perkembangan agama katolik dan …repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/13446/1/10e00338.pdf ·...
TRANSCRIPT
Antonius P. Manalu : Perkembangan Agama Katolik Dan Pengaruhnya Terhadap Masyarakat Di Lintongnihuta (1937 – 1985), 2010.
PERKEMBANGAN AGAMA KATOLIK DAN PENGARUHNYA
TERHADAP MASYARAKAT DI LINTONGNIHUTA (1937 – 1985)
SKRIPSI SARJANA
DIKERJAKAN
O
L
E
H
NAMA : ANTONIUS P MANALU
NIM : 050706031
DEPARTEMEN SEJARAH
FAKULTAS SASTRA
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2009
Antonius P. Manalu : Perkembangan Agama Katolik Dan Pengaruhnya Terhadap Masyarakat Di Lintongnihuta (1937 – 1985), 2010.
PERKEMBANGAN AGAMA KATOLIK DAN PENGARUHNYA
TERHADAP MASYARAKAT DI LINTONGNIHUTA (1937 – 1985) SKRIPSI SARJANA
DIKERJAKAN
O
L
E
H
NAMA : ANTONIUS P MANALU
NIM : 050706031
Pembimbing
Dra. Penina Simanjuntak, M.S
NIP 131570489006089
DEPARTEMEN SEJARAH
FAKULTAS SASTRA
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2009
Antonius P. Manalu : Perkembangan Agama Katolik Dan Pengaruhnya Terhadap Masyarakat Di Lintongnihuta (1937 – 1985), 2010.
Lembar Pengesahan Pembimbing Skripsi
PERKEMBANGAN AGAMA KATOLIK DAN PENGARUHNYA
TERHADAP MASYARAKAT DI LINTONGNIHUTA (1937 – 1985) SKRIPSI SARJANA
DIKERJAKAN
O
L
E
H
NAMA : ANTONIUS P MANALU
NIM : 050706031
Pembimbing
Dra. Penina Simanjuntak, M.S
NIP 131570489 006089
Skripsi ini diajukan kepada panitia ujian Fakultas Sastra USU Medan, untuk
melengkapi salah satu syarat ujian Sarjana Sastra dalam bidang Ilmu Sejarah
DEPARTEMEN SEJARAH
FAKULTAS SASTRA
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2009
Antonius P. Manalu : Perkembangan Agama Katolik Dan Pengaruhnya Terhadap Masyarakat Di Lintongnihuta (1937 – 1985), 2010.
Lembar Persetujuan Ujian Skripsi
PERKEMBANGAN AGAMA KATOLIK DAN PENGARUHNYA
TERHADAP MASYARAKAT DI LINTONGNIHUTA (1937 – 1985)
Yang diajukan oleh:
Nama: ANTONIUS P MANALU
NIM: 050706031
Telah disetujui untuk diujikan dalam ujian skripsi oleh:
Pembimbing
Dra. Penina Simanjuntak, M.S tanggal…….
NIP 131570489006089
Ketua Departemen Sejarah
Dra. Fitriaty Harahap, S.U tanggal……….
NIP 195406031983032001
DEPARTEMEN SEJARAH
FAKULTAS SASTRA
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2009
Antonius P. Manalu : Perkembangan Agama Katolik Dan Pengaruhnya Terhadap Masyarakat Di Lintongnihuta (1937 – 1985), 2010.
Lembar Persetujuan Ketua Departemen
Disetujui oleh:
FAKULTAS SASTRA
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
DEPARTEMEN SEJARAH
Ketua Departemen
Dra. Fitriaty Harahap, S.U
NIP 195406031983032001
Medan, Desember 2009
Antonius P. Manalu : Perkembangan Agama Katolik Dan Pengaruhnya Terhadap Masyarakat Di Lintongnihuta (1937 – 1985), 2010.
Lembar Pengesahan Skripsi Oleh Dekan dan Panitia Ujian
PENGESAHAN
Panitia Ujian Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara
Untuk melengkapi salah satu syarat ujian Sarjana Sastra
Dalam Ilmu Sejarah pada Fakultas Sastra USU Medan
Pada :
Tanggal :
Hari :
Fakultas Sastra USU
Dekan
Prof. Syaifuddin, M.A Ph.D
NIP 196509091994031004
Panitia Ujian
No Nama Tanda Tangan
1 ............................................................ ( )
2 ............................................................ ( )
3 ............................................................ ( )
4 ............................................................ ( )
Antonius P. Manalu : Perkembangan Agama Katolik Dan Pengaruhnya Terhadap Masyarakat Di Lintongnihuta (1937 – 1985), 2010.
ABSTRAK
Perkembangan agama Katolik di Lintongnihuta membawa dampak yang besar
dalam kehidupan masyarakat Lintongnihuta terutama dalam bidang adat istiadat dan
pendidikan. Masuknya missionaris Katolik di Lintongnihuta memberikan kontibusi
besar bagi perkembangan dan kemajuan masyarakat Lintongnihuta.
Masyarakat Lintongnihuta yang semula menganut kepercayaan tradisional
beralih menjadi penganut agama Kristen Katolik dikarenakan oleh mutu pendidikan
sekolah Katolik yang tinggi. Disamping itu, pendekatan yang dilakukan oleh
missionaris terhadap masyarakat menarik simpatik masyarakat untuk memilih masuk
menjadi agama Katolik.
Masuknya agama Katolik di Lintongnihuta mendapat tantangan baik dari
pihak Belanda, zending Jerman, dan masyarakat Batak Toba di Lintongnihuta.
Masuknya agama Katolik di Lintongnihuta mengakibatkan Lintongnihuta muncul
sebagai pusat pendidikan.
i
Antonius P. Manalu : Perkembangan Agama Katolik Dan Pengaruhnya Terhadap Masyarakat Di Lintongnihuta (1937 – 1985), 2010.
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas berkat
dan rahmat serta karunia-Nya yang dilimpahkan dengan memberikan kesehatan,
ketabahan serta ketekunan kepada penulis selama penyusunan skripsi ini mulai dari
awal sampai selesai. Adapun penulisan ini dilakukan untuk memenuhi salah satu
syarat untuk menyelesaikan studi Program sarjana jurusan Ilmu Sejarah Fakultas
Sastra Universitas Sumatera Utara. Pada kesempatan ini penulis mengangkat tentang
permasalahan studi agama dalam kajian Ilmu Sejarah. Skripsi ini diberi judul “
Perkembangan Agama Katolik dan Pengaruhnya Terhadap Masyarakat di
Lintongnihuta ( 1937 – 1985)”.
Dalam penulisan skripsi ini banyak hambatan yang dihadapi terutama dalam
masalah pencarian data dan buku-buku literatur pendukung dalam penulisan skripsi.
Oleh sebab itu, penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna. Untuk
itu penulis menerima kritikan dan masukan yang bersifat membangun dari semua
pihak sebagai bahan penyempurnaan skripsi ini.
Penulisan skripsi ini dapat diselesaikan berkat dorongan dan bimbingan dari
berbagai pihak baik secara langsung maupun tidak langsung. Dalam kesempatan ini
penulis mengucapkan terima kasih kepada :
1. Bapak Rektor Universitas Sumatera Utara beserta Staf yang telah berkenan
menerima dan memberi kesempatan serta fasilitas kuliah kepada penulis
selama kuliah di Fakultas Sastra USU.
ii
Antonius P. Manalu : Perkembangan Agama Katolik Dan Pengaruhnya Terhadap Masyarakat Di Lintongnihuta (1937 – 1985), 2010.
2. Prof. Syaifuddin, M.A. Phd selaku Dekan Fakultas Sastra Universitas
Sumatera Utara.
3. Dra. Fitriaty Harahap S.U, dan Dra. Nurhabsyah M.Si selaku Ketua dan
Sekretaris Departemen Sejarah.
4. Drs. Samsul Tarigan selaku dosen wali penulis atas bimbingan selama kuliah
di Jurusan Sejarah
5. Dra. Penina Simanjuntak M.S selaku dosen pembimbing atas segala
ketekunan, kesabaran dan kemauan serta menyediakan waktunya untuk
membimbing dan memperbaiki naskah skripsi ini hingga selesai.
6. Bapak dan ibu dosen di Departemen Sejarah atas segala bekal ilmu yang telah
diberikan sehingga memungkinkan penulis dalam menyelesaikan karya studi
ini.
7. Ayahanda tercinta Barita Manalu dan Ibunda tersayang Helmina Sihombing
yang telah mendidik dan membimbing saya dengan ketulusan hati yang dalam
dan memberikan motivasi kepada saya untuk menggapai cita-cita melalui
pendidikan setinggi-tingginya.
8. Abang dan Kakak penulis yang terkasih: Panahatan dan Roganti Sihombing,
Lamtiar dan Lintong Marbun, Lamria dan Lae Gultom , Jerry, Dedy, Clara,
Anjel, Anita dan Tesya atas segala dukungan dan motivasinya.
9. Oppung tercinta Hosti Sihombing yang selalu mencintai dan tabah dalam
membimbing cucu-cucu, Tulang Kitab Sihobing, Jhony Sihombing, Palmok
Sihombing, Uda Harlen Manalu, Bontor Manalu, Amangboru Rumabutar,
Sibarani, Suster Irenita Manalu yang selalu memberi dukungan baik materiil
iii
Antonius P. Manalu : Perkembangan Agama Katolik Dan Pengaruhnya Terhadap Masyarakat Di Lintongnihuta (1937 – 1985), 2010.
maupun moril untuk menggapai cita cita melalui pendidikan yang setinggi
tingginya.
10. Drs. Maruhum Sihombing selaku Camat Lintongnihuta dan Pastor Levi
Pakpahan selaku Pastor Paroki Lintongnihuta yang telah mengijinkan dan
membantu penulis selama melakukan penelitian lapangan.
11. Kawan kawan di Jurusan Ilmu Sejarah terutama stambuk 2005 tanpa
terkecuali dan sahabat-sahabatku di Berdikari Jogi, Jakson, Benmart Manalu,
Medi, Bangun, yang telah menjadi teman berbagi suka dan duka dan
membantu memberikan dorongan dan motivasi dalam penyelesaian skripsi
ini.
12. Kawan kawan penulis Fredy manalu, Hastomo Manalu, Evi Tamala, Lina
Nainggolan, Yanti dan siiumut Tika, terutama kepada Devi Marianti Naibaho
yang selalu memberikan dukungan dan motivasi dalam penyelesaian skripsi
ini.
Semoga semua kebaikan yang telah penulis terima dibalas oleh Tuhan Yang
Maha Kuasa dan penyertaan-Nya senantiasa menyertai kita semua.
Medan, Desember 2009 Penulis
IV
Antonius P. Manalu : Perkembangan Agama Katolik Dan Pengaruhnya Terhadap Masyarakat Di Lintongnihuta (1937 – 1985), 2010.
DAFTAR ISI
Abstrak ..............................................................................................................i
UcapanTerimakasih ...........................................................................................ii
Daftar Isi ...........................................................................................................iv
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah ...................................................................1
1.2 Rumusan Masalah ............................................................................5
1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian .........................................................5
1.4 Tinjauan Pustaka ..............................................................................6
1.5 Metode Penelitian .............................................................................8
BAB II GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN
2.1 Letak Geografis ................................................................................10
2.2 Keadaan Demografis ........................................................................11
2.3 Latar Belakang Historis ....................................................................14
2.4 Sistem Sosial Budaya Masyarakat ....................................................18
BAB III TUMBUH DAN BERKEMBANGNYA AGAMA KATOLIK
3.1 Kepercayaan Masyarakat Sebelum Masuknya Ajaran Katolik ...........23
3.2 Proses Masuknya Agama Katolik .....................................................23
3.2.1 Perintisaan Agama Katolik Di Sumatera Utara ...............................29
3.2.2 Masuknya Agama Katolik Di Tapanuli ..........................................33
3.2.3 Masuknya Agama Katolik Di Lintongnihuta ..................................37
3.3. Kendala yang Dihadapi Missionaris dalam Penyebaran Agama
Katolik ............................................................................................41
3.4. Perkembangan Agama Katolik Di Lintongnihuta .............................47
3.4.1 Perkembangan Agama Katolik Pada Masa Marianus Van
de Acker (1937- 1942) ..................................................................47
3.4.2 Perkembangan Agama Katolik Pada Masa Perang Dunia II
v
Antonius P. Manalu : Perkembangan Agama Katolik Dan Pengaruhnya Terhadap Masyarakat Di Lintongnihuta (1937 – 1985), 2010.
(1942- 1945) dan Agresi Militer I,II ( 1947- 1948) .........................49
3.4.3 Perkembangan Agama Katolik Pada Masa Pastor
Weinfridus Josen (1951- 1961) .....................................................53
3.4.4 Perkembangan Agama Katolik Pada Masa Pastor
Septimus Kamphof dan Wynen (1961-1985) ................................55
BAB IV PENGARUH DAN PELAYANAN AGAMA KATOLIK
4.1 Pengaruh Dalam Ada ........................................................................57
4.1.1Pengaruh Dalam Adat Perkawinan ..................................................57
4.1.2 Pengaruh Dalam Adat Orang Meninggal ........................................62
4.2 Pelayanan Dalam Bidang Pendidikan................................................66
BAB V KESIMPULAN
5.1 Kesimpulan ......................................................................................72
5.2 Saran ................................................................................................73
Daftar Pustaka
Daftar Informan
Lampiran
VI
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 latar Belakang Masalah
Di dalam kehidupan manusia agama sangat penting, karena di dalamnya
terdapat nilai nilai yang dapat mengatur kehidupan manusia. Agama di dalam
masyarakat memberi nilai nilai bagi manusia untuk bertingkah laku secara sosiologis.
Agama menjadi penting dalam kehidupan manusia karena ilmu pengetahuan dan
keahlian tidak berhasil memberikan sarana adaptasi atau mekanisme penyesuaian
yang dibutuhkan. Dari sudut pandang teori fungsional, agama menjadi penting karena
agama mempunyai fungsi untuk menutupi unsur unsur pengalaman manusia yang
terbatas1
Pendidikan agama di mulai ketika agama itu sendiri muncul ke hadapan
manusia. Setiap agama di dunia mempunyai sistem pendidikannya sendiri, dan agama
perlu diajarkan kepada manusia tentang bentuk kepercayaan, adat istiadat, dan
ajarannya. Demikian pula tuntutan agama terhadap orang orang yang hendak masuk
dari luar, siapa yang ingin memeluk agama baru tentu saja diwajibkan mempelajari
pokok pokok kepercayaan dan adat kebiasaan agama itu lebih dahulu
.
2
1 Thomas F. O,Dea, Sosiologi Agama, Jakarta: PT. Rajawali, 1985., hal. 26. 2 E.G. Hombrighousen, Pendidikan Agama Kristen, Jakarta: PT. BPK Gunung Mulia, 1996.,
Hal .1.
.
Dalam kehidupan, manusia selalu mengalami perubahan. Perubahan tersebut
dapat diketahui dari sejarahnya. Itu sebabnya kita perlu mengetahui peristiwa yang
Antonius P. Manalu : Perkembangan Agama Katolik Dan Pengaruhnya Terhadap Masyarakat Di Lintongnihuta (1937 – 1985), 2010.
telah terjadi pada masa lampau, sebab sesuatu yang terjadi pada masa lampau tentu
mempengaruhi kehidupan masa kini. Begitu juga dengan apa yang dilakukan oleh
manusia pada masa kini akan mempengaruhi kehidupan yang akan datang, sesuai
dengan dimensi sejarah yaitu masa lampau, masa kini, dan masa yang akan datang.
Menurut defenisi yang paling umum, kata sejarah kini berarti masa lampau
umat manusia3
Perkembangan Ilmu sejarah telah banyak memperluas kajian penulis sejarah
. Sulit untuk menemukan pengertian sejarah yang sebenarnya sesuai
dengan yang diinginkan oleh pembaca. Seringkali ditemukan ada istilah-istilah yang
artinya sama dengan sejarah. Sejarah menyangkut seluruh aspek kehidupan manusia
yang berorientasi pada kebudayaan, ekonomi, sosial, dan politik.
4
Pada masa pemerintahan Hindia Belanda, Lintongnihuta merupakan bagian
dari Afdeling Silindung, Keresidenan Tapanuli. Setelah kemerdekaan Republik
.
Meluasnya objek kajian penulisan sejarah tersebut memberikan kesempatan bagi
penulis sejarah dalam merekonstuksi perkembangan agama. Dalam kehidupan
masyarakat seperti kehidupan beragama, kajian ilmu sejarah merupakan hal yang
penting untuk memahami tentang agama tersebut.
Kajian sejarah mengenai agama sangatlah penting untuk mengetahui dari
mana asal usul agama tersebut, bagaimana perkembangan agama, apa saja yang
dipengaruhi oleh agama tersebut, dan apakah agama tersebut menguntungkan atau
merugikan masyarakat yang dipengaruhi.
3 Louis Gottschalk, understanding History, Mengerti sejarah, (terj) Nugroho Noto Susanto,
UI Press, Jakarta: 1986., Hal .27. 4 Sartono Kartodirjo, Pendekatan Ilmu dalam Metodologi Sejarah, PT. Gramedia Pustaka
Utama, Jakarta: 1992., Hal .186.
Antonius P. Manalu : Perkembangan Agama Katolik Dan Pengaruhnya Terhadap Masyarakat Di Lintongnihuta (1937 – 1985), 2010.
Indonesia, Lintongnihuta merupakan kecamatan yakni kecamatan Lintongnihuta
dengan ibukota Pasar Baru, kabupaten Humbang Hasundutan, pemekaran dari
kabupaten Tapanuli Utara.
Perkembangan agama Katolik di Lintongnihuta tidak terlepas dari masuknya
agama Kristen Protestan di daerah Lintongnihuta. Daya tarik utama agama Katolik di
Lintongnihuta adalah sekolah Katolik yaitu mulai dari masa penjajahan Belanda
yakni Volk School( sekolah rakyat setingkat dengan kelas satu sampai kelas tiga SD)
dan Vervolk School( sekolah rakyat setingkat dengan kelas empat sampai dengan
kelas enam SD)dan kemudian dikembangkan menjadi sekolah formal R.K ( Roma
Katolik) mulai dari Tingkat SD hingga SMP di Lintongnihuta.
Agama Katolik sebagai ajaran yang baru dikenal di masyarakat pada masa itu
menawarkan suatu kebenaran yang membebaskan masyarakat dari rasa kekhawatiran
dan ketakutan terhadap hal hal gaib. Kemudian para missionaris Katolik berhasil
menyadarkan masyarakat melalui usaha usaha penyebaran agama Katolik dilakukan
oleh missionaris Katolik. Missionaris menginginkan kehidupan dituntun oleh agama
agar dapat lebih sabar hidup di dunia, dan mengharapkan kekekalan di akhirat.
Agama Katolik juga berhasil menghilangkan kepercayaan kepercayaan lama
yang dianut oleh masyarakat Batak Toba dalam hidup mereka seperti animisme dan
dinamisme. Mereka menerima agama Katolik sebagai pandangan yang baru dalam
hidup mereka. Bahkan sampai sekarang agama Katolik telah banyak dianut oleh
masyarakat Lintongnihuta dan telah menyebar ke daerah daerah pedalaman.
Agama katolik sampai ke Indonesia melalui Selat Malaka pada abad ke- 16
yakni tahun 1546 yang disebarkan oleh Missionaris Fransiskus Xaverius, missionaris
Antonius P. Manalu : Perkembangan Agama Katolik Dan Pengaruhnya Terhadap Masyarakat Di Lintongnihuta (1937 – 1985), 2010.
berkebangsaan Portugis5
. Dalam perjalanannya ke Malaka beliau mengikuti para
pedagang pedagang Portugis sambil menyebarkan dan menyiarkan injil. Agama
Katolik sampai di Tapanuli pada tahun 1929 dengan daerah misinya yang pertama
adalah Sibolga. Pada tanggal 5 Desember 1934 agama Katolik masuk ke Balige yang
disebarkan oleh Pastor Sybrandus Van Rossum. Balige pada saat itu merupakan
daerah pusat untuk penyebaran agama Katolik di Tapanuli.
