perencanaan lanskap pantai lampuuk berbasis … · konsep dan perencanaan terdiri dari dua kondisi,...

107
PERENCANAAN LANSKAP PANTAI LAMPUUK BERBASIS MITIGASI TSUNAMI UNTUK PENGEMBANGAN KAWASAN WISATA DI LHOKNGA ACEH BESAR MUHAMMAD RIZKI MULYA DEPARTEMEN ARSITEKTUR LANSKAP FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2013

Upload: trinhdan

Post on 09-Mar-2019

254 views

Category:

Documents


3 download

TRANSCRIPT

PERENCANAAN LANSKAP PANTAI LAMPUUK BERBASIS MITIGASI TSUNAMI UNTUK PENGEMBANGAN

KAWASAN WISATA DI LHOKNGA ACEH BESAR

MUHAMMAD RIZKI MULYA

DEPARTEMEN ARSITEKTUR LANSKAP FAKULTAS PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

2013

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Perencanaan Lanskap

Pantai Lampuuk Berbasis Mitigasi Tsunami untuk Pengembangan Kawasan di Lhoknga Aceh Besar adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, 2013

Muhammad Rizki Mulya NRP A44080002

ABSTRAK MUHAMMAD RIZKI MULYA. Perencanaan Lanskap Pantai Lampuuk Berbasis Mitigasi Tsunami untuk Pengembangan Kawasan Wisata di Lhoknga Aceh Besar. Dibimbing oleh AFRA DN MAKALEW.

Perencanaan lanskap daerah rawan bencana, seperti di Pantai Lampuuk dapat dipandang sebagai bagian dari mitigasi. Penggunaan vegetasi lokal merupakan elemen perencanaan sebagai upaya pelestarian lingkungan hidup yang berkelanjutan. Pada umumnya studi ini bertujuan untuk mengidentifikasi dampak bencana tsunami dan meningkatkan ruang di lokasi tersebut. Khususnya penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi aspek biofisik, lingkungan, sosial dan ekonomi yang berkaitan dengan mitigasi tsunami di Pantai Lampuuk, menganalisis potensi dan kendala dan membuat perencanaan lanskap kawasan wisata berbasis mitigasi bencana tsunami. Metode penelitian yang digunakan adalah proses perencanaan yang dikemukakan oleh Gold (1980). Metode ini terdiri dari lima tahap, yaitu: persiapan, inventarisasi, analisis, sintesis dan perencanaan. Penelitian dilakukan di Pantai Lampuuk, Kecamatan Lhoknga, Kabupaten Aceh Besar, Provinsi Aceh. Penelitian dimulai dari Februari hingga April 2012. Hasilnya adalah konsep dasar sebagai pengembangan kawasan wisata berbasis mitigasi tsunami yang berfungsi sebagai evakuasi, mitigasi dan wisata. Konsep dan perencanaan terdiri dari dua kondisi, kondisi normal atau biasa sebagai tempat wisata, dapat beralih fungsi menjadi evakuatif ketika terjadi tsunami. Disimpulkan bahwa tapak dibagi menjadi tiga zona, (1) zona utama: terdiri dari ruang wisata, mitigasi, evakuasi, (2) zona semi utama: pengembangan ruang, dan (3) zona penyangga: budidaya, konservasi tumbuhan pantai, perkebunan dan pertanian. Perencanaan berupa rencana tapak yang terbagi dalam rencana aktivitas, fasilitas, sirkulasi dan vegetasi. Kata kunci: bencana alam, mitigasi, Pantai Lampuuk, perencanaan lanskap, tsunami

ABSTRACT

MUHAMMAD RIZKI MULYA. Landscape Planning of Lampuuk Beach Based on Tsunami Mitigation for The Development of Tourism Area at Lhoknga in Aceh Besar. Supervised by AFRA DN MAKALEW.

Landscape planning in disaster-prone areas, such as on the beach at Lampuuk could be viewed as part of disaster mitigation in the region. The use of local vegetation as part of the planning element can be a part of the environmental conservation efforts that are expected to create a sustainable environment. In general this study was aimed to identify the impact of the tsunami disaster and increase the space in that location. In particular this research was aimed to identify the biophysical aspects, environmental, social, and economic issues in coastal areas that relate to the Lampuuk tsunami disaster mitigation, to analyze the potential and constraints in that location and to make the landscape planning of tourism area based on tsunami disaster mitigation. Research methods used is a

recreation area approach expressed by Gold (1980). This method consists of five stages, including preparation, inventory, analysis, synthesis and planning. The research was carried out at the landscape of Lampuuk Beach in Lhoknga, Aceh Besar Regency, Aceh Province. This study started from February to April 2012. As the result found that the basic concept of landscape planning is developing the tourist area based on tsunami mitigation which can serve as evacuation, mitigation and tourism space. The concept and plan consisting of two conditions. The first condition during normal conditions or as a regular tourist area, can be turned into evakuatif function when tsunami happen. It was concluded that the site is divided into three zones, (1) primary zone: consisting of space tourism, mitigation, evacuation; (2) semi primary zone: is development spaces; and (3) support zone: the cultivation, conservation of coastal vegetation, plantations and farm. The plan consist of siteplan which is devided into activity, facilities, circulation and vegetation plans.

Key words: Lampuuk Beach, landscape planning, mitigation, natural disasters, tsunami

© Hak Cipta milik IPB, tahun 2013 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis tanpa mencantumkan atau menyebut sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan IPB. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh Karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB.

PERENCANAAN LANSKAP PANTAI LAMPUUK BERBASIS MITIGASI TSUNAMI UNTUK PENGEMBANGAN

KAWASAN WISATA DI LHOKNGA ACEH BESAR

MUHAMMAD RIZKI MULYA

Skripsi sebagai salah satu syarat memperoleh gelar

Sarjana Pertanian pada

Departemen Arsitektur Lanskap

DEPARTEMEN ARSITEKTUR LANSKAP FAKULTAS PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

2013

Judul Skripsi : Perencanaan Lanskap Pantai Lampuuk Berbasis Mitigasi Tsunami untuk Pengembangan Kawasan Wisata di Lhoknga Aceh Besar

Nama : Muhammad Rizki Mulya NRP : A44080002

Disetujui oleh

Dr Ir Afra D N Makalew, MSc Pembimbing

Diketahui oleh

Dr Ir Siti Nurisjah, MSLA Ketua Departemen

Tanggal Lulus :

PRAKATA

Puji syukur atas kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan

karunia-Nya sehingga penulis mampu menyelesaikan penelitian ini. Penelitian dengan judul Perencanaan Lanskap Pantai Lampuuk Berbasis Mitigasi Tsunami untuk Pengembangan Kawasan Wisata di Lhoknga Aceh Besar ini merupakan salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Pertanian dari Departemen Arsitektur Lanskap, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor.

Dalam penyusunan skripsi ini penulis mendapat masukan, arahan dan bimbingan serta kritik dan saran dari berbagai pihak. Dalam kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada:

1. Kedua orang tua tercinta ayah dan mama, serta adikku Maya Riska dan Sarah Tiara yang memberikan doa, kesempatan, kepercayaan, arahan, nasehat, dukungan penuh serta kasih sayang;

2. Dr. Ir. Afra D. N. Makalew, M.Sc selaku Dosen Pembimbing yang telah sabar membimbing dan memberikan ilmu yang sangat berguna selama masa penelitian tugas akhir ini;

3. Prof. Dr. Ir. Wahyu Qamara Mugnisjah, M.Agr selaku Pembimbing Akademik, atas nasehat dan bimbingannya;

4. Segenap dosen Departemen Arsitektur Lanskap atas ilmu dan bimbingannya; segenap staf kependidikan Departemen Arsitektur Lanskap atas bantuan dan kemudahan administrasi yang telah diberikan kepada penulis;

5. Segenap jajaran PEMDA Kabupaten Aceh Besar, Kota Banda Aceh, BMKG Provinsi Aceh, pusat riset mitigasi tsunami Aceh (TDMRC) atas bantuan dan kemudahan pengambilan data serta masukan, kritik dan saran yang telah diberikan kepada penulis terkait judul penelitian;

6. Alfin, kamil, ikhsan, dayat, faisi, dimas, tjut, moko, afnan, andi, bang yasar, bang husnul, bang fahrul, endang, sayed, aris, sabrun, oki, subki, bukhari, dan teman-teman seperjuangan dalam perantauan; dan teman-teman IMTR (Ikatan Mahasiswa Tanah Rencong);

7. Teman-teman ARL 45 untuk pahit-manisnya pertemanan serta pertualangan dan perjuangan di ARL yang telah memberi makna dan warna dalam kehidupan;

8. Keluarga besar ARL dari semua angkatan dan semua pihak yang telah memberikan bantuan dan dukungan pada penulis, yang tidak dapat disebutkan satu persatu, permohonan maaf dan rasa terimakasih untuk semuanya.

Penulis menyadari masih terdapatnya kekurangan dalam penulisan skripsi ini, penulis terbuka terhadap berbagai masukan, saran dan kritik untuk kelengkapan skripsi ini. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat.

Bogor, 2013

Muhammad Rizki Mulya

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL i DAFTAR GAMBAR ii PENDAHULUAN 1

Latar Belakang 1 Tujuan Penelitian 2 Manfaat Penelitian 2 Kerangka Pikir 2

TINJAUAN PUSTAKA 4 Perencanaan Lanskap 4 Wisata Pantai 5 Bencana Alam 5 Tsunami 6 Mitigasi Bencana 13 Mitigasi Tsunami 18

METODOLOGI 27 Waktu dan Tempat Studi 27 Metode Penelitian 29

Inventarisasi 29 Analisis 29 Sintesis 31 Perencanaan 31

HASIL DAN PEMBAHASAN 32 Data dan Analisis 32

Keadaan Umum 32 Keadaan Pra-Pasca Tsunami 33

Aspek Fisik 37 Iklim 37 Tanah dan Topografi 37 Hidrologi dan Drainase 38 Penutupan dan Penggunaan Lahan 39 Vegetasi 39 Visual 44

Aspek Wisata 45 Jenis Wisata 45 Fasilitas 45

Aspek Sosial 51 Potensi Pengunjung 51 Keadaan Sosial 51

Sintesis 55 Konsep 55

Konsep Ruang 55 Konsep Aktivitas 58 Konsep Sirkulasi 59 Konsep Vegetasi 59

Perencanaan 60

Rencana Tata Ruang 60 Rencana Aktivitas 69 Rencana Fasilitas 71 Rencana Jalur Sirkulasi 75 Rencana Vegetasi 76 Rencana Daya Dukung 82

KESIMPULAN DAN SARAN 90 Kesimpulan 90 Saran 90

DAFTAR PUSTAKA 92 RIWAYAT HIDUP 95

DAFTAR TABEL

1 Intensitas tsunami 12 2 Jenis data dan indikator pengamatan 28 3 Klasifikasi kemiringan untuk kawasan wisata dan evakuasi

bencana 38 4 Jenis tanaman di lokasi penelitian 44 5 Konsep vegetasi 59 6 Rencana ruang, aktivitas dan fasilitas 60 7 Rencana jalur sirkulasi 75 8 Kapasitas daya dukung Pantai Lampuuk 82

DAFTAR GAMBAR

1 Kerangka pikir 3 2 Model terjadinya tsunami akibat pergerakan sesar atau

gempa bumi 7 3 Sistem peringatan dini tsunami 15 4 Peta lokasi gempa bumi yang mengakibatkan tsunami

di Indonesia (tahun 1600-2004) 16 5 Hubungan panjang, tinggi dan kecepatan tsunami di laut 17 6 Jenis patahan (fault atau sesar) dan mekanisme terjadinya

tsunami 17 7 Ilustrasi pemecah gelombang tsunami 19 8 Berbagai bentuk tetrapod 20 9 Shelter di Shirahama dan Prefektur Tokushima, Jepang 20 10 Tanggul di Okushiri, Jepang 20 11 Contoh hutan di sepanjang Pantai Sanriku, Jepang 21 12 Contoh pintu air di Okushiri, Jepang 21 13 Ilustrasi inovasi penahan tsunami 22 14 Ilustrasi zonasi pada kawasan pesisir 26 15 Lokasi Studi 27 16 Peta administrasi Kemukiman Lampuuk Kecamatan Lhoknga 34 17 Peta lokasi studi Pantai Lampuuk 35 18 Sebelum dan sesudah tsunami di lokasi studi 36 19 Kawasan Pantai Lampuuk setelah diterjang tsunami, Mei 2005 36 20 Tinggi gelombang tsunami di Lampuuk 37 21 Peta topografi Kemukiman Lampuuk Kecamatan Lhoknga 40 22 Peta topografi Pantai Lampuuk Kecamatan Lhoknga 41 23 Peta kemiringan lahan Pantai Lampuuk Kecamatan Lhoknga 42 24 Peta penutupan lahan Pantai Lampuuk Kecamatan Lhoknga 43 25 Good view Pantai Lampuuk 45 26 Bad view pada lokasi studi 45 27 Peta kualitas visual 46 28 Pondok wisata kuliner ikan bakar 47 29 Fasilitas wisata Pantai Lampuuk 48

30 Tsunami Escape Building 48 31 Peta fasilitas Pantai Lampuuk Kecamatan Lhoknga 50 32 Peta hasil analisis bahaya 52 33 Peta hasil analisis potensi wisata 53 34 Peta komposit kesesuaian lahan 54 35 Diagram konsep ruang 55 36 Rencana blok 56 37 Matriks hubungan antar ruang 57 38 Diagram hubungan antar ruang 57 39 Diagram konsep sirkulasi 59 40 Diagram konsep vegetasi 60 41 Strategi mitigasi 62 42 Gaya-gaya pada bangunan akibat tsunami dan solusi desain

untuk pengaruh tsunami 62 43 Rencana tapak 63 44 Segmen wisata 64 45 Segmen evakuasi 65 46 Ilustrasi rumah anti gempa dan tsunami 66 47 Bangunan terapung anti gempa dan tsunami 67 48 Potongan bangunan terapung anti gempa dan tsunami 68 49 Kegiatan evakuasi horizontal dan vertikal 70 50 Menara sirene 73 51 Lokasi rambu pelarian 74 52 Contoh rambu evakuasi 75 53 Rencana sirkulasi 78 54 Ilustrasi vegetasi pelindung 84 55 Ilustrasi vegetasi penaung 85 56 Ilustrasi vegetasi pengarah 86 57 Ilustrasi perspektif evakuasi 87 58 Ilustrasi perspektif mitigasi 88 59 Ilustrasi perspektif wisata 89

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Kawasan pantai merupakan kawasan yang unik karena kawasan tersebut terdiri atas komponen daratan dan lautan. Komponen daratannya berubah-ubah tergantung dari pasang surut demikian juga komponen lautannya. Lanskap adalah wajah dan karakter lahan atau tapak bagian dari muka bumi beserta yang ada dalamnya, baik bersifat alami maupun buatan manusia beserta makhluk hidup lainnya, sejauh mata memandang, sejauh indera dapat menangkap dan sejauh imajinasi dapat membayangkan. Karakter lahan serta kehidupan pantai sangat unik. Oleh karena keunikan tersebut, lanskap kawasan pantai sangat cocok dikembangkan untuk obyek wisata (Rachman, 1984)

Wisata dalam perencanaan lanskap kawasan pantai perlu memahami keinginan atau naluri manusia (keharmonisan dalam memanfaatkan pantai) dan karakter lanskapnya. Karakter lanskap merupakan wujud dari keharmonisan atau kesatuan yang muncul diantara elemen-elemen alam pantai tersebut. Tipe karakter lanskap kawasan pantai meliputi hutan bakau, tambak dan gumuk pasir. Alam pantai tersebut memiliki sifat, bentuk dan kekuatan yang berbeda-beda. Sifat alam pantai meliputi penguapan, suhu musiman dan salinitas estuarinya. Bentuk lanskap kawasan pantai antara lain: dataran pantai, danau, tambak dan topografinya. Sedangkan kekuatan alam pantai meliputi angin, pasut, ombak, arus laut, radiasi matahari, serta sinar bulan. Keindahan lanskap pantai dari bervariasi mulai yang halus, seperti hembusan angin laut. hingga yang dinamis dan keras seperti ombak.

Kerasnya ombak juga harus diperkirakan agar dapat menanggulangi kawasan pantai dari ombak besar (tsunami) akibat gempa vulkanik atau tektonik. Pada tanggal 26 Desember 2004 yang lalu terjadi tsunami yang merusak kawasan pantai di Provinsi Aceh, khususnya di daerah Kecamatan Lhoknga, Aceh Besar. Pantai Lampuuk merupakan kawasan yang terkena tsunami, sehingga mitigasi bencana di kawasan pantai dapat dilakukan dengan melakukan usaha perlindungan pantai, salah satunya dengan perencanaan lanskap kawasan pantai. Daerah Pantai Lampuuk awalnya tidak memiliki tutupan lanskap yang dapat menghalangi gelombang tsunami ke arah daratan. Sehingga perlu dibangun jalur-jalur evakuasi dan penanaman beberapa jenis vegetasi tertentu.

Perencanaan lanskap pada daerah rawan bencana seperti pada kawasan Pantai Lampuuk dapat dipandang sebagai bagian dari mitigasi bencana pada kawasan tersebut. Penggunaan vegetasi lokal sebagai bagian dari elemen perencanaan dapat merupakan bagian dari usaha konservasi lingkungan yang diharapkan dapat menciptakan sebuah lingkungan yang berkelanjutan (sustainable environment). Berdasarkan masalah di atas maka penataan lanskap Pantai Lampuuk perlu direncanakan dengan berbasis mitigasi tsunami. Di samping itu, perencanaan dibuat untuk pengembangan kawasan wisata.

2

Tujuan Penelitian

Studi perencanaan kawasan pantai berbasis mitigasi bencana tsunami bertujuan mengidentifikasi dampak dari bencana tsunami dan meningkatkan tata ruang di lokasi tersebut secara umumnya. Secara khusus penelitian ini bertujuan:

1. mengidentifikasi aspek biofisik, lingkungan, sosial dan ekonomi pada kawasan Pantai Lampuuk yang berhubungan terhadap mitigasi bencana tsunami.

2. menganalisis potensi dan kendala di lokasi tersebut 3. membuat perencanaan lanskap pantai sebagai kawasan wisata berbasis

mitigasi bencana tsunami.

Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat dalam pengembangan kawasan wisata pantai yang fungsional, aman, nyaman, indah, dan berguna bagi instansi terkait sebagai pertimbangan perencanaan maupun perancangan.

Kerangka Pikir

Pantai Lampuuk merupakan daerah rawan tsunami yang membutuhkan ruang mitigasi dalam upaya mengurangi resiko kerugian akibat bencana. Disamping itu, kebutuhan akan tersedianya kawasan wisata juga menjadi harapan masyarakat. Pantai Lampuuk juga merupakan salah satu kawasan wisata alam berupa pantai yang dipengaruhi oleh aspek wisata dan aspek mitigasi. Dalam aspek mitigasi terdapat variabel yang berpengaruh yaitu topografi, penutupan lahan, dan penggunaan lahan. Sedangkan dalam aspek wisata terdapat variabel yang berpengaruh yaitu tipe pantai dan variasi kegiatan. Kedua aspek tersebut dispasialkan dalam dua zona, yaitu zona mitigasi dan zona wisata untuk mengetahui kesesuaian wisata pantai berbasis mitigasi tsunami di Pantai Lampuuk. Sehingga dapat direncanakan lanskap pantai berbasis mitigasi bencana. Alur kerangka pikir penelitian perencanaan lanskap Pantai Lampuuk berbasis mitigasi tsunami untuk pengembangan kawasan wisata di Kemukiman Lampuuk, Kecamatan Lhoknga Aceh Besar ini dapat dilihat pada Gambar 1.

3

Gambar 1. Kerangka Pikir

Pantai Lampuuk, Aceh Besar Daerah rawan bencana tsunami

Kebutuhan ruang mitigasi

Aspek mitigasi

Aspek wisata

Penutupan lahan

Topografi dan ketinggian

Penggunaan lahan

Objek wisata

Atraksi/kegiatan wisata

Zona mitigasi

Zona wisata

Lanskap wisata pantai berbasis mitigasi bencana

Perencanaan lanskap Pantai Lampuuk berbasis mitigasi tsunami untuk pengembangan kawasan wisata di Kemukiman Lampuuk,

Kecamatan Lhoknga Aceh Besar

TINJAUAN PUSTAKA

Perencanaan Lanskap

Perencanaan Lanskap adalah alat untuk mengelola dan mengendalikan pemanfaatan kawasan untuk pembangunan dalam rangka meningkatkan kesejahteraan manusia secara berkelanjutan berdasarkan azas kelestarian lingkungan hidup. Penyusunan perencanaan pengembangan wilayah adalah instrumen perencanaan pengelolaan sumber alam dan lingkungan dengan menetapkan kawasan yang berfungsi lindung dan daya tampung atau carrying capacity kawasan budidaya, dalam menghadapi pertambahan penduduk dan penyebaran penduduk yang tidak merata serta kondisi permintaan (kebutuhan) yang terus meningkat. Maka perencanaan harus memperhatikan upaya pengelolaan lingkungan hidup yang lestari (Subroto, 2003).

Langkah-langkah yang dilakukan dalam perencanaan lanskap adalah: 1. identifikasi potensi ruang; 2. identifikasi faktor penghambat pengembangan ruang; 3. identifikasi kebutuhan dan kepentingan pengembangan; 4. identifikasi spesifikasi kegiatan pembangunan dan dampaknya terhadap

komponen lanskap; 5. identifikasi koneksitas antar kegiatan dengan daya dukung ruang; 6. identifikasi dan analisis kebijakan dan peraturan yang relevan mendukung

pemanfaatan ruang secara sustainable (Subroto, 2003). Perencanaan sebagai suatu kegiatan dasar manusia. Banyak orang yang

memandang perencanaan sebagai suatu kegiatan dasar yang terkandung dalam tingkah laku manusia pada semua tingkatan masyarakat. Perencanaan adalah suatu proses, pemikiran dan tindakan manusia berdasarkan pemikiran tersebut dalam kenyataannya, pemikiran ke masa depan yang merupakan suatu kegiatan manusia yang sangat umum (Subroto, 2003).

Perencana dapat dilihat sebagai kemampuan untuk mengendalikan konsekuensi masa depan daripada tindakan-tindakan yang dilakukan sekarang. Semakin banyak yang dapat dikendalikan, semakin besar sukses perencanaan. Maksud (perencanaan) adalah untuk membuat masa depan yang berbeda daripada yang akan terjadi tanpa perencanaan itu (Anthony dan James 1986).

Menurut Simonds (2006), proses perencanaan merupakan suatu alat sistematik yang digunakan untuk menentukan saat awal, keadaan yang diharapkan dan cara terbaik untuk mencapai penggunaan terbaik dari suatu lanskap.

Begitu pula dengan Gold (1980), perencanaan lanskap merupakan penyesuaian program dengan suatu lanskap untuk menjaga kelestariannya. Proses tersebut terdiri atas enam tahap, yaitu: pesiapan, inventarisasi, analisis, sintesis, perencanaan dan perancangan. Dalam perencanaan lanskap suatu daerah dimana didalamnya terdapat aktivitas rekreasi, membutuhkan informasi yang mengintegrasikan manusia dengan waktu luang dimana pengalokasian sumber daya dilakukan untuk menghubungkan waktu luang dengan kebutuhan masyarakat dan areal perencanaan. Proses perencanaan lanskap tersebut dapat didekati melalui empat cara, yaitu:

5

1. Pendekatan sumber daya, dimana dalam hal ini sumber daya fisik atau alami akan menentukan tipe dan jumlah aktivitas pada tapak. Pertimbangan terhadap lingkungan akan menentukan perolehan dan penyelamatan ruang dimana kebutuhan pemakai atau sumber dana tidak terlalu dipertimbangan.

2. Pendekatan aktivitas, dimana aktivitas yang ada pada masa lampau dan saat ini dijadikan dasar pertimbangan perencanaan sarana dan prasarana dalam tapak di masa yang akan datang. Perhatian difokuskan pada permintaan dimana faktor sosial lebih dipertimbangkan dari pada faktor lainnya.

3. Pendekatan ekonomi, dimana tingkat ekonomi dan sumber finansial masyarakat digunakan untuk menentukan jumlah, tipe dan lokasi yang potensial untuk dikembangkan. Dalam hal ini faktor ekonomi merupakan pertimbangan utama.

4. Pendekatan perilaku, dimana dalam hal ini yang menjadi pusat perhatian adalah rekreasi sebagai pengalaman, alasan berapresiasi, bentuk aktivitas yang diinginkan dan dampak aktivitas tersebut terhadap seseorang.

