perlindungan hukum terhadap hak dokter yang …
TRANSCRIPT
18
PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP HAK DOKTER YANG
MEMBERIKAN PELAYANAN MEDIS
B. R. Hertaty Siahaan Dosen Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Indonesia
Moskwadina Gultom Dosen Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Indonesia
ABSTRAK
Berdasarkan data yang dilaporkan kepada Konsil Kedokteran Indonesia (KKI) sejak kurun waktu 2006 sampai 2015 ada 317 kasus dugaan malpraktek terdiri dari 114 di antaranya adalah dokter umum, 76 kasus dokter bedah, dokter kandungan dengan 56 kasus, dan dokter spesialis anak 27 kasus.. Hubungan dokter dan pasien yang dilandasi perjanjian teraupetic memiliki hak dan kewajiban dan dilakukan dengan kehati-hatian. Disadari atau tidak, dokter sebagai subyek dalam melakukan pelayanan kesehatan melakukan juga hubungan-hubungan hukum, yang berkaitan dengan hal-hal yang yuridis. Hal ini mengandung arti bahwa seorang dokter berlaku pula ketentuan-ketentuan umum sebagai subyek hukum yang dapat dimintakan pertanggungjawabannya dalam memenuhi atau menjalankan profesinya sebagai dokkter. Dalam UU No. 29 tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran pada Pasal 50 sampai Pasal 53 memuat hak dan kewajiban pasien maupun dokter. Aturan tersebut memberikan perlindungan pada dokter maupun dokter gigi, asalkan dokter tersebut menjalankan tugasnya sesuai standar profesi dan juga berhak mendapat informasi yang jujur dan lengkap dari pasien maupun keluarganya dan berhak memperoleh imbalan jasa. Selain itu dokter memiliki kewajiban memberikan pelayanan medis sesuai dengan standard profesi dan standard prosedur operasional serta kebutuhan medis pasien, merujuk pasien apabila tidak mampu melakukan pemeriksaan atau pengobatan, merahasiakan segala sesuatu yang diketahui tentang pasien bahkan setelah pasien meninggal dunia, serta menambah ilmu pengetahuan dan mengikuti dunia perkembangan ilmu kedokteran. Dengan terlindunginya hak-hak dokter maka diharapkan dokter dapat melaksanakan tugasnya dengan baik sesuai standar kedokteran dan memenuhi fungsi sosial sesuai Pasal 28 H ayat 1 dan Pasal 34 ayat 3 UUD 1945 melaksanakan pelayanan kesehatan.
19
I. PENDAHULUAN
Kasus-kasus malpraktek yang terjadi di Indonesia dan menarik perhatian
publik yang terkadang menimbulkan pandangan negatif kepada dokter1. Bahkan dari
data yang dilaporkan kepada Konsil Kedokteran Indonesia (KKI) sejak kurun waktu
2006 sampai 2015 ada 317 kasus dugaan malpraktek terdiri dari 114 di antaranya
adalah dokter umum, 76 kasus dokter bedah, dokter kandungan dengan 56 kasus, dan
dokter spesialis anak 27 kasus2.kedudukan pasien yang semula hanya merupakan
pihak yang bergantung pada dokter dalam menentukan cara yang akan dipilih untuk
melakukan terapi atau penyembuhan pasien. Kini kedudukan pasien dan dokter
menjadi seimbang atau sederajat. Sekarang dokter juga harus memperhatikan dan
mempertimbangkan pendapat dari pasien dalam memilih cara pengobatan yang sesuai
dengan kehendak pasien.
Menurut Verberne karena menurut beliau sekarang posisi dokter bukan lagi
dianggap sebagai rohaniawan yang dapat menyembuhkan pasien tetapi telah berubah
dan dokter dipandang sebagai ilmuwan yang pengetahuannya diperlukan guna dapat
menyembuhkan berbagai penyakit yang diderita pasien. Oleh karena itu dokter
dituntut untuk memiliki suatu kecakapan ilmiah3. Disadari atau tidak, dokter sebagai
subyek dalam melakukan pelayanan kesehatan melakukan juga hubungan-hubungan
hukum, yang berkaitan dengan hal-hal yang yuridis. Hal ini menunjukkan sifat
hubungan yang terjadi antara pasien dan dokter dengan dasar adanya perjanjian yang
dilakukan dengan hati-hati. Hubungan yang terjadi dalam pelayanan kesehatan dokter
dan pasien, di mana pasien sebagai penerima pertolongan medis dan dokter sebagai
pemberi pertolongan medis merupakan pelaku subyek hukum . Hal ini mengandung
arti bahwa seorang dokter berlaku pula ketentuan-ketentuan umum sebagai subyek
hukum yang dapat dimintakan pertanggungjawabannya dalam memenuhi atau
menjalankan profesinya sebagai dokter. Apabila sebagai dokter melakukan hal-hal
yang juga bertentangan dengan ketentuan-ketentuan hukum maka dokter tersebut pun
1. http://www.merdeka.com/peristiwa/5-kasus-malpraktek-dalam-dunia-kedokteran-html, diakses 12 September 2020 Jam 15.00 wib
2.https://www.google.com/url?sa=t&source=web&rct=j&url=http://repository.unissula.ac.id/7045/4/BAB%2520I.pdf&ved=2ahUKEwiOxv-zjePrAhVygUsFHRB_Bk4QFjAAegQIAhAB&usg=AOvVaw24DTweSIZ-lDM38xy5rO1H 3. M. Kartono. 1986, Profesi Dokter Kini dan Esok, Jakarta, FK UI, hal. 1
20
dapat dituntut secara pidana atau diartikan melakukan tindak pidana. Oleh karena itu
perlu memperhatikan syarat pemidanaan yang dinyatakan oleh Moeljatno
memperhatikan adanya perbuatan yang dapat dikenakan sanksi pidana atau criminal
liability dan dipertanggungjawabkannya perbuatan (criminal responsbility)4.
Dalam melakukan penuntutan terhadap dokter haruslah memperhatikan
apakah kerugian yang dialami pasien memang merupakan akibat atau berhubungan
langsung dengan tindakan yang dilakukan oleh dokter yang bersangkutan. Hal ini
berkaitan dengan dokter yang telah melakukan tugas pelayanan kesehatan sesuai
dengan prinsip-prinsip keahliannya. Dasar inilah diharapkan adanya kesadaran
hukum guna melindungi kepentingan masing-masing dalam masyarakat. Keadaan ini
menunjukkan perlu kesadaran tentang hal-hal apa seyogyanya yang harus diperbuat
terhadap orang lain baik dokter maupun pasien. Tentu hal ini menuntut adanya kesadaran kedua
belah pihak akan kewajiban hukum masing-masing terhadap pihak lain5
Dalam hubungan pasien dan dokter ini yang berdasarkan kontraktual maka
masing-masing memiliki hak dan kewajiban yang harus dijaga oleh masing-masing
pihak sehingga hubungan pasien dan dokter dapat terjalin dengan harmonis. Hal ini
sesuai dengan deklarasi PBB tentang Hak Asasi Manusia atau Declaration of Human
Rihgts) tahun 1948. Menurut deklarasi PBB tsb bahwa setiap orang berhak mendapat
pelayanan dan perawatan kesehatan bagi dirinya maupun keluarga. Adapun hak
pasien pada dasarnya terdiri dari dua yaitu 1. The Rights to health dan 2. The Rights
to self determination. Oleh karena itu perlu adanya perlindungan hak pasien namun
terkadang kemajuan jaman menyebabkan memudarnya perlindungan terhadap hak
dasar pasien.
