perkembangan karakteristik arsitektural masjid agung ... · cultuur-stelsel yang dicetuskan oleh...

16
Ikatan Peneliti Lingkungan Binaan Indonesia Jurnal Lingkungan Binaan Indonesia Vol.2 No.2 Juli 2013 | 34 Perkembangan Karakteristik Arsitektural Masjid Agung Bandung 1810 – 1955 Esti Istiqomah (1) , Bambang Setia Budi (2) (1) Mahasiswa Program Magister, Sekolah Arsitektur, Perencanaan, dan Pengembangan Kebijakan, Institut Teknologi Bandung. (2) Asisten Profesor, Sekolah Arsitektur, Perencanaan, dan Pengembangan Kebijakan, Institut Teknologi Bandung. Abstrak Masjid Agung Bandung, sejak berdiri pada awal abad ke-19, telah mengalami perubahan berkali- kali. Perkembangan karakteristik arsitektural masjid pada masa kolonial Belanda memperlihatkan ciri-ciri yang serupa dengan masjid-masjid agung di Priangan lainnya dibandingkan dengan masa setelah kemerdekaan. Walaupun demikian, terdapat pula perubahan-perubahan yang membedakannya dari masjid-masjid di Priangan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui karakteristik arsitektural masjid, perkembangannya, dan peristiwa-peristiwa yang terjadi pada masa tersebut. Studi karakteristik arsitektural dilakukan melalui foto/lukisan yang dibuat antara tahun 1810 – 1955 yang selanjutnya dikelompokkan berdasarkan tahap perkembangan masjid. Foto/lukisan tersebut kemudian disketsa ulang untuk menonjolkan variabel yang akan diteliti, yaitu massa, ruang, atap, kolom, bukaan, tangga, dan pagar. Hasil penelitian memperlihatkan bahwa masjid bukan merupakan bangunan yang statis atau dikonservasi bentuk fisiknya oleh para pengguna maupun pemegang keputusan, melainkan bangunan yang senantiasa berubah sesuai perkembangan zaman. Perubahan-perubahan besar Masjid Agung Bandung antara tahun 1810 – 1955 terlihat pada tahun 1890, 1925, dan saat penyelenggaraan Konferensi Asia Afrika tahun 1955. Kata-kunci : arsitektural, Bandung, karakteristik, kolonial, masjid Pendahuluan Masjid Agung Bandung telah berdiri selama kurang lebih dua abad hingga saat ini. Dalam kurun waktu tersebut, masjid telah mengalami banyak renovasi besar, sekitar tujuh hingga delapan kali. Seiring dengan hal tersebut, karakteristik arsitektural masjid pun telah mengalami perubahan berkali-kali. Fenomena ini berbeda dengan yang terjadi pada bangunan religius lainnya, seperti gereja dan candi, yang cenderung mempertahankan bentuk fisiknya. Dalam kurun waktu tersebut, perkembangan karakteristik Masjid Agung Bandung pada masa kolonial Belanda terlihat berbeda dibandingkan dengan masa setelah kemerdekaan RI. Pada masa kolonial, Masjid Agung Bandung memiliki ciri-ciri yang serupa dengan masjid-masjid agung di Priangan, seperti di Manonjaya dan Sumedang. Ciri-ciri tersebut di antaranya adalah terdapatnya atap tumpang tiga dan kolom-kolom yang mengelilingi selasar masjid. Sementara pada masa setelah kemerdekaan, renovasi-renovasi yang dilakukan merubah karakteristik masjid jauh dari ciri-ciri masjid di Priangan tersebut, dimulai dari renovasi tahun 1955. Oleh sebab itu, karakteristik arsitektural Masjid Agung Bandung antara tahun 1810 – 1955 akan dikaji dalam peneilitian ini. Selain itu, peristiwa- peristiwa yang terjadi di Hindia Belanda pun akan dipaparkan dalam penelitian sebagai gambaran konteks perkembangan masjid.

Upload: lamkhanh

Post on 12-May-2019

239 views

Category:

Documents


4 download

TRANSCRIPT

Page 1: Perkembangan Karakteristik Arsitektural Masjid Agung ... · Cultuur-stelsel yang dicetuskan oleh Gubernur Jenderal Hindia Belanda, Van den Bosch19. Pada tahun 1852, di bawah pemerintahan

Ikatan Peneliti Lingkungan Binaan Indonesia

Jurnal Lingkungan Binaan Indonesia Vol.2 No.2 Juli 2013 | 34

Perkembangan Karakteristik Arsitektural Masjid Agung Bandung 1810 – 1955

Esti Istiqomah(1), Bambang Setia Budi(2)

(1)Mahasiswa Program Magister, Sekolah Arsitektur, Perencanaan, dan Pengembangan Kebijakan, Institut Teknologi Bandung. (2)Asisten Profesor, Sekolah Arsitektur, Perencanaan, dan Pengembangan Kebijakan, Institut Teknologi Bandung.

Abstrak Masjid Agung Bandung, sejak berdiri pada awal abad ke-19, telah mengalami perubahan berkali-kali. Perkembangan karakteristik arsitektural masjid pada masa kolonial Belanda memperlihatkan ciri-ciri yang serupa dengan masjid-masjid agung di Priangan lainnya dibandingkan dengan masa setelah kemerdekaan. Walaupun demikian, terdapat pula perubahan-perubahan yang membedakannya dari masjid-masjid di Priangan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui karakteristik arsitektural masjid, perkembangannya, dan peristiwa-peristiwa yang terjadi pada masa tersebut. Studi karakteristik arsitektural dilakukan melalui foto/lukisan yang dibuat antara tahun 1810 – 1955 yang selanjutnya dikelompokkan berdasarkan tahap perkembangan masjid. Foto/lukisan tersebut kemudian disketsa ulang untuk menonjolkan variabel yang akan diteliti, yaitu massa, ruang, atap, kolom, bukaan, tangga, dan pagar. Hasil penelitian memperlihatkan bahwa masjid bukan merupakan bangunan yang statis atau dikonservasi bentuk fisiknya oleh para pengguna maupun pemegang keputusan, melainkan bangunan yang senantiasa berubah sesuai perkembangan zaman. Perubahan-perubahan besar Masjid Agung Bandung antara tahun 1810 – 1955 terlihat pada tahun 1890, 1925, dan saat penyelenggaraan Konferensi Asia Afrika tahun 1955. Kata-kunci : arsitektural, Bandung, karakteristik, kolonial, masjid Pendahuluan

Masjid Agung Bandung telah berdiri selama kurang lebih dua abad hingga saat ini. Dalam kurun waktu tersebut, masjid telah mengalami banyak renovasi besar, sekitar tujuh hingga delapan kali. Seiring dengan hal tersebut, karakteristik arsitektural masjid pun telah mengalami perubahan berkali-kali. Fenomena ini berbeda dengan yang terjadi pada bangunan religius lainnya, seperti gereja dan candi, yang cenderung mempertahankan bentuk fisiknya.

Dalam kurun waktu tersebut, perkembangan karakteristik Masjid Agung Bandung pada masa kolonial Belanda terlihat berbeda dibandingkan dengan masa setelah

kemerdekaan RI. Pada masa kolonial, Masjid Agung Bandung memiliki ciri-ciri yang serupa dengan masjid-masjid agung di Priangan, seperti di Manonjaya dan Sumedang. Ciri-ciri tersebut di antaranya adalah terdapatnya atap tumpang tiga dan kolom-kolom yang mengelilingi selasar masjid. Sementara pada masa setelah kemerdekaan, renovasi-renovasi yang dilakukan merubah karakteristik masjid jauh dari ciri-ciri masjid di Priangan tersebut, dimulai dari renovasi tahun 1955. Oleh sebab itu, karakteristik arsitektural Masjid Agung Bandung antara tahun 1810 – 1955 akan dikaji dalam peneilitian ini. Selain itu, peristiwa-peristiwa yang terjadi di Hindia Belanda pun akan dipaparkan dalam penelitian sebagai gambaran konteks perkembangan masjid.

