percobaan 6

40
BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Dalam beberapa sediaan farmasi yang beredar terdapat beragam sediaan bentuk obat dan penggolongannya, diantaranya yaitu obat golongan antibiotik/antimikroba. Antibiotik termasuk jenis obat yang cukup sering diresepkan dalam pengobatan modern. Antibiotik adalah zat yang membunuh atau menghambat pertumbuhan bakteri dimana antibiotik itu sendiri berasal dari bakteri juga terutama fungi. Setiap antibiotik sangat beragam efektivitasnya dalam melawan berbagai jenis bakteri. Ada antibiotika yang membidik bakteri gram negatif atau gram positif saja, dan ada pula yang spektrumnya lebih luas, melawan ke duanya. Saat ini telah beredar beragam jenis antibiotik dipasaran dengan kandungan zat aktifnya yang berbeda-beda. Amoxicillin merupakan salah satu

Upload: jim-colins

Post on 11-Feb-2015

95 views

Category:

Documents


11 download

TRANSCRIPT

Page 1: Percobaan 6

BAB I

PENDAHULUAN

I.1 Latar Belakang

Dalam beberapa sediaan farmasi yang beredar terdapat beragam

sediaan bentuk obat dan penggolongannya, diantaranya yaitu obat golongan

antibiotik/antimikroba. Antibiotik termasuk jenis obat yang cukup sering

diresepkan dalam pengobatan modern. Antibiotik adalah zat yang

membunuh atau menghambat pertumbuhan bakteri dimana antibiotik itu

sendiri berasal dari bakteri juga terutama fungi.

Setiap antibiotik sangat beragam efektivitasnya dalam melawan

berbagai jenis bakteri. Ada antibiotika yang membidik bakteri gram negatif

atau gram positif saja, dan ada pula yang spektrumnya lebih luas, melawan

ke duanya.

Saat ini telah beredar beragam jenis antibiotik dipasaran dengan

kandungan zat aktifnya yang berbeda-beda. Amoxicillin merupakan salah

satu antibiotik golongan penicilin yang banyak beredar, baik dari sediaan

generik maupun yang telah dipatenkan dalam bentuk tablet maupun yang

telah disuspensikan dengan kadar zat aktif yang terkandung bermacam-

macam.

Bioavailabilitas suatu sediaan obat merupakan ukuran kecepatan

absorpsi obat dan jumlah obat tersebut yang diabsorpsi secara utuh oleh

tubuh, dan masuk ke dalam sirkulasi sistemik. Dengan mengetahui jumlah

relatif obat yang diabsorpsi dan kecepatan obat berada dalam sirkulasi

Page 2: Percobaan 6

sistemik, dapat diperkirakan tercapai tidaknya efek terapi yang dikehendaki

menurut formulasinya. Dengan demikian, bioavailabilitas dapat digunakan

untuk mengetahui faktor formulasi yang dapat mempengaruhi efektivitas

obat.

Pada percobaan kali ini telah dilakukan bioavailabilitas amoxicillin

pada hewan coba. Obat yang diberikan dalam bentuk sediaan yang berbeda

dapat memberikan perbedaan dalam jumlah dan kecepatan obat tersebut

mencapai sirkulasi sistemik. Dimana dengan melakukan uji bioavailabilitas

suatu sediaan, kita bisa mengetahui kadar zat obat yang diabsorpsi tubuh

dan masuk kedalam sirkulasi sistemik sesuai kadar yang beredar dipasaran.

I.2 Maksud dan tujuan percobaan

I.2.1 Maksud percobaan

1) Untuk mengetahui kadar amoksisilin dalam darah hewan coba kelinci

(Orytolagus cuniculus)

2) Untuk mengetahui perbandingan nilai transmitan, absorban, konsentrasi

dan faktor pada hewan uji yang belum diberikan obat antibiotik dan

yang telah diberikan obat antibiotik

I.2.2 Tujuan percobaan

1) Untuk menentukan kadar amoksisilin dalam darah hewan uji

2) Untuk menghitung besarnya nilai AUC, Ctp dan tp

Page 3: Percobaan 6

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

II.1 Dasar Teori

Istilah antibiotik untuk pertama kali digunakan oleh Waksman (1945)

sebagai nama dari suatu golongan substansi yang berasal dari bahan biologis

yang kerjanya antagonistik terhadap mikroorganisme. Istilah itu berarti

“melawan hidup” dengan kata lain maksud dari antibiotik adalah zat yang

dihasilkan oleh mikroorganisme hidup, yang dapat menghambat

mikroorganisme lain, bahkan dapat memusnahkannya (Irianto, 2006).

