perihal sistem penilaian yang memperhatikan...

75
1 SISTEM PENILAIAN HASIL BELAJAR SENI RUPA SISWA SEKOLAH MENENGAH PERTAMA Oleh: Tri Hartiti Retnowati M.Pd Makalah disampaikan pada Sosialisasi dan Pelatihan Kurikulum Berbasis Kompetensi Bagi Guru Kesenian SMP Se-Kabupaten Sleman Yogyakarta dalam rangka Pengabdian Masyarakat JURUSAN PENDIDIKAN SENI RUPA FAKULTAS BAHASA DAN SENI UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA

Upload: others

Post on 12-Feb-2020

10 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

1

SISTEM PENILAIAN HASIL BELAJAR SENI RUPA SISWA SEKOLAH MENENGAH PERTAMA

Oleh: Tri Hartiti Retnowati M.Pd

Makalah disampaikan pada Sosialisasi dan Pelatihan Kurikulum Berbasis Kompetensi

Bagi Guru Kesenian SMP Se-Kabupaten Sleman Yogyakarta dalam rangka Pengabdian Masyarakat

JURUSAN PENDIDIKAN SENI RUPAFAKULTAS BAHASA DAN SENI

UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA2005

2

SISTEM PENILAIAN HASIL BELAJAR SENI RUPA(Berdasar Kurikulum Berbasis Kompetensi untuk SMP)

A. Penilaian Hasil Belajar

Penilaian merupakan komponen yang penting dalam suatu sistem pendidikan.

Penilaian hasil belajar merupakan bagian yang tak terpisahkan dari kegiatan

pembelajaran, bahkan merupakan hal yang vital dalam sistem pendidikan dan

pengajaran di lembaga pendidikan formal. Dengan adanya hasil penilaian akan dapat

diketahui kemajuan dan perkembangan pendidikan dari waktu ke waktu. Dengan

demikian, melalui penilaian yang dilakukan oleh guru, guru akan mengetahui tingkat

keberhasilan dari program pembelajaran yang direncanakannya dan mengetahui pula

tingkat efisiensi dari pelaksanaan programnya Dalam hal ini efisiensi yang dimaksud

akan dikaitkan dengan ketepatan dalam memilih pendekatan, strategi, metode, dan

media yang pakai. (Depdikbud, 1997).

Penilaian merupakan serangkaian kegiatan untuk memperoleh, menganalisis,

dan menafsirkan data tentang proses dan hasil belajar peserta didik yang dilakukan

secara sistematis dan berkesinambungan, sehingga menjadi informasi yang bermakna

dalam pengambilan keputusan (KTSP, 2007). Sedangkan menurut Madaus penilaian

adalah kegiatan yang dirancang untuk menunjukkan apa yang diketahui dan yang

dapat dilakukan seseorang (Madaus & Kellaghan, 1998). Fokus penilaian adalah

pencapaian standar kompetensi tiap individu atau peserta didik, sedangkan fokus

evaluasi adalah program, kelompok atau kelas. Hasil penilaian dan evaluasi dapat

digunakan untuk memperbaiki atau menyempurnakan strategi pembelajaran. Dalam

standar Standar Penilaian Pendidikan (BSNP, 12), penilaian hasil belajar oleh

pendidik dilakukan secara berkesinambungan bertujuan untuk memantau proses dan

kemajuan belajar peserta didik serta untuk meningkatkan efektivitas kegiatan

pembelajaran. Penilaian tersebut meliputi kegiatan sebagai berikut:

1. menginformaskan silabus mata pelajaran yang di dalamnya memuat

rancangan dan kriteria penialain pada awal semester.

2. mengembangkan indicator pencapaian KD dan memilih teknik penilaian

yang sesuai pada saat menyusun silabus mata pelajaran.

3

3. mengembangkan instrumen dan pedoman penilaian sesuai dengan bentuk

dan teknik penilaian yang dipilih.

4. melaksanakan tes, pengamatan, penugasan, dan/ atau bentuk lain yang

diperlukan.

5. mengolah hasil penilaian untuk mengetahui kemajuan hasil belajar dan

kesulitan belajar peserta didik

6. megembalikan hasil pemeriksaan pekerjaan peserta didik disertai

balikan/komentar yang mendidik

7. memanfaatkan hasil penilaian untuk perbaikan pembelajaran.

8. melaporkan hasil penilaian mata pelajaran pada setiap akhir semester kepada

pimpinan satuan pendidikan dalam bentuk satu nilai prestasi belajar peserta

didik disertai deskripsi singkat sebagai cerminan kompetensi utuh.

Untuk memperoleh informasi yang digunakan menilai hasil belajar

dilakukan pengukuran. Dilihat dari jenisnya pengukuran ada yang melalui tes dan

ada pula yang melalui nontes. Pengukuran melalui tes dibedakan menjadi tes verbal,

termasuk di dalamnya adalah tes lesan dan tes tertulis, dan tes nonverbal atau tes

perbuatan. Tes verbal dipakai untuk mengukur aspek kognitif dan aspek afektif

dalam pengertian sikap.

Untuk tes tertulis dikenal ada 3 jenis, yaitu (a) obyektif sederhana berupa

jawaban singkat, benar-salah, dan menjodohkan, (b) obyektif pilihan ganda dengan

alternatif lebih dari 2 pilihan jawaban, dan (c) essai atau uraian (Gronlund, 1977;

Gronlund, 1981). Untuk mengukur sikap dikenal ada berbagai bentuk alat pengukur

skala sikap seperti skala Likert, skala Thurstone, dan skala perbedaan semantik

(Masri. Singarimbun dan Sofian Effendi, 1982; Eiss dan harbeck, 1969). Untuk

mengukur kemampuan psikomotor melalui tes perbuatan dilakukan dengan (a)

paper-and-pencil test, (b) uji identifikasi (identification test), (c) simulasi, dan (d)

contoh kerja (work sample) (Lunneta dkk, 1981).

B. Performance assessment

Selanjutnya dalam kurikulum KTSP dikenal dengan teknik/cara penilaian

sebagai berikut: unjuk kerja (performance), penugasan (proyek/project), hasil kerja

(produk/product), tertulis (paper & pen), portofolio, sikap, penilaian diri (self

4

Assesment). Dengan demikian penilaian hasil belajar seni rupa yang tepat adalah

dengan performance assessment. Prestasi yang dicapai adalah prestasi yang

diwujudkan dalam bentuk penanmpilan kinerja atau hasil karya, dan hanya akan

tepat jika dinilai melalui asesmen dalam bentuk performance assessment.

Performance assessment merupakan penilaian yang dilakukan melalui

penyajian atau penampilan oleh peserta didik dalam bentuk pengerjaan tugas-tugas

atau berbagai aktivitas tertentu, yang secara langsung mempunyai makna

pendidikan. Performance assessment bertujuan untuk mengetahui seberapa baik

subyek belajar telah mampu mengaplikasikan pengetahuan dan keterampilannya

sesuai dengan sasaran pembelajaran yang telah ditentukan dan berfokus pada

penilaian secara langsung yakni dalam arti langsung dari kinerja atau apa yang

ditampilkan oleh peserta didik, berlangsung kontinyu, dengan mengkaitkannya

dengan berbagai permasalahan nyata yang dihadapi peserta didik.

Menurut Griffin dan Nix (1991), tugas/kegiatan yang sesuai dengan

asesmen adalah tugas/kegiatan yang hendaknya

1. menuntut peserta didik menggunakan pengetahuannya untuk mengerjakan

tugas/kegiatan tersebut menjadi tugas yang benar-benar bermakna;

2. merupakan gabungan antara aspek pengetahuan, keterampilan, dan

kemampuan, dan menuntut para peserta didik untuk mengkobinasikan

aspek-aspek tersebut dalam menyelesaikannya;

3. menuntut respons, tampilan atau produk yang akurat, cermat dan lengkap;

4. mempunyai standar dan kriteria yang spesifik dan jelas/tegas untuk

memberikan penilaian atas berbagai jawaban, tampilan, atau produk yang

dihasilkan;

5. menjadi contoh bagi peserta didik untuk menemukan cara

mengkombinasikan pengetahuan, keterampilan, dan kemampuannya dalam

dunia nyata;

6. mampu menunjukkan berbagai tantangan yang dihadapi dalam kehidupan

nyata.

Menurut Marsh (1996) jenis tugas/kegiatan yang sesuai dengan asesmen

diantaranya yaitu portofolio, menulis jurnal/paper, simulasi, desain dan presentasi,

5

observasi kritis, proyek individu dan kelompok, studi lapangan, pemecahan masalah,

membuat peta konsep dan sebagainya.

Menurut Marzano dkk (1993) performance assssment atau authentic

assessment mengandung tiga unsur inovasi dalam bidang penilaian. Pertama, tidak

mengukur ketercapaian tujuan pembelajaran yang tradisional, tetapi lebih

menekankan pada kemampuan nyata subyek belajar. Kedua, bersifat menyeluruh,

mengembangkan seluruh kemampuan subyek belajar melalui kegiatan pembelajaran

menurut paham konstruktivisme. Ketiga, tidak menggunakan sistem tes tradisional

tetapi menggunakan berbagai cara. Sistem tes tradisional cenderung hanya mengukur

ingatan, dan menurut Gronlund (1998) antara 80 % sampai 90% guru melakukan

hal tersebut.

Gronlund (1998) menambahkan perihal kelebihan performance assessment.

Melalui performance assessment yang diperluas (extended performance assessment)

guru dapat mengetahui berbagai kemampuan yang lebih kompleks yang dicapai

siswa yang tidak dapat diukur dengan menggunakan tes tertulis dalam bentuk uraian

saja.

Dengan demikian performance assessment adalah suatu cara yang tepat

untuk melihat proses kemajuan peserta didik dari waktu ke waktu, dan memberikan

masukan kepada orang tua murid, serta membantu dalam proses manajemen kelas.

Dalam pemilihan metode pengukuran Assesment dapat dikelompokkan

menjadi dua kategori, yaitu kategori yang sudah terstandarisasi, dan dapat digunakan

untuk membandingkan anak dengan perkembangan normal dengan anak lain.

Sedangkan untuk kategori yang kedua adalah kategori yang berisi metode yang

informal, salah satunya adalah observasi. Untuk metode ini, tidak ada standar atau

norma yang baku. Sehingga untuk melakukannya harus orang yang memiliki

keahlian, serta sudah terlatih untuk ini. Hal yang sama berlaku pula untuk kategori

yang pertama. Akan tetapi ada kekurangan untuk kategori yang pertama, yaitu

adanya culture bias dimana untuk tes yang sifatnya adaptasi, ada beberapa norma

yang belum tentu cocok diterapkan dalam budaya lain.

6

C. Penerapan Performance assessment dalam Penilaian Seni Rupa

Pada dasarnya pendidikan seni disekolah diarahkan untuk menumbuhkan

kepekaan rasa estetik dan artistik sehingga terbentuk sikap kritis, apresiasif dan

kreatif pada diri peserta didik secara menyeluruh. Sikap ini akan tumbuh, apabila

dilakukan serangkaian proses kegiatan pada peserta didik yang meliputi kegiatan

pengamatan, penilaian, dan pertumbuhan rasa memiliki melalui keterlibatan peserta

didik dalam segala aktivitas seni di dalam kelas dan atau di luar kelas. Dengan

demikian pendidikan seni melibatkan semua bentuk kegiatan berupa aktivitas fisik

dan cita rasa keindahan yang tertuang dalam kegiatan berekspresi, bereksplorasi,

berapresiasi dan berkreasi melalui bahasa rupa, bunyi, gerak dan peran (seni

rupa,musik, tari, dan teater). Masing-masing mencakup materi sesuai dengan bidang

seni dan aktivitas dalam gagasan-gagasan seni, keterampilan berkarya seni serta

berapresiasi dengan memperhatikan konteks sosial budaya masyarakat.(Diknas,

2004:3).

Sedangkan fungsi dan tujuan pendidikan seni adalah menumbuhkan sikap

toleransi, demokrasi, dan beradab, serta mampu hidup rukun dalam masyarakat

majemuk, mengembangkan kemampuan imajinatif intelektual, ekspresi melalui seni,

mengembangkan kepekaan rasa, ketrampilan, serta mampu menerapkan teknologi

dalam berkreasi dan dalam memamerkan dan mempergelarkan karya seni.

Sedangkan pada pengorganisasian materi pendidikan seni menggunakan pendekatan

terpadu, yang penyusunan kompetensi dasarnya dirancang secara sistemik

berdasarkan keseimbangan antara kognitif, afektif, dan psikomotorik yang

terjabarkan dalam aspek apresiasi, dan produksi.

Dalam PP 19 tahun 2005, tentang Standar Nasional Pendidikan Pasal 64 ayat

(5) tentang Penilaian Hasil Belajar oleh Pendidik sebagai berikut: Penilaian hasil

belajar kelompok mata pelajaran estetika (seni rupa termasuk di dalamnya)

dilakukan melalui pengamatan terhadap perubahan perilaku dan sikap untuk menilai

perkembangan afeksi dan ekspresi psikomotor peserta didik. Selanjutnya pada Bab

IV: Standar Proses Pasal 22 dijelaskan sebagai berikut:

(1) Penilaian hasil pembelajaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat

(3) pada jenjang pendidikan dasar dan menengah menggunakan berbagai

teknik penilaian sesuai dengan kompetensi dasar yang harus dikuasai.