Dalam dunia medis atau kesehatan peranan dokter, perawat dan orang-
orang yang bekerja di lingkup kesehatan memegang peranan penting untuk
tercapainya tujuan kesehatan dan masyarakat.. Para tenaga kesehatan ini dalam
melakukan tugasnya haruslah bersifat profesional yang artinya setiap putusan yang
diambil dapat bersifat mandiri tetapi tetap berlandaskan atas kesadaran, tanggung
jawab dan moral yang tinggi sesuai dengan etika profesinya.6 Oleh sebab itu
hubungan antara pasien dan dokter haruslah dilandaskan adanya perlindungan hukum
4. Sudarto, 2009, Hukum Pidana I Edisi Revisi, Semarang, UNDIP, hal. 73 5. M.Sudikno, 1984, Bunga Rampai Ilmu Hukum, Yogyakarta, Liberty, hal. 120 6. Titik Triwulan Tutik dan Shita Febriana,2010, Perlindungan Hukum Bagi Pasien, Jakarta, PT Prestasi Pustakaraya, hal. 1
21
pada kedua pihak. Perlindungan hukum ini sangat diperlukan dalam melindungi dan
mendorong agar dokter dapat menjalankan tugasnya sebagai tenaga kesehatan yang
sesuai dengan sumpah mereka sebagai dokter profesi. Hal ini diangkat sebagai topik
Seminar di FF UNAIR 5Oktober 2016 dengan tema “Peningkatan Tenaga Kesehatan
Dalam Pelayanan Kesehatan Serta Perlindungan Hukumnya” baik dari sudut Hukum
Perdata, Hukum Pidana dan administrasi7. Dalam hal ini peneliti menguraikan dari
sudut hukum pidana. Adapun yang dimaksud dengan perlindungan hukum menurut
Setiono ialah tindakan atau upaya melindungi masyarakat dari perbuatan sewenang-
wenang oleh penguasa yang tidak sesuai dengan aturan hukum untuk mewujudkan
ketertiban dan ketenteraman sehingga memungkinkan manusia untuk menikmati
martabatnya sebagai manusia8 Menurut Muchsin perlindungan hukum merupakan
kegiatan untuk melindungi individu dengan menyerasikan hubungan nilai-nilai
kaidah yang menjelma dalam sikap dan tindakan dalam menciptakan adanya
ketertiban dalam pergaulan hidup antar sesama.9 Sedangkan menurut Satjipto
Raharjo, perlindungan hukum adalah memberikan pengayoman terhadap hak asasi
manusia yang dirugikan orang lain dan perlindungan itu diberikan kepada masyarakat
agar dapat menikmati semua hak-hak yang diberikan oleh hukum10. Dikaitkan dengan
hak pasien dan dokter berarti hukum memberikan perlindungan terhadap pasien dan
dokter dari sesuatu yang mengakibatkan tidak terpenuhinya hak-hak tersebut.
Dalam UU No. 29 tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran pada Pasal 50 sampai
Pasal 53 memuat hak dan kewajiban pasien maupun dokter. Aturan tersebut
memberikan perlindungan pada dokter maupun dokter gigi, asalkan dokter tersebut
menjalankan tugasnya sesuai standar profesi dan juga berhak mendapat informasi
yang jujur dan lengkap dari pasien maupun keluarganya dan berhak memperoleh
imbalan jasa. Selain itu dokter memiliki kewajiban memberikan pelayanan medis
sesuai dengan standard profesi dan standard prosedur operasional sera kebutuhan
medis pasien, merujuk pasien apabila tidak mampu melakukan pemeriksaan atau
pengobatan, merahasiakan segala sesuatu yang diketahui tentang pasien bahkan
7. https://www.unair.ac.id/site/article/read/754/pentingnya-perlindungan-hukum-bagi-tenaga-kesehatan.html, diunduh di Jakarta tgl 3 September 2020 Jam 13.00 wib 8.Setiono, 2004, Supremasi Hukum, Surakarta, UNS, hal. 3 9. Muchsin.2003, Perlindungan dan Kepastian Hukum Bagi Investor di Indonesia, Surakarta, Universitas Sebelas Maret hal. 14. 10. Rahardjo S. 2000, Ilmu Hukum, Bandung, PT Citra Aditya Bakti, hal. 54
22
setelah pasien meninggal dunia, serta menambah ilmu pengetahuan dan mengikuti
dunia perkembangan ilmu kedokteran. Dengan terlindunginya hak-hak dokter maka
diharapkan dokter dapat melaksanakan tugasnya dengan baik sesuai standar
kedokteran dan memenuhi fungsi sosial sesuai Pasal 28 H ayat 1 dan Pasal 34 ayat 3
UUD 1945 melaksanakan pelayanan kesehatan
II. PERUMUSAN MASALAH
Bagaimana perlindungan hukum terhadap Hak Dokter yang memberikan pelayanan
kesehatan ?
III. TUJUAN PENELITIAN
Menggambarkan tinjauan yuridis mengenai perlindungan hukum terhadap Hak
Dokter yang memberikan pelayanan kesehatan.
IV. METODE PENELITIAN
Berdasarkan jenis penelitian normatif, penelitian ini menggunakan metode
penelitian deskriptif kualitatif. Penelitian deskriptif mengandung makna penelitian
yang dimaksud untuk menyelidiki keadaan, kondisi atau lain-lain yang sudah
disebutkan, yang hasilnya dipaparkan dalam bentuk laporan penelitian dan tipe
penelitian secara normatif dengan meneliti asas-asas dari aturan-aturan yang
mengatur masalah perlindungan hukum terhadap profesi dokter.
Jenis data yang dipergunakan adalah data sekunder, yang terdiri dari bahan
hukum primer dan bahan hukum sekunder. Dengan menggunakan peraturan
perundang-undangan dan buku-buku yang berkaitan dengan penelitian ini. Hasil dari
penelitian dituangkan dalam bentuk tulisan ini.
Data yang diperoleh akan diolah secara kualitatif dan disajikan dengan
menggunakan reduksi data analisis dan kemudian disimpulkan
V. PEMBAHASAN
23
1. Hukum Kedokteran Dalam Prespektif
Dalam membahas Hukum Kedokteran maka kita tidak bisa lepas untuk
pula membicarakan hukum kesehatan. Hal ini karena Hukum Kedokteran merupakan
bagian dari Hukum Kesehatan yang diatur dalam UU No. 36 tahun 2009 tentang
Kesehatan. UU Ini mengatur upaya-upaya atau langkah-langkah dalam
meningkatkan derajat kesehatan warganegara Indonesia dengan prinsip non
diskriminatif, partisipasi , berkelanjutan sehingga dapat membentuk sumber daya
manusia Indonesia serta meningkatkan ketahanan dan daya saing bangsa bagi
pembangunan nasional. Hal ini didasarkan pada aturan hukum dasar Indonesia yaitu
UUD 1945 pada Amandemen ke empat yaitu
a. Pasal 28 D ayat 1 “Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan
dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum”
b. Pasal 28 I ayat 2 “Setiap orang berhak bebas dari perlakuan yang bersifat
diskriminatif atas dasar apapun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap
perlakuan yang bersifat diskrimiatif
c. Pasal 28 I ayat 4, “Perlindungan, Pemajuan, Penegakan hukum pemenuhan hak
asasi manusia adalah tanggung jawab negara terutama pemerintah.
Dalam melaksanakan pelayanan kesehatan maka diperlukan melibatkan
tenaga kesehatan. Adapun yang dimaksud dengan tenaga kesehatan berdasarkan Pasal
1 angka 6 UU No. 36/2009, “ setiap orang yang mengabdikan diri dalam bidang
kesehatan serta memiliki pengetahuan dan/atau ketrampilan melalui pendidikan di
bidang kesehatan yang untuk jenis tertentu memerlukan kewenangan untuk
melakukan upaya kesehatan.” Adapun pelaksanaan pelayanan kesehatan berdasarkan
UU No. 36/2009 harus memperhatikan asas-asas yang diatur dalam Pasal 2 yaitu
perikemanusiaan, keseimbangan , manfaat, perlindungan, penghormatan terhadap hak
dan kewajiban, keadilan, gender, dan non diskriminatif dan norma-norma agama.
Bahkan pada Pasal 83 ayat 2 UU No. 36 tahun 2009 tentang Kesehatan ditegaskan
bahwa Pemerintah menjamin perlindungan hukum bagi tenaga kesehatan dalam
pelayanan kesehatan”. Dalam Pasal 50 huruf a UU No. 29 tahun2004 tentang Praktek
kedokteran lebih menegaskan lagi bahwa “Dokter dan Dokter Gigi dalam praktik
kedokteran mempunyai hak memperoleh perlindungan hukum sepanjang
melaksanakan tugas sesuai standar profesi dan standar prosedur operasional”.
24
Perlindungan Hukum bagi tenaga medis pelaksana pelayanan kesehatan yang telah
Yudisial Review mengenai UU No. 36 tahun 2014 tentang Tenaga Kesehatan dengan
Putusan No. 82/PUU-XIII/2015 bahwa Pasal 4 huruf C, mengatur” Pemerintah dan
Pemerintah Daerah bertanggung jawab terhadap perlindungan bagi tenaga kesehatan
dalam menjalankan praktek”.