Missionaris agama Katolik peduli dengan kemajuan orang Batak Toba.
Sebelum agama Kristen masuk ke daerah Toba, orang Batak Toba masih dalam
kegelapan. Di antara sesama mereka sering terjadi perang antara satu kampung
dengan kampung yang lain. Orang Batak sangat takut dengan kekuatan jimat. Pada
masa itu siapa yang paling kuat menjadi penguasa dan siapa yang lemah akan
menjadi tertindas. Untuk mengubah cara berfikir dan menghilangkan keterbelakangan
orang Batak Toba tersebut, missionaris berusaha mengenalkan pendidikan dengan
mendirikan sekolah sekolah.
Mengacu pada uraian di atas, penulis ingin mengungkapkan salah satu
kegiatan para missionaris Katolik di Kecamatan Lintongnihuta, baik dalam usaha
pengenalan dan perluasan agama Katolik maupun pengenalan pendidikan formal bagi
masyarakat Lintongnihuta. Adapun judul yang diajukan adalah Perkembangan
Agama Katolik dan Pengaruhnya Terhadap Masyarakat Di Lintongnihuta (
1937-1985)
5 Arnoldus, Sejarah Gereja Katolik Indonesia, Jakarta: Taman Cut Mutiah IO, 1974., Hal 43
Antonius P. Manalu : Perkembangan Agama Katolik Dan Pengaruhnya Terhadap Masyarakat Di Lintongnihuta (1937 – 1985), 2010.
1.2 Rumusan Masalah
Perlu dibuat suatu rumusan masalah sebagai landasan utama dalam sebuah
penelitian dan substansi dari penulisan. Di samping itu, untuk mempermudah
penulisan, ditetapkan beberapa masalah dalam penulisan yang objektif. Untuk itu,
penulis mengemukakan permasalahan sebagai berikut:
1. Bagaimana proses masuk dan perkembangan agama Katolik di Lintongnihuta.
2. Bagaimana respon masyarakat Lintongnihuta terhadap agama Katolik dan
sekolah Katolik.
3. Apa kendala yang dihadapi oleh para missionaris di Lintongnihuta.
4. Bagaimana proses berdirinya sekolah sekolah formal yang diprakarsai oleh
Katolik di Lintongnihuta
1. 3 Tujuan dan Manfaat Penelitian
Setiap kegiatan yang dilakukan dalam penelitian selalu mempunyai tujuan
pokok yang hendak diperoleh penulis. Adapun tujuan dari penulisan ini antara lain:
1. Mengetahui dan menjelaskan proses masuk dan perkembangan agama Katolik di
Lintongnihuta.
2. Mengetahui dan menjelaskan respon masyarakat terhadap agama katolik dan
sekolah Katolik.
3. Menjelaskan kendala yang dihadapi oleh para missionaris di Lintongnihuta.
4. Menjelaskan proses berdiri dan berkembangnya sekolah sekolah formal yang
diprakarsai oleh Katolik di Lintongnihuta.
Antonius P. Manalu : Perkembangan Agama Katolik Dan Pengaruhnya Terhadap Masyarakat Di Lintongnihuta (1937 – 1985), 2010.
Hasil dari penulisan ini kiranya dapat memberikan manfaat bagi berbagai
pihak antara lain:
1. Memberikan masukan kepada lingkungan akademis untuk memahami proses
masuknya agama Katolik dan pengaruhnya terhadap perkembangan masyarakat
di Lintongnihuta
2. Menambah pengetahuan peneliti dan pembaca untuk memahami pengaruh
agama Katolik terhadap perkembangan masyarakat di Lintongnihuta
3. Menambah distribusi dan pengkajian sejarah agama Katolik di Sumatera Utara
dan sejarah lokal pada umumnya.
1.4 Tinjauan Pustaka
Untuk melakukan kegiatan penulisan, perlu dilakukan telaah pustaka dengan
menggunakan buku buku yang berhubungan dengan judul tulisan ini yakni tentang
agama Katolik dan pengaruhnya terhadap perkembangan masyarakat di
Lintongnihuta. Telaah pustaka dilakukan dalam rangka mencari data data yang lebih
objektif dan relevan dengan topik yang akan dibahas. Di samping itu, telaah pustaka
juga bertujuan untuk mencari kerangka teoritis yang hendak dipergunakan sebagai
acuan penulisan.
Dalam buku AM Harjana Penghayatan Agama : yang Otentik dan tidak
Otentik (1993: 42) menyatakan bahwa agama merupakan gejala yang boleh dikatakan
universal dalam hidup manusia. Sebagian besar penghuni planet bumi kita, dengan
berbagai latar belakang lingkungan, iklim dan budaya, menganut salah satu agama
atau sesuatu agama. Juga dilihat dari pandangan sekilas, isi, pelaksanaan dan
Antonius P. Manalu : Perkembangan Agama Katolik Dan Pengaruhnya Terhadap Masyarakat Di Lintongnihuta (1937 – 1985), 2010.
penampilannya, agama nampak berbeda, bahkan berlawanan satu sama lain. Namun
bila dilihat dari intinya semua agama pada dasarnya mempercayai, meyakini dan
berpegang pada hal yang sama yaitu realita zat atau sesuatu yang paling tinggi.
Dilihat dari sistem atau struktur, lengkap atau tidak, canggih atau sederhana, setiap
agama memiliki segi pokok: (1) segi yang menyangkut keseluruhan hidup, (2) segi
yang menyangkut pemahaman, segi intelektual, (3) segi yang menyangkut
kelembagaan, segi institusional, dan (4) segi perwujudan dalam perilaku, segi etika.
Dalam buku lothar Schreiner Adat dan Injil (1972: 47) menyatakan bahwa
suku bangsa Batak membuka diri terhadap ajaran Kristen dan membiarkan diri
terjajah oleh kolonial Belanda. Mereka mulai mengalami dunia baru yang terasing ini
seperti lingkungan mereka yang baru.baik dari sudut pandang keagamaan maupun
dari sudut pemerintahan. Dengan kepemilikan ini mereka melepaskan diri dari agama
mereka sehingga mereka memeluk agama Kristen. Masuknya agama Kristen dan
amanat Injil memasukkan pembaruan ke dalam kebudayaan sehingga menjadi suatu
ciri yang bersifat menentukan dan tetap.
Dalam buku Elizabet Nottingham Agama dan Masyarakat: Suatu Pengantar
Sosiologi Agama (1994:23) bahwa Agama berfungsi melepaskan belenggu belenggu
adat dan kepercayaan manusia yang usang. Agama menyadarkan manusia untuk
menciptakan suatu ikatan bersama baik di antara anggota anggota beberapa
masyarakat maupun dalam kewajiban kewajiban sosial yang membantu
mempersatukan mereka. Karena nilai nilai yang mendasar sistem sistem kewajiban
sosial didukung bersama dalam masyarakat.
Antonius P. Manalu : Perkembangan Agama Katolik Dan Pengaruhnya Terhadap Masyarakat Di Lintongnihuta (1937 – 1985), 2010.
1.5 Metode Penelitian
Untuk memperoleh data yang lebih ilmiah dilakukan suatu penyusunan
metode. Tujuannya agar penelitian dapat berjalan dengan baik dan sempurna serta
dapat memahami secara ilmiah objek penelitian yang dimaksud. Penelitian ini akan
dilakukan dengan metode penelitian historis sebagai rujukan. Untuk mencapai suatu
hasil yang maksimal, perlu dilakukan tahapan demi tahapan. Untuk merekonstruksi
masa lampau pada objek yang akan diteliti, dipakai metode sejarah dengan
menggunakan sumber sejarah sebagai bahan penelitian.
Tahapan pertama yang akan dilakukan adalah melalui heuristik yakni metode
yang dilakukan dengan mengumpulkan data, fakta fakta dan sumber yang sesuai
dengan objek yang diteliti. Dalam hal ini ada dua langkah yang dapat dilakukan yaitu:
Penelitian Kepustakaan atau Library Research yaitu penelitian mencari data
dalam perpustakaan yakni memperoleh buku buku dan keterangan melalui
bahan bahan penulisan sesuai dengan permasalahan yang diteliti.
Penelitian lapangan atau Field Research yaitu penelitian mencari data dalam
bentuk wawancara atau observasi secara langsung ke lapangan untuk
mengumpulkan keterangan tentang peristiwa yang terjadi.
Penelitian kepustakaan akan dilakukan dengan mengumpulkan sumber
sumber tertulis baik sumber primer maupun sumber sekunder berupa buku, majalah,
artikel, skripsi dan arsip yang berkaitan dengan objek yang akan diteliti. Dan
penelitian lapangan akan dilakukan dengan menggunakan metode wawancara yang
berstruktur/ tertutup dan terbuka terhadap informan informan yang dianggap mampu
memberikan informasi yang dibutuhkan dalam penulisan ini.
Antonius P. Manalu : Perkembangan Agama Katolik Dan Pengaruhnya Terhadap Masyarakat Di Lintongnihuta (1937 – 1985), 2010.
Tahapan kedua yang dilakukan adalah kritik sumber. Dalam tahapan ini, kritik
dilakukan terhadap sumber yang telah dikumpulkan untuk mencari keaslian sumber
tersebut baik dari segi substansial (isi) maupun materialnya agar menjadi sumber
terpilih. Kritik yang dilakukan adalah kritik intern maupun kritik ekstern. Hal ini
dilakukan untuk mendapatkan kebenaran informasi dari sumber atau data data yang
diperoleh.
Tahapan yang ketiga adalah interpretasi. Dalam tahapan ini data yang
diperoleh dianalisis sehingga melahirkan suatu pemahaman baru yang sifatnya lebih
objektif dan ilmiah. Objek kajian yang cukup jauh ke belakang serta minimnya data
dan fakta yang membuat interpretasi menjadi sangat vital. Keakuratan serta analisis
yang tajam perlu dilakukan untuk mendapatkan fakta sejarah yang objektif. Dengan
kata lain tahap ini dilakukan sebagai penyimpulan kesaksian atau data yang dapat
dipercaya dari bahan bahan yang ada.
Tahapan keempat adalah historiografi, yakni penyusunan kesaksian yang
dapat dipercaya tersebut menjadi satu kisah atau kajian yang menarik dan berarti.
Dalam hal ini diusahakan memperhatikan aspek-aspek kronologisnya.
Antonius P. Manalu : Perkembangan Agama Katolik Dan Pengaruhnya Terhadap Masyarakat Di Lintongnihuta (1937 – 1985), 2010.
BAB II
GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN
2.1 Letak Geografis
Lintongnihuta terletak di dataran Tinggi Toba yang merupakan kawasan yang
didiami oleh etnis Batak Toba. Secara administratif pada masa Kolonial Belanda,
Lintongnihuta masuk dalam wilayah onderafdeling Dataran Tinggi Toba dengan
ibukota Siborong borong. Lintongnihuta terletak kira kira 20 kilometer dari pusat
pemerintahan kabupaten Humbang Hasundutan yang merupakan pemekaran dari
kabupaten Tapanuli Utara tahun 2003.
Lintongnihuta berbatasan dengan wilayah sebagai berikut:
Sebelah Utara berbatasan dengan kecamatan Muara
Sebelah Selatan berbatasan dengan kecamatan Siborong borong
Sebelah Barat berbatasan dengan kecamatan Dolok Sanggul
Sebelah Timur berbatasan dengan kecamatan Paranginan
Secara geografis Lintongnihuta berada pada ketinggian 1500 meter di atas
permukaan laut dengan curah hujan 100- 500 mm/ tahun dan suhu rata rata dalam
setahun 23 derajat Celsius. Lintongnihuta berhawa sejuk sebagaimana daerah daerah
lain yang ada di Humbang Hasundutan. Biasanya musim hujan dimulai bulan
September sampai dengan bulan April, sedangkan musim kemarau mulai bulan Mei
sampai dengan bulan Agustus6
6 Hasil wawancara dengan Camat Lintongnihuta bapak Maruhum Sihombing tanggal 7 Juli
2009 pukul 11.00 Wib.
.
Antonius P. Manalu : Perkembangan Agama Katolik Dan Pengaruhnya Terhadap Masyarakat Di Lintongnihuta (1937 – 1985), 2010.
Kondisi alam Lintongnihuta terdiri atas dataran yang luas, sawah, perkebunan
dan ladang. Sebagian besar tanah di daerah ini digunakan sebagai areal pertanian baik
ladang, sawah, dan kebun. Pada umumnya, masyarakat di Lintongnihuta sebagian
besar hidup dari pertanian. Hasil pertanian digunakan untuk memenuhi kebutuhan
hidup sehari-hari masyarakat. Ladang biasanya ditanami tanaman kopi, sayur-
sayuran, ubi, dan lain lain, sedangkan sawah ditanami padi.
Sebagai usaha sampingan selain bertani, masyarakat Lintongnihuta juga
memelihara jenis hewan peliharaan seperti: kerbau, babi, anjing, dan ayam. Hewan
peliharaan tersebut berguna sebagai tambahan mata pencaharian hidup. Pada
umumnya hewan hewan ini akan dijual apabila ada kebutuhan yang mendesak.
Penyebaran penduduk di Lintongnihuta tidak merata di setiap desa, bervariasi
antara 3 sampai dengan 31 jiwa/ km2. Ini disebabkan oleh faktor geografis, tingkat
kesuburan tanah, ketergantungan fasilitas sarana/ prasarana, daya serap lapangan
kerja yang berbeda pada masing-masing desa di Lintongnihuta. Penggunaan lahan
pertanian di Lintongnihuta masuh relatif rendah dilihat dari lahan yang masih
menganggur berupa semak belukar dan ilalang. Jika dibandingkan dengan daerah
daerah lain yang ada di kabupaten Humbang Hasundutan, Lintongnihuta berperan
sebagai penghasil kopi7
7 Hasil wawancara dengan Seksi Kesejahteraan Masyarakat kecamatan Lintongnihuta bapak
Pinantun Sinaga tanggal 7 Juli 2009 pukul 13.30 Wib.
.
Antonius P. Manalu : Perkembangan Agama Katolik Dan Pengaruhnya Terhadap Masyarakat Di Lintongnihuta (1937 – 1985), 2010.
2.2 Keadaan Demografis
Sampai pada masa kemerdekaan Indonesia, jumlah penduduk di
Lintongnihuta sulit diketahui secara pasti karena tidak adanya data tertulis tentang hal
itu. Berdasarkan sensus penduduk pada tahun 1985 jumlah penduduk di kecamatan
Lintongnihuta secara keseluruhan adalah 18.335 jiwa yang terdiri atas laki laki 9071
jiwa, dan perempuan 9264 jiwa.
Untuk lebih jelasnya, keadaan jumlah penduduk dapat dilihat secara rinci
pada tabel di bawah ini
Tabel 1 : Jumlah Penduduk Kecamatan Lintongnihuta berdasarkan umur dan jenis
kelamin pada tahun 1985
NO Umur Laki laki Perempuan Jumlah persentase
1 0-5 1623 1721 3344 18.23
2 6-10 1468 1485 2953 16.1
3 11-15 1370 1464 2834 15.45
4 16-25 1258 1193 2451 13.36
5 26-45 1556 1579 3135 17.09
6 46-55 957 964 1921 10.47
7 56 ke atas 839 858 1697 9.25
Jumlah 9071 9264 18335 100
Sumber: Kantor Camat Lintongnihuta
Antonius P. Manalu : Perkembangan Agama Katolik Dan Pengaruhnya Terhadap Masyarakat Di Lintongnihuta (1937 – 1985), 2010.
Berdasarkan tabel diatas, tergambar bahwa persentase jumlah penduduk laki laki 49,
47% dan jumlah penduduk perempuan 50,52%.
Di Lintongnihuta mayoritas penduduknya memeluk agama Kristen, baik
agama Kristen Protestan maupun Kristen Katolik. Untuk lebih jelasnya berikut ini
dapat dilihat secara rinci pada tabel yang menggambarkan keadaan penduduk
berdasarkan agama.
Tabel 2 : Jumlah Penduduk Kecamatan Lintongnihuta berdasarkan agama pada tahun
1985.
No Agama Jumlah (Jiwa) Persentase
1 Islam - -
2 Kristen Protestan 12439 67,84
3 Kristen Katolik 5896 32,15
4 Budha - -
5 Hindu - -
Jumlah 18335 100
Sumber: Kantor Camat Lintongnihuta
Berdasarkan tabel diatas, dapat digambarkan bahwa sebagian masyarakat
Lintongnihuta menganut agama Kristen Protestan 67, 84% dan yang menganut agama
Kristen Katolik sebanyak 32,15%.
Penduduk yang mendiami daerah Lintongnihuta adalah mayoritas etnik Batak
Toba dan didominasi oleh marga Sihombing Siopat Ama (sihoming empat bapak).
Sihombing siopat ama terdiri dari marga Nababan yang mendiami daerah Nagasaribu,
Antonius P. Manalu : Perkembangan Agama Katolik Dan Pengaruhnya Terhadap Masyarakat Di Lintongnihuta (1937 – 1985), 2010.
marga Hutasoit mendiami daerah Hutasoit, marga Silaban mendiami daerah Silaban,
marga Lumban Toruan mendiami sekitar Lintongnihuta. Selain itu, marga marga
tanah yang lain di daerah ini seperti marga Siburian, marga Siregar, dan marga
Sinaga8
.
Kemudian ditambah dengan marga marga lain yang datang ke daerah ini
seperti marga Sitanggang, marga Pasaribu, dan lain lain. Keberadaan marga lain di
daerah ini disebabkan oleh proses perkawinan dan pekerjaan. Misalnya pria marga
lain ada yang mempersunting gadis di daerah ini dan kemudian tinggal menetap.
Dengan istilah jika pria yang bermarga lain yang mempersunting gadis di daerah
tersebut dan tinggal menetap yaitu sonduk hela. Sedangkan marga yang lain yang
datang di daerah ini dengan alasan pekerjaan adalah guru dan tenaga medis.
2.3 Latar Belakang Historis
Perkembangan suatu daerah tidak terjadi begitu saja, tetapi tumbuh dan
mengalami perubahan. Demikian halnya dengan Lintongnihuta, awalnya
Lintongnihuta yang merupakan wilayah yang dipenuhi oleh hutan rimba, ditumbuhi
pepohonan dan semak belukar dan menjadi tempat binatang buas, tetapi lama
kelamaan tumbuh sebagai daerah yang terbuka.
Masyarakat Batak Toba meyakini bahwa mereka berasal dari keturunan Siraja
Batak yang berdiam di Pusuk Buhit, Sianjur Mulamula kecamatan Harian9
8 Hasil wawancara dengan bapak Maringan Sihombing tanggal 17 Juli 2008 pukul 20.00
Wib. 9 DJ Gultom Raja Marpodang, Dalihan Natolu Nilai Budaya Suku Batak, Medan: CV.
Amanda, 1992., hal. 431.
. Dari sana
Antonius P. Manalu : Perkembangan Agama Katolik Dan Pengaruhnya Terhadap Masyarakat Di Lintongnihuta (1937 – 1985), 2010.
mereka menyebar ke berbagai daerah untuk mencegah agar jangan sampai terjadi
perkawinan sesama saudara, sehingga Siraja Batak membuat silsilah ( tarombo).
Dengan silsilah ini setiap orang harus mencantumkan nama nenek moyang (yang
kemudian berubah menjadi marga) di belakang namanya. Adanya marga ini membuat
setiap orang mengetahui boleh tidaknya seseorang untuk dikawini.
Semula Sihombing bermukim di Pulau Samosir. Untuk memperoleh ruang
hidup yang lebih baru dan lebih baik ia bersama keempat anaknya: Silaban,
Lumbantoruan, Nababan, dan Hutasoit pindah ke Tipang, seberang Danau Toba10
Keluarga Sihombing beserta anak-anaknya cepat berlipat ganda di Tipang.
