perlindungan hukum konsumen terhadap...
TRANSCRIPT
PERLINDUNGAN HUKUM KONSUMEN TERHADAP PEREDARAN
PRODUK KOSMETIK ILEGAL YANG MENGANDUNG ZAT ADITIF
(Tinjauan UU Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen)
Skripsi
Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum
Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjan Hukum (S.H)
Oleh:
Iqlimatul Annisa
NIM. 11140480000121
PROGRAM STUDI ILMU HUKUM
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
J A K A R T A
1439/2018 M
iv
LEMBAR PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa:
1. Skripsi ini merupaka hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi
salah satu persyaratan memeperoleh gelar Strata Satu (S1) di UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta.
2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya
cantumkan seusai dengan ketentuan yang berlaku di UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta.
3. Jika dikemudian hari terbukti hasil karya ini plagiat maka saya bersedia
menerima sanksi yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Jakarta,
Iqlimatul Annisa
(11140480000121)
v
ABSTRAK
IQLIMATUL ANNISA. NIM 11140480000121. PERLINDUNGAN HUKUM
KONSUMEN TERHADAP PEREDARAN PRODUK KOSMETIK IMPOR
ILEGAL YANG MENGANDUNG ZAT ADITIF (Tinjauan UU Nomor 8
Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen). Program Studi Ilmu Hukum,
Konsentrasi Hukum Bisnis, Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam
Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta 1439 H / 2018 M.
Isi: ix + 58 halaman + lampiran + 3 halaman daftar pustaka
Kosmetik impor ilegal yang mengandung zat aditif tentu menjadi salah satu
ancaman bagi konsumen para pengguna kosmetik, terlebih kosmetik saat ini sudah
menjadi kebutuhan pokok bagi manusia. Saat ini banyak beredar kosmetik yang
mengandung bahan berbahaya khususnya kosmetik impor. Adapun tujuan dari
penelitian ini adalah untuk mengetahui bentuk perlindungan hukum konsumen
kosmetik impor ilegal yang mengandung zat aditif ditinjau dari Undang-Undang
Nomor 8 Tahun 1999 tentang perlindungan konsumen. Penelitian ini
menggunakan metode penelitian normatif dengan pendekatan perundang-
undangan yang bersifat deskriptif. Sumber data penelitian ini menggunakan data
primer berupa peraturan perundang-undangan dan data skunder dari bahan
kepustakaan. Data di uraikan dalam bentuk teks naratif secara sistematis. Metode
analisis data yang digunakan adalah metode kualitatif.
Hasil penelitian menunjukan faktor-faktor yang membuat peredaran kosmetik
impor ilegal yang mengadung zat aditif terus berkembang hingga saat ini adalah
pertama kecenderungan masyarakat membeli produk kosmetik secara online hal
ini dapat menjadi celah bagi para pelaku usaha kosmetik impor ilegal untuk selalu
bisa memasarkan produknya, kedua, pola pikir masyarakat pada hasil instan, ini
bisa menjadi salah satu pemicu maraknya peredaran produk kosmetik yang
mengandung zat aditif atau bahan berbahaya karena pihak produsen akan selalu
mengikuti kemauan pasar jika pasar menginginkan sebuah produk dengan hasil
instan makan zat bebahaya akan menjadi pilihan para produsen demi mengikuti
arus pasar. Ketiga, kurangnya pengetahuan masyarakat mengenai produk
kosmetik. Juga menjabarkan tetang efektifitas dari Undang-Undang Nomor 8
Tahun 1999 tentang perlindungan konsumen serta apa saja yang harus menjadi
perhatian jika terjadi pelanggaran atas hak-hak dari konsumen kosmetik.
Kata kunci : Perlindungan konsumen, Kosmetik impor ilegal, Hak konsumen.
Pembimbing : Syafrudin Makmur, SH.,MH., Achmad Bahtiar, M.Hum.
Daftar pustaka: Tahun 1981 Sampai Tahun 2013
vi
KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum Wr. Wb.
Segala puji dan syukur peneliti panjatkan atas kehadirat Allah SWT Tuhan
semesta alam atas segala rahmat dan hidayah-Nya peneliti dapat menyelesaikan
skripsi yang berjudul “PERLINDUNGAN HUKUM KONSUMEN
TERHADAP PEREDARAN PRODUK KOSMETIK IMPOR ILEGAL
YANG MENGANDUNG ZAT ADITIF (Tinjauan UU Nomor 8 Tahun 1999
Tentang Perlindungan Konsumen)”. Shalawat serta salam semoga senantiasa
tercurahkan kepada baginda Nabi Muhammad SAW beserta para keluarga,
sahabat yang telah membawa kita keluar dari zaman kegalapan menuju zaman
yang terang benderang saat ini. Semoga kita diberikan syafaat nya pada yaumil
akhir kelak. Aamiin.
Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk mendapatkan gelar Sarjana
Hukum pada Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta. Dalam penulisan skripsi ini banyak pihak yang telah
membantu penulis baik secara materiil maupun immaterial. Oleh karena itu,
peneliti mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada yang terhormat:
1. Dr. Asep Saepudin Jahar, MA., Ph.D, Dekan Fakultas Syariah dan Hukum UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta beserta para Wakil Dekan Fakultas Syariah dan
Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Dr. Asep Syarifuddin Hidayat, S.H., M.H Ketua Program Studi Ilmu Hukum
dan Drs. Abu Tamrin, S.H., M/Hum., sekertaris Program Studi Ilmu Hukum
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Syafrudin Makmur, SH.,MH., Achmad Bahtiar, M.Hum. Dosen pembimbing
yang telah meluangkan waktu, tenaga, dan pikirannya. Beserta Segenap Dosen
Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, khususnya
Dosen Program Studi Ilmu Hukum yang telah memberikan ilmu pengetahuan
yang sangat bermanfaat untuk peneliti.
vii
4. Kepala dan Staff Perpustakaan Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta, Kepala dan Staff Perpustakaan Utama UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta yang telah membantu dalam menyediakan fasilitas yang
memadai untuk peneliti mengadakan studi kepustakaan guna menyelesaikan
skripsi ini
5. Nur Rohim Yunus, LL.M, Dosen Penasihat Akademik yang telah banyak
seklai membantu peneliti selama proses perkuliahan hingga akhir.
6. Dr. Yayan Sopyan, S.H., M.H. M.Ag, Mustolih Sidradj, S.HI., M.H, Dosen
yang selalu membantu selama penulisan skripsi dimulai hingga selesai.
7. Orang tua peneliti Leni Indrayani dan Gibson Sony yang dengan sangat sabar
mendidik peneliti mulai dari lahir hingga sekarang ini tanpa merasa lelah dan
juga selalu memberikan doa kepada peneliti. Terimakasih juga kepada adik
peneliti Meutia Sari yang selalu menyemangati serta memberi dukungan dalam
pembuatan skripsi ini
8. Sahabat-sahabat yang selalu bersama dan menemani peneliti selama peneliti
mengemban dunia pendidikan sejak semester 3 hingga saat ini, Hanifa Tri
Agustina, Nabilah Nur Annisa, Putri Nur Aini, Masyita Mustika, Nurlia
Fikawaty, Widy Mayunita, Adella Farah. Terimakasih selalu ada dan
menyemangati peneliti sejak awal dimulainya penulisan skripsi ini hingga
selesai. Semoga persahabatan kita tidak terputus.
9. Keluarga besar Ilmu Hukum angkatan 2014, keluarga Saman Ilmu Hukum,
teman seperjuangan bimbingan skripsi, yang telah memberikan dorongan
semangat dalam kelancaran dalam penulisan skripsi ini.
10.Semua pihak terkait yang tidak dapat di sebutkan satu persatu. Tidak ada yang
bisa peneliti berikan untuk membalas jasa-jasa kalian kecuali doa dan ucapan
terima kasih. Akhir kata, peneliti berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat
bagi siapa saja yang membacanya. Terima Kasih.
Jakarta,
Iqlimatul Annisa
viii
DAFTAR ISI
LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING .............................................. ii
LEMBAR PENGESAHAN PANITIA UJIAN SKRIPSI ........................... iii
LEMBAR PENRNYATAAN ........................................................................ iv
ABSTRAK ...................................................................................................... v
KATA PENGANTAR .................................................................................... vi
DAFTAR ISI ................................................................................................... ix
BAB I PENDAHULUAN ........................................................................ 1
A. Latar Belakang Masalah ........................................................... 1
B. Identifikas, Pembatasan, dan Perumusan Masalah ................... 4
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ................................................. 5
D. Metode Penelitian ..................................................................... 6
E. Sistematika Penulisan ............................................................... 8
BAB II KAJIAN PUSTAKA ................................................................... 10
A. Kerangka Konseptual ............................................................... 10
B. Hubungan Antar Konsumen dan Pelaku Usaha ....................... 14
C. Hak dan Kewajiban Konsumen ................................................ 16
D. Hak dan Kewajiban Pelaku Usaha ........................................... 18
E. Pihak-pihak Dalam Pelaksanaan Perlindungan Konsumen ...... 20
F. Tujuan Perlindungan Konsumen .............................................. 21
G. Tanggung Jawab Pelaku Usaha ................................................ 22
H. Penyelesaian Sengketa Konsumen ........................................... 25
I. Tinjauan (Review) Kajian Terdahulu ....................................... 27
BAB III TINJAUAN UMUM KOSMETIK SERTA PERAN BPOM
DALAM PENGAWASAN PEREDARAN ................................ 30
A. Kosmetik................................................................................... 30
B. Ilegal ......................................................................................... 32
C. Profil Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) .............. 32
D. Pengawasan .............................................................................. 37
E. Pengawasan Terhadap Peredaran Kosmetik ............................. 38
ix
BAB IV PERLINDUNGAN KONSUMEN TERHADAP PEREDARAN
KOSMETIK IMPOR ILEGAL YANG MENGANDUNG ZAT
ADITIF.........................................................................................41
A. Perlindungan Konsumen Terhadap Peredaran Kosmetik Impor
Ilegal Yang Mengandung Zat Aditif Berdasarkan Undang-Undang
Nomor 8 Tahun 1999................................................................ 41
B. Faktor-faktor Yang Menyebabkan Konsumen Masih Menggunakan
Produk Kosmetik Impor Ilegal ................................................. 46
C. Efektifitas Undang-Undang Nomor 8 Thanun 1999 Tentang
Perlindungan Konsumen .......................................................... 49
BAB V PENUTUP .................................................................................... 58
A. Kesimpulan ............................................................................... 58
B. Rekomendasi ............................................................................ 59
DAFTAR PUSTAKA .................................................................................... 60
LAMPIRAN .................................................................................................... 63
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Kosmetik adalah bahan atau sediaan yang dimaksudkan untuk digunakan
pada bagian luar tubuh manusia (epidermis, rambut, kuku, bibir dan organ genital
bagian luar) atau gigi dan mukosa mulut terutama untuk membersihkan,
mewangikan, mengubah penampilan dan atau memperbaiki bau badan atau
melindungi atau memelihara tubuh pada kondisi baik. Kosmetik merupakan
bagian dari kebutuhan hidup manusia yang sudah ada dan semakin berkembang
dari masa ke masa. Kosmetik juga memiliki peranan penting untuk menunjang
penampilan sesorang. Dalam masyarakat dengan gaya hidup yang sederhana
kosmetik berperan sebagai sarana untuk beribadah, sedangkan dalam masyarakat
dengan gaya hidup yang lebih kompleks kosmetik sudah menjadi kebutuhan
pokok seperti halnya sandang dan pangan.
Kosmetika adalah bahan atau campuran bahan untuk digosokkan,
dilekatkan, dituangkan, dipercikan, atau disemprotkan pada, dimasukan dalam,
dipergunakan pada badan atau bagian badan manusia dengan maksud untuk
membersihkan, memelihara serta menambah daya tarik atau mengubah rupa,
melindungi supaya tetap dalam keadaan baik akan tetapi tidak untuk
penyembuhan. Kosmetik merupakan produk yang di formulasikan dari berbagai
bahan aktif dan bahan-bahan kimia yang akan bereaksi ketika di aplikasikan pada
jaringan kulit.1 Dalam penggunaannya, konsumen harus memerhatikan legalitas
dan juga komposisi bahan yang terkandung di dalam suatu produk kosmetik yaitu
dengan cara memerhatikan keterangan yang ada pada label kosmetik tersebut,
apakah produk kosmetik tersebut memiliki nomer pendaftaran merek, serta
mencantumkan hasil tes uji dermatologi dan masa kadaluarsa produk.
1 Dewi Muliyawan dan neti suriana, A-Z Tentang Kosmetik, (Jakarta, PT Elex Media
Komputindo, 2013), h.123.
2
Produk kosmetik yang banyak beredar di pasaran terutama kosmetik impor
diperjual belikan dengan harga yang murah, dalam kemasan yang menarik, serta
mudah di dapat. Hal ini disebabkan oleh minimnya pengawasan terhadap produk-
produk impor tersebut sehingga sering kali produk impor yang tidak di lengkapi
dengan perizinan dan standar produk yang memadai, aman untuk dipergunakan
dapat masuk pasaran dan dapat diperjual-belikan dengan mudah.
Akibat dari kurangnya penerapan dan pengawasan terhadap standar mutu
dan kualitas dari produk kosmetik ini yaitu posisi konsumen tidak terlindungi,
sehingga banyak terjadi kasus suatu produk kosmetik yang dibeli masyarakat
dengan tujuan untuk mendapatkan hasil yang sempurna malah berakibat
sebaliknya serta merugikan kesehatan. Sayangnya produk kosmetik
impor tersebut seringkali dijual tanpa mencantumkan nomor layanan
konsumen atau pihak yang dapat dihubungi jika terjadi efek samping dari
penggunaan produk kosmetik tersebut.
Sesuai dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan
Konsumen. Adanya kosmetik impor yang mengandung zat aditif atau bahan
berbahaya bagi pemakainya bertentangan dengan pasal 2 Undang-Undang Nomor
8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen yang menyatakan bahwa
“perlindungan konsumen berdasarkan manfaat, keadilan, keseimbangan,
keamanan, dan keselamatan konsumen, serta kepastian hukum.” Bentuk
penyalahgunaan yang biasa terjadi dalam bidang kosmetik ilegal adalah
penggunaan zat aditif atau zat berbahaya yang ditambahkan kedalam produk
kosmetik tersebut. Dalam Pasal 1 ayat 12 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992
tentang kesehatan yang dimaksud zat aditif adalah bahan yang penggunaannya
dapat menimbulkan ketergantungan psikis, kerusakan jaringan kulit,
ketergantungan pada fisik yang dapat menyebabkan sulitnya lepas dari
ketergantungan faktor tersebut..
Tujuan utama penggunaan kosmetik pada masyarakat modern adalah untuk
kebersihan pribadi, meningkatkan daya tarik melalui make-up, meningkatkan rasa
percaya diri dan perasaan tenang, melindungi kulit dan rambut dari kerusakan
akibat sinar ultra violet, polusi dan faktor lingkungan yang lain, mencegah
3
penuaan, dan secara umum membantu seseorang lebih menikmati dan menghargai
hidup.1
Gencarnya penawaran produk kosmetik baik melalui media iklan di koran-
koran, radio, televisi, jejaring internet seolah-olah produk kosmetik tersebut
terpercaya dan aman dipergunakan, hal itu semata-mata agar masyarakat tertarik
untuk membelinya. Hal ini jelas amat berbahaya sebab kosmetik tersebut
mengandung bahan-bahan kimia berbahaya dan tidak teruji secara klinis.
Berbagai cara dilakukan oleh para pelaku usaha untuk memasarkan
produknya, salah satu contohnya adalah dengan mencantumkan bahwa produk
tersebut buatan luar negri yang diimpor langsung ke Indonesia. Tidak adanya
Notifikasi dari badan POM membuat harga menjadi lebih murah bukan karena
produk tersebut palsu. Beberapa perbedaan dari kosmetik resmi selain ada
tidaknya nomor badan POM adalah tidak adanya label terjemahan bahan baku
kosmetik dalam bahasa Indonesia yang menyebabkan konsumek sulit untuk
memahami campuran bahan apa yang terkandung dalam produk kosmetik yang
akan mereka gunakan, tidak adanya tanggal kadaluarsa pada kemasan, bahkan
beberapa kosmetik tersebut tidak disegel.
