perbanyakan vegetatif kelapa_sawit_unggul_secara_kultur_jaringan-andal_yakinudin-g84090018-ipb-2012

54
i PERBANYAKAN VEGETATIF KELAPA SAWIT UNGGUL SECARA KULTUR JARINGAN Laporan Praktik Lapangan di Lab Clonal Oil Palm Production Unit PT Tunggal Yunus Estate, Asian Agri Desa Pangkalan Kerinci, Kec. Kerinci, Kab. Pelalawan, Prov. Riau ANDAL YAKINUDIN DEPARTEMEN BIOKIMIA FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2012

Upload: andal-yakinudin

Post on 12-Aug-2015

71 views

Category:

Education


2 download

TRANSCRIPT

i

PERBANYAKAN VEGETATIF KELAPA SAWIT UNGGUL

SECARA KULTUR JARINGAN

Laporan Praktik Lapangan

di Lab Clonal Oil Palm Production Unit

PT Tunggal Yunus Estate, Asian Agri

Desa Pangkalan Kerinci, Kec. Kerinci, Kab. Pelalawan, Prov. Riau

ANDAL YAKINUDIN

DEPARTEMEN BIOKIMIA

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2012

ii

PERBANYAKAN VEGETATIF KELAPA SAWIT UNGGUL

SECARA KULTUR JARINGAN

ANDAL YAKINUDIN

Laporan Praktik Lapang

Sebagai Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar

Sarjana Sains pada

Departemen Biokimia

DEPARTEMEN BIOKIMIA

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2012

iii

Judul : Perbanyakan Vegetatif Kelapa Sawit Unggul Secara Kultur Jaringan

Nama : Andal Yakinudin

NIM : G84090018

Disetujui,

Komisi Pembimbing

Drs. Djarot Sasongko, M.S Ir. Ida S. Febriantine, M.Si

Pembimbing Utama Pembimbing Lapang

Diketahui,

Ketua Departemen Biokimia

Dr. I Made Artika, M. App. Sc

NIP 19630117 198903 1 001

Tanggal Lulus:

iv

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas rahmat dan

karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan laporaan kegiatan praktik

lapang yang berjudul “Kultur Jaringan: Perbanyakan Vegetatif Kelapa Sawit Sawit

Unggul di PT Tunggal Yunus Estate, Asian Agri”.

Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada Ir. Ida S. Febriantine,

M.Si. sebagai pembimbing lapang sekaligus Manager COPPU, Drs. Djarot

Sasongko, M.S. selaku pembimbing utama, dan Pak Ang Boon Beng sebagai

General Manager PT Tunggal Yunus Estate. Ucapan terima kasih juga penulis

sampaikan kepada Pak Gogoh, Pak Ari, Pak Erwin, Pak Beni, dan Bu Rike, selaku

pengawas lapang selama penulis melaksanakan praktik lapang di COPPU. Terima

kasih penulis ucapkan juga kepada Pak Abdur Rahman, Pak Rizki, Pak Sucipto,

Pak Izharul, Pak Ridwan, Pak Kukuh, dan Pak Harkingto, yang telah banyak

membantu dan memberikan pengarahan kepada penulis selama menimba ilmu di

OPRS Topaz.

Tidak lupa juga penulis mengucapkan terima kasih kepada Bu Vika

sebagai Manager Tanoto Foundation, Pak Indra Setiawan, dan seluruh pegawai

lainnya yang menjadi teman penulis selama melaksanakan praktik lapang.

Terimakasih juga penulis ucapkan kepada seluruh pegawai AAALI yang telah

membantu akomodasi penulis selama praktik lapang. Penulis juga mengucapkan

terimakasih kepada Waliyuddin, Munjiati, dan Ester, sebagai teman seperjuangan

selama praktik lapang. Ucapan terimakasih yang terdalam penulis sampaikan

kepada kedua orang tua yang tidak pernah lelah mendoakan dan memberikan

semangat selama penulis melaksanakan praktik lapang.

Akhir kata, penulis berharap laporan ini dapat bermanfaat bagi pihak-

pihak yang membutuhkan demi kemajuan bangsa Indonesia.

Pelalawan, Agustus 2012

Andal Yakinudin

v

DAFTAR ISI

Halaman

PRAKATA………………………………………………………………………...iv

DAFTAR ISI……………………………………………………………………… v

DAFTAR TABEL…………………………………………………………………vi

DAFTAR GAMBAR…………………………………………………………….. vi

DAFTAR LAMPIRAN…………………………………………………………... vi

PENDAHULUAN…………………………………………………………………1

KEADAAN UMUM PT TUNGGAL YUNUS ESTATE………………………….4

Sejarah dan Perkembangan Perusahaan………………………………………... 4

Lokasi dan Tata Letak Perusahaan……………………………………………... 6

Struktur Organisasi Perusahaan………………………………………………… 6

Ketenagakerjaan………………………………………………………………... 7

Jenis Produk……………………………………………………………………..8

TINJAUAN PUSTAKA…………………………………………………………. 11

Kelapa Sawit…………………………………………………………………... 11

Kultur Jaringan………………………………………………………………... 13

Metabolit Sekunder Fenolik…………………………………………………... 18

BAHAN DAN METODE……………………………………………………….. 22

Alat dan Bahan………………………………………………………………... 22

Metode Penelitian……………………………………………………………... 22

HASIL DAN PEMBAHASAN………………………………………………….. 25

Hasil Inokulasi Eksplan dan Kalus……………………………………………. 25

Hasil Transfer EC Rendah dan EC Tinggi……………………………………..29

Hasil Transfer SD-RI………………………………………………………….. 34

Aklimatisasi Ramet…………………………………………………………… 35

Kontaminasi……………………………………………………………………36

SIMPULAN DAN SARAN……………………………………………………... 39

Simpulan………………………………………………………………………. 39

Saran…………………………………………………………………………... 39

DAFTAR PUSTAKA……………………………………………………………. 40

vi

DAFTAR TABEL

Halaman

“Balance sheet” dari ion-ion pada media-media……………………………….. 15

Beberapa fungsi fenilpropanoid………………………………………………… 18

DAFTAR GAMBAR

Logo Asian Agri.................................................................................................... 4

Garis besar produk metabolisme senyawa fenilpropanoid.................................... 19

Reaksi deaminasi fenilalanina oleh PAL.............................................................. 20

Sintesis asam hidroksisinamat dari asam trans-sinamat………………………... 21

Hasil inokulasi umbut kelapa sawit……………………………………………... 26

Kultur kalus pada kultur jaringan kelapa sawit..................................................... 27

Kultur EC rendah pada kultur jaringan kelapa sawit............................................ 30

Kultur EC tinggi pada kultur jaringan kelapa sawit…………………………….. 31

Kultur SD pada kultur jaringan kelapa sawit........................................................ 34

Kultur RI pada kultur jaringan kelapa sawit……………………………………. 34

Ramet hasil kultur jaringan kelapa sawit……………………………………….. 36

Kultur yang terkontaminasi……………………………………………………... 37

DAFTAR LAMPIRAN

Diagram alir kegiatan praktik lapangan……………………………………….... 44

Struktur Organisasi RGE Group............................................................................ 45

Tahapan kultur jaringan kelapa sawit di COPPU……………………………….. 46

Gambar berbagai tahapan kultur jaringan kelapa.................................................. 47

Komposisi media kultur jaringan tanaman............................................................ 49

PENDAHULUAN

Program Sarjana Biokimia merupakan salah satu program pendidikan yang

diselenggarakan oleh Departemen Biokimia, Fakultas Matematika dan Ilmu

Pengetahuan Alam, Institut Pertanian Bogor. Program ini memiliki tujuan untuk

menghasilkan lulusan tingkat sarjana yang memahami kaidah ilmiah, landasan

keilmuan yang kuat, mampu berpikir secara logis dan sistematis, terampil, serta

kreatif dalam menemukan solusi bagi masalah kehidupan yang berkaitan dengan

biokimia untuk kesejahteraan umat manusia.

Praktik lapang berguna untuk melatih sekaligus menyelaraskan ilmu yang

telah diperoleh di perkuliahan dengan dunia kerja agar bisa menjadi bekal saat

memasuki dunia kerja nantinya. Melalui kegiatan praktik lapangan (PL),

mahasiswa dituntut untuk dapat mengembangkan aspek kognitif, afektif dan

psikomotorik melalui penerapan ilmu yang diiringi dengan latihan kerja pada

instansi atau industri terkait, serta pengamatan metode-metode yang diterapkan di

lapangan sesuai dengan bidang keahlian. Selain itu, mahasiswa juga diharapkan

dapat melatih sikap kooperatif dan interaktif, agar mampu menjadi tenaga yang

terampil dan professional dalam dunia kerja.

Indonesia merupakan negara yang sangat potensial untuk pengembangan

usaha perkebunan kelapa sawit. Saat ini, kelapa sawit sudah secara luas ditanam

di Pulau Sumatra, Kalimantan, Jawa, Sulawesi, Papua, dan pulau-pulau lainnya.

Potensi lahan untuk penanaman baru kebun kelapa sawit masih cukup luas.

Lahan-lahan tersebut terutama berada di Kalimantan dan Papua. Perkebunan

kelapa sawit membawa dampak yang besar terhadap kemajuan perekonomian

masyarakat Indonesia, terutama pada daerah perkebunan dan pengolahan hasil

sawit. Oleh karena sumbangan yang besar dalam perekonomian Indonesia,

ekspansi dan intensifikasi lahan sawit di Indonesia terus dilakukan hingga saat ini.

Bibit unggul kelapa sawit dan teknologi-teknologi pendukung diperlukan

untuk mendukung ekspansi dan intensifikasi kebun kelapa sawit. Bibit unggul

diperlukan dalam jumlah besar bisa diperoleh dari berbagai macam teknik. Teknik

pemuliaan tanaman dapat menghasilkan bibit unggul dengan cara menyeleksi

indukan kelapa sawit unggul dan pembuahan dilakukan pada bibit sawit unggul

pula. Hal ini diharapkan bisa menghasilkan anakan kelapa sawit yang unggul

2

seperti induknya. Cara perbanyakan kelapa sawit dengan perkawinan ini masih

memiliki kelemahan, yaitu fenotip anak yang dihasilkan tidak bisa dijamin persis

keunggulannya dan menghasilkan banyak variasi fenotip dalam tiap perkawinan.

Hal ini karena pencampuran gen akan membuat banyak sekali variasi pada anakan

dan variasi-variasi yang terjadi belum tentu merupakan sifat yang diinginkan.

Asian Agri melalui PT Tunggal Yunus Estate melakukan perbanyakan

kelapa sawit unggul menggunakan teknik vegetatif, yaitu melalui kultur jaringan,

untuk mengatasi kelemahan reproduksi generatif kelapa sawit dalam penyediaan

benih unggul. Indukan kelapa sawit dengan sifat-sifat yang luar biasa unggul

diperbanyak dan ditanam kembali di lapangan untuk melihat hasilnya. Selain

digunakan untuk perbanyakan kelapa sawit untuk ditanam di lahan produksi, PT

Tunggal Yunus Estate melalui COPPU juga melakukan perbanyakan pohon-pohon

induk yang digunakan dalam produksi benih unggul. Beberapa pohon-pohon

induk Dura dan Pisifera yang digunakan memiliki sifat-sifat yang sangat unggul

tetapi jumlahnya terbatas. Untuk mengatasi hal ini, kultur jaringan merupakan

salah satu solusinya.

Perbanyakan kelapa sawit unggul dengan teknik kultur jaringan ini

diharapkan mampu memenuhi kebutuhan bibit dalam usaha Asian Agri untuk

meningkatkan produktivitas kebun. Hal ini perlu dilakukan karena areal untuk

membuka perkebunan baru semakin sulit untuk didapat. Kultur jaringan juga

digunakan untuk perbanyakan pohon-pohon induk unggul sebagai sumber benih

Tenera. Selain itu, teknik kultur jaringan ini bisa menyediakan perbanyakan

pohon-pohon induk untuk penyediaan bibit unggul kelapa sawit secara generatif.

Hasil penanaman klon kelapa sawit unggul ini diharapkan juga bisa meningkatkan

produktivitas kebun karena klon tersebut merupakan perbanyakan dari kelapa

sawit yang sudah terbukti sangat ungul di lapangan.

Salah satu tantangan dalam kultur jaringan kelapa sawit adalah proses

kultur jaringan yang efisien (Kushairi et al 2010). Saat ini, PT Tunggal Yunus

Estate melalui COPPU sedang mengembangkan proses tersebut. Salah satu

kendala dalam kultur jaringan di COPPU, walaupun dalam jumlah kasus terbatas,

adalah masalah pencoklatan (browning) pada saat proses subkultur. Pencoklatan

dapat menyebabkan kematian jaringan saat proses subkultur dan peningkatan

3

kejadian abnormalitas pada tanaman yang dihasilkan saat ditumbuhkan di

lapangan. Hal ini sangat mempengaruhi tingkat multiplikasi tanaman dan kualitas

tanaman yang dihasilkan, sehingga berpengaruh langsung pada efisiensi proses

kultur jaringan tersebut.