Mereka mengolah lahan persawahan dan pertanian yang semakin luas di sana. Jumlah
penduduk yang semakin banyak mengakibatkan lahan pertanian semakin tak cukup,
maka sebagian keturunan Sihombing bermigrasi (pindah) ke dataran tinggi yaitu
Humbang. Keturunan Lumbantoruan mendirikan kampung dekat Lintongnihuta yaitu
Sipagabu. Dari Sipagabu inilah secara bertahap keturunan Lumbantoruan berpencar
dii daerah Humbang, yaitu:Lintongnihuta dan sekitarnya, Bahalbatu dan sekitarnya,
Sibaragas dan sekitarnya, Sipultak dan sekitarnya, Butar dan sekitarnya
.
Tipang terletak di pantai selatan Danau Toba pada tanah pesisir yang sempit
dikelilingi perbukitan yang cukup tinggi tidak jauh dari Bakara, tempat pemukiman
Raja Sisingamangaraja.
11
Awalnya mereka hidup berkelompok, lalu membangun pemukiman dan
mengusahai tanah untuk dijadikan lahan pertanian. Perkembangan penduduk semakin
.
10 Ibid., Hal. 439. 11 Hasil wawancara dengan bapak Mangaru Sihombing tanggal 15 juli 2009 pukul 20.00 Wib.
Antonius P. Manalu : Perkembangan Agama Katolik Dan Pengaruhnya Terhadap Masyarakat Di Lintongnihuta (1937 – 1985), 2010.
lama semakin bertambah, sehingga hutan rimba yang dulunya ditumbuhi pepohonan
dan semak belukar digarap dan dijadikan tempat permukiman penduduk. Sesuai
dengan perkembangan waktu, pertambahan penduduk semakin banyak, sebagian
mereka berpencar dan membuka pemukiman baru.
Nama Lintongnihuta berasal dari dua kata yaitu Lintong artinya datar,
sedangkan huta artinya kampung. menurut informasi para tetua sebutan daerah
Lintongnihuta berarti daerah yang datar sehingga masyarakat mengatakan dengan
nama Lintongnihuta12
Setelah kemerdekaan Republik Indonesia, daerah Lintongnihuta menjadi
sebuah kecamatan di kabupaten Tapanuli Utara. Pusat pemerintahan kecamatan
Lintongnihuta dipusatkan di Pasar Baru. Kecamatan Lintongnihuta terdiri dari
beberapa desa desa yang langsung dipimpin oleh kepala desa. Desa desa di
kecamatan Lintongnihuta terdiri dari desa Silaban, desa Nagasaribu, desa Tapian
Nauli, desa Sitolu Bahal, desa Pearung, desa Paranginan, desa Parulohan, desa
Sibuntuon, desa Huta Soit, desa Pargaulan dan desa Pasar Baru
.
13
Umumnya masyarakat yang tinggal di daerah ini membentuk permukiman
sendiri yang disebut dengan Huta ( Kampung). Huta merupakan sebuah
pemerintahan kecil yang berdiri sendiri dan berdaulat penuh atas eksistensi hutanya
keluar maupun ke dalam. Biasanya huta dikelilingi oleh benteng benteng dan
.
12 Hasil wawancara dengan Maringan Sihombing tanggal 17 Juli 2009 pukul 20.00 Wib 13 Hasil wawancara dengan Camat Lintongnihuta bapak Maruhum Sihombing tanggal 7 Juli
2009 pukul 11.00 Wib.
Antonius P. Manalu : Perkembangan Agama Katolik Dan Pengaruhnya Terhadap Masyarakat Di Lintongnihuta (1937 – 1985), 2010.
ditanami pohon bambu dengan maksud untuk menahan musuh jika sewaktu waktu
musuh menyerang huta14
Tiap huta terikat akan peraturan yang ditetapkan oleh dewan huta disebut
dengan horja. Huta dipimpin oleh seorang pengetua Huta sebagai pendiri huta, dan
dialah yang memimpin aktivitas baik dalam pendirian rumah, upacara upacara adat
dan segala aktivitas upacara ritual yang terbatas pada kawasan hutanya. Tiap huta
mempunyai raja huta yang berhak menentukan segala yang berlaku di hutanya.
Peperangan antar huta sering terjadi terutama sewaktu masyarakatnya menganut
kepercayaan animisme dan kepercayaan dinamisme. Hal ini terjadi karena setiap huta
ingin memperluas wilayahnya sekaligus menunjukkan kekuatannya
.
15
Seiring dengan bertambahnya jumlah masyarakat, mereka kemudian
membentuk suatu tempat perkumpulan yaitu partukkoan
. Di samping itu
juga adanya persebaran marga marga Batak Toba pada masa leluhur yang pertama
selalu terjadi sengketa soal tanah, warisan, barang pusaka, dan lain lain, sehingga
masalahnya terus berlarut larut sampai kepada turunannya masing masing.
Masuknya agama Kristen mengakibatkan semakin jarangnya terjadi perang
antar huta. Hal ini tidak terlepas dari usaha usaha missionaris untuk memajukan
masyarakat dan mengubah cara berpikirnya melalui pendidikan ditambah dengan
ajaran agama Kristen yang menganjurkan agar setiap umat saling mengasihi.
16
14 Sitor Situmorang, Toba Na Sae, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1993., hal .42. 15 Ibid., hal.44.
. Partukkoan ini berguna
sebagai tempat pertemuan dalam membicarakan hal hal yang penting dan juga
melakukan berbagai aktivitas masyarakat seperti mendistribusikan kebutuhan hidup
Antonius P. Manalu : Perkembangan Agama Katolik Dan Pengaruhnya Terhadap Masyarakat Di Lintongnihuta (1937 – 1985), 2010.
sehari hari. Lambat laun partukkoan ini berubah fungsi menjadi tempat pertemuan
antara penjual dan pembeli dalam melakukan hubungan jual beli. Biasanya di
Lintongnihuta hari pekan dilakukan sekali dalam seminggu yaitu pada hari Senin.
2.4 Sistem Sosial Masyarakat
Masyarakat Batak Toba menganut sistem kekerabatan berdasarkan patrilineal,
yaitu berdasarkan garis keturunan ayah. Kelompok kekerabatan berdasarkan satu
ayah disebut dengan sa ama, sedangkan kelompok kekerabatan berdasarkan satu
nenek moyang disebut sa Ompu dan kelompok kekerabatan yang mencakup kedua
duanya (sa ama dan sa ompu) disebut dengan sa panganan17
Perasaan senasib dan sepenanggungan masih terdapat dalam masyarakat di
Lintongnihuta, tetapi hal itu terbatas pada aktivitas yang berkaitan dengan kematian,
kecelakaan, dan musibah. Penggunaan istilah kekerabatan ada dua macam yaitu
istilah untuk menyapa (term of address) dan istilah untuk menyebut seseorang,
.
Kelompok batih disebut ripe yang juga merupakan kelompok kekerabatan
terkecil. Istilah ripe dapat juga dipakai untuk menyebutkan keluarga luas Patrilokal.
Kelompok kekerabatan yang berdasarkan tempat tinggal ( teritorial) yang disebut
sapanjouan. Sa ompu dapat disebut klen kecil, tetapi istilah ini dipakai juga untuk
menyebutkan kerabat yang terikat dalam satu nenek moyang. Anak laki laki
mempunyai kedudukan yang penting dalam keluarga karena laki laki adalah penerus
silsilah atau tarombo sesuai dengan sistem kekerabatan patrilineal.
16 Ibid., hal.52. 17 T. M Sihombing, Filasafat Batak, Jakarta: Balai Pustaka, 2000., hal.11.
Antonius P. Manalu : Perkembangan Agama Katolik Dan Pengaruhnya Terhadap Masyarakat Di Lintongnihuta (1937 – 1985), 2010.
misalnya untuk menyebut nama panggilan seseorang ( term of reference)18
1. perbedaan tingkat umur dan status kawin
. Pada
umumnya ada tiga stratifikasi sosial dalam masyarakat Batak Toba dalam kehidupan
sehari hari yang didasarkan atas:
2. perbedaan tingkat keaslian
3. perbedaan pangkat dan jabatan.
Di kalangan masyarakat di daerah Lintongnihuta, prinsip yang pertama dan
kedua sangat kelihatan. Stratifikasi sosial berdasarkan perbedaan umur dan status
kawin kelihatan dalam pelaksanaan upacara adat serta urusan kekerabatan lainnya.
Dalam hal mengambul keputusan maka yang berhak adalah orangtua dan yang telah
kawin. Anak anak muda atau orang yang belum kawin hanya berfungsi sebagai
tenaga pelaksana (parhobas ). Demikian halnya stratifikasi sosial berdasarkan
keaslian, kelihatan perbedaan antara marga tanah dan marga boru. Marga tanah yang
dimaksud adalah marga marga yang pertama membuka permukiman di daerah ini,
sedangkan marga boru merupakan marga marga yang datang di daerah ini karena
perkawinan maupun karena pekerjaan. Hak untuk memiliki tanah menjadi pempinan
desa, menerima jambar19
18 Sitor Situmorang, Op-Cit., hal.54. 19 Jambar merupakan imbalan dalam bentuk daging maupun dalam bentuk uang yang
diberikan kepada anggota masyarakat yang hadir dalam pesta.
pada umumnya masih dipercayakan kepada marga tanah.
Jika marga boru ingin memiliki atau menjual sebidang tanah, maka harus terlebih
dahulu meminta izin kepada marga tanah.
Antonius P. Manalu : Perkembangan Agama Katolik Dan Pengaruhnya Terhadap Masyarakat Di Lintongnihuta (1937 – 1985), 2010.
Hubungan antara marga tanah dan marga boru di Lintongnihuta dipererat
dengan falsafah Dalihan Natolu. Pelaksanaan segala kegiatan terutama yang
berhubungan dengan acara pesta adat harus berpedoman dengan falsafah tersebut.
Pelaksana operasional adalah pihak boru, mereka ini harus rela berkorban
demikesuksesan pesta. Kelompok marga tanah bertindak sebagai hula hula. Upacara
adat dilaksanakan untuk mencapai tujuan yaitu: hagabeon ( banyak keturunan),
hamoraon ( banyak kekayaan), dan hasangapon (kemuliaan).
Dalihan Natolu (Tungku nan Tiga) bagi masyarakat Batak Toba merupakan
ciri khas dalam kesatuan hubungan kekeluargaan. Dalam dalihan Natolu terdapat tiga
unsur kekeluargaan yang saling berhubungan yaitu:
2. Hula hula ( keluarga pemberi istri)
3. Dongan sabutuha ( teman semarga)
4. Boru ( keluarga dari penerima istri).
Unsur Hula hula dalam masyarakat Batak Toba harus selalu dihormati, karena
ada anggapan bahwa hula hula adalah Debata na niida (allah yang nampak) sehingga
dalam perbuatan dan tindakan harus hati hati. Pihak hula hula selalu memberikan
berkat dan nasehat kepada pihak paranak (penerima istri) dengan memberikan ulos.
Unsur dongan sabutuha yaitu mereka yang berasal dari satu marga yang satu
penanggungan, satu perasaan dalam memikul beban secara bersama sama terutama
dalam upacara adat. Dalam kehidupan sehari hari namardongan tubu harus saling
menjaga dan jangan sampai tersinggung karena dongan Sabutuha teman untuk
Antonius P. Manalu : Perkembangan Agama Katolik Dan Pengaruhnya Terhadap Masyarakat Di Lintongnihuta (1937 – 1985), 2010.
berdiskusi dalam kegiatan sehari hari. Sedangkan unsur Boru yaitu kelompok yang
terdiri dari penerima istri20
adalah dalam upacara adat, baik dalam upacara adat perkawinan maupun upacara adat
orang meninggal
.
Aktivitas dalihan Natolu yang sangat nampak dalam masyarakat Batak Toba
21
Dalihan Natolu memegang peranan penting dalam kehidupan sosial
masyarakat Batak Toba dan tidak dapat dipisahkan dalam kehidupan sehari hari
sejak lahir hingga akhir hayatnya
. Ketiga unsur Dalihan Natolu mempunyai peran masing masing.
Baik upacara adat perkawinan maupum upacara orang meninggal, pihak Hula hula
merupakan pemberi Umpasa (nasehat) dan berkah kepada mempelai dan keluarganya
dengan memberikan ulos sebagai simbol, dan dongan Sabutaha sebagai Paniroi
(pembimbing ) dan bertindak dalam mengatur jalannya pesta, sedangkan Boru disebut
sebagai Parhobas (pelayan) yang mengatur segala perlengkapan perlengkapan
upacara pesta. Demikian juga halnya dengan upacara adat orang meninggal.
22
20 Hasil wawancara dengan bapak Ramidin Sirait tanggal 19 Juli 2009 pukul 13.00 Wib. 21 T.M Sihombing, Op-Cit., hal.18. 22 Ibid., hal.24.
. Dalihan Natolu adalah falsafah hidup dan
pundasi yang kukuh dalanm hubungan sosial dan dalam interaksi hubungan biasa
maupun hubungan kekeluargaan. Berdasarkan Dalihan Natolu orang orang Batak
Toba dapat dengan segera mengetahui status, fungsi dan sikap sosialnya.
Dalihan Natolu berhubungan juga dengan kepercayaan. Simbol simbol konsep
kepercayaan masyarakat Batak Toba disesuaikan dengan Dalihan Natolu. Masyarakat
Antonius P. Manalu : Perkembangan Agama Katolik Dan Pengaruhnya Terhadap Masyarakat Di Lintongnihuta (1937 – 1985), 2010.
Batak Toba mempercayai Debata Mulajadi Nabolon sebagai Pencipta (yang Maha
Kuasa) yang disebut juga dengan Debata Natolu dengan wujud pancaran kuasanya
meliputi kebijakan, kebenaran dan kekuatan23
23 Ibid., hal.41.
. Wujud pancaran kuasa Debata
Mulajadi Nabolon diwujudkan dalam kehidupan masyarakat Batak Toba yaitu hula
hula sebagai wujud kebijakan, Dongan Sabutuha sebagai wujud kebenaran, boru
sebagai wujud kekuatan. Semua yang berhubungan dengan kehidupan masyarakat
Batak Toba akan terlaksana dengan baik apabila berlangsung sesuai dengan Dalihan
Natolu.
Antonius P. Manalu : Perkembangan Agama Katolik Dan Pengaruhnya Terhadap Masyarakat Di Lintongnihuta (1937 – 1985), 2010.
BAB III
TUMBUH DAN BERKEMBANGNYA AGAMA KATOLIK
3.1 Kepercayaan Masyarakat Lintongnihuta Sebelum Masuknya Ajaran Katolik
Sebelum agama Kristen masuk di Lintongnihuta, masyarakat Lintongnihuta
telah memiliki kepercayaan tradisional yaitu kepercayaan kepada roh orang
meninggal, dan kepercayaan terhadap pohon-pohon besar, dan tempat tempat yang
keramat. Di samping itu, masyarakat Lintongnihuta juga percaya kepada Debata
Mulajadi Nabolon dengan kemuliaannya di banua atas ( langit).
Kepercayaan masyarakat kepada Debata Mulajadi Nabolon dengan wujud
pancaran kekuasaannya adalah Debata Natolu yaitu Batara Guru dengan lambang
warna hitam yang menggambarkan hahomion ( kebijaksanaan), Debata Sori dengan
lambang warna putih yang menggambarkan habonaran ( kesucian), dan Debata
Balabulan dengan lambang warna merah yang menggambarkan hagogoon (
kekuatan). Lambang Debata Natolu merupakan wujud pancaran kuasa Mulajadi
Nabolon yang dilambangkan dengan tiga warna hitam, putih, merah. Sebagai
penghubung dari ketiga warna ini disebut dengan bonang Manalu24
Kepercayaan kepada roh orang meninggal disebut dengan istilah sipele begu.
Roh orang meninggal atau nenek moyang harus dihormati dengan memberikan
makanan dalam bentuk sesajen. Upacara pemberian makanan kepada arwah orang
meninggal dilakukan pada acara-acara tertentu berdasarkan tata cara yang dianggap
suci untuk melakukan penyembahan
.
25
24 DJ Gultom Raja Marpodang, Op-Cit., hal.372. 25 Ismail Manalu, Mengenal Batak, Medan: CV. Kiara, 1985, hal.4.
.
Antonius P. Manalu : Perkembangan Agama Katolik Dan Pengaruhnya Terhadap Masyarakat Di Lintongnihuta (1937 – 1985), 2010.
Dalam acara menghormati roh orang meninggal, dilakukan dengan
memberikan sesajen dalam bentuk napinadar ( sajian makanan yang terdiri dari nasi
yang diwarnai dengan kunyit dan daging ayam yang dimasak dengan pedas) dan
naniura ( sajian makanan yang terdiri dari nasi yang diwarnai dengan kunyit dan ikan
mas yang dimasak tanpa menggunakan api, tetapi dengan menggunakan asam).
Sesajen yang sudah dipersiapkan diletakkan dalam lage tiar ( tikar yang terbuat dari
daun pandan berukuran kecil) yang diletakkan diatas gobuk ( tempat penyimpanan
padi). Sesajen tersebut dibiarkan dalam beberapa menit, sesudah itu makanan diambil
dan dibagi bagikan kepada seluruh anggota keluarga. Pemberian makanan kepada roh
orang meninggal dipercaya akan mendatangkan berkat dan perlindungan bagi seluruh
anggota keluarga.
Pemberian sesajen ini dilakukan pada acara ritual seperti mangongkal holi/
saring saring ( membingkan tulang belulang kerabat keluarga yang sudah lama
meninggal) untuk dimasukkan ke dalam tugu26
Kepercayaan masyarakat Lintongnihuta sebelum masuknya ajaran Kristen di
Lintongnihuta terhadap pohon pohon besar sangatlah kuat. Masyarakat mempercayai
bahwa pohon besar merupakan tempat tinggal roh roh orang meninggal dan nenek
moyang. Pohon besar yang dianggap sakral ini disebut dengan hau jabi jabi (pohon
, menjelang musim tanam padi dan
musim panen padi, jiarah ke kuburan dan kepercayaan kepercayaan kepada roh yang
dianggap sakral oleh masyarakat.
26 Tugu merupakan kuburan yang dibuat dari semen dan menyerupai bentuk rumah Batak
Toba.
Antonius P. Manalu : Perkembangan Agama Katolik Dan Pengaruhnya Terhadap Masyarakat Di Lintongnihuta (1937 – 1985), 2010.
beringin). Sebelum melakukan kegiatan pengolahan sawah untuk menanam padi,
masyarakat akan membuat suatu acara ritual sebagai isyarat meminta izin kepada roh
roh yang bertempat tinggal di hau jabi-jabi27
Menurut pandangan masyarakat Batak Toba, dunia ini terbagi atas tiga bagian
yaitu Banua ginjang yang disebut dengan benua atas, merupakan tempat kuasa
Mulajadi Nabolon yang dihuni oleh orang-orang suci, sedangkan banua Tonga
merupakan tempat berdiam makhuk-makhluk ciptaan Mulajadi Nabolon termasuk
manusia, dan banua holing yang disebut dengan benua bawah merupakan tempat
tinggal dari roh-roh jahat yang selama hidupnya mengganggu kehidupan manusia
. Upacara ini biasanya dilakukan oleh
satu kampung yang dipimpin oleh natua tua ni huta ( pengetua kampung).
28
Pandangan masyarakat Batak Toba terhadap kematian merupakan sebuah
ketakutan manusia. Penyebab kematian manusia adalah oleh begu
.
29
untuk menghubungkan parsimangotan (arwah) orang meninggal meminta petunjuk
agar begu tidak mengganggu hidup manusia. Setiap datu yang dipanggil untuk
menghubungkan manusia dengan roh nenek moyangnya, selalu membuat interpretasi
sendiri akan hubungan keluarga dengan roh nenek moyang tersebut. Agar begu tidak
yang dapat
menghantui hidup manusia. Begu sering mengganggu kehidupan manusia, bila
manusia selama hidupnya tidak bagus di dunia, begitu jugalah roh rohnya akan selalu
mengganggu manusia setelah meninggal. Begu yang sering mengganggu manusia
merupakan roh roh manusia yang sering berbuat jahat sewaktu hidup.