Para pelaku usaha yang dimaksud dalam undang-undang perlindungan
konsumen ialah setiap orang perseorangan atau badan usaha baik yang berbentuk
badan hukum maupun bukan badan hukum yang didirikan dan berkedudukan atau
melakukan kegiatan dalam wilayah hukum Negara Republik Indonesia, baik
sendiri maupun bersama-sama melalaui perjanjian menyelenggarakan kegiatan
usaha dalam bidang ekonomi. Dapat disimpulkan bahwa tidak hanya dibatasi
pabrikan saja namun juga bagi distributor (jaringannya), serta para importir.2
Perlindungan konsumen harus mendapat perhatian yang lebih karena
investasi asing telah menjadi bagian pembangunan ekonomi Indonesia, dimana
ekonomi Indonesia juga berkaitan dengan ekonomi dunia. Persaingan
2 Retno Iswari Tranggono Fatma Latifah, Buku Pegangan Pengetahuan Ilmu Kosmetik
(Gramedia Pustaka Utama,2007), h. 7.
2Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani, Hukum Tentang Perlindungan Konsumen (Jakarta:
PT. Gramedia Pustaka Utama, 2000), h. 12.
4
internasional dapat membawa impilasi negatif bagi konsumen.3 Perlindungan
konsumen tidak saja terhadap barang-barang berkualitas rendah, akan tetapi juga
terhadap barang-barang yang membahayakan kehidupan masyarakat.
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan
Konsumen, konsumen memiliki sejumlah hak seperti yang termuat dalam pasal 4,
diantaranya hak konsumen atas kenyamanan dan keselamatan dalam
mengkonsumsi barang dan atau jasa. Sebaliknya pelaku usaha bertanggung jawab
memenuhi kewajibannya dengan memberikan informasi yang benar, jelas dan
jujur mengenai kondisi dan jaminan barang atau jasa tersebut serta memberikan
penjelasan penggunaan, perbaikan dan pemeliharaan.
Berdasarkan latar belakang masalah di atas peneliti tertarik untuk
melakukan penelitian hukum dengan judul “PERLINDUNGAN HUKUM
KONSUMEN TERHADAP PEREDARAN PRODUK KOSMETIK ILEGAL
DAN MENGANDUNG ZAT ADITIF (TINJAUAN UU NOMOR 8 TAHUN
1999 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN)”.
B. Identifikasi, Pembatasan, dan Perumusan Masalah
1. Identifikasi Masalah
Sesuai dengan latar belakang yang disampaikan di atas, terdapat
beberapa persoalan yang berkaitan dengan peredaran produk kosmetik ilegal,
yaitu:
a. Banyaknya faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya peredaran produk
kosmetik ilegal.
b. Adanya dampak terkait peredaran produk kosmetik ilegal.
c. Kurangnya perlindungan hukum bagi konsumen dari maraknya
peredaran kosmetil ilegal.
d. Indonesia menjadi salah satu negara tujuan peredaran kosmetik impor
ilegal.
3 Erma Rajagukguk, Pentingnya Hukum Perlindungan Konsumen dalam Era
Perdagangan Bebas, dalam Husni Syawali dan Neni Sri Imaniyati, Hukum perlindungan
Konsumen, Mandar Maju, (Bandung, 2000), h. 2.
5
2. Pembatasan Masalah
Agar masalah yang akan dibahas peneliti tidak terlalu luas, maka peneliti
fokus pada masalah pelanggaran hukum pelaku usaha kosmetik atas
beredarnya kosmetik yang mengandung zat aditif berdasarkan undang-
undang dan peraturan yang berlaku. Karena jenis kosmetik yang beredar di
masyarakat saat ini sangat beragam jenisnya maka dalam penelitian ini
peneliti akan memfokuskan penelitian ini pada jenis kosmetik cream pemutih
wajah.
3. Perumusan Masalah
Agar penelitian ini berjalan dengan baik, maka perlu dibuat perumusan
masalah sebagai berikut:
a. Bagaimana perlindungan hukum bagi konsumen terhadap peredaran
kosmetik yang mengandung bahan berbahaya menurut Undang-Undang
Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen?
b. Faktor-faktor apakah yang menyebabkan konsumen masih menggunakan
produk kosmetik impor ilegal?
c. Bagaimana Efektifitas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang
Pelindungan Konsumen?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan Penelitian
Berdasarkan perumusan masalah yang telah dijelaskan di atas, maka
dapat di tetapkan beberapa tujuan dari penelitian ini, yaitu:
a. Untuk mengetahui dampak dari maraknya peredaran produk kosmetik
ilegal.
b. Untuk mengetahui penyebab terjadinya peredaran produk kosmetik
ilegal di indonesia.
c. Untuk mengetahui perlindungan hukum bagi konsumen terhadap
peredaran kosmetik yang mengandung bahan berbahaya.
2. Manfaat Penelitian
Manfaat yang ingin dicapai dari penelitian ini anatar lain:
6
a. Manfaat Akademis
Secara akademis, penelitian ini diharapakan berguna bagi peneliti
lain serta perkembangan ilmu hukum kedepannya, khususnya dalam
hukum Bisnis.
b. Manfaat Praktis
Secara praktis, penelitian ini diharapkan menjadi acuan bagi peneliti
lain serta pemerintah khususnya Badan Pengawas Obat dan Makanan
BPOM dalam menangani masalah perizinan kosmetik dan obat-
obatan. Penelitian ini juga diharapkan dapat menjadi penyelesaian
terhadap maraknya peredaran obat-obatan serta kosmetik ilegal dan
berbahaya atau kasus yang serupa dimasa yang akan datang.
D. Metode Penelitian
Untuk mendapatkan data yang akan digunakan untuk keperluan penelitian
maka metode yang akan digunakan adalah sebagai berikut:
1. Pendekatan Penelitian
Metode pendekatan yang digunakan peneliti dalam penelitian ini yaitu
penelitian normatif, dengan menggunakan pendekatan yuridis normatif
penelitian yang dilakuka mengacu pada norma hukum yang terdapat pada
peraturan perundang-undangan serta norma-norma yang berlaku di
masyarakat.4Metode ini juga mengkaji kaitan antara permasalahan yang
diangkat dengan norma-norma dalam peraturan perundang-undangan
seperti Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan
Konsumen dan regulasi lainnya yang mengatur seperti peran Badan POM
dalam perlindungan konsumen.
2. Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian
kualitatif. Penelitian kualitatif yaitu penelitian yang digunakan untuk
meneliti pada kondisi objek alamiah dimana peneliti merupakan instrumen
kunci.
4 Soerjono Soekanto dan Sri Mahmudji, Peranan dan penggunaan kepustakaan di Dalam
Penelitian Hukum, (Jakarta: Pusat Dokumen Universitas Indonesia, 1979), h. 18
7
3. Sumber Data
Studi ini akan menganalisis objek penelitian dengan menggunakan data
skunder, yaitu data yang diperoleh dari hasil penelitian kajian bahan-bahan
pustaka. Sebagai suatu penelitian hukum, data skunder yang dipergunakan
dibagi menjadi tiga:
a. Bahan hukum primer, yang berupa ketentuan hukum dan perundang-
undangan yang mengikat serta berkaitan dengan penelitian ini, seperti
undang-undang perlindungan konsumen, undang-undang kesehatan,
keputusan Badan POM, peraturan kementrian kesehatan, peraturan cara
pembuatan kosmetik yang baik dan benar, dan peraturan lainnya yang
berkaitan dengan penelitian ini
b. Bahan hukum sekunder, yaitu berupa literatur-literatur yang diperoleh
dari penelitian kepustakaan dan dokumen, yang merupakan hasil dari
penelitin dan pengolahan orang lain yang sudah tersedia dalam buku-
buku atau dokumen biasanya disediakan di perpustakaan atau milik
pribadi.5
c. Bahan hukum tersier, yaitu berupa bahan penjelasan mengenai bahan
hukum tersier maupun skunder berupa kamus, ensiklopedia, dan
sebagainya.
4. Metode dan Teknik Pengumpulan Data
Untuk mendapatkan data-data terkait dengan tema penelitian ini maka
akan digunakan metode pengumpulan data sebagai berikut:
a. Studi Kepustakaan
Metode yang digunakan dalam penelitian ini dengan menggunakan cara
penelitian kepustakaan (libraray research), yaitu suatu teode
pengumpulan data dengan cara membaca atau merangkai buku-buku
serta literatur yang berkenaan dengan permasalahan yang diangkat
dalam penelitian ini, agar dapat memeberikan penjelasan terhadap
masalah yang ada dalam penelitian.
5Hilman Hadikusuma, Metode Penelitian Hukum, (Universitas Indonesia (UI) Press,
1986), h.52
8
b. Wawancara
Juga akan dilakukan wawancara singkat kepada narasumber pengguna
kosmetik ilegal. Metode ini digunakan untuk memperoleh data-data
yang diperlukan sebagai data tidak tertulis. Hasil data Interview atau
wawancara tersebut kemudian diubah dari format audio menjadi visual
dalam bentuk teks.
5. Teknik Pengolahan dan Analisis Data
Teknik analisis data adalah proses mencari dan menyusun secara
sistematis data yang diperoleh dari hasil wawancara catatan lapangan dan
lain-lain sehingga dapat mudah dipahamai oleh orang lain.6 Teknik yang
digunakan peneliti adalah dengan metode kualitatif atau wawancara
langsung kepada responden, yang selanjutnya data hasil wawancara
tersebut akan digunakan sebagai data tambahan penelitian di samping
penggunaan data dari bahan kepustakaan.
6. Teknik Penulisan
Teknik yang digunakan dalam penulisan penelitian ini mengacu pada
buku “Pedoman Penulisan Skripsi Fakultas Syariah dan Hukum” yang
diterbitkan oleh fakultas syariah dan hukum Universitas Islam (UIN)
Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, Tahun 2017.
E. Sistematika Penulisan
Untuk memudahkan penyelesaian dari penelitian ini, maka peneliti
menyusun sistematika penulisan sebagai berikut
BAB I: Pada bab ini merupakan bab pendahuluan yang berisikan
pemaparan penulis dari latarbelakang masalah, identifikasi
masalah, pembatasan masalah, perumusan, tujuan penelitian,
manfaat penelitian, kerangka teori metode penulisan, dan
sistematika penulisan.
BAB II: Pada bab ini akan membahas tinjauan umum tentang hukum
perlindungan konsumen
6 Sugiyono, Metode Penelitian Kuantitatif dan Kualitatif Dan R&D, (Bandung, Alfabeta
CV, 2013), h. 44
9
BAB III: Pada bab ini akan membahas tinjauan produk kosmetik dan peran
badan POM dalam pengawasan peredarannya.
BAB IV: Pada bab ini akan membahas bagaimana kosmetik ilegal dan
mengandung zat aditif dapat dijual secara bebas di Indonesia,
akibat hukum dari penjualan produk kosmetik ilegal, dan siapa saja
pihak-pihak yang harus di mintai pertanggung jawaban atas
pelanggaran hak konsumen akibat penjualan produk tersebut.
BAB V: Pada bab ini akan berisikan penutup serta kesimpulan yang
disimpulkan dari bab-bab yang sebelumnya.
10
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
A. Kerangka Konseptual
Kerangka konseptual ini akan menyajikan data kaitan atara satu konsep
dengan konsep lainnya kerangka konseptual merupakan pedoman yang lebih
konkrit dari kerangka teori yang berisi definisi operasional yang menjadi
pegangan dalam penulisan skripsi, sumber yang digunakan untuk menentuka
definisi dimbil dari peraturan perundang-undangn dan penelitian kepustakaan.
1. Pengertian Konsumen
Penjelasan mengenai konsumen berdasarkan pasal 1 angka 2 menurut
Ahmad Miru dan Sutarman Yodo dalam bukunya yang berjudul hukum
perlindungan konsumen, disebutkan bahwa dalam kepustakaan ekonomi
dikenal konsumen akhir dan konsumen antara. Konsumen akhir adalah
pengguna atau pemanfaat akhir dari suatu produk, sedangkan konsumen
antara adalah konsumen yang menggunakan suatu produk sebagai bagian
dari proses produksi suatu produk lainnya. Pengertian konsumen dalam
undang-undang ini adalah konsumen akhir. Dapat diketahui pengertian
konsumen dalam UUPK lebih luas dari pada pengertian konsumen pada
rancangan undang-undang perlindungan kosumen, karena dalam UUPK juga
meliputi pemakaian barang untuk kepentingan mahluk hidup lain. Hal ini
berarti bahwa UUPK dapat memberikan perlindungan kepada konsumen
yang bukan manusia (hewan, maupun tumbuh-tumbuhan). Pengertian yang
luas seperti itu sangat tepat dalam rangka memberikan perlindungan seluas-
luasnya kepada konsumen.
Pengertian konsumen dalam pasal 1 angka 2 Undang-Undang
Perlindungan Konsumen (UUPK) mengandung unsur-unsur sebagai berikut:
1. Konsumen dalam arti umum, yaitu pemakai, pengguna, pemanfaat
barang dan/atau jasa untuk tujuan tertentu.
11
2. Konsumen antara yaitu pemakai, pengguna, pemanfaat barang dan/atau
jasa untuk diproduksi menjadi barang dan/atau jasa lain untuk di
perdagangkannya (distributor) dengan tujuan komersial. Konsumen
antara ini sama denngan pelaku usaha.
3. Konsumen akhir yaitu, pemakai, pengguna, pemanfaat barang dan/atau
jasa untuk memenuhi kebutuhan sendiri, keluarga, rumah tangga dan
tidak untuk diperdagangkan kembali. Konsumen akhir inilah yang jelas
diatur perlindungannya dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen
(UUPK).
Konsumen memiliki posisi yang sangat penting dalam kegiatan ekonomi
yang juga menjadi faktor penting bagi kelancaran dunia usaha, karena
konsumen lah yang akan mengkonsumsi barang dan/atau jasa yang di
produksi oleh pelaku usaha tanpa memperdagangkannya kembali, yang
mana akan memberikan keuntungan bagi pelaku usaha untuk kelangsungan
usahanya. Konsumen sebagai pemakai barang dan/atau jasa memiliki
sejumlah hak dan kewajiban, pengetahuan tentang hak-hak konsumen sangat
penting agar masyarakat dapat bertindak sebagai konsumen yang kritis dan
mandiri. Tujuannya, jika terdapat tindakan yang tidak adil terhadap
konsumen maka mereka dapat menyadari hal tersebut kemudian konsumen
dapat bertindak lebih jauh untuk memperjuangkan hak-haknya. Dengan kata
lain tidak hanya tinggal diam ketika menyadari bahwa hak-haknya telah
dilanggar oleh pelaku usaha namun disamping itu konsumen juga memiliki
kewajiban yang harus dipenuhi atas diri produsen atau pelaku usaha.
Pengertian konsumen di Amerika Serikat dan Masyarakat Ekonomi
Eropa (MEE), kata “konsumen” yang berasal dari consumer sebenarnya
berarti “pemakai”. Namun ini dapat diartikan lebih luas lagi sebagai “korban
pemakaian produk yang cacat” baik korban tersebut pembeli, bukan pembeli
tetapi pemakai, bahkan juga korban yang bukan pemakai karena
12
perlindungan hukum dapat dinikmati pula bahkan oleh korban yang bukan
pemakai.1
Setiap konsumen berusaha untuk memenuhi kebutuhan hidupnya dengan
pemenuhan yang maksimal. Jumlah dan keanekaragaman barang yang dapat
dipenuhi bergantung pada besar pendapatan/penghasilan, tingkat
kemakmuran dan kesejahteraan seseorang atau masyarakat bergantung pada
tingkat konsumsi yang digunakan.
Sifat-sifat konsumen antara lain:
1. Ingin mengetahui keadaan/ciri-ciri dari barang-barang yang akan
dibeli/di konsumsi.
