peran koreografer perempuan dalam perkembangan …
TRANSCRIPT
73Sri Rochana WidyastutieningrumPeran Koreografer Perempuan dalam Perkembangan Tari
73
PERAN KOREOGRAFER PEREMPUANDALAM PERKEMBANGAN TARI
Sri Rochana Widyastutieningrum
Jurusan Seni TariFakultas Seni Pertunjukan (FSP)
Institut Seni Indonesia (ISI) SurakartaE-mail: [email protected]
INTISARI
Artikel ini hasil pengamatan terhadap peran koreografer perempuan dalam perkembangan tari di Indone-sia. Peran koreografer perempuan di dalam perkembangan tari dapat dikelompokkan menjadi empat,yaitu koreografer sebagai pencipta tari, koreografer sebagai penari, koreografer sebagai pelestari tari tradisi,dan koreografer sebagai pendukung perkembangan tari. Dalam menjalankan peran sebagai pencipta taridiperlukan kreativitas yang dipengaruhi oleh latar belakang budaya, lingkungan, bakat, pendidikan, dankecintaan terhadap tari. Peran koreografer perempuan dalam penciptaan tari mampu melahirkan berbagaibentuk karya tari dalam ide, bentuk, jenis, gaya yang beragam, sehingga pertunjukan tari semakin menarikdan semarak. Hadirnya karya-karya tari itu juga dapat memperkaya karya-karya tari yang mempunyainilai estetis, memperkaya pengalaman jiwa, serta memperkaya khasanah dunia tari. Koreograferperempuan mempunyai keleluasaan dalam mengungkapkan masalah-masalah perempuan yang hakikidengan problematika kehidupannya yang kompleks, berdasarkan cara pandang perempuan. Dalammenjalankan perannya itu, seorang koreografer juga sebagai penari, pelestari tari tradisi, dan pendukungperkembangan tari.
Kata Kunci: peran, koreografer perempuan, penciptaan tari, tradisi.
ABSTRACT
This article is the result of an observation of the role of female chorographers in the development of dance in Indonesia. The roleof female choreographers in the development of dance can be divided into four aspects, namely choreographers as creators ofdance, choreographers as dancers, choreographers as preservers of traditional dance, and choreographers as supporters of thedevelopment of dance. In carrying out the role of a choreographer as a creator of dance, a high level of creativity is required, andthis is influenced by the choreographer’s cultural background, environment, talent, education, and love of dance. The role offemale choreographers in creating dance is evident in the fact that they have created various new forms of dance, in terms oftheir numerous ideas, forms, types, and styles, so that dance performances have become more attractive and more animated. Thepresence of these new dances has also enhanced the aesthetical values of existing dances, enriched the spiritual experience ofthe dancers and the audience, and added to the wealth of variety in the world of dance. Female choreographers have the scopeand freedom to express real-life women’s issues related to the complex problems of life, based on a woman’s point of view. Incarrying out this role, a choreographer also functions as a dancer, a preserver of traditional dance, and a supporter of thedevelopment of dance.
Keywords: role, female choreographer, dance creation, tradition.
Vol. 8 No. 1, Desember 201274
A. Peran Koreografer Bagi Kehidupan danPerkembangan Tari
Perkembangan tari di Indonesia dipengaruhi oleh
hadirnya para koreografer yang produktif dalam
menciptakan karya-karya tari, pergelaran-
pergelaran karya tari, para penari, para kritikus tari,
dan para pengamat serta penonton tari. Hadirnya
para koreografer yang kreatif dan inovatif dalam
menciptakan karya tari menjadi salah satu penentu
yang penting bagi kehidupan dan perkembangan
tari. Koreografer adalah sebutan yang diberikan
untuk seseorang yang menciptakan karya tari.
Sebutan lain yang biasanya digunakan di
lingkungan tari tradisi adalah penyusun tari atau
penata tari atau pencipta tari. Koreografer-
koreografer yang berperan dalam mendukung
perkembangan tari di Indonesia cukup banyak
jumlahnya, karena hampir setiap daerah memiliki
seniman tari yang berprofesi sebagai pencipta tari.
Koreografer di Indonesia, yang hasil karya tarinya
dikenal di kalangan masyarakat luas, baik secara
nasional maupun internasional di antaranya:
Sardono W. Kusuma, Retno Maruti, Huriah Adam
(almarhumah), Bagong Kussudiardjo (almarhum),
Gusmiati Suid (almarhumah), Indrawati Lukman,
Irawati Durban, Deddy Luthan, Tom Ibnur, Elly D.
Luthan, Eko Supriyanto, Miroto, Ery Mefri, Sulistyo
Tirtokusuma, Sunarno (almarhum), Wahyu Santoso
Prabowo, Boy G. Sakti, Sukarji Krisman, Suprapto
Suryodarmo, Daryono, Bambang Suryono,
Mugiyono Kasido, Djarot Budi Darsono, Hartati, Ni
Kadek Yulia Puspasari Moure, Jecko Siompo, dan
Retno Sulistyarini.
Koreografer berperan penting dalam kancah
dunia tari. Koreografer secara produktif
menciptakan karya-karya tari baru untuk
menambah keragaman jenis dan bentuk tari. Mereka
telah menyumbangkan karya-karya tarinya untuk
mewarnai dan memperkaya khasanah tari di Indo-
nesia. Melalui karya-karya tari tersebut, mereka
mengekspresikan pengalaman dan nilai-nilai
kehidupan yang diyakini dapat memperkaya
pengalaman dirinya maupun orang lain.
Peran koreografer perempuan cukup men-
dominasi di dunia tari, baik di tingkat nasional
maupun internasional. Dalam dunia tari di Barat
dikenal tokoh-tokoh tari, di antaranya: Martha Gra-
ham, Anna Halprin, Trisha Brown, Lucinda Childs,
Meredith Monk, Eiko Otaka, dan Ann Carlson.
(Morgenroth, 2004: 3-4) Dalam buku Fifty Contempo-
rary Choreographers disebutkan terdapat 21 orang
koreografer perempuan dari lima puluh koreografer
di Amerika Serikat. (Bremser, 1999: 4) Mereka sangat
produktif dalam menciptakan karya tari kontem-
porer, dan dalam proses serta pertunjukan karya
tari memiliki sanggar (company) sendiri.
B. Mengenal Koreografer Perempuan diIndonesia
Aktivitas tari yang ditandai dengan penciptaan
dan pergelaran tari lebih mudah diamati di berbagai
kota besar atau kota yang memiliki lembaga
pendidikan formal, baik tingkat sekolah menengah
maupun perguruan tinggi. Jakarta dengan
keberadaan Institut Kesenian Jakarta (IKJ) memiliki
beberapa koreografer perempuan yang mampu
berkiprah di dunia tari, baik secara nasional
maupun internasional. Para koreografer perempuan
tersebut, di antaranya: Retno Maruti, Huriah Adam
(almarhumah), Gusmiati Suid (almarhumah),
Yuliani Parani, Farida Feisol (Oetoyo), Eli Luthan,
Wiwik Sipala, dan Hartati. Karya-karya tari bagi
para koreografer tersebut sebagai wujud eksistensi
mereka yang sudah tidak diragukan lagi. Sementara
Bandung yang memiliki Sekolah Tinggi Seni Indo-
75Sri Rochana WidyastutieningrumPeran Koreografer Perempuan dalam Perkembangan Tari
nesia (STSI) Bandung terdapat beberapa koreografer
perempuan yang kiprahnya di dunia tari mendapat
pengakuan luas di Indonesia. Para koreografer
Bandung tersebut di antaranya: Indrawati Lukman,
Irawati Durban, dan Endang Caturwati. Kota
Padangpanjang yang dikenal dengan ranah Minang
terdapat Institut Seni Indonesia (ISI) Padangpanjang
melahirkan koreografer perempuan, di antaranya:
Huriah Adam (almarhumah), Gusmiati Suid
(almarhumah) Sawanismar (almarhumah),
Deslenda, Angga Jamar, Rasmida dan Susas Rita
Loravianti. Huriah Adam (almarhumah) dan
Gusmiati Suid (almarhumah) dalam karier
penciptaan tarinya hijrah ke Jakarta dan
mengembangkan tari Minang di Jakarta.
Nafas kehidupan tari di Yogyakarta yang
memiliki Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta
didukung koreografer perempuan, di antaranya: Th.
Suharti, Daruni, dan Setiastuti. Sementara itu,
Surakarta yang terdapat pula Institut Seni Indone-
sia (ISI) Surakarta terdapat koreografer perempuan,
di antaranya: Rusini, Nora Kustantina Dewi
(almarhumah), Saryuni Padminingsih, Hodowiyah
Endah Utami, Fitri Setyaningsih, Retno Sulistyorini,
dan Dwi Windarti. Bali dengan Institut Seni Indo-
nesia (ISI) Denpasar memiliki koreografer
perempuan, di antaranya: Tjokorda Istri Putra
Padmini, Ni Luh Nesa Swasti Wijaya, Ni Ketut Arini
Alit, dan Ni Ketut Reneng. Sementara itu, di
Surabaya yang terdapat Sekolah Tinggi Kesenian
Wilwatikta (STKW) memiliki koreografer
perempuan, di antaranya: Sri Mulyani dan Yuni
Widiastuti.
