perbandingan aliran (sejarah pemikiran islam) tabah

21
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Aliran-aliran dalam islam muncul sejak zaman sahabat dan sesudahnya yaitu tabi’in dan tabi’tabi’in . Para sahabat dan penerusnya berbeda pendapat dalam berbagai aspek di antaranya akidah dan syariah. Pada Makalah Ini penulis akan berupaya menjelaskan berbagai Aliran-aliran yang Muncul akibat perbeaaan pendapat dari segi akidah (tauhid) yang dikenal dengan nama Ilmu Kalam.Penulis akan memaparkan beberapa kelompok aliran ilmu kalam(al mutakallimun) di antaranya : asy aari,mu’tazilah,maturidiyah,jabariyah ,qadariyah 1 . Beberapa aliran tersebut berbeda pendapat dalam empat kaedah dasar yaitu: Kaedah pertama : sifat-sifat dan pengesaan pada sifat tersebut,contohnya sifat azaliyah ada aliran yang menetapkan sifat tersebut dan ada yang menafikan. Yang bertentangan pada kaedah ini yaitu mu’tazilah ,asy’arii dan mujassimah. Kaedah kedua : qadr dan keadilan di dalamnya, yang mencakup beberapa masalah : qada’ dan qadr,keinginan baik dan buruk,yang ditakdirkan dan yang diketahui, yang berusaha dan yang tidak mau berusaha. yang bertentangan pada kaedah ini yaitu qadariyah,jabariyah,asyariyahdan karramiyah. Kaedah ketiga : janji dan ancaman., mencakup beberapa masalah yaitu iman dan taubah,ancaman dan pertolongan,pengkafiran dan penyesatan. Aliran yang berbeda di antaranya al murjiah, mu’tazilah asyariyah. Kaedah keempat : pendengaran dan akal ,utusan dan pimpinan. Yang mencakup beberapa masalahyaitu baik dan buruk,perdamaian, kelembutan dan kekuasaaan pada nabi, dan syarat-syarat pemimpin. Dan yang bertentangan dalam kaedah ini yaitu syiah, khawarij,mu’tazilah dan asyariyah. 1 Drs. H. M. Yusran Asmuni. Ilmu Tauhid. Raja Grafindo Persada Jakarta: 1993.. hal. 154-155

Upload: muhammad-mujtabah

Post on 23-Nov-2015

84 views

Category:

Documents


3 download

TRANSCRIPT

  • BAB I

    PENDAHULUAN

    A. Latar Belakang

    Aliran-aliran dalam islam muncul sejak zaman sahabat dan sesudahnya

    yaitu tabiin dan tabitabiin . Para sahabat dan penerusnya berbeda pendapat dalam

    berbagai aspek di antaranya akidah dan syariah. Pada Makalah Ini penulis akan

    berupaya menjelaskan berbagai Aliran-aliran yang Muncul akibat perbeaaan

    pendapat dari segi akidah (tauhid) yang dikenal dengan nama Ilmu Kalam.Penulis

    akan memaparkan beberapa kelompok aliran ilmu kalam(al mutakallimun) di

    antaranya : asy aari,mutazilah,maturidiyah,jabariyah ,qadariyah1.

    Beberapa aliran tersebut berbeda pendapat dalam empat kaedah dasar yaitu:

    Kaedah pertama : sifat-sifat dan pengesaan pada sifat tersebut,contohnya sifat

    azaliyah ada aliran yang menetapkan sifat tersebut dan ada yang menafikan. Yang

    bertentangan pada kaedah ini yaitu mutazilah ,asyarii dan mujassimah.

    Kaedah kedua : qadr dan keadilan di dalamnya, yang mencakup beberapa masalah

    : qada dan qadr,keinginan baik dan buruk,yang ditakdirkan dan yang diketahui,

    yang berusaha dan yang tidak mau berusaha. yang bertentangan pada kaedah ini

    yaitu qadariyah,jabariyah,asyariyahdan karramiyah.

    Kaedah ketiga : janji dan ancaman., mencakup beberapa masalah yaitu iman dan

    taubah,ancaman dan pertolongan,pengkafiran dan penyesatan. Aliran yang berbeda

    di antaranya al murjiah, mutazilah asyariyah.

    Kaedah keempat : pendengaran dan akal ,utusan dan pimpinan. Yang mencakup

    beberapa masalahyaitu baik dan buruk,perdamaian, kelembutan dan kekuasaaan

    pada nabi, dan syarat-syarat pemimpin. Dan yang bertentangan dalam kaedah ini

    yaitu syiah, khawarij,mutazilah dan asyariyah.

    1 Drs. H. M. Yusran Asmuni. Ilmu Tauhid. Raja Grafindo Persada Jakarta: 1993.. hal.

    154-155

  • Pada makalah ini akan penulis bahas beberapa pokok masalah yang

    dipertentangkan yaitu perbuatan Tuhan, Perbuatan manusia dan ruyatullah dan

    akan di bahas pada bab selanjutnya.

    B. Rumusan Masalah

    1. Bagaimana pendapat-pendapat setiap aliran tentang perbuatan Tuhan,

    perbuatan manusia, kalamullah, antropomorfisme dan ruyatullah ?

    2. Apakah alasan mengapa mereka berbeda pendapat ?

  • BAB II

    PEMBAHASAN

    A. Perbuatan Tuhan

    Semua aliran dalam pemikiran kalam berpandangan bahwa Tuhan

    melakukan perbuatan. Perbuatan di sini dipandang sebagai konsekuensi logis dari

    dzat yang memiliki kemampuan untuk melakukannya.

    1. Aliran Mutazilah

    Aliran Mutazilah adalah aliran kalam yang bercorak rasional. Berpendapat

    bahwa perbuatan Tuhan hanya terbatas pada hal-hal yang dikatakan baik. Namun

    ini bukan berarti bahwa Tuhan tidak mampu melakukan perbuatan buruk. Tuhan

    tidak melakukan perbuatan buruk karena ia tahu keburukan dari perbuatan buruk

    itu. Di dalam Al Quran dikatakan pada surat Al-Anbiya ayat 23 dan Arrum ayat 8

    dan inilah yang menjadi dalil kaum Mutazilah.