2. Menginginkan barang yang baik dan berkualitas.
3. Menginginkan barang yang murah harganya.
4. Menginginkan kejujuran dalam bertransaksi/jual beli.
Hal yang menjadikan seseorang disebut sebagai konsumen antara lain
adalah membeli, yaitu bagi seseorang yang memperoleh barang atau jasa
dengan cara membeli tentu dia terlibat perjanjian dengan pelaku
usaha/produsen. Selanjutnya adalah Hadiah, Hibah dan Warisan, seseorang
yang memperoleh barang tetapi tidak langsung terlibat dalam suatu
hubungan kontraktual dengan pelaku usaha atau dengan kata lain seseorang
yang memperoleh barang atau jasa secara cuma-cuma.
2. Pengertian Pelaku Usaha
Pengertian pelaku usaha menurut Pasal 1 angka 3 Undang-Undang
Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen adalah setiap orang
perorangan atau badan usaha, baik yang berbentuk badan hukum yang
didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum
negara Republik Indonesia, baik sendiri maupun bersama-sama melalui
1 Agus Broto Susilo, Aspek-aspek Perlindungan Terhadap Konsumen dalam Hukum di
Indonesia, (Jakarta: YLKI-USAID, 1998), h. 46.
13
perjanjian menyelenggarakan kegiatan usaha dalam berbagai bidang
ekonomi. Menurut penjelasan pasal 1 angka 3 Undang-Undang
Perlindungan Konsumen pelaku usaha yang termasuk dalam pengertian
tersebut meliputi perusahaan, korporasi, BUMN, koperasi, importir,
pedagang, distributor dan lain-lain
Pengertian pelaku usaha menurut undang-undang perlindungan konsumen
tersebut dapat dijabarkan menjadi beberapa unsur, yaitu:
1. Bentuk atau wujud dari pelaku usaha adalah:
a. Orang perorangan, yaitu setiap individu yang melakukan kegiatan
usahanya secara seorang diri
b. Badan usaha, adalah kumpulan individu yang secara bersama-sama
melakukan kegiatan usaha. Badan usaha dapat dikelompokkan
kedalam dua kategori yaitu:
1) Badan hukum, contohnya Perseroan Terbatas
2) Bukan badan hukum, contohnya Firma atau sekelompok orang
yang melakukan kegiatan usaha secara insidentill.
2. Kegiatan usaha tersebut harus didasarkan pada perjanjian
3. Di dalam berbagai bidang ekonomi, pengertian ini sangat luas tidak
terbatas hanya pada bidang produksi.
Melihat penjabaran unsur dan/atau syarat dari pelaku usaha tersebut dapat
dilihat bahwa pengertian pelaku usaha menurut undang-undang
perlindungan konsumen sangat luas. Pelaku usaha menurut undang-undang
Perlindungan Konsumen bukan hanya produsen melainkan hingga pihak
terakhir yang menjadi perantara antara produsen dan konsumen seperti agen,
distributor, dan pengecer atau yang sering disebut sebagai konsumen antara.
3. Hukum Perlindungan Konsumen
Dalam ketetapan MPR tahun 1993 terdapat arahan mengenai
perlindungan konsumen yaitu melindungi kepentingan produsen dan
konsumen. Berdasarkan arahan tersebut maka terdapat dua hal yang perlu
14
mendapat perhatian yaitu adanya kelompok masyarakat produsen serta
kelompok masyarakat konsumen, dimana kepentingan masing-masing
kelompok perlu dilindungi.2 Arahan ketetapan MPR tersebut terdapat
pengrtian mengenai hukum konsumen yaitu mengenai hukum konsumen
yaitu keseluruhan asas-asas dan kaidah-kaidah yang mengatur hubungan
masalah penyediaan dan penggunaan produk (barang/jasa) alat penyedia dan
penggunanya dalam kehidupan bermasyarakat. Berdasarkan Pasal 1 ayat 1
UUPK disebutkan bahwa perlindungan konsumen adalah segala upaya
menjamin adanya kepastian hukum untuk melindungi konsumen yang
diperkuat oleh Undang-Undang Perlindungan Konsumen (UUPK) memberi
harapan agar pelaku usaha tidak lagi bertindak sewenang-wenang sehingga
dapat merugikan hak-hak konsumen, selain itu dengan adanya Undang-
Undang Perlindugan Konsumen (UUPK) dan peraturan perundang-
undangan yang mengatur tentang perlindungan konsumen maka konsumen
memiliki posisi berimbang.
B. Hubungan Antar Konsumen dan Pelaku Usaha
1. Hubungan Langsung
Menurut ahmad miru dalam bukunya prinsip-prinsip perlindungan
hukum bagi konsumen di Indonesia menyatakan bahwa hubungan langsung
yang dimaksud adalah hubungan antara produsen dan konsumen yang terkait
secara langsung dengan perjanjian tanpa mengabaikan jenis perjanjian-
perjanjian lainnya, pengalihan barang dari produsen kepada konsumen, pada
umumnya dilakukan dengan perjanjian jual beli, baik yang dilakukan secara
lisan maupun tulisan.3 Berkaitan dengan hal tersebut, salah satu bentuk
perjanjian tertulis adalah perjanjian baku. Dimana perjanjian baku
didasarkan pada asas kebebasan berkontrak yang diatur dalam Pasal 1338
2 Az Nasution (a), Hukum Perlindungan Kondumen Suatu Pengantar, (Jakarta: Diadit
Media, 2006), h. 34.
3 Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo, Hukum Perlindungan Konsumen, (Jakarta: PT.
Rajawali Pers, 2011), h. 34
15
ayat (1) KUHPerdata, yaitu semua perjanjian yang dibuat secara sah,
berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Pengertian
“sah” tersebut di atas yaitu telah memenuhi syarat sahnya suatu perjanjian
berdasarkan Pasal 1320 KUH Perdata sebagai berikut:
a. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya.
b. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan.
c. Suatu hal tertentu.
d. Suatu sebab yang halal.
Sehubungan dengan hal tersebut, R. Soetojo Prawirohamidjojo dan
Marthalena Pohan dalam bukunya yang berjudul Hukum Perikatan,
menyatakan bahwa meskipun telah dipenuhinya keempat syarat di atas
belum menjamin sempurnanya perjanjian yang dimaksud, karena masih ada
ketentuan lain yang harus diperhatikan untuk menentukan apakah perjanjian
tersebut sah tanpa ada alasan pembatalan, sehingga perjanjian tersebut
mengikat sebagaimana mengikatnya undang-undang. Ketentuan yang
dimaksud adalah kesempurnaan kata sepakat, karena apabila kata sepakat
diberikan dengan adanya paksaan, kekhilafan atau penipuan, maka
perjanjian tersebut tidak sempurna sehingga masih ada kemungkinan
dibatalkan.4
2. Hubungan Tidak Langsung
Menurut Ahmad Miru dalam bukunya Prinsip-prinsip Perlindungan
Hukum Bagi Konsumen menyatakan hubungan tidak langsung yang
dimaksud pada bagian ini adalah hubungan antara produsen dengan
konsumen yang tidak secara langsung terikat dengan perjanjian, karena
adanya pihak diantara pihak konsumen dan produsen. Ketiadaan hubungan
langsung dalam bentuk perjanjian antara pihak produsen dan konsumen ini
4 R. Soetojo Prawirohamidjojo dan Marthalena Pohan, Hukum Perikatan, (Surabaya: Bina
Ilmu, 1984) h. 25
16
tidak berarti bahwa pihak konsumen yang dirugikan tidak berhak untuk
menuntut ganti rugi kepada produsen dengan siapa dia tidak memiliki
hubungan perjanjian, karena dalam hukum perikatan tidak hanya perjanjian
yang melahirkan perikatan, akan tetapi dikenal dua sumber perikatan, yaitu
perjanjian dan undang-undang. Sumber perikatan yang berupa undang-
undang ini masih dapat dibagi lagi dalam undang-undang saja dan undang-
undang karena perbuatan manusia, yaitu yang sesuai hukum dan yang
melanggar hukum. Berdasarkan pembagian sumber perikatan tersebut, maka
sumber perikatan yang terakhir, yaitu undang-undang karena perbuatan
manusia yang melanggar hukum merupakan hal yang penting dalam
kaitannya dengan perlindungan konsumen.5
C. Hak dan Kewajiban Konsumen
Menurut Az.Nasution dalam bukunya Hukum Perlindungan Konsumen
Suatu Pengantar, menyatakan bahwa istilah “perlindungan konsumen”
berkaitan dengan perlindungan hukum. Maka dari itu perlindungan
konsumen banyak mengandung aspek hukum. Adapun materi yang
mendapatkan perlindungan bukan hanya secara fisik, melainkan terlebih-
lebih hak-haknya yang bersifat abstrak. Dengan kata lain, perlindungan
konsumen sesungguhnya identik dengan perlindungan yang diberikan
hukum tentang hak-hak konsumen
Secara umum dikenal ada 4 (empat) hak dasar konsumen, yaitu:
1. hak untuk mendapatkan keamanan (the right to safety).
2. hak untuk mendapatkan informasi (the right to be informed).
3. hak untuk memilih (the right to choose).
4. hak untuk didengar (the right to be heard).6
5 Ahmad Miru dan Sutarman Yodo, Hukum Perlindungan Konsumen... h 35-36.
6Celina Tri Siwi Kristiyanti, Hukum Perlindungan Konsumen, (Jakarta: Sinar Grafika,
2009), h. 30
17
Empat hak dasar tersebut di atas diakui secara internasional. Di dalam
perkembangannya, organisasi-organisasi konsumen yang tergabung dalam
The International Organization of Consumer Union (IOCU) menambahkan
lagi beberapa hak, seperti hak mendapatkan pendidikan konsumen, hak
mendapatkan ganti kerugian, dan hak mendapatkan lingkungan hidup yang
baik dan sehat.
Hak konsumen sebagaimana yang tertuang dalam Pasal 4 Undang-
Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, yaitu:
a. hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengkonsumsi
barang dan/atau jasa.
b. hak untuk memilih barang dan/atau jasa serta mendapatkan barang
dan/atau jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan
yang dijanjikan.
c. hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan
jaminan barang dan/atau jasa.
d. hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/atau jasa
yang digunakan.
e. hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan, dan upaya penyelesaian
sengketa perlindungan konsumen secara patut.
f. hak untuk mendapat pembinaan dan pendidikan konsumen.
g. hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak
diskriminatif.
h. hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian,
apabila barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan
perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya.
i. hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan
lainnya.
Sidharta mengemukakan bahwa adanya hak dan kebebasan untuk
memenuhi dan mengkonsumsi suatu produk tertentu seara tidak langsung
18
memberikan arti bahwa dengan hak dan kebebasan tersebut berarti
konsumen harus dilindungi, karena dalam kondisi seperti itu biasanya
konsumen dihadapkan pada kondisi take it or leave it, artinya jika setuju
silahkan beli, jika tidak silahkan mencari di tempat lain.7
Pasal 5 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan
Konsumen juga menyebutkan mengenai kewajiban konsumen sebagai
berikut:
1. membaca atau mengikuti petunjuk informasi dan prosedur pemakaian
atau pemanfaatan barang dan/atau jasa, demi keamanan dan
keselamatan.
2. beritikad baik dalam melakukan transaksi pembelian barang dan/atau
jasa.
3. membayar sesuai dengan nilai tukar yang disepakati.
4. mengikuti upaya penyelesaian hukum sengketa perlindungan konsumen
secara patut.
D. Hak dan Kewajiban Pelaku Usaha
Berdasarkan ketentuan Pasal 6 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999
tentang Perlindungan Konsumen, untuk menciptakan kenyamanan berusaha
bagi para pelaku usaha dan sebagai keseimbangan atas hak-hak yang
diberikan kepada konsumen maka kepada pelaku usaha juga diberikan hak
sebagai berikut:
a. hak untuk menerima pembayaran yang sesuai dengan kesepakatan
mengenai kondisi dan nilai tukar barang dan/atau jasa yang
diperdagangkan.
b. hak untuk mendapat perlindungan hukum dari tindakan konsumen yang
beritikad tidak baik.
c. hak untuk melakukan pembelaan diri sepatutnya di dalam penyelesaian
hukum sengketa konsumen.
7 Shidarta, Hukum Perlindungan Konsumen Indonesia, edisi Revisi, (Jakarta: PT.
Grasindo, 2006), h. 28.
19
d. hak untuk rehabilitasi nama baik apabila terbukti secara hukum bahwa
kerugian konsumen tidak diakibatkan oleh barang dan/atau jasa yang
diperdagangkan.
e. hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan
lainnya.
Dalam pasal 7 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang
Perlindungan Konsumen disebutkan bahwa sebagai konsekuensi dari hak
konsumen yang telah disebutkan pada uraian terdahulu, maka kepada pelaku
usaha juga dibebankan pula mengenai kewajiban pelaku usaha yaitu sebagai
berikut:
a. beritikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya.
b. memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan
jaminan barang dan/atau jasa serta memberi penjelasan penggunaan,
perbaikan dan pemeliharaan.
c. memperlakukan atau melayani konsumen secara benar dan jujur serta
tidak diskriminatif.
d. menjamin mutu barang dan/atau jasa yang diproduksi dan/atau
diperdagangkan berdasarkan ketentuan standar mutu barang dan/atau
jasa yang berlaku.
e. memberi kesempatan kepada konsumen untuk menguji, dan/atau
mencoba barang dan/atau jasa tertentu serta memberi jaminan dan/atau
garansi atas barang yang dibuat dan/atau yang diperdagangkan.
f. memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian atas kerugian
akibat penggunaan, pemakaian dan pemanfaatan barang dan/atau jasa
yang diperdagangkan.
g. memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian apabila barang
dan/atau jasa yang diterima atau dimanfaatkan tidak sesuai dengan
perjanjian.
kewajiban-kewajiban pelaku usaha tersebut merupakan salah satu bentuk
manifestasi dari hak konsumen dalam sisi lain yang ditargetkan untuk
menciptakan upaya tanggung jawab pada diri pelaku usaha itu sendiri.
20
E. Pihak-Pihak Dalam Pelaksanaan Perlindungan Konsumen.
Mengingat kedudukan konsumen yang masih lemah, maka
perlindungan konsumen melibatkan beberapa kelompok yang merupakan
pihak-pihak dalam perlindungan konsumen, yaitu:
1. Konsumen.
Pengertian konsumen dalam Pasal 1 ayat (2) Undang-Undang Nomor 8
Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, yaitu:
Konsumen adalah setiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang
tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga,
orang lain maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan.
Menurut Celina Tri Siwi Kristiyanti dalam bukunya Hukum Perlindungan
Konsumen, menyatakan bahwa, jika konsumen merasakan, kuantitas dan
kualitas barang dan/atau jasa yang dikonsumsinya tidak sesuai dengan
nilai tukar yang diberikannya, ia berhak mendapatkan ganti kerugian yang
pantas.8 Jenis dan jumlah ganti kerugian itu tentu saja harus sesuai dengan
ketentuan yang berlaku atau atas kesepakatan masing-masing pihak. Untuk
memperoleh ganti kerugian, konsumen tidak selalu harus menempuh
upaya hukum terlebih dahulu. Jika permintaan yang diajukan konsumen
dirasakan tidak mendapat tanggapan yang layak dari pihak-pihak terkait
dalam hubungan hukum dengannya, maka konsumen berhak mendapatkan
penyelesaian hukum, termasuk advokasi. Dengan kata lain, konsumen
berhak menuntut pertanggungjawaban hukum dari pihak-pihak yang
dipandang merugikan karena mengonsumsi produk itu.9
2. Pelaku Usaha
Pelaku Usaha dalam Pasal 1 angka (3) Undang-Undang Nomor 8
Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, menyebutkan bahwa:
8 Celina Tri Siwi Kristiyanti, Hukum Perlindungan Konsumen... h. 34
9 Celina Tri Siwi Kristiyanti, Hukum Perlindungan Konsumen... h. 38
21
Pelaku Usaha adalah setiap orang perseorangan atau badan usaha, baik
yang berbentuk badan hukum maupun bukan badan hukum yang didirikan
dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum negara
Republik Indonesia, baik sendiri maupun bersama-sama melalui perjanjian
menyelenggarakan kegiatan usaha dalam berbagai bidang ekonomi.
