peranan haji tubagus ismail sebagai...
TRANSCRIPT
PERANAN HAJI TUBAGUS ISMAIL
SEBAGAI PENGGERAK PERLAWANAN RAKYAT
BANTEN TERHADAP KOLONIAL BELANDA 1888
Diajukan Kepada Fakultas Adab dan Humaniora
Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Humaniora (S. Hum)
Oleh:
BURHANUDIN
NIM: 1113022000035
PROGRAM STUDI SEJARAH DAN PERADABAN ISLAM
FAKULTAS ADAB DAN HUMANIORA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2020 M
i
ii
PERANAN HAJI TUBAGUS ISMAIL SEBAGAI PENGGERAK
PERLAWANAN RAKYAT BANTEN TERHADAP KOLONIAL BELANDA 1888
SKRIPSI
Diajukan Kepada Fakultas Adab dan Humaniora
Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Humaniora (S. Hum)
Oleh:
Burhanudin
NIM: 1113022000035
Pembimbing
Prof. Amelia Fauzia, Ph.D.
NIP: 197103251999032004
JURUSAN SEJARAH DAN PERADABAN ISLAM
FAKULTAS ADAB DAN HUMANIORA
UNIFERSITAS ISLAM NEGRI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2020 M
iii
Lembar Pengesahan Ujian Skripsi
Skripsi berjudul Peranan Haji Tubagus Ismail sebagai Penggerak Perlawanan
Rakyat Banten terhadap Kolonial Belanda 1888 ini telah diujikan dalam sidang skripsi
Fakultas Adab dan Humaniora UIN Syarif Hidayatullah Jakarta pada 29 Mei 2020. Skripsi ini
telah diterima sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Humaniora (S.Hum.) pada
program Studi Sejarah dan Peraban Islam.
Jakarta, 29 Mei 2020
Sidang Skripsi
Ketua Merangkap Anggota,
Dr. Awalia Rahma, M.A.
NIP. 197106212001122001
Anggota,
Sekertaris Merangkap Anggota,
Hikmah Irfaniah, M.Hum.
NIP. 198410082019032010
Penguji I,
Dr. Abd. Wahid Hasyim, M.Ag.
NIP. 195608171986031006
Penguji II,
Drs. H. M. Ma’ruf Misbah, M.A.
NIP. 195912221991031003
Pembimbing,
Prof. Amelia Fauzia, Ph.D.
NIP. 197103251999032004
iv
HALAMAN PERSEMBAHAN
Skripsi ini saya persembahkan kepada:
Ayahanda Baweh
Ibunda Asiyah
v
ABSTRAK
Penulisan skripsi yang berjudul “Peranan Haji Tubagus Ismail sebagai Penggerak Perlawanan
Rakyat Banten terhadap Kolonial Belanda 1888” ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana
peran dari Haji Tubagus Ismail selaku pemuka agama dan keturunan bangsawan Banten dalam
peristiwa Pemberontakan Petani Banten. Untuk menjawab pertanyaan tersebut penulisan skripsi
ini menggunakan metode historis dengan merujuk ke sumber wawancara, observasi, dan sumber
tertulis lain. Teori yang digunakan dalam penelitian ini yaitu teori konflik sosial yang
diperkenalkan oleh Ralf Dahrendorf dan menggunakan pendekatan deskriptif analitis dan juga
pendekatan psikologis. Hasil dari penelitian skripsi ini menyimpulkan bahwa peranan Haji
Tubagus Ismail yang merupakan seorang ulama dan kerturunan bangsawan Banten dalam
peristiwa pemberontakan petani Banten sangatlah besar, mulai dari peran dalam strategi
pemberontakan, turun selaku pemimpin gerakan pemberontakan dan menghimpun masa yang
akan melakukan pemberontakan. Para petani Banten yang sudah merasakan keresahan ekonomi,
akhirnya benar-benar melakukan pergerakan setelah adanya fatwa jihad yang dikeluarkan oleh
para ulama. Ditambah dengan adanya sosok Haji Tubagus Ismail seorang ulama yang merupakan
keturunan bangsawan Banten membuatnya mendapatkan prestise atau kedudukan yang sangat
dihormati oleh masyarakat. Hal inilah yang kemudian membuat semangat jihad para petani
semakin kuat.
Kata Kunci: Haji Tubagus Ismail, Pemberontakan Petani, Banten.
vi
KATA PENGANTAR
Bismillahirrahmaanirrahiim
Alhamdulillah berkat Rahmat dan Karunia Allah, skripsi yang berjudul
“Peran Haji Tubagus Ismail sebagai Penggerak Perlawanan Rakyat Banten
terhadap Kolonial Belanda 1888” dapat diselesaikan dalam rangka melengkapi
tugas dan memenuhi syarat untuk menyelesaikan program Strata I (SI) pada Program
Studi Sejarah Peradaban Islam Fakultas Adab dan Humaniora Universitas Islam
Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Shalawat serta salam penulis haturkan kepada
Sang Revolusioner sejati, Nabi Muhammad SAW, keluarga serta para sahabat yang
telah membawa perubahan dengan menghadirkan peradaban Islam rahmatalilalamin.
Penelitian ini penting bagi penulis untuk dilakukan, sebagai wujud rasa
tanggung jawab akademik untuk mengembangkan kajian ilmu-ilmu Islam sekaligus
sebagai rasa tanggung jawab sosial dan pengabdian kepada masyarakat.
Jakarta, 29 April 2020
Burhanudin
NIM: 1113022000035
vii
UCAPAN TERIMA KASIH
Penulis sangat menyadari, dalam menyelesaikan penelitian ini sudah barang tentu
penulis banyak mendapat bantuan dari berbagai pihak. Untuk itu kepada mereka penulis
sampaikan banyak terima kasih yang sebesar-besarnya dengan iringan do’a semoga mendapat
balasan dari Allah dan dicatat sebagai amal sholeh, Amin.
Namun secara khusus, penulis ingin menyampaikan terima kasih kepada:
1. Prof. Dr. Hj. Amany Burhanuddin Umar Lubis, Lc. M.A. selaku
Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Drs. Saiful Umam M.A. Ph.D. selaku Dekan Fakultas Adab dan
Humaniora.
3. Dr. Awalia Rahma M.A. selaku Ketua Jurusan Sejarah dan Peradaban
Islam Fakultas Adab dan Humaniora.
4. Prof. Amelia Fauzia Ph.D. selaku pembimbing, sebab ditengah-tengah
kesibukannya telah meluangkan waktu untuk membimbing, mengarahkan dan
mendorong penulisan skripsi ini.
5. Kepada jajaran dosen Fakultas Adab dan Huamniora UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta, penulis juga menyampaikan ucapan terima kasih karena telah
memberikan kontribusi ilmiahnya dan mengantarkan penulis pada jenjang pendidikan
Strata I (SI) hingga selesai.
6. Kepada pimpinan dan segenap karyawan perpustakaan UIN Syarif
Hidayatullah yang telah memberikan bantuan dan kesempatan memanfaatkan buku-
buku dan fasilitas lain yang diperlukan dalam menyelesaikan penulisan skripsi ini.
7. Kepada orang tua, Ayahanda Baweh dan Ibunda Asiyah yang selalu
memberikan bimbingan, motivasi, dan do’a semenjak penulis masih kecil agar kelak
menjadi orang yang bermanfaat.
8. Kepada teman-teman satu kelas, khususnya kepada M Fikri Fauzan,
Mulyadi, Hendi Nurahman, Atiqullah, dan Lukman Hadi, serta teman seperantauan
Amei Riandi Oktarianto yang mensuport penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.
viii
9. Kepada teman-teman PAKDE CREW, Imam Fakhri, Arif Maulana,
Andi Munawar, Adhi Satoto, Heri Openk, penulis berterima kasih atas bantuan dan
dorongannya kepada penulis demi menyelesaikan penulisan skripsi ini.
10. Serta terkhusus kepada Hajar Nurmuslimah selaku orang yang selalu
mendorong dan memberikan semangat tiada henti, membantu dalam hal pencarian
data kepustakaan dan wawancara. Penulis sangat berterima kasih yang sebesar-
besarnya.
Untuk itu, kepada semuanya penulis hanya bisa mendoakan semoga amal
tersebut dicatat sebagai amal sholeh dan dibalas dengan balasan yang terbaik oleh
Allah.
ix
DAFTAR ISI
SURAT PERNYATAAN ......................................................................................... i
LEMBAR PERSETUJUAN .................................................................................... ii
LEMBAR PENGESAHAN UJIAN SKRIPSI ....................................................... iii
HALAMAN PERSEMBAHAN .............................................................................. iv
ABSTRAK ................................................................................................................ v
KATA PENGANTAR .............................................................................................. vi
UCAPAN TERIMA KASIH ................................................................................... vii
DAFTAR ISI ............................................................................................................ ix
BAB I: PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ................................................................................ 1
B. Batasan dan Rumusan Masalah ..................................................................... 5
C. Tujuan Penelitian dan Manfaat Penelitian ..................................................... 6
D. Tinjauan Pustaka ............................................................................................ 7
E. Kerangka Teori .............................................................................................. 8
F. Metode Penelitian .......................................................................................... 9
G. Sistematika Penulisan .................................................................................... 12
BAB II: KEADAAN GEOGRAFIS, SOSIAL EKONOMI, DAN KEAGAMAAN
BANTEN TAHUN 1888
A. Kondisi Geografis Banten .............................................................................. 14
B. Kondisi Sosial dan Ekonomi Masyarakat Banten .......................................... 16
C. Keagamaan Masyarakat Banten ..................................................................... 22
BAB III: BIOGRAFI HAJI TUBAGUS ISMAIL
A. Silsilah Haji Tubagus Ismail .......................................................................... 27
B. Riwayat Pendidikan Haji Tubagus Ismail ...................................................... 29
C. Peran Keagamaan Haji Tubagus Ismail ......................................................... 31
BAB IV: PERAN HAJI TUBAGUS ISMAIL DAN PERLAWANAN RAKYAT
BANTEN
A. Peran Haji Tubagus Ismail dalam Perencanaan Pemberontakan ................... 35
x
B. Haji Tubagus Ismail sebagai Pemimpin Pemberontakan............................... 39
C. Perjuangan akhir Haji Tubagus Ismail ........................................................... 44
BAB V: PENUTUP
A. Kesimpulan ................................................................................................... 49
B. Saran-saran .................................................................................................... 50
DAFTAR PUSTAKA .............................................................................................. 51
TRANSKIP WAWANCARA .................................................................................. 55
LAMPIRAN-LAMPIRAN ..................................................................................... 58
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Banten merupakan satu daerah yang sangat kental dengan pengaruh
ulama dan juga teradisi keagamaannya. Hal ini sangat menarik dengan
kondisi Indonesia termasuk didalamnya Banten, yang mengalami masa
penjajahan. Di mana tokoh keagamaan memainkan peranan yang sangat
penting dalam menanggapi kekuasaan penjajah Barat yang dianggap
sebagai penguasa kafir. Ajaran dan doktrin keagamaan menyebar luas di
kalangan masyarakat bawah sebagai bukti respon dari pemuka agama yang
tidak rela dijajah oleh bangsa kafir dan tentu saja sangat marah melihat
rakyat pribumi yang menderita.
Hingga pada akhirnya Banten mengukir sejarah dengan meletusnya
pemberontakan petani yang dimotori oleh pemimpin agama. Tragedi
tersebut ialah pemberontakan petani Banten yang terjadi pada tahun 1888.
Pemberontakan tersebut dipandang sebagai gerakan protes terhadap
penjajahan Barat dan menggunakan agama sebagai simbol perlawanan.
Selama beberapa dasawarsa sebagian Jawa diramaikan oleh
kebangkitan agama, yang menunjukan peningkatan hebat di dalam
praktek-praktek keagamaan seperti shalat, naik haji, pemberian pendidikan
agama kepada para pemuda, pendirian cabang tarekat, dan penyebarluasan
khutbah. Pada akhir tahun 1850-an Karel Frederik Holle (penasehat
honorer pemerintah kolonial) melaporkan, bahwa para bupati harus
mengeluarkan perintah supaya kewajiban beragama ditaati lebih baik lagi.1
1Karel A. Steenbrink, Beberapa Aspek Tentang Islam Di Indonesia Abad Ke-19, (Jakarta: Bulan
Bintang, 1984) h. 52
2
Pernyataan dari Karel Federik Holle yang merupakan seorang penasehat
honorer pemerintah kolonial tersebut jelas menunjukan bahwa pemuka
agama sangat disegani oleh masyarakat termasuk juga pejabat
pemerintahan yang mendukung dari ajaran-ajaran tarekat yang dijalankan
oleh masyarakat.
Kondisi perekonomian masyarakat Banten yang mengandalkan
sektor pertanian mulai merasa dirugikan akibat kedatangan kekuasaan
VOC. Setelah jatuhnya Kesultanan Banten yang bermula sekitar tahun
1682 perang terbuka antara Sultan Ageng Tirtayasa melawan Belanda
yang bekerja sama dengan anaknya, Sultan Haji berlangsung sengit. Pada
tahun 1683 Sultan Ageng Tirtayasa menyerah kepada Belanda dan dibawa
ke Batavia. Setelah menyerahnya Sultan Ageng Tirtayasa, Kesultanan
Banten tidak lagi mampu mengembangkan dirinya sebagai sebuah
kesultanan, Banten lebih banyak mengikuti kemauan VOC Belanda.2
Mulai dari situlah masyarakat wilayah Banten dikuasai oleh pemerintahan
kolonial Belanda yang nantinya menimbulkan masalah sosial dan
ekonomi.
Pada tahun 1808, Daendles menghapuskan tanah-tanah milik sultan
serta kerja wajib yang melekat pada tahan-tanah itu, lalu memungut
seperlima bagian dari hasil panen sebagai pajak tanah untuk seluruh daerah
dataran rendah di Banten. Beberapa tahun kemudian Raffles menjadikan
sewa tanah sebagai satu-satunya pajak tanah.3 Mulai dari situ munculah
konflik mengenai hak tanah, yang merugikan bagi masyarakat petani.
