peran pemerintah daerah kabupaten kendal dalam …lib.unnes.ac.id/27644/1/3312412034.pdf · 3)...
TRANSCRIPT
i
PERAN PEMERINTAH DAERAH KABUPATEN KENDAL
DALAM UPAYA PENYELESAIAN SENGKETA LAHAN HAK
GUNA USAHA DI DESA BANYURINGIN KECAMATAN
SINGOROJO
SKRIPSI
Untuk memperoleh gelar Sarjana Ilmu Sosial S1
pada Program Studi Ilmu Politik
Oleh:
Dimas Fajar Baskoro
NIM 3312412034
JURUSAN POLITIK DAN KEWARGANEGARAAN
FAKULTAS ILMU SOSIAL
UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG
2016
ii
Selasa
27 September 2016
iii
Jumat
7 Oktober 2016
iv
v
MOTTO DAN PERSEMBAHAN
MOTTO
“Ibuku, hatinya putih. Ia adalah sebuah puisi bagiku.
Begitu indah, Ia adalah malaikat dunia perantara doa
pada Sang pencipta jiwa”.
- Dfb-
PERSEMBAHAN
Dengan memanjatkan puji syukur kehadirat
Allah SWT, saya persembahkan karya ini
teruntuk:
1. Abahku Suryani dan Bundoku Siti
Asqoriah yang telah memberikan
motivasi tanpa henti hingga saat ini,
mencurahkan kasih serta sayangnya
tanpa pamrih, mengajarkan pentingnya
arti sebuah perjuangan bahwa berjuang
sesungguhnya ialah berjuang untuk
kebaikan dunia dan akhirat.
2. Adikku tersayang, Johan Jiwandono Aji
yang selalu setia menemani, partner
hidup dalam setiap pertempuran hari
kehari serta penghibur sepi di keluarga
kami.
3. Keluarga besar Iljas Marsono dan
keluarga besar Sahlan.
4. Teman – teman Ilmu Politik 2012 dan
KURAWA yang selalu menemani,
menasehati, mengingatkan, teman
diskusi, teman seperjuangan dan saling
membantu serta berbagi.
vi
SARI
Baskoro, Dimas Fajar. 2016, Peran Pemerintah Daerah Kabupaten Kendal
Dalam Upaya Penyelesaian Sengketa Lahan Hak Guna Usaha Di Desa
Banyuringin Kecamatan Singorojo, Skripsi. Jurusan Politik dan
Kewarganegaraan. Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Semarang.
Pembimbing Drs. Sunarto, S.H.,M.Si, dan Martien Herna Susanti, S.Sos, M.Si.,
94 Halaman
Kata kunci : Pemerintah Daerah, Penyelesaian Sengketa Lahan, HGU
Sengketa lahan antara PTPN IX dengan petani penggarap di Desa
Banyuringin merupakan sengketa dalam bidang pertanahan. Sengketa terjadi
berkaitan dengan ijin penggunaan lahan pertanian di bantaran sungai Kalikatul
oleh petani penggarap yang masih termasuk lahan Hak Guna Usaha PTPN IX.
Sesuai putusan Mahkamah Agung No.1743/K/Pdt/2004 tanah sengketa Status
Quo. Perlu peran pemerintah daerah Kabupaten Kendal dalam penyelesaian
sengketa untuk mencegah meluasnya konflik serta menjaga kondusifitas daerah.
Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah 1) Bagaimana sengketa lahan
HGU yang terjadi antara petani penggarap dengan pihak PTPN IX di Desa
Banyuringin Kecamatan Singorojo setelah dikeluarkanya putusan MA? 2)Bentuk
penyelesaian yang selama ini telah diupayakan pada sengketa lahan HGU di Desa
Banyuringin Kecamatan Singorojo Kabupaten Kendal? 3) Bagaimana peran
pemerintah dalam proses penyelesaian sengketa lahan HGU di Desa Banyuringin
Kecamatan Singorojo Kabupaten Kendal?
Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif. Lokasi penelitian di Desa
Banyuringin Kecamatan Singorojo. Metode pengumpulan data dalam penelitian
ini adalah wawancara dan dokumentasi. Keabsahan data dengan teknik triangulasi
sumber. Metode analisis data dalam penelitian dengan menggunakan langakah –
langkah 1) pengumpulan data, 2) reduksi data, 3) penyajian data, 4) penarikan
kesimpulan.
Hasil penelitian menunjukan bahwa: 1) terjadinya sengketa lahan Hak Guna
Usaha PTPN IX (Persero) Kebun Merbuh akibat tindak Okupasi illegal petani
penggarap di lahan HGU PTPN IX (Persero) Kebun Merbuh. Tindak Okupasi
dibagi menjadi 2 (dua); Okupasi pada lahan Hak Guna Usaha, dan Okupasi di
bantaran sungai Kalikatul. Kemudian sesuai putusan MA No:1743/K/Pdt/2004
pada tanggal 7 November 2006 tanah sengketa Status Quo namun kenyataan
tanah sengketa tetap digarap. 2) bentuk upaya penyelesaian sengketa lahan yang
dilakukan pihak PTPN IX ialah melalui musyawarah, somasi, jalur pengadilan,
dan mediasi. Hingga saat ini tanah yang menjadi sengketa Status Quo. 3) Peran
Pemerintah Daerah Kabupaten Kendal dalam upaya penyelesaian sengketa lahan
ialah guna mewujudkan situasi kondusif di daerah dan terutama melaksanakan
tugas pelayanan dalam bidang pertanahan yang termasuk urusan wajib.
vii
Saran, 1) kejelasan putusan akan hak atas tanah dari lembaga Peradilan
Umum diperlukan agar tidak terjadi multi-tafsir di antara pihak yang bersengketa,
2) bagi masyarakat untuk sadar akan kepemilikan hak atas tanah tanpa melakukan
tindak okupasi Illegal yang merugikan pihak yang berhak bersangkutan atas
tanah, 3) penyelesaian sengketa pertanahan melalui musyawarah dan pengadilan
harus mengedepankan asas keadilan dan kemakmuran serta kesejahteraan umum.
viii
PRAKATA
Dengan memanjatkan puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah
melimpahkan karunia dan rahmatnya, sehingga penulis dapat menyelesaikan
penyusunan skripsi dengan judul: “Peran Pemerintah Daerah Kabupaten Kendal
Dalam Upaya Penyelesaian Sengketa Lahan Hak Guna Usaha Di Desa
Banyuringin Kecamatan Singorojo”.
Skripsi ini disusun sebagai salah satu syarat dalam menyelesaikan Program
Studi Strata Satu (S1) pada Jurusan Politik dan Kewarganegaraan di Fakultas Ilmu
Sosial Universitas Negeri Semarang.
Penyusunan Skripsi ini dapat terselesaikan dengan baik berkat bimbingan dan
bantuan dari berbagai pihak. Oleh karena itu penulis ingin menyampaikan terima
kasih yang sebesar-besarnya kepada:
1. Bapak Prof. Dr. Fathur Rokhman, M.Hum., Rektor Universitas Negeri
Semarang
2. Bapak Drs. Moh. Solehatul Mustofa, M.A., Dekan Fakultas Ilmu Sosial
Universitas Negeri Semarang
3. Bapak Drs. Tijan, M.Si., Ketua Jurusan Politik dan Kewarganegaraan
4. Bapak Drs. Slamet Sumarto, M.Pd. selaku Dosen Penguji I yang telah
menguji skripsi dengan sepenuh hati guna meraih gelar Sarjana Sosial
5. Bapak Drs. Sunarto, S.H, M.Si., selaku Dosen Pembimbing I yang telah
memberikan nasehat, wejangan dan masukan dalam penyusunan skripsi ini
serta sabar dalam membimbing skripsi
ix
6. Ibu Drs. Martien Herna Susanti, S.Sos, M.Si., selaku Dosen Pembimbing II
yang telah memberikan nasehat, wejangan dan masukan dalam penyusunan
skripsi serta sabar dalam membimbing skripsi
7. Bapak Ibu Dosen Jurusan Politik dan Kewarganegaraan yang telah memberi
ilmu, pengetahuan, dan wawasan sebagai bekal yang bermanfaat di masa
depan
8. Kepala Kantor Badan Kesatuan Bangsa dan Politik Kabupaten Kendal yang
telah memberikan informasi dan kelancaran dalam penelitian ini
9. Pihak PTPN IX yang telah memberikan informasi dalam penelitian ini
10. Ketua Petani Penggarap yang telah memberikan informasi dalam penelitian
11. Polsek Singorojo yang telah memberikan data informasi dalam penelitian ini
12. Abahku Suryani dan Bundoku Siti Asqoriah yang telah memberikan motivasi
tanpa henti hingga saat ini, mencurahkan kasih serta sayangnya tanpa pamrih
13. Adikku tersayang, Johan Jiwandono Aji yang selalu setia menemani
14. Keluarga besar Iljas Marsono dan keluarga besar Sahlan
15. Teman – teman Ilmu Politik 2012 dan KURAWA yang selalu menemani,
menasehati, mengingatkan, teman diskusi, teman seperjuangan dan saling
membantu serta berbagi: Argo, Bimo, Kholish, Denis, Nova, Reza, Alqaf,
Adit, Tendy, Ganang, Fito, Kelly, Ichsan, Rahmad, Tyo, Wijil, Doni, Arima,
Azizah, Hesti N, Ummah, Adel.