Untuk menghindari gangguan dari begu ini manusia memanggil datu (dukun)
27 Ibid., hal .8. 28 DJ Marpodang, Op-cit, hal.435.
Antonius P. Manalu : Perkembangan Agama Katolik Dan Pengaruhnya Terhadap Masyarakat Di Lintongnihuta (1937 – 1985), 2010.
mengganggu keluarga, diberikanlah sesajen dalam bentuk napinadar ataupun naniura
untuk diberikan kepada roh roh jahat setelah dimanterai oleh datu.
Untuk menjaga dan memelihara hubungan antara manusia dengan roh-roh
nenek moyang, tiap-tiap individu dalam masyarakat Batak Toba harus melakukan
berbagai aturan kepercayaan antara lain: setiap anak yang baru lahir dan sesudah
berumur tujuh hari, bayi harus dibawa keluarga martutu aek. Martutu aek adalah
acara kepercayaan, memperkenalkan bayi pada ciptaan Mulajadi Nabolon dan
meminta agar bayi itu disucikannya, setelah itu bayi dibawa maronan yaitu sebuah
acara untuk kepercayaan memperkenalkan pada kehidupan dunia atau kehidupan
manusia30
Setelah anak dewasa dibuat acara mangalontik ipon yaitu meratakan giginya
sebagai pertanda bahwa ia telah dewasa. Dengan tanda itu maka ia akan
bertanggungjawab akan sikap sopan santun bagaimana bersikap perilaku seorang
dewasa. Jika si anak akan kawin, ruhut-ruhut (aturan) kepercayaan dan adat harus
dipenuhinya, dan acara perkawinan itu disebut pasu pasu raja. Acara perkawinan
pasu pasu raja inilah sebagai pertanda bahwa perkawinan itu sah berdasarkan
kepercayaan dan adat. Setelah uzur dan mendekati ajal, maka turunannya akan
memberikan sulang-sulang yang disebut juga pasahat sipanganon natabo. Pasahat
sipanganon natabo kepada orangtua merupakan pemberian makanan yang lezat
kepada orangtua sebelum ajalnya. Pada saat acara manulangi itulah orangtua
.
29 Begu artinya hantu 30 Ibid., hal. 25.
Antonius P. Manalu : Perkembangan Agama Katolik Dan Pengaruhnya Terhadap Masyarakat Di Lintongnihuta (1937 – 1985), 2010.
memberkati anak anaknya, menggariskan penggunaan warisan, memberi nasehat dan
petunjuk perhadap anak anaknya.
3.2 Proses Masuknya Agama Katolik
3.2.1 Agama Katolik di Sumatera Utara
Sebelum membicarakan proses masuknya agama Katolik di Lintongnihuta,
terlebih dahulu dijelaskan perkembangan agama Katolik di Sumatera Utara.
Perkembangan agama Katolik di Sumatera Utara, Tapanuli, dan Lintongnihuta
merupakan rangkaian dari peristiwa peristiwa pergolakan yang terjadi di Eropa sejak
abad ke- XVI. Tahun 1517 terjadi pergolakan besar dalam agama Katolik di Eropa.
Hal ini menimbulkan perpecahan dengan berpisahnya “kelompok” yang menamakan
dirinya Protestan di bawah pimpinan Martin Luther.31
Tahun 1546 agama Katolik telah berkembang di Maluku dibawa oleh
missionaris-missionaris Portugis. Sementara itu misi Kristen Protestan juga
mengembangkan agama Kristen Protestan di sebelah Barat Indonesia
Protestan yang memisahkan
diri dari Katolik berkembang pesat di Eropah sampai Nusantara dan seterusnya ke
Tanah Batak. Demikian halnya dengan perkembangan agama Katolik juga sampai ke
Nusantara dan seterusnya sampai ke Tanah Batak.
32
31 Arnoldus, Op-Cit., Hal .52. 32 Ibid., Hal .55.
. Di Sumatera
Utara sebenarnya usaha usaha dari pihak Katolik sudah lama untuk mengembangkan
agama Katolik. Usaha perkembangan agama Katolik pertama dipelopori oleh Pastor
Caspar de Hesselle, namun ia meninggal dunia pada tanggal 31 Agustus 1954. Oleh
Antonius P. Manalu : Perkembangan Agama Katolik Dan Pengaruhnya Terhadap Masyarakat Di Lintongnihuta (1937 – 1985), 2010.
sebab itu misi agama Katolik yang pertama mengalami kegagalan dan berakhirlah
usaha pertama misi Katolik di Sumatera Utara, khususnya Tapanuli.
Sejak pertengahan abad ke- 19 (tahun 1861) para missionaris Protestan dari
Rheinische Missiongeselschaft ( Bremen Muppertal) telah menjalankan misi mereka
di kalangan Batak. Usaha ini baru menampakkan hasil nyata sesudah kurun waktu
sepuluh tahun dengan tampilnya missionaris Nomensen, yang membuka lembaran
baru bagi pengkristenan orang Batak Toba. Pewartaan ini tampak pada waktu tahun
1870 di lembah Silindung dengan titik beratnya di Tarutung, Tapanuli Utara.
Selanjutnya pengkristenan diperluas wilayah-wilayah di sekitar Tapanuli Utara
termasuk Lintongnihuta, Balige dan daerah Simalungun. Perkembangan zending
berhasil membentuk masyarakat Kristen Batak ( Hatopan Kristen Batak).
Keberhasilan penyebaran agama Protestan tidak diikuti secara mudah oleh
agama Katolik dikarenakan penyebaran agama Katolik sangat terikat dengan
peraturan pemerintah Hindia Belanda yang tertuang dalam perundang undangan pasal
123( kemudian menjadi pasal 177) yang melarang adanya zending berganda yaitu
aktifitas zending dan misi oleh berbagai gereja yang sama. Alasannya supaya
ketertiban dan keamanan tidak terganggu. Peraturan pemerintah kolonial ini
mengakibatkan penyebaran agama Katolik di tengah tengah orang Batak tersendat.
Tahun 1870-an orang Katolik Eropa di pantai Sumatera Timur dikunjungi
oleh Pastor Jesuit dari Sungai selan (Bangka). Antara tahun 1878 dan tahun 1884
Pastor Wenneecker, SJ mulai belajar bahasa Batak dan Keling (orang India yang
Antonius P. Manalu : Perkembangan Agama Katolik Dan Pengaruhnya Terhadap Masyarakat Di Lintongnihuta (1937 – 1985), 2010.
bekerja di perkebunan). Sejak itu Medan menjadi stasi33 tetap dan dikunjungi secar
berkala. Tidak lama kemudian, pastor Jesuit dipanggil ke Jakarta. Tahun 1913, saat
berada di Jakarta, pastor Wennecker, SJ memberi pelajaran agama Katolik kepada
beberapa orang Batak. Demikian juga pada beberapa siswa Batak yang sedang belajar
di sekolah guru di Muntilan-Jawa Tengah dengan harapan jika mereka kembali ke
Sumatera, mereka akan menjadi tokoh dan pewarta ajaran Katolik34
Pada awal abad ke-20 seluruh kepulauan Indonesia yang masih dibawah
kerajaan Belanda, dipercayakan kepada Ordo Serikat Jesuit untuk reksa pastoral
.
35.
Seluruh Indonesia berada dibawah vikariat Apostolik Batavia, yang sekarang disebut
Jakarta. Tahun 1905 pulau Kalimantan kepada OFMcap dan pada tahun 1911 pulau
Sumatera dengan pulau-pulau sekitarnya diserahkan juga kepada OFMCap. Seluruh
Sumatera satu prefektur Apostolik di bawah Mgr. Liberatus Cluts OFMCap. Bersama
dengan uskup ini tibalah di Sumatera pada tanggal 13 juni 1912 kapusin kapusin yang
pertama: Matheus de Wolf, CamillusBuil, Augustinus Huijbergts, dan Remigius van
Hoof36
Warisan pertama yang diterima dari pastor pastor Jesuit ialah sekitar 4000
orang yang beriman, hampir semua orang Eropah. Umat tersebut tercerai berai
diseluruh pulau, di kota- kota, dan desa desa menurut tempat pekerjaan mereka.
Banyak di antara pegawai kerajaan Belanda, sebagian administrator perkebunan
karet, kelapa, teh, dan tembakau dan asisten-asisten kebun. Sebagian lagi para
.
33 Stasi merupakan unit unit gereja Katolik di daerah pedalaman 34 AGP Datubara, Omnibus Omnia, Medan, 2008., hal .4. 35 Reksa pastoral merupakan wilayah pengembangan pastoran. 36 Crispinianus Theeuwes OFM Cap, Dkk, Cita dan Cerita Kapusin, Medan: 1990., hal .9.
Antonius P. Manalu : Perkembangan Agama Katolik Dan Pengaruhnya Terhadap Masyarakat Di Lintongnihuta (1937 – 1985), 2010.
pedagang dan pengusaha di pelabuhan-pelabuhan, dan ada juga termasuk dinas
militer kerajaan37
Sejak missionaris Kapusin masuk ke Sumatera kelompok kelompok orang
batak telah menyatakan keinginannya untuk masuk agama Katolik. Banyak surat
dikirimkan kepada pastor dan juga utusan dari berbagai daerah, agar perluasan agama
Katolik dilakikan di Tanah Batak. Kepada Gubernur Jenderal di Batavia, orang-orang
Batak mengirimkan rekes supaya para missionaris diizinkan masuk ke Tanah Batak.
Tetapi ada kesulitan untuk masuk daerah Batak karena ada larangan dari pemerintah
Hindia Belanda yang tertuang dalam buku hukum pasal 123 ( pasal 177) yang
menyatakan bahwa guru guru Kristen, imam imam, dan pendeta pendeta bila hendak
masuk suatu daerah, untuk melaksanakan tugas mereka, harus lebih dulu mendapat
izin dari Gubernur Jenderal
.
38
Menghadapi tantangan tantangan ini, para missionaris tak henti hentinya
berjuang. Mgr. Brans sendiri berusaha sekuat tenaga untuk memperoleh izin agar para
missionaries Katolik dapat masuk ke Tanah Batak, khususnya Tapanuli. Oleh karena
itu dengan sengaja stasi-stasi di pinggiran Tanah Batak seperti di daerah Laras,
. Kalau tugas mereka dianggap mengganggu keamanan
suatu daerah maka izin masuk mereka dapat dicabut oleh Gubernur Jenderal.
Terutama dobel-zending dilarang ( dua misi sekaligus, yaitu misi Katolik dan
Zending Protestan pada waktu yang sama). Karena sejak tahun 1860 Zending
Protestan sudah aktif di Tanah Batak, maka Gubernur Jenderal tidak lagi memberi
izin kepada misi Katolik untuk masuk Tanah Batak.
37 Ibid., hal .11. 38 AGP Datubara, Op-cit., hal .20.
Antonius P. Manalu : Perkembangan Agama Katolik Dan Pengaruhnya Terhadap Masyarakat Di Lintongnihuta (1937 – 1985), 2010.
Simalungun didirikan walaupun umat hampir tidak ada. Untuk mempengaruhi orang
Batak Toba datang, para missionaris mendekati orang Batak Toba, seperti Sibolga.
Menunggu izin masuk ke Tapanuli, para missionaris secara khusus
memperhatikan orang Batak di kota. Pastor Marianus Spanjers ditugasi untuk
mengurus segala sesuatu yang berhubungan dengan misi di Tanah Batak. Setiap hari
Minggu, missa untuk orang orang Batak dilakukan di gereja orang Eropa.
Tantangan dari pihak Protestan pun muncul, Aurelius Kerkers dari Siantar
memberitahukan ada perlawanan dan hasutan dari pihak pemimpin pemimpin
Protestan. Rintangan ini dihadapi para missionaris dengan menerbitkan buku buku
kecil yang diedarkan untuk mempertahankan agama Katolik.,beberapadiantaranya:
Hoeria ni Jesoes Kristoes ima Hoeria Katholiek, Sakramen Panopotion di dosa
dibagasan Hoeria Katholiek, Pelean Misa na badia dibagasan Hoeria Katholiek39
39 Crispinianus Theeuwes OFM Cap, Op-Cit., hal .23.
.
Mgr. Brans bersama para missionaris berusaha keras untuk menembus
Tapanuli. Para missionaris juga mengusahakan perkembangan stasi dan pusat
pengabaran di kota maupun di pedalaman yang biasanya melayani orang Tionghoa
dan orang Eropa. Walaupun belum maksimal, tetapi jumlah umat yang terus
bertambah, para missionaris tetap giat dengan penuh optimis melakukan penyebaran
agama Katolik.
Tahun 1934 Mgr. Brans mendapatkan izin dari pemerintah Kolonial Belanda
masuk ke daerah Tapanuli untuk memulai misi pada orang Batak Toba. Para
missionaris yang sudah lama menunggu segera menyebar ke penjuru Tanah Batak.
Antonius P. Manalu : Perkembangan Agama Katolik Dan Pengaruhnya Terhadap Masyarakat Di Lintongnihuta (1937 – 1985), 2010.
Sejak tahun 1926 banyak orang Batak Toba pindah ke Medan, masuk gereja
Katolik dan menyekolahkan anak anak mereka di sekolah Katolik yang dikelola
langsung oleh biarawan dan biarawati. Sekolah ini sangat menarik untuk orang Batak
karena terbukti sangat berkualitas. Melihat pengabdian biarawan biarawati serta
teladan keramah tamahan para pastor Kapusin, permintaan orang batak untuk menjadi
Katolik dan mendirikan sekolah di daerah mereka semakin banyak. Pada awalnya
pastor Kapusin ragu karena adanya larangan kolonial, namun karena permintaan
terus mendesak, maka pastor Kapusin mengurus izin ke Jakarta agar dapat berkarya
di Tapanuli. Tahun 1923, misi Katolik diperbolehkan di Sibolga dan sekitarnya.
Kemudian izin diperluas ke daerah Tapanuli tahun 1933, dan di Pulau Nias tahun
1939. Kemudian ke beberapa tempat diutus seorang missionaris tetap, antara lain di
daerah Batak- Simalungun, yakni Pematang Siantar, dan Saribu Dolok tahun 1938.
demikian juga ke daerah Dairi, Sidikalang pada tahun 1938.
Pusat misi di daerah Tapanuli berada di Balige. Dari Balige penyebaran
agama Katolik disebarkan ke daerah Lintongnihuta dengan mendirikan stasi tahun
1937. Tahap pertama yang ekstensif berlangsung dengan melayani tempat tempat
manapun yang dapat dicapai, sehingga umat umat Katolik terdapat diberbagai daerah
pedesaan40
Stasi Batak pertama didirikan dekat Siantar yaitu Laras di perkebunan pada
tahun 1931. Ajaran diperkenalkan di Tanah Batak sehingga permohonan masuk
agama Katolik semakin banyak. Untuk menampung permintaan ini, Prefekt Apostolik
.
40 AGP Datubara, Op-Cit., hal .29.
Antonius P. Manalu : Perkembangan Agama Katolik Dan Pengaruhnya Terhadap Masyarakat Di Lintongnihuta (1937 – 1985), 2010.
mengangkat Kenan Hutabarat menjadi Katekis41
Adat istiadat Batak Toba yang sangat kokoh kemudian guncang dengan
datangnya Nonmensen dengan agama Protestan dan tentara Belanda. Seluruh bangsa
mengalami keguncangan ketika tentara Belanda berhasil membunuh
Sisingamangaraja XII. Masa itu mereka yakin raja dan daerah Batak Toba tidak
dengan gaji tetap. Katekis inilah
mengunjungi umat yang ada di Siantar dan para simpatisan sambil mengajarkan
agama Katolik.
Dengan semangat menggelora Mgr. Brans mulai mendirikan sekolah sekolah.
Sekolah dibangun dalam ukuran besar dan megah, terbuat dari beton, lantainya
menggunakan tegel, dan atapnya dari genteng. Pada zaman Kolonial, hanya gedung
yang bermutu yang menerima subsidi dari Roma dan Belanda. Kontrol dari
pemerintah dan sponsor selalu ada, kemewahan gedung ini juga menjadi salah satu
daya tarik dan pamer Katolik menghadapi kelompok lain yang sudah lebih dulu
membangun.
Masyarakat Batak Toba merupakan suku bangsa yang selalu menutup diri
dengan dunia luar, tersendiri dan tidak mempunyai hubungan dengan suku suku di
sekitarnya. Tersembunyi di antara lembah, bukit, dan bukit barisan sehingga
pengaruh agama dan bangsa lain sangat sulit untuk menembus suku ini. Agama Islam
yang diperkenalkan di seluruh Indonesia pada abad ke 13 dan abad ke 14 hampir
tidak berhasil memasuki daerah Tanah batak Toba.
41 Katekis merupakan anggota jemaat yang bertugas untuk membantu pastor dalam melayani
jemaat gereja.
Antonius P. Manalu : Perkembangan Agama Katolik Dan Pengaruhnya Terhadap Masyarakat Di Lintongnihuta (1937 – 1985), 2010.
terkalahkan42. Setelah kematian Sisingamangaraja XII, terbukalah mata mereka,
ternyata Ada kuasa lain yang lebih kuat, agama Kristen dan kolonisasi, yang ternyata
lebih maju, lebih modern dari mereka. Suku Bangsa ini mulai tertarik ingin
mengalami dan meraih kemajuan yang baru. Banyak orang Batak Toba tidak tahan
menunggu sampai kemajuan ini sampai ke pedalaman. Mereka mulai mencarinya
sendiri. Setiap marga, kampung, setiap pemuda ingin memiliki kemajuan. Maka para
remaja mulai keluar untuk merantau. Demikian juga bapak bapak muda keluar dari
kampungnya untuk mencari nafkah di dunia luar. Jika para perantau ini kembali dari
waktu ke waktu ke kampung halamannya, dan hikayatnya tentang pengalamannya di
perantauan menarik lebih banyak orang lain keluar mengejar kemajuan itu43
42 Lothar Schreiner, Adat dan Injil, Jakarta: PT. BPK Gunung Mulia, 1972., hal .49. 43 Ibid., hal.52.
.
Begitu kesempatan bersekolah terbuka, orangtua mengirim anaknya untuk
belajar pengetahuan baru, agar lebih maju dan mendapat kedudukan baik. Pada
gilirannya anak anak yang maju ini akan menolong adik adiknya dan keluarganya
untuk turut menikmati kemajuan itu.
Sifat orang Batak memang esoteris, yaitu melihat suatu yang baru dan
menarik, dia tidak tinggal kagum, tetapi langsung ingin memiliki sendiri, melakukan
hal yang sama, atau mampu memperbaiki dan menyempurnakannya. Pepatah Batak
Tobam menyatakan bahwa “ gokhon sipaimaon, jou jou silausan” artinya undangan
dinanti, panggilan untuk ditanggapi dalam agama baru.
Antonius P. Manalu : Perkembangan Agama Katolik Dan Pengaruhnya Terhadap Masyarakat Di Lintongnihuta (1937 – 1985), 2010.
3.2.2 Masuknya agama Katolik di Tapanuli
Tanggal 12 Maret 1929 pastor paroki pertama diutus ke Sibolga, pastor
Chrysologus Timmermans. Kemudian disusul oleh suster suster dari Tilburg tanggal
21 Maret 1930 yang sebelumnya menetap di Padang. Tanggal 3 Juli 1931 pastor
Aurelius Kerkers memulai karyanya di Pematang Siantar. Sejak pastor Auelius
Kerkers sampai di Pematang Siantar, banyak orang Batak Toba yang bertamu ke
rumah pastor44
Perkembangan agama Katolik di Sibolga dan Pematang Siantar membuka
kesempatan bagi missionaris untuk mengembangkan agama Katolik di daerah Toba.
Pekerjaan missionaris tersebut dibantu oleh orang orang Batak Toba yang
. Karena pastor tidak dapat memenuhi undangan mereka untuk datang
ke kampung kampung, maka mereka dilayani dengan cara membagi bagikan brosur.
Sejak diajukannya permohonan untuk mendapatkan izin bagi karya misi,
maka pada tanggal 17 Ferbuari 1933 menghasilkan jawaban positif, yakni
mengkristenkan orang Batak Toba yang banyak menetap di Tapanuli.dengan
dihapuskannya penerapan Pasal 123, zendeling Protestan Jerman mendapat lawan dan
saingan dalam pengkristenan masyarakat Batak Toba di Tapanuli.
