peran perawat dalam menangani pasien dengan...
TRANSCRIPT
PERAN PERAWAT DALAM MENANGANI PASIEN DENGAN
GANGGUAN IMA (INFARK MIOKARD AKUT)DI
INSTALASI GAWAT DARURAT RUMAH SAKIT
Dr. MOEWARDI SURAKARTA
SKRIPSI
“Untuk Memenuhi PersyaratanMencapai Sarjana Keperawatan”
Oleh :
Merlyn Gischa Sofyana
NIM. S11026
PROGRAM STUDI S-1 KEPERAWATAN
STIKES KUSUMA HUSADA
SURAKARTA
2015
iii
SURAT PERNYATAAN
Yang bertanda tangan dibawah ini :
Nama : Merlyn Gischa Sofyana
NIM : NIM. S11026
Dengan ini saya menyatakan bahwa :
1. Karya tulis saya, skripsi ini adalah asli dan belum pernah diajukan untuk
mendapatkan gelar akademik (sarjana), baik di STIKes Kusuma Husada
Surakarta maupun di perguruan tinggi lain.
2. Karya tulis ini adalah murni gagasan, rumusan, dan penelitian saya sendiri,
tanpa bantuan pihak lain, kecuali arahan Tim Pembimbing dan masukan Tim
Penguji.
3. Dalam karya tulis ini tidak terdapat karya atau pendapat yang telah ditulis
atau dipublikasikan orang lain, kecuali secara tertulis dengan jelas
dicantumkan sebagai acuan dalam naskah dengan disebutkan nama pengarang
dan dicantumkan dalam daftar pustaka.
4. Pernyataan ini saya buat sesungguhnya dan apabila dikemudian hari terdapat
penyimpangan dan ketidakbenaran dalam pernyataan ini, maka saya bersedia
menerima sanksi akademik berupa pencabutan gelar yang telah diperoleh
karena karya ini, serta sanksi lainnya sesuai dengan norma yang berlaku di
perguruan tinggi ini.
Surakarta, 31 July 2015
Yang membuat pernyataan,
Merlyn Gischa Sofyana
NIM. S11026
iv
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis ucapkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena
dengan rahmat dan karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Skripsi
ini disusun dengan maksud untuk memenuhi persyaratan kurikulum dalam
mencapai gelar Sarjana keperawatan di Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Kusuma
Husada Surakarta.
Penulis menyadari bahwa penyusunan skripsi ini masih terdapat hal yang
kurang sempurna, sehubungan dengan keterbatasan penulis. Walaupun demikian
penulis telah berusaha semaksimal mungkin agar penelitian skripsi ini dapat
bermanfaat bagi institusi dan pembaca.
Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar –
besarnya atas segala bantuan yang telah diberikan kepada penulis baik secara
langsung maupun tidak langsung dalam rangka penyelesaian penyusunan skripsi
ini, terutama kepada :
1. Dra. Agnes Sri Harti. M.Si selaku kepala STIKes Kusuma Husada Surakarta
2. Wahyu Rima Agustin S.Kep,Ns, M.Kep selaku ketua program studi
keperawatan STIKes Kusuma Husada Surakarta
3. Edy Mulyono SST., M.Kes selaku Pembimbing Utama skripsi yang telah
membimbing dengan penuh kesabaran dan penuh bijaksana sehingga
selesainya skripsi ini.
4. Jaswanto, S.Kep, S.Kep., Ns., M.Kes selaku Pembimbing Pendamping skripsi
yang telah membimbing dengan penuh kesabaran dan bijaksana sehingga
v
selesainya skripsi ini.
5. Happy Indri Hapsari, S.Kep., Ns., M.Kep, selaku penguji yang telah
memberikan masukan dan arahan.
6. Seluruh Jajaran Akademik STIKes Kusuma Husada Surakarta yang telah
banyak membantu penulis baik dalam proses perkuliahan maupun saat
menyelesaikan penulisan skripsi ini.
7. Direktur Rumah Sakit Dr. Moewardi surakarta yang memberikan ijin dan
arahan untuk meneliti dalam melakukan penelitian
8. Responden yang telah sukarela mengisi kuisioner penelitian ini.
9. Semua pihak yang telah membantu dengan iklas dan memberikan semangat
dalam menyelesaikan skripsi ini.
Akhirnya penulis berharap semoga tulisan ini bisa bermanfaat bagi pembaca
yang berkepentingan.
Surakarta, 31 July 2015
Penulis
Merlyn Gischa sofyana
NIM : S11026
vi
vii
viii
ix
x
xi
xii
xiii
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar belakang
Infark miokard merupakan nekrosis miokard yang berkembang cepat
oleh karena ketidakseimbangan antara suplai dan kebutuhan oksigen otot-otot
jantung (Muhammad, 2011). IMAdisebabkan oleh nekrosis iskemik pada
miokard akibat sumbatan akutpada arteri koroner (Davey, 2005).Jenis
penyakit yang paling sering mendapat perhatian adalah penyakit jantung yang
merenggut cukup banyak korban meninggal secara cepat yaitu infark miokard
akut (IMA) atau secara awam diistilahkan sebagai serangan jantung.
Infark miokard akut (IMA) didefinisikan sebagai nekrosis
miokardium yang disebabkan oleh tidak adekuatnya pasokan darah akibat
sumbatan akut pada arteri koroner. Sumbatan ini sebagian besar disebabkan
oleh ruptur plak ateroma pada arteri koroner yang kemudian diikuti oleh
terjadinya trombosis, vasokontriksi, reaksi inflamasi. (Muttaqin, 2012). IMA
sangat mencemaskan karena sering berupa serangan mendadak, umumnya
pada pria usia 35-55 tahun, tanpa ada keluhan sebelumnya (Robbins, 2007).
Tanda dan gejala dari IMA terjadi nyeri dada yang terjadi secara
mendadak dan terus-menerus tidak mereda, nyeri sering disertai dengan sesak
nafas, pucat, dingin, diaphoresis berat, pening atau kepala terasa melayang dan
mual muntah. Keluhan yang khas ialah nyeri dada restrostenal seperti
diremas-remas, ditekan, ditusuk, panas atau tertindih barang berat. Nyeri dapat
2
2
menjalar ke lengan (umumnya kiri), bahu leher, rahang bahkan kepunggung
dan epigastris (Kasron, 2012). Sakit dada yang terutama dirasakan di daerah
sternum, bisa menjalar ke dada kiri atau kanan,ke rahang,ke bahu kiri dan
kanan dan pada lengan. Walau sifatnya dapat ringan, tapi rasa sakit itu
biasanya berlangsung lebih dari setengah jam.Jarang ada hubunganya dengan
aktifitas serta tidak hilang dengan istirahat.Pemeriksaan fisik pada IMA tidak
ada yang karakteristik. Bila telah terjadi komplikasi seperti gagal jantung,
maka dapat ditemukan irama gallop (bunyi jantung ketiga) atau ronki
basah(Eliot, 2005).
Infark Miokard Akut menempati peringkat pertama sebagai penyebab
kematian di Amerika Serikat. Dilaporkan setiap tahunnya terdapat sekitar
476.124 kematian yang disebabkan oleh serangan jantung. Sekitar 1.100.000
warga Amerika mengalami serangan jantung, 650.000 serangan pertama kali
dan 450.000 serangan ulangan. Penduduk dengan pendidikan rendah ternyata
lebih besar angka kejadiannya dikarenakan ketidakpatuhaannya dalam
melakukan pengobatan dan rehabilitasi secara teratur (Muhammad, 2011).
Direktorat Jendral Pelayanan Medik Indonesia meneliti, bahwa pada
tahun 2007 jumlah pasien penyakit jantung yang menjalani rawat inap dan
rawat jalan di rumah sakit di Indonesia adalah 239.548 jiwa. Kasus terbanyak
adalah penyakit infark miokard akut (13,49%) dan kemudian diikuti oleh
gagal jantung (13,42%) dan penyakit jantung lainnya (13,37%)(Depkes,
2006).
3
3
Menurut Laporan Profil Kesehatan Kota Semarang tahun 2010
menunjukkan bahwa kejadian penyakit jantung dan pembuluh darah sebanyak
96.957 kasus dan sebanyak 1.847 (2%) kasus merupakan kasus IMA. Penyakit
jantung dan pembuluh darah merupakan penyakit tidak menular yang menjadi
penyebab utama kematian dan selama periode tahun 2005 sampai dengan
tahun 2010 telah terjadi kematian sebanyak 2.941 kasus dan sebanyak 414
kasus (14%) diantaranya disebabkan oleh infark miokard akut.
Peran perawat adalah peran sebagai pelaksana layanan keperawatan
(care provider), pengelola (manager), pendidik (educator) bagi individu,
keluarga dan masyarakat, serta sebagai peneliti dan pengembang ilmu
keperawatan (Asmadi, 2005).Proses perawatan tidak hanya sekedar sembuh
dari penyakit tertentu, namun dengan keterampilan yang dimilki perawat,
peran perawat pelaksana mampu meningkatkan kesehatan fisik, dan
mengembalikan emosional dan spiritual (Perry dan Potter, 2005).
Pelayanan gawat daruratmerupakan pelayanan profesional yang
didasarkan pada ilmu dan metodologi yang berbentuk bio-psiko-sosiospiritual
yang komprehensif ditujukan kepada klien atau pasien yang mempunyai
masalah aktual dan potensial, mengancam kehidupan, terjadi secara mendadak
atau tidak diperkirakan (Maryuani, 2009). Instalasi Gawat Darurat (IGD)
rumah sakit mempunyai tugas menyelenggarakan pelayanan asuhan medis dan
asuhan keperawatan sementara serta pelayanan pembedahan darurat, bagi
pasien yang datang dengan gawat darurat medis (Depkes RI, 2006).
4
4
Peran perawat dalam menangani IMA secara lebih lanjut sangat
penting dalam mengidentifikasi pasien IMA yang beresiko tinggi kejadian
kematian. Penilaian klinis terhadap infark dan fungsi ventrikuler akan
dilakukan dalam waktu 24 sampai 48 jam tetapi dalam penanganan IMA
tergantung dalam fasilitas lokal. Secara umum, penggunaan
electrocardiography yang dilakukan perawat sudah maksimal untuk
mendeteksi iskemia (Mahmarian, 2013).
Angka mortalitas dan morbiditas komplikasi IMA yang masih tinggi
seperti keterlambatan mencari pengobatan,kecepatan serta ketepatan
pengkajian dan diagnosis keperawatan.Kecepatan penanganan perawat dinilai
antara onset nyeri dada sampai tibadi IGD rumah sakit dan mendapat
penanganan di rumah sakit (Sudoyo, 2010).
Pada saat melakukan intervensi perawat melakukan dokumentasi dan
mencatat frekuensi jantung, irama, dan perubahan tekanan darah sebelum,
selama, dan sesudah aktifitas sesuai indikasi. Selanjutnya perawat
mengimplementasi dengan menentukan respons pasien terhadap aktifitas dan
dapat menghindari penurunan oksigen miokardia yang memerlukan
penurunan tingkat aktifitas atau kembali menjalani bed rest (tirah baring).
Evaluasi tentang kecepatan dan ketepatan penanganan terhadappasien IMA
diperlukan untuk mencegah timbulnya komplikasi (Ardiansyah, 2012).
Pada banyak kejadian penderita IMA yang justru meninggal atau
mengalami kecacatan yang diakibatkan oleh kesalahan dalam melakukan
pertolongan (kesalahan petugas). Peranperawat tentang tindakan
5
5
kegawatdaruratan di IGD pada pasien IMA memegang porsi besar dalam
menentukan keberhasilan pertolongan pertama. Di samping itu dibutuhkan
juga sikap yang benar dalam memberikan tindakan kegawatdaruratan pada
pasien IMA (Setiono, 2010).
Berdasarkan studi pendahuluan yang dilakukan oleh peneliti di RSU
Dr. Moewardi Surakarta dari banyaknya pasien yang datang ke IGD RSU Dr.
Moewardi Surakarta diantaranya adalah penderita Infark Miokard Akut yang
merupakan pasien rujukan dari Rumah Sakit lain.Angka kejadian yang terjadi
pada tahun 2013-2014 di RSU Dr. Moewardi Surakarta sebanyak 825
pasien.Jumlah perawat sebanyak 63 orang.Peran perawat disini sangatlah
penting dalam menangani pasien dengan gangguan IMA untuk mengurangi
tingkat mortalitas pasien IMA, dikarenakan perbandingan jumlah perawat
tidak sebanding dengan jumlah pasien yang datang.
Berdasarkan latar belakang tersebut penulis tertarik untuk melakukan
penelitian tentang Peran Perawat dalam menangani pasien dengangangguan
IMA di IGD RSU Dr. Moewardi Surakarta.
1.2 Rumusan masalah
Penanganan perawat pada pasien IMA sangat penting karena IMA
sangat berbahaya jika tidak segera ditangani.Peran perawat disini dituntut
memberikan pelayanan yang tepat, cepat dan cermat dengan tujuan
mendapatkan kesembuhan tanpa kecacatan.Kejadian yang sering terjadi
dilapangan peran perawat dalam menangani IMA masih belum
6
6
tepat.Dikarenakan belum mengetahui sepenuhnya Standar Operasional
Pelaksanaan dalam menangani IMA.
Berdasarkan latar belakang yang telah di uraikan maka rumusan
masalah dari penelitian ini adalah “Bagaimana peran perawat
dalammenangani pasien dengangangguan IMA (Infarction Myocardial Acute)
di IGD RSU. Dr. Moewardi Surakarta ?”.
1.3 Tujuan penelitian
1.3.1 Tujuan umum
Mengetahuinya peran perawat dalammenangani pasien
dengangangguan IMA (Infarction Myocardial Acute) di IGD RSU.
Dr. Moewardi Surakarta.
1.3.2 Tujuan khusus
1. Mengidentifikasi bagaimana perawat melakukan pengkajian
pada pasien IMA.
2. Mengidentifikasi bagaimana perawat merumuskan diagnosa
keperawatan pada pasien IMA.
3. Mengidentifikasi bagaimana perawat melakukan intervensi
pada pasien IMA.
4. Mengidentifikasi bagaimana perawat melakukan implementasi
pada pasien IMA.
5. Mengidentifikasi bagaimana perawat melakukan evaluasi pada
pasien IMA.
7
7
6. Mengidentifikasi makna asuhan keperawatan yang dilakukan
oleh perawat pada pasien IMA.
1.4. Manfaat penelitian
1. Bagi Rumah Sakit
Dapat di gunakan sebagai acuan untuk meningkatkan
pengetahuan tentang peran perawat IGD dalam penanganan pasien
IMA.
