perbandingan pembangunan melalui land reform di indonesia dan di china
DESCRIPTION
ekonomiTRANSCRIPT
“Perbandingan Pembangunan Melalui Land Reform di Indonesia dan di China”
Oleh
Febryna Mulya
1306427226
Abstrak
Pembangunan merupakan upaya untuk mencapai suatu masyarakat yang adil, makmur
dan merata. Konsep pembangunan dapat dipandang melalui berbagai paradigma atau
multidimensi. Ada yang mendefinsikan pembangunan dengan netral tetapi ada juga
berpendapat pembangunan adalah sebuah diskursus. Untuk terwujudnya masyarakat yang
adil dan sejahtera di suatu Negara haruslah memperhatikan beberapa hal pokok yaitu sumber
daya manusia sebagai anggota masyarakat yang akan mengelola sumber daya alam (bumi,
air, ruang angkasa dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya) yang disebut agraria.
Dengan demikian pembangunan negara dapat dilalui dengan tahapan pembangunan agrarian.
Namun ternyata ketidakseimbangan pemilikan tanah (Agraria) yang paling banyak
menimbulkan masaalah dan penyengsaraan rakyat. Sehingga diperlukan sebuah mekanisme
dan startegi pembangunan agrarian yang diwujudkan dalam Land Reform Agrarian. Sebagai
negara agraris tentunya nagara besar dan subur seperti Indonesia dan China wajib rasanya
untuk melakukan Land Reform ini. Dan Memang Land reform ini telah menjadi master plan
bagi kedua negar dalam mewujudkan pembangunan.Untuk Itu perlu kita tinjau pembangunan
melalui land reform didua negara sebagai perbandingan dan tolak ukur bagi Indonesia
khususnya.
Kata Kunci : Pembangunan, Land Reform, Indonesia dan China
A. Pendahuluan
Teori – teori pembangunan yang berkembang pada pertengahan ke – 20 melihat
bahwa pembangunan di negara-negara berkembang tidak dapat dilakukan tanpa terlebih
dahulu melakukan transformasi masyarakat melalui penataan struktur agraria. Kegiatan
pembangunan cesara ideal dilaksanakan guna mencapai suatu masyarakat adil, makmur, dan
merata. Bagi sebagian rakyat buakan soal siapa yang berkuasa siapa yang memerintah dan
siapa yang diperintah, tetapi yang penting adalah bagaimana proses atau usaha untuk
mencapai kemakmuran dijalankan sesuai ciota rasa keadilan rakyat dan jelmaan dari cita-cita
dan tujuan nasional.
Untuk terwujudnya masyarakat yang adil dan sejahtera di suatu Negara haruslah
memperhatikan beberapa hal pokok yaitu sumber daya manusia sebagai anggota masyarakat
yang akan mengelola sumber daya alam (bumi, air, ruang angkasa dan kekayaan alam yang
terkandung didalamnya) yang disebut agraria dalam arti luas serta hubungan manusia dengan
sumber-sumber daya alam termasuk didalamnya mewujudkan keadilan dalam mendapatklan
kesempatan memperoleh manfaat dari agraria tersebut.
Dari berbagai zaman dan pengalaman sejarah dunia, ternyata ketidakseimbangan
pemilikan tanah (Agraria) yang paling banyak menimbulkan masaalah dan penyengsaraan
rakyat. Sebaliknya indikasi sejahterah tidaknya rakyat di suatu negara ditentukan oleh adanya
pemerataan pemilikan dan penguasaan agrarian negara tersebut. Bahwa kemudian Land
Reform dianggap sebagai kata kunci untuk keberhasilan pembangunan merupakan hal yang
sangat beralasan.
Land Reform merupakan penyelesaian yang muncul terhadap masalah ketimpangan
struktur agraria, kemiskinan ketahanan pangan, dan pengembangan wilayah pedesaan di
berbagai belahan dunia. Banyak negara, baik yang mempunyai ideologi kanan seperti :
Jepang, Taiwan, Korea Selatan, Filipina dan Brazil, maupun yang mempunyai ideologi kiri
seperti : Cina dan Vietnam melaksanakan Land reform, dengan hasil yang beragam. Tercatat
beberapa negara melaksanakan Land Reform lebih dari satu kali seperti Rusia, Jepang,
Mexico dan Venezuela (BPN- RI, 2007).
Land Reform pertama kali tercatat dalam sejarah yang terjadi di Yunani Kuno pada
masa pemerintahan Solon sekitar tahun 594 sebelum Masehi. Kemudian, tonggak kedua
pada tahun 134 sebelum Masehi Land Reform dilakukan di Roma yang bertujuan untuk
mengangkat rakyat kecil dengan cara melakukan redistribusi tanah-tanah milik umum.
Tonggak ketiga pada abad ke -12 dilaksanakan Reforma Agraria di Inggris dikenal dengen
“Enclosure movement” yaitu pengkaplingan tanah- tanah pertanian dan padang
pengembalaan yang semula merupakan tanah yang dapat disewakan oleh umum, menjadi
tanah–tanah individual.( Notonagoro : 1984 : 32)
Willenburg (2001) melalui penelitian berkaitan dengan Land Reform di Kuba, dalam
kesimpulannya menyatakan bahwa untuk memahami dan mengevaluasi proses Land Reform
di Kuba digunakan 3 elemen sebagai kerangka kerja. Ketiga elemen tersebut yakni deskriptif
yang digunakan sebagai penjelasan mengapa orang kuba memiliki keyakinan seperti yang
mereka lakuakan terhadap kesesuaian sosialisme dan Land Reform yang terjadi sekarang
agar mencapai keadilan sosial, normatif untuk menjelaskan lingkungan bangsa kuba saat ini
pada tataran norma, kebijakan, dan praktek yang dipercayai sebagai sesuatu yang tepat dalam
mengamankan keadilan sosial dan kedaulatan atas kemerdekaan mereka. Elemen – elemen
tersebut wilgenburg menyimpulkan bahwa keyakinan dan tradisi yang mendasari lingkungan
bangsa merupakan pertimbangan yang sangat relevan dalam pelaksanaan Reforma Agraria.
Sebagai sebuah titik awal pembangunan bangsa, reformasi agraria telah menjadi
upaya-upaya negara dalam mewujudkan keadilan dan kedaulatan pangan. Reformasi Agraria
sendiri tentunya lebih menjadi program utama negara-negara agraris tentunya seperti halnya
Indonesia dan China. Kedua Negara ini telah melaksanakan reformasi agrarian guna
mewujudkan kesejahteraan dan kedaulatan pangan tentunya. Namun, banyak persoalan
agrarian yang dihadapi tentunya menjadi kendala.
B. Rumusan dan Batasan Masalah
Republik Rakyat China merupakan negara terbesar ketiga di dunia dengan luas
wilayah sekitar 3,7 juta mil persegi. China juga merupakan sebuah negara yang berpenduduk
paling padat di dunia. Sekitar 85% penduduknya tinggal di wilayah pedesaan dan 90%
daripadanya menempati seperenam wilayah China. Dari seluruh luas wilayah China, hanya
15% tanahnya yang cocok untuk pertanian. Kebutuhan-kebutuhan pangan yang semakin
meningkat menimbulkan masalah-masalah ekonomi.[1]
Sedangkan di Indonesia, berdasarkan laporan Kepala Badan Pertanahan Nasional
(BPN), Joyowinoto mengemukakan bahwa reforma agraria yang rencananya akan
diluncurkan tanggal 20 Mei 2007 adalah “Land Reform” Plus, yang berlandaskan Pancasila
dan UUD 45. Indonesia pada tahun 1961-2005 telah dibagikan tanah obyek “land reform” di
seluruh Indonesia seluas lebih kurang 1.159.527,273 hektar kepada 1.510.762 KK (kepala
keluarga) dengan rata-rata luas 0,77 ha, dan hal itu bertujuan untuk peningkatan taraf hidup
rakyat Indonesia. Namun, angka tersebut belum optimal digunakan, karena 0,2 persen
masyarakat Indonesia menguasai 56 persen aset negara dimana sekitar 62 persen sampai 87
persen penguasaan dalam bentuk tanah.[2]
Indonesia dan China merupakan negara agraris dengan jumlah penduduk yang
banyak. Tentunya kedua negara selalu mengupayakan pembangunan negara kearah yang
lebih baik dalam mewujudkan masyarakatnya yang adil, sejahterara dan merata. Salah
satunya dengan adanya regulasi politik terkait Land Reform. Dengan demikian, menarik bagi
penulis untuk mengulas reformasi agraria,Land Reform di China dan di Indonesia.
Bagaimana regulasi politik terkait Land Reform didua negara yang berbeda sistem politik ini
terhadap pembangunan negara? Untuk itu penulis membatasi permasalah penulisan ini pada
Politik Agraria yakni, kebijakan politik ke dua negara, stategi dan mekanisme dalam
menjalankan Land Reform guna mewujudkan pembangunan negara.
C. Kerangka Konseptual
1. Pendekatan Pembangunan Dalam Studi Perbandingan Politik.
Menurut Chilcote dalam menjelaskan perbandingan politik, dapat dilakukkan dengan
menggunakan pendektan pembangunan dimana Chilcote menjelaskan (1) pembangunan
politik yang banyak dipengaruhi oleh dalil-dalil demokrasi ( Almond 1965), (2)
Pembangunan dan Nasionalisme, melihat situasi beragam di masyarakat Afrika, Amerika
Latin dan Asia, atas adanya perbedaan suku, etnik, bahasa, agama dll sehingga memunculkan
kesadaran berbangsa ( Hayes: 1960, Kohn: 1968, Shafer: 1955). setiap adanya pembangunan
harus dikaitkan dengan nasionalisme, karena nasionalisme dipercayai sebagai impuls
ideologis dan motivasi dari pembangunan itu sendiri. (3) Modernisasi, didasari oleh Weber
dan Parsons, adanya hubungan klasifikasi masyarakat tradisional dan modern. sehingga untuk
memahaminya ada tahap-tahap dan modernisasi sebagai upaya menghindari implikasi tak
linear dan evolusioner. Modernisasi mempelajari, tantangan modernisasi bagi masyarakat
tradisional, konsolidasi pemimpin modern, melemahnya pimpinan tradisional, transformasi
ekonomi, dan integritas masyarakat. modernisasi banyak dikritik oleh pemikir-pemikir
ortodoks. (4) Keterbelakangan, jika teori pembangunan dekat dengan negara-negara maju,
maka teori keterbelakangan dekat dengan negara-negara berkembang atau dikatakn sebagai
negara ketiga. Keterbelakangan sendiri bersumber dari gagalnya pendekatan difusionis dari
kapitalisme. Teori keterbelakangan cendrung tumpang tindih terkait, pembangunan kapitalis
dipusat dan keterbelakangan di batas luar, ketidakmerataan pembangunan dan
ketidakseimbangan pembangunan. (5) Ketergantungan, diyakini akibat adanya ekspansi dari
negara-negara dominan. Namun, Teori ketergantungan memiliki banyak sudut pandang
sehingga tidak adanya kesatuan dari teori ini. (6) Imprealisme, yang berhubungan dengan
negara-negara dominan(atas), baik dalam control politik, ekonomi, atas negara-negara bawah
( Cohen:1973) di terakhir Chapternya, Chilcote menutup dengan (7) prospek-prospek teori
pembangunan, chilcote berargumen, bahwa dengan penjelasan sebelumnya baik ortodok
maupun radikal dapat membantu mengklarifikasi dalam arahan perumusan teori-teri
pembangunan dan keterbelakangan dalam dunia kontemporer.
Dengan adanya kajian terhadap teori-teori pembangunan dan keterbelakangan
tersebut, merupakan sebuah upaya dalam pengujian kritis terhadap isu-isu dan masalah-
masalah masyarakat revolusioner dalam upaya pembebasan dari cengkraman kapitalisme dan
dapat melihat bagaimana upaya negara ketiga dalam membangun dan membentuk masa
depan dengan satu arahan sosialis. saya melihat bahwa, memang untuk terbentuknya negara
sosialis atau negara merdeka sekalipun harus mampu melepaskan diri dari hegemoni dari
negara-negara kapitalis yang telah merusak sistem baik politik maupun ekonomi.
Terkait dengan Land Reform, penulis melihat bahwa perbandingan didua negara
dapat dilihat dari pendekatan ini. Ketika berbicara pembangunan maka tidak akan terlepas
dari pijakan ilmiah. Konsep pembangunan dapat dipandang melalui berbagai paradigma atau
multidimensi. Ada yang mendefinsikan pembangunan dengan netral tetapi ada juga
berpendapat pembangunan adalah sebuah diskursus. Teori pembangunan muncul pasca
perang dunia II dan terus berkembang sampai sekarang karena ada perlawanan paradigma
antara kapitalisme dan sosialisme. Beberapa teori yang menjadi pijakan teori pembangunan
adalah teori ekonomi kapitalisme, teori evolusi, teori fungsionalisme dan teori modernisasi.
Kemunculan negara di dunia ketiga mendorong kemunculan teori ini, yang
tercurahkan pada wawasan keterbelakangan dan potensi untuk memajukan diri unruk tumbuh
dan berkembang menjadi sebuah bangsa, yang kesemua terkait dalam pola modernisasi
politik.[3]
Pendekatan Pembangunan dalam studi perbandingan politik adalah upaya melihat
perubahan secara gradual, kemajuan melalui sejumlah tahapan yang mengarah pada ekspansi
peran negara, peningkatan atau kelengkapan atau keterbukaan terhadap identitas negara. Hal
ini dapat dilihat dari pembangunan sebagai sasaran atau pembangunan sebagai proses.
Sehingga pembangunan tidak melahirkan atau malah bangkit dari keterbelakangan yang
disebabkan oleh gagalnya pembangunan atau kesenjangan pembangunan.