    Seorang tokoh Mutazilah Qodi Abd Al Jabar mengatakan bahwa ayat

    tersebut memberi petunjuk bahwa Tuhan hanya berbuat baik dan yang maha suci

    dari berbuat buruk. Tuhan tidak perlu ditanya ia menambahkan bahwa seseorang

    yang dikenal baik apabila secara nyata berbuat baik2. Apabila ia secara nyata

    berbuat baik, tidak perlu ditanya mengapa ia melakukan perbuatan baik itu. Dari

    ayat kedua menurut Al Jabar mengandung petunjuk bahwa Tuhan tidak pernah dan

    tidak akan melakukan perbuatan buruk. Pernyataan bahwa ia menciptakan langit

    dan bumi serta segala isinya dengan hak, tentulah tidak benar atau merupakan berita

    bohong.

    2 DR. Abdul Rozak, M.Ag. DR. Rosihon Anwar, M. Ag, Ilmu Kalam, Pustaka Setia

    Bandung: 2006. hal. 133-139

  • Dasar pemikiran tersebut serta konsep tentang keadilan Tuhan yang berjalan

    sejajar dengan paham adanya batasan-batasan bagi kekuasaan dan kehendak tuhan

    mendorong kelompok Mutazilah untuk berpendapat bahwa Tuhan mempunyai

    kewajiban terhadap manusia. Kewajiban tersebut dapat disimpulkan dalam suatu

    hal yaitu kewajiban berbuat terhadap manusia. Paham kewajiban Tuhan berbuat

    baik bahkan yang terbaik (ash sahalah wa al aslah) mengonsekwensikan aliran

    Mutazilah memunculkan paham kewajiban Allah berikut ini.

    a. Kewajiban tidak memberikan beban di luar kemampuan manusia

    Adalah bertentangan dengan paham berbuat baik dan terbaik dan ini

    bertentangan dengan paham mereka tentang keadilan Tuhan. Tuhan akan

    bersifat tidak adil kalau ia memberikan beban yang terlalu berat kepada

    manusia.

    b. Kewajiban mengirimkan Rasul bagi aliran Mutazilah bahwa akal dapat

    mengetahui hal yang gaib. Argumentasi mereka adalah kondisi akal yang tidak

    dapat mengetahui setiap apa-apa yang harus diketahui manusia tentang Tuhan

    dan alam gaib. Oleh karena itu Tuhan berkewajiban melakukan perbuatan baik

    dan terbaik dengan cara mengirim Rasul. Tanpa Rasul mereka tidak akan

    memperoleh hidup baik dan terbaik di dunia dan di akhirat.

    c. Kewajiban menepati janji (al wad) dan ancaman (waid). Seperti janji

    memberikan ganjaran kepada yang berbuat baik dan memberikan ancaman

    kepada yang berbuat jahat.

    2. Aliran Asy-Ariyah

    Menurut aliran ini Paham kewajiban Tuhan berbuat baik dan terbaik bagi

    manusia (as salah wa al aslah) sebagaimana dikatakan oleh kaum Mutazilah. Tidak

    dapat diterima karena bertentangan dengan Paham kekuasaan dan kehendak mutlak

    Tuhan ini ditugaskan Al Ghazali ketika mengatakan bahwa Tuhan tidak

    berkewajiban berbuat baik kepada manusia. Dengan demikian aliran As Ariyah

    tidak menerima paham Tuhan mempunyai kewajiban3. Tuhan dapat berbuat baik

    dan terbaik bagi manusia. Tuhan berbuat sekehendak hatinya terhadap makhluk

    3 Harun Nasution Teologi Islam Aliran-aliran Sejarah Analisis Pebandingan UI Press,

    Jakarta: 1986 hal. 135-136

  • sebagaimana dikatakan Al Ghazali perbuatan Tuhan tidak wajib (Jaiz) dan tidak

    satupun darinya bersifat wajib. Karena paham ini percaya bahwa kekuasaan

    sepenuhnya mutlak milik Tuhan.

    3. Aliran Maturidylah

    a. Maturidiyah Samarkand

    Yaitu aliran yang memberikan batasan pada kekuasaan dan kehendak

    mutlak Tuhan. Mereka berpendapat bahwa perbuatan Tuhan hanya menyangkut hal

    baik saja. Dengan demikian Tuhan berkewajiban melakukan hal- yang baik bagi

    manusia.

    b. Maturidiyah Bukhara

    Memiliki pandangan yang sama dengan As Ariyah bahwa menurut mereka

    Tuhan tidak memiliki kewajiban. Namun sebagaimana dijelaskan oleh Al Bazdawi

    bahwa Tuhan pasti menepati janjinya seperti memberikan upah pada orang yang

    telah berbuat baik.

    B. Perbuatan Manusia

    Perbuatan manusia adalah keyakinan bahwa Tuhan pencipta alam semesta

    dan manusia di dalamnya. Tuhan bersifat maha kuasa dan bersifat mutlak.

    1. Aliran Jabariyah

    a. Jabariyah Ekstrim, berpendapat bahwa manusia tidak mampu berbuat apa-apa,

    tidak mempunyai daya, kehendak dan pilihan. Perbuatan manusia bukanlah

    kehendaknya sendiri melainkan paksaan dari Tuhan.

    b. Jabariyah Moderat,

    Paham ini mengatakan bahwa Tuhan menciptakan perbuatan manusia. Akan

    tetapi manusia mempunyai peran di dalamnya. Tenaga yang diciptakan dalam

    diri manusia mempunyai efek untuk melakukan perbuatan-perbuatan atau

    dengan kata lain perbuatan manusia pada hakikatnya diciptakan dan diperoleh

    (acquired iktasaba) pada hakikatnya oleh manusia.

    2. Aliran Qodariah

  • Aliran ini mengatakan bahwa tingkah laku manusia dilakukan atas

    kehendak sendiri4. Manusia mempunyai kewenangan untuk melakukan segala

    perbuatannya atas kehendak sendiri, baik itu perbuatan baik atau jahat.

    Paham takdir dalam pandangan Qodariah adalah ketentuan Allah yang

    diciptakan untuk alam semesta beserta seluruh isinya. Dalam istilah Al Quran

    disebut sunatullah. Ayat-ayat Al Quran yang tercantum dalam surat Al Kahfi ayat

    ke 29 yang artinya Katakanlah kebenaran dari Tuhanmu. Siapa yang mau

    berimanlah dia dan barang siapa yang ingin kafir maka kafirlah dia (QS. Al Kahfi:

    29)

    3. Aliran Mutazilah

    Aliran mutasilah memandang manusia mempunyai daya yang besar dan

    bebas. Oleh sebab itu mutasilah menganut paham Qodariah atau free will.