3. Menteri
Berdasarkan Pasal 1 angka 13 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999
tentang Perlindungan Konsumen adalah menteri yang ruang lingkup tugas
dan tanggung jawabnya dibidang perdagangan. Pengertian menteri dalam
undang-undang tersebut menunjukkan bahwa yang dimaksud adalah
Menteri Perindustrian dan Perdagangan (Menperindag). Menteri
Perindustrian boleh mengizinkan barang dan/atau jasa diproduksi oleh
pelaku usaha, tetapi yang menentukan apakah barang dan/atau jaa tersebut
layak dikonsumsi dan dapat diedarkan ke dalam masyarakat adalah
Menteri Perdagangan.
4. Instansi Pemenerintah
instansi pemerintah disini adalah instansi yang terkait dengan produk
yang dihasilkan oleh pelaku usaha bersangkutan dan mempunyai
kewenangan dalam perizinan serta penentuan standar produksi.
Departemen atau instansi pemerintah yang terkait dengan peredaran
kosmetik yaitu Badan Pengawas Obat dan Makanan dan Dinas
Perindustrian dan Perdagangan.
F. Tujuan Perlindungan Konsumen
Pasal 3 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan
Konsumen, menyebutkan bahwa perlindungan konsumen bertujuan:
1. meningkatkan kesadaran, kemampuan dan kemandirian konsumen untuk
melindungi diri.
22
2. mengangkat harkat dan martabat konsumen dengan cara
menghindarkannya dari ekses negatif pemakaian barang dan/atau jasa.
3. meningkatkan pemberdayaan konsumen dalam memilih, menentukan
dan menuntut hak-haknya sebagai konsumen.
4. menciptakan sistem perlindungan konsumen yang mengandung unsur
kepastian hukum dan keterbukaan informasi serta akses untuk
mendapatkan informasi.
5. menumbuhkan kesadaran pelaku usaha mengenai pentingnya
perlindungan konsumen sehingga tumbuh sikap yang jujur dan
bertanggung jawab dalam berusaha.
6. meningkatkan kualitas barang dan/atau jasa yang menjamin
kelangsungan usaha produksi barang dan/atau jasa, kesehatan,
kenyamanan, keamanan, dan keselamatan konsumen.
Pasal 3 Undang-Undang Perlindungan Konsumen ini, merupakan isi
pembangunan nasional sebagaimana disebutkan dalam Pasal 2 sebelumnya,
karena tujuan perlindungan konsumen yang ada itu merupakan sasaran akhir
yang harus dicapai dalam pelaksanaan pembangunan dibidang hukum
perlindungan konsumen.
G. Tanggung Jawab Pelaku Usaha
Seorang konsumen yang mengkonsumsi barang dan/atau jasa kemudian
menimbulkan kerugian bagi konsumen, maka dapat menggugat atau
meminta ganti rugi kepada pihak yang menimbulkan kerugian. Pihak yang
menimbulkan kerugian di sini yaitu bisa produsen, pedagang besar,
pedagang eceran/penjual ataupun pihak yang memasarkan produk,
tergantung dari pihak yang menimbulkan kerugian bagi konsumen.
Hal tersebut diatur pada Pasal 19 dan 27 Undang-Undang Nomor 8
Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Berikut merupakan pasal-
pasal yang mengatur pertanggungjawaban pelaku usaha berdasarkan
ketentuan yang ada pada Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang
Perlindungan Konsumen:
23
Pasal 19
1. Pelaku usaha bertanggung jawab memberikan ganti rugi atas
kerusakan, pencemaran, dan atau kerugian konsumen akibat
mengkonsumsi barang dan atau jasa yang dihasilkan atau
diperdagangkan.
2. Ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa
pengembalian uang atau penggantian barang dan/atau jasa yang sejenis
atau setara nilainya, atau perawatan kesehatan dan/atau pemberian
santunan yang sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan
yang berlaku.
3. Pemberian gantirugi dilaksanakan dalam tenggang waktu 7 (tujuh) hari
setelah tanggal transaksi.
4. Pemberian ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2)
tidak menghapuskan kemungkinan adanya tuntutan pidana berdasarkan
pembuktian lebih lanjut mengenai adanya unsur kesalahan.
5. Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) tidak
berlaku apabila pelaku usaha dapat membuktikan bahwa kesalahan
tersebut merupakan kesalahan konsumen.
Substansi Pasal 19 ayat (1) menurut mengemukakan tanggung jawab
pelaku usaha, meliputi:
1. Tanggung jawab ganti kerugian atas kerusakan.
2. Tanggung jawab ganti kerugian atas pencemaran.
3. Tanggung jawab ganti kerugian atas kerugian konsumen.
Pasal 19 ini mengatur tentang pertanggungjawaban pelaku usaha
pabrikan dan/atau distributor pada umumnya, untuk memberikan ganti
rugi atas kerusakan, pencemaran, dan/atau kerugian konsumen akibat
24
mengkonsumsi barang dan/atau jasa yang dihasilkan atau diperdagangkan
dengan ketentuan bahwa ganti rugi tersebut dapat dilakukan dalam bentuk
pengembalian uang atau penggantian barang dan/atau jasa yang sejenis
atau setara nilainya, atau perawatan kesehatan dan/atau pemberian
santunan yang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan
yang berlaku. Ganti rugi harus telah diberikan dalam jangka waktu 7
(tujuh) hari terhitung sejak tanggal transaksi.
Pasal 27
Pelaku usaha yang memproduksi barang dibebaskan dari tanggung
jawab atas kerugian yang diderita konsumen, apabila:
1. Barang tersebut terbukti seharusnya tidak diedarkan atau tidak
dimaksudkan untuk diedarkan.
2. Cacat barang timbul pada kemudian hari.
3. Cacat timbul akibat ditaatinya ketentuan mengenai kualifikasi barang
4. Kelalaian yang diakibatkan oleh konsumen.
5. Lewatnya jangka waktu penuntutan 4 (empat) tahun sejak barang
dibeli atau lewatnya jangka waktu yang diperjanjikan.
Apabila ada hubungan kontraktuil antara konsumen dengan pelaku
usaha, maka gugatannya adalah wanprestasi. Kerugian yang dialami
konsumen dikarenakan tidak dilaksanakannya prestasi oleh pengusaha
atau pelaku usaha. Apabila konsumen menggunakan gugatan perbuatan
melawan hukum, maka hubungan kontraktuil antara konsumen dengan
pelaku usaha tidaklah disyaratkan.
Secara umum, tuntutan ganti kerugian atas kerugian yang dialami oleh
konsumen sebagai akibat penggunaan produk hanya digolongkan menjadi
dua kategori, yaitu:
25
a. Tuntutan Berdasarkan Wanprestasi.
Apabila tuntutan ganti kerugian didasarkan pada wanprestasi, maka
terlebih dahulu tergugat dengan penggugat (produsen dengan konsumen)
terikat suatu perjanjian. Dengan demikian, pihak ketiga (bukan sebagai
pihak dalam perjanjian) yang dirugikan tidak dapat menuntut ganti
kerugian dengan alasan wanprestasi. Pengaturan tentang wanprestasi
diatur dalam Pasal 1238, 1239, dan 1243 Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata (KUHPer).
b. Tuntutan Berdasarkan Perbuatan Melawan Hukum
Berbeda dengan tuntutan ganti kerugian yang didasarkan pada
wanprestasi, tuntutan ganti kerugian yang didasarkan pada perbuatan
melanggar hukum tidak perlu didahului dengan perjanjian antara produsen
dengan konsumen, sehingga tuntutan ganti kerugian dapat dilakukan oleh
setiap pihak yang dirugikan, walaupun tidak pernah terdapat hubungan
perjanjian antara produsen dengan konsumen. Dengan demikian, pihak
ketiga pun dapat menuntut ganti kerugian. Pengaturan tentang perbuatan
melawan hukum diatur dalam Pasal 1365 Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata (KUHPer).
H. Penyelesaian Sengketa Konsumen.
Pasal 45 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan
Konsumen, mengatur penyelesaian sengketa sebagai berikut:
1. Setiap konsumen yang dirugikan dapat menggugat pelaku usaha melalui
lembaga yang bertugas menyelesaikan sengketa antara konsumen dan
pelaku usaha atau melalui peradilan yang berada di lingkungan peradilan
umum.
2. Penyelesaian sengketa konsumen dapat ditempuh melalui pengadilan
atau diluar pengadilan berdasarkan pilihan sukarela para pihak yang
bersengketa.
26
3. Penyelesaian sengketa di luar pengadilan sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) tidak menghilangkan tanggung jawab pidana sebagaimana diatur
dalam undang-undang.
4. Apabila telah dipilih upaya penyelesaian sengketa konsumen di luar
pengadilan, gugatan melalui pengadilan hanya dapat ditempuh apabila
upaya tersebut dinyatakan tidak berhasil oleh salah satu pihak atau oleh
para pihak yang bersengketa.
Dalam undang-undang Perlindungan Konsumen terdapat penyelesaian
sengketa di luar pengadilan. Lembaga penyelesaian sengketa di luar
pengadilan adalah Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen. Tugas dan
wewenang Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen diatur dalam Pasal 52
Undang-Undang Perlindungan Konsumen (UUPK), sebagai berikut:
1. Melaksanakan penanganan dan penyelesaian sengketa konsumen,
dengan cara melalui mediasi atau arbitrase atau konsiliasi.
2. Memberikan konsultasi perlindungan konsumen.
3. Melakukan pengawasan terhadap pencantuman klausula baku.
4. Melaporkan kepada penyidik umum apabila terjadi pelanggaran
ketentuan dalam undangundang ini
5. Menerima pengaduan baik tertulis maupun tidak tertulis, dari konsumen
tentang terjadinya pelanggaran terhadap perlindungan konsumen.
6. Melakukan penelitian dan pemeriksaan sengketa perlindungan
konsumen.
7. Memanggil pelaku usaha yang diduga telah melakukan pelanggaran
terhadap perlindungan konsumen.
8. Memanggil dan menghadirkan saksi, saksi ahli dan/atau setiap orang
yang dianggap mengetahui pelanggaran terhadap undangundang ini.
27
9. Meminta bantuan penyidik untuk menghadirkan pelaku usaha, saksi,
saksi ahli, atau setiap orang sebagaimana dimaksud pada huruf g dan
huruf h, yang tidak bersedia memenuhi panggilan badan penyelesaian
sengketa konsumen.
10. Mendapatkan, meneliti dan/atau menilai surat, dokumen, atau alat bukti
lain guna penyelidikan dan/atau pemeriksaan.
11. Memutuskan dan menetapkan ada atau tidak adanya kerugian dipihak
konsumen.
12. Memberitahukan putusan kepada pelaku usaha yang melakukan
pelanggaran terhadap perlindungan konsumen.
13. Menjatuhkan sanksi administratif kepada pelaku usaha yang melanggar
ketentuan undang-undang ini.
I. Tinjauan (Review) Kajian Terdahulu
Sebelum melakukan penelitian ini, peneliti melakukan kajian pustaka dan
menemukan beberapa penelitian yang berkaitan, yaitu:
1. Skripsi yang berjudul “Tinjauan Hukum Islam Terhadap Penggunaan
Serbuk Emas Dalam Kosmetik” karya Fauziah Aulia, fakultas Syariah
dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta tahun
2015. Dalam skripsi tersebut dipaparkan tentang bagaimana penggunaan
emas untuk kecantikan dan analisis mengenai hukum penggunaan sebuk
emas pada kosmetik serta pengawasan obat dan makanan saat sesudah dan
sebelum berdirinya Badan Pengawas Obat dan Makanan di Indonesia.
Perbedaan antara skripsi di atas dengan penelitian peneliti bahwa skripsi di
atas fokus pada pembahasan mengenai produk kosmetik yang
mengandung emas serta bagaimana hukumnya jika dipergunakan pada
wajah, sedangkan peneliti lebih memfokuskan kepada syarat dan
ketentuan suatu produk kosmetik bisa beredar di Indonesia sesuai dengan
UUPK serta penanganan apa yang akan didapat oleh kosumen jika merasa
dirugikan.
28
2. Skripsi yang berjudul “Perlindugan Konsumen Atas Hak
InformasiTerhadap Kosmetik China Yang Mengandung Bahan Kimia
Berbahaya Di Kota Yogyakarta” karya Rika Rizki Meilia Sari, fakultas
Hukum Universitas Islam Indonesia tahun 2010. Skripsi tersebut
membahas tentang berbagai macam produk kosmetik produk China yang
memiliki harga murah namun hasil kerja dari kosmetik tersebut tidak kalah
dari kosmetik buatan negara-negara di Eropa namun yang peredarannya
khusus di seputar daerah Yogyakarta. Perbedaan antara skripsi di atas
dengan penelitian peneliti bahwa skripsi di atas fokus membahas
bagaimana peredaran kosmetik China di kota Yogyakarta, sedangkan
peneliti lebih memfokuskan kepada syarat dan ketentuan suatu produk
kosmetik bisa beredar di Indonesia sesuai dengan UUPK serta penanganan
apa yang akan didapat oleh kosumen jika merasa dirugikan.
3. Buku yang berjudul “Hukum Perlindungan Konsumen” karya Ahmad
Miru dan Sutarman Yodo, tahun 2000. Dalam buku ini dijelaskan tentang
bagaimana perlindungan konsumen serta akibat hukum dari pelanggaran
terhadap konsumen peneliti menggunakan beberapa peraturan dasar dari
buku ini untuk menjadi landasan dasar dari setiap penelitian yang akan
dilakukan peneliti. Perbedaan antara buku di atas banyak membahas
tentang peraturan-peraturan tentang hukum perlindungan konsumen,
sedangkan peneliti lebih memfokuskan kepada syarat dan ketentuan suatu
produk kosmetik bisa beredar di Indonesia sesuai dengan UUPK serta
penanganan apa yang akan didapat oleh kosumen jika merasa dirugikan.
4. Jurnal yang berjudul “Analisis Faktor-Faktor Yang Dipertimbangkan
Konsumen Kosmetika Dalam Keputusan Pembelian Produk Pemutih
Wajah” karya indarti, margono, Thantawi A.S tahun 2010. Dalam jurnal
ini berfokus pada faktor-faktor yang menjadi pertimbangan konsumen
dalam mengambil keputusan pembelian produk kosmetik wajah.
Perbedaan antara jurnal di atas dengan penelitian peneliti bahwa jurnal di
atas fokus pada pembahasan mengenai faktor para pembeli produk
kosmetik pemutih wajah, sedangkan peneliti lebih memfokuskan kepada
29
syarat dan ketentuan suatu produk kosmetik bisa beredar di Indonesia
sesuai dengan UUPK serta penanganan apa yang akan di dapat oleh
kosumen jika merasa dirugikan.
30
BAB III
TINJAUAN UMUM KOSMETIK SERTA PERAN BPOM DALAM
PENGAWASAN PEREDARAN
A. Kosmetik
Kosmetik sudah digunakan sejak zaman dahulu kala. Beberapa arkeolog
telah mampu menelusuri dan membuktikan penggunaan kosmetik sejak
jaman Mesir Kuno dan Yunani Kuno. Pada zaman Mesir Kuno para wanita
bangsawan menggunakan lilin lebah, minyak zaitun dan air mawar sebagai
krim kulit. Bahkan patung dada nefertiti yang berusia 3300 tahun
menunjukan bahwa penggunaan celak telah digunakan di masa tersebut
sebagai simbol kecantikan wanita. Kosmetik saat ini telah menjadi
kebutuhan manusia yang tidak bisa dianggap sebelah mata mengingat era
globalisasai yang semakin maju membuktikan bahwa adanya kosmetik yang
beraneka bentuk dengan ragam warna dan keunikan kemasan serta
keunggulan dalam memberikan fungsi bagi konsumen menuntut industri
kosmetik untuk semakin mengembangkan teknologi yang tidak saja
mencakup peruntukan dari kosmetik itu sendiri namun juga kemudahan
dalam penggunaannya.
Kosmetik adalah sediaan atau paduan bahan yang untuk digunakan pada
bagian luar badan (kulit, rambut, kuku, bibir dan organ kelamin bagian luar),
gigi dan rongga mulut untuk membersihkan, menambah daya tarik,
mengubah penampakan, melindungi supaya tetap dalam keadaan baik,
memperbaiki bau badan tetapi tidak dimaksudkan untuk mengobati atau
menyembuhkan suatu penyakit.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, pengertian mengenai kosmetik
dan kosmetika, yaitu kosmetik adalah obat (bahan) untuk mempercantik
wajah, kulit, rambut, dan sebagainya seperti bedak dan pemerah bibir.