Semarang, 7 Oktober 2016
Dimas Fajar Baskoro
x
DAFTAR ISI
Halaman
JUDUL ....................................................................................................... i
PERSETUJUAN PEMBIMBING............................................................... ii
LEMBAR PENGESAHAN......................................................................... iii
PERNYATAAN ......................................................................................... iv
MOTO DAN PERSEMBAHAN ............................................................... v
SARI ................................................................................................. .......... vi
PRAKATA .................................................................................................. viii
DAFTAR ISI .............................................................................................. x
DAFTAR TABEL ...................................................................................... xii
DAFTAR GAMBAR .................................................................................. xiii
DAFTAR LAMPIRAN .............................................................................. xiv
BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah .......................................................... 1
B. Rumusan Masalah ................................................................... 7
C. Tujuan Penelitian...................................................................... 8
D. Manfaat Penelitian.................................................................... 8
E. Batasan Istilah .......................................................................... 9
BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA BERPIKIR
A. Deskripsi Teoritis
1.Tanah HGU ........................................................................... 11
2.Sengketa/Konfilk dan Sengketa/Konflik Tanah .................... 12
3.Faktor-Faktor Penyebab Sengketa/Konflik Tanah ................ 15
4.Bentuk-Bentuk Penyelesaian................................................. 18
5.Penyelesaian Sengketa/Konflik Tanah .................................. 22
6.Teori Peran ............................................................................ 27
7.Pemerintahan dan Pemerintah Daerah .................................. 29
B. Kajian Hasil Penelitian yang Relevan ...................................... 32
C. Kerangka Berpikir .................................................................... 33
BAB III METODE PENELITIAN
A. Latar Penelitian ........................................................................ 36
B. Fokus Penelitian ....................................................................... 36
C. Sumber Data ............................................................................. 37
D. Alat dan Teknik Pengumpulan Data ........................................ 38
xi
E. Uji Validitas Data ..................................................................... 40
F. Teknik Analisis Data ................................................................ 41
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Gambaran Umum dan Hasil Penelitian .................................... 44
1. Gambaran Umum Desa Banyuringin .................................. 44
2. Lahan Hak Guna Usaha di Desa Banyuringin dan
PTPN IX Persero Merbuh ................................................... 46
3. Sengketa Lahan Hak Guna Usaha Antara Petani Penggarap
Dengan PTPN IX Merbuh di Desa Banyuringin
Kecamatan Singorojo .......................................................... 49
4. Bentuk Penyelesaian Sengketa Lahan Hak Guna Usaha
PTPN IX Merbuh di Desa Banyuringin
Kecamatan Singorojo .......................................................... 60
5. Peran Pemerintah Daerah Kabupaten Kendal Dalam
Penyelesaian Sengketa Lahan HGU PTPN IX
Kebun Merbuh ..................................................................... 70
B. Pembahasan .............................................................................. 75
BAB V PENUTUP
A. Simpulan................................................................................... 91
B. Saran ........................................................................................ 92
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
xii
DAFTAR TABEL
Tabel Halaman
4.1 Jenis Mata Pencaharian Masyarakat Desa Banyuringin .................... 45
4.2 Tingkat Pendidikan Di DesaBanyuringin 2015 ................................. 46
4.3 Luas Wilayah HGU Afdeling Kaliwaringin PTPN IX Merbuh ......... 48
4.4 Area Konsesi Afdeling Kaliwaringin PTPN IX
Kebun Merbuh/GK/Rewi................................................................... 59
xiii
DAFTAR GAMBAR
Gambar Halaman
2.1 Kerangka Berpikir ............................................................................. 32
3.1 Sajian Data danVerifikasi Data ......................................................... 40
4.1 Musyawarah PTPN IX Kebun Merbuh dengan Petani Penggarap
Di Aula Polsek Singorojo .................................................................. 61
xiv
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1: Keputusan Dekan Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Semarang
Lampiran 2: Permohonan Ijin Penelitian
Lampiran 3: Surat Ijin Penelitian
Lampiran 4: Surat Rekomendasi Penelitian
Lampiran 5: Instrumen Penelitian
Lampiran 6: Pedoman dan Hasil Wawancara
Lampiran 7: Peta Desa Banyuringin
Lampiran 8: Peta Lahan PTPN IX Kebun Merbuh/GK/Rewi - Afdeling
Kaliwaringin
Lampiran 9: Surat Pengantar Pembuatan Sertifikat Masal Program Prona
Lampiran 10: Surat Balasan BPN Kendal Perihal Permohonan Sertifikat Program
Prona
Lampiran 11: Surat Percepatan Program Prona Desa Banyuringin dan Desa
Kaliputih
Lampiran 12: Surat Perintah Pengosongan Lahan Kepada PTPN IX Oleh FPPK
Lampiran 13: Surat Pemberitahuan Aksi Penanaman Pohon dan Perapatan Patok
Batas Areal
Lampiran 14: Surat BPN Perihal Percepatan Penyelesaian Program Prona
Lampiran 15: Surat Aduan Karyawan/Karyawati PTPN IX Kebun Merbuh
Lampiran 16: Dokumentasi
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Indonesia adalah negara yang bercorak agraris, yang susunan
kehidupannya masih bergantung pada kekayaan sumber daya alam. Sumber
daya alam yang dihasilkan bangsa Indonesia, baik hasil bumi maupun hasil
laut mampu menunjang perekonomian bangsa. Pengelolaan secara efisien dan
efektif terhadap kekayaan alam tersebut dapat mewujudkan kesejahteraan
sosial bagi rakyat Indonesia.
Berbicara kekayaan alam Indonesia berarti pula membahas kebutuhan
masyarakat akan hasil sumber daya alam. Hal ini dikarenakan sumber daya
alam memberikan keuntungan atau profit dari hasil yang didapat. Tidak
terkecuali terhadap sumber daya yakni tanah. Dewasa ini, tanah merupakan
sumber daya yang memiliki nilai keuntungan yang lebih bagi masyarakat. Hal
ini dikarenakan tanah sebagai media penghasil sumber daya alam, seperti
perkebunan, pertanian, peternakan, dan lain-lain yang seluruhnya berkaitan
erat dengan tanah. Untuk itu tanah selalu aktual dibicarakan. Selain karena
jumlahnya terbatas serta kebutuhan akan tanah terus bertambah. Tanah
merupakan sumber daya yang memiliki peranan penting dalam kehidupan
manusia. Kehidupan manusia tidak dapat dilepaskan dari tanah karena
manusia sebagian besar melakukan segala aktivitasnya di atas tanah. Dari segi
2
ekonomi, tanah memiliki nilai yang tinggi sesuai dengan lokasi tanah itu
berada, nilai tanah tidak akan pernah surut, semakin diminati maka nilai tanah
semakin tinggi. Begitu pentingnya tanah bagi kehidupan manusia sehingga
diperlukan pengelolaan terhadap sumber daya guna menghindarkan
penguasaan tanah atas individu untuk mewujudkan keadilan dan kesejahteraan
sosial bagi masyarakat.
Persoalan tanah di Indonesia telah diatur secara mendasar dalam UUD
1945 Pasal 33 ayat (3) disebutkan bahwa bumi, air, dan kekayaan alam yang
terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk
sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Jelas bahwa masalah pertanahan tidak
lepas dari perhatian para pendiri bangsa ini untuk mendapatkan prioritas
penanganannya dengan segera, sehingga pemanfaatan, penggunaan,
penguasaan dan pemilikan tanah dapat memberikan sebesar-besarnya
kemakmuran bagi seluruh rakyat.
Permasalahan tanah di Indonesia sudah berlangsung sejak lama. Dari masa
kolonial penjajahan, kemerdekaan, dan hingga sekarang tanah masih menjadi
permasalahan bagi bangsa. Masalah tanah di Indonesia, bahkan dibelahan
bumi manapun tidak terlepas dari persoalan kepentingan manusia. Adanya
konflik atau sengketa tanah yang terjadi karena sifatnya kompleks bahkan
selalu ada dari masa ke masa.
Permasalahan tanah di Indonesia telah ada sejak jaman kolonial Belanda.
Dahulu tanah rakyat dikuasai pemerintah kolonial demi keuntungan negara
3
penjajah. Modal asing yang masuk ke Indonesia pada saat itu memaksa rakyat
untuk menyerahkan tanahnya pada pemerintah kolonial. Secara tidak langsung
sumber daya alam Indonesia dimonopoli pihak penjajah. Banyak perkebunan
– perkebunan besar didirikan oleh Belanda di Jawa dan Sumatera. Hal
tersebut sangatlah menyengsarakan rakyat. Hingga muncul kata Prof.Van
Gelderen yang sangat terkenal: “Bangsa Indonesia akan menjadi bangsa kuli”,
dan “Kuli diantara bangsa-bangsa” (Wiradi, 2006:2). Istilah itu muncul
dikarenakan sebagai imbas dari suatu penjajahan. Dengan kata lain rakyat
Indonesia pada waktu itu sebagai pemilik tanah tidak mampu menikmati hasil
sumber daya melainkan sebagai kuli atau pekerja semata. Hingga akhirnya
pada masa awal kemerdekaan, tanah kolonial dapat dinasionalisasikan, tanah
rakyat dikembalikan pada rakyat Indonesia.
Dibentuknya Undang-Undang Pokok Agraria 1960 menjadi salah satu
pedoman dalam pemanfaatan tanah secara optimal oleh rakyat Indonesia.
UUPA 1960 hadir setelah masa kemerdekaan, tepatnya pada hari Sabtu
tanggal 24 September 1960 dimana rancangan undang-undang yang telah
disetujui DPR-GR disahkan Presiden Soekarno menjadi Undang-Undang No.