Page 2: Perkembangan Karakteristik Arsitektural Masjid Agung ... · Cultuur-stelsel yang dicetuskan oleh Gubernur Jenderal Hindia Belanda, Van den Bosch19. Pada tahun 1852, di bawah pemerintahan

Perkembangan Karakteristik Arsitektural Masjid Agung Bandung 1810 – 1955

35 | Jurnal Lingkungan Binaan Indonesia Vol.2 No.2 Juli 2013

Salah satu kajian Masjid Agung Bandung adalah skripsi Adriansyah Pribadi (2006) yang berjudul “Kajian Transformasi Desain Arsitektur Masjid Raya Bandung”. Skripsi tersebut membahas tentang sejarah perkembangan Masjid Agung Bandung dari awal abad ke-20, tepatnya sekitar tahun 1920, hingga tahun 2001. Di dalamnya, dibahas perubahan yang terjadi pada massa, atap, denah, dan menara masjid dengan menandai foto dan membuat model gambar tiruannya. Skripsi tersebut pun memaparkan bentuk-bentuk yang mungkin memengaruhi wujud fisik masjid, baik dari dalam, maupun luar Nusantara.

Kajian lain yang berkaitan dengan Masjid Agung Bandung adalah skripsi Ima Mariah (2011) yang berjudul “Masjid Agung Bandung; Sejarah dan Kedudukannya sebagai Simbol Kota Lama”. Skripsi tersebut membahas tentang sejarah dan keterkaitan Masjid Agung Bandung dengan masyarakat sebagai simbol kota. Metode yang dilakukan meliputi tahap heuristik atau pengumpulan sumber, kritik sumber, interpretasi sumber, dan historiografi atau penulisan hasil penelitian.

Dalam penelitian ini, karakteristik elemen-elemen masjid akan dibahas lebih dalam, dengan jangka waktu perkembangan yang lebih pendek untuk mempersempit banyaknya pengaruh perubahan masjid. Dilihat dari massa masjid secara umum dan dari elemen-elemen bangunannya, Masjid Agung Bandung pada masa kolonial memiliki kemiripan ciri dengan masjid-masjid di Piangan lainnya. Masjid pun berkembang pada masa tersebut seiring dengan peristiwa-peristiwa sejarah. Dari perkembangannya tersebut, masjid memiliki karakter yang berbeda dari bangunan-bangunan religius lainnya. Penelitian ini bertujuan untuk melihat

karakteristik arsitektural Masjid Agung Bandung, sebagai salah satu masjid yang berada di Priangan, melalui elemen-elemen bangunannya. Penelitian juga dimaksudkan untuk memetakan perkembangan masjid antara tahun 1810 – 1955. Hasil kajian diharapkan dapat memberikan kontribusi terhadap pengetahuan mengenai keragaman karakteristik masjid-masjid di Nusantara dan karakter perkembangan bangunan masjid.

Metode

Penelitian ini menggunakan metode kualitatif. Metode yang digunakan lebih spesifiknya merupakan metode sejarah. Metode sejarah terdiri dari tahap pencarian data, kritik data, interpretasi temuan, dan penulisan sejarah1. Metode sejarah sangat menekankan pentingnya kritik data atau sumber, baik dari sisi fisik, maupun dari isi data.

Metode Pengumpulan Data

Jejak perkembangan Masjid Agung Bandung antara tahun 1810 – 1955 sudah tidak dapat diamati lagi di lapangan akibat banyaknya perubahan yang terjadi. Oleh karena itu, studi karakteristik arsitektural masjid dilakukan melalui dokumentasi yang dibuat antara tahun 1810 – 1955. Dokumentasi yang digunakan berbentuk lukisan maupun foto (Tabel.1). Data-data tersebut sebagian besar diperoleh dari KITLV (Koninklijk Instituut voor Taal-, Land-, en Volkenkunde) yang merupakan institusi Kerajaan Belanda untuk studi Asia Tenggara dan Karibia. Terdapat pula foto yang diperoleh dari Tropen Museum melaui wikimedia, majalah “Masdjid dan Makam Doenia Islam”, serta Buku “Ramadhan di Priangan” karya Haryoto Kunto.

Page 3: Perkembangan Karakteristik Arsitektural Masjid Agung ... · Cultuur-stelsel yang dicetuskan oleh Gubernur Jenderal Hindia Belanda, Van den Bosch19. Pada tahun 1852, di bawah pemerintahan

Esti Istiqomah

Jurnal Lingkungan Binaan Indonesia Vol.2 No.2 Juli 2013 | 36

Metode Analisis Data

Foto dan lukisan yang berhasil didapat selanjutnya dikelompokkan ke dalam tahap-

tahap perubahan karakteristik masjid yang dapat terbaca. Karakteristik arsitektural dari masing-masing tahap kemudian disketsa ulang dari foto/lukisan. Hal tersebut dilakukan untuk

Foto

Tahun 1852 1880 1880 – 19202 c. 1890 Fotografer /Kolektor

W. Spreat Woodbury & Page Tropen Museum A.E.F. Muntz

Sumber Ramadhan di Priangan KITLV wikimedia KITLV

Foto

Tahun 1901 – 1902 c. 1910 c. 1915 1920 Fotografer /Kolektor

A.E.F. Muntz Th. Weissenborn Grote Markt / Den Haag B. Coops

Sumber KITLV KITLV KITLV KITLV

Foto

Tahun c. 1920 1920 – 19323 c. 1925 c. 1925

Fotografer /Kolektor

H. Marechal, H.L.M. Holffschlag

G.F.J. Bley, Tropen Museum

Foltynski tidak diketahui

Sumber KITLV wikimedia KITLV KITLV

Foto

Tahun tidak diketahui 1927 1929 1929

Fotografer /Kolektor

tidak diketahui v.P.J. Boudewijn,

Antiquariaat Minerva Dr. W.G.N. van der

Sleen, Tropen Museum Dr. W.G.N. van der

Sleen

Sumber Masdjid dan Makam Doenia Islam (1927)

KITLV wikimedia napakmasigit

Foto

Tahun 1933 1948 1950 1955

Fotografer /Kolektor

tidak diketahui G. van de Laak G.F.J. Bley, Tropen

Museum tidak diketahui

Sumber tyawar.multiply KITLV wikimedia Ramadhan di Priangan

Tabel 1. Foto/Lukisan Masjid Agung Bandung yang Dibuat Tahun 1810 – 1955

Page 4: Perkembangan Karakteristik Arsitektural Masjid Agung ... · Cultuur-stelsel yang dicetuskan oleh Gubernur Jenderal Hindia Belanda, Van den Bosch19. Pada tahun 1852, di bawah pemerintahan

Perkembangan Karakteristik Arsitektural Masjid Agung Bandung 1810 – 1955

37 | Jurnal Lingkungan Binaan Indonesia Vol.2 No.2 Juli 2013

memperjelas variabel-variabel yang akan dianalisis, sehingga fokus terarah pada variabel-variabel tersebut. Sketsa ulang dilakukan dengan membuat garis-garis outline dari foto/lukisan, maupun dengan membuat rekaan garis yang tidak begitu terlihat.

Untuk menentukan variabel penelitian, dilakukan kajian literatur mengenai karakteristik arsitektural dan masjid lama di Nusantara. Kajian karakteristik arsitektural mengacu pada tulisan Sagsoz, Tuluk, Ozgen (2005), Buyukkilic, Hamamcioglu-Turan, dan Kul (2011), dan Meiss (1990)4. Sementara kajian masjid lama di Nusantara mengacu pada tulisan Frishman (1994), Aboebakar (1955), dan Budi (2004)5.