Fenomena lain yang menunjukkan peran
koreografer perempuan dalam penciptaan tari
tampak pula pada Indonesian Dance Festival (IDF),
sebagai contoh pada IDF 2008 di Jakarta pada
tanggal 28 -31 Oktober 2008. Pada acara IDF itu
tampil tujuh orang koreografer perempuan dari 13
koreografer yang tampil pada IDF itu. Mereka
adalah: Retno “Eno” Sulistyorini (Solo-Indonesia),
Natsuko Tezuka (Jepang), Megumikamimura
(Jepang), Rachael Lincoln & Leslie Seiters (USA), Ni
Kadek Yulia Puspasari Moure (Solo-Indonesia), dan
Hartati (Jakarta-Indonesia). Kiprah koreografer
perempuan juga tampak pada Temu Koreografer
Perempuan yang dilaksanakan hampir setiap tahun
di Solo.
C. Peran Koreografer Perempuan Indonesia
Peran koreografer di Indonesia, dapat terlihat
pada berbagai aktivitas tari yang terdapat di
berbagai daerah yang tersebar di Nusantara. Peran
dalam kehidupan sosial terkait dengan fungsi yang
dibawakan seseorang ketika menduduki posisi
dalam struktur sosial. Secara sosial setiap individu
memiliki kedudukan dan status yang saling
berhubungan dengan status yang lain. Ketika ia
menduduki status tertentu, berarti ia menjalankan
peran tertentu. Peran dan status tidak terpisahkan,
setiap individu mempunyai sejumlah peran yang
berasal dari pola yang berbeda dan ia berpartisipasi
pada waktu yang sama (Ralph Linton, 1936: 114).
Koreografer perempuan di Indonesia yang
produktif dalam menciptakan karya tari, di
antaranya: Retno Maruti, Huriah Adam
(almarhumah), Gusmiati Suid (almarhumah),
Indrawati Lukman, Irawati Durban, Setiastuti,
Hartati, dan Sri Mulyani.
Peran koreografer dalam perkembangan tari
pada dasarnya adalah sebagai pencipta karya tari.
Di samping sebagai pencipta karya tari, koreografer
juga memiliki peran sebagai penari, pelestari tari
tradisi, atau sebagai pendukung perkembangan tari.
Koreografer dapat pula sebagai pembaharu, sebagai
Vol. 8 No. 1, Desember 201276
contoh Retno Maruti dan Huriah Adam disebut Sal
Murgiyanto sebagai pembaharu tari di Indonesia
(Murgiyanto, 1991: 1). Bahkan Huriah Adam disebut
pula sebagai pendobrak tradisi, karena pada masa
hidup Huriah Adam, perempuan menari masih
ditabukan di masyarakat Minang. Selain itu,
koreografer dapat pula sebagai pemuka yang
mempunyai ide-ide ke depan yang cemerlang dalam
penciptaan tari. Koreografer sebagai pencipta karya
tari, memiliki peran dalam proses penciptaan tari,
dari lahirnya ide, proses berkarya hingga hasil karya
seni yang dipergelarkan di panggung pertunjukan.
Pada dasarnya keempat peran itu menyatu dalam
aktivitas berproses menciptakan karya tari dan
mempergelarkan, agar dapat mengkomunikasikan
karya tari di depan khalayak masyarakat.
Untuk dapat menjalankan perannya sebagai
koreografer diperlukan bekal yang mendasar, yaitu:
1) memiliki sensitivitas yang tinggi dalam
memperkaya pengalaman estetis, 2) memiliki
kreativitas yang tinggi dalam menemukan dan
mengembangkan ide, 3) memiliki fleksibilitas untuk
mengadaptasikan kemampuan dengan situasi, 4)
memiliki kemampuan untuk menentukan bentuk
dan makna karya seni, 5) memiliki kemampuan
elaborasi untuk mengembangkan ide dalam karya
seni (Widyastutieningrum, 2011: 22). Selain kelima
bekal yang dimiliki koreografer, dibutuhkan juga
dukungan lingkungan sosial dan budaya yang
kondusif. Secara singkat dapat dinyatakan bekal
seorang koreografer dalam menciptakan tari, adalah
sensitivitas, kreativitas, kemampuan teknik,
wawasan yang luas, dan pengalaman-pengalaman
estetis. Oleh karena itu, koreografer perempuan
dengan dasar pengalaman dan wawasan yang
dimiliki, memiliki kecenderungan untuk
mengungkapkan masalah-masalah perempuan,
nilai-nilai kehidupan terutama tentang nilai-nilai
keperempuan dalam mencipta karya tari, dan
bentuk karya tari yang lebih feminim. Permasalahan
dan nilai-nilai yang diungkapkan itu berbeda
dengan karya-karya tari yang diciptakan oleh
koreografer laki-laki. Koreografer laki-laki
cenderung menggunakan cara pandang laki-laki,
sedangkan koreografer perempuan menggunakan
cara atau sudut pandang seorang perempuan.
Kehadiran perempuan dalam seni pertunjukan
tari di Indonesia pada mulanya dipandang sebagai
hal yang ditabukan (Kuntowijoyo, 1987: 35), hal itu
terutama terjadi di Jawa maupun di Sumatera Barat.
Namun upaya untuk eksis dan berekspresi,
mendorong koreografer perempuan untuk
menciptakan karya tari. Maka dapat diamati
perkembangan tari di Indonesia tidak dapat
dipisahkan dari peran koreografer perempuan yang
secara konsisten mencipta dan mengembangkan
tari, serta berusaha untuk menjaga keberlanjutan
kehidupan tari. Karya-karya tari mereka tidak
hanya mengindonesia, tetapi juga mendunia. Di
samping itu, karya-karya tarinya mampu
menginspirasi para koreografer yang lebih muda.
Mereka, di antaranya: Retno Maruti, Huriah Adam
(almarhumah), Gusmiati Suid (almarhumah), dan
Indrawati Lukman.
1. Peran Koreografer Perempuan SebagaiPencipta Tari
Penciptaan tari yang dilakukan oleh para
koreografer perempuan mewarnai karya tari di In-
donesia. Dari masa ke masa koreografer perempuan
berperan menciptakan karya-karya tari baru yang
kreatif dan inovatif, sehingga secara produktif dapat
menambah keragaman jenis dan bentuk karya tari.
Mereka telah menyumbangkan karya-karya tarinya
untuk memperkaya khasanah kekaryaan tari.
Melalui karya-karya tari tersebut, mereka
77Sri Rochana WidyastutieningrumPeran Koreografer Perempuan dalam Perkembangan Tari
mengekspresikan pengalaman dan nilai-nilai
kehidupan yang diyakini dapat memperkaya
pengalaman dirinya maupun orang lain.
Retno Maruti lahir di Surakarta, pada tanggal 8
Maret 1947. Ia dilahirkan dan dibesarkan di
lingkungan keluarga seniman. Retno Maruti mulai
belajar menari sejak usia 5 tahun pada para empu
tari, di antaranya: R.T. Koesoemakesawa, R.Ay.
Laksmintorukmi, R.Ay. Sukorini, S. Ngaliman
Condropangrawit, Basuki Kusworogo, dan Bagong
Kussudiarjo, dan belajar menembang pada empu
tembang, yaitu: Nyi Bei Mardusari dan Sutarman.
Dalam berkarya tari, Retno Maruti berpijak pada
dasar tari gaya Surakarta, terutama genre bedhaya.
Ia tidak terpaku pada satu pakem yang baku, tetapi
menggali sampai menemukan kedalaman rasa dan
berusaha menghidupkan kedalaman rasa dalam
karya yang diciptakan. Kedalaman rasa yang
memantulkan jiwa merdeka memungkinkan
penyusunan tari diperluas, dihembuskan dengan
nafas baru. Maruti tetap mempertahankan
ketenangan dan kebeningan tari klasik Jawa yang
mistis, ibarat lubuk yang jernih, yang
memperlihatkan gelora, gairah yang dinamis nun
jauh di kedalaman, dan gelora dinamis yang anggun,
yang tidak terjebak oleh kegenitan atau gelora sorak
sorai modernisme.
Retno Maruti sangat produktif dalam
menciptakan karya tari yang berpijak pada tari
tradisi gaya Surakarta. Karya-karya tari Retno
Maruti, di antaranya: Dramatari Damarwulan
(1976), Dramatari Savitri (1977), Dramatari Roro
Mendut (1978), Dramatari Abimanyu Gugur (1979),
Dramatari Palgunadi, Dramatari Sekar Pembayun,
dan Dramatari Ciptoning (1983), Dramatari
Kangsadewa, Dramatari Dewabrata, Alap-alapan
Sukeksi, Adaninggar Kelasworo, Surapati, dan
Calonarang. Karya tari Calonarang disusun
berkolaborasi dengan Bulan Tisna Jelantik. Peran
Retno Maruti dalam menciptakan dan
mempergelarkan karya tari didukung oleh
kelompok Panecwara.
