peristiwa penting 2011

252

Upload: phamkhanh

Post on 15-Dec-2016

315 views

Category:

Documents


41 download

TRANSCRIPT

www.kemenkeu.go.id | LAPORAN TAHUNAN 2011 | 1

KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA

Sekilas KinerjaIntegritas, Profesionalisme, Sinergi, Pelayanan, dan Kesempurnaan, ditetapkan sebagai Nilai-nilai Kementerian Keuangan, diharapkan akan selalu menjiwai setiap insan perangkat Kementerian Keuangan dalam memberikan baktinya kepada nusa dan bangsa. Nilai-nilai tersebut sangat vital mengingat skala organisasi Kementerian Keuangan yang besar dengan ruang lingkup dan beban kerja yang besar pula, sehingga gerak langkah dari pejabat dan pegawai di lingkungan Kementerian Keuangan akan memberikan dampak yang signi!kan bagi banyak pihak. Dengan menjiwai nilai-nilai tersebut, unit-unit kerja di lingkungan Kementerian Keuangan baik dari tingkat pimpinan tertinggi sampai pelaksana pada umumnya akan mampu mencapai beragam target Indikator Kinerja Utama (IKU) yang ditetapkan pada tahun 2011. Salah satu target IKU yang dicapai adalah keberhasilan Laporan Keuangan Kementerian Keuangan mendapatkan opini yang terbaik dari Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), yaitu Wajar Tanpa Pengecualian (WTP). Capaian ini merupakan peningkatan apabila dibandingkan dengan laporan keuangan pada tahun anggaran 2009 dan 2010 yang masing-masing memperoleh opini Wajar Dengan Pengecualian (WDP).

Capaian yang cukup menonjol lainnya di tahun 2011, yaitu rata-rata e!siensi dari unit-unit kerja di Lingkungan Kementerian Keuangan adalah 0,97 dengan prestasi unit mendapatkan nilai B atau baik. Rata-rata e!siensi tersebut berdasarkan perhitungan beban kerja Kementerian Keuangan, yaitu sebesar 80.226.794,71 jam yang merupakan akumulasi beban kerja dari 12 unit eselon I, dan dilaksanakan oleh 55.882 pegawai, sehingga setiap pegawai Kementerian Keuangan telah menyelesaikan beban kerja sebanyak 1.437,06 jam dalam tahun 2011.

Untuk melaksanakan beban kerja dan mencapai target indikator-indikator kinerja tahun 2011 tersebut, Kementerian Keuangan telah merealisasikan belanja neto sebesar Rp16,10 triliun atau 92,81 persen dari pagunya sebesar Rp17,35 triliun dan mengalami kenaikan sebesar Rp1,83 triliun atau 12,78 persen jika dibandingkan dengan realisasi belanja pada tahun 2010 sebesar Rp12,30 triliun.

KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA

| LAPORAN TAHUNAN 2011 | www.kemenkeu.go.id 2

Sekilas Kinerja 01 Daftar Isi 02 Peristiwa Penting 06 Pengesahan Undang-Undang 15 Visi & Misi 16 Sambutan Menteri Keuangan 18 Menteri, Wakil Menteri dan Pejabat Eselon I Kementerian Keuangan 22 Pro!l Pejabat Kementerian Keuangan 24 Struktur Organisasi 30 BAB 1: PENDAHULUAN 34 BAB 2: PROFIL KEMENTERIAN KEUANGAN 40 2.1. Pro!l Sumber Daya Manusia 40 2.2. Reformasi Birokrasi di Bidang Sumber Daya Manusia 42 2.3. Inisiatif Strategis 45 2.4. Laporan Keuangan Kementerian Keuangan 47 BAB 3: PERUMUSAN KEBIJAKAN FISKAL 52 3.1. Penyusunan Asumsi Ekonomi Makro 52 3.2. Perkembangan Kebijakan dan Realisasi Pengelolaan Ekonomi Makro 54 BAB 4: PENERIMAAN NEGARA 66 4.1. Kinerja Perpajakan 66 4.2. Penyempurnaan Kebijakan Perpajakan 69 4.3. Penggalian Potensi Perpajakan 73 4.4. Penegakan Hukum 77 4.5. Penyelesaian Sengketa Perpajakan 80 4.6. Penerimaan Bea Masuk, Bea Keluar dan Cukai 82 4.7. Pengawasan dan Penindakan Kepabeanan dan Cukai 83 4.8. Perkembangan Indonesian National Single Window (INSW) 87 4.9. Penerimaan Negara Bukan Pajak 89 4.10. Pengelolaan Rekening Sumber Daya Alam dan Non Sumber Daya Alam 94

Daftar Isi

0102

03

04

www.kemenkeu.go.id | LAPORAN TAHUNAN 2011 | 3

KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA

BAB 5: BELANJA NEGARA 96 5.1. Reformasi Penganggaran 96 5.2. Penyusunan APBN/APBN-P Tahun Anggaran 2011 98 5.3 Belanja Pusat 101 5.4. Terobosan Penyusunan APBN Tahun Anggaran 2012 102 5.5. Langkah - Langkah Percepatan Pelaksanaan APBN 2012 103 BAB 6: PERIMBANGAN KEUANGAN 106 6.1. Transfer ke Daerah 106 6.2. Pajak Daerah dan Retribusi Daerah 123 6.3. Pinjaman, Hibah dan Kapasitas Daerah 126 6.4. Evaluasi Pendanaan, Akuntansi dan Pelaporan serta Informasi Keuangan Daerah 132

BAB 7: PENGELOLAAN PERBENDAHARAAN NEGARA 144 7.1. Peningkatan Pelayanan Perbendaharaan 144 7.2. Penilaian Kinerja Pelayanan Publik/Kantor Pelayanan Percontohan Tingkat Kementerian Keuangan 146 7.3. Peringkat Tertinggi Survei Opini Stakeholder terhadap Layanan Kementerian Keuangan 147 7.4. Hasil Survei Integritas Komisi Pemberantasan Korupsi 147 7.5. Standarisasi Sarana dan Prasarana 148 7.6. Penyusunan Laporan Keuangan Pemerintah Pusat 149 7.7. Sistem Perbendaharaan dan Anggaran Negara 151 7.8. Perencanaan Kas 154 7.9. Remunerasi Atas Penempatan di Bank Indonesia dan Bank Umum 155 7.10. Pembentukan Treasury Dealing Room 157 7.11. Bank Indonesia Government Electronic Banking 158 7.12. Pengelolaan Rekening Pemerintah Lainnya 159 7.13. Pengelolaan Rekening Sumber Daya Alam dan Non Sumber Daya Alam 160 7.14. Penyempurnaan Tata Cara Pembebanan Dana PHLN Melalui Mekanisme Rekening Khusus 160

05

06

07

KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA

| LAPORAN TAHUNAN 2011 | www.kemenkeu.go.id 4

BAB 8: PENGELOLAAN PEMBIAYAAN MELALUI UTANG 162 8.1. Pendahuluan 162 8.2. Kebijakan Pembiayaan Utang 163 8.3. Sumber dan Penggunaan Pembiayaan Utang 164 8.4. Capaian Pengelolaan Utang 167 8.5. Isu Terkini dalam Pengelolaan Utang 170 BAB 9: PENGELOLAAN KEKAYAAN NEGARA 174 9.1. Arah dan Strategi Pengelolaan Kekayaan Negara 174 9.2. Utilisasi Kekayaan Negara 174 9.3. Tindak Lanjut Hasil Penertiban Barang Milik Negara 178 9.4. Pengelolaan Investasi Pemerintah 180 9.5. Pelaksanaan Inventarisasi dan Penilaian Aset eks-Kontraktor Kontrak Kerja Sama 181 9.6. Perkembangan Penyelesaian Aset Bekas Milik Asing/Cina 182 BAB 10: INDUSTRI PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN NON BANK 188 10.1. Kinerja Pasar Modal 188 10.2. Kinerja Industri Keuangan Non Bank 193 10.3. Penegakan Hukum 197 10.4. Regulasi 201 10.5. Infrastruktur Penunjang Industri Keuangan 203 BAB 11: KERJA SAMA INTERNATIONAL 206 11.1. Kebijakan Hubungan dan Kerja sama Internasional 206 11.2. Kerja sama Internasional di Bidang Perpajakan 217 11.3. Kerja sama Internasional di Bidang Kepabeanan dan Cukai 220

BAB 12: PENGEMBANGAN SUMBER DAYA MANUSIA 222 12.1. Pengembangan Kapasitas Sumber Daya Manusia 222 12.2. Moratorium Calon Pegawai Negeri Sipil 228 12.3. Nilai-Nilai Kementerian Keuangan 231

Daftar Isi

08

09

10

11

12

www.kemenkeu.go.id | LAPORAN TAHUNAN 2011 | 5

KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA

BAB 13: PENGAWASAN INTERN KEMENTERIAN KEUANGAN 236 13.1. Peran Strategis Pengawasan Intern 236 13.2. Kebijakan Pengawasan Intern Kementerian Keuangan 237 13.3. Peningkatan Penerapan Pengendalian Intern di Lingkungan Kementerian Keuangan 238 13.4. Peningkatan Kualitas Laporan Keuangan 239 13.5. Pelaksanaan Pengawasan yang Memberi Nilai Tambah 240 13.6. Penegakan Hukum dan Disiplin 242 13.7. Tantangan Pengawasan Intern Tahun 2012 246

BAB 14: PENUTUP 248

13

14

KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA

| LAPORAN TAHUNAN 2011 | www.kemenkeu.go.id 6

Peristiwa Penting 2011Pembukaan Bursa 20113 Januari 2011Presiden RI bersama Menteri Keuangan, Menteri Koordinator

bidang Perekonomian, dan Gubernur Bank Indonesia

membuka perdagangan saham perdana tahun 2011 di Bursa

Efek Indonesia. Presiden memberikan apresiasi atas prestasi

industri pasar modal tahun 2010. Tercatat Indeks Harga

Saham Gabungan (IHSG) sepanjang tahun 2010 merupakan

indeks dengan kinerja terbaik se-Asia Pasi!k. Indeks saham

pada akhir perdagangan 2010 ditutup pada 3.703,51 poin

atau menguat sebesar 46,13 persen.

Penyampaian SPT Tahunan Orang Pribadi Pejabat Negara18 Maret 2011Presiden RI bersama kabinet Indonesia Bersatu II menyerahkan

Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan di Kantor Pusat Direktorat

Jenderal Pajak, Jakarta. Tema yang diangkat pada tahun 2011

adalah “Peran Ibu dan Anak dalam Meningkatkan Kesadaran

Masyarakat Membayar Pajak.” Tema ini dimaksudkan untuk

memberikan pemahaman mengenai pentingnya pajak dalam

kehidupan keluarga.

AFMM ke-157 – 8 April 2011Indonesia yang menduduki posisi Keketuaan (Chair)

Association of South East Asia Nations (ASEAN) tahun 2011,

menjadi tuan rumah ASEAN Finance Ministers Meeting

(AFMM) 2011 yang diselenggarakan pada tanggal 7 – 8 April

2011 di Nusa Dua, Bali.

www.kemenkeu.go.id | LAPORAN TAHUNAN 2011 | 7

KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA

Konferensi Pers Pertemuan G2014 – 15 April 2011Menteri Keuangan hadir dalam pertemuan G20, di Washington

D.C. yang menyorot sektor komoditas pangan dan energi.

Selain itu, pertemuan G20 juga menyikapi terjadinya

ketidakseimbangan global (global imbalance). Pertemuan

tersebut menyepakati dilakukannya proses identi!kasi

dengan menggunakan acuan norma struktural dan statistik

terhadap beberapa indikator makro negara anggota G20.

The 18th Asean Summit6-7 Mei 2011ASEAN Summit yang dibuka oleh Presiden RI di Jakarta,

dihadiri oleh para pemimpin dari 10 negara yaitu Sultan

Brunei Darussalam, Perdana Menteri Kamboja, Perdana

Menteri Laos, Perdana Menteri Malaysia, Perdana Menteri

Myanmar, Presiden Filipina, Perdana Menteri Thailand, dan

Perdana Menteri Vietnam serta perwakilan Perdana Menteri

Singapura. Acara pembukaan juga dihadiri para Menteri

Kabinet Indonesia Bersatu, para Menteri Ekonomi dan Menteri

Luar Negeri Negara Anggota ASEAN, para Duta Besar negara

sahabat, serta delegasi dari seluruh Negara Anggota ASEAN.

The Islamic Development Bank (IDB) Group Day and The Launching of The Member Country Partnership Strategy for The Republic of Indonesia11 Mei 2011Menteri Keuangan Agus D.W. Martowardojo menghadiri

acara The Islamic Development Bank (IDB) Group Day and

The Launching of The Member Country Partnership Strategy

(MCPS) for The Republic of Indonesia di Hotel Ritz Carlton,

Jakarta. MCPS difokuskan untuk mendukung pengembangan

peluang yang muncul pada masing-masing negara anggota.

Dukungan tersebut diprioritaskan di Sumatera, Kalimantan

dan Sulawesi seperti pembangunan akses antar wilayah,

pembangunan daerah untuk mewujudkan kondisi perkotaan,

pasokan air dan jaringan distribusi, pencapaian ketahanan

pangan, pengembangan sektor UKM, melalui akses murah

untuk pengembangan keterampilan, ketersediaan listrik

dan investasi. Dalam hal ini, Menteri Keuangan mewakili

Pemerintah Indonesia menyambut baik langkah IDB untuk

mengembangkan Islamic Finance dan mengapresiasi rencana

pengembangan potensi ekonomi lainnya di Indonesia.

KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA

| LAPORAN TAHUNAN 2011 | www.kemenkeu.go.id 8

Peluncuran MP3EI27 Mei 2011Pemerintah meluncurkan Master Plan Percepatan

Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI) di Jakarta. MP3EI

sangat diperlukan mengingat masterplan tersebut akan

menjadikan berbagai kebijakan dan strategi yang ditempuh

Pemerintah menjadi lebih jelas. Dalam sambutannya,

Presiden menyampaikan bahwa ini merupakan salah satu

upaya pengurangan tingkat kemiskinan dan pengangguran,

sehingga kesejahteraan rakyat dapat terus meningkat.

Opini WDP Atas Laporan Keuangan Pemerintah Pusat 1 Juni 2011BPK memberikan opini Wajar Dengan Pengecualian (WDP)

atas Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP) tahun 2010.

BPK memberikan penghargaan kepada Pemerintah yang

telah banyak mengikuti rekomendasi BPK sehingga opini

pada kementerian negara/lembaga (KL) banyak mengalami

peningkatan. “Laporan Keuangan Pemerintah Pusat tahun

2010 mendapat WDP, begitu banyak catatan. Kita niat tahun

2011 ini, LKPP kita naik jadi Wajar Tanpa Pengecualian (WTP),”

kata Menteri Keuangan.

Capital Market Awards8 Juli 2011Menteri Keuangan menghadiri Capital Market Awards

tahun 2011 yang diadakan oleh PT Bursa Efek Indonesia

bersama dengan PT Kliring Penjaminan Efek Indonesia dan

PT Kustodian Sentral Efek Indonesia, di Jakarta. Acara yang

bertema ‘Good Corporate Governance to Support Sustainable

Growth’ ini bertujuan untuk memberi apresiasi dan motivasi

kepada pelaku pasar modal di Indonesia, khususnya emiten

dan anggota bursa agar terus melakukan perbaikan dari

aspek bisnis maupun Good Corporate Governance.

Peristiwa Penting 2011

www.kemenkeu.go.id | LAPORAN TAHUNAN 2011 | 9

KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA

Launching Nilai-Nilai Kementerian Keuangan29 Juli 2011Mengusung nilai-nilai Integritas, Profesionalisme, Sinergi,

Pelayanan, dan Kesempurnaan, Kementerian Keuangan

meluncurkan secara resmi nilai-nilai Kementerian Keuangan di

Aula Utama Dhanapala Kementerian Keuangan, Jakarta. Acara

dipimpin langsung oleh Menteri Keuangan dan dihadiri oleh

seluruh Eselon 1 Kementerian Keuangan. “Masing-masing unit

eselon perlu membangun satu kesatuan value di lingkungan

Kementerian Keuangan. Tujuannya agar mendapatkan nilai-

nilai yang baik dan disegani,” tegas Menteri Keuangan.

Annual Report Award14 September 2011Kementerian Keuangan bekerja sama dengan Kementerian

Badan Usaha Milik Negara, Bank Indonesia, Bursa Efek

Indonesia, Komite Nasional Kebijakan Governance, dan Ikatan

Akuntan Indonesia menyelenggarakan Annual Report Award

(ARA) tahun 2010. Ajang tahunan yang diselenggarakan di

Hotel Ritz Calton, SCBD, Jakarta. ini merupakan penghargaan

atas akuntabilitas dan keterbukaan perseroan kepada publik

atau pemegang saham.

Rapat Kerja Nasional Akuntansi dan Pelaporan Keuangan Pemerintah Tahun 201119 September 2011Wakil Presiden RI membuka Rapat Kerja Nasional Akuntansi

dan Pelaporan Keuangan Pemerintah Tahun 2011 di

Gedung Dhanapala, Kementerian Keuangan. Rakernas

yang bertemakan “Peningkatan Kinerja Pengelolaan

Keuangan Pemerintah dalam Rangka Mewujudkan

Laporan Pertanggungjawaban Keuangan Pemerintah yang

Berkualitas” tersebut dihadiri selurun pimpinan lembaga

negara dan kementerian. Menteri Keuangan dalam

laporannya menyebutkan, acara tahunan ini ditujukan untuk

terus meningkatkan transparansi, akuntabilitas, dan kualitas

laporan keuangan Pemerintah.

KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA

| LAPORAN TAHUNAN 2011 | www.kemenkeu.go.id 10

Sensus Pajak Nasional30 September 2011Menteri Keuangan didampingi Gubernur DKI meresmikan

peluncuran program Sensus Pajak Nasional di JITEC Mangga

Dua Square, Jakarta. Sensus Pajak Nasional merupakan

program penggalian potensi perpajakan melalui kegiatan

pendataan objek pajak. Di sisi lain Sensus Pajak Nasional dapat

dipandang sebagai upaya menegakkan keadilan di bidang

perpajakan dimana seluruh subjek pajak kembali diingatkan

untuk memenuhi kewajiban perpajakannya sesuai dengan

peraturan dan perundang-undangan.

Asian Roundtable on Corporate Governance 3 Oktober 2011Menteri Keuangan, Deputi Sekretaris Jenderal Organization

for Economic Cooperation and Development (OECD), Chair

OECD Corporate Governance Committee, Head of Regulation

Impact Analysis O!ce Commissione Nazionale per le Societa e

la Borsa, Italia serta perwakilan dari 19 negara-negara OECD

menghadiri acara “The 2011 Asian Roundtable on Corporate

Governance”. Agenda utama pada acara yang diadakan di Bali

ini adalah merumuskan kebijakan dalam menyikapi berbagai

tantangan serta prioritas reformasi di kawasan Asia dalam

peningkatan corporate governance berdasarkan the White

Paper on Corporate Governance in Asia dan OECD Principles on

Corporate Governance.

Launching Aplikasi WiSe5 Oktober 2011Menteri Keuangan meresmikan aplikasi Whistleblowing System

(WiSe) di Jakarta. Aplikasi ini disediakan bagi pegawai/pejabat

Kementerian Keuangan maupun masyarakat luas yang ingin

melaporkan suatu perbuatan berindikasi pelanggaran dan/

atau ketidakpuasan pelayanan yang diberikan dan terjadi di

lingkungan Kementerian Keuangan. Aplikasi ini juga akan

mempermudah pengelolaan dan tindak lanjut pelaporan

pelanggaran (whistleblowing) di lingkungan Kementerian

Keuangan sesuai Peraturan Menteri Keuangan Nomor 103/

PMK.09/2010 serta Keputusan Menteri Keuangan Nomor 149/

KMK.09/2011.

Peristiwa Penting 2011

www.kemenkeu.go.id | LAPORAN TAHUNAN 2011 | 11

KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA

Penandatanganan Perjanjian Penjaminan Proyek PLN CJPP6 oktober 2011Pemerintah Republik Indonesia (yang diwakili oleh

Kementerian Keuangan), PT Penjaminan Infrastruktur

Indonesia (PERSERO) (PII), dan PT Bhimasena Power Indonesia

(BPI) menandatangani Perjanjian Penjaminan untuk Perjanjian

Jual Beli Listrik antara PT Bhimasena Power Indonesia dengan

PT Perusahaan Listrik Negara (PERSERO) (PLN). Perjanjian Jual

Beli Listrik ini mencakup pembangunan pembangkit listrik

bertenaga batubara berkapasitas 2.000 MW di Propinsi Jawa

Tengah (Central Java Power Plant/CJPP) dan penyediaan listrik

ke PLN selama 25 tahun. Adapun total investasi proyek ini

sekitar USD4 miliar. Ini merupakan skema kerja sama antara

Pemerintah dan swasta (Public-Private Partnership) yang

pertama kali direalisasikan di Indonesia dengan jaminan yang

disediakan oleh PII/IIGF.

Investor Summit dan Capital Market Expo5 Oktober 2011Menteri Keuangan membuka Investor Summit and Capital

Market Expo 2011 di Jakarta. Expo kali ini merupakan

perhelatan yang keenam dengan mengusung tema “Investing

in Capital Markets: A Journey for a Better Future”. Acara yang

digagas Self Regulatory Organization (SRO) yaitu BEI, KSEI dan

KPEI tersebut, mengajak semua pihak baik Pemerintah dan

swasta, untuk bersama menjaga dan memperkuat ekonomi

domestik untuk meminimalisir dampak dari perekonomian

global.

KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA

| LAPORAN TAHUNAN 2011 | www.kemenkeu.go.id 12

2nd Annual Meeting Financial Policy Dialogue Framework GOI-JBIC24 Oktober 2011Kementerian Keuangan RI menyelenggarakan Pertemuan

Tahunan kedua untuk Financial Policy Dialogue Framework

antara Pemerintah Indonesia (GOI) dan Japan Bank for

International Cooperation (JBIC), cabang internasional dari

Japan Finance Corporation. Dalam sambutannya, Menteri

Keuangan menyoroti beberapa kebijakan baru dalam hal

pembiayaan infrastruktur, terutama dalam mendukung

pelaksanaan Kemitraan publik-swasta (Public-private

Partnership / PPP) di Indonesia. Dalam pertemuan tersebut,

JBIC menjelajahi gagasan tentang “Kemitraan untuk

Meningkatkan Pembangunan Infrastruktur” dengan tujuan

untuk mempercepat persiapan tepat waktu untuk kelancaran

pelaksanaan proyek infrastruktur yang berkualitas (quick-

wins) sebagaimana dimaksud dalam Pemerintah pada Master

Plan (MP3EI) yang diumumkan pada Mei 2011 lalu) pada

sektor swasta dan PPP di Indonesia.

Pengesahan UU APBN28 Oktober 2011DPR mengesahkan RUU APBN 2012 menjadi UU APBN

2012. Dalam sistem penganggaran ini, Pemerintah

menyempurnakan APBN 2012 dengan mengkombinasikan

penerapan kerangka pengeluaran jangka menengah,

prakiraan maju, penganggaran berbasis kinerja, dan

penyusunan inisiatif baru (sesuai dengan PP Nomor 90 Tahun

2010 Tentang Penyusunan Rencana Kerja dan Anggaran

Kementerian Negara/Lembaga), serta penerapan kebijakan

reward and punishment.

The ASEAN Finance Ministers’ Investor Seminar (AFMIS) ke-88 November 2011Indonesia menjadi tuan rumah pelaksanaan AFMIS ke-8 yang

mengusung tema Growth and Resiliency - the ASEAN Story atau

Pertumbuhan dan Daya Tahan Ekonomi. AFMIS merupakan

kesempatan yang baik bagi negara-negara ASEAN, untuk

menyampaikan perkembangan ekonomi dan sosial di

kawasan ASEAN

Peristiwa Penting 2011

www.kemenkeu.go.id | LAPORAN TAHUNAN 2011 | 13

KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA

Penghargaan Best Sovereign BondDesember 2011Kementerian Keuangan diwakili oleh Wakil Menteri Keuangan

II menerima penghargaan dari majalah FinanceAsia berupa

“Best Sovereign Bond-Republic of Indonesia $2.5 billion 10-year

bond” pada Desember 2011. Penghargaan tersebut diberikan

kepada Indonesia atas prestasinya dalam menerbitkan obligasi

negara berdenominasi dolar AS di pasar global (global market)

pada Mei 2011 dengan tenor 10 tahun sebesar 2,5 miliar dolar

AS. Penerbitan obligasi global tersebut dinilai menunjukkan

performa mengesankan karena total pemesanan mencapai

6,9 miliar dolar.

Penyerahan DIPA TA 2012 oleh Presiden RI Kepada

Menteri/Pimpinan Lembaga, Gubernur

20 Desember 2011

Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran (DIPA) tahun 2012 resmi

diserahkan oleh Presiden kepada para pengguna anggaran

di Istana Negara, Jakarta. Menteri Keuangan menyatakan

penyerahan DIPA dilakukan sebelum tahun anggaran berjalan

agar pelaksanaan anggaran bisa dilakukan tepat waktu. “Agar

masyarakat bisa langsung merasakan dampak pembangunan,”

kata Menteri Keuangan.

G20 High Level Roundtable 20 Desember 2011G20 High Level Roundtable : From Cannes 2011 to Los Cabos 2012

diselenggarakan Jakarta. Pertemuan tingkat pejabat tinggi

ini ditujukan sebagai sarana diseminasi informasi mengenai

hasil-hasil pertemuan dan perkembangan isu-isu G20 selama

keketuaan (chairmanship) Perancis. Selain itu, dipaparkan

pula perkembangan ekonomi global terkini, khususnya

menyangkut krisis keuangan yang melanda negara-negara

Eropa.

KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA

| LAPORAN TAHUNAN 2011 | www.kemenkeu.go.id 14

Penerimaan Penghargaan Anugerah Parahita Ekapraya tahun 2011 pada puncak acara peringatan hari Ibu ke-8322 Desember 2011Kementerian Keuangan mendapatkan penghargaan Anugerah

Parahita Ekapraya Madya pada Tahun 2011 dari Kementerian

Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak yang

diserahkan langsung oleh Presiden RI atas komitmen

tinggi dalam upaya memujudkan Keadilan & Kesetaraan

Gender. Penghargaan tersebut diberikan atas komitmen

Kementerian Keuangan dalam mengimplementasikan

strategi pengarusutamaan gender dan pemenuhan hak anak

di berbagai sektor pembangunan. Pemberian penghargaan

APE tersebut merupakan rangkaian puncak Peringatan Hari

Ibu ke-83 pada 22 Desember ini, yang diadakan di Balai Kartini

Jakarta.

Peresmian SSO, INTR dan BTKI 201229 Desember 2011Menteri Keuangan meresmikan Peluncuran Single Sign

On (SSO), Indonesia National Trade Repository (INTR) dan

Penerapan Buku Tarif Kepabeanan Indonesia (BTKI) 2012

dalam Kerangka Implementasi National Single Window (NSW)

di Kantor Pusat Badan Pengawas Obat dan Makanan, Jakarta.

Dengan adanya SSO, maka para eksportir, importir dan

pengguna jasa pelayanan NSW lainnya akan lebih mudah

memanfaatkan semua pelayanan perizinan dan informasi

secara elektronik (in-house system) yang disediakan oleh 18

unit penerbit perizinan dalam kegiatan impor ekspor dari 15

Kementerian/Lembaga yang terintegrasi dalam sistem NSW.

Penutupan Perdagangan Efek Sesi Terakhir30 Desember 2011Menteri Keuangan bersama Wakil Menteri Keuangan I, Ketua

Bapepam, Direktur Jenderal Pengelolaan Utang, serta Direktur

Utama Bursa Efek Indonesia, mengakhiri perdagangan saham

sesi hari terakhir tahun 2011. IHSG sepanjang tahun 2011

mencatat kenaikan sebesar 3,2 persen year to date, dan pada

tahun 2011 tersebut, IHSG ditutup pada level 3.821,99.

Peristiwa Penting 2011

www.kemenkeu.go.id | LAPORAN TAHUNAN 2011 | 15

KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA

Kementerian Keuangan senantiasa berupaya menyempurnakan regulasi yang mendasari berbagai aspek

pengelolaan keuangan negara. Tujuannya adalah agar pengelolaan keuangan negara dapat berlangsung secara

optimal untuk mendukung pelaksanaan kegiatan Pemerintahan, pembangunan, dan pelayanan masyarakat. Di

sepanjang tahun 2011, terdapat dua rancangan undang-undang (RUU) dan lima undang-undang (UU) yang telah

disahkan/ditandatangani, yaitu:

No Acara Tanggal Deskripsi

1. Pengesahan Rancangan Undang-Undang RI Nomor 5 tentang Akuntan Publik

5 April Indonesia dipandang memerlukan suatu Undang-Undang yang mengatur tentang Akuntan Publik. Akuntan publik merupakan suatu profesi yang jasa dan hasil pekerjaannnya digunakan secara luas oleh publik, sebagai salah satu pertimbangan penting dalam pengambilan keputusan ekonomi. Selain itu Akuntan Publik berperan dalam meningkatkan kualitas dan kredibilitas informasi keuangan atau laporan keuangan suatu entitas.

2. Pengesahan Undang-Undang RI Nomor 7 Tahun 2011 tentang Mata Uang

31 Mei Undang-Undang ini merupakan bentuk upaya untuk mengangkat harkat dan martabat mata uang Rupiah sebagai legal tender atau alat pembayaran yang sah dan satu-satunya dalam kegiatan perekonomian di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Dengan demikian, setiap transaksi yang terjadi di wilayah NKRI harus menggunakan mata uang rupiah.

3. Pengesahan Undang-Undang RI Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan

27 Oktober Undang-undang Otorisasi Jasa Keuangan (OJK) merupakan langkah fundamental dan strategis Pemerintah dalam menghadapi situasi keuangan Indonesia yang makin kompleks dan dinamis. Undang-undang tersebut dibuat berdasarkan pembelajaran dan evaluasi keuangan dalam satu dasawarsa terakhir, dengan tujuan untuk mengukuhkan otoritas yang lebih berpihak pada konsumen.

4. Pengesahan Undang-Undang RI Nomor 22 tahun 2011 tentang APBN Tahun Anggaran 2012

28 oktober Pemerintah menyempurnakan APBN 2012 dengan mengkombinasikan penerapan kerangka pengeluaran jangka menengah, prakiraan maju, penganggaran berbasis kinerja, dan penyusunan inisiatif baru (sesuai dengan PP Nomor 90 Tahun 2010 Tentang Penyusunan Rencana Kerja dan Anggaran Kementerian Negara/Lembaga), serta penerapan kebijakan reward and punishment.

5. Penandatanganan Rancangan Undang-Undang RI Nomor 24 tahun 2011 Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS)

28 oktober BPJS yang dibentuk dengan UU BPJS ini adalah BPJS Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan. BPJS mengemban misi negara untuk memenuhi hak konstitusional setiap orang atas jaminan sosial dengan menyelenggarakan program jaminan yang bertujuan memberi kepastian perlindungan dan kesejahteraan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Pengesahan Undang-Undang

KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA

| LAPORAN TAHUNAN 2011 | www.kemenkeu.go.id 16

Visi & Misi

www.kemenkeu.go.id | LAPORAN TAHUNAN 2011 | 17

KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA

Visi

Misi

Menjadi pengelola keuangan negara yang dipercaya, akuntabel dan terbaik di regional untuk mewujudkan Indonesia yang sejahtera demokratis dan berkeadilan.

Untuk mewujudkan visi tersebut, Kementerian Keuangan mempunyai 4 misi, yaitu:(i) Misi Fiskal Mengembangkan kebijakan !skal yang sehat, berkelanjutan, hati-hati (prudent) dan bertanggungjawab.(ii) Misi Kekayaan Negara Mewujudkan pengelolaan kekayaan negara yang optimal sesuai dengan asas fungsional, kepastian hukum, transparan, e!sien dan bertanggungjawab.(iii) Misi Pasar Modal dan Lembaga Keuangan Mewujudkan industri pasar modal dan lembaga keuangan non bank sebagai penggerak dan penguat perekonomian nasional yang tangguh dan berdaya saing global.(iv) Misi Penguatan Kelembagaan

1. Membangun dan mengembangkan organisasi berlandaskan administrasi publik sesuai dengan tuntutan masyarakat.2. Membangun dan mengembangkan SDM yang amanah, profesional, berintegrasi tinggi dan bertanggungjawab.3. Membangun dan mengembangkan teknologi informasi keuangan yang moderen dan terintegrasi serta sarana dan prasarana strategis lainnya.

KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA

| LAPORAN TAHUNAN 2011 | www.kemenkeu.go.id 18

Sambutan Menteri Keuangan

Agus D.W. MartowardojoMenteri Keuangan

www.kemenkeu.go.id | LAPORAN TAHUNAN 2011 | 19

KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA

Reformasi Birokrasi menjadi langkah awal Kementerian Keuangan untuk mengawal pelaksanaan amanat pengelolaan

keuangan negara, dan dalam menghadapi tantangan gejolak ekonomi global. Meskipun diwarnai berbagai pro dan kontra

dalam pelaksanaannya, Kementerian Keuangan senantiasa menjalankan tugas dan fungsi dalam menyelenggarakan

urusan di bidang keuangan dan kekayaan negara dengan sebaik-baiknya. Faktor pendukung keberhasilan program

Reformasi Birokrasi di Kementerian Keuangan sendiri, berupa esprit de corps dan value yang harus diinternalisasikan

dan diaplikasikan dalam melaksanakan pekerjaan sehari-hari. Value organisasi menjadi landasan dalam menentukan

arah pikiran, tindakan dan pengambilan keputusan. Sebuah organisasi sebesar Kementerian Keuangan memerlukan

panduan untuk mengatur standar perilaku bagi anggota organisasinya. Masing-masing unit eselon I sebenarnya telah

memiliki value, yang pada intinya tatanan moral bagi jajarannya.

Dalam rangka menyatukan gerak langkah dan semangat, maka ragam value yang ada disatukan dalam satu jiwa yaitu

Nilai-nilai Kementerian Keuangan. Maka pada tahun 2011, Kementerian Keuangan meluncurkan Nilai-nilai tersebut

melalui Keputusan Menteri Keuangan Nomor 312/KMK.01/2011. Pada dasarnya, Nilai-nilai Kementerian Keuangan

itu merupakan sublimisasi dari nilai-nilai Integritas, Profesionalisme, Sinergi, Pelayanan, dan Kesempurnaan yang

dimiliki oleh setiap unit. Nilai-nilai inilah yang menjadi pedoman perilaku setiap pegawai di Kementerian Keuangan

dalam menjalankan tugas dan fungsinya. Nilai-nilai ini juga merupakan perangkat Kementerian Keuangan untuk dapat

menciptakan keselarasan dalam rangka mencapai visi, misi, dan sasaran strategis yang telah ditetapkan.

Sebagaimana diketahui bersama, Kementerian Keuangan diamanatkan untuk mengelola keuangan dan kekayaan negara

dengan cita-cita yang tercermin dalam visinya yaitu menjadi Pengelola Keuangan dan Kekayaan Negara yang Dipercaya,

Akuntabel dan Terbaik di Regional untuk Mewujudkan Indonesia yang Sejahtera, Demokratis, dan Berkeadilan.Visi ini

dijabarkan kembali dalam beberapa misi yang meliputi misi bidang !skal, misi bidang kekayaan negara, misi pasar

modal dan lembaga keuangan, serta misi penguatan kelembagaan.

Melaksanakan amanat sebagai pengelola keuangan dan kekayaan negara bukanlah perkara yang mudah. Dalam

meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan menciptakan kesejahteraan rakyat, Kementerian Keuangan menghadapi

berbagai tantangan. Tantangan tersebut berupa: pertama, masih rendahnya tingkat investasi terhadap PDB; kedua,

pembangunan infrastruktur yang masih tertinggal jika dibandingkan dengan negara-negara ASEAN; ketiga, iklim usaha

yang belum kondusif; dan keempat, krisis ekonomi global yang mempengaruhi kenaikan harga minyak dunia.

Menyadari hal tersebut, Kementerian Keuangan berupaya menjaga ketahanan perekonomian Indonesia dengan

membentuk program-program internal dan menetapkan kebijakan !skal maupun asumsi ekonomi makro. Beberapa

program internal yang telah dibentuk oleh Kementerian Keuangan antara lain pembangunan pola manajemen yang

berorientasi pada hasil yang dapat diukur melalui Key Performance Indicator (KPI), meningkatkan e!siensi dan efektivitas

organisasi sesuai tugas dan fungsi masing-masing, serta membangun dan meningkatkan koordinasi antar satuan kerja

dalam lingkungan Kementerian Keuangan.

Selanjutnya, Kementerian Keuangan juga telah membentuk mekanisme untuk mengawasi kualitas integritas pegawai

dengan media yang dinamakan Whistleblowing System (WISE) melalui penerbitan KMK No.149/KMK.09/2011, sebagai

upaya dalam meminimalisir korupsi, kolusi, dan nepotisme. Pencegahan dan pemberantasan korupsi juga dilaksanakan

melalui sosialisasi anti korupsi serta penegakan hukum dan disiplin pegawai melalui penerapan reward and punishment

yang dipantau melalui pengawasan internal Kementerian Keuangan. Disisi lain, pembentukan Unit Kontrol Intern (UKI)

pada masing-masing unit kerja Kementerian Keuangan diharapkan dapat semakin memperkuat supervisi manajemen

dan meningkatkan kualitas pemantauan pengendalian internal Kementerian Keuangan.

KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA

| LAPORAN TAHUNAN 2011 | www.kemenkeu.go.id 20

Kemudian, untuk antisipasi dan penanganan krisis, Kementerian Keuangan bersama dengan Bank Indonesia dan

Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) telah membentuk prosedur khusus dalam menghadapi situasi krisis yang

dinamakan Crisis Management Protocol (CMP). Dalam hal ini, CMP merupakan salah satu strategi !skal yang dijalankan

Pemerintah dan bertujuan untuk menjaga stabilitas ekonomi dan keuangan Indonesia untuk menangani krisis serta

dampaknya. CMP ini juga didukung dengan mekanisme peringatan dini untuk mendeteksi apakah krisis ekonomi

global mulai berdampak ke Indonesia.

Sementara itu, perumusan dan penetapan kebijakan !skal diarahkan kepada peningkatan stimulus dengan tetap

menjaga kesinambungan !skal yang dijabarkan dalam Kerangka Ekonomi Makro dan Pokok-Pokok Kebijakan Fiskal.

Secara sektoral, Pemerintah juga terus berupaya mendorong dan meningkatkan kualitas pertumbuhan ekonomi

melalui perbaikan iklim investasi, percepatan pembangunan infrastruktur, peningkatan daya saing industri dan

produk ekspor, serta peningkatan ketahanan pangan nasional termasuk stabilisasi harga.

Setelah melewati perjalanan panjang, maka pada tahun 2011 ini, BPK memberikan Opini Wajar Dengan Pengecualian

(WDP) terhadap Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP) tahun 2010. Hal ini merupakan prestasi yang baik

mengingat LKPP tahun 2010 mencakup seluruh aspek keuangan yang dikelola oleh seluruh entitas Pemerintah Pusat

seperti 8 Bagian Anggaran Bendahara Umum Negara (BUN), 76 Kementerian Negara/Lembaga (K/L), beserta jenjang

struktural di bawahnya. Capaian ini merupakan hasil kerja keras Pemerintah untuk menjaga kualitas akuntabilitas

keuangan negara yang sejalan dengan kualitas LKBUN dan LKK/L. Ini merupakan kali kedua BPK memberikan LKPP

dengan status WDP. Beberapa perbaikan dalam hal (i) permasalahan penagihan, pengakuan, dan pencatatan piutang

perpajakan; (ii) pencatatan uang muka BUN tidak memadai; (iii) permasalahan dalam pengendalian atas pencatatan

Piutang Pajak, dan (iv) permasalahan dalam pelaksanaan invetarisasi dan penilaian aset tetap masih sangat diperlukan

untuk mencapai status Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) pada tahun selanjutnya.

Sama halnya dengan LKPP, BPK juga memberikan opini WDP terhadap Laporan Keuangan Kementerian Keuangan

(LKKK) tahun 2010. Ini merupakan ketiga kalinya LK Kementerian Keuangan mendapat opini WDP dari BPK. Meskipun

jumlah temuan dari tahun ke tahun terus menurun, namun beberapa catatan terkait data transaksi reversal dan

penagihan PBB Migas akan menjadi catatan penting bagi Kementerian Keuangan yang optimis mencapai status Wajar

Tanpa Pengecualian (WTP) pada tahun mendatang.

Tidak hanya itu, pada tahun 2011 lembaga pemeringkat internasional Fitch Ratings juga memberikan penghargaan

investment grade kepada perekonomian Indonesia sebagai bentuk pengakuan terhadap kokohnya fundamental

ekonomi makro Indonesia. Hal ini tercermin pada beberapa indikator makro ekonomi, seperti pertumbuhan

ekonomi di atas 6 persen, rasio utang terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) yang terus menurun dengan kisaran 26

persen, serta de!sit anggaran di bawah 2,5 persen. Fundamental ekonomi yang kuat ini pada kenyataanya mampu

meminimalkan dampak dari gejolak ekonomi global.

Pencapaian peringkat investment grade memiliki nilai sangat penting, karena akan berpengaruh pada pandangan

dunia terhadap perekonomian Indonesia dan memperbesar peluang untuk bisa meningkatkan kegiatan investasi di

Indonesia. Pengakuan lembaga pemeringkat internasional Fitch Ratings, disusul pula oleh Moody’s Investor Service

yang menaikkan peringkat utang Indonesia ke level layak investasi. Moody’s menaikkan peringkat utang Indonesia

menjadi Baa3 dari Ba1 dengan outlook stable.

Kita patut berbangga dengan laju pertumbuhan ekonomi Indonesia. Sepanjang tahun 2011 perekonomian Indonesia

dinyatakan memiliki daya tahan yang kuat di tengah ketidakpastian ekonomi global. Hal ini tercermin pada kinerja

pertumbuhan ekonomi yang mencapai 6,5 persen dengan kontrol in"asi pada level yang rendah sebesar 3,79 persen

www.kemenkeu.go.id | LAPORAN TAHUNAN 2011 | 21

KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA

Jakarta, September 2012

Menteri Keuangan Republik Indonesia

Agus D.W. Martowardojo

dan kestabilan makro ekonomi yang tetap terjaga. Peningkatan kinerja tersebut disertai dengan perbaikan kualitas

pertumbuhan yang tercermin dari tingginya peran investasi dan ekspor sebagai sumber pertumbuhan, penurunan

tingkat pengangguran dan kemiskinan, serta pemerataan pertumbuhan ekonomi antar daerah yang semakin

membaik. Outlook pertumbuhan ekonomi inilah yang membuat Indonesia menjadi salah satu negara yang patut

diperhitungkan di kancah internasional.

Dalam mendukung percepatan pertumbuhan yang telah ditetapkan dalam Marsterplan dan Perluasan Pembangunan

Ekonomi Indonesia (MP3EI), dan percepatan infrastruktur, Kementerian Keuangan senantiasa memperbaiki sistem

kinerja keuangan bidang anggaran melalui perumusan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). APBN

merupakan salah satu instrumen kebijakan !skal untuk mengatur pengeluaran dan pendapatan negara dalam

membiayai penyelenggaraan negara yang meliputi Pemerintahan dan pembangunan. APBN mempunyai fungsi

otorisasi, perencanaan, pengawasan, alokasi, distribusi, dan stabilisasi. Sesuai dengan prinsip transparansi dan

akuntabilitas, semua penerimaan yang menjadi hak dan pengeluaran yang menjadi kewajiban negara dalam suatu

tahun anggaran harus dimasukkan dalam kerangka APBN.

Untuk melihat secara lebih rinci seluruh kebijakan, program, dan capaian kinerja Kementerian Keuangan, maka kami

merangkum dan menyajikannya dalam bentuk Laporan Tahunan Kementerian Keuangan (LTKK) periode tahun 2011.

Pada kesempatan kali ini, melalui LTKK ini saya berharap, stakeholders Kementerian Keuangan mendapatkan

pemahaman lebih banyak mengenai tupoksi Kementerian Keuangan dan bentuk tanggung jawab Kementerian

Keuangan kepada para stakeholders, serta untuk melaksanakan keterbukaan informasi yang seluas-luasnya dalam hal

pengelolaan keuangan dan kekayaan negara.

Tak lupa saya sampaikan penghargaan dan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada para pejabat dan pegawai

Kementerian Keuangan yang pada tahun 2011 ini telah memasuki masa purnabhakti, dan telah menyelesaikan

tugasnya selama ini dengan profesional dan penuh integritas di Kementerian Keuangan.

Ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya juga saya sampaikan kepada seluruh pejabat dan pegawai atas kerja

kerasnya selama tahun 2011 dengan tetap berada dalam koridor Reformasi Birokrasi dengan memegang teguh

dan menjiwai Nilai-nilai Kementerian Keuangan. Karena tidak dapat dipungkiri bahwa kesuksesan yang dicapai

Kementerian Keuangan pada tahun 2011 merupakan bentuk sinergi dari seluruh elemen di Kementerian Keuangan

serta dukungan dan kerja sama masyarakat dan stakeholders.

Oleh karena itu, marilah kita senantiasa terus bekerja dengan hati dan berkarya untuk menjadi yang terbaik dalam

mewujudkan perekonomian yang adil dan merata demi masyarakat Indonesia yang sejahtera. Saya juga berharap,

nilai-nilai yang luhur yang telah kita miliki dapat selalu diterapkan dan menjiwai pelaksanaan tugas kita sebagai abdi

negara, khususnya di lingkungan Kementerian Keuangan. Semua yang kita lakukan ini semata adalah demi bakti kita

kepada Nusa dan Bangsa.

KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA

| LAPORAN TAHUNAN 2011 | www.kemenkeu.go.id 22

Menteri, Wakil Menteri dan Pejabat Eselon I Keuangan

1. Agus DW MartowardojoMenteri Keuangan

2. Anny RatnawatiWakil Menteri Keuangan I

3. Mahendra SiregarWakil Menteri Keuangan II

4. Kiagus Ahmad BadaruddinSekretaris Jenderal

5. Herry PurnomoDirektur Jenderal Anggaran

6. Ahmad Fuad RahmanyDirektur Jenderal Pajak

7. Agung KuswandonoDirektur Jenderal Bea dan Cukai

8. Agus Suprijanto Direktur Jenderal Perbendaharaan

11 12 6 10 4 2 15

www.kemenkeu.go.id | LAPORAN TAHUNAN 2011 | 23

KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA

9. HadiyantoDirektur Jenderal Kekayaan Negara

10. Marwanto HarjowiryonoDirektur Jenderal Perimbangan Keuangan

11. Rahmat WaluyantoDirektur Jenderal Pengelolaan Utang

12. Vincentius Sonny LohoInspektur Jenderal

13. NurhaidaKetua Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan

14. Bambang BrodjonegoroKepala Badan Kebijakan Fiskal

15. Kamil SjoeibKepala Badan Pendidikan dan Pelatihan Keuangan

14 1 13 5 7 9 83

KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA

| LAPORAN TAHUNAN 2011 | www.kemenkeu.go.id 24

Agus D.W. MartowardojoMenteri Keuangan

Anny RatnawatiWakil Menteri Keuangan I

Mahendra SiregarWakil Menteri Keuangan II

Pro!l Pejabat Kementerian KeuanganLahir pada tahun 1956. Menyelesaikan pendidikan dan memperoleh gelar Sarjana Ekonomi

dari Universitas Indonesia. Mengikuti berbagai pendidikan di institusi, seperti State University

of New York, Harvard Business School, Standford University, dan Wharton Executive Education.

Memulai karir perbankan di Bank of America, kemudian pada tahun 1986 bergabung dengan

PT Bank Niaga dan terakhir menduduki posisi sebagai Vice President-Corporate Banking Head,

Corporate Banking Group. Pada tahun 1995 menjadi Direktur Utama PT Bank Bumiputera dan

pada tahun 1998 ditugaskan sebagai Direktur Utama PT Bank Ekspor Impor Indonesia (Persero).

Kemudian selama kurun 1999-2002 bertugas sebagai Managing Director Bank Mandiri yang

membawahi berbagai bidang, seperti Risk Management & Credit Restructuring, Retail Banking

& Operations, dan terakhir memimpin Bidang Human Resources & Support Services. Pada bulan

Oktober 2002, setelah menjabat sebagai Penasehat Ketua BPPN, ditugaskan menjadi Direktur

Utama PT Bank Permata Tbk. Selanjutnya, sejak bulan Mei 2005 hingga Mei 2010 memimpin PT

Bank Mandiri (Persero) Tbk. sebagai Direktur Utama. Pada tanggal 20 Mei 2010 dilantik sebagai

Menteri Keuangan oleh Presiden Republik Indonesia. Penghargaan yang pernah diraih adalah

Indonesia’s Best Executive in 2009 yang dianugerahkan oleh Asiamoney dan The Indonesian

Banker Leadership Achievement Award 2010 dari The Asian Banker.

Lahir di Yogyakarta pada tanggal 24 Februari 1962. Meraih gelar Sarjana Agribisnis dari Institut Pertanian Bogor (IPB) pada tahun 1985, kemudian lulus Magister Ekonomi Pertanian pada tahun 1989 dan Doktor Ekonomi Pertanian pada tahun 1996 dari kampus yang sama. Sebelum dilantik oleh Presiden Republik Indonesia menjadi Wakil Menteri Keuangan I sejak tanggal 20 Mei 2005, pernah menjabat sebagai Kepala Badan Pendidikan dan Pelatihan Keuangan (BPPK) mulai tanggal 25 Februari 2008 hingga bulan Juli 2008. Selanjutnya dilantik menjadi Direktur Jenderal Anggaran hingga 20 Mei 2010. Beberapa kali mendapat penghargaan sebagai Dosen Teladan, antara lain dari Bogasari Awards pada tahun 2002, IPB pada tahun 2002 dan 2005, serta Bukopin Bank ODP Education Throughout Indonesia pada tahun 2007.

Lahir di Bandung pada tanggal 17 Oktober 1962. Memperoleh gelar Sarjana Ekonomi dari Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia tahun 1986 dan Master Ekonomi dari Monash University, Australia, tahun 1991. Bergabung di Kementerian Luar Negeri pada 1986 dan pernah menjabat sebagai Economic Third Secretary pada Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) di London tahun 1992 hingga 1995. Pada tahun 1998 hingga 2001 menjadi Counselor Penerangan KBRI di Washington, D. C. dan tahun 2001 juga bergabung dengan Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian sebagai staf ahli. Tahun 2005 menjadi Deputi Menteri Bidang Koordinasi Kerjasama Internasional hingga tahun 2009 dan sempat menjadi Chairman dan CEO Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia selama 5 tahun. Pernah ditugaskan mewakili Pemerintah Indonesia di berbagai pertemuan dan organisasi internasional. Termasuk tahun 2007 hingga 2008 menjadi anggota Adaptation Fund Brand UNFCCC mewakili Asia dan sejak 2009 hingga saat ini menjadi Sherpa Presiden RI di G20. Pernah menjabat Komisiaris mewakili Pemerintah Indonesia pada PT Dirgantara Indonesia, PT Aneka Tambang, Tbk., PT Rajawali Nusantara Indonesia dan saat ini menjadi Komisiaris Utama PT Semen Gresik Group, Tbk. Selanjutnya dilantik menjadi Wakil Menteri Perdagangan oleh Presiden Republik Indonesia pada tanggal 11 November 2009 dan menjadi Wakil Menteri Keuangan sejak tanggal 19 Oktober 2011.

www.kemenkeu.go.id | LAPORAN TAHUNAN 2011 | 25

KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA

Kiagus Ahmad BadaruddinSekretaris Jenderal

Ahmad Fuad RahmanyDirektur Jenderal Pajak

Lahir di Palembang pada tanggal 29 Maret 1957. Menempuh pendidikan Diploma III Ekonomi Perusahaan dan S1 ekonomi Manajemen di Universitas Sriwijaya Palembang. Gelar Sarjana Ekonominya diraih pada tahun 1986. Menempuh pendidikan S2 di Universitas of Illinois at Urbana-Champaign dan mendapatkan gelar Master of Science pada tahun 1991.

Pada tahun 2006 menjabat sebagai Direktur Sistem Perbendaharaan, kemudian dipercaya menduduki jabatan Direktur Pelaksanaan Anggaran sejak tahun 2008 hingga 2009, di Direktorat Jenderal Perbendaharaan. Selanjutnya, dilantik menjadi Sekretaris Direktorat Jenderal, Direktorat Jenderal Perbendaharaan di tahun 2009. Kemudian di bulan Januari 2011, menjabat sebagai Staf Ahli Bidang Pengeluaran Negara hingga ditugaskan sebagai Pelaksana Tugas (Plt.) Sekretaris Jenderal Kementerian Keuangan mulai bulan September 2011.

Lahir di Singapura pada tanggal 11 November 1954. Meraih gelar Sarjana dari Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia pada tahun 1981, kemudian menyelesaikan Master of Arts in Economics di Duke University, Durham, North Carolina pada tahun 1987 dan Doctor of Philosophy in Economics dari Vanderblit University pada tahun 1997. Mulai bekerja pada Kementerian Keuangan pada Agustus 1981. Pernah menjabat sebagai Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan (Bapepem-LK) sejak tahun 2006, sebelum dilantik sebagai Direktur Jenderal Pajak Kementerian Keuangan pada tanggal 21 Januari 2011.

Herry PurnomoDirektur Jenderal Anggaran

Lahir di Ciamis pada tanggal 8 Mei 1953. Gelar Sarjana Muda dan Sarjana diraih dari Institut Ilmu Keuangan pada tahun 1975 dan 1980. Kemudian, gelar Master of Social Science diperoleh dari University of Birmingham pada tahun 1989. Pernah menjabat sebagai Direktur Jenderal Perbendaharaan selama kurang lebih 5 tahun, yaitu sejak tahun 2006. Jabatan lain yang pernah didudukinya antara lain adalah sebagai Direktur Pembinaan Kekayaan Negara, Direktorat Jenderal Anggaran dan Direktur Pengelolaan Barang Milik/Kekayaan Negara, Direktorat Jenderal Perbendaharaan. Menjabat sebagai Direktur Jenderal Anggaran Kementerian Keuangan sejak tanggal 16 Februari 2011.

KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA

| LAPORAN TAHUNAN 2011 | www.kemenkeu.go.id 26

Agung KuswandonoDirektur Jenderal Bea dan Cukai

Agus SuprijantoDirektur Jenderal Perbendaharaan

HadiyantoDirektur Jenderal Kekayaan Negara

Lahir di Banyuwangi pada tanggal 29 Maret 1967. Meraih gelar Sarjana Kehutanan dari IPB pada tahun 1990, kemudian mendapatkan gelar Master of Arts Economics di Universitas of Colorado pada tahun 1997. Memulai karirnya di Kementerian Keuangan sebagai Penata Muda pada tahun 1991 dan pernah menjabat sebagai Direktur Teknis Kepabeanan dan Direktur Fasilitas Kepabeanan pada tahun 2008 dan 2010. Menjabat sebagai Direktur Jenderal Bea dan Cukai Kementerian Keuangan sejak tanggal 25 April 2011.

Lahir di Yogyakarta pada tanggal 14 Agustus 1953. Meraih gelar S1 Hukum Perdata dari Universitas Udayana pada tahun 1985. Selanjutnya, gelar Master of Arts in Economics dan Doctor of Philosophy in Economics didapat dari University of Colorado di Boulder pada tahun 1991 dan 1995. Mulai bekerja sebagai CPNS pada tanggal 1 Maret 1975. Pernah menjabat sebagai Kepala Pushaka, Staf Ahli Menteri Keuangan Bidang Penerimaan Negara, dan Kepala Badan Kebijakan Fiskal. Pada tanggal 21 Januari 2011 resmi menjabat sebagai Direktur Jenderal Perbendaharaan Kementerian Keuangan hingga saat ini.

Lahir di Ciamis pada tanggal 10 Oktober 1962. Gelar Sarjana Hukum diraih dari Universitas Padjadjaran Bandung pada tahun 1986, sedangkan gelar Master of Law diperoleh dari Harvard University, Amerika Serikat pada tahun 1993. Mulai bekerja sebagai CPNS Kementerian Keuangan pada tanggal 1 Maret 1987. Pernah menjabat sebagai Kepala Biro Hukum Sekretariat Jenderal pada tahun 2005. Sejak tahun 2006 hingga saat ini memimpin Direktorat Jenderal Kekayaan Negara Kementerian Keuangan.

www.kemenkeu.go.id | LAPORAN TAHUNAN 2011 | 27

KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA

Marwanto HarjowiryonoDirektur Jenderal Perimbangan Keuangan

Lahir di Yogyakarta pada tanggal 6 juni 1959. Meraih gelar Sarjana Ekonomi dari Fakultas Ekonomi Universitas Gajah Mada (UGM) pada tahun 1983 dan menamatkan pendidikan S2 di Vanderbilt University pada tahun 1991. Selanjutnya, gelar S3 diraih dari Sekolah Pascasarjana UGM pada tahun 2009. Mulai bekerja sebagai CPNS Kementerian Keuangan pada tanggal 1 Desember 1983. Pernah menjabat sebagai Kepala Biro Hubungan Masyarakat di Sekretariat Jenderal dari tahun 2004 hingga 2006. Jabatan lain yang pernah didudukinya adalah Staf Ahli Menteri Keuangan Bidang Pengeluaran Negara. Berpengalaman sebagai Direktur Eksekutif Bank Pembangunan Asia sejak tahun 2009 hingga 2011. Sejak tanggal 21 Januari 2011 menjabat sebagai Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan Kementerian Keuangan hingga saat ini.

Lahir di Metro, Lampung, pada tanggal 3 Oktober 1956. Gelar Sarjana Akuntansi diraih dari UGM pada tahun 1983 dan Master of Business Administration (MBA) dari University of Denver, Colorado, Amerika Serikat pada tahun 1992. Kemudian gelar Ph.D diperoleh dari University of Birmingham, Inggris pada tahun 1997. Pada tahun 2005-2006, pernah menjabat sebagai Direktur Pengelolaan Surat Utang Negara pada Direktorat Jenderal Perbendaharaan. Menjabat sebagai Direktur Jenderal Pengelolaan Utang Kementerian Keuangan sejak tahun 2006.

Rahmat WaluyantoDirektur Jenderal Pengelolaan Utang

Vincentius Sonny LohoInspektur Jenderal

Lahir di Jakarta pada tanggal 1 Juni 1957. Mulai bekerja sebagai Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS) di Kementerian Keuangan pada tanggal 1 November 1979. Menempuh pendidikan Diploma III Keuangan Spesialisasi Akuntansi di Sekolah Tinggi Akuntansi Negara (STAN) pada tahun 1977 hingga 1980. Kemudian melanjutkan pendidikan Diploma IV di STAN hingga tahun 1987 dan mendapatkan gelar Master of Public Management di Carnegie Mellon University Pitsburgh, Pennsylvania, pada tahun 1998. Pernah menjabat sebagai Direktur Pembinaan Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum, Direktorat Jenderal Perbendaharaan pada tanggal 9 November 2006 serta Direktur Akuntansi dan Pelaporan Keuangan, Direktorat Jenderal Perbendaharaan mulai tanggal 17 Oktober 2008. Dilantik sebagai Inspektur Jenderal Kementerian Keuangan pada tanggal 21 Januari 2011.

KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA

| LAPORAN TAHUNAN 2011 | www.kemenkeu.go.id 28

NurhaidaKetua Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan

Kamil SjoeibKepala Badan Pendidikan dan Pelatihan Keuangan

Bambang BrodjonegoroKepala Badan Kebijakan Fiskal

Lahir di Jakarta pada tanggal 3 Oktober 1966. Menempuh pendidikan sarjana di bidang Ekonomi Pembangunan dan Ekonomi Regional pada Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia pada tahun 1985-1990. Melanjutkan pendidikan di University of Illinois at Urbana-Champaign, Amerika Serikat, dan meraih gelar Master pada tahun 1995. Gelar Ph.D diraih dari universitas yang sama pada Agustus 1997. Pernah menjadi dosen tamu pada The Department of Urban and Regional Planning, University of Illinois at Urbana-Champaign, Amerika Serikat, pada bulan November 2002. Menjadi Dekan FE-UI sejak tahun 2005 hingga 2009. Kemudian menjadi Director General Islamic Research and Training Institute, Islamic Development Bank hingga tahun 2011. Menjabat sebagai Plt. Kepala Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan sejak tanggal 21 Januari 2011. Saat ini juga masih menjabat sebagai Guru Besar Ilmu Ekonomi Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia.

Lahir di Padang Panjang pada tanggal 27 Juni 1959. Menempuh pendidikan S1 di Institut Teknologi Tekstil, Bandung pada tahun 1985. Kemudian melanjutkan pendidikan S2 di Indiana University, USA dan meraih gelar MBA pada tahun 1995. Mulai bekerja sebagai CPNS sejak tanggal 1 Februari 1989. Pernah menjabat sebagai Staf Ahli Bidang Kebijakan dan Regulasi Jasa Keuangan dan Pasar Modal sejak Januari 2011. Dilantik sebagai Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan Kementerian Keuangan pada tanggal 16 Februari 2011.

Lahir di Padang pada tanggal 17 Desember 1952. Menempuh pendidikan Sarjana Muda di Institut Ilmu Keuangan milik Kementerian Keuangan pada tahun 1972 hingga 1975. Kemudian mendapatkan gelar Sarjana dari kampus yang sama pada tahun 1979. Gelar Master of Arts in Economics diraih dari Ohio University pada tahun 1986. Pernah menjabat sebagai Sekretaris Direktorat Jenderal Bea dan Cukai selama sekitar 3 tahun, yaitu dari bulan Juni 2007 hingga Oktober 2010. Kemudian pada tanggal 12 Oktober 2010 menduduki jabatan sebagai Direktur Kepabeanan Internasional. Dilantik sebagai Kepala Badan Pendidikan dan Pelatihan Keuangan Kementerian Keuangan pada bulan Januari 2011.

www.kemenkeu.go.id | LAPORAN TAHUNAN 2011 | 29

KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA

Lahir di Tanjung Balai pada tanggal 20 Oktober 1959. Lulusan Diploma III Keuangan Spesialisasi Akuntansi Sekolah Tinggai Akuntansi Negara pada tahun 1981. Kemudian melanjutkan pendidikan Diploma IV di kampus yang sama pada tahun 1985 hingga 1987. Meraih Gelar Doctor of Philosophy in Economics dari University of North Carolina at Chapel Hill, USA pada tahun 1998.

Sempat menjadi Tenaga Pengkaji Bidang Ekstensi!kasi dan Intensi!kasi Pajak pada tahun 2003 hingga tahun 2005. Kemudian menjabat sebagai Direktur Pontensi dan Sistem Perpajakan hingga tahun 2006 dan Direktur Transformasi Proses Bisnis. Selanjutnya dilantik menjadi Staf Ahli Bidang Penerimaan Negara pada tahun 2011.

Lahir di Cakranegara-Lombok pada tanggal 27 Oktober 1952. Lulusan Sarjana Muda Institut Ilmu Keuangan pada tahun 1975. Melanjutkan pendidikan D4 di kampus yang sama pada tahun 1977 hingga 1979. Mendapat gelar Master of Science dari University of Illinois-Urbana Champaign pada tahun 1985 dan Master of Arts Public Finance dari University of Notre Dame pada tahun 1988. Menempuh pendidikan S3 di University of Notre Dame.

Dilantik sebagai Direktur Jenderal Bea dan Cukai dari tahun 1999 hingga 2002. Kemudian menjabat sebagai Direktur Jenderal Kekayaan Negara hingga tahun 2006. Sempat memimpin Inspektorat Jenderal hingga tahun 2006 dan kemudian menjabat sebagai Staf Ahli Bidang Hubungan Ekonomi Keuangan Internasional sejak bulan Agustus 2008.

Robert PakpahanStaf Ahli Bidang Pemerimaan Negara

R. B. Permana Agung DradjattunStaf Ahli Bidang Hubungan Ekonomi Keuangan Internasional

KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA

| LAPORAN TAHUNAN 2011 | www.kemenkeu.go.id 30

Struktur Organisasi

MENTERI KEUANGANAgus D.W. Martowardojo

DIREKTUR JENDERAL ANGGARANHerry Purnomo

INSPEKTUR JENDERALVincentius Sonny Loho

KETUA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGANNurhaida

DIREKTUR JENDERAL PERBENDAHARAANAgus Suprijanto

DIREKTUR JENDERAL KEKAYAAN NEGARAHadiyanto

SEKRETARIS JENDERALKiagus Ahmad Badaruddin

WAKIL MENTERI KEUANGAN IIMahendra Siregar

WAKIL MENTERI KEUANGAN IAnny Ratnawati

www.kemenkeu.go.id | LAPORAN TAHUNAN 2011 | 31

KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA

DIREKTUR JENDERAL PENGELOLAAN UTANGRahmat Waluyanto

DIREKTORAT JENDERAL PAJAKAhmad Fuad Rahmany

KEPALA BADAN KEBIJAKAN FISKALBambang Brodjonegoro

KEPALA BADAN PENDIDIKAN DAN PELATIHAN KEUANGANKamil Sjoeib

DIREKTUR JENDERAL PERIMBANGAN KEUANGAN Marwanto Harjowiryono

DIREKTUR JENDERAL BEA DAN CUKAIAgung Kuswandono

KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA

| LAPORAN TAHUNAN 2011 | www.kemenkeu.go.id 32

www.kemenkeu.go.id | LAPORAN TAHUNAN 2011 | 33

KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA

INTEGRITASBerpikir, berkata, berperilaku dan bertindak dengan baik dan benar serta

memegang teguh kode etik dan prinsip-prinsip moral.

KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA

| LAPORAN TAHUNAN 2011 | www.kemenkeu.go.id 34

Keuangan negara merupakan instrumen Pemerintah yang sangat vital dalam mendukung kegiatan administrasi

Pemerintahan, pembangunan, maupun pelayanan masyarakat. Kedudukannya yang sangat vital menyebabkan

keuangan negara harus dikelola seoptimal mungkin. Berbagai aspek yang diperlukan untuk mengoptimalkan

pengelolaan keuangan negara perlu dikembangkan dan ditingkatkan, sebaliknya, kendala-kendala yang

ditemukan harus dapat diatasi.

Kementerian Keuangan merupakan institusi Pemerintah yang menurut Undang-Undang bertugas dan

bertanggung jawab terhadap pengelolaan keuangan negara. Tugas dan tanggung jawab ini di satu sisi merupakan

tantangan yang cukup berat, karena pengelolaan keuangan negara dari waktu ke waktu semakin dinamis dan

kompleks, seiring dengan perkembangan situasi domestik maupun global. Di sisi lain, tugas dan tanggung jawab

ini memberikan peluang bagi Menteri Keuangan dan segenap jajarannya, baik di tingkat pusat maupun unit-unit

kerja vertikal di daerah, untuk berkontribusi secara signi!kan terhadap pencapaian tujuan bernegara.

Kinerja Kementerian Keuangan dalam mengelola keuangan negara pada dasarnya merupakan sinergi dari

seluruh sumber daya manusia dan unit kerjanya. Sinergi yang ideal tidak mudah dicapai mengingat Kementerian

Keuangan merupakan salah satu organisasi Pemerintah yang berukuran relatif besar. Selain itu, tugas dan

fungsi yang diemban oleh beragam unit kerja di lingkungan Kementerian Keuangan sangat beragam. Sebagai

konsekuensinya, terdapat unit kerja yang sangat progresif, namun terdapat pula unit kerja yang terkendala

oleh berbagai faktor dalam menjalankan tugas dan fungsinya, sehingga belum mampu mencapai target yang

ditetapkan.

Untuk memberikan gambaran mengenai kinerja dari setiap unit kerja, maka Kementerian Keuangan setiap

Pendahuluan01

www.kemenkeu.go.id | LAPORAN TAHUNAN 2011 | 35

KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA

tahun menyusun Buku Laporan Tahunan Kementerian Keuangan (LTKK). Di samping sebagai media informasi

kepada para stakeholder eksternal, Buku LTKK juga merupakan bahan introspeksi bagi kalangan internal di

lingkungan Kementerian Keuangan. Untuk tahun 2011, tema yang ditetapkan untuk Buku LTKK adalah “Nilai-

Nilai Kementerian Keuangan Menjiwai Setiap Bakti Yang Dipersembahkan Kepada Nusa Dan Bangsa”.

Tema ini sangat sesuai dan relevan dengan kondisi aktual yang dihadapi oleh segenap jajaran Kementerian

Keuangan maupun bangsa Indonesia. Pada tataran internasional, krisis ekonomi dan keuangan yang melanda

berbagai negara secara langsung maupun tidak langsung, cepat atau lambat, akan mempengaruhi perekonomian

nasional, baik dari sisi moneter maupun !skal. Situasi ini masih diperburuk dengan kon"ik politik dan keamanan

serta kejadian bencana yang masih terus berlangsung di banyak negara. Pada tataran domestik, peningkatan

pendapatan negara, e!siensi dan efektivitas belanja negara, perbaikan pengelolaan keuangan daerah,

pengelolaan perbendaharaan negara, pengelolaan pembiayaan melalui utang, pengelolaan kekayaan negara,

penataan industri pasar modal dan lembaga keuangan bukan bank, peningkatan kerjasama internasional, serta

pengembangan sumber daya manusia, masih memerlukan penanganan yang sistematis.

Langkah fundamental telah dilakukan oleh Kementerian Keuangan dalam upaya memastikan bahwa segenap

jajarannya mampu menangani berbagai persoalan, yaitu Reformasi Birokrasi. Implementasi Reformasi Birokrasi

terbukti dapat memperbaiki sendi-sendi Kementerian Keuangan, sehingga telah terjadi peningkatan kinerja

secara signi!kan, meskipun masih terdapat kelemahan-kelemahan yang terus-menerus diperbaiki. Langkah

fundamental selanjutnya adalah penetapan “Nilai-Nilai Kementerian Keuangan”, yang terdiri dari “Integritas,

Profesionalisme, Sinergi, Pelayanan, dan Kesempurnaan”.

KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA

| LAPORAN TAHUNAN 2011 | www.kemenkeu.go.id 36

Nilai-Nilai Kementerian Keuangan diupayakan secara bertahap mampu menjadi fondasi yang kokoh bagi praktik

etika profesi dan budaya kerja pegawai negeri sipil di lingkungan Kementerian Keuangan. Fondasi yang kokoh

sangat dibutuhkan, karena setiap pegawai Kementeriaan Keuangan pada saat ini menghadapi tantangan

yang besar dalam pelaksanaan tugas, yang dibarengi dengan ekspektasi yang besar dari masyarakat. Melalui

pemahaman dan implementasi nilai-nilai yang telah disepakati bersama diharapkan setiap insan Kementerian

Keuangan mampu mempersembahkan karya yang terbaik di bidang kerjanya masing-masing.

Buku ini secara sistematis menjabarkan bakti dari personil Kementerian Keuangan dalam mengelola keuangan

negara di sepanjang tahun 2011. Isi buku secara keseluruhan memuat 13 bab, termasuk pendahuluan dan

penutup. Substansi pertama yang diulas adalah pro!l Kementerian Keuangan yang memuat uraian-uraian

mengenai pro!l sumber daya manusia, Reformasi Birokrasi di bidang sumber daya manusia, inisiatif strategis,

dan Laporan Keuangan Kementerian Keuangan. Bab selanjutnya adalah perumusan kebijakan !skal. Di dalam

bab ini dijelaskan mengenai penyusunan asumsi ekonomi makro serta perkembangan kebijakan dan realisasi

pengelolaan ekonomi makro yang meliputi pertumbuhan ekonomi, in"asi, nilai tukar rupiah, suku bunga surat

perbendaharaan negara 3 bulan, harga dan lifting minyak bumi, dan neraca pembayaran.

Bab yang keempat berisi tentang berbagai aspek yang terkait dengan penerimaan negara. Aspek yang pertama

dibahas menyangkut kinerja perpajakan, kemudian diikuti oleh penyempurnaan kebijakan perpajakan. Selanjutnya

diuraikan mengenai upaya-upaya yang ditempuh dalam rangka penggalian potensi perpajakan, penegakan hukum

perpajakan, dan layanan penyelesaian sengketa perpajakan. Setelah seluruh aspek perpajakan, bagian lain dari bab

ini menggambarkan mengenai penerimaan bea masuk, bea keluar, dan cukai. Ulasan kemudian dilanjutkan dengan

penjelasan mengenai pengawasan dan penindakan kepabeanan dan cukai serta perkembangan Indonesian National

Single Window. Bagian akhir dari bab ini digunakan untuk memaparkan tentang penerimaan negara bukan pajak.

Pembahasan mengenai belanja negara ditempatkan sebagai bab kelima di dalam buku ini. Bidang yang senantiasa

mendapat perhatian dari banyak pihak ini diawali dengan uraian-uraian yang terkait dengan reformasi penganggaran.

Penyusunan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dan Perubahan Anggaran Pendapatan (APBN-P)

dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2011 adalah materi berikutnya yang diikuti oleh tulisan-tulisan mengenai

belanja pusat. Materi lainnya pada bab ini adalah terobosan-terobosan yang dilakukan dalam penyusunan APBN

dan langkah-langkah percepatan pelaksanaan APBN Tahun Anggaran 2012.

Bab yang keenam secara khusus membahas mengenai perimbangan keuangan. Perimbangan keuangan

telah menjadi substansi keuangan negara yang semakin penting seiring dengan semakin besarnya dana yang

dialokasikan ke daerah. Cukup banyak hal menyangkut desentralisasi !skal yang dijabarkan pada bab ini yang

dimulai dari transfer ke daerah. Pada bagian berikutnya dijabarkan mengenai pajak daerah dan retribusi daerah

yang merupakan tantangan baru bagi Pemerintah daerah dalam melaksanakannya. Pinjaman, hibah, dan kapasitas

daerah merupakan pokok-pokok bahasan selanjutnya yang kemudian dilengkapi oleh penjelasan-penjelasan

mengenai evaluasi pendanaan, akuntansi dan pelaporan, serta informasi keuangan daerah.

Pengelolaan perbendaharaan negara menjadi bab yang ketujuh di dalam Buku LTKK 2011. Bab ini diawali dengan

uraian-uraian mengenai peningkatan pelayanan perbendaharaan. Selanjutnya dijabarkan mengenai penilaian

kinerja pelayanan publik pada Kantor Pelayanan Percontohan Tingkat Kementerian Keuangan. Hasil survei opini

stakeholder terhadap layanan Kementerian Keuangan, di mana layanan perbendaharaan menempati peringkat

tertinggi, serta hasil survei integritas Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) merupakan dua bagian selanjutnya

www.kemenkeu.go.id | LAPORAN TAHUNAN 2011 | 37

KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA

yang dijabarkan dengan elegan. Paparan berikutnya berturut-turut adalah mengenai standarisasi sarana dan

prasarana, penyusunan Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP), sistem perbendaharaan dan anggaran negara,

perencanaan kas, serta remunerasi atas penempatan di Bank Indonesia dan Bank Umum. Pada bagian akhir bab

ini dapat ditemukan tulisan-tulisan mengenai pembentukan Treasury Dealing Room, Bank Indonesia Government

Electronic Banking, pengelolaan rekening Pemerintah lainnya, pengelolaan rekening sumber daya alam dan non

sumber daya alam, serta penyempurnaan tata cara pembebanan dana pinjaman/hibah luar negeri (PHLN) melalui

mekanisme rekening khusus.

Bab kedelapan memuat penjabaran yang terkait dengan pengelolaan pembiayaan melalui utang. Materi yang

diulas dimulai dari kebijakan pembiayaan utang, kemudian diikuti oleh sumber dan penggunaan pembiayaan

utang. Bagian selanjutnya mendiskusikan tentang pencapaian pengelolaan utang dan diakhiri dengan pembahasan

mengenai isu-isu terkini yang dijumpai di dalam pengelolaan utang.

Beragam aspek yang terkait dengan pengelolaan kekayaan negara menjadi kandungan di dalam bab kesembilan.

Aspek yang pertama dibahas adalah mengenai arah dan strategi pengelolaan kekayaan negara, kemudian dilanjutkan

dengan utilisasi kekayaan negara. Pokok bahasan lainnya yang tidak kalah pentingnya adalah menyangkut tindak

lanjut hasil penertiban barang milik negara (BMN) dan pengelolaan investasi Pemerintah. Selanjutnya dijabarkan

mengenai pelaksanaan inventarisasi dan penilaian aset eks-kontraktor kontrak kerja sama, dan diakhiri dengan

uraian mengenai perkembangan penyelesaian aset bekas milik asing/Cina.

Industri pasar modal dan lembaga keuangan non bank dipaparkan pada bab kesepuluh. Secara bertahap tapi

pasti, peran pasar modal dan lembaga keuangan non bank semakin penting di dalam perekonomian Indonesia.

Pembahasan di dalam bab ini dimulai dengan kinerja pasar modal dan dilanjutkan dengan kinerja industri keuangan

non bank. Elemen lainnya yang dituliskan adalah penegakan hukum, regulasi yang diterbitkan sepanjang tahun

2011, dan infrastruktur penunjang industri keuangan. Bab ini ditutup dengan kegiatan-kegiatan penting yang

terkait dengan aktivitas pasar modal dan lembaga keuangan non bank.

Bab kesebelas digunakan untuk mengekspresikan kiprah Kementerian Keuangan dalam berbagai bentuk kerjasama

internasional. Kebijakan hubungan dan kerjasama internasional menjadi bagian yang pertama yang mengulas

mengenai kerjasama multilateral, Forum G20, ASEAN Chairmanship 2011, dan kerjasama teknik luar negeri. Dua

bagian selanjutnya menguraikan tentang kerjasama internasional di bidang perpajakan serta di bidang kepabeanan

dan cukai.

Adapun bab keduabelas membahas mengenai pengembangan sumber daya manusia (SDM) di Kementerian

Keuangan. SDM memainkan peran yang sentral di dalam semua organisasi. Muatan di dalam bab ini diawali

dengan uraian mengenai pengembangan kapasitas SDM. Bagian selanjutnya secara khusus membahas mengenai

moratorium Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS) yang merupakan salah satu isu hangat yang diperbincangkan

oleh berbagai kalangan terkait dengan kualitas dan kuantitas SDM di Pemerintahan serta tingginya beban

anggaran negara untuk belanja pegawai. Pada bagian akhir dari bab ini dituliskan hal-hal menyangkut Nilai-Nilai

Kementerian Keuangan yang merupakan bagian dari tema LTKK 2011. Dikemukakan mengenai latar belakang

penyusunan Nilai-Nilai Kementerian Keuangan beserta fungsi dan proses penyusunannya. Selanjutnya, disajikan

uraian-uraian singkat untuk memperjelas setiap nilai dan perilaku dasar dan dilengkapi dengan upaya-upaya untuk

mengimplementasikannya.

KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA

| LAPORAN TAHUNAN 2011 | www.kemenkeu.go.id 38

Substansi terakhir dari Buku LTKK 2011 berisikan deskripsi mengenai pengawasan internal di Kementerian Keuangan.

Uraian diawali dengan peran strategis pengawasan intern dalam mendukung kinerja organisasi, kemudian diikuti

dengan penjabaran mengenai kebijakan pengawasan internal. Peningkatan penerapan pengendalian intern

merupakan pokok bahasan selanjutnya dan difokuskan pada pembentukan Unit Kontrol Intern (UKI). Bagian lainnya

dari bab ini memuat uraian-uraian yang terkait dengan substansi peningkatan kualitas laporan keuangan dan

pelaksanaan pengawasan yang memberi nilai tambah. Dua sub bab yang menutup bab adalah penegakan hukum

dan disiplin serta tantangan pengawasan internal di tahun 2012.

Uraian-uraian yang dituliskan di semua bab di dalam buku ini dilengkapi dengan dasar hukum, yaitu peraturan

perundang-undangan yang terkait. Selain itu, disajikan pula data-data yang relevan, baik dalam bentuk tabel

maupun gambar, yang disertai dengan sumber data. Kesemuanya dimaksudkan agar para pembaca mendapatkan

gambaran yang holistik dan komprehensif mengenai berbagai upaya yang dilakukan Kementerian Keuangan

selama tahun 2011.

www.kemenkeu.go.id | LAPORAN TAHUNAN 2011 | 39

KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA

KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA

| LAPORAN TAHUNAN 2011 | www.kemenkeu.go.id 40

2.1. Pro!l Sumber Daya Manusia

Kementerian Keuangan diperkuat oleh 63.078 pegawai yang tersebar di 12 unit eselon I. Sebagian pegawai

berkantor pada unit-unit kerja di pusat, sedangkan pegawai lainnya tersebar pada unit-unit kerja vertikal di

seluruh Indonesia. Jumlah pegawai Kementerian Keuangan mengalami perubahan dari waktu ke waktu yang

disesuaikan dengan dinamika pelaksanaan tugas, di samping terdapat pula para pegawai yang memasuki masa

purnabhakti.

2.1.1. Berdasarkan Golongan/Pangkat

SDM Kementerian Keuangan yang terbesar adalah golongan ruang III/a, yaitu sebanyak 12.624 orang atau 20

persen dari keseluruhan pegawai. Di urutan kedua adalah para pegawai dengan golongan ruang III/b, yaitu

sebanyak 10.999 orang atau 17 persen. Selanjutnya adalah kelompok pegawai dengan golongan ruang II/c yang

tercatat sebanyak 9.397 orang atau 15 persen. Adapun pegawai dengan golongan ruang lainnya berjumlah relatif

lebih sedikit.

Tabel 2.1.Komposisi SDM Kementerian Keuangan Berdasarkan Golongan Ruang Tahun 2011

Golongan I/a I/b I/c I/d II/a II/b II/c II/d III/a III/b III/c III/d IV/a IV/b IV/c IV/d IV/e Total

Jumlah 39 134 39 68 3.029 6.214 9.397 5.656 12.624 10.999 6.582 5.848 1.600 657 102 81 9 63.078

Sumber: Biro SDM, Setjen Kementerian Keuangan.

Pro!l Kementerian Keuangan

02

www.kemenkeu.go.id | LAPORAN TAHUNAN 2011 | 41

KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA

2.1.2. Berdasarkan Jenjang Pendidikan

Kementerian Keuangan diperkuat oleh SDM dari jenjang pendidikan tertinggi, yaitu doktor (S3) hingga terendah

Sekolah Dasar (SD). Pegawai yang menyandang gelar doktor berjumlah 85 orang, sedangkan yang memiliki gelar

magister (S2) sebanyak 6.302 orang atau 10 persen dari total pegawai. Selanjutnya pegawai yang berpendidikan

sarjana (S1) tercatat 19.670 orang atau 31 persen, jenjang SMA sebanyak 13.350 orang atau 21 persen, jenjang

Diploma IV sejumlah 1.300 orang atau 2 persen, jenjang Diploma III sebanyak 12.401 orang atau 20 persen, dan

selebihnya adalah pegawai dengan jenjang pendidikan Diploma I sampai dengan SD.

Tabel 2.2.Komposisi SDM Kementerian Keuangan Berdasarkan Jenjang Pendidikan Tahun 2011

Pendidikan SD SMP SMA D1 D2 D3 D4 S1 S2 S3 Total Jumlah 316 977 13.350 8.623 54 12.401 1.300 19.670 6.302 85 63.078

Sumber: Biro SDM, Setjen Kementerian Keuangan.

2.1.3. Berdasarkan Usia

Rentang usia yang terbesar pada SDM Kementerian Keuangan adalah antara 25 hingga 29 tahun, yaitu sebanyak

13.372 orang atau 21 persen dari keseluruhan pegawai. Kelompok terbesar berikutnya adalah usia 35 hingga 39

tahun sejumlah 9.557 orang atau 15 persen. Kelompok usia terbesar ketiga terdapat pada rentang usia antara 30

sampai dengan 34 orang sebanyak 8.259 orang atau sebesar 13 persen. Selain itu, masih pula terdapat sejumlah

pegawai dengan rentang usia lainnya, seperti antara 17-19 tahun hingga di atas 60 tahun.

KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA

| LAPORAN TAHUNAN 2011 | www.kemenkeu.go.id 42

Tabel 2.3.Komposisi SDM Kementerian Keuangan Berdasarkan Usia Tahun 2011

Usia 17 s.d. 19

20 s.d. 24

25 s.d. 29

30 s.d. 34

35 s.d. 39

40 s.d. 44

45 s.d. 49

50 s.d. 54

55 s.d. 59

di atas 60 Total

Jumlah 11 5.903 13.372 8.259 9.557 7.710 7.364 8.956 1.942 4 63.078

Sumber: Biro SDM, Setjen Kementerian Keuangan.

2.1.4. Berdasarkan Jabatan

Komposisi terbesar SDM Kementerian Keuangan berdasarkan jabatan adalah Pelaksana, yaitu sebanyak 46.364

orang atau 74 persen dari keseluruhan pegawai. Komposisi terbesar kedua adalah pejabat eselon IV A sebanyak

7.699 orang atau 12 persen. Sedangkan komposisi terbesar ketiga adalah kelompok jabatan fungsional sejumlah

5.608 orang atau 9 persen. Pada tataran yang lebih tinggi, terdapat Pejabat Eselon I A/B sebanyak 16 orang,

Pejabat Eselon II A/B sebanyak 205 orang atau (dibawah 1 persen dari keseluruhan pegawai), Pejabat Eselon III

A/B sebanyak 1.490 orang atau 2,36 persen, dan Pejabat Eselon IV A/B sebanyak 7.841 orang atau 12,43 persen. Di

samping itu, terdapat pula Pejabat Fungsional sebanyak 5.608 orang atau 8,89 persen dari total SDM Kementerian

Keuangan yang berjumlah 63.078 orang.

Tabel 2.4.Komposisi SDM Kementerian Keuangan Berdasarkan Jabatan Tahun 2011

Jabatan Eselon

Fungsional Pelaksana Dipekerjakan Diperbantukan Total IA IB IIA IIB IIIA IIIB IVA IVB VA

Jumlah 14 2 191 14 1.459 31 7.699 142 756 5.608 46.364 483 315 63.078

Sumber: Biro SDM, Setjen Kementerian Keuangan.

2.1.5. Berdasarkan Gender

SDM Kementerian Keuangan masih didominasi oleh pegawai pria. Data per 31 Desember 2011 menunjukkan

bahwa pegawai yang berjenis kelamin pria tercatat sebanyak 47.896 orang atau 76 persen, sedangkan jumlah

pegawai wanita adalah 15.182 orang atau 24 persen dari keseluruhan pegawai. Komposisi ini terjadi secara

alamiah melalui proses perekrutan pegawai yang disesuaikan dengan kebutuhan.

Tabel 2.5.Komposisi SDM Kementerian Keuangan Berdasarkan Gender Tahun 2011

GENDER Pria Wanita Total Jumlah 47.896 15.182 63.078

Sumber: Biro SDM, Setjen Kementerian Keuangan.

2.2. Reformasi Birokrasi Di Bidang Sumber Daya Manusia

2.2.1. Analisa dan Evaluasi Jabatan

Sebagai pedoman bagi perencanaan dan penilaian kinerja organisasi dan pegawai dalam rangka memacu

kontribusi maksimal organisasi dan pegawai, telah diterbitkan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 454/

KMK.01/2011 tentang Pengelolaan Kinerja di Lingkungan Kementerian Keuangan. KMK ini menjadi standar

www.kemenkeu.go.id | LAPORAN TAHUNAN 2011 | 43

KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA

metode penilaian kinerja organisasi dan pegawai serta sekaligus sebagai alat manajemen untuk pengembangan

kompetensi dan karier pegawai. Penerbitan dasar hukum merupakan bagian dari Program Refomasi Birokrasi dan

Transformasi Kelembagaan Kementerian Keuangan yang selanjutnya disosialisasikan kepada seluruh pegawai.