Antimikroba adalah salah satu senyawa yang dihasilkan oleh suatu

mikroorganisme dan dalam konsentrasi kecil mampu menghambat bahkan

membunuh proses kehidupan suatu mikroorganisme. Aktivitas antibakteri

diantaranya dipengaruhi oleh faktor potensi dari obat antibakteri dan faktor

yang menyangkut sifat dan bakteri itu sendiri khususnya susunan kimia

dinding sel bakteri tersebut (Setiabudy, 1995).

Banyak antibiotik dewasa ini dibuat secara semi sintetik atau sintetik

penuh. Namun dalam praktek sehari-hari antibiotik sintetik yang tidak

diturunkan dari produk mikroba (Sulfonamid dan Kuinolon) juga

digolongkan sebagai antibiotik (Rianto, 2008).

Obat yang digunakan untuk mikroba penyebab infeksi pada manusia,

ditentukan harus memiliki sifat toksisitas selektif setinggi mungkin. Artinya,

obat tersebut haruslah sangat toksik untuk mikroba, tetapi relatif tidak toksik

untuk hospes. Sifat toksisitas yang absolut belum atau mungkin tidak

diperoleh (Rianto, 2008).

Page 4: Percobaan 6

Berdasarkan toksisitas selektif ada antibakteri yang bersifat

bakteriostatik dan bakterisid. Antibakteri tertentu aktivitasnya dapat

meningkat dari bakteriostatik menjadi bakterisid bila kadar antibakterinya

ditingkatkan melebihi KHM (Setiabudy, 1995).

Kadar Hambat Minimal (KHM) atau Minimum Inhibitory

Concentration (MIC) adalah kadar minimal yang digunakan untuk

menghambat pertumbuhan bakteri sedangkan Konsentrasi terendah dari

antibiotik yang membunuh 99,9% inokulum bakteri disebut Kadar Bunuh

Minimal (KBM) atau Minimum Killing Concentration (MCK) (Brander,

1991).

Skema klasifikasi antibiotik yang dianjurkan didasarkan pada struktur

kimia dan mekanisme kerja yang diajukan, sebagai berikut (Goodman,

Gilman, 2001):

1. Senyawa yang menghambat sintesis dinding bakteri meliputi penisilin

dan sepalosforin yang secara struktur mirip, dan senyawa-senyawa yang

secara struktur tidak mirip seperti Vankomisin, Sikloserin, Basitrasin

dan senyawa antifungi golongan azol (Klotrimazol, Flukonazol dan

Itrakonazol).

2. Senyawa yang bekerja langsung pada membran sel mikroorganisme,

mempengaruhi permeabilitas dan menyebabkan kebocoran senyawa-

senyawa intraseluler; dalam hal ini termasuk senyawa yang bersifat

detergen seperti polimiksin dan senyawa antifungi poliena nistatim serta

Amfoterisin B yang berikatan dengan sterol-sterol dinding sel.

Page 5: Percobaan 6

3. Senyawa yang mempengaruhi fungsi subunit ribosom 30S dan 50S

sehingga menyebabkan penghambatan sintesis protein yang reversible;

obat bakteriostatik (yakni senyawa yang mengganggu pertumbuhan atau

replikasi mikroorganisme, namun tidak membunuhnya) ini meliputi

Kloramfenikol; golongan tetrasiklin; eritromisin; klindamisin; dan

pristinamisin.

4. Senyawa yang berikatan dengan sub unit ribosom 30S dan mengubah

sintesis protein, yang pada akhirnya akan mengekibatkan kematian sel;

dalam hal ini termasuk aminoglikosid.

5. Senyawa yang mempengaruhi metabolisme asam nukleat bakteri, seperti

golongan rifampisin, yang menghambat Ribonucleic Acid (RNA)

polimerase, dan golongan kuinolon, yang menghambat topoisomerase.

6. Kelompok antimetabolit, termasuk diantaranya trimetoprim dan

sulfonamida, yang memblok enzim yang penting dalam metabolisme

folat

Faktor-faktor yang mempengaruhi aktivitas antimikroba yaitu pH

Lingkungan, komponen-komponen perbenihan, stabilitas obat, besarnya

inokulumbakteri, masa pengeraman, dan aktivitas metabolik

mikroorganisme (Jawetz, 2004).