Kegiatan praktik lapang dilaksanakan selama bulan Juli dan Agustus 2012

di Clonal Oil Palm Production Unit (COPPU), PT Tunggal Yunus Estate, Asian

Agri. Lokasi laboratorium berada di Kebun Buatan, Eko 2, Desa Pangkalan

Kerinci, Kecamatan Kerinci, Kabupaten Pelalawan, Provinsi Riau. Beberapa

bagian kegiatan praktik lapang juga dilaksanakan di OPRS Topaz, Desa

Petapahan, Kecamatan Tapung, Kabupaten Kampar, Riau. Kegiatan di OPRS

Topaz dilaksanakan selama satu minggu.

Pelaksanaan praktik lapang di COPPU bertujuan untuk melakukan praktik

transfer embryoid culture tinggi (EC tinggi), transfer shoot development-root

induction (SD-RI), transfer root induction (RI), preparasi media, cek kontaminasi

subkultur, skoring (new embryoid (Ne) & EC tinggi), seleksi & input ramet, dan

seleksi bad culture. Adapun bagian kegiatan praktik lapang yang dilakukan di

OPRS Topaz adalah penanganan ramet (hardening, pre nursery, main nursery,

maintenance & selection), overview Seed Production Unit (SPU), sampling bunch

di lapangan, oil extraction in Lab Bunch Analysis, pisifera & pollen processing,

bagging & pollination, dan overview breeding & selection untuk pemilihan ortet.

Kegiatan praktik lapang ini dilakukan dengan metode observasi dan praktik

terhadap alur kerja (metode) kultur jaringan kelapa sawit di COPPU. Tujuan

khusus dari praktik lapang ini adalah mempelajari dan memahami proses-proses

kultur jaringan kelapa sawit, mulai dari pengambilan eksplan di lapangan hingga

menghasilkan benih kelapa sawit yang siap tanam.

KEADAAN UMUM PT TUNGGAL YUNUS ESTATE

Sejarah dan Perkembangan Perusahaan

PT Tunggal Yunus Estate merupakan pengelola dari Oil Palm Research

Station di kebun Topaz (OPRS Topaz). Selain OPRS Topaz, Asian Agri juga

memiliki pusat riset di Bahilang (R&D Bahilang). OPRS Topaz menginduk pada

R&D Bahilang. OPRS Topaz mulai dirintis sejak tahun 1992 dengan seleksi dan

persilangan pohon induk di Kosta Rika. Selanjutnya, pohon induk yang dihasilkan

ditanam di Kebun Topaz pada tahun 1996.

Sebagai produsen benih kelapa sawit, OPRS Topaz bertujuan untuk

menghasilkan bahan tanaman kelapa sawit dengan dengan produktifitas minyak

yang tinggi dan mempunyai keunggulan sekunder yang diperoleh melalui aktifitas

pemuliaan yang sistematis dan berkelanjutan. Untuk mendukung riset dalam

pemuliaan dan produksi bahan tanaman kelapa sawit ini, PT Tunggal Yunus Estate

mendirikan Clonal Oil Palm Production Unit (COPPU) di Kebun Buatan Eko 2,

di Pangkalan Kerinci.

COPPU adalah laboratorium riset dan produksi skala besar bibit sawit

unggul yang didapat dengan teknik kultur jaringan. Lab kultur jaringan ini

berlokasi di Kebun Buatan Eko 2. Laboratorium ini mulai dioperasikan tahun

2005 dengan nama awal Tissue Culture Laboratory (TC Lab) yang tergabung

dalam Royal Golden Eagle Technology Centre (RGE-TC). RGE-TC merupakan

semua tempat riset untuk RGE Group. RGE-TC merupakan kolaborasi antara

RAPP Fiber-Mill-AA. Ada empat lab di RGE-TC; Soil Analitycal Lab, Pest &

Disease Lab, Pulp & Paper Lab, Tissue Culture Lab. Logo Asian Agri disajikan

pada Gambar 1.

Gambar 1 Logo Asian Agri.

5

Pada tanggal 23 Maret 2012, gedung laboratorium dipindahkan ke lokasi

yang sekarang dan namanya berubah menjadi nama yang digunakan hingga

sekarang. Unit laboratorium ini dikepalai oleh seorang manager dan dan dibantu

oleh lima orang asisten. Para asisten dan manager mengatur karyawan lainnya di

COPPU yang bertugas di bagian preparasi media, sub kultur, gudang,

administrasi-personalia, dan bagian pemrosesan data.

COPPU merupakan salah satu divisi dari PT Tunggal Yunus Estate (PT

TYE) yang bertugas dalam riset kelapa sawit unggul dan perbanyakannya dengan

teknik kultur jaringan. Kantor pusat PT TYE berada di kebun Topaz, Desa

Petapahan, Kecamatan Tapung, Kabupaten Kampar, Riau. PT TYE sendiri

mempunyai 4 divisi dan 1 unit pelaksana marketing. Keempat divisi tersebut

adalah Seed Production Unit (SPU), Nursery and Extention, Breeding, dan

COPPU. SPU, Nursery and Extention, dan Breeding berada di kebun Topaz dan

hanya COPPU yang berlokasi di Kebun Buatan, Kerinci.

PT TYE merupakan bagian dari grup perusahaan Asian Agri dan bergerak

dibidang produksi bibit kelapa sawit. Produksi benih kelapa sawit yang dijual oleh

PT TYE ke masyarakat maupun perusahaan lain masih berupa kecambah dan bibit

kelapa sawit dari hasil persilangan varietas Dura dan Pisifera unggul. Saat ini,

produksi klon kelapa sawit di COPPU masih terbatas. Hal ini bukan karena

kapasitas laboratorium yang terbatas, namun karena masih dalam tahap percobaan

untuk melakukan uji potensi produksi serta insiden abnormalitas dalam tanaman

klon tersebut. Setelah dipastikan bahwa klon tersebut memiliki tingkat produksi

TBS dan minyak yang tinggi, tidak ada abnormalitas, serta tidak ada perbedaan

dengan induknya, maka akan dilakukan kloning ulang atau recloning. Proses

recloning tentu akan menjadi mudah dan dapat dijalankan dengan skala produksi

yang lebih besar dengan hasil yang lebih baik.

PT TYE melalui COPPU saat ini terus melakukan riset kultur jaringan

kelapa sawit untuk mendukung produksi benih unggul kelapa sawit skala besar.

Riset kultur jaringan ini juga dibarengi dengan program pemuliaan kelapa sawit

dan didukung oleh para pakar yang telah berpengalaman di bidang penelitian

kelapa sawit baik dari dalam maupun luar negeri. Perpaduan riset dalam teknik

kultur jaringan dan pemuliaan tanaman akan menghasilkan keselarasan dalam

6

mencapai tujuan PT TYE, yaitu menghasilkan bahan tanaman kelapa sawit

dengan produktivitas minyak yang tinggi dan mempunyai keunggulan sekunder

yang diperoleh melalui aktifitas pemuliaan yang sistematis dan berkelanjutan.

Lokasi dan Tata Letak Perusahaan

Kantor pusat Asian Agri di Indonesia terletak di Uniplaza Building lantai 6

Menara Timur, Jl. Letjend MT Haryono No. A-1 Medan 20231, Sumatra Utara.

PT Tunggal Yunus Estate memiliki kantor pusat di OPRS Topaz, Desa Petapahan,

Kecamatan Tapung, Kabupaten Kampar, Provinsi Riau. PT Tunggal Yunus Estate

memiliki perkebunan kelapa sawit seluas 4000 ha dan digunakan untuk produksi

dan penelitian benih unggul kelapa sawit. OPRS Topaz memliki jarak sekitar 80

Km dari Kota Pekanbaru dan dapat ditempuh dengan mobil dalam waktu sekitar 2

jam. PT Tunggal Yunus Estate juga memiliki Marketing Office di Jl. Jend.

Sudirman No. 68, Pekanbaru, Riau.

Struktur Organisasi Perusahaan

PT Tunggal Yunus Estate termasuk dalam kelompok usaha Asian Agri.

Asian Agri sendiri merupakan bagian dari Royal Golden Eagle Group (RGE

Group). RGE Group memiliki lima bidang kelompok usaha. Kelima kelompok

usaha tersebut dibagi bardasarkan bidang perusahaannya; Pacific Oil &

Gas/PO&G (bidang minyak bumi dan gas), Sateri (bidang produksi rayon),

PechTec (bidang konstruksi), Asian Agri/AA (bidang perkebunan), dan Riau

Andalan Pulp and Paper/RAPP (bidang kehutanan, produksi bubur kertas dan

kertas Paper One). Asian Agri memliki 12 perusahaan yang bergerak di bidang

usaha tani kelapa sawit. PT Tunggal Yunus Estate (PT TYE) sendiri secara

spesifik bergerak dalam usaha penyediaan bibit unggul kelapa sawit.

PT TYE dipimpin oleh seorang general manager bernama Bapak Ang

Boon Beng. PT TYE sendiri terdiri dari empat divisi dan satu unit pelaksana kerja.

Divisi tersebut adalah SPU, Nursery & Extention, Breeding, dan COPPU. Satu

unit kerja di PT TYE adalah Marketing. Tiap divisi/unit kerja dipimpin oleh

seorang manager; SPU oleh Bapak Tan Kim Seng, Nursery & Extention oleh

Bapak Juliarto Barus, Breeding oleh Bapak Kukuh Setiawan, COPPU oleh Ibu Ida

Febriantine, dan Marketing oleh Bapak Ronny Susilo.

7

Ibu Ida Febriantine sendiri dalam memimpin COPPU dibantu oleh lima

orang yang bertugas sebagai supervisor. COPPU memiliki empat bagian dalam

melaksanakan fungsinya dan masing masing bagian ditangani secara terpisah oleh

para supervisor tersebut. Keempat bagian tersebut dan supervisor yang

menanganinya adalah: Media Preparation oleh Pak Beni Oktora, Subkultur oleh

Pak Gogoh Sulaksono dan Ibu Rike Novikasari, Eksplan dan Kalus oleh Pak

Nazhri Jambak, dan bagian Ramet serta Data Processing oleh Pak Erwin

Simanjuntak. Bagian pendukung yang berperan sangat penting pada kelancaran

pekerjaan adalah Administration, Personalia dan Common Service. Bagian

pendukung ini dikepalai oleh seorang KTU, Pak Indra Setiawan.

Ketenagakerjaan

Terdapat sistem tingkatan karyawan di Asian Agri. Para staff (General

Manager, Manager, dan Asisten) masuk dalam kelas eksekutif, para pemimpin

divisi atau unit kerja masuk dalam tingkatan senior manager atau manager. Para

pemimpin divisi atau unit kerja dibantu oleh para asisten di setiap unit kerja

masing-masing. Tingkatan asisten dimulai dari asisten satu hingga asisten empat.

Asisten empat disebut asisten kepala (head assistant). Mulai dari asisten hingga

tingkat yang lebih tinggi, para karyawan tersebut disebut sebagai staff. Adapun

para pekerja lainnya yang tingkatannya dibawah asisten, statusnya disebut non

staff.

Tingkatan pekerja non staff dibagi dalam tiga bagian, dimulai dari yang

paling atas yaitu SKU-B, SKU-H, dan Pekerja Harian Lepas (PHL). Dalam

tingkat SKU-B pun terdapat tingkatan lagi mulai dari tingkat A1, hingga G8.

Urutan tingkat SKU-B berurut mulai abjad A hingga G dan dari angka 1 hingga 8

(A1, A2, A3, …, A8, B1, B2, … dan seterusnya hingga G8). Para PHL merupakan

tingkatan pekerja yang paling bawah dan memiliki kuantitas terbesar. Para

karyawan non staff bisa diangkat ke jenjang yang lebih tinggi oleh HR Personalia

Region Office dengan persetujuan Regional Head berdasarkan masa kerja,

produktivitas, kedisiplinan, dan hal-hal lain yang dianggap penting. Evaluasi dan

pengajuan promosi disampaikan oleh asisten kepada manager.

8

Jenis Produk

Asian Agri melalui PT Tunggal Yunus Estate saat ini memproduksi benih

kelapa sawit persilangan varietas dura dan pisifera unggul (D×P) menggunakan

tetua dura dan pisifera terseleksi dari Kosta Rika. Tetua dura yang digunakan

berjumlah 228 keturunan inbred lines Dura Deli (D×D) yang berasal dari lembaga

riset ternama seperti MARDI Serdang (Malaysia), OPRS Banting (Malaysia),

OPRS Dami (Papua New Guinea), Stasiun Riset Chemara (Malaysia), Socfin

Johor Labis (Malaysia) dan San Alejo (Honduras). Tetua pisifera terseleksi

sejumlah 50 keturunan yang berasal dari AVROS (H & C, Malaysia), AVROS

Dami, Ekona, Ghana, Nigeria, La Me dan Yangabi. Pohon-pohon induk tersebut

ditanam di OPRS Topaz dan produksi serta pengolahan lanjutan benih kelapa

sawit juga dilakukan disana.

