percobaan 6
TRANSCRIPT
BAB I
PENDAHULUAN
I.1 Latar Belakang
Dalam beberapa sediaan farmasi yang beredar terdapat beragam
sediaan bentuk obat dan penggolongannya, diantaranya yaitu obat golongan
antibiotik/antimikroba. Antibiotik termasuk jenis obat yang cukup sering
diresepkan dalam pengobatan modern. Antibiotik adalah zat yang
membunuh atau menghambat pertumbuhan bakteri dimana antibiotik itu
sendiri berasal dari bakteri juga terutama fungi.
Setiap antibiotik sangat beragam efektivitasnya dalam melawan
berbagai jenis bakteri. Ada antibiotika yang membidik bakteri gram negatif
atau gram positif saja, dan ada pula yang spektrumnya lebih luas, melawan
ke duanya.
Saat ini telah beredar beragam jenis antibiotik dipasaran dengan
kandungan zat aktifnya yang berbeda-beda. Amoxicillin merupakan salah
satu antibiotik golongan penicilin yang banyak beredar, baik dari sediaan
generik maupun yang telah dipatenkan dalam bentuk tablet maupun yang
telah disuspensikan dengan kadar zat aktif yang terkandung bermacam-
macam.
Bioavailabilitas suatu sediaan obat merupakan ukuran kecepatan
absorpsi obat dan jumlah obat tersebut yang diabsorpsi secara utuh oleh
tubuh, dan masuk ke dalam sirkulasi sistemik. Dengan mengetahui jumlah
relatif obat yang diabsorpsi dan kecepatan obat berada dalam sirkulasi
sistemik, dapat diperkirakan tercapai tidaknya efek terapi yang dikehendaki
menurut formulasinya. Dengan demikian, bioavailabilitas dapat digunakan
untuk mengetahui faktor formulasi yang dapat mempengaruhi efektivitas
obat.
Pada percobaan kali ini telah dilakukan bioavailabilitas amoxicillin
pada hewan coba. Obat yang diberikan dalam bentuk sediaan yang berbeda
dapat memberikan perbedaan dalam jumlah dan kecepatan obat tersebut
mencapai sirkulasi sistemik. Dimana dengan melakukan uji bioavailabilitas
suatu sediaan, kita bisa mengetahui kadar zat obat yang diabsorpsi tubuh
dan masuk kedalam sirkulasi sistemik sesuai kadar yang beredar dipasaran.
I.2 Maksud dan tujuan percobaan
I.2.1 Maksud percobaan
1) Untuk mengetahui kadar amoksisilin dalam darah hewan coba kelinci
(Orytolagus cuniculus)
2) Untuk mengetahui perbandingan nilai transmitan, absorban, konsentrasi
dan faktor pada hewan uji yang belum diberikan obat antibiotik dan
yang telah diberikan obat antibiotik
I.2.2 Tujuan percobaan
1) Untuk menentukan kadar amoksisilin dalam darah hewan uji
2) Untuk menghitung besarnya nilai AUC, Ctp dan tp
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
II.1 Dasar Teori
Istilah antibiotik untuk pertama kali digunakan oleh Waksman (1945)
sebagai nama dari suatu golongan substansi yang berasal dari bahan biologis
yang kerjanya antagonistik terhadap mikroorganisme. Istilah itu berarti
“melawan hidup” dengan kata lain maksud dari antibiotik adalah zat yang
dihasilkan oleh mikroorganisme hidup, yang dapat menghambat
mikroorganisme lain, bahkan dapat memusnahkannya (Irianto, 2006).
Antimikroba adalah salah satu senyawa yang dihasilkan oleh suatu
mikroorganisme dan dalam konsentrasi kecil mampu menghambat bahkan
membunuh proses kehidupan suatu mikroorganisme. Aktivitas antibakteri
diantaranya dipengaruhi oleh faktor potensi dari obat antibakteri dan faktor
yang menyangkut sifat dan bakteri itu sendiri khususnya susunan kimia
dinding sel bakteri tersebut (Setiabudy, 1995).
Banyak antibiotik dewasa ini dibuat secara semi sintetik atau sintetik
penuh. Namun dalam praktek sehari-hari antibiotik sintetik yang tidak
diturunkan dari produk mikroba (Sulfonamid dan Kuinolon) juga
digolongkan sebagai antibiotik (Rianto, 2008).