31
Sedangkan kosmetika adalah ilmu kecantikan, ilmu tata cara mempercantik
wajah, kulit dan rambut.1
Kosmetika adalah bahan atau campuran bahan untuk digosokkan,
dilekatkan, dituangkan, dipercikan, atau disemprotkan pada, dimasukan
dalam, dipergunakan pada badan atau bagian badan manusia dengan maksud
untuk membersihkan, memelihara serta menambah daya tarik atau
mengubah rupa, melindungi supaya tetap dalam keadaan baik akan tetapi
tidak untuk penyembuhan. Kosmetik merupakan produk yang di
formulasikan dari berbagai bahan aktif dan bahan-bahan kimia yang akan
bereaksi ketika diaplikasikan pada jaringan kulit. (Iswari, 2007).
Syarif M. Wasitaatmadja dalam bukunya mengemukakan mengenai
pengertian kosmetik, Kosmetik dalam bahasa Yunani yaitu “kosmetikos”
berarti keterampilan menghias, sedang “kosmos” berarti hiasan.2 Berkaitan
dengan itu menurut Federal Food and Cosmetic Act (1958) pengertian
kosmetik adalah bahan atau campuran bahan untuk digosokkan, dilekatkan,
dituangkan, dipercikkan, atau disemprotkan pada, dimasukkan dalam,
dipergunakan pada badan manusia dengan maksud untuk membersihkan,
memelihara, menambah daya tarik dan mengubah rupa dan tidak termasuk
golongan obat. Zat tersebut tidak boleh mengganggu kulit atau kesehatan
tubuh secara keseluruhan. Dalam definisi tersebut jelas dibedakan antara
kosmetik dengan obat yang dapat mempengaruhi struktur dan faal tubuh.3
Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 1175 / MenKes
/ PER / VIII / 2010 tentang Notifikasi Kosmetika, menyebutkan juga
mengenai pengertian kosmetik, yaitu kosmetik adalah bahan atau sediaan
yang dimaksudkan untuk digunakan pada bagian luar tubuh manusia
(epidermis, rambut, kuku, bibir, dan organ genital bagian luar) atau gigi dan
1 Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar
Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1990)
2Syarif M. Wasitaatmadja Penuntun Ilmu Kosmetik Medik, (Depok: UI Press, 1997), h.
26-27.
3Ny. Lies Yul Achyar, Dasar-Dasar Kosmetologi Kedokteran, Majalah Cermin Dunia
Kedokteran, http;//www.scribd.com diakses tanggal 04 maret 2018.
32
membran mukosa mulut terutama untuk membersihkan, mewangikan,
mengubah penampilan dan atau memperbaiki bau badan atau melindungi
atau memelihara tubuh pada kondisi baik.
Dalam Pasal 1 Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan
Republik Indonesia Nomor HK.00.05.42.2995 dijelaskan bahwa pengertian
kosmetik impor adalah kosmetik yang dibuat oleh industri di luar negeri yag
dimasukkan dan diedarkan di wiaayah Indonesia
B. Ilegal
Pengertian ilegal adalah tidak sah menurut hukum, dalam hal ini
melanggar hukum, barang gelap, liar, ataupun tidak ada izin dari pihak yang
bersangkutan. Berdasarkan penjelasan dan pengertian di atas dapat di
simpulkan bahwa kosmetik impor ilegal adalah adalah obat (bahan) untuk
mempercantik wajah, kulit, rambut, dan sebagainya yang dibuat oleh industri
luar negeri serta beredar di wilayah Indonesia tanpa adanya izin dari pihak
yang bersangkutan dalam hal ini Badan Pengawas Obat dan Makanan
(BPOM).
Berkaitan dengan hal tersebut terdapat kasus kosmetik impor ilegal yang
beredar di masyarakat belakangan ini dengan merek Cream Temulawak,
Cream ini berasal dari negara Malaysia produk ini beredar bebas di pasaran
tanpa adanya nomor register dari Badan Pengawas Obat dan Makanan
(BPOM). Kosmetik ini di perjualbelikan dengan harga yang cukup tejangkau
membuat kosmetik ini menyasar pasar kalangan ekonomi kelas bawah dan
menengah, namun banyak dari konsumen yang tidak memperhatikan bahaya
yang mungkin akan terjadi dikemudian hari akan timbul dari penggunan
produk kosmetik impor ilegal tersebut.
C. Profil Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM)
1. Profil dan latar belakang
Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) adalah adalah sebuah
lembaga di Indonesia yang bertugas untuk mengawasi peredaran obat-
obatan dan makanan di Indonesia. Badan publik yang dibentuk
berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 103 tentang kedudukan, tugas,
33
fungsi, kewenangan, susunan organisasi dan tata kerja lembaga pemerintah
non departemen, sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan
Peraturan Presiden Nomor 64 Tahun 2005. Pengawasan obat dan makanan
merupakan bagian integral dari upaya pembangunan kesehatan di
Indonesia. Fungsi dan tugas badan ini menyerupai fungsi dan tugas untuk
mengatur makanan, suplemen makanan, obat-obatan produk biofarmasi,
transfusi darah, piranti medis untuk terapi dengan radiasi, produk
kedokteran hewan dan kosmetik.
Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) didirikan karena
Indonesia dianggap memerlukan sistem pengawasan obat dan makanan
(sisPom) yang efektif dan efisien yang mampu mendeteksi, mencegah dan
mengawasi produk-produk termasuk untuk melindungi keamanan,
keselamatan dan kesehatan konsumennya baik di dalam maupun di luar
negeri untuk itu dibentuk Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM)
yang memiliki jaringan nasional dan internasional serta kewenangan
dalam penegakan hukum dan memiliki kredibilitas profesional yang
tinggi, hal tersebut dipengaruhi dari kebebasan pasar dan pengetahuan
masyarakat yang masih belum memadai untuk dapat memilih dan
menggunakan produk secara tepat, benar dan aman. Dilain pihak iklan dan
promosi secara gencar mendorong konsumen untuk mengkonsumsi secara
berlebihan dan seringkali tidak rasional sehingga memungkinkan
meningkatnya resiko dengan implikasi yang luas pada kesehatan dan
keselamatan konsumen. Apabila terjadi produk sub standar, rusak atau
terkontaminasi dengan bahan berbahaya maka resiko yang terjadi akan
berskala besar dan luas serta berlangsung amat cepat.4
2. Visi dan Misi Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM)
Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) mempunyai visi dan
misi, visi dari Badan Pengawas Obat dan Makanan adalah menjadi
institusi Pengawas Obat dan Makanan yang inovatif, Kredibel dan diakui
4Badan Pengawas Obat dan Makanan, Profil Badan POM RI, (Jakarta: Badan Pengawas
Obat dan Makanan, 2006), h.1.
34
secara internasional untuk melindungi masyarakat, sedangkan misi dari
Badan Pengawas Obat dan Makanan antara lain:
a. melakukan pengawasan Pre-Market dan Post-Market berstandar
internasional.
b. menerapkan sistem manajemen mutu secara konsisten.
c. mengoptimalkan kemitraan dengan pemangku kepentingan di berbagai
lini.
d. memberdayakan masyarakat agar mampu melindungi diri dari obat dan
makanan yang berisiko terhadap kesehatan.
e. membangun organisasi pembelajaran (learning organization).
3. Tugas Badan Pengawas Obat dan Makanan
Berdasarkan pasal 2 pada peraturan presiden No.80 Tahun 2017 tentang
badan pengawasan obat dan makanan:
a. Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) mempunyai tugas
menyelenggarakan tugas pemerintahan dibidang pengawasan Obat dan
Makanan sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
b. Obat dan Makanan sebagaimana di maksud pada ayat 1 terdiri atas
obat, bahan obat, narkotika, psikotropika, prekursor, zat adiktif, obat
tradisional, suplemen kesehatan, kosmetik, dan pangan olahan.
4. Tugas Balai Besar/Balai Pengawas Obat dan Makanan (Unit
Pelaksana Teknis)
sesuai pasal 2 peraturan kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan
Nomor 14 Tahun 2014, Unit Pelaksana Teknis di lingkungan Badan
Pengawas Obat dan Makanan mempunyai tugas melaksanakan kebijakan
di bidang pengawasan obat dan makanan, yang meliputi pengawasan atas
produk terapetik, narkotika, psikotropika serta pengawasan atas kemanan
pangan dan bahan berbahaya.5
5. Fungsi Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM)
a. Fungsi Utama Badan Pengawas Obat dan Makanan
5Badan Pengawas Obat dan Makanan, Profil Badan POM RI... h. 2
35
berdasarkan Pasal 3 Keputusan Kepala Badan Pengawasan Obat
dan Makanan (BPOM) No. 02001/SK/KBPOM, Badan Pengawas Obat
dan Makanan mempunyai fungsi antara lain:
1) pengkajian dan penyusunan kebijakan nasional di bidang
pengawasan Obat dan Makanan
2) pelaksanaan kebijakan tertentu di bidang pengawasan Obat dan
Makanan
3) Koordinasi kegiatan fungsional dalam pelaksanaan tugas Badan
POM
4) Pemantauan, pemberian bimbingan dan pembinaan terhadap
kegiatan instansi pemerintah di bidang pengawasan Obat dan
Makanan
5) Penyelenggaraan pembinaan dan pelayanan administrasi umum
dibidang perencanaan umum, ke tatausahaan, organisasi dan tata
laksana, kepegawaian, keuangan, kearsipan, persandian,
perlengkapan dan rumah tangga.
b. Fungsi Balai Besar Pengawas Obat dan Makanan (unit pelaksana
teknisi)
berdasarkan pasal 3 peraturan Kepala Badan Pengawas Obat dan
Makanan Nomor 14 Tahun 2014, Unit pelaksana teknis di lingkungan
Badan Pengawas Obat dan Makanan mempunyai fungsi antara lain:
1) penyusunan rencana dan program pengawasan obat dan makanan
2) pelaksanaan pemeriksaan secara laboratorium penguji dan
penilaian mutu produk terapetik, narkotika, psikotropika zat aditif,
obat tradisional, kosmetik, produk komplemen, pangan dan bahan
berbahaya
3) pelaksaan pemeriksaan laboratorium, pengujian dan penilaian mutu
produk secara mikrobiologi
4) pelaksanaan pemeriksaan setempat, pengambilan contoh dan
pemeriksaan sarana produksi dan distribusi
5) insvestigasi dan penyidikan pada kasus pelanggaran hukum
36
6) pelaksanaan sertifikasi produk, sarana produksi dan distribusi
tertentu yang ditetapkan oleh Kepala Badan Pengawas Obat dan
Makanan
7) pelaksanaan kegiatan layanan informasi kosumen
8) evaluasi dan penyusunan laporan pengujian obat dan makanan
9) pelaksanaan urusan tata usaha dan kerumah tanggaan
10) pelaksanaan tugas lain yang ditetapkan oleh Kepala Badan
Pengawasan Obat dan Makanan, sesuai dengan bidang tugasnya.6
6. Kewenangan Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM)
Berdasarkan pasal 4 Keputusan Presiden Nomor 80 Tahun 2017,
dalam melaksanakan tugas pengawasan Obat dan Makanan memiliki
kewenangan sebagai berikut:
a. Menerbitkan izin edar produk dan sertifikat sesuai dengan standar dan
persyaratan kemanan, khasiat, manfaat dan mutu, serta penguji obat
dan makanan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
b. Melakukan intelejen dan penyidikan di bidang pengawasan Obat dan
Makanan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan dan
c. Pemberian sanksi administratif sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
7. Fungsi Badan Pengawas Obat dan Makanan Terhadap Produksi dan
Peredaran Kosmetik
Meningkatnya kegiatan produksi pada produk kosmetik memberikan
implikasi yang cukup luas terhadap pengendalian serta pengawasannya.
Upaya pengawasan dan pengendalian kosmetik mempunyai permasalahan
yang luas yang menjadi tanggung jawab pemerintah seran dituntutnya
peran aktif dari masyarakat, pemerintah menetapkan beberapa
pengendalian dan sistem pengawasan meliputi:
a. Pengawasan, regulasi, dan standarisasi
6Badan Pengawas Obat dan Makanan, Profil Badan POM RI... h.2.
37
b. Lisensi dan sertifikasi industri dibidang farmasi berdasarkan cara-cara
produksi yang baik
c. Evaluasi produk sebelum di izinkan beredar
d. Post marketing vigiliance termasuk sampling dan pengujian
laboratorium, pemeriksaan sarana produksi dan distribusi, penyidikan
dan penegakan hukum.
e. Pre-audit dan pasca-audit iklan dan promosi produk
f. Riset terhadap pelaksaan kebijakan pengawasan obat dan makanan
g. Komunikasi, informasi dan edukasi publik termasuk peringatan publik.
C. Pengawasan
Pengawasan adalah sebuah proses untuk memastikan bahwa semua
aktifitas yang terselenggara sesuai dengan apa yang telah di rencanakan
sebelumnya. Pengawasan dari segi jenisnya dibedakan menjadi dua, yaitu:
1. pengawasan internal (intern) adalah pengawasan yang dilakukan oleh
orang atau badan yan terdapat didalam lingkungan organisasai atau
lembaga yang bersangkutan
2. pengawasan eksternal (ekstern) adalah pemeriksaan yang dilakukan oleh
unit pengawasan diluar lingkungan organisasi atau lembaga yang
bersangkutan
Menurut sukarno pengawasan tersebut mempunyai tujuan yaitu sebagai
berikut:
1. untuk mengetahui apakah sesatu berjalan sesuai dengan rencana yang di
gariskan
2. untuk mengetahui apakah segala sesuatu dilaksanakan dengan instruksi
serta asas-asas yang telah di instruksikan
3. untuk mengetahui kesulitan-kesulitan serta kelemahan-kelemahan dalam
bekerja
4. untuk mengetahui seala sesuatu apakah berjalan dengan efisien
38
5. untuk mecari jalan keluar, apabila ternyata dijumpai kesulitan-kesulitan
kelemahan-kelemahan atau kegagalan-kegagalan ke arah perbaikan7
Pengawasan bertujuan untuk mengoreksi kesalahan yang terjadi agar
nantinya dapat menjadai pedoman untuk mengambil kebijakan guna
mencapai sasaran yang optimal. Mengawasi bukan merupakan sesuatu yang
mudah untuk dilakukan, akan tetapi suatu pekerjaan yang memerlukan
kecakapan, ketelitian, kepandaian, dan pengalaman. Pengawasan dilihat dari
segi cara pelaksanaannya dibedakan atas:
a. pengawasan langsung
pengawasan langsung adalah pengawasan yang dilakukan dengan
cara mendatangi langsung ataupun melakukan peeriksaan ditempat
terhadap objek yang diawasi
b. pengawasan tidak langsung
pengawasan tidak langsung adalah kebalikan dari pengawasan
langsung yaitu dilakukan tanpa mendatangi tempat pelakasaan
pekerjaan atau objek yang diawasi. Pengawasan ini biasanya
dilakukan dengan cara mempelajari dan menganalisa dokumen yang
menyangkut objek yang diawasi yang disampaikan oleh pelaksana
maupun sumber lain, dokmen-dokumen tersebut dapat berupa:
1) laporan pelakasanaan pekerja, baik laporan berkala maupun
laporan insidenetil
2) surat pengaduan dari masyarakat
3) berita atau artikel dari media massa
D. Pengawasan Terhadap Peredaran Kosmetik
Pengawasan terhadap peredaran kosmetik mempunyai permasalahan
yang luas, cenderung kompleks, dan merupakan tanggung jawab bersama
antara pemerintah, masyarakat sebagai konsumen, dan pelaku usaha. Peran
serta masyarakat dan pelaku usaha dalam pengawasan peredaran kosmetik
7Sukarno K, Dasar-Dasar Managemen, (Jakarta: Miswar, 1992) h. 105
39
mempunyai arti penting dan perlu ditingkatkan. Dalam Kamus Besar Bahasa
Indonesia mengenai pengertian pengawasan yaitu berasal dari kata “awas”
yang artinya adalah memperhatikan baik-baik, dalam arti melihat sesuatu
dengan cermat dan seksama, tidak ada lagi kegiatan kecuali memberi
laporan berdasarkan kenyataan yang sebenarnya dari apa yang diawas.8
Jika memperhatikan lebih jauh, yang menjadi pokok permasalahan dari
pengawasan peredaran kosmetik adalah sesuatu yang telah direncanakan
terlebih dahulu apakah sudah dilaksanakan sesuai dengan renana semula dan
apakah tujuannya telah tercapai. Terselenggaranya pengawasan dalam
sebuah institusi atau departemen yaitu untuk menilai kinerja suatu institusi
atau departemen dan untuk memperbaiki kinerja sebuah institusi atau
departemen. Oleh karena itu, dalam setiap institusi atau departemen mutlak,
bahkan rutin adanya sistem pengawasan. Dengan demikian, pengawasan
merupakan instrumen pengendalian yang melekat pada suatu instansi atau
departemen untuk mencapai tujuannya.