Berdasarkan kajian-kajian tersebut dan ketersediaan data yang dapat dilihat dari foto, ditentukanlah variabel penelitian yang akan dilihat. Variabel yang akan dianalisis pada setiap tahap perkembangan masjid adalah massa, ruang, kolom, atap, bukaan, tangga, dan pagar. Variabel-variabel tersebut dijabarkan berdasarkan jenis, bentuk, jumlah, letak, kesimetrisan, orientasi, gaya, dan materialnya. Walaupun demikian, penjabaran masing-masing variabel terbatas pada apa yang ditampilkan foto dan lukisan. Foto/lukisan yang didapat seluruhnya hanya menampilkan bagian eksterior masjid dan sebagian besar memperlihatkan sisi depan masjid. Masing-masing variabel tersebut selanjutnya dikomparasikan berdasarkan tahap-tahap perkembangan masjid. Peristiwa-peristiwa yang terjadi di Bandung, Priangan, maupun Hindia Belanda pada masing-masing tahap perkembangan masjid pun dikaji untuk menyediakan konteks perkembangan masjid.

Perkembangan Masjid Agung Bandung dan Peristiwa-peristiwa yang Terjadi pada Masa Tersebut

Bandung merupakan salah satu kota yang memiliki peran penting pada masa kolonial. Bandung didirikan tanggal 25 Mei 1810 sebagai ibu kota baru dari Kabupaten Bandung. Pendirian ibu kota baru tersebut

dilatarbelakangi oleh perintah Gubernur Jenderal Hindia Belanda, Daendels (1808 – 1811), agar ibu kota Kabupaten Bandung dipindahkan ke dekat Jalan Raya Pos (Groote Postweg) buatannya6. Setelah pemerintahan Daendels, Bandung dan wilayah Hindia Belanda lainnya sempat berada di bawah pemerintahan kolonial penyelang dari Inggris pimpinan Raffles (1811 – 1816), sebelum akhirnya kembali ke tangan Belanda. Pemetaan perkembangan masjid dan peristiwa-peristiwa yang terjadi pada masa perkembangan tersebut dapat dilihat dalam Diagram 1.

Bandung ditetapkan sebagai ibu kota Keresidenan Priangan tahun 18647. Priangan merupakan sebutan untuk bekas wilayah Kerajaan Sunda Pajajaran yang berada di bawah kekuasaan Mataram Islam8. Wilayah tersebut mencakup Kabupaten Sukabumi, Cianjur, Bandung, Sumedang, Garut, Tasikmalaya, dan Ciamis9. Masjid Agung Bandung pada masa kolonial memiliki ciri-ciri fisik yang menyerupai masjid agung di ibu kota – ibu kota kabupaten tersebut.

Gambar 1. Peta Negorij Bandong tahun 1825 yang memperlihatkan letak masjid agung (G) di tengah kota (sumber: modifikasi dari Kunto, 2008).

Page 5: Perkembangan Karakteristik Arsitektural Masjid Agung ... · Cultuur-stelsel yang dicetuskan oleh Gubernur Jenderal Hindia Belanda, Van den Bosch19. Pada tahun 1852, di bawah pemerintahan

Esti Istiqomah

Jurnal Lingkungan Binaan Indonesia Vol.2 No.2 Juli 2013 | 38

Masjid agung merupakan masjid yang terletak di pusat kota, berdekatan dengan alun-alun10.

Tata pusat Kota Bandung awal terdiri dari lapangan yang disebut alun-alun yang ditanami pohon beringin. Alun-alun dikelilingi oleh masjid agung di sebelah Barat (Gambar 1.), dan pendopo di sebelah Selatan15. Tatanan tersebut berasal dari pola pusat Kota Cirebon yang diterapkan pada ibu kota kabupaten-kabupaten di Priangan16.

Masjid Agung Bandung didirikan pada masa pemerintahan Bupati R.A. Wiranatakusumah II (1794 – 1829). Terdapat dua pendapat mengenai waktu pendiriannya, pertama adalah tanggal 25 September 1810, bersamaan dengan peresmian pendopo, dan kedua adalah tahun 181217. Masjid pada masa itu berbentuk panggung sederhana dari kolom kayu, dinding

bilik, atap rumbia, dan dilengkapi dengan kolam. Selanjutnya terjadi kebakaran pada

tahun 1825. Konstruksi masjid pun mulai diganti menjadi kayu secara bertahap dari tahun 182618. Selanjutnya sekitar tahun 1830, dilaksanakan Sistem Tanam Paksa atau Cultuur-stelsel yang dicetuskan oleh Gubernur Jenderal Hindia Belanda, Van den Bosch19.

Pada tahun 1852, di bawah pemerintahan Bupati R.A. Wiranatakusumah IV (1846 – 1874), material dinding masjid diganti menjadi tembok dan atapnya pun diganti dengan genting20 (Gambar 2.). Pada masa tersebut pun regerings-reglement ditetapkan, tepatnya pada tahun 185421. Regerings-reglement berisi pemindahan kekuasaan penanganan daerah koloni dari raja kepada dewan negara dan gubernur jenderal. Untuk menindaklanjuti hal

renovasi

masjid setelah kebakaran

Masjid Agung Bandung

berdiri

1808 1810 1826 1830 1852 1880 1890 1901 1910 1920 1925 1942 1950 1955

Gubernur Jenderal Daendels

Letnan Gubernur Raffles

Residen Priangan

Stein- metz13

Residen Priangan Heijting

Residen Priangan

Bors- tevain

Residen Priangan Eijken

Konferensi Asia

Afrika di Bandung

Kota Bandung berdiri

Regerings-reglement, BOW didirikan

UU Agraria

peleburan Gemeente Bandung

Technische Hogeschool, Jaarbeurs Bandung

Konferensi

Meja Bundar14

Bandung ibu

kota Priangan reorganisasi Priangan

Javasche Bank kantor pemerintah Bandung

Agresi Militer

Belanda I & II

Perang Dipo-nego-ro12

Cultuur-stelsel

jalur kereta api Pri-angan

pembentukan provinsi Pulau

Jawa

RI merdeka

dominasi Jepang

R.A. Wiranatakusumah II11

R.A. Wiranata-kusumah

IV

R.A.A.

Wiranata-kusumah V

R.T.M. Wiranata-kusumah

VI

Diagram 1. Perubahan Masjid Agung Bandung dan Peristiwa-peristiwa yang Terjadi Tahun 1810 – 1955

Page 6: Perkembangan Karakteristik Arsitektural Masjid Agung ... · Cultuur-stelsel yang dicetuskan oleh Gubernur Jenderal Hindia Belanda, Van den Bosch19. Pada tahun 1852, di bawah pemerintahan

Perkembangan Karakteristik Arsitektural Masjid Agung Bandung 1810 – 1955

39 | Jurnal Lingkungan Binaan Indonesia Vol.2 No.2 Juli 2013

tersebut, dibentuk 5 departemen negara di bawah gubernur jenderal yang salah satunya adalah Burgerlijke Openbare Werken (BOW) atau Dinas Pekerjaan Umum pemerintah kolonial Belanda22.

Terdapat pula peraturan pembangunan masjid yang dikeluarkan oleh pemerintah Belanda. Salah satunya tercantum dalam Bijblad op het Staatsblad van Nederlandsch-Indie nomor 1980. Di dalamnya, pemerintah Belanda menyatakan “dat alhoewel de Staat, als zoodanig, zich niet heeft in te laten met den bouw of de herstelling van Mohamedaansche tempels, echter in sommige gevallen daartoe van Landswege tegemoetkoming kan worden verleend”23. Dari pernyataan tersebut, dapat diketahui pemerintah Belanda memilih untuk tidak memberikan bantuan dalam pembangunan masjid, kecuali dalam kasus-kasus tertentu.

Gambar 2. Masjid Agung Bandung 1852 (sumber: Kunto, 1996)

Pada tahun 1870, pemerintah Belanda menetapkan Undang-undang Agraria24 untuk membuka kesempatan bagi usaha swasta yang diikuti oleh reorganisasi atau pengaturan ulang administrasi wilayah Priangan. Antara tahun 1882 hingga 1893, jalur kereta api yang melintasi Priangan, dari Sukabumi hingga Ciamis, dibuat. Jalur yang melintasi Kota Bandung sendiri dibuat tahun 188425. Pada masa tersebut, tepatnya tahun 1890, terdapat foto yang memperlihatkan perubahan atap masjid dari bentuk tumpang ke perisai

(Gambar 3.). Bentuk atap ini tidak terlihat pada masjid-masjid agung di Priangan lainnya sebagai atap utama.