Karya-karya tari Retno Maruti mengungkapkan
tentang kesetiaan perempuan, sebagai contoh karya
Sekar Pembayun yang mengungkapkan kesetiaan
Pembayun kepada ayahandanya Panembahan
Senapati dan tanah airnya, meskipun harus
mengorbankan cintanya kepada Ki Ageng Mangir,
sang suami yang menjadi musuh ayahnya karena
dianggap sebagai pemberontak. Karya tari Retno
Maruti yang berjudul Savitri juga mengungkapkan
kesetiaan yang tulus seorang istri pada suaminya,
yang akhirnya berhasil menyelamatkan suaminya
dari kematian. Karya tari yang lain Dewabrata,
Abimanyu Gugur, Rara Mendut juga mengungkap-
kan mengenai kesetiaan perempuan dalam berbagai
suasana. Naluri untuk menampilkan keperkasaan
perempuan atau keperempuanan sangat kuat.
Dalam proses penciptaannya, Maruti menggarap
kembali karya-karyanya dengan menata penari,
garap tari, tembang-tembang, karawitan, gaya tari
dan segala sesuatu yang dapat menghasilkan karya
tarinya lebih baik.
Retno Maruti sangat konsisten dalam berkarya
dengan berpijak pada tari tradisi, dan berupaya
memadukan berbagai tari tradisi gaya yang
berbeda. Sebagai contoh karya tari tersebut adalah
karya tari Calonarang, Retno Maruti memadukan
tari tradisi gaya Surakarta dengan tari tradisi gaya
Bali, dalam karya tari Savitri (yang dipentaskan
pada tahun 2011) ia memadukan tari tradisi gaya
Surakarta dengan gaya Yogyakarta. Bahkan dalam
karya tari Suropati Retno Maruti memadukan tari
gaya Surakarta dengan Ballet. Di karya-karya
tersebut, karya-karya tari Retno Maruti selalu
memadukan unsur tari dengan tembang, dan
Vol. 8 No. 1, Desember 201278
seringkali menggarap bedhaya. Retno Maruti
termasuk perintis koreografer perempuan di Indo-
nesia yang menginspirasi Eli Luthan dan Wiwik
Sipala menjadi koreografer. Eli Luthan menciptakan
karya tari, di antaranya: Kunthi Pinilih, Gendari,
Durpadi, dan Cut Nyak, sedangkan Wiwik Sipala
menciptakan tari, di antaranya: Pakkarena.
Sementara itu, Huriah Adam (almarhumah)
koreografer yang berasal dari Minang menciptakan
dan mengembangkan tari Minang di Jakarta. Huriah
Adam, di samping ahli dalam musik, juga seorang
koreografer yang handal dan peletak dasar tari
Minang di Sumatera Barat (Murgiyanto, 1991: 128).
Kariernya sebagai koreografer berkembang pesat,
setelah ia hijrah ke Jakarta. Karya-karya tarinya di
antaranya: Tari Piring, Malinkundang, Galombang,
dan Pencak Silat. Karya-karya tari Huriah Adam
itu masih dipelajari, dipergelarkan, dan
dikembangkan di Minang sekarang ini.
Langkah yang dilakukan Huriah Adam untuk
pindah ke Jakarta, mampu mendorong Gusmiati
Suid (almarhumah) untuk mengikuti hijrah ke
Jakarta dan mengembangkan tari Minang di Jakarta.
Gusmiati Suid menciptakan karya tari, seperti: Tari
Randai, Rantak, Pajuang, Kasawah, Cewang
Dilangik, Layang-Layang, dan Panen. Tari Rantak
(1977) terpilih sebagai salah satu materi tari yang
dipertunjukkan dalam Festival Tari Rakyat Tingkat
Nasional pada tahun 1978. Hal itu berhasil
mengangkat dan membesarkan nama Gusmiati Suid
di kancah nasional (Desfina, 1999: 58). Sejak itu,
karya-karya tari Gusmiati Suid mulai dikenal di
Jakarta dan ia diangkat menjadi pengajar di Institut
Kesenian Jakarta (IKJ) di Jakarta pada tahun 1984,
dan hijrah ke Jakarta pada tahun 1987. Dalam
sepanjang hidupnya, Gusmiati Suid dengan wadah
sanggar tari Gumarang Sakti aktif dan produktif
dalam berkarya tari.
Hartati lahir di Jakarta pada tanggal 27 Februari
1966, tumbuh di sebuah desa kecil di Muaralabuh
Solok Selatan, Sumatra Barat. Belajar tari diawali
ketika belajar di Sekolah Menengah Kesenian Indo-
nesia (SMKI) Padang pada Jurusan Tari, dan pada
tahun 1986 melanjutkan studi di Jurusan Tari,
Institut Kesenian Jakarta (IKJ). Ia memiliki
pengalaman menari dengan koreografer-koreografer
handal dan profesional di Indonesia, seperti: Deddy
Luthan, Tom Ibnur, Sardono W Kusumo, Wiwik
Sipala, Sentot S, Retno Maruti, Farida Utoyo, Yulianti
Parani dan lain-lain. Selain itu, ia juga sangat banyak
belajar dengan koreografer muda seperti Boi G Sakti,
Sukarji Sriman dan lainnya. Ia terlibat dalam
sanggar tari Gumarang Sakti selama 18 tahun,
dibimbing Gusmiati Suid (almarhumah). Dari
Gusmiati Suid, ia belajar dan mendalami
kebudayaan Minangkabau.
Karya-karya tari Hartati yang diciptakan secara
mandiri pada tahun 1997 sampai tahun 2012, di
antaranya: Suap (1997), Sayap yang Patah (2001),
Membaca Meja (2002), Ritus Diri (2004), Hari ini
(2007), In(Side) Sarong, In (Sight)Sarong (2007), Cinta
Kita (2008), Dua Kutub (2008), In/Out (Jakarta, 2009),
In/Out (Australia, 2010), dan Serpihan Jejak Tubuh
(2012).
Hartati juga terlibat pada berbagai program-
program seperti: Asia Pacific Performance Exchange
Program (APPEX Program) di UCLA (1996), Grand
dari Asia Culture Council (ACC) ke New York
sebagai Visiting Artist (2000), Bates Dance Festival,
dengan karya The Way of the Women (2001)
Asia Pacific Europe Foundations (ASEF) “Pointe
to Point” Beijing China Program (2007), dan Work-
shop Koreografi di Malay Heritage Singapore (2008).
Sekarang sedang terlibat dalam Workshop
Koreografi di daerah-daerah Indonesia, di
antaranya: Kalimantan Tengah, Natuna, Bangka
79Sri Rochana WidyastutieningrumPeran Koreografer Perempuan dalam Perkembangan Tari
Belitung, Muntok (Bangka Barat), dan Padang. Selain
itu, Hartati sedang menjadi salah satu koreografer
dalam Musikal Laskar Pelangi yang sempat
menyelenggarakan 70 kali pementasan di Jakarta
dan Esplanade Singapore.
Hartati juga sebagai Koreografer Pembukaan Sea
Games ke 26 di Jakabaring Palembang untuk 2 tema
tarian “Musi” The Heart of The City dan Reach Out
The Dream serta Koreografer untuk Deville Atlit dan
Torch Rilley. (2011), Koreografer pertunjukan teater
“Surti” sutradara Sitok Srengenge (2011),
Koreografer pada lauching Kompas TV (2011),
Koreografer pada pertunjukan Masterpiece Erwin
Gutawa (2011), Speaker at “Muara Festival”
Singapore dan memberi workshop Koreografi Con-
temporary Dance (2012). Di samping itu, juga
menjadi koreografer pada Konser Kemerdekaan In-
donesia 2012 di Teater Jakarta TIM (2012), Konser
Ramadhan bersama Erwin Gutawa dan Jay
Subiyakto di JCC (2012), Konseptor & Koreografer
pada Pertunjukan “Sawah Lunto Kreatif” dalam
program “Restorasi Songket Silungkang” (2012).
Rasmida, lahir di Lawang Agam, Sumatera Barat,
pada 11 Desember 1967, telah berkiprah di dunia
tari sejak tahun 1987 sampai sekarang. Ia terlibat
dalam pergelaran seni dan menjadi tim kesenian
Akademi Seni Karawitan Indonesia (ASKI) sekarang
menjadi Institut Seni Indonesia (ISI) Padangpanjang
baik dalam maupun luar negeri. Pengalaman
menyusun karya tari diawali pada tahun 1992,
dengan bekerjasama dengan Sanggar Sriwana
Singapura dalam rangka malam Minang I di
Panggung Victoria Singapura, dengan menyusun
karya tari: Lenggok Indang, Sapu tangan, dan Drama
Tari Lareh Simawang. Karya-karya tari Rasmina
yang lain adalah: Tari Masal Sumarak Nagari Tari
(1992), Zapin (1993), Rafa’I dan Wahh (1994), Basiliah
(1996), Molah Baindang (1997), Takaik dan Saiyo
(1998), Melayu Serumpun Kasih dan Kisok (1999),
Bagadencak dan Dantiang Sapuluah (2000), Sigai
Jalang Pulang Kaanau, Indang Duo, Pasambahan,
Piriang Badarai, dan Titian Aka (2001), Galau,
Bangkik, dan Jamiba (2002), Mambangkik Batang
Tarandam HoerijahAdam Tokoh Tari Minangkabau
(2003), Tari Parade dan Karya tari Multimedia
Tangis Kemenangan (2004), Darsah, Bagaluik,
Gurauan Zapin dan Kerdipan Kami (2005), Kurenah
Anam, Gelora Takbiran, dan Sarantak Balain Ragam
(2006), Genah Rang Mudo, Tari Massal Pesona
Keindahan Dalam Nafas Islam, dan Tari Massal
Ratapan Dunia Sumarak Nagari (2007), Garak Jo
Garik, Tari Massal Kamudiak Saantak Galah Ka Hilie
Sarangkuah Dayuang, Awan Bentan II, Tari Massal
Sarangkuah Sadayuang dan Perempuan Tak Lagi
Limpapeh Rumah Nan Gadang (2008), Malangkah
(2009), Langkah Saua, Saraiah Di Nan Elok dan Ku
coba dan ku Coba (2010).