Klasifikasi Antibiotik

Pembagian antibiotik dapat dibagi berdasarkan luasnya aktivitas

antibiotik, aktivitas dalam membunuh serta berdasarkan mekanisme obat

antibiotik tersebut (Katzung, 1997).

Page 6: Percobaan 6

Berdasarkan luasnya aktivitas, antibiotik dibagi menjadi antibiotik

spektrum luas dan spektum sempit. Istilah luas mengandung arti bahwa

antibiotik ini dapat membunuh banyak jenis bakteri sedangkan sebaliknya,

istilah sempit hanya digunakan untuk membunuh bakteri yang spesifik yang

telah diketahui secara pasti. Penggunaan spektrum luas digunakan apabila

identifikasi kuman penyebab susah dilakukan namun kerugiaanya dapat

menghambat pula bakteri flora normal dalam tubuh (Katzung, 1997).

Berdasarkan mekanisme kerja, antibiotik dibagi menjadi 5 jenis, yaitu:

a. Penghambatan sintetis dinding bakteri

b. Penghambat membran sel

c. Penghambatan sintetis protein di ribosom

d. Penghambatan sintetis asam nukleat

e. Penghambatan metabolik (antagonis folat)

Berdasarkan aktivitas dalam membunuh, antibiotik dibagai menjadi

bactericidal dan bacteristatic. Antibiotik yang mempunyai sifat bakterisidal

membunuh bakteri target dan cenderung lebih efektif serta tidak perlu

menggantungkan pada sistem imun manusia. Sangat perlu digunakan pada

pasien dengan penurunan sistem imun. Sedangkan bakteriostatik justru

bekerja menghambat pertumbuhan bakteri dan dapat memanfaatkan sistem

imun host.

Penggolongan antimikroba berdasarkan aktivitasnya (Jawet, 2001):

Sifat Aktivitas Antibiotik

Bakteriostatik Kloramfenikol

Tetrasiklin

Eritromisin

Page 7: Percobaan 6

Linkomisin

Klindamisin

Rifampisin

Sulfonamid

Trimetoprim

Spektinomisin

Metenamin mandelat

Asam nalidiksid dan

asam oksolinik

Nitrofurantoin

Bakterisid Penisilin

Sefalosporin

Aminoglikosid

Polimiksin

Vankomisin

Basitrasin

Sikloserin

Tempat Kerja

Dari Masing-Masing Golongan Antibiotik

Resistensi Antibiotik

Page 8: Percobaan 6

Istilah resistensi itu menunjukan bahwa suatu mikroorganisme , sudah

tidak peka terhadap suatu suatu zat atau sediaan antimikroba atau antibiotik,

sehingga akan membawa masalah dalam terapi dan bahkan akan

menggagalkan terapi dengan suatu antibiotik terhadap agen penyebab

infeksi. Resistensi adalah ketahanan suatu mikroorganisme terhadap

antimikroba atau antibiotik tertentu (Zaraswati, 2008).

Secara garis besar bakteri dapat menjadi resisten terhadap suatu

antibiotik melalui tiga mekanisme (Rianto, 2008):

1) Obat tidak dapat mencapai tempat kerjanya di dalam sel mikroba. Pada

bakteri gram negatif, molekul antibiotik yang kecil dan polar dapat

menembus dinding luar dan masuk ke dalam sel melalui lubang-lubang

kecil yaitu porin. Bila porin menghilang atau mengalami mutasi maka

masuknya antibiotik ini akan terhambat. Mekanisme lain ialah bakteri

mengurangi mekanisme transport aktif yang berperan dalam masuknya

antibiotik ke dalam sel bakteri. Mekanisme lain ialah mikroba

mengaktifkan pompa efluks untuk membuang keluar zat antimikroba

yang ada dalam sel.

2) Inaktivasi obat, mekanisme ini sering mengakibatkan terjadinya

resistensi terhadap golongan aminoglikosida dan beta laktam karena

mikroba mampu membuat enzim yang merusak antibiotik tersebut.

3) mikroba mengubah tempat ikatan (binding site) antibiotik. Mekanisme

ini terlihat S. Aureus yang resisten terhadap metisilin (MRSA). Bakteri

ini mengubah penicilline binding protein (PBP) sehingga afinitasnya

menurun terhadap metisilin dan antibiotik beta laktam lain.\

Page 9: Percobaan 6

Penyebaran resistensi pada mikroba dapat secara vertikal (diturunkan

ke generasi berikutnya) atau yang lebih sering terjadi adalah secara

horizontal dari suatu sel donor. Dilihat dari bagaimana resistensi

dipindahkan maka dapat dibedakan empat cara yaitu : Mutasi, transduksi,

transformasi dan konjugasi (Rianto, 2008).

