peranan badan penyelesaian sengketa konsumen
TRANSCRIPT
![Page 1: Peranan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen](https://reader036.vdokumen.com/reader036/viewer/2022082219/55cf9a55550346d033a144dd/html5/thumbnails/1.jpg)
PERANAN BADAN PENYELESAIAN SENGKETA KONSUMEN (BPSK) DALAM HUBUNGAN DENGAN PENGAWASAN KLAUSULA BAKU DALAM PRAKTIK
Februari 22, 2013 · oleh mnfauzy · in Uncategorized · Tinggalkan Komentar
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pencantuman suatu klausul baku dalam penawaran suatu produk barang dan/atau jasa merupakan
sesuatu yang diperbolehkan selama sesuai dengan ketentuan sebagaimana yang diatur dalam
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (Selanjutnya disebut
UUPK). Dengan pencantuman klausul baku tersebut akan memberikan sesuatu hal yang
menguntungkan karena sifatnya lebih praktis dan efisien. Namun dalam praktek, pencantuman
klausul baku seringkali memberatkan salah satu pihak dalam hal ini adalah konsumen yang
meskipun demikian seringkali konsumen harus menerima kondisi tidak seimbang tersebut karena
pada hakikatnya membutuhkan produk barang dan/atau jasa tersebut.
Lemahnya posisi konsumen dalam memilih sebuah produk barang dan/atau jasa tertentu yang
sudah dicantumkan klausul baku yang memuat sifat merugikan, mulai diakomodasi dengan
adanya Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Pada Pasal 18
ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen tersebut sudah
diatur mengenai kriteria-kriteria klausul baku yang dilarang. Diantaranya klausul baku yang
menyatakan pengalihan tanggung jawab pelaku usaha (huruf a Pasal 18 ayat (1) Undang-Undang
Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen) atau yang dikenal dengan sebutan
klausul eksenorasi.
Atas kerugian-kerugian yang mungkin ditanggung oleh konsumen sebagai akibat pencantuman
suatu klausul baku, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen
tersebut juga mengakomodasi dengan adanya ketentuan Pasal 49 ayat (1) yang menetapkan
pembentukan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (selanjutnya disebut BPSK). Kemudian
dalam Pasal 52 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen ini,
tercantum tugas BPSK yaitu: memberikan konsultasi perlindungan konsumen, melakukan
pengawasan terhadap pencantuman klausul baku, dan menerima pengaduan konsumen atas
terjadinya pelanggaran perlindungan konsumen, serta tugas-tugas lainnya .
Akan tetapi dalam prakteknya, masih banyak ditemukan kendala bagi konsumen dalam
memperjuangkan hak-haknya menyangkut adanya kerugian-kerugian yang diakibatkan oleh
pencantuman klausul baku dalam produk barang dan/atau jasa yang sudah dibelinya.
Pencantuman klausul baku yang sifatnya dilarang berdasarkan Pasal 18 ayat (1) Undang-Undang
Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen masih banyak ditemukan dalam berbagai
![Page 2: Peranan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen](https://reader036.vdokumen.com/reader036/viewer/2022082219/55cf9a55550346d033a144dd/html5/thumbnails/2.jpg)
penawaran produk barang dan/atau jasa, sekalipun dijelaskan telah dibentuk Badan Penyelesaian
Sengketa Konsumen sebagai sebuah badan yang mempunyai kewenangan melakukan
pengawasan terhadap pencantuman klausul baku.
Berdasarkan uraian tersebut diatas, maka penulis tuangkan dalam sebuah makalah dengan judul
”Peranan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) dalam hubungan dengan
Pengawasan Klausul Baku dalam Praktek.”
A. Identifikasi Masalah
Berdasarkan uraian yang telah dikemukakan dalam latar belakang di atas, maka penulis
mengidentifikasikan permasalahan sebagai berikut :
1. Bagaimana efektivitas Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) dalam menjalankan
kewenangannya mengawasi pencantuman klausul baku dikaitkan dengan Pasal 52 Undang-
Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen?
2. Bagaimana kekuatan hukum putusan BPSK menurut Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999
Tentang Perlindungan Konsumen?
BAB II
BADAN PENYELESAIAN SENGKETA KONSUMEN SEBAGAI BADAN YANG
BERWENANG MELAKUKAN PENGAWASAN TERHADAP KLAUSUL BAKU
A. Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen sebagai Lembaga Penegak Undang-Undang
Perlindungan Konsumen.