Rasmida juga aktif berkolaborasi dengan
berbagai koreografer dari dalam dan luar negeri, di
antaranya: Jepang, Amerika, Malaysia, dan India.
Ia juga aktif mengikuti Festival Seni, baik di dalam
maupun di luar negeri. Ia sering terlibat dalam
mengkoreografi tari massal, di antaranya: Tari
Massal Dalam Rangka Pembukaan Porda
Padangpanjang (1992), Tari Massal Pembukaan
MTQ Pembukaan MTQKabupatenAgam (2001), Tari
Massal Mambangun Kampuang Lewat Kesenian
Anak Nagari Pembukaan Para Layang di Puncak
Lawang. (2004, Tari Massal Pembukaan dan
Penutupan MTQ Tingkat Propinsi di Payakumbuh
(2007), Tari Massal Pembukaan Festifal Serambi
Mekah di Padangpanjang (2007), Tari Massal
Pembukaan Pekan Budaya Sumatera Barat di
Taman Budaya Padang (2008) Tari Massal
Pembukaan Perahu Naga International di Padang
(2008), dan Tari Massal Acara Puncak Rang Minang
Baralek Gadang (2008).
Vol. 8 No. 1, Desember 201280
Deslenda menciptakan beberapa karya tari, di
antaranya: Perempuan Katigo (2003), Belantara
Betina, Molah O Lai, Andia …Tentang Latah, Latah,
dan Negeri Budaya Latah (2012). Sementara itu,
Susas Rita Loravianti menciptakan karya tari, di
antaranya: Tersebab Anggun atawa Membangun
Menara Gading (1998), Memetik Api (2001),
Perempuan dalam Kaba (2002), Meja Kursi dan
Segelas Jus yang Tumpah (2005) , dan Ulah Padusi
(2007).
Indrawati Lukman adalah koreografer dari
Bandung yang melanjutkan kiprah R. Tjetje
Somantri dalam berkarya tari dan mengembangkan
tari Sunda. Prinsip Indrawati dalam menekuni tari
dilatarbelakangi oleh sikap bahwa ia hidup dari
tari, maka ia harus membalas budi untuk
menghidupkan tari. Oleh karena itu, ia berusaha
berprestasi dengan karya-karya tarinya agar diakui
oleh masyarakat. Karya tarinya mengandalkan
pada tepakan kendang untuk membedakan setiap
motif gerak. Karya tari yang diciptakan, di
antaranya: Mayang Mustika, Batik, Ratu Graeni,
Tani, Topeng Anak-Anak, Nakula-Sadewa,
Anomsari, Tumenggungan, Golek, Tresnawulan,
Panembrama, Topeng Damarwulan, Gendra Pinutri,
Ringkang Topeng, Fragmen Jaka Tarub, Bisma
Gugur, dan Damarwulan (Narawati, 1998: 92-93).
Meskipun bentuk karyanya bersumber dari karya
Tjetje Somantri, namun bentuknya sangat berbeda.
Hal ini sangat dimungkinkan mengingat Indrawati
hidup di zaman setelah kemerdekaan, masa yang
menawarkan lebih banyak kemungkinan mendapat
pengaruh tari-tarian daerah, serta gerak-gerak yang
enerjik dan variatif (Caturwati, 2004: 82). Di
samping itu, terdapat koreografer perempuan yang
lain di Bandung, yang masih aktif berkiprah
menciptakan karya tari, di antaranya Irawati
Durban dan Endang Caturwati.
Irawati Durban adalah salah seorang murid
Tjetje Somantri yang satu generasi dengan
Indrawati Lukman pada tahun 1955 sampai 1963.
Irawati bersama Indrawati dan Mila Karmila sering
tampil bersama dalam pertunjukan yang dijuluki
sebagai ‘Tri Tunggal’ atau ‘Tiga Bintang Kejora’.
Selain sebagai penari profesional, Irawati
mempunyai andil besar dalam menampilkan
kembali tari Merak karya Tjetje Somantri, dengan
cara merenovasi gerak tari berdasarkan interpretasi
serta mendesain busananya sehingga nampak lebih
hidup dan menunjang gerak tarinya (Caturwati,
2004: 85). Karya-karya tari Irawati, di antaranya:
Cindelaras, Simbar Sakembar, Mupu Kembang,
Kawit, Jayeng Rinengga, Merak, dan Galura.
Sementara itu, Endang Caturwati menciptakan
karya tari Nyi Ronggeng dan Nyi Sumur Bandung
(1978), Ngalage (1987), Kembang Ligar (1988), Puspa
Endah (1989), Rampak Kendang Mojang Bujang
(2003), Kariaan (2007), Ronggeng Midang (2008),
Kariaan Nusantara (2010), dan Jatining Diri ( 2012).
Daruni lahir di Yogyakarta, 16 Mei 1960, dari
orang tua atau ayah yang bernama Darsono dan
ibunya bernama Suyati. Daruni dibesarkan dalam
keluarga seniman pelawak, di antaranya: Joni Gudel
(pemain Srimulat), Yati Pesek dan Marwoto Kawer.
Daruni mengenal seni dari mengikuti pentas di
ketoprak Tobong milik ayahnya. Lulus Sekolah
Menengah Pertama (SMP), melanjutkan studi di
Konservatori Tari Indonesia Yogyakarta. Di Tahun
1980, studi di Akademi Seni Tari Indonesia ASTI
(sekarang Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta),
lulus tahun 1985, dan menjadi dosen di Jurusan Tari
ISI Yogyakarta tahun 1986. Daruni menjalani studi
S-2 di Program Pasca Sarjana Universitas Gadjah
Mada Yogyakarta. Ia juga belajar menari pada empu
tari Jawa, antara lain, KRT. Sasmintodipura, KRT
Condro Radono, KRT Tambo, Siti Sutiyah, dan Endo
81Sri Rochana WidyastutieningrumPeran Koreografer Perempuan dalam Perkembangan Tari
Suanda dan Didik Hadi Prayitno (Didik Nini
Thowok).
Beberapa karya tari Daruni, antara lain:
Wandawaksaya, Asmara Candhala, Sang
Harimurti, Nirmana Rikma, Bala Wanodya,
Kumbokarno Senopati, Triangga Takon Bapa,
Kumbokarno Leno, (format Langen Mandra
Wanara), Pelangi Nusantara (dipentaskan di Viet-
nam, Ho Chi Minch, Hanoi), Karno Tinandhing
(dipentaskan Yokohama, Tokyo), Kidung Nusantara
(dipentaskan di Lisabon, Evora, Figuera de Foz,
Tondela, Praia de Victoria, Vila Real, Portugal), Cup
of Java (dipentaskan di Los Angeles), Kidung
Nuswantara (pentas keliling, Singapore, Malaysia,
dan Thailand).
Setyastuti adalah koreografer yang sangat
produktif dalam berkarya tari, di antaranya: NokTah
- Modern Dance Competation (Best Performance)
(1989), Beksan Nirbaya (1990), Intuisi (1991),
Selendang Wong Ayu (1992), Dhenok (Solo Dance)
(1993), Ilir-Ilir Padhang Rembulan (1993), Sang
(1994), TES Dance Experimental (1994), Tribanggha
Daya (1994), Blooup: Effervescene (Special Prize
Award) 1995, Umpama Tapak Srinthil (1995), Kenyo
Ilok (1996), Voice Of Women (1998), Bedhayan
Kembang Setaman (1999), Joged Sirkaton (1999), Ni
Dyah Wara (2000), Sesaat (Solo Dance) (2001),
Sirkaton (2002), Melipat Bayang – Bayang (2003), Ke
– Tika (2003), Kidung Sir Kinasih (2003), Gelar Seni
Tari (2003), Bunga Negeri (2003), Citra Pertiwi (2004),
Esem Tumawang (2004), The Last (2004), Women
Teps (Pulang Nia) (2005), Tapak Tua Bergaya (2005),
Half Dream (2006), Sekar Bawera (2006), Joged Sing
Peni (2006), Maneka Reka (2007), Momotaro (2008),
Teater Gamelan (2008), “The Peach Boy” (2008),
Tembok Mari Bicara (2008), Dancing The Violent Of
Sound (2009), Terbangan (2010), Jailangkung Ghost
Reader (2010), Masa (Nenek Moyangku Orang
Pelaut) (2010), Nyi Ageng (2011), Manisan (2011),
Nirbaya (2011), The Collor of Asean (2011), Mini
operet: Cinta Batik Cinta Indonesia (2012), Ginonjing
(Solo Dance) (2012), Ronggeng Jawil ( Solo Dance )
(2012), Indonesia Ethnic Colour ( Dance
Competation) (2012), dan Matram Ginonjing (2012).