5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria tersebut sebagai
dasar pokok agraria di Indonesia. UUPA diundangkan dalam Lembaran
Negara tahun 1960 No. 104, sedang penjelasannya dimuat dalam Tambahan
Lembaran No.2043 (Harsono, 2008:132). Terbentuknya UUPA 1960 salah
satunya guna me-nasionalisasi-kan tanah rakyat yang sebelumnya dikuasai
4
oleh penjajah disebut tanah kolonial. Dalam arti me-nasionalisasi-kan bahwa
tanah rakyat yang dikuasai oleh penjajah dikembalikan lagi kepada rakyat
Indonesia yakni NKRI.
Konflik atau sengketa pertanahan yang terjadi dewasa ini merupakan
imbas dari kebuntuan pelaksanaan Reform Agraria di Indonesia. Hal ini
dikarenakan UUPA 1960 dalam pelaksanaannya selama kurang lebih 56 tahun
belum maksimal. Masih banyak permasalahan tanah yang berujung pada
konflik atau sengketa di negeri ini tanpa penyelesian akhir. Kepala Badan
Pertanahan Nasional Pusat menyatakan bahwa konflik pertanahan di
Indonesia terjadi karena 1) administrasi tanah yang tidak jelas; 2) distribusi
kepemilikan tanah yang tidak merata; 3) legalitas kepemilikan tanah yang
didasarkan bukti formal (sertifikat) tanpa memperhatikan produktivitas tanah
(dalam Roeroe, 2013:103). Mengacu pada semangat UUPA 1960 bahwa tanah
merupakan hak setiap warga negara untuk itu tanah jangan dijadikan sebagai
sarana monopoli dalam upaya mencari keuntungan yang lebih.
Sengketa lahan yang terjadi antara petani penggarap dan PTPN IX
merupakan salah satu dari sekian banyak sengketa pertanahan yang terjadi di
Indonesia. Sengketa yang terjadi berkenaan dengan perijinan penggunaan
lahan pertanian bantaran Sungai Kalikatul yang berada di lahan Hak Guna
Usaha (HGU) PTPN IX oleh petani penggarap. Pada tahun 1998 bertepatan
dengan reformasi sekaligus semaraknya reformasi demokrasi digaungkan,
sebagian warga di Desa Banyuringin, Kecamatan Singorojo mengajukan ijin
5
kepada Dinas Pekerjaan Umum Pengairan (DPU-P) daerah Jateng sekarang
berubah menjadi Dinas Pengelolaan Sumber Daya Air (PSDPA) untuk
menggunakan lahan pertanian bantaran Sungai Kalikatul yang berada di lahan
HGU PTPN IX untuk didayakan, pada waktu itu warga mendapat perijinan
penggunaan lahan dari PSDA selama kurang lebih 3 tahun ijin pemakaian
lahan. Berdasarkan kewenangan Kepala Dinas Pekerjaan Umum Pengairan
Jawa Tengah mengenai bantaran sungai yang menurut peraturan menjadi
wewenang Pekerjaan Umum (PU) untuk mengaturnya. Menjadi dasar Dinas
Pengairan dalam memberikan izin menggarap kepada masyarakat atas tanah
dalam HGU ialah UU No:11/1974 tentang Pengairan; PP No:35/1991 tentang
Sungai; PERMEN pekerjaan Umum No. 63/PRT/1993 tentang Garis Sepadam
Sungai, Daerah Manfaat Sungai, Daerah Penguasaan Sungai dan bekas
sungai; PERDA Tingkat I Jawa Tengah No.7 Tahun 1994 tentang pemakaian
Tanah Pengairan, berwenang dan bertanggung jawab dalam pembinaan sungai
yang mencakup Perlindungan, Pengembangan, Penggunaan dan Pengendalian
sungai, yang pada dasarnya bahwa tanah bantaran sungai yang berada dalam
areal HGU adalah tetap merupakan aset Pemerintah dan berada dalam
pengelolaan Pemerintah Propinsi Jawa Tengah.
Sengketa muncul ketika masa berlaku penggunaan lahan selama 3 tahun
oleh petani penggarap telah habis. Kemudian konflik bertambah ketika pihak
PTPN IX meminta untuk mengosongkan lahan yang selama ini telah ditanami
petani penggarap. Petani penggarap menolak karena merasa telah menanami
6
sekian lama di lahan tersebut. Petani penggarap menuntut PTPN IX untuk
memperlihatkan ijin HGU namun pada waktu itu perijinan perpanjangan
belum didapatkan. Kemudian pada tahun 2003 pihak PTPN IX mendapatkan
kemenangan atas lahan yang menjadi sengketa setelah PTPN IX mengajukan
gugatan ke PN Kendal dan PT Semarang (seharusnya mengajukan gugatan
pada PTUN). Pihak petani penggarap juga tidak tinggal diam, perwakilan
petani penggarap mengajukan banding atau kasasi pada tingkat MA. Disinilah
terjadi dual Interpretasi antara status kepemilikan lahan yang disengketakan.
Kemudian berdasarkan keputusan Mahkamah Agung nomor 1743/k/pdt/2004
tanah yang disengketakan itu Status Quo.
Lahan yang disengketakan semula seluas ±274,56 hektare kemudian
menjadi ±148 Ha karena sebagian masyarakat petani penggarap telah
mengembalikan lahan pada pihak PTPN IX dengan sukarela. Berdasarkan
keputusan Mahkamah Agung Nomor 1743/k/pdt/2004 tanah yang
disengketakan tidak diperbolehkan untuk ditanami kedua belah pihak. Namun
kenyataan saat ini bahwa ±148 Hamasih berada ditangan petani penggarap
dan pihak PTPN IX tetap berupaya melakukan penanaman di lahan sengketa.
Keterlibatan Pemerintah Daerah diperlukan dalam menangani konflik atau
sengketa tanah terutama di Kabupaten Kendal. Hal ini didasarkan pada hak
dan kewajiban daerah yang diatur dalam Pasal 21 dan Pasal 22 UU nomor 32
Tahun 2004 mengenai Otonomi Daerah, diantaranya disebutkan bahwa dalam
menyelenggarakan otonomi, daerah mempunyai kewajiban melindungi
7
masyarakat, menjaga persatuan, kesatuan dan kerukunan nasional serta
keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Ini karena pemerintah daerah
memiliki wewenang dalam penyelesaian sengketa tanah melalui otonomi
daerah yang telah berjalan. Perlu penciptaan hubungan harmonis antara
masyarakat, pemilik tanah, dan pemangku kepentingan di daerah guna
menjaga kondusifitas. Kehadiran pemerintah diharapkan mampu memberikan
sesuatu yang penting yakni mewujudkan keadilan dan kesejahteraan bagi
kehidupan masyarakat. Untuk itu penulis mengangkat tema permasalahan
konflik atau sengketa lahan Hak Guna Usaha mengenai proses konflik,
penyelesaian konflik, dan pencegahan yang dilakukan oleh pemerintah daerah
Kabupaten Kendal dengan Judul “Peran Pemerintah Daerah Kabupaten
Kendal Dalam Upaya Penyelesaian Sengketa Lahan Hak Guna Usaha Di Desa
Banyuringin Kecamatan Singorojo”.
B. Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah dalam penelitian ini antara lain sebagai berikut:
1. Bagaimana sengketa lahan HGU yang terjadi antara petani penggarap
dengan pihak PTPN IX di Desa Banyuringin, Kecamatan Singorojo,
setelah dikeluarkannya putusan MA?
2. Bentuk penyelesaian apa yang selama ini telah diupayakan PTPN IX pada
sengketa lahan HGU di Desa Banyuringin, Kecamatan Singorojo,
Kabupaten Kendal?
8
3. Bagaimana peran pemerintah dalam proses penyelesaian sengketa lahan
HGU di Desa Banyuringin, Kecamatan Singorojo, Kabupaten Kendal?
C. Tujuan Penelitian
Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui sengketa lahan HGU yang terjadi antara petani
penggarap dengan pihak PTPN IX di Desa Banyuringin, Kecamatan
Singorojo, setelah dikeluarkannya putusan MA.
2. Untuk mengetahui bentuk penyelesaian yang selama ini telah diupayakan
PTPN IX pada sengketa lahan HGU di Desa Banyuringin, Kecamatan
Singorojo, Kabupaten Kendal.
3. Untuk mengetahui peran pemerintah dalam proses penyelesaian sengketa
lahan HGU di Desa Banyuringin, Kecamatan Singorojo, Kabupaten
Kendal.
D. Manfaat Penelitian
Adapun manfaat dalam penelitian ini antara lain sebagai berikut:
1. Manfaat secara teoritis,
a. Bagi pihak lain, penelitian ini sebagai salah satu kajian ilmu politik
mengenai peran pemerintah daerah yang diharapkan mampu
memberikan kontribusi pemikiran khususnya dalam bidang
keagrariaan di daerah.
9
b. Bagi peneliti, penelitian ini untuk menambah wawasan serta
pengembangan keilmuan tentang peran pemerintah dalam menangani
kasus penyelesaian konflik atau sengketa tanah di daerah.
2. Manfaat secara praktis,
a. Bagi Masyarakat dan Pihak Terkait
Hasil penelitian ini menjadi bahan informasi bagi masyarakat pada
umumnya mengenai penyelesaian konflik atau sengketa tanah.