Akhir abad ke-19 merupakan satu periode revivalisme agama, dan
tentu saja menarik untuk kita menyelidiki sejauh mana hal itu mendorong
2 Ricklefs, Sejarah Indonesia Modern cetakan III ,(Jakarta: Serambi, 2007), h. 173 3 Sartono Kartodirjo, Pemberontakan Petani Banten 1888. (Depok: Komunitas Bambu, 2015)
h. 37
3
pemberontakan di Banten. Kondisi yang terdapat dalam lingkungan sosio-
kultural di Banten pada waktu itu tidak diragukan lagi menjadikan tanah
yang subur bagi timbulnya revivalisme agama. Rakyat di sana bukan
hanya menjadi penganut agama Islam yang mendarah daging, runtuhnya
tatanan tradisional dan gejala yang menyertainya mendorong peningkatan
kegiatan di bidang agama. Proses ini sangat membantu percepatan
persiapan pemberontakan. Dalam hal ini perlu dikemukakan bahwa
gerakan protes keagamaan adalah produk kekuatan sosial yang menunjang
sikap memberontak.4
Pergerakan-pergerakan yang dilakukan oleh masyarakat Banten
menunjukan bahwa tarekat atau perkumpulan tertutup yang merupakan
sarana untuk menyebarkan informasi-informasi rahasia dan komunikasi
antara anggota-anggota komplotan telah memainkan peranan yang sangat
penting. Informasi disebarkan melalui tarekat secara rahasia sehingga
pejabat-pejabat pemerintahan tidak bisa menduga sedikitpun apa yang
sedang terjadi.
Pertemuan-pertemuan antara gerakan tarekat mempersatukan para
kiai sebagai pemimpin komplotan di daerah masing-masing. Dengan
menggunakan agama sebagai kedok, mereka bertukar pengalaman dan
membicarakan strategi kampanye untuk melancarkan rencana
pemberontakan.5
Dengan keadaan perekonomian yang sangat sulit di bawah
kekuasaan Belanda membuat rakyat Banten sangat menderita, puncaknya
adalah ketika doktrin-doktrin kegamaan yang dilakukan oleh pemuka
agama mengenai jihad melawan orang-orang kafir. Sebagai contoh yaitu
4 Sartono Kartodirjo, Pemberontakan Petani Banten 1888. (Depok: Komunitas Bambu, 2015)
h. 155 5 Sartono Kartodirjo,Pemberontakan Petani Banten 1888, h. 193
4
Haji Abdul Karim dan Haji Tubagus Ismail, keduanya telah menuntut ilmu
di Haramain lalu kembali ke tanah kelahirannya dan menyampaikan apa
yang telah dipelajarinya.
Ketika penjajahan Belanda semakin meluas, maka muncullah
gerakan protes petani dipimpin ulama lokal untuk melawan Belanda. Para
petani dan ulama lokal menganggap perang itu sebagai perang suci. Faktor
pendorong terjadinya gerakan-gerakan perlawanan tersebut antara lain
adalah dengan diberlakukannya sistem tanam paksa oleh pemerintah
kolonial. Selain itu juga pajak yang tinggi melahirkan penderitaan bagi
para petani. Petani dipaksa untuk menanam lahan sawahnya dan tanah
perkebunan dengan tanaman yang diperlukan oleh pasar dunia, seperti
kopi, tebu, tembakau, dan nila. Karena sudah merasa tidak tahan dengan
tekanan pemerintah kolonial, meletuslah perlawanan petani yang dipimpin
oleh Haji Wasid, seorang pemimpin tarekat Qadiriah wa Naqsabandiah.6
Pembahasan mengenai kebangkitan beragama di Banten, tentunya
tidak lepas dari peranan para pemuka agama yang memainkan peran yang
sangat penting. Di sini penulis mengangkat tokoh Haji Tubagus Ismail,
beliau adalah salah seorang pemuka agama yang sangat dihormati
masyarakat didaerahnya.
Alasan mengapa penulis mengangkat tokoh Haji Tubagus Ismail
adalah karena ia seorang pemimpin keagamaan yang belum banyak
dibahas secara khusus, padahal perannya sangat besar baik dalam
merencanakan maupun disaat memimpin langsung perlawanan masyarakat
Banten terhadap penjajah. Selain itu Haji Tubagus Ismail juga adalah salah
satu murid Haji Abdul Karim yang menjadi tokoh penting dan berperan
luas pada waktu itu.
6 Ahmad Mansyur Suryanegara, Api Sejarah I, (Bandung: Salamadani, 2009) h. 212
5
Haji Tubagus Ismail juga termasuk kaum bangsawan Banten yang
telah kehilangan semua pengaruh politiknya, tetapi masih mempunyai
prestise sosial di kalangan penduduk. Satu faktor lagi mengapa
kepemimpinannya diakui oleh orang-orang Banten adalah karena ia
merupakan cucu dari Tubagus Urip.
Haji Tubagus Ismail tidak mencukur rambutnya ketika pergi haji
layaknya orang haji kebanyakan, dalam jamuan-jamuan ia hampir tidak
mau makan apa-apa.7 Hasil dari usaha keras para tokoh keagamaan
termasuk Haji Tubagus Ismail tidak sia-sia. Haji Tubagus Ismail bersama
para pemuka agama membuat perencanaan gerakan, dan Haji Tubagus
Ismail sendiri mendapat tugas untuk mengumumkan rencana
pemberontakan kepada kaum sentana.8 Semua kiyai tidak hanya diberi
tahu tentang tanggal dimulainya pemberontakan, mereka juga dimintai
pendapatnya.9
B. Batasan dan Rumusan Masalah
1. Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan di atas, maka
penulis akan mengkaji mengenai eksistensi ulama Banten dalam
menghimpun masa dan memimpin jalannya pemberontakan. Seperti yang
kita ketahui dimana pemberontakan petani Banten merupakan satu
peristiwa gerakan sosial yang dimotori oleh peran ulama. Tetapi dalam
penulisan ini penulis lebih memfokuskan ke satu ulama yaitu Haji Tubagus
Ismail dalam peristiwa tersebut.
7 Sartono Kartodirjo, Pemberontakan Petani Banten 1888. (Depok: Komunitas Bambu, 2015)
h. 200 8Kaum Sentana adalah kaum-kaum yang dianggap bangsawan. 9 Sartono Kartodirjo, Pemberontakan Petani Banten 1888. h. 218
6
2. Pembatasan Masalah
Mengingat luasnya masalah yang dikaji sebagaimana dikemukakan
di atas, maka penulis membatasi permasalahan pada peran Haji Tubagus
Ismail terhadap pemberontakan petani Banten tahun 1888.
1. Perumusan Masalah
Adapun rumusan masalahnya adalah bagaimana peranan Haji
Tubagus Ismail sebagai penggerak perlawanan rakyat Banten terhadap
Kolonial Belanda tahun 1888, sedangkan sub-pertanyaannya adalah:
a. Bagaimana biografi Haji Tubagus Ismail dari awal
perjalanan hidup hingga meninggalnya.
b. Bagaimana peran Haji Tubagus Ismail dari awal
perencanaan pemberontakan hingga terjadinya pemberontakan masyarakat
Banten terhadap kolonial Belanda tahun 1888.
c. Bagaimana pengaruh Haji Tubagus Ismail terhadap
pemberontakan petani Banten tahun 1888.
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1. Adapun tujuan penelitian ini antara lain yaitu:
a. Ingin menjelaskan latar belakang sosial, ekonomi, dan
keagamaan masyarakat Banten tahun 1888.
b. Ingin menjelaskan biografi Haji Tubagus Ismail dari awal
perjalanan hidup hingga meninggalnya.
c. Ingin menjelaskan peran Haji Tubagus Ismail dari awal
perencanaan pemberontakan hingga terjadinya pemberontakan masyarakat
Banten terhadap kolonial Belanda tahun 1888.
2. Adapun manfaat dari penulisan ini adalah:
7
a. Manfaat edukasi, yaitu dapat memberikan pengetahuan
kepada masyarakat mengenai peranan ulama khususnya Haji Tubagus
Ismail dalam menghimpun kekuatan Islam pada masa pemerintahan
kolonial Belanda.
b. Manfaat Inspiratif, dapat menjadi inspirasi atau motivasi
bagi para akademisi Sejarah Peradaban Islam untuk menggali lebih dalam
mengenai sejarah pemuka agama dan perkumpulan tarekat sebagai sarana
penggerak perlawanan terhadap kaum penjajah.
c. Memberikan sumbangan keilmuan berupa karya tulis
sejarah atau Historiografi bagi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan
Fakultas Adab dan Humaniora khususnya jurusan Sejarah dan Kebudayaan
Islam terkait dengan penulisan peranan tokoh keagamaan di Banten masa
penjajahan kolonial Belanda.
D. Tinjauan Pustaka
Penulis banyak menemukan literature yang membahas mengenai
pemberontakan petani Banten, dimana menyebutkan peran sejumlah ulama
tarekat terutama Haji Tubagus Ismail dalam peristiwa tersebut. Diantara
sumber-sumber yang di temukan penulis antara lain:
1. Sartono Kartodirjo, Pemberontakan Petani Banten 1888,
terbitan Komunitas Bambu, Depok tahun 2015. Di dalam buku ini
membahas secara lengkap mulai dari latar belakang sosial-ekonomi
masyarakat Banten hingga kelanjutan pemberontakan masyarakat Banten.
Selain itu juga buku ini membahas masalah utama penulis tentang peranan
Haji Tubagus Ismail dalam pemberontakan petani Banten
2. C. Snouck Hurgronje, Mekka in the Latter Part of the 19th
Century, terbitan Brill, Leiden, Boston pada tahun 2007. Yang mana buku
tersebut berisi tentang kehidupan Snouck Hurgronje di Mekah yang
8
melihat kehidupan sosial keagamaan ditempat yang menjadi pusat ilmu
keislaman. Buku tersebut juga memuat jaringan ulama nusantara yang ada
di Mekah.
3. Titik Pudjiastuti, Perang, Dagang, Persahabatan, Surat-
surat Sultan Banten, terbitan Yayasan Obor Indonesia, Jakarta Tahun
2007. Buku tersebut memuat tentang surat-surat arsip Kesultanan Banten
yang bernuansa politik, perdagangan, dan persahabatan baik dengan
kerajaan di Nusantara maupun kerajaan Inggris, Denmark, Kompeni
Belanda, dan pedang Eropa.
4. Mufti Ali, Biografi Ulama Banten Seri Ke 1. Buku tersebut
penulis temukan di Perpustakaan dan Kearsipan daerah Banten. Buku ini
berisi tentang biografi ulama-ulama Banten mulai dari ulama nasional
yaitu tokoh pejuang, mulai dari Syaikh Nawawi, Haji Abdul Karim
termasuk didalamnya Haji Tubagus Ismail yang merupakan tokoh utama
dalam pembahasan penulis.
E. Kerangka Teori
Sesuai dengan judul di atas yaitu: “Peranan Haji Tubagus Ismail
sebagai Penggerak Perlawanan Rakyat Banten terhadap Kolonial
Belanda Tahun 1888” Penulisan ini mencoba menggunakan Teori
Konflik Sosial untuk menjawab pertanyaan dalam penelitian ini.
1. Teori Konflik Sosial.
Adapun kerangka teori yang digunakan penulis untuk menjelaskan
Skripsi ini adalah teori konflik sosial. Teori Konflik Sosial menurut Ralf
Dahrendorf seorang sosiolog Jerman, adalah teori yang membahas
mengenai konflik karena adanya sebab dan akibat. Konflik adalah
fenomena sosial yang umum terjadi di masyarakat. Konflik sosial terjadi
tidak hanya karena kepentingan antar individu atau antar kelompok sosial
9
yang berbeda, tetapi juga karena banyaknya kepentingan yang
bertentangan. Di dalam penelitian ini konflik yang terjadi yaitu antara
pemerintahan kolonial Belanda dengan kaum petani Banten yang dimotori
oleh pemimpin keagamaan.
Berhubungan dengan apa yang dikaji oleh penulis, terjadinya
konflik di tengah masyarakat Banten lagi-lagi disebabkan oleh keadaan
sosial ekonomi yang semakin menghimpit masyarakat pribumi. Adanya
peraturan-peraturan yang dikeluarkan oleh pemerintah Belanda dibidang
pertanian semakin menyudutkan rakyat. Selain itu juga semangat jihad
keagamaan yang ditebarkan oleh tokoh-tokoh pemuka agama semakin
memperkuat keyakinan rakyat, khususnya petani untuk melakukan
perlawanan.
Sama halnya dengan kasus-kasus yang terjadi di luar Indonesia,
seperti contohnya revolusi politik dan revolusi industri yang melanda
Eropa terutama diawal abad ke-19. Kemunculan kelompok-kelompok
pemilik modal yang menguasai sistem produksi telah menyebabkan
ketertindasan kalangan yang tidak memiliki modal kecuali tenaga.10
F. Metode Penelitian
1. Pendekatan
Dalam penelitian ini penulis menggunakan beberapa pendekatan,
diantaranya adalah yang digunakan oleh penulis dalam menyusun karya
tulis ini adalah metode penelitian sejarah dengan bersifat deskriptif analitis
10 Novri Susan, Sosiologi Konflik Teori-teori dan Analisis Edisi Ketiga. (Jakarta: Kencana,
2009), h. 19
10
yaitu dengan melalui proses mengkaji dan menganalisis buku-buku
peristiwa pemberontakan petani Banten.11
Maka di sini penulis akan menggambarkan bagaimana peran Haji
Tubagus Ismail mulai dari perencanaan hingga memimpin masyarakat
petani Banten untuk bergerak melawan kolonial Belanda pada tahun 1888.
Berdasarkan sistematika dalam metode penelitian sejarah ada empat tahap
yang harus dilalui, yakni Heuristik, Verifikasi, Interpretasi, dan
Historiografi.12
2. Jenis Data
a. Sumber Primer
Sumber data primer yang digunakan terdapat dua kategori, yaitu,
Pertama, buku cetakan lembaga Ki Wasid Center yang berjudul Ki Wasid
Center: Memory dan History. Kedua, wawancara pengamatan langsung di
lapangan, yaitu wawancara terhadap Tubagus Abdul Aziz dan Tubagus
Munir selaku keturunan dari Haji Tubagus Ismail di Kampung Gulacir
Desa Sukabares, tepatnya di Masjid Kampung Gulacir (masjid
peninggalan Haji Tubagus Ismail). Jadi, 1) partisipan dan wawancara serta
buku-buku. 2) karya yang membahas mengenai peranan ulama Banten
terhadap pemberontakan 1888 dan hasil riset, 3) data tentang Haji Tubagus
Ismail bersumber dari buku-buku, artikel, wawancara, dan perpustakaan.
b. Sumber Sekunder
11 Louis Gottschalk, Mengerti Sejarah. Penerjemah Nugroho Notosusanto (Jakarta: UI Press,
2006), h 39. 12 Dudung Abdurrahman, Metode Penelitian Sejarah, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999), h:
54-55.
