perjanjian pengangkutan barang melalui kapal laut

10
1 BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Usaha transportasi bukan hanya berupa gerakan barang dan orang dari suatu tempat ke tempat lain dengan cara dan kondisi yang statis, akan tetapi transportasi itu selalu diusahakan perbaikan dan kemajuannya sesuai dengan perkembangan peradaban dan teknologi. Dengan demikian transportasi itu selalu diusahakan perbaikan dan peningkatannya, sehingga akan tercapai efisiensinya yang lebih baik. Ini berarti bahwa orang akan selalu berusaha mencapai efisiensi transportasi ini sehingga pengangkutan barang dan orang itu akan memakan waktu yang secepat mungkin dan dengan pengeluaran biaya yang sekecil mungkin. Pada dasarnya, pengangkutan atau pemindahan penumpang dan barang dengan transportasi ini adalah dengan maksud untuk dapat mencapai ke tempat tujuan dan menciptakan/menaikkan utilitas (kegunaan) dari barang yang diangkut. Utilitas yang dapat diciptakan oleh transportasi atau pengangkutan tersebut, khususnya untuk barang yang diangkut, pada dasarnya ada dua macam, yaitu: 1 1) utilitas tempat (place utility), yaitu kenaikan/tambahan nilai ekonomi atau nilai kegunaan daripada suatu komoditi yang diciptakan dengan mengangkutnya dari suatu tempat/daerah dimana barang tersebut mempunyai kegunaan lebih besar. 2) utilitas waktu (time utility), yaitu transportasi akan menyebabkan terciptanya kesanggupan daripada barang untuk memenuhi kebutuhan manusia dengan menyediakan barang yang bersangkutan yaitu tidak hanya dimana mereka dibutuhkan, tetapi juga pada waktu bilamana mereka diperlukan. Pengangkutan sebagai proses, yaitu serangkaian perbuatan mulai dari pemuatan ke dalam alat pengangkut, kemudian dibawa menuju ke tempat yang telah ditentukan, dan pembongkaran atau penurunan di tempat tujuan. Pengangkutan sebagai perjanjian, pada umumnya bersifat lisan (tidak tertulis) tetapi selalu didukung oleh dokumen angkutan yang membuktikan bahwa perjanjian sudah terjadi. Pengangkutan sebagai proses merupakan sistem hukum yang mempunyai unsur-unsur sistem, yaitu: 2 1. subjek (pelaku) hukum pengangkutan, yaitu pihak-pihak dalam perjanjian dan pihak yang berkepentingan dalam pengangkutan. 2. status pelaku hukum pengangkutan, khususnya pengangkut selalu berstatus perusahaan badan hukum atau bukan badan hukum. 3. objek hukum pengangkutan, yaitu proses penyelenggaraan pengangkutan. 4. peristiwa hukum pengangkutan, yaitu proses penyelenggaraan pengangkutan. 5. hubungan hukum pengangkutan, yaitu hubungan kewajiban dan hak antara pihak- pihak dan mereka yang berkepentingan dengan pengangkutan. 1 Rustian Kamaludin, 1986, Ekonomi Transportasi, Penerbit Ghalia Indonesia, Padang, hlm. 11 2 Abdulkadir Muhammad, 1998, Hukum Pengangkutan Niaga, Penerbit PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, hlm. 12.

Upload: elkurnia

Post on 30-Jun-2015

1.700 views

Category:

Documents


38 download

TRANSCRIPT

Page 1: PERJANJIAN PENGANGKUTAN BARANG MELALUI KAPAL LAUT

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Usaha transportasi bukan hanya berupa gerakan barang dan orang dari suatu tempat ke tempat lain dengan cara dan kondisi yang statis, akan tetapi transportasi itu selalu diusahakan perbaikan dan kemajuannya sesuai dengan perkembangan peradaban dan teknologi. Dengan demikian transportasi itu selalu diusahakan perbaikan dan peningkatannya, sehingga akan tercapai efisiensinya yang lebih baik. Ini berarti bahwa orang akan selalu berusaha mencapai efisiensi transportasi ini sehingga pengangkutan barang dan orang itu akan memakan waktu yang secepat mungkin dan dengan pengeluaran biaya yang sekecil mungkin. Pada dasarnya, pengangkutan atau pemindahan penumpang dan barang dengan transportasi ini adalah dengan maksud untuk dapat mencapai ke tempat tujuan dan menciptakan/menaikkan utilitas (kegunaan) dari barang yang diangkut. Utilitas yang dapat diciptakan oleh transportasi atau pengangkutan tersebut, khususnya untuk barang yang diangkut, pada dasarnya ada dua macam, yaitu:1

1) utilitas tempat (place utility), yaitu kenaikan/tambahan nilai ekonomi atau nilai kegunaan daripada suatu komoditi yang diciptakan dengan mengangkutnya dari suatu tempat/daerah dimana barang tersebut mempunyai kegunaan lebih besar.

