhadap suatu norma yang dengan suatu putusan hakim telah dijatuhkan bagi seseorang yang bersalah. Menurut Moeljatno disebutkan bahwa : Tindak pidana adalah perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum, larangan mana disertai ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu, bagi barang siapa melanggar larangan tersebut. Dapat juga dikatakan bahwa perbuatan pidana adalah perbuatan yang oleh suatu aturan hukum dilarang dan diancam pidana, asal saja dalam pada itu diingat bahwa larangan ditujukan kepada perbuatan ( yaitu suatu keadaan atau kejadian yang ditujukan kepada pertimbulkan oleh kelakuan orang), sedangkan ancaman pidananya ditujukan kepada orang yang menimbulkannya.89 Rumusan di atas seperti itu, kemudian kita mengenal lagi pembedaan antara kejahatan dan pelanggaran. Juga tidak kalah pentingnya pengenalan unsur-unsur suatu tindak pidana, yang meliputi kelakuan dan akibat; hal aihwal, atau keadaan yang menyertai perbuatannya; keadaan yang memberatkan pidana; unsur melawan hukum yang objektif dan unsur melawan hukum yang subjektif. Tindak pidana dapat dibedakan antara kejahatan (misdrijven) dan pelanggaran (overtredingen). Menurut Moeljatno, pada masa sekarang pembedaan antara kejahatan dan pelanggaran didasarkan pada pembedaan kuantitatif (soal berat atau entengnya ancaman pidana).90 Penentuan dalam peraturan terhadap perbuatan seseorang termasuk kejahatan atau bukan didasarkan atas penafsiran masyarakat yang89 90

Moeljatno, Azas-azasHukum Pidana, Bina aksara, Jakarta, 1983, hlm 63. Ibid., hlm. 73

59

tentunya akan berbeda menurut waktu dan tempat, jadi bisa terjadi perbuatan satu abad yang lalu merupakan kejahatan, sekarang tidak lagi (atau sebalinya) atau perbuatan yang di negara X dianggap sebagai kejahatan, tetapi di negara Y justru sebaliknya. Jadi, pada prinsipnya kejahatan bersifat subjektif dan relatif bergantung pada waktu, tempat, dan masyarakat yang bersangkutan. Demikianlah kejahatan di indonesia ditentukan oleh norma-norma hukum pidana positif Indonesia masyarakat Indonesia sekarang ini.91 Tindak pidana selain dibedakan dalam kejahatan dan pelanggaran, biasanya dalam teori dan praktik dibedakan pula, antara lain, dalam delik dolus (kesengjaan) dan delik culpa (kelalaian); delik commissionis, yaitu delik yang terdiri dari melakukan sesuatu (berbuat sesuatau) perbuatan yang dilarang oleh aturan pidana dan delik omissi, yaitu melalaikan kewajiban untuk melakukan sesuatu; delik biasa dan delik yang dikualifikasi (dikhususkan); serta delik terus berlanjut dan tidak berlanjut.92 Mengenai masalah tindak pidana ini pula, perlu diperhatikan mengenai pelaksanaan undang-undang dan perintah jabatan. Ketentuan pasal 50 KUHP menyebutkan:93 Barang siapa melakukan perbuatan untuk melksanakan ketentuan undangundang tidak dipidana. Sedangkan Pasal 51 Ayat (1) KUHP, menyebutkan:9491 92

Muhamad Djumhana, AsasOp.Cit., hlm.,247. Ibid., hlm248. 93 Moeljatno, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Bumi Aksara, Jakarta 2005, hlm 24. 94 Ibid.

60

Barang siapa melakukan perbuatan untuk melaksanakan perintah jabatan yang diberikan oleh penguasa yang wenang tidak dipidana. Penerapan suatu ketentuan pidana harus di dasarkan pada pemenuhan unsurunsur yang terdapat dalam ketentuan termaksud yang dilanggarnya. Namun, selanjutnya tetap harus diperhatikan pula apakah ada hal yang menghapuskan sifat melawan hukumnya perbuatan tersebut. Hal-hal penghapus seperti itu mungkin terdapat di dalam undang-undang, namun mungkin juga terdapat diluar undangundang.Hubungan ini, yurisprudensi Indonesia telah menganutnya, sebagaimana terdapat dalam Keputusan Mahkamah Agung tanggal 8 januari 1966 dalam suatu perkara penggelapan yang diakukan oleh seorang pegawai negeri. Dalam bukunya Hukum dan Hukum Pidana, Sudarto menguraikan bahwa: 95 Mahkamah Agung membenarkan pendapat dari Pengadilan Tinggi Jakarta, yang mengatakan bahwa sesuatu tindakan pada umumnya dapat hilang sifatnya sebagai melawan hukum bukan hanya berdasarkan sesuatu ketentuan dalam perundang-undangan, melainkan juga berdasarkan asas-asas keadilan atau asas-asas hukum yang tidak tertulis dan bersifat umum. Oleh Pengadilan Tinggi Jakarta, asas-asas ini, misalnya, negara tidak dirugikan, kepentingan umum dilayani, dan terdakwa sendiri tidak mendapat untung. Maka dalam perkara tersebut meskipun terdapat telah melakukan perbuatan yang secara formil telah memenuhi rumusan delik yang berupa penggelapan ialah sengaja memiliki barang orang lain yang ada padanya bukan karena kejahatan, namun karena terdapat ketiga faktor tersebut, maka sifat melawan hukumnya perbuatan itu hapus sehingga ia harus dilepas dari segala tuntutan hukum. Jadi, jelas dalam perkara ini pengadilan menganut ajaran sifat melawahn hukum yang materiil Memperhatikan uraian tersebut diatas, menunjukkan bahwa asas-asas hukum tersebut dapat dipakai dalam praktik peradilan dan itu harus menjadi pedoman semua penegak hukum, jangan terlalu legisme terpaku pada peratuarn perundang-undangan95

Sudarto,Hukum dan Hukum Pidana, Alumni, Bandung 1990, hlm 101.