Balige menjadi pusat penyebaran agama katolik di wilayah Toba, Samosir,
Dataran Tinggi Toba dan Habinsaran. Alasan missionaris memilih Balige sebagai
pusat misi Katolik karena Balige berada ditengah tengah daerah Batak Toba. Para
missionaris menyebar ke daerah penjuru Tapanuli dengan pesan dari Mgr. Brans “
Pergilah, carilah kontak dengan masyarakat, entah waktu siang ataupun malam
hari”.
Antonius P. Manalu : Perkembangan Agama Katolik Dan Pengaruhnya Terhadap Masyarakat Di Lintongnihuta (1937 – 1985), 2010.
mendukung pengembangan agama Katolik di Tapanuli. Khususnya di Tapanuli Utara
penyebaran agama Katolik dibantu oleh Kenan Huta Barat dan Polin Siahaan yang
berasal dari Hutabolon Balige.
Tanggal 5 Desember 1934, Pastor Sybrandus van Rossum yang berusia 31
tahun masuk ke daerah Balige. Kedatangan pastor tersebut disambut oleh masyarakat
setempat dengan upacara adat yang mengesankan45
Setelah satu tahun pastor Syrbandus tinggal di Balige, sebanyak 50 orang
masyarakat Balige masuk agama Katolik, dan sudah ada beberapa stasi. Satu hal
yang menarik adalah penduduk desa Lumban Pea masuk sekaligus. Raja ni Huta desa
. Hari pertamanya di Balige, dia
menyewa rumah kecil yang terletak di pinggiran Danau Toba. Koper yang dibawanya
berfungsi sebagai meja dan kursi pada waktu tertentu. Dalam menjalankan tugasnya
sebagai Pastor, Sybrandrus van Rossum dibantu oleh Josef Bonafasius Panggabean
yang telah menganut agama Katolik sewaktu masih berada di Kalimantan Barat.
Pastor Sybrandrus van Rossum memiliki sifat yang memungkinkannya dapat
menghadapi tantangan yang berat. Sifat optimis dan humoris membuat masyarakat
Balige merasa tertarik pada pastor tersebut. Pada awalnya Pastor tersebut tidak
memiliki relasi di daerah ini karena hampir seluruh masyarakat sudah dikuasai oleh
Missions- Gesellschaft atau Huria Batak. Pastor tersebut sudah menguasai bahasa
Batak Toba, dia dengan mudah dapat berdialog dengan orang orang di jalan ataupun
di kedai sehingga penduduk setempat banyak simpatik dan kagum. Hal ini membuat
pengetua adat dan masyarakat tertarik untuk masuk jadi penganut agama Katolik.
44 AGP Datubara, Op-Cit., hal .29. 45 R. Kurris SJ, Pelangi di Bukit Barisan, Yogyakarta: Kanisius, 2006., hal .36.
Antonius P. Manalu : Perkembangan Agama Katolik Dan Pengaruhnya Terhadap Masyarakat Di Lintongnihuta (1937 – 1985), 2010.
melarang warganya masuk agama Protestan dengan alasan ada pesan dari nenek
moyang mereka bahwa mereka harus menantikan utusan dari Raja Rum sehingga
orang dewasa dan 25 orang anak anak desa Lumban Pea langsung belajar katekismus
dari pastor.
Muncul keinginan Pastor Sybrandus untuk mendirikan sekolah dan rumah
pastoran, namun dia kesulitan untuk mendapatkan lahan. Atas bantuan Guru Polin
Siahaan, mereka mendapatkan sebidang tanah yang dapat digunakan untuk
pembangunan gereja, pastoran, dan sekolah. Pada saat yang bersamaan Raja Marinus
Simanjuntak menjual gedung Maju Bioskop, sehingga pastor membeli gedung
tersebut dan kemudian direnovasi untuk menjadi gereja Katolik.
Setelah agama Katolik berkembang di Balige, missionaris melakukan
pengembangan agama ke daerah Samosir dan Tapanuli. Dalam melakukan
penyebaran agama Katolik, mereka mengirim beberapa orang pastor muda yang baru
saja dilantik yaitu: pastor Diego van Biggelaar dan pastor Benyamin Dijksta untuk
daerah Samosir pada tahun 1936, pastor Elpidius van Duijnhoven untuk daerah
Saribu Dolok pada tahun 1936, pastor Marianus van den Acker dan pastor Lukas
Rendres untuk daerah Lintongnihuta pada tahun 1937, pastor oscar Nuijten di daerah
Pakkat pada tahun 1940, dan pastor Nopemucemus Hamers di daerah Sidikalang pada
tahun 1938, dan pastor Beatus Jenniskens pada tahun 1938.
Antonius P. Manalu : Perkembangan Agama Katolik Dan Pengaruhnya Terhadap Masyarakat Di Lintongnihuta (1937 – 1985), 2010.
3.2.3 Masuknya Agama Katolik di Lintongnihuta
Pada awal masuknya agama Katolik di Tapanuli pada umumnya dan di
Lintongnihuta pada khususnya, ada perlakuan tidak adil oleh Belanda terhadap
perkembangan agama Katolik. Pada saat itu pemerintah Hindia Belanda pro terhadap
agama Protestan dan kontra terhadap agama Katolik. Akibatnya proses dan
perkembangan agama Protestan jauh lebih pesat daripada agama Katolik di daerah
Lintongnihuta maupun di pedalaman Tapanuli.
Agama Katolik di daerah Lintongnihuta disebarkan oleh missionaris Belanda,
Pastor Marianus Van den Acker pada bulan September 1937. Setelah menguasai
bahasa Batak Toba, dia menyebarkan agama Katolik ke wilayah yang berada di
daerah Lintongnihuta, pertengahan antara Siborong borong dengan Dolok Sanggul.
Karena jarak Balige dengan Lintongnihuta sekitar 45 km, sehingga pastor Sybrandrus
van Rossum menugaskan pastor Marianus Van den Acker untuk membuka stasi
sendiri di Lintongnihuta.
Sebelum agama Katolik masuk di Lintongnihuta, sebagian masyarakat di
Lintongnihuta telah menganut agama agama Kristen Protestan yaitu Huria Kristen
Batak (HKB) yang disebarkan oleh Zending Protestan. Sebagian lagi masyarakat
Lintongnihuta masih menganut kepercayaan tradisional seperti Debata Mulajadi
Nabolon dan kepercayaan Sipelebegu. Masyarakat yang masih menganut kepercayaan
tradisional inilah yang lebih banyak dipengaruhi agama Katolik di Lintongnihuta.
Ketika pastor Marianus memasuki daerah ini. Dia mengalami kesulitan karena daerah
karena pengaruh agama Protestan sudah lebih dominan.
Antonius P. Manalu : Perkembangan Agama Katolik Dan Pengaruhnya Terhadap Masyarakat Di Lintongnihuta (1937 – 1985), 2010.
Setelah pastor Marianus selesai menjalani pendidikan novisiat di Den Bosch,
Belanda, beliau melanjutkan studi filsafat dan teologia dan ditahbiskan menjadi Iman
Kapusinpada tanggal 21 september 193546
46 Ibid., hal .76.
. setelah Pastor Marianus ditahbiskan
sebagai imam, dia diutus menjadi missionaris ke Tapanuli. Bersama lima teman satu
kelasnya, pastor Marianus Van De Acker di minta untuk mempersiapkan diri untuk
pergi ke Tapanuli. Satu bulan lamanya mereka di perjalanan menuju Sumatera dan
tanggal 1 November 1936 Marianus sampai di Belawan. Kemudian dia ditempatkan
di Balige untuk mempelajari bahasa Batak Toba.
Pada tahun 1937, pastor Marianus memasuki daerah Lintongnihuta. Untuk
menyebarkan agama Katolik di tengah tengah masyarakat Lintongnihuta. Dalam
mengembangkan agama Katolik di Lintongnihuta, Marianus dibantu dua orang awam
untuk dijadikan propagandis yaitu Yosia Sinaga dan Alal Sihombing. Alas an
memilih dua orang awam ini adalah supaya masyarakat dapat mengerti dan
mengetahui tentang kebenaran agama Katolik.
Dalam menyebarkan agama Katolik di Lintongnihuta, pastor Marianus
mengontrak rumah di daerah Pasar Lama untuk dijadikan sebagai tempat tinggal
pastor dan sebagai tempat beribadah karena belum ada lahan untuk mendirikan
sebuah gereja. Pastor Marianus memasang sekat rumah untuk memperoleh ruangan
kecil sebagai tempat ibadah.
Di Lintongnihuta muncul keinginan pastor untuk mendirikan gereja, sekolah
dan rumah pastor, tetapi mengalami kesulitan untuk mendapatkan lahan/ pertapakan.
Antonius P. Manalu : Perkembangan Agama Katolik Dan Pengaruhnya Terhadap Masyarakat Di Lintongnihuta (1937 – 1985), 2010.
Pastor Marianus menghubungi Alil Sihombing untuk mendapatkan sebidang tanah
yang dapat digunakan untuk pembangunan gereja, pastoran dan sekolah. Atas
bantuan Alil Sihombing, Marianus mendapatkan lahan seharga180 gulden.
Pada bulan Februari 1938 gereja induk paroki Lintongnihuta diresmikan oleh
Uskup Mathias Brans dari Padang dengan nama Gereja Santo Koenrad Pazham. Pada
tahun itu juga sebanyak 400 orang masyarakat Lintongnihuta dapat dibabtis dan
menjadi sah jemaat Katolik. Agama Katolik yang disebarkan oleh missionaris dapat
dengan cepat berkembang karena pelaksanaan ekaristi yang dibawakan oleh imam
Katolik sangat berkenan dengan tradisi nenek moyang47
47 R. Kurris SJ, Op-Cit., hal. 84.
.
Dalam melakukan penyebaran agama Katolik di Lintongnihuta, pastor
Marianus melakukan berbagai pendekatan terhadap masyarakat, seperti pendekatan
terhadap budaya dan pendekatan holistik. Pendekatan terhadap budaya dilakukan
dengan cara beradaptasi terhadap budaya masyarakat batak Toba seperti belajar
bahasa Batak Toba dan adat istiadat serta pakaian adat tradisional.
Pastor Marianus van de Acker terlebih dahulu belajar bahasa Batak Toba di
Balige. Hal ini dilakukan supaya missionaris diterima oleh masyarakat Lintongnihuta
sehingga dengan mudah Injil serta agama Katolik dapat disebarkan dan
dikembangkan di tengah masyarakat. Pengetahuan bahasa Batak Toba diupayakan
untuk mendekatkan diri dan mengambil simpati masyarakat Lintongnihuta. Dengan
mengetahui bahasa lokal sehingga missionaris dapat mendekati, mengerti dan
Antonius P. Manalu : Perkembangan Agama Katolik Dan Pengaruhnya Terhadap Masyarakat Di Lintongnihuta (1937 – 1985), 2010.
memahami pemikiran masyarakat serta mengetahui kehidupan adat istiadat dan
kebudayaan masyarakat setempat.
Di samping beradaptasi dengan menggunakan bahasa lokal, missionaris
menghargai pakaian adat tradisional masyarakat Lintongnihuta yaitu dengan
memakai ulos Batak Toba dalam perayaan perayaan resmi dalam acara kerohanian,
memakai alat musik tradisional Batak Toba yaitu gondang dalam acara acara gereja
dan di kalangan masyarakat Lintongnihuta. Misalnya, jika missionaris diundang ke
acara pesta maka missionaris mengikuti adat kebiasaan masyarakat setempat yaitu
memakai pakaian tradisional dan ikut manortor Batak Toba48
48 Crispinianus Theeuwes OFM Cap, Op-cit., hal .47.
.
Metode pendekatan yang dilakukan dengan pendekatan holistik yaitu
memberikan bantuan dalam bidang kehidupan ekonomi, sosial, kesehatan, dan
pendidikan kepada masyarakat mulai dari lapisan atas sampai lapisan bawah yaitu
melalui sekolah-sekolah rakyat Katolik yang dibangun seperti Volks school setingkat
dengan kelas I s/d III SDdan Vervolks school yang setingkat dengan kelas IV s/d VI
SD. Dalam bidang ekonomi, para missionaris memperkenalkan sistem pertanian
modern kepada masyarakat Lintongnihuta dengan memberikan bibit-bibit tanaman
baru seperti padi.
Melalui pendekatan tersebut, missionaris dapat mendekati, mengerti, dan
memahami jalan pemikiran masyarakat Lintongnihuta, sehingga dengan mudah
missionaris dapat menjalankan dan mengajarkan agama Katolik. Masyarakat Batak
Toba yang berdiam di Lintongnihuta sebelum masuknya pengaruh agama Kristen
Antonius P. Manalu : Perkembangan Agama Katolik Dan Pengaruhnya Terhadap Masyarakat Di Lintongnihuta (1937 – 1985), 2010.
mengenal budaya tradisional. Mulanya para missionaris tidak mudah
memasyarakatkan injil kepada masyarakat Batak Toba yang masih terikat dengan
norma norma tradisional tersebut. Dalam mewartakan injil para missionaris mendapat
bermacam macam tantangan, baik yang datang dari masyarakat maupun tantangan
berupa kekurangan materi. Tantangan yang diperoleh dari masyarakat adalah sulitnya
orang Batak Toba melepaskan budaya tradisional yang tidak sesuai dengan agama
Kristen antara lain mereka sangat mempercayai kekuatan mistik yang ada pada
mereka. Hal ini kemudian ditambah dengan adanya anggapan bahwa missionaris
merupakan mata mata Belanda yang hendak menguasai wilayah Toba. Missionaris
berupaya untuk membuat masyarakat tertarik dengan ajaran agama Katolik melalui
tingkah laku dan perbuatan-perbuatan yang dapat menarik simpatik masyarakat.
Penerimaan injil di daerah Toba semakin lama semakin berkembang. Agama
yang dianut masyarakat sebelum masuknya missionaris semakin pudar. Kepercayaan
animisme dan dinamisme semakin ditinggalkan oleh masyarakat. Kepercayaan
terhadap Mulajadi Nabolon dengan melakukan penyembahan di tempat tempat
tertentu dan ketakuatan akan kuasa Sipelebegu yang dapat mengganggu ketentraman
masyarakat juga hilang. Peranan datu semakin lama semakin berkurang, kepercayaan
yang bersifat sepele begu diganti dengan agama baru yang bersifat monoteisme yaitu
agama Protestan dan Katolik.
Masyarakat mempunyai keyakinan bahwa agama baru yang dianutnya akan
mengubah cara hidup dan cara berpikir untuk menjalankan kehidupan yang lebih
Antonius P. Manalu : Perkembangan Agama Katolik Dan Pengaruhnya Terhadap Masyarakat Di Lintongnihuta (1937 – 1985), 2010.
baik. Pergaulan maupun cara hidup yang dilakukan missionaris secara langsung
kepada masyarakat, membuat masyarakat dapat melihat dan merasakan perbedaan
antara missionaris dengan penjajahan Belanda.
Dengan demikian anggapan awal yang menyatakan bahwa missionaris adalah
mata mata Belanda dan kegiatan missionaris untuk kepentingan Belanda semakin
sirna. Perkembangan pendidikan dan ajaran yang dilakukan missionaris membuka
fajar baru bagi masyarakat. Berdirinya gereja dan sekolah Katolik merupakan satu
mata rantai yang bertujuan memajukan masyarakat. Melalui gereja, masyarakat dapat
berinteraksi antara satu desa dengan desa yang lain, antara satu marga dengan marga
yang lain, sehingga dapat bertukar informasi untuk mengetahui kemajuan yang terjadi
di luar daerah masing masing.
Pengaruh agama Katolik mendorong terjadinya perubahan dalam bidang
kepercayaan49
49 Ibid., hal. 58.
. Diterimanya missionaris oleh masyarakat Lintongnihuta membuat
kepercayaan animisme dan dinamisme semakin luntur. Dengan berkurangnya
kepercayaan tersebut menunjukkan bahwa agama Katolik diterima sebagai agama
masyarakat secara pribadi yang dilakukan secara langsung oleh para missionaris.
Untuk mempermudah mengembangkan ajarannya, para missionaris mendidik
masyarakat Batak Toba. Dengan demikian pemikiran masyarakat Batak Toba tentang
kemajuan semakin berkembang. Pengenalan agama baru dilakukan missionaris telah
mengubah kepercayaan masyarakat Lintongnihuta dari kepercayaan tradisional
Antonius P. Manalu : Perkembangan Agama Katolik Dan Pengaruhnya Terhadap Masyarakat Di Lintongnihuta (1937 – 1985), 2010.
menjadi pengikut ajaran Katolik. Penerimaan masyarakat Lintongnihuta terhadap
missionaris tidak disia siakan oleh missionaris. Kesempatan yang demikian
dipergunakan untuk menunjukkan kedatangan mereka. Tempat tinggal dan tanah
untuk mendirikan gereja, pastoran dan sekolah diberikan oleh masyarakat kepada
missionaris untuk tempat melaksanakan ibadah dan menyebarkan injil.
Sikap missionaris Katolik terutama yang dilakukan oleh pastor Marianus Van
de Acker mendapat simpatik dari masyarakat Lintongnihuta. Perhatian missionaris
terhadap masyarakat Lintongnihuta turut mempercepat proses perkembangan agama
Katolik di daerah ini. Perkembangan agama protestan dan Katolik tidak
menguntungkan bagi penjajahan Belanda di Tapanuli. Sebabnya cara penguasaan
daerah yang dilakukan oleh penjajahan Belanda berbeda dengan yang dilakukan
missionaris. Belanda menggunakan kekerasan sedangkan missionaris memakai cara
pendidikan. Cara missionaris yang mendapat simpatik rakyat membuat Belanda
meniru cara missionaris, karena itu Belanda juga menarik simpatik rakyat dengan
mendirikan sekolah sekolah bumiputera dan menyediakan tenaga guru50
50 AGP Datubara, Op-Cit., hal.235.
. Pada
dasarnya ajaran ajaran yang disampaikan para guru di sekolah Belanda adalah untuk
kepentingan Belanda dengan dasar supaya mereka dapat diterima dan seluruh hasil
dari rakyat dapat mereka ambil. Guru guru yang diangkat oleh Belanda harus
mengikuti peraturan-peraturan yang diberikan oleh Belanda. Maksud Belanda
menyediakan guru-guru tersebut adalah untuk memperkuat kedudukan Belanda di
Tapanuli.
Antonius P. Manalu : Perkembangan Agama Katolik Dan Pengaruhnya Terhadap Masyarakat Di Lintongnihuta (1937 – 1985), 2010.
Dengan berdirinya sekolah sekolah Belanda tersebut, missionaris membuat
perbedaan antara pendidikan Belanda dengan yang dikelola oleh missionaris.
Tujuannya agar masyarakat dapat membedakan mana pendidikan Belanda dan mana
pendidikan yang dikelola oleh missionaris. Para missionaris dalam mengembangkan
pendidikan lebih mengutamakan pendidikan keimanan. Di luar sekolah, sikap, cara
hidup dan pergaulan di tengah-tengah masyarakat diupayakan lebih mendekatkan diri
kepada masyarakat.
Dengan demikian semakin runtuhlah anggapan bahwa kegiatan missionaris
adalah untuk kepentingan penjajahan Belanda. Berkembangnya agama Kristen
semakin menghilangkan nilai- nilai religius magis dan diganti dengan gereja sebagai
wadah pelaksanaan proses berhubungan dengan Allah. Pengaruh Kristenisasi
membuat masyarakat percaya kepada kebesaran Tuhan sebagai pencipta manusia dan
pemberi berkat atas segala kehidupannya.
3.3 Kendala Kendala Yang Dihadapi Oleh Missionaris Dalam Penyebaran
Agama Katolik
Sebelum masuknya agama Katolik di Lintongnihuta telah ada Regement Op
het Beleid der Regering Van Nederland Indies / UU tahun 1854 pasal 123 untuk
mempersempit agama Katolik di Tapanuli sampai kepedalamannya seperti
Lintongnihuta, dimana dengan adanya UU tersebut sehingga Pemerintah Hindia
Belanda melarang misi berganda / double zending pada satu wilayah yang sama.