2) utilitas waktu (time utility), yaitu transportasi akan menyebabkan terciptanya kesanggupan daripada barang untuk memenuhi kebutuhan manusia dengan menyediakan barang yang bersangkutan yaitu tidak hanya dimana mereka dibutuhkan, tetapi juga pada waktu bilamana mereka diperlukan.

Pengangkutan sebagai proses, yaitu serangkaian perbuatan mulai dari pemuatan ke dalam alat pengangkut, kemudian dibawa menuju ke tempat yang telah ditentukan, dan pembongkaran atau penurunan di tempat tujuan. Pengangkutan sebagai perjanjian, pada umumnya bersifat lisan (tidak tertulis) tetapi selalu didukung oleh dokumen angkutan yang membuktikan bahwa perjanjian sudah terjadi.

Pengangkutan sebagai proses merupakan sistem hukum yang mempunyai unsur-unsur sistem, yaitu:2

1. subjek (pelaku) hukum pengangkutan, yaitu pihak-pihak dalam perjanjian dan pihak yang berkepentingan dalam pengangkutan.

2. status pelaku hukum pengangkutan, khususnya pengangkut selalu berstatus perusahaan badan hukum atau bukan badan hukum.

3. objek hukum pengangkutan, yaitu proses penyelenggaraan pengangkutan.

4. peristiwa hukum pengangkutan, yaitu proses penyelenggaraan pengangkutan.

5. hubungan hukum pengangkutan, yaitu hubungan kewajiban dan hak antara pihak-pihak dan mereka yang berkepentingan dengan pengangkutan.

1 Rustian Kamaludin, 1986, Ekonomi Transportasi, Penerbit Ghalia Indonesia, Padang, hlm.

11 2 Abdulkadir Muhammad, 1998, Hukum Pengangkutan Niaga, Penerbit PT. Citra Aditya Bakti,

Bandung, hlm. 12.

Page 2: PERJANJIAN PENGANGKUTAN BARANG MELALUI KAPAL LAUT

2

Pengangkutan sebagai perjanjian merupakan perjanjian timbal balik antara pengangkut dengan pengirim, dimana pengangkut mengikatkan diri untuk menyelenggarakan pengangkutan barang dan/atau orang dari suatu tempat ke tempat tujuan tertentu dengan selamat, sedangkan pengirim mengikatkan diri untuk membayar uang angkutan.3 Pengangkutan merupakan bidang kegiatan yang sangat vital dalam kehidupan masyarakat. Dikatakan sangat vital karena didasari oleh berbagai faktor, baik geografis maupun kebutuhan yang tidak dihindari dalam rangka pelaksanaan pembangunan ekonomi, ilmu pengetahuan, dan teknologi.

Dengan jalur tempuh yang dipisahkan oleh lautan, maka dalam pengangkutan domestic maupun internasional, dihadapkan kepada dua pilihan jalur, yaitu melalui udara atau melalui laut. Dengan mempertimbangkan faktor biaya dan pembatasan beban kiriman, maka para pengirim cenderung memilih jalur laut, walaupun pengangkutan melalui jalur laut sifatnya lebih lama dan tentu tidak sedikit resiko dan permasalahannya.

Mengingat pengangkutan melalui laut juga berdasarkan pada perjanjian, maka untuk itu dipandang perlu untuk menyampaikan sebuah ulasan mengenai Perjanjian Pengangkutan barang melalui Kapal Laut.

B. POKOK PERMASALAHAN

Berdasarkan uraian dari latar belakang, maka penulis merumuskan pokok permasalahan, yaitu:

1. Bagaimanakah proses terjadinya Perjanjian Pengangkutan barang melalui Kapal Laut?

2. Akibat-akibat apakah yang timbul dari Perjanjian Pengangkutan barang melalui Kapal Laut?

3. Bagaimanakah tanggung jawab Pengangkutan barang dengan Kapal Laut?

C. TUJUAN PENULISAN

Adapun tujuan dari penulisan ini adalah untuk mengetahui

1. Terjadinya Perjanjian Pengangkutan barang melalui Kapal Laut

2. Akibat-akibat yang timbul dari Perjanjian Pengangkutan barang melalui Kapal Laut

3. Tanggung Jawab Pengangkutan barang dengan Kapal Laut

D. METODA PENDEKATAN

Dalam penyusunan tulisan ini penulis menggunakan metoda pendekatan Yuridis Normatif

3 H.M.N Purwosutjipto, 1995, Pengertian Pokok Hukum Dagang Indonesia, Penerbit

Djambatan, Jakarta, hlm. 2.