2. Bagi Institusi pendidikan
Sebagai masukan bagi institusi Prodi S-1 Keperawatan Stikes
Kusuma Husada Surakarta dalam mengembangkan ilmu keperawatan
sebagai bahan kajian untuk penelitian keperawatan
kegawatdaruratandalam menangani IMA.
3. Bagi Peneliti lain
Dapat di gunakan sebagai bahan dan sumber untuk
pengembangan penilitian selanjutnya.
4. Bagi Peneliti
Menambah pengetahuan, pengalaman, dan wawasan peneliti
tentang peran perawat IGD dalam menangani pasien
kegawatdaruratan di IGD RSU. Dr. Moewardi Surakarta.
8
8
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Tinjauan teori
2.1.1 Pengertian
Infark Miokard Akut adalah nekrosis daerah miokardial yang
biasanya disebabkan oleh suplai darah yang terhambat atau terhenti terlalu
lama. Yang paling sering akibat adanya trombus akut atau mendadak pada
coronary artherosclerotic stenosis, dan manifestasi klinis pertama adalah
iskemia jantung, atau adanya riwayat angina pectoris (Riulantono,
2011).Infark miokard akut adalah kematian jaringan otot jantung
(miokard) yang disebabkan oleh insufisiensi suplai atau banyaknya darah
baik relatif maupun secara absolut (Muwarni, 2011).
Infark Miokard Akut oleh orang awam disebut serangan jantung
yaitu penyempitan atau penyumbatan pembuluh darah koroner sehingga
aliran darah ke otot jantung tidak cukup sehingga menyebabkan otot
jantung mati (Rendi dan Margareth, 2012).
2.1.2 Etiologi
Selama kejadian iskemia, terjadi beragam abnormalitas
metabolisme, fungsi dan struktur sel. Miokard normal memetabolisme
asam lemak dan glukosa menjadi karbon dioksida dan air. Akibat kadar
9
9
oksigen yang berkurang, asam lemak tidak dapat dioksidasi, glukosa
diubah menjadi asam laktat dan pH intrasel menurun (Selwyn, 2005).
Ketika aliran darah menurun tiba-tiba akibat oklusi trombus di arteri
koroner, maka terjadi infark miokard tipe elevasi segmen ST (STEMI).
Perkembangan perlahan dari stenosis koroner tidak menimbulkan STEMI
karena dalam rentang waktu tersebut dapat terbentuk pembuluh darah
kolateral. Dengan kata lain STEMI hanya terjadi jika arteri koroner
tersumbat cepat. Non STEMI merupakan tipe infark miokard tanpa elevasi
segmen ST yang disebabkan oleh obstruksi koroner akibat erosi dan ruptur
plak. Erosi dan ruptur plak ateroma produksi vasokonstriktor, endotelin-1,
dan angiotensin II yang berperan dalam migrasi dan pertumbuhan sel
(Riulanto, 2011).
Setiap bentuk penyakit arteri koroner dapat menyebabkan IMA.
Penelitian angiografi menunjukkan bahwa sebagian besar IMA disebabkan
oleh trombosis arteri koroner. Gangguan pada plak aterosklerotik yang
sudah ada (pembentukan fisura) merupakan suatu nidus untuk
pembentukan trombus (Robbins, 2007).
Infark terjadi jika plak aterosklerotik mengalami fisur, ruptur, atau
ulserasi, sehingga terjadi trombus mural pada lokasi ruptur yang
mengakibatkan oklusi arteri koroner (Sudoyo, 2010).
Penyebab lain infark tanpa aterosklerosis koronaria antara lain
emboli arteri koronaria, anomali arteri koronaria kongenital, spasme
10
10
koronaria terisolasi, arteritis trauma, gangguan hematologik, dan berbagai
penyakit inflamasi sistemik (Libby, 2008).
Ada beberapa penyebab lain terjadinya IMA menurutMuwarni(2011)
yaitu:
1. Sindroma klasik : sumbatan total yang erjadi secara tiba-tiba pada
arteri.
2. Koronaria besar oleh trombosis.
3. Hiperkolesterolemia atau meningkatnya kadar kolesterol dalam
pembuluh darah.
2.1.3 Faktor resiko IMA
Faktor risiko biologis infark miokard yang tidak dapat diubah
yaitu usia, jenis kelamin, ras, dan riwayat keluarga, sedangkan faktor
risiko yang masih dapat diubah, sehingga berpotensi dapat memperlambat
proses aterogenik, antara lain kadar serum lipid, hipertensi, merokok,
gangguan toleransi glukosa, dan diet yang tinggi lemak jenuh, kolesterol,
serta kalori (Santoso, 2005).
Secara garis besar terdapat dua jenis faktor resiko bagi setiap
orang untuk terkena IMA menurut Kasron(2012) yaitu faktor resiko yang
bisa dimodifikasi dan faktor resiko yang tidak bisa dimodifikasi.
1. Faktor resiko yang dapat dimodifikasi
11
11
Merupakan faktor resiko yang bisa dikendalikan sehingga
dengan intervensi tertentu maka bisa dihilangkan. Yang termasuk
dalam kelompok ini diantaranya :
a. Merokok
b. Konsumsi alkohol
c. Infeksi
d. Hipertensi sistemik
e. Obesitas
f. Kurang olahraga
g. Penyakit diabetes
2. Faktor resiko yang tidak dapat dimodifikasi
Merupakan faktor yang tidak bisa diubah atau dikendalikan,
yaitu diantaranya :
a. Usia
b. Jenis kelamin
c. Riwayat keluarga
d. RAS
e. Geografi
f. Tipe kepribadian
g. Kelas sosial
12
12
2.1.4 Klasifikasi IMA
a. Infark Miokard Akut diklasifikasikan berdasar EKG 12 sandapan
dibagi menjadi menjadi 2 (dua) :
1. Infark miokard akut ST-elevasi (STEMI) : oklusi total dari arteri
koroner yang menyebabkan area infark yang lebih luas meliputi
seluruh ketebalan miokardium. Keluhan nyeri terjadi secara
mendadak dan terus-menerus tidak mereda. Biasanya diatas
region sternal bawah dan abdomen bagian atas. Yang ditandai
dengan adanya elevasi segmen ST pada EKG. Perubahan enzim
CPKMB, LDH, AST.
2. Infark miokard akut non ST-elevasi (NSTEMI) : oklusi sebagian
dari arteri koroner tanpa melibatkan seluruh ketebalan
miokardium, sehingga tidak ada elevasi segmen ST pada EKG.
Perubahan enzim CKMB
3. Infark miokard akut unstable angina pectoris (UAP) :keadaan
klinis diantara angina pectoris stabil dan infark miokardium.
Nyeri dada angina biasanya berlokasi dibawah sternum
(retrosternal) dan kadang menjalar ke leher, rahang, bahu dan
kadang lengan kiri atau keduanya. Angina pectoris ditandai
dengan nyeri dada yang berakhir 5-15 menit. Perubahan EKG
(gelombang T terbalik > 0,2 mV dan atau depresei segmen ST >
0,05). Perubahan enzim terjadi kenaikan khas pada CKMB,
protein troponin T dan I dan myoglobin.
13
13
b. Menurut Rendy dan Mrgareth (2012), jenis-jenis miokard infark
terbagi menjadi 2 (dua) menurut lokasi yaitu:
1. Miokard infark subendokardial
Daerah subendokardial merupakan daerah miokard yang amat
peka terhadap iskemia dan infark. Miokard infark subendokardial
terjadi akibat aliran darah subendokardial yang relatif menurun
dalam waktu lama sebagai akibat perubahan derajat penyempitan
arteri koroner atau dicetuskan oleh kondisi-kondisi seperti
hipotensi, perdarahan, hipoksia.
2. Miokard infark transmural
Pada lebih dari 90% pasien miokard infark transmural berkaitan
dengan trombosis koroner. Trombosis sering terjadi di daerah
yang mengalami penyempitan arterosklerotik. Penyebab lain lebih
jarang ditemukan, termasuk disini misalnya perdarahan dalam
plague arterosklerotik dengan hematom intramural, spasme yang
umumnya terjadi ditempat arterosklerotik yang emboli koroner.
1.1.5 Gejala dan tanda IMA
Gambaran klinis infark miokard umumnya berupa nyeri dada
substernum yang terasa berat, menekan, seperti diremas-remas dan
terkadang menjalar ke leher, rahang, epigastrium, bahu, atau lengan kiri,
atau hanya rasa tidak enak di dada. IMA sering didahului oleh serangan
angina pektoris pada sekitar 50% pasien. Namun, nyeri pada IMA
14
14
biasanya berlangsung beberapa jam sampai hari, jarang ada hubungannya
dengan aktivitas fisik dan biasanya tidak banyak berkurang dengan
pemberian nitrogliserin, nadi biasanya cepat dan lemah, pasien juga sering
mengalami diaforesis.
Pada sebagian kecil pasien (20% sampai 30%) IMA tidak menimbulkan
nyeri dada.Silent IMA ini terutama terjadi pada pasien dengan diabetes
mellitus dan hipertensi serta pada pasien berusia lanjut (Sudoyo,
2010).Myocardial infark ditandai dengan nyeri dada menetap, tidak hilang
dengan istirahat dan minum nitrogliserin.Kemudian menyebar luas
sehingga dapat menyebabkan hypotensi, shock, aritmia dan gagal
jantung.Pasien tampak banyak keringat, muka pucat, dyspnea, nausea,
vomit, cemas dan gelisah.
1.1.6 Penatalaksanaan di ruang emergensi
Tujuan tatalaksana di IGD adalah mengurangi atau
menghilangkan nyeri dada, mengidentifikasi cepat pasien yang merupakan
kandidat terapi reperfusi segera, triase pasien risiko rendah ke ruangan
yang tepat di rumah sakit dan menghindari pemulangan cepat pasien
dengan STEMI.
Pasien dengan IMA harus terus dipantau oleh elektrokardiografi.
Perawat memantau lewat monitor semua aktifitasnya yang merugikan
pasien karena kematian terjadi paling sering dalam 24 jam pertama.
Kegiatan fisik pasien harus dibatasi paling sedikit 12 jam, dan rasa sakit
dan / atau kecemasan harus diminimalkan dengan analgesik yang sesuai.
15
15
Meskipun penggunaan agen antiaritmia profilaksis dalam 24 jam pertama
tidak dianjurkan, atropin, lidocaine, alat pacu jantung transkutan atau alat
pacu jantung transvenous, defibrillator, dan epinephrine harus segera
tersedia.
Sementara perhatian utama adalah untuk mencegah kematian, merawat
orang-orang untuk korban IMA bertujuan untuk meminimalkan
ketidaknyamanan pasiendari marabahaya dan untuk membatasi tingkat
kerusakan miokard. Menurut William Wijns (2006) perawatan dapat
dibagi menjadi empat tahap:
1. Perawatan darurat ketika pertimbangan utama adalah membuat
diagnosis yang cepat dan risiko awal stratifikasi, untuk menghilangkan
rasa sakit dan untuk mencegah atau mengobati serangan jantung.
2. Perawatan awal di mana pertimbangan utama adalah untuk memulai
secepat mungkin reperfusi terapi untuk membatasi ukuran infark dan
untuk mencegahekstensi infark dan perluasan dan untuk mengobati
komplikasi langsung seperti kegagalan pompa, shock dan aritmia yang
mengancam jiwa.
3. Perawatan selanjutnya di mana komplikasi yang biasanya terjadi
kemudian dibahas.
4. Penilaian dan langkah-langkah untuk mencegah perkembangan risiko
penyakit arteri koroner, infark baru,gagal jantung dan kematian.
16
16
1.1.7 Tatalaksana umum
1. Morfin : sangat efektif dalam mengurangi nyeri dada dan merupakan
analgesik pilihan dalam tatalaksana STEMI. Morfin dapat diberikan
dengan dosis 2-4 mg dan dapat diulang dengan interval 5-15 menit
sampai dosis total 20 mg.
2. Oksigen : suplemen oksigen harus diberikan ada pasien dengan
saturasi oksigen <90%. Pada semua pasien STEMI tanpa komplikasi
dapat diberikan oksigen selama 6 jam pertama.2) Nitrogliserin :
Nitrogliserin sublingual dapat diberikan dengan aman dengan dosis
0,4 mg dan dapat diberikan sampai 3 dosis dengan interval 5 menit.
3. Nitrat :merupakan obat yang diberikan untuk menanggulangi spasme
arteri koroner dan menurunkan miokard akan oksigen dengan
menurunkan tekanan baik preload maupun afterload. Menyebabkan
relaksasi dari otot polos pembuluh darah melalui stimulasi dari prosuk
cyclic guanosine monophosphate intraseluler, mengakibatkan
penurunan tekanan darah. Nitrat sublingual dapat di berikan dengan
aman dengan dosis 0,4 mg dan dapat di berikan sampai 3 dosis dengan
interval 5 menit.
4. Aspirin : merupakan tatalaksana dasar pada pasien yang dicurigai
STEMI dan efektif pada spektrum sindroma koroner akut. Inhibisi
cepat siklooksigenase trombosit yang dilanjutkan reduksi kadar
tromboksan A2 dicapai dengan absorpsi aspirin bukal dengan dosis
17
17
160-325 mg di ruang emergensi. Selanjutnya diberikan peroral dengan
dosis 75-162 mg.
5. Penyekat Beta : Jika morfin tidak berhasil mengurangi nyeri dada,
pemberian penyekat beta intravena dapat efektif. Regimen yang biasa
diberikan adalah metoprolol 5 mg tiap 2-5 menit sampai total 3 dosis,
dengan syarat frekuensi jantung > 60 kali permenit, tekanan darah
sistolik > 100 mmHg, interval PR < 0,24 detik dan ronki tidak lebih
dari 10 cm dari diafragma. Lima belas menit setelah dosis IV terakhir
dilanjutkan dengan metoprolol oral dengan dosis 50 mg tiap 6 jam
selama 48 jam, dan dilanjutkan dengan 100 mg tiap 12 jam.
1.1.8 Peran perawat
Peran perawat menurut konsorium ilmu kesehatan terdiri dari
sebagai berikut (Hidayat, 2008) terdiri dari :
1. Peran sebagai pemberi asuhan keperawatan
Peran ini dapat dilakukan perawat dengan memperhatikan
keadaan kebutuhan dasar manusia yang dibutuhkan melalui pemberian
pelayanan keperawatan dengan menggunakan proses keperawatan.