Gambar 3. Masjid Agung Bandung 1890 (sumber: kitlv.pictura-dp.nl, 2012)

Pada tahun 1901, terjadi peleburan wilayah yang disebut Afdeeling Cicalengka ke Bandung dan Limbangan26, atau Garut saat ini. Selanjutnya pada tahun 1903, peraturan mengenai perubahan administrasi wilayah jajahan ke arah desentralisasi dikeluarkan. Peraturan tersebut disusul dengan peraturan dewan lokal pada tahun 190527. Bandung pun dijadikan sebagai gementee atau kota otonom pada tahun 190628.

Gambar 4. Masjid Agung Bandung 1910 (sumber: kitlv.pictura-dp.nl, 2012)

Pada foto tahun 1910, terlihat bentuk atap masjid yang telah berubah kembali ke bentuk tumpang (Gambar 4.). Pada masa tersebut mulai terlihat upaya-upaya peningkatan kualitas arsitektur di Hindia Belanda yang sebelumnya dianggap tidak baik. Peningkatan tersebut dilakukan dengan perekrutan tenaga-tenaga profesional. Salah satu contoh hal tersebut adalah pengangkatan insinyur pertama di BOW pada tahun 190929. Terdapat pula bangunan-bangunan yang dibuat oleh

Page 7: Perkembangan Karakteristik Arsitektural Masjid Agung ... · Cultuur-stelsel yang dicetuskan oleh Gubernur Jenderal Hindia Belanda, Van den Bosch19. Pada tahun 1852, di bawah pemerintahan

Esti Istiqomah

Jurnal Lingkungan Binaan Indonesia Vol.2 No.2 Juli 2013 | 40

arsitek-arsitek di luar BOW. Salah satunya adalah Javasche Bank yang dibangun tahun 1910 oleh Hulswit, Fermont & Cuypers di Batavia30. Pada tahun 1920, Technische Hogeschool Bandung rancangan Maclaine Pont, yang menjadi Institut Teknologi Bandung saat ini, pun dibuka31. Pada tahun yang sama, gedung Jaarbeurs di Bandung dirancang oleh Schoemaker.

Gambar 5. Masjid Agung Bandung 1925 – 1933 (sumber: Masdjid dan Makam Doenia Islam, 1927)

Pada foto tahun 1925, terlihat penambahan serambi dan menara kembar pada masjid (Gambar 5.). Susunan yang terdiri dari massa utama, serambi, dan menara kembar tersebut terlihat pula pada masjid-masjid agung di Priangan, seperti di Cianjur, Garut, Tasikmalaya, dan Manonjaya. Sebelum itu pada tahun 1924, gedung pemerintah di Bandung rancangan Gerber selesai dibuat. Pembangunan tersebut berhubungan dengan rencana pemindahan ibu kota Hindia Belanda dari Batavia ke Bandung yang gagal akibat krisis ekonomi32. Selanjutnya pada tahun 1926, Pulau Jawa dibagi ke dalam 3 provinsi, yaitu Jawa Barat, Tengah, dan Timur33.

Gambar 6. Masjid Agung Bandung 1950 (sumber: commons.wikimedia.org, 2013)

Tanggal 9 Maret 1942, Belanda menyerah tanpa syarat kepada Jepang34. Indonesia selanjutnya merdeka dari Jepang pada tanggal 17 Agustus 1945. Walaupun demikian, Belanda sempat kembali berusaha menguasai Indonesia melalui Agresi Militer Belanda I (1947) dan II (1948). Selanjutnya, pada foto tahun 1950, terlihat penambahan di bagian depan serambi dan massa samping kembar pada masjid (Gambar 6.).

Gambar 7. Masjid Agung Bandung 1955 (sumber: Kunto, 1996)

Setelah terlepas dari gangguan Belanda, Indonesia mengadakan Konferensi Asia Afrika di Bandung pada tahun 1955. Pada tahun tersebut, terdapat foto yang memperlihatkan perubahan besar Masjid Agung Bandung, terutama dengan keberadaan atap kubah masjid (Gambar 7.). Bentuk masjid tersebut telah berubah jauh dari karakteristik masjid-masjid agung lama di Priangan umumnya. Bentuk atap tersebut kemungkinan besar terwujud atas prakarsa Presiden Soekarno35.

Page 8: Perkembangan Karakteristik Arsitektural Masjid Agung ... · Cultuur-stelsel yang dicetuskan oleh Gubernur Jenderal Hindia Belanda, Van den Bosch19. Pada tahun 1852, di bawah pemerintahan

Perkembangan Karakteristik Arsitektural Masjid Agung Bandung 1810 – 1955

41 | Jurnal Lingkungan Binaan Indonesia Vol.2 No.2 Juli 2013

Analisis Perkembangan Karakteristik Arsitektural Masjid Agung Bandung

Dari foto dan lukisan yang berhasil dikumpulkan, karakter massa, ruang, atap, kolom, bukaan, tangga, dan pagar yang terlihat dianalisis. Perubahan karakter variabel-variabel tersebut kemudian dipetakan

berdasarkan tahun pengambilan dokumen (Tabel 2.). Karakteristik massa dianalisis melalui kesimetrisan serta komposisi massa utama dan massa tambahan. Karakteristik ruang dianalisis melalui komposisi ruang utama dan ruang tambahan. Karakteristik atap dianalisis melalui bentuk, jumlah, dan kemiringan atap utama dan tambahan.

1852 1880 1890 1910 1925 1950 1955

Mas

sa

Rua

ng

Ata

p

Kolo

m

Buka

an

Tang

ga

Paga

r

Tabel 2. Perkembangan Karakteristik Arsitektural Masjid Agung Bandung 1852 – 1955

Page 9: Perkembangan Karakteristik Arsitektural Masjid Agung ... · Cultuur-stelsel yang dicetuskan oleh Gubernur Jenderal Hindia Belanda, Van den Bosch19. Pada tahun 1852, di bawah pemerintahan

Esti Istiqomah

Jurnal Lingkungan Binaan Indonesia Vol.2 No.2 Juli 2013 | 42

Karakteristik kolom dianalisis melalui gaya, jenis, bentuk, jumlah, posisi, dan elemen-elemen tambahan yang ada pada kolom. Karakteristik bukaan dianalisis melalui bentuk, jenis, posisi, jumlah daun, dan elemen tambahan yang terlihat. Karakteristik tangga dianalisis melalui arah hadap, lebar, serta elemen tambahan yang terdapat pada tangga. Karakteristik pagar dianalisis melalui bentuk atau motif pagar.

Massa

Gambar 8. Masjid Agung Bandung 1927 (sumber: kitlv.pictura-dp.nl, 2012) dan sketsa variabel massa yang menunjukkan kesimetrisan serta konfigurasi massa utama, serambi, dan menara kembar.

Massa Masjid Agung Bandung pada lukisan tahun 1852 hanya terdiri dari massa utama. Bentuknya terlihat simetris dari tampak depan. Karakter massa tersebut masih terlihat pada foto tahun 1880, 1890 hingga 1920. Perubahan-perubahan hanya terjadi pada tingkat elemen bangunan.

Pada foto tahun 1925, terlihat perubahan besar pada konfigurasi massa. Walaupun masih terlihat simetris dari depan, namun masjid memiliki tambahan serambi di depan massa utama dan menara kembar di sampingnya. Massa utama, serambi, dan menara kembar tersebut dibuat menyatu, tidak terpisah (Gambar 8.). Tahun pengambilan foto berdekatan dengan

pembagian Pulau Jawa ke dalam 3 provinsi pada tahun 1926. Masjid-masjid agung di Priangan lainnya, seperti di Garut dan Tasikmalaya, juga menampilkan menara kembar dalam foto yang diambil sekitar tahun 1925.