Page 3: PERJANJIAN PENGANGKUTAN BARANG MELALUI KAPAL LAUT

3

BAB II

PEMBAHASAN

A. PROSES TERJADINYA PERJANJIAN PENGANGKUTAN BARANG MELALUI KAPAL LAUT

Proses terjadinya Perjanjian Pengangkutan menunjuk pada serangkaian perbuatan tentang penawaran dan penerimaan yang dilakukan oleh pengangkut dan pengirim atau penumpang secara timbal balik, yang tidak ada pengaturannya dalam undang-undang, melainkan ada dalam kebiasaan yang hidup dalam praktek pengangkutan.

Dalam perjanjian pengangkutan barang di laut terlebih dahulu ada perjanjian perdagangan antara kedua negara. Dalam hal pengangkutan barang di laut yang lebih ditekankan mengenai kesepakatan mengenai tarif bea masuk. Tarif bea masuk dikenakan berdasarkan perjanjian atau kesepakatan yang dilakukan Pemerintah Republik Indonesia dengan Pemerintah negara lain atau beberapa negara lain, misalnya: bea masuk berdasarkan Common Effective Preferential Tariff untuk Asean Free Trade Area (Cept for AFTA).

Dengan memperhatikan Undang-undang No. 7 Tahun 1994 tentang Pengesahan Agreement Establishing The Word Trade Organization (Persetujuan Pembentukan Organisasi Perdagangan Dunia), besarnya tarif maksimum ditetapkan setinggi-tingginya 40% termasuk bea masuk tambahan.

1. Penawaran dari pihak pengangkut

Pengangkut merupakan pengusaha pengangkutan yang memiliki dan menjalankan perusahaan pengangkut yang berbentuk perusahaan persekutuan badan hukum.

Cara terjadi perjanjian pengangkutan dapat secara langsung antara pihak-pihak atau secara tidak langsung dengan menggunakan jasa perantara (ekspeditur, biro perjalanan). Apabila pembuatan perjanjian pengangkutan dilakukan secara langsung, maka penawaran pihak pengangkut dilakukan dengan menghubungi langsung pihak pengirim atau penumpang, atau melalui media massa. Ini berarti pengangkut mencari sendiri muatan atau penumpang untuk diangkut. Pada pengangkutan laut, kapal laut menyinggahi pelabuhan-pelabuhan untuk memuat barang atau penumpang.

Jika penawaran pihak pengangkut dilakukan melalui media massa, pengangkut hanya menunggu permintaan dari pengirim atau penumpang. Pada pengangkutan laut, pengangkut mengumumkan atau mengiklankan kedatangan dan keberangkatan kapal laut, sehingga pengirim atau penumpang dapat memesan untuk kepentingan pengirim atau keberangkatannya.

3. Penawaran dari pihak pengirim, penumpang

Apabila pembuatan perjanjian pengangkutan dilakukan secara langsung, maka penawaran pihak pengirim atau penumpang dilakukan dengan menghubungi langsung pihak pengangkut. Ini berarti pengirim atau penumpang mencari sendiri pengangkut untuknya. Hal ini terjadi setelah pengirim atau penumpang mendengar atau membaca mengumuman dari pengangkut.

Page 4: PERJANJIAN PENGANGKUTAN BARANG MELALUI KAPAL LAUT

4

Jika penawaran dilakukan melalui perantara (ekspeditur, biro perjalanan), maka perantara menghubungi pengangkut atas nama pengirim atau penumpang. Pengirim menyerahkan barang kepada perantara (ekspeditur) untuk diangkut.

Mengenai kapan perjanjian pengangkutan itu terjadi dan mengikat pihak-pihak, sebagian ada ditentukan dalam undang-undang dan sebagian lagi tidak ada. Dalam hal tidak ada ketentuan, maka kebiasaan yang hidup dalam praktek pengangkutan diikuti. Dalam KUHD ada ketentuan yang mengatur saat terjadi persetujuan kehendak, baik mengenai pengangkutan barang maupun penumpang. Menurut ketentuan Pasal 504 KUHD pengirim yang telah menyerahkan barang kepada pengangkut di kapal menerima surat tanda terima (mate's receipt) yang merupakan bukti bahwa barangnya telah dimuat dalam kapal. Jika pengirim menghendaki konosemen, ia dapat menukarkan surat tanda terima itu dengan konosemen yang diterbitkan oleh pengangkut.

Dari ketentuan ini dapat diketahui bahwa penerbit surat tanda terima adalah suatu keharusan. Tetapi penerbitan konosemen bukan suatu keharusan. Surat tanda terima membuktikan bahwa barang sudah diterima dan dimuat dalam kapal sesuai dengan penyerahan dari pengirim. Dengan demikian, perjanjian pengangkutan laut terjadi dan mengikat pihak-pihak "sejak surat tanda terima barang ditandatangani" oleh pengangkut atau orang atas nama pengangkut. Dalam surat tanda terima itu dicantumkan tanda tangan pengangkut dan tanggal penerimaan jika diterbitkan konosemen, tanggal penerimaan sama dengan tanggal surat itu.