    Mutazilah mengatakan dengan tegas bahwa daya juga berasal dari manusia. Daya

    yang terdapat pada manusia adalah tempat terciptanya perbuatan. Aliran

    Mutazilah mengaku bahwa Tuhan adalah pencipta awal. Sedangkan manusia

    berperan sebagai pihak yang berkreasi untuk mengubah bentuknya

    4. Aliran Asyariyah

    Dalam paham Asyariyah manusia ditempatkan diposisi yang lemah. Aliran

    ini telah dekat dengan Paham jabariyah. AsyAriyah menggunakan teori Al Kasb

    untuk membela keyakinan tersebut. Al AsyAriyah mengemukakan dalil tentang Al

    Quran yang artinya Tuhan menciptakan kamu dan apa yang kamu perbuat (QS

    Asy-Saffat:96).

    Aliran ini berpendapat bahwa perbuatan manusia diciptakan oleh Allah.

    Sedangkan daya manusia tidak mempunyai efek untuk mewujudkannya.

    5. Aliran Maturidiyah

    Menurut aliran Maturidiyah Samarkand perbuatan manusia merupakan

    kehendak dan daya manusia dalam arti kata yang sebenarnya. Bukan dalam arti

    kiasan. Manusia dalam paham Maturidiah tidaklah sebebas manusia dalam paham

    4 DR. Abdul Rozak, M.Ag. DR. Rosihon Anwar, M.Ag. Op. Cit. Hlm. 177-179

  • Mutazilah. Manusia tidak mempunyai daya untuk melakukan perbuatan yang telah

    diciptakan Tuhan.

    C. Kalamullah

    Pembahasan mengenai Kalamullah (perkataan Allah) menjadi pembicaraan

    yang menarik disebabkan oleh banyaknya asumsu atau pendapat aliran-aliran

    teologi dalam Islam, misalnya apakah perkataan Allah itu qadim atau abadi sama

    dengan qadimnya Allah SWT sendiri, yang merupakan sumber dari perkataan

    tersebut.

    Dalam tulisan berikut ini akan dijelaskan dari aliran-aliran yang ada dalam teologi

    Islam berkaitan dengan masalah Kalamullah itu, juga dalil yang dikemukakan untuk

    meligitimasi atau menguatkan dalil mereka yang ternyata semuanya juga berdalil

    dalam Al-Quran itu sendiri.

    1. Aliran Mutazilah

    Aliran muktazilah melihat Al-Quran sebagai suatu perkataan yang terdiri

    dari huruf dan suara, artinya disamakan dengan perkataan biasa dikenal. Perkataan

    menyatakan pikiran yang ada pada dirinya, supaya diketahui orang lain. Kalau Al-

    Quran terdiri dari kata-kata, sedang kata-kata itu baru, maka Al-Quran itupun

    baru. Selain itu sifat qalam (Al-Quran) bukanlah sifat dzat, tetapi adalah salah satu

    sifat perbuatan (sifat aktifa) karena itu menurut mereka Al-Quran itu adalah

    makhluk. Artinya Tuhan mengadakan perkataan pada lauhul mahfudz, atau Jibril

    utusan-Nya.

    Alasan yang dikemukakan aliran Muktazilah adalah alasan berdasar pada

    Al-Quran atau syara dan alasan yang bersandar pada logika akal pemikiran.

    Alasanya syara adalah Al-Quran surah az-Zukhruf. 3, Hud. 1, Yusuf. 2, at-

    Taubah. 6, al-Baqarah. 30, sedangkan alasan dalam bentuk logika adalah sudah

    disepakati kaum muslimin bahwa apa yang dinamakan Quran adalah kata-kata

    yang dapat di dengar dan di baca dan terdiri dari surat-surat, ayat-ayat, huruf-huruf

    tertentu. Sudah barang tentu Quran tersebut kalam yang menjadi salah satu sifat

    Tuhan.

  • 2. Aliran Asyary

    Aliran ini berkeyakinan bahwa Al-Quran adalah bukan makhluk, bahkan

    Asyary menyatakan bahwa tidak satupun bagian dari Al-Quran itu makhluk.

    Namun pendapat imam Asyary oleh pengikutnya ternyata ada yang bertentangan

    pendapatnya.

    D. Ruyatullah

    Ruyah secara bahasa berarti melihat dengan mata kepala ataupun mata hati

    sehingga ruyatullah berarti melihat ALLAH dengan penglihatan mata ataupun

    penglihatan hati.

    Di dalam al-Quran al-Karim, Allah SWT memberikan penjelasan-

    penjelasan tentang permasalahan ruyatullah. Akan tetapi, sebagian ayat-ayat al-

    Quran menjelaskan bahwa manusia tidak akan mungkin melihat Tuhannya.

    Sementara sebagian ayat-ayat al-Quran lainnya malah mensinyalir bahwa manusia

    dapat melihat Tuhannya. Sekelompok aliran kalam menjadikan ayat-ayat al-Quran

    yang menyatakan bahwa manusia tidak akan mungkin melihat Tuhannya sebagai

    ayat muhkamat, sehingga ayat-ayat al-Quran yang menyatakan sebaliknya adalah

    sebagai ayat-ayat mutasyabihat. Sebagai konsekuensi, masing-masing aliran

    menerima secara tegas ayat-ayat muhkamat dan menakwilkan ayat-ayat al-Quran

    yang dianggap mutasyabihat.

    1. Ayat-Ayat Tentang Kemungkinan Melihat Allah

    Sejumlah ayat al-Quran yang sepintas tampak menyatakan bahwa seorang

    manusia dapat melihat Allah SWT adalah sebagai berikut:

    Wajah-wajah (orang-orang mukmin) pada hari itu berseri-seri; kepada

    Tuhan-nya mereka Melihat.(Q.S. 75: 22-23)

    Dialah yang memberi rahmat kepadamu dan malaikat-Nya (memohonkan

    ampunan untukmu), supaya dia mengeluarkan kamu dari kegelapan kepada cahaya

    (yang terang). Dan adalah Dia Maha Penyayang kepada orang-orang yang beriman.

    Pada hari di mana mereka akan bertemu dengan-Nya dengan penuh kedamaian; dan

    Dia menyediakan pahala yang mulia bagi mereka.(Q.S. Al-Ahzab/33: 43-44).