7

(2) Teknik penilaian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa tes

tertulis, observasi, tes praktek, dan penugasan perseorangan atau

kelompok.

(3) Untuk mata pelajaran selain kelompok mata pelajaran ilmu pengetahuan

dan teknologi pada jenjang pendidikan dasar dan menengah, teknik

penilaian observasi secara individual sekurang-kurangnya dilaksanakan

satu kali dalam satu semester.

Berikut ini prinsip penilaian karya senirupa pada jenjang pendidikan

dasar dan menengah, yang mengacu pada Peraturan Menteri No 20 tahun

2007:

a. Sahih, berarti penilaian seni rupa didasarkan pada data yang

mencerminkan kemampuan yang diukur.

b. Objektif, berarti penilaian seni rupa didasarkan pada prosedur

dan kriteria yang jelas, tidak dipengaruhi subjektivitas penilai.

c. Adil, berarti penilaian seni rupa tidak menguntungkan atau

merugikan peserta didik karena berkebutuhan khusus serta perbedaan

latar belakang agama, suku, budaya, adat istiadat, status sosial ekonomi,

dan gender.

d. Terpadu, berarti penilaian seni rupa oleh pendidik seni rupa

merupakan salah satu komponen yang tak terpisahkan dari kegiatan

pembelajaran.

e. Terbuka, berarti prosedur penilaian, kriteria penilaian, dan dasar

pengambilan keputusan dapat diketahui oleh pihak yang berkepentingan,

antara lain peserta didik.

f. Menyeluruh dan berkesinambungan, berarti penilaian oleh

pendidik mencakup semua aspek kompetensi dengan menggunakan

berbagai teknik penilaian yang sesuai, untuk memantau perkembangan

kemampuan peserta didik.

g. Sistematis, berarti penilaian dilakukan secara berencana dan

bertahap dengan mengikuti langkah-langkah baku.

h. Beracuan kriteria, berarti penilaian didasarkan pada ukuran

pencapain kompetensi yang ditetapkan.

8

i. Akuntabel, berarti penilaian dapat dipertanggungjawabkan, baik

dari teknik, prosedur, maupun hasil.

Penilaian karya seni rupa peserta didik tentunya tidak tepat kalau hanya

dilihat dari hasil karya saja, tetapi akan lebih lengkap dan baik bila dilengkapi

dengan penilaian proses peserta didik pada waktu membuat karya tersebut. Hal ini

sesuai dengan yang dikatakan Zainul (2005: 4), yang menyatakan bahwa asesmen

kinerja secara sederhana didefinisikan sebagai penilaian terhadap proses perolehan,

penerapan, pengetahuan dan ketrampilan, melalui proses pembelajaran yang

menunjukkan kemampuan peserta didik dalam proses dan produk.

Dengan demikian sistem penilaian seni rupa di sekolah meliputi aspek

apresiasi dan kreasi. Untuk aspek apresiasi menitik beratkan pada kognitif dan aspek

kreasi penitik beratkan pada psikomotor. Namun demikian kedua aspek tersebut

secara seimbang menjabarkan pada ketiga domain kemampuan yaitu, kognitif afektif

dan psikomotor.

D. Penutup

Karya seni rupa tentunya tidak relevan diukur dengan alat tes saja yang hanya

mengukur aspek kognitif, sedangkan penampilan peserta didik dalam aspek afektif

dan psikomotor sangat sulit datanya diukur melalui tes. Tingkah laku peserta didik di

luar situasi tes lebih menunjukkan penampilan yang wajar dan non artificial dalam

mengaplikasikan kemampuan kognitif, afektif dan psikomotor yang banyak

diantaranya tidak dapat terjaring oleh tes. Apalagi bila dikaitkan tujuan pendidikan

seni rupa adalah membina kemampuan peserta didik ber- self expression secara

kreatif-estetik lewat penggunaan media seni rupa. Dengan demikian untuk menilai

karya seni lukis peserta didik diperlukan tidak hanya dari segi hasil saja tetapi juga

proses pembuatan karya tersebut.

PUSTAKA

Asmawi, Zainul. (2005). Alternative Assesment . Jakarta: Universitas Terbuka.

Assessment Performance (1983) APU: “ Aesthetic Development”, Crown.

BSNP. (2006). Standar Nasional Pendidikan. (Jakarta): BSNP.

9

Gronlund, N. E. (1998). Measurement and evaluation in teaching. New York: Macmillan Publishing Company.

Dibawah ini tdk ada hubungannya dengan yang diatas

CONTOH PEMETAAN STANDAR KOMPETENSI, KOMPETENSI DASAR, INDIKATOR, DAN ASPEK

PENILAIANMata Pelajara : Seni Budaya (Seni Rupa)Kelas : VIISemester : 1 (Satu)

Standar Kompetensi

Kompetensi Dasar Indikator

Aspek Teknik PenilaianKreasi

Apresiasi 1 2 3 4 5 6 7 8 9

1. Mengapresisi Karya Seni Rupa

1.1 Mengidentifikasi jenis karya seni rupa terapan daerah setempat

1.2 Menampilakan sikap apresiatip terhadap keunikan gagasan, teknik karya seni rupa terapan daerah setempat

Mengidentifikasi karya seni rupa terapan daerah setempat

Mendiskripsikan jenis, bentuk, teknik pembuatan, fungsi dan makna karya seni rupa terapan

Mendiskripsikan beragam fungsi, bentuk dan makna pada keunikan karya seni rupa terapan daerah setempat

Membuat tanggapan tertulis tentang keunikan karya seni rupa daerah setempat

10

2.Mengekspresikan diri melalui karya seni rupa

2.1 Menggambar bentuk dengan obyek karya seni rupa terapan tiga dimensi dari daerah setempat

2.2 Merancang karya seni kriya dengan memanfataakan teknik dan corak daerah setempat

2.3 Membuat karya seni kriya dengan memanfaatkan teknik dan corak daerah setempat

Membuat sketsa gambar benda silindris dan kubistis

Membuat gambar kubistis dan silindris dari karya seni rupa terapan daerah setempat sesuai kaidah gambar bentuk

Membuat disain benda pakai dengan teknik dan corak daerah setempat

Membuat disain benda hias dengan teknik dan corak daerah setempat

Membuat benda pakai dengan memanfaatkan teknik dan corak seni rupa daerah setempat

Membuat benda

hias dengan

memanfaatkan

teknik dan corak

seni rupa daerah

setempat

KETERANGAN :1. TES TULIS2. PROSES3. PRODAK4. TUGAS INDIVIDU/ KELOMPOK5. TES LISAN6. KLIPING7. JURNAL8. PENILAIAN DIRI

11

9. PENILAIAN ANTAR TEMAN

12

Merupakan salah satu tugas tersulit pendidik seni rupa adalah penilaian

produk seni rupa. Seorang pendidik seni rupa sebelum melakukan penilaian produk

seni, tentunya harus menentukan terlebih dahulu atas dasar apa hal tersebut dapat

dilakukan. Karena sebagian besar definisi seni yang telah ada mencakup seni sebagai

tujuan di dalam dirinya sendiri, maka seni pada akhirnya menjadi bernilai atau

memiliki nilai intrinsik. Bila aktivitas seni dikendalikan dan menghasilkan produk

yang memiliki suatu kegunaan spesifik, maka ia menjadi bernilai secara instrumental

atau memiliki nilai ekstrinsik. Hal ini mungkin dapat lebih disederhanakan dengan

mengatakan bahwa hal-hal yang bernilai secara instrinsik dinilai demi dirinya sendiri

dan hal-hal yang bernilai ekstrinsik diapresiasi dan dinilai karena

kebermanfaatannya. Akan menarik dan menguntungkan bila menguji penerapan

nilai-nilai ini atas seni dengan lebih dekat, yang dicontohkan dengan analogi-analogi

dari kehidupan sehari-hari. Disini akan ditemukan bahwa hal-hal keseharian tersebut

memiliki kedua nilai, salah satu nilai, atau tidak memiliki nilai sama sekali.

B. Penilaian Hasil Belajar

Dibawah ini diolah lagi di atas (pendahuluan sdh siiip)

a. Bab IV: Standart Proses Pasal 22

13

a. Penilaian hasil pembelajaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (3) pada jenjang pendidikan dasar dan menengah menggunakan berbagai teknik penilaian sesuai dengan kompetensi dasar yang harus dikuasai.

b. Teknik penilaian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa tes tertulis, observasi, tes praktek, dan penugasan perseorangan atau kelompok.

c. Untuk mata pelajaran selain kelompok mata pelajaran ilmu pengetahuan dan teknologi pada jenjang pendidikan dasar dan menengah, teknik penilaian observasi secara individual sekurang-kurangnya dilaksanakan satu kali dalam satu semester.

Sumber: Peraturan Pemerintah Republik Indonesia nomor 19 tahun 2005 Tentang Standar Nasional PendidikanDepartemen Pendidikan Nasional Republik IndonesiaJakarta, 2005, hal 24.

Dibawah ini cuplikan dari ceramah ttg pend seni mau dmn????Pada dasarnya pendidikan seni disekolah diarahkan untuk menumbuhkan

kepekaan rasa estetik dan artistik sehingga terbentuk sikap kritis, apresiasif dan kreatif pada diri siswa secara menyeluruh. Sikap ini akan tumbuh, apabila dilakukan serangkaian proses kegiatan pada siswa yang meliputi kegiatan pengamatan, penilaian, dan pertumbuhan rasa memiliki melalui keterlibatan siswa dalam segala aktivitas seni di dalam kelas dan atau di luar kelas. Dengan demikian pendidikan seni melibatkan semua bentuk kegiatan berupa aktivitas fisik dan cita rasa keindahan yang tertuang dalam kegiatan berekspresi, bereksplorasi, berapresiasi dan berkreasi melalui bahasa rupa, bunyi, gerak dan peran (seni rupa,musik, tari, dan teater). Masing-masing mencakup materi sesuai dengan bidang seni dan aktivitas dalam gagasan-gagasan seni, keterampilan berkarya seni serta berapresiasi dengan memperhatikan konteks sosial budaya masyarakat.(Diknas, 2004:3).

Sedangkan fungsi dan tujuan pendidikan seni adalah menumbuhkan sikap toleransi, demokrasi, dan beradab, serta mampu hidup rukun dalam masyarakat majemuk, mengembangkan kemampuan imajinatif intelektual, ekspresi melalui

14

seni, mengembangkan kepekaan rasa, ketrampilan, serta mampu menerapkan teknologi dalam berkreasi dan dalam memamerkan dan mempergelarkan karya seni. Sedangkan pada pengorganisasian materi pendidikan seni menggunakan pendekatan terpadu, yang penyusunan kompetensi dasarnya dirancang secara sistemik berdasarkan keseimbangan antara kognitif, afektif, dan psikomotorik yang terjabarkan dalam aspek-aspek konsepsi, apresiasi, dan produksi yang meliputi:

Assesing Young Children : What’s Old, What’s New, and Where Are we Headed?

Mengapa Asesment?Assesment adalah suatu cara yang bagus untuk melihat proses kemajuan murid dari waktu ke waktu, memberikan masukan kepada orang tua murid, serta memebantu dalam proses manajemen kelas. Yang sering terjadi adalah asessment digunakan untuk melihat kelakuan yang baik, tetapi diwujudkan dengan cara yang salah. Selain itu, alasan lainnya adalah untuk melihat kesiapan murid pra sekolah dan TK, pengembangan kurikulum, serta melihat keefektifitasan suatu program.

Pemilihan MetodePengukuran Assesment dapat dikelompokkan menjadi dua kategori, yaitu kategori yang sudah terstandarisasi, serta dapat digunakan untuk membandingkan anak dengan perkembangan normal dengan anak lain. Sedangkan untuk kategori yang kedua adalah kategori yang berisi metode yang informal, salah satunya adalah observasi. Untuk metode ini, tidak ada standar atau norma yang baku. Sehingga untuk melakukannya harus orang yang memiliki keahlian, serta sudah teraltih untuk ini. Hal yang sama berlaku pula untuk kategori yang pertama. Akan tetapi ada kekurangan untuk kategori yang pertama, yaitu adanya culture bias dimana untuk tes yang sifatnya adaptasi, ada beberapa norma yang belum tentu cocok diterapkan dalam budaya lain.

Judul : Evaluation of the Art Product

( EVALUASI PRODUK SENI)Penulis : Edward C. Waterman

Sumber : Edward C. Waterman.(1979). Art Education. April. P. 379-383

Ringkasan:

Berbicara dalam pengertian estetika, salah satu tugas tersulit pendidik seni

adalah evaluasi produk seni. Sebelum produk seni dapat dikritik atau dievaluasi,

harus menentukan terlebih dahulu atas dasar apa hal tersebut dapat dilakukan.