Dengan demikian agama Katolik terlambat masuk ke Tapanuli dan pedalamannya.
Antonius P. Manalu : Perkembangan Agama Katolik Dan Pengaruhnya Terhadap Masyarakat Di Lintongnihuta (1937 – 1985), 2010.
Jika dibandingkan dengan daerah lainnya, agama Katolik lebih berkembang di daerah
lain di Indonesia seperti Medan, Maluku, Sulawesi, Kalimantan, dan Nusa Tenggara.
Agama Kristen Protestan masuk dan berkembang pada abad ke 20 yang
disebarkan oleh Ignatus Nonmensen, seorang doktor teologia berkebangsaan Jerman.
Dia memulai misinya di Lembah Silindung tahun 1864. Pusat misi agama Kristen
Protestan di Pea Raja, Tarutung. Oleh karena itu, pemerintah Hindia Belanda pada
waktu itu tidak lagi memberi izin masuk bagi missionaris Katolik. Tetapi dengan
adanya I.R ( Indische Staat Regering) pasal 177 tahun 1925 maka agama Katolik
diperbolehkan melakukan penyebaran Injil dalam satu wilayah yang sama dengan
menjamin ketertiban dan keamanan ( Rust en Order).
Masyarakat Batak Toba yang berdiam di Lintongnihuta, sebelum masuknya
pengaruh agama Kristen telah memiliki budaya tradisional. Pada awalnya para
missionaris tidak mudah memasyarakatkan injil kepada masyarakat Batak Toba yang
masih terikat dengan norma-norma tradisional tersebut. Pada saat mewartakan injil
para missionaris mendapat bermacam macam tantangan, baik yang berasal dari
masyarakat maupun tantangan berupa kekurangan materi. Tantangan yang diperoleh
dari masyarakat adalah sulitnya orang Batak Toba melepaskan budaya tradisional
yang tidak sesuai dengan agama Kristen, antara lain mereka sangat mempercayai
kekuatan mistik yang ada pada mereka. Kemudian ditambah dengan adanya anggapan
bahwa missionaris merupakan mata-mata Belanda yang hendak menguasai wilayah
Toba. Missionaris berupaya untuk membuat masyarakat tertarik dengan ajaran- ajaran
agama Katolik melalui tingkah laku dan perbuatan-perbuatan yang dapat menarik
simpatik masyarakat.
Antonius P. Manalu : Perkembangan Agama Katolik Dan Pengaruhnya Terhadap Masyarakat Di Lintongnihuta (1937 – 1985), 2010.
Setelah agama Katolik diterima oleh sebagian masyarakat di Lintongnihuta,
tantangan yang dihadapi oleh missionaris Katolik adalah zending Protestan. Tahun
1938 zending Protestan menerbitkan edaran untuk melawan Katolik dan membela
ajaran Protestan. Edaran tersebut adalah Parsaoran tu Debata, mangihuthon poda
Rooms Katholik dohot poda Protestan. Edaran yang diterbitkan oleh zending
Protestan ini merupakan penjelekan terhadap agama Katolik51
3.4.1 Perkembangan Agama Katolik Pada Masa Pastor Marianus Van de
Acker (1937- 1942)
.
Untuk menghadapi edaran- edaran yang menjelekkan agama Katolik, pihak
missionaries menerbitkan buku buku kecil tentang ajaran agama Katolik seperti
Hasintongan taringot tu Huria Rooms Katolik, poda Pangkristenon, Ende-ende
Katolik, dan parbarita Katolik.
3.4 Perkembangan Agama Katolik Di Lintongnihuta
Dalam pengembangan agama Katolik di Lintongnihuta dan daerah- daerah
pedalaman di sekitar Lintongnihuta, Pastor Marianus van de Acker melakukan
pendekatan terhadap masyarakat di Lintongnihuta, baik pendekatan budaya maupun
pendekatan holistik. Disamping kedua pendekatan yang dilakukan, Marianus juga
membuat propagandis yaitu memperkenalkan agama Katolik sampai ke daerah-
daerah pedalaman di Lintongnihuta. Marianus mendirikan sekolah-sekolah rakyat
51 Crispinianus Theeuwes OFM Cap., Op-cit, hal.69.
Antonius P. Manalu : Perkembangan Agama Katolik Dan Pengaruhnya Terhadap Masyarakat Di Lintongnihuta (1937 – 1985), 2010.
hampir di tiap tiap stasi ( huria Katolik yang berada di pedalaman/ pedesaan di sekitar
paroki Lintongnihuta). Sampai tahun 1942, Marianus mendirikan 15 stasi yang
tersebar di sekitar Lintongnihuta.
Sejalan dengan bertambahnya stasi-stasi di Lintongnihuta, sehingga pastor
Marianus tidak mungkin langsung memimpin semua stasi. Setiap stasi dipimpin oleh
orang awam, Vorhanger dan beberapa sintua. Pimpinan dibagi dalam dua kelompok
yaitu pimpinan rohani ( ibadah) dan pimpinan Jasmani ( keuangan dan bangunan).
Marianus mendirikan sekolah sekolah rakyat Katolik di setiap stasi di
Lintongnihuta yang setingkat dengan kelas I sampai kelas III SD (Volks School),
sedangkan kelas IV sampai kelas VI SD (Vervolk School) hanya berada di paroki
Lintongnihuta sebagai induk dari stasi.
Berdirinya sekolah rakyat Katolik membantu masyarakat Lintongnihuta
dalam menuju kemajuan ilmu yang terarah. Dengan didirikannya sekolah rakyat di
Lintongnihuta dan di pedalaman, anak-anak katolik banyak memasuki sekolah
tersebut. Demikian juga dengan anak anak yang tidak beragama Katolik juga ikut
memasuki sekolah tersebut karena sifat sekolah rakyat Katolik berlaku untuk umum.
Para orangtua dari anak-anak tidak beragama Katolik banyak yang masuk menjadi
agama Katolik dan meninggalkan agama sebelumnya. Hal ini juga terjadi karena
pengaruh anak anak mereka yang masuk sekolah rakyat, sehingga orangtuanya
tertarik untuk mengikuti ajaran agama Katolik dan diterima secara resmi sebagai
umat Katolik setelah dibabtis52
52 Hasil wawancara dengan pastor Levi Pakpahan yang dilakukan tanggal 23 Juli 2009 pukul
12.00 Wib.
.
Antonius P. Manalu : Perkembangan Agama Katolik Dan Pengaruhnya Terhadap Masyarakat Di Lintongnihuta (1937 – 1985), 2010.
Karena minat masyarakat semakin tinggi untuk masuk Katolik maka
missionaris kewalahan untuk membina. Karena missionaris juga sibuk membangun
sekolah di stasi- stasi yang baru dibentuk. Untuk mengatasi masalah ini, Pastor
Marianus memberikan pengajaran kepada guru- guru sekolah Katolik untuk ikut
mengajarkan agama Katolik di kampung- kampung. Pastor Marianus memberikan
kursus teratur kepada guru-guru ( Cursus Volks Onderwijzers)53
3.4.2 Perkembangan Agama Katolik Pada Masa Perang Dunia II (1942-
1945) dan Agresi Militer I,II ( 1947- 1948)
. Kursus tulis ini
sangat sederhana. Pertama-tama ditekankan bukan hanya pelajaran agama dan
pengetahuan kitab Suci, tetapi khususnya diusahakan supaya calon- calon guru agama
dapat belajar hidup sebagai orang Kristen di asrama. Mereka diajar memimpin ibadah
Minggu tanpa kehadiran pastor. Aturan ibadah Minggu dicetak begitu juga khotbah
yang disusun pastor, harus mereka bawakan pada hari Minggu.
Dalam perang Asia Fasifik tahun 1942 -1945, kegiatan missionaris di
Lintongnihuta sangat terganggu. Dengan didudukinya Pulau Sumatera oleh pasukan
pasukan tentara Jepang, maka perkembangan pesat misi yang masih muda usianya di
Tapanuli termasuk Lintongnihuta mendapat pukulan yang hebat. Dalam perang Asia
Fasifik Jepang berkonfrontasi dengan Belanda. Ketika Jepang memasuki daerah
Tapanuli, mereka menangkapi dan menawan orang orang Belanda termasuk
missionarisnya. Hal ini mengakibatkan tergangunya perkembangan agama Katolik.
53 Ibid., hal .69.
Antonius P. Manalu : Perkembangan Agama Katolik Dan Pengaruhnya Terhadap Masyarakat Di Lintongnihuta (1937 – 1985), 2010.
Semua missionaris ditangkap dan ditawan. Kemudian missionaris dari Tapanuli
dikumpulkan di Soposurung, Balige lalu dikirim ke Pematang Siantar dan terakhir ke
Siringo ringo, Asahan. Sebagian lagi dikirim ke Sungai Sungkal. Mereka memang
tidak diperlakukan seperti tawanan militer, tetapi semua kegiatan misi dilarang.
Selama missionaris menjadi tawanan Jepang, banyak missionaris yang
menderita karena kekurangan makanan dan kerja paksa yang berat sehingga
missionaris meninggal di tahanan seperti : Benjamin Deykstra, September 1943 di
sungai Sungkol, Aceh dan dikebumikan di Medan. Kemudian pastor Marianus
Spanyers ditahan di Kota Raja. Marianus Spanyers jatuh sakit dan tanpa pengobatan
berarti akibatnya tanggal 15 Juli 1944 meninggal dan dikebumikan di Medan.
Selama masa penawanan missionaris oleh Jepang, terjadilah kemunduran dan
kemerosotan umat karena tidak adanya imam untuk memimpin umat. Untuk
menanggulangi masalah ini, pada tahun 1942 dibentuklah dewan untuk mengurus
misi yang sedang berkembang. Dewan ini terdiri dari guru dan katekis pribumi yang
membantu pastor dalam menyebarkan Injil. Dewan yang dibentuk adalah Centrale
Rooms Katolike Tapanuli ( Dewan Pengurus Katolik wilayah Tapanuli) meliputi
Tapanuli, Sibolga, Dan Nias yang terdiri dari:
1. J.B Panggabean Katekis kepala Balige Ketua
2. G. P Siregar Katekis Sibolga Sekretaris
3. J.Ch. C. Tampubolon Katekis kepala Pangururan Anggota
4. R. Pardede, Katekis Sibuntuon Bagasan Anggota
5. J. Sinaga Katekis Lintongnihuta Anggota
6. W. Simangunsong Katekis kepala Pakkat Anggota
Antonius P. Manalu : Perkembangan Agama Katolik Dan Pengaruhnya Terhadap Masyarakat Di Lintongnihuta (1937 – 1985), 2010.
7. S. M. Sihombing Katekis Sidikkalang Anggota
8. J.A Situmorang Katekis Palipi Anggota
9. G. M. Samosir Katekis Onan Runggu Anggota
10. G. Siagian Katekis Tomok Anggota
11. K. Hutabarat Katekis Pematang Siantar Anggota
12. P. Datubara Katekis Seribudolok Anggota
13. P. S. Harefa Katekis Gunung Sitoli Anggota
14. H.S. Dachi Katekis Teluk Dalam Anggota
15. St. Silaban Katekis Silaen Anggota
Oleh dewan dibuatlah surat permintaan ke keuskupan di Tokyo untuk
memperoleh pastor yang akan ditugaskan untuk melayani umat, tetapi hasilnya sia
sia. Pada saat terjadi kekalutan di dalam tubuh agama Katolik, agama lain berusaha
mempengaruhi agar umat beralih agama. akan tetapi umat Katolik tetap bertahan.
Pada saat yang bersamaan pihak Jepang memerintahkan kerja paksa (Romusha) untuk
membuka jalan maupun kubu pertahanan. Para katekis dibebaskan dari kerja paksa
tersebut. Umumnya katekis tetap tinggal di paroki di mana mereka masing masing
bertugas.
Setelah Jepang menyerah kepada Sekutu pada tahun 1945, para misionaris
dibebaskan. Tetapi mereka masih berkumpul di kota- kota. Mereka belum diizinkan
ke kampung- kampung . Setelah proklamasi kemerdekaan Indonesia tanggal 17
Agustus 1945, suasana semakin gawat dan parah. Tahun 1947 terjadi agresi militer I,
dan tahun 1948 agresi militer II, yaitu terjadinya serangan tentara Belanda yang
Antonius P. Manalu : Perkembangan Agama Katolik Dan Pengaruhnya Terhadap Masyarakat Di Lintongnihuta (1937 – 1985), 2010.
kedua kalinya di Indonesia, sehingga terbentuklah kelompok- kelompok laskar
pejuang yang ingin mempertahankan kemerdekaan yang tidak diakui oleh Belanda.
Kelompok- kelompok revolusioner ini beroperasi di pedalaman sehingga
daerah pedalaman tidak aman bagi orang asing temasuk bagi para missionaris yang
dicurigai sebagai penjajah. Banyak missionaris memakai kesempatan ini untuk cuti
dan sekaligus memulihkan kesehatan dan tenaga setelah mengalami penderitaan
selama di tahanan Jepang sambil menunggu keadaan aman dan diizinkan untuk
kembali ke daerah masing masing.
Tahun 1950 Mgr. Brans Uskup Sumatera waktu itu, berusaha keras lewat
surat dan relasi untuk menghubungi penguasa agar diberi izin kepada para missionaris
untuk kembali ke daerah misi yang sudah begitu lama terlantar. Partai Katolik
Republik Indonesia juga mencoba berbagai usaha menghubungi penguasa di Jakarta.
Jalan akhir yang ditempuh untuk mengatasi situasi ini dengan mendatangkan imam
imam pribumi Jawa yang ditugaskan untuk mengunjungi umat di Sumatera,
khususnya di wilayah yang tidak aman bagi missionaris asing. Setelah satu setengah
tahun lamanya, maka pastor Aloysius Pujohandoyo dari Jawa bertugas untuk daerah
Tapanuli dan Sibolga. Setelah Pastor Aloysius Pujohandoyo tiba di Balige, dia
mengelilingi semua paroki mulai dari Lintongnihuta, Dolok Sanggul, Pakkat,
Parlilitan dan Tarutung.
Awal tahun 1950 semua serdadu Belanda kembali ke tanah airnya (sesuai
dengan perjanjian KMB, pengakuan kedaulatan Indonesia oleh Belanda). Tinggal
hanya laskar laskar sewaan Belanda yang sama sekali tidak dapat dipercayai. Suasana
ini menjadikan situasi sangat tegang, khususnya bagi para missionaris. Missionaris
Antonius P. Manalu : Perkembangan Agama Katolik Dan Pengaruhnya Terhadap Masyarakat Di Lintongnihuta (1937 – 1985), 2010.
harus memilih tinggal di Indonesia atau pulang ke negeri asal. Dengan tegas Mgr.
Brans meminta kepada semua missionaris untuk tinggal di Indonesia dan menjadi
penduduk Indonesia. Setiap missionaris diwajibkan untuk memiliki Keterangann Izin
Masuk (KIM) dan Surat Keterangan Kependudukan (SKK).
Setelah keadaan aman, para missionaris dapat kembali bertugas dengan aktif.
Pastor Marianus Van de Acker bertugas di Balige, Pastor Weinfridus Josen bertugas
di Lintongnihuta, Pastor Nuyten bertugas di Pakkat, pastor Radboad Wakerreuns
bertugas di Pangururan dan Pastor Beatus Jernigsen bertugas di Onan Runggu.
Sejalan dengan perkembangan keamanan di Tapanuli, Dewan Pengurus Katolik
Wilayah Tapanuli dibubarkan.
3.4.3 Perkembangan Agama Katolik Pada Masa Pastor Weinfridus Josen
(1951- 1961)
Setelah pengakuan kerajaan Belanda atas kemerdekaan Indonesia pada tahun
1949, situasi keamanan berangsur angsur pulih. Pada awal tahun 1950 para
missionaris pun diizinkan masuk kampung bahkan sampai ke pedalaman sehingga
pastor Weinfridus Josen diutus untuk melanjutkan penyebaran agama Katolik di
Lintongnihuta. Sebelum pastor Weinfridus Josen ke Lintongnihuta, dia terlebih
dahulu belajar bahasa Batak Toba di Balige, sehingga tahun 1952 pastror melakukan
pekabaran injil kembali di Lintongnihuta. Pasror Weinfridus berkarya di
Lintongnihuta dan membuka stasi stasi sampai ke daerah Dolok Sanggul.
Setelah kedatangan pastor Weinfridus di Lintongnihuta agama Katolik
semakin berkembang. Hal ini dibuktikan dengan dibukanya paroki yang baru di
Antonius P. Manalu : Perkembangan Agama Katolik Dan Pengaruhnya Terhadap Masyarakat Di Lintongnihuta (1937 – 1985), 2010.
Dolok Sanggul. Perkembangan umat Katolik sangat pesat pada periode ini. Hal ini
dipengaruhi juga oleh pengaruh selibat atau hidup tidak kawin bagi para pastor dan
para suster sehingga mereka lebih lincah dalam mengunjungi umat di sekitar paroki
dan sampai stasi stasi di Lintongnihuta. Pastor dan suster lebih banyak bersosialisasi
dan beradaptasi dengan masyarakat setempat. Perkembangan agama Katolik di
Lintongnihuta juga dipengaruhi oleh akulturasi kebudayaan Batak Toba dengan
ajaran Katolik. Akulturasi yang paling dominan didapatkan dalam masyarakat
Lintongnihuta adalah pemakaian ulos dan pemakaian alat alat gondang pada acara
resmi dan perayaan hari besar dalam agama Katolik.
Dalam melakukan pengembangan agama Katolik di Lintongnihuta, pastor
mempergunakan sepeda motor dan mobil untuk memperlancar hubungan paroki
dengan stasi stasi yang ada di sekitar Lintongnihuta. Pada tanggal 27 mei 1954 Pastor
bekerjasama dengan suster Reneldis, suster Lidwono Stalenhoof untuk mendirikan
balai pengobatan di Lintongnihuta. Berdirinya balai pengobatan di Lintongnihuta
pada awalnya merupakan bantuan dan kerjasama Kongregasi suster Fransiskan Santa
Lusia (KSFL) yang semula berpusat di Bennebroek dan tahun 1953 dipindahkan ke
Lintongnihuta.
Perkembangan agama katolik di Tapanuli dan di Lintongnihuta pada
khususnya juga dipengaruhi oleh situasi negara Republik Indonesia yang sudah aman
dari sebelumnya dan pemerintahan telah berfungsi semestinya. Setiap orang asing
harus mendapat izin masuk Indonesia dan memiliki izin untuk menjadi penduduk
Indonesia sehingga missionaris harus menjadi penduduk Indonesia dan harus
memiliki Keterangan Izin Masuk (KIM) atau Surat Keterangan Kependudukan
Antonius P. Manalu : Perkembangan Agama Katolik Dan Pengaruhnya Terhadap Masyarakat Di Lintongnihuta (1937 – 1985), 2010.
(SKK). Dokumen ini dapat diperoleh, tetapi karena hubungan Indonesia dengan
Belanda masih tegang, maka proses pengurusannya sering dipersulit. Ancaman
bahwa suatu waktu missionaris asing tidak diizinkan lagi masuk Indonesia. Karena
itu, Mgr. Brans mendorong missionaris untuk bersedia menjadi warga Negara
Indonesia demi kelangsungan misi kekatolikan. Surat dari uskup ini mendapat
tanggapan baik dari para missionaris sehingga banyak missionaris menjadi warga
negara Indonesia.
Dengan adanya SKK sehingga para missionaris lebih aman untuk melanjutkan
misi kekatolikan di Tapanuli khususnya Lintongnihuta. Tahun 1955 Ferrerius Van
den Hurk diangkat menjadi kepala Uskup di Sumatera untuk menggantikan Mgr.
Brans karena sudah lanjut usia. Selama tiga puluh lima tahun Mgr. Brans ikut
membangun penyebaran agama Katolik di Tapanuli dan setelah pension, dia kembali
ke negeri Belanda.