Dalam hal perlindungan terhadap pelayanan kesehatan yang diberikan oleh
pemerintah dengan melibatkan tenaga kesehatan, yaitu antara pemberi pelayanan
kesehatan dan penerima layanan kesehatan atau dokter dan pasien dalam Hukum
Kedokteran di Indonesia bermula adanya 1. Tap MPR No. IV/MPR/1978 yang
merupakan kebijaksanaan pembangunan, sebagai lanjutan dari diterbitkan S.K
Menteri Kesehatan RI No. 99a/Menkes/SK.III/1982 tentang berlakunya Sistem
Kesehatan Nasional Indonesia, 2. UU No. 4 tahun 1982 tentang Ketentuan Pokok
Pengelolaan Lingkungan Hidup.
Adanya kedua aturan ini menjelaskan bahwa perlu adanya pembangunan
menyeluruh dan terpadu pada semua bidang kehidupan bagi tercapainya tujuan negara
memiliki warganegara yang sehat dan berkualitas. Oleh sebab itu perlu dilakukan
pembangunan khususnya di bidang kesehatan secara optimal, meliputi peningkatan
kesehatan (promotif). Pencegahan penyakit (preventif), penyembuhan penyakit
(kuratif), dan pemulihan kesehatan (rehabilitasi) secara menyeluruh terpadu dan
berkesinambungan bersama antara pemerintah dan masyarakat. Keadaan ini bisa
terwujud bila didukung 3 faktor yaitu 1. Meningkatkan permintaan upaya pelayanan
kesehatan sesuai dengan peningkatan taraf kesejahteraan masyarakat dan kesadaran
akan hidup sehat, 2. Berubahnya pola penyakit, 3. Kemajuan teknologi dan ilmu
pengetahuan di bidang kedokteran11.
Prinsipnya Leenen memberikan batasan antara hukum kesehatan dan hukum
kedokteran. Menurut beliau, hukum kesehatan merupakan semua peraturan yang
berhubungan langsung pada pemberian pelayanan kesehatan dan penerapannya pada
hukum perdata, hukum perdata, hukum administrasi negara, hukum pidana, Artinya
peraturan ini tidak hanya mencakup pedoman internasional, hukum kebiasaan, hukum
yurisprudensi, namun ilmu pengetahuan dan kepustakaan dapat juga merupakan
sumber hukum. Van der Mijn mengartikan hukum kesehatan sebagai kumpulan
11 Koewadji. H. Hermien, 1998, Hukum Kedokteran , Bandung Citra Aditya Bakti, hal. 36.
25
peraturan yang berkaitan dengan pemberian perawatan dan juga penerapannya kepada
hukum perdata, hukum pidana dan hukum administrasi12. Sedangkan menurut
Perhuki atau Perhimpunan Hukum Kedokteran Indonesia, hukum kesehatan ialah
semua yang berhubungan langsung dengan pemeliharaan atau pelayanan kesehatan
dan penerapan serta hak dan kewajiban sebagai penerima pelayanan kesehatan dalam
aspek organisasi, sarana, pedoman-pedoman medis, nasional/internasional, hukum di
bidang kesehatan, jurisprudensi serta ilmu pengetahuan bidang kesehatan-kedokteran.
Sedangkan Hukum kedokteran diartikan ilmu tentang hubungan hukum di mana
dokter adalah salah satu pihak, merupakan bagian dari kesehatan. Hukum Kedokteran
dikenal juga sebagai hukum kesehatan dalam ari sempit. Oleh karena itu hukum
kesehatan dianggap lebih luas sebab berkaitan dengan bidang pemeliharaan
kesehatan sehingga memiliki keterkaitan dengan bidang hukum lainnya seperti
hukum keperawatan, hukum rumah sakit, keselamatan kerja, berkaitan pula dengan
obat-obatan atau hukum farmasi, serta pelayanan kesehatan lingkungan13.
Menurut Veronica Komalawati, ada hubungan antara hukum kesehatan dan
hukum kedokteran, di mana hukum kesehatan sebagai genus dan hukum kedokteran
merupakan speciesnya. Van der Mijn, memberikan pembatasan kepada kedua hukum
ini, bahwa hukum kedokteran mengatur sebagai obyek hubungan hukum antara dokter
dan pasien sedangkan hukum kesehatan tentang pelayanan kesehatan14. Mendasar
pada pendapat ini maka dapat kita katakan bahwa hukum kedokteran dikaitkan
dengan profesi dokter dalam tugas pelayanan kesehatan. Dengan kata lain hukum
kedokteran merupakan bagian dari hukum kesehatan..
Selain itu untuk lebih jelas kita pahami maka dapat kita dasar pada arti kata
“medis”. Yang berasal dari kata medical (Latin), berarti pemulihan atau obat. Dalam
arti bahasa Inggris digunakan istilah medis atau mediter yang diterjemahkan ke dalam
bahasa Indonesia diartikan dokter. Berdasarkan hal ini maka dapat dikatakan
pelayanan medis merupakan pelayanan kesehatan yang dilakukan oleh profesi dokter.
Istilah pelayanan medis untuk mempertegas adanya perbedaan, dalam hal pelayanan
kesehatan dapat dilakukan oleh tenaga kesehatan lainnya.
12 Guwansi J. 2007. Hukum Medik (Medical Law), Jakarta, FK UI, hal. 12,13 13. Wiradharma A.,1996, Penuntun Kuliah Hukum Kedokteran, Jakarta Binarupa Aksara, hal 33-34. 14. Komalawati. V, 1989, Hukum dan Etika Dalam Praktek Kedokteran, Jakarta Pustaka Sinar Harapan, hal 73
26
2. Hubungan Dokter dan Pasien
Secara filosofis konstitusional sesuai dengan Pembukaan UUD 1945 pada Alinea
ke IV, “ Pemerintah Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia
dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum,
mencerdaskan kehidupan bangsa ...”, menunjukkan bahwa negara Indonesia
menganut prinsip negara hukum welfare state atau negara kesejahteraan. Oleh sebab
itu negara wajib menjamin kesejahteraan sosial masyarakat atau warga negaranya.15
Bila ditinjau dari segi sosiologis terjadi perubahan antara hubungan dokter dan pasien.
Semula kedudukan pasien dianggap tidak sama dengan dokter, hal ini disebabkan
dokter dianggap paling mengetahui keadaan pasien. Namun sekarang kedudukan
dokter dan pasien sama, semua tindakan medis yang akan dilakukan oleh dokter
haruslah sepengetahuan atau mendapat persetujuan pasien. Hal ini harus diberikan
penjelasan kepada pasien mengenai seluk beluk penyakit yang akan dilakukan
tindakan medik oleh dokter.
Hubungan hukum demikian antara dokter dan pasien didasarkan pada suatu
perjanjian yang obyeknya berupa pelayanan medis atau upaya n yang dikenal dengan
transaksi terapeutik. Perjanjian yang timbul dari terapeutik ini disebut dengan
inspanningsverbintenis yaitu suatu perikatan yang harus dilakukan dengan hati-hati
dan usaha keras. Dalam perjanjian ini prestasinya berupa suatu upaya, oleh karenanya
hasilnya belum dipastikan. Apabila dalam perjanjian tsb upaya itu gagal bahkan
menyebabkan pasien meninggal dunia risiko tsb harus dipikul bersama antara dokter
dan pasien. Perjanjian Terapeutik terdapat dua pihak yaitu dokter dan pasien, di mana
dokter memberikan pelayanan medis dan pasien sebagai penerima pelayanan medis.
Oleh karena itu dalam perjanjian ini masing-masing pihak mempunyai hak dan
kewajiban yang harus dilaksanakan. Dengan kata lain hubungan teraupetik suatu
hubungan paternalistik/kekeluargaan atas dasar kepercayaan, yang merupakan
hubungan kontraktual antara penyedia dan penerima jasa layanan medis dimana
penyedia layanan medis wajib memberikan prestasinya sedangkan penerima layanan
medis wajib memberikan kontra prestasinya.