15

Karena sebagian besar definisi seni yang telah ada mencakup seni sebagai tujuan di

dalam dirinya sendiri, maka seni pada akhirnya menjadi bernilai atau memiliki nilai

intrinsik. Bila aktivitas seni dikendalikan dan menghasilkan produk yang memiliki

suatu kegunaan spesifik, maka ia menjadi bernilai secara instrumental atau memiliki

nilai ekstrinsik. Hal ini mungkin dapat lebih disederhanakan dengan mengatakan

bahwa hal-hal yang bernilai secara instrinsik dinilai demi dirinya sendiri dan hal-hal

yang bernilai ekstrinsik diapresiasi dan dinilai karena kebermanfaatannya. Akan

menarik dan menguntungkan bila menguji penerapan nilai-nilai ini atas seni dengan

lebih dekat, yang dicontohkan dengan analogi-analogi dari kehidupan sehari-hari.

Disini akan ditemukan bahwa hal-hal keseharian tersebut memiliki kedua nilai, salah

satu nilai, atau tidak memiliki nilai sama sekali.

INI sambungannya atau alinea lain

Ketika seseorang memeriksa suatu karya seni, ia sedang menilai dan

bukannya sedang mengukur. Pengukuran melibatkan standar komparatif, sementara

penilaian tidak. Ini merupakan perberdaan mendasar antara hal-hal yang kuantitatif

dan kualitatif. Nilai ekstrinsik suatu objek bisa dinilai (judged) dengan pengukuran-

pengukuran kuantitatif dengan standar yang eksplisit di dalam pikiran. Nilai intrinsik

suatu objek bisa dinilai (judged) dengan kritik kualitatif atas kualitas objek

sebagaimana dihubungkan dengan pengalaman yang terkendali. Dalam pengertian

ini, standar-standar untuk mengukur dan menilai sering bercampur-baur. Dalam

pengertian pengukuran kualitatif, tidak ada standar untuk kritik atau penilaian.

Tetapi, untuk mencegah kita agar tidak terjerumus ke jurang kritik teoretis

impresionistik, ada sejumlah kriteria untuk penilaian, yang dapat diterapkan pada

seni, yang secara implisit maupun eksplisit terlihat di dalam kritik analitis dan dapat

dirumuskan. Kriteria-kriteria adalah eksplorasi total atas media, penggunaan media

yang unik (ketika kita membaca sebuah soneta kita tidak ingin menjadi berpikir

seberapa baik hal yang sama bila diterapkan pada cat minyak), subordinasi

ornamentasi di bawah bentuk, hubungan bentuk dengan bahan, dan sebagainya.

Namun, kriteria ini tidak “memastikan semua” atau “mengobati semua” penciptaan

16

produk seni yang sempurna. Kriteria tersebut dapat membantu kita untuk memahami

seni sebagai perwujudan pengalaman, yang juga sama pentingnya. Dalam melakukan

hal ini, kita menjadi lebih sadar tentang apa yang kita alami. Dan produk seni sebagai

sebuah pengalaman memberikan pengalaman khusus dari dunia seni spesifik yang

relevan dengan poduk seni ketika dialami.

Di luar inteligensia, pengalaman adalah suatu kekacauan semichaotik;

gerakan tanpa arah, isi tanpa bentuk, bunyi-bunyi yang tak terkendali, warna tanpa

pikiran, dan sebagainya. Namun, seniman dan penonton, dalam berurusan dengan

fragmen-fragmen pengalaman, mengintensifkan, mengklasifikasikan, dan

menafsirkan pengalaman tersebut. Seni menyarankan tujuan ultimate semua

pengalaman yang ditata, yang merupakan konsep manusia yang hidup dalam sebuah

masyarakat yang tertib dan kreatif.

Kriteria untuk pengalaman yang lebih tertata di dalam seni secara alamiah

mendahului penilaian disipliner. Kriteria tidak mengakhiri proses kreatif karena

kriteria bukanlah batasan-batasan; mereka lebih cenderung membuka lorong-lorong

baru kepada pemahaman, imajinasi, dan pengalaman. Masalahnya bukan apa yang

tidak bisa kita lakukan, melainkan, lewat pemahaman, apa yang bisa kita lakukan

Dibawah ini dari makalah papa

17

. Pendahuluan

Kualitas hasil penelitian ditentukan oleh kualitas data yang dioleh menjadi

informasi baik dengan statistik maupun secara kualitatif. Analisis data dengan

statistik digunakan pada metode penelitian kuantitatif. Kualitas data dipengaruhi

oleh kualitas instrumen yang digunakan untuk mengumpulkan data. Kualitas

suatu instrumen dapat dilihat dari kesahihan, keandalan, praktis dan ekonomis.

Sahih berarti alat ukur mengukur seperti yang direncanakan, sedang instrumen

yang andal berarti mengandung kesalahan pengukuran yang kecil. Praktis dan

ekonomis berarti alat ukur mudah digunakan dan beaya untuk membuat dan

menggunakan alat ukur tersebut murah

Instrumen yang digunakan harus memiliki bukti kesahihan (validity) dan

keandalan (reliability). Bukti kesahihan meliputi kesahihan konstruk, kesahihan

isi, dan kesahihan terkait kriteria. Bukti keandalan instrumen dilihat dari

besarnya indeks keandakan instrumen. Oleh karena itu instrumen yang digunakan

harus sahih, andal, praktis, dan ekonomis..

B. Pengukuran Ada empat istilah utama yang terkait dengan pengukuran, yaitu tes, .

pengukuran, penilaian, dan evaluasi. Pertama, tes adalah bagian yang paling

sempit pengertiannya, yaitu suatu pertanyaan yang memiliki jawaban yang benar

dan salah. Kedua, Pengukuran menurut Guilford (1954) adalah penetapan angka

terhadap suatu objek menurut aturan tertentu. Pengukuran juga didefinisikan

sebagai suatu kegiatan yang sistematis untuk memperoleh informasi dalam

bentuk kuantitatif, yaitu berupa angka. Ketiga, penilaian adalah kegiatan

menafsirkan atau mendeskripsikan hasil pengukuran, atau kegiatan untuk

menentukan tingkat keberhasilan belajar peserta. Keempat, evaluasi adalah

judgment terhadap hasil penilaian atau implikasi hasil penilaian. Perbedaan

penilaian dan evaluasi terletak pada fokusnya. Fokus penilaian adalah peserta

didik atau individu, sedang fokus evaluasi adalah kelompok.

Tes merupakan alat yang digunakan untuk melakukan pengukuran, yaitu

mengumpulkan informasi mengenai suatu objek. Objek ini bisa berupa pendidik

atau siswa, misalnya kemampuan siswa, ketrampilan siswa, dan sebagainya.

18

Iventory adalah suatu alat ukur untuk mengumpulkan informasi tentang sikap,

minat, motivasi belajar, dan sebagainya. Oleh karena itu alat ukur yang

digunakan untuk menjaring informasi bisa berupa tes dan nontes.

Untuk memperoleh hasil pengukuran yang akurat perlu diketahui sumber

kesalahan pengukuran. Sumber tersebut terletak pada alat ukur, cara mengukur,

orang yang mengukur, orang yang diukur, dan lingkungan saat pengukuran.

Kesalahan pengukuran dapat dikategorikan menjadi dua, yaitu yang bersifat acak

dan yang bersifat sistematik. Kesalahan yang bersifat acak disebabkan pemilihan

materi pengukuran yang acak, kondisi yang diukur dan yang mengukur juga

bersifat acak, misalnya kondisi fisik dan mental, serta emosi seseorang yang

berubah secra acak. Kesalahan sistimatik disebabkan materi pengukuran terlalu

mudah atau terlalu sulit, atau bisa disebabkan oleh sifat pendidik dalam memberi

nilai, ada yang murah dan ada yang hemat.

Pada makalah akan dibahas secara singkat dan praktis tentang

pengembangan instrumen untuk penelitian. Instrumen yang digunakan untuk

penelitian bisa berupa tes atau nontes. Oleh karena itu berikut ini akan dibahas

pengembangan instrumen baik tes maupun notes.

19

Selanjutnya ditulis karakter seni rupa dengan pengertian evaluasi, pengukuran dan penilaian

C. KAJIAN PUSTAKA

1. Evaluasi dalam Pendidikan

Evaluasi atau penilaian merupakan bagian yang integral dari suatu sistem

pendidikan. Suatu pogram pendidikan yang diimplementasikan tidak akan dapat

diketahui keberhasilannya jika tidak disertai dengan kegiatan evaluasi. Jadi evaluasi

merupakan kegiatan yang sistematik untuk mengetahui tingkat keberhasilan dan

efisiensi pelaksanaan suatu program pendidikan. Penilaian terhadap tingkat efisiensi

pelaksanaan suatu program diperlukan untuk program yang diulang-ulang

pelksanannya. Evaluasi yang dilakukan diharapkan didasarkan atas informasi dan

data yang diperoleh melalui pengukuran, sehingga hasil evaluasi dapat dijadikan

pijakan untuk mengambil kebijakan atau keputusan dengan benar (Depdikbud,

1997).

Kaufman dan Thomas (1980) menyatakan bahwa evaluasi adalah suatu

proses yang dilakukan untuk membantu keberadaan seseorang atau alat tertentu agar

menjadi lebih baik dari keadaan yang sebelumnya. Dengan demikian data dan

informasi yang diperoleh melalui penilaian akan dapat dipakai untuk memperbaiki

kondisi yang ada. Sementara Stufflebeam (Silverius, 1991) menyatakan bahwa

evaluasi merupakan proses memperoleh, menggambarkan, dan menyajikan informasi

20

yang berguna untuk memberikan penilaian pada alternatif pengambilan keputusan.

Sementara Roestiyah (1982) menyatakan bahwa evaluasi adalah kegiatan

mengumpulkan data seluas-luasnya dan sedalam-dalamnya yang bersangkutan

dengan kapabilitas siswa guna mengetahui sebab akibat dan hasil belajar siswa yang

mendorong dan mengembangkan kemampuan belajar. Dalam rangka pengembangan

sistem instruksional, evaluasi merupakan kegiatan untuk menilai seberapa jauh

program telah berjalan seperti yang direrncanakan.

Pendapat lain yaitu dari Ahmann dan Glock (1981) bahwa evaluasi

pendidikan adalah suatu proses sistematis guna mendapatkan bukti-bukti yang jelas

tentang efektifitas dari kegiatan pendidikan. Dikemukakan pula bahwa evaluasi dapat

dilaksanakan selama berlangsungnya program dan pada akhir program. Gronlund

dan Linn (1990) mengemukakan bahwa penilaian merupakan tindak lanjut dari

pengukuran, dan penilaian dapat dilaksanakan pada awal program untuk tujuan

penempatan, pada saat berlangsungnya program sebagai evaluasi formatif, dan pada

akhir program sebagai evaluasi sumatif.

Dalam modul Evaluasi Hasil Belajar untuk Program Akta mengajar-V

(Depdikbud, 1985) dinyatakan bahwa penilaian adalah pembandingan hasil

pengukuran dengan patokan yang ditetapkan, dan dilihat dari tujuannya dibedakan

antara penilaian formatif yang dilaksanakan selama proses pembentukan kurikulum

dan selama proses belajar mengajar, evaluasi diagnosis yang dipakai untuk

mendiagnosis sebab musabab kesulitan belajar peserta didik, dan evaluasi sumatif

yang dipakai untuk mengetahui efektifitas kegiatan belajar dari suatu program yang

diselenggarakan.

Penilaian program pendidikan dalam skala makro, yaitu dari tingkat pusat

sampai tingkat sekolah lebih berkait dengan permasalahan mekanisme pengelolaan

dan tidak langsung berkait dengan interaksi antara pendidik dan peserta didik. Dalam

skala mikro, evaluasi berkait dengan program pembelajaran dirancang dan

dilaksanakan oleh guru.

(sudah masuk di atas)Dengan demikian, melalui penilaian yang dilakukan

oleh guru, guru harus mengetahui tingkat keberhasilan dari program pembelajaran

yang direncanakannya dan harus mengetahui pula tingkat efisiensi dari pelaksanaan

programnya Dalam hal ini efisiensi yang dimaksud akan dikaitkan dengan ketepatan

21

dalam memilih pendekatan, strategi, metode, dan media yang pakai. (Depdikbud,

1997).

Pendapat lain yaitu dari Nana Syaodih Sukmadinata (1999) bahwa evaluasi

merupakan moral judgement yang berkait dengan nilai. Hasil evaluasi berisi suatu

nilai yang akan digunakan pada tindakan selanjutnya. Evaluasi melibatkan dua

tahapan yaitu tahap pengumpulan informasi dan data, dan tahap kedua adalah tahap

pengambilan keputusan. Karena program pendidikan melibatkan banyak pihak, maka

setiap pihak akan dapat mengambil keputusan berdasarkan hasil penilaian yang ada

sesuai dengan posisinya. Murid mengambil posisinya sebagai murid, guru

mengambil posisinya sebagai guru. Besar kecilnya pengambilan keputusan juga

tidak dapat lepas dengan lingkup tanggung jawab yang diambilnya.