Setyastuti juga menyusun karya kolaborasi
dengan Yokohama Boat Dance Theater dengan
sutradara: Takuo Endo, yang dipentaskan di Tokyo
dan Yokohama (1996), Kolaborasi dengan Wendy
Mc Phee koreografer Australia dan Yin Mei
koreografer USA, yang merupakan Program Pasca
Sarjana ISI Yogyakarta (2000), Interlace Sound
Kolaborasi, Gamelan Orchestra karya Y. Subowo
dan inspirasi Tari Flamenco ala Setyastuti
Kerjasama dengan Spanish – Indonesia Educational
Cooperation Project for Arts (2001), Kolaborasi
dengan Alex Dea Musisi dari USA dalam Festival
Gamelan International (2002), Kolaborasi Konser
Persembahanku untuk Hari Musik Indonesia.
Composser: Singgih Sanjay di Istana Negara –
Jakarta (2002), Kolaborasi Tari dan Musik. Komposer
Ron Reeves dari Australia dan Y. Subowo
Yogyakarta Sponsor: American Association of
Women University (2003), Pentas Opera King of Bali,
karya Prof. Vincent Mc Dermott dan Setyastuti
sebagai Penata Gerak (2004),Kolaborasi dengan
koreografer Butoh Jepang: Takuya Muramatsu yang
dipentaskan: di American Dance Festival – USA
(2006), Kolaborasi dengan koreografer Frenak Pal
Perancis. Pentas di Banjar Mili, Sponsor: LIP
(Lembaga Indonesia Perancis) (2007), Kolaborasi
dengan Makoto Nomura dan beberapa seniman
Jepang Bertajuk “Improvisasi” Di Taman Budaya
Yogyakarta (2011), Kolaborasi Setyastuti dan Eko
Supriyanto “Dialog Tubuh” untuk Exhibition
Sardono W. Kusumo, The Colour of Choreography,
di Contemporary Galery Semarang (2012).
Vol. 8 No. 1, Desember 201282
Sri Mulyani lahir di Surabaya pada tanggal
24 November 1975, dibesarkan dalam keluarga
bukan seniman. Sri Mulyani belajar menari di
sanggar tari Taman Budaya Jawa Timur Jl.
Gentengkali 85 Surabaya, mulai tari gaya Jawa
Timuran, Sala, Bali, hingga tari modern. Profesinya
sebagai penari menghantarkannya sebagai
koreografer yang tidak diragukan lagi dalam setiap
unjuk karya-karyanya.
Pengalaman dan prestasi Sri Mulyani
dalam dunia tari cukup banyak, baik pengalaman
sebagai penari, pelatih workshop tari, kolaborasi,
koreografer maupun berkiprah pada seni
pertunjukan. Karya-karya tari Sri Mulyani, di
antaranya: Pengembaraan Gilgamesh (L’eppope de
Gilgamesh), hasil berkolaborasi dengan seniman
Perancis, dalam Festival Tour de France (1997),
Lenggang Tayup (1998), Hija’iyah, Jaran
Nyongklang, Tawasalna, Kipas Tarabalaka, opera
bocah berjudul Kutilang Yang Malang (Opera
Bocah), Sampek Engthay, Butterfly, Jun Wangi, Jaran
Kepang (2004), Panji Klaras Keboan Sikep (2005),
Payah (2005), Sekesi Swargo (2006), Negeri Limbah
(2007), Sri Boyong (2008), Kidung Banjar Panji (2009),
Abhabha’(2010) , Lur Gulur E Tanah Kapor (2010),
Mapangha’ Bhalabar ’(2010), Bedhaya Cakra
Manggilingan (2010), Kamalagyan (2011), Satriya
Jenggolo (2011), Ibu Asa yang Terindah (2012)
Sri Mulyani sering terlibat dalam berbagai festi-
val, baik di dalam negeri maupun luar negeri, di
antaranya: Festifal Cak Durasim di Taman Budaya
Jawa timur (2006), Pergelaran Koreografi Lintas
Generasi di Graha Bhakti Budaya, Taman Ismail
Marzuki Jakarta (2006), Indonesian Dance Festival
ke VIII (IDF VIII) di Gedung Kesenian Jakarta (2006),
Festival Ramayana Internasional yang
diselenggarakan di Pulau Bali (2006), Indonesia Per-
forming Arts Mart (2007), Festival di Mesir (2008),
Indonesian Dance Festival ke IX (IDF IX) di Gedung
Kesenian Jakarta (2008) Indonesia Performing Arts
Mart (2009), Festival di Hongkong (2012), dan
Srawung Seni Internasional (2012).
Tjokorda Istri Putra Padmini menciptakan tari,
di antaranya: Sendratari Sri Tanjung, Legong Topeng,
Awemana, Semara Dudu, dan Arjuna Wiwaha. Ni
Luh Nesa Swasti Wijaya menciptakan tari Belibis,
Cendrawasih, Gadung Kesturi, Siwa Nataraja,
Saraswati, dan Sekar Jagat. Ni Ketut Arini Alit
menciptakan tari Widya Lalita, Satria Sadhu, dan
Supraba Duta, sedangkan Ni Ketut Reneng
menciptakan Wanita Di Persimpangan Jalan, Terang
Bulan di Danau Batur, dan Habis Gelap Terbitlah
Terang.
Retno Maruti dalam berkarya tari lebih berpijak
pada tari gaya Surakarta, mempunyai pengaruh
kuat dalam perkembangan tari di Surakarta.
Berkaitan dengan tema, karya tari yang
mengungkapkan perempuan-perempuan terpilih
dianggap dapat menginspirasi masyarakat dan
menjadi bahan renungan bagi perempuan-
perempuan yang menyaksikan pertunjukan karya
tarinya. Dalam menciptakan karya-karya tari, Retno
Maruti mengangkat tokoh atau figur perempuan,
yang seringkali berpijak pada cerita Mahabarata,
misalnya: Karya tari Savitri mengungkapkan
kesetiaan dan upaya serta kegigihan Dewi Savitri
dalam mempertahankan cinta sejatinya pada
Setiawan suaminya. Sementara itu dalam karya tari
Abimanyu Gugur, Retno Maruti mengungkapkan
kesetiaan Dewi Siti Sendari kepada Abimanyu
suaminya, sehingga ia rela untuk mati obong (ikut
dibakar bersama Abimanyu sebagai tanda
kesetiaan dan cinta sucinya. Dalam karya tari yang
berjudul Dewabrata, Retno Maruti mengungkapkan
tentang kesetiaan Dewi Amba kepada Dewabrata.
Dalam karya tari Dewabrata terdapat konsep garap
83Sri Rochana WidyastutieningrumPeran Koreografer Perempuan dalam Perkembangan Tari
tokoh yang berbeda dengan konsep atau cerita pada
umumnya, yaitu Dewi Amba digambarkan
mempunyai rasa dendam terhadap Dewabrata,
sehingga Dewi Amba menyatu dengan Dewi
Srikandi dan membunuhnya. Namun dalam karya
tari Dewabrata, Dewi Ambo tidak merasa dendam
atas kematiannya yang disebabkan oleh panah
Dewabrata, karena hal itu terjadi atas ketidak-
sengajaan Dewabrata. Diceritakan dalam tari
tersebut, bahwa pada saat perang Baratayuda,
Dewabrata atau Bisma gugur atas panah Dewi
Srikandi, maka Dewi Amba menjemput dengan
penuh cinta kasih, untuk bersama-sama menuju
Nirwana. Di samping itu, terdapat beberapa karya
Retno Maruti yang berpijak pada cerita sejarah, di
antaranya: karya tari Sekar Pembayun, diungkapkan
tentang kesetiaan Sekar Pembayun terhadap
ayahandanya Panembahan Senapati (Raja Mataram
Islam). Diawali dengan konflik yang dihadapi Sekar
Pambayun yang dihadapkan pada pilihan antara
cintanya terhadap suaminya Ki Ageng Mangir dan
wujud bakti kepada ayahandanya serta tanah air.
Dalam hal ini Ki Ageng Mangir dianggap sebagai
pemberontak yang menjadi musuh ayahnya. Pada
pilihan sulit ini, Sekar Pembayun memilih berbakti
pada ayahanda dan tanah airnya. Dalam karya tari
berjudul Rara Mendut, Retno Maruti juga
mengungkapkan mengenai kegigihan Rara Mendut
dalam mempertahankan cintanya kepada
Pronocitro yaitu laki-laki yang dicintainya. Rara
Mendut harus berjuang sekuat tenaga, meskipun
akhirnya cinta tulusnya harus kandas, sehingga
cinta Roro Mendut dan Pronocitro berakhir pada
kematian bagi keduanya. Karya tari yang berjudul
Calon Arang juga mengungkapkan cinta seorang
ibu (Calon Arang) kepada anak perempuannya
(Retno Manggali) yang dianggap kurang beruntung.
Sebagai wujud cinta seorang ibu kepada anak, Calon
Arang marah dan melakukan perbuatan yang
meresahkan masyarakat dengan kekuatan
magisnya. Demi cintanya kepada anaknya, Calon
Arang rela berkorban.