Berdasarkan hasil pengujian dan seleksi yang seksama, telah terpilih tetua

dura dan pisifera untuk memproduksi varietas unggul kelapa sawit D×P Topaz

yaitu Topaz 1 (hasil persilangan Dura Deli dengan Pisifera Nigeria), Topaz 2

(hasil persilangan Dura Deli dengan Pisifera Ghana), Topaz 3 (hasil persilangan

Dura Deli dengan Pisifera Ekona), Topaz 4 (hasil persilangan Dura Deli dengan

Pisifera Yangambi).

Varietas unggul kelapa sawit D×P Topaz telah memperoleh Ijin Pelepasan

Varietas sesuai Surat Keputusan Menteri Pertanian RI Nomor 57, 58,59, dan

60/KPTS/SR.120/I/2004 masing-masing tertanggal 16 Januari 2004. OPRS Topaz

telah memperoleh sertifikasi ISO 14001:2004 (SGS) dan ISO 9001:2000 (TÜV

NORD)

Varietas Topaz telah diuji menggunakan 440 progeni D×P yang merupakan

persilangan antara 223 Dura Deli dengan 50 pisifera dan ditanam pada 3 lokasi

dengan jenis tanah yang berbeda; tanah organik/aluvial, gambut dangkal, dan

gambut dalam. Luas total areal percobaan lebih dari 600 hektar di Sumatra Utara

dan Riau. Keunggulan D×P Topaz yaitu potensi hasil minyak yang tinggi,

produksi yang tinggi mulai panen pertama, rendemen minyak yang tinggi,

pertumbuhan meninggi yang lambat, dan mampu beradaptasi dengan baik pada

tanah gambut.

9

Kontrol pengumpulan tepung sari dari tetua pisifera dan penyerbukan pada

bunga betina dilakukan dengan ketelitian yang sangat tinggi. Proses selanjutnya

adalah menjaga kemurnian benih yang dihasilkan saat pemrosesan benih lebih

lanjut. Standard seleksi yang tinggi dan kontrol kualitas yang ketat memberikan

jaminan bahan tanaman yang dihasilkan berkualitas tinggi.

Saat ini, produksi ramet (benih dari kultur jaringan) kelapa sawit yang

dihasilkan di COPPU masih sekitar 28.000 ramet per tahun. Ramet ini belum

diproduksi untuk tujuan komersial karena masih dalam tahap penelitian serta

penggunaannya terbatas untuk kepentingan perusahaan saja. Jika hasil kultur

jaringan telah terbukti unggul dan tidak ada abnormalitas, baru tingkat produksi

secara komersial akan dilakukan.

11

TINJAUAN PUSTAKA

Kelapa Sawit

Kelapa sawit masuk ke dalam Divisi Tracheophyta, Subdivisi Pteropsida,

Kelas Angiospermae, Subkelas Monocotyledonae, Ordo Cocoidae, Famili Palmae,

dan Genus Elaeis. Terdapat tiga spesies pada kelapa sawit, yaitu Elaeis guineensis

Jacq., Elaeis oleifera (H.B.K) Cortes, Elaeis odora (Fauzi et al 2008).

E. guineensis diusahakan secara komersial di Afrika, Amerika Selatan,

Asia Tenggara, Pasifik Selatan, serta beberapa daerah lain dengan skala yang

lebih kecil. Tanaman kelapa sawit berasal dari Afrika dan Amerika Selatan

(Brazil). Di Brazil, tanaman ini dapat ditemukan tumbuh liar atau setengah

disepanjang tepi sungai. Kelapa sawit yang termasuk dalam Subfamili Cocoideae

merupakan tanaman asli Amerika Selatan, termasuk spesies E. oleifera dan E.

odora (Pahan 2006).

Kelapa sawit yang dibudidayakan terdiri dari dua jenis yaitu E.

guineensis dan E. oleifera. Jenis pertama yang terluas dibudidayakan orang.

Kedua spesies kelapa sawit ini memiliki keunggulan masing-masing. E.

guineensis memiliki produksi yang sangat tinggi dan E. oleifera memiliki

kandungan minyak tak jenuh tinggi serta tegakan tanaman yang rendah. Banyak

orang menyilangkan kedua spesies ini untuk mendapatkan spesies yang tinggi

produksinya dan mudah dipanen. E. oleifera sekarang mulai dibudidayakan pula

untuk menambah keanekaragaman sumber daya genetik (Pahan 2006).

Pemulia tanaman seringkali melihat tipe kelapa sawit berdasarkan

ketebalan cangkang, yang terdiri dari Dura, Pisifera, dan Tenera. Dura

merupakan sawit yang buahnya memiliki cangkang tebal sehingga dianggap

memperpendek umur mesin pengolah namun biasanya tandan buahnya besar-

besar dan kandungan minyak per tandannya berkisar 18%. Pisifera buahnya tidak

memiliki cangkang, sehingga tidak memiliki inti (kernel) yang menghasilkan

minyak ekonomis dan bunga betinanya steril sehingga sangat jarang

menghasilkan buah. Tenera adalah persilangan antara induk Dura dan jantan

Pisifera. Jenis ini dianggap bibit unggul sebab melengkapi kekurangan masing-

masing induk dengan sifat cangkang buah tipis namun bunga betinanya tetap

fertile (Fauzi et al 2008).

12

Tanaman kelapa sawit berakar serabut. Perakarannya sangat kuat karena

tumbuh ke bawah dan ke samping membentuk akar primer, sekunder, tersier, dan

kuarter (Fauzi et al 2008). Akar primer tumbuh ke bawah di dalam tanah sampai

batas permukaan air tanah. Akar sekunder, tertier, dan kuarter tumbuh sejajar

dengan permukaan air tanah bahkan akar tertier dan kuarter menuju ke lapisan

atas atau ke tempat yang banyak mengandung zat hara (Lubis 2008).

Batang kelapa sawit tumbuh tegak lurus (phototropi) dibungkus pelepah

daun (frond base) (Lubis 2008). Batang berbentuk silindris berdiameter 0,5 m

pada tanaman dewasa. Bagian bawah umumnya lebih besar disebut bongkol

batang atau bowl. Pada tanaman yang masih muda batangnya tidak terlihat karena

tertutup oleh pelepah daun. Daun kelapa sawit mirip kelapa yaitu membentuk

susunan daun majemuk, bersirip genap, dan bertulang sejajar. Daun-daun

membentuk satu pelepah yang panjangnya mencapai 7.5 - 9 m. Jumlah anak daun

di setiap pelepah berkisar antara 250 - 400 helai (Fauzi et al 2008).

Tanaman kelapa sawit di lapangan mulai berbunga pada umur 12–14

bulan, tetapi baru ekonomis untuk dipanen pada umur 2.5 tahun (Lubis 2008).

Dari setiap ketiak pelepah daun akan keluar satu tandan bunga jantan atau betina.

Diferensiasi seks terjadi 17–25 bulan sebelum antesis dan setelah antesis

membutuhkan waktu 5–6 bulan baru matang panen. Secara visual tandan bunga

jantan atau betina baru dapat diketahui setelah muncul dari ketiak pelepah daun

yaitu 7–8 bulan sebelum matang (Fauzi et al 2008).

Bunga betina setelah dibuahi akan berkembang pada spikelet. Karena

kondisi terjepit maka buah yang terletak di bagian dalam akan lebih kecil dan

kurang sempurna bentuknya dibandingkan dengan yang terletak di bagian luar

(Lubis 2008). Kematangan buah dibedakan atas matang morfologis dan matang

fisiologis. Matang morfologis adalah kematangan buah yang telah sempurna

bentuknya serta kandungan minyak optimal. Matang fisiologis adalah kematangan

buah yang sudah lebih lanjut yaitu telah siap untuk tumbuh dan berkembang

biasanya satu bulan sesudah matang morfologis (Pahan 2006).

Beberapa hal yang harus diperhatikan dalam memilih seleksi induk untuk

kultur jaringan yang baik adalah oil yield (>10 ton/ha), pohon harus sehat dan

tidak tinggi, pelepahnya rapi, serta tidak ada penyakit, dan batangnya tidak terlalu

13

besar. Bunch index, yaitu perhitungan rasio antara produk tandan dengan jumlah

hasil fotosintesis, menjadi tidak kalah pentingnya. Bunch index yang ideal adalah

>6 yang berarti 60% hasil fotosintesis digunakan untuk produksi tandan buah

segar (TBS) kelapa sawit. Kelapa sawit dengan bunch index yang tinggi lebih

efisien dalam produksi tandan dibanding kelapa sawit yang bunch index-nya

rendah. Dengan nilai indeks yang tinggi, biasanya bentuk pohon dan batangnya

akan lebih kecil, pelepahnya akan lebih pendek karena hasil fotosintesis lebih

banyak digunakan untuk produksi TBS (Lubis 2008).

Kultur Jaringan

Salah satu hal terpenting dalam siklus hidup organisme adalah fertilisasi

yang melibatkan penggabungan dari dua gamet yang berlawanan (berbeda tipe)

dan membentuk zigot. Zigot ini merupakan asal dari seluruh bagian multiselular

dan multiorgan dari organisme tingkat tinggi. Secara teoritis, semua sel di tubuh

tanaman seharusnya menerima material genetik yang sama dengan zigot. Adanya

fakta ini mengharuskan adanya beberapa faktor lain yang berdampak pada

karakter genetik sel yang memberikan variasi ekspresi genetik yang besar dari sel-

sel yang identik secara genetik. Proses yang terlibat untuk menghasilkan variasi-

variasi ini disebut diferensiasi (Bhojwani dan Razdan 1983).

Kultur jaringan tanaman merupakan teknik menumbuh-kembangkan

bagian tanaman, baik berupa sel, jaringan,atau organ dalam kondisi aseptik secara

in vitro. Teknik ini dicirikan oleh kondisi kultur yang aseptik, penggunaan media

kultur buatan dengan kandungan nutrisi lengkap dan ZPT (zat pengatur tumbuh),

serta kondisi ruang kultur yang suhu dan pencahayaannya terkontrol (Yusnita

2008). Berdasarkan bagian tanaman yang dikulturkan, secara lebih spesifik

terdapat beberapa tipe kultur, yaitu kultur kalus, kultur suspensi sel, kultur akar,

kultur pucuk tunas, kultur embrio, kultur ovul, kultur anter, dan kultur kuncup

bunga. Namun, semua jenis kultur tersebut sering disebut dalam istilah umum,

yaitu kultur jaringan (Yusnita 2008).

Praktik kultur jaringan tanaman bermula dari pembuktian sifat totipotensi

(total genetic potensial) sel, yaitu bahwa setiap sel tanaman yang hidup dilengkapi

dengan informasi genetik dan perangkat fisiologis yang lengkap untuk tumbuh

dan dan berkembang menjadi tanaman utuh, jika kondisinya sesuai. Teori ini

14

dikemukakan oleh Schwan dan Scheiden pada tahun 1838. Gotlieb Haberlant, ahli

botani Jerman, dianggap sebagai pelopor dalam sejarah perkembangan kultur

jaringan tanaman. Dalam publikasi tahun 1902, Haberlant mengemukakan bahwa

sel tumbuhan yang diisolasi dan dikondisikan dalam lingkungan yang sesuai akan

tumbuh dan berkembang menjadi tanaman yang lengkap. Namun, percobaan

untuk membuktikan idenya itu menemui kegagalan. Hal ini diduga karena

keterbatasan pengetahuan tentang hormon dan nutrisi tanaman pada waktu itu

(Yusnita 2008).

Totipotensi sel berhasil dibuktikan pada pertengahan sampai akhir tahun

1930-an. Setiap sel tumbuhan atau bagian kecil tanaman dapat tumbuh dan

berkembang menjadi individu tanaman baru yang lengkap. Penemuan ZPT dan

upaya pengembangan formulasi media berperan penting dalam menentukan

keberhasilan teknik kutur jaringan atau kultur in vitro secara umum (Bhojwani

dan Razdan 1983).

Kebutuhan nutrisional untuk pertumbuhan optimal dari jaringan dalam

tabung dapat bervariasi berdasarkan spesiesnya. Bahkan jaringan dari bagian

tanaman yang berbeda mungkin mempunyai kebutuhan yang berbeda untuk

pertumbuhan yang memuaskan (Murashige dan Skoog 1962). Sebagai contoh,

tidak ada medium tunggal yang bisa disarankan agar seluruhnya cocok untuk

semua tipe jaringan dan organ tanaman.

Beberapa media kultur jaringan paling awal, seperti medium kultur akar

dari White dan medium kultur kalus dari Gautheret, dikembangkan dari larutan

nutrien yang sebelumnya digunakan untuk kultur tanaman utuh. White

mengembangkan mediumnya dari Uspenski dan medium Uspenki untuk alga, dan

medium Gautheret berdasarkan larutan garam Knop. Semua formulasi media

selanjutnya berdasarkan pada media White dan Gautheret (Bhojwani dan Razdan

1983).