2. Tes Prestasi hasil Belajar

Untuk memperoleh data dan informasi yang digunakan untuk mengevaluasi

hasil belajar dilakukan pengukuran. Dilihat dari jenisnya pengukuran ada yang

melalui tes dan ada pula yang melalui nontes. Pengukuran melalui tes dibedakan

menjadi tes verbal, termasuk di dalamnya adalah tes lesan dan tes tertulis, dan tes

nonverbal atau tes perbuatan. Tes verbal dipakai untuk mengukur aspek kognitif dan

aspek afektif dalam pengertian sikap.

Untuk tes tertulis dikenal ada 3 jenis, yaitu (a) obyektif sederhana berupa

jawaban singkat, benar-salah, dan menjodohkan, (b) obyektif pilihan ganda dengan

alternatif lebih dari 2 pilihan jawaban, dan (c) essai atau uraian (Gronlund, 1977;

Gronlund, 1981). Untuk mengukur sikap dikenal ada berbagai bentuk alat pengukur

skala sikap seperti skala Likert, skala Thurstone, dan skala perbedaan semantik

(Masri. Singarimbun dan Sofian Effendi, 1982; Eiss dan harbeck, 1969). Untuk

mengukur kemampuan psikomotor melalui tes perbuatan dilakukan dengan (a)

paper-and-pencil test, (b) uji identifikasi (identification test), (c) simulasi, dan (d)

contoh kerja (work sample) (Lunneta dkk, 1981).

Kemampuan menguasai prosedur menurut Simpson (Lunneta dkk, 1981)

dimasukkan ke dalam salah satu aspek psikomotor. Oleh karena itu untuk

mengetahui penguasaan peserta didik terhadap suatu prosedur dapat dilakukan

melalui tes verbal.

22

Tes tertulis bentuk obyektif memiliki kelebihan dari segi kemampuan

memenuhi keterwakilan bahan yang diujikan, netralitas pada saat dilakukan koreksi,

juga lebih cepat dan lebih mudah dalam pemberian skornya, serta lebih mudah untuk

memenuhi kesahihan dan kehandalannya. Namun demikian tes obyektif tidak dapat

dipakai untuk jenjang sintesis ataupun evaluasi yang sifatnya kompleks Sementara

bentuk uraian kelebihan mampu dipakai untuk mengukur jenjang sintesis dan

evaluasi kompleks tetapi dari tidak mampu memenuhi keterwakilan bahan yang

diujikan dan netralitas pada saat dilakukan koreksi, juga lebih lambat dan lebih

sukar dalam pemberian skornya, serta lebih sukar dipenuhi kesahihan dan

kehandalannya (Gronlund dan Linn, 1990).

3. Sistem Evaluasi dalam Penyelenggaraan Pendidikan Dasar dan Menengah

Untuk mengimplementasikan Kurikulum 1994, di dalam buku Pedoman

proses Belajar mengajar (Depdikbud, 1994) dan Petunjuk Teknis Mata Pelajaran IPA

untuk SLTP (Depdikbud, 1995) maupun Biologi untuk SMU (Depdikbud, 1995)

telah dikemukakan secara detail tentang pengertian garis-garis besar program

pengajaran (GBPP) dan komponen-komponennya, juga prinsip-prinsip pembelajaran

baik menyangkut pendekatan, metode, pengelolaan kelas, pengelolaan laboratorium,

dan penilaiannya. Selain itu, dumuat tentang perencanaan pembelajaran yang

memberikan arahan tentang cara membuat persiapan mengajar beserta contoh-

contohnya juga model-model pelaksanaan pembelajaran yang memberikan wawasan

kepada guru tentang pelaksanaan pembelajaran yang baik. Dengan adanya Petunjuk

Teknis Mata Pelajaran diharapkan guru dapat mengimplementasikan Kurikulum

1994 dengan baik.

Dalam upaya untuk mendukung implementasi Kurikulum 1994, Direktorat

Jenderal Pendidikan Dasar dan Mengengah Depdikbud juga telah mengeluarkan

buku tentang Petunjuk Pelaksanaan Penilaian. Hal-hal yang mendasar tentang

penilaian yang ditulis dalam buku tersebut antara lain bahwa penilaian harus

memperhatikan seluruh aspek pada diri siswa. Sementara itu, alat penilaian yang

dipakai diharapkan dapat memakai tes tertulis, tes lesan, dan tes perbuatan,

sedangkan untuk memperoleh gambaran tentang minat, sikap dan kepribadian dapat

memakai pengamatan, skala sikap, dan angket (Depdikbud, 1995).

23

Pada kenyataannya, Kurikulum Pendidikan dan Pendidikan Menengah juga

memiliki mata pelajaran-mata pelajaran yang memang secara teoretik diharapkan

mampu mengembangkan kemampuan psikomotor, misalnya mata pelajaran yang

tergolong dalam IPA, baik Fisika, Kimia maupun Biologi. Ada mata pelajaran yang

benar-benar memiliki bobot yang besar dalam mengembangkan aspek fisikomotor

seperti mata pelajaran Olah Raga dan Kesehatan. Ada mata pelajaran yang

diharapkan memiliki bobot yang besar untuk mengembangkan sikap, baik sikap yang

bersifat universal seperti Pendidikan Agama, maupun sikap yang berkait dengan

sikap nasionalisme dan kebangsaan seperti mata pelajaran Pendidikan Pancasila dan

Kewargaan Negara (PPKN). Bahkan, dalam perkembangannya banyak yang

mengusulkan bahwa mata pelajaran Budi Pekerti harus masuk dalam Kurikulum

Pendidikan Dasar dan Menengah.

Dalam Buku Petunjuk Teknis Mata Pelajaran, IPA sebagai bahan ajar,

termasuk di dalamnya Biologi, Fisika dan Kimia, terdiri dari produk yang terdiri atas

fakta, konsep, prinsip, teori dan hukum; serta proses IPA yang meliputi

keterampilan-keterampilan mengamati (menggunakan sebanyak mungkin penca

indera, mengumpulkan fakta yang relevan, mencari kesamaan dan perbedaan,

mengklasifikasikan), menafsirkan hasil pengamatan (mencatat secara terpisah setiap

jenis pengamatan, menghubung-hubungkan hasil pengamatan, menemukan suatu

pola dalam seri pengamatan, menarik kesimpulan hasil pengamatan), meramalkan

apa yang akan terjadi berdasarkan hasil-hasil pengamatan, menggunakan alat/bahan

dan mengapa alat/bahan itu digunakan, menerapkan konsep (penerapan konsep

dalam situasi baru, menggunakan konsep dalam pengalaman baru untuk menjelaskan

apa yang sedang terjadi, menyusun hipotesis), merencanakan kegiatan (menentukan

alat bahan yang akan digunakan, menentukan variabel, menentukan variabel

tetap/bebas dan variabel berubah/tergayut, menentukan apa yang diukur dan diamati,

menentukan cara dan langkah kerja, menentukan bagaimana cara mengorganisasi

baik dalam bentuk grafik, tabel atau yang lainnya serta bagaimana cara mengolah

hasil-hasil pengamatan), berkomunikasi (menyusun laporan secara sistematis,

menjelaskan hasil percobaan atau pengamatan, mendiskusikan hasil percobaan, cara

membaca grafik atau tabel) serta kemampuan mengajukan pertanyaan (bertanya apa,

24

mengapa dan bagaimana, bertanya untuk meminta penjelasan, serta mengajukan

pertanyaan yang berlatar belakang hipotesis).

Dalam buku Petunjuk Teknis Mata Pelajaran tersebut juga dijelaskan pula

bahwa aspek dalam mata pelajaran IPA yang dinilai mencakup aspek kognitif, juga

aspek-aspek dalam sikap ilmiah dan nilai-nilai IPA seperti ketelitian, kecermatan,

kejujuran, penghargaan terhadap pendapat orang lain, kemauan menerima saran,

kreativitas, imajinasi dan tanggung jawab. Selain itu, penilaian diharapkan

mendasarkan pada pengenalan secara individual kepada setiap subyek belajar agar

dapat dibandingkan satu dengan yang lainnya.

Dari uraian di atas, maka penilaian yang holistik terhadap prestasi hasil

belajar siswa memang memerlukan berbagai teknik dan harus mampu mencerminkan

keseluruhan aspek yang dikembangkan yang menjadi tujuan pembelajaran.

4. Tindak Lanjut Hasil Evaluasi

Dalam hal penyelenggaraan program perbaikan, perihal bagaimana cara

menganalisis hasil ulangan sebagai salah satu langkah untuk mengetahui jenis

kegagalan, cara mengungkap latar belakang penyebab kegagalan disajikan pada buku

tentang Pedoman Analisis Hasil Evaluasi Belajar (Depdikbud, 1994), meskipun

masih ada kelemahan yaitu baru sebatas untuk menyelidiki kegagalan secara umum

dan belum untuk mengetahui subkonsep mana saja yang gagal dikuasai siswa.

Berbagai metode untuk mengetahui jenis kegagalan serta metode untuk

mengatasinya melalui program perbaikan, sudah diuraikan secara detail dalam buku

Pedoman program Perbaikan dan Pengayaan (Depdikbud, 1994). Dalam hal ini, guru

terlebih dahulu harus mengungkap apa sebenarnya yang menjadi penyebab faktor

kegagalan, sehingga dapat mengambil langkah yang tepat untuk mengatasinya. Guru

juga harus menawarkan berbagai alternatif kepada siswa agar dirinya dapat berhasil

dalam memperbaiki diri.

5. Asesmen Sebagai Salah Satu Model Evaluasi

Penilaian yang hanya didasarkan pada hasil tes tertulis akan mengalami

banyak kelemahan. Sistem evaluasi yang dituntut di dalam Kurikulum 1994

sebenarnya juga tidak mengharapkan hanya mengandalkan hasil tes tertulis.

25

Penilaian terhadap tugas-tugas yang diberikan harus menjadi bagian dari penilaian.

Penilaian yang hanya mengandalkan hasil ulangan baik ulangan harian, ulangan catur

wulan, ulangan kenaikan kelas, maupun Ebtanas juga hanya mengandalkan pada tes

tertulis. Alat penilaian ini dipandang mengandung banyak kelemahan. Utamanya

karena hanya mengukur sebagian kecil saja dari aspek (domain) prestasi yang dicapai

oleh peserta didik. Aspek/domain yang lebih banyak diukur adalah aspek kognitif.

Kenyataan di lapangan juga hanya mengukur jenjang yang rendah saja (knowledge

dan comprehension). Akibatnya, hasil yang terukur kurang mencerminkan

pencapaian hasil belajar yang sesungguhnya.

Kegiatan penilaian yang berkait dengan prestasi dalam aspek psikomotor baik

dalam bentuk aktivitas verbal seperti kemampuan berbicara menyampaikan

pendapat/berargumerntasi, bertanya, berdiskusi, ataupun yang berkait dengan

kegiatan menulis seperti mengarang, membuat desain percobaan, membuat puisi,

serta kemampuan yang berkait dengan keterampilan dalam mempergunakan

peralatan termasuk kegiatan menggunakan peralatan laboratorium, memang tidak

akan dapat dinilai hanya dengan mengandalkan data yang dihimpun dari tes tertulis.

Prestasi yang dicapai adalah prestasi yang diujudkan dalam bentuk penanmpilan

kinerja atau hasil kerja, dan hanya akan tepat jika dinilai melalui asesmen dalam

bentuk performance assessment atau authentic assessment.

Performance assessment merupakan penilaian yang dilakukan melalui

penyajian atau penampilan oleh peserta didik dalam bentuk pengerjaan tugas-tugas

atau berbagai aktivitas tertentu, yang secara langsung mempunyai makna

pendidikan. Performance assessment yang bertujuan untuk mengetahui seberapa

baik subyek belajar telah mampu mengaplikasikan pengetahuan dan

keterampilannya sesuai dengan sasaran pembelajaran yang telah ditentukan dan

berfokus pada penilaian secara langsung yakni dalam arti langsung dari kinerja

atau apa yang ditampilkan oleh peserta didik, berlangsung kontinyu, dengan

mengkaitkannya dengan berbagai permasalahan nyata yang dihadapi peserta didik.

Menurut Griffin dan Nix (1991), tugas/kegiatan yang sesuai dengan

asesmen adalah tugas/kegiatan yang hendaknya

1. menuntut peserta didik menggunakan pengetahuannya untuk mengerjakan

tugas/kegiatan tersebut menjadi tugas yang benar-benar bermakna;

26

2. merupakan gabungan antara aspek pengetahuan, keterampilan, dan kemampuan,

dan menuntut para peserta didik untuk mengkobinasikan aspek-aspek tersebut

dalam menyelesaikannya;

3. menuntut respons, tampilan atau produk yang akurat, cermat dan lengkap;

4. mempunyai standar dan kriteria yang spesifik dan jelas/tegas untuk memberikan

penilaian atas berbagai jawaban, tampilan, atau produk yang dihasilkan;

5. menjadi contoh bagi peserta didik untuk menemukan cara mengkombinasikan

pengetahuan, keterampilan, dan kemampuannya dalam dunia nyata;

6. mampu menunjukkan berbagai tantangan yang dihadapi dalam kehidupan nyata.

Menurut Marsh (1996) jenis tugas/kegiatan yang sesuai dengan asesmen

diantaranya yaitu portofolio, menulis jurnal/paper, simulasi, desain dan presentasi,

observasi kritis, proyek individu dan kelompok, studi lapangan, pemecahan masalah,

membuat peta konsep dan sebagainya.