11
Adapun sumber data sekunder antara lain: karya tulis yang
memiliki relevansi dengan sumber data primer dari berbagai laporan
penelitian, jurnal, buku, media cetak, dan elektronik, dan hasil penelitian.
3. Langkah-langkah Penelitian.
Heuristik merupakan tahap pertama, yakni kegiatan pengumpulan
sumber. Metode pengumpulan data yang dilakukan oleh penulis adalah
dengan penelitian kepustakaan. Adapun tehnik kepustakaan ini dilakukan
dengan mengumpulkan data dari referensi-referensi. Tehnik semacam ini
dimaksudkan untuk memperoleh konsep atau teori serta materi-materi
yang dapat dipertanggung jawabkan kebenarannya. Sumber data yang
diperoleh penulis berupa data sekunder melalui studi kepustakaan berupa
buku-buku, jurnal, artikel, dan tulisan-tulisan lainnya yang relevan dengan
permasalahan penelitian. Penelitian ini melakukan kunjungan ke
perpustakaan-perpustakaan, seperti Perpustakaan Universitas Islam Negri
Syarif Hidayatullah Jakarta, Perpustakaan Nasional, dan juga Perpustakaan
dan Kearsipan Daerah Banten. Selain itu juga penulis melakukan
wawancara tokoh masyarakat yang merupakan keturunan dari Haji
Tubagus Ismail yaitu Tubagus Abdul Aziz dan Tubagus Munir di
Kampung Gulacir Desa Sukabares. Penulis menggunakan buku yang di
dapat dari Perpustakaan Utama UIN Syarif Hidayatullah dan juga
Perpustakaan dan Kearsipan Daerah Banten. Setelah data-data tersebut
terkumpul, kemudian penulis berusaha membaca, mencatat sumber-
sumber tersebut.
Kritik sumber merupakan tahap yang kedua, setelah melakukan
pengumpulan data. Dalam tahap ini penulis menganalisis dan mengkritisi
sumber-sumber yang didapat serta melakukan perbandingan terhadap
sumber-sumber tersebut agar mendapat sumber yang valid dan relevan
dengan tema yang dikaji penulis.
12
Setelah sumber-sumber yang didapat dianalisis dan dikritisi, tahap
selanjutnya yang dilakukan ialah penulis mencoba menafsirkan terhadap
sumber yang telah dikritisi dan melihat serta menafsirkan fakta-fakta yang
didapat oleh penulis, sehingga mendapat pemecahan atas
permasalahannya.
Tahap Historiografi adalah tahap terakhir dalam metodologi atau
prosedur penelitian historis. Historiografi merupakan karya sejarah dari
hasil penelitian, dipaparkan dengan bahasa ilmiah, dengan seni yang khas
menjelaskan apa yang ditemukan beserta argumennya secara sistematis.
Dalam penelitian ini, historiografi diwujudkan dengan bentuk karya
ilmiah berupa skripsi yang berjudul Peran Tubagus Ismail sebagai
Penggerak Perlawanan Rakyat Banten terhadap Kolonial Belanda Tahun
1888.
G. Sistematika Penulisan
Secara garis besar pembahasan dalam penelitian ini mempunyai
bagian-bagian yang saling berkaitan satu dengan yang lainnya. Bagian-
bagian tersebut terbagi menjadi tiga, yaitu pendahuluan, isi, dan
kesimpulan. Di dalam BAB juga dijelaskan beberapa sub-bab yang
jumlahnya tidak mengikat tetapi tetap di dalam koridor penguraian hasil
penelitian.13
BAB I: Pendahuluan yang berisi tentang Latar Belakang,
Pokok Masalah, Batasan dan Perumusan Masalah, Tujuan dan Manfaat
Penelitian, Tinjauan Pustaka, Kerangka Teori, Metode Penelitian dan
Sistematika Penulisan.
13 Dudung Abdurahman, Metode Penelitian Sejarah (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999) h.
69.
13
BAB II: Berisi tentang Kondisi Umum Masyarakat Banten
yang meliputi Geografis dan Struktur Sosial Masyarakat Banten, dan
Eksistensi Praktek Keagamaan di Banten adad ke-19.
BAB III: Berisi tentang riwayat hidup Haji Tubagus Ismail
serta perjalanan hidupnya hingga bisa menjadi salah satu tokoh agama
yang disegani oleh masyarakat Banten.
BAB IV: Berisi tentang peran dan pengaruh Haji Tubagus
Ismail mulai dari awal perencanaan pemberontakan hingga beliau menjadi
seorang pemimpin pemberontakaan itu sendiri. Dijelaskan pula bagaimana
akhir dari perjuangan masyarakat Banten yang menentang kekuasaan
Belanda pada waktu itu.
BAB V: Bab yang paling akhir ini berisi Kesimpulan dan
Saran dari penjelasan analisis yang telah dijelaskan pada bab-bab
sebelumnya. Jelasnya dengan penelitian yang telah dilakukan dan
didukung dengan fakta-fakta yang ditemukan oleh penulis. Serta harapan
dari penulis agar kajian ini dapat diteruskan oleh generasi selanjutnya guna
memperkaya keilmuan dibidang Sejarah Peradaban Islam.
14
BAB II
KEADAAN GEOGRAFIS, SOSIAL DAN EKONOMI,
KEAGAMAAN MASYARAKAT BANTEN TAHUN 1888
A. Kondisi Geografis Banten
Banten merupakan sebuah wilayah yang terletak di bagian paling
barat pulau Jawa. Banten sendiri memiliki luas wilayah sekitar 114 mil
persegi. Menurut angka statistik resmi, penduduk Banten pada tahun 1892
adalah 568.935 jiwa. Dengan wilayah yang paling padat penduduknya
adalah distrik Cilegon.14
Wilayah Banten sendiri menunjukkan ciri-ciri umum yang menjadi
karakter sebuah wilayah maritim. Ciri-ciri tersebut antara lain: adanya
persaingan dagang internasional yang cukup ramai, sistem hukum yang
berlaku baik, sistem kerajaan yang kuat, ilmu pengetahuan berkembang,
kedatangan para pedagang dari segala penjuru dunia selain itu juga para
ulama.15 Banten juga menjadi sangat menarik jika dilihat dari unsur
geografisnya, karena selain Banten yang menunjukkan ciri-ciri sebagai
wilayah maritim, Banten juga menunjukkan ciri-ciri umum sebagai
wilayah yang tidak hanya bertumpu pada kegiatan perniagaan saja, karena
seperti yang telah kita ketahui, Banten juga adalah wilayah yang
mempunyai ciri-ciri sebagai wilayah agraris. Pertanian menjadi sebuah
profesi yang banyak digeluti oleh masyarakat Banten.
Masuk lebih dalam mengenai geografis wilayah Banten, Banten
sendiri dibagi kedalam dua wilayah bagian, yaitu Banten Utara dan Banten
14Sartono Kartodirjo, Pemberontakan Petani Banten 1888. (Depok: Komunitas Bambu, 2015),
h. 31 15 Nina Lubis, Banten dalam Pergumulan Sejarah Sultan, Ulama, Jawara, (Jakarta: LP3S,
2004) h. xxiv
15
Selatan. Banten Utara terdiri dari daratan rendah subur yang merupakan
persawahan dan perkebunan serta tanah partikelir, dan sudah tentu tanah
yang sudah diolah itu berpenduduk padat. Dibagian Selatan terdiri dari
pegunungan dan hutan. Daerah ini tidak diolah dan penduduknya jarang.
Kedua daerah tersebut didiami oleh beberapa kelompok etnik.
Orang Jawa mendiami Banten bagian utara, Sunda di bagian Selatan, dan
Baduy di pegunungan Selatan. Orang-orang pendatang dari Jawa di Banten
bagian Utara banyak bercampur dengan pendatang lainnya seperti orang-
orang yang berasal dari Melayu, Bugis, Lampung, dan Sunda.
Keberagaman etnik ini yang kemudian menjadikan Banten bagian Utara
ini memiliki kebudayaan yang beragam pula, dan tentunya watak yang
berbeda-beda. Menurut orang Belanda penduduk Banten sendiri
merupakan orang-orang yang fanatik karena pengaruh Islam yang
demikian sangat kuat dan daerah itu hampir tidak ada peninggalan
Hindu.16
Perbedaan karakter antara Banten Utara dan Banten Selatan selain
karena alasan di atas, antara lain disebabkan oleh perbedaan faktor
alamnya dan perbedaan-perbedaan yang bersifat kultur sosial atau historis.
Sebagian besar lingkungan alam Banten Selatan, dari batas sebelah barat
hingga ke utara merupakan pegunungan yang nantinya terhubung hingga
puncak Gunung Gede di wilayah Jawa Barat. Sementara pada batas
wilayah selatan-barat hingga selatan-timur terbentang bukit-bukit yang
kemudian bersambung dengan dataran-dataran rendah yang terdapat
hamparan persawahan tradisional (non-irigasi) dengan struktur tanah
kering hingga mencapai batas laut. Model persawahan yang terdapat di
dataran Banten Selatan ini yang kemudian dikenal dengan Tipar atau
16 Suhaedi, Perubahan Sosial di Banten: Kajian terhadap Mobilitas Kiyai dan Jawara, (Serang: Bantenologi, 2006) h. 18-19
16
Huma.17 Lebih jelasnya tipar merupakan bertanam padi di tanah yang
kering.
Berbeda dengan dataran rendah di daerah selatan, pada dataran
rendah di bagian utara Banten terdapat daerah persawahan yang sudah
menggunakan sistem irigasi. Menurut tradisi setempat, sawah-sawah itu di
masa lalu telah dibuka di dataran bagian utara oleh orang-orang Jawa yang
pindah ke sana dan oleh karena itu tanah-tanah Sultan banyak terdapat di
sana. Seiring berjalannya waktu hingga saat ini Banten Utara ini juga telah
menjadi pusat konsentrasi beberapa industri, terutama distrik Cilegon,
yang berakibat adanya pemusatan penduduk di wilayah tersebut.18
B. Kondisi Sosial dan Ekonomi Masyarakat Banten
1. Kondisi Sosial
Gejala yang sudah dipastikan ada dalam suatu masyarakat adalah
diferensiasi (keberagaman) sosial. Gejala ini muncul karena adanya
otonomisasi individu-individu dalam masyarakat, sedangkan setiap
individu sendiri mempunyai kemampuan, keinginan, dan kemauan yang
berbeda-beda disamping ciri-ciri fisik yang juga berbeda. Karena
diferensiasi inilah kemudian muncul interaksi sosial dalam rangka
memenuhi kebutuhan-kebutuhan manusia yang berbeda-beda tersebut,
baik sebagai individu maupun sebagai kelompok.
Interaksi individu-individu yang terorganisasi sebagai suatu sistem
interaksi, adalah suatu unit dalam sistem sosial. Diantara interaksi
individu-individu tersebut menunjukkan adanya peran individu-individu
yang berbeda dalam berinteraksi yang pada gilirannya membentuk
17 Sartono Kartodirjo, Pemberontakan Petani Banten 1888. (Depok: Komunitas Bambu, 2015)
h. 33 18 Suhaedi, Perubahan Sosial di Banten: Kajian terhadap Mobilitas Kiyai dan Jawara, (Serang:
Bantenologi, 2006) h. 21
17
organisasi sosial. Sebagai perwujudan perorganisasian itu, dalam setiap
masyarakat secara wajar timbullah dua kelompok yang berbeda peranan
sosialnya, yaitu yang memimpin sebagai golongan kecil yang terpilih, dan
kelompok yang dipimpin ialah orang-orang kebanyakan.19
Dalam struktur negara tradisional, kekuasaan sultan mempunyai
prerogatif, baik dalam segi agama maupun dalam urusan pemerintahan
atau politik.20 Di Banten kelas sosial terbagi menjadi dua golongan yang
meliputi: golongan pertama adalah sultan dan keluarganya. Sultan Banten
dan keluarganya merupakan kelompok masyarakat yang menempati kelas
sosial tertinggi. Sebagai kelompok sosial masyarakat puncak, raja-raja
Banten mendapat gelar sultan. Selanjutnya ada golongan elit, mereka
merupakan masyarakat yang menempati lapisan menengah. Di Banten
sendiri mereka lebih dikenal dengan sebutan priyayi yang ditujukan untuk
menyebut kelompok pegawai Pangreh Praja yang memiliki kriteria
tertentu, termasuk kebangsawanan. Termasuk kedalam golongan elit ini
adalah golongan bangsawan (biasanya mendapat gelar Tubagus untuk laki-
laki dan Ratu untuk perempuan) dan tokoh keagamaan (biasanya mendapat
gelar Kyai).
Golongan elit yang jumlahnya terbatas ini menduduki setatus sosial
yang tinggi dibandingkan dengan golongan non-elit. Golongan elit ini
membedakan dirinya dari golongan non-elit bukan karena kehidupan
ekonominya saja, melainkan pula berkaitan dengan kehidupan sosial
budayanya. Misalnya, gaya berpakaian, cara bahasa, gelar-gelar yang
dimiliki, maupun tempat tinggal yang lebih mewah daripada golongan
nonelit.
19Sartono Kartodirjo, Pemberontakan Petani Banten 1888. (Depok: Komunitas Bambu, 2015),
h. 49 20 Sartono Kartodirjo, Pemberontakan Petani Banten 1888, h 57
18
Dua golongan sosial selanjutnya adalah golongan nonelit dan
budak. Golongan nonelit merupakan golongan yang paling banyak
jumlahnya, meliputi pedagang, petani, pekerja ahli atau tukang, dan
nelayan. Dari golongan nonelit, petani merupakan jumlah yang paling
banyak di Banten.21 Dalam kedudukan sosial di Banten, yang perlu digaris
bawahi adalah posisi kaum bangsawan atau priyayi di Banten. Pada zaman
kesultanan, jumlah bangsawan terus bertambah. Keluarga-keluarga yang
masih ada hubungan kekerabatan dengan sultan terdapat di berbagai
tempat di bagian wilayah Banten karena poligami menjadi suatu hal yang
sangat biasa dilakukan oleh kalangan keluarga sultan. Masalah seperti ini
tentu saja mempengaruhi perubahan sosial yang luas. Kaum bangsawan
Baten meliputi tingkatan mulai dari pangeran keturunan sultan sampai
orang terhormat biasa di pedesaan yang cara hidupnya hampir tidak dapat
dibedakan dari petani. Bahkan setelah kesultanan dihapuskan, kaum
bangsawan membentuk komponen aristokrasi yang sangat menarik, bukan
hanya karena jumlahnya, akan tetapi juga karena prestise yang diberikan
masyarakat dan juga prospeknya. Prestise kaum bangsawan ini tidak lepas
dari pengaruhnya dibidang ekonomi sehingga membuatnya sangat disegani
oleh masyarakat lainnya.