Beberapa jaringan tanaman seperti wortel, blackberry, dan sebagian besar

jaringan tumor, dapat tumbuh pada media yang sederhana yang hanya

mengandung garam anorganik dan gula sederhana. Untuk sebagaian besar

jaringan tanaman lainnya, penting untuk menambahkan pada mediumnya dengan

vitamin, asam amino, dan zat tumbuh dengan kombinasi kualitatif dan kuantitatif

15

yang berbeda-beda (Bhojwani dan Razdan 1983). Seringkali, campuran nutritif

kompleks ditambahkan pada media kultur jaringan tanaman. Medium yang hanya

mengandung bahan yang terdefinisi secara kimia disebut sebagai medium sintetik

(Bhojwani dan Razdan 1983). Bahkan dalam medium sintetik pun, penguraian

dari beberapa bahan (sukrosa, vitamin, dll) selama proses autoklaf dan interaksi

antara berbagai bahan selama preparasi media akan mengubah komposisi akhir

dari medium tersebut (Yusnita 2008).

Kandungan media pada kultur jaringan menurut Bhojwani dan Razdan

(1983) dibagi menjadi lima bagian; nutrien anorganik, nutrien organik, hormon

pertumbuhan, bahan pemadat (solidifying agent), dan tingkat keasaman

(konsentrasi ion H+ pada media, dinyatakan dengan pH).

Elemen mineral sangat penting dalam kehidupan tanaman. Mineral

berperan menjadi bagian dari pigmen tanaman, bagian dari dinding sel, bagian

dari stuktur biomolekul, dan lain-lain. Selain C, H, dan O, ada 12 elemen lain

yang dikenal sangat esensial untuk pertumbuhan tanaman. Elemen-elemen

tersebut adalah nitrogen, fosfor, sulfur, kalsium, kalium, magnesium, besi,

mangan, tembaga, seng, boron, dan molybdenum (Yusnita 2008). Enam elemen

pertama dari elemen-elemen tersebut, secara komparatif dibutuhkan dalam jumlah

besar, sehingga disebut elemen makro. Enam elemen lainnya secara komparatif

dibutuhkan dalam jumlah sedikit, sehingga disebut elemen-elemen mikro.

Berdasarkan rekomendasi dari dari Internasional Association for Plant

Physiology, elemen-elemen yang dibutuh oleh tanaman pada konsentrasi lebih

besar dari 0,5 mmol-1 mmol termasuk dalam makroelemen dan elemen-elemen

yang dibutuhkan pada konsentrasi kurang dari 0,5 mmol-1 mmol termasuk dalam

mikroelemen (De Fossard 1976). Kelima belas elemen yang penting untuk

pertumbuhan tanaman utuh juga terbukti penting untuk kultur jaringan.

Salah satu tipe ion mungkin bisa didapatkan lebih dari satu jenis garam

mineral. Perbandingan dua jenis media kultur jaringan yang berbeda dapat terlihat

dari konsentrasi total ion-ion yang berbeda dalam suatu medium. “Balance sheet”

dari ion-ion pada ketujuh media yang diberikan di Tabel 1.

16

Tabel 1 “Balance sheet” dari ion-ion pada media kultur jaringan (Bhojwani dan

Razdan 1983)

Ion Satuan Media

Whitea

Hellerb

MSc

ERd

B5e

Nitschf

NTg

NO3 mmol l-1

33,3 7,05 39,41 33,79 25,00 18,40 19,69

NH4 mmol l-1

- - 20,62 15,00 2,00 9,00 10,30

Total N mmol l-1

3,33 7,05 60,03 48,79 27,03 27,40 29,99

P mmol l-1

0,138 0,90 1,25 2,50 1,08 0,50 5,00

K mmol l-1

1,66 10,05 20,05 21,29 25,00 9,90 14,39

Ca mmol l-1

1,27 0,51 2,99 2,99 1,02 1,49 1,50

Mg mmol l-1

3,04 1,01 1,50 1,50 1,00 0,75 5,00

Cl mmol l-1

0,87 11,08 5,98 5,98 2,04 2,99 3,00

Fe µmol l-1

12,50 3,70 100,00 100,00 50,10 100,00 100,00

S µmol l-1

4502,00 1013,50 1730,00 1610,.00 2079,90 996,80 5236,50

Na µmol l-1

2958,00 7966,00 202,00 237,20 1089,00 202,00 202,00

B µmol l-1

24,20 16,00 100,00 10,00 48,50 161,80 100,00

Mn µmol l-1

22,40 0,40 100,00 10,00 59,20 112,00 100,00

Zn µmol l-1

10,40 3,40 30,00 37,30 7,00 34,70 36,83

Cu µmol l-1

0,04 0,10 0,10 0,01 0,10 0,10 0,10

Mo µmol l-1

0,007 - 1,00 0,1 1,00 1,00 1,00

Co µmol l-1

- - 0,10 0,01 0,10 - 0,10

I µmol l-1

4,50 0,06 5,00 - 4,50 - 5,00

Al µmol l-1

- 0,20 - - - - -

Ni µmol l-1

- 0,10 - - - - -

Keterangan: a White (1963).

b Heller (1953).

cMurashige dan Skoog (1962).

dEdrikkson (1965).

eGaemborg et al (1968).

fNitsfch (1969).

gNagata dan Takabe (1971).

Medium White, salah satu media kultur jaringan awal, mengandung semua

nutrisi yang dibutuhkan dan secara luas digunakan dalam kultur akar. Namun,

pengalaman dan berbagai peneliti menyatakan bahwa bahwa nutrient anorganik

pada medium ini secara kuantitatif tidak cukup untuk pertumbuhan kalus

(Murashige dan Skoog 1962). Kekurangan ini pada awalnya diatasi dengan

memperkaya medium dengan campuran kompleks seperti yeast extract, hidrolisat

kasein, santan, asam amino dan lain-lain. Dengan mengembangkan media sintetik

yang cocok secara obyektif, peneliti-peneliti selanjutnya telah secara efektif

mengganti campuran nutritif dengan meningkatkan konsentrasi berbagai nutrient

anorganik, khususnya kalium dan nitrogen. Sebagian besar media kultur jaringan

tanaman yang secara luas sekarang ini lebih kaya pada garam mineral (ion-ion)

jika dibandingkan dengan medium White.

17

Menurut Heller (1965), gejala defisiensi dari beberapa elemen yang

ditunjukkan oleh jaringan kalus saat kekurangan nitrogen adalah beberapa

jaringan (Virginia creeper) menunjukkan kemunculan antosianin yang hebat;

bentuk tidak terjadi. Saat terjadi defisiensi nitrogen, kalium, dan fosfor terjadi

hipertrofi sel dan pengurangan jaringan kambium. Defisiensi sulfur

mengakibatkan jaringan mengalami klorosis. Kekurangan besi mengakibatkan

penghentian pembelahan sel. Saat defisiensi boron pada jaringan, sel mengalami

penghambatan pembelahan dan pemanjangan. Kekurangan mangan dan

molybdenum dapat mempengaruhi pemanjangan sel.

Sebagian besar kultur sel tanaman mampu membentuk semua vitamin

esensial, namun dalam jumlah yang kurang optimal. Untuk mencapai

pertumbuhan terbaik dari jaringan, seringkali penting untuk menambahkan

medium dengan vitamin dan asam amino. Thiamin (vitamin B1) secara umum

terbukti sebagai sebuah bahan yang penting. Vitamin lain, terutaman piridoksin

(vitamin B6), asam nikotinat (vitamin B3), kalsium pantotenat (vitamin B5), dan

inositol juga dikenal meningkatkan pertumbuhan bagian tanaman yang dikultur.

Berbagai media standard menunjukkan perbedaan yang luas pada komposisi

berbagai vitamin dan asam amino (Yusnita 2008).

Beberapa campuran nutritif kompleks seperti hidrolisat kasein (CH),

santan kelapa (CM), jus tomat (JC), corn milk, ekstrak malt (ME), dan yeast

extract (YE), juga telah digunakan untuk meningkatkan pertumbuhan beberapa

jenis kalus dan organ-organ. Penggunaan ekstrak alami sebisa mungkin dihindari

karena berpengaruh pada reproduksibilitas hasil kultur. Hal ini terjadi karena

kualitas dan kuantitas bahan perangsang pertumbuhan dalam ekstrak ini seringkali

bervariasi tergantung umur jaringannya dan variasi organisme donornya

(Bhojwani dan Razdan 1983).

Jaringan yang awalnya berwarna hijau secara perlahan akan kehilangan

pigmen hijaunya dalam kultur dan tergantung pada sumber karbon luar. Bahkan

jaringan yang mendapatkan pigmen hijau melalui perubahan yang tiba-tiba atau

dibawah kondisi khusus selama periode kultur, tidak menjadi bersifat autotrof

untuk karbon. Tegakan yang hijau dan berorgan lengkap dalam kultur juga

18

menunjukkan pertumbuhan dan proliferasi yang lebih baik dengan penambahan

sumber karbon yang cocok pada medium kultur (Yusnita 2008).

Sumber karbon yang paling sering digunakan adalah sukrosa, dengan

konsentrasi antara 2% hingga 5%. Glukosa dan sukrosa juga dikenal dapat

mendukukung pertumbuhan yang baik pada beberapa jaringan. Secara umum,

potongan akar tanaman dikotil paling baik tumbuh dengan sukrosa dan potongan

akar tanaman monokotil paling baik tumbuh dengan dekstrosa (glukosa).

Beberapa bentuk karbon dalam kultur jaringan tanaman yang dapat digunakan

adalah maltosa, galaktosa, mannosa, dan laktosa (Gautheret 1959). Beberapa

kultur tanaman bahkan bisa memetabolisme pati sebagai sumber karbon mereka.

Selain penambahan nutrient, secara umum juga penting untuk

menambahkan satu atau lebih bahan pengatur tumbuh, seperti auksin, sitokinin,

dan giberelin, untuk mendukung pertumbuhan jaringan dan organ yang baik.

Namun, kebutuhan bahan-bahan ini bervariasi tergantung pada jaringannya, dan

dipercaya bahwa hal ini juga tergantung dari kandungan endogen bahan-bahan

tersebut dalam jaringan (Bhojwani dan Razdan 1983).

Metabolit Sekunder Fenolik

Tanaman mengandung keragaman yang besar dalam senyawa turunan

fenolik. Contohnya adalah fenol sederhana, flavonoid, stilben, tanin, lignan, dan

lignin. Bersama dengan asam karboksilat rantai panjang, senyawa fenolik juga

merupakan komponen dari suberin dan kutin. Senyawa yang lebih bervariasi ini

memiliki fungsi yang penting sebagai antibiotik, pestisida alami, senyawa sinyal

untuk pembentukan simbiosis dengan Rhizobia, menarik polinator, agen protektif

terhadap sinar UV, bahan penyalut untuk membuat dinding sel impermeabel

terhadap udara dan air, dan bahan stuktural untuk memberikan stabilitas tanaman.

Semua senyawa ini diturunkan dari fenilalanina, dan dalam beberapa tanaman,

juga dari tirosina (Saxena 2001).

Fenilalanina dan tirosina dibentuk oleh jalur shikimate. Karena senyawa

fenolik diturunkan dari dua asam amino yang mengandung sebuah cincin fenil

dengan sebuah cincin samping C3, senyawa-senyawa ini secara kolektif disebut

fenilpropanoid (Heldt 2005). Garis besar produk metabolisme senyawa

fenilpropanoid disajikan pada gambar 2.

19

Gambar 2 Garis besar produk metabolisme senyawa fenilpropanoid (Heldt 2005).

Tabel 2 Beberapa fungsi fenilpropanoid (Heldt 2005) Fenilpropanoid Fungsi

Kumarin Antibiotik, racun bagi tanaman pengganggu

Lignan Antibiotik, racun bagi tanaman pengganggu

Lignin Bahan penyusun dinding sel

Suberin dan Kutin Pembentuk lapisan impermiabel

Stilben Antibiotik, khususnya fungisida

Flavonoid Antibiotik, sinyal untuk interaksi dengan simbion, pigmen pada bunga, senyawa pelindung terhadap cahaya berlebih

Tanin Bahan penyamak, fungisida, perlindungan terhadap herbivore

Senyawa-senyawa turunan asam benzoat, termasuk asam salisilat,

dibentuk oleh pemecahan dari fragmen C2 dari fenilpropana. Asam salisilat dapat

mempengaruhi tumbuhan. Telah diamati bahwa tanaman tembakau yang diberi

perlakuan aspirin (asetil salisilat) atau asam salisilat dapat meningkatkan

ketahanan terhadap patogen, seperti Tobacco mosaic virus (TMV) (Saxena 2001).

Beberapa fungsi fenilpropanoid juga disajikan pada tabel 2.

Banyak tumbuhan menunjukkan peningkatan kandungan asam salisilat

setelah diinfeksi oleh virus atau jamur. Peningkatan kandungan asam salisilat juga

20

terjadi setelah tanaman terpapar sinar UV atau tekanan ozon. Asam salisilat

menunjukkan fungsi sebagai senyawa sinyal yang penting yang bekerja dengan

mengaktifkan rangkaian sinyal untuk ekspresi enzim yang menjadi bagian dari

reaksi pertahanan terhadap virus, bakteri, dan jamur (Heldt 2005).