2. Peran sebagai advokat pasien
Peran ini dilakukan perawat dalam membantu pasien dan
keluarganya dalam menginterpretasikan berbagai informasi dari
pemberi pelayanan atau informasi lain khususnya dalam pengambilan
persetujuan atas tindakan keperawatan yang diberikan kepada pasien.
Juga dapat berperan mempertahankan dan melindungi hak-hak pasien
18
18
yang meliputi hak atas pelayanan sebaik-baiknya, hak atas informasi
tentang penyakitnya dan hak atas privasi.
3. Peran edukator
Peran ini dilakukan dengan membantu pasien dalam
meningkatkan tingkat pengetahuan kesehatan, gejala penyakit bahkan
tindakan yang diberikan, sehingga terjadi perubahan perilaku dari
pasien setelah dilakukan pendidikan kesehatan.
4. Peran koordinator
Peran ini dilaksanakan dengan mengarahkan, merencanakan
serta mengorganisasi pelayanan kesehatan dari tim kesehatan sehingga
pemberian pelayanan kesehatan dapat terarah serta sesuai dengan
kebutuhan pasien.
5. Peran kolaborator
Peran perawat di sini dilakukan karena perawat bekerja
melalui tim kesehatan yang terdiri dari dokter, fisioterapis, ahli gizi
dan lain- lain dengan berupaya mengidentifikasi pelayanan
keperawatan yang diperlukan termasuk diskusi atau tukar pendapat
dalam penentuan bentuk pelayanan selanjutnya.
6. Peran konsultan
Di sini perawat berperan sebagai tempat konsultasi terhadap
masalah atau tindakan keperawatan yang tepat untuk diberikan.Peran
19
19
ini dilakukan atas permintaan pasien terhadap informasi tentang tujuan
pelayanan keperawatan yang diberikan.
7. Peran pembaharu
Peran ini dapat dilakukan dengan mengadakan perencanaan,
kerja sama, perubahan yang sistematis dan terarah sesuai dengan
metode pemberian pelayanan keperawatan.
2.1.9 Klasifikasi perawat gawat darurat
Klasifikasi perawat gawat darurat menurut Depkes RI (2006),
mengelompokkan berdasarkan fungsinya sebagai berikut:
1. Fungsi independen, fungsi mandiri berkaitan dengan pemberian
asuhan (care),
2. Fungsi dependen, fungsi yang didelegasikan sepenuhnya atau
sebagian dari profesi lain,
3. Fungsi kolaboratif, yaitu melakukan kerjasama saling membantu
dalam program kesehatan (perawat sebagai anggota tim kesehatan).
1.2 Asuhan Keperawatan pada pasien IMA
Menurut Ardiansyah (2012) asuhan keperawatan pada pasien IMA
adalah sebagai berikut :
1. Pengkajian.
a. Kualitas nyeri dada : seperti terbakar, tercekik, rasa
menyesakkan nafas atau seperti tertindih barang berat.
20
20
b. Lokasi dan radiasi : retrosternal dan prekordial kiri, radiasi
menurun ke lengan kiri bawah dan pipi, dagu, gigi, daerah
epigastrik dan punggung.
c. Faktor pencetus : mungkin terjadi saat istirahat atau selama
kegiatan.
d. Lamanya dan faktor-faktor yang meringankan : berlangsung lama,
berakhir lebih dari 20 menit, tidak menurun dengan istirahat,
perubahan posisi ataupun minum Nitrogliserin.
e. Tanda dan gejala : Cemas, gelisah, lemah sehubungan dengan
keringatan, dispnea, pening, tanda-tanda respon vasomotor meliputi
: mual, muntah, pingsan, kulit dinghin dan lembab, cekukan dan
stress gastrointestinal, suhu menurun.
f. Pemeriksaan fisik : mungkin tidak ada tanda kecuali dalam tanda-
tanda gagalnya ventrikel atau kardiogenik shok terjadi. BP normal,
meningkat atau menuirun, takipnea, mula-mula pain reda
kemudian kembali normal, suara jantung S3, S4 Galop menunjukan
disfungsi ventrikel, sistolik mur-mur, M. Papillari disfungsi, LV
disfungsi terhadap suara jantung menurun dan perikordial friksin
rub, pulmonary crackles, urin output menurun, Vena jugular
amplitudonya meningkat ( LV disfungsi ), RV disfungsi, ampiltudo
vena jugular menurun, edema periver, hati lembek.
21
21
2. Diagnosa Keperawatan dan Intervensi
a. Nyeri berhubungan dengan iskemia jaringan sekunder terhadap
sumbatan arteri.
Intervensi :
a) Observasi karakteristik, lokasi, waktu, dan perjalanan rasa
nyeri dada tersebut.
b) Anjurkan pada klien menghentikan aktifitas selama ada
serangan dan istirahat.
c) Bantu klien melakukan tehnik relaksasi, misal; nafas dalam,
perilaku distraksi, visualisasi, atau bimbingan imajinasi.
d) Pertahankan Olsigenasi dengan bikanul contohnya ( 2-4 L/
menit ).
e) Monitor tanda-tanda vital ( Nadi& tekanan darah ) tiap dua
jam.
f) Kolaborasi dengan tim kesehatan dalam pemberian analgetik.
b. Resiko penurunan curah jantung berhubungan dengan perubahan
faktor-faktor listrik, penurunan karakteristik miokard.
Intervensi :
a) Pertahankan tirah baring selama fase akut
b) Kaji dan laporkan adanya tanda – tanda penurunan COP, TD
c) Monitor haluaran urin
d) Kaji dan pantau TTV tiap jam
e) Kaji dan pantau EKG tiap hari
22
22
f) Berikan oksigen sesuai kebutuhan
g) Auskultasi pernafasan dan jantung tiap jam sesuai indikasi
h) Pertahankan cairan parenteral dan obat-obatan sesuai advis
i) Berikan makanan sesuai diitnya
j) Hindari valsava manuver, mengejan ( gunakan laxan ).
c. Gangguan perfusi jaringan berhubungan dengan, iskemik, kerusakan otot
jantung, penyempitan atau penyumbatan pembuluh darah arteri
koronaria.
Intervensi :
a) Monitor Frekuensi dan irama jantung
b) Observasi perubahan status mental
c) Observasi warna dan suhu kulit atau membran mukosa
d) Ukur haluaran urin dan catat berat jenisnya
e) Kolaborasi : Berikan cairan IV l sesuai indikasi
f) Pantau pemeriksaan diagnostik dan laboratorium, missal ;
EKG, elektrolit, GDA( Pa O2, Pa CO2 dan saturasi O2 ).
Dan pemberian oksigen.
d. Resiko kelebihan volume cairan ekstravaskuler berhubungan dengan
penurunan perfusi ginjal, peningkatan natrium atau retensi air ,
peningkatan tekanan hidrostatik, penurunan protein plasma.
Intervensi :
a) Observasi adanya oedema dependen
b) Timbang BB tiap hari
23
23
c) Pertahankan masukan total caiaran 2000 ml/24 jam dalam
toleransi kardiovaskuler
d) Kolaborasi : pemberian diet rendah natrium, berikan diuretik.
e. Kerusakan pertukaran gas berhubungan dengan gangguan aliran darah ke
alveoli atau kegagalan utama paru, perubahan membran alveolar- kapiler
( atelektasis , kolaps jalan nafas atau alveolar edema paru atau efusi,
sekresi berlebihan atau perdarahan aktif ).
Intervensi :
a) Catat frekuensi & kedalaman pernafasan, penggunaan otot
bantu pernafasan
b) Auskultasi paru untuk mengetahui penurunan atau tidak
adanya bunyi nafas dan adanya bunyi tambahan misal krakles,
ronki dll.
c) Lakukan tindakan untuk memperbaiki atau mempertahankan
jalan nafas misalnya , batuk, penghisapan lendir dll.
d) Tinggikan kepala atau tempat tidur sesuai kebutuhan atau
toleransi pasien
e) Kaji toleransi aktifitas misalnya keluhan kelemahan atau
kelelahan selama kerja atau tanda vital berubah
24
24
1.3 Algoritma IMA
Ya Tidak
2.1 Gambar Algoritma IMA
Timbulnya gejala
Menyediakan ambulancedi pintu masuk
Keadaan pasien gawatdarurat menuju pintu masuk
Perawat menentukan Triase pasiengawat darurat menurut:
- Tanda dan gejala IMA- 12 lead EKG- Penanganan secara cepat
Memulai perawatan gawatdarurat :
- Monitor jantung- Terapi O2- IV D5- Cek darah- Nitrogliserin- Aspirin
Dokter mengevaluasipasien gawat darurat
- Riwayat- Pemeriksaan fisik- Interpretasi EKG
Pasien IMA ?
Untuk terapifibrinolitik
Konsultasi
Konsultasi lebihjauh
Terapifibrinolitik
Indikasi pengobatanlain:
- Obat lain untuk IMA(beta bloker, heparin,aspirin, nitrat)
- Mengirim ke labuntuk pembedahanCABG
Melakukan pendidikandan mengikuti instruksi
Konsultasi
BebasMengakui
Belum pasti
Belum pasti
Ya Tidak
25
25
1.4 Kerangka teori
2.2 Gambar Kerangka Teori
Kasron (2012). Willian wijns (2006)
Penyebab IMA:
1. Faktor yang dapat
dimodifikasi.
- Hipertensi sistemik
- Kurang olahraga
- Penyakit diabetes
- Merokok
2. Faktor yang tidak dapat
dimodifikasi.
- Usia
- Jenis kelamin
- Riwayat keluarga
- RAS
Terjadi
STEMI
NSTEMI
UAP
Peran perawat
Penatalaksanaandi IGD algoritma
IMA
Jika tidak segera
ditangani :
Disfungsi otot
jantung
Aritmia
Perluasan infark
Ruptur miokard
Trombus mural
Aneurima
ventrikel kiri
Jika segera
ditangani :
Menghentikan
perkembangan
serangan jantung
Menurukan
beban kerja
jantung
26
26
1.5 Fokus penelitian
Peran perawat di IGD
2.3 Gambar Fokus Penelitian
Peran perawat dalam pemberian asuhan keperawatan meliputi
pengkajian, mendiagnosa keperawatan, penanganan IMA, mengevaluasi
pasien IMA.Peran perawat di ruang IGD sangat penting dalam melakukan
pelayanan tersebut.Sehingga perawat dapat memahami makna yang
terkandung dalam pelayanan yang diberikan kepada pasien.
IMA
Pengkajian
Makna
Diagnosa keperawatan
IntervensiImplementasi
Evaluasi
27
2.5 Keaslian penelitian
Peneliti dan tempatpenelitian
JudulDesain
penelitianHasil
Lilik yulaikok mubasiroh,di Poli jantung RSU Dr.Harjono Ponorogo
Penelitian kepatuhanpasien infark miokardinfark dalammelakukan pengobatansecara teratur
Deskriptif Dari hasil penelitian ini kiranya perlu adanya penangananyang komprehensif dan menyeluruh dari petugaskesehatan dalam hal ini perawat, dalam memberikanasuhan keperawatan secara biopsikososial.
Mamat supriyono, diRSUP Kariadi Semarangdan RS TelogorejoSemarang
Faktor-faktor resikoyang berpengaruhterhadap kejadianpenyakit jantungcoroner padakelompok usia < 45tahun
Observasional Analisa multivariate menunjukkan bahwa faktor-faktoryang terbukti berpengaruh terhadap kejadian PJK danmerupakan faktor risiko PJK pada kelompok usia < 45tahun adalah: dislipidemia (p=0,006 dan OR=2,8 ; 95%CI=1,3-6,0), kebiasaan merokok (p=0,011 dan OR=2,4 ;95% CI=1,2-4,8), adanya penyakit DM (p=0,026 danOR=2,4; 95% CI=1,2-5,9) dan penyakit DM dalamkeluarga (p=0,018 dan OR=2,3 ; 95% CI=1,1-4,5).
28
Peneliti dan tempatpenelitian
JudulDesain
penelitianHasil
Inne pratiwi farissa,RDUP. Dr. Kariadisemarang
Komplikasi padapasien AMI ST-Elevasi yangmendapat maupuntidak mendapat terapireperfusi
Deskriptif Terdapat 105 kasus pasien STEMI yang terdiri atas 20%pasienyang direperfusi dan 80% tidak direperfusi.
Komplikasi yang sering terjadi pada pasien yangdireperfusi adalah perdarahan minor (19,1%), gagaljantung (14,3%), dan kematian (9,5%), sedangkan padapasien yang tidak direperfusi adalah gagal jantung (25%),henti jantung (16,7%), dan kematian (15,5%).
Virgianti Nur Faridah,2009, RSUD Dr.Soetomo Surabaya
Hubunganpengetahuan perawatdan peran perawatsebagai pelaksanadalam penangananpasien gawat daruratdengan gangguansistem kardiovaskuler
Cross sectional Hasil penelitian menunjukkan ada hubungan pengetahuandan perawat sebagai pelaksana dengan nilai rho hitung0,455 dengan taraf signifikasi 0,033.
Mahmud, 2009, di RSUPamangat KalimantanBarat
Peran perawat dalaminformed consent preoperasi di ruang bedahRSU PamangatKalimantan Barat
Kualitatifpendekatanfenomenologi
Hasil penelitian menunjukkan bahwa sikap perawatdalam melaksanakan peran advocate, counsellor danconsultant dalam pengajuan informed consent belumsepenuhnya sesuai dengan kewenangan perawat.
Cheng Han Lee. Taiwan Trends in theIncidence and
Data klaim Kejadian AMI meningkat, tetapi obat berbasis pedomanuntuk AMI yang kurang dimanfaatkan di Taiwan.
29
Peneliti dan tempatpenelitian
JudulDesain
penelitianHasil
Management of AcuteMyocardial InfarctionFrom 1999 to 2008:Get With theGuidelinesPerformance Measuresin Taiwan
Program peningkatan mutu , seperti GWTG , harusdipromosikan untuk meningkatkan perawatan AMI danhasil di Taiwan .
30
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1 Jenis dan rancangan penelitian
Jenis penelitian ini adalah kualitatif yaitu penelitian untuk menemukan
atau mengembangkan pengetahuan yang memerlukan keterlibatan peneliti dalam
mengidentifikasi pengertian atau relevansi fenomena tertentu terhadap individu
dengan rancangan penelitian deskriptif study fenomenologi(Nursalam, 2011).
Peneliti memilih metode kualitatif karena peneliti ingin memahami secara
holistic peran perawat dalam menangani pasien dengan gangguan IMA di IGD
RSU Dr.Moewardi Surakarta.Fenomena peran perawat dalam merawat pasien
dengan gangguan IMA tidak dapat digambarkan secara kuantitatif karena hal ini
berkaitan dengan subyektivitas pengalaman manusia.