15. MD Mahfud dan Marbun S.F, 2006, Pokok-Pokok Hukum Administrasi Negara, Yogyakarta, Liberty, ha. 52
27
Hubungan hukum antara dokter dan pasien berawal dari pola hubungan vertikal
paternalistik seperti bapak dan anaknya bertolak dari prinsip father knows best,.
Dalam hubungan ini pasien menghubungi dokter sebab pasien merasakan ada sesuatu
yang membahayakan pada kesehatan dirinya dan meminta bantuan dari dokter. Jadi
dalam hubungan ini kedudukan dokter lebih tinggi dari pasien.16 Dalam kaitannya
dengan tugas dokter sebagai tenaga profesional juga merupakan manusia biasa yang
tidak luput pula dari kesalahan dan pasien semakin menyadari akan hak-haknya dan
perlindungan hukum atas diri pasien sehingga muncul permasalahan yang semakin
kompleks antara dokter dan pasien. Hal ini sejalan dengan ditunangkannya UU No.
23 tahun 1992 tentang Kesehatan bahwa dalam meningkatkan pembangunan bidang
kesehatan terjadi perubahan orientasi tidak saja bersifat kuratif tetapi juga promotif,
preventif dan rehabilitatif.. Situasi ini mengubah pula pola hubungan pasien dan
dokter menjadi hubungan horisontal kontraktual. Hubungan ini secara hukum
memposisikan dokter dan pasien berkedudukan sederajat. Oleh sebab itu setiap
tindakan yang akan dilakukan harus dikomunikasikan lebih dahulu. Hal ini karena
dokter dalam menjalankan layanan kesehatan tidak saja mengobati atau kuratif tetapi
juga melakukan tindakan mencegah berkembangnya penyakit pasien atau preventif.
Hasil komunikasi dengan pasien maka pasien dapat memilih, memutuskan cara
alternatif terapi atau penyembuhan yang akan dijalankan sehingga dengan demikian
maka dokter tidak akan dipersalahkan secara sepihak oleh pasien. Dalam hubungan
pasien dan dokter dalam ilmu kedokteran status manusia atau pasien tidak lagi
sebagai obyek tetapi sebagai subyek yang berkedudukan sederajat dengan dokter.
Oleh karena itu sebelum dilakukan langkah-langkah penyembuhan perlu pasien
menentukan pilihan pasien dalam terapi atau langkah penyembuhan yang akan
dituangkan dalam pernyataan persetujuan terhadap tindakan yang akan diambil secara
medis atau tindakan medis, hal ini tertuang dalam informed consent atau persetujuan
tindakan medis. Jadi dalam informed consent ini memuat dua hal yang ditanda
tangani pasien atau keluarga menyatakan persetujuan diambil tindakan medis berupa
informasi yang diberikan oleh dokter dan persetujuan yang diberikan oleh pasien.
16. Astuti, K. Endang, 2003, Hubungan Hukum Antara Dokter dan Pasien Dalam Upaya Pelayanan Medis, Semarang hal. 3
28
Berdasarkan uraian di tas sehingga hubungan horisontal kontraktual antara dokter
dan pasien yang dikenal dengan perjanjian teraupetik didasarkan pada dua hak pasien
yaitu17 :
1. Hak asasi manusia untuk menentukan nasibnya sendiri atau the right to self
determination
Hak ini ditemukan dalam United Nation International Covenant on Civil and
Political Rights 1966, Pada Pasal 1 “All peoples have The Right of self
determination, By virtue of right yhey freely determins yheir political status
and freely pursue their economic, social and cultural development” Hal ini
diatur pula dalam UU No. 36 tahun 2009 tentang Kesehatan Pasal 5 ayat 3
menyatakan “Setiap orang berhak secara mandiri dan bertanggungjawab
menentukan sendiri pelayanan kesehatan yang diperlukan bagi dirinya”.
2. Hak atas informasi atau the right to information. Yaitu bab Clinical Research
Combined with {rofssional Care, berbunyi sebagai berikut “
Hak ini tertuang dalam Deklarasi Helsinki yaitu bab Clinical Research
Combined with {rofssional Care, berbunyi sebagai berikut “
...If at all possible,, consistent with patient psychology, the doctor should
obtains tje patient’s feerly given consent after the patient has been a full
explanation...”
Aturan ini diatur dalam Pasal 7 dan Pasal 8 UU No. 36 tahun 2009 tentang
Kesehatan:
Pasal 7 menyatakan
“Setiap orang berhak untuk mendapatkan informasi dan edukasi tentang
kesehatan yang seimbang dan bertanggungjawab”.
Pasal 8, menyatakan
“Setiap orang berhak memperoleh informasi tentang data kesehatan dirinya
termasuk tindakan dan pengobatan yang telah maupun akan diterimanya dari
tenaga kesehatan”.
Perjanjian antara dokter dan pasien ini harus berdasarkan sahnya suatu
perjanjian yang diatur dalam Pasal 1320 KUH Perdata, yang memuat 4 syarat yaitu :
1. Kesepakatan
17. Guwandi J, Op. Cit, hal. 18
29
2. Kecakapan/kemampuan
3. Hal tertentu
4. Sebab yang halal
1. Kesepakatan
Perjanjian medis antara dokter dan pasien tidak sama degan perjanjian biasa.
Dalam perjanjian ini yang berdasarkan teraupetik, pasien meminta bantuan pada
dokter agar dapat melakukan terapi atau penyembuhan bagi diri pasien atau
keluarga.. Selanjutnya dokter akan menerangkan informasi mengenai penyakit
pasien, alternatif langkah-langkah upaya penyembuhan, segala akibat yang
mungkin timbul dari upaya penyembuhan yang akan dilakukan. Oleh karena itu
pasienlah yang akan menentukan apa yang akan dilakukan dokter pada tubuhnya
dan itu dituangkan dalam informed consent. Jadi informed consent merupakan
hak pasien sebelum pasien menjalani suatu upaya medis dilakukan oleh dokter
untuk menolong dirinya. Kesepakatan antara dokter dan pasien yang dikenal
dengan informed consent dianggap telah ada jika ada kondisi-kondisi secara
faktual, pasien mau menjalani prosedur kesehatan dalam rangka penanganan
terhadap penyakitnya
seperti :
a. secara faktual, pasien mau menjalani prosedur kesehatan dalam rangka
penanganan terhadap penyakitnya
b. dengan atau tanpa persetujuan yang faktual yaitu berdasarkan sikap tindak
pasien dapat ditarik kesimpulan yang bersangkutan telah memberikan
persetujuannya
Secara yuridis, kondisi-kondisi ini merupakan hal penting membuktikan telah
adanya kesepakatan yang diberikan pasien kepada dokter. Berdasarkan uraian
ini maka ada dua bentuk utama persetujuan pasien kepada dokter yaitu :
a. Persetujuan efektif mencakup :
a.1. persetujuan Ekpresif ; “apabila secara faktual pasien mau menjalani suatu
prosedur upaya medis dalam rangka penanganan terhadap penyakitnya
a.2. persetujuan nonekpresif, “apabila berdasarkan sikap dan tindakan pasien
dapat ditarik kesimpulan bahwa pasien yang bersangkutan memberikan
persetujuannya.
30
b. Persetujuan Implikatif, khususnya dalam keadaan darurat. Dalam hal ini ada
keadaan yang mengancam kematian bagi pasien dewasa maupun anak-anak
sehingga tidak perlu ada dipermasalahkan ada tidaknya persetujuan
dimaksud. Oleh arena itu dalam situasi seperti ini (implikatif), disimpulkan
adanya persetujuan pasien ybs dan dokter berkewajiban penuh untuk
melaksanakan upaya apapun yang wajar demi untuk menyelamatkan
pasien18.
Dalam praktik, informed consent, dalam bentuk tertulis dan sebagai bukti pasien
telah menyetujui upaya tindakan medis yang akan dilakukan dokter dan menerima
segala risiko yang mungkin akan terjadi. Selain itu hal ini juga memberikan rasa aman
pada dokter dalam menjalankan upaya medis yang akan dilakukan terutama terhadap
tuntutan hukum yang dilakukan pasien di kemudian hari.