Dalam foto tahun 1950, masjid kembali mendapat tambahan yang menempel dengan massa sebelumnya. Tambahan berupa massa kembar yang terletak di masing-masing samping massa utama dan sedikit tonjolan massa di bagian tengah depan serambi. Tahun pengambilan foto adalah satu tahun setelah pelaksanaan Konferensi Meja Bundar.

Pada foto tahun 1955, perkembangan massa masjid tidak dapat dipetakan dengan jelas, karena bagian-bagian massa yang ada sebelumnya sudah tidak dapat diamati lagi pada foto. Masjid dalam foto tahun 1955 menunjukkan perubahan jauh dari bentuk masjid-masjid agung di Priangan lainnya. Perubahan besar ini bersamaan dengan diadakannya Konferensi Asia Afrika di Bandung.

Ruang

Gambar 9. Masjid Agung Bandung 1920 (sumber: kitlv.pictura-dp.nl, 2012) dan sketsa variabel ruang yang menunjukkan ruang utama dikelilingi ruang selasar.

Page 10: Perkembangan Karakteristik Arsitektural Masjid Agung ... · Cultuur-stelsel yang dicetuskan oleh Gubernur Jenderal Hindia Belanda, Van den Bosch19. Pada tahun 1852, di bawah pemerintahan

Perkembangan Karakteristik Arsitektural Masjid Agung Bandung 1810 – 1955

43 | Jurnal Lingkungan Binaan Indonesia Vol.2 No.2 Juli 2013

Konfigurasi ruang Masjid Agung Bandung pada lukisan tahun 1852 terdiri dari ruang utama dan selasar di depan dan sampingnya. Sejalan dengan perkembangan massa, konfigurasi ruang tersebut pun terlihat hingga foto tahun 1920 (Gambar 9.). Selanjutnya pada foto tahun 1925, masjid mendapat tambahan ruang serambi terbuka di depan massa utama. Pada masing-masing samping serambi, terdapat pula menara yang mewadahi ruang terbuka. Kemudian pada foto tahun 1950, ruang terbuka masjid bertambah dengan terdapatnya massa kembar samping dan tonjolan depan serambi. Pada foto tahun 1955, terjadi perubahan besar pada konfigurasi ruang dengan tidak terlihatnya selasar maupun ruang terbuka lainnya pada masjid.

Atap

Gambar 10. Masjid Agung Bandung 1950 (sumber: commons.wikimedia.org, 2013) dan sketsa variabel atap yang menunjukkan atap utama berbentuk tumpang 3 tumpuk, serta atap tambahan berbentuk perisai dengan pediment, atap tumpang 2 tumpuk, dan atap pelana.

Atap Masjid Agung Bandung yang terlihat dalam lukisan tahun 1852 hanya terdiri dari atap utama. Atap tersebut berbentuk tumpang 3 tumpuk dengan bukaan di antaranya. Atap terlihat melandai pada bagian bawah tumpuk tengah dan tumpuk teratas. Bukaan antar atap secara horizontal terbagi menjadi 3 modul oleh

tiang penyangga. Jarak antar tiang lebih jauh pada bukaan bagian bawah. Bentuk atap tersebut pun terlihat pada foto tahun 1880 dengan 2 kemiringan atap pada masing-masing tumpuk yang terlihat lebih jelas. Masing-masing tumpuk lebih curam di bagian atas dan lebih landai di bagian bawah. Penutup atap saat itu terbuat dari genting.

Dalam foto tahun 1890, terlihat perubahan besar pada bentuk atap. Walaupun masih terdiri dari atap utama, namun atap masjid terlihat berbentuk perisai sebanyak 3 buah yang berjejer secara paralel. Sisi pendek ketiga atap tersebut berada di atas entrance, sedangkan sisi panjangnya menghadap bagian samping masjid. Bentuk atap tersebut sangat berbeda dari bentuk atap sebelumnya maupun dari atap masjid-masjid di Priangan umumnya. Sebelum foto tersebut diambil, jalur kereta api yang menghubungkan beberapa kota di wilayah Priangan dibuat untuk pertama kalinya (1882 – 1893).

Pada foto tahun 1910, atap masjid kembali berubah total ke bentuk tumpang 3 tumpuk menyerupai foto tahun 1880. Atap tersebut pun memiliki 2 sudut kemiringan dengan bukaan antar tumpuk. Walaupun demikian, bukaan bagian bawah pada foto tahun 1910 terdiri dari 4 modul tiang, bukan 3 modul seperti pada foto tahun 1880. Satu tahun sebelum foto tersebut diambil, terjadi pengangkatan insinyur BOW yang pertama yang merupakan langkah peningkatan kualitas arsitektur rancangan BOW.

Seiring dengan perkembangan massa, atap masjid pada foto tahun 1925 pun memiliki tambahan. Masjid memiliki atap perisai untuk serambi dan atap tumpang untuk menara. Atap tumpang menara terdiri dari 2 tumpuk dengan bukaan di antaranya. Masing-masing tumpuk memiliki 2 sudut kemiringan. Selanjutnya pada foto tahun 1950 (Gambar 10.), masjid mendapat atap tambahan berbentuk pelana untuk massa samping kembar. Masjid pun memiliki tambahan pediment di bagian depan serambi. Pediment

Page 11: Perkembangan Karakteristik Arsitektural Masjid Agung ... · Cultuur-stelsel yang dicetuskan oleh Gubernur Jenderal Hindia Belanda, Van den Bosch19. Pada tahun 1852, di bawah pemerintahan

Esti Istiqomah

Jurnal Lingkungan Binaan Indonesia Vol.2 No.2 Juli 2013 | 44

merupakan tembok pada ujung atap dengan bentuk dasar segitiga yang banyak digunakan di bangunan Yunani-Romawi. Selain itu, masjid pun dilengkapi dengan atap perisai terpancung untuk tonjolan depan serambi.

Pada foto tahun 1955, atap masjid memperlihatkan bentuk yang sangat berbeda dari sebelumnya. Pada foto tersebut, untuk pertama kalinya atap kubah terlihat pada Masjid Agung Bandung. Bagian bawah atap kubah diteruskan dengan atap tajug. Masjid pun dilengkapi dengan atap dak beton. Atap yang sangat berbeda dari bentuk sebelumnya tersebut diduga merupakan usul Presiden Soekarno dalam rangka persiapan Konferensi Asia Afrika (KAA) pada tahun yang sama.

Kolom

Gambar 11. Masjid Agung Bandung 1890 (sumber: commons.wikimedia.org, 2012) dan sketsa variabel kolom yang menunjukkan kolom kepala bersusun dengan arch di atasnya, kolom ganda, dan pilaster.

Pada foto tahun 1880, kolom selasar masjid terlihat mendekati bentuk Tuscan. Kolom Tuscan menyerupai kolom Doric Yunani-Romawi, namun dengan ornamen yang lebih sedikit36. Kolom tersebut terlihat pula pada masjid-masjid agung di Priangan lainnya. Dari foto yang menampilkan tampak depan tersebut, kolom-kolom selasar terlihat membagi bangunan ke dalam 7 buah modul.

Dari tampak tersebut, terlihat pula kolom ganda pada masing-masing sudut selasar. Selain itu, masjid pun memiliki pilaster atau kolom yang menempel dengan dinding yang berpenampang kotak.

