perbedaan nilai arus puncak ekspirasi antara polisi

51
PERBEDAAN NILAI ARUS PUNCAK EKSPIRASI ANTARA POLISI SATLANTAS DENGAN POLISI BAGIAN ADMINISTRASI SKRIPSI Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Kedokteran PARAMITA DYAH LASMANA G0006211 FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA 2010

Upload: lephuc

Post on 15-Jan-2017

233 views

Category:

Documents


4 download

TRANSCRIPT

Page 1: PERBEDAAN NILAI ARUS PUNCAK EKSPIRASI ANTARA POLISI

PERBEDAAN NILAI ARUS PUNCAK EKSPIRASI ANTARA POLISI

SATLANTAS DENGAN POLISI BAGIAN ADMINISTRASI

SKRIPSI

Untuk Memenuhi Persyaratan

Memperoleh Gelar Sarjana Kedokteran

PARAMITA DYAH LASMANA

G0006211

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA

2010

Page 2: PERBEDAAN NILAI ARUS PUNCAK EKSPIRASI ANTARA POLISI

ii

PENGESAHAN SKRIPSI

Skripsi dengan judul: Perbedaan Nilai Arus Puncak Ekspirasi antara Polisi SATLANTAS dengan Polisi Bagian Administrasi

Paramita Dyah Lasmana,G0006211, Tahun 2010

Telah diuji dan sudah disahkan di hadapan Dewan Penguji Skripsi

Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret Surakarta

Pada Hari Sabtu, Tanggal 27 Maret 2010

Pembimbing Utama

Yusup Subagio Sutanto, dr,, Sp. P NIP. 195703151983121002 (.................................) Pembimbing Pendamping

Made Setiamika, dr.,Sp. THT-KL(K) NIP. 195507271983121002 (.................................)

Penguji Utama

Reviono, dr., Sp. P NIP. 196510302003121001

(.................................)

Anggota Penguji

Rahman, dr. NIP. 194704171973101001 (.................................)

Surakarta, ..........................

Ketua Tim Skripsi

Sri Wahjono, dr., M.Kes NIP. 19540824 197310 1001

Dekan FK UNS

Prof. Dr. A.A. Subijanto, dr., MS NIP. 19481107 197310 1003

Page 3: PERBEDAAN NILAI ARUS PUNCAK EKSPIRASI ANTARA POLISI

iii

PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi ini tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu Perguruan Tinggi dan sepanjang pengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang ditulis atau diterbitkan oleh orang lain kecuali yang secara tertulis diacu dalam naskah dan disebutkan dalam daftar pustaka.

Surakarta, 07 Mei 2010

Paramita Dyah Lasmana NIM.G0006211

Page 4: PERBEDAAN NILAI ARUS PUNCAK EKSPIRASI ANTARA POLISI

iv

ABSTRAK

Paramita Dyah Lasmana , G0006211, 2010, Perbedaan Nilai Arus Puncak Ekspirasi antara Polisi SATLANTAS dengan Polisi bagian Administrasi, Fakultas Kedokteran, Universitas Sebelas Maret, Surakarta. Tujuan : Paparan partikel debu maupun polutan yang tersebar di udara bebas akan mempengaruhi sistem pernafasan manusia. Pengaruh paparan tersebut dapat dipengaruhi oleh tempat lingkungan manusia itu bekerja. Penelitian ini bertujuan membuktikan adanya perbedaan nilai arus puncak ekspirasi (APE) pada polisi SATLANTAS dengan polisi yang bekerja di bagian administrasi. Selain itu juga untuk mengetahui hubungan antara prevalensi obstruksi saluran nafas dengan polisi SATLANTAS. Metode : Jenis penelitian adalah observasional analitik dengan menggunakan pendekatan cross sectional. Penelitian ini menggunakan 100 sampel yaitu 50 orang polisi SATLANTAS dan 50 orang polisi bagian administrasi. Masing-masing kelompok diukur nilai APE-nya dengan alat Mini Wright Peak Flowmeter dan dikur juga nilai APE prediksi. Data tersebut kemudian dianalisis dengan uji t tidak berpasangan, chi-kuadrat, dan odds ratio. Hasil : Berdasarkan hasil analisis dengan uji t tidak berpasangan menunjukkan adanya perbedaan nilai APE antara polisi SATLANTAS dengan polisi bagian administrasi. Hasil uji chi-kuadrat menunjukan adanya hubungan antara prevalensi obstruksi saluran nafas dengan polisi SATLANTAS. Polisi yang bekerja di SATLANTAS mempunyai resiko untuk mengalami obstruksi saluran nafas 4 kali lebih besar daripada polisi bagian administrasi. Simpulan : Terdapat perbedaan nilai APE antara polisi SATLANTAS dengan polisi bagian administrasi. Rata – rata persentase polisi SATLANTAS adalah 86,66% sedangkan persentase polisi bagian administrasi adalah 94,67%. Selain itu terdapat hubungan antara prevalensi obstruksi saluran nafas dengan polisi SATLANTAS yaitu sebesar 4 kali lebih besar daripada polisi bagian administrasi. Kata kunci : nilai APE – Polisi SATLANTAS – Polisi Administrasi

Page 5: PERBEDAAN NILAI ARUS PUNCAK EKSPIRASI ANTARA POLISI

v

ABSTRACT

Paramita Dyah Lasmana , G0006211, 2010, The Difference of Peak Expiratory Flow between Traffic Police and Administration, Faculty of Medical, Sebelas Maret University, Surakarta. Objective : Exposure of dust and pollutant influence the health of human respiration system. It also depends on the place of the work. The purpose of this research is to give evidence of the difference of peak expiratory flow (PEF) between traffic police and administration police. This study aimed to investigate the relationship between the prevalence of respiratory tractus obstruction and traffic police. Methods : This research was an observational analytic study with cross sectional approach. There were 100 subject, divided into two groups, 50 polices of traffic and 50 polices of the administration. Peak Expiratory Flow of each police was measured with Mini Wright Peak Flow-meter and compared the result of final PEF between PEF in traffic police and administration police. The data is analyzed by t test independent, chi-square and also odds ratio. Results : Peak Expiratory Level of each groups were compared by counting T-test using Statistic Product and Service Solution (SPSS) 16.00 for windows. The result of analysis showed the differences of peak expiratory flow significantly (p<0,05) between group of traffic police and administration police. The relationship between the prevalence of respiratory tractus obstruction and traffic police was significant. The traffic police had 4 times more risk than administration police. Conclusion : exposures of the dust and pollution give effect in form of decreasing peak expiratory flow. The peak expiratory flow in group of traffic police is 94,67% and in group of administration police is 86,66%. In addition there is a relationship between the prevalence of respiratory tractus obstruction and traffic police,that is the traffic police had 4 times more risk than administration police. Keywords : Peak Expiratory Flow (PEF)–Traffic Polices–Administration Polices

Page 6: PERBEDAAN NILAI ARUS PUNCAK EKSPIRASI ANTARA POLISI

vi

PRAKATA

Alhamdulillah, puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya kepada penulis sehingga dapat menyelesaikan penyusunan laporan skripsi dengan judul “Perbedaan Nilai Arus Puncak Ekspirasi antara Polisi SATLANTAS dengan Polisi Bagian Administrasi”.

Penyusunan skripsi ini dimaksudkan untuk memenuhi salah satu persyaratan dalam memperoleh gelar sarjana kedokteran. Dalam penyusunan skipsi ini penulis telah mendapatkan banyak bimbingan dan bantuan dari berbagai pihak, maka pada kesempatan ini penulis menyampaikan terima kasih kepada : 1. Allah SWT yang telah memberikan semua nikmat, petunjuk, kesehatan,

kesabaran dankekuatan dalam penyusunan skripsi ini; 2. Yth. Prof. Dr. A. A. Subijanto ,dr., MS, selaku Dekan Fakultas Kedokteran

Universitas Sebelas Maret yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk menyusun skripsi ini;

3. Yth. Sri Wahjono ,dr., MKes, selaku Ketua Tim Skripsi yang telah memberikan kesempatan dalam penyusunan skripsi ini;

4. Yth. Yusup Subagio Sutanto ,dr., Sp.P dan Made Setiamika ,dr., Sp.THT-KL(K) selaku pembimbing yang telah banyak membimbing dalam penyusunan skripsi ini sampai selesai;

5. Yth. Reviono, dr., Sp. P dan Rahman , dr, selaku penguji yang telah menguji dan memberi masukan dalam penulisan skripsi ini;

6. Yth. AKBP. Suharyono , Sik, SH., selaku KAPOLRES Sukoharjo dan AKP. Sisraniwati , SH., selaku KASATLANTAS Sukoharjo yang telah memberikan izin dan bantuannya proses penelitian ini;

7. Ayahanda dan Ibunda tercinta yang telah mengulurkan kasih sayang, mewariskan ketegaran dan kesabaran serta menerbitkan harapan di sanubari dalam meraih asa;

8. Semua sahabatku yang selalu dalam kebersamaan, berbalut ikhlas terpaut dalam senyum dan lara;

9. Seluruh pihak yang telah membantu selesainya penyusunan skripsi ini yang tidak dapat disebutkan satu per satu.

Penulis menyadari dalam penyusunan skripsi ini masih banyak kekurangannya, karena keterbatasan kemampuan penulis. Untuk itu penulis sangat mengharapkan kritik dan saran dari semua pihak yang bersifat membangun demi penyempurnaan penyusunan skripsi ini.