2.2.2. Rencana Program Pengembangan Sumber Daya Manusia

Dokumen Rencana Program Pengembangan Sumber Daya Manusia (RPPSDM) pada mulanya tersusun sebagai

salah satu syarat untuk mendapatkan pinjaman dana dari World Bank sebagai bentuk dukungan terhadap

Republik Indonesia yang sedang menggalakkan Reformasi Birokrasi di semua instansi Pemerintahan. Dana

tersebut dialokasikan untuk mendidik pegawai dan pejabat instansi Pemerintahan untuk mengembangkan

kapasitas serta membentuk mentalitas pegawai dan pejabat yang dapat diandalkan dan bebas dari korupsi,

kolusi, dan nepotisme (KKN). Nama generik dari RPPSDM adalah Human Capital Development Plan (HCDP).

Dalam perkembangannya, Kementerian Keuangan mengembangkan dokumen RPPSDM sebagai acuan

bagi pelaksanaan program pengembangan SDM. Tujuan penyusunan RPPSDM adalah untuk merencanakan,

memetakan, dan mere"eksikan program pengembangan SDM di lingkungan Kementerian Keuangan dalam

kurun waktu tertentu, sehingga tersusun program pengembangan SDM yang tepat serta sesuai dengan visi, misi,

dan tujuan organisasi. Konsep KMK tentang Rencana Program Pengembangan SDM di Lingkungan Kementerian

Keuangan telah selesai disusun dan sedang dimintakan legal drafting dari Biro Hukum sebelum mendapat

penetapan dari Menteri Keuangan.

2.2.3. Manajemen Talenta

Manajemen Talenta adalah rangkaian kegiatan untuk mencari, mengelola, mengembangkan, dan mempertahankan

Pegawai Negeri Sipil (PNS) terbaik Kementerian Keuangan yang dipersiapkan sebagai pemimpin masa depan

dalam rangka menjalin kesinambungan dan kesuksesan organisasi dalam jangka panjang. Pada tahun 2010,

Kementerian Keuangan telah menyelesaikan rumusan Grand Design Manajemen Talenta. Rumusan ini selanjutnya

dituangkan dalam kajian Manajemen Talenta yang dilaksanakan pada tahun 2011.

Tujuan penyusunan sistem Manajemen Talenta adalah:

1. merancang sistem untuk mengidenti!kasi pegawai bertalenta yang masuk dalam talent pool;

2. menyusun kajian mentoring untuk mencari kesesuaian karakter di antara mentor dengan mentee untuk

menentukan kriteria mentor yang baik, ahli, dan kompeten;

3. merancang Program Pengembangan Talent untuk mengembangkan karakter, kemampuan, dan komitmen

talent; serta

4. merancang sistem pemberian Retensi Talent untuk mempertahankan talent tetap berada di talent pool dan

untuk meningkatkan kinerja talent.

Target program Manajemen Talenta pada tahun 2011 adalah menyusun konsep Kajian Manajemen Talenta dan

Kajian Penentuan Mentor di Kementerian Keuangan. Kedua target tersebut telah tercapai di tahun 2011.

2.2.4. Pola Mutasi

Pasal 9 PMK No. 39/PMK.01/2009 tanggal 27 Februari 2009 tentang Pola Mutasi Jabatan Karier di Lingkungan

Departemen Keuangan menyebutkan bahwa setiap pimpinan unit eselon I wajib menyusun dan menetapkan

pola mutasi jabatan karier unit eselon I yang bersangkutan setelah terlebih dahulu dikoordinasikan dengan Biro

KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA

| LAPORAN TAHUNAN 2011 | www.kemenkeu.go.id 44

Sumber Daya Manusia. Selanjutnya pada pasal 10 disebutkan bahwa Pola Mutasi harus ditetapkan dalam kurun

waktu paling lambat 12 bulan. Sampai dengan tanggal 27 Februari 2010 atau 12 bulan setelah PMK tersebut

ditetapkan, unit eselon I yang telah menetapkan Pola Mutasi adalah Inspektorat Jenderal (Itjen) dan Direktorat

Jenderal Perimbangan Keuangan (DJPK). Selanjutnya hingga tanggal 10 November 2011, unit eselon I yang

telah menetapkan Pola Mutasi adalah Direktorat Jenderal Anggaran (DJA), Direktorat Jenderal Bea dan Cukai

(DJBC), Direktorat Jenderal Pengelolaan Utang (DJPU), serta Badan Pendidikan dan Pelatihan Keuangan (BPPK).

Sementara itu, unit eselon I lainnya masih dalam proses penyusunan.

Pada tahun 2011, Tim Reformasi Birokrasi dan Transformasi Kelembagaan Pusat (TRBTKP) telah menyelesaikan

rumusan permasalahan yang dihadapi dalam proses penyusunan Pola Mutasi di unit-unit eselon I yang belum

menetapkan Pola Mutasi. Di samping itu, telah disusun pula rumusan permasalahan yang dihadapi dalam rangka

implementasi Pola Mutasi di unit-unit eselon I yang sudah menetapkan Pola Mutasi.

2.2.5. Penataan Pegawai

Optimalisasi kinerja mensyaratkan hard competency maupun soft competency pegawai sesuai dengan persyaratan

jabatan. Pada satu sisi, terdapat kondisi pegawai yang memiliki kompetensi, namun tingkat penguasaannya

belum sesuai dengan tuntutan tugas. Sebaliknya, terdapat pegawai yang memiliki kompetensi yang tidak

dipersyaratkan oleh jabatan, sementara kompetensi yang dipersyaratkan oleh jabatannya belum dikuasai.

Permasalahan tersebut menuntut dilakukannya penataan pegawai secara terstruktur dan komprehensif. Dengan

dilaksanakannya penataan pegawai, diharapkan dapat diwujudkan kesesuaian di antara jumlah, komposisi,

dan kompetensi pegawai dengan kebutuhan organisasi dan optimalisasi kinerja birokrasi. Selain itu, penataan

pegawai dapat dimanfaatkan untuk mengakselerasi penerapan manajemen kinerja dan meningkatkan kualitas

pengembangan SDM.

Di tahun 2011, telah dilaksanakan beberapa hal terkait program penataan pegawai, yaitu:

1. penyelesaian konsep KMK tentang Penataan Pegawai melalui legal drafting dari Biro Hukum pada tanggal 8

Desember 2011;

2. penyelesaian Pemetaan Potensi melalui psikotes terhadap 3.270 Pelaksana; serta

3. penyelesaian penyusunan kajian akademis metode dan mekanisme GHS.

2.2.6. Bidang Sistem Informasi Manajemen Kepegawaian

Dalam rangka meningkatkan kinerja, perlu disusun ketentuan mengenai pengelolaan kinerja di Kementerian

Keuangan secara objektif, adil, dan transparan. Untuk memastikan keberhasilan pencapaian tujuan ini, diperlukan

suatu sistem penilaian kinerja sebagai bagian dari sistem pengelolaan kinerja di lingkungan Kementerian

Keuangan. Di samping itu, keberadaan Sistem Manajemen SDM terkomputerisasi yang terpadu juga dibutuhkan,

sehingga dapat memberikan percepatan dalam upaya mencapai sasaran organisasi.

Pada tahun 2011, TRB telah menyelesaikan hal-hal yang terkait dengan pelaksanaan SIMPEG, yaitu:

1. pengembangan prototype aplikasi PKP berdasar RKMK tentang pengelolaan kinerja; dan

2. penyusunan kajian integrasi SIMPEG dan PINTAR yang digunakan sebagai referensi bagi pimpinan dalam

pengambilan keputusan.

www.kemenkeu.go.id | LAPORAN TAHUNAN 2011 | 45

KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA

2.3. Inisiatif Strategis

2.3.1. Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi

1. Pembentukan Unit Kontrol Internal di Setiap Unit Eselon I

Kementerian Keuangan tengah membangun dan memperkuat fungsi pengendalian intern yang berkelanjutan

melalui pembentukan Unit Kontrol Internal (UKI) di setiap Unit Eselon I. Pembentukan UKI sesuai dengan

Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 2008 tentang Sistem Pengendalian Intern Pemerintah. Selain itu, UKI akan

memperluas jangkauan dan lingkup pengawasan intern di Kementerian Keuangan. Inspektorat Jenderal (Itjen)

selaku PIC telah melaksanakan Asistensi Pengembangan Pelaksanaan Fungsi Pemantauan Pengendalian Intern di

setiap Unit Eselon I dengan menunjuk unit kerja sebagai pelaksana pemantauan pengendalian intern di setiap

Unit Eselon I, serta mengembangkan metodologi, perangkat, dan mekanisme kerja pemantauan.

2. Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi

Kementerian Keuangan sangat serius melakukan upaya pencegahan dan pemberantasan Tindak Pidana

Korupsi dan Tindak Pidana Pencucian Uang. Itjen Kementerian Keuangan telah bekerjasama dengan Komisi

Pemberantasan Korupsi (KPK) serta Pusat Penelitian dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) antara lain dalam

bentuk korespondensi, pertukaran data, dan pemeriksaan gabungan/task force. Kementerian Keuangan telah

menambah jumlah pejabat/ pegawai yang wajib menyampaikan Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara

(LHKPN) dari sekitar 7.000 pejabat/pegawai menjadi 24.628 pejabat/pegawai melalui KMK No. 38/KMK.01/2011

tentang Penyelenggara Negara di Lingkungan Kementerian Keuangan yang wajib menyampaikan Laporan Harta

Kekayaan Penyelenggara Negara. Berdasarkan data KPK, penyampaian LHKPN Kementerian Keuangan per 14

Desember 2011 mencapai 95,96 persen. Di samping itu, Kementerian Keuangan telah menugaskan Itjen untuk

melaksanakan eksaminasi harta kekayaan pejabat/pegawai Kementerian Keuangan dalam Laporan Pajak-pajak

Pribadi (LP2P) dan Daftar Harta Kekayaan (DHK).

Sesuai dengan konferensi pers KPK pada 28 November 2011 tentang Hasil Survei Integritas Sektor Publik Indonesia

tahun 2011, dari 7 instansi vertikal yang dinilai Kementerian Keuangan merupakan satu-satunya instansi vertikal

yang mendapatkan nilai integritas 7,56, di atas rata-rata 6,4. Selain itu, 4 unit layanan di Kementerian Keuangan

mendapatkan posisi 1 sampai dengan 4 dari 15 unit layanan vertikal yang dinilai. Unit layanan tersebut adalah

pelayanan SP2D di KPPN, pelayanan penyelesaian permohonan pengukuhan Pengusaha Kena Pajak, pelayanan

lelang di Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang, serta pelayanan pengurusan impor barang (bea masuk)

di DJBC.

3. Pembenahan Pengadilan Pajak

Dalam rangka mereformasi dan memperbaiki penyelenggaraan Pengadilan Pajak, Kementerian Keuangan telah

melakukan berbagai pembenahan, antara lain pembuatan anotasi/ risalah seluruh Putusan Pengadilan Pajak

yang dipublikasikan melalui situs Pengadilan Pajak, pemasangan IP-CCTV ruang sidang, pemasangan CCTV ruang

kerja hakim, ruang kerja panitera, dan sekitar ruang tunggu, serta pemasangan layar dan proyektor untuk media

paparan saat persidangan. Kegiatan-kegiatan tersebut dilakukan sebagai bentuk transparansi dan kemudahan

akses terhadap seluruh Putusan Pengadilan Pajak.

KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA

| LAPORAN TAHUNAN 2011 | www.kemenkeu.go.id 46

4. Whistleblowing System

Sejalan dengan KMK No. 149/KMK.09/2011 tentang Tata Cara Pengelolaan dan Tindak Lanjut Pelaporan

Pelanggaran (Whistleblowing System/WiSe), Kementerian Keuangan telah memiliki mekanisme pengaduan

pelanggaran melalui aplikasi WiSe. WiSe adalah aplikasi pengelolaan dan tindak lanjut pengaduan serta pelaporan

hasil pengelolaan pengaduan yang disediakan oleh Kementerian Keuangan sebagai salah satu sarana bagi setiap

pegawai Kementerian Keuangan maupun masyarakat luas pengguna layanan Kementerian Keuangan untuk

melaporkan dugaan pelanggaran dan/atau ketidakpuasan terhadap pelayanan yang diberikan oleh pejabat/

pegawai Kementerian Keuangan. Pengaduan melalui aplikasi WiSe dilakukan dengan mengunjungi www.wise.

depkeu.go.id.

2.3.2. Crisis Management Protocol

Untuk mengantisipasi perkembangan perekonomian global yang masih diselimuti ketidakpastian dan

berdasarkan pengalaman Pemerintah dalam menghadapi krisis tahun 1998 dan 2008, disadari perlunya sebuah

prosedur untuk menghadapi situasi krisis yang dapat mengancam perekonomian nasional. Prosedur yang disebut

sebagai Crisis Management Protocol (CMP) telah disusun dan dijalankan secara terkoordinasi di antara pihak-pihak

yang memiliki otoritas dalam menjaga stabilitas perekonomian, yaitu Kementerian Keuangan, Bank Indonesia,

dan Lembaga Penjaminan Simpanan (LPS). CMP digunakan dalam kondisi pencegahan maupun penanganan

krisis. Kebijakan yang diambil sebagai pencegah krisis adalah kebijakan yang ditujukan untuk mengatasi kondisi

yang berdasarkan indikator tertentu berpotensi menimbulkan krisis. Sedangkan kebijakan penanganan krisis

merupakan kebijakan untuk keluar dari krisis yang telah terjadi.

Kementerian Keuangan telah menyusun CMP Kementerian Keuangan-wide yang bersifat operasional, meliputi

subprotokol Pasar Modal dan Lembaga Keuangan Bukan Bank, subprotokol Pasar SBN, dan subprotokol Fiskal.

Setiap CMP operasional mempunyai indikator, protokol, dan o!ce. CMP o!ce berfungsi sebagai koordinator

dalam memantau perkembangan pasar dan memberikan analisis awal dalam menentukan status krisis terutama

saat memasuki level siaga dengan mempertimbangkan kondisi yang terjadi di seluruh CMP operasional. Status

level CMP meliputi normal, waspada, siaga, dan kritis. Selain itu, Kementerian Keuangan juga telah menyusun

Standard Operating Procedure (SOP) CMP Kementerian Keuangan dan SOP masing-masing Subprotokol sesuai

tugas dan kewenangannya.

Selanjutnya, protokol manajemen krisis di tingkat nasional mengintegrasikan protokol Bank Indonesia yang

terdiri dari Protokol Nilai Tukar dan Protokol Perbankan, Protokol LPS, dan Protokol Kementerian Keuangan. CMP

nasional merupakan wadah koordinasi dalam penanganan krisis yang meliputi pertukaran data dan informasi

dalam memantau perkembangan perekonomian nasional serta sinkronisasi kebijakan antara Kementerian

Keuangan, Bank Indonesia, dan LPS dalam mencegah dan mengatasi krisis. Dengan telah dibentuknya Otoritas

Jasa Keuangan (OJK), maka CMP nasional akan terus disempurnakan dan disesuaikan dengan perkembangan

pembentukan OJK dan peraturan perundang-undangan yang terkait.

Kebijakan mengatasi krisis yang selama ini dilakukan Pemerintah telah terbukti dapat mengatasi kemungkinan

krisis, seperti pada saat menghadapi gejolak keuangan global akibat krisis utang di Eropa pada tahun 2011.

Kementerian Keuangan berkoordinasi dengan Bank Indonesia telah menjalankan prosedur antisipasi krisis,

khususnya yang berkaitan dengan pasar Surat Berharga Negara (SBN). Prosedur yang dijalankan antara lain

dengan melakukan buy back SBN yang terbukti dapat menstabilkan pasar SBN dengan indikasi yield SBN yang

turun kembali setelah sebelumnya mengalami kenaikan.

www.kemenkeu.go.id | LAPORAN TAHUNAN 2011 | 47

KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA

2.4. Laporan Keuangan Kementerian Keuangan

Sebagaimana diamanatkan dalam UU No. 1 Tahun 2004, setiap Kementerian/Lembaga (K/L) wajib

mempertanggungjawabkan pelaksanaan anggaran dalam bentuk Laporan Keuangan (LK). LK yang disusun akan

diaudit oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dengan 4 kategori penilaian, yaitu Wajar Tanpa Pengecualian

(WTP), Wajar Dengan Pengecualian (WDP), Tidak Memberikan Pendapat (Disclaimer), atau Tidak Wajar (Adverse).

LK yang disusun terdiri dari Laporan Realisasi Anggaran (LRA), Neraca, dan Catatan atas Laporan Keuangan (CaLK).

LRA menyajikan informasi tentang pendapatan dan belanja dibandingkan dengan anggarannya untuk suatu

tahun anggaran. Neraca menyajikan informasi tentang posisi aset, kewajiban, dan ekuitas pada tanggal tertentu.

Adapun CaLK menyajikan informasi tentang kebijakan !skal, ekonomi makro, ikhtisar capaian kinerja keuangan,

kebijakan akuntansi yang digunakan, penjelasan pos-pos laporan keuangan, dan informasi penting lainnya yang

diperlukan dalam rangka penyajian yang wajar atas kondisi keuangan kementerian.

Jumlah temuan pemeriksaan BPK yang terus menurun sejalan dengan upaya-upaya perbaikan yang telah

dilakukan oleh Kementerian Keuangan. Laporan Tahunan Kementerian Keuangan Tahun Anggaran 2009 dan

2010 meraih opini WDP dan untuk Tahun Anggaran 2011 meraih opini WTP.

2.4.1. Laporan Realisasi Anggaran

LRA Kementerian Keuangan menggambarkan perbandingan antara Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran (DIPA)

Tahun Anggaran 2011 dengan realisasinya yang mencakup unsur-unsur pendapatan dan belanja selama periode

1 Januari hingga 31 Desember 2011. Realisasi Belanja Kementerian Keuangan pada tahun anggaran 2011 adalah

Rp16.125.999.666.457 atau 92,96 persen dari pagu belanja dalam DIPA sebesar Rp17.346.872.669.000. Realisasi

belanja tersebut terdiri dari belanja transaksi kas sebesar Rp16.121.963.191.000 dan belanja transaksi non kas

sebesar Rp4.036.475.457, yang berasal dari belanja hibah langsung jasa luar negeri. Realisasi belanja tahun

anggaran 2011 mengalami kenaikan Rp1.827.857.371.956,00 atau 12,78 persen dari realisasi belanja tahun

anggaran 2010 sebesar Rp14.298.142.294.501. Realisasi belanja tersebut termasuk belanja pembayaran imbalan

bunga sebesar Rp1.247.399.871.387. Apabila angka ini dikeluarkan, maka realisasi belanja Kementerian Keuangan

(tanpa memperhitungkan pengembalian belanja) adalah Rp14.878.599.795.070 atau 85,77 persen dari pagu.

Dalam tahun anggaran 2011, jumlah pengembalian belanja Kementerian Keuangan adalah Rp25.666.446.168

sehingga realisasi belanja Kementerian Keuangan Neto adalah sebesar Rp16.100.333.220.289 atau 92,81 persen

dari pagu.

Gambar 2.1.Perbandingan Pagu dan Realisasi Belanja Kementerian Keuangan Tahun Anggaran 2010 dan 2011

Sumber: Kementerian Keuangan.

TA 2011 TA 2010

PaguRealisasi Bruto

Rp Tr

iliun

201816141210

86420

KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA

| LAPORAN TAHUNAN 2011 | www.kemenkeu.go.id 48

2.4.2. Belanja Menurut Sumber Dana

Belanja dilakukan dengan mempertimbangkan prinsip-prinsip penghematan dan e!siensi, namun tetap menjamin

terlaksananya kegiatan-kegiatan sebagaimana ditetapkan dalam Rencana Kerja Kementerian Keuangan. Belanja

Kementerian Keuangan dapat diklasi!kasikan berdasarkan sumber dana, unit eselon I, fungsi, dan jenis belanja.

Tabel 2.6.Perbandingan Pagu dan Realisasi Belanja Menurut Sumber Dana Tahun Anggaran 2011

Uraian Pagu (Rp) Realisasi (Rp) Persen (%)

Belanja Transaksi Kas      

Belanja Rupiah Murni 17.044.964.597.000 15.969.969.008.138 93,69

Belanja Pinjaman Luar Negeri 119.794.862.000 101.364.595.447 84,62

Rupiah Murni Pendamping 85.505.086.000 4.090.811.443 4,78

Badan Layanan Umum 53.222.987.000 38.325.905.668 72,01

Hibah Luar Negeri 34.526.234.000 6.375.929.639 18,47

Hibah Langsung Luar Negeri 8.858.903.000 1.836.940.665 20,74

Hibah Langsung Jasa Luar Negeri 0 0 0,00

Jumlah Transaksi Kas Bruto 17.346.872.669.000 16.121.963.191.000 92,94

Belanja Transaksi Non Kas      

Hibah Langsung Jasa Luar Negeri 0 4.036.475.457 0,00

Jumlah Transaksi Non Kas Bruto 0 4.036.475.457 0,00

Jumlah Belanja Bruto 17.346.872.669.000 16.125.999.666.457 92,96

Sumber: Kementerian Keuangan.

Realisasi Belanja Kementerian Keuangan pada tahun anggaran 2011 berjumlah Rp16.125.999.666.457 yang terdiri

dari Belanja Rupiah Murni sebesar Rp15.969.969.008.138, Belanja Pinjaman Luar Negeri sebesar Rp101.364.595.447,

Rupiah Murni Pendamping sebesar Rp4.090.811.443, Badan Layanan Umum (BLU) sebesar Rp38.325.905.668,

Hibah Luar Negeri sebesar Rp6.375.929.639, Hibah Langsung Luar Negeri sebesar Rp1.836.940.665, dan Hibah

Non Kas yang berasal dari realisasi belanja hibah langsung berupa Barang/Jasa sebesar Rp4.036.475.457.

www.kemenkeu.go.id | LAPORAN TAHUNAN 2011 | 49

KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA

Tabel 2.7.Perbandingan Realisasi Belanja Menurut Sumber Dana Tahun Anggaran 2010 dan 2011

Uraian TA 2011 TA 2010 Kenaikan(Penurunan) Persen (%)

Belanja Transaksi Kas

Belanja Rupiah Murni 15.969.908.831.745 14.103.048.872.509 1.866.859.959.236 11,69

Belanja Pinjaman Luar Negeri 101.364.595.447 117.086.574.544 -15.721.979.097 -15,51

Rupiah Murni Pendamping 4.090.811.443 14.528.041.907 -10.437.230.464 -255,14

Badan Layanan Umum 38.325.905.668 25.669.270.287 12.656.635.381 33,02

Hibah Luar Negeri 6.268.325.111 22.048.003.594 -15.779.678.483 -251,74

Hibah Langsung Luar Negeri 1.836.940.665 15.761.531.660 -13.924.590.995 -758,03

Jumlah Belanja Bruto 16.121.795.410.079 14.298.142.294.501 1.823.653.115.578 11,31

Pengembalian Belanja 25.651.975.603 21.676.612.556 3.975.363.047 15,5

Jumlah Transaksi Kas Neto 16.096.143.434.476 14.276.465.681.945 1.819.677.752.531 11,31

Belanja Transaksi Non Kas

Hibah Langsung Jasa Luar Negeri

986.102.000 0 986.102.000 0

Jumlah Belanja Bruto 986.102.000 0 986.102.000 0

Pengembalian Belanja 0 0 0 0

Jumlah Transaksi Non Kas Neto 986.102.000 0 986.102.000 0

Jumlah Belanja Neto 16.097.129.536.476 14.276.465.681.945 1.820.663.854.531 11,31

Sumber: Kementerian Keuangan.

2.4.3. Belanja Menurut Unit Eselon I

Realisasi Belanja Kementerian Keuangan pada tahun anggaran 2011 dapat dirinci menurut unit eselon I.

Pengeluaran terbesar adalah Sekretariat Jenderal (Setjen) sebesar Rp5.963.937.082.788,00 atau 36,99 persen dari

total realisasi belanja Kementerian Keuangan. Berdasarkan daya serap realisasi, penyerapan terbesar terdapat

pada Direktorat Jenderal Pajak (DJP) sebesar Rp5.397.033.396.680,00 atau 109,66 persen dari pagu belanja DJP.

Realisasi belanja DJP termasuk pembayaran imbalan bunga sebesar Rp1.247.399.871.387,00 yang tidak tersedia

pagu anggarannya di dalam DIPA. Apabila imbalan bunga ini dikeluarkan maka realisasi belanja DJP adalah

sebesar Rp4.149.633.525.293,00 atau 84,32 persen dari pagu belanja DJP.

Tabel 2.8.Perbandingan Pagu dan Realisasi Belanja Menurut Unit Eselon I Tahun Anggaran 2011

No. Unit Eselon I Pagu (Rp) Realisasi (Rp) Persen (%)

Belanja Transaksi Kas

1 SETJEN 6.910.441.708.000 5.963.937.082.788 86,30

2 ITJEN 102.690.573.000 93.791.092.203 91,33

3 DJA 123.126.257.000 114.765.543.793 93,21

4 DJP 4.921.494.700.000 5.397.033.396.680 109,66

5 DJBC 2.074.536.058.000 1.726.841.144.537 83,24

6 DJPK 139.950.000.000 115.201.678.220 82,32

7 DJPU 112.142.456.000 107.415.130.754 95,78

8 DJPB 1.484.566.434.000 1.385.436.301.213 93,32

9 DJKN 653.148.000.000 543.878.523.670 83,27

KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA

| LAPORAN TAHUNAN 2011 | www.kemenkeu.go.id 50

Tabel 2.8 (lanjutan)

No. Unit Eselon I Pagu (Rp) Realisasi (Rp) Persen (%)

10 Bapepam LK 199.236.145.000 140.999.075.196 70,77

11 BPPK 440.143.341.000 396.304.767.440 90,04

12 BKF 185.396.997.000 136.359.454.506 73,55

Jumlah Belanja Bruto 17.346.872.669.000 16.121.963.191.000 92,94

Pengembalian 25.666.446.168 0,00

Jumlah Transaksi Kas Neto 17.346.872.669.000 16.096.296.744.832 92,79

Belanja Transaksi Non Kas

1 BKF 0 986.102.000 0,00

2 Bapepam LK 0 3.050.373.457 0,00

Jumlah Belanja Bruto 0 4.036.475.457 0,00

Pengembalian 0 0 0,00

Jumlah Transaksi Non Kas Neto 0 4.036.475.457 0,00

Jumlah Belanja Neto 17.346.872.669.000 16.100.333.220.289 92,81

Sumber: Kementerian Keuangan.

Jika dibandingkan antarunit Eselon I, maka terlihat bahwa realisasi belanja mayoritas unit Eselon I di Kementerian

Keuangan mengalami kenaikan pada tahun 2011. Pengecualian hanya terjadi pada DJPU dan Bapepam-LK yang

realisasi belanjanya mengalami penurunan pada tahun 2011 jika dibandingkan dengan tahun 2010. Kenaikan

realisasi dengan persentase terbesar dijumpai pada DJP dan BKF, sedangkan yang terkecil ditemukan pada Itjen

dan DJBC.

Tabel 2.9.Perbandingan Realisasi Belanja Menurut Unit Eselon ITahun Anggaran 2010 dan 2011

No. Unit Eselon I TA 2011 (Rp) TA 2010 (Rp)Kenaikan(Penurunan)

(Rp)Persen

(%)

Belanja Transaksi Kas1 SETJEN 5.963.937.082.788 5.490.764.396.822 473.172.685.966 8,62 2 ITJEN 93.791.092.203 90.526.200.496 3.264.891.707 3,61 3 DJA 114.765.543.793 95.625.189.671 19.140.354.122 20,02 4 DJP 5.397.033.396.680 4.319.005.999.039 1.078.027.397.641 24,96 5 DJBC 1.726.841.144.537 1.627.137.038.020 99.704.106.517 6,13 6 DJPK 115.201.678.220 106.318.595.888 8.883.082.332 8,36 7 DJPU 107.415.130.754 184.206.507.790 (76.791.377.036) (41,69)8 DJPB 1.385.436.301.213 1.262.943.812.132 122.492.489.081 9,70 9 DJKN 543.878.523.670 498.025.099.926 45.853.423.744 9,21

10 BAPEPAM DAN LK 140.999.075.196 145.798.248.519 (4.799.173.323) (3,29)11 BPPK 396.304.767.440 367.952.325.609 28.352.441.831 7,71 12 BKF 136.359.454.506 109.838.880.589 26.520.573.917 24,14

Jumlah Belanja Bruto 16.121.963.191.000 14.298.142.294.501 1.823.820.896.499 12,76 Pengembalian 25.666.446.168 21.676.612.556 3.989.833.612 18,41 Jumlah Transaksi Kas Neto 16.096.296.744.832 14.276.465.681.945 1.819.831.062.887 12,75

Belanja Transaksi Non Kas1 BKF 986.102.000 0 986.102.000 0,002 Bapepam LK 3.050.373.457 0 3.050.373.457 0,00

Jumlah Belanja Bruto 4.036.475.457 0 4.036.475.457 0,00Pengembalian 0 0 0 0,00Jumlah Transaksi Non Kas Neto 4.036.475.457 0 4.036.475.457 0,00Jumlah Belanja Neto 16.100.333.220.289 14.276.465.681.945 1.823.867.538.344 12,78

Sumber: Kementerian Keuangan.

www.kemenkeu.go.id | LAPORAN TAHUNAN 2011 | 51

KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA

2.4.4. Belanja Menurut Jenis Belanja

Belanja Kementerian Keuangan menurut jenis belanja terdiri dari Belanja Pegawai, Belanja Barang, Belanja Modal,

dan Belanja Pembayaran Kewajiban Utang (SPM-IB Pajak). Realisasi belanja pegawai merupakan yang tertinggi,

yaitu mencapai 92,02 persen, kemudian diikuti oleh realisasi belanja barang sebesar 83,59 persen. Adapun

realisasi belanja modal tercatat berjumlah 72,65 persen dari total realisasi belanja.

Tabel 2.10.Perbandingan Pagu dan Realisasi Belanja Menurut Jenis Belanja Tahun Anggaran 2011

Uraian Pagu (Rp) Realisasi (Rp) Persen (%)

Transaksi Kas      

Belanja Pegawai 8.161.582.433.000 7.510.455.351.495 92,02

Belanja Barang 6.315.762.685.000 5.279.309.268.307 83,59

Belanja Modal 2.869.527.551.000 2.084.798.699.811 72,65

Pembayaran Kewajiban Utang (SPM-IB Pajak) 0 1.247.399.871.387 0,00

Jumlah Transaksi Kas Bruto 17.346.872.669.000 16.121.963.191.000 92,94

Transaksi Non Kas      

Belanja Barang 0 4.036.475.457 0,00

Jumlah Transaksi Non Kas Bruto 0 4.036.475.457 0,00

Jumlah Belanja Bruto 17.346.872.669.000 16.125.999.666.457 92,96

Sumber: Kementerian Keuangan.

Belanja barang tercatat sebagai jenis belanja yang mencapai kenaikan realisasi tertinggi pada tahun 2011,

yaitu 34,27 persen apabila dibandingkan dengan tahun 2010. Urutan kedua ditempati oleh belanja modal yang

mengalami kenaikan 12,68 persen. Sedangkan belanja pegawai hanya meningkat 4,39 persen.

Gambar 2.11.Perbandingan Realisasi Belanja Menurut Jenis Belanja Tahun Anggaran 2010 dan 2011

Uraian TA 2011 (Rp) TA 2010 (Rp)Kenaikan(Penurunan)

(Rp)Persen (%)

Transaksi Kas        

Belanja Pegawai 7.510.455.351.495 7.194.523.880.093 315.931.471.402 4,39

Belanja Barang 5.279.309.268.307 3.931.936.721.184 1.347.372.547.123 34,27

Belanja Modal 2.084.798.699.811 1.850.194.481.247 234.604.218.564 12,68

Pembayaran Kewajiban Utang (SPM-IB Pajak)

1.247.399.871.387 1.321.487.211.977 (74.087.340.590) (5,61)

Jumlah Belanja Bruto 16.121.963.191.000 14.298.142.294.501 1.823.820.896.499 12,76

Pengembalian Belanja 25.666.446.168 21.676.612.556 3.989.833.612 18,41

Jumlah Transaksi Kas Neto 16.096.296.744.832 14.276.465.681.945 1.819.831.062.887 12,75

Transaksi Non Kas        

Belanja Barang 4.036.475.457 0 4.036.475.457 0,00

Jumlah Belanja Bruto 4.036.475.457 0 4.036.475.457 0,00

Pengembalian Belanja 0 0 0 0,00

Jumlah Transaksi Non Kas Neto 4.036.475.457 0 4.036.475.457 0,00

Jumlah Belanja Neto 16.100.333.220.289 14.276.465.681.945 1.823.867.538.344 12,78

Sumber: Kementerian Keuangan.

KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA

| LAPORAN TAHUNAN 2011 | www.kemenkeu.go.id 52

3.1. Penyusunan Asumsi Ekonomi Makro

Dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang dan Menengah (RPJP dan RPJM), sasaran kebijakan ekonomi

makro Indonesia diarahkan pada terpeliharanya stabilitas ekonomi makro yang dapat mendukung tercapainya

pertumbuhan ekonomi yang relatif tinggi dan berkualitas serta peningkatan kemampuan pendanaan

pembangunan, baik yang bersumber dari Pemerintah maupun swasta, dengan tetap menjaga stabilitas nasional.

Stabilitas ekonomi dijaga melalui pelaksanaan sinergi kebijakan moneter yang berhati-hati serta pelaksanaan

kebijakan !skal yang mengarah pada kesinambungan !skal dengan tetap memberi ruang gerak bagi peningkatan

kegiatan ekonomi.

Untuk menyesuaikan dengan kondisi yang cepat berubah, serta dalam rangka meningkatkan kinerja dan e!siensi

di Kementerian Keuangan, maka pada tahun 2006, melalui Keputusan Presiden Nomor 66 Tahun 2006 dibentuklah

Badan Kebijakan Fiskal (BKF). Dengan dibentuknya BKF, kebijakan !skal yang sebelumnya berada pada masing-

masing unit eselon I, kini dikelola di bawah satu atap. Kebijakan ekonomi makro serta kebijakan yang terkait

dengan pendapatan dan belanja negara berada di bawah kewenangan BKF.

Peran utama BKF dalam pembangunan ekonomi pada dasarnya adalah melalui kebijakan !skal yang tercermin

dalam penyusunan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) setiap tahun. Dalam menyusun APBN,

diperlukan asumsi-asumsi ekonomi makro sebagai dasar perhitungan besaran pendapatan dan belanja yang

akan dicapai serta pembiayaan yang dibutuhkan untuk menutup kekurangan atau de!sit dalam APBN. Asumsi

ekonomi makro yang digunakan selama ini adalah pertumbuhan ekonomi, nilai tukar, in"asi, suku bunga SBI 3

bulan (kemudian diganti dengan suku bunga SPN 3 Bulan), harga minyak mentah (ICP), dan lifting minyak.

Perumusan Kebijakan Fiskal

03

www.kemenkeu.go.id | LAPORAN TAHUNAN 2011 | 53

KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA

Dalam proses pengajuan asumsi ekonomi makro, dilakukan pemantauan dan pengkajian atas perkembangan

indikator-indikator ekonomi makro, tidak saja indikator yang menjadi asumsi, tetapi juga variabel-variabel

pendukung lainnya, seperti perkembangan ekonomi global, harga saham, perdagangan, dan lain-lain. Besaran

asumsi ekonomi makro disusun dan ditetapkan bersama dengan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dalam kerangka

penyusunan anggaran belanja negara yang mampu mencapai target pertumbuhan, tingkat pengangguran, dan

pengentasan kemiskinan.

Dari berbagai tugas kebijakan !skal yang dijalankan, salah satu fokusnya adalah pengelolaan ekonomi makro.

Pengelolaan ekonomi makro tidak saja ditujukan sebagai dasar penghitungan APBN, tetapi juga merupakan

koridor utama Kementerian Keuangan dalam memainkan peran penting dalam bersinergi dengan program

pembangunan nasional. Untuk menyusun kebijakan !skal dan kerangka ekonomi makro secara cepat dan akurat,

sangat diperlukan data dan informasi yang kredibel, konsisten, reguler, dan terkini.

Sangat tidak mudah untuk menentukan angka-angka dalam asumsi makro, karena melewati beberapa kajian dan

pertimbangan terkait input data dan kondisi di lapangan, serta hasil perhitungan dengan pengujian yang akurat.

Akurasi pengujian ini membutuhkan metode, model, dan tools yang memadai, termasuk kapasitas personal yang

handal. Selain memiliki hardware dan software yang memadai, juga diperlukan brainware yang handal. Keputusan

besaran asumsi makro belum berakhir sampai keluarnya angka-angka tersebut, karena asumsi makro kemudian

digunakan sebagai acuan dalam penyusunan APBN yang diajukan bersamaan dengan Nota Keuangan ke DPR.

KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA

| LAPORAN TAHUNAN 2011 | www.kemenkeu.go.id 54

Konsumsi Rumah Tangga

Konsumsi Pemerintah

PMTB

Ekspor

Import

20,0

16,0

12,0

8,0

4,0

4,7

8,5

15,317,3

4,73,2

8,8

13,313,6

0,30,0

2010 2011

2009 2010 20112008

6,0

4,6

6,2 6,5

0,0

1,0

2,0

3,0

4,0

5,0

6,0

7,0

Dalam pelaksanaannya, BKF selalu bersinergi dan berkoordinasi dengan instansi lain, baik dalam lingkup internal

maupun eksternal Kementerian Keuangan. Dengan demikian, konsistensi dan akurasi angka atau target, serta

rancangan kebijakan APBN dapat dipahami oleh semua unsur yang terkait. Hal ini ditempuh dalam rangka

akselerasi stabilitas ekonomi makro secara berkesinambungan guna mempercepat upaya Pemerintah dalam

meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran seluruh rakyat Indonesia.

3.2. Perkembangan Kebijakan dan Realisasi Pengelolaan Ekonomi Makro

3.2.1. Pertumbuhan Ekonomi

Gambar 3.1.Pertumbuhan PDB (% , yoy) Tahun 2008-2011

Sumber: Badan Pusat Statistik

Pertumbuhan ekonomi Indonesia hingga akhir tahun 2011 menunjukkan perkembangan yang cukup

menggembirakan. Krisis utang yang terjadi di Amerika Serikat dan Eropa pada kenyataannya tidak berdampak

signi!kan terhadap perekonomian nasional. Permintaan domestik masih cukup kuat untuk mendukung laju

pertumbuhan ekonomi walaupun terjadi perlambatan pada sisi eksternal. Pada tahun 2011, pertumbuhan

ekonomi mencapai 6,5 persen (yoy). Angka ini lebih tinggi bila dibandingkan dengan tahun sebelumnya

yang tumbuh sebesar 6,2 persen (yoy). Pertumbuhan didukung oleh kinerja konsumsi masyarakat, konsumsi

Pemerintah, investasi, dan ekspor neto, serta sektor industri yang tumbuh cukup sigini!kan.

Gambar 3.2.Laju PDB menurut Penggunaan (%) Tahun 2010-2011

Sumber: Badan Pusat Statistik

www.kemenkeu.go.id | LAPORAN TAHUNAN 2011 | 55

KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA

Di tahun 2011, konsumsi masyarakat tumbuh 4,7 persen (yoy), sama dengan pertumbuhan pada tahun 2010.

Komponen ini tumbuh (yoy) lebih tinggi dari kuartal pertama hingga terakhir tahun 2011. Hal tersebut

menunjukkan perbaikan daya beli masyarakat di sepanjang tahun sejalan dengan menurunnya in"asi.

Peningkatan konsumsi masyarakat didorong oleh konsumsi makanan maupun bukan makanan yang masing-

masing tumbuh 3,8 persen dan 5,5 persen. Konsumsi masyarakat mampu memberikan kontribusi terbesar

pada pertumbuhan ekonomi, yaitu 2,7 persen, sedangkan peran atau distribusinya sebesar 54,6 persen.

Laju pertumbuhan konsumsi Pemerintah menunjukkan peningkatan yang signi!kan, yaitu dari 0,3 persen

di tahun 2010 menjadi 3,2 persen pada tahun 2011. Peningkatan konsumsi Pemerintah didorong oleh belanja

barang dan belanja pegawai dengan pertumbuhan masing-masing 3,6 persen dan 5,4 persen. Meningkatnya

belanja pegawai terkait dengan pemberian remunerasi pada beberapa Kementerian/Lembaga (K/L). Walaupun

terjadi peningkatan, namun kontribusi konsumsi Pemerintah relatif kecil pada pertumbuhan ekonomi, yaitu hanya

0,3 persen, sedangkan perannya hanya 9,0 persen dari total Produk Domestik Bruto (PDB).

Berbeda dengan komponen lainnya, pertumbuhan ekspor dan impor barang dan jasa di tahun 2011 relatif

melambat dari tahun 2010. Pelemahan ekonomi global telah menyebabkan melambatnya kinerja ekspor

Indonesia, yaitu dari pertumbuhan 15,3 persen di tahun 2010 menjadi 13,6 persen di tahun 2011. Hal yang sama

terjadi pada pertumbuhan impor yang melambat dari 17,3 persen di tahun 2010 menjadi 13,3 persen di

tahun 2011. Namun, perlambatan impor yang lebih besar dibanding ekspor telah menyebabkan peningkatan

ekspor neto menjadi 14,4 persen di tahun 2011 dibanding 8,7 persen di tahun sebelumnya. Bila disimak lebih

jauh, penurunan pertumbuhan ekspor dan impor barang baru terlihat di kuartal IV 2011. Dampak langsung dari

perlambatan ekonomi Eropa terhadap ekspor Indonesia relatif kecil, karena rendahnya pangsa ekspor langsung ke

negara-negara yang terkena krisis.

Dari sisi penawaran, semua sektor ekonomi masih tumbuh positif di tahun 2011 walaupun beberapa sektor

mengalami perlambatan. Sektor industri pengolahan, sektor perdagangan, hotel, dan restoran, sektor keuangan,

serta sektor jasa mengalami pertumbuhan. Sementara itu, empat sektor lain mengalami perlambatan, yaitu sektor

pertambangan, sektor listrik, gas, dan air bersih, sektor konstruksi, serta sektor pengangkutan dan komunikasi. Sektor

pertanian adalah satu-satunya sektor yang pertumbuhannya konstan pada periode 2010-2011 .

Tabel 3.1.Pertumbuhan PDB Menurut Sektor Tahun 2008-2011

No. SektorPertumbuhan (%, yoy)

2008 2009 2010 2011

1. Pertanian 4,8 4,0 3,0 3,0

2. Pertambangan dan Penggalian 0,7 4,5 3,6 1,4

3. Industri Pengolahan 3,7 2,2 4,7 6,2

4. Listrik, Gas, dan, Air Bersih 10,9 14,3 5,3 4,8

5. Konstruksi 7,6 7,1 7,0 6,7

6. Perdagangan, Hotel, dan Restoran 6,9 1,3 8,7 9,2

7. Pengangkutan dan Komunikasi 16,6 15,8 13,4 10,7

8. Keuangan, Real Estate, dan Jasa Perusahaan 8,2 5,2 5,7 6,8

9. Jasa-Jasa 6,2 6,4 6,0 6,7

Sumber: Badan Pusat Statistik.

KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA

| LAPORAN TAHUNAN 2011 | www.kemenkeu.go.id 56

Sektor industri pengolahan di tahun 2011 tumbuh cukup kuat, yaitu 6,2 persen (yoy). Pertumbuhan ini cukup

tinggi bila dibandingkan dengan pertumbuhan tahun 2010 yang sebesar 4,7 persen. Lonjakan pertumbuhan

sektor ini didorong oleh pertumbuhan pada subsektor industri nonmigas yang mencapai 6,8 persen, sedangkan

subsektor industri migas mengalami kontraksi 0,9 persen. Pertumbuhan subsektor industri nonmigas

ditopang oleh industri logam dasar, besi dan baja, industri makanan, minuman, tembakau, industri tekstil,

barang kulit, serta alas kaki. Kontraksi subsektor industri nonmigas terutama diakibatkan oleh penurunan

industri gas alam cair.

Sementara itu, sektor perdagangan, hotel, dan restoran mengalami peningkatan pertumbuhan dari 8,7 persen

di tahun 2010 menjadi 9,2 persen di tahun 2011. Pertumbuhan sektor ini ditopang oleh kinerja subsektor

perdagangan besar dan eceran yang tumbuh 10,0 persen, sedangkan subsektor hotel dan subsektor restoran

masing-masing tumbuh 9,0 persen dan 4,1 persen.

Pertumbuhan sektor pertanian, peternakan, kehutanan dan perikanan di tahun 2011 sama dengan tahun

2010, yaitu 3,0 persen (yoy). Dorongan pada sektor pertanian berasal dari subsektor perikanan, perkebunan,

dan peternakan, yaitu sebesar 6,7 persen. Sedangkan subsektor tanaman bahan makanan yang menjadi

kontributor utama sektor ini, mengalami perlambatan pertumbuhan dibandingkan tahun sebelumnya, yaitu

dari 1,6 persen menjadi 1,3 persen. Melambatnya pertumbuhan subsektor tanaman bahan makanan terutama

disebabkan oleh gangguan cuaca yang menyebabkan penurunan pada produksi pertanian, terutama padi.

3.2.2. In#asi

Gambar 3.3.Laju In"asi Tahun 2010-2011

Sumber: Badan Pusat Statistik

Laju in"asi tahun 2011 secara umum relatif lebih rendah bila dibandingkan dengan in"asi tahun 2010, yang didorong

oleh penurunan in"asi di sepanjang tahun. Penurunan tersebut dipengaruhi melemahnya komponen in"asi

administered price dan volatile food. Sampai akhir tahun 2011, hasil pemantauan Badan Pusat Statistik (BPS) di 66

kota mencatat laju in"asi kumulatif mencapai 3,79 persen (yoy), lebih rendah bila dibandingkan dengan laju in"asi

tahun 2010 yang mencapai 6,96 persen.

Di tengah meningkatnya ketidakpastian ekonomi global karena krisis ekonomi di Eropa, laju in"asi Indonesia

tahun 2011 menurun tajam dibanding tahun 2010. Rendahnya laju in"asi tahun 2011 disebabkan oleh semakin

-0,5

2010 2011

0,0

1,0

2,0

3,0

4,0

5,0

6,0

7,0

8,0

0,0

0,5

1,0

1,5

2,0In!asi mtm

In!asi yoy

www.kemenkeu.go.id | LAPORAN TAHUNAN 2011 | 57

KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA

meningkatnya koordinasi dan sinergi kebijakan !skal, moneter, dan sektor riil. Berbagai kebijakan Pemerintah

diarahkan untuk menjaga ketersediaan pasokan dan mendukung kelancaran arus distribusi, khususnya bahan

pangan dan energi. Upaya tersebut antara lain dilaksanakan melalui kebijakan mitigasi gangguan iklim,

ekstensi!kasi dan intensi!kasi produksi pertanian, penyediaan alokasi anggaran untuk benih, pupuk, dan cadangan

pangan, serta dukungan alokasi anggaran untuk mendukung ketahanan pangan dan energi nasional. Ketersediaan

pasokan bahan pangan dan energi dalam jumlah yang memadai mampu mendorong ekspektasi in"asi masyarakat

menjadi rendah dan terkendali. Selain itu, nilai tukar rupiah yang stabil juga mampu meredam tekanan in"asi yang

bersumber dari luar negeri. Semakin padunya koordinasi pengendalian in"asi di tingkat pusat serta meningkatnya

kesadaran daerah dalam upaya pengendalian in"asi semakin memperkuat upaya untuk meredam gejolak in"asi

sepanjang tahun 2011.

3.2.3. Nilai Tukar Rupiah

Gambar 3.4.Perkembangan Devisa dan Nilai Tukar Tahun 2011

Sumber: Bank Indonesia

Sepanjang tahun 2011, nilai tukar rupiah bergerak stabil dengan kecenderungan menguat. Kondisi ini sejalan

dengan derasnya arus modal asing, peningkatan rating Indonesia ke posisi investment grade, serta semakin

seimbangnya permintaan dan penawaran valuta asing di pasar domestik. Setelah mengalami sedikit tekanan

pada awal tahun, secara bertahap nilai tukar rupiah bergerak menguat dengan rata-rata Rp8.904  per USD pada

kuartal I tahun 2011.

Pada kuartal II dan III tahun 2011, rata-rata nilai tukar rupiah menguat dan bergerak pada kisaran Rp8.500 hingga

Rp8.600 per USD. Nilai tukar rupiah sempat mengalami apresiasi hingga Rp8.460 per USD pada 2 Agustus 2011,

seiring dengan berita diturunkannya rating utang Amerika Serikat satu notch oleh S&P, serta belum jelasnya proses

pemulihan ekonomi di Uni Eropa seiring dengan krisis ekonomi Yunani yang mulai merembet ke negara-

negara Uni Eropa lainnya. Sentimen negatif di Amerika Serikat dan Uni Eropa tersebut mendorong terjadinya

"ight to quality, yaitu peralihan arus modal ke negara-negara emerging market.

Nilai tukar rupiah kembali mengalami tekanan pada kuartal IV 2011 dengan adanya sentimen negatif

kekhawatiran pelaku pasar terhadap penyelesaian krisis ekonomi di negara-negara Uni Eropa, ketegangan

geopolitik di semenanjung Korea pasca meninggalnya pemimpin tertinggi Korea Utara Kim Jong-II, serta di

Jan

Feb

Mar

Apr

Mei

Jun Jul

Agus

tSe

p

Okt

Nop Des Jan

Feb

Mar

Apr

Mei

Jun Jul

Agus

tSe

pO

ktN

op Des

0

Devisa

Nilai Tukar

8.0008.2008.4008.6008.8009.0009.2009.4009.600

20

4060

80

100120

140

Mili

ar U

SD

Rp/U

SD

KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA

| LAPORAN TAHUNAN 2011 | www.kemenkeu.go.id 58

kawasan Timur Tengah, khususnya di Iran. Dari sisi domestik, peningkatan permintaan mata uang asing (valas)

oleh korporasi untuk memenuhi kewajiban pembayaran utang dan bunga pinjaman yang jatuh tempo juga

mendorong pelemahan rupiah sepanjang November-Desember 2011. Selama tahun 2011, rata-rata nilai tukar

rupiah tercatat sebesar Rp8.779 per USD, menguat 3,39 persen bila dibandingkan dengan rata-ratanya tahun

2010 sebesar Rp9.087 per USD.

Untuk menjaga stabilitas eksternal dan internal, Bank Indonesia memadukan kebijakan stabilitas nilai tukar rupiah

dengan pengelolaan lalu lintas modal. Di tengah derasnya aliran modal asing yang masuk dan tekanan apresiasi,

stabilitas nilai tukar dijaga untuk mengurangi volatilitas rupiah dalam upaya pengendalian dan stabilisasi harga.

Kebijakan stabilitas nilai tukar juga dilakukan sebagai langkah antisipasi terjadinya pembalikan modal (sudden

reversal) dengan menjaga cadangan devisa pada level yang memadai untuk mencukupi pembayaran impor dan

utang luar negeri. Bank Indonesia melakukan pula intervensi secara terukur di pasar valuta asing untuk menahan

laju penguatan rupiah. Kebijakan tersebut dilakukan secara symmetric dengan mengakomodasi nilai tukar

yang lebih "eksibel dan tetap memperhatikan tren nilai tukar negara-negara kawasan agar daya saing rupiah

tetap terjaga. Pergerakan rupiah diupayakan tidak mengalami overshooting, tidak terlalu "uktuatif, dan tidak

menimbulkan dampak yang berlebihan terhadap pasokan likuiditas domestik.

3.2.4. Suku Bunga Surat Perbendaharaan Negara 3 Bulan

Gambar 3.5.Perkembangan Suku Bunga SPN 3 Bulan (%) Tahun 2011

Sumber: Kementerian Keuangan

Sebagai dampak dari kebijakan Bank Indonesia tahun 2010 yang tidak lagi menyelenggarakan lelang SBI 3 bulan,

maka suku bunga SBI 3 bulan tidak relevan lagi digunakan sebagai suku bunga acuan dalam perhitungan postur

APBN tahun 2011. Oleh sebab itu, Pemerintah menerbitkan surat utang lain, dimana sistem pelelangannya setara

dengan SBI sesuai dengan Ketentuan dan Persyaratan (Terms and Condition) Surat Utang Negara (SUN) dengan

tingkat bunga mengambang (Variable Rate/VR). Terkait hal tersebut, mulai bulan Maret tahun 2011, Pemerintah

telah menerbitkan Surat Perbendaharaan Negara (SPN) 3 bulan sebagai dasar perhitungan tingkat bunga surat

utang negara dengan variable rate. Selanjutnya, suku bunga SPN 3 bulan digunakan sebagai pengganti suku

bunga SBI 3 bulan dalam perhitungan postur APBN.

6,005,44 5,46

3,75

5,50

5,00

4,50

4,00

3,50

3,00

05-Apr-11

19-Apr-11

03-Mei-1

1

21-Jun-11

05-Jul-1

1

19-Jul-1

1

16-Ags-11

27-Sep-11

04-Okt-1

1

18-Okt-1

1

01-Nop-11

22-Nop-11

22-Mar-1

1

Rata-rata 20114,8%

www.kemenkeu.go.id | LAPORAN TAHUNAN 2011 | 59

KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA

Pemerintah telah melelang SPN 3 bulan sebanyak 15 kali pada tahun 2011 dengan tingkat bunga yang bervariasi.

Rata-rata yield SPN 3 bulan mencapai 4,8 persen. Pada lelang pertama di bulan Maret 2011, yield SPN mencapai

5,19 persen dan kemudian bergerak relatif stabil, hingga mencapai 5,44 persen pada pelelangan di bulan Juni

2011. Peningkatan tersebut terutama dipengaruhi oleh meningkatnya ketidakpastian di pasar global seiring

eskalasi isu krisis utang Yunani.

Di bulan-bulan berikutnya, suku bunga SPN 3 bulan kembali menurun hingga mencapai titik terendah, yaitu

3,75 persen di bulan Agustus 2011. Pergerakan tersebut juga dipengaruhi oleh membaiknya optimisme pasar

seiring munculnya titik penyelesaian krisis utang Yunani melalui paket penghematan anggaran serta bantuan

paket penyelamatan Uni Eropa dari International Monetary Fund (IMF). Yield kembali meningkat hingga mencapai

tingkat tertinggi sebesar 5,47 persen di bulan Oktober. Peningkatan kali ini terkait dampak kebijakan Operation

Twist di AS yang mendorong peralihan likuiditas dari emerging market ke instrumen US treasury yang bertenor

panjang. Pada periode selanjutnya, yield menurun hingga 4,47 persen pada pelelangan bulan November 2011.

Peningkatan dana European Financial Stability Facility (EFSF) dari 440 miliar Euro menjadi 1,0 trilun Euro mampu

menjadi sentimen positif bagi kondisi pasar global dan di Indonesia.

Tabel 3.2.Pelelangan SPN 3 Bulan Tahun 2011

Seri Maturity Tanggal Lelang Yield/Price Penawaran(Rp Triliun)

Daya Serap(Rp Triliun)

SPN20110623 23-Jun-11 22-Mar-11 5,19 9,72 2,00

SPN20110706 06-Jul-11 05-Apr-11 5,02 5,43 2,00

SPN20110720 20-Jul-11 19-Apr-11 5,19 1,88 0,60

SPN20110804 04-Ags-11 03-Mei-11 4,88 5,54 2,00

SPN20110922 22-Sep-11 21-Jun-11 5,44 0,12 0,10

SPN20111006 06-Okt-11 05-Jul-11 4,63 6,79 1,40

SPN20111020 20-Okt-11 19-Jul-11 4,19 4,22 0,55

SPN03111118 18-Nov-11 16-Ags-11 3,75 4,77 1,30

SPN03111228 28-Des-11 27-Sep-11 5,23 2,14 0,15

SPN03120105 05-Jan-12 04-Okt-11 5,46 1,56 0,75

SPN03120119 19-Jan-12 18-Okt-11 4,81 1,93 0,20

SPN03120202 02-Feb-12 01-Nov-11 4,72 2,74 1,10

SPN03120223 23-Feb-12 22-Nov-11 4,47 1,89 0,30

Rata-rata     4,84    

Jumlah       52,821) 12,45

Sumber: Kementerian Keuangan.

Keterangan:

1) Terdapat dua pelelangan SPN 3 bulan tanpa ada pemenangnya yaitu penawaran sebesar Rp 2,84 triliun pada 9 Agustus 2011 dan Rp 1,27 triliun pada 13 September 2011

KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA

| LAPORAN TAHUNAN 2011 | www.kemenkeu.go.id 60

Prospek pasar SPN 3 bulan di dalam negeri cukup baik. Besarnya kepercayaan pada instrumen ini tercermin

dari oversubscribed penawaran pada setiap pelelangan.Tingkat kepercayaan tersebut tidak lepas dari kondisi

fundamental domestik dan pengelolaan !skal yang baik. Peningkatan peringkat utang Indonesia pada tahun

2011 oleh lembaga credit rating dunia, seperti Moody’s, S&P, dan Fitch merupakan bentuk kepercayaan

masyarakat internasional terhadap kondisi ekonomi nasional. Di samping itu, kepercayaan akan tingkat kesehatan

dan sustainabilitas !skal turut mendorong tingginya minat investor terhadap SPN 3 bulan yang diterbitkan

Pemerintah. Selama tahun 2011, total penawaran oleh masyarakat dalam lelang SPN 3 bulan mencapai Rp52,8

triliun dan penawaran yang dimenangkan sebesar Rp12,45 triliun. Minat investor yang besar memberikan

keuntungan tersendiri berupa tersedianya sumber pembiayaan de!sit yang relatif murah.

3.2.5. Harga dan Lifting Minyak

Kinerja ekonomi dunia yang masih tumbuh berdampak pada naiknya konsumsi minyak, terutama di beberapa

negara berbasis industri, seperti Cina dan Rusia. Badan Energi Amerika (Energy Information Administration/

EIA) mencatat rata-rata realisasi total konsumsi minyak dunia pada akhir Desember 2011 mencapai 87,98

jutabarel per hari. Tingkat konsumsi ini merupakan yang tertinggi sejak periode krisis tahun 2008. Sejalan dengan

meningkatnya konsumsi minyak dunia, EIA memperkirakan harga minyak mentah dunia WTI pada tahun 2012

akan berada pada level USD96,80 per barel atau naik 2,0 persen dari rata-rata harga minyak mentah WTI pada

tahun 2011 yang mencapai USD94,86 per barel.

Gambar 3.6.Perkembangan Harga ICP Tahun 2011

Sumber: Kementerian ESDM

Seiring dengan tren harga minyak global, harga minyak mentah Indonesia (Indonesian Crude oil Price/ICP) juga

mengalami volatilitas. Harga rata-rata ICP pada bulan Januari 2011 mencapai USD97,1 per barel dan pada April

2011 mencapai USD123,4 per barel. Harga ICP bertahan pada harga diatas USD100 per barel selama tahun

2011. Secara keseluruhan, harga ICP di tahun 2011 mencapai USD111,55 per barel yang merupakan rata-rata

tertinggi dalam beberapa tahun terakhir.

0

USD

/bar

el

Jan

Feb

Mar

Apr

Mei

Jun Jul

Agus

t

Sep

Okt

Nop Des Jan

Feb

Mar

Apr

Mei

Jun Jul

Agus

t

Sep

Okt

Nop Des

20406080

100120140

www.kemenkeu.go.id | LAPORAN TAHUNAN 2011 | 61

KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA

Dalam beberapa tahun terakhir, lifting minyak selalu di bawah target yang ditetapkan. Setelah pada tahun

2010 lifting minyak mencapai 954 ribu barel per hari (lebih rendah dari asumsi APBN-P 2010 965 ribu barel per hari),

pada tahun 2011 realisasi lifting minyak (periode Desember 2010-November 2011) berjumlah 898 ribu barel per hari

(lebih rendah dari target 945 ribu barel per hari). Permasalahan utama yang menghambat tercapainya lifting minyak

tahun 2011 adalah penurunan produksi alamiah.

Gambar 3.7.Lifting Minyak Indonesia Tahun 2008-2011

Sumber: Kementerian ESDM dan Kementerian Keuangan

3.2.6. Neraca Pembayaran

Di tengah ketidakpastian ekonomi global, kinerja neraca pembayaran Indonesia (NPI) pada tahun 2011, baik

dari sisi transaksi berjalan maupun transaksi modal dan !nansial sedikit tertekan bila dibandingkan

dengan tahun 2010. Tekanan terhadap kinerja neraca pembayaran terutama tercatat pada transaksi modal dan

!nansial akibat aliran keluar dana asing jangka pendek,sedangkan Foreign Direct Investment (FDI) masih dalam

tren meningkat. Peningkatan FDI ini sejalan dengan membaiknya perspektif pasar tentang prospek investasi

sebagaimana dicerminkan oleh peningkatan posisi Indonesia dalam A.T. Kearney - FDI Con#dence Index.

Sementara itu, kinerja transaksi berjalan diperkirakan sedikit menurun, karena menguatnya impor yang sejalan

dengan tingginya kegiatan ekonomi domestik. Kendati terdapat tekanan pada dua triwulan terakhir, untuk

keseluruhan tahun 2011, NPI masih mencatat surplus yang cukup besar. Surplus ini berkontribusi pada posisi

cadangan devisa sampai dengan akhir Desember 2011 yang tercatat mencapai USD110,1 miliar atau setara

dengan 6,3 bulan impor dan pembayaran utang luar negeri Pemerintah.

Transaksi berjalan pada tahun 2011 mencatat surplus USD1,7 miliar. Jumlah ini lebih rendah bila

dibandingkan dengan surplus pada tahun 2010 sebesar USD5,1 miliar. Neraca perdagangan dalam tahun 2011

mengalami surplus USD33,9 miliar, meningkat USD3,3 miliar jika dibandingkan dengan surplus pada tahun

2010 sebesar USD30,6 miliar. Hal ini dikarenakan membaiknya harga komoditas internasional. Sementara

itu, de!sit neraca pendapatan meningkat dari USD20,8 miliar pada 2010 menjadi USD25,8 miliar pada

2011. Peningkatan de!sit pendapatan disebabkan bertambahnya pembayaran hasil keuntungan perusahaan

Penanaman Modal Asing (PMA) dan imbal hasil kepada investor asing.

Anggaran

Ribu

bar

el/h

ari

860

2008

927931

960

944

965954

945

898

2009 2010 2011

880

900

920

940

960

980

Realisasi

KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA

| LAPORAN TAHUNAN 2011 | www.kemenkeu.go.id 62

Transaksi modal dan !nansial pada tahun 2011 mencatat surplus USD14,0 miliar. Surplus ini bersumber dari

investasi langsung dan portofolio yang sejalan dengan membaiknya iklim investasi dan kondisi ekonomi makro

yang stabil. Berdasarkan perkembangan besaran-besaran neraca pembayaran tersebut, maka dalam tahun

2011, neraca keseluruhan mengalami surplus USD11,9 miliar, sehingga cadangan devisa mencapai USD110,1

miliar.

Tabel 3.3.Neraca Pembayaran Indonesia Tahun 2010-2011

UraianNPI (USD Miliar)

2010 2011

A. Transaksi Berjalan 5,1 1,7

  1. Neraca Perdagangan 30,6 33,9

  a. Ekspor, FOB 158,1 200,6

  b. Impor, FOB -127,4 -166,6

  2. Jasa-jasa -9,3 -10,6

  3. Pendapatan -20,8 -25,8

  4. Transfer Berjalan 4,6 4,2

B. Transaksi Modal dan Finansial 26,6 14,0

  1. Neraca Modal 0,1 0,0

  2. Neraca Finansial 26,6 14,0

  a. Investasi Langsung 11,1 11,1

  b. Investasi Portofolio 13,2 4,5

  c. Investasi lainnya 2,3 -1,6

C. Total (A+B) 31,8 15,7

D. Selisih yang Belum Diperhitungkan -1,5 -3,9

E. Keseimbangan Umum (C+D) 30,3 11,9

Cadangan Devisa 96,207 110,1

Sumber: Bank Indonesia.

www.kemenkeu.go.id | LAPORAN TAHUNAN 2011 | 63

KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA

halaman ini sengaja

dikosongkan

KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA

| LAPORAN TAHUNAN 2011 | www.kemenkeu.go.id 64

www.kemenkeu.go.id | LAPORAN TAHUNAN 2011 | 65

KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA

PROFESIONALISMEBekerja tuntas dan akurat atas dasar kompetensi terbaik dengan penuh

tanggung jawab dan komitmen yang tinggi

KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA

| LAPORAN TAHUNAN 2011 | www.kemenkeu.go.id 66

4.1. Kinerja Perpajakan

4.1.1. Penerimaan Pajak

Realisasi penerimaan pajak neto Direktorat Jenderal Pajak (DJP) tanpa PPh Migas tahun 2011 sebesar Rp669,65

triliun. Angka ini tumbuh Rp108,32 triliun atau 19,30 persen dibandingkan realisasi penerimaan pajak tahun

2010 sebesar Rp561,33 triliun. Realisasi tersebut mencapai 95,88 persen dari rencana Anggaran Pendapatan dan

Belanja Negara-Perubahan (APBN-P) 2011 sebesar Rp698,44 triliun. Sementara realisasi penerimaan pajak neto

DJP termasuk PPh Migas tahun 2011 tercatat sebesar Rp742,74 triliun dengan pertumbuhan Rp122,54 triliun

atau 19,76 persen dibandingkan realisasi penerimaan pajak tahun 2010 sebesar Rp620,20 trilun. Realisasi tersebut

mencapai 97,26 persen dari rencana APBN-P 2011 sebesar Rp763,67 triliun.

Penerimaan Negara

04

www.kemenkeu.go.id | LAPORAN TAHUNAN 2011 | 67

KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA

50

-

100

150

200

250

300

350

400

Rp Tr

iliun

PPhNonmigas

PPN &PPnBM

PBB PajakLainnya

PPh Migas

Realisasi 2010

Target 2011

Realisasi 2011

298,17

366,75 358,03

230,60

298,44277,80

28,58 29,06 29,89

3,97

58,8765,23 73,10

4,19 3,93

Gambar 4.1.Perbandingan Realisasi Penerimaan Tahun 2010, Target Penerimaan Tahun 2011,

dan Realisasi Penerimaan Tahun 2011 per Jenis Pajak

Sumber: LKPP

Pertumbuhan realisasi penerimaan per jenis pajak dapat dijelaskan sebagai berikut:

1. PPh Nonmigas pada tahun 2011 mencapai Rp358,03 triliun atau tumbuh Rp59,85 triliun (20,07 persen)

dibandingkan dengan penerimaan tahun 2010 sebesar Rp298,17 triliun;

2. PPN dan PPnBM pada tahun 2011 mencapai Rp277,80 triliun atau tumbuh Rp47,19 triliun (20,47 persen)

dibandingkan dengan penerimaan tahun 2010 sebesar Rp230,60 triliun;

KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA

| LAPORAN TAHUNAN 2011 | www.kemenkeu.go.id 68

3. PBB pada tahun 2011 mencapai Rp29,89 triliun atau tumbuh Rp1,31 triliun (4,59 persen) dibandingkan

dengan penerimaan tahun 2010 sebesar Rp28,58 triliun;

4. Pajak Lainnya pada tahun 2011 mencapai Rp3,93 triliun atau tumbuh negatif Rp0,04 triliun (-1,02 persen)

dibandingkan dengan penerimaan tahun 2010 sebesar Rp3,97 triliun; dan

5. PPh Migas pada tahun 2011 mencapai Rp73,10 triliun atau tumbuh Rp14,22 triliun (24,16 persen)

dibandingkan dengan penerimaan tahun 2010 sebesar Rp58,87 triliun.

Tabel 4.1.Kinerja Penerimaan Pajak Tahun 2007-2011

Uraian 2007 2008 2009 2010 2011

Penerimaan Dalam Negeri (Rp Triliun) 706,11 979,30 847,10 992,25 1.205,35

Total Penerimaan Perpajakan (Rp Triliun) 490,99 658,70 619,92 723,31 873,87

Total Penerimaan DJP termasuk PPh Migas (Rp Triliun) 425,37 571,11 544,53 620,20 742,74

Penerimaan PPh Migas (Rp Triliun) 44,00 77,02 50,04 58,87 73,10

Penerimaan DJP tanpa PPh Migas (Rp Triliun) 381,37 494,09 494,49 561,33 669,65

Pertumbuhan Penerimaan DJP termasuk PPh Migas (%) 18,75 34,26 (4,65) 13,90 19,76

Pertumbuhan Penerimaan DJP tanpa PPh Migas (%) 21,07 29,56 0,08 13,52 19,30

Pertumbuhan Ekonomi (%) 6,30 6,20 4,50 6,10 6,46

In"asi (%) 6,59 11,06 2,78 6,96 3,79

Pertumbuhan Alami (%) 13,31 17,95 7,41 13,48 10,49

Peningkatan Kinerja Penerimaan DJP termasuk PPh Migas (%) 5,45 16,31 (12,06) 0,41 9,26

Peningkatan Kinerja Penerimaan DJP tanpa PPh Migas (%) 7,76 11,61 (7,32) 0,33 8,08

Sumber: LKPPKeterangan: Peningkatan Kinerja Penerimaan DJP = Pertumbuhan Penerimaan DJP - Pertumbuhan Alami Penerimaan pajak tahun 2007 – 2009 termasuk BPHTB Penerimaan pajak tahun 2010 – 2011 tidak termasuk BPHTB

4.1.2. Quick Wins Penyempurnaan Proses Bisnis dan Optimalisasi Teknologi Informasi

Pada tahun 2011-2014, DJP telah mencanangkan Reformasi Perpajakan Jilid Kedua yang ditandai dengan realisasi

Project for Indonesian Tax Administration Reform (PINTAR) dalam jangka waktu 6 hingga 12 bulan. Untuk mendukung

implementasi PINTAR dan menciptakan nilai tambah atas proses bisnis yang ada, telah diidenti!kasi 19 inisiatif

terkait penyempurnaan proses bisnis dan optimalisasi teknologi informasi yang diharapkan menghasilkan

peningkatan kinerja. Inisiatif ini disebut dengan Quick Wins DJP 2011-2012, karena dapat menghasilkan outcome

signi!kan dalam waktu relatif singkat.

Quick Wins diupayakan selaras dengan rencana strategis DJP, dengan berfokus pada perbaikan kualitas perekaman

data (data capture) SPT dan SSP, peningkatan penerimaan pajak, penambahan jumlah Wajib Pajak, dan persiapan

implementasi PINTAR. Sampai dengan akhir tahun 2011, hampir seluruh inisiatif Quick Wins DJP yang mulai

dicanangkan pada Agustus 2011 telah mendekati proses !nalisasi. Quick Wins diharapkan tetap mendukung

proses bisnis DJP secara keseluruhan, sehingga tercipta sistem administrasi perpajakan modern yang lebih efektif

dan terpercaya.

www.kemenkeu.go.id | LAPORAN TAHUNAN 2011 | 69

KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA

Tabel 4.2.Kemajuan Quick Wins DJP Tahun 2011-2012

No. Inisiatif Quick WinsSkala

PrioritasKemajuan

(%)

I.1. Loading data SPT ke SIDJP menggunakan Web Service Utama 98

I.2. Database dan hardware tuning untuk SIDJP secara sistematis Utama 98

I.3.Mengembangkan prosedur untuk memonitor secara aktif data processing pada SIDJP serta quick response jika terdapat permasalahan

Utama 75

I.4. Data cleansing untuk mengeliminasi duplikasi data master#le NPWP Utama 95

I.5. Penyempurnaan aplikasi PKPM (Pajak Keluaran-Pajak Masukan) Utama 98

I.6. Perbaikan proses pemasukan data (data entry) pada PPDDP Utama 70

I.7. Pengembangan sistem pro#ling Wajib Pajak Utama 95

I.8. Pengumpulan data pihak ketiga secara sistematis Sedang 80

I.9.Pengembangan tools dan metodologi untuk otomatisasi aktivitas pengawasan kepatuhan Wajib Pajak (compliance activities)

Sedang 80

I.10.Pengembangan tools dan metodologi untuk otomatisasi penagihan berdasarkan risk, reward & aging

Sedang 80

I.11. Perbaikan interface MPN dengan SIDJP/SIPMOD Sedang 95

I.12. Rekonsiliasi/audit data MPN – KPPN Sedang 5

I.13. Review software SIDJP untuk meningkatkan performa software Kontinyu 50

I.14. Review infrastruktur KPP (hardware dan network) Kontinyu 98

II.1. Pengembangan monitoring pembayaran pajak melalui MIS/EIS Utama 95

II.2. Pengembangan alokasi SDM pemeriksaan berdasarkan risiko dan potensi Utama 75

II.3. Penambahan Data Processing Center baru Utama 75

II.4. Promosi dan demosi Wajib Pajak Sedang 100

II.5.Peningkatan nilai tambah kepada Wajib Pajak Besar badan dan orang pribadi pada KPP Wajib Pajak Besar melalui pelayanan yang tinggi dan compliance cost yang rendah

Sedang 55

Keterangan: Data per 31 Desember 2011.

4.2. Penyempurnaan Kebijakan Perpajakan

4.2.1. Ketentuan Perpajakan di Bidang KUP

Dalam rangka pelaksanaan ketentuan Pasal 48 Undang-Undang mengenai Ketentuan Umum dan Tata Cara

Perpajakan (KUP), Pemerintah menerbitkan Peraturan Pemerintah Nomor 80 Tahun 2007 tentang Tata Cara

Pelaksanaan Hak dan Kewajiban Perpajakan Berdasarkan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang

Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-

Undang Nomor 28 Tahun 2007. Dalam penerapan peraturan tersebut di masyarakat, Pemerintah memandang

perlu untuk melengkapi dan menyempurnakan PP No. 80 Tahun 2007 agar memberikan kemudahan dan kejelasan

bagi masyarakat dalam memahami dan memenuhi hak dan kewajiban perpajakan, serta untuk menyelaraskan

ketentuan-ketentuan dalam Undang-Undang KUP, Undang-Undang PPh, serta Undang-Undang PPN dan PPnBM.

Pada tanggal 29 Desember 2011, Pemerintah menerbitkan Peraturan Pemerintah Nomor 74 Tahun 2011 tentang

Tata Cara Pelaksanaan Hak dan Pemenuhan Kewajiban Perpajakan yang mencabut PP No. 80 Tahun 2007 dan

berlaku mulai tanggal 1 Januari 2012. Hal-hal yang diatur dalam PP No. 74 Tahun 2011, antara lain adalah:

KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA

| LAPORAN TAHUNAN 2011 | www.kemenkeu.go.id 70

1. penjelasan gugatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 Undang-Undang KUP;

2. penegasan pelaksanaan Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda, seperti Mutual Agreement Procedure,

Advance Pricing Agreement, dan Exchange of Information;

3. pengungkapan ketidakbenaran pengisian Surat Pemberitahuan berdasarkan Pasal 8 ayat (3) Undang-

Undang KUP;

4. penghapusan sanksi administrasi berdasarkan Pasal 36 Undang-Undang KUP; serta

5. veri!kasi dalam rangka penerbitan atau penghapusan NPWP, pengukuhan atau pencabutan pengukuhan

Pengusaha Kena Pajak, dan penerbitan surat ketetapan pajak.

DJP secara intensif juga melakukan pembahasan Rancangan Peraturan Pemerintah sebagai aturan pelaksanaan

Pasal 35A Undang-Undang KUP yang mengatur kewajiban pihak eksternal untuk memberikan data dan informasi

yang berkaitan dengan perpajakan kepada DJP. Dalam rangka pengawasan kepatuhan pelaksanaan kewajiban

perpajakan sebagai konsekuensi penerapan sistem self assessment, data dan informasi yang berkaitan dengan

perpajakan yang bersumber dari instansi Pemerintah, lembaga, asosiasi, dan pihak lain sangat diperlukan oleh DJP.

Data dan informasi dimaksud adalah data dan informasi orang pribadi atau badan yang dapat menggambarkan

kegiatan atau usaha, peredaran usaha, penghasilan dan/atau kekayaan yang bersangkutan, termasuk informasi

mengenai nasabah debitur, data transaksi keuangan dan lalu lintas devisa, kartu kredit, serta laporan keuangan

dan/atau laporan kegiatan usaha yang disampaikan kepada instansi lain di luar DJP. Sampai dengan akhir tahun

2011 Rancangan Peraturan Pemerintah tersebut masih dalam tahap penyelesaian.

Beberapa ketentuan yang diterbitkan selama tahun 2011 dalam rangka menyempurnakan peraturan pelaksanaan

yang ada, antara lain mengatur mengenai:

1. tata cara penghitungan dan pemberian imbalan bunga;

2. tata cara penghitungan dan pengembalian kelebihan pembayaran pajak;

3. tata cara pemeriksaan pajak; dan

4. tata cara penghentian penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan untuk kepentingan penerimaan

negara.

4.2.2. Ketentuan Perpajakan di Bidang PPh

Beberapa ketentuan perpajakan di bidang PPh yang diterbitkan tahun 2011 antara lain mengatur mengenai:

1. pencabutan ketentuan mengenai PPh atas penghasilan dari transaksi derivatif berupa kontrak berjangka

yang diperdagangkan di bursa;

2. fasilitas PPh untuk penanaman modal di bidang-bidang usaha tertentu dan/atau di daerah-daerah tertentu;

3. perlakuan perpajakan atas Penghasilan Kena Pajak sesudah dikurangi pajak dari suatu Bentuk Usaha Tetap

dan tata cara pemberitahuannya oleh Wajib Pajak;

4. tata cara pencatatan dan pelaporan sumbangan penanggulangan bencana nasional, sumbangan penelitian

dan pengembangan, sumbangan fasilitas pendidikan, sumbangan pembinaan olahraga, dan biaya

pembangunan infrastruktur sosial yang dapat dikurangkan dari penghasilan bruto;

5. tata cara pemotongan, penyetoran, dan pelaporan PPh atas bunga obligasi;

6. tata cara penghitungan dan pembayaran PPh atas surplus Bank Indonesia;

7. pengenaan PPh untuk kegiatan usaha perbankan syariah dan pembiayaan syariah;

www.kemenkeu.go.id | LAPORAN TAHUNAN 2011 | 71

KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA

8. penentuan biaya operasi yang dapat dikembalikan dan perlakuan PPh di bidang usaha hulu minyak dan gas

bumi, beserta aturan terkait lainnya; dan

9. badan/lembaga yang dibentuk atau disahkan oleh Pemerintah yang ditetapkan sebagai penerima zakat

atau sumbangan keagamaan yang sifatnya wajib yang dapat dikurangkan dari penghasilan bruto.

4.2.3. Ketentuan Perpajakan di Bidang PPN dan PPnBM

Ketentuan perpajakan di bidang PPN dan PPnBM yang diterbitkan sepanjang tahun 2011 antara lain mengatur

hal-hal, yaitu:

1. perubahan batasan harga jual Rumah Sederhana dan Rumah Sangat Sederhana yang dibebaskan dari

pengenaan PPN;

2. tata cara penyediaan anggaran, penghitungan, pembayaran, dan pertanggungjawaban subsidi jenis BBM

tertentu. Salah satu ketentuan yang diatur adalah PPN atas subsidi BBM tertentu merupakan bagian dari

subsidi harga. Mekanisme PPN tersebut menggantikan mekanisme PPN Ditanggung Pemerintah (PPN DTP);

3. tata cara pengajuan dan penyelesaian permintaan kembali PPN barang bawaan orang pribadi pemegang

paspor luar negeri;

4. batasan kegiatan dan jenis jasa kena pajak yang atas ekspornya dikenai PPN;

5. tata cara penatausahaan PPN DTP atas penyerahan minyak goreng kemasan sederhana dan/atau minyak

goreng sawit curah di dalam negeri;

6. penentuan dokumen tertentu yang kedudukannya dipersamakan dengan faktur pajak; dan

7. tata cara penerbitan faktur pajak dan surat setoran pajak atas penyerahan jenis BBM tertentu dan/atau

lique#ed petroleum gas (LPG) tabung 3 kilogram.

4.2.4. Ketentuan Perpajakan di Bidang PBB

Beberapa ketentuan perpajakan di bidang PBB yang diterbitkan tahun 2011 mengatur hal-hal antara lain, yaitu:

1. permohonan pengembalian kelebihan pembayaran PBB;

2. penyesuaian besarnya Nilai Jual Objek Pajak Tidak Kena Pajak (NJOPTKP) PBB;

3. tata cara penetapan Wajib Pajak atas objek PBB yang belum jelas diketahui Wajib Pajaknya dan pencabutan

penetapan sebagai Wajib Pajak;

4. bentuk dan isi nota penghitungan, skp PBB, STP PBB, surat keputusan kelebihan pembayaran pajak PBB, dan

Surat Pemberitahuan;

5. pengenaan PBB sektor perhutanan; dan

6. tata cara pengangsuran dan penundaan pembayaran PBB.

Terkait dengan tahapan pengalihan PBB Perdesaan dan Perkotaan (PBB-P2) sebagai Pajak Daerah sesuai

dengan ketentuan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, selama

tahun 2011 DJP beserta tim dari Kementerian Keuangan melaksanakan pemantauan dan evaluasi terhadap

persiapan pengalihan dan pelaksanaan pemungutan PBB-P2 ke Pemerintah kabupaten/kota yang telah

mengadministrasikan PBB-P2.

KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA

| LAPORAN TAHUNAN 2011 | www.kemenkeu.go.id 72

Tabel 4.3Pelaksanaan Pengalihan PBB-P2 ke Pemerintah Daerah

Tahun Jumlah Kabupaten/Kota Keterangan

2011 1 Kota Subaraya

2012 17

Kota Medan, Kab Deli Serdang, Kota Pekan Baru, Kota Palembang, Kota Bandar Lampung, Kota Depok, Kab. Bogor, Kota Semarang, Kab. Sukoharjo, Kota Yogyakarta, Kab. Sidoarjo, Kota Gresik, Kota Pontianak, Kota Balikpapan, Kota Samarinda, Kota Gorontalo, dan Kota Palu

2013 60 Perkiraan berdasarkan kesiapan Pemerintah daerah

2014 419 Kabupaten/kota yang belum mengelola PBB-P2 tahun 2011 - 2013

Sumber: Data tahun 2012-2014, DJPK dan DJP per 1 Februari 2012.

4.2.5. Fasilitas Perpajakan

Ketentuan pemberian fasilitas perpajakan terbaru yang diterbitkan selama tahun 2011 meliputi aspek-aspek

berikut.

1. Pembebasan dari pengenaan PPN atas penyerahan Rumah Sederhana dan Rumah Sangat Sederhana yang

perolehannya secara tunai ataupun dibiayai melalui fasilitas kredit bersubsidi maupun tidak bersubsidi, atau

melalui pembiayaan berdasarkan prinsip syariah, yang memenuhi ketentuan:

luas bangunan tidak melebihi 36 m2;

harga jual tidak melebihi Rp70.000.000; dan

merupakan rumah pertama yang dimiliki, digunakan sendiri sebagai tempat tinggal dan tidak

dipindahtangankan dalam jangka waktu lima tahun sejak dimiliki.

2. PPN Ditanggung Pemerintah (DTP) atas penyerahan minyak goreng kemasan sederhana dan/atau minyak

goreng sawit curah di dalam negeri oleh Pengusaha Kena Pajak.

3. Pemberian subsidi harga dan PPN atas subsidi harga BBM tertentu dan/atau LPG tabung 3 kg.

4. Pengurangan penghasilan neto sampai dengan 30 persen, penyusutan dan amortisasi yang dipercepat,

kompensasi kerugian sampai dengan sepuluh tahun, dan pengenaan PPh atas dividen maksimal sebesar 10

persen. Fasilitas tersebut dapat diberikan kepada Wajib Pajak yang melakukan penanaman modal di bidang-

bidang usaha tertentu dan/atau daerah-daerah tertentu.

5. Pembebasan PPh Badan yang dapat diberikan untuk jangka waktu paling lama sepuluh Tahun Pajak dan

paling singkat lima Tahun Pajak, terhitung sejak Tahun Pajak dimulainya produksi komersial, serta fasilitas

pengurangan PPh Badan sebesar 50 persen dari PPh terutang selama dua Tahun Pajak setelah berakhirnya

pemberian fasilitas pembebasan PPh Badan. Fasilitas tersebut diberikan kepada Wajib Pajak Badan baru

yang memenuhi kriteria:

merupakan industri pionir yang mencakup:

(i) industri logam dasar;

(ii) industri pengilangan minyak bumi dan/atau kimia dasar organik yang bersumber dari minyak bumi

dan gas alam;

(iii) industri permesinan;

(iv) industri di bidang sumberdaya terbarukan; dan/atau

(v) industri peralatan komunikasi.

mempunyai rencana penanaman modal baru yang telah mendapatkan pengesahan dari instansi yang

www.kemenkeu.go.id | LAPORAN TAHUNAN 2011 | 73

KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA

berwenang paling sedikit sebesar satu triliun rupiah; dan

menempatkan dana di perbankan di Indonesia paling sedikit 10 persen dari total rencana penanaman

modal dan tidak boleh ditarik sebelum saat dimulainya pelaksanaan realisasi penanaman modal.

6. PPh DTP atas:

hasil pengusahaan sumber daya panas bumi untuk pembangkitan energi/listrik tahun anggaran 2011;

dan

bunga atau imbalan surat berharga negara yang diterbitkan di pasar internasional dan penghasilan pihak

ketiga atas jasa yang diberikan kepada Pemerintah dalam penerbitan surat berharga negara di pasar

internasional tahun anggaran 2011.

7. Fasilitas pengangsuran dan penundaan pembayaran PBB bagi Wajib Pajak yang mengalami kesulitan

likuiditas, kesulitan keuangan, atau mengalami keadaan di luar kekuasaannya sehingga Wajib Pajak tidak

akan mampu memenuhi kewajiban pajak pada waktunya.

4.3. Penggalian Potensi Perpajakan

4.3.1. Ekstensi!kasi

Kegiatan ekstensi!kasi wajib pajak orang pribadi merupakan kegiatan yang masuk dalam peta strategis DJP 2011.

Kegiatan ini dilaksanakan untuk memperluas basis pengenaan pajak melalui upaya menambah wajib pajak baru

sejalan dengan usaha meningkatkan kepatuhan wajib pajak dengan harapan penerimaan pajak negara akan

optimal.

Kegiatan ekstensi!kasi merupakan upaya proaktif DJP dalam menambah jumlah wajib pajak baru dengan

sasaran wajib pajak orang pribadi yang menurut peraturan perpajakan diwajibkan untuk memiliki NPWP, serta

memberi kemudahan untuk memperoleh NPWP. Pendekatan yang digunakan adalah pendekatan pemberi kerja

dengan sasaran wajib pajak orang pribadi yang memperoleh penghasilan dari pemberi kerja termasuk komisaris,

pemegang saham, direksi dan karyawan pada perusahaan swasta atau BUMN serta PNS baik tingkat pusat

maupun daerah.

