perkawinan sesuku dalam budaya minangkabau di … · dalam budaya adat minangkabau sendiri terdapat...

92
PERKAWINAN SESUKU DALAM BUDAYA MINANGKABAU DI NAGARI BATIPUH ATEH (PENDEKATAN ANTROPOLOGI HUKUM) Skripsi Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H) Oleh Helma Suryani NIM 11150440000001 PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH J A K A R T A 2019 M/1440 H

Upload: others

Post on 08-Aug-2020

32 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: PERKAWINAN SESUKU DALAM BUDAYA MINANGKABAU DI … · Dalam budaya adat Minangkabau sendiri terdapat perkawinan sesuku yang menjadi dinding penghalang seseorang untuk bisa melangsungkan

PERKAWINAN SESUKU DALAM BUDAYA MINANGKABAU

DI NAGARI BATIPUH ATEH

(PENDEKATAN ANTROPOLOGI HUKUM)

Skripsi

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar

Sarjana Hukum (S.H)

Oleh

Helma Suryani

NIM 11150440000001

PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH

J A K A R T A

2019 M/1440 H

Page 2: PERKAWINAN SESUKU DALAM BUDAYA MINANGKABAU DI … · Dalam budaya adat Minangkabau sendiri terdapat perkawinan sesuku yang menjadi dinding penghalang seseorang untuk bisa melangsungkan

ii

Page 3: PERKAWINAN SESUKU DALAM BUDAYA MINANGKABAU DI … · Dalam budaya adat Minangkabau sendiri terdapat perkawinan sesuku yang menjadi dinding penghalang seseorang untuk bisa melangsungkan

iii

Page 4: PERKAWINAN SESUKU DALAM BUDAYA MINANGKABAU DI … · Dalam budaya adat Minangkabau sendiri terdapat perkawinan sesuku yang menjadi dinding penghalang seseorang untuk bisa melangsungkan

iv

Page 5: PERKAWINAN SESUKU DALAM BUDAYA MINANGKABAU DI … · Dalam budaya adat Minangkabau sendiri terdapat perkawinan sesuku yang menjadi dinding penghalang seseorang untuk bisa melangsungkan

v

ABSTRAK

Helma Suryani. NIM 11150440000001. Perkawinan Satu Suku dalam Budaya

Minangkabau di Nagari Batipuh Ateh (Pendekatan Antropologi Hukum), Fakultas

Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 1440

H/2019 M. (x halaman dan 69 halaman).

Fokus penelitian ini adalah menganalisa tentang perkawinan satu suku

dalam budaya Minangkabau di Nagari Batipuh Ateh. Dalam budaya Minangkabau,

perkawinan satu suku merupakan perkawinan yang dilarang. Bagi pelakunya akan

diberikan sanksi adat yang cukup berat yaitu dikucilkan dari keluarga besar,

masyarakat serta dibuang sepanjang adat. Garis keturunan baik suami, isteri

maupun anak tidak boleh menggunakan nama suku. Demikian juga dengan hak-hak

adat yang lainnya. Namun, ada sebuah Nagari di Batipuh Ateh, Kabupaten Tanah

Datar, terdapat pengecualian terhadap larangan tersebut. Di Nagari ini perkawinan

satu suku diperbolehkan selama pasangan tersebut berasal dari Nagari yang

berbeda. Namun, larangan tetap berlaku jika pasangan berasal dari Nagari yang

sama, karena tradisi di Batipuh Ateh ini langka, maka menarik untuk dilakukan

penelitian lebih mendalam apa yang menjadi alasan pembolehannya dan bagaimana

Kerapatan Adat Nagari memberikan dispensasi perkawinan tersebut.

Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif dengan menggunakan

pendekatan antropologi hukum. Teknik pengumpulan data dengan menggunakan

teknik survey dan wawancara mendalam dengan pemangku adat, tokoh masyarakat,

dan pelaku perkawinan. Dalam penelitian ini peneliti berupaya memotret sejelas

dan seobjektif mengkin apa yang terjadi dalam pelaksanaan perkawinan satu suku

pada masyarakat Batipuh Ateh.

Adapun hasil dari penelitian ini adalah bahwa masyarakat Batipuh Ateh

membolehkan perkawinan satu suku dengan catatan pasangan berada di Nagari

yang berbeda, namun tidak membolehkan perkawinan satu suku yang tinggal di

Nagari yang sama. Untuk pasangan yang akan melakukan perkawinan satu suku

dengan Nagari yang berbeda, harus mendapat izin dari ninik mamak suku tersebut

untuk memastikan bahwa memang benar pasangan tersebut berlainan nagari dan

ketua sukunya berbeda. Dalam penelitian ini juga terdapat informan yang

melakukan perkawinan satu suku dan se Nagari. Bagi kedua pasangan ini,

Kerapatan Adat Nagari memberikan sanksi adat yang sangat keras berupa

pembuangan secara adat, dihapus dari kaum dan dikucilkan serta membersihkan

kembali nama baik ninik mamak dengan upacara adat tertantu.

Kata Kunci : Perkawinan, Satu Suku, Adat, Minangkabau.

Pembimbing : Dr. Yayan Sopyan S.H., M.A., MH.

Page 6: PERKAWINAN SESUKU DALAM BUDAYA MINANGKABAU DI … · Dalam budaya adat Minangkabau sendiri terdapat perkawinan sesuku yang menjadi dinding penghalang seseorang untuk bisa melangsungkan

vi

KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur Penulis ucapkan ke hadirat Allah SWT atas segala

nikmat, rahmat, hidayah, berkah dan keridhaan-Nyalah Penulis bisa menyelesaikan

penulisan skripsi ini yang berjudul “PERKAWINAN SESUKU DALAM

BUDAYA MINANGKABAU DI NAGARI BATIPUH ATEH

(PENDEKATAN ANTROPOLOGI HUKUM)”. Shalawat serta salam semoga

tercurah limpahkan kepada Rasulullah SAW., keluarga dan sahabat-sahabatnya,

serta para Pengikutnya hingga akhir zaman.

Segala upaya yang Penulis lakukan seakan tiada artinya jika tidak dibantu

maupun didorong oleh berbagai pihak. Karena itu Penulis ingin mengucapkan

terima kasih kepada pihak-pihak yang sudah berkenan membantu dan memberikan

dorongan nasihat yang amat berharga bagi terselesaikannya skripsi ini.

Penulis ucapkan terima kasih dan penghormatan yang sebesar-besarnya

terutama Penulis sampaikan kepada:

1. Dr. H. Ahmad Tholabie Kharlie, S.H., M.H., selaku Dekan Fakultas

Syariah dan Hukum beserta para Wakil Dekan.

2. Dr. H. Abdul Halim, M. Ag., Ketua Program Studi Hukum Keluarga

dan Bapak Indra Rahmatullah SH.I., MH., Sekretaris Program Studi

Hukum Keluarga.

3. Dr. Yayan Sopyan, S.H., M.A., MH, pebimbing skripsi sekaligus dosen

pembimbing akademik saya, yang dengan penuh kesabaran berkenan

membimbing, memotivasi, dan memberikan arahan yang amat berharga

sehingga terselesaikannya skripsi ini.

4. Seluruh Dosen dan Civitas Akademika Fakultas Syariah dan Hukum,

pimpinan dan seluruh karyawan perpustakaan di lingkungan UIN Syarif

Hidayatullah Jakarta.

5. Para Narasumber yang telah meluangkan waktunya untuk memberikan

data-data terkait penelitian ini, bapak H. Samsuar DT. Gadang

Majolelo, Bapak Safrial, DT. Batuah Nan Teleang, Bapak Hj. Alfa

Page 7: PERKAWINAN SESUKU DALAM BUDAYA MINANGKABAU DI … · Dalam budaya adat Minangkabau sendiri terdapat perkawinan sesuku yang menjadi dinding penghalang seseorang untuk bisa melangsungkan

vii

Edison, DT. Mustafa, Bapak Azizman DT. Sinaro Alam Nan Putiah,

Bapak Musa DT. Tumangguang, Yuniar, Yusmawati.

6. Teristimewa untuk keluarga saya, Ayahanda Mawardi DT. Indomo dan

Ibunda Yusmawati yang sangat saya cintai dengan segenap hati ini.

Atas kasih sayang dan pengorbanannya baik berupa materiil, dan

segenap jiwa raganya untuk keberhasilan saya. Serta kakak dan adik-

adik saya Maryu Yendra Dewi. Firdaus Ramadhani dan Dian Oktania

Fitri yang selalu memberikan dorongan kepada saya untuk segera

menuntaskan penulisan skripsi.

7. Teman-teman Hukum Keluarga UIN Jakarta khususnya angkatan 2015,

yang telah berbagi ilmu dan bertukar fikiran dengan saya, semoga ilmu

yang kita dapatkan menjadi ilmu yang bermanfaat.

8. Kepada sahabat-sahabat saya Mitra Aminah dan Ahmad Fala Tansa,

S.H yang telah membantu saya dalam menyelesaikan skripsi ini.

9. Terimakasih kepada abang Adeb Davega Prasna, S.H., yang telah

membantu saya dalam menyelesaikan penulisan skripsi ini.

Semoga segala arahan, bimbingan, dan motivasi yang telah diberikan oleh

berbagai pihak tersebut mendapatkan ganjaran pahala yang berlipat ganda dari

Allah SWT.

Tak banyak kata yang bisa Penulis sampaikan selain ucapan syukur, terima

kasih dan harapan yang besar semoga skripsi ini dapat memberikan kontribusi yang

besar untuk kemajuan bangsa dan negara, khususnya di dunia akademik. Mudah-

mudahan skripsi ini bermanfaat untuk penulis pada khususnya dan para pambaca

pada umumnya. Akhirul kalam wabillahittaufiq wal hidayah

Jakarta, 29 Mei 2019

Helma Suryani

Page 8: PERKAWINAN SESUKU DALAM BUDAYA MINANGKABAU DI … · Dalam budaya adat Minangkabau sendiri terdapat perkawinan sesuku yang menjadi dinding penghalang seseorang untuk bisa melangsungkan

viii

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ...............................................................................................i

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ..................................................ii

LEMBAR PENGESAHAN PENGUJI ...............................................................iii

LEMBAR PERNYATAAN ..................................................................................iv

ABSTRAK ..............................................................................................................v

KATA PENGANTAR ..........................................................................................vi

DAFTAR ISI .......................................................................................................viii

BAB I : PENDAHULUAN

A. Latar Belakang ........................................................................1

B. Identifikasi Masalah ...............................................................5

C. Pembatasan Masalah ...............................................................5

D. Perumusan Masalah ................................................................6

E. Tujuan Penelitian ....................................................................6

F. Manfaat Penelitian ..................................................................6

G. Penelitian Terdahulu ...............................................................7

H. Metode Penelitian

1. Pendekatan Penelitian ...................................................9

2. Jenis Penelitian ............................................................10

3. Fokus Penelitian ..........................................................10

4. Sumber Data ................................................................10

5. Teknik Pengumpulan Data ..........................................11

6. Analisis Data ...............................................................11

7. Sistematika Penulisan ..................................................12

Page 9: PERKAWINAN SESUKU DALAM BUDAYA MINANGKABAU DI … · Dalam budaya adat Minangkabau sendiri terdapat perkawinan sesuku yang menjadi dinding penghalang seseorang untuk bisa melangsungkan

ix

BAB II : HUKUM ADAT DAN PLURALISME HUKUM DI

INDONESIA

A. Teori Pluralisme Hukum di Indonesia

1. Pengertian Pluralisme Hukum di Indonesia .................13

2. Sejarah Pluralisme Hukum di Indonesia ......................16

3. Teori Pluralisme Hukum di Indonesia .........................18

B. Hukum Adat

1. Pengertian Hukum Adat ..............................................20

2. Eksistensi Hukum Adat di Indonesia ...........................24

3. Bentuk-bentuk Perkawinan Adat .................................29

4. Larangan Perkawinan Dalam Hukum Perkawinan Adat

.....................................................................................31

C. Perkawinan Adat Minangkabau

1. Perkawinan di Minangkabau .......................................34

2. Perkawinan Sesuku .....................................................39

BAB III : NAGARI BATIPUH ATEH DAN EKSISTENSI LEMBAGA

ADATNYA DALAM PERKAWINAN SATU SUKU

A. Profil Nagari Batipuh Ateh

1. Sejarah Nagari Batipuh Ateh .......................................42

2. Pemerintahan Nagari Batipuh Ateh .............................44

B. Eksistensi Lembaga Adat di Nagari Batipuh Ateh

1. Tujuan Dibentuknya KAN (Kerapatan Adat Nagari) ..44

2. Tugas dan Fungsi KAN (Kerapatan Adat Nagari) .......47

BAB IV : PERKAWINAN SATU SUKU DALAM BUDAYA

MINANGKABAU DI NAGARI BATIPUH ATEH

A. Praktik Perkawinan Satu Suku di Nagari Batipuh Ateh ........49

B. Akibat Hukum Perkawinan Satu Suku ..................................55

C. Implementasi Perkawinan Satu Suku di Minangkabau .........57

Page 10: PERKAWINAN SESUKU DALAM BUDAYA MINANGKABAU DI … · Dalam budaya adat Minangkabau sendiri terdapat perkawinan sesuku yang menjadi dinding penghalang seseorang untuk bisa melangsungkan

x

BAB V : PENUTUP

A. Kesimpulan ...........................................................................60

B. Saran .....................................................................................62

DAFTAR PUSTAKA ...........................................................................................63

LAMPIRAN .........................................................................................................69

Page 11: PERKAWINAN SESUKU DALAM BUDAYA MINANGKABAU DI … · Dalam budaya adat Minangkabau sendiri terdapat perkawinan sesuku yang menjadi dinding penghalang seseorang untuk bisa melangsungkan

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Pada dasarnya, manusia tidak akan dapat berkembang dengan baik

tanpa adanya suatu proses atau lembaga yang disebut perkawinan.

Perkawinan bagi masyarakat bukan sekedar acara persetubuhan antara jenis

kelamin yang berbeda sebagaimana makhluk ciptaan Allah lainnya, akan

tetapi perkawinan bertujuan untuk membentuk keluarga yang berbahagia dan

kekal berdasarkan UU Nomor 1 Tahun 1974,1 bahkan dalam pandangan

hukum adat perkawinan merupakan hubungan kekerabatan dan merupakan

syarat yang mengatur kesanak-saudaraan semenda pada gologan tersebut.2

Sehubungan dengan itu perkawinan tidak saja suatu peristiwa mengenai

mereka yang bersangkutan (perempuan dan laki-laki yang menikah) saja,

melainkan juga bagi orang tuanya, saudara-saudaranya dan keluarga-

keluarganya.3

Dalam budaya adat Minangkabau sendiri terdapat perkawinan sesuku

yang menjadi dinding penghalang seseorang untuk bisa melangsungkan

perkawinan dengan orang yang sesuku dengannya, dimana masing-masing

suku tersebut dipimpin oleh seorang penghulu. Penghulu merupakan sebuah

gelar yang diberikan kepada seorang pemimpin suatu suku atau korong di

wilayah populasi etnis Minangkabau.4 Seorang Penghulu harus dipilih dari

figur yang dianggap paling bijaksana, paling mampu, dan seorang laik-laki

yang paling jernih pandangannya diantara anggota keluarga keturunannya.5

1 Tolib Setiady, Intisari Hukum Adat Indonesia (Dalam Kajian Kepustakaan), (Bandung :

Alfabeta, 2013), h., 221. 2 B. Ter Haar Bzn, Soebakti Pesponoto, Asas-asas dan Susunan Hukum Adat, (Jakarta

Timur : Balai Pustaka, 2013), h., 159. 3 Tolib Setiady, Intisari Hukum Adat Indonesia (Dalam Kajian Kepustakaan), h., 221. 4 Amrizal, “Asal Usul dan Makna Nama Gelar Datuak di Nagari nan Tujuah Kecamatan

Palupuh Kabupaten Agam” Ilmu Sosial dan Humaniora, Vol. 2, No. 2, (Oktober, 2011), h., 96. 5 Elizabeth E. Graves, Asal-Usul Elite Minangkabau Modern Respon Terhadap Kolonial

Belanda Abad XIX/XX, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2007), h., 22.

Page 12: PERKAWINAN SESUKU DALAM BUDAYA MINANGKABAU DI … · Dalam budaya adat Minangkabau sendiri terdapat perkawinan sesuku yang menjadi dinding penghalang seseorang untuk bisa melangsungkan

2

Selain itu, Penghulu juga berkedudukan sebagai Ninik Mamak dalam suku

atau kaumnya.6

Sejalan dengan itu seorang Penghulu merupakan orang yang memiliki

hak-hak istimewa yang melekat pada gelar pusaka yang disandangnya

sebagai Penghulu, kemudian akan diturunkan kepada kemenakan saparuik,

sekaum atau sepersukuan.7 Seorang Penghulu juga memiliki posisi yang

tinggi dan berpengaruh besar dalam kehidupan masyarakat Minangkabau.8

Selain itu kepemimpinan seorang Penghulu juga sangat berkaitan erat untuk

mensukseskan pembangunan dalam berbagai bidang, khususnya kepada anak

dan kemanakan serta kaumnya.9

Adapun menurut hukum adat Minangkabau seseorang dilarang kawin

dengan suku yang sama disebabkan karena garis keturunan di Minangkabau

dilihat berdasarkan garis keturunan ibu, adapun terkait sistem perkawinannya

menggunakan sistem eksogami matrilokal atau eksogami matrilineal, yaitu

suatu sistem yang memperbolehkan seseorang menikah dengan orang yang

memiliki suku yang berbeda dengannya,10 sehingga memberikan pengaruh

yang kuat untuk keturunannya kelak.11

Sedangkan perkawinan yang dilakukan di luar suku menjadi syarat

mutlak diperbolehkannya seseorang melangsungkan perkawinan, yang mana

syarat perkawinan itu telah diatur dalam Undang-undang adat Minangkanbau

pada bagian adat nan ampek, yaitu pada bagian adat nan babuhua mati, yang

6 Aditiawarman dan Abrar, Budaya Alam Minangkabau (BAM), (Padang: Pemerintah Kota

Padang Dinas Pendidikan, 2007), h., 125. 7 Amrizal, “Asal Usul dan Makna Nama Gelar Datuak di Nagari nan Tujuah Kecamatan

Palupuh Kabupaten Agam”, Ilmu Sosial dan Humaniora, Vol. 2, No. 2, (Oktober, 2011), h., 97-98. 8 Irfan Saputra, “Perilaku Politik Elit Adat Studi Atas Kemenangan Bupati Indra Cantri dan

Wakil Bupati Trinda Farhan Satria pada Pemilukada 2015 di Kabupaten Agam, Sumatera Barat.”

(Skirpsi S-1 Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah

Jakarta, 2017), h., 1-2. 9 Idrus Hakimi, Pegangan Penghulu, Bundo Kanduang, dan Pidato Aula Pasambahan Adat

di Minangkabau, (Bandung: Remadja Karya CV, 1984, Cet. Pertama), h., 1. 10 Resty Yulanda, “Sanksi Adat Terhadap Perkawinan Sesuku dalam Kenagarian Sungai

Asam Kabupaten Padang Pariaman.” (Skripsi S-1 Fakultas Hukum, Universitas Andalas Padang,

2011), h., 3. 11 Resty Yulanda, “Sanksi Adat Terhadap Perkawinan Sesuku dalam Kenagarian Sungai

Asam Kabupaten Padang Pariaman.” (Skripsi S-1 Fakultas Hukum, Universitas Andalas Padang,

2011), h., 3.

Page 13: PERKAWINAN SESUKU DALAM BUDAYA MINANGKABAU DI … · Dalam budaya adat Minangkabau sendiri terdapat perkawinan sesuku yang menjadi dinding penghalang seseorang untuk bisa melangsungkan

3

dalam hal ini menegaskan bahwa semua ketentuan dan hukum adat yang

berlaku tidak dapat diubah-ubah.12 Seperti perkawinan sesuku yang sudah

bersifat turun temurun dan disebut juga sebagai keluarga sakampuang

(sekampung) atau suatu kelompok orang yang berkumpul dalam beberapa

rumah gadang dengan satu keturunan atau satu nenek moyang, sehingga hal

ini menciptakan pendapat bahwa perkawinan sesuku merupakan perkawinan

dengan saudara sendiri.

Selain itu penerapan perkawinan sesuku ini tidak sama antar wilayah

Minangkabau, hal ini selaras dengan pepatah adat “lain lubuk lain ikannya,

lain Nagari lain pula adat istiadatnya”.13 Dimana pepatah adat tersebut

mengisyaratkan bahwa setiap Nagari sama dalam hal entitas kultural dan

geografis namun dalam penerapan hukum adat setiap Nagari tidaklah sama

karena setiap Nagari diatur oleh hukum adatnya masing-masing.

Begitu juga adat istadat yang berlaku di Nagari Batipuh Ateh, dimana

dalam memahami perkawinan sesuku, aturan adat Salingka Nagari Batipuh

Ateh yang dipimpin oleh Penghulu atau lembaga adat hanya melarang

perkawinan sesuku yang terdapat dalam Nagari yang sama, sedangkan jika

perkawinan sesuku yang berbeda Nagari diperbolehkan namun tetap menjadi

perhatian dan pertimbangan Penghulu dalam memutuskannya. Karena pada

hakikatnya setiap Penghulu memiliki peran aktif dalam menjaga keluarga,

kemenakan dan anggota kaumnya salah satu peran atau usaha yang dapat

dilakukan oleh Penghulu dalam menjaga dan mengatasi agar tidak terjadinya

perkawinan sesuku tersebut adalah dengan cara memberikan pembinaan dan

nasehat serta pengembangan nilai-nilai adat kepada keluarga, kemanakan dan

anggota kaumnya.14

12 Arika Suryadi, “Perkawinan Sesuku Di Nagari Matur, Kabupaten Agam, SUMBAR

(Studi Pandangan Tokoh Adat dan Tokoh Agama).” (Skripsi S-1 Fakultas Syari’ah, Universitas

Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2009), h., 3. 13 Nola Putriyah P, “Perkawinan Eksogami: Larangan Perkawinan Satu Datuak di Nagari

Ampang Kuranji, Sumatera Barat”, Al-Ahwal, Vol. 8, No. 2, (2015 M/1436 H) h., 176. 14 Iqbal Sonta Pratama, “Peranan Tungku Tigo Sajarangan Dalam Mengatasi Perkawinan

Sesuku Menurut Hukum Adat di Nagari Sungai Buluah Kecamatan Batang Anai Kabupaten Padang

Pariaman”, Fakultas Hukum, Volume Iv, No. 1, (Februari, 2017), h., 4.

Page 14: PERKAWINAN SESUKU DALAM BUDAYA MINANGKABAU DI … · Dalam budaya adat Minangkabau sendiri terdapat perkawinan sesuku yang menjadi dinding penghalang seseorang untuk bisa melangsungkan

4

Adapun yang menjadi salah satu alasan tidak diperbolehkannya

perkawinan sesuku, karena masyarakat di Batipuh Ateh berpandangan bahwa

hubungan sesuku merupakan hubungan keluarga dan jika ini dilanggar

tentunya akan bertentangan dan tidak sesuai dengan apa yang telah diatur oleh

hukum adat serta ini akan mencerminkan posisi dan keberadaan hukum adat

dewasa ini yang semakin melemah.15

Terkait dengan peran lembaga adat atau Penghulu terhadap mereka

yang melanggar aturan perkawinan sesuku akan diberikan hukuman seperti

dibuang sepanjang adat.16 Hal ini tentu akan sangat berpengaruh terhadap

kehidupan pelaku dalam masyarakat, terutama dalam kaumnya. Pelaku akan

dikucilkan dari kaum serta menerima berbagai cemoohan di lingkungan

tempat tinggalnya.

Faktor cinta juga menjadi pemicu terjadinya perkawinan sesuku,

sehingga perkawinan sesuku semakin banyak dan bersemi di tengah-tengah

masyarakat, seiring dengan faktor pendidikan, ekonomi, dan budaya juga

menjadi alasan terjadinya perkawinan sesuku. Oleh sebab itu, Penghulu

berperan penting dalam menjaga anak dan kemenakannya, agar tidak

melakukan perkawinan sesuku atau dimaksudkan sama dengan perkawinan

satu keturunan yang berasal dari satu rumpun suku ataupun berbau suku yang

sama.17

Berdasarkan pada signifikasi pemberlakuan perkawinan sesuku dengan

Nagari yang berbeda bermanfaat untuk diterapkan terutama bagi mereka yang

memiliki hubungan kekerabatan jauh namun terikat dengan suku yang sama

agar dapat menikah dan menghindari perbuatan zina, karena itulah peneliti

tertarik untuk membahas judul penelitian tentang perkawinan sesuku dalam

15 Resty Yulanda, “Sanksi Adat Terhadap Perkawinan Sesuku dalam Kenagarian Sungai

Asam Kabupaten Padang Pariaman.” (Skripsi S-1 Fakultas Hukum, Universitas Andalas Padang,

2011), h., 3. 16 Yossi Febrina, “Perkawinan Satu Suku di Nagari Jawi-Jawi Sumatera Barat Ditinjau dari

Hukum Islam.” (Skripsi S-1 Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif

Hidayatullah Jakarta, 2017), h, 53. 17 Melly Dwi Saputri, “Perkawinan Sesuku di Desa Tanjung Kecamatan Koto Kampar Hulu

Kabupaten Kampar”, Jom FISIP Volume 2 No. 2 (Oktober, 2015), h., 3.