Ketentuan Pasal 49 ayat (1) Undang-Undang Perlindungan Konsumen menetapkan pembentukan
Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) pada Daerah Tingkat II (Kabupaten), hal ini
memperlihatkan maksud pembuat Undang-Undang bahwa putusan BPSK sebagai badan
penyelesaian sengketa konsumen di luar pengadilan tidak ada upaya banding dan kasasi.
Rumusan dalam Pasal 49 ayat (1) di atas ini, menyangkut tugas Badan Penyelesaian Sengketa
Konsumen (BPSK) “ Untuk penyelesaian sengketa konsumen di luar pengadilan adalah tugas
pokok, sebab masih ada tugas lain dari Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK), yaitu:
memberikan konsultasi perlindungan konsumen, melakukan pengawasan terhadap pencantuman
klausula baku, dan menerima pengaduan konsumen atas terjadinya pelanggaran perlindungan
konsumen , serta tugas –tugas lainnya.
Undang-undang perlindungan konsumen dalam upaya memberdayakan konsumen menuntut hak-
haknya terhadap pelaku usaha, menentukan bahwa konsumen dapat mengajukan gugatan kepada
pelaku usaha di tempat konsumen yang bersangkutan berdomisili ( bertempat tinggal ). Upaya
pemberdayaan melalui kemudahan menuntut pelaku usaha di tempat tinggal konsumen belum
sepenuhnya dapat dilaksanakan.
![Page 3: Peranan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen](https://reader036.vdokumen.com/reader036/viewer/2022082219/55cf9a55550346d033a144dd/html5/thumbnails/3.jpg)
Bagi konsumen yang di daerahnya ( Daerah Tingkat II) belum dibentuk BPSK, seperti konsumen
di Jayapura, Ambon, Mataram , dan sebagainya, harus datang ke Kota Makasaar sebagai kota
tempat. BPSK yang terdekat berada, kecuali jika konsumen tersebut menuntut pelaku usaha
melalui lembaga peradilan umum. Dapat diketahui, bahwa hambatan yang sudah jelas
mempengaruhi penegakan hukum di bidang perlindungan konsumen adalah faktor ekonomi ,
sarana dan prasarana yang tidak memadai.
Pasal 50 dan 51 mengenai Badan Penyelesaian sengketa konsumen. Sedangkan Pasal 52
mengenai Tugas dan wewenang Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen meliputi :
a. Melaksanakan penanganan dan penyelesaian sengketa konsumen , dengan cara melalui
mediasi atau arbitase atau konsiliasi;
b. Memberikan konsultasi perlindungan konsumen;
c. Melakukan pengawasan terhadap pencantuman Klausula baku;
d. Melaporkan kepada penyidik umum apabila terjadi pelanggaran ketentuan dalam undang-
undang ini;
e. Menerima pengaduan baik tertulis maupun tidak tertulis dari konsumen tentang terjadinya
pelanggaran terhadap perlindungan konsumenn ;
f. Melakukan penelitian dan pemeriksaan sengketa perlindungan konsumen;
g. Memanggil pelaku usaha yang diduga telah melakukan pelanggarn terhadap perlindungan
konsumen;
h. Memanggil dan menghadirkan saksi, saksi ahli, dan atau setiap orang yang dianggap
mengetahui pelanggaran terhadap undang-undang ini;
i. Meminta bantuan penyidik untuk menghadirkan pelaku usaha, saksi, saksi ahli, atau setiap
orang sebagaimana dimaksud pada huruf g dan huruf h, yang tidak bersedia memenuhi panggilan
Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen;
j. Mendapatkan, meneliti dan/atau menilai surat, dokumen, atau alat bukti lain guna penyelidikan
dan atau pemeriksaan;
k. Memutuskan dan menetapkan atau tidak adanya kerugian pihak konsumen;
l. Memberitahukan putusan kepada pelaku usaha yang melakukan pelanggaran terhadap
perlindungan konsumen;
m. Menjatuhkan sanksi administratif kepada pelaku usaha yanng melanggar ketentuan undang-
undang ini.
B. Klausul Baku Ditinjau Dari Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan
Konsumen
Perjanjian baku atau standard contract, merupakan perjanjian yang telah ditentukan dan
dituangkan dalam bentuk formulir. Mengenai perjanjian baku berlaku adagium ”take it or leave it
contract.” Jika setuju silakan diambil jika tidak maka tinggalkan saja, artinya perjanjian tersebut
![Page 4: Peranan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen](https://reader036.vdokumen.com/reader036/viewer/2022082219/55cf9a55550346d033a144dd/html5/thumbnails/4.jpg)
tidak dilakukan. Kondisi seperti ini menjadikan konsumen memiliki posisi tawar yang lemah.