  • Dan (ingatlah), ketika kamu berkata: Hai Musa, kami tidak akan beriman

    kepadamu sebelum kami melihat Allah dengan terang, karena itu kamu disambar

    halilintar, sedang kamu menyaksikannya.(Q.S.Al-Baqarah/2: 55)

    2. Ayat-Ayat Yang Menunjukkan Kemustahilan Melihat Allah

    Sementara sejumlah ayat al-Quran yang secara sepintas tampak menyatakan

    bahwa seorang manusia tidak akan dapat melihat Tuhannya adalah sebagai berikut:

    Dia tidak dapat dicapai oleh penglihatan mata, sedang Dia dapat melihat

    segala yang kelihatan; dan Dia-lah yang Maha Halus lagi Maha Mengetahui. (Q.S.

    6 : 103)

    Sekali-kali tidak, sesungguhnya Allah pada hari itu akan menutup diri-Nya

    dari pandangan mereka. (Q.S. Muthaffifin/83: 15)

    Dan tatkala Musa datang untuk (munajat dengan kami) pada waktu yang

    telah kami tentukan dan Tuhan telah berfirman (langsung) kepadanya, berkatalah

    Musa: Ya Tuhanku, nampakkanlah (diri Engkau) kepadaku agar aku dapat melihat

    kepada Engkau. Tuhan berfirman: Kamu sekali-kali tidak sanggup melihat-Ku,

    tapi lihatlah ke bukit itu, maka jika ia tetap di tempatnya (sebagai sedia kala)

    niscaya kamu dapat melihat-Ku. tatkala Tuhannya menampakkan diri kepada

    gunung itu, dijadikannya gunung itu hancur luluh dan Musa pun jatuh pingsan.

    Maka setelah Musa sadar kembali, dia berkata: Maha Suci Engkau, aku bertaubat

    kepada Engkau dan aku orang yang pertama-tama beriman. (Q.S. 7: 143)

    Dan tidak mungkin bagi seorang manusia pun bahwa Allah berkata-kata

    dengan dia kecuali dengan perantaraan wahyu atau di belakang tabir atau dengan

    mengutus seorang utusan (malaikat) lalu diwahyukan kepadanya dengan seizin-

    Nya apa yang Dia kehendaki. Sesungguhnya Dia Maha Tinggi lagi Maha Bijaksana.

    (Q.S. Asy-Syura/42: 51)

    Demikianlah sejumlah ayat al-Quran berkenaan dengan masalah

    ruyatullah. Ayat-ayat al-Quran yang tampak menyatakan bahwa manusia dapat

    melihat Tuhan, dijadikan sejumlah aliran kalam sebagai dalil naqli bagi

    kemungkinan manusia melihat Tuhan5. Mereka menakwilnya ayat-ayat yang

    5 Drs. H. Sahilun A Nasir. Pengantar Ilmu Kalam Raja grafindo Persada. Jakarta: 1996: hal. 98

  • sepintas menyatakan bahwa Tuhan tidak dapat melihat. Sebaliknya, ayat-ayat yang

    tampak menyatakan bahwa manusia tidak dapat melihat Tuhan dijadikan oleh

    sejumlah aliran sebagai dalil naqli bagi ketidakmungkinan manusia melihat Tuhan.

    Konsekuensinya, mereka menakwilkan ayat-ayat yang menyatakan bahwa Tuhan

    dapat dilihat.

    Jika dilihat sepintas tampak bahwa ayat-ayat al-Quran yang berkaitan

    dengan masalah ruyatullah saling bertentangan. Sebagian ayat menyatakan

    kemungkinan manusia melihat Tuhan, sementara sebagian ayat lainnya

    menyatakan kebalikannya. Untuk masalah ini, harus diperhatikan bahwa

    sesungguhnya tidak ada pertentangan di dalam al-Quran. Kesimpulan bahwa ayat-

    ayat al-Quran saling kontradiksi itu hanya merupakan akibat pemahaman yang

    keliru semata-mata. Karena itu, para sarjana Islam harus mampu menakwilkan

    sejumlah ayat al-Quran yang tampak berlawanan itu. Ini pula sebenarnya segi

    paling menarik dan paling mengagumkan dari susunan al-Quran. Pendeknya, tidak

    ada pertentangan di dalam al-Quran.

    3. Hadits-Hadits Tentang Melihat Allah dalam Kitab Sunni dan Syiah

    Di pihak lain, menurut tradisi Sunni (Ahlussunnahwaljamaah), ada

    sejumlah hadits Nabi Muhammad SAW yang membahas permasalahan ruyatullah

    ini, sebagaimana tertulis di dalam Sahih Bukhari dan Sahih Muslim. Dalam kitab

    Sahih Bukhari tertera sejumlah hadits tentang ruyatullah, sebagaimana tertulis di

    bawah ini.

    Dari Aisyah r.a, katanya: Siapa yang menceritakan kepada engkau, bahwa

    Nabi Muhammad SAW melihat Tuhannya, sesungguhnya orang tersebut

    berdusta, karena Tuhan mengatakan: Pandangan tidak sampai kepada-Nya.

    Dan siapa yang mencerita-kan kepada engkau, bahwa Nabi Muhammad

    SAW mengetahui hal yang gaib, sesungguhnya orang itu dusta, karena

    Tuhan mengatakan Tiada yang mengetahui hal yang gaib melainkan

    Allah.

    Dari Jarir r.a. katanya: ketika kami sedang duduk dekat Nabi SAW, beliau

    memperhatikan bulan di malam purnama, beliau bersabda Sesungguhnya

    kamu nanti akan melihat Tuhan kamu, sebagaimana kamu melihat bulan ini

  • dan kamu tidak berdesak-desak untuk melihat-Nya. Dan kalau kamu

    sanggup tidak ketinggalan dalam mengerjakan sembahyang sebelum

    matahari terbit dan sembahyang yang sebelum matahari terbenam,

    perbuatlah.

    Dari Adi bin Hatim r.a. katany: Rasulullah SAW bersabda: Setiap kamu

    nanti akan berbicara dengan Tuhannya, tanpa perantaraan juru bahasa dan

    tidak ada pula dinding yang membatasi.