Foto tahun 1890 memperlihatkan perubahan karakter kolom yang cukup jauh (Gambar 11.). Saat itu, kepala kolom selasar masjid memiliki bentuk bersusun. Kolom pun memiliki arch atau lengkung di antaranya. Terdapat 2 bentuk lengkung yang terlihat dalam foto, yaitu ogee arch dan round arch. Ogee arch merupakan lengkung dengan bagian puncak yang meruncing. Bentuk arch tersebut menyerupai kubah bawang. Round arch merupakan lengkung dengan bagian puncak yang tumpul37. Round arch hanya terdapat pada bagian tengah entrance masjid. Kolom dengan lengkung tersebut tidak didapati pada masjid-masjid lain di Priangan. Walaupun demikian, kolom ganda masih terlihat pada tampak depan masjid di bagian tengah entrance dan sudut selasar. Selain itu, pilaster pun masih dapat terlihat pada dinding masjid. Tampak depan masjid di foto tersebut dibagi ke dalam 9 modul oleh kolom selasar.

Selanjutnya pada foto tahun 1925, terdapat bentuk kolom yang belum terlihat sebelumnya di bagian depan serambi dan menara, yaitu kolom berpenampang lingkaran dengan kepala berbentuk kotak. Konfigurasi kolom ganda masih terlihat pada bagian tengah entrance dan menara. Tampak depan bangunan terbagi ke dalam 7 modul oleh kolom-kolom tersebut. Kolom pada foto tahun 1955 pun sangat berbeda, karena hanya berupa pilaster sederhana tanpa ornamen. Sebagaimana telah disebutkan pula, masing-masing foto tersebut diambil pada masa penyelenggaraan KAA di Bandung (1955) dan pembentukan provinsi-provinsi di Pulau Jawa (1926).

Bukaan

Mengenai bukaan masjid, terdapat tujuh buah bukaan berbentuk kotak pada tampak depan masjid dalam lukisan tahun 1852. Dua bukaan di masing-masing ujung tampak terdapat pada

Page 12: Perkembangan Karakteristik Arsitektural Masjid Agung ... · Cultuur-stelsel yang dicetuskan oleh Gubernur Jenderal Hindia Belanda, Van den Bosch19. Pada tahun 1852, di bawah pemerintahan

Perkembangan Karakteristik Arsitektural Masjid Agung Bandung 1810 – 1955

45 | Jurnal Lingkungan Binaan Indonesia Vol.2 No.2 Juli 2013

dinding yang menjorok ke dalam, tidak sejajar dengan dinding tempat entrance utama. Bukaan yang terlihat pada foto tahun 1880 pun berbentuk kotak dengan bukaan terbesar terdapat di tengah.

Pada foto tahun 1890, lima bukaan yang terdapat pada dinding ruang utama masjid terlihat memiliki lubang tambahan terpisah di bagian atasnya. Bentuk lubang tersebut menyerupai setengah lingkaran dengan arch di puncaknya. Bentuk arch bukaan tambahan sama dengan arch pada kolom selasar, yaitu ogee arch dan round arch. Ogee arch digunakan pada puncak lubang tambahan yang berada di atas jendela, sedangkan round arch digunakan pada puncak lubang tambahan di atas pintu. Bentuk lengkung pada bukaan-bukaan tersebut tidak terdapat pada masjid agung di Priangan lainnya. Pintu berjumlah 3 buah dengan perletakan di bagian tengah dan masing-masing ujung samping, sedangkan jendela terletak di antara pintu. Pintu yang terletak di tengah lebih tinggi dari pintu samping. Bukaan-bukaan tersebut memiliki daun ganda. Bentuk bukaan pada foto tersebut tetap terlihat hingga foto tahun 1920 (Gambar 12.).

Gambar 12. Masjid Agung Bandung 1920 (sumber: kitlv.pictura-dp.nl, 2012) dan sketsa variabel bukaan yang menunjukkan pintu dan jendela dengan jumlah daun ganda dan arch terpisah di atasnya.

Pada foto tahun 1955, bukaan masjid terlihat bergaya Art Deco. Bukaan masjid dibagi-bagi dalam modul memanjang. Bagian atas bukaan pun diberi lubang ventilasi yang pipih. Bagian atas ventilasi tersebut diberi tritisan dak beton atau garis aksen horizontal. Bukaan dan kolom dengan bentuk yang lebih sederhana pada masa penyelenggaraan KAA tersebut selaras dengan atap kubah yang memperlihatkan gaya arsitektur masjid yang lebih modern.

Tangga

Gambar 13. Masjid Agung Bandung 1880 (sumber: kitlv.pictura-dp.nl, 2012) dan sketsa variabel tangga yang menunjukkan arah hadap frontal, selebar 1 modul kolom, dan semakin melebar ke bawah.

Tangga masjid pada lukisan tahun 1852 terletak di tengah dan memiliki arah hadap frontal atau dapat diakses langsung dari depan. Tangga memiliki lebar 1 modul kolom dan semakin melebar di bagian bawah. Bentuk tersebut terlihat hingga foto tahun 1880 dengan tambahan pintu pagar pada puncak tangga (Gambar 13.). Pada foto tahun 1901 – 1902, tangga masjid masih terlihat frontal di bagian tengah, namun memiliki lebar 3 modul kolom. Pada perubahan yang terlihat dalam foto tahun 1925, masjid tidak lagi memiliki tangga frontal. Tangga masjid memiliki arah hadap samping yang terdapat di depan serambi pada dua sisi secara simetris.

Page 13: Perkembangan Karakteristik Arsitektural Masjid Agung ... · Cultuur-stelsel yang dicetuskan oleh Gubernur Jenderal Hindia Belanda, Van den Bosch19. Pada tahun 1852, di bawah pemerintahan

Esti Istiqomah

Jurnal Lingkungan Binaan Indonesia Vol.2 No.2 Juli 2013 | 46

Pagar

Pagar masjid pada lukisan tahun 1852, terlihat berupa tembok dengan motif lubang sisik ikan. Pada foto tahun 1880, pagar samping masjid tersusun dari deretan kolom-kolom tembok rendah. Pada foto tahun 1890, pagar masjid kembali terlihat memiliki motif lubang sisik ikan. Motif tersebut tetap terlihat hingga foto tahun 1955. Sisik ikan (Gambar 14.) merupakan motif khas pagar di Priangan pada saat itu19, seperti di Garut dan Manonjaya.

Gambar 14. Masjid Agung Bandung 1929 (sumber: commons.wikimedia.org, 2012) dan sketsa variabel pagar yang menunjukkan motif sisik ikan.

Kesimpulan

Dari foto dan lukisan yang berhasil didapatkan, perubahan besar pada karakteristik arsitektural Masjid Agung Bandung dapat terlihat pada foto tahun 1890, 1910, 1925, dan 1955. Foto tahun 1890 memperlihatkan perubahan atap utama masjid dari bentuk tumpang menjadi perisai. Selanjutnya pada

foto tahun 1910, atap masjid kembali berubah ke bentuk tumpang. Walaupun terdapat beberapa peristiwa pada masa tersebut, namun kejadian yang berkaitan langsung dengan perubahan-perubahan tersebut belum dapat dipastikan. Pada foto tahun 1925, terlihat penambahan serambi dan menara kembar pada masjid. Tahun pengambilan foto tersebut waktunya berdekatan dengan penyelesaian kantor pemerintahan di Bandung (1924) dan pembentukan provinsi di Pulau Jawa (1926). Pada foto tahun 1955, terlihat perubahan bentuk atap menjadi kubah bawang dan perubahan massa yang membuat jejak tahap-tahap perkembangan sebelumnya tidak dapat teramati lagi. Perubahan masjid pada tahun tersebut berkaitan dengan diadakannya Konferensi Asia Afrika di Bandung.

Dengan demikian, Masjid Agung Bandung dari mulai didirikan (1810/1812) hingga tahun 1955, telah mengalami sekitar empat kali renovasi besar. Perubahan-perubahan yang terjadi mencakup perubahan elemen bangunan, seperti kolom dan bukaan, hingga perubahan massa masjid secara keseluruhan. Dari empat perubahan besar tersebut, renovasi tahun 1910 dan tahun 1925 merupakan renovasi yang menghasilkan ciri seperti masjid agung di Priangan lainnya, yaitu atap tumpang tiga serta penambahan serambi dan menara kembar. Sementara renovasi tahun 1890 dan 1955 membuat masjid berubah jauh dari ciri-ciri masjid di Priangan, yaitu atap utama berbentuk perisai dan kubah.