2. Kecakapan
Berdasarkan Pasal 330 KUH Perdata seseorang dinyatakan tidak cakap untuk
membuat persetujuan adalah
a. Belum berusia 21 tahun atau belum menikah
b. Berada di bawah pengampuan yaitu berusia telah 21 tahun tetapi dianggap tidak
mampu sebab mengalami gangguan mental
Ketentuan huruf c dalam aturan ini menyebutkan wanita yang berstatus istri harus
mendapat ijin dari suami sesuai Pasal 108 KUH Perdata namun aturan ini tidak
berlaku sejak dikeluarkannya SE Mahkamah Agung No. 3 tahun 1963, bahwa wanita
yang berstatus sebagai istri yang sah diberi kewenangan atau kebebasan untuk
melakukan persetujuan.
3. Hal tertentu
Hal tertentu merupakan obyek hukum yang artinya tindakan atau upaya-upaya medis
yang akan dilakukan dokter dengan memberikan lebih dahulu informasi pada pasien
dengan itikad baik. Informasi ini berupa hasil diagnosis dokter didasarkan pada
informasi yang diberikan oleh pasien. Oleh sebab itu pasien pun berkewajiban
memberikan informasi yang benar dengan itikad baik akan keluhan-keluhan yang
dirasakan dalam tubuh pasien maupun tindakan-tindakan yang sudah dilakukan
pasien dalam mengatasi keluhan atau penyakit yang diderita pasien. Jadi dalam hal
18. Komalawati V. Op. Cit. 88-89
31
ini harus adanya kerja sama yang baik antara dokter dan pasien dalam mencapai
tujuan penyembuhan atas derita yang dialami pasien. Dalam perjanjian terapeutik ini
dokter tidak memberikan jaminan akan pasti berhasil tetapi memberi informasi
langkah-langkah yang mau diambil, oleh karenanya perjanjian ini bersifat
inspanningsverbinyenis.
4. Sebab yang halal
Obyek hukum yang menjadi pokok perjanjian berdasarkan Pasal 1337 KUHPerdata
menyatakan bahwa suatu sebab yang terlarang apabila bertentangan dengan peraturan
perundang-undangan, kesusilaan, dan ketertiban umum. Dikaitkan dengan ilmu
kedokteran maka dapat dilakukan dengan upaya tahapan-tahapan promotif, preventif,
kuratif dan rehabilitasi.
Dalam pelaksanaan perjanjian terapeutik yang merupakan hubungan hukum
antara dokter dan pasien maka sesuai dengan Peraturan Menteri Kesehatan No.
290/MENKES/PER/III/2008 tentang Persetujuan Tindakan Kedokteran maka harus
memperhatikan beberapa asas menurut Komalawati yaitu19 :
1. Asas legalitas
2. Asas Keseimbangan
3. Asas Tepat Waktu
4. Asas Itikad Baik
Pendapat Komalawati berbeda dengan pendapat Fuady, menurut beliau
perjanjian teraupetik harus dilandaskan pada asas etika modern dan praktik
kedokteran yaitu 20
1. Asas Otonomi
2. Asas Murah Hati
3. Asas Tidak Menyakiti
4. Asas Keadilan
5. Asas Kesetiaan
6. Asas Kejujuran
19. Komalawati, V. 2002, Peranan Informed Consent Dalam Transaksi Teraupetik:Persetujuan Dalam Hubungan Dokter dan Pasien, Suatu Tinjauan Yuridisa, Bandung Citra Aditya Bakti, hal, 128 20. Fuady Munir, 2005, Sumpah Hipocrates:Aspek Hukum Mallpraktik Dokter, Bandung, Citra Aditya Bakti, hal. 6
32
Sedangkan dalam UU No. 29 tahun 2004, Pasal 2 memuat aturan asas-asas
yang harus diperhatikan dalam Praktik Kedokteran sebagai berikut :
1. Asas Nilai Ilmiah
2. Asas Manfaat
3. Asas Keadilan
4. Asas Kemanusiaan
5. Asas Keseimbangan
6. Asas Perlindungan dan Keselamatan
Mendasarkan pada ketentuan dalam UU No. 36 tahun 2009 tentang Kesehatan
maka dijelaskan pihak yang terkait dalam memberikan pelayanan kesehatan adalah
tenaga kesehatan. Dalam Pasal 1 butir 6 UU N0. 36 tahun 2009, yang dimaksud
dengan tenaga kesehatan setiap orang yang mengabdi diri dalam bidang kesehatan
serta memiliki pengetahuan dan/atau ketrampilan melalui pendidikan di bidang
kesehatan yang untuk jenis tertentu memerlukan kewenangan untuk melakukan upaya
kesehatan. Bahkan dalam melakukan tugas pelayanan kesehatan guna melaksanakan
pembangunan kesehatan menurut Pasal 2 dan Penjelasan Pasal 2 UU No. 36 tahun
2009 harus memperhatikan asas-asas sebagai berikut :
1. Peri kemanusiaan yang berarti bahwa pembangunan kesehatan harus
berlandaskan pada KeTuhanan Yang Maha Esa dalam arti tidak ada
diskriminasi atau tidak membedakan golongan, agama dan bangsa
2. Asas keseimbangan, bahwa pembangunan kesehatan harus dilaksanakan
antara kepentingan individu dan masyarakat, antara fisik dan mental, serta
antara material dan spiritual
3. Asas manfaat, pembangunan kesehatan harus memberikan manfaat yang
besar bagi kemanusiaan dan peri kehidupan yang sehat bagi setiap warga
negara
4. Asas perlindungan, pembangunan kesehatan harus memberikan
perlindungan, kepastian hukum kepada pemberi dan penerima layanan
kesehatan
5. Asas penghormatan terhadap hak dan kewajiban, harus menghormati hak dan
kewajiban masyarakat sebagai bentuk kesamaan kedudukan hukum
33
6. Asas keadilan, penyelenggara kesehatan harus dapat memberikan pelayanan
yag adil dan merata kepada semua lapisan masyarakat dengan pembiayaan
yang terjangkau
7. Asas gender dan non diskriminatif, pembangunan kesehatan tidak membeda-
bedakan perlakuan terhadap perempuan dan laki-laki
8. Asas norma agama, asas ini mengandung arti pembangunan kesehatan harus
memperhatikan dan menghormati serta tidak membedakan agama yang
dianut masyarakat.
Dalam Pasal 3 UU No.6 tahun 2009, memuat tujuan dari pembangunan kesehatan
untuk tujuan meningkatkan kesadaran, kemauan dan kemampuan hidup sehat bagi
setiap orang agar terwujud derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya
sebagai investasi bagi pembangunan sumber daya manusia yang produktif secara
sosial dan ekonomis. Guna tercapainya tujuan dari pembangunan kesehatan maka
menurut Pasal 14 sampai dengan Pasal 20 Pemerintah bertanggung jawab dalam
terselenggaranya pembangunan kesehatan seperti tersedianya segala bentuk fasilitas
kesehatan. sumber daya di bidang kesehatan dan jaminan sosial masyarakat dan
lainnya. Tujuan i juga dijabarkan dalam UU No. 17 tahun 2007tentang Rencana
Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN)tahun 2005-2025, mengamanatkan
pembangunan kesehatan diarahkan untuk meningkatkan kesadaran, kemauan dan
kemampuan hidup sehat bagi setiap orang agar peningkatan derajat kesehatan
masyarakat yang setinggi-tingginya dapat terwujud juga dalam undang-undang
tersebut telah ditetapkan bahwa pembangunan kesehatan merupakan investasi dalam
meningkatkan kualitas Sumber Daya Manusia (SDM). Tercapainya tujuan tersebut
tentu dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi , menurunkan tingkat kemiskinan
serta pengangguran.
3. Hak dan Kewajiban Dokter
Dalam perjanjian teraupetik ini masing-masing pihak memiliki hak dan
kewajiban yang dilindungi oleh hukum. Adapun yang dimaksud dengan hak atau right
mengandung arti menurut van Apeldorn, hak ialah hukum yang dihubungkan dengan
seorang manusia atau subyek hukum tertentu21. Sedangkan menurut Notonegoro hak
ialah kuasa untuk menerima atau melakukan suatu yang semestinya diterima atau
21. https://butew.com/2017/12/19/pengertian -hak-dan-macam-macam-hak-dalam-hukum, diunduh Jakarta, 18 September 2020, Jam 18.00 wib
34
dilakukan oleh pihak tertentu, dalam hal ini dokter, dan tidak dapat dilakukan oleh
pihak lain mana pun juga yang pada prinsipnya dapat dituntut secara paksa olehnya22.