Sebenarnya penyebab utama gerakan-gerakan sosial yang biasa
terjadi merupakan adanya masyarakat yang merasakan beban sosial dan
ekonomi yang sudah tidak dapat mereka tanggung lagi. Perubahan politik
dan sistem pemerintahan dari kesultanan berpindah tangan kepada
penjajah, yaitu pemerintahan kolonial sebenarnya merupakan salah satu
faktor yang mendorong rakyat untuk melakukan perlawanan. Gerakan-
gerakan yang terjadi di masyarakat adalah merupakan suatu perwujudan
21 Nina Lubis, Banten dalam Pergumulan Sejarah Sultan, Ulama, Jawara, (Jakarta: LP3S,
2004) h. 83
19
dari rasa ketidakadilan yang dirasakan oleh masyarakat, khususnya
masyarakat kalangan bawah.
2. Kondisi Ekonomi Masyarakat Banten
Kehidupan ekonomi masyarakat Banten sebagian besar bertumpu
pada sektor pertanian atau menanam padi. Walaupun ada masyarakat yang
mempunyai pekerjaan lain seperti pedagang, nelayan, dan juga tukang,
akan tetapi bertani merupakan mata pencaharian utama mereka. Di dalam
masalah ekonomi ini sering kali rakyat pribumi merasa diberatkan dengan
adanya peraturan-peraturan daerah mengenai hak guna tanah dan hak
kepemilikan tanah. Dengan peraturan pemerintah yang berubah seiring
datangnya penjajah Belanda membuat perubahan-perubahan yang begitu
mengganggu kestabilan ekonomi masyarakat Banten.
Letnan Gubernur Jenderal Raffles pada tahun 1811 mengambil alih
kekuasaan atas pulau Jawa dari tangan Gubernur Jenderal Daendels (1808-
1811). Berdasarkan pengalaman Inggris di India, Raffles ingin
menciptakan sistem ekonomi di Jawa yang bebas dari unsur paksaan.
Kepada para petani akan diberi kebebasan untuk menanam tanaman yang
menghasilkan produk ekspor. Berdasarkan anggapan bahwa pemerintah
adalah pemilik tanah, maka para petani dianggap sebagai penyewa tanah
yang wajib membayar sewa tanah (Land Rate).22
Sistem sewa tanah tidak meliputi semua wilayah yang ada di Jawa.
Di daerah sekitar Batavia, maupun di daerah Periangan, sistem sewa tanah
tidak diadakan karena di wilayah sekitar Batavia, umumnya tanah-tanah
dimiliki oleh swasta dengan setatus tanah partikelir, sedangkan di wilayah
Periangan, pemerintah kolonial berkeberatan menghapus sistem tanam
paksa untuk komoditi kopi, yang memberikan keuntungan besar. Dapat
22 Nina Lubis, Banten dalam Pergumulan Sejarah, Sultan, Ulama, Jawara (Jakarta: LP3S, 2004) h. 97
20
kita simpulkan bahwa pemerintah kolonial juga tidak sepenuhnya benar-
benar konsisten memberlakukan asas-asas liberal jika ada hal yang
meugikan material yang besar.23
Walaupun Daendels merupakan seorang pemimpin yang tegas
dalam menjalankan pemerintahan, akan tetapi hal itu tidak mengganggu
struktur sosial ekonomi tradisional. Kehidupan sosial ekonomi masyarakat
pribumi pada dasarnya tetap berlangsung dalam budaya tradisional. Akan
tetapi membandingkan Banten dengan daerah-daerah lain di Jawa seperti
Cirebon dan Priangan, dalam kehidupan ekonomi terdapat perbedaan
antara daerah Banten dan kedua daerah tersebut. Sebagai daerah pertanian,
di daerah Banten dan Cirebon kegiatan perdagangannya lebih dominan
daripada pertaniannya. Sebaliknya di daerah Priangan sebagai daerah
pedalaman, kegiatan ekonomi lebih banyak bersandar kepada produksi
pertanian.
Kehidupan ekonomi masyarakat Banten dan Cirebon lebih buruk
dari kondisi perekonomian di Priangan. Hal tersebut terjadi karena
masyarakat Banten yang semula umumnya adalah pedagang di laut,
beralih profesi menjadi petani lada dan pemerintah kolonial Belanda ikut
campur tangan sampai ke urusan desa. Salah satu indikator yang
menunjukkan kondisi perekonomian rakyat pribumi adalah produksi padi.
Sedangkan produksi padi di wilayah Banten dari tahun 1860-1864 selalu di
bawah dari wilayah Cirebon maupun Priangan.
Sementara itu, akibat gerakan gelombang liberal dan munculnya
ide-ide humaniter, tahun 1870 sistem "Tanam Paksa" Preangerstelsel
dihapuskan, kecuali penanaman kopi. Tindakan pemerintah itu sejalan
dengan pemberlakuan undang-undang agraria pada tahun tersebut. Dengan
23 Marwati Djoened Poesponegoro, Sejarah Nasional Indonesia Jilid VI (Jakarta: Balai
Pustaka, 2008) h. 347
21
undang-undang tersebut, orang-orang swasta Eropa diperbolehkan
memiliki hak guna tanah sebagai erfpacht selama 75 tahun. Hak erfpacht
merupakan hak kebendaan yang memberikan kewenangan yang paling
luas kepada pemegang haknya untuk menikmati sepenuhnya akan
kegunaan tanah kepunyaan pihak lain.24 Sejak itu di Jawa sistem
perkebunan kopi milik pemerintah, juga tumbuh dan berkembang
perkebunan teh, kina, karet, dan lain-lain milik swasta Eropa.25
Di Banten dengan ekonomi agrarisnya, masyarakat Banten
bercocok tanam dan menanam padi, entah itu sebagai pemilik tanah
ataupun sebagai penyewa tanah dengan sistem bagi hasil dengan sang
pemilik tanah. Seperti yang telah kita ketahui ada dua faktor yang sangat
penting mengenai keadaan ekonomi masyarakat Banten terkait dengan
sistem ekonomi yang bertumpu pada sektor pertanian, yang pertama yaitu
kepemilikan tanah dan si penggarap tanah. Sistem hak tanah di Banten
sudah ada sejak abad ke 19 yang berasal dari zaman kesultanan, meskipun
sudah banyak perubahan dalam sistem tersebuk karena sudah mengalami
campur tangan atau gangguan dari pemerintah kolonial.26
Sistem perekonomian di Banten yang bertumpu pada pertanian
akhirnya menimbulkan beberapa gejolak sosial yang ada di kalangan
masyarakat. Gesekan-gesekan sosial itu sendiri bermula dari aturan-aturan
tradisional yang berubah akibat campur tangan pemerintah kolonial.
Adapun faktor yang akhirnya dapat menimbulkan gesekan sosial itu antara
lain: konflik mengenai hak tanah, kerja wajib, pembaruan-pembaruan
pemerintah, dan kerja wajib berkelanjutan.
24 Budi Harsono, Hukum Agraria Indonesia: Sejarah Pembentukan Undang-undang Agraria,
Isi dan Pelaksanaannya (Jakarta: Djambatan, 1997) h. 37 25 Nina Lubis, Banten dalam Pergumulan Sejarah, Sultan, Ulama, Jawara (Jakarta: LP3S,
2004) h. 98 26Sartono Kartodirjo, Pemberontakan Petani Banten 1888. (Depok: Komunitas Bambu, 2015),
h. 35
22
C. Kondisi Keagamaan Banten
Di Kesultanan Banten, Sultan juga menjabat sebagai kepala agama.
Lembaga-lembaga keagaman Islam mendapati pengakuan dan
perlindungan penuh. Banyak ajaran agama dimasukkan ke dalam kerangka
umum administrasi religius. Jabatan Fakih Najamudin yang biasanya
dipegang ulama ditingkat atas seperti penentuan hukum agama dan
penghulu untuk ditingkat bawah.
Kaum elit agama waktu itu menempati kedudukan strategis baik
pada tingkat lokal maupun pusat. Akan tetapi setelah kesultanan
dihapuskan, keadaanya berubah, elit agama tidak lagi mendapat
kesempatan berpartisipasi dalam soal-soal kebijaksanaan. Meskipun dalam
kenyataannya jabatan Fakih Najamudin tetap dipertahankan sampai tahun
1868 dan pengadilan agama masih diselenggarakan oleh pejabat-pejabat
agama.
Akan tetapi pejabat-pejabat agama semakin dikurangi dan
ditempatkan di bawah pengawasan ketat pemerintah. Walaupun demikian,
sebagian elit lama masih mempunyai kebebasan dalam melaksanakan
fungsi-fungsi utama mereka, seperti menyelenggarakan kegiatan-kegiatan
agama, mendirikan pesantren dan tarekat. Dalam lembaga-lembaga ini
kiyai mampu mengumpulkan anggota untuk membicarakan masalah
agama yang biasanya diselipi hal-hal yang berbau politik. Sebagian besar
pengikutnya berasal dari kalangan bawah.
Pesantren merupakan lembaga pendidikan Islam yang berkembang
pesat dan memiliki daya tarik baru dikalangan masyarakat dalam kondisi
yang diciptakan oleh kebangkitan agama. Meningkatnya jumlah perjalanan
23
haji menjadi salah satu faktor dominan yang membuat pesantren
mengalami perkembangan yang sangat pesat.
Bagi penduduk Banten, kususnya Banten Utara, dimana Islam
merupakan satu kepercayaan yang dianut secara fanatik, seorang kiyai
merupakan tokoh sakral yang sangat disegani. Kesuciannya tidak saja
karena restu dari pejabat kesultanan dan kedalaman pengetahuannya
mengenai Islam, tetapi karena mereka juga telah menunaikan ibadah haji.
Gelar “Haji” membuat kedudukannya di daerah-daerah pedesaan menjadi
semakin kuat, dan dalam kenyataannya kaum haji atau kiyai telah muncul
sebagai kelas yang makmur dikalangan kaum tani dan merupakan simbol
politik dan finansial. Mereka mempunyai lebih banyak waktu senggang,
yang dapat mereka gunakan untuk kegiatan keagamaan. Prestise mereka
dibidang keagamaan memperbesar kekuasaan sosial mereka. Dalam
bidang politik mereka mendapat dukungan penuh dari pengikutnya yaitu
rakyat pedesaan (kaum petani).
Kebanyakan para kiyai merupakan pemilik tanah terkemuka (tuan
tanah). Hal itu membuat mereka sedikit banyak mandiri dibidang ekonomi
dan mempunyai pengaruh terhadap segolongan orang yang bergantung
padanya di bidang ekonomi, jadi tidak heran kepemilikan tanah
menjadikan kedudukan politik para haji di lingkungan desa semakin
diakui.
Sementara itu, sebagai pemimpin keagamaan masyarakat
tradisional, kiyai merupakan tokoh sentral kepatuhan dan panutan
masyarakat dalam kehidupan sosial budaya. Karena itu, tidak jarang kaum
elit agama yang sudah kehilangan hak-haknya, bertindak sebagai pimpinan
golongan protes dan memainkan peranannya sebagai tokoh politik. Oleh
karena golongan agama ini, terutama pemeluk-pemeluknya menempati
kedudukan penting dan terhormat dalam masyarakat, maka tidak
24
mengherankan apabila banyak orang yang juga berusaha untuk menjadi
pemuka agama dengan jalan memperdalam ilmu agama.27
Beberapa faktor hal yang mempengaruhi kebangkitan agama Islam
pada abad ke-19 terutama di pulau Jawa, khususnya Banten diantaranya:
terus bertambahnya jumlah orang yang menunaikan ibadah haji pada abad
ke-19. Meningkatnya kegiatan ibadah haji menjadi hal yang sangat penting
bagi kebangkitan agama Islam, artinya bukan hanya bagi penyebaran
pembaharuan-pembaharuan dalam Islam di seluruh dunia. Karena itu
Mekah dapat dipandang sebagai jantung kehidupan agama di Indonesia.
Selain itu faktor yang menjadi kebangkitan kembali Islam adalah
pertumbuhan yang sangat pesat dari pesantren-pesantren yang berfungsi
sebagai tempat pengajaran pendidikan agama Islam. Selain pesantren juga
dibangun masjid-masjid. Dalam pandangan masyarakat muslim masjid
merupakan rumah Tuhan dan sebuah bangunan sakral tempat beribadah
kaum muslim dan mukmin.28 Peninggalan dari kesultanan Banten yang
masih ada sekarang berupa Masjid Agung Banten.29 Faktor ketiga yang
mempengaruhi kebangkitan agama selanjutnya adalah mengenai aspek
yang paling vital dari gerakan keagamaan, yaitu bangkitnya kembali mistik
Islam, menjelma dalam bentuk tarekat.30
Setelah perkembangan pesantren yang sangat pesat tersebut
berpengaruh juga pada berkembangnya tarekat-tarekat untuk memperoleh
anggota-anggota baru. Banten merupakan satu daerah yang sangat kuat
Qadiriah. Tarekat Qadiriah merupakan tarekat yang menekankan pada
perintah dan larangan yang positif. Perlu dicatat bahwa tarekat Qadiriah
27 Mutia Madjilah. Dokter Gerilya, (Jakarta: Balai Pustaka, 1993), Cet I, h. 74 28 Ade Soekirno, Sunan Kalijaga, (Jakarta PT. Gramedia Widia Srana, 1997), h. 39 29 Edi Wuryantoro, Sejarah Nasional dan Ulama I, (Jakarta: Balai Pustaka, 1997), h. 120 30Sartono Kartodirjo, Pemberontakan Petani Banten 1888. (Depok: Komunitas Bambu, 2015),
h.215
25
tidak mengenal hirarki yang terperinci bagi guru-gurunya. Hanya kepala
tarekat di Mekah yang diakui menjadi pemimpin umum yang dikenal
dengan sebutan murshid (pembimbing).
Datangnya Haji Abdul Karim di Banten pada tahun 1870
menjadikan tarekat Qadiriah berkembang pesat. Di bawah pengaruhnya,
tarekat tersebut semakin berakar dikalangan para kiyai dan mempersatukan
mereka. Pada permulaan kegiatannya, tarekat Qadiriah yang dipimpin oleh
Haji Abdul Karim memperlihatkan sikap yang keras dalam urusan agama.