Page 15: PERKAWINAN SESUKU DALAM BUDAYA MINANGKABAU DI … · Dalam budaya adat Minangkabau sendiri terdapat perkawinan sesuku yang menjadi dinding penghalang seseorang untuk bisa melangsungkan

5

budaya Minangkabau di Nagari Batipuh Ateh (pendekatan antropologi

hukum). Manfaat penelitian ini untuk mempertegas kembali apa penyebab

dibolehkannya perkawinan sesuku serta bagaimana akibat hukum terhadap

pelaku perkawinan sesuku dengan Nagari sama. Serta penelitian ini ditujukan

kepada seluruh masyarakat Minangkabau agar mereka tahu serta lebih

memahami tentang perkawinan sesuku dalam budaya Minangkabau.

B. Identifikasi Masalah

Dari latar belakang permasalahan di atas terdapat beberapa

permasalahan yang teridentifikasi sebagai berikut:

1) Mengapa perkawinan sesuku dalam adat Minangkabau dilarang?

2) Bagaimana akibat hukum perkawinan sesuku dalam budaya

Minangkabau?

3) Apa saja peran dari Ninik Mamak (Penghulu) dalam budaya

Minangkabau?

4) Apa saja peran dari Ninik Mamak (Penghulu) dalam perkawinan sesuku?

5) Mengapa Ninik Mamak sangat berperan aktif dalam menjaga anak dan

kemanakannya terutama dalam hal perkawinan sesuku di Minangkabau?

6) Apa peran lembaga adat dalam menyelesaikan perkara perkawinan

sesuku?

7) Mengapa di zaman modern ini anjuran larangan perkawinan sesuku di

Minangkabau masih tidak diperbolehkan?

8) Bagaimana pandangan Islam terkait pelarangan perkawinan sesuku?

9) Apakah ada pertentangan antara hukum Islam dan hukum Adat terkait

perkawinan sesuku dalam budaya Minangkabau?

C. Pembatasan Masalah

Untuk mempermudah pembahasan dalam penelitian ini, penulis

membatasi masalah yang akan dibahas sehingga pembahasannya lebih jelas

dan terarah sesuai dengan yang diharapkan penulis. Untuk itu penulis hanya

Page 16: PERKAWINAN SESUKU DALAM BUDAYA MINANGKABAU DI … · Dalam budaya adat Minangkabau sendiri terdapat perkawinan sesuku yang menjadi dinding penghalang seseorang untuk bisa melangsungkan

6

akan membahas tentang perkawinan sesuku dalam budaya Minangkabau di

Nagari Batipuh Ateh.

D. Perumusan Masalah

Rumusan masalah penulis membuatnya dalam bentuk pertanyaan

penelitian sebagai berikut:

1. Mengapa perkawinan sesuku di Nagari Batipuah Ateh diperbolehkan

sedangkan di Minangkabau pada umumnya dilarang?

2. Apa implikasi terhadap pelaku yang melanggar perkawinan sesuku di

Nagari Batipuah Ateh?

E. Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka tujuan penelitian ini adalah

sebagai berikut:

1. Menjelaskan tentang penyebab dibolehkannya perkawinan sesuku dalam

budaya Minangkabau di Nagari Batipuh Ateh.

2. Mengungkapkan implikasi terhadap pelaku yang melanggar perkawinan

sesuku di Nagari Batipuh Ateh.

F. Manfaat Penelitian

Dari tujuan tersebut, maka penelitian ini diharapkan dapat memberikan

manfaat sebanyak-banyaknya bagi penulis sendiri maupun dari pihak lain

yang berkepentingan baik secara teoritis maupun praktis.

1. Manfaat teoritis

a. Memberikan masukan pengembangan ilmu pengetahuan tentang

perkawinan sesuku dalam budaya Minangkabau di Nagari Batipuh

Ateh..

b. Memberikan sumbangsih pemikiran baik berupa pengertian hukum

adat, perkawinan sesuku dan antropologi hukum.

Page 17: PERKAWINAN SESUKU DALAM BUDAYA MINANGKABAU DI … · Dalam budaya adat Minangkabau sendiri terdapat perkawinan sesuku yang menjadi dinding penghalang seseorang untuk bisa melangsungkan

7

2. Manfaat praktis

a. Diharapkan setelah membaca penelitian ini bisa memberikan

edukasi yang positif.

b. Sebagai bahan pertimbangan dan masukan bagi peneliti lain yang

akan melakukan penelitian yang serupa dengan tujuan yang berbeda.

G. Penelitian Terdahulu

Berikut ini merupakan penelitian terdahulu yang terkait dengan

perkawinan sesuku dalam budaya Minangkabau studi antropologi hukum di

Nagari Batipuh Ateh yang dilakukan peneliti:

Pertama, Rahmat Hidayat dengan judul “Perkawinan Sesuku dalam

Masyarakat Minangkabau Menurut Pandangan Hukum Islam Studi Kasus di

Kecamatan Banuhampu Sumatera Barat”.18 Skripsi ini membahas tentang

perkawinan sesuku dalam masyarakat Minangkabau berdasarkan hukum

Islam, apakah dari sisi hukum Islam selaras dengan hukum adat yang berlaku

atau malah sebaliknya. Persamaan yang ditemukan dalam skripsi ini adalah

sama-sama membahas tentang perkawinan sesuku. Perbedaannya adalah

penelitian yang dilakukan Rahmat Hidayat bertujuan untuk mengetahui

pandangan hukum Islam terkait dengan perkawinan sesuku di kecamatan

Banuhampu sedangkan fokus penelitian yang dilakukan peneliti adalah untuk

memaparkan tentang perkawinan sesuku dalam budaya Minangkabau di

Nagari Batipuh Ateh.

Kedua, Yossi Febrina dengan judul “Perkawinan Sesuku di Nagari

Jawi-jawi Sumatera Barat Ditinjau dari Hukum Islam”.19 Skripsi ini

membahas tentang analisa masalah terhadap norma-norma atau aturan-aturan

hukum adat Minangkabau, yaitu larangan melangsungkan perkawinan bagi

18 Rahmat Hidayat “Perkawinan Satu Suku dalam Masyarakat Minangkabau Menurut

Pandangan Hukum Islam Studi Kasus di Kecamatan Banuhampu Sumatera Barat”, Universitas

Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, Fakultas Syariah dan Hukum, Ahwal Syakhshiyyah,

Jakarta, 2007. 19 Yossi Febrina, “Perkawinan Satu Suku di Nagari Jawi-jawi Sumatera Barat Ditinjau

dari Hukum Islam”, Universitas Syarif Hidayatullah Jakarta, Fakultas Syariah dan Hukum, Hukum

Keluarga, Jakarta, 2017.

Page 18: PERKAWINAN SESUKU DALAM BUDAYA MINANGKABAU DI … · Dalam budaya adat Minangkabau sendiri terdapat perkawinan sesuku yang menjadi dinding penghalang seseorang untuk bisa melangsungkan

8

mereka yang sesuku. Persamaan yang ditemukan pada penelitian ini adalah

sama-sama membahas tentang perkawinan sesuku. Perbedaannya adalah

penelitian yang dilakukan Yossi Febrina ini bertujuan untuk menganalisa

masalah terhadap norma-norma atau aturan-aturan tentang perkawinan

sesuku menurut hukum Islam, sedangkan fokus penelitian yang dilakukan

peneliti adalah untuk memaparkan tentang perkawinan sesuku dalam budaya

Minangkabau di Nagari Batipuh Ateh.

Ketiga, Melly Dwi Saputri dengan judul “Perkawinan Sesuku di Desa

Tanjung Kecamatan Koto Kampar Hulu Kabupaten Kampar”.20 Jurnal ini

membahas tentang latar belakang terjadinya perkawinan sesuku serta peran

Ninik Mamak terhadap penegakan hukum atau sanksi dalam perkawinan

sesuku. Persamaan yang ditemukan pada penelitian ini adalah sama-sama

membahas tentang perkawinan sesuku. Adapun perbedaannya adalah

penelitian yang dilakukan Melly Dwi Saputri ini membahas tentang

perkawinan sesuku di Tanjung Kecamatan Koto Kampar sedangkan

sedangkan fokus penelitian yang dilakukan peneliti adalah untuk

memaparkan tentang perkawinan sesuku dalam budaya Minangkabau di

Nagari Batipuh Ateh.

Keempat, Iqbal Sonta Pratama dengan judul “Peranan Tungku Tigo

Sajarangan dalam Mengatasi Perkawinan Sesuku Menurut Hukum Adat di

Nagari Sungai Buluah Kecamatan Batang Anai Kabupaten Padang

Pariaman”21 Jurnal ini membahas tentang besarnya Peranan Tungku Tigo

Sajarangan dalam menjaga tatanan nilai adat Minangkabau di Nagari Sungai

Buluah, peranan Tungku Tigo Sajarangan ini dapat membantu masyarakat

Nagari Sungai Buluah untuk memahami agar tidak melakukan perkawinan

sesuku dikarenakan dapat merusak tatanan adat di Minangkabau. Persamaan

yang ditemukan pada penelitian ini adalah sama-sama membahas tentang

20 Melly Dwi Saputri, “Perkawinan Sesuku Di Desa Tanjung Kecamatan Koto Kampar

Hulu Kabupaten Kampar” Fisip, 2015. 21 Iqbal Sonta Pratama, “Peranan Tungku Tigo Sajarangan Dalam Mengatasi Perkawinan

Sesuku Menurut Hukum Adat Di Nagari Sungai Buluah Kecamatan Batang Anai Kabupaten Padang

Pariaman”, Fakultas Hukum tahun 2017.

Page 19: PERKAWINAN SESUKU DALAM BUDAYA MINANGKABAU DI … · Dalam budaya adat Minangkabau sendiri terdapat perkawinan sesuku yang menjadi dinding penghalang seseorang untuk bisa melangsungkan

9

perkawinan sesuku. Adapun perbedaannya adalah penelitian yang dilakukan

Iqbal Sonta ini membahas tentang Peranan Tungku Tigo Sajarangan,

sedangkan fokus penelitian yang dilakukan peneliti adalah untuk

memaparkan tentang perkawinan sesuku dalam budaya Minangkabau di

Nagari Batipuh Ateh.

H. Metode Penelitian

1. Pendekatan Penelitian

Metode yang digunakan ialah metode kualitatif dengan pendekatan

antropologi hukum yang diuraikan secara deskriptif. Antropologi hukum

merupakan suatu cabang ilmu pengetahuan yang mempelajari pola-pola

sengketa dan penyelesaiannya. Baik pada masyarakat-masyarakat sederhana

maupun pada msyarakat yang mengalami proses pengembangan dan

pembangunan.22 Menurut Istilah antropologi terjadi dari kata antropos dan

logos. Kedua kata itu berasal dari bahasa yunani; antropos artinya manusia

logos artinya ilmu atau studi. Jadi antropologoi artinya adalah ilmu yang

mempelajari manusia baik dari segi hatyati maupun dari segi budaya.23

Adapun menurut Miles dan Huberman yang dikutip dalam buku Ulber

Silalahi menjelaskan penelitian kualitatif adalah sumber dari deskripsi yang

luas dan berlandasan kukuh, serta memuat penjelasan tentang proses-proses

yang terjadi dalam lingkup setempat. Dengan data kualitatif diharapkan dapat

mengikuti dan memahami alur peristiwa secara kronologis, menilai sebab

akibat dalam lingkup pikiran orang-orang setempat, dan memperoleh

penjelasan yang banyak dan bermanfaat.24

22 Salman Manggalatung, Amrizal Siagian, Pengantar Studi Antopologi Hukum di

Indonesia, (Jakarta : UIN Jakarta, 2015, Cet. Pertama), h., 20. 23 Hilma Hadikusuma, Antropologi Hukum Indonesia, (Bandung : P.T. Alumni, 2010, Cet.

Ketiga), h., 1. 24 Ulber Silalahi, Metode Penelitian Sosial, (Bandung: PT. Refika Aditama, 2009), h., 284.

Page 20: PERKAWINAN SESUKU DALAM BUDAYA MINANGKABAU DI … · Dalam budaya adat Minangkabau sendiri terdapat perkawinan sesuku yang menjadi dinding penghalang seseorang untuk bisa melangsungkan

10

2. Jenis Penelitian

Dalam penghimpunan bahan yang disajikan dalam penelitian ini

penulis menggunakan jenis penelitian empiris studi antropologi hukum atau

sering disebut sebagai penelitian hukum non-doktrinal yang merupakan suatu

penelitian yang bersumber pada data primer seperti data yang langsung

diperoleh dari objek penelitian. Selain itu penelitian empiris umumnya

mencari jawaban terhadap kesenjangan (gap) antara hukum yang seharusnya

(das sollen) dengan hukum senyatanya (das sein) di dalam kehidupan

masyarakat.25

3. Fokus Penelitian

Fokus penelitian yang peneliti lakukan adalah terkait tentang

perkawinan sesuku dalam budaya Minangkabau di Nagari Batipuh Ateh.

4. Sumber Data

Sumber data merupakan segala sesuatu yang menjadi sumber dan

rujukan dalam penelitian. Adapun sumber data dalam penelitian ini peneliti

bagi dalam dua jenis data, yaitu :

a. Data primer, merupakan sumber yang berkaitan langsung dengan objek

penelitian. Dalam hal ini yaitu wawancara langsung dengan objek yang

diteliti yaitu Ketua Adat, ninik mamak serta masyarakat Nagari Batipuh

Ateh. Diantaranya adalah H. Samsuar, Dt. Gadang Majolelo selalu

pangulu andiko dalam kaumnya serta sebagai anggota dalam KAN,

Safrizal Dt. Batuah Nan Teleang dan Alfa Edison Dt. Mustofa yang

merupakan ninik mamak di Nagari Batipuh Ateh sekaligus anggota

dalam KAN, Azizman Dt. Sinaro Alam Nan Putiah dan Musa Dt.

Tumangguang merupakan pengulu-pengulu yang juga sangat

berpengaruh di Nagari Batipuh Ateh serta juga merupakan bagian dari

25 Yayan Sopyan, Buku Ajar Pengantar Metode Peneltian, (Jakarta : UIN Jakarta, 2010),

h., 32.

Page 21: PERKAWINAN SESUKU DALAM BUDAYA MINANGKABAU DI … · Dalam budaya adat Minangkabau sendiri terdapat perkawinan sesuku yang menjadi dinding penghalang seseorang untuk bisa melangsungkan

11

KAN, SERTA Yuniar dan Yusmawati adalah orang yang juga menjadi

saksi akan adanya perkawinan sesuku di Nagari Batipuh Ateh.

b. Data sekunder, merupakan data pendukung serta memperkuat data-data

primer. Dalam hal ini berupa berupa buku, skripsi, jurnal, tesis, artikel

maupun internet.

5. Teknik Pengumpulan Data

Untuk mengumpulkan data dalam penelitian ini, yang pertama kali

digunakan ialah: (1) Membuat kerangka terkait data-data. (2) Mengamati

sumber data. (3) Membuat pertanyaan wawancara. (4) Melakukan wawancara

dengan tokoh adat, orang tua dan masyarakat. (5) Melakukan transkip hasil

wawancara dari lisan menjadi tulisan. Dengan menggunakan teknik penulisan

ini mampu memberikan gambaran yang sistematis, aktual, faktual dan akurat

terkait data-data yang terjadi dilapangan terkait perkawinan sesuku dalam

budaya Minangkabau (studi antropologi hukum di Nagari Batipuah Ateh).

6. Analisis Data

Data-data yang diperoleh dari hasil penelitian kemudian dilakukan

transkip hasil wawancara dari lisan menjadi tulisan. Setelah itu penulis

menganalisis dengan menggunakan metode analisis deskriptif kualitatif, yaitu

menggunakan penafsiran hukum, penalaran hukum dan argumentasi rasional.

Membuat Kerangka Terkait

Data-data.

Mengamati Sumber Data

Membuat Pertanyaan Wawancara.

Melakukan Wawancara

Dengan Tokoh Adat, Orang Tua Dan Masyarakat

Melakukan Transkip Hasil

Wawancara Dari Lisan Menjadi

Tulisan

Page 22: PERKAWINAN SESUKU DALAM BUDAYA MINANGKABAU DI … · Dalam budaya adat Minangkabau sendiri terdapat perkawinan sesuku yang menjadi dinding penghalang seseorang untuk bisa melangsungkan

12

Kemudian data tersebut penulis paparkan dalam bentuk narasi sehingga

menjadi kalimat yang jelas dan mudah dipahami.

I. Sistematika Penulisan.

Agar penelitian ini lebih terarah penulis menjadikan sistematika

penulisan menjadi lima bab, yang dalam kelima bab tersebut terdiri dari sub

bab yang terkait. Sistematika penulisan sebagai berikut :

Bab I merupakan pendahuluan, meliputi latar belakang, identifikasi

masalah, batasan dan rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian,

penelitian terdahulu, metodologi penelitian, dan sistematika penulisan.

Bab II merupakan Hukum adat dan pluralisme hukum di Indonesia,

mencakup tiga pembahasan, yaitu pertama pengertian pluralisme hukum di

Indonesia, sejarah pluralisme hukum di Indonesia dan teori pluralisme hukum

di Indonesia. Kedua hukum adat mencakup eksistensi hukum adat, bentuk-

bentuk perkawinan adat serta larangan perkawinan dalam hukum perkawinan

adat. Selanjutnya yang ketiga perkawinan adat Minangkabau mencakup

perkawinan di Minangkabau dan perkawinan sesuku.

Bab III menguraikan tentang Nagari Batipuh Ateh dan eksistensi

lembaga adatnya dalam perkawinan sesuku, yang mencakup dua pembahasan

pertama profil Nagari Batipuh Ateh mencakup sejarah Nagari Batipuh Ateh

dan pemerintahan Nagari Batipuh Ateh. Kedua eksistensi lembaga adat di

Nagari Batipuh Ateh mencakup tujuan dibentuknya KAN (Kerapatan Adat

Nagari) dalam menyelesaikan perkawinan sesuku, serta tugas dan fungsi

KAN (Kerapatan Adat Nagari).

Bab IV perkawinan sesuku dalam budaya Minangkabau di Nagari

Batipuh Ateh. mencakup praktek perkawinan sesuku di Nagari Batipuh Ateh,

akibat hukum perkawinan sesuku serta implementasi perkawinan sesuku di

Minangkabau.

Bab V merupakan penutup yang berisi kesimpulan dan rekomendasi.

Page 23: PERKAWINAN SESUKU DALAM BUDAYA MINANGKABAU DI … · Dalam budaya adat Minangkabau sendiri terdapat perkawinan sesuku yang menjadi dinding penghalang seseorang untuk bisa melangsungkan

13

BAB II

HUKUM ADAT DAN PLURALISME HUKUM DI INDONESIA

A. Teori Pluralisme Hukum di Indonesia

1. Pengertian Pluralisme Hukum di Indonesia

Indonesia adalah sebuah negara yang menganut pluralisme hukum, ada

tiga sistem hukum yang hidup di negeri ini yaitu hukum adat, hukum Islam

dan hukum Barat (Belanda). Ketiganya merupakan sistem hukum yang

membentuk hukum nasional di Indonesia.1 Dalam hal ini pluralisme

merupakan kata yang sering digunakan untuk mendeskripsikan Indonesia.

Sebagaimana halnya negara Indonesia tidak hanya plural dalam hal budaya

dan tradisi, akan tetapi juga dalam hal agama, kepercayaan dan golongan

agama yang tersebarluas diseluruh Nusantara.2

Adapun maksud dari pluralisme hukum adalah sebuah “gambar”

kontemporer tentang hukum yang “dilukis” oleh para Sarjana sosio-legal.

Gambar itu dibuat untuk mengkritik gambar hukum monolitik yang terlihat

begitu dominan karena mengacu pada daerah politis beserta turunan-

turunannya. Gambar pluralistis akan mengarahkan kembali riset tentang

hukum dan masyarakat ke arah berbagai pranata normatif yang ada di luar

lingkaran hukum. Selain itu pandangan pluralisme hukum kritis menganggap

bahwa subjek hukum sebagai “yang menciptakan hukum” bukan sekedar

“yang mematuhi hukum”.3

Menurut Andi Akbar bahwa jika kemampuan kreatif dan konstruktif

dari subjek-subjek hukum diakui bersamaan dengan pluralismenya,

hubungan antara hukum dan diri (selves) akan menampakkan

konfleksitasnya. Selain itu beliau juga beranggapan bahwa setiap upaya untuk

membuat konsep ulang atas hukum dalam kerangka pluralisme hukum kritis

1 Abdurrahman, “Harmonisasi Hukum Adat dan Hukum Islam Bagi Pengembangan

Hukum Nasional di Indonesia” Al Mashlahah Jurnal Hukum dan Pranata Sosial Islam, h., 233. 2 Ratno Lukito, Hukum Sakral dan Hukum Sekuler, (Jakarta : Pustaka Alvabet, 2008), h.,

230. 3 Andi Akbar, dkk, Pluralisme Hukum Sebagai Pendekatan Interdisiplin, (Jakarta : Huma,

2005, Cet. Pertama), h., 121-122.

Page 24: PERKAWINAN SESUKU DALAM BUDAYA MINANGKABAU DI … · Dalam budaya adat Minangkabau sendiri terdapat perkawinan sesuku yang menjadi dinding penghalang seseorang untuk bisa melangsungkan

14

adalah bentuk perumusan yang bersifat emansipatoris, karena definisi-

definisi tentang hukum direvisi dan ditolak, gairah-gairah baru terbuka bagi

ilmu pengetahuan sosio-legal.4

Di dunia gerakan perubahan hukum atau gerakan pembelaan

masyarakat adat, pluralisme hukum tidak bisa dilepaskan dari advokasi

pengakuan masyarakat adat. Pada awalnya istilah ini dikemukakan dengan

tujuan membela tanah-tanah masyarakat adat yang diambil paksa oleh LSM

dan segelintir akademisi kampus mulai mengkritik hukum negara yang

digunakan untuk mengabsahkan pengambilan paksa tersebut, sekaligus

menunjukkan bahwa wilayah yang didiami dan dikelola oleh masyarakat adat

bukanlah wilayah tanpa hukum. Sebaliknya masyarakat adat memiliki hukum

yang mengatur mengenai penguasaan dan pengelolaan tanah. Belakangan

istilah pluralisme hukum pertanahan diciptakan khusus untuk membenarkan

kenyataan bahwa selain diatur oleh hukum negara, penguasaan dan

pengelolaan tanah di Indonesia juga diatur oleh hukum adat. Sejarah tersebut

memberikan pondasi bagi aktivis sosial untuk mengartikan pluralisme hukum

sebagai keragaman hukum. Lebih sempit lagi, pluralisme hukum dilihat

ketika negara mengakui keberadaan hukum adat atau hukum lokal lainnya.

Maksudnya jika bila negara atau pemerintah mengakui keberadaan hukum

adat, maka pluralisme hukum telah berlangsung.5

Sejalan dengan hal di atas bahwa sejumlah kalangan akademisi

menemukan dua kekeliruan di dalamnya. Pertama pandangan tersebut

menyempitkan pluralitas menjadi dualitas. Hukum yang dianggap berlaku

dalam organisasi dan wilayah sosial bernama negara hanyalah sitem hukum

negara dan sistem hukum adat. Pandangan tersebut cenderung melupakan

hukum kebiasaan (customary law) dan hukum agama. Dengan menganggap,

bahwa hanya ada dua sistem hukum yang berlaku, pandangan ini sebenarnya

sedang menemukan dualisme, bukan pluralisme. Kedua, pandangan tersebut

melihat relasi dikotomik. Tidak mungkin ada relasi koorporatif atau

4 Andi Akbar, dkk, Pluralisme Hukum Sebagai Pendekatan Interdisiplin, h., 122. 5 Andi Akbar, dkk, Pluralisme Hukum Sebagai Pendekatan Interdisiplin, h., 6.

Page 25: PERKAWINAN SESUKU DALAM BUDAYA MINANGKABAU DI … · Dalam budaya adat Minangkabau sendiri terdapat perkawinan sesuku yang menjadi dinding penghalang seseorang untuk bisa melangsungkan

15

akomodatif antara kedua sistem hukum tersebut. Pandangan yang

mendikotomikan antara hukum negara dengan hukum adat merupakan

konsep tua dalam pemikiran pluralisme hukum. Oleh karena itu pandangan

ini pada dasarnya memang mendapat konteks dalam masa kolonialisme

namun menjadi kehilangan konteks pada periode post kolonialisme.6

Terkait dengan pluralisme hukum yang tidak hanya berkembang dalam

hal wilayah saja atau obyek kajian tetapi juga berkembang dengan cara lain

yakni mendetail dan menajamkan dirinya. Ada beberapa pemikiran yang

bersifat mendetail dan menajam konsep pluralisme hukum yakni ; Pertama,

strong legal pluralism dan weak legal pluralism, (pluralisme hukum yang

kuat dan pluralisme hukum yang lemah). Pluralisme hukum yang kuat adalah

ketika antar berbagai sistem hukum melangsungkan interaksi yang tidak

saling mendominasi atau sederajat. Dalam situasi ini tidak ada sistem hukum

yang lebih superior dibanding sistem hukum yang lain. Situasi sebaliknya

digambarkan dengan pkuralisme hukum yang lemah, pada situasi seperti ini

sistem hukum (biasanya dicontohkan dengan hukum negara) memiliki posisi

superior dihadapan sistem hukum laninnya (biasanya dicontohkan dengan

sistem hukum lokal). Dalam sistem hukum ini individu atau kelompok

cenderung menggunakan salah satu sistem hukum karena tekanan. Kedua,

mapping of law, (pemetaan hukum). Hal ini berawal dari kegelisahan

terhadap pemikir pluralisme dengan mudah membuat peta-peta tentang

hukum. Peta-peta hukum tersebut memilah dengan gampang dengan berbagai

sistem hukum berikut pemberlakuaannya. Ketiga, critical legal pluralism,

(pluralisme hukum kritis). Pluralisme hukum kritis menawarkan sebuah

pendekatan baru dalam pluralisme hukum. Pendekatan yang dilakukan leh

pluralisme hukum yang lama tidak memperhitungkan posisi subyek dalam

wilayah atau lapangan sosial.7

Selain itu pluralisme hukum juga merupakan suatu kondisi dimana

mayarakat melihat adanya lebih dari satu sistem hukum, yang dalam hal ini

6 Andi Akbar, dkk, Pluralisme Hukum Sebagai Pendekatan Interdisiplin h., 7. 7 Andi Akbar, dkk, Pluralisme Hukum Sebagai Pendekatan Interdisiplin, h., 9-11.