Disatu sisi konsumen sangat membutuhkan produk dan atau jasa yang ditawarkan, disisi lain
konsumen tidak dapat menegosiasikan apa yang tercantum dalam perjanjian tersebut
sebagaimana menurut asas kebebasan berkontrak.
Memperhatikan keadaan yang demikian, banyak isi perjanjian baku yang memberatkan atau
merugikan konsumen. Lazimnya syarat-syarat dalam perjanjian baku tersebut adalah mengenai:
1. cara mengakhiri perjanjian;
2. cara memperpanjang berlakunya perjanjian;
3. cara penyelesaian sengketa;
4. klausula eksonerasi.
Perjanjian baku merupakan suatu perjanjian yang memuat syarat-syarat tertentu sehingga terlihat
lebih “menguntungkan” bagi pihak yang mempersiapkan pembuatannya.
Berkaitan dengan sengketa konsumen, perhatian utama mengenai perjanjian baku tersebut adalah
adanya klausula eksonerasi. Menurut Rijken,
”Klausula eksonerasi adalah klausul yang dicantumkan didalam suatu perjanjian dengan mana
satu pihak menghindarkan diri untuk memenuhi kewajibannya dengan membayar ganti rugi
seluruhnya atau terbatas,yang terjadi karena ingkar janji atau perbuatan melawan hukum.”
Berkaitan dengan klausul baku tersebut terdapat dalam Pasal 1 Angka 10 Undang-Undang
Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen bahwa:
”Klausula baku adalah setiap aturan atau ketentuan dan syarat-syarat yang telah dipersiapkan dan
ditetapkan terlebih dahulu secara sepihak oleh pelaku usaha yang dituangkan dalam suatu
dokumen dan/atau perjanjian yang mengikat dan wajib dipenuhi oleh konsumen.”
Pada dasarnya, Undang-Undang Perlindungan Konsumen mengakui adanya perjanjian baku
tersebut. Akan tetapi, mengenai perjanjian baku ini diatur dalam Pasal 18 UUPK yaitu :
1. Pelaku usaha dalam menawarkan barang dan atau jasa yang ditujukan untuk diperdagangkan
dilarang membuat atau mencantumkan klausula baku pada setiap dokumen dan/ atau perjanjian
apabila :
a. Menyatakan pengalihan tanggung jawab pelaku usaha;
b. Menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali barang yang dibeli
konsumen;
c. Menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali uang yang dibayarkan
atas barang dan atau jasa yang dibeli oleh konsumen;
d. Menyatakan pemberian kuasa dari konsumen kepada pelaku usaha baik secara langsung
maupun tidak langsung untuk melakukan segala tindakan sepihak yang berkaitan dengan barang
yang dibeli oleh konsumen secara angsuran;
e. Mengatur perihal pembuktian atas hilangnya kegunaan barang atau pemanfaatan jasa yang
![Page 5: Peranan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen](https://reader036.vdokumen.com/reader036/viewer/2022082219/55cf9a55550346d033a144dd/html5/thumbnails/5.jpg)
dibeli oleh konsumen;
f. Memberi hak kepada pelaku usaha untuk mengurangi manfaat jasa atau mengurangi harta
kekayaan konsumen yang menjadi objek jual beli jasa;
g. Menyatakan tunduknya konsumen kepada peraturan yang berupa aturan baru , tambahan,
lanjutan dan / atau pengubahan lanjutan yang dibuat sepihak oleh pelaku usaha dalam masa
konsumen memanfaatkan jasa yang dibelinya ;
h. Menyatakan bahwa konsumen memberi kuasa kepada pelaku usaha untuk pembebanan hak
tanggungan , hak gadai, atau hak jaminan terhadap barang yang dibeli oleh konsumen secara
ansuran
2. Pelaku usaha dilarang mencantumkan klausula baku yang letak atau bentuknya sulit terlihat
atau tidak dapat dibaca secara jelas , atau yang pengungkapannya sulit dimengerti.
3. Setiap klausula baku yang telah ditetapkan oleh pelaku usaha pada dokumen atau perjanjian
yang memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dinyatakan batal
demi hukum.