Obat yang digunakan untuk mikroba penyebab infeksi pada manusia,
ditentukan harus memiliki sifat toksisitas selektif setinggi mungkin. Artinya,
obat tersebut haruslah sangat toksik untuk mikroba, tetapi relatif tidak toksik
untuk hospes. Sifat toksisitas yang absolut belum atau mungkin tidak
diperoleh (Rianto, 2008).
Berdasarkan toksisitas selektif ada antibakteri yang bersifat
bakteriostatik dan bakterisid. Antibakteri tertentu aktivitasnya dapat
meningkat dari bakteriostatik menjadi bakterisid bila kadar antibakterinya
ditingkatkan melebihi KHM (Setiabudy, 1995).
Kadar Hambat Minimal (KHM) atau Minimum Inhibitory
Concentration (MIC) adalah kadar minimal yang digunakan untuk
menghambat pertumbuhan bakteri sedangkan Konsentrasi terendah dari
antibiotik yang membunuh 99,9% inokulum bakteri disebut Kadar Bunuh
Minimal (KBM) atau Minimum Killing Concentration (MCK) (Brander,
1991).
Skema klasifikasi antibiotik yang dianjurkan didasarkan pada struktur
kimia dan mekanisme kerja yang diajukan, sebagai berikut (Goodman,
Gilman, 2001):
1. Senyawa yang menghambat sintesis dinding bakteri meliputi penisilin
dan sepalosforin yang secara struktur mirip, dan senyawa-senyawa yang
secara struktur tidak mirip seperti Vankomisin, Sikloserin, Basitrasin
dan senyawa antifungi golongan azol (Klotrimazol, Flukonazol dan
Itrakonazol).
2. Senyawa yang bekerja langsung pada membran sel mikroorganisme,
mempengaruhi permeabilitas dan menyebabkan kebocoran senyawa-
senyawa intraseluler; dalam hal ini termasuk senyawa yang bersifat
detergen seperti polimiksin dan senyawa antifungi poliena nistatim serta
Amfoterisin B yang berikatan dengan sterol-sterol dinding sel.
3. Senyawa yang mempengaruhi fungsi subunit ribosom 30S dan 50S
sehingga menyebabkan penghambatan sintesis protein yang reversible;
obat bakteriostatik (yakni senyawa yang mengganggu pertumbuhan atau
replikasi mikroorganisme, namun tidak membunuhnya) ini meliputi
Kloramfenikol; golongan tetrasiklin; eritromisin; klindamisin; dan
pristinamisin.
4. Senyawa yang berikatan dengan sub unit ribosom 30S dan mengubah
sintesis protein, yang pada akhirnya akan mengekibatkan kematian sel;
dalam hal ini termasuk aminoglikosid.
5. Senyawa yang mempengaruhi metabolisme asam nukleat bakteri, seperti
golongan rifampisin, yang menghambat Ribonucleic Acid (RNA)
polimerase, dan golongan kuinolon, yang menghambat topoisomerase.
6. Kelompok antimetabolit, termasuk diantaranya trimetoprim dan
sulfonamida, yang memblok enzim yang penting dalam metabolisme
folat
Faktor-faktor yang mempengaruhi aktivitas antimikroba yaitu pH
Lingkungan, komponen-komponen perbenihan, stabilitas obat, besarnya
inokulumbakteri, masa pengeraman, dan aktivitas metabolik
mikroorganisme (Jawetz, 2004).
Klasifikasi Antibiotik
Pembagian antibiotik dapat dibagi berdasarkan luasnya aktivitas
antibiotik, aktivitas dalam membunuh serta berdasarkan mekanisme obat
antibiotik tersebut (Katzung, 1997).
Berdasarkan luasnya aktivitas, antibiotik dibagi menjadi antibiotik
spektrum luas dan spektum sempit. Istilah luas mengandung arti bahwa
antibiotik ini dapat membunuh banyak jenis bakteri sedangkan sebaliknya,
istilah sempit hanya digunakan untuk membunuh bakteri yang spesifik yang
telah diketahui secara pasti. Penggunaan spektrum luas digunakan apabila
identifikasi kuman penyebab susah dilakukan namun kerugiaanya dapat
menghambat pula bakteri flora normal dalam tubuh (Katzung, 1997).