Wisata Pantai

Kriteria kawasan sempadan pantai adalah wilayah daratan sepanjang tepian laut yang lebarnya proporsional dengan bentuk dan kondisi fisik pantai minimum 100 meter dari titik pasang tertinggi ke arah darat. Dan untuk kriteria kawasan pantai berhutan bakau adalah wilayah yang minimal mempunyai 130 kali nilai rata-rata perbedaan air pasang tertinggi dan terendah tahunan diukur dari garis air surut terendah ke arah darat (Subroto, 2003).

Wilayah pantai merupakan badan air alami yang dilindungi oleh bantuan pasir yang terbentuk oleh pemukulan dan pencucian ombak yang dikendalikan oleh angin (Simonds, 1983). Wilayah pantai dapat menjadi tempat tinggal bagi spesies amfibia dan organisme-organisme laut yang bersifat bentik (tinggal di permukaan atau di dalam tanah). Bagi manusia, lanskap pantai dimanfaatkan untuk rekreasi, penelitian, dan edukasi. Masyarakat banyak memanfaatkan daerah pantai sebagai tempat tinggal (Molles, 2005).

Bencana Alam

Bumi adalah planet yang aktif, dengan berbagai sumber energi sebagai bahan bakarnya. Bencana alam terjadi bilamana manusia dan segala bangunan buatan manusia diatas bumi terpengaruh oleh proses energi bumi. Proses alami bumi ini berupa pengumpulan energi dan melepaskan energi tersebut, lalu menyebabkan kematian dan kehancuran dipermukaannya. Disebut bencana karena berkaitan dengan energi yang mempengaruhi manusia dengan dampak negatif dan merugikan (Abbot, 2004).

Menurut Abbot (2004), terdapat empat sumber utama energi yang menjadikan bumi suatu badan yang aktif: (1) tabrakan benda asing, (2) gravitasi, (3) panas

6

internal bumi dan (4) panas eksternal matahari. Perut bumi mengandung energi panas besar yang berasal dari tabrakan yang telah membentuk bumi dan dari panas tersebut terlepas elemen radioaktif. Energi panas internal dari perut bumi mengalir ke permukaan dan membentuk energi berupa ledakan gunung berapi dan gempa bumi.

Abbot (2004) menambahkan, Banyak bagian bumi yang menunjukkan tanda-tanda yang jelas akan bahaya (hazard), tapak-tapak tersebut memiliki natural hazards. Sebagai contoh, manusia berpindah tempat dan membangun rumah di dekat sungai yang dapat mengalami banjir, bermukim di garis pantai yang dapat mengalami badai besar atau tsunami, dan bermukim di lereng gunung yang suatu saat akan meletus. Puluhan atau bahkan ratusan tahun akan berlalu tanpa bencana alam namun bahaya alam akan selalu ada. Tapak dengan bahaya alam harus dipelajari dan dipahami lebih dalam. Resikonya harus dievaluasi terlebih dahulu agar dapat merencanakan dan merancang tindakan untuk mencegah bahaya alam berubah menjadi bencana alam, atau sering disebut proses mitigasi bencana. Dalam proses mitigasi kita dapat merencanakan dan mengambil tindakan untuk mengurangi ancaman kematian dan kehancuran dikemudian hari ketika bahaya alam meningkat dan menjadi ancaman besar. Mitigasi ini perlu pula dilaksanakan setelah bencana terjadi, karena penduduk biasanya kembali membangun bangunan yang sama (rekonstruksi) di atas tapak yang telah hancur akibat bencana tersebut. Upaya mitigasi pra bencana dan pasca bencana memerlukan data dan informasi spasial yang akan mempermudah pemantauan dan analisa tindakan prefentif maupun rekonstruksi.

Tsunami

Tsunami (bahasa Jepang: 津波; tsu = pelabuhan, name = gelombang, secara harafiah berarti "ombak besar di pelabuhan") adalah perpindahan badan air yang disebabkan oleh perubahan permukaan laut secara vertikal dengan tiba-tiba. Perubahan permukaan laut tersebut bisa disebabkan oleh gempa bumi yang berpusat di bawah laut, letusan gunung berapi bawah laut, longsor bawah laut, atau hantaman meteor di laut. Gelombang tsunami dapat merambat ke segala arah. Tenaga yang dikandung dalam gelombang tsunami adalah tetap terhadap fungsi ketinggian dan kelajuannya. Di laut dalam, gelombang tsunami dapat merambat dengan kecepatan 500-1000 km/jam. Setara dengan kecepatan pesawat terbang. Ketinggian gelombang di laut dalam hanya sekitar 1 meter. Dengan demikian, laju gelombang tidak terasa oleh kapal yang sedang berada di tengah laut. Ketika mendekati pantai, kecepatan gelombang tsunami menurun hingga sekitar 30 km per jam, namun ketinggiannya sudah meningkat hingga mencapai puluhan meter. Hantaman gelombang tsunami bisa masuk hingga puluhan kilometer dari bibir pantai. Kerusakan dan korban jiwa yang terjadi karena tsunami bisa diakibatkan karena hantaman air maupun material yang terbawa oleh aliran gelombang tsunami (Hanim U, 2012).

Pusat gempa dengan skala 9.2 Skala Richter pada 26 desember 2004 yang terjadi di Aceh terletak di bawah laut Pulau Simeuleu. Penyebab terjadinya tsunami adalah Lempeng Australia yang bergerak dengan kecepatan rata-rata 7 cm/tahun menabrak lempeng Eurasia, sehingga terjadi stran accumulation atau terjadi tegangan

7

karena desakan lempeng Australia yang bergerak ke utara menabrak pulau Sumatera atau disebut rebound yang mengakibatkan gempa dibawah laut dan mengakibatkan tsunami atau dalam bahasa Aceh di sebut smong.

Tsunami adalah suatu sistem gelombang gravitasi yang terbentuk akibat tubuh air laut mengalami gangguan dalam skala besar dan dalam jangka waktu yang relatif singkat. Ketika gaya gravitasi berperan dalam proses air laut mencapai kembali kondisi equilibrium, suatu seri gerakan osilasi tubuh air laut terjadi baik pada permukaan laut maupun di bawahnya dan tsunami terbentuk dengan arah rambat keluar dari daerah sumber gangguan (Gambar 2).

Kebanyakan tsunami dihasilkan oleh gempa bumi, yakni pada saat pergeseran tektonik vertikal dasar laut di sepanjang zona rekahan pada kulit bumi menyebabkan gangguan vertikal tubuh air. Sumber mekanisme lainnya adalah letusan gunung api yang berada di dekat atau di bawah laut, perpindahan sedimen dasar laut, peristiwa tanah longsor di daerah pesisir yang bergerak ke arah air laut, ledakan buatan manusia dan tumbukan benda langit atau meteor yang terjadi di laut.

Sumber: www.geocities.ws Gambar 2. Model terjadinya tsunami akibat pergerakan sesar atau gempa bumi

Tsunami bergerak keluar dari daerah sumber sebagai suatu seri gelombang. Kecepatannya tergantung pada kedalaman air, sehingga gelombang tersebut mengalami percepatan atau perlambatan ketika melintasi kedalaman yang berbeda-beda. Proses ini juga menyebabkan perubahan arah rambat sehingga energi gelombang dapat menjadi fokus atau de-fokus. Pada laut dalam, gelombang tsunami dapat bergerak dengan kecepatan sekitar 500 hingga 1000 km/jam. Ketika mendekati pantai, rambatan tsunami menjadi lebih lambat hingga hanya beberapa puluh km/jam. Ketinggian gelombang tsunami juga tergantung pada kedalaman air. Gelombang tsunami yang ketinggian hanya satu meter pada laut dalam bisa berkembang menjadi puluhan meter pada garis pantai. Tidak seperti gelombang laut yang umumnya digerakkan oleh angin yang hanya mengganggu permukaan laut, energi gelombang tsunami mampu mencapai dasar laut. Pada daerah dekat pantai, energi tersebut terkonsentrasi pada arah vertikal akibat berkurangnya kedalaman air dan pada arah horizontal akibat pemendekan panjang gelombang karena perlambatan gerak gelombang. Tsunami memilik rentang periode (waktu untuk satu siklus gelombang) dari hanya beberapa menit hingga lebih dari satu jam.

8

Pada daerah pesisir, tsunami dapat memiliki berbagai bentuk ekspresi tergantung pada ukuran dan periode gelombang, variasi kedalaman dan bentuk garis pantai, kondisi pasang-surut dan faktor-faktor lainnya. Pada beberapa kasus tsunami dapat berupa gelombang pasang naik yang terjadi sangat cepat yang langsung membanjiri daerah pesisir rendah. Pada kasus lainnya tsunami dapat datang sebagai bore yaitu suatu dinding vertikal air yang bersifat turbulen dengan daya rusak tinggi. Arus laut yang kuat dan tidak lazim biasanya juga terdapat pada tsunami berskala kecil. Berdasarkan jarak sumber penyebab tsunami dan daerah yang terancam bahaya, tsunami dapat dikelompokkan menjadi dua: tsunami lokal (jarak dekat) dan tsunami distan (jarak jauh). Daya hancur tsunami tergantung pada tiga faktor: inundasi (penggenangan), kekuatan bangunan atau struktur dan erosi. Tsunami dapat menyebabkan erosi pada fondasi bangunan, menghancurkan jembatan dan seawall (struktur penahan gelombang yang sejajar garis pantai). Daya apung dan daya seret dapat memindahkan rumah dan membalik mobil-mobil. Kebakaran bisa pula terjadi sebagai bahaya sekunder dan meyebabkan kerugian yang lebih besar lagi. Kerusakan sekunder lainnya adalah polusi fisik atau kimia akibat kerusakan yang telah terjadi.

Menurut Beni (2006), Tsunami adalah istilah yang berasal dari bahasa Jepang yang kini telah menjadi istilah internasional. Tsunami adalah istilah untuk menyatakan gelombang besar luar biasa yang datang menyerang tiba-tiba menghempas ke pantai dan mampu menjalar dengan kecepatan hingga lebih dari 900 km/jam, terutama diakibatkan oleh gempa bumi yang terjadi di dasar laut. Istilah tsunami berasal dari bahasa Jepang. Tsunami sangat dikenal oleh bangsa Jepang, karena Jepang adalah Negara yang daerahnya rawan terkena tsunami. Tsunami telah dikenal sejak abad ke-18. Hal itu tampak dari lukisan paling terkenal tentang tsunami yang dibuat pada abad ke-18 oleh pelukis Jepang bernama Hokusai, yang menggambarkan tsunami dengan latar belakang Gunung Fuji. Dalam literatur bahasa inggris, tsunami kadang-kadang disebabkan pula sebagai tidal wave dan sering diterjemahkan secara harfiah sebagai gelombang pasang. Istilah ini sebenarnya tidak tepat karena tidak memiliki hubungan dengan pasang surut air yang ditentukan oleh gaya tarik menarik benda-benda astronomi.

Berbeda dengan gempa tektonik yang hingga kini belum dapat diprediksi waktu kejadiannya, tsunami dapat diperkirakan kedatangannya beberapa saat sebelumnya dengan melihat gejala alam di daerah pantai. prediksi tsunami dapat dilakukan dengan menerapkan sistem Tremors (Tsunami Risk Evaluation through Seismic Moment from Realtime System) dan pengukuran pasang surut air laut analisis gempa dan tsunami. Jika terpasang lima sistem Tremors yang terintegrasi dengan sistem pemantauan lainnya itu maka dalam waktu 15 menit prediksi akan datangnya tsunami dapat dikeluarkan. Saat ini, BMG hanya memiliki satu sistem Tremors yang terpasang di Tretes Jawa Timur. Selain itu dari segi jumlah dan kemampuan stasiun pengamat gempa yang dimiliki BMG masih jauh dari ideal. Jumlah sistem pengamat gempa baik yang manual maupun telemetri di seluruh Indonesia hanya berjumlah 57, namun seharusnya dua kali lipat dari itu.

Dengan sistem pemantauan yang canggih, prediksi terjadinya tsunami di Jepang dapat dikeluarkan dalam waktu 3 menit. Namun selain teknologi modern, gejala alam

9

yang muncul sebelum terjangan tsunami dapat menjadi petunjuk bagi penduduk di pantai untuk menyelamatkan diri dari bencana itu. Ketika terjadi gempa tektonik yang terasa getarannya di kawasan itu penduduk hendaknya bergegas menjauhi pantai. Demikan pula jika air laut di pantai tiba-tiba surut. Jika topografi di dasar laut berupa lereng, sebelum tsunami sampai ke pantai akan terdengar bunyi ledakan seperti bom. Adapun jika strukturnya landai, suara gelombang yang muncul seperti gendering. Bau garam yang terbawa angin dan udara yang dingin juga pertanda datangnya tsunami. Gelombang tsunami biasanya akan datang dua hingga tiga kali. Gelombang pertama masih relatif kecil, namun 10 hingga 15 menit kemudian akan datang gelombang yang lebih besar.

Menurut Badan Meteorologi dan Geofisika (BMG), gempa bumi tektonik yang terjadi di Aceh terjadi Minggu, 26 Desember 2004 berkekuatan 8.8 Scala Richter (SR). pusat gempa tersebut berada pada 2.9 LU-95.6 BT dan kedalaman 20 km di laut, kurang lebih 149 km sebelah selatan Meulaboh. Survey Geologi AS menyatakan, gempa bumi yang terjadi di sebelah barat pulau Sumatera itu berkekuatan 8.9 SR. Bencana yang mengakibatkan ribuan orang tewas, hilang dan luka-luka itu juga melanda sejumlah Negara di Asia, seperti Sri Langka, India, Bangladesh, Maladewa, Thailand dan Malaysia. Tsunami, menurut Kementrian Ristek, merupakan gelombang laut yang disebabkan oleh gempa bumi atau letusan gunung api atau longsoran di dasar laut, namun sebagian besar atau 90 persen tsunami disebabkan oleh gempa bumi.

Kementrian Ristek mengatakan, sejumlah program untuk mengurangi akibat (mitigasi) bencana tsunami sudah dilakukan di Indonesia. Program yang baik setidaknya didukung oleh riset komprehensif tentang tsunami, sistem pemantau gempa, sistem peringatan dini tsunami, pengembangan peta zonasi tsunami, pengembangan teknologi proteksi pantai dan sosialisasi pada masyarakat. Namun masih banyak hal yang perlu ditingkatkan agar program tersebut memperoleh hasil yang optimal. Mengacu pada kemampuan yang dimiliki oleh sumber daya manusia, sarana dan institusi di Indonesia, program mitigasi bencana tsunami agar diarahkan pada pembuatan peta zonasi tsunami yang lebih representatif, membangun sistem peringatan dini yang lebih baik dan meningkatkan tingkat kesiapan masyarakat dengan melakukan program pelatihan dan sosialisasi.

Sistem GPS (Global Positioning System) yang dipasang di Kepulauan Batu dan Mentawai di perairan sebelah barat Sumatera berupa antena GPS. Antena ini akan mengeluarkan sinyal. Sinyal kemudian ditangkap dan dicatat oleh satelit GPS. Dengan data yang tercatat dari waktu ke waktu dapat diukur pergerakan muka bumi dengan akurat. Rekaman sistem ini menunjukkan bahwa pulau-pulau di barat Sumatera mengalami proses tenggelam atau penurunan permukaan dan bergerak mendekat ke arah pulau Sumatera. Hal ini berarti kita berada dalam masa pemampatan bumi yang dimulai setelah kejadian gempa besar dimasa lalu.

Daratan yang lebih tinggi dari pantai merupakan tempat yang aman untuk menghindari terjangan gelombang tsunami yang biasa menyertai gempa bumi. Bangunan yang terbuat dari kayu dan material bangunan yang ringan lainnya akan lebih aman daripada yang terbuat dari bahan berat seperti beton, jika sampai roboh atau runtuh akibat gempa dan diterjang tsunami. Untuk menghambat serangan

10

tsunami, sepanjang pantai hendaknya ditanami pohon bakau. Keberadaan hutan bakau sedikitnya akan memecah gelombang tsunami sehingga gelombang tidak akan langsung mencapai daratan.

Suatu jaringan sensor yang mampu mendeteksi gempa bumi bawah laut dan kehadiran tsunami di Samudra Hindia bukanlah hal yang sulit dipasang, kata para ahli. Akan tetapi, sistem itu tidak ada gunanya jika tidak didukung infrastruktur komunikasi yang memadai. Seperti diketahui, jumlah korban dan besarnya kerusakan akibat tsunami 26 Desember 2004 lalu telah membuat banyak pihak menyerukan adanya sistem peringatan dini di daerah-daerah rawan bencana. Indonesia sebagai Negara yang daerahnya rawan bencana dan penduduknya menjadi korban paling banyak sudah menyetujui dibangunnya sistem seperti itu. Negera-negara korban lain serta Negara pendonor juga telah membicarakan sistem peringatan dini dalam suatu konferensi di Jakarta.

Sistem peringatan dini tsunami sudah diterapkan di Samudra Pasifik. Sistem ini terdiri atas rangkaian seismograf dan pengukur gelombang yang terhubung dengan satelit. Seismograf adalah senjata paling depan dalam sistem. Ia akan memperingatkan adanya gempa bumi bawah laut yang bisa menimbulkan tsunami. Karena tidak tiap gempa menghasilkan gelombang besar, untuk memastikan telah terbentuknya tsunami digunakanlah pengukur gelombang yang mampu mendeteksi perubahan ketinggian air. Permasalahan sistem ini adalah banyaknya kekeliruan sinyal. Tiga dari empat peringatan yang dikirimkan oleh sistem ternyata bukan tsunami. Padahal evakuasi yang dilakukan karena kasus seperti ini membutuhkan banyak biaya dan bisa membuat orang menjadi kurang percaya lagi jika tsunami benar-benar muncul.

Sebuah sistem monitor yang lebih akurat telah dikembangkan oleh National Oceanic and Atmospheric Administration (NOAA) AS yang dimulai digunakan tahun 2003. Sensor bernama Deep Ocean Assessment and Reporting (DART) ini menggunakan detektor tekanan laut dalam yang bisa mengukur perubahan kedalaman air ketika tsunami lewat di atasnya. Sensor ini kemudian mengirim informasi ke sebuah pelampung di permukaan yang kemudian meneruskannya ke stasiun pengawas lewat satelit. DART dianggap lebih tahan menghadapi guncangan gempa dibanding pengukur gelombang, namun para ilmuwan bersikeras untuk juga menggunakan sistem lama selain yang baru agar data lebih meyakinkan.

Pada peristiwa tanggal 26 Desember 2004 lalu, para petugas di Pasific Tsunami Warning Center di Hawaii mendeteksi sinyal gempa, namun tidak mengetahui kapan atau dimana tsunami akan menerjang. Setelah mendengar laporan media bahwa tsunami menggempur Sri Langka, mereka bisa memperingatkan Madagaskar dan Kepulauan Mauritius. Banyak kota-kota di sekitar Pasifik, terutama di Jepang dan juga Hawaii, mempunyai sistem peringatan tsunami dan prosedur evakuasi untuk menangani kejadian tsunami. Bencana tsunami dapat diprediksi oleh berbagai institusi seismologi di berbagai penjuru dunia dan proses terjadinya tsunami dapat dimonitor melalui satelit. Namun, sebesar apapun bahaya tsunami, gelombang ini tidak datang setiap saat. Janganlah ancaman bencana alam ini mengurangi kenyamanan menikmati pantai dan lautan.

11

Sebagai salah satu Negara yang paling rawan gempa, Jepang mempunyai banyak pengalaman menghadapi tsunami. Latihan menghadapi gempa bumi dan tsunami. Di salah satu universitas di Jepang bahkan terdapat fakultas khusus yang mempelajari tsunami. Selain itu terdapat Jasa Peringatan Tsunami yang dibentuk pada tahun 1952 oleh Masyarakat Meteorologi Jepang (JMA). Enam kantor regional menghubungkan 300 sensor di seluruh Kepulauan Jepang, temasuk 80 sensor di dalam air yang secara terus menerus memantau getaran bumi. Kalau sebuah gempa bumi terlihat mempunyai potensi menimbulkan tsunami, dalam waktu tiga menit JMA akan mengeluarkan peringatan. Peringatan itu disiarkan di semua stasiun radio dan televisi, dan jika perlu peringatan evakuasi akan diberikan. Target JMA adalah memberi waktu 10 menit bagi masyarakat yang berada dalam jalur tsunami untuk melakukan evakuasi. Pemerintah lokal, pemerintah pusat dan organisasi bantuan juga mendapat peringatan lewat saluran khusus agar bisa cepat memberi tanggapan.

Jaringan JMA ini begitu canggih sehingga mampu meramal ketinggian, kecepatan, tujuan dan waktu datangnya tsunami di wilayah Jepang. Dasar dari sistem peringatan mutakhir ini adalah izin pendirian bangunan yang ketat sebagai perlindungan dari tsunami dan gempa bumi. Selain itu terdapat perencanaan anti bencana alam yang bagus, sehingga korban bencana alam di Jepang relatif kecil.

Ketika tsunami setinggi 30 meter menghantam pulau Hokkaido di Jepang Utara pada tahun 1993, hanya 293 orang meninggal akibat tsunami dan gempa bumi. Warga Jepang telah membangun tembok tsunami, bangunan-bangunan yang kokoh dan kesadaran atas bahaya tsunami. Pada bencana tahun 1993, meski JMA sudah mengeluarkan peringatan dalam waktu lima menit, gempa bumi itu sangat dekat sehingga begitu peringatan dikeluarkan, gelombang sudah menghantam. Sistem peringatan di Jepang diperbaiki terus-menerus. Pada tahun 1999, Negara itu memperkenalkan model prakiraan tsunami yang baru. Sistem baru ini memang mahal, biaya pemakaiannya sekitar $20 juta per tahun.

Di Prefektur Shizuoka yang terletak di Pantai Timur Jepang yang rawan tsunami, terdapat 258 tempat perlindungan anti tsunami dan gempa di sepanjang pantai. Kota-kota pesisir lainnya sudah membangun tanggul anti banjir agar air dari tsunami tidak masuk ke pedalaman melalui sungai dan menimbulkan kerusakan. Tembok-tembok tsunami juga mengelilingi bagian pantai lainnya untuk mencegah timbulnya kerusakan. Akan tetapi, tembok-tembok ini biasanya hanya beberapa meter tingginya sehingga tidak akan melindungi sepenuhnya dari tsunami seperti terjadi di Lautan Hindia 26 Desember 2004 lalu. Jadi, meski Jepang memiliki segala macam sistem perlindungan dan peringatan, Negara itu tetap menghadapi resiko tsunami. Menurut perkiraan pemerintah, dalam skenario terburuk di mana terjadi tiga gempa bumi kuat secara simultan, 12.700 orang bisa tewas akibat tsunami yang timbul kemudian. Karena sebagian gempa bumi bawah laut terjadi hanya beberapa kilometer dari lepas pantai, tsunami bisa menghantam daratan hanya dalam waktu lima menit. Sistem yang tercanggih sekarang tidak akan bisa berbuat apa-apa menghadapi kejadian semacam itu.

Menurut Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No. 6/PRT/M/2009, Secara tipikal tsunami terbagi atas:

1. Tsunami lokal

12

Tsunami lokal berhubungan dengan episentrum gempa tsunami di sekitar pantai, sehingga waktu tempuhnya mulai dari awal sumber ke tempat masyarakat pantai dapat berlangsung antara 5 sampai 30 menit. Lokasi di atas daerah episentrum, akan menerima peringatan tsunami kira-kira 5 menit setelah kejadian gempa, yang merupakan waktu peringatan paling sesuai dengan teknologi terkini. Korban jiwa dan yang terluka akan berkurang, jika masyarakat dapat lari berevakuasi ke tempat yang lebih tinggi segera setelah merasakan gempa tanpa menunggu peringatan dari petugas setempat. Oleh karena itu, diperlukan informasi dan program pelatihan masyarakat secara efektif.

2. Tsunami berjarak Tsunami berjarak adalah jenis tsunami yang paling umum terjadi di sepanjang

Pantai Pasifik dari Amerika Serikat. Contohnya gelombang di daerah Pasifik yang melintasi lautan sehingga energinya agak berkurang sebelum menghempas pesisir pantai Amerika Serikat. Dampak gabungan dari gempa dan tsunami regional yang berpusat di kepulauan Filipina pada tanggal 16 Agustus 1976 telah menewaskan kira-kira 8000 korban jiwa. Namun di Jepang pada tahun 1983 dan 1993 tidak menimbulkan gelombang yang lebih besar ke daerah Lautan Pasifik. Jarak untuk mencapai pantai bervariasi antara 5.5 jam sampai 18 jam, bergantung pada pusat tsunami, magnitudo tsunami, jarak sumber dan arah pendekatan.

Skala intensitas yang sering digunakan adalah skala intensitas magnitudo tsunami Abe (1993). Abe memperkenalkan suatu cara empirik untuk menaksir magnitudo tsunami berjarak (distant tsunami) dengan data tsunami yang terjadi di Samudera Pasifik dan Jepang. Skala intensitas tersebut disajikan pada Tabel 1.