Pengawasan dilakukan terhadap perencanaan dan kegiatan
pelaksanaanya. Kegiatan pengawasan bermaksud untuk mengetahui tingkat
keberhasilan dan kegagalan yang terjadi setelah kegiatan tersebut
dilaksanakan. Keberhasilan dalam kegiatan pengawasan peredaran kosmetik
perlu dipertahankan atau ditingkatkan, sebaliknya setiap kegagalan dalam
kegiatan tersebut harus diperbaiki dengan menghindari penyebabnya baik
dalam menyusun rencana pengawasan atau pelaksanaannya. Untuk itulah,
fungsi pengawasan dilaksanakan agar diperoleh umpan balik (feed back)
untuk melaksanakan perbaikan bila terdapat penyimpangan pada kegiatan
peredaran kosmetik sebelum menjadi lebih buruk.
Saiful Anwar dalam bukunya yang berjudul Sendi-Sendi Hukum
Administrasi Negara, menyatakan bahwa: Pengawasan atau kontrol terhadap
tindakan aparatur pemerintah diperlukan agar pelaksanaan tugas yang telah
8Ny. Lies Yul Achyar, Dasar-Dasar Kosmetologi Kedokteran, Majalah Cermin Dunia
Kedokteran, http;//www.scribd.com diakses tanggal 21 maret 2018.
40
ditetapkan dapat mencapai tujuan dan terhindar dari penyimpangan-
penyimpangan.9
Supaya peredaran kosmetik di masyarakat dapat berjalan dengan lancar
sesuai dengan apa yang diharapkan, maka hendaknya diperlukan
pengawasan yang lebih efektif disamping untuk mengendalikan peredaran
kosmetik yang mengandung bahan berbahaya di daerah Kabupaten
Banyumas khususnya. Sejalan dengan hal tersebut, pemerintah pusat dalam
hal melakukan pengawasan di daerah dengan melakukan pelimpahan bidang
pengawasan ini kepada Dinas Perdagangan dan Perindustrian serta Badan
Pengawas Obat dan Makanan atau dinas-dinas terkait yang ada disetiap
daerah.
9Saiful Anwar, Sendi-Sendi Hukum Administrasi Negara, (Glora Madani Press: 2004) h.
127.
41
BAB IV
PERLINDUNGAN KONSUMEN TERHADAP PEREDARAN KOSMETIK
IMPOR ILEGAL YANG MENGANDUNG ZAT ADITIF
A. Perlindungan konsumen terhadap peredaran kosmetik impor ilegal yang
mengandung zat aditif berdasarkan Undang-Undang Nomor 8 Tahun
1999
Perlindungan terhadap konsumen pada saat ini merupakan hal yang urgent
yang harus diperhatikan, dengan adanya Undang-Undang nomor 8 Tahun
1999 Tentang perlindungan konsumen diharapkan dapat menjawab persoalan
yang ada, disamping maraknya pasar asing yang masuk di Indonesia serta
penggunaan kosmetik secara merata menyebabkan pemantauan terhadap
kosmetik khususnya dapat lebih ditekankan. Terlebih penggunaan bahasa di
dalam penjelasan serta komposisi yang tidak dapat difahami serta penggunaan
bahan-bahan yang berbahaya dapat menjadi dasar kuat agar masalah ini dapat
dijadikan pembahasan serius untuk ditanggulangi.
Menurut Undang-Undang nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan
Kosumen, beberapa peraturan yang dapat diterapkan untuk melindungi
konsumen terdapat pada Pasal 4, Pasal 7, serta Pasal 8. Pasal 4 huruf a yang
menyebutkan “Hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam
mengonsumsi barang dan/atau jasa;” maksud dari pasal tersebut diartikan
sebagai perlindungan dari segala hal yang bisa menjadi hilangnya rasa aman,
nyaman dari diri konsumen ini berarti peredaran dari kosmetik ilegal harus di
tanggulangi dengan baik agar dalam menggunakan produk kosmetik
masyarakat bisa tetap terlindungi haknya.
Pasal 4 hurf c yang menyebutkan “Hak atas informasi yang benar, jelas,
dan jujur, mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa;” maksud dari
pasal tersebut bisa di artikan keterbukaan informasi yang diberikan produsen
atau pelaku usaha kepada konsumen meruakan hak yang harus dimiliki
konsumen. Sama halnya dengan itu, maka produsen juga harus memenuhi
kewajiban untuk mengimplementasikan pasal 4 huruf c tersebut. Oleh karena
42
itu pula penting bagi konsumen untuk selalu membaca kemasan atau tabel
informasi pada setiap produk yang dibelinya, konsumen juga harus teliti
mengenai informasi produk atau barang yang tidak sesuai denngan informasi
yang tertera pada produk. Sehingga dari hal ini bisa dikatakan produsen masih
belum memenuhi kewajibannya dalam memberikan informasi yang benar,
jelas, dan jujur pada konsumen barang dan/atau jasa dalam hal ini khususnya
produk kosmetik impor.
Pasal 4 huruf d yang isinya “Hak untuk didengar pendapat dan keluhannya
atas barang dan/ata jasa yang digunakan;” setiap konsumen berhak atas
jaminan dari produk kosmetik yang digunakannya termasuk saat konsumen
mengalami keluhan dari produk tersebut pelaku usaha wajib menyediakan
layanan konsumen yang dapat menanggapi keluhan tersebut agar masyarakat
tetap terpenuhi hak nya atas setiap produk kosmetik yang ia gunakan, namun
pada produk-produk kosmetik ilegal tidak akan tercantum kontak layanan
konsumen dari kosmetik tersebut maka hal tersebut sudah menunjukan sebuah
itikad tidak baik dari sisi pelaku usaha yang tidak ingin bertanggung jawab
jika adanya keluhan dari konsumen atas produk yang mereka gunakan.
Pasal 4 huruf e “Hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan, dan
upaya penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut” saat
konsumen mengalami kerugian atau permasalahan maka konsumen wajib
untuk mendapatkan advokasi dan perlindungan dalam upaya penyelesaian
sengketa tersebut, pemerintah sudah memberikan fasilitas berupa lembaga-
lembaga yang dapat menanggulangi masalah tersebut salah satunya Yayasan
Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) kosumen yang memeiliki sengketa
bisa mendapatkan bantuan hukum atau advokasi dari permasalahan yang
mereka hadapi serta bantuan dari beberapa pakar atau ahli dalam bidang
tersebut. Hal ini di perkuat dengan adanya teori perlindungan hukum, menurut
Phillipus M. Hadjon bahwa perlindungan hukum bagi rakyat adalah sebagai
tindakan pemerintah yang bersifat preventif dan represif. Perlindungan hukum
yang preventiv bertujuan untuk mencegah terjadinya sengketa, yang
mengarahkan tindakan pemerintah bersikap hati-hati dalam pengambilan
43
keputusan berdasarkan diskresi, dan perlindungan yang bersifat represif
bertujuan untuk menyelesaikan terjadinya sengketa termasuk penangannya di
lembaga peradilan.1
Pasal 4 huruf h “Hak untuk mendapatkan kompensasi, gant rugi dan/atau
penggantian, apabila barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan
perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya;” saat konsumen memutuskan
untuk membeli suatu produk kosmetik pastilah karena adanya iming-iming
atau janji yang diberikan produsen atas produknya tersebut, produk dijanjikan
resmi dan tidak mengandung bahan-bahan berbahaya yan dapat menyebabkan
kerusaka pada kulit namun jika pada kenyataannya saat pemakaian konsumen
justru mengalami hal yang sebaliknya maka pelaku usaha wajib bertanggung
jawab dengan memberikan kompensasi atau ganti rugi dari kerugian yang
dialami konsumen baik secara materiil maupun imateriil.
Pasal 7 huruf a “beritikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya”
setiap pelaku usaha wajib beritikad baik dalam menjalankan setiap usaha
khususnya di bidang kosmetik. Salah satu tanda seorang pelaku usaha
beritikad baik adalah dengan cara menggunakan jalur resmi dalam
mengedarka produk-produk kosmetik impornya serta dengan jelas
mencantumkan nomor registrasi dari Badan Pengawas Obat dan Makanan.
Perlindungan konsumen juga mendapatkan perhatian yang besar dalam
prespektif hukum islam baik dalam Al-Qur’an maupun Hadits. Bisnis yang
adil dan jujur adlah bisnis yang tidak menzalimi dan tidak pula dizalami.
Allah SWT Berfirman dalam QS.Al-Baqarah ayat (279):
Artinya: “Maka jika kamu mengerjakan (meninggalkan sisa riba), maka
ketahuilah bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangimu. Dan
jika engkau bertaubat (dari pengambilan riba), maka bagimu pokok
1 Phillipus M. Hadjon, Perlindungan Hukum Bagi Rakyat Indonesia, (Surabaya, PT. Bina
Ilmu, 1987), h.29
44
hartamu, kamu tidak menganiaya dan tidak pula dianiaya (QS.Al-
Baqarah ayat 279)”
Sepintas ayat ini memang berbicara tentang riba, namun secara implisit
mengandung pesan-pesan perlindungan konsumen, di ayat akhir di sebutkan
tidak menganiaya dan tidak dianiaya (tidak mendzalimi juga tidak di dzalimi).
Dalam konteks bisnis potongan pada akhir ayat tersebut mengandung
perintah perlindungan konsumen bahwa antara konsumen dan pelaku usaha
dilarang untuk saling mendzalimi atau merugikan satu dengan yang lainnya.2
Hal ini berkaitan dengan pasal 7 huruf a yang dimana itikad baik yang
dimaksud dalam pasal tersebut adalah agar konsumen tidak di dzalimi dan
pelaku usaha tidak berlaku dzalim kepada konsumen. Pasal 7 huruf a ini
sebenarnya sudah memenuhi semua yang dijabrkan dalam huruf berikutnya di
pasal tersebut karena beritikad baik juga termasuk dengan memberikan
informasi yang jelas dan benar, jujur mengenai kondisi produk, menjamin
mutu produk yang akan diperdagangkan serta memberi kompensasi atau ganti
rugi apabila pada saat penggunaan atau pemanfaatan dari produk khususnya
kosmetik tersebut tidak sesuai dengan pernjanjian. Sebuah itikad tidak baik
juga bisa menjadi sesuatu yang haram setelahnya, hal ini dikuti dalam salah
satu hadits dari Abu Bakr Ash Shiddiq radhiyallahu ‘anhu, ia berkata:
مه نبت من ت من لح لى فالنار السح به أو
Artinya: “Siapa yang dagingnya tumbuh dari pekerjaan yang tidak halal,
maka neraka pantas untuknya.” (HR. Ibnu Hibban 11: 315, Al Hakim
dalam mustadroknya 4: 141)
Dari hadits di atas dapat dilihat akibat dari pekerjaan yang tidak halal bisa
mempengaruhi amalan kebaikan hingga mendapatkan siksaan di akhirat
akibat dari daging yang dihasilkan dari suatu yang tidak halal.
Pasal 8 ayat 1 “pelaku usaha dilarang memproduksi dan/atau
memperdagangkan barang dan atau jasa yang”:
2 Zulham, Hukum Perlindungan Konsumen, ( jakarta, kencana, 2013), h.41.
45
a. tidak memenuhi atau tidak sesuai dengan standar yang dipersyaratkan
dan ketentuan peraturan perundang-undangan;
b. tidak sesuai dengan berat bersih, isi bersih atau netto, dan jumlah
dalam hitungan sebagaimana yang dinyatakan dalam label atau etiket
barang tersebut;
c. tidak sesuai dengan ukuran, takaran, timbangan dan jumlah dalam
hitungan menurut ukuran yang sebenarnya;
d. tidak sesuai dengan kondisi, jaminan, keistimewaan atau kemanjuran
sebagaimana dinyatakan dalam label, etiket atau keterangan barang
dan/atau jasa tersebut;
e. tidak sesuai dengan mutu, tingkatan, komposisi, proses pengolahan,
gaya, mode, atau penggunaan tertentu sebagaimana dinyatakan dalam
label atau keterangan barang dan/atau jasa tersebut;
f. tidak sesuai dengan janji dinyatakan dalam label, etiket keterangan,
iklan atau promosi penjualan barang dan/atau jasa tersebut;
g. tidak mencantumkan tanggal kadaluwarsa atau jangka waktu
penggunaan/pemanfaatan yang paling baik atas barang tertentu;
h. tidak mengikuti ketentuan berproduksi secara halal, sebagaimana
pernyataan "halal" yang dicantumkan dalam label;
i. tidak memasang label atau membuat penjelasan barang yang memuat
nama barang, ukuran, berat/isi bersih atau netto, komposisi, aturan
pakai, tanggal pembuatan, akibat sampingan, nama dan alamat pelaku
usaha serta keterangan lain untuk penggunaan yang menurut ketentuan
harus di pasang/dibuat;
Pasal ini benar mengatur tentang larangan produksi bagi produk
khususnya kosmetik yang tidak mengikuti peraturan di atas namun pada
kenyataannya produk kosmetik impor ilegal yang beredar di pasaran tidak
memenuhi poin-poin dari penjelasan pasal tersebut karena produk kosmetik
impor ilegal sudah pasti tidak akan memiliki izin edar resmi yang berlaku di
Indonesia, juga isi dan kandungan yang terdapat dalam produk tersebut tidak
46
bisa dipertanggung jawabkan karena tidak adanya kepastian dari keaslian
produk tersebut, tidak adanya label halal, serta tidak adanya pencantuman
label kadaluarsa menjadikan produk tersebut benar-benar telah menyalahi
aturan yang berlaku dalam peredaran kosmetik di Indonesia.
B. faktor-faktor yang membuat peredaran kosmetik impor ilegal yang
mengadung zat aditif terus berkembang hingga saat ini
peredearan kosmetik ilegal saat ini sudah menjadi rahasia umum
dikalangan masyarakat, semakin berkembangnya zaman serta kebutuhan
menjadikan para pelaku usaha menggunakan berbagai cara dalam memasarkan
produk-produk berbahaya tersebut. Berikut adalah beberapa faktor yang
membuat peredaran produk kosmetik impor ilegal yang mengandung zat aditif
terus berkembang hingga saat ini antara lain:
1. Kecenderungan masyarakat membeli produk kosmetik online
Zaman yang semakin modern dan canggih memberikan banyak
dampak positif bagi kehidupan kita sekarang, namun hal ini juga banyak di
salah gunakan oleh para pelaku usaha yang tidak bertanggung jawab untuk
memelakukan penjualan, salah satu caranya adalah dengan menjual
produk kosmetik impor ilegal secara online. Masyarakat cenderung
memilih berbelanja produk komsetik melalui situs online karena harga
yang relatif lebih murah dibandingkan membelinya langsung di toko
resmi. Padahal banyak dari produk-produk yang diperjual belikan secara
online diimpor secara ilegal bahkan bisa juga kosmetik tersebut merupkan
barang replika atau tiruan. Namun kebanyakan konsumen tidak
memperhatikan hal tersebut sehingga pasar ini akan terus berkembang jika
masyarakat sendiri tidak peduli akan hal-hal tersebut.