Kemudian bagi pemerintah Kabupaten Kendal, hasil penelitian ini
dapat dijadikan bahan masukan dalam solusi penyelesaian
permasalahan sengketa pertanahan yang ada.
b. Bagi Fakultas Ilmu Sosial
Hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai referensi dalam
memperkaya khasanah ilmu pengetahuan sekaligus dapat dijadikan
sebagai bahan acuan dalam penelitian yang sejenis.
E. Batasan Istilah
Berdasarkan pemikiran diatas maka batasan istilah yang perlu
dikemukakan adalah sebagai berikut:
1. Peran
Peran merupakan suatu perangkat tingkah atau tindakan yang dimiliki
seseorang yang berkedudukan di masyarakat yang mampu mempengaruhi
tingkah laku orang lain. Perihal peran dalam penelitan ini adalah peran
10
pemerintah daerah berkaitan dengan penyelesaian sengketa lahan, yakni
pemerintah daerah Kabupaten Kendal.
2. Pemerintah Daerah
Pemerintah Daerah Kabupaten Kendal adalah lembaga atau badan
yang memiliki wewenang atau kekuasaan dalam menentukan kebijakan serta
menjalankan fungsinya di daerah dengan berdasar Undang-Undang Dasar
1945. Pemerintah daerah yang dimaksud dalam penelitian ini adalah Badan
Kesatuan Bangsa dan Politik Kabupaten Kendal.
3. Penyelesaian
Penyelesaian merupakan suatu konsep cara bertindak yang tepat guna
mencari solusi untuk mengakhiri kebuntuan dari suatu permasalahan yang
ada. Penyelesaian dalam hal ini berkaitan dengan peran pemerintah
Kabupaten Kendal dalam penyelesaian sengketa lahan di Desa Banyuringin,
Kecamatan Singorojo.
4. Sengketa Tanah
Sengketa Tanah merupakan suatu konflik yang biasanya terjadi antara
pihak-pihak yang bersengketa (disputants) yang pada dasarnya memiliki
kepentingan terhadap akses tanah. Dalam hal ini adalah sengketa tanah Hak
Guna Usaha (HGU) yang terjadi di Desa Banyuringin, Kecamatan Singorojo,
Kabupaten Kendal.
11
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA BERPIKIR
A. Deskripsi Teoritis
1. Tanah Hak Guna Usaha (HGU)
Tanah merupakan kebutuhan primer, setelah sandang ataupun pangan.
Kemudian seiring perkembangan zaman, cara pandang masyarakat
terhadap nilai tanah mulai berubah. Kini fungsi tanah bukan sekedar
sebagai tempat aktivitas pertanian, melainkan meliputi kegiatan industri,
pemukiman, yang kemudian menyebabkan nilai tanah menjadi meningkat.
Pertanahan diatur jelas dalam UUD 1945 Pasal 33 ayat (3) disebutkan
bahwa “Bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya
dikuasai oleh negara dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk
kemakmuran rakyat.” sesuai pula dengan diterbitkannya UUPA No. 5
Tahun 1960 dalam Pasal 2 ayat (1) yang mengatur masalah keagrariaan
atau pertanahan sebagai bagian dari bumi untuk kepentingan rakyat atau
kepentingan Nasional.
Sesuai Pasal 28 ayat (1) UUPA 1960 disebutkan bahwa “Hak Guna
Usaha adalah hak untuk mengusahakan tanah yang dikuasai oleh negara,
guna perusahaan pertanian, perikanan, atau peternakan”.
Dalam UUPA 1960 Pasal 28 ayat (2); Pasal 29 ayat (2) disebutkan
bahwa HGU diberikan paling sedikit 5 hektar, dengan jangka waktu
12
paling lama 25 tahun. Untuk perusahaan yang memerlukan waktu lebih
lama sekiranya HGU untuk waktu paling lama 35 tahun.
Kemudian pihak yang dapat menggunakan Hak Guna Usaha sesuai
dengan Pasal 30 UUPA ialah warga negara Indonesia serta badan yang
didirikan menurut hukum Indonesia serta berkedudukan di Indonesia pula.
Sesuai dengan Pasal 34 UUPA 1960 bahwa Hak Guna Usaha dapat
hapus/hilang karena;
a. Jangka waktunya berakhir
b. Ditentukan sebelum jangka waktunya berakhir karena sesuatu
syarat tidak terpenuhi
c. Dilepaskan oleh pemegang haknya sebelum jangka waktunya
berakhir
d. Dicabut untuk kepentingan umum
e. Ditelantarkan
f. Tanahnya musnah.
2. Sengketa/Konflik dan Sengketa/Konflik Tanah
a. Sengketa atau Konflik
“Konflik (Conflict) adalah hubungan antara dua pihak atau lebih
(Individu atau Kelompok) yang memiliki, atau mereka menganggap
memiliki tujuan yang bertentangan” (Jamil, 2007:6).
Menurut Dahrendorf dan Antony Gidden bahwa “inti teori konflik
berbunyi kepentingan sosial masyarakat” (Wiryawan dkk, 2009:33).
13
Kepentingan adalah unsur utama dari kehidupan sosial masyarakat
dan kepentingan itu tidak jarang bertentangan sehingga menimbulkan
konflik.
Tahapan transformasi konflik secara umum sebagai berikut:
1) Pencegahan Konflik, upaya pencegahan pecahnya konflik
kekerasan.
2) Penangannan Konflik, upaya mengakhiri tingkah laku kekerasan
dengan mencapai kesepakatan damai.
3) Manajemen Konflik, bertujuan membatasi serta menghindari
kekerasan yang kemungkinan terjadi, dan dialihkan pada
perubahan tingkah laku yang positif diantara disputants.
4) Resolusi Konflik, upaya mengurai penyebab konflik terjadi serta
mencoba atau mengupayakan membangun kesepakatan damai.
5) Transformasi Konflik, membahas yang terjadi, dimana terjadi
transformasi energi negatif dalam persengketaan kearah perubahan
sosial dan politik yang bersifat positif.
Konflik juga dipengaruhi oleh pola interaksi konflik. “Pola
interaksi konflik merupakan bentuk interaksi dengan pihak lawan
konflik dalam upaya mencapai keluaran konflik yang diharapkan”
(Wirawan, 2013:146). Berikut adalah faktor-faktor yang memengaruhi
pola interaksi konflik:
14
1) Metode resolusi konflik yang digunakan dalam interkasi konflik.
2) Gaya manajemen konflik yang digunakan oleh pihak-pihak yang
berkonflik.
3) Perkembangan situasi konflik. Konflik bisa berkembang dari
konflik konstruktif menjadi konflik desktruktif, atau sebaliknya.
Situasi konflik memengaruhi pola interaksi konflik.
Dalam menghadapi situasi konflik, pihak yang berkonflik dapat
menggunakan taktik konflik. Menurut Wirawan (2013:147)
menjelaskan “Taktik konflik adalah teknik memengaruhi lawan
konflik untuk menghasilkan keluaran konflik yang diharapkan.”Taktik
konflik antara lain sebagai berikut:
1) Taktik Persuasif Rasional. Taktik ini digunakan untuk
memengaruhi lawan konflik dengan mengemukakan data,
fakta, informasi, hokum, teori ilmu pengetahuan, etika,
moral, dan atau pengalaman masa lalu, baik maupun buruk.
2) Taktik Legitimasi. Tatik yang digunakan pejabat yang
menduduki posisi tertentu secara sah ketika menhadapi
situasi konflik, bahwa apa yang dilakukanya sesuai atau tidak
bertentangan dengan jabatan, posisi, atau perannya.
3) Taktik Permintaan Inspirasional. Mengemukakan nilai-nilai,
norma, harga diri, dan kesatuan oragnisasi untuk
membangkitkan emosi, motivasi, dan cita-cita bersama.
4) Taktik Mengooptasi. Memberikan jabatan, posisi, atau peran
tertentu kepada lawan konflik untuk berperan serta dalam
menyelesaikan masalah yang dihadapai oleh organisasi.
5) Taktik Mengulur Waktu. Menunda untuk melakukan sesuatu
atau menolak untuk merespons lawan konflik dalam interaksi
konflik.
6) Taktik Mengancam.
15
7) Taktik Menahan Diri atau Diam. Tidak melakukan sesuatu
yang seharusnya dilakukan atau tidak bereaksi atas apa yang
dilakukan lawan konfliknya.
8) Taktik Mencari Teman atau Koalisi. Tujuan taktik ini untuk
memperbesar kekuasaan atau memperkuat posisinya dalam
menghadapi lawan konfliknya.
b. Sengketa atau Konflik Tanah
Timbulnya sengketa atau konflik pertanahan adalah bermula dari
pengaduan suatu pihak (orang/badan) yang berisi keberatan-keberatan
dan tuntutan hak atas tanah baik terhadap status tanah, prioritas
maupun kepemilikannya, dengan harapan dapat memperoleh
penyelesaian secara administrasi sesuai dengan ketentuan peraturan
yang berlaku (Murad, 1991:22).
Konflik pertanahan merupakan pertentangan tujuan yang terjadi
dalam bidang pertanahan unsur utamanya jelas yakni mengenai
pendayagunaan sumber daya alam yaitu tanah berkaitan dengan
masalah kepentingan pihak-pihak.
Dari pengertian konflik pertanahan yang telah dijelaskan dapat
disimpulkan bahwa konflik pertanahan bersumber pada akses
kepentingan pihak-pihak dalam pendayagunaan tanah sehingga
timbulah konflik pertanahan. Kemudian adanya peranan masyarakat
yang beraneka ragam yang juga memicu konflik tersebut meningkat.