Berpijak dari beberapa karya tari Retno Maruti
tersebut dapat memberikan gambaran mengenai
nilai ungkap dari karya tari yang menekankan pada
permasalahan nilai-nilai kesetiaan dan cinta sejati
perempuan. Sajian karya tari Retno Maruti
divisualkan dalam koreografi yang tertata geraknya,
karawitan tergarap dengan baik, rias, dan busana
senantiasa digarap dengan baik, serta selalu
didukung oleh penari-penari handal. Karya-karya
tari yang diciptakan oleh Retno Maruti selalu
mendapat apresiasi yang baik.
Koreografer perempuan di Surakarta pada
umumnya menciptakan karya tari yang berpijak
pada tari gaya Surakarta. Pijakan tersebut tidak
terhindarkan karena lingkungan sosial dan budaya
Surakarta mempunyai pengaruh kuat dalam proses
penciptaan tari. Nora Kustantina Dewi
(almarhumah) dalam menyusun karya tarinya
berpijak secara kuat pada tari tradisi gaya
Surakarta, karya-karya tari Nora di antaranya:
Srikandi Mustakaweni (2001), Bedhaya
Candrakirana (2001), dan Lantiping Lathi (2005) dan
Mustakaweni Kembar (2009. Hal yang sama juga
mendasari Rusini dalam menyusun tari, di
antaranya: Bedhaya Timasan (2000), Bedhaya
Bangun Tulak (2000), Tandingan Parang Kusuma
(2001), Sesaji Kembang Dewandaru (2002), Wahyu
Mawa Tejo (2003), Mbulan Ndadari (2005), dan
Bedhaya Tejoningsih (2006).
Sementara itu, generasi koreografer perempuan
muda, dalam menyusun tari lebih terbuka dan
fleksibel, sehingga tidak secara ketat berpijak pada
tari tradisi gaya Surakarta. Karya-karya tari
Saryuni, di antaranya: karya Simbok (2004), Lorong
Vol. 8 No. 1, Desember 201284
(2005), Bedhaya Sarporodra (2007), Bocah Sapu-Sapu
(2008), dan Gadjah Mada (2008). Irawati
Kusumarasri juga bersikap dalam proses berkarya
tidak secara ketat berpijak pada tari gaya Surakarta,
dan karya tarinya, di antaranya, Bedhaya Kakung
Siguse, (2001) Sekar Jagat (2002), dan Kabut Jingga
di atas Segaran (2003). Sementara itu, Ni Nyoman
Juliarmaheni menyusun tari, di antaranya: Bangkik
(2002), Retak (2003), Sayong (2004), Tembang Sayong
(2004), Bendhu (2005), Dongeng Rembulan (2006),
Kala Bendhu (2007), Sekar Kemuda (2007), Kalatida-
Kalabendu (2007), dan Janda Dirah (2008).
Hodowiyah Endah Utami menyusun tari, di
antaranya: Bedhaya Sekaten (2008), Bedhaya Sukma
Raras (2011), dan Bedhaya Suryo Kusuma (2012).
Wahyu Widayati (Ketua kelompok Sahita)
menyusun tari dengan dasar atau konsep yang
berbeda dengan koreografer pada umumnya, yaitu
pada perwujudannya mempunyai karakter dan ciri
yang berbeda. Wahyu Widayati dengan tiga orang
anggotanya yang terdiri dari Sri Setyoasih,
Cempluk, dan Atik. Kelompok Sahita mempunyai
medium rupa yang unik, para penarinya
mempunyai karakter tua dengan berdandan
sebagai orang tua disertai rias yang menegaskan
garis-garis tua. Keunikan yang lain, pada pemilihan
gerak yang jenaka, sehingga karya mereka dapat
dikelompokkan sebagai tari parodi. Musik yang
digunakan lebih menekankan pada konsep musik
internal. Ciri yang lain dari karyanya adalah pada
tema aktual dan dialog yang komunikatif.
Karya-karya tari Sahita, di antaranya: Srimpi
Kesrimpet (2001), Ketawang Lima Ganep (2002),
Iber-Iber Tledhek Barangan (2003), Seba Sewaka
(2003), Gambyong Gleyogan (2003), Gathik Glinding
I (2004), The Destiny of Dewi Sri (2005), Uran-Uran
(2006), Rewangan (2006), Alas Banon (2007), Sikep
(2007), Gathik Glinding II (2009), Kabaret Keroncong
(2010), Kabare Oriental (2011), dan Sinar Kasih
(2012),
Gambar 1. Kelompok Sahita dalam pentas tari KayonBlumbangan di Teater Garasi Yogyakarta (Foto: Koleksi
Sri Setyoasih, 2010)
Koreografer di Surakarta yang cenderung
menggarap tari kontemporer, meskipun berbasis
pada tari tradisi, di antaranya Kadek Yulia Moure,
Fitri Setyaningsih, dan Retno Sulistyorini. Kadek
Yulia Moure menyusun karya tari, di antaranya:
Aitem (2001), Sanghara (2002), No!!! (2002), Nadi
(2003), Rene Indahku (2005), Lamp (2005),
Tambangraras (2006), Sang Hara Sang (2007), Kidung
40 Centhini (2007), dan Water and I (2008). Fitri
Setyaningsih menyusun tari, di antaranya: Bedoyo
Silikon (2005), dan Pidato Bunga-Bunga (2006), dan
Retno Sulistyorini menyusun tari, antara lain: Pisau
(2001), Nafas (2004), Kumari (2005), dan Samparan
Moving Space (2007). Selain itu, masih banyak lagi
koreografer perempuan muda yang menciptakan
karya tarinya, di antaranya: Dwi Windarti,
Cahwati, dan Wirastuti.
Peran koreografer dalam perkembangan tari di
Surakarta, dapat diamati adanya berbagai
perubahan dan perkembangan pada ide,
pendekatan, proses, dan hasil karya tari. Ide tentang
problematika perempuan tampak masih dominan
dalam karya-karya tari yang diciptakan. Perubahan
tampak pula pada ruang pentas yang dipilih.
85Sri Rochana WidyastutieningrumPeran Koreografer Perempuan dalam Perkembangan Tari
Sebagai contoh Dwi Rahmani menciptakan karya
tari yang berjudul Arus: Sungai dan Peradaban
(2006) diawali dari ide yang sederhana yaitu ingin
mengangkat kehidupan para perempuan penggali
pasir di sepanjang sungai Bengawan Solo. Ide itu
berkembang dengan melakukan penelitian di
sepanjang Sungai Bengawan Solo, dengan
menggunakan pendekatan lingkungan dan sejarah.
Pendekatan yang dilakukan ini melahirkan sebuah
pemikiran mengenai ruang pentas di alam terbuka
dan sungai. Perubahan ruang pentas itu berakibat
pula pada perubahan ide dan bentuk karya tari.
Karya tari Arus, Sungai dan Peradaban meng-
gunakan ruang pentas di sungai Bengawan Sala dan
Dusun Kemudu, Desa Waru, Kecamatan Kebak-
kramat, Kabupaten Sragen. Dari ide dasar itu,
kemudian berkembang melalui penelitian yang
dilakukan, ternyata tempat itu mempunyai nilai
historis bagi masyarakatnya. Tempat itu, sering
dikunjungi oleh Paku Buwana X raja Keraton
Surakarta, sehingga di tempat tersebut terdapat
tradisi seni rakyat dan membatik. Berdasarkan
sejarah tersebut dalam karya tari ini menghadirkan
tokoh Paku Buwana X dengan Ratu Wihelmina
dengan iring-iringan perahu disertai musik
terompet dan musik ala Belanda. Di sisi lain di bagian
pinggir sungai dipertunjukkan tari tayub1. Karya tari
Arus, Sungai dan Peradaban ini dipertunjukkan di
sepanjang sungai Bengawan Solo dengan sepuluh
gethek2, dan beberapa perahu yang disertai dengan
instrumen musik. Sungai dan alam sekitar menjadi
setting yang mendukung sajian. Pertunjukan ini
sangat menarik, karena mengangkat aktivitas
sehari-hari para penggali pasir ke dalam kemasan
yang bernuansa sejarah. Melalui karya tari tersebut
dapat diamati fenomena kehidupan para penggali
pasir sekaligus mendapat gambaran mengenai
sejarah yang pernah terjadi di lokasi pertunjukan
itu.
Gambar 2. Pertunjukan tari Arus: Sungai danPeradaban karya Dwi Rahmani disajikan di pinggir danSungai Bengawan Solo (Foto: Koleksi Dwi Rahmani,
2006)
Karya tari Irawati Kusumarasri yang berjudul
Sekar Jagat (2002) juga terinspirasi oleh kehidupan
perempuan Jawa yang memiliki berbagai
keterbatasan budaya. Karya ini menggunakan
ruang pentas rumah dengan arsitektur Jawa.
Pertunjukan tari ditampilkan di pekarangan, dapur,
kamar-kamar, dan berbagai ruang dan pendapa di
rumah adat Jawa. Karya tari Sekar Jagat
merekonstruksi pola kehidupan perempuan Jawa
di rumah adat Jawa, yang menggambarkan
berbagai aktivitas perempuan Jawa, dari membatik,
memasak, ngadi salira3, ngadi busana4, dan menari.