Akan tetapi Haji Abdul Karim bukan merupakan seorang yang radikal.
Kegiatan-kegiatan terbatas pada tuntutan yang ada dalam Al-Qur’an ditaati
dengan sebaik-baiknya, dengan penekanan khusus kepada ibadah shalat,
puasa, serta mengeluarkan zakat dan fitrah. Tentusaja berzikir juga
merupakan hal yang mendasar. Setelah Haji Abdul Karim meninggalkan
Banten, gerakan tersebut mulai beralih dari kegiatan yang semata-mata
diarahkan kepada kebangkitan agama Islam. Semangat antiasing yang kuat
mulai mempengaruhi praktek-praktek tarekat itu. Pada akhirnya, para haji
dan guru tarekat yang berjiwa pemberontak menempatkan ajaran tersebut
dibawa tujuan politik.31
Hal yang perlu kita ketahui juga bahwa kegiatan penyebaran ilmu
keagamaan di Banten sangat giat dilakukan. Guru ngaji dalam
lingkungannya dan di dalam masyarakat mendapatkan penghormatan yang
tinggi. Para orang tua yang menitipkan anaknya untuk menuntut ilmu
agama akan sangat menghormati guru ngaji anaknya, biasanya para orang
tua murid tersebut akan membawakan bingkisan untuk di berikan kepada
guru ngaji anaknya, yang isinya sesuai dengan kebiasaan daerah yang
bersangkutan seperti beras atau padi. Sejumlah uang dan makanan akan
31 Sartono Kartodirjo, Pemberontakan Petani Banten 1888. (Depok: Komunitas Bambu, 2015), h.175
26
diberikan kepada guru agama dengan maksud dan tujuan guru agama
tersebut akan memberikan ilmu agama dengan sebaik-baiknya selain itu
juga agar guru ngaji tersebut mendoakan anaknya agar diberkahi
kecerdasan untuk belajar. 32
32 Snouck Hurgronje, Kumpulan Karangan Snouck Hurgronje, (Jakarta: INIS, 1993), h. 143
27
BAB III
BIOGRAFI HAJI TUBAGUS ISMAIL
A. Silsilah Haji Tubagus Ismail
Haji Tubagus Ismail mempunyai nama lengkap Tubagus Ismail bin
Muhiyi bin Tubagus Urip (Eyang Urip) bin Raden Putra bin Sultan
Muhammad Zainal Abidin bin Sultan Muhammad Nasruddin bin Sultan
Abunnasri bin Abdul Qohar bin Sultan Maulana Abu Ma’ari Ahmad bin
Sultan Abdul Qadir Abdul Fattah bin Sultan Maulana Yusuf bin Sultan
Maulana Hasanuddin Banten.33
Haji Tubagus Ismail lahir pada tahun 1840, ayahnya yaitu Haji
Sadili atau yang lebih akrab dipanggil oleh masyarakat lokal kampung
Gulacir dengan nama Haji Muhiyi, merupakan seorang tokoh agama yang
cukup disegani oleh masyarakat sekitar dimana dia tinggal. Ditambah lagi
kakek Haji Tubagus Ismail sendiri yaitu Tubagus Urip atau yang biasa
dipanggil Eyang Urip merupakan seorang ulama besar di kampung
Gulacir.
Tubagus Urip sendiri telah mempunyai nama besar dikalangan
masyarakat lokal dimana dia tinggal. Nama besar Tubagus Urip sendiri
diperoleh karena dia adalah seorang pemimpin pemberontakan yang tewas
dalam satu pemberontakan. Tubagus Urip adalah seorang pemberontak
yang sangat dihormati, seorang pahlawan terkenal dan kawan dari
33Wawancara dengan Kyai Tubagus Abdul Aziz, tokoh ulama dan pemimpin pesantren
Miftahul Hidayah, (Sukabares, 9 Desember 2019. Pukul13.00 s/d 15.00 Wib).
28
seperjuangan Tubagus Buang, yang melancarkan pemberontakan pada
awal abad ke-19.34
Menurut cerita kepercayaan lokal, dia sangat berani dan memiliki
kesaktian, seperti tidak menjadi basah saat diguyur air hujan, juga tidak
memerlukan tidur, makan, dan istirahat. Dia juga dianggap mampu
mendatangkan angin ribut dan gempa bumi setiap saat.35 Mungkin bagi
orang yang berpikiran rasional hal tersebut tidak masuk diakal, akan tetapi
kepercayaan masyarakat lokal dengan mistiknya mempercayai hal-hal
tersebut.
Haji Tubagus Ismail sendiri merupakan seorang ulama Banten yang
berasal dari keturunan bangsawan, adiknya adalah istri bupati Serang saat
itu. Sementara mertuanya adalah bupati yang diangkat oleh pemerintahan
Raffles. Selain itu kakek dari Tubagus Ismail sendiri adalah Eyang Urip
yang merupakan seorang ulama lokal yang sangat dihormati oleh
masyarakat Banten khususnya Cilegon.
Istri dari Haji Tubagus Ismail sendiri hingga sekarang belum
diketahui namanya, namun telah diketahui Tubagus Ismail telah memiliki
tiga orang anak, diantaranya ialah Tubagus Halimi, Tubagus Qadir, dan
Tubagus Ratu Sodah. Tubagus Halimi merupakan anak yang pertama dan
paling menonjol dalam bidang keagamaan.
Haji Tubagus Halimi yang melanjutkan perjuangan ayahnya dalam
mengembangkan ilmu keagamaan di daerah kampung Gulacir, sebagai
seorang anak ulama terkemuka pada masanya, Tubagus Halimi
menggantikan ayahnya yaitu Haji Tubagus Ismail untuk menghidupkan
34 Sartono Kartodirjo, Pemberontakan Petani Banten 1888. (Depok: Komunitas Bambu, 2015)
h. 226 35 Sartono Kartodirjo, Pemberontakan Petani Banten 1888. (Depok: Komunitas Bambu, 2015)
h. 133
29
kembali masjid Kampung Gulacir peninggalan ayahnya dan bahkan
merenovasi masjid tersebut hingga masih tetap berdiri sampai saat ini.36
B. Riwayat pendidikan
Haji Tubagus Ismail mendapatkan pendidikan agama dasar dari
ayahnya sendiri yaitu Haji Sadili. Setelah itu Haji Tubagus Ismail belajar
agama untuk pertama kalinya di bawah bimbingan KH. Sahal (Serang)
kemudian ia pergi ke Purwakarta untuk menuntut ilmu di pesantren milik
KH. Yusuf.
Haji Tubagus Ismail sewaktu kecil terkenal dengan kecerdasannya
dan ketekunannya dalam belajar. Setelah beberapa tahun memperdalami
ilmu nahwu, fiqih, ushul fiqhi, tafsir dan hadits di beberapa pesantren di
tanah air, ia berangkat ke Mekah guna memenuhi kecintaannya akan ilmu
pengetahuan Islam dan mendatangi semua guru besar yang dulu pernah
mengajar Sheikh Nawawi. Bahkan, ia juga mendapatkan bimbingan
pengajaran dari seorang guru besar bermazhab Hanafi yaitu Syeikh Sayyid
Al-Kutubi yang tidak pernah mengajar Syeikh Nawawi dan ulama-ulama
Banten lainnya.37
Sebagian besar Haji Tubagus Ismail belajar kepada guru-guru yang
pernah megajar Syaikh Nawawi, dari situ kita dapat mengetahui siapa saja
guru-guru Haji Tubagus Ismail sewaktu di Mekah melalui guru-guru yang
pernah mengajar Syaikh Nawawi.
Setelah beberapa tahun menuntut ilmu di Mekah, Haji Tubagus
Ismail kembali ke Banten untuk mengajar ilmu keislaman yang ia
dapatkan dari Mekah. Tidak lama kemudian Haji Tubagus Ismail kembali
36Wawancara dengan Kyai Tubagus Abdul Aziz, tokoh ulama dan pemimpin pesantren
Miftahul Hidayah, (Sukabares, 9 Desember 2019. Pukul 13.00 s/d 15.00 Wib). 37 Mufti Ali, Biografi Ulama Banten Seri 1.(Serang: Laboratorium Bantenologi, 2014) h. 85
30
menuju ke Mekah pada tahun 1871, ia kembali ke Mekah dan menetap di
sana.38
Dari keterangan yang ada, Haji Tubagus Ismail memperdalam ilmu
agamanya dari guru-guru yang pernah mengajar Syaikh Nawawi, berikut
ulama-ulama terkenal yang pernah mengajar Haji Tubagus Ismail:
1. Kiyai Sahal Lopang Cilik Serang
Seorang ulama Banten yang sering disebut sebagai simpul dari
jaringan ulama Banten pada abad ke-19 adalah KH. Sahal. Dalam jaringan
ulama Banten pada abad ke-19, beberapa ulama besar yang hidup pada
pertengahan kedua abad ke-19 seperti Syeikh Nawawi Tanara, Syaikh
Syamaun Pandeglang, KH. Hamim Pandeglang, KH. Abu Bakar Tirtayasa,
KH. Tubagus Ismail dan ratusan ulama lainnya yang tersebar di Banten
memiliki genealogi keilmuan dengan ulama besar ini.
2. Haji Raden Yusuf Purwakarta
Nama Haji Raden Yusuf yang disebut-sebut sebagai salah satu guru
dari Syaikh Nawawi ini juga merupakan seorang ulama yang pernah
didatangi oleh Haji Tubagus Ismail. Selama beberapa tahun Haji Tubagus
Ismail memperdalam ilmu agama di pesantren milik Raden Yusuf di
Purwakarta hingga akhirnya ia berangkat untuk yang kedua kalinya ke
Mekah.39
3. Syaikh Nawawi Al-Bantani
Haji Tubagus Ismail juga disebutkan menjadi salah satu murid dari
ulama Banten yang sangat terkenal yaitu Syaikh Nawawi Al-Bantani. Haji
38 Tihami, Prosopografi Syeikh Nawawi (1813-1897) Biografi, Geneologi Intelektual, dan
Karya, (Serang: Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Provinsi Banten, 2014) h. 100 39 Tihami, Prosopografi Syaikh Nawawi (1813-1897) Biografi, Genealogi Intelektual, dan
Karya, h. 17
31
Tubagus Ismail sangat mengagumi Syaikh Nawawi hingga ia mendalami
ilmu agamanya dengan mencari guru-guru yang pernah mengajar Syaikh
Nawawi. Syaikh Nawawi sendiri merupakan seorang ulama besar yang
memiliki banyak murid dan memiliki banyak karya tulis dibidang
keagamaan.
C. Peran Haji Tubagus Ismail dalam Keagamaan
Bagian akhir dari abad ke-19 merupakan suatu periode kebangkitan
kembali dibidang agama, kondisi yang terjadi di dalam lingkungan sosio-
kultural di Banten telah menunjukan gerakan kebangkitan kembali
kehidupan beragama. Bukan hanya rakyat di sana yang sudah menganut
Islam, ambruknya tatanan tradisional dan gejala yang menyertainya, yaitu
keresahan sosisal yang terus-menurus telah mendorong peningkatan
kegiatan dibidang keagamaan.
Mengenai Banten dalam tahun-tahun 1880-an, dapat disimpulkan
bahwa tarekat-tarekat telah berkembang menjadi golongan-golongan
kebangkitan kembali yang paling dominan. Pada mulanya tarekat-tarekat
tersebut pada dasarnya merupakan gerakan-gerakan kebangkitan kembali
agama, akan tetapi secara berangsur-angsur mereka berkembang menjadi
badan-badan politik keagamaan.40
Pada tahun 1883 Haji Tubagus Ismail kembali dari Mekah,
mendirikan pesantren dan mendirikan cabang tarekat Qadiriah di kampung
halamannya, Gulacir.41 Haji Tubagus Ismail sendiri memiliki peranan yang
40 Sartono Kartodirjo, Pemberontakan Petani Banten 1888. (Depok: Komunitas Bambu, 2015)
h. 211
41Snouck Hurgronje, Mekka in the Latter Part of the 19th Century, (Boston: Brill, 2007), h. 295
32
sangat penting di dalam hal kebangkitan keagamaan di wilayah Banten,
khususnya pada daerahnya sendiri yaitu Kampung Gulacir, selain itu juga
Haji Tubagus Ismail merupakan seorang pemimpin, baik dalam
keagamaan maupun dalam gerakan-gerakan perlawanan. Peran Haji
Tubagus Ismail dalam bidang keagamaan sendiri antara lain adalah
menjadi seorang pendakwah serta menjadi seorang guru agama yang
memiliki banyak pengikut.
Setelah beberapa tahun tinggal di Mekah, Haji Tubagus Ismail
kembali ke kampung halaman dan mengajar ilmu alat (nahwu dan saraf)
dengan kualitas keilmuannya yang sangat baik sehingga memungkinkan
murid-muridnnya memahami tiga ilmu sekaligus yaitu: fikih, kalam dan
tasawuf.
Kualitas pengajaran tersebut berkaitan dengan pemahaman dan
penguasaannya terhadap bahasa Arab. Kegiatan mengajarnya di Banten
terhenti pada tahun 1871 Haji Tubagus Ismail kembali ke Mekah dan
menetap di sana. Setiap hari Haji Tubagus Ismail mengikuti pengajian
reguler di Masjidil Haram. Setiap hari Haji Tubagus Ismail juga
memberikan dua mata pelajaran kepada para santri di sana.42
Pada tahun 1883 kembali dari Mekah, Haji Tubagus Ismail yang
merupakan seorang anggota tarekat Qadiriyah dan merupakan seorang
murid Haji Abdul Karim mulai mendirikan pesantren dan sebuah cabang
tarekat Qadiriyah, dengan demikian ia menaikan prestisenya dan
mendapatkan banyak pengikut.43
Haji Tubagus Ismail mendirikan sebuah masjid, dimana dalam
masjid tersebut kegiatan keagamaan berkembang pesat. Masjid Tubagus
42Mufti Ali,, Biografi Ulama Banten seri ke 1, ( Serang: Bantenologi, 2014) h. 85 43 Sartono Kartodirjo, Pemberontakan Petani Banten 1888. (Depok: Komunitas Bambu, 2015)
h. 200
33
Ismail yang menjadi tempat berkembangnya ilmu agama tersebut dulunya
diberi nama Masjid Puser. Penamaan masjid tersebut dilatarbelakangi oleh
perputaran ilmu agama yang dilakukan antara guru dan murid yang sangat
antusias.