3. Faktor-faktor Penyebab Sengketa/Konflik Tanah
16
Terjadinya konflik disebabkan oleh berbagai faktor. Berbagai faktor
penyebab konflik itu dibedakan dalam beberapa jenis, sebagai berikut:
a. Triggers (pemicu): peristiwa yang memicu sebuah konflik
namun tidak diperlukan dan tidak cukup memadai untuk
menjelaskan konflik itu sendiri.
b. Pivotal factors or root causes (factor inti atau penyebab dasar):
terletak pada akar konflik yang perlu ditangani supaya pada
akhirnya dapat mengatasi konflik.
c. Mobilizing factors (factor yang memobilisasi): masalah-masalah
yang memobilisasi kelompok untuk melakukan tindakan
kekerasan.
d. Aggravating factors (factor yang memperburuk): faktor yang
memberikan tambahan pada mobilizing factors dan pivotal
factors, namun tidak cukup dari konflik itu sendiri (Jamil,
2007:16).
Pembahasan konflik tidak terlepas dari teori penyebab konflik, hal ini
guna membantu dalam mempertimbangkan cara pembahasan konflik itu
sendiri. Beberapa teori penyebab konflik sendiri sebagai berikut:
a. Teori Hubungan Komunitas
Teori ini mengasumsikan bahwa konflik disebabkan oleh
polarisasi, ketidakpercayaan, dan permusuhan antara kelompok-
kelompok yang berbeda dalam suatu komunitas.
b. Teori Negosisasi
Mengasumsikan bahwa konflik disebabkan posisi yang tidak
tepat serta pandangan tentang “zero sum” mengenai konflik
yang diadopsi oleh kelompok yang bertentangan.
c. Teori Kebutuhan Manusia
Mengasumsikan konflik berakar dari kebutuhan dasar manusia
(fisik, psikologis, dan sosial) yang tidak terpenuhi atau
dikecewakan. Keamanan, identitas, pengakuan, partisipasi, dan
otonomi seringkali disebut sebagai kebutuhan manusia.
d. Teori Identitas
Mengasumsikan bahwa konflik disebabkan adanya perasaan
dimana identitas akan terancam. Perasaan itu muncul karena
kehilangan dan penderitaan masa lalu yang tidak terselesaiakan.
17
e. Teori Miskomunikasi Antar Budaya
Konflik disebabkan oleh pertentangan antar gaya komunikasi
antar budaya yang berbeda.
f. Teori Transformasi Konflik
Mengasumsikan bahwa konflik disebabkan oleh persoalan nyata
berupa ketidaksetaraan dan ketidakadilan yang ditunjukkan oleh
kerangka social, budaya, dan ekonomi yang saling bersaingan
(Jamil, 2007:16-18).
Menurut Kepala Badan Pertanahan Nasional Pusat, bahwa konflik
pertanahan terjadi karena; a) Administrasi tanah yang tidak jelas; b)
Distribusi kepemilikan tanah yang tidak merata; c) Legalitas kepemilikian
tanah yang didasarkan bukti formal (sertifikat) tanpa memperhatikan
produktivitas tanah.
Faktor lain yang menyebabkan terjadinya sengketa tanah ialah terlalu
luasnya tugas pemerintah. “Peraturan-peraturan pelaksanaan (juklak)
yang tidak atau kurang jelas, kurangnya pedoman yang diberikan serta
kurangnya pengetahuan teknis aparat pelaksana dan lain-lain” (Murad,
1991:7). Dari kekurangan tersebut tidak seluruhnya dipersoalkan
masyarakat. Hal inilah yang juga mempengaruhi sengketa sering terjadi,
sikap/perilaku masyarakat yang sebagian besar masih menganut sikap
pasif (sikap menerima nasib, pasrah bongkokan dan lain sebagianya)
membuat sengketa sering berakhir tanpa penyelesaian karena faktor
lemahnya kesadaran dan pengetahuan masyarakat.
Masalah persengketaan tanah di Indonesia seringkali terjadi, hal ini
disebabkan antara lain;
18
a. Belum terwujudnya kelembagaan pertanahan yang efektif dan
efisien
b. Pendaftaran tanah yang belum tertib
c. Regulasi tidak kondusif bagi pemecahan masalah yang ada
d. Keterbatasan akses masyarakat terhadap kepemilikan tanah
secara adil
e. Pendaftaran tanah yang belum berjalan dengan baik
f. Kelambanan penyelesaian konflik
g. Kemelemahan system informasi pertanahan dipedesaan/
kelurahan
h. Kemelemahan perlindungan terhadap hak-hak termasuk hak
adat/ulayat (Sulistiyono, Solusi Konflik Pertanahan dalam Suara
Merdeka. 2015:4).
Faktor utama penyebab sengketa sumber daya alam berbasis tanah
pada umunya disebabkan multi-interpretasi dan tidak adanya pegangan
bersama dari berbagai pihak tentang siapa yang berhak menguasai tanah
dan sumber daya alam. Yang ada hanyalah mengenai kepentingan
penguasaan tanah yang menyengsarakan rakyat hingga saat ini.
4. Bentuk-bentuk Penyelesaian Sengketa
a. Pengaturan Sendiri
Dalam metode pengaturan sendiri, pihak-pihak berkonflik
menyusun strategi konflik menggunakan taktik konflik untuk
mencapai tujuan terlibat konfliknya. Pihak-pihak yang berkonflik
saling melakukan pendekatan dan melakukan negosiasi untuk
menyelesaikan konflik dan menciptakan keluaran konflik yang mereka
inginkan. Berikut adalah pola interkasi konflik dalam upaya mencapai
keluaran konflik yang diharapakan oleh pihak yang berkonflik, antara
lain:
19
1) Interaksi konflik dengan tujuan mengalahkan lawan konflik
(Win and Lose Solution).
Dalam interkasi ini pihak yang berkonflik berupaya
mencapai solusi konflik dengan mengalahkan lawan
konfliknya.
2) Interaksi konflik dengan tujuan menciptakan kolaborasi atau
kompromi (Win and Win Solution).
Dalam interaksi ini pihak yang berkonflik menyusun
strategi yang bertujuan melakukan pendekatan kepada lawan
konflik agar mau bernegosiasi dan mendapatkan sepenuhnya
atau sebagian keluaran konflik yang diharapkan.
3) Interkasi konflik menghindar.
Tujuan dari proses resolusi konflik menghindar adalah
menghindarkan diri dari situasi konflik. Pihak yang terlibat
konflik menghindari konflik.
4) Interaksi konflik akomodasi.
Interaksi konflik mengakomodasi bertujuan untuk me-
nyenangkan lawan konflik dan mengorbankan diri (Wirawan,
2013:178-181).
b. Intervensi Pihak Ketiga
1) Konsiliasi (Conciliation)
Metode penyelesaian sengketa yang diwujudkan melalui
lembaga-lembaga tertentu yang memungkinkan tumbuhnya pola
diskusi dan pengambilan keputusan-keputusan diantara pihak-
pihak yang berlawanan (disputants) mengenai persoalan-persoalan
yang mereka pertentangkan.
2) Perwasitan (Arbitration)
Kedua belah pihak yang berlawanan (disputants) bersepakat
menerima atau terpaksa menerima hadirnya pihak ketiga yang
20
memberi keputusan-keputusan untuk menyelesaikan konflik yang
terjadi dan biasanya keputusan yang dihasilkan bersifat mengikat
bagi kedua belah pihak.
Menurut Christoper A.Moore (dalam Wirawan, 2013:214)
menyatakan “Arbitrase merupakan istilah umum proses
penyelesaian konflik sukarela dimana pihak-pihak yang terlibat
konflik meminta bantuan pihak ketiga yang imparsial (tidak
memihak) dan netral untuk membuat keputusan mengenai objek
konflik.” Keputusan arbitrase bisa bersifat nasihat dan tidak
mengikat atau bisa juga berupa keputusan yang mengikat pihak-
pihak yang terlibat konflik. Arbiter adalah pihak ketiga diluar
pihak-pihak yang terlibat konflik-konflik dalam proses arbitrase.
3) Mediasi (Mediation)
Secara etimologi, mediasi berasal dari bahasa latin, Mediatre
yang berarti “berada di tengah” karena seorang yang melaksanakan
mediasi tidak berada pada posisi memihak, netral di tengah
konflik.
Menurut The National Alternative Dispute Resolution Advisory
Council mendefinisikan mediasi sebagai proses dimana pihak-
pihak yang bertikai, dengan bantuan dari seorang praktisi resolusi
pertikaian (mediator) mengidentifikasi isu-isu yang
dipersengketakan, mengembangkan opsi-opsi, mempertimbangkan
21
alternatif-alternatifdan upaya untuk mencapai sebuah kesepakatan.
Mediator dalam hal ini tidak memiliki peran menentukan dalam
kaitan materi persengketaan namun mediator dapat memberi saran
atau menentukan sebuah resolusi atau penyelesaian (Jamil, 2007
:106).
Secara singkat bahwa mediasi merupakan bagian proses
penyelesaian konflik terhadap pihak-pihak yang bertikai dalam
bentuk perantaraan pihak ketiga yang netral dalam penyelesaian
masalah.
Keberhasilan mediasi tidak terlepas dari mediator. Hal-hal
yang perlu diperhatikan mediator dalam meyelesaikan masalah,
sebagai berikut:
a) Fokus pada persoalan, bukan terhadap kesalahan suatu pihak.
b) Mengerti dan menghormati terhadap setiap perbedaan
pandangan.
c) Memiliki keinginan berbagi dan merasakan
d) Berkerja sama dalam menyelesaikan masalah (Jamil, 2007:107).