4. Pelaku usaha wajib menyesuaikan klausula baku yang bertentangan dengan undang-undang
ini.
Ketentuan tersebut secara prinsip mengatur dua macam larangan yang diberlakukan bagi para
pelaku usaha yang membuat perjanjian baku dan/atau mencantumkan klausula baku dalam
perjanjian yang dibuat olehnya. Hal ini dimaksudkan untuk melindungi konsumen dari
pembuatan klausula baku yang semena-mena dari para pelaku usaha, sehingga setiap individu
mempunyai kedudukan yang sama di dalam hukum untuk melaksanakan dan meneguhkan hak-
haknya.
ketentuan Pasal 18 UUPK ini bersifat membatasi atau mengurangi prestasi yang harus dilakukan
oleh pelaku usaha dan mengurangi hak konsumen untuk melakukan penawaran terhadap barang
atau jasa yang ditawarkan oleh pelaku usaha.
BAB III
PENGAWASAN PENCANTUMAN KLAUSUL BAKU OLEH BPSK DAN KEKUATAN
HUKUM DARI PUTUSAN BPSK
A. Efektivitas Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen ( BPSK) dalam menjalankan
kewenangannya mengawasi pencantuman klausul baku.
![Page 6: Peranan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen](https://reader036.vdokumen.com/reader036/viewer/2022082219/55cf9a55550346d033a144dd/html5/thumbnails/6.jpg)
BPSK adalah badan yang dibentuk melalui Keppres No. 90 Tahun 2001 di sepuluh kota di
Indonesia. Yaitu suatu lembaga yang berwenang untuk menyelesaikan sengketa konsumen diluar
pengadilan. Tujuan pembentukkan BPSK adalah untuk melindungi konsumen maupun pelaku
usaha dengan menciptakan sistem perlindungan konsumen yang mengandung unsur kepastian
hukum dan keterbukaan informasi .
Dalam dunia usaha, terdapat perjanjian yang mencantumkan klausul baku yang menempatkan
posisi tidak seimbang antara pelaku usaha dan konsumen, pada akhirnya akan melahirkan
perjanjian yang merugikan konsumen. Undang-undang Perlindungan Konsumen (UUPK) tidak
merumuskan pengertian perjanjian baku, tapi menggunakan istilah klausula baku.
Menurut Pasal 1 ayat (10) UUPK dirumuskan, klausula baku adalah setiap aturan atau ketentuan
dan syarat-syarat yang telah dipersiapkan dan ditetapkan terlebih dahulu secara sepihak oleh
pelaku usaha yang dituangkan dalam suatu dokumen dan/atau perjanjian yang mengikat dan
wajib dipenuhi konsumen.
UUPK tidak melarang pelaku usaha untuk membuat klausula baku atas setiap dokumen dan
perjanjian transaksi usaha perdagangan barang atau jasa, selama dan sepanjang klausula baku
tersebut tidak mencantumkan ketentuan sebagaimana dilarang dalam Pasal 18 ayat (1), serta
tidak “berbentuk” sebagaimana dilarang dalam pasal 18 ayat (2) UUPK tersebut”.
Tujuan penggunaan klausula baku dalam kegiatan bisnis sebenarnya untuk menghemat waktu
dalam setiap kegiatan jual beli, amat tidak efisien apabila setiap terjadi transaksi antara pihak
penjual dan pembeli, mereka membicarakan mengenai isi kontrak jual beli. Karenanya, dalam
suatu kontrak standar dicantumkan klausul-klausul yang umumnya digunakan dalam kontrak jual
beli.
Untuk mewujudkan perlindungan konsumen, terlebih lagi dalam hal pencantuman klausula baku
yang sering menghantarkan atau konsumen sering merasa dirugikan dengan adanya klausuala
baku yang berisikan perjanjian atau ketentuan yang dibuat secara sepihak oleh pelaku usaha,
maka dilakukanlah suatu pengawasan dalam pencantuman klauasula baku tersebut. Pengawasan
ini tentunya dilakuan lembaga yang memiliki kewenangan akan pelasanaan pengawasan terhadap
klausula baku tersebut. Lembaga tersebut adalah Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen atau
lebih sering disebut dengan singkatan BPSK.