Menurut Goulet : 1977, pembangunan adalah salah satu bentuk perubahan sosial,
berbeda dengan modernisasi, karena modernisasi adalah suatu bentuk khusus (special case)
dari pembangunan, dan sedangkan industrilisasi adalah salah satu segi (a single facet) dari
pembangunan. Pembangunan sendiri berfokus dapat pada manusia (man-centered
development) dan dapat diihat dari pembangunan negara dari sisi ekonomi, sosial dan politik.
Adapun tujuan dari pembangunan adalah sebagai kehendak masayarakat untuk
mencapai suatu keadaan tertentu yang lebih baik atau menghindari keadaan tertentu yang
buruk. Ini sangat dipengaruhi oleh prefensi atau pilihan rasional dan tingkat perkembangan
pembangunan negara yang bersangkutan. Adapun target dari pembangunan adalah
terbentuknya perumusan-perumusan tujuan pembangunan dalam bentuk lebih rinci yakni
regulasi politik. (ww. Rostow:1960)[4]
2. Land Reform
Agrarian reform dan Land Reform seringkali dianggap identik. Berbagai pihak,
dengan sudut pandang yang sangat beragam memberikan pengertian yang berbeda- beda
mengenai Reforma Agraria. Dalam pengertian terbatas, Land Reform dipandang sebagai
Land Reform , dengan salah satu programnya yaitu redistribusi tanah (pembagian tanah),
namun penelitian kali iniLand Reform memiliki arti yang lebih luas dan tidak hanya berupa
Land Reform tetapi juga berkaitan dengan pengelolaan tanah oleh manusia untuk
pemenuhan kebutuhan manusia.[5]
Menurut Hutington dalam bukunya Political Dimentions of Land Reform,
mengatakan bahwa istilah Land Reform dan agrarian refom dapat dibedakan dengan “apa”
dan “ bagaimana”
“in term of substance or “what”, the phrase “ land reform” refers to the distribution of
land ownership and hence, of income from the land. Agrarian reform refers to the
improvement in farming technique, farm equipment, fertilizers, soil conservation, crop
rotation, irrigations and marketing which have the effect of increasing the agricultural
productivity and efficiency. agrarian Reform without land reform may increase economic
productivity at the expence of rural stability and on the other hand, land reform without
agrarian reform may increase agricultural productivity”
Hal ini dipertegas oleh Ladejinsky, bahwa pemilikan tanah merupakan unsure terpenting, bila
ini tidak ada, semua yang lainnya hanya bersifat sementara, termasuk jaminan penguasaan
tanah dan pengurangan sewa yang sangat sulit dilaksanakan. [6]
Dari perdebatan antara land reform atau agrarian reform, penulis melihat bahwa baik
di China maupun di Indonesia sama-sama melakukan Land reform sebagai kebijakan
pembangunan agrarianya. Menurut Wiradi (2001), Land Reform adalah penataan ulang
struktur pemilikan dan penguasaan tanah beserta seluruh paket penunjang secara lengkap ,
Paket penunjang tersebut adalah adanya jaminan hukum atas hak yang diberikan,
tersediaanya kredit yang terjangkau, adanya akses terhadap jasa-jasa advokasi, akses terhadap
informasi baru dan teknologi, pendidikan dan latihan, dan adanya akses terhadap bermacam
sarana produksi dan bantuan pemasaran. Setiawan (2001) mengatakan bahwa istilah Land
Reform adalah pembaruan agraria karena apa yang dimaksudkan lebih luas dari sekedar
pembagian tanah.
Selanjutnya menurut Sahyuti (2007),Land Reform dimaknai sebagai Land Reform
plus, artinya inti dari pelaksanaanLand Reform adalah berupa Land Reform yang dalam
arti sempit yaitu penataan ulang struktur penguasaan dan pemilikan tanah. Komponen plus
dalam Land Reform dimaksud adalah bentuk-bentuk dan cara mengolah tanah, penyuluhan
pertanian, dan lain – lain. Menurut Sutarto (2007) pembaruan agraria tidak boleh dipahami
sebagai proyek bagi – bagi tanah semata, tapi harus diorientasikan pada upaya peningkatan
kesejahteraan petani serta revitalisasi pertanian dan pedesaan secara menyeluruh. Untuk itu
selain harus merupakan upaya penataan struktural untuk menjamin hak rakyat atas sumber-
sumber agraria melalui Land Reform, Land Reform harus merupakan upaya pembangunan
lebih luas yang melibatkan multi-pihak untuk menjamin agar aset tanah yang telah diberikan
dapat berkembang secara produktif dan berkelanjutan. Hal ini mencakup pemenuhan hak-hak
dasar dalam arti luas, misalnya pendidikan , kesehatan dan juga penyediaan dukungan
modal, teknologi,manajemen, infrastruktur, pasar dan lain –lain. Komponen yang pertama
disebut sebagai asset reform, sedangkan yang kedua disebut access reform. Gabungan antara
kedua jenis reform inilah yang dimaksud dengan Land Reform plus.
Senada dengan pengertian tersebut di atas, Winoto (2007) mengemukakan bahwa
Land Reform adalah “land reform plus”, yang berlandaskan Pancasila dan UUD 1945.
Artinya ‘land reform’ yang mekanismenya untuk menata kembali proses- proses yang dirasa
tidak adil dengan penambahan akses reform sehingga pemberian tanah bagi petani dapat
dijadikan sebagai alat reproduksi. Berbagai istilah dan pengertian sangat banyak
dikemukakan namun hal ini hanya sebatas pemberian definisi saja sehingga jarang menjadi
perdebatan.
D. Pembangunan Negara dari Land Reform
1. Land Reform di China
Cina dengan nama lengkap Republik Rakyat Cina (people’s Republic of Cina) merupakan
negara terbesar di daratan Asia yang masih bertahan dengan sistem komunis. Dalam bidang
politik, Cina menerapkan sistem komunis dengan kontrol yang ketat terhadap warganya.
Dalam bidang ekonomi, Cina menerapkan sistem ekonomi pasar. Produk-produk Cina
sekarang ini banyak yang membanjiri pasaran dunia.[7]
Pokok-pokok sistem pemerintahan di Cina yaitu dengan bentuk negara adalah kesatuan yang
terdiri atas 23 provinsi, bentuk pemerintahan adalah republik dengan sistem demokrasi
komunis. Kepala negara adalah presiden, sedangkan kepala pemerintahan adalah perdana
menteri. Presiden dipilih oleh Kongres Rakyat Nasional untuk masa jabatan 5 tahun
(biasanya merangkap sebagai Ketua Partai). Kekuasaan yudikatif dijalankan secara bertingkat
kaku oleh Pengadilan Rakyat di bawah pimpinan Mahkamah Agung Cina Dapat dikatakan
bahwa hubungan partai dan negara di Cina bersifat sub-ordinatif, dimana negara yang tunduk
terhadap partai. Partai menduduki posisi penting dalam pemerintahan dan unit-unit produksi
lewat komite partainya yang dipimpin oleh Sekretaris Partai.(I. Wibowo, 2000: 139)
Di Cina,Land Reform merupakan kerangka perjuangan untuk menata kembali struktur sosial
dan politik. Program pembaruan agraria di China telah berlangsung sejak tahun 1927, masa
dimana kekuatan komunis telah menguasai beberapa wilayah di Cina ketika masih dibawah
kekuasaan Kuomintang. Pada masa itu kebijakan Land Reform yang dijalankan beragam
karena perbedaan wilayah. Dalam kebijakanLand Reform tersebut hanya sedikit jumlah
tanah yang diambil alih, redistribusi tanah berdasarkan jumlah yang setara per-orang, dan
pendaftaran pendukung dari petani kaya, pedagang kecil, dan kelas intermediasi lainnya.
Reformasi tanah merupakan kebutuhan ekonomi masyarakat baru. Komunis berusaha
mendapat dukungan politik sekitar 70 % petani miskin dari 500.000.000 penduduk pedesaan
China. Ada dua alasan untuk reformasi ini, yaitu menghancurkan kelas bangsawan tuan tanah
untuk menghilangkan potensi ancaman kontra dan mendirikan pusat kekuasaan politik
komunis di desa-desa. ( Lin Ji Tjou, 1964:7)
Pada pertengahan tahun 1920 – 1930 tersebutlah ditetapkan, Cina melaksanakan tiga
program besar yaitu menghilangkan neo imprealisme, menata ulang struktur sosial dan
politik, menata kembali struktur penguasaan tanah, Namun fokusnya berada pada yang
ketiga yaitu menata kembali struktur penguasaan tanah (land reform). Artinya dalam gerakan
besar Cina,Land Reform menjadi suatu kerangka perjuangan politik untuk menata kembali
struktur politik yang ada di Cina. Program Land Reform di Cina, mengalami stagnasi ketika
di menjajah oleh Jepang (1935 – 1945). Ketika Jepang menyerah, program Land Reform
dilaksanakan kembali dan mencapai puncaknya pada tahun 1959 – 1961, bersamaan dengan
peristiwa banjir besar dan kekeringan yang sangat parah melanda Cina. Ini merupakan
periode yang sangat parah bagi rakyat Cina. (Jung Chang, Jon Halliday, 2007: 410-415)
Selepas tahun 1961,Land Reform terus dijalankan, tanah-tanah milik tuan tanah
dibagikan kepada petani penggarap secara kolektif (koperasi), yang dalam perkembangannya
tanah tersebut menjadi tanah milik negara, tetapi petani mempunyai akses penuh untuk
memanfaatkan tanah tersebut (usufruct right). Para pakar ekonomi pembangunan Cina pada
awalnya menyatakan bahwa priode 1959 – 1961 merupakan ketidakberhasilan dari Land
Reform. Namun kemudian pendapat tersebut bergeser, periode tersebut merupakan penentu
bagi pertumbuhan ekonomi Cina yang luar biasa (BPN- RI, 2007).
Kebijakan Land Reform yang dilakukan oleh Cina, setidaknya mengandung hal
sebagai berikut (Wiradi, 2001):
1. Hanya sedikit jumlah tanah yang diambil alih;
2. Redistribusi tanah berdasarkan jumlah yang setara per-orang;
3. Pendaftaran pendukung dari kalangan petani kaya, pedagang kecil dan lain- lain ”kelas
intermediasi” .
Panduan dasar Land Reform pada saat itu adalah ”menyadarkan diri pada petani miskin,
bersatu dengan petani menengah, tidak mengganggu kepentingan petani kaya baru, dan
menghapus tuan tanah feodal sebagai kelas”. Kebijakan ini berhubungan erat dengan
kebijakan komunis pada saat itu, yang didasarkan atas 3 (tiga) tahap:
1. Tahap I, memenangkan perjuangan politik (revolusioner);
2. Tahap II, memenangkan perjuangan ekonomi (produksi), dengan cara,
a. Menjalankan Land Reform,
b. Menjalankan penyelidikan pertanahan,
c. Mengembangkan koperasi dan gotong royong (mutual aid),
d. Mencapai pengembangan pertanian (dan industri) dari kekuataan produktif.
3. Tahap III, memenangkan perjuangan ideologi dan kebudayaan.
Setelah komunis berkuasa di tahun 1949, maka diadakan kebijakan ekonomi nasional yang
didasarkan pada pembaruan Agraria. Gurley mengkategorikan sebagai berikut:
1. Masa Land Reform, antara tahun 1949-1952, pada masa itu dilakukan upaya
redistribusi kekayaan pendapatan dan kekayaan dari kaum kaya ke kaum miskin dan
menghapuskan kelas penguasa sebelumnya.
2. Masa kolektivisasi-komunisasi, antara tahun 1955-1959, di masa ini adalah
meningkatkan output di pedesaan dengan mendorong pemanfaatan suplai tenaga kerja secara
lebih baik.
3. Pembentukan modal (capital formation) untuk pertanian antara tahun 1960- 1972, pada
masa ini adalah dengan usaha mendorong secara lebih lanjut output pertanian dengan
peningkatan barang-barang modal (capital goods) serta input lainnya yang tersedia di sector
pedesaan, serta dengan mendirikan industri-industri kecil dimana-mana, hampir di semua
desa.
4. Perubahan gradual dari nilai tukar (terms of trade) di antara pertanian dan industri bagi
kepentingan sector pertanian dan kaum tani. Di masa ini upaya meningkatkan harga yang
dibayar oleh pemerintah atas produk-produk pertanian serta merendahkan harga barang-
barang yang dibeli oleh petani.
Pelaksanaan redistribusi asset-asset pedesaan, Land Reform yang dijalankan di Cina
bukan hanya telah mematahkan dominasi di kelas tuan tanah dan mengalihkan kekuasaan
pada petani miskin dan menengah saja, tetapi juga dengan sendirinya telah meningkatkan
tingkat konsumsi dari kebanyakan petani dan meningkatkan tabungan pedesaan yang layak
bagi investasi. Land Reform yang dijalankan di Cina dengan sendirinya juga telah
menghapuskan konsumsi kemewahan dari kaum kaya dan meningkatkan konsumsi dasar
dari kaum miskin. Arti yang penting dari Land Reform bukan sekedar memberikan tanah
kepada petani miskin, tetapi mendorong mereka untuk mengorganisasikan dirinya untuk
mengambil dan mengalahkan penindas mereka sebelumnya. Ini merupakan prasyarat bagi
pengembangan sosialisme berikutnya di pedesaan, karena apabila tidak dilakukan, maka
struktur kelas lama maupun pola pemilikan kekayaan lama akan muncul kembali, karena
sikap-sikap lama yang masih bertahan dan paranata-pranata yang menguntungkan kaum
kaya.
Usaha pembaruan agrarian yang dilakukan di Negara Cina adalah merupakan proses
yang dilakukan secara trial and error dan tidak mencontoh model pembaruan di Negara lain.
Dalam hal ini strategi pembaruan Agrarian di Cina terdiri dari beberapa langkah berikut ini:
1. Menghancurkan struktur kelas tuan tanah-birokrat dan redistribusi tanah dan asset-aseet
lain, pendapatan, dan kekuasaan kepada kaum tani dan kaum buruh.