Berdasarkan mekanisme kerja, antibiotik dibagi menjadi 5 jenis, yaitu:
a. Penghambatan sintetis dinding bakteri
b. Penghambat membran sel
c. Penghambatan sintetis protein di ribosom
d. Penghambatan sintetis asam nukleat
e. Penghambatan metabolik (antagonis folat)
Berdasarkan aktivitas dalam membunuh, antibiotik dibagai menjadi
bactericidal dan bacteristatic. Antibiotik yang mempunyai sifat bakterisidal
membunuh bakteri target dan cenderung lebih efektif serta tidak perlu
menggantungkan pada sistem imun manusia. Sangat perlu digunakan pada
pasien dengan penurunan sistem imun. Sedangkan bakteriostatik justru
bekerja menghambat pertumbuhan bakteri dan dapat memanfaatkan sistem
imun host.
Penggolongan antimikroba berdasarkan aktivitasnya (Jawet, 2001):
Sifat Aktivitas Antibiotik
Bakteriostatik Kloramfenikol
Tetrasiklin
Eritromisin
Linkomisin
Klindamisin
Rifampisin
Sulfonamid
Trimetoprim
Spektinomisin
Metenamin mandelat
Asam nalidiksid dan
asam oksolinik
Nitrofurantoin
Bakterisid Penisilin
Sefalosporin
Aminoglikosid
Polimiksin
Vankomisin
Basitrasin
Sikloserin
Tempat Kerja
Dari Masing-Masing Golongan Antibiotik
Resistensi Antibiotik
Istilah resistensi itu menunjukan bahwa suatu mikroorganisme , sudah
tidak peka terhadap suatu suatu zat atau sediaan antimikroba atau antibiotik,
sehingga akan membawa masalah dalam terapi dan bahkan akan
menggagalkan terapi dengan suatu antibiotik terhadap agen penyebab
infeksi. Resistensi adalah ketahanan suatu mikroorganisme terhadap
antimikroba atau antibiotik tertentu (Zaraswati, 2008).
Secara garis besar bakteri dapat menjadi resisten terhadap suatu
antibiotik melalui tiga mekanisme (Rianto, 2008):
1) Obat tidak dapat mencapai tempat kerjanya di dalam sel mikroba. Pada
bakteri gram negatif, molekul antibiotik yang kecil dan polar dapat
menembus dinding luar dan masuk ke dalam sel melalui lubang-lubang
kecil yaitu porin. Bila porin menghilang atau mengalami mutasi maka
masuknya antibiotik ini akan terhambat. Mekanisme lain ialah bakteri
mengurangi mekanisme transport aktif yang berperan dalam masuknya
antibiotik ke dalam sel bakteri. Mekanisme lain ialah mikroba
mengaktifkan pompa efluks untuk membuang keluar zat antimikroba
yang ada dalam sel.
2) Inaktivasi obat, mekanisme ini sering mengakibatkan terjadinya
resistensi terhadap golongan aminoglikosida dan beta laktam karena
mikroba mampu membuat enzim yang merusak antibiotik tersebut.
3) mikroba mengubah tempat ikatan (binding site) antibiotik. Mekanisme
ini terlihat S. Aureus yang resisten terhadap metisilin (MRSA). Bakteri
ini mengubah penicilline binding protein (PBP) sehingga afinitasnya
menurun terhadap metisilin dan antibiotik beta laktam lain.\
Penyebaran resistensi pada mikroba dapat secara vertikal (diturunkan
ke generasi berikutnya) atau yang lebih sering terjadi adalah secara
horizontal dari suatu sel donor. Dilihat dari bagaimana resistensi
dipindahkan maka dapat dibedakan empat cara yaitu : Mutasi, transduksi,
transformasi dan konjugasi (Rianto, 2008).
Mutasi adalah suatu proses yang terjadi secara spontan, acak, dan
tidak tergantung dari ada atau tidaknya paparan antibiotik. Mutasi terjadi
akibat adanya perubahan pada gen mikroba mengubah binding site
antibiotik, protein transport, protein yang mengaktifkan obat, dan lain-lain
(Rianto, 2008).