Gambar 4.2.Realisasi Capaian FIS Tahun 2011 per Kategori

Keterangan: Data per tanggal 2 Februari 2012

Kategori 1 : Responden ada dan bersedia menandatangani FIS

Kategori 2 : Responden ada dan namun menolak menandatangani FIS

Kategori 3 : Responden tidak namun FIS dapat dititipkan

Kategori 4 : Kosong

68.52%2.35%

15.68%

13.45%

KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA

| LAPORAN TAHUNAN 2011 | www.kemenkeu.go.id 74

Di tahun 2011, DJP meluncurkan program Sensus Pajak Nasional (SPN) sebagai salah satu terobosan dalam upaya

pencapaian target penerimaan pajak yang selalu meningkat setiap tahun. SPN pada dasarnya mengakomodasi

pelaksanaan ekstensi!kasi wajib pajak serta upaya intensi!kasi melalui kegiatan pengumpulan basis data primer

yang diperoleh secara langsung dari wajib pajak. Program ini merupakan program nasional berbasis wilayah yang

dilakukan secara bertahap dengan mempertimbangkan potensi dan feedback. Tahap pertama dilaksanakan di

sentra ekonomi atau kawasan bisnis dengan menyasar subjek yang melakukan usaha. SPN dilaksanakan selama

bulan Oktober dan November 2011 di 299 KPP Pratama di seluruh Indonesia. Dari target pengumpulan sebanyak

1.030.903 FIS, pelaksanaan SPN tahun 2011 memperoleh pengumpulan 646.655 FIS atau 62,73 persen. Dari

jumlah FIS yang telah diperoleh tersebut, 523.961 FIS telah dilakukan perekaman.

Tabel 4.4.Hasil Ekstensi#kasi Wajib Pajak Orang Pribadi Tahun 2007-2011

Wajib Pajak 2007 2008 2009 2010 2011

1. Orang Pribadi Hasil Ekstensi!kasi 1.756.531 4.892.032 9.019.975 10.922.128 12.208.981

a. Orang Pribadi Karyawan 1.639.815 4.648.324 8.606.567 10.433.183 11.670.075

b. Orang Pribadi Nonkaryawan 116.716 243.708 413.408 488.945 538.906

2. Orang Pribadi Sukarela 3.231.918 3.496.784 4.929.775 6.405.056 7.704.923

c. Orang Pribadi Karyawan 1.375.237 1.496.400 2.471.589 3.543.625 4.504.701

d. Orang Pribadi Nonkaryawan 1.856.681 2.000.384 2.458.186 2.861.431 3.200.222

3.Bendahara 348.451 379.681 434.355 467.984 507.844

4.Badan 1.308.160 1.443.570 1.580.287 1.737.459 1.942.811

Jumlah Wajib Pajak Terdaftar (1+2+3+4) 6.645.060 10.212.067 15.964.392 19.532.627 22.364.559

Keterangan: Data per 31 Desember tahun bersangkutan dan hasil data cleansing tahun 2011 (diolah).

Berdasarkan perekaman FIS kategori 1, 2, dan 3, responden yang belum memiliki NPWP sebanyak 283.348

orang atau 54,71 persen dan responden yang telah memiliki NPWP sebanyak 234.515 orang atau 45,29 persen.

Responden yang belum memiliki NPWP ditindaklanjuti dengan kegiatan ekstensi!kasi, sedangkan responden

yang telah terdaftar sebagai wajib pajak ditindaklanjuti dengan proses bisnis pengawasan sesuai dengan

Standard Operating Procedures (SOP) yang berlaku. Program ekstensi!kasi yang telah dicanangkan secara nasional

merupakan jawaban atas permasalahan yang selama ini dihadapi oleh DJP terkait lambatnya laju penambahan

NPWP baru setiap tahunnya.

Gambar 4.3. Jumlah Wajib Pajak Terdaftar Tahun 2007-2011

Sumber: DJP.

Keterangan: Data per 31 Desember tahun bersangkutan dan hasil data cleansing tahun 2011.

OP Hasil Ekstensi!kasi

OP Sukarela

Badan

Bendaharawan

Jumlah WP Terdaftar

22,36

19,53

15,96

10,21

6,65

Juta

an

5

-

10

15

20

25

2007 2008 2009 2010 2011

1,76

4,89

9,0210,92 12,21

7,70

1,94

6,41

1,74

4,93

1,58

3,50

1,44

3,23

1,310,35

0,38

0,43

0,47

0,51

www.kemenkeu.go.id | LAPORAN TAHUNAN 2011 | 75

KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA

2007 2008 2009 2010 2011

Juta

an

0

20

40

60

80

100

Desa/Kelurahan Digital

Desa/Kelurahan

71,77

24,94

74,15

31,17

75,80 77,03

38,80

76,04

41,3435,42

2007 2008 2009 2010 2011

Juta

an

0

20

40

60

80

100

120

Objek Pajak

Objek Pajak Sismiop

93,56

69,46

97,17

77,23

100,16

83,26

103,56

89,09

102,99

89,64

Di bidang PBB, kegiatan ekstensi!kasi dilakukan melalui pendataan, yaitu pemeliharaan dan pembentukan data

obyek dan subyek PBB yang terdapat dalam Sistem Informasi Manajemen Objek Pajak (Sismiop) dan Sistem

Informasi Geogra!s (SIG). Tujuan pendataan adalah menciptakan basis data obyek dan subyek PBB yang akurat

dan terkini, sehingga tercipta pengenaan pajak yang lebih adil dan merata, peningkatan pokok ketetapan, tertib

administrasi, dan penerimaan PBB, serta dapat memberikan pelayanan yang lebih baik kepada wajib pajak.

Gambar 4.4.Jumlah Objek Terdaftar Tahun 2007-2011

Sumber: DJP.

Gambar 4.5.Jumlah Peta Digital Tahun 2007-2011

Sumber: DJP.

4.3.2. Intensi!kasi

Optimalisasi penerimaan pajak melalui intensi!kasi pada tahun 2011 diprioritaskan pada 1000 wajib pajak

penentu penerimaan pada setiap KPP melalui program/kegiatan berikut ini.

1. Pengawasan Pembayaran Masa

Pengawasan pembayaran masa adalah kegiatan pengawasan yang dilakukan terhadap pembayaran masa pada

suatu bulan tertentu. Tujuan dari program ini adalah pengamanan penerimaan pajak serta upaya meningkatkan

kepatuhan wajib pajak dalam menunaikan kewajiban pembayaran masa. Hal ini mengingat data penerimaan

menunjukkan bahwa kontribusi pembayaran masa terhadap penerimaan nasional cukup besar, yaitu sekitar

75 persen pada tahun 2009 dan 77 persen pada tahun 2010. Pengawasan dilakukan untuk seluruh kewajiban

pembayaran masa atas jenis pajak PPh Pasal 21, PPh Pasal 22, PPh Pasal 23, PPh Pasal 25, PPh Pasal 26, PPh Final,

dan PPN/PPnBM. Prioritas pengawasan pembayaran masa dilakukan terhadap:

KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA

| LAPORAN TAHUNAN 2011 | www.kemenkeu.go.id 76

seluruh wajib pajak terdaftar di KPP Wajib Pajak Besar dan KPP Madya; serta

seribu wajib pajak penentu penerimaan untuk KPP Pratama dan KPP yang memiliki lebih dari 1.000 wajib

pajak.

2. Pemanfaatan Feeding

Feeding adalah program pertukaran data wajib pajak antar KPP dengan memanfaatkan teknologi informasi.

Program yang diluncurkan pada tahun 2011 dimanfaatkan untuk pemutakhiran pro!l wajib pajak, peningkatan

penerimaan pajak, dan menjaring wajib pajak baru.

3. Pengawasan Wajib Pajak Bendahara

Bendahara dalam pekerjaannya bertugas membelanjakan belanja Pemerintah pusat dan Pemerintah daerah,

dimana dalam belanja tersebut bendahara wajib melakukan pemotongan/pemungutan PPh Pasal 21, PPh

Pasal 22, PPh Pasal 23/26, dan PPN Dalam Negeri. Mengingat besarnya pengeluaran belanja pusat maupun

daerah maka penerimaan pajak dari sektor bendahara mempunyai peranan yang besar, sehingga diperlukan

pengawasan secara khusus terhadap kepatuhan pemotongan, pemungutan, penyetoran, dan pelaporan pajak

oleh bendahara.

Pengawasan Wajib Pajak Bendahara difokuskan pada pelaporan SPT Masa PPh Pasal 21, hal tersebut dikarenakan:

PPh Pasal 21 Bendahara memiliki andil yang cukup besar terhadap penerimaan PPh Pasal 21 nasional

dengan kontribusi sekitar 25%;

penerimaan PPh Pasal 21 merupakan penyumbang penerimaan bendahara yang paling besar, yaitu

kurang lebih sekitar 90% dari total penerimaan pajak bendahara; dan

PPh Pasal 22, Pasal 23, PPh Final dan pajak lainnya bersifat incidental sehingga sulit diawasi kepatuhan

formalnya dan sulit dilakukan pengawasan kepatuhan materialnya.

Tabel 4.5.Perkembangan Penyampaian SPT Masa PPh Pasal 21 Bendahara Tahun 2011

BulanPenyampaian SPT Masa PPh Pasal 21

Tepat Waktu Terlambat Total

Januari 8.281 2.804 11.085

Februari 6.116 1.158 7.274

Maret 912 - 912

April 6.649 3.867 10.516

Mei 6.895 3.424 10.319

Juni 7.393 2.411 9.804

Juli 12.072 5.726 17.798

Agustus 10.376 5.393 15.769

September 11.407 4.225 15.632

Oktober 15.487 8.662 24.149

November 15.562 6.398 21.960

Desember 17.274 1.289 18.563

Sumber: DJP.

www.kemenkeu.go.id | LAPORAN TAHUNAN 2011 | 77

KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA

4.4. Penegakan Hukum

4.4.1. Pemeriksaan

Berdasarkan tujuannya, pemeriksaan dibagi menjadi pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan

kewajiban perpajakan dan untuk tujuan lain. Pemeriksaan dalam rangka menguji kepatuhan ditujukan

untuk menguji kebenaran pengisian Surat Pemberitahuan (SPT) wajib pajak. Pemeriksaan dengan tujuan ini

menghasilkan surat ketetapan pajak. Sedangkan pemeriksaan untuk tujuan lain tidak dimaksudkan untuk

menerbitkan surat ketetapan pajak, tetapi untuk memberikan pelayanan tertentu kepada wajib pajak, seperti

dalam rangka penghapusan NPWP, pengukuhan atau pencabutan Pengusaha Kena Pajak (PKP), dan pemenuhan

permintaan informasi dari negara mitra Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda (P3B).

Pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan dilaksanakan berdasarkan hasil

analisis risiko atas pro!l wajib pajak yang dilakukan oleh Account Representative atau berdasarkan hasil analisis

informasi data, laporan, dan pengaduan (IDLP), yang menunjukkan adanya indikasi ketidakpatuhan Wajib Pajak.

Selain itu, pemeriksaan untuk menguji kepatuhan juga dilakukan dalam hal terdapat permohonan restitusi oleh

wajib pajak.

DJP menggunakan dua pendekatan dalam pengukuran kinerja pemeriksaan, yaitu kuantitas penyelesaian

pemeriksaan dan kualitas hasil pemeriksaan. Kinerja pemeriksaan dengan pendekatan kuantitas diukur

berdasarkan realisasi penyelesaian pemeriksaan dibandingkan dengan target penyelesaian pemeriksaan. Standar

penyelesaian pemeriksaan ditetapkan berdasarkan ruang lingkup pemeriksaan seluruh jenis pajak SPT Tahunan

PPh Badan. Dalam hal ruang lingkup pemeriksaan yang dilakukan selain pemeriksaan all taxes SPT Tahunan PPh

Badan, maka pemeriksaan tersebut dikonversi, sehingga setara dengan pemeriksaan all taxes SPT Tahunan PPh

Badan.

Tabel 4.6.Kinerja dan Pencapaian Target Pemeriksaan Tahun 2011

Target Penyelesaian Pemeriksaan (Laporan Hasil Pemeriksaan/LHP konversi) 39.644 LHP

Penyelesaian Pemeriksaan (LHP konversi)Rutin 28.220 LHP

31.879 LHPKhusus 3.659 LHP

Persentase Pencapaian Target Penyelesaian 80,41%

Target Penerimaan dari Pemeriksaan Pemeriksaan Rp9,00 triliun

Realisasi Penerimaan dari Pemeriksaan Rp11,11 triliun

Persentase Pencapaian Target Penerimaan dari Pemeriksaan 123,44 %

Target Persentase Hasil Pemeriksaan dan Refund Discrepancy terhadap Penerimaan Pajak 1%

Refund Discrepancy Rp4,80 triliun

Realisasi Penerimaan Pajak Nasional Rp669,65 triliun

Persentase Hasil Pemeriksaan dan Refund Discrepancy terhadap Penerimaan Pajak Nasional 2,38%

Sumber: DJP.

KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA

| LAPORAN TAHUNAN 2011 | www.kemenkeu.go.id 78

Sedangkan kinerja pemeriksaan dengan pendekatan kualitas diukur dengan menghitung kontribusi kegiatan

pemeriksaan terhadap penerimaan nasional, yaitu membandingkan nilai refund discrepancy ditambah realisasi

penerimaan dari hasil pemeriksaan dengan realisasi penerimaan nasional. Refund discrepancy merupakan jumlah

pajak yang bisa dipertahankan oleh pemeriksa atas permohonan pengembalian (restitusi) yang disampaikan

wajib pajak melalui SPT Tahunan/Masa. Sementara realisasi penerimaan pajak dari hasil pemeriksaan dihitung

dari pembayaran surat ketetapan pajak dalam kurun waktu sebelum dilakukannya tindakan penagihan.

Tabel 4.7.Perkembangan Realisasi Penyelesaian Pemeriksaan (Riil) dan Jumlah Pemeriksa Pajak Tahun 2008-2011

Tahun 2008 2009 2010 2011

Jumlah LHP (riil) 21.178 69.195 64.988 61.351

Jumlah Pemeriksa Pajak (*tidak termasuk Penyidik) 3.098 3.031 4.159* 4.113*

Sumber: DJP.

4.4.2. Penagihan

Dasar penetapan target pencairan piutang pajak mempertimbangkan estimasi kemampuan membayar wajib

pajak/penanggung pajak, yang mencakup hal-hal berikut ini.

1. Estimasi pencairan atas saldo awal piutang pajak dengan memperhitungkan nilai piutang lancar, kurang

lancar, diragukan, dan perhatian khusus, serta memperhatikan besaran penyisihan piutang berdasarkan

Peraturan Menteri Keuangan Nomor 201/PMK.06/2010 tentang Kualitas Piutang Kementerian/Lembaga dan

Pembentukan Penyisihan Piutang Tak Tertagih.

2. Estimasi pencairan atas ketetapan yang terbit pada tahun berjalan berdasarkan rata-rata pencairan piutang

pajak yang dibayar di atas 30 hari atau setelah jatuh tempo pembayaran atas ketetapan yang terbit pada

tahun berjalan selama tiga tahun terakhir.

Untuk efektivitas pencairan piutang pajak, ditetapkan prioritas tindakan penagihan atas kondisi piutang pajak,

yaitu:

1. piutang pajak yang akan daluwarsa;

2. piutang pajak yang termasuk dalam 100 besar penunggak pajak pada KPP;

3. piutang pajak dengan nilai lebih dari Rp10.000.000.000,00 per wajib pajak/penanggung pajak;

4. piutang pajak yang wajib pajak/penanggung pajaknya memiliki tingkat likuiditas keuangan tinggi (memiliki

kemampuan membayar) dan memiliki kemauan untuk melunasi atau piutang pajak memiliki kriteria lancar;

5. piutang pajak yang wajib pajak/penanggung pajaknya memiliki kemampuan membayar, namun tidak

kooperatif dalam pembayaran utang pajaknya;

6. piutang pajak yang penanggung pajaknya termasuk dalam kategori selebriti, public #gure, atau tokoh

masyarakat;

7. piutang pajak yang wajib pajaknya memiliki tanda-tanda kepailitan, dalam proses pailit, atau telah selesai

proses kepailitannya; dan

8. piutang pajak yang wajib pajaknya memiliki tanda-tanda akan dilikuidasi/dibubarkan, atau dalam proses

likuidasi/pembubaran.

Pada tahun 2011 DJP berhasil merealisasikan pencairan piutang pajak sebesar Rp12.240.956.578.940. Kontributor

terbesar adalah PPh Pasal 25 Badan yang mencapai Rp3.689.139.557.395, kemudian diikuti oleh PPN sebesar

Rp2.816.881.535.934, dan PBB sektor perkotaan sejumlah Rp2.203.243.839.682.

www.kemenkeu.go.id | LAPORAN TAHUNAN 2011 | 79

KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA

Tabel 4.8Realisasi Pencairan Piutang Pajak Tahun 2011

Jenis Pajak Pencairan 2011 (Rp)

PPh Pasal 25 Orang Privadi 128.824.098.466

PPh Pasal 25 Badan 3.689.139.557.395

PPh Pasal 21 413.045.614.332

PPh Pasal 22 20.358.399.701

PPh Pasal 23 399.004.567.186

PPh Pasal 26 721.174.365.789

PPh Pasal 4 ayat (2) 184.154.351.033

PPN 2.816.881.535.934

PPnBM 41.992.489.535

Bunga Penagihan 439.713.015.365

Pajak Tidak Langsung Lainnya 200.000

PBB Sektor Pedesaan 378.029.637.202

PBB Sektor Perkotaan 2.203.243.839.682

PBB Sektor Perkebunan 447.288.717.461

PBB Sektor Perhutanan 114.675.408.636

PBB Sektor Pertambangan Nonmigas 243.430.781.222

PBB Sektor Pertambangan Migas -

Jumlah Pencairan Nasional 12.240.956.578.940

Sumber: DJP.

4.4.3. Penyidikan

Penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan adalah serangkaian tindakan yang dilakukan oleh penyidik untuk

mencari dan mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tindak pidana di bidang perpajakan

yang terjadi serta menemukan tersangkanya. Penyidik adalah pejabat Pegawai Negeri Sipil (PNS) tertentu di

lingkungan DJP yang diberi wewenang khusus sebagai penyidik untuk melakukan penyidikan tindak pidana

di bidang perpajakan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan. Penyidikan tindak pidana di bidang

perpajakan juga merupakan upaya penegakan hukum terakhir yang dimiliki DJP sesuai amanat undang-undang.

Keberhasilan penyidikan sangat bergantung dari pengembangan dan analisis IDLP yang kemudian ditindaklanjuti

dengan pemeriksaan bukti permulaan.

Selama tahun 2011 DJP telah menyelesaikan 389 pemeriksaan bukti permulaan dan 49 diantaranya diusulkan

untuk ditingkatkan ke penyidikan. Sementara jumlah kasus penyidikan yang dilaksanakan oleh unit penyidikan

di seluruh Indonesia berjumlah 118 kasus penyidikan. Dari jumlah tersebut selama tahun 2011 telah diserahkan

sebanyak 27 Berkas Perkara kepada Kejaksaan, terdiri dari 24 berkas telah dinyatakan lengkap (P-21) dan 3

berkas dinyatakan belum lengkap (P-19). Pada tahun 2011 sebanyak 15 Berkas Perkara dengan 14 terdakwa telah

disidangkan dan divonis oleh pengadilan.

KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA

| LAPORAN TAHUNAN 2011 | www.kemenkeu.go.id 80

Tabel 4.9.Kinerja Penyidikan Perpajakan Tahun 2007-2011

No. Keterangan 2007 2008 2009 2010 2011

I. Berkas diserahkan ke Kejaksaan

 

A Berkas P-19 0 24 19 14 3

  Kerugian Negara (Rp miliar) 0 1.412 162 233 5

  Tersangka 0 13 16 12 6

B Berkas telah P-21 17 11 24 19 24

  Kerugian Negara (Rp miliar) 514 131 329 509 169

  Tersangka: Status P-21 21 11 18 16 18

II. Berkas Sudah Divonis

Jumlah sudah divonis 8 13 18 13 15

Kerugian Negara (Rp miliar) 100 463 288 409 58

Denda Pidana (Rp miliar) 6,8 115 633 301 42

Terdakwa 9 17 14 11 14

Sumber: DJP.

Keterangan: Data per 31 Desember 2011.

4.5. Penyelesaian Sengketa Perpajakan

4.5.1. Keberatan, Pembetulan, Pengurangan, Penghapusan, dan Pembatalan

Penyelesaian, keberatan, pembetulan, pengurangan, penghapusan, dan pembatalan ketetapan pajak baik karena

permohonan maupun secara jabatan selama tahun 2011 secara nasional adalah berikut ini.

Tabel 4.10.Penyelesaian Keberatan, Pembetulan, Pengurangan, Penghapusan, dan Pembatalan per Jenis Pajak Tahun 2011

Jenis Layanan PPh PPN/PPnBM PBB BPHTB Jumlah

Pembetulan 751 658 3.239 1 4.649

Keberatan 3.525 6.242 6.358 5 16.130

Pengurangan Pokok - - 26.561 44 26.605

Pengurangan atau penghapusan Sanksi Administrasi 5.562 7.338 2.203 3 15.106

Pengurangan atau Pembatalan SKP 1.312 1.719 7.985 2 11.018

Pengurangan atau Pembatalan STP 948 1.143 - 4 2.095

Pembatalan Hasil Pemeriksaan Pajak/SKP Hasil Pemeriksaan

5 29 - - 34

Total 12.103 17.129 46.346 59 75.637

Sumber: DJP.

4.5.2. Banding dan Gugatan

Pengajuan banding atau gugatan ke Pengadilan Pajak yang telah diputuskan oleh Majelis Hakim dan telah

diterima putusannya oleh DJP selama tahun 2011 berjumlah 3.202 putusan.

www.kemenkeu.go.id | LAPORAN TAHUNAN 2011 | 81

KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA

Tabel 4.11.Distribusi Putusan Banding dan Gugatan Berdasarkan Amar Putusan yang Diterima DJP selama Tahun 2011

Amar Putusan Banding Gugatan Jumlah

Menolak 473 282 755

Mengabulkan Sebagian 668 18 686

Mengabulkan Seluruhnya 719 126 845

Membatalkan 18 33 51

Tidak Dapat Diterima 358 414 772

Menambah 2 0 2

Jumlah 2.238 873 3.111

Membetulkan Salah Tulis/Hitung 83 8 91

Sumber: DJP.

Keterangan:Amar Putusan berupa Membetulkan Salah Tulis/Hitung merupakan putusan yang membetulkan putusan yang sudah ada sebelumnya.

4.5.3. Peninjauan Kembali ke Mahkamah Agung

Pengajuan Peninjauan Kembali ke Mahkamah Agung oleh DJP disampaikan dalam bentuk Memori PK. Atas

Peninjauan Kembali ke Mahkamah Agung yang diajukan oleh wajib pajak, DJP wajib menjawab dalam bentuk

Kontra Memori PK. Selama tahun 2011, DJP telah melakukan pengajuan Memori PK sejumlah 938 dan Kontra

Memori PK sebanyak 340.

Tabel 4.12.Pengajuan Peninjauan Kembali dan Kontra Peninjauan Kembali

ke Mahkamah Agung Tahun 2011

Jenis Pajak Memori PK KontraMemori PK Jumlah

PPh 453 121 574

PPN dan PPnBM 477 215 692

PBB dan BPHTB 8 4 12

Jumlah 938 340 1.278

Sumber: DJP.

Dalam tahun 2011, DJP menerima Putusan Peninjauan Kembali dari Mahkamah Agung berjumlah 372 putusan.

Tabel 4.13.Distribusi Putusan Peninjauan Kembali (PK) dari Mahkamah Agung berdasarkan

Asal Pemohon dan Amar Putusan yang Diterima DJP selama Tahun 2011

Pemohon Menolak Mengabulkan Jumlah

DJP 169 2 171

Wajib Pajak 195 6 201

Jumlah 364 8 372

Sumber: DJP.

KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA

| LAPORAN TAHUNAN 2011 | www.kemenkeu.go.id 82

4.6. Penerimaan Bea Masuk, Bea Keluar, dan Cukai

Realisasi Penerimaan DJBC pada tahun 2011 mencapai Rp131.103,89 miliar atau 113,99 persen dari target APBN

Perubahan Tahun 2011.

Tabel 4.14.Target dan Realisasi Penerimaan DJBC Tahun Anggaran 2011 (Rp Juta)

Jenis Penerimaan

Target Penerimaan Kenaikan Target

Persen (%)

RealisasiPencapaian APBN-P (%)APBN APBN-P

1. Bea Masuk 17.902.008,00 21.500.792,21 3.598.784,21 20,10 25.238.844,47 117,39

Bea Masuk Riil 15.902.008,00 21.000.792,21 5.098.784,21 32,06 25.191.492,93 119,95

BM-DTP 2.000.000,00 500.000,00 -1.500.000,00 -75,00 47.351,54 9,47

2. Cukai 62.759.938,00 68.075.339,10 5.315.401,10 8,47 77.009.461,32 113,12

3. Bea Keluar 5.107.302,00 25.439.075,92 20.331.773,92 398,09 28.855.579,54 113,43

Total 85.769.248,00 115.015.207,23 29.245.959,23 34,10 131.103.885,33 113,99

4.6.1. Pencapaian Target Penerimaan Bea Masuk

Dapat terlampauinya target Penerimaan Bea Masuk dikarenakan tingginya tingkat importasi. Pada tahun

2011, nilai dutiable import mencapai USD140,86 miliar, serta adanya upaya DJBC dalam merealisasikan potensi

penerimaan dari piutang Bea Masuk dengan tingkat kolektibilitas yang cukup tinggi, yaitu mencapai 80 persen.

4.6.2. Pencapaian Target Penerimaan Bea Keluar

Penerimaan Bea Keluar yang melebihi target disebabkan tingginya harga CPO dan turunannya di pasar

internasional. Tingginya harga berdampak pada meningkatnya tarif Bea Keluar atas ekspor komoditi CPO dan

turunannya yang merupakan komoditi ekspor utama penyumbang Bea Keluar. Di samping itu, Bea Keluar atas

ekspor biji kakao, kayu, rotan, dan kulit memberikan kontribusi yang cukup stabil. Tarif Bea Keluar untuk CPO pada

tahun 2011 mencapai rata-rata 18 persen. Sedangkan Harga Patokan Ekspor (HPE) CPO dan produk turunannya

sepanjang tahun 2011 relatif tinggi, yaitu berkisar antara USD1.070,50 hingga USD1.957,92.

4.6.3. Pencapaian Target Penerimaan Cukai

Dapat terlampauinya target penerimaan cukai pada tahun 2011 disebabkan adanya kenaikan tarif Cukai Hasil

Tembakau (CHT) yang berlaku mulai 1 Januari 2011 dan adanya e$ort DJBC dalam pemberantasan peredaran rokok

ilegal. Penerimaan Cukai setiap bulan pada umumnya relatif stabil, kecuali pada bulan Februari dan Desember

2011 di mana terjadi peningkatan penerimaan CHT sebagai dampak tingginya pemesanan Pita Cukai Rokok untuk

mengantisipasi kenaikan tarif Cukai Rokok yang biasanya diumumkan menjelang akhir tahun. Penerimaan bulan

Februari 2011 cukup tinggi dikarenakan peningkatan pesanan pita cukai pada bulan Desember 2010 yang jatuh

tempo pembayarannya pada bulan Februari 2011. Sedangkan tingginya penerimaan cukai pada bulan Desember

2011 disebabkan terjadinya pembayaran kredit cukai rokok sebelum jatuh tempo (jatuh tempo Januari 2012)

agar dapat melakukan pemesanan pita cukai dengan tarif cukai lama untuk mengantisipasi kenaikan tarif Cukai

Rokok pada Januari 2012.

www.kemenkeu.go.id | LAPORAN TAHUNAN 2011 | 83

KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA

4.7. Pengawasan dan Penindakan Kepabeanan dan Cukai

4.7.1. Kegiatan Pengawasan

Realisasi atas program kerja pengawasan yang ditetapkan pada tahun 2011 adalah berikut ini.

1. Melakukan operasi pengawasan penyelundupan !sik dan pelanggaran administrasi barang impor sebanyak

51 kali di seluruh Indonesia. Banyak temuan pelanggaran berupa kesalahan pemberitahuan jumlah dan

jenis barang impor yang terkena larangan dan pembatasan yang tidak dilengkapai dengan ijin dari instansi

terkait, pelanggaran tipe merk, spesi!kasi, ukuran dan berat yang tidak sesuai pemberitahuan, nilai pabean

yang tidak wajar, serta pelanggaran-pelanggaran lainnya.

2. Melaksanakan pengawasan dan penindakan penyalahgunaan fasilitas kepabeanan dan cukai. Operasi

pengawasan terhadap perusahaan penerima fasilitas Kawasan Berikat (KB), Gudang Berikat (GB), dan

Kemudahan Impor Tujuan Ekspor (KITE), dilaksanakan di wilayah pengawasan Kantor Wilayah DJBC

Jakarta, Kantor Wilayah DJBC Banten, Kantor Wilayah DJBC Jawa Barat, Kantor Wilayah DJBC Jawa Tengah

dan DIY, serta Kantor Wilayah DJBC Jawa Timur I. Masih ditemukan adanya pelanggaran berupa kesalahan

pemberitahuan jenis barang, HS dan tarif bea masuk, serta kesalahan pemberitahuan jumlah dan jenis

barang dengan komoditi umumnya berupa barang elektronik.

3. Melaksanakan pengawasan dan penindakan penyelundupan di daerah rawan dan perbatasan. Operasi

pengawasan untuk mencegah terjadinya penyelundupan di daerah rawan dan perbatasan dilaksanakan

melalui operasi patroli laut di perairan wilayah kerja Kantor Wilayah DJBC Nangroe Aceh Darussalam, Kantor

Wilayah DJBC Sumatera Utara, Kantor Wilayah DJBC Khusus Kepulauan Riau, Kantor Wilayah DJBC Riau dan

Sumatera Barat, serta Kantor Wilayah DJBC Sumatera Bagian Selatan dengan menggunakan Kapal Patroli Bea

dan Cukai dan Anak Buah Kapal dari Pangkalan Sarana Operasi Tipe A Tanjung Balai Karimun serta Wilayah

perairan wilayah kerja Kalimantan Bagian Barat dan Kalimantan Bagian Timur dengan Kapal Ptroli Bea dan

Cukai beserta Anak Buah Kapal dari Pangkalan Sarana Operasi Tipe B Pantoloan dengan Komandan Patroli

dari Pegawai Direktorat Penindakan dan Penyidikan dan Kantor Pelayanan Utama Tipe B Batam. Beberapa

hasil kegiatan patroli laut adalah berikut ini:

Salah satu patroli laut yang telah dilaksanakan adalah pencegahan kapal MT Western KGT dan MT

Concertina yang kedapatan membawa komoditi crude oil sebanyak ±650 kilo liter dengan modus

melakukan pemuatan dan pengangkutan barang ekspor berupa crude oil tanpa dokumen dengan cara

ship to ship.

Penyegelan KM Artika yang mengangkut spare parts, stationery and accessories, dan lain-lain, dengan

proses penyelesaian lebih lanjut diserahkan kepada KPPBC Tipe A3 Teluk Nibung.

4. Melaksanakan operasi pengawasan kegiatan ekspor untuk mencegah terjadinya ekspor !ktif, ekspor barang

larangan dan pembatasan dan pelarian Pajak Ekspor (PE). Pelaksanaan operasi pencegahan pelanggaran

kepabeanan di bidang ekspor belum menemukan adanya pelanggaran ketentuan di bidang ekspor.

5. Melaksanakan pengawasan dan penindakan pemalsuan pita cukai, pemakaian pita cukai palsu, penggunaan

pita cukai yang bukan haknya, pengunaan pita cukai yang tidak sesuai peruntukannya, dan hasil tembakau

(HT) yang tidak dilekati pita cukai (rokok polos). Hasil operasi pengawasan masih ditemukan pelanggaran

berupa peredaran rokok yang dilekati pita cukai yang tidak sesuai dengan peruntukannya dan pelanggaran-

pelanggaran lainnya.

6. Melaksanakan pengawasan dan penindakan peredaran MMEA impor ilegal dan pengeluaran MMEA lokal

yang tidak sesuai prosedur atau tidak membayar cukai.

KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA

| LAPORAN TAHUNAN 2011 | www.kemenkeu.go.id 84

Tabel 4.15.Kegiatan Pengawasan Kepabeanan dan Cukai oleh Direktorat Penindakan dan Penyidikan

Tahun 2010-2011

No. Kegiatan PengawasanJumlah Pengawasan

2010 2011

1. Operasi pengawasan kegiatan impor 27 9

2.Operasi pengawasan terhadap perusahaan penerima fasilitas kepabeanan dan cukai

12 12

3. Operasi patroli laut 17 9

4. Operasi pengawasan kegiatan ekspor 10 3

5. Operasi pengawasan hasil tembakau 17 15

6. Operasi pengawasan MMEA 2 9

Jumlah 82 57

Sumber: DJBC.

7. Melaksanakan pengawasan di bidang narkotika, psikotropika, prekursor (NPP), serta asistensi kegiatan

pengawasan NPP ke KPPBC.

Tabel 4.16.Pengawasan di Bidang NPP Tahun 2011

No. Kegiatan Pengawasan Jumlah

1. Patroli NPP Rutin Bulanan 12

2. Patroli NPP Khusus 32

3. Asistensi Pengawasan dan Pelatihan NPP (CNT Workshop) 25

Sumber: DJBC.

4.7.2. Kegiatan Penindakan

Jumlah penindakan yang dilakukan oleh DJBC sepanjang tahun 2011 mencapai 45 kasus. Jumlah ini meningkat

lebih dari dua kali lipat dibandingkan kuantitas penindakan pada tahun 2010 sebanyak 21 kasus. Penindakan

terbanyak dilakukan terhadap kasus Cukai Hasil Tembakau dan Cukai MMEA yang masing-masing berjumlah 12

kasus. Selanjutnya diikuti oleh penindakan pada kasus impor (11 kasus) dan fasilitas kepabeanan dan cukai (9

kasus).

Tabel 4.17.Jumlah Penindakan Tahun 2010-2011

No. Kegiatan PengawasanJumlah Penindakan (Kasus)

2010 2011

1. Impor 6 11

2. Fasilitas Kepabeanan dan Cukai 6 9

3. Patroli Laut 5 1

4. Ekspor 0 0

5. Cukai Hasil tembakau 2 12

6. Cukai MMEA 2 12

Jumlah 21 45

Sumber: DJBC.

www.kemenkeu.go.id | LAPORAN TAHUNAN 2011 | 85

KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA

Penindakan yang dilakukan merupakan hasil dari pengawasan yang dilakukan secara intensif. Pada tahun 2011,

kuantitas pengawasan telah dilakukan terhadap 3.378 kasus. Jumlah ini sedikit mengalami penurunan jika

dibandingkan dengan jumlah pengawasan pada tahun 2010 sebanyak 3.680 kasus.

Tabel 4.18.Kegiatan Pengawasan DJBC Tahun 2010-2011

Tahun Jumlah Penindakan

2010 3.680

2011 3.378

Sumber: DJBC.

Dalam kaitannya dengan NPP, penindakan yang telah dilakukan di seluruh Indonesia sebanyak 146 kasus yang

tersebar pada 24 kantor dengan total barang bukti seberat 276.407,64 gram.

Tabel 4.19.Penindakan NPP Berdasarkan Kantor Bea dan Cukai Tahun 2011

No. Kantor Jumlah kasus

1 KPPBC Madya Pabean Soekarno Hatta 52

2 KPPBC Teluk Nibung 19

3 KPPBC Medan 14

4 KPPBC Madya Pabean Ngurah Rai 12

5 KPU Tipe B Batam 9

6 KPPBC Madya Pabean Juanda 8

7 KPPBC Madya Pabean Bandung 6

8 KPPBC Madya Pabean Dumai 3

9 KPPBC Madya Pabean Surakarta 3

10 KPPBC TP Nunukan 3

11 KPPBC Jayapura 3

12 KPPBC Madya Pabean Yogyakarta 2

13 KPPBC Tanjung Balai Karimun 1

14 KPPBC Bengkalis 1

15 KPPBC Selat Panjang 1

16 KPPBC Banda Aceh 1

17 KPPBC Palembang 1

18 KPPBC TMP Pekan Baru 1

19 KPU Tanjung Priok 1

20 KPPBC Pasar Baru 1

21 KPPBC TMP Makassar 1

22 KPPBC TMP Tarakan 1

23 KPPBC Cirebon 1

24 KPPBC Mataram 1

Jumlah 146

Sumber: DJBC.

KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA

| LAPORAN TAHUNAN 2011 | www.kemenkeu.go.id 86

Penindakan NPP pada dasarnya dihasilkan dari kegiatan asistensi dan pengawasan. Sepanjang tahun 2011 telah

direalisasikan asistensi dan pengawasan terhadap 23 kasus. Kasus terbanyak dijumpai pada KPPBC TMP Soekarno-

Hatta dan KPPBC TMP Bandung.

Tabel 4.20.Realisasi Asistensi dan Pengawasan yang Menghasilkan Penindakan NPP

oleh Subdirektorat Narkotika Tahun 2011

No. Kantor Jumlah Kasus

1. KPPBC TMP Soekarno Hatta 8

2. KPU Tanjung Priok 1

3. KPU Batam 1

4. KPPBC TMP Bandung 5

5. KPPBC TMP Medan 2

6. KPPBC Makassar 1

7. KPPBC Pasar Baru 1

8. KPPBC Cirebon 1

9. KPPBC TMP Ngurah Rai 3

Jumlah 23

Sumber: DJBC.

Jika dikaji berdasarkan jenisnya, maka diketahui bahwa penindakan terbanyak dilakukan pada methamphetamine

yang mencapai 158.376,70 gr. Angka ini jauh lebih tinggi dibandingkan jenis-jenis NPP lainnya.

Tabel 4.21.Penindakan NPP Berdasarkan Jenis Tahun 2011

No. Jenis NPP Jumlah Satuan

1. Methamphetamine 158.376,70 gram

2. Cocalin 176,17 gram

3. Ekstasi 9.665,70 gram

4. Ganja 1.280,50 gram

5. Erimin Five / Happy Five 348,00 gram

6. Hashish 3,00 gram

7. Heroin 14.718,11 gram

8. Ketamine 32.355,99 gram

9. Morphine 158,00 gram

10. Amfetamin 295,00 gram

11. Bromazepam 15,00 gram

Jumlah 276.407,64 gram

Sumber: DJBC.

Di samping melaksanakan kegiatan pengawasan dan penindakan, Direktorat Penindakan dan Penyidikan juga

melaksanakan kegiatan-kegiatan lainnya.

www.kemenkeu.go.id | LAPORAN TAHUNAN 2011 | 87

KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA

1. Ikut serta dalam kegiatan Patkor Optima Malindo ke-20A pada tanggal 19-21 Mei 2011 dengan mengirimkan

anggota delegasi pada upacara pembukaan di Batam dengan dukungan Kapal Patroli BC 9002 dan Patkor

Optima Malindo ke-20B pada tanggal 20-30 Oktober 2011 dengan upacara penutupan di Port Klang, Malaysia

pada tanggal 31 Oktober 2011.

2. Ikut serta dalam kegiatan Patkor Kastima pada tanggal 18-30 Juli 2011 dengan pembukaan di Batam,

Indonesia pada tanggal 19 Juli 2011 dan penutupan di Pangkalan Kastam Marin Sungai Pulai, Johor, Malaysia

tanggal 30 Juli2011.

3. Ikut serta melakukan pemantauan dan pengawasan atas pencacahan dan perajangan kertas banderol

berhologram rusak dan pelat cetak hologram rusak, mengawasi pelaksanaan pemusnahan pita cukai, plat

cukai, dan pemantauan batas lekat pita cukai MMEA apabila ada permintaan dari unit lainnya.

4. Mengkoordinasikan pelaksanaan rapat koordinasi pengawasan bidang kepabeanan dan cukai yang diikuti

oleh para pejabat unit pengawasan dari Kantor Wilayah DJBC, KPU BC, dan KPPBC.

5. Melakukan kegiatan koordinasi lintas sektoral dengan instansi teknis terkait di dalam negeri yang diwujudkan

melalui kegiatan seperti partisipasi dalam kegiatan rapat dan patroli bersama yang dilaksanakan di bawah

koordinasi Badan Koordinasi Keamanan Laut (BAKORKAMLA).

6. Mengadakan dan mengikuti pelatihan SDM melalui seminar, workshop, serta pendidikan dan pelatihan

dengan materi pelatihan yang berkaitan dengan tugas dan fungsi Direktorat Penindakan dan Penyidikan.

4.7.3. Kegiatan Penyidikan

Kegiatan penyidikan dalam tahun 2011 mencapai 121 kasus. Secara kuantitas mengalami penurunan 33 persen

jika dibandingkan dengan tahun 2010. Hal ini disebabkan kuantitas penindakan pelanggaran kepabeanan dan

cukai menurun yang mengindikasikan bahwa tingkat kepatuhan pelaku usaha terkait kepabeanan dan cukai

semakin meningkat.

Dari 121 kasus yang disidik dalam tahun 2011, sebanyak 96 kasus atau 79 persen diantaranya telah diserahkan ke

kejaksaan dengan status P-21. Pencapaian ini melebihi target yang ditetapkan, yaitu sebesar 50 persen. Ke 121

kasus tersebut terdiri dari:

1. penyidikan tindak pidana kepabeanan 69 kasus, di mana 60 kasus telah P-21; dan

2. penyidikan tindak pidana cukai 52 kasus, di mana 36 kasus telah P-21.

4.8. Perkembangan Indonesian National Single Window (INSW)

Sesuai rencana kerja tim persiapan NSW pada tahun 2011 dan sesuai dengan target capaian yang telah ditetapkan

Menteri Keuangan selaku ketua tim persiapan NSW, yaitu melakukan perluasan (ekstensi!kasi) penerapan sistem

NSW impor dan ekspor di beberapa pelabuhan, maka pada tahun 2011 telah dilaksanakan penerapan mandatori

sistem National Single Window (NSW) ekspor dan impor pada 4 Kantor Pelayanan dan Pengawasan Bea dan Cukai,

yaitu:

1. Kantor Pengawasan dan Pelayanan Bea dan Cukai Tipe Madya Pabean Bekasi pada tanggal 29 September

2011;

2. Kantor Pengawasan dan Pelayanan Bea dan Cukai Tipe Madya Pabean Merak pada tanggal 27 Oktober 2011;

3. Kantor Pengawasan dan Pelayanan Bea dan Cukai Tipe Madya Pabean Juanda pada tanggal 22 Desember

2011; dan

KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA

| LAPORAN TAHUNAN 2011 | www.kemenkeu.go.id 88

4. Kantor Pengawasan dan Pelayanan Bea dan Cukai Tipe Madya Pabean Jakarta pada tanggal 24 Desember

2011.

Pada tahun 2011 juga telah dilakukan penerapan Indonesia National Trade Respisotory (INTR) dan Single Sign On

(SSO) antara portal INSW dengan Badan POM pada tanggal 19 Desember 2011, serta Integrasi antara TPS Online

dengan portal INSW terkait dengan informasi cargo release (data waktu penimbunan, PLP, gate out).

Di samping pengembangan sistem NSW, capaian kinerja DJBC lainnya yang terkait dengan pembangunan sistem

aplikasi meliputi aspek-aspek berikut ini.

1. Pembangunan website DJBC.

Penerapan o!cial website DJBC yang baru dan portal intranet DJBC.

2. Pembangunan aplikasi pelayanan/pengawasan.

Aplikasi Registrasi Kepabeanan;

Aplikasi Database Nilai Pabean II;

Aplikasi Passenger Analysis Unit (PAU);

Aplikasi BC 23 Sentralisasi;

SAC EA/MMEA Sentralisasi; dan

Aplikasi Manifes untuk Cikarang Dry Port (CDP).

3. Penyempurnaan Aplikasi Sistem Manajemen Audit (SIMAUDI) terkait penambahan laporan penyampaian

IKU dan KPI.

4. Penyempurnaan Aplikasi Sistem Informasi Direktorat P2 (SIDIA) terkait laporan hasil penindakan dan

rekapitulasi penanganan perkara.

5. Penyempurnaan SKP Impor, SKP Ekspor, SKP Manifes dan SKP BC 2.3 terkait mandatori pemberitahuan

Nomor Identitas Kepabeanan (NIK).

6. Perluasan pendampingan penerapan/uji coba sistem aplikasi.

Perluasan penerapan Pertukaran Data Elektronik (PDE) untuk pelayanan manifes, impor (BC 2.0) dan

ekspor (BC 3.0) di 6 kantor pelayanan, yaitu:

- Kantor Pengawasan dan Pelayanan Bea dan Cukai Tipe Madya Pabean Bekasi;

- Kantor Pengawasan dan Pelayanan Bea dan Cukai Tipe Madya Pabean Merak;

- Kantor Pengawasan dan Pelayanan Bea dan Cukai Tipe Madya Pabean Jakarta;

- Kantor Pengawasan dan Pelayanan Bea dan Cukai Tipe Madya Pabean Juanda;

- Kantor Pengawasan dan Pelayanan Bea dan Cukai Tipe Madya Pabean Bandung; dan

- Kantor Pengawasan dan Pelayanan Bea dan Cukai Tipe Madya Pabean Medan.

Perluasan penerapan SAC Hasil Tembakau di 11 Kantor Pengawasan dan Pelayanan Bea dan Cukai (KPPBC)

dan 13 Kantor Wilayah DJBC.

www.kemenkeu.go.id | LAPORAN TAHUNAN 2011 | 89

KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA

Migas

Non Migas

Bagian Laba BUMN

PNBP Lainnya

BLU

193.49,60%

20.62,7%

28.19,9%

68.59,21%

10.39,3% 0,0%

Uji coba penerapan Aplikasi BC 23 Sentralisasi di KPPBC Madya Pabean Surakarta.

Uji coba penerapan SAC EA/MMEA Sentralisasi di KPPBC Madya Pabean Surakarta.

Penerapan SKP KITE di KWBC Banten dan migrasi pelayanan KITE KWBC Jakarta dari gedung A KP DJBC

Jakarta di Kemayoran.

Penerapan Aplikasi Manifes untuk CDP di KPPBC Madya Pabean Bekasi.

Penerapan Aplikasi Registrasi Kepabeanan di Kantor Pusat (Subdit Registrasi) dan di Kantor Pelayanan

Utama Bea dan Cukai Tipe B Batam.

Penerapan Sistem Aplikasi Piutang dan Pengembalian (SAPP) di 26 Kantor Pengawasan dan Pelayanan

Bea Cukai dan 4 Kantor Wilayah DJBC.

Penerapan Aplikasi O!ce Automation (OA) di beberapa kantor pelayanan.

4.9 Penerimaan Negara Bukan Pajak

Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) merupakan salah satu sumber pendapatan negara selain pajak dan cukai

yang porsinya dari tahun ke tahun terus meningkat. Capaian PNBP pada tahun 2011 adalah Rp321,28 triliun atau

112,09 persen dari target APBN-P. Sebagian besar realisasi PNBP berasal dari penerimaan sumber daya alam migas

yang mencapai Rp193,49 triliun atau 60 persen dari total PNBP. Kontribusi PNBP terbesar berikutnya berturut-

turut adalah PNBP lainnya Rp68,59 triliun, bagian laba Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Rp28,18 triliun, sumber

daya alam non migas Rp20,62 triliun, dan Rp10,39 triliun merupakan pendapatan Badan Layanan Umum (BLU).

Gambar 4.6.Realisasi PNBP Tahun Anggaran 2011

Sumber: Buku Merah, 31 Desember 2011.

Nilai PNBP pada tahun 2011 merupakan yang tertinggi dalam 5 tahun terakhir. Tingginya pencapaian tersebut

terutama disebabkan oleh realisasi harga minyak mentah Indonesia (Indonesian Crude Price-ICP) yang rata-rata

mencapai USD109.94 per barrel. Realisasi ICP ini jauh melampaui asumsi ekonomi makro dalam APBN yang

ditetapkan sebesar USD95 per barrel. Pencapaian target PNBP pada tahun 2011 juga sekaligus memecahkan

rekor pencapaian PNBP yang sebelumnya dicetak pada tahun 2008, yakni Rp320,60 triliun dengan ICP sebesar

USD101,31 per barrel.

KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA

| LAPORAN TAHUNAN 2011 | www.kemenkeu.go.id 90

Gambar 4.7.Realisasi PNBP dan ICP Tahun 2007-2011

Sumber : LKPP Tahun 2011.

Di samping karena variabel ekonomi makro, tercapainya target PNBP juga didukung oleh upaya ekstensi!kasi

dan intensi!kasi. Ekstensi!kasi dilakukan antara lain dengan mempercepat penyelesaian Rancangan Peraturan

Pemerintah (RPP) tentang Jenis dan Tarif atas Jenis PNBP. Langkah ini ditempuh dalam rangka menginventarisir

berbagai jenis PNBP baru yang potensial untuk dipungut oleh K/L. Adapun intensi!kasi dilakukan antara lain

dengan penagihan secara intensif atas piutang PNBP, terutama yang berasal dari piutang migas.

Kedudukan Kementerian Keuangan dalam pengelolaan PNBP adalah sebagai fasilitator bagi K/L dalam

pemungutan PNBP. Permasalahan yang dijumpai dalam mengoptimalkan penerimaan PNBP antara lain adalah:

1. besaran target PNBP K/L yang belum optimal;

2. besaran dan jumlah ijin penggunaan PNBP K/L yang relatif tinggi dan terus meningkat; serta

3. belum berjalannya pembagian tugas yang tegas di antara Kementerian Keuangan dan instansi terkait.

Tabel 4.22.Penerimaan Migas, Pembayaran Subsidi, dan PNBP Tahun Anggaran 2011

(dalam miliar rupiah)

MAP Keterangan Realisasi LKPP 2010

APBNTA 2011

APBN-PTA 2011

Buku Merah 2)

% Realisasi

Buku Merah

Terhadap APBN

% Realisasi

Buku Merah

thd APBN-P

APBNTA 2012

I. Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) 268.941,86 250.906,99 286.567,32 321.205,08 128,02% 112,09% 277.991,38

421 A. Penerimaan Sumber Daya Alam (SDA) 168.825,44 163.119,23 191.976,02 214.042,42 131,22% 111,49% 177.263,35

1. SDA Migas 152.733,24 149.339,80 173.167,27 193.426,18 129,52% 111,70% 159.471,89

4211 a. Minyak Bumi 111.814,92 107.540,68 123.051,03 141.239,09 131,34% 114,78% 113.681,49

4212 b. Gas Alam 40.918,31 41.799,12 50.116,24 52.187,09 124,85% 104,13% 45.790,40

2. SDA Non Migas 16.092,20 13.779,43 18.808,75 20.616,24 149,62% 109,61% 17.791,46

4213 a. Pertambangan Umum 12.646,75 10.365,17 15.394,50 16.652,77 160,66% 108,17% 14.453,95

421311 iuran tetap 160,83 168,48 273,16 287,34 170,55% 105,19% 158,90

421312 royalti 12.485,92 10.196,70 15.121,34 16.365,43 160,50% 108,23% 14.295,05

350

300 100

80

60

40

20

0

PNBP (Rp Triliun)

ICP (USD/Barrel)

120

250

200

150

100

50

02007 2008 2009 2010 2011

215,12

69,69

101,31

58,55

78,07

109,94

USD/BarrelRp Triliun

320,60

227,17

268,68

321,28

www.kemenkeu.go.id | LAPORAN TAHUNAN 2011 | 91

KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA

Tabel 4.23. (Lanjutan)

MAP Keterangan Realisasi LKPP 2010

APBNTA 2011

APBN-PTA 2011

Buku Merah 2)

% Realisasi

Buku Merah

Terhadap APBN

% Realisasi

Buku Merah

thd APBN-P

APBNTA 2012

4214 b. Kehutanan 3.009,67 2.908,14 2.908,14 3.216,93 110,62% 110,62% 2.954,45

421411 Dana Reboisasi 1.764,96 1.279,18 1.279,18 1.796,01 140,40% 140,40% 1.409,73

421421 Provisi Sumber Daya Hutan (PSDH) 797,33 1.359,05 1.359,05 868,65 63,92% 63,92% 1.304,89

421431 Iuran Hak Pengusahaan Hutan (IHPH) 271,54 94,89 94,89 119,72 126,16% 126,16% 12,55

421441 Pendapatan Penggunaan Kawasan Hutan 175,85 175,02 175,02 432,55 247,15% 247,15% 227,29

4215 c. Perikanan 92,00 150,00 150,00 183,84 122,56% 122,56% 150,00

4216 d. Pertambangan Panas Bumi 343,79 356,11 356,11 562,70 158,01% 158,01% 233,06

422 B. Bagian Laba BUMN 30.096,93 27.590,40 28.835,82 28.173,44 102,11% 97,70% 28.001,29

423 C. PNBP Lainnya 59.428,64 45.166,55 50.339,44 68.595,71 151,87% 136,27% 53.492,30

4231 1. Pendapatan Penjualan dan Sewa 16.498,91 16.745,37 17.499,49 21.375,23 127,65% 122,15% 24.446,25

42311 Pendapatan Penjualan Hasil Produksi/Sitaan 6.304,68 6.190,04 6.190,04 9.242,13 149,31% 149,31% 13.579,22

423113 Pendapatan Penjualan Hasil Tambang 5.905,30 6.134,95 6.134,95 7.590,32 123,72% 123,72% 13.449,73

42312 Pendapatan Penjualan Aset 263,88 28,18 28,18 134,40 476,94% 476,94% 5,19

42314 Pendapatan Sewa 147,50 84,61 84,61 195,14 230,62% 230,62% 142,81

423131 Pendapatan Bersih Hasil Penjualan BBM 401,66 0,02

423132 Pendapatan Minyak Mentah DMO 9.225,10 10.442,54 11.196,66 11.757,36 112,59% 105,01% 10.719,03

423139 Pendapatan Lainnya dari Keg. Hulu Migas 156,10 46,19

4232 2. Pendapatan Jasa 25.416,55 22.179,87 22.535,63 27.353,75 123,33% 121,38% 23.983,02

4233 3. Pendapatan Bunga 7.352,41 2.000,00 2.000,00 4.661,84 233,09% 233,09% 1.736,31

4234 4. Pendapatan Kejaksaan dan Peradilan 166,61 36,54 36,54 241,22 660,21% 660,21% 98,72

4235 5. Pendapatan Pendidikan 2.983,45 3.671,10 3.699,84 2.956,79 80,54% 79,92% 2.660,47

4236 6. Pendapatan Grati!kasi dan Uang Sitaan Hasil Korupsi 213,77 47,80 47,80 92,86 194,26% 194,26% 62,25

4237 7. Pendapatan Iuran dan Denda 704,80 467,53 467,53 1.318,98 282,12% 282,12% 474,35

4239 8. Pendapatan Lain-lain 6.092,15 18,35 4.052,61 10.595,04 57751,36% 261,44% 30,93

Pendapatan dari Penerimaan Kembali TAYL 5.763,38 11,51 4.045,77 7.987,81 69419,89% 197,44% 6,35

424 D. Pendapatan BLU 10.590,84 15.030,81 15.416,04 10.393,50 69,15% 67,42% 19.234,45

II. Penerimaan Migas (SDA + PPh) 220.987,17 215.335,95 249.594,60 278.325,31 129,25% 111,51% 231.106,49

1. SDA Migas 152.733,24 149.339,80 173.167,27 193.426,18 129,52% 111,70% 159.471,89

41111 2. PPh Migas 58.872,73 55.553,61 65.230,67 73.095,58 131,58% 112,06% 60.915,57

423132 3. Pen. Minyak Mentah DMO 9.225,10 10.442,54 11.196,66 11.757,36 112,59% 105,01% 10.719,03

423139 4. Pendapatan Lain dari Keg. Hulu Migas 156,10 0,00 0,00 46,19 0,00

III. Pembayaran Subsidi 139.952,94 136.614,18 195.288,70 255.608,82 187,10% 130,89% 168.559,87

1. BBM & LPG 82.351,32 95.914,18 129.723,58 165.161,34 172,20% 127,32% 123.599,67

2. Listrik 57.601,62 40.700,00 65.565,12 90.447,49 222,23% 137,95% 44.960,20

2) Data Realisasi sementara per 31 Desember 2011 berdasarkan Buku Merah Revisi 1

KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA

| LAPORAN TAHUNAN 2011 | www.kemenkeu.go.id 92

Untuk menyelesaikan permasalahan-permasalahan tersebut, Direktorat Jenderal Anggaran (DJA) telah melakukan

beberapa kegiatan selama tahun 2011.

1. Aplikasi Billing System Online

Aplikasi billing system online merupakan pengembangan dari Modul Penerimaan Negara Generasi 2 (MPN-

2). MPN merupakan suatu sistem pengadministrasian pendapatan negara berbasis web yang dibangun oleh

Kementerian Keuangan bekerjasama dengan pihak perbankan dan Bank Indonesia, PT. Pos Indonesia, serta pihak

penyedia jasa switcher. Pada tahun 2011, MPN-2 telah memasuki tahap penyempurnaan agar dapat menyediakan

pelayanan yang lebih baik kepada masyarakat dan sekaligus memenuhi harapan Pemerintah akan ketersediaan

data yang kredibel.

Pengintregasian PNBP ke dalam sistem MPN-2 dilakukan dalam rangka:

mendukung penyempurnaan pembangunan sistem pengadministrasian pendapatan negara yang

moderen;

membangun database realisasi PNBP yang komprehensif sebagai alat analisis dalam perumusan kebijakan

dan perencanaan terkait PNBP; serta

memperbaiki kualitas perencanaan dan perumusan kebijakan PNBP.

2. Monitoring dan Evaluasi PNBP dan Subsidi Energi

Pada tahun 2011, DJA telah melakukan kunjungan kerja dalam rangka evaluasi terhadap Kementerian Perhubungan

dan Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geo!sika (BMKG). Tujuan evaluasi adalah menguji efektivitas peraturan

umum di bidang PNBP, serta menginventarisasi potensi PNBP dan permasalahan yang dihadapi oleh kedua K/L

tersebut selama ini. Di samping itu, DJA juga melakukan peninjauan ke beberapa perusahaan kontraktor migas

dengan tujuan untuk mengevaluasi over/underlifting dan pembayaran Domestic Market Obligation (DMO) fee

dalam rangka perhitungan penerimaan migas.

DJA juga melakukan monitoring dan evaluasi terhadap pembayaran subsidi energi dengan melakukan uji

petik atas bukti penjualan BBM bersubsidi dan penjualan jasa tenaga listrik. Uji petik subsidi BBM jenis tertentu

dilakukan terhadap PT. Pertamina (Persero), Petronas, dan AKR Corporindo Tbk. Adapun uji petik subsidi listrik

dilakukan pada beberapa kantor operasional PT. Perusahaan Listrik Negara (Persero). Kegiatan uji petik ini antara

lain ditempuh dalam rangka melakukan veri!kasi atas bukti tagihan pembayaran subsidi energi yang dilakukan

oleh badan usaha pelaksana subsidi Public Service Obligation (PSO).

3. Reformasi Pengelolaan PNBP

Pada tahun 2011, DJA melakukan reformasi pengelolaan PNBP, seperti evaluasi jenis dan tarif PNBP K/L dalam

rangka ekstensi!kasi dan intensi!kasi penerimaan serta melakukan evaluasi besaran ijin penggunaan PNBP K/L

yang didasarkan pada kriteria yang tepat untuk memacu peningkatan potensi PNBP. Dalam hal penerimaan SDA,

dilakukan perbaikan, yaitu dengan menyusun regulasi pengelolaan PNBP Migas untuk mengatur tanggung jawab

dan kewenangan pengadministrasian PNBP, PPh, dan PBB Migas, termasuk bagi hasilnya di antara Kementerian

Keuangan, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, serta BP Migas. Selain itu, juga diupayakan perbaikan

dalam tata kelola pengawasan SDA Mineral dan Batubara.

Upaya untuk merevisi Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1997 tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak terus

dilakukan. Revisi undang-undang tersebut telah masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Tahun 2010-

www.kemenkeu.go.id | LAPORAN TAHUNAN 2011 | 93

KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA

2014. UU No. 20 Tahun 1997 masih mengacu pada Indische Compabiliteitswet (Staatsblad Tahun 1925 Nomor 448)

sebagaimana telah diubah dan ditambah, terakhir dengan UU No. 9 Tahun 1968. Dengan telah ditetapkannya UU

No. 17 Tahun 2003 yang menggantikan Indische Compabiliteitswet, maka secara yuridis, UU No. 20 Tahun 1997

sudah saatnya direvisi guna menyesuaikan dengan landasan yuridis yang telah berubah. Revisi UU No. 20 Tahun

1997 ditargetkan selesai pada tahun 2013. Pada Tahun 2011, telah dilakukan kajian dan pembahasan materi dan

isu pokok pengelolaan PNBP dengan melibatkan beberapa Eselon 1 di Kementerian Keuangan dan beberapa

wakil K/L.

Selain revisi UU No. 20 Tahun 1997, pada tahun 2011 telah diselesaikan berbagai peraturan dalam bidang PNBP,

yaitu terkait dengan jenis dan tarif PNBP yang berlaku pada K/L. Beberapa Peraturan Pemerintah (PP) telah

diselesaikan, diantaranya revisi PP tentang Jenis dan Tarif PNBP pada Badan Tenaga Atom Nasional (BATAN) dan

Sekretariat Negara. Beberapa draft revisi PP tentang Jenis dan Tarif PNBP yang masih dalam proses harmonisasi

di Kementerian Hukum dan HAM adalah draft RPP tentang Jenis dan Tarif PNBP pada Kementerian Energi dan

Sumber Daya Mineral.

4.9.1 Penerimaan Negara Bukan Pajak yang berasal dari Direktorat Jenderal Kekayaan Negara

Sumber PNBP yang dikelola oleh Kementerian Keuangan antara lain berasal dari hasil pengurusan piutang negara

dan pelaksanaan lelang yang berupa Biaya Administrasi Pengurusan Piutang Negara (Biad PPN) dan bea lelang.

Pencapaian target PNBP dari biad PPN dan bea lelang pada tahun 2011 mencapai sebesar Rp74,46 miliar atau

158,43 persen dari target sebesar Rp47 miliar. Adapun rincian capaian PNBP dari biad PPN dan bea lelang sejak

dua tahun terakhir adalah sebagai berikut:

Tabel 4.23.Realisasi Biad PPN Tahun 2010-2011

(dalam jutaan rupiah)

TahunBIAD

% CapaianTarget Realisasi

2010 67.750,00 68.113,66 100,54%

2011 47.000,00 74.460,00 158,43%

Sumber: DJKN.

Target tersebut dapat dicapai karena dari hasil pelaksanaan debtor tracing (investigation) dan asset tracing

menghasilkan penyelesaian piutang negara baik melalui eksekusi maupun noneksekusi.

Tabel 4.25.Realisasi Bea Lelang Tahun 2010-2011

(dalam jutaan rupiah)

TahunBea Lelang

% CapaianTarget Realisasi

2010 44.047,00 83,336.05 100,54%

2011 47.575,76 102,800.33 216,07%

Sumber: DJKN.

KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA

| LAPORAN TAHUNAN 2011 | www.kemenkeu.go.id 94

PNBP yang diperoleh dari bea lelang selama dua tahun terakhir ini dapat melampaui target karena:

1. Adanya kegiatan penggalian potensi lelang yang dilakukan kepada K/L, pengguna jasa lelang, maupun

masyarakat dan stakeholders lain secara intensif dan berkesinambungan. Upaya penggalian potensi lelang

yang dilakukan selama tahun 2011, meliputi peningkatan mutu layanan lelang, kunjungan, iklan layanan

masyarakat, Auction on Clinic, penyuluhan, workshop, dan kegiatan lainnya. Terhadap upaya penggalian

potensi lelang yang dilakukan secara intensif dan berkesinambungan tersebut memberikan hasil yang

maksimal berupa pertumbuhan positif atas realisasi bea lelang;

2. Terdapat beberapa permohonan lelang yang laku dilelang dengan harga yang sangat tinggi (lelang booming);

3. Adanya kegiatan monitoring dan evaluasi baik yang dilakukan oleh Kantor Pusat maupun Kanwil atas

pelaksanaan pelayanan lelang dalam rangka menunjang continuous improvement. Kegiatan monitoring

dilakukan baik secara langsung (melalui peninjauan pelaksanaan lelang) maupun secara tidak langsung

(melalui himbauan, teguran, petunjuk, dan pelaporan atas pelaksanaan lelang). Sedangkan, kegiatan

evaluasi dilakukan secara berkelanjutan dengan menampung masukan melalui sosialisasi kebijakan yang

diakomodasi ke dalam ketentuan lelang;

4. Adanya upaya yang optimal dari Kementerian Keuangan c.q. DJKN untuk meningkatkan kualitas kinerja

Pejabat Lelang Kelas I, Pejabat Lelang Kelas II, dan Balai Lelang melalui penyelenggaraan Capacity Building

dan sosialisasi kebijakan di bidang lelang.

4.10. Pengelolaan Rekening Sumber Daya Alam dan Non Sumber Daya Alam

Pengelolaan Rekening SDA (migas, panas bumi, pertambangan dan perikanan) dan non SDA (Rekening Dana

Investasi/Rekening Pembangunan Daerah, Hibah Bencana Alam Sumatera, dan Hibah ESSP) melalui Penatausahaan

rekening Koran Bank Indonesia, pemindahbukuan ke RKUN serta kepada Pihak Ketiga dilakukan atas permintaan

dari DJA (rekening SDA) dan Direktorat SMI (RDI/RPD). Dalam rangka optimalisasi penerimaan negara pada tahun

2011, RDI/RPD pada Bank Indonesia ditetapkan sebagai Rekening Penerimaan Kuasa BUN Pusat, sehingga setiap

akhir hari kerja dilakukan penihilan saldo (penyetoran ke RKUN) serta pemberian remunerasi dari Bank Indonesia

untuk rekening SDA dan non SDA yang lain.

www.kemenkeu.go.id | LAPORAN TAHUNAN 2011 | 95

KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA

Tabel 4.26.Remunerasi dari Bank Indonesia untuk Rekening SDA dan Non SDA Tahun 2011

Nama Rekening Ke RKUN Remunerasi

Kementerian Keuangan/hasil perjanjian karya production sharing (USD) 126.596.106.667.568,00 37.198.997.302,15

Rekening Penerimaan Bidang Pertambangan dan Perikanan 28.444.704.534,63 5.216.392.960,87

Rekening Penerimaan Panas Bumi 562.702.273.746,77 14.821.079.576,72

Menteri Keuangan untuk Penerimaan Bantuan Bencana Alam Sumatera dalam Rupiah

394.0710.402.000,00 3.354.833.460,92

Menteri Keuangan untuk Penerimaan Hibah Education Sector Support Program (ESSP)/Uni Eropa

609.638.500.000,00 0

RDI/RPD 8.078.265.521.241,23 0

Jumlah Setoran 136.269.238.069.090,00 60.591.303.300,65

Sumber: DIPBN

KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA

| LAPORAN TAHUNAN 2011 | www.kemenkeu.go.id 96

5.1. Reformasi Penganggaran

Berdasarkan pasal 1 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, yang dimaksud

dengan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) adalah rencana keuangan tahunan Pemerintahan

negara Republik Indonesia yang disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR-RI), yang di

dalamnya terdapat besaran-besaran angka dirinci menjadi pendapatan negara dan hibah, belanja negara, dan

pembiayaan negara selama satu tahun anggaran (1 Januari-31 Desember). Sedangkan menurut pasal 23 ayat

(1) Undang-Undang Dasar 1945 Amandemen III, APBN merupakan wujud dari pengelolaan keuangan negara

yang ditetapkan setiap tahun dengan Undang-Undang dan dilaksanakan secara terbuka dan bertanggung

jawab untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. APBN merupakan salah satu instrumen kebijakan !skal

untuk mengatur pengeluaran dan pendapatan negara dalam membiayai penyelenggaraan negara yang

meliputi Pemerintahan dan pembangunan. Tujuannya adalah untuk mencapai pertumbuhan ekonomi yang

berkesinambungan, menciptakan stabilitas ekonomi, meningkatkan pendapatan nasional, dan menentukan arah

prioritas pembangunan nasional.

APBN, APBN Perubahan (APBN-P), dan pertanggungjawaban APBN (LKPP) setiap tahun ditetapkan dengan

Undang-Undang. APBN mempunyai fungsi otorisasi, perencanaan, pengawasan, alokasi, distribusi, dan stabilisasi.

Sesuai dengan prinsip transparansi dan akuntabilitas, semua penerimaan yang menjadi hak dan pengeluaran

yang menjadi kewajiban negara dalam suatu tahun anggaran harus dimasukkan dalam kerangka APBN.

Penyusunan Rancangan APBN (RAPBN) berpedoman kepada Rencana Kerja Pemerintah (RKP) dalam rangka

mewujudkan tercapainya tujuan bernegara. Berdasarkan ketentuan Pasal 15 UU No. 17 Tahun 2003, RAPBN

Belanja Negara05

www.kemenkeu.go.id | LAPORAN TAHUNAN 2011 | 97

KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA

dalam bentuk RUU tentang APBN beserta Nota Keuangan dan dokumen-dokumen pendukungnya diajukan oleh

Pemerintah untuk dibahas bersama DPR-RI. Setelah melalui pembahasan, DPR-RI menetapkan Undang-Undang

tentang APBN selambat-lambatnya dua bulan sebelum tahun anggaran dilaksanakan. Siklus penyusunan APBN

di Indonesia terdiri dari beberapa tahap pokok berikut ini.

1. Persiapan anggaran oleh eksekutif (Pemerintah) dan perangkat-perangkatnya.

Tahap ini meliputi dua kegiatan, yaitu perencanaan dan penganggaran. Tahap  perencanaan dimulai dari

penyusunan arah dan kebijakan umum APBN yang didasarkan pada Rencana Pembangunan Jangka Menengah

(RPJM) dan diakhiri pada saat RKP telah disahkan. Tahap penganggaran dimulai sejak pagu indikatif ditetapkan

hingga pembahasan Nota Keuangan dan RAPBN dengan DPR-RI.

2. Persetujuan legislatif (DPR-RI).

Tahap pengesahan APBN terdiri dari dua kegiatan penting, yaitu pengesahan UU dan penetapan Keputusan

Presiden (Keppres) mengenai rincian APBN.

3. Pelaksanaan APBN.

Setelah RUU APBN disahkan menjadi UU APBN, maka setiap Kementerian/Lembaga (K/L) wajib mengusulkan

konsep Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran (DIPA) dan menyampaikannya ke Kementerian Keuangan untuk

disahkan. DIPA merupakan instrumen untuk melaksanakan APBN.

KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA

| LAPORAN TAHUNAN 2011 | www.kemenkeu.go.id 98

4. Laporan akhir tahun oleh eksekutif (Pemerintah) kepada legislatif (DPR-RI).

Di Indonesia, pelaporan APBN dilakukan dua kali, yaitu Laporan Pelaksanaan APBN Semester I dan Laporan

Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP). Tahap ini merupakan bagian dari tahap pertanggungjawaban.

5. Pemeriksaan oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).

Kegiatan ini merupakan tahap akhir dari siklus APBN, yaitu realisasi APBN yang diaudit oleh BPK.

Selain proses penyusunan APBN, pada tahun berjalan juga dilaksanakan proses penyusunan, pembahasan, serta

penetapan APBN-P tahun berjalan antara Pemerintah dan DPR-RI. Penyusunan APBN-P tersebut dalam rangka

mengantisipasi/mengakomodir perkembangan ekonomi maupun perkembangan kebijakan terkini.

5.2. Penyusunan APBN/APBN-P Tahun Anggaran 2011

Total pendapatan negara dan hibah yang ditargetkan pada tahun anggaran 2011 adalah Rp1.104,9 triliun. Angka

ini naik Rp112,5 triliun dibandingkan APBN-P 2010 yang ditetapkan sebesar Rp992,4 triliun. Pendapatan negara

dan hibah terdiri atas Penerimaan Dalam Negeri (PDN) yang meliputi penerimaan pajak sebesar Rp850,3 triliun,

penerimaan non pajak/PNBP sebesar Rp250,9 triliun, dan Penerimaan Hibah sebesar Rp3,7 triliun. Adapun asumsi

makro yang dipakai pada saat penyusunan awal APBN 2011 adalah:

1. pertumbuhan ekonomi 6,4 persen;

2. tingkat in"asi (y–0–y) 5,3 persen;

3. rata-rata suku bunga SBI-3 bulan 6,5 persen;

4. nilai tukar Rp9.250/USD;

5. harga minyak mentah Indonesia rata-rata USD80,0/barel; dan

6. lifting minyak 970 ribu barel/hari.

Tabel 5.1Asumsi-Asumsi Dasar Dalam APBN TA 2011

Uraian APBN APBN-P

1. Pertumbuhan Ekonomi (%) 6,4 6,5

2. In"asi (%) y-o-y 5,3 5,65

3. Tingkat Suku Bunga SPN 3 Bulan (%) 6,5 5,6

4. Nilai Tukar (Rp/USD1) 9250 8700

5. Harga Minyak (USD/barel) 80,0 95,0

6. Lifting Minyak (ribu barel per hari) 970,0 945,0

Sumber: DJA.

Pada pertengahan tahun 2011, Pemerintah mengajukan APBN-P 2011 yang tanpa hambatan telah disetujui oleh

DPR. Terdapat dua alasan utama pengajuan APBN-P, yaitu:

1. menampung perkembangan kondisi perekonomian nasional pada saat itu, khususnya besaran-besaran

ekonomi makro yang telah mengalami perubahan cukup signi!kan; dan

2. mengakomodasi tambahan belanja prioritas yang belum terakomodasi dalam UU APBN 2011.

www.kemenkeu.go.id | LAPORAN TAHUNAN 2011 | 99

KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA

Table 5.2.Pendapatan Negara dan Hibah Tahun 2011

(dalam miliar Rupiah)

Uraian APBN APBN-P % thd APBN

Pendapatan Negara dan Hibah 1.104.902,0 1.169.914,6 105,9

A. Penerimaan dalam Negeri 1.101.162,5 1.165.252,5 105,8

1. Penerimaan Perpajakan 850.255,5 878.685,2 103,3

i. Pajak Penghasilan 420.493,8 431.977,0 102,7

ii. Pajak Pertambahan Nilai 312.110,0 298.441,4 95,6

iii. Pajak Bumi dan Bangunan 27.862,4 29.057,8 105,0

iv. BPHTB - - -

v. Cukai 62.759,9 68.075,3 108,5

vi. Pajak Lainnya 4.200,1 4.193,8 99,9

vii. Bea Masuk 17.902,0 21.500,8 120,1

viii. Bea Keluar 5.107,3 25.439,1 498,1

2. PNBP 250.907,0 28.835,8 114,2

i. PNBP SDA 163.119,2 191.976,0 117,7

ii. Bagian Laba BUMN 27.590,4 28.835,8 104,5

iii. PNBP Lainnya 45.166,6 50.339,4 111,5

iv. Pendapatan BLU 15.030,8 15.416,0 102,6

B. Hibah 3.739,5 4.662,1 124,7

Sumber: Buku Saku APBN dan Indikator Ekonomi, Edisi 12, Desember 2011.

Asumsi makro yang dipakai untuk menyusun APBN-P 2011 adalah:

1. pertumbuhan ekonomi 6,5 persen;

2. tingkat in"asi 5,65 persen;

3. rata-rata suku bunga SBI-3 bulan 5,6 persen;

4. nilai tukar Rp8.700/USD;

5. harga minyak mentah Indonesia rata-rata USD95,0/barel; dan

6. lifting minyak 945 ribu barel/hari.

Total pendapatan negara dan hibah pada APBN-P 2011 ditetapkan sebesar Rp1.169,9 triliun atau naik Rp65

triliun dibandingkan pagu APBN 2011 (105,9 persen) yang berasal PDN sebesar Rp1.165,2 triliun (terdiri atas

penerimaan perpajakan Rp878,7 triliun atau naik Rp28,4 triliun dan PNBP sebesar Rp286,6 triliun atau naik Rp35,7

triliun dibandingkan pagu APBN 2011).

KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA

| LAPORAN TAHUNAN 2011 | www.kemenkeu.go.id 100

Table 5.3.Perbandingan Postur APBN dan APBN-P TA 2011 (dalam miliar rupiah)

URAIAN APBN APBN-P % thd APBN-P

A. Pendapatan Negara dan Hibah 1,104,902.0 1,169,914.6 105.9

I. Penerimaan dalam Negeri 1,101,162.5 1,165,252.5 105.8

1. Penerimaan Perpajakan 850,255.5 878,685.2 103.3

2. Penerimaan Bukan Pajak 250,907.0 286,567.3 114.2

II. Hibah 3,739.5 2,662.1 124.7

B. Belanja Negara 1,229,558.5 1,320,751.3 213.6

I. Belanja Pemerintah Pusat 836,578.2 908,243.4 108.6

II. Transfer ke Daerah 392,980.3 412,507.9 105.0

C. Surplus/De!sit Anggaran (124,656.5) (150,836.7) 121.0

D. Pembiayaan 124,656.5 150,836.7 121.0

I. Pembiayaan Dalam Negeri 125,266.0 153,613.3 122.6

II. Pembiayaan Luar Negeri (609.5) (2,776.6) 455.6

Sumber: Buku Saku APBN dan Indikator Ekonomi, Edisi 12, Desember 2011.

Perubahan pendapatan negara dan hibah serta belanja negara pada akhirnya mengakibatkan perubahan

terhadap besaran de!sit anggaran, yaitu dari Rp124.656,5 miliar (1,8 persen terhadap PDB) pada APBN 2011

menjadi sebesar Rp150.836,7 milar (2,1 persen terhadap PDB) pada APBN-P 2011. De!sit anggaran tersebut

ditutup melalui pembiayaan dalam negeri maupun luar negeri.

Tabel 5.4.Pembiayaan Anggaran Tahun 2011 (dalam miliar Rupiah)

KETERANGAN APBN APBN-P % thd APBN

l. PEMBIAYAAN NON UTANG (2.387,9) 25.507,3 1068,2

  a. Perbankan Dalam Negeri 12.657,2 48.750,7 385,2

  1). Penerimaan Cicilan Pengembalian Penerusan Pinjaman 6.803,4 8.176,7 120,2

  2). SAL 5.000,0 40.319,0 806,4

  b. Non Perbankan Dalam Negeri (15.045,2) (23.243,4) 154,5

  1). Hasil Pengelolaan Aset 583,1 965,7 165,6

  2). Dana Investasi Pemerintah dan PMN (13.932,3) (21.112,4) 151,5

  3). Dana Pengembangan Pendidikan Nasional (100,0) (2.617,7) 261,8

  4). Kewajiban Penjaminan (1.036,0) (904,0) 87,3

ll. PEMBIAYAAN UTANG 127.044,5 125.329,4 98,7

  a. Pembiayaan Luar Negeri (Neto) (609,4) (2.776,6) 455,6

  1). Penarikan Pinjaman Luar Negeri (Bruto) 58.933,0 56.182,9 95,3

  2). Penerusan Pinjaman (11.724,8) (11.724,8) 100,0

  3). Pembayaran Cicilan Pokok Utang LN (47.817,7) (47.234,7) 98,8

  b. Surat Berharga Negara (neto) 1.266.53,9 126.653,9 100,0

  c. Pinjaman Dalam Negeri 1.000,0 1.452,1 145,2

  1). Penarikan Pinjama Dalam Negeri (bruto) 1.000,0 1.522,1 152,2

  2). Pembayaran Cicilan Pokok Pinjaman Dalam Negeri 0 (70,0) -

Total 124.656,5 150.836,7 121,0

Sumber: Buku Saku APBN dan Indikator Ekonomi, Edisi 12, Desember 2011.

www.kemenkeu.go.id | LAPORAN TAHUNAN 2011 | 101

KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA

5.3. Belanja Pusat

Alokasi belanja Pemerintah pusat pada APBN-P Tahun 2011 mengalami kenaikan pada semua jenis belanja,

kecuali Belanja Hibah yang mengalami penurunan 52,5 persen, yaitu dari Rp771,3 miliar menjadi Rp404,9 miliar.

Tabel 5.5Belanja Negara Tahun 2011 (Rp Miliar)

Uraian APBN APBN-P % thd APBN

I. Belanja Pemerintah Pusat 836.578,2 908.243,4 108,6

1. Belanja Pegawai 180.824,9 182.874,9 101,1

2. Belanja Barang 137,849,7 142.825,9 103,6

3. Belanja Modal 135.854,2 140.952,5 103,8

4. Pembayaran Bunga Utang 115.209,2 106.583,8 92,5

5. Subsidi 187.624,3 237.194,7 126,4

6. Belanja Hibah 771,3 404,9 52,5

7. Bantuan Sosial 63.183,5 81.810,4 129,5

8. Belanja Lainnya 15.261,0 15.596,2 102,2

II. Transfer ke Daerah 392.980,3 412.507,9 105,0

1. Dana Perimbangan 392.324,0 347.538,6 104,0

2. Dana Otonomi Khusus dan Penyesuaian 58.656,3 64.969,3 110,8

Total 1.229.558,5 1.320.751,2 107,4

Sumber: Buku Saku APBN dan Indikator Ekonomi, Edisi 12, Desember 2011.

Alokasi belanja Pemerintah pusat selalu mengalami kenaikan dari tahun ke tahun. Hal ini menunjukan bahwa

Pemerintah senantiasa berusaha untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat sebagai salah satu perwujudan

fungsi APBN, yaitu alokasi, stabilisasi, dan distribusi.

Tabel 5.6.Perkembangan Belanja Pemerintah Pusat Per Jenis Belanja (Rp Triliun)

UraianLKPPLKPP

2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012

LKPP LKPP LKPP LKPP APBN-P RAPBN APBN

Belanja Pemerintah Pusat 361.20 440.10 504.60 693.30 628.90 697.60 908.30 954.20 965.10

Belanja Pegawai 54.30 73.30 90.40 112.80 127.70 148.10 182.90 215.70 215.90

Belanja Barang 29.20 47.20 54.50 56.00 80.70 97.60 142.80 138.50 188.00

Belanja Modal 32.90 55.00 64.30 72.80 75.90 80.30 141.00 168.10 152.00

Pembayaran Bunga Utang 65.2 79.1 79.8 88.4 93.8 88.4 106.6 123.1 122.2

i. Utang Dalam Negeri 42.6 54.90 54.10 59.90 63.80 61.50 76.60 89.40 88.50

ii. Utang Luar Negeri 22.6 24.20 25.70 28.50 30.00 26.90 30.00 33.70 33.70

Subsidi 120.7 107.4 150.2 275.3 138.1 192.8 237.2 208.9 208.9

i. Subsidi Energi 104.4 94.6 116.9 223 94.6 140 195.3 168.6 168.6

ii. Subsidi Non Energi 16.3 12.8 33.3 52.3 43.5 52.8 41.9 40.3 40.3

Belanja Hibah 0 0 0 0 0 0.1 0.4 1.8 1.8

Bantuan Sosial 24.9 40.7 49.8 57.7 73.8 68.6 81.8 63.6 47.8

Belanja Lainnya 34 37.4 15.6 30.3 38.9 21.7 15.6 34.5 28.5

Sumber : Buku Saku APBN dan Indikator Ekonomi, Ditjen Anggaran, Edisi 12, Desember 2011

KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA

| LAPORAN TAHUNAN 2011 | www.kemenkeu.go.id 102

Tidak kalah pentingnya adalah perkembangan subsidi, baik subsidi energi maupun non energi, yang ber"uktuasi

dari tahun ke tahun sesuai kesepakatan antara Pemerintah dan DPR. Pemerintah mempunyai kepentingan

bahwa yang berhak menikmati subsidi adalah masyarakat miskin dan bukan orang kaya. Besaran subsidi yang

dialokasikan Pemerintah juga disesuaikan dengan perkembangan ekonomi dunia, khusunya harga minyak dunia,

di mana kenaikannya akan berpengaruh pada besaran subsidi, terutama subsidi BBM.

Tabel 5.7.Perkembangan Belanja Subsidi Tahun 2005-2012 (Rp Triliun)

UraianLKPPLKPP

2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012

LKPP LKPP LKPP LKPP APBN-P RAPBN APBN

SUBSIDI 120.80 107.40 150.20 275.30 138.10 192.70 237.20 208.90 208.80

I . Subsidi Energi 104.40 94.60 116.90 223.00 94.60 140.00 195.30 168.60 168.60

Subsidi BBM 95.60 64.20 83.80 139.10 45.00 82.40 129.70 123.60 123.60

Subsidi Listrik 8.90 30.40 33.10 83.90 49.50 57.60 65.60 45.00 45.00

II .Subsidi Non Energi 16.30 12.80 33.30 52.30 43.50 52.80 41.90 40.30 40.20

Subsidi Pangan 6.40 5.30 6.60 12.10 13.00 15.20 15.30 15.60 15.60

Subsidi Pupuk 2.50 3.20 6.30 15.20 18.30 18.40 18.80 16.90 16.90

Subsidi Benih 0.10 0.10 0.50 1.00 1.60 2.20 0.10 0.30 0.30

P S O 0.90 1.80 1.00 1.70 1.30 1.40 1.80 2.00 2.00

Subsidi Kredit Program 0.10 0.30 0.30 0.90 1.10 0.80 1.90 1.20 1.20

Subsidi Minyak Goreng (OP) 0.00 0.00 0.00 0.10 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00

Subsidi Bahan Baku Kedelai 0.00 0.00 0.00 0.20 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00

Subsidi Pajak 6.20 1.90 17.10 21.00 8.20 14.80 4.00 4.20 4.20

Subsidi Lainnya 0.00 0.30 1.50 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00

Sumber: Buku Saku APBN dan Indikator Ekonomi, Ditjen Anggaran, Edisi 12, Desember 2011.

5.4. Terobosan Penyusunan APBN Tahun Anggaran 2012

Proses penyusunan APBN 2012 dapat diselesaikan tepat waktu dan ditetapkan melalui UU No. 22 Tahun 2011.

Dalam pembahasan RUU tentang APBN 2012, Pemerintah dan DPR memperhatikan prinsip-prinsip governance,

sehingga akuntabilitas, kredibilitas, dan transparansi dapat terjaga dalam proses tersebut. Berbeda dengan proses

pembahasan RAPBN tahun-tahun sebelumnya, pembahasan RUU tentang APBN 2012, mengalami kemajuan

yang sangat baik dalam menjaga transparansi dan akuntabilitas publik. Semua rapat kerja dalam pembahasan

substansi APBN 2012, baik Rapat Dengar Pendapat, Rapat Kerja (Raker) di tingkat komisi yang membahas RKA-

K/L dan asumsi makro, maupun Raker antara Badan Anggaran DPR-RI dengan Pemerintah dan Bank Indonesia,

termasuk rapat-rapat di tingkat Panitia Kerja (Panja), telah dilakukan secara terbuka dan dapat diakses oleh semua

pihak.

Di samping itu, Pemerintah dan DPR-RI telah memulai tradisi baru dalam pembahasan RAPBN 2012, yaitu

diselenggarakannya Raker antara Badan Anggaran DPR-RI dan Pemerintah dalam rangka pengesahan Postur

www.kemenkeu.go.id | LAPORAN TAHUNAN 2011 | 103

KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA

Sementara. Pembahasan Hasil Optimalisasi dan Pemanfaatannya dilakukan secara terbuka setelah akhir

pembahasan di Panja Asumsi Dasar Ekonomi Makro, Pendapatan Negara, De!sit, dan Pembiayaan Anggaran.

Pemanfaatan hasil optimalisasi dilakukan berdasarkan kriteria yang telah disepakati bersama.

Terkait dengan penggunaan dana optimalisasi anggaran dan untuk mempercepat penyelesaian pembahasan

RAPBN 2012, Menteri Keuangan telah memberikan arahan-arahan berikut ini kepada seluruh K/L.

1. Dana optimalisasi harus terukur target dan sasarannya dalam mendukung pencapaian sasaran pembangunan

tahun 2012.

2. Program/kegiatan yang diusulkan oleh K/L diterima oleh Kementerian Keuangan apabila telah disetujui

secara tertulis dalam rapat kerja komisi terkait dengan K/L mitra kerjanya.

3. Program/kegiatan yang diusulkan harus mengacu pada kriteria-kriteria berikut ini.

Memperkuat pencapaian target dan sasaran prioritas pembangunan nasional dalam RPJM 2010-2014,

RKP 2012, MP3EI, 6 Program Utama Klaster 4, dan 3 Program Prioritas.