Tabel 1. Intensitas tsunami

Intensitas Tinggi run-up

(m) Deskripsi tsunami

Frekuensi kejadian di Laut

Pasifik I 0,5 Amat kecil. Gelombang sangat lemah dan

hanya terdeteksi pada catatan pasang surut 1 kali tiap 4 bulan

II 1 Kecil. Gelombang terlihat oleh orang yang tinggal disekitar pantai dan mengenal keadaan laut. Pada gelombang tersebut mudah terlihat

1 kali tiap 4 bulan

III 2 Agak besar Jenis data dan indikator pengamatan. Pada pantai yang landai terjadi banjir. Perahu kecil terdorong ke pantai. Kerusakan ringan dialami oleh bangunan dekat pantai. Pada daerah muara arus sungai berbalik hingga beberapa jauh kearah daratan

13

Tabel 1. Intensitas tsunami (lanjutan)

IV 4 Besar. Terjadi banjir di daerah pantai. Penggerusan ringan pada tanah. Tanggul rusak. Bangunan ringan dekat pantai rusak. Bangunan permanen mengalami kerusakan kecil. Perahu besar terhempas kedaratan atau terbawa ke laut. Pantai terkotori oleh debris yang mengapung

1 kali per tahun

V 8 Amat besar. Seluruh pantai tergenang. Dermaga dan struktur berat dekat laut rusak. Bangunan ringan hancur. Penggerusan dahsyat pada tanaman di darat. Pantai dikotori oleh benda mengapung, ikan dan binatang-binatang laut. Dengan pengecualian kapal besar, semua perahu terdampar ke daratan atau terhempas ke lautan. Muara mengalami pengikisan berat. Manusia tenggelam dan gelombang disertai suara gemuruh

1 kali per 3 tahun

VI 16 Menghancurkan. Semua struktur bangunan mengalami kerusakan total atau sebagian untuk jarak yang jauh dari daratan. Banjir di pantai cukup dalam. Kapal-kapal besar mengalami kerusakan. Pohon-pohon tercabut atau hancur oleh gelombang. Jumlah kematian pada penduduk pantai luar biasa banyak

1 kali per 10 tahun

Sumber: Menpu, 2009

Mitigasi Bencana

Mitigasi adalah suatu tindakan untuk mengurangi kerusakan dan kehilangan nyawa dengan cara memperkecil dampak dari bencana. Hal ini diperoleh melalui analisis resiko yang menghasilkan berbagai macam informasi sebagai bahan acuan untuk tindakan mitigasi dalam mengurangi resiko (FEMA, 2000).

Tujuan dari mitigasi adalah untuk mencegah berkembangnya bahaya menjadi bencana atau untuk mengurangi dampak bencana ketika terjadi. Proses mitigasi berlangsung dalam suatu program jangka panjang untuk mengurangi atau menghilangkan resiko. Implementasi dari strategi mitigasi dapat dianggap sebagai bagian dari proses pemulihan pasca bencana. Mitigasi dapat berbentuk struktural dan non-struktural. Secara struktural mitigasi dapat berupa penggunaan solusi teknologi seperti misalnya pembuatan banjir kanal. Sedangkan mitigasi secara non-struktural dapat berupa peraturan atau undang-undang, perencanaan tata guna lahan dan asuransi. Mitigasi merupakan metode yang paling efisien dari segi biaya untuk mengurangi resiko yang ditimbulkan bahaya atau hazard. Juga dapat dimasukan ke dalam proses mitigasi adalah regulasi mengenai tata cara evakuasi, sanksi bagi

14

pelanggar peraturan tersebut dan informasi serta komunikasi pada publik mengenai resiko yang mungkin terjadi.

Dalam mengukur penaggulangan tsunami, alat sederhana untuk mengukur tsunami dirancang dan disebarkan ke Ho’okena oleh Dr. Dan Walker yang terdiri atas pipa dan kaleng-kaleng diikat ke pohon kelapa. Pada tahun 1946 terjadi tsunami di Hilo, sehingga gagasan untuk membuat dinding pelindung dan tembok penahan ombak sebagai pertahanan tsunami. Gagasan tersebut menjadi pembangunan yang efektif di Hilo, walaupun ide tersebut ditinggalkan oleh ide-ide yang baru, dinding atau tembok penahan tsunami tersebut tetap digunakan secara luas di Jepang.

Pada tahun 1896, dinding penahan tsunami telah direncanakan di daerah Tarou, tetapi baru dirasakan dampaknya pada tahun 1933 yang menunjukkan daerah yang diperkirakan terkena tsunami telah menjadi bangunan-bangunan. Dinding tersebut disempurnakan pada masa perang dunia II dan telah dibangun dengan tinggi 33 kaki dan panjang 4500 kaki, dikenal dengan “The Great Wall”. Turis dari Jepang berdatangan untuk melihat detail konstruksinya, namun tidak seorangpun yakin bila terjadi tsunami dengan gelombang yang melebihi tinggi tembok tersebut.

Pengukuran dan penanggulangan yang lebih terjangkau seperti penanaman pepohonan rendah berbaris telah dilakukan dan beberapa diantaranya berhasil. Pohon efektif dalam penyerapan energi dari gelombang tsunami. Dan dilakukan pembuatan green border yang nyaman untuk komunitas disekitar kawasan pantai.

Jika metode atau cara-cara penaggulangan tsunami di atas gagal, maka pilihan satu-satunya ialah relokasi atau pemindahan. Seperti yang terjadi di Kamchatka, semenanjung Rusia, banyak yang di relokasi atau dipindahkan dari Kota Petropavlovsk ke dataran yang lebih tinggi untuk menghidari kerusakan dimasa yang akan datang. Di Hilo, setelah hampir rusak total diterjang tsunami dua kali dalan 14 tahun, pusat kota dan kabupaten dibangun kembali lebih jauh dari pinggir pantai. Daerah yang terkena tsunami kini menjadi ruang terbuka yang besar sebagai taman umum dan ruang publik. Para turis banyak yang berkomentar dan memuji terhadap perencanaan kota yang baik dan menjadikan kawasan pantai sebagai ruang terbuka hijau dan digunakan untuk rekreasi. Sehingga mereka sadar terhadap alasan nyata dibalik pembukaan ruang terbuka hijau (Walter dan Min Lee, 1989).

Mitigasi bisa diartikan sebagai segala tindakan yang dilakukan untuk mencegah, mengurangi kemungkinan terjadinya bahaya, dan mengurangi daya rusak suatu bahaya yang tidak dapat dihindarkan karena faktor alam. Mitigasi bencana harus dilakukan oleh pemerintah dan warga, tidak bisa hanya pemerintah atau warga sendiri. Mitigasi bencana ini memerlukan perencanaan yang tepat. Hal-hal yang harus direncanakan adalah: mengatur sumber daya, mempelajari dampak dan resiko, mengembangkan rencana mitigasi, menerapkan rencana dan memantau proses.

Salah satu upaya untuk mencegah tsunami itu dengan menggunakan TEWS (Tsunami Early Warning Sistem) yang dipasang di daerah-daerah yang rawan akan terjadinya tsunami seperti di perairan pertemuan antar lempeng. TEWS adalah sebuah sistem yang dirancang untuk mendeteksi tsunami dan memberi peringatan dini untuk menghindari atau meminimalisir jatuhnya korban. TEWS sendiri merupakan suatu gabungan dari instrumen kelautan seperti Seismometer, Akselerometer, GPS, Buoy dan Tide gauges serta tsunami database (Gambar 3).

15

Sumber: siskakodong.wordpress.com

Gambar 3. Sistem peringatan dini tsunami

Sistem kerjanya adalah sebagai berikut: 1. Gempa terjadi di dasar laut kemudian air surut secara drastis 2. Hasil pengukuran gempa oleh tsunameter dikirim melalui sinyal acoustiq ke

buoy 3. Buoy meneruskan hasil pengukuran gempa ke satelit 4. Satelit meneruskan data ke Tsunami Warning Center 5. Jika gempa memenuhi syarat terjadinya tsunami maka BMG akan

memerintahkan pejabat lokal membunyikan sirine. Syarat terjadinya tsunami adalah letusan gunung api, gempa bumi (gempa bumi

yang berpusat pada tengah laut dangkal 0-30 km, berkekuatan minimal 6.5 SR, dengan pola sesar naik atau sesar turun) dan longsor maupun meteor yang jatuh ke bumi.

Selain TEWS ada beberapa hal yang dapat membantu dalam menangani tsunami yaitu SIG (Sistem Informasi Geografis). Sistem Informasi Geografis (SIG) menyediakan platform yang tepat dalam perolehan data dan manajemen informasi dalam mitigasi bencana tsunami. Citra satelit dan elevasi digital digunakan sebagai layer dalam SIG mitigasi tsunami dan dikombinasikan dengan geodata dan data tematik yang berbeda (Taymaz dan Willige, 2006).

Menurut Erlingsson (2005) sistem informasi geografis dapat digunakan untuk berbagai macam bencana dalam fase pencegahannya, namun hal yang harus kita pertimbangkan adalah kegunaan dari sistem informasi geografis dalam perencanaan fisik untuk fase mitigasi, jadi selama kita mempertimbangkan resiko bencana seperti fasilitas umum, hal ini termasuk menentukan kegunaan tempat, menyediakan fasilitas shelter dan rute evakuasi.

Pada tingkat nasional, SIG dapat menyediakan informasi yang berguna, dan menciptakan kesiagaan bencana dengan peran dari para politisi dan dinas sosial, sehingga pada tingkat pengambilan keputusan secara nasional dapat dilakukan. Pada tingkat umum, obyektifitas dari tindakan yang dilakukan adalah memberikan

16

informasi mengenai bencana dan daerah yang akan terkena dampak dari bencana untuk keseluruhan wilayah dalam negara. Skala pemetaan, dapat ditentukan dengan skala 1:1.000.000 atau lebih kecil.

Pada tingkat menengah dan tingkat aplikasi, SIG dapat digunakan untuk studi pengembangan mitigasi tiap kota yang mengalami kerusakan akibat bencana, beberapa areal dari wilayah kota dipetakan dengan skala 1:25.000 sampai dengan 1:10.000 hingga skala besar, dari skala 1:25.000-1:5000. Detail dari informasi harus tinggi, data bencana harus lebih kuantiatif dan berdasarkan model deterministik atau probabilistik bencana. Informasi mengenai elevasi dari wilayah juga dibutuhkan untuk model elevasi digital dan jenis lainnya seperti peta lereng dan kemiringan. Kemampuan analisa SIG untuk zonasi bencana tsunami juga digunakan secara ekstensif. Masih banyak ilmu-ilmu yang dapat kita pelajari untuk membantu dalam mitigasi bencana alam khususnya tsunami, salah satunya adalah Teknologi Geospasial (Siskakodong, 2011).

Sesuai dengan kondisi geografis dan geologisnya, Indonesia merupakan daerah yang rawan bencana. Mulai dari gempa bumi, tsunami, tanah longsor, banjir, letusan gunung api, kekeringan, epidemi dan hingga bencana-bencana yang diakibatkan oleh ulah manusia. Oleh karena itu upaya penanggulangan harus dilakukan secara sistematis, terencana dan terkoordinasi. Peta lokasi gempa bumi yang mengakibatkan tsunami di Indonesia disajikan pada Gambar 4.

Sumber: diskanlut-jateng.go.id

Gambar 4. Peta lokasi gempa bumi yang mengakibatkan tsunami di Indonesia (tahun 1600-2004)

Secara definisi bencana diartikan sebagai peristiwa atau kejadian yang disebabkan oleh alam atau karena ulah manusia, yang terjadi secara mendadak ataupun secara perlahan, yang mengakibakan korban jiwa manusia dan kerugian harta benda serta kerusakan lingkungan, ketika masyarakat di wilayah tersebut tidak mampu menanggulanginya. Secara praktis dapat dipahami bahwa bencana akan terjadi di suatu wilayah, apabila masyarakat tidak mampu mengatasi resiko yang dialami. Sedangkan resiko yang dihadapi oleh suatu daerah sangat dipengaruhi oleh bahaya, kerentanan dan kemampuan dari suatu masyarakat.

17

Sumber: diskanlut-jateng.go.id

Gambar 5. Hubungan panjang, tinggi dan kecepatan tsunami di laut

Penanggulangan bencana adalah segala upaya terencana dan terorganisasi yang diwujudkan dalam rangkaian yang dilakukan untuk meniadakan sebagian atau seluruh bahaya atau kerugian akibat bencana, serta menghindari resiko bencana yang terjadi agar akibat yang ditimbulkannya dapat diminimalkan, dikurangi dan diperkecil, bahkan bila memungkinkan dapat dihilangkan.

Upaya penanggulangan bencana merupakan kegiatan yang mempunyai fungsi-fungsi manajemen klasik, dalam perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan dan pengendalian dalam lingkup siklus penanggulangan bencana yang berunsur kejadian bencana, penanganan darurat, rehabilitasi, rekonstruksi, pencegahan, mitigasi (pengurangan dampak) dan kesiapsiagaan.

Khusus menghadapi tsunami, ada beberapa hal perlu mendapat perhatian mengingat kekhasan dari akibat yang ditimbulkan oleh bencana tersebut. Tsunami merupakan gelombang laut besar yang terjadi karena adanya gerakan tektonik (pergeseran lempeng bumi) atau gerakan vulkanik (gunung api bawah laut) yang menimbulkan kekuatan merusak yang sangat besar di daratan. Gelombang laut tersebut dapat mencapai puluhan meter tingginya, melaju dengan kecepatan tinggi dan kekuatan mendorong yang sangat besar. Demikian pula pada saat gelombang tersebut surut ke laut akan membawa serta semua benda yang ada di permukaan tanah.

Sumber: diskanlut-jateng.go.id

Gambar 6. Jenis patahan (fault atau sesar) dan mekanisme terjadinya tsunami

18

Tanggap darurat yang dilakukan adalah manajemen dan koordinasi, evakuasi, pendataan, penyediaan air bersih, tempat penampungan sementara, transportasi dan logistik, pelayanan kesehatan. Beberapa Pengaruh kerusakan yang diakibatkan oleh bencana tsunami dapat berupa:

1. Kerusakan fisik Kejadian tsunami biasa berlangsung sangat singkat antara 20-40 menit setelah terjadi gempa dan gelombang pasang tersebut akan merusak semua sarana dan prasarana, rumah, gedung dan jembatan. Perpaduan gempa bumi yang mengakibatkan robohnya bangunan dan tsunami yang menghanyutkan semua benda, mengakibatan bekas areal yang terlewati tsunami menjadi rata dengan tanah.

2. Korban Manusia Pada umumnya korban akibat tsunami ini meninggal akibat tenggelam dan hanyut ke laut. Jumlah korban biasanya meliputi satu wilayah desa, kecamatan bahkan satu kota. Beberapa yang masih hidup biasanya mengalami luka memar karena benturan dengan puing-puing dan paru-parunya terganggu karena menghirup air yang kotor.

3. Kerusakan Lingkungan Tsunami mengakibatkan terkontaminasinya air di wilayah yang terkena bencana, sehingga sumber air bersih (sumur) di wilayah tersebut menjadi tercemar dan tidak dapat digunakan sebagai air bersih. Demikian juga lahan-lahan pertanian mengalami kerusakan karena gelombang air laut telah membawa lumpur dan tanah pertanian terkena air laut sehingga tidak dapat dimanfaatkan sebagai lahan pertanian. Bersamaan dengan gelombang tersebut juga mengakibatkan hanyutnya tanaman pertanian (Yuliati S, 2010).

Mitigasi Tsunami

Tsunami pada ilmu kebumian terminologi dideskripsikan sebagai gelombang laut dengan periode panjang yang ditimbulkan oleh suatu gangguan impulsif yang terjadi pada medium laut, seperti terjadinya gempa bumi, erupsi vulkanik, atau oleh land slide (longsoran). Tsunami bisa terjadi kapan saja baik itu malam maupun siang, tsunami bisa terjadi karena ada pergerakan lempeng. Dampaknya sangat besar, seperti; Banjir dan gelombang pasang yang tinggi, kerusakan pada sarana dan prasarana di sekitar kawasan pesisir dan pencemaran sumber-sumber air bersih.

Ilmu dan teknik tsunami telah dimulai di Jepang, negara yang paling sering terkena tsunami. Pintu gerbang ilmu pengetahuan tentang tsunami dimulai pada tahun 1896 oleh akibat tsunami raksasa dengan ketinggian run-up tertinggi 38 m yang memakan korban 22.000 jiwa. Kunci penting tercatat untuk menyimpulkan bahwa tsunami ini adalah dihasilkan oleh sebuah "gempa tsunami". Pada tahun 1933, daerah yang sama terkena lagi oleh tsunami raksasa lain. Sebuah sistem mitigasi total bencana tsunami diusulkan. Relokasi rumah tinggal ke dataran tinggi adalah yang utama. Penanggulangan tsunami adalah dengan konstruksi struktur termasuk pemecah gelombang tsunami yang merupakan pertama di dunia. Sejak tahun 1970-an, tsunami simulasi numerik dikembangkan di Jepang dan disempurnakan untuk

19

menjadi skema UNESCO standar untuk 22 negara yang berbeda. Pada tahun 1983, foto dan video dari tsunami di Laut Jepang mengungkapkan banyak wajah tsunami seperti fisi soliton. Tahun 1993 tsunami menghancurkan sebuah kota yang dilindungi oleh sea walls setinggi 4.5 m. Pengalaman ini diperkenalkan kembali gagasan penanggulangan yang komprehensif, terdiri atas struktur pertahanan, pengembangan kota tahan tsunami, dan evakuasi berdasarkan peringatan (Krembesz, 2011).

Krembesz. 2011 menambahkan, Gempa dan tsunami susah untuk diprediksi kedatangannya, namun manusia harus tetap berusaha untuk menjawab tantangan alam ini, Negara secanggih Jepang dengan berbagai pengalaman menghadapi gempa dan tsunami membuat Jepang terus belajar untuk mengurangi dampak yang diakibatkan oleh gempa dan tsunami. Berikut adalah beberpa usaha yang telah dilakukan oleh negara matahari terbit ini untuk menangkal datangnya tsunami :

1. Break Water Pemecah gelombang tsunami adalah struktur lepas pantai yang membatasi masuknya gelombang tsunami dan badai ke pelabuhan dengan mempersempit pintu masuk. Seperti pemecah gelombang yang dapat ditemukan di Ofunato Bay Pantai Sanriku dan di Iwate, Jepang Utara. Pemecah gelombang dibangun sebagai tanggul bawah air untuk menghilangkan energi gelombang datang. Ilustrasinya disajikan pada Gambar 7.

Sumber: www.kaskus.co.id

Gambar 7. Ilustrasi pemecah gelombang tsunami

2. Tetrapod Tetrapod (Gambar 8) adalah salah satu jenis unit batu besi beton dengan empat kaki. Perlu diingat bahwa gelombang tsunami yang besar mampu memindahkan tetrapod.

20

Sumber: www.kaskus.co.id

Gambar 8. Berbagai bentuk tetrapod

3. Shelter Shelter (Gambar 9) ini dibangun disebuah resor pantai di Shirahama, Prefektur Tokushima, Jepang. Shelter ini dapat diisi sampai dengan 700 orang di area seluas 7535 m2. Dipertimbangkan pembangunan dengan menanamkan pipa sedalam 66 kaki, karena pada gempa terjadi liquifikasi tanah. Ketinggian bangunan ini adalah 11.5 meter.

Sumber: www.kaskus.co.id

Gambar 9. Shelter di Shirahama dan Prefektur Tokushima, Jepang

4. Tanggul Tanggul (Gambar 10) adalah tanah tinggi buatan. Tanggul pada Gambar 10 dibangun di Aonae Pulau Okushiri di Jepang.

Sumber: www.kaskus.co.id

Gambar 10. Tanggul di Okushiri, Jepang

21

5. Hutan Perencanakan untuk hutan antara pantai dan bagian kota. Pohon-pohon dari hutan bertindak sebagai penyangga dan membantu untuk menangkal energi gelombang. Sepanjang Pantai Sanriku di Jepang, pohon cemara lebih efektif untuk counter tsunami. Contoh hutan tersebut disajikan pada Gambar 11.

Sumber: www.kaskus.co.id

Gambar 11. Contoh hutan di sepanjang Pantai Sanriku, Jepang

6. Pintu air Pintu air (Gambar 12) ini digunakan untuk melindungi kawasan terhadap

gelombang tsunami di Pulau Okushiri, Jepang. Pintu gerbang mulai menutup secara otomatis dalam hitungan detik setelah gempa memicu sensor seismik tersebut. Di Numazu, Jepang, sebuah tembok setinggi 3,6 meter (6 meter dari permukaan laut) memisahkan ruang antara laut dengan perumahan untuk mencegah Tsunami.

Sumber: www.kaskus.co.id

Gambar 12. Contoh pintu air di Okushiri, Jepang

Inovasi Van Den Noort memenangkan penghargaan inovasi 2012 dalam kategori lingkungan dari wall street journal untuk desain penahan tsunami (tsunami barier) secara otomatis. Banyak negara sudah memasang inovasi ini, yakni dari daerah pesisir. Rancangan Van Den Noort ini memakai prinsip twin wing, sehingga apabila air surut, flat yang pertama naik kemudian pada saat gelombang tsunami datang, flat yang lainnya ikut naik dan menahan tsunami tersebut. Pada keadaan normal flat baja dengan lebar lebih dari 10 meter ini tidak mengganggu kehidupan bawah laut. Ilustrasinya seperti pada Gambar 13.

22

Sumber: www.dutchwatersector.com, 2012

Gambar 13. Ilustrasi inovasi penahan tsunami

Mitigasi meliputi segala tindakan yang mencegah bahaya, mengurangi kemungkinan terjadinya bahaya, dan mengurangi daya rusak suatu bahaya yang tidak dapat dihindarkan. Mitigasi adalah dasar managemen situasi darurat. Mitigasi dapat didefinisikan sebagai “aksi yang mengurangi atau menghilangkan resiko jangka panjang bahaya bencana alam dan akibatnya terhadap manusia dan harta-benda” (FEMA, 2000). Mitigasi adalah usaha yang dilakukan oleh segala pihak terkait pada tingkat negara, masyarakat dan individu.

Untuk mitigasi bahaya tsunami atau untuk bencana alam lainnya, sangat diperlukan ketepatan dalam menilai kondisi alam yang terancam, merancang dan menerapkan teknik peringatan bahaya, dan mempersiapkan daerah yang terancam untuk mengurangi dampak negatif dari bahaya tersebut. Ketiga langkah penting tersebut adalah: 1) penilaian bahaya (hazard assessment), 2) peringatan (warning), dan 3) persiapan (preparedness) adalah unsur utama model mitigasi. Unsur kunci lainnya yang tidak terlibat langsung dalam mitigasi tetapi sangat mendukung adalah penelitian terkait (tsunami related research).

Menurut Ella dan Usman, 2008. Bencana alam seperti tsunami tidak dapat dihindari tapi resiko dari bencana tersebut dapat dikurangi. Semua orang, dengan kemampuan masing-masing, baik secara individu ataupun kelompok dapat berperan aktif untuk mengurangi resiko tsunami. Kurangnya pengetahuan kita tentang tsunami, seperti tentang sebab-sebab, ciri-ciri, atau tanda-tanda akan terjadinya tsunami, ditambah dengan kurangnya perencanaan pengembangan kawasan pantai yang tidak tahan gempa dan tsunami menyebabkan timbulnya korban. Oleh karena itu diperlukan langkah-langkah berikut: 1. Perlindungan garis pantai

Perlindungan garis pantai terhadap serangan tsunami dapat dilakukan dengan cara: Penetapan peraturan tentang pembangunan wilayah pantai, membangun tembok-tembok penahan dan pemecah gelombang laut, melestarikan hutan mangrove; menanamnya di pesisir dengan baik dan tidak menebangnya sembarangan, atau tidak juga mengubah lahan-lahan mangrove untuk membuat tambak dan tidak mencemari sungai dengan limbah karena akan merusak laut 2. Sistem peringatan dini

Sistem peringatan dini perlu dibangun untuk mendeteksi, melokalisir dan menentukan besaran potensi tsunami yang muncul sebagai akibat gempa bumi atau

23

getaran-getaran lainnya. Sistem ini selanjutnya memberikan informasi dan peringatan kepada pihak-pihak yang terkait dan kemudian kepada penanggungjawab pada tingkat lapangan atau masyarakat yang mungkin akan terkena bencana. Informasi disebarluaskan lewat radio dan saluran televisi.