Mutasi adalah suatu proses yang terjadi secara spontan, acak, dan

tidak tergantung dari ada atau tidaknya paparan antibiotik. Mutasi terjadi

akibat adanya perubahan pada gen mikroba mengubah binding site

antibiotik, protein transport, protein yang mengaktifkan obat, dan lain-lain

(Rianto, 2008).

Transduksi adalah kejadian dimana suatu mikroba menjadi resisten

karena mendapat Dioxy nuclei acid (DNA) dari bakteriofage (virus yang

menyerang bakteri) yang membawa DNA dari bakteri lain yang memiliki

gen resisten terhadap antibiotik tertentu (Rianto, 2008).

Transformasi adalah mekanisme transfer resistensi yang sangat

penting, dan dapat terjadi antara bakteri dengan spesies yang berbeda.

Transfer yang resisten disini terjadi langsung antara dua bakteri suatu

jembatan yang disebut pilus seks. Transfer resistensi dengan cara konjugasi

lazim terjadi antar bakteri Gram negatif. Sifat resistensi tersebut dibawa

oleh plasmid (DNA yang bukan kromosom) (Rianto, 2008).

Faktor yang mempengaruhi perkembangan resistensi di klinik adalah

sebagai berikut (Rianto, 2008):

1. Penggunaan antibiotik yang sering.

Page 10: Percobaan 6

Antibiotik yang sering digunakan biasanya akan berkurang

efektifitasnya. Karena itu penggunaan yang terlalu sering perlu

dikurangi sedapat mungkin.

2. Penggunaan antibiotik yang irrasional.

Berbagai penelitian menunjukkan bahwa penggunaan antibiotik yang

irrasional, terutama di rumah sakit, merupakan faktor penting yang

memudahlan berkembangnya resistensi bakteri.

3. Penggunaan antibiotik baru yang berlebihan.

4. Penggunaan antibiotik untuk jangka panjang.

Pemberian antibiotik dalam waktu lama memberikan kesempatan

bertumbuhnya bakteri yang lebih resisten (first step mutant).

5. Penggunaan antibiotik untuk ternak.

Beberapa suplemen pakan ternak menggunakan antibiotik. Antibiotik

dosis rendah pada ternak memudahkan tumbuhnya bakteri resisten.

Contoh bakteri yang menjadi resisten dengan cara ini ialah Vancomycin-

resistant enterococci.

Sebab lainnya yang menyebabkan mikroorganisme resistensi terhadap

suatu obat ialah (Zaraswati, 2004):

1. Meningkatkannya destruksi obat

Ini merupakan mekanisme utama resistensi terhadap penicillin, amino

glikosida dan kloramfenikol.

2. Berkurangnya perubahan obat menjadi bentuk aktif

Page 11: Percobaan 6

Flusitosin adalah salah satu obat antifungi harus diubah dalam tubuh

mikroorganisme menjadi fluroasil, yang selanjutnya yang dimetabolisme

menjadi bentuk aktif dari obat tersebut.

II.2 Uraian Bahan

1. Air suling (Dirjen POM, 1979).

Nama Resmi   : Aqua destillata

Nama Lain    : Aquades, Air suling

RM / BM  : H2O/18,02

Pemerian       : Cairan jernih, tidak berwarna, tidak berbau, tidak

berasa.

Penyimpanan : Dalam wadah tertutup rapat.

2. Alkohol (Dirjen POM, 1979).

Nama resmi : Aethanolum

Sinonim : Etanol, alcohol

RM/BM : C2H6O/46,07

Pemerian : Jernih, tidak berbau, bergerak, cairan pelarut,

menghasilkan bau yang khas dan rasa terbakar pada

lidah.

Penyimpanan : Dalam wadah tertutup baik, terlindung dari cahaya,

di tempat sejuk jauh dari nyala api.

3. Amoxicilin (Iso farmakoterapi, 2008).

Page 12: Percobaan 6

Indikasi    : Infeksi saluran kemih, otitsmedia, sinusitis,

bronkitis, kronis, salmonelosis, gonore, profilaksis

endokartis dan terapi tambahan pada meningitis

listeria

Cara kerja obat : Amoxicillin adalah senyawa Penisilin semisintetik

dengan aktivitas antibakteri spektrum luas yang

bersifat bakterisid, efektif terhadap sebagian besar

bakteri gram positip dan beberapa gram negatip

yang patogen.  