Transduksi adalah kejadian dimana suatu mikroba menjadi resisten
karena mendapat Dioxy nuclei acid (DNA) dari bakteriofage (virus yang
menyerang bakteri) yang membawa DNA dari bakteri lain yang memiliki
gen resisten terhadap antibiotik tertentu (Rianto, 2008).
Transformasi adalah mekanisme transfer resistensi yang sangat
penting, dan dapat terjadi antara bakteri dengan spesies yang berbeda.
Transfer yang resisten disini terjadi langsung antara dua bakteri suatu
jembatan yang disebut pilus seks. Transfer resistensi dengan cara konjugasi
lazim terjadi antar bakteri Gram negatif. Sifat resistensi tersebut dibawa
oleh plasmid (DNA yang bukan kromosom) (Rianto, 2008).
Faktor yang mempengaruhi perkembangan resistensi di klinik adalah
sebagai berikut (Rianto, 2008):
1. Penggunaan antibiotik yang sering.
Antibiotik yang sering digunakan biasanya akan berkurang
efektifitasnya. Karena itu penggunaan yang terlalu sering perlu
dikurangi sedapat mungkin.
2. Penggunaan antibiotik yang irrasional.
Berbagai penelitian menunjukkan bahwa penggunaan antibiotik yang
irrasional, terutama di rumah sakit, merupakan faktor penting yang
memudahlan berkembangnya resistensi bakteri.
3. Penggunaan antibiotik baru yang berlebihan.
4. Penggunaan antibiotik untuk jangka panjang.
Pemberian antibiotik dalam waktu lama memberikan kesempatan
bertumbuhnya bakteri yang lebih resisten (first step mutant).
5. Penggunaan antibiotik untuk ternak.
Beberapa suplemen pakan ternak menggunakan antibiotik. Antibiotik
dosis rendah pada ternak memudahkan tumbuhnya bakteri resisten.
Contoh bakteri yang menjadi resisten dengan cara ini ialah Vancomycin-
resistant enterococci.
Sebab lainnya yang menyebabkan mikroorganisme resistensi terhadap
suatu obat ialah (Zaraswati, 2004):
1. Meningkatkannya destruksi obat
Ini merupakan mekanisme utama resistensi terhadap penicillin, amino
glikosida dan kloramfenikol.
2. Berkurangnya perubahan obat menjadi bentuk aktif
Flusitosin adalah salah satu obat antifungi harus diubah dalam tubuh
mikroorganisme menjadi fluroasil, yang selanjutnya yang dimetabolisme
menjadi bentuk aktif dari obat tersebut.
II.2 Uraian Bahan
1. Air suling (Dirjen POM, 1979).
Nama Resmi : Aqua destillata
Nama Lain : Aquades, Air suling
RM / BM : H2O/18,02
Pemerian : Cairan jernih, tidak berwarna, tidak berbau, tidak
berasa.
Penyimpanan : Dalam wadah tertutup rapat.
2. Alkohol (Dirjen POM, 1979).
Nama resmi : Aethanolum
Sinonim : Etanol, alcohol
RM/BM : C2H6O/46,07
Pemerian : Jernih, tidak berbau, bergerak, cairan pelarut,
menghasilkan bau yang khas dan rasa terbakar pada
lidah.
Penyimpanan : Dalam wadah tertutup baik, terlindung dari cahaya,
di tempat sejuk jauh dari nyala api.
3. Amoxicilin (Iso farmakoterapi, 2008).
Indikasi : Infeksi saluran kemih, otitsmedia, sinusitis,
bronkitis, kronis, salmonelosis, gonore, profilaksis
endokartis dan terapi tambahan pada meningitis
listeria
Cara kerja obat : Amoxicillin adalah senyawa Penisilin semisintetik
dengan aktivitas antibakteri spektrum luas yang
bersifat bakterisid, efektif terhadap sebagian besar
bakteri gram positip dan beberapa gram negatip
yang patogen.