    Sementara dalam kitab Sahih Muslim, tertera sejumlah hadits tentang

    ruyatullah, yakni sebagai berikut:

    Diriwayatkan dari Abu Musa r.a. : Rasulullah SAW pernah berdiri di

    tengah-tengah kami menjelaskan lima pokok pembicaraan. Beliau bersabda,

    Sesungguhnya, Allah SWT tidak tidur, dan tidak patut bagi-Nya untuk

    tidur; Dia menurunkan dan menaikkan kadar timbangan amal hamba-Nya;

    kepada-Nyalah diangkat amal hamba-Nya yang malam hari sebelum amal

    yang siang hari; dan juga amal yang siang hari sebelum amal yang malam

    harinya; tirai Allah SWT adalah cahaya. Jika Allah SWT menyingkap tirai-

    Nya, cahaya Zat Allah itu akan menghanguskan semua Makhluq-Nya.

    4. Perbandingan Aliran-aliran Tentang Ruyatullah

    Theologi sebagai ilmu yang membahas soal ketuhanan dan kewajiban-

    kewajiban manusia terhadap Tuhan,memakai akal dan wahyu dalam memperoleh

    pengetahuan tentang kedua soal tersebut.Maka dari sinilah setiap aliran-aliran ilmu

    kalam mempunyai pendapat masing-masing tentang wahyu,akal dan

    ruyatullah.Beberapa aliran ilmu kalam yang memiliki pendapat tentang hal

    tersebut diantaranya :

    a. Pendapat Mutazilah tentang Wahyu,akal dan ruyatullah.

    Tentang ruyatullah kaum Mutazilah berpendapat bahwa manusia tidak

    akan mampu melihat Allah SWT baik di dunia maupun di akhirat. Semua pemuka

    Mutazilah meyakini bahwa Allah SWT tidak dapat dilihat melalui mata fisik.

    Namun sejumlah kecil pemuka Mutazilah seperti Abu Huzail meyakini bahwa

    manusia dapat melihat Tuhan melalui hatinya.Akan tetapi tidak sedikit pula pemuka

    kaum Mutazilah berpandangan bahwa Allah SWT tidak bisa diketahui dengan

  • penglihatan mata atau pun hati, baik di dunia maupun di akhirat kelak. Pandangan

    terakhir diyakini para pemuka Mutazilah seperti al-Fuwathi, Abbad ibn Sulaiman,

    dan lainnya.Aliran Mutazilah menolak keyakinan antropomorfisme. Mereka tidak

    meyakini bahwa Allah memiliki wujud materil. Allah SWT bukan wujud materil.

    Karena itu, Allah tidak membutuhkan tempat. Karena itu, Allah SWT tidak serupa

    dengan makhluq. Oleh karena Allah seperti itu, maka mereka meyakini bahwa

    manusia tidak akan dapat melihat Allah SWT di di dunia dan di akhirat kelak.

    Sejumlah pemuka Mutazilah memang meyakini bahwa Allah dapat dilihat oleh

    manusia melalui hati sanubari, namun pada umumnya pemuka-pemuka aliran ini

    menolak hal tersebut. Alasan-alasan yang mereka ajukan adalah sebagai berikut :

    Dalam Q.S. al-Qiyamah: 22-23, menjelaskan bahwa Allah SWT tidak dapat

    dilihat oleh manusia. Menurut mereka, kata nazhara tidak berarti raa (melihat),

    karena kata ini jika dikaitkan dengan kata ain (mata) berarti usaha untuk

    melihat, sebagaimana jika dikaitkan dengan hati (qalb) berarti usaha untuk

    tahu. Hakikat nazhara adalah mengarahkan mata ke arah sesuatu untuk

    melihatnya. Jika demikian, mestilah Tuhan yang dilihat itu berada pada satu

    arah. Jika pendapat ini benar, maka Allah itu berjisim, karena berada pada arah

    tertentu. Karena itu tidak dapat diterima, maka mestilah kata rabbiha

    (Tuhannya) ditakwilkan dengan pahala yang diberikan Tuhan.

    Kata nazhara biasanya dipakai untuk pengertian menanti (al-intizhar).

    Terkadang pula dipakai untuk pengertian mengarahkan mata ke suatu objek

    untuk melihatnya. Bahkan dipakai pula untuk pengertian berfikir dengan hati

    untuk memperoleh pengetahuan.

    Pendapat bahwa kata nazhara jika dikaitkan dengan wajah berarti melihat

    tidak dapat diterima. Karena pengertian melihat dengan wajah tidak dikenal

    dalam bahasa Arab. Yang biasa dikenal adalah pengaitan mata dengan

    penglihatan.

    Dalam Q.S. al-Anam ayat 103 dijelaskan secara tegas bahwa Allah tidak akan

    dapat dilihat. Bagi kaum Mutazilah, Tuhan tidak dapat dilihat karena kata al-

    idrak disertai penyebutan kata al-bashar, yang dimaksudkan adalah melihat

  • dengan penglihatan mata. Ayat ini bersifat umum tanpa ada pengecualian.

    Karena itulah, Tuhan tidak akan dilihat oleh manusia.

    b. Pendapat aliran asyariyah tentang ruyatullah.

    Tentang melihat Tuhan(ruyatullah) Secara umum dapat dikatakan bahwa

    aliran Asyariyah menyatakan bahwa Tuhan dapat dilihat oleh manusia. Mereka

    mengajukan sejumlah argumen, tidak saja argumen aqli namun pula argumen naqli.

    Bagi aliran ini, jika sesuatu menempati ruang dan waktu, maka sesuatu itu bersifat

    temporal. Bagi mereka, Tuhan tidak menempati ruang dan waktu. Bagi mereka,

    suatu benda, meskipun benda itu tidak ada di depan orang yang melihatnya,

    mungkin saja untuk dilihat. Karena itu pula, Tuhan sangat mungkin dilihat,

    meskipun indra manusia tidak memperoleh kesan obyek yang mengenai indra itu.

    Selain itu, tidak mustahil Tuhan akan menciptakan di dalam diri manusia sebuah

    kapasitas untuk melihat-Nya di akhirat kelak6.

    Menurut al-Asyari, segala keberadaan dapat dilihat dan menyebabkan

    dapat dilihat dari sisi keberadaannya. Karena Allah SWT itu secara niscaya ada,

    maka Dia mesti dapat dilihat oleh manusia di hari akhirat kelak.Al-Asyari

    memiliki dua pendapat tentang hakikat ruyat. Pertama, ruyat itu sebagai

    pengetahuan khusus, yakni khusus melihat yang ada dan bukan yang tidak ada.