(BPSK) ditugaskan untuk mengawasi pencantuman klausula baku, selain menyelesaikan
sengketa konsumen. Namun, BPSK bersifat pasif dan hanya bertindak jika ada pengaduan atau
keluhan konsumen. BPSK juga gamang, tidak merasa berwenang menindak pencantuman
klausula baku yang dilarang. Tindakah BPSK sebatas meminta pelaku usaha untuk menghapus
klausula yang diarang itu jika timbul sengketa.
Ada delapan jenis klausula baku yang dilarang dalam UU Perlindungan Konsumen. Artinya,
klausula baku selain itu sah dan mengikat secara hukum. Klausula baku dilarang mengadung
unsur-unsur atau pernyataan :
![Page 7: Peranan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen](https://reader036.vdokumen.com/reader036/viewer/2022082219/55cf9a55550346d033a144dd/html5/thumbnails/7.jpg)
1. Pengalihan tanggungjawab dari pelaku usaha (atau pengusaha) kepada konsumen
2. Hak pengusaha untuk menolak mengembalikan barang yang dibeli konsumen
3. Hak pengusaha untuk menyerahkan uang yang dibayarkan atas barang atau jasa yang dibeli
oleh konsumen
4. Pemberian kuasa dari konsumen kepada pengusaha untuk melakukan segala tindakan sepihak
berkaitan dengan barang yang dibeli secara angsuran
5. Mengatur perihal pembuktian atas hilangnya kegunaan barang atau pemanfaatan jasa yang
dibeli konsumen
6. Hak pengusaha untuk mengurangi manfaat jasa atau mengurangi harta kekayaan konsumen
yang menjadi obyek jual beli jasa
7. Tunduknya konsumen kepada peraturan yang berupa aturan baru, tambahan atau lanjutan yang
dibuat sepihak oleh pengusaha semasa konsumen memanfaatkan jasa yang dibelinya
8. Pemberian kuasa kepada pengusaha untuk pembebanan tanggungan gadai, atau hak jaminan
terhadap barang yang dibeli oleh konsumen secara angsuran
Selain itu, pengusaha juga dilarang mencantumkan klausula baku yang letak atau bentuknya sulit
terlihat atau tak dapat jelas dibaca, atau yang maksudnya sulit dimengerti. Jika pengusaha tetap
mencantumkan klausula baku yang dilarang tersebut, maka klausula itu batal demi hukum.
Artinya, klausula itu dianggap tidak pernah ada.
Salah satu kewenangan BPSK sebagaimana termaktub dalam Pasal 52 huruf c UUPK adalah
melakukan pengawasan terhadap pencantuman klausula baku. Ketentuan ini diperjelas dalam
Pasal 9 Keputusan menteri perindustrian dan perdagangan nomor 350 tahun 2001 tentang
pelaksanaan tugas dan wewenang badan penyelesaian sengketa konsumen (selanjutnya disebut
Kepmenperindag no 350/2001) yang menyebutkan bahwa :
Pasal 9
(1) Pengawasan terhadap pencantuman klausula baku, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3
huruf c, dilakukan oleh BPSK dengan atau tanpa pengaduan dari konsumen.
(2) Hasil pengawasan pencantuman klausula baku sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) yang
membuktikan adanya pelanggaran terhadap larangan pencantuman klausula baku di dalam
Undang-undang Perlindungan Konsumen, diberitahukan secara tertulis kepada pelaku usaha
sebagai peringatan.
(3) Peringkatan tertulis sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dilakukan 3 (tiga) kali berturut-
turut dengan tenggang waktu untuk masing-masing peringatan 1 (satu) bulan.
(4) Bilamana pelaku usaha tidak mengindahkan peringatan tertulis sebagaimana dimaksud dalam
ayat (3), maka BPSK melaporkan kepada Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) yang ruang
lingkup tugas dan tanggung jawabnya di bidang Perlindungan Konsumen untuk dilakukan
penyidikan dan proses penuntutan sesuai dengan ketentuan peraturan yang berlaku.
![Page 8: Peranan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen](https://reader036.vdokumen.com/reader036/viewer/2022082219/55cf9a55550346d033a144dd/html5/thumbnails/8.jpg)
Ketentuan diatas jelas menyebutkan bahwa BPSK dapat melakukan pengawasan terhadap
klausula baku dengan atau tanpa pengaduan dari konsumen. Artinya BPSK dapat secara aktif
melakukan pengawasan terhadap pencantuman klausula baku.