Lawrence Boulle (dalam Jamil, 2007:108) mengemukakan
model mediasi dalam menyelesaikan masalah dan cara mediator
melihat peran dan posisi mereka dalam konflik antara lain:
a) Mediasi Kompromi (Settlement Mediation)
22
Mediasi ini bertujuan mendorong kompromi dari kedua
belah pihak yang saling menuntut dalam sengketa. Model
ini menempatkan mediator harus memiliki status yang
tinggi meski bukan ahli dalam proses dan teknik mediasi.
b) Mediasi Berbasis Kepentingan (interest based /
Facilitative Mediation)
Tujuan mediasi ini untuk menghindarkan pihak
bersengketa atau disputants dan menegosiasikan
kepentingan disputants. Model ini mengharuskan mediator
harus ahli dalam proses dan harus menguasai teknik-
teknik mediasi guna mencari pemecahan masalah.
Mediator harus mampu memimpin serta mengupayakan
dialog yang konstruktif diantara disputants.
c) Mediasi Rekonsiliasi (Transformation Mediation)
Mediasi yang menitik-beratkan pada mencari penyebab
mendasar dari permasalahan yang timbul antara
disputants. Mediasi ini mengharuskan mediator memiliki
kecakapan serta profesionalitas dalam menggunakan
teknik penyelesaian konflik. Sebelum dan selama proses
mediasi berlangsung.
d) Mediasi Normatif (Evaluative Mediation)
Mediasi yang bertujuan mencari kesepakatan berdasarkan
dari para disputants dalam pengamatan pengadilan.
Mediator haruslah ahli dan menguasai materi
persengketaan dalam penggunaan teknik-teknik mediasi.
Jadi dapat disimpulkan bahwa mediasi merupakan bagian dari
penyelesaian konflik terhadap pihak-pihak yang bertikai dengan
menghadirkan pihak ketiga yang netral dalam mencari jalan
penyelesaian konflik itu sendiri.
5. Penyelesaian Sengketa/Konflik Tanah
Menangani sengketa atau konflik adalah tindakan pihak pertama untuk
menyelesaikan kondisi pertentangan yang disebabkan adanya kepentingan-
23
kepentingan yang saling berbenturan. “Dalam menyelesaikan konflik
orang/badan dapat mengambil sikap mengalah pada kepentingan pihak
kedua atau menuntut pihak kedua untuk mengalah terhadap
kepentingannya dengan cara menjalin kerjasama” (Melindas, 2002:66).
Menurut Thomas dan Kilmann (dalam Wirawan, 2013:140)
mengemukakan lima jenis gaya manajemen konflik antara lain:
a. Kompetisi (Competing).
Gaya manajemen konflik yang berorientasi pada kekuasaan,
dimana seseorang akan menggunakan kekuasaan yang
dimilikinya untuk memenangkan konflik dengan biaya lawannya.
b. Kolaborasi (Collaborating).
Gaya manajemen konflik yang bertujuan untuk mencari
alternatif, dasar bersama, dan sepenuhnya memenuhi harapan
kedua belah pihak yang terlibat konflik. Gaya manajemen
konflik kolaborasi merupakan upaya bernegosiasi untuk
menciptakan solusi yang sepenuhnya untuk memuaskan pihak-
pihak yang terlibat konflik.
c. Kompromi (Compromising).
Gaya manajemen konflik kompromi berada di tengah antara gaya
kompetisi dan gaya kolaborasi, dengan strategi memberi dan
mengambil (take and give), kedua belah pihak yang berkonflik
mencari alternatif tengah yang memuaskan sebagian keinginan
mereka.
d. Menghindar (Avoiding).
Gaya manajemen konflik dimana kedua belah pihak yang
berkonflik berusaha menghindari konflik, bentuk menghindar
berupa: (1) menjauhkan diri dari pokok masalah; (2) menunda
pokok masalah hingga waktu yang tepat; (3) menarik diri dari
konflik yang mengancam dan merugikan.
e. Mengakomodasi (Acomodating).
Gaya manajemen konflik dimana seseorang mengabaikan
kepentingan dirinya sendiri dan berupaya memuaskan
kepentingan lawan kkonfliknya.
24
Menurut Murad (1991:24-27) bahwa penyelesaian konflik atau
sengketa dapat dilakukan dengan mekanisme penangannan konflik antara
lain;
a. Pengaduan
Dalam hal ini pengaduan biasanya berisi tentang perihal
dan peristiwa yang menggambarkan bahwa pemohon/pengadu
adalah yang berhak atas tanah sengketa dengan lampiran bukti-
bukti dan mohon penyelesaian disertai harapan agar tanah
tersebut dapat dicegah mutasinya, sehingga tidak merugikan
pemiliknya.
b. Penelitian
Penelitian berupa pengumpulan data/administratif
maupun hasil fisik lapangan (mengenai penguasaannya). Dari
hasil ini maka dapat disimpulkan sementara apabila pengaduan
tersebut beralasan atau tidak untuk diproses lebih lanjut.
c. Pencegahan Mutasi (Status Quo)
Pencegahan dalam hal ini dimaksudkan menghentikan
untuk sementara segala bentuk perubahan. Kegunaanya
pertama, untuk kepentingan penelitian dalam penyelesaian
sengketa (statu quo) karena apabila tidak demikian,
penyelesaian sengketa akan mengalami kesulitan dalam
menetapkan keputusan. Kedua, untuk kepentingan pemohon
sendiri, apabila tidak dilakukan penghentian sudah barang tentu
pengaduan tersebut tidak berguna.
Syarat-syarat dapat dilakukan pencegahan antar lain;
1) Terdapat alasan yang sah, misalnya si pemohon atau
pengadu akan terancam haknya, apabila tidak dilakukan
pencegahan.
2) Demi kepentingan hokum perlu dilakukan pencegahan
untuk menjamin kelancaran pemeriksaan atau
penelitian.
d. Musyawarah
Dilakukan mulai dengan melaksanakan pendekatan
terhadap para pihak-pihak yang bersengketa yang terkadang
sering berhasil di dalam usaha penyelesaian sengketa (dengan
jalan musyawarah). Biasanya dalam musyawarah melibatkan
25
pihak ketiga. Pihak ketiga sebagai mediator di dalam
menyelesaikan permasalahan dengan mengutamakan dan
menjunjung sikap toleransi, menghormati, dan menghargai
secara kekeluargaan.
f. Penyelesaian Melalui Pengadilan
Hal ini dilakukan apabila dalam musyawarah tidak
mengalami perubahan, malah mengalami kebuntuan. Untuk itu
permasalahan tersebut harus diselesaikan oleh instansi terkait
yang berwenang, misalnya pengadilan. Maka kepada pihak-
pihak yang bersengketa untuk mengajukan masalahnya
kepengadilan. Keputusan yang dikeluarkan pengadilan bersifat
final dan mengikat, karena pengadilan merupakan lembaga yang
berwenang yang memiliki kewenangan berdasarkan peraturan-
peraturan perundangan yang berlaku.
Sebagaimana ketentuan dalam Pasal 33 ayat (3) UUD 1945, yang
meliputi “bumi, air, dan ruang angkasa termasuk kekayaan alam yang
terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk
sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.” Kemudian bunyi Pasal 4 ayat (2)
UUPA 1960 menjelaskan bahwa hak-hak atas tanah memberikan
wewenang untuk mempergunakan tanah, tubuh bumi, air serta ruang
angkasa yang ada diatasnya sekedar diperlukan untuk kepentingan yang
langsung berhubungan dengan penggunaan tanah dalam batas-batas yang
diatur undang-undang.
Perlu adanya pengelolaan sumber daya alam guna meminimalisir
konflik yang terjadi. Menurut Maria SW. Sumardjono (dalam Wiryani,
2009:18-19), prinsip-prinsip pengelolaan sumber daya alam sebagai
berikut;
26
a. Sumber daya alam merupakan karunia Tuhan YME dan dengan
demikian mempunyai nilai magis-religius, disamping
mempunyai fungsi ekonomis dan sosial.
b. Pengelolaan sumber daya alam harus memperhatikan fungsi
ekosistem.
c. Pengelolaan sumber daya alam tidak hanya berisi wewenang
untuk pemanfaatannya (hak), namun juga pelestarian sumber
daya alam (kewajiban) sebagai fungsi sumber hidup masyarakat
setempat.
d. Pengelolaan sumber daya alam yang bertanggung jawab dapat
memberikan keseimbangan antara memberikan ruang gerak
investasi tanpa merugikan kepentingan rakyat (dimensi
kerakyatan).
e. Pengelolaan sumber daya alam harus dapat mewujudkan
persamaan hak dan kewajiban dalam akses dan pemanfaatannya.
f. Pemanfaatan sumber daya alam harus mengakomodasikan peran
serta masyarakat.
Menurut Murad (1991:86-87) Penyelesaian konflik atau sengketa
tanah dapat dilakukan dengan berpegang kepada; antara lain:
a. Penguasaan peraturan yang berlaku, dimana harus selalu menerapkan
dan mendasarkan kepada peraturan yang berlaku.
b. Menjaga keseimbangan kepentingan pihak-pihak yang bersengketa
c. Selalu bersikap adil,
d. Penyelesaian tersebut harus tuntas dan terjamin pelaksanaanya.