Peringatan : Riwayat alergi, gangguan fungsi ginjal, lesi
eritmetous pada glandular fever, leukimia limfositik
kronik dan AIDS
Kontraindikasi : Hipersensitifitas terhadap penisilin
Efek samping : Mual, diare ruam, kadang-kadang terjadi kolitis
karena antibiotik
Dosis : Oral dewasa 250-500mg tiap 8 jam, infeksi saluran
nafas berat/berulang 3 gram tiap 12 jam, infeksi
salura kemih 3 gram diulang setelah 10-12 jam
4. Asam asetat (Dirjen POM, 1979).
Nama resmi : Acidum aceticum glaciale
Sinonim : Asam asetat glacial
RM/BM : C2H2O2/60,05
Pemerian : Cairan jernih, tidak berwarna, bau khas, tajam, jika
diencerkan dengan air, rasa asam
Kelarutan : Dapat campur dengan air, dengan etanol (95%) P
dan dengan gliserol P
Penyimpanan : Dalam wadah tertutup rapat
5. Asam trikolorasetat (Dirjen POM, 1979).
Nama resmi : Acidum trichloroasetat
Sinonim : Asam trikolorasetat
RM/BM : CClCOOH/163,39
Pemerian : Hablur atau massa hablur
Kelarutan : Sangat mudah larut dalam air
Stabilitas : Stabil di udara
Penyimpanan : Dalam wadah tertutup baik.
6. EDTA (Dirjen POM, 1979).
Nama resmi : Etilen diamina tetra asetat
Nama lain : EDTA
RM/BM : C2H8N2/ 98,96
Pemerian : Cairan jernih tidak berwarna atau agak kuning, bau
seperti amoniak, bereaksi alkali kuat.
Kelarutan : Dapat bercampur dengan air maupun dengan etanol
Penyimpanan : Dalam wadah tertutup
7. Methanol (Dirjen POM, 1979).
Nama Resmi : Metanol
Sinonim : Metanol
RM/BM : CH3OH/34,00
Pemerian : Cairan tidak berwarna, gliserin, bau khas
Kelarutan : Dapat bercampur dengan air, membentuk cairan
jernih tidak berwarna
Penyimpanan : Dalam wadah tertutup
Kegunaan : Sebagai pereaksi
8. Natrium sitrat (Dirjen POM, 1979).
Nama resmi : Natrii Citras
Sinonim : Natrium sitrat
Rumus molekul : C6H5Na3O7.2H2O
Berat molekul : 294,10
Pemerian : Hablur tidak berwarna atau serbuk hablur putih
Kelarutan : Mudah larut dalam air, sangat mudah larut dalam air
mendidih, praktis, tidak larut dalam etanol (95%)
Penyimpanan : Dalam wadah tertutup rapat
II.3 Uraian Hewan Uji
1. Kelinci (Oryctolagus cuniculus)
a. Klasifikasi
Kerajaan : Animalia
Filum : Chordata
Sub filum : Vertebrata
Kelas : Mamalia
Ordo : Lagumorida
Family : Leporidae
Genus : Oryctolagus
Spesies : Oryctolagus cuniculus
b. Morfologi
Kelinci mempunyai punggung melengkung dan berekor pendek,
kepalanya kecil dan telinganya tegak lurus ke atas akan tetapi bibir
terbelah dan yang bagian atasnya bersambung hingga hidung.
Mempunyai beberapa helai kumis dan pembuluh darah banyak
terdapat pada telinga.
c. Karakteristik
Masa reproduksi : 1-3 tahun
Masa hamil : 28-35 hari
Umur dewasa : 4-10 bulan
Umur kawin : 6-12 bulan
Siklus kelamin : Setahun 5 kali hamil
Periode eksterus : 11-15 hari
Jumlah kelahiran : 4-10
Volume darah : 10 mL/kg berat badan
Masa perkawinan : 1 minggu
BAB III
METODE KERJA
III.1 Alat, Bahan dan Hewan Coba
III.1.1 Alat yang digunakan
1. Dispo
2. Erlenmeyer
3. Gelas kimia
4. Kotak/kandang individu kelinci
5. Kuvet
6. Lemari asam
7. Pipet mikro
8. Rak tabung
9. Slang plastik
10. Sentrifus
11. Silet
12. Spektrotonik
13. Tabung reaksi
III.1.2 Bahan yang digunakan
1. Alkohol 70%
2. Amoxicilin syrup
3. Aqua destillata
4. Asam asetat
5. Asam triklorasetat
6. EDTA
7. Kapas
8. Methanol
9. Natrium sitrat
10. Tissue
III.1.3 Hewan coba yang digunakan
1. Kelinci (Oryctolagus cuniculus)
III.2 Cara Kerja
1. Larutan baku dan panjang gelombang
2. Kelinci dipuasakan 8 jam sebelum perlakuan, diambil darahnya
melalui vena marginalis 0,5 ml sebagai blangko. (Marmot/Tikus putih
dibius kemudian diambil darah melalui vena jugularis atau vena
fomaralis)
3. Sirup suspensi amoksisilin sebanyak 30 ml dengan kadar 125 mg/ml
diberikan per oral pada kelincidengan menggunakan slang plastic
(maag slang). Kemudian darah diambil pada mencit ke 30, 60, 120,
240 menit.