Dengan dinamika tersebut, masjid dapat dikatakan sebagai living monument atau sebuah karya arsitektur yang hidup karena senantiasa berubah sesuai kebutuhan dan keinginan pihak-pihak yang berkepentingan. Isu konservasi terlihat tidak dianggap penting oleh para pengguna masjid. Wujud fisik masjid tidak dijaga kelestariannya oleh para pengambil keputusan. Hal ini sangat berbeda dengan tempat-tempat ibadah lain, terutama gereja lama dan candi. Tempat-tempat ibadah tersebut sangat diupayakan agar wujud fisiknya tidak berubah, terutama candi.

Page 14: Perkembangan Karakteristik Arsitektural Masjid Agung ... · Cultuur-stelsel yang dicetuskan oleh Gubernur Jenderal Hindia Belanda, Van den Bosch19. Pada tahun 1852, di bawah pemerintahan

Perkembangan Karakteristik Arsitektural Masjid Agung Bandung 1810 – 1955

47 | Jurnal Lingkungan Binaan Indonesia Vol.2 No.2 Juli 2013

Peraturan pembangunan masjid dari pemerintah Belanda yang tercantum dalam Bijblad op het Staatsblad van Nederlandsch-Indie nomor 1980 menyatakan Belanda tidak ikut campur dalam pembangunan masjid, kecuali dalam kasus-kasus tertentu. Walaupun demikian, terdapat karakteristik arsitektural Masjid Agung Bandung yang memperlihatkan pengaruh Eropa, seperti terdapatnya pediment pada atap, kolom Tuscan, dan pagar sisik ikan atau transenna. Elemen-elemen tersebut banyak terdapat pada arsitektur Klasik, sehingga terdapat kemungkinan keterlibatan Belanda dalam pembangunan masjid.

Penelitian ini masih memiliki beberapa keterbatasan. Salah satunya ialah acuan data yang berupa foto lama, sehingga informasi yang didapat terbatas pada apa yang ditampilkan oleh foto. Bahasan mengenai konteks peristiwa yang terjadi selama perkembangan masjid pun belum terlalu menunjukkan hubungan sebab akibat. Penelitian selanjutnya dapat dibuat lebih mendalami peristiwa-peristiwa yang melatarbelakangi perkembangan masjid sehingga didapatkan hubungan antara wujud fisik dan konteks yang lebih jelas.

Ucapan Terima Kasih

Penulis mengucapkan terima kasih kepada Ibu Indah Widiastuti yang ikut membimbing pembuatan tulisan, Ibu Himasari Hanan selaku Ketua Kelompok Keahlian Sejarah, Teori dan Kritik Arsitektur, Elya Santa Bukit, dan Program Arsitektur ITB.

Daftar Pustaka

---- (1906). Bijblad op het Staatsblad van Nederlansch-Indie, Deel III, Batavia: Landsdrukkerij.

Adam, R. (1991). Classical Architecture: A Comprehensive Handbook to the Tradition of

Classical Style, New York: Harry N. Abrams, Incorporated.

Arismunandar, A. (2011). Profil Peninggalan Sejarah dan Purbakala di Jawa Barat; Dalam Khasanah Sejarah dan Budaya, Bandung: Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Provinsi Jawa Barat.

Atmodjo, J.S. (2011). Masjid Kuno Indonesia, Jakarta: Direktorat Perlindungan dan Pembinaan Peninggalan Sejarah dan Purbakala.

Budi, B.S. (2004). A Study on the History and Development of the Javanese Mosque, Part 1: A Review of Theories on the Origin of the Javanese Mosque. Journal of Asian Architecture and Building Engineering , 3, 1, 189-195.

Budi, B.S. (2004). A Study on the History and Development of the Javanese Mosque, Part 2: The Historical Setting and Role of the Javanese Mosque under the Sultanates. Journal of Asian Architecture and Building Engineering , 4, 1, 1-8.

Ching, F.D.K. (1995). A Visual Dictionary of Architecture, New York: Van Nostrand Reinhold.

Dienaputra, R.D. (2004). Cianjur: Antara Priangan dan Buitenzorg, Bandung: Prolitera.

DKM Masjid Raya Bandung (----). Masjid Raya Bandung dari Masa ke Masa, Bandung: DKM Masjid Raya Bandung Provinsi Jawa Barat.

Ekadjati, E.S. (2005). Kebudayaan Sunda (Suatu Pendekatan Sejarah), Jilid I, Jakarta: Dunia Pustaka Jaya.

Falah, M. (2010). Sejarah Kota Tasikmalaya 1820 – 1942, Uga Tatar Sunda dan Yayasan Masyarakat Sejarawan Indonesia, Cabang Jawa Barat.

Frishman, M. (1994). Islam and the Form of the Mosque. In The Mosque; History, Architectural Development & Regional Diversity, ed. M. Frishman and H. Khan. London: Thames and Hudson, 17-41.

Hall, D.G.E. (1955). A History of South-East Asia, New York: St Martin’s Press Inc.

Handinoto (1996). Perkembangan Kota dan Arsitektur Kolonial Belanda di Surabaya (1870 – 1940), Yogyakarta: ANDI dan Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada

Page 15: Perkembangan Karakteristik Arsitektural Masjid Agung ... · Cultuur-stelsel yang dicetuskan oleh Gubernur Jenderal Hindia Belanda, Van den Bosch19. Pada tahun 1852, di bawah pemerintahan

Esti Istiqomah

Jurnal Lingkungan Binaan Indonesia Vol.2 No.2 Juli 2013 | 48

Masyarakat Universitas Kristen PETRA Surabaya.

Hardjasaputra, A.S. (2000). Bandung. Dalam Sejarah Kota-kota Lama di Jawa Barat, ed. D.S. Anshori. Bandung: Alqaprint, 111-131.

Kartika, N. (2007). Sejarah Majalengka; ‘Sindangkasih – Maja – Majalengka’, Sumedang: Uvula Press.

Khayat, M.A.B. dan Khaznadar, B.M.A. (2010). Formal Characteristics of Vernacular Architecture in Erbil City and Other Iraqi Cities. The Iraqi Journal of Architecture, 19-20-21, 213-233.

Kunto, H. (2008). Wajah Bandoeng Tempo Doeloe, Bandung: Granesia.

Kunto, H. (1996). Ramadhan di Priangan (Tempo Doeloe), Bandung: Granesia.

Lubis, N.H. (2011). Sejarah Perkembangan Islam di Jawa Barat, Yayasan Masyarakat Sejarawan Indonesia Cabang Jawa Barat.

Lubis, N.H. (1998). Kehidupan Kaum Menak Priangan 1800 – 1942, Bandung: Pusat Informasi Kebudayaan Sunda.

Mariah, I. (2011). Masjid Agung Bandung; Sejarah dan Kedudukannya sebagai Simbol Kota Lama, Bandung: Universitas Pendidikan Indonesia.

Meiss, P.V. (1990). Elements of Architecture; From Form to Place, London: E & FN Spon.

Passchier, C. (2008).The Quest for the Ultimate Architecture; Indonesia in the Late Colonial Period.

Pribadi, A. (2006). Kajian Transformasi Desain Arsitektur Masjid Raya Bandung, Bandung: Universitas Katolik Parahyangan.

Ricklefs, H.C. (1991). Sejarah Indonesia Modern, Yogyakarat: Gadjah Mada University Press.

Roosmalen, P.K.M.v. (2006). Blaricum sous les tropiques: les principes de l’urbanisme moderne neerlandais es Indonesie.

Sumalyo, Y. (1993). Arsitektur Kolonial Belanda di Indonesia, Yogyakarat: Gadjah Mada University Press.

Svensson, T. (1991). State Bureaucracy and Capitalism in Rural West Java: Local Gentry versus Peasant Entrepreneurs in Priangan in the 19th and 20th Century. In Nias Report no. 1, Copenhagen: Nordic Institute of Asian Studies.