Peringatan    : Riwayat alergi, gangguan fungsi ginjal, lesi

eritmetous pada glandular fever, leukimia limfositik

kronik dan AIDS

Kontraindikasi : Hipersensitifitas  terhadap penisilin

Efek samping    : Mual, diare ruam, kadang-kadang terjadi kolitis

karena antibiotik

Dosis    : Oral dewasa 250-500mg tiap 8 jam, infeksi saluran

nafas berat/berulang 3 gram tiap 12 jam, infeksi

salura kemih 3 gram diulang setelah 10-12 jam

4. Asam asetat (Dirjen POM, 1979).

Nama resmi : Acidum aceticum glaciale

Sinonim : Asam asetat glacial

RM/BM               : C2H2O2/60,05

Pemerian       : Cairan jernih, tidak berwarna, bau khas, tajam, jika

diencerkan dengan air, rasa asam

Page 13: Percobaan 6

Kelarutan       : Dapat campur dengan air, dengan etanol (95%) P

dan dengan gliserol P

Penyimpanan       : Dalam wadah tertutup rapat

5. Asam trikolorasetat (Dirjen POM, 1979).

Nama resmi : Acidum trichloroasetat

Sinonim : Asam trikolorasetat

RM/BM : CClCOOH/163,39

Pemerian : Hablur atau massa hablur

Kelarutan : Sangat mudah larut dalam air

Stabilitas : Stabil di udara

Penyimpanan : Dalam wadah tertutup baik.

6. EDTA (Dirjen POM, 1979).

Nama resmi    : Etilen diamina tetra asetat

Nama lain     : EDTA

RM/BM    : C2H8N2/ 98,96

Pemerian  : Cairan jernih tidak berwarna atau agak kuning, bau

seperti amoniak, bereaksi alkali kuat.

Kelarutan  : Dapat bercampur dengan air maupun dengan etanol

Penyimpanan    : Dalam wadah tertutup

7. Methanol (Dirjen POM, 1979).

Nama Resmi : Metanol

Sinonim : Metanol

RM/BM : CH3OH/34,00

Pemerian : Cairan tidak berwarna, gliserin, bau khas

Page 14: Percobaan 6

Kelarutan : Dapat bercampur dengan air, membentuk cairan

jernih tidak berwarna

Penyimpanan : Dalam wadah tertutup

Kegunaan : Sebagai pereaksi

8. Natrium sitrat (Dirjen POM, 1979).

Nama resmi : Natrii Citras

Sinonim : Natrium sitrat

Rumus molekul : C6H5Na3O7.2H2O

Berat molekul : 294,10

Pemerian : Hablur tidak berwarna atau serbuk hablur putih

Kelarutan : Mudah larut dalam air, sangat mudah larut dalam air

mendidih, praktis, tidak larut dalam etanol (95%)

Penyimpanan : Dalam wadah tertutup rapat

II.3 Uraian Hewan Uji

1. Kelinci (Oryctolagus cuniculus)

a. Klasifikasi

Kerajaan : Animalia

Filum : Chordata

Sub filum : Vertebrata

Kelas : Mamalia

Ordo : Lagumorida

Family : Leporidae

Genus : Oryctolagus

Spesies : Oryctolagus cuniculus

Page 15: Percobaan 6

b. Morfologi

Kelinci mempunyai punggung melengkung dan berekor pendek,

kepalanya kecil dan telinganya tegak lurus ke atas akan tetapi bibir

terbelah dan yang bagian atasnya bersambung hingga hidung.

Mempunyai beberapa helai kumis dan pembuluh darah banyak

terdapat pada telinga.