Dokumen pengangkutan terdiri dari surat muatan. Dalam Pasal 90 KUHD dinyatakan bahwa surat muatan merupakan perjanjian antara pengirim atau ekspeditur dengan pengangkut, ditandatangani oleh pengirim atau ekspeditur. Memperhatikan ketentuan Pasal 90 KUHD, maka dapat dinyatakan bahwa surat muatan dibuat oleh pengirim atau ekspeditur atas nama pengirim, dan baru berfungsi sebagai surat perjanjian (bukti ada perjanjian) jika pengangkut menandatangani juga surat muatan tersebut dan dalam Pasal 506 KUHD dinyatakan bahwa konosemen adalah surat bertanggal dalam mana pengangkut menerangkan bahwa ia telah menerima barang tertentu untuk diangkut ke suatu tempat tujuan yang ditunjuk dan di sana menyerahkannya kepada orang yang ditunjuk (penerima) disertai dengan janji-janji apa penyerahan akan terjadi.

Berdasarkan ketentuan Pasal 504 KUHD konosemen diterbitkan oleh pengangkut atas permintaan pengirim. Tetapi menurut ketentuan Pasal 505 KUHD, nakhoda dibolehkan menerbitkan konosemen apabila ada barang yang harus diterima untuk diangkut, sedangkan pengangkut atau perwakilan tidak ada di tempat itu. Konosemen mempunyai arti penting dalam dunia perusahaan pengangkutan laut dan perdagangan sebab konsomenen berfungsi sebagai:

1. Pelindung barang yang diangkut dengan kapal yang bersangkutan; konosemen merupakan persetujuan yang mengikat pengangkut, pengirim dan penerima, sehingga barang dilindungi dari perbuatan sewenang-wenang dan tidak bertanggung jawab pengangkut.

2. Surat bukti tanda terima barang di atas kapal; dengan adanya konosemen pengangkut atau agen atau nakhoda mengakui bahwa ia telah menerima barang dari pengirim untuk diangkut dengan kapal yang bersangkutan;

3. Tanda bukti atas barang; dengan memiliki konosemen berarti sekaligus memiliki barang yang tersebut didalamnya. Setiap pemegang konosemen berhak menuntut penyerahan barang yang tersebut didalamnya. Di kapal mana barang itu berada (Pasal 510 KUHD). Penyerahan konosemen sebelum barang yang tersebut

Page 5: PERJANJIAN PENGANGKUTAN BARANG MELALUI KAPAL LAUT

5

didalamnya diserahkan oleh pengangkut, dianggap sebagai penyerahan barang tersebut (Pasal 517 a KUHD);

4. Kuitansi pembayaran biaya pengangkutan, dalam konosemen dinyatakan bahwa biaya pengangkutan diserahkan lebih dahulu di pelabuhan pemuatan (freight prepaid) oleh pengirim atau dibayar kemudian di pelabuhan tujuan (freight to collected) oleh penerima;

5. Kontrak atau persyaratan pengangkutan, konosemen adalah bukti perjanjian pengangkutan yang memuat syarat-syarat pengangkutan.

Dalam KUHD tidak ada pasal khusus yang memerinci isi yang perlu dimuat dalam konosemen, tetapi dari beberapa pasal yang mengatur perihal konosemen dan contoh konosemen yang diterbitkan oleh perusahaan pelayaran, isi yang perlu dimuat dalam konosemen dapat dirinci sebagai berikut:

1. Nama dan tanggal pembuatan konosemen;

2. Nama dan alamat pengangkut (perusahaan pelayaran);

3. Nama dan alamat pengirim;

4. Nama dan alamat penerima;

5. Nama dan pengangkut sebelumnya;

6. Tempat penerimaan oleh pengangkut sebelumnya;

7. Nama kapal yang mengangkut;

8. Nama pelabuhan pemuatan;

9. Nama pelabuhan pembongkaran;

10. Tempat penyerahan oleh pengangkut terusan;

11. Jenis barang, merek, jumlah, ukuran berat;

12. Jumlah biaya pengangkutan dan biaya-biaya lain;

13. Tempat pembayaran biaya pengangkutan dan biaya-biaya lain;

14. Syarat-syarat penyerahan (klausula-klausula perjanjian);

15. Jumlah konosemen asli yang diterbitkan;

16. Tanda tangan pengangkut.

Ada tiga konosemen dilihat dari cara peralihannya:

1. Konosemen atas nama (op naam), nama penerima dicantumkan dengan jelas dalam konosemen. Konosemen ini diperalihkan (diserahkan) kepada pihak lain dengan cara cesse.