Fenilalanina amonia liase (PAL) mengkatalisis reaksi awal dari

metabolisme fenilpropanoid. Enzim ini mengkatalisis reaksi deaminasi dari

fenilalanina dan pembentukan sebuah ikatan ganda antar karbon. Pada beberapa

tumbuhan rerumputan, tirosina diubah menjadi asam 4-hidroksisinamat dengan

cara yang analog oleh tirosina ammonia liase. PAL adalah enzim yang paling

intensif dipelajari pada metabolisme sekunder tanaman. Enzim ini merupakan

tetramer dengan berat subunit 77 hingga 83 kDa. Pembentukan fitoaleksin

fenilpropanoid setelah infeksi jamur melibatkan induksi yang sangat cepat dari

PAL. PAL dihambat oleh produknya sendiri. Analog fenilalanina, asam

aminoksifenilpropanoid, juga merupakan inhibitor PAL yang sangat potenisal

(Heldt 2005). Reaksi oleh PAL dan struktur inhibitornya diberikan pada gambar 3.

Gambar 3 Reaksi deaminasi fenilalanina oleh PAL (Heldt 2005).

keterangan : a. pembentukan asam trans-sinamat.

b. asam aminoksifenilpropanoat, analog struktural

fenilalanina, menghambat PAL.

Enzim-enzim monooksigenase terlibat dalam sintesis fenol. Proses

pembentukan gugus hidroksil pada cincin fenil asam sinamat (hidroksilasi)

melalui sebuah reaksi terkatalisis monooksigenase menggunakan sitokrom P450

(cyt-P450) sebagai situs pengikatan O2 berdasarkan reaksi:

NADPH + H+ R-CH3 + O2 NADP

+ + RCH2-OH + H2O

a b

21

Pada reaksi ini, elektron ditransfer dari NADPH melalui FAD ke cyt-P450,

dan dari sana ke O2. Dari molekul O2, hanya satu atom O yang tergabung dalam

gugus hidroksil yang terbentuk. Atom O yang tersisa direduksi menghasilkan

H2O. Karena alasan ini, reaksi ini disebut monooksigenase. Selain O2, cyt-P450

juga bisa mengikat CO. karena hal ini, monooksigenase P450 dihambat oleh CO

(Heldt 2005). Reaksi sintesis asam hidroksisinamat dari asam trans-sinamat

dijelaskan pada Gambar 4.

Gambar 4 Sintesis asam hidroksisinamat dari asam trans-sinamat (Heldt 2005).

Monooksigenase P450 secara luas terdistribusi pada kingdom tumbuhan

dan hewan. Mayoritas protein ini mungkin terlibat dalam pembentukan gugus

hidroksil untuk sintesis hormon tanaman dan metabolit sekunder. Selain itu,

kelompok enzim ini juga berperan penting dalam proses detoksifikasi (Heldt

2005).

22

BAHAN DAN METODE

Alat dan Bahan

Alat-alat yang digunakan dalam proses kultur jaringan di Laboratorium

COPPU adalah Laminar Air Flow (LAF), pinset, scalpel, sterile blade, pembakar

bunsen, tatakan, kertas koran, korek api, cutter, gunting, petridish, specimen tube

(ST), tray dari besi dan platik, test tube (TT), botol selai ukuran sedang dan besar,

trolley, rak, autoklaf (merk Hirayama, Astell, dan ASP), pH meter, panci, neraca

analitik, labu erlenmeyer 100 ml dan 500 ml, kompor gas, magnetic stirer,

spatula, alat penjetek, dan pipet Ependorf.

Bahan-bahan yang digunakan adalah umbut (calon daun), air RO, media

MS modifikasi, sukrosa, gelrite, glukosa, natrium hipoklorit, hormon auksin,

alkohol, dan wrapping plastik.

Metode Penelitian

Perbanyakan vegetatif kelapa sawit unggul di COPPU menggunakan

metode kultur jaringan dari Bhojwani dan Razdan (1983). Tetapi, metode yang

dipakai saat ini telah mengalami berbagai pengembangan dari hasil penelitian dan

saran dari konsultan. Komposisi bahan kimia dan zat pengatur tumbuh (ZPT)

yang digunakan tidak diizinkan untuk dipublikasikan oleh manajemen COPPU.

Preparasi Media

Formulasi medium yang digunakan mengacu pada medium Murashige dan

Skoog (1962) dengan beberapa modifikasi. Media yang digunakan terdiri atas dua

jenis, yaitu medium padat dan medium cair. Perbedaan formulasi medium padat

dan cair terletak pada penggunaan bahan pemadat. Medium padat menggunakan

agar sebagai bahan pemadat, sedangkan medium cair menggunakan gelrite

sebagai bahan peningkat konsistensi media. Setelah semua larutan stok

diformulasi dan ditambahkan ZPT serta sukrosa, penetapan pH media baru

dilakukan. Media ditetapkan pH-nya pada 5,70+0,01. Setelah penetapan pH,

penambahan baru dilakukan. Pemasakkan media dilakukan dalam panci dengan

pemanasan kompor hingga mendidih. Selama pemasakkan media, media harus

terus diaduk menggunakan alat pengaduk elektrik. Setelah mendidih, media

dituang dalam vessel sesuai dengan kebutuhan. Media padat yang telah dituang

23

dalam vessel kemudian disterilisasi menggunakan autoklaf pada suhu 114 oC

selama 2 jam (modifikasi Rasool et al 2011).

Inokulasi Eksplan

Eksplan yang digunakan di COPPU berasal dari umbut. Umbut yang

diambil sebagai eksplan berasal dari daun minus, yaitu daun yang belum keluar

dari tempat munculnya daun. Kemudian, eksplan disterilisasi menggunakan

NaHClO dengan konsentrasi tertentu. Setelah sterilisasi, eksplan dibilas dengan

akuades steril beberapa kali dan disimpan dalam larutan glukosa 2% selama

menunggu ekplan ditransfer. Umbut yang digunakan sebagai eksplan dipotong

melintang menggunakan scalple steril dengan ketebalan sekitar 2 mm. setelah itu,

eksplan diinokulasikan pada media padat di cawan petri. Satu cawan petri

maksimal hanya bisa diisi oleh 3 potong eksplan (modifikasi Singh et al 2011).

Inokulasi Kalus

Setelah kalus muncul dari eksplan, maka eksplan tersebut dipindahkan ke

tahap callus development. Eksplan yang sudah memunculkan kalus dipindahkan

pada media MS padat modifikasi di cawan petri. Pemindahan dilakukan secara

aseptik mengunakan alat bantu pinset (Mineo 1990).

Transfer EC Rendah

New embryoid (Ne) yang dihasilkan dari tahap callus development

dipindahkan ke tahap embryoid culture rendah dengan kode EC1. Ne

dipindahkan secara aseptik pada medium MS padat modifikasi dalam sampel tube

(ST). Proses transfer dibantu dengan pinset steril. Embryoid yang muncul

dipotong (diurai) dengan scalple steril berdasarkan retakannya agar kultur

berkembang dengan baik. Transfer penyegaran media subkultur dilakukan tiap 2

bulan (Chehmalee dan Te-chato 2008).

Transfer EC Tinggi

Embryoid dan shoot yang berkembang pada tahapan EC tinggi dipisahkan

(dipotong) berdasarkan alur/retakannya menggunakan scalple steril. Embryoid

dipindahkan secara aseptik pada medium MS padat modifikasi pada botol sedang

dengan alat bantu pinset steril. Ne yang muncul (jika ada) dipindahkan ke ST

24

berisi MS modifikai padat. Seleksi dilakukan pada tunas yang telah memiliki

panjang 3 cm atau lebih untuk selanjutnya dimasukkan dalam tahapan SD. Buang

embrioid yang mengalami pencoklatan dan hyperhydricity, akar napas

(pneumorf), tunas abnormal, dan jaringan yang mati. Transfer dilakukan hanya

pada embryoid yang bagus dan tunas yang normal (Chehmalee dan Te-chato

2008).

Transfer SD-RI

Shoot yang sudah memiliki panjang 7 cm atau lebih pada tahap SD atau

EC tinggi dipindahkan ke medium penginduksi akar pada botol sedang. Akar dan

seludang daun yang muncul dipotong dan dibuang menggunakan scaple dan

pinset steril. Daerah bekas pemotongan akar dibuat berbentuk lancip agar menjadi

tempat tumbuhnya akar hasil induksi di tahapan RI (Chehmalee dan Te-chato

2008).

Aklimatisasi Ramet

Ramet hasil kultur jaringan kelapa sawit ditempatkan dalam net house. Di

dalam net house, ramet dikeluarkan dari TT dan dicuci untuk membersihkan sisa

media, kemudian dibilas dengan fungisida (Tiplo®) dan ditanam dalam polibag

kecil. Ramet kemudian ditempatkan dalam sungkup plastik. Pada pagi dan sore

hari, ramet disiram untuk memenuhi kebutuhan air dan menjaga kelembapan agar

tetap tinggi. Selama proses aklimatisasi, sungkup plastik dibuka secara bertahap

mulai dari satu sisi, kedua sisi, hingga sungkup plastik dilepas semua (modifikasi

Mineo 1990).

Cek Kontaminasi

Semua kultur yang disimpan dalam dalam growth room diambil untuk

diperikasa terhadap kontaminasi setiap 2 minggu sekali. Kultur diamati secara

langsung di dalam growth room dan jika ditemukan kultur yang terkontaminasi,

kultur tersebut dipisahkan. Kultur yang terkontaminasi selanjutnya didata dan

dimusnahkan. Kultur yang terkontaminasi dimusnahkan dengan autoklaf hingga

semua kontaminan di dalamnya mati (Yusnita 2008)

25

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil Inokulasi Eksplan dan Kalus

Kultur jaringan adalah suatu metode untuk mengisolasi bagian dari

tanaman seperti sekelompok sel atau jaringan yang ditumbuhkan dengan kondisi

aseptik, sehingga bagian tanaman dapat memperbanyak diri tumbuh menjadi

tanaman lengkap kembali (Hameed et al 2006). Teknik kutur jaringan

memanfaatkan prinsip perbanyakan tumbuhan secara vegetatif. Berbeda dari

teknik perbanyakan tumbuhan secara konvensional, teknik kultur jaringan

dilakukan dalam kondisi aseptik di dalam botol kultur dengan medium dan

kondisi tertentu. Karena hal ini, teknik ini sering disebut kultur in vitro (Gunawan

1987).

Eksplan adalah material tanaman awal yang digunakan untuk perbanyakan

vegetatif tanaman menggunakan teknik kultur jaringan. Material tanaman yang

sering dikulturkan diantaranya kambium vaskular, parenkim penyimpan, pericycle

dari akar, kotiledon, mesofil daun, dan jaringan provaskular. Faktanya, semua

tanaman multiselular adalah sumber eksplan yang potensial untuk inisiasi kalus

(Dodds dan Lorin 1985).

Pada kelapa sawit, sumber eksplan yang telah diteliti adalah umbut, akar,

dan bunga. Umbut merupakan daun muda yang yang masih belum keluar. Kultur

jaringan di COPPU menggunakan umbut sebagai sumber eksplannya. Kelebihan

umbut sebagai sumber eksplan adalah kontamin bawaan relatif lebih sedikit, dan

merupakan jaringan yang relatif muda sehingga masih mudah membelah

(Zulkarnain 2009). Kultur jaringan adalah teknik perbanyakan tanaman dengan

menggunakan bagian dari tanaman tersebut (organ, protoplasma, sel) yang

dikerjakan dalam kondisi steril. Kondisi steril merupakan syarat umum dalam

teknik kultur jaringan (Bhojwani dan Razdan 1983). Berbeda dengan umbut,

penggunaan bunga sebagai sumber eksplan masih dalam tahap pengembangan dan

belum ada yang melaporkan keberhasilan perbanyakan kelapa sawit dengan

eksplan bunga. Akar tidak diutamakan digunakan sebagai sumber eksplan karena

asal pohon induk sangat sulit ditelusur dengan pasti (karena letaknya di bawah

tanah), dan kandungan kontaminan bawaan yang tinggi (Zulkarnain 2009).

26

Gambar 5 Hasil inokulasi umbut kelapa sawit sebagai eksplan kultur jaringan.

keterangan: a. kultur eksplan sebelum inkubasi,

b. kultur eksplan sesudah inkubasi.

Tahapan awal dari kultur jaringan adalah inokulasi bagian tanaman

(eksplan) yang akan dikultur. Sebelum diinokulasi, umbut harus disterilisasi

terlebih dahulu untuk menghilangkan kemungkinan terikutnya kontaminan

(Hutami 2008). Tujuan dari tahapan inokulasi adalah menstimulir munculnya

kalus.

Eksplan yang digunakan di COPPU berasal dari umbut. Sebelum

ditransfer ke media tumbuh, bagian dari umbut tersebut harus diseleksi dulu agar

didapatkan bagian umbut yang layak untuk dikulturkan. Umbut yang diambil

sebagai eksplan berasal dari daun minus, yaitu daun yang belum keluar dari

tempat munculnya daun. Daun minus diambil karena lokasinya berada di bagian

dalam sehingga kontaminanya sedikit. Saat pertama kali diinokulasi, eksplan ini

masuk dalam tahapan Ep1 (kultur eksplan pertama) dan akan diinkubasi selama 6

bulan dalam dark room hingga mengeluarkan kalus (Gambar 5). Pada awal

inokulasi, eksplan masih terlihat segar dan berwarna cerah. Warna eksplan akan

semakin coklat, bahkan menghitam, selama masa inkubasi. Setiap 2 minggu

sekali, dilakukan pengecekan kultur untuk melihat adanya kontaminasi dan

melihat perkembangan eksplan. Jika eksplan sudah memunculkan kalus, maka

kalus beserta eksplan tersebut dipindahkan ke media dalam petri lain dan masuk

ke tahap kultur kalus (Gambar 6).