Pihak-pihak penanggungjawab keadaan darurat bertanggungjawab atas pelaksanaan rencana-rencana evakuasi untuk daerah-daerah yang berada di bawah peringatan tsunami. Indonesia Tsunami Early Warning System (Ina TEWS) merupakan bagian penting dari peringatan dini tsunami di Samudera Hindia yang sedang dibangun. Ina TEWS terjalin atas kerjasama 16 instansi di Indonesia, termasuk BMG. Ina TEWS memiliki dua komponen utama, komponen struktur dan kultur. Komponen struktur adalah bagian tugas pemerintah pusat dalam pemasangan peralatan deteksi, pengolahan data yang dihasilkan dan penyampaian peringatan dini kepada berbagai institusi dan pemerintah daerah (pemda) serta media. Sementara komponen kultur menjadi tanggung jawab pemda dalam menyiapsiagakan masyarakat terhadap bencana dan penyampaian peringatan evakuasi bencana ke masyarakat. 3. Pemetaan kawasan rawan dan tempat evakuasi

Memetakan daerah-daerah yang paling rawan dan daerah-daerah yang layak untuk menjadi tempat evakuasi dan rute-rute penyelamatan jika terjadi bencana. Secara tata ruang wilayah dibagi atas dua kategori, yaitu kawasan budidaya dan kawasan lindung. Kawasan budidaya adalah wilayah yang ditetapkan dengan fungsi utama untuk dibudidayakan atas dasar kondisi dan potensi sumber daya alam, sumber daya manusia dan sumber daya buatan. Sedangkan kawasan lindung adalah wilayah yang ditetapkan dengan fungsi utama melindungi kelestarian lingkungan hidup yang mencakup sumber daya alam dan sumber daya buatan.

Kawasan lindung memiliki peranan penting dalam menjaga kelestarian alam dan keberlangsungan ekosistem. Namun dalam implementasinya hal ini sering terkesan diabaikan oleh pemangku kepentingan sehingga terjadi kerusakan lingkungan di kemudian hari. Hal ini terjadi akibat kawasan lindung dianggap sebagai lahan yang kurang produktif sehingga pemerintah menekan luas kawasan lindung sampai batas minimal yang disyaratkan, bahkan ada yang kurang dari luas yang disyaratkan yaitu 30% dari luas wilayah.

Dalam undang-undang kebijakan penataan ruang kawasan lindung terbagi kedalam dua hal yaitu: pemeliharaan dan perwujudan kelestarian fungsi lingkungan hidup dan pencegahan dampak negatif kegiatan manusia yang dapat menimbulkan kerusakan lingkungan hidup. Untuk mewujudkan kebijakan ini terdapat beberapa strategi diantaranya adalah:

1. Menetapkan kawasan lindung di darat, ruang laut dan ruang udara termasuk ruang di dalam bumi.

2. Mewujudkan kawasan berfungsi lindung dalam suatu wilayah pulau dengan luas paling sedikit 30% dari luas pulau tersebut sesuai dengan kondisi ekosistemnya.

3. Mengembalikan dan meningkatkan fungsi kawasan lindung yang telah menurun akibat pengembangan kegiatan budidaya, dalam rangka mewujudkan dan memelihara keseimbangan ekosistem wilayah.

24

4. Mengendalikan pemanfaatan sumber daya alam secara bijaksana untuk menjamin kepentingan generasi masa kini dan generasi masa depan.

5. Mengembangkan kegiatan budidaya yang mempunyai daya adaptasi bencana pada kawasan rawan bencana. Kawasan lindung terbagi ke dalam beberapa kategori, yaitu: kawasan yang

memberikan perlindungan terhadap kawasan bawahannya; kawasan perlindungan setempat; kawasan suaka alam, pelestarian alam dan cagar budaya; kawasan rawan bencana alam; kawasan lindung geologi; dan kawasan lindung lainnya. Diantara beberapa kategori ini kawasan rawan bencana alam memiliki peranan yang sangat penting dalam kehidupan masyarakat Indonesia. Hal ini penting mengingat Indonesia secara geografis berada pada pertemuan beberapa lempeng yang mengakibatkan intensitas kejadian gempa sangat tinggi pada kawasan ini. Untuk itu harus ada sistem pengelolaan bencana yang bersifat komprehensif dan berkelanjutan untuk mencegah dampak negatif dari hal ini.

Kawasan pesisir sebagai ruang utama kehidupan masyarakat Indonesia menjadi kawasan yang sangat penting dalam pengelolaan bencana. Menurut Asian Development Bank (2005), sekitar 22% penduduk Indonesia hidup di pesisir dan sekitar 66% di dataran pesisir. Selain itu diperkirakan bahwa sekitar 14 juta hingga 16 juta orang bekerja dalam kegiatan di pesisir dan kelautan. Kontribusi kegiatan tersebut berjumlah antara 20-25% dari Produk Domestik Bruto (PDB). Hal ini membuat peluang terjadinya resiko yang tinggi terhadap bencana alam khususnya tsunami.

Menurut Undang-Undang No. 27 tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, wilayah pesisir adalah daerah peralihan antara ekosistem darat dan laut yang dipengaruhi oleh perubahan di darat dan laut. Sedangkan bencana pesisir adalah kejadian karena peristiwa alam atau karena perbuatan orang yang menimbulkan perubahan sifat fisik atau hayati pesisir dan mengakibatkan korban jiwa, harta dan kerusakan di wilayah pesisir. Untuk itu diperlukan upaya mitigasi bencana di wilayah pesisir untuk mengurangi resiko bencana, baik secara struktur atau fisik melalui pembangunan fisik alami atau buatan, nonstruktur atau nonfisik melalui peningkatan kemampuan menghadapi ancaman bencana di wilayah pesisir.

Sesuai dengan kebijakan dan strategi penataan ruang kawasan lindung dan pengelolaan kawasan pesisir upaya mitigasi bencana di wilayah pesisir khususnya pada kawasan rawan tsunami bisa dilakukan dengan mengembangkan kegiatan budidaya yang mempunyai daya adaptasi bencana pada kawasan rawan bencana. Mitigasi yang dilakukan pada umumnya adalah dengan menanam mangrove sebagai proteksi alami untuk menahan arus gelombang pasang, erosi pantai dan gelombang tsunami. Hal ini merupakan pilihan yang tepat untuk mereduksi resiko bencana di kawasan rawan tsunami.

Upaya alami secara teknis dapat dilakukan dengan penanaman sand dune, terumbu karang, penghijauan (hutan tumbuhan pantai) dan mangrove. Sand dune (gumuk pasir) merupakan sebuah bentukan alam karena proses angin disebut sebagai bentang alam eolean (eolean morphology). Angin yang membawa pasir membentuk bermacam-macam bentuk dan tipe gumuk pasir. Sruktur alami ini cukup

25

tangguh dalam menghalangi gelombang tsunami namun karena proses pembentukan yang dipengaruhi oleh hembusan angin maka upaya ini tidak bisa dijadikan patokan dalam mitigasi bencana di wilayah pesisir.

Penanaman terumbu karang bisa menahan terjadinya erosi pantai yang tinggi. Namun struktur ini tidak cukup kuat dalam menahan gelombang tsunami. Sedangkan penghijauan pantai dengan vegetasi pantai cukup mampu menahan gelombang tsunami, namun dari segi ekonomi kurang menguntungkan. Untuk itu diperlukan metode yang secara ekologi mengutungkan dan secara ekonomi memberikan dampak yang positif. Dari berbagai penelitian diketahui bahwa daun-daun mangrove yang telah gugur, jatuh ke dalam air dan akan menjadi substrat yang baik bagi bakteri dan fungi, juga sekaligus berfungsi membantu proses pembusukan daun menjadi detritus. Detritus digunakan oleh pemakan detritus seperti amphipoda, mysidaceae dan lain-lain. Pemakan detritus dimakan oleh larva-larva, ikan, kepiting, udang dan lain-lain. Dengan kata lain, detritus organik merupakan sumber energi yang esensial bagi sebagian besar hewan estuaria (hamdiirza.wordpress.com, 24 Oktober 2012).

Tsunami hakekatnya adalah gelombang laut raksasa. Oleh karena itu, kerusakan yang disebabkannya hanya terjadi di daerah pesisir yang dapat dijangkau oleh gelombang tersebut. Berdasarkan peta geologi dan seismik kepulauan Indonesia wilayah selatan dan tengah Indonesia sangat berpotensi untuk timbulnya gempa. Mayoritas potensi titik epicentrum itu berada pada perairan Indonesia. Hal ini menjadi potensi timbulnya tsunami.

Manajemen bencana merupakan seluruh kegiatan yang meliputi aspek perencanaan dan penanggulangan bencana, pada saat sebelum dan sesudah terjadi bencana yang dikenal sebagai Siklus Manajemen Bencana, yang bertujuan (1) mencegah kehilangan jiwa, (2) mengurangi penderitaan manusia, (3) memberi informasi masyarakat dan pihak berwenang mengenai risiko, serta (4) mengurangi kerusakan infrastruktur utama, harta benda dan kehilangan sumber ekonomis.

Secara umum kegiatan manajemen bencana dapat dibagi dalam kedalam tiga kegiatan utama, yaitu:

1. Kegiatan pra bencana yang mencakup kegiatan pencegahan, mitigasi, kesiapsiagaan, serta peringatan dini;

2. Kegiatan saat terjadi bencana yang mencakup kegiatan tanggap darurat untuk meringankan penderitaan sementara, seperti kegiatan search and rescue (SAR), bantuan darurat dan pengungsian;

3. Kegiatan pasca bencana yang mencakup kegiatan pemulihan, rehabilitasi dan rekonstruksi.

Kegiatan pra bencana merupakan modal dalam menghadapi bencana dan pasca bencana. Pemerintah bersama masyarakat maupun swasta perlu memikirkan tentang langkah-langkah atau kegiatan-kegiatan yang perlu dilakukan untuk menghadapi bencana atau memperkecil dampak bencana. Sehingga perlu adanya penanganan awal sebelum terjadi bencana. Salah satu upaya adalah perencanaan guna lahan berbasis mitigasi bencana dengan permodelan potensi terjadinya bencana. Penggunaan lahan di daerah yang rawan terhadap bencana tsunami sangat penting untuk dipelajari dan dianalisis. Karena jika terjadi tsunami, kerugian material terbesar adalah dalam

26

bentuk penggunaan lahan. Pada Gambar 14 dijelaskan ilustrasi zonasi pada kawasan pesisir (Adipandang, 2012).

Sumber: adipandang.wordpress.com

Gambar 14. Ilustrasi zonasi pada kawasan pesisir

METODOLOGI

Waktu dan Tempat Studi

Penelitian dilakukan di kawasan Pantai Lampuuk, Kemukiman Lampuuk, Kecamatan Lhoknga, Kabupaten Aceh Besar, Provinsi Aceh. Studi dilakukan selama kurang lebih empat bulan, dari Februari hingga Juni 2012. Adapun peta lokasinya disajikan pada Gambar 15.

Provinsi Aceh Kabupaten Aceh Besar

Kecamatan Lhoknga Pantai Lampuuk Sumber: Tsunami and Disaster Mitigation Research Centre (2012)

Gambar 15. Lokasi Studi

28

Tabel 2. Jenis data dan indikator pengamatan

No. Jenis Data

Indikator Pengamatan

Unit Sumber Kegunaaan

Aspek Fisik/Biofisik 1. Kondisi

Umum Letak dan batas wilayah

Koordinat BAPPEDA Mengetahui kapasitas lahan

Luas area m2 BAPPEDA 2. Kondisi

Biofisik Vegetasi Species Dinas/badan

terkait Mengetahui potensi dan kendala serta kondisi pantai Mengetahui kenyamanan kawasan

Tanah - Dinas PU Topografi - BAPPEDA Hidrologi

-

Dinas/badan terkait

Sumber Air - Dinas PU Drainase - Dinas PU Penutupan lahan

Penggunaan lahan Visual

- - -

Dinas PU Dinas PU Lapang

Sirkulasi - Dinas PU 3. Iklim Curah hujan mm BMG Suhu oC BMG Kelembaban % BMG Aspek Sosial Ekonomi 4. Ekonomi Jumlah

pengunjung orang Pihak

pengelola/observasi Mengetahui besarnya permintaan pengunjung

Waktu kunjungan

hari Pihak pengelola/observasi

Lama kunjungan menit/jam

Pihak pengelola/observasi

5. Sosial Keinginan pengunjung terhadap kawasan wisata (sarana dan prasarana,jenis atraksi)

orang Wawancara dan observasi

Mengetahui jenis permintaan dan persepsi pengunjung

Persepsi pengunjung terhadap keindahan, kenyaman.

- Wawancara

29

Tabel 1. Jenis data dan indikator pengamatan (lanjutan)

Metode Penelitian

Metode penelitian yang digunakan adalah pendekatan kawasan rekreasi yang dikemukakan oleh Gold (1980). Metode ini terdiri atas empat tahap, yaitu inventarisasi, analisis, sintesis, perencanaan. Studi ini mencakup hingga tahap perencanaan. Inventarisasi

Pada tahap inventarisasi dilakukan pencarian data dan informasi terhadap tujuan perencanaan dari instansi terkait yakni: Pemda, Dinas Kebersihan dan Pertamanan, serta Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Provinsi Aceh. Pengumpulan informasi terhadap aspek yang berhubungan dengan pariwisata, pengelolaan dan aspek sosial dari kawasan Pantai Lampuuk sebelum maupun setelah peristiwa tsunami pada tahun 2004. Tahap inventarisasi merupakan tahap pengumpulan data kondisi awal dari tapak sebelum dan sesudah tsunami. Data yang dikumpulkan berupa data fisik dan non-fisik. Tahap ini dilakukan melalui pengamatan atau survey lapang, wawancara dan studi pustaka agar dapat diketahui keadaan tapak yang sebenarnya. Data yang diperoleh dengan pengamatan berupa data vegetasi, satwa, kualitas visual, aktivitas pengunjung dan pengelolaan tapak. Wawancara dilakukan kepada pihak-pihak terkait dengan kawasan tersebut seperti: pemilik, pengelola, masyarakat sekitar, maupun pengunjung untuk memperoleh data sosial dan informasi yang dapat menunjang pengembangan kawasan tersebut. Studi pustaka diperoleh dari buku-buku acuan, laporan dan bahan bacaan lainnya yang mendukung untuk mendapatkan data iklim, tanah, topografi dan hidrologi. Adapun jenis data dan indikator pengamatan disampaikan pada Tabel 2.

Analisis

Analisis merupakan tahap mengidentifikasi potensi, kendala dan kesesuaian lahan terhadap perencanaan pengembangan kawasan tersebut. Analisis dilakukan terhadap data-data yang diperoleh pada tahap inventarisasi. Tahap ini menganalisis penggunaan lahan, hidrologi, vegetasi dan satwa untuk rencana daya dukung lahan, serta iklim untuk kenyamanan.

6. Karateris tik pengguna

Asal Luar/dalam daerah

Wawancara dan observasi

Mengetahui karakter pengguna

Usia Tahun Wawancara dan observasi

Jenis kelamin L/P Wawancara dan observasi

Aktivitas Wawancara dan observasi

30

Daya dukung lingkungan (carrying capacity) merupakan batas teratas dari pertumbuhan suatu populasi, ketika jumlah populasi tersebut tidak dapat lagi didukung oleh sumberdaya alam dan lingkungan yang ada (Zoera’aini, 1997). Dalam Undang-undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 1997, disebutkan bahwa daya dukung lingkungan hidup adalah kemampuan lingkungan hidup untuk mendukung perikehidupan manusia dan makhluk lainnya. Lingkungan hidup dalam undang-undang tersebut adalah kesatuan ruang dengan semua benda, daya, keadaan dan makhluk hidup termasuk manusia dan perilakunya, yang mempengaruhi kelangsungan perikehidupan dan kesejahteraan manusia serta makhluk hidup lainnya (Eugenia, 2000).

Daya dukung atau daya tampung menjadi indikator penting dalam merencanakan kebutuhan ruang dan kebutuhan fasilitas. Secara umum rumus daya dukung (Boulon dalam Nurisjah, 2003):

daya tampung =luas area (m2)

standar kebutuhan ( m2orang)

Pengukuran kenyamanan iklim diperlukan untuk mengetahui tingkat kenyamann kawasan yang berpengaruh kepada pengunjung. Ukuran kenyamanan tersebut dinyatakan dengan rumusan sebagai berikut.

Thermal Humidity Index (THI)

THI = 0,8 ܶ +(ܶ ݔ ܪܴ)

500

dengan T = suhu udara (oC) dan RH = kelembaban nisbi udara (%)

Menurut Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No. 6/PRT/M/2009 tentang Pedoman Perencanaan Umum Pembangunan Infrastruktur di Kawasan Rawan Tsunami, kecepatan tsunami di lautan dalam (samudera) dengan gelombang cukup panjang dibandingkan dengan kedalaman laut (lebih dari 25 kali kedalaman laut), dapat diperkirakan dengan persamaan :

c = g x h

dengan :

c = kecepatan rambat (m/s), g = gravitasi (9.8 m/s2), h = kedalaman laut (m). Sebagai contoh: kedalaman laut h = 4 km, c = 9.8x4000 = 198.1 m/s = 713 km/jam.

31

Sintesis Tahap sintesis diperoleh dari hasil analisis yang di overlay, kemudian dilakukan

pemecahan masalah atau solusi terhadap masalah dan kendala, juga dilakukan perencanaan pemanfaatan potensi tapak yang didapat pada tahap analisis. Sintesis menghasilkan blockplan atau rencana blok.

Perencanaan

Pada tahap ini diterapkan konsep pengembangan yang sesuai tujuan. Konsep yang diperoleh dari hasil sintesis dikembangkan lebih lanjut dalam bentuk rencana tata ruang, sirkulasi, aktivitas, fasilitas dan tata hijau. Hasil dari tahap perencanaan berupa site plan (rencana tapak).

HASIL DAN PEMBAHASAN

Data dan Analisis

Keadaan Umum Pantai Lampuuk merupakan kawasan wisata yang berupa tepian pantai dengan

luasan 780 hektar, secara geografis berada pada 5.2-5.8º LU dan 95-95.8º BT. Secara administrasi kawasan ini termasuk dalam wilayah Kemukiman atau Kelurahan Lampuuk, Kecamatan Lhoknga, Kabupaten Aceh Besar, Provinsi Aceh. Peta Kecamatan Lhoknga disajikan pada Gambar 16. Kondisi Morfologi merupakan dataran pantai dengan kemiringan pantai 0-8% dengan lebar pantai bervariasi antara 8 dan 15 meter. Lokasi Pantai Lampuuk dapat dilihat pada Gambar 17.

Kawasan wisata Pantai Lampuuk yang menjadi lokasi studi dibatasi oleh Pantai Empee Nulu atau kawasan perbukitan batu gamping di sebelah utara, sebelah selatan oleh Sungai Krueng Raba, sebelah barat oleh Samudera Hindia dan sebelah timur oleh lapangan golf Seulawah dan Kemukiman Lamlhom. Pasir pantai berwarna putih kecoklatan dan umumnya pada saat angin barat sering tercampur oleh terumbu, cangkang dan material karbonat yang berasal dari laut. Tingkat abrasi di daerah ini termasuk ringan, dengan penggerusan tebing pantai tidak terlalu parah.

Lokasi studi berjarak 17 km dari Kota Banda Aceh, dengan jarak tempuh sekitar 30 menit dari pusat Kota Banda Aceh menggunakan angkutan umum. Akses menuju lokasi melalui Jalan Raya Banda Aceh-Meulaboh dan Jalan Raya Lampuuk.

Kawasan Pantai Lampuuk dikelola oleh Dinas Kebudayaan Dan Pariwisata Provinsi Aceh. Tapak merupakan areal pengembangan wisata yang sudah ada dan direncanakan untuk dikembangakan dengan memperhatikan sistem mitigasi bencana tsunami melalui penambahan fasilitas dan peningkatan fungsionalnya.

Menurut BPS Kabupaten Aceh Besar tahun 2011, Kecamatan Lhoknga terdiri atas 4 mukim dan 28 gampong dengan luas kecamatan 98.95 km2 (9895 ha), batas-batas kecamatan yaitu sebelah utara berbatasan dengan Kecamatan Peukan bada, sebelah selatan Kecamatan Leupung, sebelah barat Samudra Hindia dan sebelah timur dengan Kecamatan Darul Imarah.

Kemukiman di Kecamatan Lhoknga yaitu Mukim Lhoknga (18.25 km2), Mukim Kueh (35.97 km2), Mukim Lam Lhom (22.05 km2) dan Mukim Lampuuk (22.68 km2). Lokasi studi berada di Kemukiman Lampuuk yang terdiri atas 5 gampong yaitu Gampong Meunasah Mesjid Lampuuk (2.30 km2), Gampong Meunasah Bale (11.43 km2), Gampong Meunasah Lambaro (5.50 km2), Gampong Meunasah Cut (1.73 km2) dan Meunasah Blang (1.73 km2). Kawasan Wisata Pantai Lampuuk yang dijadikan ruang lingkup studi merupakan gabungan dua gampong yakni Gampong Meunasah Mesjid Lampuuk dan Gampong Meunasah Lambaro.

Jumlah penduduk pada lokasi studi adalah 775 jiwa, perkembangan jumlah penduduk pada kawasan pantai Lampuuk adalah 565 jiwa pada tahun 2008, 742 jiwa tahun 2009 dan 775 jiwa pada tahun 2010. Kepadatan penduduknya mencapai 201 jiwa/km2. Jumlah sekolah yang ada di kawasan studi adalah satu SD, MI dan SMP. Pada Kecamatan Lhoknga terdapat 11 SD, tiga SMP dan dua SMA. Pada lokasi studi

33

juga terdapat satu mesjid dan dua meunasah atau mushola dan terdapat sarana olahraga berupa sebuah lapangan sepak bola dan lapangan voli. Sumber air minum sebagian besar penduduk di Kecamatan Lhoknga maupun Kemukiman Lampuuk adalah sumur.

Jenis permukaan jalan utama antar gampong dalam Kecamatan Lhoknga beraspal dan dapat dilalui kendaraan roda empat. Sedangkan jenis penerangan jalan utama antar gampong (desa) memakai listrik yang diusahakan pemerintah. Kemudian dalam bidang perekonomian, jumlah sarana perekonomian dalam Kecamatan Lhoknga tahun 2010 terdapat tiga pasar, 117 toko atau kios dan 100 kedai makan atau kedai kopi.

Keadaan Pra-Pasca Tsunami

Dilihat dari letak geologisnya, Aceh berada pada zona pertemuan dua lempeng goetektonik aktif dunia, yaitu Lempeng Benua Eurasia (bergerak ke tenggara dengan kecepatan sekitar 0.4 cm/tahun) dan Lempeng Samudra Indo-Australia (bergerak ke utara dengan kecepatan sekitar 7 cm/tahun). Sehingga sudah saatnya Indonesia khususnya Aceh memiliki informasi kebencanaan dalam bentuk peringatan melalui Peta Rawan Bencana sebagai alat informasi untuk dapat disebar luaskan ke masyarakat terhadap kerentanan terhadap kebencanaan.

Pada Minggu, 26 Desember 2004, pukul 08.20 WIB, gempa bumi berkekuatan 9.0 Skala Richter mengguncang Aceh, yang terkenal dengan sebutan Kota Serambi Mekkah. Gempa bumi tersebut disusul gelombang tsunami yang menyapu sekitar 70% wilayah Aceh, 30% infrastruktur kota rusak total, dengan kerusakan berat terjadi di Meulaboh. Pusat gempa ini terletak di Samudera Hindia, lepas Pantai Barat Aceh atau kurang lebih sekitar 160 km sebelah Barat Aceh. Namun getarannya tidak hanya dirasakan di Aceh, tapi juga berdampak kepada tujuh negara seperti Sri Lanka, India, Bangladesh, Thailand, Maladewa, Malaysia dan Somalia. Bencana ini menelan korban jiwa, harta benda dan mengakibatkan kerusakan infrastruktur. Sebanyak hampir 230.000 penduduk meninggal dunia, 600.000 penduduk kehilangan tempat tinggal, 1644 kantor pemerintah, 270 pasar, 239 pertokoan hancur, 2732 tempat peribadatan rusak, lebih dari 1151 sekolah dan pesantren hancur, 33 rumah sakit dan rumah bersalin musnah, 58 Puskesmas dan poliklinik ikut hancur. Selain itu diperkirakan 82% jalan dan 499 jembatan rusak total, termasuk 49 pelabuhan. Kerusakan atau dampak dari tsunami disajikan pada Gambar 18 dan 19. Tingginya gelombang dijelaskan pada Gambar 20.