2. Konosemen atas pengganti (aan toonder), nama penerima dicantumkan dengan jelas diikuti oleh "atau pengganti" dalam konosemen. Konosemen ini diperoleh (diserahkan) kepada pihak lain dengan cara endosemen (Pasal 506 ayat 3 KUHD).

3. Konosemen atas tunjuk (aan toonder), nama penerima tidak dicantumkan dalam konosemen, tetapi dicantumkan "atau pembawa" atau "yang menunjukkan". Konosemen ini diperalihkan (diserahkan) kepada pihak lain dengan cara dari tangan ketangan.

Yang paling banyak digunakan dalam praktek pengangkutan laut di Indonesia adalah konosemen atas (op naam).

Page 6: PERJANJIAN PENGANGKUTAN BARANG MELALUI KAPAL LAUT

6

B. AKIBAT-AKIBAT YANG TIMBUL DARI PERJANJIAN PENGANGKUTAN BARANG MELALUI KAPAL LAUT

Dengan adanya perjanjian pengangkutan barang melalui kapal laut akan menimbulkan hak dan kewajiban bagi masing-masing pihak, seperti telah diketahui para pihak di dalam perjanjian pengangkutan itu ialah pihak pengangkut dan pihak pemakai jasa.

Kebiasaan yang hidup dalam praktek pengangkutan adalah kebiasaan yang berderajat hukum keperdataan. Undang-undang menganut asas bahwa penundaan keberangkatan harus dengan persetujuan kedua belah pihak. Kebiasaan menentukan bahwa waktu keberangkatan sewaktu-waktu dapat berubah tanpa pemberitahuan lebih dahulu. Jadi apabila terjadi keterlambatan sedangkan barang dalam keadaan selamat tidak rusak atau hilang, maka merupakan kebiasaan dalam pengangkutan laut dan tidak ada ganti kerugian (denda), kecuali apabila barang muatan tersebut rusak atau hilang.

Baik pihak pengangkut maupun pihak pemakai jasa, kedua belah pihak mempunyai kewajiban untuk melakukan prestasi. Dan para pihak ini saling mempunyai hak untuk melakukan penuntutan. Apabila salah satu pihak tidak melakukan prestasi sesuai dengan apa yang menjadi isi perjanjian, maka perjanjian itu dapat diancam dengan kebatalan.

Kewajiban pengangkut ialah menjaga keselamatan barang yang diangkut sejak saat penerimaannya sampai saat penyerahannya. Hal ini diatur dalam Pasal 468 KUHD. Pengangkut juga diwajibkan mengganti kerugian yang disebabkan oleh rusak, hilangnya barang baik seluruhnya atau sebagian, sehingga pengangkut tidak dapat menyerahkan barang-barang yang ia angkut. Namun pengangkut dapat membebaskan dirinya dari kewajiban tersebut asal ia dapat membuktikan bahwa tidak diserahkannya barang atau adanya kerusakan itu karena terjadinya suatu peristiwa yang sepatutnya tidak dapat dicegahnya atau dihindarinya atau adanya keadaan memaksa (overmacht) atau kerusakan tersebut disebabkan karena sifat, keadaan atau cacat dari barang itu sendiri atau juga karena kesalahan pengirim.

Kewajiban dari pemakai jasa ialah membayar upah angkutan. Dan ia harus secara jujur memberi tahu tentang keadaan barang yang akan diangkut kepada pengangkut. Dalam hal ini pengirim tidak memberi tahukan secara benar kepada pengangkut tentang barang-barang yang akan diangkut atau karena sifat, keadaan dan cacat yang terdapat pada barang-barang dan karena itu pengangkut menderita kerugian, maka pengangkut berhak untuk menuntut penggantian kerugian kepada pihak pemakai jasa (pengirim). Sebaliknya kalau pihak pemakai jasa menderita kerugian sebagai akibat pihak pengangkut tidak memenuhi apa yang menjadi isi perjanjian pengangkutan, maka pihak pemakai jasa dapat menuntut pihak pengangkut yaitu yang dapat berupa pembatalan perjanjian pengangkutan atau menuntut ganti rugi atau menuntut pembatalan dan ganti rugi.4

Pengaturan kewajiban dan hak pihak-pihak dalam pengangkutan laut terdapat dalam Bab V A Buku II KUHD untuk barang dan Bab V B Buku II KUHD untuk penumpang. dua bab ini berlaku sebagai lex specialis pengangkutan laut, sedangkan Bab I sampai dengan Bab IV Buku III KUHPerdata berlaku sebagai lex generalis.