2. Mendirikan hubungan sosial produksi sosialis sesegera mungkin, serta menggunakan
partai untuk mendidik kaum tani dan kaum buruh mengenai cita-cita dan nilai-nilai sosialis.
Yaitu, dengan menasionalisasikan industri dan mengembangkan koperasi di pedesaan tanpa
harus menunggu adanya mekanisasi pertanian. Ini berarti menciptakan super struktur
sosialis.
3. Membangun mekanisme perencanaan penuh sebagai ganti dari alokasi sumber daya
yang ditentukan oleh harga pasar dan distribusi pedapatan secara penuh masuk ke
industrialisasi, tetapi dengan penekanan industri yang mempunyai kaitan langsung ke
pertanian.
4. Mencapai tingkat pembentukan modal (capital formation) yang tinggi dengan
mendorong tabungan di semua tingkat dan menggunakan tabungan tersebut pada tiap
tingkatan guna melakukan investasi secara swadaya. Demikian pula mendorong daerah
pedesaan khususnya, untuk memenuhi kebutuhan barang-barang modal dengan menciptakan
industri-industri berskala kecil dan dari masyarakat sendiri.
5. Mengembangkan dan menyalurkan kreativitas dan energi manusia lewat penyebaran
nilai-nilai sosialis (”melayani rakyat”, tidak mementingkan diri sendiri, insentif secara
kolektif) dalam mengatasi nilai-nilai borjuis (individualisme, serakah, materialisme), dengan
cara menyediakan fasilitas pelayanan kesehatan, pendidikan secara meluas, penetapan tujuan-
tujuan yang mulia, guna menginspirasi orang untuk bekerja lebih giat, serta dengan
mendorong pengambilan keputusan di tingkat dasar kepada tingkatan rakyat yang paling
bawah.
6. Menjalankan revolusi yang berlanjut di semua tingkatan masyarakat, serta
mempertahankan kediktatoran kaum ploretar.
Masyarakat agraris China dibagi dalam lima kelompok, yaitu:
1. Tuan tanah (landlords) yaitu mereka yang memiliki tanah luas tetapi tidak
mengerjakannya sendiri dan hidup dengan mengeksploitasi tenaga orang lain.
2. Petani kaya (rich peasants) yaitu mereka yang memiliki tanah tetapi tanah tersebut
dikerjakan sendiri, terkadang mempekerjakan orang lain atau menyewakan tanahnya kepada
petani miskin.
3. Petani kelas menengah (middle peasants), petani yang mengerjakan tanhnya sendiri
tanpa bantuan orang lain.
4. Petani miskin (poor peasants) yang hanya memiliki tanah sempit atau menyewa tanah
dari orang lain.
5. Orang yang tidak memiliki tanah dimana mereka harus menjual tenaganya dengan
mengolah tanah orang lain.
Dalam realitasnya, slogan ”tanah untuk penggarap” telah membangkitkan sisi keserakahan
para petani yang tidak memiliki sawah, mendorong mereka untuk merampas dengan
kekerasan dan tanpa mempertimbangkan dampak moral yang diakibatkan oleh tindakan
mereka, bahkan juga telah menghasut para petani yang tidak mempunyai lahan untuk
menyerang para petani yang memiliki lahan pertanian. Lebih dari 20 juta penduduk desa di
seluruh Tiongkok dikategorikan sebagai „tuan tanah, petani kaya, kaum pembangkang atau
elemen buruk‟, telah menjadi kelas terendah dalam masyarakat Tiongkok. (Jung Chang, Jon
Halliday, 2007: 410-415)
2. Land Reform di Indonesia
Negara Indonesia merupakan negara dengan sistem demokrasi presidensial. Sistem
demokrasi merupakan sistem politik yang terus disuarakan barat (Amerika Serikat) pasca
perang dingin. Melihat kebijakan luar negeri Indonesia banyak yang mengatakan bahwa
Indonesia mengadopsi Demoksi liberal namun jauh berbeda dengan aslinya ( Amerika
Serikat). Indonesia memakai demokrasi liberal tepatnya pasca runtuhnya rezim otoritarian
Soeharto pada 1998. Sistem pemerintahan diubah menjadi Desentralisasi dengan sistem
politik yang masih sentralistik.( Antonius S, 2006: 12)
Indonesia dikenal sebagai negara agraris. Prestasi Indonesia Mencapai Swasembada beras
pada tahun 1984 ternyata tidak bisa dipertahankan dan hanya dua tahun kemudian Indonesia
terus-menerus membuka kran impor beras (Iskandar, 2006). Menjadi importir beras
merupakan kecelakaan besar ketika swasembada pangan telah tercapai. Pasca runtuhnya
rezim Soeharto, krisis ekonomi melanda Indonesia dimulai sejak tahun 1997. Dengan
demikian Indonesia mengalami kebangkrutan, hutang Indonesia melalui IMF berlipat ganda
dengan naiknya harga dollar, yang kemudian menjadi titik awal dimulainya krisis pangan
nasional. Puncaknya adalah pada tahun 1997 dimana Indonesia harus mengimpor beras
sebanyak 5,7 juta ton (Nugraha, 2006).[8]Bachriadi mengungkapkan[9] :
“Kekeliruan pembangunan yang mendasar adalah tidak ditempatkannya pembaruan agraria
yang berupa penataan kembali penguasaan, penggunaan, pemanfaatan, peruntukan dan
pemeliharaan sumber-sumber agraria sebagai pra-kondisi dari pembangunan… Pembaruan
agraria dipercayai pula sebagai proses perombakan dan pembangunan kembali struktur sosial
masyarakat, khususnya masyarakat pedesaan, sehingga tercipta dasar pertanian yang sehat,
terjaminnya kepastian penguasaan atas tanah bagi rakyat sebagai sumberdaya kehidupan
mereka, sistem kesejahteraan sosial dan jaminan sosial bagi rakyat pedesaan, serta
penggunaan sumberdaya alam sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat.”
Bertolak dari keinginan masyarakat dan keadaan ekonomi Indonesia yang terpuruk sejak
1997 menuntut adanya perubahan politik agraria Indonesia. Strategi pelaksanaan Program
Pembaruan Agraria Nasioanal (PPAN) bagaimana yang telah dirumuskan oleh BPN- RI
(2007)
Definisi operasional dari Land Reform sebagai upaya suatu program pemerintah dalam
upaya menyelesakan berbagai permasalahan dengan memberikan sentuhan langsung pada
akar permasalahannya adalah :
1. Land Reform merupakan penataan ulang sistem politik dan hukum pertanahan
berdasarkan prinsip pasal – pasal UUD 45 dan UUPA ;
2. Land Reform merupakan proses penyelenggaraan Land Reform (LR) dan access reform
(AR) secara bersama; LR adalah proses redistribusi tanah untuk menata penguasaan,
pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan tanah berdasarkan politik dan hukum pertanahan.
AR adalah suatu proses penyediaan akses bagi masyarakat (subjek Reforma Agraria)
terhadap segala hal yang memungkinkan masyarakat untuk mengembangkan tanahnya
sebagai sumber kehidupan (partisipasi ekonomi- politik, modal, pasar, teknologi,
pendampingan, peningkatan kapasitas dan kemampuan).
Defenisi tersebut secara lebih terperinci dapat dipaparkan bahwa Reforma Agraria yang
selanjutnya disebut sebagai PPAN adalah merupakan:
1. Upaya bersama untuk mewujudkan keadilan sosial;Land Reform dilakukan untuk
langsung menyentuh akar permasalahan – permasalahan struktural dimana kemiskinan
termasuk salah satu diantaranya.
2. Mandat politik, konstitusi dan hukum;Land Reform merupakan keharusan untuk
dilaksanakan atas dasar:
a. Tap MPR No. IX/MPR/2001
b. Keputusan MPR – RI No. 5/MPR/2003
c. Pidato Politik Presiden RI awal tahun tanggal 31 Januari 2007
d. Pembukaan UUD’45 dan Pasal 33 (3), Pasal 27 (2), dan Pasal 28 UUD’45.
e. Semua peraturan perundang-undangan yang terkait.
3. Keharusan Sejarah; Land Reform harus dilaksanakan dengan bercermin kepada
pengalaman negara-negara yang menjalankan Land Reform di penghujung abad 20 dan di
abad 21 dan pengalaman Land Reform di Indonesia sendiri.
4. Bagian Mendasar Triple Track Strategy Land Reform berdampak langsung untuk
masyarakat pedesaan dan perkotaan baik pertanian maupun non pertanian.
Dalam pelaksanaan Land Reform mencakup dua komponen yaitu:
a. Redistribusi Tanah (land reform) untuk menjamin hak rakyat atas sumber-sumber
agraria. Hal ini disebut dengan aset reform.
b. Upaya pembangunan lebih luas dapat berkembang secara produktif dan berkelanjutan,
hal ini disebut akses form yang mencakup antara lain pemenuhan hak – hak dasar dalam arti
luas seperti kesehatan, dan pendidikan, juga penyediaan dukungan modal, teknologi,
manajemen, infrastruktur, pasar, dan lain sebagainya (BPN- RI, 2007)
Apabila didekomposisi, dari pengertian Land Reform terdapat lima komponen mendasar di
dalamnya, yaitu restrukturisasi penguasaan aset tanah ke arah penciptaan struktur sosial-
ekonomi dan politik yang lebih berkeadilan (equity), sumber peningkatan kesejahteraan yang
berbasis keagrariaan (welfare), penggunaan/pemanfaatan tanah dan faktor-faktor produksi
lainnya secara optimal (efficiency), keberlanjutan (sustanability), dan penyelesaian sengketa
tanah (harmony) ( BPN – RI, 2007).
Land Reformsecara garis besar dapat dikategorikan menjadi empat yaitu:
1. RadicalLand Reform , tanah milik tuan tanah yang luas diambil alih oleh pemerintah,
dan selanjutnya dibagikan kepada petani tidak bertanah.
2. Land restitution, tanah – tanah perkebunan luas yang berasal dari tanah – tanah
masyarakat diambil alih oleh pemerintah, kemudian tanah tersebut dikembalikan kepada
pemilik asal dengan kompensasi.
3. Land Colonization, pembukaan dan pengembangan daerah – daerah baru, kemudian
penduduk dari daerah yang padat penduduknya dipindahkan ke daerah baru tersebut, dan
diberi tanah dengan luasan tertentu.
4. Market BasedLand Reform (market assistedLand Reform ),Land Reform yang
dilaksanakan berdasarkan atau dengan bantuan mekanisme pasar. Bisa berlangsung bila
tanah-tanah disertifikasi agar security in tenurship bekerja untuk mendorong pasar finansial
di pedesaan.
Dalam mengemban tugas menyelenggarakan administrasi pertanahan. Badan
Pertanahan Nasional berpedoman pada empat prinsip pertanahan yang memberikan amanat
dalam berkontribusi secara nyata untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat; menata
kehidupan bersama yang lebih berkeadilan; mewujudkan keberlanjutan sistem
kemasyarakatan; kebangsaan dan kenegaraan Indonesia; serta mewujudkan keharmonisan
(terselesaikannya sengketa dan konflik pertanahan).
Dalam mencapai visi dan misinya, selanjutnya Badan Pertanahan telah menetapkan 11
agenda pertanahan yang terdiri atas :
1. Membangun kepercayaan masyarakat pada Badan Pertanahan Nasional RI;
2. Meningkatkan pelayanan dan pelaksanaan pendaftaran tanah serta sertifikasi tanah
secara menyeluruh di Seluruh Indonesia;
3. Memastikan penguatan hak –hak rakyat atas tanah;
4. Menyelesaikan persoalan pertanahan di daerah- daerah korban bencana alam dan
daerah – daerah konflik di seluruh tanah air;
5. Menangani dan menyelesaikan perkara, masalah, sengketa, dan konflik pertanahan
secara sistematis;
6. Membangun Sistem Informasi Manajemen Pertanahan Nasional dan sistem
pengamanan dokumen pertanahan di Seluruh Indonesia;
7. Menangani masalah Kolusi, Korupsi, Nepotisme (KKN) serta meningkatkan
partisipasi dan pemberdayaan masyarakat;
8. Membangun basis data penguasaan dan pemilikan tanah skala besar;
9. Melaksanakan secara konsisten semua peraturan perundang-undangan pertanahan yang
telah ditetapkan;
10. Menata kelembagaan Badan Pertanahan Nasional RI;
11. Mengembangkan dan memperbarui politik, hukum, dan kebijakan pertanahan (Reforma
Agraria).
Berangkat dari 4 (empat) prinsip dan 11 (sebelas) agenda inilah selanjutnya ditetapkan
tujuan dari pelaksanaanLand Reform yang terdiri dari tujuh rumusan yaitu :
a. Menata kembali ketimpangan struktur penguasaan dan penggunaan tanah ke arah yang
lebih adil;
b. Mengurangi kemiskinan;
c. Menciptakan lapangan kerja;
d. Memperbaiki akses rakyat kepada sumber – sumber ekonomi terutama tanah;
mengurangi sengketa dan konflik pertanahan;
e. Memperbaiki dan menjaga kualitas lingkungan hidup dan meningkatkan ketahanan
pangan.
Strategi pelaksanaan Program Pembaruan Agraria Nasioanal (PPAN) sebagaimana yang telah
dirumuskan oleh BPN- RI (2007) adalah sebagai berikut :
1. Melakukan penataan atas konsentrasi aset dan atas tanah – tanah terlantar melalui
penataan politik dan hukum pertanahan berdasarkan Pancasila, UUD’45 dan UUPA.
2. Mengalokasikan tanah yang langsung dikuasai oleh negara (obyek Reforma Agraria)
untuk rakyat (subjek Reforma Agraria).