34

Gambar 16. Peta administrasi Kemukiman Lampuuk, Kecamatan Lhoknga

35

Gambar 17. Peta lokasi studi Pantai Lampuuk

36

Sumber: walrus.wr.usgs.gov

Gambar 18. Sebelum dan sesudah tsunami di lokasi studi

Penyusunan RTRW yang berbasis rawan bencana sebagaimana amanat yang tercantum di dalam UU No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, terkandung di dalam tujuan Penataan Ruang yaitu untuk mewujudkan Penataan Ruang Wilayah yang aman, nyaman, produktif dan berkelanjutan. Kata aman dan nyaman tersebut identik dengan makna bebas dari ancaman bencana. Selain UU No. 26 Tahun 2007 tersebut, perlindungan masyarakat dari kebencanaan juga tercantum di dalam UU No. 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana di dalam Pasal 24 ayat 1 yang menyebutkan, “pelaksanaan dan penegakan tata ruang dilakukan untuk mengurangi resiko bencana yang mencakup sanksi terhadap pelanggaran”. Berdasarkan dua landasan hukum tersebut, maka Pemda bergerak cepat menyusun RTRW yang mengakomodir isu adaptasi dan mitigasi bencana yang bertujuan agar pola pengembangan ruang ke depannya dapat menjamin keamanan, kenyaman, dan menyediakan ruang sebagai jalur, maupun area penyelamatan penduduk ke tempat yang lebih aman apabila terjadi bencana. Terdapat perbedaan jelas antara RTRW sebelum dan sesudah terjadinya gempa dan tsunami (BKTRN, 2011).

Sumber: walrus.wr.usgs.gov

Gambar 19. Kawasan Pantai Lampuuk setelah diterjang tsunami, Mei 2005

37

Sumber: walrus.wr.usgs.gov

Gambar 20. Tinggi gelombang tsunami di Lampuuk

Aspek Fisik

Iklim Berdasarkan data iklim dari Badan Meteoralogi dan Geofisika, Kabupaten Aceh

besar merupakan daerah beiklim tropis dan dipengaruhi oleh iklim laut dengan suhu udara rata-rata harian pada tahun 2011 adalah 27.1˚C, suhu terendah berada pada bulan November yaitu 26.2˚C dan tertinggi pada bulan Juni 28.9˚C. Suhu tersebut secara umum masih diambang kenyamanan bagi pengunjung. Curah hujan bulanan rata-rata tahun 2012 adalah 8.12 mm dengan curah hujan tertinggi pada bulan Januari 12.98 mm dan terendah pada bulan April 4.62 mm. Sedangkan data klimatologi RH (kelembaban relatif) rata-rata tahun 2011 di Aceh yaitu 80%, dengan kelembaban tertinggi yaitu 85% pada bulan Februari dan terendah bulan Juni 70%. Nilai kelembaban yang nyaman berkisar 40-75%. Kelembaban yang tinggi menimbulkan efek ketidaknyamanan bagi pengunjung. Dari rumus THI yang telah diuraikan pada bab metodologi maka didapatkan hasil berupa THI 21.72 yang merupakan nilai kenyamanan pengunjung. Diena (2009) menyatakan bahwa indeks kenyamanan dalam kondisi nyaman ideal bagi manusia Indonesia berada pada kisaran THI 20-26. Berdasarkan data hasil penelitian di atas, dapat disimpulkan bahwa indeks kenyamanan (THI) Pantai Lampuuk tahun 2012 masuk dalam kondisi nyaman. Tanah dan Topografi

Pantai Lampuuk merupakan kawasan wisata pantai dengan luas 780 hektar yang memiliki kemiringan lahan yang bervariasi, Pantai Lampuuk yang berpasir cenderung datar dengan kemiringan 0-8%. Pada kawasan hutan di dalam tapak kemiringannya 8-15%. Sebelah utara di luar lokasi studi terdapat Pantai Empee Nulu atau kawasan perbukitan batu gamping atau karang dengan kemiringan lebih dari 15%. Daerah Pantai Lampuuk memiliki topografi yang cukup landai sehingga tidak menjadi kendala untuk pengembangan wisata. Selain itu, kawasan perbukitan sebelah utara Pantai Lampuuk dengan kemiringan yang cukup curam pada tebingnya namun agak datar pada dataran tingginya dan ketinggiannya lebih dari 30 mdpl dapat dimanfaatkan sebagai kawasan evakuasi perbukitan.

38

Struktur tanah di kawasan Pantai Lampuuk didominasi oleh tanah alluvial yang terdiri atas tanah lempung berpasir dan pasir, pada daerah perbukitan merupakan batuan granit yang bercampur dengan komponen pasir lepas, pasir lempung dan batu kerikil. Berdasarkan data topografi dapat dibuat peta zonasi dan ditetapkan zona aman. Peta topografi pada Pantai Lampuuk, Kemukiman Lampuuk, Kecamatan Lhoknga, Kabupaten Aceh Besar dijelaskan pada Gambar 21, 22 dan 23. Klasifikasi kemiringan menurut Chiara dan Koppelman (1989) dijelaskan pada Tabel 3.

Tabel 3. Klasifikasi kemiringan untuk kawasan wisata dan evakuasi bencana Klasifikasi Kemiringan Karaktiristik Kemiringan Analisis

0 – 2% - Datar - Drainase alam buruk - Sebagian tergenang air

Sesuai untuk area mitigasi dan evakuasi inti, reservoir air alami/pond buatan, lapangan. Sesuai untuk area kegiatan wisata aktif, sesuai untuk bangunan, jalan utama.

2 – 4% - Landai - Drainase alam kurang baik

Sesuai sebagai area kegiatan wisata aktif, serta bangunan fasilitas tertentu seperti pusat pendidikan bencana, jalan penelusuran.

4 – 10% - Bergelombang - Drainase alam baik

Sesuai sebagai area kegiatan wisata aktif, tower reservoir air dan perpipaan, masih bisa untuk jalan penelusuran.

10 – 20% - Agak Curam - Drainase alam baik

Sesuai sebagai display area (area pasif), tower reservoir air dan perpipaan, jalan setapak, tidak sesuai untuk bangunan fasilitas.

> 20% - Curam - Drainase alam baik

Sesuai sebagai display area (area pasif), serta tidak sesuai untuk bangunan fasilitas.

Sumber: Chiara dan Koppelman (1989)

Hidrologi dan Drainase

Kecamatan Lhoknga memiliki sebuah sungai yang langsung bermuara ke laut yaitu Sungai Krueng Raba. Sungai tersebut terdapat di sebelah selatan kawasan Pantai Lampuuk di luar namun berdekatan dengan lokasi studi. Pada perairan Lampuuk, air laut mengalami pasang pada malam hari dan surut pada siang hari. Pasang tersebut menjangkau daratan sepanjang 12 m dari garis pantai. Gelombang laut rata-rata mencapai ketinggian 0.5-3 m. Kawasan wisata Pantai Lampuuk menggunakan sumur sebagai sumber air untuk kebutuhan aktivitas wisata maupun pada saat evakuasi. Pada permukiman menggunakan sumber air dari PDAM. Sistem drainase yang memanfaatkan Sungai Krueng Raba tersebut, sehingga dapat mengendalikan genangan pada saat pasang surut pantai atau gelombang tsunami.

39

Penutupan dan Penggunaan Lahan Kawasan Pantai Lampuuk telah dikembangkan sebagai kawasan wisata dan

taman rekreasi sesuai penutupan lahan (land cover) yang ada. Penutupan lahan di kawasan wisata Lampuuk terdiri atas pantai, kebun, tegalan, hutan, rawa dan sawah. Sedangkan penggunaan lahan (land use) pada tapak terdiri atas persawahan, perkebunan, permukiman, area rekreasi pantai, area komersil, perdagangan, pusat pelayanan dan pendidikan, lapangan olah raga (golf, sepak bola dan voli). Lapangan golf yang berada di sebelah selatan lokasi penelitian menggunakan lahan yang cukup luas di pinggir pantai, sehingga lahan tersebut terbuka dan tidak menjadi penghalang bagi permukiman yang berada tegak lurus terhadap pantai. Lapangan golf tersebut juga jarang digunakan dan hanya dikunjungi oleh pengunjung tertentu, maka lapangan golf tersebut dapat dikonversi menjadi hutan konservasi untuk menanggulangi apabila terjadi bencana tsunami. Hutan konservasi tersebut dapat menjadi hutan pelindung permukiman dari tsunami serta dapat merekayasa iklim dan meningkatkan kondisi ekonomi masyarakat setempat dalam penggunaan lahannya.

Setelah tsunami penggunaan lahan sebagai permukiman terus meningkat, disebabkan peraturan dalam membangun perumahan pada kawasan rawan tsunami tidak berpengaruh terhadap perkembangannya. Hutan dan ruang terbuka hijau juga tidak memadai sebagai pengendali atau penahan tsunami sehingga perlu adanya perencanaan penggunaan lahan untuk memindahkan permukiman ke zona yang lebih aman dan merencanakan kawasan untuk mengendalikan, menghambat dan menahan laju tsunami. Penggunaan lahan sebagai kawasan wisata dapat dialihkan penggunaannya sebagai kawasan evakuasi apabila terjadi tsunami. Peta penggunaan lahan disajikan pada Gambar 24. Vegetasi

Vegetasi Pantai Lampuuk merupakan vegetasi non mangrove, yakni vegetasi pantai yang umumnya banyak ditemukan pada daerah pantai dengan substrat yang didominasi oleh pasir. Jenis-jenis tanaman atau vegetasi yang ada pada lokasi studi disajikan pada Tabel 4. Namun, vegetasi tersebut tidak berbentuk barisan atau suatu formasi yang dapat menghambat laju tsunami. Perlu dibuat formasi dan jalur hijau sebagai pengendali tsunami sehingga laju tsunami dapat diperlambat.

Kawasan pantai dengan suhu udara yang tinggi membuat pengunjung merasa tidak nyaman sehingga vegetasi sebagai penaung dapat dimanfaatkan pada pantai tersebut, vegetasi penaung juga dapat difungsikan pada ruang tebuka hijau untuk menaungi area evakuasi. Vegetasi pengarah juga diperlukan untuk mempermudah ketika mengarahkan penduduk ke area evakuasi.

40

Gambar 21. Peta topografi Kemukiman Lampuuk, Kecamatan Lhoknga

41

Gambar 22. Peta topografi Pantai Lampuuk

42

Gambar 23. Peta kemiringan lahan Pantai Lampuuk

43

Gambar 24. Peta penutupan lahan Pantai Lampuuk

44

Tabel 4. Jenis tanaman di lokasi penelitian

Nama Ilmiah Nama Lokal Jenis tanaman Artocarpus elastika Averhoa bilimbi Casuarina equisetifolia Cocos nucifera Eugenia aquae Garcinia dulcis Lamsius humile Mangifera foetida Morinda citrifolia Musa paradisiaca Nephellium sp Pinus merkusii Tamarindus indica Terminalia catappa Baringtonia sp Bauhinia purpurea Erythrina lithosperma Ficus septica Hibiscus tiliaceus Pandanus odoratissimus Axonopus compressus Cyperus pendiculatus Imperata cylindrica Ipomoea pescaprae Timonius borneensis

Sukun Belimbing wuluh Cemara laut Kelapa Jambu air Bakau darat Langsat Embacang Mengkudu Pisang Rambutan hutan Pinus merkusi Asam Ketapang Keruwing Daun kupu-kupu Dadap Awar-awar Waru laut Pandan laut Rumput papaitan Rumput teki Alang-alang Pes-caprae Kacang-kacangan

Pohon Pohon Pohon Pohon Pohon Pohon Pohon Pohon Pohon Pohon Pohon Pohon Pohon Pohon Perdu Perdu Perdu Perdu Perdu Perdu Penutup tanah Penutup tanah Penutup tanah Penutup tanah Penutup tanah

Sumber: data olahan (2012)

Visual Pemandangan atau kualitas visual pada Pantai Lampuuk termasuk dalam

kualitas yang baik, dengan warna pasir putih yang halus sehingga menimbulkan kenyamanan bagi pengunjung. Dan kualitas visual tersebut mejadi potensi wisata yang menarik, seperti pada Gambar 25. Kawasan Lampuuk juga memiliki kualitas visual yang kurang baik pada lahan kosong yang dijadikan TPA atau tempat pembuangan akhir yang terbentuk dengan sendirinya akibat tidak tersedianya tempat pembuangan akhir desa tersebut dan kurang terkordinir dengan baik sehingga menghilangkan kualitas visual yang baik. Pada area lapangan sepak bola yang terbengkalai atau tidak berfungsi dengan baik sehingga menjadikan kualitas visual yang kurang baik seperti disajikan pada Gambar 26. Pada daerah evakuasi terletak pada ketinggian yang aman dari tsunami yakni lebih dari 20 m, sehingga dari ketinggian tersebut kawasan evakuasi dapat dijadikan kawasan wisata dengan memanfaatkan kualitas yang baik pada sudut pandang dari ketinggian tersebut.

45

Sumber: foto lapang (2012)

Gambar 25. Good view Pantai Lampuuk

Sumber: foto lapang (2012)

Gambar 26. Bad view pada lokasi studi

Aspek Wisata

Jenis Wisata Pantai Lampuuk merupakan kawasan wisata pantai yang menarik dan berada di

Kecamatan Lhoknga, Kabupaten Aceh Besar. Sebelum tsunami, kawasan Pantai Lampuuk telah menjadi kawasan wisata. Terdapat beberapa jenis kegiatan wisata di Lampuuk seperti wisata kuliner berupa warung makan, restaurant dan cafe yang menyediakan ikan bakar langsung dari hasil tangkapan nelayan setempat, kemudian terdapat beberapa kegiatan bahari seperti berenang, banana boat dan surfing, serta direncanakan kegiatan wisata baru seperti flying fish dan water sky. Pantai Lampuuk juga menyediakan wisata pertualangan yakni paint ball adventure. Fasilitas

Fasilitas pada kawasan wisata Pantai Lampuuk sesuai dengan aktivitas wisata yang ada pada lokasi tersebut. Tepi Pantai Lampuuk memiliki 35 unit cafe dan pondok makan, dengan 15 pondok pada setiap tempat makan tersebut, maka terdapat 525 pondok yang tersedia di Pantai Lampuuk. Wisata kuliner ikan bakar menjadi wisata yang khas pada Pantai Lampuuk, kondisi wisata kuliner tersebut dijelaskan pada Gambar 28.

46

Gambar 27. Peta kualitas visual

47

Sumber: foto lapang (2012)

Gambar 28. Pondok wisata kuliner ikan bakar

Pada lokasi studi juga terdapat beberapa fasilitas berkaitan dengan wisata pantai yaitu pos polisi pariwisata yang disediakan oleh Polres Aceh Besar, namun kondisinya kurang terawat akibat tidak terpakai atau tidak difungsikan. Pada lokasi juga terdapat fasilitas pelelangan ikan hasil tangkapan nelayan setempat yang langsung dijual kepada pengunjung, namun fasilitas tersebut juga tidak terpakai dan kondisinya juga tidak terawat. Sehingga perlu dibuat suatu program dan rehabilitasi yang dapat mengaktifkan kembali fasilitas-fasilitas tersebut.

Kawasan Pantai Lampuuk yang memiliki sekitar 525 pondok atau gazebo dengan atap terbuat dari rumbia dan saling berdekatan agar tidak membasahi pengunjung apabila hujan, namun suhu di dalam gazebo menjadi tinggi karena posisi letaknya yang berdekatan. Sehingga perlu pembenahan pondok-pondok tersebut dan didesain agar hujan tidak membasahi pengunjung dengan posisi yang nyaman. Pada lokasi pantai juga disediakan beberapa fasilitas kamar mandi, kamar ganti dan bilas. Namun hanya dua fasilitas dengan kondisi baik karena dibiayai oleh sponsor tertentu, sedangkan fasilitas lainnya kurang terawat akibat pengelolaannya yang tidak jelas. Kondisi fasilitas-fasilitas wisata pantai seperti: pos polisi pariwisata, tempat pelelangan ikan, pondok atau gazebo dan kamar mandi atau kamar ganti disajikan pada Gambar 29. Selain itu, fasilitas lainnya seperti: loket, area parkir, restaurant, permainan paint ball, banana boat, dan tempat penginapan juga tersedia.

Sebagai kawasan rawan bencana tsunami perlu adanya fasilitas seperti: jalur evakuasi, area evakuasi dan rambu-rambu evakuasi. Area evakuasi belum tersedia pada tempat yang mudah dijangkau sehingga perlu dibuat area evakuasi yang dekat dan dapat dicapai dengan mudah seperti kawasan bukit yang terletak di sebelah utara Pantai Lampuuk yang memiliki ketinggian yang aman untuk dijadikan area evakuasi. Fasilitas evakuasi lainnya seperti escape building juga belum tersedia pada kawasan tersebut, sedangkan di Kota Banda Aceh telah memiliki tiga unit escape building. Pemerintah setempat seharusnya dapat mendirikan bangunan evakuasi tersebut pada kawasan pantai yang rawan bencana tsunami. Rambu-rambu evakuasi juga seharusnya mengarahkan ke fasilitas-fasilitas evakuasi tersebut.

48

Pos polisi pariwisata Tempat pelelangan ikan

Pondok atau gazebo Kamar mandi, ganti dan bilas

Sumber: foto lapang (2012) Gambar 29. Fasilitas wisata Pantai Lampuuk

Fasilitas untuk evakuasi pada saat tsunami yaitu Tsunami Escape Building (Gambar 30) yang dibangun sebagai pusat evakuasi bagi masyarakat sekitar yang tinggal di sepanjang garis pantai bila sewaktu-waktu bahaya tsunami mengancam keselamatan jiwa penduduk. Tempat ini juga digunakan sebagai tempat pendaratan helikopter (helipad) guna memberikan bantuan kepada korban tsunami.

sumber: foto lapang (2012)

Gambar 30. Tsunami escape building

Dari tempat ini kita bisa melihat keindahan Kota Banda Aceh hingga ke perbatasan pantai dan Pulau Sabang. Bangunan ini menjadi salah satu daya tarik objek wisata di Kota Banda Aceh, ramai pendatang dari luar Aceh bahkan mancanegara datang untuk melihat langsung bangunan ini.

Gedung Tsunami Escape Building yang berlantai empat setinggi 18 m ini dibangun di Kecamatan Meuraxa atas bantuan Pemerintah Jepang melalui JICS berdasarkan konsep awal yang dibuat oleh JICA Study Team dalam project Urgent Rehabilitation and Reconstrcution Plan (URRP) untuk Kota Banda Aceh pada Maret 2005 sampai dengan Maret 2006. Masing-masing gedung menghabiskan anggaran

49

sekitar Rp 10.5 milyar. Desain bangunan escape building ini dibuat oleh konsultan asal Jepang Nippon Koei, sebagai JICS Study Team pada tahun 2006. Setiap escape building dibangun dengan luas 1400 m2. Ada tiga lokasi Tsunami Escape Building yaitu: Desa Lambung, Desa Deah Geulumpang dan Desa Alue Deah Teungoh. Gedung yang sangat kokoh dan tinggi ini mempunyai tangga termasuk untuk orang cacat. Gedung ini diperuntukkan untuk masyarakat setempat agar bisa dipakai sebagai balai warga untuk keperluan pertemuan dan sebagainya (gedung serba guna) selain untuk tempat penyelamatan (evakuasi) bila terjadi tsunami karena konstruksi bangunannya yang tahan gempa dan tsunami dengan kapasitas sekitar 1000 orang. Lantai satu terdapat ruang terbuka, ruang olah raga dan ruang tunggu. Lantai dua mempunyai tinggi sekitar 10 meter, mengikuti tinggi gelombang tsunami Desember 2004 lalu di lokasi gedung tersebut. Sementara lantai satu dibiarkan kosong tanpa partisi untuk menghindari terjangan air tsunami.

Gedung ini dirancang dapat menahan gempa dengan kekuatan 9-10 Skala Richter. Tangga menuju ke lantai atas dibuat dua buah. Satu tangga utama dengan ukuran sekitar dua meter dan satu lagi dengan lebar satu meter. Gedung juga dilengkapi dengan peralatan dan fasilitas untuk evakuasi di lantai dua dan tiga. Pada lantai tersebut telah disediakan segala sesuatu layaknya sebuah rumah yang dilengkapi dengan kamar mandi, persediaan makanan, dan lain-lain. Tentu hal ini jauh lebih baik daripada masyarakat harus tinggal di tenda-tenda yang tidak menjamin kenyamanan dan keselamatan. Dalam gedung ini juga terdapat Sekolah Siaga Bencana yang juga menyediakan perpustakaan. Ratusan buku berisi sejumlah pengetahuan disediakan untuk menambah pengetahuan anak-anak korban bencana. Lantai tiga gedung ini didesain lapang yang menampung sekitar 300 orang.

Lantai empat menjadi tempat evakuasi paling atas yang dapat menampung 500 orang, juga ada Helipad yaitu tempat landasan Helikopter. Ketika masyarakat telah dievakuasi, helikopter yang mengirimkan bantuan akan dengan mudah mendarat di atasnya. Penyaluran bantuanpun akan menjadi lebih mudah. Apabila ada masyarakat yang dalam keadaan darurat dapat langsung dibawa dengan helikopter yang mendarat di lantai empat bangunan tersebut. Desa Lambung sebagai salah satu lokasi tsunami escape building telah ditetapkan sebagai kampung percontohan di Aceh karena memiliki penataan desa yang mampu meminimalkan dampak bencana dan dengan tersedianya Tsunami Escape Building tersebut yang lengkap dengan jalur penyelamatan. Peta fasilitas di kawasan Pantai Lampuuk yang merupakan lokasi penelitian disajikan pada Gambar 31.

50

Gambar 31. Peta fasilitias Pantai Lampuuk

51

Aspek Sosial

Potensi Pengunjung Jumlah wisatawan mancanegara yang melancong ke Aceh pada Mei 2012

hanya sebanyak 1006 orang. Angka ini mengalami penurunan mencapai 11.91% dibandingkan dengan April tahun yang sama sebanyak 1142 orang. Berdasarkan Publikasi Banda Pusat Statistik (BPS) Aceh, secara akumulatif, Januari hingga Mei 2012 angka kunjungan juga turun 6.13 persen bila dibanding periode yang sama tahun 2011. Adapun rincian kunjungan wisatawan sepanjang 2012 yaitu, Januari sebanyak 1035 orang, Februari 1194 orang, Maret 1789 orang, April 1142 orang dan Mei sebanyak 1006. Total kunjungan wisata Januari hingga Mei 2012 sebanyak 5160 orang. Sedangkan total kunjugan wisatawan pada periode yang sama tahun 2011 yakni sebanyak 5497 orang. Bila dilihat dari negara asal, Malaysia menjadi negara dengan kunjungan terbesar, mencapai 3455 orang. Kemudian disusul Jerman sebanyak 609 orang, Cina sebanyak 389 orang, Inggris sebanyak 199 orang, Amerika 185 orang, Australia 165 orang, Perancis 149 orang, Singapura 137 orang, Belanda 97 orang dan Korea 64 orang (Atjehpost, 2012).

Jumlah wisatawan yang memilih Pantai Lampuuk sebagai tujuan wisata sekitar 35-100 orang per hari, sedangkan pada hari libur mencapai 180-270 orang per hari. Jumlah wisatawan yang berkunjung ke Lampuuk tersebut merupakan potensi bagi pengembangan kawasan wisata Pantai Lampuuk. Untuk meningkatkan jumlah pengunjung maka pemanfaatan kawasan lebih ditingkatkan dan fasilitas pelayanan wisata perlu dikelola dengan baik.

Keadaan Sosial

Menurut BPS Kabupaten Aceh Besar tahun 2011, jumlah penduduk pada lokasi studi adalah 775 jiwa. Perkembangan jumlah penduduk pada kawasan pantai Lampuuk adalah 565 jiwa pada tahun 2008, 742 jiwa tahun 2009 dan 775 jiwa pada tahun 2010. Kepadatan penduduknnya mencapai 201 jiwa/km2. Sebagian besar penduduk bekerja sebagai pegawai negeri, petani dan nelayan. Dengan dikembangkan kawasan ini sebagai kawasan wisata diharapkan dapat meningkatkan tingkat perekonomian penduduk sekitarnya. Disamping harus memperhatikan dampak negatif yang ditimbulkan langsung dengan masuknya wisatawan asing. Kawasan Lampuuk merupakan daerah yang penduduknya memegang adat istiadat yang kuat dan disesuaikan dengan hukum Islam, karena penduduk Lampuuk seperti juga penduduk Aceh pada umumnya beragama Islam dan di Aceh juga memiliki Dinas Syariat Islam sehingga pengaruh langsung budaya wisatawan yang berdampak negatif terhadap budaya lokal dapat dicegah. Hal-hal yang harus diperhatikan oleh pengunjung tertera pada papan peraturan kawasan wisata Lampuuk pada gerbang atau pintu masuk Pantai Lampuuk seperti: jam kunjungan pukul 08.00 sampai 18.30 WIB, menjunjung tinggi syariat Islam, berseragam sekolah dilarang masuk, pedagang asongan dilarang masuk dan kebersihan dijaga bersama.