Tim Penulis Pemerintah Provinsi Daerah Tingkat I, Jawa Barat (1993). Sejarah Pemerintahan di Jawa Barat, Bandung: Pemerintah Provinsi Daerah Tingkat I, Jawa Barat.

Voskuil, R.P.G.A. (1996). Bandung Citra Sebuah Kota, Purmerend: Asia Maior.

Wildan, D. (2005). Sejarah Ciamis, Humaniora Kerja Sama Pemerintah Kabupaten Ciamis LPPM Universitas Galuh.

Catatan Kaki

1 Lihat Falah, 2010, hal. 5-7.

2 Walaupun tahun pengambilan foto tersebut dalam wikimedia tertulis 1880 – 1920, namun terdapat foto-foto lain yang diambil tahun 1880 dan 1910 dengan karakter masjid yang berbeda dari yang ditunjukkan foto tahun 1880 – 1920 tersebut. Oleh karena itu, kurun waktu pengambilan foto tersebut seharusnya terjadi setelah tahun 1880 dan sebelum tahun 1910.

3 Walaupun tahun pengambilan foto tertulis 1920 – 1932, namun terdapat foto lain pada tahun 1920 dengan karakter masjid yang berbeda. Oleh karena itu, foto seharusnya diambil setelah tahun 1920.

4 Menurut Sagsoz, Tuluk, dan Ozgen (2005) dalam Khayat dan Khaznadar (2010), karakteristik arsitektural dapat dilihat dari jumlah lantai, kesimetrisan bangunan, aksen horizontal dan vertikal, teritisan, entrance, bay window, dan jendela, melalui letak, dimensi, bentuk, dan jenisnya. Menurut Buyukkilic, Hamamcioglu-Turan, dan Kul (2011), karakteristik arsitektural dapat dilihat dari plafon, cornice, proyeksi atau tonjolan, pintu, jendela, tangga, pilaster, cerobong asap dan perapian, pelat dan penutup lantai, serta beberapa elemen built-in, melalui bentuk, material, dimensi, dan peletakannya. Menurut Meiss (1990 : 8 – 9, 32), contoh elemen arsitektural antara lain adalah dinding, pintu, jendela, tangga, dan atap. Hubungan yang dapat terjadi antar elemen-elemen tersebut berupa kesamaan, kedekatan, lingkupan, orientasi, tekstur, kesejajaran, gradasi, hirarki, kontras, kompleksitas, kontradiksi, keteraturan, proporsi, keseimbangan, dan kontinuitas.

5 Menurut Frishman (1994 : 32 – 41), masjid memiliki komponen bagian yang meliputi ruang yang diberi batas, dinding kiblat dan mihrab, mimbar, dikka, kursi, maqsura, kolam, minaret, dan gerbang. Menurut Aboebakar (1955) dalam Atmodjo (1999 :

Page 16: Perkembangan Karakteristik Arsitektural Masjid Agung ... · Cultuur-stelsel yang dicetuskan oleh Gubernur Jenderal Hindia Belanda, Van den Bosch19. Pada tahun 1852, di bawah pemerintahan

Perkembangan Karakteristik Arsitektural Masjid Agung Bandung 1810 – 1955

49 | Jurnal Lingkungan Binaan Indonesia Vol.2 No.2 Juli 2013

21), masjid kuno Indonesia umumnya terbuat dari kayu, bambu, dan rumbia, memiliki denah persegi dengan mihrab dan mimbar, atap bertingkat ditopang 4 tiang, bukaan sempit, serta memiliki mustika, sementara elemen menara jarang didapati. Menurut Budi (2004), karakteristik masjid Jawa meliputi denah persegi, atap piramid, dibatasi dinding sekeliling, dekat komplek makam, dan memiliki struktur utama saka guru, sementara serambi dan menara merupakan elemen tambahan.

6 Lihat Voskuil (1996 : 29). Sementara menurut Arismunandar (2011 : 179 – 180), pemindahan Ibu Kota Bandung telah direncanakan oleh Bupati Bandung, R.A. Wiranatakusumah II (1794 – 1829), sebelum datang perintah dari Daendels, dalam rangka menghindari banjir.

7 Lihat Tim Penulis Pemerintah Provinsi Daerah Tingkat I, Jawa Barat, 1993, hal. 255-258, 265.

8 Lihat Haan : 1910, 1912 dalam Ekadjati, 2005 : 7.

9 Lubis (1998 : 35) menyimpulkan wilayah Priangan merupakan Jawa bagian Barat kecuali Banten, Cirebon, serta Batavia dan sekitarnya. Svensson (1991) menggambarkan wilayah Priangan sekitar tahun 1925 meliputi Sukabumi, Cianjur, Bandung, Sumedang, Garut, Tasikmalaya, dan Ciamis.

10 Budi (2005 : 1-8) mengklasifikasikan masjid Jawa pada zaman kesultanan Islam ke dalam 4 kategori berdasarkan peran dan setting-nya, yaitu masjid agung, langgar kraton, komunitas, dan terisolir. Masjid agung terletak di pusat kota dan merupakan simbol keagungan raja. Masjid langgar keraton terdapat dalam komplek keraton dan digunakan oleh keluarga dan pelayan raja, terutama wanita. Masjid komunitas merupakan tempat ibadah komunitas sekitar, yang dapat berada di kota, kampung, maupun pesantren. Masjid terisolir terletak di dataran tinggi dan berdekatan dengan makam.

11 Lihat Tim Penulis Pemerintah Provinsi Daerah Tingkat I, Jawa Barat, 1993, lampiran 11.

12 Lihat Hall, 1955, hal. 464-468.

13 Lihat Dienaputra, 2004, hal. 188-189.

14 Lihat Ricklefs, 1991, hal. 338-350.

15 Lihat Lubis, 1998, hal. 163. Hardjasaputra (2000 : 123-124) dan Arismunandar (2011 : 181) pun menyebutkan masjid agung terletak di sebelah Barat alun-alun Kota Bandung dan pendopo di Selatannya.

16 Lihat Tim Penulis Pemerintah Provinsi Daerah Tingkat I, Jawa Barat, 1993, hal. 156-157, 176-179.

17 Lihat Lubis, 2011, hal. 250-251.

18 Lihat DKM Masjid Raya Bandung.

19 Lihat Hall, 1955, hal. 468, 470-472.

20 Lihat Hardjasaputra, 2000, hal. 125.

21 Lihat Hall, 1955, hal. 468, 470-472, 490-493.

22 Lihat Hardjasaputra, 2002, 53 dalam Kartika, 2007, 50-51.

23 Lihat Bijblad op het Staatsblad van Nederlansch-Indie, Deel III, 1906, hal. 118-119.

24 Lihat Hall, 1955, hal. 490-493.

25 Lihat Tim Penulis Pemerintah Provinsi Daerah Tingkat I, Jawa Barat, 1993, hal. 258-259, 272-273.

26 Lihat Lubis, 1998, hal. 33-34. Pada tahun 1870, Afdeeling merupakan wilayah administrasi di bawah kabupaten, kemudian sekitar tahun 1922, afdeeling menjadi wilayah administrasi di atas kabupaten (Tim Penulis Pemerintah Provinsi Daerah Tingkat I, Jawa Barat, 1993, hal. 258-259, 272-273, 309-321).

27 Lihat Roosmalen, 2006, hal. 59-75.

28 Lihat Hardjasaputra, 2000, hal. 128.

29 Lihat Handinoto, 1996, hal. 183.

30 Lihat Passchier, 2008, hal. 1-14.

31 Lihat Kunto, 2008, hal. 179.

32 Lihat Voskuil, 1996, hal. 55, 57.

33 Lihat Wildan, 2005, hal. 131.

34 Lihat Wildan, 2005, hal. 149.

35 Lihat Kunto, 1996, hal. 12, 16.

36 Lihat Adam, 1948, hal. 78.

37 Lihat Ching, 1995, hal. 14.