Surakarta, 07 Mei 2010 Paramita Dyah Lasmana

Page 7: PERBEDAAN NILAI ARUS PUNCAK EKSPIRASI ANTARA POLISI

vii

DAFTAR ISI

Halaman PRAKATA .................................................................................................... vi DAFTAR ISI ................................................................................................ vii DAFTAR TABEL ........................................................................................ viii DAFTAR LAMPIRAN .................................................................................. ix BAB I PENDAHULUAN ...................................................................... 1

A. Latar Belakang Masalah ......................................................... 1 B. Rumusan Masalah .................................................................. 2 C. Tujuan Penelitian .................................................................. 3 D. Manfaat Penelitian ............................................................... 3

BAB II LANDASAN TEORI ................................................................. 5 A. Tinjauan Pustaka .................................................................. 5

1. Sistem Pertahanan Paru ..................................................... 5 2. Patofisiologi debu di paru .................................................. 8 3. Pemeriksaan Faal paru ....................................................... 14

B. Kerangka Pemikiran ............................................................. 20 C. Hipotesis ............................................................................... 21

BAB III METODOLOGI PENELITIAN . ............................................... 22 A. Jenis Penelitian....................................................................... 22 B. Lokasi Penelitian .................................................................... 22 C. Subjek Penelitian . ................................................................. 22 D. Teknik Pengambilan Sampel ................................................ 23 E. Sampel Penelitian . ................................................................ 23 F. Alur Penelitian........................ . ............................................. 25 G. Identifikasi Variabel Penelitian . ........................................... 25 H. Definisi Operasional........... ................................................... 26 I. Instrumentasi Penelitian ......................................................... 28 J. Cara Kerja Penelitian ............................................................. 28 K. Teknik Analisis Data.............................................................. 29

BAB IV HASIL PENELITIAN . .............................................................. 30 A. Hasil Penelitian ..................................................................... 30 B. Analisis Data ......................................................................... 34

BAB V PEMBAHASAN . ........................................................................ 35 BAB VI SIMPULAN DAN SARAN . ...................................................... 39

A. Simpulan . .............................................................................. 39 B. Saran . ..................................................................................... 39

DAFTAR PUSTAKA . .................................................................................. 41 LAMPIRAN

Page 8: PERBEDAAN NILAI ARUS PUNCAK EKSPIRASI ANTARA POLISI

viii

DAFTAR TABEL

Tabel 4.1. Distribusi Sampel Berdasarkan Umur…......……………......... 27 Tabel 4.2. Distribusi Sampel Berdasarkan Tinggi Badan........................... 28 Tabel 4.3. Distribusi Sampel Berdasarkan Lama Kerja………………..… 28 Tabel 4.4 Rata - rata Presentasi APE Polisi SATLANTAS dan Polisi bagian Administrasi di Polres Sukoharjo……………...…....... 29 Tabel 4.5. Distribusi Sampel Berdasarkan Prevalensi Obstruksi dan

non-obstruksi pada Polisi SATLANTAS dan Polisi bagian Administrasi.............................................................................. 30

Page 9: PERBEDAAN NILAI ARUS PUNCAK EKSPIRASI ANTARA POLISI

ix

DAFTAR LAMPIRAN Lampiran 1. Surat Ijin Penelitian Lampiran 2. Surat Permohonan Kesediaan Menjadi Responden Lampiran 3. Surat Persetujuan Kesediaan Menjadi Responden Lampiran 4. Kuesioner Penelitian Lampiran 5. Jadwal Kegiatan Skripsi Lampiran 6. Tabel Fungsi Paru Lampiran 7. Data Polisi Bagian Administrasi Lampiran 8. Data Polisi SATLANTAS Lampiran 9. Hasil Analisis Data dengan Statistical Product and Service Solution

(SPSS) 16.00 for windows

Page 10: PERBEDAAN NILAI ARUS PUNCAK EKSPIRASI ANTARA POLISI

x

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

World Health Organization (WHO) menyatakan bahwa penyakit

yang menjadi pembunuh utama di kawasan negara berkembang sudah

bergeser dari penyakit menular ke penyakit tidak menular. Salah satu

penyakit tidak menular utama adalah penyakit paru, yaitu yang tergolong

dalam chronic respiratory diseases (CRD) atau penyakit paru kronik dan

kanker paru (Aditama, 2006).

Penyakit paru sangat erat kaitannya dengan paparan udara luar,

(debu). Partikel-partikel debu yang mengendap pada mucociliary akan

menstimulasi suatu aliran mukus. Bila produksi mukus berlebihan dan

tidak dikeluarkan akan terjadi akumulasi mukus pada saluran napas

sehingga dapat meningkatkan resistensi aliran udara (obstruksi). Secara

kuantitatif perubahan resistensi saluran pernapasan dapat diketahui dengan

spirometer (bila spirometer tidak tersedia dapat digunakan peak flow meter)

(Maranatha, 2004). Salah satu cara praktis untuk menilai faal paru adalah

dengan menggunakan ‘Peak Flow Meter’ (PFM) yaitu untuk mengukur

arus puncak ekspirasi (APE) yang dapat memberikan peringatan dini

adanya penurunan fungsi paru (Siregar, 2008).

Page 11: PERBEDAAN NILAI ARUS PUNCAK EKSPIRASI ANTARA POLISI

xi

Partikel debu yang tercemar adalah polutan. Jenis polutan utama

pada polusi udara luar yaitu karbon monoksida (CO2), sulfur dioksida

(SO2), nitrogen oksida (NO2), volatile organic compounds (VOC) seperti

hidrokarbon, particulate matter (PM) dan ozon (Pohan et al., 2003) .

Polusi udara sendiri dapat terjadi di dalam dan di luar ruangan

(indoor dan outdoor) yang paling banyak didapatkan akibat lingkungan

yang terdapat di tempat pekerjaan (Melintira, dkk, 2003). Kepolisian

merupakan salah satu contoh lingkungan kerja yang terpapar polusi udara

baik indoor yaitu polisi bagian administrasi maupun outdoor yaitu polisi

SATLANTAS. Keadaan paru bagi kalangan tenaga kerja kepolisian

tentunya sering terpajan faktor fisis, kimia, toksik, dan sebagainya yang

dapat menimbulkan penyakit paru akibat kerja. Respon biologis dengan

manifestasi morbiditas dan mortalitas terhadap paparan polutan udara

dipengaruhi oleh besarnya polusi yang masuk ke paru, jenis bahan

pencemar, perubahan fisiologis di paru dan daya tahan fisiologis tubuh.

Berdasarkan latar belakang inilah peneliti ingin membuktikan

adanya perbedaan nilai Arus Puncak Ekspirasi pada polisi SATLANTAS

dengan polisi bagian administrasi di Polres Kabupaten Sukoharjo.

B. Rumusan Masalah

Apakah ada perbedaan nilai Arus Puncak Ekspirasi pada polisi

SATLANTAS dengan polisi bagian administrasi?

Page 12: PERBEDAAN NILAI ARUS PUNCAK EKSPIRASI ANTARA POLISI

xii

C. Tujuan Penelitian

1. Tujuan Umum

Penelitian ini bertujuan untuk membuktikan adanya perbedaan nilai

Arus Puncak Ekspirasi pada polisi SATLANTAS dengan polisi bagian

administrasi.

2. Tujuan khusus

a. Mengetahui nilai Arus Puncak Ekspirasi pada polisi SATLANTAS

dengan polisi bagian administrasi.

b. Membandingkan nilai Arus Puncak Ekspirasi pada polisi

SATLANTAS dengan polisi bagian administrasi.

c. Mengetahui hubungan antara prevalensi obstruksi saluran nafas

dengan polisi SATLANTAS.

D. Manfaat Penelitian

1. Manfaat teoritis

a. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi ilmiah yaitu

membuktikan adanya perbedaan nilai Arus Puncak Ekspirasi pada

polisi SATLANTAS dengan polisi yang bekerja di bagian

administrasi.

b. Meningkatkan pengetahuan dan kemampuan peneliti dalam bidang

penelitian.

Page 13: PERBEDAAN NILAI ARUS PUNCAK EKSPIRASI ANTARA POLISI

xiii

2. Manfaat praktis

a. Sebagai bahan pertimbangan dalam usaha promotif dan preventif

terhadap timbulnya gangguan saluran pernapasan pada tenaga kerja

kepolisian.

b. Memotivasi para polisi untuk memperhatikan efek debu terhadap

fungsi paru, sehingga mereka lebih berhati-hati dan intensif dalam

menggunakan alat pelindung diri.

c. Sebagai bahan pertimbangan bagi kepolisian Republik Indonesia untuk

meningkatkan program pemeliharaan kesehatan tenaga polisi-polisi

Republik Indonesia di lingkungan kerjanya agar kinerjanya maksimal.