− 6 Program Utama Klaster 4 meliputi Rumah Sangat Murah, Kendaraan Angkutan Umum Murah, Air

Bersih untuk Rakyat, Listrik Murah dan Hemat, Peningkatan Kehidupan Nelayan, serta Peningkatan

Kehidupan Masyarakat Miskin Perkotaan.

− 3 Program Prioritas meliputi Surplus Beras 10 juta ton pada tahun 2014, Penciptaan Lapangan Kerja

guna Mengurangi Pengangguran 1 juta jiwa/tahun, dan Pembangunan Transportasi Jakarta.

Kegiatan prioritas yang sudah dibahas dan disetujui dalam trilateral meeting, sidang kabinet, atau direktif

presiden, namun belum dialokasikan di APBN 2012.

Terobosan lain yang dicapai dalam proses penyusunan APBN 2012 adalah dimasukkannya pasal pada UU APBN

Tahun 2011 mengenai tindakan Pemerintah dalam rangka menghadapi keadaan darurat atau disebut juga Crisis

Management Protocol (CMP) serta pasal mengenai dana jaminan, khususnya untuk PLN dan PDAM yang dapat

dicairkan dalam account khusus, yaitu account dana cadangan penjaminan. Dana dalam account khusus tersebut

terakumulasi setiap tahun dan akan mengamankan sisi !skal untuk penjaminan yang dilakukan Pemerintah.

5.5. Langkah-langkah Percepatan Pelaksanaan APBN 2012

Setelah disetujui oleh DPR, Menteri Keuangan mengundang seluruh K/L untuk memberikan arahan dalam

rangka mempersiapkan pelaksanaan APBN 2012. Hal-hal yang disampaikan terkait dengan proses penyelesaian

administrasi pelaksanaan anggaran yang sudah dapat diselesaikan pada bulan Desember 2011.

1. Pembukaan Blokir

Bagi K/L yang diblokir, karena RKAKL-nya belum mendapatkan persetujuan dari komisi terkait DPR RI,

agar segera memintakan persetujuan DPR.

Program/kegiatan yang belum dilengkapi data dukung administratif, seperti Term of Refernce (ToR),

Rancangan Anggaran Biaya (RAB), risalah lelang, ijin prinsip pakaian dinas dari Kementerian Penertiban

Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi, dan kelengkapan lainnya, agar segera dilengkapi.

Bagi K/L yang melakukan perubahan struktur organisasi agar segera menyelesaikan dasar hukum struktur

organisasi, mengisi formasi yang tersedia, dan menunjuk pejabat perbendaharaan.

KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA

| LAPORAN TAHUNAN 2011 | www.kemenkeu.go.id 104

Dalam rangka fasilitasi penyelesaian dokumen clearance pengadaan tanah dan gedung baru, agar segera

diselesaikan dalam desk bersama, yaitu Kementerian PAN dan RB, Kementerian Pekerjaan Umum, dan

Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) dengan K/L terkait).

Setelah semua kelengkapan dokumen dipenuhi, diminta agar K/L segera mengajukan surat usulan

pencairan blokir kepada Direktorat Jenderal Anggaran/Direktorat Jenderal Perbendaharaan (DJA/DJPB).

2. Percepatan Pencairan Anggaran

Menteri/Pimpinan Lembaga (Pengguna Anggaran) segera menetapkan Kuasa Pengguna Anggaran (KPA),

Pejabat Pembuat Komitmen (PPK), dan Pejabat Pelaksana Anggaran dengan tidak terikat pada tahun

anggaran sebagaimana diatur pada Pasal 5 ayat (4a) Perpres No. 53 Tahun 2010.

KPA segera melakukan proses lelang sebelum diterbitkannya dokumen anggaran/DIPA, sesuai Pasal 25

ayat (4) Perpres No. 54 Tahun 2010, dan penandatanganan kontrak setelah DIPA disahkan, sesuai Pasal 86

ayat (2) Perpres No. 54 Tahun 2010.

K/L segera menetapkan Satuan Kerja Pelaksana Dana Dekonsentrasi/Tugas Pembantuan.

K/L segera menyiapkan Petunjuk Teknis (Juknis) tentang mekanisme, prosedur, dan penerima barang/

jasa terhadap kegiatan bantuan sosial/belanja barang yang akan diserahkan ke Pemerintah Daerah atau

masyarakat untuk mempercepat pelaksanaan kegiatan dan pencairan dana.

K/L segera menyiapkan persyaratan yang dibutuhkan dalam rangka perubahan Satuan Kerja Pengguna

PNBP menjadi Satuan Kerja BLU dan mengajukan usulan revisinya.

www.kemenkeu.go.id | LAPORAN TAHUNAN 2011 | 105

KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA

halaman ini sengaja

dikosongkan

KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA

| LAPORAN TAHUNAN 2011 | www.kemenkeu.go.id 106

6.1. Transfer Ke Daerah

6.1.1. Kebijakan dan Perkembangan Dana Bagi Hasil

Perhitungan dan penetapan alokasi Dana Bagi Hasil (DBH) kepada daerah diatur dalam UU No. 33 Tahun 2004 dan

Peraturan Pemerintah No. 55 Tahun 2005. Penyempurnaan dalam perhitungan, penetapan alokasi, dan ketepatan

waktu penyaluran DBH senantiasa diupayakan dari tahun ke tahun. Kebijakan DBH yang ditempuh pada tahun

2011 adalah: 

1. peningkatan akurasi data melalui koordinasi dengan institusi pengelola Penerimaan Negara Bukan Pajak

(PNBP), seperti Kementerian Kehutanan, Kementerian Kelautan dan Perikanan, Kementerian Energi dan

Sumber Daya Mineral, serta dengan melibatkan unit-unit eselon I di lingkungan Kementerian Keuangan

(Ditjen Anggaran, Ditjen Pajak, dan Ditjen Perbendaharaan);

2. penyempurnaan proses perhitungan dan penetapan alokasi DBH agar lebih transparan dan akuntabel;

3. penyempurnaan sistem penyaluran DBH agar lebih tepat waktu; serta

4. penyelesaian kurang bayar DBH Sumber Daya Alam (SDA) dan DBH Pajak.

Untuk mengoptimalkan kebijakan yang ditempuh, maka pada tahun 2011 telah dilaksanakan serangkaian

aktivitas koordinasi berikut ini.

1. Workshop dan bimbingan teknis bagi pengelola DBH-SDA Kementerian/Lembaga (K/L) dan daerah penghasil,

dengan tujuan:

daerah berperan dalam optimalisasi penyetoran PNBP dan penghimpunan data setoran;

daerah berperan aktif dalam rekonsiliasi PNBP/DBH; serta

setoran PNBP per daerah dapat dibagi secara optimal.

PerimbanganKeuangan

06

www.kemenkeu.go.id | LAPORAN TAHUNAN 2011 | 107

KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA

2. Rekonsiliasi data PNBP dan perhitungan DBH dilakukan bersama institusi pengelola PNBP DBH SDA dengan

daerah penghasil dalam rangka transparansi dan akuntabilitas penyaluran DBH SDA.

3. Rapat kerja antarunit eselon I di lingkungan Kementerian Keuangan yang mengelola penerimaan pajak dan

cukai hasil tembakau dengan daerah penghasil.

New design transfer dalam pengelolaan DBH telah dilaksanakan sejak tahun 2008 dan terus dikembangkan dan

diperbaiki. Mekanismenya antara lain dengan mengubah pola penyaluran DBH yang semula murni berdasarkan

realisasi penyetoran PNBP dari rekonsiliasi triwulanan menjadi penyaluran dengan penggabungan antara

penetapan persentase dengan realisasi penyetoran PNBP melalui rekonsiliasi dengan pola sebagai berikut:

1. Triwulan I, 20 persen;

2. Triwulan II, 20 persen;

3. Triwulan III, hasil rekonsiliasi dikurangi penyaluran Triwulan I ditambah Triwulan II; dan

4. Triwulan IV, hasil rekonsiliasi dikurangi penyaluran Triwulan I sampai dengan Triwulan III.

DBH telah mencapai sasaran dalam Rencana Strategis (Renstra) 2010-2014. Pelaksanaannya mengacu UU No. 33

Tahun 2004 yang mengatur bagian Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah dengan persentase tertentu dari

realisasi penyetoran ke kas negara dari Penerimaan Negara Pajak (PNP) dan PNBP. Dari 8 jenis DBH, pada tahun

2005 hingga 2008 telah dilaksanakan 7 jenis, sedangkan DBH Panas Bumi mulai dilaksanakan pada tahun 2009.

DBH Panas Bumi dari PNBP tahun 2006 sampai dengan 2009 dibagikan kepada daerah di Provinsi Jawa Barat.

KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA

| LAPORAN TAHUNAN 2011 | www.kemenkeu.go.id 108

Tabel 6.1.Perkembangan Alokasi DBH per Komponen Tahun 2006-2011 (Rp triliun)

No. Komponen 2006 2007 2008 2009 2010 2011

A. Pajak

1. Pajak Bumi Bangunan (PBB) 18,73 21,79 22,37 22,8 27,12 27,59

2. BPHTB 3,08 4,29 7,35 7,65 7,69 -

3. Pajak Penghasilan (PPh) 6,07 7,94 9,98 10,09 10,93 13,16

4. Cukai Hasil Tembakau (CHT) 0,20 0,96 1,20 1,35

Sub Jumlah (A) 27,88 34,02 39,9 41,5 46,94 42,10

Persentase Kenaikan (%) 19,30 22,02 17,28 4,01 13,11 -10,31

B. Sumber Daya Alam

1. Pertambangan Umum 2,39 2,85 4,24 6,98 7,79 15,14

2. Kehutanan 1,16 1,52 1,71 1,51 1,75 1,75

3. Minyak dan Gas (Migas) 27,13 24,46 23,44 17,6 35,20 37,31

4. Perikanan 0,33 0,20 0,16 0,12 0,12 0,12

5. Panas Bumi - - - 0,26 0,31 0,35

Sub Jumlah (B) 31,01 29,03 29,55 26,82 45,17 54,67

Persentase Kenaikan (%) 167,56 -6,39 1,79 -9,24 68,4 21,05

C. Total (A+B) 58,89 63,05 69,45 68,32 92.1 96,77

Persentase Kenaikan (%) 68,45 7,06 10,15 -1,63 34,81 4,98

Sumber: DJPK.Catatan:- DBH SDA TA 2010 mengacu pada APBN Perubahan 2010;- DBH SDA TA 2011 mengacu pada APBN Perubahan 2011; dan- DBH Pajak TA 2008, 2009, dan 2010 belum termasuk Biaya Pemungutan PBB Bagian Daerah.

Pada tahun 2008 dikenal DBH Cukai Hasil Tembakau (CHT) berdasarkan UU No. 39 Tahun 2007 tentang Perubahan

Atas UU No. 11 Tahun 1999 tentang Cukai. Pada tahun 2008 dan 2009, DBH CHT diberikan kepada 5 daerah di

provinsi penghasil CHT, yaitu Sumatera Utara, Jawa Barat, Jawa Tengah, D.I. Yogyakarta, dan Jawa Timur. Berbeda

dengan DBH SDA yang pada umumnya bersifat block grant, penyaluran DBH Cukai bersifat speci#c grant.

Dalam rangka melaksanakan Pasal 35 UU No. 33 Tahun 2004, maka DBH SDA Minyak dan Gas (Migas) dibagikan

kepada daerah dengan porsi 15,5 persen dari PNBP Minyak Bumi dan 30,5 persen dari PNBP Gas Bumi. Porsi

tambahan 0,5 persen adalah speci#c grant yang harus dimanfaatkan untuk menambah anggaran pendidikan

dasar di daerah dengan pembagian untuk provinsi, daerah penghasil, dan daerah lainnya masing-masing sebesar

0,1 persen, 0,2 persen, dan 0,2 persen.

6.1.2. Kebijakan dan Perkembangan Dana Alokasi Umum

Kebijakan yang menyangkut Dana Alokasi Umum (DAU) diarahkan untuk mewujudkan fungsi DAU sebagai

equalization grant. Kebijakan-kebijakan dimaksud adalah:

1. peningkatan akurasi data dasar perhitungan DAU yang bersumber dari instansi yang berwenang;

2. penggunaan prinsip non-hold harmless; serta

3. penggunaan Williamson Index (WI) sebagai parameter untuk mengukur tingkat pemerataan kemampuan

keuangan antardaerah.

www.kemenkeu.go.id | LAPORAN TAHUNAN 2011 | 109

KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA

Sejak tahun 2007, upaya mempercepat perhitungan DAU per daerah dengan WI yang terbaik telah dilakukan

dengan menggunakan aplikasi berbasis teknologi informasi, yaitu dynamic model. Perilaku dan pengaruh setiap

variabel dalam formula DAU dapat langsung terlihat dan terkontrol, sehingga memudahkan operator dan

pengambil keputusan untuk mengintegrasikan kebijakan pemerataan antardaerah berdasarkan WI atau weighted

coe!cient of variation. Di samping itu, proses penghitungan dilakukan oleh beberapa pejabat dan staf sebagai

bentuk pengendalian intern untuk meminimalisir kesalahan penghitungan.

Tabel 6.2.Alokasi DAU Tahun Anggaran 2006-2011

Tahun Anggaran Alokasi DAU (Rp Miliar) Jumlah Daerah

2006 145.664,20 33 Provinsi

Perpres No. 74 Tahun 2005 434 Kabupaten/Kota

2007 164.787,40 33 Provinsi

Perpres No. 104 Tahun 2006 434 Kabupaten/Kota

2008 179.507,14 33 Provinsi

Perpres No. 110 Tahun 2007 451 Kabupaten/Kota

2009 186.414,10 33 Provinsi

Perpres No. 74 Tahun 2008 477 Kabupaten/Kota

2010 192.490,34 33 Provinsi

Perpres No. 53 Tahun 2009 477 Kabupaten/Kota

2011 225.532,83 33 Provinsi

Perpres No. 6 Tahun 2011 491 Kabupaten/Kota

Sumber: DJPK.

Nilai dan persentase DAU mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Besaran DAU sangat dipengaruhi oleh

Pendapatan Dalam Negeri Neto (PDNN) yang ditetapkan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara

(APBN). PDNN adalah penerimaan negara yang berasal dari pajak dan PNBP setelah dikurangi penerimaan negara

yang dibagihasilkan kepada daerah. Sesuai Pasal 107 UU No. 33 Tahun 2004, sampai dengan tahun 2007, pagu

DAU Nasional ditetapkan sekurang-kurangnya 25,5 persen dari PDNN. Sejak tahun 2008, sesuai pasal 27, besaran

DAU menjadi sekurang-kurangnya 26 persen dari PDNN.

Pada APBN 2011, besaran alokasi DAU (murni) untuk provinsi, kabupaten, dan kota ditetapkan sebesar

Rp225.532.824.825.000. Dalam penyalurannya dilakukan pengurangan Rp122.137.223.000 kepada 469 daerah

sebagaimana ditetapkan dalam Peraturan Menteri Keuangan No. 73/PMK.07/2011. Pengurangan ini merupakan

konsekuensi atas koreksi alokasi DAU 2010 untuk Kabupaten Indramayu sebesar Rp121.250.000.00. Sebaliknya,

dilakukan penambahan pada APBN Perubahan (APBN-P) 2011 sebesar Rp887.223.000 kepada 12 daerah

sebagaimana ditetapkan dalam PMK No. 153/PMK.07/2011.

6.1.3. Kebijakan Dana Otonomi Khusus

Besaran Dana Otonomi Khusus (Otsus) telah dinyatakan dalam undang-undang, yaitu 2 persen dari DAU Nasional.

Oleh karena itu, kebijakan penetapan besaran DAU Nasional dalam setiap APBN secara langsung berdampak

pada perubahan besaran Dana Otsus untuk Provinsi Papua, Papua Barat, dan Nangroe Aceh Darussalam

(NAD). Kebijakan yang ditempuh adalah mengoptimalkan pemanfaatan Dana Otsus, yaitu antara lain dengan

KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA

| LAPORAN TAHUNAN 2011 | www.kemenkeu.go.id 110

mensyaratkan adanya rekomendasi dari Menteri Dalam Negeri pada setiap tahap penyaluran, agar pemanfaatan

Dana Otsus dapat direncanakan dengan baik dan meningkatkan pelayanan kepada masyarakat.

Dana Otsus yang dialokasikan kepada Provinsi NAD setara dengan 2 persen dari pagu DAU Nasional atau sebesar

Rp4.510.656.496.500. Sedangkan total Dana Otsus untuk Papua adalah Rp4.510.656.496.500 atau 2 persen dari

DAU Nasional. Dari jumlah tersebut, Provinsi Papua menerima Dana Otsus sebesar Rp3.157.459.547.550 atau

70 persen dari total Dana Otsus untuk Papua. Adapun Provinsi Papua Barat memperoleh Dana Otsus sebesar

Rp1.353.196.948.950 atau 30 persen dari total Dana Otsus untuk Papua.

Dana Tambahan Infrastruktur (DTI) dalam rangka Otsus untuk Provinsi Papua dan Papua Barat diutamakan untuk

mendanai pembangunan infrastruktur. Alokasi ini sesuai dengan UU No. 21 Tahun 2001 tentang Otsus bagi Provinsi

Papua. Total DTI dalam rangka Otsus untuk Provinsi Papua dan Papua Barat adalah sebesar Rp1.400.000.000.000,

dengan pembagian untuk Provinsi Papua sebesar Rp800.000.000.000 miliar dan untuk Provinsi Papua Barat

sebesar Rp600.000.000.000.

6.1.4. Kebijakan Dana Penyesuaian

Kebijakan yang menyangkut Dana Penyesuaian pada tahun 2011 adalah berikut ini.

1. Tunjangan Profesi Guru Pegawai Negeri Sipil Daerah (PNSD) merupakan tunjangan profesi yang diberikan

kepada Guru PNSD yang telah memiliki serti!kat pendidik dan memenuhi persyaratan yang ditetapkan oleh

Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Tunjangan Profesi Guru PNSD diberikan sebesar 1 kali gaji pokok

sesuai dengan peraturan perundang-undangan dan mulai menjadi komponen transfer ke daerah sejak

tahun 2010. Alokasi Tunjangan Profesi Guru PNSD dalam APBN 2011 adalah sebesar Rp18.537.689.880.200.

2. Dana Tambahan Penghasilan Guru PNSD yang mulai diberikan sejak tahun 2009 merupakan tambahan

penghasilan yang diberikan kepada Guru PNSD yang belum mendapatkan Tunjangan Profesi Guru PNSD.

Dana ini diberikan sebesar Rp250.000 per orang per bulan. Alokasi Dana Tambahan Penghasilan Guru PNSD

dalam APBN 2011 adalah sebesar Rp3.696.177.700.000.

3. Bantuan Operasional Sekolah (BOS) sebesar Rp16.812,0 miliar. BOS adalah dana yang digunakan terutama

untuk biaya non personalia bagi satuan pendidikan dasar sebagai pelaksana program wajib belajar dan

dimungkinkan untuk mendanai beberapa kegiatan lain sesuai petunjuk teknis dari Menteri Pendidikan dan

Kebudayaan.

4. Dana Insentif Daerah (DID) sebesar Rp1.387,8 miliar. DID adalah dana yang dialokasikan kepada provinsi

dan kabupaten/kota untuk melaksanakan fungsi pendidikan dengan mempertimbangkan kriteria daerah

berprestasi yang memenuhi Kriteria Utama, Kriteria Kinerja, dan Batas Minimum Kelulusan Kinerja.

5. Dana Penyesuaian Infrastruktur Daerah (DPID) ditetapkan sebesar Rp7.700,8 miliar. DPID adalah dana

yang dialokasikan kepada daerah tertentu untuk membantu mendanai pembangunan infrastruktur untuk

mendorong percepatan pembangunan daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi !skal.

6. Kurang bayar dana sarana dan prasarana infrastruktur Provinsi Papua Barat tahun 2008 sebesar Rp100,5

miliar.

Kriteria Utama adalah kriteria yang harus dipenuhi sebagai penentu kelayakan daerah penerima, meliputi

daerah yang sekurang-kurangnya mendapatkan opini Wajar Dengan Pengecualian (WDP) dari Badan Pemeriksa

Keuangan (BPK) atas Laporan Keuangan Pemerintah Daerah (LKPD) dan daerah yang menetapkan Peraturan

Daerah (Perda) Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) secara tepat waktu. Kriteria Kinerja adalah

kriteria yang ditetapkan sebagai unsur penilaian terhadap kinerja dan upaya daerah yang terdiri dari Kriteria

Kinerja Keuangan, Kriteria Kinerja Pendidikan, serta Kriteria Kinerja Ekonomi dan Kesejahteraan.

www.kemenkeu.go.id | LAPORAN TAHUNAN 2011 | 111

KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA

6.1.5. Kebijakan Dana Alokasi Khusus

Dana Alokasi Khusus (DAK) dialokasikan kepada daerah tertentu untuk mendanai kegiatan khusus yang

merupakan bagian dari program yang menjadi prioritas nasional dan urusan daerah. Kegiatan khusus yang

merupakan bagian dari program prioritas nasional termuat di dalam Rencana Kerja Pemerintah (RKP) Tahun

Anggaran 2011 yang ditetapkan dalam Peraturan Presiden Republik Indonesia No. 29 Tahun 2010. Berdasarkan

RKP, Menteri teknis mengusulkan kegiatan khusus setelah berkoordinasi dengan Menteri Dalam Negeri, Menteri

Keuangan, dan Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional. Selanjutnya, Menteri teknis menyampaikan

kegiatan khusus dimaksud kepada Menteri Keuangan.

Arah kebijakan DAK yang ditempuh pada tahun 2011 meliputi:

1. dukungan terhadap program yang menjadi prioritas nasional dalam RKP 2011 sesuai kerangka pengeluaran

jangka menengah (KPJM) dan penganggaran berbasis kinerja (PBK);

2. bantuan kepada daerah-daerah yang memiliki kemampuan keuangan relatif rendah dalam membiayai

pelayanan publik sesuai Standar Pelayanan Minimal (SPM) dalam rangka pemerataan pelayanan dasar

publik; serta

3. peningkatan penyediaan data teknis, koordinasi pengelolaan DAK secara utuh dan terpadu di pusat dan

daerah, sinkronisasi kegiatan DAK dengan kegiatan lain yang didanai APBN dan APBD, serta pengawasan

terhadap pelaksanaan kegiatan yang dibiayai oleh DAK di daerah.

Perhitungan alokasi DAK dilakukan melalui 2 tahap, yaitu penentuan daerah yang menerima alokasi DAK dan

penentuan besaran alokasi DAK untuk masing-masing daerah. Dari 491 kabupaten/kota, terdapat 3 daerah yang

tidak menerima alokasi DAK, dan dari 33 provinsi, terdapat 1 daerah yang tidak menerima alokasi DAK. Alokasi

DAK mengalami kenaikan 19,4 persen, yaitu dari Rp21,1 triliun pada tahun 2010 menjadi Rp25,2 triliun pada tahun

2011. Bidang yang didanai DAK juga bertambah, yaitu dari 14 bidang pada tahun 2010 menjadi 19 bidang pada

tahun 2011. Kelima bidang baru adalah Listrik Perdesaan, Perumahan dan Permukiman, Keselamatan Transportasi

Darat, Transportasi Perdesaan, serta Sarana dan Prasarana Kawasan Perbatasan.

6.1.6. Penyaluran Anggaran Transfer Ke Daerah

a. Perubahan Pola Penyaluran Anggaran Transfer Ke Daerah

Sejalan dengan perubahan nomenklatur belanja negara untuk anggaran yang dialokasikan ke daerah, yakni

dari “Dana Perimbangan” menjadi “Transfer Ke Daerah”, telah dilakukan perubahan yang mendasar dalam

penyaluran anggaran transfer ke daerah. Apabila pada tahun 2001 hingga 2007 anggaran dana perimbangan

disalurkan melalui Kantor Pelayanan Perbendaharaan Negara (KPPN) berdasarkan permintaan dari masing-

masing Pemerintah Daerah, maka mulai tahun 2008, anggaran transfer ke daerah disalurkan secara langsung

dari Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan (DJPK) selaku Kuasa Pengguna Anggaran (KPA) kepada masing-

masing Pemerintah Daerah.

Perubahan pola penyaluran diatur melalui PMK No. 04/PMK.07/2008 tentang Pelaksanaan dan Pertanggungjawaban

Anggaran Transfer Ke Daerah, yang kemudian diganti dengan PMK No. 21/ PMK.07/2009. Dalam mekanisme

penyalurannya, Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan selaku KPA diberi wewenang oleh Menteri Keuangan

untuk menyusun Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran (DIPA) sebagai dokumen pelaksanaan anggaran transfer ke

daerah guna disampaikan kepada Direktur Jenderal Perbendaharaan selaku Kuasa Bendahara Umum Negara

(BUN).

KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA

| LAPORAN TAHUNAN 2011 | www.kemenkeu.go.id 112

Perubahan pola penyaluran telah berdampak yang positif terhadap pengelolaan anggaran transfer ke daerah

di tingkat pusat (APBN) maupun pengelolaan keuangan daerah (APBD). Dampak positif yang dimaksud adalah:

1. mempercepat penyelesaian Perda APBD;

2. mendorong pelaksanaan treasury single account (TSA) dengan disalurkannya semua dana transfer melalui

satu rekening bank yang ditunjuk daerah;

3. mempercepat pembangunan daerah dengan semakin cepat tersedianya dana;

4. mengurangi sisa anggaran pada akhir tahun dengan pelaksanaan kegiatan yang lebih awal dan optimalisasi

anggaran;

5. mempercepat tersedianya data realisasi transfer;

6. meningkatkan akuntabilitas penyusunan Laporan Realisasi Anggaran (LRA) Transfer Ke daerah; serta

7. meningkatkan akurasi Sistem Informasi Keuangan Daerah (SIKD).

Walaupun telah dihasilkan dampak positif dari perubahan pola penyaluran anggaran transfer ke daerah, namun

masih dijumpai beberapa permasalahan/kendala yang terkait dengan penyaluran DBH Pajak Bumi dan Bangunan

(PBB) Bagian Daerah, DBH CHT, DAK, serta penerbitan dokumen penyaluran dan kon!rmasi penyaluran dana

transfer ke daerah. Untuk itu, telah dilakukan perbaikan atas PMK No. 21/PMK.07/2009 melalui PMK No. 126/

PMK.07/2010 tentang Pelaksanaan dan Pertanggungjawaban Anggaran Transfer ke Daerah.

b. Penyaluran Transfer Ke Daerah

Dana transfer ke daerah diberikan kepada semua daerah yang berhak berdasarkan Perpres atau PMK dan

dialokasikan dengan menggunakan mekanisme tertentu. Jumlah penerima dana transfer ke daerah pada

tahun 2011 adalah 524 daerah. Penyaluran anggaran transfer ke daerah selama tahun anggaran 2011 dilakukan

berdasarkan PMK No. 126/PMK.07/2010 tentang Pelaksanaan dan Pertanggungjawaban Anggaran Transfer ke

Daerah.

Tabel 6.3.Pola dan Mekanisme Penyaluran Transfer Ke Daerah Tahun Anggaran 2011

No. Uraian Transfer

I. Dana Bagi Hasil Pajak  

  A. DBH PBB  

  DBH PBB Bagian Pusat (10%) Tahap I: 25%; Tahap II: 50%; Tahap III: selisih pagu alokasi de!nitif dikurangi dengan yang telah disalurkan Tahap I dan II.

  DBH PBB Bagian Daerah (81%) Selain Sektor Migas & Panas Bumi

Per Minggu tiap hari Jumat sebesar 81% (64,8 % untuk Kabupaten/Kota; 16,2% untuk Provinsi) dari realisasi penerimaan per Minggu.

  DBH Biaya Pemungutan PBB Bagian Daerah (9%) Selain Sektor Migas & Panas Bumi

Per Minggu tiap hari Jumat sebesar 9% dari realisasi penerimaan per Minggu.

  DBH PBB Bagian Daerah Sektor Migas & Panas Bumi

Triwulan I: 25%; Triwulan II: 25%; Triwulan III: 25%; Triwulan IV: selisih pagu alokasi de!nitif dikurangi dengan yang telah disalurkan Triwulan I, II dan III.

  DBH Biaya Pemungutan PBB Bagian Daerah Sektor Migas & Panas Bumi

Triwulan I: 25%; Triwulan II: 25%; Triwulan III: 25%; Triwulan IV: selisih pagu alokasi de!nitif dikurangi dengan yang telah disalurkan Triwulan I, II dan III.

  B. DBH PPh  

  DBH PPh Pasal 21 Triwulan I: 20%; Triwulan II: 20%; Triwulan III: 20%; Triwulan IV: selisih pagu alokasi de!nitif dikurangi dengan yang telah disalurkan Triwulan I, II dan III.  DBH PPh Pasal 25/29

www.kemenkeu.go.id | LAPORAN TAHUNAN 2011 | 113

KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA

Tabel 6.3 (lanjutan)

No. Uraian Transfer

  Kurang Bayar DBH PPh Pasal 25/29 TA 2009

Dilakukan sekaligus pada Tahun 2011.  Kurang Bayar DBH PBB Bagian Daerah TA 2009

  Kurang Bayar DBH BPHTB TA 2009

II. Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau

Triwulan I: 15%; Triwulan II: 15%; Triwulan III: Selisih realisasi penerimaan DBH s.d. Triwulan III dengan penyaluran s.d. Triwulan II; Triwulan IV: selisih realisasi penerimaan s.d. Triwulan IV dikurangi dengan yang telah disalurkan s.d. Triwulan III.

III. Dana Bagi Hasil Sumber Daya Alam  

  A. Minyak dan Gas Bumi Triwulan I: 20%; Triwulan II: 20%; Triwulan III: Selisih realisasi penerimaan DBH s.d. Triwulan III dikurangi dengan realisasi penyaluran s.d. Triwulan II; Triwulan IV: selisih realisasi penerimaan s.d. Triwulan IV dikurangi dengan yang telah disalurkan s.d. Triwulan III.

  B. Panas Bumi

  C. Pertambangan Umum

Triwulan I: 20%; Triwulan II: 15%; Triwulan III: Selisih realisasi penerimaan DBH s.d. Triwulan III dikurangi dengan realisasi penyaluran s.d. Triwulan II; Triwulan IV: selisih realisasi penerimaan s.d. Triwulan IV dikurangi dengan yang telah disalurkan s.d. Triwulan III.

  D. Kehutanan Triwulan I: 15%; Triwulan II: 15%; Triwulan III: selisih realisasi penerimaan DBH s.d. Triwulan III dengan realisasi penyaluran Triwulan I dan II; Triwulan IV: selisih realisasi penerimaan DBH s.d. Triwulan IV dengan realisasi penyaluran Triwulan I, II, dan III.

  E. Perikanan

  F. Alokasi Kurang Bayar DBH SDA Pertambangan MIGAS TA 2008

Tiap bulan sebesar 1/12 dari alokasi. Penyaluran dilaksanakan pada awal hari kerja untuk bulan Januari dan satu hari kerja sebelum awal hari kerja bulan berikutnya untuk bulan Februari s.d. bulan Desember.

IV. Dana Alokasi Umum

Tiap bulan sebesar 1/12 dari alokasi. Penyaluran dilaksanakan pada awal hari kerja untuk bulan Januari dan satu hari kerja sebelum awal hari kerja bulan berikutnya untuk bulan Februari s.d. bulan Desember.

V. Dana Alokasi Khusus (DAK)

1. Tahap I (30%)

Disalurkan paling cepat bulan Februari, setelah DJPK menerima Perda APBD Tahun 2011, Laporan Penyerapan Penggunaan DAK tahun sebelumnya, dan Surat Pernyataan Dana Pendamping DAK TA 2011.

2. Tahap II (45%) dan Tahap III (25%)

Disalurkan setelah DJPK menerima Laporan Penyerapan Penggunaan DAK tahap sebelumnya yang secara kumulatif telah mencapai 90% dan daftar Surat Perintah Pencairan Dana (SP2D) yang diterbitkan untuk program/kegiatan yang didanai DAK.

KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA

| LAPORAN TAHUNAN 2011 | www.kemenkeu.go.id 114

Tabel 6.3 (lanjutan)

No. Uraian Transfer

VI. Dana Otonomi Khusus dan Penyesuaian

A. Dana Otonomi Khusus dan Dana Tambahan Infrastruktur

1. Penyaluran dilakukan secara triwulanan masing-masing sebesar 1/4 dari total pagu alokasi.

2. Triwulan I disalurkan pada minggu terakhir Maret, triwulan II pada minggu terakhir bulan Juni, triwulan III pada minggu terakhir bulan September, dan triwulan IV pada minggu terakhir bulan November.

3. Triwulan I disalurkan setelah DJPK menerima Laporan Realisasi Semester II Tunjangan Profesi Guru PNSD TA 2010.

4. Triwulan II disalurkan secara otomatis sesuai waktu setelah Triwulan I disalurkan dan Triwulan III disalurkan secara otomatis sesuai waktu setelah Triwulan II disalurkan.

5. Triwulan IV disalurkan setelah DJPK menerima Laporan Realisasi Semester I Tunjangan Profesi Guru PNSD TA 2011.

  B. Tunjangan Profesi Guru

1. Penyaluran dilakukan secara triwulanan masing-masing sebesar 1/4 dari total pagu alokasi.

2. Triwulan I disalurkan pada minggu terakhir Maret, triwulan II pada minggu terakhir bulan Juni, triwulan III pada minggu terakhir bulan September, dan triwulan IV pada minggu terakhir bulan November.

3. Triwulan I disalurkan setelah DJPK menerima Laporan Realisasi Semester II Tunjangan Profesi Guru PNSD TA 2010.

4. Triwulan II disalurkan secara otomatis sesuai waktu setelah Triwulan I disalurkan dan Triwulan III disalurkan secara otomatis sesuai waktu setelah Triwulan II disalurkan.

5. Triwulan IV disalurkan setelah DJPK menerima Laporan Realisasi Semester I Tunjangan Profesi Guru PNSD TA 2011.

   C. Bantuan Operasional Sekolah (BOS)

Penyaluran dilaksanakan 4 tahap, Tahap I (Januari): 25%; Tahap II (April): 25% ; Tahap III (Juli): 25%; dan Tahap IV sebesar selisih antara total pagu prognosa de!nitif dengan total realisasi hingga Triwulan III.

  D. Dana Tambahan Penghasilan Guru PNSD 

1. Penyaluran dilakukan secara triwulanan masing-masing sebesar 1/4 dari total pagu alokasi.

2. Triwulan I disalurkan pada minggu terakhir Maret, triwulan II pada minggu terakhir bulan Juni, triwulan III pada minggu terakhir bulan September, dan triwulan IV pada minggu terakhir bulan November.

3. Triwulan I disalurkan setelah DJPK menerima Laporan Realisasi Semester Kedua Tambahan Penghasilan Guru PNSD T.A. 2010.

4. Triwulan II disalurkan secara otomatis sesuai waktu setelah Triwulan I disalurkan dan Triwulan III disalurkan secara otomatis sesuai waktu setelah Triwulan II disalurkan.

5. Triwulan IV disalurkan setelah DJPK menerima Laporan Realisasi Semester I Tambahan Penghasilan Guru PNSD TA 2011.

   E. Dana Insentif Daerah

Penyaluran dilakukan secara sekaligus setelah daerah menyampaikan Perda APBD T.A. 2011, Surat Pernyataan Kesediaan Pencantuman DID dalam APBD/APBDP, dan Rencana Penggunaan Dana Insentif Daerah.

www.kemenkeu.go.id | LAPORAN TAHUNAN 2011 | 115

KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA

Tabel 6.3 (lanjutan)

No. Uraian Transfer

  F. Dana Penyesuaian Infrastruktur Daerah 

1. Tahap I (30%), disalurkan setelah DJPK menerima Perda APBD T.A. 2011, dan Surat Pernyataan Kesediaan Mencantumkan DPID dalam APBD/APBD-P 2011.

2. Tahap II (45%) dan Tahap III (25%), disalurkan setelah DJPK menerima laporan DPID tahap sebelumnya yang secara kumulatif telah mencapai 90% dan daftar Surat Perintah Pencairan Dana (SP2D) yang diterbitkan untuk program/kegiatan yang didanai DPID.

  G. Dana Percepatan Pembangunan Infrastruktur Daerah (DPPID)

1. Tahap I (50%), Disalurkan setelah DJPK menerima Surat Pernyataan Kesediaan Mencantumkan Dana DPPID dalam APBD-P 2011

2. Tahap II (50%), disalurkan setelah DJPK menerima Laporan Realisasi Penyerapan DPPID yang telah mencapai 30% dari tahap I yang diterima RKUD dan daftar Surat Perintah Pencairan Dana (SP2D) yang diterbitkan untuk program/kegiatan yang didanai DPPID.

  H. Kurang Bayar Dana Sarana dan Prasarana Infrastruktur Provinsi Papua Barat TA 2008 Dilakukan sekaligus pada Tahun 2011

Sumber: DJPK.

c. Penyaluran DBH

1. Penyaluran DBH Pajak Tahun 2011

Realisasi DBH Pajak yang terdiri dari DBH PPh, DBH PBB, dan DBH BPHTB mencapai Rp42.764.783.841.009 atau

103,67 persen dari pagu alokasi sebesar Rp41.250.847.859.373. Dari jumlah tersebut, Rp6.630.514.870 merupakan

penyaluran sisa DBH BPHTB tahun 2010.

Tabel 6.4.Penyaluran DBH Pajak Tahun 2011

Jenis DBH Pagu (Rp) Realisasi (Rp) Persentase Realisasi (%)

DBH PPh 13.237.326.489.261 13.237.326.489.261 100,00

DBH PBB 26.597.548.367.060 28.112.378.072.694 105,70

DBH CHT 1.415.973.003.052 1.408.448.764.184 99,47

DBH BPHTB *) - 6.630.514.870 -

Jumlah 41.250.847.859.373 42.764.783.841.009 103,67

Sumber: DJPK.Keterangan: *Penyaluran sisa DBH BPHTB tahun 2010.

2. Penyaluran DBH CHT Tahun 2011

Realisasi DBH CHT pada tahun 2011 mencapai Rp1.415.973.003.052 atau 99,47 persen dari alokasi DBH CHT

sebesar Rp1.408.448.764.184. Adapun sisanya tidak dapat disalurkan karena ketidaklengkapan persyaratan yang

harus dipenuhi oleh daerah yang bersangkutan.

3. Penyaluran DBH SDA Tahun 2011

Realisasi untuk semua jenis DBH SDA, yaitu DBH SDA Migas, Pertambangan Umum, Kehutanan, Perikanan,

maupun Panas Bumi, mencapai 100 persen atau sama dengan pagu alokasi sebesar Rp53.974.986.297.954.

KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA

| LAPORAN TAHUNAN 2011 | www.kemenkeu.go.id 116

Tabel 6.5.Penyaluran DBH SDA Tahun 2011

Jenis DBH Pagu (Rp) Realisasi (Rp) Persentase Realisasi (%)

DBH Migas 37.306.330.494.277 37.306.330.494.277 100,00

DBH Pertambangan Umum 14.498.126.522.475 14.498.126.522.475 100,00

DBH Kehutanan 1.512.465.063.891 1.512.465.063.891 100,00

DBH Perikanan 138.077.102.117 138.077.102.117 100,00

DBH Panas Bumi 519.987.115.194 519.987.115.194 100,00

Jumlah 53.974.986.297.954 53.974.986.297.954 100,00

Sumber: DJPK.

d. Penyaluran DAU

DAU merupakan komponen utama transfer ke daerah. Dikatakan utama, karena semua daerah mendapatkan

alokasi DAU secara proporsional sesuai dengan kebutuhan dan kapasitas !skalnya. Selain itu, penggunaan DAU

diserahkan sepenuhnya pada Pemerintah Daerah, karena bersifat block grant. Tujuan dari penetapan DAU adalah

untuk mengatasi vertical and horizontal imbalances.

Tabel 6.6.Alokasi DAU Tahun 2011

Jenis DAU Pagu (Rp) Realisasi (Rp) Persentase Realisasi (%)

DAU Propinsi/Kabupaten/Kota 225.532.824.825.000 225.532.824.825.000 100,00

Koreksi Positif DAU 887.223.000 887.223.000 100,00

Jumlah 225.533.712.048.000 225.533.712.048.000 100,00

Sumber: DJPK.

Jumlah DAU pada tahun 2011 didasarkan atas UU No. 10 Tahun 2011 tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja

Negara Tahun Anggaran 2011, Perpres No. 6 Tahun 2011 tentang Dana Alokasi Umum Daerah Provinsi dan

Kabupaten/Kota, serta PMK No. 73/PMK.07/2011 tentang Koreksi Alokasi Dana Alokasi Umum untuk Kabupaten

dan Kota Tahun Anggaran 2010 dalam Pelaksanaan Penyaluran Dana Alokasi Umum Daerah Kabupaten dan Kota

Tahun Anggaran 2011. Sedangkan dasar untuk penyalurannya adalah Pasal 36 UU No. 33 Tahun 2004, Pasal 49

ayat (2) PP No. 55 Tahun 2005, dan Pasal 25 PMK No. 126/PMK.07/2010 yang menyatakan bahwa penyaluran DAU

dilaksanakan setiap bulan masing-masing sebesar 1/12 dari besaran alokasi masing-masing daerah.

Secara umum, transfer DAU pada tahun 2011 tidak mengalami permasalahan yang signi!kan. Permasalahan

yang perlu dicatat adalah terlambatnya penetapan DAU tahun 2011. Permasalahan ini dapat diatasi, karena

pencantuman DIPA DAU adalah total keseluruhan dari Pagu Alokasi DAU dan bukan merupakan rincian, sehingga

dasar hukumnya cukup mengacu pada UU tentang APBN.

www.kemenkeu.go.id | LAPORAN TAHUNAN 2011 | 117

KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA

Tabel 6.7.Penundaan Penyaluran DAU karena Keterlambatan Penyampaian Perda APBD

No. Daerah DAU/Bulan Nilai Tunda 25%

Tanggal KMK Pencabutan

Tanggal SPM DAU Susulan

1. Provinsi Aceh 59.720.514.000 14.930.128.500 12/05/2011 30/05/2011

2. Kabupaten Bireuen 40.000.882.000 10.000.220.500 21/04/2011 29/04/2011

3. Kota Sabang 20.155.723.000 5.038.930.750 20/04/2011 29/04/2011

4. Kota Langsa 23.042.122.000 5.760.530.500 20/04/2011 29/04/2011

5. Kabupaten Aceh Jaya 21.293.130.000 5.323.282.500 13/04/2011 29/04/2011

6. Kabupaten Karo 36.819.235.000 9.204.808.750 04/07/2011 28/07/2011

7. Kabupaten Langkat 57.442.057.000 14.360.514.250 20/04/2011 29/04/2011

8. Kabupaten Nias Selatan 26.599.083.000 6.649.770.750 12/05/2011 30/05/2011

9. Kabupaten Batubara 32.181.745.000 8.045.436.250 05/04/2011 29/04/2011

10. Kabupaten Padang Lawas 20.810.343.000 5.202.585.750 20/04/2011 29/04/2011

11. Kota Bekasi 61.430.185.000 15.357.546.250 20/04/2011 29/04/2011

12. Kabupaten Blora 45.619.831.000 11.404.957.750 02/05/2011 30/05/2011

13. Kabupaten Jember 88.269.360.000 22.067.340.000 20/04/2011 29/04/2011

14. Kabupaten Jeneponto 29.649.866.000 7.412.466.500 05/04/2011 29/04/2011

15. Kabupaten Soppeng 31.336.941.000 7.834.235.250 23/05/2011 30/05/2011

16. Kabupaten Biak Numfor 30.258.155.000 7.564.538.750 05/04/2011 29/04/2011

17. Kabupaten Mappi 41.594.131.000 10.398.532.750 20/04/2011 29/04/2011

18. Kabupaten Mamberamo Tengah 24.253.098.000 6.063.274.500 20/04/2011 29/04/2011

19. Kabupaten Nduga 29.174.502.000 7.293.625.500 08/06/2011 30/06/2011

Sumber: DJPK.

e. Penyaluran DAK

DAK dialokasikan untuk mendanai kegiatan khusus yang merupakan urusan daerah. Alokasi DAK ditetapkan

dengan PMK No. 216/PMK.07/2010 tentang Pedoman Umum dan Alokasi Dana Alokasi Khusus Tahun Anggaran

2011 sebagaimana telah diubah dalam PMK No. 42/PMK.42/2011 tentang Perubahan Atas PMK No. 216/

PMK.07/2010 tentang Pedoman Umum Dan Alokasi Dana Alokasi Khusus Tahun Anggaran 2011. Sedangkan

mekanisme pelaksanaan penyaluran DAK Tahun Anggaran 2011 berdasarkan Pasal 26 PMK No. 126/PMK.07/2010

dan PMK No. 160/PMK.07/2011 tentang Pelaksanaan Penyaluran Dana Alokasi Khusus Tahun Anggaran 2011

sebagaimana telah diubah dalam PMK No. 192/PMK.07/2011 tentang Perubahan atas PMK No. 160/PMK.07/2011

tentang Pelaksanaan Penyaluran Dana Alokasi Khusus Tahun Anggaran 2011.

Penyaluran DAK Tahun Anggaran 2011 dilaksanakan melalui 3 tahap.

1. Tahap I sebesar 30 persen dari alokasi DAK, dilaksanakan setelah Perda APBD, Laporan Penyerapan

Penggunaan DAK tahun anggaran sebelumnya, dan Surat Pernyataan Penyediaan Dana Pendamping

diterima oleh Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan. Minimum jumlah dana pendamping yang wajib

disediakan daerah adalah 10 persen dari alokasi yang diperoleh. Hal ini sesuai dengan Pasal 41 UU No. 33

Tahun 2004 dan Pasal 61 PP No. 55 Tahun 2005.

KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA

| LAPORAN TAHUNAN 2011 | www.kemenkeu.go.id 118

2. Tahap II dan III masing-masing sebesar 45 persen dan 25 persen dari alokasi DAK, dilaksanakan selambat-

lambatnya 15 hari kerja setelah Laporan Realisasi Penyerapan DAK tahap sebelumnya diterima oleh Direktur

Jenderal Perimbangan Keuangan. Dalam Laporan Realisasi penggunaan DAK telah mencapai 90 persen dari

penerimaan DAK sampai dengan tahap sebelumnya.

Penyaluran bertahap tidak dapat dilaksanakan secara sekaligus dan tidak melampaui tahun anggaran yang

bersangkutan. Pagu Alokasi DAK untuk tahun 2011 adalah Rp25.232.800.000.000 dengan realisasi sebesar 98,30

persen dan sisa sebanyak Rp429.290.975.000.

Tabel 6.8.Rekapitulasi Alokasi dan Transfer DAK Tahun Anggaran 2011

Jenis DanaPagu (Rp) Realisasi (Rp)

Sisa Pagu (Rp)Daerah Tidak

Tersalur

Persentase Realisasi

(%)Rupiah Daerah Rupiah Daerah

DAK 25.232.800.000.000 24.803.509.025.000 429.290.975.000 98,30%

- Potongan DAK 5.003.600.000 5.003.600.000 - 100,00%

- Tahap I 7.569.840.000.000 520 7.568.338.920.000 520 1.501.080.000 - 99,98%

- Tahap II 11.354.760.000.000 520 11.341.296.030.000 519 13.463.970.000 1 99,88%

- Tahap III 6.303.196.400.000 520 5.888.870.475.000 478 414.325.925.000 41 93,43%

Sumber: DJPK.

Keterangan: potongan DAK dikarenakan adanya koreksi atas DAK Tahun Anggaran 2010 untuk Kabupaten Indramayu.

Kendala utama dalam pelaksanaan transfer DAK adalah belum adanya program aplikasi untuk penyampaian

laporan realisasi penyerapan DAK. Meskipun berdasarkan PMK No. 160/PMK.07/2011 sudah ditetapkan format

pelaporan, namun masih banyak daerah yang laporannya tidak sesuai dengan format tersebut. Selain itu,

beberapa daerah, seperti Kabupaten Bogor dan Kabupaten Pamekasan, tidak melaksanakan bidang perumahan

dan pemukiman, sehingga dana sebesar Rp7.236.600.000 tidak terserap.

f. Penyaluran Dana Otsus dan Penyesuaian

1. Penyaluran Dana Otsus

Otsus adalah dana otonomi yang khusus diberikan untuk percepatan pembangunan di daerah. Pada awalnya

Otsus hanya diberikan untuk Provinsi Papua dengan landasan hukum UU No. 21 Tahun 2001 tentang Otonomi

Khusus Bagi Provinsi Papua. Pada tahun 2008, dengan diubahnya undang-undang tersebut, sebagaimana

perubahan terakhir dalam UU No. 35 Tahun 2008 tentang Penetapan PP Pengganti UU No. 1 Tahun 2008 tentang

Perubahan atas UU No. 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua, ditetapkan bahwa Dana

Otsus dan dana tambahan infrastruktur dalam rangka Otsus juga diberikan kepada Provinsi Papua Barat. Alokasi

Dana Otsus ditetapkan sebesar 2 persen dari plafon DAU Nasional per tahun dan berlaku selama 20 tahun. Dari

Alokasi tersebut, Provinsi Papua mendapatkan proporsi 70 persen dan 30 persen untuk Provinsi Papua Barat.

Berdasarkan PMK No. 230/PMK.07/2010 tentang Alokasi Dana Otonomi Khusus dan Dana Tambahan Infrastruktur

Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat Tahun Anggaran 2011, rincian alokasi dana Otsus Papua dan Papua Barat

adalah:

www.kemenkeu.go.id | LAPORAN TAHUNAN 2011 | 119

KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA

Dana Otsus untuk Provinsi Papua sebesar Rp3.157.459.547.550 dan untuk Provinsi Papua Barat sebesar

Rp1.353.196.948.950; serta

Dana Tambahan Infrastruktur untuk Provinsi Papua sebesar Rp800.000.000.000 dan untuk Provinsi Papua

Barat sebesar Rp600.000.000.000.

Selain Provinsi Papua dan Papua Barat, Dana Otsus juga dialokasikan untuk Provinsi NAD sesuai dengan UU

No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh. Dana Otsus ini juga berlaku untuk jangka waktu 20 tahun,

dengan rincian untuk tahun pertama sampai dengan tahun ke-15 besarnya setara dengan 2 persen plafon

DAU Nasional dan untuk tahun ke-16 sampai dengan tahun ke-20 besarnya setara dengan 1 persen plafon DAU

Nasional. Berdasarkan PMK No. 231/PMK.07/2010 tentang Alokasi Dana Otonomi Khusus Provinsi Nanggroe Aceh

Darussalam Tahun Anggaran 2011, alokasi Dana Otsus untuk Provinsi NAD adalah Rp4.510.656.496.500.

Tabel 6.9.Rekapitulasi Realisasi Penyaluran Dana Otonomi Khusus Tahun Anggaran 2011

No. Uraian Sesuai BAS Pagu APBN-P(Rp)

Realisasi Penyaluran(Rp)

Persentase Realisasi (%)

1. Transfer Dana Otsus Provinsi Papua 3.157.459.547.550 3.157.459.547.550 100,00

2. Transfer Dana Otsus Provinsi Aceh 4.510.655.496.500 4.510.655.496.500 100,00

3. Transfer Dana Otsus Tambahan Infrastruktur Provinsi Papua 800.000.000.000 800.000.000.000 100,00

4. Transfer Dana Otsus Provinisi Papua Barat 1.353.196.949.000 1.353.196.949.000 100,00

5. Transfer Dana Tambahan Infrastruktur Papua Barat 600.000.000.000 600.000.000.000 100,00

Jumlah 10.421.312.993.000 10.421.312.993.000 100,00

Sumber: DJPK.

Penyaluran Dana Otsus dibagi dalam 3 tahap, yaitu masing-masing secara berurutan sebesar 30 persen, 45

persen, dan terakhir sebesar 25 persen dari alokasi. Penyaluran tersebut dilaksanakan setelah mendapatkan

pertimbangan dari Menteri Dalam Negeri. Pada tahun 2011, penyaluran Dana Otsus Provinsi Papua, Papua Barat,

NAD, dan dana tambahan infrastruktur Provinsi Papua dan Papua Barat, berhasil dilaksanakan 100 persen.

2. Penyaluran Dana Penyesuaian

Dana Penyesuaian adalah jenis dana yang bersifat ad hoc dan bertujuan untuk menampung program-program

tertentu. Jenis-jenis Dana Penyesuaian yang disalurkan pada tahun 2011 adalah berikut ini.

Dana Insentif Daerah (DID) ditetapkan melalui PMK No. 61/PMK.07/2011 tentang Pedoman Umum dan

Alokasi Dana Insentif Daerah Tahun Anggaran 2011. Tujuan utama DID adalah untuk mendorong agar

daerah berupaya mengelola keuangannya dengan lebih baik dan membantu daerah dalam rangka

melaksanakan program pendidikan. DID dialokasikan kepada provinsi dan kabupaten/kota dengan

mempertimbangkan daerah yang berprestasi yang memenuhi Kriteria Utama, Kriteria Kinerja, dan Batas

Minimum Kelulusan Kinerja. Kriteria Utama meliputi sekurang-kurangnya mendapatkan opini Wajar

Dengan Pengecualian (WDP) dari Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) atas laporan keuangan dan penetapan

APBD yang tepat waktu. Kriteria Kinerja terdiri dari Kriteria Kinerja Keuangan, Kriteria Kinerja Pendidikan,

serta Kriteria Kinerja Ekonomi dan Kesejahteraan. Batas Minimum Kelulusan Kinerja adalah nilai minimum

tertentu atas hasil pembobotan terhadap masing-masing unsur penilaian dan Kriteria Kinerja Keuangan,

KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA

| LAPORAN TAHUNAN 2011 | www.kemenkeu.go.id 120

Kriteria Kinerja Pendidikan, serta Kriteria Kinerja Ekonomi dan Kesejahteraan. Pagu alokasi DID Tahun

Anggaran 2011 untuk provinsi dan kabupaten/kota ditetapkan Rp1.387.800.000.000, dengan proporsi 10

persen untuk provinsi dan 90 persen untuk Kabupaten/Kota. Pada tahun 2011, penyaluran DID berhasil

dilaksanakan 100 persen.

Dana Penyesuaian Infrastruktur Daerah (DPID) dialokasikan kepada daerah tertentu untuk membantu

mendanai kegiatan infrastruktur dan mendorong percepatan pembangunan daerah dalam rangka

pelaksanaan desentralisasi !skal. DPID digunakan untuk belanja modal. Pagu alokasi DPID pada tahun

2011 yang ditetapkan dengan PMK No. 25/PMK.07/2011 tentang Pedoman Umum dan Alokasi Dana

Penyesuaian Infrastruktur Daerah TA 2011 adalah Rp7.700.800.000.000. Penyaluran DPID dilaksanakan

melalui 3 tahap. Realisasi transfer DPID ke daerah diketahui sebesar Rp7.535.043.988.000 atau 97,85

persen dari pagu yang ditetapkan. Kendala utama dalam pelaksanaan transfer DPID adalah belum adanya

program aplikasi untuk penyampaian laporan realisasi penyerapan DPID. Meskipun berdasarkan PMK No.

25/PMK.07/2011 sudah ditetapkan format pelaporan, namun masih banyak daerah yang laporannya tidak

sesuai dengan format tersebut.

Tabel 6.10.Rekapitulasi Alokasi dan Transfer DPID Tahun Anggaran 2011

DanaPagu Alokasi Realisasi

Sisa Pagu (Rp)Daerah Tidak

Tersalur

Persentase Realisasi (%)Rp Daerah Rp Daerah

DPID 7.700.800.000.000 7.535.043.988.000 165.756.012.000 97,85

- Tahap I 2.310.240.001.000 298 2.310.240.001.000 298 - 100,00

- Tahap II 3.465.360.000.000 298 3.430.833.749.000 293 34.526.251.000 5 99,00

- Tahap III 1.925.199.999.000 2968 1.793.970.238.000 273 131.229.761.000 25 93,18

Sumber: DJPK.

Dana Percepatan Pembangunan Infrastruktur Daerah (DPPID), ditetapkan sebagai salah satu komponen

Dana Penyesuaian dalam UU No. 10 Tahun 2010 tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara

sebagaimana telah diubah dengan UU No. 11 Tahun 2011. Dana ini dialokasikan dalam rangka peningkatan

pelayanan publik melalui penyediaan infrastruktur dan prasarana untuk mendorong percepatan

pembangunan daerah. PMK No. 140/PMK.07/2011 tentang Alokasi dan Pedoman Umum Penggunaan

Dana Percepatan Pembangunan Infrastruktur Daerah TA 2011 menetapkan pagu alokasi DPPID sebesar

Rp6.313.000.000.000.

Tabel 6.11.Rekapitulasi Alokasi dan Transfer DPPID Tahun Anggaran 2011

DanaPagu Alokasi Realisasi

Sisa PaguDaerah Tidak

Tersalur

Persentase Realisasi

(%)Rp Daerah Rp Daerah

DPPID 6.313.000.000.000 6.158.606.372.500 154.393.627.500 97,55

- Tahap I 3.156.500.000.000 524 3.115.930.974.500 517 - 98,71

- Tahap II 3.156.500.000.000 524 3.042.675.398.000 518 40.569.025.500 5 96,39

Sumber: DJPK.

www.kemenkeu.go.id | LAPORAN TAHUNAN 2011 | 121

KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA

Dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) merupakan dana yang dialokasikan kepada kabupaten/kota

untuk meringankan beban masyarakat terhadap pembiayaan pendidikan dalam rangka wajib belajar 9

tahun yang bermutu. Sekolah penerima BOS adalah Sekolah Dasar/Sekolah Dasar Luar Biasa (SD/SDLB)

dan Sekolah Menengah Pertama/Sekolah Menengah Pertama Luar Biasa/Sekolah Menengah Pertama

Terbuka (SMP/SMPLB/SMPT), baik negeri maupun swasta. Penyaluran BOS dilaksanakan secara triwulanan,

yaitu triwulan I sampai dengan triwulan III masing-masing sebesar 1/4 dari alokasi sementara, sedangkan

triwulan IV sebesar selisih antara penetapan alokasi prognosa de!nitif BOS dengan jumlah dana yang

telah disalurkan sampai dengan triwulan III. Pemerintah Daerah wajib menyalurkan BOS kepada masing-

masing sekolah paling lambat 7 hari kerja setelah diterima di Rekening KUD. Pada tahun 2011, Dana BOS

berhasil disalurkan seluruhnya ke daerah penerima. Kendala yang sering ditemui adalah keterlambatan

daerah dalam menyalurkan Dana BOS ke tiap-tiap sekolah.

Tabel 6.12.Rekapitulasi Alokasi dan Transfer BOS Tahun Anggaran 2011

Dana Pagu (Rp) Realisasi (Rp) Sisa Pagu (Rp) Persentase Realisasi (%)

BOS 16.329.888.218.250 16.329.888.218.250 - 100,00%

- Triwulan I 4.066.509.853.000 4.066.509.853.000 - 100,00%

- Triwulan II 4.066.509.853.000 4.066.509.853.000 - 100,00%

- Triwulan III 4.066.509.853.000 4.066.509.853.000 - 100,00%

- Triwulan IV 4.130.358.659.250 4.130.358.659.250 - 100,00%

Sumber: DJPK.

Dana Tambahan Penghasilan (Tamsil) diberikan dalam rangka melaksanakan kebijakan perbaikan

penghasilan bagi Guru PNSD dan untuk meningkatkan kinerja dan kesejahteraan Guru PNSD. Berdasarkan

PMK No. 72/PMK.07/2011 tentang Pedoman Umum dan Alokasi Dana Tambahan Penghasilan Bagi Guru

Pegawai Negeri Sipil Daerah Kepada Daerah Provinsi, Kabupaten, dan Kota Tahun Anggaran 2011, dana

Tamsil Tahun Anggaran 2011 ditujukan untuk Guru PNSD yang belum mendapatkan tunjangan profesi.

Alokasi Tamsil bagi guru PNSD pada tahun 2011 adalah Rp250.000 per orang per bulan terhitung mulai

1 Januari 2011. Penyaluran Tamsil dilaksanakan setiap triwulan masing-masing 1/4 dari alokasi, tidak

termasuk untuk bulan ke-13. Sisa realisasi pembayaran Tamsil wajib dikembalikan ke KUN. Permasalahan

dalam penyaluran Tamsil adalah keterlambatan daerah dalam menyampaikan laporan daerah realisasi

pembayaran semester II tahun anggaran 2010 yang merupakan syarat untuk pencairan triwulan I tahun

anggaran 2011.

KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA

| LAPORAN TAHUNAN 2011 | www.kemenkeu.go.id 122

Tabel 6.13.Rekapitulasi Alokasi dan Transfer Dana Tambahan Penghasilan Guru Tahun Anggaran 2011

DanaPagu Alokasi Realisasi

Sisa Pagu (Rp)Daerah Tidak

Tersalur

Persentase Realisasi (%)Rp Daerah Rp Daerah

Tamsil Guru 3.696.177.700.000 3.681.410.389.000 14.767311.000 99,60

- Tahap I 924.044.425.000 519 921.632.164.000 502 2.412.261.000 17 99,74

- Tahap II 924.044.425.000 519 921.632.164.000 502 2.412.261.000 17 99,74

- Tahap III 924.044.425.000 519 921.632.164.000 502 2.412.261.000 17 99,74

- Tahap IV 924.044.425.000 519 916.513.897.000 500 7.530.528.000 19 99,19

Sumber: DJPK.

Dana Tunjangan Profesi Guru (TPG) diberikan dalam rangka melaksanakan kebijakan perbaikan

penghasilan bagi Guru PNSD. Dana ini diperuntukan bagi Guru PNSD yang telah memiliki serti!kat

pendidik dan memenuhi persyaratan.

Tabel 6.14.Rekapitulasi Alokasi dan Transfer Dana Tunjangan Profesi Guru PNSD Tahun Anggaran 2011

DanaPagu Alokasi Realisasi Sisa Pagu

(Rp)

Daerah Tidak

Tersalur

Persentase Realisasi (%)Rp Daerah Rp Daerah

TPG PNSD 18.537.689.880.200 18.537.689.880.200 330.599.280 - 99,60

- Tahap I 4.634.422.470.000 484 4.634.422.470.000 484 82.647.000 - 99,74

- Tahap II 4.634.422.470.000 484 4.634.422.470.000 484 82.647.000 - 99,74

- Tahap III 4.634.422.470.000 484 4.634.422.470.000 484 82.647.000 - 99,74

- Tahap IV 4.634.422.470.000 484 4.634.422.470.000 484 82.647.000 - 99,19

Sumber: DJPK.

Pada tahun 2011 juga disalurkan dana Kurang Bayar Dana Sarana dan Prasarana Infrastruktur Provinsi

Papua Barat Tahun Anggaran 2008 sebesar Rp78.538.524.780. Dana ini tersalur 100 persen apabila

dibandingkan dengan PMK alokasi yang mengatur dana kurang bayar tersebut. Namun, jika dibandingkan

dengan pagu yang ditetapkan dalam APBN-P sebesar Rp100.500.000.000, hanya tersalur 78,52 persen.

Hal ini dikarenakan PMK ditetapkan berdasarkan Kesepakatan Badan Anggaran Dewan Perwakilan

Rakyat dengan Pemerintah setelah memperhitungkan hasil audit BPK dan reviu BPKP. Selanjutnya Badan

Anggaran DPR juga menyarankan Pemerintah Daerah menindaklanjuti temuan-temuan dari audit BPK

dan reviu BPKP sebesar Rp21.592.122.848.

6.1.7. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Realisasi Penyaluran

Berikut ini adalah beberapa faktor yang mempengaruhi realisasi transfer ke daerah.

1. Keterlambatan pengiriman Perda APBD tahun 2011 mengakibatkan penyaluran DAU tertunda untuk

beberapa daerah sebesar 25 persen dari alokasi per bulan.

2. Penyaluran DAK Tahap I tergantung pada penyampaian Perda APBD tahun 2010, Laporan Pelaksanaan DAK

tahun 2009, dan pernyataan kesediaan menyediakan dana pendamping dalam APBD, sedangkan penyaluran

Tahap II/III tergantung pada penyampaian Laporan Penyerapan Penggunaan DAK tahap sebelumnya.

www.kemenkeu.go.id | LAPORAN TAHUNAN 2011 | 123

KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA

3. Keterlambatan penerbitan petunjuk teknis pelaksanaan kegiatan DAK dan adanya perubahan mekanisme

pelaksanaan kegiatan pada bidang pendidikan. Selain itu, pada tahun 2011 terdapat koreksi negatif atas

Pagu DAK, sehingga daerah lebih berhati-hati dalam melakukan penyerapan anggaran sementara dengan

menunggu perubahan APBD.

4. Penyaluran Dana Otsus dan Dana Tambahan Infrastruktur dilaksanakan setelah mendapatkan pertimbangan

dari Menteri Dalam Negeri.

5. Penyaluran DPID Tahap I tergantung pada penyampaian Perda APBD tahun 2011 dan Surat Pernyataan

pencantuman dalam APBD dan penyaluran Tahap II/III tergantung pada penyampaian Laporan Penyerapan

Penggunaan DPID tahap sebelumnya.

6. Sebagian besar daerah penerima DPPID baru melaksanakan kegiatan setelah dana tersebut dimasukkan

dalam APBD-P, sehingga mengakibatkan keterlambatan penyerapan. Penyaluran tahap I (50 persen dari total

pagu) mempersyaratkan daerah menyampaikan Surat Pernyataan telah/akan memasukkan kegiatan yang

didanai dalam Perda APBD/APBD-P tahun 2011 dan jadwal pelaksanaan kegiatan. Sedangkan penyaluran

tahap II tergantung pada penyampaian Laporan Penyerapan Penggunaan DPPID tahap sebelumnya. Khusus

untuk bidang Infrastruktur Transmigrasi mempersyaratkan adanya rekomendasi dari BPKP dalam penyaluran

tahap II.

Dalam rangka mengoptimalkan penyaluran anggaran transfer ke daerah telah dilaksanakan berbagai upaya

berikut ini.

1. Melakukan sosialisasi PMK mengenai pelaksanaan dan pertanggungjawaban anggaran transfer ke daerah,

baik secara khusus maupun melalui acara-acara yang diselenggarakan oleh DJPK.

2. Menambah frekuensi penyaluran atau komposisi besaran per jenis transfer dan per tahap.

3. Melakukan bimbingan teknis kepada pejabat/staf pengelola keuangan daerah mengenai hal-hal yang

berhubungan dengan penyiapan dokumen dan laporan realisasi penyerapan.

4. Menjelaskan kepada pejabat/staf pengelola keuangan daerah, baik secara langsung di kantor maupun

melalui tanya jawab via telepon dan email.

5. Menyampaikan Surat Dirjen Perimbangan Keuangan No. S-428/PMK.07/2011 tanggal 30 Juni 2011 mengenai

Penegasan Tatacara Penyaluran DAK dan DPID tahun 2001.

6. Menyampaikan Surat Dirjen Perimbangan Keuangan No. S-535/PMK.07/2011 tanggal 14 Oktober 2011

mengenai Informasi Batas Waktu Penyampaian Dokumen Persyaratan Penyaluran DAK, DPID, dan DPPID

Tahun 2011.

7. Menerbitkan Surat Edaran No. SE-06/PK/2001 tanggal 21 November 2011 tentang Langkah-langkah

Penyaluran Anggaran ke Daerah Dalam Menghadapi Akhir Tahun Anggaran 2011.

8. Menerbitkan Surat Edaran No. SE-898/PK/2011 tanggal 22 Desember 2011 tentang Penegasan Pengembalian

Dana Percepatan Pembangunan Infrastruktur Derah Tahun Anggaran 2011 dan Tata Cara Pengembaliannya.

6.2. Pajak Daerah dan Retribusi Daerah

Perubahan kebijakan di bidang pajak daerah dan retribusi daerah sebagaimana diatur dalam UU No. 28 Tahun

2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah menuntut Pemerintah provinsi dan kabupaten/kota, untuk

segera menyusun Perda tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (PDRD). Hal tersebut dilakukan karena Perda

PDRD yang jenisnya tercantum dalam UU No. 28 Tahun 2009 dan masih mengacu pada UU No. 34 Tahun 2000

KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA

| LAPORAN TAHUNAN 2011 | www.kemenkeu.go.id 124

tentang Perubahan UU No. 18 Tahun 1997 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah dalam Kerangka Otonomi

Daerah, hanya berlaku sampai dengan 31 Desember 2011. Mulai 1 Januari 2012, seluruh Perda tentang PDRD

harus mengacu pada UU No. 28 Tahun 2009.

Terkait dengan penyusunan Rancangan Perda (Raperda) dan Perda dibidang pajak dan retribusi oleh Pemerintah

Daerah, dapat dijelaskan beberapa hal berikut ini.

1. (Menteri Keuangan melakukan evaluasi atas Perda PDRD. Jumlah Perda yang direncanakan untuk dievaluasi

pada tahun 2011 sebanyak 1.000 Perda. Evaluasi merupakan bentuk pengawasan agar Perda yang

diterbitkan telah sesuai dengan Raperdanya. Target tersebut dibagi ke dalam 4 triwulan, dengan rincian 321

Perda dievaluasi pada triwulan I, 303 Perda pada triwulan II, 275 Perda pada triwulan III, dan 101 Perda pada

triwulan IV. Realisasi evaluasi Perda pada triwulan I sebanyak 318 Perda, sedangkan realiasasi pada triwulan II,

III dan IV masing-masing sebanyak 559 Perda, 443 Perda, dan 224 Perda. Pada akhir tahun 2011, jumlah Perda

yang telah direalisasikan sebanyak 1.544 Perda atau 154,40 persen dari target 1.000 Perda.

2. Salah satu janji layanan Kementerian Keuangan adalah evaluasi Raperda PDRD paling lama 15 hari kerja sejak

diterimanya surat koordinasi dari Gubernur atau Menteri Dalam Negeri. Pada tahun 2011, telah dilakukan

evaluasi 3.297 Raperda, di mana 2.770 Raperda dievaluasi tepat waktu (kurang atau sama dengan 15 hari)

atau 84,02 persen dari total Raperda yang dievaluasi. Sementara itu, evaluasi terhadap 527 Raperda atau

15,98 persen memakan waktu lebih dari 15 hari. Keterlambatan disebabkan banyaknya Pemerintah Daerah

yang menyampaikan Raperda ke Kementerian Keuangan cq. DJPK secara bersamaan. Kendala lainnya adalah

kekuranglengkapan dokumen pendukung, sehingga proses evaluasi menjadi terhambat.

3. Pada tahun 2011, telah direalisasikan produk hukum di bidang PDRD, yaitu:

Peraturan Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan No. 01/PK/2011 tentang Petunjuk Teknis Pelaksanaan

Sanksi Terhadap Pelanggaran Ketentuan di Bidang PDRD; dan

Peraturan Presiden No. 36 Tahun 2011 tentang Perubahan atas Tarif Pajak Bahan Bakar Kendaraan

Bermotor.

6.2.1. Sosialisasi Pengalihan PBB-P2 dan BPHTB menjadi Pajak Daerah

Sosialisasi Pengalihan PBB-P2 dan BPHTB merupakan salah satu upaya untuk mempercepat proses pengalihan

BPHTB dan PBB-P2 sebagai pajak daerah. Sesuai dengan UU No. 28 Tahun 2009, BPHTB dialihkan paling lambat

31 Desember 2010 dan PBB-P2 dialihkan paling lambat 1 Januari 2014. Sosialisasi melibatkan nara sumber dari

unsur Komisi XI DPR-RI, Direktorat Jenderal Pajak, dan Kementerian Dalam Negeri ke seluruh kabupaten/kota di

Indonesia. Sampai dengan akhir 2011, sosialisasi telah dilakukan di 160 kabupaten/kota.

Sosialisasi dimaksudkan agar Pemerintah Daerah mempercepat berbagai hal terkait dengan pemungutan BPHTB

dan PBB-P2, khususnya penyiapan produk hukum, standar operasional prosedur, sarana dan prasarana, sumber

daya aparatur, serta sistem informasi teknologi. Peserta sosialisasi terdiri dari unsur pimpinan dan anggota DPRD,

Sekretaris Daerah, Kepala SKPD yang terkait dengan pemungutan BPHTB dan PBB-P2, Kepala Kantor Pelayanan

Pajak setempat, Camat, Kepala Desa/Lurah, Notaris/PPAT, BPN, pihak Bank di daerah setempat, serta para

stakeholder terkait lainnya.

www.kemenkeu.go.id | LAPORAN TAHUNAN 2011 | 125

KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA

Tabel 6.15.Kesiapan Daerah Memungut PBB-P2* per 30 Desember 2011

No. Kesiapan DaerahJumlah Prosentase

Jumlah Daerah

Penerimaan PBB-P2 2010 (Rp)

Jumlah Daerah

Penerimaan PBB-P2 2010 (%)

1. Perda yang telah siap 114**) 2.608.092.405.463 23,2 34,3

2. Raperda (dalam proses) 55 2.960.086.275.774 11,2 39,0

3. Belum menyusun Raperda 323 2.030.142.789.145 65,6 26,7

Total 492 7.598.321.470.382 100 100

Sumber: DJPK.

Catatan: *) Pemungutan PBB-P2 oleh Kabupaten/Kota paling lambat 1 Januari 2014. **) Mulai memungut PBB-P2: -Tahun 2011: 1 Daerah (Kota Surabaya); -Tahun 2012: 17 Daerah; -Tahun 2013: 25 Daerah; dan -Tahun 2014: 71 Daerah.

Sebagai hasilnya, jumlah Pemerintah Daerah yang telah memiliki Perda BPHTB per 30 Desember 2011 sebesar

419 Pemerintah Daerah atau 85,2 persen. Pemerintah Daerah yang masih memproses Raperda BPHTB sebanyak

72 Pemerintah Daerah atau 14,6 persen dan Pemerintah Daerah yang belum menyusun Raperda sebanyak 1

Pemerintah Daerah atau 0,2 persen. Sedangkan jumlah Pemerintah Daerah yang telah memiliki Perda PBB-P2 per

30 Desember 2011 sebanyak 114 Pemerintah Daerah atau 23,2 persen. Pemerintah Daerah yang masih memproses

Raperda PBB-P2 sejumlah 55 Pemerintah Daerah atau 11,2 persen dan Pemerintah Daerah yang belum menyusun

Raperda sebanyak 323 Pemerintah Daerah atau 65,6 persen.

Sejumlah 114 Pemerintah Daerah telah memiliki Perda PBB-P2 dan 1 daerah yang melaksanakan pemungutan

PBB-P2 pada tahun 2011, yaitu Kota Surabaya. Pemungutan PBB-P2 yang akan dilaksanakan pada tahun 2012

sebanyak 17 daerah, kemudian pada tahun 2013 sebanyak 25 daerah, dan pada tahun 2014 sebanyak 71 daerah.

Tabel 6.16.Kesiapan Daerah Memungut BPHTB per 30 Desember 2011

No. Kesiapan DaerahJumlah Prosentase (%)

Daerah Penerimaan BPHTB 2010 (Rp)

Jumlah Daerah

Penerimaan BPHTB 2010

1. Perda yang telah siap 419 7.971.209.498.979 85,2 99,4

2. Raperda (dalam proses) 72 47.206.900.947 14,6 0,6

3. Belum menyusun Raperda 1*) 0 0,2 0,0

Total 492 8.018.416.399.926 100 100

Sumber: DJPK.

Keterangan: *) Pemerintah Daerah yang belum menyusun Raperda BPHTB:Kabupaten Tolikara, Provinsi Papua (belum menyusun karena tidak ada potensi).

KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA

| LAPORAN TAHUNAN 2011 | www.kemenkeu.go.id 126

6.3. Pinjaman, Hibah dan Kapasitas Daerah

6.3.1. Pinjaman Daerah

Pada tahun 2011 telah dilaksanakan penyusunan PMK terkait dengan pinjaman daerah penyusunan PMK

mengenai batas maksimal kumulatif de!sit APBD dan pinjaman daerah, serta pemantauan pinjaman daerah

dan penjaringan minat penerbitan obligasi daerah. Penyusunan PMK terkait dengan pinjaman daerah bertujuan

untuk merumuskan konsep kebijakan pemberian pinjaman dari Pemerintah Pusat kepada Pemerintah Daerah.

Output dari kegiatan ini adalah:

1. PMK No. 47/PMK.07/2011 tentang Tata Cara Penyelesaian Tunggakan Pinjaman Pemerintah Daerah kepada

Pemerintah Pusat Melalui Sanksi Pemotongan Dana Alokasi Umum dan/atau Dana Bagi Hasil; serta

2. draft revisi PMK No. 147/PMK.07/2006 tentang Tata Cara Penerbitan, Pertanggungjawaban, dan Publikasi

Informasi Obligasi Daerah.

PMK No. 47/PMK.07/2011 merupakan revisi dari PMK No. 129/ PMK.07/2008 tentang Tata Cara Pelaksanaan Sanksi

Pemotongan Dana Alokasi Umum dan/atau Dana Bagi Hasil dalam Kaitannya dengan Pinjaman Daerah dari

Pemerintah Pusat. Perubahan peraturan ini dilakukan dalam rangka menyempurnakan peraturan yang sudah ada

dan menjaga kolektibilitas pinjaman kepada Pemerintah Daerah.

Pokok-pokok perubahan dalam 47/PMK.07/2011 adalah berikut ini.

1. Perubahan judul PMK dari semula “Tata Cara Pelaksanaan Sanksi Pemotongan Dana Alokasi Umum

dan/atau Dana Bagi Hasil dalam Kaitannya dengan Pinjaman Daerah dari Pemerintah Pusat” menjadi

“Tata Cara Penyelesaian Tunggakan Pinjaman Pemerintah Daerah kepada Pemerintah melalui Sanksi

Pemotongan Dana Alokasi Umum dan/atau Dana Bagi Hasil”.

2. Perluasan lingkup pemotongan DAU dan/atau DBH dari semula hanya mencakup tunggakan pinjaman

Pemerintah yang diberikan oleh Direktorat Sistem Manajemen Investasi, Ditjen Perbendaharaan, menjadi

mencakup juga pinjaman Pemerintah yang diberikan oleh Pusat Investasi Pemerintah (PIP) maupun unit lainnya

pada lingkup Kementerian Keuangan yang berwenang memberikan pinjaman kepada Pemerintah Daerah.

3. Penyederhanaan prosedur pengajuan permintaan pemotongan DAU dan/atau DBH.

4. Kepastian hukum bagi PA/KPA Transfer ke Daerah untuk melakukan pemotongan dengan diterbitkannya Surat

Ketetapan Sanksi Pemotongan DAU dan/atau DBH.

Dengan ditetapkannya PP No. 30 tahun 2011 tentang Pinjaman Daerah sebagai pengganti dari PP No. 54 Tahun

2005, beberapa pengaturan terkait dengan penerbitan obligasi daerah perlu disesuaikan. Untuk itu, telah disusun

draft revisi PMK No. 147/PMK.07/2006 tentang Tata Cara Penerbitan, Pertanggungjawaban, dan Publikasi

Informasi Obligasi Daerah. Pokok-pokok perubahan yang diatur dalam draft PMK mencakup hal-hal berikut ini.

1. Prasyarat bahwa Obligasi Daerah hanya dapat dilaksanakan oleh Pemerintah Daerah yang berdasarkan

hasil audit terakhir oleh BPK atas LKPD mendapat opini WDP atau WTP. Hal ini dimaksudkan untuk menjaga

kinerja pasar modal, sehingga hanya Pemerintah Daerah yang mempunyai pengelolaan keuangan yang

sudah bagus yang dapat mengusulkan penerbitan Obligasi Daerah.

2. Penegasan mengenai kegiatan yang dibiayai Obligasi Daerah dapat merupakan kegiatan baru atau

pengembangan kegiatan yang sudah ada.

3. Penegasan mengenai komposisi pendanaan kegiatan yang dibiayai Obligasi Daerah dapat sepenuhnya atau

sebagian bersumber dari Obligasi Daerah.

www.kemenkeu.go.id | LAPORAN TAHUNAN 2011 | 127

KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA

4. Penegasan bahwa sisa dana setelah seluruh kegiatan terlaksana hanya dapat digunakan untuk mendukung

pelaksanaan kegiatan yang telah direncanakan atau pembelian kembali Obligasi Daerah. Pengaturan ini

dimaksudkan untuk membatasi penggunaan sisa dana penerbitan Obligasi Daerah hanya untuk kegiatan

yang sudah direncanakan.

5. Pemerintah Daerah bertanggung jawab menutup kekurangan pendanaan kegiatan dalam hal dana hasil

penerbitan Obligasi Daerah tidak mencukupi.

6. Perluasan penilaian administrasi dengan menambah unsur kesiapan unit organisasi dan sumber daya

manusia pengelola Obligasi Daerah. Pemerintah Daerah diharapkan memiliki unit pengelola Obligasi Daerah

dengan struktur organisasi, perangkat kerja, dan kapasitas sumber daya manusia yang memadai.

7. Penegasan bahwa pelaksanaan kegiatan yang didanai dari Obligasi Daerah dapat dilakukan oleh satuan kerja,

Badan Layanan Umum Daerah (BLUD), atau Badan Usaha Milik Daerah (BUMD).

8. Pengaturan bahwa unit pengelola obligasi daerah harus memastikan bahwa pengelolaan pendapatan dan

barang milik daerah yang dibiayai dari obligasi daerah oleh satuan kerja, BLUD atau BUMD dilakukan secara

profesional untuk menjamin pembayaran obligasi daerah.

9. Penambahan subtansi dalam Perda mengenai Penerbitan Obligasi Daerah. Sebelumnya Perda hanya

memuat ketentuan mengenai jumlah, nilai nominal, penggunaan dana, jadwal penerbitan tahunan, dan

aset yang dijaminkan. Dalam revisi PMK, Perda juga memuat tanggung jawab atas pembayaran pokok,

kupon, dan biaya lainnya yang timbul akibat penerbitan Obligasi Daerah. Pengaturan ini dimaksudkan untuk

memastikan terlaksananya pembayaran kewajiban.

10. Pengadaan barang dan jasa dalam rangka penerbitan Obligasi Daerah dan pelaksanaan kegiatan yang

dibiayai dari Obligasi Daerah mengikuti ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai pengadaan

barang dan jasa. Pengaturan ini dimaksudkan untuk mempertegas bahwa proses pemilihan lembaga

penunjang pasar modal, seperti underwriter, penilai, konsultan hukum dan lainnya dilakukan mengikuti

ketentuan yang berlaku.

11. Pengaturan yang lebih jelas mengenai kewajiban Pemerintah Daerah untuk mengalokasikan dana cadangan

dalam APBD untuk pembayaran pokok Obligasi Daerah pada saat jatuh tempo. Pengaturan ini dimaksudkan

untuk mempertegas bahwa daerah wajib mengalokasikan dana cadangan untuk pembayaran Obligasi

Daerah. Namun, besaran dana cadangan yang dialokasikan setiap tahun disesuaikan dengan kondisi

keuangan masing-masing daerah.

12. Kewajiban Kepala Daerah melakukan penatausahaan atas dana Obligasi Daerah untuk memastikan bahwa

Pemerintah Daerah melakukan penatausahaan Obligasi Daerah dengan baik.

13. Pengaturan isi laporan pelaksanaan Obligasi Daerah yang disampaikan Kepala Daerah kepada Menteri

Keuangan. Pengaturan ini dimaksudkan agar Menteri Keuangan dapat memantau perkembangan

pelaksanaan penerbitan Obligasi Daerah secara komprehensif.

14. Pertimbangan Menteri Dalam Negeri dipertegas pada aspek kemanfaatan terhadap pelayanan publik. Hal ini

dimaksudkan agar terdapat pembedaan yang tegas antara aspek yang dinilai oleh Kementerian Keuangan

dengan pertimbangan yang diberikan oleh Kementerian Dalam Negeri dalam rangka penerbitan obligasi

daerah.

Dalam rangka pengendalian !skal nasional, setiap bulan Agustus tahun anggaran yang bersangkutan, Menteri

Keuangan menetapkan batas maksimal de!sit APBD dan batas kumulatif pinjaman daerah untuk tahun anggaran

yang akan datang. Berkaitan dengan itu, dari Sub Kegiatan Penyusunan PMK mengenai Batas Maksimal Kumulatif

KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA

| LAPORAN TAHUNAN 2011 | www.kemenkeu.go.id 128

De!sit APBD dan Pinjaman Daerah pada tahun 2010 telah dihasilkan PMK No. 127/PMK.07/2011 tentang Batas

Maksimal De!sit Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah dan Batas Maksimal Kumulatif Pinjaman Daerah

Tahun Anggaran 2012. Hal-hal pokok yang diatur yang diatur dalam PMK tersebut adalah berikut ini.

1. Batas Maksimal Kumulatif De!sit APBD Tahun Angaran 2012 ditetapkan sebesar 0,5 persen dari proyeksi

Produk Domestik Bruto (PDB) tahun 2012. Pengertian de!sit pada APBD diselaraskan dengan pengertian

de!sit pada APBN, yaitu total pendapatan dikurangi total belanja. PDB yang digunakan adalah proyeksi PDB

dalam penyusunan APBN Tahun 2012.

2. Batas maksimal de!sit APBD masing-masing daerah ditetapkan sebesar 6 persen dari perkiraan pendapatan

daerah tahun 2012. Dalam hal de!sit APBD akan melampaui 6 persen dari perkiraan pendapatan daerah

tahun 2012, daerah harus melaporkan rencana pelampauan batas maksimal de!sit APBD tersebut kepada

Menteri Keuangan.

3. Dalam hal daerah akan membiayai de!sit APBD dengan pinjaman daerah yang bersumber dari penerusan

pinjaman luar negeri, Pemerintah Daerah lain, lembaga keuangan bank, dan lembaga keuangan bukan bank

dengan jumlah melampaui 6 persen dari perkiraan pendapatan daerah tahun 2012, daerah harus mendapat

persetujuan dari Menteri Keuangan. Menteri Keuangan memberikan persetujuan setelah meminta

pertimbangan Menteri Dalam Negeri.

4. Persetujuan Menteri Keuangan dapat diberikan sepanjang batas maksimal kumulatif de!sit APBD sebesar

0,5 persen dari proyeksi PDB tahun 2012 tidak terlampaui. Persetujuan/penolakan Menteri Keuangan atas

pelampauan batas maksimal de!sit APBD menjadi dokumen yang dipersyaratkan dalam proses evaluasi

Raperda tentang APBD atau APBD-P.

5. Batas maksimal kumulatif pinjaman daerah yang masih menjadi kewajiban daerah sampai dengan tahun

2012 diusulkan sama dengan PMK sebelumnya, yaitu sebesar 0,35 persen dari proyeksi PDB tahun 2012.

Pinjaman tersebut termasuk pinjaman yang akan diteruskan menjadi pinjaman, hibah, dan/atau penyertaan

modal kepada BUMD.

6. Pengendalian dan pemantauan de!sit APBD dan pinjaman daerah.

Untuk merumuskan rekomendasi kebijakan pada tahun 2011 telah dilaksanakan subkegiatan Pemantauan

Pinjaman Daerah dan Penjaringan Minat Penerbitan Obligasi Daerah. Kegiatan ini dimaksudkan untuk memetakan

status posisi pinjaman daerah, kendala dan hambatan yang terdapat dalam pelaksanaanya, dan rencana pinjaman

atau penerbitan obligasi daerah, serta rekomendasi kebijakan. Kegiatan dilaksanakan dengan mengunjungi 15

Pemerintah Daerah yang telah melakukan pinjaman dari Pemerintah. Selain itu juga telah di lakukan Focus Group

Discussion (FGD) di 5 Pemerintah Daerah, yaitu Kabupaten Bogor, Provinsi Sulawesi Tengah, Provinsi Bali, Provinsi

D.I. Yogyakarta, dan Kota Samarinda. FGD menghasilkan beberapa rekomendasi.