Secara umum, terdapat tiga mekanisme dasar Reforma Agraria, sesuai dengan kondisi atau
kedudukan subyek (petani miskin, buruh tani, atau pengelola tanah) dan obyek ( tanah yang
akan diredistribusikan), sebagai berikut ( BPN- RI, 2007):
1. Subyek dan objek berdekatan atau berhimpit, mekanisme dengan skenario seperti ini
sebenarnya relatif lebih sederhana dan langsung fokus pada ketiga objek tanah dalamLand
Reform ini, yaitu :
(1) tanah kelebihan maksimum;
(2) tanah absentee; dan
(3) tanah negara lainnya, termasuk tanah tumbuh.
PenyelenggaraanLand Reform dalam skenario ini dapat ditempuh melalui penataan asset
atau meredistribusi subjek tanah di atas, serta penguatan akses atau memperbaiki akses
petani kepada teknologi baru, mendekatkan pelaku usaha dengan sumber – sumber
pembiayaan, serta menyediakan akses pasar dan pemasaran bagi produk yang akan
dikembangkan oleh subjek Reforma Agraria,
2. Subjek mendekati objek. Mekanisme seperti ini diterapkan apabila subjek dan objek
berada pada lokasi yang berjauhan. Skema transmigrasi umum dan transmigrasi lokal seperti
dengan memindahkan subjek petani miskin dan tidak bertanah dari daerah padat penduduk
ke daerah jarang penduduk, serta memberikan atau meredistribusikan tanah seluas dua hektar
atau lebih di daerah tujuan kepada subjek Reforma Agraria.
3. Objek mendekati subjek. Mekanisme seperti ini juga diterapkan apabila subjek dan
objek berada pada lokasi yang berjauhan. Skema yang sesuai untuk mendekatkan objek
kepada subjek dikenal dengan skema swap atau pertukaran tanah yang didasarkan pada
strategi konsolidasi lahan atau bahkan bank tanah.
Skema ini memang agak rumit karena melibatkan hubungan kepemilikan tanah bertingkat
yang tidak sederhana, sehingga perlu dirumuskan secara hati- hati, dengan kelembagaan
yang jelas dan berwibawa.
Secara garis besar terdapat 10 (sepuluh) prinsip dalam Pembaruan Agraria. Ke-10
(sepuluh) prinsip-prinsip tersebut antara lain:
1. Menjunjung tinggi HAM
2. Unifikasi hukum yang mampu mengakomodasi keanekaragaman hukum setempat
(pluralisme).
3. Land reform/restrukturisasi pemilikan dan penguasaan tanah.
4. Keadilan dalam pengusaan dan pemanfaatan sumber daya (sumber-sumber agraria).
5. Fungsi sosial dan ekologi tanah.
6. Penyelesaian konflik pertanahan.
7. Pembagian kewenangan antara pusat dan daerah dan kelembagaan pendukung.
8. Transparansi dan partisipasi dalam pembuatan kebijakan.
9. Usaha-usaha produksi di lapangan agraria.
10. Pembiayaan program-program pembaruan agraria.
Dengan penjabaran land reform Indonesia, menurut Boedi Harsono dikatakan adalah
untukmempertinggi penghasilan dan taraf hidup para penggarap petani, sebagai landasan atau
prasyarat untuk menyelenggarakan pembangunan ekonomi menuju masyarakat adil dan
makmur berdasarkan Pancasila (Sudargo Gautama, 1990:23). Namun belum kita lihatadanya
hasil dari pembentukan program land refom ini. Malah yang muncul adalah semakin
menumpuknya masaalah pertanahan tidak bisa dilepas dari macetnya pelaksanaan landreform
di Indonesia. Mencermati perkembangan masyarakat sekarang dan tingkat pertumbuhan
ekonomi yang begitu tinggi maka kiranya kebijakan pertanahan dalam rangka landreform
perlu ditinjau ulang. Kebijakan ini perlu untuk disesuaikan dengan konsep pembaharuan
agraria dan paeadigma baru yang mendukung ekonomi kerakyatan, demokratis dan
partisipatif, namun hal ini tidak bisa dilepaskan dari keseriusan pemerintah. Sebab berhasil
tidaknya suatu program tergantung dari kemauan politik pemerintah berkuasa.
E. Penutup
Studi perbandingan pembangunan dari sisi land reform ini dapat menjelaskan regulasi politik
yang dibuat oelh dua negara sebagai master plan development agrarian. Pembangunan harus
melalui proses dan tahapan hal inilah yang tergambar dari kedua land reform kedua negara,
Indonesia dan China. Adanya mekanisme, strategi dan prinsip-prinsip yang akan dan harus
dilaksanakan sehingga terwujudnya pembangunan negara.
DI China, Land Agraria sudah erlangsung sejak tahun 1920an, sehingga program
pembangunan land agraria jauh lebih maju ketimbang Indonesia yang dimulai sejak UUPA
tahun 1960. Melihat perkembangan program land reform di Indonesia yang ternyata dapat
dikatakan sama sekali macet dalam pelaksanaannya, Indonesia nampaknya kurang dapat
belajar dari sejarah pembaharuan agraria, terutama landreform yang dilakukan oleh negara-
negara lain didunia seperti China guna mendukung pelaksanaan landreform di Indonesia, hal
ini terutama disebabkan oleh kurangnya kemauan politik pemerintah serta kebijakan
pembangunan yang lebih mengarah pada upaya mengejar pertumbuhan tanpa memperhatikan
pemerataan ekonomi, akibatnya dirasakan oleh rakyat terutama yang tidak memiliki tanah
yang semakin terpuruk pada kemiskinan.
Land reform merupakan upaya ideal dalam mewujudkan pembangunan khususnya bagi
negara-negara yang bertumpu pada sector pertanian. Namun kendala dan hambatan dalam
mewujudkan yang ideal memanglah sulit. Semuanya kembali kepada Negara sebagai
pengambil kebijakan, Petani sebagai pendukung master plan. Sehingga lan reform, sebagai
pemicu pembangunan dapat berjalan dengan baik dan sesuai harapan dalam mewujudka
kesejahteraan petani dan kedaulatan pangan seperti halnya China.
Daftar Pustaka
Buku
Broery Agustin, Tesalonika, Pemberantasan Korupsi di Chian, Program Diploma IV
Akuntansi Kurikulum Khusus, STAN, Tangerang Selatan. 2010
Bonnei Setiawan, Reformasi Agraria, Perubahan Politik, dan Agenda Pembaharuan Agraria
di Indonesia, Konsorsium Pembaruan Agraria dan lembaga Penerbit FEUI, Jakarta. 1997
Chang, Jung, Halliday, John, Mao: Kisah-Kisah Yang Tak Diketahui, terj. Martha Wijaya
dan Widya Kirana, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama,2007
Chilcote, Ronald, Teori Perbandingan Politik, PT. Raja Grafindo Persada,Jakarta, 2002,
Fakih, Mansour , Runtuhnya Teori Pembangunan dan Globalisasi, Insist 2009
Gunawan, Wiradi, ,Reforma Agraria Perjalanan Yang Belum Berakhir, Lapera Pustaka
Utama, Yogyakarta. 2000
Hustiati, Agrarian Reform Di Phlipina dan Perbandingan dengan di Indonesia. Mandar Maju :
Bandung 1990
Lin Ji Tjou, Masalah Tani dalam Revolusi Demokratis, Jakarta: Pembaruan, 1964
Sudarga Gautam, Tafsiran Undang-Undang Pokok Agraria, PT.Citra Adiotya Bakti, bandung.
1990
Notonagoro, Politik Hukum dan Pembangunan Agraria di Indonesia, Bina Aksara, Jakarta,
1984
Sitepu, Antonius, Sistem Politik Indonesia, Pustaka Bangsa Press, Medan, 2006
Townsend, James R., “Sistem Politik China”, dalam Mohtar Mas‟oed dan Colin
MacAndrews, Perbandingan Sistem Politik, Yogyakarta: Gadjah Mada University Press,
1997.
Wibowo, J., Berkaca dari Pengalaman Republik Rakyat Cina: Negara dan Masyarakat,
Jakarta: Gramedia Pustaka Utama dan Pusat Studi Cina, 2000.
.
Jurnal dan Makalah
Jamal, Eri Dkk, Reforma Agraria dan Masa Depan Pertanian dalam Jurnal Litbang Pertanian
Volume 21 Nomor 4 tahun 2002
Erma Rejagukguk, 1985, landreform : Suatu Tinjauan kebelakang dari pandangan kedepan,
Majalah Hukum dan Pembangunan No.4 Tahun XV, FHUI, Jakarta.
Yusep Iskandar, Refleksi 59 Tahun Kemerdekaan Petani,
http://www.pikiranrakyat.com/cetak/0804/19/1105.htm
Daniri, Ririn ,2010, Bahan Ajar: Garis besar Sejarah China Era Mao, Program Studi Ilmu
Sejarah, FIS Universitas Negeri Yogyakarta 2010.
Noer Fauzi, Makalah : Gelombang aru Reforma AGraria di Awal Abad ke 21 dalam
seminar“Agenda Pembaruan Agraria dan Tirani Modal”, dalam Rangka Konperensi Warisan
Toritarianisme: Demokrasi dan Tirani Modal, Kampus FISIP UI – Depok, 5 – 7 Agustus
2008.
PERANAN PERTANIAN DALAM PEMBANGUNANMARCH 10, 2008 YOHAN NAFTALI 12 COMMENTS
Oleh: Yohan Naftali
PENGANTAR
Pada makalah ini akan dibahas mengenai peran pertanian dalam
pembangunan. Pada bagian awal akan dijelaskan mengenai kontribusi
pertanian dalam mencapai keberhasilan pembangunan. Konsep strategi
pembangunan berimbang merupakan tujuan pembangunan yang paling
ideal. Akan tetapi negara berkembang tidak memiliki sumber daya yang
cukup untuk melaksanakan pembangunan di bidang pertanian dan
industri sekaligus. Sehingga pemerintah negara berkembang harus
menekankan pada pembangunan di sektor pertanian terlebih dahulu
sebagai batu loncatan untuk pembangunan di bidang industri.
Bagian kedua menjelaskan masalah harga produk pertanian. Di sini
dipermasalahkan apakah harga harus ditentukan oleh mekanisme pasar
ataukah ditentukan oleh pemerintah, harga pertanian yang mahal akan
menyebabkan konsumen tidak mampu membeli, di lain pihak harga
pertanian yang terlalu murah akan menghambat produktivitas pertanian.
Selain itu pada bagian kedua juga akan dibahas mengenai konsekuensi
adanya penetapan harga. Disarankan bahwa harga seharusnya dibentuk
melalui mekanisme pasar, intervensi pemerintah justru akan
menimbulkan masalah. Di Indonesia sendiri, pemerintah Indonesia
memegang kendali harga melalui Bulog, dengan tujuan melindungi
petani, akan tetapi banyak kebijakan yang dipertanyakan seperti
kebijakan impor beras dari luar negeri dengan tujuan menstabilkan harga.
Hal ini justru membuat rakyat berpikir kalau pemerintah ingin menekan
harga pertanian serendah mungkin, sebagai upaya menahan laju inflasi.
Pada bagian ketiga dijelaskan mengenai faktor-faktor produksi seperti
tanah (land), tenaga kerja (labor), dan modal (capital). Dijelaskan bahwa
penggunaan tanah harus bijaksana, jangan sampai merusak
kesuburannya. Pemerintah memiliki kewajiban memberikan informasi,
pelatihan dan perkembangan teknologi kepada petani. Pendanaan di
daerah pedesaan harus diciptakan untuk mendukung aktivitas pertanian.
Aspek sosial dari teknologi yaitu green revolution juga dibahas secara
mendalam. Penggunaan teknologi harus berhati-hati jangan sampai
menyebabkan dampak yang tidak diinginkan, sehingga tercapai
pembangunan pertanian yang sustainable.
Peran pemerintah harus dibatasi dengan membiarkan sektor swasta
menjalankan roda pertanian, akan tetapi pemerintah harus mendukung
pertanian dengan menyediakan infrastruktur, informasi, membangun
pasar, dan membuat kebijakan publik yang tidak merugikan sektor
pertanian. Selain itu pemerintah harus berhati-hati dalam menetapkan
kebijakan makro supaya tidak menghancurkan pertanian.
Pada bagian akhir dijelaskan bahwa di dunia sudah memiliki pasokan
pangan yang cukup, akan tetapi terdapat masalah distribusi pangan pada
beberapa daerah yang menyebabkan kelaparan. Juga dipermasalahkan
mengenai pilihan antara swasembada pangan dengan ketahanan pangan.
Dari segi ekonomi ketahanan pangan lebih menguntungkan daripada
swasembada pangan, hal ini didukung oleh teori keunggulan komparatif
(comparative advantage) dari David Richardo.
PERTANIAN DAN PROSES PEMBANGUNAN
Salah satu karakteristik dalam pembangunan ekonomi adalah pergeseran
jangka panjang populasi dan produksi dari sektor pertanian menjadi
sektor industri dan sektor jasa. Hanya sebagian kecil masyarakat dalam
negara industri yang hidup dari sektor pertanian (Lynn, 2003).
Konsep strategi pembangunan berimbang (balanced growth), yaitu
pembangunan di sektor pertanian dan sektor industri secara bersamaan
merupakan tujuan pembangunan yang paling ideal. Pada kenyataannya
konsep strategi pembangunan berimbang tidak dapat dilakukan oleh
negara berkembang, hal ini dikarenakan sumber daya yang tidak
mencukupi untuk melakukan pembangunan di sektor pertanian maupun
sektor industri sekaligus (Lynn, 2003).
Kondonassis et al. (1991) menjelaskan bahwa pembangunan pada sektor
pertanian merupakan batu loncatan menuju pembangunan pada sektor
industri. Keberhasilan pembangunan industri di negara Jepang dan Taiwan
merupakan lanjutan keberhasilan pembangunan di sektor pertanian.
Pembangunan infrastruktur yang dilakukan oleh pemerintah Jepang dan
Taiwan merupakan kontribusi yang sangat penting dalam mendukung
pembangunan pertanian. Pemerintah Jepang dan Taiwan juga berhasil
dalam membangun budaya kerja sehingga rakyat mereka memiliki
produktivitas yang tinggi.