Menurut Marzano dkk (1993) performance assssment atau authentic

assessment mengandung tiga unsur inovasi dalam bidang penilaian. Pertama, tidak

mengukur ketercapaian tujuan pembelajaran yang tradisional, tetapi lebih

menekankan pada kemampuan nyata subyek belajar. Kedua, bersifat menyeluruh,

mengembangkan seluruh kemampuan subyek belajar melalui kegiatan pembelajaran

menurut paham konstruktivisme. Ketiga, tidak menggunakan sistem tes tradisional

tetapi menggunakan berbagai cara. Sistem tes tradisional cenderung hanya

mengukur ingatan, dan menurut Gronlund (1998) antara 80 % sampai 90% guru

melakukan hal tersebut.

Gronlund (1998) menambahkan perihal kelebihan performance assessment.

Melalui performance assessment yang diperluas (extended performance assessment)

guru dapat mengetahui berbagai kemampuan yang lebih kompleks yang dicapai

siswa yang tidak dapat diukur dengan menggunakan tes tertulis dalam bentuk uraian

sekalipun. Untuk mengetahui prestasi dalam bidang matematika misalnya, melalui

paper-and-pencil test sebagai salah satu bentuk tes perbuatan dapat dipakai untuk

mengetahui kemampuan siswa dalam memilih diantara fakta-fakta yang tersedia

untuk memecahkan permasalahan matematika yang dihadapi. Demikian pula dalam

bidang IPA, melalui paper-and-pencil test dapat dipakai untuk mengetahui

kemampuan testi dalam memilih prosedur untuk memecahkan permasalahan. Namun

27

demikian dalam beberapa hal guru dapat mengkombinasikan tes perbuatan dengan

tes tertulis. Menurut Gronlund, melalui performance essessment jakan dapat

diketahui penampilan yang aktual dari siswa dalam menguasai keterampilan yang

telah dipelajarinya seperti kemampuan memakai peralatan laboratorium,

kemampuan melaksanakan eksperimen, kemampuan menjalankan mesin, dan

sebagainya. Sementara istilah authentic assessment dipakai untuk suatu performance

assessment yang difokuskan pada aplikasi atau dari pengetahuan yang dikuasai

siswa atau untuk mengetahui keterampilan siswa untuk memecahkan problem-

problem yang dihadapi dalam dunia nyata.

Menurut Newman dan Wehlage (1993) authentic assessment adalah proses

pengumpulan data dimana mahasiswa memahami dan menghasilkan pengetahuan

yang berarti/bermakna. Authentic assessment disebut juga performance assessment

karena didasarkan atas apa yang dapat dilakukan oleh subyek belajar. Marzano dkk.

(1993) mengidentifikasi kegiatan authentic assessment sebagai berikut:

1. Peserta didik diberi kesempatan untuk mendemonstrasikan kebolehannya,

pema-hamannya, keterampilannya secara kontekstual dan variatif.

2. Dilakukan secara kontinyu dan terstruktur menurut tujuan instruksional

3. Menghasilkan karya nyata (tangible product) dan penampilan yang dapat

diamati (observable performance).

4. Memacu peserta didik untuk melakukan penilaian diri (self-assessment),

menyadari kelebihan dan kelemahannya dan mampu mengembangkan

kelebihannya tersebut dan memperbaiki kelemahannya.

5. Mengungkap kemampuan peserta didik berdasarkan kriteria yang telah

ditentukan.

O’Neil (1992) menambahkan bahwa Authentic Assessment memberi data

yang lebih lengkap tentang kemampuan peserta didik dan didasarkan atas kegiatan

pembelajaran, menghargai produk dan proses sama baiknya

Authentic assessment identik pula dengan outcomes-based education

seperti yang diungkap oleh Spady (1993). Menurut Spady, Program Studi atau

sekolah harus memiliki standar lulusan. Suatu program Studi atau sekolah mestinya

telah mengembangkan standar kemampuan atau kapasitas lulusannya sebagaimana

stanfar yang ditetapkan oleh lembaga yang bersangkutan. Dengan demikian maka

28

setiap mata pelajaran yang diselenggarakan memberi kontribusi dalam upaya untuk

mengembangkan kemampuan peserta didik menuju standar yang telah ditetapkan.

Fungsi authentic asessment ialah untuk melacak kemampuan standar mana yang

telah dikuasai peserta didik dan kemampuan mana yang belum dikuasai peserta

didik. Dengan demikian maka kualitas lulusan akan memenuhi standar yang telah

ditetapkan.

Tugas-tugas peserta didik yang dikembangkan melalui authentic asessment

bervariasi namum tidak terlepas dari tiga prinsip dasar. Pertama, tugas-tugas tersebut

sangat berarti bagi peserta didik (meaningful). Kedua, senantiasa disertai dengan

kriteria penilaian. Dan ketiga didasarkan atas apa yang dapat dilakukan oleh peserta

didik (Marsh, 1996). Adapun bentuk tugas-tugas tersebut meliputi: (a) portfolio, (b)

pembuatan jurnal/paper/karangan, (c) simulasi, (d) membuat desain dan presentasi,

(e) observasi kritis, (f) mengerjakan proyek individu dan kelompok, (g) melaporkan

hasil studi lapangan, (h) melakukan kegiatan pemecahan masalah, (i) membuat peta

konsep, dan sebagainya

Dari hasil penelitian yang telah diselenggarakan seperti yang dilaporkan oleh

Swanson dkk. (1995), menunjukkan bahwa selain ada kelebihan juga ada kendala

dalam menyelenggarakan authentic assessment seperti (a) sukarnya membuat desain

tes penampilan (performance), karena ternyata tidak lebih sederhana, (b) serealistik

apapun hasil penampilan sifatnya tetap berupa simulasi, (c) sulitnya memberikan

skor yang obyektif terhadap kinerja yang ditampilkan, (d) hasil penilaian pada suatu

konteks berbeda dengan konteks yang lainnya sehingga terkesan tidak predictable,

(e) hasil penilaian kinerja satu aspek tidak mesti berkorelasi dengan hasil kionerja

pada aspek yang lain, (f) penilaian terhadap kinerja yang memang selalu cenderung

bersifat komplek cenderung tidak mudah sehingga hasil tes tulis masih tetap

diperlukan untuk mempoerkuat hasil penilaian.

Penelitian Bambang Subali dkk (2000) yang mencoba menerapkan authentic

assessment di FMIPA UNY yaitu pada mata kuliah Penilaian pencapaian Hasil

Belajar Biologi pada program Strata-1 Pendidikan Biologi, Jurusan Pendidikan

Biologi, menunjukkan bahwa dengan jumlah mahasiswa sebanyak 47 orang,

penilaian terhadap kegiatan yang sifatnya mengarah kepada kinerja individual dalam

bentuk kerja kelompok menjadi sukar dilaksanakan. Kepasifan mahasiswa serta

29

ketidak siapan mahasiswa untuk menghadapi suatu tugas yang sifatnya berupa

kegiatan lapangan yang harus terjun langsung ke sekolah untuk memperoleh data

menjadi hambatan penerapan authentic assessment.

6. Realita Penyelenggaraan Evaluasi di Lapangan

Meskipun secara teoretik penyelenggaraan sistem evaluasi beserta teknik

evaluasi, termasuk program perbaikannya, yang digariskan dalam Kurikulum 1994

sudah cukup lengkap. Namun demikian, banyak kendala yang ditemukan di

lapangan. Salah satu alasan yang mengemuka yang selalu terungkap melalui berbagai

penelitian misalnya banyak guru yang memiliki beban tugas lebih dari yang

diwajibkan sebanyak 18 jam per minggu. Bahkan akhir-akhir ini seperti yang

diberitakan di media masa, Kanwil Depdiknas DKI Jaya menegaskan bahwa beban

mengajar harus 24 jam. Banyak sekolah yang belum memiliki laboratorium yang

memadai, misal di SMU masih berupa laboratorium IPA (satu lab dipakai untuk

Fisika, Kimia dan Biologi), itupun umumnya hanya ada satu ruang. Akibatnya

kegiatan praktikum dilaksanakan secara terpisah dengan pembelajaran di kelas.

Penyelenggaraan program perbaikan secara klasikal sulit dilaksanakan karena

padatnya materi/bahan ajar. Penyelenggaraan program perbaikan di luar jam

pelajaran pada pagi hari praktis tidak dapat dilaksanakan, sementara

penyelenggaraan pada sore hari tidak didukung ketersediaan finansial.

Berkait dengan pelaksanaan sistem evaluasi hasil belajar di sekolah, penelitian

dalam jangka waktu lima tahun terakhir yang sempat dihimpun menunjukkan

kenyataan yang belum menggembirakan. Penelitian Toto Kuwato dan Djemari

Mardapi (1999) yang diselenggarakan di Propinsi DIY, Sumatera barat, dan

Kalimantan barat menunjukkan hasil sebagai berikut.

1. Sistem ujian yang ada selama ini belum seperti yang diharapkan. Masih banyak

guru yang belum secara rutin menyusun kisi-kisi ulangan, menelaah soal,

menganalisis butir soal, menganalisis hasil ulangan, menginformasikan

kegagalan siswa kepada orang tua, dan belum sepenuhnya menindaklanjuti

kegagalan siswa melalui program perbaikan. Guru belum diwajibkan menyusun

kisi-kisi ulangan.

30

2. Dalam menyiapkan pelajaran umumnya para guru hanya mencontoh rencana

pelajaran dan analisis materi pelajaran (AMP) yang disusun oleh MGMP.

3. Soal-soal ujian SMU belum dikalibrasi, sehingga sulit untuk membandingkan

mutu sekolah baik antar wilayah maupun antar tahun.

4. Faktor finansial menjadi kendala pengembangan bank soal di tingkat wilayah.

5. Mutu alat tes belum baik karena tidak selalu disertai dengan penyusunan kisi-

kisi soal. Mutu soal secara kualitatif juga belum baik, karena masih banyak

yang belum memenuhi persyaratan baik dari aspek materi, konstruksi dan bahasa.

Hasil tes belum sepenuhnya menggambarkan tercapainya pelaksanaan

kurikulum.

6. Keterkaitan antara ulangan harian, ulangan cawu, ulangan kenaikan kelas belum

baik akibat tidak adanya kisi-kisi ulangan.

7. Program perbaikan belum dilaksanakan secara terencana. Hanya sekedar

menyelenggarakan ulangan susulan dalam selang waktu yang sangat pendek

tanpa ada tindakan pembelajaran lagi oleh guru.

8. Kurangnya dorongan dari pihak kepala sekolah kepada guru yang telah

mengikuti pelatihan untuk menerapkan pengetahuannya di sekolah.

9. Informasi hasil ujian bagi pihak-pihak terkait, baik siswa, orang tua siswa,

sekolah, dan Kanwil Depdiknas sendiri, belum dapat diperoleh secara lengkap.

Kalaupun ada dokumen, belum dapat dimanfaatkan secara optimal.

Penelitian Toto Kuwato dan Djemari Mardapi (1999) juga menyertakan

program tindakan untuk meningkatkan sistem evaluasi di sekolah. Dengan

melibatkan kepala sekolah dan pengawas bidang studi secara efektif, guru mampu

merencanakan, melaksanakan dan menindaklanjuti hasil penilaian dengan baik.

Namun demikian, taraf serap siswa tetap rendah dan rendahnya taraf serap siswa

ditentukan oleh pandangan guru yang menganggap mudah suatu konsep atau

memang karena kemampuan awal siswa yang rendah, jadi bukan karena rendahnya

mutu soal yang dibuat guru.

Hasil penelitian Bambang Subali (1997) menunjukkan bahwa  kualitas alat

uji yang dibuat guru Biologi SMU di  Kodya Yogyakarta belum memuaskan.

Masih ada kesalahan yang  menonjol dari aspek materi, konstruksi maupun dari

aspek  bahasa.  Guru tidak  merumuskan pencapaian  prestasi  belajar yang lain

31

selain prestasi kognitif. Hasil penelitian  Bambang subali (1995) terhadap kualitas

soal Biologi SMU yang ada dalam buku kumpulan soal  yang  dikeluarkan oleh

Depdikbud dan yang ada di dalam  buku  ajar yang  dipakai di lingkungan DIY

masih menunjukkan adanya kesalahan dari  aspek materi,  konstruksi maupun

bahasa. Sementara banyak guru dalam menyusun soal  justru  mengacu pada soal-

soal yang ada dalam buku-buku tersebut.

Dalam program penerapan IPTEK tentang pengembangan bank soal  yang

dilaksanakan  oleh Djemari Mardapi dkk. (1997) salah satu kendala yang  dijumpai

saat melaksanakan  penataran guru adalah adanya  kesulitan guru untuk

mengembangkan indikator dalam kisi-kisi soal, dan guru juga sulit menulis soal

sesuai dengan tuntutan persyaratan yang ada.

Penelitian Djemari Mardapi dkk. (1999) terhadap kegiatan guru dalam

melakukan penilaian di kelas untuk seluruh mata pelajaran yang diujikan dalam

Ebtanas di SD dan SLTP serta di SMU, hasilnya sebagai berikut.