Fenomenologi merupakan pendekatan yang dipakai oleh peneliti. Polit &
Beck (2006) menyatakan bahwa studi fenomenologi merupakan suatu pendekatan
yang essensial terkait dengan pengalaman alamiah manusia sepanjang hidupnya
dan memberikan gambaran suatu fenomena yang diteliti melalui hasil daya titik
yang mendalam dari peneliti, diperoleh dari data-data hasil wawancara, tulisan
serta pengamatan suatu fenomena yang diteliti.
31
Pendekatan deskriptif fenomenologi dinilai dapat menjelaskan fokus
permasalahan dan realitas yang diteliti secara jelas dan lengkap karena peneliti
akan berusahamemahami arti peristiwa dan kaitan-kaitannya terhadap orang-
orang yang biasa dalam situasi tertentu (Maleong, 2006.). Penelitian ini bertujuan
untuk mengetahui peran perawat dalam menangani pasien IMA.
3.2 Tempat dan waktu penelitian
3.2.1 Tempat penelitian
Penelitian ini dilakukan di IGD RSU Dr. Moewardi Surakarta,
yang merupakan rumah sakit tipe A yang menjadi rujukan bagi Rumah
Sakit lain di Surakarta dalam penanganan kasus gawat darurat. Ruangan
yang digunakan dalam proses wawancara adalah ruang istirahat perawat
di IGD di RSU Dr. Moewardi Surakarta.
3.2.2 Waktu penelitian
Penelitian ini dilakukan selama periode Februari-Maret 2015.
3.3 Populasi dan sampel
Populasi yang digunakan adalahperawat yang bertugas di ruang IGD RSU
Dr. Moewardi Surakarta sebanyak 63 orang. Tehnik pengambilan sampel di
lakukan dengan cara Purposive sampling yaitu peneliti memilih dari populasi
secara tidak acak yang memenuhi kriteria sampel yang ditentukan (Bhisma Murti,
2006).
32
Partisipan dalam penelitian yaitu sebagian dari keseluruhan obyek yang
diteliti dan dianggap mewakili seluruh populasi (Setiadi, 2013).Partisipan
sebanyak 5-10 orang hingga tercapai saturasi (Afriyanti, 2014). Dengan kriteria
inklusi :
1. Pengalaman bekerja minimal 3 tahun di RSU Dr. Moewardi Surakarta.
2. Pendidikan minimal D3 Keperawatan.
3. Bersedia menjadi partisipan kooperatif.
4. Perawat yang berpengalaman menangani pasien IMA.
Kriteria ekslusi :
1. Perawat yang tidak masuk shift.
2. Perawat yang cuti.
3. Perawat yang tiba-tiba sakit disaat wawancara
3.4 Instrumen dan prosedur pengumpulan data
1. Instrumen
Pada penelitian ini digunakan dua macam instrumen yaitu instrumen inti
dan instrumen penunjang sebagai berikut:
a. Instrumen inti
Peneliti merupakan instrumen kunci pada penelitian ini.Peneliti
sebagai instrumen inti berusaha untuk meningkatkan kemampuan diri
dalam melakukan wawancara mendalam.Usaha yang dilakukan berlatih
wawancara terlebih dahulu sebelum pengambilan data kepada
33
partisipan.Pada saat latihan wawancara peneliti berusaha responsive
dalam berkomunikasi.Keterampilan wawancara kemudian diperbaiki
seiring dengan seringnya melakukan wawancara pada partisipan
berikutnya.
b. Intrumen penunjang
Alat bantudalam pengumpulan data yang digunakan yaitu:
a. Data demografi atau biodata meliputi nama, umur, alamat,
pendidikan.
b. Alat tulis meliputi buku dan bolpoin
c. Alat perekam atau smartphone yang dilengkapi program voice
recorder yang mempermudah peneliti membuat transkip
wawancara. Program tersebut telah dilakukan uji coba sebelumnya
dan mampu merekam suara selama 60 menit. Hasil rekaman dapat
disimpan dalam bentuk file MP3. Alat perekam diisi daya penuh
sebelum digunakan dan menggunakan flight mode on agar tidak
terganggu pada saat proses wawancara.
d. Pedoman wawancara berisi daftar pertanyaan terbuka yang telah
diuji cobakan sebelumnya kepada perawat yang memenuhi kriteria
inklusi di Rumah Sakit yang berbeda sebelum ditanyakan kepada
partisipan.
34
e. Peneliti juga melakukan pencatatan sebagai media observasi non
verbal saat pengumpulan data dengan menggunakan lembar
catatan lapangan dan lembar observasi.
2. Prosedur pengumpulan data
a. Fase pra interaksi
Pengumpulan data dimulai setelah peneliti menyelesaikan ujian
proposal dan diperbolehkan melakukan pengambilan data dilapangan.
Peneliti mengurus surat ijin penelitian untuk pengambilan data yang
dikeluarkan oleh Program Studi S-1 Keperawatan STIKes Kusuma
Husada Surakarta kepada Direktur RSU. Dr.Moewardi Surakarta.
Pengurusan surat ijin studi pendahuluan kebagian diklat dilakukan
pada tanggal 24 November 2014 dan surat studi pendahuluan terbit
pada tanggal 29 Desember 2014. Ijin yang diberikan oleh direktur
Rumah Sakit selanjutnya dipergunakan peneliti sebagai pengambilan
data kepada perawat dengan berkoordinasi mengenai kriteria inklusi
partisipan kepada kepala ruang IGD RSU Dr.Moewardi Surakarta.
Partisipan yang memenuhi kriteria inklusi kemudian diberikan
penjelasan mengenai maksud dan tujuan penelitian serta dampak yang
mungkin terjadi pada proses pengumpulan data.
35
b. Fase pelaksanaan
1. Wawancara mendalam
Sumber data yang sangat penting dalam penelitian
kualitatif adalah berupa manusia yang dalam posisi sebagai
narasumber atau informan. Informasi dari sumber data ini
dikumpulkan dengan teknik wawancara, dalam penelitian
kualitatif khususnya dilakukan dalam bentuk yang disebut
wawancara mendalam (in-depth interviewing)yaitu wawancara
yang dilakukan untuk menemukan permasalahan secara lebih
terbuka di mana informan yang diwawancara diminta pendapat
dan ide-idenya, peneliti mencatat apa yang dikemukakan oleh
informan (Sugiyono, 2013). Wawancara akan dihentikan oleh
peneliti ketika semua jawaban dari partisipan jenuh (Sutopo,
2006).
2. Dokumen
Studi dokumentasi adalah teknik pengumpulan data
dengan mempelajari catatan-catatan mengenai suatu data.
Dokumen tertulis merupakan sumber data yang memiliki posisi
penting dalam penelitian kualitatif (Sutopo, 2006). Sumber data
dan dokumen pada penelitian ini diperoleh dari buku dan jurnal
yang membahas peran perawat dan penyakit akut miokard infark.
36
Data dari sumber tersebut kemudian dianalisis sehingga dapat
memperkuat hasil penelitian peneliti.
c. Fase terminasi
Tahap terakhir dalam pengumpulan data dilakukan terminasi
dengan melakukan validasi terhadap data yang ditemukan kepada
partisipan.Peneliti memperlihatkan hasil transkip wawancara dan
interpretasi peneliti kepada partisipan. Semua partisipan mengatakan
bahwa apa yang ditulis peneliti telah sesuai dengan apa yang dimaksud
partisipan. Setelah semua data divalidasi dan sesuai dengan apa yang
dimaksud oleh partisipan, maka dilakukan terminasi dengan
pemberian reward (penghargaan) sebagai ucapan terima kasih karena
telah bersedia berpartisipasi dalam penelitian dan menyampaikan
bahwa proses penelitian telah selesai.
3.5 Analisa data
Menurut Polit & Beck (2006) analisa data dalam penelitian ini
menggunakan metode fenomenologis deskriptif dengan metode Colaizzi, adapun
langkah – langkah analisa data adalah sebagai berikut :
1. Peneliti menggambarkan fenomena dari pengalaman hidup partisipan yang
diteliti.
2. Peneliti mengumpulkan gambaran fenomena partisipan.
37
3. Peneliti membaca semua protocol atau transkrip untuk mendapatkan perasaan
yang sesuai dari partisipan. Kemudian mengidentifikasi pernyataan partisipan
yang relevan. Serta membaca transkrip secara berulang–ulang hingga
ditemukan kata kunci dari pernyataan – pernyataan.
4. Kemudian peneliti mencari makna dan dirumuskan kedalam tema.
a. Merujuk kelompok tema kedalam transkrip dan protocol asli untuk
memvalidasi.
b. Memperhatikan perbedaan antara satu kelompok dengan kelompok yang
lain dan menghindari perbedaan diantara kelompok tema tersebut.
5. Peneliti mengintegrasikan hasil ke dalam deskripsi lengkap dari fenomena
yang diteliti.
6. Merumuskan deskripsi lengkap dari fenomena yang diteliti sebagai pernyataan
tegas dan didentifikasi kembali
7. Kembali kepada partisipan untuk langkah validasi akhir / verifikasi tema –
tema segera setelah proses verbatim dilakukan dan peneliti tidak mendapatkan
data tambahan baru selama verifikasi.
3.6 Keabsahan data
Menurut Afriyanti (2014) keabsahan data dibagi menjadi 4, yaitu :
1. Kredibility (validitas internal)
Merupakan ukuran tentang kebenaran data yang diperoleh dengan
instrumen, yakni apakah instrumen itu sungguh-sungguh mengukur
38
variabel yang sesungguhnya. Bila ternyata instrumen tidak mengukur apa
yang seharusnya diukur maka data yang diperoleh tidak sesuai dengan
kebenaran, sehingga hasil penelitiannya juga tidak dapat dipercaya, atau
dengan kata lain tidak memenuhi syarat validitas.
2. Transferability (validitas eksternal)
Berkenaan dengan masalah generalisasi, yakni sampai dimanakah
generalisasi yang dirumuskan juga berlaku bagi kasus-kasus lain diluar
penelitian. Dalam penelitian kualitatif, peneliti tidak dapat menjamin
keberlakuan hasil penelitian pada subyek lain. Hal ini disebabkan karena
penelitian kualitatif tidak bertujuan untuk menggeneralisir, karena dalam
penelitian kualitatif tidak menggunakan sampling acak, atau senantiasa
bersifat purposive sampling.
3. Dependebility(dependabilitas)
Merupakan indeks yang menunjukkan sejauh mana alat pengukur
dapat dipercaya atau dapat diandalkan. Reliabilitas menunjukkan sejauh
mana hasil pengukuran tetap konsisten bila dilakukan ulang terhadap
gejala yang sama dengan alat pengukur yang sama.Untuk dapat mencapai
tingkat reliabilitas dalam penelitian ini, maka dilakukan dengan tekhnik
ulang atau check recheck.
39
4. Confirmability (konfirmabilitas)
Peneliti harus berusaha sedapat mungkin memperkecil faktor
subyektifitas. Penelitian akan dikatakan obyektif bila dibenarkan atau di
”confirm” oleh peneliti lain. Maka obyektifitas diidentikkan dengan istilah
”confirmability”.
3.7 Etika penelitian
1. Informed consent (lembar persetujuan)
Merupakan cara persetujuan antara peneliti dengan responden dengan
memberikan lembar persetujuan menjadiresponden. Tujuannya agar
responden mengetahui maksud dan tujuan peneliti serta dampak yang diteliti
selama pengumpulan data. Jika responden setuju, maka diminta untuk
menandatangani lembar persetujuan. Namun peneliti harus tetap menghormati
hakresponden bila tidak bersedia (Setiadi, 2013).
2. Anonimity (tanpa nama)
Merupakan masalah etika dengan tidak memberikan nama responden
pada alat bantu penelitian, cukup dengan kode yang hanya dimengerti oleh
peneliti (Setiadi, 2013).
3. Confidentially (kerahasiaan)
40
Merupakan masalah etika dengan menjamin kerahasiaan informasi
yang diberikan oleh responden. Peneliti hanya melaporkan kelompok data
tertentu saja (Setiadi, 2013).
41
BAB IV
HASIL PENELITIAN
Pada bab ini akan dijelaskan hasil penelitian mengenai peran perawat
dalam menangani pasien dengan gangguan IMA di IGD RS Dr. Moewardi
Surakarta. Batasan dalam bab ini akan dibagi menjadi tiga bagian, yaitu batasan
tentang karakteristik partisipan dan hasil dari analisis tematik. Pada penelitian ini
telah ditemukan tema-tema yang memberikan sebuah gambaran mengenai peran
perawat dalam menangani pasien dengan gangguan IMA.
4.1 Deskripsi tempat penelitian
RSU Dr. moewardi merupakan salah satu Rumah Sakit Negri tipe A
terbesar yang dimiliki oleh Pemerintah Provinsi Jawa Tengah yang berada
di daerah Surakarta. RS Dr. moewardi terletak di jalan Kolonel Sutarto No
132 Surakarta. Angka kejadian yang terjadi pada tahun 2013-2014 di RSU
Dr. Moewardi Surakarta sebanyak 825 pasien.Berdasarkan data survey di
IGD RSU Dr. Moewardi Surakarta memiliki 4 stase pelayanan pasien yang
terdiridari Ruang Periksa yaitu Penanganan pasien mulai dari triase,
pemeriksan,observasi dan tindakan, kamar operasi minor( OK Minor),
kamar operasimayor, HCU dan ruang obsgyn. Sumber daya manusia di IGD
terdiri dari Dokter Spesialis (on site) 2 yaitu Satuan Medik Fungsional anak
dan obgyn, dokter umum sebanyak 13 orang, non medis sebanyak 28 orang
dan perawat sebanyak 33 orang. Perawat dengan S1 keperawatan berjumlah
42
9 orang, D III keperawatan sebanyak 22 orang dan D IV keperawatan
sebanyak 2 orang. Instalasi gawat darurat memiliki jam kerja yang dibagi
menjadi 3 shift yaitu pagi, siang dan malam yang terdiri dari 1 shift 7 jam
kerja dan 6 perawat yang bertugas.
4.2 Karakteristik Partisipan di IGD RSU Dr. Moewardi Surakarta
Partisipan dalam penelitian ini yaitu perawat di ruang IGD RSU Dr.
Moewardi Surakarta.Wawancara dilakukan pada tanggal 16-25 April 2015.