52

Gambar 32. Peta hasil analisis bahaya

53

Gambar 33. Peta hasil analisis potensi wisata

54

Gambar 34. Peta komposit kesesuaian lahan

55

Sintesis

Dari hasil analisis bahaya dan potensi wisata yang dispasialkan pada Gambar 32 dan 34 dihasilkan peta komposit kesesuaian untuk pengembangan wisata berbasis mitigasi tsunami (Gambar 35) kemudian akan dihasilkan block plan atau rencana blok kawasan yang akan direncanakan seperti pada Gambar 36. Pembagian rencana blok terdiri dari Tapak terbagi dalam tiga zona, yaitu: (1) zona utama, terdiri dari ruang wisata, mitigasi, evakuasi; (2) zona semi utama, merupakan ruang terbangun; dan (3) zona penyangga, untuk budidaya, konservasi vegetasi pantai, perkebunan dan persawahan. Zona pasif difokuskan untuk pengembangan dalam bidang pertanian, perkebunan dan kehutanan. Zona semi aktif berupa ruang terbangun dimanfaatkan untuk pengembangan struktur dan infrastruktur permukiman, wisata dan evakuasi. Zona aktif yang terdiri dari ruang mitigasi berfungsi sebagai pengendali, penahan dan penghambat tsunami dan ruang pemanfaatan wisata sebagai pengembangan jenis dan objek wisata. Perencanaan yang dikembangkan untuk mitigasi bencana tsunami dalam kawasan pantai ini adalah tata ruang, zona-zona evakuasi, jalur-jalur evakuasi, serta fasilitas dan utilitas yang diperlukan untuk penanganan bencana tsunami.

Konsep

Konsep dasar dari penelitian ini adalah merencanakan suatu tata ruang lanskap yang dapat mencegah, mengurangi atau menanggulangi dampak yang ditimbulkan oleh bencana tsunami. Konsep dasar ini dikembangkan ke dalam konsep mitigasi yaitu strategi dalam menghadapi tsunami dan proses evakuasi saat terjadi bencana tsunami. Konsep mitigasi ini diterapkan pada konsep pembagian ruang, aktivitas, fasilitas, sirkulasi dan vegetasi.

Konsep Ruang

Konsep ruang dibuat untuk menata ruang-ruang dalam lanskap pantai untuk kepentingan evakuasi dan mitigasi bencana tsunami. Ruang-ruang pada lanskap pantai mengalokasikan lebih banyak ruang terbuka hijau (RTH), mengakomodasikan kepentingan perlindungan dan evakuasi saat bencana. Gambar 35 menampilkan diagram konsep ruang.

Gambar 35. Diagram konsep ruang

56

Gambar 36. Rencana blok

57

Lanskap pantai atau tata ruang pantai rawan tsunami dikelompokan dalam beberapa ruang, yaitu (1) ruang wisata, merupakan ruang yang dimanfaatkan sebagai kegiatan wisata dengan jenis-jenis aktivitas dan fasilitas wisata dan memanfaatkan wahana wisata yang telah ada maupun yang direncanakan; (2) ruang mitigasi, merupakan alih fungsi ruang wisata menjadi ruang evakuasi apabila terjadi bencana tsunami; (3) ruang budidaya, merupakan ruang pemanfaatan lahan untuk konservasi, mitigasi, perkebunan dan persawahan; dan (4) ruang terbangun, yaitu infrastruktur untuk sarana publik sebagai kegiatan wisata dan evakuasi seperti permukiman, perkantoran, pendidikan, perdagangan dan penyelamatan.

Gambar 37 menunjukkan matriks hubungan antar ruang yang dibutuhkan di Kecamatan Lhoknga. Hubungan dekat menunjukkan antar ruang tersebut memerlukan akses yang mudah dicapai langsung. Hubungan tidak dekat menunjukkan antar ruang tidak terlalu saling berhubungan. Tidak ada hubungan atau netral menunjukkan antar ruang tidak saling memerlukan atau keberadaannya tidak saling mempengaruhi satu sama lain. Gambar 38 menunjukkan diagram hubungan antar ruang sebagai penggambaran dari matriks hubungan antar ruang.

Gambar 37. Matriks hubungan antar ruang

Gambar 38. Diagram hubungan antar ruang

58

Konsep Aktivitas Konsep aktivitas berperan ganda, aktivitas wisata dilakukan pada kondisi

normal atau biasa dan aktivitas evakuasi dilakukan pada kondisi terjadi bencana tsunami. Aktivitas yang dilakukan berdasarkan konsep ruang, yaitu ruang wisata, ruang mitigasi, ruang budidaya dan ruang terbangun. Aktivitas pada ruang wisata yakni kegiatan wisata pantai seperti dijelaskan pada Tabel 6.

Aktivitas utama difokuskan pada kegiatan evakuasi. Dalam melakukan kegiatan evakuasi diperlukan ruang-ruang, jalur-jalur dan fasilitas yang dimanfaatkan untuk zona evakuasi. Zona evakuasi adalah ruang terbuka yang berada di dalam kawasan permukiman atau daerah yang terjangkau. Ruang-ruang yang dimanfaatkan sebagai ruang evakuasi adalah ruang terbuka yang berada pada ketinggian lebih dari 15 meter di atas permukaan laut dan memiliki luas yang dapat menampung banyak penduduk.

Jalur evakuasi dibuat sebagai jalur yang efektif dan efisien untuk mencapai zona evakuasi dengan jarak dan waktu tempuh tercepat. Jalur evakuasi harus sesuai standar dengan papan petunjuk agar mempermudah proses evakuasi. Sedangkan fasilitas untuk evakuasi yaitu gedung evakuasi atau disebut escape building. Escape building merupakan gedung penyelamatan atau tempat yang aman untuk menyelamatkan jiwa masyarakat pada saat terjadi gempa bumi yang menyebabkan timbulnya gelombang tsunami. Gedung dengan tinggi 14-18 meter ini memiliki empat lantai yang difungsikan untuk evakuasi penduduk dari bencana tsunami, gedung tersebut dibangun pada beberapa titik evakuasi agar tidak bertumpu pada satu gedung saja dan dapat menampung lebih banyak masyarakat yang dievakuasi. Bangunan umum seperti mesjid, sekolah dan perkantoran sebaiknya dibangun dengan sistem evakuasi seperti escape building. Salah satu contoh bangunan yang difungsikan sebagai escape building adalah Pusat Mitigasi yang dimanfaatkan dan dikoordinasikan oleh Pusat Riset Tsunami dan Mitigasi Bencana Nasional Universitas Syiahkuala dan Satuan Koordinasi Pengurangan Resiko Bencana Provinsi Aceh. Selain sebagai gedung evakuasi, Pusat Mitigasi ini dapat digunakan untuk kepentingan masyarakat antara lain:

a. Melakukan pelatihan mitigasi penanggulangan bencana gempa disertai gelombang tsunami;

b. Sebagai tempat kegiatan kemasyarakatan yang tidak mengganggu fungsi bangunan sebagai tempat pengungsian warga, antara lain: tempat pertemuan, tempat perletakan rambu peringatan tsunami dan pusat informasi gempa atau tsunami pada wilayah setempat.

Escape building dan Pusat Mitigasi harus dilengkapi dengan fasilitas dukungan dasar untuk kondisi darurat yang terdiri atas: air bersih, sumber daya tenaga listrik genset dan peralatan atau perlengkapan dasar lainnya yang disiapkan secara periodik oleh instansi pengelola Pusat Mitigasi atau Pemerintah Daerah. Seluruh fasilitas Pusat Mitigasi tersebut juga secara periodik diperiksa dan digunakan untuk memenuhi kebutuhan saat pelatihan penyelamatan diri yang diadakan sehingga selalu siap digunakan pada saat terjadi kedaruratan.

59

Konsep Sirkulasi Kosep sirkulasi dibagi atas jalur arteri primer dan sekunder, kolektor primer

dan sekunder, lokal dan lingkungan. Lebar jalan mengikuti standar untuk sirkulasi, jalur sirkulasi pada kawasan wisata pantai dibuat agar memudahkan aksesibilitas pengunjung yang menuju ke kawasan Pantai Lampuuk. Jalur sirkulasi pada kawasan rawan bencana tsunami dibuat dengan tujuan memudahkan pergerakan penduduk saat evakuasi atau menyelamatkan diri. Jalur sirkulasi diperlebar, tidak bertumpu pada satu jalan saja dan dibuat jalur terdekat, sehingga penduduk memiliki pilihan jalur lain untuk mempercepat proses evakuasi. Jalan yang rumit dan sempit dapat menimbulkan disorientasi arah ketika penduduk menyelamatkan diri. Gambar 39 menampilkan diagram konsep sirkulasi.

Gambar 39. Diagram konsep sirkulasi

Konsep Vegetasi Konsep vegetasi untuk mitigasi bencana direncanakan memiliki fungsi untuk

mendukung kegiatan penanganan saat bencana dan pasca bencana. Dengan demikian jenis-jenis vegetasi yang diterapkan pada kawasan berdasarkan fungsinya dibedakan ke dalam lima jenis vegetasi yaitu: vegetasi garis depan pantai, vegetasi pelindung, vegetasi pengarah, vegetasi penaung dan vegetasi budidaya. Tabel 5 menjelaskan jenis vegetasi dan fungsinya dalam wisata berbasis mitigasi bencana tsunami. Sedangkan Gambar 40 menampilkan diagram konsep vegetasi.

Tabel 5. Konsep vegetasi

Jenis vegetasi Fungsi Garis depan pantai Melindungi gatis pantai, mengendalikan dan

menghambat tsunami Pengarah Mengarahkan penduduk menuju area

evakuasi Pelindung Melindungi sarana dan prasarana Lampuuk Penaung Menaungi kawasan terutama dizona-zona

evakuasi dan ameliorasi iklim Budidaya Cadangan pangan pada penanganan pasca

bencana

60

Gambar 40. Diagram konsep vegetasi

Perencanaan

Rencana lanskap merupakan pengembangan dari konsep yang sudah ditentukan sebelumnya. Konsep ruang dikembangkan ke dalam rencana tata ruang. Konsep sirkulasi dikembangkan ke dalam rencana jalur sirkulasi. Konsep vegetasi dikembangkan ke dalam rencana vegetasi. Rencana lanskap yang telah disusun ditunjukkan pada Gambar 43.

Rencana Tata Ruang

Rencana tata ruang merupakan pengembangan dari konsep tata ruang yang terdiri dari ruang wisata, mitigasi, budidaya atau konservasi dan terbangun. Rencana ruang tersebut disajikan pada Tabel 6.

Tabel 6. Rencana ruang, aktivitas dan fasilitas

Ruang Aktivitas Fasilitas Luas (m2) Wisata

25% 195 ha

Berenang Banana boat Surfing Kuliner Paint ball

- Ruang ganti, kamar mandi,

- Penyewaan wahana dan alat surfing,

- Restaurant, - Paint ball field

552

432 31920 7954

Mitigasi 23%

179.4 ha

Evakuasi - Jalur evakuasi, rambu-rambu evakuasi,

- gedung evakuasi (Escape building)

32300

25500

Budidaya /konservasi

34% 265.2 ha

Penanaman vegetasi Berkebun Bertani

- Lahan konservasi, - Lahan kebun, - Sawah

127680 79540 234000

61

Tabel 6. Rencana ruang, aktivitas dan fasilitas (lanjutan)

Terbangun 18%

140.4 ha

Pemukiman Perkantoran Perdagangan Pendidikan Olahraga Kesehatan Sarana publik

- Rumah anti gempa dan tsunami, jalur sirkulasi

- Kantor kecamatan, kantor kemukiman, kantor desa, bank, koperasi

- Rumah toko, pasar pelelangan ikan, cafe,

- Sekolah - Lapangan olahraga,

gelanggang olahraga - Rumah sakit, klinik,

puskesmas, apotik - Kantor polisi, pemadam

kebakaran, PLN,

195000

29400

35770 23655 23100

156000

78000

Sumber: data olahan (2012)

Menurut Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No. 6/PRT/M/2009 ada empat strategi mitigasi dengan jenis-jenis pengembangan pembangunan (Gambar 36), yaitu:

1. Cara pencegahan Cara pencegahan kawasan rawan tsunami tentu saja merupakan metode mitigasi

yang paling efektif. Tahap perencanaan keadaan setempat dapat meliputi penentuan lokasi bangunan dan prasarana pada elevasi yang lebih tinggi dari genangan banjir atau menempatkan bangunan di atas elevasi genangan tsunami dengan tiang atau panggung yang diperkuat.

2. Cara memperlambat Cara memperlambat meliputi pembuatan penghambat gesekan untuk

mengurangi energi gelombang yang merusak. Hutan, parit, lereng dan berm yang didesain secara khusus dapat memperlambat dan menahan debris akibat gelombang. Efektivitas cara ini bergantung pada estimasi genangan yang mungkin terjadi secara akurat.

3. Cara pengendalian Cara pengendalian dilakukan dengan menggiring gaya tsunami agar tidak

menghantam bangunan dan manusia dengan penempatan bangunan secara strategis, misalnya tembok miring dan parit-parit, serta permukaan yang diberi pelapis sehingga menimbulkan alur friksi yang rendah terhadap aliran air.

4. Cara merintangi (blocking) Bangunan yang diperkuat seperti tembok, berm dan teras yang dipadatkan,

tempat parkir, dan konstruksi kaku lainnya dapat merintangi gaya gelombang. Namun, cara merintangi ini dapat memperkuat tinggi gelombang akibat efek refleksi (pantulan) atau membalikkan arah energi gelombang pada daerah lainnya.

62

Cara pencegahan Cara memperlambat

Cara pengendalian Cara merintangi

Sumber: DPU, 2009 Gambar 41. Strategi mitigasi

Menurut Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No. 6/PRT/M/2009, strategi mitigasi untuk berbagai jenis pembangunan disebabkan oleh kerusakan tsunami dan identifikasi strategi penanggulangan jenis-jenis pembangunan yang berbeda. Memilih solusi desain pembangunan infrastruktur yang memadai akibat pengaruh tsunami. Desain dan konstruksi bangunan baru dan penyesuaian kembali (retrofit) bangunan yang ada, seharusnya dipertimbangkan terhadap gaya-gaya yang terkait dengan tekanan air, tekanan apung (buoyancy), aliran air dan tinggi gelombang, gerusan (scouring) dan kebakaran (Gambar 42).

Bangunan beton dan rangka baja berat yang dibangun secara memadai biasanya akan tetap baik pada waktu mengalami tsunami, kecuali jika disertai dengan goncangan gempa. Bangunan rangka kayu, rumah buatan pabrik dan bangunan rangka baja ringan pada elevasi lebih rendah di sekitar tepi pantai merupakan bangunan rawan tsunami. Akan tetapi, tidak semua daerah yang dipengaruhi oleh gelombang tsunami akan mengalami gaya-gaya yang merusak.

Sumber: DPU, 2009

Gambar 42. Gaya-gaya pada bangunan akibat tsunami dan solusi desain untuk pengaruh tsunami

63

Gambar 43. Rencana tapak

64

Gambar 44. Segmen wisata

65

Gambar 45. Segmen evakuasi

66

Bangunan di kawasan rawan bencana rendah yang dipengaruhi oleh kedalaman

air gelombang dangkal, seharusnya tetap dapat menahan kerusakan yang dapat diperbaiki jika didesain dan dikonstruksi dengan baik. Gaya aliran dan gelombang pecah, debris yang bergerak cepat, dan aliran gerusan kemungkinan akan melebihi kemampuan bangunan untuk menahan bencana, kecuali jika bangunan tersebut didesain dengan elemen dan material secara khusus. Ilustrasi rumah anti gempa dan tsunami disajikan pada Gambar 46.

Sumber: DPU, 2009

Gambar 46. Ilustrasi rumah anti gempa dan tsunami

Sesuai dengan peraturan Menteri Pekerjaan Umum No. 21/PRT/2007 maka struktur bangunan yang didirikan di Kecamatan Lhoknga disarankan berupa struktur tahan gempa dan tsunami. Hal ini bertujuan agar bangunan tidak mudah rusak ketika terjadi gempa sehingga tidak membahayakan penghuninya. Namun tidak semua gedung harus memiliki ketahanan terhadap gempa, tetapi gedung-gedung yang memiliki fungsi vital dalam keadaan gempa tidak boleh rusak dan harus siap pakai. Misalnya, escape building, rumah sakit, gedung telekomunikasi, PLN dan pemadam kebakaran.

Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No. 6/PRT/M/2009 tentang Pedoman Perencanaan Umum Pembangunan Infrastruktur di Kawasan Rawan Tsunami dijelaskan mengenai fasilitas pelayanan penting yang harus siap disaat kritis bencana alam, yaitu:

a. Kantor polisi. b. Kantor pemadam kebakaran. c. Rumah sakit dengan ruang-ruang bedah, pemeliharaan mendadak atau darurat. d. Fasilitas dan peralatan operasi darurat dan komunikasi. e. Garasi dan tempat perlindungan untuk kendaraan dan pesawat terbang. f. Peralatan pembangkit tenaga siap pakai untuk pelayanan penting. g. Tangki atau bangunan lain yang berisi air atau bahan peredam lainnya atau

peralatan yang diperlukan untuk melindungi kawasan penting, berbahaya atau hunian khusus.

h. Stasiun pengawal permanen. Zonasi wilayah dapat berdasarkan pada beberapa parameter tergantung pada

definisi zonasi dan aplikasinya. Berdasarkan kalkulasi peta zonasi, dapat dibuat ketinggian genangan. Evakuasi diperlukan ketika genangan melebihi 1 m. Ketinggian

67

bangunan pengungsian pada lantai pertama (3 m) pada zona dengan genangan kurang dari 3m dan ketinggian 2 lantai (6 m) pada zona dengan genangan kurang dari 6 m. Ketinggian genangan melebihi 6 m sebagian besar terletak pada wilayah pantai dan merupakan zona “pengaruh langsung“ yang jika dilihat secara normal maka seharusnya tidak direncanakan bangunan pengungsian. Berdasarkan data topografi dapat dibuat peta zonasi dan ditetapkan zona aman. Berdasarkan rencana tata ruang, dapat dibuat rencana zonasi yang mencerminkan pembangunan yang diproyeksikan pada wilayah dan juga daerah penyangga atau daerah hijau.

Elemen strategi tata ruang dasar seharusnya diikuti dalam pendesainan rencana pengungsian (Refuge Planning).

1. Zonasi, khususnya menciptakan zona penyangga, mundur dari garis pantai sehingga aman dan memungkinkan untuk kegiatan.

2. Relokasi infrastuktur dan jasa penting ke wilayah yang lebih aman. Pemadatan tata guna lahan untuk melindungi bangunan agar lebih layak.

3. Restrukturisasi tata guna lahan yang ada (konsolidasi lahan) dan arah bangunan.

4. Menciptakan daya tarik yang lebih besar untuk pembangunan di wilayah yang kurang rentan; menyediakan wilayah yang aman lebih menarik untuk investasi dibandingkan dengan wilayah yang rentan.

5. Pemetaan resiko bencana dan banjir sebagai latihan dasar untuk menentukan pola investasi dan lokasi untuk investasi di bidang infrastruktur dan jasa.

6. Jalur dan bangunan pelarian (escape building). 7. Pengenalan dan pelaksanaan peraturan bangunan. Jalan minimal, bidang tanah

dan tingkat bangunan seharusnya menjadi bagian dari rencana detail tata ruang dan bangunan. Sebagai akibatnya, proses perijinan bangunan (tentunya, bebas dari biaya) perlu diperkuat lagi dan permohonan ijin bangunan perlu dicek dengan peraturan bangunan (termasuk kekuatan struktur bangunan dan tahan gempa) dan rencana tata ruang (termasuk ketinggian minimum bangunan).

Sumber: www.b-panel.com

Gambar 47. Bangunan terapung anti gempa dan tsunami

68

Desain dari sebuah rumah yang dapat melindungi kita dari bencana tsunami yang biasa terjadi di Indonesia adalah sebuah rumah yang kokoh tahan gempa dan tsunami berstruktur ringan sehingga dapat mengapung di atas air apabila terjadi tsunami. Desain rumah ini menggunakan sistem rumah panggung dengan bangunan utamanya dapat terlepas dan mengapung di atas air apabila terjadi gaya angkat yang cukup, apabila terjadi banjir bandang dikala terjadi tsunami besar. Dengan bangunan yang tahan gempa dan dapat mengapung di atas air maka manusia dan barang-barang di dalamnya akan bisa selamat dari reruntuhan akibat bencana alam tersebut. Bangunan tersebut disajikan pada Gambar 47.

Desain rumah ini terdiri atas bagian pondasi, struktur penyangga bangunan dan bagian struktur utama. Struktur penyangga ini didesain untuk dapat menahan struktur bangunan utama dari guncangan gempa dan dengan ketinggiannya dapat menghindarkan rumah terendam oleh banjir. Bagian bangunan utama merupakan bagian bangunan yang menjadi tempat tinggal manusia. Struktur penopang dan struktur bangunan utama terhubung dengan sebuah sistem sambungan yang kuat menahan gempa dan dapat terlepas apabila ketinggian air telah mencapai batas tertentu sehingga bangunan aman dari banjir bahkan tsunami.

Bagian struktur bangunan utama adalah sistem bangunan yang ringan dan kuat sehingga tahan terhadap gempa. Struktur terapung terbuat dari balok EPS berlapis beton untuk mengantisipasi terjadinya benturan besar atau kuat pada saat mengapung. Gambar 48 menunjukkan potongan bangunan terapung anti gempa dan tsunami.

Sumber: www.b-panel.com

Gambar 48. Potongan bangunan terapung anti gempa dan tsunami

Namun untuk bangunan terapung dengan kemungkinan benturan yang kecil maka bisa juga mengunakan lapisan berbahan material Glassfiber Reinforced Cement (GRC) diperkuat dengan nylon mesh. Dengan bagian struktur bangunan utama dan struktur terapung yang ringan maka bangunan tersebut dapat mengapung di atas air. Dengan penerapan ide rumah panggung terapung anti gempa dan tsunami ini kita berharap dapat membantu penduduk di daerah rawan bencana agar dapat terhindar dan selamat dari bencana alam (Thorik E, 2010)

Dalam rekomendasi Aceh Disaster Risk Map (ADRM) untuk usulan RTRW Aceh sebagai arahan pemanfaatan ruang terkait dengan penanggulangan bencana tsunami diusulkan tambahan program-program sebagai berikut :

69

- Peningkatan kewaspadaan dan kesiapsiagaan masyarakat yang tinggal di kawasan rawan bencana tsunami dengan intensitas tinggi.

- Pendidikan kepada masyarakat tentang bahaya tsunami. - Pembangunan Tsunami Early Warning System (TEWS). - Perlakuan bagi permukiman masyarakat yang tinggal di pesisir pantai barat

dan timur Aceh. - Penyiapan barier yang tidak dapat di relokasi. - Penyiapan lahan untuk relokasi. - Pengembangan kawasan pemukiman baru dengan intensitas gempa bumi atau

tsunami rendah. - Simulasi siaga tsunami rutin setiap setahun sekali untuk masyarakat yang

tinggal di sekitar kawasan rawan tsunami. - Penetapan dan pembangunan jalur evakuasi termasuk pembebasan lahan - Menanam hutan mangrove pada sepadan pantai barat dan timur Aceh - Memasang rambu-rambu tentang bahaya tsunami pada kawasan rawan

tsunami baik untuk kawasan lindung maupun budidaya.

Rencana Aktivitas Rencana aktivitas telah dijelaskan pada Tabel 6, sesuai dengan rencana ruang

yang ada sehingga aktivitas wisata dan evakuasi dapat dilakukan pada kondisi tertentu. Aktivitas wisata pantai dapat dilakukan pada kondisi normal dengan wahana wisata yang bervariasi, namun apabila terjadi bencana tsunami aktivitas evakuasi yang diterapkan dengan melakukan sistem peringatan dini sehingga dapat diketahui potensi terjadinya tsunami.

Pada kasus evakuasi, waktu adalah penting. Bukit atau gedung penyelamatan yang memiliki kapasitas yang memadai saja tidak cukup. Dalam jangka waktu yang singkat orang-orang perlu menjangkau tempat-tempat aman ini. Kemudahan untuk mencapai fasilitas-fasilitas merupakan hal penting. Kekurangan aksesibilitas dapat mengakibatkan lebih banyak korban karena panik (bahkan dalam kasus kesalahan alarm).

Untuk bukit-bukit yang curam, perlu dibuat persyaratan yang memungkinkan mencapai ketinggian yang aman. Sehingga perlu dibuat tangga dengan kapasitas yang cukup untuk menjangkau daerah aman. Untuk kasus ekstrim seperti tebing batu yang curam harus dipersiapkan dengan tangga jika tidak ada alternatif lain. Untuk bukit-bukit pengungisan, harus diperhatikan air naik tambahan (run-up). Air naik (run up) bergantung pada topografi dan jarak dari pantai. Sebuah bukit di wilayah yang datar tidak akan mengalami air naik (run-up) sehingga air dapat mengalir di sekitarnya. Akan tetapi pada deretan bukit-bukit atau yang memiliki elevasi tajam di atas permukaan akan menghasilkan air naik (run-up) tambahan. Air naik (run-up) ini juga bergantung pada jarak dari pantai.