1. Perencanaan guru dalam kegiatan penilaian cukup memadai, tetapi dalam hal

penyusunan kisi-kisi masih tergolong rendah, dan kisi-kisi soal masih sulit

dilacak arsipnya.

2. Teknik penilaian yang dipakai guru umumnya dalam bentuk tes dan pengamatan

terhadap hasil pekerjaan rumah serta kegiatan di kelas. Guru belum terbiasa

menggunakan angket dan skala sikap sebagai teknik penilaian.

3. Hanya sebagian kecil guru yang melaksanakan ujian keterampilan di

laboratorium bagi mata pelajaran yang memiliki kegiatan laboratorium.

4. Laporan hasil ulangan belum disampaikan secara periodik oleh guru ke kepala

sekolah maupun kepada pihak orang tua siswa.

5. Program perbaikan umumnya hanya ditujukan untuk memperbaiki nilai dengan

menyelenggarakan ulangan perbaikan, bukan dilakukan dalam bentuk program

pembelajaran yang terencana.

6. Sebagaian guru menyatakan melaksanakan analisis hasil ulangan, namun masih

bersifat global (berupa analisis skor hasil ulangan), belum sampai untuk

menemukan konsep/subkonsep yang belum dikuasai siswa.

7. Sebagian besar kepala sekolah menyatakan telah mendorong guru untuk

menyusun kisi-kisi, menelaah soal, menganalisis butir soal, menganalisis hasil

32

ulangan, melaksanakan kegiatan remediasi, disamping guru harus menyususn

perencanaan pembelajaran. Namun demikian pemantauan oleh kepala sekolah

belum berjalan dengan baik.

Penelitian Wuryadi dan Bambang Subali (2000) yang menggunakan guru

Biologi SLTP dan SMU juga siswa dan orang tua SLTP dan SMU sebagai responden

menunjukkan bahwa:

1. pemahaman guru terhadap prosedur penilaian cukup baik dan merata, dan tidak

begitu terkait dengan kefavoritan sekolah tempat mereka bekerja, latar belakang

pengalaman ataupun jenjang pendidikan, namun data dokumen menunjukkan

belum semua melaksanakannya;

2. keterlaksanaan penilaian proses belum baik, demikian pula dalam hal penerapan

prinsip-prinsip penilaian untuk menilai prestasi belajar Biologi juga dalam

memanfaatkan hasil ulangan untuk meningkatkan prestasi siswa;

3. strategi guru merencanakan penilaian, utamanya dalam menyusun kisi-kisi soal

umumnya dibuat bersama melalui kegiatan MGMP dan menyatu dalam SAP;

4. dalam menyusun soal ulangan sebagian besar guru melakukannya sendiri dan

dalam beberapa hal masih ada kesalahan dari aspek materi, konstruksi serta

bahasa,

5. hanya sebagian kecil guru yang menambah bentuk pilihan ganda dengan bentuk

lain untuk meningkatkan kemampuan siswa menempuh ujian;

6. lebih banyak guru yang menjadwalkan ulangan dibanding yang membuat

kesepakatan dengan siswa, dan pelaksanaannya jika bahan sudah habis;

7. sebagian besar hanya mengukur aspek kognitif, dan banyak yang menyatakan

sampai jenjang evaluasi walaupun dokumen menunjukkan hanya sampai jenjang

pemahaman;

8. hampir semua guru hanya mengandalkan hasil ulangan harian dan ulangan cawu

sebagai dasar pemberian nilai, dan dengan kriteria keberhasilan yang beragam,

hampir semua guru berorientasi pada pengembangan TPK yang bersifat

penguasaan (mastery objectives);

9. program pengayaan belum sesuai pedoman yakni belum untuk mermperkaya

konsep namun masih ditujukan untuk meningkatkan penguasaan konsep;

33

10. guru kurang berorientasi pada pengembangan psikomotor melalui kegiatan

laboratorium dengan alasan keterbatasan waktu dan tenaga dan banyak guru yang

belum memakai hasil penilaian keterampilan laboratorium sebagai bagian dari

penilaian;

11. semakin favorit sekolah semakin banyak orang tua yang menilai positif terhadap

penyelenggaraan penilaian dalam mata pelajaran Biologi, namun menurut siswa

justru semakin favorit sekolah semakin rendah persepsi siswa terhadap

penyelenggaraan penilaian yang dilakukan guru.

Penelitian yang dilaksanakan oleh FMIPA UNY dalam rangka program

kerjasama dengan JICA (Sukirman, (2000) dengan menggunakan SD, SLTP dan

SMU di Kodya Yogyakarta dan Kabupaten Sleman menunjukkan bahwa pada

dasarnya pemahaman guru MIPA dalam hal penyelenggaraan evaluasi sudah cukup

memadai, namun belum sepenuhnya diimplermentasikan di lapangan, bahkan untuk

aspek tertentu guru hampir tidak melaksanakannya, termasuk penilaian terhadap

kemampuan proses sains/keterampilan psikomotor. Guru juga tidak secara rutin

menyusun kisi-kisi soal, melakukan telaah soal, menganalisis butir soal,

menganalisis hasil evaluasi ataupun menindaklanjuti dengan kegiatan perbaikan yang

terprogram. Penelitian yang sama yang dilaksanakan oleh FMIPA Universitas Negeri

Malang (Gatot Muhsetyo, 2000) menunjukkan secara umum guru sudah

melaksanakan prosedur penilaian dengan baik, namun hanya 45-74% guru MIPA

yang melakukan analisis item. Selain itu, hampir semua guru melaksanakan kegiatan

laboratorium namun kurang dari setengahnya yang melakukan penilaian

terhadapnya, dan hanya sedikit pula yang mempertimbangkan hasil kerja

laboratorium untuk penilaian akhir siswa. Demikian pula penelitian yang sama yang

dilakukan FPMIPA Universitas Pendidikan Indonesia (Utari Soemarmo, 2000)

menunjukkan bahwa dalam menyelenggarakan penilaian hanya sebagian guru yang

melakukan analisis butir soal, dan hanya sebagian yang memanfaatkannya untuk

umpan balik.

Dalam hal penyelenggaraan pelatihan/penataran termasuk di dalamnya dalam

bidang evaluasi, sudah banyak diselenggarakan pelatihan/penataran pengujian baik

yang berskala  nasional,  regional  maupun lokal. Untuk keperluan tersebut Pusisjian

Balitbang Depdiknas telah menerbitkan buku panduan dengan judul  Bahan

34

Penataran  Pengujian Pendidikan. Namun demikian ada kritik terhadap

penyelenggaraan kegiatan pelatihan, termasuk pelatihan evaluasi, yaitu adanya

pembatasan umur peserta yaitu tidak boleh lebih dari 40 tahun, penyelenggaraan

pelatihan/penataran yang diselenggarakan oleh Kanwil Depdiknas juga tidak berjalan

secara efektif, banyak guru yang hanya sekedar mengikuti pelatihan/penataran

(informasi dari beberapa guru inti di DIY). Hasil survei di DIY, Sumatera Barat dan

Kalimantan Barat ada yang sudah berkali-kali disertakan dalam penataran tetapi ada

yang belum pernah mengikutinya, sementara semua guru sangat mengharapkan dapat

mengikuti pelatihan (Toto Kuwato dan Djemari Mardapi, 1999). Di Jawa Timur

diperkirakan berkisar antara 45 – 65% guru MIPA yang telah mengikuti penataran

evaluasi, namun sebagian besar (75%) masih mengharapkan dapat mengikutinya lagi

(Gatot Muhsetyo, 2000).

Hasil identifikasi yang dilakukan oleh FMIPA UM (Lukman Hakim, 2000)

menunjukkan bahwa selain Ebtanas, ulangan cawu pun hanya mengukur aspek

kognitif dan untuk IPA tidak pernah menyangkut pengukuran terhadap kemampuan

proses IPA. Guru jarang melakukan pengukuran untuk mengukur ketercapaian setiap

tujuan pembelajaran khusus yang dirumuskan karena keterbatasan waktu, Jadi, masih

bersifat sampling. Sementara hasil identifikasi yang dilakukan oleh FMIPA

Universitas Negeri Padang (Idrus Ramli, 2000) menunjukkan bahwa bahan evaluasi

tidak berorientasi pada kurikulum tetapi berorientasi pada Ebtanas dan UMPTN,

bentuk soal obyektif tidak memotivasi siswa, nilai cawu I dan II tidak berperan untuk

kenaikan kelas, demi prestise sekolah sering nilai siswa dimodifikasi (ditinggikan)

yang justru berdampak negatif terhadap motivasi belajar siswa.

7. Ebtanas Sebagai Salah Satu Model Sistem Evaluasi

Ebtanas diselenggarakan dengan tujuan antara lain sebagai berikut

(Depdikbud, 1986).

1. Merintis terciptanya standar nasional mutu pendidikan dasar dan menengah.

2. Menyederhanakan prosedur penerimaan peserta didik baru pada sekolah yang

lebih tinggi.

3. Mempercepat peningkatan dan pemerataan mutu pendidikan dasar dan

menengah.

35

4. Menunjang tercapainya tujuan kurikulum.

5. Mendorong agar proses belajar mengajar dilaksanakan berdasar kurikulum, buku,

dan alat peraga yang telah ditetapkan.

Melihat tujuan-tujuan di atas, tampak bahwa Ebtanas dilihat dari sudut

pandang sebagai evaluasi program didudukkan sebagai penilaian dalam skala makro.

Depdiknas sendiri berpendapat bahwa penilaian dalam skala makro sebaiknya tidak

dilakukan sendiri oleh Depdiknas karena Depdiknas sebagai penyelenggara

pendidikan. Sebaiknya penilaian dilakukan oleh lembaga lain yang idependen.

Selama ini dalam jajaran Depdiknas, sudah ada Inspektorat Jenderal namun lebih

berkaitan dengan tugas managerial, sementara hasil program pendidikan adalah

perubahan perilaku yang sulit untuk diukur (Depdikbud, 1997). Namun demikian,

pelaksanaan Ebtanas yang hanya mengandalkan pada ujian tertulis apalagi hsnys

dalam bentuk obyektif dipandang oleh banyak pihak tidak akan dapat mencerminkan

hasil pendidikan sebagaimana yang dirumuskan dalam tujuan institusional/lembaga.

Kritik terhadap penyelenggaraan ujian yang sifatnya nasional salah satunya

dikemukakan oleh Nitko (1996) yaitu bahwa:

1. hasil-hasil tes tampak tidak peka, baik terhadap perbaikan masukan (in-put)

pendidikan, maupun terhadap persepsi guru dan orang tua perihal prestasi

peserta didik;

2. laporan hasil tes tidak menerangkan tentang pengetahuan dan keterampilan yang

dipelajari oleh peserta didik. Akibatnya pengambilan keputusan/pengembang

kurikulum tidak mengetahui aspek kurikulum mana yang harus diperbaiki;

3. hasil-hasil ujian memberikan dasar yang rapuh untuk membimbing peserta didik

ke arah kejuruan dan pengembangan karir;

4. kesesuaian antara tujuan belajar yang dinyatakan dalam kurikulum resmi dan

pertanyaan-pertanyaan yang muncul dalam setiap tahun dalam ujian seringkali

tidak jelas bagi guru. Akibatnya para guru mengabaikan kurikulum resmi dan

menggunakan soal-soal ujian yang telah lalu sebagai bahan ajar;

5. para pendidik di semua jenjang pendidikan menunjukkan kelemahan-kelemahan

tersebut, bahkan ada yang menyandarkan pada hasil sekali ujian, sehingga

beresiko tinggi karena mengabaikan kinerja peserta didik bertahun-tahun di

kelas;

36

6. keluasaan dan kekayaan pembaharuan kurikulum diabaikan oleh para guru, yang

atas kemauannya sendiri mempersempit kurikulum sehingga menjadi tugas-tugas

yang bakal muncul dalam ujian.