3.4.4 Perkembangan Agama Katolik Pada Masa Pastor Septimus Kamphof dan
Wynen (1961-1985)
Perkembangan agama Katolik pada periode ini ditandai dengan bertambahnya
jumlah stasi di Lintongnihuta menjadi 21 stasi. Hal ini dipengaruhi oleh terjadinya G
30 S/PKI pada tahun 1965 di Indonesia sehingga umat Katolik di Tapanuli khususnya
di Lintongnihuta menjadi bertambah. Penumpasan G 30 S/PKI di Tapanuli khususnya
di Lintongnihuta mengakibatkan masyarakat yang menganut kepercayaan sipelebegu
beralih menjadi agama Katolik dan Protestan karena ada anggapan bahwa partai
Antonius P. Manalu : Perkembangan Agama Katolik Dan Pengaruhnya Terhadap Masyarakat Di Lintongnihuta (1937 – 1985), 2010.
Komunis Indonesia adalah orang orang yang tidak mengenal adanya Tuhan dan tidak
menganut suatu agama.
Salah satu karya terbesar pastor Kamphof dan Wynen di Lintongnihuta adalah
mendirikan koperasi simpan pinjam (Credit Union) Bahenma Na Denggan pada
tahun 1970. Koperasi didirikan untuk membantu Umat Katolik di Lintongnihuta
untuk mendapatkan modal pertanian.
Perkembangan agama Katolik pada periode ini dipengaruhi oleh partisipasi
pastor di paroki Lintongnihuta dalam pembagian tugas dalam pelayanan umat sampai
ke stasi stasi di Lintongnihuta. Pada masa ini telah ada pastor yang berasal dari
masyarakat Lintongnihuta. Dengan adanya pastor ini semakin terbantulah missionaris
asing untuk meluaskan agama Katolik di Lintongnihuta khususnya dan diwilayah
sekitar pada umumnya.
Antonius P. Manalu : Perkembangan Agama Katolik Dan Pengaruhnya Terhadap Masyarakat Di Lintongnihuta (1937 – 1985), 2010.
BAB IV
PENGARUH DAN PELAYANAN AGAMA KATOLIK
4.1 Pengaruh dalam Adat Perkawinan.
Umumnya pada masyarakat Batak Toba, perkawinan merupakan suatu pranata
yang tidak hanya mengikat seorang laki laki dengan seorang wanita, tetapi juga
mengikat dalam suatu hubungan54
54 T. M Sihombing, Jambar Hata Dongan Tu Ulaon Adat, Jakarta: CV. Tulus Jaya,1991., hal .30.
. Pihak dari penerima istri disebut dengan paranak,
dan pihak dari pemberi istri disebut parboru. Menurut adat tradisional Batak Toba,
seorang laki laki tidak bebas memilih jodohnya. Perkawinan yang ideal dalam
masyarakat Batak Toba adalah perkawinan antara marpariban yaitu perkawinan
antara seorang anak laki laki dengan anak perempuan dari saudara laki laki ibunya.
Dengan demikian maka seorang laki laki Batak Toba sangat pantang kawin dengan
seorang wanita dari marganya sendiri dan juga dengan anak perempuan dari saudara
perempuan ayah (namboru).
Perkawinan di tengah masyarakat Batak Toba pada garis besarnya ada dua
bentuk yaitu perkawinan antara sepasang pemuda dan pemudi yang disebut dengan
mangalua, dan yang kedua adalah perkawinan lanjutan atas janda dengan duda yang
disebut dengan mangabia.
Perkawinan mangoli dapat dilaksanakan dengan dua cara yaitu marunjuk dan
mangalua. Marunjuk adalah bentuk perkawinan melalui syarat syarat meminang
Antonius P. Manalu : Perkembangan Agama Katolik Dan Pengaruhnya Terhadap Masyarakat Di Lintongnihuta (1937 – 1985), 2010.
dengan pembayaran sinamot sebagai imbalan ganti rugi atas lepasnya anggota marga
pihak pengantin perempuan masuk kelompok marga pengantin laki laki. Sinamot
diatur urutan yang paling berhak menerima imbalan55
55 Ismail Manalu, Op-Cit., hal.42.
.
Jika diukur secara materi, sinamot yang harus disediakan oleh calon pengantin
laki laki sungguh berat. Untuk menghindari pembayaran sinamot tersebut, timbullah
bentuk perkawinan mangalua yang lazim disebut dengan kawin lari. Menghindari
pembayaran sinamot dalam cara kawin lari tidak berarti menghapus sama sekali
kewajiban pihak pengantin Laki laki untuk membayar hutang adat. Cara ini dilakukan
hanya memberi peluang bagi pihak pengantin laki laki sampai suatu saat dia sanggup
membayar hutang adat sinamot. Apabila suatu saat pengantin laki laki telah sanggup
untuk membayar hutang adat sinamot maka pelaksanaannya sama dengan
pelaksaanaan perkawinan marunjuk.
Perkawinan lanjutan terjadi apabila seorang pemuda mengawini janda dari
marganya, dimana keharusan membayar sinamot sudah tidak diperlukan lagi dan ini
disebut Mangabia. Biasanya hal ini terjadi apabila seseorang meninggal dunia dengan
meninggalkan isteri dan anak yang masih kecil kecil dan perlu perlindungan, maka
saudaranya memjadi pengganti posisi sebagai suami. Mangabia dilakukan agar si istri
tersebut tidak kawin kepada orang lain yang berarti hilangnya hak keluarga mantan
suami kepadanya.Dalam masyarakat Batak Toba, setiap tatanan kehidupan
dipengaruhi oleh unsur unsur budaya yang bersifat tradisional. Ajaran-ajaran agama
Kristen tidak sepenuhnya mengatur kehidupan masyarakat dalam kegiatan sehari hari.
Antonius P. Manalu : Perkembangan Agama Katolik Dan Pengaruhnya Terhadap Masyarakat Di Lintongnihuta (1937 – 1985), 2010.
Demikian juga dalam struktur sosial masyarakat, masyarakat tidak terlepas unsur
dalihan natolu yaitu somba marhula hula, manat mardongan tubu, elek marboru.
Hubungan antara unsur dalam dalihan natolu saling berhubungan antara satu unsur
dengan unsure yang lain. Dalihan Natolu memberikan suatu pengelompokan terhadap
masyarakat maupun keluarga sehingga masyarakat dapat mengetahui kedudukannya
apakah dia sebagai hula hula, dongan tubu, ataupun boru.
Masyarakat Batak Toba mengenal sistem patrilineal yaitu garis keturunan dari
ayah ataupun laki laki56
56 T. M Sihombing, Op-Cit., hal.57
. Marga bagi masyarakat Batak Toba merupakan suatu
identitas sekaligus menunjukkan garis keturunan. Demikian juga dalam proses
perkawinan masyarakat Batak Toba, unsur Dalihan Natolu berlaku dalam acara pesta.
Setiap yang datang menghadiri acara pesta mempunyai peran masing masing apakah
dia berkedudukan sebagai hula hula, boru maupun dongan tubu.
Masyarakat Batak Toba mempunyai pandangan bahwa Perkawinan
merupakan suatu kewajiban. Perkawinan dilakukan dengan tujuan untuk
mendapatkan keturunan dalam melanjutkan generasi. Seseorang yang tidak
mempunyai keturunan, maka otomatis garis keturunan/ sislsilah akan hilang. Orang
yang tidak mempunyai keturunan akan merasa sedih karena dianggap suatu aib
keluarga. Anak laki laki dalam masyarakat Batak Toba sangat penting, karena hanya
anak laki laki lah yang dianggap sebagai penerus generasi. Jika keluarga tidak
mempunyai anak laki laki, keluarga tersebut dianggap kurang sempurna. Jika
perkawinan tidak menghasilkan anak laki laki, maka pihak dari si laki laki
Antonius P. Manalu : Perkembangan Agama Katolik Dan Pengaruhnya Terhadap Masyarakat Di Lintongnihuta (1937 – 1985), 2010.
mendorong si laki-laki untuk kawin lagi (marimbang). Ada anggapan bagi
masyarakat bahwa jika si laki laki tersebut tidak kawin lagi, maka si laki laki akan
kehilangan silsilah ( tarombo ). Biasanya dalam upacara adat Batak Toba, seseorang
yang tidak mempunyai anak laki laki, dia tidak berhak untuk mendapatkan upacara
adat penuh yaitu upacara besar-besaran dalam upacara adat kematian (saur matua ).
Semarga bagi masyarakat Batak Toba yaitu berasal dari satu darah, satu
daging, dan satu silsilah, dengan demikian perkawinan satu marga dilarang.
Perkawinan satu marga dianggap sebagai penyimpangan terhadap adat sehingga jika
seseorang kawin semarga maka akan dikucilkan dari adat dan masyarakat.
Sebelum masuknya agama Kristen di Tapanuli, khususnya di Lintongnihuta,
seseorang yang akan melakukan perkawinan selalu berdasarkan petunjuk dari datu
(dukun). Datu mempunyai andil yang besar baik dalam menentukan jodoh maupun
menentukan tanggal perkawinan57
Adat yang demikian memang bertentangan dengan ajaran agama Katolik.
Dalam ajaran agama Katolik, hidup berumah tangga tidak boleh lebih dari satu istri/
suami. Perceraian tidak boleh terjadi dalam ajaran Katolik, satu suami untuk satu istri
dan satu istri untuk satu suami selama hidupnya, karena perkawinan merupakan
sesuatu yang suci dan diberkati Tuhan.
Sesuai dengan ajaran missionaris, adanya kesatuan dalam rumah tangga
karena dipersatukan oleh Tuhan, perceraian tidak diizinkan walaupun tidak
. Jika datu menganggap antara salah satu dari calon
pengantin tidak cocok, maka keluarga akan membatalkan rencana perkawinan.
57 A. Lumban Tobing, Makna wibawa Jabatan Dalam Gereja Batak, Jakarta: BPK. Gunung
Mulia, 1992., hal .64.
Antonius P. Manalu : Perkembangan Agama Katolik Dan Pengaruhnya Terhadap Masyarakat Di Lintongnihuta (1937 – 1985), 2010.
menghasilkan anak/ keturunan. Pelaksanaan adat juga ditinjau dari sudut pandangan
ini dan harus dilakukan oleh setiap masyarakat Batak Toba yang akan membentuk
maupun yang telah membentuk rumah tangga bagi yang beragama Kristen Katolik
maupun Kristen Protestan.
Adat yang berlaku ditengah masyarakat Batak Toba sebelum masuk agama
Katolik, sebahagian bertentangan dengan ajaran agama Katolik. Ini menjadi
tantangan bagi missionaris untuk mengubah adat ini agar sesuai dengan ajaran agama
Kristen. Perubahan dapat terlihat dari pengurangan peranan datu dalam menentukan
perkawinan. Sejak agama Kristen masuk dan berkembang, peranan datu ini hilang,
dan digantikan dengan ajaran agama Kristen58
58 Ibid., hal .78.
. Sesuai dengan keyakinan para
missionaris bahwa tidak ada yang tidak berubah jika Tuhan menghendaki.
Sebelum masuknya missionaris di Lintongnihuta adat istiadat perkawinan
yang sah adalah pasu-pasu raja. Pasu pasu raja dilakukan dengan mengumpulkan
pengetua pengetua adat untuk pemberitahuan kepada raja adat bahwa seorang
pengantin laki-laki dan pengantin perempuan telah membentuk suatu rumah tangga
yang baru. Biasanya acara pasu pasu raja dilakukan pada pagi hari sebelum upacara
adat Batak Toba dilakukan. Setelah selesai acara pasu pasu raja dilakukan, baru acara
adat yang berhubungan dengan adat Batak Toba dilaksanakan.
Setelah masyarakat menganut agama Katolik, acara pasu-pasu raja
dihapuskan, karena bertentangan dengan ajaran Katolik. Dengan masuknya agama
Katolik di Lintongnihuta,Perkawinan yang sah dalam masyarakat adalah jika kedua
Antonius P. Manalu : Perkembangan Agama Katolik Dan Pengaruhnya Terhadap Masyarakat Di Lintongnihuta (1937 – 1985), 2010.
mempelai telah diberkati digereja (pamasu masuon ni huria). Gereja merupakan
lembaga yang merestui dan meresmikan sah atau tidaknya sebuah perkawinan.
Upacara pemberkatan perkawinan di gereja disesuaikan dengan tata ibadah gereja
Katolik dan kedua pengantin disahkan dan diberkati oleh pastor.
Ajaran Katolik tentang perkawinan bahwa hanya boleh terjadi sekali saja
antara sepasang suami istri, artinya suami hanya beristeri satu, demikian juga istri
harus satu suami. Suami istri tidak boleh cerai kecuali bila salah satu diantaranya
meninggal dunia. Jika salah seorang di antara suami istri meninggal dunia, maka yang
satunya lagi dapat kawin apabila ada persetujuan gereja dan persetujuan adat. Khusus
untuk perkawinan namarimbang (seorang suami atau istri kawin lagi), dan
perkawinan natarsosak (di luar nikah) gereja tidak merestui perkawinan ini, bahkan
diberikan sanksi dan keluar dari anggota jemaat gereja.
Setelah acara peresmian perkawinan di gereja, barulah acara yang
berhubungan dengan adat istiadat Batak Toba dilakukan. Agama Katolik tidak
melarang adat istiadat Batak Toba dilaksanakan seperti pembagian Jambar (
pemberian berupa uang atau daging kepada setiap undangan pesta) dan juga
pemberian ulos kepada pengantin.
4.2 Pengaruh dalam Adat Orang Meninggal
Menurut pandangan masyarakat Lintongnihuta sebelum masuknya agama
Kristen di Lintongnihuta, kematian merupakan perputaran berkala yaitu: kelahiran
dan kematian . perputaran ini pada dasarnya hanya bersifat pengulangan saja. Jika
saatnya sudah tiba dan Debata Mulajadi Nabolon telah memanggil, tak seorang pun
Antonius P. Manalu : Perkembangan Agama Katolik Dan Pengaruhnya Terhadap Masyarakat Di Lintongnihuta (1937 – 1985), 2010.
dapat menolaknya. Manusia yang hidup di bumi ini hanyalah untuk menjalankan
undangan dan hukum, sampai kelak ajalnya akan datang. Kematian tidak dapat
ditolak jika Debata Mulajadi Nabolon telah memanggil dan ajal akan kembali ke
tempat yang telah digariskan oleh Debata Mulajadi Nabolon.
Debata Mulajadi Nabolon adalah permulaan dan akhir. Debatalah yang
menentukan awal dan akhir manusia di dunia ini, semua berada dalam kuasanya.
Panggilan debata inilah yang merupakan keyakinan bahwa Debata inilah yang
mengambil nafas kehidupan manusia (meninggal).
Selain percaya terhadap Debata Mulajadi Nabolon, mereka juga yakin akan
adanya kuasa dalam setiap diri orang Batak. Keyakinan manusia akan adanya kuasa
dalam diri orang ini disebabkan manusia itu terdiri atas jiwa dan roh (tondi). Dalam
hubungan antara manusia dan roh, masyarakat Batak Toba telah mengenal beberapa
konsepsi antara lain yang disebut tondi, sahala dan begu. Dalam pengertiannya
tentang tondi, masyarakat mempunyai asosiasi pikiran dengan roh.
Masyarakat Batak Toba meyakini bahwa setiap kematian yang dialami oleh
seseorang merupakan kematian jasmaniah, sedangkan rohnya (tondi) akan pergi
melanglang buana menjadi begu. Begu tersebut diyakini suatu saat akan menempati
suatu yang ada di alam dimana dianggap cocok sebagai tempat bersemayam,
misalnya seperti pohon, sungai, gunung, lembah dan lain lain. Masyarakat
mempunyai keyakinan bahwa begu tersebut sangat mempengaruhi kehidupan
manusia, bisa mengarah kepada hal yang baik, dan kadanga mengarah kepada hal hal
yang tidak baik.
Antonius P. Manalu : Perkembangan Agama Katolik Dan Pengaruhnya Terhadap Masyarakat Di Lintongnihuta (1937 – 1985), 2010.
Keyakinan agama Kristen tidaklah terlalu jauh perbedaannya dengan agama
tradisional Batak Toba. Agama Kristen menyembah Tuhan (allah) sedangkan agama
tradisional Batak Toba menyembah Debata Mulajadi Nabolon. Menurut ajaran
Kristen seluruh yang ada di muka bumi ini baik terhadap yang hidup maupun orang
yang sudah meninggal semuanya di bawah kekuasaan Tuhan. Tidak ada yang paling
berkuasa di muka bumi ini selain Tuhan. Tuhan menjadikan apa saja yang ada di
dunia ini, semua adalah atas perintahnya. Sehingga dalam ajaran Kristen beranggapan
bahwa tondi orang yang telah meninggal tidak mempunyai kekuatan.
Pada masyarakat Batak Toba di Lintongnihuta, bila seseorang meninggal
maka kerabatnya akan meratapi dengan nyanyian ratapan (andung-andung). Dalam
sastra Batak andung-andung merupakan rangkaian kalimat kalimat yang dinyanyikan
sambil menangis. Andung-andung tersebut berisikan cerita tentang kehidupan yang
meninggal tersebut sewaktu ia masih hidup di dunia ini. Melalui andung-andung
masyarakat Batak Toba menguraikan isi hatinya, kesedihannya dan keresahannya.
Dengan demikian melalui andung-andung yang diutarakan oleh pihak keluarga yang
meninggal dapatlah diketahui bagaimana perangai atau sifat orang yang meninggal
tersebut sewaktu dia masih hidup.
Melalui tangisan yang dibarengi dengan andung- andung dapat juga
menyadarkan seseorang atau sekelompok masyarakat untuk mengurangi rasa sedih
keluarga. Andung-andung juga mengutarakan keinginan, kemauan dan maksud hari
kepada orang lain, setelah mendengarkan andung-andung dari keluarga yang
ditinggalkan. Dengan demikian peranan andung-andung sangat menonjol di dalam
kebudayaan masyarakat Batak Toba, dan hal ini pun masih dapat diterima oleh agama
Antonius P. Manalu : Perkembangan Agama Katolik Dan Pengaruhnya Terhadap Masyarakat Di Lintongnihuta (1937 – 1985), 2010.
Kristen baik Katolik maupun Protestan. Kebudayaan masyarakat Batak Toba juga
mengatur upacara upacara adat dalam kematian, semakin tinggi tingkat usianya,
semakin banyak keturunannya dan mempunyai harta yang banyak, maka upacara
penguburannya dilakukan dengan upacara besar.
Ajaran agama Katolik mengarahkan umatnya kepada kepercayaan tentang
adanya kuasa Tuhan, dan jangan mempercayai kepercayaan magis yang dimiliki
masyarakat tradisional yang belum mengenal ajaran agama Kristen. Ajaran yang
menganggap bahwa benda benda memiliki kuasa dan kekuatan dan mempercayai
setiap orang meninggal akan selalu berhubungan dengan orang yang masih hidup
merupakan kepercayaan tradisional yang harus ditinggalkan apabila dia menjadi
seorang penganut agama Katolik.
Adat istiadat untuk orang meninggal yang dilakukan oleh masyarakat Batak
Toba di Lintongnihuta sesudah masuknya ajaran agama Katolik tidak lagi memakai
pola kepercayaan tradisional sebagaimana nenek moyang mereka dahulu. Upacara
kematian telah disesuaikan dengan ajaran gereja. Kepercayaan akan adanya kuasa
orang mati sebagai dasar untuk melakukan upacara adat penguburan mayat
dihilangkan. Penguburan dilakukan berdasarkan sakramen orang meninggal yang
sesuai dengan ajaran agama katolik59
59 Hasil wawancara yang dilakukan kepada Uskup Agung Medan, Mgr. Anicetus Sinaga
tanggal 5 Agustus 2009 pukul 14.00 Wib.
. Biasanya bila yang meninggal adalah pengetua
gereja, sebelum melakukan upacara penguburan maka mayat terlebih dahulu di bawa
ke gereja dan akan dilakukan upacara kebaktian sesuai dengan ajaran agama Katolik.