Kondonassis et al. (1991) meringkaskan proses pembangunan pertanian
menjadi pembangunan industri. Proses tersebut adalah sebagai berikut:
1. Makanan dibutuhkan populasi di daerah kota yang terus meningkat.
2. Perolehan mata uang asing karena melakukan ekspor.
3. Peningkatan mata uang asing dari hasil subtitusi impor produk
pertanian.
4. Tabungan di sektor kota dan pajak pendapatan kepada pemerintah,
yang digunakan untuk pembangunan infrastruktur karena peningkatan
pendapatan di sektor pertanian.
5. Peningkatan permintaan untuk produk industri karena pendapatan di
sektor pertanian yang lebih tinggi.
6. Peningkatan produktivitas di sektor pertanian menyebabkan pekerja
dapat beralih ke sektor industri.
Pertanian memiliki peranan yang sangat penting dalam proses
pembangunan. Tabel 1 menyajikan data struktur produksi pada negara
berkembang. Data pada tabel 1 menggambarkan negara yang memiliki
pendapatan lebih tinggi mempunyai persentase output produksi pertanian
yang lebih kecil. Porsi produksi pertanian di negara berkembang telah
menurun sejak pertengahan 1960-an (Lynn, 2003).
Tenaga kerja di bidang pertanian juga semakin menurun antara tahun
1950 sampai dengan tahun 1990 dari 83% menjadi 63% di Afrika, 82%
menjadi 62% di Asia, dan dari 54% menjadi 25% di Amerika Latin. Tren ini
sesuai dengan Engel’s Law yang menyatakan bahwa kecenderungan
orang dalam mengkonsumsi barang yang berbeda dalam proporsi yang
berbeda ketika pendapatan meningkat. Saat pendapatan meningkat
orang akan mengurangi persentase konsumsi pada makanan. Hal ini
menggambarkan akan tantangan yang harus dihadapi oleh negara
berkembang. Negara berkembang harus bekerja keras untuk percepatan
pembangunan industri, tanpa diimbangi dengan pembangunan di sektor
pertanian yang cepat (Lynn, 2003).
Kenyataan sejarah pada pembangunan mengindikasikan bahwa
industrialisasi di Inggris pada abad ke-18 dan abad ke-19 dapat terjadi
setelah perbaikan yang signifikan dalam produktivitas sektor pertanian.
Pertumbuhan Amerika dipacu oleh kemampuan pertaniannya yang sangat
besar. Di Uni Soviet, pertumbuhan industri terjadi karena eksploitasi
brutal terhadap petani kecil, dan pada waktu itu juga Uni Soviet juga
mengimpor sejumlah besar makanan (Lynn, 2003).
Kontribusi Pertanian pada Pembangunan
Pertanian memiliki kontribusi yang sangat besar kepada pembangunan
(Lynn, 2003). Kontribusi pertanian tersebut adalah:
1. Meningkatkan persediaan makanan.
2. Pendapatan dari ekspor.
3. Pertukaran tenaga kerja ke sektor industri.
4. Pembentukan modal.
5. Kebutuhan akan barang-barang pabrikan.
Tabel 2 menunjukkan pentingnya pertanian di dalam pertumbuhan
sebuah ekonomi yang didominasi oleh sektor pertanian, pertumbuhan
pertanian akan meningkatkan laju pertumbuhan pendapatan daerah bruto
(PDB). Guinea-Bissau, sebuah negara Afrika Barat, pada tahun 1999
memperoleh 60 persen pendapatan daerah bruto (PDB) dari sektor
pertanian, 15 persen dari sektor industri, dan sisanya dari sektor jasa.
Apabila sektor industri tumbuh sebesar 6 persen pertahun, dan sektor
jasa tumbuh 10 persen pertahun, pertumbuhan sektor pertanian dua kali
lipat dari 3 persen menjadi 6 persen, akan meningkatkan laju
pertumbuhan pendapatan daerah bruto dari 4,2 persen menjadi 7 persen.
Karena pertumbuhan populasi adalah 2,4 persen pada tahun 1998,
menggandakan pertumbuhan pertanian akan meningkatkan pendapatan
per kapita dari 1,8 persen menjadi 4,6 persen (Lynn, 2003).
Peran sektor pertanian sangat diperlukan dalam upaya menurunkan
kemiskinan. Data PBB menyatakan bahwa pada daerah pedesaan di
negara berkembang terdapat sekitar 1 milyar penduduk dari 1,2 milyar
penduduk hidup dalam kemiskinan absolut (absolute poverty). Bank Dunia
mengetahui bahwa populasi, pertanian dan environment adalah kunci
untuk mengetahui masalah yang dihadapi di Sub-Sahara Afrika, yaitu
daerah yang paling miskin di dunia. Pertumbuhan penduduk yang sangat
cepat yang tidak diimbangi oleh teknik pertanian menyebabkan
kekurangan. Hal ini juga menyebabkan degradasi tanah dan penurunan
produksi dan konsumsi makanan per kapita (Lynn, 2003).
Selain membutuhkan sumber daya finansial, sektor pertanian juga
memerlukan teknologi maju dan infrastruktur. Diskriminasi pemerintah
terhadap sektor pertanian akan menghalangi keseluruhan pembangunan
(Lynn, 2003).
Transformasi Pertanian
Lynn (2003) mengemukakan bahwa keberhasilan sektor pertanian bukan
hanya alat bagi pembangunan, tetapi keberhasilan di sektor pertanian
juga menjadi tujuan dari pembangunan. Pertanian dapat menjamin
penyediaan kebutuhan milyaran penduduk di masa depan. Hal yang
berhubungan dengan transformasi sektor pertanian:
1. Peningkatan produktivitas pertanian.
2. Penggunaan sumber daya yang dihasilkan untuk pembangunan di luar
sektor pertanian.
3. Integrasi pertanian dengan ekonomi nasional melalui infrastruktur dan
pasar.
Pada tahun 1970-an, produktivitas pertanian di Asia dan Afrika 45 persen
di bawah negara barat pada saat awal revolusi industri. Sejak beberapa
dekade, pertumbuhan output pertanian semakin kecil dibandingkan
dengan pertumbuhan output secara keseluruhan (Lynn, 2003).
Gambar 1 menunjukkan grafik indek hasil pangan per kapita pada
beberapa bagian negara di dunia. Grafik pada gambar 1 diperlihatkan
Afrika bagian Sub-Sahara hasil pangan per kapita semakin menurun,
sedangkan Asia dan Amerika Selatan mengalami peningkatan yang kuat.
Indonesia terlihat mengalami peningkatan, walaupun pernah mengalami
penurunan sekitar tahun 1997 – 1999 diakibatkan krisis ekonomi dan
kekacauan situasi politik (Lynn, 2003).
Tabel 3 menunjukkan laju pertumbuhan pertanian, pendapatan domestik
bruto (PDB), dan populasi. Produksi pertanian pada negara berpendapatan
rendah-menengah rendah tumbuh sedikit lebih cepat daripada
pertumbuhan populasi (Lynn, 2003).
Pada abad XX, banyak ditemukan perlakuan yang salah kepada petani. Di
Uni Soviet pada tahun 1920-an, Stalin mewajibkan petani menjual hasil
pertaniannya kepada pemerintah dengan harga yang telah ditentukan
oleh pemerintah. Harga beli yang rendah dan harga jual yang tinggi
menghasilkan pendapatan bagi pemerintah. Petani kecil diperintahkan
untuk bergabung (collective farm), sebagai usaha untuk meningkatkan
efisiensi dan hasil. Pemerintah RRC juga mengikuti kebijakan
collectivization (Lynn, 2003).
Kekuatan bukanlah alat untuk mengeksploitasi petani. Beberapa negara
berkembang menekan harga pertanian rendah, beberapa negara
mengenakan pajak akan aktivitas pertanian, mencabut modal pada
daerah pedesaan, secara umum dapat dikatakan banyak negara
menempatkan industrialisasi di atas segalanya. Model Lewis hanya
membuat beberapa ekonom dan pembuat kebijakan berpikir bahwa
pertanian adalah tempat untuk mempekerjakan kelebihan tenaga kerja
yang tidak terserap oleh industrialisasi (Lynn, 2003).
Nilai tukar petani (sectoral terms of trade) untuk pertanian adalah rasio
harga barang pertanian (Pa) dan harga barang industri (Pi). Kenaikan nilai
tukar petani (NTP) berarti harga pangan naik lebih cepat daripada barang
industri. Petani dapat membeli lebih banyak keperluan mereka pada hasil
yang sama dan mendorong petani untuk meningkatkan hasil mereka
(Lynn, 2003). Nilai tukar petani (NTP) juga dapat menjadi indikator tingkat
kesejahteraan petani, semakin tinggi NTP semakin tinggi daya beli petani.
Sebuah studi mengenai Indonesia, menghitung rasio Pa/Pi, dan laju
pertumbuhan pendapatan daerah bruto (PDB) pertanian. Apabila nilai
tukar petani adalah 0,78 selama tiga periode, dan pertumbuhan 0,9
persen per tahun. Ketika nilai tukar petani meningkat menjadi 0,83 dan
1,06, pertumbuhan pertanian meningkat menjadi 4,3 persen dan
kemudian menjadi 8,3 persen (Lynn, 2003).
Peningkatan nilai tukar petani (terms of trade) hanyalah pada masa
transisi. Gambar 2 mengilustrasikan bagaimana harga pertanian relatif
berubah seiring dengan waktu. Sebagai respon harga pertanian yang
tinggi, sumber daya akan ditarik ke pertanian (P1), lalu meningkatkan
hasil (S2). Ini kemudian berlanjut sebagai awal peningkatan permintaan
pangan (D2). Lambatnya permintaan akan pangan dan bahan baku (D3),
dan produktivitas pertanian dan penawaran meningkat (S3). Nilai tukar
petani (terms of trade) berbalik dan akan mendorong industri. Pada tahap
awal pembangunan ekonomi, pertanian harus menjadi prioritas. Supaya
pertanian tetap menarik dibutuhkan kenaikan atau stabilitas nilai tukar
petani (terms of trade) yang merefleksikan kelangkaan (Lynn, 2003).
HARGA PERTANIAN: PASAR DAN PEMERINTAH
Salah satu persoalan dalam kebijakan pertanian adalah penetapan harga
dari produk pertanian. Pemerintah pada negara berkembang sering
mengambil alih keputusan penetapan harga. Pernyataan dari Ekonom
barat bahwa negara miskin harus membiarkan pasar bekerja terlihat
bohong, terbukti dengan adanya subsidi kepada pertanian pada negara
maju (Lynn, 2003).
Keputusan apa yang akan ditanam, di mana akan dijual, di mana akan
dikerjakan, dan banyak pertanyaan yang harus dijawab oleh petani kecil,
suatu saat harus cepat, untuk merubah harga relatif. Perlawanan
terhadap perubahan adalah fungsi dari ke-tidak-aman-an ekonomi (Lynn,
2003).
Konsekuensi Pembatasan Harga (Price Ceiling)
Pandangan yang salah akan perilaku petani membawa pemerintah untuk
mengatur harga pasar terbawah. Banyak pemerintah mempercayai bahwa
pemaksaan akan mempertahankan produksi pertanian, padahal
kekurangan penawaran untuk pasar akan membuat harga menjadi tidak
relevan bagi petani. Kebijakan harga murah (low-price policy) yang
mengenakan pajak pertanian dan subsidi politik kepada masyarakat kota
(Lynn, 2003).
Gambar 3 menunjukkan bagaimana pembatasan harga (price ceiling)
menurunkan insentif untuk memproduksi pangan dan mendorong
konsumsi. Ketika adanya pembatasan harga (Pc¬), produksi turun dari Qe
menjadi Qs, dan pendapatan petani turun dari area PeXQe0 menjadi
PcYQs0. Konsumen dapat membeli pada Qd, dan kelebihan permintaan
akan dipenuhi oleh impor, baik yang legal maupun tidak legal (Lynn,
2003).
Lynn (2003) menjelaskan bahwa gambar 3 dapat disederhanakan menjadi
2 cara.
1. Grafik menunjukkan pasar untuk pangan yang mana penawaran dan
permintaan adalah harga inelastis. Elastisitas harga penawaran pertanian
secara keseluruhan mengindikasikan respon lemah terhadap perubahan
harga, terutama dalam jangka pendek. Harga yang lebih rendah untuk
jagung akan mendorong petani untuk gandum atau kapas. Kurva
penawaran dan permintaan untuk produk individu dan pada jangka
panjang seharusnya lebih elastis.
2. Karena grafik menunjukkan pembatasan harga yang ditentukan oleh
pemerintah, respon penawaran dan permintaan merujuk pada pasar di
mana harga tersebut relevan. Harga resmi yang lebih rendah dapat
menyebabkan bukan hanya produksi yang turun, akan tetapi juga
penurunan produksi yang dilaporkan, karena petani menjual secara
pribadi.
Lynn (2003) menjelaskan bahwa pemerintah melakukan penetapan harga
dengan beberapa alasan. Penetapan harga yang rendah disebabkan oleh:
1. Pengertian yang salah akan respon petani terhadap harga, beberapa
pejabat pemerintah mempercayai bahwa dengan harga yang tinggi hanya
orang kaya dan petani besar saja yang diuntungkan.
2. Pemerintah berpendapat bahwa harga pangan yang rendah akan
memberikan dampak yang positif bagi konsumen dan keuntungan bisnis.
Melalui marketing boards, perusahaan yang membayar harga rendah
pada petani dan menjual dengan harga tinggi pada konsumen, terutama
konsumen luar negeri.
3. Pemerintah berpikir mereka dapat mengumpulkan dana untuk
pembangunan.
4. Pemerintah percaya bahwa dengan penetapan harga pertanian yang
rendah dapat mendorong industrialisasi.