Page 26: PERKAWINAN SESUKU DALAM BUDAYA MINANGKABAU DI … · Dalam budaya adat Minangkabau sendiri terdapat perkawinan sesuku yang menjadi dinding penghalang seseorang untuk bisa melangsungkan

16

terkait kasus Indonesia yang mana penduduk bisa menggambarkan dirinya

berupa objek dari suatu sistem atau lebih, yaitu hukum negara dan satu atau

lebih tradisi hukum etnik atau agama. Karena hal itu maka dapat dipahami

bahwa pluralisme hukum tidak menghasilkan entitas yang statis, namun juga

menciptakan interaksi dinamis di antara tradisi-tradisi hukum yang berbed-

beda.8

2. Sejarah Pluralisme Hukum di Indonesia

Pluralisme sudah menjadi suatu fenomena yang nyata semenjak awal

sejarah umat manusia. Sedangkan kajian mendalam terkait hukum baru

dibahas pada abad ke-20. Kemunculan kajian pluralisme hukum salah satunya

dipicu oleh positivisme atau statisme hukum yang menjadi wacana dominan

dalam studi hukum. Serta sudah lebih dahulu muncul dari wacana

polisentrisme hukum yang berkembang baru-baru ini. Meskipun pada

hakikatnya pluralisme hukum ini relatif baru, namun tidak diragukan lagi

bahwa pluralisme hukum ini telah melahirkan banyak kajian yang

kebanyakan bersifat interdisipliner dengan menggunakan sosiologi,

antropologi dan ilmu sosial-sosial lainnya. Sampai saat ini sudah banyak

konsep serta atribut mengenai pluralisme hukum yang diajukan oleh para

ahli. Para legal pluralist pada masa permulaan tahun 1970 mengajukan

konsep pluralisme hukum yang beragam, namun pada hakikatnya tetap

mengacu terkait lebih dari satu sitem hukum yang secara bersama-sama

berada dalam lapangan sosial yang sama.9

Sebagai salah satu aspek dari kajian hukum, pluralisme hukum

dianggap telah melingkupi berbagai institusi hukum, mulai dari pengakuan

atas keberagaman tatanan hukum dalam suatu negara-bangsa sampai pada

konsep hukum yang open-ended dan memiliki cakupan luas yang tidak terlalu

menggantungkan validitasnya pada pengakuan negara. pada fase pertama,

8 Ratno Lukito, Hukum Sakral dan Hukum Sekuler, h., 9-10. 9 Sulistyowati Irianto, “Sejarah dan Perkembangan Pemikiran Pluralisme Hukum dan

Konsekuensi Metodologisnya” Hukum dan Pembangunan, No. 4 (XXXIII), h., 91.

Page 27: PERKAWINAN SESUKU DALAM BUDAYA MINANGKABAU DI … · Dalam budaya adat Minangkabau sendiri terdapat perkawinan sesuku yang menjadi dinding penghalang seseorang untuk bisa melangsungkan

17

kajian ini masih berada di bawah pengaruh pendahulunya, yaitu pemikiran

bahwa sumber dari segala hukum adalah negara. Dalam pemikiran seperti itu

yang memunculkan dominasi negara yang sangat kuat sebagai penentu

terhadap peran pluralisme hukum sampai tingkat tertentu masih tetap

dipertahankan.10

Selain itu pendekatan yang lebih mutakhir terhadap pluralisme hukum

diciptakan untuk memperbaiki ketidak akuran kajian-kajian sebelumnya.

Dengan tuggas baru untuk menciptakan sebuah kajian yang lebih terbuka

terhadap konseptualisasi yurisprudensi sosiologis yang baru, para sarjana

pluralisme hukum mutakhir ini lebih terfokus pada aspek kesaling terkaitan

antara berbagai tatanan hukum. Hal ini mengakibatkan pluralisme hukum

tidak lagi terbatas pada fenomena hukum negara dan hukum non negara, tapi

juga mencakup aspek-aspek analisis yang lebih luas dengan memasukkan

lebih banyak lagi aspek non negara sebagai faktor faktor penentu dalam studi.

Sebagai salah satu negara yang memiiki kebudayaan yang paling beragam di

dunia, Indonesia merupakan laboratorium ideal bagi kajian pluralisme

hukum. Meskipun pada hakikatnya kajian di wilayah ini masih terfokus pada

bagaimana negara membentuk norma-norma hukum masyarakat

(peninggallan kajian pluralisme hukum terdahulu).11

Oleh karena itu jika diamati pemikiran terakhir wacana pluralisme

hukum, maka diperlukan kehati-hatian dalam menarik garis antara hukum

negara dengan hukum yang tidak berasal dari negara. dalam kenyataan

beroperasinya sistem hukum secara bersama-sama, sistem tersebut saling

berkompetisi sekaligus saling menyesuaikan dan mengadopsi. Hal itu terlihat

dari bagaimana hukum internasional memberi dampak sampai kepada

masyarakat lokal.12

10 Ratno Lukito, Hukum Sakral dan Hukum Sekuler, h., 16. 11 Ratno Lukito, Hukum Sakral dan Hukum Sekuler, h., 17. 12 Sulistyowati Irianto, “Sejarah dan Perkembangan Pemikiran Pluralisme Hukum dan

Konsekuensi Metodologisnya” Hukum dan Pembangunan, No. 4 (XXXIII), h., 498-499.

Page 28: PERKAWINAN SESUKU DALAM BUDAYA MINANGKABAU DI … · Dalam budaya adat Minangkabau sendiri terdapat perkawinan sesuku yang menjadi dinding penghalang seseorang untuk bisa melangsungkan

18

3. Teori Pluralisme Hukum di Indonesia

Adanya gagasan mengenai hukum plural setidaknya sudah ada sejak

zaman Montesquieu yaitu mengenai (jika yang dimaksudkan bukan

perbedaan gaya antara ius civile dan ius gentium) hal demikian dapat dilihat

dari tulisan-tulisan yang ditulis oleh para ahli hukum seperti Santi Romano

dan Giurvitch sebagai gambaran tentang hukum yang begitu jelas, tetapi

gagasan tentang pluralisme hukum baru muncul lagi yaitu pada tahun 1960-

an. Sehubungan dengan hal itu tampak dua kecendrungan. Pertama,

pluralisme legal doktrinal yang tampak khsusunya dalam karya Lon Fulller

yang menekankan keteraturan. Kedua adalah pluralisme hukum yang bersifat

ilmiah-sosial, yang dimulai oleh mereka yang melanjutkan agenda riset studi

hukum dan masyarakat.13

Griffiths membedakan adanya dua macam pluralisme hukum yaitu:

Weak legal pluralisme dan strong legal pluralisme, menurut Griffhits

Pluralisme hukum yang lemah itu adalah bentuk lain dari sentralisme hukum

karena meskipun mengakui adanya pluralisme hukum, tetapi hukum negara

tetap dipandang sebagai superior, sementara hukum-hukum yang lain

disatukan dalam hierarki dibawah hukum negara. contoh dari pandangan

pluralisme hukum yang lemah adalah konsep yang diajukan oleh Hooker:

“The term legal pluralism refers to the situation in which two or more law

interract” Meskipun mengakui adanya keanekaragaman sistem hukum, tetapi

ia masih menekankan adanya pertentangan antara apa yang disebut dengan

municipal law sebagai sistem yang dominan (hukum negara) dengan servient

law yang menurutnya inferior seperti kebiasaan dan hukum agama.14

Sementara itu konsep pluralisme hukum yang kuat, yang menurut

Griffhits merupakan produk dari para ilmuwan sosial, adalah pengamatan

ilmiah mengenai fakta adanya kemajemukan tatanan hukum yang terdapat di

semua kelompok masyarakat. Semua sistem hukum yang ada dipandang sama

13 Andi Akbar, dkk, Pluralisme Hukum Sebagai Pendekatan Interdisiplin, h., 126. 14 Andi Akbar, dkk, Pluralisme Hukum Sebagai Pendekatan Interdisiplin, h., 59.

Page 29: PERKAWINAN SESUKU DALAM BUDAYA MINANGKABAU DI … · Dalam budaya adat Minangkabau sendiri terdapat perkawinan sesuku yang menjadi dinding penghalang seseorang untuk bisa melangsungkan

19

kedudukannya dalam masyarakat, tidak terdapat hierarki yang menunjukkan

sistem hukum yang lebih tinggi dari yang lain. Griffhits sendiri memasukkann

pandangan beberapa ahli kedalam pluralisme hukum yang kuat antara lain

adalah, teori living law dari Eugen Erlich, yaitu aturan-aturan hukum yang

hidup dari tatanan normatif, yang dikontrasikan dengan hukum negara. 15

Menurut Griffhits pandangan lain yang dikategorikan sebagai

pluralisme hukum yang kuat menurut Griffhits adalah teori dari Sally Falk

Moore mengenai pembentukan aturan dengan disertai kekuatan pemaksa di

dalam kelompok-kelompok sosial yang diberi label the semi-autonomous

social field. Dalam hal ini Griffhits mengadopsi pengertian pluralisme hukum

dari Moore : “Legal Pluralism refers to normetive heterogenity attendant

upon the fact that social action always takes place in a context of multipple

overlapping semi autonomuos social field”. 16

Sejalan dengan hal itu maka kajian pluralisme hukum di Indonesia

dalam sejarahnya sewaktu Indonesia dijajah oleh Belanda dan saat itu

terdapat ilmuwan Belanda yang menyatakan bahwa bagi orang Islam berlaku

penuh hukum Islam sebab dia telah memeluk agama Islam walaupun dalam

pelaksanaannya terdapat penyimpangan-penyimpangan, dan L.W.C Van Den

Berg dialah yang menganut teori Receptie in Complexu dan dialah yang

memberi nama tersebut.

L.W.C Van Den Berg Termasuk ahli hukum belanda dan dialah yang

paling awal dalam memeperlihatkan secara tegas pengakuannya atas

kenyataan bahwa hukum Islam berlaku sepenuhnya bagi orang Islam di

Indonesia walaupun terdapat penyimpangan-penyimpangan. Bahkan

pemikirannya lebih terlihat nyata dalam jajaran praktis. Dia juga

mengusahakan sehingga sehingga hukum kewarisan dan hukum perkawinan

15 Andi Akbar, dkk, Pluralisme Hukum Sebagai Pendekatan Interdisiplin, h., 59. 16 Jhon Griffhits, Memahami Pluralisme Hukum, Sebuah Deskripsi Konseptual, artikel ini

disampaikan oleh Jhon Griffits dalam pertemuan tahunan Asosiasi Hukum dan Masyarakat (The

Law and Society Association) di Amhest (12-14 Juni 1981), h., 74.

Page 30: PERKAWINAN SESUKU DALAM BUDAYA MINANGKABAU DI … · Dalam budaya adat Minangkabau sendiri terdapat perkawinan sesuku yang menjadi dinding penghalang seseorang untuk bisa melangsungkan

20

Islam dijalankan oleh Hakim-hakim Belanda dengan bantuan

Penghulu/Qadhi Islam.

Adapun teori hukum lain yang bersangkut paut dengan pluralisme

hukum yaitu teori Receptie, teori ini merupakan pertentangan dari teori

Recpetie In Complexu yang dibuat oleh L.W.C. Van Den Berg, teori receptie

dicetus C. Snouck Hurgronje, penganut teori receptie ini mengemukakan

bahwa sebenarnya yang berlaku adalah hukum adat asli. Dalam hukum adat

ini memang telah masuk pengaruh hukum Islam, pengaruh hukum Islam itu

kata mereka, baru mempunyai kekuatan kalau dikehendaki dan diterima oleh

hukum adat dan dengan demikian lahirlah dia keluar sebagai hukum adat

bukan sebagai hukum Islam. Di Hindia belanda teori ini banyak

pengikutnya.17

B. Hukum Adat

Pada dasarnya istilah hukum adat berasal dari bahasa arab, “Huk’mun”

dan “Adah” (jamaknya , Ahkam) yang berarti suruhan atau ketentuan. Selain

itu dalam hukum Islam dikenal dengan “Hukum Syari’ah” yang terdapat lima

macam suruhan dan perintah yang disebut “al-ahkam al-khamsah” yaitu :

fardh (wajib), haram (larangan), mandub atau sunnah (anjuran), makhruh

(celaan), dan jaiz, mubah atau halal (kebolehan). Adah atau adat ini dalam

bahasa arab disebut dengan arti “kebiasaan”yaitu suatu perilaku masyarakat

yang selalu terjadi.18

Dalam sistem hukum di Indonesia, hukum adat disebut sebagai hukum

tidak tertulis (unstatuta law), yang berbeda dengan hukum kontinental

sebagai hukum tertulis (statua law). Dalam sistem hukum Inggris, hukum

tidak tertulis disebut (common law) atau (judge made law). Tidak dapat

dipungkiri bahwa tidak ada satu negara pun di dunia yang tidak memiliki

17 Sayuti Thalib, Receptio A Contrario, Hubungan Hukum Adat Dengan Hukum Islam,

(Jakarta : Bina Aksara, 1982), h., 12-13. 18 Dewi Wulansari, Hukum Adat Indonesia, (Bandung : PT Refika Aditama, Cet. 3, 2014),

h., 1.

Page 31: PERKAWINAN SESUKU DALAM BUDAYA MINANGKABAU DI … · Dalam budaya adat Minangkabau sendiri terdapat perkawinan sesuku yang menjadi dinding penghalang seseorang untuk bisa melangsungkan

21

tatanan hukumnya sendiri. Betapapun sederhananya sebagai negara berdaulat

mempunyai tata hukum sendiri yang bersumber dari pemikiran bangsa itu

sendiri.19

Menurut Hardjito Notopuro hukum adat merupakan hukum yang tidak

tertulis atau hukum kebiasaan yang memiliki ciri khas sebagai pedoman

kehidupan rakyat dalam menyelenggarakan tata keadilan dan kesejahteraan

masyarakat serta bersifat kekeluargaan.20 Sejalan dengan hal itu menurut

Soerjono Soekanto hukum adat merupakan keseluruhan adat (hukum tidak

tertulis) hidup dan berkembang dalam kehidupan masyarakat berupa

kesusilaan kebiasaan, dan kelaziman yang mempunyai akibat hukum.21

Selain itu hukum adat juga merupakan keseluruhan peraturan hukum

yang berisi ketentuan adat istiadat seluruh bangsa Indonesia dimana sebagian

besarnya merupakan hukum yang tidak tertulis, selain itu dalam keadaannya

yang ber-bhineka mengingat bangsa Indonesia terdiri dari ratusan suku

bangsa yang masing-masing suku bangsa tersebut memiliki adat-istiadat

berdasarkan pandangan hudup masing-masing.22 Dalam hal lain terkait

dengan hukum adat perkawinan menurut Dewi Wulansari merupakan atura-

aturan adat yang mengatur tentang bentuk-bentuk perkawinan, cara-cara

pelamaran, upacara perkawinan dam putusnya perkawinan di Indonesia.23

Berdasarkan ketentuan adat pepatah Minangkabau “sawah diagiah

bapamatang, ladang dibari bamintalak, nan babesotapuang jo sadah, nan

bapikehminyak jo aia”. Artinya adat tersebut mengatur tata kehidupan

masyarakat, baik secara perorangan maupun secara bersama dalam setiap

tingkah laku dan perbuatan dalam pergaulan, yang berdasarkan budi pekerti

yang baik dan mulia, sehingga setiap pribadi mampu merasakan kedalam

19 Djamanat Samosir, Hukum Adat Indonesia Eksistensi dalam Dinamika Perkembangan

Hukum di Indonesia, (Bandung : Nuansa Aulia, 2013, Cet. Pertama), h., 1 20 Hardjito Notopuro, Tentang Hukum Adat, Pengertian dan Pembatasan dalam Hukum

Nasional, (Jakarta : Majalah Hukum Nasional, 1969), h., 49. 21 Soerjono Soekanto, Hukum Adat Indonesia, (Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 2005),

h., 283. 22 Ridwan Halim, Hukum Adat dalam Tanya Jawab, (Jakarta : Gralia Indonesia, Cet. 1,

1987), h., 9. 23 Dewi Wulansari, Hukum Adat Indonesia, h., 35-47.

Page 32: PERKAWINAN SESUKU DALAM BUDAYA MINANGKABAU DI … · Dalam budaya adat Minangkabau sendiri terdapat perkawinan sesuku yang menjadi dinding penghalang seseorang untuk bisa melangsungkan

22

dirinya apa yang dirasakan oleh orang lain, hal ini pun diperkuat dengan

ungkapan “bak adat bapiek kulik, sakik dek awak sakik dek urang, sanang

dek awak sangak dek urang, nan elok dek awak katuju dek urang”.24

Pada dasarnya adat Minangkabau terdiri dari empat jenis, namun satu

dengan yang lainnya tidak dapat dipisahkan karena merupakan satu kesatuan

yaitu : Pertama, Adat Nan Babuhua Mati yang merupakan hukum dasar baik

tentang kesatuan tentang ketentuan pokok dari Adat Nan Diadatkan oleh

nenek moyang, maupun tentang aturan-aturan pelaksanaan dari yang disebut

Adat Nan Babuhua Sentak. Dalam petatah-petitih Minangkabau seperti Adat

Nan Babuhua Mati adalah aturan-aturan adat yang tidak bisa diubah-ubah

walau dengan kata mufakat sekalipun. Seperti yang disebutkan dalam pepatah

adat Minangkabau “tak lakang dek paneh, takan lapuak dek hujan, dianjak

tak layua, dibubuik tak mati, dibasuah bahabih aia, dikikih bahabi basi”.25

Kedua, Adat Nan Babuhua Sentak merupakan aturan-aturan yang

dibuat dengan kata mufakat oleh pemuda-pemuda adat di Minangkabau di

setiap Nagari. Sifatnya boleh diubah asal dengan melalui kesepakatan pula.

Inilah yang dimaksud oleh pepatah adat Minangkabau “lain lubuk lain

ikannya, lain padang lain belalang, lain Nagari lain adatnya”. Adat

mengatur tentang hal-hal yang lebih besar dan lebih luas. Seperti mengatur

tentang pentingnya hubungan manusia dengan manusia, baik secara

perorangan maupun bermasyarakat serta berbangsa dengan berdasarkan

hubungan tersebut kepada ketentuan adat, yaitu nan elok dek awak katuju dek

urang, atau nan kuriak iyolah kundi, nan merah iyolah sago, nan baiek iyolah

budi, nan endaih iyolah baso.26

Selain itu terkait dengan keabsahan perkawinan, hukum adat

menggantungkannya pada system kekeluargaan yang dianut oleh masyarakat

hukum tempat para calon mempelai tinggal. Sebagaimana telah diketahui

24 Idrus Hakimi, Pokok-Pokok Pengetahuan Adat Alam Minangkabau, h., 13. 25 Idrus Hakimi, Pokok-Pokok Pengetahuan Adat Alam Minangkabau, h., 14. 26 Idrus Hakimi, Pokok-Pokok Pengetahuan Adat Alam Minangkabau, h., 15.

Page 33: PERKAWINAN SESUKU DALAM BUDAYA MINANGKABAU DI … · Dalam budaya adat Minangkabau sendiri terdapat perkawinan sesuku yang menjadi dinding penghalang seseorang untuk bisa melangsungkan

23

bahwa sistem penarikan garis keturunan menurut hukum adat diantaranya

dalam bentuk patrilineal, matrilineal dan parental.27

Pertama, bentuk perkawinan pada masyarakat patrilineal yang

merupakan suatu masyarakat yang menarik garis kekeluargaan dari pihak

ayah (patrilineal) serta menganut sistem eksogami. Misalnya bentuk

perkawinan jujur pada masyarakat Toba, yang mengharuskan adanya

perbedaan marga antara calon mempelai laki-laki dengan calon mempelai

perempuan. Pihak laki-laki menarik perempuan untuk masuk ke dalam

marganya. Karena hal itu perempuan memiliki hal serta kewajiban yang

sepadan dengan keluarga laki-laki. Selain itu masyakat patrilineal memiliki

ciri yaitu mempertahankan kelangsungan generasi keturunannya, seperti

adanya larangan kawin dengan keluarga dari marga yang sama atau larangan

kawin timbal balik antara dua keluarga yang walaupun berbeda marga, tetapi

telah atau pernah terjadi hubungan perkawinan (asymmetrisch connuium)

diantara dua keluarga yang saling bersangkutan.28

Kedua, bentuk perkawinan pada masyarakat matrilineal. Masyarakat

matrilineal juga mengenal bentuk perkawinan eksogami. Namun memiliki

beberapa perbedaan dengan masyarakat patrilineal. Misalnya di

Minangkabau berlaku tiga bentuk perkawinan, yaitu kawin bertandang

(semenda), kawin menetap dan kawin bebas. Kawin bertandang, merupakan

suatu perkawinan dimana suami dan istri tidak hidup bersama, masing-

masing tetap tinggal di lingkungan marganya. Kedudukan suami dalam kawin

bertandang ini semata-mata berstatus sebagai tamu yang bertandang kerumah

isterinya, serta tidak berhak atas anaknya dan harta benda isteri sekaligus

segala hal yang bersangkutan dengan rumah tangga, sedangkan harta

kekayaan yang dihasilkan suami hanya diperuntukan kepada dirinya, ibunya,

saudara-saudaranya serta anak-anaknya. Adapun perkembangan dari kawin

27 Otje Salman Soemadiningrat, Rekonseptualisasi Hukum Adat Kontemporer, (Bandung :

P.T Alumni, 2002, Cet. Pertama) h., 175. 28 Otje Salman Soemadiningrat, Rekonseptualisasi Hukum Adat Kontemporer, h., 175-176.

Page 34: PERKAWINAN SESUKU DALAM BUDAYA MINANGKABAU DI … · Dalam budaya adat Minangkabau sendiri terdapat perkawinan sesuku yang menjadi dinding penghalang seseorang untuk bisa melangsungkan

24

bertandang adalah kawin menetap yaitu perkawinan yang pasangan suami

isteri hidup dalam satu rumah. Kebersamaan ini terjadi karena rumah gadang

dipandang tidak lagi mencukupi untuk ditempati sehingga mereka harus

pindah dan membentuk keluarga sendiri serta sumber mata pencarian dan

kepengurusan harta kekayaan secara mandiri yang selanjutnya akan

diwariskan kepada anak-anaknya dan menjadi harta peninggalan generasi

pertama (harta pusaka rendah). Selanjutnya adalah kawin bebas, yaitu

perkawinan yang memperbolehkan seseorang untuk memilih sendiri

pasangannya masing-masing tanpa harus terikat pada kondisi-kondisi khusus

bahwa adat mengikat bagi kelompok mereka. Bentuk dari kawin bebas ini

biasanya dilakukan oleh mereka, suami isteri dari Minangkabau yang telah

melakukan perpindahan finansial tempat tinggalnya semula.29

Ketiga, bentuk perkawinan pada masyarakat parental. Dalam

masyarakat parental, misalnya masyarakat Jawa Barat, bentuk perkawinan

yang dilaksanakan adalah kawin bebas, setiap orang boleh kawin dengan

siapa saja sepanjang tidak dilarang oleh hukum adat setempat atau karena

alasan agama. Maksudnya syarat sahnya suatu perkawinan tidak ditentukan

oleh faktor-faktor yang berhubungan dengan marga seseorang, baik di dalam

maupun di luar satu marga tertentu.30

1. Eksistensi Hukum Adat di Indonesia

Pada dasarnya setiap masyarakat di seluruh dunia mempunyai tata

hukum dalam wilayah negaranya masing-masing. Tidak ada suatu bangsa

yang tidak mempunyai tata hukum nasionalnya. Hukum nasional bangsa

merupakan cerminan dari kebudayaan bangsa yang bersangkutan. Karena

hukum merupakan akal budi bangsa dan tumbuh dari kesadaran hukum

29 Otje Salman Soemadiningrat, Rekonseptualisasi Hukum Adat Kontemporer, h., 176-177. 30 Otje Salman Soemadiningrat, Rekonseptualisasi Hukum Adat Kontemporer, h., 175-178.

Page 35: PERKAWINAN SESUKU DALAM BUDAYA MINANGKABAU DI … · Dalam budaya adat Minangkabau sendiri terdapat perkawinan sesuku yang menjadi dinding penghalang seseorang untuk bisa melangsungkan

25

bangsa, maka hukum akan tampak dari cerminan kebudayaan bangsa itu

sendiri.31

Di Indonesia, salah satu hukum yang merupakan pencerminan dari

kepribadian bangsa adalah hukum adat, yang merupakan penjelmaan jiwa

bangsa dari abad ke abad. Setiap aturan adat yang dimiliki oleh daerah yang

ada di dunia berbeda-beda, meskipun dasar serta sifatnya sama yaitu ke-

Indonesiaannya. Oleh karena itu adat bangsa Indonesia dikatakan sebagai

Bhinneka Tunggal Ika, yang artinya meskipun berbeda beda, tetapi tetap satu.