Page 14: PERBEDAAN NILAI ARUS PUNCAK EKSPIRASI ANTARA POLISI

xiv

BAB II

LANDASAN TEORI

E. Tinjauan Pustaka

1. Sistem Pertahanan Paru

Faal paru adalah penting untuk proses respirasi atau pernapasan

(Widiyanti et al.,2004). Tujuan pernapasan adalah untuk menyediakan

oksigen bagi jaringan dan membuang karbon dioksida (Guyton dan

Hall, 2008). Proses respirasi dibagi atas tiga tahap yaitu ventilasi,

difusi dan perfusi. Ketiga komponen ini selalu bersama, bila ada

gangguan pada salah satu atau lebih dari komponen tersebut, maka

akan terjadi gangguan pertukaran gas (Rio F.G.,et al 1999)

Sebagai organ yang berhubungan dengan dunia luar maka paru

mempunyai pertahanan yang khusus dalam mengatasi berbagai

kemungkinan terjadinya kontak dengan aerogen dalam

mempertahankan mempunyai pertahanan seluler dan humoral. Secara

garis besar mekanisme pertahanan jalan napas meliputi 2 cara, yaitu:

a. Bersihan jalan napas (airway clearance) meliputi (Widiyanti et al.,

2004)

1) Filtrasi udara pernapasan

Filtrasi udara pernapasan berkaitan dengan ukuran bahan

inhalasi.

Page 15: PERBEDAAN NILAI ARUS PUNCAK EKSPIRASI ANTARA POLISI

xv

2) Mukosilia

Mukus pada saluran napas dihasilkan oleh glandula

submukosa, sel globet, sel klara, cairan transudat jaringan

dimana mukus ini merupakan sawar yang bersifat detoksikan

dan bakterisid. Sedangkan silia terdapat pada epitelium

kolumner berlapis semu pada batang trakheobronchial, di

bawah laring. Tiap sel mempunyai kira-kira 200 silia. Sel dan

partikel terbungkus mukus dan akan digerakan oleh silia-silia

untuk keluar dari saluran napas. Gerakan-gerakan silia

diidentifikasikan seperti gerakan lengan seorang perenang gaya

bebas yang terdiri atas gerakan cepat ke depan (rapid forward

beat) atau disebut dengan effective stroke dan gerakan yang

sifatnya lambat (recovery stroke). Gerakan efektif adalah pada

saat silia ekstensi penuh, sewaktu silia dapat mencapai lapisan

mukus di atas cairan nasofaring. Sedangkan pada recovery

stroke, ujung silia tidak mencapai lapisan mukus. Keberhasilan

dalam pembersihan mukus tergantung pada kekentalan mukus,

luasnya permukaan bronkus dan aktivitas silia.

3) Batuk adalah mekanisme refleks untuk mengeluarkan benda

asing dari saluran napas. Adanya batuk juga menunjukan

adanya iritabilitas bronkus.

4) Sekresi oleh humoral lokal

Sekresi pada permukaan bronkus terdiri dari:

Page 16: PERBEDAAN NILAI ARUS PUNCAK EKSPIRASI ANTARA POLISI

xvi

a) Lisozim, dimana dapat melisiskan bakteri

b) Laktoferon, suatu zat yang dapat mengikat ferrum dan

bersifat bakteriostatik.

c) Interferon, protein dengan berat molekul rendah

mempunyai kemampuan dalam membunuh virus.

d) Ig A, yang dikeluarkan oleh sel plasma berperan dalam

mencegah terjadinya virus. Kekurangan Ig A ini akan

memudahkan terjadinya infeksi paru yang berulang.

5) Fagositosis

Fagositosis dilakukan oleh makrofag alveoli. Sel fagosit

berperan dalam memfagositosis mikroorganisme dan kemudian

menghancurkannya. Makrofag sebagai derivat dari monosit

yang terletak di jaringan, berperan sebagai fagositer.

b. Bersihan Alveoli (Alveolar Clearance)

Mekanisme ini memerlukan waktu yang lebih lama, bahkan

lebih dari 24 jam. Biasanya melibatkan makrofag alveolar dan

makrofag pulmonal serta limfatik ekstra pulmonal (Stewart, 2005).

Bersihan alveoli dibagi menjadi (Stewart, 2005) :

1) Non absorbsi

Melibatkan transport partikel dari alveoli oleh surfaktan atau

makrofag pada saluran napas yang bersilia untuk dibersihkan

oleh mukosilia. Mekanisme ini terbatas untuk partikel kecil.

Page 17: PERBEDAAN NILAI ARUS PUNCAK EKSPIRASI ANTARA POLISI

xvii

2) Absorbsi, meliputi :

1) Penetrasi langsung ke dalam sel epitel dengan subsequent

cell death diikuti oleh transport debris sel ke mulosilia atau

ke ruang interstisiel.

2) Transport melalui dinding sel epitel melalui jalur

transeluler atau panseluler.

3) Fagositosis dan dekstrusi melalui sistem fagositosis atau

transport oleh limfatik.

2. Patofisiologi Debu di Paru

Manusia hidup dalam lingkungan makro (masyarakat luas),

lingkungan mikro (rumah tangga) serta lingkungan meso (tempat

kerja). Rata-rata waktu yang dihabiskan di tempat kerja adalah 8

jam/hari, dimana selama ini akan dihirup kurang lebih 3500 liter udara,

termasuk partikel debu atau bahan pencemar lain yang terdapat di

dalamnya (Winariani, 2004). Sehingga lingkungan kerja merupakan

tempat yang berpotensi untuk terjadinya polusi udara (Alsagaff, 2004).

Sesungguhnya tidak seorangpun manusia yang tidak menimbun

debu dalam parunya. Lebih-lebih kehidupan di kota atau di tempat

kerja yang sangat berdebu. Makin tua umur dan makin lama bekerja di

tempat yang berdebu makin banyak pula debu yang tertimbun dalam

paru sebagai hasil penghirupan debu sehari-hari (Suma’mur, 2006).

Berbagai faktor berpengaruh dalam timbulnya penyakit atau

gangguan pada saluran napas akibat debu. Faktor itu antara lain adalah

Page 18: PERBEDAAN NILAI ARUS PUNCAK EKSPIRASI ANTARA POLISI

xviii

faktor debu yang meliputi ukuran partikel, bentuk, konsentrasi, daya

larut dan sifat kimiawi, lama paparan. Faktor individual meliputi

mekanisme pertahanan paru, anatomi dan fisiologi saluran napas dan

faktor imunologis (Pudjiastuti, 2002).

a. Faktor debu

Respon patologis terhadap agen inhalasi tergantung pada beberapa

faktor, yaitu:

1) Jenis debu

Menurut macamnya, debu diklasifikasikan atas 3 jenis yaitu

debu organik, debu metal, dan debu mineral. Debu organik

adalah debu yang berasal dari makhluk hidup, debu metal

adalah debu yang di dalamnya terkandung unsur-unsur logam

(Pb, Hg, Cd, dan Arsen), sedangkan debu mineral ialah debu

yang di dalamnya terkandung senyawa kompleks. (Pudjiastuti,

2002).

2) Ukuran partikel

Meskipun batas debu respirabel adalah 5 mikron, tetapi debu

dengan ukuran 5-10 mikron dengan kadar berbeda dapat masuk

ke dalam alveoli. Debu yang berukuran lebih dari 5 mikron

akan dikeluarkan semuanya bila jumlahnya kurang dari 10

partikel per milimeter kubik udara. Bila jumlahnya 1.000

partikel per milimeter kubik udara, maka 10% dari jumlah itu

akan ditimbun dalam paru (Pudjiastuti, 2002).

Page 19: PERBEDAAN NILAI ARUS PUNCAK EKSPIRASI ANTARA POLISI

xix

3) Konsentrasi partikel

Menurut Daviest, setiap inhalasi 500 partikel/ml, satu alveoli

paling sedikit menerima 1 partikel. Hal ini meningkat di daerah

industry (Faridawati, 2000). COSSH (Control of Substance

Hazardous to Health) Regulation 2002 memberi batas paparan

maksimal (MEL/ Maximal Exposure Limit) adalah 10 mg/m3

dengan waktu terpapar tidak lebih dari 8 jam (Kerri, 2002).

4) Lama paparan

Patofisiologi penyakit karena debu terjadi setelah bekerja

minimal 2 tahun (Prajnaparamita, 2006).

5) Tingkat kelarutan agen

Zat iritan dengan kelarutan tinggi akan lebih mudah diabsorbsi

di saluran napas atas selama fase inisial pajanan sehingga

menimbulkan gejala dalam waktu yang relatif singkat.