Sebelum ajaran Katolik masuk di daerah Lintongnihuta, upacara penguburan
Antonius P. Manalu : Perkembangan Agama Katolik Dan Pengaruhnya Terhadap Masyarakat Di Lintongnihuta (1937 – 1985), 2010.
dipegang oleh datu, tetapi setelah masyarakat memeluk agama Katolik, penguburan
dilakukan oleh pengetua gereja atau pastor. Apabila yang meninggal sudah lanjut
usia, maka upacara adat yang dilakukan tidak boleh bertentangan dengan ajaran
agama Katolik. Dalam masyarakat Lintongnihuta penguburan biasanya dilakukan
setelah acara adat Batak Toba selesai dilaksanakan.
4.3 Pelayanan dalam bidang pendidikan
Pendidikan adalah salah satu jalur masuknya agama Katolik hampir di seluruh
Indonesia. Hal yang sama sejak datangnya missionaris ke wilayah Keuskupan Agung
Medan (KAM). Karya yang pertama masuknya missionaris di Keuskupan Agung
Medan adalah dengan membuka sekolah Gesubsideerde Room Katholieke Europese
Lagere Shool Sint Joseph ( Sekolah Rendah Eropah Roma Katolik Santo Yosef).
Dengan dibukanya sekolah Katolik pertama, pastor dan suster kemudian
mengembangkan pembangunan pendidikan di Keuskupan Agung Medan. Sekolah
sekolah Katolik menjadi wajah gereja Katolik sekaligus menjadi pusat-pusat paroki
sehingga Agama Katolik mempunyai pengaruh di dalam masyarakat.
Ketika agama Katolik masuk di Lintongnihuta, agama Protestan juga
mengembangkan agamanya di daerah ini. Meskipun pada dasarnya ada perbedaan
perbedaan antara agama Katolik dengan agama Protestan serta ada persaingan dalam
merekrut anggota jemaat, namun kedua agama tersebut sama-sama berusaha
memajukan masyarakat Batak Toba di Lintongnihuta.
Lintongnihuta jauh mengalami keterbelakangan baik di bidang ekonomi,
sosial budaya, dan pendidikan jika dibandingkan dengan daerah daerah lain yang ada
Antonius P. Manalu : Perkembangan Agama Katolik Dan Pengaruhnya Terhadap Masyarakat Di Lintongnihuta (1937 – 1985), 2010.
di Indonesia. Salah satu usaha yang dilakukan oleh missionaris Katolik untuk
mengejar ketertinggalan ini adalah dengan memajukan pendidikan kepada
masyarakat dengan mendirikan sekolah sekolah Katolik di Lintongnihuta. Agama
Katolik menyadari bahwa untuk merubah kepercayaan tradisional Batak Toba dan
adat istiadat yang bertentangan dengan ajaran agama Katolik dan untuk mengejar
keterbelakangan dari daerah yang lain haruslah melalui pendidikan, baik pendidikan
formal maupung informal.
Salah satu keistimewaan sekolah-sekolah Katolik bila dibandingkan dengan
sekolah sekolah lain adalah bahwa dalam sekolah Katolik ditanamkan disiplin yang
kuat. Sekolah Katolik banyak menghasilkan alumni yang beragama Katolik maupun
yang beragama lainnya. Sekolah-sekolah Katolik berhasil melaksanakan tugasnya
sehingga dipercaya dan diminati oleh masyarakat meskipun dengan uang sekolah
yang cukup tinggi.
Sejak masuknya missionaris di paroki Lintongnihuta, missionaris berusaha
keras untuk mendirikan sekolah-sekolah. Di Paroki Lintongnihuta perkembangan
sekolah sekolah hanya dipusatkan di Lintongnihuta mulai dariTaman Kanak kanak
(TK) sampai tingkat Sekolah Menengah Atas. Sekolah Katolik dapat dilihat sebagai
berikut:
TAHUN TK SD SMP
1980 0 153 144
1981 0 172 169
1982 25 195 180
Antonius P. Manalu : Perkembangan Agama Katolik Dan Pengaruhnya Terhadap Masyarakat Di Lintongnihuta (1937 – 1985), 2010.
1983 42 230 237
1984 45 240 253
1985 49 277 282
Sumber: Kantor Paroki Lintongnihuta
Sebelum perang kemerkdekaan sekolah sekolah rakyat katolik telah dibangun
disetiap setiap paroki di Sumatera. Termasuk daerah Lintongnihuta, sekolah rakyat
yang setingkat dengan kelas I sampai dengan kelas III SD ( Volks School) dan kelas
IV sampai dengan Kelas VI ( Ver Volk School). Setelah perang dunia II Volks School
dan Ver Volk School diganti menjadi Sekolah Dasar. Tahun 1953 Sekolah Dasar
Bintang Kejora dan Sekolah Menengah Pertama Santo Yosef. Sekolah ini hanya
berada di Lintongnihuta tidak sampai ke stasi-stasi di paroki Lintongnihuta. Sekolah
ini hanya berada di Paroki Lintongnihuta dikarenakan berdirinya sekolah sekolah
negeri di desa desa. Tahun 1954 didirikan Sekolah Guru Bawah (SGA), Sekolah
Guru Atas (SGA) dan Sekolah Kepandaian Putri (SKP) danTahun 1958 didirikan
Sekolah Menengah Atas (SMA) Santa Maria.
Tahun 1977 Sekolah Guru Bawah dan Sekolah Kepandaian Putri digabungkan
menjadi Sekolah Menengah Pertama dan Sekolah Guru Atas digabungkan dengan
Sekolah Menengah Atas. Tahun 1980 SMA Santa Maria Lintongnihuta ke Dolok
Sanggul, hal ini dikarenakan dibukanya SMA Negeri di Lintongnihuta. SD RK
Bintang Kejora dan SMP Santo Yosef dikelola oleh Yayasan Abdi Balige.
Dalam meningkatkan jumlah siswa siswi untuk bersekolah di SD dan SMP
Katolik di Lintongnihuta, pihak Katolik mendirikan asrama untuk menampung siswa
Antonius P. Manalu : Perkembangan Agama Katolik Dan Pengaruhnya Terhadap Masyarakat Di Lintongnihuta (1937 – 1985), 2010.
siswi yang berasal dari luar daerah Lintongnihuta. Asrama Katolik Don Bosco
dikelola langsung oleh suster-suster KSFL.
Selain pendidikan formal yang didirikan oleh missionaris, kegiatan pelayanan
pendidikan keimanan dilakukan oleh missionaris dalam membina umat Katolik di
Lintongnihuta. Pelayanan pendidikan keimanan dilakukan dengan menghimpun
jemaat Katolik dalam penghayatan keimanan diluar kebaktian gereja. Mengingat
bahwa umat Katolik masih tumbuh dalam pendidikan, secara umum umat Katolik
masih lebih sedikit dibanding dengan umat lain terutama umat Protestan, umat
Katolik dikumpulkan dan dibina secara khusus baik dalam bentuk sermon maupun
dalam bentuk pelajaran agama.
Perkumpulan perkumpulan dibentuk dibawah naungan gereja Katolik seperti
Pembinaan Anak Sekolah Minggu Katolik (ASMIKA), Anak Remaja Katolik
(AREKA), Muda Mudi Katolik (MUDIKA) dan Punguan Ama Katolik (PAK) dan
Punguan Ina Katolik (PIK). Mereka dididik diluar kebaktian gereja berupa doa doa
khusus untuk pendalaman iman masing masing Umat Katolik. Doa doa khusus yang
dilakukan merupakan suatu rangkaian kesatuan yang utuh untuk menjadikan umat
Katolik di Lintongnihuta merasa teduh dalam naungan Roh Kudus60
Dengan aktifnya missionaris agama Katolik yang bertugas di Lintongnihuta,
maka banyak putra-putri Batak Toba yang bersedia menjadi biarawan biarawati
seperti pastor, Frater dan Suster. Untuk menjadi seorang pastor harus bersekolah
dulu di sekolah seminari yang merupakan sekolah calon imam. Seseorang dapat
.
60 Hasil wawancara dengan pastor Levi Pakpahan tanggal 25 Juli 2009 pukul 10.00 Wib.
Antonius P. Manalu : Perkembangan Agama Katolik Dan Pengaruhnya Terhadap Masyarakat Di Lintongnihuta (1937 – 1985), 2010.
menjadi pastor apabila telah menyelesaikan pendidikannya dalam tiga tingkatan
seminari yaitu:
Siswa yang diterima dari tamatan SMP
a. Seminari menengah dengan lama pendidikan lima tahun
• Satu Tahun percobaan (Probatorium)
• Tiga tahun SMA
• Satu tahun persiapan ke Seminari Tinggi ( Rhetorika)
b. Seminari Tinggi I (Empat tahun)
• Satu tahun novisiat
• Dua tahun filsafat sambil berkaul kekal
• Satu tahun praktek kerasulan
c. Seminari Tinggi II (Empat tahun)
• Tingkat I Theologia
• Tingkat II Theologia, setelah tingkat II in maka berkaul kekal
• Tingkat III Tahbisan Diakon, telah dapat memberi sakramen akan
tetapi belum sah sebagai pastor
• Tingkat IV persiapan tahbisan Imamat sekaligus penerimaan tugas
sebagai pastor.
Orang Batak Toba yang pertama menjadi pastor adalah pastor A.G. Pius
Datubara yang ditahbiskan tahun 1964 dan pernah menjabat sebagai Uskup di
Keuskupan Agung Medan pada tahun 1976-2008. Sedangkan dari Lintongnihuta
yang sudah berhasil menjadi pastor adalah pastor Ambrosius Sihombing yang
Antonius P. Manalu : Perkembangan Agama Katolik Dan Pengaruhnya Terhadap Masyarakat Di Lintongnihuta (1937 – 1985), 2010.
ditahbiskan tahun 1969 dan pastor Redemptus Simamora yang ditahbiskan tahun
1981.
Dalam penyerahan diri menjadi biarawan dan biarawati sebagai pastor, masih
banyak putera-puteri Batak Toba yang juga menjadi frater dan suster yang berperan
untuk mendarmabaktikan dirinya menjadi penyokong tegaknya ajaran Katolik.
Mereka menyerahkan seluruh aktifitas hidupnya demi kejayaan umat dan gereja.
Biarawan lain seperti frater ikut menyokong lajunya perkembangan agama Katolik di
Lintongnihuta. Frater menitik beratkan kegiatan pada bidang pendidikan untuk
kawasan Tapanuli Utara di Soposurung Balige. Dari daerah Lintongnihuta yang
sudah menjadi frater antara lain: Frater Ingot Sihombing, Frater Sabat Sihombing,
dan frater Ramlan Simanullang.
Di paroki Lintongnihuta terdapat susteran demi memperlancar kegiatan paroki
tersebut. Suster-suster di Lintongnihuta merupakan kongregasi suster Fransiskanes
Santa Lusia (KSFL). Kongregasi suster ini berasal dari Bennebroek dan membuka
pelayanan di medan tanggal 16 Juli 1948. dan tanggal 27 Mei 1954, pusat kongregasi
susteran KSFL ini dipindahkan di Lintongnihuta. Demikian juga sekolah susteran
yang berada di Bukit Tinggi ikut serta dipindahkan ke Lintongnihuta. Kongregasi dari
suster KSFL lebih dikenal dengan julukan suster-suster Lintongnihuta. Suster
bergerak aktif melayani umat Katolik dan masyarakat melalui aktifitas social
terutama dalam layanan pendidikan dan kesehatan. Suster Batak Toba yang pertama
dari Lintongnihuta adalah suster Bernarda Sianturi, suster Imeldina Lumbangaol dan
suster Ludovika Hutauruk.
Antonius P. Manalu : Perkembangan Agama Katolik Dan Pengaruhnya Terhadap Masyarakat Di Lintongnihuta (1937 – 1985), 2010.
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan
Masyarakat Lintongnihuta pada mulanya menganut kepercayaan tradisional
yaitu kepercayaan animisme dan dinamisme serta kepercayaan kepada Debata
Mulajadi Nabolon. Namun setelah agama Katolik masuk di daerah ini, kepercayaan
tradisional yang mereka anut semakin lama semakin hilang karena sudah banyak
yang beralih menjadi pemeluk agama Kristen Katolik.
Perkembangan agama katolik di Lintongnihuta tidak terlepas dari usaha yang
dilakukan oleh missionaris dalam melakukan pendekatan terhadap masyarakat.
Pendekatan yang dilakukan oleh missionaris baik pendekatan holistik maupun
pendekatan budaya sebagai salah satu penarik minat masyarakat untuk masuk
menjadi agama Katolik. Pendekatan holistik yang dilakukan oleh missionaris seperti
mendirikan sekolah sekolah rakyat, mendirikan balai pengobatan serta membantu
masyarakat dalam bidang perekonomian, sedangkan pendekatan budaya yang
dilakukan oleh missionaris dengan memasukkan kebudayaan masyarakat batak toba
dalam upacara resmi gereja seperti pemakaian ulos dan gondang. Disamping
pendekatan yang dilakukan oleh missionaris, missionaris juga melakukan
propagandis terhadap agama katolik yaitu dengan melakukan penyebaran agama
Katolik sampai ke pelosok-pelosok di Lintongnihuta.
Munculnya tantangan yang dihadapi oleh missionaris dalam menyebarkan
agama Katolik baik yang datang dari pihak Belanda, zending Jerman, dan dari
Antonius P. Manalu : Perkembangan Agama Katolik Dan Pengaruhnya Terhadap Masyarakat Di Lintongnihuta (1937 – 1985), 2010.
masyarakat Lintongnihuta sendiri. Dengan dibukanya sekolah-sekolah rakyat dan
balai pengobatan di Lintongnihuta mengakibatkan semakin berkembangnya agama
Katolik di Lintongnihuta, maka Lintongnihuta merupakan pusat pendidikan dan
kesehatan.
5.2 Saran
Penulisan ini masih sangat jauh dari hasil yang sempurna seperti yang
diharapkan oleh banyak pihak. Oleh sebab itu, penulis memberikan saran-saran untuk
penulisan selanjutnya yang lebih baik mengenai perkembangan agama Kristen di
Lintongnihuta maupun di daerah yang lain. Adapun saran-saran tersebut adalah:
1. Perlunya penambahan/perbanyakan literatur mengenai perkembangan agama
Kristen sebagai pedoman dalam sebuah penelitian. Sulitnya untuk mendapatkan
literatur dan data tertulis menjadi tantangan dalam penelitian selanjutnya.
2. Pemerintah daerah setempat maupun gereja-gereja setempat perlu
memperhatikan pentingnya penyimpanan data-data yang lengkap mengenai
perkembangan gereja agar kelak dapat dipergunakan sebagai bahan acuan dalam
penelitian selanjutnya.
Antonius P. Manalu : Perkembangan Agama Katolik Dan Pengaruhnya Terhadap Masyarakat Di Lintongnihuta (1937 – 1985), 2010.
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, Taufik, Sejarah Lokal Di Indonesia, Yogyakarta: Gajah Mada University
Press, 1996. Arnolus, Sejarah Gereja Katolik Indonesia, Jakarta: Taman Cut Mutiah IO, 2994. Datubara, AGP, Omnibus Omnia, Medan: Bina Media Perintis, 2008. Gottschalk, Louis, understanding History, Mengerti Sejarah, (Terj.) Nugroho
Notosusanto, Jakarta: UI Press, 1992. Gultom, DJ, Raja Marpodang, Dalihan Natolu Nilai Budaya Suku Batak, Medan: CV.
Amanda, 1996. Harahap, Hamidi, Orientasi Nilai- nilai Budaya Batak, Jakarta: Sanggar Willem
Iskandar, 1987. Harjana, A.M, Penghayatan Agama : yang Otentik dan tidak Otentik, Jakarta,
BPK.Gunung Mulia. 1993 Hombrighousen, E.G, Pendidikan agama Kristen, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1996. Hutagalung, W.M, Pustaha Batak, Jakarta: Tulus Jaya, 1987. Hutauruk, M, Sejarah Ringkas Tapanuli, Jakarta: Erlangga, 1987. Kartodirjo, Sartono, Pendekatan Ilmu Dalam Metodologi Sejarah, Jakarta: PT.
Gramedia Pustaka Utama, 1992. Koentjaraningrat, Kebudayaan Mentalitas dan Pembangunan, Jakarta: Gramedia
Pustaka Utama, 1985. ----------------------, Pengantar Ilmu Antropologi, Jakarta: Rineka Cipta, 1990. Kuntowijoyo, Pengantar llmu Sejarah, Yogyakarta: PT. Benteng Pustaka, 2005. Kurris, R, Pelangi Di Bukit Barisan, Jakarta: Kanisius, 2006. Lumban Tobing, Makna Wibawa Jabatan Dalam Gereja Batak, Jakarta: BPK.
Gunung Mulia, 1992. Manalu, Ismail, Mengenal Batak, Medan: CV. Kiara, 1985.
Antonius P. Manalu : Perkembangan Agama Katolik Dan Pengaruhnya Terhadap Masyarakat Di Lintongnihuta (1937 – 1985), 2010.
Nottingham, Elizabet, Agama dan Masyarakat Suatu Pengantar Sosiologi Agama, Jakarta, PT. Raja Grafindo Pustaka Persada, 1994.
O, Dea, Thomas. F, Sosiologi Agama, Jakarta: PT. Rajawali, 1987. Piet, Go, Kawin Campur Beda Agama Dan Beda Gereja, Malang: dioma, 1987. Schreiner, Lothar, Adat dan Injil: Perjumpaan Adat dengan Iman Kristen di Tanah
Batak, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2003. Simaremare, M, Mengenal Kebudayaan Batak Dalihan Na Tolu, Yogyakarta: Gajah
Mada University Press, 1976. Sihombing, T. M, Jambar Hata Dongan Tu Ulaon Adat, Jakarta: Tulus Jaya, 1991. ----------------------, Filsafat Batak, Jakarta: Balai Pustaka, 2000. Sinaga, Richard, Adat Budaya Batak dan Kekristenan, Jakarta: Dian Utama, 2000. Situmorang, Sitor, Toba Na Sae, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1993. Theeuwes, Crispinianus, Cita Dan Cerita Kapusin, Medan: Bina Media Perintis,
1990.
Antonius P. Manalu : Perkembangan Agama Katolik Dan Pengaruhnya Terhadap Masyarakat Di Lintongnihuta (1937 – 1985), 2010.
DAFTAR INFORMAN
1. Nama : Maruhum Sihombing
Usia : 56 tahun
Alamat : Desa Pasar Baru Lintongnihuta
Jabatan : Camat Lintongnihuta
2. Nama : Nelson Siregar
Usia : 60 tahun
Alamat : Desa Pearung
Jabatan : Petani
3. Nama : Maringan Sihombing
Usia : 51 tahun
Alamat : Desa Tapian Nauli
Jabatan : Petani
4. Nama : Kaliaman Sihombing
Usia : 62 Tahun
Alamat : Desa Tapian Nauli
Jabatan : Mantan Vorhanger St. Koendrad Lintongnihuta
5. Nama : Humusor Sihombing
Usia : 58 Tahun
Alamat : Desa Pasar Baru
Jabatan : Ketua Dewan Paroki Lintongnihuta
6. Nama : Pastor Levi Pakpahan
Usia : 48 Tahun
Antonius P. Manalu : Perkembangan Agama Katolik Dan Pengaruhnya Terhadap Masyarakat Di Lintongnihuta (1937 – 1985), 2010.
Alamat : Dolok Sanggul
Jabatan : Pastor Paroki Lintongnihuta
7. Nama : Pinantun Sinaga
Usia : 49 Tahun
Alamat : Desa Pargaulan
Jabatan : Kepala Seksi Kesejahteraan Masyarakat kecamatan Lintongnihuta
8. Nama : Ramidin Sirait
Usia : tahun
Alamat : Desa Pasar Baru
Jabatan : Ketua dewan Stasi Lintongnihuta
9. Nama : Suster Bernalda Sianturi
Usia : 63 Tahun
Alamat : Jln. Bali Pematang Siantar
Jabatan : Suster Kepala KSFL
10. Nama : Mgr. Anicetus Sinaga
Usia : 61 Tahun
Alamat : Jln. Imam Bonjol No. 21 Medan
Jabatan : Uskup Agung Medan
78
LAMPIRAN