Selain itu adat selalu berkembang serta senantiasa mengikuti perkembangan

masyarakat dan erat hubungannya dengan tradisi rakyat. Dengan demikian

adat merupakan endapan (renapan) kesusilaan dalam masyarakat, yang

kebenarannya telah mendapat pengakuan umum dalam masyarakat tersebut.32

Seiring dengan berjalannya waktu, dari adanya hasil pemikiran ahli

hukum belanda dan kaum terpelajar kalangan pribumi pada saat itu

menghasilkan dampak penguatan hukum adat dalam berbagai kebijakan

hukum kolonial, walaupun keberadaanya hanya sedikit demi sedikit, selama

masa perjuangan kemerdekaan, pemakaian istilah hukum adat secara khusus

pada awal mulanya dipelopori oleh kalangan pemuda pada 1928 dalam suatu

kongres pemuda. Mereka sepakat mencantumkan hukum adat sebagai

pemersatu bangsa Indonesia dan mengikrarkan hukum adat sebagai asas-asas

hukum Indonesia dimasa yang akan datang. Ikrar yang diikrarkan merupakan

salah satu indikator nyata dari gerakan modernisasi dikalangan kaum

terpelajar pribumi, namun demikian masih tetap mempertahankan warisan

kultural dari tanah air sendiri sebagai substansi utama.33

Dalam kongres tersebut Moh. Kusnoe menegaskan bahwa hukum adat

telah menjadi jiwa dan isi tatanan hukum nasional. Sebagai cikal bakal

31 Eka Susylawati, “Eksistensi Hukum Adat dalam Sistem Hukum di Indonesia”, VOL. IV,

No. 1, (Juni, 2009), h., 126. 32 Eka Susylawati, “Eksistensi Hukum Adat dalam Sistem Hukum di Indonesia”, VOL. IV,

No. 1, (Juni, 2009), h., 126. 33 Yanis Maladi, “Eksistensi Hukum Adat dalam Konstitusi Negara Pasca Amandemen”

Mimbar hukum, Vol 22, Nomor 3, (Oktober, 2010), h., 450.

Page 36: PERKAWINAN SESUKU DALAM BUDAYA MINANGKABAU DI … · Dalam budaya adat Minangkabau sendiri terdapat perkawinan sesuku yang menjadi dinding penghalang seseorang untuk bisa melangsungkan

26

tersusunnya pengertian hukum adat khas Indonesia yang berbeda dengan

adatrecht sebagaimana diberikan oleh kalangan akademisi barat dan para ahli

hukum adat mengenang keputusan hukum adat menjadikan keputusan

kongres tersebut sebagai peristiwa yang monumental. Penegasan identitas

bangsa Indonesia sebagai negara hukum dalam konstitusi terletak dalam pasal

1 (3) UUD 1945 dan dalam penjelasan atas UUD 1945 yang menyatakan

bahwa Indonesia adalah negara yang berdasarkan atas hukum (Rechstaat) dan

tidaklah berdasarkan kekuasaan belaka (machstaat). Satu hal yang menarik

disini untuk dibahas yaitu mengenai eksistensi hukum adat dalam kerangka

hukum nasional.34

Penegasan negara hukum Indonesia Pasca Amandemen UUD 1945

tidak harus dilihat sebagai suatu bangunan yang final, tetapi dilihat dari suatu

bangunan yang secara terus menerus dibangun untuk dibenahi untuk menjadi

Indonesia yang sesungguhnya. Misalnya melalui penampilan ciri khas ke

Indonesiaan yang membumi kedalam habitat, tradisi, nilai-nilai ksomologi,

serta cita-cita modern Indonesia. Harus ada harmonisasi hukum adat dan

hukum nasional dalam proses membangun Negara hukum ala Indonesia.

Seperti kata orang belanda “ kita hanya dapat mengayuh perahu dengan

dayung kia sendri”. Berangkat dari semangat konstitusionalisme bangsa

Indonesia yang khas, konstitusi harus dibaca secara bermakna seperti yang

dikatakan Ronald Dworkin sebagai “moral reading” dari pembahasan tersebut

dibuatlah sebuah konstruksi yang menyatakan bahwa negara hukum

Indonesia adalah suatu negara yang memiliki empati atau kepedulian (a state

with consciencie and compassion). Negara hukum Indonesia bukan negara

yang hanya bekerja dalam perwujudan hukum formal belaka namun harus

mampi mewujudkan moral yang substansi dalam konstitusinya.35

34 Yanis Maladi, “Eksistensi Hukum Adat dalam Konstitusi Negara Pasca Amandemen”

Mimbar hukum, Vol 22, Nomor 3, (Oktober, 2010), h., 450-451. 35 Yanis Maladi, “Eksistensi Hukum Adat dalam Konstitusi Negara Pasca Amandemen”

Mimbar hukum, Vol 22, Nomor 3, (Oktober, 2010), h., 452.

Page 37: PERKAWINAN SESUKU DALAM BUDAYA MINANGKABAU DI … · Dalam budaya adat Minangkabau sendiri terdapat perkawinan sesuku yang menjadi dinding penghalang seseorang untuk bisa melangsungkan

27

Selanjutnya Mahkamah Konstitusi sebagai satu-satunya lembaga yang

memiliki peran mengawal dan menafsirkan konstitusi diharapkan mampu

menjaga Negara hukum ala Indonesia dengan tetap menjaga harmonisasi

antara hukum adat dan hukum nasional dalam konstitusi yang pluralis. Dalam

pasal 18 B UUD 1945 sebagai dasar hukum telah membuktikan eksistensi

negara dalam mempertahankan dan menghormati pengakuan terhadap hak-

hak masyarakat adatnya. Selama dalam perjalanan hukum ketatanegaraan kita

di masa-masa orde lama, orde baru, orde refomasi, sampai pada amandemen

konstitusi Negara, secara konsisten pemerintahan Negara merespon baik

terlaksananya kepastian hukum dalam perspektif hukum adat, misalnya pada

tahun 1960, dikeluarkan TAP II/MPRS/1960 yang pada lampiran satunya

menetapkan hukum adat menjadi landasan utama tata hukum nasional.36

Selanjutnya ada TAP TAP IV/MPR/1973 yang pada butir dua

menentukan, “pembinaan bidang hukum harus bisa mengarahkan dan

menampung kebutuhan-kebutuhan hukum sesuai sesuai dengan kesadaran

hukum rakyat yang berkembang menuju arah modernisasi sesuai dengan

tingkat-tingkat kemajuan pembangunan di segala bidang sehingga tercapai

ketertiban dan kepastian hukum yang bertujuan sebagai prasarana yang

diarahkan menuju peningkatan kesatuan bangsa sekaligus berguna sebagai

sarana modernisasi dan pembangunan”. Selain itu TAP IV/MPR/1999

tentang GBHN, pada Bab III pembangunan Hukum bagian Umum: yang

berbunyi “pembangunan hukum harus dilaksanakan berdasarkan nilai-nilai

kebenaran dan keadilan dengan mengakui dan menghormati hukum agama

dan hukum adat ”. Terakhir kita memiliki TAP/MPR/2001 tentang

pembaharuan agraria dan pengelolaan sumber daya alam, yang menghendaki

pengakuan, kehormatan, dan perlindungan hak masyarakat hukum adat.37

36 Yanis Maladi, “Eksistensi Hukum Adat dalam Konstitusi Negara Pasca Amandemen”

Mimbar hukum, Vol 22, Nomor 3, (Oktober, 2010), h., 453-458. 37 Yanis Maladi, “Eksistensi Hukum Adat dalam Konstitusi Negara Pasca Amandemen”

Mimbar Hukum, Vol 22, Nomor 3, (Oktober, 2010), h., 4559-461.

Page 38: PERKAWINAN SESUKU DALAM BUDAYA MINANGKABAU DI … · Dalam budaya adat Minangkabau sendiri terdapat perkawinan sesuku yang menjadi dinding penghalang seseorang untuk bisa melangsungkan

28

Adanya jaminan konstitusi dan pengakuan Negara terhadap eksistensi

hukum adat dan masyarakat hukumnya telah termaktub dalam pasal 18 A (1)

UUD 1945 yang mengamanatkan pemerintah agar memperhatikan

kekhususan dan keragaman daerah. Sementara itu dalam pasal 18B (1-2)

menggariskan:

(1) Negara mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintah daerah

yang bersifat khusus atau bersifat istimewa yang diatur dalam undang-

undang.

(2) Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat

hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan

sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip NKRI yang diatur

dalam undang-undang.38

Perlindungan Negara dalam melindungi hak-hak Masyarat Hukum

Adat (MHA) dalam tataran konsep telah dijamin oleh konstitusi. Keberadaan

pasal 18 B ayat (2) dan 28I (3) UUD 1945 serta Undang-Undang sektoral (UU

Nomor 5 Tahun 1960 tentang Pokok-Pokok Agraria; UU Nomor 4 Tahun

2009 tentang Pertambangan, Mineral dan Batubara; UU Nomor 7 Tahun 2004

tentang Sumber Daya Air; dan UU terkait lainnya) telah memberikan upaya

pengakuan dan peghormatan terhadap Kesatuan MHA. Secara das sollen

pemerintah pusat telah menjamin secara yuridis dalam menyelenggarakan

sistem pemerintahan mensejahterakan, yaitu dengan memperjuangkan

tercapainya pemenuhan hak-hak konstitusional dan hak-hak tradisional. Hak-

hak Konstitusional yang dimaksud adalah hak-hak dasar dan hak kebebasan

dasar setiap warga negara, terkait dengan pendidikan, pekerjaan, kesetaraan

di depan hukum, hak sosial ekonomi, kebebasan berpendapat, hak untuk

hidup dan bertempat tinggal yang dijamin oleh UUD. Sedangkan hak-hak

tradisional yaitu hak-hak khusus atau istimewa yang melekat dan dimiliki

oleh suatu komunitas masyarakat atas adanya kesamaan asal-usul

38 Yanis Maladi, “Eksistensi Hukum Adat dalam Konstitusi Negara Pasca Amandemen”

Mimbar Hukum, Vol 22, Nomor 3, (Oktober, 2010), h., 450-464.

Page 39: PERKAWINAN SESUKU DALAM BUDAYA MINANGKABAU DI … · Dalam budaya adat Minangkabau sendiri terdapat perkawinan sesuku yang menjadi dinding penghalang seseorang untuk bisa melangsungkan

29

(geneologis), kesamaan wilayah, dan obyek- obyek adat lainnya, hak atas

tanah ulayat, sungai, hutan dan dipraktekan dalam masyarakatnya.39

2. Bentuk-bentuk Perkawinan Adat

Adanya perbedaan bentuk-bentuk perkawinan adat disebabkan karena

terdapatnya perbedaan sistem kekerabatan atau sistem keturunan yang dianut

oleh masing-masing masyarakat adat di Indonesia. Adapun bentuk hukum

perkawinan adat. Pertama, perkawinan jujur yang merupakan suatu bentuk

perkawinan yang dilakukan dengan pembayaran “jujur” . dengan diterimanya

uang atau barang jujur, oleh pihak perempuan berarti setelah perkawinan

perempuan tersebut akan mengalihkan kedudukannya kedalam kekerabatan

suami selama ia mengikatkan dirinya dalam perkawinan itu atau sebagaimana

berlaku di daerah Lampung dan Batak untuk selama hidupnya. Setelah isteri

berada di tangan suami, maka isteri dengan segala perbuatan hukumnya harus

berdasarkan persetujuan suami atau atas nama suami atau atas persetujuan

kerabat suami. isteri tidak boleh bertindak sendiri, karena ia adalah pembantu

suami dalam mengatur kehidupan rumah tangga, baik dalam hubungan

kekerabatan maupun dalam hubungan kemasyarakatan.40

Dikalangan masyarakat adat ada yang menganut sistem perkawinan

jujur dan menarik garis keturunan berdasarkan ayahnya, setiap anak wanita

akan menganggap dirinya anak orang lain.41 Mengenai bentuk perkawinan

jujur ini dalam hukum perkawinan adat memiliki fariasi bentuk yaitu

perkawinan ganti suami ha ini disebabkan wafatnya suami, oleh karena itu

isteri harus kawin dengan saudara laki-laki dari suaminya yang wafat itu.

Dalam perkawinan ini tidak diperlukan adanya pembayaran jujur,

pembayaran adat dan sebagainya.42 Perkawinan ganti isteri disebabkan

39 Jawahir Tantowy, “Pengaturan Masyarakat Hukum Adat dan Implementasi Perlindungan

Hak-hak Tradisionalnya”, Jurnal Pandecta, Vol. 10, No. 1, (Juni, 2019), hal., 2. 40 Dewi Wulansari, Hukum Adat Indonesia Suatu Pengantar, h., 52. 41 Hilman Hadi Kusuma, Hukum Perkawinan Adat, (Bandung : PT. Citra Aditya Bakti,

1990, Cet. Ke empat), h., 73. 42 Dewi Wulansari, Hukum Adat Indonesia Suatu Pengantar, h., 53.

Page 40: PERKAWINAN SESUKU DALAM BUDAYA MINANGKABAU DI … · Dalam budaya adat Minangkabau sendiri terdapat perkawinan sesuku yang menjadi dinding penghalang seseorang untuk bisa melangsungkan

30

karena istri meninggal dunia dan suami kawin lagi dengan kakak atau adik

perempuan dari isteri yang telah wafat, Perkawinan mengabdi terjadi ketika

diadakan pembicaraan lamaran, pihak laki-laki tidak dapat memenuhi syarat-

syarat perpintaan dari perempuan.43 Perkawinan ambil beri merupakan

bentuk perkawinan yang terjadi antara kerabat yang sifatnya simetris.

Perkawinan seperti ini sering terjadi pada masyarakat adat Minangkabau.

Tetapi tidak dapat berlaku di daerah batak karena sifat kekerabatannya

asimetris dan menganut adat “manunduti”, artinya dimana perkawinan itu

terjadi berulang searah tidak boleh bertimbal balik, Perkawinan ambil anak

terjadi karena hanya memiliki anak perempuan tunggal, maka anak

perempuan mengambil laki-laki dari anggota kerabat untuk menjadi

suaminya dan mengikuti kerabat isteri selama perkawinannya, hal ini

bertujuan untuk menjadi penerus keturunan pihak isterinya. 44

Kedua, perkawinan semenda. Pada umumnya berlaku dilingkungan

masyarakat adat yang “matrilineal” dalam rangka mempertahankan garis

keturunan pihak ibu. Bentuk perkawinan ini merupakan kebalikan dari bentuk

perkawinan jujur. Dalam perkawinan ini calon mempelai laki-laki dan

kerabatnya tidak melakukan pemberian uang jujur kepada pihak perempuan,

bahkan sebaliknya berlaku adat pelamaran dari pihak perempuan kepada

pihak laki-laki.45 Adapun bentuk-bentuk perkawinan semenda yang berlaku

ini seperti semenda raja-raja, semenda lepas, semenda bebas, semenda

nunggu, semenda ngangkit dan semenda anak dagang.46

Ketiga, perkawinan bebas. Pada umumnya perkawinan ini berlaku di

lingkungan masyarakat adat yang bersifat parental, seperti pada masyarakat

Jawa, Sunda, Aceh, Melayu, Kalimantan dan Sulawesi serta dikalangan

masyarakat Indonesia yang modern.47

43 Dewi Wulansari, Hukum Adat Indonesia Suatu Pengantar, h., 54-56. 44 Dewi Wulansari, Hukum Adat Indonesia Suatu Pengantar, h., 56. 45 Dewi Wulansari, Hukum Adat Indonesia Suatu Pengantar, h., 57. 46 Dewi Wulansari, Hukum Adat Indonesia Suatu Pengantar, h., 57-60. 47 Dewi Wulansari, Hukum Adat Indonesia Suatu Pengantar, h., 60.

Page 41: PERKAWINAN SESUKU DALAM BUDAYA MINANGKABAU DI … · Dalam budaya adat Minangkabau sendiri terdapat perkawinan sesuku yang menjadi dinding penghalang seseorang untuk bisa melangsungkan

31

Keempat, perkawinan campuran. Dalam arti hukum perkawinan ini

merupakan bentuk perkawinan yang terjadi antara suami isteri yang berbeda

suku bangsa, adat budaya dan atau berbeda agama yang dianut. Terjadinya

perkawinan campuran biasanya menimbulkan masalah hukum antara tata

hukum adat dan hukum agama, yaitu hukum mana dan hukum apa yang akan

diberlakukan dalam pelaksanaan perkawinan itu. Pada dasarnya hukum adat

atau hukum agama tidak membernarkan terjadinya perkawinan campuran.

Namun dalam perkembangannya, hukum adat ada yang memberikan jalan

keluar untuk mengatasi masalah ini sehingga perkawinan campuran dapat

dilaksanakan.48

Kelima, perkawinan lari. Perkawinan ini dapat terjadi di suatu

lingkungan masyarakat adat, tetapi paling banyak terjadi adalah dikalangan

masyarakat Batak, Lampung, Bali, Bugis, Makassar dan Maluku. Walaupun

kawin lari merupakan pelanggaran adat, tetapi di daerah-daerah tersebut

terdapat tata tertib guna menyelesaikan masalah ini. Sesungguhnya

perkawinan lari bukanlah bentuk perkawinan sebenarnya, melainkan

merupakan satu sistem pelamaran karena dengan terjadi perkawinan lari

dapat berlaku bentuk perkawinan jujur, semanda atau bebas / mandiri,

tergantung pada keadaan perundingan kedua belah pihak. Sistem perkawinan

lari dapat dibedakan antara “perkawinan lari bersama” dengan “perkawinan

paksa”. 49

3. Larangan Perkawinan Dalam Hukum Perkawinan Adat.

Maksud dari larangan perkawinan dalam hukum perkawinan adat yaitu

segala sesuatu yang dapat menyebabkan perkawinan itu tidak dapat

dilaksanakan karena tidak memenuhi persyaratan sebagaimana dikehendaki

oleh hukum adat atau larangan agama yang telah masuk menjadi kekuatan

hukum adat. Adapun larangan perkawinan adat tersebut. Pertama, karena

hubungan kekerabatan. Larangan ini dapat terlihat dalam ukuran adat batak

48 Dewi Wulansari, Hukum Adat Indonesia Suatu Pengantar, h., 61. 49 Dewi Wulansari, Hukum Adat Indonesia Suatu Pengantar, h., 51-64.

Page 42: PERKAWINAN SESUKU DALAM BUDAYA MINANGKABAU DI … · Dalam budaya adat Minangkabau sendiri terdapat perkawinan sesuku yang menjadi dinding penghalang seseorang untuk bisa melangsungkan

32

yang bersifat Asymmetrisch Connubium, dilarang terjadinya perkawinan

antara laki-laki dengan perempuan yang satu marga. Jika di Timor

dimaksudkan adanya larangan perkawinan terhadap anak yang bersaudara

dengan ibu. Sedangkan pada msayarakat Minangkabau disebut bahwa laki-

laki dan perempuan dilarang kawin apabila mereka sesuku. Jika hal

perkawinan itu terjadi maka akan mengakibatkan perpecahan antar suku atau

pada adat Sumatera Selatan disebut sebagai “merubah sumbai”, yang jika

aturan ini dilarang maka akan dijatuhkan hukum denda adat yang harus

dibayar kepada para “prowatin adat” serta harus menyembelih ternak agar

terhindar dari kutuk arwah-arwah gaib.50

Kedua, karena perbedaan kedudukan. Dilarangnya perkawinan karena

alasan perbedaan kedudukan terjadi pada masyarakat yang masih bertradisi

feodalisme. Misalnya seorang laki-laki dilarang melakukan perkawinan

dengan perempuan dari golongan rendah atau sebaliknya. Di daerah

Minangkabau seorang perempuan dari golongan penghulu dilarang kawin

dengan laki-laki yang tergolong “kemenakan dibawah lutut”. Di daerah

Lampung laki-laki dari golongan “punyimbang” tidak dibenarkan kawin

dengan seorang gadis dari keturunan golongan “bedowou” (budak). Di Bali

karena pengaruh ajaran agama Hindu, seorang laki-laki dari keturunan

“triwarna” atau “triwangsa” (Brahmana, Ksatria, dan Weisha) kawin

dengan perempuan dari keturunan “sudra” atau orang-orang golongan biasa.

Demikian pula sebaliknya, apabila perkawinan terjadi dapat diangap dapat

menjatuhkan nilai kekerabatan. Pada zaman sekarang agaknya perbedaan

kedudukan kebangsawanan dalam masyarakat penganut feodalisme sudah

mulai memudar, sudah banyak terjadi perkawinan antara orang-orang

golongan bermartabat rendah dengan mereka yang bermartabat tinggi, atau

sebaliknya. Masalahnya perkawinan yang timbul dari perbedaan kedudukan

ini sering mengakibatkan adanya ketegangan dalam kekerabatan.51

50 Dewi Wulansari, Hukum Adat Indonesia Suatu Pengantar, h., 65. 51 Dewi Wulansari, Hukum Adat Indonesia Suatu Pengantar, h., 65.

Page 43: PERKAWINAN SESUKU DALAM BUDAYA MINANGKABAU DI … · Dalam budaya adat Minangkabau sendiri terdapat perkawinan sesuku yang menjadi dinding penghalang seseorang untuk bisa melangsungkan

33

Ketiga, karena perbedaan agama. Hal ini dapat menjadi penghalang

terjadinya suatu perkawinan antara laki-laki dengan perempuan, seperti di

Daerah Lampung setiap warga adat harus menganut agama Islam, bagi merka

yang tidak beragama Islam tidak dapat diterima menjadi anggota warga Adat.

Oleh karena itu laki-laki dan perempuan yang beragama lain yang hendak

melangsungkan perkawinannya harus terlebih dahulu masuk agama Islam.

Bagi mereka yang melangsungkan pernikahan tanpa menganut agama Islam

berarti harus keluar dari kekerabatan keluarga Lampung. Karena menurut

hukum adat Lampung perkawinan yang tidak dilaksanakan dalam hukum

Islam adalah tidak sah. Pada masyarakat adat Batak perbedaan agama tidak

menjadi halangan terjadinya perkawinan, karena tidak melarangnya.52

Dalam hal perkawinan ini, hukum Islam memang sangat ketat dan

menegaskan bahwa orang-orang tidak boleh mengikat tali perkawinan dengan

yang disebut “muhrim” karena pertalian darah, pertalian perkawinan dan

pertalian sepersusuan. Hal tersebut dijelaskan di dalam Q.s. An-Nisaa’ (4):

22-23:

حشة ومقتا وساء ن ٱلن ساء إلا ما قد سلف إناهۥ كان ف ا ول تنكحوا ما نكح ءاباؤكم م ل ٢٢ س

Artinya: “Dan janganlah kamu kawini wanita-wanita yang telah dikawini

oleh ayahmu, terkecuali pada masa yang telah lampau. Sesungguhnya

perbuatan itu amat keji dan dibenci Allah dan seburuk-buruk jalan (yang

ditempuh)”.

تكم وبنات ٱلخ وبنات ٱ ل تكم وخ تكم وعما تكم وبناتكم وأخو ه مت عللكم أما تكم ٱحر ه تي لخت وأما لا

ن ن س تي في حجوركم م ئكم ٱلا ت نسائكم ورب ه عة وأما ض ن ٱلرا تكم م تي خلت أرضعنكم وأخو

م بهنا ائكم ٱلا

ئل أبن جناح عللكم وحل كم وأن تجمعوا بلن ٱلختلن فإن لام تكونوا خلتم بهنا ف إلا ائكم ٱلاذين من أصل

حلما كان غفورا را ٢٢ما قد سلف إنا ٱللا

Artinya: “Diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibumu; anak-anakmu yang

perempuan; saudara-saudaramu yang perempuan, saudara-saudara bapakmu

yang perempuan; saudara-saudara ibumu yang perempuan; anak-anak

perempuan dari saudara-saudaramu yang laki-laki; anak-anak perempuan dari

saudara-saudaramu yang perempuan; ibu-ibumu yang menyusui kamu;

saudara perempuan sepersusuan; ibu-ibu isterimu (mertua); anak-anak

isterimu yang dalam pemeliharaanmu dari isteri yang telah kamu campuri,

tetapi jika kamu belum campur dengan isterimu itu (dan sudah kamu

52 Dewi Wulansari, Hukum Adat Indonesia Suatu Pengantar, h., 66.

Page 44: PERKAWINAN SESUKU DALAM BUDAYA MINANGKABAU DI … · Dalam budaya adat Minangkabau sendiri terdapat perkawinan sesuku yang menjadi dinding penghalang seseorang untuk bisa melangsungkan

34

ceraikan), maka tidak berdosa kamu mengawininya; (dan diharamkan

bagimu) isteri-isteri anak kandungmu (menantu); dan menghimpunkan

(dalam perkawinan) dua perempuan yang bersaudara, kecuali yang telah

terjadi pada masa lampau; sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha

Penyayang”.

Disebutkan bahwa pertalian perkawinan tidak dibenarkan karena,

pertama, pertalian sedarah yaitu hubungan kakek, nenek dari ayah dan Ibu

seterusnya dalam garis ke atas, anak,cucu, dan seterusnya dalam garis ke

bawah, saudara seibu dan seayah, seayah saja atau seibu saja, saudara ibu atau

saudara ayah dan anak saudara laki-laki atau saudara perempuan. Kedua,

pertalian perkawinan yaitu, mertua, anak tiri, dan menantu. Ketiga, pertalian

sepersusuan yaitu, ibu dan ayah tempat menyusu dan saudara sepesusuan.