Selain masjid Puser yang menjadi bukti peran keagamaan Tubagus
Ismail, beliau juga mendirikan sebuah pondok pesantren di Tanah Pasir
Angin, akan tetapi bangunan pesantren tersebut sudah tidak ada lagi.
Hanya tersisa bangunan masjid yang sudah mengalami renovasi oleh anak
dari Haji Tubagus Ismail itu sendiri yaitu Tubagus Halimi dengan dibantu
oleh warga setempat.44
Masjid Tubagus Ismail sekarang dikenal dengan nama Masjid
Jami’i Al-Ijtihad terletak di kampung Gulacir desa Sukabares kecamatan
Waringin Kurung kabupaten Serang. Masjid ini adalah salah satu masjid
kuno yang terdapat di kecamatan Waringin Kurung. Menurut kepercayaan
masyarakat setempat, masjid ini didirikan oleh tokoh geger Cilegon 1888,
yaitu Haji Tubagus Ismail. Masjid ini sudah mengalami renovasi pada
tahun 1916 dan tahun 1970.
Bangunan aslinya berukuran luas 930x1160 cm. Ruang sekat
persegi berukuran 690x690 cm dengan satu pintu dan dua jendela, masing-
masing berada disisi utara, selatan dan timur. Mihrob berukuran
145x97x213 cm, dan ruang mimbar berukuran 140x110x197 cm.
Di dalam masjid juga ditemukan tongkat (pedang bermata dua)
yang biasa dipegang khatib Jum’at ketika berkhutbah, dengan ukuran
panjang 119 cm berdiameter 2 cm. Selain itu juga ditemukan sebuah
mushaf al- Qur’an kuno berukuran 38,3x24 cm, dengan tebal 7,5 cm.
44Wawancara dengan Tubagus Munir, tokoh agama kampung Gulacir, (Sukabares, 20 Januari
2020. Pukul 13.00 s/d 15.00 Wib).
34
Masyarakat menemukannya di loteng atau langit-langit masjid. Terdapat
inskripsi dan ornamen dalam masjid ini, walaupun hanya sedikit. Menurut
masyarakat setempat dahulu sebelum masjid mengalami renovasi terdapat
kaligrafi Arab dan hiasan-hiasan disetiap sekat-sekat dinding ruangan
masjid.45
Riwayat Tubagus Ismail ini memperlihatkan kontribusi serta
ketokohannya dalam bidang agama, dan dari keluarga yang agamis.
Dengan latarbelakang pernah menuntut ilmu di Mekah dan memiliki
pesantren dan santri, ia menjadi salah satu tokoh agama yang dihormati
dan kemudian turut berperan dalam Pemberontakan Petani Banten.
45Helmy Faizi Bahrul Ulumi, Masjid-Masjid Kuno di Banten, (Banten: Bantenologi, 2016) h. 93
35
BAB IV
PERAN HAJI TUBAGUS ISMAIL DALAM PERLAWANAN
RAKYAT BANTEN
A. Peran Haji Tubagus Ismail dalam Perencanaan Pemberontakan
Pada tahun 1883, Haji Tubagus Ismail kembali dari Mekah.
Sebagai keturunan Sultan Banten, dia dianggap memiliki kapasitas sebagai
Wali Allah. Dengan kehadirannya ini maka dorongan untuk mendirikan
kembali kesultanan Banten akhirnya muncul kembali. Haji Tubagus Ismail
merupakan orang yang berperan penting dalam mempersiapkan
pemberontakan.
1. Haji Tubagus Ismail melakukan propaganda dan
penghimpunan masa.
Seperti yang telah kita ketahui Haji Tubagus Ismail merupakan
sosok yang sangat berkharisma dan sangat disegani oleh pengikut-
pengikutnya. Hal tersebut sangat memudahkan Haji Tubagus Ismail dalam
melakukan propaganda atau doktrin-doktrin untuk menyebarkan semangat
jihad dikalangan para santri. Kembalinya Haji Tubagus Ismail dari Mekah
menjadi langkah awal semakin seriusnya beliau menghimpun propaganda
jihad dan mengumpulkan para pejuang dengan mendirikan pesantren.46
Dua bulan sebelum terjadinya pemberontakan, tepatnya pada bulan
Mei, Haji Tubagus Ismail berkeliling ke berbagai tempat selama dua
minggu untuk menggalang dukungan dari para pemuka agama daerah
Tangerang, Jakarta, Cianjur, dan Bandung. Haji Tubagus Ismail juga
46 Sartono Kartodirjo, Pemberontakan Petani Banten 1888. (Depok: Komunitas Bambu, 2015)
h. 201
36
mengumpulkan dukungan untuk pemberontakan dari kalangan sentana.
Sebagai keturunan sultan, Haji Tubagus Ismail menjadi sosok yang paling
cocok untuk meyakinkan kelompok masyarakat berpengaruh ini (sentana).
Kaum sentana menjadi sangat penting bagi kelancaran rencana
pemberontakan, karena selain mereka memiliki fanatisme agama yang
kental, mereka juga merupakan donatur untuk kegiatan-kegiatan
keagamaan ditengah-tengah masyarakat. Persenjataan, dana, dukungan
moril, dan logistik adalah hasil dari kerja keras yang dilakukan oleh Haji
Tubagus Ismail dan kawan-kawannya.47
Peran penting lain Haji Tubagus Ismail terlihat ketika seorang
aktivis dari Arjawinangun menemui Ki Wasid, bahwa pemberontakan
harus segera dilakukan dengan menyerang para pejabat Eropa dan pribumi
yang sedang berkumpul di Balagendung pada waktu itu. Ki Wasid
menjawab ia tidak dapat memutuskan apa-apa tanpa terlebih dahulu
mengadakan konsultasi dengan Haji Tubagus Ismail.48 Hal tersebut
menunjukan bahwa peran kepemimpinan Haji Tubagus Ismail sangat
diakui bahkan oleh KiWasid itu sendiri.
2. Haji Tubagus Ismail dalam rapat persiapan pemberontakan
Pada tahun 1884, berlangsung perundingan pertama yang
membicarakan rencana kongkrit untuk mengadakan pemberontakan
bersenjata. Perundingan itu terjadi di rumah Ki Wasid, yang dipimpin oleh
Haji Tubagus Ismail.
Dalam satu pertemuan di rumah Ki Wasid di Beji diputuskan untuk
mencari pengikut dikalangan para murid. Dua puluh enam pertemuan-
47 Snouck Hurgronje, Mekka in the Latter Part of the 19th Century, (Boston: Brill, 2007), h.
297 48 Tihami, Prosopografi Syeikh Nawawi (1813-1897) Biografi, Geneologi Intelektual, dan
Karya, (Serang: Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Provinsi Banten, 2014) h. 103
37
pertemuan diadakan diberbagai tempat yang dihadiri oleh sebagian besar
pemimpin-pemimpin pemberontakan setempat. Guru-guru tarekat
ditugaskan untuk menyebarkan gagasan itu dan mencari pengikut. Pejabat-
pejabat Eropa merasa cemas melihat kegiatan yang sangat meningkat
dalam kehidupan agama rakyat, akan tetapi mereka ditenangkan oleh
pejabat-pejabat Banten yang tidak melihat hal-hal yang membahayakan
dalam manifestasi-manifestasi keagamaan itu.49
Pertemuan-pertemuan yang paling penting diantara anggota-
anggota komplotan menggunakan kedok pesta rakyat, seperti pesta
perkawinan atau pesta sunatan. Pertemuan-pertemuan yang lebih kecil
menggunakan kedok pertemuan zikir. Mereka begitu pandai merahasiakan
rencana-rencana komplotan mereka sehingga selama bertahun-tahun
pemerintah kolonial tidak dapat menemukan fakta-fakta yang bisa
dijadikan alasan untuk menangkap mereka.
Empat bulan terakhir tahun 1887 kegiatan anggota-anggota
komplotan sangat meningkat, mereka adakan pertemuan-pertemuan
melakukan perjalanan dan mempropagandakan perjuangan mereka di satu
pihak dan melatih murid-murid mereka dalam cara-cara bertempur di lain
pihak. Menjelang waktu itu, semangat pemberontakan sudah semakin
membara di antara anggota-anggota tarekat. Mereka sependapat bahwa
gerakan mereka sudah mencapai banyak kemajuan, dan mereka
memutuskan untuk memperluas persiapan-persiapan pemberontakan dan
mengikutsertakan orang-orang di luar tarekat. Berikut beberapa rapat
persiapan menuju “Pemberontakan” yang terjadi pada tahun 1888:
a. Pada tanggal 14 Februari sampai dengan 13 Maret 1888,
diadakan 2 kali pertemuan di rumah Haji Marjuki di Tanara, yang dihadiri
49 Sartono Kartodirjo, Pemberontakan Petani Banten 1888. (Depok: Komunitas Bambu, 2015)
h. 201
38
oleh para ulama dari Serang dan Tanggerang, turut serta pada pertemuan
tersebut adalah pemuka masyarakat dari Serang dan Anyer, sedangkan
pertemuan berikutnya di rumah Haji Iskak di Seneja yang jiga dihadiri
oleh Haji Tubagus Ismail.
b. Pada tanggal 14 Maret sampai 13 April 1888, pertemuan
dilaksanakan di rumah Ki Wasid di Beji, kemudian selanjutnya di rumah
Haji M. Sadeli di Kaloran, dan berikutnya di rumah Haji Asnawi di
Bendung Lempuyang.
c. Pada tanggal 13 April hingga 11 Mei 1888, pertemuan
diadakan di rumah Haji Marjuki di Tanara, kemuadian di rumah Ki Wasid
di Beji, di rumah Haji Muhyidin di Jombang Wetan, dan di rumah Haji
Tubagus Ismail Gulacir.
Rapat-rapat tersebut membahas mengenai siasat dan strategi
pertempuran, milihat perbedaan perbandingan senjata mereka yang juah
berbeda, akan tetapi yang lebih penting adalah mengenai kebulatan tekad,
persatuan dan kesepakatan diantara mereka. Pertemuan akhir yang dihadiri
para tokoh seperti Haji Marjuki, Ki Wasid, Haji Tubagus Ismail serta Haji
Iskak, ini pun membicarakan masalah ketersediaan alat persenjataan,
pembagian tugas, penggerakan pengikut, serta penyelenggaraan pelatihan
pencak silat.50 Beberapa poin yang berkaitan tentang waktu penyerangan
yaitu:
1. Hari Sabtu tanggal 17 Juli 1888 ditentukan sebagai hari
penyerangan.
2. Serangan dimulai setelah sholat subuh, yang dikenal juga
sebagai serangan fajar.
3. Serangan dilakukan secara serempak dan mendadak dari
masing-masing daerah.
50 Halwani Michrob, Catatan Masa Lalu Banten, (Serang: Saudara Serang, 2011), h.210
39
4. Setelah selesai penyerangan dan berhasil, semua harus
bergabung untuk menyerang kota Serang. 51
Hingga akhirnya terjadi satu peristiwa diluar rencana yang telah
disepakati. Datanglah seorang Jaro dari gudang batu menghadap Ki Wasid
di Masjid Beji. Dia menginformasikan bahwa ia telah berhasil menyerang
camat Belanda. Semua yang hadir dipengajian merasa terkejut. Peristiwa
yang itu sungguh di luar dugaan Ki Wasid dan santri-santrinya karena Jaro
yang terlalu bersemangat dan dia hanya tahu pertemuan terakhir di Gulacir
tannpa mengetahui kode hari “H”. Setelah diberikan penjelasan oleh Ki
Wasid menyesal kemudian meminta maaf atas hal yang telah terjadi dan
kemudian Jaro tersebut menyerahkan segala sesuatunya kepada Ki
Wasid.52
Dan sejak saat itu persiapan pemberontakan ditingkatkan dengan
terburu-buru lalu bendera jihadpun akan segera dikibarkan. Para kiyai
yang hadir mengusulkan Geger Cilegon dilakukan pada tanggal 12 Juli
1888, namun menurut pendapat Ki Wasid tanggal tesebut masih terlalu
lambat, oleh karena ia sendiri merasa bahwa pemberontakan harus dimulai
sesegera mungkin.
B. Peran Tubagus Ismail Memimpin Pemberontakan
Haji Tubagus Ismail memimpin pasukannya pada minggu malam
tanggal 8 Juli menuju ke desa Saneja. Desa Saneja merupakan desa yang
berbatasan dengan Cilegon, yang mana sebagai ibu kota Afdeling Anyer,
merupakan tempat tinggal pejabat-pejabat pamong praja Eropa dan
51 Wasid, Ki Wasid Center: Memory dan Historiografi, (Banten: Yayasan KH Wasid, 1888) h. 20 52 Wasid, Ki Wasid Center: Memory dan Historiografi, h. 21
40
pribumi. Ia memimpin sejumlah besar partisan yang berasal dari
Arjawinangun, Gulacir, dan Cibeber.53
Mereka bergerak menuju daerah tempat tinggal pejabat di Cilegon.
Serangan pertama terjadi di rumah Dumas, yaitu rumah seorang Juru Tulis
di pengadilan distrik, suatu institusi yang tidak disenangi di kalangan
rakyat. Tidak diketahui dengan pasti apakah serangan terhadap Dumas
merupakan rencana awal pemberontakan atau tindakan sesaat untuk
menunjukkan kebencian rakyat dalam satu tindakan bersama.
Sasaran pertama kaum pemberontak yang dipimpin oleh oleh Haji
Tubagus Ismail adalah rumah Dumas di Saneja. Kaum pemberontak tiba di
rumah Dumas sekitar pukul 2 dini hari pada senin, 9 Juli 1888. Mereka
membangunkan Dumas sekeluarga dan meminta agar ia membuka pintu.
Setelah Dumas membuka pintu, empat orang menyerbu ke dalam sambil
berteriak "Sabil Allah", dan menyerang Dumas dengan kelewang. Di
dalam kegelapan dan kekacauan, Dumas berhasil meloloskan diri dan
bersembunyi di rumah tetangganya, seorang Jaksa. Istri dan dua anaknya
yang pertama menyelamatkan diri ke rumah ajun kolektor, Raden
Purwadiningrat, dengan berusaha menyelinap keluar melalui pintu
belakang, namun mereka tidak dapat lolos tanpa diketahui. Istri dumas
diserang dan mendapat luka pada bahu kanannya, tetapi karena dikira
babu, ia tidak diapa-apakan lagi. Sementara itu, babu (pembantu) yang
sebenarnya, Minah, dikira para pemberontak adalah istri Dumas karena ia
menggendong anak dumas yang paling kecil dan berusaha melindungi
anak itu dengan badannya sendiri terhadap bacokan para pemberontak.