4. 0,5 ml darah dicampur dengan 2 ml antikoagulan natrium sitrat 2 %, 5
ml pengendap protein asam triklorasetat, dibiarkan 5 menit, disentrifus
selama 10 menit dengan kecepatan 3000 rpm. Jernihan (supernatant)
diambil 0,5 ml dan diencerkan dengan air suling hingga 10 ml.
encerkan lagi 1 ml dengan larutan dapar secukupnya hingga 50 ml.
larutan blangko dibuat dengan cara yang sama, kemudian diukur
serapan pada panjang gelombang 260-300 nm. (272,5 nm)
5. Setelah kadar amoksisilin dalam darah dihitung kemudian hitung
besarnya AUC, Ctp, dan tp.
BAB IV
PEMBAHASAN
IV.1 Hasil Pengamatan
IV.1.1 Tabel Hasil Pengamatan
Data kurva baku
Konsentrasi dalam Ppm Absorban
125
100
75
50
25
0,060
0,051
0,029
0,016
0,011
Diketahui : a = -6,5 x 10-03
b = 5,32 x 10-4
r = 0,980
y = a + bx
y = -6,5 x 10-03+ (5,32 x 10-4)x
Data Percobaan
Gambar 4.1. Hasil pemisahan
plasma darah
Menit (t)
Absorban (a)
Konsentrasi plasma (p)
Log Konsentrasi Plasma
0
15
30
60
90
120
150
0
0,0023
0,021
0,1690
0,1064
0,0572
0,0123
10,95
16,005
57,18
359,640
244,298
136,404
37,939
1,0394
1,2042
1,7572
2,5558
2,3879
2,1348
1,5790
Regresi eliminasi
Log Cp = y
-y = a1+ b2 X
-y = 3,6517+ (-0,0135) x
t (x) Log Cp (y)
90
120
150
2,3879
2,1348
1,5790
Jadi, y (90) → y = 3,6517 + (-0,0135) 90
= 3,6517 + 1,215
= 4,8667
y (120)→ y = 3,6517 + (-0,0135) 120
= 3,6517 + 1,62
y (150)→ y = 3,6517 + (-0,0135) 150
= 3,6517 + 2,025
= 5,6767
t (x) Cp (antilog Cp) Log Cp
90
120
150
75569,87
186939,04
475006,98
4,8667
5,2717
5,6767
Regresi
t (x) Log Cp (y)
15
20
60
1,2042
1,7572
2,5558
y = a + bx
y = 0,8049 + (0,0295)x
y15 = 0,08049 + (0,0295)15
= 0,08049 + 0,4425
= 0,5229
y20 = 0,08049 + (0,0295)20
= 0,08049 + 0,885
= 0,9655
y60 = 0,08049 + (0,0295)60
= 0,08049 + 1,77
= 1,85049
t (x) Cp Log Cp (y)
15
30
60
3,33
9,24
70,86
0,5229
0,9655
1,8504
IV.1.2 Kurva Hasil Pengamatan
Kurva baku
20 40 60 80 100 120 1400
0.01
0.02
0.03
0.04
0.05
0.06
Hubungan antara konsentrasi terhadap absorban
konsentrasi (rpm)
abso
rban
Data Percobaan
0 20 40 60 80 100 120 140 1600
0.020.040.060.080.1
0.120.140.160.18
Hubungan antara absorban terhadap waktu
Absorban
Kons
entr
asi p
lasm
a
0 20 40 60 80 100 120 140 1600
50100150200250300350400
Hubungan antara konsentrasi plama terhadap waktu
Konsentrasi Plasma
Kons
entr
asi p
lasm
a
IV.2 Perhitungan
Menghitung nilai [AUC] = Cn−1+Cn
2 x (tn – tn-1)
n = 1, nilai [AUC] =0+0,0023
2 x (15-0) = 0,1725
n = 2, nilai [AUC] =0,0023+0,021
2 x (30-15)= 0,17475
n = 3, nilai [AUC] =0,021+0,1590
2 x (60-30) = 2,7
n = 4, nilai [AUC] =0,1590+0,1064
2 x (90-60) = 3,981
n = 5, nilai [AUC] =0,1064+0,0572
2 x (120-90) = 2,454
n = 6, nilai [AUC] =0,0572+0,0123
2 x (150-120) = 1,0425
IV.3 Pembahasan
Dalam percobaan kali ini telah dilakukan uji bioavailabilitas sirup