Dalam perjanjian pengangkutan laut, kewajiban pokok pengangkut adalah sebagai berikut :

4 Wiwoho Soejono, 1987, Hukum Pengangkutan Laut di Indonesia dan Perkembangannya,

Penerbit Liberty, Yogyakarta, hlm. 24

Page 7: PERJANJIAN PENGANGKUTAN BARANG MELALUI KAPAL LAUT

7

1. Menyelenggarakan pengangkutan barang dari pelabuhan pemuatan sampai di pelabuhan tujuan dengan selamat;

2. Merawat, memelihara, menjaga barang yang diangkut dengan sebaik-baiknya;

3. Menyerahkan barang yang diangkut kepada penerima dengan sebaik-baiknya dalam keadaan lengkap, utuh, tidak rusak atau tidak terlambat.

Kewajiban pokok ini diimbangi dengan hak atas biaya pengangkutan yang diterima dari pengirim atau penerima. Apabila barang yang diangkut itu tidak diserahkan seluruh atau sebagian atau rusak, pengangkut bertanggung jawab mengganti kerugian kepada pengirim. Tetapi pengangkut tidak bertanggung jawab mengganti kerugian apabila ia dapat membuktikan bahwa tidak diserahkan seluruh, sebagian atau rusaknya barang itu karena :

1. Suatu peristiwa yang tidak dapat dicegah atau dihindari terjadi;

2. Sifat, keadaan atau cacat barang itu sendiri;

3. Kesalahan atau kelalaian pengirim sendiri (Pasal 468 ayat 2 KUHD

Pengangkut hanya bertanggung jawab terhadap pencurian dan kehilangan emas, perak, permata dan barang berharga lainnya, uang dan surat berharga serta kerusakan barang berharga yang mudah rusak, apabila sifat dan harga barang-barang tersebut diberitahukan kepadanya sebelum atau pada saat penerimaan (Pasal 469 KUHD) dan berdasarkan Pasal 491 KUHD, penerima wajib membayar biaya pengangkutan kepada pengangkut setelah penyerahan barang dilakukan di tempat tujuan. Tetapi kebiasaan yang berlaku dan diikuti adalah apabila pengirim menyerahkan barang kepada pengangkut, ia harus membayar biaya pengangkutan lebih dahulu, kemudian baru diperhitungkan dengan penerima, karena pengangkut tidak mempunyai hak retensi bila penerima tidak membayar biaya pengangkutan setelah barang diserahkan kepadanya.

Perjanjian pengangkutan barang melalui kapal laut merupakan bagian dari sub sistem tata hukum nasional, yaitu hukum keperdataan dagang (perusahaan), yang terdiri dari komponen-komponen subsistem: subyek hukum, status hukum, peristiwa hukum, obyek hukum, hubungan hukum dan tujuan hukum.

Subyek perjanjian pengangkutan meliputi pihak-pihak yang berkepentingan dalam pengangkutan yang terdiri dari pengangkut, pengirim, penerima, eksportir, pengatur muatan, pengusaha pergudangan (Pihak yang berkepentingan secara langsung terikat dalam perjanjian yang dibuat). Subyek pengangkutan mempunyai status yang diakui oleh hukum, yaitu sebagai pendukung kewajiban dan hak dalam pengangkutan. Pendukung kewajiban dan hak ini dapat berupa manusia pribadi atau badan hukum, baik ia pengangkut, pengirim, penerima ataupun eksportir, pengusaha pergudangan.

Pihak-pihak yang berkepentingan dalam pengangkutan mengadakan persetujuan yang meliputi obyek pengangkutan, tujuan yang hendak dicapai, syarat-syarat dan cara bagaimana tujuan itu dapat dicapai melalui perjanjian pengangkutan. Pihak-pihak yang berkepentingan dalam perjanjian itu masing-masing mempunyai kewajiban dan hak secara bertimbal balik. Tujuan yang hendak dicapai meliputi tibanya barang atau penumpang di tempat tujuan dengan selamat dan lunasnya pembayaran biaya pengangkutan. Dalam pengertian tujuan termasuk juga segi kepentingan pihak-pihak dan kepentingan masyarakat, yaitu manfaat apa yang mereka peroleh setelah pengangkutan selesai.

Page 8: PERJANJIAN PENGANGKUTAN BARANG MELALUI KAPAL LAUT

8

Tujuan hukum pengangkutan adalah tujuan pihak-pihak dalam pengangkutan yang diakui sah oleh hukum. Tujuan yang diakui sah oleh hukum disebut juga tujuan yang halal menurut Pasal 1320 KUHPerdata, yaitu unsur keempat : "kausa yang halal", artinya isi perjanjian pengangkutan yang menjadi tujuan itu harus tidak dilarang oleh undang-undang, tidak bertentangan dengan ketertiban umum dan tidak bertentangan dengan kesusilaan. Tujuan perjanjian pengangkutan tidak hanya mengenai kepentingan pihak-pihak, melainkan juga kepentingan umum (masyarakat luas).