Sebagian besar dari asumsi tersebut adalah salah. Walaupun harga
pangan dan bahan baku yang rendah menguntungkan konsumen dan
industri, akan tetapi hal ini membunuh pertanian di banyak negara,
terutama di Afrika. Petani yang miskin dirugikan karena mereka hanya
memiliki sedikit pilihan untuk menanami tanah mereka (Lynn, 2003).
Karena kesalahan ini, pemerintah tetap segan membiarkan pasar untuk
menentukan harga pertanian. Pejabat pemerintah kadang mencurigai
bahwa pasar akan memberi kesempatan kepada tengkulak untuk
mengeksploitasi petani miskin. Kejadian tak terduga juga menyebabkan
fluktuasi yang tinggi untuk produk pertanian. Fluktuasi membatasi
keefektifan dari harga sebagai sinyal kepada produsen dan menyebabkan
ketidakpastian pada konsumen. Produsen merespon harga lebih dapat
dipercaya (Lynn, 2003).
Harga pertanian yang ditentukan pasar mencerminkan keterbukaan pada
perdagangan luar negeri. Resesi dan subsidi pada negara industri dapat
menekan harga pertanian. Negara berkembang sebagai pengekspor
produk pertanian akan menekan pendapatan ekspor, produksi domestik
yang bersaing dengan bahan pertanian hasil subsidi dari negara maju
akan rugi. Kemampuan untuk menyediakan bahan pangan murah kepada
rakyat terutama daerah kota akan menjadikan problem tersendiri. Harga
pangan yang tinggi akan menyebabkan tuntutan gaji yang lebih tinggi,
dan akan menstimulasi inflasi (Lynn, 2003).
Konsekuensi Lain pada Intervensi Harga
Banyak pemerintah negara berkembang mencoba untuk menjembatani
perbedaan antara harga pertanian yang terlalu tinggi untuk konsumen
dan terlalu rendah untuk produsen dengan melakukan intervensi dalam
penetapan harga. Pemerintah dapat menentukan harga farm-gate, yaitu
harga yang diterima oleh petani dengan tujuan untuk menjaga dan
meningkatkan produksi. Proses ini sangat rumit karena ada sejumlah
banyak jenis hasil pertanian, dengan kemungkinan untuk petani untuk
melakukan subtitusi dari hasil pertanian satu ke hasil pertanian lainnya.
Pengendalian harga juga ditempatkan pada bahan pertanian yang telah
diolah pada tingkat harga eceran (Lynn, 2003).
Kesalahan dalam penetapan harga menyebabkan banyak masalah. Harga
farm-gate yang rendah mengakibatkan produksi rendah ataupun
penjualan hasil pertanian di luar jalur resmi. Harga eceran yang terlalu
rendah menyebabkan subisidi pemerintah yang besar (Lynn, 2003).
Pemerintah juga sering mencoba untuk mengimbangi harga farm-gate
yang rendah dengan subsidi harga bahan baku pertanian, akan tetapi hal
ini menimbulkan masalah tersendiri. Subsidi pada pabrik pupuk
pemerintah yang tidak efisien akan menyebabkan biaya produksi tinggi
dan pengiriman yang tidak efisien. Subsidi untuk membeli mesin
menyebabkan overmechanization. Mempromosikan kredit, baik melalui
subsidi suku bunga atau mencoba kekuatan bank untuk meminjamkan
dana kepada petani, umumnya gagal mengefisienkan alokasi dana untuk
petani (Lynn, 2003).
Harga Bukan Segalanya
Peter Timmer menyarankan bahwa fungsi utama pemerintah bukan hanya
merangsang produksi dalam jangka pendek, akan tetapi juga dalam
menciptakan iklim investasi dan ekspektasi pembuat keputusan pada
ekonomi pedesaan akan keuntungan aktivitas di pedesaan di masa
depan. Harga harus ditempatkan sesuai context (Lynn, 2003).
Sebuah penelitian mengenai kebijakan harga pertanian di Asia
menyimpulkan bahwa keuntungan mendorong produksi, keuntungan
bukan hanya menyangkut harga. Penelitian jangka panjang mengenai
kebijakan pertanian oleh Bank Dunia menyatakan bahwa bila insentif
harga yang sesuai berdasarkan makro ekonomi dan kebijakan sektoral
memainkan peran penting dalam menjelaskan kinerja, kualitas sumber
daya alam dan dari teknologi, institusi, politik, dan investasi manusia dan
investasi menentukan kemampuan petani kecil untuk mengelola tanah
dan tenaga kerja, dua faktor penting yang menjelaskan pertumbuhan
(Lynn, 2003).
Masalah dari Liberalisasi Pasar Pertanian
Pengendalian pemerintah pada harga dan pemasaran pertanian terlihat
mencolok di beberapa negara Afrika. Penetapan harga masih tersisa di
pasar, pemerintah mengijinkan pendekatan privatisasi lebih besar (Lynn,
2003).
Pendekatan privatisasi telah berhasil dalam hal mengirimkan pangan
untuk daerah kota dan pedesaan, akan tetapi tidak ada peningkatan
dalam penawaran seperti yang diperkirakan oleh pendukung reformasi.
Hal ini menjelaskan bahwa memperoleh harga yang benar hanyalah
bagian dari jawaban. Kekurangan infrastruktur, penelitian, informasi
pasar, dan dukungan legal dan organisasi telah melemahkan kemampuan
petani untuk mencapai harga yang lebih tinggi (Lynn, 2003).
TANAH, TENAGA KERJA DAN MODAL DALAM PEMBANGUNAN
PERTANIAN
Faktor produksi seperti tanah (land), tenaga kerja (labor) dan modal
(capital) mengubah bahan baku menjadi barang dan jasa. Hubungan
interrelasi digambarkan pada gambar 4. Pada gambar dijelaskan petani
menkombinasikan sejumlah input dengan tanah untuk memproduksi
bahan pertanian. Bahan pertanian melewati tahap tambahan untuk dapat
digunakan. Bahan pertanian sebagai bahan pangan ataupun bahan baku
industri menyediakan dan memperbanyak lapangan kerja pada produksi
barang dan jasa yang digunakan oleh petani (Lynn, 2003).
Tanah (Land)
Lynn (2003) mengemukakan bahwa kebijakan pertanian harus juga
memperhatikan masalah lingkungan. Dua aspek dari tanah sangat
penting. Aspek tersebut adalah:
1. Pengertian fisik dari tanah.
2. Hubungan legal antara tanah dan petani.
Petani harus mengerti mengenai karakteristik tanah sebelum memilih
jenis tanaman yang akan ditanam dan teknik yang akan digunakan.
Monocropping yaitu menanami area yang luas dengan satu jenis tanaman
seperti yang pernah dilakukan di Amerika Utara dan di Asia Tenggara
dapat berbahaya. Cuaca buruk, hama, penyakit, atau penurunan
permintaan konsumen dapat merugikan pada penanaman satu jenis
tanaman (Lynn, 2003).
Diversifikasi tanaman yang sesuai memelihara nutrisi tanah dan
melindungi petani dari harga yang rendah pada penanaman jenis
tanaman tunggal. Kebutuhan untuk pengetahuan yang tinggi dan spesifik
mengenai geografi dan ekologi berarti penelitian diperlukan untuk
menjamin kecocokan tanah, tanaman, dan teknik. Teknik di sini termasuk
pemilihan dan penggunaan pupuk, mesin yang tepat, praktik pertanian itu
sendiri seperti waktu tanam dan crop rotation (rotasi tanaman) (Lynn,
2003).
Tekanan populasi dan perubahan pada tanaman atau metode pertanian
mengarah pada degradasi tanah (soil degradation). Studi pada pertanian
Kenya mengevaluasi sejumlah tanaman dari makanan pokok seperti
jagung dan kedelai untuk diekspor, termasuk teh, kopi, sayuran (seperti
tomat), dan bunga. Perlindungan tanah alami digantikan jagung dan
kedelai sehingga mengurangi kekuatan erosi tanah. Sayuran mendorong
ekspor ke Eropa, membuat perlindungan tanah yang jelek, menggunakan
pupuk dan pupuk secara besar-besaran, yang terbawa ke lokasi lain
melalui saluran irigasi, dan menggunakan bibit impor, yang dapat
membawa hama asing. Teh yang diekspor selama beberapa dekade,
relatif ramah kecuali sejumlah besar bahan bakar yang dibutuhkan saat
proses pengeringan. Pertimbangan seperti inilah yang dibutuhkan untuk
memutuskan secara berhati-hati apa yang akan ditanam dan di mana
akan ditanam (Lynn, 2003).
Petani lebih produktif apabila mereka memiliki tanah secara langsung.
Akan tetapi karena kepemilikan tanah sangat mahal. Tabel 4 menyajikan
risiko dan insentif pada beberapa jenis kontrak. Banyak petani sebagai
pekerja bayaran ataupun penyewa tanah melalui perjanjian penggunaan
tanah (tenancy agreement). Perjanjian sewa biasanya dibayar dengan
sistem sewa maupun bagi hasil panen (sharecropping). Negara industri
biasanya menggunakan kontrak sewa murni atau sistem gaji secara murni
dibandingkan menggunakan sistem bagi hasil (sharecropping) (Lynn,
2003).
Lynn (2003) menjelaskan bahwa pembagian hasil panen (sharecropping)
dapat mengurangi motivasi petani, akan tetapi pembagian hasil panen
memiliki dua keuntungan:
1. Mengurangi risiko bagi petani yang tidak memiliki modal, kecuali risiko
cuaca dan pasar yang tidak baik.
2. Pembagian hasil memberikan petani jalan untuk mendapatkan kredit
kepemilikan tanah.
Pentingnya hubungan antara petani dan pemilik tanah membawa satu isu
politik yang besar dalam pembangunan ekonomi yaitu reformasi tanah
(land reform), yaitu perubahan dalam struktur kepemilikan tanah (Lynn,
2003).
Sepanjang sejarah pembangunan dunia, kolonialisme memberikan bekas
pada tanah. Jepang di Korea dan bangsa Eropa dan Amerika di Afrika, Asia
dan Amerika Latin menghasilkan tanah yang hanya ditanami satu jenis
tanaman, seperti kopi, teh, tebu, pisang, dan lainya yang ditanam untuk
ekspor. Penjajah biasanya memiliki tanah yang paling subur, bahkan
setelah kemerdekaan suatu negara, perkebunan ini tetap dimiliki oleh
bangsa asing, oleh karena itu kebutuhan yang paling sering untuk
reformasi tanah adalah untuk menggulingkan perkebunan tersebut (Lynn,
2003).
Lynn (2003) mengemukakan bahwa pihak yang diuntungkan dari adanya
reformasi tanah adalah orang yang tidak memiliki tanah dan bekerja
untuk pemilik tanah dengan upah yang rendah. Beberapa pembenaran
ekonomi untuk menggulingkan perkebunan dan latifύndios (tanah luas)
yaitu:
1. Pemilik asing yang pergi biasanya meninggalkan tanah dan dibiarkan
tak tergarap dan tidak memiliki kontribusi kepada pembangunan.
2. Tanaman cenderung untuk ekspor, sehingga adanya kekurangan
pangan untuk rakyat.
3. Kepemilikan tanah bagi petani kecil akan menyediakan insentif dan
akan mendorong metode pertanian yang lebih produktif.
4. Pemerataan pendapatan akan mendorong kebutuhan akan barang
konsumsi.
Pengalaman di Jepang, Taiwan, dan Korea Selatan menunjukkan bahwa
distribusi tanah yang lebih merata. Bruce Johnston menyebut bentuk
unimodal yaitu tingkat kepemilikan medium sized kebalikan dari bimodal
yaitu tingkat kepemilikan yang sangat besar dan tingkat kepemilikan yang
sangat kecil. Setelah perang dunia kedua, pengusiran Jepang dari Korea
menyebabkan distribusi tanah yang dimiliki oleh Jepang dan orang Korea
yang bekerja sama dengan Jepang (Lynn, 2003).
Bukti empiris menunjukkan bahwa pertanian kecil lebih efisien. Beberapa
penelitian menghitung produktivitas pertanian kecil. Salah satu dari
penelitan tersebut ditunjukkan pada tabel 5. Nilai tambah per hektar
menurun dengan meningkatnya ukuran kepemilikan tanah. Di lain pihak
nilai tambah per pekerja naik seiring dengan ukuran tanah, hal ini
kemungkinan adanya penggunaan mesin (mechanization) (Lynn, 2003).
Bila petani untuk dari bekerja lebih intensif sesudah reformasi, output per
hektar dapat meningkat walaupun output per pekerja turun, dan ini akan
menjadi menguntungkan sampai saat marginal product dari pekerja sama
dengan gaji. Mempekerjakan anggota keluarga pada pertanian kecil lebih
efisien daripada mengupah pekerja, hal inilah yang menyebabkan pemilik
tanah pertanian yang luas menyewakan tanahnya ke keluarga petani
(Lynn, 2003).
Dari sisi ekologi, reformasi tanah harus bertujuan untuk menyediakan
keamanan yang diperlukan untuk mendorong penggunaan tanah yang
berkelanjutan (sustainable use of the land). Penggunaan tanah baik oleh
individu maupun kelompok dapat merusak kelanjutan dalam jangka
panjang (sustainable in the long run) karena keinginan untuk memperoleh
keuntungan yang cepat (Lynn, 2003).
Banyak penelitian menyimpulkan bahwa reformasi tanah sebagian besar
gagal. Kasus yang paling sukses adalah Jepang setelah perang dunia
kedua, Taiwan setelah menyingkirnya pemerintahan nasionalis dari
daratan (mainland) sejak revolusi komunis, dan Korea Utara setelah
perang Korea, hal ini dikarenakan adanya beberapa perkecualian (Lynn,
2003).