amoxicillin pada hewan coba kelinci (Oryctolagus cuniculus). Tujuan dari
percobaan ini adalah menentukan bioavaibilitas dari sirup amoxisilin
dalam darah kelinci. Uji bioavailabilitas ini dilakukan agar kita bisa
mengetahui ukuran kecepatan absorpsi obat dan jumlah obat tersebut yang
diabsorpsi secara utuh oleh tubuh, dan masuk ke dalam sirkulasi sistemik.
Dengan mengetahui jumlah relatif obat yang diabsorpsi dan kecepatan
obat berada dalam sirkulasi sistemik, dapat diperkirakan tercapai tidaknya
efek terapi yang dikehendaki menurut formulasinya. Dengan demikian,
bioavailabilitas dapat digunakan untuk mengetahui faktor formulasi yang
dapat mempengaruhi efektivitas obat.
Langkah pertama yang dilakukan adalah membuat larutan blangko.
Larutan ini dgunakan sebagai pembanding untuk sampel darah setelah
diberi sirup amoksisilin. Cara pembuatan larutan blangko yaitu kelinci
dipuasakan selama 8 jam, hal ini dilakukan untuk mengurangi variasi
biologis. Kemudian itu kelinci dimasukkan kedalam kandang pengamatan
dan dicukur bulu telinga menggunakan silet yang tajam dengan hati-hati
setelah itu diolesi dengan menggunakan alkohol 70%, agar steril serta
untuk mempermudah pengambilan darah melalui vena marginalis.
Kemudian diambil darah dari kelinci melalui vena mrginalis sebanyak 0,5
mL. Setelah itu, darah yang telah diambil, dimasukkan kedalam tabung
reaksi yang sebelumnya telah berisi larutan anti koagulan yaitu EDTA,
dari larutan EDTA 10% diambil 0,2 mL.
Selanjutnya ditambahkan methanol sebanyak 0,02 mL, dalam hal ini
methanol berfungsi sebagai pengendap protein. Dan dibiarkan selama 5
menit. Selanjutnya disentrifuse selama 10 menit dengan kecepatan 3000
rpm. Pada alat sentrifuse, digunakan tabung reaksi yang berjumlah genap,
yang bertujuan untuk menyeimbangkan alat agar larutan uji yang di
sentrifus tidak tumpah. Dalam hal ini, larutan yang digunakan sebagai
penyeimbang adalah air.
Jernihan (supernatant) yang dihasilkan dari hasil sentrifus diambil
sebanyak 0,5 mL dan diencerkan dengan air suling hingga 10 mL,
kemudian diencerkan lagi 1 mL dengan menggunakan larutan asam asetat
hingga 10 mL. Selanjutnya diukur serapan pada panjang gelombang 260-
300 nm. Hasilnya didapatkan konsentrasi/ kadar darah pada kelinci
sebagai larutan blangko yaitu 1,23 %.
Langkah kedua yaitu sirup suspensi amoksisilin sebanyak 0,5 mL
dengan kadar 25 mg/ mL diberikan peroral pada kelinci dengan
menggunakan selang plastik atau kateter yang dilengkapi mouth block.
Kemudian diambil darah pada menit ke 30, 60, 120, dan 240 menit.
Selanjutnya darah yang telah diambil dibuat dengan cara yang sama
seperti larutan blangko dan didapatkan konsentrasi darah setelah diberikan
sirup suspensi amoksisisilin yaitu 1,24%.