1. Kebutuhan akan pinjaman selalu meningkat dari tahun ke tahun. Kendala utama yang dihadapi berupa proses

yang terlalu panjang baik di tahap persiapan di Pemerintah Daerah maupun proses persetujuan di Pemerintah

Pusat. Perlu dibuat peraturan yang memuat mekanisme pinjaman daerah menjadi lebih singkat dan sederhana.

2. Pusat Investasi Pemerintah (PIP) sebagai lembaga Pemerintah Pusat yang bergerak di bidang investasi

diharapkan dapat membantu Pemerintah Daerah dalam penyediaan dana pebangunan infrastruktur dasar.

Namun, PIP perlu melakukan pembakuan dan penyederhanaan mekanisme pemberian pinjaman, mengingat

dari 26 Pemerintah Daerah yang telah mengajukan pinjaman, baru 2 Pemerintah Daerah yang telah selesai

diproses dan disetujui pinjamannya.

www.kemenkeu.go.id | LAPORAN TAHUNAN 2011 | 129

KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA

3. Mengingat proses Subsidary Loan Agreement (SLA) memerlukan proses yang memakan waktu lama, perlu

dipikirkan alternatif dengan membentuk Municipal Development Fund (MDF). Prinsip dasar dari MDF adalah

pinjaman program dari luar negeri akan di pinjamkan ke Pemerintah Daerah dengan skema project loan. Dengan

demikian, diharapkan proses persetujuan pinjaman kepada Pemerintah Daerah dapat dilakukan lebih cepat,

sederhana, mandiri tanpa campur tangan dari lender. Selain itu, proses penarikan dana dan penyalurannya

dapat dilakukan lebih mudah.

4. Perlu dilakukan revisi terhadap PMK No. 147/PMK.07/2006 tentang Tata Cara Penerbitan, Pertanggungjawaban,

dan Publikasi Informasi Obligasi Daerah untuk memberikan pedoman yang jelas dan tegas bagi Pemerintah

daerah yang akan menerbitkan obligasi daerah.

6.3.2. Hibah ke Daerah

Pada tahun 2011, terdapat beberapa kegiatan yang terkait dengan pengelolaan hibah daerah, yaitu:

1. pemantauan pelaksanaan hibah daerah;

2. penyusunan revisi PP No. 57 Tahun 2005 tentang Hibah Daerah;

3. bimbingan teknis pelaksanaan hibah daerah; dan

4. penyusunan PMK tentang Peta Kapasitas Fiskal Daerah Tahun 2012.

Pemantauan dilaksanakan atas program yang didanai dari penerusan hibah luar negeri yang meliputi Hibah Air

Limbah, Hibah Water and Sanitation Program in Indonesia Sub Program D (WASAP-D), Hibah Air Minum, Hibah

Infrastructure Enhancement Grant (IEG), Hibah Local Basic and Education Capacity (L-BEC), dan pinjaman luar negeri

yang diteruskan menjadi hibah, yaitu Mass Rapid Transit (MRT). Tujuan kegiatan ini adalah mengumpulkan data

dan informasi tentang pengelolaan hibah daerah yang mencakup perencanaan, pelaksanaan, penganggaran dan

penyaluran hibah, serta untuk mengidenti!kasi dan menyusun rekomendasi terkait dengan permasalahan atas

pelaksanaan kegiatan hibah daerah.

Dari pemantauan terhadap 22 kabupaten/kota dapat disimpulkan bahwa dalam pengelolaan hibah daerah

masih terdapat beberapa kendala baik di tingkat pusat maupun Pemerintah Daerah. Kendala pada Pemerintah

Daerah ditemukan pada proses perencanaan, penganggaran, pelaksanaan, penyaluran, maupun pelaporan.

Pada proses perencanaan dan penganggaran, ditemukan kendala berupa kurang lengkapnya dokumen yang

dipersyaratkan serta pencatatan hibah dalam APBD. Pada proses pelaksanaan, terdapat kendala yang terkait

dengan pelelangan yang membutuhkan penerbitan No Objection Letter (NOL) dari pihak donor/lender yang

pada akhirnya menghambat pelaksanaan kegiatan. Pada proses penyaluran dana hibah, pemahaman mengenai

mekanisme pencairan dana khususnya atas kelengkapan dan kebenaran dokumen menjadi kendala di beberapa

daerah. Selain itu, ditemukan juga kendala yang terkait dengan penyampaian laporan triwulanan oleh Pemerintah

Daerah serta dalam hal penatausahaan hibah terkait penyusunan laporan keuangan.

Di tingkat pusat, ditemukan kendala yang terjadi pada Executing Agency (EA)/ K/L maupun pada KPA Hibah. Desain

program yang relatif baru, banyaknya jumlah daerah, serta cakupan veri!kasi yang meliputi administrasi dan

teknis merupakan beberapa kendala yang dihadapi EA dalam proses ini. Selain itu, kesiapan dan kelengkapan

dokumen oleh Pemerintah Daerah juga menentukan penyelesaian proses veri!kasi. Kendala-kendala ini

menyebabkan terlambatnya proses veri!kasi yang juga akan berdampak pada proses penyaluran dana hibah.

Pada KPA, kendala utama yang dihadapi adalah rendahnya realisasi hibah pada beberapa program, seperti Hibah

KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA

| LAPORAN TAHUNAN 2011 | www.kemenkeu.go.id 130

L-BEC dan WASAP-D, sebagai akibat terlambatnya pelaksanaan kegiatan di daerah. Dengan demikian, kendala

pada penyelesaian kegiatan oleh Pemerintah Daerah, kendala dalam proses veri!kasi, dan kendala dalam

kelengkapan dokumen penyaluran akan berdampak pada rendahnya realisasi penyaluran dana hibah di APBN

yang menjadi tanggung jawab KPA.

Dalam rangka meminimalkan kendala-kendala sebagaimana tersebut di atas, telah dilakukan Bimbingan Teknis

Pelaksanaan Hibah Daerah. Kegiatan yang dipusatkan di 3 daerah ini melibatkan beberapa daerah penerima hibah

yang sedang atau akan melakukan pengajuan penyaluran dana hibah, sehingga diharapkan proses penyaluran

dana hibah dapat terlaksana dengan lancar.

a. Penatausahaan Hibah

Sepanjang tahun 2011 dilakukan pembahasan atas masuknya program baru yang bersumber dari hibah

atau pinjaman luar negeri. Program hibah yang bersumber dari hibah luar negeri yang direncanakan akan

dilaksanakan di tahun 2012 adalah hibah Exploration of Seulawah Geothermal Working Area dan yang bersumber

pinjaman luar negeri adalah Program Hibah Water Resources and Irrigation Sector Management Program Phase II

(WISMP-2) yang sampai akhir tahun 2011 sudah dilakukan penerbitan surat persetujuan penerusan hibah oleh

Dirjen Perimbangan Keuangan.

Terkait kebijakan hibah daerah, pada tahun 2011 dilakukan !nalisasi atas revisi terhadap PP No. 57 Tahun 2005

tentang Hibah Daerah, yang di tahun sebelumnya masih dalam tahap harmonisasi dengan Kementerian Hukum

dan HAM. Dalam revisi tersebut, dimasukkan mekanisme baru terkait variasi metode penyaluran hibah dalam

bentuk uang untuk Pemerintah daerah guna menampung berbagai bentuk metode penyaluran untuk pemberian

dan/atau penerusan hibah yang selama ini telah dikenal oleh pemberi pinjaman/hibah luar negeri dan telah diatur

dalam PP No. 10 Tahun 2011 tentang Tata Cara Pengadaan Pinjaman Luar Negeri dan Penerimaan Hibah. Selain

itu, ditegaskan pula bahwa hibah daerah bersifat performance based transfer guna mendukung upaya Pemerintah

dalam meningkatkan kualitas belanja publik.

Telah diterbitkan pula PMK No. 244 tahun 2011 tentang Peta Kapasitas Fiskal Daerah Tahun 2012. PMK ini

digunakan sebagai salah satu dasar bagi Pemerintah Pusat dalam melakukan penilaian atas usulan pinjaman

yang diajukan oleh Pemerintah Daerah dan sebagai bahan pertimbangan bagi Pemerintah dalam pemberian

hibah kepada Pemerintah Daerah.

Sejak diterbitkannya PMK No. 169 Tahun 2008 tentang Tata Cara Penyaluran Hibah kepada Pemerintah Daerah,

maka penyaluran hibah uang yang bersumber dari APBN dilakukan melalui pemindahbukuan dari RekeningKas

Umum Negara (RKUN) ke Rekening Kas Umum Daerah (RKUD). Adapun mekanisme penyaluran hibah uang

yang bersumber dari penerusan pinjaman luar negeri dan/atau penerusan hibah luar negeri dilakukan melalui

pemindahbukuan dari Rekening Khusus (Reksus) ke RKUD. Perubahan mendasar pada pola penyaluran hibah

adalah hibah dalam APBN dialokasikan dalam Bagian Anggaran Bendahara Umum Negara (BA-BUN) Pengelola

Hibah (999.02) dan KPA dialihkan dari Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan sebagai KPA Hibah kepada

Pemerintah Daerah (KPA-HPD).

www.kemenkeu.go.id | LAPORAN TAHUNAN 2011 | 131

KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA

b. Penyaluran Dana Hibah Ke Daerah

Penyaluran hibah kepada Pemerintah Daerah dilaksanakan berdasarkan permintaan penyaluran hibah dari

Pemerintah Daerah setelah mendapat rekomendasi dari Kementerian/ Lembaga. Berikut ini adalah penyaluran

hibah kepada Pemerintah Daerah pada tahun 2011.

1. Hibah Local Basic Education Capacity (L-BEC) yang bersumber dari Komisi Eropa dan Pemerintah Belanda

dengan Trustee Bank Dunia yang diteruskan melalui Pemerintah dalam bentuk hibah yang bertujuan untuk

mendanai kegiatan peningkatan kapasitas pendidikan dasar di Indonesia. Hibah ini disalurkan mulai tahun

2010 sampai dengan tahun 2012 kepada 50 kabupaten/kota. Masing-masing daerah mendapatkan dana

sebesar Rp2,5 miliar.

2. Hibah Air Minum yang bersumber dari Pemerintah Australia (Ausaid) merupakan bagian dari Program

Indonesia Infrastructure Initiative (IndII) yang diberikan kepada Pemerintah Daerah untuk mendukung

pengembangan pelayanan air bersih kepada masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) yang didasarkan

pada capaian kinerja (output based). Untuk mendapatkan hibah tersebut, Perusahaan Daerah Air Minum

(PDAM) sebagai pelaksana di daerah harus terlebih dahulu melakukan pemasangan jaringan pipa

sambungan rumah (SR). Dana hibah akan diberikan untuk setiap SR yang dibangun dan berfungsi dengan

baik berdasarkan hasil veri!kasi Kementeriam Pekerjaan Umum. Besaran dana hibah ini akan diberikan

secara progresif sesuai dengan jumlah SR yang berhasil dibangun dan berfungsi. Hibah sebagai dana

pengganti dimaksud merupakan penyertaan modal Pemerintah Daerah terhadap PDAM. Untuk 1-1000 SR

Pemerintah Daerah mendapat penggantian Rp2.000.000/SR dan untuk >1.000 SR adalah Rp3.000.000/SR.

Hibah Air Minum disalurkan kepada 34 Pemerintah Daerah.

3. Hibah Air Limbah Terpusat juga bersumber dari Pemerintah Australia (Ausaid) merupakan bagian dari

program Indonesia Infrastructure Initiative (IndII) yang diberikan kepada Pemerintah Daerah berdasarkan

capaian kinerja (output based) atas pelaksanaan kegiatan pemasangan SR yang dilakukan terlebih dahulu

oleh PDAM/Perusahaan Daerah Pengelola Air Limbah (PD PAL). Dana hibah diberikan untuk setiap

sambungan rumah baru yang dibangun dan berfungsi dengan baik. Besaran dana hibah ini akan didasarkan

pada sistem yang dibangun. Untuk Sistem Pengelolaan Air Limbah perpipaan skala kota, Pemerintah Daerah

mendapat penggantian Rp5.000.000/SR dan untuk Sistem Pengelolaan Air Limbah perpipaan skala komunal,

Pemerintah Daerah mendapat penggantian Rp2.000.000/SR. Hibah sebagai dana pengganti dimaksud

merupakan penyertaan modal Pemerintah Daerah terhadap PDAM dan/atau PD PAL sebagai operator

pengelolaan air limbah terpusat. Hibah Air Limbah disalurkan kepada 5 Pemerintah Daerah.

4. Hibah Investment Enhancement Grant (IEG) bersumber dari Pemerintah Australia (Ausaid) merupakan bagian

dari program Indonesia Infrastructure Initiative Facility (IndII) untuk membantu kegiatan pembangunan dan

pengembangan sistem pengelolaan air limbah maupun persampahan yang ditentukan berdasarkan alokasi

dana APBD di bidang sanitasi. Hibah akan diberikan kepada Pemerintah Daerah sesuai dengan kinerjanya

pada tahun 2010 atas pekerjaan dibidang persampahan dan air limbah dan pendanaan bersama akan

dilakukan untuk kegiatan dibidang sanitasi pada tahun 2011. Hibah IEG bidang sanitasi disalurkan kepada

22 Pemerintah Daerah dan Hibah IEG bidang transportasi diberikan kepada 2 Pemerintah Daerah. Namun,

sampai berakhirnya tahun 2011, Hibah IEG bidang transportasi belum tersalurkan.

5. Hibah Water and Sanitation Program, Sub Program D-Sanitation City Pilot Projects (Wasap-D) merupakan hibah

yang bersumber dari Pemerintah Belanda melalui Bank Dunia yang ditujukan untuk membantu pelaksanaan

kegiatan pembangunan !sik sanitasi berbasis masyarakat dan/atau pembangunan !sik sanitasi berbasis

institusi (lembaga) sebagaimana tertuang dalam Strategi Sanitasi Kota (SSK). Hibah Wasap-D disalurkan

kepada 4 Pemerintah Daerah.

KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA

| LAPORAN TAHUNAN 2011 | www.kemenkeu.go.id 132

6. Hibah Mass Rapid Transit (MRT) bersumber dari pinjaman Pemerintah dari Pemerintah Jepang (JICA) yang

diterushibahkan kepada Pemerintah Daerah DKI Jakarta sebagai hibah untuk membantu membiayai

pelaksanaan jasa rekayasa (engineering service), jasa konsultansi, dan pekerjaan sipil kegiatan pembangunan

MRT. Program MRT dilaksanakan untuk membantu mengatasi permasalahan transportasi di Jakarta yang

telah menjadi prioritas pembangunan nasional.

Berdasarkan DIPA No. 0037/999-02.1.15/0/2011 Revisi III tanggal 8 Desember 2011, telah dilaksanakan penyaluran

hibah kepada daerah dengan realisasi sebesar Rp280 miliar untuk Hibah L-BEC, Hibah Air Minum, Hibah Air Limbah

Terpusat, Hibah IEG, Hibah WASAP-D, dan Hibah MRT.

Tabel 6.17.Realisasi Hibah Ke Daerah Tahun Anggaran 2011

No. Program/Kegiatan Pagu DIPA (Rp) Realisasi (Rp)

1. L-BEC 109.291.414.000 45.937.448.826

2. Air Minum 162.177.000.000 161.677.000.000

3. Air Limbah Terpusat 16.900.000.000 16.030.000.000

4. IEG 54.397.500.000 43.389.800.400

5. Wasap-D 17.952.000.000 6.297.150.700

6. MRT 44.218.410.000 6.777.398.429

Jumlah 404.936.324.000 280.108.798.355

Sumber: DJPK.

c. Laporan Realisasi Anggaran Hibah Ke Daerah

Sebagai mana diatur dalam PMK No. 230 Tahun 2011 tentang Sistem Akuntansi Hibah (Sikubah) bahwa Direktorat

Jenderal Perimbangan Keuangan bertindak sebagai Unit Akuntansi Kuasa Pengguna Anggaran BUN (UAKPA-BUN)

atas transaksi belanja hibah kepada daerah yang bersumber dari pinjaman dan/atau hibah. Selaku UAKPA-BUN,

DJPK wajib menyampaikan Laporan Keuangan kepada Unit Akuntasi Pembantu BUN (UA-PBUN), yaitu Direktorat

Jenderal Pengelolaan Utang (DJPU) pada setiap akhir semester.

6.4. Evaluasi Pendanaan, Akuntansi dan Pelaporan serta Informasi Keuangan Daerah

6.4.1. Evaluasi Dana Desentralisasi dan Perekonomian Daerah

a. Kajian Performance Based Transfer

Hasil analisis terhadap persepsi daerah tentang pelaksanaan kebijakan transfer ke daerah saat ini menunjukkan

bahwa terdapat jenis dana transfer ke daerah yang memenuhi karakteristik transfer berbasis kinerja, seperti DAK.

DAK mensyaratkan tercapainya pembangunan infrastruktur yang dibutuhkan oleh daerah. Dalam hal penerapan

transfer berbasis kinerja, sebagian besar daerah sangat setuju dengan adanya penilaian kinerja. Kinerja daerah

dirasakan akan semakin membaik apabila diberi keleluasaan dalam penggunaan dana dan kemudahan dalam

penetapan target kinerja.

www.kemenkeu.go.id | LAPORAN TAHUNAN 2011 | 133

KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA

Berdasarkan hasil analisis tersebut, dapat dikemukakan beberapa saran berikut ini.

1. Kepedulian daerah terhadap pengukuran kinerja yang harus dicapai perlu ditingkatkan dan tidak terlalu

terpaku pada penyerapan dan pertanggungjawaban anggaran semata.

2. Kajian lanjutan perlu dilakukan untuk mendalami desain kebijakan dan formulasi transfer berbasis kinerja

yang mengedepankan prinsip-prinsip good governance.

3. Dana Insentif Daerah (DID) yang selama ini telah mempunyai karakteristik transfer berbasis kinerja dengan

tujuan penguatan kelembagaan sebaiknya tetap dipertahankan dan diperkuat.

4. Desain Transfer Berbasis Kinerja (PBT) yang dapat diterapkan di masa yang akan datang adalah:

PBT sebaiknya didesain untuk sektor spesi!k dengan maksud meningkatkan kinerja pelayanan sektor

tertentu yang sangat krusial bagi masyarakat lokal dan menjadi tugas utama daerah (dalam hal ini PBT

bisa ditransformasikan menjadi DAK);

dana PBT harus digunakan untuk meningkatkan kinerja pelayanan pada sektor yang telah dipilih dengan

tetap mengedepankan esensi otonomi daerah (target kinerja yang dibebankan kepada daerah bisa

mengacu pada Standar Pelayanan Minimum (SPM));

besarnya pendanaan PBT sebaiknya tidak residual dan bisa diperhitungkan secara tepat untuk tujuan

jangka menengah; serta

pengalokasian PBT dilakukan dalam 2 tahap, yaitu menentukan daerah yang layak menerima dan

menentukan besaran dana yang akan ditransfer.

Usulan mengenai desain, teknik alokasi, dan formulasi PBT perlu dimasukkan secara jelas dan tegas ke dalam

Undang-Undang organik yang mengatur mengenai perimbangan keuangan, yaitu draft revisi UU No. 33 Tahun

2004, sehingga bisa segera diimplementasikan.

b. Deskripsi dan Analisis APBD 2011

1. Gambaran Umum APBD 2011

Komposisi Pendapatan Daerah pada APBD Tahun Anggaran 2011 secara nasional dibagi dalam 3 bagian utama,

yaitu PAD, Dana Perimbangan, dan Lain-lain Pendapatan yang Sah. Dana perimbangan merupakan komposisi

yang paling mendominasi, yaitu 68,0 persen atau Rp327,361 triliun, sedangkan PAD hanya 19,0 persen atau

Rp90,393 triliun, dan Lain-lain Pendapatan yang Sah sebesar 13,0 persen atau Rp61,343 triliun.

Belanja daerah secara nasional pada tahun anggaran 2011 mencapai Rp514,467 triliun. Belanja pegawai masih

dominan, yaitu mencapai 45,0 persen atau Rp229,077 triliun. Belanja Modal mencapai Rp113,622 triliun atau 22,0

persen, sedangkan Belanja Barang dan Jasa mencapai Rp104,193 triliun atau 20,0 persen.

De!sit pada APBD secara nasional yang mencapai Rp35,369 triliun menyebabkan seluruh daerah menganggarkan

pembiayaan untuk menutup de!sit tersebut. Total pembiayaan daerah mencapai Rp36,090 triliun dengan

penerimaan pembiayaan (SiLPA, Pinjaman dll) mencapai Rp44,497 triliun serta pengeluaran pembiayaan

dianggarkan sebesar Rp8,406 triliun.

2. Tren APBD Tahun 2007-2011

Berdasarkan data Realisasi APBD tahun 2007-2009 dan APBD 2010-2011 yang telah dikonsolidasikan, tren APBD

secara nasional sejak 2007 hingga 2011 menunjukkan peningkatan pendapatan daerah rata-rata 11,4 persen,

dengan peningkatan tertinggi pada tahun 2011 sebesar 18 persen. Pendapatan Daerah pada tahun 2011

KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA

| LAPORAN TAHUNAN 2011 | www.kemenkeu.go.id 134

diketahui berjumlah Rp479,098 triliun yang berarti lebih tinggi jika dibandingkan dengan tahun 2010 sebesar

Rp386,338 triliun. Secara nasional, tren belanja daerah mengalami peningkatan dari tahun 2007 hingga 2011

rata-rata sebesar 11,8 persen. Pada tahun 2011, belanja daerah dianggarkan berjumlah Rp514,467 triliun atau

meningkat 17 persen dari tahun 2010 yang sebesar Rp426,857 triliun.

Tren de!sit yang dianggarkan daerah cenderung "uktuatif, namun sejak tahun 2009 terus menurun. Rata-rata

de!sit yang dianggarkan dari tahun 2007 hingga 2009 hanya sebesar -0,4 persen. De!sit daerah yang tertinggi

terjadi pada tahun 2010, yaitu sebesar Rp40,518 triliun atau 3,6 persen. Sedangkan pada tahun 2011, de!sit

daerah berjumlah Rp35,369 triliun atau 1,1 persen. Pembiayaan daerah neto juga menunjukkan ber"uktuasi

selaras dengan de!sit daerah. Rata-rata pembiayaan daerah neto dari tahun 2007 hingga 2011 sebesar 0,2 persen

dan cenderung menurun pada tahun 2010 dan 2011. Pembiayaan daerah neto pada tahun 2011 sebesar Rp36,090

triliun yang berarti lebih rendah bila dibandingkan dengan tahun 2010 sebesar Rp40,818 triliun.

Ketergantungan seluruh Pemerintah Daerah terhadap dana perimbangan masih tinggi. Hal ini terlihat pada porsi

PAD yang walaupun mengalami peningkatan setiap tahun, tetapi pada tahun 2011 masih hanya 18,9 persen.

Sedangkan dana perimbangan menurun setiap tahun dan mencapai 68,3 persen pada tahun 2011. Tren kontribusi

lain-lain pendapatan yang sah sangat "uktuatif, tetapi pada tahun 2011 menunjukkan peningkatan yang cukup

tinggi, yaitu 12,8 persen.

Bila dicermati komposisi belanja daerah secara nasional dari tahun 2007 hingga 2011, dapat diketahui bahwa

porsi belanja pegawai tetap dominan dan meningkat cukup tajam pada tahun 2010, yaitu 46,5 persen. Namun,

pada tahun 2011 sedikit menurun menjadi 44,5 persen.

Besarnya belanja barang dan jasa juga meningkat menjadi 20,3 persen pada tahun 2011. Sedangkan porsi belanja

modal terus mengalami penurunan, yaitu 22,5 persen pada tahun 2010 dan 22,1 persen pada tahun 2011. Belanja

lainnya juga cenderung turun hingga hanya dianggarkan sebesar 13,1 persen pada tahun 2011.

6.4.2. Evaluasi Dana Dekonsentrasi dan Tugas Pembantuan dan Urusan Bersama

a. Evaluasi Dana Dekonsentrasi dan Tugas Pembantuan

Pada tahun 2011 telah dilakukan beberapa kegiatan terkait dana dekonsentrasi dan tugas pembantuan, yaitu

penetapan Rekomendasi Menteri Keuangan tentang Keseimbangan Pendanaan di Daerah dalam rangka

Perencanaan Dekonsentrasi dan Tugas Pembantuan Tahun Anggaran 2012, pemantauan dan evaluasi pengelolaan

dana dekonsentrasi dan tugas pembantuan tahun anggaran 2010, serta sosialisasi PMK No.156/PMK.07/2008

tentang Pedoman Pengelolaan Dana Dekonsentrasi dan Tugas Pembantuan sebagaimana telah disempurnakan

dengan PMK No.248/PMK.07/2010. Rekomendasi Menteri Keuangan telah ditetapkan pada 23 Maret 2011 dan

disampaikan kepada K/L yang mengalokasikan dana dekonsentrasi dan tugas pembantuan. Rekomendasi

Menteri Keuangan merupakan masukan bagi K/L dalam merencanakan lokasi dan alokasi dana dekonsentrasi/

tugas perbantuan agar tepat sasaran dan tidak terkonsentrasi di daerah tertentu.

Pemantauan dan evaluasi pengelolaan dana dekonsentrasi dan tugas pembantuan mengambil objek satuan kerja

perangkat daerah (SKPD) terkait yang mendapat pelimpahan wewenang dan/atau penugasan dari pusat, serta

mengelola dana dekonsentrasi dan tugas pembantuan pada tahun anggaran 2011. Agar kegiatan dekonsentrasi

dan tugas pembantuan dapat dilaksanakan dengan lebih baik, maka diberikan beberapa rekomendasi berikut ini.

www.kemenkeu.go.id | LAPORAN TAHUNAN 2011 | 135

KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA

1. K/L seharusnya tidak mensyaratkan dana pendamping.

2. Juknis dan Perdum agar bisa lebih awal diterima ke daerah.

3. K/L perlu menginformasikan lebih awal kepada daerah yang akan menerima dana dekonsentrasi dan/atau

tugas pembantuan.

4. Sosialisasi kebijakan perlu dilakukan di awal tahun, sebelum penetapan pagu indikatif.

5. Sehubungan dengan keterbatasan APBD, maka selain kegiatan !sik, melalui tugas pembantuan perlu

disiapkan dana yang cukup untuk kegiatan-kegiatan non !sik, seperti koordinasi dan konsultasi, monitoring

dan evaluasi, serta biaya pengadaan sarana dan prasarana pendukung.

6. Daerah masih sangat memerlukan kegiatan yang bersumber dari dana dekonsentrasi dan tugas pembantuan,

sehingga kegiatan serupa perlu terus dilanjutkan dengan tetap memperhatikan kemampuan keuangan

negara, keseimbangan pendanaan, dan kebutuhan pembangunan di daerah.

Hasil pemantauan dan evaluasi pengelolaan dana dekonsentrasi dan tugas pembantuan dijadikan sebagai bahan

penyusunan Rekomendasi Menteri Keuangan tentang Keseimbangan Pendanaan di Daerah Dalam Rangka

Perencanaan Dekonsentrasi dan Tugas Pembantuan Tahun Anggaran 2013 yang akan ditetapkan paling lambat

akhir Maret tahun 2012.

Sosialisasi Kebijakan Pengelolaan Dana Dekonsentrasi dan Tugas Pembantuan Tahun 2011 dilakukan di Jakarta,

Manado, dan Palembang dengan mengundang peserta yang berasal dari dinas-dinas penerima dana dekonsentrasi

dan tugas pembantuan. Penyelenggaran sosialisasi bertujuan untuk menyamakan persepsi, meningkatkan

wawasan dan pengetahuan tentang kebijakan Pemerintah dalam pengelolaan Dana Dekonsentrasi/Tugas

Pembantuan yang efektif dan e!sien, transparan, dan Akuntabel dalam upaya mendukung penguatan hubungan

keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah, serta memberikan penjelasan atas Rekomendasi

Menteri Keuangan tentang Keseimbangan Pendanaan di Daerah dalam rangka Perencanaan Dekonsentrasi dan

Tugas pembantuan Tahun Anggaran 2012 yang telah disampaikan kepada K/L.

b. Evaluasi Pendanaan Urusan Bersama Pusat dan Daerah untuk Penanggulangan Kemiskinan

Terkait Pendanaan Urusan Bersama Pusat dan Daerah untuk Penanggulangan Kemiskinan, pada 31 Maret

2011 telah ditetapkan PMK No. 66/PMK.07/2011 tentang Indeks Fiskal dan Kemiskinan Daerah Dalam Rangka

Perencanaan Pendanaan Urusan Bersama Pusat dan Daerah untuk Penanggulangan Kemiskinan Tahun Anggaran

2012 serta sosialisasi PMK No. 168/PMK.07/2009. PMK No. 66/PMK.07/2011 merupakan amanat Pasal 7 PMK No.

168/PMK.07/2009 tentang Pedoman Pendanaan Urusan Bersama Pusat dan Daerah untuk Penanggulangan

Kemiskinan. Lampiran PMK dijadikan sebagai pertimbangan bagi Tim Nasional Percepatan Penanggulangan

Kemiskinan (TNP2K) dalam menetapkan besaran Dana Daerah Untuk Urusan Bersama (DDUB) Tahun Anggaran

2012.

c. Pengalihan Dana Dekonsentrasi dan Tugas Pembantuan yang Melaksanakan Urusan Daerah ke DAK

Sesuai dengan Pasal 108 UU No. 33 Tahun 2004 dan Pasal 76 dan 77 PP No. 7 Tahun 2008, Dana DKTP yang

merupakan bagian dari anggaran K/L untuk melaksanakan urusan daerah, secara bertahap dialihkan menjadi

DAK. Hal ini sejalan pula dengan rekomendasi dan temuan BPK yang menyatakan bahwa masih ada dana

Pemerintah Pusat yang membiayai urusan daerah melalui dana dekonsentrasi dan tugas pembantuan. Panja

Belanja Pemerintah Pusat dan Transfer ke Daerah mengamanatkan untuk menerbitkan Perpres mengenai Road

Map Rencana Pengalihan Dana Dekonsentrasi dan Tugas Pembantuan yang Masih Membiayai Urusan Daerah ke

KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA

| LAPORAN TAHUNAN 2011 | www.kemenkeu.go.id 136

DAK. Road Map Pengalihan menargetkan bahwa pada tahun 2013, program/kegiatan di semua K/L yang sudah

menjadi urusan daerah dialihkan ke DAK serta diharapkan tidak ada lagi program/kegiatan yang sudah menjadi

urusan daerah didanai dari APBN.

6.4.3. Akuntansi dan Laporan Transfer Ke Daerah

a. Konsolidasi antara Laporan Keuangan Pemerintah Daerah dengan Laporan Keuangan Transfer Ke

Daerah

Penyajian laporan konsolidasi antara LKPD dengan Laporan Keuangan Transfer Ke Daerah Tahun Anggaran 2011

dilaksanakan dalam rangka memenuhi kewajiban transparansi !skal oleh Menteri Keuangan selaku pengelola

!skal nasional. Proses penyusunanan laporan ini merupakan bagian dari penyusunan konsolidasi antara LKPD

dengan Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP). Penyusunan laporan yang memasuki tahun ke-2 dilakukan

sebagai tindak lanjut rekomendasi BPK pada tahun 2009 dalam laporan reviu pelaksanaan unsur transparansi

!skal tahun anggaran 2008. Laporan ini diharapkan dapat mengisi kekosongan informasi dalam hubungan

keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah. Lingkup penyajian laporan masih dalam rangka konsolidasi

realisasi antara anggaran transfer ke daerah dengan realisasi pendapatan dan belanja pada APBD. Pendapatan

dan belanja negara, baik pada Pemerintah Pusat maupun Pemerintah Daerah, merupakan komponen utama

yang mencerminkan kondisi !skal nasional dari sektor Pemerintahan.

b. Uji Coba Rekonsiliasi Data Transfer ke Daerah

Dalam rangka transparansi penyajian Laporan Keuangan Transfer Ke Daerah Tahun Anggaran 2011 dan

penyempurnaan LKPD Tahun Anggaran 2011 sebagai satu kesatuan Laporan Keuangan Pemerintah, DJPK telah

melakukan uji coba rekonsiliasi data transfer ke daerah antara pihak DJPK dengan Pemerintah Daerah, yang

dilaksanakan di Makasar dan Surabaya dengan mengundang beberapa pejabat Pemerintah daerah terkait.

Kegiatan rekonsiliasi ini diharapkan dapat menjelaskan perbedaan mekanisme pencatatan transfer ke daerah

oleh Pemerintah Pusat dan pencatatan atas pendapatan transfer oleh Pemerintah Daerah. Rekonsiliasi dapat

mendukung pelaporan dana transfer ke daerah oleh Pemerintah Daerah dalam pos pendapatan transfer di

Laporan Realisasi Anggaran Pemerintah Daerah, sehingga tersaji LKPD yang lebih akurat.

c. Penyusunan Laporan Keuangan Transfer Ke Daerah

Berdasarkan pasal 50 ayat (1) dan (6) PMK No. 171/PMK.05/2007 tentang Sistem Akuntansi dan Pelaporan

Pemerintah Pusat, setiap Unit Akuntansi Kuasa Pengguna Anggaran (UAKPA) Bagian Anggaran Pembiayaan dan

Perhitungan (BAPP) wajib memproses dokumen sumber untuk menghasilkan Laporan Keuangan berupa LRA,

Neraca dan Catatan atas Laporan Keuangan Satuan Kerja yang disampaikan setiap semester dan akhir tahun.

DJPK selaku Kuasa Pengguna Anggaran Bagian Anggaran 999.05 berkewajiban menyusun Laporan Keuangan

Tahunan tersebut yang terdiri dari LKTD BA 999.05 Tahun 2010 (Audited), dengan pendapat pemeriksa WTP

Dengan Paragraf Penjelas (WTP-DPP), serta LKTD BA 999.05 Semester I Tahun 2011. Laporan ini telah disusun

dan disajikan sesuai dengan PP No. 71 Tahun 2010 tentang Standar Akuntansi Pemerintah (SAP). Masing-masing

terdiri dari Laporan Realisasi Anggaran, Neraca, dan Catatan atas Laporan Keuangan.

6.4.4. Data Keuangan Daerah

a. Pemantauan, Penyampaian, Konsolidasi, dan Veri!kasi Dokumen Data Keuangan Daerah

Berdasarkan kebutuhan pihak internal dan eksternal, maka sejak tahun 2010 telah dimulai pengumpulan data

www.kemenkeu.go.id | LAPORAN TAHUNAN 2011 | 137

KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA

realisasi APBD triwulan I, Semester I, dan triwulan III. Kemudian pada tahun 2011, dengan pertimbangan bahwa

APBD-P dipandang lebih mendekati angka realisasi dibandingkan dengan APBD induk, maka data APBD-P juga

dikumpulkan dan diolah. Dengan demikian, jenis informasi keuangan daerah yang tersedia adalah APBD, realisasi

APBD triwulan I, realisasi APBD Semester I, realisasi APBD triwulan III, APBD-P, realisasi APBD tahun 2011, dan

neraca tahun 2011.

Dengan diterbitkannya PP No. 65 Tahun 2010 tentang Perubahan Atas PP No. 56 tahun 2005 tentang Sistem

Informasi Keuangan Daerah yang diperjelas dalam PMK No. 04/PMK.07/2011 tentang Tata Cara Penyampaian

Informasi Keuangan Daerah, terjadi beberapa perubahan sebagai berikut:

1. apabila Pemerintah Daerah belum menyampaikan APBD-nya hingga batas waktu (31 Januari), maka

diberikan peringatan tertulis oleh Menteri Keuangan;

2. peringatan tertulis diterbitkan paling lama 15 hari setelah batas waktu; dan

3. dalam hal Pemerintah Daerah dalam jangka waktu 30 hari setelah diterbitkannya peringatan tertulis masih

belum menyampaikan APBD-nya, Menteri Keuangan menetapkan sanksi berupa penundaan DAU.

Pengenaan sanksi efektif dilaksanakan pada bulan April, dimana sebelumnya pada bulan Mei. Pada tahun 2011

terdapat 19 daerah yang dikenakan sanksi penundaan penyaluran DAU sebesar 25 persen dari jumlah DAU yang

diterima setiap bulannya, meningkat dari tahun 2010 yang hanya 2 daerah yang dikenakan sanksi.

Tabel 6.18.Daerah Yang Mendapat Sanksi Penundaan Penyaluran DAU Tahun 2010-2011

No. Tahun 2010 Tahun 2011

1. Kabupaten Bulukumba Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam

2. Kabupaten Puncak Kabupaten Bireuen

3. Kota Sabang

4. Kota Langsa

5. Kabupaten Aceh Jaya

6. Kabupaten Tanah Karo

7. Kabupaten Langkat

8. Kabupaten Nias Selatan

9. Kabupaten Batu Bara

10. Kabupaten Padang Lawas

11. Kota Bekasi

12. Kabupaten Blora

13. Kabupaten Jember

14. Kabupaten Jeneponto

15. Kabupaten Soppeng

16. Kabupaten Biak Numfor

17. Kabupaten Mappi

18. Kabupaten Mamberamo Tengah

19. Kabupaten Nduga

Sumber: DJPK.

KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA

| LAPORAN TAHUNAN 2011 | www.kemenkeu.go.id 138

b. Monitoring dan Evaluasi Keterlambatan Penetapan APBD

Di Indonesia, pengelolaan keuangan negara/daerah telah mengalami perubahan (perbaikan) jika dibandingkan

dengan masa lalu. Salah satunya adalah pelimpahan kewenangan yang lebih luas dari Pemerintah Pusat kepada

Pemerintah Daerah yang disertai dengan pendanaan untuk melaksanakan kewenangan tersebut. Sejalan dengan

tuntutan reformasi untuk menyelenggarakan tata kelola Pemerintahan yang baik, salah satu hal yang harus

dilakukan di bidang keuangan negara/daerah adalah pengelolaan keuangan secara tertib, taat pada peraturan

perundang-undangan, e!sien, ekonomis, efektif, transparan, dan bertanggung jawab dengan memperhatikan

asas keadilan, kepatutan, dan manfaat untuk masyarakat. Dalam konteks Pemerintahan daerah, pengelolaan

keuangan yang dimaksud diawali dengan penyusunan APBD.

Dokumen anggaran daerah yang antara lain berperan sebagai alat perencanaan, kebijakan publik, dan politik

harus ditetapkan oleh Kepala Daerah dan DPRD sebelum tahun anggaran berjalan dimulai. Proses penyusunan

APBD secara konseptual terdiri atas formulasi kebijakan anggaran dan perencanaan operasional anggaran.

Setelah APBD ditetapkan, Pemerintah Daerah wajib menyampaikannya kepada Pemerintah pusat, dalam hal ini

Menteri Keuangan c.q Dirjen Perimbangan Keuangan.

c. Monitoring dan Evaluasi Penerapan SIKD di Daerah

Monitoring dan evaluasi bertujuan menggali pemahaman Pemerintah Daerah dalam menjalankan Sistem

Informasi Keuangan Daerah (SIKD) sekaligus memotret pelaksanaannya di daerah. Melalui FGD dengan aparat

penyelenggara SIKD dan kuesioner ke 30 Pemerintah Daerah provinsi/kabupaten/kota, dapat diperoleh gambaran

pemahaman dan pelaksanaan SIKD di daerah. Secara umum, pemahaman tentang SIKD relatif sama meskipun

ada pula yang masih menganggap bahwa Informasi Keuangan Daerah (IKD) tidak perlu dipublikasikan. Selain itu,

daerah memiliki variasi penyelenggaraan SIKD, terutama penerapan sistem keuangan daerah dan infrastruktur

teknologi informasinya. Berbagai faktor seperti kurangnya sumber daya yang memadai, peraturan dan kebijakan

yang berubah, dan ketersediaan dana menjadi hal yang secara umum dirasakan menjadi kendala bagi daerah.

d. Kesehatan Fiskal

Desentralisasi !skal telah berlangsung lebih dari satu dasawarsa. Namun, hingga saat ini belum ada instrumen

baku yang dapat digunakan untuk mengukur kesehatan keuangan Pemerintah Daerah. Dengan membandingkan

praktik di berbagai negara, diperoleh fakta bahwa indikator-indikator yang digunakan dalam pengukuran #scal

health ternyata beragam antara satu negara dengan yang lainnya. Indikator-indikator tersebut dikembangkan

dengan melakukan penyesuaian dan dengan mempertimbangkan kebutuhan negara yang bersangkutan.

Didasarkan pada keinginan untuk dapat membangun sebuah model pengukuran #scal health yang sederhana

dan dapat digunakan di Indonesia, maka telah dilaksanakan capacity building atas dukungan dari Decentralization

Support Facilities (DSF) World Bank. Kegiatan yang berlangsung pada 6-10 November 2011 tersebut bertujuan

untuk meningkatkan pemahaman dan kemampuan para pegawai dalam mengukur kesehatan keuangan dan

reviu atas belanja Pemerintah Daerah. Selain itu, diharapkan pula dapat dirumuskan indikator-indikator #scal

health yang sederhana dan mudah diterapkan.

www.kemenkeu.go.id | LAPORAN TAHUNAN 2011 | 139

KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA

6.4.5. Informasi dan Dukungan Teknis

a. Mobile Fiskal Daerah

Di dalam kegiatan ini dilakukan updating data pada aplikasi Mobile Fiskal Daerah (MOFISDA). Data yang

diperbaharui adalah data dasar DAU, kemiskinan, in"asi, tingkat pengangguran, pertumbuhan ekonomi, dan

transfer ke daerah. Proses pembaharuan data dilakukan dengan mengkonsolidasi dan mengkonversi semua data

terkait ke dalam database aplikasi MOFISDA, sehingga dapat digunakan secara online. Dalam kegiatan terkait

dilakukan pula pengembangan sumber daya manusia berupa workshop pembuatan database reporting yang

berasal dari database aplikasi pelaksanaan transfer dan semua data terkait sehingga terbentuk database tunggal.

b. Peta Kemampuan Keuangan Daerah Elektronik

Pembangunan Peta Kemampuan Keuangan Daerah Elektronik (PKKDE) dilakukan untuk 33 Provinsi di seluruh

Indonesia. Kegiatan ini diawali dengan kompilasi semua data terkait, seperti data APBD dan transfer ke daerah.

Dilakukan pula workshop untuk meningkatkan pengetahuan, tampilan, dan mutu penyajian informasi melalui

PKKDE. Workshop mengundang narasumber yang menyajikan informasi terkait penggunaan tools Mondrian dan

Pentaho Analysis. Tools ini merupakan open source, sehingga tidak berbayar.

c. Layanan Pusat Data

Kegiatan-kegiatan berikut ini dilaksanakan dalam rangka meningkatkan layanan pusat data.

1. Penyelenggaraan dan peningkatan SIKD (implementasi SIKD secara nasional dan pengembangan komunikasi

data SIKD secara nasional untuk aplikasi SIPKD dan aplikasi non SIPKD)

Kegiatan ini dimaksudkan untuk mewujudkan sistem komunikasi data informasi keuangan daerah (Sistem

Komda) yang selama ini belum ada antara Pemerintah Daerah dan Pemerintah Pusat (DJPK) guna mendukung

penyelenggaraan SIKD secara nasional. Tujuan yang ingin dicapai adalah:

meningkatnya kualitas penyampaian informasi keuangan daerah secara berkala melalui dokumen media

elektronik (Pasal 6 PP No. 56/2005 dan Pasal PMK No. 46/PMK.02/2006);

meningkatnya kualitas penyusunan SIKD, koordinasi jaringan komunikasi data dan pertukaran informasi

antarinstansi Pemerintah (Pasal 10 PP No. 56/2005);

meningkatnya kelancaran penyampaian informasi keuangan daerah yang disampaikan kepada

Pemerintah Daerah (Pasal 4 PP No. 56/2005 dan Pasal 2 PMK No. 46/PMK.02/2006);

mengalihkan fungsi/kegiatan perekaman (secara manual) kearah penyampaian data/ informasi dengan

menggunakan teknologi informasi yang berkembang saat ini;

melakukan standarisasi elemen data yang dikirim dari Sistem SIPKD yang dilaksanakan oleh Pemerintah

Daerah kepada Pemerintah Pusat sesuai dengan elemen data; serta

mewujudkan Pusat Data DJPK yang menampung seluruh data yang terkait dengan data perimbangan

keuangan (data hubungan keuangan pusat dan daerah) sesuai elemen data yang sudah dilakukan

standarisasi.

2. Implementasi SIKD secara nasional

Implementasi Sistem Komandan SIKD dilaksanakan pada 119 Pemerintah Daerah yang sudah melaksanakan

implementasi Sistem SIPKD yang pendanaannya dari Loan No.2193 INO ( Proyek LGFGR-I ADB) dari 171 Pemerintah

Daerah sebagai target.

KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA

| LAPORAN TAHUNAN 2011 | www.kemenkeu.go.id 140

3. Pengembangan komunikasi data SIKD secara nasional untuk aplikasi SIPKD

Pengembangan Komunikasi Data SIKD secara Nasional mewujudkan standarisasi elemen data yang dikirim dari

aplikasi SIPKD yang dilaksanakan oleh Pemerintah Daerah kepada Pemerintah Pusat melalui Sistem Komandan

SIKD sesuai dengan elemen data yang telah ditetapkan.

4. Pengembangan komunikasi data SIKD secara nasional untuk aplikasi non SIPKD

Pengembangan Komunikasi Data SIKD secara Nasional mewujudkan standarisasi elemen data yang dikirim

dari aplikasi Non SIPKD yang dilaksanakan oleh Pemerintah Daerah kepada Pemerintah Pusat melalui Sistem

Komandan SIKD sesuai dengan elemen data yang telah ditetapkan.

www.kemenkeu.go.id | LAPORAN TAHUNAN 2011 | 141

KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA

halaman ini sengaja

dikosongkan

KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA

| LAPORAN TAHUNAN 2011 | www.kemenkeu.go.id 142

www.kemenkeu.go.id | LAPORAN TAHUNAN 2011 | 143

KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA

SINERGIMembangun dan memastikan hubungan kerjasama internal yang produktif serta kemitraan yang harmonis dengan para pemangku

KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA

| LAPORAN TAHUNAN 2011 | www.kemenkeu.go.id 144

7.1. Peningkatan Pelayanan Perbendaharaan

7.1.1. Layanan KPPN Filial

Kantor Pelayanan Perbendaharaan Negara (KPPN) Filial dibentuk dalam rangka membantu pelayanan kepada

Satuan Kerja (Satker) yang berada di wilayah kepulauan yang terpisah dari KPPN induk. Konsep dasar dari layanan

KPPN Filial adalah dengan menempatkan beberapa pegawai KPPN (gugus tugas) yang melaksanakan fungsi

front o!ce di lokasi yang dekat dengan Satker. Layanan KPPN Filial merepresentasikan pemenuhan tanggung

jawab Direktorat Jenderal Perbendaharaan dalam memberikan pelayanan keuangan negara hingga ke pelosok

nusantara.

Layanan KPPN Filial diluncurkan dengan tujuan antara lain sebagai berikut:

1. meningkatkan dan mendekatkan pelayanan kepada stakeholder, khususnya dalam penerbitan Surat Perintah

Pencairan Dana (SP2D), rekonsiliasi data, dan validasi bukti penerimaan negara;

2. mempermudah proses pencairan Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran (DIPA) oleh Satker; serta

3. meningkatkan e!siensi keuangan negara.

Pada tahun 2011, layanan KPPN Filial telah berjalan di 5 lokasi, yaitu:

1. Pulau Simeleu (KPPN Meulaboh);

2. Pulau Natuna (KPPN Tanjung Pinang).

3. Muara Teweh (KPPN Buntok);

4. Pulau Alor (KPPN Kupang); dan

5. Namlea (KPPN Ambon);

Pengelolaan Perbendaharaan Negara

07

www.kemenkeu.go.id | LAPORAN TAHUNAN 2011 | 145

KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA

7.1.2. Layanan KPPN Mobile

Untuk meningkatkan pelayanan kepada Satker di daerah yang jauh dari KPPN, telah pula dibentuk KPPN Mobile,

yaitu unit pelayanan pencairan dana pada kendaraan bermotor yang bergerak di dalam suatu wilayah kerja KPPN.

Pada awal pembentukannya, layanan KPPN Mobile diimplementasikan pada Satker di wilayah pembayaran KPPN

Jakarta I. Dalam perkembangannya, untuk mempercepat penyerapan anggaran di bidang penanggulangan

kemiskinan di wilayah DKI Jakarta, layanan KPPN Mobile diperluas operasionalnya pada Satker di wilayah

pembayaran KPPN Jakarta II, Jakarta III, Jakarta IV, dan Jakarta V.

Gambar 7.1.Layanan KPPN Mobile

KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA

| LAPORAN TAHUNAN 2011 | www.kemenkeu.go.id 146

7.2. Penilaian Kinerja Pelayanan Publik/Kantor Pelayanan Percontohan Tingkat Kementerian Keuangan

Penilaian Kinerja Pelayanan Publik pada KPPN Tahun 2011 dilaksanakan dalam 3 tahap seleksi. Diawali dengan

pengusulan KPPN peserta oleh Kanwil Ditjen Perbendaharaan berdasarkan nilai hasil pembinaan. Berdasarkan

usulan tersebut, Tim Penilai Kinerja KPPN Tahun 2011 melakukan seleksi tahap I berdasarkan data-data kinerja dan

pro!l KPPN. Dari hasil seleksi tahap I, ditetapkan 10 KPPN yang lolos untuk mengikuti seleksi tahap berikutnya.

Tim Penilai kemudian melaksanakan seleksi tahap II, yakni presentasi yang disampaikan oleh Kepala KPPN. Materi

presentasi meliputi:

1. pro!l singkat KPPN;

2. kinerja layanan;

3. permasalahan yang telah dan sedang dihadapi dan solusi atas permasalahan tersebut;

4. strategi dalam peningkatan pelayanan KPPN; serta

5. inovasi yang dilakukan guna peningkatan pelayanan atau kinerja.

Berdasarkan hasil penilaian, ditetapkan 5 KPPN yang lolos ke seleksi tahap III, yaitu penilaian secara langsung

pada KPPN (on the spot) oleh Tim Penilai. Dari hasil seleksi terhadap 5 KPPN, diperoleh urutan peringkat pemenang

Penilaian Kinerja Pelayanan Publik pada KPPN Tahun 2011. Urutan tersebut selanjutnya ditetapkan dalam

Keputusan Dirjen Perbendaharaan Nomor KEP-103/PB/2011 tentang Penetapan Pemenang Penilaian Kinerja

Pelayanan Publik Kantor Pelayanan Perbendaharaan Negara di Lingkungan Direktorat Jenderal Perbendaharaan

Tahun 2011. Peringkat KPPN terbaik adalah:

1. KPPN Semarang II sebagai Pemenang Pertama;

2. KPPN Denpasar sebagai Pemenang Kedua;

3. KPPN Purwakarta sebagai Pemenang Ketiga;

4. KPPN Pacitan sebagai Pemenang Harapan Pertama; dan

5. KPPN Pontianak sebagai Pemenang Harapan Kedua.

KPPN Semarang II sebagai pemenang Kantor Pelayanan Tingkat Ditjen Perbendaharaan, diikutsertakan dalam

kegiatan lomba Kantor Pelayanan Percontohan tingkat Kementerian Keuangan Tahun 2011. Kegiatan tersebut

dilaksanakan bersama Biro Organisasi dan Tatalaksana Sekretariat Jenderal Kementerian Keuangan, dengan

melaksanakan peninjauan ke kantor-kantor pelayanan di lingkungan Kementerian Keuangan untuk dilakukan

penilaian langsung dan pengukuran Indeks Kepuasan Masyarakat (IKM). Berdasarkan hasil penilaian Tim Penilai

Kementerian Keuangan, telah ditetapkan urutan peringkat kantor pelayanan dalam Keputusan Menteri Keuangan

Nomor 355/KMK.01/2011 tentang Pemenang Kantor Pelayanan Percontohan di Lingkungan Kementerian

Keuangan Tahun 2011, yaitu sebagai berikut:

1. KPPN Semarang II sebagai Pemenang Pertama;

2. KPKNL Denpasar sebagai Pemenang Kedua;

3. KPP Wajib Pajak Besar Satu sebagai Pemenang Ketiga; dan

4. KPPBC Madya Pabean Juanda sebagai Pemenang Keempat.

www.kemenkeu.go.id | LAPORAN TAHUNAN 2011 | 147

KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA

7.3. Peringkat Tertinggi Survei Opini Stakeholder terhadap Layanan Kementerian Keuangan

Apresiasi yang membanggakan atas keberhasilan Ditjen Perbendaharaan terhadap pelayanan di Kementerian

Keuangan terlihat dalam sebuah survei yang dilakukan oleh Institut Pertanian Bogor (IPB). Dalam survei tersebut,

Ditjen Perbendaharaan mendapatkan peringkat tertinggi dengan nilai 4,03 poin (skala 1-5) di tahun 2011, di

atas nilai rata-rata Kementerian Keuangan, yaitu 3,86 poin. Kota yang dijadikan wilayah survei adalah Jakarta,

Surabaya, Medan, Balikpapan, Makassar, dan Batam, dengan fokus pada jenis Layanan Unggulan Kementerian

Keuangan. Namun, jika dibandingkan dengan hasil survei tahun 2010, terjadi penurunan opini di tahun 2011,

yaitu dari 4,10 poin menjadi 4,03 poin.

Tabel 7.1.Indeks Kepuasan Pengguna Layanan Tahun 2011 Berdasarkan Survei Institut Pertanian Bogor

Unit 2010 2011 Target 2012 Selisih

Target Realisasi Target Realisasi R-T

SETJEN 3,92 3,90 3,92 3,79 3,92 -0,13

DJA 3,8 3,79 3,87 3,81 3,87 -0,06

DJP   3,82 3,90 3,80 3,90 -0,10

DJBC   3,72 3,80 3,65 3,80 -0,15

DJPB   4,10 4,10 4,03 4,10 -0,07

DJKN   4,04 4,04 3,95 4,04 -0,09

DJPK   3,95 4,00 4,01   0,01

DJPU   N/A 3,87 4,02   0,15

Bapepam-LK   3,65 3,73 3,80   0,07

Rata-rata     3,91 3,87   -0,04

DJPK+DJPU+BPPK     11,60 7,82 11,65 0,23

Sumber: Institut Pertanian Bogor.

7.4. Hasil Survei Integritas Komisi Pemberantasan Korupsi

Prestasi lain juga ditorehkan oleh KPPN. Hasil survei integritas Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang

dilaksanakan pada April-Oktober 2011 terhadap 507 unit layanan di 89 instansi dengan 15.540 responden

menunjukkan nilai tertinggi (peringkat pertama) integritas layanan unit vertikal sebesar 7,69 diberikan kepada

pelayanan SP2D di KPPN. Capaian ini merupakan peningkatan dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. Pada

tahun 2008, pelayanan di KPPN berdasarkan hasil survei integritas KPK mendapatkan peringkat 104 dari 105

layanan yang disurvei, kemudian pada tahun 2009 menempati peringkat 52 dari 98 layanan yang disurvei. Pada

tahun 2011, KPPN menduduki peringkat 1 dari 284 unit layanan instansi vertikal yang disurvei.

Peringkat tertinggi integritas terhadap pelayanan SP2D merupakan pengakuan dari masyarakat yang diwakili

oleh KPK akan layanan yang disediakan oleh KPPN. Prestasi ini juga sangat membanggakan bagi seluruh jajaran

Ditjen Perbendaharaan, khususnya KPPN di Indonesia. Semangat reformasi birokrasi yang digaungkan selama

hampir 5 tahun terakhir mendapatkan apresiasi yang luar biasa. Prestasi ini perlu dipertahankan secara konsisten

dengan meningkatkan inovasi dan kualitas layanan kepada stakeholder serta menerapkan nilai-nilai Kementerian

Keuangan.

KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA

| LAPORAN TAHUNAN 2011 | www.kemenkeu.go.id 148

7.5. Standarisasi Sarana dan Prasarana

Dalam rangka mendukung reformasi birokrasi, mempertajam visi dan misi, serta memperkuat citra organisasi

perlu didesain suatu ikon yang mampu memberikan ciri khas dan citra positif Ditjen Perbendaharaan. Sebagai

ujung tombak pelayanan perbendaharaan, pembuatan ikon berupa standarisasi sarana dan prasarana diutamakan

untuk kantor vertikal, yaitu KPPN dan Kanwil Ditjen Perbendaharaan. Tujuan dari standardisasi adalah:

1. tersedianya sarana dan prasarana yang optimal (aman, nyaman, dan indah), sehingga mampu mendukung

kinerja dan layanan kantor vertikal Ditjen Perbendaharaan;

2. tercapainya keseragaman penggunaan sarana dan prasarana kerja; serta

3. terciptanya ikon dan ciri khas yang nantinya akan mendukung pembangunan image Ditjen Perbendaharaan

di tengah kehidupan masyarakat.

Dalam rangka standardisasi sarana dan prasarana, telah disusun draft buku standar sarana dan prasarana Kanwil

Ditjen Perbendaharaan dan KPPN yang akan dijadikan sebagai pedoman dalam melakukan perencanaan,

pembangunan, dan pengembangan sarana dan prasarana kantor.

Gambar 7.2.KPPN Jakarta I

Dalam rangka penyusunan buku standar sarana dan prasarana, telah dilakukan langkah-langkah sebagai berikut:

1. studi banding ke beberapa bank Pemerintah dan swasta untuk mendapatkan rujukan dalam perumusan

awal standardisasi sarana dan prasarana kantor vertikal;

2. melakukan koordinasi dengan direktorat teknis dalam rangka perumusan awal standardisasi sarana dan

prasarana kantor vertikal;

3. membuat ikon/logo Ditjen Perbendaharaan melalui sayembara yang diikuti oleh pegawai lingkup Ditjen

Perbendaharaan serta dengan memanfaatkan jasa konsultan;

4. merumuskan design gedung dan lay out ruangan di kanwil maupun KPPN dengan mempertimbangkan sisi

e!siensi dan ekonomis; serta

5. meninjau langsung ke beberapa instansi vertikal Direktorat Jenderal Perbendaharaan.

Setelah melalui tahap tersebut, telah didapatkan standar sarana serta gambaran awal design gedung dan lay out

ruangan di kanwil maupun KPPN. Design gedung dan lay out ruangan disusun dengan memperhatikan unsur

estetika dan e!siensi pemanfaatan luas bangunan Kanwil dan KPPN.

www.kemenkeu.go.id | LAPORAN TAHUNAN 2011 | 149

KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA

Gambar 7.3.Pintu Masuk KPPN

7.6. Penyusunan Laporan Keuangan Pemerintah Pusat

Penyusunan Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP) merupakan proses yang panjang yang melibatkan

seluruh unit akuntansi dan pelaporan, tidak hanya di lingkungan Kementerian Keuangan, tetapi juga Kementerian/

Lembaga (K/L). Kegiatan-kegiatan yang dilakukan dalam proses penyusunan dan penyampaian LKPP sebagai

laporan pertanggungjawaban pelaksanaan APBN di tahun 2010 adalah berikut ini.

1. Konsolidasi dan Penyampaian LKPP (Unaudited) oleh Menteri Keuangan kepada Badan Pemeriksa Keuangan

(BPK) untuk diaudit (Februari-Maret 2011). Kegiatan ini merupakan penyelesaian dari penyusunan LKPP

(unaudited) yang terdiri dari:

penghimpunan Laporan Keuangan Kementerian Negara/Lembaga (LKKL) dan Laporan Keuangan

Bendahara Umum Negara (LKBUN);

pengkonsolidasian LKKL dan LKBUN;

penyusunan dan pembahasan draft LKPP (unaudited);

pembahasan LKPP di lingkup Kementerian Keuangan; serta

penyampaian LKPP kepada BPK (30 Maret 2011).

2. Pembahasan antara Kementerian Keuangan, BPK, dan K/L (19-21 April 2011). Dalam rangka penyajian

informasi yang wajar pada LKPP Audited, dilakukan pembahasan 3 pihak. Kegiatan ini dilakukan untuk

mendapatkan kesepakatan mengenai perbedaan-perbedaan data yang terdapat dalam LKPP dan LKKL

selama proses audit oleh BPK, serta berfungsi sebagai sarana komunikasi antara auditor dan auditee.

3. Pembahasan temuan pemeriksaan BPK atas LKPP terkait K/L dan BUN (18 Mei 2011). Berdasarkan

pemeriksaan, BPK menyusun Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) yang berisi temuan-temuan yang harus

dijawab/diklari!kasi oleh Pemerintah.

4. Penyampaian LKPP (Audited) kepada BPK (24 Mei 2011). Berdasarkan hasil pemeriksaan BPK atas LKPP, LKKL,

dan LKBUN, dilakukan pemutakhiran data guna penyusunan LKPP (Audited) untuk disampaikan kepada BPK.

KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA

| LAPORAN TAHUNAN 2011 | www.kemenkeu.go.id 150

5. Penyampaian Tanggapan Pemerintah terhadap LHP BPK atas LKPP oleh Menteri Keuangan kepada Ketua BPK

dan Penyampaian Rencana Tindak terhadap Temuan BPK atas LKPP oleh Menteri Keuangan kepada BPK (28

Juli 2011). Berdasarkan hasil-hasil pembahasan Temuan Pemeriksaan BPK atas LKPP, Ditjen Perbendaharaan

menyusun Tanggapan Pemerintah terhadap LHP BPK atas LKPP yang kemudian disampaikan secara resmi

oleh Menteri Keuangan atas nama Pemerintah kepada BPK. Ditjen Perbendaharaan juga menyusun Rencana

Tindak Pemerintah terhadap Temuan Pemeriksaan BPK dimaksud.

6. Penyampaian dan pembahasan Rancangan Undang-Undang Pertanggungjawaban Pelaksanaan Anggaran

Penerimaan Dan Belanja Negara (RUU P2 APBN) oleh Presiden kepada DPR (19 September 2011 dan

ditetapkannya Undang-Undang Nomor 14 tahun 2011 P2APBN TA 2010). Kegiatan ini merupakan tahapan

setelah RUU disusun dan disampaikan kepada DPR untuk dibahas. Rincian kegiatannya adalah:

penyampaian RUU P2 APBN Tahun Anggaran 2010 kepada DPR (23 Juni 2011);

penyampaian Keterangan Pemerintah mengenai Pokok-Pokok RUU P2APBN TA 2010 pada Rapat Paripurna

DPR RI;

penyampaian Pandangan Umum Fraksi-fraksi di DPR-RI mengenai RUU P2APBN TA 2010 pada Rapat

Paripurna DPR RI;

penyampaian Jawaban Pemerintah atas Pandangan Umum Fraksi-fraksi di DPR-RI terhadap RUU P2APBN

TA 2010 pada Rapat Paripurna DPR RI;

Rapat Kerja Badan Anggaran DPR-RI dengan Menteri Keuangan Dalam Rangka Pembicaraan Tingkat I/

Pembahasan RUU P2APBN TA 2010;

Rapat-rapat Panitia Kerja untuk membahas RUU P2 APBN TA. 2010 (18 s.d. 22 Agustus 2011);

Rapat Kerja Badan Anggaran DPR-RI dengan Menteri Keuangan Dalam Rangka Pembicaraan Tingkat I/

Pembahasan RUU P2APBN TA 2010; serta

penyampaian Pendapat Akhir Pemerintah Terhadap RUU P2APBN TA 2010 pada Rapat Paripurna DPR RI.

7. Penyusunan LKPP Semester I Tahun 2011 (25 Agustus 2011). Kegiatan penyusunan LKPP Semester I Tahun

2011 meliputi penyusunan dan pembahasan draft Laporan Arus Kas, Laporan Realisasi APBN, Neraca

Pemerintah Pusat, dan Catatan atas Laporan Keuangan.

8. Penyampaian Laporan Monitoring Tindak Lanjut terhadap Temuan BPK atas LKKL, LKBUN dan LKPP 2010

oleh Menteri Keuangan kepada Wakil Presiden (9 Desember 2011). Setelah penyusunan rencana tindak

terhadap Temuan BPK atas LKPP, Ditjen Perbendaharaan menyusun Laporan Monitoring Tindak lanjut

terhadap Temuan Pemeriksaan BPK atas LKPP berdasarkan sumbangan dari KL atau unit lain yang terkait

untuk disampaikan kepada Wakil Presiden. Laporan monitoring tindak lanjut atas temuan pemeriksaan BPK

menjadi lampiran dalam LKPP.

Kegiatan-kegiatan tersebut terlaksana dengan baik di tahun 2011 atas dukungan berbagai pihak. Usaha-usaha

konkrit Ditjen Perbendaharaan menunjukkan hasil yang positif sebagaimana tercermin dalam kualitas LKPP

tahun 2010. Indikator-indikator peningkatan kualitas adalah:

1. memperoleh Opini audit Wajar Dengan Pengecualian (WDP) untuk LKPP tahun 2010;

2. meningkatnya Opini LKKL dan LKBUN tahun 2010;

3. menurunnya jumlah temuan BPK;

4. meningkatnya jumlah kekayaan bersih Pemerintah; serta

5. menurunnya nilai suspen.

www.kemenkeu.go.id | LAPORAN TAHUNAN 2011 | 151

KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA

Tabel 7.2.Opini BPK Atas LKKL dan LKBUN Tahun Anggaran 2006-2010

Opini 2006 2007 2008 2009 2010

Wajar Tanpa Pengecualian (Unquali#ed) 7 16 35 45 53

Wajar Dengan Pengecualian (Quali#ed) 38 31 30 26 29*

Tidak Memberikan Pendapat (Disclaimer) 36 33 18 8 2

Tidak Wajar (Adversed) - 1 - - -

Jumlah 81 81 83 79 84

Sumber: Direktorat Akuntansi dan Pelaporan Keuangan, Ditjen Perbendaharaan.* Termasuk LK-BUN Konsolidasi

7.7. Sistem Perbendaharaan dan Anggaran Negara

7.7.1. Deployment Infrastruktur SPAN

Dalam rangka implementasi Sistem Perbendaharaan dan Anggaran Negara (SPAN), keberadaan infrastruktur

teknologi informasi dan komunikasi (TIK) menjadi prasyarat yang harus dipersiapkan terlebih dahulu. Oleh karena

itu, kegiatan deployment infrastruktur SPAN telah dimulai sebelum implementasi, bahkan sebelum selesainya

SPAN. Mengingat beragam dan banyaknya lokasi dan medan yang dihadapi, maka deployment dilakukan

secara bertahap, yaitu dimulai pada tahun 2011 dan akan dilanjutkan pada 2012. Di tahun 2011, deployment

infrastruktur SPAN dilaksanakan pada Kantor Pusat, Kanwil DKI Jakarta, Kanwil Jawa Barat, Kanwil Jawa Tengah,

Kanwil Banten, dan Kanwil DIY. Adapun deployment untuk selain Kantor Pusat dilakukan pada triwulan IV 2011

dengan melibatkan tim dari LG dan Kementerian Keuangan.

7.7.2. Deployment Data Center/Data Recovery Center

Data Center/Data Recovery Center (DC/DRC) adalah sebuah fasilitas yang digunakan untuk menyimpan semua

infrastruktur information technology (IT) dan sistem komputer yang krusial dalam sebuah entitas. Fasilitas dan

infrastruktur IT diwujudkan dalam dua sistem yang berperan penting, yaitu Collaboration Environment (CE) dan

Commercial O$ The Shelf (COTS). Pembangunan DC/DRC terdiri dari pekerjaan konstruksi dan instalasi fasilitas

yang sepenuhnya dilakukan oleh LG-CNS dengan dukungan dari tim Kementerian Keuangan selaku counterpart.

Sesuai perubahan proposal yang dilakukan oleh Bank Dunia, pembangunan instalasi DC/DRC dilakukan dalam

dua tahap, sebagai berikut:

1. pembangunan instalasi tahap pertama dilaksanakan pada 18 September sampai dengan 30 November 2010

yang terdiri dari pengerjaan konstruksi DC dan pemasangan pipa/kabel; serta

2. pembangunan instalasi tahap kedua dilakukan pada 19 Februari sampai dengan 30 Maret 2011 yang terdiri

dari fasilitas utama DC (panel listrik, outlet listrik dan konektor, UPS, CCTV, dan lain-lain) dan fasilitas DRC

(pemasangan AC, FMS, dan kabel listrik).

7.7.3. Simulasi Tes Jaringan KPPN Yogyakarta, KPPN Wates, dan KPPN Wonosari

Simulasi Tes Jaringan dilaksanakan pada 17-20 Maret 2011 di KPPN Yogyakarta, KPPN Wates, dan KPPN Wonosari

yang berada dalam lingkup Kanwil Ditjen Perbendaharaan Daerah Istimewa Yogyakarta. Uji coba akses jaringan

dilakukan menggunakan aplikasi CRP 2 dengan beberapa skenario, yaitu diantaranya melalui jaringan VPN

Intranet, Modem GSM, VSAT, dan Telkom Speedy yang ada di KPPN. Modul yang diujicobakan antara lain Payment

KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA

| LAPORAN TAHUNAN 2011 | www.kemenkeu.go.id 152

management, General Ledger/ Accounting, Government Receipt, dan Commitment Management. Pengujian

jaringan dilaksanakan dengan menjalankan suatu langkah atau fungsi dalam aplikasi oracle (berbasis web) guna

mengetahui kemampuan jaringan yang terdapat di kantor vertikal Ditjen Perbendaharaan dalam mengakses dan

menjalankan suatu skenario proses bisnis.

7.7.4. Persetujuan Rancangan Proses Bisnis SPAN

Persetujuan rancangan proses bisnis SPAN adalah dukungan dari para pemangku kepentingan yang akan

menentukan keberhasilan suatu perubahan sistem. Oleh karena itu, persetujuan dari para pemilik proses bisnis

atas detil rancangan penyempurnaan proses bisnis menjadi syarat mutlak sebelum memasuki fase piloting.

Mengawali koordinasi, pada awal Februari 2011 diselenggarakan Serial Workshop of SPAN-Business Process.

Kegiatan ini bertujuan untuk memberikan pemahaman mengenai proses bisnis SPAN yang terkait dengan tugas

pokok dan fungsi (tupoksi) tiap Direktorat sebagai pemilik proses bisnis. Persetujuan atas rancangan proses bisnis

SPAN akan memudahkan pengembangan aplikasi. Peserta workshop terdiri dari beberapa staf yang mewakili

setiap direktorat.

Tahap pertama dari workshop adalah Preliminary Session (4 Februari 2011), di mana seluruh pimpinan unit

eselon II di Kantor Pusat Ditjen Perbendaharaan beserta para staf terkait diundang. Tujuannya adalah untuk

mengumpulkan dukungan dan komitmen di tingkat pimpinan. Tahap kedua dilaksanakan pada 7-11 Februari

2011, yaitu Organizational Alignment Session. Pada tahap ini dilakukan diskusi intensif di antara penyusun modul

SPAN dengan utusan direktorat teknis selaku pemilik proses bisnis. Pada akhir tahun 2011, total isu modul SPAN

yang telah mendapatkan persetujuan dari pemilik proses bisnis mencapai 97 persen dan persetujuan 100 persen

diharapkan dapat diraih pada awal tahun 2012.

7.7.5. Rancangan Interkoneksi SPAN dengan Bank Indonesia

Pada tahap implementasi, SPAN akan berinteraksi dengan berbagai sistem lain, termasuk sistem layanan

perbankan dari Bank Indonesia (BI) maupun bank komersial. Sebagai sistem elektronik yang terintegrasi, SPAN

menjadi lebih efektif apabila didukung oleh sistem-sistem supporting dengan prinsip-prinsip sebagai berikut:

1. mengarah pada electronic communication, less paper, dan basis data tunggal;

2. setara dalam pemahaman konsep akuntansi, pelaporan, dan pertukaran data; serta

3. mengoptimalkan penggunaan sistem yang sudah tersedia sebelum pembangunan sistem baru.

Secara sederhana, prinsip-prinsip tersebut dapat diterjemahkan sebagai otomatisasi proses pengiriman data dari

BI ke server SPAN atau sebaliknya. Mengawali langkah persiapan, interkoneksi Ditjen Perbendaharaan dengan

BI telah dikaji dan diharapkan dapat dilaksanakan melalui kolaborasi di antara Ditjen Perbendaharaan dan BI.

Interkoneksi Ditjen Perbendaharaan dan BI melingkupi proses bisnis pembayaran, penerimaan negara, dan

pengelolaan kas negara.

Secara teknis, pihak luar tidak dapat langsung berhubungan dengan sistem operasional bank (core banking).

Oleh karena itu, bentuk interkoneksi dilakukan dengan menggunakan suatu modul sebagai penyangga untuk

memproses data yang berasal dari perintah transfer nasabah. Dalam interkoneksi di antara Ditjen Perbendaharaan

dengan BI, modul penyangga tersebut bernama BIG-eB. Data dari Ditjen Perbendaharaan diinput dengan user

interface ke BIG-EB, sedangkan dari BIG-eB ke sistem SPAN, data transfer diotomatisasi secara elektronik.

www.kemenkeu.go.id | LAPORAN TAHUNAN 2011 | 153

KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA

7.7.6. Interkoneksi SPAN dengan Perbankan Nasional/Bank Komersial

Perbankan nasional memiliki peran yang penting dalam membantu eksekusi penerimaan dan pengeluaran

negara, sehingga diperlukan interkoneksi SPAN dengan perbankan nasional. Ruang lingkup interkoneksi meliputi

proses bisnis manajemen pembayaran, penerimaan, dan pengelolaan kas negara. Interkoneksi yang dibangun

harus memenuhi beberapa prinsip sebagai berikut:

1. mengarah pada komunikasi elektronik, less paper, single point of contact di antara Ditjen Perbendaharaan

dengan perbankan, dan sentralisasi data;

2. mencakup transaksi penerimaan dan pengeluaran negara, termasuk pengelolaan kas lainnya;

3. sentralisasi rekening bank operasional; serta

4. mengakomodasi konsep penguasaan BUN atas rekening bendahara pengeluaran.

7.7.7. Survei Kesiapan Perubahan II

Survei Kesiapan Perubahan II (SKP II) adalah kegiatan menghimpun data di tahun 2011 untuk mengetahui/

mengukur kesiapan para pegawai dalam menghadapi implementasi SPAN. Pada tahun 2010, survei serupa (SKP

I) pernah dilakukan terhadap pegawai dari 3 unit yang terlibat langsung dalam implementasi SPAN, yaitu Ditjen

Anggaran, Pusintek-Setjen Kementerian Keuangan, dan Ditjen Perbendaharaan. Apabila tingkat kesiapan para

pegawai diketahui, maka dapat diukur pula tingkat efektivitas dari kegiatan pengelolaan perubahan dalam kurun

waktu 1 tahun terakhir.

Survei dilakukan secara online dengan alasan validitas jawaban dan e!siensi pelaksanaan. Namun apabila terpaksa,

survei dilakukan secara tertulis bagi pihak-pihak yang mengalami hambatan dalam mengakses internet. Selain

itu, survei dilaksanakan secara serempak, sehingga tidak ada pembagian waktu pelaksanaan survei per wilayah.

Secara resmi, Survei Kesiapan Perubahan II (SKP II) dilaksanakan pada 28 November hingga 23 Desember 2011 dan

berhasil menghimpun data dari 8.799 responden atau 94 persen total pegawai aktif di Ditjen Perbendaharaan,

Ditjen Anggaran, dan Pusintek. Jumlah responden meningkat pesat jika dibandingkan dengan SKP I yang hanya

berhasil menjaring 6.038 responden atau sekitar 57 persen dari total pegawai aktif di Ditjen Perbendaharaan,

Ditjen Anggaran, dan Pusintek. Dari segi tingkat partisipasi, responden yang dihimpun meningkat sebanyak 37

persen dari SKP I tahun 2010.

Hasil SKP I hanya mendapatkan total poin 3,8 dengan skala 1 sampai 5. Skala 1 menunjukkan tingkat yang

paling baik dan skala 5 menunjukkan tingkat yang paling buruk. Angka kesiapan 3,58 dapat diartikan bahwa

secara umum para pegawai belum siap dalam menghadapi implementasi SPAN, sehingga perubahan memiliki

risiko yang cukup tinggi. Hasil ini pula yang dijadikan dasar dalam menyusun strategi komunikasi perubahan.

Untuk mengetahui efektivitas strategi dan kegiatan pengelolaan perubahan, kembali dilakukan Survei Kesiapan

Perubahan II pada bulan Desember 2011. Hasil survei menunjukkan peningkatan, di mana tingkat kesiapan

perubahan naik menjadi 2,1.

KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA

| LAPORAN TAHUNAN 2011 | www.kemenkeu.go.id 154

7.8. Perencanaan Kas

Perencanaan kas bertujuan untuk memastikan bahwa negara memiliki kas yang cukup untuk membiayai

kewajiban negara dalam pelaksanaan APBN. Untuk mewujudkan hal tersebut, Ditjen Perbendaharaan telah

menerbitkan Surat Edaran Dirjen Perbendaharaan Nomor SE-02/PB/2006 tanggal 6 Januari 2006 tentang

Penyampaian Rencana Penerimaan dan Pengeluaran Kas Instansi/ Satuan Kerja Pemerintah Pusat/Daerah serta

Surat Edaran Nomor SE-38/PB/2008 tentang Penyampaian Laporan realisasi dan Perkiraan Belanja Kementerian

Negara/Lembaga Tahun Anggaran 2008 yang dilengkapi dengan aplikasi IT.

Sejak tahun 2006, telah dibentuk Tim Cash Planning Information Network (CPIN) yang bertugas melakukan

koordinasi dan pengumpulan data/informasi mengenai penerimaan dan pengeluaran kas di tingkat kantor

pusat yang beranggotakan pejabat dari Ditjen Pajak, Ditjen Bea dan Cukai, Ditjen Pengelolaan Utang, Ditjen

Anggaran, Ditjen Kekayaan Negara, dan Ditjen Perimbangan Keuangan. Tim ini telah membantu mewujudkan

perencanaan kas yang semakin baik, akurat, dan tepat waktu. Dalam pelaksanaannya, masing-masing unit

eselon I menyampaikan proyeksi perencanaan kas sesuai dengan format i-account dalam struktur APBN beserta

justi!kasi dari proyeksi tersebut. Pada tahun 2011, telah dikembangkan aplikasi CPIN untuk memberI kemudahan

bagi unit eselon I yang merupakan anggota Tim CPIN dalam melakukan updating data perencanaan kas secara

real time online yang dibuat mingguan.

Dengan ditetapkannya PMK No. 192/PMK.05/2009 tentang Perencanaan Kas dan Perdirjen Perbendaharaan No.

Per-03/PB/2010 tentang Perkiraan Penarikan Dana Harian Satuan Kerja dan Perkiraan Pencairan Dana Harian

Kantor Pelayanan Perbendaharaan Negara (KPPN), maka Satker diwajibkan untuk menyusun dan menyampaikan

rencana penarikan/penyetoran dananya yang berbasis pada Petunjuk Operasional Kerja (POK) melalui Aplikasi

Forecasting Satker (AFS) dan Aplikasi Forecasting KPPN (AFK). Untuk memberikan pemahaman kepada Satker,

telah disosialisasikan penggunaan AFS dan AFK pada satuan kerja di Kanwil Ditjen Perbendaharaan Provinsi DKI

Jakarta, Jawa Barat, DIY, Jawa Timur, Sulawesi Selatan, Sulawesi Utara, Sumatera Selatan, dan Kalimantan Timur.

Sosialisasi dilatarbelakangi oleh beberapa pertimbangan sebagai berikut:

1. efektivitas dan akurasi perencanaan kas adalah salah satu kunci sukses dalam pelaksanaan reformasi

birokrasi, khususnya dalam fungsi perbendaharaan dan pengelolaan kas;

2. kemampuan untuk menerapkan perencanaan kas secara efektif adalah sebuah strategi untuk mendukung

reformasi birokrasi;

3. implementasi kebijakan perencanaan kas selama ini belum dapat menghasilkan data yang akurat, sehingga

kurang efektif dalam mendukung pengambilan keputusan strategis, seperti kebijakan eksekusi optimalisasi

kelebihan/kekurangan kas dan penerbitan SBN; serta

4. belum akuratnya data perencanaan kas yang disebabkan belum seluruh Satker menyampaikan perkiraan

penarikan dana dan masih rendahnya akurasi perkiraan penarikan dana yang telah disampaikan.

Untuk meningkatkan akurasi perencanaan kas, juga telah dilakukan pengembangan melalui metode statistik

dengan melibatkan seluruh unit eselon I di Kementerian Keuangan. Adanya berbagai pendekatan diharapkan

dapat lebih meningkatkan tingkat akurasi perencanaan kas.

www.kemenkeu.go.id | LAPORAN TAHUNAN 2011 | 155

KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA

Tabel 7.3.Rata-Rata Akurasi Perencanaan Kas dari Tim CPIN Tahun 2011

Bulan

Total

Penerimaan Pengeluaran

Perkiraan(Rp M)

Realisasi(Rp M)

Deviasi(%)

Akurasi(%)

Perkiraan(Rp M)

Realisasi(Rp M)

Deviasi(%)

Akurasi(%)

Januari 77.345,62 71.711,56 7,28 92,72 71.542,74 69.507,62 2,84 97,16

Februari 83.225,81 83.099,87 0,15 99,85 62.313,21 47.259,01 24,16 75,84

Maret 105.587,12 101.046,81 4,30 95,70 94.789,95 98.895,88 4,33 95,67

April 143.217,62 123.837,73 13,53 86,47 106.904,13 75.219,49 29,64 70,36

Mei 150.861,15 119.370,37 20,87 79,13 83.018,17 87.837,57 5,81 94,19

Juni 99.722,10 83.926,41 15,84 84,16 131.071,42 87.129,89 33,52 66,48

Juli 102.298,10 110.228,56 7,75 92,25 119.960,70 128.262,79 6,92 93,08

Agustus 108.124,61 131.339,15 21,47 78,53 111.715,21 113.736,01 1,81 98,19

September 109.377,57 96.043,27 12,19 87,81 114.623,50 99.898,38 12,85 87,15

Oktober 121.888,03 99.748,91 18,16 81,84 130.878,19 127.959,22 2,23 97,77

November 137.213,26 149.688,51 9,09 90,91 141.900,52 115.215,48 18,81 81,19

Desember 238.845,81 228.725,91 4,24 95,76 310.708,46 301.190,76 3,06 96,94

Rata-Rata Akurasi Q1       96,09       89,55

Rata-Rata Akurasi Q2       83,25       77,01

Rata-Rata AkurasiSMT 1       89,67       83,28

Rata-Rata Akurasi Q3       86,20       92,81

Rata-Rata Akurasi Q4       89,50       91,97

Rata-Rata Akurasi SMT 2       87,85       92,39

Total       88,76       87,84

Sumber: Direktorat Pengelolaan Kas Negara, Ditjen Perbendaharaan.

7.9. Remunerasi Atas Penempatan di Bank Indonesia dan Bank Umum

Dalam PMK No. 03/PMK.05/2010 tentang Pengelolaan Kelebihan dan Kekurangan Kas, antara lain disebutkan

bahwa dalam mengelola kelebihan kas, Pemerintah dapat melakukan penempatan antara lain pada:

1. Bank Sentral (rekening giro);

2. Bank Umum (giro, overnight, deposit on call, dan time Deposit);

3. instrumen di pasar modal (mematuhi regulasi Bapepam-LK);

4. membeli SBN dari pasar sekunder (trade motive); dan

5. reverse repo.

Sedangkan dalam mengelola kekurangan kas, Pemerintah dapat melakukan:

1. penarikan dari rekening penempatan pada Bank Sentral;

2. penarikan dari rekening penempatan pada Bank Umum;

3. menjual SBN di pasar sekunder;

KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA

| LAPORAN TAHUNAN 2011 | www.kemenkeu.go.id 156

4. repo SBN; dan

5. penerbitanSBN.

Amanat tersebut sesuai dengan UU No. 10 Tahun 2010 tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun

Anggaran 2011 butir penjelasan Pasal 4 ayat (10) yang menyebutkan bahwa pendapatan atas pengelolaan

rekening tunggal perbendaharaan dan/atau atas penempatan uang negara (akun 42325) mempunyai alokasi

target sebesar Rp.3.008.103.524.000. Target dalam APBN 2011 juga sebagai target IKU untuk tahun anggaran

2011.

Pendapatan atas penerbitan SP2D dalam rangka TSA merupakan pendapatan yang diperoleh dari setiap

penerbitan SP2D oleh KPPN yang dibayarkan oleh Bank Operasional I sesuai kesepakatan dalam lelang Bank

Operasional. Adapun pendapatan atas pelaksanaan Treasury Notional Pooling (TNP) merupakan pendapatan yang

diperoleh dari optimalisasi saldo rekening bendahara pengeluaran dan penerimaan pada Bank Umum peserta

TNP dengan rate di atas nilai jasa giro yang berlaku. Landasan hukum atas pelaksanaan ini adalah PMK No. 61/

PMK.05/2009 tentang Penerapan Treasury Notional Pooling Rekening Bendahara Pengeluaran pada Satuan Kerja

dan PMK No. 126/PMK.05/2009 tentang Penerapan Treasury Notional Pooling Rekening Bendahara Penerimaan

pada Satuan Kerja.

Tabel 7.4.Pendapatan atas Pengelolaan Rekening Tunggal Perbendaharaan dan/atau

Atas Penempatan Uang Negara Tahun 2011

Akun Uraian Jumlah (Rp)

423251 Pendapatan atas penerbitan SP2D dalam rangka TSA 8.103.524.000

423252 Pendapatan atas penempatan uang negara pada Bank Umum 900.000.000.000

423253 Pendapatan dari pelaksanaan treasury notional pooling 100.000.000.000

423254 Pendapatan dari penempatan uang negara di Bank Indonesia 2.000.000.000.000

Sumber: Direktorat Pengelolaan Kas Negara, Ditjen Perbendaharaan.

Pendapatan atas penempatan uang negara di Bank Indonesia didasarkan pada Keputusan Bersama Antara Menteri

Keuangan dan Gubernur Bank Indonesia Nomor 17/KMK.05/2009 dan 11/3/KEP.GBI/2009 tentang Koordinasi

Pengelolaan Uang Negara di Bank Indonesia. Dalam keputusan tersebut antara lain disebutkan tingkat bunga

atas uang negara (Rupiah dan valas) pada Rekening Kas Umum Negara adalah sebesar 0,1 per tahun, sedangkan

tingkat bunga masing-masing rekening penempatan adalah:

1. untuk rekening penempatan Rupiah diberikan bunga per tahun sebesar 65 persen dari suku bunga kebijakan

Bank Indonesia (BI rate);

2. untuk rekening penempatan valas USD diberikan bunga per tahun sebesar 65 persen dari Fed Fund Rate;

serta

3. untuk rekening penempatan valas non USD diberikan bunga per tahun sebesar 65 persen dari suku bunga

acuan pada home currency valas tersebut.

www.kemenkeu.go.id | LAPORAN TAHUNAN 2011 | 157

KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA

Tabel 7.5.Realisasi atas Target Pendapatan Atas Pengelolaan Rekening Tunggal Perbendaharaan dan/atau

Atas Penempatan Uang Negara Tahun 2009-2011

No. Uraian Realisasi (Rp Miliar)

2011 2010 2009

1. Pendapatan atas penerbitan SP2D dalam rangka TSA 75,38 54,38 8,23

2. Pendapatan atas penempatan uang negara pada Bank Umum - 1.719,12 2.356,42

3. Pendapatan dari pelaksanaan TNP 193,25 119,68 51,47

4. Pendapatan dari Penempatan uang negara di Bank Indonesia 4.666,71 2.434,31 1.763,23

5. Bunga pengelolaan rekening cadangan 254,71 - -

Jumlah 5.190,05 3.467,93 3.001,14

Sumber: Direktorat Pengelolaan Kas Negara, Ditjen Perbendaharaan.