c. Karakteristik

Masa reproduksi : 1-3 tahun

Masa hamil : 28-35 hari

Umur dewasa : 4-10 bulan

Umur kawin : 6-12 bulan

Siklus kelamin : Setahun 5 kali hamil

Periode eksterus : 11-15 hari

Jumlah kelahiran : 4-10

Volume darah : 10 mL/kg berat badan

Masa perkawinan : 1 minggu

Page 16: Percobaan 6

BAB III

METODE KERJA

III.1 Alat, Bahan dan Hewan Coba

III.1.1 Alat yang digunakan

1. Dispo

2. Erlenmeyer

3. Gelas kimia

4. Kotak/kandang individu kelinci

5. Kuvet

6. Lemari asam

7. Pipet mikro

8. Rak tabung

9. Slang plastik

10. Sentrifus

11. Silet

12. Spektrotonik

13. Tabung reaksi

III.1.2 Bahan yang digunakan

1. Alkohol 70%

2. Amoxicilin syrup

3. Aqua destillata

4. Asam asetat

5. Asam triklorasetat

6. EDTA

Page 17: Percobaan 6

7. Kapas

8. Methanol

9. Natrium sitrat

10. Tissue

III.1.3 Hewan coba yang digunakan

1. Kelinci (Oryctolagus cuniculus)

III.2 Cara Kerja

1. Larutan baku dan panjang gelombang

2. Kelinci dipuasakan 8 jam sebelum perlakuan, diambil darahnya

melalui vena marginalis 0,5 ml sebagai blangko. (Marmot/Tikus putih

dibius kemudian diambil darah melalui vena jugularis atau vena

fomaralis)

3. Sirup suspensi amoksisilin sebanyak 30 ml dengan kadar 125 mg/ml

diberikan per oral pada kelincidengan menggunakan slang plastic

(maag slang). Kemudian darah diambil pada mencit ke 30, 60, 120,

240 menit.

4. 0,5 ml darah dicampur dengan 2 ml antikoagulan natrium sitrat 2 %, 5

ml pengendap protein asam triklorasetat, dibiarkan 5 menit, disentrifus

selama 10 menit dengan kecepatan 3000 rpm. Jernihan (supernatant)

diambil 0,5 ml dan diencerkan dengan air suling hingga 10 ml.

encerkan lagi 1 ml dengan larutan dapar secukupnya hingga 50 ml.

larutan blangko dibuat dengan cara yang sama, kemudian diukur

serapan pada panjang gelombang 260-300 nm. (272,5 nm)

Page 18: Percobaan 6

5. Setelah kadar amoksisilin dalam darah dihitung kemudian hitung

besarnya AUC, Ctp, dan tp.

Page 19: Percobaan 6

BAB IV

PEMBAHASAN

IV.1 Hasil Pengamatan

IV.1.1 Tabel Hasil Pengamatan

Data kurva baku

Konsentrasi dalam Ppm Absorban

125

100

75

50

25

0,060

0,051

0,029

0,016

0,011

Diketahui : a = -6,5 x 10-03

b = 5,32 x 10-4

r = 0,980

y = a + bx

y = -6,5 x 10-03+ (5,32 x 10-4)x

Data Percobaan

Gambar 4.1. Hasil pemisahan

plasma darah

Page 20: Percobaan 6

Menit (t)

Absorban (a)

Konsentrasi plasma (p)

Log Konsentrasi Plasma

0

15

30

60

90

120

150

0

0,0023

0,021

0,1690

0,1064

0,0572

0,0123

10,95

16,005

57,18

359,640

244,298

136,404

37,939

1,0394

1,2042

1,7572

2,5558

2,3879

2,1348

1,5790

Regresi eliminasi

Log Cp = y

-y = a1+ b2 X

-y = 3,6517+ (-0,0135) x

t (x) Log Cp (y)

90

120

150

2,3879

2,1348

1,5790

Jadi, y (90) → y = 3,6517 + (-0,0135) 90

= 3,6517 + 1,215

= 4,8667

y (120)→ y = 3,6517 + (-0,0135) 120

= 3,6517 + 1,62

y (150)→ y = 3,6517 + (-0,0135) 150

= 3,6517 + 2,025

= 5,6767

t (x) Cp (antilog Cp) Log Cp

Page 21: Percobaan 6

90

120

150

75569,87

186939,04

475006,98

4,8667

5,2717

5,6767

Regresi

t (x) Log Cp (y)

15

20

60

1,2042

1,7572

2,5558

y = a + bx

y = 0,8049 + (0,0295)x

y15 = 0,08049 + (0,0295)15

= 0,08049 + 0,4425

= 0,5229

y20 = 0,08049 + (0,0295)20

= 0,08049 + 0,885

= 0,9655

y60 = 0,08049 + (0,0295)60

= 0,08049 + 1,77

= 1,85049

t (x) Cp Log Cp (y)