Sedangkan zat iritan dengan kelarutan rendah baru dapat

menimbulkan gejala setelah terpapar selama 6-24 jam oleh

karena zat iritan ini harus penetrasi jauh ke dalam saluran napas

sampai alveoli untuk dapat menimbulkan gejala klinis. Faktor

lain yang turut mempengaruhi adalah ventilasi dan kecepatan

aliran udara di tempat paparan (Lynn, 1998).

b. Faktor host (Antaruddin, 2003)

1) Umur

2) Kebiasaan merokok

Page 20: PERBEDAAN NILAI ARUS PUNCAK EKSPIRASI ANTARA POLISI

xx

3) Penyakit paru atau ekstra paru yang diderita

4) Penggunaan alat respirator

5) Sifat kerentanan host

Mekanisme pengendapan dan penimbunan partikel di dalam

paru (Winariani, 2004) :

a) Inersia (kelambanan)

Untuk partikel ukuran 2-100 mikron karena ukuran partikel

relatif besar, partikel sulit mengikuti aliran udara yang

berkelok-kelok, sehingga mudah membentur selaput lendir

dan terperangkap di percabangan bronkus besar.

b) Sedimentasi (gravitasi)

Untuk partikel ukuran 0,5-2 µ, umumnya akan mengendap

di percabangan bronkus kecil dan bronkioli. Gravitasi

pengendapan partikel dimungkinkan karena kecepatan

aliran udara cukup lamban.

c) Gerakan Brown (proses difusi)

Untuk partikel dengan ukuran ±1 µ. Partikel akan

membentur permukaan alveoli dan mengendap akibat

gerakan Brown ini

d) Intersepsi

Untuk partikel berbentuk serat (fiber), dengan

perbandingan panjang/diameter 3:1. Berhubung dengan

bentuknya, mudah tersangkut dalam mukosa saluran napas.

Page 21: PERBEDAAN NILAI ARUS PUNCAK EKSPIRASI ANTARA POLISI

xxi

e) Elektrostatik

Daya tarik elektrostatik antara partikel-mukosa saluran

napas, berperan pula pada pengendapan partikel.

Satu masalah yang paling penting pada semua jalan napas adalah

memelihara supaya saluran pernapasan terbuka agar udara dapat keluar

dan masuk dalam alveoli (Guyton dan Hall, 2008).

Ada dua tipe utama penyakit paru, yaitu obstruksi dan restriksi.

Obstruksi adalah gangguan saluran napas baik struktur maupun fungsi

yang menimbulkan perlamabatan arus respirasi. Beberapa keadaan

yang menimbulkan obstruksi adalah lumen normal tapi ada masa

dalam lumen (seperti sekret, benda asing, tumor), lumen memang

menebal (pada perokok, bronchitis kronis, dan asma). Sedangkan

restriksi adalah gangguan pengembangan paru yang ditandai dengan

berkurangnya volume paru. Keadaan yang dapat menimbulkan

restriksi adalah antara lain kelainan parenkim paru, kelainan pleura,

kelainan dinding dada, kelainan neuromuskuler, kelainan medistinum

dan kelainan diafragma (Widiyanti et al., 2004).

Beberapa kemungkinan mekanisme obstruksi saluran napas adalah

sebagai berikut :

a. Hipersekresi kelenjar mukus

Diakibatkan oleh iritasi inhalasi polutan yang merangsang

ujung saraf sensorik pada saluran napas yang menimbulkan refleks

lokal dan kolinergik sehingga meningkatkan sekresi mukus. Bila

Page 22: PERBEDAAN NILAI ARUS PUNCAK EKSPIRASI ANTARA POLISI

xxii

produksi mukus berlebihan dan tidak dikeluarkan, maka akan

terjadi akumulasi mukus pada saluran napas, sehingga dapat

meningkatkan resistensi aliran udara (obstruktif). Secara kuantitatif

perubahan resistensi saluran napas dapat diketahui dengan

pengukuran fungsi paru dengan spirometer (Abiyoso, 2002).

b. Terhambatnya gerakan silia

Sebagian besar partikulat mengendap di lapisan mukus yang

melapisi mukosa bronkus, sehingga menghambat aktivitas silia.

Pergerakan cairan yang melapisi mukosa bronkus akan sangat

berkurang mengakibatkan meningkatnya iritasi pada epitel mukosa

bronkus (Yunus, 1999).

Pada penyakit obstruksi saluran napas, biasanya penderita

mengalami kesukaran pada waktu ekspirasi, sebab kecenderungan

menutupnya saluran napas sangat meningkat dengan adanya

tekanan positif dalam dada selama ekspirasi. Hal ini tidak terjadi

pada saat inspirasi oleh karena tekanan negatif pleura pada

inspirasi akan mendorong terbukanya saluran napas saat alveoli

mengembang. Dengan demikian udara akan mudah masuk paru

tetapi terperangkap di dalam paru (Guyton dan Hall, 2008).

Masa kerja yang lama menyebabkan semakin banyak debu

yang terhirup sehingga terjadi penimbunan debu dalam paru yang

dikenal dengan pneumoconiosis, dengan gejala batuk-batuk kering,

sesak napas, kelelahan umum, susut berat badan, dan banyak dahak

Page 23: PERBEDAAN NILAI ARUS PUNCAK EKSPIRASI ANTARA POLISI

xxiii

(Suma’mur,2006). Sehingga tenaga kerja yang bekerja pada

lingkungan kerja dengan kadar debu melebihi NAB dapat terkena

pneumoconiosis.

3. Pemeriksaan Faal Paru

Pemeriksaan faal paru bertujuan untuk mengukur kemampuan paru

dalam tiga tahap respirasi meliputi pemeriksaan ventilasi, difusi, dan

perfusi. Hasil pemeriksaan itu digunakan untuk menilai status

kesehatan atau fungsi paru individu yang diperiksa. Pemeriksaan

ventilasi adalah mengukur udara yang keluar masuk paru. Ada dua

volume yang bisa diukur, yaitu (Yunus et al., 2003) :

Volume statis misalnya :

a. Volume Tidal (VT) yaitu jumlah udara yang dihisap (inspirasi) tiap

kali pada pernapasan tenang.

b. Volume Cadangan Ekspirasi (VCE) yaitu jumlah udara yang dapat

dikeluarkan secara maksimal setelah ekspirasi biasa.

c. Volume Cadangan Inspirasi (VCI) yaitu jumlah udara yang dapat

dihisap secara maksimal setelah inspirasi biasa.

d. Kapasitas Vital (KV) yaitu jumlah udara yang bias dikeluarkan

maksimal setelah inspirasi maksimal, yaitu gabungan

VCI+VT+VCE.

e. Kapasitas Vital Paksa (KVP) yaitu sama dengan KV tapi dilakukan

secara cepat dan paksa.

Page 24: PERBEDAAN NILAI ARUS PUNCAK EKSPIRASI ANTARA POLISI

xxiv

Volume dinamis, misalnya :

a. Volume Ekspirasi Paksa detik pertama (VEP1) yaitu jumlah udara

yang dapat dikeluarkan sebanyak - banyaknya dalam 1 detik

pertama pada waktu ekspirasi maksimal setelah inspirasi maksimal.

b. Arus Puncak Ekspirasi (APE) yaitu jumlah aliran udara maksimal

yang dapat dicapai saat eksipirasi paksa dalam waktu tertentu yang

dilakukan dengan menggunakan peak flow meter atau spirometer.

Pada pemeriksaan penunjang faal paru, spirometer merupakan

pemeriksaan gold standar. Bila spirometer tidak tersedia dapat

digunakan peak flow meter (Maranatha, 2004).

Pemeriksaan APE yaitu pengukuran jumlah aliran udara maksimal

yang dapat dicapai saat ekspirasi paksa dalam waktu tertentu yang

dilakukan dengan menggunakan peak flow meter atau spirometer.

Variasi nilai APE sangat dipengaruhi oleh umur, jenis kelamin, ras,

tinggi badan, dan merokok. Angka normal APE pada pria dewasa

adalah 500-700 L/menit dan pada wanita dewasa 380-500 L/menit

(Jain et al., 1998).

Pemeriksaan APE bertujuan untuk mengukur secara obyektif arus

udara pada saluran napas besar (Menaldi et al., 2001). Berbeda dengan

VEP1 yang dipengaruhi oleh perubahan dalam pengukuran pada

saluran napas besar dan saluran napas medium (Jain et al., 1998). APE

menggambarkan keadaan saluran pernapasan. APE yang menurun

berarti adanya obstruksi pada aliran udara di saluran pernapasan.

Page 25: PERBEDAAN NILAI ARUS PUNCAK EKSPIRASI ANTARA POLISI

xxv

Pengukuran APE dapat dilakukan antara lain dengan menggunakan

alat mini peak flow meter, pneumotachograph (dengan grafik flow

volume), spirometer (Menaldi et al., 2001). Sifat peak flow meter yang

memiliki mudah digunakan, mudah dibawa, dan murah menjadikan

peak flowmeter ideal sebagai ambulatory monitoring untuk menilai

obstrusi saluran pernapasan (Jain et al., 1998).

Terdapat tiga macam nilai APE, yaitu (Menaldi et al., 2001) :

a. APE sesaat. Nilai ini didapatkan dari nilai titipan pada waktu

yang tidak tertentu dan dapat kapan saja.

Nilai APE ini berguna untuk :

1) Mengetahui adanya obstruksi pada saat itu.

2) Mengetahui derajat obstruksi bila telah diketahui nilai standar

normalnya.

b.APE tertinggi. Nilai ini didapatkan dari hasil titipan APE

tertinggi setelah melakukan evaluasi tiupan sehari 2 kali, pagi

dan sore hari pukul 06.00 dan 20.00 selama 2 minggu pada

keadaan asma stabil.