Selain ketentuan larangan kawin karena “muhrim”, hukum Islam menentukan

juga tentang larangan melakukan perkawinan dalam masa “iddah”, yaitu

masa tunggu bagi seorang perempuan yang cerai dari suaminya untuk dapat

melakukan perkawinan lagi, hal agar dapat diketahui apakah perempuan ini

mengandung atau tidak. Jika perempuan itu mengandung, maja ia

diperbolehkan kawin lagi setelah anaknya lahir apabila ia tidak megandung,

maka ia harus menunggu selama 4 Bulan 10 hari jika bercerai karena suami

meninggal dunia atau selama tiga kali suci dari haid jika dikarenakan cerai

hidup.53

C. Perkawinan Adat Minangkabau

1. Perkawinan di Minangkabau

Tidak dapat dipungkiri, bahwa perkawinan merupakan suatu kebutuhan

yang bersifat naluriah bagi setiap makhluk hidup. Salah satu tujuan dari

perkawinan adalah untuk mendapatkan dan melangsungkan keturunan.54

Sejalan dengan hal itu tujuan perkawinan berdasarkan Undang-undang

53 Dewi Wulansari, Hukum Adat Indonesia Suatu Pengantar, h., 65-67. 54 Yahya Samin dkk, Peranan Mamak Terhadap Kemenakan dalam Kebudayaan

Minangkabau Masa Kini, (Padang : Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1996, Cet. Pertama),

h., 55-56.

Page 45: PERKAWINAN SESUKU DALAM BUDAYA MINANGKABAU DI … · Dalam budaya adat Minangkabau sendiri terdapat perkawinan sesuku yang menjadi dinding penghalang seseorang untuk bisa melangsungkan

35

Nomor 1 tahun 1974 pasal 1 tentang perkawinan adalah membentuk keluarga

(rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha

Esa.55 Sedangkan tujuan perkawinan menurut Kompilasi Hukum Islam (KHI)

pasal 3 yaitu untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah,

mawaddah dan warahmah.56 Dari beberapa tujuan tersebutlah

mengisyaratkan akan pentingnya suatu perkawinan dalam kehidupan

manusia. Atas dasar itulah berlaku bermacam-macam aturan yang kemudian

menjadi adat tradisi.

Menurut Sayuthi Thalib, perkawinan harus dilihat dari tiga sudut segi

pandang, yaitu:

1) Perkawinan dari segi hukum.

Perkawinan yang dipandang dari segi hukum ini merupakan suatu

perjanjian. Hal ini diperkuat oleh ayat Q.s. An-Nisa’ (4): 21:

قاا غللظا لث ٢٢وكلف تأخذونهۥ وقد أفضى بعضكم إلى بعض وأخذن منكم م

Artinya: “Bagaimana kamu akan mengambilnya kembali, padahal

sebagian kamu telah bergaul (bercampur) dengan yang lain sebagai

suami-isteri. Dan mereka (isteri-isterimu) telah mengambil dari kamu

perjanjian yang kuat”.

Ayat tersebut menjelaskan bahwa perkawinan adalah perjanjian

yang sangat kuat, disebut dengan “mitsaaqon qhaalidzhan”. Adapun

alasan terkait maksud dari perkawinan merupakan suatu perjanjian

adalah karena adanya cara mengadakan ikatan perkawinan yaitu dengan

aqad, nikah, rukun dan syarat tertentu, cara memutuskan perkawinan

yaitu dengan prosedur thalaq, fasakh, syiqaq dan sebagainya.

2) Perkawinan dilihat dari segi sosial

Dalam masyarakat setiap Bangsa, ditemui suatu penilaian yang

universal tentang orang yang berkeluarga mempunyai kedudukan yang

lebih dihargai dari mereka yang tidak berkeluarga, dulu sebelum adanya

aturan perkawinan, wanita bisa dimadu tanpa batas dan tanpa perbuatan

55 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974. 56 Kompilasai Hukum Islam.

Page 46: PERKAWINAN SESUKU DALAM BUDAYA MINANGKABAU DI … · Dalam budaya adat Minangkabau sendiri terdapat perkawinan sesuku yang menjadi dinding penghalang seseorang untuk bisa melangsungkan

36

apa-apa tetapi menurut ajaran Islam dalam perkawinan tentang

poligami hanya dibatasi paling banyak empat istri dengan syarat-syarat

tertentu.

3) Perkawinan dilihat dari segi agama

Pandangan suatu perkawinan dari segi agama yaitu dari unsur

yang sangat penting. Dalam agama perkawinan dianggap sebagai suatu

hal yang sakral suci, upacara perkawinan adalah upacara yang suci,

yang kedua pihak dihubungkan menjadi pasangan suami-istri atau

saling meminta menjadi pasangan hidupnya.57

Selain itu dialektika dalam Minangkabau merupakan model dinamika

sosiokultural yang khas pada etnis Minangkabau di Sumatra Barat.58

Berdasarkan pandangan dan pemikiran masyarakat Minangkabau,

perkawinan yang paling ideal adalah perkawinan antara anak dan kemenakan

atau lazim disebut pulang kabako atau pulang ka Mamak. Maksud pulang

kabako adalah mengawini kemenakan ayah sedangkan pulang kaMamak

yaitu mengawini anak Mamak atau anak saudara laki-laki ibu.59

Adapun arti perkawinan menurut hukum adat perkawinan merupakan

suatu hubungan yang tidak menyangkut hubungan antara kedua mempelai

saja, melainkan juga menyangkut hubungan antara kedua belah pihak

mempelai. Selain itu dalam hukum adat diyakini bahwa perkawinan bukan

saja peristiwa penting bagi mereka yang hidup, tetapi juga merupakan

peristiwa penting bagi leluhur mereka yang telah tiada.60

Dalam syarak dan tradisi perkawinan adat Minangkabau menggunakan

sistem perkawinan consanguinal, yaitu suatu sistem yang lebih cenderung

57 Sayuti Thalib, Hukum Kekeluargaan Indonesia, (Depok : UI-Pres, 2014), h., 47-48. 58 Hasanuddin, Adat dan Syarak Sumber Inspirasi dan Rujukan Nilai Dialektika

Minangkabau, (Padang: Pusat Studi Informasi dan Kebudayaan Miangkabau, 2013), h., 1. 59 Yahya Samin dkk, Peranan Mamak Terhadap Kemenakan dalam Kebudayaan

Minangkabau Masa Kini, h., 56. 60 Dewi Wulansari, Hukum Adat Indonesia, h., 48.

Page 47: PERKAWINAN SESUKU DALAM BUDAYA MINANGKABAU DI … · Dalam budaya adat Minangkabau sendiri terdapat perkawinan sesuku yang menjadi dinding penghalang seseorang untuk bisa melangsungkan

37

atau lebih mengutamakan kepentingan kelompok atau kaum.61 Oleh karena

itu perkawinan tidak hanya menjadi pengikat antara calon pengantin saja

melainkan juga melibatkan keluarga keduanya. Sehingga nantinya akan

melahirkan hubungan kekerabatan seperti ipar dengan bisan, bako dengan

baki dan sebagainya. Dalam lain hal masyarakat Minangkabau juga

menganggap bahwasanya perkawinan merupakan masa peralihan dari remaja

ke dewasa.62 Dalam pengertian lain bahwa perkawinan ialah ikatan lahir batin

antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan

membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan

Ketuhanan Yang Maha Esa.63

Pada hakikatnya bila seseorang telah kawin maka telah dianggap

dewasa dalam bertindak dilingkungan keluarga dan di tengah masyarakat.

Dalam kehidupan tradisional Minangkabau sistem perkawinan lebih di

tentukan oleh Mamak. Dalam pepatah adat Minangkabau Mamak diibaratkan

sebagai “kapai tampek batanyo, kapulang tampek ba barito” hal ini yang

perlu di lakukan oleh setiap anak kemenakan terhadap Mamaknya.64

Tidak terlepas dari itu semua, untuk tercapainya kehidupan yang

bahagia dan kekal tentunya harus bisa menyesuaikan diri dengan lingkungan

dan daerah yang ditempati, yang pasti akan terikat dengan aturan dan tradisi

yang berbeda.65 Dalam tatanan perkawinan menurut hukum adat

Minangkabau juga terikat dengan ketentuan serta peraturan dalam

pelaksanaannya, diantaranya seseorang dilarang kawin dengan orang yang

61 Yaswirman, Hukum Keluarga (Karakteristik dan Prospek Doktrin Islam Dan Adat dalam

Masyarakat Matrilineal Minangkabau), (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2011), h., 184. 62 Yahya Samin, Peran Mamak Terhadap Kemanakan dalam Kebudayaan Minangkabau

Masa Kini, h., 92.

63 Undang-undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dalam

Pasal 1. 64 Yahya Samin, Peranan Mamak Terhadap Kemenakan dalam Kebudayaan Minangkabau

Masa Kini, h., 92. 65 Subkhan Masykuri, “Larangan Pernikahan Sesuku Pada Suku Melayudalam Perspektif

Hukum Islam (Studi Kasus di Kecamatan Perhentian Raja Kabupaten Kampar Provinsi Riau).”

(Sripsi S-1, Fakultas Syari’ah Institut Agama Islam Negeri Salatiga, 2016), h., 18.

Page 48: PERKAWINAN SESUKU DALAM BUDAYA MINANGKABAU DI … · Dalam budaya adat Minangkabau sendiri terdapat perkawinan sesuku yang menjadi dinding penghalang seseorang untuk bisa melangsungkan

38

berasal dari suku yang sama dengannya.66 Hal ini disebabkan karena

masyarakat Minangkabau beranggapan bahwa perkawinan sesuku adalah

perkawinan satu rumpun atau satu keturunan, sehingga jika aturan ini

dilanggar maka akan menimbulkan kerancuan dalam tatanan nilai adat yang

mengandung sistem kekerabatan matrilineal atau garis keturunan berdasarkan

garis keturunan ibu.67

Sebelum dimulainya suatu perkawinan, terdapat suatu kegiatan dimana

anak kemenakan diberi nasehat oleh Mamak berupa nasehat-nasehat seperti

pituah-pituah yang dipakai dalam berumah tangga nantinya, biasanya berisi

tentang sopan satun ke mertua, orang sekampung dan tetangga di sekitarnya,

selain itu dalam acara perkawinan kehadiran Mamak sebagai tuan rumah

sangatlah penting, hal ini disebabkan kerena keberadaan dan kewibawaan

seorang Mamak akan kelihatan. Bila hal itu diperbuat oleh anak kemenakan

yang akan berkeluarga, maka orang lain akan meremehkan keluarga tersebut.

Dalam kenyataan sehari hari ada juga beberapa keluarga melakukan

perkawinan tanpa melibatkan saudara laki laki ibunya, tentu dalam hal ini ada

beberapa alasan yang akan di kemukakan seperti kurang baiknya hubungan

antara Mamak dengan kemenakan atau Mamak yang sudah tidak ada.

Adapun jika ada diantara mereka yang tidak mempunyai Mamak, maka dalam

hal ini mereka juga memerlukan anggota lain untuk hadir di acara

perkawinan, misalnya di Minangkabau dikenal juga dengan ”Mamak jauh”

mereka juga akan berperan layaknya Mamak pada umumnya.68

fungsi perkawinan adalah suatu nilai hidup untuk dapat meneruskan

keturunan, mempertahankan silsilah dan kedudukan keluarga yang

bersangkutan. Disamping itu ada kalanya suatu perkawinan merupakan suatu

66 Resty Yulanda, “Sanksi Adat Terhadap Perkawinan Sesuku dalam Kenagarian Sungai

Asam Kabupaten Padang Pariaman.” (Skripsi S-1, Fakultas Hukum Universitas Andalas, 2011), h.,

3. 67 Iqbal Sonta Pratama, “Peranan Tungku Tigo Sajarangan dalam Mengatasi Perkawinan

Sesuku Menurut Hukum Adat di Nagari Sungai Buluah Kecamatan Batang Anai Kabupaten Padang

Pariaman”, Fakultas Hukum, Volume Iv, No. 1, (Februari, 2017), h., 5. 68 Yahya Samin, Peranan Mamak Terhadap Kemenakan dalam Kebudayaan Minangkabau

Masa Kini, h., 94.

Page 49: PERKAWINAN SESUKU DALAM BUDAYA MINANGKABAU DI … · Dalam budaya adat Minangkabau sendiri terdapat perkawinan sesuku yang menjadi dinding penghalang seseorang untuk bisa melangsungkan

39

sarana untuk memperbaiki hubungan kekerabatan yang telah jauh dan retak,

ia merupakan sarana pendekatan dan perdamaian antar kerabat dan begitu

pula dengan perkawinan itu bersangkut paut dengan masalah kedudukan,

harta kekayaan dan masalah pewarisan.

Melihat pengertian dan fungsi perkawinan menurut hukum adat

perkawinan lebih luas dari pengertian perkawinan menurut perundang-

undangan. Oleh karena itu pelaksanaan perkawinan baik pria maupun wanita

yang belum dewasa maupun telah dewasa senantiasa harus di campuri oleh

orang tua, keluarga, dan kerabat kedua belah pihak.69

Disamping itu dalam hal yang esensial juga terdapat kesesuaian antara

aturan adat masyarakat Minangkabau dengan ajaran syarak. Alam menjadi

sebuah sumber inspirasi dan ajaran bagi kehidupan mereka juga termasuk

dalam sumber atau dasar syarak. Meskipun demikian bukan berarti integrasi

adat dan syarak berlangsung mulus tanpa ada polemik-polemik. Pada

dasarnya syarak diterima sebagai landasan keyakinan masyarakat

Minangkabau, tetapi beberapa unsur dari adat Minangkabau berbenturan

dengan ajaran syarak yang menjadi landasan keyakinan itu. Perbenturan yang

membuahkan konflik itu terutama dalam hal kebiasaan tradisi yang

bertentangan dengan dalil yang tegas dalam syarak, seperti salah satu

contohnya perbedaan dalam hal perkawinan, terutama bagi orang yang boleh

menikah dengan orang yang boleh dinikahi.70

2. Perkawinan Sesuku

Berbicara tentang perkawinan sesuku bukanlah hal yang dianggap tabu

lagi di daerah Minangkabau, karena secara umum berdasarkan adat

Minangkabau perkawinan sesuku tidak diperbolehkan. Baik calonnya berasal

dari Nagari yang sama ataupun berbeda Nagari. Suku berasal dari kata “kaki”

atau satu kaki yang berarti seperempat dari satu kesatuan. Pada mulanya

69 Tolib Setiadi, Intisari Hukum Adat Indonesia Dalam Kajian Kepustakaan, h. 222. 70 Syifa Fauziah, “Perubahan Adat nan Babuhua Mati Terkait Perkawinan Sesuku di Nagari

Saniangbaka Kabupaten Solok.” (Skripsi S-1, Fakultas Hukum Universitas Andalas, 2018), h., 8.

Page 50: PERKAWINAN SESUKU DALAM BUDAYA MINANGKABAU DI … · Dalam budaya adat Minangkabau sendiri terdapat perkawinan sesuku yang menjadi dinding penghalang seseorang untuk bisa melangsungkan

40

Nagari mempunyai empat suku “Nagari nan ampek”. Nama-nama suku

tersebut ialah Bodi, Caniago, Koto dan Piliang. Sesuku artinya semua

keturunan dari Ninik Mamak ke bawahnya dianggap garis keturunan ibu.

Semua keturunan Ninik Mamak ini disebut “sepersusuan” atau “sasuku”.

Setiap kelompok dari suku-suku tersebut dikepalai oleh seorang penghulu

atau Datuak.71

Selain itu suku atau etnis merupakan sekelompok orang yang

mempunyai hubungan biologis, pertalian darah atau kelompok sosial dalam

sistem sosial atau kebudayaan yang mempunyai arti atau kedudukan tertentu

karena keturunan, adat, agama, bahasa, dan sebagainya. Suku menurut adat

Batipuah Ateh merupakan suatu golongan orang atau kaum yang dipimpin

oleh seorang Datuk atau Penghulu dari keturunan ibu atau saudara laki-laki

ibu.72 Selain itu sesuku juga diartikan sebagai sepersusuan sehingga

melahirkan pemikiran bahwa mereka barunsanak (bersaudara).73

Perkawinan sesuku merupakan suatu perkawinan yang dilakukan oleh

seorang laki-laki yang mempunyai garis keturunan adat atau suku yang sama

dengan perempuan yang akan dinikahinya.74 Selain itu, berdasarkan dalam

adat Minangkabau bahwa seorang laki-laki dan seorang perempuan dilarang

melakukan perkawinan dari suku yang sama, perkawinan di Minangkabau

juga mengenal sistem perkawinan eksogami matrilineal atau disebut juga

dengan perkawinan beda suku, yaitu perkawinan yang hanya diperlobehkan

71 Ferri Sandy, “Sanksi Adat Terhadap Perkawinan Sesuku di Desa Tanjung Kecamatan

Koto Kampar Hulu Kabupaten Kampar Berdasarkan Hukum Adat Kampar”, JOM Fakultas

Hukum Vol. III No. 2, (Oktober, 2016), h., 6. 72 Rahmat Alpian R, “Kontruksi Makna Perkawinan Sasuku di Kecamatan Kuantan Mudik

Kabupaten Kuantan Singingi Provinsi Riau”, JOM Fisip, Vol. 4, No. 1 (Februari, 2017), h., 9. 73 Ferri Sandy, “Sanksi Adat Terhadap Perkawinan Sesuku di Desa Tanjung Kecamatan

Koto Kampar Hulu Kabupaten Kampar Berdasarkan Hukum Adat Kampar”, JOM Fakultas Hukum

Vol. III No. 2, (Oktober, 2016), h., 6. 74 Masdir Manto, “Persepsi Masyarakat Terhadap Kawin Sesuku di Desa Pulau Busuk

Kecamatan Inuman Kabupaten Kuantan Singingi.” (Skripsi S-1 Fakultas Dakwah dan Ilmu

Komunikasi, Universitas Islam Negeri Syarif Kasim Riau, 2010), h. 11.

Page 51: PERKAWINAN SESUKU DALAM BUDAYA MINANGKABAU DI … · Dalam budaya adat Minangkabau sendiri terdapat perkawinan sesuku yang menjadi dinding penghalang seseorang untuk bisa melangsungkan

41

apabila laki-laki dan perempuan yang ingin menikah tersebut memiliki suku

yang berbeda.75

Sejalan dengan hal itu jika orang dilarang kawin sesuku disebut

larangan eksogami marga, namun yang terjadi di Minangkabau sendiri kawin

sesuku disebut garis keturunan ibu maka disebut larangan eksogami

matrilokal. Sehingga perkawinan sesuku bukan melihat dari sudut pandang

halal atau haram melainkan sebuah perkawinan yang dibangun atas dasar nilai

moral dan raso jo pareso (perasaan dengan tenggang rasa) dan merupakan

kesepakatan atau sumpah yang berlaku secara turun temurun dari nenek

moyang. Adapun dalam hukum warih nan bajawek (waris yang harus dijawab

atau turun temurun) yang dijalankan dan dituahi oleh Datuk atau Penghulu

sekarang.76

Pelarangam terhadap perkawinan sesuku di Minangkabau dianggap

wajib, hal ini karena prinsip dan pemikiran yang beranggapan bahwa

perkawinan sesuku adalah hubungan satu keluarga atau hubungan dekat.

Sehingga hal ini termasuk dalam kategori pelanggaran adat, yang ini

membuat perkawinan itu menjadi perlu diperhatikan dan disikapi oleh para

ketua adat yaitu Datuk atau Penghulu dan ketika terjadi pelanggaran terhadap

anak dan kemanakan maka sanksi adat akan dijalankan secara tegas. Jika

perkawinan sesuku tersebut dilanggar, maka pasangan yang melakukan

perkawinan akan diberi sanksi adat, yaitu sanksi nan dibuang jauh, disangai

indak baapi, di gantuang tinggi dak batali. Artinya seseorang yang

melakukan perkawinan tersebut akan diusir dan dibuang sepanjang adat oleh

ketua adat dari masing-masing suku tersebut. 77

75 Annisa Habibah Sahju, “Larangan Perkawinan Sesuku Pada Masyarakat Hukum Adat

Suku Jambak Padang-Pariaman di Bandar Lampung.” (Skripsi S-1 Fakultas Hukum Universitas

Lampung Bandar Lampung, 2018), h., 8.

76 Annisa Habibah Sahju, “Larangan Perkawinan Sesuku Pada Masyarakat Hukum Adat

Suku Jambak Padang-Pariaman di Bandar Lampung.” (Skripsi S-1 Fakultas Hukum Universitas

Lampung Bandar Lampung, 2018), h., 6. 77 Annisa Habibah Sahju, “Larangan Perkawinan Sesuku Pada Masyarakat Hukum Adat

Suku Jambak Padang-Pariaman di Bandar Lampung.” (Skripsi S-1 Fakultas Hukum Universitas

Lampung Bandar Lampung, 2018), h., 6-7.

Page 52: PERKAWINAN SESUKU DALAM BUDAYA MINANGKABAU DI … · Dalam budaya adat Minangkabau sendiri terdapat perkawinan sesuku yang menjadi dinding penghalang seseorang untuk bisa melangsungkan

42

BAB III

NAGARI BATIPUH ATEH DAN EKSISTENSI LEMBAGA ADATNYA

DALAM PERKAWINAN SESUKU

A. Profil Nagari Batipuh Ateh

Sebelum menjelaskan terkait profil Nagari Batipuh Ateh, seperti yang

sudah dijelaskan pada bagian bab I dan II terkait Pluralisme hukum yang

mengaitkan dengan tiga sistem hukum yang hidup di Indonesia, salah satunya

yaitu hukum adat yang juga telah dibahas pada bab sebelumnya terkait

bagaimana hukum adat berlaku di Indonesia dan di Minangkabau serta

penerapan perkawinan sesuku, yang dalam hal ini memiliki perbedaan dengan

Nagari Batipuh Ateh. Aturan adat yang berlaku di Nagari Batipuh Ateh

disebut sebagai adat salingka Nagari yang memiliki kekhususan dalam

penerapan kawin sesuku. Namun sebelum hal tersebut diuraikan lebih jauh,

pada bagian ini akan lebih menjelaskan terkait Nagari Batipuh Ateh serta

Lembaga yang ada didalamnya.

1. Sejarah Nagari Batipuh Ateh

Nagari merupakan kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas-

batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus kepentingan

masyarakat setempat berdasarkan asal usul dan adat istiadat yang diakui dan

dihormati dalam sistem pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia.1

Secara geografis Nagari Batipuh Ateh terletak di lereng Gunung Merapi

yang membujur dari arah Timur ke Barat yang dilewati oleh satu sungai besar

yaitu sungai Batang Sabu. Nagari Batipuh Ateh merupakan salah satu Nagari

darai delapan Nagari yang ada di Kecamatan Batipuh dengan luas ± 8,23 km2

terdiri dari 5 Jorong yaitu Jorong Balai Mato Aie, Jorong Balai Sabuah,

Jorong Subarang, Jorong Jambu dan Jorong Sawah Diujung.2

1 Ekspose Kerapatan Adat Nagari Batipuh Ateh, Kab. Tanah Datar, Nagari Tuan Gadang

Harimau Campo Kotopili. 2 Ekspose Kerapatan Adat Nagari Batipuh Ateh, Kab. Tanah Datar, Nagari Tuan Gadang

Harimau Campo Kotopili.

Page 53: PERKAWINAN SESUKU DALAM BUDAYA MINANGKABAU DI … · Dalam budaya adat Minangkabau sendiri terdapat perkawinan sesuku yang menjadi dinding penghalang seseorang untuk bisa melangsungkan

43

Saat ini Nagari Batipuh Ateh memiliki Jumlah penduduk 4.503 jiwa,

yang terdiri dari laki-laki 2.262 jiwa dan perempuan 2.241 jiwa serta jumlah

kepala keluarga sebanyak 1.310 kk.

Asal usul nama Nagari Batipuh adalah berasal dari nama sebatang kayu

besar yang bernama kayu Ipuah (kayu yang beripuh), yang tumbuh di bawah

beringin gadang (besar). Yang dikatakan / dinamakan Nagari Batipuh adalah

semenjak dari Kapalo Koto sampai Ikua Koto. Nagari Batipuh kira-kira tahun

1840 dibagi menjadi dua kewalian / Nagari yaitu Batipuh Ateh (Kapalo Koto)

dan Batipuh Baruah (Ikua Koto), dengan diberi tanda Batu Gantiang yang

terletak di Gantiang yang dihadiri oleh orang IV Jinih di Batipuh.

Selain itu asal Ninik moyang orang Batipuh Ateh adalah dari Pariangan.

Ninik moyang yang turun dari Pariangan sebanyak 14 keluarga dengan 14

orang penghulu ke Batipuh. Dari Ninik nan 14 yang tinggal di Batipuh Ateh

sebanyak 7 Ninik. Karena manusia bakakambangan maka rapatlah Ninik

tersebut dengan keputusan, penghulu di Nagari Batipuh Ateh menjadi 12

orang yang disebut urang duo kali anam, yang terdiri dari 7 suku.3 Suku-

suku tersebut adalah Panyalai, Sikumbang, Koto, Malayu, Jambak, Pisang

dan Guci.4

Batasan-batasan Nagari Batipuh Ateh terdiri atas beberapa bagian, dari

bagian-bagian tersebut, terdapat juga beberapa Nagari. Batas-batas Nagari

Batipuh Ateh terdiri dari :

Sebelah Utara : Nagari Sabu, Anak Kayu Nan Tigo, Padang Laweh,

Cimporong dan Sandaran Puti.

Sebelah Selatan : Nagari Batipuh Baruah, Bawah Gantiang, Pitalah dan

Sitapuang Banyak.

3 Ekspose Kerapatan Adat Nagari Batipuh Ateh, Kab. Tanah Datar, Nagari Tuan Gadang

Harimau Campo Kotopili. 4 Bardasarkan Data Kantor Wali Nagari Batipuh Ateh. Diambil Tanggal 3 Maret 2019.