Dalam Petunjuk Pelaksanaan Penilaian untuk mendukung implementasi

Kurikulum Pendidikan Dasar dan Menengah 1994, secara tegas ada delapan prinsip

penilaian yang harus diperhatikan. Pertama yaitu prinsip menyeluruh dalam arti

bahwa aspek yang dinilai harus mencakup aspek pengetahuan, sikap, perilaku dan

nilai, serta keterampilan. Penilaian juga harus mencakup aspek proses dan hasil

belajar dan mencakup seluruh bahan pelajaran yang telah dipelajari siswa. Kedua,

prinsip berkesinambungan dalam arti harus dilakukan secara berencana, bertahap

serta terus menerus untuk memperoleh gambaran perkembangan siswa. Ketiga,

berorientasi pada tujuan dalam arti penilaian harus mencerminkan seberapa jauh

tujuan pembelajaran telah dapat dicapai. Keempat prinsip obyektif dalam arti

penilaian harus menghindarkan diri dari subyektivitas penilai dan mencerminkan

tingkat keberhasilan yang sebenarnya. Kelima, prinsip terbuka dalam arti proses

penilaian harus diketahui dan diterima oleh semua pihak yang terkait (siswa, orang

tua, masyarakat, dan sekolah). Keenam, prinsip kebermakanaan dalam arti hasil

penilaian harus bermakna dan berguna untuk meningkatkan hasil belajar siswa,

memberikan laporan tentang kemajuan hasil belajar siswa dan harus bermakna untuk

memperbaiki dan meningkatkan cara belajarnya, sedangkan bagi guru harus

bermakna sebagai umpan balik untuk perbaikan proses pembelajaran yang

diselenggarakan. Ketujuh, prinsip berkesesuaian dalam arti bahwa penilaian harus

sesuai dengan pendekatan kegiatan pembelajaran yang diikuti dalam melaksanakan

kurikulum. Apabila digunakan pendekatan eksperimen maka kegiatan melakukan

percobaan harus menjadi salah satu obyek yang dinilai. Apabila menggunakan

pendekatan keterampilan proses, maka keterampilan proses juga harus menjadi

obyek penilaiannya. Kedelapan adalah prinsip mendidik. Dalam hal ini hasil

penilaian harus dapat dipakai untuk memberikan dorongan kepada siswa agar dapat

meningkatkan diri dalam belajarnya, sehingga hasil penilaian akan merupakan

penghargaan bagi siswa yang berhasil dalam belajar dan sebagai peringatan bagi

siswa yang tidak berhasil (Depdikbud, 1994). Kenyataan menunjukkan bahwa

Ebtanas sebagai satu-satunya penilaian yang berskala nasional untuk menilai prestasi

37

hasil belajar siswa belum sejalan dengan prinsip-prinsip penilaian yang diacu dalam

pelaksanaan Kurikulum 1994.

Dengan adanya Ebtanas yang hanya memfokuskan pada ujian tertulis yang

hanya menguji penguasaan aspek kognitif, dan hasil Ebtanas dijadikan alat untuk

seleksi (di SLTP dan SMU) memperkuat kritik yang yang dikemukakan oleh Nitko.

Banyak guru yang menggunakan soal-soal Ebtanas sebagai acuan dalam

penyelenggaraan kegiatan pembelajaran peserta didiknya, hal ini didukung temuan

penelitian Wuryadi dan Bambang Subali, (2000) yang menggunakan responden guru

Biologi SLTP dan SMU di Propinsi DIY, yaitu bahwa sebagian besar guru

menyelesaikan materi kurikulum untuk selanjutnya berkonsentrasi menghadapi

Ebtanas dengan menyelenggarakan latihan soal-soal, padahal dalam buku Petunjuk

Teknis Mata Pelajaran Biologi di SMU (Depdikbud, 1995), bahwa guru tidak boleh

mengubah tujuan pembelajaran yang sudah ditetapkan dalam GBPP. Penelitian

Djemari Mardapi dkk. (1999) yang khusus mengenai Ebtanas menunjukkan hasil

sebagai berikut.

1. Selama lima tahun terakhir sudah ada pedoman penyelenggaraan Ebtanas baik

untuk pusat maupun wilayah, namun belum ada pedoman tentang pemanfaatan

hasil Ebtanas.

2. Ebtanas cenderung memacu guru menyelesaikan KBM berdasar kurikulum untuk

mata pelajaran yang diujikan melalui Ebtanas, tetapi tidak untuk mata pelajaran

yang tidak diujikan melalui Ebtanas.

3. Ebtanas belum mampu mempercepat peningkatan dan pemerataan mutu

pendidikan dasar dan menengah. Hal tersebut dapat dilihat berdasarkan

perkembangan skor hasil Ebtanas yang berfluktuatif. Guru belum

menindaklanjuti umpan balik hasil Ebtanas dan belum ada pemantauan secara

nasional khususnya untuk pendidikan di SD.

4. Ebtanas baru mampu menciptakan baku mutu pendidikan untuk SLTP dengan

menggunakan soal yang sudah dikalibrasi, namun belum untuk SD dan SMU.

5. Untuk sementara hasil Ebtanas (NEM) dapat dijadikan alat seleksi, namun perlu

dipikirkan alat seleksi yang lain seperti tes potensi akademik, mengingat:

a. NEM merupakan alat seleksi yang obyektif dan efisien.

38

b. Karakteristik alat tes untuk mengukur prestasi berbeda dengan alat tes untuk

seleksi

c. Tidak ada korelasi yang signifikan antara NEM dan prestasi siswa mengikuti

pelajaran di sekolah selanjutnya.

6. Hampir semua responden berharap agar penyelenggaraan Ebtanas dilanjutkan

namun perlu ada perbaikan terutama dalam obyektivitas pengawasan, sistem

koreksi, dan penentuan NEM. Namun demikian, ada perbedaan pendapat di

kalangan pakar. Sebagian pakar menyatakan bahwa Ebtanas memiliki manfaat

seperti: (a) meningkatkan standar mutu pendidikan, (b) mendorong siswa

meningkatkan KBM, dan (c) meningkatkan perhatian orang tua terhadap aktifitas

belajar anak; namun ada sebagian yang lain menyatakan bahwa tidak ada

manfaatnya diselenggarakan Ebtanas, dan guru belum mampu memanfaatkan

informasi hasil Ebtanas dengan baik.

8. Pertanyaan Penelitian

dari rumusan masalah dan kajian teori serta fakta-fakta yang selama ini sudah dapat

dihimpun dari lapangan, dapat dirinci pertanyaan-pertanyaan penelitian yang perlu untuk

dijawab agar dapat dijadikan pijakan untuk membuat rumusan kebijakan tentang

penyelenggaraan sistem ujian akhir yang bernuansa otonomi daerah. .

1. Apakah ujian akhir nasional yang selama ini dikenal dengan Ebtanas yang

diselenggarakan dalam bentuk ujian tertulis dengan soal-soal bentuk pilihan

ganda---yang semata-mata sebagai upaya untuk memenuhi kesahihan dan

kehandalan suatu alat evaluasi---masih tetap harus dipertahankan? Jika masih

dipertahankan apakah tidak dilengkapi dengan ujian perbuatan (nonverbal) untuk

mata pelajaran-mata pelajaran yang melatih kemampuan psikomotor, juga ujian

sikap untuk menilai sikap peserta didik?

2. Apakah mata pelajaran yang diujikan dalam ujian akhir nasional juga hanya mata

pelajaran tertentu seperti yang selama ini diselenggarakan?

3. Apakah hasil ujian akhir nasional tetap akan dipakai sebagai alat seleksi masuk

ke jenjang poendidikan yang lebih tinggi? Apakah tidak sebaiknya setiap

daerah/sekolah diberi kebebasan untuk mengembangkan sistem seleksi yang

39

bermutu yang didukung oleh adanya teknik dan alat seleksi yang dapat

dipertanggungjawabkan serta bernuansa otonomi daerah?

4. Apakah tidak sebaiknya hasil ujian akhir nasional hanya dijadikan alat

pengendali mutu pendidikan, mengingat berdasar kondisi yang ada aspek yang

dinilai hanya terbatas pada ranah kognitif?

5. Apakah tidak sedbaiknya pemerintah pusat merintis terciptanya standar nasional

mutu pendidikan dasar dan menengah yang lebih baik daripada hanya melalui

Ebtanas seperti yang sekarang ini diselenggarakan?.

6. Sistem ujian akhir nasional yang bagaimana yang dapat mempercepat

peningkatan dan pemerataan mutu pendidikan dasar dan menengah?

7. Sistem ujian akhir nasional yang bagaimana yang dapat menunjang tercapainya

tujuan kurikulum yang bernuansa otonomi daerah?.

8. Sistem ujian akhir nasional yang bagaimana yang dapat mendorong agar proses

belajar mengajar dilaksanakan berdasar kurikulum, buku, dan alat peraga yang

telah ditetapkan tetapi yang sesuai dengan kondisi masing-masing daerah?.

9. Apakah tidak sebaiknya ada acuan bagi tiap daerah untuk mengembangkan

sistem evaluasi maupun sistem ujian akhir yang sesuai dengan kondisi masing-

masing daerah dalam upaya untuk meningkatkan motivasi belajar di masing-

masing daerah sesuai dengan kondisi yang ada?

10. Apakah tidak sebaiknya sistem ujian akhir juga memperhatikan hasil-hasil

asesmen yang dilaksanakan oleh sekolah?

11. Apakah tidak sebaiknya di setiap Kanwil ataupun Kandep Depdiknas hendaknya

ada peta kemampuan guru dalam menyelenggarakan sistem evaluasi, sehingga

kemerataan keikutsertaan guru dalam pelatihan/penataran, termasuk di dalamnya

pelatihan evaluasi dapat terpantau secara baik?

12. Mengingat dalam skala mikro gurulah yang paling mengetahui kondisi dan

prestasi siswa-siswanya, maka apakah tidak sebaiknya ada penyiapan

kemampuan guru dalam bidang evaluasi untuk menyelenggarakan ujian akhir

dapat dipertanggung jawabkan di masing-masing daerah, dalam hal ini pada

tingkat Dati II?

13. Apakah tidak sebaiknya dipolakan sistem penilaian yang berkesinambungan yang

dikerjakan oleh guru, dalam arti bahwa guru harus merencanakan, menyusun alat

40

penilaian dan menelaahnya sebelum digunakan dan menganalisis setelah

diujikan, serta melaksanakan dan menindaklanjuti hasil penilaian dalam upaya

meningkatkan prestasi siswa dalam seluruh ranah yang dikembangkan?.

C. METODE STUDI

Studi ni dlakukan melalui tahapan: (a) studi lapangan, (b) sarasehan regional,

dan (c) sarasehan nasional. Tahap studi lapangan mencakup (1) pembahasan

instrumen, (2) pengumpulan data, (3) organisasi, analisis dan interpretasi data, dan

(4) penyusunan draf untuk sarasehan.

1. Studi Lapangan

a. Tampat dan Waktu Studi

Kegiatan pembahasan instrumen di laksanakan di UNY, dengan peserta

sebanyak 30 orang dari berbagai kabupaten. Kriteria peserta adalah para ahli

pendidikan, yang memiliki kapabilitas dalam penelitian pendidikan, para pengamat

pendidikan dan praktisi pendidikan yang memahami permasalahan sistem ujian

akhir sebagai salah satu sistem penilaian dan masalah otonomi daerah hubungannya

dengan reformasi pendidikan. Diharapkan melalui pembahasan instrumen akan

terpenuhi kesahihan instrumen dan kekomunikatifan instrumen jika dipakai sebagai

alat koleksi data.

Tempat kegiatan koleksi data dilakukan di 20 propinsi di antara seluruh

propinsi yang ada di Indonesia. Di tiap propinsi diambil 3 kabupataen, dan di tiap

kabupaten diambil 4 sekolah.

Organisasi, analisis dan interpretasi data, dan (4) penyusunan draf untuk

sarasehan dilakukan di UNY dan keseluruhan kegiatan mulai dari pembahasan

instrumen sampai tersusunnya draf untuk bahan sarasehan dilakukan mulai bulam

Maret 2001 sampai Juli 2001.

b. Populasi dan Sampel

1) Populasi

Populasi dalam penelitian ini mencakup para ahli pendidikan, para pengamat

pendidikan, para praktisi pendidikan dan tokoh masyarakat yang tersebar di seluruh

41

propinsi, yang memahami permasalahan sistem ujian akhir sebagai salah satu sistem

penilaian dan masalah otonomi daerah hubungannya dengan reformasi pendidikan.

. 2) Sampel

Sampel penelitian diambil dengan metode purposive sampling. Adapun

pertimbangan yang dipakai adalah bahwa sampel penelitian tersebar di 20 porovinsi,

dengan perbandingan 4 provinsi di P. Jawa dan 16 provinsi di luar P. Jawa.

Mengingat di P. Jawa saat sekarang terdapat 4 provinsi, 1 daerah istimewa dan 1

daerah khusus ibu kota, maka diambil sampel propinsi dipilih DKI Jaya, Propinsi

DIY, Banten, dan Jawa Timur. Sementara para ahli pendidikan/pengamat/praktisi

pendidikan/tokoh masyarakat di Jawa Tengash dan Jawa Barat akan diundang untuk

memberikan masukannya melalui kegiatan sarasehan regional..

Enam belas provinsi di luar P. Jawa mencakup 6 provinsi di P. Sumatera

(Provinsi Sumatera Utara, Sumatera Barat, Riau, Bengkulu, Jambi, dan Sumatera

Selatan), 4 provinsi di Kalimantan (Provinsi Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah

Kalimantan Selatan, dan Kalimantan Timur), 3 provinsi di Sulawesi, Maluku dan

Irian Jaya (Provinsi Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, dan Sulawesi Utara),

serta 3 propinsi di Bali dan Nusatenggara (Provinsi Bali, NTB, NTT).

Di masing-masing provinsi/daerah khusus/istimewa diambil 3 kabupaten/

kotamadya, dan ditiap kotamadya diambil 4 sekolah. Untuk setiap sekolah (seorang

Kepala SD, seorang Kepala SLTP, seorang Kepala SMU, dan seorang Kepala

SMK) diambil seorang rsponden, sehingga ada 4 x 3 x 20 = 240 responden yang

mewakili sekolah. Untuk tiap kabupaten/kotamadya diambil seorang responden,

sehingga ada 3 x 20 = 60 rsponden yang mewakili kabupaten/kotamadya. Untuk tiap

provinsi/daerah khusus/istimewa diambil seorang rsponden, sehingga ada 20

responden yang mewakili provinsi/daerah khusus/ istimewa. Dengan demikian total

responden sebanyak 320 orang.