Nillai APE tertinggi digunakan sebagai standar nilai APE

seseorang.

c. APE variasi harian. Nilai ini didapatkan dari hasil tiupan APE

selama 2 minggu. Variasi harian berguna untuk mengetahui nilai

tertinggi standar normal seseorang.

Page 26: PERBEDAAN NILAI ARUS PUNCAK EKSPIRASI ANTARA POLISI

xxvi

Interpretasi tindakan pemeriksaan APE menurut Menaldi et

al.,(2001) :

a. Obstruksi : < 80% dari nilai prediksi atau pada orang dewasa jika

didapatkan nilai APE < 200 L/menit.

b.Obstruksi akut : < 80% dari nilai terbaik.

c. APE variasi harian × 100 %

Jika didapat nilai > 15% maka dianggap obstruksi saluran

napas yang ada belum terkontrol.

Faktor-faktor yang mempengaruhi nilai Arus Puncak Ekspirasi

(APE):

1) Faktor host

a) Umur

Faal paru sejak masa kanak-kanak bertambah atau

meningkat volumenya dan mencapai maksimal pada

umur 19-21 tahun. Setelah itu nilai faal paru terus

menurun sesuai bertambahnya umur karena dengan

meningkatnya umur seseorang maka kerentanan

terhadap penyakit akan bertambah, khususnya

gangguan saluran pernapasan pada tenaga kerja (Yunus,

2003).

b) Jenis kelamin

Pengelompokan berdasarkan jenis kelamin amat

penting karena secara biologis berbeda anata pria dan

Page 27: PERBEDAAN NILAI ARUS PUNCAK EKSPIRASI ANTARA POLISI

xxvii

wanita. Nilai APE pria lebih besar dari pada wanita

berdasarkan tabel nilai normal APE (Antaruddin, 2003).

c) Ras

Pada orang kulit hitam, hasil faal parunya harus

dikoreksi dengan 0,85, dimana sebagai referensinnya

adalah orang kulit putih. Salah satu alasannya adalah

bahwa ukuran thoraks kulit hitam lebih kecil dari pada

orang kulit putih. Indonesia yang terdiri dari banyak

suku bangsa belum ada data-data antropologis yang

dapat menerangkan adanya perbedaan anatomis rongga

dada dan tentunya juga akan mempengaruhi faal

parunya.

d) Tinggi badan

Tinggi badan mempunyai korelasi positif dengan

APE, artinya dengan bertambah tinggi seseorang, maka

APE akan bertambah besar (Alsagaff et al., 2004).

2) Faktor lingkungan

a) Kebiasaan merokok

Tenaga kerja yang merokok merupakan salah satu faktor

resiko penyebab penyakit saluran napas (Aditama, 2006).

b) Pemakaian alat pelindung diri

Alat pelindung diri tidak secara sempurna melindungi

tubuh tenaga kerja dari potensi bahaya, tetapi dapat

Page 28: PERBEDAAN NILAI ARUS PUNCAK EKSPIRASI ANTARA POLISI

xxviii

mengurangi tingkat keparahan yang mungkin terjadi. Alat

pelindung diri yang cocok bagi tenaga kerja yang berada pada

lingkungan kerja yang mempunyai paparan debu dengan

konsentrasi tinggi adalah:

1) Masker, untuk melindungi debu atau partikel lebih kasar

yang masuk ke dalam saluran pernapasan yang terbuat dari

kain dengan ukuran pori-pori tertentu.

2) Respirator pemurni udara, membersihkan udara dengan

cara menyaring atau menyerap kontaminan dengan

toksisitas rendah sebelum memasuki sistem pernapasan

(Habsari, 2003).

c) Polusi udara

Polusi udara dapat menimbulkan berbagai penyakit dan

gangguan fungsi tubuh, termasuk gangguan faal paru (Yunus,

1999).

d) Infeksi saluran napas

Riwayat infeksi saluran napas berat sewaktu anak-anak

menyebabkan penurunan faal paru dan keluhan respirasi

sewaktu dewasa (Maranata, 2004).

e) Status gizi

Salah satu akibat kekurangan gizi dapat menurunkan sistem

imunitas dan antibodi sehingga orang mudah terserang infeksi

seperti pilek, batuk, diare, dan juga berkurangnya kemampuan

Page 29: PERBEDAAN NILAI ARUS PUNCAK EKSPIRASI ANTARA POLISI

xxix

tubuh untuk melakukan detoksifikasi terhadap benda asing

seperti debu dan tembakau yang masuk dalam tubuh

(Almatsier, 2002).

F. Kerangka Pemikiran

SALURAN NAPAS

· PAPARAN DEBU · POLUSI UDARA

· Kebiasaan merokok · Pemakaian alat pelindung diri · Polusi udara · Penyakit saluran napas · Status gizi

Hipersekresi mukus Tehambatnya gerak silia

OBSTRUKSI

Nilai APE

· Umur · Jenis kelamin · Tinggi badan · Ras

Polisi SATLANTAS

Polisi administrasi

Keterangan: APE : Arus Puncak Ekspirasi

Page 30: PERBEDAAN NILAI ARUS PUNCAK EKSPIRASI ANTARA POLISI

xxx

G. Hipotesis

Terdapat perbedaan nilai Arus Puncak Ekspirasi pada polisi

SATLANTAS dengan polisi bagian administrasi.

BAB III

METODE PENELITIAN

A. Jenis Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian observasional analitik dengan

menggunakan pendekatan cross sectional.

B. Lokasi Penelitian dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilakukan di wilayah operasional kepolisian

SATLANTAS dan Polres Kabupaten Sukoharjo pada bulan Januari

2010.

C. Subjek Penelitian

Yang menjadi subjek penelitian ini adalah tenaga kerja kepolisian

SATLANTAS dan polisi bagian administrasi Polres Sukoharjo, dengan

kriteria sebagai berikut :

1. Kriteria inklusi

a. Jenis kelamin laki-laki

b. Usia 19-45 tahun

Page 31: PERBEDAAN NILAI ARUS PUNCAK EKSPIRASI ANTARA POLISI

xxxi

c. Telah bekerja minimal 2 tahun

d. Bersedia ikut penelitian dengan persetujuan lisan atau tulisan.

2. Kriteria eksklusi

a. Memiliki riwayat pekerjaan yang dapat menimbulkan

penyakit/gangguan saluran napas, misal lingkungan kerja yang

berdebu.

b. Mempunyai riwayat penyakit paru

c. Menderia penyakit gangguan saluran pernapasan akut

d. Sedang dalam masa terapi kortikosteroid.

e. Sebagai perokok aktif dan peminum alkohol.

D. Teknik Sampling

Pengambilan sampel diambil secara purposive sampling, dimana

pemilihan subjek berdasarkan atas ciri-ciri atau sifat tertentu yang

sesuai dengan karakteristik populasi (Arief, 2004).

E. Sampel Penelitian

Populasi sumber ( source population ) merupakan himpunan subyek

dari populasi sasaran yang digunakan sebagai sumber pencuplikan

sumber penelitian (Murti, 2006). Dengan demikian, yang menjadi

populasi sumber adalah polisi yang bekerja di Polres Kabupaten

Sukoharjo yang SATLANTAS maupun yang administrasi dan yang

memasuki kriteria inklusi dan eksklusi yang telah ditetapkan dalam

Page 32: PERBEDAAN NILAI ARUS PUNCAK EKSPIRASI ANTARA POLISI

xxxii

penelitian ini. Berdasarkan observasi peneliti, jumlah populasi sumber

ini ada sekitar 100 polisi SATLANTAS dan 100 polisi bagian

administrasi .

Sampel merupakan sebuah subset yang dicuplik dari populasi yang

akan diamati atau diukur peneliti (Murti, 2006).

Penentuan besar sampel pada penelitian ini menurut Slovin dengan

rumus sebagai berikut :

n =

keterangan :

n : ukuran sampel

N : ukuran populasi

Ε : tingkatan kekeliruan pengambilan sampel yang ditolerir.

Dengan rumus di atas maka sampel yang digunakan pada

penelitian ini adalah ( dengan mengansumsi tingkat kekeliruan yang

ditolerir adalah sebesar 10% )

n =

n =

n = 50

1+Nε²

N

1+Nε²

100

1 + 100 (10%)²

N

Page 33: PERBEDAAN NILAI ARUS PUNCAK EKSPIRASI ANTARA POLISI

xxxiii

Jadi pada penelitian ini, peneliti menggunakan ukuran sampel

sebanyak 50 orang polisi SATLANTAS dan 50 orang polisi bagian

administrasi.

F. Alur Penelitian

G. Identifikasi Variabel

1. Variabel bebas : polusi udara dan debu-debu udara

2. Variabel terikat : nilai arus puncak ekspirasi (APE).

3. Variabel luar

populasi

sampel

Polisi SATLANTAS

Ukur nilai APE

Hasil

Polisi administrasi

Ukur nilai APE

Hasil

Uji beda 2 kelompok

Page 34: PERBEDAAN NILAI ARUS PUNCAK EKSPIRASI ANTARA POLISI

xxxiv

a. Terkendali : umur, jenis kelamin, ras, tinggi badan, masa kerja,

kebiasaan merokok.

b. Tidak terkendali : status gizi (nutrisi), penyakit saluran napas,

pemakaian APD (alat pelindung diri).