1. Tujuan pihak-pihak

Tujuan pihak-pihak yang diakui sah oleh hukum pengangkutan "tiba di tempat akhir pengangkutan dengan selamat" dan lunas pembayaran biaya pengangkutan. Tujuan ini merupakan keadaan yang dicapai setelah perbuatan selesai dilakukan atau berakhir. Tiba di tempat akhir pengangkutan artinya sampai di tempat yang ditetapkan dalam perjanjian pengangkutan. Dengan selamat artinya barang yang diangkut tidak mengalami kerusakan, kehilangan, kekurangan, kemusnahan, tetap seperti semula.

Pengertian "dengan selamat" disini terbatas pada tidak ada pengaruh akibat dari perbuatan, keadaan, kejadian yang datang dari luar barang atau diri penumpang, yang menjadi tanggung jawab pengangkut. Jika pengaruh itu datang dari dalam barang, misalnya terlampau masak, mudah busuk, maka pengangkut tidak bertanggung jawab. Tujuan dari pihak pengangkut adalah memperoleh pembayaran biaya pengangkutan. Pembayaran ini dilakukan pada awal pengangkutan oleh pengirim, atau pada akhir pengangkutan setelah penyerahan barang kepada penerima dan penerima membayar biaya pengangkutan.

2. Manfaat yang Diperoleh

Tercapainya tujuan perjanjian pengangkutan memberi manfaat atau kenikmatan kepada pihak-pihak yang berkepentingan dan masyarakat luas. Manfaat atau kenikmatan tersebut adalah sebagai berikut :

a. Dari kepentingan pengirim, pengirim memperoleh manfaat untuk konsumsi pribadi maupun keuntungan komersial;

b. Dari kepentingan pengangkutan, pengangkut memperoleh manfaat keuntungan material sejumlah uang atau keuntungan immaterial berupa meningkatkan kepercayaan masyarakat atas jasa pengangkutan yang diusahakan oleh pengangkut;

c. Dari kepentingan penerima, penerima memperoleh manfaat untuk konsumsi pribadi maupun keuntungan komersial;

d. Dari kepentingan penumpang, penumpang memperoleh manfaat kesempatan mengemban tugas, profesi, meningkatkan ilmu pengetahuan, keahlian di tempat yang dituju (tempat baru);

e. Dari kepentingan masyarakat luas, masyarakat memperoleh manfaat kebutuhan yang merata dan kelangsungan pembangunan.

C. TANGGUNG JAWAB PENGANGKUTAN BARANG DENGAN KAPAL LAUT

Setidak-tidaknya ada tiga prinsip tanggung jawab pengangkut dalam hukum pengangkutan yaitu pertama prinsip tanggung jawab berdasarkan kesalahan (fault liability), kedua prinsip tanggung jawab berdasarkan praduga (presumption of liability), ketiga prinsip tanggung jawab mutlak (absolute liability).

Page 9: PERJANJIAN PENGANGKUTAN BARANG MELALUI KAPAL LAUT

9

1. Prinsip Tanggung Jawab Berdasarkan Kesalahan

Menurut prinsip ini setiap pengangkut yang melakukan kesalahan dalam penyelenggaraan pengangkutan harus bertanggung jawab membayar ganti kerugian atas segala kerugian yang timbul dari kesalahannya itu. Pihak yang menderita kerugian harus membuktikan kesalahan pengangkut itu. Beban pembuktian ada pada pihak yang dirugikan, bukan pada pengangkut. Prinsip ini adalah yang umum berlaku seperti yang diatur dalam Pasal 1365 KUHPerdata tentang Perbuatan Melawan Hukum.

2. Prinsip Tanggung Jawab Berdasarkan Praduga

Menurut prinsip ini pengangkut dianggap selalu bertanggung jawab atas setiap kerugian yang timbul dari pengangkutan yang diselenggarakannya, tetapi jika pengangkut dapat membuktikan bahwa ia tidak bersalah, maka ia dibebaskan dari kewajiban membayar ganti rugi. Yang dimaksud dengan tidak bersalah adalah tidak melakukan kelalaian, telah mengambil tindakan yang perlu untuk menghindari kerugian, atau peristiwa yang menimbulkan kerugian itu tidak mungkin dihindari. Beban pembuktian ada pada pihak pengangkut, bukan pada pihak yang dirugikan. Pihak yang dirugikan cukup menunjukkan adanya kerugian yang diderita dalam pengangkutan yang diselenggarakan oleh pengangkut.

3. Prinsip Tanggung Jawab Mutlak

Menurut prinsip ini pengangkut harus bertanggung jawab membayar ganti kerugian terhadap setiap kerugian yang timbul dari pengangkutan yang diselenggarakannya tanpa keharusan pembuktian ada tidaknya kesalahan pengangkut. Pengangkut tidak dimungkinkan membebaskan diri dari tanggung jawab dengan alasan apapun yang menimbulkan kerugian itu. Prinsip ini tidak mengenal beban pembuktian tentang kesalahan. Unsur kesalahan tidak relevan. Apabila prinsip-prinsip ini dihubungkan dengan undang-undang yang mengatur pengangkutan darat, laut dan udara di Indonesia, ternyata undang-undang pengangkutan yang mengatur ketiga jenis pengangkutan tersebut menganut prinsip tanggung jawab berdasarkan praduga. Hal ini terbukti dari antara lain ketentuan salah satu pasal berikut ini.