Fakta yang terjadi adalah BPSK tidak secara aktif mengawasi klausula baku, penyebabnya
adalah kewenangan dan tata cara menjalankan kewenangan untuk mengawasi klausula baku
tidak diterangkan lebih lanjut dalam penjelasan ataupun peraturan pelaksanaannya.
Faktor lain adalah BPSK lebih memilih berperan pasif karena BPSK memiliki juga kewenangan
sebagai lembaga penyelesaian sengketa konsumen di luar pengadilan, sehingga BPSK menunggu
laporan dari konsumen yang merasa dirugikan.
B. Kekuatan hukum putusan BPSK menurut Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang
Perlindungan Konsumen.
Putusan BPSK merupakan putusan yang final dan mengikat sebagaimana termaktub dalam Pasal
54 ayat (3) UUPK. Sesuai dengan ketentuan tersebut, maka putusan tersebut tidak memerlukan
upaya hukum lanjutan, karena dengan adanya putusan final, maka dengan sendirinya sengketa
yang diperiksa telah berakhir dan para pihak yang bersengketa harus tunduk dan melaksanakan
putusan yang sudah final tersebut .
Setiap putusan, baik putusan hakim maupun putusan arbitrase pada dasarnya merupakan hukum
yang mengikat semata-mata para pihak yang bersangkutan. Artinya, putusan hakim menentukan
hukum yang konkret bagi pihak-pihak tertentu dalam suatu peristiwa yang konkret pula . Karena
sifatnya yang mengikat itulah, utusan yang telah dijatuhkan itu haruslah dihormati oleh kedua
belah pihak. Salah satu pihak tidak boleh bertindak bertentangan dengan putusan .
Suatu putusan memperoleh kekuatan hukum yang pasti atau tetap (inkracht van gewijsde)
apabila tidak ada lagi upaya hukum tersedia, khususnya upaya hukum biasa yang terdiri dari
perlawanan (verzet), banding, dan kasasi. Kekuatan hukum yang tetap artinya adalah putusan itu
tidak dapat lagi dirubah, sekalipun oleh pengadilan yang lebih tinggi, kecuali dengan upaya
hukum yang khusus, yaitu request civil dan perlawanan pihak ketiga .
Ketentuan Pasal 56 ayat (2) UUPK mengenai diperbolehkannya upaya pengajuan keberatan
terhadap putusan BPSK ke Pengadilan Negeri memperlihatkan bahwa UUPK tidak konsisten
dalam mengatur ketentuan mengenai sifat putusan BPSK. Ketentuan tersebut memperlihatkan
bahwa pembuat undang-undang memang menghendaki campur tangan pengadilan untuk
menyelesaikan sengketa konsumen.
Berkaitan dengan upaya hukum “keberatan” terhadap putusan BPSK, terdapat permasalahan
seperti :
1. Terminologi “keberatan” tidak dikenal dalam sistem hukum acara yang ada,
2. Upaya hukum “keberatan” dapat dianalogikan dengan upaya hukum “banding” atau tidak.
Peraturan Mahkamah Agung nomor 1 tahun 2006 tentang tata cara pengajuan keberatan terhadap
![Page 9: Peranan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen](https://reader036.vdokumen.com/reader036/viewer/2022082219/55cf9a55550346d033a144dd/html5/thumbnails/9.jpg)
putusan badan penyelesaian sengketa konsumen, Pasal 1 angka 3, mengartikan Keberatan
sebagai upaya bagi pelaku usaha dan konsumen yang tidak menerima putusan BPSK.
Upaya hukum banding adalah upaya yang diberikan undang-undang untuk mengajukan
perkaranya kepada pengadilan yang lebih tinggi untuk dimintakan pemeriksaan ulang atas
putusan pengadilan tingkat pertama . Dalam upaya hukum keberatan, dilakukan pemeriksaan
yang berdasarkan atas putusan BPSK dan berkas perkara. Lembaga BPSK seolah-olah
ditempatkan sebagai lembaga peradilan tingkat pertama, sedangkan pengadilan negeri di tingkat
banding.
Upaya hukum keberatan terhadap putusan BPSK merupakan terobosan hukum baru, karena jika
digunakan terminologi upaya hukum banding terhadap putusan BPSK, dan prosedurnya sesuai
dengan hukum acara perdata, maka penyelesaian sengketa konsumen akan menjadi lama seperti
peradilan biasa karena tidak memiliki jangka waktu sebagaimana ditentukan dalam UUPK.