Peneliti mengambil 5 partisipan, 1 perawat laki-laki dan 4 perawat
perempuan dan berkisar antara umur 26-46 tahun dan masing-masing telah
mempunyai pengalaman dalam bekerja dan para perawat di ruang IGD
mempunyai berbagai pengalaman pelatihan untuk pembaharuan ilmu-ilmu
baru tentang IGD.
4.3 Karakteristik partisipan
4.3.1 Partisipan 1 (P1)
Tn.A berusia 35 tahun, pendidikan terakhir D3 Keperawatan.
Tn.A bekerja menjadi Pegawai Negeri Sipil selama 10 tahun di RSU
Dr. Moewardi Surakarta dan telah mengikuti pelatihan PPGD,
GADAR, BLS. Wawancara kepada partisipan 1 ini dilakukan pada
tanggal 16 April 2015 pada pukul 13.35 – 13.40 WIB.
4.3.2 Partisipan 2 (P2)
Ny.I berusia 26 tahun, pendidikan terakhir D3 Keperawatan.
Ny. I bekerja menjadi Pegawai Tetap selama 3 tahun di RSU
43
Dr.Moewardi Surakarta dan telah mengikuti pelatihan BLS, PPGD.
Wawancara kepada partisipan 2 ini dilakukan pada tanggal 18 April
2015 pada pukul 14.50 – 15.00 WIB.
4.3.3 Partisipan 3 (P3)
Ny. W berusia 46 tahun, pendidikan terakhir D3 Keperawatan.
Ny. W bekerja menjadi Pegawai Negri Sipil selama 10 tahun di RSU
Dr. Moewardi Surakarta dan telah mengikuti pelatihan PPGD,
GADAR, BLS. Wawancara kepada partisipan 3 ini dilakukan pada
tanggal 22 April 2015 pada pukul 13.26 – 13.36 WIB.
4.3.4 Partisipan 4 (P4)
Ny. D berusia 39 tahun, pendidikan terakhir D3 Keperawatan.
Ny. W bekerja menjadi Pegawai Tetap selama 5 tahun di RSU Dr.
Moewardi Surakarta dan telah mengikuti pelatihan PPGD, GADAR,
BLS. Wawancara kepada partisipan 4 ini dilakukan pada tanggal 22
April 2015 pada pukul 13.48 – 14.00 WIB.
4.3.5 Partisipan 5 (P5)
Ny. T berusia 30 tahun, pendidikan terakhir S1 Keperawatan.
Ny. T bekerja menjadi Pegawai Negri Sipil selama 8 tahun di RSU Dr.
Moewardi Surakarta dan telah mengikuti pelatihan PPGD, GADAR,
BLS. Wawancara kepada partisipan 5 ini dilakukan pada tanggal 27
Juni 2015 pada pukul 13.00 – 13.10 WIB.
44
4.4 Hasil Penelitian
Berdasarkan hasil wawancara terhadap lima partisipan dari perawat
IGD diketahui peran perawat dalam menangani pasien dengan gangguan
IMA. Wawancara dilakukan selama kurang lebih 10 sampai 15 menit,
waktu dan tempat sudah disepakati oleh partisipan sebelumnya dan saat
wawancara dipilih tempat yang jauh dari keramaian supaya partisipan dapat
mengungkapkan jawaban yang diberikan oleh peneliti secara mendalam dan
terbuka mengenai peran, tindakan dan respon partisipan dalam menangani
pasien dengan gangguan IMA.
Penelitian ini menghasilkan 11 tema berdasarkan hasil analisis
tematik yang dilakukan, yaitu:1) primery survey, 2) secondary survey, 3)
dasar perumusan diagnosa, 4) jenis diagnosa, 5) intervensi kolaborasi, 6)
tindakan live saving,7) implementasi kolaborasi, 8) tipe evaluasi, 9) respon
emosional, 10) motivasi kinerja, 11) prinsip penanganan pasien. Berikut
akan di jelaskan tema-tema yang di temukan.
4.5 Analisa tematik
4.5.1 Tujuan khusus 1 : Mengidentifikasi bagaimana perawat melakukan
pengkajian pada pasien IMA.
Mengidentifikasi bagaimana perawat melakukan pengkajian
pada pasien IMA di dapatkan dua tema yaitu 1) primery survey
dan2) secondary survey dari tema di atas didapatkan empat kategori
45
yaitu pengkajian breathing, pengkajian circulation, pengkajian EKG
dan pengkajian laborat.
a. Primery survey disusun oleh pengkajian breathing dan
pengkajian circulation. Pengkajian breathing yang diungkapkan
oleh ke tiga partisipan seperti berikut :
Ungkapan partisipan tersebut menunjukkan bahwa
pengkajian breathing adalah keluhan pasien terhadap sesak
nafas yang dirasakan.
Selain kategori pengkajian breathing tema dari primery
survey juga disusun oleh kategori pengkajian circulation yang
diungkapkan oleh tiga partisipan sebagai berikut:
Ungkapan partisipan tersebut menunjukkan bahwa
pengkajian circulation merupakan pengkajian pada volume
cairan yang diberikan pada pasien dan mengkaji perdarahan
yang ada pada pasien IMA.
“…kalo pasien sesek kita kasih O2…” (P1)
“…kalo dia mengeluh sesak langsung kita berikan bantuan
oksigen…” (P2)
“…misalkan pasiennya sesak ya kita kasih oksigen...” (P5)
“…kondisinya gimana, infus apa ambil darah…” (P1)
“…adakah perdarahan…” (P3)
“…biasanya ada perubahan pada system peredarandarah…” (P5)
46
Primery survey
Pengkajian circulation
Komponen primery survey terhadap IMA dapat dilihat pada
gambar 4.1
Gambar 4.1 Skema tema primery survey
b. Secondary survey disusun oleh pengkajian EKG dan pengkajian
laboratorium. Pengkajian EKG yang diungkapkan oleh keempat
partisipan berikut ini:
Ungkapan partisipan tersebut diatas menyatakan bahwa
pengkajian EKG adalah tindakan perekaman EKG untuk
mengetahui irama yang normal atau irama yang tidak normal
pada pasien.
“…ya kita harus melakukan pemeriksaan EKG…” (P1)
“…memasang monitor dan melakukan EKG…” (P2)
“…kita lakukan perekaman EKG…” (P4)
“…mungkin kita lakukan perekaman EKG ada irama yangtidak normal atau tidak…” (P5)
Pengkajian breathing
47
“…untuk pemeriksaan laboratnya untuk enzimnyatroponin I atau ckmb…”(P2)
“…kita perlu juga bekerja sama dengan laboratmungkin ya untuk pemeriksaan enzim…” (P3)
“…bekerja sama dengan laborat mungkin untukpemeriksaan enzim…” (P5)
Selain kategori pengkajian EKG tema dari secondary
survey juga disusun oleh kategori pengkajian laboratorium yang
diungkapkan pada ketiga partisipan sebagai berikut:
Ungkapan partisipan diatas mempersepsikan bahwa
pengkajian laboratorium merupakan tindakan pemeriksaan
enzim pada pasien IMA.
Komponen secondary survey dapat dilihat pada gambar 4.2
Gambar 4.2 Skema tema secondary survey
4.5.2 Tujuan khusus 2 : Mengidentifikasi bagaimana perawat melakukan
diagnosa keperawatan pada pasien IMA.
Mengidentifikasi bagaimana perawat melakukan diagnosa
keperawatan pada pasien IMA didapatkan dua tema yaitu 1) dasar
perumusan diagnosa dan 2) jenis diagnosa dari tema di atas
Pengkajian EKG
Secondary survey
Pengkajian laboratorium
48
“…kita merumuskan permasalahan-permasalahankepada pasien tersebut…” (P3)
“…biasanya pasien IMA mengeluh nyeri ya…” (P4)
“…jika pasien merasakan nyeri, nah bisa juga darinyerinya itu…” (P5)
“…adakah perubahan dan respon pasien adakahnyeri…” (P5)
didapatkan empat kategori yaitu data subyektif, data obyektif,
diagnosa resiko dan diagnosa aktual.
a. Dasar perumusan diagnosa disusun oleh data subyektif dan data
obyektif. Data subyektif yang diungkapkan oleh kelima
partisipan seperti berikut :
“…kita sebagai perawat kan cuma menganamnesis terusriwayat dahulu ada penyakit jantung ndag itu harus dianamnesisnya harus komplit…” (P1)“…terus ada tanda nyeri dada…” (P1)“…apabila pasien nyeri dada…” (P2)“…merumuskan itu ya mulai dari kita anamnesa tersebut…” (P3)“…nyerinya berapa kualitasnya, kemudian skala nyerinya,penjalarannya kemana…” (P3)“…kalo kita ya mungkin bisa dari anamnesa terus kitamendiagnosa pasien tersebut gitu mbak…” (P5)
Ungkapan partisipan tersebut menunjukkan bahwa data
subyektif merupakan data yang kita peroleh dari hasil anamnesa
pasien misalkan rasa nyeri yang diungkapkan saat partisipan
melakukan anamnesa.
Selain kategori data subyektif tema dari dasar perumusan
diagnosa juga disusun oleh kategori data obyektif yang
diungkapkan oleh keempat partisipan sebagai berikut:
49
“…apabila pasien sudah mengeluh nyeri dada terus sudahada ekg yang khasnya misalkan st elevasi ataukipatologis…kita bisa diagnosa keperawatannya pasti yangpertama itu gangguan pertukaran gas atau penurunancurah jantung…” (P2)
“…Kita rumuskan bagaimana nyerinya, kemudian resiko-resikonya, biasanya kan terjadi oksigenasinya kanberkurang, kita rumuskan juga…” (P4)
Ungkapan partisipan tersebut menunjukkan bahwa data
obyektif merupakan data yang kita peroleh dari pasien atau
perasaan pasien saat pengkajian.
Komponen dasar perumusan diagnosa dapat dilihat pada gambar
4.3
Gambar 4.3 Skema tema dasar perumusan diagnosa
b. Jenis diagnosa di susun olehdiagnosa resiko dan diagnosaaktual.
Diagnosa resiko yang diungkapkan ke dua partisipan berikut:
Ungkapan partisipantersebut menunjukkan bahwa
dalam merumuskan diagnosa harus mengetahui jenis diagnosa,
Data subyektif
Dasar perumusandiagnosa
Data obyektif
50
Diagnosaaktual
terutama diagnosa IMA dengan melihat ciri khas grafik EKG
munculnya st elevasi.
Selain kategori diagnosa resiko tema dari jenis diagnosa
juga disusun oleh kategori diagnosaaktual yang diungkapkan
oleh satu partisipan sebagai berikut:
Ungkapan partisipan tersebut menyatakan bahwa
diagnosa aktual merupakan diagnosa yang muncul pada pasien
IMA yaitu gangguan pertukaran gas atau penurunan curah
jantung.
Komponen jenis diagnosa dapat dilihat pada gambar 4.4
Gambar 4.4 Skema tema jenis diagnosa
Diagnosa resiko
Jenis diagnosa
“…kita bisa diagnosa keperawatannya pasti yangpertama itu gangguan pertukaran gas atau penurunancurah jantung…” (P2)
51
“…biasanya dari dokter bisa dikasih morfin ataunitrogliserin ntg aspirin atau aspiret…” (P2)
“…pemberian obat streptokinase dalam 1 jam pertama…”(P3)
“…pemberian obat-obat streptokinase kita harusmemberikan dalam waktu kurang dari 6-12 jam…” (P4)
“…kita kasih obat streptokinase…” (P5)
4.5.3 Tujuan khusus 3 : Mengidentifikasi bagaimana perawat melakukan
intervensi pada pasien IMA.
Mengidentifikasi bagaimana perawat melakukan intervensi
pada pasien IMA di dapatkan satu tema yaitu 1) prioritas intervensi
dari tema di atas didapatkan tiga kategori yaitu kolaborasi oksigen,
kolaborasi obat dan kolaborasi diit. Kolaborasi oksigen diungkapkan
oleh keempat partisipan sebagai berikut:
Ungkapan partisipan tersebut menyatakan bahwa kolaborasi
oksigen merupakan penanganan atau tindakan yang dilakukan
partisipan saat pasien mengalami sesak nafas. Tindakan tersebut
diantaranya adalah memberikan bantuan oksigen.
Selain kategori kolaborasi oksigen tema dari intervensi
kolaborasi juga disusun oleh kategori kolaborasi obat yang
diungkapkan oleh keempat partisipan sebagai berikut:
“…Pasien-pasien jantung kondisi darurat ya harus segeraditangani, terus kalo pasien sesek kita kasih O2…” (P1)
“…jadi pasien yang mengalami AMI itu penatalaksanaanpertama kita harus memberikan bantuan O2 terlebih dahulu…” (P2)
“…mungkin kita bisa memberikan dengan oksigen juga, …”(P3)
“…kita memberikan tindakan sesuai petunjuk doktermisalkan pasiennya sesak ya kita kasih oksigen...” (P5)
52
“…nutrisi juga perlu karena perlu pasien diit juga, giziyaa…” (P3)
“…pasien jantung kan juga ada diitnya, pengaturan diitdari ahli nutrisi…” (P4)
“…ahli gizi untuk diit pasien…” (P5)
Kolaborasi diit
Ungkapan partisipan tersebut menunjukkan bahwa kolaborasi
obat merupakan pemberian obat-obatan pada pasien IMA yaitu obat
streptokinase dan obat aspirin atau aspiret.
Selain kategori dari kolaborasi obat, tema intervensi
kolaborasi juga disusun oleh kategori kolaborasi diit yang
diungkapkan oleh ke tiga partisipan berikut:
Ungkapan partisipan tersebut menunjukkan bahwa
kolaborasi diit merupakan tindakan kolaborasi pada ahli gizi untuk
mengatur diit pasien IMA.
Komponen intervensi kolaborasi dapat dilihat pada gambar 4.5
Gambar 4.5 Skema tema kolaborasi intervensi
Kolaborasi oksigen
Kolaborasi intervensiKolaborasi obat
53
“…observasi ketat pemberian streptokinase tiap 1jam agar tidak terjadi perdarahan…” (P3)
4.5.4 Tujuan khusus 4 : Mengidentifikasi bagaimana perawat melakukan
implementasi pada pasien IMA.
Mengidentifikasi bagaimana perawat melakukan
implementasi pada pasien IMA di dapatkan dua tema yaitu 1)
tindakan live saving dan 2) implementasi kolaborasi dari tema di atas
didapatkan tiga kategori yaitu managementbreathing,
managementcirculation dan pemberian obat.
a. Tindakan live saving disusun olehmanagement breathing dan
managementcirculation. Management breathing yang
diungkapkan oleh kedua partisipan seperti berikut :
Ungkapan partisipan tersebut menunjukkan bahwa
managementbreathing merupakan tindakan yang mengurangi
sesak terhadap pasien IMA. Bantuan ventilasi dan AGD pun
bbisa menjadi salah satu tindakan pada management breathing.