Pantai barat Aceh memiliki banyak tempat yang dekat dengan bukit-bukit dan dataran lebih tinggi. Bukit yang terisolasi sangat sesuai terlebih jika memilki jalan akses. Seperti yang dapat dilihat dari kasus Lhoknga, beberapa desa di Lhoknga

70

memiliki bukit yang dimungkinkan untuk pengungsian. Untuk memungkinkan penggunaan wilayah tersebut, beberapa hal berikut perlu dipertimbangkan:

Kapasitas, luas bukit harus cukup Kepemilikan, pemilik harus menerima penggunaan Akses, akses terjamin pada setiap waktu Rute pelarian, rute yang mengarah ke tempat pengungsian mestinya

memadai baik bangunan maupun kapasitas dan juga dapat digunakan pada malam hari.

Konsep evakuasi vertikal diperlukan dalam penentuan lokasi dan desain bangunan untuk masyarakat pantai di kawasan rawan tsunami. Pertimbangan kelayakannya sama seperti pada waktu pengembangan pulau-pulau penghalang pantai yang kuat, yang biasanya hanya dilayani oleh satu jembatan. Berdasarkan hasil penyelidikan menunjukkan bahwa evakuasi vertikal lebih rumit digunakan di kawasan rawan tsunami karena adanya perbedaan karakteristik bencana, misalnya goncangan tanah yang kuat dan potensi keruntuhan tanah serta implikasinya pada penempatan desain dan konstruksi. Masalah perencanaan lain yang berkaitan dengan evakuasi vertikal antara lain pengelolaan jumlah hunian, penyediaan keamanan dalam gedung, penggantian kerugian (kompensasi) pemilik gedung dan pernyataan masalah pertanggungjawaban.

Strategi penyelamatan pertama sebelum gelombang tsunami tiba adalah mengevakuasi manusia dari zona bencana baik secara horizontal ataupun vertikal. Di beberapa daerah, evakuasi vertikal merupakan satu-satunya cara evakuasi untuk bahaya tsunami setempat dengan waktu peringatan yang singkat. Evakuasi horizontal (misalnya manusia berpindah ke lokasi yang lebih jauh jika terancam tsunami, angin puting beliung atau banjir) merupakan cara yang paling umum digunakan. Evakuasi vertikal, tidak umum digunakan dan masih merupakan ragam percobaan di beberapa daerah. Untuk membantu mengurangi potensi berdesakan dan keterlambatan karena banyaknya manusia yang berpindah ke tingkat bangunan gedung atas yang relatif tinggi, evakuasi ini harus didesain dan dibangun dengan baik.

Sistem peringatan yang efektif dan informasi umum, pemberitahuan dan program pelatihan sangat diperlukan untuk keberhasilan cara evakuasi baik vertikal ataupun horizontal (Gambar 49). Selain itu, kedua cara tersebut memerlukan identifikasi bangunan yang aman dan berdekatan sehingga dapat digunakan secepatnya, khususnya untuk bencana tsunami setempat.

Sumber: DPU, 2009

Gambar 49. Kegiatan evakuasi horizontal dan vertikal

71

Evakuasi vertikal memanfaatkan bangunan bertingkat sebagai tempat pelarian pengungsi. Proses evakuasi merupakan cara tanggap darurat dan persiapan darurat, sehingga pertimbangan mitigasi yang utama adalah menentukan lokasi, mendesain dan membangun bangunan yang dapat menahan gaya-gaya tsunami dan gaya gempa tsunami lokal yang diperkirakan.

Cara evakuasi vertikal sebaiknya dilakukan dengan pemahaman berikut ini: - bagaimana tsunami dapat mempengaruhi komunitas, - sifat persediaan gedung umumnya dan kemampuan untuk menahan

gaya-gaya tsunami dan gempa, - persyaratan penempatan, desain dan konstruksi yang harus dipenuhi

oleh gedung baru yang didesain sebagai tempat berlindung (shelter) vertikal,

- bagaimana rencana darurat lokal yang biasanya memberikan masalah peringatan, pendidikan umum dan respon pengoperasian.

Mengevakuasi manusia dapat menyelamatkan jiwa dan mengurangi kecelakaan, sehingga tidak menimbulkan kerugian materi dan ekonomi yang berlebihan. Di daerah pantai yang padat penduduk dan bangunan, jalan, jembatan dan cara evakuasi horizontal lainnya yang terbatas, atau waktu peringatan yang mungkin tidak cukup, sehingga evakuasi vertikal diperlukan sebagai alternatif atau tambahan pada evakuasi horizontal. Perencanaan tata guna lahan, penempatan dan desain bangunan yang baik, memberikan kesempatan kepada masyarakat yang mengalami bencana tsunami (minimal sebagian) untuk melakukan evakuasi vertikal.

Rencana Fasilitas Rencana fasilitas tergantung dengan aktivitas yang ada pada kawasan pantai

tersebut. Adapun rencana fasilitas telah dijelaskan pada Tabel 6. Fasilitas wisata merupakan sarana dan infrastruktur yang mendukung kegiatan wisata seperti penyewaan alat surfing, banana boat, fly fish, paint ball dan lainnya. Fasilitas evakuasi juga yang mendukung kegiatan evakuasi. Untuk fasilitas evakuasi seperti jalur evakuasi, rambu evakuasi (Gambar 49) dan gedung evakuasi (escape building).

Menurut Menteri Pekerjaan Umum No. 6/PRT/M/2009, Macam-macam bangunan dan pemanfaatannya secara khusus, yang harus diperhatikan dalam perencanaan bangunan infrastruktur di kawasan rawan tsunami meliputi fasilitas kritis, fasilitas pelayanan penting, fasilitas berbahaya, bangunan hunian khusus, dan fasilitas yang bergantung pada muka air.

a) Fasilitas kritis Fasilitas disebut kritis karena huniannya atau fungsinya. Fasilitas ini melayani

kepentingan umum yang utama, rumah hunian sejumlah besar orang atau penduduk tertentu, atau yang dapat mengancam masyarakat jika mengalami kerusakan. Fasilitas kritis mencakup fasilitas pelayanan penting, fasilitas berisiko dan bangunan hunian khusus misalnya kegiatan pemerintahan yang penting untuk melanjutkan kehidupan masyarakat, bangunan dengan hunian yang besar, atau bangunan dengan hunian yang tidak dapat melakukan evakuasi segera.

b) Fasilitas pelayanan penting

72

Fasilitas pelayanan penting terdiri atas rumah sakit dengan ruang pembedahan dan pelayanan kedokteran darurat, kantor polisi dan kantor pemadam kebakaran, garasi dan tempat berlindung (shelters) kendaraan dan pesawat udara, bangunan dan shelter di pusat-pusat operasi darurat dan masyarakat serta fasilitas lainnya. Hal tersebut diperlukan untuk tanggap darurat, peralatan pembangkit tenaga siap pakai dan tampungan bahan bakar untuk fasilitas penting, tangki atau bangunan lainnya yang memuat rumah, penyangga air, material peredam kebakaran atau peralatan yang diperlukan untuk perlindungan fasilitas kritis lainnya. Pelayanan bisnis perorangan dapat mempertimbangkan beberapa fasilitas penting, misalnya lokasi-lokasi fasilitas komputer, komunikasi atau basis data yang akan diperlukan untuk keberadaan beberapa perusahaan.

c) Fasilitas berbahaya Fasilitas berbahaya mencakup bangunan gedung dan bangunan bukan gedung

yang berupa rumah atau penyangga atau memuat bahan beracun keras dan kronik (menahun), bahan peledak atau kimiawi yang mudah terbakar. Lepasnya material berbahaya yang tidak terkendali ke udara atau air dapat mencelakakan manusia, mencemari lingkungan hidup dan menimbulkan kebakaran pada lahan dan air. Oleh karena itu, fasilitas berbahaya harus aman beserta isinya jika terjadi bencana Peraturan bangunan yang meliputi persyaratan penggunaan gaya-gaya gempa dan angin harus benar-benar diperhitungkan dalam desain fasilitas berbahaya.

d) Bangunan hunian khusus Bangunan hunian khusus terdiri atas sekolah, kursus, gedung hunian besar,

gedung dan fasilitas dengan tempat hunian dan pemeliharaan pasien dan orang lanjut usia, penjara dan bangunan, serta peralatan dalam stasiun pembangkit tenaga dan fasilitas utilitas umum lainnya. Bangunan hunian khusus harus dapat menahan bencana tanpa membahayakan penghuninya. Sistem keselamatan dan keamanan pada bangunan ini harus didesain untuk gaya-gaya sebesar 50% lebih besar daripada kondisi normal.

e) Fasilitas bangunan pantai (waterfront) Beberapa fasilitas memerlukan sebuah lokasi pada atau berdekatan dengan air

sesuai dengan fungsinya. Secara ekonomis bangunan itu sangat menguntungkan, karena dapat mengambil material atau mendistribusi hasilnya dengan kapal, menggunakan kapasitas air laut atau mendukung rekreasi air dan pemanfaatan perdagangan (misalnya pelabuhan dan fasilitas pelabuhan). Beberapa pemanfaatan muka air dan ketergantungannya dapat berupa:

- fasilitas pelayanan penting (misalnya instalasi penjagaan pantai dan tanggap pelimpahan minyak serta fasilitas pembersihan),

- bangunan hunian khusus (misalnya stasiun pembangkit tenaga nuklir dan bahan bakar fosil),

- fasilitas berbahaya (misal fasilitas penanganan bahan bakar dan gudang).

Fasilitas evakuasi ditentukan dengan memperkirakan kapasitas tempat pengungsian yang diperlukan (keperluan tempat pengungsi: 1 m2/pengungsi), ketinggian aman dan lokasi (tergantung dari lokasi). Untuk setiap pengungsi, aksesibilitas harus dijamin terbuka setiap saat dan konstruksi bangunan harus

73

sepenuhnya memenuhi persyaratan bangunan (building codes) dan standar yang berlaku. Fasilitas pengungsi berikut yang dapat digunakan:

Eksisting bangunan publik : kantor pemerintah, sekolah, mesjid Eksisting bangunan swasta: kantor swasta, ruko, hotel Bangunan baru: bangunan serba guna, mesjid, sekolah, balai pertemuan

(community centres) Eksisting bukit penyelamatan atau tempat-tempat ketinggian Bukit penyelamatan alami maupun buatan Perencanaan peringatan terdiri dari sistem peringatan melalui akustik (suara)

yang mencakup daerah rencana. Wilayah efektif dari sistem ini harus diuji coba di lapangan. Pengoperasian sirene dilakukan oleh BMG, Satkorlak atau Satlak. Pemerintah lokal harus mempunyai alat untuk mengaktifkan atau non-aktifkan sirine. Sound-system di mesjid lokal perlu bisa dihubungkan secara elektronis. Tambahan sistem lokal bisa dioperasikan dengan menggunakan cara komunikasi tradisional atau non-tradisional. Sirine yang tersedia berkisar antara radius 300 m hingga 2000 m.

Lokasi-lokasi sirene dapat dipilih menggunakan pendekatan berikut: pertama, ketersediaan menara telkom. Kedua, gedung-gedung dengan ketinggian yang sesuai dapat dipilih untuk menempatkan sirene. Dan ketiga, tempat-tempat yang membolehkan penempatan tiang atau menara sirene baru. Untuk sistem sirene yang lebih kecil, dapat digunakan konstruksi single pole dengan ketinggian terbatas dan ditempatkan di desa untuk meningkatkan pengawasan masyarakat. Ketinggian sirene tergantung pada footprint (radius). Untuk sistem single pole, bisa menggunakan ketinggian 15 m. Sirene sebaiknya ditempatkan pada menara yang ada atau pada bangunan yang digunakan setiap hari. Hal ini tidak hanya menghindari timbulnya biaya pembangunan menara atau tiang (pole) baru seperti halnya tanah untuk membangunnya, tapi juga akan memfasilitasi inspeksi rutin dan pemeliharaan. Sirene dianjurkan paling tidak di kantor Kabupaten. Gambar 50 menunjukkan contoh menara sirene yang ada di Banda Aceh.

sumber: foto lapang

Gambar 50. Menara sirene

Sistem sirene kecil sesuai ditempatkan di pusat desa. Hal ini memiliki keuntungan kontrol sosial. Ketika daerah yang lebih besar perlu dijangkau, bisa dipertimbangkan lokasi di puncak bukit. Operasi sistem sirene termasuk didalamnya percobaan rutin dan pemeliharaan. Percobaan rutin (bulanan, pada tanggal yang tetap)

74

pada sistem akustik juga akan meningkatkan kesadaran sistem dan mempromosikan diskusi, sebagai contoh sekolah-sekolah dan balai pertemuan pada respon yang tepat. Sistem dukungan tenaga (power back-up) perlu di uji kapasitasnya, karena rententan gelombang tsunami mungkin terjadi lebih dari 3 jam. Pengaktivasian sirene adalah penting untuk tingkat lokal (kecamatan), tingkat provinsi dan nasional. Sistem komunikasi dapat didesain dalam beberapa cara dimana pengaktivasiannya dilakukan dengan kontrol langsung atau melalui kontrol radio.

Walaupun beberapa sistem elektronik memiliki fasilitas untuk berbicara, hal ini tidak membantu ketika sistem ini memberikan salah pemahaman pada makna. Sinyal yang dianjurkan termasuk 3 sinyal berikut: sinyal peringatan (merah), sinyal perhatian (jingga) dan sinyal semua aman (hijau)

Aktivasi protokol sebaiknya berdasarkan pada pedoman nasional, bagaimanapun apabila tidak ada pedoman, beberapa hal berikut dapat dipertimbangkan:

Alarm: meninggikan dan menurunkan tingkat suara lebih dari 3 menit, diulangi setiap 6 menit,

Perhatian (attention): ditekan 0.5 detik, diulangi lebih dari 30 detik, Semua aman (all safe): terus menerus lebih dari 3 menit, diulangi setiap 6

menit Selanjutnya fasilitas untuk evakuasi yaitu rambu-rambu rute pelarian (escape

ruote signs), Rambu-rambu rute pelarian diperlukan untuk beberapa alasan: pertama, rambu mengingatkan orang-orang tentang adanya bahaya tsunami dan meningkatkan kesadaran. Kedua, menunjukkan jalan ke tempat pengungsian dalam hal evakuasi sebenarnya atau latihan evakuasi. Saat ini tidak ada rambu resmi di Indonesia.

Lokasi yang memungkinkan penempatan rambu-rambu yang memberikan informasi rute pelarian. Dapat dilihat pada Gambar 51. Contoh rambu yang dapat digunakan untuk menunjukkan ketinggian dan kapasitas pengungsian. Belum ada rambu indonesia ataupun internasional yang resmi tetapi layout biru atau putih telah digunakan secara luas, seperti pada Gambar 52.

Sumber: BRR, 2007

Gambar 51. Lokasi rambu pelarian

75

Sumber: BRR, 2007

Gambar 52. Contoh rambu evakuasi

Rencana Jalur Sirkulasi Peraturan bangunan umum yang tahan gempa sebaiknya dapat diterapkan pada

semua bangunan dan perumahan baru di daerah bahaya tsunami. Bagaimanapun, untuk bangunan pengungsian, peraturan bangunannya harus diterapkan secara tegas dan sebaiknya digunakan tambahan “batas margin keamanan”.

Lebih lanjut, peraturan bangunan tersebut menentukan kebutuhan lebar jalan penyelamatan menjadi 6 m dan untuk jalan lokal minimum 12 m. Untuk perencanaan jalur sirkulasi dengan lebar minimum disajikan pada Tabel 7.

Tabel 7. Rencana jalur sirkulasi

Jenis Jalan Lebar Jalan Arteri Primer minimum 10 m Jalan Arteri Sekunder minimum 8 m Jalan Kolektor Sekunder minimum 8 m Jalan Lokal Sekunder minimum 4 m Jalan Lingkungan minimum 4 m

Sumber: data olahan (2012)

Dalam merancang sistem jalan pelarian, perlu diperhatikan beberapa hal berikut:

Standar lebar jalan 6 m sesuai dengan peraturan bangunan, tetapi lebar jalan yang lebih kecil juga diperbolehkan pada situasi yang memerlukan kapasitas lebih kecil (4 m).

Maksimum jarak jalur pelarian 1000 m sebaiknya digunakan untuk memaksimalkan waktu perjalanan.

Bila memungkinkan diusulkan pemisahan lalu lintas, percampuran sepeda motor, mobil dan pejalan kaki akan mengarah pada kecelakaan dan juga akan mengurangi kapasitas.

Rute pelarian yang mengarah atau melalui daerah evakuasi lain harus dihindari.

Rute pelarian tidak direncanakan pada daerah rawa atau rawan banjir.

76

Rute pelarian harus selurus mungkin sehingga jelas mengarah kemana jalan tersebut.

Rute pelarian sebaik mungkin mengarah jauh dari garis pantai. Rute pelarian hendaknya tidak melintasi jalan (sibuk) yang lain. Titik kemacetan sebaiknya dihindari dengan mencegah sebaik mungkin dari

penyeberangan dan rintangan Rute pelarian sebaiknya ditandai dengan jelas oleh petunjuk yang mengarah

ke tempat aman. Rute pelarian sebaik mungkin mengarah jauh dari gelombang dan harus

dihindari rute paralel dengan pantai . Untuk mengurangi resiko bahwa rute atau jalan pelarian menjadi “terbengkalai“

dan tidak terjaga sesuai dengan fungsinya maka jalan tersebut diintegrasi menjadi sistem jalan normal dan daerah pengungsian digunakan secara rutin untuk tujuan yang lain. Peta rencana sirkulasi disajikan pada Gambar 53.

Rencana Vegetasi

Rencana vegetasi pada kawasan wisata pantai berbasis mitigasi tsunami terdiri dari: (1) vegetasi pelindung, merupakan barisan vegetasi pantai yang dapat melindungi kawasan pantai terlindungi dari abrasi pantai hingga gelombang tsunami. Vegetasi pelindung dilakukan dengan barisan tanaman penahan tsunami sehingga dapat menghambat laju tsunami seperti penanaman jalur hijau, coconut belt, seperti pada Gambar 54; (2) vegetasi penaung, sebagai penaung kawasan wisata pantai agar tercipta kenyamanan terhadap pengunjung, vegetasi penaung juga dapat difungsikan pada saat terjadi bencana untuk menaungi area evakuasi, seperti pada Gambar 55; dan (3) vegetasi pengarah, yang berfungsi untuk mengarahkan penduduk ke area evakuasi sehingga tidak terjadi disorientasi saat terjadi tsunami, vegetasi pengarah juga dapat mengarahkan pengunjung ke tempat wisata dengan naungan cukup pada jalur sirkulasi, seperti pada Gambar 56.

Vegetasi pantai merupakan kelompok tumbuhan yang menempati daerah intertidal mulai dari daerah pasang surut hingga daerah di bagian dalam pulau atau daratan dimana masih terdapat pengaruh laut. Secara umum kelompok tumbuhan darat yang tumbuh di daerah intertidal atau daerah dekat laut yang memiliki salinitas cukup tinggi, dapat dibagi menjadi tiga (Noor et al, 1999):

1. Mangrove sejati, merupakan kelompok tumbuhan yang secara morfologis, anatomis dan fisiologis telah menyesuaikan diri untuk hidup di daerah sekitar pantai. Mangrove tumbuh pada substrat berpasir, berbatu dan terutama berlumpur. Ciri khas dari kelompok tumbuhan ini adalah adanya modifikasi akar yang sangat spesifik untuk mengatasi kekurangan oksigen, sebagai penopang pada substrat yang labil, memiliki kelenjar khusus untuk mengeluarkan kelebihan garam serta memiliki daun berkutikula tebal untuk mengurangi penguapan. Jenis tumbuhan ini didominasi oleh Rhizophora, Avicenia, Brugueira, Sonneratia.

2. Mangrove ikutan (associated mangrove), kelompok tumbuhan yang ditemukan tumbuh bersama-sama dengan komunitas mangrove, tetapi tidak

77

termasuk mangrove karena tumbuhan ini bersifat lebih kosmopolit dan memiliki kisaran toleransi yang besar terhadap perubahan faktor fisik lingkungan seperti suhu, salinitas dan substrat. Jenis tumbuhan yang tergolong mangrove ikutan misalnya: waru laut (Hibiscus tiliaceus), pandan (Pandanus tectorius), ketapang (Terminalia catappa) dan jeruju.

3. Vegetasi pantai non mangrove, vegetasi pantai non mangrove umumnya banyak ditemukan pada daerah pantai dengan substrat yang didominasi oleh pasir. Kelompok tumbuhan ini dicirikan oleh adanya zonasi bentuk pertumbuhan (habitus) secara horizontal dari daerah intertidal ke arah darat yang terdiri dari: tumbuhan menjalar, semak, perdu dan pohon. Semakin ke darat, keragaman jenis dan habitus pohon akan semakin besar. Jenis vegetasi pantai non mangrove umumnya terdiri dari: tapak kambing (Ipomoea pes-caprae), rumput angin, santigi, ketapang (Terminalia catappa), cemara laut (Casuarina equisetifolia) dan kelapa (Cocos nucifera). Tumbuhan ini membentuk zonasi yang khas.

Di daerah pasang surut, vegetasi didominasi oleh tumbuhan perintis yang menjalar atau rumput-rumputan tertentu dan dikenal sebagai “formasi pes-caprae”. Dinamakan demikian karena mengacu pada tumbuhan menjalar tapak kambing (Ipomoea pes-caprae) yang sangat dominan di daerah tersebut. Kelompok tumbuhan ini diikuti oleh kelompok tumbuhan semak dan perdu yang berukuran lebih besar dan berada di belakang vegetasi perintis (ke arah darat). Kelompok tumbuhan ini disebut “formasi Barringtonia” yang penamaannya juga mengacu pada salah satu jenis tumbuhan yang umum ditemukan di daerah ini, yaitu: Barringtonia asiatica.

Vegetasi pantai memiliki peran yang sangat penting sebagai pencegah abrasi dan tsunami. Tumbuhan pantai umumnya memiliki akar yang panjang dan kuat sehingga mampu menahan substrat dari hempasan gelombang (Desai, 2000). Demikian pula saat tsunami, vegetasi pantai memiliki kemampuan untuk meredam energi gelombang yang sangat besar. Efektifitas peredaman energi gelombang oleh vegetasi pantai sifatnya relatif dan ditentukan oleh banyak faktor. Kerapatan vegetasi, ketebalan vegetasi dari pantai ke arah darat, topografi pantai, karakteristik substrat serta kondisi ekosistem terumbu karang dan lamun sangat menentukan efektifitas vegetasi pantai dalam meredam gelombang. Efektifitas peredaman energi gelombang oleh vegetasi pantai umumnya berkisar antara 0-30%. Namun pada daerah pantai yang tidak terjamah oleh manusia (alami) dengan kondisi ekosistem terumbu karang dan tutupan vegetasi pantai yang sangat baik maka efektifitas peredaman energi gelombang dapat mencapai 90%. Efektifitas peredaman energi gelombang oleh vegetasi pantai juga bergantung pada kemampuan vegetasi pantai untuk mereduksi energi angin. Pada kondisi alami, zonasi yang utuh dari vegetasi pantai memiliki kemampuan untuk membelokkan arah angin ke atas, sehingga mencegah tumbangnya pohon besar yang berada di tengah pulau. Dengan demikian, bentuk zonasi vegetasi pantai yang utuh juga memiliki peran secara tidak langsung dalam mencegah abrasi (Desai, 2000).

78

Gambar 53. Rencana sirkulasi

79

Selain sebagai peredam abrasi, vegetasi pantai juga memiliki fungsi sebagai penahan intrusi air laut, penjebak zat hara, mereduksi energi angin dan badai. Usaha untuk melindungi daerah pantai dari ancaman gelombang dilakukan dengan pembangunan fisik seperti pembuatan pondasi, talut, tembok penahan ombak, seawall, groins, jetties dan breakwater. Upaya ini, selain membutuhkan biaya pembangunan yang sangat tinggi, juga membutuhkan waktu yang relatif lama serta kontrol dan pemeliharaan yang ketat sehingga tidak dapat diterapkan untuk negara berkembang seperti di Indonesia. Pembangunan fisik ini juga berakibat pada berubahnya morfologi garis pantai yang secara langsung mempengaruhi ekosistem yang ada di daerah tersebut (Mimura N, 1999).

Upaya untuk melindungi daerah pantai dari ancaman abrasi atau untuk merehabilitasi pantai akibat tsunami dapat dilakukan dengan penanaman vegetasi pantai. Untuk kondisi lingkungan yang sesuai, penanaman mangrove dapat dilakukan seperti pada substrat berlumpur. Namun untuk daerah pesisir yang memiliki substrat berpasir, penanaman dengan vegetasi pantai sangat dianjurkan karena vegetasi pantai memiliki pertumbuhan yang sangat cepat, murah dan mudah diperoleh serta memiliki kemampuan yang cepat untuk pulih kembali apabila terjadi bencana.