Karya tari tersebut mengungkapkan tentang
keterbelengguan perempuan Jawa dan berupaya
untuk mendobrak adat yang membatasi langkah
serta aktivitas perempuan. Karya Irawati yang lain,
berjudul Kabut Jingga Bedhaya Sarporodra
harmoni itu dinisbikan dan pakem-pakemnya
sengaja ditabrak. Koreografinya tidak menggunakan
gawang atau pola lantai yang konvensional,
melainkan sama sekali baru, demikian pula pada
pola gerak, tidak lembut dan lamban mengalir, tetapi
dengan dinamika yang amat cepat. Gerak patah-
patah, tubuh membungkuk, menekuk, mendongak,
dengan kedua lengan lurus ke depan atau
direntangkan ke samping, ke atas, dan berputar
Vol. 8 No. 1, Desember 201286
dengan cepat. Kadang-kadang penarinya
menggeliat-geliat seperti ular, atau bergoyang
dengan seksi.
Busana yang digunakan model dodot6 dengan paes7
dan rias pengantin, gelung bokor mengkurep8 serta
cunduk mentul9. Rias wajah menonjolkan eye shadow
warna hijau yang disaputkan memanjang di atas
mata dan pemerah pipi yang tebal sehingga
memberi kesan cantik tapi bengis. Iringan musiknya
bukan gending bedhaya yang ngelangut10 dengan
ketukan kemanak11, melainkan suara seruling,
dentang saron, dan gebukan bedug yang keras.
Gendingnya perpaduan antara Jawa yang halus
dengan Bali yang lincah. Tarian ini ingin melukiskan
pemberontakan sosok Sarpakenaka dan tingkah
lakunya yang serba serakah, menyimpang di tengah
masyarakat yang konservatif. Dengan medium tari
bedhaya, Saryuni menanggapi kehidupan manusia
yang sangat memprihatinkan karena tidak peduli
dengan lingkungan alam yang rusak sebagai akibat
pemanasan global. Karya Saryuni ini menarik,
sebagai buktinya karya ini mendapat penghargaan
dalam Festival Tari Tradisional Tingkat Nasional di
Jakarta. Karya ini menjadi salah satu dari 10 besar
penyaji terbaik dan 5 besar koreografer terbaik.
Karya tari Subur (2004) yang diciptakan oleh Dwi
Maryani juga berdasarkan pada ide kegelisahan
perempuan yang memiliki postur tubuh yang
gemuk. Tubuh yang gemuk bagi perempuan adalah
malapetaka yang dapat mengakibatkan yang
bersangkutan rendah diri dan tidak beruntung.
Dalam menyusun karya ini Dwi Maryani
berkolaborasi dengan Wara Anindiyah. Berangkat
dari ide tentang perempuan gemuk, mereka
memadukan antara karya lukis dengan karya tari
sehingga menghasilkan karya tari baru yang cukup
menarik. Dalam proses berkarya, mereka saling
berinteraksi dan saling terinspirasi, sehingga
keduanya mampu melahirkan karya yang unik.
Karya tari yang didukung oleh 60 orang penari
gemuk itu dilengkapi dengan setting puluhan lukisan
Wara Anindiyah yang melukis figur-figur
perempuan yang gemuk dengan perut, tangan,
tangan, dan wajah yang berdaging.
Gambar 3. Pertunjukan kolaborasi Dwi Maryanidengan Woro Anindyah dalam karya tari Subur yangditarikan oleh penari yang gemuk (Foto: Koleksi Dwi
Maryani, 2004)
2. Peran Koreografer sebagai Penari
Seorang koreografer dituntut memiliki kemam-
puan kepenarian, karena kemampuan ini menjadi
modal pokok yang harus dimiliki oleh seorang
koreografer. Kemampuan kepenarian ini akan
memudahkan seorang koreografer dalam
menciptakan karya tari. Kemampuan kepenarian
dan pengalaman menari menjadi dasar dalam
menciptakan karya tari. Kemampuan kepenarian-
nya itu membentuk seorang koreografer pada
penguasaan vokabuler yang menjadi bahan dalam
menciptakan tari.
Koreografer-koreografer tersebut adalah penari-
penari handal yang profesional. Kemampuannya
sebagai penari tidak disangsikan, sebagai contoh:
Retno Maruti selalu tampil sebagai penari dalam
setiap karya tari yang diciptakannya. Demikian pula,
87Sri Rochana WidyastutieningrumPeran Koreografer Perempuan dalam Perkembangan Tari
koreografer-koreografer yang lain, Indrawati
Lukman dan Irawati Durban juga terkenal sebagai
penari yang baik. Pada dasarnya koreografer yang
ada di Indonesia mengawali profesinya sebagai
penari.
3. Peran Koreografer sebagai Pelestari TariTradisi
Pada dasarnya para koreografer menciptakan
karya-karya tari sebagai bentuk pelestarian
terhadap seni dan budaya yang dipandang memiliki
nilai-nilai yang estetis, etis, dan filosofis. Dengan
menciptakan berbagai bentuk seni tari yang berpijak
pada berbagai akar budaya Nusantara berarti telah
dilakukan pelestarian dan pengembangan terhadap
seni dan budaya itu. Para koreografer perempuan
dalam proses penciptaan karya tari tidak bisa
meninggalkan latar belakang budaya atau tradisi
yang membentuk kepribadian, sikap, dan
pandangannya. Berdasarkan kondisi tersebut maka
dalam berkarya tari para koreografer perempuan
memiliki kesadaran membawa bentuk atau nilai
atau roh atau roso atau spirit tradisi. Dalam hal ini
tari tradisi sebagai sumber inspirasi penciptaan tari.
Berkaitan dengan pelestarian tari tradisi ini,
perlu dipahami bahwa seni tradisi pada dasarnya
selalu berubah dan berkembang sesuai dengan
kebutuhan masyarakat dan zamannya. Terkait
dengan hal ini, Sal Murgiyanto menyatakan bahwa”
seni tradisi setiap kali dapat muncul dalam
wujudnya yang baru, atau dengan perkataan lain
tradisi itu hidup, senantiasa tumbuh, bergerak, dan
berkembang”(Murgiyanto, 2003: 11). Terkait dengan
hal itu, Sal Murgiyanto menyatakan “Maruti preserves
(melestarikan) classical Javanese dance not by fossilizing
it as a museum piece, but by interpreting it in a creative and
relevant manner”(Murgiyanto, 1991: 217).
Pelestarian tari tradisi juga dapat dilakukan
melalui pembelajaran atau pelatihan di sanggar-
sanggar tari. Hal ini dilakukan oleh para koreografer
untuk mentransmisikan kemampuan kepenarian,
juga untuk mempersiapkan penari-penari yang
handal untuk dapat mendukung karya-karya tari
yang dipentaskan. Sebagai contoh: Retno Maruti
mendirikan kelompok tari atau sanggar tari
Padnecwara di Jakarta pada tahun 1978, sebagai
ajang untuk menggarap dan menggarap kembali
karya-karya tarinya. Sementara itu, Gusmiati Suid
(alamarhumah) mendirikan Gumarang Sakti Dance
Company di Jakarta sebagai ajang menyiapkan
penari-penari yang baik dan menyiapkan dan
proses berkarya tari.
Indrawati Lukman memiliki wadah untuk
membina tari, yang dilakukan di ‘Studio Tari Indra’
di Bandung. Hasil pembinaan Indrawati ini mampu
menghasilkan penari-penari yang handal
(Caturwati, 2004: 83). Demikian pula dengan Irawati
Durban juga tidak ketinggalan mendirikan
laboratorium tari yang disebut ‘Pusat Bina Tari
Irawati Durban’ (Pusbitari) di Bandung sebagai
wadah mengajarkan tari-tari hasil kreasinya.
Melalui Pusbitari ini, Irawati melestarikan tari
tradisi yang mempunyai nilai-nilai budaya dan seni
yang masih dibanggakan masyarakat Sunda.
Rasmida juga memiliki sanggar tari Titian Aka
sebagai wadah pembelajaran tari dan proses
penciptaan tari Minang di Padangpanjang. Tidak
ketinggalan dengan Rasmida, Sri Mulyani juga
memiliki Sri Production sebagai Pusat Olah Seni
Budaya di Jawa Timur yang didirikan pada tahun
1998. Kegiatan Sri Mulyani menekankan pada
kekaryaan di bidang seni dan budaya yang
berangkat dari akar tradisi budaya masyarakat
Jawa Timur.Melalui wadah sanggar tersebut,
generasi muda dibina untuk menjadi pelaku seni
tari dan diharapkan dapat mendukung karya-karya
tari yang diciptakan.
Vol. 8 No. 1, Desember 201288
Para koreografer lain, yang tidak memiliki
sanggar tari biasanya melakukan proses berkarya
tari di lingkungan kampus dengan melibatkan
mahasiswa. Pada konteks ini, proses kekaryaan tari
dapat menjadi bagian dari proses pembelajaran
atau untuk tujuan tertentu, di antaranya: festival,
pergelaran seni, atau tujuan yang lain. Dalam proses
penciptaan tari, dilakukan proses transmisi atau
transfer kemampuan dari koreografer ke penari
pendukungnya. Proses ini menjadi bagian penting
dari peran koreografer dalam pelestarian tari tradisi.