H. Definisi Operasional Variabel Penelitian

1. Variabel bebas : polusi udara dan debu-debu udara

Kadar debu adalah berat debu dalam milligram tiap m3 udara

ruangan kerja.

Skala pengukuran : Rasio

2. Variabel terikat : nilai Arus Puncak Ekspirasi (APE)

Nilai arus puncak ekspirasi (APE) adalah aliran udara ekspirasi

terbesar yang didapat melalui ekspirasi maksimum secara paksa

setelah inspirasi maksimum terlebih dahulu. Pemeriksaan APE

yang dilakukan merupakan pemeriksaan APE sesaat.

a. Alat ukur : Mini Wright Peak Flowmeter

b. Satuan : Persen (%) nilai prediksi

c. Skala pengukuran : Rasio

3. Variabel luar terkendali

a. Umur

Umur adalah jumlah tahun yang dihitung sejak kelahiran

sampai ulang tahun terakhir saat penelitian dilakukan.

1) Alat ukur : Kuesioner

Page 35: PERBEDAAN NILAI ARUS PUNCAK EKSPIRASI ANTARA POLISI

xxxv

2) Satuan : Tahun

3) Skala pengukuran : Rasio

b. Jenis kelamin

Jenis kelamin adalah sifat keadaan laki-laki atau perempuan.

1) Alat ukur : Kuesioner

2) Skala pengukuran : Nominal

c. Ras

Ras adalah penggolongan bangsa berdasarkan ciri-ciri fisik

rumpun bangsa.

1) Alat ukur : Kuesioner

2) Hasil : Indonesia asli dan bukan Indonesia asli

3) Skala pengukuran : Nominal

d. Masa kerja

Masa kerja adalah lama waktu sampel penelitian bekerja

sampai saat penelitian dilakukan.

1) Alat ukur : Kuesioner

2) Satuan : Tahun

3) Skala pengukuran : Rasio

e. Kebiasaan merokok

Kebiasaan merokok adalah kebiasaan sampel merokok minimal

satu batang rokok perhari sampai tahun terakhir penelitian

dilakukan. Derajat merokok dapat dihitung berdasarkan indeks

Page 36: PERBEDAAN NILAI ARUS PUNCAK EKSPIRASI ANTARA POLISI

xxxvi

Brinkman, yaitu perkalian jumlah batang rokok yang dihisap

perhari dengan lama merokok (dalam tahun). Pembaginya yaitu

ringan ( 0- 200), sedang (200 - 400), dan berat (> 400).

1) Alat ukur : Kuesioner

2) Skala pengukuran : Rasio

I. Instrumentasi Penelitian

1. Mini Wright Peak Flowmeter

2. Kapas dan alat alkohol 75% (sterilisasi)

3. Tabel nilai normal APE untuk pria Indonesia dan wanita Indonesia

berdasarkan penelitian tim IPP 1992

4. Alat ukur tinggi badan (microtoys)

5. Kuesioner

J. Cara Kerja

1. Sampel penelitian diminta untuk mengisi kuesioner.

2. Tinggi badan sampel penelitian diukur dengan berdiri tegak dan

tanpa alas kaki.

3. Pemeriksaan APE:

a. Sebaiknya pemeriksaan dilakukan dalam keadaan berdiri tegak.

b. Skala pengukuran pada alat harus dibuat nol (dikalibrasi dulu).

c. Sampel penelitian diajarkan manuver meniup yang benar.

Sampel penelitian menghirup udara sebanyak-banyaknya

dengan cepat kemudian meletakkan alat pada mulut dan

Page 37: PERBEDAAN NILAI ARUS PUNCAK EKSPIRASI ANTARA POLISI

xxxvii

katupkan bibir di sekeliling mothpiece, udara dikeluarkan

dengan tenaga maksimal (secara cepat dan kuat) segera setelah

bibir dikatupkan dan pastikan tidak ada kebocoran. memberi

aba-aba yang keras dan jelas agar sampel penelitian dapat

melaksanakan dengan baik.

d. Pemeriksaan dilakukan 3 kali dan diambil nilai yang tertinggi

(Menaldi, 2001).

4. Baca hasil pemeriksan APE (nilai APE ukur) pada peak flow meter

(dalam L/menit)

5. Berdasarkan umur dan tinggi badan sampel penelitian, dibaca nilai

APE prediksi pada tabel nilai normal APE untuk pria Indonesia

dan wanita Indonesia berdasarkan penelitian tim IPP 1992.

6. Persentase nilai APE diukur terhadap APE prediksi:

%100)/(

)/(´=

menitLprediksiAPEnilai

menitLukurAPEnilaiAPEpresentase

K. Teknik Analisis Data

Data yang diperoleh pada penelitian ini dianalisis dengan analisis

statistik inferensial menggunakan uji beda dua kelompok ( independent

t test ) untuk menguji hipotesis yang diajukan setelah sebelumnya

dilakukan uji normalitas dengan One Sample Kolmorgorov-Smirnov

test . Data hasil penelitian berupa prevalensi obstruksi saluran nafas

Page 38: PERBEDAAN NILAI ARUS PUNCAK EKSPIRASI ANTARA POLISI

xxxviii

dianalisis dan diuji menggunakan uji Chi Square . Data diolah dengan

Statistical Product and Service Solution (SPSS) 16.00 for windows.

BAB IV

HASIL PENELITIAN

A. Hasil Penelitian

Penelitian dilakukan di wilayah operasional kepolisian

SATLANTAS dan Polres Kabupaten Sukoharjo pada bulan Januari 2010.

Penelitian ini untuk mengetahui perbedaan nilai arus ekspirasi (APE) pada

polisi SATLANTAS dengan polisi bagian administrasi di Polres

Sukoharjo. Jumlah sampel yang diperoleh sebanyak 100 sampel yang

terdiri dari 50 sampel polisi SATLANTAS dan 50 sampel polisi bagian

administrasi yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi. Pengambilan

sampel dilakukan secara purposive sampling.

Dari penelitian yang dilakukan dengan pengambilan data dan

pengisian kuesioner pada polisi SATLANTAS dan polisi bagian

administrasi di Polres Sukoharjo diperoleh hasil sebagai berikut:

Tabel 4.1. Distribusi Sampel Berdasarkan Umur pada Polisi Bagian Administrasi dan Polisi SATLANTAS di Polres Sukoharjo

Umur(cm) Polisi Bag. Administrasi Polisi SATLANTAS

Frekuensi Persentase (%) Frekuensi Persentase (%) 21-25 12 24 7 14

Page 39: PERBEDAAN NILAI ARUS PUNCAK EKSPIRASI ANTARA POLISI

xxxix

26-30 31-35 36-40 41-45

6 7 3 22

12 12 6 46

5 5 7 26

10 10 14 52

Jumlah 50 100 50 100 Dari tabel 1 dapat dilihat bahwa umur sampel Polisi bagian

administrasi di Polres Sukoharjo paling banyak adalah usia 41-45 th yaitu

23 orang (46%), sedangkan Polisi di bagian SATLANTAS yang paling

banyak adalah kelompok umur 41-45 tahun yaitu masing-masing 26

orang (52%).

Tabel 4.2. Distribusi Sampel Berdasarkan Tinggi Badan pada Polisi Bagian Administrasi dan Polisi SATLANTAS di Polres Sukoharjo

Tinggi Badan (Cm)

Polisi Bag. Administrasi Polisi SATLANTAS

Frekuensi Persentase (%) Frekuensi Persentase (%)

160-165 166-170 171-175 176-180

6 21 17 6

12 42 34 12

9 28 10 3

18 56 20 6

Jumlah 50 100 50 100

Pada tabel 2 dapat dilihat bahwa sampel terbanyak adalah

kelompok dengan tinggi badan 166-170 cm baik dari kelompok Polisi

bagian administrasi yaitu sebesar 21 orang (42%) dan Polisi

SATLANTAS yaitu sebesar 28 orang (56%) di Polres Sukoharjo.

Page 40: PERBEDAAN NILAI ARUS PUNCAK EKSPIRASI ANTARA POLISI

xl

Tabel 4.3. Distribusi Sampel Berdasarkan Lama Kerja pada Polisi Bagian Administrasi dan Polisi SATLANTAS di Polres Sukoharjo

Lama Kerja (th)

Polisi Bag. Administrasi Polisi SATLANTAS

Frekuensi Persentase

(%) Frekuensi Persentase

(%)

2-6 7-11 12-16 17-21 22-26

15 5 8 2 20

30 10 16 4 40

6 7 6 5 26

12 14 12 10 52

Jumlah 50 100 50 100

Dari tabel 3 dapat dilihat bahwa lama kerja sampel Polisi bagian

administrasi di Polres Sukoharjo paling banyak telah bekerja selama 2-6 th

dan 22-26 tahun yaitu 20 orang (40%), sedangkan Polisi di bagian

SATLANTAS yang paling banyak adalah kelompok yang telah bekerja

selama 22-26 tahun yaitu 26 orang (52%).