Pencapaian target 2011 sebagian besar diperoleh dari penempatan uang negara di BI yang didukung oleh:

1. besarnya idle cash pada saldo RKUN Penempatan di Bank Indonesia, karena penyerapan belanja Satker K/L

yang belum maksimal dan masih menumpuk di akhir tahun anggaran;

2. tingginya saldo kas pada rekening SAL tahun 2010 di BI, yaitu Rp88,823 triliun; serta

3. BI rate yang relatif tinggi, yaitu pada kisaran 6,75-6,50 persen per tahun di sepanjang tahun 2011, sebelum

akhirnya turun menjadi 6,00 persen per tahun di bulan November 2011.

7.10. Pembentukan Treasury Dealing Room

Pembentukan dealing room merupakan salah satu strategi dalam meningkatkan efektivitas dan e!siensi

pengelolaan uang negara, khususnya pengelolaan kelebihan/kekurangan kas, sehingga akan tercapai

optimalisasi kas. Secara umum, dealing room adalah sebuah tempat jual-beli produk investasi jangka pendek

dan/atau jangka panjang di pasar keuangan dalam bentuk surat berharga, produk derivatif, atau instrumen

investasi lainnya secara elektronik. Pengelolaan kelebihan/kekurangan kas yang dilakukan pada dealing room

dapat memperlancar proses transaksi investasi, khususnya pembelian atau penjualan instrumen keuangan

yang digunakan dalam rangka pengelolaan kelebihan/kekurangan kas. Dealing room operation yang didukung

oleh infrastruktur teknologi informasi yang handal, selain membantu efektivitas dan e!siensi pengelolaan

kelebihan/kekurangan kas, juga membantu pengelolaan risiko investasi. Kelancaran proses transaksi investasi

dengan disertai mekanisme pengelolaan risiko yang memadai akan meningkatkan penerimaan negara dari

hasil pengelolaan kelebihan/kekurangan kas, sehingga tujuan optimalisasi kas tercapai. Selain itu, pemanfaatan

dealing room dengan Standard Operating Procedure (SOP), tata kelola, dan penerapan internal control yang

berstandar internasional akan meningkatkan transparansi dan akuntabilitas serta meminimalkan moral hazard

dalam pengelolaan kelebihan/kekurangan kas.

Ditjen Perbendaharaan c.q. Direktorat Pengelolaan Kas Negara pada tahun anggaran 2011 telah melaksanakan

seleksi pegawai yang akan menjadi calon dealer dan lelang konsultan pengembang dealing room. Dengan

demikian, diharapkan pada tahun 2012 telah dilaksanakan kegiatan yang mendukung pelaksanaan Capacity

Building Treasury Dealing Room, yaitu:

KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA

| LAPORAN TAHUNAN 2011 | www.kemenkeu.go.id 158

1. membentuk tim capacity building treasury dealing room;

2. menyusun grand design treasury dealing room Kementerian Keuangan;

3. menyelenggarakan diklat teknis dealing room operation bagi pegawai Ditjen Perbendaharaan;

4. melaksanakan pembangunan infrastruktur dealing room pada Ditjen Perbendaharaan;

5. membentuk struktur kelembagaan dealing room Ditjen Perbendaharaan;

6. menyusun SOP dan tata kelola treasury dealing room; dan

7. mengembangkan pusat riset investasi pada Ditjen Perbendaharaan.

7.11. Bank Indonesia Government Electronic Banking

Beroperasinya sistem Bank Indonesia Government Electronic Banking (BIG-eB) merupakan implementasi UU No. 1

Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara. BIG-eB sekaligus memperkuat koordinasi otoritas !skal dan otoritas

moneter melalui penyediaan layanan oleh BI untuk mendukung kebutuhan Pemerintah dalam meningkatkan

pengawasan dan pengelolaan anggaran. UU No. 1 Tahun 2004 menyatakan bahwa Rekening Pemerintah adalah

rekening yang diatur dan diselenggarakan oleh Menteri Keuangan selaku Bendahara Umum Negara (BUN) serta

ditatausahakan di Bank Indonesia. Dalam rangka penyelenggaraan Rekening Pemerintah, Menteri Keuangan

menyimpan uang negara dengan membuka Rekening Kas Umum Negara (RKUN) pada BI sebagai pemegang kas

Pemerintah dengan prinsip Treasury Single Account (TSA). Melalui BIG-eB, Pemerintah memperoleh data Rekening

Pemerintah di BI secara online dan real time, serta mempercepat proses penyusunan laporan dan settlement

transaksi.

Saat peluncuran pertama kali (tahap I) pada Desember 2007, BIG-eB menyediakan modul informasi seluruh

Rekening Pemerintah (khusus rupiah) yang ditatausahakan di Kantor Pusat maupun di Kantor BI. Pada tahap II,

modul transaksi rupiah melalui pemindahbukuan, BI-RTGS, dan SKN-BI seperti Treasury Single Account (TSA), Dana

Alokasi Umum (DAU), dan Dana Bagi Hasil (DBH) mulai dapat diimplementasikan. Adapun tahap III merupakan

implementasi modul informasi dan transaksi valas seluruh Rekening Pemerintah yang ditatausahakan di Kantor

Pusat maupun di Kantor BI. Pada tahap IV atau terakhir, sistem BIG-eB diharapkan dapat diintegrasikan dengan

sistem lain yang terkait dengan pengelolaan anggaran Pemerintah di Kementerian Keuangan.

Perhatian utama BI terkait penatausahaan Rekening Pemerintah adalah dapat memberikan layanan yang sesuai

dengan harapan pengguna jasa pembayaran. Pemberian layanan ini mencakup penatausahaan penerimaan,

pengeluaran, dan penyelesaian transaksi. Selain itu, Pemerintah juga dapat memonitor secara online dan real time

seluruh aktivitas in"ow dan out"ow, posisi, dan saldo Rekening Pemerintah. Dengan demikian, BIG-eB merupakan

sistem elektronik yang disediakan oleh BI untuk Kementerian Keuangan dalam rangka memonitor saldo dan

mutasi rekening, mencetak laporan, mengunduh data rekening dan informasi nilai tukar, serta melakukan tata

usaha pengguna dan transaksi secara elektronik dan online.

BIG-eB merupakan pengembangan metode transaksi dan informasi berbasis teknologi sebagai perubahan

atas metode transaksi yang sebelumnya melalui giro bilyet/cek dan perolehan informasi melalui rekening

Koran. Sistem BIG-eB dipergunakan oleh Kementerian Keuangan untuk kegiatan yang bersifat informational

dan transactional. Ruang lingkup yang dapat dimonitor melalui sistem BIG-eB dalam rangka informational

adalah seluruh Rekening Pemerintah c.q. Kementerian Keuangan yang terdapat di BI. Sedangkan ruang lingkup

kegiatan transactional meliputi transaksi pendebetan RKUN pada BI untuk RPK-BUNP pada Bank Umum dan

www.kemenkeu.go.id | LAPORAN TAHUNAN 2011 | 159

KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA

transaksi pendebetan antarrekening pada BI, baik pindah buku atau konversi. Seiring dengan kebutuhan dari

masing-masing Subdirektorat di lingkungan Direktorat Pengelolaan Kas Negara, maka pada tahun 2011, telah

dilaksanakan perluasan pemanfaatan sistem BIG-eB pada Subdit Perencanaan dan Pengendalian Kas, Subdit

Dana Pinjaman Hibah, dan Subdit Rekening Pemerintah Lainnya.

7.12. Pengelolaan Rekening Pemerintah Lainnya

Dalam rangka mewujudkan akuntabilitas dan transparansi keuangan negara serta untuk memenuhi amanat

undang-undang yang menjadi landasan bagi reformasi pengelolaan keuangan negara, telah dilakukan langkah-

langkah penertiban rekening Pemerintah pada seluruh K/L. Salah satu instrumen yang digunakan dalam

penertiban rekening adalah pemberian ijin pembukaan rekening. Proses input data Rekening Pemerintah Lainnya

milik K/L melalui sistem aplikasi dilakukan sesuai dengan surat ijin pembukaannya atau perubahan status yang

telah disetujui. Sementara itu, pembinaan kepada Satker telah dilakukan secara formal melalui:

1. workshop pengelolaan rekening Pemerintah;

2. memenuhi undangan Satker dalam hal pengelolaan rekening Pemerintah di lingkungan K/L;

3. menyusun modul pengelolaan rekening Pemerintah untuk didistribusikan kepada K/L sebagai pedoman

dalam pengelolaan rekening Pemerintah; dan

4. secara informal dengan menjawab telepon dari Satker atau KPPN.

Dampak positif yang diharapkan dari penertiban rekening adalah pertanggungjawaban pelaksanaan APBN yang

lebih transparan dan akuntabel yang didukung oleh data rekening Pemerintah yang memiliki penjelasan posisi

dan status dan dilaporkan dalam Laporan Keuangan Kementerian Lembaga (LKKL) dan LKPP.

Tabel 7.6.Pembukaan Rekening Pemerintah Lainnya Tahun 2011

No. Jenis Rekening Jumlah Rekening

1. Rekening Penerimaan 1.634

2. Rekening Pengeluaran

a. Rekening Bendahara Pengeluaran

b. Rekening Bendahara Pembantu Pengeluaran

23.171

44

3. Rekening Lainnya 1.417

Sumber: Direktorat Pengelolaan Kas Negara, Ditjen Perbendaharaan.

KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA

| LAPORAN TAHUNAN 2011 | www.kemenkeu.go.id 160

7.13. Pengelolaan Rekening Sumber Daya Alam dan Non Sumber Daya Alam

Pengelolaan Rekening SDA (migas, panas bumi, pertambangan dan perikanan) dan non SDA (Rekening

Dana Investasi/Rekening Pembangunan Daerah, Hibah Bencana Alam Sumatera, dan Hibah ESSP) melalui

Penatausahaan rekening Koran Bank Indonesia serta pemindahbukuan ke RKUN dan kepada Pihak Ketiga

dilakukan atas permintaan dari Ditjen Anggaran (rekening SDA) dan Direktorat SMI (RDI/RPD). Dalam rangka

optimalisasi penerimaan negara, pada tahun 2011, RDI/RPD pada BI ditetapkan sebagai Rekening Penerimaan

Kuasa BUN Pusat, sehingga setiap akhir hari kerja dilakukan penihilan saldo (penyetoran ke RKUN) serta pemberian

remunerasi dari BI untuk rekening SDA dan non SDA yang lain.

Tabel 7.7.Remunerasi dari Bank Indonesia untuk Rekening SDA dan Non SDA Tahun 2011

Nama Rekening Ke RKUN (Rp) Remunerasi (Rp)

Kementerian Keuangan/hasil perjanjian karya production sharing (USD)

126.596.106.667.568,00 37.198.997.302,15

Rekening Penerimaan Bidang Pertambangan dan Perikanan 28.444.704.534,63 5.216.392.960,87

Rekening Penerimaan Panas Bumi 562.702.273.746,77 14.821.079.576,72

Menteri Keuangan untuk Penerimaan Bantuan Bencana Alam Sumatera dalam Rupiah 394.0710.402.000,00 3.354.833.460,92

Menteri Keuangan untuk Penerimaan Hibah Education Sector Support Program (ESSP)/Uni Eropa 609.638.500.000,00 0

RDI/RPD 8.078.265.521.241,23 0

Jumlah Setoran 136.269.238.069.090,00 60.591.303.300,65

Sumber: Direktorat Pengelolaan Kas Negara, Ditjen Perbendaharaan.

7.14. Penyempurnaan Tata Cara Pembebanan Dana PHLN Melalui Mekanisme Rekening Khusus

Di awal tahun 2011, Ditjen Perbendaharaan menerbitkan peraturan yang menyempurnakan tata cara

pembebanan dana PHLN melalui mekanisme Rekening Khusus (Reksus). Dalam peraturan tersebut ditetapkan

bahwa KPPN menerbitkan SP2D Reksus dengan membebani rekening BO dan mencatat belanja pengeluaran.

Selanjutnya, KPPN menerbitkan SPB dan daftarnya untuk dikirimkan ke Direktorat PKN. Pencatatan penerimaan

pembiayaan atau pendapatan dilakukan oleh Direktorat PKN dengan menerbitkan WPR ke Bank Indonesia.

Peraturan ini mengadopsi mekanisme yang telah diterbitkan untuk penerbitan SP2D Reksus pada KPPN yang

tidak satu kota dengan Kantor BI (KPPN Non KBI) dengan mengecualikan KPPN Khusus Jakarta VI. Terdapat dua

esensi dari perubahan pembebanan tersebut.

www.kemenkeu.go.id | LAPORAN TAHUNAN 2011 | 161

KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA

1. Untuk menghindarkan double counting, yaitu pencatatan ganda atas satu transaksi. Sebelum peraturan ini

diterapkan, KPPN menerbitkan SP2D dengan membebani Sub RKUN KPPN dan mencatat sebagai penerimaan

pembiayaan atau pendapatan hibah sekaligus belanja. Sementara Direktorat PKN juga mencatat sebegai

penerimaan pembiayaan atau pendapatan hibah pada saat terjadi aliran kas masuk dari rekening khusus ke

rekening BUN. Dengan demikian, terdapat dua kali pencatatan penerimaan pembiayaan dan pendapatan

hibah masing-masing oleh KPPN dan Direktorat PKN. Hal tersebut menyebabkan informasi penerimaan

pembiayaan dan pendapatan hibah disajikan tidak semestinya.

2. Peraturan tersebut menegaskan tugas pokok dan fungsi antara KPPN dan Direktorat PKN sesuai PMK No. 184/

PMK.01/2010. Direktorat PKN sebagai pengelola rekening BUN, yang di dalamnya termasuk Reksus, adalah

yang berwenang membebani Reksus karena memiliki akses informasi atas rekening terkait. Akses tersebut

penting untuk mengetahui tingkat ketersediaan dana pada Reksus sebagai dasar untuk menginformasikan

kepada EA agar mengajukan permintaan replenishment atau reimbursement. Dengan akses tersebut,

Direktorat PKN juga dapat mengetahui dengan pasti aliran dana masuk ke rekening BUN sebagai dasar

pengakuan penerimaan pembiayaan dan atau penerimaan hibah.

Praktek pengakuan pendapatan dan penerimaan hibah yang dahulu dilakukan KPPN tidak tepat, karena KPPN

tidak memiliki akses atas Reksus di BI. KPPN sebagai Kuasa BUN Daerah melakukan fungsi pembayaran dengan

membebankan pada kas negara. Pada saat terjadi aliran dana dari kas negara atas dasar SP2D, maka diakui sebagai

pengeluaran belanja. Dengan demikian, penyempurnaan tata cara pembebanan dana PHLN melalui mekanisme

Reksus dimaksudkan untuk menerapkan prinsip akuntansi secara semestinya, yaitu pengeluaran belanja

dibukukan pada saat terjadi aliran dana dari kas negara dan penerimaan pembiayaan dan/atau pendapatan

hibah diakui pada saat ada aliran dana masuk pada rekening BUN.

KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA

| LAPORAN TAHUNAN 2011 | www.kemenkeu.go.id 162

8.1. Pendahuluan

Sejak tahun 2010 terjadi krisis di pasar keuangan negara-negara Eropa yang mengakibatkan gejolak pada pasar

keuangan global. Akibat dari krisis tersebut, beberapa negara menerapkan kebijakan konsolidasi !skal melalui

pengetatan anggaran untuk menekan de!sit dan mengendalikan utangnya. Untuk mengantisipasi pengaruh

krisis keuangan dan belajar dari pengalaman negara-negara yang terkena krisis di Eropa, Pemerintah Indonesia

menyusun kebijakan pembiayaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) secara lebih berhati-hati. Hal

ini sejalan dengan arahan Presiden agar jumlah utang berada dalam tingkat yang aman dengan mengupayakan

debt to GDP ratio pada tahun 2014 maksimal 22 persen.

Salah satu kebijakan yang diambil adalah menyusun APBN dalam jangka menengah menuju anggaran

berimbang. Hal ini dilakukan melalui pengendalian pembiayaan yang bersumber dari instrumen utang atau

non utang pada saat Pemerintah menetapkan kebijakan de!sit atau surplus APBN. Selain sebagai instrumen

untuk menutup de!sit, utang juga dapat dimanfaatkan untuk membiayai investasi Pemerintah, penjaminan, dan

pengeluaran pembiayaan lainnya. Dalam hal Pemerintah menetapkan kebijakan APBN surplus, pengadaan utang

tetap diperlukan pada kondisi antara lain sebagai berikut:

1. membiayai utang yang jatuh tempo;

2. menciptakan benchmark risk free asset di pasar keuangan dan mengelola portofolio utang Pemerintah;

3. membiayai investasi Pemerintah; serta

4. melanjutkan proyek-proyek tahun sebelumnya yang masih berlangsung masa penarikannya.

Pengelolaan Pembiayaan Melalui Utang

08

www.kemenkeu.go.id | LAPORAN TAHUNAN 2011 | 163

KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA

8.2. Kebijakan Pembiayaan Utang

Seiring dengan kebijakan de!sit dalam 10 tahun terakhir, jumlah utang Indonesia cenderung meningkat,

sehingga memerlukan pengelolaan utang yang prudent, efektif, e!sien, dan akuntabel. Untuk mendukung hal

tersebut, telah disusun pedoman pengelolaan utang jangka menengah melalui penetapan strategi pengelolaan

utang tahun 2010-2014 yang menitikberatkan pada upaya untuk meningkatkan e!siensi pengelolaan utang

dengan tetap memperhatikan risiko utang secara terukur. Tujuan tersebut diimplementasikan dalam penyusunan

kebijakan pengelolaan Surat Berharga Negara (SBN) dan pinjaman. Strategi pengelolaan SBN dititikberatkan pada

peningkatan likuiditas dan daya serap pasar domestik melalui pengembangan pasar perdana dan sekunder, serta

memperkuat basis investor. Adapun strategi pengelolaan pinjaman dititikberatkan pada penarikan dana secara

tepat waktu serta peningkatan kualitas proses bisnis, data, dan informasi.

Strategi jangka menengah menjadi acuan bagi penyusunan strategi dan kebijakan pembiayaan utang tahunan

dengan mempertimbangkan kondisi pasar keuangan terkini, besaran pembiayaan non utang, dan pengelolaan

pasar sekunder SBN. Pada tahun 2011, kebijakan pengelolaan SBN diarahkan pada:

1. penerapan lengthening duration;

2. penyiapan peraturan yang mendukung penerbitan sukuk underlying project;

3. penerapan buyback dan debt switch untuk mengelola risiko dan stabilisasi pasar SBN; serta

4. penyiapan strategi alternatif dalam hal kondisi pasar domestik cenderung memburuk atau terjadi reversal.

KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA

| LAPORAN TAHUNAN 2011 | www.kemenkeu.go.id 164

Sedangkan kebijakan pengelolaan pinjaman dilakukan melalui:

1. pengadaan pinjaman yang difokuskan pada pinjaman kegiatan (pinjaman proyek);

2. pemilihan lender yang memiliki terms and conditions yang favorable;

3. pemilihan suku bunga yang sesuai dengan kondisi pasar, sehingga dapat mengoptimalkan kondisi pasar;

4. pemilihan mata uang sesuai dengan portofolio utang dan yang memiliki risiko yang rendah;

5. pemilihan metode anuitas dan jangka waktu yang lebih panjang; serta

6. peningkatan penyerapan pinjaman untuk menghemat biaya yang tidak diperlukan.

8.3. Sumber dan Penggunaan Pembiayaan Utang

Utang telah menjadi sumber utama untuk memenuhi kebutuhan pembiayaan APBN dalam 10 tahun terakhir

dan dikelompokkan dalam dua instrumen, yaitu pinjaman dan SBN. Instrumen pinjaman berdasarkan sumbernya

dapat dibedakan menjadi pinjaman luar negeri dan pinjaman dalam negeri yang berbentuk tunai (program loan)

atau terkait dengan proyek (project loan) dalam mata uang rupiah atau mata uang asing. Sedangkan instrumen

SBN mencakup Surat Utang Negara (SUN) yang merupakan surat berharga konvensional dan Surat Berharga

Syariah Negara (SBSN) yang merupakan surat berharga berbasis syariah yang penerbitannya dapat menggunakan

mata uang rupiah dan/atau mata uang asing. Kedua instrumen ini terus berkembang sesuai dengan kebutuhan

dan perkembangan pasar keuangan. Sebagai contoh, pada tahun 2011 telah dikembangkan SBSN berbasis

proyek (Sukuk project) yang ditargetkan menjadi alternatif sumber pembiayaan APBN.

8.3.1. Pinjaman

1. Pinjaman Dalam Negeri

Pinjaman Dalam Negeri (PDN) merupakan salah satu bentuk instrumen utang yang mulai dimanfaatkan

pada tahun 2010 dan diarahkan untuk mendukung pemberdayaan industri dalam negeri dan pembangunan

infrastruktur. Instrumen ini dikembangkan sebagai salah satu alternatif untuk mengurangi ketergantungan

terhadap pinjaman komersial luar negeri serta dalam rangka mendukung pengembangan industri dalam negeri.

Pada tahap awal, pemanfaatan PDN masih difokuskan pada pelaksanaan kegiatan Pemerintah (pinjaman proyek)

dengan target penarikan sebesar Rp1 triliun.

Berdasarkan pelaksanaan kegiatan selama tahun 2010-2011, realisasi penyerapan pinjaman belum dapat

memenuhi target yang ditetapkan, sehingga perlu dilanjutkan ke tahun anggaran berikutnya. Terdapat sekurang-

kurangnya tiga faktor yang menyebabkan lambatnya penyerapan, yaitu:

penyiapan dan penyelesaian beberapa dasar operasionalisasi yang penetapannya baru dilakukan pada

triwulan kedua tahun 2010;

pembahasan dan penyelesaian dokumen kontrak pengadaan oleh Kementerian/Lembaga (K/L) yang

memakan waktu relatif panjang, khususnya untuk tahun 2011; dan

diperlukannya familiarisasi atas mekanisme baru pengadaan PDN yang memisahkan pengadaan barang/

jasa dengan pengadaan pembiayaan.

www.kemenkeu.go.id | LAPORAN TAHUNAN 2011 | 165

KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA

2. Pinjaman Luar Negeri

Pada tahun 2011 terjadi peningkatan kinerja pengelolaan pinjaman luar negeri (PLN) jika dibandingkan dengan

tahun-tahun sebelumnya. Pengelolaan PLN diwarnai dengan penetapan Peraturan Pemerintah Nomor 10 tahun

2011 tentang Tata Cara Pengadaan Pinjaman Luar Negeri dan Penerimaan Hibah sebagai pengganti PP No. 2

tahun 2006. Dalam PP No. 10 tahun 2011 dilakukan perubahan beberapa substansi pengaturan untuk mendorong

reformasi dalam pengelolaan PLN. Perubahan tersebut antara lain sebagai berikut:

kejelasan tugas dan tanggung jawab antarinstansi di lingkungan Pemerintah dalam pengadaan PLN;

pemberian dasar bagi Pemerintah dalam pengelolaan PLN secara aktif;

penyusunan mekanisme pengendalian PLN; serta

penajaman proses pengadaan pinjaman khususnya yang berasal dari kreditor swasta asing.

Sepanjang tahun 2011 telah dilakukan penandatanganan 67 perjanjian PLN dengan nilai komitmen sebesar

Rp47,69 triliun atau setara dengan USD5,26 miliar. Pinjaman ini bersumber dari berbagai kreditor, seperti

lembaga multilateral (World Bank, Islamic Development Bank, Asian Development Bank, dan International Fund

for Agricultural Development), serta lembaga bilateral dan komersial. Selain itu, Pemerintah Indonesia juga telah

menandatangani 2 perjanjian debt swap, yaitu dengan Pemerintah Amerika Serikat dan Jerman. Perjanjian debt

swap dengan Pemerintah Amerika Serikat diwujudkan melalui Debt Nature Swap for Tropical Forest Conservation Act

Phase II senilai USD23,76 juta. Sedangkan perjanjian debt swap dengan Pemerintah Jerman dilaksanakan melalui

Debt Swap VII Indonesian-German Scholarship Program yang merupakan komitmen Pemerintah Jerman untuk

menghapus utang sebesar maksimal EUR 18,76 juta setelah Pemerintah Indonesia membayar biaya pendidikan

untuk program doktoral di perguruan tinggi Jerman sebesar setengah dari nilai komitmen tersebut.

8.3.2. Surat Berharga Negara

Kepemilikan asing pada SBN domestik cenderung meningkat pada tahun 2011 yang menunjukkan bahwa

Indonesia telah menjadi tujuan alternatif investasi dari investor asing. Kondisi ini didukung oleh kinerja positif

perekonomian domestik di tengah-tengah ketidakpastian kondisi pasar keuangan di Eropa dan belum pulihnya

kondisi perekonomian negara-negara maju akibat krisis tahun 2008. Kepemilikan asing atas SBN mencapai 35

persen (dari outstanding SBN tradable) dengan nilai sekitar Rp248 triliun pada Juli 2011, serta volume transaksi

perdagangan SBN di Pasar Sekunder mengalami peningkatan. Secara keseluruhan, dana asing yang masuk

ke pasar obligasi Indonesia pada tahun 2011 cukup besar sebagaimana terlihat dari peningkatan nominal

outstanding SBN yang dimiliki oleh asing dari Rp195 triliun menjadi Rp222 triliun.

KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA

| LAPORAN TAHUNAN 2011 | www.kemenkeu.go.id 166

Gambar 8.1.Kepemilikan SBN Tradeable Tahun 2005-2011

Sumber: Bloomberg, diolah.

Pengelolaan SBN pada tahun 2011 semakin membaik yang ditunjukkan dengan peningkatan Indeks SUN dan

penurunan imbal hasil yang diminta investor. Indeks SUN pada akhir tahun 2011 ditutup pada level 109,29

persen atau meningkat 3,2 persen dari penutupan akhir tahun 2010 sebesar 106,05 persen. Sementara itu, terjadi

penurunan yield curve yang disebabkan oleh tingginya likuiditas di pasar SBN domestik dan penguatan nilai tukar

rupiah terhadap mata uang asing. Tingginya likuiditas juga ditunjukkan oleh bid to cover ratio lelang perdana SBN

yang mencapai 2,63 kali. Pada akhir tahun 2011, yield curve bergerak ke bawah dan mendatar yang menunjukkan

ekspektasi jangka panjang investor yang semakin baik terhadap fundamental ekonomi dan peningkatan credit

rating Indonesia.

Gambar 8.2.Bid to Cover Ratio Penerbitan SBN Tahun 2007-2011

Sumber: Ditjen Pengelolaan Utang.

Target penerbitan SBN bruto berdasarkan APBN-P 2011 adalah sebesar Rp211,2 triliun dan terealisasi sebesar

Rp208,1 triliun dengan memperhitungkan buyback sebesar Rp3,5 triliun. Realisasi penerbitan SBN tersebut

terdiri dari penerbitan SUN sebesar Rp171,29 trilliun dan SBSN sebesar Rp33,31 trilliun. Realisasi penerbitan SBN

mencakup penerbitan SBN domestik sebesar Rp174,12 triliun dan penerbitan SBN valas sebesar Rp30,48 triliun.

perbankanAsing

non perbankan% asing thd. total (rhs)

100

0

200

300

400

500

600

700

800 40%

35%

30%

25%

20%

15%

10%

5%

0%2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011

Rp Triliun

2007 2008 2009 2010 2011

1000,5

1,0

1,5

2,0

2,5

3,0

3,5

200

300

400

500 Total BidTotal AwdBid to Cover Ratio -rhs

Rp Triliun

www.kemenkeu.go.id | LAPORAN TAHUNAN 2011 | 167

KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA

2007 2008 2009 2010 2011

Rp M

illia

r

0

20

40

60

80

100

120

Tanah

Bangunan

Tabel 8.1.Rincian Penerbitan SBN Tahun 2011

Rp Triliun

SUN SBSN SBN

Domestik 149.85 24.27 174.12

SPN/SPNS 40 1.32 41.32

Ritel 11 7.34 18.34

Fixed rate 98.85 15.61 114.46

Valas 21.44 9.04 30.48

Total 171.29 33.31 204.6

Sumber: Ditjen Pengelolaan Utang.

8.3.3. Penyiapan BMN sebagai Aset Surat Berharga Syariah Negara (SBSN)

Sejak pertama kali diterbitkannya Surat Berharga Syariah Negara (SBSN) pada tahun 2008, sampai dengan tahun

2010 DJKN telah menyampaikan usulan Daftar Nominasi Aset (DNA) SBSN sebesar Rp117 triliun. Langkah ini

merupakan pemenuhan amanat UU No. 19 tahun 2008 tentang Surat Berharga Syariah Negara dan PMK No. 04/

PMK.08/2008 tentang Pengelolaan Aset Surat Berharga Syariah Negara yang Berasal dari Barang Milik Negara.

DJKN ditugaskan untuk menyiapkan BMN sebagai underlying asset SBSN dengan Skema Ijarah.

Setelah selalu meningkat sejak tahun 2008, mulai tahun 2011 terjadi penurunan jumlah nilai BMN yang

disampaikan. Hal ini disebabkan semakin sedikit BMN yang memenuhi persyaratan dari aspek legal maupun

syariah untuk dapat disampaikan kepada Direktorat Jenderal Pengelolaan Utang. Pada tahun 2011, DJKN

menyampaikan usulan Daftar Nominasi Aset SBSN yang berasal dari BMN senilai Rp33,38 triliun yang terdiri dari

tanah senilai Rp 27,22 triliun dan bangunan senilai Rp6,16 triliun.

Gambar 8.3.Nominasi Aset SBSN Tahun 2008-2011

Sumber: Direktorat Penilaian, DJKN.

8.4. Capaian Pengelolaan Utang

Realisasi pembiayaan utang pada tahun 2011 mencapai Rp125,3 triliun. Jumlah ini meningkat Rp38,4 triliun

jika dibandingkan dengan tahun 2010 sebesar Rp86,9 triliun. Kenaikan pembiayaan utang disebabkan naiknya

kebutuhan pembiayaan APBN dan pembayaran kembali utang yang jatuh tempo. Penerbitan SBN masih menjadi

KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA

| LAPORAN TAHUNAN 2011 | www.kemenkeu.go.id 168

47%39% 35%

33% 28% 26% 24%

0%10%20%

30%40%50%60%70%

2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011

sumber utama pembiayaan dari sumber utang dengan mendominasi pemenuhan kebutuhan pembiayaan

sebesar Rp126,7 triliun. Adapun penarikan pinjaman adalah negatif Rp1,3 triliun.

Realisasi pembiayaan utang tersebut menambah outstanding utang Pemerintah pada akhir tahun 2011 menjadi

Rp1.803,49 triliun yang terdiri dari SBN sebesar Rp1.187,66 triliun dan pinjaman sebesar Rp615,83 triliun.

Mengingat portofolio utang Pemerintah terdiri dari berbagai mata uang, maka jumlah outstanding utang sangat

dipengaruhi oleh pergerakan nilai tukar rupiah terhadap beberapa mata uang asing. Dalam hal nilai rupiah

melemah, maka outstanding utang akan bertambah. Sebaliknya, apabila nilai tukar rupiah menguat, maka

outstanding utang akan berkurang.

8.4.1. Perkembangan Debt to GDP Ratio

Meskipun outstanding utang cenderung mengalami kenaikan pada akhir tahun 2011, namun rasio utang

terhadap PDB (debt to GDP ratio) mengalami penurunan. Rasio debt to GDP pada tahun 2009 dan 2010 berturut-

turut adalah 28,3 persen dan 26 persen, sedangkan pada tahun 2011 adalah 24,3 persen. Rasio ini menunjukkan

peningkatan kemampuan !skal Pemerintah dalam jangka panjang untuk memenuhi kewajiban utangnya.

Sebagaimana tahun-tahun sebelumnya, pada tahun 2011, penurunan rasio ini didukung oleh pengendalian !skal

dan pengelolaan utang Pemerintah yang hati-hati, e!sien, efektif, dan akuntabel, sehingga peningkatan nominal

PDB lebih tinggi dibandingkan peningkatan nominal utang.

Gambar 8.4.Perkembangan Debt to GDP Ratio Tahun 2005-2011

Sumber: Ditjen Pengelolaan Utang.

Penurunan debt to GDP ratio melalui pengendalian !skal merupakan wujud dari pelaksanaan Undang-Undang

Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara. Berdasarkan penjelasan pasal 12 ayat 3, besaran de!sit nasional

tidak boleh melebihi 3 persen dari PDB. Selain itu, terdapat beberapa kebijakan berikut ini yang mendukung

upaya pengendalian utang.

www.kemenkeu.go.id | LAPORAN TAHUNAN 2011 | 169

KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA

Pelaksanaan kebijakan net negative "ow yang diterjemahkan dengan menetapkan jumlah penarikan PLN

lebih rendah dari jumlah cicilan pokok PLN yang jatuh tempo, namun tetap sesuai dengan kebutuhan

pembiayaan bagi K/L. Kebijakan ini diimplementasikan melalui penyusunan Batas Maksimum Pinjaman

Luar Negeri (BMPLN).

Penerbitan dan penarikan utang semaksimal mungkin mengacu pada kebutuhan riil de!sit APBN.

Pemilihan jenis mata uang dan tingkat bunga utang baru yang stabil dan menguntungkan dalam jangka

panjang.

8.4.2. Risiko utang

Peningkatan outstanding utang akan meningkatkan risiko, baik risiko pasar (market risk) yang terdiri dari

risiko mata uang (currency risk) dan risiko tingkat bunga (interest rate risk) maupun risiko pembayaran kembali

(re#nancing risk). Untuk mengendalikan risiko tersebut, Pemerintah memprioritaskan pengadaan utang yang

bersumber dari dalam negeri melalui penerbitan SBN dengan tingkat bunga tetap dan pengadaan pinjaman

dalam negeri dalam mata uang rupiah. Tingkat risiko pengelolaan utang Pemerintah semakin membaik yang

terlihat dari penurunan tingkat risiko suku bunga dan risiko nilai tukar. Sedangkan risiko pembiayaan kembali

mengalami peningkatan yang disebabkan oleh penerbitan utang jangka pendek untuk meningkatkan e!siensi

biaya utang. Namun demikian, secara keseluruhan tingkat risiko utang Pemerintah masih berada pada tingkat

yang terkendali.

Tabel 8.2.Perkembangan Indikator Risiko Utang Tahun 2010-2011

Indikator Risiko 2010 2011

Outstanding (Rp milliar) 1.676.851 1.803.489

Pinjaman 612.446 615.834

Surat Berharga Negara 1.064.405 1.187.655

Risiko suku bunga (%)

Rasio variable rate 20,3% 17,7%

Re!xing rate 26,1% 24,8%

Risiko nilai tukar (%)

Rasio utang valas thd. PDB 12,1% 10,9%

Rasio utang valas thd. Total Utang 46,2% 44,9%

Komposisi mata uang

- Domestik 53,8% 55,1%

- Valas 46,2% 44,9%

Risiko pembiayaan kembali (%)

Jatuh tempo dalam 1 thn. 7,1% 8,2%

Jatuh tempo dalam 3 thn. 20,8% 22,7%

Jatuh tempo dalam 5 thn. 34,1% 34,6%

Rata-rata jatuh tempo (tahun) 9,5 9,3

Pinjaman 7,6 7,3

Surat Berharga Negara 10,5 10,4

Sumber: Ditjen Pengelolaan Utang.

Catatan: Data unaudited

KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA

| LAPORAN TAHUNAN 2011 | www.kemenkeu.go.id 170

4

6

8

10

12

14

16

18

20

22

4

6

8

10

12

14

16

18

20

22

Dec - 05 Dec - 06 Dec - 07 Dec - 08 Dec - 09 Dec - 10 Dec - 11

SUN 2 thn.SUN 5 thn.SUN 10 thn.SUN 15 thn.

8.4.3. Biaya utang

Untuk penerbitan SBN, terdapat e!siensi biaya akibat kecenderungan penurunan yield yang didorong oleh

ekspekstasi investor bahwa perekonomian Indonesia semakin membaik dan pencapaian credit rating pada level

layak investasi (investment grade). Selain itu, e!siensi biaya utang didorong pula oleh pengembangan pasar SBN

menuju ke arah pasar yang dalam, likuid, dan aktif.

Gambar 8.5.Gra#k Perkembangan Yield SUN untuk Tenor 2, 5, 10, dan 15 Tahun

Sumber: Bloomberg, diolah.

8.5. Isu Terkini dalam Pengelolaan Utang

8.5.1. Investment Grade dan Credit Rating

Sovereign credit rating merupakan salah satu referensi utama bagi investor dalam mempertimbangkan negara

tujuan investasi, yaitu untuk menilai risiko sebuah negara. Semakin tinggi credit rating yang dimiliki oleh negara

penerbit obligasi, maka semakin tinggi pula kepercayaan investor pada obligasi yang diterbitkan. Peningkatan

credit rating memberikan dampak positif bagi perkembangan ekonomi, karena mendorong arus modal masuk

(capital in"ow), baik dalam bentuk investasi langsung maupun portofolio, sehingga meningkatkan neraca

pembayaran dan menurunkan biaya utang Pemerintah maupun swasta.

Pada tanggal 15 Desember 2011, lembaga pemeringkat (rating agency) Fitch telah menaikkan peringkat kredit

Indonesia dari semula BB+ menjadi BBB-. Maknanya adalah obligasi Indonesia telah masuk dalam kategori layak

investasi (Investment Grade). Perbaikan peringkat kredit Indonesia telah terlebih dahulu dilakukan oleh Japan

Credit Rating Agency (JCRA) pada tanggal 10 Juli 2010. Peningkatan peringkat dapat mendorong persepsi positif

investor dan masyarakat pada umumnya bahwa kondisi fundamental ekonomi Indonesia cukup kuat dalam

mengatasi krisis keuangan global.

www.kemenkeu.go.id | LAPORAN TAHUNAN 2011 | 171

KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA

Tabel 8.3.Hasil Assessment Lembaga Pemeringkat Kredit

Tahun S&P Fitch Moody’s R&I JCRA CRC

1999 CCC+ B- B3 B- - 6

2000 B- B- B3 B- - 6

2001 CCC B- B3 B- - 6

2002 CCC+ B B3 B- B 6

2003 B B+ B2 B- B 6

2004 B+ B+ B2 B B+ 6

2005 B+ BB- B2 BB- B+ 5

2006 BB- BB- B1 BB- BB- 5

2007 BB- BB- Ba3 BB+ BB 5

2008 BB- BB Ba3 BB+ BB 5

2009 BB- BB Ba2 BB+ BB+ 5

2010 BB BB+ Ba2 BB+ BBB- 4

2011 BB+ BBB- Ba1 BB+ BBB- 4

2012 BB+ BBB- Baa3 BB+ BBB- 3

Sumber: Ditjen Pengelolaan Utang

8.5.2. Kewajiban Kontinjensi

Dalam rangka mendukung percepatan pembangunan infrastruktur dan mempertimbangkan besarnya

kebutuhan dana investasi, Pemerintah memberikan dukungan berupa penjaminan kewajiban pembayaran

BUMN/BUMD kepada kreditur atas pembiayaan proyek-proyek infrastruktur dan penjaminan pembayaran

BUMN kepada investor swasta atas kewajiban-kewajiban tertentu, seperti perjanjian jual beli listrik. Kemajuan

pengelolaan pemberian penjaminan Pemerintah sampai dengan Desember 2011 mencakup berbagai program/

proyek berikut ini.

1. Fast track program I dan II yang merupakan program percepatan pembangunan pembangkit tenaga listrik

yang menggunakan batubara energi terbarukan dan gas yang dilaksanakan oleh PT. PLN (Persero).

2. Program percepatan penyediaan air minum yang dilaksanakan oleh PDAM.

3. Proyek Central Java Power Plant (CJPP) yang merupakan program kerja sama Pemerintah dengan Badan

Usaha Swasta (KPS).

Sampai dengan Desember 2011, alokasi APBN untuk penjaminan Pemerintah tidak dicairkan. Hal ini menunjukkan

bahwa pengelolaan kewajiban kontinjensi telah dilakukan dengan baik, sehingga tidak terjadi gagal bayar oleh

pihak yang dijamin.

8.5.3. Pengembangan Pasar SBN

Dalam rangka mengembangkan pasar SBN, Pemerintah telah menyusun instrumen baru dalam bentuk Project

Based SUKUK (PBS) yang dapat dilakukan dengan skema project underlying dan project #nancing. Penerbitan

PBS dengan skema project underlying telah dimulai pada tahun 2011. Di lain pihak, pelaksanaan penerbitan PBS

dengan mekanisme project #nancing sedang dalam tahap persiapan, sehingga implementasinya diharapkan

dapat dilakukan dalam waktu yang tidak terlalu lama. Proses persiapan dilakukan melalui koordinasi dengan

KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA

| LAPORAN TAHUNAN 2011 | www.kemenkeu.go.id 172

Direktorat Jenderal Anggaran dalam menyiapkan sistem penganggaran dan koordinasi dengan Badan

Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) terkait dengan identi!kasi proyek.

Selain melalui pengembangan instrumen, pengembangan pasar SBN juga dilakukan melalui pelaksanaan lelang

SBSN dengan green shoe option untuk SBSN atau Lelang SBSN Tambahan. Lelang ini merupakan lelang SBSN di

pasar perdana yang dilaksanakan pada satu hari kerja setelah lelang SBSN, dengan yield yang mengacu pada

Weighted Average Yield (WAY) yang dihasilkan pada lelang hari pertama. Dengan demikian, pada lelang SBSN

Tambahan, peserta lelang yang dapat mengikuti hanya mengajukan penawaran dalam bentuk jumlah unit yang

akan dibeli dan tidak mengajukan tingkat imbal hasil yang diinginkan. Pelaksanaan Lelang SBSN Tambahan ini

selain dilakukan untuk pengembangan pasar juga untuk memenuhi kebutuhan pembiayaan APBN dan dalam

rangka mendukung mekanisme pembentukan harga dan/atau upaya pembentukan seri benchmark. Untuk

mendukung pelaksanaannya, pada tahun 2011 telah diajukan PMK terkait yang mengatur tentang lelang green

shoe option untuk SBSN. Di samping itu, pada tahun 2011 juga dilakukan kajian atas potensi penerbitan USD

Bond di pasar domestik, mengingat adanya permintaan investor terhadap instrumen dimaksud. Agar mekanisme

ini dapat dijalankan dengan baik, masih diperlukan kajian lanjutan yang antara lain menitikberatkan pada

operasionalisasi mekanisme penerbitan.

8.5.4. Bond Stabilization Frameworks

Bond Stabilization Frameworks (BSF) merupakan langkah antisipatif yang dipersiapkan oleh Pemerintah sebagai

respon atas terjadinya krisis keuangan global. BSF merupakan kerangka kerja yang memuat langkah-langkah

strategis yang disiapkan untuk menjaga stabilitas pasar SBN yang programnya terdiri dari program jangka

pendek dan jangka menengah. Program jangka pendek meliputi pembelian SBN di pasar sekunder oleh unit-unit

di lingkungan Kementerian Keuangan dengan memanfaatkan dana yang telah dianggarkan atau dana kelolaan

lainnya, termasuk pemanfaatan dana Saldo Anggaran Lebih, dan pembelian SBN oleh BUMN terkait di bawah

koordinasi Kementerian BUMN. Sedangkan untuk mengantisipasi krisis keuangan di masa yang akan datang,

Pemerintah perlu membentuk bond stabilization fund yang akan digunakan untuk melakukan stabilisasi pasar

keuangan pada saat terjadi gejolak.

8.5.5. Instrumen Hedging (Lindung Nilai)

Dalam pengelolaan utang Pemerintah tidak bisa dihindari adanya risiko yang melekat baik risiko tingkat bunga,

nilai tukar, dan pembiayaan kembali. Untuk memitigasi risiko, maka salah satu instrumen yang dapat digunakan

adalah lindung nilai. Penggunaan instrumen ini tidak ditujukan untuk melakukan spekulasi dalam mencari

keuntungan, namun sebagai alat untuk mengendalikan risiko. Selain itu, penggunaan instrumen lindung nilai

dapat ditujukan pula untuk mewujudkan struktur portofolio yang optimal yang memiliki biaya minimal pada

tingkat risiko yang terkendali. Untuk menjaga aspek governance dan tetap memperhatikan prinsip pengelolaan

utang yang baik, diperlukan dasar operasional atas pelaksanaannya. Sehubungan dengan hal tersebut, aturan

operasional pelaksanaan instrumen lindung nilai sedang disusun dan masih perlu untuk dipertajam dan

disempurnakan, agar setelah ditetapkan dapat diimplementasikan dengan baik.

www.kemenkeu.go.id | LAPORAN TAHUNAN 2011 | 173

KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA

8.5.6. Fleksibilitas Pembiayaan Utang

Dalam situasi perekonomian dunia yang sulit diprediksi dan utang sebagai instrumen pemenuhan pembiayaan

APBN sangat dipengaruhi oleh kondisi pasar keuangan, maka diperlukan mekanisme "eksibilitas bagi Pemerintah

dalam menyediakan sumber pembiayaan. Dalam hal pasar keuangan sedang dalam kondisi bullish, maka

pemenuhan pembiayaan melalui penerbitan SBN lebih menguntungkan. Di lain pihak, pada saat pasar keuangan

sedang bearish, maka pinjaman menjadi pilihan yang dipertimbangkan. Terhitung mulai tahun 2010, mekanisme

"eksibilitas pemilihan sumber pembiayaan untuk utang tunai, yaitu antara pengadaan pinjaman program dan

penerbitan SBN, sudah diakomodasi dalam UU APBN. Namun, hal tersebut belum dapat dilakukan untuk pinjaman

kegiatan dengan SBN. Untuk itu, diperlukan suatu mekanisme yang mendukung "eksibilitas pemanfaatan

instrumen utang, khususnya dalam penggantian instrumen pinjaman kegiatan dengan penerbitan SBN atau

sebaliknya. Hal ini dilakukan agar target pembiayaan utang dapat dipenuhi dengan risiko yang terkendali pada

tingkat biaya yang wajar.

KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA

| LAPORAN TAHUNAN 2011 | www.kemenkeu.go.id 174

9.1. Arah dan Strategi Pengelolaan Kekayaan Negara

Dalam melaksanakan tugas dan fungsi Kementerian Keuangan di bidang pengelolaan kekayaan negara, Direktorat

Jenderal Kekayaan Negara (DJKN) mengemban tugas untuk mewujudkan penataan dan pengelolaan aset negara

yang tertib, akuntabel, dan transparan. Sesuai Roadmap Strategic Asset Management (Strategi Pengelolaan Barang

Milik Negara), pengelolaan kekayaan negara merupakan suatu peran yang strategis dan menjadi salah satu

indikator penting dalam pengendalian anggaran negara yang e!sien, efektif dan optimal. Hal ini sebagai upaya

mewujudkan akuntabilitas tata kelola keuangan negara dan merupakan penunjuk arah menuju manajemen aset

yang sehat dan modern (sound and modern). Sejak tahun 2007 sampai dengan 2010, DJKN telah melaksanakan

strategi pengelolaan Barang Milik Negara (BMN) mulai dari melengkapi atribut organisasi pengelola BMN,

penertiban BMN, penatausahaan BMN yang andal dan akuntabel, integrasi perencanaan penganggaran dan

perencanaan aset negara, serta optimalisasi pengelolaan aset negara.

9.2. Utilisasi Kekayaan Negara

Utilisasi kekayaan negara adalah optimalisasi pendayagunaan kekayaan negara melalui pemanfaatan, penetapan

status penggunaan, tukar menukar, dan penyertaan modal Pemerintah. Nilai kekayaan negara yang diutilisasi

diperoleh dari nilai aset yang ditetapkan utilisasinya, yaitu melalui:

1. pemanfaatan kekayaan negara yang diperoleh dari pendayagunaan BMN melalui sewa, kerja sama

pemanfaatan, bangun serah guna, bangun guna serah, dan pinjam pakai;

Pengelolaan Kekayaan Negara

09

www.kemenkeu.go.id | LAPORAN TAHUNAN 2011 | 175

KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA

2. penetapan status penggunaan yang diperoleh dari pendayagunaan kekayaan negara melalui penetapan

status penggunaan BMN karena hibah masuk, penetapan status yang berasal dari aset KKKS, aset eks

kelolaan PT. PPA dan BPPN, serta nilai BMN yang ditetapkan status penggunaannya untuk dioperasikan oleh

pihak lain dalam rangka menjalankan pelayanan umum sesuai tugas pokok dan fungsi kementerian dan

lembaga yang bersangkutan;

3. penetapan BMN sebagai underlying asset dalam rangka penerbitan Surat Berharga Syariah Negara (SBSN);

4. tukar-menukar yang diperoleh dari nilai aset baru hasil tukar-menukar; serta

5. penyertaan modal Pemerintah yang diperoleh dari konversi aset/kekayaan negara yang diutilisasi, meliputi

BMN, aset KKKS, aset kelolaan PT. PPA, dan aset eks BPPN.

Utilisasi kekayaan negara merupakan bagian dari siklus pengelolaan BMN yang meliputi perencanaan,

penganggaran, pengadaan, penggunaan, pemanfaatan, pemeliharaan, penilaian, penghapusan,

pemindahtanganan, penatausahaan, dan pengawasan/pengendalian. Semua barang yang telah dibeli

atau diperoleh secara sah pada dasarnya wajib ditetapkan status penggunaannya dan digunakan untuk

menyelenggarakan tugas dan fungsi Kementerian Negara/Lembaga (K/L). Setelah ditetapkan statusnya, BMN

tersebut dapat digunakan, dimanfaatkan, dipindahtangankan, atau dihapuskan sesuai dengan prosedur yang

telah ditetapkan.

KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA

| LAPORAN TAHUNAN 2011 | www.kemenkeu.go.id 176

9.2.1. Tujuan Utilisasi Kekayaan Negara

Tujuan dari utilisasi kekayaan negara adalah mengoptimalkan pengelolaan kekayaan negara dalam rangka

pengelolaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) secara e!sien, efektif, dan optimal. Tujuan ini

dicapai melalui:

1. penghematan anggaran untuk belanja modal dan pemeliharaan aset melalui pemanfaatan aset;

2. peningkatan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) melalui optimalisasi aset negara; serta

3. peningkatan pembiayaan dalam negeri melalui SBSN dengan aset negara sebagai underlying asset.

Kekayaan negara yang dapat diutilisasi meliputi BMN, aset eks kelolaan PT. PPA, aset eks BPPN, aset eks KKKS,

dan aset eks Pertamina. Salah satu syarat agar suatu aset dapat diutilisasi adalah aset tersebut berstatus free and

clear, dalam arti memiliki dokumen kepemilikan, tidak dalam sengketa, dan tidak dikuasai pihak lain. Dengan

demikian, proses utilisasi kekayaan negara perlu didukung dengan kesadaran K/L untuk mengelola kekayaan

negara sesuai ketentuan dengan prinsip 3T, yaitu Tertib Hukum, Tertib Administasi, dan Tertib Fisik. Dalam proses

penyelesaian permohonan utilisasi kekayaan negara masih ditemukan BMN yang belum berstatus free and clear,

sehingga menghambat proses penetapan utilisasi kekayaan negara. Untuk itu, diperlukan kerja sama dari pihak-

pihak terkait, seperti Badan Pertanahan Nasional (BPN), Pengadilan, dan K/L untuk menyelesaikan aset-aset yang

bermasalah tersebut.

9.2.2. Capaian Utilisasi Kekayaan Negara

Pada tahun 2011, kekayaan negara yang terutilisasi secara optimal mencapai Rp102,45 triliun atau 100,06 persen

dari target awal Rp102,39 triliun. Nilai ini diantaranya berasal dari:

1. penetapan BMN sebagai underlying asset (SBSN) sebesar Rp30.196.264.971.874;

2. persetujuan Penetapan Status Penggunaan (PSP) dan pemanfaatan BMN yang berasal dari K/L sebesar

Rp25.530.054.130.546,00, diantaranya berasal dari PSP kepada Kementerian Pendidikan Nasional,

Kementerian Kehutanan, Kementerian Dalam Negeri, Kejaksaan Agung, Lembaga Administrasi Negara (LAN),

Sekretariat Negara, Kementerian Riset dan Teknologi, Kementerian Kesehatan, Pusat Penelitian dan Analisis

Transaksi Keuangan (PPATK), Kementerian Keuangan, Badan Perencanaan dan Pembangunan Nasional

(BAPPENAS), Otorita Batam, Badan Pusat Statistik (BPS), Badan Narkotika Nasional (BNN), dan Komisi Yudisial;

3. pemanfaatan aset eks Pertamina sebesar Rp10,28 triliun; serta

4. penetapan status atas Bantuan Pemerintah Yang Belum Ditetapkan Statusnya (BPYBDS) sebesar Rp1,78

triliun.

Nilai utilisasi kekayaan negara mengalami peningkatan yang cukup signi!kan sejak tahun 2009 sampai dengan

2011, di samping realisasi yang selalu melampaui target. Capaian ini merupakan hasil dari kerja keras jajaran DJKN

dalam upaya “jemput bola” untuk menggali potensi utilisasi kekayaan negara dan penyelesaian permohonan

pengelolaan kekayaan negara.

www.kemenkeu.go.id | LAPORAN TAHUNAN 2011 | 177

KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA

Rp Tr

iliun

102,39 102,45

0,21

52,68

3,340

2011

Target

Realisasi

201020090

20

40

60

80

100

120

Gambar 9.1.Utilisasi Kekayaan Negara Tahun 2009-2011

Sumber: DJKN.

Selain capaian berupa nilai dalam satuan rupiah, utilisasi kekayaan negara juga berupa jumlah aset Kekayaan

Negara Lain-lain (KNL) yang dimanfaatkan. KNL yang berhasil diutilisasi sepanjang tahun 2011 adalah berikut ini.

1. Pemanfaatan 12 aset BMN atau 109 persen dari target awal sebanyak 11 aset. Aset-aset yang dimanfaatkan

berasal dari:

sewa sebagian tanah oleh Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM);

tukar-menukar aset Kementerian Kehutanan;

PSP pada Kementerian Perindustrian;

PSP pada Kementerian Perdagangan;

PSP pada Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil Menengah;

PSP pada Kejaksaan Negeri Pontianak; serta

hibah aset lain-lain (eks pro!t) kepada Pemerintah Daerah Nusa Tenggara Barat dan Bali.

2. Penetapan 389 berkas penyelesaian kekayaan negara atau 41,38 persen dari target yang ditetapkan, yang

berasal dari:

Aset Bekas Milik Asing/Cina (ABMA/C), Bea dan Cukai, Grati!kasi, Barang Rampasan, dan Barang Muatan

Kapal Tenggelam (BMKT) sebanyak 64 berkas;

eks PT. PPA dan eks BDL sebanyak 303 berkas; serta

eks BPPN sebanyak 22 berkas.

Nilai utilisasi kekayaan negara dapat mencapai target yang ditetapkan karena terdapat hasil penggalian potensi

utilisasi dan penyelesaian permohonan utilisasi kekayaan negara, serta penetapan utilisasi kekayaan negara

dengan nilai yang cukup signi!kan. Di samping itu, juga adanya dukungan dari hasil penertiban BMN dan

tindak lanjut hasil penertiban BMN yang telah dilakukan oleh K/L dengan berpedoman pada Keputusan Menteri

Keuangan Nomor 271/KMK.06/2011 tentang Pedoman Pelaksanaan Tindak Lanjut Hasil Penertiban BMN pada

Kementerian/Lembaga.

KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA

| LAPORAN TAHUNAN 2011 | www.kemenkeu.go.id 178

Hasil IP

Rp Tr

iliun

1000

800

600

400

200

0

Saldo awal IP BMN Koreksi hasilpenilaian +/-

Mutasi

Saldo akhir IP BMN

371,52 442,23

813,75

9.3. Tindak Lanjut Hasil Penertiban Barang Milik Negara

Pembenahan terhadap pengelolaan dan penatausahaan BMN dimulai sejak digulirkannya Reformasi Keuangan

Negara melalui penetapan 3 paket undang-undang di bidang keuangan negara, yaitu Undang-Undang Nomor 17

Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara,

dan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan

Negara. Namun, pembenahan yang dilakukan belum menunjukkan hasil yang optimal. Hal ini ditandai dengan

adanya temuan-temuan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) atas Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP)

Tahun 2004-2006 yang terkait dengan aset tetap, yaitu:

1. penyajian aset tetap belum dilakukan secara lengkap dan akurat, termasuk sistem dan prosedur;

2. nilai aset tetap pada neraca awal tahun 2004 belum didasarkan pada hasil inventarisasi !sik dan penilaian;

3. Laporan BMN masih dihasilkan secara manual dan tidak dilaksanakan secara berjenjang;

4. pertanggungjawaban atas penggunaan Dana Dekonsentrasi/Tugas Perbantuan belum memadai;

5. pengungkapan aset eks Bank Dalam Likuidasi (BDL), sitaan DJBC, dan ABMA/C kurang memadai; serta

6. BMN berupa tanah belum seluruhnya berserti!kat atas nama Pemerintah Republik Indonesia.

Temuan-temuan tersebut memberikan kontribusi atas opini disclaimer terhadap LKPP Tahun 2004-2006.

Berdasarkan temuan BPK dan keinginan untuk melakukan pembenahan terhadap pengelolaan dan penatausahaan

aset negara, Pemerintah telah mencanangkan Program Penertiban BMN.

Gambar 9.2.Hasil Penertiban BMN sampai dengan Semester I Tahun Anggaran 2011

Sumber: DJKN.

Penertiban BMN yang didasari oleh Keputusan Presiden Nomor 17 tahun 2007 jo. Keputusan Presiden Nomor 13

Tahun 2009 tentang Penertiban BMN mulai dilaksanakan pada akhir tahun 2007. Sampai dengan 31 Desember

2011, jumlah Satuan Kerja (Satker) yang telah melakukan koreksi hasil inventarisasi dan penilaian ke dalam neraca

sebanyak 22.781 Satker dari 22.781 Satker yang telah menyelesaikan inventarisasi dan penilaian BMN. Terjadi

kenaikan jumlah Satker, karena terdapat beberapa Satker yang baru menyelesaikan inventarisasi dan penilaian

BMN pada tahun 2011. Berdasarkan Arsip Data Komputer semester I tahun 2011 dan hasil rekonsiliasi data BMN

antara Pengguna Barang dan Pengelola Barang semester I tahun 2011, nilai hasil inventarisasi dan penilaian BMN

yang telah dilakukan koreksi ke dalam neraca K/L sebesar Rp422.001.243.861.344.

Inventarisasi dan penilaian BMN masih terus dilakukan untuk menindaklanjuti temuan BPK atas LKPP Tahun

Anggaran 2010, yaitu adanya 690 Satker yang belum dilakukan inventarisasi dan penilaian pada 8 K/L.

www.kemenkeu.go.id | LAPORAN TAHUNAN 2011 | 179

KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA

Berdasarkan data hasil inventarisasi dan penilaian sampai dengan 31 Desember 2011, diketahui bahwa telah

dilakukan inventarisasi dan penilaian BMN terhadap 686 Satker, sedangkan 4 Satker lainnya sedang dalam proses

penyelesaian. Penertiban BMN serta pemetaan dan pengkajian BMN telah mengidenti!kasi aset-aset yang masih

bermasalah yang meliputi:

1. BMN yang tidak ditemukan;

2. BMN dalam kondisi rusak berat, namun masih tercatat dalam daftar BMN;

3. BMN berupa tanah yang berada dalam penguasaan K/L, namun belum berserti!kat atas nama K/L;

4. BMN berupa tanah yang berada dalam penguasaan K/L, namun tidak didukung dengan dokumen

kepemilikan;

5. BMN dikuasai oleh pihak lain;

6. BMN dalam sengketa;

7. BMN yang dimanfaatkan oleh pihak lain dengan kompensasi, tetapi tidak sesuai dengan ketentuan;

8. BMN yang dimanfaatkan oleh pihak lain tanpa kompensasi;

9. gedung berdiri di atas tanah pihak lain atas dasar kontrak dan masa kontrak telah habis; serta

10. gedung sudah dibongkar tanpa terlebih dahulu mendapat persetujuan Menteri Keuangan.

Dari hasil kegiatan tersebut telah teridenti!kasi aset-aset bermasalah berikut ini.

1. Berdasarkan hasil identi!kasi yang dilaksanakan sampai dengan 31 Desember 2011, diketahui bahwa dari

66.971 bidang tanah milik 56 K/L, sebanyak 39.271 bidang tanah atau 58,64 persen belum berserti!kat dan

27.700 bidang tanah atau 41,36 persen sudah berserti!kat.

2. Berdasarkan pemetaan dan pengkajian BMN bermasalah tahun 2010 pada 27 K/L, diperoleh data sebagai

berikut:

60 tanah dan/atau bangunan tidak digunakan sesuai tugas dan fungsi; serta

52 tanah dan/atau bangunan masih dalam sengketa.

Mengingat masih banyaknya tanah K/L yang belum diserti!katkan, maka Menteri Keuangan bersama dengan

Kepala BPN telah menerbitkan Peraturan Bersama No. 186/PMK.06/2009 dan No. 24 Tahun 2009 tentang

Penserti!katan Barang Milik Negara Berupa Tanah. Dalam peraturan bersama tersebut ditetapkan tugas dan

tanggung jawab masing-masing pihak, yaitu Kementerian Keuangan, BPN, dan K/L. Selain itu, untuk menyelesaikan

aset-aset bermasalah telah diterbitkan KMK No. 271/KMK.06/2011 tanggal 15 Agustus 2011 tentang Pedoman

Pelaksanaan Tindak Lanjut Hasil Penertiban Barang Milik Negara pada Kementerian Negara/Lembaga. Dalam

KMK ditetapkan langkah-langkah tindak lanjut yang harus dilaksanakan guna penyelesaian aset bermasalah

dengan jangka waktu paling lambat 2 tahun terhitung sejak tanggal penetapan, kecuali menyangkut BMN dalam

penguasaan pihak lain atau dalam sengketa. Salah satu tindak lanjut untuk penyelesaian aset-aset bermasalah

adalah pelaksanaan serti!kasi BMN dalam rangka pengamanan aset-aset negara. Pihak-pihak yang terlibat dalam

pengamanan aset-aset negara sudah selayaknya berpartisipasi dan berkontribusi aktif dalam upaya serti!kasi

BMN sebagai program nasional.

KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA

| LAPORAN TAHUNAN 2011 | www.kemenkeu.go.id 180

9.4. Pengelolaan Investasi Pemerintah

9.4.1. Divestasi Newmont

Penanganan permasalahan divestasi Newmont oleh DJKN merupakan kelanjutan dari keputusan Pemerintah

melalui Menteri Keuangan untuk menggunakan hak pembelian 7 persen saham kewajiban divestasi terakhir PT.

Newmont Nusa Tenggara (PT NNT). Pembelian ini dilakukan oleh Pusat Investasi Pemerintah (PIP).

Pembelian saham divestasi PT. NNT merupakan keputusan yang sejatinya ditujukan untuk memberikan manfaat

seluas-luasnya bagi rakyat Indonesia sebagai perwujudan tujuan bernegara dalam Pembukaan UUD 1945, yaitu

“memajukan kesejahteraan umum” dan dalam rangka melaksanakan amanat Pasal 33 ayat (2) dan ayat (3) UUD

1945 mengenai penguasaan negara atas cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai

hajat hidup orang banyak dan mengenai penguasaan bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya

oleh negara untuk dipergunakan sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat. Dengan pembelian 7 persen saham

divestasi PT. NNT oleh Pemerintah Pusat, maka 51 persen saham PT. NNT merupakan kepemilikan nasional yang

mewakili semua unsur kepentingan nasional, yaitu Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, dan perusahaan swasta

nasional. Kepemilikan saham oleh beberapa unsur nasional secara bersama-sama akan menjaga kepentingan

nasional dalam pelaksanaan perusahaan ke depan.

Selain itu, Pemerintah Pusat juga ingin menjadikan pengelolaan PT. NNT sebagai contoh pengelolaan perusahaan

Penanaman Modal Asing (PMA) pertambangan yang baik, benar, taat asas, dan berkinerja prima di Indonesia,

serta memenuhi semua kewajiban kepada negara, patuh menjaga lingkungan hidup, dan memberikan manfaat

yang sebesar-besarnya pada masyarakat. Strategi ini juga sejalan dengan semakin besarnya peran Pemerintah

di negara-negara lain dalam industri pertambangan. Sepanjang tahun 2011, DJKN berperan aktif dalam

perkembangan permasalahan divestasi Newmont yang berujung pada Sengketa Kewenangan antar Lembaga

Negara (SKLN).

9.4.2. Pengambilalihan PT. Inalum

Proyek Asahan adalah kerja sama antara Pemerintah Indonesia dengan 12 investor Jepang yang tergabung dalam

konsorsium Nippon Asahan Aluminium (NAA). Kerja sama dilakukan untuk menggunakan potensi hidrolistrik

sungai Asahan sebagai pembangkit listrik guna menyokong pengembangan pabrik peleburan aluminium di

Asahan, yang kemudian dikenal sebagai PT Indonesia Asahan Aluminium (PT. Inalum). Untuk itu, telah dibangun

Pusat Listrik Tenaga Air (PLTA) Siguragura yang berdaya 292,8 MW dan PLTA Tangga yang berdaya 324,4 MW.

Kesepakatan kerja sama tersebut dituangkan dalam suatu Master Agreement (MA) untuk jangka waktu 30 tahun.

Pemerintah telah mengakhiri kerja sama dengan Jepang dalam Proyek Asahan dan berencana mengambil

alih aset PT. Inalum. Perundingan dengan pihak Jepang harus dilakukan paling lambat setahun sebelum MA

berakhir, yaitu pada Oktober 2012. Untuk itu, telah ditetapkan Keputusan Presiden Nomor 27 Tahun 2010 tanggal

1 Desember 2010 tentang Tim Perundingan Proyek Asahan dengan Menteri Perindustrian sebagai Ketua Tim

Perunding. Kementerian Keuangan yang dalam hal ini diwakili oleh DJKN turut terlibat dalam Tim Perunding

tersebut.

Sebagai persiapan perundingan, Menteri Perindustrian telah menerbitkan Keputusan No. 39/M-IND/PER/3/2011

tanggal 31 Maret 2011 tentang Kelompok Kerja Penyiapan Pengakhiran Master Agreement. Direktur KND

menjadi Ketua Sub Tim Penyiapan Pengambilalihan PT. Inalum yang bertanggung jawab sebagai koordinator

www.kemenkeu.go.id | LAPORAN TAHUNAN 2011 | 181

KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA

persiapan pengambilalihan tersebut. Dalam melaksanakan tugasnya, DJKN melakukan kerja sama dengan Badan

Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) untuk pelaksanaan audit nilai buku PT. Inalum. Selain itu, DJKN

bersama dengan Kementerian Perindustrian, Bappenas, BPKP, dan Otoritas Asahan melakukan site visit ke Pabrik

Pengolahan Aluminium PT. Inalum serta PLTA Siguragura dan Tangga.

9.5. Pelaksanaan Inventarisasi dan Penilaian Aset eks-Kontraktor Kontrak Kerja Sama

Aset Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) merupakan BMN sesuai dengan ketentuan pasal 78 Peraturan

Pemerintah Nomor 35 Tahun 2004. Disebutkan bahwa seluruh barang dan peralatan yang secara langsung

digunakan dalam Kegiatan Usaha Hulu yang dibeli Kontraktor menjadi milik/kekayaan negara, yang pembinaannya

dilakukan oleh Pemerintah dan dikelola oleh Badan Pelaksana. Selanjutnya dalam Peraturan Pemerintah Nomor

6 Tahun 2006 dinyatakan bahwa BMN adalah semua barang yang dibeli atau diperoleh atas beban APBN atau

berasal dari perolehan lainnya yang sah. BMN yang berasal dari perolehan lain yang sah antara lain meliputi

barang yang diperoleh sebagai pelaksanaan dari perjanjian/kontrak.

Terhadap aset KKKS, DJKN bersama BPKP telah melakukan inventarisasi dan penilaian dengan menggunakan

data awal sesuai laporan BP-MIGAS per 30 Desember 2010. Latar belakang inventarisasi dan penilaian aset KKKS

adalah:

1. seluruh barang dan peralatan yang diperoleh/digunakan KKKS merupakan BMN; serta

2. tindak lanjut hasil audit/temuan BPK atas LKPP Tahun 2009 terkait pengelolaan BMN yang berasal dari KKKS,

yaitu jumlah dan nilai aset KKKS tidak dapat diyakini kebenarannya.

Berkenaan dengan temuan BPK atas LKPP Tahun 2009, DJKN telah menyusun beberapa strategi penyelesaian

permasalahan, yaitu:

1. melakukan koordinasi secara intensif dengan Ditjen Perbendaharaan, BP-MIGAS, dan Ditjen MIGAS

mengenai penetapan Kebijakan Akuntansi aset KKKS, dan selanjutnya melalui PMK No. 02/PMK.05/2011

telah ditetapkan Pedoman Akuntansi dan Pelaporan Aset Berupa BMN Yang Berasal Dari KKKS;

2. bersama-sama BP-MIGAS, BPKP, dan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral melakukan inventarisasi

dan penilaian aset KKKS dengan target selesai pada 31 Desember 2011; serta

3. menetapkan saldo awal BP-MIGAS berdasarkan hasil inventarisasi dan penilaian.

Berdasarkan pemeriksaan BPK atas LKPP Tahun 2010 terkait aset KKKS, ditemukan bahwa pengendalian atas

pelaksanaan inventarisasi dan penilaian aset KKKS belum memadai. Terkait hal tersebut, BPK memberikan

rekomendasi kepada Pemerintah agar memperbaiki metode dan pengendalian atas pelaksanaan inventarisasi

dan penilaian aset KKKS yang saat ini sudah selesai dilaksanakan dan memveri!kasi hasil IP aset KKKS tersebut.

DJKN telah menyusun beberapa strategi penyelesaian permasalahan, yaitu:

1. DJKN dan DJPB telah melakukan koordinasi dengan BPKP dan BPK untuk menyelesaikan permasalahan aset

KKKS, yaitu mencatat aset KKKS dalam LKPP 2010 dan penyelesaian kegiatan inventarisasi dan penilaian BMN

yang berasal dari KKKS;

KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA

| LAPORAN TAHUNAN 2011 | www.kemenkeu.go.id 182

2. menerapkan Buletin Teknis Inventarisasi yang telah disempurnakan mengenai metode dan pengendalian

atas pelaksanaan inventarisasi dan penilaian BMN KKKS yang akan digunakan sebagai pedoman pelaksanaan

IP BMN KKKS yang belum selesai; serta

3. memveri!kasi seluruh hasil inventarisasi dan penilaian yang telah selesai dilaksanakan dan memperbaikinya

sesuai dengan hasil rekomendasi/temuan BPK.

Selain dalam rangka menindaklanjuti temuan BPK, pelaksanaan inventarisasi dan penilaian aset KKKS merupakan

salah satu langkah untuk menciptakan tertib administrasi, tertib !sik, tertib hukum, dan tertib pengelolaan BMN

yang berasal dari KKKS. Terdapat setidak-tidaknya 3 tujuan pengelolaan aset KKKS secara tertib dan akuntabel,

yaitu:

1. menurunkan cost recovery;

2. meningkatkan penerimaan negara; dan

3. meningkatkan opini BPK.

Tabel 9.1.Hasil Inventarisasi dan Penilaian BMN yang berasal dari KKKS Per 31 Desember 2011

Jumlah KKKS Hasil Inventarisasi dan Penilaian

Jumlah Aset Nilai Perolehan (USD) Nilai Wajar (Rp)

76 156.159 28.880.486.951 172.841.080.614.374

Sumber: DJKN.

9.6. Perkembangan Penyelesaian Aset Bekas Milik Asing/Cina

Berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 154/PMK.06/2011 Tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri

Keuangan Nomor 188/PMK.06/2008 Tentang Penyelesaian Aset Bekas Milik Asing/Cina, penyelesaian status

kepemilikan ABMA/C dilakukan dengan cara:

1. dimantapkan status hukumnya menjadi BMN;

2. dimantapkan status hukumnya menjadi Barang Milik Daerah (BMD);

3. dilepaskan penguasaannya dari negara kepada pihak ketiga dengan cara pembayaran kompensasi kepada

Pemerintah dengan menyetorkannya ke Kas Negara;

4. dikembalikan kepada pemilik perorangan yang sah; atau

5. dikeluarkan dari daftar ABMA/C.

Pada tahun 2011, 37 ABMA/C telah dimantapkan status hukumnya yang terdiri dari:

1. sebanyak 7 aset dimantapkan status hukumnya menjadi BMN, yaitu 5 aset digunakan oleh Tentara Nasional

Indonesia (TNI) dan 2 aset oleh Kepolisian Republik Indonesia (POLRI);

2. sebanyak 29 aset dimantapkan status hukumnya menjadi BMD, yaitu 25 aset digunakan oleh Sekolah Negeri

dan 4 aset oleh Kantor Pemerintahan; serta

3. sebanyak 1 aset dilepaskan penguasaannya dari negara kepada pihak ketiga dengan cara pembayaran

kompensasi kepada Pemerintah dengan menyetorkannya ke Kas Negara.

www.kemenkeu.go.id | LAPORAN TAHUNAN 2011 | 183

KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA

2011

37

Jum

lah

ABM

A/C

2010

20

2009

0

10

20

30

40

5

Gambar 9.3.Penyelesaian ABMA/C Tahun 2011

Sumber: DJKN.

Penyelesaian ABMA/C selama kurun 2009-2011 senantiasa meningkat setiap tahun. Jika pada tahun 2009 tercatat

hanya mampu dimantapkan 5 ABMA/C, maka pada tahun 2010 dan 2011 telah meningkat menjadi masing-

masing 20 ABMA/C dan 37 ABMA/C. Dengan demikian, penyelesaian ABMA/C sampai dengan tahun 2011 telah

mencapai 62 unit. Pada tahun 2012, diharapkan jumlah ABMA/C yang dimantapkan status hukumnya akan

semakin bertambah.

Gambar 9.4.Penyelesaian ABMA/C Tahun 2009-2011

Sumber: DJKN.

Pada tahun 2011, jumlah ABMA/C yang belum selesai berdasarkan Petunjuk Penyelesaian pada Lampiran

Peraturan Menteri Keuangan Nomor 188/PMK.06/2008 tercatat sebanyak 948 unit. Jumlah ini senantiasa menurun

jika dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya. Cara penyelesaian yang terbanyak adalah diserti!katkan

atas nama Pemerintah Daerah, kemudian disusul oleh beberapa alternatif petunjuk.

Jum

lah

Aset

05

101520253035

Status Aset

Dimantapkan sebagaiBMN

Dimantapkan sebagaiBMD

Dilepas kepadaPihak Ketiga

7

29

1

KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA

| LAPORAN TAHUNAN 2011 | www.kemenkeu.go.id 184

Tabel 9.2.Daftar ABMA/C Yang Belum Selesai Berdasarkan Petunjuk Penyelesaian pada

Lampiran Peraturan Menteri Keuangan Nomor 188/PMK.06/2008

No. Cara Penyelesaian Tahun (ABMA/C)

2008 2009 2010 2011

1. Diserti!katkan atas nama Pemerintah RI 101 100 95 88

2. Diserti!katkan atas nama Pemerintah Daerah 445 445 433 408

3. Dilepaskan kepada Pihak Ketiga dengan 234 233 231 230

Pembayaran Kompensasi

4. Ditukar 15 15 15 15

5. Hibah 1 1 1 1

6. Dikembalikan 0 0 0 0

7. Dikeluarkan 0 0 0 0

8. Beberapa Alternatif Petunjuk 133 132 131 129

9. Penelitian 81 79 79 77

Jumlah 1010 1005 985 948

Sumber: DJKN.

www.kemenkeu.go.id | LAPORAN TAHUNAN 2011 | 185

KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA

halaman ini sengaja

dikosongkan

KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA

| LAPORAN TAHUNAN 2011 | www.kemenkeu.go.id 186

www.kemenkeu.go.id | LAPORAN TAHUNAN 2011 | 187

KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA

PELAYANANMemberikan layanan yang memenuhi kepuasan pemangku kepentingan

yang dilakukan dengan sepenuh hati, transparan, cepat, akurat, dan aman

KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA

| LAPORAN TAHUNAN 2011 | www.kemenkeu.go.id 188

10.1. Kinerja Pasar Modal

10.1.1. Industri Efek

Pasar saham mengalami gejolak sepanjang tahun 2011 sebagai akibat dari krisis yang melanda negara-negara

Eropa dan Amerika Serikat. Kinerja indeks dari bursa global, termasuk Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG)

di Indonesia mengalami penurunan. Kondisi tersebut tidak berkepanjangan bagi IHSG, sehingga mampu

menarik minat investor asing dan domestik untuk kembali berinvestasi di pasar saham. IHSG pada tahun 2011

kembali mencatat prestasi sebagai indeks dengan kinerja terbaik kedua di Asia Pasi!k setelah Bursa Efek Filipina.

Pada tanggal 1 Agustus 2011, IHSG menyentuh level tertinggi selama tahun 2011, yakni pada posisi 4.193,44,

sedangkan titik terendah pada posisi 3.269,45 terjadi pada tanggal 4 Oktober 2011.

Industri Pasar Modal dan Lembaga Keuangan Non Bank

10

www.kemenkeu.go.id | LAPORAN TAHUNAN 2011 | 189

KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA

Tabel 10.1.Perkembangan Indeks Saham di Beberapa Bursa Utama di Asia Pasi#k

Bursa Utama Asia Pasi!kPosisi Indeks Saham

Desember 2010 Desember 2011 Perubahan (%)

Philippine Stock Exchange Index 4.201,14 4.371,96 4,07

IDX Composite Stock Price Index 3.703,51 3.821,99 3,20

Kuala Lumpur Stock Exchange Composite Index 1.518,91 1.530,73 0,78

Stock Exchange of Thailand Index 1.032,76 1.025,32 -0,72

KOSPI Index 2.051,00 1.825,74 -10,98

S&P/ASX 200 Index 4.745,20 4.056,56 -14,51

Straits Times Index 3.190,04 2.646,35 -17,04

Nikkei-225 Stock Exchange 10.228,92 8.455,35 -17,34

Hangseng Index 23.035,45 18.434,39 -19,97

Taiwan Stock Exhange Index 8.972,50 7.072,08 -21,18

Shanghai Stock Exchange Composite Index 2.808,08 2.199,42 -21,68

BSE Sensex 30 20.509,09 15.454,92 -24,64

Shenzen Composite Index 1.290,87 866,65 -32,86

Sumber: Bapepam-LK.

KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA

| LAPORAN TAHUNAN 2011 | www.kemenkeu.go.id 190

Seiring penguatan IHSG, nilai kapitalisasi pasar saham Bursa Efek Indonesia (BEI) mengalami peningkatan 8,94

persen, yaitu dari Rp3.247,10 triliun pada akhir tahun 2010 menjadi Rp3.537,29 triliun pada akhir tahun 2011.

Total nilai transaksi saham meningkat 4,01 persen dari Rp1.176,24 triliun di tahun 2010 menjadi Rp1.223,44 triliun

di tahun 2011. Kondisi yang sama terjadi pada nilai transaksi rata-rata harian yang meningkat dari Rp4,80 triliun

per hari menjadi Rp4,95 triliun per hari. Dari total nilai transaksi saham, sebesar 64,93 persen atau Rp794,34

triliun dilakukan oleh investor domestik, sedangkan Rp429,09 triliun atau 35,07 persen merupakan transaksi

yang dilakukan oleh investor asing. Jika dilihat dari nilai bersih transaksi saham yang dilakukan investor asing,

sepanjang tahun 2011, terjadi aliran masuk dana asing (net in"ow of foreign capital) sebesar Rp24,29 triliun.

Jumlah ini meningkat dibandingkan tahun 2010, dengan aliran masuk dana asing bernilai Rp20,98 triliun.

Prestasi IHSG selain dipengaruhi oleh faktor eksternal, juga tidak terlepas dari kebijakan strategis yang dikeluarkan

oleh Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan (Bapepam-LK). Kebijakan yang ditempuh pada tahun

2011 antara lain berupa Pengembangan Infrastruktur Pasar Modal (PIPM) yang merupakan kerja sama Bapepam-

LK dengan Self Regulatory Organizations sejak akhir 2009. Kegiatan-kegiatan yang dilakukan adalah berikut ini.

1. Pengembangan Straight Through Processing (STP) atau sistem perdagangan efek terintegrasi merupakan

sebuah sistem untuk melakukan eksekusi pesanan dan penyelesaian secara elektronik dan otomatis

tanpa intervensi proses manual. Rangkaian kegiatan pengembangan STP yang meliputi tes keseluruhan

pengembangan Risk Engine, Sistem Roll Out dan Pengujian dengan Partisipan, serta Kliring berdasarkan SID

dan Efek telah diselesaikan pada tahun 2011. Selanjutnya, STP ditargetkan dapat diterapkan pada semester

I tahun 2012.

2. Pengembangan Single Investor Identity (SID) merupakan salah satu kegiatan yang mendukung penerapan

keterbukaan aset nasabah dan implementasi STP. Hingga akhir tahun 2011, jumlah SID meningkat sangat

signi!kan, yakni mencapai 80 persen dari nasabah yang ada.

3. Pengembangan data dan informasi warehouse merupakan suatu inisiatif yang ditempuh untuk

mengintegrasikan data dan informasi yang ada pada masing-masing institusi. Pada tahun 2011, penyusunan

data model telah diselesaikan dan dilanjutkan dengan tahap pembangunan data warehouse. Kegiatan ini

akan berlanjut hingga tahun 2012.

Bapepam-LK telah melakukan pengawasan untuk mendukung pengembangan pasar modal dan sekaligus

memastikan terpenuhinya peraturan perundangan-undangan oleh pelaku pasar modal. Kegiatan yang dilakukan

pada tahun 2011 meliputi:

1. pengawasan terhadap 146 Perusahaan Efek yang memiliki izin usaha sebagai Perantara Pedagang Efek (PPE)

dan atau Penjamin Emisi Efek (PEE);

2. pemeriksaan terhadap 36 Perusahaan Efek;

3. monitoring setempat terhadap 24 Perusahaan Efek; serta

4. pemantauan transaksi perdagangan saham terhadap 445 perusahaan tercatat, 38 warrant, 314 seri obligasi

perusahaan, dan 111 seri SBN.

Dari kegiatan pengawasan ditemukan terdapat beberapa pelaku pasar modal yang belum memenuhi peraturan

perundang-undangan, sehingga mendapat sanksi.

www.kemenkeu.go.id | LAPORAN TAHUNAN 2011 | 191

KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA

10.1.2. Industri Pengelolaan Investasi

Kondisi perekonomian Indonesia semakin membaik pada tahun 2011 yang tercermin dari meningkatnya Produk

Domestik Bruto (PDB) pada triwulan III sebesar 6,5 persen dibanding triwulan III tahun 2010 (y-on-y), ditetapkannya

BI Rate sebesar 6 persen atau turun 50 basis poin, dan keputusan Moody’s untuk menaikkan peringkat kredit

Indonesia dari Ba1 menjadi Baa3. Kondisi perekonomian yang kondusif turut mendorong tumbuhnya industri

pengelolaan investasi. Total Nilai Aktiva Bersih (NAB) pada akhir tahun 2011 tercatat sebesar Rp172,09 triliun atau

meningkat 12,27 persen bila dibandingkan dengan akhir tahun 2010 sebesar Rp153,28 triliun. Perkembangan

Reksa Dana pada tahun 2011 juga terlihat dari peningkatan jumlah Unit Penyertaan (UP), yaitu dari 82,08 miliar

unit menjadi 98,98 miliar unit pada periode yang sama atau mengalami kenaikan sebesar 20,59 persen. Jumlah

rekening investor pemegang UP juga mengalami peningkatan. Pada triwulan IV, jumlah rekening pemegang UP

Reksa Dana tercatat sebanyak 476.940 rekening, meningkat 34,84 persen dibanding posisi akhir bulan Desember

tahun 2010 yang tercatat sebanyak 353.704 rekening.

Pertumbuhan industri pengelolaan investasi tidak terlepas dari kebijakan strategis yang dilakukan oleh Bapepam-

LK pada tahun 2011. Kebijakan strategis dimaksud antara lain berikut ini.

1. Pembangunan sistem e-licensing Manajer Investasi dan e-registration Reksa Dana

Dalam rangka meningkatkan pelayanan terhadap masyarakat, Bapepam-LK bersama PT. Kustodian Sentral Efek

Indonesia (KSEI) membangun sistem pelayanan perizinan kegiatan usaha sebagai Manajer Investasi dan sistem

pernyataan pendaftaran produk Reksa Dana. Sistem Perizinan Manajer Investasi merupakan sistem pelayanan

secara elekronik untuk meningkatkan e!siensi dan transpransi proses pemberian izin serta permohonan

pergantian Direksi dan Komisaris Manajer Investasi.

2. Penerbitan produk reksa dana untuk Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM)

Bapepam-LK telah mengeluarkan 2 produk investasi untuk pembiayaan UMKM, yaitu Reksa Dana Penyertaan

Terbatas Danareksa BUMN Fund 2011 Micro#nancing dan Reksa Dana Penyertaan Terbatas PNM Pembiayaan

Mikro BUMN 2011 yang diterbitkan PT Permodalan Nasional Madani (PNM). Total nilai pembiayaan adalah sebesar

Rp300 miliar dengan skema pembiayaan disalurkan melalui produk investasi Reksa Dana Penyertaan Terbatas.

3. Pengembangan Aplikasi Industri Reksa Dana (ARIA).

Untuk mengoptimalkan fungsi pengawasan terhadap industri Reksa Dana, Bapepam-LK berupaya

mengembangkan ARIA untuk memperoleh informasi mengenai APERD dan WAPERD yang mendapatkan ijin,

serta referensi mengenai produk Reksa Dana. Pada tahun 2011, Bapepam-LK telah selesai mengembangkan

sistem pelaporan ARIA yang terdiri dari:

pelaporan elektronik Pro!l Agen Penjual Efek Reksa Dana/APERD (termasuk cabang APERD dan produk

Reksa Dana yang didistribusikan oleh APERD);

pelaporan elektronik Pro!l Bank Kustodian;

pelaporan elektronik tenaga pemasar Wakil Agen Penjual Efek Reksa Dana/ WAPERD;

pelaporan elektronik pro!l investor Reksa Dana; serta

pelaporan elektronik data transaksi investor Reksa Dana.

KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA

| LAPORAN TAHUNAN 2011 | www.kemenkeu.go.id 192

Untuk mendukung pengembangan industri pengelolaan investasi dan memastikan bahwa peraturan

perundangan-undangan ditaati oleh para pelaku, maka Bapepam-LK telah melakukan serangkaian kegiatan

pengawasan pada tahun 2011.

1. evaluasi terhadap 48 Manajer Investasi; serta

2. pemeriksaan kepatuhan terhadap 26 Manajer Investasi, 17 APERD, 291 Reksa Dana, 1 KIK-EBA, 4 Bank

Kustodian, dan 1 Penasihat Investasi.

Dari kegiatan pengawasan diketahui bahwa masih terdapat beberapa pelaku yang mendapatkan sanksi, karena

belum memenuhi ketentuan-ketentuan di dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku.