Sedangkan arti hak menurut hukum kedokteran berdasarkan pendapat Veronica
Komalawati, ialah merupakan suatu kewenangan untuk berbuat atau tidak berbuat
oleh dokter sehingga pasien mempunyai kebebasan untuk menggunakan atau tidak
menggunakan23..
Berdasarkan UU No. 29 tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran, pada Pasal
50, hak-hak dokter sebagai berikut :
a. Memperoleh perlindungan hukum sepanjang sesuai standar profesi (SP) dan
standar operasional prosedural (SOP)
b. Memberikan layanan medis menurut Standar Profesi (SP) dan Standar
Operasional Prosedural
c. Memperoleh info yang jujur dan lengkap dari pasien atau keluarga pasien
d. Menerima imbalan jasa
Dalam Pasal 51 UU No. 29 tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran, hak-hak
dokter ialah:
a. Memberi pelayanan medis sesuai SP dan SOP, serta kebutuhan medis pasien
b. Merujuk pasien bila tak mampu
c. Menjamin kerahasiaan pasien
d. Pertolongan darurat atas dasar perikemanusiaan, kecuali bila yakin ada orang lain
yang bertugas dan mampu
e. Menambah atau ikuti perkembangan iptek.
Dalam memberikan pelayanan kesehatan dokter sebagai tenaga kesehatan
memilik juga kewajiban sebagaimana dalam UU No. 29 tahun 2004 tentang Praktik
Kedokteran sebagai berikut :
1. memberikan pelayanan medis sesuai dengan standar profesi dan standar
operasional prosedur serta kebutuhan medis
2. apabila tidak tersedia alat kesehatan atau tidak mampu melakukan suatu
pemeriksaan/pengobatan bisa merujuk pasien ke dokter/sarana kesehatan
lain yang mempunyai kemampuan lebih baik
22. https://artikelpendidikan.id/pengertian-hak-dan-kewajiban, diunduh Jakarta, 18 September 2020 Jam 19.00 wib. 23. Komalawati V, Op. Cit. hal. 88
35
3. merahasiakan segera sesuatu yang diketahui tentang pasien, bahkan setelah
pasien meninggal dunia
4. melakukan pertolongan darurat atas dasar perikemanusiaan, kecuali bila ia
yakin ada orang lain yang mampu melakukannya
5. mengikuti perkembangan ilmu kedokteran
Dalam UU No. 36 tahun 2014, memuat pula hak-hak dari Tenaga Kesehatan,
termasuk dokter yang memberikan pelayanan kesehatan tercantum dalam Pasal 57
sebagai berikut :
1. memperoleh perlindungan hukum sepanjang melaksanakan tugas sesuai
dengan Standar Profesi, Standar Pelayanan Profesi Standar Prosedur
Operasional
2. memperoleh informasi yang lengkap dan benar dari Penerima Pelayanan
Kesehatan atau keluarganya
3. menerima imbalan jasa
4. memperoleh perlindungan atas keselamatan dan kesehatan kerja, perlakuan
yang sesuai dengan harkat dan martabat manusia, moral, kesusilaan serta
nilai-nilai agama
5. mendapat kesempatan untuk mengembangkan profesinya
6. menolak keinginan pasien atau pihak lain yang bertentangan dengan standar
profesi (SP) dan standar operasional prosedural (SOP) atau ketentuan
peraturan perundang-undangan
7. memperoleh hak lain sesuai dengan ketentuan Peraturan Perundang-
undangan.
4. Perlindungan Hukum Dokter di Indonesia
Perlindungan Hukum merupakan bentuk perlindungan yang didasari suatu
pemikiran bahwa hukum merupakan sarana yang dapat mengakomodasi kepentingan
dan hak secara komprehensif dan hukum bersifat memaksa yang diakui oleh Negara.
Adapun arti perlindungan hukum menurut Philipus M. Hadjon, ialah perlindungan
akan harkat dan martabat serta pengakuan terhadap hak-hak asasi manusia yang
dimiliki oleh subyek hukum berdasarkan hak dan kewajiban untuk melakukan suatu
36
tindakan hukum.24 Adapun saranan perlindungan hukum menurut Ray Pratama
Siadari ada 2 yaitu25
1. Perlindungan Hukum Preventif
Perlindungan Hukum yang diberikan pemerintah dengan tujuan untuk mencegah
sebelum terjadinya suatu pelanggaran. Hal ini dituangkan dalam peraturan
perundang-undangan yang bertujuan mencegah muncul pelanggaran dengan
memberikan rambu-rambu atau batasan-batasan dalam melaksanakan suatu
kewajiban.
2. Perlindungan Hukum Represif
Tujuan sarana perlindungan represif merupakan perlindungan akhir berupa
pemberian sanksi seperti sanksi penjara, denda dan hukuman tambahan yang
diberikan apabila terjadi sengketa atau telah dilakukan pelanggaran.
Adapun dasar hukum adanya perlindungan yang diberikan kepada dokter dalam
tugas sebagai pelayan medis sebagai berikut :
1. UUD 1945 Amandemen Ke-4
a. Pasal 28 D ayat 1 ,”Setiap orang berhak atas pengakuan , jaminan,
perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama
di hadapan hukum”
b. Pasal 28 I ayat 2.” Setiap orang berhak bebas dari perlakuan yang bersifat
diskriminatif atas dasar apa pun dan berhak mendapat perlindungan
terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif”.
c. Pasal 28 I ayat 4 ,”Perlindungan, pemajuan, penegakan dan pemenuhan
hak asasi manusia adalah tanggung jawab negara terutama pemerintah”.
2. Undang-Undang No. 44 tahun 2009 tentang Rumah Sakit
a. Pasal 3 huruf b ,”Pengaturan Penyelenggaraan Rumah Sakit bertujuan
untuk : memberikan perlindungan sumber daya manusia di rumah sakit”.
b. Pasal 30 huruf f, ”Rumah Sakit mempunyai hak mendapatkan
perlindungan hukum dalam melaksanakan pelayanan kesehatan”.
24.Hadjon, M Philipus, 1987, Perlindungan Hukum Bagi Rakyat Indonesia, Surabaya, Bina Ilmu,hal. 25 25.Siadari P, Ray, 20015. Teori Perlindungan Hukum, https://raypratama.blogshot.com/2015/04/teori-perlindungan-hukum.html, diunduh Sabtu 26 September 2020, Kam 15.00 wib
37
3. Undang-Undang No. 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia
a. Pasal 3 ayat 2 “Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan,
perlindungan dan perlakuan hukum yang adil serta mendapat kepastian
hukum dan perlakuan yang sama di depan hukum”.
b. Pasal 3 ayat 2 “Setiap orang berhak atas perlindungan hak asasi manusia
dan kebebasan dasar manusia, tanpa diskriminasi
c. Pasal 5 ayat 1 “Setiap orang diakui sebagai manusia pribadi yang berhak
menuntut dan memperoleh perlakuan serta perlindungan yang sama
sesuai dengan martabat kemanusiaannya di depan hukum”.
d. Pasal 5 ayat 3 “Setiap orang yang termasuk kelompok masyarakat yang
rentan berhak memperoleh perlakuan dan perlindungan lebih berkenaan
dengan kekhususannya”
e. Pasal 49 ayat 2 “Wanita berhak untuk mendapat perlindungan khusus
dalam melaksanakan pekerjaan atau profesinya terhadap hal=hal yang
dapat mengancam keselamatan dan atau kesehatannya berkenaan dengan
fungsi reproduksi wanita”.
4. Undang-Undang No. 36 tahun 2009 tentang Kesehatan
a. Pasal 24 ayat 1. “Tenaga Kesehatan dimaksud Pasal 23 harus memenuhi
kode eti, standar profesi, hak pengguna pelayanan kesehatan, standar
pelayanan dan standar prosedur operasional
b. Pasal 27 ayat 1, “Tenaga Kesehatan berhak mendapatkan imbalan dan
perlindungan hukum dalam melaksanakan tugas sesuai dengan profesinya
c. Pasal 29, “Dalam hak tenaga kesehatan diduga melakukan kelalaian
dalam menjalankan profesinya, kelalaian tersebut harus diselesaikan
terlebih dahulu melalui mediasi”.
d. Pasal 83 ayat 2 “Pemerintah menjamin perlindungan hukum bagi tenaga
kesehatan dalam pelayanan kesehatan”
5. Undang-Undang N0. 29 tahun 2004 tentang Praktek Kedokteran
Pasal 50 huruf a “Dokter dan Dokter Gigi dalam praktik kedokteran
mempunyai hak memperoleh perlindungan hukum sepanjang melaksanakan
tugas seseuai standard profesi dan standar prosedur operasional”.