Dalam Pasal 468 ayat 2 KUHD ditentukan bahwa apabila barang yang diangkut itu tidak diserahkan seluruh atau sebagian, atau rusak, pengangkut bertanggung jawab mengganti kerugian kepada pengirim. Tetapi pengangkut tidak bertanggung jawab mengganti kerugian apabila ia dapat membuktikan bahwa tidak diserahkan seluruh atau sebagian atau rusaknya brang itu karena suatu peristiwa yang tidak dapat dicegah atau dihindari terjadi.5

Timbulnya konsep tanggung jawab karena pengangkutan memenuhi kewajiban tidak sebagaimana mestinya, atau tidak baik atau tidak jujur atau tidak dipenuhi sama sekali. Luas tanggung jawab pengangkut ditentukan dalam Pasal 1236 dan 1246 KUHPerdata. Menurut ketentuan Pasal 1236 KUHPerdata, pengangkut wajib membayar ganti kerugian atas biaya, kerugian yang diderita dan bunga yang layak diterima, bila ia tidak dapat menyerahkan atau tidak merawat sepatutnya untuk menyelamatkan barang muatan. Pasal 1246 KUHPerdata menentukan bahwa biaya, kerugian dan bunga itu pada umumnya terdiri dari kerugian yang telah diderita dan laba yang sedianya akan diterima.

5 Abdulkadir Muhammad, 1994, Hukum Pengangkutan Darat, Laut dan Udara, PT. Citra

Aditya Bakti, Jakarta, hlm. 27

Page 10: PERJANJIAN PENGANGKUTAN BARANG MELALUI KAPAL LAUT

10

BAB III

PENUTUP

A. KESIMPULAN

Dalam perjanjian pengangkutan barang di laut terlebih dahulu ada perjanjian perdagangan antara kedua negara. Dalam hal pengangkutan barang di laut yang lebih ditekankan mengenai kesepakatan mengenai tarif bea masuk. Mengenai kapan perjanjian pengangkutan itu terjadi dan mengikat pihak-pihak, sebagian ada ditentukan dalam undang-undang dan sebagian lagi tidak ada. Dalam hal tidak ada ketentuan, maka kebiasaan yang hidup dalam praktek pengangkutan diikuti. Dalam KUHD ada ketentuan yang mengatur saat terjadi persetujuan kehendak

Subyek perjanjian pengangkutan meliputi pihak-pihak yang berkepentingan dalam pengangkutan yang terdiri dari pengangkut, pengirim, penerima, eksportir, pengatur muatan, pengusaha pergudangan Subyek pengangkutan mempunyai status yang diakui oleh hukum, yaitu sebagai pendukung kewajiban dan hak dalam pengangkutan.tujuan hukum pengangkutan adalah terpenuhinya kewajiban dan hak pihak-pihak dalam pengangkutan. Kewajiban pihak pengangkut adalah menyelenggarakan pengangkutan dari tempat tertentu ke tempat tujuan dengan alamat. Sedangkan kewajiban pihak pengirim atau penumpang adalah membayar biaya pengangkutan. Tujuan hukum pengangkutan adalah tujuan pihak-pihak dalam pengangkutan yang diakui sah oleh hukum. Tujuan yang diakui sah oleh hukum disebut juga tujuan yang halal.

Setidak-tidaknya ada tiga prinsip tanggung jawab pengangkut dalam hukum pengangkutan yaitu pertama prinsip tanggung jawab berdasarkan kesalahan (fault liability), kedua prinsip tanggung jawab berdasarkan praduga (presumption of liability), ketiga prinsip tanggung jawab mutlak (absolute liability).

B. SARAN

Berdasarkan kesimpulan tersebut diatas, maka dapat diberikan beberapa saran, sebagai berikut:

1. Masing-masing pihak yang berkepentingan dalam pengangkutan hendaknya memperhatikan dengan baik setiap tahapan proses, demi terlaksananya sebuah pengangkutan yang baik dan terlindunginya kepentingan masng-masing pihak itu sendiri.

2. Masing-masing pihak yang berkepentingan dalam pengangkutan hendaknya melakukan tanggung jawabnya masing-masing dengan maksimal demi terpenuhinya hak pihak lainnya dengan baik. Hal ini akan membuat sebuah pengangkutan tidak hanya menjadi sebuah aktivitas bisnis namun akan menjadi sebuah hubungan bisnis yang langgeng dan menguntungkan.