10.1.3. Emiten dan Perusahaan Publik

Pada tahun 2011, terdapat 25 perusahaan yang melakukan penawaran umum perdana saham. Jumlah ini naik

4,17 persen dibandingkan tahun sebelumnya yang berjumlah 24 perusahaan. Namun, dari sisi nilai Penawaran

Umum, nilai emisi pada tahun 2011 menurun 33,25 persen dibandingkan dengan tahun 2010, yaitu dari

Rp29.512.130.725.000 menjadi Rp19.697.949.120.000. Penawaran Umum saham dengan Hak Memesan Efek

Terlebih Dahulu (HMETD) atau Right Issue juga mengalami penurunan, baik dalam hal nilai emisi maupun jumlah

emiten. Pada tahun 2011, terdapat 25 Emiten yang melakukan HMETD, turun 19,35 persen dibandingkan tahun

2010 yang berjumlah 31 Emiten. Sedangkan nilai emisi Right Issue menurun 18,24 persen dari Rp48.669.235.936.693

menjadi Rp39.790.821.731.900.

Selain melalui penawaran umum saham, terdapat alternatif lain bagi pelaku usaha untuk memperoleh dana di

Pasar Modal, yaitu Penawaran Umum Obligasi dan Sukuk. Dengan diterbitkannya Peraturan Bapepam Nomor

IX.A.15 tentang Penawaran Umum Berkelanjutan pada tanggal 30 Desember 2010, Emiten memiliki tambahan

alternatif dalam menerbitkan Obligasi, yaitu melalui Penawaran Umum Berkelanjutan. Selama tahun 2011,

terdapat 40 Penawaran Umum Obligasi dan Sukuk yang dilakukan oleh 36 Emiten. Sedangkan 9 perusahaan

melakukan Penawaran Umum Obligasi melalui Penawaran Umum Berkelanjutan.

Penawaran Umum Obligasi dan sukuk yang dilakukan tahun 2011 terdiri dari:

1. Penawaran Umum Obligasi sebanyak 29 penawaran dengan nilai Penawaran Umum sebesar

Rp30.963.000.000.000;

2. Penawaran Umum Sukuk sebanyak 1 penawaran, yaitu PT. Bank Pembangunan Daerah Sulawesi Selatan

dengan nilai Rp100.000.000.000; dan

3. Penawaran Umum Obligasi melalui Penawaran Umum Berkelanjutan dilakukan oleh 9 Emiten dengan nilai

Penawaran Umum Obligasi Berkelanjutan Tahap I sebesar Rp14.773.000.000.000 dan USD50.000.000, serta 1

Emiten yang telah melakukan Penawaran Umum Berkelanjutan Tahap II senilai USD30.000.000.

Berdasarkan Prospektus Emiten dan Perusahaan Publik yang melakukan penawaran umum di tahun 2011,

persentase terbesar dari penggunaan dana emisi adalah untuk ekspansi, yaitu 76 persen atau Rp80.754.465.416.528.

Penggunaan dana lainnya adalah untuk melakukan penyertaan pada perusahaan lain maupun pada anak

perusahaan sebesar 3 persen atau sekitar Rp3,5 triliun. Selanjutnya, penggunaan dana untuk akuisisi sebesar 6

persen atau Rp6,4 triliun, modal kerja sebesar 5 persen atau Rp5,1 triliun, restrukturisasi utang sebesar 9 persen

atau Rp9,1 triliun, dan 1 persen atau Rp1,04 untuk lainnya.

www.kemenkeu.go.id | LAPORAN TAHUNAN 2011 | 193

KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA

Tabel 10.2.Penggunaan Dana Hasil Emisi Tahun 2011

Penggunaan Dana Sektor Jasa (Rp) Sektor Riil (Rp) Total (Rp) Persentase (%)

Total Emisi 87.209.065.901.600 18,814,704,950,300 106,023,770,851,900 100

Ekspansi 69,197,270,794,330 11,555,194,622,198 80.752.465.416.528 76

Penyertaan 3,473,307,854,342 54,036,000,000 3,527,343,854,342 3

Akuisisi 6,401,163,982,732 - 6,401,163,982,732 6

Modal Kerja 3,333,655,493,436 1,809,392,402,078 5,143,047,895,514 5

Restrukturisasi Utang 3,762,728,630,000 5,396,081,926,024 9,158,810,556,024 9

Lain-Lain 1,040,939,146,761 - 1,040,939,146,761 1

Sumber: Bapepam-LK.

Bapepam-LK telah menerbitkan beberapa kebijakan strategis pada tahun 2011 untuk melaksanakan fungsi

pengaturan, pembinaan, dan pengawasan terhadap Emiten dan Perusahaan Publik. Kebijakan dimaksud antara

lain adalah pemberian kemudahan dalam penawaran umum obligasi melalui penerbitan Peraturan Bapepam-LK

Nomor IX.A.15 tentang Penawaran Umum Berkelanjutan. Penawaran umum ini merupakan kegiatan Penawaran

Umum atas Efek yang bersifat utang dan atau Sukuk yang dilakukan secara bertahap, dalam waktu tertentu

dan dalam jumlah tertentu. Emiten yang memenuhi persyaratan tertentu diberikan kemudahan dengan hanya

sekali mengajukan Pernyataan Pendaftaran untuk beberapa penerbitan Obligasi yang akan dilakukan dalam 2

tahun secara bertahap. Pada tahap kedua dan seterusnya, Emiten hanya berkewajiban menyampaikan informasi

tambahan dan dokumen pendukungnya kepada Bapepam-LK serta mengumumkan informasi tambahan

dimaksud dalam jangka waktu paling lambat 7 hari kerja sebelum dimulainya masa penawaran yang direncanakan.

Selain kemudahan dalam penerbitan obligasi, pada tahun 2011 telah dilaksanakan !nalisasi pembentukan

sistem Integrasi Data Emiten atau SIEMI (Sistem Informasi Emiten). Sistem ini mengintegrasikan data Emiten dan

Perusahaan Publik, termasuk laporan-laporan yang disampaikan, sehingga meningkatkan e!siensi dan efektivitas

pengaturan, pembinaan, dan pengawasan terhadap Emiten dan Perusahaan Publik. SIEMI mulai digunakan pada

bulan Agustus 2011 dan akan terus dikembangkan.

Untuk memastikan bahwa para Emiten dan Perusahaan Publik telah memenuhi peraturan perundang-undangan,

maka Bapepam-LK melakukan kegiatan pengawasan yang terdiri dari:

1. Penelaahan 284 Laporan Keuangan Tahunan, 334 Laporan Tahunan, 264 Laporan Keuangan Tengah Tahunan

Emiten dan Perusahaan Publik; serta

2. Pemeriksaan teknis terhadap 34 Emiten dan Perusahaan Publik.

10.2. Kinerja Industri Keuangan Non Bank

10.2.1. Industri Perasuransian

Perekonomian Indonesia menunjukkan pertumbuhan yang menggembirakan pada tahun 2011. Pendapatan

Domestik Bruto (PDB) tumbuh 6,5 persen dibandingkan tahun 2010. Selain itu, tingkat in"asi tahun 2011 berada

di angka 3,79 persen, lebih rendah 3,17 persen jika dibandingkan tingkat in"asi tahun sebelumnya (6,96 persen).

KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA

| LAPORAN TAHUNAN 2011 | www.kemenkeu.go.id 194

Kondisi ini berdampak positif terhadap perkembangan industri perasuransian, yang terlihat dari peningkatan

beberapa indikator utama, seperti total aset, investasi, dan premi bruto. Di tahun 2011, total aset perusahaan

asuransi dan reasuransi meningkat 18,84 persen dibandingkan posisi akhir tahun 2010 atau nilainya meningkat

dari Rp405,16 triliun menjadi Rp481,50 triliun. Sebesar 87,30 persen atau Rp420,35 triliun dari total aset

perusahaan asuransi dan reasuransi ditempatkan dalam berbagai instrumen investasi. Total investasi ini naik

17,93 persen dibandingkan tahun 2010 yang bernilai Rp356,45 triliun.

Dari sisi perolehan premi, selama tahun 2011, total premi yang dihimpun mengalami kenaikan 29,58 persen

dibandingkan tahun 2010, yaitu dari Rp125,07 triliun menjadi Rp162,07 triliun. Total nilai premi tersebut mencapai

2,18 persen dari PDB tahun 2011. Adapun premi per jumlah penduduk atau densitas asuransi pada periode yang

sama mencapai Rp672.497 per orang.

Perkembangan industri perasuransian tidak terlepas dari kerja keras para pelaku usaha dalam mengembangkan

industri perasuransian serta peran Bapepam-LK selaku regulator dan pengawas dalam mengeluarkan kebijakan

dan melakukan pengawasan untuk mendukung perkembangan industri perasuransian yang sehat dan mampu

melindungi kepentingan pemegang polis. Selama tahun 2011, beberapa kebijakan strategis telah diambil

Bapepam-LK untuk mengembangkan industri perasuransian, antara lain yaitu penyempurnaan aplikasi

pendukung pengawasan perasuransian, pengembangan Risk Based Supervision (RBS), dan penerapan Early

Warning System (EWS).

Sampai dengan akhir tahun 2011, terdapat 2 aplikasi yang telah selesai dibangun dan diuji coba, yaitu e-reporting

perusahaan asuransi jiwa konvensional dan e-reporting perusahaan asuransi kerugian konvensional. Selain

kedua aplikasi tersebut, juga telah selesai dibangun aplikasi e-reporting laporan perusahaan pialang asuransi dan

reasuransi, namun belum dilakukan uji coba.

Bapepam-LK juga telah menyusun modul yang menjadi pedoman umum dalam penilaian masing-masing risiko

serta kualitas manajemen dan pengendalian yang dimiliki perusahaan. Untuk menerapkan RBS secara efektif,

pada tahun 2012, Bapepam-LK akan menyusun pedoman yang lebih rinci untuk menilai risiko, menyiapkan

format standar penilaian risiko perusahaan, serta melakukan review dan penyempurnaan jenis dan format laporan

berkala yang harus disampaikan oleh perusahaan asuransi.

Pada tahun 2011, Bapepam-LK mulai menerapkan EWS dalam pengawasan kondisi keuangan perusahaan asuransi

dan reasuransi. EWS merupakan salah satu metode untuk mengidenti!kasi, mengukur, dan menilai secara dini

risiko keuangan yang dihadapi oleh perusahaan asuransi dan reasuransi. Berdasarkan hasil analisis EWS, Bapepam-

LK dapat lebih memfokuskan pembinaan pada aspek-aspek yang memerlukan pengawasan secara intensif dan

segera. Analisis EWS dilakukan oleh Bapepam-LK berdasarkan laporan reguler yang disampaikan perusahaan

asuransi, yaitu laporan keuangan dan laporan operasional, baik triwulanan maupun tahunan, serta informasi lain.

Analisis dapat pula dilakukan untuk periode yang lebih sering, misalnya secara bulanan.

Bapepam-LK telah melakukan kegiatan pengawasan terhadap perusahaan perasuransian sepanjang tahun 2011,

yaitu antara lain penilaian kemampuan dan kepatutan serta pemeriksaan 127 perusahaan perasuransian. Penilaian

kemampuan dan kepatutan dilakukan sebagai upaya agar direksi dan komisaris perusahaan perasuransian

memiliki kemampuan dan integritas yang baik dalam mengelola perusahaan, sehingga dapat melindungi

kepentingan pemegang polis. Bapepam-LK telah melakukan penilaian kemampuan dan kepatutan direksi dan

komisaris perusahaan perasuransian sebanyak 301 kali. Sejumlah 95 persen dari direktur dan komisaris, yaitu

www.kemenkeu.go.id | LAPORAN TAHUNAN 2011 | 195

KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA

285 orang, telah memiliki kemampuan dan kompetensi yang sesuai dengan kebutuhan, serta memiliki integritas

dalam mengelola perusahaan perasuransian sesuai dengan peraturan yang berlaku.

10.2.2. Industri Dana Pensiun

Industri dana pensiun berpotensi untuk berperan strategis dalam perekonomian nasional, karena dapat menjadi

salah satu sumber pendanaan jangka panjang untuk membiayai program-program pembangunan. Meskipun

dari tahun ke tahun menunjukkan tren kenaikan dalam hal jumlah kekayaan dan peserta, harus diakui bahwa

pertumbuhan industri dana pensiun di Indonesia masih belum menggembirakan. Tingkat pengetahuan dan

kesadaran masyarakat untuk mengikuti program pensiun relatif masih rendah.

Pada tahun 2011, terdapat 4 pengesahan pembentukan dana pensiun baru, yaitu 3 Dana Pensiun Pemberi Kerja

(DPPK) dan 1 Dana Pensiun Lembaga Keuangan (DPLK). Sampai dengan akhir Desember 2011, jumlah dana

pensiun di Indonesia berjumlah 270, yang terdiri atas 245 DPPK dan 25 DPLK. Sementara itu, jumlah peserta dana

pensiun mencapai 2.817.997 orang, meningkat 136.764 orang atau 5,10 persen dibandingkan tahun sebelumnya.

Namun, apabila dibandingkan dengan jumlah tenaga kerja Indonesia yang mencapai 109.670.399 orang (data

BPS Agustus 2011), hanya sekitar 2,57 persen dari jumlah tersebut yang memiliki program pensiun. Fakta ini

menunjukkan potensi yang masih sangat besar bagi industri ini untuk berkembang.

Berdasarkan data per 30 Juni 2011, total kekayaan dana pensiun mencapai Rp136,2 triliun atau meningkat

4,4 persen dari tahun sebelumnya. Dari total kekayaan dana pensiun, penempatan pada instrumen investasi

mencapai Rp130,1 triliun yang sebagian besar terserap dalam instrumen-instrumen investasi seperti Surat

Berharga Negara (SBN), obligasi, deposito, dan saham. Selain dipengaruhi oleh faktor eksternal, perkembangan

industri Dana Pensiun tidak terlepas dari kebijakan strategis yang dikeluarkan oleh Bapepam-LK. Selama tahun

2011 beberapa kebijakan strategis telah dilakukan untuk mengembangkan industri Dana Pensiun.

1. Fit and Proper

Kegiatan penilaian kemampuan dan kepatutan Dana Pensiun dimulai pada bulan Mei 2011. Sampai dengan

Desember 2011, Bapepam-LK telah melakukan penilaian kemampuan dan kepatutan terhadap 74 orang, terdiri

atas penilaian kemampuan dan kepatutan 70 calon pengurus DPPK dan 4 calon pelaksana tugas pengurus DPLK.

Sebagai penguji dalam setiap kegiatan penilaian kemampuan dan kepatutan, dibentuk tim penguji yang terdiri

dari 2 orang dari Bapepam-LK dan 1 orang yang berasal dari luar Bapepam-LK yang merupakan praktisi dan

profesional di bidang yang terkait dengan industri dana pensiun.

2. Pengembangan Data Digital Dana Pensiun (D3P)

D3P adalah suatu aplikasi yang dibuat untuk melakukan proses input data laporan berkala dari Dana Pensiun

kepada Bapepam-LK secara lebih cepat. Data yang disampaikan melalui aplikasi D3P sangat berguna untuk

analisis awal ataupun SPERIS. Demikian pula halnya dalam kegiatan pemeriksaan, data tersebut menjadi dasar

dalam membuat perencanaan kegiatan pemeriksaan. Selain itu, data yang dihasilkan oleh aplikasi D3P menjadi

sumber utama dalam proses pembuatan data statistik industri Dana Pensiun.

Dalam rangka memastikan terpenuhinya peraturan perundangan-undangan oleh perusahaan Dana Pensiun,

Bapepam-LK melakukan kegiatan pengawasan. Kegiatan pengawasan yang dilakukan oleh Bapepam-LK pada

tahun 2011 antara lain melakukan pemeriksaan terhadap 50 Dana Pensiun. Berdasarkan hasil pemeriksaan, rata-

rata nilai risiko Dana Pensiun secara kualitatif berada pada tingkat risiko sedang. Dilihat dari modul risikonya,

KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA

| LAPORAN TAHUNAN 2011 | www.kemenkeu.go.id 196

risiko yang memiliki nilai rata-rata tertinggi adalah risiko operasional dan pengelolaan kekayaan. Sedangkan

risiko yang memiliki nilai rata-rata terendah adalah risiko disain dan strategi serta iuran.

10.2.3. Industri Pembiayaan dan Penjaminan

a. Industri Pembiayaan

Sejalan dengan kondisi ekonomi makro Indonesia yang kondusif, industri pembiayaan mengalami perkembangan

positif. Aset industri Perusahaan Pembiayaan mengalami peningkatan cukup tinggi, yaitu 26,52 persen dari

Rp230,3 triliun di akhir tahun 2010 menjadi Rp291,4 triliun di akhir tahun 2011. Perkembangan positif lainnya

adalah penyaluran piutang pembiayaan yang tumbuh rata-rata 2,32 persen per bulan, sehingga nilai piutang

pembiayaan pada akhir tahun 2011 mencapai Rp245,3 triliun atau sekitar 84,18 persen dari total aset industri.

Perkembangan industri pembiayaan tersebut, selain dipengaruhi oleh kondisi ekonomi makro Indonesia, juga

tidak terlepas dari kebijakan strategis Bapepam-LK. Kebijakan strategis yang dilakukan pada tahun 2011 antara

lain mendorong perusahaan pembiayaan untuk memenuhi Rasio Permodalan minimal 50 persen. Sampai dengan

akhir 2011, terdapat 190 dari 195 perusahaan pembiayaan yang memenuhi Rasio Permodalan.

Untuk memastikan bahwa industri pembiayaan berjalan sesuai dengan ketentuan yang ada, Bapepam-LK

senantiasa melakukan kegiatan pengawasan. Kegiatan pengawasan yang dilakukan pada tahun 2011 antara lain

#t and proper test terhadap 179 calon Direksi dan calon Dewan Komisaris Perusahaan Pembiayaan, pemeriksaan 43

Perusahaan Pembiayaan, pencabutan 1 izin usaha Perusahaan Pembiayaan, dan pemberian sanksi administratif

kepada 27 Perusahaan Pembiayaan karena keterlambatan penyampaian Laporan Keuangan Audit 2010 dan 5

Perusahaan Pembiayaan karena keterlambatan penyampaian Laporan Bulanan selama 2011.

b. Industri Penjaminan

Kinerja keuangan industri Perusahaan Penjaminan pada tahun 2011 cukup baik yang dapat terlihat dari

peningkatan nilai total aset, investasi, dan ekuitas. Total aset Perusahaan Penjaminan pada Desember 2011 adalah

Rp5,09 triliun atau meningkat 63,76 persen dibandingkan dengan Desember 2010, yang tercatat sebesar Rp3,11

triliun. Sementara itu, total investasi Perusahaan Penjaminan pada Desember 2011 adalah Rp3,02 triliun atau

meningkat 91,20 persen dibandingkan dengan November 2011 yang tercatat sebesar Rp1,58 triliun. Di lain pihak,

nilai ekuitas Perusahaan Penjaminan mencapai Rp3,65 triliun atau meningkat 81,46 persen dibandingkan dengan

Desember 2010 yang tercatat sebesar Rp2,01 triliun.

Berdasarkan masukan dari berbagai stakeholders, pengembangan industri Perusahaan Penjaminan pada

tahun 2011 difokuskan pada penyesuaian ketentuan modal disetor minimum yang dianggap menghambat

pertumbuhan jumlah Perusahaan Penjaminan baru. Penyesuaian ketentuan modal dimaksud dilakukan oleh

Bapepam-LK melalui Peraturan Menteri Keuangan Nomor 99/PMK.010/2011 tentang Perubahan atas Peraturan

Menteri Keuangan Nomor 222/PMK.010/2008 tentang Perusahaan Penjaminan Kredit Dan Perusahaan

Penjaminan Ulang Kredit. Perubahan yang dilakukan meliputi:

1. modal disetor minimum Perusahaan Penjaminan dengan lingkup provinsi diturunkan dari Rp50 miliar

menjadi Rp25 miliar; dan

2. modal disetor minimum Perusahaan Penjaminan Ulang diturunkan dari Rp1 triliun menjadi Rp200 miliar.

www.kemenkeu.go.id | LAPORAN TAHUNAN 2011 | 197

KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA

Dalam rangka menjalankan fungsi pengawasan terhadap Perusahaan Penjaminan, Bapepam-LK melaksanakan

pengawasan secara tidak langsung (o$-site supervision) dan pengawasan secara langsung (on-site supervision).

Pengawasan secara tidak langsung dilaksanakan dengan monitoring dan analisis atas laporan bulanan dan

laporan keuangan tahunan yang telah diaudit yang dilaporkan secara periodik oleh Perusahaan Penjaminan.

Sedangkan pengawasan secara langsung dilakukan dengan cara melakukan pemeriksaan lapangan. Sepanjang

tahun 2011, Bapepam-LK telah melakukan pemeriksaan terhadap 4 kantor pusat Perusahaan Penjaminan dan 3

kantor cabang Perusahaan Penjaminan.

10.3. Penegakan Hukum

10.3.1. Pemeriksaan dan Penyidikan

Sepanjang tahun 2011, Bapepam-LK menangani kasus dugaan pelanggaran di bidang pasar modal dengan

modus yang sangat beragam. Seiring dengan meningkatnya kompleksitas dan kualitas pelanggaran, maka

dibutuhkan proses penegakan hukum yang lebih agresif dan komprehensif. Oleh karena itu, peningkatan

kualitas dan kuantitas pemeriksa dan penyidik di bidang pasar modal mutlak diperlukan. Saat ini, peningkatan

kualitas pemeriksa dan penyidik dilakukan secara berkelanjutan melalui serangkaian pelatihan dan pendidikan

di dalam maupun luar negeri. Dalam hal penyelenggaraan pelatihan, Bapepam-LK melakukan kerja sama dengan

beberapa pihak, seperti praktisi hukum, akuntansi, teknologi informasi, serta pihak kepolisian dan kejaksaan,

demi menunjang kelancaran proses penegakan hukum di pasar modal.

Jumlah pemeriksaan yang ditangani Bapepam-LK mengalami peningkatan dari 130 kasus di tahun 2010 menjadi

178 kasus pada tahun 2011. Dari 178 kasus tersebut, 59 kasus telah selesai dan dikenakan sanksi administratif

oleh Bapepam-LK dan/atau perintah untuk melakukan tindakan tertentu kepada pihak-pihak yang melakukan

pelanggaran, 4 kasus ditutup demi hukum karena tidak terbukti adanya pelanggaran terhadap peraturan

perundang-undangan di bidang pasar modal, 81 kasus telah selesai pada tahap proses pemeriksaan namun masih

menunggu proses pengenaan sanksi dan proses lebih lanjut, dan 34 kasus masih dalam proses pemeriksaan.

Sejumlah 81 kasus terkait transaksi dan Lembaga Efek, 78 kasus terkait Emiten atau Perusahaan Publik, dan 19

kasus terkait pelanggaran di bidang pengelolaan investasi.

Tabel 10.3.Penanganan Kasus pada Tahun 2011

Penanganan Kasus Jumlah Kasus

Kasus Selesai- Dikenakan Sanksi - Ditutup Demi Hukum

63594

Kasus Dalam Proses Pengenaan Sanksi 81

Kasus Dalam Proses Pemeriksaan 34

Jumlah 178

Sumber: Bapepam-LK.

KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA

| LAPORAN TAHUNAN 2011 | www.kemenkeu.go.id 198

10.3.2. Pengenaan Sanksi

Sebagai bagian dari upaya penegakan hukum, penetapan sanksi kepada para pelaku pelanggaran peraturan

perundang-undangan di pasar modal dan industri keuangan non bank diperlukan sebagai efek jera bagi para

pelaku pelanggaran agar tidak mengulangi perbuatannya dan sebagai bentuk peringatan bagi pihak lain agar

tidak melakukan hal yang sama. Bentuk sanksi yang ditetapkan cukup beragam, yaitu sanksi administratif berupa

denda, peringatan tertulis sampai pada pembekuan dan pencabutan izin usaha, baik kepada institusi maupun

kepada perorangan. Sebagai bentuk pertanggungjawaban kepada publik, Bapepam-LK selalu melakukan paparan

publik atas sanksi yang telah ditetapkan, khususnya terhadap kasus-kasus yang menjadi perhatian publik.

Pada industri pasar modal, di tahun 2011, Bapepam-LK telah menetapkan 321 surat Sanksi Administratif berupa

denda kepada Emiten atau Perusahaan Publik dengan total denda sebesar Rp10.653.300.000. Sanksi administratif

ini ditetapkan karena adanya beberapa pelanggaran atas ketentuan peraturan di pasar modal, baik karena

keterlambatan penyampaian laporan berkala dan laporan insidentil atau karena kasus lainnya, antara lain

pelanggaran atas transaksi material dan hak memesan efek terlebih dahulu. Sementara itu, Sanksi Administratif

berupa denda kepada PE sebagai PEE maupun PPE telah ditetapkan sebanyak 39 surat sanksi dengan total denda

sebesar Rp1.528.300.000 dan PE sebagai MI sebanyak 39 surat sanksi dengan total denda Rp465.400.000.

Tabel 10.4.Sanksi Administratif pada Industri Pasar Modal Tahun 2011

SanksiPihak

DendaPeringatan

TertulisPembatasan

UsahaPembekuan

UsahaPencabutan Izin UsahaJumlah

SuratRp

(000)

Emiten 321 10.653.300 38 - - -

Perusahaan Efek 46 1.075.400 1 - 1 11

Perantara Pedagang Efek 15 82.300 - - - -

Penjamin Emisi Efek 24 1.446.000 - - - -

Manajer Investasi 39 465.400 4 - - 2

Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian - - - - - -

Lembaga Kliring dan Penjaminan - - - - - -

Perusahaan Pemeringkat Efek 1 500 - - - -

Akuntan Publik 90 470.700 3 - 6 -

Penilai 20 74.300 - - - -

Biro Administrasi Efek 3 20.300 - - - -

Wali Amanat - - - - - -

Bank Kustodian - - 1 - - -

Wakil Perusahaan Efek - - - - 2 -

Wakil Perantara Pedagang Efek - - - - 2 2

Wakil Penjamin Emisi Efek - - - - 1 3

Wakil Manajer Investasi 1 2.800 1 - 1 3

Perorangan 4 706.600 - - - -

Jumlah 564 14.997.600 48 - 13 21

Sumber: Bapepam-LK.

www.kemenkeu.go.id | LAPORAN TAHUNAN 2011 | 199

KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA

Bapepam-LK juga memberikan sanksi kepada pihak-pihak yang memperoleh izin, persetujuan, dan pendaftaran

sebanyak 90 surat sanksi kepada Akuntan dengan jumlah denda Rp470.700.000 dan 20 surat sanksi kepada

Penilai dengan jumlah denda Rp74.300.000. Selain itu, Bapepam-LK telah menerbitkan 3 surat sanksi kepada Biro

Administrasi Efek dengan jumlah denda Rp20.300.000.

Tabel 10.5.Jumlah dan Jenis Sanksi terhadap Perusahaan Perasuransian Tahun 2011

Jenis Sanksi Jumlah Sanksi

Asuransi Jiwa

Asuransi Kerugian Reasuransi Pialang

AsuransiPialang

ReasuransiKonsultan Aktuaria

Penilai Kerugian

Pengenaan

SP I 180 33 83 1 53 8 1 1

SP I dan Terakhir 23 11 5 - 3 - 2 2

SP II 33 4 12 - 15 2 - -

SP II dan terakhir 3 1 2 - - - - -

SP III 21 2 10 - 7 2 - -

Pembatasan Kegiatan Usaha 8 2 3 - 2 1 - -

Penegasan PKU 17 5 4 - 4 - 2 2

Pencabutan Izin Usaha 9 - 3 - 5 - - 1

Jumlah sanksi per jenis perusahaan

294 58 122 1 89 13 5 6

Pencabutan

SP I 125 26 67 - 27 4 1 -

SP I dan Terakhir 7 3 3 - 1 - - -

SP II 16 4 5 - 7 - - -

SP III 13 4 2 - 7 - - -

Pembatasan Kegiatan Usaha 6 - 3 - 2 - - 1

Penegasan PKU 3 2 - - 1 - - -

Jumlah pencabutan sanksi per jenis perusahaan

170 39 80 0 45 4 1 1

Sumber: Bapepam-LK.

Sebagaimana pada industri pasar modal, dalam pembinaan dan pengawasan terhadap industri keuangan

nonbank, Bapepam-LK menemukan beberapa pelanggaran terhadap peraturan perundang-undangan. Pada

tahun 2011, Bapepam-LK menerbitkan 260 surat peringatan terhadap perusahaan perasuransian yang terdiri

dari 180 surat peringatan pertama, 23 surat peringatan pertama dan terakhir, 33 surat peringatan kedua, 3

surat peringatan kedua dan terakhir, serta 21 surat peringatan ketiga. Beberapa bentuk sanksi yang lebih tegas

berupa pembatasan kegiatan usaha dan pencabutan izin usaha juga dikenakan kepada beberapa perusahaan

perasuransian.

KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA

| LAPORAN TAHUNAN 2011 | www.kemenkeu.go.id 200

Tabel 10.6.Sanksi Administratif pada Perusahaan Pembiayaan karena

Tidak Menyampaikan Laporan Keuangan Bulanan di Tahun 2011

No. Jenis Sanksi Jumlah Perusahaan

1. Surat Peringatan Pertama 3

2. Surat Peringatan Kedua 2

3. Surat Peringatan Ketiga -

Sumber: Bapepam-LK.

Selain sanksi dalam bentuk peringatan, selama tahun 2011 Bapepam-LK juga telah mengenakan denda kepada

28 perusahaan perasuransian karena terlambat menyampaikan laporan tahunan dengan total mencapai Rp3.405

juta. Terdapat 25 Dana Pensiun yang terdiri dari 22 Dana Pensiun Pemberi Kerja dan 3 Dana Pensiun Lembaga

Keuangan yang terlambat menyampaikan laporan berkala. Atas keterlambatan tersebut, total denda yang

dikenakan kepada Dana Pensiun mencapai Rp149.514.000. Sedangkan untuk industri pembiayaan, pengenaan

sanksi diberikan dalam bentuk surat peringatan pertama, surat peringatan kedua, surat peringatan ketiga, dan

surat pembekuan kegiatan usaha.

Tabel 10.7.Sanksi Administratif pada Perusahaan Pembiayaan karena

keterlambatan Penyampaian Laporan Keuangan Audit Tahun 2010

No. Jenis Sanksi Jumlah Perusahaan

1. Surat Peringatan Pertama 20

2. Surat Peringatan Kedua 5

3. Surat Peringatan Ketiga 2

Sumber: Bapepam-LK.

Tabel 10.8.Sanksi Administratif pada Perusahaan Pembiayaan

Berdasarkan pemeriksaan Tahun 2011

No. Jenis Sanksi Jumlah Sanksi

1. Surat Peringatan Pertama 16

2. Surat Peringatan Kedua 9

3. Surat Peringatan Ketiga 6

4. Surat Pembekuan Kegiatan Usaha 1

Sumber: Bapepam-LK.

www.kemenkeu.go.id | LAPORAN TAHUNAN 2011 | 201

KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA

10.4. Regulasi

Dalam kurun waktu 4 Januari 2011 hingga 29 Desember 2011, Bapepam-LK telah menerbitkan beberapa

peraturan baru dan menyempurnakan peraturan yang telah ada.1. Penerbitan Peraturan Menteri Keuangan

No. Nomor Keputusan/Peraturan Tentang

1. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 11/PMK.010/2011 tanggal 12 Januari 2011

Kesehatan Keuangan Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi yang Menyelenggarakan Usaha dengan Prinsip Syariah

2. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 21/PMK.010/2011 tanggal 7 Februari 2011

Pengesahan Pendirian Dana Pensiun Lembaga Keuangan dan Perubahan Peraturan Dana Pensiun dari Dana Pensiun Lembaga Keuangan

3. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 79/PMK.010/2011 tanggal 12 April 2011

Kesehatan Keuangan Badan Penyelenggara Program Tabungan Hari Tua Pegawai Negeri Sipil

2. Penyempurnaan Peraturan Menteri Keuangan

No. Nomor Keputusan/Peraturan Tentang

1. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 1/PMK.010/2011 tanggal 4 Januari 2011

Perubahan Atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 74/PMK.010/2007 Tentang Penyelenggaraan Pertanggungan Asuransi pada Lini Usaha Asuransi Kendaraan Bermotor

2. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 48/PMK.010/2011 tanggal 16 Maret 2011

Perubahan atas PMK Nomor: 492/KMK/06/2004 Tentang Biaya Pengelolaan Program Jaminan Hari Tua

3. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 99/PMK.010/2011 tanggal 8 Juli 2011

Perubahan Atas PMK Nomor: 222/PMK.010/2008 tentang Perusahaan Penjaminan Kredit dan Perusahaan Penjaminan Ulang Kredit

3. Penerbitan Peraturan Baru Bapepam-LKa. Peraturan Bidang Pasar Modal

No. Nomor Keputusan/Peraturan Tentang

1. Keputusan Ketua Bapepam dan LK Nomor: Kep-395/BL/2011 tanggal 31 Mei 2011

Publikasi Laporan Keuangan Tengah Tahunan Emiten atau Perusahaan Publik

2. Keputusan Ketua Bapepam dan LK Nomor: Kep-376/BL/2011 tanggal 18 Juli 2011

Pedoman Penyiapan Rancangan Peraturan Menteri Keuangan di Lingkungan Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan

3. Keputusan Ketua Bapepam dan LK Nomor: Kep-620/BL/2011 tanggal 30 November 2011

Peraturan Nomor VIII.C.5 tentang Pedoman Penilaian dan Penyajian Laporan Penilaian Aset Tak berwujud di Pasar Modal

KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA

| LAPORAN TAHUNAN 2011 | www.kemenkeu.go.id 202

b. Peraturan Bidang Lembaga Keuangan

No. Nomor Keputusan/Peraturan Tentang

1. Peraturan Ketua Bapepam dan LK Nomor: PER-01/BL/2011 tanggal 10 Januari 2011

Pedoman Pelaksanaan Prinsip Mengenal Nasabah Bagi Perusahaan Perasuransian

2. Peraturan Ketua Bapepam dan LK Nomor: PER-02/BL/2011 tanggal 20 Januari 2011

Pedoman Pemeriksaan LPEI

3. Peraturan Ketua Bapepam dan LK Nomor: PER-03/BL/2011 tanggal 28 Februari 2011

Pedoman Penilaian Kemampuan dan Kepatutan Bagi Calon Pengurus Dana Pensiun Pemberi Kerja dan Calon Pelaksana Tugas Pengurus Dana Pensiun Lembaga Negara

4. Peraturan Ketua Bapepam dan LK Nomor: PER-04/BL/2011 tanggal 18 Maret 2011

Referensi Unsur Premi Murni Serta Unsur Biaya Administrasi dan Biaya Umum Lainnya Pada Lini Usaha Asuransi Kendaraan Bermotor Tahun 2011

5. Peraturan Ketua Bapepam dan LK Nomor: PER-05/BL/2011 tanggal 30 Maret 2011

Pedoman Pelaksanaan Prinsip Mengenal Nasabah Bagi Lembaga Pembiayaan

6. Peraturan Ketua Bapepam dan LK Nomor: PER-06/BL/2011 tanggal 29 April 2011

Bentuk dan Susunan Laporan serta Pengumuman Laporan Usaha Asuransi dan Usaha Reasuransi dengan Prinsip Syariah

7. Peraturan Ketua Bapepam dan LK Nomor: PER-07/BL/2011 tanggal 29 April 2011

Pedoman Perhitungan Jumlah Dana yang Diperlukan Untuk Mengantisipasi Risiko Kerugian Pengelolaan Dana Tabarru’ dan Perhitungan Jumlah Dana yang Harus Disediakan Perusahaan untuk Mengantisipasi Risiko Kerugian yang Mungkin Timbul dalam Penyelenggaraan Usaha Asuransi dan Usaha Reasuransi dengan Prinsip Syariah

8. Peraturan Ketua Bapepam dan LK Nomor: PER-08/BL/2011 tanggal 18 Juli 2011

Bentuk dan Tata Cara Penyampaian Laporan Hasil Pengawasan Dewan Pengawas Syariah Pada Perusahaan Asuransi atau Perusahaan Reasuransi yang Menyelenggarakan Seluruh atau Sebagian Usahanya Dengan Prinsip Syariah

9. Peraturan Ketua Bapepam dan LK Nomor: PER-09/BL/2011 tanggal 1 Desember 2011

Pedoman Penghitungan Batas Tingkat Solvabilitas Minimum Bagi Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi

www.kemenkeu.go.id | LAPORAN TAHUNAN 2011 | 203

KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA

10.5. Infrastruktur Penunjang Industri Keuangan

Dalam melaksanakan tugas dan fungsinya sebagai regulator pasar modal dan industri keuangan non bank,

Bapepam-LK memiliki infrastruktur penunjang untuk internal organisasi maupun industri. Berikut ini adalah

beberapa infrastruktur penunjang yang dikembangkan oleh Bapepam-LK selama tahun 2011.

1. Penyempurnaan Standard Operating Procedures (SOP)

Pada tahun 2011, Bapepam-LK telah melakukan 11 penyempurnaan SOP lama dan 16 usulan SOP baru. SOP

yang direvisi diantaranya adalah SOP Pemeriksaan Kepatuhan Perusahaan Efek dan SOP Kegiatan Studi/

Pengkajian. Sementara SOP baru yang akan ditetapkan sebagian besar terkait dengan Peraturan Nomor II.E.1

tentang Pedoman Penyusunan Peraturan Bapepam-LK dan Peraturan Nomor II.E.2 tentang Pedoman Penyiapan

Rancangan Peraturan Menteri Keuangan di Lingkungan Bapepam-LK.

4. Penyempurnaan Peraturan Bapepam-LK

No. Nomor Keputusan/Peraturan Tentang

1. Keputusan Ketua Bapepam dan LK Nomor: Kep-16/BL/2011 tanggal 18 Januari 2011

Peraturan Nomor VIII.B.1 tentang Pendaftaran Konsultan Hukum yang Melakukan Kegiatan di Pasar Modal

2. Keputusan Ketua Bapepam dan LK Nomor: Kep-86/BL/2011 tanggal 28 Februari 2011

Peraturan Nomor VIII.A.2 tentang independensi Akuntan yang Memberikan Jasa di Pasar Modal

3. Keputusan Ketua Bapepam dan LK Nomor: Kep-262/BL/2011 tanggal 31 Mei 2011

Peraturan Nomor IV.C.4 tentang Pedoman Pengelolaan Reksa Dana Terproteksi, Reksa Dana Dengan Penjaminan, dan Reksa Dana Indeks

4. Keputusan Ketua Bapepam dan LK Nomor: Kep-263/BL/2011 tanggal 31 Mei 2011

Peraturan Nomor IX.F.1 tentang Penawaran Tender Sukarela

5. Keputusan Ketua Bapepam dan LK Nomor: Kep-264/BL/2011 tanggal 31 Mei 2011

Peraturan Nomor IX.H.1 tentang Pengambilalihan Perusahaan Terbuka

6. Keputusan Ketua Bapepam dan LK Nomor: Kep-346/BL/2011 tanggal 31 Mei 2011

Peraturan Nomor X.K.2 tentang Penyampaian Laporan Keuangan Berkala Emiten dan Perusahaan Publik

7. Keputusan Ketua Bapepam dan LK Nomor: Kep-375/BL/2011 tanggal 18 Juli 2011

Pedoman Penyusunan Peraturan Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan

8. Keputusan Ketua Bapepam dan LK Nomor: Kep-566/BL/2011 tanggal 31 Oktober 2011

Peraturan Nomor V.D.5 tentang Pemeliharaan dan Pelaporan Modal Kerja Bersih Disesuaikan

9. Keputusan Ketua Bapepam dan LK Nomor: Kep-614/BL/2011 tanggal 28 November 2011

Peraturan Nomor IX.E.2 tentang Transaksi Material dan Perubahan Kegiatan Usaha Utama

5. Penerbitan Surat Edaran

No. Nomor Keputusan/Peraturan Tentang

1. Surat Edaran Ketua Bapepam-LK Nomor SE-03/BL/2011 tanggal 13 Juli 2011

Pedoman Penyajian dan Pengungkapan Laporan Keuangan Emiten atau Perusahaan Publik

2. Surat Edaran Nomor: SE-07/BL/2011, tanggal 31 Oktober 2011

Pedoman Penyusunan Formulir Modal Kerja Bersih Disesuaikan

KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA

| LAPORAN TAHUNAN 2011 | www.kemenkeu.go.id 204

2. Teknologi Informasi

Selama tahun 2011, Bapepam-LK melakukan beberapa pengembangan teknologi informasi.

Penerapan Sistem Informasi Manajemen Pelaporan Perusahaan Efek secara Elektronik yang telah

diujicobakan pada tahun 2011. Sistem laporan secara elektronik mempermudah Bapepam-LK dalam

mengawasi kegiatan Perusahaan Efek, terutama untuk Perantara Pedagang Efek.

Pengembangan Sistem Perizinan Elektronik (electronic licencing) Wakil Perusahaan Efek dan Profesi

Penunjang Pasar Modal.

Pengembangan Sistem Pelaporan Elektronik (electronic reporting), Perusahaan Perasuransian, Perusahaan

Pembiayaan, serta pengembangan Sistem Pelaporan Elektronik Perusahaan Efek.

Penyempurnaan dan pengembangan sistem manajemen pengaduan, sehingga masyarakat semakin

mudah menyampaikan pengaduannya dan kerahasiaannya terjamin, serta tindak lanjut dari pengaduan

tersebut dapat dimonitor lebih mudah oleh Bapepam-LK. Untuk meningkatkan pelayanan terhadap

publik, Bapepam-LK juga telah mengembangkan Sistem Aplikasi Penyediaan Informasi Publik.

Pengembangan Sistem Informasi Emiten dan Perusahaan Publik (SIEMI). Sedangkan untuk pengawasan

internal, Bapepam-LK mengembangkan Sistem Aplikasi Audit Internal dan Sistem Aplikasi Manajemen

Risiko.

Melakukan penyempurnaan sistem informasi terpadu (Portal) yang ada. Penyempurnaan yang dilakukan

terhadap Portal selama tahun 2011 antara lain sistem aplikasi kepatuhan Biro Administrasi Efek, sistem

aplikasi kepatuhan Bank Kustodian, sistem aplikasi kepatuhan Perusahaan Efek, sistem administrasi

pemeriksaan perasuransian, dan Database Penyusunan Peraturan Perundang-undangan dan Pendapat

Hukum di Bidang Pasar Modal dan Lembaga Keuangan. Untuk mempermudah dan memperlancar proses

penyidikan, Bapepam-LK mengembangkan Format Sistem Administrasi Penyidikan (FORSISMINDIK).

Dalam hal pembangunan data warehouse pasar modal, Bapepam-LK bekerja sama dengan SROs pada tahun

2011 telah melakukan analisis dan pemetaan data untuk kebutuhan perencanaan pembangunan data warehouse

industri pasar modal dan telah melaksanakan pengadaan server untuk kebutuhan implementasi data warehouse

yang pada tahun 2012 akan diujicobakan. Berkaitan dengan pelaporan Emiten dan atau Perusahaan Publik, sejak

tahun 2010, Bapepam-LK bekerja sama dengan PT. BEI mengembangkan sistem pelaporan Emiten dan Perusahaan

Publik. Nantinya, Emiten dan Perusahaan Publik dapat menyampaikan kewajiban pelaporannya secara elektronik,

sehingga Bapepam-LK menjadi lebih mudah dalam mengawasi kegiatan Emiten dan Perusahaan Publik.

www.kemenkeu.go.id | LAPORAN TAHUNAN 2011 | 205

KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA

halaman ini sengaja

dikosongkan

KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA

| LAPORAN TAHUNAN 2011 | www.kemenkeu.go.id 206

11.1. Kebijakan Hubungan dan Kerja Sama Internasional

Selain melaksanakan tugas sebagai pengelola !skal, Kementerian Keuangan juga menjalankan kebijakan

hubungan dan kerja sama internasional melalui kerja sama Multilateral, Forum G20, kerja sama Regional, kerja

sama Bilateral, dan kerja sama Kawasan ASEAN. Kementerian Keuangan senantiasa memberikan kontribusi yang

bermakna dan sekaligus mengupayakan agar Indonesia memperoleh manfaat dari setiap forum yang diikuti.

Hubungan dan kerja sama internasional dari waktu ke waktu terjalin dengan semakin kondusif dan produktif.

11.1.1. Kerja Sama Multilateral

Berlanjutnya dampak krisis keuangan Amerika Serikat dan Eropa di tahun 2011 telah mengakibatkan

melambatnya pertumbuhan ekonomi global dan regional di beberapa kawasan. Walaupun Asia, khususnya Asia

Tenggara, masih menikmati pertumbuhan ekonomi yang positif dan relatif tinggi, namun berlanjutnya sovereign

debt crisis di Eropa mengancam terciptanya perlambatan pertumbuhan ekonomi kawasan. Hal ini diperparah

dengan masih tingginya harga beberapa komoditi kunci, seperti minyak bumi, yang dapat menyebabkan in"asi

di negara-negara pengimpor. Di sisi lain, keuangan syariah meskipun lebih tahan atas krisis keuangan global,

namun tetap saja terpengaruh mengingat sistem keuangan dunia yang menyatu.

Sebagai negara yang memiliki volume perdagangan cukup besar dengan kawasan Eropa dan Amerika Serikat,

sekaligus negara yang berstatus sebagai net importer minyak bumi, kedua tekanan berpotensi menahan laju

pertumbuhan ekonomi Indonesia. Menyikapi ancaman-ancaman tersebut, Indonesia perlu melakukan langkah-

langkah proaktif di semua lini kunci. Salah satu lini yang perlu dibenahi adalah peningkatan kualitas dan

efektivitas kebijakan ekonomi nasional dalam menghadapi perkembangan perekonomian global dan risiko yang

Kerjasama Internasional

11

www.kemenkeu.go.id | LAPORAN TAHUNAN 2011 | 207

KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA

dikandungnya. Dalam rangka mempertangguh respon kebijakan, Pemerintah perlu memperkuat kerja sama dan

kolaborasi internasional, baik dalam hal surveillance ekonomi dan keuangan maupun penguatan kebijakan dan

modal.

Sebagai unit terdepan dalam mengkoordinasikan dan menggalang kerja sama multilateral di bidang kebijakan

!skal, Kementerian Keuangan c.q. Badan Kebijakan Fiskal (BKF) memiliki tanggung jawab moral untuk melakukan

penguatan kapasitas, jaringan kerja, dan kerja sama dengan lembaga-lembaga keuangan multilateral, seperti

International Monetary Fund (IMF), World Bank, Asian Development Bank (ADB), dan Islamic Development Bank

(IDB). Kerja sama yang dibangun tidak terbatas pada bidang keuangan, namun dapat lebih luas dalam hal riset,

studi, kajian, dan bahkan uji coba konsep dan standar kebijakan, seperti yang dilakukan dengan Organization

for Economic Cooperation and Development (OECD). Untuk menopang upaya-upaya peningkatan kerja sama ini,

selama tahun 2011 telah dilakukan kegiatan-kegiatan yang bersifat rutin, operasional, dan khusus.

a. Kegiatan Rutin dan Operasional

Sepanjang tahun 2011 telah dilakukan serangkaian penatakelolaan kerja sama dengan berbagai organisasi dan

lembaga keuangan internasional.

1. Penatakelolaan ijin prinsip bagi investasi lembaga keuangan internasional (LKI) swasta maupun Pemerintah,

di mana proses pemberian ijin prinsip diupayakan untuk mengarahkan perilaku lembaga investor pada

investasi-investasi yang berdampak signi!kan secara ekonomi.

KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA

| LAPORAN TAHUNAN 2011 | www.kemenkeu.go.id 208

2. Penatakelolaan iuran, kontribusi, dan penanaman modal Pemerintah pada LKI. Diupayakan untuk mengelola

iuran dan menambah modal yang dapat dipertanggungjawabkan secara hukum.

3. Pengurusan dan persiapan keikutsertaan delegasi Republik Indonesia (RI) pada sidang-sidang internasional

yang diselenggarakan oleh LKI serta organisasi dan forum internasional lainnya. Diupayakan agar partisipasi

dan kontribusi delegasi RI dapat lebih efektif.

4. Pengurusan dan persiapan kunjungan pejabat lembaga-lembaga keuangan multilateral ke Indonesia.

5. Pengurusan administrasi pegawai Kementerian Keuangan pada lembaga keuangan internasional sesuai

dengan ketentuan kepegawaian yang berlaku, seperti dengan Keputusan Menteri untuk tingkat Sekretaris

Eksekutif dan Keputusan Presiden untuk tingkat Direktur Eksekutif, serta pengurusan pensiun pegawai yang

diperbantukan pada lembaga keuangan internasional.

6. Penentuan kebijakan manajerial, seperti pemilihan Presiden ADB untuk periode berikutnya dan penentuan

remunerasi baru bagi Presiden, Direktur, dan Direktur Alternatif. Kegiatan utama yang telah dilakukan

adalah proses voting Presiden ADB pada bulan Juni 2011 dengan memilih kembali Presiden Kuroda dan

proses voting atas remunerasi Dewan Direktur. Selain itu, memantau pengurusan atas Keputusan Presiden

RI tentang Direktur Eksekutif dan perpanjangan penugasan Sekretaris Eksekutif ADB. Di samping itu, telah

diterbitkan no objection letter (NOL) atas pergantian Country Director ADB Indonesia Resident Mission (IRM)

dan pemberitahuan kepada Presiden IDB bahwa #eld representative telah pensiun sebagai Pegawai Negeri

Sipil (PNS) Kementerian Keuangan RI. Telah pula diproses NOL kepada ADB atas pembiayaan kepada sektor

swasta serta usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) di Indonesia.

7. Pengembangan SDM Indonesia melalui penawaran Program S3 dan Post Doctoral di bidang high tech atas

biaya IDB, serta Program IDB Prize dalam keuangan syariah dan ilmu pengetahuan dan teknologi kepada

instansi-intansi terkait, universitas-universitas, dan asosiasi keilmuan. Di samping itu, telah diproses usulan

penerima IDB Prize di bidang peranan wanita pada pembangunan dari Indonesia.

b. Kegiatan Khusus

Selama tahun 2011 juga telah dilakukan beberapa kegiatan khusus berupa penelitian, pengkajian, dan telaahan

isu-isu di lingkup lembaga keuangan internasional dan lembaga multilateral lainnya. Penelitian dan pengkajian

dilakukan dalam rangka mencari penyelesaian terhadap berbagai isu yang dibahas pada lembaga keuangan

multilateral dan juga untuk mengoptimalkan sistem dan jaringan kerja sama internasional yang telah ada.

Berbagai instansi Pemerintah di dalam dan luar negeri menjadi obyek penelitian, di mana hasil penelitian berupa

temuan model win-win cooperation di antara Pemerintah Singapura dan World Bank. Kerja sama dilakukan dalam

bentuk sharing of resources di antara Pemerintah Singapura dan World Bank untuk mendukung berbagai hal

terkait investasi dan pembiayaan infrastruktur. Pengkajian dilakukan untuk melihat potensi peningkatan kerja

sama teknis non-keuangan di antara Kementerian Keuangan dan World Bank. Topik penelitian ini dipilih untuk

merespon arah kebijakan jangka panjang Pemerintah yang secara bertahap akan mengurangi pinjaman luar

negeri dan mentransformasikan loan based cooperation menjadi non-loan based cooperation.

Kementerian Keuangan bekerja sama dengan IDB dan Lembaga Pengembangan Kepemimpinan Global

menyelenggarakan kursus regional mengenai asuransi syariah (takaful) di Jakarta pada tanggal 10-14 Oktober

2011. Selain itu, Kementerian Keuangan bekerja sama dengan IDB, Kamar Dagang dan Industri Indonesia (Kadin),

dan Bank Indonesia menyelenggarakan lokakarya dengan tema Optimalisasi Akses Pendanaan Sektor Swasta

Indonesia atas Sumber Dana Islamic Development Bank Group pada tanggal 15 November 2011 di Jakarta. Telah

pula diselenggarakan focused group discussion (FGD) bekerja sama dengan Universitas Islam Negeri (UIN) Maulana

www.kemenkeu.go.id | LAPORAN TAHUNAN 2011 | 209

KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA

Malik Ibrahim Malang dengan tema Optimalisasi Fungsi Kelembagaan Universitas dalam rangka Pengembangan

Ekonomi dan Keuangan Syariah di Indonesia pada tanggal 3 November 2011 di Malang, Jawa Timur.

Kementerian Keuangan juga telah menyelenggarakan IDB Group Day pada tanggal 11 Mei 2011 di Jakarta. Acara

ini mempromosikan kegiatan-kegiatan IDB Group (Islamic Research and Training Institute/IRTI, ICIEC, ICD, dan ITFC)

kepada Indonesia, khususnya sektor swasta. Pada acara ini juga diluncurkan Member Country Partnership Strategy

(MCPS) IDB-Indonesia, yaitu cetak biru strategi kemitraan IDB di Indonesia untuk periode 2011-2014. Di samping

itu, dilakukan kegiatan tripartit dengan pihak lain dalam penyelenggaraan kursus regional mengenai asuransi

syariah (takaful).

c. Rangkaian Sidang Tahunan Dewan Gubernur ADB Ke-44 Tahun 2011

Rangkaian pertemuan diselenggarakan pada tanggal 3-6 Mei 2011 di Hanoi, Vietnam. Menteri Keuangan

RI mengetuai Delegasi RI yang terdiri dari Kementerian Keuangan, Kementerian Luar Negeri, Kementerian

Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas, dan Bank Indonesia. Pada rangkaian pertemuan ini

diselenggarakan pula ASEAN+3 Finance Ministers’ Meeting pada tanggal 2 Mei 2011, di mana Menteri Keuangan

RI menjadi Co-chair. Dalam Governor’s Speech yang disampaikan Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/

Ketua Bappenas, Indonesia mengangkat isu ekonomi global, perubahan iklim, perdagangan dan infrastruktur,

bencana alam di Asia yang rentan, dan reformasi tata kelola lembaga keuangan internasional sesuai hasil G20.

Dalam penutup acara, Presiden ADB menerima masukan-masukan dari para Gubernur, yang dirangkum menjadi

isu harga pangan dan minyak, pencapaian sasaran Millennium Development Goals (MDG) dan ketimpangan

pembangunan, pembangunan ramah lingkungan, dan kontribusi Asia atas ekonomi dunia yang dijabarkan

mulai dari tingkat negara, kawasan, dan global. Untuk kawasan Asia Pasi!k, ADB akan memperkuat kantor

perwakilannya untuk bekerja sama dengan Pemerintah masing-masing negara dan meningkatkan modal melalui

Asian Development Fund (ADF) X dan General Capital Increase (GCI) V untuk mencapai Strategi 2020 dan membantu

pembangunan negara anggota.

d. Rangkaian Sidang Tahunan Dewan Gubernur IDB Ke-36 Tahun 1432H

Rangkaian sidang tahunan yang seharusnya diselenggarakan di Sana’a, Yaman dipindahkan ke Jeddah, Arab

Saudi, karena pergolakan politik. Pertemuan-pertemuan yang diselenggarakan adalah Sidang Tahunan Dewan

Gubernur IDB Ke-36, Sidang Tahunan Dewan Gubernur Islamic Corporation for the Insurance of Investment and

Export Credit (ICIEC) Ke-18, Sidang Tahunan Dewan Gubernur Islamic Solidarity Fund for Development (ISDF) Ke-

4, Sidang Umum Islamic Corporation for the Development of the Private Sector (ICD) Ke-11, dan Sidang Umum

International Islamic Trade Finance Corporation (ITFC) Ke-6. Delegasi RI pada rangkaian pertemuan ini dipimpin

oleh Kepala BKF dan terdiri dari Kementerian Keuangan, Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/

Bappenas, dan Bank Indonesia. Indonesia mengangkat isu tekanan in"asi atas harga komoditas, perlunya jaring

pengaman keuangan syariah global, pujian kepada IDB atas reformasi yang telah dilakukan, dan mobilitas arus

modal.

11.1.2. Forum G20

Krisis !nansial yang berkepanjangan di Amerika Serikat telah mulai memberikan dampak pada kestabilan

perekonomian di negara lain yang memiliki keterkaitan ekonomi secara langsung maupun tidak langsung

dengan negara tersebut, tidak terkecuali Indonesia. Collapse-nya beberapa institusi keuangan utama di Amerika

Serikat dan beberapa negara Eropa memperburuk sentimen negatif dan masalah kepercayaan pemegang modal

KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA

| LAPORAN TAHUNAN 2011 | www.kemenkeu.go.id 210

terhadap pasar keuangan. Akibatnya, terjadi penarikan dana besar-besaran dari pasar saham, obligasi, dan

institusi perbankan yang mengakibatkan krisis likuidasi global. Pasar keuangan di Indonesia pun sempat terpukul

akibat penarikan dana oleh investor asing yang mengakibatkan indeks saham terkoreksi cukup dalam.

Krisis di bidang keuangan juga memberikan dampak negatif pada sektor rill. Hal ini dapat dilihat dari turunnya

pertumbuhan ekonomi Indonesia. Salah satu penyebabnya adalah turunnya permintaan dari negara-negara

tujuan ekspor yang memicu penurunan nilai ekspor Indonesia dan negara pengekspor lainnya. Selain itu,

sentimen negatif pasar juga mempengaruhi stabilitas nilai tukar mata uang di Eropa dan Asia, khususnya Rupiah

yang sempat terdepresiasi.

Karena permasalahan yang dihadapi bersifat lintas negara, maka diperlukan langkah-langkah terkoordinasi dan

policy sharing dengan negara-negara mitra utama dalam pengambilan kebijakan tersinergi untuk mengatasi krisis

yang bersifat khusus dan di luar agenda rutin. Selain itu, mengingat volatilitas perekonomian, di mana perubahan

dapat berlangsung sangat cepat, diperlukan inisiatif dalam keadaan emergency untuk mencegah kemungkinan

terjadinya krisis keuangan di Indonesia. Inisiatif antara lain ditempuh melalui koordinasi diplomasi ekonomi dan

keuangan dalam forum lembaga keuangan multilateral dan regional untuk menjajaki kemungkinan pemberian

pinjaman co-#nancing maupun stand-by loan.

Berikut ini adalah beberapa kegiatan/pertemuan/workshop Forum G20, di mana Kementerian Keuangan hadir

dan terlibat.

1. Workshop G20 mengenai Komoditas pada tanggal 19-20 Mei 2011 di Buenos Aires, Argentina

Workshop ini membahas 5 isu besar yang terkait dengan volatilitas harga komoditas, yaitu: (i) identi!kasi

faktor-faktor utama penyebab volatilitas harga komoditas; (ii) pandangan negara-negara yang berbeda

dalam menyikapi pengaruh !nansialisasi; (iii) pasar komoditas, di mana pada umumnya sepakat mengenai

dibutuhkannya transparansi pasar; (iv) rekomendasi-rekomendasi untuk mengatasi volatilitas harga komoditas

energi; (v) kendala-kendala dalam mengakses komoditas pangan yang berujung pada ketahanan pangan; serta

(vi) rekomendasi-rekomendasi untuk mengatasi tantangan kebijakan publik dan koodinasi internasional.

2. G20 Framework Working Group for MAP and International Monetary System pada tanggal 20 – 21 Juni 2011 di

Paris, Perancis

Pertemuan teknis ini merupakan tindak lanjut dari IMF setelah melakukan preliminary assessment terhadap

submisi Mutual Assessment Process (MAP) negara-negara G20. IMF memproyeksi global outlook pada Juni 2011

yang antara lain bersisi pertumbuhan ekonomi yang melambat, tekanan in"asi di emerging markets, submisi

indikator ekonomi makro G20 yang pesimis, dan pertumbuhan ekonomi yang terpusat di negara berkembang.

Beberapa kendala teknis dalam assessment antara lain perbedaan hasil proyeksi yang dihasilkan oleh beberapa

negara G20 dengan IFIs (IMF dan World Bank) yang kemudian ditentukan berdasarkan konsensus.

3. Study Group on Commodity dan G20 Seminar on Fossil Fuel Price Volatility pada tanggal 27-28 Juni 2011 di Paris,

Perancis

Pertemuan ini adalah tatap muka terakhir sebelum draft laporan !nal studi disampaikan pada pertemuan G20

Deputi pada tanggal 9 dan 10 Juli 2011. Sebagai sesi tatap muka terakhir, dibahas beberapa hal penting seperti:

(i) masalah distorsi suplai komoditi dan penyebabnya; (ii) kebijakan Pemerintah yang berkontribusi terhadap

www.kemenkeu.go.id | LAPORAN TAHUNAN 2011 | 211

KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA

volatilitas harga komoditi; (iii) peran pelaku pasar komoditi dalam mempengaruhi volatilitas harga komoditas;

serta (iv) inisiatif bersama yang dapat dilakukan dalam mengatasi volatilitas harga komoditas.

4. Pertemuan G20 Finance and Central Deputies pada tanggal 9-10 Juli 2011 di Paris, Perancis

Pertemuan ini dimaksudkan untuk mencari dukungan dari para Deputi terkait kelanjutan pembahasan agenda

sepanjang Presidensi Perancis tahun 2011. Agenda yang dibahas adalah global economy, mutual assessment

process, international monetary system, #nancial regulation, dan commodities. Terkait laporan review IMF tentang

global economy, beberapa Deputi meminta agar IMF berupaya untuk mengumpulkan data dan mengkon!rmasi

otoritas terkait di negara yang di-review agar menggambarkan perkembangan yang lebih akurat, baik yang terkait

dengan dampak negatif maupun positif dari perkembangan ekonomi global. Sedangkan terkait MAP/Framework,

beberapa negara mengharapkan agar pelaksanaannya dapat lebih dikontrol oleh negara anggota G20 dan bukan

oleh lembaga-lembaga internasional.

Perihal masalah International Monetary System, para Deputi tetap sepakat untuk terus membahas masalah Capital

Flow Management (CFM) dan Global Liquidity Management (GLM) sebagai bagian dari International Monetary

System. Namun, penekanan akan diberikan pada pelaksanaan regional initiatives, seperti yang telah dilakukan di

beberapa kawasan. Mengenai isu commodities, negara anggota G20 sepakat bahwa diperlukan regulasi sampai

batas tertentu untuk komoditas-komoditas spesi!k, seperti energi dan makanan.

5. Pertemuan Sherpa G20 pada tanggal 21 - 22 Juli 2011 di Paris, Perancis

Agenda pertemuan difokuskan pada pembahasan mengenai situasi terkini ekonomi global dan respon kebijakan

G20 melalui MAP untuk mencapai sasaran Framework for Strong, Sustainable, and Balanced Growth (FSSBG), serta

progress terkini dari reformasi sektor keuangan. Dalam pembahasan MAP, para Sherpa sepakat bahwa proses

MAP dari FSSBG merupakan inti dari program kerja G20 dan proses tersebut akan menentukan keberhasilan

KTT Cannes. G20 harus menghindari persepsi publik mengenai kegagalan proses MAP. Tantangan yang dihadapi

adalah memperkuat proses MAP agar dapat menghasilkan sesuatu yang konkrit, termasuk mengatasi risiko

jangka pendek.

Sherpa juga memandang bahwa 7 negara yang diidenti!kasi sebagai sistemik memiliki tanggung jawab

dan beban kepemimpinan atas kebijakan domestiknya agar tidak berdampak negatif pada ekonomi global.

Dalam pertemuan ini, belum terdapat kesepakatan mengenai cara menyeimbangkan isu rebalancing dengan

strengthening global growth.

Dalam pembahasan reformasi sektor keuangan, para Sherpa membahas perlunya menjaga ekspektasi pasar

terhadap time line dan hasil implementasi komitmen di sektor keuangan. Khususnya mengingat bahwa terdapat

kecenderungan persepsi negatif dari pasar terhadap realita pelaksanaan komitmen mengenai pasar OTC

Derivative, Basel III, dan kompensasi manajer sektor keuangan. Disadari bahwa G20 belum memiliki mekanisme

otoritas untuk memonitor dan meningkatkan transparansi pelaksanaan kesepakatan, khususnya di antara

lembaga keuangan besar di negara G20 untuk menjaga level of playing #eld.

6. G20 Reform of the International Monetary System: Global Liquidity Management and Capital Flow Management

Subgroups pada tanggal 2 September 2011 di Paris, Perancis

Pertemuan teknis ini membahas 2 agenda pokok, yaitu: (i) Global Liquidity Management, termasuk draft report ke

G20 Leaders terkait kesepakatan masalah likuiditas global dan Global Financial Safety Net; serta (ii) Capital Flow

KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA

| LAPORAN TAHUNAN 2011 | www.kemenkeu.go.id 212

Management yang diantaranya menekankan pada pembahasan kebijakan masing-masing negara terkait aliran

modal internasional dan usulan untuk negara G20 secara bertahap menuju full capital account liberalization.

Pertemuan ini menghasilkan G20 Coherent Conclusions for the Management of Capital Flows Drawing on Country

Experiences.

7. G20 Framework Working Group Meeting pada tanggal 7 September 2011, di Paris, Perancis

Pertemuan teknis ini membahas 4 agenda pokok, yaitu: (i) laporan IMF dan World Bank mengenai proyeksi

pertumbuhan ekonomi global (MAP basecase projection) serta opini dari UNCTAD dan WTO mengenai faktor-

faktor yang mempengaruhi ekonomi global; (ii) laporan IMF terkait external sustainability assessment terhadap

7 negara sistemik G20 serta tanggapan dari ke-7 negara terhadap laporan tersebut; (iii) proposal Korea Selatan

terkait G20 Accountability Report sebagai sarana “keeping track” terhadap implementasi komitmen G20 dan opini

IMF dan OECD, serta; (iv) proposal Chair Working Group (Canada dan India) terkait Action Plan Cannes Summit 2011

mengenai isu Framework G20.

8. G20 Conference on Commodity Price Volatility dan G20 Fossil Fuel Workshop pada tanggal 12-14 September

2011 di Istanbul, Turki

Dalam pertemuan Commodity Price Volatility, agenda konferensi tidak ditujukan pada identi!kasi faktor-faktor

penyebab volatilitas harga sebagaimana telah dirumuskan dalam Study Group on Commodity. Namun, lebih

ditujukan pada pemaparan pengalaman negara dan rekomendasi guna memberikan pilihan-pilihan kebijakan

dengan memperhatikan country-speci#c circumstances, implikasi terhadap kondisi kestabilan makroekonomi

(harga dan in"asi), serta perkembangan kondisi global, seperti harga minyak dunia, isu-isu kesejahteraan

(poverty), dan perubahan iklim.

Peserta diskusi sepakat bahwa koordinasi global tetap dibutuhkan dalam mengakselerasi output/hasil dari

kebijakan-kebijakan untuk mengatasi volatilitas harga komoditas. Sebagaimana diskusi-diskusi sebelumnya

dalam Study Group on Commodities, belum ditemukan kesatuan pendapat dalam menentukan korelasi antara

aktivitas !nansialisasi komoditas dengan volatilitas harga komoditas. Namun, terdapat kesepahaman umum

tentang pentingnya transparansi pasar melalui pertukaran informasi dan koordinasi global, sehingga inisiatif ini

dianggap perlu mendapat prioritas dalam agenda pembahasan G20.

Pertemuan Fossil Fuel Subsidy bertujuan membantu para pembuat kebijakan pada negara G20 untuk memperoleh

referensi dalam pelaksanaan strategi rasionalisasi dan penghapusan subsidi bahan bakar fosil yang tidak e!sien.

Pemaparan dan diskusi diarahkan pada pengalaman implementasi reformasi subsidi serta tantangan-tantangan

politik, ekonomi, dan sosial dalam proses reformasi tersebut. Dalam pertemuan ini, Indonesia menjadi chairman

dalam 2 dari 4 sesi yang diagendakan. Indonesia juga menjadi pembicara dalam sesi Options for Subsidy Policy

Reforms yang membahas strategi implementasi penghapusan subsidi bahan bakar fosil. Indonesia memaparkan

strategi gradual dalam penghapusan subsidi terhadap bahan bakar minyak (BBM) sebagaimana telah diatur

dalam ESDM Roadmap. Keberhasilan program konversi Kerosene ke LPG disampaikan, termasuk kendala-kendala

domestik dan internasional yang merintangi kelancaran proses reformasi subsidi BBM. Sebagai kompensasi dari

pengurangan subsidi BBM, Indonesia menyampaikan program-program mitigasi yang ditujukan bagi masyarakat

low income, seperti pengadaan fasilitas umum, diantaranya pendidikan dan kesehatan, beberapa stimulus !skal,

dan bantuan langsung tunai (BLT).

www.kemenkeu.go.id | LAPORAN TAHUNAN 2011 | 213

KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA

9. Pertemuan The G20 Finance Ministers and Central Bank Governors (back-to-back meeting with IMF-World Bank

Annual Meeting) pada tanggal 22 September 2011 di Washington, D.C., Amerika Serikat

Pertemuan ini membahas dan meninjau perkembangan terakhir ekonomi global dengan menitikberatkan

pada situasi terkini di Eropa dan Amerika Serikat. Dalam pembahasan Framework (FSSBG), Menteri Keuangan

dan Gubernur Bank Sentral G20 menyetujui rencana aksi yang lebih ambisius dalam Pertemuan Tingkat Menteri

di Paris untuk diajukan pada KTT Cannes di November 2011. Rencana aksi ini menjadi bagian dari pemenuhan

dalam pembahasan framework yang dikenal dengan updating MAP, di mana semua anggota G20 diminta untuk

menyerahkan kebijakan konkrit jangka pendek yang mendukung tujuan dari framework.

Pada pertemuan berikutnya, para Menteri Keuangan G20 diharapkan membuat komitmen atas beberapa isu,

seperti indikator likuiditas global, penilaian ulang FCL dan PCL dari IMF, kriteria komposisi mata uang SDR,

pengembangan obligasi mata uang pasar lokal (LCBM), serta hubungan antara Global Financial Safety Net (GFSN)

dan Regional Financial Arrangement (RFA). Para menteri juga diharapkan menyetujui G20 Coherent Conclusions for

the Management of Capital Flows Drawing on Country Experiences yang telah dielaborasi oleh kelompok kerja IMS

dalam rangka membantu mengatasi tantangan yang ditimbulkan oleh arus modal yang besar dan volatile.

10. Pertemuan The G20 Joint Finance Ministers and Development Ministers Meeting pada tanggal 23 September

2011 di Washington, D.C., Amerika Serikat

Pertemuan ini membahas dan menilai kemajuan langkah-langkah Seoul Action Plan of the G20 Leaders on

Development dengan memprioritaskan pembahasan pada isu infrastruktur dan ketahanan pangan. Para Menteri

Keuangan dan Menteri Bidang Pembangunan G20 telah merilis komunike untuk memenuhi komitmen Pemimpin

Negara G20 yang disahkan di Seoul tahun lalu, terutama untuk memfokuskan kinerja pada bidang ketahanan

pangan dan infrastruktur. Terkait inisiatif untuk meningkatkan akses ke sumber pembiayaan infrastruktur,

terdapat perbedaan pandangan terkait prioritas wilayah. Negara maju menginginkan agar prioritas diberikan

kepada sub-saharan africa, namun Indonesia menginginkan agar semua kawasan menjadi prioritas.

11. Pertemuan G20 Finance Ministers and Central Bank Governors Meeting pada tanggal 14–15 Oktober 2011 di

Paris, Perancis

Pertemuan dilaksanakan di tengah proyeksi outlook perekonomian global yang cenderung memburuk akibat

semakin menurunnya kepercayaan pasar terhadap kemampuan Eropa mengatasi krisis. Para Menteri Keuangan

dan Gubernur Bank Sentral G20 sepakat mengenai pentingnya memberi sinyal ke pasar bahwa Forum G20

memiliki kapasitas yang cukup untuk mengatasi kekhawatiran likuiditas. G20 juga sepakat melakukan upaya-

upaya mempertahankan stabilitas sistem perbankan dan pasar keuangan, termasuk dengan menjaga likuiditas

dan mendorong pertumbuhan ekonomi. Selain itu, para Menteri G20 juga menyepakati beberapa langkah

strategis untuk menciptakan sistem moneter internasional yang lebih stabil dan kuat.

Sebagai tindak lanjut, para Menteri Keuangan dan Gubernur Bank Sentral G20 telah merumuskan draft Cannes

Action Plan yang berisikan rekomendasi kebijakan yang diluncurkan para kepala negara pada KTT Cannes.

Dalam draft tersebut, Indonesia mendapatkan pengakuan dari G20 sebagai negara yang memiliki ketahanan

!skal yang kuat dan diharapkan dapat memberikan kontribusi positif bagi ekonomi global, termasuk dengan

terus melaksanakan instrumen !skal dalam rangka memperkuat pertumbuhan ekonomi domestik dengan tetap

memperhatikan kesinambungan !skal jangka panjang.

KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA

| LAPORAN TAHUNAN 2011 | www.kemenkeu.go.id 214

12. Pertemuan Kepala Negara (KTT) G20 tanggal 3-4 November 2011 di Cannes, Perancis

Pertemuan ini dilangsungkan di tengah tekanan publik yang kuat terhadap G20 untuk menghasilkan kesepakatan

berupa respon jangka pendek untuk membantu kawasan Eropa mengatasi krisis dan menenangkan kondisi

pasar. Presiden RI secara tegas menyampaikan pandangannya kepada pemimpin G20 bahwa upaya stabilisasi

jangka pendek perlu dilakukan tanpa melupakan komitmen yang telah dibuat sebelumnya untuk membangun

fundamental jangka panjang yang menekankan pada penciptaan lapangan pekerjaan dan social inclusion.

Terkait isu kenaikan modal IMF dalam rangka pembahasan pembangunan #rewall di kawasan Eropa, posisi

Indonesia adalah mendorong dibentuknya kerangka peraturan/persyaratan dan rencana reformasi kebijakan yang

jelas bagi negara-negara Eropa, sehingga sumber daya IMF dapat dipergunakan secara e!sien dan efektif untuk

meningkatkan kepercayaan pasar. Sementara untuk sumber pendanaan, Indonesia menegaskan bahwa negara-

negara Eropa harus menjadi core bagi penambahan sumber daya IMF dan proses ini tidak boleh mempengaruhi

proses reformasi IMF yang mengupayakan peningkatan suara bagi negara berkembang di lembaga tersebut.

KTT Cannes berhasil menyepakati komitmen negara G20 terkait kebijakan jangka pendek untuk menjaga

pertumbuhan global dengan tetap membangun fundamental ekonomi jangka panjang, sebagaimana tertuang

dalam Communiqué, Cannes Declaration, dan Cannes Action Plan. Dalam action plan tersebut, Indonesia diakui

sebagai negara yang memiliki ketahanan !skal yang kuat, termasuk apabila situasi ekonomi global semakin

memburuk. Indonesia juga diakui sebagai negara yang sedang melakukan phasing-out subsidi BBM secara

berkala dengan memperhatikan dampak bagi masyarakat miskin, serta diakui sebagai negara yang memiliki

framework untuk mempercepat pembangunan infrastruktur.

13. Menghadiri G20 Deputies Meeting: Current Challenges for Global Economic Growth pada tanggal 12-13

Desember 2011 di Mexico City, Meksiko

Pertemuan ini merupakan pertemuan pertama #nance track pada awal Presidensi Meksiko dalam rangka

mendapatkan masukan untuk usulan agenda pembahasan G20 selama tahun 2012. Secara umum, para deputi

masih memperdebatkan penanganan krisis utang Pemerintah di Eropa. Dalam pembahasan juga disepakati

pelaksanaan beberapa hasil Cannes sebagaimana diamanatkan oleh para kepala negara, yaitu terkait dengan

Framework, Financial regulations, Development issues, serta commodity and energy.

Meksiko selaku tuan rumah mengangkat tema promoting growth, khususnya peningkatan pembahasan isu green

growth dan climate changes dari sisi mobilisasi pembiayaan dan kebijakan Pemerintah. Namun, para deputi

sepakat untuk tidak membahas isu teknis perubahan iklim dan menekankan pada penciptaan green economy

sebagai salah satu pendukung growth di masa mendatang.

14. Pertemuan Sherpa G-20 pada tanggal 13-14 Desember 2011 di Cancun, Meksiko

Dalam pertemuan ini, para Sherpa merespon isu kondisi ekonomi global. Indonesia mewakili ASEAN

menyampaikan kondisi kawasan yang berpotensi mengalami dampak spillover krisis global. Selain itu, disampaikan

pula upaya ASEAN untuk mengatasinya melalui berbagai inisiatif, seperti memperkuat skema CMIM tidak hanya

dalam hal penanganan krisis, namun juga pencegahan krisis, serta menggandakan sumber daya CMIM. Hal

lainnya adalah inisiatif pengembangan local currency bond market sebagai implementasi Action Plan G20, serta

upaya mendorong Yuan China secara bertahap sebagai alternatif alat transaksi utama di kawasan dalam rangka

mengurangi vulnerabilities akibat ketergantungan terhadap dolar AS.

www.kemenkeu.go.id | LAPORAN TAHUNAN 2011 | 215

KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA

Para Sherpa juga membahas upaya formalisasi forum Troika dalam rangka meningkatkan efektivitas G20,

diantaranya adalah perlu membatasi meluasnya agenda yang dibahas, termasuk usulan moratorium agenda,

fungsi Troika untuk menjaga kesinambungan pembahasan antarpresidensi, dan mekanisme pemagangan.

15. G20 High Level Roundtable : From Cannes 2011 to Los Cabos 2012 pada tanggal 20 Desember 2011 di Jakarta

Pertemuan tingkat pejabat tinggi ini ditujukan sebagai sarana diseminasi informasi mengenai hasil-hasil

pertemuan dan perkembangan isu-isu G20 selama keketuaan (chairmanship) Perancis. Dalam pertemuan ini,

wakil Meksiko mengemukakan rencana dan agenda pertemuan G20 sepanjang tahun 2012, di mana Meksiko

berperan sebagai chairman. Dipaparkan pula perkembangan ekonomi global terkini, khususnya menyangkut

krisis keuangan yang melanda negara-negara Eropa.

11.1.3. ASEAN Chairmanship 2011

Indonesia menjadi tuan rumah rangkaian pertemuan ASEAN pada tahun 2011. Keputusan tersebut ditetapkan

pada pertemuan para Kepala Negara ASEAN ke-16 di Vietnam. Penetapan ini dua tahun lebih awal dari seharusnya,

yaitu pada tahun 2013, mengingat pada tahun tersebut Indonesia akan memegang Chairmanship Asia-Pasi#c

Economic Cooperation (APEC). Sebagai Ketua, Indonesia memimpin setiap pertemuan ASEAN yang diadakan di

sepanjang Tahun 2011.

Pertemuan ASEAN yang telah diselenggarakan oleh Kementerian Keuangan c.q. BKF selama tahun 2011 adalah:

1. empat pertemuan tingkat Menteri Keuangan;

2. satu pertemuan tingkat Deputi; dan

3. tujuh pertemuan tingkat Kelompok Kerja.

Manfaat sebagai Ketua ASEAN adalah Indonesia mempunyai kesempatan untuk:

1. mengajukan topik dan inisiatif baru dalam kerja sama ASEAN;

2. memasukkan isu-isu strategis nasional, khususnya isu-isu keuangan dan ekonomi, ke dalam Forum ASEAN

dan forum internasional lainnya;

3. memperkuat kerja sama di antara otoritas keuangan Indonesia dengan otoritas keuangan di ASEAN dan

internasional;

4. menjadi media untuk menegaskan kembali kepemimpinan Indonesia di kawasan ASEAN; serta

5. memperkenalkan produk, jasa, dan budaya Indonesia kepada komunitas ASEAN dan internasional.

Sedangkan target yang dicapai dalam rangkaian pertemuan ASEAN pada tahun 2011 adalah:

1. ditandatanganinya Protocol to Implement the Fifth Package of Commitments on Financial Services under the

ASEAN Framework Agreement of Services (AFAS);

2. disepakatinya daftar pre-agreed "exibilities atas sub sektor yang akan diliberalisasi pada tahun 2015;

3. diselesaikannya the Combined Study on Assesing Financial Landscape and Milestone towards Monetary and

Financial Integration in ASEAN;

4. penandatanganan Shareholders’ Agreement of the ASEAN Infrastructure Fund (AIF) guna mendanai

pengembangan infrastruktur di kawasan ASEAN;

5. pembentukan AIMO menggantikan MFSO guna memperkuat kapasitas monitoring kawasan dalam proses

integrasi ekonomi kawasan;

KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA

| LAPORAN TAHUNAN 2011 | www.kemenkeu.go.id 216

6. pembentukan AFT yang bertugas untuk menyusun platform untuk mendukung proses dialog negara-

negara anggota terkait isu-isu perpajakan dalam rangka proses integrasi kawasan. AFT juga diharapkan

dapat memperkuat kerja sama perpajakan;

7. kesepakatan mengenai pemilihan Direktur ASEAN+3 Macroeconomic Reasearch O!ce (AMRO) pertama;

8. kesepakatan untuk mulai berlaku efektifnya Kantor AMRO di Singapura;

9. kesepakatan untuk mengembangkan Chiang Mai Initiative Multilateralization (CMIM) sebagai resolution dan

crisis prevention;

10. terpilihnya Chief Executive O!cer (CEO) dan Companies Registration O!ce (CRO) sebagai kelengkapan struktur

organisasi Credit Guarantee and Investment Facility (CGIF), di mana Business Plan CGIF mulai beroperasi pada

Semester II Tahun 2012;

11. disepakatinya usulan Indonesia menjadi salah satu topic Reaserch Group 2011/2012, yakni pentingnya kajian

tentang “Dealing with Commodity Price Volatility”;

12. diterimanya kandidat Indonesia untuk posisi Senior Economist di Kantor AMRO;

13. kesepakatan mengenai pentingnya kajian mengenai potensi kerja sama kawasan di masa depan yang terkait

dengan 3 isu, yaitu: (i) disaster management and disaster risk reduction; (ii) infrastructure #nancing; dan (iii)

using local currency for intra regional trade, di mana Indonesia menjadi salah satu co-leading country untuk

kajian mengenai infrastruktur dan penggunaan mata uang domestik; serta

14. kesepakatan mengenai pentingnya kajian mengenai pengembangan kerangka kerja ABMI.

11.1.4. Kerja Sama Teknik Luar Negeri

Kegiatan-kegiatan Kerja Sama Teknik Luar Negeri (KTLN) secara garis besar terdiri atas:

1. pengurusan pencalonan dan/atau keberangkatan pegawai Kementerian Keuangan ke luar negeri dalam

rangka mengikuti program degree maupun non-degree yang sebagian atau seluruhnya dibiayai dengan

hibah (grant) dari sponsor;

2. pengurusan peta tenaga ahli asing (experts), baik untuk jangka pendek (short term) maupun jangka panjang

(long term) yang ditempatkan pada dan/atau ditugaskan untuk kepentingan Kementerian Keuangan;

3. pengelolaan bantuan teknik luar negeri dari sponsor; serta

4. pengkoordinasian kunjungan misi asing.

Pengurusan pencalonan dan keberangkatan pegawai ke luar negeri meliputi proses permintaan kepada unit-unit

terkait di lingkungan Kementerian Keuangan dan penerusannya kepada Sekretariat Negara dan pihak sponsor

luar negeri. Selain itu, juga pengurusan Surat Persetujuan dari Sekretariat Negara, pengurusan permohonan

rekomendasi visa kepada Direktorat Konsuler, Kementerian Luar Negeri, pengurusan visa ke Kedutaan Besar

terkait di Jakarta, dan pengaturan acara penandatanganan perjanjian bagi pegawai yang akan melanjutkan studi

di luar negeri.

Selama tahun 2011, telah diproses keberangkatan 512 pegawai Kementerian Keuangan ke luar negeri yang terdiri

atas 83 peserta program degree (73 program S2 dan 10 program S3) dan 429 peserta program non-degree. Unit

eselon I yang paling banyak mengirimkan pegawainya untuk mengikuti program degree secara berturut-turut

adalah BKF (28 orang), DJP (22 orang), dan Ditjen PBN (14 orang). Sedangkan untuk program non degree, unit

eselon I yang paling banyak mengirimkan pegawainya untuk program pembangunan kapasitas adalah Bapepam-

LK, DJBC, dan BKF.

www.kemenkeu.go.id | LAPORAN TAHUNAN 2011 | 217

KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA

Australia adalah negara tujuan utama, yaitu mencapai 134 orang (program degree 54 orang dan non degree 80

orang), kemudian Jepang 59 orang (program degree 9 orang dan non degree 50 orang), Amerika Serikat 53 orang

(program degree 12 orang dan non degree 41 orang), Belanda 28 orang (program degree 3 orang dan non degree

25 orang), dan Korea Selatan 79 orang untuk program non degree. Sementara itu, sponsor untuk program degree

yang paling banyak adalah ADS/ALA Australia 52 orang, diikuti USAID Amerika Serikat 12 orang, dan Stuned

Belanda 3 orang. Jumlah peserta program degree pada tahun 2011 mengalami kenaikan 22 orang (36,06 persen)

dibandingkan tahun 2010 sejumlah 61 orang. Sedangkan peserta program non-degree menurun 79 orang (15,5

persen) dibanding tahun 2010, yaitu dari 508 orang menjadi 429 orang.

11.2. Kerja Sama Internasional di Bidang Perpajakan

11.2.1. Kerja Sama Bilateral

a. Pembentukan Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda

Beberapa perundingan Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda (P3B) dengan negara mitra yang dilaksanakan

pada tahun 2011 meliputi:

1. perundingan putaran kedua P3B Indonesia-Laos yang diselenggarakan di Bali pada tanggal 9-10 Februari

2011;

2. renegosiasi putaran kedua P3B Indonesia-India yang diselenggarakan di New Delhi pada tanggal 28-29 April

2011;

3. perundingan P3B Indonesia-Belanda terkait Protokol Perubahan yang diselenggarakan di London pada

tanggal 28-29 Mei 2011;

4. perundingan penjajakan renegosiasi P3B Indonesia-Australia (Informal Meeting) yang diselenggarakan di

Jakarta pada tanggal 7-9 September 2011;

5. renegosiasi P3B Indonesia-Korea Selatan yang diselenggarakan di Seoul pada tanggal 28-30 September

2011;

6. renegosiasi P3B Indonesia-Malaysia terkait pasal mengenai Exchange of Information (EOI) yang dilakukan via

korespondensi dan diparaf di Paris pada tanggal 19 September 2011 dan telah ditandatangani di Lombok

pada tanggal 20 Oktober 2011; serta

7. renegosiasi putaran pertama P3B Indonesia-Jerman yang diselenggarakan di Jakarta pada tanggal 12-16

Desember 2011.

Selama tahun 2011, DJP juga mengajukan proses rati!kasi P3B dengan pembuatan Peraturan Presiden atas

pembentukan P3B dengan negara-negara berikut ini.

1. Zimbabwe, atas P3B yang ditandatangani pada tanggal 30 Mei 2001.

2. Kroasia, atas P3B yang ditandatangani pada tanggal 15 Februari 2002.

3. Suriname, atas P3B yang ditandatangani pada tanggal 14 Oktober 2003.

4. Armenia, atas P3B yang ditandatangani pada tanggal 13 Oktober 2005.

5. Maroko, atas P3B yang ditandatangani pada tanggal 8 Juni 2008.

6. Papua Nugini, atas P3B yang ditandatangani pada tanggal 12 Maret 2010.

7. Hongkong, atas P3B yang ditandatangani pada tanggal 23 Maret 2010.

8. Serbia, atas P3B yang ditandatangani pada tanggal 28 Februari 2011.

KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA

| LAPORAN TAHUNAN 2011 | www.kemenkeu.go.id 218

Adapun P3B Indonesia-Laos dan Indonesia-Tajikistan telah selesai proses negosiasinya, namun pada tahun 2011

belum diajukan rati!kasi. Sampai dengan akhir tahun 2011, Indonesia memiliki 60 P3B dengan negara mitra yang

berlaku efektif.