6. UU No. 36 Tahun 2014 tentang Tenaga Kesehatan
38
Pasal 4 huruf c “Pemerintah dan Pemerintah Daerah bertanggungjawab
terhadap perlindungan tenaga kesehatan dalam menjalankan praktik”.
7. Undang-Undang No. 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan
Pasal 86 ayat 1 “Setiap pekerja mempunyai hak untuk memperoleh
perlindungan atas a. keselamatan dan kesehatan kerja, b. moral dan
kesusilaan, c. perlakuan yang sesuai dengan harkat dan martabat manusia
serta nilai-nilai agama
8. Peraturan Presiden No.93 tahun 2015 tentang Rumah Sakit Pendidikan
Pasal 2 huruf b “Pengaturan tentang rumah sakit pendidikan bertujuan:
memberikan perlindungan dan kepastian hukum bagi pemberi pelayanan,
mahasiswa dan dosen ...
9. Peraturan Menteri Kesehatan No. 317 tahun 2010 tentang Pendayagunaan
Tenaga Kesehatan Warga Negara Asing
Pasal 23 ayat 2 “TK WNA berhak mendapatkan perlindungan hukum dalam
melaksanakan pekerjaan sesuai dengan standar profesinya sesuai peraturan
perundang-undangan”.
10. Peraturan Menteri Kesehatan No. 67 tahun 2013 tentang Pendayagunaan
Tenaga Kesehatan Warga Negara Asing
Pasal 38 ayat 2 “TK-WNA yang didayagunakan di Indonesia mempunyai hak
mendapatkan perlindungan hukum dalam melaksanakan kegiatan bidang
kesehatan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan”.
11. Peraturan Menteri Kesehatan No. 46 tahun 2015 tentang Akreditasi
Puskesmas, Klinik Pratama, Praktek Dokter dan Dokter Gigi Mandiri
Pasal 2 huruf b “Pengaturan akreditasi puskesmas, klinik pratama, tempat
praktik mandiri dokter gigi bertujuan untuk meningkatkan perlindungan bagi
sumber daya manusia kesehatan”.
12. Peraturan Menteri Kesehatan No. 34 tahun 2017 tentang Akreditasi Rumah
Sakit
Pasal 2 huruf b “Pengaturan Akreditasi bertujuan untuk meningkatkan
perlindungan bagi masyarakat, sumber daya manusia di rumah sakit dan
rumah sakit sebagai institusi”.
39
Hal-hal yang harus diperhatikan dokter dalam melindungi diri dari tuntutan
yaitu
a. Informed Consent
Dalam menjalankan sesuai profesinya dalam praktek kedokteran maka
kewajiban yang harus dipenuhi dokter tertuang dalam informed consent..
Kata Informed Consent terdiri dari dua kata, yaitu Informed berarti
penjelasan atau keterangan atau informasi, sedangkan kata consent bermakna
persetujuan atau ijin. Menurut Syahrul Machmud, Imformed Consent
mengandung pengertian suatu persetujuan yang diberikan oleh pasien atau
keluarganya setelah mendapat informasi tindakan medis yang akan
dilakukan terhadap dirinya serta segala resikonya.26 Menurut Zulhasmar
Syamsu, informed consent memiliki 3 elemen yaitu
a. Threshold elements
Mengandung makna pemberi consent haruslah orang yang berkompeten.
Dikaitkan dengan hukum maka pemberi consent harus yang dianggap
cakap ialah telah dewasa telah berusia 21 tahu atau telah pernah menikah
(Pasal 330 KUHPerdata) dan tidak berada dalam pengampuan.
b. Information Elements
Terdiri ari dua bagian yaitu disclosure (pengungkapan) dan
understanding (pemahaman). Jadi mengandung makna dengan
memberikan informasi yang dengan itikad baik atau disclosure, agar
pasien dapat memperoleh suatu pemahaman yang adekuat atau
understanding. Informasi yang diberikan harus seuai dengan 3 standar
yaitu. Standar Praktek Medis, standar subyektif dan standar reasonable
person.
c. Consent Elements
Element ini terdiri dari dua bagian yaitu voluntariness atau kesukarelaan,
kebebasan dan authorization atau persetujuan. Adapun makna
kesukarelaan atau voluntarisness arti pasien dalam memberikan
persetujuan tidak ada paksaan, tipuan, misrepresentasi, maupun tekanan
. Pemberian Consent dapat dilakukan secara 1. dinyatakan artinya
26. Syahrul Machmud, 2012, Penegakan Hukum dan Perlindungan Hukum Bagi Dokter Yang Diduga melakukan Medikal Malpraktek, Bandung, KDP, hal. 85.
40
diberikan secara lisan dan secara tertulis guna pembuktian dikemudian
hari jika diperlukan tindakan invatif atau yang berisiko terhadap
kesehatan pasien, 2. Tidak dinyatakan dilakukan tidak menyatakan
secara lisan maupun tulisan, tetapi terlihat dari tindakan atau tingkah laku
gerakan yang menunjukkan jawabannya atau persetujuan dilakukan
tindakan medis. Hal ini biasa dalam praktek keseharian sebagai contoh
menggulung tangan lengan dan memberikan tangan saat mau diambil
darah27.
Dalam hal-hal tertentu informed consent tidak berlaku yaitu dalam
keadaan 1. Keadaan darurat medis, 2 ancaman terhadap kesehatan
masyarakat, 3. Pelepasan hak memberikan consent atau waiver, 4 clinical
privilege dan 5 pasien yang tidak kompeten memberikan consent28
b. Rekam Medis
Dokter yang menjalankan praktek dokter sebagai profesinya selain
harus memiliki informed consent maka wajib pula membuat Rekam
Medis terhadap semua pasien. Pengaturan rekam medis diatur dalam
Pasal 46 ayat 1 UU No. 29 tahun 2004 mengatur bahwa rekam medis
merupakan berkas yang berisi catatan dan dokumen tentang identitas
pasien, pemeriksaan, pengobatan, tindakan dan pelayanan yang
diberikan kepada pasien. Adapun mandat rekam medis dibuat guna
pengobatan pasien, peningkatan kualitas pelayanan, pendidikan dan
penelitian, pembiayaan, statistik kesehatan serta pembuktian masalah
hukum, disiplin, dan etik.29
Pasal 47 ayat 2 UU No. 29 th 2004 bahwa rekam medis harus disimpan
dan dijaga kerahasiaannya oleh dokter atau dokter gigi dan pimpinan
sarana kesehatan. Dalam Permenkes No. 749a tahun 1989 mengatur
lamanya retensi rekam medis hingga setidaknya 5 tahun sejak
kunjungan pasien terakhir, sedangkan untuk hal-hal yang bersifat
khusus dapat ditetapkan tersendiri.
27. Sampurna.B, Syamsu Z, SIswaja D. Tjetjep, 2005, Bioetik dan Hukm Kedokteran, Jakarta , FK UI, hal 78-82 28. May. T. 2002, Biocthics in a Liberal Society, Baltimore,, The John Hopkins, University Press, hal, 13 29. Syahrul Machmud, Op. Cit, hal. 219
41
Dalam rekam medis yang berisi data identitas pasien serta pengobatan,
pemeriksaan pasien dan alinnya haruslah dirahasiakan dokter sesuai
Paasal 48 ayat 1 UU No. 29 tahun 2004 dan untuk kepentingan tertentu
rekam medis dapat diungkapkan berdasarkan Pasal 48 ayat 2 UU No. 29
tahun 2004 dalam hal a. untuk kepentingan kesehatan pasien, b.
memenuhi permintaan aparat penegak hukum dalam rangka penegakan
hukum, c. permintaan pasien sendiri, d. berdasarkan ketentuan undang-
undang.
Dalam Pasal 12 Permenkes 749a tahun 1989, memuat bahwa30 :
1. Pemaparan isi rekam medis hanya boleh dilakukan oleh dokter yang
merawat pasien dengan ijin tertulis pasien
2. Pimpinan sarana pelayanan kesehatan dapat memaparkan isi rekam
medis tanpa seijin pasien berdasarkan peraturan perundang-
undangan.