Jadi dapat disimpulkan bahwa dalam penyelesaian konflik terutama
konflik tanah, ialah bagi para pejabat dalam menyelesaikan sengketa tidak
hanya memutuskan dari aspek hukum, sosial, politik saja melainkan juga
aspek keadilan, karena untuk memutuskan suatu sengketa atau konflik
dibutuhkan kebijaksanaan terhadap keputusan yang akan diambilnya untuk
27
terjaminnya pelaksanaan penyelesaian konflik. Dengan kata lain mengacu
pada kesadaran untuk kebijaksanaan “Wisdom of Consciousness”.
6. Teori Peran
Peran merupakan kajian dalam konsep disiplin ilmu sosial dan sangat
fundamental. Pembahasan peran berarti pula membahas sikap perilaku
individu.
Peran tidak dapat dipisahkan dengan status. Membahas peran berarti
pula menghubungkan status dengan peran yang saling berelasi atau
berhubungan. Dalam hal ini status lebih dahulu ada kemudian setelah itu
diikuti dengan peran. Status merupakan posisi, sehingga adanya posisi
tersebut munculah peranan. Keduanya memiliki hubungan timbal balik.
Hubungan-hubungan sosial yang ada dalam masyarakat merupakan
hubungan antara peranan-peranan individu dalam masyarakat.
Menurut Nasution (2004:73) menyatakan “Peranan adalah
konsekuensi atau akibat kedudukan atau status seseorang”. Kedudukan atau
status seseorang menentukan posisi seseorang dalam struktur sosial, yakni
menentukan hubunganya dengan orang lain.
Peranan merupakan aspek dinamis kedudukan (status). “Apabila
seseorang melaksanakan hak dan kewajibannya sesuai dengan
kedudukannya, dia menjalankan suatu peranan” (Soekanto, 2012:212).
Menurut Ely Chinoy (dalam Soekanto, 2012:213) menyatakan
“Pentingnya peranan adalah karena ia mengatur perilaku seseorang.
28
Peranan menyebabkan seseorang pada batas-batas tertentu dapat
meramalkan perbuatan-perbuatan orang lain. Orang yang bersangkutan
akan dapat menyesuaikan perilaku sendiri dengan perilaku orang-orang
sekelompoknya.”
Menurut Levinson (dalam Soekanto, 2012:213) menyatakan “Peranan
lebih menunjuk pada fungsi, penyesuaian diri, dan sebagai suatu proses.”
Dilihat dari individu yang menduduki posisi dan menjalankan suatu
peranan dalam masyarakat. Kemudian peranan mencakup tiga hal yaitu
sebagai berikut:
a. Peranan meliputi norma-norma yang dihubungkan dengan posisi atau
tempat seseorang dalam masyarakat.
b. Peranan merupakan konsep tentang apa yang dapat dilakukan individu
dalam masyarakat sebagai organisasi.
c. Peranan juga dapat dikatakan sebagai perilaku individu yang penting
bagi struktur sosial masyarakat.
Menurut Williams (dalam Hardati dkk, 2008:50) menyatakan“Peranan
adalah pola perilaku yang dibutuhkan dalam kaitanya dengan status yang
khusus. Hak-hak tertentu, kewajiban dan tanggung jawab merupakan
bagian yang terpadu dan penentuan tugas dari suatu status.”Fungsi-
fungsinya tersebut menjadi peranan.
Status yang melekat dan dimiliki masyarakat Indonesia bermacam-
macam. Sehingga sejalan dengan peranan masyarakat yang ada dalam
29
kehidupan sehari-hari menjadi beraneka ragam. Keanekaragaman inilah
yang tak arang menjadi sebuah konflik peranan. Sehingga muncul peran
sebagai alat mengidnetifikasi gagasan-gagasan terstruktur berupa
organisasi sosial, realsi sosial.
Jadi dapat disimpulkan bahwa peran merupakan suatu sikap perilaku
yang berhubungan pada suatu tanggung jawab dalam mempengaruhi
keputusan dan kebijakan diikuti dengan status yang melekat padanya.
Perihal peran pemerintah berarti berkaitan dengan pelaksanaan fungsi dan
tujuannya dalam pelayanan, pembangunan, pemberdayaan, dan pengaturan
masyarakat.
7. Pemerintahan dan Pemerintah Daerah
a. Pemerintahan
Pemerintahan secara umum merupakan salah satu unsur syarat
suatu negara. Membahas pemerintahan berarti berkaitan dengan dua
kelompok besar, yakni yang memerintah dan yang diperintah.
Hubungan dua kelompok tersebut yang menjadi cikal bakal
pemerintahan. Sehingga hubungan pemerintahan yang sedang
berlangsung berkaitan erat dengan gejala pemerintahan sebagai akibat
hubungan timbal balik yang terjadi antara yang memerintah dan yang
diperintah.
“Obyek ilmu pemerintahan adalah hubungan antara penguasa
dengan rakyatnya yang dapat dilihat dari peristiwa pemerintahan dan
30
gejala pemerintahan” (Syafiie, 2013:42). Sebagai akibat hubungan
yang terjalin tersebut maka menghasilkan suatu wujud pemerintahan.
Secara etimologi pemerintah berasal dari kata perintah yang
berarti melakukan pekerjaan menyuruh, yang berarti terdapat dua
unsur: yang diperintah yaitu rakyat; yang memerintah yaitu
pemerintah, keduanya saling berhubungan. Pemerintah berasal dari
kata perintah, yang mendapat awalan “pe” yang memiliki makna
badan atau organisasi yang mengurus. Kemudian ditambah akhiran
“an” menjadi pemerintahan yang memiliki makna perbuatan atau cara
(Syafiie, 2013:46). Jadi pemerintahan adalah penggunaan kekuasaan
negara oleh yang berwenang untuk menentukan keputusan dan
kebijakan dalam mewujudkan tujuan negara, kesejahteraan sosial.
b. Pemerintahan Daerah
Pemerintahan Daerah sesuai dengan amanat Pasal 18 Undang-
Undang Dasar 1945, pemerintah daerah berwenang untuk mengatur
dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan
tugas pembantuan. Tujuannya jelas untuk terciptanya kesejahteraan
masyarakat.
Prinsip otonomi daerah menggunakan prinsip otonomi seluas-
luasnya dalam arti daerah diberikan kewenangan mengurus dan
mengatur semua urusan pemerintahannya diluar urusan pemerintah
pusat. Pemerintah daerah menjalankan kewenangannya disertai hak
31
dan kewajiban otonomi daerah sesuai system penyelenggaraan
pemerintahan NKRI.
Sesuai semangat UU No.22 Tahun 1999 kemudian diganti UU
No.32 Tahun 2004 kemudian diganti UU No.23 Tahun 2014 tentang
Pemerintahan Daerah yang mengatur mengenai pembagian urusan
pemerintah antara pemerintah (presiden) dan pemerintahan daerah,
dikenal beberapa asas dalam otonomi di Indonesia, yakni:
1) Asas Dekonsentrasi
Dekonsentrasi ialah pelimpahan wewenang pemerintahan oleh
pemerintah kepada Gubernur sebagai wakil pemerintah dan/atau
kepada instansi vertikal di wilayah tertentu.
2) Asas Desentralisasi
Desentralisasi ialah penyerahan wewenang pemerintahan oleh
pemerintah kepada daerah otonom untuk mengatur dan mengurus
urusan pemerintahan dalam sistim NKRI.
3) Asas Tugas Pembantuan atau Medebewind (Marbun, 2010:8)
Tugas pembantuan adalah penugasan dari pemerintah kepada
daerah dan/atau desa dari pemerintah provinsi kepada
kabupaten/kota dan/atau desa serta dari pemerintah
kabupaten/kota kepada desa untuk melaksanakan tugas tertentu.
Secara singkat bahwa, Otonomi ialah hak untuk mengatur dan
mengurus rumah tangga daerahnya. Sedangkan Medebewind adalah
32
hak menjalankan peraturan-peraturan dari pemerintah pusat atau dari
daerah yang tingkatannya lebih tinggi berdasarkan perintah pihak
atasan itu (Marbun, 2010:59).
Pemerintahan Daerah adalah pelaksana fungsi-fungsi
pemerintahan daerah yang dilakukan oleh lembaga pemerintahan
daerah yaitu Pemerintah Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah (DPRD).
Dalam menyelenggarakan otonomi daerah salah satu hak daerah
ialah dalam pengelolaan sumber kekayaan daerah, sumber daya alam
dan lainnya. Kemudian diantara kewajibannya adalah untuk
melindungi masyarakat guna mewujudkan kesejahteraan.
Dalam UU No 32 Tahun 2004 kewenangan pemerintah di bidang
pertanahan tetap diserahkan kepada daerah otonom. Pemerintah
kabupaten/kota dalam urusan bidang pertanahan sebagai bagian
pelaksanaan otonomi daerah dan merupakan urusan yang bersifat
wajib karena berkaitan dengan hak dan pelayanan dasar warga negara
(Murhaini, 2009:18).
B. Kajian Hasil Penelitian yang Relevan
Hasil penelitian relevan sebelumnya yang sesuai dengan penelitian ini
adalah penelitian yang dilakukan Musyarofah (2011) tentang Mediasi Dalam
Sengketa Pertanahan Di Kantor Pertanahan Kabupaten Pati. Penelitian ini
lebih fokus terhadap jenis-jenis sengketa tanah yang diselesaikan dengan
33
mediasi melalui Badan Pertanahan Nasional Kabupaten Pati, antara lain
sertifikat palsu, atas hak palsu, serobotan tanah, sengketa waris, jual berulang,
sertifikat ganda, salah ukur, salah letak, tumpang tindih.