Lynn (2003) menjelaskan bahwa kunci keberhasilan reformasi tanah
seperti di Jepang dan Taiwan yaitu terdapat organisasi politik yang lebih
baik dan birokrasi pemerintahan mampu membawa reformasi. Reformasi
yang dicoba di Amerika Latin, Filipina, Mesir, dan India gagal karena satu
dari problem di bawah ini, problem tersebut adalah:
1. Ketidakmampuan kekuatan politik untuk membawa reformasi
2. Kurangnya kebijakan ekonomi yang tepat untuk mendukung pemilik
tanah yang baru.
Tenaga Kerja (Labor)
Lynn (2003) menjelaskan bahwa ada 2 karakteristik penting tenaga kerja
pada pertanian:
1. Orang yang menanam harus memiliki keahlian yang banyak.
2. Perempuan dan anak-anak memiliki bagian yang signifikan dalam
tenaga kerja pertanian.
Lynn (2003) menjelaskan bahwa kegiatan pertanian sangat bermacam-
macam. Kegiatan tersebut adalah:
1. Persiapan pengadaan alat kerja, tenaga kerja, bibit, pupuk dan hal lain
yang dibutuhkan.
2. Persiapan tanah.
3. Penanaman, penyiangan.
4. Penyemprotan pestisida.
5. Pengusiran burung dan binatang dari sawah.
6. Pengambilan hasil panen.
7. Penyimpanan hasil panen.
8. Penjualan hasil panen.
9. Perawatan peralatan.
Beberapa tanaman ditanam dan dipanen tidak dalam waktu bersamaan,
hal ini sering dilakukan lebih dari sekali setahun. Pertanian melibatkan
juga peternakan, baik skala besar, skala kecil, untuk diperdagangkan
maupun konsumsi sendiri (Lynn, 2003).
Lynn (2003) juga menjelaskan bahwa selain aktivitas di atas, petani juga
memiliki tugas lain. Tugas tersebut adalah:
1. Merawat rumah
2. Merawat anak dan orang tua.
3. Mencari pinjaman.
4. Berurusan dengan pemerintah.
5. Berpartisipasi pada politik desa dan organisasi sosial.
Kegiatan ini memerlukan penjadwalan yang tepat. Anak mungkin
diperlukan untuk bekerja di sawah, opportunity cost dari pendidikan
mereka akan menjadi lebih tinggi saat puncak musim, contohnya saat
panen (Lynn, 2003).
Salah satu masalah yang dihadapi dalam mengembangkan produksi
pertanian adalah pembagian kerja berdasarkan gender. Di banyak negara
terutama di Afrika, bisnis pedesaan didominasi oleh wanita. Wanita dan
anak-anak mengemban beban yang paling berat secara fisik. Contohnya
adalah jalan jauh untuk mencari kayu bakar dan air, menyiapkan tanah,
menyiangi, dan memanen. Selain itu wanita sering menggendong anak.
Wanita harus menjual sebagian atau seluruh hasil panen serta
mengerjakan pekerjaan rumah (Lynn, 2003).
Ringkasan dari 12 penelitian mengenai jam kerja harian di daerah
pedesaan menunjukkan bahwa hanya 2 kasus pria bekerja lebih lama,
itupun tidak signifikan (8,54 jam per hari dibandingkan 8,50 jam kerja
wanita). Sedangkan 10 penelitian lainnya mengungkapkan bahwa wanita
bekerja lebih lama (9,93 jam per hari dibandingkan 7,13 jam kerja pria)
(Lynn, 2003).
Penyuluhan pemerintah ke desa biasanya hanya mengundang penduduk
pria saja, walaupun sebenarnya wanita yang mengerjakannya. Jarang ada
proyek pengembangan yang berorientasi kepada wanita (Lynn, 2003).
Modal: Masalah dengan Mesin
Lynn (2003) mengemukakan bahwa terdapat perbedaan antara
pembangunan pertanian di masa lalu yang terjadi di negara industri
dengan yang sekarang terjadi di negara berkembang. Di negara barat,
intensitas modal (rasio modal dengan pekerja) pertanian meningkat
secara perlahan, biasanya dikarenakan sumber daya tanah yang
berlebihan. Penggunaan modal berhubungan dengan kelangkaan tenaga
kerja, hal ini kebalikan dengan padatnya penduduk di daerah pedesaan
saat ini. Keuntungan pertanian di awal negara maju adalah:
1. Tidak tergantung dengan mesin, spare part, dan bahan bakar impor.
2. Memiliki kemampuan teknologi tanpa tergantung dengan ahli luar
negeri.
3. Tidak berkompetisi dengan bahan pangan impor yang murah.
Penggunaan mesin harus dipertimbangkan untung ruginya. Mesin
pertanian harus tepat guna. Dengan penurunan area, alat tangan, mesin
kecil, bajak lebih efisien daripada penggunaan traktor. Pengaturan sosial
yang baik dapat membuat sekelompok orang untuk berbagi pakai mesin
(Lynn, 2003).
Pendanaan Pembangunan Pertanian
Kurangnya dana pinjaman sering menghalangi petani dalam mengadopsi
teknologi baru. Institusi keuangan formal jarang didirikan di daerah
pedesaan karena bankir berpikir bahwa di pedesaan tabungan sangat
kecil dan jarang ada investasi yang menguntungkan. Institusi
pemerintahan biasanya juga menunjukkan perilaku yang sama (Lynn,
2003).
Ketika tabungan potensial ada di daerah pedesaan, tabungan individu
cenderung sedikit dan tersebar di antara populasi. Di beberapa daerah
khususnya di Amerika Tengah dan Karibia, berhasil mengumpulkan
tabungan di daerah pedesaan. Bank Grameen di Banglades biasanya
menyediakan pinjaman non-pertanian di daerah pedesaan. Proyek di
Malaysia dan Malawi menunjukkan hasil yang sama yang diperoleh negara
lain. Bank Rakyat Indonesia mendirikan sistem bank pedesaan yang telah
mencapai “jutaan” nasabah berpendapatan rendah di daerah pedesaan
tanpa bergantung pada subsidi (Lynn, 2003).
Tujuan utama dari kebijakan kredit harus dapat menciptakan seperangkat
institusi keuangan di daerah pedesaan yang mandiri dan berkelanjutan
(self-sustaining). Tujuan dari institusi ini tidak hanya menyediakan
pinjaman dengan mudah, akan tetapi juga mampu memobilisasi
tabungan. Institusi ini harus menyediakan keuntungan untuk penabung
(Lynn, 2003).
Pendanaan informal biasanya terdapat di daerah pedesaan, biasanya
menyediakan pinjaman dengan bunga tinggi dan memiliki kekuatan
monopoli, walaupun tidak semuanya. Pinjaman sudah menjadi kehidupan
pada pertanian. Kebutuhan komunitas diidentifikasi dengan kebutuhan
individu. Institusi terbaru yang mengganti pendanaan informal harus
membuat kondisi menjadi lebih baik, bukan lebih buruk (Lynn, 2003).
Adopsi Teknologi: Agricultural Extension
Mesin hanyalah salah satu aspek teknologi. Teknologi pertanian
melibatkan masalah fundamental seperti metode penanaman, pupuk
untuk tanah tertentu, dan cara penanaman bibit jenis baru yang benar.
Penelitian sampai menjadi bibit membutuhkan kondisi tanah dan iklim
yang baik. Petani harus mempertimbangkan hubungan antara pupuk dan
ekologi. Efektivitas pupuk harus seimbang dengan biayanya. Agricultural
extension adalah sebuah cara untuk pegawai pemerintahan yang telah
terlatih untuk membantu petani belajar mengenai dan menggunakan
teknologi baru. Sebidang tanah kecil ditanami oleh agen ekstensi dengan
kondisi yang sama dengan yang dihadapi petani dapat menghasilkan
beberapa hasil. Sebaliknya, agen ini harus terbuka kepada teknik yang
digunakan penduduk lokal. Percobaan mengkonfirmasi bahwa petani akan
mengadopsi jenis bibit baru dan teknik baru yang terbukti dapat
diandalkan secara teknik maupun ekonomis. Pengalaman di Turki dan
India menunjukkan bahwa agen harus sering mendatangi pertanian.
Sistem pelatihan dan kunjungan (training and visit system) dari Bank
Dunia menunjukkan keuntungan yang dihasilkan dari kontrak antara agen
dan petani (Lynn, 2003).
Inovasi lingkungan menjadi penting sehingga beberapa ekonom secara
eksplisit mengikuti model induced innovation dari pembangunan
pertanian. Model ini menekankan pada insentif untuk menabung dari
sumber daya yang langka. Pada negara yang memiliki keterbatasan
sumber daya manusia, seperti Amerika Serikat dan Kanada,
pembangunan teknologi awalnya menekankan menggunakan mesin yang
banyak sehingga hanya diperlukan sedikit pekerja untuk ladang pertanian
yang besar. Pada negara yang memiliki keterbatasan tanah dan modal,
seperti di Asia, induced innovation ditekankan pada alat biologi dan kimia
untuk meningkatkan produktivitas (Lynn, 2003).
Karakteristik Sosial dari Teknologi: The Green Revolution
Green Revolution merujuk pada peningkatan produksi dengan kombinasi
dari jenis bibit yang tinggi (high yielding) hasilnya dengan penggunaan air
dan pupuk yang intensive. Aplikasi dari teknologi baru ini memiliki
konsekuensi sosial (Lynn, 2003).
Green Revolution pada tahun 1960-an dan 1970-an adalah tanggapan
pada keprihatinan global mengenai pertumbuhan yang lambat dari
produksi pangan di negara berkembang. Ini adalah hasil dari penelitian
pertanian yang sebagian besar dilakukan oleh International Rice Research
Institute di Filipina dan International Maize and Wheat Improvement
Center (CIMMYT adalah singkatannya dalam bahasa spanyol) di Mexico.
Penelitian ini mengenalkan bibit yang high yielding varieties (HYVs –
kadang disebut juga MVs – modern varieties), dan dielu-elukan sebagai
penyelamat pertanian negara berkembang (Lynn, 2003).
Kesulitan timbul ketika bibit ini membutuhkan sejumlah tanah, air, pupuk
dan mesin yang sering tidak dimiliki petani kecil. Beberapa orang melihat
hal ini sebagai cara lain dari pemiskinan petani kecil, memperkaya pemilik
tanah dan negara maju yang menyediakan inputs (Lynn, 2003).
Sebuah studi yang dilakukan Inderjit Singh (1990) menunjukkan beberapa
hasil Green Revolution Banglades, India dan Pakistan yang menghasilkan
output per hektar dua kali lipat daripada bibit tradisional. Walaupun tanpa
penggunaan pupuk, beberapa HYVs menghasilkan satu setengah kali hasil
dari padi tradisional dan satu dua per tiga untuk gandum. Singh (1990)
menyimpulkan bahwa banyak penyakit sosial berhubungan dengan paket
HYVs adalah disebabkan kebijakan implementasi bukan teknologinya
(Lynn, 2003).
Artikel mengenai analisis Green Revolution di Banglades menyimpulkan
bahwa Green Revolution menghasilkan padi yang lebih banyak dan lebih
konsisten akan tetapi tidak cukup untuk meningkatkan konsumsi per
kapita. Konsumsi padi-padian digantikan oleh konsumsi pangan lainnya
seperti buah, sayuran, dan ikan (Lynn, 2003).
Petani dan para ahli lingkungan prihatin akan dampak dari penggunaan
bibit dan teknologi baru terhadap kerusakan tanah. Bila kesuburan tanah
rusak dan keanekaragaman tanaman berkurang, ini akan menjadi
masalah besar bagi ekologi (Lynn, 2003).
Bagi pemerintah, apabila penyediaan pangan relatif terjamin, maka
pemerintah dapat mengganti perhatian kepada kebutuhan pembangunan
yang lainnya. Berkurangnya subsidi pemerintah dapat membebaskan
beberapa sumber daya untuk penelitian, pendidikan dan infrastruktur
(Lynn, 2003).
Bioteknologi menjanjikan dapat mengatasi masalah keterbatasan Green
Revolution. Penelitian rekayasa genetik ditujukan untuk meningkatkan
kemampuan tanaman untuk mengambil nitrogen dari tanah, tahan akan
penyakit, dan meningkatkan nilai nutrisi. Biofertilizers digunakan untuk
membantu tanaman menyerap lebih banyak nitrogen dari atmosfer, dan
tanaman hijau dapat digunakan sebagai pupuk pengganti pupuk kimia
(Lynn, 2003).
ASPEK TAMBAHAN PADA PEMBANGUNAN PERTANIAN
Pembangunan pertanian adalah bagian utuh dari pembangunan. Industri
harus menyediakan barang untuk petani. Lapangan kerja non pertanian
perlu untuk mempertahankan keluarga di daerah pedesaan. Produksi
pangan harus konsisten dengan selera konsumen (Lynn, 2003).
Barang Insentif
Petani tidak memproduksi surplus untuk mendapatkan uang. Uang sangat
berharga jika ada barang yang bisa dibeli, kadang disebut barang insentif
(incentive goods). Apabila barang insentif kurang tersedia, hasil pertanian
dapat turun, atau bisa terjadi penyelundupan bahan baku ke luar negeri
untuk ditukarkan dengan barang konsumsi. Kekurangan barang insentif
juga dapat menyebabkan eksodus populasi (Lynn, 2003).
Industri Pedesaan
Pertanian bukan satu-satunya aktivitas yang dilakukan di daerah
pedesaan. Kegiatan lainnya seperti kegiatan jasa yang berhubungan
dengan pertanian, yaitu pemasaran, pendanaan, penyediaan jasa sosial,
perawatan mesin, jasa eceran, pemerintahan dan jasa manajemen dan
administrasi. Sebagai tambahan, pedesaan juga membutuhkan
manufakturing, dari bahan baku yang dihasilkan dari sektor pertanian,
yang dapat memenuhi kebutuhan konsumen dari daerah yang jauh.
Aktifitas tersebut meliputi pengolahan padi dan pengolahan makanan
lainnya, pakaian, barang kulit, material konstruksi, dan peralatan
pertanian (Lynn, 2003).