27

Gambar 6 Kultur kalus pada kultur jaringan kelapa sawit.

keterangan: a. kalus, b. eksplan, c. media, d. newembryoid.

Setelah kalus muncul pada kultur eksplan, maka kalus tersebut akan

masuk dalam tahap callus development (kultur kalus). Dalam tahap ini, kalus

dikulturkan lebih lanjut dan akan melalui tahapan somatic embryogenesis

sehingga menghasilkan embrio (Chehmalee dan Te-chato 2008). Kalus merupakan

masa sel yang belum terdiferensiasi dengan bentuk yang tidak beraturan, dan

berasal dari hasil dediferensiasi jaringan induk (Dodds dan Lorin 1985). Secara

histologi, kalus berasal dari pembelahan berkali-kali sel-sel parenkim di sekitar

berkas pengangkut kecuali xilem. Kalus sering muncul pada ujung potongan akar

atau daun sebagai hasil pelukaan. Dengan menggunakan teknik kultur jaringan,

pembentukan kalus bisa diinduksi di sejumlah jaringan dan organ tanaman yang

biasanya tidak membentuk kalus dalam respon pelukaan. Kalus dapat diinduksi

dengan menambahkan ZPT yang sesuai pada media kultur, misalnya auksin dan

sitokinin yang disesuaikan. Jika konsentrasi auksin lebih besar daripada sitokinin,

maka kalus akan terbentuk. Sedangkan jika konsentrasi sitokinin yang lebih besar

dibandingkan dengan auksin, maka yang terbentuk bukanlah kalus, melainkan

tunas (Gunawan 1987). Pada kultur jaringan, kalus akan mengalami somatik

embryogenesis sehingga menghasilkan embrio yang bisa berkembang menjadi

tanaman utuh (Yusnita 2008).

Pengamatan yang dilakukan pada kultur kalus yang sudah diinkubasi pada

dark room mendapati adanya perkembangan embrio somatik dari hasil somatik

embryogenesis (Gambar 6). Embrio somatik ini disebut sebagai new embryoid

(Ne). Kalus hasil kultur jaringan di COPPU terlihat putih dan berair. Chemale dan

Te-chato (2008) berhasil menginisiasi pembentukan kalus pada tanaman kelapa

sawit dengan eksplan embrio dan mendapatkan kalus berbentuk nodular callus

28

(NC), embriogenic callus (EC), dan root like callus (RLC). Pengamatan pada

proses kultur jaringan di COPPU menunjukkan ketiga jenis kalus muncul tersebut

muncul pada kultur eksplan dan kultur kalus.

Somatik embryogenesis in vitro dari tanaman umumnya melibatkan dua

tahap, yaitu induksi dediferensiasi dan rediferensiasi (Jun-Yan et al 2000). Induksi

dediferensiasi bertujuan untuk menghasilkan kalus. Induksi dediferensiasi dari sel

yang sudah terdiferensiasi pada eksplan biasanya terjadi dengan penambahan ZPT

pada medium kultur. ZPT (hormon tanaman) pada medium kultur membuat sel

yang dikultur mulai kembali membelah menghasilkan kalus. Rediferensiasi

bertujuan untuk menghasilkan embrio somatik dari kalus yang bersifat

embriogenik. Hanya kalus yang bersifat embriogenik yang bisa berubah menjadi

embrio somatik. Embrio somatik ini lalu bisa menyempurnakan

perkembangannya dan berubah menjadi plantlet pada medium bebas hormon.

Jadi, embrio somatik bisa membentuk tanaman tanpa stimulasi dari hormon

tanaman. Pengamatan pada somatik embryogenesis dari beberapa tanaman

(contohnya wortel) membuktikan bahwa embrio somatik berasal dari sel tunggal

dalam kalus embriogenik (Jun-Yan et al 2000).

Somatik embryogenesis dibagi menjadi menjadi somatik embryogenesis

langsung dan somatik embryogenesis tidak langsung. Somatik embryogenesis

langsung tidak melibatkan fase kalus dalam pembentukan embrio somatik, tetapi

embrio muncul langsung dari eksplan. Somatik embryogenesis tidak langsung

melibatkan fase kalus untuk menghasilkan embrio somatik. Pada somatik

embryogenesis tidak langsung, embrio somatik muncul dari diferensiasi kalus.

Kelapa sawit adalah tanaman monokotil, dan tidak seperti kebanyakan

spesies tanaman lain, perbanyakan vegetatif hanya bisa dilakukan melalui kultur

jaringan (Kushairi et al 2010). Kultur jaringan kelapa sawit memberikan jalan

untuk konservasi pohon induk unggul, baik melalui penanaman klon di lapangan,

maupun penyimpanan kultur kalus embriogenik dan embrio somatik secara

cryopreservation (Jun-Yan et al 2000).

Eksplan yang tidak memunculkan kalus selama 6 bulan inkubasi harus

ditransfer ke medium yang baru. Setelah ditransfer, eksplan ini akan masuk dalam

tahap Ep2 (kultur eksplan kedua) dan akan ditunggu lagi selama 6 bulan untuk

29

menghasilkan kalus. Cek kontaminasi sekaligus pengamatan kemunculan kalus

dilakukan setiap 2 minggu sekali dalam tahapan Ep1 maupun Ep2. Jika setelah 6

bulan eksplan tidak muncul kalus di Ep2, maka kultur eksplan tersebut akan

dibuang (discard). Jika telah muncul kalus, eksplan tersebut dipindahkan ke

tahapan kultur kalus (C) dan diberi nomor line (urutan kemunculan kalus dalam

satu nomor palm yang diperbanyak. Transfer ke medium baru setelah 6 bulan

kultur eksplan perlu dilakukan karena inkubasi pada tenggat waktu tersebut akan

dibarengi dengan pengurangan nutrisi esensial dan pengeringan perlahan pada

medium akibat penguapan air (Dodds dan Lorin 1985).

Tahapan kultur kalus mulai dari C1 hingga C6. Perpindahan tahapan

dilakukan setiap 2 bulan sekali. Cek kemunculan Ne dilakukan setiap 2 minggu

pada kultur kalus. Tahap kultur kalus bertujuan untuk menginduksi munculnya Ne

dari kalus sebagai sumber embrio somatik untuk perbanyakan vegetatif kelapa

sawit. Jika muncul Ne, Ne tersebut dipindahkan untuk masuk ke dalam kultur EC

rendah. Skoring terhadap Ne sebelum proses transfer dilakukan untuk menentukan

kualitas Ne tersebut.

Hasil Transfer EC Rendah dan EC Tinggi

Tahapan selanjutnya yang akan dilakukan pada embrio yang sudah

terbentuk pada kultur kalus adalah multiplikasi dan polyembryoid. Multiplikasi

adalah kemunculan embryoid dari kalus yang muncul dari eksplan. Sedangkan

tahapan lebih lanjut pada multiplikasi adalah polyembryoid. Tahapan multiplikasi

embryoid ada 18 tahapan subkultur, dibedakan EC rendah (1-4) dan EC tinggi (5-

18). Pada tahapan polyembryoid, embryoid mulai berdiferensiasi menjadi organ,

yaitu tunas dan akar (Bhojwani dan Razdan 1983). Pembagian EC rendah dan EC

tinggi hanya semata-mata dilakukan karena ada perbedaaan penekanan. Angka 1

hingga 18 merupakan jumlah penyegaran medium yang telah dilakukan pada

kultur tersebut.

EC rendah merupakan fondasi dari kultur embryoid yang ada di

laboratorium sehingga lebih diutamakan dalam hal pencegahan kontaminasi dan

ketepatan waktu subkultur (Yusnita 2008). EC rendah didominasi oleh embrio

berbentuk new embryoid (embrio yang terbentuk langsung dari kalus). Klasifikasi

30

Gambar 7 Kultur EC rendah pada kultur jaringan kelapa sawit.

keterangan: a. NodAgg, b. NodFr, c. Embryoid.

Ne berdasarkan bentuk dan terdiri dari nodular friable (NodFr) dan nodular

aggregate (NodAgg) (Chehmalee dan Te-chato 2008). EC tinggi didominasi

embryoid dengan banyak variasi (chunky, finger like structure, wavy, dan molar

like stucture) dan tunas (shoot). Dalam perjalanan poliembryoid di EC tinggi,

luaran yang diharapkan adalah tegakan (shoot) (Yusnita 2008).

Pada kultur EC rendah (Gambar 7), teramati adan Ne berbentuk NodAgg

dan NodFr yang berkembang dari Ne subkultur sebelumnya. Ne yang dikultur

juga berkembang menjadi embryoid berberbentuk chungky. NodAgg terbentuk

karena perkembangan embrio somatik yang cenderung mengumpul dalam satu

agregat kompak. NodFr terbentuk karena perkembangan masing-masing embrio

somatik menyebar dalam suatu daerah sehingga terlihat pecah (Chehmalee dan

Te-chato 2008).

Ne yang muncul pada EC rendah dan EC tinggi harus dipisahkan dan

dikultur pada vessel yang berbeda (ST) saat proses subkultur. Hal yang perlu

diperhatikan dalam transfer EC adalah waktu transfer. Waktu transfer EC

diusahakan secepat mungkin karena jika waktu transfer lebih dari 10 menit, kultur

akan mengalami pencoklatan dan akan menurunkan tingkat keberhasilan kultur

dan kualitas kultur selanjutnya.

31

Gambar 8 Kultur EC tinggi pada kultur jaringan kelapa sawit.

keterangan: a. embryoid, b. NodFr, c. jaringan yang hyperhydricity, d.

d.ipencoklatan jaringan.

Pengamatan pada EC tinggi mendapati adanya jaringan yang mengalami

hyperhydricity dan pencoklatan (browning) (Gambar 8). Kemunculan jaringan

hyperhydricity, pencoklatan, dan kematian jaringan eksplan pada kultur jaringan

di COPPU merupakan salah satu masalah yang dihadapi oleh manajemen

laboratorium. Pencoklatan sangat umum terjadi pada spesies tanaman berkayu,

terutama bila eksplan diambil dari pohon dewasa. Penghambatan pertumbuhan

biasanya sangat kuat pada beberapa spesies yang umumnya mengandung senyawa

tanin atau hidroksifenol dengan konsentrasi tinggi (Hutami 2008). Pencoklatan

pada jaringan muda lebih sedikit dibandingkan dengan jaringan yang tua (George

dan Sherrington 1984). Karena hal ini, kultur jaringan di COPPU menggunakan

jaringan meristem yang lebih muda seperti bagian umbut pada kelapa sawit.

Kejadian pencoklatan sangat menurunkan tingkat proliferasi dan pertumbuhan

dari kultur. Kultur yang mengalami pencoklatan memiliki pertumbuhan yang

lambat dan perkembangan yang tidak bagus. Jika pencoklatan terjadi pada

tingkatan yang sangat parah, kultur tersebut diseleksi dengan kualifikasi bad

culture karena kultur jenis ini bisa meningkatkan tingkat abnormalitas tanaman

kelapa sawit yang dihasilkan.

Pencoklatan jaringan terjadi karena aktivitas enzim oksidase yang

mengandung tembaga seperti katekol oksidase (EC 1.10.3.1) dan monofenol

monooksigenase (EC 1.14.18.1) yang dilepaskan atau disintesis dan tersedia pada

32

kondisi oksidatif ketika jaringan dilukai. Katekol oksidase dan monofenol

monooksigenase memilki nama lain polifenol oksidase (PPO) (daftar enzim

oksidoreduktase di NC-IUBMB). Substrat untuk enzim ini ada bermacam-macam

pada jaringan yang berbeda, yang umum adalah tirosin dan katekol. Berikut

adalah reaksi yang dikatalisis oleh dua enzim tersebut.

Polifenol Oksidase : 2 katekol + O2 2 1,2-benzokuinon + 2 H2O

Monofenol Monooksigenase : L-tirosina + L-dopa + O2 L-dopa + dopaquinon

+ H2O

Enzim dan substrat dalam keadaan normal akan tertahan dalam ruang

berbeda di dalam sel dan akan keluar bersama-sama pada saat sel dilukai atau

hampir mati. Fenol mempunyai fungsi alami penting dalam mengatur oksidasi

IAA. Beberapa monofenol seperti asam sinaptat dan asam ferulat pada konsentrasi

yang rendah akan menghambat oksidasi enzimatik dari IAA. Hal ini

menghasilkan perpanjangan dan pembelahan sel, serta peningkatan pertumbuhan

dan perkembangan tanaman.