    Kedua, penglihatan itu adalah temuan di belakang ilmu, bukan refleksi dari yang

    ditemui dan bukan pula pengaruh dari yang ditemui.

    Berkenaan dengan Tuhan, aliran Asyariyah berada pada posisi tengah

    antara golongan Musyabihah dan Mujassimah dengan golongan tanzih

    (nihil).Pemuka aliran ini menyatakan bahwa Allah itu memiliki wajah, tangan,

    mata, dan Dia bersemayam di Arsy. Namun demikian, seseorang tidak boleh

    menanyakan bagaimana wajah, tangan, mata, dan seperti apa bersemayam di Arsy

    itu. Bersamaan dengan itu, seseorang pun tidak boleh mengingkari semua hal itu

    Demikian pandangan mereka tentang hakikat Tuhan.

    Dalam bukunya al-Ibanah an Ushul ad-Diyanah, Abul Hasan Al-Asyari

    menguraikan secara luas pandangannya tentang masalah ini. Menurutnya, Allah

    6 Harun Nasution, Teologi Islam Aliran-aliran sejarah Analisis Perbandingan. Jakarta:

    25006, UI press. Halm. 147

  • SWT dapat dilihat oleh penglihatan mata manusia di akhirat kelak. Beliau pun

    mengajukan argumentasi-argumentasi, baik aqliyah maupun naqliyah. Dalam

    konteks argumen aqliyah, beliau menyatakan: Pertama. Setiap yang ada, mungkin

    untuk diperlihatkan Allah kepada kita. Yang tidak mungkin terlihat adalah sesuatu

    yang tidak ada. Jika Allah termasuk sesuatu yang ada, berarti Dia dapat

    memeprlihatkan wujud-Nya kepada manusia, dan ini tidak mustahil. Kedua, bahwa

    Allah melihat segala sesuatu. Jika Allah melihat sesuatu, maka tidak mungkin Dia

    melihat sesuatu sementara Dia tidak dapat melihat diri-Nya. Jika Dia dapat melihat

    diri-Nya sendiri, maka bukan suatu kemustahilan jika Dia memperlihatkan diri-Nya

    kepada kita. Dengan kata lain, jika Allah mengetahui sesuatu, maka berarti Dia

    mengetahui diri-Nya, dan jika Dia dapat melihat diri-Nya berarti tidak mustahil jika

    Dia memperlihatkan diri-Nya kepada kita. Sebagaimana halnya Dia mengetahui

    tentang diri-Nya, maka tidak mustahil jika Dia memberitahukan kepada kita tentang

    diri-Nya.

    Berkenaan dengan dalil naqli, Abu Hasan al-Asyari menganggap bahwa

    ayat-ayat tentang kemungkinan manusia melihat Tuhan sebagai ayat-ayat muhkam

    sehingga mesti diyakini. Sementara ayat-ayat tentang ketidakmungkinan melihat

    Tuhan sebagai ayat-ayat mutasyabih, sehingga perlu ditakwil. Sedikitnya, beliau

    mengajukan sejumlah ayat sebagai argumentasi guna membuktikan bahwa manusia

    dapat melihat Tuhan di akhirat tentang matanya, yakni:

    Q.S. al-Qiyamah ayat 22-23 membuktikan bahwa manusia dapat melihat

    Tuhan melalui mata di akhirat kelak. Kata nazhar dalam ayat ini memiliki 4

    kemungkinan makna, yakni berfikir, menunggu, merahmati, dan melihat. Ayat

    ini membicarakan peristiwa di hari akhirat, karena itu kata Nazhar tidak

    mungkin berfikir karena akhirat bukan tempat berfikir, bukan pula bermakna

    menunggu karena kata ini dikaitkan dengan kata wajah, sehingga maknanya

    adalah melihat dengan mata yang ada di wajah, dan bukan pula bermakna

    merahmati, karena makhluk tidak mungkin merahmati Penciptanya. Kata

    Nazhar tidak mungkin pula bermakna menunggu karena kata ini disertai huruf

    ila dan sebelumnya terdapat kata wujuh, sehingga maknanya harus melihat

  • dengan mata kepala. Jika kata nazhar dalam ayat ini tidak disertai huruf ila,

    maka maknanya bisa menunggu.

    Q.S. al-Araf ayat 143. Dalam ayat ini, Allah SWT menceritakan bahwa Musa

    memohon kepada Allah agar ia bisa melihat-Nya. Dalam konteks ini, Musa

    diangkat Allah sebagai nabi. Allah pun memeliharanya dari kesalahan-

    kesalahan. Karena itu, tidak mungkin Musa mengajukan sebuah permintaan

    yang mustahil. Jika hal itu tidak boleh dilakukan Musa, maka nabi Musa tidak

    akan meminta hal-hal mustahil kepada Tuhannya. Oleh karena Musa meminta

    kepada Tuhan agar ia bisa melihat-Nya, berarti ia meminta sesuatu yang tidak

    mustahil,. Jadi, melihat Tuhan adalah sesuatu yang mungkin. Dalam ayat ini

    pula, sebenarnya Allah berkuasa menjadikan gunung tersebut kokoh. Jika hal

    itu dilakukan Allah, maka Musa akan mampu melihat-Nya. Sesungguhnya

    Allah berkuasa menjadikan hamba-Nya mampu melihat-Nya. Benar bahwa

    mata manusia tidak akan mampu melihat matahari di dunia, maka mata

    manusia pun tidak akan mampu melihat-Nya di akhirat. Namun kelak, Allah

    sangat berkuasa untuk memperkuat pandangan mata manusia tersebut,

    sehingga mata manusia mampu melihat-Nya.

    Berdasarkan Q.S. Yunus: 26; Q.S. Qaaf: 35; Q.S. al-Ahzab: 44; dan Q.S. al-

    Muthaffifin: 15, bahwa melihat Tuhan itu sangat mungkin terjadi. Karena

    melihat Tuhan itu merupakan nikmat terbesar yang diberikan Allah kepada

    orang-orang beriman. Orang-orang beriman akan melihat-Nya, sebagai balasan

    atas perbuatan kebajikannya di dunia. Sementara orang-orang kafir tidak akan

    dapat melihat-Nya, sebagai balasan atas kejahatannya di dunia.