2. Pola pikir masyarakat pada hasil instan
Kebutuhan masyarakat akan penampilan yang menarik, wajah yang
rupawan, serta ditambah dengan kurun waktu yang cepat untuk
memperoleh hasil tersebut menjadikan celah besar bagi para pelaku usaha
kosmetik impor ilegal dalam memasarkan produknya. Dengan iming-
47
iming hasil sempurna dalam waktu yang cepat membuat masyarakat
khususnya konsumen produk kosmetik mau membeli produk tersebut
meskipun tidak adanya jaminan dari keaslian produk kosmetik tersebut.
Pola pikir masyarakat tersebut menjadi alasan utama dari maraknya
peredaran produk kosmetik impor ilegal yang mengandung zat aditif
karena akibat dari pola pikir tersebut menjadi sebuah keharusan suatu
produk kosmetik untuk bekerja instan agar diminati konsumen dan tetap
dapat bersaing di pasaran, dengan alasan tersebut pelaku usaha
memasukan zat-zat berbahaya kedalam produk kosmetik agar tujuan dari
hasil instan tersebut tercapai. Beberapa zat berbahaya yang umunya
terdapat di dalam kandungan kosmetik antara lain:
a) Merkuri
Merkuri atau raksa atau hydrargyrum adalah unsur kimia yang
banyak digunakan sebagai bahan amalgam gigi, termometer,
barometer, dan peralatan ilmiah lain, walaupun penggunaannya
untuk bahan pengisi termometer telah digantikan (oleh termometer
alkohol, digital, atau termistor) dengan alasan kesehatan dan
keamanan karena sifat toksik yang dimilikinya. Dalam kosmetik
merkuri biasanya banyak terdapat dalam krim pemutih wajah dengan
hasil yang instan namun sangat berbahaya bagi konsumen yang
menggunakan kosmetik dengan kandungan merkuri di dalamnya.
Merkuri dapat menyebabkan keracunan kronis oleh merkuri dapat
terjadi akibat kontak dengan kulit, makanan, minuman, dan
pernapasan. Toksisitas kronis berupa gangguan sistem pencernaan dan
sistem syaraf atau gingvitis Akumulasi Hg dalam tubuh dapat
menyebabkan tremor, parkinson, gangguan lensa mata berwarna abu-
abu, serta anemia ringan, dilanjutkan dengan gangguan susunan syaraf
yang sangat peka terhadap Hg dengan gejala pertama adalah
parestesia, ataksia, disartria, ketulian, dan akhirnya kematian. Wanita
hamil yang terpapar alkil merkuri bisa menyebabkan kerusakan pada
48
otak janin sehingga mengakibatkan kecacatan pada bayi yang
dilahirkan.
b) Hidrokinon
Hidrokinon adalah senyawa kimia yang bila digunakan pada
produk kosmetik bersifat sebagai pemutih / pencerah kulit. Efek
samping yang umum terjadi setelah paparan hidrokinon pada kulit
adalah iritasi, kulit menjadi merah (eritema), dan rasa terbakar. Efek
ini terjadi segera setelah pemakaian hidrokinon konsentrasi tinggi
yaitu diatas 4%. Sedangkan untuk pemakaian hidrokinon dibawah
2% dalam jangka waktu lama secara terus menerus dapat terjadi
leukoderma kontak dan okronosis eksogen (diskolorasi warna kulit).
c) Asam Retinoat
Asam retinoat adalah turunan dari vitamin A yang sering disebut
dengan tretinoin yang digunakan dalam terapi jerawat. Bahaya
penggunaan asam retinoat adalah menimbulkan iritasi kulit, bersifat
karsinogenik, dan teratogenik (menyebabkan cacat janin).
d) Rhodamin B
Rhodamin B adalah pewarna sintetis yang dilarang digunakan
sebagai bahan tambahan kosmetik menurut Peraturan Kepala Badan
POM Nomor HK.03.1.23.08.11.07517 Tahun 2011 Tentang
Persyaratan Teknis Bahan Kosmetika adalah Rhodamin B. Paparan
jangka pendek penggunaan rhodamin B pada kulit dapat menyebabkan
iritasi pada kulit, Selain itu, penggunaan rhodamin B pada kulit dapat
juga mengakibatkan efek sistemik dan bersifat mutagenik.
3. Kurangnya pengetahuan masyarakat mengenai produk kosmetik
Berdasarkan pasal 4 huruf f Undang-Undang Perlindungan Konsumen
(UUPK) menyatakan bahwa hak konsumen adalah hak untuk mendapatkan
pembinaan dan pendidikan konsumen namun berdasarkan ketentuan
49
tersebut terdapan perbedaan yang terjadi di lapangan. Pertama mengenai
hak untuk mendapatkan pembinaan dan pendidikan merupakan salah satu
hak dari konsumen. Kedua, pada praktik di lapangan hak tersebut
cenderung dibatasi dengan kewajiban konsumen untuk selalu berhati-hati
dalam melakukan transaksi.3
Begitu pula dalam hal peredaran produk kosmetik impor ilegal yag
mengandung zat aditif, konsumen biasanya tidak tahu mengenai segala
yang berkaitan dengan produk kosmetik yang dibelinya baik dari mana
kosmetik itu berasal maupu kandungan apa saja yang terkandung di
dalamnya juga mengenai efek samping dari bahan-bahan tersebut di
kemudian hari.
C. Ektifitas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan
Konsumen
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen
pada dasarnya telah mengatur segala rinci mengenai perlindungan konsumen
pengguna kosmetik, namun jika ditinjau dari kejadian di lapangan ternyata
beberapa peraturan dalam perundang-undangan tersebut belum sepenuhnya
dapat diterapkan. Perlindungan hukum bagi konsumen pada dasarnya adalah
melindungi hak-hak konsumen. Hak-hak konsumen sebenarnya sudah
dirumuskan secara jelas dan terinci di dalam peraturan perundang-undangan
yang semestinya diperhatikan dan dilindungi oleh pihak pelaku usaha, hanya
dalam prakteknya hal ini sering terabaikan karena iktikad tidak baik dari
pelaku usaha serta dalam melakukan usaha hanya didorong untuk
mendapatkan keuntungan yang sebesar-besarnya. Peristiwa yang merugikan
konsumen telah disebutkan dalam bab sebelumnya yaitu terkait peredaran
kosmetik impor ilegal dengan nama Cream Temulawak, Cream ini terbgi atas
dua cream yaitu day cream dan night cream tetapi dijual dalam satu kemasan
yang sama, menjanjikan hasil kulit putih dan dapat menghilangkan bekas-
bekas jerawat. Namun pada kenyataan dalam penggunaannya kosmetik ini
3 Celina Tri Siwi Kristiyanti, Hukum Perlindungan Konsumen... h.99
50
menurut narasumber yang diwawancarai oleh peneliti pada masa
penggunaannya menyebabkan kulit menjadi mengelupas dan menimbulkan
jerawat yang sangat bertolak belakang dengan hasil yang dijanjikan pada
awalnya. Oleh karena itu sudah sangat jelas jika cream ini merupakan cream
impor ilegal yang mengandung zat aditif karena beredar tanpa adanya izin dari
Badan Pengawas Obat dan Makanan, berasal dari luar negeri namun diimpor
secara ilegal, serta memiliki kandungan yang berbahaya melihat efek samping
yang ditimbulkan.
Berdasarkan kasus tersebut konsumen yang mendapat akibat dari
peredaran kosmetik impor ilegal serta mengandung zat aditif harus mendapat
perlindungan. Pengertian konsumen dalam pasal 1 angka (2) Undang-Undang
Perlindungan Konsumen (UUPK) adalah setiap orang pemakai barang
dan/atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan sendiri,
keluarga, orang lain, maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk
diperdagangkan.
Dalam Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 965/Menkes/SK/XI/1992
tentang Cara Produksi Kosmetik Yang Baik, konsumen yang mengeluh akibat
kerusakan produk kosmetik maka perusahaan harus melakukan penanganan
terhadap keluhan konsumen. Penanganan terhadap hasil pengamatan produk
diperedaran adalah sebagai berikut:
a. Keluhan dan laporan masyarakat yang menyangkut mutu, keamanan
dan hal lain yang merugikan atau menimbulkan masalah hendaknya
dicatat, diperiksa, dievaluasi, dan ditindak lanjuti.
b. Kosmetik yang terbukti menimbulkan efek samping yang merugikan
dan keamanannya tidak memadai lagi harus ditarik dari peredaran dan
dimusnahkan.
Berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan Nomor Nomor
965/Menkes/SK/XI/1992 tentang Cara Produksi Kosmetik Yang Baik tentang
keluhan konsumen apabila dikaitkan dengan Pasal 1 angka (2) Undang-
Undang Perlindungan Konsumen (UUPK) maka dapat disimpulkan bahwa
konsumen yag dimaksud adalah konsumen akhir yang artinya pengguna atau
51
pemanfaat akhir dari suatu produk. Apabila melihat dari kasus ini dapat
disimpulkan bahwa konsumen disini adalah pengguna kosmetik tersebut.
Perlindungan konsumen menurut Shidarta dalam bukunya Hukum
Perlindungan Konsumen Indonesia, yaitu Istilah perlindungan konsumen
berkaitan dengan perlindungan hukum. Adapun materi yang mendapatkan
perlindungan itu bukan sekedar fisik, melainkan terlebih- lebih hak-haknya
yang bersifat abstrak. Dengan kata lain, perlindungan konsumen
sesungguhnya identik dengan perlindungan yang diberikan hukum terhadap
hak-hak konsumen. Berdasarkan pendapat tersebut maka dapat disimpulkan
bahwa perlindungan hukum terhadap konsumen merupakan perlindungan
terhadap hak-hak konsumen yang telah diatur dalam pasal 4 Undang-Undang
Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen yaitu sebagai berikut:
a. Hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam
mengkonsumsi barang dan/atau jasa;
b. Hak untuk memilih barang dan/atau jasa serta mendapatkan barang
dan/atau jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta
jaminan yang dijanjikan;
c. Hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan
jaminan barang dan/atau jasa;
d. Hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/atau
jasa yang digunakan;
e. Hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan, dan upaya
penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut;
f. Hak untuk mendapat pembinaan dan pendidikan konsumen;
g. Hak unduk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta
tidak diskriminatif;
h. Hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian,
apabila barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan
perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya;
i. Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan
lainnya.
52
Berdasarkan pendapat di atas maka yang dimaksud perlindungan
konsumen adalah melindungi hak-hak konsumen seperti yang diatur dalam
Pasal 4 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan
Konsumen. Yang dalam penelitian ini akan membahas tentang
perlindungan yang diatur dalam pasal 4 huruf a, c, d, dan e yaitu sebagai
berikut.
a) Hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam
mengkonsumsi barang dan/atau jasa
Pasal 4 huruf a Undang-Undang Perlindungan Konsumen (UUPK)
menyebutkan “Hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan
dalam mengkonsumsi barang dan/atau jasa.” Gunawan Widjaja dan
Ahmad Yani menyatakan bahwa masalah kenyamanan, keamanan, dan
keselamatan konsumen merupakan hal yang paling pokok dan utama
dalam perlindungan konsumen. Barang dan/atau jasa yang
penggunaannya tidak memberikan kenyamanan terlebih lagi yang
tidak aman atau membahayakan keselamatan konsumen jelas tidak
layak untuk diedarkan dalam masyarakat.4
Berdasarkan Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat dan
Makanan No.HK.00.05.42.1018 Tentang bahan kosmetik dalam
peraturan tersebut dijelaskna bahwa kosmetik tidak boleh mengandung
merkuri (Hg) atau raksa. Hal ini karena bahan berbahaya tersebut
mengandung logam berat yang akan berdampak buruk bagi kesehatan.
Bila peraturan tersebut dikaitkan dengan pasal 4 huruf a Undang-
Undang Perlindungan Konsumen dan pendapat Gunawan Widjaja dan
Ahmad Yani maka dapat dideskripsikan bahwa kosmetik yang
mengandung mercury dan hidrokuinon merupakan bahan kosmetik
yang dilarang penggunaanya dalam pembuatan kosmetik. Dapat
disimpulkan bahwa kosmetik yang mengandung bahan berbahaya serta
tidak memiliki izin edar dari Badan Pengawas Obat dan Makanan
(BPOM) tidak aman untuk digunakan dan dapat mengancam
4 Gunawan Widjaya dan Ahmad Yani, Hukum Tentang Perlindungan Konsumen... h.30
53
keselamatan konsumen. Kosmetik tersebut tidak layak untuk diedarkan
dimasyarakat karena melanggar hak konsumen sebagaimana yang
disebutkan dalam Pasal 4 huruf a Undang-Undang Perlindungan
Konsumen (UUPK), mengenai hak atas kenyamanan, keamanan, dan
keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan jasa.
c) Hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi
dan jaminan barang dan/atau jasa
Hak untuk memperoleh informasi atas barang atau produk yang
akan dibeli ini sangat penting, dimaksudkan agar konsumen dapat
mengetahui informasi yang jelas tentang suatu produk yang akan
dikonsumsi karena dengan informasi tersebut konsumen dapat memilih
produk yang sesuai dengan kebutuhannya serta dapat terhindar dari
kerugian apabila produk tersebut tidak layak untuk dikonsumsi.
Pasal 4 huruf c menyebutkan bahwa “Hak atas informasi yang
benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau
jasa.” Hal ini memiliki korelasi dengan Pasal 7 huruf a Undang-
Undang Perlindungan Konsumen (UUPK) yang menjabarkan tentang
kewajiban pelaku usaha adalah “beritikad baik dalam melakukan
kegiatan usahanya”, huruf b “memberikan informasi yang benar, jelas
dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa serta
memberi penjelasan penggunaan, perbaikan dan pemeliharaan;” serta
huruf d “menjamin mutu barang dan/atau jasa yang diproduksi
dan/atau diperdagangkan berdasarkan ketentuan standar mutu barang
dan/atau jasa yang berlaku;” maka dapat disimpulkan bahwa
konsumen harus memperoleh informasi mengenai barang dan/atau jasa
yang akan mereka konsumsi. Namun berdasarkan hasil wawancara
peneliti dengan saudari Sri selaku konsumen dari Cream Temulawak
tersebut menyatakan bahwa pada kemasan produk cream temulawak
tidak terdapat informasi mengenai tanggal kadaluarsa, cara
penyimpanan atau cara pemeliharaan, serta efek samping yang
mungkin ditimbulkan. Hal ini jelas sangat berbeda dengan ketentuan
54
dan peraturan yang telah diatur dalam pasal-pasal di atas. Hal ini
menunjukan bahwa pelaku usaha tidak beritikad baik dalam
melakukan kegiatan usahanya, jadi dapat disimpulkan dalam kasus iini
konsumen tidak mendapkatakan pemenuhan dari haknya atas
informasi yang benar dan jelas mengenai kondisi barang atau produk
kosmetik yang dikonsumsi.
d) Hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang
dan/atau jasa yang digunakan
Konsumen yang mengalami kerugian atas produk kosmetik yang
digunakannya berhak untuk didengar keluhan dan pendapatnya.
Seperti dalam kasus Cream Temulawak ini menurut Sri selaku
narasumber menyatakan bahwa setelah pemakaian kosmetik tersebut
kulitnya menjadi mengelupas dan timbul jerawat dan jika ditanya soal
melakukan pengaduan dari efek yang ditimbulkan dari kosmetik
tersebut narasumber pun tidak tahu kemana harus melakukan
pengaduan karan tidak adanya informasi yang jelas mengenai pihak
yang dpat dimintai pertanggung jawaban. Maka sri selaku konsumen
berhak didengar keluhannya. Pasal 4 huruf d menyatakan “Hak untuk
didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/atau jasa yang
digunakan”. Hak ini dapat berupa pertanyaan tentang berbagai hal
yang berkaitan dengan produk-produk tertentu apabila informasi yang
diperoleh tentang produk tersebut kurang memadai ataukah berupa
pengaduan atas adanya kerugian yang telah dialami akibat penggunaan
suatu produk atau berupa pernyataan atau pendapat tentang suatu
kebijakan pemerintah yang berkaitan dengan kepentingan konsumen.5
Hak ini juga berkaitan dengan Keputusan Mentri Kesehatan Nomor
965/Menkes/SK/XI/1992 tentang cara produksi kosmetik yang baik
(CPKB) “konsumen yang mengeluh akibat dari kerusakan produk
kosmetik maka perusahaan harus melakukan penanganan terhadap
5 Ahmad Miru dan Sutarman Yodo, Hukum Perlindugan Konsumen... h.43
55
keluhan konsumen, penanganan terhadap hasil pengamatan produk
diperedaran adalah sebagai berikut:
a. Keluhan dan laporan masyarakat yang menyangkut mutu,
keamanan dan hal lain yang merugikan atau menimbulkan masalah
hendaknya dicatat, diperiksa, dievaluasi, dan ditindaklanjuti.
b. Kosmetik yang terbukti menimbulkan efek samping yang
merugikan dan keamanannya tidak memadai lagi harus ditarik dari
peredaran dan dimusnahkan.”