61

tertulis semata,namun juga harus menerima dan menggali rasa keadilan masyarakat. Kondisi seperti itu sangat diharapkan oleh Achmad Ali. dapat terwujud di negara kita.96 Pendapat di atas, dalam kehidupan perbankan sebenarnya juga sangat diharapkan, yaitu bahwa semua stakeholder perbankan, taat pada aturan tidak sematamata taat karena takut sanksi, tetapi harus karena menganggap aturan hukum itu memang mempunyai tujuan yang baik sesuai dengan nilai kehidupan. Prinsip ketaatan pada hukum untuk dunia perbankanmerupakan nilai yang harus melekat pada pribadi setiap individu perbankan sehingga prinsip ini penaatannya telah menjadi standar internasional dan diterapkan dengan adanya pejabat pengawas kepatuhan pada peraturan perundang-undangan.97 Secara kasat mata dari pengalaman terdahulu ternyata dirasakan dan menjadi pemahaman kita bersama bahwa ada keterbatasan pengaruh dari sanksi hukum tersebut, keterbatasan demikian termasuk dari sanksi pidana itu sendiri. Ahli hukum pidana mengatakan The limit of criminal sanction, hal itu berarti bahwa kita tidak boleh terlalu mengharapkan ketaatan orang pada suatu peraturan perundangundangan hanya dengan mengandalkan pada sanksi pidana semata meskipun juga tidak boleh mengatakan bahwa sanksi pidana itu tidak ada artinya.98 Sejalan dengan pandangan di atas, maka pengenaan sanksi pidana hanya dilaksankan apabila upaya lain (sanksi perdata atau administrasi, seperti sanksi biaya96 97

Muhamad Djumhana, AsasOp.Cit., hlm.,249. Ibid.,hlm. 250. 98 Ibid.

62

paksa penegakan hukum) sudah tidak memadai lagi sehingga sanksi pidana mempunyai fungsi yang subsider. Di dalamnya mengandung sifat bahwa pidana tersebut hendaknya dipakai sebagai obat terakhir (ultimum remedium) dan konsekuensinya pengenaannya harus memerhatikan dengan seksama, persyaratannya harus tepat dan kuat alasannya.persyaratan demikian ditetapkan oleh pembentuk peraturan perundang-undangan dan para ahli (doktrin), sedangkan para pejabat penegak hukumnya harus mempedomani serta memerhatikan persyaratan tersebut.99 Sesuai dengan definisi hukum dari meliputi pula proses penegakannya. Penegakan dan pentaatan peraturan hanya dapat dijalankan apabila ada organ yang menjadi pelaksananya. Dengan demikian, maka sanksi itu akan dapat dilaksanakan apabila ada organ yang menjalankan untuk pentaatannya. Sejalan dengan itu, Max Weber berpendapat bahwa:100 Suatu tatnan bisa disebut sebagai hukum apabila secara eksternal ia dijamin oleh kemungkinan bahwa paksaan (fisik atau psikologis), yang ditujukan untuk mematuhi tatanan atau menindak pelanggaran, akan diterapkan oleh suatu perangkat terdiri dari orang-orang yang khusus menyiapkan diri untuk melakukan tugas-tugas tersebut. Sependapat dengan pandangan Max Weber di atas, maka dalam rangka penegakan hukum diperlukan organ tertentu yang menjalankan fungsi tersebut, dalam industri perbankan di Indonesia, organ tersebut sementara ini, di antaranya, berada pada fungsi Bank Indonesia selain juga pada lembaga penegak hukum lainnya.101 Mochtar Kusumaatmadja hukum itu

99

Ibid. Satijpto Rahardjo, Ilmu Hukum,Citra Aditya Bakti, Bandung 1993, hlm., 263 101 Muhamad Djumhana, AsasOp.Cit., hlm.,251.100

63

Dasar pemahaman di atas, maka ada beberapa asas hukum pidana yang perlu dipahami dalam kaitannya dengan perbankan, yaitu menyangkut perbuatan serta pelakunya:102

1) Asas nulu poena Asas nulu poena suatu asas yang menurut sifatnya harus terdapat dalam setiap peraturan perundang-undangan pidana sebagaimana diatur dalam perjanjian Roma Tahun 1950, asas ini merupakan asas legalitas, di antaranya, yaitu dikenal asas nullum crimen sine lege dan asas nulla poena sine culpa (culpa dalam arti luas meliputi kesengajaan dan kealpaan); 2) Asas presumption of innocence asas praduga tidak

bersalah serta asas kesalahan (culpabilitas). Asas praduga tidak bersalah hakikatnya, yaitu bahwa tidak seorang pun dapat dijatuhi sanksi pidana, kecuali diberi kesempatan untuk membuktikan ketidakbersalahannya; 3) Asas pembuktian terbalik (retroaktif)

Asas pembuktian terbalik yaitu asas yang mewajibkan kepada pihak yang disangka membuktikan ketidakbersalahnya; 4) Asas ultimum remedium (obat yang terakhir)

102

Ibid., hlm., 251.

64

Asas ultimum remedium (obat yang terakhir) maksudnya apabila tidak perlu sekali, hendaknya