Walaupun demikian, anak itu tetap mendapatkan luka yang sangat parah,
dan Minah sendiripun terkena luka bacokan di beberapa bagian badannya.
53 Mufti Ali, Biografi Ulama Banten seri ke 1, (Serang: Bantenologi, 2014) h. 88
41
Sementara itu, para pemberontak mengobrak-abrik rumah tersebut dan
menghancurkan perabotannya.54
Penyerangan pertama di rumah Dumas tidak membuahkan hasil
yang baik bagi para pemberontak. Dumas dan keluarganya berhasil
melarikan diri meski dengan penuh luka di sekujur badannya.
Di tempat lain pada waktu yang sama, di Tenggara Cilegon, satu
pasukan pemberontak diperintahkan untuk menuju kepatihan. Patih
merupakan sosok pejabat selanjutnya yang menjadi incaran para
pemberontak untuk dibunuh. Hal tersebut dikarenakan patih tidak disukai
oleh rakyat Banten dan para kiyai dengan alasan bahwa patih sering
mengeluarkan kebijakan yang memberatkan bagi rakyat dan juga sikap
sinis patih terhadap kegiatan-kegiatan keagamaan yang dilakukan.
Setibanya dikepatihan kaum pemberontak tidak menemukan Patih yang
mereka incar. Kabarnya patih sedang tidak ada ditempat melainkan sedang
berada di Serang. Kemudian para pemberontak di bawah pimpinan Haji
Tubagus Ismail menuju Jombang Wetan.
Setelah kaum pemberontak sudah beranjak pergi, Dumas membawa
keluarganya ke Kepatihan bersama ajun kolektor. Kemudian wedana dan
ajun kolektor memutuskan untuk mengirim kurir ke Anyer dan Serang
untuk memberitahukan peristiwa yang terjadi pada malam itu.
Di Jombang Wetan menjadi tempat berkumpulnya pasukan-
pasukan pemberontak dari segala penjuru dan akhirnya menjadi satu
pasukan yang sangat besar. Pembagian pasukan dilakukan dengan cepat
dan kembali melakukan pencarian terhadap pejabat-pejabat Eropa dan
pribumi yang masih belum tertangkap.
54Sartono Kartodirjo, Pemberontakan Petani Banten 1888. (Depok: Komunitas Bambu, 2015)
h. 232
42
Ki Wasid memerintahkan sebagian kaum pemberontak untuk
menyerbu penjara dan membebaskan para tahanan, sebagian lain akan
menyerang kepatihan, dan sebagian lainnya menyerang rumah asisten
residen. Pasukan pertama dipimpin oleh Lurah Jasmin, seorang jaro
Kajuruan, pasukan kedua dipimpin oleh Haji Abdulgani, dan pasukan
ketiga dipimpin oleh Haji Tubagus Ismail.55
Haji Tubagus Ismail dan pasukannya berhasil menangkap Dumas
di rumah seorang Cina, Tang Heng Kok dan kemudian membunuhnya.
Selain itu juga jaksa dan ajun kolektor juga berhasil ditangkap oleh kaum
pemberontak. Setelah itu Haji Tubagus Ismail memimpin pasukannya
menuju rumah asisten residen.
Yang menarik untuk dilihat adalah mengenai sosok pemimpin
sebenarnya dari gerakan pemberontakan tersebut. Kaum pemberontak
menganggap bahwa Ki Wasid merupakan sosok pemimpin dan
memberikan gelar raja terhadap Ki Wasid. Selain Ki Wasid, yang
mendapat gelar tersebut juga adalah Haji Tubagus Ismail. Haji Tubagus
Ismail sendiri tidak suka dianggap demikian, melainkan sudah merasa puas
bertindak sebagai tangan kanan dan juga penasehat Ki Wasid. Meskipun
pengikut setia Ki Wasid mengangkap nya sebagai pemimpin atau raja,
akan tetapi Ki Wasid sendiri menolak gelar raja tersebut dan mengakui
Haji Tubagus Ismail sebagai atasannya serta calon raja.56 Alasan Ki
Wasid sendiri tidak lain adalah karena peran besar Haji Tubagus Ismail
dan juga darah kebangsawanan yang dipegang oleh Haji Tubagus Ismail.
Penyerbuan terhadap rumah-rumah dinas Eropa dan pejabat
pribumi terus berlangsung beberapa hari. Dengan semangat perjuangan
55Sartono Kartodirjo, Pemberontakan Petani Banten 1888. (Depok: Komunitas Bambu, 2015)
h. 235 56Sartono Kartodirjo, Pemberontakan Petani Banten 1888, h. 246
43
yang tinggi Haji Tubagus Ismail terus memimpin pasukannya. Dari
Cibeber ke Saneja kemudian menuju beberapa rumah tempat tinggal para
pejabat kolonial di kota Cilegon dan berakhir dengan terbunuhnya asisten
residen Cilegon J.H.H Gubbels dan 16 orang Eropa serta pejabat pribumi
lainnya, ditangan para pemberontak yang dipimpin oleh Haji Tubagus
Ismail tersebut.57
Setelah melakukan penyisiran di wilayah afdeling Cilegon pasukan
pemberontak diberangkatkan menuju Anyer dan Serang. Walapun kaum
pemberontak telah melumpuhkan afdeling Cilegon, akan tetapi
kemenangan itu tidak berlangsung lama. Ini sangat jelas karena meraka
bukanlah prajurit-prajurit reguler, melainkan mereka terdiri dari
masyarakat biasa ataupun petani-petani, walaupun dalam gerakan tersebut
terdapat juga beberapa pejabat dan kelompok lain tapi mereka tidaklah
siap untuk mengambil bagian dalam sebuah pertempuran yang
berlangsung lama. Selain itu mereka terlalu disilaukan oleh semangat
perang sabil yang dikobarkan oleh para pemimpin mereka dan adanya
pemahaman bahwa setiap perang sabil pastilah akan mendapat
kemenangan karena ada campur tangan Tuhan di dalamnya.
Jalannya pemberontakan yang hanya berjalan sebentar itu dapat
dipadamkan sebelum mereka menuju Serang. Dari kaum pemberontak itu
ada yang tewas ketika dalam pengejaran dan pertempuran dan ada juga
yang melarikan diri. Untuk menumpas pemberontak yang melarikan diri,
dikirim pasukan-pasukan ke berbagai jurusan. Pengejaran ini dilakukan
hingga menuju Banten Selatan.
C. Perjuangan Akhir Haji Tubagus Ismail
57 Tihami, Prosopografi Syeikh Nawawi (1813-1897) Biografi, Geneologi Intelektual, dan
Karya, (Serang: Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Provinsi Banten, 2014) h. 104
44
Babak akhir pemberontakan ini berawal pada pertempuran di
Toyomerto, ketika para pemberontak menghadapi tentara kolonial yang
melakukan pengejaran di bawah pimpinan Letnan Van Der Star. Pada saat
itu jumlah tentara kolonial lebih sedikit yaitu 28 tentara, dan jumlah para
pemberontak sekitar 300 orang, hanya saja prajurit-prajurit pemerintah
tersebut dibekali dengan persenjataan yang lengkap, sementara para
pemberontak hanya bersenjatakan tradisional. Dengan semangat perang
sabil kaum pemberontak maju menyerang prajurit-prajut pemerintah.
Dalam peristiwa ini kaum pemberontak mengalami kekalahan.58
Banyak faktor kenapa mereka mengalami kekalahan. Pada awal
gerakan, ketika menyerbu rumah-rumah pejabat, mereka hanyalah
menyerang per individu atau beberapa orang saja yang kondisinya sangat
tidak memungkinkan untuk melakukan perlawanan. Sedangkan pada arena
ini mereka berhadapan dengan sekelompok pasukan terlatih untuk
berperang dan diperlengkapi dengan senjata modern yang tidak pernah
mereka bayangkan sebelumnya. Tidak seperti informasi yang mereka
dapat selama ini dari pemimpin mereka, yang merujuk pada pertempuran
Haji Wasid. Tentu saja semua ini mempengaruhi keadaan psikologis
mereka, sehingga mereka mengalami pukulan yang sangat berat dan
mengalami kekecewaan. Mereka tidak lagi bersemangat untuk meneruskan
perang sabil tersebut, sehingga banyak dari mereka melarikan diri dan
tidak lagi meneruskan pertempuran.59
Haji Tubagus Ismail selaku pemimpin pemberontakan dan para
pengikutnya akhirnya diburu oleh pemerintah kolonial Belanda. Puluhan
tentara dengan senjata modern dikirim oleh pemerintah kolonial untuk
58 Tihami, Prosopografi Syeikh Nawawi (1813-1897) Biografi, Geneologi Intelektual, dan
Karya, (Serang: Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Provinsi Banten, 2014) h. 104 59 Kartodirjo, Pemberontakan Petani Banten 1888. (Depok: Komunitas Bambu, 2015) h. 265
45
menumpas pemberontakan yang dipimpin Ki Wasid dan Haji Tubagus
Ismail.
Puluhan polisi militer disebar ke berbagai kampung di berbagai
wilayah seperti Cilegon, Cibeber, Kramat Watu, Bojonegara, Serang,
Ciruas, Cikande, Tanara, dan Balaraja. Ekspedisi militer dan patroli
mengepung kampung Beji yang diduga menjadi tempat persembunyian
dari Haji Tubagus Ismail, Ki Wasid dan pasukannya. Penangkapan besar-
besaran dilakukan terhadap para aktivis di seluruh kampung di Cilegon,
Kramat Watu, Cibeber, dan Bojonegara. Dilaporkan 204 aktivis ditangkap.
Sebagian yang lain tetap melancarkan serangan dengan bergriliya.60
Ketika dirasakan perlawanan sia-sia karena operasi militer dengan
persenjataan lengkap besar-besaran yang dilakukan Pemerintah Kolonial
Belanda, Ki Wasid, Haji Tubagus Ismail dan pasukannya meninggalkan
Beji dan Gunung Gede dan mencari area lain yang dirasa aman. Sementara
itu Pemerintah Kolonial menawarkan hadiah sebesar 500 gulden bagi siapa
yang dapat menyerahkan Ki Wasid dan Haji Tubagus Ismail baik dalam
keadaan hidup ataupun mati.
Pada tanggal 13 Juli 1888 Haji Tubagus Ismail dengan 150 orang
pasukannya meninggalkan Gunung Gede dan bergerak ke arah
Balagendung, yang dikenal sebagai markas puluhan pemberontakan dalam
sejarah perlawanan orang Banten. Jalur yang dilewati adalah jalan raya
antara Anyer dan Serang. Pada malam hari tanggal 14 Juli 1888 mereka
berkemah didekat muara Sungai Krenceng dan keesokan harinya mereka
melanjutkan perjalanan menuju Medang Batu.
Tanggal 18 Juli Pemerintah Kolonial mengirimkan dua datasemen
untuk memburu Haji Tubagus Ismail dan pasukannya yang dikabarkan
60Mufti Ali, Biografi Ulama Banten seri ke 1, (Serang: Bantenologi, 2014) h. 89
46
akan meloloskan diri dari kejaran militer Belanda ke Batavia dengan
menggunakan perahu melalui pantai Barat. Sementara itu induk pasukan
yang dipimpin Ki Wasid dan Haji Tubagus Ismail tinggal 27 orang yang
terus melakukan perjuangan meskipun harus menemui kesulitan seperti
logistik, medan berat, hewan buas, dan kejaran operasi militer Belanda.61
Pelarian yang mereka lakukan akhirnya menemui perpecahan di
dalam kelompok pemberontak. Sebagian memilih meninggalkan pasukan,
Agus Suradikaria memilih mundur ke Cikande yang dikenal merupakan
tempat ideal untuk bersembunyi. KH. Madani dan Haji Jahli meninggalkan
pasukan tanpa alasan yang jelas. Sementara Haji Tubagus Ismail
menyarankan agar mereka terus melanjutkan pertempuran hingga titik
darah penghabisan.
Haji Tubagus Ismail kemudian mengumpulkan para santrinya dari
Gulacir dan Cilegon untuk melancarkan serangan akhir terhadap pasukan
militer Belanda. Pilihan ini harus diambil jika memang pasukan Ki Wasid
tidak ingin terus dikejar oleh pasukan militer Belanda yang semakin kuat.
Namun akhirnya Ki Wasid membujuk Haji Tubagus Ismail untuk memilih
mundur ke daerah hutan di Banten Selatan dengan mengikuti rute
sepanjang pantai Barat. Haji Tubagus Ismail akhirnya setuju dengan
usulan Ki Wasid dan kemudian melanjutkan grilya.
Pada tanggal 20 Juli 1888 Ki Wasid, Haji Tubagus Ismail dan
pasukannya berangkat dari hutan Medang Batu dengan menerobos hutan
belantara dengan medan yang sangat sulit menuju Caringin. Setelah satu
minggu di tengah hutan, tanggal 27 Juli mereka akhirnya berhasil
melewati Caringin dan berhasil menyebrangi Sungai Cibungur.
61Mufti Ali, Biografi Ulama Banten Seri 1.(Serang: Laboratorium Bantenologi, 2014) h. 90
47
Setelah 10 hari mereka meloloskan diri dari kejaran pasukan militer
Belanda, di sebuah desa di Sumur, Haji Tubagus Ismail, Ki Wasid dan 17
pasukannya disergap oleh militer Belanda di sebuah gubuk
persembunyian. Seolah sudah siap dengan pertempuran tersebut, mereka
melompat dari tempat persembunyian dan melakukan perlawanan
bermodalkan senjata yang mereka miliki yaitu golok dan tombak.
Pertempuran sengit tidak bisa dihindari, Haji Tubagus Ismail, Ki Wasid,
Haji Abdulgani, Haji Usman dan 7 pasukan lainnya mati syahid di tempat
pertempuran, sedangkan pasukan lainnya berhasil melarikan diri.62
Meskipun Haji Tubagus Ismail dikabarkan telah gugur dalam
pertempuran terakhir, tepatnya pada tanggal 29 Juli 1888, akan tetapi
murid-muridnya di daerah Gulacir dan Cilegon tidak mempercayainya.