Selain kategori managementbreathing tema dari tindakan
live saving juga disusun oleh kategori management circulation
yang diungkapkan oleh satu partisipan sebagai berikut:
Ungkapan partisipan tersebut menyatakan bahwa
“…kalo sesek ya tambah AGD…” (P1)
“…pemberian bantuan ventilasi, bisa menggunakan
ventilasi biasa atau mekanik…” (P2)
54
“…biasanya dari dokter dikasih morfin atau nitrogliserin ntg aspirinatau aspiret dan papidogril…” (P2)
“…kolaborasi dengan dokter kemudian perlu juga bekerja samadengan laborat mungkin untuk pemeriksaan enzim dan perlu jugakita bekerja sama dengan fisioterapi mungkin untuk membantumobilisasinya yaa, nutrisi juga perlu karena perlu pasien diit juga,gizi yaa.…” (P3)
“…dalam hal ini kita kolaborasi dengan dokter untuk pemberiananalgetik untuk pengurang nyerinya, kemudian streptokinasenya…”(P4)
“…evaluasinya ya kita kasih obat streptokinase, biasanya adaperubahan pada sisem vaskularisasi (peredaran darah)…” (P5)
managementcirculation merupakan tindakan observasi ketat
pada pemberian streptokinase untuk mengatasi sitem
vaskularisai pasien.
Komponen tindakan live saving dapat dilihat pada gambar 4.6
Gambar 4.6 Skematema tindakan live saving
b. Implementasi kolaborasi disusun oleh pemberian obat yang
diungkapkan oleh keempat partisipan berikut:
Ungkapan partisipan tersebut menunjukkan bahwa
pemberian obat merupakan pemberian morfin, aspirin dan
Tindakan live saving
Management breathing
Managementcirculation
55
streptokinase dan pemberian analgetik adalah salah satu
tindakan kolaborasi pada implementasi pasien.
Komponen implementasi kolaborasi dapat dilihat pada gambar
4.7
Gambar 4.7 Skema tema implementasi kolaborasi
4.5.5 Tujuan khusus 5 : Mengidentifikasi bagaimana perawat melakukan
evaluasi pada pasien IMA.
Mengidentifikasi bagaimana perawat melakukan evaluasi
pada pasien IMA di dapatkan satu tema yaitu 1) tipe evaluasi. Dari
tema di atas didapatkan dua kategori yaitu evaluasi obyektif dan
evaluasi subyektif. Evaluasi obyektif yang dilakukan diungkapkan
oleh ke tiga partisipan seperti berikut :
“…kemudian kita observasi…” (P3)
“…selain itu kita ketahui juga untuk ukur vital signnya…” (P3)
“…vital sign nya seperti apa…” (P4)
“…evaluasinya ya vital signya seperti apa…” (P5)
Implementasi kolaborasiPemberian obat
56
“…bagaimana perasaannya adakah pengurangan nyeri,
gitu…” (P4)
Ungkapan partisipan tersebut menunjukkan bahwa evaluasi
obyektif merupakan pemeriksaan vital sign untuk mengetahui
perkembangan pasien.
Selain kategori evaluasi obyektif tema dari tipe evaluasi
disusun oleh kategori evaluasi subyektif yang diungkapkan oleh satu
partisipan berikut:
Ungkapan partisipan tersebut menunjukkan bahwa evaluasi
subyektif merupakan keadaan dimana pasien mengungkapkan
keadaan yang dirasa misalkan perasaan saat ini atau sudahkah hilang
nyeri yang dirasa pasien.
Komponen tipe evaluasi dapat dilihat pada gambar 4.8
Gambar 4.8 Skema tema tipe evaluasi
Evaluasi subyektif
Evaluasi obyektif
Tipe evaluasi
57
4.5.6 Tujuan khusus 5: Mengidentifikasi makna asuhan keperawatan yang
dilakukan oleh perawat pada pasien IMA.
Mengidentifikasi makna asuhan keperawatan yang dilakukan
oleh perawat pada pasien IMA di dapatkan tiga tema yaitu 1) respon
emosional, 2) motivasi kinerja dan 3) prinsip penanganan pasien dari
tema di atas didapatkan empat kategori yaitu simpatik, kepuasan diri,
ibadah dan cepat.
a. Tema respon emosional disusun oleh simpatik dan kepuasan
diri. Simpatik diungkapkan oleh satu partisipan seperti berikut :
Ungkapan dari partisipan tersebut menunjukkan bahwa
simpatik adalah perasaan iba yang timbul pada partisipan saat
melakukan tindakan.
Selain itu tema respon emosional juga disusun oleh
kategori kepuasan diri yang diungkapkan keempat partisipan
sebagai berikut:
“… pada masyarakat, kita juga merasa iba juga sama
pasien…” (P1)
“…bisa menyelamatkan pasien itu ya kesenangan tersendiri,seperti itu…” (P2)
“…perasaannya kalo kita bisa memberikan asuhankeperawatan engan baik, dengan maksimal kemudian pasienbisa pulang dengan sehat gitu ya senang sekali, puas ya…”(P3)
“…perasaannya akan senang sekali ya…” (P4)
“…perasaannya ya senang, apalagi kalo pasiennya sembuhwah tambah senang…” (P5)
58
“…kita itu tanggungjawab dengan masyarakat…” (P1)
“…ya ibarat disini kan untuk mencari ladang ibadah…”(P2)
“…itung-itung nambah pahala mbak kita disini nolongorang…” (P5)
Ungkapan partisipan tersebut menunjukkan bahwa
kepuasan diri merupakan perasaan senang dan senang sekali saat
menyelamatkan pasien dengan gangguan IMA.
Komponen respon emosional dapat dilihat pada gambar 4.9
Gambar 4.9 Skema tema respon emosional
b. Motivasi kinerja disusun oleh ibadah yang diungkapkan oleh
satu partisipan sebagai berikut:
Ungkapan partisipan tersebut menunjukkan bahwa
ibadah merupaka motivasi kinerja yang baik dalam melakukan
tindakan, motivasi kerja yang bagus akan mendapatkan imbalan
yang sesuai dengan kinerjanya. Bekerja dengan motivasi yang
tinggi merupakan ibadah dapat menyelamatkan pasien.
Simpatik
Kepuasan diri
Respon emosional
59
“…maknanya ya kita harus secara cepat ya, cepat, tepat
sesuai dengan prosedur yang ada…” (P4)
“…maknanya ya menyelamatkan pasien sesuai dengan
kemampuan kita mbak…” (P5)
Komponen motivasi kinerja dapat dilihat pada gambar 4.10
Gambar 4.10 Skema tema motivasi kinerja
c. Prinsip penanganan pasien disusun oleh cepat dan
menyelamatkan pasien. Kategori cepat diungkapkan oleh satu
partisipan sebagai berikut:
Ungkapan partisipan tersebut menunjukkan bahwa cepat
adalah kecepatan dan ketepatan tindakan yang kita lakukan pada
saat mulai pengkajian sampai evaluasi pasien IMA.
Selain itu tema prinsip penanganan pasien yang juga
disusun oleh kategori menyelamatkan pasien diungkapkan oleh
satu partisipan sebagai berikut:
Ungkapan dari partisipan tersebut menunjukkan bahwa
dalam tindakan harus mengutamakan prinsip penanganan pasien
untuk menyelamatkan pasien dengan keadaan gawat darurat.
Motivasi kinerjaIbadah
60
Komponen prinsip penanganan pasien dapat dilihat pada
gambar 4.11
Gambar 4.11 Skema tema prinsip penanganan pasien
Menyelamatkanpasien
Cepat
Prinsip penangananpasien
61
Pasien IMA
4.6 Skematik
Pengkajian IMA:1. Primery survey2. Secondary survey
Implementasi IMA
1. Tindakan live saving2. Implementasi
kolaborasi
Prinsip penangananpasien
Intervensi IMA
1. Prioritas intervensi
Diagnosa IMA:1. Dasar perumusandiagnosa2. Jenis diagnosa
Evaluasi IMA1. Tipe evaluasi
Motivasi kinerja
Respon emosional
62
Pasien datang dengan keluhan IMA, dilakukan pengkajian yaitu
primerysurvey dan secondary survey. Setelah dilakukannya pengkajian,
partisipan mendiagnosa dengan mengkaji dasar perumusan diagnosa dan jenis
diagnosa. Motivasi kinerja para partisipan. Setelah partisipan selesai
merumuskan diagnosa IMA, langkah selanjutnya adalah melakukan intervensi
dalam tahap ini partisipan melakukan prioritas intervensi. Setelah didapatkan
prioritas intervensi IMA, partisipan melakukan implementasi dengan melakukan
tindakan live saving terhadap pasien IMA dan melakukan implementasi
kolaborasi dengan tim medis. Adapun implementasi yang dilakukan harus
mengutamakan prinsip penanganan pasien. Selanjutnya melakukan tindakan
evaluasi terhadap pasien IMA, disini partisipan dengan mengetahui tipe
evaluasinya yang berupa hasil dari tindakan yang dilakukan. Setelah asuhan
keperawatan muncul respon emosional terhadap .
63
BAB V
PEMBAHASAN
5.1 Primery survey
Hasil penelitian menunjukkan bahwa primery survey yang dilakukan
oleh beberapa partisipan merupakan pengkajian breathing dan pengkajian
circulation. Pada pengkajian breathing partisipan mengkaji sesak nafas
yang dirasa pasien. Sedangkan pada pengkajian circulation partisipan
melakukan pengkajian berupa resusitasi cairan atau perbaikan volume.
Primery survey adalah kegiatan yang komprehensif dan
menghasilkan kumpulan data mengenaistatus kesehatan klien, kemampuan
klien untuk mengelola kesehatan dan perawatan terhadap dirinya sendiri,
serta hasil konsultasi medis (terapis) atau profesi kesehatan lainnya (Taylor,
Lillis dan LeMone, 1996 dalam Nursalam, 2008).
Dalam sumber lain menyatakan primery survey merupakan
pendekatan pada klien sehingga ancaman kehidupan segera dapat secara
cepat diidentifikasi dan tertanggulangi dengan efektif, padaprimery survey
ada tahapan yang harus dilakukan yaitu airway, breathing, circulation,
disability dan eksposure. (Krisanty, 2002).
Pertolongan kepada pasien gawat darurat dilakukan dengan terlebih
dahulu melakukan survei primer untuk mengidentifikasi masalah-masalah
64
yang mengancam hidup pasien, barulah selanjutnya dilakukan survei
sekunder. Tahapan pengkajian primer meliputi : A: Airway, mengecek jalan
nafas dengan tujuan menjaga jalan nafas disertai control servikal; B:
Breathing, mengecek IPPA (Inspeksi, Palpasi, perkusi, Auskultasi),
mengecek pernafasan dengan tujuan mengelola pernafasan agar oksigenasi
adekuat; C: Circulation, pemeriksaan syok, memeriksa nadi pasien,
mengecek sistem sirkulasi disertai kontrol perdarahan, perbaikan volume
cairan; D: Disability, mengecek status neurologis seperti GCS yang meliputi
pemeriksaan respon buka mata, respon verbal dan respon motorik; E:
Exposure, enviromental control, buka baju penderita tapi cegah hipotermia,
(Holder, 2002).
Pernyataan mengenai primery survey yang dilakukan partisipan
didapatkan 2 pengkajian yaitu: pengkajian breathing dan pengkajian
circulation. Padahal menurut teori terdapat 5 pengkajian pada tahap primery
survey, meliputi: Airway, Breathing, Circulation, Disability, dan Exposure.
Berarti pada tahap ini partisipan belum melakukan tindakan secara
menyeluruh untuk primery survey karena yang dilakukan masih belum
sesuai dengan teori. Akibat dari primery survey tidak dilakukan adalah
pasien dapat mengalami syok hipovolemik karena kehilangan cairan tubuh
yang lain, trauma kapitis dapat terjadi terutama apabila ada penurunan
kesadaran selanjutnya pasien dapat mengalami perdarahan intrakranial yang
menyebabkan kematian dengan sangat cepat karena memerlukan
pemeriksaan evaluasi keadaan neurologis selain itu melepas baju pasien
65
juga dilakukan untuk evaluasi kelainan atau injury tapi diusahakan pasien
terjaga kehangatannya agar tidak terjadi hipotermi
5.2 Secondary survey
Hasil penelitian menunjukkan bahwa secondary survey merupakan
pengkajian EKG dan pengkajian laborat. Pemeriksaan EKG dilakukan saat
kita melakukan pengkajian pasien IMA untuk mengetahui adakah irama
yang tidak normal dan pemeriksaan laboratorium partisipan melakukan
tindakan pemeriksaan enzim.
Secondary survey merupakan aktivitas lain dimana perawat gawat
darurat dapat mengantisipasi termasuk insersi gastic tube untuk dekompresi
saluran pernafasan untuk mencegah muntah dan aspirasi dan analisa
laboratorium darah, Tim resusitasi juga melakukan suatu pengkajian head to
toe yang lebih komprehensif (Krisanty, 2002).
Pada buku lain mengatalkan secondary survey merupakan
penanganan lanjutan setelah dilakukannya primery survey. Pemeriksaan
secara lengkap dilakukan secara head to toe, dari depan hingga belakang.
Secondary survey hanya dilakukan setelah kondisi pasien mulai stabil,
dalam artian tidak mengalami syok atau tanda-tanda syok telah mulai
membaik. (Nursalam, 2011).
66
Secondary survey (penilaian rinci atau fokus) adalah pemeriksaan
sistematis head-to-toe dari setiap bagian dari tubuh pasien, termasuk menilai
tanda-tanda vital dan memperoleh riwayat pasien. Perawat melakukan
secondary survey untuk memastikan kondisi medis atau identifikasi trauma.
Hal ini akan memungkinkan identifikasi perubahan kondisi pasien (Holder,
2002).