Upaya hukum keberatan membuat ketentuan arbitrase BPSK menyimpang dengan ketentuan
umum mengenai arbitrase yang diatur dalam Undang-undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang
Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa (selanjutnya disebut UU Arbitrase), dimana
putusan dari badan arbitrase adalah putusan yang final, tidak dapat dibanding, dan tidak dapat
diajukan ke pengadilan negeri.
Suatu putusan dimaksudkan untuk menyelesaikan suatu persoalan atau sengketa dan menetapkan
hak atau hukumnya, hal ini tidak berarti semata-mata hanya menetapkan hak dan hukumnya saja,
melainkan juga realisasi atau pelaksanaannya (eksekusi) secara paksa .
Eksekusi putusan adalah realisasi kewajiban pihak yang bersangkutan untuk memenuhi prestasi
yang tercantum dalam putusan tersebut. Eksekusi dengan kata lain berarti pula pelaksanaan isi
putusan hakim yang dilakukan secara paksa dengan bantuan pengadilan apabila pihak yang kalah
tidak mau melaksanakan putusan secara sukarela .
Pasal 57 UUPK mengatur bahwa putusan BPSK dimintakan penetapan eksekusinya kepada
pengadilan negeri. Secara normatif, setiap putusan, baik putusan pengadilan maupun arbitrase
harus memuat kepala putusan yang berbunyi : “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan yang
Maha Esa.” Kepala putusan itulah yang memiliki kekuatan eksekutorial terhadap putusan .
Apabila tidak dilakukan keberatan terhadap putusan BPSK, maka putusan BPSK tersebut telah
mempunyai kekuatan hukum tetap, namun BPSK masih perlu meminta penetapan fiat eksekusi
ke pengadilan negeri. Artinya putusan BPSK belum memiliki kekuatan eksekutorial jika tidak
dimintakan penetapan fiat eksekusi ke pengadilan negeri.
Baik UUPK dan Kepmenperindag no 350/2001, tidak mengatur mengenai kewajiban
pencantuman irah-irah “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan yang Maha Esa”. Hal ini
dikarenakan secara struktural, kedudukan BPSK berada dibawah Departemen Perdagangan,
sedangkan HIR/RBG dan Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman
merupakan peraturan yang berlaku bagi badan peradilan.
![Page 10: Peranan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen](https://reader036.vdokumen.com/reader036/viewer/2022082219/55cf9a55550346d033a144dd/html5/thumbnails/10.jpg)
Pasal 52 huruf k UUPK dikatakan bahwa BPSK memutuskan dan menetapkan ada atau tidak
adanya kerugian di pihak konsumen. Selanjutnya menurut Pasal 57 UUPK, putusan BPSK
tersebut dimintakan penetapan eksekusi kepada pengadilan negeri tempat konsumen dirugikan.
Putusan yang diambil dan dijatuhkan oleh BPSK apabila gugatan dikabulkan dan harus berisi
amar/diktum (condemnatoir), harus dilandasi putusan memuat amar tentang besarnya ganti
kerugian yang pasti . Jadi putusan BPSK yang dapat dieksekusi hanya putusan BPSK yang
memuat besarnya ganti kerugian.
BAB IV
SIMPULAN
Pada bagian akhir makalah ini, kami akan mengutarakan simpulan sebagai hasil dari penelitian,
yang terdiri dari :
1. BPSK dalam menjalankan kewenangannya mengawasi pencantuman klausul baku adalah
tidak efektif, BPSK dapat melakukan pengawasan terhadap klausula baku dengan atau tanpa
pengaduan dari konsumen. Fakta yang terjadi adalah BPSK tidak secara aktif mengawasi
klausula baku.
2. Putusan BPSK memiliki kekuatan hukum menurut UUPK sebagai putusan yang final dan
mengikat, Apabila tidak dilakukan keberatan terhadap putusan BPSK, maka putusan BPSK
tersebut telah mempunyai kekuatan hukum tetap, namun BPSK masih perlu meminta penetapan
fiat eksekusi ke pengadilan negeri. Artinya putusan BPSK belum memiliki kekuatan eksekutorial
jika tidak dimintakan penetapan fiat eksekusi ke pengadilan negeri. Kekuatan putusan BPSK
dalam hal penyelesaian sengketa dilakukan secara arbitrase tidak dilakukan sesuai dengan kaidah
arbitrase pada umumnya karena terhadap putusan BPSK dapat diajukan Keberatan dan Kasasi.