Dari pengalaman tsunami yang sudah terjadi, diperlukan suatu penataan tata ruang terhadap daerah yang mempunyai potensi mengalami gempa bumi dan kemungkinan diikuti tsunami. Untuk daerah yang rawan tsunami, tidak boleh dibangun perumahan, ataupun bangunan yang lain pada daerah dekat pantai dengan jarak tertentu. Sebaiknya pada pantai dibuat jalur hijau yang dapat menurunkan kecepatan gelombang tsunami. Jalur hijau (greenbelt) dapat terdiri atas pepohonan tropis seperti pohon kelapa dan hutan bakau. Jalur hijau ini diharapkan dapat menurunkan dampak kerusakan baik jiwa manusia dan harta bendanya maupun ternak peliharaannya kalau terjadi bencana alam seperti tsunami.

Kebijakan penanganan bencana tsunami melalui penataan ruang akan sangat penting dilakukan guna menghindari terjadinya kerusakan yang lebih parah akibat terjadinya bencana tsunami yang dahsyat. Adapun kebijakan yang dilakukan pada suatu wilayah tidak terlepas dari pembangunan seluruh aspek yang menjadi pelengkap dari wilayah tersebut.

Kebijakan prioritas yang direkomendasikan agar tercapai sasaran terciptanya lingkungan fisik yang relatif aman terhadap bahaya bencana alam tsunami dan dalam konteks pembangunan yang berkelanjutan adalah:

a. Menyediakan peta microzoning kawasan rawan tsunami untuk kepentingan mitigasi

b. Menyiapkan rencana tata ruang guna penataan pemanfaatan lahan dan manajemen pertanahan

c. Mempertimbangkan masyarakat yang kembali ke tempat semula di daerah rawan bencana tsunami dengan mempersiapkan persyaratan keamanan dan informasi resikonya.

d. Menyediakan insentif untuk program relokasi di wilayah yang rendah resiko bencana tsunaminya

e. Membangun sistem yang dapat mengurangi bahaya dari bencana alam tsunami

80

f. Pemulihan kondisi bentang alam sesuai prinsip lingkungan hidup yang berkelanjutan

Rezoning regulation (regulasi penataan kembali) kawasan rawan tsunami didalamnya terdapat: (1) identifikasi kawasan yang aman dan yang tidak dianjurkan untuk dihuni serta desain lingkungan yang tanggap terhadap tsunami, (2) perencanaan bufferzone (daerah penyangga) dan perencanaan desain pemanfaatan ruang kawasan pesisir di kawasan rawan bencana tsunami, (3) perencanaan penempatan pos pengamatan, (4) sosialisasi penataan ruang kawasan rawan tsunami, (5) simulasi untuk prakiraan kemungkinan terjadinya tsunami dan efek yang ditimbulkan, (6) penyesuaian RTRW (Rencana Tata Ruang Wilayah) berdasarkan microzoning, dan (7) analisis dampak dan simulasi terjadinya tsunami di kawasan rawan tsunami.

Wilayah pesisir memiliki beberapa bentuk dan tipe geomorfologi pantai yang sangat bergantung pada letak, kondisi dan posisi pantai itu seperti pantai terjal, pantai berbatu, pantai berpasir, pantai landai, pantai campuran, pantai dalam, pantai netral, pantai paparan, pantai pulau, pantai tenggelam dan pantai timbul. Sebagai contoh:

a. Tipe pantai landai terdapat di pantai utara Jawa, pantai timur Sumatera dan pantai selatan Kalimantan;

b. Tipe pantai campuran terdapat di Sulawesi dan Kepulauan Indonesia Timur; c. Tipe pantai terjal terdapat di pantai selatan Jawa dan pantai barat Sumatera; d. Pada pulau-pulau besar (Sumatera, Jawa, Kalimantan, Sulawesi dan Papua),

sering terdapat sungai besar yang mengalir ke laut, yang sangat berpengaruh terhadap bentuk dan tipe pantai di sekitarnya serta material yang membentuknya, ada yang membentuk laguna seperti Segera Anakan di Kabupaten Cilacap, Delta seperti Delta Mahakam di Kalimantan atau gumuk pasir.

Pembagian zonasi pada daerah pesisir dilakukan dengan urutan pembagian dari yang terdepan, yaitu dimulai dari (1) laut, (2) zona penyangga, (3) daerah budi daya, (4) perkantoran, (5) permukiman. Zona penyangga menjadi prioritas, karena zona ini dianggap sebagai penentu terjadinya sebuah bencana. Zona penyangga atau Buffer Zone bertujuan mengurangi energi gelombang tsunami sehingga daya rusaknya menurun pada saat memasuki zona selanjutnya. Zona ini merupakan zona yang paling rawan kalau terjadi gelombang tsunami sehingga tidak diperbolehkan untuk permukiman. Apabila terdapat permukiman maka harus dibangun manajemen bencana, seperti bangunan atau bukit penyelamatan disertai rute-rute penyelamatan yang jelas. Kawasan zona penyangga terbagi atas: sekitar 300-400 meter dari bibir pantai diperuntukkan bagi kawasan tanaman seperti mangrove atau kelapa, dilanjutkan dengan kawasan tambak sepanjang 600-700 meter, setelah itu kampung nelayan (600 meter), taman kota (200-300 meter).

Tanaman pada zona penyangga harus disesuaikan dengan jenis tanah. Disamping itu zona penyangga juga harus disesuaikan dengan kondisi alam pantai dan perumahan penduduk maupun kontur tanah. Pada kawasan pesisir yang landai, penyangganya terdiri atas tanaman mangrove, pohon kelapa, tambak dan taman kota. Sedangkan di daerah pesisir yang terjal, penyangga bisa dilakukan melalui kombinasi antara tanggul dan tanaman. Zona berikutnya dimaksudkan sebagai permukiman

81

terbatas, dimana bangunannya memenuhi ketentuan tahan gempa. Zona lebih luar lagi untuk permukiman perkotaan dan zona pusat kota.

Pada saat terjadi tsunami tanggal 26 Desember 2004 yang lalu di Pantai Simeuleu, pulau paling dekat dari episentrum gempa terkena juga gelombang tsunami tersebut. Tetapi jumlah korban dari pulau tersebut sangat kecil yaitu tidak lebih dari 10 orang. Kerusakan yang terjadi juga relatif kecil dibandingkan dengan daerah lain. Hal tersebut dikarenakan pada pulau tersebut mempunyai green belt (sabuk hijau) yang merupakan perlindungan alami.

Dari hasil pengamatan di Thailand tentang kerusakan karena tsunami, telah ditemukan bahwa beberapa tanaman seperti kelapa merupakan bahan bio-fisik yang toleran mengatasi masalah gelombang tsunami dan salinitas. Tanaman karet dan kelapa juga menunjukkan potensi untuk menurunkan energi dari gelombang tsunami. Sehingga perlu diperhatikan bagaimana membuat sebuah zona penyangga di daerah pesisir untuk melindungi tanah dan komunitas manusia dari gelombang tsunami. Dalam membangun zona penyangga pada daerah pesisir dengan menggunakan tanaman maka perlu diperhatikan juga tanaman yang sesuai dari semua faktor termasuk faktor ekonomi.

Beberapa keunggulan pohon kelapa sebagai tanaman di zona penyangga antara lain adalah:

a. Tanaman kelapa tahan terhadap kondisi tanah yang kering. Walaupun untuk menghasilkan produktivitas yang tinggi dan mutu yang bagus, harus dilakukan penyiraman yang teratur.

b. Tanaman kelapa sangat toleran terhadap kondisi kebanjiran atau genangan air dalam beberapa hari. Walaupun pohon akan mati apabila tergenang dalam waktu yang lama.

c. Tanaman kelapa tahan terhadap udara dingin, tetapi akan menjadi rusak pada suhu 0˚C. Tetapi tanaman kelapa tidak cocok untuk daerah yang terus menerus dingin.

d. Tanaman kelapa cukup tahan di daerah yang banyak angin dan secara umum akan mampu bertahan pada keadaan badai. Biasanya kerusakan terjadi pada saat badai adalah kehilangan sebagian daun. Apabila tanaman tercukupi unsur airnya, maka bagian atas pohon akan tahan terhadap badai.

e. Tanaman kelapa tahan terhadap air dan tanah yang mengandung garam. Dengan adanya tanaman kelapa tersebut diharapkan hasilnya dapat bermanfaat

secara langsung sebagai mata pencaharian masyarakat sekitar pantai dan secara tidak langsung selain dapat mengurangi aliran udara panas dari laut pada saat musim kering juga diharapkan dapat mengantisipasi apabila terjadi tsunami paling tidak mengurangi kecepatan hempasan gelombang air laut lepas. Penanaman pohon kelapa pada bagian pantai terutama dikaitkan dengan zonasi tata ruang yang berfungsi sebagai buffer zone akan dapat bermanfaat pula bagi petani kelapa yang sejalan dengan Program Revitalisasi Pertanian Perikanan dan Kehutanan (RPPK) Departemen Pertanian R.I. pada gilirannya dapat meningkatkan kehidupan masyarakat petani kelapa (Rusfi et al. 2008).

82

Rencana Daya Dukung Daya dukung menjadi salah satu aspek penting dalam merencanakan suatu

kawasan evakuasi dan wisata. Hal ini terkait dengan kemampuan tapak mendukung setiap individu aktivitas wisata dan evakuasi. Daya dukung dihitung dengan cara membagi luas area dengan standar kebutuhan ruang per orang. Standar kebutuhan ruang didapat dari standar dan asumsi logis. Khusus untuk daya tampung saat evakuasi, area yang yang digunakan tetap mengacu pada rencana jalur evakuasi dengan radius pelayanan 1 km dari tapak dan area evakuasi yang telah ditentukan pada rencana ruang dan site plan. Namun demikian, tidak ada batasan area masif karena pada saat kondisi bencana siapa saja bisa mengungsi ke tapak dalam keadaan darurat. Berdasarkan hasil perhitungan daya tampung, area evakuasi di Lampuuk dapat menampung total jumlah pengungsi sebanyak 3546 orang (open space dan escape building). Sedangkan untuk wisata Pantai Lampuuk dapat menampung 260 orang. Kapasitas daya dukung tapak ini dapat memenuhi kebutuhan jumlah pengungsi di masing-masing tapak. Kapasitas daya dukung pada lokasi penelitian Pantai Lampuuk, Kemukiman Lampuuk, Kecamatan Lhoknga, Kabupaten Aceh Besar disajikan pada Tabel 8.

Tabel 8. Kapasitas daya dukung lokasi studi

Ruang Fasilitas Luas (m2) Standar

(m2/orang, m2/unit)

Daya tampung

(unit) Wisata

Area penerimaan

Area pelayanan

Berenang Banana boat Surfing Kuliner Paint ball

- Loket, portal,

gerbang, parkir - Ruang ganti, kamar

mandi, toilet, mushola

- Penyewaan wahana dan alat surfing,

- Restaurant, - Paint ball field

660

552

432

31920 7954

10 4 8 2 20

60 orang

25 orang

25 orang

120 orang 30 orang

Mitigasi Evakuasi

- Jalur evakuasi,

rambu-rambu evakuasi,

- gedung evakuasi (Escape building)

32300

25500

10 120

4

500 orang

1000 orang

Budidaya /konservasi

Penanaman vegetasi

Berkebun Bertani

- Lahan konservasi, - Lahan kebun, - Sawah

127680 79540 234000

- - -

- - -

83

Tabel 8. Kapasitas daya dukung lokasi studi (lanjutan) Terbangun

Pemukiman Perkantoran Perdagangan Pendidikan Olahraga Kesehatan Sarana publik

- Rumah anti gempa

dan tsunami, jalur sirkulasi

- Kantor kecamatan, kantor kemukiman, kantor desa, bank, koperasi

- Rumah toko, pasar pelelangan ikan, cafe,

- Sekolah - Lapangan olahraga,

gelanggang olahraga, tribun penonton

- Rumah sakit, klinik, puskesmas, apotik

- Kantor polisi, pemadam kebakaran, PLN,

195000

29400

35770

23655 23100

156000

78000

6

12

14 5

375

422

55

500 orang

100 orang

500 orang

540 orang 570 orang

330 orang

30 orang

Sumber: Harris dan Danies (1995), Chiara dan Koppelman (1989)

84

Gambar 54. Ilustrasi vegetasi pelindung

85

85

Gambar 55 . Ilustrasi vegetasi penaung

86

86

Gambar 56. Ilustrasi vegetasi pengarah

87

87

Gambar 57. Ilustrasi perspektif evakuasi

88

88

Gambar 58. Ilustrasi perspektif mitigasi

89

89

Gambar 59. Ilustrasi perspektif wisata

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

Pantai Lampuuk, Kemukiman Lampuuk, Kecamatan Lhoknga, Kabupaten Aceh Besar merupakan salah satu daerah rawan tsunami. Kawasan ini membutuhkan perencanaan lanskap pantai yang berbasis evakuasi bencana dan dapat berfungsi sebagai ruang evakuasi sekaligus ruang wisata. Beberapa hal penting menjadi pertimbangan dalam perencanaan kawasan wisata pantai berbasis mitigasi tsunami ini adalah adanya jalur evakuasi yang mengarahkan penduduk menuju zona evakuasi; gedung penyelamatan (escape building) dan daya dukung pada saat evakuasi berlangsung; ketinggian tempat dari permukaan laut sehingga tidak berpotensi terkena tsunami; penempatan terintegrasi fasilitas wisata dan evakuasi sesuai dengan aktivitasnya; strategi mitigasi tsunami; serta perencanaan jalur sirkulasi dan vegetasi untuk wisata dan evakuasi apabila tejadi bencana tsunami.

Konsep dasar perencanaan lanskap pantai adalah merencanakan pengembangan kawasan wisata yang berbasis mitigasi tsunami yang dapat berfungsi sebagai ruang evakuasi, mitigasi dan wisata. Konsep dan rencana taman kota terdiri dari dua kondisi. Kondisi pertama pada saat kondisi normal atau biasa berfungsi sebagai kawasan wisata, dapat berubah menjadi fungsi evakuatif menakala terjadi tsunami.

Tapak terbagi dalam tiga zona, yaitu: (1) zona utama, terdiri dari ruang wisata, mitigasi, evakuasi; (2) zona semi utama, merupakan ruang terbangun; dan (3) zona penyangga, untuk budidaya, konservasi vegetasi pantai, perkebunan dan persawahan. Rencana tapak dilengkapi dengan rencana aktivitas, fasilitas, sirkulasi dan rencana vegetasi. Perencanaan juga dilengkapi dengan gambar tampak potongan dan perspektif.

Saran

Saran dari perencanaan adalah sebagai berikut: 1. hasil dari penelitian perlu ditindaklanjuti oleh pemerintah daerah dalam

rangka meningkatkan kesadaran dan kesiapan menghadapi bencana serta sebagai bentuk tindakan mitigasi untuk meminimalkan kerugian akibat bencana,

2. penelitian perlu diteruskan sampai pada tahap perancangan dan detail konstruksi,

3. perlunya kerjasama berbagai instansi terkait dan juga masyarakat untuk terlibat langsung dalam perencanaan dan pelaksanaan wisata pantai berbasis mitigasi tsunami dengan fungsi wisata dan fungsi evakuasi,

4. pengadaan simulasi tsunami, sosialisasi dan publikasi kepada penduduk tentang area dan gedung evakuasi. Fasilitas bangunan publik menjadi evakuasi sementara kemudian menuju area dan gedung evakuasi,

5. penjelasan sistem kerja alih fungsi wisata dan evakuasi menjadi salah satu fokus perencanaan tapak,

91

6. diperlukan program realisasi escape building dan berkelanjutan agar tapak tampak terawat dan dapat dimanfaatkan optimum jika dibutuhkan saat terjadi tsunami.

92

DAFTAR PUSTAKA

Abbot, Patrick L. 2004. Natural Disaster, Fouth Edition. McGraw-Hill. New York. US.

Anthony JC, James CS. 1986. Pengantar Perencanaan Kota. Erlangga: Jakarta Adipandang. 2012. Perencanaan Guna Lahan Berbasis Mitigasi Bencana Tsunami

menggunakan Tsunami Dynamic Model [internet]. [diunduh 2012 Oktober 24]. Tersedia pada: adipandang.wordpress.com

[Anonim]. 2011. Mitigasi Bencana Alam Tsunami Di Indonesia: Sumbangan Pemikiran [internet]. [diunduh 2012 Oktober 24]. Tersedia pada: www.geocities.ws

Beni S. Ambarjaya. 2006. Tsunami Sang Gelombang Pembunuh. Jakarta: CV Karya Mandiri Pratama.

[BKTRN] Badan Koordinasi Tata Ruang Nasional. 2011. Menata Aceh dengan Harapan Baru Edisi September-Oktober 2011 [internet]. [diunduh 2012 Oktober 24] online bulletin ISSN; 1978-1571. Tersedia pada: bulletin.penataanruang.net

[BMG] Badan Meteorologi dan Geogisika. 2012. Data temperatur udara rata-rata harian dan klimatologi RH tahun 2011 bandara sultan iskandar muda (65 feet msl).

[BPS] Badan Pusat Statistik. 2012. Kecamatan Lhoknga dalam angka 2011. Kabupaten Aceh Besar. Provinsi Aceh

[BRR] Badan Rekonstruksi dan Rehabilitasi, Aceh and Nias Sea Defence, Flood Protection, Refuges and Early Warning Project, BRR concept note/INFRA 300 GI. 2007. Pedoman Perencanaan Pengungsian Tsunami (Tsunami Refuge Planning). SDC-R-70022.

Chiara, JD dan Koppelman, LE. 1989. Standar Perencanaan Tapak. Terjemahan. Oleh Ir. Januar Hakim. Site Planning Standars. Erlangga. Jakarta.

[DPU] Departemen Pekerjaan Umum. 2009. Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No. 06/PRT/M/2009 tentang Pedoman Perencanaan Umum Pembangunan Infrastruktur di Kawasan Rawan Tsunami.

Desai, K. N. 2000. Dune vegetation : need for reappraisal. Coastin. A Coastal Policy Research Newsletter. No. 3 September: 2000.

Diena, A.L. 2009. Pengaruh Perubahan Penggunaan dan Penutupan Lahan Terhadap Kenyamanan di Suburban Bogor Barat. Skripsi. Program Studi Arsitektur Lanskap. Fakultas Pertanian Insitut Pertanian Bogor.

Dudley, W. C, Lee Min. 1989. Tsunami! 2nd ed. Honolulu: University of Hawai’i Press.

Eugenia LM. 2000. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 1997 Tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup. Harvarindo: Jakarta.

[FEMA] Federal Emergency Management Agency. 2000. What Is Mitigation? Mitigation: Reducing Risk through Mitigation. Washington.

Frank I. Gonzalez. 1999. Tsunami! Scientific American, May ed. Gold, S.M. 1980. Recreation Planning and Design. New York: McGraw-Hill

book Co. Hamilton, W. 1979. Tectonics of the Indonesian Region, U.S. Geological Survey

Prof. Paper 1078.

93

Hanim U. 2012. Tsunami [internet]. [diunduh 2012 Oktober 19]. Tersedia pada: ulfah-hanim.blogspot.com

Harris, CW and Dines, NT. 1995. Time-Saver Standars for Landscape Architecture. Mc-Graw Hill Inc. Singapore.

International Coordination Group for the Tsunami Warning System in the Pacific (ITSU). 1999. Master Plan, UNESCO-Intergovernmental Oceanographic Comission.

Kious and Tilling. 1996. This Dynamic Earth: The Story of Plate Tectonics, USGS General Interest Publication.

Kompas, 9 Mei 2000. Korban Gempa Banggai Terus Bertambah. Kompas, 30 Juni 2000. Mendesak, Rehabilitasi 16.900 Rumah Korban Gempa

Bengkulu. Krembesz. 2011. Belajar dari Sistem mitigasi dan penangkal tsunami Jepang

[internet]. [diunduh 2012 Oktober 24]. Tersedia pada: www.kaskus.co.id/showthread.php Mimura, N. 1999. Vulnerability of Island Countries in the South Pasific to Sea Level Rise and Climate Change. Climate Research Vol. 12: 137-143.

Molles MC. 2005. Ecology: Concepts and Applications. New York: McGraw-Hill comp. 625 hal.

Nurisjah, S, Pramukanto, Q dan Wibowo, S. 2003. Daya Dukung dalam Perencanaan Tapak. Program Studi Arsitektur Pertamanan, Jurusan Budidaya Pertanian, Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Noor, Y. R., M. Khazali dan I. N. N. Suryadiputra. 1999. Panduan Pengenalan Mangrove di Indonesia. Ditjen PKA dan Wetlands International. Indonesia Programme.

Rachman, Z. 1984. Proses Berfikir Lengkap Merencana dan Melaksana dalam ArsitekturPertamanan, Makalah diskusi pada Festival Tanaman VI Himagron. Bogor: Jurusan Budi Daya Pertanian. Faperta IPB. Bogor.

Rusfi A, Subandrio AS, Sju’eib AA, Prayitno B, Kusmana C, Natawidjaja DH, Latief H, Abidin HZ, Andreas H, Kamil IM et al. 2008. Tsunami Aceh Titik Nol Menuju Kebangkitan Aceh Dalam Era Global. Pemerintah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam: Aceh.

Simkin and Siebert. 1994. Volcanoes of the World. Smithsonian Institution, Global Volcanism Program, Geoscience Press, Inc. Arizona, 349p.

Simonds JO. 1978. Earthscape: a Manual of Environmental Planning. USA: McGraw-Hill Inc. 340 hal.

Simonds JO. 1983. Landscape Architecture. McGraw-Hill Book Co., Inc. New York. US.

Siskakodong. 2011. Aplikasi Oseanografi Mitigasi Bencana Tsunami [internet]. [diunduh 2012 Oktober 19]. Tersedia pada: siskakodong.wordpress.com

Subroto. 2003. Perencanaan Pengembangan Wilayah. Samarinda: Fajar Gemilang.

[TDMRC] Tsunami And Disaster Mitigation Research Center. 2011. Aceh Disaster Risk Map. Edisi 3 Maret 2011.

Thorik E. 2010. Rumah panggung anti gempa dan tsunami [internet]. [diunduh 2012 Oktober 24]. Tersedia pada: www.b-panel.com

Yulaelawati E, Syihab U. 2008. Mencerdasi Bencana. Jakarta: PT Grasindo Anggota Ikapi.

94

Yuliati S. 2010. Tanggap Darurat Mitigasi Bencana Gempa Bumi dan Tsunami [internet]. [diunduh 2012 Oktober 19]. Tersedia pada: diskanlut-jateng.go.id

Zoer’aini, D.I. 1997. Prinsip-prinsip Ekologi dan Organisasi. Ekosistem Komunitas & Lingkungan. Bumi Aksara: Jakarta.

95

RIWAYAT HIDUP

Penulis lahir pada tanggal 31 Desember 1989 di Banda Aceh, dari pasangan

Drs. H. Bachtiar Hasan, M. Pd dan Dra. Hj. Suriawati. Penulis adalah anak pertama dari tiga bersaudara. Pada tahun 1996 penulis mengikuti pendidikan di SDN 29 Banda Aceh. Pada tahun 2002 Penulis melanjutkan studi menengah pertama di MTsN 1 Banda Aceh. Pada tahun 2005 Penulis melanjutkan studi menengah atas di SMAN 10 Fajar Harapan Banda Aceh. Pada tahun 2008 Penulis melanjutkan jenjang pendidikan yang lebih tinggi yaitu di Institut Pertanian Bogor melalui Undangan Seleksi Masuk IPB. Pada tahun 2009 Penulis masuk Program Studi Mayor Arsitektur Lanskap dan memilih beberapa Supporting Course sebagai penunjang.

Penulis aktif di kegiatan non-akademis diantaranya sebagai pengurus Ikatan Mahasiswa Tanah Rencong (IMTR) Bogor Periode 2010-2011 Divisi Olahraga, Seni dan Budaya, dan anggota PASKIBRA Tingkat Provinsi NAD pada upacara Peringatan HUT Kemerdekaan RI ke-60 tahun 2005.

Penulis pernah mengikuti beberapa kompetisi non-akademis yaitu Juara 3 Degen Putra Kejuaraan olahraga cabang ANGGAR Provinsi NAD tahun 2004, Juara 2 Parodi Tingkat SMA se-Nanggroe Aceh Darussalam tahun 2006, Juara harapan 1 lomba fotografi pada acara Human Rights Day di Universitas Syiah Kuala Aceh tahun 2008, Juara 3 lomba fotografi Muslim Aid se-provinsi NAD tahun 2008, Juara 1 Perkusi pada acara Tetranology (Fateta Art and Technology) IPB 2009, Juara 3 Sayembara Konsep Gagasan Rancangan Taman Kota Bogor Ex-Taman Topi City Park Bogor 2010, Juara 1 Basket putra Seri-A (Faperta Cup) IPB 2011.