Page 54: PERKAWINAN SESUKU DALAM BUDAYA MINANGKABAU DI … · Dalam budaya adat Minangkabau sendiri terdapat perkawinan sesuku yang menjadi dinding penghalang seseorang untuk bisa melangsungkan

44

Sebelah Timur : Nagari Sikaladi, Samak Baluka, Labuhan Anjing, Jarang

Balango, Tabek Itam dan Alur Kuning.

Sebelah Barat : Nagari Batipuh Ateh, Kubu Karikia, Nagari Andaleh,

Sawah Ranah, Anak Kayu dan Talago.5

2. Pemerintahan Nagari Batipuah Ateh

Dalam rangka menggerakkan dan terlaksananya urusan pemerintahan

baik perangkat Nagari maupun Kepala Jorong yang memiliki potensi dan

kredibilitas dimata masyarakat. Maka sangat dituntut tenaga yang profesional

dari aparat pemerintahan yang ada dalam Nagari. Adapun data Wali Nagari

dan perangkat Nagari Batipuh Ateh sebagai berikut 6 :

Wali Nagari : Azizman. DT. Sinaro Alam Nan Putiah

Sekretaris Nagari : Armen Sandi. SH. DT. Majo Basa

Bendahara Nagari : Delvi Yunita

Kepala Jorong Balai Mato Aie : Ade Putra S.E.

Kepala Jorong Balai Sabuah : Mardetillah. KT. Sati.

Kepala Jorong Jambu : Jufri Efendi. ST. Batuah.

Kepala Jorong Sw Diujuang : Indra Satria. ST. Panduko Basa

Kepala Jorong Subarang : Kamarudin. KT. Marajo.

B. Eksistensi Lembaga Adat di Nagari Batipuh Ateh.

Lembaga adat berperan penting dalam menyelesaikan perselisihan adat

istiadat serta kebiasaan masyarakat Batipuh Ateh. Dalam lembaga adat

terdapat suatu musyawarah atau rapat yang dinamakan dengan rapat adat atau

rapat antara lembaga adat dan diikut sertakan lembaga-lembaga adat yang

5 Ekspose Kerapatan Adat Nagari Batipuh Ateh, Kab. Tanah Datar, Nagari Tuan Gadang

Harimau Campo Kotopili. 6 Bardasarkan Data Kantor Wali Nagari Batipuh Ateh. Diambil Tanggal 3 Maret 2019.

Page 55: PERKAWINAN SESUKU DALAM BUDAYA MINANGKABAU DI … · Dalam budaya adat Minangkabau sendiri terdapat perkawinan sesuku yang menjadi dinding penghalang seseorang untuk bisa melangsungkan

45

terkait serta pemerintah desa terkait. Rapat lembaga adat ini berfungsi untuk

mencari tau penyebab dan seperti apa perselisihan yang menyangkut adat

istiadat. Adanya penyelesaian ini diberlakukannya hukum adat yang dibuat

oleh tetua adat sebelumnya.7

Lembaga adat merupakan suatu organisasi kemasyarakatan adat yang

dibentuk oleh masyarakat hukum adat tertentu yang mempunyai wilayah adat

tertentu dan mempunyai harta kekayaan tersendiri serta mempunyai

wewenang untuk mengatur, mengurus dan menyelesaikan hal-hal yang

berkaitan dengan adat.8

Pada dasarnya di Minangkabau terdapat 3 macam pemerintahan adat

(kalarasan), yakni kalarasan Bodi Chaniago, Kalarasan Koto Piliang dan

Pisang Sikalek-kalek Hutan (Campuran). Berhubung di Nagari Panyalaian

termasuk Kalarasan Bodi Caniago, maka bentuk masyarakat hukum adat yang

ada di Nagari Panyalaian hanya 2, yakni masyarakat hukum adat genealogis

matrilineal berupa paruik / kaum yang masing-masing dipimpin oleh seorang

pengulu yang berjumlah 98 orang dan masyarakat hukum adat genealogis

matrilineal teritorial yaitu Panyalaian.

Terkait dengan bentuk pengakuan dan perlindungan hal masyarakat

hukum adat di Kab. Tanah Datar-Sumatera Barat. Jauh sebelum adanya UU

No. 6 tahun 2014 tentang desa sebenarnya eksistensi masyarakat hukum adat

di Minangkabau sudah diakui dan dilindungi. Hal ini terakomodir di dalam

perda Provinsi Sumatera Barat No. 2 Tahun 2007 tentang pokok-pokok

pemerintahan Nagari, dimana kedua peraturan tersebut menyebutkan bahwa

Nagari adalah kesatuan masyarakat hukum adat yang memiliki batas-batas

wilayah tertentu dan berwenang untuk mengatur dan mengurus kepentingan

masyarakat setempat berdasarkan filosofi adat Minangkabau (adat basandi

syara’, syara’ basandi kitabullah) dan atau berdasarkan asal usul dan adat

7 Muhammad Erwin, “Peran Lembaga Adat dalam Pembangunan Desa Sidomulyo” Ilmu

Pemerintahan, Vol. 5, No. 3, (2017), h., 1340. 8 Ayi Haryani, “Peran Pengurus Lembaga Adat dalam Memfungsikan Lembaga Adat

Kasepuhan Sinaresmi di Desa Sinaresmi Kecamatan Cisolok Kabupaten Sukabumi” Jurnal Ilmiah

Pekerjaan Sosial, Vol. 11 No. 1, (Juni, 2012), h., 2.

Page 56: PERKAWINAN SESUKU DALAM BUDAYA MINANGKABAU DI … · Dalam budaya adat Minangkabau sendiri terdapat perkawinan sesuku yang menjadi dinding penghalang seseorang untuk bisa melangsungkan

46

istiadat setempat dalam wilayah Provinsi Sumatera Barat. Kedua peraturan

tersebut tidak hanya mengatur mengenai keberadaan masyarakat hukum adat

saja namun juga hak-hak tradisional mereka termasuk juga dalam struktur

pemerintahan di Nagari. 9

Di Minangkabau pemerintah daerah tidak ikut campur tangan dalam

pemerintahan adat, segala macam urusan yang berhubungan dengan adat

dilakukan oleh Lembaga Kerapatan Adat Nagari (LKAN). Sedangkan urusan

pemerintahan dilakukan oleh Pemda. Pemda hanya membina dan

memberikan fasilitas-fasilitas untuk LKAN. Untuk LKAN Tanah Datar

terdapat sekitar 75 LKAN dengan membawahi 14 kecamatan. Berdasarkan

Perda Provinsi Jawa Barat No 02 Tahun 2007. Tentang pokok-pokok

pemerintahan Nagari, yang dimaksud dengan LKAN adalah Lembaga

Kerapatan dari Ninik Mamak yang telah ada dan diwarisi secara turun

temurun sepanjang adat berfungsi memelihara kelestarian adat serta

menyelesaikan perselisihan sako dan pusako. 10

LKAN berkedudukan sebagai lembaga perwakilan permusyawaratan

masyarakat adat tertinggi yang telah ada dan diwarisi secara turun-temurun

sepanjang adat.11 Sementara menurut Perda Kab. Tanah Datar No 4 Tahun

2008 tentang Nagari yang dimaksud dengan LKAN adalah lembaga

kerapatan Ninik Mamak pemangku adat yang telah ada dan diwarisi secara

turun-temurun sepanjang adat yang berlaku di masing-masing Nagari dan

merupakan lembaga tertinggi dalam peyelenggaraan adat di Nagari.12

Sejalan dengan hal itu di Nagari Batipuah Ateh LKAN telah diganti

dengan KAN (kerapatan adat Nagari) Batipuah Ateh. KAN (kerapatan adat

Nagari) didirikan dan disahkan oleh para Ninik Mamak Nagari Batipuah Ateh

pada tanggal 2 Juli 1966, serta berkedudukan di Nagari Batipuah Ateh. Hal

9 Fokky Fuad, Negara dan Masyarakat Hukum Adat. (Jakarta : Pusat Penelitian Badan

Keahlian DPR RI, 2016), h., 107. 10 Pasal 1 Angka 13 Perda Provinsi Sumatera Barat, No. 2 Tahun 2007 tentang Pokok-

pokok Pemerintahan Nagari. 11 Pasal 28 Perda Provinsi Sumatera Barat, No. 2 Tahun 2007 tentang Pokok-pokok

Pemerintahan Nagari. 12 Pasal 86 Perda Kabupaten Tanah Datar, No. 4 Tahun 2008 tentang Nagari.

Page 57: PERKAWINAN SESUKU DALAM BUDAYA MINANGKABAU DI … · Dalam budaya adat Minangkabau sendiri terdapat perkawinan sesuku yang menjadi dinding penghalang seseorang untuk bisa melangsungkan

47

ini didasarkan pada Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 serta hukum

adat yang berpedoman kepada hukum syarak melalui musyawarah mufakat,

adat basandi syarak, syarak basandi kitabullah. 13

1. Tujuan Dibentuknya KAN (Kerapatan Adat Nagari) Dalam

Menyelesaikan Perkawinan Sesuku

Lembaga adat atau KAN (kerapatan adat Nagari) yang terdapat di

Nagari Batipuh Ateh merupakan wujud perkumpulan para Ninik Mamak

yang ada di Nagari tersebut. KAN didirikan tidak hanya untuk

memperhatikan Nagari saja namun juga sebagai pemerhati setiap kaum serta

anak kemenakan yang hidup dan mempunyai keterikatan suku atau

kekerabatan dengan Ninik Mamak yang memimpin suku tersebut.14

Adapun tujuan dibentuknya KAN Agar terwujudnya masyarakat yang

agamis, maju dan berbudaya adat serta diridhai oleh Allah SWT, dalam hal

ini seperti adanya larangan kawin sesuku dengan Nagari yang sama, namun

dibolehkan kawin sesuku dengan Nagari yang berbeda. KAN disini bertujuan

memastikan bahwa tidak ada dari anggota kaum atau anak kemenakannya

yang melakukan perkawinan sesuku dengan Nagari yang sama. Serta menjaga

nilai-nilai luhur adat istiadat sesuai dengan kaidah adat Salingka Nagari,

Salingka kaum.15

Jika terdapatnya pelanggaran terhadap aturan adat yang berlaku

tersebut, maka pelaku akan dikenakan sanksi adat berupa sanksi moral seperti

dibuang sepanjang adat serta dikeluarkan dari suku atau kaumnya.16

13 Wawancara Pribadi dengan Bapak Lazisman DT Sinaro Alam Nan Putiah, Tokoh Adat

dan Agama, Batipuah Ateh, 03 Maret 2019. 14 Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga Adat Nagari Kecamatan Batipuah Ateh

Luak Nan Tuo Kabupaten Tanah Datar, h., 2. 15 Wawancara Pribadi dengan Bapak Lazisman DT Sinaro Alam Nan Putiah, Tokoh Adat

dan Agama, Batipuah Ateh, 03 Maret 2019. 16 Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga Adat Nagari Kecamatan Batipuah Ateh

Luak Nan Tuo Kabupaten Tanah Datar, h., 2.

Page 58: PERKAWINAN SESUKU DALAM BUDAYA MINANGKABAU DI … · Dalam budaya adat Minangkabau sendiri terdapat perkawinan sesuku yang menjadi dinding penghalang seseorang untuk bisa melangsungkan

48

2. Tugas dan Fungsi KAN (Kerapatan Adat Nagari)

Berdasarkan tugas dan fungsi KAN, apabila terjadi permasalahan

hukum maka secara tidak langsung akan diselesaikan secara adat terlebih

dahulu. Hasil penelitian di lapangan menunjukkan bahwa tugas dan fungsi

KAN adalah menyelesaikan sengketa sepanjang menyangkut sako dan

pusako.17

Hal ini telah di pertegas dalam Perda Provinsi Sumatera Barat No 2

Tahun 2007 dan juga Kabupaten Tanah Datar No 4 Tahun 2008 tentang

Nagari, dimana apabila menyangkut masalah sako dan pusako maka akan

dikembalikan terlebih dahulu kepada KAN sebelum perkaranya dibawa ke

pengadilan.18

Maksud kata “sako” ini lebih berbentuk abstrak misalnya seperti gelar

penghulu / gelar adat dari suatu kaum Minangkabau, sedangkan Pusako ini

dapat berbentuk materiil seperti ulayat, jadi secara sederhana, dapat dikatakan

bahwa tugas dan fungsi KAN adalah sebagai tempat mediasi untuk

menyelesaikan suatu perkara sebelum dibawa ke ranah hukum. Sehinga jika

terjadi permasalahan hukum terkait sako dan pusako, maka aparat penegak

hukum tidak dapat menindak hal tersebut. Akan tetapi harus meminta

persetujuan atau rekomendasi terlebih dahulu kepada KAN.19

17 Fokky Fuad, Negara dan Masyarakat Hukum Adat, (Jakarta : Pusat Penelitian Badan

Keahlian DPR RI, 2016), h., 108. 18 Fokky Fuad, Negara dan Masyarakat Hukum Adat, h., 109. 19 Fokky Fuad, Negara dan Masyarakat Hukum Adat, h., 109.

Page 59: PERKAWINAN SESUKU DALAM BUDAYA MINANGKABAU DI … · Dalam budaya adat Minangkabau sendiri terdapat perkawinan sesuku yang menjadi dinding penghalang seseorang untuk bisa melangsungkan

49

BAB IV

PERKAWINAN SESUKU DALAM BUDAYA MINANGKABAU DI

NAGARI BATIPUH ATEH

A. Praktik Perkawinan Sesuku di Nagari Batipuh Ateh

Telah disampaikan dipembahasan terdahulu bahwa dalam adat Minang

perkawinan sesuku tidak diperbolehkan, baik calonnya berasal dari nagari

yang sama ataupun berbeda nagari. Baradiek bakakak, Bakamanakan

bamamak, Babako jo babaki, Ba andan bapasumandan, Bakarik jo babaik,

Baurang-urang sumando. Maksud dari pepatah tersebut adalah satu suku

dianggap bekeluarga dan menurut adat bahwa orang yang satu suku dan satu

nagari tidak boleh melakukan akad nikah/kawin karena dianggap melanggar

adat. Namun karena adanya perkembangan jaman, interaksi sosial dan

pengaruh pemahaman agama (Islam) maka terjadilah pergeseran nilai. Hal ini

yang terjadi di Batipuah Ateh. Disini diperbolehkan perkawinan sesuku,

dengan syarat pasangan berasal dari nagari yang berbeda dan tidak ada ikatan

kekerabatan namun jika pasangan tersebut berasal dari Nagari yang sama

maka perkawinan tersebut diaggap tidak sah atau dilarang.1 Sebagaimana

diutarakan oleh DT Gadang Majolelo : “itu terjadi karano urang batipuah

ateh bapandapek bahwa urang yang babedo nagarinyo indak ado ikatan

kekerabatan dan juo budaya yang makin bakambang”. Artinya : hal ini

terjadi karena menurut masyarakat nagari Batipuah Ateh perkawinan satu

suku berbeda nagari tidaklah terikat dengan kekerabatan dekat dan sejalan

dengan perkembangan zaman.2

Hal ini pun sejalan dengan teori pluralisme hukum yang juga telah

disampaikan pada pembahasan sebelumnya, mapping of law (pemetaan

hukum), dimana hukum adat yang berlaku di Nagari Batipuh Ateh merupakan

1 Wawancara Pribadi dengan Bapak Samsuar DT Gadang Majolelo, Tokoh Adat dan

Agama, Batipuah Ateh, 03 Maret 2019. 2 Wawancara Pribadi dengan Bapak Samsuar DT Gadang Majolelo, Tokoh Adat dan

Agama, Batipuah Ateh, 03 Maret 2019.

Page 60: PERKAWINAN SESUKU DALAM BUDAYA MINANGKABAU DI … · Dalam budaya adat Minangkabau sendiri terdapat perkawinan sesuku yang menjadi dinding penghalang seseorang untuk bisa melangsungkan

50

pemetaan hukum yang telah dipilah-pilah dengan hukum adat yang berlaku

di Minangkabau oleh tetua adat untuk menciptakan kemanan dan

kesejahteraan masyarakat yang hidup di dalamnya.

Selain itu ungkapan pepatah adat Minangkabau “suku nan indak bias

dianjak, malu nan indak dapek dibagi, (sehina semalu)”. Masyarakat Batipuh

Ateh membolehkan perkawinan sesuku dengan catatan harus berasal dari

Nagari yang berbeda, namun tidak membolehkan perkawinan sesuku yang

berasal dari Nagari yang sama atau satu rumpun, satu rumpun yang dimaksud

disini adalah menurut garis keturunan matrilineal, dimana ketentuan itu

disebut dengan istilah “eksogami matrilokal” atau “eksogami matrilineal”.3

Penting untuk difahami bahwa ada perbedaan siginifikan antara

“mengharamkan” dengan “melarang”. Karena, apa yang dilarang oleh adat

belum tentu berarti haram menurut agama, tetapi apa yang diharamkan

agama, pasti dilarang oleh adat. menikah dengan sesuku halal, tetapi bagi

orang Minang melarangnya secara adat. Kawin sesuku adalah tidak baik,

bagi pelakuknya akan dikenakan hukum adat yang berat. Dan hukuman

bukan menyasar pada pribadi saja, tetapi juga pada seluruh anggota suku

terkena imbas. Pelaku dianggap bukan lagi bagian dari keluarga besar

sukunya. Perkawinan sesuku bukan melihat dari sudut pandang halal atau

haram melainkan sebuah perkawinan yang dibangun atas dasar nilai moral

dan raso jo pareso (perasaan dengan tenggang rasa) dan merupakan

kesepakatan atau sumpah yang berlaku secara turun temurun dari nenek

moyang.4

Selain itu untuk pasangan yang akan melakukan perkawinan sesuku

yang berasal dari Nagari yang berbeda harus mendapat izin terlebih dahulu

dari Ninik Mamak atau penghulu dari suku pasangan yang bersangkutan. Hal

3 Yossi Febrina, “Perkawinan Satu Suku di Nagari Jawi-Jawi Sumatera Barat Ditinjau dari

Hukum Islam.” (Skripsi S-1 Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif

Hidayatullah Jakarta, 2017), h., 42-43. 4 Wawancara Pribadi dengan Bapak Samsuar DT Gadang Majolelo, Tokoh Adat dan

Agama, Batipuah Ateh, 03 Maret 2019.

Page 61: PERKAWINAN SESUKU DALAM BUDAYA MINANGKABAU DI … · Dalam budaya adat Minangkabau sendiri terdapat perkawinan sesuku yang menjadi dinding penghalang seseorang untuk bisa melangsungkan

51

tersebut dilakukan dengan melalui forum musyawarah KAN. Tujuan

dilakukan musyawarah tersebut adalah untuk memastikan bahwa memang

benar pasangan tersebut berbeda Nagari dan ketua kaumnya juga berbeda satu

sama lainnya.5

Ninik Mamak juga wajib memberikan nasihat kepada anak

kemenakannya. Selain sistem adat yang kuat di Minangkabau khususnya di

Nagari Batipuah ateh juga sangat kuat dalam hubungan kekeluargaannya

seperti kata pepatah baradiek bakakak, bakamanakan bamamak, babako jo

babaki, ba andan bapasumandan, bakarik jo babaik, baurang-urang

sumando.6 Maksud dari pepatah tersebut adalah di Nagari Batipuah Ateh

sesuku dianggap bekeluarga dan menurut adat bahwa orang yang sesuku dan

yang berasal dari satu Nagari tidak boleh melakukan akad nikah / kawin

karena dianggap melanggar adat.7

Adapun terkait dengan permasalahan perkawinan sesuku maka Ninik

Mamak yang paling utama berperan aktif dalam menyelesaikan dan

menasehati anak kemenakannya adalah Tuo Kampuang atau orang yang

menjadi pemimpin dalam suku di kampungnya. Tuo Kampuang akan

memberikan pandangan-pandangan terkait dampak perkawinan sesuku

tersebut serta memberikan wejangan kepada anak kemenakannya supaya

tidak melakukan perkawinan sesuku. Hal ini dikarenakan faktor kultur yang

secara turun temurun dari zaman dahulu sampai sekarang, sehingga

masyarakat adat Nagari Batipuah Ateh menganggap itu adalah perkawinan

terlarang atau dianggap kawin dengan saudara.8

5 Wawancara Pribadi dengan Bapak Musa DT. Tumangguang, Tokoh Adat dan Agama,

Batipuah Ateh, 03 Maret 2019. 6 Wawancara Pribadi dengan Bapak Samsuar DT Gadang Majolelo, Tokoh Adat dan

Agama, Batipuah Ateh, 03 Maret 2019.

7 Yossi Febrina, “Perkawinan Satu Suku di Nagari Jawi-Jawi Sumatera Barat Ditinjau dari

Hukum Islam.” (Skripsi S-1 Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif

Hidayatullah Jakarta, 2017), h., 48. 8 Wawancara Pribadi dengan Bapak Rajudi DT. Tanbarakan, Tokoh Adat dan Agama,

Batipuah Ateh, 03 Maret 2019.

Page 62: PERKAWINAN SESUKU DALAM BUDAYA MINANGKABAU DI … · Dalam budaya adat Minangkabau sendiri terdapat perkawinan sesuku yang menjadi dinding penghalang seseorang untuk bisa melangsungkan

52

Sejalan dengan hal itu menutut DT Gadang Majolelo jika permasalahan

anak kemenakan yang melakukan perkawinan sesuku tersebut tidak dapat

diselesaikan oleh Tuo Kampuang maka diserahkan kepada Pasamaian dan

Panungkek untuk menasehati anak kemenakannya begitu seterusnya hingga

sampai kepada Pangulu Pucuak.9

Pangulu Pucuak adalah orang yang menjadi pemimpin dari sukunya,

beliau adalah pemimpin yang di dahulukan selangkah dan ditinggikan

seranting. Jika setiap permasalahan yang tidak dapat diselesaikan oleh

sukunya maka masalah tersebut akan diserahkan kepada Pangulu Pucuak.10

Dalam menyelesaikan permasalahan anak kemenakannya Pangulu Pucuak

akan memastikan kembali kepada anak kemanakannya terkait keputusannya

yang melanggar hukum adat serta menasehati agar keinginan untuk menikah

dengan calonnya yang sesuku dibatalkan.11

Namun jika permasalahan tersebut juga tidak dapat diselesaikan oleh

Pangulu Pucuak, maka Pangulu Pucuak berhak membawa masalah tersebut

ke KAN (kerapatan adat Nagari). Disitulah berhimpun setiap masalah-

masalah yang tidak dapat diselesaikan oleh setiap kepala suku dari suku

tersebut. KAN merupakan suatu lembaga adat yang terdapat di Nagari

Batipuah Ateh, kedudukan dari KAN sama dengan Pengadilan Agama.12

Selain itu keanggotaan dalam KAN (Kerapatan Adat Nagari) ditentukan oleh

dua hal yakni suku dan gelar. Serta susunan kepemimpinan dalam KAN

ditentukan oleh sistem kelarasan yang dominan (Koto Piliang dan Bodi

Caniago). Pada sistem Koto Piliang KAN dipimpin oleh penghulu Pucuak

Nagari, sedangkan pada sistem Bodi Caniago pemimpin berada pada salah

seorang penghulu nan ampek suku atau salah seorang dari penghulu yang

9 Wawancara Pribadi dengan Bapak Samsuar DT Gadang Majolelo, Tokoh Adat dan

Agama, Batipuah Ateh, 03 Maret 2019. 10 Wawancara Pribadi dengan Bapak Musa DT. Tumangguang, Tokoh Adat dan Agama,

Batipuah Ateh, 03 Maret 2019. 11 Wawancara Pribadi dengan Bapak Samsuar DT Gadang Majolelo, Tokoh Adat dan

Agama, Batipuah Ateh, 03 Maret 2019. 12 Wawancara Pribadi dengan Bapak Alfa Edison DT. Mustofa, Tokoh Adat dan Agama,

Batipuah Ateh, 03 Maret 2019.

Page 63: PERKAWINAN SESUKU DALAM BUDAYA MINANGKABAU DI … · Dalam budaya adat Minangkabau sendiri terdapat perkawinan sesuku yang menjadi dinding penghalang seseorang untuk bisa melangsungkan

53

empat yang mula membangun Nagari. Periode kepemimpinan bergilir

diantara mereka yang disebut dengan “gadang balega”. Sebagai lembaga

(musyawarah) tertinggi Nagari, keanggotaan KAN haruslah mencerminkan

tungku tiga sejerangan, tali tiga sepilin yakni Ninik Mamak, alim ulama dan

cadiak pandai.13

Adapun perkawinan sesuku dengan Nagari yang berbeda terjadi pada

masyarakat Batipuh Ateh yaitu dengan inisial D dan M. Mereka

melangsungkan perkawinan seperti aturan perkawinan adat Batipuh Ateh

pada umumnya, pernikahan tersebut pun telah dirundingan dan di

musyawarahkan terlebih dahulu oleh para Ninik Mamak pemangku adat dari

suku yang mereka anut. Menurut ibu Yuniar “walau anak ambo kawin sasuku

tapi pakawinan nan ditampuah lai manuruik barih adek Nagari Batipuah

Ateh”. maksudnya perkawinan yang dilakukan oleh anak ibu Yuniar telah

mengikuti adat istiadat yang berlaku dalam aturan adat Salingka Nagari

Batipuh Ateh serta tidak menimbulkan konflik dari pernikahan tersebut. 14

Adapun perkawinan sesuku juga dilakukan oleh yang terjadi pada

sepasang suami istri dengan inisial A dan B. Berbeda dengan perkawinan

sebelumnya, perkawinan yang terjadi pada pasangan A dan B adalah

perkawinan sesuku yang berasal dari Nagari yang sama. Sehingga dari

perkaiwinan tersebut menimbulkan banyak kontroversi dari masyarakat dan

tokoh adat. Menurut ibu Yusmawati “sabalun tajadinyo perkawinan itu,

Ninik Mamaknyo alah barundiang dan mancubo manesehatinyo tapi

kaduonyo taruih sajo basikareh, alah di sabuikan pulo kainyo sanksinyo

sarato jo mulareknyo ka Mamak nyo tapi nan iyo tetap juo nio malanjuikan

pakawian tu”.15 maksudnya sebelum terjadinya perkawinan sesuku tersebut

semua Ninik Mamak atau kepala suku atau pemangku adat dari pasangan

tersebut sudah melakukan perundingan dengan keluraga besar sembari

13 Firman Hasan, Dinamika Masyarakat dan Adat Minangkabau, (Padang : Departemen

Pendidikan dan Kebudayaan, 1988), h., 122. 14 Wawancara Pribadi dengan Ibu Yuniar, masyarakat, Batipuah Ateh, 24 Februari 2019. 15 Wawancara Pribadi dengan Ibu Yusmawati, masyarakat, Batipuah Ateh, 24 Februari

2019.