Adapun hasil pembacaan nilai absorbansi pada spektrofotometer
sejak menit ke 0,15,30,60,90,120 dan 150 secara berturut-turut adalah
0,0023;0,021;0,1690;0,1064;0,0572;0,0123. Sedangkan konsentrasi obat
dalam plasma secara berturut-turut adalah 10,95;16,005;57,18;359,640;
244,298;136,404;37,939. Berdasarkan hasil tersebut terlihat bahwa pada
menit-menit awal, terjadi kenaikan nilai absorbansi maupun konsentrasi
obat dalam plasma. Hal inilah yang kita sebut dengan fase distribusi obat.
Fase distibusi terjadi karena tubuh terdiri dari banyak kompartement
(multikompatrement). Lain halnya dengan hasil yang didapatkan pada
menit-menit akhir, nilai yang dihasilkan semakin menurun. Hal ini
menandakan sedang terjadinya fase eliminasi obat di dalam tubuh.
Berdasarkan hasil perhitungan terlihat bahwa pada menit ke 15
didapatkan nilai AUC sebesar 0,1725. Pada menit ke 30 didapatkan nilai
AUC sebesar 0,17475. Pada menit ke 60 didapatkan nilai AUC sebesar
2,7. Pada menit ke 90 didapatkan nilai AUC sebesar 3,981.Pada menit ke
120 didapatkan nilai AUC sebesar 2,454. Pada menit 150 didapatkan nilai
AUC sebesar 1,0425.
BAB V
PENUTUP
5.1 Kesimpulan
Berdasarkan percobaan yang telah dilakukan, dapat disimpulkan bahwa :
1. Kadar amoksisilin dalam plasma darah sebelum diberi perlakuan adalah
10,95. Pada menit ke 15 setelah diberi perlakuan sebesar 16,009. Pada
menit ke 30 sebesar 57,18. Pada menit ke 60 sebesar 359,640. Pada menit
ke 90 sebesar 244,298. Pada menit ke 120 sebesar 136,404 dan pada
menit ke 150 sebesar 37,939.
2. Nilai AUC pada menit ke 15 didapatkan sebesar 0,1725. Pada menit ke
30 didapatkan nilai AUC sebesar 0,17475. Pada menit ke 60 didapatkan
nilai AUC sebesar 2,7. Pada menit ke 90 didapatkan nilai AUC sebesar
3,981. Pada menit ke 120 didapatkan nilai AUC sebesar 2,454.
Selanjutnya pada menit 150 didapatkan nilai AUC sebesar 1,0425.
5.2 Saran
Disarankan untuk laboratorium farmakologi dan toksikologi
kedepannya untuk lebih dilengkapi baik dari segi alat maupun bahan agar
tercapainya praktikum yang efisien.
DAFTAR PUSTAKA
Brander. 1991. Veterinary Applied Pharmacology and Therapeutics, 5nd Ed,
ELBS. Ballere Tindall.
Dirjen Pom. 1979. Farmakope Indonesia Edisi III. Jakarta: Depkes RI.
Dwyana, Zaraswati. 2004. Mikrobiologi Dasar. Makassar: Universitas
Hasanuddin.
Goodman and Gilman. 2001. Dasar-dasar Farmakologi Terapi Edisi X. Jakarta:
EGC.
Ikatan Sarjana Farmasi Indonesia. 2008. Iso Farmakoterapi. Jakarta Barat: PT.
ISFI.
Jawetz, ed al. 2004. Mikrobiologi Kedokteran. Ed. 23. Jakarta: EGC.
Setiabudi, Rianto. 2008. Pengantar Antimikroba. Jakarta: Balai Penerbit FKUI.
Setiabudy. 1995. Antimikroba Golongan Tetrasiklin dan Kloramfenikol dalam
Farmakologi dan Terapi, Edisi IV. Jakarta: Bagian Farmakologi dan Terapi
FKUI.
Tjay, T.H. dan K. Rahardja. 2002. Obat-Obat Penting Khasiat, Penggunaan, dan
Efek-Efek Sampingnya, Edisi Kelima. Jakarta: Penerbit PT. Elex Media
Komputindo Kelompok Gramedia.