Bukan tanpa alasan hal tersebut tidak dipercayai oleh para pengikut Haji
Tubagus Ismail. Para santri telah terlebih dahulu mendapatkan pesan dari
Tubagus Ismail mengenai jasad Tubagus Ismail yang nantinya akan
dibawa ke Gulacir merupakan jelmaan dari tongkatnya dan bukan asli
jasad Tubagus Ismail. Bahkan setelah peristiwa pertempuran terakhir Haji
Tubagus Ismail tersebut ada yang mempercayai bahwa Haji Tubagus
Ismail masih hidup dan berada di daerah Bandung.63
Keyakinan tersebut sampai sekarang masih diyakini oleh para
masyarakat dan keturunan Haji Tubagus Ismail itu sendiri sehingga
makam Haji Tubagus Ismail sendiri hingga sekarang tidak dijadikan situs
makam pahlawan atau tokoh pejuang.
62 Tihami, Prosopografi Syeikh Nawawi (1813-1897) Biografi, Geneologi Intelektual, dan
Karya, (Serang: Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Provinsi Banten, 2014) h. 107 63Wawancara dengan Tubagus Munir, tokoh agama kampung Gulacir, (Sukabares, 20 Januari
2020. Pukul 13.00 s/d 15.00 Wib).
48
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Gerakan pemberontakan petani Banten atau yang biasa disebut
peristiwa Geger Cilegon merupakan suatu peristiwa bersejarah yang
melibatkan berbagai elemen masyarakat. Kaum petani yang melakukan
pemberontakan dimotori oleh para tokoh agama terjadi dilatarbelakangi
beberapa faktor, baik itu faktor sosial, ekonomi, politik, dan akhirnya
didorong dengan bangkitnya keagamaan masyarakat Banten.
Banyak pembaharuan yang dilakukan oleh pemerintah kolonial
pada tatanan politik tradisional menuju ke arah sistem politik modern
Eropa yang akhirnya membuat masyarakat Banten merasa tidak
mendapatkan keadilan. Perubahan kebijakan-kebijakan di bidang politik
misalnya, kaum bangsawan yang semakin disingkirkan kekuatan
politiknya. Lalu dibidang ekonomi munculnya aturan-aturan baru
mengenai pajak, baik itu pajak yang berupa uang, atau pajak yang berupa
tenaga dinilai sangat merugikan dan menyengsarakan rakyat Banten yang
mayoritas bertani dan berdagang.
Kebangkitan agama Islam pada abad ke 19 XIX juga merupakan
faktor penting terjadinya pemberontakan tersebut. Para tokoh keagamaan
yang menimba ilmu ke Mekah membawa semangat jihad untuk
membebaskan Banten dari cengkraman penjajah kolonial Belanda.
Haji Tubagus Ismail memegang peran penting sebagai salah satu
pemimpin pemberontakan bersama Ki Wasid. Haji Tubagus Ismail yang
merupakan keturunan bangsawan dan seorang tokoh agama yang sangat
terpandang membuatnya sangat berperan dalam peristiwa geger Cilegon
ini. Memanfaatkan status sosialnya mempermudah Haji Tubagus Ismail
49
dalam mencari dukungan baik di kalangan sesama bangsawan maupun
menghimpun masyarakat biasa dengan cara berdakwah.
Masalah-masalah yang dihadapi oleh rakyat Banten akhirnya
membuat Haji Tubagus Ismail merasa perlu untuk melakukan sebuah
gerakan. Perannya sebagai pemimpin pemberontakan ini sangatlah besar,
hal tersebut dibuktikan dengan diakuinya Haji Tubagus Ismail oleh Ki
Wasid yang dianggap sebagai tokoh utama dalam pemberontakan.
Meskipun pengikut setia Ki Wasid menganggapnya sebagai
pemimpin atau raja, akan tetapi Ki Wasid sendiri menolak gelar raja
tersebut dan mengakui Haji Tubagus Ismail sebagai atasannya serta calon
raja. Alasan Ki Wasid sendiri tidak lain adalah karena peran besar Haji
Tubagus Ismail dan juga darah kebangsawanan yang dipegang oleh Haji
Tubagus Ismail.
Semangat perjuangan yang dikobarkan oleh Haji Tubagus Ismail
memang sudah tidak terelakkan lagi, perannya mulai dari persiapan
pemberontakan, menjadi pemimpin pemberontakan, hingga akhirnya mati
dalam medan pertempuran menjadi bukti bahwa Haji Tubagus Ismail
merupakan tokoh pahlawan yang seharusnya kita ketahui.
B. Saran
Mengingat terbatasnya sumber referensi dalam penulisan skripsi ini
penulis berharap kepada teman-teman akademisi agar menggali lebih
banyak mengenai tema yang sifatnya lokal, sehingga referensi yang
dibutuhkan untuk penelitian atau kajian pustaka semacam ini bisa lebih
memadai. Oleh karena keterbatasan referensi tersebut penulis menyadari
bahwa karyanya jauh dari kata sempurna. Namun penulis berharap karya
tulis ini dapat menambah wawasan dan referensi bagi para pembaca
50
khususnya akademisi dan masyarakat Banten yang menjadi objek utama
dalam pembahasan.
51
DAFTAR PUSTAKA
Sumber Sekunder:
Abdurrahman. Dudung, Metode Penelitian Sejarah, Jakarta: Logos
Wacana Ilmu, 1999.
Ali. Mufti, Biografi Ulama Banten Seri 1. Serang: Laboratorium
Bantenologi, 2014.
Darmawijaya. Kesultanan Islam Nusantara.Jakarta: Pustaka Al-
Kautsar, 2010.
Gottschalk. Louis, Mengerti Sejarah. Penerjemah Nugroho
Notosusanto Jakarta: UI Press, 2006.
Harsono. Budi, Hukum Agraria Indonesia: Sejarah Pembentukan
Undang-undang Agraria, Isi dan Pelaksanaannya, Jakarta: Djambatan,
1997.
Hurgronje. Snouck, Kumpulan Karangan Snouck Hurgronje,
Jakarta: INIS, 1993.
Kartodirjo. Sartono, Pemberontakan Petani Banten 1888. Depok:
Komunitas Bambu, 2015.
Lubis. Nina, Banten dalam Pergumulan Sejarah Sultan, Ulama,
Jawara, Jakarta: LP3S, 2004.
Madjilah. Mutia, Dokter Gerilya, Jakarta: Balai Pustaka, 1993, Cet
I
Michrob. Halwani, Catatan Masa Lalu Banten, Serang: Saudara
Serang, 2011.
Poesponegoro. Marwati Djoened, Sejarah Nasional Indonesia Jilid
VI Jakarta: Balai Pustaka, 2008.
52
Ricklefs. Sejarah Indonesia Modern cetakan III, Jakarta: Serambi,
2007.
Soekirno. Ade, Sunan Kalijaga, Jakarta PT. Gramedia Widia
Srana, 1997.
Steenbrink. Karel, Beberapa Aspek Tentang Islam di Indonesia
Abad Ke-19, Jakarta: Bulan Bintang, 1984.
Suhaedi, Perubahan Sosial di Banten: Kajian terhadap Mobilitas
Kiyai dan Jawara, Serang: Bantenologi, 2006.
Susan. Novri, Sosiologi Konflik Teori-teori dan Analisis Edisi
Ketiga. Jakarta: Kencana, 2009.
Mansyur Suryanegara. Ahmad, Api Sejarah I, (Bandung:
Salamadani, 2009)
Tihami, Prosopografi Syeikh Nawawi (1813-1897) Biografi,
Geneologi Intelektual, dan Karya, Serang: Dinas Kebudayaan dan
Pariwisata Provinsi Banten, 2014.
Ulumi. Helmy Faizi Bahrul, Masjid-Masjid Kuno di Banten,
Banten: Bantenologi, 2016.
Wasid, Ki Wasid Center: Memory dan Historiografi, Banten:
Yayasan KH Wasid, 1888.
Wawancara dengan Kyai Tubagus Abdul Aziz, tokoh ulama dan
pemimpin pesantren Miftahul Hidayah, Sukabares, 9 Desember 2019.
Pukul 13.00 s/d 15.00 Wib.
Wawancara dengan Tubagus Munir, tokoh agama kampung
Gulacir, Sukabares, 20 Januari 2020. Pukul 13.00 s/d 15.00 Wib.
53
Wuryantoro. Edi, Sejarah Nasional dan Ulama I, Jakarta: Balai
Pustaka, 1997.
Sumber Primer:
Hurgronje. Snouck, Mekka in the Latter Part of the 19th Century,
Boston: Brill, 2007.
54
Transkip Wawancara
Tubagus Munir (Cucu Haji Tubagus Ismail sekaligus tokoh masyarakat
kampung Gulacir):
P :Bagaimana sosok Haji Tubaggus Ismail selaku pemimpin
pemberontakan?
J : Haji Tubagus Ismail lahir tahun 1840. Haji Tubagus Ismail adalah sosok
ulama yang sangat disegani. Menurut kepercayaan warga lokal di sini
Tubagus Ismail itu selain keturunan bangsawan, beliau juga merupakan
keturunan seorang wali Allah. Banyak sekali karomah-karomahnya yang
sudah dirasakan oleh warga kampung Gulacir, seperti wiridan-wiridan
yang diajarkan beliau dipakai untuk menyembuhkan orang sakit dan lain
sebagainya.
Nah kalo peran Haji Tubagus Ismail dalam menyebarkan agama
dikampung Gulacir beliau sering mengadakan pengajian. Beliau
mendirikan masjid. Pembuatan awal masjid itu bangunannya sangat
sederhana dan sampai sekarang sudah direnofasi beberapa kali. Masjid ini
dulunya diberinama masjid Puser. Maksud dari nama masjid Puser ini
adalah karena dulu dimasjid ini merupakan sumber perputaran ilmu
agama. Selain itu juga Haji Tubagus Ismail mendirikan pesantren di
daerah Tanah Pasir Angin, tapi sekarang bangunannya sudah tidak ada
karena tidak dirawat.
Kalau peran Haji Tubagus Ismail dalam pemberontakan ini saya masih
kurang begitu tau jelas yah. Tapi yang saya denger-denger sih beliau
memimpin satu pasukan untuk memberontak, terus beliau juga menjadi
pemimpin bersama Ki Wasid.
Makam Haji Tubagus Ismail itu ada dipemakaman umum kampung
Gulacir. Tapi makamnya sudah tidak ada lagi, karena menurut
kepercayaan murid-murih Tubagus Ismail itu yang dikuburkan bukan
benar-benar jasad Tubagus Ismail, melainkan hanya tongkatnya yang
diserupakan seperti Tubagus Ismail. Sebelum Tubagus Ismail pergi dikejar
pasukan Belanda, belau berpesan kepada warga dan santri-santrinya, jika
nanti ada jasad yang diantarkan dan jasad itu menyerupai Tubagus Ismail,
tolong diurus dan dikuburkan secara layak. Tetpi itu sebenarnya bukanlah
55
Haji Tubagus Ismail melainkan hanya tongkat belau yang diserupakan
Haji Tubagus Ismail.
Kyai Tubagus Abdul Aziz (tokoh ulama dan pemimpin pesantren
Miftahul Hidayah)
P : Bagaimana biografi, silsilah, dan sosok Haji Tubagus Ismail semasa
hidupnya?
J :Tubagus Ismail adalah tokoh ulama Banten yang memperjuangkan hak-
hak rakyat pada waktu itu. Pada tahun 1888 tertjadi satu peristiwa yang
besar, yang biasa disebut dengan peristiwa Geger Cilegon. Tubagus Ismail
ini adalah salah satu pemimpin pemberontakan. Di kampung Gulacir yang
merupakan tempat kelahiran Tubagus Ismail itu sendiri, beliau merupakan
orang yang sangat disegani karena status sosialya yang bergelar tubagus
atau keturunan bangsawan.
Silsilah Tubagus Ismail: Tubagus Ismail bin Muhiyi bin Tubagus Urip
(Eyang Urip) bin Raden Putra bin Sultan Muhammad Zainal Abidin bin
Sultan Muhammad Nasruddin bin Sultan Abunnasri bin Abdul Qohar bin
Sultan Maulana Abu Ma’ari Ahmad bin Sultan Abdul Qadir Abdul Fattah
bin Sultan Maulana Yusuf bin Sultan Maulana Hasanuddin Banten.
Tubagus Ismail ini bukan Cuma ulama biasa, tetapi beliau ini sudah
menyentuh tingkatan para wali. Karomah Tubagus Ismail sering kali
dirasakan oleh warga kampung sini, pernah ada satu ketika, ada seseorang
yang digigit ular berbisa lalu ibu saya membacakan amalan-amalan yang
biasa dibaca oleh Tubagus Ismail, kemudian kakinya diusap-usap dan
sembuh tanpa berobat. Dari situ ibu saya yang merupakan cucu dari
Tubagus Ismail mulai sering banyak dimintai tolong oleh orang-orang
yang sedang sakit untuk menyembuhkannya. Selain itu juga karomah
Tubagus Ismail sendiri dipercayai pada saat beliau meninggal.
Kabarnya sebelum Tubagus Ismail dikejar oleh tentara Belanda, pada
waktu itu Tubagus Ismail berpesan kepada muridnya, nanti kalau ada jasad
yang diantarkan berwujud jasad saya, tolong diurus dengan baik,
dikuburkan secara layak, tapi sebenarnya jasad itu bukan jasad asli saya,
melainkan cuma tongkat saya yang saya serupakan menjadi saya. Nah
setelah pada waktu itu Belanda dikabarkan menagkap Tubagus Ismail dan
56
membunuhnya lalu kemudian jasadnya dibawa ke kampung Gulacir ini
maka santri-santrinya menguburkannya. Padahal santri-santrinya sudah tau
kalau yang mereka kuburkan itu tidak lain hanya tongkatnya saja.
Dikabarkan juga setelah kejadian tersebut ada yang melihat sosok Tubagus
Ismail ini berada di Bandung, tapi saya kurang tau persis tempatnya di
mana.
57
LAMPIRAN-LAMPIRAN
Gambar 1: Para Tawanan Geger Cilegon di depan penjara Cilegon
58
Gambar 2: Tubagus Abdul Aziz, Cucu Haji Tubagus Ismail dan pemimpin
pondok pesantren Miftahul Hidayah kampung Gulacir
Gambar 3: Tubagus Munir, Tokoh agama sekaligus cucu Haji Tubagus
Ismail (kampung Gulacir)
59
Gambar 4: Gerbang Masjid Tubagus Ismail kampung Gulacir, bekas
markas perundingan pemberontakan petani Banten.
Gambar 5: penampakan dalam Masjid Tubagus Ismail kampung
Gulacir.
60
Gambar 6: Mushaf Al-Qur’an peninggalan Haji Tubagus Ismail.
Gambar 7: Tombak peninggalan Tubagus Ismail yang ujung tombaknya
menyerupai cabang lidah ular.