Page 64: PERKAWINAN SESUKU DALAM BUDAYA MINANGKABAU DI … · Dalam budaya adat Minangkabau sendiri terdapat perkawinan sesuku yang menjadi dinding penghalang seseorang untuk bisa melangsungkan

54

memberikan nasehat-nasehat kepada pasangan tersebut bahwa hal itu

termasuk hal yang haram dan sangat dilarang. Selain itu akibat yang

ditimbulkan dari perkawinan sesuku tersebut juga sangat besar dampaknya.

Hal itu tidaknya pada pelaku saja melainkan semua Ninik Mamak dari kaum

atau suku tersebut juga ikut dikucilkan oleh masyarakat di Batipuh Ateh.

Oleh karena itu dari dua kejadian di atas menjelaskan bahwa pada

dasarnya di Nagari Batipuh Ateh perkawinan sesuku yang berasal dari Nagari

yang berbeda berdasarkan aturan adat batipuh diperbolehkan namun tetap

memerlukan unsur kehati-hatian. Sedangkan perkawinan sesuku yang berasal

dari Nagari yang sama sangat dilarang dan bertentangan dengan aturan adat

istidat yang berlaku di Nagari Batipuh Ateh.

Keputusan adat di Nagari Batipuh Ateh ini juga merupakan kompromi

dari adanya tarik menarik antara dua kepentingan hukum yaitu hukum adat

dan hukum Islam, hukum agama yang dianut masyarakat Minangkabau.

Dalam hukum Islam perkawinan sesuku asalkan tidak termasuk mahrom

(yang haram dinikahi) adalah boleh. Sementara bagi perkawinan yang sesuku

dan tinggal dalam Nagari yang sama tetap dikenakan hukum adat yang

ditentukan oleh KAN.16

Adapun tatacara pelaksanaan adat istiadat perkawinan sesuku yang

berasal dari Nagari yang berbeda sama saja dengan tatacara perkawinan pada

umumnya yang berlaku dalam aturan adat Minangkabau, hanya saja dalam

perkawinan sesuku yang berasal dari Nagari yang berbeda diperlukan kehati-

hatian dan musyawah para Ninik Mamak, untuk memastikan bahwa yang

akan menikah benar-benar berada dalam Nagari yang berbeda.17

16 Wawancara Pribadi dengan Bapak Alfa Edison DT. Mustofa, Tokoh Adat dan Agama,

Batipuah Ateh, 03 Maret 2019. 17 Wawancara Pribadi dengan Ibu Yusmawati, masyarakat, Batipuah Ateh, 24 Februari

2019.

Page 65: PERKAWINAN SESUKU DALAM BUDAYA MINANGKABAU DI … · Dalam budaya adat Minangkabau sendiri terdapat perkawinan sesuku yang menjadi dinding penghalang seseorang untuk bisa melangsungkan

55

B. Akibat Hukum Perkawinan Sesuku di Nagari Batipuh Ateh

Setiap suatu tindakan tentu akan ada akibat dari tindakan tersebut,

apalagi jika suatu tindakan tersebut melanggar aturan-aturan yang sudah ada,

baik berupa aturan dalam hukum positif, hukum Islam, hukum adat dan

sebagainya. Terkait dengan perkawinan sesuku yang terjadi di Nagari Batipuh

Ateh, dalam hal ini terikat dengan hukum adat atau disebut dengan hukum

adat Salingka Nagari, yang memiliki aturan-aturan khusus di dalamnya. Salah

satunya terkait dalam kebolehan menikah dengan orang yang sesuku, namun

memiliki pengecualian harus yang berasal dari Nagari yang berbeda. Jika

perkawinan tersebut dilakukan dengan pasangan yang sesuku dan berasal dari

Nagari yang sama, maka akan menimbulkan akibat-akibat dan sanksi hukum

dari aturan adat yang berlaku di Nagari tersebut.

Adapun akibat hukum yang timbul dari perkawinan sesuku dan berasal

dari satu Nagari di Nagari Batipuah Ateh sebagai berikut :

1) Dibuang puluih dari Nagari atau keluar dari kaum

Hal ini terjadi jika kedua calon mempelai melakukan perkawinan

sesuku yang berasal dari Nagari yang sama serta dianggap kawin

limbago barunsanak. Selain itu kedua pasangan tersebut tidak

diperbolehkan untuk pulang kerumah mertuanya secara bersamaan.

Jika aturan ini tidak dijalankan maka keduanya diharuskan untuk

bercerai.18

2) Keluar dari kaum beserta dari kaum Mamak-Mamaknya.

Anak atau kemenakan yang melanggar aturan adat perkawinan

sesuku yang berasal dari Nagari yang sama, maka dirinya secara

otomatis dihapus dari keluarganya dan tidak dianggap lagi sebagai anak

kemenakan dari Ninik Mamak suku tersebut. Jika anak atau kemenakan

18 Wawancara Pribadi dengan Bapak Alfa Edison DT Mustofa, Tokoh Adat dan Agama,

Batipuah Ateh, 03 Maret 2019.

Page 66: PERKAWINAN SESUKU DALAM BUDAYA MINANGKABAU DI … · Dalam budaya adat Minangkabau sendiri terdapat perkawinan sesuku yang menjadi dinding penghalang seseorang untuk bisa melangsungkan

56

tersebut ingin kembali lagi ke dalam keluarganya, maka mereka harus

bercerai terlebih dahulu.19

3) Dikucilkan

Setiap pelaku kawin sesuku yang berasal dari Nagari yang sama

maka akan dikucilkan oleh masyarakat sekitarnya karena dianggap

telah merusak hukum adat yang telah berlaku.20

4) Membersihkan nama Mamak

Di Minangkabau Ninik Mamak sangat berperan aktif dari pada

orang tua, karena hal-hal yang terjadi Mamak lah yang terlebih dahulu

terlibat bak dalam hal perkawinan kemenakannya, harta pusaka dan

sebagainya. Dalam hal perkawinan sesuku jika anak kemenakannya

melanggar aturan adat maka anak kemenakan tersebut wajib

membersihkan nama Mamaknya, jika hal itu tidak dilakukan oleh

kemenakannya makan Ninik Mamak yang bersangkutan tidak

diperkenankan untuk meengikuti sidang yang berlangsung di KAN.21

Hal-hal yang dilakukan dalam pembersihan nama Mamak disini

seperti membuat nasi lamak, tungkahan badarah, membuat singang

ayam,22 membayar kepada Nagari sebanyak sapikua bareh23 dan satu

mas.

Jika hal-hal diatas telah terpenuhi dan sudah dihidangkan kepada

Mamak Bareh sapikua, pajuraian, dan salah seorang pengurus KAN, maka

Mamak dan setiap orang yang hadir tidak boleh mencicipi hidangan tersebut,

karena itu dianggap sebagai sesuatu yang kotor dan masyarakat adat

beranggapan makanan tersebut tidak layak untuk dimakan.

19 Hampir Serupa dengan Nasi Kuning Namun Nasi Lamak Terbuat dari Beras Ketan Putih. 20 Wawancara Pribadi dengan Bapak Safrial DT Batuah Nan Teleang, Tokoh Adat dan

Agama, Batipuah Ateh, 03 Maret 2019. 21 Wawancara Pribadi dengan Bapak Lazisman DT Sinaro Alam Nan Putiah, Tokoh Adat

dan Agama, Batipuah Ateh, 03 Maret 2019. 22 Singgang Ayam Merupakan Simbol Adat dalam Acara Tertentu. 23 Sa Pikua Bareh setara dengan 100 Liter beras.

Page 67: PERKAWINAN SESUKU DALAM BUDAYA MINANGKABAU DI … · Dalam budaya adat Minangkabau sendiri terdapat perkawinan sesuku yang menjadi dinding penghalang seseorang untuk bisa melangsungkan

57

5) Ninik Mamak didenda

Adapun dendan yang diberlakukan untuk Mamak adalah membayar

kepada Nagari sesuai dengan kebesaran Mamak yaitu :

a. Pangulu Pucuak sebanyak 60 Riyal 24

b. Pangulu Andiko sebanyak 40 Riyal

c. Pangulu Pasamaian sebanyak 30 Riyal

d. Pangulu Panungkek sebanyak 20 Riyal

e. Tuo Kampuang sebanyak 10 Riyal 25

C. Implementsi Perkawinan Sesuku di Minangkabau.

Secara filosofis perkawinan sesuku sejalan dengan sila ke 3 dalam

Pancasila yaitu persatuan Indonesia, yang dalam hal ini juga sesuai dengan

Bhineka Tunggal Ika sebagai suatu semboyan bagi Bangsa Indonesia, yang

berarti meskipun berbeda-beda namun tetap dalam satu kesatuan negara

Republik Indonesia. Ke bhinekaan yang dimaksud disini adalah banyaknya

suku bangsa yang mendiami pulau-pulau diseluruh wilayah Indonesia tapi

mereka tetap menciptakan warna-warni persatuan. Selain itu Setiap suku

Bangsa juga memiliki aturan dan norma-norma yang mereka patuhi sejak

zaman dahulu kala dan hal itu tidak melahirkan perpecahan dan pertikaian

antar masyarakat Indonesia yang dalam hal ini disebut dengan istilah hukum

adat.26

Adapun secara sosiologis tentang perkawinan sesuku juga sejalan

dengan teori Recpetie In Complexu. Dimana aturan adat terkait perkawinan

sesuku tidak bertentangan dengan aturan agama, yang dalam falsafah

Minangkabau dikenal dengan adat basandi syarak, syarak basandi

kitabullah. Maksudya aturan adat Minangkabau berdasarkan pada syarak

yang sesuai dengan agama atau kalamullah. Secara agama perkawinan

24 Riyal Merupakan Mata Uang Dahulu Kala yang Ada di Minangkabau, Satu Ria sebanyak

12.000 sama dengan 120.000 dalam Rupiah. 25 Wawancara Pribadi dengan Bapak Samsuar DT Gadang Majolelo, Tokoh Adat dan

Agama, Batipuah Ateh, 03 Maret 2019. 26 Abdurrahman, “Harmonisasi Hukum Adat dan Hukum Islam Bagi Pengembangan

Hukum Nasional Di Indonesia” Al Mashlahah Jurnal Hukum dan Pranata Sosial Islam, h., 233.

Page 68: PERKAWINAN SESUKU DALAM BUDAYA MINANGKABAU DI … · Dalam budaya adat Minangkabau sendiri terdapat perkawinan sesuku yang menjadi dinding penghalang seseorang untuk bisa melangsungkan

58

tidaklah sah apabila dilakukan dengan orang yang sedarah atau saudara

kandung, yang juga bersesuaian dengan aturan adat Minangkabau yang

melarang seseorang kawin sesuku atau satu saudara atau sedarah.

Selain itu aturan adat yang berlaku di Minangkabau khususnya di

Nagari Batipuh Ateh tentang perkawinan sesuku menjadi suatu hal yang

menarik untuk penulis bahas. Karena jika diamati kembali aturan adat yang

berlaku secara umum di Minangkabau tentang perkawinan sesuku sedikit

berbeda dengan aturan adat Nagari Batipuh Ateh, dalam hal ini di

Minangkabau perkawinan sesuku adalah suatu perwinan yang dilarang karena

pengaruh dari sistem kekerabatan matrilineal atau garis keturunan ibu, yang

beranggapan bahwa setiap orang yang memiliki suku yang sama adalah orang

yang mempunyai hubungan pertalian darah atau hubungan kekerabatan.

Dengan kata lain jika seseorang melakukan perkawinan sesuku maka sudah

diaggap sumbang dan menyimpang dalam aturan adat Minangkabau.27

Lain halnya dengan aturan adat yang berlaku di Nagari Batipuh Ateh,

dimana perkawinan sesuku adalah sah atau boleh jika dilakukan dengan orang

yang berasal dari Nagari yang berbeda, namun jika perkawinan itu dilakukan

dengan orang yang berasal dari Nagari yang sama maka perkawinan tersebut

tidak boleh atau tidak sah secara aturan adat Nagari Batipuh Ateh.

Hal yang mendasari bolehnya perkawinan sesuku di Batipuh Ateh yang

berasal dari Nagari yang berbeda menurut Samsuar “Karano alam lah

bakalebaran, manusia alah bakakambangan, dan aturannyo pun lah babeda

dengan Nagari yang lain”.28 Maksudnya karena alam sudah semakin luas dan

masyarakat sudah semakin berkembang serta aturan-aturan adat pun telah

berbeda di masing-masing Nagari. Hal tersebut juga di perkuat oleh pendapat

Alfa Edison yang mengatakan “Nagari satu kesatuan masyarakat hukum

27 Wawancara Pribadi dengan Bapak Samsuar DT. Gadang Majolelo, Tokoh Adat dan

Agama, Batipuh Ateh, 03 Maret 2019. 28 Wawancara Pribadi dengan Bapak Samsuar DT. Gadang Majolelo, Tokoh Adat dan

Agama, Batipuh Ateh, 03 Maret 2019.

Page 69: PERKAWINAN SESUKU DALAM BUDAYA MINANGKABAU DI … · Dalam budaya adat Minangkabau sendiri terdapat perkawinan sesuku yang menjadi dinding penghalang seseorang untuk bisa melangsungkan

59

adat, adat yang balaku adalah adat Salingka Nagari”29 maksudnya dalam

aturan Nagari merupakan satu kesatuan yang berasal dari masyarakat hukum

adat dan hukum adat yang berlaku adalah hukum adat Salingka Nagari di

daerah tersebut.

Sedangkan secara yuridis terkait terkait permasalahan perkawinan

sesuku maka penyelesaian terakhir jika tidak selesai oleh Ninik Mamak

adalah KAN (Kerapatan Adat Nagari). Karena pengadilan tertinggi di Nagari

Batipuh Ateh adalah KAN. Sejalan dengan Peraturan Daerah tentang Nagari

dimana segala permasalahan yang terjadi di Nagari diselesaikan oleh KAN,

karena KAN merupakan perwujudan permusyawaratan tertinggi dalam

Nagari.30

Oleh karena itu dari hasil penelitian yang telah peneliti lakukan terkait

adanya perbedaan yang terjadi antara aturan adat yang berlaku di

Minangkabau pada umumnya dengan aturan yang adat yang berlaku di Nagari

Batipuh Ateh maka peneliti setuju dengan kebolehan perkawinan sesuku beda

Nagari yang ada dalam aturan adat Salingka Nagari yang berlaku di Nagari

Batipuh Ateh, hal yang paling mendasari alasan peneliti adalah ketika

seseorang melakukan perkawinan sesuku yang berasal dari beda Nagari maka

Ninik Mamak dari suku tersebut sudah pasti berbeda, karena jika satu Nagari

sudah pasti satu Ninik Mamak. Selain itu menurut pepatah Minangkabau

Sawah lah balupak, ladang dan babintalak, maksudnya kalau orang yang

berasal dari berbeda Nagari hak dan hartanya sudah berbeda sehingga tidak

menimbulkan lagi perpecahan antar kaum serta tidak ada permasalahan yang

timbul dalam pengurusan NA.

29 Wawancara Pribadi dengan Bapak Alfa Edison DT. Mustafa, Tokoh Adat dan Agama,

Batipuh Ateh, 03 Maret 2019. 30 Pasal 1 angka 6 Perda Provinsi Sumatera Barat, No. 7 Tahun 2018 tentang Nagari.

Page 70: PERKAWINAN SESUKU DALAM BUDAYA MINANGKABAU DI … · Dalam budaya adat Minangkabau sendiri terdapat perkawinan sesuku yang menjadi dinding penghalang seseorang untuk bisa melangsungkan

60

BAB V

PENUTUP

A. KESIMPULAN

Indonesia memiliki tiga sistem kekerabatan yaitu : sistem kekerabatan

bilateral dimana anak menghubungkan diri dengan kedua orangtuanya,

seperti masyarakat di Jawa, Madura, Kalimantan dan Sulawesi. Sistem

kekerabatan patrilineal dimana anak menghubungkan dirinya berdasarkan

garis keturunan ayahnya, seperti berlaku pada masyarakat Batak dan Bali.

Dan sistem kekerabatan matrilineal dimana anak menghubungkan dirinya

dengan garis keturunan ibunya, seperti yang berlaku pada masyarakat

Minangkabau. Perbedaan sistem kekerabatan ini memiliki konsekuensi

terjadinya perbedaan dibidang hukum perkawinan dan kewarisan.

Sebagaimana diketahui, bahwa perkawinan sesuku merupakan

perkawinan yang dilarang dalam budaya Minangkabau. Perkawinan sesuku

dianggap tabu dan terlarang, dalam terminologi budaya disebut juga kawin

pantang. Ada dua macam perkawinan yang dilarang dalam budaya

Minangkabau yaitu Eksogami suku dan eksogami nagari. Yang dimaksud

dengan eksogami suku adalah larangan perkawinan dengan sesama suku dan

eksogami Nagari adalah larangan sesuku dan senagari.

Sebagian masyarakat Minangkabau ingin mempertahankan larangan

perkawinan sesuku karena perkawinan sesuku sesungguhnya akan menjadi

ancaman bagi eksistensi budaya Minang secara keseluruhan karena akan

merusak sistem kekerabatan, yaitu yang setali darah menurut garis keturunan

matrilineal, sekaum atau sesuku meskipun tidak mempunyai hubungan

geneologis atau tidak senagari. Namun ada juga sebagian masyarakat

Minangbau yang mengakomodasi perubahan jaman ini dengan

memperbolehkan perkawinan sesuku asal tidak berasal dari Nagari yang

sama. Inilah yang menjadi perhatian dalam penelitian ini, dimana di

Page 71: PERKAWINAN SESUKU DALAM BUDAYA MINANGKABAU DI … · Dalam budaya adat Minangkabau sendiri terdapat perkawinan sesuku yang menjadi dinding penghalang seseorang untuk bisa melangsungkan

61

Minangkabau khususnya Nagari Batipuh Ateh memiliki keunikan atau

kekhususan tersendiri dalam penerapan perkawinan sesuku.

Perkawinan sesuku yang terjadi di Nagari Batipuh Ateh adalah boleh

berdasarkan adat salingka Nagari Batipuh Ateh dengan syarat mereka harus

berasal dari Nagari yang berbeda, dan tidak terikat dengan kekerabatan dekat

dan hal ini didukung dengan adanya pandangan alam sudah semakin luas dan

masyarakat sudah semakin berkembang serta aturan-aturan adatpun telah

berbeda di masing-masing Nagari. Selain itu menurut pepatah Minangkabau

Sawah lah balupak, ladang dan babintalak, maksudnya kalau orang berbeda

nagari hak dan hartanya sudah berbeda sehingga tidak menimbulkan lagi

perpecahan antar kaum.

Adapun jenis hukuman yang lazim dilakukan pada pelaku perkawinan

sesuku dan berasal dari Nagari yang sama di Batipuah Ateh, “pelaku akan

Dibuang puluih dari Nagari atau keluar dari kaum. Hal ini terjadi jika kedua

calon mempelai melakukan perkawinan satu suku dengan nagari yang sama

serta dianggap kawin limbago barunsanak. Selain itu kedua pasangan tersebut

tidak diperbolehkan untuk pulang kerumah mertuanya secara bersamaan. Jika

aturan ini tidak dijalankan maka keduanya diharuskan untuk bercerai.

Kedua, akan dikucilkan oleh masyarakat sekitarnya karena dianggap

telah merusak hukum adat yang telah berlaku. Kemudian wajib

membersihkan nama mamaknya, jika hal itu tidak dilakukan oleh

kemenakannya makan niniak mamak yang bersangkutan tidak diperkenankan

untuk mengikuti sidang yang berlangsung di KAN. Adapun hidangannya

adalah : Membuat Nasi Lamak, Tungkahan badarah (minimal seekor

kambing), Membuat singang ayam (ayam panggang utuh). Membayar denda

kepada Nagari Sa pikua bareh (setara 100 liter beras) dan 1 mas (sekitar 3

gram).

Jika hal-hal diatas telah terpenuhi dan sudah dihidangkan kepada

mamak bareh sapikua, pajuraian, dan salah seorang pengurus KAN, maka

mamak dan setiap orang yang hadir tidak boleh mencicipi hidangan tersebut,

Page 72: PERKAWINAN SESUKU DALAM BUDAYA MINANGKABAU DI … · Dalam budaya adat Minangkabau sendiri terdapat perkawinan sesuku yang menjadi dinding penghalang seseorang untuk bisa melangsungkan

62

karena itu dianggap sebagai sesuatu yang kotor dan masyarakat adat

beranggapan makanan tersebut tidak layak untuk dimakan.

Ada juga hukuman yang dibebankan kepada Ninik-mamak yang

bersangkutan, pembayaran kepada : Pangulu Pucuak sebanyak 60 Riya,

Pangulu Andiko sebanyak 40 Riya, Pangulu Pasamaian sebanyak 30 Riya,

Pangulu Panungkek sebanyak 20 Riya, Tuo Kampuang sebanyak 10 Riya

(Majolelo : 2019). Nilai satu Riya seharga Rp 3000.

B. SARAN

Bagi masyarakat Batipuh Ateh hendaknya terus berupaya untuk terus

menjaga aturan adat Salingka Nagari ini, karena banyak kemaslahatan yang

ada pada dibolehkannya perkawinan sesuku dengan Nagari yang sama.

Banyak nilai-nilai keIslaman dan manfaat yang didapat dari pelaksanaan

aturan perkawinan ini. Selanjutnya sebagai langkah dan upaya dalam

pelestarian adat Minangkabau di Nagari Batipuh Ateh.

Bagi tokoh agama dan tokoh adat yang mengetahui dengan jelas tujuan

dan maksud dari pelestarian aturan ini, hendaknya memberikan penjelasan

yang lebih mendalam lagi terkait pandangan Islam terhadap aturan adat

Salingka Nagari tentang kebolehan perkawinan sesuku beda Nagari di

Batipuh Ateh.

Page 73: PERKAWINAN SESUKU DALAM BUDAYA MINANGKABAU DI … · Dalam budaya adat Minangkabau sendiri terdapat perkawinan sesuku yang menjadi dinding penghalang seseorang untuk bisa melangsungkan

63

DAFTAR PUSTAKA

Abdurrahman. “Harmonisasi Hukum Adat Dan Hukum Islam Bagi Pengembangan

Hukum Nasional Di Indonesia” Al Mashlahah Jurnal Hukum Dan Pranata

Sosial Islam : 233.

Aditiawarman, Abrar. Budaya Alam Minangkabau(BAM). Padang: Pemerintah

Kota Padang Dinas Pendidikan, 2007.

Afadarma, Romi. “Peranan Ketua Adat Dan Kerapatan Adat Nagari Dalam

Penyelesaian Sengketa Harta Pusaka Tinggi Di Nagari Sungai Tarab

Kabupaten Tanah Datar Provinsi Sumatera Barat.” Tesis S-2 Program

Pascasarjana, Universitas Diponegoro Semarang, 2010.

Akbar, Andi. Dkk. Pluralisme Hukum Sebagai Pendekatan Interdisiplin. Jakarta :

Huma. 2005.

Alpian R, Rahmat. “Kontruksi Makna Perkawinan Sasuku Di Kecamatan Kuantan

Mudik Kabupaten Kuantan Singingi Provinsi Riau”. JOM Fisip. Vol. 4. No.

1. Februari. 2017 : 9.

Amrizal. “Asal Usul Dan Makna Nama Gelar Datuak Di Nagari Nan Tujuah

Kecamatan Palupuh Kabupaten Agam.” Ilmu Sosial Dan Humaniora, Vol.

2, No. 2, (2011): 96.

Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga Adat Nagari Kecamatan Batipuah

Ateh Luak Nan Tuo Kabupaten Tanah Datar : 2.

Arifin, Tajul. Antropologi Hukum. Bandung : Pustaka Setia. 2012.

E. Graves, Elizabeth. Asal-Usul Elite Minangkabau Modern Respon Terhadap

Kolonial Belanda Abad XIX/XX. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2007.

Ekspose Kerapatan Adat Nagari Batipuh Ateh. Kab. Tanah Datar. Nagari Tuan

Gadang Harimau Campo Kotopili.

Erwin, Muhammad. “Peran Lembaga Adat Dalam Pembangunan Desa Sidomulyo”

Ilmu Pemerintahan. Vol. 5. No. 3. 2017 : 1340.

Fauziah, Syifa. “Perubahan Adat Nan Babuhua Mati Terkait Perkawinan Sesuku Di

Nagari Saniangbaka Kabupaten Solok.” Skripsi S-1 Fakultas Hukum.

Universitas Andalas. 2018.