15

30

60

3,33

9,24

70,86

0,5229

0,9655

1,8504

Page 22: Percobaan 6

IV.1.2 Kurva Hasil Pengamatan

Kurva baku

20 40 60 80 100 120 1400

0.01

0.02

0.03

0.04

0.05

0.06

Hubungan antara konsentrasi terhadap absorban

konsentrasi (rpm)

abso

rban

Data Percobaan

0 20 40 60 80 100 120 140 1600

0.020.040.060.080.1

0.120.140.160.18

Hubungan antara absorban terhadap waktu

Absorban

Kons

entr

asi p

lasm

a

Page 23: Percobaan 6

0 20 40 60 80 100 120 140 1600

50100150200250300350400

Hubungan antara konsentrasi plama terhadap waktu

Konsentrasi Plasma

Kons

entr

asi p

lasm

a

IV.2 Perhitungan

Menghitung nilai [AUC] = Cn−1+Cn

2 x (tn – tn-1)

n = 1, nilai [AUC] =0+0,0023

2 x (15-0) = 0,1725

n = 2, nilai [AUC] =0,0023+0,021

2 x (30-15)= 0,17475

n = 3, nilai [AUC] =0,021+0,1590

2 x (60-30) = 2,7

n = 4, nilai [AUC] =0,1590+0,1064

2 x (90-60) = 3,981

n = 5, nilai [AUC] =0,1064+0,0572

2 x (120-90) = 2,454

n = 6, nilai [AUC] =0,0572+0,0123

2 x (150-120) = 1,0425

IV.3 Pembahasan

Dalam percobaan kali ini telah dilakukan uji bioavailabilitas sirup

amoxicillin pada hewan coba kelinci (Oryctolagus cuniculus). Tujuan dari

percobaan ini adalah menentukan bioavaibilitas dari sirup amoxisilin

Page 24: Percobaan 6

dalam darah kelinci. Uji bioavailabilitas ini dilakukan agar kita bisa

mengetahui ukuran kecepatan absorpsi obat dan jumlah obat tersebut yang

diabsorpsi secara utuh oleh tubuh, dan masuk ke dalam sirkulasi sistemik.

Dengan mengetahui jumlah relatif obat yang diabsorpsi dan kecepatan

obat berada dalam sirkulasi sistemik, dapat diperkirakan tercapai tidaknya

efek terapi yang dikehendaki menurut formulasinya. Dengan demikian,

bioavailabilitas dapat digunakan untuk mengetahui faktor formulasi yang

dapat mempengaruhi efektivitas obat.

Langkah pertama yang dilakukan adalah membuat larutan blangko.

Larutan ini dgunakan sebagai pembanding untuk sampel darah setelah

diberi sirup amoksisilin. Cara pembuatan larutan blangko yaitu kelinci

dipuasakan selama 8 jam, hal ini dilakukan untuk mengurangi variasi

biologis. Kemudian itu kelinci dimasukkan kedalam kandang pengamatan

dan dicukur bulu telinga menggunakan silet yang tajam dengan hati-hati

setelah itu diolesi dengan menggunakan alkohol 70%, agar steril serta

untuk mempermudah pengambilan darah melalui vena marginalis.

Kemudian diambil darah dari kelinci melalui vena mrginalis sebanyak 0,5

mL. Setelah itu, darah yang telah diambil, dimasukkan kedalam tabung

reaksi yang sebelumnya telah berisi larutan anti koagulan yaitu EDTA,

dari larutan EDTA 10% diambil 0,2 mL.

Selanjutnya ditambahkan methanol sebanyak 0,02 mL, dalam hal ini

methanol berfungsi sebagai pengendap protein. Dan dibiarkan selama 5

menit. Selanjutnya disentrifuse selama 10 menit dengan kecepatan 3000

rpm. Pada alat sentrifuse, digunakan tabung reaksi yang berjumlah genap,

Page 25: Percobaan 6

yang bertujuan untuk menyeimbangkan alat agar larutan uji yang di

sentrifus tidak tumpah. Dalam hal ini, larutan yang digunakan sebagai

penyeimbang adalah air.

Jernihan (supernatant) yang dihasilkan dari hasil sentrifus diambil

sebanyak 0,5 mL dan diencerkan dengan air suling hingga 10 mL,

kemudian diencerkan lagi 1 mL dengan menggunakan larutan asam asetat

hingga 10 mL. Selanjutnya diukur serapan pada panjang gelombang 260-

300 nm. Hasilnya didapatkan konsentrasi/ kadar darah pada kelinci

sebagai larutan blangko yaitu 1,23 %.

Langkah kedua yaitu sirup suspensi amoksisilin sebanyak 0,5 mL

dengan kadar 25 mg/ mL diberikan peroral pada kelinci dengan

menggunakan selang plastik atau kateter yang dilengkapi mouth block.

Kemudian diambil darah pada menit ke 30, 60, 120, dan 240 menit.