Pemeriksaan secondary surveydibagi dalam beberapa tahap yaitu F:
Full set of vital sign,perawat melakukan pemeriksaan vital sign, lima
intervensi (monitor jantung, pemasangan NGT, pemasangan kateter urine,
pemeriksaan laboratorium darah, monitoring saturasi oksigen), mensupport
system dari keluarga, G: Give comfort measure, pada tahap ini dilakukan
tindakan farmakologi dan non farmakologis untuk pengurang nyeri dan
kecemasa pasien,H: History and head to toe, disini tindakan yang dilakukan
adalah History menggunakan prinsip SAMPLE yaitu S: Subyektif (keluhan
utama), A:Allergies ( adakah alergi terhadap makanan atau obat-obatan), M:
Medication (obat-obat yang sedang dikonsumsi), P: Past medical history
(riwayat penyakit), L: Last oral intake (masukan oral terakhir, apakah benda
padat atau cair), E: Event (riwayat masuk rumah sakit) (Price, 2005).
Pada penelitian partisipan menyatakan bahwa secondary survey
merupakan kegiatan pemeriksaan EKG dan pemeriksaan laboratorium.
Padahal menurut teori secondary survey merupakan pemeriksaan secara
lengkap secara subyektif yaitu F: Full set of vital sign, G: Give comfort
measure, H: History and head to toe. Pada tahap secondary survey juga
67
dilakukan trias AMI yaitu nyeri, pemeriksaan laboratorium dan pemeriksaan
EKG. Yang pertama yaitu nyeri, IMA memiliki ciri nyeri yang khas yaitu
menjalar ke lengan kiri, bahu, leher sampai ke epigastrium, akan tetapi pada
orang tertentu nyeri yang terasa hanya sedikit dan terdapat rasa penekanan
yang luar biasa pada dada atau perasaan akan datangnya kematian. Yang
kedua adalah pemeriksaan laboratorium disini perawat melakukan
pemeriksaan troponin T dan I, pemeriksaan LDH (Laktat Dehidrogenisasi)
dan pemeriksaan enzim berupa CPK-MB/CPK,LDH/HBDH, AST/SGOT.
Dan yang terakhir adalah pemeriksaan EKG, perubahan EKG yang terjadi
pada fase awal adanya gelombang T tinggi dan simetris. Setelah ini terdapat
elevasi segmen ST.Perubahan yang terjadi kemudian ialah adanya
gelombang Q/QS yang menandakan adanya nekrosis.Pada kenyataannya
partisipan belum melakukan tindakan secondary survey secara keseluruhan.
5.3 Dasar perumusan diagnosa
Hasil penelitian menyatakan bahwa dasar perumusan diagnosa
merupakan hasil dari anamnesa yang dirumuskan pada permasalahan-
permasalahan yang timbul pada pasien. Selain itu, salah satu partisipan juga
mengungkapkan bahwa dasar perumusan diagnosa didapatkan menurut
riwayat dahulu pada pasien IMA, riwayat dahulu didapatkan atas dasar
anamnesa pada pasien tersebut. Pada penelitian ini didapatkan dasar
perumusan diagnosa dari data subyektif dan data obyektif.
68
Dasar perumusan diagnosa merupakan hasil dari pengkajian yang
dilakukan saat wawancara kepada pasien, pengkajian fisik, observasi,
review rekam medic atau keperawatan, dan hasil diagnostic serta kolaborasi
dengan teman sejawat, sehingga data yang diperoleh digunakan untuk dasar
perumusan diagnosa pasien. Dengan adanya dasar perumusan diagnosa,
perawat akan lebih jelas menentukan tindakan (Nursalam, 2011).
Dasar perumusan diagnosa terdiri atas bagian respons klien.Di dalam
bukunya, Stole hanya menampilkan diagnosa keperawatan dengan respons
klien saja karena kondisi spesifik klien yang timbul dari kondisi klien yang
nyata karena tidak diidentifikasi. Apabila perawat dapat mengidentifikasi
kondisi yang mempengaruhi respons klien, maka dapat dituliskan dua
diagnosa yang terdiri dari data obyektif dan data subyektif.Data subyektif
berisi data dari pasien melalui anamnesis (wawancara) yang merupakan
ungkapan langsung sedangkan data obyektif berisi data dari hasil observasi
melalui pemeriksaan fisik pasien (Stolte, 2004).
Partisipan dalam penelitian ini menyatakan bahwa dasar perumusan
diagnosa merupakan mengkaji data subyektif dan data obyektif yang didapat
dari menganamnesa pasien saat masuk IGD. Hasil penelitian ini sama
dengan teori yang menyatakan bahwa dasar perumusan diagnosa merupakan
wawancara kepada pasien, pengkajian fisik sampai dengan riwayat pasien
sehingga data yang diperoleh dapat dijadikan acuan partisipan untuk
menjadi dasar merumuskan diagnosa.
69
5.4 Jenis diagnosa
Hasil penelitian yang telah dilakukan menyatakan bahwa dalam
mendiagnosa pasien dengan gangguan IMA memiliki berbagai jenis
diagnosa salah satunya adalah gangguan pertukaran gas yang ditandai
dengan ST elevasi atau qipatologis. Salah satu partisipan juga
mengungkapkan bahwa nyeri dan kekurangan oksigen dapat dijadikan jenis
diagnosa pada pasien IMA. Pada penelitian ini didapatkan 2 jenis diagnosa
yaitu diagnosa aktual dan diagnosa resiko. Pada diagnosa gangguan
pertukaran gas dapat dimasukkan ke dalam diagnosa aktual.
Jenis diagnosa merupakan pernyataan yang menguraikan respon
aktual atau potensial klien terhadap masalah kesehatan yang perawat
mempunyai izin dan berkompeten untuk mengatasinya (Carpenito, 2000).
Jenis diagnosa disini dibagi menjadi 2 bagian yaitu diagnosaaktual
dan diagnosa resiko. Diagnosaaktual adalah diagnosis yang telah
divalidasikan melalui batasan karakteristik mayor yang diidentifikasi atau
menjelaskan masalah nyata saat ini sesuai dengan data klinik yang
ditemukan.. Sedangkan diagnosa resiko merupakan keputusan klinis tentang
individu, keluarga atau komunitas yang sangat rentan untuk mengalami
masalah dibanding individu atau menjelaskan masalah kesehatan nyata akan
terjadi jika tidak di lakukan intervensi (Carpenito, 2000).
Diagnosa keperawatan yang muncul pada penyakit IMA antara lain
yaitu ketidakefektifan pola nafas berhubungan dengan pengembangan paru
70
tidak optimal, penurunan curah jantung berhubungan dengan perubahan
frekuensi, nyeri akut berhubungan dengan ketidakseimbangan suplai darah
dan oksigen dengan kebutuhan myocardium akibat sekunder dari penurunan
suplai darah ke myocardium, intoleransi aktivitas berhubungan dengan
penurunan perfusi perifer akibat sekunder dari ketidakseimbangan antara
suplai okssigen myocardium dengan kebutuhan (Muttaqin, 2012).
Dalam penelitian ini partisipan menyatakan bahwa jenis diagnosa
didapatkan dari pasien saat mengeluh nyeri dengan itu partisipan bisa
merumuskan jenis diagnosa misalkan diagnosa resiko. Menurut teori jenis
diagnosa merupakan tahapan dimana pasien mengungkapkan perasaannya
secara aktual dengan masalah kesehatannya. Hal ini sesuai dengan yang
diungkapkan oleh partisipan.
5.5 Intervensi kolaborasi
Hasil penelitian menyatakan bahwa intervensi kolaborasi merupakan
keadaan dimana partisipan melakukan kolaborasi diit, kolaborasi obat dan
kolaborasi oksigen. Ini dilakukan untuk mengurangi sesak yang dirasa pada
pasien IMA. Selain itu kolaborasi pemberian obat turut dilakukan pada saat
intervensi kolaborasi, beberapa obat diberikan diantaranya yaitu obat
streptokinase, morfin dan aspiret. Disini pemberian morfin adalah untuk
analgetik pasien Tidak kalah pentingnya kolaborasi pemberian diit juga
dilakukan untuk pasien IMA karena untuk mengatur gizi pasien tersebut.
71
Intervensi kolaborasi merupakan suatu proses didalam pemecahan
masalah yang merupakan awal tentang sesuatu apa yang akan dilakukan,
bagaimana dilakukan, kapan dilakukan, siapa yang melakukan dari semua
tindakan keperawatan (Dermawan, 2012).
Menurut panduan AHA (2010) mengenai pengobatan pasien IMA
menggunakan pengobatan MONACO yaitu Morfin, mengurangi nyeri dada
dan merupakan analgesik pilihan dalam tatalaksana STEMI, Oksigen,
oksigen harus diberikan ada pasien dengan saturasi oksigen <90%, 3. Nitrat,
merupakan obat yang diberikan untuk menanggulangi spasme arteri koroner
dan menurunkan miokard akan oksigen dengan menurunkan tekanan baik
preload maupun afterload, Aspirin, merupakan tatalaksana dasar pada
pasien yang dicurigai STEMI dan efektif pada spektrum sindroma koroner
akut, Clopidogrel, dosis awal 300-600 mg, dilanjutkan dosis pemeliharaan 1
x 75 m.
Intervensi kolaborasi disini dibagi menjadi tiga tahapan yaitu
kolaborasi oksigen, kolaborasi obat dan kolaborasi diit. Pada kondisi seperti
ini partisipan melakukan tindakan sesuai dengan arahan dokter untuk
menanggulangi komplikasi-komplikasi yang muncul pada pasien IMA.
Menurut teori intervensi kolaborasi merupakan suatu pemecahan masalah
yang dilakukan oleh beberapa tenaga kesehatan lainnya. Dalam hal ini
ungkapan partisipan sesuai dengan teori intervensi kolaborasi.
72
5.6 Tindakan live saving
Hasil penelitian menunjukkan bahwa tindakan live saving
merupakan tindakan yang berhubungan dengan keselamatan pasien.
Partisipan menyatakan tindakan live saving adalah pemeriksaan darah untuk
hasil yang lebih lanjut, tindakan live saving juga bisa diartikan dengan
management breathing dan management circulation.Pada management
breathing partisipan melakukan tindakan pemberian ventilasi, sedangkan
pada managemen circulation partisipan mengobservasi secara ketat dalam
pemberian obat.
Tindakan live saving merupakan bagian dari sistem kesehatan yang
menekankan pada proses pelaporan, analisis, dan pencegahan kesalahan
medis yang sering menyebabkan kejadian yang merugikan kesehatan.
Keselamatan pasien adalah system pelayanan dalam suatu rumah sakit yang
memberikan asuhan pasien yang aman (Yaqin, 2012).
Identifikasi dan pemecahan masalah tersebut merupakan bagian
utama dari pelaksanaan tindakan live saving. Keselamatan pasien
merupakan hal yang teramat penting dari sebuah pelayanan kesehatan oleh
karena itu penelitian ini menjelaskan bagaimana partisipan melakukan
tindakan live saving.
Tindakan live saving melibatkan system pelayanan yang
meminimalkan kemungkinan kejadian adverse eror, system ini mencegah
terjadinya cedera yang disebabkan oleh kesalahan akibat melaksanakan
73
suatu tindakan (Panduan Nasional keselamatan Pasien Rumah Sakit, Depkes
R.I.2006).
(Setiowati, 2010) mengemukakan bahwa tindakan live
savingmerupakan suatu hal yang penting karena membangun budaya
keselamatan pasien adalah suatu cara untuk membangun program
keselamatan pasien secara keseluruhan, karena jika kita lebih fokus pada
keselamatan pasien maka akan lebih mengahasilkan hasil keselamatan yang
lebih apabila dibandingkan hanya berfokus pada program keselamatan
pasien saja.
Pada penelitian lain menyatakan bahwa tindakan live saving
merupakan sesuatu yang jauh lebih penting daripada sekedar efisiensi
pelayanan. Berbagai resiko akibat tindakan medik dapat terjadi sebagai
bagian dari pelayanan kepada pasien (Pinzon 2008).
Pada penelitian ini partisipan melakukan tindakan live saving pada
pasien. Tindakan yang dilakukan tersebut merupakan tindakan untuk
menyelamatkan pasien dari masa kritis. Diantaranya adalah memberikan
bantuan ventilasi pada pasien. Sementara pada teori mengungkapkan bahwa
tindakan live saving merupakan tindakan pencegahan terjadinya cedera yang
disebabkan oleh kesalahan akibat melaksanakan suatu tindakan, hal ini
sesuai dengan yang diungkapkan oleh partisipan.
74
5.7 Implementasi kolaborasi
Hasil penelitian menyatakan bahwa implementasi kolaborasi
merupakan kolaborasi dengan dokter pemberian obat streptokinase dan
morfin untuk sitem vaskularisasi. Pemberian analgetik juga perlu untuk
pengurang nyeri.
Implementasi kolaborasi merupakan tindakan keperawatan atas dasar
kerjasama sesama tim keperawatan atau dengan tim kesehatan lainnya,
seperti dokter. Contohnya dalam pemberian obat oral, obat injeksi, infus,
keter urine, dan lain-lain. Serta respon klien setelah pemberian merupakan
tanggungjawab dan menjadi perhatian perawat (Haryanto, 2007).
Dalam buku Carpenito, (2000) menyatakan implementasi kolaborasi
merupakan tindakanperawat dalam pemberian obat karena perawat
merupakan mata rantai terakhir dalam proses keperawatan.
Menurut American Heart Association (2010) mengenai pengobatan
pasien IMA menggunakan pengobatan MONACO yaitu Morfin,
mengurangi nyeri dada dan merupakan analgesik pilihan dalam tatalaksana
STEMI, Oksigen, oksigen harus diberikan ada pasien dengan saturasi
oksigen <90%, 3. Nitrat, merupakan obat yang diberikan untuk
menanggulangi spasme arteri koroner dan menurunkan miokard akan
oksigen dengan menurunkan tekanan baik preload maupun afterload,
Aspirin, merupakan tatalaksana dasar pada pasien yang dicurigai STEMI
75
dan efektif pada spektrum sindroma koroner akut, Clopidogrel, dosis awal
300-600 mg, dilanjutkan dosis pemeliharaan 1 x 75 m.
Dalam hasil penelitian, partisipan mengungkapkan bahwa
implementasi kolaborasi yang dilakukan adalah tindakan pemberian obat-
obatan pada pasien IMA. Hal ini sesuai dengan teori yang menyatakan
bahwa implementasi kolaborasi merupakan pemberian obat-obatan morfin,
oksigen, nitrat, aspirin, clopidogril.
5.8 Tipe evaluasi
Hasil penelitian menunjukkan bahwa tipe evaluasi merupakan
obervasi ulang kepada pasien dan mengkaji vital sign apakah ada
perkembangan. Tipe evaluasi merupakan kriteria pencapaian yang
diharapkan dan merupakan kegiatan penting pada pasien (Urden, 2000).