Persamaan penelitian ini dengan penelitian yang peneliti lakukan adalah
mengkaji tentang sengketa pertanahan. Metode yang digunakan dalam
penelitian sama-sama menggunakan pendekatan deskriptif kualitatif
berdasarkan teknik pengumpulan data melalui wawancara, dokumentasi,
observasi. Persamaan metode analisis data dengan menggunakan triangulasi
sumber dengan tahap mengumpulkan data, reduksi data, penyajian data, dan
penarikan kesimpulan.
Perbedaanya dalam penelitian ini dengan penelitian yang peneliti lakukan
terletak pada lokasi dan bidang kajiannya. Lokasi dalam penelitian ini adalah
di Kantor Pertanahan Kabupaten Pati. Sedangkan penelitian yang peneliti
lakukan berada di Kabupaten Kendal. Perbedaan yang lain adalah dilihat dari
bidang kajiannya, jika penelitian yang sudah ada melihat upaya mediasi
sengketa tanah di Kantor Pertanahan Kabupaten Pati sedangkan peneliti
melakukan penelitian mengenai Peran Pemerintah Daerah dalam upaya
penyelesaian sengketa tanah Hak Guna Usaha di Kabupaten Kendal.
C. Kerangka Berfikir
34
Gambar 2.1 : Kerangka Berpikir
Kerangka berpikir merupakan kerangka konseptual yang memaparkan
dimens-dimensi utama dari penelitian, faktor-faktor kunci, variabel-variabel,
yang berhubungan antara dimensi yang disusun dalam bentuk narasi atau
grafis, sebagai pedoman kerja, baik dalam penyusunan metode pelaksanaan di
lapangan maupun pembahasan hasil penelitian. Dalam penelitian ini, kerangka
konseptual mengenai peran pemerintah Kabupaten Kendal dalam
penyelesaian sengketa lahan hak Guna Usaha.
Kedudukan dan peranan pemerintah daerah dalam menjalakan
pemerintahan daerah sangatlah penting. Selain dalam rangka menumbuh dan
SENGKETA TANAH
PETANI
PENGGARAP
PTPN IX
MERBUH
PERAN PEMERINTAH KAB.
KENDAL
PENYELESAIAN SENGKETA
PENGADILAN NON-PENGADILAN
35
mengembangkan daerah dalam mewujudkan kesejahteraan sosial, pemerintah
daerah juga ikut berperan dalam menjaga dan menciptakan kondusifitas
daerah masing-masing. Pemerintah daerah mempunyai kewajiban melindungi
masyarakat, menjaga persatuan, kesatuan dan kerukunan nasional serta
keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia, terutama dari banyak faktor
yang menimbulkan terjadinya konflik. Seperti halnya terhadap konflik sumber
daya alam, yakni tanah. Dalam hal ini konflik atau sengketa dapat terjadi
karena disebabkan „tuntutan kepentingan dari pihak-pihak‟ dalam
pendayagunaan akses tanah. Peranan Pemerintah Daerah sangat diharapkan
dalam hal ini untuk meredam konflik agar tidak terlanjur meluas menggangu
kondusifitas di masyarakat. Upaya yang dilakukan Pemerintah Daerah
terhadap konflik dapat melalui; pencegahan, penangannan, manajemen
konflik, resolusi konflik dan transformasi konflik terhadap konflik yang
melibatkan pihak-pihak yang bersengketa (disputants) maupun pengaturan
sendiri dari pihak-pihak yang bersengketa dalam menyelesaikan sengketa.
91
BAB V
PENUTUP
A. Simpulan
Kesimpulan yang dapat diambil dari hasil penelitianini adalah:
1. Terjadinya sengketa lahan Hak Guna Usaha antara petani penggarap
dengan PTPN IX (Persero) Kebun Merbuh sebagai akibat adanya tindak
Okupasi illegal petani penggarap di lahan HGU PTPN IX (Persero) Kebun
Merbuh. Tindak Okupasi dibagi menjadi 2 (dua) yaitu Okupasi pada lahan
Hak Guna Usaha dan Okupasi di bantaran sungai Kalikatul. Berdasarkan
putusan MA No.1743/K/Pdt/2004 pada tanggal 7 November 2006 bahwa
tanah Status Quo namun kenyataan tanah sengketa tetap digarap.
2. Bentuk upaya penyelesaian sengketa oleh PTPN IX (Persero) Kebun
Merbuh dengan melalui musyawarah, memberi somasi pada pihak yang
terlibat sengketa, kemudian melalui jalur pengadilan, dan mediasi. Hingga
saat ini, penyelesaian sengketa masih tetap berjalan dan lahan yang
disengketakan masih tetap Status Quo karena peradilan umum belum
memutuskan siapa yang berhak atas hak tanah sengketa.
3. Peran Pemerintah Daerah Kabupaten Kendal dalam penyelesaian sengketa
lahan adalah pelaksana tugas pembantuan dalam bentuk tugas pelayanan
pertanahan yang termasuk dalam urusan wajib, bukan bersifat otonomi.
Pemerintah Daerah berusaha memberikan solusi dalam upaya penyelesaian
92
sengketa lahan yang terjadi guna mewujudkan iklim kondusif di daerah.
Dengan menjunjung tinggi asas kerakyatan mengacu pada musyawarah
dan mufakat dalam mencari solusi.
Saran
1. Kejelasan putusan akan hak atas tanah dari lembaga Peradilan Umum
diperlukan agar tidak terjadi multi-tafsir di antara pihak yang bersengketa.
2. Bagi masyarakat untuk sadar akan kepemilikan hak atas tanah tanpa
melakukan tindak okupasi Illegal yang merugikan pihak yang berhak
bersangkutan atas tanah.
3. Penyelesaian sengketa pertanahan melalui musyawarah dan pengadilan
harus mengedepankan asas keadilan dan kemakmuran serta kesejahteraan
umum.
93
DAFTAR PUSTAKA
Hardati, dkk. 2010. Pengantar Ilmu Sosial: Edisi Revisi. Semarang: FIS UNNES dan
Widya Karya.
Harsono, Boedi. 2008. Hukum Agraria Indonesia: Sejarah Pembentukan Undang-
Undang Pokok Agraria, Isi dan Pelaksanaannya. Jakarta: Djambatan.
Jamil, Mukhsin dkk. 2007. Mengelola Konflik Membangun Damai: TEORI,
STRATEGI, dan Implementasi Resolusi Konflik. Semarang: Walisongo
Mediation Center.
Laporan Badan Pertanahan Nasional. Reforma Agraria: Mandat Politik, Konstitusi,
dan Hukum Dalam Rangka Mewujudkan "Tanah untuk Keadilan dan
Kesejahteraan Rakyat", Jakarta: 2007. Dalam Roeroe, S.D.L. Penegakan
Hukum Agraria dan Penyelesaian Sengketa Pertanahan Dalam Proses
Peradilan. Vol. 1 No. 6 Oktober-Desember 2013.
Malindas. 2002. Manajemen SDM Lewat Konsep A.K.U (Ambisi, Kenyataan, dan
Usaha). Jakarta: Pustaka Utama Grafiti.
Marbun. 2010. Otonomi Daerah 1945-2010: Proses dan Realita. Jakarta: Pustaka
Sinar Harapan.
Murad, Rusmadi. 1991. Penyelesaian Sengketa Hukum Atas Tanah. Bandung:Alumni
Murhaini, Suriansyah. 2009. Kewenangan Pemerintah Daerah : Mengurus Bidang
Pertanahan. Surabaya: Laks Bang Justitia.
Nasution, S. 2004. Sosiologi Pendidikan. (Ed.2,Cet.3) Jakarta: Bumi Aksara
Sarwono, Jonathan. 2006. Metode Penelitian Kuantitatif dan Kualitatif. Yogyakarta:
Graha Ilmu.
Soekanto, Soerjono. 2012. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta: PT Raja Grafindo.
94
Sulistiyono, Djoko. Solusi Konflik Pertanahan dalam SuaraMerdeka. Semarang edisi
Kamis,17 September 2015.
Sugiyono. 2010. Metode Penelitian Pendidikan (Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif,
dan R&D). Bandung: Alfabeta.
Syafiie, Inu K. 2013. Ilmu Negara (Kajian Ilmiah dan Kajian Keagamaan). Bandung:
Pustaka Reka Cipta.
Wiradi, Gunawan. 2006. Latar Belakang Lahirnya UUPA-1960 dan Eksistensinya
Selama 46 Tahun: Antara Gagasan dan Tindakan.
(http://pustakaagraria.com/pages/repository/gunawan-wiradi.php)
(Online) Diakses, 13 Desember 2015.
Wiryani, Fifik. 2009. Reformasi Hak Ulayat Pengaturan Hak-Hak Masyarakat Adat
dalam Pengelolaan Sumber Daya Alam. Malang : Setara Press Malang.
Wirawan. 2013. Konflik dan Manajemen Konflik : Teori, Aplikasi, dan Penelitian.
Jakarta: Salemba Humanika.
Wiryawan dan Artadi. 2009. Penyelesaian Sengketa di Luar Pengadilan: Ketrampilan
Nonlitigasi Aparat Hukum. Denpasar: Udayana University Press.
Undang-Undang
Undang-Undang Pokok Agraria No 5.Tahun 1960
Internet
http://www.kendalkab.go.id/detail/pemerintahan/lembaga_teknis/kesbang
(Online) Diakses, 2 Juni 2016