Maka dari beberapa penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa
pelaku usaha dalam hal ini tidak menanggapi keluhan konsumen
dalam memperoleh haknya untuk didengar pendapat dan keluhanya
atas produk kosmetik yang digunakan karena pada kemasan produk
pun tidak tertera nomor layanan pengaduan konsumen. Sehingga
konsumen harus melakukan pengaduan akibat pemakaian kosmetik
tersebut kepada Layanan Informasi Konsumen Badan Pengawas Obat
dan Makanan, maka dalam hal ini pemerintah telah melindungi hak
konsumen produk kosmetik untuk didengar keluhan dan pendapatnya
atas barang dan/atau jasa yang dipergunakan.
e) Hak untuk mendapat advokasi, perlindungan, dan upaya
penyelesaian sengketa serta perlindungan konsumen secara patut
Konsumen kosmetik yang menngalami kerugian dalam hal akibat dari
penggunaan produk kosmetii ilegal yang mengandung zat aditif berhak
mendapatkan perlindungan hukum dan upaya penyeselsaian sengketa
baik melalui pengadilan ataupun diluar pengadilan. Hak ini terkait
dengan penggunaan yang telah merugikan konsumen baik berupa
kerugian materi maupun kerugian menyangkut diri (sakit, cacat,
bahkan kematian) konsumen.6 hal ini dimaksudkan untuk pemulihan
keadaan konsumen pengguna kosmetik yang dirugikan. Pasal 4 huruf e
tentang hak konsumen menyebutkan “hak untuk mendapatkan
advokasi, perlindungan, dan upaya penyelesaian sengketa serta
6 Ahmad Miru dan Sutarman Yodo, Hukum Perlindungan Konumen... h. 44
56
perlindungan konsumen secara patut.” Pasal ini diperkuat dengan
adanya Pasal 19 dan 45 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Perlindungan
Konsumen (UUPK) yaitu sebagai berikut:
Pasal 19
(1) Pelaku usaha bertanggung jawab memberikan ganti rugi atas
kerusakan, pencemaran, dan/atau kerugian konsumen akibat
mengkonsumsi barang dan atau jasa yang dihasilkan atau
diperdagangkan.
(2) Ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa
pengembalian uang atau penggantian barang dan/atau jasa yang
sejenis atau setara nilainya, atau perawatan kesehatan dan/atau
pemberian santunan yang sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
(3) Pemberian gantirugi dilaksanakan dalam tenggang waktu 7
(tujuh) hari setelah tanggal transaksi.
(4) Pemberian ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan
ayat (2) tidak menghapuskan kemungkinan adanya tuntutan
pidana berdasarkan pembuktian lebih lanjut mengenai adanya
unsur kesalahan.
(5) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2)
tidak berlaku apabila pelaku usaha dapat membuktikan bahwa
kesalahan tersebut merupakan kesalahan konsumen.
Pasal 45
ayat (1) dan (2)
(1) Setiap konsumen yang dirugikan dapat menggugat pelaku usaha
melalui lembaga yang bertugas menyelesaikan sengketa antara
konsumen dan pelaku usaha atau melalui peradilan yang berada
di lingkungan peradilan umum.
(2) Penyelesaian sengketa konsumen dapat ditempuh melalui
pengadilan atau diluar pengadilan berdasarkan pilihan sukarela
para pihak yang bersengketa.
57
Berdasarkan ketentuan dari Pasal 4 huruf e, Pasal 19, dan Pasal 45
ayat (1) dan (2) maka dapat di simpulkan bahwa konsumen yang
mengalami kerugian akibat penggunaan kosmetik yang mengandung
bahan berbahaya maka upaya penyelesaian sengketa dalam kasus ini
melalui fasilitas mediasi terlebih dahulu untuk mencari solusinya,
kemudian bentuk dan jumlah ganti rugi tergantung pada kesepakatan
antara kedua belah pihak yang bersengketa. Apabila para pihak
bersengketa di luar pengadilan maka bisa dilakukan melalui lembaga
yang menanganinya yaitu Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen
(BPSK).
Pada dasarnya seluruh peraturan perundang-undangan diatas telah
dibuat cukup lengkap demi menjaga hak dari setiap konsumen dalam
hal ini khususnya pengguna kosmetik namun efektifitas dari
pelaksanaan Undang-Undang ini dirasa masih belum seluruhnya
bekerja secara efekif karena masih banyak kejadian di lapangan yang
tidak sesuai dengan peraturan yang berlaku, maka dari itu tidak hanya
peran pemerintah yang dibutuhkan dalam mengoptimalkan kerja dari
Undang-Undang Perlindungan Konsumen ini tapi juga peran akitf
masyarakat untuk selalu waspada dan peduli pada kejadian-kejadian
yang berpotensi melanggar hak dari para konsumen khususnya dalam
bidang kosmetik impor ilegal yang mengandung zat aditif.
58
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan dari bab-bab sebelumnya
maka peneliti dapat memberi kesimpulan bahwa
1. Perlindungan terhadap hak konsumen sebagai pengguna kosmetik atas
informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan
barang dan/atau jasa dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999
Tentang Perlindungan Konsumen khususnya kosmetik sebenarnya sudah
diatur secara jelas berkaitan dengan kewajiban pelaku usaha untuk
memberi informasi yang selengkap-legkapnya untuk menghindari
timbulnya kerugian pada pihak konsumen kosmetik.
2. faktor-faktor yang membuat peredaran kosmetik impor ilegal yang
mengadung zat aditif terus berkembang hingga saat ini adalah pertama
kecenderungan masyarakat membeli produk kosmetik secara online hal ini
dapat menjadi celah bagi para pelaku usaha kosmetik impor ilegal untuk
selalu bisa memasarkan produknya, kedua, pola pikir masyarakat pada
hasil instan, ini bisa menjadi salah satu pemicu maraknya peredaran
produk kosmetik yang mengandung zat aditif atau bahan berbahaya karena
pihak produsen akan selalu mengikuti kemauan pasar jika pasar
menginginkan sebuah produk dengan hasil instan makan zat bebahaya
akan menjadi pilihan para produsen demi mengikuti arus pasar. Ketiga,
kurangnya pengetahuan masyarakat mengenai produk kosmetik.
3. Pemerintah sebagai pihak terkait yang bertanggung jawab terhadap
peredaran produk kosmetik impor ilegal ini sebenarnya telah membuat
beberapa peraturan yang memadai sebagai alat penanggulangan
pemerintah juga mendirikan beberapa lembaga sebagai sarana pengaduan
masayarakat khususnya konsumen pengguna kosmetik ilegal yang hak
59
dilanggar seperti Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) Badan
Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) juga Yayasan Lembaga
Konsumen Indonesia (YLKI), namun hal tersebut belum cukup maka
konsumen perlu meningkatkan kesadaran, kepedulian, pengetahuan,
kemampuan dan kemandirian untuk melindungi dirinya sendiri dari
perilaku tidak terpuji para pelaku usaha.
B. Rekomendasi
1. Untuk pemerintah, kepada pemerintah disarankan agar meningkatkan serta
memperkuat lagi sistem dan proses pengawasan terhadap peredaran produk
kosmetik impor ilegal yang mengandung zat aditif yang dilakukan oleh
para pelaku usaha tidak bertanggung jawab, agar peraturan yang sudah
dibuat bisa sepenuhnya berjalan efektif di lapangan dan meminimalisir
terjadinya pelangaran hak dari konsumen.
2. Untuk masyarakat, kepada masyarakat diharapkan agar tidak langsung
percaya dengan kosmetik khususnya krim wajah yang perjual belikan
dengan harga yang murah serta menjanjikan hasil optimal dengan kurun
waktu yang sangat cepat. Dan masyarakat juga diharpakan lebih peduli
akan bahaya dari kosmetik-kosmetik impor ilegal tersebut.
3. Untuk pelaku usaha, kepada pelaku usaha diharapkan dalam melakukan
suatu kegiatan usaha khususnya pada bidang kosmetik impor agar tidak
menyebarkan produknya secara ilegal dan tidak menambahkan zat aditif
serta berbahaya di dalamnya. Para pelaku usaha juga diharapkan untuk
tidak sekedar mengharapkan keuntungan dari penjualan kosmetik tersebut
tanpa memperhatikan efek samping atau akibat yang akan di derita
konsumen pada masa yang akan datang.
60
DAFTAR PUSTAKA
A. Buku
Anwar Syaiful, Sendi-sendi Hukum Adminsrasi Negara, Glora madani Press,
2004
Aulia Fauziah, “Tinjauan Hukum Islam Terhadpa Penggunaan Serbu Emas
Dalam Kosmetik”, Skripsi S1 Fakultas Syariah dan Hukum,
Universitas ISLAM Negeri Syarif Hidayatulla Jakarta, Diakses
melalui repository.uinjkt.ac.id
Broto Agus Susilo, Aspek-aspek Perlindungan Terhadap Konsumen Dalam
Hukum di Indonesia, Jakarta: YLKI-USAID, 1998
Fakultas Syariah dan Hukum, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Pedoman
Penulisan Skripsi, Jakarta: FSH, 2017
Hadikusuma, Hilman, Metode Penelitiab Hukum, Universitas Indonesia (UI)
Press, 1986
Iswari, Retno Tranggono Fatma Latifa, Buku Pegangan Pengetahuan Ilmu
Kosmetik, Gramedia Pustaka Utama, 2007
Lembaga Konsumen Yayasan, Perlindungan Konsumen Indonesia Suatu
Sumbangan Pemikiran Tentang Rancangan Undang-undang
Perlindungan Konsumen, Jakarta: Yayasan Lembaga Konsumen,
1981
Muliyawan, Dewi dan Suriana Neti, A-Z Tentang Kosmetik, Jakarta: PT Elex
Media Komputindo, 2013
M Wasitaatmadja, Penuntun Ilmu Kosmetik Medik, Depok UI Press, 1997
Nasution Az, Hukum Perlindungan Konsumen Suatu Pengantar, Jakarta:
Diadit Media, 2006
Pengawas Badan Obat dan Makanan, Profil Badan POM RI, Jakarta: Badan
Pengawas Obat dan Makanan, 2006
Penyusun Tim Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa
Indonesia, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka,
1990
61
Poerwadinata, WJS., Kamus Umum Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai
Pustaka, 1976
Rajagukguk, Erma, Pentingnya Hukum Perlindungan Konsumen dalam Era
Perdagangan Bebas, dalam Husni danNeni Sri Imaniyati, Hukum
Perlindungan Konsumen, Bandung: Mandar Maju, 2000
Rizki Rika Meilia Sari, “Perlindungan Konsumen Atas Hak Informasi
Kosmetik China Yang Mengandung Bahan Kimia di Yogyakarta”,
Skripsi S1 Fakuktas Hukum, Universitas Islam Indonesia, Diakses
melalui repository.uii.ac.id
Shidarta, Hukum Perlindungan Konsumen Indonesia Edisi Revisi, Jakarta: PT
Grasindo, 2006
Soetojo R Prawirohamidjojo dan Marthalena Pohan, Hukum Perikatan,
Surabaya: Bina Ilmu, 1984
Sugiyono, Metode Penelitian dan Kualitatif dan R&D, Bandung: Alfabeta
CV, 2013
Sutarman Yodo dan Ahmad Miru, Hukum Perlindungan Konsumen, Jakarta:
PT. Rajawali Pers, 2011
Tri Siwi Celina Kristianyanti, Hukum Perlindungan Konsumen, Jakarta: Sinar
Grafika, 2009
Waluyu Bambang, Penelitian Hukum Dalam Praktek, Jakarta: Sinar Grafika,
2002
Widjaja, Gunawan dan Ahmad Yani, Hukum Tentang Perlindungan
Konsumen, Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2000
Wuria Dewi Eli, Hukum Perlindungan Konsumen, 2015
Zulham, Hukum Perlindungan Konsumen, Jakarta: Kencana, 2013
B. Peraturan Perundang-Undangan
Indonesia, Undang-Undang Nomor 8 tahun 1999 Tentang Perlindungan
Konsume.
62
Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 965/Menkes/SK/XI/1992 tentang Cara
Produksi Kosmetik Yang Baik
Pasal 1 Keputusan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik
Indonesia Nomor HJ.00.05.4.17.45 tentang Kosmetik
Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat dan Maanan Nomor
HK.03.1.23.08.11.07517 Tahun 2011 Tentang Persyaratan Teknis
Bahan Kosmetika
Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Nomor
.HK.00.05.42.1018 Tentang bahan kosmetik
C. Internet
Ny. Lies Yul Achyar, Dasar-Dasar Kosmetologi Kedokteran, Mjalah Cermin
Dunia Kedokteran, http://www.scribd.com
63
64
Gambar di atas merupakan beberapa contoh iklan dari penjual kosmetik impor
ilegal yang di perjual belikan melalui situs belanja online, disebutkan bahwa
produk ini dapat menghilangkan bintik-bintik hitam, jerawat dan kisut-kisut pada
kulit. Kulit yang kasar dan hitam dapat berubah menjadi putih, bersih dan
bercahaya.
65
Tampak Depan
Tampak Belakang
Isi dari Produk
gambar di atas merupakan produk milik dari narasumber yang sudah tidak lagi
dipakai karena efek sampingnya
66
Berikut adalah hasil wawancara narasumber pengguna kosmetik impor
ilegal yang mengandung zat aditif denga nama produk “Cream Temulawak”
dengan narasumber yang bernama Sri dengan usia 29 Tahun, wawancara
dilakukan di kediaman narasumber. Daftar pertanyaan dan jawaban ini telah
diubah dari bentuk audi menjadi teks secara sistematis.
Daftar Pertanyaan dan Jawaban Wawancara
1. Dari mana awalnya mengenal produk bernama Cream Temulawak?
Saya tau cream itu dari adik saya, dia awalnya mukanya agak hitam
terus pergi ke toko kosmetik dipasar lalu dia di rekomendasikan oleh
pramuniaga disana untuk pakai krim itu katanya hasilnya cepat untuk
anak seusia adik saya waktu itu.
2. Kenapa bisa memutuskan untuk ikut menggunakan cream tersebut?
Karena awal mula adik saya memakai cream tersebut memang terlihat
mukanya lebih bersih kemudia saya tanya dia pakai apa lalu dia
menceritakan awal mula dia membeli produk tersebut, kemudia saya
ikut menggunaka produk itu.
3. Setelah jangka waktu pemakaian berapa lama baru saudara merasa jika
cream ini tidak bekerja seperti semestinya?
Kira-kira setelah 12 hari pemakaian tiba-tiba kulit muka saya jadi
mengering kemudia mengelupas, awalnya saya diamkan dan tetap
melanjutkan pemakaian namun makin lama wajah saya terasa memerah
kemudia timbul jerawat akhirnya saya stop menggunkan cream
tersebut.
4. Apa kulit wajah saudara saat memakai produk kosmetik lain juga
mengalami hal yang sama?
Sebelum pakai cream ini saya pakai cream lain dengan nama Dr.pure
namun karena harga dari cream itu cukup menguras kantong saya
pindah ke cream temulawak itu, tapi dulu saat saya menggunakan
cream dari Dr. Pure kulit wajah saya tidak mengalami hal seperti
setelah saya menggunakan Cream Temulawak.
5. Apa saudara tau jika produk cream temulawak tersebut di impor secara
ilegal dan tidak memiliki izin resmi dari Badan Pengawas Obat dan
Makanan (BPOM)?
Waktu saya beli cream itu sih sempat sedikit bertanya dengan
pramuniaganya ini kosmetiknya aman atau tidak, terus dia jawab kalau
67
kosmetiknya aman tapi saya waktu itu tidak sempat bertanya mengenai
nomor POM nya karena memang tidak terlalu paham.