Tabel 4.4. Rata - rata Presentase APE pada Polisi Bagian Administrasi dan Polisi SATLANTAS di Polres Sukoharjo

Kelompok

_ X

_ X ± SD

Polisi Bagian Administrasi 94,67 94,67 ± 16,11

Polisi Satlantas 86,66 86,66 ± 20,93

Dari uji normalitas dengan One Sample Kolmogorov-Smirnov Test

terhadap persentase APE Polisi Bagian administrasi dan Polisi

Page 41: PERBEDAAN NILAI ARUS PUNCAK EKSPIRASI ANTARA POLISI

xli

SATLANTAS masing-masing didapatkan nilai p=0,733 dan p=0,079. Hal

ini menunjukkan bahwa distribusi persentase APE polisi bagian

administrasi dan polisi SATLANTAS adalah berdistribusi normal. Dengan

demikian analisis menggunakan uji independent t test dapat dilaksanakan.

Rata - rata persentase APE polisi bagian administrasi adalah

sebesar 94,67% sedangkan persentase APE polisi bagian SATLANTAS

adalah sebesar 86,66%. Hasil uji statistik dengan uji independent t test

didapatkan nilai p=0,035 (p<0,05). Sehingga pada alpha 5%, Ho ditolak

dan H1 diterima yang berarti terdapat perbedaan yang signifikan antara

nilai APE polisi bagian administrasi dengan polisi SATLANTAS di Polres

Sukoharjo.

Tabel 4.5. Distribusi Sampel Berdasarkan Prevalensi Obstruksi dan Non- Obstruksi pada Polisi Bagian Administrasi dan Polisi SATLANTAS di Polres Sukoharjo

Kelompok Non-Obstruksi Obstruksi Jumlah

Polisi Bagian Administrasi

43 7 50

Polisi Bagian SATLANTAS 29 21 50

Jumlah 72 28 100

Dari tabel 5 dapat dilihat bahwa prevalensi obstruksi polisi bagian

administrasi sebesar 7 orang (7%) sedangkan prevalensi obstruksi polisi

bagian SATLANTAS sebesar 21 orang (21%). Prevalensi non-obstruksi

pada polisi bagian administrasi sebesar 43 orang (43%) dan prevalensi

non-obstruksi polisi bagian SATLANTAS sebesar 29 orang (29%).

Page 42: PERBEDAAN NILAI ARUS PUNCAK EKSPIRASI ANTARA POLISI

xlii

B. Teknik Analisis Data

Data yang diperoleh dianalisis statistik dengan menggunakan

independent t test dan dilakukan juga uji Chi Square serta perhitungan

Odds Ratio.

Berdasarkan hasil analisis statistik dengan uji t independent

didapatkan hasil rata - rata persentase APE polisi bagian administrasi

adalah sebesar 94,67% sedangkan persentase APE polisi bagian

SATLANTAS adalah sebesar 86,66%. Hasil uji statistik dengan uji

independen t test didapatkan nilai p=0,035 (p<0,05). Berdasarkan hasil

analisis statistik dengan uji Chi Square didapatkan hasil nilai p=0,002

(p<0,05) OR=4,448, dan X2 hitung = 9,722 (X2 hitung > X2 tabel).

Dengan demikian pada alpha 5%, Ho ditolak dan H1 diterima

yang berarti terdapat perbedaan yang signifikan antara nilai APE polisi

bagian administrasi dengan polisi SATLANTAS di Polres Sukoharjo.

Selain itu juga terdapat hubungan antara prevalensi obstruksi saluran nafas

dengan polisi SATLANTAS yang didapat dari uji Chi Square. Besarnya

resiko terjadi obstruksi saluran nafas pada polisi SATLANTAS adalah 4

kali daripada polisi bagian administrasi.

Page 43: PERBEDAAN NILAI ARUS PUNCAK EKSPIRASI ANTARA POLISI

xliii

BAB V

PEMBAHASAN

A. Pembahasan

Polusi udara dapat terjadi di dalam dan di luar ruangan (indoor

dan outdoor) yang paling banyak didapatkan akibat lingkungan yang

terdapat di tempat pekerjaan (Melintira, dkk, 2003). Kepolisian merupakan

salah satu contoh lingkungan kerja yang terpapar polusi udara baik indoor

yaitu polisi bagian administrasi maupun outdoor yaitu polisi bagian

SATLANTAS. Keadaan paru bagi kalangan tenaga kerja kepolisian

tentunya sering terpajan faktor fisis, kimia, toksik dan sebagainya yang

dapat menimbulkan penyakit paru akibat kerja. Respon biologis dengan

manifestasi morbiditas dan mortalitas terhadap paparan polutan udara

dipengaruhi oleh besarnya polusi yang masuk ke paru, jenis bahan

pencemar, perubahan fisiologis di paru dan daya tahan fisiologis tubuh.

Nilai arus puncak ekspirasi dipengaruhi oleh beberapa faktor,

dalam penelitian ini adalah umur, tinggi badan, dan lama bekerja.

Pengukuran APE didahului dengan pengisian kuesioner untuk mengetahui

apakah sampel memenuhi kriteria atau tidak. Kemudian sampel

dikelompokkan sesuai kriteria yang dikehendaki. Dari penelitian ini

didapatkan 100 sampel yang terdiri dari 50 sampel polisi bagian

administrasi dan 50 sampel bagian SATLANTAS.

Page 44: PERBEDAAN NILAI ARUS PUNCAK EKSPIRASI ANTARA POLISI

xliv

Dari hasil analisis data presentase APE sampel polisi bagian

administrasi dan polisi SATLANTAS dengan uji independent t test

didapatkan p=0,035 (p<0,05) yang berarti secara statistik terdapat

perbedaan yang signifikan persentase antara kedua kelompok tersebut.

Nilai rata-rata persentase APE polisi bagian SATLANTAS lebih rendah

dibanding nilai rata-rata APE polisi bagian administrasi, perbedaan ini

disebabkan karena paparan polusi udara yang akan mengganggu fungsi

paru (Yunus,1999). Dari polusi udara tersebut sebagian dari partikulatnya

akan mengendap pada lapisan mukus yang melapisi mukosa bronkus,

sehingga menghambat aktivitas silia. Selain itu polutan tersebut akan

merangsang ujung saraf sensorik pada saluran napas yang menimbulkan

refleks lokal dan kolinergik sehingga meningkatkan sekresi mukus. Bila

produksi mukus berlebihan dan tidak dikeluarkan, maka akan terjadi

akumulasi mukus pada saluran napas, sehingga dapat meningkatkan

resistensi aliran udara. Keadaan ini akan menyebabkan turunnya aliran

udara, sehingga apabila diukur dengan menggunakan peak flow meter nilai

APE akan turun.

Dari hasil analisis data prevalensi obstruksi sampel polisi

SATLANTAS dengan polisi bagian administrasi dengan menggunakan uji

Chi Square didapatkan p=0,002 (p<0,05) yang berarti secara statistik

terdapat hubungan antara prevalensi obstruksi saluran nafas dengan polisi

SATLANTAS, serta nilai OR=4,448 mempunyai interpretasi bahwa polisi

SATLANTAS mempunyai resiko 4 kali untuk terjadinya obstruksi pada

Page 45: PERBEDAAN NILAI ARUS PUNCAK EKSPIRASI ANTARA POLISI

xlv

saluran nafas daripada polisi bagian administrasi. Hal ini disebabkan

peningkatan resistensi aliran udara akibat polusi udara akan menyebabkan

terjadinya obstruksi pada saluran nafas.

Rata - rata waktu yang dihabiskan di tempat keja adalah 8

jam/pehari, dimana selama ini akan dihirup kurang lebih 3500 liter udara,

termasuk partikel debu atau bahan pencemar lain yang terdapat

didalamnya, sehingga lingkungan kerja merupakan tempat berpotensi

untuk terjadinya polusi udara. Berbagai faktor berpengaruh dalam

timbulnya penyakit atau gangguan pada saluran pernafasan akibat debu.

Faktor itu antara lain adalah faktor debu yang meliputi ukuran partikel,

bentuk, konsentrasi, daya larut dan sifat kimiawi, lama paparan, sedangkan

faktor individual meliputi mekanisme pertahanan paru, anatomi dan

fisiologi saluran napas dan faktor imunologis.

Hasil penelitian ini sejalan dengan hasil penelitian yang dilakukan

oleh Munawaroh (2008) yang meneliti tentang adanya perbedaan nilai arus

puncak ekspirasi pada tenaga kerja bagian processing dan non processing

PT. Djitoe ITC Surakarta. Dari hasil penelitian tersebut didapatkan hasil

terdapat perbedaan nilai Arus Puncak Ekspirasi antara bagian processing

dan non processing, dimana pada bagian processing terbukti lebih terpapar

polutan dan nilai arus puncak ekspirasinya lebih rendah dari pada bagian

non processing yang mendapat paparan polutan lebih rendah.

Page 46: PERBEDAAN NILAI ARUS PUNCAK EKSPIRASI ANTARA POLISI

xlvi

B. Kelemahan Penelitian

Kelemahan dalam penelitian ini antara lain :

1. Kesalahan dan ketidaktelitian dalam cara kerja dan teknik

pengumpulan data.