Aktivitas lain yang dilakukan adalah keterlibatan
para koreografer dalam workshop tari, terutama
tentang koreografi yang dapat menjadi ajang untuk
penyebarluasan gagasan dan kemampuan teknik
menyusun tari. Workshop tari sering dilakukan oleh
Hartati, Setyastuti, dan Sri Mulyani. Kolaborasi-
kolaborasi yang sering dilakukan para koreografer
dengan koreografer dalam negeri dan luar negeri
dapat juga sebagai sarana untuk melestarikan tari
tradisi.
4. Peran Koreografer sebagai PendukungPerkembangan Tari
Dari beberapa prestasi yang didapat para
koreografer perempuan menunjukkan bahwa peran
mereka dalam penciptaan tari tidak dapat
disangsikan. Melalui kepekaan, kreativitas, dedikasi,
dan pengabdian mereka, lahir karya-karya tari yang
mampu berperan dalam perkembangan tari. Hasil
karya tari mereka menjadi panutan bagi para
generasi penerusnya. Spirit mereka mampu
mendorong dan menginspirasi atau mempengaruhi
para seniman muda untuk berkarya tari.
Dalam proses penciptaan tari, koreografer
perempuan dapat dikelompokkan menjadi dua,
yaitu (1) koreografer yang menciptakan tari tradisi
dan (2) koreografer yang menciptakan tari modern
atau kontemporer (nontradisi), tetapi berbasis pada
tradisi. Proses penciptaan yang dilakukan sangat
tergantung pada kreativitas seorang koreografer. Di
sisi lain seorang koreografer pada kesempatan ter-
tentu menciptakan tari tradisi, dan pada kesempat-
an yang lain menciptakan tari kontemporer.
Para koreografer perempuan pada umumnya
lebih tertarik untuk mengungkapkan tentang
kehidupan perempuan, hal ini dipengaruhi oleh
pengalaman dan pandangan-pandangannya
tentang perempuan. Pandangan itu dipengaruhi
oleh lingkungan budayanya. Problematika yang
dihadapi perempuan dalam mengarungi kehidupan
sangat kompleks. Beberapa koreografer dalam
mengangkat masalah perempuan berpijak pada
cerita Mahabarata dan Ramayana atau pada realita
kehidupan.
Kiprah dan peran para koreografer perempuan
yang mampu dalam melahirkan karya-karya tari
baru mampu memperkaya keragaman bentuk karya
tari. Hal ini merupakan sumbangan yang cukup
penting mengingat bahwa peran perempuan dalam
budaya Jawa lebih dominan pada peran domestik.
Ide-ide yang cemerlang dalam berkarya tari dan
munculnya karya-karya tari kontemporer yang
berbasis pada tradisi mendukung perkembangan
tari.
Kondisi sosial dan budaya yang kondusif turut
mendukung para koreografer dalam penciptaan
tari. Sebagai contoh Surakarta sebagai salah satu
pusat budaya Jawa memiliki tari tradisi yang sangat
kuat, karena keberadaan Keraton Kasunanan
Surakarta dan Pura Mangkunegaran yang masih
menjadi sumber referensi dalam penciptaan tari.
Selain itu, Surakarta memiliki misi sebagai Kota
Budaya dengan branding: Solo, The Spirit of Java.
Berbagai event turut mendorong secara cepat
tercapainya Solo sebagai Kota Budaya, di antaranya:
Solo Internasional Performing Art (SIPA), Solo
89Sri Rochana WidyastutieningrumPeran Koreografer Perempuan dalam Perkembangan Tari
Internasional Etnik Music (SIEM), Solo Batik Carni-
val, dan berbagai event budaya yang bertaraf
internasional. Banyaknya event sebagai ajang pentas
untuk mempertunjukkan karya tari di Surakarta,
mampu mendorong dan memacu kreativitas para
koreografer untuk berkarya tari. Aktivitas
penciptaan karya tari dapat dilihat pada festival-
festival dan temu koreografer, seperti TemuKoreografer
Wanita, Solo Dance Festival, Festival Penata Tari Muda,
dan pergelaran-pergelaran karya tari dalam
berbagai event, baik nasional maupun internasional.
C. Simpulan
Mencermati peran koreografer perempuan
dalam perkembangan tari, terutama dalam
penciptaan tari semakin meningkat dalam kuantitas
dan kualitasnya. Penciptaan tari yang dihasilkan
juga lebih beragam dalam ide, medium, media, nilai,
dan bentuknya. Dari fenomena ini dapat
disimpulkan bahwa peran koreografer perempuan
dalam perkembangan tari mampu memberikan
berbagai pendekatan baru, konsep baru, bentuk-
bentuk baru, dan nuansa baru yang dapat
memperkaya khasanah tari Indonesia.
Para koreografer perempuan pada umumnya
menciptakan karya tari dengan berpijak pada tari
tradisi yang telah berakar pada budaya Indonesia.
Mereka memiliki kesadaran bahwa kekuatan tradisi
menjadi dasar penting bagi para koreografer dalam
menciptakan karya tari, sehingga karya tarinya
memiliki landasan dan identitas yang kuat. Dengan
dasar itu, muncul karya-karya tari yang berkarakter
dan mampu lebih menyentuh, manusiawi, serta
memiliki makna yang mendalam bagi para
penikmatnya. Di samping itu, muncul karya-karya
tari baru yang fenomenal tetapi tetap memiliki
identitas. Peran para koreografer perempuan yang
kreatif, inovatif, dan produktif dalam menciptakan
karya tari menjadi salah satu penentu penting bagi
perkembangan tari di Indonesia.
Catatan Akhir
1. Nama sebuah pertunjukan hiburan bagi pria
yang selalu menghadirkan penari wanita yang
disebut joged atau tandak dan mengajak para
penikmat untuk menari bersama
2. Gethek atau rakit adalah kendaraan apung yang
dibuat dari beberapa buluh (bambu atau kayu)
yang diikat berjajar yang dipakai untuk
mengangkut barang atau orang di air
3. Kebiasaan yang dilakukan wanita dalam
merawat tubuh.
4. Bersolek, berdandan yang terkait dengan upaya
berbusana yang rapi dan indah.
5. Salah satu genre tari istana di Jawa Tengah, yang
pada umumnya ditarikan oleh sembilan penari
putri, dengan rias dan busana sama.
6. Kain lebar yang panjang untuk penutup bagian
tubuh perempuan kalangan istana, biasanya
untuk busana penari bedhaya dan srimpi serta
pengantin adat Jawa.
7. Riasan pada bagian wajah, terutama pada bagian
dahi dengan memberikan gambar-gambar
tertentu. Riasan tersebut biasanya digunakan
untuk pengantin perempuan pada perkawinan
adat Jawa.
8. Sanggul yang dipakai penari atau pengantin
perempuan pada perkawinan adat Jawa, yang
berbentuk seperti bokor yang tengkurap dengan
ditutup rangkaian bunga melati.
9. Perhiasan berbentuk bunga yang terbuat dari
emas yang dipasang di bagian atas sanggul.
10. Menapak jauh sekali, sunyi, rawan, melangut.
11. Perincian bunyi-bunyian logam (perunggu)
berbentuk seperti pisang (tongtong).
Vol. 8 No. 1, Desember 201290
Kepustakaan
Astuti, Fuji.” Perempuan Dalam Seni PertunjukanMinangkabau: Suatu Tinjauan Gender”,Tesis S-2 untuk menyelesaikan Derajat S-2di Program Pascasarjana UniversitasGadjah Mada Yogyakarta, 2000.
Bremser, Martha. Fifty Contemporary Choreographers.London and New York: Routledge, 1999.
Caturwati, Endang. Seni dalam Dilema Industri: Sekilastentang Perkembangan Pertunjukan Tari Sunda.Yogyakarta: Yayasan Aksara Indonesia, 2004.
Desfina, Gusmiati Suid. Koregrafer Sumatera Baratdi Era Globalisasi: Sebuah Biografi”, Tesis S-2 untuk menyelesaikan Derajat S-2 di Pro-gram Pascasarjana Universitas GadjahMada Yogyakarta, 1999.
Kuntowijoyo. Budaya dan Masyarakat. Yogyakarta:PT Tiara Wacana, 1987.
Linton, Ralph. The Study of Man: An Introduction.NewYork: Aplleton Century Crofts.Inc, 1936.
Morgenroth, Joyce. Speaking of Dance, Twelve Con-temporary Choreographers on Their Carft. NewYork and London: Routledge, 2004.
Murgiyanto, Sal. Moving Between Unity and Diver-sity: Four Indonesian Chorographers, Disertasi diNew York University, 1991.
______________. Tradisi dan Inovasi, Beberapa MasalahTari di Indonesia, Jakarta: WedatamaWidyasastra, 2004.
Narawati, Tati. “Indrawati Koreografer TariSunda dalam Menghadapi Era Globalisasi,Sebuah Biografi” Tesis untuk menyelesaikanDerajat S-2 di Program Pascasarjana Uni-versitas Gadjah Mada Yogyakarta, 1998.
W. Kusumo, Sardono. Sardono W. Kusumo, Hanuman,Tarzan, Homo Erectus, Jakarta: Penerbit ku/bu/ku, 2004.
Widyastutieningrum, Sri Rochana dan DwiWahyudiarto. Koreografi I. Surakarta: InstitutSeni Indonesia Surakarta. 2011.