Tipe evaluasi terdapat 2 jenis yaitu evaluasi obyektif dan evaluasi
subyektif. Mengevaluasi pencapaian tujuan dari interaksi yang telah
dilaksanakan adalah pengertian dari evaluasi objektif. Brammer dan
McDonald (1996) menyatakan bahwa meminta klien untuk menyimpulkan
tentang apa yang telah didiskusikan merupakan sesuatu yang sangat berguna
pada tahap ini. Pengertian evaluasi subyektif merupakan menanyakan
perasaan klien setelah berinteraksi dengan perawat (Sears, 2004).
76
Tipe evaluasi adalah langkah terakhir dalam proses pembuatan
keputusan. Perawat mengumpulkan, menyortir dan menganalisa data untuk
menetapkan apakah tujuan sudah tercapai, rencana memerlukan modifikasi
atau alternative baru yang harus dipertimbangkan (Hidayat, 2008).
Dalam penelitian ini partisipan menyatakan bahwa dalam evaluasi
mereka melakukan tindakan yaitu mengobservasi ulang dengan tindakan
vital sign untuk mengetahui perkembangan pasien. Padahal menurut teori
menyatakan bahwa evaluasi merupakan proses pembuatan keputusan yang
dilakukan perawat untuk menetapkan apakah tujuan sudah tercapai atau
mempertimbangkan rencana baru.
5.9 Respon emosional
Hasil penelitian menunjukkan bahwa respon emosional merupakan
rasa simpatik yaitu iba atau perasaan kasihan kepada pasien IMA jika tidak
cepat ditolong. Respon emosional dibagi menjdai du yaitu simpatik
kepuasan diri.
Simpati adalah perasaan perhatian , duka cita, / kasihan pada klien
yang diciptakan oleh identifikasi pribadi perawat akan kebutuhan klien.
Simpati adalah suatu hubungan memperhatikan dunia orang lain yang
mencegah suatu perspektif yang jelas dari isu yang dihadapi orang itu .
Simpati berpusat pada perasaan perawat bukannya perasaan klien (Balzer
Riley, 2000).
77
Kepuasan kerja pada dasarnya merupakan sesuatu yang bersifat
individual. Setiap individual memiliki tingkat kepuasan yang berbeda-beda
sesuai dengan system nilai yang berlaku pada dirinya. Makin tinggi
penilaian terhadap kegiatan dirasakan sesuai dengan keinginan indiviu,
maka makin tinggi kepuasannya terhadap kegiatan tersebut. Jadi secara
garis besar kepuasan besar kepuasan kerja dapat diartikan sebagai hal yang
menyenangkan atau yang tidak menyenangkan yang mana pegawai
memandang pekerjaannya (Hasibuan, 2006).
Respon emosional seseorang yang muncul dipengaruhi berbagai
factor seperti organobiologis, psikoedukatif dan sosiokultural. Respon emosi
bergerak dari emosional responsive sampai depresi. Perasaan yang muncul
pada partisipan. Rerspon emosioal pada umumnya disifatkan sebagai
keadaan yang adapada individu atau organisme pada sesuatu waktu. Dengan
kata lain, respon emosional disifatkan sebagai suatu keadaan kejiwaan pada
organisme atau individu sebagai akibat adanya peristiwa atau persepsi yang
dialami oleh organisme tertentu Walgito, 2003).
Disini respon emosional berhubungan dengan kepuasan partisipan
yang diartikan sebagai persepsi terhadap produk atau jasa yang telah
memenuhi harapannya, Kepuasan merupakan model kesenjangan antara
harapan (standard kinerja yang seharusnya) dengan kinerja aktual yang
diterima pelanggan (Nursalam, 2011).
78
5.10 Motivasi kinerja
Hasil penelitian menunjukkan bahwa motivasi kinerja adalah suatu
motivasi untuk melakukan tindakan agar mendapatkan apa yang
diinginkan contohnya ibadah. Mencari ibadah dikatakan partisipan untuk
memotivasi dirinya dalammelakukan tindakan pada pasien. Selain itu
tanggungjawab juga diperlukan untuk memotivasi dalam kinerja sehari-
hari.
Motivasi merupakan karakteristik psikologis manusia yang memberi
kontribusi pada tingkat komitmen seseorang, hal ini menyebabkan,
menyalurkan dan mempertahankan tingkah laku manusia dalam arah tekad
tertentu. Bekerja merupakan suatu bentuk aktifitas yang bertujuan untuk
mendapatkan kepuasan (Nursalam, 2011).
Sementara itu pengertian dari motivasi kerja merupakan suatu
kondisi yang berpengaruh untuk membangkitkan, mengarahkan, dan
memelihara perilaku yang berhubungan dengan lingkungan kerja.
Kompetensi tersebut dapat diterjemahkan ke dalam tindakan atau kegiatan-
kegiatan yang tepat untuk mencapai hasil kinerja. (Mangkunegaran, 2000).
Menurut Mangkunegara (2005) kinerja (prestasi kerja) adalah hasil
kerja secara kualitas dan kuantitas yang dicapai oleh seorang pegawai
dalam melaksanakan tugasnya sesuai dengan tanggung jawabnya yang
diberikan kepadanya. Motivasi kinerja mengandung dua komponen
79
penting yaitu kompetensi berarti individu memiliki kemampuan untuk
mengidentifikasi tingkat kinerja dan produktivitasnya.
5.11 Prinsip penanganan pasien
Hasil penelitian menyatakan bahwa prinsip penanganan pasien
didasari pada kemampuan para partisipan. Partisipan menjelasakan bahwa
kemampuan masing-masing partisipan adalah modal utama dalam
penanganan pasien. Kemampuan partisipan yaitu kecepatan dan ketepatan
dalam melakukan tindakan pada pasien IMA karena penanganan pasien
IMA dilakukan secara cepat dan tepat untuk menyelamatkan pasien.
Prinsip penanganan pasien merupakan memprioritaskan kondisi
yang memerlukan tindakan segera, terkadang tindakan dapat dilakukan
bersama dengan pengkajian.Pada prinsipnya perawat gawat darurat
membutuhkan penanganan cepat dan tepat, kerja yang terus menerus,
jumlah pasien yang relative banyak dan mobilitas tinggi. Kecepatan dan
kualitas penolong merupakan prinsip utama dalam melakukan tindakan.
(Krisanty, 2002).
Pekerjaan seorang perawat sangatlah berat, dari satu sisi, seorang
perawat harus menjalankan tugas yang menyangkut kelangsungan hidup
pasien yang dirawat, disisilain keadaan psikologis perawat sendiri juga
harus tetapterjaga, kondisi seperti inilah yang dapat menimbulkan rasa
tertekan padaperawat. Sehingga dia mudah mengalami stres, beban kerja
80
merupakan ketegangan mental yang mengganggu kondisi emosional, proses
berpikir, dan kondisi fisik seseorang. Berdasarkan fenomena yang terjadi,
perawat yang bertugas di instalasi gawat darurat memiliki stressor yang
tinggi karena perawat setiap hari akan berhadapan dengan aspek lingkungan
fisik dan lingkungan psikososial yang tinggi dari pekerjaannya. Penurunan
kualitas pelayanan dari perawat dapat dimungkinkan karena beban kerja
yang dirasa perawat berlebihan sehingga mengakibatkan perawat
mengalami stres. Ketika seseorang mengalami stres dia akan cenderung
melakukan sesuatu yang seharusnya tidak dilakukan bahkan melakukan
kesalahan ataupun sesuatu yang dapat membahayakan dirinya.Ketidak
mampuan perawat dalam menjawab tuntutan lingkungan akan menimbulkan
situasi stres dalam lingkungan kerja sehingga secara sadar ataupun tidak,
dapat mempengaruhi kinerja dan perilaku perawat itu sendiri
(Mangkunegaran, 2002).
Pada prinsipnya menyelamatkan pasien IMA haruslah cepat dan
tepat. Cepat dan tepat yang dimaksud adalah cepat melakukan tindakan dan
tepat dalam pengobatan.Jika penolong tidak cepat dan tepat dalam
menangani pasien tersebut akan terjadi kematian mendadak.
81
BAB VI
PENUTUP
Berdasarkan hasil penelitian dan analisa dapat diambil kesimpulan
sebagai berikut:
6.1 Kesimpulan
1. Pengkajian perawat dalam menangani pasien dengan gangguan IMA
adalah Primery survey dan secondary survey.
2. Dalam menegakkan diagnosa keperawatan pada pasien IMA dibagi
menjadi dua yaitu dasar perumusan diagnosa dan jenis diagnosa.
3. Intervensi yang dilakukan perawat dalam menangani pasien IMA adalah
melakukan prioritas intervensi.
4. Implementasi yang dilakukan perawat dalam menangani pasien dengan
gangguan IMA adalah tindakan live saving dan implementasi kolaborasi.
5. Pada proses evaluasi yang dilakukan perawat dalam menangani pasien
dengan gangguan IMA terdapat tipe evaluasi.
6. Makna asuhan keperawatan yang dilakukan perawat dalam menangani
pasien dengan gangguan IMA adalah respon emosional, motivasi kinerja
dan prinsip penanganan pasien.
82
6.2 Saran
1. Bagi Institusi Keperawatan / Rumah Sakit
Bagi institusi keperawatan khususnya perawat diperlukan penanganan
pengkajian askep yang komprehensif dalam melaksanakan perannya
dalam menangani pasien dengan gangguan IMA. Perawat juga harus
mampu berkolaborasi dengan tim medis lainnya dalam keberhasilan
tindakan.
2. Bagi Institusi Pendidikan
Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi ilmu baru dan diterapkan
pada proses pembelajaran. Agar para mahasiswa saat praktik dapat
mengutamakan peran-peran yang dilakukan saat mengkaji askep IMA
sesuai dengan yang diajarkan.
3. Bagi peneliti lain
Berdasarkan simpulan hasil penelitian tersebut, penulis memberikan
saran kepada peneliti lain dalam bidang sejenis yang ingin melanjutkan
dan mengembangkan penelitian ini agar meneliti tentang pengkajian
nyeri pada pasien dengan gangguan IMA
4. Bagi peneliti
a. Belajar mengasah kemampuan meneliti dan peduli terhadap profesi
perawat.
b. Mendorong penulis untuk memulai dan terus mampu
mengembangkan diri, berpandangan luas, melatih indept interview
dan melatih komunikasi.
DAFTAR PUSTAKA
Afriyanti, yati. (2014). Metodologi penelitian kualitatif dalam risetkeperawatan. Jakarta.
Ardiansyah, Muhamad. (2012). Medikal Bedah.Yogyakarta. Diva Pres.
Bhisma Murti. (2006). Desain dan Ukuran Sampel untuk Penelitian Kuantitatifdan Kualitatif di bidang Kesehatan. Gajah Mada University Press.
Depkes RI (2006). Penyakit jantung : AMI. Diakses tanggal 27 November2014. http://www.depkes.go.id
Davey.(2005). At a Glance Medicine.Jakarta : Erlangga.
Dinas Kesehatan Kota Semarang. Profil Kesehatan Kota Semarang tahun 2010[Internet]. 2010 [updated Juli 2010; cited 2012 Januari 27]. Availablefrom: http://dinkes-kotasemarang.go.id/
Eliot M. Antman, Eugene Braunwald (2005). Acute MyocardialInfarction;Harison’s Principles of Medicine 15th.
Gibson (2006). Analisa data kesehatan. Jakarta. FKM UI
Hidayat.(2008). Psikologi dalam ilmu keperawatan. Surabaya.
Ilyas (2007). Manajemen Keperawatan: Aplikasi dalam Praktik KeperawatanProfessional (Edisi 2). Jakarta: Salemba Medika.
Kasron (2012). Buku ajar gangguan sistem kardiovaskuler. Nuha medika,yogyakarta.
Libby P, Bonow RO, Mann DL, Zipes DP. (2008). Braunwald’s Heart Disease: A textbook of Cardiovascular Medicine. Philadephia: Elsevier.
Maleong. (2006). Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung : PT RemajaRosda Karya.
Maryuani. (2009). Asuhan Kegawatdaruratan. Trans Info Media. Jakarta.
Mahmarian JJ, Mahmarian AC, Marks GF et al. (2013).Role of adenosinethallium-201 tomography for defining long-term risk in patients afteracute myocardial infarction.European.
Muhammad. ( 2011). Deteksi Dini dan Pencegahan 7 Penyakit Penyebab MatiMuda. Yogyakarta: MedPress
Muttaqin, arif. (2012) Asuhan keperawatan klien dengan system gangguankardiovaskuler. Salemba medika, Jakarta.
Muwarni, arita (2011). Perawatan Pasien Penyakit Dalam, Gosyen Publishing,Jakarta.
Nursalam (2011).Konsep dan penerapan metodologi penelitian ilmukeperawatanpedoman skripsi, tesis, dan instrumen penelitiankeperawatan. Jakarta: SalembaMedika.
Polit, D.F., Beck, C.T and Hungler, B.P. (2006). Nursing research: Principlesand methods. 7th edition.Philadelpia.Lippincott William and willkins.
Potter, P.A., & Perry, A.G. (2005). Buku Ajar Fundamental Keperawatan;Konsep, Proses, dan Praktik (Edisi 4). Jakarta: EGC.
Rendy, MC, Margareth TH. (2012). Asuhan keperawatan medikal bedah danpenyakit dalam, Nuha Medika, Yogyakarta.
Riulantono L. I. (2012). Buku Penyakit Kardiovaskuler (PKV) FakultasKedokteran Universitas Indonesia. Jakarta.
Robbins SL, Cotran RS, Kumar V.(2007). Buku Ajar Patologi Robbins.Jakarta: EGC.
Santoso M, Setiawan T. (2005).Penyakit Jantung Koroner. Cermin DuniaKedokteran.
Selwyn, Andrew, Braunwald, Eugene. (2005). Harrison’s Principles of InternalMedicine Volume II.16th ed. New York : McGraw Hill.
Setiono, kuswiradti.(2010). Tindakan kegawatdaruratan pada pasien jantung.Surakarta.
Soekidjo Notoatmodjo. (2005). Metodologi Penelitian Kesehatan . RinekaCipta. Jakarta.
Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, dkk.(2010). Buku Ajar Ilmu PenyakitDalam Jilid II edisi V. Jakarta: Interna Publishing.
Sugiyono. (2013). Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D.
Sutopo, H.B. (2006). Metodologi Penelitian Kualitatif. Universitas SebelasMaret, Surakarta.
Setiadi.(2013). Konsep dan praktik penulisan riset keperawatan.Yogyakarta.
William, wijns. (2006). Management of acute myocardial infarction in
patients presenting with ST-segment elevation. European.
85