2. Mengabaikan variabel luar :

a. Terkendali : umur, jenis kelamin, ras, tinggi badan, masa kerja,

kebiasaan merokok.

b. Tidak terkendali : status gizi (nutrisi), penyakit saluran napas,

pemakaian APD (alat pelindung diri).

3. Setelah dilakukan uji reliabilitas pada alat, didapatkan hasil bahwa

reliabilitas pengukuran APE menggunakan alat peak flowmeter adalah

sedang.

Page 47: PERBEDAAN NILAI ARUS PUNCAK EKSPIRASI ANTARA POLISI

xlvii

BAB VI

SIMPULAN DAN SARAN

A. Simpulan

Dari penelitian yang dilaksanakan dapat disimpulkan:

1. Rata - rata persentase APE polisi bagian administrasi adalah sebesar

94,67% sedangkan persentase APE polisi bagian SATLANTAS adalah

sebesar 86,66%. Maka terdapat perbedaan yang bermakna nilai Arus

Puncak Ekspirasi (APE) antara polisi bagian administrasi dan polisi

SATLANTAS. Nilai APE polisi SATLANTAS lebih rendah dibanding

polisi bagian administrasi.

2. Terdapat hubungan secara statistik antara prevalensi obstruksi saluran

nafas dengan polisi SATLANTAS. Polisi yang bekerja di

SATLANTAS mempunyai resiko untuk mengalami obstruksi saluran

nafas 4 kali lebih besar daripada polisi bagian administrasi.

3. Paparan polusi udara yang banyak di lingkungan kerja polisi

SATLANTAS kemungkinan besar dapat menimbulkan gangguan

fungsi paru, berupa terjadinya obstruksi jalan nafas.

B. Saran

1. Diharapkan dari hasil penelitian ini dapat menjadi sumber informasi

bagi Polres Sukoharjo untuk mengadakan penyuluhan tentang resiko

Page 48: PERBEDAAN NILAI ARUS PUNCAK EKSPIRASI ANTARA POLISI

xlviii

timbulnya gangguan saluran pernapasan pada tenaga kerja kepolisian

terutama polisi SATLANTAS.

2. Menghimbau kepada Polres Sukoharjo agar lebih memperhatikan

kondisi polisi SATLANTAS selama bekerja di jalanan agar

menggunakan alat pelindung diri (misal : masker).

3. Diadakannya penghijauan di lingkungan kerja agar mengurangi polusi

udara yang masuk dalam ruangan kerja Polres Sukoharjo.

4. Mengadakan penelitian lebih lanjut pada instansi yang berbeda dan

mengkualifikasi metodologi yang lebih cermat, agar penelitian lebih

sempurna.

Page 49: PERBEDAAN NILAI ARUS PUNCAK EKSPIRASI ANTARA POLISI

xlix

DAFTAR PUSTAKA

Abiyoso. 2002. Diagnostik Penyakit Paru Obstruksi Kronik. Dalam: Pertemuan Ilmiah Paru Milenium 2002. Surabaya:PDPI, pp:2-4.

Aditama T.Y. 2006. Tuberkulosis, Rokok, dan Perempuan. Jakarta: Balai Penerbit

Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, pp: 26-40. Almatsier S. 2002. Prinsip Dasar Ilmu Gizi. Jakarta : PT Gramedia Pustaka

Utama. Alsagaff, Hood. 2004. Nilai Normal Faal Paru Orang Indonesia pada Usia

Sekolah dan Pekerja Dewasa Berdasarkan Rekomendasi Thoracic Society (ATS) 1987. Surabaya: Airlangga University Press, pp:9-15.

Antaruddin. 2003. Pengaruh Debu Padi pada Faal Paru Pekerja Kilang Padi

yang Merokok dan Tidak Merokok. http://library.usu.ac.id/download/fk/paru-antaruddin.pdf (21 September 2009).

Arief, Mohammad. 2004. Pengantar Metodologi Penelitian untuk Ilmu

Kesehatan. Klaten: The Community of Self Help Group Forum (CSGF). Faridawati, Ria. 2000. Penyakit Paru Obstruksi Kronik dan Asma Akibat Kerja.

Jurnal Paru. Vol. 15, No. 4, pp:182-184. Guyton A.C. 2008. Fisiologi Kedokteran. 11st ed. Jakarta : Penerbit Buku

Kedokteran EGC. Habsari N.D. 2003. Penggunaan APD Pada Tenaga Kerja. Semarang: Bunga

Rampai Hiperkes dan Keselamatan Kerja Universitas Diponegoro Semarang.

Jain, Prasoon et al. 1998. Utility of Peak Expiratory Flow Monitoring. CHEST

The Cardiopulmonary and Critical Care Journal. No. 114, pp: 861-876 Kerri, Elbert. 2002. Grain Dust Hazards.

http://www.oznet.ksu.edu./agsafety/linked%20document/Grain%20Dust%20Hazards.doc. ( 14 September 2009).

Lynn, Tanoue. 1998. Occupational Lung Disorders : General Principles and

Aproach. In: Alfred P. Fisman, Jack A. Elias, Jay A. Fishman’s Pulmonary Disease and Disorders 3rd ed. New York, pp:867-876.

Page 50: PERBEDAAN NILAI ARUS PUNCAK EKSPIRASI ANTARA POLISI

l

Maranatha, Daniel. 2004. Penyakit Paru Obstruksi Kronik (PPOK). Dalam : Buku Ajar Ilmu Penyakit Paru FK UNAIR Dr.Soetomo. Surabaya, pp:28-29.

Melintira, dkk, 2003. Peranan Infeksi Chlamydia Pneumoniae dan Mycoplasma

Pneumoniae terhadap Eksaserbasi Asma. Cermin Dunia Kedokteran. Bagian Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran Respirasi. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia: Jakarta.

Menaldi, Rasmin et al. 2001. Prosedur Tindakan Bidang Paru dan Pernapasan,

Diagnosa dan Terapi. Jakarta: Bagian Pulmonologi FK UI, pp: 34-36. Munawaroh, Siti. 2008. Perbedaan Nilai Arus Puncak Ekspirasi (APE) pada

Tenaga Kerja Bagian Processing dan Non Processing PT Djitoe ITC Surakarta. Surakarta:FK UNS.

Murti B. 2006. Sampel non-Probabilitas, Desain dan Ukuran Sampel untuk

Penelitian Kuantitatif dan Kualitatif di Bidang Kesehatan. Yogyakarta : UGM Press, pp : 47-70.

Pohan M.Y.H., Yunus F., Wiyono W.H. 2003. Asma dan Polusi Udara. Cermin Dunia

Kedokteran. No.141, pp:27-29. Pradjnaparamita. 2006. Persiapan Pemeriksaan APE dalam Pelangi Asma.

Dalam: Kumpulan Makalah Workshop on Respiratory Phisiologi and its Clinical Aplication. PDPI. Jakarta.

Pudjiastuti, Wiwiek. 2002. Debu Sebagai Bahan Pencemar yang Membahayakan

Kesehatan Kerja. http://depkes.co.id /download/debu.pdf. Rio, F.G., et al. 1999. The Mechanism of Respiratory Failure in Paraneoplastic

Pemphigus. The New England Journal of Medicine. No:11. pp: 341-848. Siregar F. Z. 2008. Perbandingan Arus Puncak Ekspirasi Sebelum dan Sesudah Latihan

Fisik pada Anak Obesitas dan Tidak Obesitas. http://library.usu.ac.id/index.php/component/journals/index.php?option=com_journal_review&id=5993&task=view (14 september 2009).

Stewart, Clarker. 2005. Respiratory Defense. In : RAL Brewis. B Corrin, D.M.

Geddes, G.J. Gibson. Respiratory Medicine 2nd edition. Vol. 1. London: W.B. Saunders Company.

Suma’mur P.K. 2006. Higiene Perusahaan dan Kesehatan Kerja. Cetakan ke-10.

Jakarta: Gunung Agung.

Page 51: PERBEDAAN NILAI ARUS PUNCAK EKSPIRASI ANTARA POLISI

li

Widiyanti, I Gusti Ngurah, Faisal Yunus, Fachrial Harahap. 2004. Faal Paru pada Diabetes Melitus. Jurnal Respirologi Indonesia. Vol. 24, no. 3, pp: 134-135.

Winarni. 2004. Penyakit Paru Kerja Buku Ajar Ilmu Penyakit Paru 2004.

Surabaya: Grammik FK UNAIR. Yunus, F. 1999. Dampak Debu Industri pada Paru dan Pengendaliannya. Jurnal

Respiratory Indonesia. Vol 17. No.1,pp:4-7. Yunus, F. 1999. Dampak Gas Buang Kendaraan Berrnotor terhadap Faal Paru.

Cermin Dunia Kedokteran. No. 121. Yunus, F. 2003. Aplikasi Klinik Pada Volume Paru. Dalam: PIPKRA (Pertemuan

Ilmiah Pulmonologi dan Kedokteran Respirasi) Workshop Faal Paru. PDPI. Jakarta. pp;10-15.