Toksisitas fenol kemungkinan disebabkan oleh ikatan reversibel antara

hidrogen dan protein. Penghambatan pertumbuhan yang tidak dapat diperbaiki

terjadi ketika fenol teroksidasi menjadi senyawa aktif quinon yang tinggi yang

kemudian memutar, memolimerase dan/atau mengoksidasi protein menjadi

senyawa melanat yang makin meningkat (Hutami 2008). Ozyigit et al (2007)

melaporkan bahwa terbentuknya senyawa fenol dipengaruhi oleh struktur

kimianya, spesies tanaman, proses biologi (organogenesis atau somatik

embriogenesis), dan tahap perkembangannya. Oksidasi fenol yang berubah

menjadi quinon dan senyawa lain (polimerisasinya) yang sangat beracun

menyebabkan pencoklatan medium dan kematian eksplan.

Penanggulangan pencoklatan pada jaringan, khususnya eksplan yang baru

diisolasi, dan pada media tumbuh yang digunakan, seringkali dilakukan dengan

menghilangkan senyawa fenol pada eksplan, modifikasi potensial redoks,

penghambatan aktivasi enzim fenol oksidase, dan penurunan aktivitas fenolase

serta ketersediaan substrat (George dan Sherrington 1984 dalam Hutami 2008).

Kemunculan jaringan hyperhydricity pada kultur jaringan di COPPU

merupakan salah satu masalah yang dihadapi oleh manajemen. Jaringan

33

hyperhydricity merupakan kultur abnormal dan akan dibuang pada saat proses

transfer. Hyperhydricity (terminologi awal disebut vitrifikasi) adalah kelainan

fisiologi yang terjadi pada tanaman herba dan berkayu selama propagasi vegetatif

in vitro. Ciri jaringan yang mengalami hyperhydricity jaringan yang menebal dan

transparan, daun menebal, keriting dan atau bergelombang, sering berukuran

sangat besar, dan mudah pecah. Beberapa peneliti mendefinisikan sebagai

malformasi hingga kekurangan klorofil, dan kelebihan kandungan air pada sel.

Tipe kalus berair yang kehilangan elemen xilem juga digolongkan sebagai

hyperhydricity (Gaspar et al 1987).

Petumbuhan yang rendah dari jaringan yang mengalami hyperhydricity

disebabkan laju multiplikasi yang rendah. Kultur seperti ini akan cepat kehilangan

semua kapasitas untuk propagasi sehingga cenderung untuk dibuang (discard).

Proses hyperhydricity terkadang dapat kembali menjadi normal. Jaringan yang

mengalami hyperhydricity jika ditempatkan pada medium yang tidak

menyebabkan vitrifikasi seringkali menunjukkan perkembangan anatomi menjadi

tanaman normal (Gaspar et al 1987).

Terdapat beberapa perbedaaan fisiologis dan biokimiawi pada jaringan

hyperhydricity. Jaringan yang mengalami hyperhydricity memiliki kandungan air

yang lebih tinggi dibanding jaringan normal. Kekurangan proses lignifikasi juga

terjadi pada dinding sel kalus yang mengalami hyperhydricity. Hal ini

menyebabkan dinding sel mengandung lebih sedikit lignin dan selulosa dibanding

kalus normal. PAL dan peroksidase asam, enzim yang terlibat dalam proses

lignifikasi, memiliki aktivitas lebih kecil pada jaringan hyperhydricity. Jaringan

hyperhydricity juga memilki kandungan klorofil serta aktivitas fotosintesis yang

lebih kecil dibanding jaringan normal (Gaspar et al 1987).

Salah satu tahapan dalam kultur jaringan kelapa sawit adalah shoot

development (SD). Tahapan ini bertujuan memperpanjang panjang tegakan yang

didapat dari proses transfer EC tinggi hingga mencapai tinggi minimal 7 cm.

Perlakuan hormon-hormon tertentu pada medium yang digunakan pada tahap SD

membuat tegakan cenderung bertambah panjang. Shoot yang masuk ke tahap SD

harus memilki panjang 3 cm atau lebih.

34

Gambar 9 Kultur SD pada kultur jaringan kelapa sawit.

Pengamatan pada kultur SD yang ada di COPPU menunjukkan

pertambahan tinggi tegakan selama inkubasi di light room (Gambar 9). Inkubasi

di light room diperlukan untuk merangsang pembentukan kloroplas dan

mengarahkan shoot agar tumbuh tegak. Kultur SD menggunakan botol besar agar

vessel ini mampu menampung pertumbuhan kultur yang semakin panjang.

Pada SD, kemungkinan akan berkembang juga akar pada shoot. Namun,

perkembangannya tidak sebaik yang perpanjangan shoot. Akar ini cenderung tidak

berfungsi baik dan mudah lepas jika dibiarkan sampai penanaman di lapangan.

Maka, saat transfer ke RI, akar ini akan dibuang.

Hasil Transfer SD-RI

Saat panjang tegakan sudah mencapai 7 cm atau lebih, maka tegakan

tersebut harus dipindahkan pada tahapan selanjutnya, yaitu tahapan root induction

(RI). Tahapan RI bertujuan merangsang pertumbuhan akar pada tunas kelapa

sawit karena perlakuan hormon-hormon perangsang pertumbuhan akar. Hasil

transfer SD-RI disajikan pada Gambar 10.

Gambar 10 Hasil transfer SD-RI pada kultur jaringan kelapa sawit.

35

Tahapan RI dalam kultur jaringan kelapa sawit dibagi menjadi 2 bagian

berdasarkan jenis medianya, yaitu bagian yang menggunakan media cair dan

media padat. Media padat disebut media RI dan media cair disebut media RG.

Subkultur pada tahapan RI meliputi R1, R2, dan R3. Tahapan pertama dilakukan

selama 2 bulan hingga ada akar induksi yang muncul pada tunas. Jika akar induksi

ini muncul dan telah memenuhi syarat ramet, maka bisa langsung dikeluakan dari

proses subkultur. Jika telah muncul akar induksi, tetapi belum memenuhi syarat

ramet, maka tunas tersebut dipindahkan ke tahapan R2 menggunakan medium RG.

Bila dalam tahap R1 tidak muncul akar induksi, tahapan selanjutnya adalah R2

dengan masih menggunakan medium R1. Tahapan R3 hanya ada untuk medium

RG dan tunas yang dikultur berasal dari tahapan R2. Proses transfer tunas dari

medium RI ke RG disebut transfer RI-RG.

Aklimatisasi Ramet

Luaran dari proses kultur jaringan di lab adalah ramet. Ramet atau plantlet

adalah tanaman hasil dari kultur jaringan yang sudah memiliki organ utama yang

lengkap. Organ utama yang dimaksud adalah akar, batang, dan daun. Sebelum

ditanaman di lapangan, ramet harus menjalani proses yang disebut aklimatisasi.

Ramet hasil kultur jaringan kelapa sawit di COPPU ditampilkan pada Gambar 11.

Proses aklimatisasi (hardening) dilakukan selama sebulan. Selama proses

ini, ramet di tempatkan dalam net house agar terlindung dari intensitas cahaya

berlebih. Di dalam net house, ramet dikeluarkan dari TT dan dicuci untuk

membersihkan sisa media, kemudian dibilas dengan fungisida (Tiplo®) dan

ditanam dalam polibag kecil. Sisa media harus dibersihkan agar akar ramet bisa

mengambil nutrisi dari tanah dengan mudah.

Ramet tersebut ditempatkan dalam sungkup plastik untuk menjaga

kelembapan tetap tinggi. Pada pagi dan sore hari, ramet disiram untuk memenuhi

kebutuhan air dan menjaga kelembapan agar tetap tinggi. Selama proses

hardening, sungkup plastik dibuka secara bertahap mulai dari satu sisi, kedua sisi,

hingga sungkup plastik dilepas semua. Hal ini penting agar ramet memiliki waktu

untuk beradaptasi. Waktu yang dibutuhkan untuk aklimatisasi ramet kelapa sawit

adalah 1 bulan.

36

Gambar 11 Ramet hasil kultur jaringan kelapa sawit.

Ramet hasil kultur jaringan yang diregenerasikan dalam lingkungan

dengan kelembaban tinggi dan bersifat heterotrof, harus menjadi autotrof bila

dipindahkan ke lapangan. Proses pemindahan merupakan langkah akhir dari

prosedur mikropropagasi dan diistilahkan sebagai tahap aklimatisasi. Aklimatisasi

adalah suatu upaya mengkondisikan plantlet atau tunas minor hasil perbanyakan

melalui in vitro ke lingkungan in vivo yang septik (Yusnita 2008).

Masa aklimatisasi merupakan masa yang kritis karena pucuk dan plantlet

yang diregenerasikan dari kultur in vitro menunjukkan beberapa sifat yang

menguntungkan, seperti lapisan lilin (kutikula) tidak berkembang dengan baik,

kurangannya lignifikasi batang, jaringan pembuluh dari akar ke pucuk kurang

berkembang, dan stomata seringkali tidak berfungsi. Keadaan ini menyebabkan

pucuk-pucuk in vitro sangat peka terhadap transpirasi, serangan cendawan dan

bakteri, cahaya dengan intensitas tinggi, dan suhu tinggi. Oleh karena itu,

aklimatisasi pucuk-pucuk in vitro memerlukan penanganan khusus, bahkan

diperlukan modifikasi terhadap kondisi lingkungan terutama dalam kaitannya

dengan suhu, kelembapan, dan intensitas cahaya (Zulkarnain 2009).

Kontaminasi

Kontaminasi menjadi salah satu masalah dalam kultur jaringan.

Kontaminasi bisa menggagalkan kultur yang sedang ditumbuhkan dengan

merusak media, memperlambat pertumbuhan kultur, bahkan mematikan kultur.

Kontaminasi besar yang kerap terjadi adalah jamur dan bakteri (Gambar 8b dan

8c). Sumber kontaminasi lainnya yang kerap ditemui adalah sejenis laba-laba

37

penghisap yang disebut mites (Gambar 8a). Mites hampir tidak terlihat oleh mata

telanjang dan harus dilihat dengan kaca pembesar agar bisa terlihat lebih jelas.

Kontaminasi oleh jamur dan bakteri dapat mudah dikenali karena terlihat jelas

oleh mata telanjang. Penampakan kultur yang terkontaminasi bakteri terlihat pada

permukaan media dan retakan-retakan di dalam media. Kultur yang

terkontaminasi bakteri akan terlihat memiliki koloni bakteri di permukaan yang

berpenampakan keruh. Retakan-retakan pada media yang terkontaminasi bakteri

juga akan jelas terlihat keruh akibat kolonisasi bakteri.

Untuk kontaminasi jamur, penampakan kultur akan menunjukkan koloni

hifa jamur yang terlihat sangat jelas. Koloni hifa jamur ini memilki variasi warna

mulai dari putih, coklat, bahkan bisa berwarna hitam. Jamur sangat cepat

menyebar karena berkembang dengan spora. Kontaminasi oleh mites bisa

menyebabkan kultur tersebut mengalami kelayuan, bahkan kematian. Mites

menghisap makanan dari kultur sehingga kultur mengalami kerusakan yang

signifikan. Selain itu, mites juga membawa kontaminsi jamur pada kultur karena

selama menginvasi kultur, mites bisa membawa spora jamur yang menempel

padanya (Zulkarnain 2009).

Untuk mengendalikan tingkat kontaminasi pada kultur, COPPU

memberlakukan aturan-aturan di lab yang membuat kontamin mempunyai

peluang minimal untuk masuk dalam kultur. Aturan-aturan tersebut meliputi

teknik pengambilan umbut, sterilisasi laminar air flow dan peralatan yang

digunakan, pembersihan setiap ruangan secara teratur, cek tingkat kontaminasi di

ruangan (laminar air flow, growth room dan ruang transfer), dan POS di

laboratorium (Zulkarnain 2009).

Gambar 12 Kultur yang terkontaminasi.

Keterangan: a. Mites, b. Bakteri, c. Jamur.

38

Teknik pengambilan umbut dari ortet harus hati-hati agar kontamin yang

terbawa minimal. Saat pengiriman ke lab, kultur harus dibungkus dahulu dan

disimpan dalam ruangan dingin untuk menghambat perkembangan kontaminan.

LAF dan alat-alat yang digunakan untuk transfer kultur harus disterilisasi setiap

hari agar tidak membawa kontaminan pada kultur. Pembersihan ruang transfer,

ruang subkultur, ruang preparasi media, dan ruang-ruang lainnya dalam

lingkungan lab harus dibersihkan setiap hari. Untuk mengecek tingkat

kontaminasi dari ruangan, secara teratur tiap bulan dilakukan cek kontaminasi

ruangan dengan menaruh media terbuka dalam ruangan yang dicek. Kontaminasi

ruangan selain di LAF dijaga seminimal mungkin. POS yang diberlakukan di

COPPU juga dibuat untuk meminimalkan kontaminasi pada kultur.

Cek kontaminasi pada kultur dilakukan setiap dua minggu agar

kontaminasi tidak menyebar dalam growth room. Cek kontaminasi akan

menyeleksi kultur-kultur yang terkontaminasi dan memusnahkannya. Jumlah

kultur yang dimusnahkan akan mempengaruhi tingkat keberhasilan kultur

jaringan.