Selanjutnya darah yang telah diambil dibuat dengan cara yang sama

seperti larutan blangko dan didapatkan konsentrasi darah setelah diberikan

sirup suspensi amoksisisilin yaitu 1,24%.

Adapun hasil pembacaan nilai absorbansi pada spektrofotometer

sejak menit ke 0,15,30,60,90,120 dan 150 secara berturut-turut adalah

0,0023;0,021;0,1690;0,1064;0,0572;0,0123. Sedangkan konsentrasi obat

dalam plasma secara berturut-turut adalah 10,95;16,005;57,18;359,640;

244,298;136,404;37,939. Berdasarkan hasil tersebut terlihat bahwa pada

menit-menit awal, terjadi kenaikan nilai absorbansi maupun konsentrasi

obat dalam plasma. Hal inilah yang kita sebut dengan fase distribusi obat.

Fase distibusi terjadi karena tubuh terdiri dari banyak kompartement

Page 26: Percobaan 6

(multikompatrement). Lain halnya dengan hasil yang didapatkan pada

menit-menit akhir, nilai yang dihasilkan semakin menurun. Hal ini

menandakan sedang terjadinya fase eliminasi obat di dalam tubuh.

Berdasarkan hasil perhitungan terlihat bahwa pada menit ke 15

didapatkan nilai AUC sebesar 0,1725. Pada menit ke 30 didapatkan nilai

AUC sebesar 0,17475. Pada menit ke 60 didapatkan nilai AUC sebesar

2,7. Pada menit ke 90 didapatkan nilai AUC sebesar 3,981.Pada menit ke

120 didapatkan nilai AUC sebesar 2,454. Pada menit 150 didapatkan nilai

AUC sebesar 1,0425.

Page 27: Percobaan 6

BAB V

PENUTUP

5.1 Kesimpulan

Berdasarkan percobaan yang telah dilakukan, dapat disimpulkan bahwa :

1. Kadar amoksisilin dalam plasma darah sebelum diberi perlakuan adalah

10,95. Pada menit ke 15 setelah diberi perlakuan sebesar 16,009. Pada

menit ke 30 sebesar 57,18. Pada menit ke 60 sebesar 359,640. Pada menit

ke 90 sebesar 244,298. Pada menit ke 120 sebesar 136,404 dan pada

menit ke 150 sebesar 37,939.

2. Nilai AUC pada menit ke 15 didapatkan sebesar 0,1725. Pada menit ke

30 didapatkan nilai AUC sebesar 0,17475. Pada menit ke 60 didapatkan

nilai AUC sebesar 2,7. Pada menit ke 90 didapatkan nilai AUC sebesar

3,981. Pada menit ke 120 didapatkan nilai AUC sebesar 2,454.

Selanjutnya pada menit 150 didapatkan nilai AUC sebesar 1,0425.

5.2 Saran

Disarankan untuk laboratorium farmakologi dan toksikologi

kedepannya untuk lebih dilengkapi baik dari segi alat maupun bahan agar

tercapainya praktikum yang efisien.

Page 28: Percobaan 6

DAFTAR PUSTAKA

Brander. 1991. Veterinary Applied Pharmacology and Therapeutics, 5nd Ed,

ELBS. Ballere Tindall.

Dirjen Pom. 1979. Farmakope Indonesia Edisi III. Jakarta: Depkes RI.

Dwyana, Zaraswati. 2004. Mikrobiologi Dasar. Makassar: Universitas

Hasanuddin.

Goodman and Gilman. 2001. Dasar-dasar Farmakologi Terapi Edisi X. Jakarta:

EGC.

Ikatan Sarjana Farmasi Indonesia. 2008. Iso Farmakoterapi. Jakarta Barat: PT.

ISFI.

Jawetz, ed al. 2004. Mikrobiologi Kedokteran. Ed. 23. Jakarta: EGC.

Setiabudi, Rianto. 2008. Pengantar Antimikroba. Jakarta: Balai Penerbit FKUI.

Setiabudy. 1995. Antimikroba Golongan Tetrasiklin dan Kloramfenikol dalam

Farmakologi dan Terapi, Edisi IV. Jakarta: Bagian Farmakologi dan Terapi

FKUI.

Tjay, T.H. dan K. Rahardja. 2002. Obat-Obat Penting Khasiat, Penggunaan, dan

Efek-Efek Sampingnya, Edisi Kelima. Jakarta: Penerbit PT. Elex Media

Komputindo Kelompok Gramedia.