Page 74: PERKAWINAN SESUKU DALAM BUDAYA MINANGKABAU DI … · Dalam budaya adat Minangkabau sendiri terdapat perkawinan sesuku yang menjadi dinding penghalang seseorang untuk bisa melangsungkan

64

Febrina, Yossi. “Perkawinan Sesuku Di Nagari Jawi-Jawi Sumatera Barat Ditinjau

Dari Hukum Islam.” Skripsi S-1 Fakultas Syariah Dan Hukum, Universitas

Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2017.

Fuad, Fokky. Negara dan Masyarakat Hukum Adat. Jakarta : Pusat Penelitian

Badan Keahlian DPR RI. 2016.

Griffhits, Jhon. Memahami Pluralisme Hukum. Sebuah Deskripsi Konseptual,

artikel ini disampaikan oleh Jhon Griffits dalam pertemuan tahunan

Asosiasi Hukum dan Masyarakat (The Law and Society Association) di

Amhest.12-14 Juni 1981 : 74.

Haar Bzn, B. Ter Terjemahan Pesponoto, Soebakti. Asas-asas dan Susunan Hukum

Adat. Jakarta Timur : Balai Pustaka. 2013.

Habibah Sahju, Annisa. “Larangan Perkawinan Sesuku Pada Masyarakat Hukum

Adat Suku Jambak Padang-Pariaman Di Bandar Lampung.” Skripsi S-1

Fakultas Hukum Universitas Lampung Bandar Lampung. 2018.

Hadikusuma, Hilman. Antropologi Hukum Indonesia. Bandung : P.T. Alumni.

2010.

Hadikusuma, Hilman. Hukum Perkawinan Adat. Bandung : PT. Citra Aditya Bakti.

1990.

Hakimi, Idrus. Pegangan Penghulu, Bundo Kanduang, Dan Pidato Aula

Pasambahan Adat Di Minangkabau. Bandung: Remadja Karya CV. 1984.

Halim, Ridwan. Hukum Adat Dalam Tanya Jawab. Jakarta : Gralia Indonesia. 1987.

Haryani, Ayi. “Peran Pengurus Lembaga Adat Dalam Memfungsikan Lembaga

Adat Kasepuhan Sinaresmi Di Desa Sinaresmi Kecamatan Cisolok

Kabupaten Sukabumi” Jurnal Ilmiah Pekerjaan Sosial. Vol. 11. No. 1. Juni.

2012.

Hasan, Firman. Dinamika Masyarakat dan Adat Minangkabau. Padang :

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. 1988.

Hasanuddin. Adat Dan Syarak Sumber Inspirasi Dan Rujukan Nilai Dialektika

Minangkabau. Padang: Pusat Studi Informasi Dan Kebudayaan

Miangkabau. 2013.

Page 75: PERKAWINAN SESUKU DALAM BUDAYA MINANGKABAU DI … · Dalam budaya adat Minangkabau sendiri terdapat perkawinan sesuku yang menjadi dinding penghalang seseorang untuk bisa melangsungkan

65

Irianto, Sulistyowati. “Sejarah dan Perkembangan Pemikiran Pluralisme Hukum

dan Konsekuensi Metodologisnya”. Hukum dan Pembangunan. No. 4

(XXXIII) : 91.

Irianto, Sulistyowati. Hukum Yang Bergerak Tinjauan Antropologi Hukum. Jakarta

: Yayasan Obor Indonesia. 2009.

M.S, Amir. Adat Minangkabau Pola Dan Tujuan Hidup Orang Minang. Jakarta:

Citra Harta Prima. 2011.

Maladi, Yanis. “Eksistensi Hukum Adat Dalam Konstitusi Negara Pasca

Amandemen” Mimbar Hukum. Vol. 22. No. 3. Oktober. 2010 : 450-464.

Manggalatung, Salman. Siagian, Amrizal Pengantar Studi Antopologi Hukum di

Indonesia. Jakarta : UIN Jakarta. 2015.

Manggalatung, Salman. Siagian, Amrizal. Pengantar Studi Antopologi Hukum di

Indonesia. Jakarta : UIN Jakarta, 2015.

Manto, Masdir. “Persepsi Masyarakat Terhadap Kawin Sesuku Di Desa Pulau

Busuk Kecamatan Inuman Kabupaten Kuantan Singingi.” Skripsi S-1

Fakultas Dakwah dan Ilmu Komunikasi, Universitas Islam Negeri Syarif

Kasim Riau. 2010.

Marlis. “Eksistensi Ninik Mamak (Datuk/Penghulu) Dalam Mensejahterakan

Masyarakat Desa Tabing Kecamatan Koto Kampar Hulu Kabupaten

Kampar,” Skripsi S-1 Fakultas Dakwah Dan Ilmu Komunikasi, Universitas

Islam Negeri Sultan Syarif Kasim Riau Pekanbaru. 2013.

Masykuri, Subkhan. “Larangan Pernikahan Sesuku Pada Suku Melayudalam

Perspektif Hukum Islam (Studi Kasus Di Kecamatan Perhentian Raja

Kabupaten Kampar Provinsi Riau),” Sripsi S-1, Fakultas Syari’ah Institut

Agama Islam Negeri Salatiga. 2016.

Mayaldi, Apri. “Peran Penghulu Dalam Mempertahankan Adat Istiadat Di Nagari

Lubuk Tarok Kecamatan Lubuk Tarok Kabupaten Sijunjung.” Artikel

Pendidikan Sosiologi, 15 Oktober 2015.

Notopuro, Hardjito. Tentang Hukum Adat, Pengertian dan Pembatasan dalam

Hukum Nasional. Jakarta : Majalah Hukum Nasional. 1969.

Page 76: PERKAWINAN SESUKU DALAM BUDAYA MINANGKABAU DI … · Dalam budaya adat Minangkabau sendiri terdapat perkawinan sesuku yang menjadi dinding penghalang seseorang untuk bisa melangsungkan

66

Piliang, Edison dan Nasrun, Budaya Dan Hukum Adat Di Minangkabau.

Bukittinggi: Kristal Multimedia, 2014.

Pratama, Iqbal Sonta. “Peranan Tungku Tigo Sajarangan Dalam Mengatasi

Perkawinan SesukuMenurut Hukum Adat Di Nagari Sungai Buluah

Kecamatan Batang Anai Kabupaten Padang Pariaman”. Fakultas Hukum,

Volume IV, No. 1, (Februari, 2017): 4.

Putriyah P, Nola. “Perkawinan Eksogami: Larangan Perkawinan Satu Datuak Di

Nagari Ampang Kuranji, Sumatera Barat,” Al-Ahwal, Vol. 8, No. 2, (2015

M/1436 H): 176.

Ratno Lukito. Hukum Sakral dan Hukum Sekuler. Jakarta : Pustaka Alvabet 2008.

Salman Soemadiningrat, Otje. Rekonseptualisasi Hukum Adat Kontemporer.

Bandung : P.T Alumni. 2002.

Samin, Yahya. Dkk. Peranan Mamak Terhadap Kemenakan Dalam Kebudayaan

Minangkabau Masa Kini. Padang : Departemen Pendidikan dan

Kebudayaan. 1996.

Samosir, Djamanat. Hukum Adat Indonesia Eksistensi Dalam Dinamika

Perkembangan Hukum di Indonesia. Bandung : Nuansa Aulia. 2013.

Sandy, Ferri. “Sanksi Adat Terhadap Perkawinan Sesuku Di Desa Tanjung

Kecamatan Koto Kampar Hulu Kabupaten Kampar Berdasarkan Hukum

Adat Kampar”. JOM Fakultas Hukum Vol. III. No. 2. Oktober. 2016 : 6.

Saputra, Irfan. “Perilaku Politik Elit Adat Studi Atas Kemenangan Bupati Indra

Cantri Dan Wakil Bupati Trinda Farhan Satria Pada Pemilukada 2015 Di

Kabupaten Agam, Sumatera Barat.” Skripsi S-1 Fakultas Ilmu Sosial dan

Ilmu Politik, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2017.

Saputri, Melly Dwi. “Perkawinan Sesuku Di Desa Tanjung Kecamatan Koto

Kampar Hulu Kabupaten Kampar.” Jom FISIP Volume 2 No. 2, (2015) : 3.

Setiadi, Tolib. Intisari Hukum Adat Indonesia (Dalam Kajian Kepustakaan).

Bandung : Alfabeta. 2013.

Silalahi, Ulber. Metode Penelitian Sosial. Bandung: PT Refika Aditama, 2009.

Soekanto, Soerjono. Antropologi Hukum Materi Pengembangan Ilmu Hukum Adat.

Jakarta : CV. Raja Wali. 1984.

Page 77: PERKAWINAN SESUKU DALAM BUDAYA MINANGKABAU DI … · Dalam budaya adat Minangkabau sendiri terdapat perkawinan sesuku yang menjadi dinding penghalang seseorang untuk bisa melangsungkan

67

Soekanto, Soerjono. Hukum Adat Indonesia. Jakarta : PT Raja Grafindo Persada.

2005.

Sopyan,Yayan. Buku Ajar Pengantar Metode Peneltian. Jakarta : UIN Jakarta.

2010.

Subchi, Imam. Pengantar Antropologi. Jakarta : UIN Jakarta. 2016.

Suryadi, Arika. “Perkawinan Sesuku Di Nagari Matur, Kabupaten Agam,

SUMBAR (Studi Pandangan Tokoh Adat Dan Tokoh Agama)”. Skripsi S-1

Fakultas Syari’ah, Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta.

2009.

Susylawati, Eka. “Eksistensi Hukum Adat Dalam Sistem Hukum Di Indonesia”.

VOL. IV. No. 1. Juni. 2009 : 126.

Tantowy, Jawahir. “Pengaturan Masyarakat Hukum Adat dan Implementasi

Perlindungan Hak-Hak Tradisionalnya”, Jurnal Pandecta. Vol. 10. No. 1.

Juni. 2019 : 2.

Thalib, Sayuti. Hukum Kekeluargaan Indonesia. Depok : UI-Pres. 2014.

Thalib, Sayuti. Receptio A Contrario, Hubungan Hukum Adat Dengan Hukum

Islam. Jakarta : Bina Aksara. 1982.

Wulansari, Dewi. Hukum Adat Indonesia. Bandung : PT Refika Aditama. 2014.

Yaswirman, Hukum Keluarga (Karakteristik dan Prospek Doktrin Islam Dan Adat

Dalam Masyarakat Matrilineal Minangkabau). Jakarta: PT Raja Grafindo

Persada. 2011.

Yulanda, Resty .“Sanksi Adat Terhadap Perkawinan Sesuku Dalam KeNagarian

Sungai Asam Kabupaten Padang Pariaman.” Skripsi S-1 Fakultas Hukum,

Universitas Andalas Padang. 2011.

Zainuddin, Musyair. Implementasi Pemerintahan Nagari Berdasarkan Hak Asal-

Usul Adat Minangkabau. Yogyakarta: Ombak. 2000

Page 78: PERKAWINAN SESUKU DALAM BUDAYA MINANGKABAU DI … · Dalam budaya adat Minangkabau sendiri terdapat perkawinan sesuku yang menjadi dinding penghalang seseorang untuk bisa melangsungkan

68

Peraturan Perundangan

Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga Adat Nagari Kecamatan Batipuah

Ateh Luak Nan Tuo Kabupaten Tanah Datar : 2.

Perda Kabupaten Tanah Datar, No. 4 Tahun 2008 tentang Nagari.

Perda Provinsi Sumatera Barat, No. 2 Tahun 2007 tentang Pokok-pokok

Pemerintahan Nagari.

Perda Provinsi Sumatera Barat, No. 7 Tahun 2018 tentang Nagari.

Daftar Wawancara

Alfa Edison DT. Mustofa, Tokoh Adat dan Agama, Wawancara Pribadi, Batipuah

Ateh, 23 Maret 2019.

Lazisman DT Sinaro Alam Nan Putiah, Tokoh Adat dan Agama, Wawancara

Pribadi, Batipuah Ateh, 25 Wawancara Pribadi Maret 2019.

Musa DT. Tumangguang, Tokoh Adat dan Agama, Wawancara Pribadi, Batipuah

Ateh, 4 Maret 2019.

Rajudi DT. Tanbarakan, Tokoh Adat dan Agama, Wawancara Pribadi Batipuah

Ateh, 15 Maret 2019.

Safrial DT Batuah Nan Teleang, Tokoh Adat dan Agama, Wawancara Pribadi

Batipuah Ateh, 17 Maret 2019.

Samsuar DT Gadang Majolelo, Tokoh Adat dan Agama, Wawancara Pribadi,

Batipuah Ateh, 03 Maret 2019.

Samsuar DT Gadang Majolelo, Tokoh Adat dan Agama, Wawancara Pribadi,

Batipuah Ateh, 07 Maret 2019.

Yuniar, masyarakat, Wawancara Pribadi ,Batipuah Ateh, 20 Februari 2019.

Yusmawati, masyarakat, Batipuah Ateh, Wawancara Pribadi 24 Februari 2019.

Page 79: PERKAWINAN SESUKU DALAM BUDAYA MINANGKABAU DI … · Dalam budaya adat Minangkabau sendiri terdapat perkawinan sesuku yang menjadi dinding penghalang seseorang untuk bisa melangsungkan

HASIL WAWANCARA

1. Bapak H. Samsuar, DT. Gadang Majolelo

Alamat : Balai Mato Aie, Batipuh Ateh

Suku : Sikumbang

Pekerjaan : Pengurus kan, sebagai Andiko

a. Pertanyaan : Apa yang bapak ketahui tentang perkawinan satu suku di

Nagari Batipuh Ateh ?

Jawaban : Kawin satu suku manurik adaik Minangkabau yaitu kawin

sakaum atau kawin badunsanak.

b. Pertanyaan : Kenapa dalam aturan adat nagari perkawinan satu suku di

Perbolehkan?

Jawaban : Ado juo samantang pun baitu dibuliahkannyo kawin sasuku

di Nagari Batipuh Ateh jo urang yang babedo Nagari adolah karano

manuruik masyarakat adaik Batipuh Ateh niniak mamaknyo alah pasti

babedo, salain itu juo masalah hak dan haratonyo indak pulo

manimbuaan sangketo atau pasalisiahan.

c. Pertanyaan : Bagaimana Jika perkawinan satu suku di langgar?

Jawaban : Jikok aturan adaik nan dilanggarnyo mako pelaku dibuang

puluih dari Nagari ko, sarato dihapuih inyo dari dalam kaumnyo dan

indak buliah pulang kanagari nyo surang. Kok nio juo nyo pulang, yo

pulanglah nyo surang-surang.

Ttd

H. Samsuar, DT. Gadang Majolelo

Page 80: PERKAWINAN SESUKU DALAM BUDAYA MINANGKABAU DI … · Dalam budaya adat Minangkabau sendiri terdapat perkawinan sesuku yang menjadi dinding penghalang seseorang untuk bisa melangsungkan

2. Bapak Safrial, DT. Batuah Nan Teleang

Alamat : Balai Gadang

Suku : Sikumbang

Pekerjaan : Pengurus kan, sebagai Andiko

a. Pertanyaan : apa yang bapak ketahui tentang KAN ?

Jawaban : KAN (Kerapatan Adat Nagari), adolah sebuah unsur lembaga

tertinggi di Nagari Batipuh Ateh, posisi dari KAN ko samo derajatnyo

jo Badan Pengadilan Agamo. Salain itu KAN di sabuik pulo sabagai

tampek perhimpunan ninik mamak untuk melaksanakan musyawarah

atau disabuik jo rumpuik sahalai, tanah sakapa.

b. Pertanyaan : Kapan masalah tersebut diselesaikan oleh KAN?

Jawaban : Di Nagari Batipuh Ateh masalah baru bisa disalasaian oleh

KAN jikok niniak mamak alah manjalanan tugasnyo sabagai kapalo

kaum atau mamak bagi kamanakannyo, itu juo dilakuan dengan

mambarian pituah-pituah sarato pemahaman takaik aturan-aturan adaik

salingka Nagari di Batipuh Ateh. Salain itu nan talabiah utamo baperan

dalam kaum adolah tuo kampuang, jikok masalah itu indak tasalasaian

dek tuo kampuang maka di sarahan ka pasamaian dan panungkek,

hinggo sataruihnyo sampai ka ka pangulu pucuak, jikok indak salasai

juo mako masalah tu di baok ka pangadilan.

Ttd

Safrial, DT. Batuah Nan Teleang

Page 81: PERKAWINAN SESUKU DALAM BUDAYA MINANGKABAU DI … · Dalam budaya adat Minangkabau sendiri terdapat perkawinan sesuku yang menjadi dinding penghalang seseorang untuk bisa melangsungkan

3. Bapak Hj. Alfa Edison, DT. Mustafa

Alamat : Balai Mato Aie, Batipuh Ateh

Suku : Sikumbang

Pekerjaan : Pengurus kan, sebagai Andiko

a. Pertanyaan : Apa yang bapak ketahui tentang wewenang KAN di nagari

Batipuh Ateh?

Jawaban : Sakileh yang ambo ketahui takaik wewenang KAN yaitu

untuak malestarian sarato mansejahterakan kehidupan sosial budayo

dan adaik istiadat masyarakat Nagari Batipuh Ateh, sarato manjago

kautuhan sako jo pusako.

b. Pertanyaan : Apa saja hal-hal yang termasuk pada lembaga unsur di

KAN?

Jawaban : Samantang pun baitu takaik lembaga-lembaga unsur yang

ado di KAN yaitu niniak mamak nan marupokan lembaga adat nan

tadiri dari babarapo pangulu sarato barbagai kaum nan ado di babagai

suku, alim ulama sabagai pemimpin masyarakat dalam urusan agamo,

cadiak pandai sabagai urang nan dipicayo dalam hal penerapan ilmu

untuak kapantiangan masyarakat negara, bundo kanduang marupokan

sosok wanita nan manjadi contoh untuak wanita-wanita nan ada di

Nagari dalam hal perilaku, budi pekerti sarato caro bapakaian, salain itu

juo ado namonyo pemuda parik paga nan merupokan urang nan

manjago ketertiban dan keamanan Nagari.

c. Pertanyaan : Selain KAN, apa saja yang bapak ketahui terkait

perkawinan satu suku di nagari Batipuh Ateh?

Jawaban : Kawin sasuku adolah kawin limbagu urang barunsanak, atau

bisa juo ciek katurunan. Jikok tajadi perkawinan sasuku jo Nagari nan

samo sarato suku nan samo maka pelaku nan indak mangikuti aturan

adaik itu harus kalua dari kampuang dan indak buliah tingga di Nagari,

salain itu nan bersangkutan taputuih hubungan nyo sacaro adaik di

Page 82: PERKAWINAN SESUKU DALAM BUDAYA MINANGKABAU DI … · Dalam budaya adat Minangkabau sendiri terdapat perkawinan sesuku yang menjadi dinding penghalang seseorang untuk bisa melangsungkan

Nagari asalnyo. Cok itu bana bareknyo jikok malangga aturan adaik di

Nagari Batipuah Ateh.

Ttd

Hj. Alfa Edison, DT. Mustafa

Page 83: PERKAWINAN SESUKU DALAM BUDAYA MINANGKABAU DI … · Dalam budaya adat Minangkabau sendiri terdapat perkawinan sesuku yang menjadi dinding penghalang seseorang untuk bisa melangsungkan

4. Bapak Azizman DT. Sinaro Alam Nan Putiah

Alamat : Balai Mato Aie, Batipuh Ateh

Suku : Panyalai

Pekerjaan : Wali Nagari serta Pengurus kan, sebagai Pucuak

a. Pertanyaan : terkait perkawinan satu suku, apa saja sanksi yang

diberikan bagi pelaku?

Jawaban : Adapun takaik saksi adaik salingka Nagari nan di balakuan

untuak pelaku dan malangga aturan adaik yaitu dibuang sapanjang

adaik (maksudnya jika pelaku melanggar aturan adat maka di harus

keluar dari kampung halamannya), di jauahin dek masyarakat “mati

indakdijanguak, sakik indak disilau”, ninik mamaknyo indak

disaratokan dalam rapek-rapek nan ado di Nagari, salanjuiknyo

mambarasiahan namo niniak mamaknyo dan mambayia dando kapado

kapalo Nagari sabanyak 100 liter bareh (jika sudah dibayar maka

mamaknya baru bisa diikut sertakan kembali pada acara-acara rapat

adat).

b. Pertanyaan : jika seseorang melakukan perkawinan satu suku dengan

beda nagari, apakah ada aturan-aturan tertentu yang membatasi

perkawinan itu pak?

Jawaban : Sajauah ko indak ado, tapi samantang pun baitu tetap sajo

dalam mambarian kaputusan terhadap pelaku manggunoan unsur

kahati-hartian.

Ttd

Azizman DT. Sinaro Alam Nan Putiah

Page 84: PERKAWINAN SESUKU DALAM BUDAYA MINANGKABAU DI … · Dalam budaya adat Minangkabau sendiri terdapat perkawinan sesuku yang menjadi dinding penghalang seseorang untuk bisa melangsungkan

5. Bapak Musa DT. Tumangguang

Alamat : Balai Mato Aie, Batipuh Ateh

Suku : Panyalai

Pekerjaan : Pengurus kan, sebagai Andiko

a. Pertanyaan : apa yang bapak ketahui tentang aturan adat salingka

nagari?

Jawaban : Adaik salingka Nagari adolah aturan nan mangar=tur secara

khusus Nagari Batipuah Ateh, nan dalam hal ko satiok Nagari

mampunyoi adaik dan aturan-aturan masiang-masiang.

b. Pertanyaan : apakah bapak pernah melihat masyarakat yang melakukan

perkawinan satu suku?

Jawaban : iyo, contohnyo nan tajadi di Pincuran Base Nagari Batipuh

Ateh, di daerah ko pernah tajadi kawin sasuku, akibaik nyo nan

malangga adaik tapaso maninggaan kampuang halamannyo dan hiduik

di parantauan, kok nio inyo pulang manyanguak rumah, iyo pulanglah

surang-surang, indak buliah baduo, kok dilangga yo bacarailah

timbangannyo.

Ttd

Musa DT. Tumangguang

Page 85: PERKAWINAN SESUKU DALAM BUDAYA MINANGKABAU DI … · Dalam budaya adat Minangkabau sendiri terdapat perkawinan sesuku yang menjadi dinding penghalang seseorang untuk bisa melangsungkan

6. Yuniar

Alamat : Balai Mato Aie, Batipuh Ateh

Suku : Sikumbang

Pekerjaan : Sebagai Tokoh Masyarakat

a. Apakah benar dari keluarga ibu ada yang melakukan perkawinan satu

suku?

Jawaban : Iyo batua, itu adolah anak ambo sandiri, namun samantang

pun baitu iyo lai indak ado masalah ataun pun papacahan baru nan

datang dari pakawinan itu do.

b. Apakah status perkawinannya masih suami istri sampai sekarang?

Jawaban : Alhamdulillah kok statusnya lai masih suami isteri sampai

kini, pakawinan itu juo alah balangsuang salamo 22 tahun dan

dikaruniai anak 3 urang, duo jantang dan surang padusi.

Ttd

Yuniar

Page 86: PERKAWINAN SESUKU DALAM BUDAYA MINANGKABAU DI … · Dalam budaya adat Minangkabau sendiri terdapat perkawinan sesuku yang menjadi dinding penghalang seseorang untuk bisa melangsungkan

7. Yusmawati

Alamat : Balai Mato Aie, Batipuh Ateh

Suku : Sikumbang

Pekerjaan : Sebagai Tokoh Masyarakat

a. Pertanyaan : Pernahkah ibu melihat masyarakat disini melakukan kawin

satu suku?

Jawaban : iyo, itu pernah tajadi di Ngari Sabu, nan pado waktu itu nan

basungkutan barase dari nagari nan samo sarato suku nan samo, ciek

pangulu dan niniak mamak. Akibaiknyo nan basangkutan harus bacarai

karato indak bisa di patahanan pakawinannyo dan indak bisa jauah dari

keluarga.

b. Pertanyaan : Bagaimana respon masyarakat terkait hal itu?

Jawaban : sampai kini iyo tasabuik-sabuiklah keluarga nyo dalam

masyarakat sarato di jauhi nyo saolah-olah dianggap indak ado di dalam

Ngari itu.

Ttd

Yusmawati

Page 87: PERKAWINAN SESUKU DALAM BUDAYA MINANGKABAU DI … · Dalam budaya adat Minangkabau sendiri terdapat perkawinan sesuku yang menjadi dinding penghalang seseorang untuk bisa melangsungkan

DOKUMENTASI WAWANCARA

Page 88: PERKAWINAN SESUKU DALAM BUDAYA MINANGKABAU DI … · Dalam budaya adat Minangkabau sendiri terdapat perkawinan sesuku yang menjadi dinding penghalang seseorang untuk bisa melangsungkan
Page 89: PERKAWINAN SESUKU DALAM BUDAYA MINANGKABAU DI … · Dalam budaya adat Minangkabau sendiri terdapat perkawinan sesuku yang menjadi dinding penghalang seseorang untuk bisa melangsungkan
Page 90: PERKAWINAN SESUKU DALAM BUDAYA MINANGKABAU DI … · Dalam budaya adat Minangkabau sendiri terdapat perkawinan sesuku yang menjadi dinding penghalang seseorang untuk bisa melangsungkan
Page 91: PERKAWINAN SESUKU DALAM BUDAYA MINANGKABAU DI … · Dalam budaya adat Minangkabau sendiri terdapat perkawinan sesuku yang menjadi dinding penghalang seseorang untuk bisa melangsungkan
Page 92: PERKAWINAN SESUKU DALAM BUDAYA MINANGKABAU DI … · Dalam budaya adat Minangkabau sendiri terdapat perkawinan sesuku yang menjadi dinding penghalang seseorang untuk bisa melangsungkan