    Secara lahiriah, Q.S. al-Anam: 103 menunjukkan ketidakmungkinan melihat

    Tuhan. Namun bagi al-Asyari, maknanya bukan demikian, melainkan

    ketidakmungkinan melihat-Nya di dunia, sementara melihat-Nya di akhirat

    sangat mungkin. Bisa pula diartikan sebagai ketidakmungkinan orang-orang

    kafir melihat-Nya. Di samping itu, kata ruyah memiliki perbedaan makna

    dengan kata idrak. Kata idrak dalam ayat ini berarti melihat seutuhnya.

    Sementara kata ruyah bermakna sekedar melihat dan/atau melihat tidak

    seutuhnya. Jadi, kedua kata ini berbeda maknanya. Oleh karena itu, ayat

  • tersebut memiliki makna bahwa Allah SWT tidak dapat dilihat secara penuh

    (idrak), namun dapat dilihat tidak seutuhnya dan/atau sekedarnya (ruyah).

    Bahwa melihat Allah bukan dalam melihat-Nya secara penuh tidak akan

    mengurangi kesempurnaan Allah SWT. Benar bahwa manusia tidak dapat

    mencapai-Nya, namun bukan berarti manusia itu tidak dapat melihat-Nya.

    Manusia melihat-Nya dengan mata kepala, bukan berarti manusia itu telah

    mencapai-Nya.

    Pandangan al-Asyari tentang ruyatullah ini diikuti oleh para penerusnya.

    Sebagaimana al-Asyari, al-Baqillani menyatakan bahwa Tuhan dapat dilihat

    dilihat oleh manusia di akhirat kelak. Sebagaimana alasan al-Asyari, al-Baqillani

    menandaskan bahwa setiap yang ada dapat dilihat. Karena Tuhan itu niscaya ada,

    maka Tuhan pun dapat dilihat, sebagaimana dinyatakan-Nya dalam Q.S. al-Araf:

    143 dan Q.S. Al-Qiyamah: 22-23. kemudian, Al-Baghdadi menyatakan bahwa

    Tuhan pun dapat dilihat. Baginya manusia dapat melihat aksiden, karena manusia

    dapat membedakan antara hitam dan putih. Kalau aksiden dapat dilihat, maka

    Tuhan pun dapat dilihat. Sementara itu, al-Juwaini menyatakan pula bahwa

    manusia dapat melihat Tuhannya di akhirat kelak dengan menggunakan mata

    kepalanya. Penglihatan itu akan menjadi kenyataan nanti di akhirat, ketika manusia

    berada di syurga. Muhammad bin Tumart menandaskan pula bahwa Allah SWT

    dapat dilihat oleh manusia. Bahwa manusia wajib meyakini dan membenarkan

    dalam hati bahwa manusia dapat melihat Tuhan. Namun melihat ini bukan berarti

    Tuhan memiliki tubuh (tasybih). Al-Syahrastani pun mendukung bahwa manusia

    mampu melihat Tuhannya di akhirat kelak. Baginya, setiap hal yang berwujud dapat

    dilihat oleh manusia, karena Tuhan niscaya memiliki wujud, maka Tuhan pun dapat

    dilihat oleh manusia. Baginya, setiap umat Islam wajib mengimani masalah

    ruyatullah (melihat Tuhan) ini. Demikianlah, ajaran al-Asyari tentang ruyatullah

    didukung oleh generasi penerusnya. Namun tak dapat disangkal, para generasi

    penerus al-Asyari tersebut terus mengembangan konsep ini, terutama penambahan

    dan penguatan argumentasi-argumentasi tentang kemungkinan melihat Allah SWT

    di akhirat kelak.

  • c. Pendapat aliran mathuridiyah tentang ruyatullah.

    Adapun masalah ruyatullah Menurut pendiri aliran ini, Abu Mansur al-

    Maturidi bahwa Tuhan itu dapat dilihat. Uniknya, meskipun Dia dapat dilihat oleh

    manusia, namun Tuhan itu bersifat immateri. Dia tidak bersifat dengan sifat-sifat

    materil (jasmaniah). Karena itu, jika ada ayat-ayat menggambarkan bahwa Tuhan

    itu bersifat dengan sifat-sifat materi, maka seseorang harus mengartikan ayat-ayat

    itu secara metaforis (takwil).Jelasnya, Tuhan tidak berbadan. Karena badan itu

    suatu yang tersusun dari substansi dan aksiden. Bagi Maturidi, bahwa Tuhan itu

    tidak merupakan materi karena materi itu sesuatu yang mempunyai arah,

    mempunyai akhir, dan mempunyai tiga dimensi (ruang, waktu, dan tempat).

    Karenanya, jisim mutlak tidak boleh dinisbatkan kepada Tuhan. Dengan

    demikian, jelas bahwa Tuhan itu immateri, tidak mempunyai bentuk, tidak

    mengambil tempat, dan tidak terbatas. Meskipun begitu, menurut Maturidi, Tuhan

    dapat dilihat karena Dia diyakini ada-Nya (wujud-Nya).

    Pendeknya, Tuhan itu dapat dilihat oleh manusia. Ruyah kepada Tuhan itu

    sesuatu hal yang dapat terjadi. Dalam konteks ini, Abu Mansur Maturidi

    mendukung ayat-ayat yang secara tegas menyatakan bahwa Tuhan dapat dilihat,

    misalnya Q.S. al-Qiyamah: 22-23. Namun begitu, manusia hanya dapat melihat

    Allah di akhirat kelak saja, sebagaimana tergambar dalam ayat itu. Abu Mansur

    Maturidi mengajukan sejumlah argumen tentang mengapa Allah dapat dilihat di

    akhirat kelak. Pertama, Tuhan itu memiliki wujud. Kendati pun Dia tidak memiliki

    bentuk dan tidak mengambil tempat, serta tidak memerlukan ruang (tidak terbatas).

    Jika Tuhan itu terbatas, maka Tuhan bersifat materi. Karena jika sesuatu terbatas,

    maka sesuatu itu berjisim. Padahal Tuhan itu adalah Syai, sesuatu yang pasti adanya

    dan bukan yang lain. Karena Dia itu ada wujud-Nya, maka sesuatu yang ada pasti

    bisa dilihat.