Dalam bidang keamanan rekam medis, Permenkes No. 749 a tahun
1989, Pasal 13. Bahwa pimpinan sarana kesehatan bertanggungjawab
atas a. hilangnya, rusaknya atau pemalsuan rekam medis, b. penggunaan
oleh orang lain atau badan yang tidak berhak. Selain itu berdasarkan
Pasal 47 ayat 1 UU No. 29 tahun ahwa 2009 maupun Permenkes No.
749a/MENKES/PER/XII/1989, berkas medis adalah milik sarana
kesehatan sedangkan isi rekam medis merupakan hak atau milik pasien.
Bukti yang dimilik dokter dalam praktek kedokteran berupa informed consent
dan rekam medis akan menjadi dasar pemeriksaan bagi dokter yang mendapat
tuntutan hukum. Hal ini sesuai SE Mahkamah Agung tahun 1982 memberi arahan
pada hakim bahwa penanganan kasus dokter atau tenaga kesehatan lainnya yang
diduga melakukan kelalaian atau kesalahan dalam melakukan tindakan medis agar
jangan langsung diproses melalui hukum tetapi dimintakan lebih dahulu pendapat
dari Majelis Kehormatan Etik Kedokteran (MKEK)., sebagai lembaga independen
yang berada di bawah Konsil Kedokteran Indonesia (KKI). Aturan ini diatur pula
dalam Pasal 29 UU No. 29 tahun 2004 bahwa “Dalam hal tenaga kesehatan diduga
melakukan kesalahan dalam menjalankan profesinya, kelalaian tersebut harus
30 Sampurna.B, Syamsu Z, SIswaja D. Tjetjep,, Op. Cit. hal, 63
42
diselesaikan terlebih dahulu melalui mediasi”. Sedangkan dalam Penjelasan Pasal
29 UU No. 29 tahun 2004, bahwa mediasi dilakukan untuk tujuan menyelesaikan
sengketa di luar pengadilan oleh mediator yang disepakati oleh para pihak. Dalam
UU No. 29 tahun 2004, MKDKI bukan merupakan lembaga mediasi namun dalam
hal terjadinya sengketa antara dokter dan pasien di mana ada dugaan dokter
melakukan kesalahan maka MKDKL merupakan lembaga negara yang berwenang
untuk menentukan ada atau tidaknya kesalahan yang dilakukan dokter atau dokter
gigi dalam menerapkan disiplin ilmu kedokteran atau kedokteran gigi dan menerima
aduan secara tertulis yang kemudian melakukan pemeriksaan serta menetapkan ada
atau tidak kesalahan guna memberikan keputusan berupa sanksi bagi dokter atau
dokter gigi yang dinyatakan bersalah (Pasal 1 angka 14, Pasal 64 sampai dengan
Pasal 68 UU No. 29 tahun 2004) dan merupakan lembaga otonom dari Konsil
Kedokteran Indonesia (Pasal 55 ayat 2 UU No. 29 tahun 2004)
VI. PENUTUP
Berdasarkan hasil uraian peneliti maka dokter yang menjalankan profesi kedokteran
memilik hak dan kewajiban yang harus dilindungi sebagaimana yang diatur dalam
Pasal 50 dan Pasal 51 UU Praktek Kedokteran seperti mendapat perlindungan hukum
dalam melaksanakan praktek kedokteran yang sesuai dengan standar profesi (SP) dan
standar operasional prosedural (SOP). Selain itu diatur pula dalam Pasal 57 UU No.
36 tahun 2014 tentang Tenaga Kesehatan antara lain menolak keinginan pasien atau
pihak lain yang bertentangan dengan standar profesi (SP) dan standar operasional
prosedural (SOP) atau ketentuan peraturan perundang-undangan dan perlindungan
atas keselamatan dan kesehatan kerja, perlakuan sesuai dengan martabat manusia,
moral, kesusilaan dam nilai-nilai agama. Guna melindungi hak-hak dokter dalam
praktek kedokteran jika ada tuntutan hukum maka dokter harus memiliki bukti berupa
informed consent dan rekam medis dalam bentuk tertulis. Berdasarkan bukti tersebut
maka dapat diketahui ada atau tidaknya kesalahan dokter dalam praktek kedokteran
yang bersifaf independen oleh Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia
(MKDKI)
DAFTAR PUSTAKA
43
BUKU-BUKU Astuti, K. Endang, 2003, Hubungan Hukum Antara Dokter dan Pasien Dalam Upaya
Pelayanan Medis, Semarang. Fuady Munir, 2005, Sumpah Hipocrates: Aspek Hukum Mallpraktik Dokter, Bandung,
Citra Aditya Bakti Guwansi J. 2007. Hukum Medik (Medical Law), Jakarta, Fakultas Kedokteran UI Hadjon, M Philipus, 1987, Perlindungan Hukum Bagi Rakyat Indonesia, Surabaya, Bina
Ilmu Koewadji.H. Hermien, 1998, Hukum Kedokteran, Bandung, Citra Aditya Bakti. Komalawati, V. 2002, Peranan Informed Consent Dalam Transaksi Teraupetik:
Persetujuan Dalam Hubungan Dokter dan Pasien, Suatu Tinjauan Yuridisa, Bandung Citra Aditya Bakti.
.........................., 1989, Hukum Dan Etika Dalam Praktek Kedokteram, Jakarta, Pustaka
Sinar Harapan. M. Kartono. 1986, Profesi Dokter Kini dan Esok, Jakarta, FK UI, MD Mahfud dan Marbun S.F, 2006, Pokok-Pokok Hukum Administrasi Negara,
Yogyakarta, Liberty. Muchsin.2003, Perlindungan dan Kepastian Hukum Bagi Investor di Indonesia,
Surakarta, Universitas Sebelas Maret. May. T. 2002, Biocthics in a Liberal Society, Baltimore,, The John Hopkins, University Press. Rahardjo S. 2000, Ilmu Hukum, Bandung, PT Citra Aditya Bakti. Sampurna.B, Syamsu Z, Siswaja D. Tjetjep, 2005, Bioetik dan Hukum Kedokteran,
Jakarta , Fakultas Kedokteran UI .Setiono, 2004, Supremasi Hukum, Surakarta, UNS. Sudarto, 2009, Hukum Pidana I Edisi Revisi, Semarang, UNDIP. Sudikno, M. 1984, Bunga Rampai Ilmu Hukum, Yogyakarta, Liberty/ Syahrul Machmud, 2012, Penegakan Hukum dan Perlindungan Hukum Bagi Dokter
Yang Diduga melakukan Medikal Malpraktek, Bandung, KDP.
44
Titik Triwulan Tutik dan Shita Febriana,2010, Perlindungan Hukum Bagi Pasien, Jakarta, PT Prestasi Pustaka Raya.
Wiradharma A.,1996, Penuntun Kuliah Hukum Kedokteran, Jakarta Bina rupa Aksara.
ARTIKEL http://www.merdeka.com/peristiwa/5-kasus-malpraktek-dalam-dunia-kedokteran-html,
diakses 12 September 2020 Jam 15.00 wib https://www.google.com/url?sa=t&source=web&rct=j&url=http://repository.unissula.a
c.id/7045/4/BAB%2520I.pdf&ved=2ahUKEwiOxv-zjePrAhVygUsFHRB_Bk4QFjAAegQIAhAB&usg=AOvVaw24DTweSIZ-lDM38xy5rO1H
Siadari P, Ray, 20015. Teori Perlindungan Hukum,
https://raypratama.blogshot.com/2015/04/teori-perlindungan-hukum.html, diunduh Sabtu 26 September 2020, Kam 15.00 wib
https://butew.com/2017/12/19/pengertian -hak-dan-macam-macam-hak-dalam-hukum,
diunduh Jakarta, 18 September 2020, Jam 18.00 wib https://artikelpendidikan.id/pengertian-hak-dan-kewajiban, diunduh Jakarta, 18
September 2020 Jam 19.00 wib. https://www.unair.ac.id/site/article/read/754/pentingnya-perlindungan-hukum-bagi-
tenaga-kesehatan.html, diunduh di Jakarta tgl 3 September 2020 Jam 13.00 wib