Responden yang mewakili sekolah adalah guru inti/kepala sekolah, responden

untuk tingkat kabupaten/kotamadya adalah Kakandepdiknas setempat, responden

untuk tingkat propinsi adalah para Kakanwil Depdiknas atau Kepala Dinas Pdan P

setempat. Dari 20 provinsi yang ada diharapkan sepertiga dari jumlah rsponden

adalah Kepala Dinas Pdan P setempat.

42

c. Metode Pengumpulan data dan Instrumen yang Digunakan

Metode yang digunakan untuk pengumpulan data adalah dengan wawanacara

yang bersifat mendalam (indepth interview). Agar pertanyaan dapat terfokus dengan

baik dibunakan instrumen berupa pedoman wawancara yang telah divalidasi. Dalam

hal ini pembakuan instrumen dilakukan melalui pembahasan instrumen dengan

mengundag 30 peserta dari perguruan tinggi dan berbagai kabupaten.

2. Kegiatan Sarasehan Regional

Kegiatan sarasehan .regional dilaksanakan di empat tempat, yaitu di Padang,

Surabaya, Banjarmasin, dan Ujungpandang. Sarasehan Regional I di Padang

melibatkan para ahli pendidikan dari perguruan tinggi dan para pengamat dan

praktisi pendidikan dari Provinsi Daerah istimewa Aceh, Sumut, Jambi, Sumsel,

Bengkulu, Lampung, dan Sumbar. Sarasehan Regional II di Surabaya melibatkan

para ahli pendidikan dari perguruan tinggi dan para pengamat dan praktisi

pendidikan dari Provinsi Jatim, jateng, Jabar, DKI, Bali, dan NTB. Sarasehan

Regional III di Banjarmasin melibatkan para ahli pendidikan dari perguruan tinggi

dan para pengamat dan praktisi pendidikan dari Provinsi Kalbar, kalteng, kaltim dan

Kalsel. Sarasehan Regional IV di Ujungpandang melibatkan para ahli pendidikan

dari perguruan tinggi dan para pengamat dan praktisi pendidikan dari Provinsi Sulsel,

Sulut, Sulteng, Sultra, Maluku, Irja, dan NTT.

Bahan yang dibahas dalam kegiatan sarasehan regional selain hasil dari studi

lapangan yang diperoleh dalam penelitian ini juga makalah yang disampaikan oleh

para keynote speaker. Sarasehan regional ini akan dilaksanakan pada bulan Agustus

2001.

4. Kegiatan Sarasehan Nasional

Seminar nasional dilaksanakan di jakarta dan direncanakan pada Bulan

September 2001. Bahan yang dibahas adalah draf rumusan kebijakan yang diperoleh

dari Sarasehan Regional I sampai IV. Hasil akhir dari sarasehan nasional adalah

diperolehnya draf kebijakan yang akan diambil oleh Mendiknas tentang sistem ujian

akhir nasional yang bernuansa otonomi daerah.

43

D. JADWAL WAKTU KEGIATAN.

Secara keseluruhan jadwal waktu kegiatan mulai dari studi lapangan sampai

dengan sarasehan nasional direncanakan sebagai berikut.

NO URAIAN KEGIATANBULAN

3 4 5 6 7 8 9 10

1 Studi Lapangana. Penyusunan proposal dan kontrak

penelitianV

b. Penyusunan dan pembahasan insdtrumen

V

c. Koleksi data V Vd. Organisasi, analisis data dan

interpretasi hasil analisis e. Pembuatan draf laporan studi lapangan

untuk sarasehan regionalV V

2. Sarasehan Regional I sampai IV V3. Seminar nasional V4 Pembuatan draf kebijakan dan laporan

akhir studi V

DAFTAR PUSTAKA

Ahmann, J.S. dan Glock, M. (1981). Evaluating Student Progress: Principles of Tests and Measurement. Boston: Allyn and Bacon.

Bambang Subali, Slamet Suyanto, dan Paidi. (2000). Peningkatan Kualitas Perkuliahan Melalui Authentic Assessment. Laporan Penelitian. Yogyakarta: Jurdik Biologi FMIPA UNY.

 dkk. (1998).  Survei Pelaksanaan  Evaluasi  dalam  Mata Pelajaran IPA di SD dan SLTP serta Mata Pelajaran Biologi di SMU di Sekitar Kampus IKIP Yogyakarta. Laporan Penelitian. Yogyakarta: Jurdik Biologi FPMIPA IKIP Yogyakarta.

.  (1997).  Kualitas  Alat Uji  Formatif  Mata  Pelajaran Biologi SMA Kodya Yogyakarta Hubungannya Dengan  Faktor  Latar Belakang Guru. Laporan  Penelitian. Yogyakarta:  FPMIPA  IKIP Yogyakarta.

. (1995). Kajian Kualitas Butir Soal Biologi yang Dikeluarkan  oleh Depdikbud maupun yang Ada pada Buku Ajar Beserta  Peluangnya  sebagai

44

Sumber Belajar. Karya Ilmiah disampaikan  dan dibahas  dalam  Sidang Senat  Fakultas  FPMIPA-IKIP  Yogyakarta tanggal 21 Juli 1995.

Depdikbud. (1998). Laporan Hasil Evaluasi Pelaksanaan Program Direktorat Jenderal  Pendidikan Dasar dan Mengengah tahun  1994/1995  s.d. 1997/1998. Jakarta: Depdikbud.

. (1997). Bahan Penataran Pengujian Pendidikan. Jakarta: Pusat pengembangan Sistem Ujian, Balitbangdikbud, Depdikbud.

. (1994). Kurikulum 1994: Pedoman Proses Belajar Mengajar. Jakarta: Ditjen Dikdasmen Depdikbud.

. (1994). Kurikulum SMU 1994: Petunjuk Teknis Mata Pelajaran Mata Pelajaran Biologi. Jakarta: Ditjen Dikdasmen, Depdikbuid.

. (1994). Kurikulum SLTP 1994: Petunjuk Teknis Mata Pelajaran IPA.

Jakarta: Ditjen Dikdasmen Depdikbud.

. (1994) Kurikulum SMU 1994: Petunjuk Pelaksanaan Penilaian. Jakarta: Ditjen Dikdasmen, Depdikbud.

. (1994). Kurikulum SLTP 1994: Petunjuk Pelaksanaan Penilaian. Jakarta: Ditjen Dikdasmen, Depdikbud.

. (1994). Kurikulum SD 1994: Petunjuk Pelaksanaan Penilaian. Jakarta: Ditjen Dikdasmen, Depdikbud.

. (1994). Petunjuk Teknis Penyusunan Kisi-Kisi Penulisan Soal Ebta/ Ebtanas. Jakarta: Ditjen Dikdasmen dan Balitbang Depdikbud.

. (1994). Pedoman Penelaahan, Perbaikan dan Perakitan Soal. Jakarta: Ditjen Dikdasmen dan Balitbang Depdikbud.

. (1994). Pedoman Analisis Hasil Evaluasi Belajar. Jakarta: Ditjen Dikdasmen, Depdikbud.

. (1994). Pedoman Program Perbaikan dan Pengayaan. Jakarta: Ditjen Dikdasmen, Depdikbud.

. (1986). Petunjuk Pelaksanaan Ebtanas. Jakarta: Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah, Depdikbud.

. (1985). Program Akta Mengajar V-B Komponen Dasar Kependidikan: Buku II Modul Evaluasi hasil Belajar. Jakarta: Direktorat Jenderal pendidikan Tinggi depdikbud.

45

Djemari Mardapi dkk. (1999). Survei Kegiatan Guru dalam Melakukan Penilaian di Kelas. Laporan Penelitian. Yogyakarta: Pusbangsisjian Lemlit IKIP Yogyakarta dan Pusisjian balitbang Depdikbud.

. (1999). Evaluasi Penyelenggaraan Ebtanas. Laporan Penelitian. Yogyakarta: Pusbangsisjian Lemlit IKIP Yogyakarta dan Pusisjian balitbang Depdikbud.

. (1997). Pengembangan Bank Soal Untuk SMU di  Propinsi DIY. Laporan Program Penerapan  IPTEKS  DP3M  Depdikbud. Yogyakarta: Pubangsisjian Lembaga Penelitian IKIP Yogyakarta.

Eiss, A.F. dan Harbeck, M.B. (1969). Behavior Objective in the Affective Domain. Washington D.C.: National Science Teachers Association.

Gronlund, N.E. (1977). Constructing Achievement Tests. Prentice hall, Inc., Englewood, N.J.

dan Linn, R.L. (1990). Measurement and Evaluation in Teaching. Macmillan Publishing Company, New York.

. (1998). Assessment of Student Achievement. Boston: Allyn and Bacon.

Gatot Muhsetyo. (2000) JICA-IMSTEP: Final Report of Project Activities and Outcome FMIPA-State University of Malang.

Griffin, P. dan Nix, P. (1991). Educational Assessment and Reporting.: A New Approach. Sydney: Harcourt Brace Jovanovich

Idrus Ramli. (2000). Identifikasi Permasalahan Pendidikan MIPA. Padang: FMIPA Universitas negeri Padang.

Lukman Hakim. (2000). Identifikasi Permasalahan Pendidikan MIPA. Malang: FMIPA Universitas Negeri Malang.

Lunneta, V.N., Hofstein, A, dan Giddings, G. (1981). Evaluating Science Laboratory Skills. The Science Teacher, Januari 1981:22-25.

Marsh, C.J. (1996). Handbook for Beginning Teachers. Melbourne, Australia: Longman.

Marzano, R.J., Pickering, D., dan McTighe, J. (1993). Assessing Student Outcomes, Alexandria, VA: ASCD.

Masri Singarimbun dan Sofian Effendi. (1982). Metode Penelitian Suevei. Jakarta: LP3ES.

46

Nana Syaodih Sukmadinata. (1999) Pengembangan Kurikulum. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.

Newman, F.M. dan Wehlage, G. (1993). Five standards of Authentic Instruction. Educational Leadership, vol. 50, No. 7. Pp. 8-12

Nitko, A.S. (1996). Workshop Papers No. 2. IKIP Yogyakarta, 22-24 Agustus 1996.

O’Neil, J. (1992). Outting performance assessment to the test. Educational Leadership, vol. 49 no. 8 pp. 14-19

Pedoman Penilaian. Keputusan Mendikbud tanggal 25 Februari 1993.

Pusisjian Depdikbud.  (1998).  Bahan Penataran  Pengujian Pendidikan. Jakarta: Pusisjian Balitbang, Depdikbud.

Spady, W. (1993). Outcome-Based Education. Canberra: ACSA: Workshop Report 5.

Sukirman. (2000) JICA-IMSTEP: Final Report of Project Activities and Outcome FMIPA-Yogyakarta State University.

Toto Kuwato dan Djemari Mardapi. (1999). Studi Pengembangan Sistem Ujian Berkesinambungan Sekolah mengengah Umum. Yogyakarta: Fakultas Psikologi Universitas gadjah Mada dan Ditjen Dikdasmen, Depdikbud.

Utari Soemarmo. (2000). JICA-IMSTEP: Final Report of Project Activities and Outcome FPMIPA-Indonesia University of Education.

Wuryadi dan Bambang Subali. (2000). Profil Penyelenggaraan Kegiatan Penilaian Prestasi Belajar IPA-Biologi/Biologi Oleh Guru SLTP dan SMU di Propinsi DIY Ditinjau dari Latar Belakang Akademik Guru. Laporan Penelitian. Yogyakarta: FMIPA UNY.

Swanson, D.B., Norman, G.R., dan Linn, R.L. (1995). Performance Based Assessment. Lesson from Health Professions. Educational Researcher, 24(5), 05-11.

47

SISTEM PENILAIAN HASIL BELAJAR SENI RUPA SISWA SEKOLAH MENENGAH PERTAMA

Oleh: Tri Hartiti Retnowati M.Pd

Makalah disampaikan pada Sosialisasi dan Pelatihan Kurikulum Berbasis Kompetensi

Bagi Guru Kesenian SMP Se-Kabupaten Sleman Yogyakarta dalam rangka Pengabdian Masyarakat

JURUSAN PENDIDIKAN SENI RUPAFAKULTAS BAHASA DAN SENI

UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA2005

48

PENGEMBANGAN RPP(RENCANA PELAKSANAAN PEMBELAJARAN)

MATA PELAJARAN SENI RUPABERDASAR KURIKULUM BERBASIS KOMPETENSI

SEKOLAH MENENGAH PERTAMA

Oleh: Tri Hartiti Retnowati M.Pd

Makalah disampaikan pada Sosialisasi dan Pelatihan Kurikulum Berbasis Kompetensi

Bagi Guru Kesenian SMP Se-Kabupaten Sleman Yogyakarta dalam rangka Pengabdian Masyarakat

Tanggal 5-6 Mei 2004

JURUSAN PENDIDIKAN SENI RUPAFAKULTAS BAHASA DAN SENI

UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA2004

49