    Selanjutnya, menurut Abu Mansur Maturidi, bahwa ruyah kepada Tuhan

    itu merupakan bagian dari peristiwa hari kiamat. Sedangkan peristiwa hari kiamat

    itu hanya diketahui oleh Ilmu Allah SWT. Sedangkan manusia hanya mengetahui

    ungkapan-ungkapan tentang adanya peristiwa hari kiamat itu, dan manusia tidak

    mengetahui tentang bagaimana peristiwa hari kiamat itu. Dari sini, Abu Mansur

  • menolak pandangan Mutazilah ketika aliran ini menganalogikan melihat Tuhan

    dengan melihat benda materi, yang berarti menjisimkan Tuhan. Bagi Abu Mansur,

    analogi itu tidak sempurna dan tertolak. Karena menganalogikan sesuatu bersifat

    materi dengan sesuatu bersifat immateri. Padahal, semua peristiwa itu bersifat

    immateri, bukan bersifat materi, maka tidak relevan menganalogikan materi untuk

    segala hal kejadian di akhirat kelak. Seterusnya, Abu Mansur menyimpulkan bahwa

    manusia dapat melihat Tuhan di akhirat kelak, dan peristiwa ini merupakan bagian

    dari peristiwa hari kiamat, sehingga cara melihat Tuhan hanya diketahui oleh Tuhan

    saja.

    Abu Mansur al-Maturidi menafsirkan sedemikian rupa ayat-ayat yang

    sepintas menafikan kemungkinan manusia melihat Tuhan, sebagaimana terlihat

    pada Q.S. al-Anam: 103. Banyak pihak menyatakan bahwa ayat ini menegaskan

    bahwa manusia tidak akan pernah dapat melihat Tuhannya. Kata idrak dalam ayat

    tersebut dimaknai sebagai ruyah, sehingga kata idrak dalam ini bermakna bahwa

    Tuhan tidak dapat dilihat. Namun Abu Mansur menandaskan bahwa kata idrak itu

    bermakna menguasai (melihat) yang terbatas. Sementara Tuhan itu Mahasuci dari

    sifat terbatas, karena sifat terbatas itu berarti titik maksimum dan membatasi yang

    lebih tinggi. Tuhan menjadikan segala sesuatu dengan batas yang bisa dijangkau.

    Jadi, baginya kata idrak tidak bisa diartikan sebagai ruyah. Dengan begitu, maka

    kata idrak dalam ayat ini hanya berarti melihat pada batas sesuatu sehingga dengan

    batas itulah sesuatu itu dapat diketahui. Sementara ruyah tidak menghendaki jika

    objek penglihatan itu terbatas, bahkan ruyah dapat terjadi atas sejumlah hal yang

    tidak dapat diketahui hakikatnya, kecuali dengan mengerti tentangnya.

    Kemudian, Abu Mansur menyatakan bahwa jika Tuhan tidak dapat dilihat

    oleh manusia, maka permintaan Musa untuk melihat Tuhannya adalah sia-sia.

    Seandainya manusia itu mustahil melihat Tuhan, maka niscaya seorang nabi seperti

    nabi Musa as. tidak akan mengharapkannya, sebagaimana tertera pada Q.S. al-

    Araf: 143. Dalam ayat ini, Tuhan menjawab lan tarani (kamu takkan melihat-Ku),

    bukan lan ura (Aku tak bisa dilihat). Ini menjadi dalil kuat bahwa Tuhan dapat

    dilihat oleh manusia.

  • Terakhir, bagi Abu Mansur al-Maturidi, bahwa ruyatullah itu merupakan

    tambahan anugrah dan pahala dari sisi Tuhan. Adalah melihat Tuhan itu sebagai

    anugerah terbesar bagi insan beriman di akhirat kelak. Tuhan menjanjikan balasan

    terbaik bagi manusia, dan manusia beriman tidak hanya mendapatkan surga, namun

    mereka mendapatkan anugrah terbesar, yakni ruyatullah. Pada akhirnya, Abu

    Mansur menandaskan bahwa ruyah itu hanya melalui pengetahuan hati.

  • BAB III

    PENUTUP

    A. Kesimpulan.

    Beberapa poin penting yang dapat penulis simpulkan dari pembahasan

    sebelumnya yaitu :

    1. Pendapat setiap aliran dalam theology Islam berbeda-beda dengan dasar

    dalil yang berbeda-beda pula, setiap pendapat aliran dari theology Islam

    mengenai perbuatan Tuhan, perbuatan manusia, kalamullah serta melihat

    Tuhan di akhirat telah jelas dalam bab pembahasan yang telah di uraikan

    oleh penulis sebelumnya.

    2. Aliran-aliran ilmu kalam memiliki corak pemikiran dan penafsiran terhadap

    ayat mutasyabihat yang berbeda sehingga menghasilkan perbedaan

    pendapat dalam menetapkan perbuatan Tuhan dan perbuatan manusia dalam

    membedakan perbuatan baik dan jahat, sifat Tuhan dan melihat Tuhan di

    akhirat.

  • DAFTAR PUSTAKA

    Abbas, Siradjjuddin Kh, 2001, I`itiqad Ahlussunnah Wal Jama`ah. Jakarta :

    Pustaka Tarbiyah

    Abdul Majid, Mufid, Suyoto, Tobroni, Nurhakim, Fathur Rahman, Al-Islam 1,

    LSI Kemuhammadiyahan UMM, Malang, 1996. Hal. 81

    Harun Nasution Teologi Islam Aliran-aliran Sejarah Analisis Pebandingan UI

    Press, Jakarta: 1986

    Drs. H. Sahilun A Nasir. Pengantar Ilmu Kalam Raja grafindo Persada. Jakarta:

    1996:

    Drs. H. M. Yusran Asmuni, Ilmu Tauhid. Raja Grafindo Persada Jakarta: 1993.

    Dr. Yusuf Qardawi: "Tauhid dan Fenomena Kemusyrikan, (Haqiqat Al- Tauhid)

    terjemahan H. Abd. Rahim Haris, Pustaka Darul Hikmah, Bima, hal. 26 - 27).

    Mulyadi, Drs. 2005. Aqidah Akhlak Kurikulum 2004 Madrasah Aliyah Kelas 2.

    Semarang PT Karya Toha Putra.

    Rozak Abdul, PT, M.Ag dan Anwar Rosihon, Dr, M.Ag. 2009, Ilmu Kalam untuk

    UIN, STAIN, PTAIS. Bandung Pustaka Setia

    Zarkasyi, Imam, Usuludin. Trimurti, Ponorogo. 1994. Hal.24