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

Kultur jaringan berhasil digunakan untuk memperbanyak bibit kelapa

sawit unggul di PT Tunggal Yunus Estate. Pencoklatan, kontaminasi dan bad

culture, didapatkan berpengaruh terhadap kualitas dan multiplikasi tanaman.

Kegiatan praktik lapang di PT Tunggal Yunus Estate menjadi salah satu

perwujudan penerapan ilmu biokimia dalam dunia kerja nyata. Praktik lapang di

PT Tunggal Yunus Estate ini juga telah memberikan mahasiswa tambahan

pengetahuan dan keterampilan dalam teknik kultur jaringan skala besar.

Saran

Perlu beberapa penelitian lanjutan untuk mencari cara penanggulangan

pencoklatan, bad culture, dan kontaminasi yang lebih baik dan efisien secara

ekonomi.

40

DAFTAR PUSTAKA

Andersone U, Levinsh G. 2002. Changes of morphogenic competence in mature

Pinus sylvestris L. buds in vitro. Annals of Botany. 90:293-298.

Antolovich et al. 2000. Sample preparation of phenolic compound in fruits.

Analyst. 125:989-1009.

Bhojwani SS, Razdan MK. 1983. Plant Tissue Culture: Theory and Practice.

Amsterdam: Elsevier Science Publisher.

Chehmalee S, Te-chato S. 2008. Induction of somatic embryogenesis and plantlet

regeneration from cultured zygotic embryo of oil palm. J Agri Tech. 4(2):

137-146.

Creasy LL. 1968. The increase in phenylalanine ammonia-lyase activity in

strawberry leaf disks and its correlation with flavonoid synthesis.

Phytochem 7:441-446.

Dodds JH, Roberts LW. 1985. Experiment in Plant Tissue Culture, Second

Edition. Cambridge University Press: Cambridge.

Fauzi Y et al. 2008. Kelapa Sawit: Budi Daya Pemanfaatan Hasil dan Limbah

Analisis Usaha dan Pemasaran. Jakarta: Penebar Swadaya.

Gaspar TH, Kevers C, Debergh P, Maene L, Paques M, Boxus PH. 1987.

Vitrivication: morphological, physiological, and ecological aspects.

Dalam: JM Bonga dan DJ Durzan (Editor). Cell and Tissue Culture in

Forestry, Volume 1: General Principle and Biotechnology, Kluwer

Academic Publisher Group: Dordrecht. Hal: 152-166.

George EF. and Sherrington PD. 1984. Plant Propagation by Tissue Culture. Hand

Book and Directory of Comercial Laboratories. London: Eastern Press.

Gunawan LW. 1987. Teknik Kultur Jaringan. Bogor: Laboratorium Kultur

Jaringan PAU Bioteknologi IPB.

Hameed N, Shabbir A, Ali A, Bajwa R. 2006. In vitro micropropagation of disease

free rose (Rosa indica L.). Mycopath. 4: 35-38.

Heldt HW. 2005. Plant Biochemistry, 3rd

Edition. San Diego: Elsevier Academic

Press.

Huang LC, Lee YL, Huang BL, Kuo CI, Shaw JF. 2002. High polyphenol oxidase

activity and low titratable acidity in browning bamboo tissue culture. In

Vitro Cell Dev Biol Plant. 38(4): 358-365.

Hutami S. 2006. Penggunaan arang aktif dalam kultur in vitro. Berita Biologi

8(1): 83-89.

Hutami S. 2008. Masalah pencoklatan pada kultur jaringan. J Agro Biogen. 4(2):

83-88.

41

Jun-Yan Z, Fu-Xing G, Razdan MK. 2000. Somatic embryogenesis and

germplasm conservation of plant. Dalam: MK Razdan dan EC Cocking

(Editor). Conservation of Plant Genetic Resource In Vitro, Volume 2:

Aplication and Limitation, Science Publishers Inc.: Enfield. Hal: 167-192.

Kushairi A, AH Tarmizi, I Zamzuri, Ong-Abdullah M, Samsul KR, Ooi SE, N

Rajanaidu. 2010. Makalah pada International Seminar on Advance in Oil

Palm Tissue Culture, International Society for Oil Palm Breeders (ISOPB),

di Yogyakarta, Indonesia. 29 Mei 2010.

Loomis, WD. and Battail J. 1966. Plant phenolic compounds and the isolation of

plant enzym. Phytochem. 5: 423-438.

Lubis AU. 2008. Kelapa Sawit (Elaeis guineensis Jacq) di Indonesia, Edisi 2.

Medan: Pusat Penelitian Kelapa Sawit Marihat.

Mineo L. 2010. Plant tissue culture techniques. Dalam Tested Studies for

Laboratory Teaching. Vol 11. C A Goldman. Editor. Prosiding dari

Workshop/Konferensi dari Asscociation for Biology Laboratory Education

(ABLE).

NC-IUBMB. The Enzime List: Class 1–Oxidoreductases [terhubung berkala]

http://www.enzyme-database.org/ ( 21 Sept 2012).

Newton, RJ, Tang W, Harris LC, and Outhavong V. 2004. Antioxidants enhance in

vitro plant regeneration by inhibiting the accumulation of peroxidase in

Virginia pine (Pinus virginiana Mill.). Plant Cell Rep. 22(12):871-877.

Nhut D.T., N.T.M. Hanh, P.Q. Tuan, L.T.M. Nguyet, N.T.H. Tram, N.C. Chinh,

N.H. Nguyen, and D.N. Vinh. 2006. Liquid culture as a positive condition

to induce and enhance quality and quantity of somatic embryogenesis of

Lilium longiflorum. Sci Hort. 110(1):93-97.

Ozyigit II, MV Kahraman, and O Ercan. 2007. Relation between explant age, total

phenols and regeneration response in tissue cultured cotton (Gossypium

hirsutum L.). African J Biotechnol. 6(1):003-008.

Pahan I. 2006. Panduan Lengkap Kelapa Sawit: Manajemen Bisnis dari Hulu

hingga Hilir. Jakarta: Penebar Swadaya.

Rasool SN, Jahererunnisa S, Jayaveera KN, Suresh KC. 2011. In vitro callus

induction and in vivo antioxidant activity of Passiflora foetida L. leaves.

Intl J App Res Nat Prod. 4(1): 1-10.

Rodriguez R. 1982. Callus initiation and root formation from in vitro culture of

walnut cotyledons. Sci Hort. 17(20):195-196.

Saxena PK, Editor. 2001. Development of Plant-Based Medicines: Concervation,

Eficacy and Safety. Amsterdam: Kluwer Academic Publisher.

42

Singh N, Yadav K, Kumari S, Renu. 2011. Metabolic change during

differentiation in callus culture of Stevia Rebaudiana (Bertoni). J Phytol.

3(3): 63-67.

Tabiyeh, D.T., F. Bernard, and H. Shacker. 2006. Investigation of glutathione,

salicylic acid and GA3 effects on browning in Pistacia vera shoot tips

culture. ISHS Acta Hort. 726.

Murashige T, Skoog F. 1962. A revised medium for rapid growth and bioassays

with tobacco tissue cultures. Physiol Plant. 15: 473-497.

Vaughn K, Duke SO. 1984. Function of polyphenol oxidase in higer plants.

Physiol Plant. 60(1): 1275-1283

Yusnita. 2008. Kultur Jaringan: Cara Memperbanyak Tanaman secara Efisien.

Jakarta: Agromedia Pustaka.

Zulkarnain. 2009. Kultur Jaringan Tanaman: Solusi Perbanyakan Tanaman Budi

Daya. Bumi Aksara: Jakarta.

43

LAMPIRAN

44

Lampiran 1 Diagram alir kegiatan praktik lapangan

Pengambilan umbut untuk sumber

eksplan di OPRS Topaz

Preparasi Eksplan di Laboratorium

Inokulasi Eksplan

Transfer EC rendah

Inokulasi Kalus

Transfer EC tinggi

Transfer shoot ke tahap SD

Aklimatisasi

Transfer shoot ke tahap RI

45

Lampiran 2 Struktur Organisasi RGE Group

RGE Group

PO&G Sateri RAPP

PT Tunggal Yunus Esatate

Asian Agri PechTech

Breeding Seed Production Unit

Marketing

Nursery & Extention COPPU

46

Lampiran 3 Tahapan kultur jaringan kelapa sawit di COPPU, PT TYE, Asian Agri

Tahap Medium Wadah Luaran Keterangan

Kultur

Eksplan

MS Padat

modifikasi

Cawan petri Kalus Eksplan yang

digunakan

adalah bagian

umbut (daun

muda yang

belum keluar)

Kultur Kalus MS Padat

modifikasi

Cawan petri Embryoid

EC Rendah MS padat

modifikasi

Specimen

tube (ST)

Poliembryoid Tahapan mulai

dari EC1

hingga EC4

EC Tinggi MS padat

modifikasi

Botol sedang

atau test tube

(TT)

Embryoid,

shoot

Luaran berupa

shoot dengan

panjang 3 cm

atau lebih.

Tahapan mulai

dari EC5

hingga EC18

Shoot

Development

(SD)

MS padat

modifikasi

Botol besar

atau TT

Shoot Luaran berupa

shoot dengan

panjang 7 cm

atau lebih

Root

Induction

(RI)

MS padat

modifikasi

Test tube (TT)

Shoot berakar

hasil induksi

Jumlah akar

minimal 2 dan

memiliki

panjang

minimal 0,5

cm

47

Lampiran 4 Hasil Kultur Kelapa Sawit dari Berbagai Proses Kultur Jaringan di

Laboratorium COPPU.

(1) (2) (3)

(4) (5) (6)

Keterangan :

(1) = Kultur kelapa sawit dalam tahap EC tinggi.

(2) = Kultur kelapa sawit dalam tahap EC rendah.

(3) = New Embroid.

(4) = Kultur kelapa sawit dalam tahap SD.

(5) = Kultur kelapa sawit tahap SD.

(6) = Kultur kelapa sawit tahap RI, terlihat sudah keluar akar.

48

Lampiran 4 lanjutan

(7) (8) (9)

Keterangan :

(7) = Kultur kelapa sawit yang terkena serangan jamur.

(8) = Kultur kelapa sawit yang terkena serangan bakteri.

(9) = Kultur kelapa sawit yang terkena serangan mites.

49

Lampiran 5 Komposisi media kultur jaringan tanaman

Komposisi Media (jumlah dalam mg

-1 )

a

Whiteb

Hellerc

MSd

ERe

B5f

Nitschg

NTh

Anorganik NH4NO3 - - 1650 1200 - 720 825

KNO3 80 - 1900 1900 2527,5 950 950

CaCl2•2 H2O - 75 440 440 150 - 220

CaCl2 - - - - - 166 -

MgSO4•7 H2O 750 250 370 370 246,5 185 1233

KH2PO4 - - 170 340 - 68 680

(NH4)2SO4 - - - - 134 - -

Ca(NO3)2•4 H2O 300 - - - - - -

NaNO3 - 600 - - - - -

Na2SO4 200 - - - - - -

NaH2PO2• H2O 19 125 - - 150 - -

KCl 65 750 - - - - -

KI 0,75 0,01 0,83 - 0,75 - 0,83

H3BO3 1,5 1 6,2 0,63 3 10 6,2

MnSO4•4 H2O 5 0,1 22,3 2,23 - 25 22,3

MnSO4•H2O - - - - 10 - -

ZnSO4•7 H2O 3 1 8,6 - 2 10 -

ZnSO4•4 H2O - - - - - - 8,6

Zn.Na2• EDTA - - - 15 - - -

Na2MoO4•2 H2O - - 0,25 0,025 0,25 0,25 0,25

MoO3 0,001 - - - - - -

CuSO4•5 H2O 0,01 0,03 0,025 0,0025 0,025 0,025 0,025

CoCl2•6 H2O - - 0,025 0,0025 0,025 - -

CoSO4•7 H2O - - - - - - 0,03

AlCl3 - 0,03 - - - - -

NiCl2•6 H2O - 0,3 - - - - -

FeCl3•6 H2O - 1 - - - - -

Fe2(SO4)3 2,5 - - - - - -

FeSO4•7 H2O - - 27,8 27,8 - 27,8 27,8

Na2.EDTA•2 H2O - - 37,3 37,3 - 37,3 37,3

Sequestrene 330Fe - - - - 28 - -

Organik Inositol - - 100 - 100 100 100

Asam nikotinat 0,05 - 0,5 0,5 1 5 -

Piridoksin HCl 0,01 - 0,5 0,5 1 0,5 -

Tiamin HCl 0,01 - 0,1 0,5 10 0,5 1

Glisin 3 - 0,1 0,5 10 0,5 1

Asam folat - - - - - 0,5 -

Biotin - - - - - 0,05 -

Sukrosa 2 % - 3 % 4 % 2 % 2 % 1 %

D-Manitol - - - - - - 12,7% a Komposisi dari manitol dan sukrosa disebutkan dalam persentasi.

b White (1963).

c Heller (1953).

d Murashige dan Skoog (1962).

e Erikkson (1965).

f Gamborg et al (1968).

g Nitsch (1969).

h Nagata dan Takabe (1971).