Tabel 11.1.Daftar Jaringan Tax Treaty/ Negara Mitra P3B yang Berlaku Efektif

No. Negara Mitra P3B Tanggal Berlaku Efektif No. Negara Mitra P3B Tanggal Berlaku Efektif

1 Aljazair 1 Januari 2001 31 Norwegia 1 Januari 1991

2 Australia 1 Juli 1993 32 Pakistan 1 Januari 1991

3 Austria 1 Januari 1989 33 Filipina 1 Januari 1983

4 Bangladesh 1 Januari 2007 34 Polandia 1 Januari 1994

5 BelgiaRenegosiasi

1 Januari 19751 Januari 2002 35 Portugal 1 Januari 2008

6 Brunei Darussalam 1 Januari 2003 36 Qatar 1 Januari 2008

7 Bulgaria 1 Januari 1993 37 Rumania 1 Januari 2000

8 KanadaRenegosiasi

1 Januari 19801 Januari 1999 38 Rusia 1 Januari 2003

9 Republik Rakyat Cina 1 Januari 2004 39 Saudi Arabia 1 Januari 1989

10 Republik Ceko 1 Januari 1997 40 Seychelles 1 Januari 2001

11 Denmark 1 Januari 1987 41 Singapura 1 Januari 1992

12 Mesir 1 Januari 2003 42 Slowakia 1 Januari 2002

13 Finlandia 1 Januari 1990 43 Afrika Selatan 1 Januari 1999

14 Perancis 1 Januari 1981 44 Spanyol 1 Januari 2000

15

JermanJerman BaratJerman TimurJerman Bersatu

1 Januari 19761 Januari 19881 Januari 1992

45 Srilanka 1 Januari 1995

16 Hungaria 1 Januari 1994 46 Sudan 1 Januari 2001

17 India 1 Januari 1988 47 Swedia 1 Januari 1990

18 Iran 1 Januari 2011 48 SwisRenegosiasi

1 Januari 19901 Januari 2010

19 Italia 1 Januari 1996 49 Suriah 1 Januari 1999

20 Jepang 1 Januari 1983 50 Taiwan 1 Januari 1996

21 Yordania 1 Januari 1999 51 ThailandRenegosiasi

1 Januari 19831 Januari 2004

22 Korea Utara 1 Januari 2005 52 Tunisia 1 Januari 1994

23 Korea Selatan 1 Januari 1990 53 Turki 1 Januari 2001

24 Kuwait 1 Januari 1999 54 U.A.E 1 Januari 2000

25 Luksemburg 1 Januari 1995 55 Ukraina 1 Januari 1999

26 Malaysia 1 Januari 19931 September 2010 56 Inggris

Renegosiasi1 Januari 19761 Januari 1995

27 Meksiko 1 Januari 2005 57 Amerika SerikatRenegosiasi

1 Februari 19911 Februari 1997

28 Mongolia 1 Januari 2001 58 Uzbekistan 1 Januari 1999

29BelandaProtokol PerubahanRenegosiasi II

1 Januari 19711 Juni 1994

1 Januari 200459 Venezuela 1 Januari 2001

30 Selandia Baru 1 Januari 1989 60 Vietnam 1 Januari 2000

Sumber: DJP.

www.kemenkeu.go.id | LAPORAN TAHUNAN 2011 | 219

KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA

b. Penyelenggaraan Tata Cara Persetujuan Bersama (Mutual Agreement Procedure/MAP)

Penyelenggaraan Tata Cara Persetujuan Bersama (Mutual Agreement Procedure/MAP) antara DJP dengan negara

mitra P3B yang dilaksanakan selama tahun 2011 adalah:

1. MAP dengan Internal Revenue Service (IRS) Amerika Serikat pada tanggal 5-7 Juli 2011 di Washington D.C.,

Amerika Serikat;

2. MAP dengan National Tax Service (NTS) Korea Selatan pada tanggal 27 September 2011 di Seoul, Korea

Selatan;

3. MAP dengan National Tax Agency (NTA) Jepang pada tanggal 30 November hingga 1 Desember 2011 di

Jakarta; dan

4. MAP dengan National Tax Service (NTS) Korea Selatan pada tanggal 22-23 Desember 2011 di Jakarta.

c. Persetujuan dan Pelaksanaan Pertukaran Informasi Perpajakan

Dalam rangka pembentukan TIEA dengan negara bukan mitra P3B (non tax treaty) yang dikategorikan oleh OECD

sebagai cooperative jurisdictions, sepanjang tahun 2011, DJP telah melaksanakan penandatangan TIEA di antara

Indonesia dengan beberapa negara/jurisdiksi yaitu:

1. Jersey, ditandatangani di Kantor Kementerian Guernsey pada tanggal 27 April 2011;

2. Guernsey, ditandatangani di Kantor Kementerian Guernsey pada tanggal 27 April 2011;

3. Isle of Man, ditandatangani di Kedutaan Besar RI di London pada tanggal 22 Juni 2011; dan

4. Bermuda, ditandatangani di Kedutaan Besar RI di London pada tanggal 22 Juni 2011.

Atas keempat TIEA, DJP telah mengajukan proses rati!kasinya di tahun yang sama. Sementara itu, TIEA yang

sampai dengan akhir 2011 masih dalam proses penandatanganan adalah:

1. TIEA Indonesia-Costa Rica;

2. TIEA Indonesia-Cayman Islands;

3. TIEA Indonesia-Bahama; dan

4. TIEA Indonesia-San Marino.

11.2.2. Partisipasi dalam Forum Internasional

DJP berpartisipasi dalam kerja sama internasional selama tahun 2011, baik berupa kegiatan seminar, konferensi,

maupun forum.

1. Peserta Peer Review Seminar Global Forum on Transparency and Exchange of Information pada tanggal 15-17

Maret 2011 di Canberra, Australia.

2. Peserta pada acara Meeting of the Advisory Group for Cooperation with Non-OECD Economic pada tanggal 28-

30 Maret 2011 di Livingstone, Zambia.

3. Peserta Global Forum on Transparency and EoI for Tax Purposes pada tanggal 31 Mei hingga 1 Juni 2011 di

Bermuda.

4. Peserta pada acara The 5th International Financial Reporting Standards (IFRS) Regional Policy Forum &

International Seminar pada tanggal 23-24 Mei 2011 di Denpasar, Bali.

5. Narasumber pada Seminar Tax, Regulation and Investment Opportunities in Indonesia pada tanggal 1 Juni

2011 di Bangkok, Thailand.

6. Pembicara pada The National Tax Conference 2011 pada tanggal 19-20 Juli 2011 di Kuala Lumpur, Malaysia.

KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA

| LAPORAN TAHUNAN 2011 | www.kemenkeu.go.id 220

7. Peserta pada The 13th SGATAR Working Level Meeting pada tanggal 5-8 September 2011 di Macao SAR, China.

8. Peserta ATAIC’s 8th Technical Conference pada tanggal 1-5 Oktober 2011 di Arab Saudi.

9. Peserta 4th Meeting of the Global Forum on Transparency and EoI for Tax Purposes pada tanggal 25-26 Oktober

2011 di Paris, Perancis.

10. Peserta Multilateral Convention on Mutual Administrative Assistance in Tax Matters pada tanggal 3-4 November

2011 di Cannes, Perancis.

11. Narasumber pada EY’s Tax Symposium pada tanggal 15-17 November 2011, di Singapura.

12. Peserta 41st SGATAR Meeting pada tanggal 21-25 November 2011 di Kinabalu, Malaysia.

13. Peserta 4th International Tax Dialogue Global Conference on Tax and Inequality pada tanggal 7-9 Desember

2011, di India.

11.3. Kerja Sama Internasional di Bidang Kepabeanan dan Cukai

Hubungan kepabeanan internasional dalam bentuk kerja sama bilateral, regional, maupun multilateral pada

tahun 2011 mencakup kerja sama bilateral, regional, dan multilateral.

11.3.1. Kerja Sama Bilateral

1. Kerja sama Indonesia-Jepang

Kerja sama Indonesia-Jepang secara bilateral dalam bentuk Indonesia-Jepang Economic Partnership Agreement (IJ-

EPA), kerja sama teknis kepabeanan dengan Japan Customs and Tari$ Bureau (JCTB), dan High Level Consultation

for Investment Promotion for Metropolitan Priority Areas (MPA).

2. Kerja sama Indonesia-Malaysia

Kerja sama Indonesia Malaysia dalam bentuk bilateral meeting dengan Royal Malaysian Customs Department

(RMCD), Patroli Koordinasi Kastam Indonesia-Malaysia (PATKOR KASTIMA), dan General Border Committee Malaysia-

Indonesia (GBC MALINDO).

3. Kerja sama Indonesia-Singapura

Kerja sama Indonesia-Singapura dalam bentuk pertemuan rutin tahunan di bawah koordinasi Direktorat

Penindakan dan Penyidikan dengan Central Narcotics Bureau (CNB) dan pembentukan Joint Working Group (JWG)

Indonesia-Singapore.

4. Kerja sama Indonesia-Korea Selatan

Kerja sama Indonesia Korea dalam bentuk kerjasama DJBC dengan Korean Customs Service (KCS) dalam rangka

mempererat kerjasama dalam penegakan hukum, pertukaran informasi, dan pengalaman.

5. Kerjasama Indonesia Indonesia-Amerika Serikat

Kerjasama dengan Amerika Serikat diwujudkan dalam bentuk hibah peralatan untuk menunjang fungsi

pengawasan serta bentuk kerjasama lainnya, seperti tukar-menukar informasi, workshop, dan lain sebagainya.

6. Kerjasama Indonesia-Belanda

Kerjasama Indonesia-Belanda dalam bentuk amandemen terhadap perjanjian Mutual Administrative Assistance

for the Proper Application of Customs Law and for the Prevention, Investigation and Combating of Customs O$ences

www.kemenkeu.go.id | LAPORAN TAHUNAN 2011 | 221

KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA

terkait dengan perubahan struktur kerajaan Belanda. Saat ini counter draft telah dikirimkan ke Kedubes Belanda

melalui surat Nomor S-1079/BC/2011 tanggal 26 Oktober 2011 yang menyebutkan bahwa pada dasarnya DJBC

tidak keberatan atas adanya amandemen tersebut.

7. Kerjasama bilateral dengan India, Iran, Pakistan, Kuwait, Meksiko, Turki, Australia, Timor Leste, dan Papua

Nugini.

11.3.2. Kerjasama Regional

1. Kerjasama pabean dalam lingkup ASEAN

Kerjasama dalam lingkup ASEAN dilaksanakan dalam bentuk ASEAN Directors-General of Customs (ASEAN DGs of

Customs) Meeting yang merupakan forum tertinggi kerjasama administrasi pabean ASEAN, beranggotakan para

pimpinan masing-masing administrasi pabean negara anggota ASEAN. Pada the 20th ASEAN Directors-General of

Customs Meeting di Nya Pyi Taw, Myanmar pada bulan Juni 2011, seluruh pimpinan administrasi pabean negara

anggota ASEAN telah melakukan endorsement atas draft ASEAN Agreement on Customs (AAC).

2. Kerjasama dalam lingkup APEC

Kerjasama dalam lingkup APEC dilaksanakan dalam forum Sub Committee on Customs Procedures (SCCP), APEC

Collective Action Plan (CAP).

3. Kerjasama dalam lingkup ASEM dan Sub – Regional

Kerjasama ini diwujudkan dalam bentuk forum kerjasama administrasi pabean ASEM adalah ASEM Customs DG -

Commissioner Meeting yang bertemu sekali dalam 2 tahun dan ASEM Customs Working Group (AWC). Di samping

itu, masalah-masalah kepabean secara umum juga dibicarakan dalam pertemuan-pertemuan seperti ASEM

Finance Minister Meeting (FnMM), ASEM Economic Minister Meeting (EMM), dan ASEM Senior O!cial Meeting on

Trade and Investment (SOMTI).

4. Kerjasama dalam lingkup BIMP-EAGA

Forum kerjasama administrasi pabean Brunei Darussalam, Indonesia, Malaysia, The Philippines-Eastern ASEAN

Growth Area (BIMP-EAGA), di mana saat ini negara yang tergabung dalam BIMP-EAGA melakukan !nalisasi dan

persiapan penandatanganan “Memorandum of Understanding between the Governments of Brunei Darussalam,

Indonesia, Malayasia and the Philippines for the Simpli#cation, Streamlining and Harmonization of Customs,

Immigration, Quarantine and Security Procedures for the East ASEAN Growth Area (EAGA)” (MoU CIQS BIMP-EAGA).

11.3.3. Kerjasama Multilateral

Kerjasama multilateral yang dilaksanakan oleh DJBC adalah kerjasama dalam wadah Word Customs Organization

(WCO) serta Negotiating Group on Trade Facilitation (NGTF). Perundingan NGTF sejak akhir tahun 2010 hingga

pertengahan tahun 2011 menghasilkan draft Consolidated Negotiating Text yang lebih komprehensif dan

menampung aspirasi banyak negara anggota. Sidang Reguler terakhir NGTF yang dilaksanakan pada tanggal

7-11 November 2011 membahas secara komprehensif draft Consolidated Negotiating Text TN/TF/W/165/Rev.11.

Sidang regular tersebut merupakan sidang terakhir sebelum dilaksanakannya Konferensi Tingkat Menteri (KTM)

pada tanggal 15-17 Desember 2011.

KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA

| LAPORAN TAHUNAN 2011 | www.kemenkeu.go.id 222

12.1. Pengembangan Kapasitas Sumber Daya Manusia

Pengembangan sumber daya manusia (SDM) merupakan hal yang vital dalam suatu organisasi, termasuk

di Kementerian Keuangan. Menjawab tantangan perubahan zaman yang diiringi dengan tuntutan untuk

memberikan pelayanan yang terbaik bagi para stakeholder membuat Kementerian Keuangan selalu berusaha

meningkatkan kapasitas SDM yang dimilikinya. Badan Pendidikan dan Pelatihan Keuangan (BPPK) merupakan

unit eselon I di Kementerian Keuangan yang mempunyai tugas melaksanakan pendidikan dan pelatihan (diklat)

di bidang keuangan negara. Berikut ini adalah jenis-jenis diklat yang diselenggarakan oleh BPPK.

1. Diklat Prajabatan

Diklat Prajabatan dilaksanakan untuk memberikan pengetahuan serta membentuk wawasan kebangsaan,

kepribadian, dan etika Pegawai Negeri Sipil (PNS), di samping pengetahuan dasar tentang sistem penyelenggaraan

Pemerintahan negara, bidang tugas, dan budaya organisasi agar mampu melaksanakan tugas dan perannya

sebagai pelayan masyarakat. Diklat ini merupakan syarat pengangkatan Calon PNS (CPNS) menjadi PNS dan

diselenggarakan oleh Pusat Pendidikan dan Pelatihan (Pusdiklat) Pengembangan SDM.

2. Diklat dalam Jabatan

Diklat ini dilaksanakan untuk mengembangkan pengetahuan, keterampilan, dan sikap PNS agar dapat

melaksanakan tugas-tugas Pemerintahan dan pembangunan dengan sebaik-baiknya sesuai dengan kompetensi

jabatan yang disyaratkan. Diklat dalam Jabatan terdiri atas:

Pengembangan Sumber Daya Manusia

12

www.kemenkeu.go.id | LAPORAN TAHUNAN 2011 | 223

KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA

Diklat Kepemimpinan dilaksanakan untuk memenuhi persyaratan kompetensi kepemimpinan aparatur

negara sesuai dengan jabatan struktural tertentu yang dilaksanakan secara berjenjang untuk menanamkan

kesamaan pola pikir yang dinamis dan bernalar agar memiliki wawasan, pengetahuan yang komprehensif,

serta semangat pengabdian yang berorientasi kepada pelayanan prima dan pengembangan partisipasi

masyarakat;

Diklat Fungsional dilaksanakan untuk memenuhi persyaratan kompetensi PNS yang sesuai dengan jenis

dan jabatan fungsional secara berjenjang untuk memberikan pengetahuan, keahlian, dan keterampilan

fungsional tertentu yang berhubungan dengan pelaksanaan tugas;

Diklat Teknis (DT) dilaksanakan untuk memenuhi persyaratan kompetensi teknis yang diperlukan untuk

pelaksanaan tugas PNS serta dapat dilakukan secara berjenjang yang ditetapkan oleh instansi teknis;

Diklat Ujian Dinas (DUD) dilaksanakan untuk menyiapkan kompetensi PNS dalam rangka kenaikan

pangkat dalam golongan yang lebih tinggi sebagaimana ditentukan dalam peraturan kepegawaian yang

berlaku;

Diklat Ujian Penyesuaian Kenaikan Pangkat (UPKP) dilaksanakan berdasarkan Keputusan Menteri

Keuangan Nomor 411/KMK.01/2002 tentang Ujian Penyesuaian Kenaikan Pangkat bagi PNS di lingkungan

Departemen Keuangan;

Diklat Penyegaran dilaksanakan dalam rangka meningkatkan pengetahuan dan keterampilan PNS

sehubungan dengan perkembangan kebijakan serta ilmu pengetahuan dan teknologi; serta

Diklat Berbasis Kompetensi (DBK) dan Diklat Kompetensi Khas (DKK) yang merupakan rintisan terbaru

BPPK dalam upaya peningkatan soft-competency bagi PNS di lingkungan Kementerian Keuangan.

KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA

| LAPORAN TAHUNAN 2011 | www.kemenkeu.go.id 224

Dalam menjalankan tugas dan tanggung jawabnya, para pegawai Kementerian Keuangan dituntut untuk

memiliki kompetensi yang disyaratkan oleh Standar Kompetensi Jabatan. BPPK melalui Pusdiklat Pengembangan

SDM mengembangkan program kediklatan tertentu sebagai sarana untuk menjembatani gap antara kompetensi

yang dimiliki dengan kompetensi yang diharapkan. Program kediklatan yang dilaksanakan secara berkelanjutan

disempurnakan untuk memenuhi dinamika kebutuhan layanan Kementerian Keuangan yang senantiasa

berkembang.

Diklat dalam Jabatan diselenggarakan oleh Pusdiklat-Pusdiklat di lingkungan BPPK yang meliputi:

Pusdiklat Pengembangan SDM;

Pusdiklat Anggaran dan Perbendaharaan;

Pusdiklat Bea dan Cukai;

Pusdiklat Pajak;

Pusdiklat Kekayaan Negara dan Perimbangan Keuangan; serta

Pusdiklat Keuangan Umum.

Selain itu, diklat-diklat juga diselenggarakan oleh Balai Diklat Keuangan (BDK) sebagai unit pelaksana teknis

diklat BPPK yang berada 11 kota di seluruh Indonesia, yaitu:

BDK Medan;

BDK Pekanbaru;

BDK Palembang;

BDK Cimahi;

BDK Yogyakarta;

BDK Malang;

BDK Denpasar;

BDK Pontianak;

BDK Balikpapan;

BDK Makassar; dan

BDK Manado.

Sebagai bentuk komitmen BPPK untuk meningkatkan kualitas SDM Kementerian Keuangan, pada tahun 2011

dibentuk Balai Diklat Kepemimpinan (BDK) di Magelang berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor

52/PMK.01/2011 tentang Organisasi dan Tata Kerja Balai Pendidikan dan Pelatihan Kepemimpinan. BDK ini

merupakan unit pelaksana teknis Pusdiklat Pengembangan SDM yang mempunyai tugas menyelenggarakan

Pendidikan dan Pelatihan Kepemimpinan (Diklatpim), yaitu Diklatpim III dan Diklatpim IV. Secara bertahap, PNS

yang telah memenuhi persyaratan mengikuti kedua diklat ini.

3. Pendidikan Tinggi Kedinasan

Pendidikan Tinggi Kedinasan (PTK) di lingkungan Kementerian Keuangan diselenggarakan oleh Sekolah Tinggi

Akuntansi Negara (STAN). PTK dimaksudkan untuk menghasilkan SDM di bidang keuangan negara dengan

spesialisasi tertentu yang mempunyai pengetahuan, keterampilan, kemampuan, dan keahlian profesional dalam

rangka memenuhi kebutuhan pegawai dan mencetak kader pengelolaan keuangan negara di Kementerian

Keuangan.

www.kemenkeu.go.id | LAPORAN TAHUNAN 2011 | 225

KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA

Dari ketiga kelompok diklat, selama tahun 2011, BPPK secara keseluruhan telah mendidik dan melatih 40.636

peserta. Para peserta diklat terdiri dari pegawai di jajaran Kementerian Keuangan dan instansi Kementerian/

Lembaga (K/L) lain. Selain itu, terdapat pula sejumlah mahasiswa Program Diploma I, Diploma III, dan Diploma IV

STAN.

12.1.1. Diklat Pengembangan SDM

Diklat Pengembangan SDM diselenggarakan oleh Pusdiklat Pengembangan SDM yang selama tahun 2011 telah

mendiklatkan 9.519 peserta. Diklat yang diselenggarakan meliputi Diklat Prajabatan (Golongan II dan Golongan

III), DUD (I dan II), Diklat UPKP (II, IV, V, dan VI), DKK, DBK, serta Diklat Kepemimpinan. Diklat Kepemimpinan

diselenggarakan oleh Balai Diklat Kepemimpinan Magelang sebagai unit pelaksana teknis Pusdiklat

Pengembangan SDM. DBK yang diselenggarakan terdiri dari DBK III untuk pejabat eselon III dan DBK IV untuk

pejabat eselon IV. Sementara itu, DKK yang diselenggarakan adalah DKK Kreativitas dan Inovasi, DKK Motivasi dan

Pemberdayaan, serta DKK Public Speaking.

Pusdiklat Pengembangan SDM juga mengelola beasiswa pendidikan pasca sarjana di dalam dan luar negeri, baik

untuk tingkat magister atau Strata 2 (S2) maupun tingkat doktor atau Strata 3 (S3). Beasiswa untuk pendidikan

pasca sarjana diperoleh melalui kerjasama dengan Japan International Cooperation Agency (JICA) dan World Bank.

Kerjasama dengan JICA diwujudkan dalam bentuk Professional Human Resource Development (PHRD), sedangkan

kerjasama dengan World Bank dinamakan Scholarship Program for Strengthening the Reforming Institution (SPIRIT).

12.1.2. Pendidikan dan Pelatihan Teknis dan Fungsional

Untuk melengkapi dan meningkatkan kompetensi pegawai Kementerian Keuangan dalam menjalankan tugas

dan tanggung jawabnya sehari-hari, BPPK telah menyelenggarakan beragam Diklat Teknis, Diklat Fungsional,

dan Diklat Penyegaran. Materi yang disampaikan dalam diklat-diklat tersebut sangat spesi!k sesuai dengan

kompetensi teknis yang disyaratkan untuk menjalankan tugas tertentu. Terdapat 2 jenis Diklat Teknis, yaitu Diklat

Teknis Substantif Dasar (DTSD) dan Diklat Teknis Substantif Spesialisasi (DTSS). Materi dalam DTSD merupakan

materi dasar yang bersifat umum, sedangkan materi pada DTSS difokuskan pada satu pokok bahasan yang

dipelajari secara mendalam oleh peserta diklat.

1. Pusdiklat Anggaran dan Perbendaharaan

Pusdiklat Anggaran dan Perbendaharaan telah mendiklatkan 5.208 peserta di sepanjang tahun 2011 melalui

diklat yang dilaksanakan di Pusdiklat Anggaran dan Perbendaharaan sendiri serta di BDK yang tersebar di 11

provinsi. Jenis-jenis diklat yang diselenggarakan berkaitan dengan anggaran dan perbendaharaan, seperti

DTSD Anggaran, DTSD Perbendaharaan, DTSS Pengadaan Barang dan Jasa, DTSS Pejabat Pembuat Komitmen,

DF Bendahara Pengeluaran, dan lain-lain. Pada bulan Juli 2011, Pusdiklat Anggaran dan Perbendaharaan

mendapatkan serti!kat dari Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah untuk penyelenggaraan

Program Pelatihan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah dengan peringkat “A”. Selain diklat, Pusdiklat Anggaran

dan Perbendaharaan juga menyelenggarakan Training of Trainers (ToT), MOT, Workshop, serta seminar-seminar

yang berkaitan dengan anggaran dan perbendaharaan.

2. Pusdiklat Pajak

Pusdiklat Pajak menyelenggarakan diklat dengan materi yang berkaitan dengan perpajakan. Di tahun anggaran

2011, Pusdiklat Pajak telah mendiklatkan 5.798 peserta. Jenis diklat yang diselenggarakan diantaranya DTSD

KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA

| LAPORAN TAHUNAN 2011 | www.kemenkeu.go.id 226

Pajak I dan II, DTSS Pajak Penghasilan Tingkat Menengah dan Tingkat Tinggi, DTSS Pajak Pertambahan Nilai

Tingkat Menengah dan Tingkat Tinggi, Diklat Penyegaran Fungsional Penilai PBB, Diklat Fungsional Pemeriksa

Pajak Tingkat Menengah, Tingkat Tinggi dan Ahli, serta Diklat Account Representative (AR) Pajak. Pada tanggal

28 November hingga 5 Desember 2011, Pusdiklat Pajak bekerjasama dengan JICA, Kementerian Luar Negeri,

serta Pemerintah Palestina telah menyelenggarakan “Land and Building Tax Training Program for the Improvement

of Property Taxation of Palestine”. Diklat ini diikuti oleh 8 peserta dari Directorate General of Property Tax of the

Ministry of Finance of the Palestinian Authority dan diharapkan mampu memberikan pengetahuan dan gambaran

mengenai sistem perpajakan di Indonesia, terutama di bidang Pajak Bumi dan Bangunan (PBB). Selain diklat,

Pusdiklat Pajak juga menyelenggarakan ToT, MOT, Workshop, serta seminar yang berkaitan dengan perpajakan.

3. Pusdiklat Bea dan Cukai

Pusdiklat Bea dan Cukai telah menyenggarakan diklat bagi 2.822 peserta pada tahun 2011. Selain bertempat

di Pusdiklat Bea dan Cukai, diklat-diklat yang berkaitan dengan kepabeanan dan cukai juga diselenggarakan di

BDK-BDK. Jenis diklat yang diselenggarakan mencakup Diklat Teknis Substantif, Diklat Fungsional, serta Diklat

Kesamaptaan. Di samping itu, Pusdiklat Bea dan Cukai juga menyelenggarakan seminar tentang kepabeanan dan

cukai.

4. Pusdiklat Kekayaan Negara dan Perimbangan Keuangan

Pusdiklat Kekayaan Negara dan Perimbangan Keuangan (KNPK) menyelenggarakan diklat di bidang kekayaan

negara dan perimbangan keuangan. Diklat di bidang ini diharapkan dapat meningkatkan kualitas SDM di bidang

pengelolaan kekayaan negara yang pada akhirnya dapat meningkatkan kualitas Laporan Keuangan Pemerintah

Pusat (LKPP). Pada tahun 2011, Pusdiklat KNPK telah mendiklatkan 1.650 peserta, yang pelaksanaannya selain

di Pusdiklat KNPK sendiri, juga di beberapa BDK. Adapun jenis-jenis diklat yang diselenggarakan diantaranya

DTSD Kekayaan Negara I dan II, DTSS Pejabat Lelang, Diklat Pengelolaan Pembiayaan Kapasitas Daerah, dan Diklat

Penyegaran SIMAK BMN. Di samping itu, Pusdiklat KNPK juga menyelenggarakan seminar tentang kekayaan

negara dan perimbangan keuangan.

5. Pusdiklat Keuangan Umum

Pusdiklat Keuangan Umum telah mendiklatkan 6.285 peserta pada tahun 2011. Materi diklat yang disajikan

disesuaikan dengan kebutuhan para pengguna jasa, seperti Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga

Keuangan (Bapepam-LK), Badan Kebijakan Fiskal (BKF), Direktorat Jenderal Pengelolaan Utang, Inspektorat

Jenderal, Sekretariat Jenderal, serta BPPK sendiri. Jenis-jenis diklat yang diselenggarakan diantaranya adalah DTU

Legal Drafting, DTSD Orientasi Pegawai BKF, DTSS Manajemen Risiko, dan DF Jabatan Fungsional Auditor (JFA)

Pengendali Teknis. Selain itu, Pusdiklat Keuangan Umum juga menyelenggarakan workshop dan seminar yang

membahas isu-isu aktual yang terkait keuangan negara.

12.1.3. Pendidikan Tinggi Kedinasan

Pada tahun 2011, STAN menerima 1.587 mahasiswa dari 42.515 pendaftar untuk Program Diploma I Kepabeanan

dan Cukai serta Program Diploma I Perpajakan. Proses Ujian Saringan Masuk (USM) STAN telah mendapat serti!kat

ISO 9001:2008 dengan Serti!kat Nomor QSC00822 pada tanggal 29 April 2010. Setiap tahunnya, proses USM

STAN selalu diaudit oleh auditor independen untuk menjamin kualitas pelayanan dan penyelenggaraannya.

www.kemenkeu.go.id | LAPORAN TAHUNAN 2011 | 227

KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA

STAN juga mengadakan Program Pendidikan Tugas Belajar bagi para lulusan STAN Program Diploma I yang akan

meningkatkan jenjang pendidikannya menjadi Program Diploma III, serta alumni Program Diploma III menjadi

Program Diploma IV. Program studi yang dibuka untuk Program Pendidikan Tugas Belajar adalah Program

Diploma III Akuntansi, Program Diploma III Perpajakan, serta Program Diploma IV Akuntansi. Ketiga program studi

menggunakan Kurikulum Khusus.

Dalam rangka memenuhi tugasnya sebagai Badan Layanan Umum (BLU), STAN menerima mahasiswa melalui

Program Pendidikan Tugas Belajar (Kerjasama BLU). Pada tahun 2011, STAN membuka Program Diploma I

Keuangan Spesialisasi Pajak dengan Konsentrasi Penilai PBB-P2 dan Konsentrasi OC PBB-P2, serta Program

Diploma III Akuntansi Pemerintah. Secara keseluruhan, pada tahun 2011, STAN telah menyelenggarakan

pendidikan bagi 9.354 mahasiswa.

Tabel 12.1.Jumlah Mahasiswa STAN Tahun 2011

Program Jumlah Mahasiswa

1. Program Pendidikan Kedinasan

Program Diploma I Kepabeanan dan Cukai 1.430

Program Diploma I Perpajakan 817

Program Diploma III Akuntansi Pemerintahan 2.985

Program Diploma III Perpajakan 1.767

Program Diploma III Pajak Bumi dan Bangunan 255

Program Diploma III Kebendaharaan Negara 604

Program Diploma III Kepabeanan dan Cukai 259

Program Diploma III Pengurusan Piutang dan Lelang Negara 127

2. Program Pendidikan Tugas Belajar (Non Kerjasama)

Program Diploma III Akuntansi Kurikulum Khusus 183

Program Diploma III Perpajakan Kurikulum Khusus 188

Program Diploma IV Akuntansi Kurikulum Khusus 580

3. Program Pendidikan Tugas Belajar (Kerjasama)

Program Diploma I Keuangan Spesialisasi Pajak 124

Program Diploma III Akuntansi Pemerintah 35

Jumlah 9.354

Sumber: BPPK.

Pada tahun 2011, STAN telah meluluskan 2.444 mahasiswa Program Diploma Keuangan Negara dari berbagai

jurusan. Dari lulusan tersebut, sejumlah 2.272 atau 92,96 persen diantaranya berhasil memperoleh predikat

lulusan baik dengan Indeks Prestasi Kumulatif (IPK) lebih dari atau sama dengan 3,00 pada skala maksimal 4.

Para alumni diharapkan mampu berkontribusi secara signi!kan dalam menunjang pelaksanaan tugas-tugas di

lingkungan Kementerian Keuangan.

KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA

| LAPORAN TAHUNAN 2011 | www.kemenkeu.go.id 228

Tabel 12.2.Jumlah Lulusan STAN Tahun 2011

Program Jumlah Lulusan Lulusan Dengan IPK ≥ 3,00

1. Program Pendidikan Kedinasan

Prodip. I Kepabeanan dan Cukai 653 643

Prodip. III Akuntansi Pemerintahan 787 698

Prodip. III Perpajakan 486 452

Prodip. III Pajak Bumi dan Bangunan 120 106

Prodip. III Kebendaharaan Negara 48 43

Prodip. III Kepabeanan dan Cukai 70 65

Prodip. III Pengurusan Piutang dan LN 33 30

2. Program Pendidikan Tugas Belajar

rodip. III Akuntansi Kurikulum Khusus 48 46

Prodip. III Perpajakan Kurikulum Khusus 91 81

Prodip. IV Keuangan Negara 108 108

Jumlah 2.444 2.272

Sumber: BPPK.

12.2. Moratorium Calon Pegawai Negeri Sipil

Biro Sumber Daya Manusia, Sekretariat Jenderal Kementerian Keuangan telah melaksanakan dua current issue

strategis di tahun 2011. Pertama adalah pengusulan pengecualian atas kebijakan moratorium Calon Pegawai

Negeri Sipil (CPNS) bagi Kementerian Keuangan. Kebijakan ini diberlakukan secara nasional bagi seluruh K/L dan

instansi daerah. Kedua adalah perumusan dan peluncuran core values/nilai-nilai Kementerian Keuangan dalam

rangka pembentukan budaya kerja yang berintegritas tinggi, profesional, dan modern.

12.2.1. Latar Belakang Moratorium CPNS

Dalam rangka pelaksanaan Reformasi Birokrasi perlu dilakukan penataan organisasi dan PNS (rightsizing) untuk

mengoptimalkan kinerja SDM serta e!siensi anggaran belanja pegawai. Dengan diitetapkannya UU No. 22 Tahun

1999 yang telah diganti dengan UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah membawa konsekuensi

penyerahan urusan Pemerintahan dan pegawai dari Pemerintah Pusat kepada Daerah. Sebagai konsekuensinya,

struktur organisasi dan pegawai di instansi pusat seharusnya menjadi lebih ramping.

Pembentukan kelembagaan pada instansi pusat selain K/L, baik yang bersifat struktural maupun non struktural

berdampak pada permintaan PNS dan peningkatan pembiayaan. Proporsi belanja mengikat di dalam APBN,

termasuk di dalamnya gaji PNS, sangat besar jika dibandingkan dengan belanja tidak mengikat. Di samping

itu, masih terdapat pegawai yang tidak berkinerja baik. Tim Independen Reformasi Birokrasi dan para pakar

menyatakan bahwa jumlah PNS dewasa ini telah berlebih, sehingga dipandang perlu menempuh suatu kebijakan

yang berlaku secara nasional berupa penundaan penerimaan CPNS diseluruh K/L pada instansi pusat dan daerah.

12.2.2. Tujuan Moratorium CPNS

Pelaksanaan moratorium CPNS oleh seluruh K/L di pusat maupun daerah mengandung dua tujuan. Pertama,

sebagai pelaksanaan penataan organisasi dan PNS, sehingga diperoleh besaran dan ukuran organisasi dan

www.kemenkeu.go.id | LAPORAN TAHUNAN 2011 | 229

KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA

pegawai yang tepat, baik jumlah maupun kualitas, yang proporsional sesuai dengan kebutuhan riil. Kedua, untuk

merumuskan jumlah pegawai yang tepat serta melihat kembali struktur organisasi sesuai dengan visi, misi dan

tugas pokok instansi melalui proses analisis jabatan dan evaluasi jabatan.

12.2.3. Ketentuan/Peraturan Moratorium CPNS

Moratorium CPNS dilandasi oleh Peraturan Bersama Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara dan

Reformasi Birokrasi, Menteri Dalam Negeri, dan Menteri Keuangan, Nomor 02/SPB/ M.PAN-RB/8/2011, Nomor

800-632 Tahun 2011, dan Nomor 141/PMK.01/2011 tentang Penundaan Sementara Penerimaan Calon Pegawai

Negeri Sipil. Menurut pasal 1 ayat (2) peraturan bersama ini, penundaan sementara penetapan tambahan formasi

untuk penerimaan CPNS diberlakukan mulai 1 September 2011 sampai dengan 31 Desember 2012. Pasal 2 ayat

(1) mengatur perkecualian penundaan sementara penetapan tambahan formasi untuk penerimaan CPNS. Hal-hal

yang dikecualikan dari moratorium CPNS adalah berikut ini.

1. K/L yang membutuhkan tugas sebagai:

tenaga pendidik;

tenaga dokter dan perawat pada UPT Kesehatan;

jabatan yang bersifat khusus dan mendesak; serta

memiliki lulusan ikatan dinas sesuai peraturan perundang-undangan.

2. Pemerintah Daerah yang besaran anggaran belanja pegawai dibawah/kurang dari 50 persen dari total APBD

Tahun 2011 untuk memenuhi kebutuhan pegawai yang melaksanakan tugas sebagai:

tenaga pendidik;

tenaga dokter, bidan, dan perawat; serta

jabatan yang bersifat khusus dan mendesak.

3. Tenaga honorer yang telah bekerja di lembaga Pemerintah pada atau sebelum tanggal 1 Januari 2005 dan

telah diveri!kasi dan divalidasi berdasarkan kriteria yang diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 48

Tahun 2005 jo Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2007, sesuai kebutuhan organisasi, redistribusi, dan

kemampuan keuangan negara yang akan ditetapkan dalam peraturan Pemerintah.

12.2.4. Dampak Moratorium CPNS Terhadap Proses Perencanaan SDM Dan Anggaran

Kebijakan moratorium CPNS memberikan dampak terhadap proses perencanaan SDM dan anggaran di

Kementerian Keuangan. Dampak pada proses perencanaan SDM adalah penyesuaian dalam pelaksanaan

rencana rekrutmen pegawai maupun penempatan para lulusan Prodip I dan Prodip III Keuangan STAN. Dampak

pada sisi anggaran adalah penyerapan anggaran terkait kegiatan rekrutmen pegawai yang tidak mencapai target

yang telah ditetapkan. Dengan adanya moratorium CPNS, maka pada tahun 2011 tidak dilaksanakan pengadaan

pegawai baru di Kementerian Keuangan, sehingga pagu anggarannya di dalam DIPA tidak dapat direalisasikan.

12.2.5. Langkah-Langkah Terkait Moratorium CPNS

Terdapat dua langkah yang dilakukan terkait dengan moratorium CPNS.

1. Pengajuan Usul Pengecualian Moratorium CPNS

Kementerian Keuangan mengajukan pengecualian moratorium CPNS untuk tetap memperoleh formasi sesuai

kebutuhan mengingat hal-hal sebagai berikut:

KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA

| LAPORAN TAHUNAN 2011 | www.kemenkeu.go.id 230

pertumbuhan ekonomi dalam 5 tahun terakhir cukup tinggi, yaitu rata-rata 5,8 persen, sehingga perlu

diimbangi dengan peningkatan kinerja aparatur Kementerian Keuangan;

besaran APBN dari tahun 2007 hingga 2012 semakin meningkat;

target penerimaan pajak yang meningkat lebih dari 2 kali lipat, yaitu dari Rp490,98 triliun pada tahun

2007 menjadi Rp1.019,33 triliun pada 2012 (target) atau sebesar 107,5 persen;

jumlah wajib pajak yang meningkat lebih dari 3 kali, yaitu dari 7,13 juta pada tahun 2007 menjadi 22,1 juta

pada 2011 atau sebesar 209,9 persen;

target penerimaan bea masuk/keluar dan cukai yang meningkat lebih dari 2 kali, yaitu dari Rp51,00 triliun

pada tahun 2007 menjadi Rp114,88 triliun pada tahun 2012 atau sebesar 125,1 persen;

bertambahnya jumlah bandara yang berstatus internasional menjadi 23 bandara yang memerlukan Unit

Pelayanan Bea dan Cukai;

peningkatan kelas Kantor Bea dan Cukai di daerah dalam rangka peningkatan kapasitas operasional

untuk pencegahan serta meningkatkan kapasitas pelabuhan;

tugas pengamanan dan pencegahan yang memerlukan tambahan tenaga operasional lapangan;

perubahan sistem anggaran menjadi anggaran berbasis kinerja (Performance-Based Budgeting);

peningkatan kegiatan dalam upaya mencapai opini Laporan Keuangan Pemerintah Wajar Tanpa

Pengecualian (LKP-WTP); serta

pengelolaan aset negara yang tersebar di K/L dalam rangka mencapai LKP-WTP.

2. Berkoordinasi dengan Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi dan Badan

Kepegawaian Negara (BKN)

Dalam rangka pengajuan usul pengecualian moratrium CPNS, Kementerian Keuangan menjalin kerjasama dan

berkoordinasi dengan Kementerian PAN dan RB serta BKN. Adapun tahapan proses persetujuan permintaan

pengecualian moratorium CPNS adalah sebagai berikut:

menyampaikan usulan formasi atas jabatan yang dikecualikan kepada Menteri PAN-RB dengan tembusan

kepada Kepala BKN dan Tim Reformasi Birokrasi Nasional;

Menteri PAN-RB akan mempresentasikan pengecualian tersebut kepada Tim Reformasi Birokrasi Nasional

untuk selanjutnya dimintakan persetujuan kepada Komite Pengarah Reformasi Birokrasi Nasional; serta

formasi ditetapkan oleh Menteri PAN-RB setelah memperoleh persetujuan dari Komite Pengarah

Reformasi Birokrasi Nasional.

Kementerian Keuangan telah melaksanakan seluruh tahap pengusulan pengecualian moratorium CPNS dan telah

memenuhi seluruh persyaratan yang harus dipenuhi untuk memperoleh pengecualian. Persyaratan pengusulan

pengecualian yang telah disampaikan kepada Kementerian PAN dan RB oleh Kementerian Keuangan adalah

sebagai berikut:

Usulan lowongan formasi yang dikecualikan;

Buku Analisis Kebutuhan SDM, Analisis Beban Kerja 2011, dan Proyeksi Kebutuhan SDM 2012-2016;

Laporan Redistribusi PNS Kementerian Keuangan Tahun 2011;

Uraian Jabatan Kementerian Keuangan;

Peta Jabatan Kementerian Keuangan;

Laporan Evaluasi Organisasi Kementerian Keuangan Tahun 2011;

Laporan Perbandingan Analisis Beban Kerja Berdasarkan Keputusan Menpan No. 75 Tahun 2004 dan PMK

No. 140 Tahun 2006;

www.kemenkeu.go.id | LAPORAN TAHUNAN 2011 | 231

KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA

KMK No. 357/KMK.01/2011 tentang Peringkat Jabatan Pelaksana di lingkungan Kementerian Keuangan;

KMK No. 360/KMK.01/2011 tentang Peringkat Jabatan Pegawai Pelaksana di lingkungan Pangkalan Sarana

Operasi Direktorat Jenderal Bea dan Cukai; serta

Rekapitulasi Usulan Jabatan K/L yang mendesak pada masa moratorium.

12.2.6. Hasil dan Tindak Lanjut

Atas pengajuan pengecualian moratorium CPNS oleh Kementerian Keuangan, terdapat dua tujuan yang

dikehendaki, yaitu:

1. diberikan pengecualian atas moratorium CPNS, sehingga Kementerian Keuangan dapat melaksanakan

rekrutmen pegawai baru untuk memenuhi kebutuhan SDM baru sebagai penunjang pelaksanaan tugas dan

fungsi Kementerian Keuangan; serta

2. disetujuinya formasi untuk para lulusan Prodip I dan Prodip III Keuangan STAN sejumlah 1.607 orang dan

formasi untuk mengakomodir rencana rekrutmen pegawai golongan III (sarjana) sejumlah 1.392 orang,

sehingga secara keseluruhan formasi yang diusulkan kepada Kementerian PAN dan RB berjumlah 2.999

orang.

12.3. Nilai-Nilai Kementerian Keuangan

12.3.1. Latar Belakang Penyusunan

Penyusunan Nilai-Nilai Kementerian Keuangan dilatarbelakangi oleh:

1. untuk mewujudkan Kementerian Keuangan sebagai institusi Pemerintah terbaik, berkualitas, bermartabat,

terpercaya, dihormati, dan disegani, perlu dilakukan penyatuan nilai-nilai yang ada dan tersebar di masing-

masing unit eselon I Kementerian Keuangan; serta

2. untuk mendukung peningkatan kinerja institusi Kementerian Keuangan, perlu ditetapkan nilai-nilai yang

menjadi dasar bagi institusi Kementerian Keuangan, pimpinan, dan seluruh pegawainya dalam mengabdi,

bekerja, dan bersikap.

12.3.2. Fungsi

Fungsi dari Nilai-Nilai Kementerian Keuangan adalah:

1. membentuk budaya kerja yang kondusif di lingkungan Kementerian Keuangan;

2. menunjang peningkatan profesionalitas, kinerja pelayanan, dan perbaikan secara terus-menerus di dalam

tubuh Kementerian Keuangan; serta

3. mempersatukan visi dan misi setiap unit eselon I ke dalam sebuah keseragaman nilai yang diimplementasikan

di Kementerian Keuangan.

12.3.3. Proses Penyusunan

Penyusunan Nilai-Nilai Kementerian Keuangan diawali oleh proses perumusan dan dilanjutkan dengan

peluncuran.

KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA

| LAPORAN TAHUNAN 2011 | www.kemenkeu.go.id 232

1. Perumusan

Perumusan nilai-nilai dilaksanakan pada tanggal 28 Juli 2011 oleh Menteri Keuangan, Pejabat Eselon I, dan Pejabat

Eselon II yang dipilih (74 orang). Dari proses ini lahirlah 5 nilai dan 10 perilaku utama Kementerian Keuangan.

2. Peluncuran

Nilai-Nilai Kementerian Keuangan diluncurkan pada tanggal 29 Juli 2011 oleh Menteri Keuangan pada Rapat

Kerja Kementerian Keuangan yang dihadiri oleh seluruh Pejabat Eselon I dan Pejabat Eselon II. Sebagai payung

hukum, Nilai-Nilai Kementerian Keuangan telah ditetapkan melalui Keputusan Menteri Keuangan Nomor 312/

KMK.01/2011 tentang Nilai-Nilai Kementerian Keuangan pada tanggal 12 September 2011.

Penyusunan, peluncuran, dan sosialisasi Nilai-Nilai Kementerian Keuangan merupakan rangkaian kegiatan dalam

rangka pembentukan budaya kerja di Kementerian Keuangan. Adapun keseluruhan tahap yang akan dilaksanakan

terkait Nilai-Nilai Kementerian Keuangan adalah:

1. Tahap Perumusan dan Peluncuran;

2. Tahap Sosialisasi;

3. Tahap Membangun Guiding Team;

4. Tahap Peran Pimpinan dan Struktur Implementasi;

5. Tahap Monitoring dan Evaluasi; serta

6. Tahap Program Pengembangan Change Agent.

12.3.4. Nilai-Nilai dan Perilaku Dasar

Nilai-Nilai Kementerian Keuangan meliputi:

1. Integritas (Integrity) yang bermakna ber!kir, berkata, berperilaku, dan bertindak dengan baik dan benar,

serta memegang teguh kode etik dan prinsip-prinsip moral;

2. Profesionalisme (Professionalism) yang bermakna bekerja tuntas dan akurat atas dasar kompetensi terbaik

dengan penuh tanggung jawab dan komitmen tinggi;

3. Sinergi (Synergy) yang bermakna membangun dan memastikan hubungan kerjasama internal yang produktif

serta kemitraan yang harmonis dengan para pemangku kepentingan, untuk menghasilkan karya yang

bermanfaat dan berkualitas;

4. Pelayanan (Service) yang bermakna memberikan layanan yang memenuhi kepuasan pemangku kepentingan

yang dilakukan dengan sepenuh hati, transparan, cepat, akurat, dan aman; serta

5. Kesempurnaan (Excellent) yang bermakna senantiasa melakukan upaya perbaikan di segala bidang untuk

menjadi dan memberikan yang terbaik.

www.kemenkeu.go.id | LAPORAN TAHUNAN 2011 | 233

KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA

Adapun 10 perilaku utama adalah sebagai berikut:

1. bersikap jujur, tulus, dan dapat dipercaya;

2. menjaga martabat dan tidak melakukan hal-hal tercela;

3. mempunyai keahlian dan pengetahuan yang luas;

4. bekerja dengan hati;

5. memiliki sangka baik, saling percaya, dan menghormati;

6. menemukan dan melaksanakan solusi terbaik;

7. melayani dengan berorientasi pada kepuasan pemangku kepentingan;

8. bersikap proaktif dan cepat tanggap;

9. melakukan perbaikan terus-menerus; serta

10. mengembangkan inovasi dan kreativitas.

12.3.5. Implementasi

Implementasi Nilai-Nilai Kementerian Keuangan ditempuh melalui fase-fase berikut:

1. Kick-O$ Nilai-Nilai Kementerian Keuangan oleh Menteri Keuangan telah dilaksanakan pada tanggal 1

Oktober 2011 bertempat di Gedung Dhanapala, kemudian dilanjutkan dengan Kick-O$ di Auditorium Kantor

Pusat Direktorat Jenderal Pajak Pada tanggal 1 dan 22 Oktober 2011.

2. Penunjukkan/penetapan Change Agent yang bertugas dalam internalisasi nilai-nilai. Sebagai tahap awal

adalah pelaksanaan Workshop Change Agent pada tanggal 28 dan 29 November 2011. Peserta workshop

adalah para Pejabat Eselon II dari seluruh unit eselon I di lingkungan Kementerian Keuangan yang berjumlah

60 orang.

3. Rencana pelaksanaan sosialisasi Nilai-Nilai Kementerian Keuangan ke daerah di tahun mendatang.

4. Workshop Change Agent untuk eselon III dan IV yang belum dilaksanakan dan akan dijadwalkan di tahun

depan.

KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA

| LAPORAN TAHUNAN 2011 | www.kemenkeu.go.id 234

www.kemenkeu.go.id | LAPORAN TAHUNAN 2011 | 235

KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA

KESEMPURNAANSenatiasa melakukan upaya perbaikan di segala bidang untuk

menjadi dan memberikan yang terbaik

KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA

| LAPORAN TAHUNAN 2011 | www.kemenkeu.go.id 236

13.1. Peran Strategis Pengawasan Intern

Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 2008 tentang Sistem Pengendalian Intern Pemerintah (SPIP)

mengamanatkan setiap Menteri/Pimpinan Lembaga wajib melakukan pengendalian atas penyelenggaraan

kegiatan Pemerintahan. Menteri Keuangan melaksanakan dan berusaha menguatkan sistem pengendalian intern

di lingkungan Kementerian Keuangan dalam rangka mewujudkan Visi “Menjadi pengelola keuangan negara

yang dipercaya, akuntabel dan terbaik di regional untuk mewujudkan Indonesia yang sejahtera demokratis

dan berkeadilan”. Untuk memperkuat dan menunjang keberhasilan sistem pengendalian intern, dilaksanakan

pengawasan intern yang dapat memberikan keyakinan memadai bahwa pengendalian telah dilaksanakan secara

efektif dan e!sien.

Inspektorat Jenderal (Itjen) Kementerian Keuangan melaksanakan pengawasan intern terhadap kinerja dan

keuangan melalui audit, review, evaluasi, pemantauan, pengawasan lainnya, dan pengawasan untuk tujuan

tertentu atas penugasan Menteri Keuangan. Pelaksanaan pengawasan intern difokuskan untuk memberi nilai

tambah bagi Kementerian Keuangan. Untuk itu, Itjen melakukan transformasi yang ditandai antara lain dengan

perubahan mindset dari sebuah lembaga yang piawai menyingkap kekurangan, kelemahan, dan penyimpangan

menjadi lembaga yang melangkah lebih jauh untuk menyodorkan solusi (problem solving) melalui peran assurance

dan konsultasi serta memposisikan diri sebagai strategic business partner bagi unit eselon I lain. Sementara itu,

upaya pencegahan dan pemberantasan korupsi dilaksanakan melalui sosialisasi anti korupsi serta penegakan

hukum dan disiplin pegawai melalui penerapan reward and punishment.

Sejalan dengan peran internal audit modern sebagaimana dikembangkan oleh The Institute of Internal Auditors,

Itjen menjalankan salah satu program dalam Rencana Strategis (Renstra) Kementerian Keuangan 2010-2014, yaitu

Pengawasan Internal Kementerian Keuangan

13

www.kemenkeu.go.id | LAPORAN TAHUNAN 2011 | 237

KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA

mewujudkan pengawasan yang memberikan nilai tambah melalui peningkatan efektivitas proses manajemen

risiko, pengendalian, dan tata kelola, serta peningkatan akuntabilitas aparatur di lingkungan Kementerian

Keuangan. Pengawasan dilakukan untuk memastikan bahwa Reformasi Birokrasi Kementerian Keuangan

yang berkelanjutan dalam mencapai tata kelola Pemerintah yang baik dan bersih (good governance and clean

governance) untuk mewujudkan Visi Kementerian Keuangan.

13.2. Kebijakan Pengawasan Intern Kementerian Keuangan

Berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 130/KMK.09/2011, kebijakan pengawasan intern ditujukan

untuk mewujudkan sistem pengendalian intern yang kuat di lingkungan Kementerian Keuangan. Kebijakan

pengawasan intern dilaksanakan melalui:

1. pembangunan dan penguatan fungsi pengendalian intern yang berkelanjutan (sustainable);

2. pelaksanaan audit kinerja, kepatuhan (compliance), dan investigasi yang difokuskan pada program dan

kegiatan yang memiliki risiko tinggi;

3. pemberian konsultasi untuk memperbaiki dan meningkatkan efektivitas operasi, governance, dan

manajemen risiko;

4. pelaksanaan review dalam rangka menjamin kualitas Laporan Keuangan Kementerian Keuangan (Bagian

Anggaran 015), Bagian Anggaran 999, dan Bendahara Umum Negara (BUN); serta

5. peningkatan kapabilitas dan kapasitas sumber daya Inspektorat Jenderal.

KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA

| LAPORAN TAHUNAN 2011 | www.kemenkeu.go.id 238

Pembangunan dan penguatan fungsi pengendalian intern yang berkelanjutan dikoordinasikan oleh Itjen dan

dilaksanakan dalam jangka waktu 5 tahun dengan mencakup pengembangan metodologi, perangkat, dan

mekanisme kerja. Sedangkan kebijakan pengawasan intern lainnya diarahkan untuk mendukung pembangunan

dan penguatan fungsi pengendalian intern dan memberikan penjaminan pada program dan kegiatan yang

diawasi.

13.3. Peningkatan Penerapan Pengendalian Intern di Lingkungan Kementerian Keuangan

Pembangunan dan penguatan fungsi pengendalian intern diwujudkan melalui peningkatan penerapan

pengendalian intern oleh pimpinan dan seluruh pegawai. Menteri Keuangan telah menugaskan Itjen untuk

memimpin peningkatan penerapan pengendalian intern di lingkungan Kementerian Keuangan.

Peningkatan penerapan pengendalian intern yang dilaksanakan pada tahun 2011 berupa penunjukan unit

kerja sebagai pelaksana pemantauan pengendalian intern di setiap unit eselon I terhadap kegiatan tertentu

yang didukung dengan penambahan tugas, pengembangan metodologi, perangkat, dan mekanisme kerja

pemantauan. Adapun peningkatan terhadap penerapan pengendalian intern yang dilaksanakan pada tahun

2012 sampai dengan 2015 memiliki sasaran berupa terbentuknya struktur unit kontrol intern yang permanen

pada tiap unit eselon I dan terlaksananya penerapan sistem pengendalian intern secara luas dan memadai di

lingkungan Kementerian Keuangan.

Selama tahun 2011, rencana aksi peningkatan penerapan pengendalian intern di lingkungan Kementerian

Keuangan yang telah direalisasikan meliputi:

1. penetapan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 152/KMK.09/2011 tentang Peningkatan Penerapan

Pengendalian Intern di Lingkungan Kementerian Keuangan;

2. penyelesaian penyusunan perangkat pemantauan pengendalian utama dan mekanisme kerja dalam

melaksanakan pemantauan untuk kegiatan tertentu di seluruh unit eselon I;

3. capacity building melalui sosialisasi dan pelatihan (training of trainer and end user training) kepada seluruh

unit eselon I, seperti melalui Seminar Sistem Pengendalian Intern Pemerintah kepada para pejabat eselon I;

4. pemantauan pengendalian utama (key control) kegiatan tertentu di seluruh unit eselon I; serta

5. monitoring dan evaluasi terhadap pelaksanaan pemantauan di setiap unit eselon I, di mana terdapat 7

eselon I telah melaksanakan pemantauan pengendalian utama, yaitu DJBC, DJPU, DJA, DJPK, Bapepam-LK,

BPPK, dan Itjen.

MONITORINGUnit Kontrol Intern

INTERNAL AUDITInspektorat Jenderal

PENERAPAN SPIPUnit Operasional

THREE LINES OF DEFENCE

Pembentukan Unit Kontrol Intern (UKI)

Sebagai upaya memperkuat supervisi manajemen, perlu dilaksanakan pemantauan pengendalian intern oleh suatu unit independen yang teringtegrasi sampai tingkat tertentu - UKI - pada sekluruh Eselon l Kemenkeu.

www.kemenkeu.go.id | LAPORAN TAHUNAN 2011 | 239

KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA

Rencana peningkatan penerapan pengendalian intern di lingkungan Kementerian Keuangan pada tahun 2012

adalah:

1. pembentukan struktur Unit Kontrol Intern (UKI) pada setiap unit eselon I;

2. pengembangan perangkat, mekanisme kerja, dan pelaksanaan pemantauan pengendalian intern pada

kegiatan selain kegiatan yang dipantau selama tahun 2011; serta

3. pengembangan metodologi, perangkat, dan mekanisme kerja pasa seluruh unsur pengendalian intern

melalui pemantauan efektivitas implementasi dan kecukupan rancangan.

13.4. Peningkatan Kualitas Laporan Keuangan

Dalam rangka meningkatkan kualitas dan memenuhi target opini Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) dari Badan

Pemeriksa Keuangan (BPK) atas Laporan Keuangan Kementerian Keuangan (LK BA 15) tahun 2012, sesuai kontrak

kinerja Menteri Keuangan dengan Presiden, Itjen selaku APIP melakukan review atas LK BA 15 yang dilaksanakan

secara paralel dengan pelaksanaan anggaran dan penyusunan LK. Kegiatan monitoring, review, kajian, dan

pendampingan audit BPK atas LK BA 15 yang dilakukan Itjen telah mendorong peningkatan opini BPK atas LK

BA 15 tahun 2008 menjadi Quali#ed atau Wajar Dengan Pengecualian (WDP), setelah 3 tahun sebelumnya selalu

disclaimer (BPK tidak memberikan pendapat). Sejak itu, Itjen secara konsisten melakukan review, monitoring,

kajian, dan pendampingan audit BPK atas LK BA 15 dalam rangka mencapai target WTP pada tahun 2012. Sejak

tahun 2009, Itjen juga telah melakukan review monitoring, review, kajian, dan pendampingan audit BPK dalam

rangka peningkatan opini BPK atas LK BA 999 dan LK BUN.

Melanjutkan upaya pada tahun-tahun sebelumnya, selama tahun 2011, Itjen telah merealisasikan berbagai

kegiatan monitoring, review, kajian, pembahasan, dan pendampingan audit BPK atas LK BA 15, LK BUN, dan LK

BA 999 tahun 2010.

Pendekatan review yang dilakukan Itjen diubah dari hanya menunggu laporan keuangan di akhir tahun menjadi pengawalan atau pendampingan proses laporan keuangan dari tahap penyusunan sampai dengan pemeriksaan oleh BPK.

KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA

| LAPORAN TAHUNAN 2011 | www.kemenkeu.go.id 240

Tabel 13.1.Hasil Opini BPK terhadap LK BA 15, LK BUN, dan LK BA 999 Tahun 2008-2010

Kode BA Nama Laporan KeuanganOpini BPK

2010 2009 2008

15 Kementerian Keuangan WDP WDP WDP

BUN WDP N/A N/A

999.01Pembiayaan Biaya Pinjaman dan Bunga serta Cicilan Pokok Utang

WTP WTP WTP

999.02 Penerimaan Hibah WDP WDP TMP

999.03 Penanaman Modal Negara WTP-DPP WTP WTP

999.04 Penerusan Pinjaman WDP TMP TMP

999.05 Transfer Dana Daerah WTP-DPP WTP-DPPWDP untuk Dana

Perimbangan dan WTP untuk Otonomi Khusus

999.06* Belanja Subsidi dan Belanja Lain-Lain N/A WDPTMP untuk Belanja Lain-

Lain; WTP-DPP untuk Belanja Subsidi

999.07 Belanja Subsidi WDP N/A N/A

999.08 Belanja Lain-Lain WDP N/A N/A

Keterangan: * Untuk LK BA 999.06 pada TA 2010 dipecah menjadi BA 999.07 dan BA 999.08.

Secara umum telah terjadi peningkatan opini BPK yang cukup signi!kan atas LK BA 15, LK BUN, dan LK BA 999.

Kegiatan monitoring, review, kajian, pembahasan, dan pendampingan audit BPK akan terus dilanjutkan dalam

rangka perbaikan dan peningkatan kualitas LK sebagai salah satu perwujudan kepercayaan publik dalam

pengelolaan keuangan negara yang akuntabel serta untuk memenuhi kontrak kinerja Menteri Keuangan dengan

Presiden.

13.5. Pelaksanaan Pengawasan yang Memberi Nilai Tambah

13.5.1. Audit dan Evaluasi

a. Penerapan Risk Based Audit

Salah satu bentuk transformasi peran Itjen dewasa ini adalah pelaksanaan kegiatan pengawasan intern yang

dapat meningkatkan stakeholders value melalui proses identi!kasi area kegiatan unit eselon I yang membutuhkan

pengawasan dengan pendekatan risk based audit. Pendekatan risk based audit memerlukan keterlibatan auditor

Itjen dalam mengidenti!kasi dan menganalisis risiko-risiko yang dihadapi unit eselon I.

Itjen telah menggunakan pendekatan risk based audit dalam penentuan tema-tema pengawasan tahunan sejak

perencanaan tahun 2010. Itjen menetapkan Tema Pengawasan Unggulan (TPU), yaitu kegiatan tertentu pada

unit eselon I yang berdasarkan hasil identi!kasi dan penilaian bersama Itjen dan auditee memerlukan perhatian

dan harus segera diperbaiki dan/atau ditingkatkan kinerjanya. Output akhir dari setiap penugasan pengawasan

bukan lagi sekedar jumlah temuan, namun memberikan sejumlah rekomendasi kebijakan yang dapat mengatasi

permasalahan utama dari tiap TPU. Dengan demikian, diharapkan pelaksanaan pengawasan Itjen akan semakin

e!sien dan efektif dalam rangka mencapai tujuan organisasi.

www.kemenkeu.go.id | LAPORAN TAHUNAN 2011 | 241

KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA

b. Audit Kinerja dan Audit Compliance

Seiring perubahan paradigma pengawasan Itjen, selama tahun 2011, dilaksanakan berbagai audit kinerja dan

beberapa audit compliance pada area-area di unit Eselon I yang telah dinilai dan disepakati bersama Itjen dan

auditee dalam bentuk TPU. Audit kinerja dilaksanakan untuk menilai dan/atau mengevaluasi aspek ekonomis,

efektivitas, atau e!siensi suatu program dan kegiatan. Sedangkan audit kepatuhan dijalankan untuk mengetahui

kepatuhan auditee terhadap peraturan/ ketentuan yang berlaku. Beberapa TPU yang terkait dengan audit kinerja

dan compliance antara lain audit kinerja penagihan piutang pajak, kinerja pemeriksaan pajak, pengawasan

pembayaran setoran masa pajak, penyempurnaan pengelolaan utang kepada pihak ketiga, serta pengurusan

piutang negara.

Dari keseluruhan kegiatan audit kinerja dan compliance pada tahun 2011, Itjen telah menghasilkan 41 rekomendasi

kebijakan sebagai alternatif solusi untuk mengatasi berbagai permasalahan yang dihadapi unit-unit Eselon I.

Jumlah ini lebih banyak jika dibandingkan dengan rekomendasi kebijakan yang dihasilkan pada tahun 2010 dan

2009, yaitu kurang dari 40 rekomendasi kebijakan.

c. Evaluasi Sistem Akuntabilitas Kinerja

Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah (AKIP) adalah perwujudan kewajiban suatu instansi Pemerintah untuk

mempertanggungjawabkan keberhasilan dan kegagalan pelaksanaan misi organisasi dalam mencapai sasaran

dan tujuan yang telah ditetapkan melalui sistem pertanggungjawaban secara periodik. AKIP dilaporkan setiap

tahun dalam bentuk Laporan Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah (LAKIP) kepada pimpinan unit di atasnya.

Dalam rangka meningkatkan akuntabilitas, responsibilitas, kinerja instansi Pemerintah, dan kualitas LAKIP, selama

tahun 2011, Itjen telah melaksanakan evaluasi sistem AKIP di lingkungan Kementerian Keuangan melalui evaluasi

atas LAKIP Tahun 2010 seluruh unit Eselon I. Hasil evaluasi telah disampaikan kepada Menteri Keuangan serta

Menteri Penertiban Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi. Kementerian PAN dan RB menggunakan hasil

evaluasi AKIP unit Eselon I sebagai bahan evaluasi AKIP Kementerian Keuangan dan memberikan nilai B (Baik)

atas Sistem AKIP Kementerian Keuangan.

d. Monitoring dan Evaluasi Tindak Lanjut Hasil Survei Opini Stakeholders

Untuk mendorong peningkatan mutu layanan publik dan menindaklanjuti hasil survei opini stakeholders

Kementerian Keuangan Tahun 2010 dari Institut Pertanian Bogor (IPB), Itjen telah melaksanakan monitoring dan

evaluasi (monev) implementasi tindak lanjut (action plan) perbaikan oleh unit eselon I terkait. Pelaksanaan monev

antara lain karena hasil survei menunjukkan terdapat beberapa unsur layanan yang perlu mendapat prioritas

peningkatan berdasarkan hasil Importance Performance Analysis (IPA) serta masih terjadi pungutan di luar biaya

resmi (biaya tambahan yang berdampak terhadap layanan).

Berdasarkan hasil monev tahun 2011, telah dihasilkan peta tindak lanjut perbaikan di setiap unit eselon I terkait.

Di samping itu, telah dapat diidenti!kasi berbagai hambatan yang menjadi penyebab belum optimalnya action

plan, serta telah disampaikan beberapa rekomendasi perbaikan atas peningkatan mutu pelayanan publik pada

unit eselon I terkait.

KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA

| LAPORAN TAHUNAN 2011 | www.kemenkeu.go.id 242

13.5.2. Asistensi dan Konsultasi

a. Pelaksanaan Belanja Modal

Kegiatan asistensi dan konsultasi belanja modal dilatarbelakangi adanya pendapat, saran, dan rekomendasi

atas pengaduan masyarakat maupun hasil audit yang berkaitan dengan proses belanja modal di lingkungan

Kementerian Keuangan. Kementerian Keuangan melalui Itjen dan Sekretariat Jenderal (Setjen) telah membuka

layanan “help desk” belanja modal bagi seluruh unit eselon I. Layanan help desk meliputi pemberian pendapat,

saran, atau rekomendasi yang berkaitan dengan pelaksanaan belanja modal. Selain itu, help desk juga memberikan

layanan asistensi pelaksanaan belanja modal mulai dari perencanaan hingga pelaksanaannya. Selama tahun 2011

telah dilakukan 109 kali asistensi dan 140 kali konsultasi belanja modal di lingkungan Kementerian Keuangan.

b. Penerapan Manajemen Risiko

Kementerian Keuangan sebagai salah satu organisasi Pemerintah secara sadar dan aktif berusaha untuk mengelola

risiko. Hal ini diwujudkan melalui PMK No. 191/PMK.09/2008 tentang Penerapan Manajemen Risiko pada unit

eselon I di lingkungan Kementerian Keuangan. PMK ini mengisyaratkan agar unit-unit mengelola risiko yang

berdampak negatif bagi organisasi. Itjen sebagai compliance o!ce for risk management berupaya memberikan

asistensi dan konsultasi manajemen risiko bagi seluruh unit eselon I. Tujuan konsultasi dan pembimbingan

manajemen risiko di tahun 2011 adalah:

1. meningkatkan keteladanan dari pimpinan dalam mengimplementasikan manajemen risiko dalam setiap

kebijakan;

2. mendidik dan melatih anggota organisasi, sehingga memiliki kemampuan melaksanakan proses manajemen

risiko; serta

3. membantu unit Eselon I lain menyusun peta risiko.

Sampai akhir tahun 2011, asistensi dan review penyusunan pro!l risiko telah selesai dilaksanakan dengan tingkat

capaian 90 persen Unit Pemilik Risiko (UPR) pada tiap eselon I telah menjalankan proses manajemen risiko secara

lengkap.

13.6. Penegakan Hukum dan Disiplin

Melalui Hasil Survei Integritas Sektor Publik Indonesia tahun 2011 dari KPK, Kementerian Keuangan merupakan satu-satunya instansi vertikal dari 7 instansi vertikal yang dinilai, yang mendapatkan nilai integritas sebesar 7,56 di atas rata-rata 6,4. Selain itu, 4 unit layanan di Kementerian Keuangan mendapatkan posisi 1 s.d. 4 dari 15 unit layanan vertikal yang dinilai. Unit layanan tersebut, adalah: a. pelayanan SP2D di KPPN, b. pelayanan penyelesaian permohonan pengukuhan Pengusaha Kena Pajak,c. pelayanan Lelang di Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang, sertad. pelayanan pengurusan impor barang (bea masuk) di DJBC.

www.kemenkeu.go.id | LAPORAN TAHUNAN 2011 | 243

KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA

13.6.1. Pemberantasan Korupsi

Dalam rangka mewujudkan tata kelola Pemerintah yang baik dan bersih, serta melanjutkan program Reformasi

Birokrasi, sepanjang tahun 2011 telah dilaksanakan berbagai upaya pemberantasan korupsi di lingkungan

Kementerian Keuangan, baik yang bersifat pencegahan maupun penindakan. Upaya pencegahan dilakukan

dengan membangun sistem dan menumbuhkan sikap tidak korupsi dari para pejabat/pegawai untuk mencegah

atau meminimalkan potensi terjadinya korupsi. Sedangkan upaya penindakan dilakukan dalam bentuk

serangkaian kegiatan untuk mengidenti!kasi, mendeteksi, membuktikan, menindaklanjuti, dan memperbaiki

dampak terjadinya korupsi.

a. Tindakan Pencegahan

1. Sosialisasi Pencegahan dan Anti Korupsi

Sosialisasi pencegahan korupsi dilaksanakan untuk menumbuhkan sikap tidak korupsi para pegawai/pejabat dan

mendorong keberanian untuk melaporkan pelanggaran (whistleblowing) di lingkungan Kementerian Keuangan.

Sepanjang tahun 2011, telah dilaksanakan sosialisasi Anti Korupsi di Banda Aceh, Jawa Timur, Jawa Barat,

lingkungan DJBC Sumut, Kalimantan Barat, Jambi, dan Manado.

2. Memorandum of Understanding dengan Lembaga Anti Korupsi

Kementerian Keuangan sangat serius melakukan upaya pencegahan dan pemberantasan tindak pidana

korupsi dan pencucian uang. Dalam rangka koordinasi dan kerjasama untuk melaksanakan tugas dan

fungsinya, Kementerian Keuangan bekerjasama melalui Memorandum of Understanding (MoU) dengan Komisi

Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Pusat Penelitian dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) antara lain dalam

bentuk korespondensi, pertukaran data, dan pemeriksaan gabungan/task force.

3. Pemantauan Pelaporan dan Penyerahan LHKPN Kementerian Keuangan serta Pelaksanaan Eksaminasi Harta

Kekayaan (Laporan Pajak-Pajak Pribadi/LP2P)

Kementerian Keuangan bekerjasama dengan KPK melakukan pemantauan pelaporan dan penyerahan Laporan

Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN) di lingkungan Kementerian Keuangan. Kementerian Keuangan

telah memperluas jumlah pejabat/pegawai yang wajib menyampaikan LHKPN dari sekitar 7.000 pejabat/

pegawai menjadi 24.000 pejabat/pegawai melalui KMK No. 38/KMK.01/2011 tentang Penyelenggara Negara di

Lingkungan Kementerian Keuangan yang wajib menyampaikan Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara.

Penyampaian LHKPN per 28 Desember 2011 mencapai 96,04 persen. Kementerian Keuangan terus memantau

dan mengingatkan pelaporan LHKPN pegawainya dengan kemungkinan pengenaan sanksi hukuman disiplin

bagi penyelenggara negara yang belum menyampaikan LHKPN.

Di samping itu, Kementerian Keuangan telah menugaskan Itjen untuk meneliti harta kekayaan pejabat/

pegawainya dalam Laporan Pajak-Pajak Pribadi (LP2P) dan Daftar Harta Kekayaan (DHK). Sampai akhir tahun

2011, telah diterima LP2P tahun 2010 sebanyak 36.054 laporan dan pada saat ini dilakukan penentuan pejabat/

pegawai yang akan dilakukan eksaminasi harta kekayaan.

4. Pengawasan dan Pengendalian Intern

Kementerian Keuangan tengah melaksanakan pembangunan dan penguatan fungsi pengendalian intern yang

berkelanjutan melalui pembentukan UKI di setiap unit eselon I. Hal ini diharapkan akan memperluas jangkauan

dan lingkup pengawasan intern. Sistem pengendalian intern yang kuat dapat secara efektif mencegah dan

meminimalisasi kemungkinan serta mendeteksi secara dini terjadinya pelanggaran dan korupsi di lingkungan

Kementerian Keuangan.

KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA

| LAPORAN TAHUNAN 2011 | www.kemenkeu.go.id 244

b. Tindakan Penindakan

1. Permintaan Informasi Transaksi Keuangan Mencurigakan Pejabat/Pegawai Kementerian Keuangan kepada

PPATK

Berdasarkan MoU yang telah ditandatangani, Kementerian Keuangan bekerjasama dengan PPATK dalam hal

permintaan informasi transaksi keuangan mencurigakan pejabat/pegawai Kementerian Keuangan untuk

keperluan audit investigasi yang sedang dilakukan. Total sejumlah 91 surat/laporan transaksi mencurigakan

diterima Kementerian Keuangan dari PPATK sejak Januari 2007 hingga Desember 2011. Dari surat/laporan

PPATK tersebut, sampai akhir tahun 2011, sejumlah 37 laporan telah diaudit dan kepada pegawai yang terbukti

melakukan penyimpangan/penyalahgunaan wewenang direkomendasikan hukuman disiplin. Dalam kaitan ini, 7

pegawai telah diberhentikan dengan tidak hormat sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS). Menteri Keuangan secara

periodik memantau dan membahas proses tindak lanjut atas laporan transaksi mencurigakan dari PPTAK.

2. Mengefektifkan Inspektorat Bidang Investigasi

Inspektorat Bidang Investigasi (IBI) merupakan unit investigasi Itjen yang dibentuk sebagai upaya penegakan

disiplin dan pemberantasan korupsi di lingkungan Kementerian Keuangan. Selama tahun 2011, dalam rangka

pencegahan dan pemberantasan korupsi, IBI melaksanakan sosialisasi pencegahan korupsi, pengumpulan bahan

dan keterangan/PULBAKET (surveillance), pelaksanaan audit investigasi, serta kegiatan lainnya.

Selain hal di atas, IBI juga telah melakukan audit dengan membentuk Tim Gabungan yang terdiri dari IBI, Badan

Pemeriksa Keuangan Pemerintah (BPKP), dan KPK untuk melakukan audit atas keberatan dan banding pada DJP,

serta Tim Khusus yang merupakan Tim Gabungan IBI, Bareskrim, Kejaksaaan, dan PPATK yang melakukan audit

investigasi khusus di DJP. Kedua Tim Gabungan dibentuk untuk menindaklanjuti kasus “Gayus Tambunan” di DJP.

3. Pelimpahan Kasus Investigasi Tertentu kepada POLRI atau KPK

Selama tahun 2011, IBI telah melimpahkan 2 kasus hasil audit investigasi kepada KPK dan 1 kasus kepada Bareskrim.

IBI juga telah meneruskan pengaduan PPATK tentang informasi transaksi keuangan yang mencurigakan kepada

KPK sebanyak 8 surat/laporan dengan terlebih dahulu meminta izin dari PPATK.

4. Tindak Lanjut Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 2011

Dalam rangka menindaklanjuti Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 2011 sehubungan dengan terjadinya beberapa

kasus hukum dan penyimpangan pajak, selama tahun 2011, Kementerian Keuangan telah melaksanakan berbagai

kegiatan dengan penekanan pada bidang pengelolaan SDM perpajakan, penelitian dan investigasi kasus, serta

perbaikan kinerja perpajakan. Beberapa kegiatan/tindak lanjut terkait pengawasan yang telah dilaksanakan,

yaitu:

menonaktifkan dan menjatuhkan hukuman disiplin kepada beberapa pejabat/pegawai yang terkait

dengan kasus Gayus Tambunan;

menyerahkan dokumen salinan Putusan Pengadilan Pajak atas 151 Wajib Pajak yang proses banding

pajaknya pernah ditangani oleh Gayus Tambunan kepada POLRI untuk penyelidikan; serta

melaksanakan audit kinerja atas pemeriksaan pajak, penagihan pajak, dan banding untuk memperbaiki

proses bisnis dan governance di bidang pemeriksaan pajak, penagihan pajak, dan banding.

Tindak Lanjut atas Inspres No. 9 Tahun 2011 dan Inpres No. 17 Tahun 2011

www.kemenkeu.go.id | LAPORAN TAHUNAN 2011 | 245

KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA

Dalam Inpres No. 9 Tahun 2011 tentang Rencana Aksi Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi Tahun 2011,

terdapat 6 rencana aksi yang menjadi tanggung jawab Kementerian Keuangan, antara lain penyusunan PMK

No. 249/PMK.02/2011tentang Pedoman Pengukuran dan Evaluasi Kinerja atas Pelaksanaan RKA-KL. Secara

keseluruhan, rencana aksi tersebut telah selesai 100 persen.

Terkait aksi pencegahan dan pemberantasan korupsi untuk tahun 2012, telah diterbitkan Inpres No. 17 Tahun

2011. Untuk Kementerian Keuangan, terdapat 10 aksi yang akan dilaksanakan dengan penuh komitmen.

13.6.2. Pengembangan Whistleblowing System (WiSe)

Sejalan dengan KMK No. 149/KMK.09/2011 tanggal 10 Mei 2011 tentang Tata Cara Pelaporan Pelanggaran

(Whistleblowing) Serta Tata Cara Pelaporan dan Publikasi Pelaksanaan Pengelolaan Pelaporan Pelanggaran di

Lingkungan Kementerian Keuangan, telah diluncurkan Aplikasi WiSe Kementerian Keuangan pada tanggal 5

Oktober 2011.

Whistleblowing System (WiSe) adalah aplikasi pengelolaan pengaduan yang disediakan oleh Kementerian

Keuangan sebagai salah satu sarana bagi setiap pegawai maupun masyarakat luas pengguna layanan Kementerian

Keuangan untuk melaporkan dugaan adanya pelanggaran dan/atau ketidakpuasan terhadap pelayanan yang

dilakukan oleh pejabat/pegawai Kementerian Keuangan. Pengaduan melalui aplikasi WiSe dilakukan dengan

mengunjungi www.wise.depkeu.go.id.

Dengan WiSe diharapkan dapat ditumbuhkan rasa takut untuk dilaporkan bagi pejabat/ pegawai Kementerian

Keuangan yang akan melakukan suatu tindakan pelanggaran/korupsi, sehingga dapat turut membantu

mencegah dan meminimalkan potensi terjadinya pelanggaran/korupsi.

KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA

| LAPORAN TAHUNAN 2011 | www.kemenkeu.go.id 246

13.6.3. Penjatuhan Hukuman Disiplin

Dalam rangka penegakan disiplin dan sekaligus sebagai upaya pencegahan dan pemberantasan korupsi,

Kementerian Keuangan telah menjatuhkan berbagai hukuman, baik berupa peringatan tertulis maupun

hukuman disiplin kepada para pegawai/pejabat yang terbukti melakukan pelanggaran. Berdasarkan data Itjen,

sejak tahun 2004 hingga 2011, total sejumlah 4.184 hukuman, berupa peringatan tertulis, hukuman disiplin, atau

pemberhentian sementara telah dijatuhkan kepada pejabat/pegawai Kementerian Keuangan atas pelanggaran

yang dilakukan. Dari jumlah tersebut, sebanyak 512 hukuman di antaranya tercatat dijatuhkan pada tahun 2011.

Tabel 13.2.Rekapitulasi Jumlah Penjatuhan Hukuman Disiplin di Lingkungan Kementerian Keuangan Tahun 2004-2011

Tahun Anggaran

Jumlah Dikenai Hukuman

Rincian per Jenis Hukuman

PeringatanHukuman

RinganHukuman

SedangHukuman

BeratPemberhentian

Sementara

2011 512 247 127 44 91 3

2010 1.008 704 114 63 109 18

2009 672 383 96 63 116 14

2008 883 417 190 100 167 9

2007 269 152 20 24 70 3

2006 349 197 25 34 89 4

2005 369 268 17 16 67 1

2004 122 62 4 6 50 0

Jumlah 4.184 2.430 593 350 759 52

Sumber: Itjen Kementerian Keuangan.

13.7. Tantangan Pengawasan Intern Tahun 2012

Itjen selaku APIP memegang peran penting dan sentral dalam pelaksanaan tugas dan fungsi pengawasan intern

di Kementerian Keuangan. Hal ini mendorong Itjen untuk terus meningkatkan kapasitas dan kapabilitas sumber

dayanya dalam menjalankan peran pengawasan intern. Kebijakan pengawasan intern telah memberi arah dan

acuan bagi Itjen dan unit eselon I lainnya untuk mewujudkan sistem pengendalian intern yang kuat di lingkungan

Kementerian Keuangan.

Berbagai kegiatan pengawasan intern pada tahun 2011 serta beberapa hal yang menjadi tantangan bagi Itjen

dalam menjalankan fungsi pengawasan intern Kementerian Keuangan di tahun 2012, antara lain:

1. pembentukan struktur UKI pada setiap unit eselon I untuk memperkuat sistem pengendalian intern di

lingkungan Kementerian Keuangan;

2. pemenuhan target opini WTP dari BPK atas LK BA 15 pada tahun 2012, melalui kegiatan review, pembahasan,

kajian, dan pendampingan audit BPK;

3. pelaksanaan berbagai kegiatan pengawasan, meliputi audit, monitoring, evaluasi, review, dan kegiatan

lainnya yang dapat memberi nilai tambah bagi organisasi, terutama dalam mengawal Reformasi Birokrasi

Kementerian Keuangan; serta

4. pemberantasan korupsi di lingkungan Kementerian Keuangan, dengan menggiatkan berbagai tindakan

pencegahan dan penindakan.

www.kemenkeu.go.id | LAPORAN TAHUNAN 2011 | 247

KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA

Bagaimanapun, pengawasan intern adalah seluruh proses untuk memberikan keyakinan yang memadai bahwa

kegiatan telah dilaksanakan sesuai dengan tolak ukur secara efektif dan e!sien untuk kepentingan pimpinan

dalam mewujudkan tata kePemerintahan yang baik. SPI melekat di sepanjang kegiatan, dipengaruhi oleh sumber

daya manusia, serta hanya memberikan keyakinan yang memadai, dan bukan keyakinan mutlak. Oleh karena itu,

menjadi tanggung jawab seluruh elemen Kementerian Keuangan untuk mewujudkan sistem pengendalian yang

kuat dalam mencapai tujuan organisasi.

KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA

| LAPORAN TAHUNAN 2011 | www.kemenkeu.go.id 248

Banyak kegiatan yang telah dilakukan oleh segenap jajaran Kementerian Keuangan dalam rangka mengoptimalkan

pengelolaan keuangan negara. Kegiatan-kegiatan dimaksud dilaksanakan dengan berpedoman pada dokumen

perencanaan dan didukung oleh tersedianya sumber daya manusia, pendanaan, serta prasarana dan sarana.

Semua elemen di lingkungan Kementerian Keuangan berupaya memberikan yang terbaik sebagai wujud nyata

bakti kepada nusa dan bangsa Indonesia, sehingga target-target kinerja yang ditetapkan pada umumnya dapat

dicapai dengan baik. Meskipun demikian, terdapat pula beberapa bidang kegiatan yang belum terselesaikan

(pending matters) atau masih perlu ditingkatkan. Bidang-bidang yang masih tertunda akan terus diupayakan

penyelesaiannya, sedangkan bidang-bidang yang belum memberikan kontribusi maksimal akan disempurnakan

secara terus-menerus dalam tahun-tahun mendatang.

Setiap bidang yang ditangani oleh unit-unit kerja di lingkungan Kementerian Keuangan memiliki karakter dan

kekhasan tersendiri, sehingga membutuhkan sumber daya yang spesi!k, meskipun terdapat pula kesamaan

dalam beberapa hal. Sebagian bidang kerja memerlukan kompetensi sumber daya manusia yang memadai dalam

penguasaan aspek-aspek ekonomi makro, sedangkan bidang-bidang kerja lainnya membutuhkan kapabilitas

pada tataran mikro. Terdapat pula bidang-bidang kerja yang membutuhkan kemampuan sumber daya manusia

dengan kombinasi di antara keduanya. Konteks keragaman juga terjadi pada sumber daya pendanaan maupun

ketersediaan prasarana dan sarana. Kondisi ini merupakan konsekuensi alamiah dan menjadi tantangan yang

harus dihadapi oleh Kementerian Keuangan sebagai suatu organisasi berskala besar, termasuk memiliki instansi

vertikal di daerah.

Kompleksitas ruang lingkup pekerjaan dan ekspektasi yang sangat besar dari stakeholder telah memacu seluruh

elemen di lingkungan Kementerian Keuangan untuk memberikan yang terbaik. Untuk itu, pada periode

sebelumnya telah diterapkan Reformasi Birokrasi untuk menata struktur organisasi, proses bisnis, dan sumber

Penutup14

www.kemenkeu.go.id | LAPORAN TAHUNAN 2011 | 249

KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA

daya manusia. Upaya ini masih terus dilakukan hingga saat ini dan telah menunjukkan hasilnya dengan nyata.

Penanganan di bidang perumusan kebijakan !skal, penerimaan negara, belanja negara, perimbangan keuangan,

dan perbendaharaan negara, terus menunjukkan kinerja yang meningkat, bahkan beberapa diantaranya

meningkat dengan sangat signi!kan. Pencapaian yang serupa dapat pula diamati dalam pengelolaan

pembiayaan melalui utang, kekayaan negara, industri pasar modal dan lembaga keuangan non bank, kerjasama

internasional,maupun pengembangan sumber daya manusia.

Sekalipun telah menunjukkan perkembangan kinerja individu maupun organisasi yang membanggakan, namun

implementasi Reformasi Birokrasi tersebut perlu senantiasa diperbaiki, ditingkatkan, dan diperkuat. Salah satu

langkah strategis yang telah ditempuh untuk memaksimalkan kinerja para pegawai Kementerian Keuangan

adalah dengan menetapkan Nilai-Nilai Kementerian Keuangan. Pada tahap awal peluncurannya, tantangan yang

dihadapi adalah mensosialisasikan nilai-nilai ini kepada segenap jajaran Kementerian Keuangan di tingkat pusat

maupun daerah. Sosialisasi sangat penting dilakukan untuk memastikan diterima dan dipahaminya nilai-nilai

integritas, profesionalisme, sinergi, pelayanan, dan kesempurnaan oleh segenap jajaran Kementerian Keuangan.

Penerimaan dan pemahaman menjadi prasyarat bagi perubahan cara berpikir (mind set), sehingga dapat

ditransmisikan menjadi perubahan perilaku sesuai yang diinginkan.

Sejak tahun 2011, Nilai-Nilai Kementerian Keuangan mulai diperkenalkan dan secara konsisten akan dilakukan

pada tahun-tahun selanjutnya. Tujuannya adalah agar nilai-nilai dimaksud dapat mewarnai bakti dalam bentuk

pelaksanaan tugas pokok dan fungsi seluruh PNS Kementerian Keuangan, termasuk dalam hal membentuk

budaya organisasi yang kokoh. Kesemuanya bermuara pada pengelolaan keuangan negara yang optimal dalam

mendukung administrasi Pemerintahan, pembangunan, dan pelayanan masyarakat.