Bukti empiris mengindikasikan bahwa kegiatan industri di pedesaan tidak
hanya menyediakan lapangan kerja, akan tetapi juga menyediakan
sumber penghasilan yang penting bagi rumah tangga di pedesaan.
Beberapa bukti menunjukkan industri di pedesaan lebih efisien dan
ekonomis daripada industri skala besar di kota (Lynn, 2003).
Urbanisasi memiliki pengaruh positif dan pengaruh negatif. Penelitian dari
Uttar Pradesh, sebuah daerah di India menunjukkan urbanisasi dapat
memberikan aliran dana ke relasinya di pedesaan (Lynn, 2003).
Sumbangan penting bagi kegiatan non pertanian di daerah pedesaan
adalah pemberdayaan wanita untuk mengelola kegiatan non pertanian di
daerah pedesaan. Sebagai tambahan dalam pengembangan pangan,
seperti pemasaran pangan, atau sebagai pekerja kerajinan atau pekerja
pabrik, pendapatan wanita penting untuk meningkatkan hidup di atas
garis kemiskinan. Pendidikan wanita, status resmi, dan akses kredit akan
mendukung posisi wanita di dalam industri pedesaan (Lynn, 2003).
Konsumsi Pangan: Perubahan Pertanian dan Makanan
Kebiasaan makan sangat sulit untuk diubah, bahan pangan jenis baru
akan sulit diterima. Pengembangan teknologi baru di bidang pertanian
harus menyesuaikan keinginan pasar (Lynn, 2003).
Pada sisi sebaliknya, perubahan kebiasaan makan juga menimbulkan
persoalan. Perubahan negara berkembang menjadi negara industri,
mereka akan terpaksa membeli apapun yang ditawarkan, pengenalan
akan jenis pangan yang baru menyebabkan perubahan selera. Hal ini
dapat mempengaruhi produksi lokal kurang bersaing dengan komoditi
baru. Pemerintah harus berhati-hati akan hal ini, pemerintah jangan
menggunakan sistem harga buatan yang mendorong makanan pengganti
yang mahal (Lynn, 2003).
PERAN PEMERINTAH
Campur tangan pemerintah di bidang pertanian merupakan fenomena
yang telah mendunia. Subsidi pertanian dan dukungan pemerintah pada
negara maju hanya mendorong efisiensi dan merusak negara miskin
dengan menurunkan daya saing hasil pertanian negara miskin (Lynn,
2003).
Peran Mikro Ekonomi Pemerintah
Salah satu “rule of thumb” yang baik adalah perusahaan swasta yang
independen memiliki keunggulan komparatif (comparative advantage)
dari badan pemerintah dalam membawa fungsi komersial, seperti
produksi atau pemasaran produk pertanian dan mendistribusikan
kebutuhan pertanian. Di Tanzania, Zambia dan beberapa negara di Afrika,
pemerintah mengambil alih pendanaan, industri pokok, dan operasi impor
ekspor. Dalam 10 sampai 15 tahun, dengan alasan menghilangkan
eksploitasi perusahaan swasta, pemerintah tersebut mengoperasikan jasa
angkutan lokal, mendirikan retail kecil, dan beberapa perusahaan skala
kecil. Dari aktivitas ini dengan cepat membuat buruk perekomomian
karena maraknya ketidakmampuan dan korupsi (Lynn, 2003).
Lynn (2003) menjelaskan bahwa campur tangan pemerintah harus
dibatasi, campur tangan pemerintah di sektor pertanian sangat sulit untuk
diidentifikasi. Beberapa aktivitas sangat penting untuk dilakukan
pemerintah karena tidak terjangkau oleh petani kecil.
1. Infrastruktur.
Pemerintah, baik daerah maupun nasional, memiliki peran penting dalam
menyediakan infrastruktur. Beberapa proyek seperti jalan, listrik,
komunikasi, dan irigasi membutuhkan modal yang besar, jangka panjang
dan menciptakan ekonomi eksternal. Infrastruktur ini membuat pertanian
lebih produktif dan menghancurkan rintangan masuk ke pasar, selain itu
juga meningkatkan efisiensi dari alokasi sumber daya.
2. Informasi
Penyediaan informasi sangat bermacam-macam. Petani membutuhkan
informasi mengenai kondisi pasar, teknologi baru dan cuaca. Penelitian
dan pengembangan menjadi target utama pemerintah, juga jasa
tambahan yang membawa hasil riset ke pertanian. Pendidikan dan
pelatihan membantu petani meningkatkan dan mengolah operasi mereka.
3. Membangun pasar
Pemerintah dapat membantu menciptakan dan meningkatkan pasar
dengan menyediakan pengukuran akurat untuk hasil panen, penyediaan
asuransi kegagalan panen, dan mendorong kredit skala kecil untuk
membuat simpan pinjam lebih mudah bagi petani. Pada beberapa kasus
ketika area terisolasi, pemerintah dapat memulai membuat transportasi,
penyimpanan, dan pemasaran fasilitas, aktivitas ini akan dilakukan oleh
sektor swasta dan individu setelah penghalang antara pasar runtuh.
4. Kebijakan Publik
Pemerintah harus berhati-hati akan efek dari insentif yang diberikan.
Sebagai contoh, pajak sangat penting akan tetapi tidak boleh mengurangi
insentif produksi, karena akan menyebabkan perbandingan harga
pedesaan dan perkotaan turun (rural/urban terms of trade).
Peran Makro Ekonomi Pemerintah
Studi mengenai dampak pemerintah pada pertanian sering menunjuk
kepada masalah makro ekonomi yang tidak berhubungan dengan
pertanian. Dampak ini dirasakan melalui 5 harga makro yaitu gaji, tingkat
bunga, biaya sewa tanah, indek harga pertanian, dan nilai tukar mata
uang (Lynn, 2003).
Tingkat bunga mempengaruhi ketersediaan dana untuk petani. Bila
tingkat bunga tinggi demi memerangi inflasi, kredit akan terlalu mahal
bagi petani yang tidak memiliki banyak modal (Lynn, 2003).
Kenaikan inflasi memiliki dampak negatif dalam penurunan daya beli.
Masyarakat kota dapat menekan pemerintah untuk menekan harga
pangan di bawah harga pasar. Biaya sewa tanah dapat naik sejalan
dengan inflasi, harga tanah kemudian akan menjadi lebih tinggi, kenaikan
ini menyebabkan petani miskin tidak memiliki tanah (Lynn, 2003).
Perbandingan nilai tukar petani (agriculture term of trade) akan tidak
dapat diprediksi dengan peningkatan inflasi. Harga biasanya tidak naik
secara sama, pemerintah lebih menekan harga pangan dari pada harga
barang industri yang akan dibeli oleh petani. Inflasi menghambat investasi
dan memperlambat peningkatkan produktivitas pertanian (Lynn, 2003).
Pemerintah juga dapat mengacaukan ekonomi dengan keputusannya
dengan memanipulasi nilai tukar mata uang. Bila mata uang domestik
dihargai di atas harga pasar, akan menyebabkan kehancuran terbesar di
sektor pertanian. Pertama hal ini akan menghambat ekspor, karena orang
asing harus membayar lebih mahal untuk mendapatkan mata uang untuk
membeli barang tersebut. Padahal pasar dunia sangat kompetitif.
Kemudian hal ini mendorong impor karena mata uang asing relatif lebih
murah, impor pangan akan menyebabkan tekanan bagi produksi, harga
dan pendapatan di sektor pertanian. Impor barang modal dan barang
intermediasi menyebabkan bias dalam produksi domestik menjadi industri
dan menjauhi pertanian. Hal ini merusak pertanian di negara berkembang
dan pemerintah perlu mencermati adanya keterkaitan antara makro
ekonomi dan pertanian (Lynn, 2003).
PANGAN DAN PERTANIAN: SEBUAH KAJIAN KESEIMBANGAN
Ada sebuah pertanyaan fundamental mengenai tujuan pembangunan
pertanian. Pertanian lebih dari hanya sekedar produksi pangan. Pertanian
juga meliputi industri hasil pertanian seperti kapas, benang, pyrethrum
(obat serangga), dan tembakau. Tidak semua tanaman ditanam untuk
memenuhi kebutuhan dalam negeri melainkan juga untuk ekspor. Ada
perdebatan mengenai pilihan yang harus diambil apakah negara miskin
harus berkonsentrasi pada produksi bahan pangan dasar atau menanam
tanaman untuk ekspor untuk mendapatkan devisa. Pilihan tidak hanya
terbatas masalah keuntungan produsen ataupun permintaan konsumen.
Ketergantungan dari banyak negara dalam pertanian berarti bahwa jenis
tanaman memiliki dampak besar bagi pembangunan negara (Lynn, 2003).
Politik Kolonial
Di bawah pemerintahan kolonial, petani tidak dapat selalu memilih
tanaman yang akan ditanam. Kekuatan kolonial mendikte pertanian
sesuai kebutuhan negara penjajah, yang utamanya ditujukan untuk
konsumsi langsung negara penjajah dan perdagangan. Perkebunan gula
di Karibia dan Afrika, Perkebunan sisal di Afrika dan Asia, dan beberapa
area lainnya adalah perintah dari pemerintahan kolonial. Kewajiban
membayar pajak kepada petani dalam bentuk uang tunai memaksa petani
untuk menanam tanaman demi uang daripada melakukan barter dan
memaksa petani untuk meninggalkan keluarganya untuk bekerja di
perkebunan yang jauh. Kemerdekaan disertai ketidakpercayaan kepada
kekuatan pemerintah kolonial dan pasar dunia, memunculkan sebuah
pertanyaan baru, haruskah sebuah negara mengubah orientasi produksi
untuk memenuhi kebutuhan sendiri, atau melanjutkan untuk bergantung
pada ekspor hasil pertanian untuk memperoleh devisa yang akan
digunakan untuk mengimpor makanan (Lynn, 2003).
Swasembada Pangan dan Ketahanan Pangan
Banyak kerusakan dilakukan pada produksi pertanian. Ketergantungan
pada bahan pangan impor melahirkan kebijakan pemerintah untuk
bermaksud memperoleh swasembada pangan dan ketahanan pangan
(Lynn, 2003).
Swasembada pangan (self-sufficiency) penting untuk negara yang enggan
bergantung pada saat kritis atau bergantung pada fluktuasi harga pangan
internasional. Pada tahun 1973 harga beras dunia naik 85%, diikuti 90%
pada tahun selanjutnya, hanya turun sepertiga di tahun 1975 dan 30% di
tahun 1976. Banyak ekonom memilih ketahanan pangan daripada
swasembada pangan. Hal ini melibatkan gabungan dari produksi domestik
dan kepercayaan pada pasar internasional sebagai tambahan penting,
dan teori ekonomi lama yaitu keuntungan komparatif (comparative
advantage). Suatu negara memproduksi barang yang secara biaya relatif
lebih unggul dan mengimpor barang lainnya, hal ini akan mengolah
sumber daya lebih efisien serta memproduksi lebih banyak output dan
pendapatan, makanan impor akan lebih murah daripada penggunaan
sumber daya domestik yang tidak efisien (Lynn, 2003).
Swasembada pangan lebih mahal. Bukti menunjukkan bahwa kebijakan
pertanian yang sesuai dapat menyeimbangkan bermacam-macam ekspor
dan bahan pangan (Lynn, 2003).
Situasi Pangan
Kelaparan adalah sebuah fenomena setempat. Bank Dunia pada tahun
1986 dalam laporannya mengenai kemiskinan dan kelaparan (poverty and
hunger began by noting) menyatakan dunia memiliki banyak makanan.
Pertumbuhan global pangan lebih cepat daripada pertumbuhan populasi
yang buruk pada 40 tahun terakhir (Lynn, 2003).
Data pada tabel 6 mengindikasikan masalah pangan. Produksi per kapita
turun selama tahun 1974 – 1999. Bantuan pangan ke Afrika meningkat
2,5 kali lipat antara tahun 1974 – 1989. Beberapa penurunan ini
menyebabkan kelaparan (Lynn, 2003).
Ekonomi harus dibangun berdasarkan basis sumber daya yang ada dan
penaksiran yang realistik. Ekspor yang lebih beraneka jenis dan stabil
sangat perlu untuk mengamankan dana impor pangan (Lynn, 2003).
RINGKASAN DAN KESIMPULAN
1. Pemerintah biasanya kurang memperhatikan sektor pertanian karena
mengidentifikasi pembangunan sebagai industrialisasi. Petani harus
didorong dan diberikan insentif yang sesuai untuk meningkatkan
produktivitas dan hasil demi meningkatkan kesejahteraan mereka dan
menghasilkan makanan, tenaga kerja, dan modal untuk sektor industri
dan jasa (Lynn, 2003).
2. Salah satu kunci dari kebijakan pertanian adalah membiarkan harga
pertanian ditentukan oleh pasar. Harga pangan yang tinggi pada tahap
awal pembangunan akan meningkatkan pendapatan untuk sebagian
besar daerah pedesaan dan menghasilkan produksi yang lebih besar.
Ketika penawaran berkembang lebih cepat daripada permintaan, nilai
tukar petani (agriculture terms of trade) akan turun untuk pertumbuhan
populasi daerah kota (Lynn, 2003).
3. Sektor pertanian yang sehat memerlukan perhatian pada efisiensi
penggunaan tanah, tenaga kerja dan modal, dengan memperhatikan
proporsi faktor yang ada. Pemerintah dapat mendorong pertanian dengan
penelitan, jasa tambahan, dan menciptakan iklim untuk pendanaan
pedesaan supaya maju. Pemerintah harus lebih berhati-hati apabila
berhadapan dengan aktivitas produksi dan distribusi, pemerintah
sebaiknya menyerahkan sebanyak mungkin aktivitas kepada sektor
swasta. Pemerintah juga harus merancang kebijakan makro ekonomi yang
tidak mematikan pembangunan pertanian (Lynn, 2003).
http://www.yohanli.com/peranan-pertanian-dalam-pembangunan.html#more-76